Karsinoma Nasofaring Referat Ro

23
REFERAT Karsinoma Nasofaring Disusun Oleh : Theresia Tjia (0510120) Pembimbing : dr. Justin Ginting, Sp.Rad UPF RADIOLOGI

Transcript of Karsinoma Nasofaring Referat Ro

Page 1: Karsinoma Nasofaring Referat Ro

REFERAT

Karsinoma Nasofaring

Disusun Oleh :

Theresia Tjia (0510120)

Pembimbing :

dr. Justin Ginting, Sp.Rad

UPF RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

RS. IMMANUEL

BANDUNG

2010

Page 2: Karsinoma Nasofaring Referat Ro

2

KARSINOMA NASOFARING

I. Definisi

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaring

dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring (Arif Mansjoer et al.,

1999). Merupakan tumor daerah kepala dan leher yang terbanyak ditemukan di

Indonesia, dan sering ditemukan pada pria berusia lebih dari 40 tahun. Banyak

terdapat pada bangsa Asia, terutama ras Tionghoa. Diagnosis dini cukup sulit

dilakukan karena letaknya yang tersembunyi dan berhubungan dengan banyak daerah

vital (Kurniawan, 1994).

II. Etiologi

Proses karsinogenesis pada karsinoma nasofaring mencakup banyak tahap dan

dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Infeksi virus Epstein-Barr

Terdapat peningkatan antibodi IgA terhadap viral capsid antigen (VCA)

dan early antigen complex (EA) dan ditemukannya genom virus pada sel

tumor. Virus Epstein-Barr (VEB) terdeteksi secara konsisten pada pasien

karsinoma nasofaring di daerah dengan insidensi tinggi dan daerah dengan

insidensi rendah. Lesi premaligna di nasofaring telah menunjukkan

kandungan VEB, yang menunjukkan infeksi terjadi pada fase awal

karsinogenesis. Terdeteksinya bentuk tunggal DNA viral menyarakankan

bahwa tumor merupakan proliferasi klonal dari sel tunggal yang pada awalnya

terinfeksi VEB (McDermott et al., 2001; Cottrill dan Nutting, 2003).

2. Ikan asin dan nitrosamin

Beberapa penelitian epidemiologik dan laboratorium menyokong hipotesa

yang menyebutkan bahwa konsumsi dini ikan asin menyebabkan karsinoma

Page 3: Karsinoma Nasofaring Referat Ro

3

nasofaring di Cina Selatan dan Hongkong. Didalam ikan asin tersebut

terkandung nitrosamin yang merupakan zat yang dapat meningkatkan resiko

terjadinya karsinoma nasofaring (Ahmad, 2002; Cottrill dan Nutting, 2003).

3. Sosial ekonomi, lingkungan, dan kebiasaan hidup

Udara yang penuh asap dan uap di rumah-rumah dengan ventilasi kurang

baik di Cina, Indonesia, dan Kenya juga meningkatkan insiden karsinoma

nasofaring. Pembakaran dupa di rumah-rumah juga dianggap berperan dalam

menimbulkan karsinoma nasofaring di Hongkong (McDermott et al., 2001;

Ahmad, 2002). Perokok berat meningkatkan resiko karsinoma nasofaring

pada daerah endemik (Cottrill dan Nutting, 2003).

4. Sering kontak dengan bahan karsinogen, antara lain: benzopyren, gas kimia,

asap industri, asap kayu, debu kayu, formaldehid, dan asap rokok (McDermott

et al., 2001).

5. Ras dan keturunan

Insiden tertinggi di dunia ternyata terdapat pada ras Cina, baik di daerah

asal ataupun di perantauan. Insiden karsinoma nasofaring tetap tinggi pada

penduduk Cina yang bermigrasi ke Asia Tenggara atau ke Amerika Utara, tapi

lebih rendah pada penduduk Cina yang lahir di Amerika Utara daripada yang

lahir di Cina Selatan (Ahmad, 2002).

6. Radang kronis di nasofaring

Dengan adanya peradangan menahun di nasofaring, mukosa nasofaring

menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab karsinoma nasofaring.

Proses peradangan dan kondisi-kondisi benigna di telinga, hidung, dan

tenggorokan merupakan faktor predisposisi terjadinya transformasi pada

mukosa nasofaring yang meningkatkan resiko terjadinya keganasan

(McDermott et al., 2001).

Page 4: Karsinoma Nasofaring Referat Ro

4

Secara histologis, WHO membagi klasifikasi karsinoma nasofaring atas 3 tipe:

1. Tipe 1, keratinizing squamous cell carcinoma, diferensiasi sel skuamosa baik

dengan adanya jembatan interseluler dan/atau keratinisasi diatasnya,

merupakan 25% dari seluruh karsinoma nasofaring.

2. Tipe 2, differentiated non keratinizing carcinoma, diferensiasi sel tumor

dengan rangkaian maturasi yang terjadi di dalam sel, tidak/sedikit berkeratin,

merupakan 20% dari seluruh karsinoma nasofaring.

