Karateristik Dan Evalusi Diagnosis Defisiensi Fe
-
Upload
jhohansyah-romadona -
Category
Documents
-
view
307 -
download
3
Transcript of Karateristik Dan Evalusi Diagnosis Defisiensi Fe
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anemia nutrisional menurut WHO (1968) didefinisikan sebagai suatu
keadaan dimana kandungan hemoglobin lebih rendah dari nilai normal sebagai
akibat dari berkurangnya satu atu lebih nutrien tanpa memandang penyebab
defisiensi. Salah bentuk anemia nutrisional yang banyak ditemukan adalah anemia
defisiensi besi. Anemia ini merupakan bentuk anemia yang paling sering ditemukan
di negara yang sedang berkembang. Menurut WHO pada pertemuan INACG 2000
(International Nutritional Anemia Consultative Group), 80% penduduk dunia
menderita defisiensi besi, 30% penduduk dunia menderita anemia, dan lebih dari
setengahnya merupakan anemia defisiensi besi.1
Zat besi dibutuhkan untuk berbagai macam proses di dalam tubuh seperti:
pembentukan hemoglobin (berperan dalam penyimpanan dan pengangkutan
oksigen), pembentukan beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme
oksidatif, sintesis DNA, neurotransmitter dan proses katabolisme. Kekurangan besi
mempunyai dampak yang merugikan bagi pertumbuhan dan perkembangan anak,
menurunkan daya tahan tubuh dan menurunkan konsentrasi belajar.1
Berdasarkan hasil SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) tahun 1992,
prevalensi anemia defisiensi besi pada anak balita di Indonesia 55,5%. Penelitian
yang dilakukan IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), pada 1000 anak sekolah di
11 propinsi ditemukan prevalensi anemia sebanyak 20-25%. Jumlah anak yang
mengalami defisiensi besi tanpa anemia jauh lebih banyak.1
Tidak ada pemeriksaan tunggal untuk pemeriksaan defisiensi besi dengan
atau tanpa anemia. Baku emas pemeriksaan defisiensi besi adalah tes langsung
biopsi sumsum tulang dengan pengecatan Prussian blue. Tapi tes ini terlalu invansif
untuk dikerjakan rutin, sehingga dipilih tes indirek (pemeriksaan darah lengkap dan
biokimia darah). Pemeriksaan darah lebih mudah tersedia dan murah dibandingkan
pemeriksaan biokimia. Sementara itu pemeriksaan biokimia berguna menegakkan
1
diagnosis anemia pada saat sebelum anemia timbul.Tiap pemeriksaan memiliki
karakteristik yang berbeda. Mengingat pentingnya peran diagnosis dengan akurasi
yang baik dengan setting setempat dalam pengenalan defisiensi besi untuk
memberikan terapi di klinik dan dalam menyusun strategi pencegahan defisiensi
besi di lapangan, maka cara diagnosis yang tepat dalam usaha penanggulangan
defisiensi besi di klinik dan di masyarakat sangat perlu dikerjakan.1
B. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini untuk mengetahui evaluasi penegakkan
diagnosis defisiensi besi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Metabolisme Normal Besi
Besi merupakan komponen penting dalam tubuh karena mempunyai
beberapa fungsi esensial yaitu: sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke
jaringan tubuh, sebagai alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian
terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Walaupun terdapat luas di
dalam makanan banyak penduduk dunia mengalami kekurangan besi, termasuk di
Indonesia. Kekurangan besi sejak tiga puluh tahun terakhir diakui berpengaruh
terhadap produktivitas kerja, penampilan kognitif, dan sistem kekebalan tubuh.2
Zat besi dalam tubuh terdiri dari dua bagian, yaitu fungsional dan reserve
(simpanan). Zat besi fungsional sebagian besar dalam bentuk hemoglobin (Hb),
sebagian kecil dalam bentuk myoglobin, dan jumlah yang sangat kecil tetapi vital
adalah hem enzim dan non hem enzim. Zat besi yang ada dalam bentuk reserve
tidak mempunyai fungsi fisiologi namun sebagai buffer yaitu menyediakan zat besi
jika dibutuhkan untuk kompartmen fungsional. Kebutuhan zat besi pada anak balita
dapat dilihat pada tabel dibawah ini: 3
Umur Kebutuhan
0-6 bulan 3 mg
7-12 bulan 5 mg
1-3 tahun 8 mg
4-6 tahun 9 mg
Tabel 1. Jumlah kebutuhan besi 3
Zat besi diserap di dalam duodenum dan jejunum bagian atas melalui proses
yang kompleks. Proses ini meliputi tahap – tahap utama sebagai berikut: 3
1. Besi yang terdapat di dalam bahan pangan, baik dalam bentuk Fe3+ atau Fe2+
mula – mula mengalami proses pencernaan.
