Kanker Paru

40
REFERAT Peranan Imunitas Tubuh pada Pasien dengan Kanker ParuOleh: Ahmad Muslim Hidayat Thamrin Aida Julia Ulfah Andhika Pangestu Asmie Utami Asfar Pembimbing: dr. Darma Setyakusuma, Sp.P KEPANITERAAN KLINIK PULMONOLOGI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2015

description

Paru

Transcript of Kanker Paru

  • REFERAT

    Peranan Imunitas Tubuh pada Pasien dengan Kanker Paru

    Oleh:

    Ahmad Muslim Hidayat Thamrin

    Aida Julia Ulfah

    Andhika Pangestu

    Asmie Utami Asfar

    Pembimbing:

    dr. Darma Setyakusuma, Sp.P

    KEPANITERAAN KLINIK PULMONOLOGI

    RUMAH SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATI

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

    UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

    JAKARTA

    2015

  • KATA PENGANTAR

    Segala puji bagi Allah SWT karena atas hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan

    referat dengan tema Peranan Imunitas Tubuh pada Pasien dengan Kanker Paru

    Referat ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik di

    stase Pulmonologi Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati (RSUP Fatmawati).

    Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam

    penyusunan dan penyelesaian tugas referat ini, terutama kepada :

    1. Dr Darma Setyakusuma, SpP. selaku pembimbing tugas referat ini

    2. Semua dokter dan staf pengajar di SMF Pulmonologi RSUP FATMAWATI

    3. Rekan-rekan Kepaniteraan Klinik Pulmonologi RSUP FATMAWATI atas

    bantuannya

    Kami menyadari referat ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu segala

    kritik dan saran yang membangun guna penyempurnaan makalah ini sangat kami harapkan.

    Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan bisa membuka wawasan

    serta ilmu pengetahuan kita,terutama dalam bidang Pulmonologi.

    Jakarta, 8 Februari 2015

    Penyusun

  • BAB I

    1.1 Fisiologi Sistem Imunitas Tubuh

    Sistem imun ialah semua mekanisme pertahanan yang digunakan tubuh untuk

    mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat

    ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Fungsi sistem kekebalan tubuh

    adalah untuk melindungi tubuh dari infeksi dan penyakit. Sistem kekebalan tubuh bekerja

    untuk mengidentifikasi patogen dan sel-sel tumor yang dapat menyebabkan penyakit dan

    mengeliminasi dari sistem tubuh. Tetapi, tugas ini sangat sulit karena patogen dan sel-sel

    buruk dapat merancang ulang diri mereka dan beradaptasi dengan perubahan tubuh. Selain

    itu, ia juga berperanan dalam menyingkirkankan jaringan atau sel yg mati atau rusak untuk

    perbaikan jaringan.

    Sistem kekebalan tubuh manusia dibagi kepada dua, yaitu kekebalan tubuh non

    spesifik dan kekebalan tubuh spesifik. Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan

    tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat

    memberikan respon langsung terhadap antigen, sedang sistem imun spesifik membutuh

    waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responnya.

  • 1. Pertahanan tubuh non spesifik (Natural / Imunitas Bawaan)

    Dikatakan tidak spesifik karena berlaku untuk semua organisme dan memberikan

    perlindungan umum terhadap berbagai jenis agent. Secara umum pertahanan tubuh non

    spsifik ini terbagi menjadi pertahanan fisik, mekanik dan kimiawi.

    Lapisan pertahanan tubuh non spesifik dibagi menjadi dua, yaitu :

    I. Lapisan Pertama

    A. Pertahanan fisik

    Pertahanan tubuh non spesifik dengan pertahanan fisik dalam tubuh manusia

    antara lain adalah:

    a) Kulit, kulit yang utuh menjadi salah satu garis pertahanan pertama karena sifatnya

    yang permeable terhadap infeksiberbagai organisme.

    b) Asam laktat,dalam keringat dan sekresi sebasea dalam mempertahankan

    pH kulit tetap rendah, sehingga sebagian besar mikroorganisme tidak mampu

    bertahan hidup dalam kondisi ini.

    c) Cilia, mikroorganisme yang masuk saluran nafas diangkut keluar

    oleh gerakan silia yang melekatpada sel epitel.

    d) Mukus,

    Membrane mukosa mensekresi mucus untuk menjebak mikroba dan partikel

    asing lainnya serta menutup masuk jalurnya bakteri/virus.

    e) Granulosit,

    Mengenali mikroorganisme sebagai musuh danmenelan serta menghancurkan

    mereka.

  • Gambar. Leukosit

    f) Proses inflamasi,

    Invasi jaringan oleh mikroorganisme merangsang proses inflamasi pada tubuh

    dengan tanda inflamasi yaitu kemerahan, panas, pembengkakan, nyeri, hilangnya

    fungsi.

    B. Pertahanan mekanik

    Pertahanan tubuh non spesifik dengan cara pertahanan mekanik antara lain adalah:

    a.Bersin, reaksi tubuh karena adabenda asing (bakteri, virus, benda dan lain-lain yang

    masuk hidung) reaksi tubuhuntuk mengeluarkan dengan bersin.

    b.Bilasan air mata, saat ada benda asing produksi air mata berlebih

    untuk mengeluarkan benda tersebut.

    c.Bilasan saliva, kalau ada zat berbahaya produksi saliva berlebih untuk menetralkan.

    d.Urin dan feses, jika berlebih makarespon tubuh untuk segeramengeluarkannya.

    C. Pertahanan kimiawi

    Pertahanan tubuh non spesifik dengan carakimiawi antara lain adalah:

    a.Enzim dan asam dalam cairanpencernaan berfungsi sebagai pelindungbagi tubuh.

    b.HCL lambung, membunuh bakteri yang tidak tahan asam.

    c.Asiditas vagina, membunuh bakteri yang tidak tahan asam.

    d.Cairan empedu, membunuh bakteri yang tidak tahan asam.

  • II. Lapisan kedua

    A.Seluler

    a.Natural Kiler

    Adalah leukosit yang berjaga di sistem peredaran darah dan limfatik. Sel ini mampu

    melisis sel kanker dan sel terinfeksi virus.

    b.Sel fagosit

    Sel fagosit terdiri atas neutrofil, monosit dan makrofag. Sel fagosit menghancurkan

    antigen dengan mekanisme fagositosis.

    B.Interferon

    Interferon adalah protein yang dihasilkan sel tubuh yang diserang virus. Interferon

    berfungsi memperingatkan sel lain di sekitarnya akan bahaya suatu antigen. Interferon

    mampu menghambat jumlah sel yang terinfeksi, karena mengubah sel di sekitarnya menjadi

    tidak dikenali antigen

    C. Inflamasi

    Adalah peradangan jaringan yang merupakan reaksi cepat terhadap suatu kerusakan.

    Fungsi inflamasi:

    1.Membunuh antigen yang masuk.

    2.Mencegah penyebaran infeksi.

    3.Mempercepat proses penyembuhan

    2. Pertahanan tubuh spesifik (Pertahanan Tubuh Didapat)

    Dikatakan spesifik karena hanya terbatas pada satu mikroorganisme dan tidak

    memberikan proteksi terhadap mikroorganisme yang tidak berkaitan. Pertahanan ini di dapat

    melalui pajanan terhadap agen infeksi spesifik sehingga jaringan tubuh membentuk system

    imun.

  • Komponen sistem imun yang paling utama adalah pada bagian ini yaitu leukosit.

    Kekebalan tubuh yang didapat dibagi menjadi dua , yaitu :

    A. Kekebalan Humoral

    Imunitas humoral adalah imunitas yang diperankan oleh sel limfosit B dengan

    atau tanpa bantuan sel imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan dilaksanakan

    oleh imunoglobulin yang disekresi oleh sel plasma. Terdapat lima kelas imunoglobulin yang

    kita kenal, yaitu IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE.

    Pembentukan kekebalan humoral dilakukan setelah respon imun non-spesifik berhasil

    dilakukan.

    1)Fragmen antigen yang telah difagositosis tidak dicerna oleh sel fagosit.

    2)Fragmen tersebut kemudian ditampilkan pada sel fagosit untuk diambil pesannya oleh sel T

    helper melalui molekul MHC kelas II.

    3)Pesan mengenai fragmen antigen kemudian dikirimkan oleh sel T helper kepada sel B. Sel

    limfosit B akan membentuk kekebalan humoral dengan membelah diri.

