karsinoma rekti
-
Upload
putri-yekti -
Category
Documents
-
view
38 -
download
0
description
Transcript of karsinoma rekti
Laboratorium / SMF Kedokteran Ilmu Bedah ReferatProgram Pendidikan Dokter Universitas MulawarmanRSUD A.W.Sjahranie Samarinda
KARSINOMA REKTI
OLEHAmaliaturrahmah06.55372.00315.09
PEMBIMBINGDr. Syaiful Mukhtar, Sp.B-KBD
Dipresentasikan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik
Laboratorium/SMF Kedokteran Bedah
FK UNMUL
2011
1
DAFTAR ISI
Halaman Judul.................................................................................................. 1
Daftar Isi........................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 3
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 3
1.2 Tujuan......................................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 5
2.1 Anatomi rektum....................................................................................... 5
2.2 Epidemiologi kanker rektum................................................................... 9
2.3 Etiologi.................................................................................................... 11
2.4 Patofisiologi............................................................................................ 12
2.5 Faktor resiko............................................................................................12
2.6 Deteksi Dini.............................................................................................15
2.7 Diagnosa..................................................................................................16
2.8 Penatalaksanaan......................................................................................26
2.9 Prognosa..................................................................................................32
BAB III CONTOH KASUS.............................................................................34
BAB IV PEMBAHASAN................................................................................42
BAB V PENUTUP...........................................................................................53
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................54
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga jenis kanker yang paling sering
terjadi di dunia. Di seluruh dunia 9,5% pria penderita kanker terkena kanker
kolorektal, sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9,3% dari total jumlah
penderita kanker.1
Eropa sebagai salah satu negara maju dengan angka insiden kanker kolorektal
yang tinggi. Pada tahun 2004 terdapat 2.886.800 insiden dan 1.711.000 kematian
karena kanker, kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada angka insiden dan
mortalitas.2
Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka
kematiannya.3 Pada tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada
kasus kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal
menduduki peringkat ketiga dari semua kasus kanker.4 Meskipun belum ada data yang
pasti, tetapi dari berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus, data
dari Depkes didapati angka 1,8 per 100.000 penduduk.5
Karsinoma rekti atau kanker rektal merupakan salah satu jenis kanker yang
tercatat sebagai penyakit mematikan di dunia. Diagnosis karsinoma rekti pada
umumnya tidaklah sulit, namun kenyataannya penderita sering terdiagnosis pada
stadium lanjut sehingga pembedahan kuratif seringkali tidak dapat dilakukan.
Padahal, jika penderita telah terdeteksi secara dini menderita karsinoma rekti sebelum
stadium lanjut, kemungkinan untuk sembuh bisa mencapai 50%. Pemeriksaan colok
dubur sebenarnya merupakan sarana diagnosis yang paling tepat, dimana 90%
diagnosis karsinoma rekti dapat ditegakkan dengan colok dubur, namun pada
3
kenyataannya pada penelitian hanya 13% dokter puskesmas dan dokter umum yang
melakukan colok dubur pada penderita dengan keluhan BAB berdarah. 3,6
Tingginya angka kematian akibat karsinoma rekti mendorong upaya untuk
menurunkan angka kematian tersebut. Upaya yang mungkin dilakukan adalah dengan
deteksi karsinoma rekti secara dini. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Riwanto dkk
bahwa angka kemungkinan untuk bertahan hidup dalam 5 tahun pada pasien dengan
karsinoma rekti stadium dini adalah sebesar 58,9 sampai 78,8%, dan angka ini akan
berkurang seiring dengan meningkatnya stadium yaitu hanya sebesar 7% saja pada
karsinoma rekti stadium akhir.7
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan
mengenai karsinoma rekti sehingga dokter muda dapat mengenali penyakit ini dan
menangani sesuai dengan kompetensinya.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi rektum
Secara anatomis, rektum berada setinggi vertebrae sakrum ke-3 sampai ke
garis anorektal. Secara fungsional dan endoskopis, rektum dibagi menjadi bagian
ampula dan spinchter. Bagian spinchter disebut juga annulus hemoroidalis, dikelilingi
oleh muskulus levator ani dan fascia coli dari fascia supra ani. Bagian ampula
terbentang dari vertebra sakrum ke-3 sampai diafragma pelvis pada insersio muskulus
levator ani. Panjang rektum berkisar antara 10-15 cm dengan keliling 15 cm pada
bagian rectosigmoid junction, dan 35 cm pada bagian yang terluas yaitu ampula. Pada
manusia, dinding rektum terdiri dari 4 lapisan, yaitu mukosa, submukosa, muskularis
(sirkuler dan longitudinal), serta lapisan serosa.8,9
5
Gambar 1. Anatomi rektum
Vaskularisasi daerah anorektum berasal dari arteri hemoroidalis superior,
media, dan inferior. Arteri hemoroidalis superior (arteri rektalis superior) merupakan
kelanjutan dari arteri mesentrika inferior, arteri ini memiliki 2 cabang yaitu dekstra
dan sinistra. Arteri hemoroidalis media (arteri rektalis media) merupakan cabang dari
arteri iliaka interna, dan arteri hemoroidalis inferior (arteri rektalis inferior)
merupakan cabang dari arteri pudenda interna.3,8
Vena hemoroidalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis interna dan
berjalan ke arah kranial ke dalam vena mesenterika inferior untuk selanjutnya melalui
vena lienalis dan menuju vena porta. Vena ini tidak memiliki katup, sehingga tekanan
dalam rongga perut atau intraabdominal sangat menentukan tekanan di dalam vena
tersebut. Hal inilah yang dapat menjelaskan terjadinya hemoroid interna pada pasien-
pasien dengan kebiasaan sulit buang air besar dan sering mengejan. Vena
hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke vena pudenda interna, untuk kemudian
melalui vena iliaka interna dan menuju sistem vena kava.3
6
Gambar 2. Vaskularisasi arteri rektum
Gambar 2. Vaskularisasi Arteri pada Rektum
Gambar 3. Vaskularisasi Vena pada Rektum
Persarafan rektum terdiri dari sistem simpatik dan parasimpatik. Serabut
simpatik berasal dari pleksus mesenterikus inferior yang berasal dari lumbal 2, 3, dan
4 yang berfungsi mengatur emisi air mani dan ejakulasi. Sedangkan untuk serabut
parasimpatis berasal dari sakral 2, 3, dan 4 yang berfungsi mengatur fungsi ereksi
penis dan klitoris serta mengatur aliran darah ke dalam jaringan. Hal ini menjelaskan
terjadinya efek samping dari pembedahan pada pasien-pasien dengan karsinoma rekti,
yaitu berupa disfungsi ereksi dan tidak bisa mengontrol buang air kecil atau miksi.9
Rektum (Bahasa Latin: regere, “meluruskan, mengatur”) adalah sebuah
ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan berakhir di
anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya
rektum ini kosong karena tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon
desendens. Jika kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka
timbul keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum
7
karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang
menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi, sering
kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air akan kembali
dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama, konstipasi dan
pengerasan feses akan terjadi.
Orang dewasa dan anak yang lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi
dan anak yang lebih muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang
penting untuk menunda BAB.
Proses defekasi terjadi baik secara disadari (volunter), maupun tidak disadari
(involunter) atau refleks. Gerakan yang mendorong feses ke arah anus terhambat oleh
adanya kontraksi tonik dari sfingter ani interna yang terdiri dari otot polos dan
sfingter ani eksterna yang terdiri dari otot rangka. Sfingter ani eksterna diatur oleh N.
Pudendus yang merupakan bagian dari saraf somatik, sehingga ani eksterna berada di
bawah pengaruh kesadaran kita (volunter).
Proses defekasi diawali oleh terjadi refleks defekasi akibat ujung – ujung
serabut saraf rectum terangsang ketika dinding rectum teregang oleh massa feses.
Sensasi rectum ini berperan penting pada mekanisme continence dan juga sensasi
pengisian rectum merupakan bagian integral penting pada defekasi normal. Hal ini
dapat digambarkan sebagai berikut : pada saat volume kolon sigmoid menjadi besar,
serabut saraf akan memicu kontraksi dengan mengosongkan isinya ke dalam rectum.
Studi statistika tentang fisiologi rectum ini mendeskripsikan tiga tipe dari kontraksi
rectum yaitu : (1) Simple contraction yang terjadi sebanyak 5 – 10 siklus/menit ; (2)
Slower contractions sebanyak 3 siklus/menit dengan amplitudo diatas 100 cmH2O ;
dan (3) Slow Propagated Contractions dengan frekuensi amplitudo tinggi. Distensi
dari rectum menstimulasi reseptor regang pada dinding rectum, lantai pelvis dan
kanalis analis. Bila feses memasuki rektum, distensi dinding rectum mengirim signal
aferent yang menyebar melalui pleksus mienterikus yang merangsang terjadinya
gelombang peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid dan rectum sehingga feses
terdorong ke anus. Setelah gelombang peristaltik mencapai anus, sfingter ani interna
8
mengalami relaksasi oleh adanya sinyal yang menghambat dari pleksus mienterikus;
dan sfingter ani eksterna pada saat tersebut mengalami relaksasi secara
volunter,terjadilah defekasi.Pada permulaan defekasi, terjadi peningkatan tekanan
intraabdominal oleh kontraksi otot–otot kuadratus lumborum, muskulus rectus
abdominis, muskulus obliqus interna dan eksterna, muskulus transversus abdominis
dan diafraghma.