2. Di dalam lambung Fe3+ larut dalam asam lambung, kemudian diikat oleh
gastroferin dan direduksi menjadi Fe2+
3
3. Di dalam usus Fe2+ dioksidasi menjadi Fe3+. Fe3+ selanjutnya berikatan dengan
apoferitin yang kemudian ditransformasi menjadi feritin, membebaskan Fe2+ ke
dalam plasma darah.
4. Di dalam plasma, Fe2+ dioksidasi menjadi Fe3+ dan berikatan dengan transferitin
Transferitin mengangkut Fe2+ ke dalam sumsum tulang untuk bergabung
membentuk hemoglobin. Besi dalam plasma ada dalam keseimbangan.
5. Transferrin mengangkut Fe2+ ke dalam tempat penyimpanan besi di dalam tubuh
(hati, sumsum tulang, limpa, sistem retikuloendotelial), kemudian dioksidasi
menjadi Fe3+. Fe3+ ini bergabung dengan apoferritin membentuk ferritin yang
kemudian disimpan, besi yang terdapat pada plasma seimbang dengan bentuk
yang disimpan
Setelah diserap usus, besi akan berikatan dengan transferrin yaitu suatu
protein pembewa besi menuju jaringan yang dibutuhkan. Sedikitnya dibutuhkan 3
mg besi dalam sirkulasi darah yang berikatan dengan transferrin. Kegiatan ini
berulang 10 kali perhari dan dibutuhkan lebih kurang 25-30 mg besi per hari untuk
dibawa ke sumsum eritroid melalui reseptor eritroid yang matang disebut
transferrin receptor (Tfr). Bentuk agregat besi-Tfr akan melepas besi dalam vakuola
intrasitoplasma dalam sel eritroid. Setelah besi yang dilepas dibawa ke dalam
mitokondria untuk keperluan sintesis heme atau disimpan sebagai ferritin.1
Gambar 1. Transpor besi 1
4
Pada tahap akhir biosintesis heme, besi akan berikatan dengan protoporfirin.
Jika terjadi defisiensi besi, salah satu rantai protoporfirin yaitu protoporfirin-IX
tidak dapat berikatan dengan besi untuk membentuk heme pada tahap akhir
biosintesis heme, dan menyebabkan protoporfirin bergabung dengan seng untuk
membentuk molekul yang lebih stabil ikatannya yaitu free erythrocyte zinc
protoporfirin (ZPP) selama siklus hidup eritrosit. ZPP ini juga dapat digunakan
sebagai salah satu pemeriksaan status besi seseorang.1
B. Kriteria Diagnosis
Ada beberapa kriteria diagnosis yang dipakai untuk menentukan anemia
defisiensi besi. Kriteria diagnosis anemia menurut WHO: 1
1. Kadar hemoglobin kurang dari normal sesuai usia
Nilai normal Hb:
Bayi (usia 1-3 hari) : 14,5-22,5 g/dl
Bayi (usia 2 bulan) : 9,0 -14,0 g/dl
Anak (6-12 tahun) : 11,5-15,5 g/dl
Anak (12-18 tahun) : laki – laki : 13,0-16,0 g/dl
perempuan : 12,0-16,0 g/dl
Dewasa : laki-laki : 13,5 – 17,5 g/dl
perempuan : 12,0 -16,0 g/dl
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata (MCHC) < 31% (N: 32-35%)
3. Kadar Fe serum < 50 µg/dl ( N: 80-180 µg/dl)
4. Saturasi transferrin < 15% (N: 20-50%)
5. Serum ferritin < 10-12 µg/l
6. Eritrosit protoporfirin (EP) > 2,5 ng/g hemoglobin
Untuk menentukan adanya anemia dan adanya defisiensi besi maka
pemeriksaan laboratorium memegang peranan penting. Diagnosis defisiensi besi
untuk keperluan klinik dan untuk keperluan penelitian lapangan berbeda dalam
beberapa hal. Penelitian lapangan memerlukan cara diagnosis yang praktis, lebih
sederhana dan tidak terlalu invasif. Sedangkan di klinik memerlukan pemeriksaan
yang akurasinya baik meskipun bersifat invasif. Pemeriksaan yang umum dipakai
adalah: (1) pemeriksaan morfologi eritrosit (baik dengan hapusan darah tepi 5
maupun dengan alat hitung elektronik); (2) pemeriksaan kadar besi serum dan total
iron binding capacity (TIBC); (3) pemeriksaan kadar feritin serum; (4) pengecatan
besi sumsum tulang. Pengecatan besi sumsum tulang bersifat semikualitatif dan
invasif sehingga tidak praktis dipakai di lapangan. Pemeriksaan morfologi eritrosit
sangat tidak spesifik, karena hasil hipokromik mikrositer dapat disebabkan oleh
berbagai macam etiologi di luar defisiensi besi. Sedangkan pemeriksaan besi serum,
TIBC, dan feritin serum sangat dipengaruhi oleh adanya infeksi dan peradangan.
