karsinoma nasofaring

60
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Blok biologi molekular adalah blok 5 pada semester 2 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Penulis memaparkan kasus yang diberikan mengenai seorang WNI keturunan Cina bernama TN. Acai yang mengalami keluhan benjolan di leher sebelah kiri, suara serak, mimisan hidung seperti tersumbat dan sakit kepala sejak 6 bulan yang lalu. Ia memiliki riwayat penyakit terinfeksi EBV. Hasil pemeriksaan FNAC mengesankan sebagai karsinoma nasofaring. 1.2 Tujuan Adapun maksud dan tujuan dari materi praktikum tutorial ini, yaitu : 1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang. 2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis dan pembelajaran diskusi kelompok. 3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep dari skenario ini. 1

description

karsinoma nasofaring

Transcript of karsinoma nasofaring

Page 1: karsinoma nasofaring

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Blok biologi molekular adalah blok 5 pada semester 2 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.

Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datang. Penulis memaparkan kasus yang diberikan mengenai seorang WNI keturunan Cina bernama TN. Acai yang mengalami keluhan benjolan di leher sebelah kiri, suara serak, mimisan hidung seperti tersumbat dan sakit kepala sejak 6 bulan yang lalu. Ia memiliki riwayat penyakit terinfeksi EBV. Hasil pemeriksaan FNAC mengesankan sebagai karsinoma nasofaring.

1.2 Tujuan

Adapun maksud dan tujuan dari materi praktikum tutorial ini, yaitu :1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari

sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya

Palembang.

2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode

analisis dan pembelajaran diskusi kelompok.

3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami

konsep dari skenario ini.

1

Page 2: karsinoma nasofaring

Bab II

Pembahasan

2.1 Skenario

Tn. Acai 39 tahun, seorang WNI keturunan Cina, datang ke dokter keluarga

dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri, suara serak, mimisan hidung seperti

tersumbat dan sakit kepala sejak 6 bulan yang lalu. Riwayat penyakit terdahulu

ketika Tn. Acai berusia 7 tahun pernah terinfeksi EBV (Epstein Barr Virus)

berdasarkan pemeriksaan serologi. Kemudian dokter melakukan pemeriksaan dan

menduga adanya tumor di leher kiri sehingga merujuk pasien tersebut ke seorang

ahli patologi anatomi untuk dilakukan pemeriksaan FNAC (fine needle aspiration

cytology). Hasil pemeriksaan FNAC mengesankan (diagnosis) sebagai karsinoma

nasofaring.

2.2 Klarifikasi Istilah

1. Mimisan : Pendarahan dari hidung.

2. Infeksi EBV(Epstein Barr Virus) : Infeksi yang menyerupai virus herpes

yang menyebabkan mononukleolis

infeksiosa yang dihubungkan dengan

limfoma burkit dan karsinoma

nasofaring.

3. Pemeriksaan serologi : Pemeriksaan mengenai antigen

antibody invitro.

4. Tumor : Pembengkakan salah satu tanda

cardinal peradangan atau pertumbuhan

jaringan baru dimana multifikasi sel

tidak terkontrol atau progresif.

5. Pemeriksaan FNAC : Suatu prosedur diagnosis dimana

jarum diinjeksi, sejumlah jaringan

diambil kemudian dilakukan

pemeriksaan mikroskopis.

2

Page 3: karsinoma nasofaring

6. Patologi anatomi : Cabang ilmu yang mempelajari

bagian tubuh atau jaringan yang

terkena penyakit.

7. Karsinoma nasofaring : Tumor ganas yang tumbuh pada

epiteliel pelapis ruangan dibelakang

hidung atau nasofaring.

2.3 Identifikasi Masalah

1. Tn. Acai 39 tahun, seorang WNI keturunan Cina, datang ke dokter

keluarga dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri, suara serak,

mimisan hidung seperti tersumbat dan sakit kepala sejak 6 bulan yang lalu.

2. Berdasarkan pemeriksaan serologi, Tn. Acai memiliki riwayat penyakit

pernah terinfeksi EBV (Epstein Barr Virus) ketika berusia 7 tahun.

3. Dokter melakukan pemeriksaan dan menduga adanya tumor.

Sehingga pasien dirujuk ke ahli patologi anatomi untuk dilakukan

pemeriksaan FNAC. Dan hasilnya mengesankan sebagai karsinoma

nasofaring.

2.4 Analisis Masalah dan Jawaban

1. a. Bagaimana relevansi antara etnis (WNI keturunan Cina) dengan gejala-

gejala yang dialami Tn. Acai?

Jawaban :

Gejala yang dialami Tn. Acai merupakan gejala karsinoma nasofaring. Karsinoma nasofaring biasanya ditemukan sebagian besar di selatan China dan Afrika, Umumnya terdapat pada orang-orang keturunan Cina (genetik), tetapi adalah juga terdapat pada pola diet orang Cina dari yang mengkonsumsi ikan salad dalam jumlah besar, yang mengandung nitrosamina-nitrosamina, yang merupakan penyebab kanker terkenal

b. Apakah ada hubungan antara benjolan dileher sebelah kiri Tn. Acai dengan

gejala-gejala suara serak, mimisan, hidung seperti tersumbat dan sakit kepala?

Jawaban :

3

Page 4: karsinoma nasofaring

Mimisan ringan (keluar darah lewat hidung) atau sumbatan hidung, terjadi jika kanker

masih dini. Nasopharing berhubungan dekat dengan rongga tengkorak tempat

lewatnya saraf otak, sehingga dapat menyebabkan nyeri kepala, nyeri di bagian leher

dan wajah (neuralgia trigeminal). Kemudian bengkak di leher karena pembengkakan

kelenjar getah bening.

c. Bagaimana anatomi dari leher?

Jawaban :

Leher adalah daerah tubuh yang terletak di antara pinggir bawah manndibula di

sebela atas dan incisura suprasternalis serta pinggir atas clavicula sebelah

bawah.

Di leher terdapat Nodi Lymphoidei cerviciales yang merupakan nodi utama

leher terletak sepanjang V. Jugularis externa superficialis terhadap M.

Sternocleidomastoidius. Kelenjar-kelenjar ini menerima pembuluh limfe dari

nodi lymphoidei ocipitales dan mastoidei cervicales profundi.

2. a. Apa tujuan pemeriksaan serologi?

Jawaban :

Untuk membedakan bakteri berdasarkan sifat-sifat antigeniknya. Dalam kasus

ini untuk mengetahui infeksi virus EBV.

b. Bagaimana mekanisme pemeriksaan serologi?

Jawaban :

Uji serologi yang terpenting dan digunakan paling luas mencakup reaksi-reaksi

aglutinasi, presipitasi, dan fiksasi komplemen.

c. Bagaimana hubungan EBV dengan karsinoma nasofaring?

Jawaban:

Infeksi virus Epstein-Barr dapat menyebabkan karsinoma nasofaring. Hal ini

dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya keberadaan protein-protein laten

pada penderita karsinoma nasofaring. Pada penderita ini sel yang terinfeksi

oleh EBV akan menghasilkan protein tertentu yang berfungsi untuk proses

proliferasi dan mempertahankan kelangsungan virus di dalam sel host. Protein

4

Page 5: karsinoma nasofaring

laten ini dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam mendiagnosa

karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP- 2A dan LMP-2B.

d. Mengapa Tn. Acai baru mengalami gejala-gejala tersebut 32 tahun setelah

didiagnosis terinfeksi EBV?

Jawaban:

Hal ini disebabkan karena EBV bersifat laten dalam limfosit B (sel-B), yaitu

EBV menetap di sel –B dan berada dalam fase inaktivasi dan tidak

menimbulkan gejala-gejala. EBV akan aktif saat seseorang yang terinfeksi

EBV mengalami immunodeficiency (penurunan kekebalan sistem imun tubuh)

dan terpapar dengan berbagai pemicu hingga akhirnya menimbulkan gejala.

3. a. Bagaimana mekanisme pemeriksaan FNAC?

Jawaban :

Pengambilan dan pemeriksaan mikroskopik dari jaringan tubuh yang hidup

dengan menggunakan jarum halus (23G), untuk jaringan superfisial dengan

jarum yang tidak terpimpin namun untuk jaringan dalam harus dituntun dengan

radiologi (USG).

b. Apa etiologi dari karsinoma nasofaring?

