Kamal fuadi fitk

254
ANALISIS KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI PROVINSI DKI JAKARTA Oleh: Kamal Fuadi 105018200722 PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2011M/1432H

Transcript of Kamal fuadi fitk

Page 1: Kamal fuadi fitk

ANALISIS KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

DI PROVINSI DKI JAKARTA

Oleh:

Kamal Fuadi

105018200722

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN

JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011M/1432H

Page 2: Kamal fuadi fitk

ANALISIS KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

DI PROVINSI DKI JAKARTA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan

Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:

Kamal Fuadi

105018200722

Di bawah Bimbingan

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN

JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011M/1432H

Page 3: Kamal fuadi fitk

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

di Provinsi DKI Jakarta” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

(FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan

lulus dalam Ujian Munaqasyah pada hari Jum’at, 11 Maret 2011 di hadapan dewan

penguji. Karena itu penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada

Jurusan Kependidikan Islam Program Studi Manajemen Pendidikan.

Jakarta, 11 Maret 2011

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan KI)

Tanggal dan Tanda Tangan

Drs. Rusydy Zakaria, M.Ed., M.Phil.

NIP. 19560530 198503 1 002

(………..……..) (……..…..……)

Ketua Program Studi Manajemen Pendidikan

Drs. H. Mu’arif SAM, M.Pd

NIP. 19650717 199403 1 003

(………..……..) (………..……..)

Penguji I

Prof. Dr. H. Armai Arief, MA

NIP. 19560119 198603 1 003

(………..……..) (………..……..)

Penguji II

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA

NIP. 19540802 198503 1 002

(………..……..) (………..……..)

Mengetahui

Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Page 4: Kamal fuadi fitk

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Kamal Fuadi

Tempat dan Tanggal Lahir : Tegal, 20 Maret 1986

NIM : 105018200722

Jurusan : Kependidikan Islam-Manajemen Pendidikan

Judul Skripsi : Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan

Inklusif di Provinsi DKI Jakarta

Pembimbing : Prof. Dr. Dede Rosyada, MA

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi saya ini merupakan karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, 25 Februari 2011

Penulis

Kamal Fuadi

Page 5: Kamal fuadi fitk

ABSTRAKSI

Kamal Fuadi, 105018200722, Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan

Inklusif di Provinsi DKI Jakarta

Pemerintah Indonesia memiliki komitmen untuk menyelenggarakan pendidikan

demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak

asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa yang

diwujudkan dengan menyelenggarakan pendidikan inklusif. Provinsi DKI Jakarta

merupakan satu-satunya daerah yang mengeluarkan kebijakan khusus penyelenggaraan

pendidikan inklusif yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007

Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif.

Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif masih menyisakan berbagai

permasalahan seperti belum adanya pemahaman mengenai kebijakan penyelenggaraan

pendidikan inklusif, belum tertampungnya anak-anak yang teridentifikasi berkebutuhan

khusus dalam sekolah-sekolah inklusif dan belum tersedianya sumber daya pendidik

sekolah inklusif yang memadai. Maka dari itu, penulis mengangkat permasalahan

tersebut dalam skripsi yang berjudul Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan

Inklusif di Provinsi DKI Jakarta.

Penelitian yang menggunakan metode kualitatif deskriptif ini berusaha untuk

mendeskripsikan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif dan implementasi

kebijakan tersebut di Provinsi DKI Jakarta. Peneliti melakukan wawancara dengan

Kepala Bidang TK, SD, PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Koordinator

Program Opportunity for Vulnerable Children (OVC) Hellen Keller International (HKI),

dan Guru Program Pendidikan Inklusif di SMP Negeri 223 Pasar Rebo Jakarta Timur

dan SMA Negeri 66 Cilandak Jakarta Selatan.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa, pertama, pendidikan inklusif yang

diselenggarakan di Provinsi DKI Jakarta cenderung untuk mendeskripsikan penyatuan

anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah.

Walaupun peserta didik dengan kecerdasan dan/atau bakat istimewa juga dimasukkan

dalam salah satu peserta didik pendidikan inklusif, keberadaan mereka tidak banyak

menjadi isu dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Kedua, penyelenggaraan

pendidikan inklusif tidak menggunakan model sebagaimana terdapat dalam literatur dan

ketentuan umum pendidikan inklusif. Model hanya merupakan bagian dari strategi yang

perlu diketahui dan dilaksanakan guru. Ketiga, belum semua kategori anak

berkebutuhan khusus diterima menjadi peserta didik program pendidikan inklusif. Hal

tersebut berkaitan dengan belum terpenuhinya sumber daya sekolah yang memadai.

Keempat, penunjukkan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Provinsi

DKI Jakarta melebihi ketentuan yang ditetapkan pemerintah pusat. Kelima, Pemerintah

Provinsi DKI selalu bekerja sama dengan pihak sekolah dengan memberikan pelatihan

bagi guru-guru inklusi, bantuan finansial, bantuan sarana dan prasarana, dan beasiswa

bagi sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.

Kata Kunci: Kebijakan, Pendidikan Inklusif

Page 6: Kamal fuadi fitk

i

Kata Pengantar

Bismillaahirrahmaanirraahiim

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang tak pernah berhenti

melimpahkan rahmat dan ridla-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat penulis

selesaikan. Shalawat teriring salam penulis curahkan kepada Nabi Muhammad SAW,

keluarga, sahabat, tabi’in, dan para pengikut beliau yang setia menjalankan ajaran-

ajarannya hingga akhir zaman.

Penulisan skripsi ini bukan sekadar pemenuhan kewajiban tugas akhir yang harus

penulis tunaikan sebagai mahasiswa untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan

(S.Pd) pada Program Studi Manajemen Pendidikan Jurusan Kependidikan Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun lebih

jauh penulisan skripsi ini merupakan pembuktian penulis sebagai mahasiswa untuk

menulis sebuah karya tulis di akhir masa kuliah.

Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis sampaikan rasa terima kasih kepada

semua pihak yang telah berperan kepada penulis baik semasa penulis berkuliah

maupun semasa penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dengan segala

kerendahan dan ketulusan hati, penulis menghaturkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dosen Pembimbing Skripsi

yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukan beliau untuk memberikan

arahan selama penulis menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi

2. Bapak Rusydi Zakaria, M.Ed., M.Phil., Ketua Jurusan Kependidikan Islam,

Bapak Drs. Mu’arif SAM, M.Pd, Ketua Program Studi Manajemen

Pendidikan, dan Ibu Iffah Zahriyani, S.Pd, Staf Jurusan KI-MP yang telah

memberikan layanan akademik dan menjadi teman diskusi selama penulis

menempuh perkuliahan

Page 7: Kamal fuadi fitk

ii

3. Bapak Drs. Syauki, M.Pd, Dosen Penasehat Akademik yang selalu

memberikan saran dalam menjalani perkuliahan

4. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Jurusan Kependidikan Islam Program

Studi Manajemen Pendidikan yang telah mendidik dan membimbing penulis

dengan ketulusan, profesionalisme, dan dedikasi yang tinggi

5. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

6. Bapak Dr. Taufik Yudi Mulyanto, M.Pd, Kepala Dinas Pendidikan dan Ibu

Drs. Septi Novida, M.Pd, Kepala Bidang TK/SD/PLB Dinas Pendidikan

Provinsi DKI Jakarta beserta staf dan jajarannya yang telah memfasilitasi

penulis untuk mengadakan penelitian di lingkungan Dinas Pendidikan

Provinsi DKI Jakarta

7. Bapak Drs. Sugiyono, M.Pd, M.Si, Kepala Sekolah SMA Negeri 66 Jakarta

dan Bapak Dr. H.A. Otjin Kusnadie, M.Pd, Kepala Sekolah SMP Negeri 223

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengadakan

penelitian dan wawancara

8. Ibu Fitri selaku Koordinator Program Opportunity for Vulnerable Children

(OVC) Hellen Keller International (HKI) yang telah meluangkan waktu beliau

untuk penulis

9. Bapak Drs. Moh. Djazeri (alm) dan Ibu Dra. Umi Azizah, orangtua penulis

yang selalu mendidik, membimbing, memberikan nasehat dan dukungan, serta

doa dimanapun penulis berada

10. Fikri Ali, SE, Muthmainnah (feat. Muhammad Nidzam Ardiyan) dan Rofik

Habibi, kakak-kakak penulis yang tidak pernah lelah memotivasi. Muhammad

Auva Ahdi, Charis Luthfi, dan Shovia Afida, adik-adik penulis yang selalu

menjadi penyemangat. Kalian yang terbaik yang penulis miliki

11. Bapak Prof. Dr. Ali Mustafa Ya’qub, MA, Khadim Ma’had ‘Aly DARUS

SUNNAH, guru dan orang tua penulis, yang telah mengenalkan lebih jauh

kepada penulis mengenai arti istiqamah dan totalitas dalam mendalami ilmu.

Page 8: Kamal fuadi fitk

iii

Semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan limpahan rahmat kepada

beliau.

12. Sahabat-sahabat DARUS SUNNAH 2005, A. Syarif Hidayatullah, S.Th.I, Lc.,

Rikza Ahmad, S.Th.I, Lc., Edo Abdullah Faqih, S.Si, Lc., Fathuddin, SH.I,

Lc., Agus Gunawan, S.Th.I, Lc., Zainal Muttaqin, S.Th.I, Lc., Abdul Aziz,

Lc., Arya ‘Izzudin, Lc., Alvian Iqbal Zahasfan, S.SI, Lc., Ahmad Masy’ari

SH.I, Rahmat, Devita Zuliati, S.Pd.I, Lc., Dida Farida, S.SI., Lc., Fajriyati

Aljabhati, S.SI, Lc., Fitriyani, S.SI, Lc., dan Maryam Shofa, S.SI, Lc.. Kita

adalah sahabat terbaik

13. Sahabat-sahabat AL BARKAH INSTITUTE, Syarif Zakky Azizi, Muhammad

Fatkhurrahman, Rohim, Habibullah Siregar, Kurnia Aswaja, Nasihin Aziz

Raharjo, dan Ana Mulyana

14. Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Kependidikan Islam-

Manajemen Pendidikan (BEMJ KI-MP) Periode 2007-2008 yang telah

bersama-sama mewarnai aktivisme kampus

15. Kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) Ciputat. Gus Aqib Malik,

Abdul Latif, Abraham Firdaus, Iqbal Kaukabuddin, Fatkhul Muin, M.

Shobahur Rizqi, Zainal Muttaqin, Hendri Pradiyanto, Alimuddin Tarlay,

Atfiyanah, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan di sini. Sungguh

kalian menjadi saudara terbaik di perantauan

16. Teman-teman kelas A dan terutama kelas B Jurusan Kependidikan Islam-

Manajemen Pendidikan (KI-MP) angkatan 2005. Maaf saya bukan teman

yang baik

Penulis menyadari bahwa skripsi sederhana ini sebagai karya tulis sangat jauh dari

sempurna. Oleh karena itu penulis selalu mengharapkan kritik dan saran konstruktif.

namun dengan kerendahan hati, penulis sangat berharap agar skripsi ini dapat

bermanfaat untuk semua pihak yang menggeluti bidang manajemen pendidikan,

Page 9: Kamal fuadi fitk

iv

minimal bagi diri penulis. Akhirnya hanya kepada Allah jua segala sesuatu penulis

kembalikan. Wallaahu A’lamu Bi As Shawab.

Ciputat, 25 Februari 2011

Penulis

Page 10: Kamal fuadi fitk

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ................................................................. vi

BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah............................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ..................................................................... 8

C. Pembatasan Masalah .................................................................... 9

D. Perumusan Masalah ..................................................................... 9

E. Manfaat Penelitian ....................................................................... 9

BAB II : KAJIAN TEORI ............................................................................ 10

A. Kebijakan .................................................................................... 10

1. Pengertian Kebijakan ............................................................. 10

2. Tahap-Tahap Kebijakan ......................................................... 14

3. Analisis Kebijakan ................................................................. 16

B. Pendidikan Inklusif

1. Pengertian Pendidikan Inklusif ............................................... 20

2. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ..................... 25

3. Model Pendidikan Inklusif ..................................................... 27

4. Komponen Pendidikan Inklusif .............................................. 31

5. Pembelajaran Model Inklusif di Kelas Reguler ....................... 35

BAB III : METODE PENELITIAN ............................................................... 39

A. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................... 39

B. Tujuan Penelitian ......................................................................... 39

C. Metode Penelitian ........................................................................ 39

D. Sumber Data ................................................................................ 40

E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 41

F. Teknik Analisis Data ................................................................... 42

Page 11: Kamal fuadi fitk

v

BAB IV : HASIL PENELITIAN .................................................................... 44

A. Gambaran Umum Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ........... 44

1. Visi dan Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ............. 44

a. Visi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ....................... 44

b. Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ....................... 44

2. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pendidikan Provinsi DKI

Jakarta ..................................................................................... 47

a. Tugas Pokok Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.......... 48

b. Fungsi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ................... 48

3. Tujuan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ....................... 49

4. Sasaran Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ...................... 49

5. Strategi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ...................... 49

6. Arah Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta .......... 50

7. Sasaran Strategik Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta........ 50

8. Kondisi Sekolah, Siswa, dan Guru di Lingkungan Dinas

Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ............................................. 51

B. Deskripsi dan Analisis Data ......................................................... 53

1. Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi

DKI Jakarta ............................................................................. 53

2. Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

di Provinsi DKI Jakarta ............................................................ 78

BAB V : PENUTUP ....................................................................................... 102

A. Kesimpulan.................................................................................. 102

B. Saran ........................................................................................... 103

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 105

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... 109

Page 12: Kamal fuadi fitk

vi

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Gambar

Gambar 1 Analisis Kebijakan yang Berorientasi pada Masalah … Hal. 18

Gambar 2 Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi, dan

Penempatan Peserta Didik dalam Pendidikan Luar

Biasa …………………………………………………..

Hal. 38

Gambar 3 Jumlah Sekolah di Provinsi DKI Jakarta ……………... Hal. 51

Gambar 4 Jumlah Siswa di Provinsi DKI Jakarta ……………….. Hal. 52

Gambar 5 Jumlah Pendidik di Provinsi DKI Jakarta ……………. Hal. 53

Gambar 6 Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ….. Hal. 62

Tabel

Tabel 1 Daftar Nama TK, SD, SMP, SMA/SMK Negeri

Penyelenggara Pendidikan Inklusi Provinsi DKI

Jakarta …………………………………………………

Hal. 66

Tabel 2 Sebaran Sekolah Inklusif di Provinsi DKI Jakarta …… Hal. 74

Tabel 3 Daftar Sekolah Inklusif Penerima Subsidi Beasiswa

Tahun Anggaran 2010 ………………………………...

Hal. 82

Tabel 4 Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan

Inklusif Penerima Biaya Operasional Tahun Anggaran

2009 …………………………………………………...

Hal. 93

Tabel 5 Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan

Inklusif Penerima Dana Pendamping Tahun Anggaran

2009 …………………………………………………...

Hal. 95

Page 13: Kamal fuadi fitk

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki komitmen tinggi terhadap

upaya pencerdasan bangsa. Komitmen ini dibuktikan dengan pencantuman upaya

pencerdasan bangsa dalam konstitusi negara sebagai salah satu hal paling

mendasar yang perlu dibangun dan dikembangkan pasca kemerdekaan Indonesia.

Komitmen ini kemudian dijabarkan dalam pasal UUD 1945 pasal 31 yang

menyebutkan:

1. Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran

2. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran

nasional yang diatur dengan undang-undang1

Realisasi komitmen yang tercantum dalam konstitusi ini diupayakan dengan

menyelenggarakan pendidikan yang terdiri dari beberapa jalur, jenjang dan jenis

mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

Pendidikan ini diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak

1Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Page 14: Kamal fuadi fitk

2

diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai

kultural, dan kemajemukan bangsa2.

Dalam sekolah, salah satu komponen yang terpenting yaitu peserta didik,

karena merekalah yang dijadikan subjek pembelajaran. Peserta didik memiliki

keragaman baik dari segi fisik maupun kemampuan. Keragaman yang dimiliki

peserta didik ini mempengaruhi proses pembelajaran sehingga perbedaan fisik dan

kemampuan peserta didik membutuhkan penanganan tersendiri oleh tenaga

pendidik.

Pada umumnya, rata-rata peserta didik di sekolah memiliki kondisi fisik dan

kemampuan yang normal. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti

proses pembelajaran sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan pemerintah.

Kesulitan terjadi tatkala terdapat peserta didik yang memiliki kelainan atau

kecerdasan dan bakat istimewa. Perbedaan yang demikian harus mendapat

perhatian dari tenaga pendidik. Perbedaan ini seharusnya tidak menjadikan adanya

diskriminasi terhadap peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran di

sekolah.

Salah satu upaya pemerintah untuk menghindari atau bahkan menghilangkan

diskriminasi dalam pendidikan yaitu dengan menyelenggarakan pendidikan yang

tidak membeda-bedakan kelainan dan tingkat kecerdasan yang dimiliki peserta

didik. Pendidikan yang demikian disebutkan secara eksplisit dengan istilah

Pendidikan Khusus dalam Pasal 15 dan Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Nomor

20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun

2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 15 disebutkan bahwa pendidikan

khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang

berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang

2Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

Nasional

Page 15: Kamal fuadi fitk

3

diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada

tingkat pendidikan dasar dan menengah3.

Dalam Pasal 32 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun

2003 juga disebutkan istilah Pendidikan Khusus ini sebagai penjelas Pasal 15 di

atas. Dalam Pasal 32 Ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan

pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam proses

pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki

potensi kecerdasan dan bakat istimewa4.

Dalam kedua pasal di atas disebutkan secara jelas mengenai apa yang disebut

dengan istilah Pendidikan Khusus dan siapa saja yang berhak mendapatkan

pendidikan ini. Pendidikan Khusus ini memang didesain untuk mengakomodir

perbedaan yang terdapat pada peserta didik. Perbedaan ini harus direspon dalam

bentuk pelaksanaan pendidikan yang mampu mengelola perbedaan-perbedaan

yang dimaksud dalam pasal di atas.

Pemerintah Indonesia sudah sejak lama menyelenggarakan pendidikan yang

secara khusus disediakan bagi peserta didik yang memiliki kelainan. Bentuk

pendidikan bagi peserta didik berkelainan ini secara khusus diatur lewat Peraturan

Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa5. Peraturan

pemerintah ini hanya mengatur pendidikan yang disediakan bagi peserta didik

yang memiliki kelainan fisik dan mental. Dalam peraturan ini tidak disebutkan

adanya aturan yang mengikutsertakan peserta didik yang memiliki bakat dan

kecerdasan luar biasa atau istimewa.

Istilah Pendidikan Luar Biasa memang selalu dikaitkan dengan pendidikan

bagi peserta didik yang memiliki kelainan fisik dan mental. Pendidikan ini

didesain secara khusus dengan membedakan dan sekaligus memisahkan peserta

3Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional 4Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

Nasional 5Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa.

Page 16: Kamal fuadi fitk

4

didik yang memiliki kelainan fisik dan mental dengan peserta didik yang tidak

memiliki kelainan fisik dan mental (normal).

Di Indonesia pendidikan bagi peserta didik berkelainan selama ini disediakan

dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah

Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga

pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama,

sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB

Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung

berbagai jenis anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak

tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda.

Sedangkan Pendidikan Terpadu adalah sekolah reguler yang menampung anak

berkelainan dengan kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar

mengajar yang sama. Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun

perkembangannya kurang menggembirakan karena banyak sekolah umum yang

keberatan menerima anak berkelainan.

Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal anak-anak

berkelainan tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), tidak hanya di

Ibu Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian anak-anak berkelainan, terutama yang

kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena

lokasi SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat,

SD tersebut tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya.

Sebagian yang lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun

karena ketiadaan pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko

tinggal kelas dan akhirnya putus sekolah. Permasalahan di atas akan berakibat

pada kegagalan program wajib belajar.

Untuk mengantisipasi hal di atas, dan dalam rangka menyukseskan wajib

belajar pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak-

anak berkelainan, baik yang telah memasuki sekolah umum (SD) tetapi belum

mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun anak-anak berkelainan yang

Page 17: Kamal fuadi fitk

5

belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD

terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi

anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 dan pasal 32 tentang pendidikan

khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta

didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa

yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada

tingkat pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan

terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa

penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Istilah inklusif mulai digunakan untuk menggantikan istilah pendidikan luar

biasa6. Di Amerika Serikat misalnya, perubahan model pendidikan anak

berkekhususan sudah berlangsung mulai tahun 70-an. Tujuan dari perubahan itu

tidak lain adalah peniadaan diskriminasi pendidikan bagi populasi individu

berkekhususan. Indonesia juga mengalami perkembangan yang hampir sama.

Sampai saat ini terdapat banyak sekolah yang mulai membuka program

pendidikan inklusif7. Yang melandasi pelaksanaan pendidikan inklusif ini secara

umum adalah semangat egalitarianisme yang berarti terdapat kesempatan yang

sama bagi semua anak untuk memperoleh pendidikan. Masing-masing anak harus

mendapatkan pengalaman belajar yang berbeda-beda. Pengalaman yang berbeda

ini tidak meniscayakan adanya pendidikan yang dipisahkan, namun berangkat dari

perbedaan yang terdapat dalam individu anak8.

