Karena itu kami suka usil dan sembunyi sembunyi Membuat ... · Celana 1 menceritakan tentang...

45
24 Karena itu kami suka usil dan sembunyi sembunyi Membuat coretan dan gambar porno di tembok kamar mandi Sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang yang suka cabul terhadap diri sendiri. Setelah loyo dan jompo kami mulai bisa berfantasi Tentang hal-ihwal yang ada didalam celana: Ada raja kecil yang galak dan suka memberontak; Ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk merenungi rahasia alam semesta; Ada gunung berapi yang menyimpan sejuta magma; Ada juga gua garba yang diziarahi para pendoa dan pendoa. Konon setelah berlayar mengarungi bumi, Columbus pun Akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana. (1996) 1. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik a. Pembacaan Heuristik pada puisi celana 2 sebagai berikut. Judul Celana 2 (Dua) Bait ke-1 Ketika sekolah kami sering disuruh menggambar celana yang bagus dan sopan(,) tapi tak pernah diajar(kan) melukis seluk-beluk yang (ada) di dalam celana, sehingga kami pun tumbuh menjadi anak-anak manis yang penakut dan pengecut, bahkan terhadap nasibnya sendiri. Bait ke-2 Karena itu (,) kami suka usil dan sembunyi(-)sembunyi membuat coretan dan gambar porno di tembok kamar mandi (.) sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang yang suka cabul terhadap diri sendiri.

Transcript of Karena itu kami suka usil dan sembunyi sembunyi Membuat ... · Celana 1 menceritakan tentang...

24

Karena itu kami suka usil dan sembunyi sembunyi

Membuat coretan dan gambar porno di tembok kamar mandi

Sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang

yang suka cabul terhadap diri sendiri.

Setelah loyo dan jompo kami mulai bisa berfantasi

Tentang hal-ihwal yang ada didalam celana:

Ada raja kecil yang galak dan suka memberontak;

Ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk merenungi

rahasia alam semesta;

Ada gunung berapi yang menyimpan sejuta magma;

Ada juga gua garba yang diziarahi para pendoa

dan pendoa.

Konon setelah berlayar mengarungi bumi, Columbus pun

Akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana

dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana.

(1996)

1. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

a. Pembacaan Heuristik pada puisi celana 2 sebagai berikut.

Judul

Celana 2 (Dua)

Bait ke-1

Ketika sekolah kami sering disuruh menggambar celana yang bagus dan

sopan(,) tapi tak pernah diajar(kan) melukis seluk-beluk yang (ada) di dalam

celana, sehingga kami pun tumbuh menjadi anak-anak manis yang penakut dan

pengecut, bahkan terhadap nasibnya sendiri.

Bait ke-2

Karena itu (,) kami suka usil dan sembunyi(-)sembunyi membuat coretan

dan gambar porno di tembok kamar mandi (.) sehingga kami pun terbiasa menjadi

orang-orang yang suka cabul terhadap diri sendiri.

25

Bait ke-3

Setelah loyo dan jompo kami (baru) mulai bisa berfantasi(,) tentang hal-

ihwal yang ada di dalam celana: Ada raja kecil (yang) galak dan suka

memberontak; Ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk merenungi (tentang) rahasia

alam semesta; Ada gunung berapi yang menyimpan sejuta magma; Ada juga gua

garba yang diziarahi para pendosa dan pendoa.

Bait ke-4

Konon setelah berlayar mengarungi bumi, Columbus pun akhirnya

menemukan sebuah benua baru di dalam celana dan Stephen Hawking khusyuk

bertapa di sana.

b. Pembacaan hermeneutik pada puisi celana 2 sebagai berikut.

Dalam pembacaan tingkat kedua ini, menitik beratkan pada ketidak

langsungan ekspresi puisi yang disebabkan oleh tiga hal; penggantian arti,

penyimpangan arti serta penciptaan arti. “Celana 2”, judul pada puisi ini

menunjukkan bahwa ini adalah puisi Celana kedua yang dibuat pengarang. Puisi

Celana 1 menceritakan tentang perjalanan seseorang mencari celana (jati dirinya),

untuk dipakai waktu di kehidupan dunia hingga nanti ia meninggal (kuburan), dan

pada akhirnya ia menyadari bahwa celana yang ia pakai semasa bayi adalah

celana yang paling cocok ia kenakan. Meskipun temanya berbeda namun

keduanya memakai kata celana sebagai alat untuk menyampaikan maksud

pengarang. Pada judul Celana memiliki tafsir ganda, merupakan penggantian

makna (displacing of meaning) yakni gaya bahasa metafora, gaya bahasa

perbandingan yang diungkapkan secara singkat. Celana bukan hanya semata-mata

26

dimaksudkan untuk menyebut sebuah benda yang dijadikan sebagai alat

pembungkus tubuh manusia, tapi penggunaan kata celana ini dimaksudkan untuk

mengantar pada sebuah pengertian yang lebih dalam. Selayaknya nonsense dalam

puisi, itu memiliki makna sehingga dapat menimbulkan asosiasi-asosiasi tetentu.

Puisi ini menceritakan tentang pengalaman pengarang sewaktu ia sekolah,

baris pertama sangat erat kaitannya dengan baris kedua, yakni perbandingan kata

menggambar dan melukis kami sering disuruh menggambar celana yang bagus

dan sopan, tapi tak pernah diajarkan melukis seluk beluk yang di dalam celana

Jika dilihat dari perbedaan secara umum, perbedaan kedua kata ini terletak pada

medianya, menggambar media yang dipakai cenderung kering semisal krayon

atau pensil warna, sedangkan melukis media yang dipakai lebih cair dan

menggunakan kuas, misalnya cat lukis. Namun jika dilihat dari kelengkapan dua

larik tersebut rasanya tidak cukup jika membatasi perbedaan menggambar dan

melukis hanya ditinjau secara umum. Sehingga kami pun tumbuh menjadi anak

manis yang penakut dan pengecut, bahkan terhadap nasibnya sendiri ini

merupakan penggambaran efek yang ditimbulkan serta ungkapan kekecewaan

penyair akan sistem pendidikan di negaranya, yang tergambar pada kata sekolah.

Penggunaan kata celana pada puisi ini, termasuk kedalam metafora atau

penggantian arti (displacing of meaning) yang bergeser dari makna satu ke makna

lain, ini menyimbolkan teori, teori yang diajarkan di sekolah. Teori adalah bagian

dari ilmu yang disampaikan para pengajar terhadap pelajar, asas-asas dan hukum-

hukum umum yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan.

Seperti yang telah termasuk ke dalam sistem pengajaran, guru tidak hanya

menyampaikan kurikulum secara mentah, tetapi guru juga diharapkan

27

menyampaikan informasi tersebut melalui pendekatan psikologi terhadap murid di

kelas.

Hal ini termasuk memberikan kebebasan para murid menunjukkan

kemampuannya untuk mengkreasikan ilmu yang telah diajarkan guru, ini dapat

menunjukkan seberapa besar murid memahami ilmu itu, tepat atau tidak cara

pengaplikasian mereka serta dapat memancing rasa percaya diri mereka untuk

menampilkan kemampuannya di masyarakat, dan jika terjadi kekeliruan

pemahaman atau pengaplikasian, dapat segera dibenahi.

Ini berbanding terbalik dari efek yang dihasilkan ketika seorang pengajar

hanya menyampaikan ilmu secara mentah, seperti yang tertera pada larik akhir

bait ini, sehingga kami pun tumbuh menjadi anak-anak manis yang penakut dan

pengecut bahkan terhadap nasibnya sendiri.

Tautologi terdapat pada larik seluk-beluk yang ada di dalam celana,

tautologi merupakan bentuk pengulangan kata yang termasuk dalam majas

penegasan, mengandung arti materi-materi yang ada di dalam teori, dari mana

latar belakang terciptanya teori tersebut sampai cara pengaplikasian teori tersebut.

Pleonasme merupakan salah satu majas penegasan, yang kriterianya

peneliti temukan pada kalimat sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang

yang suka cabul terhadap diri sendiri, plenonasme merupakan kata yang

berlebihan digunakan untuk menegaskan suatu kalimat, yang diperuntukan untuk

menjelaskan kalimat sebelumnya yakni: Karena itu kami suka usil dan sembunyi

sembunyi membuat coretan dan gambar porno di tembok kamar mandi.

Bait kedua Masih terkait dengan efek cara belajar mengajar pada larik

karena itu kami suka usil dan sembunyi-sembunyi, membuat coretan dan gambar

28

porno di tembok kamar mandi ini merupakan kelanjutan dari hasil proses belajar

mengajar yang mereka peroleh di sekolah. Perkembangan manusia selain

dipengaruhi oleh kepribadian, kemampuan dan keistimewaanya juga dipengaruhi

oleh budaya, pola pengasuhan serta pengalaman sosial yang dilalui seorang anak.

Pengalaman sosial dan pola pengasuhan ini yang biasanya menjadi

tumpuan seorang anak menyikapi lingkungan, apakah dia bisa menjadi seseorang

yang percaya diri atau sebaliknya.

Vigotsky memandang perkembangan kognisi sebagai kelanjutan

perkembangan sosial melalui interaksi dengan orang lain dan lingkungan.

Pembelajaran dengan bantuan berlangsung pada zona perkembangan proksimal

anak-anak, yang pada zona itu mereka dapat melakukan tugas-tugas baru yang

berada dalam kemempuan mereka hanya dengan bantuan guru atau teman sebaya.

Dari sana murid dapat menghayati pembelajaran, mengembangkan kemandirian

serta memecahkan masalah melalui percakapan pribadi dari hati (Wahidin,

2005:9).

