kartini.pdf

16
36 BAB III BIOGRAFI R.A. KARTINI A. Biografi R.A. Kartini Kartini dilahirkan pada tanggal 28 Rabiul Akhir tahun Jawa 1808, bertepatan pada tanggal 21 April 1879 di Mayong Jepara. Kartini adalah cucu Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak. Beliau adalah seorang bupati yang mendidik anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan dengan pelajaran Barat. Padahal, pada masa itu belum ada pemikiran untuk memberikan pendidikan kepada orang bumi putra dengan metode orang Barat yang masih dianggap hina, tetapi beliau tidak mempedulikannya. Beberapa tahun sebelum meninggal, Pangeran Ario Tjondronegoro berpesan pada anak-anaknya, “Anak-anakku, jika tidak dapat mendapat pengajaran, engkau tiada akan mendapat kesenangan, keturunan kita akan mundur, ingatlah”. Dan anak-anak itu membenarkan apa yang diwasiatkan ayahandanya. Sifat ini juga dimiliki oleh Kartini, serta seluruh saudaranya, mulai putra sulung hingga R.M. Sosroningkat, Pangeran A. Sosrobusono, yang menjadi Bupati di Ngawi. 1 Kartini, sendiri adalah anak kelima dari sebelas saudara. Kakak Kartini yang lain adalah Raden Ayu Tjokroadisosro dan Drs. R.M. Sosrokartono. Sementara adik-adik Kartini di antaranya: R.A Kardinah yang menjadi R.A Reksonagoro (Bupati Tegal), R.A Kartinah menjadi R.A Dirdjoprawito, R.M. Sosromuljono, R.A. Sumantri menjadi R.A Sosrohadikusumo, dan R.M Sosrorawito. 2 Ayah Kartini mempunyai dua istri, Ngasirah dan Raden Ajeng Moerjam. Sewaktu menjabat sebagai wedana, ayahnya sudah menikah dengan Ngasirah, seorang anak perempuan yang berusia 14 tahun dari kalangan rakyat biasa, bukan bangsawan. Ayah Ngasirah adalah seorang kiai di desa 1 Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, terj. Armijn Pane, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 3. 2 Ibid., hlm. 7.

Transcript of kartini.pdf

Page 1: kartini.pdf

36

BAB III

BIOGRAFI R.A. KARTINI

A. Biografi R.A. Kartini

Kartini dilahirkan pada tanggal 28 Rabiul Akhir tahun Jawa 1808,

bertepatan pada tanggal 21 April 1879 di Mayong Jepara. Kartini adalah cucu

Pangeran Ario Tjondronegoro, Bupati Demak. Beliau adalah seorang bupati

yang mendidik anak-anaknya, baik laki-laki maupun perempuan dengan

pelajaran Barat. Padahal, pada masa itu belum ada pemikiran untuk

memberikan pendidikan kepada orang bumi putra dengan metode orang Barat

yang masih dianggap hina, tetapi beliau tidak mempedulikannya.

Beberapa tahun sebelum meninggal, Pangeran Ario Tjondronegoro

berpesan pada anak-anaknya, “Anak-anakku, jika tidak dapat mendapat

pengajaran, engkau tiada akan mendapat kesenangan, keturunan kita akan

mundur, ingatlah”. Dan anak-anak itu membenarkan apa yang diwasiatkan

ayahandanya. Sifat ini juga dimiliki oleh Kartini, serta seluruh saudaranya,

mulai putra sulung hingga R.M. Sosroningkat, Pangeran A. Sosrobusono,

yang menjadi Bupati di Ngawi.1

Kartini, sendiri adalah anak kelima dari sebelas saudara. Kakak Kartini

yang lain adalah Raden Ayu Tjokroadisosro dan Drs. R.M. Sosrokartono.

Sementara adik-adik Kartini di antaranya: R.A Kardinah yang menjadi R.A

Reksonagoro (Bupati Tegal), R.A Kartinah menjadi R.A Dirdjoprawito, R.M.

Sosromuljono, R.A. Sumantri menjadi R.A Sosrohadikusumo, dan R.M

Sosrorawito.2

Ayah Kartini mempunyai dua istri, Ngasirah dan Raden Ajeng

Moerjam. Sewaktu menjabat sebagai wedana, ayahnya sudah menikah dengan

Ngasirah, seorang anak perempuan yang berusia 14 tahun dari kalangan rakyat

biasa, bukan bangsawan. Ayah Ngasirah adalah seorang kiai di desa

1 Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, terj. Armijn Pane, (Jakarta: Balai Pustaka,

2001), hlm. 3. 2 Ibid., hlm. 7.