Menurut data Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah

(Dirjen Mandikdasmen) Departemen Pendidikan Nasional, jumlah sekolah yang

6Ronald L. Taylor, Assesment of Exceptional Students; Educational and Psychological

Procedures, (New Jersey: Pearson Education Inc., 2009), Cet. Ke-8, h. 4-6. 7Agnes Tri Harjaningrum, dkk., Peranan Orang Tua dan Praktisi dalam Membantu Tumbuh

Kembang Anak Berbakat Melalui Pemahaman Teori dan Tren Pendidikan, (Jakarta: Prenada,

2007), h. 8-9. 8Louis A. Fliegler, “Curriculum Implementation” dalam Curriculum Planning for The Gifted,

(New Jersey: Prentice Hall Inc., 1961), h. 372-373.

Page 18: Kamal fuadi fitk

6

menyelenggarakan pendidikan Inklusif yaitu sebanyak 814 sekolah dengan jumlah

siswa mencapai 15.1819. Secara operasional, aturan mengenai sekolah inklusif ini

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar

Nasional Pendidikan. Selain itu, pemerintah melalui Dirjen Mandikdasmen juga

telah mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Mandikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003

tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif10

. Aturan terbaru yang

mengatur pendidikan inklusif yaitu Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan

Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik

yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat

Istimewa.

Selaras dengan semangat otonomi daerah, pengelolaan pendidikan inklusif

didasarkan atas Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Penyelenggaraan

pendidikan inklusif di tingkat daerah juga telah memiliki payung hukum tingkat

daerah. Sebagai ibukota Indonesia dan memiliki otonomi, Daerah Khusus Ibukota

Jakarta memiliki aturan penyelenggaraan pendidikan inklusif lewat Peraturan

Gubernur (Pergub) Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan

Inklusi.

Sampai saat ini, Provinsi DKI Jakarta sudah memiliki 164 Sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif dari mulai tingkat TK, SD, SMP, dan

SMA/SMK. Secara terperinci jumlah tersebut terdiri dari TK sebanyak 3, SD

sebanyak 120, SMP sebanyak 31, dan SMA/SMK sebanyak 1011

. Jumlah ini

bukanlah jumlah ideal sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam Pergub Nomor

116 Tahun 2007. Dalam pasal 4 disebutkan bahwa setiap kecamatan sekurang-

kurangnya memiliki 3 (tiga) TK/RA, SD/MI dan 1 (satu) SMP/MTs yang

9Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Policy Brief, Sekolah Inklusif;

Membangun Pendidikan Tanpa Diskriminasi, No. 9. Th.II/2008, Departemen Pendidikan

Nasional, h. 5. 10Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar

dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan

Inklusif, h. 13. 11Lampiran Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Nomor 1190/2010

Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, dan SMA/SMK Penyelenggara Pendidikan

Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010.

Page 19: Kamal fuadi fitk

7

menyelenggarakan pendidikan inklusi. Setiap kotamadya sekurang-kurangnya

memiliki 3 (tiga) SMA/SMK atau MA/MAK yang menyelenggarakan pendidikan

inklusi12

.

Provinsi DKI Jakarta memiliki 5 kotamadya dan 1 kabupaten dengan 44

kecamatan13

. Dengan 5 kotamadya dan kabupaten serta kecamatan sebanyak itu,

seharusnya jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, sesuai dengan

Pergub Nomor 116 Tahun 2007, di tingkat TK/RA dan SD/MI adalah sebanyak

132 sekolah. Jumlah SMP/MTs sebanyak 44 sekolah dan jumlah SMA/SMK dan

MA/MAK sebanyak 15 Sekolah.

Selain jumlah yang belum memenuhi kondisi ideal yang seharusnya,

penyelenggaraan pendidikan inklusi juga masih menemui berbagai kendala.

Dalam salah satu laporan penelitian berjudul Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi

Anak Berkebutuhan Khusus pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah,

disebutkan bahwa efektifitas pendidikan inklusif masih dapat dilihat dinamikanya

hanya di tingkat SD, karena di tingkat lanjutan dapat dikatakan tidak ada model

pendidikan inklusif, yang ada adalah model pendidikan integrasi (ABK mengikuti

semua kegiatan dan aktivitas di sekolah reguler tanpa ada bantuan dan

penanganan khusus)14

.

Pemerintah sendiri mengakui bahwa sampai saat ini tidak semua sekolah

umum mau menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus. Alasan yang

dikemukakan karena tidak ada guru khusus yang menangani mereka dan tidak ada

fasilitas yang memadai. Kengganan untuk mengakomodasi anak berkebutuhan

khusus disebabkan tidak adanya kesadaran dan minimnya pemahaman tentang

12Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 116 Tahun 2007. 13Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, dari

http://www.depdagri.go.id/media/filemanager/2010/01/29/1/1/11__dki_jakarta.pdf, 23 Januari

2011 14

Penelitian ini dilakukan dalam skala nasional dengan mengambil sampel di beberapa provinsi

penyelenggara pendidikan inklusi. Lihat Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan

Khusus pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, dari

http://puslitjaknov.org/data/file/2008/makalah_undangan/DYAH%20S_Pengkajian%20Pendidikan

%20Inklusif.pdf, 14 Januari 2010.

Page 20: Kamal fuadi fitk

8

pendidikan inklusif. Kengganan tersebut juga lebih banyak terjadi di sekolah-

sekolah di kota besar15

.

Sebagai model pendidikan yang baru memang wajar bila masih terdapat

beberapa permasalahan terkait pendidikan inklusif. Namun sangat disayangkan

bila pemerintah tidak secara serius menggarap penyelenggaraan pendidikan

inklusif. Pendidikan inklusi diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan

dalam penanganan pendidikan bagi anak berkelainan selama ini. Pemerintah

menyatakan ketidakmungkinan membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa karena

akan memakan biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama. Selain itu,

penyelenggaraan pendidikan inklusif juga akan membantu percepatan pencapaian

target program wajib belajar 9 tahun yang telah dicanangkan pemerintah.

Mengingat urgensi permasalahan mengenai pendidikan inklusif di atas, penulis

tertarik untuk menulis skripsi berjudul ”Analisis Kebijakan Penyelenggaraan

Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah mengenai kebijakan penyelenggaraan

pendidikan inklusif, maka dapat diidentifikasi masalah penelitian sebagai berikut:

1. Analisis kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI

Jakarta belum direncanakan dengan baik

2. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

belum diimplementasikan dengan efektif

3. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusi di provinsi DKI Jakarta

belum disosialisasikan secara maksimal

4. Belum adanya pemahaman yang sama mengenai kebijakan penyelenggaraan

pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

5. Belum adanya persepsi yang sama mengenai urgensi penyelenggaraan

pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

15Perlu Pelatihan Khusus untuk Guru; Sekolah Inklusi Butuh Pengajar, Kompas, Rabu, 3

Maret 2010.

Page 21: Kamal fuadi fitk

9

6. Kurangnya guru-guru yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan

inklusif di Provinsi DKI Jakarta

C. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan permasalahan dalam kebijakan penyelenggaraan

pendidikan inklusif di DKI Jakarta, untuk memfokuskan penelitian dan efisiensi

waktu, maka penelitian ini hanya dibatasi pada:

1. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

2. Implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi

DKI Jakarta

D. Perumusan Masalah

Dari pembatasan terhadap masalah-masalah yang muncul, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana kebijakan penyelenggaraan

pendidikan inklusif dilaksanakan di Provinsi DKI Jakarta?”

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu:

1. Bagi pemerintah, sebagai bahan tambahan pertimbangan dalam

pengambilan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif

2. Bagi sekolah, sebagai pengetahuan mengenai kebijakan pemerintah dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusif

3. Bagi peneliti, sebagai pengetahuan dan pengalaman

Page 22: Kamal fuadi fitk

10

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kebijakan

1. Pengertian Kebijakan

Kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy yang berasal dari bahasa

Inggris. Kata policy diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan

mengenai tujuan-tujuan, yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan,

partai politik, dan lain-lain. Kebijakan juga diartikan sebagai pernyataan-

pernyataan mengenai kontrak penjaminan atau pernyataan tertulis1. Pengertian

ini mengandung arti bahwa yang disebut kebijakan adalah mengenai suatu

rencana, pernyataan tujuan, kontrak penjaminan dan pernyataan tertulis baik

yang dikeluarkan oleh pemerintah, partai politik, dan lain-lain. Dengan

demikian siapapun dapat terkait dalam suatu kebijakan.

James E. Anderson memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian

tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh

1AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford: Oxford

University Press, 1995), cet. ke-5, h. 893.

Page 23: Kamal fuadi fitk

11

seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah

tertentu2.

Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa kebijakan dapat berasal dari

seorang pelaku atau sekelompok pelaku yang berisi serangkaian tindakan yang

mempunyai tujuan tertentu. Kebijakan ini diikuti dan dilaksanakan oleh

seorang pelaku atau sekelompok pelaku dalam rangka memecahkan suatu

masalah tertentu.

James E. Anderson secara lebih jelas menyatakan bahwa yang dimaksud

kebijakan adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-

pejabat pemerintah. Pengertian ini, menurutnya, berimplikasi: (1)bahwa

kebijakan selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang

berorientasi pada tujuan, (2)bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau

pola-pola tindakan pejabat-pejabat pemerintah, (3)bahwa kebijakan merupakan

apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, (4)bahwa kebijakan bisa

bersifat positif dalam arti merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah

mengenai suatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan

keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, (5)bahwa

kebijakan, dalam arti positif, didasarkan pada peraturan perundang-undangan

dan bersifat memaksa (otoritatif)3. Dalam pengertian ini, James E. Anderson

menyatakan bahwa kebijakan selalu terkait dengan apa yang dilakukan atau

tidak dilakukan oleh pemerintah.

Pernyataan bahwa kebijakan terkait dengan pemerintah tidak hanya

disampaikan oleh James E. Anderson. George C. Edwards III dan Ira

Sharkansky mengemukakan pengertian kebijakan sebagai apa yang dinyatakan

dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan itu dapat

berupa sasaran atau tujuan dari program-program pemerintah. Penetapan

kebijakan tersebut dapat secara jelas diwujudkan dalam peraturan-peraturan

2James E. Anderson, Public Policy Making, (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1984),

cet. ke-3, h. 3. 3James, Public Policy Making, h. 3-5.

Page 24: Kamal fuadi fitk

12

perundang-undangan atau dalam pidato-pidato pejabat teras pemerintah serta

program-program dan tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah4.

Pengertian serupa juga dikemukakan oleh Thomas R. Dye. Ia menyatakan

bahwa kebijakan merupakan apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk

dilakukan atau tidak dilakukan5.

Dalam mendudukkan pengertian kebijakan, James Anderson mencontohkan

penggunaan istilah kebijakan seperti dalam kalimat “Kebijakan Ekonomi

Amerika”, “Kebijakan Minyak Arab Saudi”, atau “Kebijakan Pertanian Eropa

Barat”. Menurutnya, istilah kebijakan dapat juga digunakan untuk istilah yang

lebih spesifik dalam arti tidak hanya dilekatkan untuk penggunaan dalam

lingkup makro (baca: negara). Contoh yang dikemukakan James E. Anderson

seperti pada penggunaan dalam kalimat “Kebijakan Kota Chicago dalam Polusi

di Danau Michigan dari Milwaukee, Wisconsin”6.

Pengertian lain mengenai kebijakan dikemukakan oleh M. Irfan Islamy. Ia

memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang

ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang

mempunyai tujuan atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan

seluruh masyarakat7.

Kebijakan yang dikemukakan oleh Irfan Islamy ini mencakup tindakan-

tindakan yang ditetapkan pemerintah. Kebijakan ini tidak cukup hanya

ditetapkan tetapi dilaksanakan dalam bentuk nyata. Kebijakan yang ditetapkan

oleh pemerintah tersebut juga harus dilandasi dengan maksud dan tujuan

tertentu. Terakhir, pengertian Irfan Islamy meniscayakan adanya kepentingan

bagi seluruh masyarakat yang harus dipenuhi oleh suatu kebijakan dari

pemerintah.

4George C. Edwards III dan Ira Sharkansky, The Policy Predicament: Making and

Implementing Public Policy, (San Francisco: W.H. Freeman and Company, 1978), h.2. 5Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, (New Jersey: Pearson Education Inc., 2005), h.

1. 6James E. Anderson, dkk., Public Policy and Politics in America, (California: Brooks/Cole

Publishing Company, 1984), cet. ke-2, h. 3. 7M. Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bina Aksara,

1988), cet. ke-3, h. 20.

Page 25: Kamal fuadi fitk

13

James Anderson menyatakan adanya keharusan untuk membedakan antara

apa yang ingin dilaksanakan pemerintah dengan apa yang sebenarnya mereka

lakukan di lapangan. Hal ini menjadi penting karena kebijakan bukan hanya

sebuah keputusan sederhana untuk memutuskan sesuatu dalam suatu momen

tertentu, namun kebijakan harus dilihat sebagai sebuah proses8. Untuk itulah

pengertian kebijakan sebagai suatu arah tindakan dapat dipahami secara lebih

baik bila konsep ini dirinci menjadi beberapa kategori. Kategori-kategori itu

antara lain adalah tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands), keputusan-

keputusan kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan kebijakan

(policy statements), hasil-hasil kebijakan (policy outputs), dan dampak-dampak

kebijakan (policy outcomes)9.

Tuntutan-tuntutan kebijakan adalah tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh

aktor-aktor swasta atau pemerintah, ditujukan kepada pejabat-pejabat

pemerintah dalam suatu sistem politik. Keputusan kebijakan dimengerti

sebagai keputusan-keputusan yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah

yang mengesahkan atau memberi arah dan substansi kepada tindakan-tindakan

kebijakan publik. Sedangkan pernyataan-pernyataan kebijakan adalah

pernyataan-pernyataan resmi atau artikulasi-artikulasi kebijakan publik. Hasil-

hasil kebijakan lebih merujuk pada manifestasi nyata dari kebijakan, yaitu hal-

hal yang sebenarnya dilakukan menurut keputusan-keputusan dan pernyataan-

pernyataan kebijakan. Adapun dampak-dampak kebijakan lebih merujuk pada

akibat-akibatnya bagi masyarakat, baik yang diinginkan atau tidak diinginkan

yang berasal dari tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan

merupakan serangkaian tindakan yang menjadi keputusan pemerintah untuk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertujuan untuk memecahkan

masalah demi kepentingan masyarakat.

8James, dkk., Public Policy and Politics in America, h. 3. 9James E. Anderson, Public Policy Making: An Introduction, (Boston: Houghton Mifflin

Company: 1994), cet. ke-II, h. 6-8. Lihat juga Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses,

(Yogyakarta: Media Presindo, 2007), h. 19-21.

Page 26: Kamal fuadi fitk

14

2. Tahap-tahap Kebijakan

Dalam pembuatan kebijakan terdapat tahap-tahap yang harus dilewati agar

suatu kebijakan dapat disusun dan dilaksanakan dengan baik. Kebijakan yang

dimunculkan sebagai sebuah keputusan terlebih dahulu melewati beberapa

tahap penting. Tahap-tahap penting tersebut sangat diperlukan sebagai upaya

melahirkan kebijakan yang baik dan dapat diterima sebagai sebuah keputusan.

Tahap-tahap dalam kebijakan tersebut yaitu:

a. Penyusunan Agenda

Sebelum kebijakan ditetapkan dan dilaksanakan, pembuat kebijakan

perlu menyusun agenda dengan memasukkan dan memilih masalah-

masalah mana saja yang akan dijadikan prioritas untuk dibahas10

.

Masalah-masalah yang terkait dengan kebijakan akan dikumpulkan

sebanyak mungkin untuk diseleksi.

Pada tahap ini beberapa masalah dimasukkan dalam agenda untuk

dipilih. Terdapat masalah yang ditetapkan sebagai fokus pembahasan,

masalah yang mungkin ditunda pembahasannya, atau mungkin tidak

disentuh sama sekali. Masing-masing masalah yang dimasukkan atau

tidak dimasukkan dalam agenda memiliki argumentasi masing-masing11

.

Pihak-pihak yang terlibat dalam tahap penyusunan agenda harus secara

jeli melihat masalah-masalah mana saja yang memiliki tingkat relevansi

tinggi dengan masalah kebijakan. Sehingga pemilihan dapat menemukan

masalah kebijakan yang tepat.

b. Formulasi Kebijakan

Masalah yang sudah dimasukkan dalam agenda kebijakan kemudian

dibahas oleh pembuat kebijakan dalam tahap formulasi kebijakan. Dari

berbagai masalah yang ada tersebut ditentukan masalah mana yang

merupakan masalah yang benar-benar layak dijadikan fokus

pembahasan12

.

10Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt, Public Administration: An Action Orientation,

(Boston: Wadsworth, 2009), h. 50-52. 11Winarno, Kebijakan Publik…, h. 33. 12Winarno, Kebijakan Publik…, h. 34.

Page 27: Kamal fuadi fitk

15

c. Adopsi Kebijakan

Dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan, pada akhirnya akan

diadopsi satu alternatif pemecahan yang disepakati untuk digunakan

sebagai solusi atas permasalahan tersebut13

. Tahap ini sering disebut juga

dengan tahap legitimasi kebijakan (policy legitimation) yaitu kebijakan

yang telah mendapatkan legitimasi14

. Masalah yang telah dijadikan

sebagai fokus pembahasan memperoleh solusi pemecahan berupa

kebijakan yang nantinya akan diimplementasikan.

d. Implementasi Kebijakan

Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang telah disepakati tersebut

kemudian dilaksanakan. Pada tahap ini, suatu kebijakan seringkali

menemukan berbagai kendala. Rumusan-rumusan yang telah ditetapkan

secara terencana dapat saja berbeda di lapangan. Hal ini disebabkan

berbagai faktor yang sering mempengaruhi pelaksanaan kebijakan.

Kebijakan yang telah melewati tahap-tahap pemilihan masalah tidak serta

merta berhasil dalam implementasi. Dalam rangka mengupayakan

keberhasilan dalam implementasi kebijakan, maka kendala-kendala yang

dapat menjadi penghambat harus dapat diatasi sedini mungkin.

e. Evaluasi Kebijakan

Pada tahap ini, kebijakan yang telah dilaksanakan akan dievaluasi, untuk

dilihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan

masalah atau tidak. Pada tahap ini, ditentukan kriteria-kriteria yang

menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan telah meraih hasil yang

diinginkan15

.

Pada tahap ini, penilaian tidak hanya menilai implementasi dari

kebijakan. Namun lebih jauh, penilaian ini akan menentukan perubahan

terhadap kebijakan. Suatu kebijakan dapat tetap seperti semula, diubah

atau dihilangkan sama sekali16

.

13Winarno, Kebijakan Publik…, h. 34. 14Robert, Public Administration…, h. 53. 15Winarno, Kebijakan Publik…, h. 34. 16Robert, Public Administration…, h. 55.

Page 28: Kamal fuadi fitk

16

3. Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan merupakan penelitian sosial terapan yang secara

sistematis disusun dalam rangka mengetahui substansi dari kebijakan agar

dapat diketahui secara jelas informasi mengenai masalah-masalah yang

dijawab oleh kebijakan dan masalah-masalah yang mungkin timbul sebagai

akibat dari penerapan kebijakan. Ruang lingkup dan metode analisis kebijakan

umumnya bersifat deskriptif dan faktual mengenai sebab-sebab dan akibat-

akibat suatu kebijakan17

.

Penelitian kebijakan sedapat mungkin melihat berbagai aspek dari kebijakan

agar dapat menghasilkan informasi yang lengkap. Informasi mengenai

masalah-masalah yang dijawab oleh kebijakan serta masalah-masalah yang

ditimbulkan dari penerapan kebijakan menjadi fokus dari analisis kebijakan.

Sudarwan Danim menyatakan bahwa proses penelitian kebijakan pada

hakikatnya merupakan penelitian yang dimaksudkan guna melahirkan

rekomendasi untuk pembuat kebijakan dalam rangka pemecahan masalah

sosial. Kegiatan penelitian ini dilakukan untuk mendukung kebijakan18

.

Sudarwan Danim secara jelas menyatakan hasil yang ingin dicapai dari

penelitian kebijakan yaitu menghasilkan rekomendasi yang mungkin

diperlukan pembuat kebijakan dalam rangka pemberian solusi terhadap

masalah-masalah sosial. Selain itu, penelitian kebijakan perlu dipahami sebagai

bentuk dukungan kepada kebijakan itu sendiri.

Rekomendasi yang dihasilkan dari proses penelitian kebijakan dapat berupa

dukungan penuh terhadap kebijakan, kritik dan saran mengenai bagian mana

dari kebijakan yang perlu diperbaiki, atau dapat juga berupa rekomendasi agar

kebijakan tidak lagi diterapkan.

Karakteristik dari penelitian kebijakan secara terperinci dijelaskan oleh

Allen D. Putt dan J. Fred Springer. Mereka menyatakan bahwa penelitian

17William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 2000), cet. ke-IV, h. 95-97. 18Sudarwan Danim, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005),

cet. ke-III, h. 20-23.