Sehingga tidak terjadi hal seperti larik akhir bait ke dua ini Sehingga kami

pun terbiasa menjadi orang-orang yang suka cabul terhadap diri sendiri. Karena

guru tidak menyediakan konteks interaksi, yang guru langsung dapat memberikan

tanggapan. Hal ini sangat mempengaruhi kepercayaan diri seseorang, melalui

interaksi dengan pengasuh.

Setelah loyo dan jompo kami mulai bisa berfantasi tentang hal-ihwal yang

ada di dalam celana. Larik awal pada bait ketiga ini menunjukkan adanya tafsir

ganda. Hal-ihwal yang ada di dalam celana bisa jadi perihal pemahaman sex

yang selalu ditutup-tutupi atau kembali pada tafsir bait pertama dan kedua.

29

Bertapa berpengaruhnya penanaman kepercayaan diri waktu kecil, memang setiap

manusia mengalami masa pendewasaan, tetapi berbeda-beda. Ada yang

mengalaminya pada usia produktif, sehingga mereka bisa mamanfaatkan masa

muda mereka dengan baik. Namun ada juga yang mengalaminya pada usia

matang, sehingga mereka tidak sempat menggembangkan dirinya dimasa muda.

Setelah menua barulah ia sadar jika ada banyak hal yang terdapat didalam

celana, Ada raja kecil yang galak dan suka memberontak, Ada filsuf tua yang

terkantuk-kantuk merenungi rahasia alam semesta, ada gunung berapi yang

menyimpan sejuta magma, ada juga gua garba yang diziarahi para pendosa dan

pendoa. Larik ini mencoba menceritakan bagaimana bumi ini terisi berbagai rupa

mahluk, dengan berbagai tingkah polahnya juga, yang tak putus membuat kita

harus selalu siaga. Gua garba dalam artian sebenarnya, merupakan salah satu

peninggalan purbakala, yang terletak di gianyar bali, yang diyakini ini merupakan

peninggalan Raja Jayapagus pada tahun 1178 sampai 1181 masehi. Namun dalam

puisi sebuah kata tetap memiliki kemungkinan untuk memiliki makna ganda. Jika

dikaitkan dengan larik sebelumnya Setelah loyo dan jompo kami mulai bisa

berfantasi tentang hal-ihwal yang ada di dalam celana, hal ini bisa jadi

penggambaran kelamin perempuan.

Pada bait ini juga peneliti menemukan majas yang ada di kategori majas

penegasan, yakni perulangan yang biasa terdapat pada puisi. Melalui cara

penceritaan pada kalimat Ada raja kecil yang galak dan suka memberontak; Ada

filsuf tua yang terkantuk-kantuk merenungi rahasia alam semesta; Ada gunung

berapi yang menyimpan sejuta magma; Ada juga gua garba yang diziarahi para

pendoa dan pendoa.

30

Konon setelah berlayar mengarungi bumi, Columbus pun Akhirnya

menemukan sebuah benua baru di dalam celana dan Stephen hawking khusyuk

bertapa di sana. Kalimat terakhir pada bait ini merupakan ungkapan polos,

menujukkan bahwa pada usia ini mereka baru menyadari betapa ilmu itu sangat

tinggi nilainya dan bermanfaat, sangat diimpikan oleh semua orang. Di sini

dituliskan bahkan, setelah berlayar mengelilingi bumi, Columbus akhirnya

menemukan benua di dalam celana.

Cristoforus Columbus lahir 30 Oktober 1451 – meninggal 20 Mei 1506

pada umur 54 tahun, adalah seorang penjelajah dan pedagang asal Genoa, Italia,

yang menyeberangi Samudera Atlantik dan sampai ke Benua Amerika pada

tanggal 12 Oktober 1492 (Wikipedia, 2015)

Stephen Hawking kusyuk bertapa di sana, Stephen Hawking lahir di Oxford,

Britania Raya, 8 Januari 1942, umur 73 tahun, adalah seorang ahli fisika teoretis.

Ia adalah seorang Profesor Lucasian dalam bidang matematika di Universitas

Cambridge dan anggota dari Gonville and Caius College, Cambridge. Ia dikenal

akan sumbangannya di bidang fisika kuantum, terutama karena teori-teorinya

mengenai teori kosmologi, gravitasi kuantum, lubang hitam, dan radiasi

Hawking.( Wikipedia bahasa Indonesia, 2015:08)

Aristoteles pada tahun 340 SM, dalam bukunya Mengenai Langit, mampu

mengemukakan dengan baik dua argumen yang meyakinkan orang bahwa Bumi

berbentuk sebuah bola bulat, bukannya piring datar. Pertama, ia menyadari bahwa

gerhana Bulan disebabkan oleh Bumi yang berada antara bulan dan matahari.

Kedua, dari perjalanan yang dilakukan orang Yunani, mereka tahu bahwa Bintang

Utara tampak lebih rendah di langit bila pengamat berada lebih selatan (karena

31

terletak di atas kutub Utara, Bintang Utara itu berada tepat di atas ubun-ubun

seorang pengamat di Kutub Utara, dan di atas horiszon bila ia berada di

Katulistiwa). Bahkan orang Yunani memiliki argumen ketiga, bahwa Bumi

pastilah bulat. Kalau tidak, mengapa orang melihat terlebih dahulu layar kapal

menyembul di cakrawala, baru kemudian lambungnya?(Hawking, 1994: 2).

Pada kalimat terakhir ia dituliskan khusyuk betapa di sana. Dalam bait ini

penyair mencoba mempertegas bahwa isi dalam celana (eksplorasi terhadap suatu

ilmu) adalah suatu hal yang sebenarnya diimpikan orang banyak, bahkan oleh

orang yang telah dianggap menguasai berbagai ilmu sekalipun seperti hal nya

bumi .

2. Hipogram

Puisi yang berjudul Sajak Pertemuan Mahasisiwa (1977) Karya W.S

Redra, dapat mewakili sebagai hipogram dari puisi Joko Pinurbo yang berjudul

Celana 2. Sebelum masuk ke uraian, berikut akan dipaparkan puisi W.S. Rendra

yang berjudul Sajak Pertemuan Mahasiswa.

Sajak pertemuan mahasisiwa

Matahari terbit pagi ini

mencium bau kencing orok di kaki langit,

melihat kali coklat menjalar ke lautan,

dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.

Lalu kini ia dua penggalah tingginya.

Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini

memeriksa keadaan.

Kita bertanya :

Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.

Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.

Orang berkata “ Kami ada maksud baik “

Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk siapa ?”

Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina

Ada yang bersenjata, ada yang terluka.

Ada yang duduk, ada yang diduduki.

32

Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.

Dan kita di sini bertanya :

“Maksud baik saudara untuk siapa ?

Saudara berdiri di pihak yang mana ?”

Kenapa maksud baik dilakukan

tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.

Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.

Perkebunan yang luas

hanya menguntungkan segolongan kecil saja.

Alat-alat kemajuan yang diimpor

tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.

Tentu kita bertanya :

“Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”

Sekarang matahari, semakin tinggi.

Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.

Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :

Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?

Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini

akan menjadi alat pembebasan,

ataukah alat penindasan ?

Sebentar lagi matahari akan tenggelam.

Malam akan tiba.

Cicak-cicak berbunyi di tembok.

Dan rembulan akan berlayar.

Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.

Akan hidup di dalam bermimpi.

Akan tumbuh di kebon belakang.

Dan esok hari

matahari akan terbit kembali.

Sementara hari baru menjelma.

Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.

Atau masuk ke sungai

menjadi ombak di samudra.

Di bawah matahari ini kita bertanya :

Ada yang menangis, ada yang mendera.

Ada yang habis, ada yang mengikis.

Dan maksud baik kita

berdiri di pihak yang mana !

Jakarta 1 Desember 1977

(Rendra,1977)

Hal ini diperkuat dengan kesamaaan tema yang berada dalam kedua puisi

tersebut, yaitu tentang ungkapan kekecewaan terhadap sistem pendidikan di

negara ini. Kekecewaan tersebut terlihat dalam penggalan puisi berikut.

33

Ketika sekolah kami sering disuruh menggambar celana

Yang bagus dan sopan tapi tak pernah diajar melukis

Seluk-beluk yang di dalam celana, sehingga kami pun tumbuh

Menjadi anak-anak manis yang penakut dan pengecut,

Bahkan terhadap nasibnya sendiri.

(Pinurbo, 1996)

Dalam konsep, puisi karya Joko Pinurbo yang berjudul Celana 2, bagian

terlampir di atas hampir sama dengan puisi karya W.S Rendra yang berjudul Sajak

Pertemuan Mahasiswa, berikut penggalannnya.

Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :

Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?

Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini

akan menjadi alat pembebasan,

ataukah alat penindasan ?

(Rendra, 1997)

Kedua puisi tersebut mengungkapkan kekecewaan murid. Kepada para

pengajar yang hanya sekedar membacakan apa isi di dalam buku teori-teori

sekolah yang seharusnya dikembangkan menjadi praktik. Ungkapan kekecewaan

yang terdapat dalam puisi tersebut merupakan ketidak berdayaan seorang murid

dalam menentukan nasibnya sendiri. Mereka tidak diberikan kebebasan untuk

menentukan nasibnya sendiri.

Kesamaan kedua tema puisi ini, serta penciptaan puisi karya Rendra yang

berjudul Sajak Pertemuan Mahasisiwa lebih dahulu dari pada puisi karya Joko

Pinurbo yang berjudul Celana 2, dapat menjadi faktor pembuktian bahwa puisi

Sajak Pertemuan Mahasisiwa merupakan hipogram dari puisi Celana 2.

3. Matriks

Matriks dalam puisi “Celana 2” adalah termasuk gaya bahasa metafora,

karena celana ini menyimbolkan suatu hal yang memiliki sifat hampir mirip

dengan sesuatu yang ingin pengarang sampaikan, ungkapan kekecewaan mantan

34

murid terhadap sistem pendidikan. Matriks tersebut dikembangkan dengan

mengkritik cara pengajarannya, memberitahukan sistem pengajarannya dengan

cara menceritakan apa yang diajarkan di sekolah. Pengajar pun hanya meminta

mereka melakukan sesuai perintah, hanya menghafalkan apa yang disampaikan

bukan mengembangkannya.