Jawaban :

- EBV (Epstein-Barr Virus) penyebab paling sering- Terbukti dari ditemukannya Nuclear antigen terkait EBV dan viral DNA

pada NPC tipe II dan tipe III- EBV memiliki kaitan erat dengan tingkat keparahan KNF, respon KNF

terhadap pengobatan- Faktor kerentanan genetik- Makanan ( ikan yang diasinkan yang mengandung carcinogenic nitrosamin

volatil)

c. Bagaimana proses terjadinya kanker?

Jawaban :

Infeksi virus →transfer DNA virus ke dalam inti sel → insersi DNA virus →

gangguan pada DNA sel → mutasi gen p53 →inaktivasi p21 → Cyclin-5

Page 6: karsinoma nasofaring

dependent kinase terus bekerja → siklus sel terus berlangsung → sel dengan

defek DNA semakin banyak → pertumbuhan sel tak terkendali (tumor) →

tumor ganas (karsinoma)

d. Bagaimana gejala-gejala dari karsinoma nasofaring?

Jawaban :

1. Gejala Dini.

Penting untuk mengetahui gejala dini karsinoma nasofaring dimana tumor

masih terbatas di nasofaring, yaitu :

a. Gejala telinga

- Rasa penuh pada telinga, seperti ada cairan

- Tinitus

- Gangguan pendengaran

- Timbul suara berdengung dan terasa penuh tanpa disertai rasa sakit

sampai pendengaran berkurang.

b. Gejala hidung

- Epistaksis

- Hidung tersumbat terus-menerus, kemudian pilek. Hal ini bersifat

menetap akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga nasofaring.

- Hidung sedikit mimisan, tetapi berulang.

c. Gejala mata dan saraf

- Diplopia (penglihatan ganda atau ada dua bayangan)

- Gerakan bola mata terbatas

2. Pada kondisi akut menunjukkan gejala sebagai berikut.

1. Kelenjar getah bening pada leher membesar.

2. Mata menjadi juling, penglihatan ganda, dan mata bisa menonjol keluar

3. Sering timbul nyeri dan sakit kepala

e. Bagaimana prognosis penyakit Tn. Acai?

Jawaban :

Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis

diperburuk oleh

6

Page 7: karsinoma nasofaring

beberapa faktor, seperti :

1. Stadium yang lebih lanjut.

2. Usia lebih dari 40 tahun

3. Laki-laki dari pada perempuan

4. Ras Cina dari pada ras kulit putih

5. Adanya pembesaran kelenjar leher

6. Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak

7. Adanya metastasis jauh f. Bagaimana penatalaksanaan penyakit Tn. Acai?

Jawaban :

1. Radioterapi

2. Kemoterapi

3. Operasi

4. Imunoterapi

g. Bagaimana pencegahan penyakit Tn. Acai?

Jawaban :

Pencegahan dapat dilakukan dengan vaksinasi (dalam percobaan), migrasi

penduduk, mengubah kebiasaan hiup yang salah, dan bebagai hal yang

berkaitan dengan kemungkinan faktor penyebab.

2.5 Hipotesis

7

Page 8: karsinoma nasofaring

Mutasi gen P53

pertumbuhan sel tidak terkontrol

tumor

Protooncogenik bermutasi menjadi oncogen

Mimisan

Sakit kepala

Suara serak

Benjolan di leher kiri

Hidung seperi tersumbat

Selama 32 tahun

Hasil pemeriksaan serologi

Virus laten dalam tubuh (inaktif) karena gen laten EBNA 1

EBV aktif

Sel epithelium kelenjar saliva

Limfosit B

Apoptosis terganggu

Menyerang reseptor virus

CR2 PIGR

Berikatan dengan resepto vius C3d (CD21/CR2)

Limfosit B Immortal

Infeksi EBV di orofaring

Tn. Acai, 39 tahun, menderita karsinoma nasofaring karena pertumbuhan sel tidak

terkontrol akibat apoptosis terganggu yang disebabkan mutasi gen P53 oleh

Epstein-Barr Virus.

2.6 Kerangka Konsep

8

Page 9: karsinoma nasofaring

2.7 Keterbatasan Pengetahuan dan Learning Issues

Pokok BahasanWhat I

know

What I don’t

know

What I have to

prove

How I

will

learn

Infeksi EBVDefinisi

Mekanisme

terinfeksi EBV

Mengetahui

mekanisme EBV

menginfeksi

organisme

Buku,

Sumber

lain

(internet)

Karsinoma

nasofaringDefinisi

Siklus sel,

mutasi gen.

Mengetahui

mekanisme

terjadinya kanker

Buku,

sumber

lain

( internet

)

Pemeriksaan

serologiDefinisi

Mekanisme

pemeriksaan

serologi

Mengetahui

tujuan dan

interpretasi

pemeriksaan

serologi.

Buku,

sumber

lain( inter

net)

Pemeriksaan

FNACDefinisi

Mekanisme

pemeriksaan

FNAC.

Mengetahui cara

pemeriksaan

FNAC

Buku,

sumber

lain

( internet

)

9

Page 10: karsinoma nasofaring

Bab III

Sintesis

3.1 EPSTEIN-BARR VIRUS (EBV)

3.1.1 Definisi

Epstein-Barr Virus (EBV), juga disebut Human herpes virus 4 (HHV-4), adalah

suatu virus dari keluarga herpes (yang termasuk Virus herpes simpleks dan

Cytomegalovirus),yang merupakan salah satu virus-virus paling umum di dalam

manusia. Banyak orang yang terkena infeksi EBV, yang sering asymptomatic tetapi

biasanya penyakit akibat radang yang cepat menyebar. EBV dinamai menurut

Mikhael Epstein dan Yvonne Barr, yang bersama-sama dengan Bert Achong,

memukan virus tahun 1964.

Epstein-Barr Virus

Klasifikasi

Group: Group I (dsDNA)

10

Page 11: karsinoma nasofaring

Family: Herpesviridae

Subfamily: Gammaherpesv rinae

Genus: Lymphocryptovirus

Species: Human herpesvirus 4 (HHV-4)

3.1.2 Sel EBV yang Peka Rangsangan

Permukaan EBV H glikoprotein (gH) adalah penting bagi penetrasi sel-sel B

tetapi juga berperan dalam pemasangan dari virus kepada sel epitelium.

Di dalam percobaan-percobaan terhadap binatang di laboratorium tahun 2000,

menunjukkan bahwa antara larangan pertumbuhan RA-mediated dan promosi

perkembang biakan LCL secara efisien dibalikkan oleh sel yang peka rangsangan

glukokortikoid (GR) musuh/anti RU486.

EBV dapat menyebabkan penyakit radang yang cepat menyebar, juga yang

dikenal sebagai 'demam hal kelenjar', 'Mono' dan 'penyakit Pfeiffer'. Penyakit akibat

radang yang cepat menyebar disebabkan bila seseorang pertama diunjukkan ke virus

selama atau setelah masa remaja. Meskipun demikian ketika dianggap "mencium

penyakit," riset terbaru sudah menunjukkan transmisi Mono tidak hanya terjadi dari

pertukaran air liur saja, tetapi juga dari kontak dengan virus yang sudah ada di udara.

Sebagian besar ditemukan dalam perkembangan dunia, dan ditemukan bahwa

kebanyakan anak-anak di dunia yang sedang berkembang ini telah terinfeksi ketika

berusia 18 bulan. EBV antibody menguji pengerasan dimana hampir semua positif.

Di Amerika Serikat, perkiraan kasarnya mencapai hampir separuh dari orang

yang berusia 5 tahun telah terinfeksi, dan hingga 95% dari orang dewasa yang berusia

antara 35 dan 40 tahun.

3.1.3 EBV dan Penyakit berbahaya

Sebagai bukti kuat EBV dan formasi kanker ditemukan di dalam limfoma

Burkitt dan nasopharyngeal karsinoma.

Limfoma Burkitt adalah suatu jenis dari limfoma Nonhodgkin yang umumnya

ada di katulistiwa Afrika dan muncul sewaktu terjadinya malaria. Infeksi/peradangan

malaria menyebabkan pengawasan kebal dari sel-sel B EBV immortalized, yang

membiarkan perkembangbiakan mereka. Perkembangbiakan ini meningkatkan

11

Page 12: karsinoma nasofaring

kesempatan mutasi terjadi. Mutasi-mutasi diulangi dan dapat menjurus ke sel-sel B

melepaskan kendali perkembangbiakan sel tubuh, maka membiarkan sel-sel itu

berkembang biak secara tidak terkendali, menghasilkan pembentukan limfoma

Burkitt. Limfoma burkitt biasanya mempengaruhi tulang rahang, membentuk suatu

tumor yang sangat besar yang menumpuk.