Page 29: Kamal fuadi fitk

17

kebijakan dicirikan sebagai penelitian yang terfokus pada manusia, plural,

multi-perspektif, sistematis, berhubungan dengan keputusan, dan kreatif19

.

Penelitian mengenai kebijakan berkaitan erat dengan manusia dan

permasalahannya. Hasil yang ingin dicapai dari penelitian kebijakan yaitu

mengenai informasi yang diformulasikan dalam bentuk rekomendasi dalam

rangka pemecahan masalah yang terkait dengan kebijakan.

Karakteristik plural dari penelitian kebijakan berasal dari hubungan

penelitian dengan manusia. Penelitian kebijakan tidak dapat dipisahkan dari

konflik nilai dan kepentingan terdapat dari interaksi manusia.

Karakteristik yang plural meniscayakan adanya pendekatan penelitian yang

juga plural, dalam arti multi-perspektif. Informasi yang diformulasikan dalam

bentuk rekomendasi sebagai hasil yang ingin dicapai oleh penelitian kebijakan

mengharuskan adanya pendekatan yang menyeluruh sehingga informasi yang

dihasilkan juga dapat berupa rekomendasi yang sesuai dengan kondisi yang

ada.

Sebagai sebuah penelitian, penelitian kebijakan harus secara sistematis

disusun berdasarkan prosedur penelitian sebagai upaya untuk memperoleh

informasi terkait dengan kebijakan.

Penelitian kebijakan selalu terkait dengan keputusan. Keputusan yang

dihasilkan berasal dari rekomendasi yang disampaikan. Keputusan dapat

berupa keputusan untuk tetap melanjutkan kebijakan, keputusan untuk

memperbaiki kebijakan atau keputusan untuk menghapus atau tidak

melanjutkan kebijakan.

Informasi yang berkaitan dengan kebijakan berupa masalah kebijakan,

masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan.

Analisis kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai

dalam pemecahan masalah manusia, yaitu: definisi, prediksi, preskripsi,

deskripsi dan evaluasi20

. Masing-masing dari informasi kebijakan berkaitan

dengan prosedur kebijakan. Secara lebih jelas Dunn menggambarkan hubungan

19Allen D. Putt dan J. Fred Springer, Policy Research; Concepts, Methods, and Application,

(New Jersey: Prentice Hall, 1989), h. 19-24. 20Dunn, Pengantar Analisis, …, h. 17-21.

Page 30: Kamal fuadi fitk

18

antara lima informasi kebijakan dan lima prosedur kebijakan yang ia

formulasikan sebagai analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah dengan

gambar di bawah ini:

Gambar 1. analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah

(William Dunn, 2000: 21)

Kelima informasi yang terkait dengan kebijakan saling berkaitan satu sama

lain seperti ditunjukkan dalam gambar 1. Tanda panah yang menghubungkan

tiap komponen informasi menggambarkan proses dinamis dimana satu tipe

informasi dipindahkan ke informasi lain dengan menggunakan prosedur

analisis kebijakan yang tepat.

Perumusan masalah (definisi) merupakan upaya untuk mengumpulkan

informasi mengenai masalah-masalah yang menimbulkan masalah kebijakan.

Melalui prosedur perumusan masalah dapat diidentifikasi mengenai masalah

kebijakan yang tepat yang akan dijadikan sebagai fokus. Peramalan (prediksi)

berisi informasi mengenai kondisi yang mungkin dapat terjadi pada masa

Kinerja

Kebijakan

Masalah

Kebijakan Masa Depan

Kebijakan Hasil

Kebijakan

Aksi

Kebijakan

Evaluasi

Perumusan Masalah

Per

um

usa

n M

asal

ah

Per

um

usa

n M

asal

ah

Rekomendasi Pemantauan

Perumusan Masalah

Peramalan

Page 31: Kamal fuadi fitk

19

mendatang sebagai konsekuensi dari penerapan kebijakan. Rekomendasi

(preskripsi) menyediakan informasi mengenai kegunaan dari dari konsekuensi

di masa mendatang dari suatu pemecahan masalah. Pemantauan (deskripsi)

menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dari penerapan

kebijakan. Evaluasi menyediakan informasi mengenai kegunaan dari

pemecahan suatu masalah.

Analisis kebijakan dapat dilaksanakan dengan beberapa bentuk. Menurut

Dunn terdapat tiga bentuk analisis kebijakan, yaitu:

a. analisis kebijakan prospektif

analisis kebijakan prospektif adalah analisis kebijakan yang mengarahkan

kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan sebelum suatu

kebijakan diterapkan. Model ini dapat disebut sebagai model prediktif.

b. analisis kebijakan retrospektif

analisis kebijakan retrospektif adalah analisis kebijakan yang dilakukan

terhadap akibat-akibat kebijakan setelah suatu kebijakan

diimplementasikan. Model ini biasanya disebut sebagai model evaluatif.

c. analisis kebijakan integratif

analisis kebijakan integratif adalah bentuk perpaduan antara analisis

kebijakan prospektif dan analisis kebijakan retrospektif21

.

Bentuk analisis kebijakan prospektif memiliki kelemahan karena hanya

berkutat pada analisis kebijakan yang mengarahkan perhatian pada

konsekuensi kebijakan sebelum kebijakan diterapkan. Pun dengan bentuk

analisis kebijakan retrospektif yang hanya memfokuskan kajiannya pada

konsekuensi kebijakan setelah kebijakan diterapkan. Maka analisis kebijakan

seharusnya menggunakan bentuk kebijakan integratif, yaitu dengan

memadukan antara analisis kebijakan prospektif dan analisis kebijakan

retrospektif.

Pada umumnya, analisis kebijakan memfokuskan kajiannya pada tiga hal.

Ketiga fokus tersebut merupakan pijakan yang dipedomani dalam melakukan

analisis kebijakan. Tiga fokus tersebut, yaitu:

a. Definisi masalah sosial

b. Implementasi kebijakan

21Dunn, Pengantar Analisis…, h. 117-124.

Page 32: Kamal fuadi fitk

20

c. Akibat-akibat kebijakan22

Dengan memfokuskan kajian pada ketiga hal diatas, proses analisis

kebijakan akan berusaha mendefinisikan secara jelas permasalahan yang akan

menjadi fokus kajian untuk ditanggulangi oleh kebijakan. Setelah masalah

yang menjadi fokus kajian analisis kebijakan ditentukan, analisis kebijakan

bertugas menentukan kebijakan yang sesuai dengan masalah sehingga masalah

dapat dipecahkan dengan baik.

Kebijakan yang telah ditetapkan dan diimplementasikan tentu menghasilkan

konsekuensi dalam bentuk akibat-akibat. Akibat yang ditimbulkan dapat

berupa akibat positif dan atau akibat negatif. Untuk itulah, analisis kebijakan

mengupayakan upaya prediktif dengan meramalkan akibat yang dapat

ditimbulkan sebelum kebijakan diimplementasikan dan atau sesudah kebijakan

diimplementasikan.

Dengan demikian, analisis kebijakan selalu berkaitan dengan hal-hal

sebelum dan sesudah kebijakan ditetapkan dan diimplementasikan. Analisis

kebijakan berusaha memberikan definisi yang jelas mengenai kedudukan suatu

masalah kebijakan, prediksi yang berkaitan dengan kebijakan, rekomendasi

atau preskripsi yang mungkin dapat bermanfaat bagi kebijakan, deskripsi atau

pemantauan terhadap kebijakan, dan evaluasi mengenai kebijakan. Semuanya

berjalan sebagai proses yang runtut dan sistematis dalam rangka mendukung

kebijakan yang bertujuan untuk mengatasi masalah.

B. Pendidikan Inklusif

1. Pengertian Pendidikan Inklusif

Istilah inklusif memiliki ukuran universal. Istilah inklusif dapat dikaitkan

dengan persamaan, keadilan, dan hak individual dalam pembagian sumber-

sumber seperti politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Menurut Reid,

masing-masing dari aspek-aspek tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan

22Ismail Nawawi, Public Policy; Analisis, Strategi, Advokasi, Teori, dan Praktek, (Surabaya:

PMN, 2009), h. 45-46. Lihat juga Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik; Panduan Praktis

Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial, (Bandung: CV. Alfabeta, 2005), h. 87.

Page 33: Kamal fuadi fitk

21

saling berkaitan satu sama lain23

. Reid ingin menyatakan bahwa istilah inklusif

berkaitan dengan banyak aspek hidup manusia yang didasarkan atas prinsip

persamaan, keadilan, dan hak individu.

Dalam ranah pendidikan, istilah inklusif dikaitkan dengan model pendidikan

yang tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan atau

kelainan yang dimiliki individu. Dengan mengacu pada istilah inklusif yang

disampaikan Reid di atas, pendidikan inklusif didasarkan atas prinsip

persamaan, keadilan, dan hak individu.

Istilah pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan

anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program

sekolah. Konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai pentingnya

penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum,

lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah24

.

MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah

mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual.

Para siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka. Untuk

mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dirancang dengan

memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka

yang memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar

yang luar biasa harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu

tinggi dan tepat25

.

Baihaqi dan Sugiarmin menekankan bahwa siswa memiliki hak yang sama

tanpa dibeda-bedakan berdasarkan perkembangan individu, sosial, dan

intelektual. Perbedaan yang terdapat dalam diri individu harus disikapi dunia

pendidikan dengan mempersiapkan model pendidikan yang disesuaikan dengan

23Gavin Reid, Dyslexia and Inclusion; Classroom Approaches for Assesment, Teaching and

Learning, (London: David Fulton Publisher, 2005), h. 88. 24J. David Smith, Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2006), h.

45 25MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, (Bandung: PT.

Refika Aditama, 2006), h. 75-76.

Page 34: Kamal fuadi fitk

22

perbedaan-perbedaan individu tersebut. Perbedaan bukan lantas melahirkan

diskriminasi dalam pendidikan, namun pendidikan harus tanggap dalam

menghadapi perbedaan.

Daniel P. Hallahan mengemukakan pengertian pendidikan inklusif sebagai

pendidikan yang menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus

dalam sekolah reguler sepanjang hari. Dalam pendidikan seperti ini, guru

memiliki tanggung jawab penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus

tersebut26

. Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa pendidikan inklusif

menyamakan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Untuk

itulah, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses pelaksanaan

pembelajaran di kelas. Dengan demikian guru harus memiliki kemampuan

dalam menghadapi banyaknya perbedaan peserta didik.

Senada dengan pengertian yang disampaikan Daniel P. Hallahan, dalam

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem

penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua

peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau

bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam

lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada

umumnya27

.

Pengertian pendidikan dalam Permendiknas di atas memberikan penjelasan

secara lebih rinci mengenai siapa saja yang dapat dimasukkan dalam

pendidikan inklusif. Perincian yang diberikan pemerintah ini dapat dipahami

sebagai bentuk kebijakan yang sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia,

sehingga pemerintah memandang perlu memberikan kesempatan yang sama

kepada semua peserta didik dari yang normal, memilik kelainan, dan memiliki

26

Daniel P. Hallahan dkk., Exceptional Learners: An Introduction to Special Education,

(Boston: Pearson Education Inc., 2009), cet. ke-10, h. 53. 27Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif

Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat

Istimewa.

Page 35: Kamal fuadi fitk

23

kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan. Dengan

demikian pemerintah mulai mengubah model pendidikan yang selama ini

memisah-misahkan peserta didik normal ke dalam sekolah reguler, peserta

didik dengan kecerdasan luar biasa dan bakat istimewa ke dalam sekolah (baca:

kelas) akselerasi, dan peserta didik dengan kelainan ke dalam Sekolah Luar

Biasa (SLB).

Rumusan mengenai pendidikan inklusif yang disusun oleh Direktorat

Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Direktorat Jenderal Manajemen

Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Kementrian Pendidikan

Nasional (Kemendiknas) mengenai pendidikan inklusif menyebutkan bahwa

pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak

berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa

bersama-sama teman seusianya. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif

adalah sekolah yang menampung semua murid di sekolah yang sama. Sekolah

ini menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang, tetapi

disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan

dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil28

.

Dalam ensiklopedi online Wikipedia disebutkan bahwa yang dimaksud

dengan pendidikan inklusi yaitu pendidikan yang memasukkan peserta didik

berkebutuhan khusus untuk bersama-sama dengan peserta didik normal

lainnya. Pendidikan inklusif adalah mengenai hak yang sama yang dimiliki

setiap anak. Pendidikan inklusif merupakan suatu proses untuk menghilangkan

penghalang yang memisahkan peserta didik berkebutuhan khusus dari peserta

didik normal agar mereka dapat belajar dan bekerja sama secara efektif dalam

satu sekolah29

.

Pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas secara umum menyatakan

hal yang sama mengenai pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif berarti

28Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, h. 4. 29Ensiklopedi Online Wikipedia “Inclusion” dari

http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29, 7 Juni 2010.

Page 36: Kamal fuadi fitk

24

pendidikan yang dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta

didik, baik peserta didik yang normal maupun peserta didik berkebutuhan

khusus. Masing-masing dari mereka memperoleh layanan pendidikan yang

sama tanpa dibeda-bedakan satu sama lain.

Mereka yang berkebutuhan khusus ini dulunya adalah anak-anak yang

diberikan label (labelling) sebagai Anak Luar Biasa (ALB). Anak

berkebutuhan khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan istilah

Anak Luar Biasa (ALB) yang menandakan adanya kelainan khusus. Istilah lain

yang juga biasa dipakai untuk menandai anak yang “lain” dari yang lain ini

yaitu hendaya (impairment)30

, disability dan handicap31

.

Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara

yang satu dengan yang lain. Bandi Delphie menyatakan bahwa di Indonesia,

anak berkebutuhan khusus yang mempunyai gangguan perkembangan dan

telah diberikan layanan antara lain: Anak yang mengalami hendaya

(impairment) penglihatan (tunanetra), tunarungu, tunawicara, tunagrahita,

tunadaksa, tunalaras, autism (autistic children), hiperaktif (attention deficit

disorder with hyperactive), anak dengan kesulitan belajar (learning disability

atau spesific learning disability), dan anak dengan hendaya kelainan

perkembangan ganda (multihandicapped and developmentally disabled

children)32

.

30Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita; Suatu Pengantar dalam Pendidikan

Inklusi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 1. 31Beberapa istilah selain ABK, seperti impairment, handicap, dan disability seringkali

disamakan dalam penggunaannya. Sebenarnya terdapat perbedaan arti dari ketiga istilah tersebut.

Impairment digunakan untuk menunjukkan kemampuan yang tidak sepenuhnya rusak/cacat. Handicap digunakan untuk menunjukkan adanya kesulitan-kesulitan dalam penggunaan organ

tubuh. Disability digunakan untuk menunjukkan ketidakmampuan yang ada sejak dilahirkan atau

cacat yang sifatnya permanen. Lihat Thomas M. Stephens, dkk., Teaching Mainstreamed Students,

(Canada: John Wiley&Sons, 1982), h. 27. Lihat juga Hornby, Oxford Advanced..., h. 327.

Disability berarti batasan fungsi yang membatasi kemampuan seseorang. Handicap adalah kondisi

yang dinisbahkan kepada seseorang yang menderita ketidakmampuan. Kondisi ini boleh jadi

disebabkan oleh masyarakat, lingkungan fisik, atau sikap orang itu sendiri. Dalam hal ini sering

muncul ungkapan “jangan sampai disability menjadi handicap”. Lihat John W. Santrock,

Educational Psychology, (New York: The McGraw Hill Inc., 2004), h. 175 32Delphie, Pembelajaran Anak…, h. 1-3.

Page 37: Kamal fuadi fitk

25

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor

70 Tahun 2009, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat

terlarang dan zat adiktif lainnya juga dikategorikan sebagai anak berkebutuhan

khusus33

. Selain anak-anak berkebutuhan khusus yang telah disebutkan di atas,

anak-anak yang memiliki bakat dan/atau kecerdasan luar biasa juga

dikategorikan sebagai anak-anak berkebutuhan khusus.

Dengan demikian, pendidikan inklusif, sesuai dengan beberapa pengertian

diatas, selain menampung anak-anak yang memiliki kelainan juga menampung

anak-anak yang memiliki bakat dan/atau kecerdasan luar biasa agar dapat

belajar bersama-sama dalam satu kelas.

2. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

Landasan yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di

Indonesia yaitu landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan empiris.

Secara terperinci, landasan-landasan tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Landasan Filosofis

Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1) Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang

negara Burung Garuda yang berarti Bhinneka Tunggal Ika.

Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi dan

budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi

persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI)

2) Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan bahwa:

(a) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi

(inklusif) dan bahwa kemuliaan manusia di sisi Allah adalah

33Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif

Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat

Istimewa.

Page 38: Kamal fuadi fitk

26

ketaqwaannya. Hal tersebut dinyatakan dalam Al Qur‟an sebagai

berikut:

Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu

berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-

mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu

disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.

Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal34

.

(b)Allah pernah menegur Nabi Muhammad SAW karena beliau

bermuka masam dan berpaling dari orang buta. Al Qur‟an

menceritakan kisah tersebut sebagai berikut:

34QS. Al Hujurat Ayat 13

Page 39: Kamal fuadi fitk

27

Artinya: (1)Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,

(2)karena telah datang seorang buta kepadanya, (3)tahukah kamu

barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), (4)atau Dia

(ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi

manfaat kepadanya?(5)Adapun orang yang merasa dirinya serba

cukup, (6)Maka kamu melayaninya, (7)Padahal tidak ada (celaan)

atasmu kalau Dia tidak membersihkan diri (beriman), (8)dan Adapun

orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan

pengajaran), (9)sedang ia takut kepada (Allah), (10)Maka kamu

mengabaikannya, (11)sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya

ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan, (12)Maka

Barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya,

(13)di dalam Kitab-Kitab yang dimuliakan, (14)yang ditinggikan lagi

disucikan, (15)di tangan Para penulis (malaikat), (16)yang mulia lagi

berbakti35

.

(c) Allah tidak melihat bentuk (fisik) seorang muslim, namun Allah

melihat hati dan perbuatannya. Hal ini dinyatakan dalam salah satu

hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yaitu:

35QS. „Abasa Ayat 1-16. Orang buta dalam Surat „Abasa tersebut bernama Abdullah bin Ummi

Maktum. Dia datang kepada Rasulullah SAW meminta ajaran-ajaran tentang Islam; lalu

Rasulullah SAW bermuka masam dan berpaling daripadanya, karena beliau sedang menghadapi

pembesar Quraisy dengan pengharapan agar pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam. Maka

turunlah surat ini sebagi teguran kepada Rasulullah SAW

Page 40: Kamal fuadi fitk

28

ث نا جعفر بن ب رقان عن ث نا كثري بن هشام حد ث نا عمرو الناقد حد حد

صلى اهلل عليه يزيد بن األصم عن أب هري رة قال قال رسول الله

وأموالكم ولكن ي نظر إل ق لوبكم إن الله ال ي نظر إل صوركم :وسلم

وأعمالكم Artinya: dari Abu Hurairah RA: Rasulullah SAW bersabda:

Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk dan harta kalian,

akan tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kalian36

.

(d)Tidak ada keutamaan antara satu manusia dengan manusia yang

lain. Nabi Muhammad mengajarkan hal tersebut dalam hadis:

ث ن ث نا إساعيل حد ع حد ثن من س ا سعيد الريري عن أب نضرة حد

خطبة رسول الله صلى الله عليه وسلم ف وسط أيام التشريق ف قال

فضل لعرب يا أي ها الناس أال إن ربكم واحد وإن أباكم واحد أال ال

على أعجمي وال لعجمي على عرب وال ألحر على أسود وال أسود

قوى على أحر إال بالت Artinya: Seseorang yang mendengar khutbah Rasulullah SAW di

tengah hari Tasyriq bercerita kepadaku bahwa Nabi Muhammad SAW

bersabda: Wahai manusia, sungguh Tuhan kalian itu satu, bapak

kalian satu, maka sungguh tidak ada keutamaan orang Arab atas

36Al Imam Abi Husain Muslim bin Al Hajjaj, Shahih Muslim, (Kairo: Daar Ibnu Al Haitam,

2001), h. 655

Page 41: Kamal fuadi fitk

29

orang ‘Ajam, begitu pula sebaliknya, tidak ada keutamaan yang

merah atas yang hitam, begitu pula sebaliknya, kecuali taqwa37

.

3) Pandangan universal hak asasi manusia menyatakan bahwa setiap

manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak

kesehatan, dan hak pekerjaan.

b. Landasan Yuridis

Secara yuridis, pendidikan inklusif dilaksanakan berdasarkan atas:

1) UUD 1945

2) UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat

3) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

4) UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

5) UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

6) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar

Nasional Pendidikan

7) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20

Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif: Menyelenggarakan dan

mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4

(empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK.

8) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70

tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang

Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat

Istimewa

Khusus untuk DKI Jakarta, landasan yuridis yang berlaku yaitu:

9) Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

c. Landasan Empiris

Landasan empiris yang dipakai dalam pelaksanaan pendidikan inklusif

yaitu:

37Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, (Kairo: Muassasah Qurtubah, tt), juz 5, h.