    Macam-macam sel limfosit B:

    1)Sel B memori, diprogram untuk mengingat dan mengenali antigen spesifik apabila menyerang

    tubuh sewaktu-waktu.

    2)Sel B plasma, mensekresikan antibodi dan hidup selama 4-5 hari.

    B. Kekebalan Dimediasi Sel

    Pembentukan kekebalan diperantarai sel dilakukan jika respon imun non-spesifik

    gagal menahan antigen masuk ke tubuh.

    Kekebalan diperantarai sel dibentuk dari mekanisme penghancuran antigen oleh sel

    limfosit T.

    1) Antigen yang lolos dari sel fagosit akan difagositosis oleh sel-sel tubuh.

    2) yang telah difagositosis tidak dicerna oleh sel-sel tubuh.

    3) Fragmen tersebut kemudian ditampilkan pada sel tubuh untuk diambil pesannya oleh sel T

    sitotoksik melalui molekul MHC kelas I.

  • Sel limfosit T akan membentuk kekebalan diperantarai sel dengan melisis sel tubuh

    yang diserang sehingga mengalami apoptosis. Kekebalan ini tidak menghasilkan antibodi.

    Macam-macam sel limfosit T:

    1)Sel T memori, diprogram untuk mengingat dan mengenali antigen spesifik apabila

    menyerang tubuh sewaktu-waktu.

    2)Sel T helper , mengontrol pembelahan sel B, pembentukan antibodi dan aktivasi sel T.

    3)Sel T sitotoksik (pembunuh), melisis sel tubuh yang diserang antigen.

    4)Sel T supresor, menurunkan respon imun yang lebih dari cukup.(5)

    Berikut adalah perbedaan antara Limfosit T dan Limfosit B.

    Limfosit B Limfosit T

    Dibuat di sumsum tulang yaitu sel batang yang

    sifatnya pluripotensi(pluripotent stem cells) dan

    dimatangkan di sumsum tulang(Bone Marrow)

    Dibuat di sumsum tulang dari sel batang yang

    pluripotensi(pluripotent stem cells) dan

    dimatangkan di Timus

    Berperan dalam imunitas humoral Berperan dalam imunitas selular

    Menyerang antigen yang ada di cairan antar sel Menyerang antigen yang berada di dalam sel

    Terdapat 3 jenis sel Limfosit B yaitu :

    Limfosit B plasma, memproduksi antibodi

    Limfosit B pembelah, menghasilkan

    Limfosit B dalam jumlah banyak dan cepat

    Limfosit B memori, menyimpan mengingat

    antigen yang pernah masuk ke dalam tubuh

    Terdapat 3 jenis Limfosit T yaitu:

    Limfosit T pempantu (Helper T cells),

    berfungsi mengantur sistem imun dan

    mengontrol kualitas sistem imun

    Limfosit T pembunuh(Killer T cells) atau

    Limfosit T Sitotoksik, menyerang sel tubuh

    yang terinfeksi oleh patogen

    Limfosit T surpressor (Surpressor T cells),

    berfungsi menurunkan dan menghentikan

    respon imun jika infeksi berhasil diatasi

  • 1.2 Mekanisme Sistem Pernafasan Manusia

    Terdapat beberapa mekanisme pertahanan tubuh yang melindungi paru antara lain :

    1. Mekanisme yang berkaitan dengan faktor fisik, anatomik, dan fisiologik.

    a. Deposisi partikel : perjalanan udara udara pernafasan mulai dari hidung

    sampai dengan parenkim paru melalui struktur yang berkelok-kelok sehingga

    memungkinkan terjadinya proses deposisi partikel. Partikel berukuran > 10

    mikrometer tertangkap di dalam rongga hidung. partikel berukuran 5 - 10

    mikrometer tertangkap di bronkus dan percabangannya. Partikel berukuran < 3

    mikrometer dapat masuk ke dalam alveoli.

    b. Refleks Batuk ( Gag Reflex ).

    Batuk merupakan mekanisme refleks yang sangat penting untuk menjaga agar

    jalan nafas tetap terbuka dengan cara menyingkirkan hasil sekresi,

    menghalang benda asing yang akan masuk ke dalam sistem pernafasan.

    2. Mekanisme eskalasi mukus dan mucus blanket.

    Melibatkan peran silia dan mukus. Silia terdapat pada dinding saluran pernafasan

    mulai dari laring sampai bronkiolus terminal.Setiap sel bersilia memiliki 275 silia,

    bergerak dengan kecepatan 1000 gerakan/menit.Jumlah silia dan aktivitasnya

    dipengaruhi oleh : asap rokok, toksin, dan asidosis.

    3. Mekanisme fagositik dan inflamasi.

    Pertikel dan mikroorganisme yang terdeposisi akan difagositosis oleh sel makrofag

    dan sel polimorfonuklear (PMN).Makrofag di dalam sitoplasmanya terdapat granula

    yang mengandung enzim untuk mencerna partikel dan mikroorganisme yang

    difagositosis. Sel PMN melawan mikroorganisme yang menginfeksi paru, terutama di

    distal paru.

    4. Mekanisme respon imun.

    a. Mekanisme Humoral

    - IgA merupakan pertahanan di nasofaring dan saluran udara pernafasan bagian

    atas.

  • - IgG yang berfungsi menggumpalkan partikel, menetralkan toksin yang

    diproduksi oleh virus atau bakteri, mengaktifkan komplemen, melisiskan bakteri

    gram negatif.

    b. Mekanisme Seluler

    Diperankan oleh limfosit T : limfosit CD4+ (sel T helper) dan limfosit CD8+ (sel

    T supresor). Sensitisasi terhadap limfosit T akan menghasilkan berbagai mediator

    yang dapat larut (limfokin) menarik dan mengaktifkan sel pertahanan tubuh

    yang lain terutama makrofag.

    Tabel 2. Komponen Sistem Pertahanan Pada Paru

  • 1.3 Kanker Paru

    1.3.1 Epidemiologi

    Prevalensi kanker paru di negara maju sangat tinggi, di USA tahun 2002 dilaporkan

    terdapat 169.400 kasus baru (merupakan 13% dari semua kanker baru yang terdiagnosis)

    dengan 154.900 kematian (merupakan 28% dari seluruh kematian akibat kanker), di

    Inggris prevalensi kejadiannya mencapai 40.000/ tahun, sedangkan di Indonesia

    menduduki peringkat 4 kanker terbanyak, di RS Kanker Dharmais Jakarta tahun 1998

    menduduki urutan ke 3 sesudah kanker payudara dan leher rahim. Angka kematian akibat

    kanker paru di seluruh dunia mencapai kurang lebih satu juta penduduk tiap tahunnya.

    Karena sistem pencatatan kita yang belum baik prevalensi pastinya belum diketahui tapi

    klinik tumor dan paru di Rumah Sakit merasakan benar peningkatannya. Di negara

    berkembang lain dilaporkan insidennya naik dengan cepat antara lain karena

    konsumsi rokok berlebihan seperti di China yang mengkonsumsi 30% rokok dunia.

    Sebagian besar kanker paru mengenai pria (65%) life time risk 1:13 dan pada perempuan

    1:20.

    1.3.2 Etiologi

    - Merokok

    Rokok dan zat yang terkandung didalamnya memegang peranan penting terhadap

    terjadinya kanker paru, yaitu berkisar antara 80-85 %. Faktor durasi, intensitas

    merokok dan jenis rokok yang dikonsumsi turut mempengaruhi bertambahnya resiko

    penderita kanker paru.

    Rokok mengandung komposisi berbagai zat karsinogenik (lebih dri 60 zat

    karsinogenik) yang dapat mempengaruhi progresivitas penyakit kanker paru

    Zat polisiklik aromatic hydrocarbon (PAH) yang terkandung dalam rokok dapat

    menyebabkan mutasi pada gen P53. Sedangkan zat N-Nitroso yang terkandung pada

    rokok merupakan zat karsinogenik yang juga berpengaruh pada progresivitas penyakit

    kanker paru.

    Zat nikotin pada rokok dapat dianggap sebagai carcinogenesis promoter. Zat nikotin

    pada rokok dapat mengaktivasi aktivasi persarafan simpatis. Nikotin dapat berikatan

    dan mengaktivasi reseptor nikotinik kolinergik pada postganglionic neurons.