Varian pada bait pertama adalah pengarang menceritakan bagaimana

mereka hanya diminta menggambar celana yang bagus dan sopan, tapi tidak

pernah diajar melukis seluk-beluk yang ada di dalam celana. Pada larik tadi

pengarang menyisipkan gaya bahasa tautologi, tautologi merupakan gaya bahasa

yang berarti pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya. Pengarang

berusaha mengkritik kurikulum yang digunakan oleh lembaga pendidikan formal

di negara kita ini. Pada kata benda celana, ini menyimbolkan teori, teori yang

diajarkan di sekolah. Teori adalah bagian dari hal (ilmu) yang disampaikan para

pengajar terhadap pelajar, asas-asas dan hukum-hukum umum yang menjadi dasar

suatu kesenian atau ilmu pengetahuan.

Varian kedua kemudian pengarang menceritakan bagaimana mereka (para

murid) yang di sekolah terlihat patuh, ternyata secara sembunyi-sembunyi mereka

adalah sosok yang berbeda, mereka di sisi lain adalah orang yang jahil. Pada baris

pertama di bait kedua, peneliti menemukan gaya bahasa sigmatisme yang

merupakan pengualangan bunyi “S” untuk efek tertentu, kata itu mengungkapkan

bagaimana secara tertutup mereka baru berani menunjukkan hasrat mereka yang

sesungguhnya. Pada baris ketiga dan keempat kemudian disusul oleh penambahan

keterangan pada pernyataan yang sudah jelas, yakni sehingga kami pun terbiasa

menjadi orang-orang yang suka cabul terhadap diri sendiri.

35

Varian pada bait ketiga adalah pengarang menulis, jika tidak hanya

diziarahi para pendoa tetapi juga para pendosa, ini merupakan pengungkapan

bahwa hal yang di anggap benar, tidak pasti selamanya akan menjadi benar.

Varian pada bait keempat terdapat deretan larik-larik yang merupakan

paralelisme atau pengungkapan dengan menggunakan kata, frasa, atau klausa

yang sejajaran.

Varian pada bait terakhir alias bait kelima ini, merupakan kata-kata yang

kedengarannya polos, namun mengandung banyak makna. Pengarang mencoba

mengungkapkan bahwa orang profesional seperti Columbus dan Stephen

Hawking pun membutuhkan ruang agar mereka dapat bebas menjadi diri sendiri.

Analisis yang dilakukan terhadap puisi “Celana 2” karya Joko Pinurbo di

atas, puisi tersebut mengingatkan kita bagaimana ketidakjelasan sistem

pendidikan di negara kita ini. Terlihat bagi mereka, bahwa pendidikan di sekolah

hanyalah formalitas saja, tanpa bisa membantu masa depan kita di dunia kerja

nanti. Puisi ini memberi pengetahuan, bagaimana seharusnya sistem pengajaran di

sekolah agar bisa lebih menunjang kebutuhan para muridnya dimasa depan nanti.

Bagimana para pengajar harus memberi peluang agar para murid bisa berkembang

sesuai kemampuanya, bagaimana harus adanya pengertian karena setiap murid

memiliki bakat dan minat yang berbeda-beda.

4. Simbolisme benda

Dari berbagai macam jenis pembacaan yang telah peneliti lakukan di atas,

simbolisme benda yang mendominasi pada puisi ini ditemukan ada dua kata, yang

pertama adalah Celana, menurut pengertian umum celana merupakan alat

pembungkus yang digunakan oleh manusia dengan berbagai macam jenisnya.

36

Seperti yang telah peneliti bahas, celana dilihat dari larik lajutannya dimaksudkan

untuk menyebut teori yang diajarkan di sekolah. Isi dalam celana dimaksudkan

untuk menyebutkan bagaimana materi yang juga seharusnya diajarkan, yang

sesungguhnya dibutuhkan pendekatan psikologis, agar para murid tidak menerima

ilmu secara mentah. Tetapi dalam puisi ini dikisahkan isi dalam celana sering

diabaikan, sehingga hasilnya para murid belum paham betul apa kegunaan ilmu

yang telah mereka dapat di sekolah. Selain sering salah dalam mengartikannya,

mereka pun tidak bisa mengembangkan kemandirian mereka.

37

B. Puisi Bayi di Dalam Kulkas karya Joko Pinurbo

Bayi di Dalam Kulkas

Bayi dalam kulkas lebih bisa mendengarkan

pasang surutnya angin, bisu kelunya malam

dan kuncup-kuncup bunga di dalam taman

Dan setiap orang yang mendengar tangisnya mengatakan;

“Akulah ibumu. Aku ingin menggigil

dan membeku bersamamu.”

“Bayi, nyenyakkah tidurmu?”

“Nyenyak sekali, ibu. Aku terbang kelangit

ke bintang-bintang cakrawala kedetik penciptaan

bersama angin dan awan hujan dan kenangan.”

“Aku ikut. Jemputlah aku, Bayi.

Aku ingin terbang dan melayang bersamamu.”

Bayi tersenyum, membuka dunia kecil yang merekah

di matanya, ketika ibu menjamah tubuhnya

yang ranum, seperti menjamah gumpalan jantung dan hati

yang dijernihkan untuk dipersembahkan di meja perjamuan.

“Biarkan aku tumbuh besar disini, ibu.

Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai itu.”

Bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri

Di hadapan mulut yang mengucapkannya.

(1995)

1. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

a. Pembacaan Heuristik pada puisi Bayi di Dalam Kulkas sebagai berikut.

Judul

Bayi di dalam kulkas

Bait ke-1

Bayi dalam kulkas (itu) lebih bisa mendengarkan, pasang surutnya angin, bisu

kelunya malam (hari) dan kuncup-kuncup bunga di dalam taman.

38

Bait ke-2

Dan setiap orang yang mendengar tangisnya mengatakan; “Akulah ibumu.

(dan) Aku ingin menggigil dan membeku bersamamu.”

Bait ke-3

“Bayi, nyenyakkah tidurmu?” “Nyenyak sekali, ibu. Aku terbang kelangit

ke bintang-bintang cakrawala kedetik penciptaan bersama angin dan awan hujan

dan kenangan”. “Aku ikut. Jemputlah aku, Bayi. Aku ingin melayang besamamu.”

Bait ke-4

Bayi tersenyum, membuka dunia kecil yang merekah di matanya, ketika

ibu menjamah tubuhnya yang ranum, seperti menjamah gumpalan jantung dan

hati yang dijernihkan untuk dipersembahkan di meja perjamuan.

Bait ke-5

“Biarkan aku tumbuh besar di sini, ibu. Jangan keluarkan aku ke dunia

yang ramai itu.”

Bait ke-6

Bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri di hadapan mulut

yang mengucapkannya.

b. Pembacaan Hermeneutik pada puisi Bayi Kecil di Dalam Kulkas sebagai

berikut.

Dalam pembacaan tingkat kedua ini, menitik beratkan pada ketidak

langsungan ekspresi puisi yang disebabkan oleh tiga hal; penggantian arti,

penyimpangan arti serta penciptaan arti. Pada judul peneliti manemukan adanya

39

kriteria penggantian arti, yang lebih tepatnya metafora, Bayi di dalam kulkas

pengarang telah menegaskan, bahwa pada puisi ini ia akan menceritakan tentang

kisah seorang bayi yang berada di dalam kulkas, namun bayi di sini memiliki

tafsir ganda atau lebih tepatnya sesuatu yang disimbolkan dengan bayi.

Pada bait pertama peneliti melihat bahwa pengambilan sosok bayi oleh

pengarang, karena ia ingin menampilkan sosok yang tidak berdaya atau masih

butuh dilindungi. Selain disebabkan oleh rasa khawatir, ia juga masih begitu

sensitif, kulitnya yang lembut membuat benda-benda yang bagi orang dewasa

sama sekali tidak berbahaya dapat melukainnya. Lebih peka dari orang dewasa,

seperti yang digambarkan penyair, Bayi dalam kulkas lebih bisa mendengarkan

pasang surutnya angin, bisu kelunya malam dan kuncup-kuncup bunga di dalam

taman.

Bayi yang masih merasa asing menghadapi dunia ini amat membutuhkan

sosok pelindung. Dan setiap orang yang mendengar tangisnya mengatakan;

“Akulah ibumu. Aku ingin menggigil dan membeku bersamamu.” Larik ini

menggandung dua metafora yang pertama adalah Ibu menggambarkan bahwa

sosok ibu adalah bukan ibu yang melahirkan bayi itu, ia adalah sosok yang

merespon tangisan sang bayi. Kedua adalah Menggigil, metafora sendiri diartikan

sebagai pemakaian kata yang bukan arti sebenarnya, namun masih masuk dalam

ranah persamaan. Susunan larik tersebut dapat disimpulkan sebagai rasa empati

yang muncul ketika seseorang mendengar tangisan sosok bayi.

Berlanjut pada interaksi Bayi, nyenyakkah tidurmu?, Nyenyak sekali, ibu.

Aku terbang kelangit ke bintang-bintang cakrawala kedetik penciptaan bersama

angin dan awan hujan dan kenangan.” “Aku ikut. Jemputlah aku, Bayi. Aku ingin

40

terbang dan melayang bersamamu.” Pada Bait ini muncul banyak kata kiasan,

yang masuk dalam penyimpangan arti. Jawaban dari sosok bayi merupakan

sebuah paradoks, karena amat bertentangan dari keadaan sebelumnya, ini sama

halnya ketika seseorang jatuh dari motor dan terluka tetapi saat ditanya “anda

sakit?” dia menjawab, “tidak apa?”, dari jawaban ini berbau sinis, karena sang

korban sedikit banyak mengetahui bahwa pertayaan yang diajukan itu hanya

ditujukan untuk berbasa-basi.

