KAMPUNG AMBON

13
Sekitar 150 Petugas Polres Metro Jakarta Barat melakukan penggerebekan di kawasan Kampung Ambon, Cengkareng, Jakarta, Senin (30/4). Dalam operasi tersebut petugas berhasil mengamankan sejumlah barang bukti berupa senjata tajam, senjata api, alat penghisap sabu, minuman keras, ganja dan dua orang tersangka. Tempo/Tony Hartawan SENIN, 07 MEI 2012 | 05:18 WIB Kampung Ambon, Surga Narkoba bagi Artis & Pejabat ENIN, 07 MEI 2012 | 05:41 WIB TEMPO.CO , Jakarta - Kampung Ambon di Cengkareng, Jakarta Barat, merupakan surga bagi pemburu narkoba. Apa pun tersedia di sana, 24 jam: sabu, ekstasi, dan putaw. Banyak artis, pejabat maupun aparat yang kerap datang ke kampung itu. Pasar narkoba itu ada di Kompleks Permata, Kelurahan Kedaung Kaliangke, Cengkareng, Jakarta Barat. Pasar ini muncul akhir 1990-an. Dulu hanya ganja dijual, tapi sejak 2002 jenis yang dijajakan kian beragam. "Mau cari inex sampai putaw juga ada," kata Toto, bekas pengguna narkoba yang sering berkunjung ke Kampung Ambon. Warga Jati Asih, Bekasi, ini nyaman memakai narkoba di dalam Kampung Ambon karena aman dari razia polisi. Saban kali ada penggerebekan, penjual langsung memberi tahu para pasien agar kabur. "Makanya artis dan pejabat juga sering ke sini," kata Toto. Selebritas memang kerap singgah di kompleks ini, begitu kata

description

j

Transcript of KAMPUNG AMBON

Page 1: KAMPUNG AMBON

Sekitar 150 Petugas Polres Metro Jakarta Barat melakukan penggerebekan di kawasan Kampung Ambon, Cengkareng, Jakarta, Senin (30/4). Dalam operasi tersebut petugas berhasil mengamankan sejumlah barang bukti berupa senjata tajam, senjata api, alat penghisap sabu, minuman keras, ganja dan dua orang tersangka. Tempo/Tony Hartawan

SENIN, 07 MEI 2012 | 05:18 WIB

Kampung Ambon, Surga Narkoba bagi Artis & Pejabat ENIN, 07 MEI 2012 | 05:41 WIBTEMPO.CO, Jakarta- Kampung Ambon di Cengkareng, Jakarta Barat, merupakan surga bagi pemburu narkoba. Apa pun tersedia di sana, 24 jam: sabu, ekstasi, dan putaw. Banyak artis, pejabat maupun aparat yang kerap datang ke kampung itu. Pasar narkoba itu ada di Kompleks Permata, Kelurahan Kedaung Kaliangke, Cengkareng, Jakarta Barat. 

Pasar ini muncul akhir 1990-an. Dulu hanya ganja dijual, tapi sejak 2002 jenis yang dijajakan kian beragam. "Mau cari inex sampai putaw juga ada," kata Toto, bekas pengguna narkoba yang sering berkunjung ke Kampung Ambon. Warga Jati Asih, Bekasi, ini nyaman memakai narkoba di dalam Kampung Ambon karena aman dari razia polisi. Saban kali ada penggerebekan, penjual langsung memberi tahu para pasien agar kabur. "Makanya artis dan pejabat juga sering ke sini," kata Toto.

Selebritas memang kerap singgah di kompleks ini, begitu kata seorang warga Permata. Ia menyebutkan beberapa nama. Salah satunya pelawak yang tiap malam muncul di televisi. Biasanya para artis datang sambil menutupi sebagian kepala dengan tudung jaket atau topi. "Kami sudah biasa lihat artis di sini, enggak kaget."