  • Sedangkan nikotin juga dapat menyebabkan pelepaan dopamine dari nucleus

    akumbens serta menghambat apoptosis, peningkatan proliferasi sel dapat

    meningkatkan proses angiogenesis pada kanker paru.

    - Paparan terhadap lingkungan

    Beberapa faktor resiko berupa paparan terhadap lingkungan juga dapat berpengaruh

    pada penyakit kanker paru, antara lain asbestos, tar, arsenic, chromium, dan nickel.

    Polusi udara dapat juga dapat meningkatkan resiko kanker paru.

    - Faktor genetik

    Beberepa enzim dan gen padda kompleks sitokrom P-450 dapat meningkatkan resiko

    terjadinya kanker paru. Seperti gen CYP1A1, yang mengkodekan aryl hydrocarbon

    hydroxylase dapat meningkatkan resiko terjadinya kanker paru karena dapat

    meningkatkan aktivasi prokarsinogenik

    - Precursor lesions

    Terdapat beberapa jenis precursor lesion antara lain sebagai berikut :

    1) Squamous dysplasia dan karsinoma :

    Precursor lesion untuk squamous cell carcinoma

    2) Adenomatous hyperplasia :

    Precursor lesion untuk bronchioalveolar carcinoma

    3) Idiopathic pulmonary neuroendocrine cell hyperplasia :

    Precursor lesion untuk pulmonary carcinoids

    1.3.3 Patogenesis

    Patogenesis kanker paru sama dengan pathogenesis kanker pada umumnya, yaitu dimulai

    dengan proses karsinogenesis yang melibatkan tahap promosi dan progresi pada waktu

    yang cukup lama. Rokok dapat menginisiasi dan meningkatkan aktivasi proses

    karsinogenesis. Rokok dapat menyebabkan mutasi pada gen P53 dan delesi pada 3p.

    Rokok juga dapat menyebabkan kerusakan pada epitel paru-paru. Jika paparan terhadap

    rokok terjadi dalam waktu yang cukup lama, dapat menyebabkan mutasi pada sel serta

    iritasi kronik pada saluran nafas dan sebagai carcinogenic promoter (ex : nikotin,

    phenol, formaldehyde)

  • SCLC dan NSCLC merupakan bagian dari kanker paru, dan memiliki perbedaan tertentu

    yaitu perbedaan asal sel kankernya, perbedaan pathogenesis masing-masing jenis kanker,

    dan perbedaan pada gen mana yang mengalami mutasi. Pada SCLC, terjadi mutasi pada

    gen MYC,BCL2, c-KIT, p53 dan RB sedangkan NSCLC terjadi mutasi pada gen EGFR,

    KRAS, CD44, dan p16.

    Beberapa faktor antara lain merokok, paparan lingkungan, dan faktor genetic saling

    berkaitan dan mempengaruhi proses karsinogenesis. Sekitar 85 % , rokok mempengaruhi

    terjadinya kanker paru. Faktor pendukung lainnya seperti paparan asbestos dan tar serta

    zat arsenic dan chromium juga memegang peranan penting terhadap terjadinya kanker

    paru. Small Cell Lung Cancer (SCLC) berasal dari tumor sentral, sedangkan NSCLC

    dapat berasal dari tumor sentral dan tumor perifer. SCLC dapat mengalami metastasis

    secara cepat, dan memiliki respon yang baik terhadap kemoterapi. Sedangkan NSCLC,

    metastasis nya lebih lambat jika dibandingkan dengan SCLC, dan memiliki respon yang

    buruk terhadap kemoterapi serta respon relatif lebih baik setelah dilakukan reseksi bedah

    sebagai first line treatment nya. SCLC dan NSCLC dapat menyebabkan sindrom

    paraneoplastik (SIADH dan Ektopik Cushing Syndrome)

  • (McMaster Pathophysiology Review, 2011)

    1.3.4 Klasifikasi

    Jenis Kanker

    Paru

    Lokasi pada Paru Keterangan

    Adenokarsinoma

    (38 %)

    Perifer - Lebih sering terjadi pada

    perempuan dan bukan perokok

    aktif

    - Berasal dari small airway

    epithelial dan sel alveolar tipe 2

    - Perlu dilakukan tes apakah terdapat

    mutasi EGFR

  • Squamous Cell

    Carcinoma

    (20 %)

    2/3 sentral, 1/3

    perifer

    - Sangat berkaitan dengan efek

    merokok

    - Berasal dari large airway epithelial

    cells

    - Dapat menyebabkan terjadinya

    obstruksi jalan nafas serta

    atelektasis pada bagian distal

    Small Cell Lung

    Carcinoma

    (SCLC)

    (14 %)

    Central

    (endobronchial)

    - Sangat berkaitan dengan efek

    merokok

    - Berasal dari pulmonary

    neuroendocrine cells, kemudian

    mengaktivasi neurotransmitter ,

    growth factor, dan substansi

    vasoaktif

    - Dapat menyebabkan paraneoplastic

    syndromes : seperti SIADH dan

    Ectopic Cushing Syndrome

    - Pertumbuhan kanker secara cepat

    dan metastasis secara cepat (pada

    otak, hati, ataupun tulang) sehingga

    memperburuk prognosis

    selanjutnya

    Large Cell

    Carcinoma

    (3-5 %)

    Perifer - Serupa dengan keterangan pada

    adenocarcinoma

    -

    Pembagian praktis untuk tujuan pengobatan: a). small cell lung cancer SCLC), b). NSCLC

    (non small cell lung cancer/karsinoma skuamosa, adeno karsinoma , karsinoma sel besar).

  • Klasifikasi histologic WHO 1999 untuk tumor paru dan tumor pleura :

    Epithelial tumors

    Benign : papiloma, adenoma.

    Preinvasive lesions :Squamous dysplasialcarcinoma in situ, atypical adenomatous

    hyperplasia, Diffuse idiopathicpulmonary neuroendocrine cell hyperplasia.

    Malignant :

    - Squamous cell carcinoma: papillary, clear cell, basaloid,

    - Small cell carcinoma: combined small cell carcinoma,

    - Adenocarcinoma:

    1) acinar,

    2) papilary,

    3) Bronchoalveolar : nonmucinous, mucinous, mixed mucinous and nonmucinous or

    indeterminate cell type),

    4) Solid carcinoma with mucin formation,

    5) Adenocarcinoma with mixed subtypes

    6) Variants.

    Large cell carcinoma : Large cell neuroendocrine carcinoma, Basaloid carcinoma,

    Lymphoepithelioma-like carcinoma, Clear cell carcinoma, Large cell carcinoma with

    rhabdoid phenotype.

    Adenosquamous carcinoma.

    Carcinoma woth pleomorphic sarcomatoid or sarcomatous elements

    Carcinoid tumor : typical carcinoid, atypical carcinoid,

    Carcinomas ofsalicarygland type : mucoepidermoid carcinoma, adenoid cystic

    carcinoma

    Others .- Soft tissue tumors

    Mesothelial tumors : Benign, Malignant mesothelioma

    Miscellaneous tumors

    Lymphoproliferative diseases

    Secondary tumors

    Unclassified tumors

    Tumor-like lesions

  • PATOLOGI

    SCLC (small cell lung cancer).

    Gambaran histologinya yang khas adalah dominasi sel-sel kecil yang hampir

    semuanya diisi oleh mukus dengan sebaran kromatin yang sedikit sekali tanpa nukleoli.

    Disebut juga "oat cell carcinoma "karena bentuknya mirip dengan bentuk biji gandum, sel

    kecil ini cenderung berkumpul sekeliling pembuluh darah halus menyerupai pseudoroset. Sel-

    sel yang bemitosis banyak sekali ditemukan begitu juga gambaran nekrosis. DNA yang

    terlepas menyebabkan warna gelap sekitar pembuluh darah.

    NSCLC (Non Small Cell Carcinoma)

    Karsinoma sel skuamosa/karsinoma bronkogenik. Karsinoma sel skuamosa berciri khas

    proses keratinisasi dan pembentukan "bridge" intraselular, studi sitologi memperlihatkan

    perubaban yang nyata dari displasia skuamosa ke karsinoma insitu.

    Adenokarsinoma. Khas dengan bentuk formasi glandular dan kecenderungan ke arah

    pembentukan konfigurasi papilari. Biasanya membentuk cousin, wring tumbuh dari bekas

    kerusakan jaringan paru (scar). Dengan penanda tumor CEA (Carcinoma Embrionic

    Antigen) karsinoma ini bisa dibedakan dari mesotelioma

    Karsinoma Bronkoalveolar. Merupakan subtipe dari adenokarsinoma. Dia mengikuti /

    meliputi permukaan alveolar tanpa menginvasi atau merusak jaringan paru.