411

Page 42: Kamal fuadi fitk

30

1) Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human Rights)

2) Konvensi Hak Anak 1989 (Convention of The Rights of Children)

3) Konferensi Dunia Tentang Pendidikan untuk Semua 1990 (World

Conference on Education for All)

4) Resolusi PBB nomor 48/96 Tahun 1993 Tentang Persamaan

Kesempatan Bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the

equalization of opportunitites for person with dissabilities)

5) Pernyataan Salamanca Tentang Pendidikan Inklusi 1994 (Salamanca

Statement on Inclusive Education)

6) Komitmen Dakar mengenai Pendidikan Untuk Semua 2000 (The

Dakar Commitment on Education for All)

7) Deklarasi Bandung 2004 dengan komitmen “Indonesia Menuju

Pendidikan Inklusif”

8) Rekomendasi Bukittinggi 2005 mengenai pendidikan yang inklusif

dan ramah.

3. Model Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu.

Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua

diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai

modifikasi dan atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana-prasarana,

tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem

penilaiannya.

Keuntungan dari pendidikan inklusif adalah bahwa anak berkebutuhan

khusus maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan

tuntutan kehidupan sehari-hari di masyarakat dan kebutuhan pendidikannya

dapat terpenuhi sesuai dengan potensinya masing-masing.

Pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan

dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang

menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Pandangan mengenai pendidikan

yang harus menyesuaikan dengan kondisi peserta didik ini sangat terkait

dengan adanya perbedaan yang terdapat dalam diri peserta didik. Pandangan

Page 43: Kamal fuadi fitk

31

lama yang menyatakan bahwa peserta didiklah yang harus menyesuaikan

dengan pendidikan dan proses pembelajaran di kelas lambat laun harus

berubah38

.

Istilah inklusif berimplikasi pada adanya kebutuhan yang harus dipenuhi

bagi semua anak dalam sekolah. Hal ini menyebabkan adanya penyesuaian-

penyesuaian yang harus dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran39

.

Penyesuaian pendidikan (adaptive education) dilaksanakan dengan

menyediakan pengalaman-pengalaman belajar guna membantu masing-masing

peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan pendidikan yang dikehendakinya.

Penyesuaian pendidikan dapat berlangsung tatkala lingkungan pembelajaran

sekolah dimodifikasi untuk merespon perbedaan-perbedaan peserta didik

secara efektif dan mengembangkan kemampuan peserta didik agar dapat

bertahan dalam lingkungan tersebut40

.

Dengan melihat adanya penyesuaian terhadap kebutuhan peserta didik yang

berbeda-beda, maka dalam setting pendidikan inklusif model pendidikan yang

dilaksanakan memiliki model yang berbeda dengan model pendidikan yang

lazim dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler.

Pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua model. Pertama yaitu

model inklusi penuh (full inclusion). Model ini menyertakan peserta didik

berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas

reguler. Kedua yaitu model inklusif parsial (partial inclusion). Model parsial

ini mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian

pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-

kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus41

.

38Henry Clay Lindgren, Educational Psychology in the Classroom, (Tokyo: Charles E. Tuttle

Company, 1967), cet. ke-III, h. 503-504 39Reid, Dyslexia and Inclusion…, h. 85 40George S. Morrison, Early Childhood Education Today, (New Jersey: Pearson Education

Inc., 2009), h. 462. Lihat juga http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29 41Morrison, Early Childhood…, h. 462. Ada yang menyatakan bahwa dalam inklusi tidak terdapat

adanya model. Yang perlu ditekankan dalam inklusi adalah filosofi dan semangat yang dimiliki.

Dengan demikian, penerapan pendidikan inklusif di masing-masing negara akan berbeda-beda.

Lihat misalnya dalam milis (mailing list) Direktorat Pendidikan Luar Biasa Kementrian

Pendidikan Nasional. Dalam milis ini Julia Maria van Tiel mengemukakan beberapa contoh

pelaksanaan pendidikan inklusif di beberapa negara. Untuk lebih jelas lihat Julia Maria Van Tiel,

Page 44: Kamal fuadi fitk

32

Model lain misalnya dikemukakan oleh Brent Hardin dan Marie Hardin.

Brent dan Maria mengemukakan model pendidikan inklusif yang mereka sebut

inklusif terbalik (reverse inclusive). Dalam model ini, peserta didik normal

dimasukkan ke dalam kelas yang berisi peserta didik berkebutuhan khusus42

.

Model ini berkebalikan dengan model yang pada umumnya memasukkan

peserta didik berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang berisi peserta didik

normal.

Model inklusif terbalik agaknya menjadi model yang kurang lazim

dilaksanakan. Model ini mengandaikan peserta didik berkebutuhan khusus

sebagai peserta didik dengan jumlah yang lebih banyak dari peserta didik

normal. Dengan pengandaian demikian seolah sekolah untuk anak

berkebutuhan khusus secara kuantitas lebih banyak dari sekolah untuk peserta

didik normal, atau bisa juga tidak. Model pendidikan inklusif seperti apapun

tampaknya tidak menjadi persoalan berarti sepanjang mengacu kepada konsep

dasar pendidikan inklusif.

Model pendidikan inklusif yang diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu

model pendidikan inklusif moderat43

. Pendidikan inklusif moderat yang

dimaksud yaitu:

a. Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh

b. Model moderat ini dikenal dengan model mainstreaming

Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan

antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa)

“Pembenahan Pendidikan Inklusif”, dari http://groups.yahoo.com/group/ditplb/message/130, 18

April 2010, lihat juga Barton, Len dan Felicity Armstrong, Policy, Experience, and Change; Cross Cultural Reflection on Inclusive Education, Dordrecht: Springer, 2007.

Istilah full inclusion merupakan istilah yang jarang digunakan. Para ahli lebih banyak

menggunakan istilah inclusion saja. Di samping itu istilah full inclusion juga lebih berkonotasi

negatif dan bagi sebagian orang sulit disepakati. Orang lebih banyak menggunakan istilah optimal

inclusion. Pengertian ini dimaksudkan untuk mendorong pendidik agar berusaha menemukan jenis

dan tingkat inklusi yang memuaskan tiap individu. Lihat Smith, Inklusi, Sekolah…, h. 46. 42Brent Hardin dan Maria Hardin, “Into the Mainstream: Practical Strategies for Teaching in

Inclusive Environments”, dalam Kathleen M. Cauley (ed.), Educational Psychology, (New York:

McGraw-Hill/Dushkin, 2004), h. 46-48. 43Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, h. 8-9.

Page 45: Kamal fuadi fitk

33

dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus

digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja44

.

c. Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak

berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai

dengan kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus dapat

berpindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti:

1) Bentuk kelas reguler penuh

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari

di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama

2) Bentuk kelas reguler dengan cluster

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler

dalam kelompok khusus

3) Bentuk kelas reguler dengan pull out

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler

namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang

sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus

4) Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler

dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari

kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru

pembimbing khusus

5) Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian

Anak berkelainan belajar di kelas khusus pada sekolah reguler, namun

dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain

(normal) di kelas reguler

6) Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler

Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler45

Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak

mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat

dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian

anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi

kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi

44Jane B. Schulz, Mainstreaming Exceptional Students; A Guide for Classroom Teachers,

(Boston: Allyn and Bacon, 1991), h. 20-21. Lihat juga Ensiklopedi Online Wikipedia

“Mainstreaming” dari http://en.wikipedia.org/wiki/Mainstreaming_%28education%29, 7 Juni

2010. 45Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta: Lembaga

Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 100. Lihat juga Sip Jan Pijl dan Cor J.W.Meijer, Factor In

Inclusion: A Framework dalam Sip Jan Pijl (eds.), Inclusive Education; A Global Agenda,

(London: Routledge, 1997), h. 12.

Page 46: Kamal fuadi fitk

34

kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas

khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi

kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah

biasa), dapat disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah

sakit).

4. Komponen Pendidikan Inklusif

Karena terdapat perbedaan dalam konsep dan model pendidikan, maka

dalam pendidikan inklusif terdapat beberapa komponen pendidikan yang perlu

dikelola dalam sekolah inklusif, yaitu:

a. Manajemen Kesiswaan

b. Manajemen Kurikulum

c. Manajemen Tenaga Kependidikan

d. Manajemen Sarana dan Prasarana

e. Manajemen Keuangan/Dana

f. Manajemen Lingkungan (Hubungan Sekolah dan Masyarakat)

g. Manajemen Layanan Khusus46

Manajemen kesiswaan merupakan salah satu komponen pendidikan inklusif

yang perlu mendapat perhatian dan pengelolaan lebih. Hal ini dikarenakan

kondisi peserta didik pada pendidikan inklusif yang lebih majemuk daripada

kondisi peserta didik pada pendidikan reguler. Tujuan dari manajemen

kesiswaan ini tidak lain agar kegiatan belajar mengajar di sekolah dapat

berjalan lancar, tertib, dan teratur, serta mencapai tujuan yang diinginkan.

Pendidikan inklusif masih menggunakan kurikulum standar nasional yang

telah ditetapkan pemerintah. Namun dalam pelaksanaan di lapangan,

kurikulum pada pendidikan inklusif disesuaikan dengan kemampuan dan

karakteristik peserta didik.

Pemerintah menyatakan bahwa kurikulum yang dipakai satuan pendidikan

penyelenggara pendidikan inklusif adalah Kurikulum Tingkat Satuan

46Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Policy Brief, Sekolah Inklusif;

Membangun Pendidikan Tanpa Diskriminasi, No. 9. Th.II/2008, Departemen Pendidikan

Nasional, h. 6-9.

Page 47: Kamal fuadi fitk

35

Pendidikan (KTSP) yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta

didik sesuai dengan bakat, minat dan potensinya47

.

Model kurikulum pendidikan inklusif terdiri dari:

a. Model kurikulum reguler

b. Model kurikulum reguler dengan modifikasi

c. Model kurikulum Program Pembelajaran Individual (PPI)48

Model kurikulum reguler, yaitu kurikulum yang mengikutsertakan peserta

didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti kurikulum reguler sama seperti

kawan-kawan lainnya di dalam kelas yang sama.

Model kurikulum reguler dengan modifikasi, yaitu kurikulum yang

dimodifikasi oleh guru pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun

pada program tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan peserta

didik berkebutuhan khusus. Di dalam model ini bisa terdapat siswa

berkebutuhan khusus yang memiliki PPI.

Model kurikulum PPI yaitu kurikulum yang dipersiapkan guru program PPI

yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas,

guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang

terkait.

Kurikulum PPI atau dalam bahasa Inggris Individualized Education

Program (IEP) merupakan karakteristik paling kentara dari pendidikan

inklusif. Konsep pendidikan inklusif yang berprinsip adanya persamaan

mensyaratkan adanya penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap

perbedaan individu. Maka PPI atau IEP menjadi hal yang perlu mendapat

penekanan lebih.

Thomas M. Stephens menyatakan bahwa IEP merupakan pengelolaan yang

melayani kebutuhan unik peserta didik dan merupakan layanan yang

47Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 Tentang

Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan

dan/atau Bakat Istimewa, Pasal 7. 48Direktorat, Pedoman Umum…, h. 19.

Page 48: Kamal fuadi fitk

36

disediakan dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan serta bagaimana

efektivitas program tersebut akan ditentukan49

.

Tenaga kependidikan merupakan salah satu unsur penting dalam pendidikan

inklusif. Tenaga kependidikan dalam pendidikan inklusif mendapat porsi

tanggung jawab yang jelas berbeda dengan tenaga kependidikan pada

pendidikan noninklusif. Perbedaan yang terdapat pada individu meniscayakan

adanya kompetensi yang berbeda dari tenaga kependidikan lainnya. Tenaga

kependidikan secara umum memiliki tugas seperti menyelenggarakan kegiatan

mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau

memberikan pelayanan teknis dalam bidang pendidikan.

Guru yang terlibat di sekolah inklusi yaitu guru kelas, guru mata pelajaran,

dan guru pembimbing khusus. Manajemen tenaga kependidikan antara lain

meliputi: (1)Inventarisasi pegawai, (2)Pengusulan formasi pegawai,

(3)Pengusulan pengangkatan, kenaikan tingkat, kenaikan berkala, dan mutasi,

(4)Mengatur usaha kesejahteraan, (5)Mengatur pembagian tugas50

.

Manajemen sarana-prasarana sekolah bertugas merencanakan,

mengorganisasikan, mengarahkan, mengkordinasikan, mengawasi, dan

mengevaluasi kebutuhan dan penggunaan sarana-prasarana agar dapat

memberikan sumbangan secara optimal pada kegiatan belajar mengajar.

Pendanaan pendidikan inklusif memerlukan manajemen keuangan atau

pendanaan yang baik. Walaupun penyelenggaraan pendidikan inklusif

dilaksanakan pada sekolah reguler dengan penyesuaian-penyesuaian, namun

tidak serta merta pendanaan penyelenggaraannya dapat diikutkan begitu saja

dengan pendanaan sekolah reguler. Maka diperlukan manajemen keuangan

atau pendanaan yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusif dan mengatasi berbagai permasalahan

terkait dengan pendanaan.

Pembiayaan pendidikan inklusif untuk wilayah DKI Jakarta bersumber pada

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada pos anggaran Dinas Dikdas,

49Thomas, Teaching Mainstreamed…, h. 19. 50Direktorat, Policy Brief…, h. 8.

Page 49: Kamal fuadi fitk

37

Dinas Dikmenti dan Kanwil Depag dan sumber lain yang sah. Pembiayaan

pelaksanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif untuk lembaga pendidikan

swasta dibebankan pada anggaran yayasan/lembaga pendidikan swasta yang

bersangkutan51

.

Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan inklusi, perlu dialokasikan dana

khusus, yang antara lain untuk keperluan: (1)Kegiatan identifikasi input siswa,

(2)Modifikasi kurikulum, (3)Insentif bagi tenaga kependidikan yang terlibat,

(4)Pengadaan sarana-prasarana, (5)Pemberdayaan peran serta masyarakat,

(6)Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar52

.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak hanya menjadi tanggung jawab

pemerintah. Stake holder pendidikan lain seperti masyarakat hendaknya selalu

dilibatkan dalam rangka memajukan pendidikan. Apalagi dalam semangat

otonomi daerah dimana pendidikan juga merupakan salah satu bidang yang

didesentralisasikan, maka keterlibatan masyarakat merupakan suatu keharusan.

Dalam rangka menarik simpati masyarakat agar mereka bersedia berpartisipasi

memajukan sekolah, perlu dilakukan berbagai hal, antara lain dengan

memberitahu masyarakat mengenai program-program sekolah, baik program

yang telah dilaksanakan, yang sedang dilaksanakan, maupun yang akan

dilaksanakan sehingga masyarakat mendapat gambaran yang jelas tentang

sekolah yang bersangkutan.

Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif perlu mengelola dengan baik

hubungan sekolah dengan masyarakat agar dapat tercipta dan terbina hubungan

yang baik dalam rangka upaya memajukan pendidikan di daerah.

Dalam pendidikan inklusif terdapat komponen manajemen layanan khusus.

Manajemen layanan khusus ini mencakup manajemen kesiswaan, kurikulum,

tenaga kependidikan, sarana-prasarana, pendanaan dan lingkungan. Kepala

51Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 116 Tahun 2007

Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi, Pasal 16 dan Pasal 17. Pendanaan penyelenggaraan

pendidikan inklusif tidak ditangani oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat pada Peraturan

Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta

Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Tidak

ada satu pasalpun yang menyebutkan bahwa pemerintah pusat terlibat dalam pembiayaan

penyelenggaraan pendidikan inklusif. 52Direktorat, Policy Brief…, h. 8.

Page 50: Kamal fuadi fitk

38

sekolah dapat menunjuk stafnya, terutama yang memahami ke-PLB-an, untuk

melaksanakan manajemen layanan khusus ini53

.

5. Pembelajaran Model Inklusif di Kelas Reguler

Pelaksanaan pembelajaran dalam kelas inklusif sama dengan pelaksanaan

pembelajaran dalam kelas reguler. Namun jika diperlukan, anak berkebutuhan

khusus membutuhkan perlakuan tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi

dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus.

Untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus

diperlukan proses skrining atau assesment yang bertujuan agar pada saat

pembelajaran di kelas, bentuk intervensi pembelajaran bagi anak berkebutuhan

khusus merupakan bentuk intervensi pembelajaran yang sesuai bagi mereka.

Assesment yang dimaksud yaitu proses kegiatan untuk mengetahui kemampuan

dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan kognitif dan

perkembangan sosial melalui pengamatan yang sensitif54

.

Seorang pendidik hendaknya mengetahui program pembelajaran yang sesuai

bagi anak berkebutuhan khusus. Pola pembelajaran yang harus disesuaikan

dengan anak berkebutuhan khusus biasa disebut dengan Individualized

Education Program (IEP) atau Program Pembelajaran Individual (PPI).

Perbedaan karakteristik yang dimiliki anak berkebutuhan khusus membuat

pendidikan harus memiliki kemampuan khusus.

Sebelum Program Pembelajaran Individual dijalankan oleh pendidik,

terlebih dahulu pendidik harus melakukan identifikasi terhadap kondisi dan

kebutuhan anak berkebutuhan khusus agar diperoleh informasi yang akurat

mengenai kebutuhan pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Setelah proses

skrining atau assesment dilakukan dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus

teridentifikasi, maka Program Pembelajaran Individual (IEP) dapat dijalankan

di kelas-kelas reguler. Program Pembelajaran Individual tersebut sebenarnya

tidak mutlak diperlukan bagi anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran

53Direktorat, Policy Brief…, h. 9. 54Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi,

(Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 1

Page 51: Kamal fuadi fitk

39

model inklusif di kelas reguler. Pada praktiknya ada beberapa anak

berkebutuhan khusus yang tidak memerlukan Program Pembelajaran

Individual. Mereka dapat belajar bersama dengan anak reguler dengan program

yang sama tanpa perlu dibedakan.

Program Pembelajaran Individual meliputi enam komponen, yaitu elicitors,

behaviors, reinforcers, entering behavior, terminal objective, dan enroute.

Secara terperinci, keenam komponen tersebut yaitu:

a. Elicitors, yaitu peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan atau

menyebabkan perilaku

b. Behaviors, merupakan kegiatan peserta didik terhadap sesuatu yang dapat

ia lakukan

c. Reinforcers, suatu kejadian atau peristiwa yang muncul sebagai akibat

dari perilaku dan dapat menguatkan perilaku tertentu yang dianggap baik

d. Entering behavior, kesiapan menerima pelajaran

e. Terminal objective, sasaran antara dari pencapaian suatu tujuan

pembelajaran yang bersifat tahunan

f. Enroute, langkah dari entering behavior menujut ke terminal objective55

Model pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus harus memperhatikan

prinsip umum dan prinsip khusus. Prinsip umum pembelajaran meliputi

motivasi, konteks, keterarahan, hubungan sosial, belajar sambil bekerja,

individualisasi, menemukan, dan prinsip memecahkan masalah. Prinsip umum

ini dijalankan ketika anak berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan

anak reguler dalam satu kelas. Baik anak reguler maupun anak berkebutuhan

khusus mendapatkan program pembelajaran yang sama. Prinsip khusus

disesuaikan dengan karakteristik masing-masing peserta didik berkebutuhan

khusus. Prinsip khusus ini dijalankan ketika peserta didik berkebutuhan khusus

membutuhkan pembelajaran individual melalui Program Pembelajaran

Individual (IEP)56

.

Model pembelajaran anak berkebutuhan khusus memerlukan komponen-

komponen tertentu yang meliputi:

55Bandi Delphie, Pembelajaran Anak, h. 150-151. 56Bandi Delphie, Pembelajaran Anak, h. 154.

Page 52: Kamal fuadi fitk

40

a. Rasional

Layanan pendidikan dan pembelajaran anak berkebutuhan khusus

seharusnya sejalan dan tidak lepas dari prinsip, kebijakan, dan praktik

dalam pendidikan berkebutuhan khusus.

b. Visi dan misi

Model pembelajaran anak berkebutuhan khusus mengarah pada visi dan

misi sebagai sumber pengertian bagi perumusan tujuan dan sasaran yang

harus ditetapkan

c. Tujuan pembelajaran

Tujuan pembelajaran anak berkebutuhan khusus harus didasarkan pada

visi dan misi pembelajaran yang sudah ditetapkan

d. Komponen dasar model pembelajaran

Berdasarkan pada visi dan misi pembelajaran, komponen-komponen

dasar model pembelajaran anak berkebutuhan khusus dapat

dikelompokkan menjadi:

1) Masukan yang berupa masukan mentah yang terdiri dari elicitors,

behaviors, dan reinforcers, masukan instrumen yang terdiri dari

program, guru kelas, tahapan, dan sarana, dan masukan lingkungan

yang berupa norma, tujuan, lingkungan, dan tuntutan

2) Proses yang terdiri dari atas program pembelajaran individual,

pelaksanaan intervensi, dan refleksi hasil pembelajaran

3) Keluaran berupa perubahan kompetensi setiap peserta didik yang

mempunyai kesulitan atau hambatan perkembangan diri

e. Komponen pendukung sistem model pembelajaran

Komponen pendukung sistem adalah kegiatan-kegiatan manajemen yang

bertujuan untuk memantapkan, memelihara, dan meningkatkan program

pembelajaran57

Proses identifikasi dalam bentuk skrining atau assesment yang dimaksud di

atas dapat digambarkan sebagai berikut:

57Bandi Delphie, Pembelajaran Anak, h. 154-157.