Oleh karena frekuensi dan pola infeksi di negeri Barat berbeda dengan di Indonesia,
maka akurasi parameter ini sebagai alat diagnosis anemia defisiensi besi di
Indonesia perlu diperiksa kembali. Juga yang tidak kalah pentingnya adalah untuk
mencari nilai batas (cut off point) dari besi serum, TIBC dan feritin serum dalam
diagnosis defisiensi besi dengan pengecatan besi sumsum tulang sebagai baku emas
(gold standard).4
C. Pemeriksaan Status Besi
Belum ada pemeriksaan tunggal yang terbaik untuk menegakkan diagnosis
defisiensi besi sebelum timbul anemia. Selain itu klinisi sering dihadapkan dengan
kasus anemia mikrositer pada populasi dimana prevalensi talasemia yang tinggi.
Baku emas pemeriksaan untuk defisiensi besi adalah dengan pemeriksaan direk
dengan melakukan biopsi sumsum tulang dan pewarnaan Prussian Blue.
Pemeriksaan ini sangat invasif dan tidak efisien sehingga pemeriksaan indirek
masih lebih banyak digunakan. 1,5,6
Pemeriksaan indirek untuk menegakkan diagnosis defisiensi besi dapat
berdasarkan eritrosit (red blood cell indices) dan pemeriksaan biokimia berdasarkan
metabolisme besi yaitu pemeriksaan serum feritin, konsentrasi Serum Iron (SI),
Total Iron-Binding Capacity (TIBC), Saturasi Transferrin, Serun Transferrin
Receptor, Erythrocyte Protoporphyrin (EP), dan Zinc Protoporfirin (ZPP).
Pemeriksaan hematologik lebih sering digunakan dan murah dibandingkan dengan
pemeriksaan biokimia. Pemeriksaan biokimia bisa mendeteksi adanya defisiensi
besi sebelum onset anemia, sedangkan pemeriksaan hematologik reticulocyte
hemoglobin content (CHr) dapat membantu diagnsosis defisiensi besi sebelum
terjadinya anemia. 1,5,6
6
I. Pemeriksaan Eritrosit
a. Hemoglobin
Secara umum anemia didefinisikan sebagai kadar hemoglobin dibawah
persentil kelima menurut referensi populasi yang sehat. Menurut WHO
konsentrasi Hb normal adalah 11 g/dl untuk bayi sampai umur 6 tahun, 12
g/dl untuk bayi sampai umur 6 tahun, 12 g/dl untuk anak 6 tahun sampai 14
tahun.1,6
Hb merupakan petanda lambat untuk mendeteksi defisiensi besi karena
perubahan lanjut nilai Hb timbul sesudah terjadi defisiensi besi dan
sensifitasnya rendah karena anemia dengan defisiensi besi biasanya ringan.
Spesifitas pemeriksaan Hb juga rendah karena karena hasil yang rendah juga
ditemukan pada infeksi kronis, inflamasi, malnutrisi, talasemia minor dan
sebagainya. 1,6
b. Hematokrit (Ht)
Dalam keadaan defisiensi besi, nilai Ht akan menurun setelah formasi Hb
terganggu. Pada awal defisiensi besi, konsentrasi Hb yang sedikit menurun
akan menunjukkan nilai Ht yang normal. Hanya pada keadaan anemia
defisisiensi besi berat yang akan menurunkan nilai Ht. Pemeriksaan
hematokrit memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah untuk
mendeteksi defisiensi besi. 1,6
c. Indeks eritrosit
Pemeriksaan indeks eritrosit dihitung dari hasil pemeriksaan
hemoglobin, hematokrit, dan juga dapat digunakan sebagai pemeriksaan
lanjut untuk mengetahui jenis anemia. Nilai Mean Corpuscular Volume
(MCV) adalah pemeriksaan yang cukup akurat dan merupakan parameter
sensitif terhadap perubahan eritrosit bila dibandingkan Mean Corpuscular
Hemoglobin Concentration (MCHC) dan Mean Corpucular Hemoglobin
(MCH) untuk mengetahui terjadinya defisiensi besi.1
Meurut Wright CM dkk (2004), anak dengan kadar hemoglobin dan
MCH yang rendah, menunjukkan hasil yang spesifik terhadap defisiensi besi
dan respons yang baik terhadap preparat besi.1 Penelitian yang dilakukan
7
Ketut dkk, penggunaan indeks eritrosit MCH dibanding gold standar
pengecetan sumsum tulang, dengan cut off point 27 pg memiliki sensitivitas
96,9%, spesifitas 28,1% dalam menegakkan defisiensi besi. Sedangkan
indeks eritrosit MCV dengan cut off point 80 fl memiliki sensitivitas 90,6 %
dan spesifitas 48,4%. Indeks eritrosit MCHC dengan cut off point 31 gr/dl
memiliki sensitivitas 78,1 % dan spesifitas 46,9%.4
Penggabungan MCH, MCV dan atau MCHC ternyata tidak dapat
meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas indek eritrosit tersebut dalam
mendiagnosis defisiensi besi. Derajat perubahan kadar indeks sel eritrosit ini
sangat berhubungan dengan defisiensi besi dan anemia. Defisiensi besi yang
ringan dan berlangsung singkat nilai indeks sel eritrosit ini mungkin normal.