  • Karsinoma Sel Besar. Ini suatu subtipe yang gambaran histologisnya dibuat secara ekslusion

    Dia termasuk NSCLC tapi tak ada gambaran diferensiasi skuamosa atau glandular, sel

    bersifat anaplastik, tak berdiferensiasi, biasanya disertai oleh infiltrasi sel netrofil

    1.3.5 Patofisiologi & Gejala

    Manifestasi klinis/Gejala pada kanker tergantung pada lokasi asal terjadinya kanker. Jika

    tumornya bersifat sentral, maka dapat menimbulkan gejala seperti batuk, sesak nafas,

    penyakit ateletaksis, post-obstruktif pneumonia, wheezing dan batuk darah (hemoptisis).

    Sedangkan jika tumor bersifat perifer, maka dapat menimbulkan gejala batuk, sesak nafas

  • serta dapat memicu efusi pleura dan nyeri yang berat sebagai akibat dari proses infiltrasi ke

    pleura parietal dan dinding toraks.

    Beberapa gejala klinis pada kanker paru, terbagi menjadi 1) Primary lung lesion symptoms,

    2) Mediastinal involvement, 3) Paraneoplastic syndromes.

    - Primary lung lesion symptoms

    1) Batuk

    Terjadi sekitar 50-70 % pada kanker paru. Sebagian besar terjadi pada squamous cell

    carcinoma dan SCLC Sebagai akibat dari adanya massa tumor yang dapat menekan

    dan mengiritasi reseptor batuk pada saluran nafas.

    2) Penurunan Berat Badan (BB)

    Terjadi sekitar 46 % pada kanker paru. Kanker paru dapat meningkatkan lipolisis dan

    proteolisis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan jaringan adiposit dan

    otot rangka. Serta terjadi juga penurunan sintesis protein

    3) Hemoptisis

    Terjadi sekitar 25-50 % pada kanker paru. Sebagai akibat dari proses angiogenesis,

    menghasilkan pembuluh darah baru yang lebih rentan. Sehingga memicu pecahnya

    pembuluh darah dan menyebabkan terjadinya batuk darah (hemoptisis)

    4) Dispnea

    Terjadi sekitar 25 % pada kanker paru. Sesak nafas dapat terjadi sebagai akibat dari

    obstruksi pada extrinsic /intraluminal airway serta aktivasi mekanoreseptor dan

    kemoreseptor pada paru-paru dapat menyebabkan cachexia atau hipoksemia/asidosis

    5) Nyeri dada

    Terjadi sekitar 20 % pada kasus kanker paru. Nyeri dada akibat kanker paru ini,

    biasanya nyeri bersifat pleuritik

    - Mediastinal involvement

    1) Superior Vena Cava Syndrome

    Terjadi sebagai akibat dari obstruksi vena kava superior yang merupakan efek dari

    kanker paru. Sebagian besar diakibatkan oleh SCLC

    2) Efusi Perikardium

    Kanker paru dapat mengalami infiltrasi ke pericardium dan dapat menekan jantung

    sebagai akibat dari efusi pericardium

  • 3) Efusi Pleura

    Menunjukkan gejala nyeri dada dan sesak nafas. Benigna pleural effusion dapat

    menyebabkan obstruksi limfatik, post-obstruktif pneumonitis , dan atelektasis.

    Sedangkan malignant pleural effusion ketika terdapat sel maligna pada cairan pleura

    4) Disfagia

    Nyeri saat menelan sebagai akibat pembesaan nodus limfe subkarinal yang menekan

    1/3 bagian esophagus.

    5) Pancoast Tumour (Superior sulcus tumour)

    Pasien dengan pancoas tumour menunjukkan gejala nyeri pada bahu dan lengan,

    kelemahan otot, atrofi pada tangan ipsilateral, horner syndrome (ptosis, miosis,

    anhidrosis). Terjadi pada sebagian besar kasus sekitar 5 % NSCLC. Invasi tumor pada

    pleksus brachial dapat menyebabkan nyeri dan penurunan massa otot pada tangan

    serta lengan. Sedangkan invasi pada superior cervical sympathetic ganglion dapat

    memicu terjadinya sindrom horner antara lain : Ptosis (akibat penurunan kontrol

    sistem persarafan simpatis), Miosis, Anhidrosis (kekurangan cairan keringat)

    - Paraneoplastic syndrome

    1) Ektopik cushing syndrome

    Sebagai akibat dari sekresi yang bersifat ektopik dari adrenokortikopik hormone

    (ACTH)

    2) SIADH

    Dapat menimbulkan euvolemic hyponatremia dan urine terkonsentrasi. Gejala ringan

    terdiri dari sakit kepala dan kelemahan, sedangkan gejala yang berat dapat

    menyebabkan perubahan status mental, kejang, depresi nafas, dan bahkan kematian

    3) Hiperkalsemia

    Sangat berkaitan dengan squamous cell carcinoma. Terjadi peningkatan sekresi PTH,

    yang dapat menyebabkan peningkatan resorpsi dan reabsorpsi kalsium renal

    4) Hipertrophic osteoarthropathy

    Sangat berkaitan dengan NSCLC terutama jenis adenokarsinoma. Pada hypertrophic

    osteoarthropathy ini, terjadi proliferasi periosteal pada tulang tubular yang

    ditunjukkan dengan gejala arthritis simetris yang disertai nyeri pada siku, lutut,

    paha,tumit dan digital clubbing

  • 5) Distant Metastasis

    Pada umumnya tidak menunjukkan gejala yang spesifik pada pasien yang sudah

    mengalami distant metastasis

  • 1.3.6 Diagnosis

    Tujuan pemeriksaan diagnosis adalah untuk menentukan jenis histopatologi kanker,

    lokasi tumor serta penderajatannya yang selanjutnya diperlukan untuk menentukan kebijakan

    pengobatan

    - Deteksi dini

    Keluhan dan gejala penyakit ini tidak spesifik, seperti batuk darah, batuk kronik, berat

    badan menurun dan gejala lain yang juga dapat dijumapi pada jenis penyakit paru lain.

    Penemuan dini penyakit ini berdasarkan keluhan saja jarang terjadi, biasanya keluhan yang

    ringan terjadi pada mereka yang telah memasuki stage II dan III. Di Indonesia kasus kanker

    paru sering terdiagnosis ketika penyakit telah berada pada stage lanjut. Sasaran untuk deteksi

    dini terutama ditujukan pada subjek dengan risiko tinggi, yaitu :

    - Laki-laki usia lebih dari 40 tahun, perokok

    - Paparan industri tertentu dengan satu atau lebih gejala : batuk darah, batuk kronik,

    sesak napas, nyeri dada dan berat badan menurun.

    Golongan lain yang perlu diwaspadai adalah perempuan perokok pasif dengan salah

    satu gejala diatas dan seseorang yang dengan gejala klinik : batuk darah, batuk kronik, sakit

    dada, penurunan berat badan tanpa penyakit jelas. Riwayat tentang anggota keluarga dekat

    yang menderita kanker paru juga perlu jadi faktor pertimbangan.

    Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk deteksi dini, selain pemeriksaan klinis

    adalah pemeriksaan radiologi thorax, pemeriksaan sitologi sputum dan bronkoskopi

    autoflouresen. Kemajuan di bidang teknologi endoksopi autoflorosen telah terbukti dapat

    mendeteksi lesi prekanker maupun lesi kanker yang berlokasi sentral. Perubahan yang

    ditemukan pada mukosa bronkus pada lesi keganasan stage dini sulit dilihat dengan

    bronkoskop konvensional. Hal itu dapat diatasi dengan bronkoskop autoflouresen karena

    dapat mendeteksi lesi karsinoma insitu yang mungkin terlihat normal dengan bronkoskop

    biasa.

    Jika ada kecurigaan kanker paru, penderita sebaiknya segera ditujuk ke spesialis paru

    agar tindakan diagnostik lebih lanjut dapat dilakukan lebih cepat dan terarah.

