KAMPUNG AMBON
-
Upload
indrianita-wardani -
Category
Documents
-
view
124 -
download
15
description
Transcript of KAMPUNG AMBON
Sekitar 150 Petugas Polres Metro Jakarta Barat melakukan penggerebekan di kawasan Kampung Ambon, Cengkareng, Jakarta, Senin (30/4). Dalam operasi tersebut petugas berhasil mengamankan sejumlah barang bukti berupa senjata tajam, senjata api, alat penghisap sabu, minuman keras, ganja dan dua orang tersangka. Tempo/Tony Hartawan
SENIN, 07 MEI 2012 | 05:18 WIB
Kampung Ambon, Surga Narkoba bagi Artis & Pejabat ENIN, 07 MEI 2012 | 05:41 WIBTEMPO.CO, Jakarta- Kampung Ambon di Cengkareng, Jakarta Barat, merupakan surga bagi pemburu narkoba. Apa pun tersedia di sana, 24 jam: sabu, ekstasi, dan putaw. Banyak artis, pejabat maupun aparat yang kerap datang ke kampung itu. Pasar narkoba itu ada di Kompleks Permata, Kelurahan Kedaung Kaliangke, Cengkareng, Jakarta Barat.
Pasar ini muncul akhir 1990-an. Dulu hanya ganja dijual, tapi sejak 2002 jenis yang dijajakan kian beragam. "Mau cari inex sampai putaw juga ada," kata Toto, bekas pengguna narkoba yang sering berkunjung ke Kampung Ambon. Warga Jati Asih, Bekasi, ini nyaman memakai narkoba di dalam Kampung Ambon karena aman dari razia polisi. Saban kali ada penggerebekan, penjual langsung memberi tahu para pasien agar kabur. "Makanya artis dan pejabat juga sering ke sini," kata Toto.
Selebritas memang kerap singgah di kompleks ini, begitu kata seorang warga Permata. Ia menyebutkan beberapa nama. Salah satunya pelawak yang tiap malam muncul di televisi. Biasanya para artis datang sambil menutupi sebagian kepala dengan tudung jaket atau topi. "Kami sudah biasa lihat artis di sini, enggak kaget."
Ketua RT 05 Sandy Pasaneasaia membenarkan pengguna narkoba di wilayahnya berasal dari berbagai kalangan. Pengusaha, mahasiswa, artis, tentara, juga pejabat. Suatu kali, Sandy bercerita, warga memukuli pasien yang naik ke atap rumah Sandy karena dianggap maling. Setelah diperiksa, rupanya si "maling" adalah anggota Tentara Nasional Indonesia. "Sepertinya dia parno (paranoid). Dia ketakutan berlebihan akibat narkoba," katanya.
Kampung Ambon layaknya grosir bagi pedagang narkoba. Bandar-bandar dari berbagai wilayah Jakarta membeli sabu di sini karena kualitasnya dikenal bagus. Takarannya pas karena ditimbang dengan neraca digital. Harganya pun relatif lebih murah. Contohnya, harga setengah gram sabu di Kampung Ambon Rp 700 ribu. "Di tempat lain bisa lebih mahal Rp 50-100 ribu," kata seorang bekas bandar yang dulu biasa memasok narkoba di berbagai kampus di Jakarta.
PRAMONO | MUSTAFA SILALAHI
Tangan Godfather Narkoba di Kampung AmbonBesar Kecil Normal
TEMPO.CO, Jakarta- Kampung Ambon di Cengkareng, Jakarta Barat, menjadi
surga bagi pemburu narkoba. Apa pun tersedia di sana, 24 jam: sabu, ekstasi, dan
putaw. Silih berganti digerebek, bisnis narkoba tetap semarak. Negara seperti tak
berdaya di sana.
Laporan Tempo edisi 7 Mei berjudul "Cerita dari Kampung Narkoba"
mengungkapkan Kampung Ambon telah menjadi pasar narkoba sejak 1990-an. Dulu
hanya ganja dijual, tapi sejak 2002 jenis yang dijajakan kian beragam. "Mau cari inex
sampai putaw juga ada," kata Toto, bekas pengguna narkoba yang sering
berkunjung ke Kampung Ambon. Warga Jati Asih, Bekasi, ini nyaman memakai
narkoba di dalam Kampung Ambon karena aman dari razia polisi. Saban kali ada
penggerebekan, penjual langsung memberi tahu para pasien agar kabur.