Ketua RT 05 Sandy Pasaneasaia membenarkan pengguna narkoba di wilayahnya berasal dari berbagai kalangan. Pengusaha, mahasiswa, artis, tentara, juga pejabat. Suatu kali, Sandy bercerita, warga memukuli pasien yang naik ke atap rumah Sandy karena dianggap maling. Setelah diperiksa, rupanya si "maling" adalah anggota Tentara Nasional Indonesia. "Sepertinya dia parno (paranoid). Dia ketakutan berlebihan akibat narkoba," katanya.

Page 2: KAMPUNG AMBON

Kampung Ambon layaknya grosir bagi pedagang narkoba. Bandar-bandar dari berbagai wilayah Jakarta membeli sabu di sini karena kualitasnya dikenal bagus. Takarannya pas karena ditimbang dengan neraca digital. Harganya pun relatif lebih murah. Contohnya, harga setengah gram sabu di Kampung Ambon Rp 700 ribu. "Di tempat lain bisa lebih mahal Rp 50-100 ribu," kata seorang bekas bandar yang dulu biasa memasok narkoba di berbagai kampus di Jakarta.

PRAMONO | MUSTAFA SILALAHI 

Tangan Godfather Narkoba di Kampung AmbonBesar Kecil Normal

TEMPO.CO, Jakarta- Kampung Ambon di Cengkareng, Jakarta Barat, menjadi

surga bagi pemburu narkoba. Apa pun tersedia di sana, 24 jam: sabu, ekstasi, dan

putaw. Silih berganti digerebek, bisnis narkoba tetap semarak. Negara seperti tak

berdaya di sana. 

Laporan Tempo edisi 7 Mei berjudul "Cerita dari Kampung Narkoba"

mengungkapkan Kampung Ambon telah menjadi pasar narkoba sejak 1990-an.  Dulu

hanya ganja dijual, tapi sejak 2002 jenis yang dijajakan kian beragam. "Mau cari inex

sampai putaw juga ada," kata Toto, bekas pengguna narkoba yang sering

berkunjung ke Kampung Ambon. Warga Jati Asih, Bekasi, ini nyaman memakai

narkoba di dalam Kampung Ambon karena aman dari razia polisi. Saban kali ada

penggerebekan, penjual langsung memberi tahu para pasien agar kabur. 

"Makanya artis dan pejabat juga sering ke sini," kata Toto.  Ia menyebutkan

beberapa nama. Salah satunya pelawak yang tiap malam muncul di televisi. 

Meskipun berulang kali digerebek polisi, perdagangan narkoba di kampungnya Irene

Sophie Tupessy--wanita yang dijuluki Kill Bill karena memimpin penyerangan di

Rumah Sakit Pusat TNI Angkatan Darat  Gatot Subroto--itu tetap marak. Polisi

berharap kasus Irene bisa menjadi pintu masuk pemberantasan narkoba di sana.

Ketua RT 05 di Kampung Ambon, Sandy Pasaneasia, menyebut operasi itu hanya

"penggerebekan ecek-ecek". Lapak yang digerebek berkategori kelas teri, bukan

milik bandar besar. Di Kampung Ambon ada 30-an lapak narkoba. Menurut Sandy,

keuntungan bersih satu lapak kecil narkoba bisa mencapai Rp 30 juta per hari.

Lapak-lapak itu berada di dalam rumah yang tersebar di RT 01 hingga 07 di

Perumahan Permata, yang hampir semuanya dihuni warga Ambon. "Seperti biasa,

pasti polisi juga yang membocorkan operasi itu," kata Sandy kepada Tempo.

Page 3: KAMPUNG AMBON

Direktur Penindakan dan Pengejaran Badan Narkotika Nasional Benny Mamoto tak

menampik tudingan itu. Menurut Benny, pihaknya dan polisi tahu memang ada

aparat yang terlibat bisnis narkoba di sana. Di belakang aparat nakal itu, ujarnya,

ada tangan-tangan yang tak terlihat. "Bukan hanya pemakai, aparat turut membantu

peredaran narkoba itu," kata Benny.