Page 2: kartini.pdf

37

Telukawur, Jepara, bernama Kiai Modirono. Sedang ibunya, Nyai Aminah,

juga dari kalangan rakyat biasa.3

Sesuai dengan asal lingkungan sosial asalnya, Ngasirah hanya menerima

pendidikan tradisional, yaitu mengikuti pelajaran agama yang dipimpin oleh

seorang guru ngaji dan baru belakangan ia bisa membaca dan menulis dalam

bahasa Jawa serta sedikit berbahasa Melayu. Ketika diangkat menjadi bupati

Jepara, R.M. Ario Sosroningkrat menikah lagi dengan Raden Ajeng Moerjam,

seorang gadis keturunan bangsawan Madura, yang kemudian menjadi Raden

Ayu dari bupati Sosroningkrat.

Meskipun anak bangsawan Raden Ajeng Moerjam tidak sempat

menikmati pendidikan Belanda. Namun begitu, Ia lancar berbahasa Melayu

dan hanya secara pasif berbahasa Belanda. Kartini bukan anak kandung Raden

Ayu, melainkan anak Ngasirah. Sekalipun memiliki status istri resmi bupati,

kedudukan Ngasirah dalam rumah tangga di Kabupaten Jepara sebagai selir.4

Untuk lebih jelasnya perkembangan jiwa Kartini melalui beberapa tahap,

yakni:

1. Masa Kanak-kanak

Semasa kecil, Kartini tidak hanya diasuh oleh ibunda Ngasirah,

juga oleh Mbok Emban Lawiyah. Ia tumbuh menjadi gadis kecil yang

lincah dan banyak akalnya, sehingga dipanggil “Nil” oleh ayahnya.5 Kasih

sayang yang diberikan Sosroningrat kepada Kartini melebihi anaknya yang

lain. Kartini kecil tumbuh menjadi gadis yang sangat teliti. Semua yang

dikerjakan selalu dilihat terlebih dahulu dengan seksama. Setelah mengerti

semua, baru dikerjakannya. Dalam bergaul, Kartini juga tidak pernah

membeda-bedakan antara teman yang satu dengan lainnya. Pada tahun

1881, ayah Kartini diangkat menjadi Bupati di Jepara.6

3 Th. Sumarthana, Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini, (Jakarta: Pustaka

Utama Grafiti, 1993), hlm. 7. 4 Ibid., hlm. 8-9. 5 Nil berasal dari kata Trinil. Disebut demikian, karena gerak-geriknya yang lincah seperti

burung Trinil. Lihat Jonk Tondowidjojo, Mengenang R.A. Kartini dan Tiga Saudara dari Jepara, (Surabaya: Yayasan Sanggar Bina Tama, 1991), hlm. 3.

6 Ibid.

Page 3: kartini.pdf

38

Tanda-tanda perjuangan emansipasi yang dilakukan Kartini, telah

nampak sejak ia baru berumur enam setengah tahun. Kartini ingin sekolah.

Inilah yang menimbulkan kebingungan keluarganya. Sebab pada masa itu,

yang boleh sekolah hanya anak laki-laki dan anak perempuan keturunan

Belanda yang boleh sekolah. Sementara anak perempuan orang pribumi,

dilarang.

Bagi anak-anak perempuan Jawa, pendidikan resmi di sekolah pada

masa itu dianggap tabu, tidak dibenarkan oleh adat dan dicerca oleh

masyarakat. Namun Kartini kecil memberontak tradisi yang sangat

diskriminatif tersebut. Apalagi melihat semua kakak laki-lakinya,

Sosrokartono, dimasukkan ke sekolah. Itu membuatnya iri dan mendesak

ayahnya agar mengizinkannya bersekolah.

Melihat kegigihan Kartini, sang ayah menjadi serba salah. Satu

sisi, hati nuraninya sebagai orang yang memiliki semangat untuk

memajukan bangsa, membenarkan keinginan anak perempuannya itu.

Semangat yang mengalir dari darahnya sendiri.7 Namun begitu, ia tidak

bisa begitu saja menuruti kemauan puterinya. Bagaimanapun, keinginan

Kartini itu menyalahi adat (tradisi) yang telah mapan secara turun-

temurun.

Perjuangan Kartini tidak sia-sia. Akhirnya ia mendapat izin

ayahnya bersekolah. Di sekolah ia bergaul dengan anak-anak keturunan

Indo - Belanda. Anak Jawa hampir tidak ada. Karena hanya putra Bupati

(bangsawan) saja yang diizinkan sekolah di sekolah Belanda. Kesempatan

belajarnya itu tidak disia-siakannya. Di samping belajar Belanda, ia juga

belajar bahasa Jawa di rumahnya. Belajar menjahit, menyulam dan merajut

dari seorang nyonya Belanda. Selain itu, ia juga belajar membaca al-

Qur’an kepada seorang santri.8 Dimanfaatkannya betul kesempatan yang

diberikan ayahnya. Ia benar-benar haus ilmu pengetahuan. Sebagai murid

bumi putra, Kartini tampak lebih menonjol dibanding murid-murid lain

7 Idjah Chodijah, Rintihan Kartini, (Jakarta: Ikhwan, 1986), hlm. 31-34. 8 Jonk Tondowidjojo, op. cit., hlm. 6.

Page 4: kartini.pdf

39

yang berkebangsaan Belanda. Kecerdasannya tergolong istimewa. Dengan

cepat ia dapat menangkap pelajaran-pelajaran yang diberikan gurunya.