Limfoma-limfoma sel B lain muncul di pasien-pasien yang

immunocompromised seperti pasien AIDS atau yang sudah mengalami pencangkokan

organ/ bagian badan dengan penekanan sistem imun yang dihubungkan (Post-

Transplant Lymphoproliferative Disorder (PTLPD)). Tumor-tumor otot licin adalah

juga dihubungkan dengan virus untuk pasien yang terserang.

Nasopharyngeal karsinoma adalah suatu kanker yang ditemukan di bagian tubuh

yang berhubungan dengan pernapasan bagian atas, paling umumnya di dalam

nasofaring, dan terhubung dengan virus EBV. Penyakit ini ditemukan sebagian besar

di selatan China dan Afrika, karena kedua-duanya adalah faktor genetik dan faktor

lingkungan. Umumnya.

3.1.4 Kelainan Siklus Sel terhadap Keganasan Tumor

Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu,

pertama pemendekan waktu siklus sel sehingga akan menghasilkan lebih banyak

sel yang diproduksi dalam satuan waktu. Kedua, penurunan jumlah kematian sel

akibat gangguan pada proses apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen

yang merangsang sel menjalani dan gen penekan tumor (TSGs) yang menghambat

penghentian proses siklus sel.

Virus dapat melaksanakan banyak program yang terpisah secara jelas dan

ekspresi gen yang dapat tersebar luas yang digolongkan menjadi siklus lisis atau

siklus tersembunyi. Siklus tersembunyi atau infeksi produktif mengakibatkan

ekspresi yang sudah dijadwalkan sebelumnya akan terjadi sejumlah besar protein-

protein viral dimana sasaran terakhirnya akan menghasilkan virion-virion yang

cepat menyebar. Secara formal, tahap infeksi/peradangan ini tidak tak terelakkan

dari terjadinya lisis dari sel tuan rumah (host) ketika virion-virion EBV dihasilkan

oleh pertunasan dari siklus sel. Siklus tersembunyi yang terinfeksi (lysogenic)

dimana program-program mereka tidak mengakibatkan produksi virion-virion.

Protein-protein viral dihasilkan selama infeksi siklus yang tersembunyi. Ini

12

Page 13: karsinoma nasofaring

termasuk Epstein-Barr antigen nuklir (EBNA)-1, EBNA-2, EBNA-3A, EBNA-

3B, EBNA-3C, EBNA-LEADER protein (EBNA-LP) dan protein-protein selaput

tersembunyi (LMP)-1, LMP-2A dan LMP-2B dan Epstein-Barr menyandi RNAs

(EBERS). Sebagai tambahan, EBV mengkode untuk sedikitnya dua puluh

microRNAs yang dinyatakan di dalam studi-studi tentang sel. Dari studi ekspresi

gen EBV yang terinfeksi secara tersembunyi di dalam lini sel limfoma yang

dibiakkan Burkitt, sedikitnya terdapat tiga program:

• Hanya EBNA1 (group I)

• EBNA1 + EBNA2 (group II)

• Siklus protein-protein tersembunyi (group III).

Saat EBV terinfeksi B-lymphocytes in vitro, lini sel limfoblastoid pada

akhirnya muncul yang membuat pertumbuhan yang tak tentu. Perubahan bentuk

pertumbuhan lini sel ini sebagai konsekuensi dari ekspresi protein viral. EBNA-2,

EBNA-3C dan LMP-1 adalah penting bagi perubahan bentuk selama EBNA-LP

dan EBERs itu bukan. protein EBNA-1 adalah penting bagi pemeliharaan virus

genome. Didalilkan bahwa dalam hal untuk mengikuti infeksi alami EBV, virus

melaksanakan sebagian besar atau semua repertoire ekspresi program gen untuk

menetapkan suatu infeksi yang sebenarnya. Absennya imunitas host/tuan rumah,

daur lisis menghasilkan sejumlah virus untuk menginfeksi yang lain (kiranya) B-

lymphocytes di dalam program-program host. Program tersembunyi muncul lagi

dan mematikan B-lymphocytes yang terinfeksi untuk berkembang biak serta

membawa sel-sel yang terinfeksi di lokasi-lokasi di mana virus terdapat. Pada

akhirnya, ketika imunitas host berkembang, virus tetap pada tuntutannya untuk

mematikan hampir semua (atau mungkin semua) gen, hanya adakalanya virus

aktif untuk menghasilkan virion-virion segar. Suatu keseimbangan pada akhirnya

diserang antara pengaktifan kembali virus dan virus host karena keseimbangan

pada akhirnya diserang antara sel-sel yang dilepaskan dan sel host aktif yang

kebal viral mengaktifkan kembali ekspresi gen. Tempat-tempat keberadaan EBV

ada di sumsum tulang.

3.1.5 EBV antigen tersembunyi

13

Page 14: karsinoma nasofaring

Semua protein-protein EBV nuklir dihasilkan oleh penyambung alternatif

yang memulai pencatatan oleh penyelenggara Cp atau Wp di yang ditinggalkan

diakhir genom (di dalam tatanama yang konvensional). Gen-gen itu dipesan oleh

EBNA-LP/EBNA-2/EBNA-3A/EBNA-3B/EBNA-3C/EBNA-1 dengan genome.

Daerah Sandi inisiasi kodon dari EBNA-LP diciptakan oleh sambungan catatan

protein nuklir yang satu dengan yang lain. Kehadiran kodon inisiasi,

EBNA-2/EBNA-3A/EBNA-3B/EBNA-3C/EBNA-1 akan diekspresikan tetapi

tergantung pada gen-gen yang mana yang dipilih sebagai alternatif yang akan

disambung ke dalam transcript. EBNA-1 EBNA-1 mengikat protein untuk asal-

muasal replikasi (oriP) di dalam genom yang menengahi replikasi dan penyekatan

episom selama divisi sel host. Ini berlaku hanya untuk menyatakan kelompok I

dari protein viral yang tersembunyi. EBNA-1 memproses alanina glisina secara

berulang-ulang yaitu untuk merusak pengolahan antigen dan MHC kelas I- yang

membatasi keberadaan antigen yang akan menghambat sel-T sitotoksik CD8-yang

dibatasi untuk melawan sel-sel virus yang sudah terinfeksi. EBNA-1 pada

awalnya dikenali sebagai target antigen sera dari pasien-pasien radang sendi

rheumatoid (rheumatoid radang sendi yang dihubungkan dengan antigen nuklir;

RANA).

EBNA-2

EBNA-2 adalah transactivator viral utama, transkripsi alihan dari Wp

digunakan di awal-awal setelah menginfeksi Cp. Bersama-sama dengan EBNA-

3C, itu juga mengaktifkan LMP-1. Itu dikenal untuk mengikat protein host RBP-

Jk dimana kunci dalam jalan kecil Notch. EBNA-2 penting bagi perubahan bentuk

pertumbuhan EBV-penengah.

EBNA-3A/EBNA-3B/EBNA-3C

Gen-gen ini juga mengikat protein host RBP-Jk

EBNA-3C

EBNA-3C adalah juga suatu ligase ubikuitin dan sudah ditunjukkan kepada

siklus regulator target sel seperti pRb

LMP-1

14

Page 15: karsinoma nasofaring

LMP-1 adalah enam jengkal protein transmembran yang juga penting bagi

perubahan bentuk pertumbuhan EBV. LMP-1 berfungsi sebagai pemberian isyarat

yang melalui jalan kecil untuk nekrosis Tumor factor-alpha/CD40

LMP-2A/LMP-2B

LMP-2A/LMP-2B adalah protein transmembrane yang berlaku untuk

menghalangi pemberian isyarat kinase tirosina. Dipercaya bahwa mereka

bertindak untuk menghalangi pengaktifan siklus lisis viral. Tidak dikenali

bilamana LMP-2B diperlukan untuk perubahan bentuk pertumbuhan EBV,

sementara kelompok-kelompok yang berbeda sudah melaporkan bahwa LMP-2A

sebagai alternatif tidak diperlukan untuk perubahan bentuk.

EBER-1/EBER-2

EBER-1/EBER-2 adalah nuklir kecil RNAs dari suatu peran yang tak dikenal.

Mereka tidak diperlukan untuk perubahan bentuk pertumbuhan EBV

miRNAs

EBV microRNAs disandikan oleh dua catatan, satu yang ditetapkan dalam gen

BART dan satu himpunan dekat cluster BHRF1. Ketiga BHRF1 miRNAS

dinyatakan selama jenis III yang tersembunyi secluster dengan BART miRNAs

(sampai dengan 20 miRNAs) dinyatakan selama jenis II yang tersembunyi

Fungsi-fungsi miRNAs ini sekarang ini tidak dikenal.