"Makanya artis dan pejabat juga sering ke sini," kata Toto. Ia menyebutkan
beberapa nama. Salah satunya pelawak yang tiap malam muncul di televisi.
Meskipun berulang kali digerebek polisi, perdagangan narkoba di kampungnya Irene
Sophie Tupessy--wanita yang dijuluki Kill Bill karena memimpin penyerangan di
Rumah Sakit Pusat TNI Angkatan Darat Gatot Subroto--itu tetap marak. Polisi
berharap kasus Irene bisa menjadi pintu masuk pemberantasan narkoba di sana.
Ketua RT 05 di Kampung Ambon, Sandy Pasaneasia, menyebut operasi itu hanya
"penggerebekan ecek-ecek". Lapak yang digerebek berkategori kelas teri, bukan
milik bandar besar. Di Kampung Ambon ada 30-an lapak narkoba. Menurut Sandy,
keuntungan bersih satu lapak kecil narkoba bisa mencapai Rp 30 juta per hari.
Lapak-lapak itu berada di dalam rumah yang tersebar di RT 01 hingga 07 di
Perumahan Permata, yang hampir semuanya dihuni warga Ambon. "Seperti biasa,
pasti polisi juga yang membocorkan operasi itu," kata Sandy kepada Tempo.
Direktur Penindakan dan Pengejaran Badan Narkotika Nasional Benny Mamoto tak
menampik tudingan itu. Menurut Benny, pihaknya dan polisi tahu memang ada
aparat yang terlibat bisnis narkoba di sana. Di belakang aparat nakal itu, ujarnya,
ada tangan-tangan yang tak terlihat. "Bukan hanya pemakai, aparat turut membantu
peredaran narkoba itu," kata Benny.
Menurut Romylus Tamtelahitu, yang pernah meneliti kampung ini, yang paling
berjasa membangun kekompakan warga Kampung Ambon dalam menjalankan
bisnis narkoba adalah Michael Glenn Manuputty, 40 tahun.
Sistem yang dibangun Michael sangat mengakar karena melibatkan banyak orang.
Menurut sumber Tempo, orang sekelas John Kei bahkan mental saat mencoba-coba
masuk lingkaran Kampung Ambon. "Bung Michael itu godfather di Kampung Ambon,"
kata Romylus.
Michael tersandung. Polisi menangkapnya pada pertengahan Juli 2009 di Pondok
Aren, Tangerang Selatan. Ia dihukum penjara seumur hidup. Setelah Michael
dipenjara, menurut sumber Tempo, takhta godfather beralih ke Irene dan kakaknya
Edward Hunok Tupessy atau Edo sebagai godmother.
Irene menolak tudingan itu. Suami Irene, Heriyanto, juga membantah. "Apa iya
seorang bandar bisa menunggak SPP anaknya sampai dua bulan? Kalau dulu, kami
memang punya lapak," katanya. (Baca: laporan utama Tempo: Jangan Ganggu
Saya)
ENIN, 07 MEI 2012 | 05:04 WIB
Gaji Juru Timbang Narkoba Kampung Ambon Rp 30 Juta Besar Kecil Normal
TEMPO.CO, Jakarta- Kampung Ambon, di Cengkareng, Jakarta Barat, bukan cuma
surga buat para pecandu narkoba. Kampung ini juga makmur berkat narkoba. Satu
lapak kecil penjual narkoba, menurut penuturan seorang warga, bisa menangguk
omzet Rp 100 juta per hari. Jika pasien berlimpah, keuntungan berlipat, dan
keuntungan bersih bisa sampai Rp 30 juta per hari.