  • - Prosedur diagnostik

    Gambaran klinik

    a. Anamnesis

    Gambaran klinik penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit paru lainnya,

    terdiri dari keluhan subjektif dan temuan onbjektif. Keluhan utama dapat berupa :

    - batuk-batuk dengan/ tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen)

    - batuk darah

    - sesak napas

    - suara serak

    - sakit dada

    - sakit/sulit menelan

    - benjolan di pangkal leher

    - sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan rasa nyeri

    yang hebat.

    Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat metastasis diluar

    paru, seperti kelainan yang timbul karena kompensasi hebat di otak, pemebesaran hepar

    atau patah tulang. Ada pula gejala dan keluhan tidak khas seperti5 :

    - berat badan berkurang

    - nafsu makan menghilang

    - demam hilang timbul

    - sindrom paraneoplastik, seperti hypertropic pulmonary osteoartheopathy, trombosis

    vena perifer dan neuropatia.

  • Deteksi Dini Kanker Paru

    ( skrining )

    Golongan risiko tinggi

    ( GRT )

    Bukan GRT dengan gejala

    batuk kronik, sesak napas,

    batuk darah,

    berat badan turun

    Foto thorax, sitologi

    Sputum dan

    bronkoskopi autoflouresenDiagnosis dan terapi

    Penyakit paru non kanker

    Semua hasil (-) Ada hasil yang (+) Curiga kanker paru

    Re-skrining

    4-6 bulan

    Teruskan prosedur

    Diagnostik

    Kanker paru

    Teruskan prosedur

    Diagnostik

    Kanker paru

    1.3.7 ALUR DETEKSI DINI KANKER PARU

  • b. Pemeriksaan jasmani

    Pemeriksaan jasmaani haus dilakukan secara menyeluruh dan teliti. Hasil yang

    didapat sangat bergantung pada kelainan saat pemeriksaan dilakukan. Tumor paru ukuran

    kecil dan terletak di perifer dapat memberikan gambaran normal pada pemeriksaan. Tumor

    dengan ukuran besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus, efusi

    pleura atau penekanan vena kava akan memberikan hasil yang lebih informatif. Pemeriksaan

    ini juga dapat memberikan data untuk penentuan stage penyakit, seperti pembesaran KGB

    atau tumor di luar paru. Metastasis ke organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar,

    pemeriksaan funduskopi untuk mendeteksi peninggian tekanan intraorbital dan terjadinya

    fraktur sebagai akibat metastasis ke tulang5.

    Gambaran radiologis

    Pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang mutlak

    dibutuhkan untuk menentukan lokasi tumor primer dan metastasis, serta penentuan stage

    penyakit berdasarkan sistem TNM. Pemeriksaan radiologi paru yaitu foto thoraks PA/lateral,

    bila mungkin CT scan thoraks, bone scan, bone survey, USG abdomen, PET (positron

    emission tomography) dan MRI dibutuhkan untuk menentukan letak kelainan, ukuran tumor

    dan metastasis

    a. Foto thoraks

    Pada pemeriksaan foto thoraks PA/lateral, kelainan dapat dilihat bila massa tumor

    berukuran lebih dari 1 cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi yang iregular,

    disertai indentasi pleura, tumor satelit, dll. Pada foto thorak juga dapat ditemukan invasi

    ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikard dan metastasis intrapulmoner. Keterlibatan

    KGB untuk menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto thoraks saja.

    Bila foto thoraks menunjukan gambaran efusi pleura yang luas harus diikuti dengan

    pengosongan isi pleura dengan punksi berulang atau pemasangan WSD dan ulangan foto

    thoraks agar bila ada tumor primer dapat diperhatikan. Keganasan harus dipikirkan bila

    cairan bersifat produktif, dan/atau cairan serohemoragik5.

    b. CT Scan thoraks

    Teknik pencitraan ini dapat menentukan kelaianan di paru secara lebih baik daripada

    foto thoraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara

    lebih tepat. Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar secara lebih

  • baik, bahkan bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intrabronkial, atelektasis,

    efusi pleura yang tidak masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada

    meski tanpa gejala. Lebih jauh lagi, keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk

    menentukan stage juga dapat dideteksi lebih baik karena pembesaran KGB (N1 s/d N3).

    Demikian juga ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner.

    Pemeriksaan CT-scan thoraks sebaiknya diminta hingga suprarenal untuk dapat

    mendeteksi asa/tidak ada pembesaran KGB adrenal.

    c. Pemeriksaan radiologik lain

    Kekurangan foto thoraks maupun CT-scan thoraks adalah tidak mampu mendeteksi

    telah terjadinya metastasis diluar rongga thoraks (metastasis jauh). Untuk maksud itu

    dibutuhkan pemeriksaan radiologik lain, misalnya brain CT untuk mendeteksi metastasis

    ditulang kepala/ jaringan otak , bone scan dan/atau bone survey dapat mendeteksi

    metastasis di seluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen dapat melihat ada tidaknya

    metastasis di hati, kelanjar adrenal dan organ lain dalam rongga perut.

    PET belum menjadi prosedur diagnostik yang rutin dan tidak diindikasikan untuk

    mengevaluasi tumor primer kecuali pada kasus nodul soliter, PET lebih berperan untuk

    menentukan keganasan pada KGB mediastinum sebagai konfirmasi pembacan CT-san

    thoraks terutama jika ukuran KGB < 1 cm. Indikasi PET antara lain menilai downstaging,

    rekurensi dan evaluasi pengobatan. Pada kasus nodul soliter PET memberikan informasi lebih

    baik daripada CT-scan karena PET dapat menduga keganasan dengan melihat peningkatan

    metabolisme pada sel ganas. Tumor ukuran > 1 cm indikasi operasi bila PET (+), jika PET (-)

    pasien cukup di follow up. Hasil itu akan menjadi pertimbangan apakah harus dilakukan

    operasi atau tidak. Pada pusat pelayanan yang mempunyai sarana mediastinoskopi, KGB

    yang terdeteksi pada CT-scan dan PET tetapi ukuran kecil dikonfirmasi dengan hasil

    mediastinokopi. Langkah selanjutnya adalah sebagai berikut :

    - CT negatif + PET negatif, kasus operabel

    - CT negative + PET positif, dilakukan biopsi, hasil positif, kasus non operable

    - CT positif + PET negatif, kasus operable

    - CT positif + PET positif, dilakukan biopsi, hasil positif, kasus non operable.

    MRI thoraks untuk staging kanker paru tidak dianjurkan untuk kasus yang akan

    diterapi tetapi sebaiknya dilakukan pada kasus KPKBSK yang melibatkan sulkus superior

    untuk mengevaluasi keterlibatan pleksus brakial atau invasi ke vertebra5.

  • Pemeriksaan khusus

    a. Bronkoskopi

    Bronkoskopi adalah pemeriksaan dengan tujuan diagnostic sekaligus dapat diandalkan

    untuk dapat mengambil jaringan atau bahan agar dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas.

    Pemeriksaan ada tidaknya masa intrabronkus atau perubahan mukosa saluran napas, seperti

    terlihat kelainan mukosa, misalnya berbenjol-benjol, hiperemis, atau stenosis infiltrat, mudah

    berdarah5. Tampakan yang abnormal sebaiknya diikuti dengan tindakan biopsi tumor/dinding

    bronkus, bilasan, siakatan atau kerokan bronkus.

    b. Biopsi aspirasi jarum

    Apabila biopsi tumor intrabronkial tidak dapat dilakukan, misalnya karena amat

    mudah berdarah, atau apabila mukosa licin berbenjol-benjol, maka sebaiknya dilakukan

    biopsi aspirasi jarum, karena bilasan saja sering memberikan hasil negative. Spesimen yang

    diperoleh adalah bahan pemeriksaan sitologi.

    c. transbronchial Needle Aspiration (TBNA)

    TBNA di karina, atau trakea 1/3 bawah (2 cincin diatas karina) pada posisi jam 1 bila

    tumor ada di kanan, akan memberikan informasi ganda, yakni didapat bahan untuk sitologi

    dan informasi metastasis KGB subkarina atau paratrakeal. Spesimen yang diperoleh adalah

    bahan pemeriksaan sitologi.

    d. Transbronchial Lung Biopsy (TBLB)

    Jika lesi kecil dan lokasi agak diperifer serta ada sarana untuk flouroskopi maka

    biopsi paru lewat bronkus (TBLB) harus dilakukan. Spesimen yang diperoleh adalah bahan

    pemeriksaan histopatologi.

    e. Transthorasic Needle Aspiration (TTNA)

    Jika lesi terletak di perifer dan ukuran lebih dari 2 cm, TTNA dilakukan dengan

    bantuan flouroskopi atau USG. Namun jika lesi lebih kecildari 2 cm dan terletak di sentral

    dapat dilakukan TTNA dengan tuntunan CT-scan. Specimen yang diperoleh adalah bahan

    pemeriksaan sitologi.

    f. Biopsi Transtorakal (Transthorasic Biopsy, TTB)

    Jika lesi kecil dan TTNA tidak memberikan hasil yang representatif sebaiknya

    dilakukan TTB dengan alat core biopsy dan selalu dilakukan dengan tuntunan CT-scan.