Muskulus puborektalis yang mengelilingi anorectal junction kemudian akan
relaksasi sehingga sudut anorektal akan menjadi lurus. Perlu diingat bahwa area
anorektal membuat sudut 900 antara ampulla rekti dan kanalis analis sehingga akan
tertutup. Jadi pada saat lurus, sudut ini akan meningkat sekitar 1300 – 1400 sehingga
kanalis analis akan menjadi lurus dan feses akan dievakuasi. Muskulus sfingter ani
eksterna kemudian akan berkonstriksi dan memanjang ke kanalis analis. Defekasi
dapat dihambat oleh kontraksi sfingter ani eksterna yang berada di bawah pengaruh
kesadaran ( volunteer ). Bila defekasi ditahan, sfingter ani interna akan tertutup,
rectum akan mengadakan relaksasi untuk mengakomodasi feses yang terdapat di
dalamnya. Mekanisme volunter dari proses defekasi ini nampaknya diatur oleh
susunan saraf pusat. Setelah proses evakuasi feses selesai, terjadi Closing Reflexes.
Muskulus sfingter ani interna dan muskulus puborektalis akan berkontraksi dan sudut
anorektal akan kembali ke posisi sebelumnya. Ini memungkinkan muskulus sfingter
ani interna untuk memulihkan tonus ototnya dan menutup kanalis analis.
2.2 Epidemiologi kanker rektum
Di dunia kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga pada tingkat insiden
dan mortalitas.1,11 Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolorektal
dengan tingkat mortalitas lebih dari 50%. 9,5 persen pria penderita kanker terkena
kanker kolorektal, sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9,3 persen dari total
jumlah penderita kanker.1
9
Angka insiden tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia dan Selandia
baru; sedangkan angka insiden terendah terdapat pada India, Amerika Selatan dan
Arab Israel.2,12
Sekitar 135.000 kasus baru kanker kolorektal terjadi di Amerika Serikat setiap
tahunnya, dan menyebabkan angka kematian sekitar 55.000. Sepertiga kasus ini
terjadi di kolon dan 2/3 di rektum. Adenokarsinoma merupakan jenis terbanyak
(98%), jenis lainnya yaitu karsinoid (0,1%), limfoma (1,3%), dan sarkoma (0,3%) .10
Insidensi kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka
kematiannya. Insiden pada pria sebanding dengan wanita, dan lebih banyak pada
orang muda. Sekitar 75 % ditemukan di rektosigmoid. Di Negara barat, perbandingan
insiden pria : wanita = 3 : 1 dan kurang dari 50 % ditemukan di rektosigmoid dan
merupakan penyakit orang usia lanjut. 13 Pada tahun 2002 kanker kolorektal berada
pada peringkat kedua pada kasus kanker yang dialami oleh pasien pria setelah kanker
paru pada urutan pertama, sedangkan pada pasien wanita kanker kolorektal berada
pada urutan ketiga setelah kanker payudara dan kanker leher rahim. 12. Histopatologis
dari kanker kolorektal sebesar 96% berupa adenocarcinoma, 2% karsinoma lainnya
(termasuk karsinoid tumor), 0,4% epidermoid carcinoma, dan 0,08% berupa sarcoma,
sedangkan untuk lokasinya, sebagian besar terdapat di rektum (51,6%), diikuti oleh
kolon sigmoid (18,8%), kolon descendens (8,6%), kolon transversum (8,06%), kolon
ascendens (7,8%), dan multifokal (0,28%)
Berdasarkan penelitian pada tahun 2006-2010, angka kejadian kanker kolo
rectal di RS. AWS Samarinda berjumlah 160 orang, hasil penelitian mengenai jenis
kelamin sampel, jumlah pria lebih banyak yaitu 81 orang dan wanita 65 orang, dan
untuk jenis terbanyak didapatkan hasil Adeno Ca (130 orang), Mucinous Ca (4
orang), Signet ring cell Ca (4 orang), Lymphoma (4 orang), Carcinoid cell Ca (2
orang), Sarcoma (2 orang) serta berdasarkan usia sampel, didapatkan terbanyak pada
usia 31-40 tahun.14
10
Gambar 4. Insidensi kanker di Indonesia pada tahun 2002
2.3 Etiologi
Price dan Wilson (1994) mengemukakan bahwa etiologi karsinoma rectum sama
seperti kanker lainnya yang masih belum diketahui penyebabnya. Faktor predisposisi
munculnya karsinoma rektum adalah polyposis familial, defisiensi Imunologi, kolitis
ulseratifa, granulomartosis dan Kolitis. Faktor predisposisi penting lainnya yang mungkin
berkaitan adalah kebiasaan makan. Masyarakat yang dietnya rendah selulosa tapi tinggi
protein hewani dan lemak, memiliki insiden yang cukup tinggi.15
Burkitt (1971) yang dikutip oleh Price dan Wilson mengemukakan bahwa diet
rendah serat, tinggi karbohidrat refined, mengakibatkan perubahan pada flora feces dan
perubahan degradasi garam-garam empedu atau hasil pemecahan protein dan lemak,
dimana sebagian dari zat-zat ini bersifat karsinogenik. Diet rendah serat juga
menyebabkan pemekatan zat yang berpotensi karsinogenik dalam feses yang bervolume
lebih kecil. Selain itu, masa transisi feses meningkat. Akibatnya kontak zat yang
berpotensi karsinogenik dengan mukosa usus bertambah lama.15
2.4 Patofisiologi Kanker Rektum
Pada mukosa rektum yang normal, sel-sel epitelnya akan mengalami
regenerasi setiap 6 hari. Pada keadaan patologis seperti adenoma terjadi perubahan
11
Gambar 5. Patofisiologi kanker rektum
genetik yang mengganggu proses differensiasi dan maturasi dari sel-sel tersebut yang
dimulai dengan inaktivasi gen adenomatous polyposis coli (APC) yang menyebabkan
terjadinya replikasi tak terkontrol. Peningkatan jumlah sel akibat replikasi tak
terkontrol tersebut akan menyebabkan terjadinya mutasi yang akan mengaktivasi K-
ras onkogen dan mutasi gen p53, hal ini akan mencegah terjadinya apoptosis dan
memperpanjang hidup sel.
Kanker kolon dan rectum terutama (95%) adenokarsinoma (muncul dari lapisan
epitel usus) dimulai sebagai polip jinak tetapi dapat menjadi ganas dan menyusup
serta merusak jaringan normal serta meluas ke dalam struktur sekitarnya. Sel kanker
dapat terlepas dari tumor primer dan menyebar ke dalam tubuh yang lain (paling
sering ke hati).
2.5 Faktor resiko 2, 16, 17,18,19
Etiologi dari kanker rektum sendiri belum diketahui, namun beberapa
faktor resiko telah ditemukan dapat menyebabkan terjadinya kanker rektum.
Beberapa faktor resiko yang berperan antara lain:
1. Faktor genetik seperti familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary
nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC).
12
Gambar 6. Familial Adenomatous Polyposis
Gambar 7. Kolitis Ulseratif
2. Inflamatory bowel disease seperti penyakit crohn dan kolitis ulseratif.
13
Gambar 8. Crohn’s Disease
3. Riwayat keluarga yang menderita kanker
kolorektal.
4. Riwayat menderita polip, kanker ovarium, endometriosis, dan kanker
payudara.
5. Umur di atas 40 tahun.
Risiko dari kanker kolorektal meningkat bersamaan dengan usia, terutama
pada pria dan wanita berusia 50 tahun atau lebih, 1 dan hanya 3% dari kanker
kolorektal muncul pada orang dengan usia dibawah 40 tahun.2 55% kanker
terdapat pada usia ≥ 65 tahun 13
6. Diet tinggi lemak rendah serat
Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah serat
berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan
penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya
hubungan antara serat dan kanker kolorektal. 20
7. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga
kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar.
Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua
setengah kali untuk menderita adenoma yang berukuran besar. 21
2.6 Deteksi dini
14
Karsinoma rekti seringkali asimptomatis dan ditemukan dalam keadaan
sudah stadium lanjut. Komite kesehatan dan penelitian Amerika
merekomendasikan skrining pada populasi-populasi dengan kriteria tertentu,
sebagai berikut:
2.7
Diagnosis Klinis
15
1. Anamnesa
Anamnesa keluhan utama dan riwayat penyakit memegang peranan yang sangat
penting dalam penegakkan diagnosis. Berikut ini merupakan gejala yang
seringkali dikeluhkan oleh pasien dengan karsinoma rekti:
1. Diare palsu atau “spurious diarrhoea”
Diare palsu merupakan keluhan BAB yang frekuen tetapi hanya sedikit yang
keluar disertai dengan lendir dan darah serta adanya rasa tidak puas setelah
BAB. Terjadinya diare palsu oleh karena adanya proses keganasan pada epitel
kelenjar mukosa rektum, berupa suatu massa tumor, dimana tumor akan
merangsang keinginan untuk defekasi, tetapi yang keluar hanya sedikit
disertai hasil sekresi kelenjar berupa mukus dan darah oleh karena rapuhnya
massa tumor.
2. BAB berlendir
BAB berlendir seperti halnya diare palsu merupakan manifestasi adanya
proses keganasan pada epitel kelenjar mukosa rektum dan hal ini jarang
didapatkan pada penderita hemorrhoid.
3. Feses pipih seperti kotoran kambing
Bentuk feses yang pipih seperti kotoran kambing sangat tergantung dari
bentuk makroskopis massa tumor pada rektum. Pada stadium dini dimana
tumor masih kecil dan tidak berbentuk anuler, jarang ditemukan perubahan
bentuk feses.
4. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan pada dasarnya akan terjadi pada semua penderita
dengan keganasan, terutama pada stadium lanjut. Penderita dengan keganasan
akan mengalami perubahan metabolisme oleh karena adanya reaksi inflamasi
tumor dengan host. Adanya peningkatan metabolisme protein, karbohidrat,
dan lemak akan menyebabkan keseimbangan energi-protein menjadi negatif
sehingga diikuti dengan penurunan berat badan. Pada karsinoma rekti dapat
terjadi obstruksi parsial sehingga penderita akan mengeluhkan perut terasa
16
Tabel 1. Perbedaan gejala dan karsinoma kolorektal berdasarkan letaknya.3
kembung dan nafsu makan menurun. Penurunan berat badan yang terjadi
biasanya ringan.