3.2 KARSINOMA NASOFARING

3.2.1 Definisi

Carcinoma adalah pertumbuhan baru yang ganas terdiri dari sel-sel epithelial

yang cenderung menginfiltrasi jaringan sekitarnya dan menimbulkan metastasis.

Nasopharyngeal carcinoma merupakan tumor ganas yang timbul pada

epithelial pelapis ruangan dibelakang hidung (nasofaring) dan ditemukan dengan

frekuensi tinggi di Cina bagian selatan.

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak dijumpai

di antara tumor ganas THT di Indonesia, dimana karsinoma nasofaring termasuk

dalam lima besar tumor ganas dengan frekwensi tertinggi, sedangkan didaerah

kepala dan leher menduduki tempat pertama. Tumor ini berasal dari fossa

15

Page 16: karsinoma nasofaring

Rosenmuller pada nasofaring yang merupakan daerah transisional dimana epitel

kuboid berubah menjadi epitel skuamosa.

3.2.2 Anatomi dan Fisiologi Nasofaring

Nasofaring berbentuk kerucut dan selalu terbuka pada waktu respirasi karena

dindingnya dari tulang, kecuali dasarnya yang dibentuk oleh palatum molle.

a. Batas nasopharing:

• Superior : basis kranii, diliputi oleh mukosa dan fascia

• Inferior : bidang horizontal yang ditarik dari palatum durum ke

posterior, bersifat subjektif karena tergantung dari

palatum durum.

• Anterior : choane, oleh os vomer dibagi atas choane kanan dan kiri.

• Posterior : - vertebra cervicalis I dan II

- Fascia space = rongga yang berisi jaringan longgar

- Mukosa lanjutan dari mukosa atas

• Lateral : - mukosa lanjutan dari mukosa atas dan belakang

- Muara tuba eustachii

- Fossa rosenmuller

16

Page 17: karsinoma nasofaring

b. Bangunan yang penting pada nasopharing

• Ostium tuba eustachii pars pharyngeal

Tuba eustachii merupakan kanal yang menghubungkan kavum

nasi dan nasopharyng dengan rongga telinga tengah. Mukosa ostium

tuba tidak datar tetapi menonjol seperti menara, disebut torus tubarius.

• Torus tubarius

• Fossa rosen mulleri

Adalah dataran kecil dibelkang torus tubarius. Daerah ini

merupakan tempat predileksi karsinoma nasofaring, suatu tumor yang

mematikan nomor 1 di THT.

• Fornix nasofaring

Adalah dataran disebelah atas torus tubarius, merupakan tempat

tumor angiofibroma nasopharing

• Adenoid= tonsil pharyngeal=luskha

• Secara teoritis adenoid akan hilang setelah pubertas karena adaenoid

akan mencapai titik optimal pada umur 12-14 tahun. Lokasi pada dinding

superior dan dorsal nasopharing sebelah lateral bursa pharyngea.

17

Page 18: karsinoma nasofaring

Fungsinya sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman- kuman

yang lewat jalan napas hidung.

Nasopharing akan tertutup bila paltum molle melekat ke dinding

posterior pada waktu menelan, muntah, mengucapkan kata-kata etrtentu

seperti hak.

c. Fungsi nasopharing :

• Sebagai jalan udara pada respirasi

• Jalan udara ke tuba eustachii

• Resonator

• Sebagai drainage sinus paranasal kavum timpani dan hidung

d. Secret dari nasopharing dapat bergerak ke bawah karena:

• Gaya gravitasi

• Gerakan menelan

• Gerakan silia (kinosilia)

• Gerkan usapan palatum molle

3.2.3 Histologi Nasofaring

Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat

banyak jaringan limfosid,sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta.

Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosid ini sangat erat, sehigga sering

disebut " Limfoepitel ".

18

Page 19: karsinoma nasofaring

Bloom dan Fawcett ( 1965 ) membagi mukosa nasofaring atas empat macam

epitel :

1. Epitek selapis torak bersilia " Simple Columnar Cilated Epithelium "

2. Epitel torak berlapis " Stratified Columnar Epithelium ".

3. Epitel torak berlapis bersilia "Stratified Columnar Ciliated Epithelium"

4. Epitel torak berlapis semu bersilia " Pseudo-Stratifed Columnar Ciliated

Epithelium ".

Mengenai distribusi epitel ini, masih belum ada kesepakatan diantara para

ahli. 60 % persen dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng "

Stratified Squamous Epithelium ", dan 80 % dari dinding posteroir nasofaring

dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada dinding lateral dan depan dilapisi oleh

epitel transisional, yang merupakan epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng

dan torak bersilia.

Epitel berlapis gepeng ini umumnya dilapisi Keratin, kecuali pada Kripta

yang dalam. Di pandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan

dua macam epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma.

3.2.4 Histopatologi Nasofaring

Kesukaran timbul dalam mengidentifikasi jenis karsinoma nasofaring karena

sangat tidak berdiferensiasi dimana sudah tidak ada kekhususan epitelnya. Lebih

dari 85% kemungkinan adalah karsinoma, mungkin 15% limfoma maligna dan

kuang dari 2% tumor jaringan ikat. Sekali-sekali ditemukan neuroblastoma,

silindroma dan tumor campur ganas. Menggunakan mikroskop electron,

Ditemukan karsinoma nasofaring tumbuh dari lapisan skuamosa atau lapisan

epitel respiratorius pada permukaan kripti nasofaring. Dinding lateral yang ada di

fosa Rossenmulleri merupakan lokasi tersering karsinoma nasofaring dan dinding

faring posterior sedikit lebih jarang. Lebih jarang lagi tumor pada atap dan hanya

sekali-kali pada dasar. Pada mulanya tumor sedemikian kecil sehingga sukar

diketahui, atau tumbuh didaerah yang gejalanya tidak diketahui seperti pada fosa

Rosenmulleri. Kemudian gejala-gejala akan muncul sesuai dengan arah

penyebaran. Mungkin meluas melalui lubang pada sisi yang sama dengan tumor

atau mengikis tulang secara tekanan nekrosis.

19

Page 20: karsinoma nasofaring

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991 merekomendasikan

klasifikasi gambaran histopatologi dalam 3 tipe, yaitu :

1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell

Carcinoma).

Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi baik, sedang dan buruk.

2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma).

Pada tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi

sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel cukup

jelas.

3. Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma).

Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang

vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas. Pada

umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.

Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama,

yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak begitu

radiosensitif.

Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh

WHO pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :

1. Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous Cell

Carcinoma).

2. Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma).

Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi.

3.2.5 Epidemiologi dan Etiologi

KNF mempunyai daerah distribusi endemik yang tidak seimbang antara

berbagai Negara, maupun yang tersebar dalm 5 benua. Tetapi, insiden KNF lebih

rendah dari 1/105 di semua area. Insisde. Insiden tertinggi terpusat pada di Cina

bagian selatan (termasuk Hongkong), dan insiden inni tertinggi di provinsi

Guangdong pada laki-laki mencapai 20-50/100000 penduduk. Berdasarkan data

IARC (International Agency for Research on Cancer) tahun 2002 ditemukan

sekitar 80,000 kasus baru KNF diseluruh dunia, dan sekitar 50,000 kasus

meninggal dengan jumlah penduduk Cina sekitar 40%. Ditemukan pula cukup

20

Page 21: karsinoma nasofaring

banyak kasus pada penduduk local dari Asia Tenggara, Eskimo di Artik dan

penduduk di Afrika utara dan timur tengah.

Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan rasio 2-

3:1. Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan

insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah, KNF meningkat sesuai

dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden tinggi, KNF meningkat

setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 40-59 tahun dan menurun

setelahnya.

Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga

kekerapan cukup tinggi pada pendduduk China bagian selatan, Hongkong,

Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Sekalipun termasuk ras

Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok sebelah utara tidak banyak yang

dijumpai mengidap penyakit ini. Kelompok migran masih mengandung gen yang

‘memudahkan’ untuk terjadinya Kanker Nasofaring (KNF), tetapi karena pola

makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor yang selama ini

dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk

diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari

mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon kabarnya

seorang bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu

adalah nasi yang dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai

substansi yang bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan

percobaan.

Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus KNF telah

mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut. EBV adalah

suatu virus herpes yang replikat-replikat utamanya ada di beta-lymphocytes tetapi

juga ada di dalam sel epitelium kerongkongan dan saluran parotid. Penyebaran

infeksi ini biasanya melalui air liur, dan masa inkubasinya adalah empat-delapan

minggu. Untuk infeksi akut, antibodi heterophile yaitu dengan melekatkan

eritrosit domba yang dihasilkan. Proses ini merupakan dasar pembentukan

perpaduan getah Monospot cepat Antibodi kepada antigen kapsid viral (yaitu.,

VCA-IGG dan VCA-IgM) dihasilkan sedikit lebih cepat dari antobodi heterophile

21

Page 22: karsinoma nasofaring

dan lebih spesifik untuk infeksi EBV. Viral VCA-IgG sebelumnya ada untuk

infeksi akut dan penkembangan imunitas.

Epstein Barr Virus ditularkan secara per oral, umumnya ditularkan melalui

saliva, menginfeksi epitel nasofaring dan limfosit B. (16,17). Kegagalan imunitas

spesifik EBV dapat memberikan peran pada patogenesis tumor yang berkaitan

dengan EBV dan juga pada penderita immunodeficiencies tanpa manifestasi

klinik.

Mediator di bawah ini dianggap berpengaruh untuk timbulnya karsinoma

nasofaring yaitu :

1. Ikan asin, makanan yang diawetkan dan nitrosamin.

2. Keadaan sosio-ekonomi yang rendah, lingkungan dan kebiasaan hidup.

3. Sering kontak dengan zat-zat yang dianggap karsinogen, seperti :

- benzopyrenen

- benzoanthracene

- gas kimia

- asap industri

- asap kayu

- beberapa ekstrak tumbuhan

4. Ras dan keturunan

5. Radang kronis daerah nasofaring

6. Profil HLA

Secara mikroskopis karsinoma nasofaring dapat dibedakan menjadi 3 bentuk

yaitu :

1. Bentuk ulseratif

Bentuk ini paling sering terdapat pada dinding posterior dan di daerah

sekitar fosa rosenmulleri. Juga dapat ditemukan pada dinding lateral

didepan tuba eustachius dan pada bagian atap nasofaring. Lesi ini biasanya

lebih kecil disertai dengan jaringan yang nekrotik dan sangat mudah

mengadakan infiltrasi ke jaringan sekitarnya. Gambaran histopatologik

bentuk ini adalah karsinoma sel skuamosa deengan diferensiasi baik.

2. Bentuk noduler/lubuler/proliferative

22

Page 23: karsinoma nasofaring

Bentuk noduler atau lobuler sangat sering dijumpai pada daerah sekitar

muara tuba eustachius. Tumor jenis ini berbentuk seperti buah angguratau

polipoid jarang, dijumpai adanya ulserasi, namun kadang-kadang dijumpai

ulserasi kecil. Gambaran histopatologik bentuk ini biasanya karsinoma

tanpa diferensiasi.

3. Bentuk eksofitik

Bentuk eksofitik biasanya tumbuh pada satu sisi nasofaring, tidak dijumpai

adanya ulserasi, kadang-kadang bertangkai dan prmukaannya licin. Tumor

jenis ini biasanya tumbuh dari atap nasofaring dan dapat mengisi seluruh

rongga nasofaring. Tumor nini dapat mendorong palatum mole ke bawah

dan tumbuh kearah koana dan masuk ke dalam rongga hidung. Gambaran

histopatologik berupa limfasarkoma

3.2.6 Gejala-gejala KNF

Gejala nasofaring yang pokok adalah :

1. Nasal sign :

• Pilek lama yang tidak sembuh

• Epistaksis. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya

sedikit dan seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah

jambu

• Ingus dapat seperti nanah, encer atau kental dan berbau.

2. Ear sign :

• Tinitus. Tumor menekan muara tuba eustachii sehingga terjadi tuba

oklusi, karena muara tuba eustachii dekat dengan fosa rosenmulleri.

Tekanan dalam kavum timpani menjadi menurun sehingga terjadi tinnitus.

• Gangguan pendengaran hantaran

• Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri di telinga (otalgia).

3. Eye sign

• Diplopia. Tumor merayap masuk foramen laseratum dan menimbulkan

gangguan N. IV dan N. VI. Bila terkena chiasma opticus akan

menimbulkan kebutaan.

4. Tumor sign :

23

Page 24: karsinoma nasofaring

• Pembesaran kelenjar limfoid leher ini merupakan penyebaran atau

metastase dekat secara limfogen dari karsinoma nasofaring.

5. Cranial sign

Gejala cranial terjadi bila tumor sudah meluas ke otak dan dirasakan pada

penderita.

Gejala ini berupa :

• Sakit kepala yang terus menerus, rasa sakit ini merupakan metastase

secara hematogen.

• Sensitibilitas derah pipi dan hidung berkurang.

• Kesukaran pada waktu menelan

• Afoni

• Sindrom Jugular Jackson atau sindroma reptroparotidean mengenai N.

IX, N. X, N. XI, N. XII. Dengan tanda-tanda kelumpuhan pada:

o Lidah

o Palatum

o Faring atau laring

o M. sternocleidomastoideus

o M. trapezeus

3.2.7 Patofisiologi Karsinoma Nasofaring

Virus Epstein Barr (EBV) merupakan virus DNA yang memiliki kapsid

icosahedral dan termasuk dalam famili Herpesviridae. Infeksi EBV dapat

berasosiasi dengan beberapa penyakit seperti limfoma Burkitt, limfoma sel T,

mononukleosis dan karsinoma nasofaring (KNF). KNF merupakan tumor ganas

yang terjadi pada sel epitel di daerah nasofaring yaitu pada daerah cekungan

Rosenmuelleri dan tempat bermuara saluran eustachii. Banyak faktor yang diduga

berhubungan dengan KNF, yaitu

(1)Aadanya infeksi EBV,

(2) Faktor lingkungan

(3) Genetik

1) Virus Epstein-Barr

24

Page 25: karsinoma nasofaring

Virus Epstein-Barr bereplikasi dalam sel-sel epitel dan menjadi laten

dalam limfosit B. Infeksi virus epstein-barr terjadi pada dua tempat utama

yaitu sel epitel kelenjar saliva dan sel limfosit. EBV memulai infeksi pada

limfosit B dengan cara berikatan dengan reseptor virus, yaitu komponen

komplemen C3d (CD21 atau CR2). Glikoprotein (gp350/220) pada kapsul

EBV berikatan dengan protein CD21 dipermukaan limfosit B3. Aktivitas ini

merupakan rangkaian yang berantai dimulai dari masuknya EBV ke dalam

DNA limfosit B dan selanjutnya menyebabkan limfosit B menjadi immortal.

Sementara itu, sampai saat ini mekanisme masuknya EBV ke dalam sel epitel

nasofaring belum dapat dijelaskan dengan pasti. Namun demikian, ada dua

reseptor yang diduga berperan dalam masuknya EBV ke dalam sel epitel

nasofaring yaitu CR2 dan PIGR (Polimeric Immunogloblin Receptor). Sel

yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan beberapa

kemungkinan yaitu : sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-

barr dan virus mengadakan replikasi, atau virus epstein- barr yang meninfeksi

sel dapat mengakibatkan kematian virus sehingga sel kembali menjadi

normal atau dapat terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus

sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi

transformsi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker.

Gen EBV yang diekspresikan pada penderita KNF adalah gen laten,

yaitu EBERs, EBNA1, LMP1, LMP2A dan LMP2B. Protein EBNA1

berperan dalam mempertahankan virus pada infeksi laten. Protein

transmembran LMP2A dan LMP2B menghambat sinyal tyrosine kinase yang

dipercaya dapat menghambat siklus litik virus. Diantara gen-gen tersebut, gen

yang paling berperan dalam transformasi sel adalah gen LMP1. Struktur

protein LMP1 terdiri atas 368 asam amino yang terbagi menjadi 20 asam

amino pada ujung N, 6 segmen protein transmembran (166 asam amino) dan

200 asam amino pada ujung karboksi (C). Protein transmembran LMP1

menjadi perantara untuk sinyal TNF (tumor necrosis factor) dan

meningkatkan regulasi sitokin IL-10 yang memproliferasi sel B dan

menghambat respon imun lokal.

25

Page 26: karsinoma nasofaring

2) Genetik

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetic, tetapi

kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat

tertentu relative menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi

menunjukkan gen HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengode enzim

sitokrom p450 2E1 (CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap

karsinoma nasofaring. Sitokrom p450 2E1 bertanggung jawab atas aktivasi

metabolik yang terkait nitrosamine dan karsinogen

3) Faktor lingkungan

Sejumlah besar studi kasus yang dilakukan pada populasi yang berada

di berbagai daerah di asia dan america utara, telah dikonfirmasikan bahwa

ikan asin dan makanan lain yang awetkan mengandung sejumlah besar

nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan

nitrospiperidine (NPIP ) yang mungkin merupakan faktor karsinogenik

karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yg terkena

paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang tepapar debu

kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan cara mengaktifkan

kembali infeksi dari EBV.