  • Pengambilan sample dengan teknik ini akan memberikan hasil yang lebih informatif.

    Spesimen yang diperoleh adalah bahan pemeriksaan histopatologi.

    g. Aspirasi jarum halus (AJH)

    AJH atau fine needle aspiration (FNA) dapat dilakukan bila terdapat pembesaran

    KGB teraba masa yang dapat terlihat superfisial. Dari teknik yang sangat sederhana dengan

    tingkat risiko paling rendah. Spesimen yang diperoleh adalah bahan pemeriksaan sitologi.

    h. Biopsi lain

    Biopsi KGB harus dilakukan bila teraba pembesaran KGB supraklavikula, leher atau

    aksila, apalagi bila diagnosis sitologi/histologi tumor primer di paru belum diketahui. Biopsi

    Daniels dianjurkan bila tidak jelas ditemukan pembesaran KGB supraklavikula dan cara lain

    tidak menghasilkan informasi tentang jenis sel kanker. Punksi dan biopsi pelura harus

    dilakukan jika ada efusi pleura. Spesimen yang diperoleh adalah bahan pemeriksaan sitologi

    atau histopatologi

    i. Torakoskopi medik

    Dengan tindakan ini massa tumor di bagain perifer paru, pleura viseral, pleura parietal

    dan mediastinum dapat dilihat dan dibiopsi.

    j. Sitologi sputum

    Sitologi sputum adalah tindakan diagnostik paling mudah dan murah. Kekurangan

    pemeriksaan ini terjadi bila tumor ada di perifer, penderita batuk kering dan teknik

    pengumpulan dan pengambilan sputum yang tidak memenuhi syarat. Dengan bantuan

    inhalasi NaCl 3% untuk merangsang pengeluaran sputum, kepositifan sitologi sputum dapat

    ditingkatkan. Cara lain ialah pengumpulan sputum menurut cara Saccomanno yaitu

    pengambilan spesimen dari sputum yang dikumpulkan pada pagi hari dan melalui prosedur

    khusus. Sputum ditampung dalam wadah yang berisi etil alkohol 50% dengan polietilen

    glikol, dihomogenisasi dengan blender, kemudian dilakukan pemusingan (centrifuge) dan

    bahan yang diambil adalah sedimen yang berada pada dasar tabung.

    Semua bahan yang diambil dengan pemeriksaan tersebut di atas harus dikirim ke

    Laboratorium Patologi Anatomik untuk pemeriksaan sitologi/histologi. Bahan berupa cairan

    harus dikirim segara tanpa fiksasi, atau dibuat sediaan apus, lalu difiksasi dengan alkohol

    absolut atau minimal alkohol 90%. Semua bahan jaringan harus difiksasi dalam formalin

    4%5.

  • Pemeriksaan invasif lain

    Pada kasus kasus yang rumit terkadang tindakan invasif seperti torakoskop,

    mediastinoskopi atau torakotomi eksplorasi dan biopsi paru terbuka dibutuhkan agar

    diagnosis dapat ditegakkan. Tindakan ini merupakan pilihan terakhir bila dari semua cara

    pemeriksaan yang telah dilakukan, diagnosis histologis/patologis tidak dapat ditegakkan.

    Pada pusat layanan dengan fasilitas lengkap dan tidak mempunyai masalah finansial,

    mediastinokopi selalu dilakukan pada kasus dengan stage dini (stage I dan II) untuk menilai

    KGB mediastinal. Di Indonesia penilaian KGB mediastinal menjadi paket tindakan

    torakotomi terutama torakotomi dengan eksplorasi. Dengan semakin banyaknya sarana

    kesehatan luar negeri yang dapat melakukan PET dan bahkan semakin berkembang menjadi

    PET-Scan (PET+CT-scan) yang lebih sensitif dan spesifik menilai KGB mediastinal

    tampaknya mediastinokopi mulai jarang dilakukan. Semua tindakan diagnosis untuk kanker

    paru diarahkan agar dapat ditentukan :

    - Jenis histologis

    - Derajat (stage)

    - Tampilan (tingkat tampil, performance status)

    Pemeriksaan lain berupa :

    a. Petanda tumor

    Petanda tumor, seperti CEA, Cyfra21-1, NSE5 dan lainnya tidak dapat digunakan

    untuk mendiagnosis tetapi masih digunakan evaluasi hasil pengobatan.

    b. Pemeriksaan biologi molekular

    Pemeriksaan biologi molekular telah semakin berkembang, cara paling sederhana

    dapat menilai ekspresi beberapa gen atau produk gen yang terkait dengan kanker paru, seperti

    protein p53, bcl2 dan lainnya

    1.3.8 PENGOBATAN

    Tujuan Pengobatan Kanker

    Kuratif : menyembuhkan atau memperpanjang masa bebas penyakit dan meningkatkan

    angka harapan hidup pasien.

    Paliatif : mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup.

    Rawat rumah (Hospice care) pada kasus terminal : mengurangi dampak fisik

  • maupun psikologis kanker baik pada pasien maupun keluarga

    Suportif : menunjang pengobatan kuratif paliatif dan terminal seperti pemberian nutrisi,

    transfusi darah dan komponen darah, growth factors obat anti nyeri dan obat anti infeksi

    Terdapat perbedaan yang signfikan biologis Non Small Cell Lung Cance (NSCLC) dengan

    Small Cell Lung Cance (SCLC) sehingga pengobatannya harus dibedakan :

    N S C L C

    Staging TNM yang didasarkan ukuran tumor (T) kelenjar getah bening yang terlibat (N)

    dan ada tidaknya metastase bermanfaat sekali dalam penentuan tatalaksana NSCLC ini.

    Staging dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dengan perhatian

  • khusus kepada keadaan sistemik, kardio pulmonal, neurologi dan skeletal. Hitung jenis sel

    darah tepi dan pemeriksaan kimia darah diperlukan untuk mencari kemungkinan adanya

    metastase ke sumsum tulang, hati dan tengkorak.

    Pengobatan NSCLC. Terapi bedah adalah pilihan pertama pada radium I atau II pada

    pasien dengan yang adekuat sisa cadangan parenkim parunya. Reseksi paru biasanya

    ditoleransi baik bila prediktif "post reseksi Fevi" yang didapat dari pemeriksaan spirometri

    preoperatif dan kuantitatif ventilasi perfusi scanning melebihi 1000 ml. Luasnya

    penyebaran intra torak yang ditemui saat operasi menjadi pegangan luas prosedur operasi

    yang dilaksanakan. Lobektomi atau pneumonektomi tetap sebagai standar di mana

    segmentektomi dan reseksi baji bilobektori atau reseksi sleeve jadi pilihan pada situasi

    tertentu.

    Survival pasien yang dioperasi pada stadium I mendekati 60%, pada stadium II 26-37 %

    dari II a 17-36,3%. Pada stadium III A masih ada kontroversi mengenai keberhasilan operasi

    bila kelenjar mediastinum ipsilateral atau dinding torak terdapat metastasis.

    Pasien stadium III b dan IV tidak dioperasi Combined modality therapy % yaitu gabungan

    radiasi, khemoterapi dengan operasi (dua atau tiga modalitas) dilaporkan memperpanjang

    survival dari studi-studi yang masih berlangsung.

    Radioterapi

    Pada beberapa kasus yang inoperable, radio terapi dilakukan sebagai pengobatan kuratif dan

    bisa juga sebagai terapi adjuvan/paliatif pada t u m or dengan komplikasi seperti

    mengurangi efek obsrtruksi /penekanan , terhadap pembuluh darah/bronkus.

