KARAKTERISTIK SIFAT FISIK DAN KIMIA ... -...
Transcript of KARAKTERISTIK SIFAT FISIK DAN KIMIA ... -...
1296 Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
KARAKTERISTIK SIFAT FISIK DAN KIMIA TEPUNG SORGUM
KULTIVAR LOKAL BANDUNG TERFERMENTASI SPONTAN DAN TIDAK
SPONTAN MENGGUNAKAN RAGI ROTI
PHYSICAL AND CHEMICAL CHARACTERISTICS OF SPONTANEOUS AND
NON SPONTANEOUS FERMENTED SORGHUM FLUOR OF BANDUNG
LOCAL VARIETY USING YEAST
1Sukarminah,E.,
1Wulandari, E.,
1Lanti, I.,
1Mardawati, E. dan
2Yusran, R.
1Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran
2Alumni Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran
e-mail korespondensi : [email protected]
ABSTRACT
Modification of the starch in the flour through fermentation can improve the
characteristic of the flour. Fermentation could proceed with spontaneous and non-
spontaneous method. The method used in this research was an experimental method
which was continued by descriptive analysis with two treatments (spontaneous
fermentation (TSA) and non-spontaneous using the addition of yeast bread (TSR)) for 60
hours and sampling for every 12 hours. The 0-hour fermentation TSA and The 12-hours
fermentation TSR was the flour with the greatest effectiveness index. The 0-hours TSA has
whiteness degree 68%, moisture 5.49%, water absorption capacity 14.21%, oil
absorption capacity 5.89%, swelling power 6.39%, solubility 10.26%, starch content
40.04% amylose content 7.92%, amylopectin content 32.12%, ash 0.79% , fat 1.92% ,
protein 7.06%. The 12-hours TSR has whiteness degree 66.13%, moisture 4.99%, water
absorption capacity 14.51%, oil absorption capacity 6.85%, swelling power 6.06%,
solubility 9.47%, starch content 44.75%, amylose content 8.75%, amylopectin content
36% , ash 1.14%, fat 1.97%, protein 7.55%.
Keywords : fermentation, modified flour, sorghum flour, yeast
ABSTRAK
Modifikasi pati tepung melalui proses fermentasi diketahui dapat meningkatkan
karakteristik tepung yang dihasilkan. Fermentasi dapat berlangsung secara spontan dan
tidak spontan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen yang
dilanjutkan dengan analisis deskriptif dengan dua perlakuan (fermentasi spontan (TSA)
dan tidak spontan dengan penambahan ragi roti (TSR) selama 60 jam dan dilakukan
sampling setiap 12 jam sekali. Tepung dengan indeks efektivitas terbesar diperoleh TSA
pada jam ke 0 dan TSR pada jam ke 12. TSA jam ke 0 memiliki derajat putih 68%, kadar
air 5,49 %, kapasitas penyerapan air 14,21 %, kapasitas penyerapan minyak 5,89 %,
swelling power 6,39 %, kelarutan 10,26 %, kadar pati 40,04 %, kadar amilosa 7,92 %,
kadar amilopektin 32,12 % , kadar abu 0,79 %, kadar lemak 1,92 %, kadar protein
7,06%. TSR jam ke 12 memiliki derajat putih 66,13 %, kadar air 4,99 %, kapasitas
penyerapan air 14,51 %, kapasitas penyerapan minyak 6,85 %, swelling power 6,06 %,
kelarutan 9,47 %, kadar pati 44,75 %, kadar amilosa 8,75 %, kadar amilopektin 36 %,
kadar abu 1,14 %, kadar lemak 1,97 %, kadar protein 7,55 %.
Kata kunci : fermentasi, ragi roti, tepung modifikasi, tepung sorgum.
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1297
PENDAHULUAN
Komposisi kimia dan zat gizi sorgum
mirip dengan gandum dan serealia lainnya,
sehingga memiliki potensi untuk digunakan
sebagai pengganti tepung terigu. Sorgum dapat
juga digunakan sebagai sumber pati dan
menjadi bahan baku industri dekstrin, gula,
bioetanol, farmasi, serta kosmetik (Suarni dan
Firmansyah, 2013).
Menurut hasil penelitian Aghnia
(2015) tepung sorgum putih kultivar lokal
Bandung memiliki beberapa kekurangan
dibandingkan dengan tepung terigu sehingga
dilakukan modifikasi pati dilakukan untuk
mengubah sifat kimia dan atau sifat fisik pati
secara alami. Modifikasi pati dapat dilakukan
dengan cara memotong struktur molekul,
menyusun kembali struktur molekul, oksidasi,
atau melakukan substitusi gugus kimia pada
molekul pati (Wurzburg 1989). Modifikasi pati
dalam tepung dapat dilakukan melalui
beberapa cara yaitu secara kimiawi (cross-link
dan asetilasi), secara fisik (Heat Moisture
Treatment), dan biologis (fermentasi dan
enzimatis).
Menurut Wood (2016), frmentasi telah
digunakan sejak berabad-abad lalu dan
diketahui secara turun menurun, sehingga
pengaplikasiannya lebih mudah dibandingkan
modifikasi secara kimiawi dan fisik yang baru
digunakan akhir-akhir ini. Fermentasi sorgum
secara tradisional diketahui secara nyata dapat
memperbaiki sifat fungsional tepung sorgum
(Elkhalifa dkk., 2005). Modifikasi dengan
metode fermentasi dapat dilakukan dengan
menggunakan mikroorganisme penghasil
enzim amylase (Armanda dan Putri, 2016),
yang dimiliki beberapa jenis khamir.
Menurut De Mot (1990),
Saccharomyces cerevisiae atau dikenal sebagai
ragi roti/yeast menghasilkan enzim amilase,
yang akan memecah glukosa pada bahan
melalui proses hidrolisis sehingga
memodifikasi bentuk pati tersebut. Menurut
Rahayu (2012), ragi roti jenis instant dry yeast
merupakan jenis ragi yang paling sering
digunakan karena mudah didapat secara
komersil dan penggunaannya yang lebih
praktis jika dibandingkan jenis ragi lainnya.
Fermentasi baik secara alami (spontan)
maupun dengan penambahan ragi roti (tidak
spontan) dapat mengubah karakteristik dari
suatu bahan pangan, terutama pada komponen
patinya. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian dengan kajian fermentasi secara
spontan dan fermentasi tidak spontan dengan
penggunaan ragi roti pada tepung sorgum
untuk mengetahui karakteristik fisik, kimia,
dan fungsional pati dari tepung sorgum
tersebut.
BAHAN DAN METODE
Alat
Alat-alat yang digunakan diantaranya
adalah disc mill, incubator, timbangan, oven
kabinet, pH meter, waterbath, mikroskop,
timbangan, neraca analitik, grinder, ayakan
tyler, tanur, oven kabinet, Table Electron
Microscope (TEM).
Bahan
Bahan yang digunakan adalah tepung
sorgum putih kultivar lokal Bandung, ragi roti,
enzim alfa amilase, larutan etanol 95%,
larutan NaOH 1 N, larutan iod, larutan amilosa,
asam asetat, buffer fosfat pH 6.9, reagen 3.5
DNS, larutan 40% tartarat, K2Cr2O7, H2SO4
Pembuatan Tepung Sorgum Terfermentasi
Spontan dan Tidak Spontan
Pembuatan tepung sorgum
terfermentasi spontan dan tidak spontan tepung
dilakuan dengan penambahan akuades
(akuades : tepung = 2 : 1 [w/v]) lalu diaduk.
Tahapan selanjutnya itu penambahan ragi roti
sebesar 1% pada tepung sorgum terfermentasi
tidak spontan (TSR) sedangkan pada tepung
sorgum terfermentasi spontan/alami (TSA),
tidak dilakukan penambahan ragi roti.
Fermentasi dilakukan pada suhu 35 + 2 ºC dan
diambil sampel setiap 12 jam sekali yaitu pada
jam fermentasi ke-0, ke-12, ke-24, ke-36, ke-
48, dan ke-60 untuk melihat perubahan
karakteristiknya. Tepung yang sudah
difermentasi lalu dikeringkan pada suhu 50oC
selama 12 jam.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah
metode eksperimen dengan analisis deskriptif.
Sebagai perlakuan adalah :
1298 Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
A. Tepung sorgum modifikasi terfermentasi
alami/spontan (TSA)
TSA 1 : fermentasi alami jam ke-0
TSA 2 : fermentasi alami jam ke-12
TSA 3 : fermentasi alami jam ke-24
TSA 4 : fermentasi alami jam ke-36
TSA 5 : fermentasi alami jam ke-48
TSA 6 : fermentasi alami jam ke-60
B. Tepung sorgum modifikasi terfermentasi
menggunakan ragi roti/ tidak spontan
(TSR)
TSR 1 : terfermentasi ragi roti jam ke-0
TSR 2 : terfermentasi ragi roti jam ke-12
TSR 3 : terfermentasi ragi roti jam ke-24
TSR 4 : terfermentasi ragi roti jam ke-36
TSR 5 : terfermentasi ragi roti jam ke-48
TSR 6 : terfermentasi ragi roti jam ke-60
HASIL DAN PEMBAHASAN
Derajat Putih
Tabel 1. Derajat Putih Tepung Sorgum
Terfermentasi
Waktu
(jam)
Derajat Putih (%)
TSA TSR Tepung
Terigu
0 68.00 62.20
86.5
12 68.13 66.13
24 68.40 67.08
36 68.85 67.25
48 69.53 67.75
Tabel 1 menunjukkan range nilai
derajat putih TSA yaitu 68-70%. Rage nilai
derajat putih TSR yaitu 62-69%. Berdasarkan
hasil penelitian, nilai derajat putih TSA dan
TSR lebih rendah dibandingkan tepung terigu
komersial yaitu sebesar 86,5%. Keseluruhan
tepung sorgum umumnya berwarna putih
sedikit kuning dengan ada bintik-bintik hitam
(Mardawati dkk, 2010).
Gambar 1. Grafik Derajat Putih Tepung
Sorgum Terfermentasi
Gambar 1 memperlihatkan bahwa
grafik derajat putih dari kedua perlakuan
cenderung meningkat seiring waktu fermentasi.
Hal ini juga dikemukakan Murtini (2009),
bahwa pada proses fermentasi sorgum
menghasilkan warna yang lebih cerah seiring
lama fermentasi. Peningkatan derajat putih dari
kedua sampel dapat dikaitkan dengan
penguraian senyawa kompleks terutama bagian
pati oleh mikroorganisme selama fermentasi.
Fermentasi menyebabkan peningkatan adanya
pori-pori dan ruang udara diantara butir tepung
sorgum. Bertambahnya pori-pori pada tepung
sorgum menyebabkan udara lebih banyak
masuk dan membuat pembiasan cahaya pada
tepung sorgum menjadi lebih mudah sehingga
didapati warna putih yang lebih terang.
Kadar Air
Tabel 2. Kadar Air Tepung Sorgum
Terfermentasi
Waktu (jam)
Kadar Air (%)
TSA TSR Tepung
Terigu
0 5.41 4.85
Maksimal
14.5
12 5.64 4.99
24 5.41 4.94
36 5.33 4.59
48 5.31 4.44
60 5.25 4.35
Dari Tabel 2 diketahui range kadar air
TSA yaitu 5,25 – 5,64 % dan range kadar air
TSR yaitu 4,35 – 4,99 %. SNI 3751-2009
mencantumkan kadar air tepung terigu
maksimal 14,5%, sehingga kadar air TSA dan
TSR sudah memenuhi persyaratan dengan SNI
tersebut.
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1299
Gambar 2. Grafik Kadar Air Tepung
Sorgum Terfermentasi
Pada grafik kadar air, kedua perlakuan
mengalami penurunan seiring waktu
fermentasi. Menurut Jane (2009), struktur
granula pati merupakan struktsur semi-kristal
yang stabil, sehingga granula pati tidak akan
terlarut ataupun tercampur dalam air pada suhu
ruang. Air pada tepung sorgum ketika
disimpan pada suhu ruang diperkirakan
merupakan air terikat yang terjebak dibagian
amorphous granula pati (Ai dan Jane, 2016).
Fermentasi mikroflora pada bahan akan
memberi celah pada struktur semi-kristal
permukaan granula pati bagi air yang
terperangkap agar terevaporasi keluar.
Semakin lama proses fermentasi,
semakin banyak celah yang terjadi, sehingga
semakin banyak air yang dihilangkan. Hal ini
menyebabkan penurunan kadar air yang
sebanding dengan waktu fermentasi.
Kapasitas Penyerapan Air (KPA) dan
Kapasitas Penyerapan Minyak (KPM)
Tabel 3. KPA dan KPM Tepung Sorgum
Terfermentasi
Waktu
(jam)
KPA KPM
TSA TSR TSA TSR
0 14.21 14.42 5.89 5.49
12 14.06 14.31 7.01 6.85
24 14.04 14.25 7.65 7.24
36 14.02 14.25 8.85 6.70
48 13.85 14.13 9.22 8.16
60 13.51 14.11 9.34 8.56
Dari Tabel 3 diatas diketahui range
KPA dari TSA yaitu 13,51 – 14,21 % dan
range KPA dari TSR yaitu 14,11 – 14,42 %,
sedangkan range KPM dari TSA yaitu 5,89 –
9,34 % dan range KPM dari TSR yaitu 5,49 –
8,56 %.
Gambar 3. Grafik KPA dan KPM Tepung
Sorgum Terfermentasi
Dari Gambar 3 dapat dilihat grafik mengalami
penurunan kapasitas penyerapan air pada
kedua perlakuan. Namun pada nilai kapasitas
penyerapan minyak (KPM) mengalami
kenaikan pada kedua perlakuan. Hal ini juga
dikemukakan Elkhalifa dkk. (2005), yang
menemukan penurunan KPA disertai
penurunan kadar air dari tepung sorgum yang
difermentasi. Alka dkk.(2012) juga
menyebutkan bahwa grafik water holding
capacity mengalami kenaikan dan oil holding
capacity mengalami penurunan pada tepung
sorgum yang difermentasi. Fermentasi
menurunkan nilai KPA dengan mengurai
amilosa yang dapat mengikat air, juga dengan
terbentuknya lapisan lemak yang terikat
dengan komponen hasil penguraian amilosa di
permukaan yang menghalangi pengikatan air.
Swelling Power
Tabel 4. Swelling Power Tepung Sorgum
Terfermentasi
Waktu
(jam)
Swelling Power
TSA TSR
0 6.39 6.40
12 6.34 6.06
24 6.26 5.42
36 6.06 5.13
48 5.69 5.28
60 5.35 4.99
Dari Tabel 4 diatas diketahui range
swelling power TSA yaitu 5,35 – 6,39 % dan
range swelling power TSR yaitu 4,99 – 6,40
%.
1300 Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
Gambar 4 Grafik Sweliilng Power Tepung
Sorgum Terfermentasi
Gambar 4 memperlihatkan bahwa nilai
Swelling Power dari kedua jenis perlakuan
mengalami penurunan. Dari ulasan
sebelumnya, diketahui fermentasi pada tepung
sorgum dapat meningkatkan kadar lemak pada
bahan. Menurut Jane (2009), keberadaan lipid
dan fosfolipid membuat struktur yang stabil
baik dengan amilosa maupun dengan
amilopektin, menyebabkan air sulit bereaksi
dengan struktur yang sudah stabil tersebut.
Dengan kata lain, semakin meningkat
komponen lemak pada bahan maka semakin
menurun nilai swelling power yang dihasilkan.
Dengan demikian, bersamaan dengan
peningkatan waktu fermentasi, nilai swelling
power tepung sorgum akan terus mengalami
penurunan.
Kelarutan
Tabel 5. Kelarutan Tepung Sorgum
Terfermentasi
Waktu
(jam)
Kelarutan
TSA TSR
0 10.26 11.08
12 8.57 9.47
24 7.41 8.94
36 6.67 8.06
48 6.04 7.29
60 4.27 7.24
Dari Tabel 5 diatas diketahui range
kelarutan TSA yaitu 4,27 – 10,26 % dan range
kelarutan TSR yaitu 7,24 – 11,08 %. Nilai
kelarutan dari TSA lebih rendah dibandingkan
TSR .
Gambar 5. Grafik Kelarutan Tepung
Sorgum Terfermentasi
Pada Gambar 5 nilai kelarutan tepung dari
kedua perlakukan fermentasi mengalami
penurunan. Penyebab hal tersebut dapat
dikaitkan dengan keberadaan komponen pati
dan komponen bukan pati (protein dan lemak),
amilopektin terlarut dalam air, sedangkan
kelarutan amilosa bervariasi di dalam air. Hal
ini menurut Mason (2009) karena amilosa
cenderung membentuk ikatan dengan
komponen lipid membentuk lapisan hidrofobik
pada permukaan granula pati sehingga dapat
menurunkan kelarutan, karena lemak yang
meyelimuti granula menghambat panas dan
menghalangi interaksi granula pati dan air.
Hasil penguraian amilosa setelah fermentasi
dapat meningkatkan pengikatan lemak,
sehingga menurunkan kelarutan.
Kadar Pati
Tabel 6. Kadar Pati Tepung Sorgum
Terfermentasi
Waktu
(jam)
Pati (%)
TSA TSR Tepung
Terigu
0 40.04 40.33
60.33
12 35.54 44.75
24 35.01 41.46
36 34.13 38.94
48 34.86 38.94
60 33.63 38.27
Tabel 6 menunjukkan range kadar pati
TSA yaitu 33,63 - 40,04% dan range kadar pati
TSR yaitu 38,27 – 40,33 %. Kadar pati TSA
dan TSR lebih rendah dari tepung sorgum
alami yaitu 52,38 % dan lebih rendah
dibandingkan tepung terigu yaitu sebesar
60,33%.
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1301
Gambar 6. Grafik Kadar Pati Tepung
Sorgum Terfermentasi
Gambar 6 memperlihatkan bahwa grafik
kadar pati dari kedua perlakuan cenderung
mengalami penurunan seiring waktu
fermentasi. Penurunan kadar pati tersebut
dikarenakan penguraian komponen pati oleh
mikroorganisme selama fermentasi.