Kadar MCV juga dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan dan umur. Ukuran
sel darah merah lebih kecil sewaktu bayi dan meningkat pelan-pelan selama
masa kanak-kanak. Nilai rata-rata MCV pada wanita sedikit lebih besar
daripada laki-laki setelah umur 7 tahun. Kadar MCV dan MCHC kadang
tidak banyak bisa memberikan informasi diagnostik ADB karena pada
keadaan anemia mikrositik akibat penyebab yang lain seperti thalasemia dan
penyakit hemoglobin E, kadarnya juga akan menurun hanya RDW normal.
Thompson, pada penelitian terhadap 609 penderita dengan memakai kadar
MCV < 80 fL mendapatkan sensitivitas 53% dan spesifisitas 84% dari MCV
untuk deteksi anemia defisiensi besi.4
d. Retikulosit
Retikulosit adalah eritrosit imatur yang berada dalam aliran darah dan
jumlahnya akan berkurang pada keadaan defisiensi besi. Pemeriksaan kadar
retikulosit dapat membantu membedakan anemia yang hipoprodukstif
(penurunan produksi eritrosit) dari proses destruksi (peningkatan
penghancuran eritrosit). Jumlah retikulosit yang rendah menunjukkan
gangguan pada sumsum tulang, sedangkan jumlah yang meningkat
menunjukkan suatu proses hemolitik atau kehilangan darah yang aktif.1,6
e. Indeks Red Blood Cell Distribution Width (RDW)
8
Indeks RDW dapat menunjukkan variabilitas bentuk eritrosit
(anisositosis) yang juga merupakan menifestasi awal terjadinya defisiensi
besi. Indeks RDW (MCV/RBC x RBW) dengan hasil >220 merupakan
indikasi untuk anemia defisiensi besi dan bila indeks < 220 merupakan
indikasi untuk talasemia trait dengan spesifitas 92%. Indeks RDW dapat
membantu menentukan pilihan antara terapi besi empiris dan melakukan
elektroforesis hemoglobin untuk konfirmasi talasemia trait.1
Indeksi RDW yang tinggi menunjukkan 71-100 % sensitif dan 50 %
spesifik terhadap anemia defisiensi besi pada orang dewasa. Pada bayi umur
12 bulan indeks RDW yang tinggi menunjukkan 100% sensitif dan 82%
spesifik, karena spesifitas yang rendah maka indeks RDW tidak digunakan
uji tapis tunggal tetapi biasanya digabung dengan MCV. Nilai indeks RDW
yang meningkat dan MCV yang menurun mengarah kepada diagnosis
defisiensi besi.1
Penelitian yang dilakukan Roosy dkk, Indeks RDW yang digunakan
memiliki sensitivitas 81,0% dan spesifitas 53,4% dalam mendeteksi
defisiensi besi pada anemia mikrositik hipokromik. Berikut tabel sensitivitas
dan spesifitas berdasarkan penelitian yang dilakukan: 7
Tabel 2. Sensitivitas dan spesifitas indeks RDW dalam beberapa penelitian 7
f. Indeks Mentzer
Klinisi sering dihadapkan dengan kasus anemia mikrositik pada populasi
dimana prevalensi talasemia yang tinggi. Indeks Mentzer dapat membantu
9
membedakan defisiensi besi dengan talasemia dimana pemeriksaan ini
merupakan hasil perhitungan MCV/RBC. Jika perhitungan nilai indeks
Mentzer >13 mengindikasikan adanya anemia defisiensi besi, sedangkan
nilai < 13 merupakan indikasi untuk talasemia minor dengan spesifisitas
82%.1
g. Hemoglobin Content of Reticulocytes (CHr)
CHr merupakan konsentrasi besi yang mengandung protein dalam
retikulosit dan diukur dengan menggunakan flow cytometer. CHr juga
merupakan indikator awal terhadap defisiensi besi pada subyek sehat yang
diberikan human erythropoitein. Brugnara C, dkk (1999) melakukan suatu
penelitian retrospektif terhadap 210 anak. Peneitian ini menunjukkan kadar
CHr yang rendah merupakan prediktor terbaik terhadap defisiensi besi
dibandingkan dengan Hb, MCV, serum iron, RDW, dan saturasi
transferrin.5,6
Penelitian yang dilakukan Torbjorn, CHr memiliki nilai sensitifitas 93%
dan spesifitas 69% dalam mendeteksi defisiensi besi dengan cut off point
30,5 pg dengan gold standar pengecatan sumsum tulang pada pasien usia
lanjut. Penurunan hemoglobin retikulosit konten (CHr) tidak terpengaruh
oleh respon fase akut merupakan indikator awal kekurangan zat besi. CHr
juga diidentifikasi sebagai indikator awal dari respon terhadap
terapi besi parenteral.8,9
II. Pemeriksaan Biokimia
a. Serum ferritin
Ferritin adalah cadangan besi yang nilainya berkurang selama defisiensi
besi sebelum nilai serum iron dan total iron binding capacity berubah.