Page 53: Kamal fuadi fitk

41

1. RUJUKAN GURU

Catatan-catatan dari pengawas SD,

menghubungi orang tua siswa, observasi

guru, dan kemudian memberikan rujukan

pada kepala sekolah

2. SKRINING OLEH TIM PANITIA

Dilakukan oleh guru, kepala sekolah,

psikolog, perawat, dokter, ahli terapi guna

mendapatkan rekomendasi dilanjutkan ke

prosedur berikutnya atau dikembalikan ke

kelas reguler

3. REKOMENDASI OLEH 5

KOMPONEN

- Orang tua yang memberikan evaluasi

tentang anaknya mengenai cara berbicara

berbahasa, dan daya pendengaran

- Assesmen pendidikan

- Laporan hasil skrining oleh tim panitia

khusus

- Rujukan dari guru pengamat

- Kepala sekolah

Waktu evaluasi 45 hari

4. PANITIA PENGESAHAN

Terdiri atas guru, orang tua, para ahli

pendidikan, psikolog, pengawas PLB,

konselor,dan speech terapist

5. REKOMENDASI DARI 3 KOMPONEN

(Psychological, Sociological, Physical)

6. PROGRAM PEMBELAJARAN

INDIVIDUAL (IEP)

8. PENEMPATAN SISWA PADA

PROGRAM KEGIATAN SEKOLAH

YANG COCOK DENGAN

KEBERADAANNYA

20 hari

20 hari

STOP

STOP

10 hari

Gambar 2. Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi, dan Penempatan Peserta Didik dalam

Pendidikan Luar Biasa (Bandi Delphie, 2006: 8)

Page 54: Kamal fuadi fitk

42

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI

Jakarta. Adapun waktu penelitian terhitung mulai dari bulan April-Desember

2010.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui:

1. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

2. Implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi

DKI Jakarta

C. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode berparadigma deskriptif kualitatif.

Penelitian deskriptif ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang

ada secara alamiah maupun rekayasa manusia. Penelitian deskriptif

tidak

memberikan perlakukan, manipulasi atau pengubahan pada variabel, tetapi

menggambarkan suatu kondisi apa adanya1. Dalam penelitian ini, peneliti hanya

1Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2008), cet. Ke-4, h. 72-74

Page 55: Kamal fuadi fitk

43

melakukan penelitian terhadap fenomena yang alamiah terkait kebijakan

penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Metode penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud memahami

fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian secara holistik dengan cara

deskripsi dalam kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah

dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah2.

Penelitian ini dilaksanakan untuk menggambarkan realitas empiris sesuai

dengan fenomena yang terjadi secara rinci dan tuntas serta untuk mengungkapkan

gejala secara holistik melalui pengumpulan data dari latar yang alami dengan

peneliti sebagai instrumen kunci.

Adapun jenis penelitian yang dipilih peneliti yaitu studi kasus dengan

menghimpun dan menganalisis data berkenaan dengan kasus pendidikan inklusif.

Data-data yang terkait dengan proses analisis kebijakan penyelenggaraan

pendidikan inklusif akan dihimpun untuk kemudian dianalisis.

D. Sumber Data

Sumber data penelitian ini terdiri dari dua macam, yaitu sumber data primer

dan sumber data sekunder.

1. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data

kepada pengumpul data. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sumber

data primer dari Kepala Bidang TK, SD, dan PLB Dinas Pendidikan DKI

Jakarta, guru satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif, dan

LSM Hellen Keller Internasional (HKI).

2. Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung

memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau

dokumen. Sumber data sekunder dalam penelitian ini berasal dari data

tertulis lembaga

Dengan sumber data primer dan sekunder di atas, penelitian ini diharapkan

dapat memperoleh data-data valid dan holistik yang diperlukan dalam

menganalisa permasalahan yang menjadi fokus penelitian.

2Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2009), cet. ke-29, h. 6

Page 56: Kamal fuadi fitk

44

Pada dasarnya, sumber data dalam penelitian dengan menggunakan metode

kualitatif berkembang terus (snowball) secara bertujuan (purposive) sampai data

yang dikumpulkan dianggap memuaskan3. Dengan demikian, bila dimungkinkan

maka sumber data dalam penelitian dapat bertambah dari sumber data yang telah

ditentukan jika sumber data yang telah ditentukan tersebut belum dapat

memberikan data yang relevan dengan penelitian.

E. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan, peneliti menggunakan teknik

pengumpulan data sebagai berikut:

1. Wawancara

Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian

dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara penanya atau

pewawancara dengan penjawab atau interviewee dengan atau tanpa

menggunakan panduan wawancara4.

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara

mendalam (in-depth interview) bebas atau wawancara tidak terstruktur.

Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui secara mendetail mengenai

fokus penelitian dengan menanyakan langsung kepada informan kunci (key

informan) sehingga didapatkan data-data yang valid dari narasumber yang

terkait dengan fokus penelitian.

2. Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk mencari data

mengenal hal-hal atau variabel yang berupa catatan-catatan, transkrip,

buku, surat kabar, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya.

Pada intinya, metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk

meneliti data historis5.

3Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: PT. Bumi

Aksara, 2008, h. 78. 4M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu

Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 108. 5Burhan, Penelitian Kualitatif…, h. 121.

Page 57: Kamal fuadi fitk

45

Dokumentasi dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu dokumen

resmi dan dokumen pribadi. Dokumen resmi merupakan dokumen yang

berasal dari suatu lembaga atau organisasi. Dokumen resmi terbagi atas

dokumen internal (berupa memo, pengumuman, instruksi, aturan suatu

lembaga masyarakat tetapi digunakan dikalangan sendiri)dan dokumen

eksternal (yang berupa majalah, buletin, penyataan dan berita yang

disiarkan kepada media masa). Dokumen pribadi merupakan catatan

seseorang secara tertulis tentang tindakan, pengalaman dan kepercayaan.

Dokumen pribadi dapat berupa buku harian, surat pribadi dan autobiografi6.

Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa dokumen resmi

dalam bentuk dokumen internal yang ada dimiliki Dinas Pendidikan DKI

Jakarta. Selain itu, dokumen internal lain yang digunakan dalam penelitian

ini yaitu dokumen milik sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan

inklusif. Peneliti tidak menggunakan dokumen pribadi karena peneliti tidak

menemukan data dokumen tersebut.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan suatu cara yang digunakan untuk menguraikan

keterangan-keterangan atau data-data yang diperoleh agar data-data tersebut dapat

dipahami bukan saja oleh orang yang meneliti (peneliti), akan tetapi juga oleh

orang lain yang ingin mengetahui hasil penelitian itu.

Dalam penelitian kualitatif, analisis data bersifat interaktif, berlangsung dalam

lingkaran yang saling tumpang tindih7. Analisis kualitatif cenderung

menggunakan pendekatan logika induktif, dimana silogisme dibangun

berdasarkan pada hal-hal yang khusus atau data di lapangan dan bermuara pada

kesimpulan-kesimpulan umum8.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis

data deskriptif kualitatif. Data-data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan

6Burhan, Penelitian Kualitatif…, h. 122-123. 7Nana, Metode Penelitian…, h. 114. 8Burhan, Penelitian Kualitatif…, h. 143.

Page 58: Kamal fuadi fitk

46

dianalisis dengan membuat kategorisasi agar mempermudah dalam penafsiran

data. Masing-masing data yang telah dikategorisasi, dikaitkan untuk memperoleh

hubungan agar sampai pada kesimpulan.

Secara sistematis, dalam menganalisa data penelitian ini, data yang diperoleh

dalam penelitian terlebih dahulu dicatat dan diberi kode agar sumber datanya

dapat ditelusuri. Setelah proses pencatatan selesai, data-data tersebut dikumpulkan

untuk dipilah-pilah dan dikategorikan. Agar kategori tersebut memiliki makna,

maka dicari hubungan-hubungan dan pola-pola yang terdapat dalam data untuk

dibuat temuan-temuan umum9. Dengan langkah analisis data deskriptif kualitatif

demikian dapat diperoleh hasil penelitian yang mencerminkan hasil sebenarnya

yang diharapkan.

9Lexy, Metodologi Penelitian…, h. 248.

Page 59: Kamal fuadi fitk

47

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

Jakarta adalah kota yang bisa menjanjikan kehidupan yang nyaman dan

sejahtera, apabila kita semua, dalam hal ini pemerintah dan masyarakat, dapat

menjawab tantangan, menyelesaikan permasalahan dan dapat memanfaatkan

potensi dan peluang yang ada.

Kita telah ketahui bersama bahwa Jakarta tidak memiliki sumber daya alam

sebagaimana di provinsi-provinsi lain, sementara itu Jakarta dihadapkan pada

berbagai permasalahan yang cukup kompleks terkait dengan kedudukan dan

fungsi Jakarta sebagai Ibukota Negara, baik permasalahan penduduk, masalah

ekonomi, maupun terkait dengan permasalahan sosial budaya.

Dari sejumlah permasalahan yang dihadapi kota Jakarta, khususnya yang

terkait dengan sumber daya manusia diperlukan satu solusi untuk penyelesaiannya

antara lain dengan cara meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat

Jakarta agar mereka dapat menjadi sumber daya manusia yang memiliki karakter

terpuji, rasa nasionalisme yang tinggi dan tangguh, kompetensi, keterampilan,

Page 60: Kamal fuadi fitk

48

serta sehat rohani dan jasmani sehingga akan tangguh menghadapi berbagai

tantangan dan permasalahan yang dihadapi Ibukota dan juga dunia global.

Tidak dapat dipungkiri dengan kedudukan Jakarta sebagai Ibukota Negara

Republik Indonesia, Pusat Pemerintahan, Kota Jasa, Pintu Gerbang Dari dan Ke

Manca Negara, Lokasi Perkantoran dan Perwakilan Duta-Duta Bangsa. Sebagai

kota yang tidak memiliki sumber kekayaan alam, maka sumber daya manusia

yang ada harus terus dikembangkan agar bisa sejajar dengan kota-kota besar

lainnya di dunia. Pengembangan sumber daya manusia dapat dilakukan tidak lain

melalui peningkatan mutu pendidikan. Pendidikan memegang peranan penting

dan sebagai salah satu kunci keberhasilan pembangunan nasional dan daerah.

Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan di Provinsi DKI Jakarta harus dilandasi

dengan kemampuan dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (serta

imtak) yang merupakan cerminan keberhasilan bangsa Indonesia dimasa

mendatang.

Untuk membentuk sumber daya manusia yang memiliki karakter tersebut harus

dipersiapkan melalui suatu proses pembelajaran dan pendidikan pada lembaga

pendidikan yang memiliki kualitas, baik pada lembaga pendidikan jalur

pendidikan formal, non formal, dan informal.

Semua anggota masyarakat, bersama dengan seluruh jajaran Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta memiliki tanggungjawab untuk mencari solusi dalam

menyelesaikan permasalahan sekaligus mengelola dan memanfaatkan potensi dan

peluang yang ada. Untuk itulah diperlukan adanya kebersamaan dalam pelayanan

pendidikan di Provinsi DKI Jakarta untuk membangun sumber daya manusia

dalam mencapai cita-cita dan menjadikan Provinsi DKI Jakarta menjadi sesuai

visi yaitu ”Jakarta yang Nyaman dan Sejahtera untuk Semua”.

Dalam penyelenggaraan pendidikan harus berorientasi pada masa depan,

karena ke depan tantangan pendidikan akan semakin kompleks seiring dengan

persaingan global sehingga pendidikan harus terus-menerus melakukan

penyesuaian dengan gerak perkembangan ilmu pengetahuan modern dan inovasi.

Page 61: Kamal fuadi fitk

49

1. Visi dan Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

a. Visi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

Visi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yaitu “Mewujudkan

Layanan Pendidikan yang Bermutu Tinggi dalam Membangun Insan

yang Cerdas dan Kompetitif1”

Penjelasan makna atas pernyataan visi dimaksud adalah terciptanya

upaya peningkatan pemerataan akses memperoleh pendidikan yang

bermutu dan terjangkau bagi masyarakat Jakarta sehingga tercipta rasa

nyaman dalam memperoleh layanan pendidikan. Selain itu visi tersebut

mengandung maksud adanya peningkatan kualitas lulusan pendidikan

formal dan nonformal yang cerdas secara komprehensif yang meliputi

cerdas spiritual, cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan

cerdas kinestetis. Kompetitif dimaksudkan dalam rangka mengupayakan

lulusan pendidikan untuk dapat berdaya saing global dan melanjutkan ke

jenjang pendidikan yang lebih tinggi maupun dapat bekerja di

mancanegara.

b. Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yaitu:

1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh

pendidikan yang bermutu bagi seluruh masyarakat Jakarta

2. Mewujudkan pendidikan yang kompetitif untuk menghadapi

perubahan

3. Meningkatkan standar kualitas layanan pendidikan

4. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan

pengelolaan pendidikan

5. Penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik2

Penjelasan makna atas pernyataan misi dimaksud adalah:

1Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Kebijakan Dinas Pendidikan, h. 1 2Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 1

Page 62: Kamal fuadi fitk

50

1. Melayani masyarakat dalam penyediaan sarana dan prasarana

pendidikan formal dan nonformal, sehingga dirasakan oleh

masyarakat luas mudah mendapatkan layanan di segala jenis dan

jenjang pendidikan yang bermutu

2. Mengupayakan lulusan pendidikan di DKI Jakarta untuk dapat

berdaya saing global dalam rangka menghadapi setiap perubahan

3. Melayani masyarakat dengan prinsip pelayanan prima yakni

mengutamakan norma pelayanan pendidikan berdasar pada standar

minimal pelayanan pendidikan dengan selalu mengupayakan

peningkatan mutu para tenaga kependidikan maupun lulusan

pendidikan formal dan nonformal melalui beberapa kegiatan yang

dapat berdaya saing global serta membangun sarana dan prasarana

pendidikan yang menjamin kenyamanan dengan memperhatikan

prinsip pembangunan pendidikan yang berkelanjutan

4. Memberdayakan masyarakat dengan prinsip pemberian otoritas pada

masyarakat untuk mengenali permasalahan yang dihadapi dan

mengupayakan pemecahan yang terbaik pada tahapan perencanaan,

pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian penyelenggaraan, dan

pengelolaan pendidikan

5. Mengedepankan prinsip bersih, transparan, dan profesional dalam

rangka membangun tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik

pendidikan

2. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan Peraturan Daerah

Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah, terdiri dari

Sekretariat dan 7 (tujuh) bidang yakni Bidang Taman Kanak-Kanak,

Sekolah Dasar, dan Pendidikan Luar Biasa, Bidang Sekolah Menengah

Pertama dan Sekolah Menengah Atas, Bidang Sekolah Menengah Kejuruan,

Bidang Pendidikan Non Formal dan Informal, Bidang Tenaga Pendidikan,

Bidang Sarana Prasarana Pendidikan, Bidang Standarisasi dan Pendidikan

Tinggi. Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta juga memiliki UPT, yaitu

Page 63: Kamal fuadi fitk

51

BP3LS, 5 BPPK, UPT Planetarium dan Observatorium, BPTKD. Adapun

tugas pokok dan fungsi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta adalah

sebagai berikut:

a. Tugas Pokok Dinas Pendidikan

Melaksanakan urusan pendidikan

b. Fungsi Dinas Pendidikan

1. Penyusunan dan pelaksanaan rencana kerja dan anggaran dinas

pendidikan

2. Perumusan kebijakan tenis pelaksanaan urusan pendidikan

3. Pelaksanaan pendidikan pra sekolah, dasar, menengah, dan luar biasa

serta pendidikan nonformal dan informal

4. Pembinaan pendidikan prasekolah, dasar, menengah, dan luar biasa

serta pendidikan nonformal dan informal

5. Pelayanan pendidikan prasekolah, dasar, menengah, dan luar biasa

serta pendidikan nonformal dan informal

6. Pengkajian dan pengembangan pendidikan prasekolah, dasar,

menengah, dan luar biasa serta pendidikan nonformal dan informal

7. Pengawasan dan pengendalian pendidikan prasekolah, dasar,

menengah, dan luar biasa serta pendidikan nonformal dan informal

8. Pembinaan dan pengembangan tenaga fungsional kependidikan dan

tenaga teknis pendidikan

9. Fasilitasi pengembangan kerjasama antar lembaga pendidikan

10. Pemberian rekomendasi pendirian dan penutupan satuan pendidikan

tinggi

11. Pelayanan, pembinaan, dan pengendalian rekomendasi, standarisasi

dan/atau perizinan di bidang pendidikan

12. Penegakan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan

13. Pemungutan, penatausahaan, penyetoran, pelaporan, dan

pertanggungjawaban penerimaan retribusi pendidikan

14. Penyediaan, penatausahaan, penggunaan, pemeliharaan, dan

perawatan sarana dan prasarana pendidikan

Page 64: Kamal fuadi fitk

52

15. Pemberian dukungan teknis kepada masyarakat dan perangkat

daerah

16. Pengelolaan kepegawaian, keuangan, barang, dan ketatausahaan

dinas pendidikan

17. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi

3. Tujuan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

a. Meningkatkan upaya peningkatan kualitas proses pembelajaran pada

semua jenjang pendidikan

b. Meningkatkan kualitas dan kemandirian pengelolaan pendidikan yang

berdaya saing global

c. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesionalisme tenaga

pendidik dan tenaga kependidikan

d. Meningkatkan pembinaan perguruan tinggi sebagai bagian integral dari

tata kota

e. Mengentaskan masyarakat putus sekolah dan meningkatkan pengetahuan

dan keterampilan (kecakapan hidup) warga belajar3

4. Sasaran Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

a. Peningkatan mutu program dan relevansi pendidikan

b. Pengembangan dan peningkatan sarana pendidikan

c. Peningkatan mutu manajemen pendidikan

d. Peningkatan materi pendidikan agama, kewarganegaraan dan

ekstrakurikuler

e. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan (kecakapan hidup) serta mutu

lulusan

f. Peningkatan pendidikan nonformal dan informal (PNFI) dan

keterampilan masyarakat

g. Pembinaan perguruan tinggi4

5. Strategi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

3Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 1 4Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 2

Page 65: Kamal fuadi fitk

53

Mendorong upaya pemerataan kesempatan Pendidikan Anak Usia Dini,

pendidikan dasar, pendidikan luar biasa, pendidikan menengah kepada

kelompok yang kurang mampu melalui kebijakan yang mendorong

terciptanya pendidikan-pendidikan alternatif khususnya Pendidikan

Nonformal Informal (PNFI), mengurangi angka putus sekolah dengan

memperhatikan keterjangkauan biaya, serta meningkatkan peran pendidikan

tinggi guna mendukung upaya peningkatan kerjasama antar perguruan

tinggi5.

6. Arah Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

Berdasarkan rumusan program strategis atas visi dan misi Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta terkait dengan pembangunan bidang pendidikan yaitu

Peningkatan Akses dan Mutu Pendidikan yang meliputi 9 (sembilan)

kebijakan yaitu: Penuntasan Wajib Belajar 12 Tahun, Meminimalkan

Jumlah Siswa yang Drop Out, Peningkatan Mutu Lulusan, Peningkatan

Standar Kualitas Layanan Pendidikan, Peningkatan Kompetensi Guru

(Standar Asia), Peningkatan Kapasitas Manajemen Sekolah, Peningkatan

Daya Tampung dan Mutu Lulusan SMK, Bantuan Biaya Pendidikan Bagi

Masyarakat Miskin, dan Meningkatkan Jumlah Sarana Tempat Belajar

Mengajar6.

7. Sasaran Strategik Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

Sasaran strategik yang akan dicapai Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

yaitu:

a. Menurunnya jumlah siswa yang drop out

b. Meningkatnya daya tampung

c. Menurunnya angka buta aksara

d. Meningkatnya pembinaan pendidikan kesetaraan

e. Meningkatnya standar kualitas layanan pendidikan

f. Meningkatnya mutu lulusan

g. Meningkatnya kualifikasi dan sertifikasi guru

5Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 2 6Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Rencana Strategis Dinas Pendidikan Provinsi DKI

Jakarta Tahun 2009-2013, h. 66

Page 66: Kamal fuadi fitk

54

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

TK SD SMP SMA SMK PKBM

9

2249

306

116 62 35

1733

753 631

381

512

175

1742

3002

937

497 574

210

N S JML

h. Meningkatnya pengembangan ICT dalam KBM

i. Meningkatnya sarana dan prasarana belajar mengajar

j. Meningkatnya penyelenggaraan akreditasi dan mutu pendidikan

k. Meningkatnya pemberdayaan komite sekolah dan dewan pendidikan

l. Meningkatnya penerapan manajemen peningkatan mutu berbasis

sekolah7

8. Kondisi Sekolah, Siswa, dan Guru di Lingkungan Dinas Pendidikan

Provinsi DKI Jakarta

Kondisi sekolah, siswa, dan guru di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi

DKI Jakarta dapat dilihat dari ilustrasi gambar-gambar di bawah ini. Data

pada gambar-gambar tersebut merupakan data pada tahun 2008. Jumlah

sekolah, dari mulai tingkat TK hingga tingkat SMA, baik negeri maupun

swasta yaitu:

Gambar 38

Jumlah Sekolah di Provinsi DKI Jakarta

7Dinas, Rencana Strategis…, h. 66 8Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 2

Page 67: Kamal fuadi fitk

55

609

9277993388

670559

192323

862882

227722

135465

363187

9188685731

177617

41848

157751

199599

3933

0

100000

200000

300000

400000

500000

600000

700000

800000

900000

TK SD SMP SMA SMK PKBM

N S JML

Gambar di atas menunjukkan bahwa sekolah di Provinsi DKI Jakarta

berjumlah 6.962 sekolah yang terdiri dari 2.777 sekolah negeri dan 4.185

sekolah swasta.