Kadar pati TSR pada jam ke-12
mengalami peningkatan yang disebabkan oleh
peningkatan jumlah S.cerevisiae pada jam
tersebut berlangsung pesat menyebabkan
jumlah gula pereduksi yang dihasilkan lebih
besar dari sebelumnya, yang kemudian
terdeteksi sebagai pati. Kadar pati kemudian
menurun setelah jam ke-12 dikarenakan bakteri
telah melewati fase optimal tumbuh, dan
penguraian terjadi tidak sebesar pada jam ke-
12.
Amilosa dan Amilopektin
Tabel 7. Kadar Amilosa dan Amilopektin
Tepung Sorgum Terfermentasi
Jam Amilosa (%) Amilopektin (%)
TSA TSR Terigu TSA TSR Terigu
0 7.92 8.30
6.17
32.12 32.03
54.16
12 6.62 8.75 28.21 36.00
24 6.79 7.43 28.23 34.03
36 6.64 6.96 27.49 31.98
48 6.93 7.21 27.93 31.73
60 5.64 6.39 27.98 31.88
Range kadar amilosa TSA yaitu 5,64 –
7,92 % dan range kadar amilosa TSR yaitu
6,39 – 8,75 %. lebih tinggi dibandingkan
tepung terigu yaitu sebesar 6,17 %. Range
kadar amilopektin TSA yaitu 27,93 – 32,12 %
dan range kadar amilopektin TSR yaitu 31,73
– 36 % lebih rendah dibandingkan tepung
terigu yaitu sebesar 54,16 %.
Gambar 7. Grafik Amilosa dan amilopektin
Tepung Sorgum Terfermentasi
Pada Gambar 7 kadar amilosa dari kedua
perlakuan mengalami penurunan seiring waktu
fermentasi. Sebaliknya, grafik kadar
amilopektin semakin meningkat seiring
penurunan waktu fermentasi. Fermentasi TSA
komponen pati akan diuraikan sebagian besar
menjadi asam laktat, sedangkan pada
fermentasi TSR komponen pati akan diuraikan
sebagian besar menjadi gula-gula pereduksi
oleh S. cerevisiae sehingga lebih banyak
komponen pati yang diurai. Penguraian
tersebut menyebabkan menurunnya kadar
amilosa, dan secara otomatis meningkatkan
kadar amilopektin secara by difference.
Kadar Abu
Tabel 8. Kadar Abu Tepung Sorgum
Terfermentasi
Waktu
(jam)
Kadar Abu (%)
TSA TSR Tepung Terigu
0 0.79 1.11
Maksimal 0.7
12 0.90 1.13
24 1.21 1.04
36 1.23 1.25
48 1.13 1.27
60 1.29 1.45
Dari Tabel 8 didapatkan range kadar abu
TSA yaitu 0,79 – 1,29 % dan range kadar abu
TSR yaitu 1,11 – 1,45. Menurut SNI 3751-
2009 kadar abu tepung terigu maksimal 0,7%,
sehingga kadar abu TSA dan TSR belum
sesuai berdasarkan SNI tersebut.
1302 Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
Gambar 8. Grafik Kadar Abu Tepung
Sorgum Terfermentasi
Gambar 8 memperlihatkan bahwa
grafik kadar abu dari kedua perlakuan
mengalami peningkatan seiring waktu
fermentasi. Diketahui bahwa fermentasi dapat
meningkatkan ketersediaan mineral seperti
zinc, magnesium, dan zat besi (Bevilacqua
dkk, 2016). Penambahan ragi roti pada
fermentasi TSR menyebabkan peningkatan
jumlah penguraian yang dilakukan selama
fermentasi. Semakin banyak struktur yang
dipecah, semakin banyak hasil fermentasi,
antara lain mineral dan vitamin, yang akan
terbentuk
Kadar Lemak
Tabel 9. Kadar Lemak Tepung Sorgum
Terfermentasi
Waktu
(jam)
Kadar Lemak (%)
TSA TSR Tepung
Terigu
0 1.92 1.72
1.6
12 1.99 1.97
24 2.10 1.99
36 2.19 2.10
48 2.60 2.26
60 2.96 2.59
Dari Tabel 9 diatas diketahui range
kadar lemak TSA yaitu 1,92 – 2,96 % dan
range kadar lemak TSR yaitu 1,72 – 2,59 %
lebih tinggi dibandingkan tepung terigu yaitu
sebesar 1,6 %.
Gambar 9. Grafik Kadar Lemak Tepung
Sorgum Terfermentasi
Gambar 9 memperlihatkan bahwa
semakin lama waktu fermentasi, semakin
meningkat kadar lemak pada tepung sorgum.
Keadaan ini berhubungan dengan letak dan
struktur amilosa serta proses fermentasi yang
terjadi. Letak amilosa menurut Jane (2009)
terpusat pada bagian luar granula pati, dan
sebagian kecil berikatan silang dengan
amilopektin di dalam granula.
Amilosa bersifat reaktif dan
membutuhkan senyawa lain untuk
membuatnya stabil. Amilosa helix tunggal
akan stabil ketika bagian hidrofobiknya
berikatan dengan senyawa non polar lain
seperti 1-butanol atau asam lemak yang
terdapat pada lingkungan. Pemecahan struktur
amilosa menyebabkan amilosa kehilangan daya
ikat dengan komponen lain, sehingga lemak
yang awalnya berikatan dengan amilosa
terlepas dan tersedia bebas.
Kadar Protein
Tabel 10. Kadar Protein Tepung Sorgum
Terfermentasi
Waktu
(jam)
Kadar Protein (%)
TSA TSR Tepung
Terigu
0 7.06 7.54
Minimal 7
12 6.89 7.55
24 6.86 7.50
36 6.76 7.28
48 6.61 6.71
60 6.30 6.48
Range kadar protein TSA yaitu 6,30 – 7,06 %
dan range kadar protein TSR yaitu 6,48 – 7,54
%. Pada SNI 3751-2009 kadar protein terigu
minimal 7%, sehingga hanya TSA pada jam
ke-0 dan TSR jam ke-0, jam ke-12, jam ke-24,
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1303
dan jam ke-36 yang memiliki kadar protein
sesuai dengan SNI tersebut.
Gambar 10. Grafik Kadar Protein Tepung
Sorgum Terfermentasi
Gambar 10 memperlihatkan bahwa
semakin lama waktu fermentasi, semakin
menurun kadar protein pada tepung sorgum.
Penurunan kadar protein dikarenakan
kompleks protein yang tidak larut pada tepung
sorgum fermentasi mengalami penguraian,
sehingga meningkatkan jumlah protein terlarut,
baik pada TSA maupun TSR. Semakin lama
waktu fermentasi, semakin sedikit protein yang
terdeteksi pada bahan.
Matrikulasi Perlakuan Terbaik
Perlakuan terbaik disimpulkan
berdasarkan parameter-paramater yang telah
diberi nilai bobot dan dijumlahkan sebagai
perlakuan dengan total bobot paling tinggi.
Berdasarkan matrikulasi hasil pengamatan
parameter karakteristik TSA dan TSR,
disimpulkan bahwa TSA pada jam ke 0 dan
TSR pada jam ke 12 memiliki karakteristik
yang lebih baik dibandingkan dengan sampel
tepung sorgum lainnya.
PENGAMATAN PENUNJANG
Total sel khamir dan Viabilitas Ragi
Pengujian totalse ragi dan viabilitasnya
dilakukan sebagai uji penunjang untuk
mengetahui jumlah mikroorganisme awal. Ragi
roti yang digunakan bermerek Fermipan.
Terdapat 34 sel bening dan 3 sel biru sehingga
didapatkan jumlah sel pada 0,1 µl yaitu 37 sel
atau atau 3,7 x 107 sel per 1 ml dan viabilitas
ragi 91,89%.
Bentuk dan Ukuran Granula Pati
Pengamatan bentuk dan ukuran
granula pati dilakukan menggunakan TEM
(Table Electron Microsccope) pada TSA jam
ke 0 dan TSR jam ke 12. Diketahui ukuran
granula TSA jam ke 0 berkisar antara 11,8 -
66,7µm dan ukuran granula TSR jam ke 12
berkisar antara 7,6 – 34,4µm.
Pengukuran IVSD (In Vitro Starch
Digestibility)
TSA waktu fermentasi ke 0 dan TSR
waktu fermentasi ke 12 dilakukan uji
penunjang daya cerna patinya secara in vitro.
In vitro starch digestibility (IVSD)
menggunakan enzim α amilase, yang akan
memecah pati menjadi maltosa. Daya cerna
pati dari TSA jam ke 0 yaitu sebesar 44,01 %
sedangkan daya cerna pati TSR jam ke 12
sebesar 43,02 %. Hal serupa juga ditemukan
pada penelitian Alka dkk. (2012) dimana nilai
IVSD dari sorgum fermentasi meningkat
seiring waktu fermentasi dan dihasilkan nilai
IVSD pada akhir fermentasi sebesar 38% yaitu
pada waktu fermentasi 36 jam.
Uji Etanol Secara Kualitatif
Pengujian kualitatif etanol dilakukan
untuk mengetahui ada atau tidaknya etanol
pada tepung sorgum fermentasi 60 jam. Hasil
positif dinyatakan jika warna yang dihasilkan
setelah penambahan kalium dikromat berubah
dari warna kuning menjadi biru. Pada
pengujian ini, hasil yang didapatkan adalah
negative, sehingga perlakuan fermentasi pada
tepung sorgum dengan penambahan ragi roti
selama waktu fermentasi 60 jam tidak
menghasilkan etanol.
KESIMPULAN
Matriks perlakuan terbaik
menghasilkan tepung sorgum terfermentasi
alami (TSA ) pada jam ke 0 dan tepung sorgum
terfermentasi ragi roti (TSR) pada jam ke 12
sebagai tepung dengan indeks efektivitas
terbesar.
1304 Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
Tepung sorgum terfermentasi ragi roti
(TSR) memiliki derajat putih dan swelling
power lebih kecil dari pada tepung sorgum
terfermentasi alami (TSA), sedangkan
kapasitas penyerapan air dan kapasitas
penyerapan lemak serta kelarutan memiliki
nilai yang lebih besar dari tepung sorgum
terfermentasi alami (TSA).
Tepung sorgum terfermentasi ragi roti
(TSR) mengandung kadar pati, amilosa,
amilopektin, protein yang lebih tinggi,
sedangkan kadar air dan lemak lebih rendah
dari tepung sorgum terfermentasi alami (TSA).
Saran
Perlu dilakukan uji lanjut mengenai
jumlah mikroorganisme selama waktu
fermentasi dan uji kuantitatif mengenai
senyawa yang dihasilkan setelah proses
fermentasi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Universitas Padjadjaran yang telah
memberikan dukungan finansial melalui
Hibah Kompetensi Dosen Unpad.
DAFTAR PUSTAKA
Ai, Y.dan J. Jane. 2016. In: Caballero, B.
Finglas, P.M. Toldra, F., eds.
Encyclopedia of Food and Health Vol 5.
Academic Press of Elsevier, pp. 165-
174.
Aghnia, E. S. 2015. Kajian Karakteristik
Tepung Sorgum Putih (Sorghum
bicolor (L.) Moench) Kultivar
Lokal Bandung Dengan Variasi
Lama Penyosohan. Skripsi.
Fakultas Teknologi Industri
Pertanian. Universitas Padjadjaran,
Jatinangor.
Alka, S., Y. Neelam, dan S. Shruti. 2012.
Effect of fermentation on
physicochemical properties & in vitro
starch and protein digestibility of
selected cereals. International Journal of
Agriculture and Food Science, pp. 66-
70.
Armanda, Y. dan W.D.R. Putri. 2016.
Physicochemical Characteristics of
Whole Grain Brown Sorghum Flour
Fermented with a Traditional Mixed
Culture called ‘Ragi Tape’. Jurnal
Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No 2,
pp. 458-467.
Bevilacqua, A., M. Sinigaglia and M.R. Corbo.
2016. Fermented Foods: Origins and
Applications. In: Caballero, B. Finglas,
P.M. Toldra, F., eds. Encyclopedia of
Food and Health Vol 2. Academic Press
of Elsevier, pp. 675-680.
Badan Standarisasi Nasional. 2009.SNI 3751-
2009. Tepung terigu sebagai bahan
makanan.
De Mot, R. 1990. Conversion of starch by
yeasts. Dalam: Verachtert, H. dan De
Mot R. (ed.). Yeasts Biotechnology and
Biocatalysis. Marcel Dekker, New York.
Elkhalifa, A., B. Schiffler dan R. Bernhardt.
2005. Effect of Fermentation of The
Functional Properties of Sorghum Flour.
Food Chemistry, pp. 1-5.
Jane, J. L. 2009. Structural Features of Starch
Granules II. In: BeMiller, J. & Whistler,
R., eds. Starch: Chemistry and
Technology Third Edition. Academic
Press of Elsevier, pp. 193-236.
Mason, W.R. 2009. Starch Use in Foods. In:
BeMiller, J. & Whistler, R., eds. Starch:
Chemistry and Technology Third
Edition. Academic Press of Elsevier, pp.
745-795.
Murtini, E.S. 2009. Peningkatan
bioavailabilitas protein sorghum lokal
varietas coklat dengan solid state
fermentation untuk produksi tepung
berfungsional tinggi. Laporan Program
Insentif Riset Dasar. Kementerian
Negara Riset dan Teknologi Republik
Indonesia
Rahayu, D. S. 2012. Ragi Bahan Utama
Pengembangan Adonan Roti. Available
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1305
at : http://www.bakerymagazine.com
[diakses 25 Mei 2016]
Suarni dan I.U. Firmansyah. 2013. Struktur,
Komposisi Nutrisi dan Teknologi
Pengolahan Sorgum. Dalam: Sumarno,
D. S. Damardjati, M. Syam & Hermanto,
penyunt. Sorgum: Inovasi Teknologi dan
Pengembangan. Jakarta: IAARD Press,
Wood, B., 2016. Fermentation: Origins and
Applications. In: C. W. Wrigley, A.
Corke, K. Seethaman dan J. Faubion,
eds.Encyclopedia of Food grain Second
Edition. UK : Elsevier
Wurzburg, O.B. 1989. Modified Starch :
Properties and Uses. CRC perss. Florida
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1306
EVALUASI FISIKA KIMIA TEPUNG KEDELE YANG FERMENTASI
DENGAN BAKTERI Lactobacillus acidophilus
EVALUATION OF PHYSICOCHEMICAL PROPERTIES OF SOYBEAN FLOUR
FERMENTED BY Lactobacillus acidophilus
Noer laily1*, Sri Peni Wijayanti1, Muhamaludin1, Melisa Florence Mustopo2
1 Pusat Teknologi Agroindustri-BPPT
2 Swiss German University
Gedung 610 Laptiab-BPPT,
Kawasan Perkantoran PUSPIPTEK, Serpong 15314
*e-mail korespondensi: [email protected]
ABSTRACT Fermentation of soy flour has a great potential of increasing its consumer acceptability
and functionality. In this research the properties of soy flour fermented by Lactobacillus
acidophilus was observed. Fermentation was done in semi-solid condition by mixing the soy
flour with water by the ratio of 1:2 and 1:3 respectively. The titrable acidity, protein content,
hexanol content and lipoxygenase enzyme of soy flour with 0, 1, 2, 3, 4 and 5 days fermentation
were observed alongside with soy flour without treatment as comparison. All the treatments
done to the samples bring no effect into the soluble protein concentration. Unfermented soy
flour had the lowest total acid while 5 days fermented soy flour has the highest total acid. From
the SDS PAGE profile protein, the Lipoxygenase enzyme band was not present in the samples
after the fermentation. No trace of hexanol was found in all of the samples including the soy
flour as the raw material. Application of fermented soy flour for bakery produced fresh bread
with good sensory.
Keywords: Bacteria, fermentation, Lactobacillus acidophilus, soy flour
ABSTRAK
Fermentasi tepung kedelai memiliki potensi besar untuk meningkatkan penerimaan
konsumen dan sifat fungsionalnya. Dalam penelitian ini sifat fisika dan kimia tepung kedelai
yang difermentasi oleh Lactobacillus acidophilus dipelajari. Fermentasi dilakukan dalam
kondisi semi padat dengan mencampur tepung kedelai dan air dengan perbandingan masing-
masing 1: 2 dan 1: 3. Nilai keasaman, kadar protein, senyawa heksanol dan enzim
lipoksigenase pada tepung kedelai hasil fermentasi 0, 1, 2, 3, 4 dan 5 hari diamati. Sebagai
kontrol digunakan tepung kedelai tanpa perlakuan. Hasil pengujian protein terlarut
menunjukkan bahwa semua perlakuan yang dilakukan pada sampel tidak berpengaruh terhadap
kandungan protein terlarut. Tepung kedelai yang tidak difermentasi memiliki total nilai
keasaman terendah, sebaliknya tepung kedele yang difermentasi selama 5 hari memiliki nilai
keasaman total tertinggi. Dari hasil analisa profil protein menggunakan SDS PAGE, pita enzim
Lipoxygenase tidak ditemukan pada semua perlakuan dalam sampel setelah fermentasi. Tidak
ada senyawa heksanol yang ditemukan di semua sampel perlakuan termasuk kontrol. Penerapan
tepung kedelai fermentasi untuk bakeri menghasilkan roti tawar dengan indrawi yang baik.
Kata kunci: Bakteri, fermentasi, Lactobacillus acidophilus, tepung kedelai
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1307
PENDAHULUAN
Kandungan zat gizi pada kedele
sangat baik, mengandung protein sebesar
38%, lemak 18%, karbohidrat larut sebesar
15% dan yang tidak larut sebesar 15%.
Lemak kedele kaya akan asam lemak tidak
jenuh jamak khususnya asam linoleat dan
asam linolenat, serta bebas kolesterol.
Protein kedele mengandung sembilan asam
amino esensial yaitu lisin, metionin, sistein,
triptofan, treonin dan isoleusin, leusin,
fenilalanin dan valin (Singh et al., 2008).