Tidak heran, jika setiap tahun ia selalu naik kelas dengan prestasi yang

sangat memuaskan. Ia selalu menjadi rangking, meski tidak selalu nomor

satu.

Semangatnya untuk maju, memenuhi hati Kartini kecil. Apalagi

ketika Kartini ditanya oleh salah seorang temannya, Letsy, seorang anak

Belanda, “Hendak ke mana setelah mendapat surat tamat belajar (lulus)

nanti?” Pertanyaan itu sangat membekas dalam hatinya, dan

mempengaruhi perkembangan pola pikirnya.9

Pertanyaan temannya itu ia adukan kepada ayahnya. Jawaban yang

ia dapatkan, “Apalagi jika tidak menjadi Raden Ayu”. Betapa senangnya

Kartini ketika mengetahui jawaban itu. Tetapi belum tahu apa maksud

“Raden Ayu” sendiri. Ia kemudian mencari tahu perihal “gelar” Raden

Ayu, yang ternyata penuh dengan kekangan dan sederet aturan

kebangsawanan. Mengetahui hal itu, ia pun berpaling dan tidak suka

menjadi Raden Ayu.10

Tahun terakhir sekolah, ia lulus sebagai murid dengan prestasi

terbaik. Namun pertanyaan dari temannya, Lesty, selalu terngiang di

telinganya. Kartini pun bertanya pada dirinya sendiri, apakah ia akan

diizinkan ayahnya melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi

sebagaimana kakaknya?

Pertanyaan Lesty, telah menumbuhkan sebuah prinsip yang

dipegang teguh oleh Kartini. Bahwa kaum perempuan pun berhak

mendapatkan pendidikan yang layak, sehingga mereka nantinya dapat

mendidik anak-anaknya secara baik dan benar.

Pada masa Kartini, perempuan tidak diperbolehkan sekolah dan

memperoleh pendidikan. Pada masa itu, perempuan harus tunduk dalam

9 Idjah Chodjijah, op. cit, hlm. 3. 10 Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, op. cit, hlm. 6.

Page 5: kartini.pdf

40

sebuah budaya yang sangat patriarki. Hidup di bawah kekuasaan laki-laki.

Kondisi itulah yang membuat hatinya sedih, getir dan pedih.11

Namun, betapapun maju pemikiran Ario Sosroningrat, sebagai

Bupati dan pemangku adat, ia mempunyai keterbatasan-keterbatasan dan

harus menghormati adat istiadat yang berlaku di masyarakatnya. Termasuk

dalam menghadapi permasalahan anaknya yang ingin melanjutkan sekolah

ke jenjang yang lebih tinggi.

Penentangan yang berlebihan terhadap adat-istiadat, akan

menimbulkan kesan dan reaksi yang tidak menyenangkan di kalangan

masyarakat. Tapi Kartini ingin melanjutkan pendidikannya lebih tinggi. Ia

selalu mendesak, menuntut, dan memprotes. Tapi sikap ayahnya terhadap

anak-anak perempuannya tetap, tidak terbantah. Kartini tidak mampu

mengalahkan pandangan ayahnya terhadap adat-istiadat negerinya tentang

perempuan.12

2. Masa Muda

Saat berusia dua belas tahun, sesuai adat, Kartini pun harus

dipingit. Sejarah Kartini mulai jelas pada babak masa pingitan ini. Sejak

itu ia tidak membiarkan segala sesuatu terjadi di sekelilingnya, hilang

dengan percuma tanpa pengamatan. Di dalam “penjara” ini ia merenung,

seakan hidupnya yang masih muda itu dipaksa untuk memahami

persoalan-persoalan yang sebenarnya belum layak menjadi perhatiannya.

Dari kehidupan bocah yang bebas merdeka, menjadi hukuman dengan

peraturan-peraturan yang mengekang, dan memaksanya menjadi dewasa

sebelum waktunya.13

11 Idjah Chodjijah, op. cit, hlm. 53-55. 12 Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, (Jakarta: Hasta Mitra, 2000), hlm.

44-45. 13 Ibid., hlm. 45.

Page 6: kartini.pdf

41

Saat dalam pingitan itu, Kartini merasa kesepian. Pada mulanya

teman-temannya yang akan pergi ke negeri Belanda datang menjenguknya.

Tetapi kemudian tidak datang lagi karena mereka sudah berangkat di

negeri Belanda. Kartini pun tidak memiliki teman yang bisa diajak berpikir

tentang masa depan perempuan di negerinya yang hidup dalam

ketertindasan.