5. Perdarahan bercampur tinja
Perdarahan pada keganasan kolorektal terjadi karena adanya proses inflamasi
pada massa tumor. Sifat perdarahan yang keluar akan bercampur dengan tinja
dan berwarna kehitaman jika massa tumor terdapat pada kolon proksimal,
sedangkan darah yang keluar akan berwarna merah segar jika lokasi massa
tumor pada kolon distal.2,22,15
Berikut ini adalah perbandingan antara karsinoma rektum dengan karsinoma kolon
kiri dan kanan:
Kolon kanan Kolon kiri Rektum
Aspek klinis Kolitis Obstruksi Proktitis
Nyeri Karena penyusupan Karena obstruksi Tenesmus
Defekasi Diare Konstipasi progresif Tenesmi terus-menerus
Obstruksi Jarang Hampir selalu Tidak jarang
Darah pada feses Samar Samar atau makroskopis Makroskopis
Feses Normal Normal Perubahan bentuk
Dispepsia Sering Jarang Jarang
Memburuknya KU Hampir selalu Lambat Lambat
Anemia Hampir selalu Lambat Lambat
Tabel 2. Ringkasan diagnosis karsinoma kolorektal.3
17
Kolon kanan Anemia dan kelemahan
Darah samar di feses
Dispepsia
Perasaan tidak enak di perut kanan bawah
Massa di perut kanan bawah
Kolon kiri Perubahan pola defekasi
Darah di feses
Gejala dan tanda obstruksi
Rektum Perdarahan rektum
Darah di feses
Perubahan pola defekasi
Pasca defekasi masih ada perasaan tidak puas atau penuh
Penemuan tumor pada colok dubur
Penemuan tumor pada rektosigmoidoskopi
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mencari kemungkinan metastase seperti
pembesaran KGB atau hepatomegali. Dari pemeriksaan colok dubur dapat diketahui : 1,7
Adanya tumor rektum
Lokasi dan jarak dari anus
Posisi tumor, melingkar / menyumbat lumen
Perlengketan dengan jaringan sekitar
3. Pemeriksaan penunjang diagnosis
Ada beberapa tes yang dapat dilakukan untuk mendeteksi kanker rektum, antara
lain:
1. Biopsi
18
Gambar 9. Colok dubur pada karsinoma rekti
Konfirmasi adanya malignansi dengan pemeriksaan biopsi sangat penting.
Jika ditemukan tumor dari salah satu pemeriksaan diatas, biopsi harus
dilakukan. Secara patologi anatomi, adenocarcinoma merupakan jenis yang
paling sering yaitu sekitar 90 sampai 95% dari kanker usus besar. Jenis
lainnya ialah karsinoma sel skuamosa, carcinoid tumors, adenosquamous
carcinomas, dan undifferentiated tumors.2
2. Pemeriksaan Tumor marker : CEA (Carcinoma Embryonic Antigen), CA
242, CA 19-9 2
3. uji FOBT (Faecal Occult Blood Test) untuk melihat perdarahan di
jaringan.18,22,23
4. Digital rectal examination atau biasa disebut rectal touche (colok dubur).
Sekitar 75% karsinoma rekti dapat dipalpasi pada pemeriksaan rektal.
Pemeriksaan dengan rektal touche akan mengenali tumor yang terletak sekitar
10 cm dari rektum, massa akan teraba keras dan menggaung.17
Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah:
a. Keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian
terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar
prostat atau ujung os coccygis.
b. Mobilitas tumor: hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi
pembedahan. Lesi yang sangat dini biasanya masih dapat digerakkan pada
19
Gambar 10. Foto rontgen dengan barium enema
lapisan otot dinding rektum. Pada lesi yang sudah mengalami ulserasi
lebih dalam umumnya terjadi perlekatan dan fiksasi karena penetrasi atau
perlekatan ke struktur ekstrarektal seperti kelenjar prostat, buli-buli,
dinding posterior vagina atau dinding anterior uterus.
c. Ekstensi penjalaran yang diukur dari besar ukuran tumor dan karakteristik
pertumbuhan primer dan sebagian lagi dari mobilitas atau fiksasi lesi.
5. Foto rontgen dengan barium enema yaitu cairan yang mengandung barium,
dimasukkan melalui rektum untuk kemudian dilakukan foro rontgen.
6. Endoskopi
a. Sigmoidoskopi
yaitu sebuah prosedur untuk melihat bagian dalam rektum dan
sigmoid apakah terdapat polip kanker atau kelainan lainnya. Alat
sigmoidoscope dimasukkan melalui rektum sampai kolon sigmoid, polip
atau sampel jaringan dapat diambil untuk biopsi.
Flexible sigmoidoscopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 50 tahun
merupakan metode yang direkomendasikan untuk screening seseorang
yang asimptomatik yang berada pada tingkatan risiko menengah untuk
menderita kanker kolon. Sebuah polip adenomatous yang ditemukan pada
20
Gambar 11. sigmoidoskopi
flexible sigmoidoscopi merupakan indikasi untuk dilakukannya
kolonoskopi, karena meskipun kecil (<10 mm), adenoma yang berada di
distal kolon biasanya berhubungan dengan neoplasma yang letaknya
proksimal pada 6-10% pasien. 18
b. Kolonoskopi
Kolonoskopi dapat digunakan untuk menunjukan gambaran seluruh
mukosa kolon dan rectum Sebuah standar kolonoskopi panjangnya dapat
mencapai 160 cm. Kolonoskopi merupakan cara yang paling akurat untuk
dapat menunjukkan polip dengan ukuran kurang dari 1 cm dan keakuratan
dari pemeriksaan kolonoskopi sebesar 94%, lebih baik daripada barium enema
yang keakuratannya hanya sebesar 67%.2 Sebuah kolonoskopi juga dapat
digunakan untuk biopsi, polipektomi, mengontrol perdarahan dan dilatasi dari
striktur. Kolonoskopi merupakan prosedur yang sangat aman dimana
komplikasi utama (perdarahan, komplikasi anestesi dan perforasi) hanya
muncul kurang dari 0,2% pada pasien. Kolonoskopi merupakan cara yang
sangat berguna untuk mendiagnosis dan manajemen dari inflammatory bowel
disease, non akut divertikulitis, sigmoid volvulus, gastrointestinal bleeding,
21
Gambar 12. Kolonoskopi
megakolon non toksik, striktur kolon dan neoplasma. Komplikasi lebih sering
terjadi pada kolonoskopi terapi daripada diagnostik kolonoskopi, perdarahan
merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi terapeutik, sedangkan
perforasi merupakan komplikasi utama dari kolonoskopi diagnostik. 18
7. Virtual colonoscopy (CT colonography)Kolonoskopi virtual merupakan diagnostik non-invasif yang baru,
menggunakan X-ray dan software komputer,untuk melihat dua dan tiga-
dimensi dari seluruh usus besar dan rektum untuk mendeteksi polip dan
kanker kolorektal.14
8. Imaging Tehnik
MRI, CT scan, transrectal ultrasound merupakan bagian dari tehnik imaging
yang digunakan untuk evaluasi, staging dan tindak lanjut pasien dengan
kanker kolon, tetapi tehnik ini bukan merupakan screening tes.18
a. CT scan
22
CT scan dapat mengevaluasi abdominal cavity dari pasien kanker kolon pre
operatif. CT scan bisa mendeteksi metastase ke hepar, kelenjar adrenal, ovarium,
kelenjar limfa dan organ lainnya di pelvis. CT scan sangat berguna untuk mendeteksi
rekurensi pada pasien dengan nilai CEA yang meningkat setelah pembedahan kanker
kolon. Sensitifitas CT scan mencapai 55%. CT scan memegang peranan penting pada
pasien dengan kanker kolon karena sulitnya dalam menentukan stage dari lesi
sebelum tindakan operasi. Pelvic CT scan dapat mengidentifikasi invasi tumor ke
dinding usus dengan akurasi mencapai 90 %, dan mendeteksi pembesaran kelanjar
getah bening >1 cm pada 75% pasien.19 Penggunaan CT dengan kontras dari
abdomen dan pelvis dapat mengidentifikasi metastase pada hepar dan daerah
intraperitoneal.
b. MRI
MRI lebih spesifik untuk tumor pada hepar daripada CT scan dan sering
digunakan pada klarifikasi lesi yang tak teridentifikasi dengan menggunakan CT
scan. Karena sensifitasnya yang lebih tinggi daripada CT scan, MRI dipergunakan
untuk mengidentifikasikan metastasis ke hepar.
c. Endoskopi UltraSound (EUS)
EUS secara signifikan menguatkan penilaian preoperatif dari kedalaman
invasi tumor, terlebih untuk tumor rektal. Keakurasian dari EUS sebesar 95%, 70%
untuk CT dan 60% untuk digital rektal examination. Pada kanker rektal, kombinasi
pemakaian EUS untuk melihat adanya tumor dan digital rektal examination untuk
23
menilai mobilitas tumor seharusnya dapat meningkatkan ketepatan rencana dalam
terapi pembedahan dan menentukan pasien yang telah mendapatkan keuntungan dari
preoperatif kemoradiasi. Transrektal biopsi dari kelenjar limfa perirektal bisa
dilakukan di bawah bimbingan EUS.
Tabel 3. Diagnosis pasti untuk karsinoma rectum.3
4. Klasifikasi
karsinoma rektum
1. Berdasarkan klasifikasi Dukes
1. Stadium 0
Pada stadium 0, kanker ditemukan hanya pada bagian paling dalam
rektum.yaitu pada mukosa saja. Disebut juga carcinoma in situ.