3. Tipe 3, undifferentiated carcinoma, sel-sel tumor memiliki inti vesikuler yang

oval atau bulat dan nukleolus yang menonjol, batas sel tidak terlihat, dan

tumor menunjukkan gambaran sinsitial. Tipe ini merupakan 55% dari seluruh

karsinoma nasofaring.

Tumor tipe 2 dan tipe 3 biasanya lebih radiosensitif dan memiliki hubungan

yang kuat dengan virus Epstein-Barr.

(Cottrill dan Nutting, 2003)

III. Gejala Klinis

Gejala-gejala dari karsinoma nasofaring dapat dibagi atas 2 macam berdasarkan

metastasenya, yaitu:

1. Gejala dini/gejala setempat, adalah gejala-gejala yang dapat timbul di waktu

tumor masih tumbuh dalam batas-batas nasofaring, dapat berupa:

a. Gejala hidung: pilek lama yang tidak kunjung sembuh; epistaksis

berulang, jumlahnya sedikit dan seringkali bercampur dengan lendir

hidung sehinga berwarna merah jambu; lendir hidung seperti nanah,

encer/kental, berbau.

b. Gejala telinga: tinnitus (penekanan muara tuba eustachii oleh tumor,

sehingga terjadi tuba oklusi, menyebabkan penurunan tekanan dalam

Page 5: Karsinoma Nasofaring Referat Ro

5

kavum timpani), penurunan pendengaran (tuli), rasa tidak nyaman di

telinga sampai otalgia.

2. Gejala lanjut/gejala pertumbuhan atau penyebaran tumor, dapat berupa:

a. Gejala mata: diplopia (penglihatan ganda) akibat perkembangan tumor

melalui foramen laseratum dan menimbulkan gangguan N. IV (N.

Trochlearis) dan N. VI (N. Abducens). Bila terkena chiasma opticus akan

menimbulkan kebutaan.

b. Gejala tumor: pembesaran kelenjar limfe pada leher, merupakan tanda

penyebaran atau metastase dekat secara limfogen dari karsinoma

nasofaring.

c. Gejala kranial, terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan mencapai

saraf-saraf kranialis, antara lain:

- Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase

secara hematogen.

- Sensitibilitas daerah pipi dan hidung berkurang.

- Kesukaran pada waktu menelan

- Afoni

- Sindrom Jugular Jackson atau sindrom retroparotidean mengenai N.

IX (N. Glossopharyngeus), N. X (N. Vagus), N. XI (N. Accessorius),

N. XII (N. Hypoglossus). Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:

lidah, palatum, faring atau laring, M. Sternocleidomastoideus, M.

Trapezius.

(Averdi Roezin, 2001)

IV. Patofisiologi

Karsinoma Nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang

berasal dari sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor

Page 6: Karsinoma Nasofaring Referat Ro

6

akan dimulai pada salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi

kelenjar dan jaringan sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal

terbentuknya karsinoma nasofaring adalah pada fosa Rossenmuller. Penyebaran ke

jaringan dan kelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi perlahan, seperti layaknya

metastasis lesi karsinoma lainnya.

Penyebaran KNF dapat berupa :

1. Penyebaran ke atas

Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fosa medialis, disebut

penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke

sinus kavernosus, fosa kranii media dan fosa kranii anterior mengenai saraf-

saraf kranialis anterior (N.I – N. VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat

rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis tumor ini disebut Sindrom

Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan neuralgia

trigeminal (parese N. II-N.VI).

2. Penyebaran ke belakang

Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia

faringobasilaris yaitu sepanjang fosa posterior (termasuk di dalamnya foramen

spinosum, foramen ovale dll), di mana di dalamnya terdapat N. IX – XII;

disebut penjalaran retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior dari

saraf otak yaitu N. VII – N. XII beserta nervus simpatikus servikalis.

Kumpulan gejala akibat kerusakan pada N. IX – N. XII disebut Sindrom

Retroparotidean/Sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang

mengalami gangguan akibat tumor karena letaknya yang tinggi dalam sistem

anatomi tubuh.

3. Penyebaran ke kelenjar getah bening

Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab

utama sulitnya menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada

karsinoma nasofaring, penyebaran ke kelenjar getah bening sangat mudah

terjadi akibat banyaknya stroma kelenjar getah bening pada lapisan

Page 7: Karsinoma Nasofaring Referat Ro

7

submukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali

pada nodus limfatik yang terletak di lateral retrofaring yaitu Nodus Rouvierre.

Di dalam kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga

kelenjar menjadi besar dan tampak sebagai benjolan pada leher bagian

samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri karenanya sering diabaikan oleh

pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus

kelenjar dan mengenai otot dibawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan

sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi.

Limfadenopati servikalis merupakan gejala utama yang mendorong pasien

datang ke dokter.

4. Metastasis jauh

Sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,

mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah

tulang, hati dari paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat

buruk.

(Averdi Roezin, 2001)

Page 8: Karsinoma Nasofaring Referat Ro

8

V. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan penunjang

diagnostik yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologik tersebut adalah:

- Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya tumor pada

daerah nasofaring

- Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut

- Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan sekitarnya.