Laba jumbo memungkinkan pemilik lapak menggaji besar para pekerjanya. Sumber
Tempo di Kampung Ambon bercerita, tukang bersih lapak yang juga mencuci bong-
alat pengisap sabu-mendapat Rp 200 ribu sehari. Juru parkir mendapat upah sama,
belum termasuk ongkos parkir pasien Rp 5.000. Bisa lebih dari 30 kendaraan
mereka jaga tiap hari.
Juru timbang adalah profesi penting di sini. Orang yang bertugas menakar dan
mengemas narkoba ini bisa berpenghasilan hingga Rp 30 juta sebulan.
Geliat narkoba juga membuka celah bisnis lain. John Robert Sopa Paliama alias
Oncu, 39 tahun, membuka jasa pegadaian. Para junkie yang kehabisan uang bisa
menggadaikan barang mereka di lapak milik Oncu. Harga gadai jam tangan Rp 300
ribu. Telepon seluler model terbaru dihargai Rp 1 juta.
Tak jarang pasien yang hilang akal rela menggadaikan kendaraan dengan harga
murah. Berikut Surat Tanda Nomor Kendaraan, sepeda motor digadaikan Rp 1 juta
dan mobil Rp 5,5 juta. Pinjaman gadai berbunga tiap hari. "Kebanyakan barang yang
digadaikan enggak ditebus. Beta jual ke orang lain."
Ada juga yang menikmati kue bisnis narkoba dengan menyewakan rumahnya
sebagai lapak. Ongkos sewanya Rp 4 juta per bulan, di luar biaya listrik dan air. Dan,
ini yang sedap, pemilik lapak harus menyetor Rp 100 ribu tiap hari kepada pemilik
rumah.
Di Kampung Ambon, rezeki narkoba mengalir ke segala arah. Bocah-bocah dengan
santai meminta duit jajan kepada penjaga lapak. Permintaan ini tak pernah ditolak.
"Istilahnya, mereka bagi-bagi berkat kepada warga lain," kata Sandy.
Berbagai barang bukti yang disita Polres Metro Jakarta Barat usai melakukan penggerebekan di kawasan Kampung Ambon, Cengkareng, Jakarta, Senin (30/4). Dalam operasi tersebut petugas berhasil mengamankan sejumlah barang bukti berupa senjata tajam, senjata api, alat penghisap sabu, minuman keras, ganja dan dua orang tersangka. Tempo/Tony Hartawan
SENIN, 07 MEI 2012 | 05:31 WIB
Kampung Ambon 'Tiarap' Setelah Penggerebekan Besar Kecil Normal
TEMPO.CO, Jakarta- Setelah Kepolisian Resor Jakarta Barat menggerebek
Kampung Ambon pekan lalu , nama masyhur kompleks seluas satu hektare di
kawasan Cengkareng, Jakarta, ini. Kampung Ambon pun tiarap. Deretan "rumah
cinta"--julukan lapak atau rumah tempat transaksi narkoba-tutup sementara.
Kompleks Permata, Kampung Ambon, bagai mati suri. Rabu pekan lalu, belum pukul
10 malam, tak satu pun warga di luar rumah. Tak ada dentaman house music, menu
keseharian permukiman ini. Tak ada kepastian kapan lapak-lapak beromzet total
miliaran rupiah per hari ini berdenyut kembali.
"Sudah dua-tiga hari sepi. Ini bisa sampai seminggu, bisa sebulan," kata lelaki yang
ditemui Tempo di perempatan Kampung Ambon. "Kalau Bos mau, bisa saya cariin,
tapi barang mesti dibawa keluar," katanya.
Malam itu untuk kesekian kalinya Tempo menjelajahi zona merah perdagangan
narkoba di Jakarta ini. Beberapa malam sebelum penggerebekan, suasana jauh
berbeda. Pasien-sebutan bagi pembeli dan pengguna narkoba-datang hilir-mudik.
Penjaja narkoba, lelaki dan perempuan berusia 20-60 tahun, menunggu di depan
lapak. Deretan mobil dan sepeda motor memenuhi halaman.
Secara fisik, penampilan lapak tidak mencolok, sama seperti rumah biasa. Bedanya,
rumah cinta selalu ramai dikerubuti pedagang, pasien, dan para makelar. Tak sedikit
pasien yang masuk lapak sore dan baru keluar esok pagi. Peralatan nyabu dan
nyuntik lengkap tersedia di dalam lapak, komplet dengan sofa nyaman, lampu
remang-remang, dan musik yang superlantang.