2. Stadium I
Pada stadium I, kanker telah menyebar menembus mukosa sampai lapisan
muskularis dan melibatkan bagian dalam dinding rektum tapi tidak menyebar
kebagian terluar dinding rektum ataupun keluar dari rektum. Disebut juga
Dukes A rectal cancer.
3. Stadium II
Pada stadium II, kanker telah menyebar keluar rektum kejaringan terdekat
namun tidak menyebar ke limfonodi. Disebut juga Dukes B rectal cancer.
24
Cara pemeriksaan Persentase
Colok dubur
Rektosigmoidoskopi
Foto kolon dengan barium
kontras
Kolonoskopi
40%
75%
90%
100% (hampir)
4. Stadium III
Pada stadium III, kanker telah menyebar ke limfonodi terdekat, tapi tidak
menyebar kebagian tubuh lainnya. Disebut juga Dukes C rectal cancer.
5. Stadium IV
Pada stadium IV, kanker telah menyebar kebagian lain tubuh seperti hati,
paru, atau ovarium. Disebut juga Dukes D rectal cancer
Gambar 13. Stadium Ca Recti I-IV
2. Berdasarkan sistem TNM
Tabel 2. TNM/Modified Dukes Classification System*
TNM Stadium
Modified Dukes
Stadium
Deskripsi
T1 N0 M0 A Tumor terbatas pada submucosa T2 N0 M0 B1 Tumor terbatas pada muscularis propria T3 N0 M0 B2 Penyebaran transmural T2 N1 M0 C1 T2, pembesaran kelenjar mesenteric T3 N1 M0 C2 T3, pembesaran kelenjar mesentericT4 C2 Penyebaran ke organ yang berdekatan Any T, M1 D Metastasis jauh
*Modified from the American Joint Committee on Cancer (1997)
25
2.8 Penatalaksanaan
Berbagai jenis terapi dapat digunakan pada pasien dengan kanker rektum. Tiga
terapi standar yang digunakan antara lain adalah:
1. Pembedahan
Pembedahan merupakan terapi yang paling lazim digunakan terutama untuk
stadium 1 dan 2 kanker rektum, bahkan pada suspek stadium 3 juga masih
dapat dilakukan pembedahan. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan,
sekarang sebelum dioperasi pasien diberi presurgical treatment berupa radiasi
dan kemoterapi. Penggunaan kemoterapi sebelum pembedahan dikenal
sebagai neoadjuvant chemotherapy, dan terapi ini biasanya digunakan pada
pasien dengan kanker rektum stadium 2 dan 3. Pada pasien lainnya yang
hanya dilakukan pembedahan, meskipun sebagian besar jaringan kanker sudah
diangkat saat operasi, beberapa pasien masih membutuhkan kemoterapi atau
radiasi pasca pembedahan untuk membunuh sel kanker yang tertinggal.
Adapun jenis pembedahan yang dapat dilakukan, antara lain:
a. Eksisi lokal
Eksisi lokal jika kanker ditemukan pada stadium paling dini, tumor
dapat dihilangkan tanpa melakukan pembedahan lewat abdomen. Jika tumor
ditemukan dalam bentuk polip, maka operasinya disebut polypectomy. Eksisi
lokal melalui rektoskop dapat dilakukan pada karsinoma terbatas. Seleksi
penderita harus dilakukan dengan teliti, antara lain dengan menggunakan
endoskopi ultrasonografik untuk menentukan tingkat penyebaran di dalam
dinding rektum clan adanya kelenjar ganas pararektal.
b. Low anterior resection (LAR)
Metode ini digunakan untuk lesi yang terletak di tengah atau 1/3 atas
rektum. Untuk masa tumor lebih 5 cm dari anokutan dipertimbangkan reseksi
rectum rendah (LowAnteriorResection/LAR), sehingga tidak perlu kolostomi.
Rektum terbagi atas 3 bagian yaitu 1/3 atas, tengah dan bawah. Kanker
yang berada di lokasi 1/3 atas dan tengah (5 s/d 15 cm dari garis dentate)
26
dapat dilakukan ” restorative anterior resection” kanker 1/3 distal rectum
merupakan masalah pelik. Jarak antara pinggir bawah tumor dan garis dentate
merupakan faktor yang sangat penting untuk menentukan jenis operasi.
Goligher dkk berdasarkan pengalamannya menyatakan bahwa kegagalan
operasi ”Low anterior resection ” akan terjadi pada kanker rectum dengan jarak
bawah rectum normal 2 cm. Angka 5 cm telah diterima sebagai jarak keberhasilan
terapi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh venara dkk pada 243 kasus
menyimpulkan bahwa jarak lebih dari 3 cm dari garis dentate aman untuk dilakukan
operasi ” Restorative resection”. ”Colonal anastomosis” diilhami oleh hasil operasi
Ravitch dan Sabiston yang dilakukan pada kasus kolitis ulseratif. Operasi ini dapat
diterapkan pada kanker rectum letak bawah, dimana teknik stapler tidak dapat
dipergunakan. Local excision dapat diterapkan untuk mengobati kanker rectum dini
yang terbukti belum memperlihatkan tanda-tanda metastasis ke kelenjar getah bening.
Operasi ini dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu transanal,
transpinchteric atau transsacral. Pendekatan transpinshter dan transacral
memungkinkan untuk dapat mengamati kelenjar mesorectal untuk mendeteksi
kemungkinan telah terjadi metastasis. Sedang pendekatan transanal memiliki
kekurangan untuk mengamati keterlibatan kelenjar pararektal.
27
Gambar 14. A, Low anterior resection; B,C, coloanal anastomosis; D, j pouch construction creating a reservoir.
Reseksi anterior rendah pada rektum dilakukan melalui laparotomi dengan
menggunakan alat stapler untuk membuat anastomosis kolorektal atau koloanal
rendah.
c. Abdominal perineal resection (Miles procedure)
Untuk masa tumor < 5 cm dari anokutan. Pengangkatan kanker rektum
biasanya dilakukan dengan reseksi abdominoperianal, termasuk pengangkatan
seluruh rectum, mesorektum dan bagian dari otot levator ani dan dubur. Prosedur ini
merupakan pengobatan yang efektif namun mengharuskan pembuatan kolostomi
permanen.
Pada tumor rektum sepertiga tengah dilakukan reseksi dengan
mempertahankan sfingter anus, sedangkan pada tumor sepertiga distal dilakukan
amputasi rektum melalui reseksi abdominoperineal Quenu-Miles. Pada operasi ini
anus turut dikeluarkan.
Pada pembedahan abdominoperineal menurut Quenu-Miles, rektum dan
sigmoid dengan mesosigmoid dilepaskan, termasuk kelenjar limf pararektum dan ret-
roperitoneal sampai kelenjar limf retroperitoneal. Kemudian melalui insisi perineal
anus dieksisi dan dikeluarkan seluruhnya dengan rektum melalui abdomen.
28
Gambar 15. Abdominoperineal resection with colostomy
Indikasi dan kontra indikasi eksisi lokal kanker rectum
1. Indikasi
Tumor bebas, berada 8 cm dari garis dentate
T1 atau T2 yang dipastikan dengan pemeriksaan ultrasound
Termasuk well-diffrentiated atau moderately well diffrentiated secara
histologi
Ukuran kurang dari 3-4 cm
2. Kontraindikasi
Tumor tidak jelas
Termasuk T3 yang dipastikan dengan ultrasound
Termasuk Poorly diffrentiated secara histologi
Gambar 14. Pembedahan pada CA Recti
29
2. Radiasi
Pada kasus stadium 2 dan 3, radiasi dapat mengecilkan ukuran tumor
sebelum dilakukan pembedahan, dalam hal ini radiasi berperan sebagai
preoperative treatment. Peran lainnya radioterapi adalah sebagai terapi
tambahan untuk kasus tumor lokal yang telah diangkat melalui pembedahan
dan untuk penanganan kasus metastase jauh. Jika radioterapi pasca
pembedahan dikombinasikan dengan kemoterapi, maka akan menurunkan
resiko kekambuhan lokal di pelvis sebesar 46% dan menurunkan angka
kematian sebesar 29%. Pada penanganan metastase jauh, radiasi telah terbukti
dapat mengurangi efek dari metastase tersebut terutama pada otak.
Radioterapi umumnya digunakan sebagai terapi paliatif pada pasien dengan
tumor lokal yang unresectable.
Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan eksternal
radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada
tipe dan stadium dari kanker. Eksternal radiasi (external beam therapy)
merupakan penanganan dimana radiasi tingkat tinggi secara tepat diarahkan
pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel kanker, maka
dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan yang sehat
disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya
berlangsung beberapa menit. Internal radiasi (brachytherapy, implant
radiation) menggunakan radiasi yang diberikan ke dalam tubuh sedekat
mungkin pada sel kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi disebut
radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral atau implant
langsung pada tumor. Internal radiasi memberikan tingkat radiasi yang lebih
tinggi dengan waktu yang relatif singkat bila dibandingkan dengan eksternal
radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi secara sementara menetap
didalam tubuh.24, 25
30
3. Kemoterapi
Adjuvant chemotherapy digunakan untuk menangani pasien yang tidak
terbukti memiliki penyakit residual tetapi beresiko tinggi mengalami
kekambuhan. Terapi ini digunakan pada tumor yang menembus sangat dalam
atau tumor lokal yang bergerombol (stadium 2 dan 3). Terapi standar
kemoterapi tersebut adalah fluorouracil (5-FU) yang dikombinasikan dengan
leucovorin dalam waktu 6-12 bulan. Obat lain yaitu levamisole dapat menjadi
pengganti leucovorin jika tidak tersedia. Protokol kemoterapi ini telah terbukti
menurunkan angka kekambuhan sebesar 15% dan menurunkan angka
kematian sebesar 10%. 2, 18
4. Penanganan Jangka Panjang
Terdapat beberapa kontroversi tentang frekuensi pemeriksaan follow
up untuk rekurensi tumor pada pasien yang telah ditangani dengan kanker
kolon. Beberapa tenaga kesehatan telah menggunakan pendekatan nihilistic
(karena prognosis sangat jelek jika terdeteksi adanya rekurensi dari kanker).