Menurut Romylus Tamtelahitu, yang pernah meneliti kampung ini, yang paling

berjasa membangun kekompakan warga Kampung Ambon dalam menjalankan

bisnis narkoba adalah Michael Glenn Manuputty, 40 tahun. 

Sistem yang dibangun Michael sangat mengakar karena melibatkan banyak orang.

Menurut sumber Tempo, orang sekelas John Kei bahkan mental saat mencoba-coba

masuk lingkaran Kampung Ambon. "Bung Michael itu godfather di Kampung Ambon,"

kata Romylus.

Michael tersandung. Polisi menangkapnya pada pertengahan Juli 2009 di Pondok

Aren, Tangerang Selatan. Ia dihukum penjara seumur hidup. Setelah Michael

dipenjara, menurut sumber Tempo, takhta godfather beralih ke Irene  dan kakaknya

Edward Hunok Tupessy atau Edo sebagai godmother. 

Irene menolak tudingan itu. Suami Irene, Heriyanto, juga membantah. "Apa iya

seorang bandar bisa menunggak SPP anaknya sampai dua bulan? Kalau dulu, kami

memang punya lapak," katanya. (Baca: laporan utama Tempo: Jangan Ganggu

Saya)

ENIN, 07 MEI 2012 | 05:04 WIB

Gaji Juru Timbang Narkoba Kampung Ambon Rp 30 Juta  Besar Kecil Normal

TEMPO.CO, Jakarta- Kampung Ambon, di Cengkareng, Jakarta Barat, bukan cuma

surga buat para pecandu narkoba. Kampung ini juga makmur berkat narkoba. Satu

lapak kecil penjual narkoba, menurut penuturan seorang warga, bisa menangguk

omzet Rp 100 juta per hari. Jika pasien berlimpah, keuntungan berlipat, dan

keuntungan bersih bisa sampai Rp 30 juta per hari.

Laba jumbo memungkinkan pemilik lapak menggaji besar para pekerjanya. Sumber

Tempo di Kampung Ambon bercerita, tukang bersih lapak yang juga mencuci bong-

Page 4: KAMPUNG AMBON

alat pengisap sabu-mendapat Rp 200 ribu sehari. Juru parkir mendapat upah sama,

belum termasuk ongkos parkir pasien Rp 5.000. Bisa lebih dari 30 kendaraan

mereka jaga tiap hari. 

Juru timbang adalah profesi penting di sini. Orang yang bertugas menakar dan

mengemas narkoba ini bisa berpenghasilan hingga Rp 30 juta sebulan.

Geliat narkoba juga membuka celah bisnis lain. John Robert Sopa Paliama alias

Oncu, 39 tahun, membuka jasa pegadaian. Para junkie yang kehabisan uang bisa

menggadaikan barang mereka di lapak milik Oncu. Harga gadai jam tangan Rp 300

ribu. Telepon seluler model terbaru dihargai Rp 1 juta. 

Tak jarang pasien yang hilang akal rela menggadaikan kendaraan dengan harga

murah. Berikut Surat Tanda Nomor Kendaraan, sepeda motor digadaikan Rp 1 juta

dan mobil Rp 5,5 juta. Pinjaman gadai berbunga tiap hari. "Kebanyakan barang yang

digadaikan enggak ditebus. Beta jual ke orang lain."

Ada juga yang menikmati kue bisnis narkoba dengan menyewakan rumahnya

sebagai lapak. Ongkos sewanya Rp 4 juta per bulan, di luar biaya listrik dan air. Dan,

ini yang sedap, pemilik lapak harus menyetor Rp 100 ribu tiap hari kepada pemilik

rumah. 