    Efek samping yang sering adalah disfagia karena esofagitis post radiasi, sedangkan

    pneumonitis post radiasi jarang terjadi (

  • Radiasi paliatif. pada kasus sindrom vena cava superior atau kasus dengan komplikasi

    dalam rongga dada akibat kanker seperti hemoptisis, batuk refrakter, atelektasis,

    mengurangi nyeri akibat metastasis kranium dan tulang, juga amat berguna.

    Kemoterapi

    Prinsip Kemoterapi. Sel kanker memiliki sifat perputaran daur sel lebih tinggi dibandingkan

    sel normal. Dengan demikian tingkat mitosis dan proliferasi tinggi. Sitostatika kebanyakan

    efektif terhadap sel bermitosis. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi kegagalan

    pencapaian target pengobatan antara lain: a). resistensi terhadap sitostatika; b). penurunan

    dosis sitostatika di mana penurunan dosis sebesar 20% akan menurunkan angka harapan

    sembuh sekitar 50 %; c). penurunan intensitas obat dimana jumlah obat yang diterima selama

    kurun waktu tertentu kurang. Untuk mengatasi hal tersebut di atas, dosis obat harus diberikan

    secara optimal dan sesuai jadwal pemberian. Kecuali terjadi hal-hal yang jika diberikan

    sitostatika akan lebih membahayakan jiwa.

    Penggunaan resimen kemoterapi agresif (dosis tinggi) harus didampingi dengan rescue sel

    induk darah yang berasal dari sumsum tulang atau darah tepi yang akan menggantikan sel

    induk darah akibat mieloablatif. Penilaian respons pengobatan kanker dapat dibagi menjadi

    lima golongan seperti : a). remisi komplit, tidak tampak seluruh tumor terukur atau lesi

    terdeteksi selama lebih dari 4 minggu; b). remisi parsial, tumor mengecil > 50% tumor

    terukur atau > 50% jumlah lesi terdeteksi menghilang; c). stable disease pengecilan 50% atau

    < 25% membesar; d). progresif tampak beberapa lesi baru atau > 25% membesar; e).

    Lokoprogresif-. tumor membesar di dalam radius tumor (lokal).

    Penggunaan kemoterapi pada pasien NSCLC dalam dua dekade terakhir ini sudah

    diteliti. Untuk pengobatan kuratif kemoterapi dikombinasikan secara terintegrasi dengan

    modalitas pengobatan kanker lainnya pada pasien dengan penyakit lokoregional lanjut.

    Kemoterapi digunakan sebagai terapi baku untuk pasien mulai dari stadium III A dan untuk

    pengobatan paliatif

    Kemoterapi adjuvan diberikan mulai dari stadium II dengan sasaran lokoregional tumor

    dapat direseksi lengkap, cara pemberian diberikan setelah terapi lokal definitif dengan

    pembedahan, radioterapi atau keduanya.

    Kemoterapi neoadjuvan diberikan mulai dari stadium B dengan sasaran lokoregional tumor

    dapat direseksi lengkap. Terapi definitif dengan pembedahan ,radioterapi, atau keduanya

    diberikan di antara siklus pemberian kemoterapi.

    Kemoradioterapi konkomitan, bertujuan untuk meningkatkan kontrol lokoregional,

  • radioterapi mulai dari stage III (Unresectable lokoregional). Pemberian kemoterapi bersama-

    sama radioterapi.

    Pemilihan Obat. Kebanyakan obat sitostatik mempunyai aktivitas cukup baik pada

    NSCLC dengan tingkat respons antara 15-33%, walaupun demikian penggunaan obat tunggal

    tidak mencapai remisi komplit. Kombinasi beberapa sitostatik telah banyak diteliti untuk

    meningkatkan tingkat respons yang akan berdampak pada harapan hidup.

    Mula mula resimen CAMP yang terdiri dari siklofosfamid, doksorubisin

    metotreksat dan prokarbasin, tingkat respons regimen ini 26% Beberapa protokol resimen

    lainnya kemudian dikembangkan dan diperbandingkan dengan CAMP, seperti CAV

    memberikan tingkat respons 26%.

    Obat Lain. Obat obat barn saat ini telah banyak dihasilkan dan dicobakan sebagai obat

    tunggal seperti Paclitaxel, Docetaxel, Vinorelbine, Gemeitabine, dan Irenotecan dengan

    basil yang cukup menjanjikan, begitu juga bila dimasukkan ke regimen lama membentuk

    regimen baru.

    Kemoterapi Ajuvan dengan atau Tanpa Radioterapi. Mula-mula yang dikembangkan

    adalah protokol CAP (siklofosfamid, doksorubisin, dan cisplatin)

    Kemoradioterapi Konkomitan. Mula-mula protokol yang digunakan adalah protokol

    dengan basis cisplatin misalnya FP (5-Fluorouracil dan cisplatin), selanjutnya dikembangkan

    dengan memasukkan etoposide menjadi protokol EFP. Hasilnya dengan FP 68% menjadi

    komplit resectable sedangkan dengan EFP komplit resectable menjadi 76% pada EP 65%

    menjadi komplit resectable.

    SMALL CELL LUNG CANCER (SCLC)

    SCLC dibagi menjadi dua, yaitu: 1. limited-stage disease yang diobati dengan tujuan kuratif

    (kombinasi kemoterapi dan radiasi) dan angka keberhasilan terapi sebesar 20 % serta 2.

    extensive-stage disease yang diobati dengan kemoterapi dan angka respon terapi inisial

    sebesar 60-70 % dan angka respon terapi komplit sebesar 20-30%. Angka median-

    survival time untuk limited-stage disease adalah 18 bulan dan untuk extensive-stage disease

    adalah 9 bulan.

  • 1.3.9 PROGNOSIS

    Small Cell Lung Cancer (SCLC)

    1. Dengan adanya perubahan terapi dalam 15-20 tahun belakangan ini kemungkinan

    hidup rata-rata (median survival time) yang tadinya < 3 bulan meningkat menjadi 1

    tahun.

    2. Pada kelompok Limited Disease kemungkinan hidup rata-rata naik menjadi 1-2

    tahun, sedangkan 20% daripadanya tetap hidup dalam 2 tahun.

    3. 30% meninggal karena komplikasi lokal dari tumor

    4. 70% meninggal karena karsinomatosis

    5. 50% bermetastasis, ke otak (autopsi)

    Non Small Cell Lung Cancer (NSCLC)

    - Yang terpenting pada prognosis kanker paru ini adalah menentukan stadium dari

    penyakit.

    - Dibandingkan dengan jenis lain dari NSCLC, karsinoma skuamosa tidaklah

    seburuk yang lainnya. Pada pasien yang dilakukan tindakan bedah,

    kemungkinan hidup 5 tahun setelah operasi adalah 30%

    - Survival setelah tindakan bedah, 70% pada occult carcinoma; 35-40% pada

    stadium 1; 10-15% pada stadium H dan kurang dari 10% pada stadium HI.

    - 75% karsinoma skuamosa meninggal akibat komplikasi torakal, 25 % karena

    ekstra torakal, 2% di antaranya meninggal karena gangguan sistem saraf sentral.

    - 40% adenokarsinoma dan karsinoma sel besar meninggal akibat komplikasi

    torakal, 55% karena ekstra torakal.

    - 15% adenokarsinoma dan karsinoma sel besar bermetastasis ke otak dan 8-9%

    meninggal karena kelainan sistem saraf sentral.

    - Kemungkinan hidup rata-rata pasien tumor metastasis bervariasi, dari 6 bulan

    sampai dengan 1 tahun, dimana hal ini sangat tergantung pada : 1. Performance

    status (skala Karnofsky), 2. Luasnya penyakit, 3. Adanya penurunan berat badan

    dalam 6 bulan terakhir.

  • Performance Status Berdasarkan Skala Who Dan Skala Karnofsky

    Performance Status Skala WHO Skala Karnofsky

    Aktivitas normal 0 90-100

    Keluhan (+), berjalan dan merawat diri sendiri 1 70-80

    Aktivitas dalam waktu > 50%, kadang perlu bantuan 2 50-60

    Aktivitas dalam waktu 50%, perlu bantuan 3 30-40

    Di tempat tidur, perlu waktu 4 10-20

    Pencegahan

    Pencegahan yang paling penting adalah tidak merokok sejak usia muda. Berhenti

    merokok dapat mengurangi risiko terkena kanker, paru. Penelitian dari kelompok perokok

    yang berusaha berhenti merokok, hanya 30% yang berhasil.