Sekitar 70% rekurensi dari kanker terdeteksi dalam jangka waktu 2 tahun, dan
90% terdeteksi dalam waktu 4 tahun. Pasien yang telah ditangani dari kanker
kolon mempunyai insiden yang tinggi dari metachronous kanker kolon.
Deteksi dini dan penatalaksanaan yang tepat pada pasien ini dapat
meningkatkan prognosa. Evaluasi follow up termasuk pemeriksaan fisik,
sigmoidoskopi, kolonoskopi, tes fungsi hati, CEA, foto polos thorax, barium
enema, liver scan, MRI, dan CT scan.17 Tingginya nilai CEA preoperatif
biasanya akan kembali normal antara 6 minggu setelah pembedahan.2
1. Evaluasi klinik
Selama 5 tahun setelah tindakan pembedahan, target utama follow up
adalah untuk mendeteksi tumor primer baru. Beberapa pasien kanker
kolorektal membentuk satu atau beberapa tempat metastasis di hepar,
paru-paru, atau tempat anastomosis dimana tumor primer telah diangkat.2
31
2. Rontgen
Foto rontgen terlihat sama baiknya bila dibandingkan dengan CT scan
dalam mendeteksi rekurensi.2
3. Kolonoskopi
Pasien yang mempunyai lesi obstruksi pada kolonnya harus melakukan
kolonoskopi 3 sampai 6 bulan setelah pembedahan, untuk meyakinkan
tidak adanya neoplasma yang tertinggal di kolon. Tujuan dilakukannya
endoskopi adalah untuk mendeteksi adanya metachronous tumor, suture
line rekurensi atau kolorektal adenoma. Jika obstruksi tidak ada maka
kolonoskopi dilakukan pada satu sampai tiga tahun setelah pembedahan,
jika negatif maka endoskopi dilakukan lagi dengan interval 2-3 tahun.2
4. CEA
Meningkatnya nilai CEA menandakan diperlukannya pemeriksaaan lebih
jauh untuk mengidentifikasi tempat rekurensi, dan biasanya sangat
membantu dalam mengidentifikasi metastasis ke hepar. Jika dicurigai
adanya metastasis ke pelvis, maka MRI lebih membantu diagnosa
daripada CT scan.2
2.9 Prognosa
Stage merupakan faktor prognosis yang paling penting,.Grade histologi
secara signifikan mempengaruhi tingkat survival disamping stadium. Pasien
dengan well differentiated karsinoma (grade 1 dan 2) mempunyai 5-year survival
yang lebih baik dibandingkan dengan poor differentiated karsinoma (grade 3 dan
4). Lokasi kanker terlihat sebagai faktor prognostik yang independen. Pada stage
yang sama pasien dengan tumor yang berada di rektum mempunyai prognosa
yang lebih buruk bila dibandingkan dengan tumor yang berada di kolon.2
Secara keseluruhan 5-year survival rates untuk kanker rektal adalah
sebagai berikut :
a. Stadium I - 72%
32
b. Stadium II - 54%
c. Stadium III - 39%
d. Stadium IV - 7%
50% dari seluruh pasien mengalami kekambuhan yang dapat berupa
kekambuhan lokal, jauh maupun keduanya. Kekambuhan lokal lebih sering terjadi
pada. Penyakit kambuh pada 5-30% pasien, biasanya pada 2 tahun pertama setelah
operasi. Faktor – faktor yang mempengaruhi terbentuknya rekurensi termasuk
kemampuan ahli bedah, stadium tumor, lokasi, dan kemapuan untuk memperoleh
batas - batas negatif tumor. 7
33
BAB III
CONTOH KASUS
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Kamis, 25 Agustus 2011 di
ruang perawatan Flamboyan RSUD AW.Sjahranie Samarinda.
ANAMNESIS
Autoanamnesis dari pasien.
Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Umur : 59 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Tepian Langsat Kecamatan Bengalon
Pekerjaan : Wakar perkebunan kelapa sawit
Suku : Jawa
Status : Menikah
Agama : Islam
Keluhan utama: buang air besar berdarah
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD dengan keluhan BAB berdarah. BAB berdarah dialami pasien
sejak ± 10 bulan sebelum MRS. Darah keluar bersama ampas kotoran, berwarna
merah dan berlendir. Darah yang keluar tidak terlalu banyak, ± 1 sendok makan
dalam sehari. BAB berdarah disertai dengan nyeri yang dirasakan pasien pada perut
bagian bawah seperti diris-iris. Pasien mengaku, seringkali mules ingin buang air
34
besar dengan frekuensi 3-4 kali sehari, namun ampas kotoran tetap tidak mau keluar,
hanya sedikit darah saja yang keluar dan nyeri pada perut bagian bawah selalu
muncul. Kalaupun ada kotoran yang keluar hanya sedikit sekali, seperti kotoran
kambing. Pasien mengaku sering merasa tidak puas setelah buang air besar. Ampas
kotoran baru mau keluar jika pasien minum dulcolax, dan hal ini dilakukan pasien
tiap 3 hari sekali jika perut mulai terasa penuh dan kembung karena kotoran tidak
keluar. Sejak ± 3 bulan yang lalu, pasien mulai merasa nyeri di anusnya jika habis
mengejan kuat ketika buang air besar. Pasien mengaku terkadang darah yang keluar
menyembur jika pasien buang angin atau mengejan dengan kuat. Pasien mengaku
sudah semenjak ± 3 bulan yang lalu mengkonsumsi obat ambeien, namun tidak ada
perbaikan. Pasien juga mengeluhkan mual namun tidak muntah. Pasien mengeluh
perut terasa penuh jika makan, sehingga pasien makan lebih sedikit daripada
biasanya. Pasien mengaku mengalami penurunan berat badan dalam beberapa bulan
terakhir, dari 48 kg menjadi 42 kg. Pasien tidak mengeluhkan nyeri ulu hati. Pasien
juga mengaku tidak pernah demam dalam 2 tahun terakhir.
Riwayat penyakit dahulu:
Menurut pengakuan pasien, sejak ± 2 tahun yang lalu pasien sudah mengalami
kesulitan buang air besar. BAB terasa keras, sehingga pasien harus mengejan agar
kotoran bisa keluar. Pasien juga melihat adanya guratan tipis berwarna merah
pada kotoran yang keluar, namun tidak dihiraukan oleh pasien karena tidak ada
keluhan nyeri pada perut maupun anus.
Riwayat penyakit keluarga:
Pasien mengakui di keluarganya ada juga yang memiliki kebiasaan sulit buang air
besar, namun untuk riwayat kanker di keluarga pasien mengaku tidak
mengetahuinya.
35
Riwayat kebiasaan:
Pasien tinggal di hutan dan bekerja sebagai wakar di perkebunan sawit, sehingga
jarang makan sayur dan seringkali hanya makan telur dan mie instan.
Pasien mengaku tidak pernah merokok ataupun mengkonsumsi minuman keras.
Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Keadaan sakit : sakit ringan
Kesadaran : compos mentis, E4V5M6
Status habitus : atletikus
Vital sign
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 78 x/menit
Pernafasan : 20 x/menit
Suhu aksiler : 36,7oC
Kepala/leher
Mata:
Konjunctiva anemis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Katarak (-/-)
Pterigium (-/-)
Pupil isokor 3 mm/3 mm
Hidung:
bentuk simetris
pernafasan cuping hidung (-/-)
Mulut:
bibir sianosis (-)
lidah kotor (-)
36
karies pada gigi (-)
pembesaran tosil (-)
hiperemis faring (-)
Leher:
Peningkatan JVP (-)
Pembesaran KGB (-)
Deviasi trakea (-)
Thorax paru:
I : bentuk dan pergerakan dinding dada simetris
Pa : gerak nafas simetris, fremitus raba D=S
Pe : sonor pada seluruh lapangan paru
A : vesikuler pada seluruh lapangan paru, rhonki , wheezing
Thorax jantung:
I : Ictus cordis tampak pada ICS V
Pa : Ictus cordis teraba pada ICS V
Pe : batas jantung kanan pada ICS III PSL dekstra
Batas jantung kiri pada ICS V MCL sinistra
A : S1 & S2 normal, tunggal, murmur dan gallop (-)
Abdomen:
I : flat, simetris, peristaltik tak tampak
Pa : soefl, nyeri tekan ulu hati (-), nyeri ketuk hepar (-), nyeri tekan pada
abdomen kiri bawah, hepar, lien, dan ginjal tak teraba
Pe : timpani, ruang trobe kosong, shifting dullness (-)
A : bising usus normal
Ektrimitas superior: akral hangat, edema (-/-)
37
Ekstrimitas inferior: akral hangat, edema (-/-), pembesaran KGB kelenjar ingunal
(-/-)
Pemeriksaan penunjang
Rectal touche:
Spinchter ani menjepit kuat, mukosa licin, teraba massa lunak dan hilang pada
penekanan di arah jam 6 dan 9, hanskun: darah (+), lendir (+), feses (-).
Colonoscopy:
Colon descendens, transversum, dan ascendens normal. Pada kedalaman 10 cm
terlihat massa berbenjol. Massa ada yang keras, ada yang rapuh dan mudah berdarah.
Hasil biopsy
Adenokarsinoma colon berdifferensiasi baik.