Rafinosa dan stakhiosa merupakan
karbohidrat yang menonjol pada kedele.
Kedua gula tersebut tidak dapat dicerna oleh
manusia dan menjadi penyebab perut
kembung (Wang et al., 2006). Asam
linolenat dan asam linoleat adalah komponen
utama lemak pada kedele, Kedua asam
lemak tersebut merupakan substrat
hidroperoksidasi bagi enzim lipoksinegase
menghasilkan rasa tidak enak pada kedele
dan produk-produk turunannya (Junghans et
al., 2004).
Kedele merupakan sumber protein
yang sangat penting terutapa untuk orang-
orang asean. Sebagai contoh tempe, tahu dan
susu kedele merupakan makanan yang
banyak dijumpai pada menu sehari-hari
orang asia Zhang et al. (2014). Selain nilai
gizi, kedele juga mengandung senyawa
fungsional yang baik untuk kesehatan seperti
isoflavon. Beberapa senyawa fungsional
pada kedele dapat menurunkan resiko
penyakit jantung dan kanker.
Proses fermentasi dapat
meningkatkan daya terima kedele dan
meningkatkan nilai gizi dan fungsional
kedele. Setelah fermentasi, faktor
penghambat gizi hilang (serin protease
inhibitor dan tripsin inhibitor),
makromolekul yang tidak larut seperti
protein, lemak dan karbohidrat terdegradasi
menjadi polipeptida, asam lemak dan
oligopeptida (Zhang et al., 2014; Mukhrejee
et al., 2016). Asam amino bebas dan
biopeptida aktif dapat dibebaskan selama
proses fermentasi oleh mikroorganisme
(Amadou et al., 2010).
Bakteri asam laktat telah banyak
digunakan dalam produk susu kedele dan
produk yang lain seperti sufu, tepung kedele,
tauco dan saos. BAL dapat menurunkan
immunoreaktifitas IgE (Zhang et al., 2014).
Degradasi alergen kedele oleh aktivitas
enzum proteolitik yang dihasilkan oleh
miroorganisme seperti pada produk kecap,
miso, dan ingeredien dari kedele (Amadou et
al., 2010).
Proses fermentasi pada kedele juga
dapat menurunkan off-flavor dan
meningkatkan sifat tektur (Park et al., 2012).
Bakteri asam laktat khususnya Lactobacillus
acidophilus secara anaerobik dapat
menfermentasi karbohidrat. Tergolong
sebagai bakteri asam laktat yang
homofermentor sehingga lebih banyak
memproduksi asam laktat dibandingkan
dengan starin yang lain. Gula sebagai
substrat utamanya dikonversi menjadi asam
laktat melalui jalur glikolitik. Berbeda
dengan golongan heterofermentor yang
hanya mengonversi 50% substrat menjadi
asam laktat, sementara sisanya
dimetabolisme menjadi asam acetat, etil
alkohol dan Co2 melalui jalur
foosfoketolase/ fosfoglukonat (Battcock dan
Azam-Ali, 1998).
Fermentasi tepung kedele secara
padat lebih ekonomis karena tidak
membutuhkan pemanenan yang rumit.
Teknologi fermentasi simpel.
Rasa langu tepung kedele dapat
ditutupi dengan fermentasi oleh
Lactobacillus acidophilus (Mital dan
Steinkraus, 1976). Enzim lipoksigenase
dapat didegradasi oleh aktivitas proteolitik
mikroba selama proses fermentasi.
Karena kandungan asam amino pada
tepung kedele yang penting untuk
kesehatan.... Protein kedele lebih tinggi 4
kali dibandingkan dengan gandum, 6 kali
lebih tinggi dibdengan beras, dan juga kaya
akan kalsium, P dan vitamin (Taghdir et al.,
2016) sehingga pemanfaatan tepung kedele
untuk fortifikasi pada produk pangan dengan
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1308
rasio yang tepat merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan kualitas gizi produk.
Beberapa studi menyebutkan bahwa
penambahan 0,5% tepung kedele pada
pembuatan roti dapat meningkatkan kualitas
roti. Tepung kedele juga diketahui dapat
meningkatkan umur simpan pada produk
bakeri (Taghdir et al., 2016). Pemanfaatan
produk fermentasi pada formula produk
makanan nampaknya lebih efektif dan
mudah untuk meningkatkan nilai gizi dan
menurunkan viskositas makanan cereal.
BAHAN DAN METODE
Prosedur fermentasi
Persiapan kultur bakteri asam laktat
Bakteri asam laktat yang digunakan
pada proses ini adalah Lactobacillus
acidophilus FNCC 116. Media yang
digunakan untuk kultivasi bakteri asam laktat
adalah MRS Broth, yang disiapkan dengan
melarutkan 5,2 g media dalam 100 ml
akuades. Larutan media dibagi dalam tabung
reaksi masing-masing sebanyak 5 ml dan
diberi sumbat dari kapas, lalu disterilkan
pada 115°C selama 15 menit. Sebanyak 1%
kultur stok ditransfer ke dalam media
MRSB, lalu diinkubasi pada 37°C selama 20
jam. Kultur BAL diregenerasi sebanyak dua
kali sebelum digunakan dalam penelitian.
Variasi kultur kerja/starter dibuat 2 macam,
(1) kultur BAL dalam MRSB, (2)kultur BAL
dalam campuran MRSB dengan susu kedele
50:50 (V/V)
Fermentasi tepung kedele
Sebanyak 100 g tepung kedele dilarutkan
dalam akuades dengan perbandingan tepung
– akuades 1:3. Campuran homogen lalu
disterilkan pada suhu 80°C selama 15 menit
dan didinginkan hingga suhu 37°C. Setelah
itu diinokulasi dengan 5% kultur
Lactobacillus acidophilus lalu diinkubasi
pada suhu 37°C selama 0,24, 48,72 dan 92
jam. Fermentasi dihentikan dengan
melakukan pemanasan pada suhu 100oC
selama 15 min dengan oven. Pemanasan
dilanjutkan untuk mengeringkan produk pada
suhu 40oC.
Pengamatan selama proses fermentasi adalah
analisis total asam tertitrasi, derajat
keasaman (pH), kerapatan sel BAL, berat
kering, total N, profil protein dengan gel
elektroforesis dan perubahan flavor dengan
GC-MS
Penentuan total asam tertitrasi dan
derajat keasaman (pH)
Penentuan total asam tertitrasi dilakukan
menurut metode AOAC (1990), dengan
melakukan titrasi dengan larutan 0.1 N
NaOH dan 1% phenolpthalein sebagai
indikator. 10 ml sampel diencerkan dengan
50 ml air dan ditambahkan 5 tetes indikator
phenolpthalein. Sampel dititrasi dengan
larutan 0.1 N NaOH hingga terbentuk warna
merah muda yang stabil. Kadar total asam
ditentukan dengan formula :
% asam = ml titer x N titer x 0,09 x 100
Berat contoh (g)
Sementara pengukuran derajat keasaman
(pH) menggunakan pH meter.
Analisis Kandungan Protein
Kandungan protein diukur dengan
menggunakan analisa Bradford. Sebanyak 1
gram tepung kedele dilarutkan kedalam 10
ml larutan buffer fosfat pH 8 dan dikocok
selama 2 jam pada kecepatan 120 rpm.
Selanjutnya campuran disentrifus selama 20
menit pada kecepatan 6000 rpm, suhu 4oC.
Supernatan dipisahkan dari endapatn.
Sebanyak 10µL supernatan ditambahkan 270
µL reagen bradford dalam ELISA plate
dengan panjang gelombang 450 nm dan 595
nm dengan ELISA reader. Sebagai standar
digunakan Bovine Serum Albumin.
Determinasi kandungan enzim
lipoksigenase menggunakan Sodium
Dodecyl Sulfate Polyacrilamide Gel
Electrophoresis (SDS-Page)
Kandungan enzim lipoksigenase pada tepung
kedele diukur secara kualitatif menggunakan
SDS-Page seperti yang dijelaskan oleh
Laemmli (1970, yaitu 4% stacking gel dan
12% separating gel. Biorad mini protean
dijalankan pada arus konstan sebesar 100
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1309
mA, 140 Volts selama kurang lebih 3 jam.
Gel diwarnai dengan menggunakan pewarna
Commassie Brilliant Blue R-250. Sebagai
standar digunakan protein dengan berat
molekul rendah (Amarsham), yang teridiri
dari fosforilase (97,4), BSA (66,2), rabit
actin (43,0), bovine carbonic anhydrase
(31,0), trypsin inhibitor (20,1) dan hen egg
white lysozyme (14,4) kDa.
Determinasi kandungan hexanol
Hexanol pada tepung kedele dideterminasi
menggunakan GC-MS menggunakan metode
yang dikembangkan oleh Mitzutani dan
Hashimoto (2004). 10 g tepung kedele
dicampur dengan, selanjutnya dihomogenkan
pada kecepatan 3000 rpm selama 3 menit.
Larutan selanjutnya dipanaskan di dalam
water bath pada suhu (93-95)oC selama 3
min. Larutan segera didinginkan di dalam
bejana berisis es selama 30 min, dan
disentrifugasi pada kecepatan 6000 rom pada
suhu 4oC selama 30 min. Supernatan yang
terbentuk selanjutnya diekstrak untuk
penentuan rasa.
25 ml supernatan dicampur dengan 2,5 ml
air, 1 ml metil asetat, 2 g NaCl dan 50µL 100
ppm n-dodecane dalam heptan, selanjutnya
dikocok selama 30 min, 260 rpm. Campuran
selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan
3000 rpm pada suhu 4oC selama 10 min.
Supernatan yang berada pada bagian tengah
lapisan diambil dengan hati-hati dan
ditambahkan 1 ml metil asetat. Kocok
dengan keras dan sentrifuse. Fase organik
yang berada pada lapisan atas diambil dan
dianalisa menggunakan alat GC-MS.
Trace TR 5 merupakan kolom yang
digunakan untuk memeriksa hexanol dengan
GC-MS. Suhu awal oven adalah 40oC dan
diamkan selama 1 min. Temperatur
selanjutnya ditingkatkan secara bertahap 5oC
hingga mencapai 180oC. Tekanan inlet
adalah 130 kPa dengan gas helium, dan
kecepatan alir 1,2 mL/min.
Aplikasi tepung kedele fermentasi untuk
produk bekeri
Roti tawar
Tabel 1. Formula roti tawar dengan
menggantikan 6% terigu dengan tepung
kedele fermentasi.
Proses pembuatan roti tawar diubah dengan
proses sebagai berikut :
dicampur tepung terigu, kedelai
fermentasi dan gula pasir
yeast/ragi dilarutkan dalam air
hangat
tepung, yeast dan air dingin
dicampur dan dibuat adonan hingga
kalis
ditambahkan margarin dan garam
diuleni lagi hingga elastis
didiamkan 30 menit untuk proofing
dikempiskan adonan
didiamkan 20 menit untuk proofing
diambil sebagian adonan lalu
dipipihkan dengan alat penggilesan
hingga tipis
ditaburi dengan kismis dan kayu
manis
digulung hingga tertutup semua dan
dimasukkan dalam loyang
dipanggang dalam oven suhu 220oC
selama 25 menit dengan oven
Ariston
Mentega, gula dan telur dicampur
dan diaduk sampai rata. Tambahkan tepung
terigu sangrai, tepung hidrolisat kedelai
fermentasi, susu bubuk dan kacang mede
sangrai, laludiaduk sampai rata. Setelah
tercampur rata, adonan dipipihkan kemudian
Bahan Formula A Formula B
Tepung terigu (g) 500 470
Gula pasir (g) 30 30
Mentega putih (g) 25 25
Susu skim (g) 30 30
Yeast (g) 13 13
Tepung kedelai
fermentasi (g)
- 30
Air (ml) 350 350
Garam (sdt) 1/2 1/2
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1310
di cetak dengan cetakan berbentuk bulan
sabit, lalu dipanggang dalam oven dengan
suhu bawah 1600C suhu atas 1400C selama
30 menit.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai keasaman mengindikasikan total
asam di dalam sampel. Hasil pengukuran
terhadap nilai keasaman produk fermentasi
memberikan perbedaan hasil antara
perlakuan dengan perbandingan tepung
fermentasi: air masing-masing 1:2 dan 1:3
(Gambar 1). Namun tidak terdapat
perbedaan nilai keasaman sebelum
fermentasi pada ke dua perbandingan
tersebut.
Perubahan nilai keasaman selama proses
fermentasi (0-5 hari) menunjukkan
produksi asam laktat oleh bakteri
Lactobacillus acidophilus pada substrat
tepung kedele. Zhang et al. (2014) dalam
penelitiannya terhadap tepung kedele
sebagai media pertumbuhan bakteri asam
laktat menunjukkan terjadi penurunan pH
selama proses fermentasi sebagai hasil
produksi asam laktat. Hasil monitoring
pertumbuhan mikroba yang digunakan
pada proses fermentasi dengan media
tepung kedele menunjukkan bahwa
pertumbuhan bakteri asam laktat lebih
dominan dibandingkan dengan
pertumbuhan Bacillus subtilis (Zhang et
al., 2014).
Pengamatan terhadap kadar protein
menggunakan metode bradford
menunjukkan bahwa selama proses
fermentasi menggunakan Lactobacilus
acidophilus tidak menunjukkan terjadi
perubahan (Tabel 2.). Hal ini berbeda
dengan hasil penelitian Zhang et al. (2014)
yang mengukur asam amino bebas sebagai
biomarker terhadap perubahan kelarutan
protein selama proses fermentasi padat
menggunakan campuran antara bakteri
asam laktat (L plantarum dan L casei) dan
Bacillus subtilis, dimana hasil penelitian
menunjukkan peningkatan kelarutan
protein selama proses fermentasi.
Amadou et al (2010), menganalisis
perubahan fisika kimia dan zat gizi protein
kedele pada proses fermentasi
menggunakan bakteri L plantarum dan
pengamatan menggunakan gel
elektroforesisi memberikan hasil terjadi
degradasi protein dibandingkan dengan
kontrol.
Hasil pengamatan distribusi berat molekul
menggunakan SDS-page pada penelitian
ini tidak menunjukkan terjadinya degradasi
protein seperti pada hasil penelitian
Amadou et al (2010) (Tabel 3.).
Hidrolisis protein pada fermentasi kedele
sangat tergantung pada strain mikroba
yang digunakan, jenis substrat dan
kandungan air (Zhang et al., 2014).
Fermentasi tepung kedele menggunakan
bakteri L acidophilus tidak memberikan
perubahan konsentrasi protein selama
proses fermentasi dan profil protein tidak
berubah.
Pengamatan terhadap enzim lipoksigenase
menggunakan SDS-page menunjukkan
hasil olah data pada profil protein tidak
terdapat band yang mengindikasikan
adanya enzim lipoksigenase baik pada
kontrol maupun perlakuan. Enzim
lipoksigenase merupakan enzim yang
bertanggung jawab terhadap rasa langu
pada kedele. Berat molekul enzim
lipoksigenase adalah sebesar 94-97 kDa
(Shibata et al., 1988) (Gambar 2-6).
Enzim lipoksigenase telah rusak selama
proses pengolahan kedele menggunakan
panas (perebusan) sebelum proses
fermentasi. Engeseth et al. (1987)
menunjukkan bahwa pemanasan hingga
suhu 70ºC cukup untuk meninaktifkan
enzim lipoksigenase. Hal ini juga
dibuktikan dengan tidak terbentuknya
hexanol (beany flavor) pada semua sampel
(Gambar 7-11). Hexanol merupakan
produk aktivitas enzim lipoksigenase pada
kedele yang menyebabkan terbentunya rasa
langu.
Aplikasi tepung kedele hasil fermentasi
menggunakan bakteri L acidophilus
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1311
menunjuukkan bahwa penambahan tepung
kedele dalam adonan roti sebanyak 6% dari
total terigu yang digunakan tidak
berpengaruh terhadap volume spesifik roti
(BSV), tekstur secara umum tidak berubah,
namun rasa menjadi sedikit asam, warna
roti menjadi sedikit lebih gelap (gambar
12).
Proses fermentasi bakteri asam laktat
meningkatkan tekstur tepung kedele
sehingga dapat diaplikasikan pada produk
bakeri seperti roti tawar. Hasil penelitian
Park et al. (2012) menyebutkan bahwa sifat
reologi tepung kedele berubah dengan
proses frmentasi bakteri asam laktat.
KESIMPULAN
Fermentasi kedele dengan
menggunakan bakteri asam laktat
Lactobacillus acidophilus tidak
mempengaruhi kadar protein produk,
namun pemanasan yang dilakukan pada
produksi tepung kedele telah
menginaktivasi enzim lipoksigenase yang
bertanggung jawab pada terbentuknya
heksanol (beany flavour).
Meningkatnya nilai keasaman
dengan semakin meningkatnya waktu
fermentasi menunjukkan bahwa pada
fermentasi tepung kedele menggunakan
Lactobacillus acidophilus menghasilkan
asam laktat.
Perubahan sifat fisika dan kimia
tepung kedele hasil fermentasi
menggunakan bakteri Lactobacillus
acidophilus menjadikan tepung kedele
fermentasi dapat digunakan untuk
mensubtitusi tepung terigu pada pembuatan
roti yang dapat diterima dari segi tekstur,
namun mengubah rasa menjadi asam.
Daftar Pustaka
Amadou, I., MT Kamara, A Tidjani, MBK
Foh and L Guo-Wei. 2010.
Physicochemical and nutritional
analysisi of fermented soybean
protein meal by Lactobacillus
plantarum Lp6. World J. Dairy &
Food Sci., 5(2): 114-118.
Battcock, M. And S. Azam-Ali. 1998.
FAO Agricultural Services Bulletin
no. 134: Fermented Fruits and
Vegetables, a Global Perspective.
http://www.fao.org/ docrep/
x0560e/x0560e00.htm#con,
Accessed on June 25th 2013.
Engeseth, N. J., B. P. Klein, and K.
Warner. 1987. Lipoxygenase
Isoenzymes in Soybeans: Effects on
Crude Oil Quality. Journal of Food
Science 52 (4): 1015-1019.