3.2.8 Mutasi Gen pada Karsinoma Nasofaring

Epstein Barr virus berikatan dengan sel inang melalui reseptor CD21 dan

dapat terjadi transport DNA virus ke dalam inti sel. Adanya insersi DNA virus

mengakibatkan gangguan pada DNA sel. Gangguan DNA sel yang terjadi

seharusnya di perbaiki oleh gen p53. Gen p53 seharusnya merangsang p21

menekan semua cyclin dependent kinase agar siklin tidak dapat bekerja, sehingga

siklus sel akan terhenti. Pada saat terhentinya siklus, sel akan memberikan waktu

terjadinya DNA repair sehingga dapat dihindari terbentuknya sel yang

mengandung defek DNA. Pada infeksi EBV sel tidak terhenti untuk melakukan

DNA repair karena terjadi mutasi pada gen p53 maka p21 yang seharusnya

diaktifasi oleh gen p53, mengalami gangguan. P21 yang berfungsi untuk menekan

semua siklin depedent kinase, tidak bekerja.

26

Page 27: karsinoma nasofaring

Gangguan yang terjadi adalah siklus sel tetap berjalan dengan defek DNA

yang diturunkan pada sel turunan. Sel turunan dengan defek DNA dapat

mengganggu apoptsis.

Fungsi apoptosis telah terganggu karena adanya mutasi pada gen pemicu

apoptosis (p53). Apoptosis akan terhambat dan mengakibatkan sel menjadi

immortal. Pada kondisi demikian, defek DNA tidak mengaktivasi gen-gen yang

tergantung p53. Selanjutnya, tidak terjadi penghentian siklus sel dan mutasi akan

terus terbentuk (berproliferasi) sehingga terjadi proses keganasan.

3.2.9 Diagnosis

Jika ditemukan adanya kecurigaan yang mengarah pada suatu karsinoma

nasofaring, protokol dibawah ini dapat membantu untuk menegakkan diagnosis

pasti serta stadium tumor :

1. Anamnesis / pemeriksaan fisik

Anamnesis berdasarkan keluhan yang dirasakn pasien (tanda dan gejala

KNF)

2. Pemeriksaan nasofaring

Dengan menggunakan kaca nasofaring atau dengan nashopharyngoskop

3. Biopsi nasofaring

Diagnosis pasti dari KNF ditentukan dengan diagnosis klinik ditunjang

dengan diagnosis histologik atau sitologik. Diagnosis histologik atau

sitologik dapat ditegakan bila dikirim suatu material hasil biopsy cucian,

hisapan (aspirasi), atau sikatan (brush), biopsy dapat dilakukan dengan 2

cara, yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi tumor nasofaring umunya

dilakukan dengan anestesi topical dengan xylocain 10%.

Biopsi melalui hidung dilakukan tanpa melihat jelas tumornya

(blind biopsy). Cunam biopsy dimasukan melalui rongga hidung

menyelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam

diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsy.

Biopsy melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton

yang dimasukan melalui hidung dan ujung kateter yang berada

dalam mulut ditarik keluar dan diklem bersama-sama ujung kateter

27

Page 28: karsinoma nasofaring

yang dihdung. Demikian juga kateter yang dari hidung

disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik ke atas. Kemudian

dengan kacalaring dilihat daerah nasofaring. biopsy dilakukan

dengan melihat tumor melalui kaca tersebut atau memakai

nasofaringoskop yang dimasukan melalui mulut, masaa tumor akan

terlihat lebih jelas.

Bila dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan mala

dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narcosis.

4. Pemeriksaan Patologi Anatomi

Klasifikasi gambaran histopatologi yang direkomendasikan oleh

Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) sebelum tahun 1991, dibagi atas 3 tipe, yaitu :

Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous

Cell Carcinoma). Tipe ini dapat dibagi lagi menjadi diferensiasi

baik, sedang dan buruk.

Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Pada

tipe ini dijumpai adanya diferensiasi, tetapi tidak ada diferensiasi

sel skuamosa tanpa jembatan intersel. Pada umumnya batas sel

cukup jelas.

Karsinoma tidak berdiferensiasi (Undifferentiated Carcinoma).

Pada tipe ini sel tumor secara individu memperlihatkan inti yang

vesikuler, berbentuk oval atau bulat dengan nukleoli yang jelas.

Pada umumnya batas sel tidak terlihat dengan jelas.

Tipe tanpa diferensiasi dan tanpa keratinisasi mempunyai sifat yang sama,

yaitu bersifat radiosensitif. Sedangkan jenis dengan keratinisasi tidak

begitu radiosensitif. Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang

direkomendasikan oleh WHO pada tahun 1991, hanya dibagi atas 2 tipe,

yaitu :

Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous

Cell Carcinoma).

28

Page 29: karsinoma nasofaring

Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe

ini dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak

berdiferensiasi.

5. Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi pada kecurigaan KNF merupakan pemeriksaan

penunjang diagnostic yang penting. Tujuan utama pemeriksaan radiologic

tersebut adalah:

Memberikan diagnosis yang lebih pasti pada kecurigaan adanya

tumor pada daerah nasofaring

Menentukan lokasi yang lebih tepat dari tumor tersebut

Mencari dan menetukan luasnya penyebaran tumor ke jaringan

sekitarnya.

a) Foto polos

Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari

kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft

tissue technique)

Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks

Tomogram Lateral daerha nasofaring

Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring

b) C.T.Scan

Pada umunya KNF yang dapat dideteksi secara jelas dengan

radiografi polos adalah jika tumor tersebut cukup besar dan

eksofitik, sedangkan bula kecil mungkin tidak akan terdeteksi.

Terlebih-lebih jika perluasan tumor adalah submukosa, maka hal

ini akan sukar dilihat dengan pemeriksaan radiografi polos.

Demikian pula jika penyebaran ke jaringan sekitarnya belum

terlalu luas akan terdapat kesukaran-kesukaran dalam mendeteksi

hal tersebut. Keunggulan C.T. Scan dibandingkan dengan foto

polos ialah kemampuanya untuk membedakan bermacam-macam

densitas pada daerah nasofaring, baik itu pada jaringan lunak

29

Page 30: karsinoma nasofaring

maupun perubahan-perubahan pada tulang, gengan criteria tertentu

dapat dinilai suatu tumor nasofaring yang masih kecil. Selain itu

dengan lebih akurat dapat dinilai pakah sudah ada perluasan tumor

ke jaringna sekitarnya, menilai ada tidaknya destruksi tulang serta

ada tidaknya penyebaran intracranial.

Ada beberapa posisi dengan foto polos yang perlu dibuat dalam mencari

kemungkina adanya tumor pada daerah nasofaring yaitu:

Posisi Lateral dengan teknik foto untuk jaringan lunak (soft

tissue technique)

Posisi Basis Kranii atau Submentoverteks

Tomogram Lateral daerha nasofaring

Tomogranm Antero-posterior daerah nasofaring

6. Pemeriksaan neuro-oftalmologi

Karena nasofaring berhubungan dekat dengan rongga tengkorak melalui

beberapa lobang, amka gangguan beberapa saraf otak dapat terjadi sebagai

gejala lanjut KNF ini.

7. Pemeriksaan serologi.

Pemeriksaan serologi IgA anti EA (early antigen) dan igA anti VCA

(capsid antigen) untuk infeksi virus E-B telah menunjukan kemajuan

dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tjokro Setiyo dari FK UI Jakarta

mendapatkan dari 41 pasien karsinoma nasofaring stadium lanjut (stadium

III dan IV) senstivitas IgA VCA adalah 97,5% dan spesifitas 91,8%

dengan titer berkisar antara 10 sampai 1280 dengan terbanyak titer 160.

IgA anti EA sensitivitasnya 100% tetapi spesifitasnya hanya 30,0%,

sehingga pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menetukan prognosis

pengobatan, titer yang didpat berkisar antara 80 sampai 1280 dan

terbanyak 160.

3.2.10 Prognosis

Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis

diperburuk oleh beberapa faktor, seperti :

Stadium yang lebih lanjut.