Adapun jumlah siswa di Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada gambar di

bawah ini:

Gambar 49

Jumlah siswa di Provinsi DKI Jakarta

Gambar di atas menunjukkan bahwa jumlah total siswa yang ada terdapat di

sekolah-sekolah di Provinsi DKI Jakarta yaitu 1.696.673 siswa. Mereka

yang menempuh pendidikan di sekolah negeri berjumlah 1.032.624 siswa.

Adapun yang menempuh pendidikan di sekolah swasta berjumlah 664.049

siswa.

Jumlah pendidik di Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada gambar di

bawah ini:

9Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 2

Page 68: Kamal fuadi fitk

56

57

8938 8995

28802

11374

40176

11242

9853

21095

6773

9144

15917

3153

12696

15849

30918

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

40000

45000

TK SD SMP SMA SMK PKBM

N S JML

Gambar 510

Jumlah Pendidik di Provinsi DKI Jakarta

Jumlah pendidik di Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan gambar di atas, yaitu

102.032 orang yang terdiri dari 50.027 pendidik di sekolah negeri dan

52.005 pendidik di sekolah swasta.

B. Deskripsi dan Analisis Data

Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan mengenai kebijakan

penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta, penulis

menemukan data-data yang terkait dengan kebijakan penyelenggaraan

pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta. Data-data tersebut penulis

temukan dengan menggunakan metode dokumentasi dan wawancara. Data-data

yang penulis temukan sebagai berikut:

1. Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI

Jakarta

Penyelenggaraan pendidikan inklusif merupakan masalah yang telah

menjadi konsen bersama. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif

10Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 3

Page 69: Kamal fuadi fitk

57

merupakan kebijakan yang mengacu kepada beberapa ketetapan yang telah

digariskan oleh kesepakatan di tingkat dunia dan ketetapan yang telah

digariskan pemerintah Indonesia di tingkat pusat.

Pendidikan inklusif yang dimaksud dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merupakan pendidikan bagi peserta didik

yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran

karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi

kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan tersebut secara yuridis

dimasukkan ke dalam jenis pendidikan khusus yang diselenggarakan secara

inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar

dan menengah11

. Dari sini dapat dipahami bahwa pendidikan inklusif

merupakan salah satu pendidikan yang secara khusus diselenggarakan bagi

peserta didik yang berkelainan.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009

Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan

dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa disebutkan

bahwa peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial,

dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa perlu

mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan hak

asasinya. Layanan pendidikan tersebut dapat diselenggarakan secara

inklusif12

. Layanan pendidikan yang dimaksud dalam peraturan tersebut

merupakan sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan

kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan

memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti

pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara

bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pada intinya, semua

11

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 15, Pasal

32, dan Penjelasan Pasal 15 12Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif

bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat

Istimewa

Page 70: Kamal fuadi fitk

58

peserta didik, dalam kondisi bagaimana pun, mendapatkan layanan

pendidikan yang sama.

Pendidikan inklusif juga diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi

DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Sistem Pendidikan. Dalam Perda

tersebut ditetapkan bahwa warga masyarakat yang memiliki kelainan fisik,

mental, emosional, dan mengalami hambatan sosial berhak memperoleh

pendidikan khusus. Begitu pula dengan warga masyarakat yang memiliki

potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa juga berhak mendapatkan

pendidikan khusus. Pendidikan khusus tersebut berfungsi memberikan

layanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan

dalam mengikuti proses pembelajaran karena kendala fisik, emosional,

mental, sosial dan/atau peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan

dan/atau bakat istimewa. Pendidikan khusus tersebut diselenggarakan

melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan informal. Pendidikan

khusus formal bagi peserta didik yang memiliki kendala fisik, emosional,

mental, sosial berbentuk Sekolah Luar Biasa (SLB) dan/atau kelas inklusif

sesuai dengan jenjang masing-masing. Pendidikan khusus nonformal

berbentuk lembaga kursus, kelompok belajar, lembaga pelatihan serta

satuan pendidikan lain yang sederajat. Pendidikan khusus informal

berbentuk pendidikan keluarga dan lingkungan. Jenis pendidikan khusus

dapat berupa pendidikan umum, kejuruan, keagamaan, dan khusus13

.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan penyelenggaraan

pendidikan inklusif lewat Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor

116 Tahun 2007 Tentang Pendidikan Inklusif. Hal ini sebagaimana

dikatakan Ibu Septi Novida, Kepala Bidang TK, SD, PLB Dinas Pendidikan

Provinsi DKI Jakarta, yaitu:

“…kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif di DKI

Jakarta berdasarkan hasil kebijakan yang juga sudah ditetapkan oleh

pemerintah pusat melalui Direktorat PSLB Kementrian Pendidikan

13Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Sistem Pendidikan

Page 71: Kamal fuadi fitk

59

Nasional. Kebijakan Direktorat PSLB ini terkait dengan kesepakatan di

tingkat dunia dimana anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus,

khususnya dalam hal fisik dan emosional diberikan kesempatan untuk

bersekolah atau mengenyam pendidikan. Sebenarnya dari dulu, anak-

anak yang memiliki kebutuhan khusus ini sudah diberi kesempatan untuk

mengenyam pendidikan di SLB. Namun kenapa tidak jika pendidikan

mereka dijadikan satu di sekolah reguler dari mulai tingkat TK, SD,

SMP, dan SMA/SMK. Terkait dengan itu, tahun 2007 keluar Peraturan

Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 116 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif dimana di dalamnya memuat

ketentuan bahwa masing-masing kecamatan di Provinsi DKI Jakarta

harus memiliki lembaga yang menampung dan melayani anak-anak

berkebutuhan khusus…”14

Pendidikan inklusif yang diselenggarakan di lingkungan Dinas Pendidikan

Provinsi DKI Jakarta adalah pendidikan yang ditujukan bagi anak-anak

berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, mental,

dan emosional agar mereka dapat belajar bersama-sama di sekolah reguler

bersama-sama anak-anak normal lain. Hal tersebut didukung dengan

pernyataan yang diberikan Dra. Septi Novida, M.Pd yaitu:

“…anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, khususnya dalam hal

fisik dan emosional diberikan kesempatan untuk bersekolah atau

mengenyam pendidikan. Sebenarnya dari dulu, anak-anak yang memiliki

kebutuhan khusus ini sudah diberi kesempatan untuk mengenyam

pendidikan di SLB. Namun kenapa tidak jika pendidikan mereka

dijadikan satu di sekolah reguler dari mulai tingkat TK, SD, SMP, dan

SMA/SMK”15

.

Wawancara yang penulis lakukan dengan guru program inklusif di

lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta juga menunjukkan

bahwa pendidikan inklusif yang diselenggarakan di Provinsi DKI Jakarta

ditujukan bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan

dalam hal fisik, mental, dan emosional. Guru di SMP Negeri 223 Pasar

Rebo Jakarta Timur menyatakan:

“…Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang tidak membeda-bedakan

kemampuan peserta didik. Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang

14Wawancara dengan Septi Novida, Kepala Bidang TK, SD, PLB Dinas Pendidikan Provinsi

DKI Jakarta (23 November 2010 Pukul 07.30) di Kantor Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta 15Wawancara dengan Septi Novida

Page 72: Kamal fuadi fitk

60

merangkul kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam diri peserta

didik…”16

Ibu Fitri dari Hellen Keller Internasional (HKI) menyatakan bahwa

pendidikan inklusif yaitu:

“…Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang memberi kesempatan

kepada peserta didik yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, mental,

dan emosional untuk dapat belajar bersama di sekolah reguler bersama

anak-anak normal lain…”17

Manajer program inklusi di SMA Negeri 66 Cilandak Jakarta Selatan

memberikan pemaparan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif

yaitu:

“…Pendidikan inklusif seringkali salah dipahami oleh sebagian besar

masyarakat. Pendidikan inklusif sebenarnya bukan hanya mengakomodir

kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam diri peserta didik seperti

kekurangan dalam hal fisik, emosional, dan mental saja, namun lebih

jauh pendidikan inklusif harus dimaknai lebih luas dimana seharusnya

pendidikan merangkul semua kekurangan karena sejatinya setiap orang

memiliki kekurangan…”18

Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas, pendidikan inklusif yang

diselenggarakan di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ingin

memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan hak yang dimiliki

setiap peserta didik atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual,

sebagaimana dinyatakan MIF Baihaqi dan M. Sugiarmin. Peserta didik yang

memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar

yang luar biasa diberikan akses terhadap pendidikan yang bermutu di

sekolah-sekolah reguler19

.

16Wawancara dengan Sukarto, Guru Inklusi SMP Negeri 223 Pasar Rebo (9 Desember 2010,

Pukul 13.00) di ruang guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo 17Wawancara dengan Fitri, Hellen Keller Internasional (HKI) (26 Nopember 2010 Pukul

10.00) di ruang pelatihan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta 18Wawancara dengan Suparno, Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak (17

Desember 2010 Pukul 12.30) di ruang guru SMA Negeri 66 Cilandak 19MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, (Bandung: PT.

Refika Aditama, 2006), h. 75-76.

Page 73: Kamal fuadi fitk

61

Selain itu, penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas

Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, sebagaimana dinyatakan Daniel P.

Hallahan, memberikan kesempatan yang sama kepada setiap peserta didik

berkebutuhan khusus untuk ditempatkan bersama-sama dengan peserta didik

normal lainnya dalam kelas yang sama sepanjang hari20

. Pendidikan inklusif

memang berusaha merangkul semua kekurangan yang terdapat dalam diri

peserta didik. Sesuai dengan yang dinyatakan Gavin Reid bahwa pendidikan

inklusif memang dimaksudkan untuk menghilangkan perbedaan dengan

berpijak pada prinsip persamaan, keadilan, dan hak individu21

.

Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

dimaksudkan untuk menghilangkan pembedaan yang selama ini terjadi

kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Pendidikan segregatif di SLB

(Sekolah Luar Biasa) yang selama ini diperuntukkan bagi anak-anak

berkebutuhan khusus memisahkan mereka dari kenormalan, sehingga

mereka terbiasa dengan ketidaknormalan yang selama ini dilekatkan kepada

mereka. Dengan penyelenggaraan pendidikan inklusif tersebut, diharapkan

agar halangan yang selama ini membatasi akses anak-anak berkebutuhan

khusus untuk mendapatkan pendidikan yang layak dapat teratasi.

Hanya saja peraturan perundangan seperti Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Nomor 70 Tahun 2009 dan Peraturan Gubernur Provinsi DKI

Jakarta Nomor 116 Tahun 2006 memberikan batasan mengenai siapa saja

yang termasuk dalam kategori peserta didik berkebutuhan khusus. Peserta

didik yang dimaksud dalam pendidikan inklusif sebagaimana disebutkan

dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 terdiri

atas:

a. Tunanetra

b. Tunarungu

20Daniel P. Hallahan dkk., Exceptional Learners: An Introduction to Special Education,

(Boston: Pearson Education Inc., 2009), cet. ke-10, h. 53. 21Gavin Reid, Dyslexia and Inclusion, Classroom Approaches for Assesment, Teaching and

Learning, (London: David Fulton Publisher, 2005), h. 88

Page 74: Kamal fuadi fitk

62

c. Tunawicara

d. Tunagrahita

e. Tunadaksa

f. Tunalaras

g. Berkesulitan belajar

h. Lamban belajar

i. Autis

j. Memiliki gangguan motorik

k. Menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif

lainnya

l. Memiliki kelainan lainnya

m. Tunaganda22

Dalam Pergub Nomor 116 Tahun 2007 disebutkan bahwa peserta didik

berkebutuhan khusus yang dimaksud dalam pendidikan inklusif yaitu:

a. Siswa dengan gangguan penglihatan

b. Siswa dengan gangguan pendengaran

c. Siswa dengan gangguan wicara

d. Siswa dengan gangguan fisik

e. Siswa dengan kesulitan belajar

f. Siswa dengan gangguan lambat belajar

g. Siswa dengan gangguan pemusatan pemikiran

h. Siswa cerdas istimewa, dan

i. Siswa yang memiliki kebutuhan khusus secara sosial23

Dengan pembatasan ini, maka tidak semua peserta didik yang memiliki

kekurangan dapat menjadi peserta didik pendidikan inklusif. Dalam

implementasi di lapangan ditemukan data bahwa tidak semua kelainan yang

dikategorikan pemerintah ke dalam jenis kelainan atau kebutuhan khusus

dapat ditemukan di sekolah sekolah reguler. Hal ini diakui oleh Kepala

22Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 23Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007

Page 75: Kamal fuadi fitk

63

Bidang TK/SD/PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dimana

sebagian besar peserta didik yang kelainan atau berkebutuhan khusus yang

masuk ke sekolah inklusif yaitu peserta didik kategori A (tunanetra).

Kelainan lain yang banyak ditemukan di sekolah-sekolah inklusif yaitu

peserta didik dengan kategori B (tunarungu) dan C (tunagrahita), walaupun

keduanya juga jarang ditemukan. Selain itu, peserta didik yang memiliki

kelainan fisik dan harus memakai alat bantu seperti kursi roda juga jarang

ditemukan. Hingga penelitian skripsi ini dilakukan untuk mengumpulkan

data, penulis tidak menemukan data mengenai jumlah dan kategori kelainan

peserta didik yang terdapat di sekolah inklusif.

Di sekolah inklusif seperti SMP Negeri 223 Pasar Rebo Jakarta Timur dan

SMA Negeri 66 Cilandak Jakarta Selatan sebagian besar peserta didik

berkebutuhan khusus adalah peserta didik kategori A. Kategori lain yang

juga banyak terdapat di sekolah tersebut yaitu anak-anak autis.

Pada prinsipnya, sesuai dengan konsep dasar pendidikan inklusif, Dinas

Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memberikan arahan agar semua kelainan

atau kebutuhan khusus yang tertera dalam peraturan baik Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional maupun Peraturan Gubernur untuk diterima sebagai

peserta didik di sekolah-sekolah inklusif yang telah ditunjuk. Namun

sebagaimana ditemukan dalam penelitian, tidak serta merta semua peserta

didik dengan kelainan atau kebutuhan khusus dapat diterima menjadi

peserta didik sekolah inklusif. Peserta didik yang ingin mendaftarkan diri di

sekolah inklusif harus melalui tahap identifikasi (skrining atau assesment)

agar diketahui kondisi dan kebutuhan peserta didik tersebut. Peserta didik

dengan kelainan ekstrem tidak dapat diterima menjadi peserta didik di

sekolah inklusif karena memang diakui pihak sekolah belum memiliki

Sumber Daya Manusia yang memadai untuk menangani kelainan ekstrem

tersebut.

Page 76: Kamal fuadi fitk

64

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta lewat Kepala Bidang TK/SD/PLB

mengakui bahwa sebenarnya pihak Dinas telah menunjuk beberapa guru

SLB untuk menjadi Guru Pembimbing Khusus (GPK) untuk membantu

proses penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah, namun hingga kini

jumlah GPK terus berkurang bahkan keberadaannya tidak jelas.

Selain tidak tertampungnya semua kelainan atau kebutuhan khusus peserta

didik di sekolah inklusif, peserta didik dengan kecerdasan luar biasa

dan/atau bakat istimewa sebagai peserta didik yang diikutsertakan dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusif jarang mendapatkan sorotan. Padahal

sebagaimana kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional dan Peraturan Gubernur, peserta didik dengan kecerdasan luar

biasa dan/atau baka istimewa merupakan salah satu kategori peserta didik

yang diikutsertakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Jarangnya

sorotan terhadap peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau bakat

istimewa terlihat dari jarangya penyebutan peserta didik dengan kecerdasan

luar biasa dan/atau bakat istimewa dalam setiap kesempatan yang berkaitan

dengan pendidikan inklusif. Saat wawancara penulis lakukan dengan

beberapa narasumber, jarang sekali narasumber menyinggung mengenai

peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau bakat istimewa. Begitu

pula saat pelatihan untuk guru-guru sekolah inklusif penulis ikuti, jarang

sekali pembahasan mengenai peserta didik dengan kecerdasan luar biasa

dan/atau bakat istimewa menjadi salah satu fokus.

Jika mengacu kepada konsep pendidikan inklusif, peserta didik dengan

kecerdasan dan/atau bakat istimewa tidak menjadi salah satu kategori yang

perlu dimasukkan dalam pendidikan inklusif, karena istilah pendidikan

inklusif, menurut J. David Smith, digunakan untuk mendeskripsikan

penyatuan anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam

program sekolah. Konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai

Page 77: Kamal fuadi fitk

65

pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam

kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah24

.

Dari dokumen yang penulis dapatkan, kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi

DKI Jakarta digambarkan sebagai berikut:

Gambar 625

Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

Seluruh kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta didasarkan atas

landasan yang ditetapkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

didasarkan atas ketetapan-ketetapan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat

dan pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta yaitu:

a. Pusat

- Undang-Undang (UU)

24J. David Smith, Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2006), h.

45 25Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 3

KEBIJAKAN DINAS PENDIDIKAN

LANDASAN

A. PUSAT

1. UU

2. PP

3. Kebijakan

B. PEMERINTAH

DAERAH

1. Perda

2. Pergub

3. Kebijakan

4. Program

C. KEADAAN UMUM, PERMASALAHAN, DAN TANTANGAN

Page 78: Kamal fuadi fitk

66

Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif didasarkan atas

ketetapan pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

- Peraturan Pemerintah (PP)

Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur pelaksanaan pendidikan

inklusif yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005

Tentang Standar Pendidikan Nasional.

- Peraturan Menteri

Peraturan Menteri Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif

bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi

Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa mengatur pelaksanaan

pendidikan inklusif.

- Kebijakan

b. Pemerintah Daerah

- Peraturan Daerah (Perda)

Provinsi DKI Jakarta memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang

didalamnya memuat aturan mengenai pendidikan inklusif. Perda yang

dimaksud yaitu Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006 Tentang

Sistem Pendidikan.

- Peraturan Gubernur (Pergub)

Peraturan Gubernur (Pergub) yang mengatur penyelenggaraan

pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta yaitu Peraturan Gubernur

Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi.

- Kebijakan

- Program

Page 79: Kamal fuadi fitk

67

Program pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi

DKI Jakarta berada di bawah koordinasi Bidang TK/SD/PLB.

Program tersebut dimasukkan ke dalam Program Pendidikan Luar

Biasa yang berisi program-program sebagai berikut26

:

1. Pengembangan penyelenggaraan pendidikan inklusi

2. Pembinaan dan Pemberdayaan SD/SMP Model Inklusi

3. Pembinaan SLB sebagai Pusat Sumber Pendidikan Inklusi

4. Pembinaan Instruktur, Guru Pendamping dan Pembimbing (Guru

SLB) Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi

5. Pembinaan Kepala Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi

6. Pembinaan Pengawas TK/SD dalam Penyelenggaraan Inklusi

7. Biaya Operasional Pokja Inklusi

8. Biaya Operasional Penyelenggara Pendidikan Inklusi TK, SD, dan

SMP

9. Operasional Guru Pendamping Khusus untuk Sekolah Inklusi

10. Operasional Guru Pembimbing Khusus Sekolah Inklusi

Semua program yang dicanangkan oleh Bidang TK/SD/PLB terkait

pendidikan inklusif sudah terlaksana. Kepala Bidang TK/SD/PLB Dra. Septi

Novida, M.Pd menyatakan bahwa saat ini Dinas Pendidikan Provinsi DKI

Jakarta sedang berusaha meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan

inklusif setelah kuantitas sekolah penyelenggara program pendidikan

inklusif terpenuhi.

Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

dilaksanakan dengan menunjuk sekolah-sekolah reguler untuk

menyelenggarakan program pendidikan inklusif.

Penunjukkan sekolah-sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan

inklusif sudah ditetapkan dari pusat. Berdasarkan Surat Edaran Dirjen

Dikdasmen (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah) No.

26Dinas, Rencana Strategis.., h. 120

Page 80: Kamal fuadi fitk

68

380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif,

setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya memiliki 4 (empat) sekolah

yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK27

.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009

Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan

dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa disebutkan

bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota menunjuk paling sedikit 1 (satu)

Sekolah Dasar, dan 1 (satu) Sekolah Menengah Pertama pada setiap

kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk

menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik

berkebutuhan khusus28

.