Di antara rumah-rumah cinta itu, sebuah gedung dua lantai tampil seperti makhluk
asing. Lampu terang menyinari papan namanya: Pos Terpadu Badan Narkotika
Nasional. Gedung itu terasa tak berguna memerangi narkoba di Kampung Ambon.
PRAMONO | MUSTAFA SILALAHI
Berbagai barang bukti yang disita Polres Metro Jakarta Barat usai melakukan penggerebekan di kawasan Kampung Ambon, Cengkareng, Jakarta, Senin (30/4). Dalam operasi tersebut petugas berhasil mengamankan sejumlah barang bukti berupa senjata tajam, senjata api, alat penghisap sabu, minuman keras, ganja dan dua orang tersangka. Tempo/Tony Hartawan
Gaji Juru Timbang Narkoba Kampung Ambon Rp 30 Juta Besar Kecil Normal
TEMPO.CO, Jakarta- Kampung Ambon, di Cengkareng, Jakarta Barat, bukan cuma
surga buat para pecandu narkoba. Kampung ini juga makmur berkat narkoba. Satu
lapak kecil penjual narkoba, menurut penuturan seorang warga, bisa menangguk
omzet Rp 100 juta per hari. Jika pasien berlimpah, keuntungan berlipat, dan
keuntungan bersih bisa sampai Rp 30 juta per hari.
Laba jumbo memungkinkan pemilik lapak menggaji besar para pekerjanya. Sumber
Tempo di Kampung Ambon bercerita, tukang bersih lapak yang juga mencuci bong-
alat pengisap sabu-mendapat Rp 200 ribu sehari. Juru parkir mendapat upah sama,
belum termasuk ongkos parkir pasien Rp 5.000. Bisa lebih dari 30 kendaraan
mereka jaga tiap hari.
Juru timbang adalah profesi penting di sini. Orang yang bertugas menakar dan
mengemas narkoba ini bisa berpenghasilan hingga Rp 30 juta sebulan.
Geliat narkoba juga membuka celah bisnis lain. John Robert Sopa Paliama alias
Oncu, 39 tahun, membuka jasa pegadaian. Para junkie yang kehabisan uang bisa
menggadaikan barang mereka di lapak milik Oncu. Harga gadai jam tangan Rp 300
ribu. Telepon seluler model terbaru dihargai Rp 1 juta.
Tak jarang pasien yang hilang akal rela menggadaikan kendaraan dengan harga
murah. Berikut Surat Tanda Nomor Kendaraan, sepeda motor digadaikan Rp 1 juta
dan mobil Rp 5,5 juta. Pinjaman gadai berbunga tiap hari. "Kebanyakan barang yang
digadaikan enggak ditebus. Beta jual ke orang lain."
Ada juga yang menikmati kue bisnis narkoba dengan menyewakan rumahnya
sebagai lapak. Ongkos sewanya Rp 4 juta per bulan, di luar biaya listrik dan air. Dan,
ini yang sedap, pemilik lapak harus menyetor Rp 100 ribu tiap hari kepada pemilik
rumah.
Di Kampung Ambon, rezeki narkoba mengalir ke segala arah. Bocah-bocah dengan
santai meminta duit jajan kepada penjaga lapak. Permintaan ini tak pernah ditolak.
"Istilahnya, mereka bagi-bagi berkat kepada warga lain," kata Sandy.
ABTU, 05 MEI 2012 | 03:52 WIB
Sindikat Narkoba Lintas Provinsi DibongkarBesar Kecil Normal
TEMPO.CO , Semarang: Kepolisian Daerah Jawa Tengah membongkar jaringan
peredaran sabu-sabu yang beroperasi di lintas provinsi. Pengungkapan bermula dari
penangkapan Kepolisian Resor Wonosobo yang membekuk dua bersaudara dari
jaringan pengedar obat terlarang itu.
Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Djihartono menyatakan
tersangka yang ditangkap adalah Dedy Afandi dan Abdul Sudrajat dari Klaten.