Namun Kartini tidak menyerah begitu saja. Dalam pingitan itu, ia

belajar sendiri tanpa guru. Beruntung karena ia diizinkan membaca buku-

buku bahasa Belanda dan surat-menyurat dengan teman-temannya di

Eropa. Berbeda dengan kakak perempuannya yang memegang teguh adat

istiadat dan tidak setuju dengan cita-citanya.

Meskipun demikian, Kartini didukung oleh ayah dan Sosrokartono,

kakaknya. Sosrokartono setuju dengan cita-cita Kartini. Itu dibuktikan

dengan buku-buku yang diberikan kepada Kartini. Di samping itu ada

beberapa hal yang cukup menghibur Kartini, yaitu dengan saling berkirim

surat kepada Nyonya Ovink-Soer, pelindungnya, hingga disebutnya

sebagai ibu.14 Empat tahun kemudian, pada tahun 1896, ia mendapatkan

kebebasannya kembali. Kebebasan yang tidak diperolehnya setelah

meninggalkan sekolah.15

Akhir tahun 1899, Nyonya Ovink-Soer pindah ke Jombang

mengikuti suaminya. Dalam pada waktu itu, Kartini juga berkorespodensi

dengan Stella Zeehandelar, orang Belanda.16

3. Masa Dewasa

Semakin dewasa, Kartini semakin bertambah matang pula

pemikirannya. Bacaannya sangat luas, yang meliputi buku-buku dan surat

kabar. R.M. Ario Sosroningkrat memberikan lesstrommel berisi buku-

buku Bahasa Belanda, Jerman dan Prancis sehingga menambah khazanah

pengetahuan Kartini mengenai daratan Eropa. Dan semakin memperluas

14 Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, op. cit., hlm. 6-10. 15 Pramoedya Ananta Toer, op. cit, hlm. 55. 16 Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, op. cit., hlm. 10.

Page 7: kartini.pdf

42

cakrawala pengetahuan Kartini mengenai pandangan dunia, hak asasi

manusia (HAM), serta keadilan yang diperuntukkan bagi semua.

Tidak hanya dari Barat, Kartini menimba ilmu pengetahuan. Ia

banyak belajar juga dari bangsa Koja dan Tionghoa, yang semakin

memperluas wawasan, pandangan dan pengertian (ilmu)-nya. Maka tidak

heran jika kemudian ia senang surat-menyurat dengan beberapa sahabat

pena yang berasal dari beberapa negeri. Di antara mereka tercatat nama

Abendanon (Belanda) dan Stella Zeehandelar (Belanda). Mereka saling

mengenal dari koran-koran harian dan majalah-majalah berbahasa Belanda

dan Jawa. Mereka saling bertukar pandangan mengenai buku-buku tentang

pergerakan perempuan. Sosok yang selalu terdiskriminasi eksistensinya.

Perempuan hanya dipandang sebagai ibu rumah tangga yang berkewajiban

mengabdi kepada suami dan mengasuh anak-anak saja.17

Tahun 1902, Kartini berkenalan dengan van Kol, dan istrinya,

Nellie, yang sepakat dengan cita-citanya belajar ke Belanda. Tanggal 26

November 1902, Van Kol mendapat janji dari minister jajahan, bahwa

Kartini dan saudaranya, Rukmini, diberi beasiswa belajar ke Belanda.

Pada tanggal 25 Januari 1903 Mr. Abendanon berkunjung di

Jepara.18 Maksud kedatangannya adalah membicarakan kemungkinan

mendirikan sekolah perempuan Bumi putra. Pejabat itu akan mengusulkan

kepada atasannya. Tetapi sebelumnya, dia ingin mendengarkan pendapat

para bupati, termasuk ayah Kartini.

Kartini sempat berdiskusi dengan istri Abendanon. Ia

mengemukakan gagasannya mengenai pendirian sekolah bagi perempuan

pribumi. Ayahnya membenarkan gagasan Kartini. Bahkan ayahnya setuju

Kartini menempuh pendidikan guru. Tetapi, ketika rencananya mendirikan

sekolah perempuan pribumi hampir terwujud, ayahnya sakit parah.

Rencana pemerintah akan mendirikan sekolah bagi perempuan bumi putra,

17 Jonk Tondowidjojo, op. cit., hlm. 14-20. 18 Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, op. cit., hlm. 10-11.

Page 8: kartini.pdf

43

tidak jadi dilaksanakan. Hal itu disebabkan para bupati yang dimintai

pendapatnya tidak setuju pendirian sekolah untuk perempuan.

Walaupun, tidak bisa menjadi guru, karena sekolah gadis tidak jadi

didirikan, Kartini bertekad menjadi dokter. Cita-citanya itu, disetujui oleh

ibunya. Jadi, tinggal izin ayahnya yang diperlukan. Kartini tidak akan bisa

belajar di sekolah dokter jika tidak mendapat izin tertulis dari ayahnya.