Sebagai Daerah Khusus Istimewa dan otonom, Provinsi DKI Jakarta

mengeluarkan peraturan khusus berupa Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor

116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Dalam

Pergub ini disebutkan bahwa setiap Kecamatan sekurang-kurangnya

memiliki 3 (tiga) TK/RA, SD/MI dan 1 (satu) SMP/MTs yang

menyelenggarakan pendidikan inklusi. Untuk tingkat SMA/SMK,

MA/MAK, setiap Kotamadya sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga)

SMA/SMK, MA/MAK29

. Pergub inilah yang kemudian dijadikan acuan

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta untuk menunjuk sekolah-sekolah

reguler dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Berdasarkan Pergub tersebut, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

merealisasikannya dengan menunjuk sekolah-sekolah reguler untuk

menyelenggarakan pendidikan inklusif sejumlah 164 sekolah dari jenjang

TK hingga SMA. Penunjukkan sekolah-sekolah tersebut berdasarkan

Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta Nomor 1190/2010 Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP,

27Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal

Pendidikan Inklusif 28Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 29Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007

Page 81: Kamal fuadi fitk

69

dan SMA/SMK Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta

Tahun 201030

. Sekolah-sekolah yang menyelenggarakan program

pendidikan inklusif yaitu sebagai berikut:

Tabel 131

DAFTAR NAMA TK, SD, SMP, SMA/SMK NEGERI

PENYELENGGARA PENDIDIKAN INKLUSI

PROVINSI DKI JAKARTA

No Nama Sekolah Alamat Kecamatan

Taman Kanak-Kanak (TK)

1 TK Negeri Pembina Nasional Jl. Muchtar Raya Pesanggrahan

2 TK Negeri Cipete Jl. Cipete VII No. 70 Cilandak

3 TK Pembina Tingkat Provinsi

Jl. Bambu Duri X Pd

Bambu Duren Sawit

Sekolah Dasar (SD)

1 SDN Johar Baru 29 Jl. Percetakan Negara II Johar Baru

2 SDN Bendungan Hilir 01

Jl. Danau Toba

Pejompongan Tanah Abang

3 SDN Cempaka Putih Barat 16

Jl. Cempaka Putih Barat

19 Cempaka Putih

4 SDN Kartini 02 Jl. Gotong Royong Gg. E Sawah Besar

5 SDN Mangga Dua Selatan 01 Pg Jl. Melawai Dalam No. 1 Sawah Besar

6 SDN Pasar Baru 01 Pg Jl. Pintu Besi I/42 Sawah Besar

7 SDN Petamburan 01 Pg Jl. Petamburan IV Tanah Abang

8 SDN Bendungan Hilir 07 Jl. Danau Limboto No. 9 Tanah Abang

9 SDN Kenari 01 Jl. Kramat IV/25 Senen

10 SDN Bungur 01 Pg Jl. Angsana No. 4 Senen

30Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor

1190/2010 Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, dan SMA/SMK Penyelenggara

Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010 31Lampiran Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Nomor 1190/2010 Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, dan SMA/SMK

Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010 Tanggal 19-08-2010

Page 82: Kamal fuadi fitk

70

11 SDN Kebon Sirih 01 Pg Jl. Kebon Sirih No. 29 Menteng

12 SDN Cikini 01 Pg Jl. Cidurian No. 2 A Menteng

13 SDN Cempaka Putih Timur 02 Jl. Rawasari Timur IV/2 Cempaka Putih

14 SDN Cempaka Putih Barat 07 Jl. Percetakan Negara Cempaka Putih

15 SDN Tanah Tinggi 11 Jl. Tanah Tinggi I/2 Johar Baru

16 SDN Johar Baru 10

Jl. Mardani Raya No. 12

A Johar Baru

17 SDN Cideng 11 Pt Jl. Cimalaya No. 1 Gambir

18 SDN Petojo Selatan 05 Jl. Petojo Encelek XIV Gambir

19 SDN Serdang 01 Pt Jl. Lapangan Poros Kemayoran

20 SDN Sumur Batu 07 Pt

Jl. Sumur Batu Utara No.

2 Kemayoran

21 SDN Kelapa Gading Timur 04

Komplek PT. HI Kelapa

Gading Kelapa Gading

22 SDN Merunda 02

Jl. Marundo Pulo Rt.

01/01 Cilincing

23 SDN Pluit 06

Jl. Komplek Nelayan

Muara Angke Rt. 01/01 Penjaringan

24 SDN Sungai Bambu 02 Pg Jl. Gadang No. 52 Tanjung Priok

25 SDN Cilincing 05 Pg

Jl. Baru Gg. II Rt. 011/02

No. 2 Cilincing

26 SDN Semper Barat 07 Pg Jl. Pepaya V No. 20 Cilincing

27 SDN Tugu Utara 12

Jl. Kramat Jaya Gg. 8

Blok R Koja

28 SDN Rawa Badak Selatan 11 Pg Jl. Bendungan Selatan Koja

29 SDN Penjaringan 11

Jl. Bandengan Utara No.

80 Penjaringan

30 SDN Kapuk Muara 03 Pg Jl. SMP Negeri 122 Penjaringan

31 SDN Sunter Jaya 07 Pg Jl. Sunter Jaya VI No. 31 Tanjung Priok

32 SDN Sunter Agung 04 Pt Jl. Agung Jaya No. 15 Tanjung Priok

Page 83: Kamal fuadi fitk

71

33 SDN Ancol 03 Pg

Jl. Kampung Muka Rt.

09-04 Pademangan

34 SDN Pademangan Barat 08 Pt Jl. Ampera VII Pademangan

35 SDN Pegangsaan Dua 03 Pg Jl. Kepu Pegangsaan Dua Kelapa Gading

36 SDN Slipi 18 Pg Jl. KS Tubun III Dalam Palmerah

37 SDN Sukabumi Selatan 07 Jl. Pos Pengumben Kebon Jeruk

38 SDN Meruya Selatan 06 Pg

Jl. Lapangan Jabek

Komp. Mega Kembangan

39 SDN Kembangan Utara 05 Pg Jl. Kampung Rt. 05/03 Kembangan

40 SDN Joglo 04 Pg

Jl. Komplek DKI Rt.

002/08 Kembangan

41 SDN Duri Kelapa 06 Pg Jl. Mangga XIV Rt. 06/04 Kebon Jeruk

42 SDN Kelapa Dua 04 Pg Jl. Inpres Rt. 004/05 Kebon Jeruk

43 SDN Jatipulo 08 Pg

Jl. Seroja No. 16 Rt.

004/01 Palmerah

44 SDN Kota Bambu Selatan 01 Pg

Jl. Komplek PJKA Pndk.

Bandung Palmerah

45 SDN Jembatan Besi 01 Pg

Jl. Jembatan Besi IX No.

31 Tambora

46 SDN Duri Utara 02 Pg Jl. Duri Utara I No. 1 Tambora

47 SDN Pinangsia 02 Pg Jl. Pinangsia I No. 20 Tamansari

48 SDN Krukut 03 Pg

Jl. KH. Zaenal Arifin No.

4 Tamansari

49

SDN Tanjung Duren Utara 01

Pg

Jl. Tanjung Duren Utara

III/3 Grogol

50 SDN Jelambar 03 Pg Jl. Jelambar Selatan XVI Grogol

51 SDN Pegadungan 11 Pg Jl. Peta Utara No. 10 Kalideres

52 SDN Kamal 02 Pg Jl. Kebon 200 Rt. 03/06 Kalideres

53 SDN Cengkareng Timur 01 Pg Jl. Daan Mogot Km. 14 Cengkareng

54 SDN Rawa Buaya 03 Pg Jl. Al Barkah Rt. 001/03 Cengkareng

Page 84: Kamal fuadi fitk

72

55 SDN Menteng Atas 04 Jl. Dr. Saharjo 121 Setiabudi

56 SDN Cipete Utara 12 Pg Jl. Kirai Ujung Kebayoran Baru

57 SDN Lebak Bulus 02 Pg Jl. Pertanian Raya No. 59 Cilandak

58 SDN Lebak Bulus 03 Pg Jl. Pertanian III No. 88 Cilandak

59 SDN Lebak Bulus 06 Pg Jl. Gunung Balong Cilandak

60 SDN Cipete Selatan 04 Jl. Anggus II Cilandak

61 SDN Pela Mampang 01 Pg Jl. Bangka II Gg. IV

Mampang

Prapatan

62 SDN Pejaten Timur 15 Pg Jl. Siaga Dharma VIII Pasar Minggu

63 SDN Ragunan 11 Pg Jl. Harsono RM Pasar Minggu

64 SDN Pondok Labu 01 Pg Jl. RS Fatmawati Cilandak

65 SDN Gandaria Selatan 01 Pg Jl. Teladan No. 3 Cilandak

66 SDN Pesanggrahan 03 Pg Jl. Kodam Pesanggrahan

67 SDN Petukangan Selatan 05 Jl. Inpres Rt. 0014/02 Pesanggrahan

68 SDN Grogol Selatan 03 Jl. Raya Kebayoran Lama Pesanggrahan

69 SDN Grogol Utara 09 Pagi Jl. Kemandoran I

Kebayoran

Lama

70 SDN Pulo 05 Pg Jl. Jembatan Selatan Kebayoran Baru

71 SDN Gandaria Utara 11 Pagi Jl. BRI Radio Dalam Kebayoran Baru

72 SDN Pancoran 05 Pg Jl. Pancoran Timur II Pancoran

73 SDN Pengadegan 08 Pagi Jl. Pengadegan Barat XIII Pancoran

74 SDN Kuningan Barat 03 Pagi Jl. PLN Kuningan Barat

Mampang

Prapatan

75 SDN Mampang Prapatan 05 Pg

Jl. Kapten Tendean Gg.

Kamboja

Mampang

Prapatan

76 SDN Karet Kuningan 03 Pagi Jl. Genteng Ijo No. 1 Setiabudi

77 SDN Setiabudi 01 Jl. Setiabudi Barat No. 8 Setiabudi

78 SDN Cipedak 03 Pagi Jl. Timbul Rt. 007/05 Jagakarsa

79 SDN Lenteng Agung 07 Pagi Jl. Raya Depok Gg. Subur Jagakarsa

80 SDN Gedong 04 Jl. Raya Condet Rt. Pasar Rebo

Page 85: Kamal fuadi fitk

73

012/03

81 SDN Kramatjati 24 Jl. Langgar Rt. 008/10 Kramatjati

82 SDN Kebon Pala 03 Pagi Jl. Raya Condet Makasar

83 SDN Batu Ampar 04 Jl. Batu Ampar III Kramatjati

84 SDN Gedong 12

Jl. Raya Condet Gg.

Masjid Pasar Rebo

85 SDN Gedong 03 Jl. Raya Condet Pasar Rebo

86 SDN Cipinang Muara 24 Pt Jl. Cipinang Muara Jatinegara

87 SDN Cipayung 09 Pt Jl. SMU 64 Cipayung Cipayung

88 SDN Cakung Barat 18 Pt Jl. Raya Bekasi Km. 23 Cakung

89 SDN Jatinegara 05 Pg Jl. Raya Bekasi Km. 17 Cakung

90 SDN Jatinegara Kaum 03 Pg Jl. Raya Bekasi Km. 18 Pulo Gadung

91 SDN Pisangan Timur 16 Pt Jl. Mugeni I Pulo Gadung

92 SDN Rawabunga 16 Pg Jl. Jatinegara Timur IV Jatinegara

93 SDN Bidaracina 04 Pt Jl. Setia No. 10 Jatinegara

94 SDN Pisangan Baru 02 Pg

Jl. Jenderal A. Yani No.

30 Matraman

95 SDN Pisangan Baru 10 Pt Jl. Pisangan Baru I Matraman

96 SDN Pondok Bambu 03 Pg Jl. Pahlawan Revolusi Duren Sawit

97 SDN Klender 17 Pt Jl. Pertanian Utara Duren Sawit

98 SDN Ciracas 13 Pt Jl. Kramat Rt. 12/10 Ciracas

99 SDN Susukan 13 Pt Jl. Makmur IV Rt. 009/02 Ciracas

100 SDN Cawang 06 Pt Jl. Dewi Sartika No. 200 Kramat Jati

101 SDN Dukuh 02 Pt

Jl. Raya Pondok Gede Rt.

001/01 Kramat Jati

102 SDN Kebon Pala 08 Pt Jl. Permata Rt. 07/005 Makasar

103 SDN Kebon Pala 15 Pg Jl. SD Inpres Rt. 003/04 Makasar

104 SDN Cijantung 09 Pt

Jl. Gongseng Raya Rt.

010/01 Pasar Rebo

105 SDN Kalisari 10 Pt Jl. Kalisari Rt. 006/02 Pasar Rebo

Page 86: Kamal fuadi fitk

74

106 SDN Ceger 03 Pt Jl. SMP 222 Rt. 05/02 Cipayung

107 SDN Lubang Buaya 02 Pt Jl. Yusufiah Rt. 010/01 Cipayung

108 SDN Cijantung 01 Jl. Pertengahan Pasar Rebo

109 SDN Kramat Jati 01 Jl. Masjid Al Amin Kramatjati

110 SDN Kramat Jati 16 Jl. Langgar Rt. 008/010 Kramatjati

111 SDN Rambutan 01 Jl. HM. Sabar No. 49 Ciracas

112 SDN Cilangkap 01 Jl. Mabes ABRI Cipayung

113 SDN Halim Perdanakusuma 01 Jl. Halim Golf Makasar

114 SDN Cipayung 02

Jl. Komp. Perwira TNI

AD Cipayung

115 SDN Kebon Pala 01 Pagi Jl. Cakrawala No 01 Makasar

116 SDN Balimester 01

Jl. Matraman Raya No.

226 Jatinegara

117 SDN Kampung Melayu 02 Pt Jl. Kebon Pala I No. 34 Jatinegara

118

SDN Cipinang Besar Utara 01

Pg Jl. Bekasi Timur IV No. 1 Jatinegara

119 SDN Duren Sawit 01 Pagi Jl. Kelurahan I Duren Sawit

120 SDN Klender 03 Pagi Jl. Raden Inten II Buaran Duren Sawit

Sekolah Menengah Pertama (SMP)

1 SMPN 118 Jl. Pramuka Sari I Cempaka Putih

2 SMPN 183 Jl. Cempaka Baru VII/47 Kemayoran

3 SMPN 269

Jl. Harapan Mulia

Kemayoran Cempaka Putih

4 SMPN 4 Jl. Perwira No. 10-11 Sawah Besar

5 SMPN 70 Jl. H. Awaludin IV Tanah Abang

6 SMPN 42 Jl. Pademangan Timur 3 Pademangan

7 SMPN 120

Jl. Kamal Muara Raya

No. 9 Penjaringan

8 SMPN 122 Jl. SMP 122 Penjaringan Penjaringan

9 SMPN 114 Jl. HM. Darpi Plum Koja

Page 87: Kamal fuadi fitk

75

Semper

10 SMPN 266 Jl. Cilincing Batik VI Cilincing

11 SMPN 270

Jl. Kompi Udin Rt. 01/01

Pgangs Dua Kelapa Gading

12 SMPN 264

Jl. Barkah I Rt. 001/03

Rawa Buaya Cengkareng

13 SMPN 191

Jl. Duta Raya Kebon

Jeruk Kebon Jeruk

14 SMPN 248

Jl. Kamal Raya

Cengkareng Timur Cengkareng

15 SMPN 207 Jl. Meruya Utara Kembangan

16 SMPN 63 Jl. Perniagaan No. 31 Tambora

17 SMPN 271

Jl. Pahlawan Sukabumi

Selatan VI/F1 Kebon Jeruk

18 SMPN 226 Jl. Kayu Kapur No. 2 Pondok Labu

19 SMPN 240 Jl. H. Raya No. 16 B Gandaria Utara

20 SMPN 235 Jl. Pondok Indah Pesanggrahan

21 SMPN 16

Jl. Palmerah Barat 59

Grogol Utara

Kebayoran

Lama

22 SMPN 276 Jl. Srengseng Sawah Jagakarsa

23 SMPN 15

Jl. Profesor Supomo

Menteng Tebet

24 SMPN 223 Jl. Surilang No. 6 Pasar Rebo

25 SMPN 36 Jl. Pedati Jatinegara

26 SMPN 62 Jl. Jatinegara Timur IV Jatinegara

27 SMPN 259 Jl. Komplek TMII Cipayung

28 SMPN 165 Jl. Balai Rakyat III/16 Duren Sawit

29 SMPN 287 Jl. Balai Rakyat III/16 Makasar

30 SMPN 90

Jl. Raya Bekasi Km. 18

Jatinegara Cakung

Page 88: Kamal fuadi fitk

76

31 SMPN 232

Jl. Gading Raya No. 16

Pisang Timur Pulo Gadung

Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

1 SMA Negeri 5 Jl. Raya Sumur Batu Kemayoran

2 SMK Negeri 27 Jl. Dr. Sutomo No. 1 Senen

3 SMA Negeri 40

Jl. Budi Mulia Raya

Pademangan Pademangan

4 SMK Negeri 33

Jl. Gading Timur Kelapa

Gading Kelapa Gading

5 SMA Negeri 112

Jl. Senggrehan Meruya

Utara Kembangan

6 SMK Negeri 13 Jl. Rawa Belong II E Palmerah

7 SMA Negeri 66

Jl. Bango III Pondok

Labu Cilandak

8 SMK Negeri 30 Jl. Pakubuwono 6 Kebayoran Baru

9 SMA Negeri 54 Jl. Jatinegara Timur IV Jatinegara

10 SMK Negeri 58

Jl. SMIK Bambu Apus

TMII Cipayung

Sebagai Daerah Khusus Istimewa dan daerah otonom, Provinsi DKI Jakarta

telah mengeluarkan peraturan daerah dalam bentuk Peraturan Gubernur

Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi.

Secara umum, tidak ada perbedaan antara Pergub tersebut dengan peraturan-

peraturan di atasnya seperti Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor

70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang

Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat

Istimewa. Kedua peraturan tersebut secara teknis memberikan ketentuan-

ketentuan umum mengenai pelaksanaan pendidikan inklusif.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional berlaku secara nasional, sedangkan

Peraturan Gubernur berlaku hanya di Provinsi DKI Jakarta. Yang

Page 89: Kamal fuadi fitk

77

membedakan keduanya yaitu pada penunjukkan sekolah-sekolah reguler

yang menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Dalam Peraturan

Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa

Pemerintah Kabupaten/Kotamadya menunjuk paling sedikit 1 (satu) Sekolah

Dasar dan 1 (satu) Sekolah Menengah Pertama pada setiap kecamatan dan 1

(satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan

inklusif yang wajib menerima peserta didik berkebutuhan khusus. Adapun

dalam Peraturan Gubernur disebutkan bahwa setiap Kecamatan sekurang-

kurangnya memiliki 3 (tiga) TK/RA dan SD/MI dan 1 (satu) SMP/MTs

yang menyelenggarakan pendidikan inklusi. Untuk tingkatan SMA/SMK

atau MA/MAK, setiap kotamadya sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga)

SMA/SMK atau MA/MAK yang menyelenggarakan pendidikan inklusif.

Di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta telah terdapat

sejumlah 164 sekolah yang ditunjuk untuk menyelenggarakan program

pendidikan inklusif dari mulai tingkat SD hingga SMA. Jumlah TK

penyelenggara program pendidikan inklusif berjumlah 3 sekolah. SD yang

menyelenggarakan program pendidikan inklusif berjumlah 120 sekolah.