Anemia defisiensi besi dengan gambaran anemia mikrositik hipokrom, akan
menunjukkan serum ferritin yang sangat rendah dan menurunnya cadangan
besi. Konsentrasi serum ferritin yang rendah merupakan karakteristik hanya
dijumpai pada keadaan defisiensi besi.1,10
Spesifisitas pemeriksaan serum ferritin akan meningkat jika dikombinasi
dengan pemeriksaan lain seperti hemoglobin untuk defisiensi besi, tetapi
10
penggunaannya masih terbatas karena harga pemeriksaan yang mahal dan
belum banyak tempat yang dapat melakukannya. Penggunaan indeks
hematologi dengan hitung darah lengkap akan lebih efisien dan lebih murah
daripada pemeriksaan feritin serum.1,11,12
Sherif A dkk (1998) menyatakan bahwa pada bayi antara umur 12 dan 18
bulan tidak terjadi perubahan yang bermakna pada kadar Hb tetapi terjadi
perubahan kadar serum ferritin menurut umur sehingga bila ferritin
digunakan sebagai alat tapis defisiensi besi maka faktor umur juga harus
diperhatikan. Serum feritin merupakan reaktan fase akut yang
konsentrasinya akan meningkat pada keadaan inflamasi, infeksi kronik, atau
penyakit lain sehingga dapat menunjukkan hasil dalam batas normal pada
keadaan defisiensi besi.1
Penelitian Ketut dkk, pemeriksaan serum ferritin dengan cut off point 20
ug/l memiliki sensitivitas 75% dan spesifitas 95,3% dengan gold standar
besi sumsum tulang dan titik pemilah (cut off point) yang paling baik untuk
feritin serum dalam mendiagnosis defisiensi besi adalah 35,4 ug/l dengan
sensitivitas 90,6% dan spesifisitas 90,6%.4
Burns dkk, pada penelitiannya terhadap 301 penderita mendapatkan
sensitivitas sebesar 52,5% dan spesifisitas 95% dari feritin serum untuk
diagnosis anemia defisiensi besi dengan memakai titik pemilah feritin < 13
ug/l. Sedangkan Zanella dkk, mendapatkan sensitivitas 95% dengan
spesifisitas sebesar 82% dari feritin serum pada diagnosis 272 penderita
defisiensi besi tanpa komplikasi. Van Zeben dkk, dengan memakai titik
pemilah feritin < 30 ug/l bahkan mendapatkan spesifisitas sebesar 90%
dengan sensitivitas 100% dari feritin serum untuk diagnosis defisiensi besi
pada evaluasi terhadap 104 penderita dengan mikrositosis. Pada orang tua,
feritin serum juga merupakan pilihan terbaik untuk diagnosis anemia
defisiensi besi. Penelitian di RSUP Sanglah dilakukan oleh Somayana dkk,
dengan jumlah sampel 72 orang mendapatkan kadar feritin serum 40 ug/l
sebagai titik pemilah terbaik untuk diagnosis anemia defisiensi besi dengan
sensitivitas 89,47% dan spesifisitas 92,45%.4
11
Feritin serum merupakan indikator yang baik terhadap cadangan besi. Di
daerah pedesaan tropis kadar feritin umumnya lebih tinggi, karena di daerah
tropis banyak terdapat penyakit inflamasi. Beberapa keadaan patologis akan
menyebabkan peningkatan kadar feritin serum yaitu seperti pada penyakit
inflamasi akut maupun kronis, penyakit hati seperti hepatitis, keganasan
darah dan neuroblastoma, pemberian preparat besi parenteral atau peroral
dalam jangka panjang. Kadar feritin serum juga meningkat pada penderita
dengan infeksi akut, penderita dengan infeksi kronik dimana besi dari
kompartemen sel darah merah akan pindah ke sel retikuloendotelial sebagai
cadangan besi yang dicerminkan oleh feritin serum yang meningkat. Kadar
feritin serum menunjukan korelasi yang baik dengan kandungan besi dalam
sumsum tulang.4
b. Serum iron
Konsentrasi serum iron akan menurun bila cadangan besi berkurang,
tetapi tidak menggambarkan keadaan cadangan besi yang akurat karena
adanya faktor tambahan seperti absorbsi besi dari makanan, infeksi,
inflamasi, dan variasi diurnal dimana nilainya lebih tinggi pada siang hari.