Keterangan itu diperolehnya dari Mr. Abendanon.19

Kartini lebih dekat dengan ibunya. Ngasirah menasehati agar ia

berpuasa. Kartini mengikuti nasehat ibunya. Sosroningkrat memberi izin

kepada Kartini untuk belajar di Betawi. Tetapi masih tetap ada masalah,

yakni biaya. Ayahnya setuju untuk mengajukan beasiswa kepada

pemerintah Hindia Belanda.

Dengan gejolak jiwa dan keluhuran cita-citanya serta keluasan

pandangannya, Kartini selalu mendapat ujian. Pengalaman-pengalaman

dan kejadian-kejadian selalu menimpa dirinya sehingga ia menjadi pribadi

yang mandiri. Perhatiannya yang besar mengenai berbagai persoalan yang

ada disekitarnya, membuat Kartini begitu sibuk dengan bermacam-macam

gagasan.

Tentang kemiskinan rakyat, pendidikan, pengajaran, kebudayaan

dan seribu satu soal yang dihadapi masyarakat sekitarnya. Ia mampu

menganalisa, melancarkan kritik dan sekaligus memberikan jalan keluar

bagi persoalan yang sedang dihadapi. Semuanya dilakukan dengan penuh

kesabaran dan rasa keadilan.

Permohonan kartini untuk memperoleh beasiswa, dikabulkan oleh

pemerintah Belanda. Tetapi beasiswa itu ia tolak. Alasannya ia akan

menikah. Bahkan ia tidak lagi menunggu-nunggu keputusan pemerintah

untuk mendirikan sekolah gadis. Dan tidak lagi memandang semua kaum

laki-laki jahat. Karena itu Kartini menolak beasiswa dengan sadar dan

tanpa sesal atau terpaksa. Kartini memohon agar beasiswa itu diberikan

19 Idjah Chodjijah, op. cit., hlm. 88-91.

Page 9: kartini.pdf

44

kepada orang yang memerlukan, Salim. Dikenal sebagai Haji Agus

Salim.20

Tahun 1903 Kartini bersedia menjadi istri R.M Joyohadiningkat,

seorang Bupati Rembang. Kesediannya menikah dikarenakan Bupati

Rembang ini penah belajar di negeri Belanda dan berusaha keras ingin

memajukan rakyat. R.M Joyohadiningkat juga mendukung cita-cita

Kartini, yaitu memajukan rakyat, khususnya kaum wanita dengan

memberikan pendidikan kepada anak-anak wanita yang masih kecil seperti

yang pernah dilaksanakan Kartini di Kabupaten Jepara.

Pada tanggal 8 November 1903 Kartini resmi menjadi istri Bupati

Rembang.21 Sekolah yang pernah dirintisnya bersama adiknya Kardinah di

Jepara sekarang dilanjutkannya di Rembang. Di lingkungan kediamannya

yang baru. Kebahagian Kartini makin bertambah karena ia telah berbadan

dua.22

Tanggal 13 september 1904 Kartini melahirkan seorang putra dan

diberi nama Susalit yang kemudian diasuh oleh Ibunda Ngasirah dan Bok

Mangunwikromo. Pada tanggal 17 September 1904 tepat sepuluh hari

setelah melahirkan Kartini meninggal dunia.23 Meskipun Kartini tidak

dikaruniai umur panjang, tetapi umur yang pendek itu sempat

menggoreskan sebuah riwayat yang dikenal banyak orang. Ia dikenal

melalui surat-suratnya yang mampu menggerakkan hati setiap

pembacanya. Surat-surat itu ia tulis sejak 25 Mei 1899 sampai 7

September 1904. Surat terakhir ia tulis tepat sepuluh hari sebelum ia

meninggal. Gaya, ungkapan, serta ketajaman surat-surat itu mencerminkan

kecerdasan pribadinya yang peka terhadap persoalan kemanusiaan di

sekitarnya.24

20 Ibid, hlm. 94-96. 21 Jonk Tondowidjojo, op. cit., hlm. 27. 22 Idjah Chodjijah, op. cit., hlm. 97-99. 23 Jonk Tondowidjojo, op. cit., hlm. 28. 24 Th. Sumarthana, op. cit., hlm. 1.

Page 10: kartini.pdf

45

B. Sosio Kultural R.A Kartini

Setiap pelaku sejarah sangat dipengaruhi oleh sosio kultural tanpa

terkecuali Kartini. Kartini hidup antara tahun 1879-1904. sebuah zaman yang

menurut Dr. Suhartono, adalah zaman politik kolonial liberal. Tepatnya antara

tahun 1870 hingga 1900.25

Orientasi baru politik kolonial ialah menuju kesejahteraan bumiputera.