Bayi tersenyum, membuka dunia kecil yang merekah di matanya, ketika

ibu menjamah tubuhnya yang ranum, seperti menjamah gumpalan jantung dan

hati yang dijernihkan untuk dipersembahkan di meja perjamuan. Bayi

sebenarnya telah mengetahui bahwa akan ada harga yang harus ia bayar untuk

semua fasilitas itu. Seperti pada penggalan, ketika ibu menjamah tubuhnya yang

ranum, seperti menjamah gumpalan jantung dan hati yang dijernihkan untuk

dipersembahkan di meja perjamuan. Ini menceritakan seolah-olah sosok Ibu itu

adalah pejabat, yang ingin menjamah sosok bayi atau rakyat. Sepeti biasa rakyat

sering dijadikan alat untuk memperoleh tujuan mereka. Hal ini ingin ditunjukkan

penyair dalam diksi dipersembahkan di meja perjamuan.

Bayi menolak untuk keluar dari kulkas yang dingin. Biarkan aku tumbuh

dan besar di sini, ibu. Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai itu. Bayi

merasa dunia di luar kulkas terlalu beresiko untuknya, ia lebih memilih diam dan

tumbuh dikebekuan. Sebab jika mereka maju, didunia politik yang ramai, mereka

hanya akan menjadi objek orang-orang yang tidak jujur.

41

Bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri di hadapan

mulut yang mengucapkannya, dalam kegelisahan ini doa rakyat hanya akan

menjadi sebuah rahasia.

2. Hipogram

Puisi yang berjudul “Derai- Derai Cemara (1994)” karya Chairil Anwar,

dapat mewakili sebagian hipogram dan puisi Joko Pinurbo yang berjudul “Bayi

Di Dalam Kulkas”. Sebelum Masuk ke uraian, berikut akan dipaparkan puisi

Chairil Anwar yang berjudul Derai-Derai Cemara.

Derai-derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh

terasa hari akan jadi malam

ada beberapa dahan di tingkap merapuh

dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan

sudah berapa waktu bukan kanak lagi

tapi dulu memang ada suatu bahan

yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan

tambah terasing dari cinta sekolah rendah

dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan

sebelum pada akhirnya kita menyerah

(Chairil Anwar, 1949)

Hal ini diperkuat dengan kesamaan tema yang berada dalam kedua puisi

tersebut, yaitu tentang ketidakberdayaan rakyat kecil, tentang keputusasaan

mereka untuk didengar. Ketidakberdayaan itu terlihat dalam penggalan puisi

berikut.

“Biarkan aku tumbuh besar disini, ibu.

Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai itu.”

Bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri

42

Di hadapan mulut yang mengucapkannya.

(Pinurbo, 1995)

Dalam hal emosi yang ditonjolkan, puisi terlampir di atas karya Joko

Pinurbo yang berjudul Bayi dalam Kulkas, memiliki kesamaan dalam puisi karya

Chairil Anwar yang berjudul Derai- Derai Cemara, berikut penggalannnya.

Hidup hanya menunda kekalahan

tambah terasing dari cinta sekolah rendah

dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan

sebelum pada akhirnya kita menyerah

(Anwar, 1949)

Puisi-puisi tersebut mengungkapkan tentang para warga negara yang

berkecil hati akan kelangsungan nasibnya, yang tidak dapat mereka peroleh di

negaranya sendiri. Mereka sudah beranggapan bahwa percuma berharap kepada

sosok pejabat, akan keluh kesahnya didengar dan diperjuangkan haknya. Semua

hal yang pejabat janjikan bukanlah hal yang sebenarnya, bukanlah perlindungan

serta kesejahteraan yang sebenarnya akan diberikan, tapi justru para masyarakat

malah akan diekploitasi untuk kepentingan pribadi.

Joko Pinurbo mengungkapkan keadaan tersebut lebih mengunakan kata-

kata konotatif. Hal ini dapat dilihat dari kata Bayi dalam kulkas lebih bisa

mendengarkan pasang surutnya angin, bisu kelunya malam dan kuncup-kuncup

bunga di dalam taman. Chairil Anwar menggambarkan dengan kata-kata yang

lebih sederhana. Kata yang dimaksudkan yakni Aku sekarang orangnya bisa

tahan sudah berapa waktu bukan kanak lagi tapi dulu memang ada suatu bahan

yang bukan dasar perhitungan kini. Kata-kata tersebut merupakan ungkapan

kekecewaan warganegara akan janji-janji para pejabat yang tidak kunjung

ditepati. Mereka bahkan menarik diri dari dunia yang kental oleh dominasi para

43

pejabat itu. Mereka lebih memilih untuk tetap tinggal di tempatnya yang sekarang,

dari pada harus mengambil resiko dijadikan tumbal untuk kepentingan para

pejabat itu.

Pembahasan kedua puisi di atas dapat disimpulkan bahwa puisi Derai-

dari Cemara karya Chairil Anwar merupakan hipogram dari puisi yang berjudul

Bayi di Dalam Kulkas karya Joko Pinurbo.

3. Matriks

Matriks dalam puisi “Bayi di Dalam Kulkas” adalah mengungkapkan

tentang para warganegara yang berkecil hati akan nasibnya yang tidak dapat

mereka perjuangkan di negaranya sendiri. Mereka sudah beranggapan bahwa

percuma berharap kepada sosok pejabat, akan keluh kesahnya didengar dan

diperjuanghkan haknya. Bahkan mereka harus lebih berhati-hati lagi, salah

langkah mereka bisa saja malah menjadi tumbal untuk kepentingan para pejabat

itu.

Varian pada bait pertama adalah pengarang menjelaskan sosok yang masih

lemah (bayi), mereka memiliki kelebihan yakni kepekaan yang lebih tinggi

dibanding manusia lainnya. Pada bait ini peneliti melihat bahwa pengarang

menggunakan majas personifikasi, yakni pada larik bisu-kelunya malam.

Varian pada bait kedua adalah kehadiran sosok yang mengaku sebagai

seorang ibu, dan sosok yang mengaku sebagai seorang ibu itu mengatakan, jika ia

ingin mengigil dan membeku bersama sosok bayi. Varian pada bait ketiga adalah

saat sosok yang mengaku sebagai seorang ibu itu mulai menanyakan hal yang

menunjukkan kepeduliannya, ia berkata bahwa ia ingin mendampingi sosok bayi.

44

Varian pada bait keempat adalah penggambaran saat bayi tersenyum, saat

sosok yang mengaku sebagai seorang ibu itu menjamah tubuhnya, bayi sudah

merasa bahwa tubuhnya seperti gumpalan jantung untuk dipersembahkan di meja

perjamuan.

Varian pada bait kelima bayi menolak untuk diajak tumbuh bersama sosok

yang mengaku sebagai seorang ibu, ia memilih besar tetap ditempat asalnya. Ia

tidak yakin hidupnya akan lebih baik jika berada di tempat yang ditawarkan (ibu)

Varian pada bait keenam adalah penjelasan mengenai apa hakekat

sebenarnya bayi bersikap seperti itu.

4. Simbolisme Benda

Dari hasil pembacaan yang telah peneliti lakukan, peneliti menemukan dua

simbol benda yang sangat berpengaruh pada puisi ini. Pertama adalah bayi, bayi

di sini untuk menggambarkan ketidakberdayaan, namun mereka adalah makhluk

yang sangat peka (rakyat). Kedua adalah kulkas, yang menggambarkan sebuah

kebekuan.

45

C. Puisi Tukang Cukur karya Joko Pinurbo

Tukang Cukur

Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur

Dikepalaku. Ia membabat rasa damai

Yang merimbun sepanjang waktu.

“Dibekas hutan ini akan kubangun bandar, hotel,

dan restoran. Tentunya juga sekolah,

rumah bordil, dan tempat ibadah.

Ia menyayat-nyayat kepalaku.

Ia mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku.

“Aku akan mencukur lentik bulu matamu.

Dan kalau perlu akan ku pangkas daun telingamu.”

Suara guntingnya selalu mengganggu tidurku.

(1989)

1. Pembacaan Heuristik Dan Hermeneutik

a. Pembacaan Heuristik Pada Puisi Tukang Cukur Karya Joko Pinurbo

Judul

Tukang Cukur

Bait ke-1

Ia membabat (habis) padang rumput yang tumbuh subur di kepalaku. Ia

membabat rasa damai yang merimbun sepanjang waktu.

Bait ke-2

“Dibekas hutan ini akan kubangun bandar, hotel dan restoran. Tentunya

juga sekolah, rumah bordil, dan tempat ibadah.

Bait ke-3

46

Ia menyayat-nyayat kepalaku. Ia mengkapling-kapling tanah pusaka (dari)

nenek moyangku.

Bait ke-4

“Aku akan mencukur lentik bulu matamu. Dan kalau perlu akan (a)ku

pangkas daun telingamu.”

Bait ke-5

Suara guntingnya selalu mengganggu tidurku.

b. Pembacaan Hermeneutik pada puisi Tukang Cukur Karya Joko Pinurbo

Dalam pembacaan tingkat kedua ini, menitik beratkan pada ketidak

langsungan ekspresi puisi yang disebabkan oleh tiga hal; penggantian arti,

penyimpangan arti serta penciptaan arti. Pada judul peneliti manemukan adanya

kriteria metafora Tukang Cukur, merupakan sebuah simbol yang dimaksudkan

pengarang sebagai suatu profesi.