Junghans, T. G., M. G. de A. Oliveira, and
M. A. Moreira. 2004. Lipoxygenase
Activities during Development of
Root and Nodule of Soybean. Pesq.
agropec. bras. 39 (7): 625-630
Mital, B.K., and KH Steinkrous. 1976.
Flavor acceptibility of unfermented
and lactic fermented soy milks. J
Milk Food Technol. 39(5):342-344
Mitzutani, T., and H. Hashimoto. 2004.
Effect of Grinding Temperature on
Hydroperoxide and Off-flavor Contents
during Soymilk Manufacturing Process.
J. Food Science 69 (3):112-116.
Mukhrejee, R., R Chakraborty, and A.
Dutta. 2016. Role of fermentation in
improving nutritional quality of soybean
meal. Asian Australas. J. Anim.Sci.
29(11):1523-1529.
Park M.J., T General and SP Lee. 2012.
properties of roasted soybean flour
bioconverted by solid state fermentation
using Bacillus subtilis and Lactobacillus
plantarum. Prev Nutr Food Sci.
Physicochemical. 17:36-45
Shibata, D., J. Steczko, J. E. Dixon, P. C.
Andrews, M. Hermodson, and B.
Axelrod. 1988. Primary Structure of
Soybean Lipoxygenase L-2*. The
Journal of Biological Chemistry 263
(14): 6816-6821.
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1312
Singh, P., R. Kumar, S. N. Sabapathy, and
A. S. Bawa. 2008. Comprehensive
Reviews in Food Science and Food
Safety 7: 14-28: Functional and Edible
Uses of Soy Protein Products.
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.11
11/j.1541-4337.2007.00025.x/full,
Accessed on March 1st, 2013.
Taghdir, M., SM Mazloomi, N Honar, M
Sepandi, M Ashourpur, and M Salehi.
2016. Effect of soy flour on nutritional,
physicochemical, and sensory
characteristics of gluten-free bread.
Food Sciences & Nutrition. 5:439-445
Wang, Y. C., R. C. Yu, and C. C. Chou.
2006. Antioxidative Activites of Soymilk
Fermented with Lactic Acid Bacteria
and Bifidobacteria. Food Microbiology
23: 128-135.
Zhang, ST., Y Shi, S Zhang, W Shang, XQ
Gao, and HK Wang.2014. Whole
soybean as probiotic lactid acid bacteria
carrier food in solid-state fermentation.
Fppd Control. 41: 1-6
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1313
Gambar 1. Perubahan nilai keasaman selama proses fermentasi pada perbandingan
tepung:air masing-masing 1:2 dan 1:3
Tabel 2. Perubahan kadar protein selama proses fermentasi
Perlakuan Kadar protein (mg/g)
Perbandingan 1:2 1:3
Flour 102 102
0 day 109 109
1 day 110 106
2 days 110 109
3 days 108 103
4 days 105 109
5 days 100 107
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1314
Tabel 3. Evaluasi enzim lipoksigenase berdasarkan Berat Molekul
Perlakuan
MW of band
between 66-97 kDa
1:2 1:3
Tepung kedele
73 76
81 81
0 day
73 79
76 81
1 day
77 70
73 76
2 days
76 74
76 74
3 days
81 76
74 77
4 days
74 73
76 74
5 days
73 76
78 74
Gambar 2. Profil protein menggunakan SDS-Page (a) 1:3; 0 hari b) 1:2; tanpa fermentasi, c)
1:2; 3 hari d) 1:3; 4 hari e) 1:3; tanpa fermentasi. f) kontrol dan g) kontrol
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1315
Gambar 3. SDS PAGE profil protein gel 1. Rasio tepung: air dan lama fermentasi: a) 1:2; 1
h b) 1:2; tdk fermentasi, c) 1:3; 4 h d) 1:2; 1 h, e) 1:2; tdk fermentasi, f) 1:3; tnp fermentasi
, g) 1:2; 5 h, h) 1:2; 0 h, i) 1:3; 1 h
Gambar 4. SDS PAGE profil protein gel 2. Rasio tepung dan lama fermentasi: a) 1:3; 3 h,
b) 1:3; 5 h, c) 1:3; tnp fermentasi, d) 1:3; 3 h, e) 1:2; 2 h, f) 1:2; 0 h, g) 1:3; 1 h, h) 1:2; 2 h,
i) 1:3; 0 h
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1316
Gambar 5. SDS PAGE profil protein, gel 3. Rasio tepung kedele: air dan lama fermentasi:
a) 1:2; 4 h, b) 1:3; 5 h, c) 1:2; 3 h, d) 1:3; 2 h, e) 1:2; tnp fermentasi, f) 1:2; 4 h, g) 1:3; 2
h, h) 1:2; 5 h, i) 1:3; tnp fermentasi
Gambar 6. SDS PAGE profil protein, gel 4. rasio tepung kedele: air dan lama fermentasi: a)
1:3; 0 h, b) 1:2; tnp fermentasi, c) 1:2; 3 h, d) 1:3; 4 h, e) 1:3; tnp fermentasi, f) and g)
kontrol tepung.
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1317
Gambar 7. Kromatogram standar hexanol
Gambar 8. Tepung kedele
.
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1318
Gambar 9. Tepung kedele fermentasi 24 jam
Gambar 10. Tepung kedele fermentasi 48 jam
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1319
Gambar 11. Tepung kedele Fermentasi 72 jam
Gambar 12. Roti yang disubtitusi dengan tepung kedele fermentasi
(a) kontrol (terigu) (b) terigu+tepung kedele fermentasi
a b
1320 Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
PEMANFAATAN KITOSAN KULIT KUPANG SEBAGAI FILM PLASTIK
BIODEGREDABLE
UTILIZATION OF KUPANG SKIN CHITOSAN AS A BIODEGREDABLE PLASTIC
1Nur Hapsari, 1Restia Eka Puspita, 2Dedin F. Rosida, 2Sudaryati, 1Retno Dewati
1Program Studi Teknik Kimia, 2Program Studi Teknologi Pangan
Fakultas Teknik,
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.
e-mail korespondensi : [email protected]
ABSTRACT
Along with the problem of the amount of plastic waste that can pollute the environment. The
research of biodegradable plastic film has been developed because it’s environmentally friendly
and sophisticated. In this research, the making of biodegradable plastic was made from corn
starch with the addition of Chitosan that derived from Kupang’s skin and plasticizer glycerol.
The use of corn starch for making corn starch bioplastic has no economic value and common to
find. The purpose of adding Chitosan and plasticizer glycerol was to form plastic that has the
same physical properties and conventional plastic.
Chitosan were taken from kupang’s skin through the process of demineralization,
deproteination, and deacetylation using HCl and NaOH. The results of Chitosan test using FTIR
test (Fourier Transform infra red). The research was obtained the degree of deacetylation of
64,19%. This bioplastic had specifications that comply with the standards of the SNI, with its
security properties test (Tensile Strength and Elongation) and its biodegredability without using
a solution of EM4. This bioplastic had a degredation rate of 60% if tested with bury in the
ground for 60 days without using EM4.
Keywords : Biodegradable, bioplastics, plastics
ABSTRAK
Seiring dengan permasalahan meningkatnya jumlah limbah plastik yang dapat mencemari
lingkungan, maka penelitian pembuatan film plastik biodegaradable telah dikembangkan karena
bersifat ramah lingkungan dan terbarukan. Pada penelitian ini dilakukan pembuatan plastik
biodegaradable berbahan pati jagung dengan penambahan kitosan yang berasal dari kulit kupang
dan Plasticizer glycerol. Penggunaan pati jagung sebagai pembuatan bioplastik dikarenakan pati
jagung mudah didapatkan. Tujuan penambahan kitosan dan plasticizer glycerol adalah untuk
membentuk plastik yang memiliki sifat fisik yang sama seperti plastik konvensional. Kitosan diperoleh dari kulit kupang melalui proses demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi
dengan menggunakan HCl dan NaOH. Dari hasil pengujian kitosan dengan menggunakan uji
FTIR ( Fourier Transform Infra Red ) didapatkan derajat deasetilasi sebesar 64,19%. Bioplastik
yang diperoleh diuji karakteristiknya sesuai standar SNI yaitu dengan cara pengujian sifat
mekanik (Tensile Strength dan Elongasi), serta Biodegredabilitasnya tanpa menggunakan larutan
EM4. Bioplastik yang diperoleh mempunyai nilai degradasi sebesar 60% jika diuji dengan
mengubur di dalam tanah selama 60 hari tanpa menggunakan EM4.
Kata kunci : Biodegredable.bioplastik, plastik
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1321
PENDAHULUAN
Penggunaan plastik biodegradable
merupakan upaya yang telah dilakukan
untuk mengatasi masalah penumpukan
sampah plastik meningkat. Berbagai
penelitian telah dilakukan untuk
mengembangkan bioplastik. Bioplastik
dirancang agar dapat memudahkan proses
degradasi terhadap reaksi enzimatis
mikroorganisme seperti bakteri dan jamur.
Plasticizer yang digunakan termasuk
dalam kelompok plasticizer gliserol yang
akan memacu proses pencetakan dan
fleksibilitas biokomposit. Plastik
biodegredable ini dapat dibuat dari
selulosa, pati dan lignin. Komponen utama
pembuatan bioplastik adalah pati. Di
samping pati sebagai komponen utama
pembuatan bioplastik, kitosan juga
digunakan sebagai bahan lain yang juga
penting untuk membentuk sifat mekanik
bioplastik. Sehingga, semakin banyak
kitosan yang terdapat dalam bioplastik,
maka sifat mekanik dan ketahanan
bioplastik terhadap air semakin baik.
Sifat plastis (elastis) bioplastik
dipengaruhi oleh penambahan plasticizer
seperti gliserol. Bioplastik yang terbuat
dari pati saja umumnya bersifat kurang
elastis dan memiliki nilai kekuatan tarik
(tensile strength) dan modulus Young
rendah, Nilai tensile strength berbanding
lurus dengan presentase kitosan dan
berbanding terbalik dengan adanya
penambahan komposisi gliserol
Plastik biodegradable memiliki
kegunaan yang sama seperti plastik sintetis
atau plastik konvensional. Plastik
biodegradable biasanya disebut dengan
bioplastik, yaitu plastik yang seluruh atau
hampir seluruh komponennya berasal dari
bahan baku yang dapat diperbaharui.
Plastik biodegradable merupakan bahan
plastik yang ramah terhadap lingkungan
karena sifatnya yang dapat kembali ke
alam. Umumnya, kemasan biodegradabel
diartikan sebagai film kemasan yang dapat
didaur ulang dan dapat dihancurkan secara
alami.
Plastik merupakan suatu polimer
sintesis dengan derajat kekristalan lebih
rendah dari pada serat. Seringkali kata
plastik disama artikan dengan polimer.
Namun sebenarnya tidak semua polimer
adalah plastik. Polimer memiliki beberapa
jenis yaitu plastik, fiber dan elastomer.
Fiber merupakan polimer yang memiliki
kekuatan tarik yang tinggi namun
elongasinya rendah dan strukturnya
kristalin. Berbeda dengan elastomer yang
memiliki struktur sangat amorf, dan juga
elastomer memiliki gaya
intermolekularnya rendah untuk
fleksibilitas dan kekuatan tarik yang tinggi.
Bioplastik merupakan plastik yang
terbuat dari bahan alami dan disebut juga
palstik biodegradable. Artinya plastik
tersebut dapat di degradasi dan terurai abis
oleh mikroorganiseme di lingkungan.
Karena bioplastik dapat terurai dengan
mudah menjadi air dan karbondioksida,
sehingga bioplastik merupakan plastik
yang ramah lingkungan. Faktor-faktor
yang dapat menyebabkan plastik
biodegradabel terurai yaitu cahaya
(fotodegradasi), Hirolisis (degradasi
kimiawi), Bakteri atau jamur, Enzim
(degradasi enzimatik), Angin atau abrasi
(degradasi mekanik).
Menurut Pratiwi (2014) Prinsip dari
pembentukan bioplastik dari pati
merupakan proses gelatinasi molekul pati.
Dimana proses pembentukan lapisan
plastik merupakan suatu fenomena
pembentukan gel yang diakibatkan oleh
perlakuan suhu, sehingga terjadi proses
pembentukan jaringan.
Menurut Pamilia Coniwati et al.
(2014) dalam penelitiannya tentang
Pembuatan Film Plastik Biodegradable
1322 Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
dari Pati Jagung dengan Penambahan
Kitosan dan Pemlastis Gliserol
mengungkapkan hasil karakteristik plastik
biodegradable dengan kinerja yang optimal
adalah 26,78 % untuk presentase ketahanan
air, untuk kuat tarik 3,92 mpa, untuk
elongasi 37,92% dan positif untuk uji
biodegradasi.
BAHAN DAN METODE
A. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan pada
penelitian ini adalah kulit kupang yang
diperoleh dari Limbah di daerah Candi -
Sidoarjo, pati jagung, plasticizer yang
digunakan yaitu gliserol, aquadest, NaOH,
asam asetat 1%, dan HCl 1 N.
B. Prosedur Penelitian
1) Pembuatan Kitosan dari Kulit Kupang
Dipisahkan kupang dan kulitnya
kemudian cuci bersih dan dikeringkan. Kulit
kupang yang sudah dikeringkan kemudian
dihaluskan dan diayak hingga berbentuk
powder (bubuk). Kulit kupang selanjutnya
dideproteinasi menggunakan larutan NaOH
3,5% dengan perbandingan 1:10 (b/v) sambil
diaduk dan dipanaskan pada suhu 600C
selama 2 jam, kemudian di saring
menggunakan kertas saring kemudian dicuci
dengan air hingga netral, lalu dikeringkan
pada suhu 600C selama 4 jam dalam oven.
Padatan kering hasil deproteinasi
selanjutnya didemineralisasi dengan
menggunakan HCl 1 N perbandingan 1: 15
(w/v) dan diaduk pada suhu kamar selama
30 menit, kemudian disaring dan padatan
dicuci dengan air hingga netral, lalu
dikeringkan pada suhu 600C selama 4 jam
dalam oven untuk mendapatkan kitin.
Selanjutnya dilakukan proses deasetilasi
dilakukan dengan merebus kitin dalam
larutan NaOH 50% dengan perbandingan
1:10 (w/v) pada suhu 1000C selama 1,5 jam,
kemudian di saring padatan dipisahkan
dengan cairan. Lalu di cuci dengan aquadest
hingga pH netral. Setelah itu dikeringkan
pada suhu 600C selama 4 jam dalam oven,
Produk yang diperoleh dari proses ini
dinamakan kitosan.
2) Pembuatan Bioplastik
a. Pensuspensian bahan ke dalam
pelarut
Pembuatan larutan bioplastik
dilakukan dengan cara mensuspensi
bahan kedalam pelarut dengan
melarutkan kitosan terlebih dahulu
ke dalam asam asetat 1% dan
pengadukan selama 30 menit.
b. Pengaturan Suhu
Pengaturan suhu dilakukan pada
saat proses gelatinisasi pati, agar pati
yang digunakan dapat tergelatinisasi
dengan sempurna dan dapat
diperoleh lapisan bioplastik yang
homogen. Proses gelatinisasi
dilakukan dengan cara pati
dilarutkan dengan asam asetat 1%
dengan proses pemanasan hingga
suhu gelatinisasinya yaitu 70– .
c. Penambahan Plasticizer
Plasticizer gliserol
ditambahkan kedalam bahan guna
untuk memperbaiki sifat fisik atau
sifat mekanik dari bahan tersebut.
Pada pembuatan plastik, plasticizer
merupakan komponen yang sangat
penting. Dimana plasticizer
berfungsi untuk mengatasi sifat
rapuh pada bioplastik, sehingga
dapat diperoleh plastik yang lebih
kuat, fleksibel, dan tidak mudah
rapuh dibandingkan tanpa
penambahan plasticizer. Penggunaan
plasticizer harus sesuai dengan
polimer, serta konsentrasi yang
digunakan harus diperhatikan, yaitu
berkisar antara 10 – 60% berat
kering bahan dasar ( Pratiwi, 2014 ).
d. Pengeringan
Proses pengeringan dilakukan
dengan cara menguapkan larutan di
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1323
dalam oven selama 5 jam pada suhu
700C sehingga dapat diperoleh
lembaran bioplastik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada pembahasan ini meliputi hasil
analisa yang dilakukan di dalam penelitian
pembuatan kitosan dari kulit kupang dan
pembuatan film plastik biodegredable.
Analisa bahan baku kitosan kulit kupang
menggunakan analisa FTIR ( Fourier
Transform Infra Red ) dan analisa bioplastik
tersebut meliputi analisa mekanik yang
terdiri dari analisa kuat tarik ( tensile
strength ) dan analisa elongasi, analisa
biodegradasi, analisa FTIR, serta analisa
SEM ( Scanning Electron Microscopy ).
Pembuatan kitosan dari kulit kupang
dengan menggunakan analisa FTIR
Tujuan dari analisa ini yaitu untuk
mengetahui derajat deasetilasi pada kitosan
kulit kupang dengan menggunakan analisa
FTIR.
Gambar 1. Spektra Infra Merah Kitosan
dari Kulit Kupang
Sampel kulit kupang terdiri atas
berbagai jenis campuran senyawa yang
terkandung di dalamnya yaitu mineral,
protein, dan kitin itu sendiri sehingga
spektra serapan FTIR yang dihasilkan
memperlihatkan serapan yang beragam dari
gugus-gugus fungsi yang dimiliki senyawa-
senyawa yang terkandung di dalamnya.
Spektra IR pada gambar 1 memperlihatkan
adanya pita serapan pada kitosan kulit
kupang yang terdapat pada bilangan
gelombang 3641,37 cm-1 yang menunjukkan
adanya ikatan hidrogen dari gugus –OH
yang tumpang tindih dengan rentangan –NH.