30

Page 31: karsinoma nasofaring

Usia lebih dari 40 tahun

Laki-laki dari pada perempuan

Ras Cina dari pada ras kulit putih

Adanya pembesaran kelenjar leher

Adanya kelumpuhan saraf otak adanya kerusakan tulang tengkorak

Adanya metastasis jauh

3.2.11 Penatalaksanaan

1. Radioterapi

Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan penting dalam

penatalaksanaan karsinoma nasofaring. Penatalaksanaan pertama untuk

karsinoma nasofaring adalah radioterapi dengan atau tanpa kemoterapi.

2. Kemoterapi

Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata

dapat meningkatkan hasil terapi. Terutama diberikan pada stadium lanjut atau

pada keadaan kambuh.

3. Operasi

Tindakan operasi pada penderita karsinoma nasofaring berupa diseksi

leher radikal dan nasofaringektomi. Diseksi leher dilakukan jika masih ada

sisa kelenjar pasca radiasi atau adanya kekambuhan kelenjar dengan syarat

bahwa tumor primer sudah dinyatakan bersih yang dibuktikan dengan

pemeriksaan radiologik dan serologi. Nasofaringektomi merupakan suatu

operasi paliatif yang dilakukan pada kasus-kasus yang kambuh atau adanya

residu pada nasofaring yang tidak berhasil diterapi dengan cara lain.

4. Imunoterapi

Dengan diketahuinya kemungkinan penyebab dari karsinoma nasofaring

adalah virus Epstein-Barr, maka pada penderita karsinoma nasofaring dapat

diberikan imunoterapi.

3.2.12 Pencegahan

Pemberian vaksinasi dengan vaksin spesifik membran glikoprotein virus

Epstein Barr yang dimurnikan pada penduduk yang bertempat tinggal di

daerah dengan resiko tinggi.

31

Page 32: karsinoma nasofaring

Memindahkan (migrasi) penduduk dari daerah resiko tinggi ke tempat

lainnya.

Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah, mengubah cara memasak

makanan untuk mencegah akibat yang timbul dari bahan-bahan yang

berbahaya.

Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan

keadaan sosial ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan

kemungkinan-kemungkinan faktor penyebab.

Melakukan tes serologik IgA anti VCA dan IgA anti EA secara massal di

masa yang akan datang bermanfaat dalam menemukan karsinoma

nasofaring secara lebih dini.

3.3 SIKLUS SEL

3.3.1 Fase Pada Siklus Sel

Pada kasus ini, virus Epstein-Barr berikatan dengan permukaan sel, sel

diaktivasi untuk memasuki siklus sel. Untuk itu, kita harus mengetahui apa saja

fase pada siklus sel. Siklus sel adalah proses duplikasi secara akurat untuk

menghasilkan jumlah DNA kromosom yang cukup banyak dan mendukung

segregasi untuk menghasilkan dua sel anakan yang identik secara genetik. Proses

ini berlangsung terus-menerus dan berulang (siklik).

Pertumbuhan dan perkembangan sel tidak lepas dari siklus kehidupan yang

dialami sel untuk tetap bertahan hidup. Siklus ini mengatur pertumbuhan sel

dengan meregulasi waktu pembelahan dan mengatur perkembangan sel dengan

mengatur jumlah ekspresi atau translasi gen pada masing-masing sel yang

menentukan diferensiasinya.

Ada 4 fase yakni :

Fase S (sintesis)

Tahap terjadinya replikasi DNA

Fase M (mitosis)

Tahap di mana terjadi pembelahan sel (baik pembelahan biner atau

pembentukan tunas)

32

Page 33: karsinoma nasofaring

Fase G (gap)

Tahap pertumbuhan bagi sel.

Fase G0, sel yang baru saja mengalami pembelahan berada dalam keadaan

diam atau sel tidak melakukan pertumbuhan maupun perkembangan.

Kondisi ini sangat bergantung pada sinyal atau rangsangan baik dari luar

atau dalam sel. Umum terjadi dan beberapa tidak melanjutkan

pertumbuhan (dorman) dan mati.

Fase G1, sel eukariot mendapatkan sinyal untuk tumbuh, antara sitokinesis

dan sintesis.

Fase G2, pertumbuhan sel eukariot antara sintesis dan mitosis.

Fase tersebut berlangsung dengan urutan S > G2 > M > G0 > G1 >

kembali ke S. Dalam konteks Mitosis, fase G dan S disebut sebagai

Interfase.

Skema siklus sel

Oleh karena pada virus Epstein-barr mempunyai dua siklus hidup yaitu siklus

litik dan siklus laten, pada siklus laten inilah dihasilkan protein virus seperti

Epstein-barr Nuclear Antigen (EBNA) dan dua protein laten membrane (LMP).

Sehingga pada penderita karsinoma nasofaring sel yang terinfeksi oleh VEB akan

menghasilkan protein tertentu yang dapat dipakai sebagai petanda (marker) dalam

mendiagnosa karsinoma nasofaring, yaitu EBNA-1 dan LMP-1, LMP-2A, dan

LMP-2B. Hal ini dapat dibuktikan dengan dijumpai adanya peningkatan

konsentrasi antibodi anti VEB jenis IgG dan IgA pada penderita karsinoma

nasofaring.

33

Page 34: karsinoma nasofaring

3.3.2 Tumor supressor gen (TSG)

Tumor supressor gen (TSG) merupakan kelompok gen yang lebih baru

ditemukan setelah onkogen, dikenal sebagai antionkogen, karena berfungsi

melakukan kontrol negatif terhadap proliferasi sel. (20). Gen p53 merupakan

contoh lain kelompok TSGs, yang mempunyai peran aktif dalam mendeteksi

kerusakan DNA dan menginduksi gen reparasi DNA serta menginduksi apoptosis.

Gen p53 adalah suatu gen supressor tumor yang dikenal sebagai master

guardian of the genome dan merupakan unsur utama yang memelihara stabilitas

genetik. (21). Fungsi gen p53 mendeteksi sintesis DNA yang salah atau kerusakan

DNA. Dapat dimengerti bahwa mutasi p53 menyebabkan disfungsi p53 dan

berakibat DNA yang mengalami kerusakan tetap dilipatgandakan, menghasilkan

populasi sel mengandungDSNA abnormal. Inaktivasi gen p53 dapat terjadi bila

berkaitan dengan protein medium 2 atau karena adanya infeksi virus misalnya

EBV.

3.3.3 Aktivitas tumor supressor gen p53

Gen yang produknya mempunyai fungsi penting dalam mengaktivasi cell

cycle check point berfungsi memperpanjang waktu tertentu dalam siklus sel untuk

memberi kesempatan perbaikan DNA. Gen yang mempunyai fungsi penting

dalam cell cycle check points, yaitu p53.

P53 hanya akan berfungsi baik bila normal. Pada umumnya defek pada p53

adalah point mutation, disfungsi gen p53 dapat terjadi akibat pengikatan p53 oleh

onkogen virus. Bila hal ii terjadi maka sebagian besar fungsi p53 terganggu.

Proses keganasan (malignansi) dapat terjadi karena perilaku sel yang

abnormal akibat adanya mutasi gen. Mutasi gen, dalam hal ini terjadi pada gen

p53, karena berikatan dengan onkogen virus seperti EBV.

3.3.4 Apoptosis

Apoptosis adalah suatu kejadian yang dikendalikan secara genetik yang

menghasilkan penghilangan sel yang tidak dikehendaki tanpa menyebabkan

gangguan pada jaringan. Apoptosis juga merupakan hal penting dalam

perkembangan sel normal dan homeostasis jaringan normal.

34

Page 35: karsinoma nasofaring

Dalam kaitan dangan pengendalian onkogenesis, apoptosis merupakan

mekanisme penting untuk mencegah proliferasi sel yang mengalami kerusakan

DNA, agar sel dengan DNA tersebut tidak dilipatgandakan. Kegagalan sel tumor

untuk melaksanakan mekanisme apoptosis merupakan salah satu faktor yang

mendasari pertumbuhan sel tumor yang makin lama makin besar. Akibat defek

mekanisme apoptosis yang lain adalah kemungkinan terjadinya keganasan.

Apoptosis merupakan salah satu cara untuk menyingkirkan sel yang

mengandung lesi DNA, sehingga dapat dicegah terjadinya transformasi sel.

Mutasi yang terjadi pada berbagai gen, terutama gen yang berperan meningkatkan

apoptosis, memungkinkan terjadinya resistensi terhadap proses apoptosis yang

diperlukan untuk mencegah transformasi.