Dari tangan tersangka, polisi menyita barang bukti sabu-sabu seberat 162 gram yang
diperkirakan senilai Rp 245 juta. "Selain itu, juga diamankan lima unit telepon seluler,
timbangan elektrik, alat hisap sabu, dan sebuah jaket kulit serta helm yang
digunakan tersangka untuk menyimpan sabu," kata Djihartono, Jumat, 4 Mei 2012.
Djihartono mengungkapkan dua tersangka itu ditangkap di SPBU Jonggrangan
Klaten pada Kamis, 3 Mei 2012. Penangkapan kedua pelaku merupakan hasil
pengembangan dari penangkapan seorang pengedar sabu bernama Andika oleh
jajaran Polres Wonosobo.
Para tersangka diketahui memiliki jaringan transaksi sabu-sabu dengan seorang
bandar sabu-sabu di Bandung, Jawa Barat. "Mereka mengirim pesanan sabu-sabu
melalui kereta api," katanya.
Abdul Sudrajat mengaku sudah mengedarkan sabu-sabu selama satu tahun. Ia
mendapatkan keuntungan Rp 20 ribu per gramnya. Tersangka akan dijerat dengan
Pasal 112 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun penjara.
AMIS, 03 MEI 2012 | 16:31 WIB
Eks Wakil Direktur Narkoba Minta Atasan Jadi Saksi Besar Kecil Normal
TEMPO.CO, Medan - Kuasa hukum bekas Wakil Direktur Narkoba Polda Sumatera
Utara, Ajun Komisaris Besar Apriyanto Basuki Rahmat, 43 tahun, meminta jaksa
menghadirkan atasan kliennya, Direktur Nakorba Komisaris Besar Andjar Dewanto,
dalam persidangan.
“Karena Kombes Andjar mengetahui proses penangkapan klien saya. Kami berharap
sidang ini bisa menghadirkan Kombes Andjar Dewanto untuk mengungkap bukti
kebenaran materiil,” kata kuasa hukum Apriyanto, Marudut Simajuntak, di
Pengadilan Negeri Medan, Kamis, 3 Mei 2012.
Hari ini Apriyanto kembali menjalani sidang dalam kasus kepemilikan pil sejenis
psikotropika, happy five. Sidang digelar untuk mendengarkan keterangan para saksi,
yakni Wina Harahap, rekan wanita Apriyanto, dan dua polisi anggota Kepolisian
Daerah Sumatera Utara. Protes atas saksi yang ada, Marudut mendesak jaksa untuk
menghadirkan Direktur Narkoba.
Sebelum sidang dimulai, Marudut mengatakan kepada Tempo terdapat banyak
keganjilan dalam perkara yang menjerat kliennya. Keganjilan itu, di antaranya,
Apriyanto ditangkap bukan di lokasi hiburan malam Paramount, melainkan dijemput
dari rumahnya di Perumahan Citra Wisata Johor dan polisi tidak menemukan
pil happy five di rumah itu.
“Dalam berita acara pemeriksaan Apriyanto dituduh memesan pil happy five di lokasi
hiburan malam itu,” kata Marudut.
Namun, jaksa G Sinuhaji pada sidang sebelumnya menyebutkan pada Sabtu, 11
Februari 2012 sekitar pukul 23. 00 WIB, terdakwa Apriyanto memesan 30 butir
pil happy five kepada Jhonson Jingga, manajer Paramount (tersangka dalam sidang
terpisah) di klub malam Paramount, Jalan Merak Jingga, Medan. Kemudian Jhonson
mencari obat yang dipesan itu kepada Bram (belum tertangkap) untuk diberikan
kepada terdakwa Aprianto.
Setelah pil itu diperoleh, Jhonson menyuruh Ade Hendrawan (pramusaji Paramount)
menyerahkan pil jenis psikotropika itu kepada Apriyanto yang saat itu bersama dua
teman wanitanya, yakni Sri Agustina dan Wina Harahap, di dalam sebuah kamar di
klub malam Paramount.