Di Kampung Ambon, rezeki narkoba mengalir ke segala arah. Bocah-bocah dengan

santai meminta duit jajan kepada penjaga lapak. Permintaan ini tak pernah ditolak.

"Istilahnya, mereka bagi-bagi berkat kepada warga lain," kata Sandy.

Page 5: KAMPUNG AMBON

Berbagai barang bukti yang disita Polres Metro Jakarta Barat usai melakukan penggerebekan di kawasan Kampung Ambon, Cengkareng, Jakarta, Senin (30/4). Dalam operasi tersebut petugas berhasil mengamankan sejumlah barang bukti berupa senjata tajam, senjata api, alat penghisap sabu, minuman keras, ganja dan dua orang tersangka. Tempo/Tony Hartawan

SENIN, 07 MEI 2012 | 05:31 WIB

Kampung Ambon 'Tiarap' Setelah Penggerebekan  Besar Kecil Normal

TEMPO.CO, Jakarta- Setelah Kepolisian Resor Jakarta Barat menggerebek

Kampung Ambon pekan lalu , nama masyhur kompleks seluas satu hektare di

kawasan Cengkareng, Jakarta, ini. Kampung Ambon pun tiarap. Deretan "rumah

cinta"--julukan lapak atau rumah tempat transaksi narkoba-tutup sementara.

Kompleks Permata, Kampung Ambon, bagai mati suri. Rabu pekan lalu, belum pukul

10 malam, tak satu pun warga di luar rumah. Tak ada dentaman house music, menu

keseharian permukiman ini. Tak ada kepastian kapan lapak-lapak beromzet total

miliaran rupiah per hari ini berdenyut kembali. 

"Sudah dua-tiga hari sepi. Ini bisa sampai seminggu, bisa sebulan," kata lelaki yang

ditemui Tempo di perempatan Kampung Ambon. "Kalau Bos mau, bisa saya cariin,

tapi barang mesti dibawa keluar," katanya. 

Malam itu untuk kesekian kalinya Tempo menjelajahi zona merah perdagangan

narkoba di Jakarta ini. Beberapa malam sebelum penggerebekan, suasana jauh

berbeda. Pasien-sebutan bagi pembeli dan pengguna narkoba-datang hilir-mudik.

Penjaja narkoba, lelaki dan perempuan berusia 20-60 tahun, menunggu di depan

lapak. Deretan mobil dan sepeda motor memenuhi halaman. 

Secara fisik, penampilan lapak tidak mencolok, sama seperti rumah biasa. Bedanya,

rumah cinta selalu ramai dikerubuti pedagang, pasien, dan para makelar. Tak sedikit

pasien yang masuk lapak sore dan baru keluar esok pagi. Peralatan nyabu dan

nyuntik lengkap tersedia di dalam lapak, komplet dengan sofa nyaman, lampu

remang-remang, dan musik yang superlantang. 

Di antara rumah-rumah cinta itu, sebuah gedung dua lantai tampil seperti makhluk

asing. Lampu terang menyinari papan namanya: Pos Terpadu Badan Narkotika

Nasional. Gedung itu terasa tak berguna memerangi narkoba di Kampung Ambon.

PRAMONO | MUSTAFA SILALAHI 

Page 6: KAMPUNG AMBON

Berbagai barang bukti yang disita Polres Metro Jakarta Barat usai melakukan penggerebekan di kawasan Kampung Ambon, Cengkareng, Jakarta, Senin (30/4). Dalam operasi tersebut petugas berhasil mengamankan sejumlah barang bukti berupa senjata tajam, senjata api, alat penghisap sabu, minuman keras, ganja dan dua orang tersangka. Tempo/Tony Hartawan

Gaji Juru Timbang Narkoba Kampung Ambon Rp 30 Juta  Besar Kecil Normal

TEMPO.CO, Jakarta- Kampung Ambon, di Cengkareng, Jakarta Barat, bukan cuma

surga buat para pecandu narkoba. Kampung ini juga makmur berkat narkoba. Satu

lapak kecil penjual narkoba, menurut penuturan seorang warga, bisa menangguk

omzet Rp 100 juta per hari. Jika pasien berlimpah, keuntungan berlipat, dan

keuntungan bersih bisa sampai Rp 30 juta per hari.