Pita serapan pada bilangan gelombang
2323,73 cm-1 menunjukkan vibrasi rentangan
C-H pada CH2 alifatik yang diperkuat
dengan munculnya serapan vibrasi
bengkokan CH2 pada bilangan gelombang
1445,84 cm-1. Pada kitosan kulit kupang
tersebut tidak munculnya gugus C=O pada
daerah 1680-1660 cm-1 yang menandakan
hilang atau telah berkurangnya gugus C=O
pada kitosan. Pita serapan pada bilangan
871,92 cm-1 untuk spektrum FT-IR deri
kitosan kulit kupang yang menandakan
adanya vibrasi dari gugus NH2.
Dari spektra diatas didapatkan hasil
perhitungan derajat deasetilasi berdasarkan
metode base line pada FTIR, didapat nilai
derajat deasetilasi untuk kitosan dari kulit
kupang sebesar 64,19%, dengan demikian
kitosan yang dihasilkan sudah memenuhi
standart sebagai adsorben karena nilai DD
nya > 60%.
Pengaruh Komposisi Gliserol Terhadap
Kuat Tarik Film Plastik Biodegredable
Tujuan dari analisa ini yaitu untuk
mengetahui pengaruh variasi gliserol
terhadap nilai kuat tarik. Analisa kuat tarik
di lakukan dengan menggunakan alat tensile
strength.
1324 Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
Gambar 2. Pengaruh Variasi Gliserol
Terhadap Kuat Tarik (MPa) dari Film
Plastik Biodegredable
Melalui grafik di atas dapat dilihat
bahwa menurunnya kuat tarik terjadi dengan
adanya peningkatan konsentrasi gliserol. Hal
itu menyatakan bahwa semakin banyak
gliserol yang ditambahkan ke dalam film
plastik biodegredable maka film plastik yang
dihasilkan akan semakin elastis. Berbeda
dengan elastisitas, penambahan komposisi
plasticizer akan menurunkan nilai kekuatan
tarik bioplastik tersebut. Menurut Oey dan
Santoso (2014), penambahan plasticizer
gliserol pada plastik kitosan akan
mengurangi gaya antar molekul polisakarida
sehingga struktur plastik yang dibentuk akan
lebih halus dan fleksibel.
Penambahan gliserol sebagai plasticizer
bertujuan supaya film bioplastik yang
terbentuk tidak terlalu kaku, lebih kuat
namun fleksibel dan licin. Secara umum,
dengan penambahan gliserol sebagai
plasticizer molekul-molekul di dalam larutan
tersebut terletak diantara rantai ikatan
biopolimer dan dapat berinteraksi dengan
membentuk ikatan hidrogen dalam rantai
ikatan antara biopolimer menjadi semakin
berkurang. Hal ini menyebabkan
berkurangnya kuat tarik film dengan adanya
penambahan gliserol.
Plastik Biodegredable dari kitosan
diharapkan memenuhi sifat mekanik yang
sesuai dengan standar SNI untuk nilai kuat
tarik plastik yaitu sebesar 24,7-302 MPa.
Dalam penelitian ini nilai kuat tarik dari
plastik biodegredable telah memenuhi
golongan tersebut dan ada yang belum
memenuhi golongan tersebut.
Pengaruh Komposisi Gliserol Terhadap
Elongasi Film Plastik Biodegredable
Gambar 3. Pengaruh Variasi Gliserol
Terhadap Elongasi (%) dari Film Plastik
Biodegredable
Melalui grafik diatas dapat dilihat
bahwa peningkatan elongasi terjadi dengan
adanya peningkatan konsentrasi gliserol. Hal
itu menyatakan bahwa semakin banyak
gliserol yang ditambahkan kedalam film
plastik yang dihasilkan akan semakin elastis.
Tapi presentase elongasi berbanding
terbalik dengan kuat tarik. Semakin sedikit
konsentrasi gliserol yang ditambahkan ke
dalam bioplastik, maka elongasi akan
menurun tapi kuat tarik akan meningkat.
Menurut Coniwati et al.(2014), Penurunan
elastisitas ini disebabkan oleh semakin
menurunnya jarak ikatan antar
molekulernya, karena titik jenuh telah
terlampaui sehingga molekul-molekul
pemplastis yang berlebih berada di dalam
fase tersendiri di luar fase polimer dan akan
menurunkan gaya intermolekul antar rantai,
menyebabkan gerakan rantai lebih bebas
sehingga fleksibilitas mengalami
peningkatan (semakin elastis).
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1325
Penambahan gliserol sebagai plasticizer
bertujuan supaya film bioplastik yang
terbentuk tidak terlalu kaku, lebih kuat
namun fleksibel. Berdasarkan gambar 3
dapat dilihat kecenderungannya dimana
semakin banyak komposisi gliserol yang
ditambahkan maka semakin tinggi elongasi
yang dapat dicapai. Peningkatan elongasi
tersebut dapat terjadi karena molekul
gliserol memiliki gaya interaksi yang cukup
kuat dengan kitosan-pati sehingga molekul
gliserol berdifusi ke dalam rantai polimer
kitosan-pati.
Melalui grafik Gambar 4 dapat dilihat
bahwa modulus young semakin menurun
dengan penambahan plasticizer gliserol. Hal
ini disebabkan karena plasticizer gliserol
dapat meningkatkan persentase
pemanjangan atau elongasi dan penurunan
kuat tarik. Modulus young digunakan
sebagai acuan untuk menentukan kekuatan
mekanik bioplastik sebagai tolak ukur
keelastisitan bioplastik.
Pengaruh Komposisi Gliserol Terhadap
Modulus Young Film Plastik
Biodegredable
Gambar 4. Pengaruh Variasi Gliserol
Terhadap Modulus Young dari Film Plastik
Biodegredable
Melalui grafik diatas dapat dilihat bahwa
modulus young semakin menurun dengan
penambahan plasticizer gliserol. Hal ini
disebabkan karena plasticizer gliserol dapat
meningkatkan persentase pemanjangan atau
elongasi dan penurunan kuat tarik. Modulus
young digunakan sebagai acuan untuk
menentukan kekuatan mekanik bioplastik
sebagai tolak ukur keelastisitan bioplastik.
Struktur Morfologi Permukaan
Bioplastik dengan analisa SEM (Scanning
Electron Microscopy)
Analisa morfologi SEM merupakan
suatu metode untuk membentuk bayangan
daerah mikroskopis permukaan sampel.
Bioplastik yang diuji adalah bioplastik
dengan nilai kekuatan tarik tertinggi yaitu
24.5 MPa pada variasi kitosan-pati 1.6:0.4
dengan penambahan plasticizer gliserol 1
ml. Hasil SEM ditunjukkan pada Gambar
5.
Gambar 5. Struktur Morfologi Film Plastik
Biodegredable dengan komposisi kitosan-
pati 1.6:0.4 dengan plasticizer gliserol 1 ml.
Melalui gambar diatas dapat dilihat
struktur morfologi dari film plastik
biodegredable. Gambar menunjukkan
bioplastik dengan komposisi kitosan-pati
1.6:0.4 dengan penambahan plasticizer
gliserol sebanyak 1 ml memperlihatkan titik-
titik terang yang berwarna putih yang
ditunjukkan pada gambar 6, dalam gambar
tersebut terdapat gumpalan putih agak besar,
hal ini mengindikasikan bahwa partikel
kitosan tidak tersebar secara merata karena
mengalami aglomerasi mengelompok
sehingga menyebabkan distribusi kitosan di
dalam lapisan film tidak tersebar secara
1326 Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
merata. Kurangnya tenaga yang cukup kuat
pada proses pemanasan dan pengadukan
antara kitosan dengan pati inilah yang
mungkin menyebabkan tidak tersebarnya
partikel dengan baik.
KESIMPULAN
Kesimpulan
Hasil dari analisa FTIR didapatkan
derajat deasetilasi kitosan kulit kupang yaitu
sebesar 64,19%, dengan demikian kitosan
yang dihasilkan sudah memenuhi standart
sebagai adsorben karena nilai DD nya >
60%. Dari analisa tensile strength dan
elongasi yaitu semakin tinggi konsentrasi
dari variasi plasticizer gliserol maka akan
menurunkan nilai kuat tarik dari film plastik
biodegredable, sebaliknya nilai elongasi
akan semakin meningkat. Sedangkan
modulus young semakin menurun dengan
penambahan plasticizer gliserol. Hal ini
disebabkan karena plasticizer gliserol dapat
meningkatkan persentase pemanjangan atau
elongasi dan penurunan kuat tarik. Pada
analisa morfologi struktur mikroskopi dari
film bioplastik dapat dilihat rongga-rongga
pada film plastik dengan perbesaran 10.000x
dan dilihat bahwa permukaan film plastik
yang terbentuk tidak rata. Semakin tinggi
konsentrasi kitosan akan menyebabkan
rongga-rongga film plastik semakin sedikit
sehingga akan memperkuat film plastik.
DAFTAR PUSTAKA
Coniwati, P., L.Laila, dan M.R. Alfira. 2014.
“Pembuatan Film Plastik Biodegradable
Dari Pati Jagung Dengan Penambahan
Kitosan Dan Pemplastis Gliserol”.
Universitas Sriwijaya, Jurnal Teknik
Kimia, 4(20):22-30.
Oey, E. W., dan C., D. Santoso. 2014.
“Sintesis Bioplastik Dari Komposit Pati
Garut – Kitosan”. Universitas Surabaya.
Surabaya.
Pratiwi, P. 2 14. “Variasi Konsentrasi
Gliserin dari Minyak Jelantah dalam
Pembuatan Plastik Biodegradable
Berbahan Baku Kulit Singkong”.
Politeknik Negeri Sriwijaya.
Palembang.
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1327
SIFAT FUNGSIONAL DAN PROFIL GELATINISASI PATI TALAS SEMIR
(Colocasia esculenta L. Schott) TERMODIFIKASI CROSS-LINKING PADA
BERBAGAI KONSENTRASI SODIUM TRIPOLYPHOSPHATE (STPP)
Endah Wulandari, Herlina Marta, Cecilia C Chandra
Departemen Teknologi Industri Pangan
Fakultas Teknologi Industri Pertanian
Universitas Padjadjaran, Sumedang
e-mail korespondensi: [email protected]
ABSTRACT
Taro tubers locally known as Semir is tuber that originated from Sumedang, West
Java. Properties of native taro ‘Semir’ starch has a lot of weaknesses such as low
gelatinization temperature, instability through heating and stirring, and weak gel
strength. Study of cross-linking modification was done to determine the
concentration of STPP that can be used to have starch with greater properties
that can be used as thickening and molding agent. The experimental design in this
study was Randomized Block Design with 5 treatments and repeated 3 times, they
were native starch; addition of 0% STPP; 0,1% STPP, 0,3% STPP; and 0,5%
STPP. The result showed higher gel strength, water spare capacity, gelatinization
temperature, peak viscosity, and breakdown viscosity. Also showed lower in
swelling volume, solubility, sineresis percentage (greater stability freeze thaw
stability) and setback viscosity. All modification treatments perfomed starch that
still can not be used as thickening and molding agent due to their instability in
heat treatment and stirring.
Key words: cross-linking, functional, pasting properties, STPP, taro semir
ABSTRAK
Talas Semir (Colocasia esculenta L. Schott) merupakan salah satu jenis umbi-
umbian lokal yang berasal dari Sumedang, Jawa Barat. Pati talas Semir memiliki
banyak kekurangan diantaranya suhu awal gelatinisasi yang rendah, nilai
kestabilan terhadap pemanasan dan pengadukan yang rendah, serta kekuatan gel
yang rendah sehingga dibutuhkan modifikasi pati. Tujuan dilakukannya
modifikasi secara cross-linking adalah menetapkan konsentrasi STPP yang dapat
menghasilkan pati talas termodifikasi cross-linking yang cocok untuk
diaplikasikan sebagai pati pengental dan pembentuk tekstur. Metode penelitian
yang digunakan dalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang terdiri dari 5
perlakuan dan 3 ulangan, yaitu pati talas semir alami, pati talas semir
termodifikasi cross-linking dengan penambahan STPP 0%; 0,1%; 0,3%; dan
0,5%. Hasil penelitian menunjukan adanya kenaikan pada kekuatan gel, kapasitas
penyerapan air, suhu gelatinisasi, viskositas puncak dan viskositas breakdown.
Penurunan terjadi pada nilai swelling volume, solubility, persen sineresis (freeze
thaw stability yang lebih baik), dan viskositas setback. Semua perlakuan
modifikasi yang dilakukan belum dapat digunakan sebagai pati pengental dan
pembentuk tekstur karena ketidakstabilannya pada perlakuan panas dan
pengadukan.
Kata kunci: Cross-linking, profil gelatinisasi, sifat fungsional, STPP, talas semir
1328
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
I. PENDAHULUAN
Pemanfaatan umbi-umbian
sebagai bahan pangan di Indonesia
masih sangat terbatas, sehingga perlu
dilakukan usaha untuk
memaksimalkan potensi umbi-
umbian. Pengembangan produk
berbasis umbi-umbian dalam industri
pengolahan pangan dapat dilakukan
dengan mengolahnya menjadi bentuk
pati (Koswara, 2009). Pengolahan
kedalam bentuk pati dapat
memperpanjang umur simpan,
meningkatkan daya gunanya (Kaur et
al., 2013), dan juga diharapkan dapat
menekan angka impor pati di
Indonesia yang pada tahun 2011
mencapai 200 ribu ton/tahun
(Kementrian Perindustrian Indonesia,
2012).
Salah satu jenis umbi lokal
yang memiliki potensi yang besar
adalah umbi talas (Colocasia
esculenta L. Schott). Talas tumbuh
dan tersebar di beberapa daerah di
Indonesia, salah satunya terdapat di
daerah Sumedang. Nama talas lokal
dari daerah Sumedang adalah talas
semir. Talas semir merupakan
komoditas lokal Sumedang yang
belum banyak dikenal dan
dikembangkan, penggunaannya
masih terbatas pada perebusan dan
pengukusan, dan juga belum banyak
diteliti lebih lanjut terutama dalam
bentuk pati. Pada tahun 2012
produksi talas semir di daerah
Sumedang tercatat mencapai 6464
ton/tahun (Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kabupaten
Sumedang, 2013) dengan kadar pati
dalam karbohidrat talas secara umum
diketahui mencapai 77,9% sehingga
talas semir merupakan bahan baku
yang berpotensi untuk dimanfaatkan.
Umumnya pati alami memiliki
beberapa kelemahan dalam
penggunaannya, kelemahan tersebut
antara lain: retrogradasi yang tinggi,
stabilitas yang rendah pada suhu
yang tinggi dan pH yang rendah, dan
lain-lain. Secara khusus, berdasarkan
beberapa penelitian yang pernah
dilakukan terhadap karakteristik pati
talas alami pada beberapa negara,
pati talas alami diketahui memiliki
beberapa kelemahan seperti suhu
gelatinisasi yang cukup rendah
(Aboubakar et al., 2008; Suhery et
al., 2015), nilai ketahanan terhadap
perlakuan panas dan pengadukan
yang rendah (Sit et al., 2013), dan
kekuatan gel yang rendah, sehingga
penggunaan pati talas alami masih
terbatas terutama dalam
penggunaannya sebagai pati
pengental dan pembentuk tekstur.
Kelemahan sifat pati alami ini dapat
diatasi dengan metode modifikasi
pati. Modifikasi pati dapat dilakukan
dengan berbagai cara diantaranya
secara Fisik, Kimia dan Enzimatis
(Koswara, 2009). Modifikasi kimia
merupakan teknik modifikasi pati
yang banyak digunakan dan
diaplikasikan pada bidang pangan,
farmasi, maupun industri tekstil.
Modifikasi kimia dapat dilakukan
dengan metode cross-linking,
subtitusi (pati ester, asetilasi, dan
hidroksipopilasi), serta konversi
(hidrolisis asam, oksidasi, pati
dekstrin, dan lain-lain) (Miyazaki et
al., 2006). Salah satu modifikasi
kimia yang umum digunakan adalah
metode cross-linking. Kelebihan dari
pati yang dimodifikasi menggunakan
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1329
metode cross-linking adalah suhu
gelatinisasi pati menjadi meningkat,
pati tahan pada pH rendah, panas dan
pengadukan (Kusnandar, 2010).
Cross-linking pati juga dapat
memodifikasi karakteristik
pembengkakan granula,
meningkatkan tekstur, dan
karakteristik reologi pasta pati,
sehingga modifikasi cross-linking
cocok untuk memperbaiki kelemahan
sifat pati talas alami. Pengaruh
metode cross-linking terhadap sifat
fungsional dan profil gelatinisasi
telah banyak dibuktikan melalui
beberapa penelitian seperti pada pati
jagung (Chung et al., 2004), ganyong
dan gadung (Santoso et al., 2015),
sukun (Medikasari et al., 2009),
gandum (Hung and Morita, 2005;
Lim and Seib, 1993), tapioka
(Wongsagonsup et al., 2014), umbi
lotus (Gunaratne dan Corke, 2007),
kentang (Karmakar et al., 2013),
gembili (Herlina, 2010), umbi garut
(Rakhmawati et al., 2014), singkong
(Martina et al., 2015) dan lain-lain.
Cross-linking dapat terjadi
karena adanya reagen cross-linking,
salah satunya adalah STPP (Sodium
tripolyphosphate) (Mao Gui-Jie et
al., 2006). Reagen STPP banyak
digunakan untuk modifikasi cross-
liking karena aman, tidak toksik,
efektifitas tinggi, dan mudah
ditemukan (Romengga et al., 2011).
Modifikasi pati dengan metode
cross-linking dan kajian pengaruh
penggunaan konsentrasi reagen
STPP terhadap sifat fungsional dan
profil gelatinisasi pati telah
dilakukan pada pati sukun, ubi jalar
oranye, pisang kepok, gembili, sente,
beras dan jagung, namun belum
pernah dilakukan pada pati talas
semir. Berdasarkan paparan diatas
maka perlu dilakukan penelitian
untuk mempelajari sifat fungsional
dan profil gelitinisasi pati talas semir
termodifikasi menggunakan metode
cross-linking pada berbagai
konsentrasi Sodium
Tripolyphosphate (STPP).
II. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang
digunakan adalah metode percobaan
dengan menggunakan Rancangan
Acak Kelompok (RAK) sebagai
rancangan lingkungan yang terdiri 5
perlakuan dan 3 kali ulangan.