Kadar besi serum mengikuti perubahan ritme sirkadian dan berfluktuasi
sampai 100 mg/dL selama 1 hari 1,4
Penelitian Ketut dkk, serum iron memiliki sensitivitas 100% dan
spesifitas 21,9% dengan gold standar besi sumsum tulang dengan cut off oint
50 ug/dl. Titik pemilah yang paling baik untuk besi serum adalah 17 ug/dl
dengan sensitivitas 75,0% dan spesifisitas 68,7%.4
c. Total iron-binding capacity (TIBC)
Pada saat defisiensi besi, terjadi deplesi cadangan besi diikuti dengan
menurunnya serum iron dan peningkatan kadar TIBC. Berkurangnya jumlah
eritrosit dan penurunan nilai hemoglobin berdampak eritrosit mikrositik
hipokrom. Hampir semua besi dalam serum berikatan dengan protein, yaitu
transferrin sehingga TIBC secara tidak langsung juga menunjukkan kadar
transferrin yang akan meningkat bila konsentrasi dan cadangan besi dalam
serum menurun.1
12
Pemeriksaan ini juga dipengaruhi oleh faktor lain selain status besi besi,
TIBC akan rendah pada keadaan malnutrisi, inflamasi, infeksi kronis dan
keganasan. Ketut dkk, sensitivitas dan spesifisitas dengan nilai TIBC di atas
350 ug/dl adalah 68,8% dan 90,6%.4
d. Pemeriksaan Saturasi Transferrin
Hasil pemeriksaan saturasi transferrin menunjukkan jumlah iron-binding
sites dan besi yang dibawa cadangan besi dengan menghitung perbandingan
antara konsentrasi serum iron dengan TIBC yang dinyatakan dalam persen.
Nilai saturasi transferrin yang rendah menunjukkan rendahnya kadar serum
iron relative terhadap jumlah iron-binding sites, yang juga menandakan
rendahnya cadangan besi. Nilai saturasi transferrin yang menurun selama
anemia, belum cukup untuk menunjukkan deplesi besi. Pemeriksaan ini
dipengaruhi oleh faktor lain yang sama seperti pemeriksaan TIBC dan
konsentrasi serum iron, dan kurang sensitif terhadap perubahan cadangan
besi bila dibandingkan dengan serum ferritin. Saturasi transferrin lebih
sensitif terhadap perubahan status besi dalam tubuh bila dibandingkan
dengan indeks eritrosit, nilainya yang rendah bila dihubungkan dengan TIBC
yang meningkat akan mengarah kepada diagnosis defisiensi besi.1
Tabel 3. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan biokimia dengan gold standar besi sumsum tulang 4
Ketut dkk, sensitivitas dan spesifisitas dengan nilai saturasi transferin di
bawah 15% adalah 96,9% dan 42,4%. Besi serum dan saturasi transferin
merupakan indikator dari kebutuhan dan penyediaan besi plasma dan tidak
menggambarkan keadaan cadangan besi. Saturasi transferin < 16%
13
merupakan kreteria diagnostik untuk defisiensi besi uncomplicated. Saturasi
transferin ini lebih sensitif sebagai indeks status besi dibadingkan besi
serum. Saturasi transferin lebih akurat mencerminkan kemampuan besi
untuk proses hematopoesis namun saturasi transferin ini mempunyai
keterbatasan karena sangat tergantung pada kadar besi serum yang
mempunyai sifat sangat labil. 4
e. Serum transferrin receptor (sTfR)
Serum transferrin receptor merupakan protein transmembran dengan dua
rantai polipeptida. Besi dibawa ke eritroblas melalui interaksi antara
transferrim plasma dengan permukaan sel reseptor transferrin. Ketika terjadi
defisiensi besi maka terjadi peningkatan jumlah transferrin receptor.