Laba jumbo memungkinkan pemilik lapak menggaji besar para pekerjanya. Sumber

Tempo di Kampung Ambon bercerita, tukang bersih lapak yang juga mencuci bong-

alat pengisap sabu-mendapat Rp 200 ribu sehari. Juru parkir mendapat upah sama,

belum termasuk ongkos parkir pasien Rp 5.000. Bisa lebih dari 30 kendaraan

mereka jaga tiap hari. 

Juru timbang adalah profesi penting di sini. Orang yang bertugas menakar dan

mengemas narkoba ini bisa berpenghasilan hingga Rp 30 juta sebulan.

Geliat narkoba juga membuka celah bisnis lain. John Robert Sopa Paliama alias

Oncu, 39 tahun, membuka jasa pegadaian. Para junkie yang kehabisan uang bisa

menggadaikan barang mereka di lapak milik Oncu. Harga gadai jam tangan Rp 300

ribu. Telepon seluler model terbaru dihargai Rp 1 juta. 

Page 7: KAMPUNG AMBON

Tak jarang pasien yang hilang akal rela menggadaikan kendaraan dengan harga

murah. Berikut Surat Tanda Nomor Kendaraan, sepeda motor digadaikan Rp 1 juta

dan mobil Rp 5,5 juta. Pinjaman gadai berbunga tiap hari. "Kebanyakan barang yang

digadaikan enggak ditebus. Beta jual ke orang lain."

Ada juga yang menikmati kue bisnis narkoba dengan menyewakan rumahnya

sebagai lapak. Ongkos sewanya Rp 4 juta per bulan, di luar biaya listrik dan air. Dan,

ini yang sedap, pemilik lapak harus menyetor Rp 100 ribu tiap hari kepada pemilik

rumah. 

Di Kampung Ambon, rezeki narkoba mengalir ke segala arah. Bocah-bocah dengan

santai meminta duit jajan kepada penjaga lapak. Permintaan ini tak pernah ditolak.

"Istilahnya, mereka bagi-bagi berkat kepada warga lain," kata Sandy. 

ABTU, 05 MEI 2012 | 03:52 WIB

Sindikat Narkoba Lintas Provinsi DibongkarBesar Kecil Normal

TEMPO.CO , Semarang: Kepolisian Daerah Jawa Tengah membongkar jaringan

peredaran sabu-sabu yang beroperasi di lintas provinsi. Pengungkapan bermula dari

penangkapan Kepolisian Resor Wonosobo yang membekuk dua bersaudara dari

jaringan pengedar obat terlarang itu. 

Kepala Bidang Humas Polda Jawa Tengah Komisaris Besar Djihartono menyatakan

tersangka yang ditangkap adalah Dedy Afandi dan Abdul Sudrajat dari Klaten. 

Dari tangan tersangka, polisi menyita barang bukti sabu-sabu seberat 162 gram yang

diperkirakan senilai Rp 245 juta. "Selain itu, juga diamankan lima unit telepon seluler,

timbangan elektrik, alat hisap sabu, dan sebuah jaket kulit serta helm yang

digunakan tersangka untuk menyimpan sabu," kata Djihartono, Jumat, 4 Mei 2012.

Djihartono mengungkapkan dua tersangka itu ditangkap di SPBU Jonggrangan

Klaten pada Kamis, 3 Mei 2012. Penangkapan kedua pelaku merupakan hasil

pengembangan dari penangkapan seorang pengedar sabu bernama Andika oleh

jajaran Polres Wonosobo. 