Perlakuan yang dicobakan adalah
A: Pati alami talas semir
B: Modifikasi pati talas semir dengan
konsentrasi STPP 0%
C: Modifikasi pati talas semir dengan
konsentrasi STPP 0,1%
D: Modifikasi pati talas semir
dengan konsentrasi STPP 0,3%
E: Modifikasi pati talas semir dengan
konsentrasi STPP 0,5%
Pengamatan utama yang dilakukan
pada penelitian ini meliputi:
1. Sifat Fungsional terdiri dari:
Swelling Volume dan
Solubility (Collado and
Corke, 1999)
Kapasitas Penyerapan Air
(KPA) (Kadan et al., 2003)
Freeze thaw stability
(Wattanachant et al., 2003)
Kekuatan Gel (Collado and
Corke, 1999)
2. Profil Gelatinisasi
menggunakan alat Rapid
Visco Analyzer (RVA)
(Collado et al., 2001) terdiri
dari:
Suhu awal gelatinisasi
Viskositas puncak
Viskositas pasta panas
Breakdown
Viskositas pasta dingin
Setback
1330
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Kekuatan Gel
Tabel 1. Kekuatan Gel Pati Talas Semir Alami dan Termodifikasi Cross-
linking
Perlakuan A B C D E
Alami 0% STPP 0,1% STPP 0,3% STPP 0,5% STPP
Kekuatan Gel
(gF) 2,92 ± 0,13
a 3,07 ± 0,12
a 3,10 ± 0,34
a 3,13 ± 0,14
a 3,22 ± 0,05
a
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai huruf kecil yang berbeda
menyatakan beda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%.
Pada semua perlakuan, tidak
terdapat perbedaan nyata antara
kekuatan gel pati talas alami dan
hasil modifikasi cross-linking. Tidak
berbeda nyatanya antara kekuatan gel
pati talas semir alami dengan pati
talas semir modifikasi cross-linking
yang dilakukan menunjukan bahwa
proses modifikasi cross-linking yang
dilakukan belum memberikan
pengaruh pada nilai kekuatan gel pati
talas semir. Baik perlakuan basa
yang diberikan, maupun penambahan
reagen cross-linking tidak
mempengaruhi nilai kekuatan gel
yang didapatkan. Hal ini diduga
karena konsentrasi STPP yang
digunakan dan rentang konsentrasi
antar perlakuan terlalu kecil sehingga
belum terlihat adanya pengaruh
terhadap sifat kekuatan gel pada pati
talas semir secara spesifik.
Rendahnya nilai kekuatan gel pada
pati talas semir alami dipengaruhi
oleh kecilnya nilai amilosa pada pati
talas yaitu sebesar 17-28% dan
amilopektin sebesar 72-83%
(Syamsir et al., 2012 dikutip Sinaga
et al., 2014). Perlakuan modifikasi
dengan penggunaan konsentrasi
STPP 0% dilakukan untuk melihat
pengaruh pengondisian pH basa oleh
NaOH 1 N hingga pH 11 terhadap
sifat pati talas semir alami.
Walaupun secara statistika tidak ada
perbedaan nyata dengan kekuatan gel
pati alaminya, nilai kekuatan gel
pada pati talas modifikasi cross-
linking dengan penambahan STPP
0% mengalami kenaikan apabila
dibandingkan dengan kekuatan gel
pati alaminya. Suasana alkali yang
kuat dengan pH yang sangat basa
akan memutuskan ikatan hidrogen
molekul amilopektin menjadi
struktur yang lebih sederhana (Han
and Lim, 2003). Natrium hidroksida
akan bereaksi dengan gugus hidroksil
pada pati dan berubah menjadi
struktur alkoksida (Pati˗O˗) dengan
reaksi sebagai berikut:
Pati—OH + NaOH Pati—ONa
+ H2O
Adanya perlakuan penetralan,
akan membuat ion Na berikatan pada
asam klorida membentuk garam
netral dan membuat gugus hidroksil
dan karbonil pada pati meningkat
(Lawal et al., 2008). Penambahan
alkali akan mengganggu daerah
amorf pada pati dan memperluas
daerah amorf pada pati. Basa kuat
akan mengganggu struktur heliks
amilosa dan menyebabkan amilosa
berada pada konformasi yang lebih
acak sehingga meningkatkan gugus
hidroksil bebas dan karbonil pada
pati. Meningkatnya gugus hidroksil,
karbonil dan daerah amorf dan
amilosa akan membentuk struktur gel
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1331
yang lebih kuat karena amilosa lebih
mudah berikatan dengan sesamanya
melalui ikatan hidrogen
menghasilkan film yang lebih
kompak (Han and Lim, 2003), selain
itu semakin besarnya kandungan
amilosa maka semakin besar peluang
amilosa keluar dari granula pati
sehingga semakin kuat gel yang
terbentuk (Gunaratne and Corke,
2007). Hal yang sama dapat dilihat
pula pada perlakuan lain walaupun
secara statistika tidak berbeda nyata.
Terdapat kecenderungan kenaikan
kekuatan gel seiring dengan naiknya
konsentrasi STPP yang digunakan
dibandingkan dengan nilai kekuatan
gel pati talas semir alami. Hasil ini
sejalan dengan penelitian Aspiyanto
dan Susilowati (2005) terhadap
modifikasi pati jagung (Zea mays),
bahwa dengan semakin
meningkatnya konsentrasi STPP
yang digunakan maka kekuatan gel
yang didapatkan semakin meningkat.
Penggunaan senyawa polifungsional
pada modifikasi cross-linking akan
menyebabkan terbentuknya ikatan
silang oleh fosfat pada gugus –OH
pada alimosa dan amilopektin,
sehingga dapat memperkuat ikatan
hidrogen yang terdapat pada rantai
pati (Herlina, 2010). Konsentrasi
STPP yang meningkat diduga
menyebabkan derajat ikatan silang
yang terbentuk semakin besar,
sehingga adanya reaksi ikatan silang
ini akan mengganggu linearitas rantai
amilosa dan rigiditas pati menjadi
semakin tinggi dibandingkan dengan
pati non-modifikasi. Pembentukan
ikatan silang pada molekul pati yang
semakin meningkat juga akan
menyebabkan kemampuan tarik-
menarik antar polimer yang
konsisten dan lebih kuat sehingga
diharapkan dapat memberikan ikatan
yang lebih erat. Semakin tinggi
ikatan silang yang terbentuk akan
menyebabkan pembentukan gel yang
semakin keras dan akan kehilangan
sifat alirnya atau dalam pengertian
lain konsistensi dan kekuatan gel
akan semakin kuat (Aspiyanto dan
Susilowati, 2005). Pembentukan gel
yang semakin kuat ini juga
dijelaskan merupakan akibat dari
struktur granula pati yang lebih kuat
dan kaku akibat hadirnya gugus
fosfat terperangkap dalam matriks
gel amilosa sehingga gel menjadi
lebih kuat (Gunaratne and Corke,
2007). Hal ini membenarkan
pernyataan bahwa kekuatan gel
dipengaruhi oleh perbedaan sifat
rheologi matriks amilosa, fraksi
volume dan ketegaran granula pati
tergelatinisasi, juga interaksi antara
fase kontinyu dan fase terdispersi
pada gel (Yammin et al., 1999).
3.2 Kapasitas Penyerapan Air
(KPA)
Berdasarkan analisis statistika,
modifikasi cross-linking yang
dilakukan pada semua perlakuan
memberikan pengaruh nyata
terhadap sifat kapasitas penyerapan
air yang dibandingkan dengan pati
talas semir alaminya. Terdapat
perbedaan nyata pada hasil
dikarenakan pada tahap modifikasi
terdapat sejumlah proses yang
memungkinkan terjadinya perubahan
baik pada tingkat permukaan hingga
tingkat molekul pada pati seperti
pemberian suasana basa yang dapat
mendegradasi ikatan pada pati (Han
and Lim, 2003), serta pemberian
reagen cross-linking yang dapat
membentuk ikatan silang antar
molekul (Lim and Seib, 1993).
Pemberian perlakuan tersebut dapat
menyebabkan perubahan pada sifat
1332
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
fungsional pada pati, dalam hal ini adalah kapasitas penyerapan air pati.
Tabel 2. Kapasitas Penyerapan Air Pati Talas Semir Alami dan
Termodifikasi Cross-linking
Perlakuan A B C D E
Alami 0% STPP 0,1% STPP 0,3% STPP 0,5% STPP
KPA (g) 1,47 ± 0,06a 1,76 ± 0,10
b 1,83 ± 0,11
b 1,69 ± 0,06
b 1,86 ± 0,14
b
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai huruf kecil yang berbeda
menyatakan beda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%.
Pada perlakuan konsentrasi
STPP 0% terjadi peningkatan
kapasitas penyerapan air yang
berbeda nyata dibandingkan dengan
pati alaminya. Berdasarkan hal ini
dapat diketahui bahwa perlakuan
basa dalam modifikasi cross-linking
sudah memberikan pengaruh
terhadap sifat kapasitas penyerapan
air pati talas semir. Perubahan
terhadap sifat kapasitas penyerapan
air oleh perlakuan basa terjadi karena
perlakuan basa dapat mengganggu
daerah amorf pada pati.
Terganggunya daerah amorf granula
pati akibat pH tinggi ini
menyebabkan peningkatan gugus
karbonil dan karboksil yang
menyebabkan granula pati lebih
mudah menyerap air (Hoover and
Sosulki, 1986). Peningkatan gugus
karboksil dan karbonil ini disebabkan
karena pada pelarut netral rantai
amilosa terdapat dalam bentuk
heliks, namun pada kondisi basa
ikatan hidrogen yang menstabilkan
struktur heliks tersebut terputus dan
amilosa berada pada konformasi
yang lebih acak sehingga banyak
terdapat hidroksil dan karbonil bebas
yang baru, hal ini menyebabkan
granula pati mudah dimasuki oleh air
(Bank and Greenwood, 1972 dikutip
Han and Lim, 2003). Hal ini sejalan
dengan penelitian oleh Liem and
Seib (1993) pada pati jagung dan
gandum, bahwa modifikasi pada
kondisi basa juga dapat
memodifikasi struktur granula,
menghasilkan granula yang lebih
stabil dan meningkatkan kapasitas
hidrasi.
Kapasitas penyerapan air antar
perlakuan modifikasi dengan
penambahan STPP 0%; 0,1%; 0,3%;
dan 0,5% tidak berbeda nyata. Hal
ini diduga dapat terjadi karena
rendahnya rentang konsentrasi STPP
yang diberikan antar perlakuan
sehingga tidak memberikan pengaruh
yang nyata terhadap nilai kapasitas
penyerapan air pada pati talas semir
secara spesifik. Berdasarkan hal ini
juga dapat diketahui pula bahwa
perubahan sifat kapasitas penyerapan
air pada pati talas semir pada
penelitian ini hanya dipengaruhi oleh
perlakuan suasana basa yang
diberikan pada proses modifikasi,
karena penambahan reagen cross-
linking pada berbagai level
konsentrasi yang berbeda tidak
menyebabkan perubahan pada nilai
kapasitas penyerapan air. Berlainan
dengan hasil penelitian ini, perlakuan
modifikasi cross-linking pati gembili
oleh Herlina (2010) dengan
menggunakan konsentrasi STPP
0,05%; 0,10%; dan 0,15%
memberikan hasil kapasitas
penyerapan air yang berbeda nyata
pada setiap level konsentrasi yang
diberikan. Pada umbi gembili,
penggunaan konsentrasi STPP yang
lebih rendah dibandingkan dengan
konsentrasi STPP pada penelitian ini
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1333
sudah memberikan pengaruh nyata.
Hal ini menunjukan bahwa selain
faktor eksternal seperti jenis reagen,
konsentrasi reagen dan kondisi
modifikasi, hasil modifikasi cross-
linking juga diduga dipengaruhi oleh
kondisi bahan yang digunakan.
Walaupun pada penelitian ini nilai
kapasitas penyerapan air antar
perlakuan modifikasi tidak berbeda
nyata secara statistik, terdapat
kecenderungan kenaikan kapasitas
penyerapan air setelah pati talas
semir dimodifikasi cross-linking
dibandingkan dengan pati talas semir
alaminya. Peningkatan nilai kapasitas
penyerapan air setelah modifikasi
cross-linking sejalan dengan
penelitian Munarso et al. (2004) pada
penelitiannya terhadap pati beras
dengan penggunaan konsentrasi
0,1%-0,2% dan Andrasyifa (2016)
pada penelitiannya terhadap tepung
sorgum dengan konsentrasi STPP
0,05%-0,2%. Hasil penelitian ini
juga sejalan dengan Sinulingga
(2016) yang memodifikasi cross-
linking dengan suasana basa (pH 11)
dan penggunaan STPP 0,1%
menghasilkan kapasitas penyerapan
air tepung pisang nangka yang lebih
tinggi.
Peningkatan nilai kapasitas
penyerapan air pada pati talas semir
termodifikasi cross-linking
disebabkan oleh hadirnya gugus
fosfat pada granula pati. Gugus fosfat
yang berasal dari reagen cross-
linking akan mensubtitusi gugus
hidroksil pada amilosa dan
amilopektin membentuk jembatan
ikatan silang antar molekul yang
dapat menyebabkan granula menjadi
semakin kokoh sehingga memiliki
kapasitas penyerapan air yang lebih
baik. Gugus fosfat dan ikatan silang
yang terbentuk akan meningkatkan
kemampuan granula pati mengikat
air pada molekul pati (Romengga et
al., 2011). Munarso (2004)
menambahkan bahwa gugus fosfat
merupakan gugus hidrofilik yang
mampu berikatan dengan air. Maka
semakin tinggi konsentrasi STPP,
kandungan fosfat dalam pati akan
meningkat dan gugus hidrofilik
dalam pati meningkat pula, sehingga
mengakibatkan meningkatnya
kapasitas penyerapan air. Hasil
penelitian ini sesuai dengan
pernyataan Martina et al. (2015)
bahwa penggunaan reagen STPP
pada konsentrasi rendah dapat
menghasilkan pati monofosfat yang
dapat meningkatkan kejernihan
pasta, viskositas, dan daya ikat air.
Aini dan Hariyadi (2010)
menyatakan bahwa nilai kapasitas
penyerapan air akan berhubungan
dengan ketersediaan air yang
dibutuhkan untuk gelatinisasi dan
pada aplikasinya akan
mempengaruhi kemudahan dalam
menghomogenkan adonan. Kapasitas
penyerapan air berpengaruh pada
kekuatan bahan dalam menahan air
selama proses pemasakan dan hal ini
mengakibatkan adonan dan
campuran lebih stabil selama
pemanasan.
1334
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
3.3 Swelling Volume
Tabel 3. Swelling Volume Pati Talas Semir Alami dan Termodifikasi Cross-
linking
Perlakuan A B C D E
Alami 0% STPP 0,1% STPP 0,3% STPP 0,5% STPP
Swelling
Volume (mL/g) 11,05 ± 0,72a 11,33 ± 0,36a 10,28 ± 0,76a 9,95 ± 1,39a 9,99 ± 0,65a
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai huruf kecil yang berbeda
menyatakan beda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%.
Perlakuan modifikasi yang dilakukan
tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap nilai swelling volume pati
talas semir. Hal ini menandakan
bahwa perlakuan modifikasi yang
telah dilakukan belum mampu
mengubah sifat
pengembangan/swelling volume pati
talas semir. Baik perlakuan suasana
basa yang diberikan maupun
penambahan reagen STPP pada level
konsentrasi yang diberikan tidak
berpengaruh terhadap pati talas
semir. Hal ini diduga disebabkan
karena penambahan konsentrasi
reagen serta perbedaan konsentrasi
reagen cross-linking antara perlakuan
satu dan lainnya terlalu kecil pada
pati talas semir secara spesifik.
Kecilnya konsentrasi yang diberikan
diduga akan memberikan pengaruh
yang kecil pula dan menyebabkan
tidak adanya perubahan terhadap
nilai swelling volume yang
didapatkan.
Berbeda dengan hasil
penelitian ini, Herlina (2010)
memodifikasi pati umbi gembili
dengan menggunakan konsentrasi
STPP 0,05%; 0,10%; dan 0,15% dan
mendapatkan hasil nilai swelling
volume yang berbeda nyata pada
setiap konsentrasi yang diberikan
walaupun konsentrasi STPP yang
digunakan lebih kecil dibandingkan
pada penelitian ini. Pada kasus lain,
Novitasari et al. (2016)
memodifikasi pati sente dengan
konsentrasi STPP hingga 9% namun
didapatkan nilai swelling volume
yang tidak berbeda nyata.
Berlawanan dengan itu pula,
Armayuni et al. (2015) memodifikasi
pati pisang kepok hingga konsentrasi
7% dan didapatkan nilai swelling
volume yang berbeda nyata antar
perlakuan. Penggunaan konsentrasi
yang besar tidak dipilih pada
penelitian ini karena melebihi batas
anjuran penggunaan STPP dan
beresiko meninggalkan residu yang
tinggi.
Berdasarkan hal tersebut, dapat
diketahui bahwa penggunaan STPP
akan menghasilkan pati dengan
karakteristik yang berbeda-beda pada
pati dengan sumber yang berbeda-
beda pula. Nilai swelling volume ini
berkaitan dengan derajat subtitusi
fosfat (Singh et al., 2007). Blennow
et al. (2000) dikutip Singh et al.
(2007) menyatakan bahwa panjang
rantai pati dapat mempengaruhi
derajat subtitusi fosfat dimana
semakin panjang rantai pati pada
suatu komoditas maka semakin
banyak peluang fosfat yang dapat
terikat. Passauer et al. (2010)
menambahkan bahwa derajat
subtitusi juga dipengaruhi oleh
persentase kandungan pati, semakin
tinggi kandungan pati maka peluang
pati untuk tersubtitusi semakin besar.