Namun, melalui kuasa hukumnya, Apriyanto membantah. “Klien saya berangkat dari
rumah sekitar pukul 21.00 WIB pada Sabtu, 11 Februari 2012 ke klub malam
Paramount dan sampai di rumah sekitar pukul 00.00 WIB. Saat Paramount
digerebek polisi, Apriyanto sudah berada di rumah," kata Marudut.
Pada sidang kedua hari ini, Apriyanto yang ditemani istri dan kerabatnya terlihat
santai. Menggunakan batik berwarna putih dipadu hitam, perwira yang kerap
menggelar operasi pemberantasan narkotik bersama Badan Narkotika Nasional itu
terlihat segar. Apriyanto dijerat dengan Pasal 60 (3) juncto 71 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1997 tentang Narkotika.
Apriyanto selama ini dikenal sebagai perwira yang rajin dalam pemberantasan
narkoba. Bersama Brigadir Jenderal Benny Mamoto, Direktur Penindakan dan
Pengejaran BNN, Apriyanto pernah menemukan 7 hektare ladang ganja di tujuh
lokasi di lereng Gunung Tor Sihite, Huta Tua, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera
Utara, akhir 2011
Kuasa Mafia NarkobaSaturday, 02 February 2013 01:25 Hits: 10
Kecurigaan sudah masuknya peredaran narkoba ke berbagai elemen strategis
bangsa bukanlah tanpa alasan. Jaringan ini termasuk salah satu jaringan kejahatan yang rapi dan
berani memasuki relung-relung kehidupan bangsa secara multi strata. Siapa saja elemen bangsa,
ditempatkan sebagai bagian dari objek yang ditargetkan bisa disentuh atau tidak punya kekebalan
dari 'invasi' kriminalisasinya. Penelitian Irwanto Yudiarto (2011) tentang perkembangan kejahatan
global narkoba paling tidak bisa digunakan sebagai acuan. Dalam skema modus operandi dan
target mafia narkoba secara globalitas adalah menjadikan negara-negara lembek dan konsumen
yang serba toleran, terbuka, dan gampang terbuai untuk dijadikan lintasan produksi, transit, dan
pengedaran (distribusi).
Masyarakat Indonesia termasuk jenis masyarakat di antara model masyarakat di dunia yang
gampang terbuai dengan produk-produk yang menyenangkan dan memuaskan gaya hidupnya.
Narkoba merupakan jenis zat-zat yang tidak sekedar menjanjikan kesenangan yang menyesatkan,
namun juga membuai gaya hidupnya. Penggunanya merasa menjadi orang hebat, modern, tidak
gagal adaptasi dengan komunitas eksklusif, dan merasa menjadi bagian dari kelas eksklusif, jika
sudah mencoba dan jadi konsumen narkoba.
Itulah yang antara lain membuat banyak elemen berduit, khususnya generasi muda dari keluarga
mapan, menjadi kelompok sosial yang tidak mau ketinggalan menjadi konsumen narkoba. Mereka
mempunyai uang yang cukup atau bahkan lebih dari cukup untuk belanja narkoba. Mereka pun ada
di antaranya yang kemudian menggeser perannya dari sekedar pecandu menjadi distributor atau
menggandakan perannya yang tidak sebatas penikmat, tapi juga penjual bagi teman-temannya
atau komunitasnya.
Ciptakan Pasar
Ketika ada di antara generasi muda itu adalah anak pejabat atau pengusaha kenamaan, maka
harus diakui kalau jaringan narkoba telah memasuki keluarga pejabat atau telah hadir menjadi
penyakit yang potensial (lambat laun) merapuhkan dan menghancurkan keberlanjutan hidupnya.
Dalam ranah demikian, bagaimana mungkin kita tidak ikut mempraduga kalau sebenarnya jaringan
narkoba telah sukses menciptakan pasar di lingkaran keluarga pemimpin atau pejabat negeri ini?
Sebagai indikasi lainnya, belum lama ini, kita dihebohkan oleh perilaku hakim yang tertangkap
basah mengadakan pesta narkoba. Oknum hakim ini kemudian menjelaskan, bahwa banyak hakim
di Jakarta yang seperti dirinya (sebagai pengguna narkoba), meski kemudian penjelasannya diralat
sendiri.