Larik Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur di kepalaku, adalah

ciri dari metafora yang merupakan bentuk kata yang bukan sebenarnya, sebagai

lukisan yang berdasarkan persamaan perbandingan, yang digunakan untuk

menyampaikan maksud yang sebenarnya, yakni, Ia menghilangkan kebebasan

yang ada dalam pikiranku, Disusul bait setelahnya, yang masih menggunakan

cara yang sama untuk menyampaikan maksud dari pengarang. Ia membabat rasa

damai yang merimbun sepanjang waktu Dari bait pertama telah terlihat bahwa

tukang cukur ini bukan tukang cukur dalam arti sebenarnya. Jika biasanya

seorang tukang cukur mengikuti permintaan pelanggannya, pada larik pertama

terlihat bahwa tukang cukur ini memiliki kuasa lebih tinggi dari orang yang

47

dicukur. Tukang cukur menggambarkan seorang pemimpin yang arogan, bisa

pemimpin pemerintahan ataupun perusahaan.

Dibekas hutan itu akan kubangun bandar, hotel, dan restoran, tentunya

juga sekolah, rumah bordil dan tempat ibadah, Masih sama menggunakan

metafora. Ini menggambarkan tentang perubahan bumi yang tidak dapat diterima

dan rakyat, sebab mereka tau ini akan berakibat buruk bagi ekosistem alam.

Ia menyayat-nyayat kepalaku. Ia mengkapling-kapling tanah pusaka nenek

moyangku, masih menggunakan metafora yang dimaksudkan untuk

menyampaikan, diceritakan bahwa ia mengekploitasi serta mengubah struktur

warisan kebudayaan peninggalan nenek moyang kami. Bait ketiga ini bisa

dikaitkan dengan pengertian yang luas, bisa jadi ini bertujuan untuk menguras

sumber daya alam untuk kepentingan pribadi, seperti minyak kayu, batu bara atau

kekayaan perut bumi yang lainya atau hanya sekedar memanfaatkan lingkungan

seperti hutan untuk diubah menjadi lahan usaha, tanpa memikirkan ekosistem

atau cagar budaya yang akan rusak. Adapun ekosistem yang ada di alam (hutan

ataupun laut) sangat berpengaruh besar untuk kelangsungan bumi, begitu pula

cagar budaya, yang tidak sekedar hanya diwariskan nenek moyang tanpa tujuan,

tapi cagar budaya merupakan wujud dari identitas suatu kebudayaan yang sangat

penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan serta pendidikan.

Cagar budaya adalah warisan budaya berupa daerah yang kelestarian hidup

masyarakat dan peri kehidupannya dilindungi oleh undang undang dari bahaya

kepunahan. Menurut Undang- undang no.11 tahun 2010. Dalam ayat tiga

disebutkan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalam negara, dikuasai

oleh warganegara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, bukan

48

dimanipulasi agar menjadi milik perorangan. Undang- undang no.33 tahun 1945

secara menyeluruh, hendaknya menjadi renungan kita bersama dan bagaimana

merealisasikan amanat dari undang- undang tersebut.

“Aku akan mencukur lentik lembut bulu matamu), aku akan mehilangkan

apa yang kau bangga-banggakan. (Dan kalau perlu akan kupangkas daun

telingamu.” pada larik ini menunjukkan mulai adanya perlawana fisik.

Ini merupakan upaya pembalasan, bukan sekedar pemberontakan. Jika

pada bait sebelumnya penyair menggambarkan rakyat akan merebut kembali

haknya, maka pada bait ke empat ini penyair menambahkan lagi. Bukan hanya ia

ingin mengambil kembali apa yang harusnya menjadi haknya, tapi ia juga akan

merampas apa yang dimiliki si tukang cukur.

Suara guntingnya selalu mengusik tidurku. Selama tukang cukur masih

bebas melakukan tindakkannya, ia tetap saja akan diresahkan oleh perebuahan-

perubahan bumi yang masih terus terjadi.

2. Hipogram

Puisi yang berjudul Asia Membaca (1985) karya Afrizal Malna, dapat

mewakili sebagai hipogram dan puisi Joko Pinurbo yang berjudul “Tukang

Cukur”. Sebelum Masuk ke uraian, berikut akan dipaparkan puisi karya Afrizal

Malna, yang berjudul Asia Membaca.

Asia Membaca

Matahari telah berlepasan dari dekor-dekornya. Tapi kami masih

Hadapi langit yang sama, tanah yang sama. Asia. Setelah dewasa

dewa pergi, jadi batu dalam pesawat-pesawat TV; setelah waktu

waktu yang menghancurkan, dan cerita lama memanggili lagi

dari negri lain, setiap kata jadi berbau bensindi situ. Dan kat-

mi terurai lagi lewat baju-baju lain. Asia. Kapal-kapal membuka

49

pasar, mengganti naga dan lembu dengan minyak bumi. Mem-

bawa kami ke depan telepon berdering.

Di situ kami meranggas, dalam taruhan berbagai kekuatan. Meng-

antar pembisuan jadi jalan-jalan di malam hari. Asia. Lalu kami

masuki dekor-dekor baru, bendera-bendera baru, cinta yang lain

lagi, mendapatkan hari yang melibihi waktu: Membaca yang

tak boleh dibaca, menulis yang tak boleh ditulis.

Tanah berkaca-kaca di situ, mencium bau manusia, menyimpan

Kami dari segala jaman. Asia. Kami pahami lagi debur laut, tempat

Para leluhur mengirim burung burung, mencipta kata. Asia hanya

ditemui, seperti malam-malam mencari segumpal tanah yang

hilang: Tempat bahasa dilahirkan.

Asia.

Malna, 1985

Hal ini diperkuat dengan kesamaan tema yeng berada dalam kedua puisi

tersebut, yaitu tentang upanya rakyat kecil untuk memperoleh haknya. Upaya itu

terlihat dalam penggalan puisi berikut.

“Dibekas hutan ini akan kubangun bandar, hotel,

dan restoran. Tentunya juga sekolah,

rumah bordil, dan tempat ibadah.

“Aku akan mencekur lentik bulu matamu.

Dan kalau perlu akan ku pangkas daun telingamu.”

(Pinurbo,1989)

Dalam tema puisi di atas karya Joko Pinurbo yang berjudul Tukang Cukur,

memiliki kesamaan dalam puisi karya Afrizal Malna yang berjudul Asia

Membaca, berikut penggalannnya.

Di situ kami meranggas, dalam dalam taruhan berbagai kekuatan. Meng-

antar pembisuan jadi jalan-jalan di malam hari. Asia. Lalu kami

masuki dekor-dekor baru, bendera-bendera baru, cinta yang lain

lagi, mendapatkan hari yang melibihi waktu: Membaca yang

tak boleh dibaca, menulis yang tak boleh ditulis.

(Malna, 1985)

50

Puisi Joko Pinurbo di atas, mengenai perlawanan yang bisa saja dilakukan

para rakyat kecil, keduanya menceritakan tentang bagaimana mereka berusaha

disingkirkan oleh orang-orang yang lebih berkuasa, pada puisi (tukang cukur)

penyair menggambarkannya melalui perlambangan rambut yang tidak diinginkan

lalu mencoba untuk dipangkas (disingkirkan) oleh tukang cukur atau dalam artian

sosok penguasa. Realitanya, orang-orang yang coba memanipulasi agar sumber

daya alam dapat mereka eksploitasi untuk kekayaan pribadi. Mereka tetap akan

memperbaikinya, sebagaimana pun sosok tukang cukur berusaha memusnahkan

ideologi mereka, mereka akan tetap berusaha mendapatkan haknya. Kemarahan

yang terdapat dalam kedua puisi tersebut merupakan kemarahan para rakyat kecil

kepada pemerintah ataupun para pengusahan yang berusahan mengeksploitasi

kekayaan negara.

Dalam Afrizal Malna puisinya yang berjudul Asia Membaca,

menggunakan pengistilahan rakyat kecil lebih kolektif yaitu disebutkan dengan

kata kami sebagai pengganti penyebutan rakyat. Tentunya dengan artian

berbanding lurus dengan realita yang ini disampaikan pada puisi Joko Pinurbo

yang berjudul Tukang Cukur, namun pelawanan yang digambarkan pada puisi

karya Afrizal Malna yang berjudul Asia Membaca lebih kepada usaha kolektif dan

seperti pada judulnya, perlawanan ini dilakukan bukan hanya mempertahankan

negara Indonesia, tapi benua kita.

Joko Pinurbo mengungkapkan keadaan tersebut lebih menggunakan kata-

kata konotatif. Hal ini dapat dilihat dari kata Aku akan mencukur lentik bulu

matamu. dan kalau perlu akan ku pangkas daun telingamu. Afrizal Malna

menggambarkannya dengan kata-kata yang lebih lugas, keduanya menggunakan

51

kata-kata hampir kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, namun pada puisi

karya Joko Pinurbo masih terselip sebuah simbol. Larik yang dimaksudkan yakni

Di situ kami meranggas, dalam dalam taruhan berbagai kekuatan. Mengantar

pembisuan jadi jalan-jalan di malam hari. Asia...Membaca yang tak boleh

dibaca, menulis yang tak boleh ditulis. Larik-larik tersebut merupakan wujud

pemberontakan yang dilakukan rakyat atas ketidakadilan yang mereka terima.

Setiap warga negara memiliki hak yang sama, apalagi pemerintah yang telah

diberi amanah untuk meningkatkan kualitas hidup rakyatnya, dengan pengolahan

sumber daya yang baik, agar seluruh rakyat dapat memperoleh manfaat dari

kekayaan negaranya.

Ia menyayat-nyayat kepalaku.

Ia mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku.

(Pinurbo, 1989)

Memiliki kesamaan dengan salah satu pengalan puisi karya Afrizal Malna

yang berjudul Asia Membaca, berikut penggalannnya.