Berdasarkan hal tersebut, dapat
diketahui bahwa bukan hanya faktor
luar seperti jenis reagen, konsentrasi
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1335
reagen dan kondisi modifikasi saja
yang mempengaruhi hasil modifikasi
cross-linking, namun juga kondisi
dan kandungan bahan yang
digunakan. Walaupun tidak berbeda
secara statistika, terdapat
peningkatan nilai swelling volume
pada pati talas semir modifikasi
cross-linking dengan konsentrasi
STPP 0% dibandingkan pati talas
semir alaminya. Hal ini disebabkan
karena suasana sangat basa tersebut
akan mengganggu daerah amorf pati
dan meningkatkan gugus karbonil
dan karboksil pada pati (Hoover and
Sosulki, 1986). Peningkatan gugus
karbonil akan meningkatkan
kemampuan pengembangan granula
pati karena kemudahan pati
membentuk gugus C-OH dengan air
dan menyebabkan struktur pati
menjadi lebih amorf (Patriadi, 2015).
Sifat swelling volume dan kelarutan
ini akan memberikan petunjuk
adanya ikatan non-kovalen antara
molekul pati dan seberapa besarnya
kekuatan ikatan tersebut pada suhu
tertentu (Moorthy, 2002).
Pengembangan pati yang lebih tinggi
pada perlakuan 0% STPP
menunjukan bahwa tidak adanya
ikatan kovalen antara molekul pati
yang dapat menyebabkan
pengembangan pati pada suhu
tertentu terhambat. Sifat pati yang
lebih amorf juga memungkinkan
penyerapan air akan lebih tinggi
sehingga pengembangan menjadi
lebih maksimum (Hoover, 2001).
Meskipun secara statistika
tidak berbeda nyata, modifikasi pati
talas semir yang diberikan
penambahan reagen cross-linking
pada level konsentrasi 0,1%; 0,3%;
dan 0,5% secara umum menurunkan
nilai swelling volume seiring dengan
semakin meningkatnya level
konsentrasi STPP. Hasil penelitian
ini sejalan dengan penelitian oleh
Herlina (2010) terhadap pati gembili
yang dimodifikasi dengan
menggunakan STPP pada berbagai
konsentrasi. Hasil ini diperkuat juga
dengan penelitian oleh Retnaningtyas
dan Putri (2014) terhadap pati ubi
jalar oranye, dimana dengan semakin
tingginya konsentrasi STPP yang
digunakan menghasilkan
pengembangan pati yang lebih
terbatas. Penghambatan pati untuk
mengembang setelah dilakukan
modifikasi cross-linking sudah
banyak dibuktikan (Waliszewki et
al., 2003). Penghambatan
pengembangan pati setelah
modifikasi cross-linking berkaitan
dengan derajat subtitusi. Semakin
besar derajat subtitusi yang terjadi
pada pati hasil modifikasi cross-
linking maka semakin meningkat
pula ketahanan pati untuk mengalami
pengembangan (swelling). Salah satu
faktor yang mempengaruhi derajat
subtitusi adalah jumlah reagen atau
konsentrasi reagen yang diberikan,
dimana semakin banyaknya reagen
yang diberikan semakin besar
peluang terjadinya subtitusi dan
ikatan silang yang terbentuk akan
semakin banyak (Hirsch and Kokini,
2002). Fosfat akan mensubtitusi
gugus –OH pada rantai amilosa dan
amilopektin. Pada proses
pembengkakan, air akan berikatan
dengan amilosa dan amilopektin
yang disertai dengan adanya leaching
amilosa dan membuat
pembengkakan dapat terjadi. Pada
pati modifikasi cross-linking, telah
tersubtitusinya gugus –OH pada
amilosa dan amilopektin dengan ion
fosfat, struktur ikatan hidrogen
menjadi lebih kokoh dan granula
menjadi lebih kompak. Struktur
ikatan hidrogen yang lebih kokoh
dan kompaknya granula akan
1336
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
menyebabkan air sulit untuk
berpenetrasi masuk dan
menggantikan ikatan tersebut
(Wurzburg, 1995; Miyazaki et al.,
2006). Hal inilah yang menyebabkan
pembengkakan pati pada suhu
tertentu terhambat setelah modifikasi
cross-linking.
3.4 Solubility (leaching amilosa)
Swelling volume adalah
kemampuan pati untuk mengembang
jika dipanaskan pada suhu dan waktu
tertentu dan dihitung dengan cara
menghitung hasil perbandingan
antara volume pasta pati terhadap
berat keringnya (Collado et al.,
2001). Parameter kelarutan dapat
diukur berdasarkan berat pati terlarut
dan dapat diukur dengan cara
mengeringkan dan menimbang
sejumlah supernatan. Semakin
besarnya berat pati terlarut yang
ditimbang dalam bentuk amilosa,
maka dapat menunjukan bahwa
semakin mudah larutnya komponen
pati kedalam pelarut. Kedua
parameter tersebut merupakan
petunjuk besarnya interaksi antara
pati dalam bidang amorf dan kristalin
(Baah, 2009).
Tabel 4. Solubility Pati Talas Semir Alami dan Termodifikasi Cross-linking
Perlakuan A B C D E
Alami 0% STPP 0,1% STPP 0,3% STPP
0,5%
STPP
Solubility
(%) 5,39 ± 0,72
ab 5,87 ± 1,30
a 5,24 ± 0,99
ab 3,95 ± 0,89
bc 3,03 ± 0,15
c
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai huruf kecil yang berbeda
menyatakan beda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa
perlakuan modifikasi cross-linking
dengan pemberian konsentrasi STPP
0%, 0,1% dan 0,3% tidak
memberikan perbedaan nyata dan
masih cenderung sama dengan
kelarutan pati alaminya, sedangkan
perlakuan pemberian konsentrasi
STPP 0,5% memberikan perbedaan
nyata terhadap pati alaminya.
Apabila dibandingkan antar
perlakuan modifikasi, perlakuan
0,3% dan 0,5% memberikan
pengaruh nyata terhadap kelarutan
pati modifikasi tanpa penambahan
reagen STPP atau penambahan STPP
0%.
Berdasarkan hal tersebut dapat
diketahui bahwa tidak ada pengaruh
yang besar oleh perlakuan pemberian
suasana basa (STPP 0%) pada
prosedur cross-linking terhadap
kelarutan, karena didapatkan nilai
kelarutan yang masih cenderung
sama dengan kelarutan pati talas
semir alaminya. Berdasarkan hal
tersebut pula dapat diketahui bahwa
penambahan konsentrasi STPP 0,1%
dan 0,3% diduga terlalu kecil
sehingga didapatkan nilai kelarutan
yang masih cenderung sama dengan
kelarutan pati talas semir alaminya.
Meskipun pada konsentrasi 0,3%
sudah terlihat adanya pengaruh
terhadap kelarutan yang ditandai
dengan adanya huruf yang berbeda
pada uji Duncan, namun pada
konsentrasi STPP 0,5% baru dapat
terlihat adanya perbedaan terhadap
nilai kelarutan pati talas semir
termodifikasi cross-linking
dibandingkan dengan nilai kelarutan
pati alaminya. Hal ini diduga
berhubungan dengan nilai derajat
fosfat yang terbentuk pada pati talas
semir setelah proses modifikasi,
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1337
bahwa semakin tinggi konsentrasi
reagen yang diberikan akan
memperbanyak ikatan silang yang
terbentuk sehingga mempengaruhi
sifat pati tersebut (Singh et al.,
2007). Walaupun tidak berbeda nyata
secara statistika, namun terjadi
kenaikan kelarutan pada pati
modifikasi tanpa penambahan reagen
STPP atau penambahan STPP 0%.
Suasana alkali atau suasana sangat
basa akan mempengaruhi sifat
struktur dan fisik pati pada larutan.
Suasana basa dapat mempercepat
proses degradasi pati (Wang and
Zopf, 1989 dikutip Han and Lim,
2003). Penggunaan NaOH dapat
membuka atau memutus rantai
amilopektin, dan pada konsentrasi
yang tinggi (1 atau 2 M) dapat
memutuskan ikatan hidrogen dalam
molekul pati dan meningkatkan
kelarutan pada pati (Bennow, Bay-
Smith, and Bauer, 2001 dikutip Han
and Lim, 2003). Octari et al. (2016)
menambahkan bahwa penurunan
berat molekul dari rantai pati
menyebabkan proses amilosa melarut
lebih cepat karena sifat hidrofiliknya
meningkat. Walaupun secara
statistika penambahan STPP hingga
level konsentrasi 0,1% dan 0,3%
tidak memberikan pengaruh terhadap
kelarutan dan hanya level konsentrasi
0,5% saja yang memberikan
pengaruh, kelarutan pati talas semir
dengan penambahan STPP
mengalami penurunan dibandingkan
dengan pati alami dan pati yang
diberi perlakuan STPP 0% seiring
dengan meningkatnya konsentrasi
STPP yang diberikan. Hasil ini
sesuai dengan penelitian oleh
Retnaningtyas dan Putri (2014)
terhadap pati ubi jalar oranye dan
penelitian Armayuni et al. (2015)
terhadap pati pisang kepok, dimana
kelarutan semakin menurun seiring
dengan meningkatknya level
konsentrasi STPP yang diberikan.
Hasil ini juga diperkuat oleh
Novitasari et al. (2016) berdasarkan
penelitiannya terhadap pati sente dan
didapatkan hasil yang serupa bahwa
semakin naiknya level konsentrasi
STPP menghasilkan kelarutan yang
berkurang dibandingkan dengan pati
alaminya.
Koo et al. (2010) menjelaskan
bahwa ikatan silang pada pati dapat
menghambat kelarutan seiring
dengan meningkatnya derajat ikatan
silang. Reagen cross-linking akan
mensubtitusi dan mengikat antar
molekul pati pada gugus –OH
menghasilkan ikatan hidrogen yang
lebih kokoh pada molekul pati,
sehingga saat dilakukan pemanasan
gugus hidroksil kokoh dan tidak
mudah terputus untuk digantikan
dengan molekul air (leaching
amilosa). Hal ini lah yang
menyebabkan kelarutan pada pati
setelah dilakukan modifikasi cross-
linking menurun. Wongsagonsup et
al. (2014) menambahkan bahwa
ikatan silang yang terbentuk dalam
granula pati menyebabkan struktur
molekul granula menjadi semakin
rapat dan menyebabkan lebih
sulitnya air berpenetrasi masuk serta
lebih sulit bagi amilosa untuk keluar
dari dalam granula sehingga
berpengaruh pula pada penurunan
kelarutan.
3.5 Freeze Thaw Stability (persen
sineresis)
Freeze Thaw Stability
dinyatakan dalam persen (%)
sineresis yaitu persentase jumlah air
yang terpisah setelah pasta diberi
perlakuan penyimpanan pada satu
siklus dengan suhu -15oC. Semakin
tinggi persentase jumlah air yang
terpisah menunjukan bahwa pati
1338
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
tersebut semakin tidak stabil
terhadap penyimpanan suhu beku
(Sunarti et al., 2007).
Tabel 5. Persen Sineresis Pati Talas Semir Alami dan Termodifikasi Cross-
linking
Perlakuan A B C D E
Alami 0% STPP 0,1% STPP 0,3% STPP 0,5% STPP
Sineresis
(%) 45,51 ± 2,31
c 43,07 ± 2,36
c 34,89 ± 3,20
b 29,07 ± 2,14
a 32,23 ± 0,82
ab
Keterangan: Nilai rata-rata perlakuan yang ditandai huruf kecil yang berbeda
menyatakan beda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%.
Perlakuan penambahan STPP 0%
tidak memberikan pengaruh nyata
terhadap persen sineresis pati
alaminya, sedangkan perlakuan
penambahan STPP 0,1%, 0,3% dan
0,5% memberikan pengaruh nyata
terhadap persen sineresis pati
alaminya. Berdasarkan hal ini dapat
diketahui bahwa perlakuan basa
(STPP 0%) pada proses modifikasi
cross-linking tidak berpengaruh
terhadap freeze thaw stability dan
hanya dipengaruhi oleh pemberian
reagen cross-linking. Rentang
konsentrasi yang kecil diduga
menjadi penyebab bahwa persen
sineresis yang didapat antar
perlakuan modifikasi tidak terlalu
berbeda nyata setelah ditambah
reagen cross-linking.
Winarno (2004) menyebutkan
bahwa sineresis disebabkan amilosa
mengalami retrogradasi yaitu
molekul-molekul amilosa berikatan
kembali satu dengan yang lain.
Menurut Damat et al. (2007),
sineresis menunjukan adanya
peningkatan ikatan hidrogen dalam
molekul pati, yaitu amilosa dengan
amilosa, amilosa dengan
amilopektin, serta amilopektin
dengan amilopektin. Nilai sineresis
yang rendah dapat digunakan sebagai
indikator bahwa pati tersebut relatif
stabil pada suhu rendah atau
memiliki freeze thaw stability yang
tinggi. Walaupun tidak berbeda
nyata, perlakuan modifikasi cross-
linking dengan penambahan reagen
STPP yang dilakukan menurunkan
nilai persen sineresis. Hasil ini
sejalan dengan penelitian Aspiyanto
dan Susilowati (2009) bahwa
perlakuan modifikasi cross-linking
dapat meningkatkan freeze thaw
stability atau menurunkan persen
sineresis. Menurut Aini dan Hariyadi
(2007), kehadiran gugus-gugus
fungsi seperti karboksil dan gugus
karbonil akan mengurangi
kecenderungan amilosa dan
amilopektin bergabung atau terjadi
retrogradasi. Lawal (2004)
menambahkan bahwa gugus-gugus
fungsi juga memberikan muatan
yang mengakibatkan terjadinya
tolak-menolak antar molekul agar
retrogradasi lebih sulit terjadi
sehingga sineresis yang terjadi lebih
kecil dan produk menjadi lebih
stabil. Proses cross-linking akan
menyebabkan terjadinya ikatan
silang antara molekul amilosa
dengan amilopektin atau antar
sesamanya yang menyebabkan
molekul-molekul tersebut lebih sulit
untuk bergabung kembali (reasosiasi
kembali) ketika diberikan perlakuan
suhu ekstrim. Kondisi ini
menyebabkan pati menjadi lebih
stabil dan dapat menurunkan nilai
sineresis pada pati modifikasi cross-
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1339
linking (Kaur et al., 2006). Hal ini
diperkuat oleh Sunarti et al. (2007),
bahwa semakin rendah nilai sineresis
menunjukan bahwa pati tersebut
semakin stabil terhadap
penyimpanan suhu beku.
Berdasarkan pengujian yang
dilakukan, didapatkan bahwa gel pati
yang terbentuk setelah proses
modifikasi cross-linking tidak
membentuk suatu gel yang kompak.
Hal ini didukung dengan data
kekuatan gel, bahwa kekuatan gel
pati talas semir alami dan talas semir
hasil modifikasi cross-linking
memiliki nilai yang kecil yang
berpengaruh terhadap kekompakan
gel yang dihasilkan. Tidak
kompaknya gel yang terbentuk
menyebabkan terdapat gel-gel pati
yang membentuk suatu lapisan tipis
dan tidak ikut atau sulit terpisah dari
supernatannya.
3.6 Profil Gelatinisasi
Berdasarkan analisis RVA,
terlihat bahwa pati talas semir alami
dan pati talas semir modifikasi cross-
linking tidak memiliki perubahan
profil gelatinisasi secara signifikan.
Berdasarkan klasifikasi tipe kurva
profil gelatinisasi, profil gelatinisasi
pati talas semir alami memiliki profil
gelatinisasi tipe A. Profil gelatinisasi
tipe menunjukan penggelembungan
granula yang tinggi dan diikuti
dengan penurunan viskositas dengan
cepat selama pemasakan (Collado et
al., 2001). Hasil ini sejalan dengan
karakterisasi umbi talas yang
dilakukan oleh Hoover (2001), yang
menunjukan bahwa pati talas
memiliki profil gelatinisasi dengan
profil gelatinisasi tipe A. Hal ini
diperkuat oleh penelitian Srichuwong
et al. (2005) terhadap karakteristik
beberapa pati umbi dan serealia.
Kurva profil gelatinisasinya
menunjukan pola yang sama dengan
penelitian ini yaitu menunjukan
profil gelatinisasi tipe A.
Kurva profil gelatinisasi pati
talas semir hasil modifikasi dengan
beberapa level konsentrasi
menunjukan pola kurva yang sama
dengan pati talas semir alaminya.
Hasil ini sejalan dengan penelitian
oleh Medikasari et al. (2009)
terhadap pati sukun dan Novitasari et
al. (2016) terhadap pati sente yang
meodifikasi pati dengan beberapa
level konsentrasi STPP, bahwa
modifikasi cross-linking mempunyai
efek yang rendah terhadap perubahan
profil gelatinisasi.
Untuk mendapatkan viskositas
yang baik, pati harus memiliki sifat
solubility yang rendah. Nilai
solubility yang rendah menandakan
sedikitnya komponen pati yang dapat
terlarut pada pelarut sehingga
viskositas yang terbentuk meningkat
dan stabil (Octari et al., 2016).
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, didapatkan bahwa nilai
solubility pati talas semir modifikasi
lebih rendah dibandingkan dengan
pati talas semir alaminya. Pati talas
semir termodifikasi dengan
penambahan STPP 0,5%
memberikan nilai solubility yang
paling rendah, sehingga merupakan
pati talas semir modifikasi yang
paling berpotensi untuk dapat
digunakan.
Sifat pengental dan pembentuk
tekstur yang baik harus memiliki
kemampuan ikat air yang tinggi
(Sekartaji, 2016). Oleh karena itu
sifat yang menunjukan daya ikat air
yaitu KPA (Kapasitas Penyerapan
Air) dan juga Freeze Thaw Stability
(Persen sineresis) harus baik.
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, didapatkan bahwa
kapasitas penyerapan air pati talas
1340
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
semir menjadi lebih baik setelah
dimodifikasi dengan metode cross-
linking. Walaupun tidak berbeda
nyata, penambahan konsentrasi STPP
0,5% menghasilkan pati talas semir
dengan nilai KPA paling tinggi.