Para tersangka diketahui memiliki jaringan transaksi sabu-sabu dengan seorang

Page 8: KAMPUNG AMBON

bandar sabu-sabu di Bandung, Jawa Barat. "Mereka mengirim pesanan sabu-sabu

melalui kereta api," katanya.

Abdul Sudrajat mengaku sudah mengedarkan sabu-sabu selama satu tahun. Ia

mendapatkan keuntungan Rp 20 ribu per gramnya. Tersangka akan dijerat dengan

Pasal 112 dan Pasal 114 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun penjara.

AMIS, 03 MEI 2012 | 16:31 WIB

Eks Wakil Direktur Narkoba Minta Atasan Jadi Saksi  Besar Kecil Normal

TEMPO.CO, Medan - Kuasa hukum bekas Wakil Direktur Narkoba Polda Sumatera

Utara, Ajun Komisaris Besar Apriyanto Basuki Rahmat, 43 tahun, meminta jaksa

menghadirkan atasan kliennya, Direktur Nakorba Komisaris Besar Andjar Dewanto,

dalam persidangan.

“Karena Kombes Andjar mengetahui proses penangkapan klien saya. Kami berharap

sidang ini bisa menghadirkan Kombes Andjar Dewanto untuk mengungkap bukti

kebenaran materiil,” kata kuasa hukum Apriyanto, Marudut Simajuntak, di

Pengadilan Negeri Medan, Kamis, 3 Mei 2012.

Hari ini Apriyanto kembali menjalani sidang dalam kasus kepemilikan pil sejenis

psikotropika, happy five. Sidang digelar untuk mendengarkan keterangan para saksi,

yakni Wina Harahap, rekan wanita Apriyanto, dan dua polisi anggota Kepolisian

Daerah Sumatera Utara. Protes atas saksi yang ada, Marudut mendesak jaksa untuk

menghadirkan Direktur Narkoba. 

Sebelum sidang dimulai, Marudut mengatakan kepada Tempo terdapat banyak

keganjilan dalam perkara yang menjerat kliennya. Keganjilan itu, di antaranya,

Apriyanto ditangkap bukan di lokasi hiburan malam Paramount, melainkan dijemput

dari rumahnya di Perumahan Citra Wisata Johor dan polisi tidak menemukan

pil happy five di rumah itu.

“Dalam berita acara pemeriksaan Apriyanto dituduh memesan pil happy five di lokasi

hiburan malam itu,” kata Marudut. 

Namun, jaksa G Sinuhaji pada sidang sebelumnya menyebutkan pada Sabtu, 11

Page 9: KAMPUNG AMBON

Februari 2012 sekitar pukul 23. 00 WIB, terdakwa Apriyanto memesan 30 butir

pil happy five kepada Jhonson Jingga, manajer Paramount (tersangka dalam sidang

terpisah) di klub malam Paramount, Jalan Merak Jingga, Medan. Kemudian Jhonson

mencari obat yang dipesan itu kepada Bram (belum tertangkap) untuk diberikan

kepada terdakwa Aprianto.

Setelah pil itu diperoleh, Jhonson menyuruh Ade Hendrawan (pramusaji Paramount)

menyerahkan pil jenis psikotropika itu kepada Apriyanto yang saat itu bersama dua

teman wanitanya, yakni Sri Agustina dan Wina Harahap, di dalam sebuah kamar di

klub malam Paramount.

Namun, melalui kuasa hukumnya, Apriyanto membantah. “Klien saya berangkat dari

rumah sekitar pukul 21.00 WIB pada Sabtu, 11 Februari 2012 ke klub malam

Paramount dan sampai di rumah sekitar pukul 00.00 WIB. Saat Paramount

digerebek polisi, Apriyanto sudah berada di rumah," kata Marudut.