Menyimpan kami dari segala jaman. Asia. Kami pahami lagi debur laut,

tempat para leluhur mengirim burung burung, mencipta kata. Asia hanya

ditemui, seperti malam-malam mencari segumpal tanah yang

hilang: Tempat bahasa dilahirkan. Asia.

(Malna, 1985)

Kedua penggalan puisi ini, membahas bagaimana cagar budaya sangat

berpengaruh untuk identitas suatu negara bahkan benua, yang tidak sekedar

hanya diwariskan nenek moyang tanpa tujuan, tapi cagar budaya merupakan

wujud dari identitas suatu kebudayaan yang sangat penting bagi sejarah, ilmu

pengetahuan serta pendidikan.

52

Pembahasa kedua puisi di atas dapat disimpulkan bahwa puisi Asia

Membaca karya Afrizal Malna merupakan hipogram dari puisi yang berjudul

Tukang Cukur karya Joko Pinurbo.

3. Matriks

Matriks dalam puisi “Tukang Cukur” adalah kemarahan yang dirasakan

oleh rakyat kecil. Matriks tersebut dikembangkan dengan menceritakan

bagaimana perlakuan para pengusaha ataupun pemerintah kepada mereka.

Kemudian mereka akan berupaya melakukan serangan balik.

Varian pada bait pertama adalah pengarang menceritakan kalau apa yang

mereka miliki dimusnahkan, ini ia gambarkan seperti tukang cukur yang secara

paksa mencukur rambut seseorang, yang sebenarnya tidak ingin dicukur. Bahkan

seseorang itu sangat merasa nyaman dengan gaya rambutnya, tapi sang tukang

cukur malah merubahnya. Varian pada bait kedua adalah pengarang mengatakan

bahwa ia akan menghias sesuka hatinya dikepala yang habis dicukur paksa itu.

Sebagaimana pun (tukang cukur) berusaha memusnahkan mereka, mereka akan

lebih berusaha lagi untuk bangkit dan berusaha menumbuhkan kekuatan baru.

Varian pada bait ketiga adalah pengarang kembali menceritakan

kekejaman pemerintah dan pengusaha lainnya, tidak hanya memusnakan ideologi

mereka, tapi juga melukai, dengan cara merampas hak- hak mereka. Mengusik

apa yang telah mereka punyai sejak lahir (warisan leluhur). Kebudayaan yang

dieksploitasi, ini dapat berupa kesenian, seni pertunjukan, seni kerajinan tangan,

naskah kuno, adat istiadat dan sebagainya. Varian pada bait keempat adalah

pengarang mengeluarkan kata-kata ancaman. Ia menunjukan bahwa rakyat kecil

53

juga sanggup melakukan pembalasan yang bisa membuat pemerintah dan para

pengusaha merasakan penderitaan.

Varian pada bait kelima adalah pengarang mengisyaratkan bahwa

meskipun rakyat kecil telah mengukuhkan kekuatan untuk melawan, tetapi

mereka tetap tidak bisa tenang jika para pengusaha dan pemerintah masih tetap

memiliki senjata. Analisis yang dilakukan terhadap puisi “Tukang Cukur” karya

Joko pinurbo di atas, puisi tersebut menyadarkan kita tentang bahayanya

memasrahkan diri kita kepada pemerintah yang tidak kita ketahui apa yang

sebenarnya mereka perjuangkan, serta asal menyetujui apa yang dijanjikan para

pengusaha yang tidak kita ketahui juga rencana-rencananya. Seluruh yang kita

miliki harus dijaga baik-baik, agar tidak dieksploitasi oleh oknum yang berniat

buruk.

4. Simbolisme Benda

Simbolisme benda yang peneliti temukan pada puisi yang berjudul Tukang Cukur

karya Joko Pinurbo adalah gunting yang merupakan perkakas untuk memotong,

bisa kain, rambut, kertas dan lainnya. Pada puisi ini gunting digunakan untuk

memangkas rambut, yang pada kalimat yang mendampinginya mengisyaratkan

jika gunting merupakan senjata yang dimiliki para pengusaha dan pemerintah

untuk memangkas dan menguasai kekayaan negara.

54

D. Puisi Bulu Matamu : Padang Ilalang karya Joko Pinurbo

Bulu Matamu : Padang Ilalang

Di Tengahnya : sebuah sendang

Kata sebuah dongeng, dulu ada seorang musafir

Datang bertapa untuk membuktikan apakah benar

Wajah bulan bisa disentuh lewat dasar sendang.

Ia tak percaya, maka ia menyelam.

Tubuhnya tenggelam dan hilang diarus mahadalam.

Arwahnya menjelma menjadi pusaran air berwarna hitam.

Bulu matamu : padang ilalang.

(1989)

1. Pembacaan Heuristik dan Hermeutik

a. Pembacaan Heuristik pada puisi Bulu Matamu : Padang Ilalang sebagai

berikut.

Bait ke- 1

Bulu matamu : (adalah) padang ilalang. Ditengahnya : (ada) sebuah

sendang.

Bait ke- 2

Kata (di dalam) sebuah dongeng, (da-)hulu ada seorang musafir datang

bertapa untuk memebuktikan apakah benar wajah bulan bisa disentuh lewat dasar

sandang.

Bait ke-3

Ia tak (tidak) percaya, maka ia menyelam. Tubuhnya tenggelam dan hilang

di arus (yang) mahadalam. Arwahnya menjelma menjadi pusara air berwarna

hitam.

55

Bait ke- 4

Bulu matamu : (adalah) padang ilalang.

b. Pembacaan Hermeneutik pada puisi Bulu Matamu : Padang Ilalang sebagai

berikut.

Dalam pembacaan tingkat kedua ini, menitik beratkan pada ketidak

langsungan ekspresi puisi yang disebabkan oleh tiga hal; penggantian arti,

penyimpangan arti serta penciptaan arti. Bulu Matamu : Padang Ilalang, pada

judul merupakan bentuk penggantian arti yang termasuk kedalam metafora, yang

merupakan pemakaian kata yang bukan arti sebenarnya, sebagai lukisan

berdasarkan persamaan. Penyair menjelaskan bahwa arti perlambangan padang

ilalang yang ia gunakan pada puisinya akan memiliki arti bulu matamu .

Bulu Matamu : padang ilalang. Di Tengahnya : sebuah sendang melalui

ini menjelaskan perlambangan yang dipakai penyair pada puisinya menggunakan

majas metafora, ini merupakan sebuah petunjuk lanjutan dari penyair. Padang

ilalang yang sejak judul sudah ditegaskan sebagai bulu mata, tentu sedang yang

berada ditengahnya merupakan mata.

Wajah bulan bisa disentuh lewat dasar sendang, ini merupakan ciri dari

antropomorfisme. Antropomorfisme adalah atribusi karakteristik manusia ke

makhluk bukan manusia. Subjek antropomorfisme seperti binatang yang

digambarkan sebagai makhluk dengan motivasi manusia.

Berbeda dengan kenyataanya, bulan memang bisa kita lihat dari sendang,

namun tidak bisa kita sentuh, karena yang kita lihat pada sendang itu hanya

bayangannya, bulan sebenarnya berada di langit. Larik sebelumnya menjelaskan,

56

kata sebuah dongeng, dulu ada seorang musafir datang betapa untuk

membuktikan apakah benar. Melalui perlambangan-perlambangan yang sudah

penyair jelaskan di awal, sebenarnya sedikit banyak sudah merupakan gambaran

jika yang diibaratkan sebagai bulan ini adalah hati manusia.

Dongeng diibaratkan sebagai pandangan manusia itu sendiri, banyak yang

menyatakan bahwa mata manusia bisa mecerminkan apa yang sedang manusia itu

rasakan, sedih, bahagia atau lainnya, namun kita juga harus tahu bahwa kesedihan

atau kebahagiaan itu bermacam-macam penyebabnya. Terlebih, banyak orang

yang pandai berpura-pura. Hati manusia adalah hal yang paling rumit di dunia ini,

jangankan orang lain, kadang diri sendiri bingung hal apa yang sebenarnya mau

dituju. Ia tak percaya, maka ia menyelam, tetapi masih saja ada orang yang mau

mencoba, mungkin berdasarkan empati ataupun sebatas ingin tahu saja dan

biasanya berujung pada ketidak jelasan Tubuhnya tenggelam dan hilang di arus

maha dalam, atau mungkin lebih parah dari itu, arwahnya menjelma menjadi

pusara berwarna hitam.

2. Hipogram

Pada puisi yang berjudul “ LEIDEN 6/10/78 (Pagi)” karya Subagio

Sastrowardoyo dapat mewakili sebagai hipogram dari puisi Joko Pinurbo yang

berjudul “ Bulu Matamu : Padang Ilalang”. Sebelum Masuk ke uraian, berikut

akan dipaparkan puisi karya Subagio Sastrowardoyo yang berjudul Pagi (1978).

LEIDEN 6/10/78 (PAGI)

Sosok gelap yang tertangkup di tembok

Adalah bayangan diri

Bergulat dengan sunyi

57

Hari-hari yang menghempas kemari

Tinggal kelu

Tak menjawab teka-teki

Gelombang mengharu rindu

Apakah terbit dari getah cinta

Atau gelora laut napsu

Apakah sempurna bernapas seorang diri selalu

(Subagio Sastrowardoyo, 1978)

Hai ini diperkuat dengan kesamaan tema yang berada dalam kedua puisi

tersebut, yaitu tentang membaca jati diri manusia. Upaya membaca diri manusia

tersebut terlihat dalam penggalan puisi berikut.

Kata sebuah dongeng, dulu ada seorang musafir

Yang datang bertapa untuk membuktikan apakah benar

Wajah bulan dapat disentuh lewat dasar sendang

(Pinurbo,1989)

Dalam hal yang berkaitan dengan cara memahami isi hati seorang manusia

yang ditonjolkan, puisi Bulu Matamu : Padang Ilalang, memiliki kesamaan

dengan puisi LEIDEN 6/10/78 (Pagi), berikut penggalannnya.