  • 1.3.10 IMUNOLOGI KANKER

    Respon Imun Terhadap Sel Kanker

    Sel kanker dikenal sebagai nonself yang bersifat antigenik pada sistem imunitas tubuh

    manusia sehingga ia akan menimbulkan respons imun secara seluler maupun humoral.

    Imunitas humoral lebih sedikit berperan daripada imunitas seluler dalam proses

    penghancuran sel kanker, tetapi tubuh tetap membentuk antibodi terhadap antigen tumor. Dua

    mekanisme antibodi diketahui dapat menghancurkan target kanker yaitu, Antibody dependent

    cell mediated cytotoxicity (ADCC) dan Complement Dependent Cytotoxicity.

    Pada ADCC antibodi IgG spesifik berikatan terhadap Tumor Associated Antigen

    (TAA) dan sel efektor yang membawa reseptor untuk bagian Fc dari molekul Ig. Antibodi

    bertindak sebagai jembatan antara efektor dan target. Antibodi yang terikat dapat merangsang

    pelepasan superoksida atau peroksida dari sel efektor. Sel yang dapat bertindak sebagai

    efektor di sini adalah limfosit null (sel K), monosit, makrofag, lekosit PMN

    (polimorfonuklear) dan fragmen trombosit. Ini akan mengalami lisis optimal dalam 4 sampai

    6 jam. Pada Complement Dependent Cytotoxicity, pengikatan antibodi ke permukaan sel

    tumor menyebabkan rangkaian peristiwa komplemen klasik dari C 1,4,2,3,5,6,7,8,9.

    Komponen C akhir menciptakan saluran atau kebocoran pada permukaan sel tumor. IgM

    lebih efisien dibanding IgG dalam merangsang prosesini.

    Pada pemeriksaan patologi-anatomik tumor, sering ditemukan infiltrat sel-sel yang

    terdiri atas sel fagosit mononuklear, limfosit, sedikit sel plasma dan sel mastosit. Meskipun

    pada beberapa neoplasma, infiltrasi sel mononuklear merupakan indikator untuk prognosis

    yang baik, pada umumnya tidak ada hubungan antara infiltrasi sel dengan prognosis. Sistem

    imun yang nonspesifik dapat langsung menghancurkan sel tumor tanpa sensitisasi

    sebelumnya. Efektor sistem imun tersebut adalah sel Tc, fagosit mononuklear, polinuklear,

    Sel NK. Aktivasi sel T melibatkan sel Th dan Tc. Sel Th penting pada pengerahan dan

    aktivasi makrofag dan sel NK.

    Kontak langsung antara sel target dan limfosit T menyebabkan interaksi antara

    reseptor spesifik pada permukaan sel T dengan antigen membran sel target yang mencetuskan

    induksi kerusakan membran yang bersifat letal. Peningkatan kadar cyclic Adenosine

    Monophosphate (cAMP) dalam sel T dapat menghambat sitotoksisitas dan efek inhibisi

    Prostaglandin (PG) E1 dan E2 terhadap sitotoksisitas mungkin diperantarai cAMP.

  • Mekanisme penghancuran sel tumor pasti masih belum diketahui walaupun pengrusakan

    membran sel target dengan hilangnya integritas osmotik merupakan peristiwa akhir.

    Pelepasan Limfotoksin (LT), interaksi membran-membran langsung dan aktifitas sel T

    diperkirakan merupakan penyebab rusaknya membrane. Interleukin (IL), interferon (IFN)

    dan sel T mengaktifkan pula sel NK. Lisis sel target dapat terjadi tanpa paparan pendahuluan

    dan target dapat dibunuh langsung. Kematian sel tumor dapat sebagai akibat paparan

    terhadap toksin yang terdapat dalamgranula, produksi superoksida atau aktivitas protease

    serine pada permukaan sel efektor.

    Aktivitas NK dapat dirangsang secara in vitro dengan pemberian IFN. Penghambatan

    aktivasi sel NK terlihat pada beberapa PG (PGE1, PGE2, PGA1 dan PGA2), phorbol ester,

    glukokortikoid dan siklofosfamid. Sel NC (Natural Cytotoxic) juga teridentifikasi

    menghancurkan sel tumor.

    Selain itu, sitotoksisitas melalui makrofag menyebabkan makrofag yang teraktivasi

    berikatan dengan sel neoplastik lebih cepat dibanding dengan sel normal. Pengikatan khusus

    makrofag yang teraktivasi ke membran sel tumor adalah melalui struktur yang sensitif

    terhadap tripsin. Pengikatan akan bertambah kuat dan erat dalam 1 sampai 3 jam dan ikatan

    ini akan mematikan sel. Sekali pengikatan terjadi, mekanisme sitotoksisitas melalui makrofag

    berlanjut dengan transfer enzim lisosim, superoksida, protease, faktor sitotoksis yang resisten

    terhadap inhibitor protease dan yang menyerupai LT. Sekali teraktivasi, makrofag dapat

    menghasilkan PG yang dapat membatasi aktivasinya sendiri. Makrofag yang teraktivasi dapat

    menekan proliferasi limfosit, aktivitas NK dan produksi mediator. Aktivasi supresi dapat

    berhubungan dengan pelepasan PG atau produksi superoksida. Sebagai tambahan, makrofag

    dapat merangsang dan juga menghambat pertumbuhan sel tumor. Makrofag dapat pula

    berfungsi sebagai efektor pada ADCC terhadap tumor.

  • Respon Imun Terhadap Kanker Paru

    Sel NK (Natural Killer ) adalah sel imun yang bertanggung jawab mencari dan

    memusnahkan sel-sel jahat asing yang tidak dikenali oleh tubuh, termasuk sel kanker dan

    sel yang terinfeksi serangan virus, bakteri dan sebagainya. Jika seseorang memiliki aktivitas

    sel NK kurang dari 20% maka akan beresiko mudah terserang penyakit, salah satunya kanker

    paru.

    Sebuah penelitian yang dilakukan oleh sebuah majalah The lancet selama 11 tahun

    membuktikan bahwa natural killer sel sangat penting untuk melawan kanker. Penelitian besar

    yang melibatkan 3624 orang dengan usia diatas 40 tahun. Orang-orang dengan aktivitas sel

    NK yang tinggi resiko rendah terserang kanker.

  • DAFTAR PUSTAKA

    1. Jusuf, Anwar dkk. Perhimpunan dokter paru indonesia dan perhimpunan

    onkologi indonesia. Kanker paru: jenis karsinoma bukan sel kecil.

    Pedoman nasional untuk diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia.

    2005

    2. Ferlay J, Bray F, Pisani P and Parkin DM. GLOBOCAN 2002: Cancer

    Incidence, Mortality and Prevalence Worldwide. IARC CancerBase No. 5,

    Version 2.0, Lyon: IARC Press, 2004.

    3. Boyle P and Ferlay J, Cancer incidence and mortality in Europe, 2004.

    Annal Oncol (2005):16;481

    4. Amin, Zulkifli. Kanker Paru. Dalam: Sudoyo, Aru W dkk. Buku ajar ilmu

    penyakit dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Departemen ilmu penyakit dalam

    FKUI. 2006. Hal. 1005-11

    5. Silvestri GA, Tanoue LT, Margolis ML, Barker J, Detterbeck F: The

    noninvasive staging of nonsmall cell lung cancer. The guidelines. Chest..

    123: 2003; 147S-156S

    6. Fauci, Longo. Harrisons Principle of Internal Medicine 18th ed. USA;

    McGraw-Hill Companies.2012

    7. Jusuf A, Harryanto A, Syahruddin E, Endardjo S, Mudjiantoro S, Sutandio

    N. Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil . Pedoman nasional untuk

    diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia 2005. PDPI dan POI, Jakarta,

    2005.

    8. Fishman, Jack et al. Fishmans Pulmonary Diseases and Disorders, 4 th

    edition. McGrawHill. New york: 2008.

    9. Karnen, Iris. Imunologi Dasar edisi 10. Badan Penerbit FK UI. Jakarta:

    2012

    10. Goodman JW. The Immune Response. In: Stites DP, Terr AI eds.

    Basic and Clinical Immunology. Prentice Hall Int.2008

    11. Price SA.Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinik Proses-proses Penyakit

    ed.6, Jakarta: EGC; 2012.

    12. Tabrani, Rab. 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: TIM

    13. Alsagaff, Hood. 2009. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya :

    Airlangga University Pres