Pada sidang kedua hari ini, Apriyanto yang ditemani istri dan kerabatnya terlihat

santai. Menggunakan batik berwarna putih dipadu hitam, perwira yang kerap

menggelar operasi pemberantasan narkotik bersama Badan Narkotika Nasional itu

terlihat segar. Apriyanto dijerat dengan Pasal 60 (3) juncto 71 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Apriyanto selama ini dikenal sebagai perwira yang rajin dalam pemberantasan

narkoba. Bersama Brigadir Jenderal Benny Mamoto, Direktur Penindakan dan

Pengejaran BNN, Apriyanto pernah menemukan 7 hektare ladang ganja di tujuh

lokasi di lereng Gunung Tor Sihite, Huta Tua, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera

Utara, akhir 2011

Kuasa Mafia NarkobaSaturday, 02 February 2013 01:25 Hits: 10

Kecurigaan sudah masuknya peredaran narkoba ke berbagai elemen strategis

bangsa bukanlah tanpa alasan. Jaringan ini termasuk salah satu jaringan kejahatan yang rapi dan

berani memasuki relung-relung kehidupan bangsa secara multi strata. Siapa saja elemen bangsa,

ditempatkan sebagai bagian dari objek yang ditargetkan bisa disentuh atau tidak punya kekebalan

dari 'invasi' kriminalisasinya. Penelitian Irwanto Yudiarto (2011) tentang perkembangan kejahatan

global narkoba paling tidak bisa digunakan sebagai acuan. Dalam skema modus operandi dan

target mafia narkoba secara globalitas adalah menjadikan negara-negara lembek dan konsumen

Page 10: KAMPUNG AMBON

yang serba toleran, terbuka, dan gampang terbuai untuk dijadikan lintasan produksi, transit, dan

pengedaran (distribusi).

Masyarakat Indonesia termasuk jenis masyarakat di antara model masyarakat di dunia yang

gampang terbuai dengan produk-produk yang menyenangkan dan memuaskan gaya hidupnya.

Narkoba merupakan jenis zat-zat yang tidak sekedar menjanjikan kesenangan yang menyesatkan,

namun juga membuai gaya hidupnya. Penggunanya merasa menjadi orang hebat, modern, tidak

gagal adaptasi dengan komunitas eksklusif, dan merasa menjadi bagian dari kelas eksklusif, jika

sudah mencoba dan jadi konsumen narkoba.

Itulah yang antara lain membuat banyak elemen berduit, khususnya generasi muda dari keluarga

mapan, menjadi kelompok sosial yang tidak mau ketinggalan menjadi konsumen narkoba. Mereka

mempunyai uang yang cukup atau bahkan lebih dari cukup untuk belanja narkoba. Mereka pun ada

di antaranya yang kemudian menggeser perannya dari sekedar pecandu menjadi distributor atau

menggandakan perannya yang tidak sebatas penikmat, tapi juga penjual bagi teman-temannya

atau komunitasnya.

Ciptakan Pasar

Ketika ada di antara generasi muda itu adalah anak pejabat atau pengusaha kenamaan, maka

harus diakui kalau jaringan narkoba telah memasuki keluarga pejabat atau telah hadir menjadi

penyakit yang potensial (lambat laun) merapuhkan dan menghancurkan keberlanjutan hidupnya.

Dalam ranah demikian, bagaimana mungkin kita tidak ikut mempraduga kalau sebenarnya jaringan

narkoba telah sukses menciptakan pasar di lingkaran keluarga pemimpin atau pejabat negeri ini?

Sebagai indikasi lainnya, belum lama ini, kita dihebohkan oleh perilaku hakim yang tertangkap

basah mengadakan pesta narkoba. Oknum hakim ini kemudian menjelaskan, bahwa banyak hakim

di Jakarta yang seperti dirinya (sebagai pengguna narkoba), meski kemudian penjelasannya diralat

sendiri. 