Pemeriksaan laboratorium:
Leukosit : 5100Hb : 9,5 gr/dlHCT : 36,5 %Trombosit : 223000GDS : 151SGOT : 31SGPT : 33Bilirubin total : 0,5Bilirubin direk : 0,2Bilirubin indirek : 0,3
Protein total : 6,3Albumin : 3,1Globumin : 3,2Kolesterol : 181Asam urat : 4,6Ureum : 20,0Kreatinin : 0,8CRP : < 6 mg/LCEA : 1,23 ng/ml
Lembar follow up pasien
38
22 Agustus
2011
S : Nyeri perut bawah
O : TD=120/80,
N=80x/menit,
RR=18x/menit, T=36,8oC
A : Hematoschezia + suspek
colitis
Infus RL 20 tpm
Cek CEA dan CRP
RT, jika hemoroid konsul
bedah, jika bukan hemoroid
colonoscopy hari selasa
RT : Spinchter ani menjepit
kuat, mukosa licin, teraba massa
lunak dan hilang pada
penekanan di arah jam 6 dan 9,
hanskun: darah (+), lendir (+),
feses (-)
Konsul bedah, jawaban:
RT : massa kenyal
Perianal : fistel (+) arah jam 11
Dx : suspek hemoroid interna +
fistel perianal
Usul : colonoscopy + biopsy
23 Agustus
2011
S : Nyeri perut bawah (+),
nyeri pada anus habis BAB
(+), BAB campur darah
berwarna merah hati (+)
O : TD=120/80,
N=78x/menit,
RR=20x/menit, T=36,7oC
A : Hematoschezia + suspek
colitis + suspek hemoroid
Infus RL 20 tpm
Kalnex 500 mg/8 jam
Pro colonoscopy 4 hari lagi
24 Agustus
2011
S : Nyeri perut bawah dan
anus saat BAB (+), perut
terasa cepat penuh jika
makan
O : TD=110/70,
N=68x/menit,
Infus RL 20 tpm
Kalnex 500 mg/8 jam
Pro colonoscopy 3 hari lagi
Diet bubur kecap mulai besok
39
RR=20x/menit, T=36,8oC
A : Hematoschezia + suspek
colitis + suspek hemoroid
25 Agustus
2011
S : Nyeri perut bawah dan
anus saat BAB (+), BAB
kotoran bercampur darah (+)
O : TD=110/70,
N=80x/menit,
RR=20x/menit, T=36,8oC
A : Hematoschezia + suspek
colitis + suspek hemoroid
Infus RL 20 tpm
Kalnex 500 mg/8 jam
Pro colonoscopy
Diet bubur kecap
26 Agustus
2011
S : Nyeri perut bawah dan
anus saat BAB (+), BAB
kotoran bercampur darah
sudah berkurang
O : TD=110/70,
N=80x/menit,
RR=20x/menit, T=36,8oC
A : Hematoschezia + suspek
colitis + suspek hemoroid
Infus RL 20 tpm
Kalnex 500 mg/8 jam
Pro colonoscopy
Diet bubur kecap
27 Agustus
2011
S : BAB berdarah (-), badan
lemas (+), pusing (+)
O : TD=110/80,
N=78x/menit,
RR=20x/menit, T=36,5oC
A : Hematoschezia + suspek
colitis + suspek hemoroid
Infus RL 20 tpm
Kalnex 500 mg/8 jam
Diet bubur kecap
Fleet enema + fleet phosposoda
Besok colonoscopy
28 Agustus S : BAB berdarah (-), badan Infus RL 20 tpm
40
2011 lemas (+), pusing (+)
O : TD=110/70,
N=80x/menit,
RR=20x/menit, T=36,8oC
A : Ca Rekti
Kalnex 500 mg/8 jam
Tunggu hasil biopsi
29 Agustus
2011
S : BAB ada sedikit darah
keluar campur lendir, badan
lemas (+), pusing (-)
O : TD=110/70,
N=82x/menit,
RR=22x/menit, T=36,8oC
A : Ca Rekti
Infus RL 20 tpm
Kalnex 500 mg/8 jam
Tunggu hasil biopsi
BAB IV
PEMBAHASAN
41
Keluhan utama pada pasien ini ketika pertama kali masuk RS adalah BAB
berdarah. Darah keluar bersama ampas kotoran, berwarna merah dan berlendir.
Perdarahan segar yang keluar dari saluran cerna bawah ini biasa disebut
hematochezia. Hematochezia adalah perdarahan yang berasal dari saluran cerna atau
usus di bawah ligamentum treitz (suspensorium duodenalis). Tidak seperti perdarahan
saluran cerna atas, perdarahan saluran cerna bawah bersifat lambat, intermitten, dan
tidak memerlukan perawatan rumah sakit. Penyebab tersering perdarahan saluran
cerna bawah adalah divertikel kolon, kolitis, hemoroid, dan keganasan pada
kolorektal. Dari anamnesa dan pemeriksaan fisik, diagnosis banding tersebut dapat
mulai disingkirkan satu persatu.
Divertikel kolon
Divertikel kolon biasanya bersifat asimptomatik. Perdarahan terjadi secara
tiba-tiba terutama pada divertikel yang berlokasi pada kolon sebelah kanan, tanpa
disertai dengan gejala nyeri abdomen dan 70-80% akan berhenti spontan. Seharusnya
untuk menyingkirkan adanya divertikel kolon dapat dilakukan pemeriksaan CT scan
untuk mendapatkan gambaran definitif dengan evaluasi keadaan usus dan
mesenterium yang baik atau dengan barium enema jika pemeriksaan non invasif tidak
memberikan kejelasan, namun pada pasien ini tidak dilakukan karena dari anamnesa
saja dapat disingkirkan kemungkinan divertikel kolon dimana pada pasien ini
perdarahan terjadi saat pasien buang air besar sehabis mengejan dan disertai rasa
nyeri pada perut bagian bawah.
Kolitis
Kolitis adalah suatu peradangan akut atau kronik pada kolon yang
berdasarkan penyebabnya terdiri atas kolitis infeksi dan non infeksi. Kolitis infeksi
yang paling sering menyebabkan keluhan buang air besar berdarah adalah kolitis
amoeba atau disentri amoeba.
42
Kolitis amoeba adalah peradangan kolon yang disebabkan oleh Entamoeba
histolytica. Penyakit ini biasanya disertai dengan gejala demam tinggi, diare dengan
feses berbau busuk bercampur darah dan lendir, nyeri perut, mual dan anemia. Pada
pasien ini tidak didapatkan keluhan demam, pasien mengaku tidak pernah mengalami
demam dalam 2 tahun terakhir. Pasien mengaku mengeluhkan “diare” karena pasien
seringkali mules ingin buang air besar dengan frekuensi 3-4 kali sehari, namun ampas
kotoran tetap tidak mau keluar, hanya sedikit darah saja yang keluar. Pada mulanya,
sebelum dianamnesa lebih teliti, keluhan ini tentunya menyerupai disentri amoeba
karena adanya keluhan “diare” dengan feses bercampur darah. Namun jika kita
meninjau kembali definisi diare yang sesungguhnya menurut World Gastroenterology
Organization Global Guidelines tahun 2005 yaitu: pasase tinja yang cair atau lembek
dengan jumlah lebih banyak dari normal, kemudian definisi lain menyebutkan bahwa
diare adalah buang air besar encer lebih dari 3 kali dalam sehari, maka kita dapat
menyimpulkan bahwa yang dikeluhkan oleh pasien ini bukanlah diare yang
sesungguhnya. Seharusnya untuk menyingkirkan secara pasti kemungkinan adanya
disentri amoeba dilakukan pemeriksaan feses lengkap untuk mencari adanya
bentukan trofozoit dan dilakukan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi adanya
antibodi terhadap amoeba. Namun pada pasien ini tidak dilakukan karena selain dari
hasil anamnesa yang tidak mengarah pada disentri amoeba, pada pemeriksaan darah
lengkap didapatkan hasil jumlah leukosit 5100 yaitu tidak terjadi leukositosis yang
merupakan salah satu tanda infeksi.
Kolitis non infeksi yang paling sering menyebabkan keluhan buang air besar
berdarah adalah kolitis ulseratif. Kolitis ulseratif merupakan penyakit inflamasi
kronik pada kolon yang sering kambuh. Etiologi dari penyakit ini belum diketahui,
diduga berkaitan dengan kelainan sistem imun. Tanda dan gejala dari kolitis ulseratif
ini menyerupai kolitis infeksi yaitu adanya diare yang dapat disertai lendir dan darah
serta adanya nyeri perut. Kolitis ulseratif yang berat dapat disertai gejala
konstitusional seperti demam, penurunan berat badan, dan anoreksia. Seperti yang
sudah kita bahas sebelumnya, keluhan diare yang dirasakan oleh pasien pada kasus
43
ini bukanlah diare yang sesungguhnya, pasien seringkali mules ingin buang air besar
dengan frekuensi 3-4 kali sehari, namun ampas kotoran tetap tidak mau keluar, hanya
sedikit darah saja yang keluar. Dari anamnesa tersebut, kita mulai dapat
menyingkirkan kemungkinan adanya kolitis ulseratif. Kemudian dari pemeriksaan
darah lengkap dan kadar CRP (C-reactive Protein), didapatkan jumlah leukosit dalam
batas normal yaitu 5100 dan kadar CRP <6 mg/L, yang berarti tidak ada proses
inflamasi sehingga kemungkinan adanya kolitis ulseratif dapat disingkirkan namun
belum secara pasti. Pemeriksaan yang dapat menyingkirkan secara pasti adanya
kolitis ulseratif adalah kolonoskopi dan biopsi yang pada akhirnya dilakukan pada
pasien ini.
Setelah 2 diagnosis banding dari penyebab hematochezia yaitu divertikel kolon
dan kolitis dapat disingkirkan, maka tersisa 2 kemungkinan yang terjadi pada pasien
ini yaitu hemorrhoid dan keganasan kolorektal.