Penyelidikan tentang kesejahteraan penduduk yang makin menurun telah

dilakukan, dan janji-janji perbaikan juga sudah dikeluarkan, tetapi hasilnya

tidak tampak. Sehingga gerakan protes dan perlawanan lokal banyak terjadi

dan menggelisahkan pemerintah kolonial, karena untuk memberantasnya

diperlukan biaya yang tidak sedikit.26

Di saat yang sama, isu-isu tentang revolusi Perancis, Industrialisasi,

dan perang kemerdekaan di Amerika utara pada abad ke-18 dan 19 juga telah

membawa pencerahan terhadap berbagai masalah yang menimpa kaum

perempuan. Selama Revolusi Perancis (1789), suatu revolusi anti-feodal, ide

tentang status sosial karena hubungan keturunan dan hak-hak feodal dari raja-

raja dan aristrokrat telah ditumbangkan.27

Di samping itu, Perang Kemerdekaan di Amerika Utara berkobar

sebagai usaha menentang kolonialisme Inggris dan mendukung hak-hak warga

negara. Selain itu, muncul juga, perjuangan untuk membebaskan perbudakan

setengah abad kemudian yang memantapkan pandangan bahwa semua orang

adalah sama.28

Selanjutnya, di negara-negara dunia ketiga, kesadaran akan perlunya

kesetaraan gender meningkat dengan cepat, terutama di daerah perkotaan.

Kelompok elit dikalangan perempuan melakukan gerakan-gerakan feminisme

di negara-negara ketiga karena mereka mendapat pendidikan yang lebih tinggi

25 Suhartono, Sejarah Pergerakan Nasional; dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-

1945, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 13 26 Ibid., hlm. 14. 27 Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan, Kerja, dan Perubahan Sosial, (Jakarta:

Pustaka Utama Grafiti, 1997), hlm. 420. 28 Ibid., hlm. 421-424.

Page 11: kartini.pdf

46

tentang masalah-masalah gender. Di negara-negara ketiga juga, proses

demokratisasi semakin lama semakin banyak dibicarakan.29

Perihal yang sama juga melanda Indonesia. Meski masih dalam

kondisi terjajah oleh kolonialisme Belanda, beberapa tokoh pribumi tampil

untuk memperjuangkan hak rakyat. Kartini adalah satu diantaranya. Bahkan

Kartini berhasil mendirikan sebuah sekolah, meski ia seorang perempuan.30

Padahal, kondisi masyarakat saat itu, posisi perempuan terpinggirkan.

Kartini sendiri pada tahun 1902 dapat berkenalan dengan Tuan van

Kol dan istrinya (Nellie), yang setuju dengan cita-cita hendak pergi ke negeri

Belanda. Perkenalannya dengan Mr. Abendanon, yang datang berkunjung ke

Jepara, juga mempengaruhi pola pikirnya untuk melanjutkan cita-citanya pergi

belajar ke Belanda. Selain itu seorang teman korespondensinya yang bernama

Stella yang paling berperan dalam mempengaruhi daya kritik Kartini terhadap

peranan wanita dan kekecewaannya terhadap lingkungan yang menghambat

kemajuan. Seakan-akan bila membaca surat-surat Kartini kepada Stella,

kartini seperti seorang sosialis. Hal ini dapat dipahami, karena Stella sendiri

adalah seorang aktivis militan gerakan feminisme di Belanda, yang sangat

bersahabat dengan Ir van Kol.31 Meskipun demikian, Kartini sangat

mengkritik budaya Barat setelah mengenal Islam lebih dalam. Pertemuan

Kartini dengan kiai Sholeh Darat adalah langkah awal kembalinya Kartini

pada pemikiran Islam.32 Walau perempuan Indonesia dalam dasawarsa

pertama abad XX menghendaki kesamaan hak, namun mereka tidak pernah

merasa diri mereka sama dengan laki-laki. Alasan tuntutan mereka bersumber

pada kedudukan “khusus” mereka sebagai ibu dan istri.33

29 Asghar Ali Engineer, Matinya Perempuan: Transformasi al-Qur’an, Perempuan dan

Masyarakat Modern, terj. Akhmad Affandi, Muh Ihsan, (Yogyakarta: IRCiSod, 2003), hlm. 15. 30 Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, op. cit., hlm. 18. 31 Nurul Zuriah, “Pemikiran Kartini dalm Perspektif Islam Progresif”, Republika, Selasa

22 April 1997. 32 Ibid. 33 Saskia Eleonora Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Terj.

Hersri Setiawan, (Jakarta: Garba Budaya, 1999), hlm. 113.

Page 12: kartini.pdf

47

C. Surat-surat R.A Kartini tentang Pendidikan Berwawasan Gender

Pada mulanya pendidikan menurut Kartini adalah mencerdaskan

watak sebagaimana dalam suratnya yang disampaikan kepada istri van Kol

pada bulan Agustus tahun 1901 bahwa: “Sangatlah ingin hatiku, mendapat

kesempatan memimpin hati anak-anak, membentuk watak, mencerdaskan

otak…”34

Di samping itu, pendidikan yang dikehendaki Kartini adalah suatu

proses yang tidak hanya bertujuan untuk mencerdaskan akal saja

melainkan juga sebagai upaya untuk membentuk budi pekerti karena

manusia yang berakal dan berilmu belum tentu mempunyai budi pekerti.