3.3.5 Squamous Cell Carcinoma

Squamous cell carcinoma merupakan tumor ganas yang memiliki prevalensi

cukup tinggi di dalam rongga mulut. Terjadinya SCC dapat disebabkan oleh

beberapa faktor salah satunya agen biologik (virus onkogenik) yang merupakan

salah satu penyebeb SCC adalah Epstein Barr Virus (EBV).

Dimulai dengan infeksi virus Epstein Barr Virus (EBV) melalui saliva yang

kemudian berpenetrasi kedalam mukosa faring.

Epstein Barr Virus berikatan dengan sel inang melalui reseptor CD21 dan

dapat terjadi transport DNA virus ke dalam inti sel. (31). Adanya insersi DNA

virus mengakibatkan gangguan pada DNA sel. Gangguan DNA sel yang ada

seharusnya diperbaiki oleh gen p53. Gen p53 seharusnya merangsang p21

menekan semua cyclin dependent kinase (CDK) yg menyebabkan cyclin tidak

dapat bekerja, sehingga siklus sel akan terhenti. Pada saat terhentinya siklus sel

akan memberikan waktu terjadinya DNA repair sehingga dapat dihindari

terbentuknya sel yang mengandung defek DNA. Pada infeksi EBV sel tidak

terhenti untuk melakukan DNA repair karena terjadi mutasi pada gen p53 maka

p21 yang seharusnya diaktivasi oleh gen p53 mengalami gangguan. p21 yang

berfungsi untuk menekan semua cyclin dependent kinase tidak bekerja.

Gangguan yang terjadi adalah siklus sel tetap berjalan dengan defek DNA

yang diturunkan pada sel turunan. Sel turunan dengan defek DNA dapat

35

Page 36: karsinoma nasofaring

mengganggu apoptosis. Fungsi apoptosis telah terganggu karena adanya mutasi

pada gen pemicu apoptosis (p53). Apoptosis akan terhambat dan mengakibatkan

sel menjadi immortal. Pada kondisi demikian, defek DNA tidak mengaktivasi

gen-gen yang tergantung p53. Selanjutnya tidak terjadi penghentian siklus sel dan

mutasi akan terus terbentuk (berproliferasi) sehingga terjadi proses keganasan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa squamous cell

carcinoma dapat disebabkan oleh Epstein Barr Virus melalui mutasi gen p53 dan

penghambatan DNA repair.

3.4 PEMERIKSAAN SEROLOGI

Uji serologi ialah uji yang mendeteksi reaksi pengikatan antibodi dengan

antigen. Uji serologi telah digunakan secara luas untuk diagnosis laboratories

penyakit menular. Uji serologi yang terpenting dan digunakan paling luas

mencakup reaksi-reaksi aglutinasi, presipitasi, dan fiksasi komplemen.

Antibody (immunoglobulin) adalah sekelompok lipoprotein dalam serum

darah dan cairan jaringan pada mamalia. Antibody memiliki lebih dari satu tempat

pengkombinasian antigen. Kebanyakan antibody makhluk hidup mempunyai 2

tempat pengkombinasian yang disebut bivalen. Beberapa antibody bivalen dapat

membenuk beraneka antibody yang mempunyai lebih dari 10 tempat

pengkombinasian antigen. Antibodi ialah zat kebal tubuh yang dilepaskan oleh sel

darah putih limfosit B (biasa disebut sel B).

Antigen adalah bahan yang asing untuk badan, terdapat dalam manusia

atau organisme multiseluler lain yang dapat menimbulkan pembentukan antibody

terhadapnya dan dengan antibody itu antigen dapat bereaksi dengan khas. Sifat

antigenik dapat ditentukan oleh berat molekulnya..Salmonella dan jenis-jenis

lainnya dalam familyEnterobacteriac eae mempunyai beberapa jenis antigen, yaitu

antigen O (somatic), H (Flagella), K (Kapsul) dan Vi (Virulen).

Antigen di dalam reaksi aglutinasi dapat berupa sel atau partikel,

misalnya partikel latex yang permukaannya telah diresapi antigen yang dapat

larut, ditambahkannya antibody yang homolog akan menyebabkan terjadinya

aglutinasi atau penggumpalan, sehingga menghasilkan agregat kasat mata sel-sel

36

Page 37: karsinoma nasofaring

itu, reaksi aglutinasi juga digunakan di dalam penggolongan dan penentuan tipe

darah manusia.

Sampel untuk uji serologi ini adalah cairan tubuh yang mengandung

antibodi yaitu serum darah. Beberapa contoh uji serologi ialah Rapid Plate

Agglutination Test (RPAT), Haemagglutination Inhibition Test (HI test), Enzyme-

linked Immunosorbent Assay (ELISA), Agar Gel Precipitation Test (AGPT) dan

Serum Neutralization Test (SNT). HI test adalah uji yang paling sering digunakan

karena cepat dan murah.

3.4.1 Interpretasi Hasil Uji Serologi

Beberapa parameter yang digunakan dalam uji serologi yaitu GMT,

persen kebal dan %CV. Nilai GMT (Geometric Mean Titer) menggambarkan rata-

rata titer antibodi. Standar nilai GMT (level titer protektif) ditentukan berdasarkan

tipe, jenis penyakit dan uji yang digunakan.

Persen kebal diartikan sebagai persentase jumlah sampel yang memiliki

titer antibodi di atas standar titer protektif. Coefficient of variant (CV) akan

menganalisa tingkat keragaman titer antibodi dalam sampel. Semakin tinggi

tingkat keragaman titer (CV>35%) maka semakin jelek.

Segera setelah mendapatkan hasil uji serologi perlu sekiranya kita

menggabungkan dengan perangkat diagnosa yang lain seperti anamnesa, gejala

klinis dan patologi anatomi. Dengan demikian diharapkan dapat memberikan

diagnosa yang lebih tajam dan tepat. Jika ada, kita dapat membandingkan dengan

database titer antibodi (baseline titer) yang telah kita miliki. Dengan begitu,

interpretasi dan hasil serologi akan lebih tajam.

3. 5 PEMERIKSAAN FNAC/FNAB

Pemeriksaan FNAB adalah biopsi aspirasi jarum halus. Pengambilan dan

pemeriksaan mikroskopik dari jaringan tubuh yang hidup dengan menggunakan

jarum halus (23G), untuk jaringan superfisial dengan jarum yang tidak terpimpin

namun untuk jaringan dalam harus dituntun dengan radiologi (USG).

37

Page 38: karsinoma nasofaring

Pemeriksaan Fine Needle Aspiration Biopsy (FNAB) memiliki nilai

akurasi diagnostik yang tinggi pada tumor kelenjar ludah jinak maupun ganas

yang akan menjalani pembedahan (lebih dari 80% pada literatur barat).

Bab IV

Penutup

4.1 KESIMPULAN

38

Page 39: karsinoma nasofaring

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas yang paling banyak

dijumpai di antara tumor ganas THT di Indonesia.

Karsinoma nasofaring merupakan penyakit yang salah satu penyebabnya

adalah Epstain-Barr Virus. Virus tersebut memutasi gen p53 sehingga apoptosis

terganggu akibatnya pertumbuhan sel tidak terkontrol hingga terjadi tumor ganas.

4.2 SARAN

Perlu dilakukan pencegahan untuk menekan prevalensi penderita

karsinoma nasofaring.

DAFTAR PUSTAKA

39

Page 40: karsinoma nasofaring

Averdi Roezin, Aninda Syafril. Karsinoma Nasofaring. Dalam: Efiaty A. Soepardi

(ed). Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi kelima.

Jakarta : FK UI, 2001. h. 146-50.

EGC. “Kamus Saku Kedokteran Dorland edisi 28”. Jakarta: EGC.

Harry a. Asroel. Penatalaksanaan radioterapi pada karsinoma nasofaring. Referat.

Medan: FK USU,2002.h. 1-11.

Hasibuan R, A. H. pharingologi. Jakarta: Samatra Media Utama, 2004.h. 70-81.

Kartikawati, Henny. Penatalaksanaan karsinoma nasofaring menuju terapi

kombinasi/kemoradioterapi.

Lu Jiade J, Cooper Jay S, M Lee Anne WM. The epidemiologi of Nasopharigeal

Carcinoma In : Nasopharyngeal Cancer. Berlin : Springer,2010. p. 1-9.

Susworo, Makes D. Karsinoma nasofaring aspek radiodiagnostik dan radioterapi.

Jakarta: FK UI, 1987.h. 69-82.

Susworo, R. Kanker nasofaring : epidemiologi dan pengobatan mutakhir.

Tinjauan pustaka artikel. Dalam: Cermin Dunia Kedokteran. No. 144,

2004.h. 16-18.

40

Page 41: karsinoma nasofaring

41