Pemeriksaan ini baik digunakan pada bayi dan pada daerah prevalensi
infeksi yang tinggi karena serum transferrin receptor tidak dipengaruhi oleh
inflamasi akut dan kronik.4
Tingkat sTfR tidak meningkat pada anemia penyakit kronis dan dapat
digunakan untuk menunjukkan keberadaan besi dalam sumsum tulang untuk
mengidentifikasi defisiensi zat besi dalam kasus anemia defisiensi besi dan
anemia penyakit kronis.13 Tingkat sTfR dilaporkan pula sebagai marker
yang memiliki sensitivitas dan spesifitas untuk deteksi defisiensi besi selama
kehamilan. Nilai cut off point yang digunakan 28,1 nmol/l memiliki
sensitivitas 45,9% dan spesifitas 68,1% untuk deteksi defisiensi besi pada
wanita hamil. 14
Chang dkk, membandingkan pemeriksaan tingkat sTfR dengan gold
standar besi sumsum tulang untuk mengidentifikasi defisiensi besi. Kenaikan
tingkat sTfR merupakan marker yang paling sensitif untuk absennya besi di
sumsum tulang dengan tingkat sensitivitas 100%.9
f. Erythrocyte protoporphyrin (EP)
Pada saat kekurangan besi dalam tubuh, terjadi akumulasi protoporfirin,
karena tidak ada besi yang bergabung dengan protoporfirin untuk
membentuk heme. Menurut Serdar dkk (2000), dalam suatu penelitian
dengan 72 anak defisiensi besi, terdapat hubungan yang signifikan antara EP 14
dan hemoglobin. Hasil pemeriksaan EP lebih sensitif tetapi kurang spesifik
dibandingkan pemeriksaan kadar ferritin, dan dapat digunakan sebagai
pemeriksaan diagnostik terhadap defisiensi besi dan untuk diagnosis anemia
defisiensi besi pada bayi.1
g. Zinc protoporfirin (ZPP)
ZPP adalah metabolit normal dalam biosintesis heme. Walaupun
jumlahnya sedikit, tetapi masih dibutuhkan dalam proses tersebut. Reaksi
akhir dari jalur biosintesis heme adalah ikatan besi dengan protoporfirin.
Bila terjadi kekurangan atau gangguan penggunaan besi maka seng
merupakan logam alternatif yang berikatan dengan heme. Hal ini
menunjukkan suatu respon biokimia pertama terhadap kekurangan besi
untuk eritropoesis, yang mengakibatkan peningkatan ZPP dalam ertrosit di
sirkulasi.1
Pada saat anemia defisiensi ditemukan kadar hemoglobin yang berkurang
dan menunjukkan adanya deplesi besi. Kekurangan besi pada masa
eritropoesis diperlukan pemeriksaan ZPP yang konsentrasinya akan
meningkat karena seng akan menggantikan posisi besi dalam proses
pembentukan heme. Hasta dkk (1994) berdasarkan penelitiannya
menyarankan pemeriksaan hemoglobin, ferritin, dan ZPP untuk
mempermudah melihat setiap tahap defisiensi besi. ZPP juga dapat
digunakan sebagai pemeriksaan tapis terhadap defisiensi besi.1,9
h. Hepcidin
Hepcidin dianggap sebagai tombol pengatur metabolisme besi dimana
mengatur konsentrasi besi dan distribusi besi jaringan melalui penghambatan
penyerapan zat besi usus, reklamasi besi oleh makrofag dan mobilisasi zat
besi dari penyimpanan di hati. Produksinya menurun saat terjadi defisiensi
besi meningkat selama peradangan dan kelebihan besi. Untuk memprediksi
level hepcidin, Kemma dkk mengembangkan algoritma [transferrin
saturation (%) – sTfR (mg/l) + CRP (mg/l)=hepcidin].9
Penelitian yang dilakukan Sant-Rayn dkk, pada wanita pre menopause
untuk diagnosis defisiensi besi dengan cut off point hepcidin kurang dari 8
15
ng/mL memiliki sensitivitas 41,5% dan spesifisitas 97,6%, sementara
hepcidin kurang dari 18 ng /mL memiliki sensitivitas 79,2% dan spesifisitas
85,6%. Dari penelitian ini, konsentrasi hepcidin kurang dari 8 ng/mL muncul
memiliki sensitivitas yang memuaskan dengan spesifisitas yang sangat baik,
sementara konsentrasi hepcidin dengan cut off point kurang dari 18 ng/mL
mencapai sensitivitas dan spesifisitas tertinggi.15
III. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan besi sumsum tulang merupakan gold standard dari
pemeriksaan status besi dengan pengecatan Prussian Blue. Dari pemeriksaan
Bone Marrow Puncture yang perlu dilihat adalah cadangan Fe, dimana pada
penderita defisiensi besi cadangan Fe nya negatif. Pada hapusan di bawah bisa
kita lihat tidak ada warna kebiruan atau kehijauan yang menandakan cadangan
Fe.6
Gambar 2. Gambar sumsum tulang dengan Fe negatif
16
Gambar 3. Gambar sumsum tulang dengan Fe positif
BAB III
KESIMPULAN
Pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit bukan merupakan tes diagnostik
pilihan karena kadar hemoglobin dan hematokrit tidak sensitif dan spesifik terhadap
defisiensi besi. Namun kedua pemeriksaan ini relatif murah, mudah didapat dan
merupakan pemeriksaan yang paling sering digunakan untuk uji tapis defisiensi besi.