Gelombang mengharu rindu

Apakah terbit dari getah cinta

Atau gelora napsu

(Sastrowardoyo,1978)

Puisi-puisi tersebut mengungkapkan tentang betapa sulitnya membaca

perasaan manusia. Memahami perasaan orang lain bahkan memahami perasaan

atau kemauan diri sendiri. Banyak yang memunculkan teori-teori cara membaca

perasaan, tetapi kesemuanya tidak selalu berhasil dipraktekkan. Upaya tersebut

dilakukan dengan berbagai tujuan, ingin membatu atau mungkin untuk berniat

jahat. Tetapi segala upaya itu gagal dan penelitian berujung kepada tanda tanya.

58

Subagio Sastrowardoyo mengungkapkan keadaan tersebut lebih kepada

pencarian jati diri, apa yang sebenarnya kita inginkan di dunia ini, apakah itu

benar-benar suatu yang kita butuhkan atau hanya sekedar nafsu sesaat. Joko

Pinurbo menggambarkan kondisi yang berbeda, ia menceritakan tentang

seseorang yang ingin mencoba membaca perasaan orang lewat apa yang tercermin

dari matanya. Subagio Sastrowardoyo mengungkapkan keadaan tersebut lebih

menggunakan kata-kata konotatif. Hal tersebut dapat dilihat dari kata Gelombang

mengharu rindu apakah terbit dari getah cinta atau gelora napsu. Joko Pinurbo

menggambarkannya lebih dengan kata-kata sederhana yang hampir sering kita

jumpai sehari-hari. Kata yang dimaksud iyalah Kata sebuah dongeng, dulu ada

seorang musafir yang datang bertapa untuk membuktikan apakah benar wajah

bulan dapat disentuh lewat dasar sendang. Kata-kata tersebut merupakan

ungkapan rasa penasaran seseorang tentang bagaimana kebenaran tentang cara

membaca isi hati, bagaimana ia ingin mengetahui isi hati diri sendiri maupun

orang lain, ungkapan tersebut terdapat dalam penggalan puisi.

Ia tak percaya, apakah ia menyelam.

Tubuhnya tenggelam dan hilang diarus mahadalam.

Arwahnya menjelma menjadi pusaran air berwarna hitam.

( Pinurbo,1989)

Kedua bait ini menceritakan bagaimana upaya kedua tokoh dalam puisi,

mencoba memahami perasaan, namun keduanya mengalami kegagalan. Entah

dengan sebab terlalu tergesa seperti pada puisi karya Subagio Sastrowardoyo atau

pun ketidak sungguhan (tanpa rasa empati) pada puisi Joko Pinurbo.

Hari-hari yang menghempas kemari

Tinggal kelu

59

Tak menjawab teka-teki

(Sastrowardoyo,1978)

Puisi Joko Pinurbo di atas memberikan gambaran tentang bagaimana

kemudian mereka bertemu dengan kegagalan, dari bagaimana sang musafir

terbakar oleh rasa penasarannya yang kemudian ia terhempas menuju kegagalan.

Sedangkan Subagio Sastrowardoyo lebih mengambarkan bagaimana reaksi diri

yang canggung karena diputar-putar oleh teka-teki yang tak kunjung terjawab.

Pembahasan kedua puisi di atas dapat disimpulkan bahwa puisi LEIDEN

6/10/78 (PAGI) karya Subagio Sastrowardoyo merupakan hipogram dari puisi

yang berjidul Bulu matamu: Padang ilalang karya Joko Pinurbo.

3. Matriks

Matriks dalam puisi Bulu Matamu: Padang Ilalang adalah

mengungkapkan tentang upaya seorang musafir kebenaran sebuah dongeng,

musafir pada zaman sekarang diartikan sebagai pelancong atau orang yang

berpergian (pelancong). Pada zaman dahulu seorang musafir biasanya

perjalanannya didasari oleh tujuan tertentu, bisa dari kebutuhan spiritual, finansial

maupun yang lainnya. Dalam puisi ini yang peneliti tangkap adalah tujuan yang

pertama, yaitu spiritual ia mencoba mencari sebuah kebenaran akan apakah benar

wajah bulan bisa disentuh lewat dasar sendang. Melalui berbagai cara ia mencoba

membuktikannya, tapi upaya itu gagal, karena niatan sang musafir membaca

kedalaman perasaan seseorang lewat mata, tidak didasari oleh kepedulian (rasa

kasih) tetapi hanya karana rasa ingin tahu.

Varian pada bait pertama adalah pengarang langsung menjelaskan artian

simbol yang ia pakai pada puisinya, yaitu padang ilalang yang ia pakai untuk

60

menyebutkan bulu mata, sedangkan benda yang di tengah bulu mata itu disebut

sebagai sebuah sendang.

Varian pada bait kedua adalah pengarang menyampaikan tentang sebuah

persepsi, bahwa gambaran hati atau perasaan manusia tercermin pada matanya.

Pada bait ini pengarang menggunakan gaya bahasa antropomorfisme, yaitu

metafora yang mengunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan

manusia untuk hal yang bukan manusia.

Varian pada bait ketiga adalah pengarang menceritakan tentang rasa ingin

tahu yang membuat sang musafir tenggelam ke kedalaman mata. Mengartikan

bahwa ketika seseorang mencoba membaca perasaan orang lain secara sepihak

saja, biasanya akan beujung pada kegagalan.

Varian pada bait keempat pengarang menyebutkan kembali salah satu

kalimat yang ada pada bait pertama yaitu bulu matamu: padang ilalang yang

merupakan judul dari puisi ini. Hal ini dimungkinkan pengarang lakukan untuk

menengaskan kembali maksud dari perlambangan yang pengarang gunakan atau

pun menceritakan bahwa padang ilalang itu telah berubah manjadi bulu mata

milik sang musafir, yang mengisyaratkan bahwa sang musafir juga butuh

dimengerti perasaanya.

4. Simbolisme Benda

Simbolisme benda yang peneliti temukan pada puisi yang berjudul Bulu

Matamu: Padang Ilalang karya Joko Pinurbo pada puisi ini pengarang telah

menyebutkan pengistilahan pada judul yakni padang ilalang, pada judul juga telah

disertakan artian dari simbol tersebut yaitu bulu mata. Menyusul pada bait

pertama bertambah pengistilahan sendang, tapi kali ini istilah tersebut tidak

61

didampingi oleh artian secara gamblang, pada susunan larik petunjuk yakni

sebuah sendang. Kata sebuah sendang kemudian diperjelas dengan menyusulnya

kalimat wajah bulan bisa di sentuh lewat dasar sendang pada bait kedua baris

terakhir, kemunculan kalimat tersebut merupakan titik terang yang membantu

pengarang menemukan artian kata sebuah sedang, bahwa kita bisa melihat

bayangan bulan yang berada di atas pada sebuah sendang, tapi tidak bisa

menyentuhnya karena yang nampak pada sendang hanyalah bayangan bukan

keberadaan bulan yang sesengguhnya.

Kembali lagi pada bait pertama, di sini secara jelas pengarang

menyebutkan bahwa ia meminjam kata padang ilalang untuk mengantikan kata

bulu mata, kemudian pada baris kedua ia mengatakan bahwa di tengahnya adalah

sebuah sendang, yang dapat ditafsirkan bahwa di tengah sebuah bulu mata adalah

mata. Dalam puisi ini yang peneliti tangkap merupakan pembuktian bahwa hal

yang dikira-kira selama ini tentang perasaan seseorang dapat tercermin dari

tatapan matanya, merupakan titik lain peneliti menemukan apa yang sebenarnya

diistilahkan sebagai bulan, yakni merupakan gambaran perasaan seseorang yang

sering disebut-sebut dapat terlihat dari tatapan matanya.

62

E. Puisi Bayi Mungil di Kamar Mandi

Bayi Mungil di Kamar Mandi

Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi

Lengking suaranya menyusup jauh ke relung tidurku.

Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi

Lengking suaranya menggetarkan lidah kata-kataku

Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi.

Lengking suaranya kupinjam untuk mengucapkan lagi aku.

(2002)

1. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

a. Pembacaan Heuristik pada puisi Bayi Mungil di Kamar Mandi.

Bait Ke-1

Bayi mungil (itu) menjerit-jerit di kamar mandi. Lengking suaranya

menyusup jauh (masuk) ke(dalam) relung tidurku.

Bait Ke-2

Bayi mungil (itu) menjerit-jerit di kamar mandi. Lengking suaranya

menggetarkan lidah kata-kataku

Bait Ke-3

Bayi mungil (itu) menjerit-jerit di kamar mandi. Lengking suaranya (lalu)

kupinjam untuk mengucapkan lagi aku.

63

2. Pembacaan Hermeneutik pada puisi Bulu Matamu : Padang Ilalang

sebagai berikut.

Dalam pembacaan tingkat kedua ini, menitik beratkan pada ketidak

langsungan ekspresi puisi yang disebabkan oleh tiga hal; penggantian arti,

penyimpangan arti serta penciptaan arti. Judul Bayi mungil di kamar mandi,

termasuk pada penggantian arti, metafora ini merupakan perumpamaan untuk

menggambarkan kesucian dan kelemahan dari suatu mahluk, yang di mana

penempatan benda tersebut pada kamar mandi, kamar mandi menggambarkan

sebuah tempat yang dingin dan berbahaya bagi mahluk selemah bayi.

Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi Lengking suaranya menyusup

jauh ke relung tidurku. Menggambarkan ketidak nyamanan sosok bayi berada di

kamar mandi, memperlihatkan bagaimana reaksi ketidak nyamanannya itu dengan

menjerit-jerit. Lengkingan suara teriakkan itu kemudian terdengar oleh orang

dewasa.