Hemorrhoid interna
Hemorrhoid interna merupakan pelebaran dan inflamasi pembuluh darah di
daerah anus. Hemorrhoid interna timbul dengan gejala sering merasa gatal pada anus
dan keluar darah ketika buang air besar namun tidak bercampur feses, seringkali
darah menyemprot keluar. Pasien yang menderita hemorrhoid biasanya memiliki
kebiasaan sulit buang air besar dan sering mengejan. Hemorrhoid jarang
bermanifestasi pada penurunan berat badan dan tidak mengakibatkan rasa nyeri pada
perut. Bentukan hemorrhoid interna pada saat di rectal touche seringkali berupa
bentukan lunak yang hilang jika ditekan karena tekanan di vena hemorrhoidalis yang
rendah. Karena itulah, untuk lebih memastikan diagnosis, dilakukanlah colonoscopy
dan biopsy pada pasien ini.
Setelah di colonoscopy didapatkan bentukan massa berdungkul-dungkul pada
kedalaman 10 cm dan ketika ditelusuri sampai caecum tidak ditemukan kelainan lain
pada mukosa usus, maka semua diagnosis banding pun dapat disingkirkan sehingga
diagnosis pada pasien ini adalah karsinoma rekti. Hasil biopsi menunjukkan bahwa
jenis keganasan adalah adenokarsinoma berdifferensiasi baik.
44
Berikut ini adalah pembahasan mengenai anamnesa, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang dan penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien jika
dibandingkan dengan teori.
Anamnesa
Kasus Teori
Pasien berusia 59 tahun. Karsinoma rekti banyak terjadi pada usia > 50
tahun yaitu sebanyak 90%, sedangkan yang
berumur < 40 tahun hanya 5%.
Pasien mengaku, seringkali mules
ingin buang air besar dengan
frekuensi 3-4 kali sehari, namun
ampas kotoran tetap tidak mau
keluar, hanya sedikit darah saja
yang keluar dan nyeri pada perut
bagian bawah selalu muncul. Pasien
mengaku sering merasa tidak puas
setelah buang air besar.
Pada karsinoma rekti seringkali ditemukan
“diare palsu” yaitu keluhan BAB yang frekuen
namun hanya sedikit yang keluar disertai
dengan darah lendir serta adanya rasa tidak
puas setelah BAB.
Kalaupun ada kotoran yang keluar
hanya sedikit sekali, seperti kotoran
kambing.
Tinja seperti kotoran kambing biasanya
ditemukan pada pasien dengan karsinoma
rekti stadium lanjut dan berbentuk anuler.
45
Pasien mengaku mengalami
penurunan berat badan dalam
beberapa bulan terakhir, dari 48 kg
menjadi 42 kg.
Pada dasarnya, penderita keganasan akan
mengalami penurunan berat badan, terutama
pada stadium lanjut.
Pasien tinggal di hutan dan bekerja
sebagai wakar di perkebunan sawit,
sehingga jarang makan sayur dan
seringkali hanya makan telur dan
mie instan.
Salah satu faktor resiko terjadinya karsinoma
rekti adalah kebiasaan mengkonsumsi
makanan tinggi lemak dan rendah serat.
Pasien bekerja sebagai wakar
(petugas keamanan pada malam
hari).
Penelitian terbaru menemukan bahwa bekerja
pada giliran atau shift malam minimal 3 hari
dalam sebulan selama 15 tahun dapat
meningkatkan resiko terjadinya kanker
kolorektal.
Pada anamnesa mengenai keluhan utama dan riwayat penyakit pasien telah
sesuai dengan teori. Pasien berusia 59 tahun dimana seperti yang kita ketahui
karsinoma rekti banyak terjadi pada usia > 50 tahun yaitu sebanyak 90%, sedangkan
yang berumur < 40 tahun hanya 5%. Pasien mengaku, seringkali mules ingin buang
air besar dengan frekuensi 3-4 kali sehari, namun ampas kotoran tetap tidak mau
keluar, hanya sedikit darah saja yang keluar dan nyeri pada perut bagian bawah selalu
muncul. Pasien mengaku sering merasa tidak puas setelah buang air besar. Hal ini
sesuai dengan teori dimana disebutkan bahwa pada karsinoma rekti seringkali
ditemukan “diare palsu” yaitu keluhan BAB yang frekuen namun hanya sedikit yang
keluar disertai dengan darah lendir serta adanya rasa tidak puas setelah BAB.
Terjadinya diare palsu disebabkan oleh adanya proses keganasan pada epitel kelenjar
mukosa rektum, berupa suatu massa tumor yang merangsang keinginan untuk
defekasi namun yang keluar hanya sedikit disertai hasil sekresi kelenjar berupa
46
mukus dan darah karena rapuhnya massa tumor. Pada pasien ini didapatkan
pengakuan bahwa kotoran yang keluar hanya sedikit sekali, seperti kotoran kambing.
Hal ini sesuai dengan teori dimana tinja seperti kotoran kambing sangat tergantung
dari bentuk makroskopis massa tumor pada rektum, biasanya ditemukan pada pasien
dengan karsinoma rekti stadium lanjut dan berbentuk anuler. Pasien mengaku
mengalami penurunan berat badan dalam beberapa bulan terakhir, dari 48 kg menjadi
42 kg. Seperti yang kita ketahui, penurunan berat badan adalah suatu gejala “alarm”
kecurigaan terhadap adanya keganasan. Pada dasarnya, penderita keganasan akan
mengalami penurunan berat badan, terutama pada stadium lanjut. Penderita
keganasan akan mengalami perubahan metabolisme oleh karena adanya reaksi
inflamasi tumor dengan host. Adanya peningkatan metabolisme protein, karbohidrat,
dan lemak akan menyebabkan keseimbangan energi negatif yang diikuti oleh
penurunan berat badan. Pada karsinoma rekti seringkali pasien mengeluh kembung
sehingga nafsu makan menurun sehingga intake makanan menurun.
Anamnesa mengenai faktor predisposisi didapatkan bahwa pasien tinggal di
hutan dan bekerja sebagai wakar di perkebunan sawit, sehingga jarang makan sayur
dan seringkali hanya makan telurdan mie instan. Hal tersebut diketahui dapat
meningkatkan resiko terjadinya karsinoma rekti dimana salah satu faktor resiko
terjadinya karsinoma rekti adalah kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi lemak
dan rendah serat. Sebagai tambahan faktor predisposisi adalah pasien bekerja sebagai
wakar (petugas keamanan pada malam hari). Penelitian terbaru menemukan bahwa
bekerja pada giliran atau shift malam minimal 3 hari dalam sebulan selama 15 tahun
dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker kolorektal khususnya pada wanita. hal
ini diduga terjadi akibat adanya perubahan pada hormon melatonin di tubuh.
Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
Kasus Teori
47
Tidak ditemukan kelainan pada anggota
tubuh lain kecuali pada pemeriksaan
rectal touche didapatkan sebagian berupa
massa lunak yang hilang pada
penekanan.
Karsinoma rekti seringkali bersifat
asimptomatis dimana rasa nyeri dan
gejala lainnya dirasakan pasien ketika
kanker sudah dalam stadium lanjut.
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan
rectal touche pada awalnya dan
kemudian dilakukan colonoscopy.
Pemeriksaan paling mudah untuk
mendeteksi karsinoma rekti adalah rectal
touche atau colok dubur, namun
ketepatan diagnosisnya hanya 40%
sehingga untuk memastikan adanya
karsinoma rekti perlu dilakukan tindakan
colonoscopy yang memiliki tingkat
keakuratan diagnostik sebesar hampir
100%.
Pada pasien ini didapatkan hasil CEA
1,23 (tidak meningkat)
Pada pasien-pasien dengan keganasan di
daerah gastrointestinal akan mengalami
peningkatan kadar CEA.
Pada pemeriksaan fisik pasien ini tidak didapatkan kelainan pada anggota tubuh
lain. Kelainan yang ditemukan hanyalah pada saat rectal touche, dimana pemeriksaan
ini dilakukan berdasarkan keluhan pasien yakni BAB berdarah. Pada rectal touche
didapatkan mukosa berdungkul-dungkul, sebagian berupa massa lunak yang hilang
pada penekanan dan tidak hilang pada penekanan. Hal ini sesuai dengan teori dimana
disebutkan bahwa karsinoma rekti seringkali bersifat asimptomatis dimana rasa nyeri
dan gejala lainnya dirasakan pasien ketika kanker sudah dalam stadium lanjut. Tidak
ada kelainan yang didapat di anggota tubuh lain kecuali dilakukan pemeriksaan
terhadap rektum sendiri.
48
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini dilakukan rectal touche
atau colok dubur dan kemudian dilakukan colonoscopy. Pemeriksaan paling mudah
untuk mendeteksi karsinoma rekti adalah rectal touche atau colok dubur, namun
ketepatan diagnosisnya hanya 40% sehingga untuk memastikan adanya karsinoma
rekti perlu dilakukan tindakan colonoscopy yang memiliki tingkat keakuratan
diagnostik sebesar hampir 100%. Namun sebenarnya masih ada pemeriksaan dengan
tingkat ketepatan 90% jika fasilitas colonoscopy tidak tersedia, yaitu barium enema
dengan kontras. Namun pemeriksaan ini memiliki kontraindikasi jika dicurigai
adanya kolitis. Karena pada awalnya pasien masih dicurigai kolitis, maka
pemeriksaan ini tidak dilakukan.
Hasil pemeriksaan marker keganasan pada pasien ini tidak sesuai dengan teori.
Pada pasien ini dilakukan pemeriksaan kadar CEA (Carcino-Embryogenic Antigen)
yang diyakini memiliki sensitivitas dan spesifitas yang besar terhadap keganasan di
daerah gastrointestinal, namun hasilnya ternyata tidak meningkat. Hal ini
kemungkinan karena kesalahan pada pemeriksaan laboratorium, dan sebaiknya hasil
diulang, namun pada pasien ini tidak dilakukan pengulangan karena langsung
diputuskan untuk dilakukan colonoscopy yang memiliki tingkat keakuratan
diagnostik lebih tinggi.