Pengental yang baik akan dapat
mempertahankan tekstur dan
kenampakan pada produk, sehingga
kemampuan pati dalam mengikat air
saat penyimpanan baik pada suhu
ruang dan suhu dingin harus baik.
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, didapatkan bahwa pati
talas semir yang dimodifikasi secara
cross-linking memiliki kestabilan
pada penyimpanan dingin yang lebih
baik dibandingkan pati talas semir
alaminya yang ditandai dengan lebih
sedikitnya persentase sineresis yang
dialami. Perlakuan penambahan
STPP sebesar 0,3% dan 0,5%
menghasilkan pati talas semir
termodifikasi dengan persen sineresis
terendah, sehingga memiliki
kestabilan pada penyimpanan dingin
yang paling baik dan dapat
diaplikasikan untuk pembentuk
tekstur pada makanan beku.
Berdasarkan pada penelitian
ini, belum terbukti bahwa perlakuan
modifikasi cross-linking pada pati
talas semir dengan konsentrasi STPP
0%; 0,1%; 0,3%; dan 0,5% yang
dilakukan dapat menghasilkan pati
dengan kestabilan yang baik terhadap
suhu tinggi dan pengadukan.
Terdapat kenaikan viskositas
breakdown pada level konsentrasi
0%, namun viskositas breakdown
semakin menurun seiring dengan
meningkatnya level konsentrasi
STPP dengan nilai viskositas
breakdown yang masih diatas pati
alaminya pada penggunaan
konsentrasi terbesar. Berbeda dengan
hal tersebut, penelitian Lestari (2011)
terhadap pati bonggol pisang dengan
konsentrasi STPP 0,05-0,2% sudah
menghasilkan pati bonggol pisang
yang sudah memiliki ketahanan
terhadap pemanasan dan pengadukan
yang lebih baik dibandingkan dengan
pati alaminya. Berdasarkan hal
tersebut dapat diketahui bahwa
modifikasi cross-linking dengan
penggunaan reagen yang sama dan
konsentrasi yang sama, belum tentu
menghasilkan hasil yang sama pada
pati dengan sumber yang berbeda.
Hal ini juga menunjukan bahwa
selain faktor luar (jenis reagen,
konsentrasi reagen dan lain-lain),
faktor dalam pada bahan awal seperti
rasio amilosa dan amilopektin yang
berbeda antar komoditi diduga
mempengaruhi hasil pada modifikasi
pati secara cross-linking. Walaupun
perlakukan penambahan konsentrasi
STPP terbesar pada penelitian ini
menghasilkan pati dengan sifat
pengental dan pembentuk tekstur
yang paling mendekati ideal, hasil
penelitian menunjukan bahwa masih
ada kelemahan pada pemberian
konsentrasi tersebut walaupun pada
pati yang berbeda konsentrasi
dibawah 0,5% sudah dapat
memeperbaiki sifat tersebut.
Berdasarkan hal ini, diketahui bahwa
penggunaan STPP dengan
konsentrasi terbesar yang dilakukan
pada penelitian ini belum cukup
untuk menghasilkan pati talas semir
modifikasi dengan tingkat kestabilan
yang lebih baik dibandingkan pati
alaminya, sehingga berpeluang untuk
dilakukan penelitian dengan
penggunaan konsentrasi yang lebih
tinggi, namun penggunaan
konsentrasi STPP yang lebih tinggi
harus diimbangi dengan kontrol
terhadap batas penggunaan dan batas
residu yang diperbolehkan.
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1341
IV. KESIMPULAN
1. Modifikasi cross-linking yang
dilakukan berpengaruh nyata
terhadap solubility, freezethaw
stability, viskositas puncak,
viskositas breakdown dan
viskositas setback, namun
modifikasi yang dilakukan tidak
berpengaruh nyata terhadap
kekuatan gel, kapasitas
penyerapan air, swelling volume,
perubahan tipe kurva profil
gelatinisasi, suhu awal
gelatinisasi, dan tidak mengubah
profil gelatinisasi pati talas semir.
2. Perlakuan modifikasi cross-
linking yang dilakukan
meningkatkan kekuatan gel,
kapasitas penyerapan air, suhu
awal gelatinisasi, viskositas
puncak dan viskositas breakdown,
namun menurunkan swelling
volume, solubility, persen
sineresis dan viskositas setback.
3. Pada konsentrasi 0,5% pati talas
semir memiliki sifat fungsional
dan profil gelatinisasi yang lebih
baik dibandingkan perlakuan
konsentrasi lainnya, namun masih
memiliki viskositas breakdown
yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pati talas semir alaminya
yaitu 4431 cP, yang menunjukan
bahwa pati tersebut tidak stabil
pada perlakuan suhu tinggi dan
pengadukan.
4. Semua perlakuan modifikasi yang
dilakukan belum dapat digunakan
sebagai pati pengental dan
pembentuk tekstur karena
ketidakstabilannya pada perlakuan
panas dan pengadukan.
DAFTAR PUSTAKA
Aboubakar, Y.N., N. Jintang., J.
Scher., and C.M.F. Mbofung.
2008. Physicochemical,
Thermal Properties and
Microstructure of Six Varieties
of Taro (Colocasia esculenta
L. Schott) Flours and Starches.
Journal of Food Engineering.
86(6): 294-305.
Aini, N. dan P. Hariyadi. 2007. Pasta
Pati Jagung Putih Waxy dan
Non-Waxy yang Dimodifikasi
Secara Oksidasi dan Asetilasi-
Oksdasi. Jurnal Ilmu
Pertanian. 12(2):108-115.
Aini, N. dan P. Hariyadi. 2010.
Gelatinization Properties of
White Maize Starch from
Three Varieties of Corn
Subject to Oxidized and
Acetylated-Oxidized
Modification. International
Food Research Journal. 17:
961-968.
Armayuni, P.H., P.T. Ina. dan A.A.I.
Wiadnyani. 2015. Karakteristik
Pati Pisang Kepok (Musa
paradisiaca var. formatipyca)
Termodifikasi Dengan Metode
Ikatan Silang Menggunakan
Sodium Tripolyphosphate
(STPP). Fakultas Teknologi
Pertanian. Universitas
Udayana. Bali.
Aspiyanto dan A. Susilowati. 2005.
Pengaruh Rasio Pati dan Air
Serta Konsentrasi Na3PO4
dalam Pembuatan Pati Jagung
(Zea mays L.) Termodifikasi
Cross-linking dan Aplikasinya
Pada Selai Tempe. Pusat
Penelitian Kimia. LIPI.
Baah, F.D. 2009. Characterization of
Water Yam (Dioscorea alata)
for Existing and Potential
Food Products. (Disertasi).
Kwame Nkrumah. University
of Science and Technology.
Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah Kabupaten Sumedang.
1342
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
2013. Profil Daerah Kabupaten
Sumedang Tahun 2013.
Sumedang.
Chung, H.J., K.S. Woo. and S.T.
Lim. 2004. Glass Transition
and Enthalpy Relaxation of
Cross-Linked Corn Starches.
Carbohidrate Polymers. 55: 9-
15.
Collado, L.S. and H. Corke. 1999.
Heat Moisture Treatment
Effect on Sweet Potato
Starches Differing in Amylosa
Content. J. Food Chem. 65:
339-346.
Collado, L.S., L.B. Mabesa., C.G.
Oates., and H. Corke. 2001.
Bihon-type Noodles from
Heat-moisture Treated Sweet
Potato Starch. J. Food Sci. 66:
604-609.
Damat, H., Y. Marsono., dan M.
Nurcahyanto. 2007. Efektivitas
Lama Reaksi Sintesis Pati
Garut Butirat. Jurnal Agritek.
15:1009-1013.
Gunaratne, A. and H. Corke. 2007.
Functional Properties of
Hydroxypropylated, Cross-
Linked, and
Hydroxypropylated Cross-
Linked Tuber and Root
Starches. Cereal Chem.
84(1):30-37.
Han J. and S. Lim. 2003. Structural
Changes in Corn Starches
During Alkaline Dissolution by
Vortexing. Carbohydrate
Polymers. 55.
Herlina. 2010. Karakterisasi Sifat
Fisik, Kimia dan Fungsional
Bahan Pati Umbi Gembili
(Dioscorea esculenta L.)
Termodifikasi Secara Ikatan
Silang dengan Natrium
Tripolifosfat. Jurnal Agrotek.
4(1): 60-67.
Hirsch, J.B. and J.L. Kokini. 2002.
Understanding the Mechanism
of Cross-Linking Agents
(POCl3, STMP, and EPI)
Through Swelling Behavior
and Pasting Properties of
Cross-Linked Waxy Maize
Starches. Cereal Chem. 79(1):
102-107.
Hoover, R., and F. Sosulski. 1986.
Effect of Cross Linking on
Functional Properties of
Legume. Starches/Starke. 38:
149-155.
Hoover, R. 2001. Composition,
Molecular Structure, and
Physicochemical Properties of
Tuber and Root Starches: a
Review Department of
Biochemistry, Memorial
University of Newfoundland:
Canada. Carbohydrate
Polymers. 76(20): 193–199.
Hung, P.V. and N. Morita. 2005.
Physicochemical Properties of
Hydroxypropilated and Cross-
linked Starches from A-type
and B-type Wheat Starch
Granules. Carbohydrate
Polymers. 59: 239-246.
Kadan, R.S., R.J. Bryant., and A.B.
Pepperman. 2003. Functional
Properties of Extruded Rice
Flours. J. Food Science.
68(5):1669-1672.
Karmakar, R., D.K. Ban., and U.
Ghosh. 2013. Comparative
Study of Native and Modified
Starches Isolated from
Conventional and Non-
Conventional Sources.
International Food Research
Journal. 21(2): 597-602.
Kaur, L., J. Singh., and N. Singh.
2006. Effect of Cross-linking
of Some Properties of Potato
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1343
Starches. Journal of Science of
Food and Technology. Sci
Food Agric. 86:1945-1954.
Kaur, M., P. Kaushal., and K.S.
Sandhu. 2013. Studies on
Physicochemical and Pasting
Properties of Taro (Colocasia
esculenta L.) Flour in
Comparison with Cereal, Tuber
and Legume Flour. Journal of
Food Science.
Koo, S. H., K.Y. Lee., and H.G. Lee.
2010. Effect of cross-linking
on the physicochemical and
physiological properties of
corn starch. Food
Hydrocolloids. 24: 619-625.
Koswara. 2009. Teknologi
Modifikasi Pati. e-book
pangan.com
Kusnandar, F. 2010. Kimia Pangan
Komponen Makro. Dian
Rakyat. Jakarta.
Lawal, O.S. 2004. Composition,
Physicochemical Properties
and Retrogradation
Characteristics of Native,
Oxidised, Asetilated Acid-
Thinned New Cocoyam
(Xanthosoma Sagittifolium).
Starch Food Chemistry. 87:
205-218.
Lawal, O.S., M.D. Lechner., and
W.M. Kulicke. 2008. Single
and Multi-Step
Carboxymethylation of Water
Yam (Dioscorea alata) Starch:
Synthesis and Characterization.
International Journal of
Biological Macromolecules.
42: 429-435.
Lestari, P.G. 2011. Mempelajari Sifat
Fisik, Kimia dan Fisikokimia
Pati Bonggol Pisang Varietas
Batu (Musa brachycarp)
Termodifikasi Cross-link.
(Skripsi). Fakultas Teknologi
Industri Pertanian. Universitas
Padjadjaran.
Lim, S. and P.A. Seib. 1993.
Preparation and Pasting
Properties of Wheat and Corn
Starch Phospates. Cereal
Chem. 70(2): 137-144.
Mao Gui-Jie. 2006. Crosslinking of
Corn Starch with Sodium
Rimetaphosphate in Solid State
by Microwave Irradition:
Journal of Applied Polymer
Science.
Martina, A., J. Natamihardja., dan
J.R. Witono. 2015. Substitusi
Pati dalam Pembuatan Bakso
dengan Pati Singkong
Termodifikasi (Secara
Fosforilasi). University
Research Colloqium 2015.
ISSN 2407-9189.
Medikasari., S. Nurdjanah., N.
Yuliana dan N. Lintang. 2009.
Sifat Amilografi Pasta Pati
Sukun. Jurnal Teknologi
Industri dan Hasil Pertanian.
14(2):173-177.
Miyazaki, M., P.V. Hung., T.
Maeda., and N. Morita. 2006.
Recent Advances in
Application of Modified
Starches for Breadmaking.
Food Science and Technology.
17. 591-599.
Moorthy, S. 2002. Tuber crop starch.
Tech Bulletin No. 18 CTCRI,
Trivandrum. Carbohydrate
Polymers. 18: 169-173.
Munarso, S.J., D. Muchtadi., D.
Fardiaz., dan R. Syarief. 2004.
Perubahan Sifat Fisikokimia
dan Fungsional Tepung Beras
Akibat Proses Modifikasi Ikat-
Silang. Jurnal Pascapanen.
1(1):22-28.
Novitasari, S., I.W.R. Widarta dan
I.S. Wiadnyani. 2016.
1344
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
Pengaruh Penambahan Sodium
Tripolyphosphate (STPP)
Terhadap Karakteristik Pati
Sente (Alocasia macrorrhiza
(L.) Schott) yang Dimodifikasi
Dengan Metode Cross-linking.
Fakultas Teknologi Pertanian.
Universitas Udayana. Bali.
Octari, T., A.P. Putri., dan A. Gadri.
2016. Pembuatan Pati Ganyong
(Canna indica L.) Modifikasi
dengan Metode Hidrolisis
Asam. Prosiding Farmasi.
2(2): 737-742. ISSN: 2460-
6472.
Sit, N., S. Misra., and S.C. Deka.
2013. Physicochemical,
Functional, Textural, and
Colour Characteristics of
Starch Isolated from Four Taro
Cultivars of North-East India.
Starch/Starke. 65: 1011-1021.
Passauer, L., H. Bender., and S.
Fischer. 2010. Synthesis and
Characterisation of Starch
Phosphate. Carbohydrate
Polym. 82:809-814.
Patriadi, A. 2015. Ikat Silang Pati
Sagu Dengan Gluten Untuk
Meningkatkan Data
Mengembang Sagu Sebagai
Bahan Utama Adonan.
(Skripsi). Fakultas Teknologi
Pertanian. Institusi Pertanian
Bogor. Bogor.
Rakhmawati, P., D.O. Risa dan H.
Santosa. 2014. Pengaruh
Variabel Operasi pada Proses
Modifikasi Pati Garut dengan
Metode Cross Linking
Pengganti Tepung Terigu
Sebagai Bahan Baku pada
Industri Bakery. Jurnal Teknik.
35(1).
Retnaningtyas, D.A. dan W.D.R.
Putri. 2014. Karakterisasi Sifat
Fisikokimia Pati Ubi Jalar
Oranye Hasil Modifikasi
Perlakuan STPP (Lama
Perendaman dan Konsentrasi).
Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian. FTP Universitas
Brawijaya. Malang.
Romengga, J., I.T. Tendja., D.
Retno., Muntamah., and Z.
Ahmad. 2011. Sintesis Pati
Sagu Ikatan Silang Fosfat
Berderajat Substitusi Fosfat
Tinggi Dalam Suasana Asam.
Jurnal Teknologi dan Indostri
Pangan. 22(2).
Santoso, B., F. Pratama., B.
Hamzah., dan R. Pambayun.
2015. Karakteristik Fisik dan
Kimia Pati Ganyong dan
Gadung Termodifikasi Metode
Ikatan Silang. Fakultas
Pertanian. Universitas
Sriwijaya. Sumatra Selatan.
Singh, J., L. Kaur., and O.J. Mc
Carthy. 2007. Factors
influencing the Physico-
chemical, Morphological,
Thermal, and Rheological
Properties of Some Chemically
Modified Starches for Food
Apllications. Massey
University: New Zealand.
Food Hydrocolloids. 21(7): 1–
22.
Suhery, W.N., D. Anggraini., dan N.
Endri. 2015. Pembuatan dan
Evaluasi Pati Talas (Colocasia
esculenta Schott)
Termodifikasi dengan Bakteri
Asam Laktat (Lactobacillus
sp). Jurnal Sains Farmasi dan
Klinis. 1(2).
Sunarti, T.C., N. Richana., F.
Kasim., Purwoko dan A.
Budiyanto. 2007. Karakterisasi
Sifat Fisiko Kimia Tepung dan
Pati Jagung Varietas Unggul
Nasional dan Sifat
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”
1345
Penerimaannya terhadap
Enzim dan Asam. Departemen
Teknologi Industri Pertanian.
Fakultas Teknologi Pertanian.
IPB Bogor.
Srichuwong, S., T.C. Sunarti., T. Mis
Hima., N. Isono., and M.
Hisamatsu. 2005. Starches
from Different Botanical
Sources II: Contribution of
Starch Structure to Swelling
and Pasting Properties.
Carbohydrate Poly. 62: 25-34.
Waliszewski, K.N., M.A. Aparicio.,
L.A.B. Perez., dan J.A.
Monroy. 2003. Changes of
banana starch by chemical and
physical modification. Journal
of Carbohydrate Polimer. 52:
237-242.
Wattanachant, S., K. Muhammad.,
D.M. Hashim., and R.A.
Rahman. 2003. Effect of
Crosslinking Reagents and
Hydroxypropylation Levels on
Dual-Modified Sago Starch
Properties. Journal of Food
Chemistry. 80: 463-471.
Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan
dan Gizi. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
Wongsagonsup, R., P. Thamonwan.,
J. Suparat., C. Weerawut., F.
Asira., V. Siyavit., D. Omsak.,
and S. Manop. 2014. Effect of
Cross-linking on
Physicochemical Properties of
Tapioca Starch and Its
Application in Soup Product.
Carbohydrate Polymers. 101:
656-665.
Wurzburg, O.B. 1995. Modified
Starch. In Food
Polysaccharides and Their
Application. (edt. by Stephen).
New York: Marcel Decker Inc.
Yammin F.F., M. Lee., L.M. Pollak.,
and P.J. White. 1999. Thermal
Properties of Starch in Corn
Varians Isolated After
Chemical Mutagenesis Of
Inbred Line 873. Cereal
Chemistry. 76: 175-181.