Beberapa pemeriksaan diagnostik yang baik untuk defisiensi besi adalah kadar feritin
serum dan pemeriksaan hepcidin namun kurang lazim dipakai sebagai uji tapis karena
relatif mahal. Pemeriksaan besi sumsum tulang merupakan gold standar untuk defisiensi
besi, namun jarang dilakukan karena bersifat invansif.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Budi A.F. Pengaruh Pemberian Terapi Besi terhadap Perubahan Nilai Indeks
Mentzer dan Indeks RDW (Red Cell Distribution Width) pada Anak Sekolah Dasar
Usia 9-12 Tahun yang Menderita Anemia Defisiensi Besi. Thesis. Universitas
Sumatera Utara: Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran. 2008; 1-
40.
2. Siti Z. Efek Suplementasi Besi, Vitamin C dan Pendidikan Gizi terhadap Perubahan
Kadar Hemoglobin Anak Sekolah Dasar yang Anemia di Kecamatan Kartasura
Kabupaten Sukoharjo. Thesis. Semarang: Universitas Diponegoro. 2007: 1-30.
3. Arlinda S.W. Anemia Defisiensi Besi pada Balita. Fakultas Kedoteran Universitas
Sumatera Utara: Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat/Ilmu Kedokteran
Pencegahan/Ilmu Kedokteran Komunitas. 2004: 1-13.
4. Ketut S, I Made B, Losen A, Tjok D. Perbandingan Beberapa Metode Diagnosis
Anemia Defisiensi Besi: Usaha Mencari Cara Diagnosis Yang Tepat Untuk
Penggunaan Klinik. J Peny Dalam. 2007: 8 (1); 1-12.
5. Carlo B. A Hematologic “Gold Standard” for Iron-deficient States?. Clinical
Chemistry. 2002: 48(7); 981-2.
6. Ann C.W, Leann L, Henry B. Screening for Iron Deficiency. Pediatrics in Review.
2002: 23(5); 171 -8.
7. Roosy A, Inderpreet S, Tejinder S, Naveen K. Red Cell Distribution Width (RDW)
in the Diagnosis of Iron Deficiency with Microcytic Hypochromic Anemia.Indian
Journal of Pediatrics. 2009:76; 265-7.
18
8. Torbjörn Karlsson. Comparative Evaluation of the Reticulocyte Hemoglobin
Content Assay When Screening for Iron Deficiency in Elderly Anemic Patients.
2011. Sweden: Department of Hematology Uppsala University Hospital.
9. Susan F.C. Iron Deficiency Anemia: Diagnosis and Management. Curr Opin
Gastroenterol. 2009: 25; 122–8.
10. Martti A.S, Joseph E.A, Peter R.D. Ferritin in Serum: Diagnosis of Iron Deficiency
and Iron Overload in Infants and Children. Blood Journal. 1974: 43(4); 581-9.
11. Brian S.A, Roger K, Anurdha K.R. Using Ferritin Levels To Determine Iron-
Deficiency Anemia in Pregnancy. The Journal of Family Practice. 2000: 49 (9).
12. Gordon H.G, Andrew D.O, Mahmoud A, Andrew W, William M, Christopher P.
Laboratory Diagnosis of Iron-Deficiency Anemia. Journal Of General Internal
Medicine. 1992: 7; 145-53.
13. Osman Y, Bilal Y, Murat A, Ozlem S.B, Mehmet R.H, Engin S. The Significance
of Serum Transferrin Receptor Levels in the Diagnosis of the Coexistence of
Anemia of Chronic Disease and Iron Deficiency Anemia. 2011: 43 (1); 9-12.
14. R.D Semba, N. Kumwenda, D.R Hoover, T.E Taha, L. Mtimavalye, R. Broadhead,
et al. Assessment of Iron Status Using Plasma Transferrin Receptor in Pregnant
Women with and Without Human Immunodeficiency Virus Infection in Malawi.
European Journal of Clinical Nutrition. 2000: 54; 872-7.
15. Sant-Rayn P, Zoe M, Mark W, Anthony K, Elizabeta N, Tomas G, et al. Serum
hepcidin as a diagnostic test of iron deficiency in premenopausal female blood
donors. The Hematology Journal. 2011: 96 (8); 1099-105.
19