Temuan demikian itu layak dijadikan bahan refleksi, bahwa sindikat pemasaran narkoba sudah

menyerang elemen-elemen strategis bangsa, mulai dari generasi muda, hakim, maupun pilar

strategis lainnya. Mereka jadi oknum akibat terseret dalam pusaran kekuatan mafia narkoba yang

sangat hebat dalam menjejakkan perilaku bisnisnya pada sektor apa pun dan siapa pun orangnya. 

Kita diingatkan Alfredo (2012), bahwa bangsa-bangsa mana pun yang sering mengedepankan

moral dan hukum sebagai penjaga, mereka harus waspada terhadap berbagai kemungkinan

seperti yang terjadi di negara-negara di mana keberadaan mafia narkoba sangat kuat. Negara

seperti Kolombia, Meksiko, dan sejumlah negara di kawasan Amerika Latin, tergolong gagal

menjadi negara kuat karena tak sedikit aparat penegak hukumnya berada dalam pengaruh

(cengkeraman) mafioso. 

Superior

Untuk mempertahankan supremasi mafioso, mereka ini menyebar uang dan narkoba kepada para

pengambil kebijakan yang bersangkut paut dengan politik penanggulangan narkoba. Jika masih

ada pejabat yang bersih atau berintegritas moral, pejabat ini 'dibersihkan'. 

Superiorisme mafia narkoba tidak takut menghadapi model kekuasaan apa pun. Mereka selalu

merasa tertantang untuk mengalahkan atau menjinakkan siapa pun yang mencoba

menghalanginya. Mereka pun memberikan keuntungan istimewa dan berlipat-lipat pada pejabat

negara atau aparat penegak hukum yang mau memerankan dirinya sebagai mesin perluasan dan

penguatan pasar peredaran narkoba. 

Mafioso itu selalu menginginkan supaya tidak ada pejabat negara yang teguh menjadi pelindung

dan pengaman keberlanjutan hidup rakyat. Mereka tawarkan keuntungan berlimpah dan jabatan-

jabatan strategis asalkan jalur produksi, distribusi, transit, atau aspek pendukung 'kerajaan bisnis'

narkoba diamankan atau dilindungi keberlanjutanya. Komunitas pejabat dibuatnya jadi tak teguh

Page 11: KAMPUNG AMBON

pendirian (inkonsistensi) dan suka mempermainkan hukum, kebenaran, kejujuran, dan harkat

kemanusiaan. 

Pejabat Lembek

Indonesia ini sudah lama dikategorikan oleh sosiolog Gunnar Myrdal sebagai negara lembek (soft

state), suatu bentuk negara yang di dalamnya lebih banyak dihuni oleh pejabat atau pemimpin

yang bermental indisipliner, suka tidak jujur, kurang memedulikan kepentingan rakyat, etos

kerjanya rendah, dan gampang menyalahgunakan jabatan. 

Di masyarakat seperti disebut Myrdal itu, berbagai bentuk penyakit tidak sulit memasuki dan

menyerangnya habis-habisan. Negara tak ubahnya seperti keranjang sampah yang dimasuki

beragam model penyakit. Asalkan menguntungkan dan menyenangkan, penyakit ini disulap atau

dikemasnya menjadi 'emas' yang dimasukkan dalam rumus-rumus ambisi dan keserakahan

narkoba merupakan penyakit yang terus menerus menghabisi generasi muda, namun masih juga

diperlakukan sebagai 'emas' oleh segelintir elite strategis negeri ini.

Terbukti, mereka yang jelas-jelas jadi aktor pembunuhan anak bangsa ini, yang sedikitnya 15 ribu

orang meninggal dunia akibat narkoba, masih juga mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan

hidup. Ini jelas sangat tidak adil atas apa yang diperbuatnya dibandingkan dengan sanksi hukuman

yang diterimanya. 

Hukuman mati saja sebenarnya belum cukup adil untuk para pembantai ini, maka menjadi tidak

manusiawi dan memartabatkan bangsa ini jika mereka masih pendapatkan pengampunan. Apalagi,

dengan alasan yang masih sumir.***