Staging
Pada pasien ini tidak dapat ditentukan stagingnya karena pemeriksaan yang kurang
lengkap. Seharusnya untuk menentukan staging pada sistem TNM harus dilakukan
beberapa pemeriksaan berikut:
1. CT scan
Pemeriksaan CT scan dapat digunakan selain untuk mengetahui adanya metastase
ke organ-organ lain dapat juga untuk mengetahui apakah tumor sudah mengecil
setelah pemberian kemoterapi dan untuk mendeteksi rekurensi.
2. Endoskopi ultrasonografi
49
Pemeriksaan endoskopi ultrasonografi dilakukan untuk mendeteksi ukuran tumor,
letak tumor apakah masih sebatas jaringan mukosa atau sudah penetrasi ke
submukosa dan jaringan lainnya.
3. Foto rontgen thorax
Foto rontgen thorax dilakukan untuk mendeteksi apakah keganasan sudah
menyebar ke paru-paru atau mediastinum dan rongga thorax lainnya.
4. USG abdomen
USG abdomen dilakukan untuk mendeteksi apakah keganasan sudah bermetastase
ke liver dan organ intraabdomen lainnya.
Penentuan staging sangatlah penting agar penanganan pasien dapat disesuaikan
dengan ketentuan yang berlaku serta dapat dilakukan perkiraan untuk prognosisnya.
Rekomendasi kemoterapi dan radioterapi pada pasien karsinoma rektum setelah
dilakukan pembedahan dapat berbeda-beda tergantung stage dari karsinoma itu
sendiri.
Stage Rekomendasi terapi
I Pembedahan tanpa terapi adjuvant
II
atau
III
Lesi kecil
atau
menengah
Kemoradiasi neoadjuvant selama 5 minggu
Kemoterapi dasar 5-FU dengan XRT
Istirahat selama 6 minggu
Eksisi mesorektal total
Istirahat 4 minggu
Lanjutkan kemoterapi dasar 5-FU selama 8 minggu
Lesi luas Kemoterapi pre dan post operasi
Eksisi mesorektal total
IV LAR atau APR paliasi / pencegahan untuk sumbatan atau
perdarahan
Kemoterapi adjuvant
50
5-FU + leukovorin dengan XRT individual
Prognosis pasien berdasarkan staging:
Stadium I - 72%
Stadium II - 54%
Stadium III - 39%
Stadium IV - 7%
Penatalaksanaan
Kasus Teori
Pilihan utama terapi pada pasien ini
adalah pembedahan, namun tidak
dilakukan karena pasien menolak.
Pembedahan ada terapi pilihan utama
pada kanker kolorektal.
Penatalaksanaan pada pasien ini kurang sesuai dengan teori. Pilihan terapi
atau penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan pembedahan, namun pada pasien
ini tidak dilakukan karena pasien menolak setelah diberikan penjelasan mengenai
indikasi, proses operasi, resiko operasi, dan efek samping yang akan timbul setelah
operasi. Hal ini telah diketahui sebelumnya dimana pembedahan ada terapi pilihan
utama pada kanker kolorektal. Namun seringkali pembedahan ini disertai dengan
pembuatan anus buatan di abdomen atau stoma, sehingga mengakibatkan rasa tidak
nyaman pada pasien. Pasien sudah diberikan penjelasan dan edukasi mengenai
penyakit yang dideritanya, namun pasien lebih memilih untuk tidak menjalani
operasi, pasien memutuskan untuk kembali ke daerahnya dan mencoba pengobatan
alternatif.
Seharusnya sistem staging dapat sangat membantu jika dilakukan, karena
selain dapat menentukan penatalaksanaan terapi adjuvant, juga dapat diperkirakan
prognosis dari pasien. Namun karena dari hasil biopsi tidak juga dapat dilihat
stagingnya, penatalaksanaan pada pasien ini menjadi kurang maksimal.
51
BAB V
PENUTUP
52
4.1 Kesimpulan
1. Kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga jenis kanker yang
paling sering terjadi di dunia. Di seluruh dunia 9,5% pria penderita
kanker terkena kanker kolorektal, sedangkan pada wanita angkanya
mencapai 9,3% dari total jumlah penderita kanker.
2. Karsinoma rektal umumnya didahului oleh kondisi pramaligna seperti
adenomatous, villous polyp, familial adenomatous polyposis dan
kolitis ulseratif
3. Gambaran histopatologis yang paling sering dijumpai adalah tipe
adenocarcinoma (90-95%), adenocarcinoma mucinous (17%), signet
ring cell carcinoma (2-4%), dan sarcoma (0,1-3%).
4. Skrening awal untuk mengarahkan diagnosa Karsinoma kolorektal
penting dilakukan untuk meningkatkan survivalnya. Skrening awal
yang dapat dilakukan yaitu: pemeriksaan darah samar di feses,
sigmodoskopi, kombinasi darah samar feses dan sigmoidoskopi,
kolonoskopi, dobel kontras barium enema.
5. Operasi merupakan terapi utama untuk kuratif, namun bila sudah
dijumpai penyebaran tumor maka pengobatan hanya bersifat operasi
paliatif untuk mencegah obstruksi, perforasi dan perdarahan.
DAFTAR PUSTAKA
53
1. Depkes. 2006. Gaya hidup penyebab kolorektol, (Online), (http://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewarticle&sid=2058&Itemid=2, diakses 24 Agustus 2011).
2. Casciato DA, (ed). 2004. Manual of Clinical Oncology 5th ed. Lippincott Willi ams & Wilkins: USA.p 201
3. Syamsuhidajat R, Jong Wim D,(eds). 2004. buku ajar Ilmu Bedah 2nd ed. EGC: jakarta.
4. WHO. 2006. The Impact of Cancer, (Online), (http://www.who.int /ncd_ surveillance/infobase/web/InfoBasePolicyMaker/reports/ReporterFullView.aspx?id=5, diakses 24 Agustus 2011).
5. Depkes. 2006. Deteksi Dini Kanker Usus Besar, (Online), (http://www.litbang.depkes.go.id/aktual/kliping/KankerUsus011106.htm, diakses 24 Agustus 2011).
6. Samiadji, S. 1995. Akurasi Keluhan Berak Darah dan Penurunan Berat Badan dalam Diagnosis Karsinoma Rekti. Tesis. Semarang: FK UNDIP
7. Elizabeth., Cirincione, 2005. Rectal Cancer. Available from www.emedicine.com. (Download : 24 Agustus 2011).
8. Tim pengajar anatomi. 2001. Situs Abdominis. laboratorium anatomi histologi fakultas kedokteran universitas airlangga: surabaya.
9. Snell RS. 2004. Clinical Anatomy 7th ed. Lippincott Williams & Wilkins.USA.
10. Stewart SL, Wike JM, Kato I, Lewis DR, Michaud F. a population based study of colorectal cancer histology in United States 1998-2001. cancer, (online)2006; 107(5 suppl): American Cancer Society, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus 2011).
11. Kastomo DR, Soemardi A. Tindakan Bedah pada Keganasan Kolorektal Stadium Lanjut. Maj Kedokt Indon, 2005 Juli; Vol 55 No 7, p 499-500.
12. Soeripto et al. Gastro-intestinal Cancer in Indonesia. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention, (Online), 2003; Vol. 4, No. 4, (http://www.apocp.org/ cancer_download/Vol4_No4/Soeripto.pdf, diakses 24 Agustus 2011).
54
13. Boyle P, Ferlay J. Cancer Incidence and Mortality in Europe 2004. Ann Oncol, (online), 2005 Mar; 16(3):481-8, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus 2011).
14. Mukhtar, S. 2010. Colo-rectal Cancer in A. Wahab Sjahranie General Hospital Samarinda, East Borneo. Samarinda
15. Price, S. dan Wilson, L. 2006. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2 Edisi 6. Jakarta: EGC
16. Suyono S.In : Boedi Darmojo R, Pranarka K. (eds.). 2001. buku ajar Ilmu Penyakit Dalam II 3th Ed. balai penerbit FKUI: jakarta. p 24
17. Silalahi J. Antioksidan dalam Diet dan Karsinogenesis. Cermin Dunia Kedokteran, (Online), 2006; 153: 40, (diakses 24 Agustus 2011).
18. Schwartz SI, 2005. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies.
19. Lynch HT, Chapelle ADL. Hereditary Colorectal Cancer. the New England Journal of Medicine, (online), 2003 march 6; 348:919-932, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus 2011).
20. Michels KB, Giovannucci E, Joshipura KJ, Rosner BA, Stampfer MJ, Fuchs CS, Colditz GA, Speizer FE, Willett WC. Prospective study of fruit and vegetable consumption and incidence of colon and rectal cancers. J Natl Cancer Inst. (online). 2001 Jun 6; 93(11):879, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus 2011).
21. Giovannucci E. An updated review of the epidemiological evidence that cigarette smoking increases risk of colorectal cancer. Cancer Epidemiol BiomarkersPrev. (online). 2001Jul; 10(7):725-31, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus 2011).
22. Hassan, Isaac., 2006. Rectal carcinoma. Available from www.emedicine.com. (Download : 24 Agustus 2011
23. Moayyedi P, Achkar E. Does fecal occult blood testing really reduce mortality? A reanalysis of systematic review data. Am J Gastroenterol. (online). 2006 Feb; 101(2): 380-4, (www.pubmed.com, diakses 24 Agustus 2011).
55
24. Beaumont hospitals. 2006. Colorectal Cancer, (Online), (http://www.beaumont hospi tals.com/pls/ portal30/site. Web pkg. page?xpageid=P07164, diakses 24 Agustus 2011).
25. Henry ford. 2006. What is Radiation Therapy?, (Online), (http://www.Henry ford.com/body. cfm?id=39201, diakses 24 Agustus 2011).
56