Pengulangan Larik Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi. Pada bait

kedua orang dewasa mulai menunjukkan rasa simpati, ia ingin turut membantu

disertai dengan tindakan, Lengking suaranya menggetarkan lidah kata-kataku.

Larik akhir pada bait kedua ini bisa digolongkan sinestesia, Sinestesia merupakan

metafora berupa ungkapan yang berhubungan dengan suatu indera untuk

dikenakan pada indera lain. Ini menunjukkan realita yang sering kita lihat atau

bahkan kita rasakan, ketika melihat orang lain apalagi sosok lemah menderita.

Wajar dirasakan oleh manusia yang memang terlahir dengan rasa simpati di dalam

dirinya. Simpati adalah suatau proses di mana seseorang merasa tertarik terhadap

pihak lain, mencari tau apa yang sedang ia alami dan rasakan.

64

Pada bait ketiga menarangkan transisi dari perasaan terusik menjadi

simpatik, hingga terakhir pada bait ketiga baris kedua perasaan orang pertama

berubah menjadi empati. Empati adalah kemampuan dengan berbagai definisi

yang berbeda yang mencangkup spektrum yang luas, berkisar pada orang lain

yang menciptakan keinginan untuk menolong, mengalami emosi yang serupa

dengan emosi orang lain, mengetahui apa yang orang lain rasakan dan pikirkan,

menguburkan garis antara diri dan orang lain. Hal ini pengarang tunjukkan pada

kalimat Lengking suaranya kupinjam untuk mengucapkan lagi aku, ia telah berada

pada perasaan puncak yang membuatnya mengibaratkan sosok bayi itu sebagai

dirinya sendiri.

2. Hipogram

Pada puisi yang berjudul LANGGAM BIASA karya Soni Farid Maulana

dapat mewakili sebagai hipogram dari puisi Joko Pinurbo yang berjudul Bayi

Mungil di Soni Farid Maulana yang berjudul LANGGAM BIASA.

LANGGAM BIASA

Telah kau tutup pintu dan jendela

Kamar mu. Malam yang turun berudara buruk

Dengarlah rengkik kuda itu:

Seperti hendak membekukan jantungmu!

Larut malam ini aku disisimu

Aku pandang wajahmu dengan hati tergetar

Dan aku tersenyum seakan tahu

Apa yang bergelora di dada. Ya, pelan dan lembut

Kita dengar guguran daun diluar jendela

Kita hanya lahir sebagai dongengan!

bisikmu. Malam larut dan sunyi

Kita semakin koyak oleh harapan purba, Abu

Kelahiran kita hanya pentas jadi dongengan

Santapan nasib yang bengis!

Sayup tiang listrik dipukul orang

Kekayaan kita adalah kemiskinan kita

65

Adalh rumah kita yang lembab oleh airmata

Kita hanya pantas jadi dongengan!

Salak anjing menguasap pendengaran

Deru kereta memecah kesunyian

Kata-kata menggumpal dalam dada. Beku

Tak bersuara menyumpah matahari hitam

Digilas ruang dan waktu negri kelam.

Kita hanya pantas jadi dongengan. Ya

1984-1986

Hal ini diperkuat dengan kesamaan tema yang berada dalam kedua puisi

tersebut, yakni tentang perasaan peduli terhadap seseorang. Rasa peduli tersebut

tercermin dalam penggalan puisi berikut.

Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi

Lengking suaranya menggetarkan lidah kata-kataku

Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi.

Lengking suaranya kupinjam untuk mengucapkan lagi aku.

(Pinurbo,2002)

Penggalan puisi karya Joko Pinurbo di atas memiliki kesamaan ekspresi

seperti yang ditunjukkan pada penggalan puisi karya Soni Farid Maulana.

Dengarlah rengkik kuda itu:

Seperti hendak membekukan jantungmu!

Larut malam ini aku disisimu

Aku pandang wajahmu dengan hati tergetar

Dan aku tersenyum seakan tahu

Apa yang bergelora di dada. Ya, pelan dan lembut

(Farid Maulana, 1984)

Puisi-puisi tersebut mengungkapkan tentang betapa manusia memiliki sifat

alamiah yaitu rasa belas kasih, karena manusia memang diciptakan sebagai

mahluk sosial. Pada contoh puisi ini menggambarkan bagaimana transisi perasaan

seseorang, dari awalnya ia merasa terganggu kemudian berubah menjadi

kepedulian.

66

Soni Farid Maulana mengungkapkan keadaan tersebut langsung pada

perasaan peduli yang dirasakan orang pertama sejak awal. Joko Pinurbo

menggambarkan kondisi yang berbeda, ia menceritakan transisi bagaimana awal

perasaan orang pertama yang awalnya merasa terusik, kemudian berubah menjadi

iba, lalu berubah lagi menjadi turut merasakan apa yang orang lain rasakan. Soni

Farid Maulana mengungkapkan keadaan tersebut lebih menggunakan kata-kata

konotatif. Hal tersebut dapat dilihat dari kata dengarlah ringkik kuda itu, seperti

hendak membekukan jantungmu!. Joko Pinurbo menggambarkannya lebih dengan

kata-kata sederhana yang hampir sering kita jumpai sehari-hari. Kata yang

dimaksud iyalah Kata Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi Lengking

suaranya menggetarkan lidah kata-kataku. Kata-kata tersebut merupakan

ungkapan rasa iba terhadap seseorang yang mengalami penderitaan.

Pembahasan kedua puisi di atas dapat disimpulkan bahwa puisi Langgam

Biasa karya Soni Farid Maulana merupakan hipogram dari puisi yang berjudul

Bayi Mungil di Dalam Kulkas.

3. Matriks

Matriks dalam puisi Bayi di Kamar Mandi adalah penggambaran

seseorang dalam menghadapi sosok lemah yang pengarang gambarkan sebagai

sosok bayi. Mengenai transisi perasaan orang pertama yang awalnya merasa

tergangu kemudian berubah iba, sehingga ia berupaya untuk membantu, beralih

lagi menjadi perasaan menderita, sebagaimana yang dirasakan sosok bayi.

Varian pada bait pertama adalah pengarang menceritakan bagaimana

merasa tersiksanya sosok yang digambarkan sebagai bayi berada di kamar mandi

sehingga ia menjerit-jerit. Kamar mandi yang merupakan tempat yang tidak cocok

67

bagi sosok bayi, bayi bisa saja jatuh sakit karena dinginnya suhu di dalam kamar

mandi atau bahkan terjadi hal yang lebih buruk lainnya.

Hal ini dapat menjelaskan apa perbedaan puisi yang berjudul Bayi di

Dalam Kulkas dan Bayi Mungil di Kamar Mandi, yakni meskipun kedua puisi

tersebut mengambil pengistilahan (metafor) yang hampir mirip, sebagai contoh

kulkas dan kamar mandi jika diartikan itu merupakan sebuah benda yang sama-

sama bersifat dingin dan tempat yang sempit.

Meskipun sekilas puisi ini hampir mirip dengan puisi karya Joko Pinurbo

lainnya yang berjudul Bayi di Dalam Kulkas, pada baris kedua pengarang

menggambarkan bagaimana orang pertama tidurnya terusik oleh lengkingan suara

bayi yang berada di dalam kulkas itu.

Varian pada bait kedua Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi, larik

itu kembali dipergunakan lagi untuk mempertegas, bahwa sosok bayi adalah

sosok yang lemah dan ditempatkan pada tempat yang tidak semestinya. Bayi

adalah sosok yang baru datang ke dunia ini, ia tidak diberikan pilihan, ingin di

mana ia tinggal. Pada baris kedua orang mulai menemukkan rasa simpati, ia ingin

turut membantu disertai dengan tindakan, yang ditunjukkan oleh kalimat Lengking

suaranya menggetarkan lidah kata-kataku.

Varian pada bait ketiga adalah kalimat Bayi mungil menjerit-jerit di kamar

mandi dimunculkan lagi oleh pengarang. Ini ditunjukkan untuk lebih meyakinkan,

membangun emosi pembaca agar seolah-olah merasakan, bahwa yang berada

pada posisi bayi itu adalah pembaca. Sebagaimana yang dirasakan orang pertama,

yakni transisi dari perasaan terusik, simpatik, hingga terakhir pada bait ketiga

baris kedua perasaan orang pertama berubah menjadi empati. Hal ini pengarang

68

tunjukkan pada kalimat Lengking suaranya kupinjam untuk mengucapkan lagi

aku, ia telah berada pada perasaan puncak yang membuatnya menjad ikan sosok

bayi itu seakan-akan sebagai sosok aku.

Pada puisi ini pengarang menggunakan paralelisme, yakni pengungkapan

dengan menggunakan kata, frasa, dan klausa yang sejajar, serta dibubuhi kalimat

penjelas akibat dibaris keduanya. Dalam puisi ini pengarang mencoba

meyakinkan bahwa setiap manusia pasti punya hati nurani, sebagimana pun keras

orang itu, sebagaimana pun ia berusaha menghindari suatu hal. Tapi jika di

tempatkan pada posisi tertentu lama kelamaan akan timbul rasa belas kasih yang

merupakan sifat alami manusia.

4. Simbolisme Benda

Simbolisme benda yang peneliti temukan pada puisi yang berjudul Bayi

Mungil di Kamar Mandi yang pertama adalah bayi, sedang yang kedua adalah

kamar mandi. Artian kata bayi yang peneliti tangkap sesuai larik yang

menyertainya adalah pengarang berusaha menggambarkan sosok yang lemah,

perlu dilindungi dengan meminjam istilah bayi. Simbolisme benda yang kedua

adalah kamar mandi yang merupakan tempat yang dingin, sempit apalagi bagi

sosok selemah bayi.