Temuan demikian itu layak dijadikan bahan refleksi, bahwa sindikat pemasaran narkoba sudah
menyerang elemen-elemen strategis bangsa, mulai dari generasi muda, hakim, maupun pilar
strategis lainnya. Mereka jadi oknum akibat terseret dalam pusaran kekuatan mafia narkoba yang
sangat hebat dalam menjejakkan perilaku bisnisnya pada sektor apa pun dan siapa pun orangnya.
Kita diingatkan Alfredo (2012), bahwa bangsa-bangsa mana pun yang sering mengedepankan
moral dan hukum sebagai penjaga, mereka harus waspada terhadap berbagai kemungkinan
seperti yang terjadi di negara-negara di mana keberadaan mafia narkoba sangat kuat. Negara
seperti Kolombia, Meksiko, dan sejumlah negara di kawasan Amerika Latin, tergolong gagal
menjadi negara kuat karena tak sedikit aparat penegak hukumnya berada dalam pengaruh
(cengkeraman) mafioso.
Superior
Untuk mempertahankan supremasi mafioso, mereka ini menyebar uang dan narkoba kepada para
pengambil kebijakan yang bersangkut paut dengan politik penanggulangan narkoba. Jika masih
ada pejabat yang bersih atau berintegritas moral, pejabat ini 'dibersihkan'.
Superiorisme mafia narkoba tidak takut menghadapi model kekuasaan apa pun. Mereka selalu
merasa tertantang untuk mengalahkan atau menjinakkan siapa pun yang mencoba
menghalanginya. Mereka pun memberikan keuntungan istimewa dan berlipat-lipat pada pejabat
negara atau aparat penegak hukum yang mau memerankan dirinya sebagai mesin perluasan dan
penguatan pasar peredaran narkoba.
Mafioso itu selalu menginginkan supaya tidak ada pejabat negara yang teguh menjadi pelindung
dan pengaman keberlanjutan hidup rakyat. Mereka tawarkan keuntungan berlimpah dan jabatan-
jabatan strategis asalkan jalur produksi, distribusi, transit, atau aspek pendukung 'kerajaan bisnis'
narkoba diamankan atau dilindungi keberlanjutanya. Komunitas pejabat dibuatnya jadi tak teguh
pendirian (inkonsistensi) dan suka mempermainkan hukum, kebenaran, kejujuran, dan harkat
kemanusiaan.
Pejabat Lembek
Indonesia ini sudah lama dikategorikan oleh sosiolog Gunnar Myrdal sebagai negara lembek (soft
state), suatu bentuk negara yang di dalamnya lebih banyak dihuni oleh pejabat atau pemimpin
yang bermental indisipliner, suka tidak jujur, kurang memedulikan kepentingan rakyat, etos
kerjanya rendah, dan gampang menyalahgunakan jabatan.
Di masyarakat seperti disebut Myrdal itu, berbagai bentuk penyakit tidak sulit memasuki dan
menyerangnya habis-habisan. Negara tak ubahnya seperti keranjang sampah yang dimasuki
beragam model penyakit. Asalkan menguntungkan dan menyenangkan, penyakit ini disulap atau
dikemasnya menjadi 'emas' yang dimasukkan dalam rumus-rumus ambisi dan keserakahan
narkoba merupakan penyakit yang terus menerus menghabisi generasi muda, namun masih juga
diperlakukan sebagai 'emas' oleh segelintir elite strategis negeri ini.
Terbukti, mereka yang jelas-jelas jadi aktor pembunuhan anak bangsa ini, yang sedikitnya 15 ribu
orang meninggal dunia akibat narkoba, masih juga mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan
hidup. Ini jelas sangat tidak adil atas apa yang diperbuatnya dibandingkan dengan sanksi hukuman
yang diterimanya.
Hukuman mati saja sebenarnya belum cukup adil untuk para pembantai ini, maka menjadi tidak
manusiawi dan memartabatkan bangsa ini jika mereka masih pendapatkan pengampunan. Apalagi,
dengan alasan yang masih sumir.***