Sebagaimana yang tercantum dalam suratnya kepada istri Abendanon pada

tanggal 21 Januari 1901 sebagai berikut:

“Pendidikan ialah mendidik budi dan jiwa, kewajiban seorang pendidik belumlah selesai jika ia hanya baru mencerdaskan pikiran saja; bahwa tahu adat dan bahasa serta cerdas pikiran belumlah lagi jaminan orang hidup susila ada mempunyai budi pekerti…”35

Pendidikan disamping membentuk sebagai wahana pembentukan

budi pekerti, hati juga memerlukan bimbingan agar peradaban tidak

tinggal nama. Sebagaimana dalam suratnya pada tanggal 30 September

1901 kepada isteri R.M. Abendanon sebagai berikut:

“Kecerdasan otak saja tidak berarti segala-galanya. Harus ada kecerdasan lain yang lebih tinggi, yang erat hubungan dengan yang lain untuk mengantarkan ke arah yang ditujunya. Di samping otak, juga hati harus dibimbing, kalau tidak demikian peradaban hanya tinggal permukaan….”36

Pendidikan juga berfungsi sebagai proses pembentukan akhlak

mulia. Sebagaimana pandangan Kartini yang ditulis dalam nota sebagai

berikut: “Pendidikan yang bukan semata-mata didasarkan atas kecerdasan

otak, melainkan yang sungguh-sungguh memperhatikan akhlak pula”.37

34 Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, op. cit, hlm. 92. 35 Ibid., hlm. 78. 36 Kartini, Surat-surat Kartini Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, terj. Sulastrin

Sutrisno, (Bandung: Djambangan, 1979), hlm. 126. 37 Ibid., hlm. 367-368.

Page 13: kartini.pdf

48

Agar tujuan pendidikan itu tercapai, pendidik harus mampu

memberikan motivasi kepada anak. Sebagaimana surat Kartini kepada Mr.

Abendanon pada tanggal 15 Agustus 1902 sebagai berikut:

“Jika mendidik anak, haruslah juga diusahakan mendidik watak, yakni yang terutama haruslah diusahakan ialah memperkukuh rasa kemauan anak yang dididik itu. Rasa kemauan itu wajiblah dibesar-besarkan oleh pendidikan, terus dan terus ….”.38

Menurut Kartini, pendidikan adalah suatu proses membentuk

kepribadian peserta didik sehingga mereka mampu menyaring budaya

asing, memberdayakan segi positifnya dan meninggalkan segi negatifnya

tanpa menghilangkan karakter diri sendiri. Sebagaimana suratnya dengan

istri van Kol pada bulan Agustus 1901 sebagai berikut:

“Dengan pendidikan yang bebas itu, bukanlah sekali-kali maksud kami akan menjadikan orang Jawa itu orang Belanda, melainkan cita-cita kami ialah memberikan kepada mereka jua, sifat-sifat yang bagus yang ada pada bangsa-bangsa lain, akan jadi penambah sifat-sifat yang sudah ada padanya, bukanlah akan menghilangkan sifat-sifat sendiri itu, melainkan akan memperbaiki dan memperbagusnya!39

Di samping itu, Kartini berharap agar perempuan diberi

kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk memperoleh pendidikan

yang sama dengan tujuan agar mereka (perempuan) menjadi seorang ibu

yang baik dan bermanfaat bagi lingkungan keluarga maupun masyarakat

sebagai berikut:

“… menjadikan mereka sebagai perempuan yang cakap dan baik, yang sadar akan panggilan budinya, sanggup menjalankan kewajibannya yang besar dalam masyarakat. Agar dalam masyarakat itu dia menjadi ibu yang baik, pendidik yang bijaksana, pengatur rumah tangga yang mampu pemegang uang dan pembantu yang baik bagi siapapun yang memerlukan bantuan”.40

Menurut Kartini, seorang ibu juga bertanggung jawab terhadap

pembentukan budi pekerti anak-anak mereka. Sebagiamana dalam

38 Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, op. cit, hlm. 141. 39 Ibid., hlm. 95. 40 Kartini, Surat-surat Kartini Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, op.cit., hlm.

395.