Page 9: Karsinoma Nasofaring Referat Ro

9

Pemeriksaan radiologis yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis

karsinoma nasofaring, antara lain:

a. Foto polos

Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari

kemungkinan adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu foto posisi Waters,

lateral, dan AP. Pemeriksaan dengan menggunakan foto-foto tersebut akan

menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar tengkorak

memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fosa serebri media.

Ilustrasi skema jalur penyebaran/metastase dari karsinoma nasofaring

(arah tanda panah)

Page 10: Karsinoma Nasofaring Referat Ro

10

Gambaran foto polos lateral nasofaring normal dan bagian-bagiannya.

Gambaran foto polos menunjukkan massa di daerah nasofaring

(arah tanda panah)

Page 11: Karsinoma Nasofaring Referat Ro

11

Gambaran foto polos dasar tengkorak, menunjukkan erosi tulang di bagian

basal dari sfenoid dan foramen laserum (arah tanda panah)

Gambaran erosi dari fosa serebri media sebelah kiri (arah tanda panah)

Page 12: Karsinoma Nasofaring Referat Ro

12

b. CT (Computerized Axial Tomography) Scan dan MRI (Magnetic Resonance

Imaging)

CT-Scan dan MRI daerah kepala dan leher dilakukan untuk mengetahui

keberadaan tumor sehingga tumor primer yang tersembunyi pun akan

ditemukan. MRI sensitivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan CT Scan

dalam mendeteksi karsinoma nasofaring dan kemungkinan penyebarannya

yang menyusup ke jaringan atau nodus limfe.

CT Scan aksial nasofaring normal.

Page 13: Karsinoma Nasofaring Referat Ro

13

CT Scan aksial menggambarkan karsinoma nasofaring stadium awal, terdapat

penebalan fosa Rossenmuler kiri.

CT Scan aksial os Temporal menunjukkan massa di nasofaring (karsinoma

nasofaring)

Page 14: Karsinoma Nasofaring Referat Ro

14

CT Scan koronal menunjukkan massa di atap nasofaring

CT Scan koronal menunjukkan massa di nasofaring dan sinus kavernosus kanan

Page 15: Karsinoma Nasofaring Referat Ro

15

MRI potongan sagital (A) dan koronal (B) menunjukkan massa di nasofaring (panah

biru) dan adenopati servikal (panah putih)

Page 16: Karsinoma Nasofaring Referat Ro

16

MRI potongan sagital pada pasien yang baru didiagnosis karsinoma nasofaring,

menunjukkan tumor primer dari karsinoma nasofaring dan metastasisnya ke dinding

lateral retrofaring

c. Biopsi nasofaring

Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi

dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut.

VI. Terapi

- Radioterapi merupakan pengobatan utama.

- Pengobatan tambahan yang diberikan dapat berupa diseksi leher ( benjolan di

leher yang tidak menghilang pada penyinaran atau timbul kembali setelah

penyinaran, dan tumor induknya sudah hilang yang terlebih dulu diperiksa

Page 17: Karsinoma Nasofaring Referat Ro

17

dengan radiologik dan serologik), pemberian tetrasiklin, faktor transfer,

interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan antivirus.

- Pemberian ajuvan kemoterapi yaitu Cis-platinum, bleomycin dan 5-

fluorouracil. Sedangkan kemoterapi praradiasi dengan epirubicin dan cis-

platinum. Kombinasi kemo-radioterapi dengan mitomycin C dan 5-

fluorouracil oral sebelum diberikan radiasi yang bersifat

“RADIOSENSITIZER”

(Averdi Roezin, 2001)

Page 18: Karsinoma Nasofaring Referat Ro

18

DAFTAR PUSTAKA

- Ahmad, A.. 2002. Diagnosis dan Tindakan Operatif pada Penatalaksanaan

Karsinoma Nasofaring dan Pengobatan Suportif. Jakarta: FKUI. Hal. 1-13.

- Arif Mansjoer, et al.. 1999. Kapita Selekta Kedokteran. Ed.III. Jilid 1. Jakarta:

Media Aesculapius FKUI. Hal. 371-396

- Averdi Roezin, Aninda Syafril. 2001. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A.

Soepardi (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok. Edisi

kelima. Jakarta: FKUI. Hal.146-50.

- Ballenger J. Jacob.. 1994. Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan

Leher. ed.13. Jilid 1. Jakarta: Binarupa Aksara. Hal. 371-396

- Cottrill, C.P., Nutting, C.M.. 2003. Tumours of The Nasopharynx. Dalam: Evans

P.H.R., Montgomery P.Q., Gullane P.J. (Ed.). Principles and Practice of Head

and Neck Oncology. United Kingdom: Martin-Dunitz. Hal. 473-81.

- Kurniawan A. N.. 1994. Nasopharynx dan Pharynx. Kumpulan kuliah Patologi.

Jakarta: FKUI. Hal.151-152

- McDermott, A.L., Dutt, S.N., Watkinson, J.C.. 2001. The Aetiology of

Nasopharyngeal Carcinoma. Clinical Otolaryngology. 26th Edition. Hal. 89-92.