Page 14: kartini.pdf

49

suratnya kepada Tuan Prof. Dr. G. K. Anton dan istrinya pada tanggal 4

Oktober 1902 sebagai berikut:

“Ibulah yang jadi pusat kehidupan rumah tangga, dan kepada ibu itulah dipertanggungjawabkan kewajiban pendidikan anak-anak yang berat itu; yaitu bagian pendidikan yang membentuk budinya. Berilah anak-anak gadis pendidikan yang sempurna, jagalah supaya ia cakap kelak memikul kewajiban yang berat itu”.41

Selain kewajibannya sebagai seorang ibu, perempuan merupakan

salah satu faktor penting dalam usaha memajukan bangsa dan pendukung

peradaban. Sebagaimana surat Kartini kepada nona Zeehandeler pada

tanggal 9 Januari 1901 sebagai berikut:

“Dari semenjak dahulu kemajuan perempuan itu menjadi pasal yang amat penting dalam usaha memajukan bangsa. Kecerdasan pikiran penduduk pribumi tiada akan maju dengan pesatnya, bila perempuan itu ketinggalan dalam usaha itu. Perempuan jadi pembawa peradaban”42

Pendidikan merupakan hal utama bagi rakyat baik laki-laki

maupun perempuan karena dengan pendidikan maka orang akan mampu

memecahkan segala persoalan yang yang sedang dihadapinya.

Sebagaimana dalam suratnya kepada nona Zeehandeler pada tanggal 12

Januari 1900 yakni:

“Pemerintah tiada akan sanggup mengediakan nasi di piring bagi segala orang Jawa, akan dimakannya, tetapi pemerintah dapat memberikan daya upaya, supaya orang Jawa itu dapat mencapai tempat makanan itu. Daya upaya itu ialah pengajaran”.43

Apabila pendidikan yang berwawasan gender terlaksana maka

bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang mampu membawa tanah air

dan bangsanya searah dengan perkembangan jiwa, kecerdasan pikiran

serta kemakmuran dan kesejahteraan. Sebagaimana dalam uraian Kartini

pada bulan Januari tahun 1903 sebagai berikut:

“… memberi kesempatan kepada anak bangsa Jawa laki-laki dan perempuan, untuk mencari kepandaian agar mereka mampu membawa

41 Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, op. cit., hlm. 151. 42 Ibid., hlm. 74. 43 Ibid., hlm. 42.

Page 15: kartini.pdf

50

tanah air dan bangsanya ke arah perkembangan jiwa, ke arah kecerdasan pikiran serta kemakmuran dan kesejahteraan”.44

Selain itu, yang perlu dipelajari perempuan antara lain; seni, ilmu

pengetahuan, ilmu kesehatan dan pengetahuan lainnya. Sebagaimana surat

Kartini kepada nona Zeehandelaar pada tanggal 20 Mei 1901 sebagai

berikut:

"Alangkah baik keadaannya internaat bagi anak-anak bangsawan itu bukan? Seni, ilmu pengetahuan, memasak, mengurus rumah tangga, ilmu kesehatan, dan lagi pengajaran vak akan dan harus diajarkan!"45

Pada dasarnya, maju tidaknya suatu bangsa tergantung perempuan.

Perempuan adalah soko guru peradaban. Sebagaimana surat Kartini

kepada nyonya Abendanon pada tanggal 21 Januari 1901 sebagai berikut:

"Perempuan itu jadi soko guru peradaban! Bukan karena perempuan yang dipandang cakap itu, melainkan oleh karena saya sendiri yakin sungguh yakin sungguh bahwa perempuan itu pun mungkin timbul pengaruh yang besar, yang besar akibatnya, dalam hal membaikkan maupun memburukkan kehidupan, bahkan dialah yang paling banyak dapat membantu memajukan kesusilaan manusia".46

Menurut Kartini, hal-hal yang perlu dipelajari perempuan antara

lain; belajar menulis, membaca dan lain sebagainya. Sebagaimana surat

Kartini kepada Nyonya abendanon pada tanggal 4 Juli 1901 sebagai

berikut:

"Mereka belajar menulis, membaca, menjahit, merenda, memasak dan sebagainya. Mereka itu tiada kami ajar menurut cara yang biasa di sekolah, melainkan sebagimana kesukaran anak-anak Jawa belajar sepanjang pikiran kami".47

Untuk itu, apabila wanita ingin mempunyai status yang

lebih baik maka wanita harus mempunyai bekal yang baik, Wanita yang

berpendidikan akan menghilangkan adat-istiadat itu. Sebagaimana isi

44 Sulastrin Sutrisno, op. cit., hlm. 385. 45 Ibid., hlm. 83. 46 Kartini, Habis Gelap Terbitlah terang, op. cit., hlm. 79. 47 Ibid., hlm. 180.

Page 16: kartini.pdf

51

suratnya kepada nyonya Zeehandeler pada tanggal 23 Agustus 1900

sebagai berikut:

“Sesungguhnya, ibu-ibu mudalah yang mungkin sebanyak-banyaknya dapat berjasa melenyapkan sekaliannya itu …, laki-laki dan perempuan, akan aku ajar, supaya menghargai dan pandang memandang sama rata, makhluk yang sama, dan didikannya akan aku samakan benar; yakni tentu saja masing-masing menurut kodrat kecakapannya”.48

48 Ibid., hlm. 58-59.