SMP yang menyelenggarakan program pendidikan inklusif berjumlah 31

sekolah. Di tingkat SMA/SMK, jumlah penyelenggara program pendidikan

inklusif mencapai 10 sekolah. Secara terperinci, sebaran sekolah-sekolah

penyelenggara program pendidikan inklusif di masing-masing kecamatan

se-Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut:

Tabel 2

Sebaran Sekolah Inklusif di Provinsi DKI Jakarta

No Kecamatan Kotamadya/Kabupaten Sekolah Inklusif

TK SD SMP SMA/SMK

1 Gambir Jakarta Pusat - 2 - -

2 Tanah Abang Jakarta Pusat - 3 1 -

3 Menteng Jakarta Pusat - 2 - -

Page 90: Kamal fuadi fitk

78

4 Senen Jakarta Pusat - 2 - 1

5 Cempaka

Putih Jakarta Pusat - 3 2 -

6 Johar Baru Jakarta Pusat - 3 - -

7 Kemayoran Jakarta Pusat - 2 1 1

8 Sawah Besar Jakarta Pusat - 3 1 -

Jumlah - 20 5 2

9 Tamansari Jakarta Barat - 2 - -

10 Tambora Jakarta Barat - 2 1 -

11 Palmerah Jakarta Barat - 3 - 1

12 Grogol

Petamburan Jakarta Barat - 2 - -

13 Kebon Jeruk Jakarta Barat - 3 2 -

14 Kembangan Jakarta Barat - 3 1 1

15 Cengkareng Jakarta Barat - 2 2 -

16 Kalideres Jakarta Barat - 2 - -

Jumlah - 19 6 2

17 Kebayoran

Baru Jakarta Selatan - 3 1 1

18 Kebayoran

Lama Jakarta Selatan - 1 1 -

19 Pesanggrahan Jakarta Selatan 1 2 1 -

20 Cilandak Jakarta Selatan 1 6 1 1

21 Pasar Minggu Jakarta Selatan - 2 - -

22 Jagakarsa Jakarta Selatan - 2 1 -

23 Mampang

Prapatan Jakarta Selatan - 2 - -

24 Pancoran Jakarta Selatan - 2 - -

25 Tebet Jakarta Selatan - - 1 -

26 Setiabudi Jakarta Selatan - 2 - -

Page 91: Kamal fuadi fitk

79

Jumlah 2 22 6 2

27 Matraman Jakarta Timur - 2 - -

28 Pulo Gadung Jakarta Timur - 2 1 -

29 Jatinegara Jakarta Timur - 5 2 1

30 Duren Sawit Jakarta Timur 1 4 1 -

31 Kramat Jati Jakarta Timur - 4 - -

32 Makasar Jakarta Timur - 5 - -

33 Pasar Rebo Jakarta Timur - 6 1 -

34 Ciracas Jakarta Timur - 3 - -

35 Cipayung Jakarta Timur - 5 1 1

36 Cakung Jakarta Timur - 2 1 -

Jumlah 1 38 7 2

37 Cilincing Jakarta Utara - 3 1 -

38 Koja Jakarta Utara - 2 1 -

39 Kelapa

Gading Jakarta Utara - 2 1 1

40 Tanjung Priok Jakarta Utara - 3 - -

41 Pademangan Jakarta Utara - 2 1 1

42 Penjaringan Jakarta Utara - 3 2 -

Jumlah - 15 6 2

43 Kepulauan

Seribu Utara Kepulauan Seribu - - - -

44 Kepulauan

Seribu Selatan Kepulauan Seribu - - - -

Jumlah - - - -

Jumlah Total 3 120 31 10

Page 92: Kamal fuadi fitk

80

Provinsi DKI Jakarta memiliki 5 Kotamadya dan 1 Kabupaten yang terdiri

dari 44 Kecamatan32

. Tabel di atas menunjukkan sebaran sekolah-sekolah

yang ditunjuk sebagai penyelenggara program pendidikan inklusif di

kecamatan-kecamatan yang terdapat di Provinsi DKI Jakarta. 164 sekolah

penyelenggara program pendidikan inklusif hanya tersebar di 5 Kotamadya

di Provinsi DKI Jakarta yaitu Kotamadya Jakarta Pusat, Kotamadya Jakarta

Barat, Kotamadya Jakarta Selatan, Kotamadya Jakarta Timur, dan

Kotamadya Jakarta Utara. Di 2 kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan

Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan tidak terdapat satu

sekolah pun yang menyelenggarakan program pendidikan inklusif.

Tidak semua kecamatan memiliki TK penyelenggara program pendidikan

inklusif. Jumlah TK yang ditunjuk Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

hanya berjumlah 3 TK yang terdapat di Kecamatan Pesanggrahan dan

Kecamatan Cilandak. Kedua Kecamatan tersebut terdapat di Kotamadya

Jakarta Selatan. Satu TK lagi terdapat di Kecamatan Duren Sawit

Kotamadya Jakarta Timur.

Jumlah SD penyelenggara program pendidikan inklusif di Provinsi DKI

Jakarta sebanyak 120 sekolah. Jumlah tersebut tersebar di 41 Kecamatan

dari jumlah total 44 Kecamatan yang terdapat di Provinsi DKI Jakarta. 3

Kecamatan yang tidak memiliki SD yaitu Kecamatan Tebet Kotamadya

Jakarta Selatan, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Kepulauan

Seribu, dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan.

Di tingkat SMP, sebaran sekolah penyelenggara program pendidikan

inklusif hampir merata di setiap Kecamatan karena tidak setiap Kecamatan

memiliki sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif di tingkat

SMP. Di Kotamadya Jakarta Pusat yang memiliki 8 Kecamatan, terdapat 5

SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 4

32Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, dari

http://www.depdagri.go.id/media/filemanager/2010/01/29/1/1/11__dki_jakarta.pdf, 23 Januari

2011

Page 93: Kamal fuadi fitk

81

Kecamatan. Kotamadya Jakarta Barat yang memiliki 8 Kecamatan, terdapat

6 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 4

Kecamatan. Kotamadya Jakarta Selatan yang memiliki 10 Kecamatan,

terdapat 6 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di

6 Kecamatan. Di Kotamadya Jakarta Timur, SMP penyelenggara program

pendidikan inklusif berjumlah 7 sekolah yang tersebar di 6 Kecamatan dari

10 Kecamatan yang terdapat di Kotamadya Jakarta Timur. Adapun di

Kotamadya Jakarta Utara yang memiliki 6 Kecamatan terdapat 6 SMP

penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 5 Kecamatan.

Dengan demikian, 120 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif

tersebut tersebar di 25 Kecamatan dari total 44 Kecamatan yang terdapat di

Provinsi DKI Jakarta. Sehingga terdapat 19 Kecamatan di Provinsi DKI

Jakarta yang tidak memiliki SMP penyelenggara program pendidikan

inklusif.

Di tingkat SMA/SMK terdapat 10 sekolah penyelenggara program

pendidikan inklusif. 10 SMA/SMK tersebut tersebar di 10 Kecamatan di 5

Kotamadya. Masing-masing Kotamadya memiliki 2 SMA/SMK

penyelenggara program pendidikan inklusif. Dengan demikian, terdapat 34

Kecamatan yang tidak memiliki SMA/SMK penyelenggara program

pendidikan inklusif.

2. Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di

Provinsi DKI Jakarta

Implementasi kebijakan-kebijakan yang terkait penyelenggaraan pendidikan

inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dapat

dikelompokkan menjadi:

a. Kesiswaan

Kebijakan yang terkait dengan kesiswan pendidikan inklusif

dilaksanakan dengan menerima semua kategori anak-anak berkebutuhan

Page 94: Kamal fuadi fitk

82

khusus. Dalam implementasi di lapangan, tidak serta semua jenis

kebutuhan khusus yang dimiliki peserta didik dapat diterima di sekolah

reguler. Proses skrining dan assesment selalu dilakukan sebelum peserta

didik berkebutuhan khusus masuk di sekolah reguler. Dra. Septi Novida,

M.Pd sendiri menyatakan bahwa:

“…Sampai saat ini memang hanya kasus-kasus tertentu yang dapat

tertampung di sekolah-sekolah inklusif. Biasanya anak A yang banyak

masuk di sekolah-sekolah inklusif, anak B masih jarang ditemukan

karena faktor komunikasi yang menyulitkan. Kasus anak C yang

lambat belajar juga masih jarang ditemukan. Anak-anak berkebutuhan

khusus yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, misalnya anak-

anak yang memakai kursi roda juga masih jarang ditemukan yang

masuk ke sekolah-sekolah inklusif…”33

Pada kenyataan yang terjadi di lapangan, sekolah pada prinsipnya

menerima semua jenis kebutuhan khusus yang terdpat dalam diri calon

peserta didik. Guru program inklusi SMP Negeri 223 Pasar Rebo

memberikan pemaparan bahwa:

“…Pada prinsipnya kami menerima semua jenis anak-anak

berkebutuhan khusus. Namun memang kami harus melakukan

identifikasi agar anak-anak berkebutuhan khusus yang memiliki

kekurangan ekstrem tidak serta merta kami terima sebagai siswa di

sini. Kalau anak-anak berkebutuhan khusus tersebut dianggap mampu

mengikuti proses pembelajaran, maka mereka kami terima sebagai

siswa, namun jika mereka tidak dapat mengikuti proses pembelajaran

maka mereka kami arahkan untuk masuk ke SLB dan disitu ada

pendidikan secara khusus. Kalau di sekolah reguler seperti ini kan

semuanya harus mengikuti pendidikan yang sama, kalaupun anak-

anak berkebutuhan khusus tersebut harus ditangani secara khusus

maka kami sudah menyiapkan program pembelajaran khusus bagi

mereka. Selain itu, di sekolah reguler juga tidak banyak terdapat

tenaga pendidikan khusus yang dapat menangani pembelajaran khusus

bagi anak-anak berkebutuhan khusus...”34

Berkaitan dengan penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus,

manajer program inklusi SMA Negeri 66 Cilandak menyatakan bahwa:

33Wawancara dengan Septi Novida 34Wawancara dengan Sukarto

Page 95: Kamal fuadi fitk

83

“…Pada dasarnya kami menerima semua jenis kebutuhan khusus yang

dimiliki peserta didik. Hanya saja memang tidak serta merta mereka

yang berkebutuhan khusus dapat masuk menjadi peserta didik, karena

tidak mungkin kami menerima anak-anak berkebutuhan khusus

dengan kekurangan-kekurangan yang ekstrem. Kami pun tidak serta

merta menerima mereka yang sebelumnya bersekolah di SLB. Pada

saat penerimaan pun kami mewajibkan orang tua-orang tua yang

anaknya berkebutuhan khusus untuk datang ke sekolah menemui kami

untuk kami jelaskan mengenai bagaimana anak-anak mereka kami

tangani di sekolah. Kalau para orang tua tersebut menyanggupi agar

anak-anak mereka bersekolah di sini, kami menyiapkan perjanjian di

atas kertas mengenai apa saja yang harus mereka penuhi ketika anak-

anak mereka yang berkebutuhan khusus bersekolah di sini…”35

Pada saat masa Penerimaan Siswa Baru (PSB), jalur penerimaan peserta

didik berkebutuhan khusus tidak sama dengan peserta didik reguler

lainnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Manajer Program Inklusi

SMA Negeri 66 Cilandak:

“…Kebijakan lain yaitu mengenai adanya jalur penerimaan yang

diperuntukkan secara khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus

dimana mereka yang berkebutuhan khusus ketika mendaftarkan diri di

sekolah maka penerimaannya tidak disamakan dalam hal ujian masuk

dan persyaratan-persyaratan lainnya…”36

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009

disebutkan bahwa penerimaan peserta didik berkelainan dan/atau peserta

didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa pada

satuan pendidikan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki

sekolah. Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif

mengalokasikan kursi peserta didik yang memiliki kelainan paling sedikit

1 (satu) peserta didik dalam 1 (satu) rombongan belajar yang akan

diterima. Apabila dalam waktu yang telah ditentukan, alokasi peserta

35Wawancara dengan Suparno 36Wawancara dengan Suparno

Page 96: Kamal fuadi fitk

84

didik tidak terpenuhi, satuan pendidikan dapat menerima peserta didik

normal37

.

Di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, satuan pendidikan

penyelenggara program pendidikan inklusif hanya menerima maksimal 2

(dua) peserta didik yang memiliki kelainan atau kebutuhan khusus dalam

1 (satu) rombongan belajar. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Dra.

Septi Novida, M.Pd:

“…Kami sendiri memiliki kebijakan agar anak-anak berkebutuhan

khusus dalam satu kelas tidak lebih dari 2 orang sehingga guru sendiri

tidak kerepotan dalam menangani anak-anak berkebutuhan

khusus…”38

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dengan sekolah-sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif telah merencanakan program

identifikasi kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus untuk

mengetahui kondisi dan kebutuhan mereka. Identifikasi dilakukan

melalui proses skrining atau assesment yang bertujuan agar pada saat

pembelajaran di kelas, bentuk intervensi pembelajaran bagi anak

berkebutuhan khusus merupakan bentuk intervensi pembelajaran yang

sesuai bagi mereka. Assesment yang dimaksud yaitu proses kegiatan

untuk mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik dalam

segi perkembangan kognitif dan perkembangan sosial melalui

pengamatan yang sensitif39

.

Selain itu, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta juga memberikan

subsidi beasiswa bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang terdapat

pada sekolah-sekolah yang telah ditunjuk untuk menyelenggarakan

program pendidikan inklusif. Daftar sekolah yang menerima subsidi

beasiswa sebagai berikut:

37Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009, Pasal 5 38Wawancara dengan Septi Novida 39Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi,

(Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 1

Page 97: Kamal fuadi fitk

85

Tabel 340

Daftar Nama Sekolah Inklusif Penerima Subsidi Beasiswa

Tahun Anggaran 2010

No Nama Sekolah Alamat Wilayah

Jumlah

Peserta

Didik

Beasiswa /1

Tahun

1 SDN Cempaka

Putih Barat 16

PG

Jl. Cempaka Putih

Barat XIX

Pusat 30 3.600.000

2 SD Johar Baru

29 PG

Jl. Percetakan

Negara II A

Pusat 23 2.760.000

3 SDN Kartini 02

Petang

Jl. Gotong

Royong Gg. E

Pusat 12 1.440.000

4 SDN Bendhil

01 PG

Jl. Danau Toba

Pejompongan

Pusat 22 2.640.000

5 SDN Kelapa

Gading Timur

04 PG

Jl. Komplek PT.

HII

Utara 23 2.760.000

6 SDN Sungai

Bambu 02 PG

Jl. Gadang No. 52 Utara 26 3.120.000

7 SDN Marunda

02 PAGI

Jl. Marunda Pulo

Rt. 003/07

Marunda

Utara 71 8.520.000

8 SDN SLIPI 18

PAGI

Jl. KS Tubun III

Dalam

Barat 57 6.840.000

9 SD Negeri

Meruya Selatan

Jl. Lap. Jabek

Komp. Mega

Barat 66 7.920.000

40Lampiran I Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Nomor 1449/2010

Tanggal 13 Oktober 2010

Page 98: Kamal fuadi fitk

86

06 Pagi

10 SDN Palmerah

24 Pagi

Jl. Rawa Belong

II E Rt. 06/10 No.

153

Barat 50 6.000.000

11 SDN Lebak

Bulus 03

Jl. Pertanian

III/58

Selatan 14 1.680.000

12 SDN Lebak

Bulus 06 Pagi

Jl. Gunung

Balong Lebak

Bulus

Selatan 10 1.200.000

13 SDN Cipete

Selatan 08 PT

Jl. Anggur II

Komplek BRI

Cilandak

Selatan 18 2.160.000

14 SDN Menteng

Atas 04 PG

Jl. Dr. Sahardjo

No. 121 Menteng

Atas

Selatan 32 3.840.000

15 SDN Cipete

Selatan 04

Jl. Anggur II

Komplek BRI

Cilandak

Selatan 14 1.680.000

16 SDN Cipete

Utara 12 PG

Jl. Kirai Ujung Selatan 32 3.840.000

17 SDN Lebak

Bulus 02 PAGI

Jl. Pertanian Raya

No. 59 Lebak

Bulus

Selatan 23 2.760.000

18 SDN Pela

Mampang 01

PAGI

Jl. Bangka II Gg

V Rt 10/02

Selatan 24 2.880.000

19 SDN Kebon

Pala 03

Jl. Jengki Cip.

Asem Kebon Pala

Timur 50 6.000.000

20 TK Negeri

Pembina DKI

Jl. Bambu Duri X

Pd. Bambu

Timur 10 1.200.000

Page 99: Kamal fuadi fitk

87

21 SDN Gedong

04 Pagi

Jl. Raya Condet

Gedong

Timur 24 2.880.000

22 SDN Gedong

12 Pagi

Jl. Raya Condet

Gg. Pembangunan

II

Timur 35 4.200.000

23 SDN Cijantung

01 Pagi

Jl. Pertengahan

Rt. 06/07

Cijantung

Timur 25 3.000.000

24 SDN Gedong

03 Pagi

Jl. Raya Condet

Gedong

Timur 31 3.720.000

25 SDN Kramat

Jati 24 Pagi

Jl. Kerja Bakti Rt.

003/09 No. 40

Timur 40 4.800.000

26 SDN Kramat

Jati 16 Pagi

Jl. Langgar Rt.

008/10

Timur 27 3.240.000

27 SDN Cipayung

09 PTG

Jl. SMAN 64 Rt.

005/02

Timur 26 3.120.000

b. Kurikulum

Kurikulum yang digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan

inklusif sama dengan kurikulum yang digunakan dalam proses

pembelajaran pendidikan inklusif karena program pendidikan inklusif

dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009

disebutkan bahwa satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif

menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang

mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan

bakat, minat, dan potensinya41

. Dalam Peraturan Gubernur Nomor 116

Tahun 2007 disebutkan bahwa kurikulum yang digunakan dalam

41Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009

Page 100: Kamal fuadi fitk

88

penyelenggaraan pendidikan inklusi adalah kurikulum yang berlaku yang

disesuaikan dengan kebutuhan khusus masing-masing peserta didik

berkebutuhan khusus42

.

Mengenai kurikulum pada program pendidikan inklusif, Dra. Septi

Novida, M.Pd menyatakan bahwa:

“…Kebijakan mengenai kurikulum sama dengan kebijakan kurikulum

yang diselenggarakan di sekolah reguler atau dengan kata lain

kebijakan kurikulum pendidikan inklusif mengikuti kurikulum yang

sudah ada. Kurikulum itu bersifat fleksibel. Contoh penyelenggaraan

pendidikan inklusif yaitu pendidikan yang terdapat dalam film Laskar

Pelangi dimana Harun sebagai anak yang mentally retarded diberikan

treatment khusus yang disesuaikan dengan kondisi Harun yang tidak

sama dengan anak-anak normal lainnya yang berada di kelas…”43

Berkaitan dengan kurikulum pendidikan inklusif, guru SMP Negeri 223

Pasar Rebo menyatakan:

“…Secara umum kurikulum bagi anak-anak berkebutuhan khusus

adalah sama dengan anak-anak reguler. kalau ada kasus-kasus tertentu

dalam kurikulum maka kami adakan modifikasi pada kurikulum agar

dapat memenuhi kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus…”44

Manajer program inklusi SMA Negeri 66 menyatakan bahwa:

“…Tidak ada kurikulum khusus yang kami rancang untuk anak-anak

berkebutuhan khusus, karena anak-anak berkebutuhan khusus yang

bersekolah di sini rata-rata malah anak-anak yang memiliki prestasi.

Namun kami selalu menyiapkan modifikasi agar anak-anak

berkebutuhan khusus yang membutuhkan layanan khusus dapat

terbantu…”45

Sebagaimana dikemukakan di atas, kurikulum yang digunakan dalam

penyelenggaraan program pendidikan inklusif adalah kurikulum yang

digunakan di sekolah-sekolah reguler, karena peserta didik berkebutuhan

42Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi 43Wawancara dengan Septi Novida 44Wawancara dengan Sukarto 45Wawancara dengan Suparno

Page 101: Kamal fuadi fitk

89

khusus belajar di ruang kelas yang sama seperti halnya anak-anak reguler

yang tidak digolongkan ke dalam peserta didik berkebutuhan khusus.

Kurikulum yang digunakan saat ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP). Jika memang diperlukan, pihak sekolah melakukan

modifikasi terhadap kurikulum sesuai dengan kebutuhan peserta didik

berkebutuhan khusus di kelas.

c. Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta,

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta menyiapkan tenaga pendidik agar

dapat memahami konsep dan pelaksanaan pendidikan inklusif yang

benar. Penyiapan tenaga pendidikan tersebut dilakukan dengan cara

mengadakan pelatihan kepada guru-guru sekolah penyelenggara program

pendidikan inklusif. Pelatihan ini dilaksanakan bekerjasama dengan LSM

Hellen Keller Internasional (HKI) yang memiliki konsen, salah satunya,

dalam pendidikan inklusif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi

Novida, yaitu:

“…Kebijakan mengenai tenaga pendidik sendiri hingga sekarang kami

melakukan pemberdayaan guru-guru di sekolah reguler agar dapat

memahami konsep inklusif sehingga mereka dapat melayani anak-

anak berkebutuhan khusus. Hingga kini memang kami sedang

berusaha agar pengetahuan mengenai pendidikan inklusif dapat

dipahami dengan baik oleh para pendidik, terutama mereka yang

terlibat dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusif. Kami

sendiri memiliki kebijakan agar anak-anak berkebutuhan khusus

dalam satu kelas tidak lebih dari 2 orang sehingga guru sendiri tidak

kerepotan dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus. Tugas

guru GPK nantinya adalah membantu anak-anak berkebutuhan khusus

agar dapat mengikuti pembelajaran…Kami sendiri menjalin kerjasama

dengan Hellen Keller Internasional (HKI) sejak tahun 2003 dimana

kami dengan HKI menyelenggarakan pelatihan untuk guru-guru di

sekolah reguler agar dapat melayani dan membimbing anak-anak

berkebutuhan khusus di sekolah reguler penyelenggara program

pendidikan inklusif…”46

46Wawancara dengan Septi Novida

Page 102: Kamal fuadi fitk

90

Pihak Hellen Keller Internasional (HKI) sendiri menyatakan bahwa:

“…Sejak tahun 2003 HKI menjalin kerjasama dengan Dinas

Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Kerjasama yang kami jalin yaitu

dalam pendidikan program pendidikan inklusif. Di HKI program ini

masuk ke dalam program Opportunities for Vulnerable Children

(OVC)… kami juga mengadakan pelatihan untuk guru-guru dengan

mengundang guru-guru sekolah penyelenggara program pendidikan

inklusif. Namun pelatihan ini Cuma beberapa kali saja kami adakan.

Pelatihan untuk guru lebih banyak kami adakan di sekolah-sekolah

model pendidikan inklusif…”47

Selain mengadakan pelatihan bagi guru-guru sekolah penyelenggara

program pendidikan inklusif, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

juga menunjuk beberapa guru SLB (Sekolah Luar Biasa) di lingkungan

Dinas untuk menjadi GPK (Guru Pembimbing Khusus) yang

mendampingi pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah reguler. Dra.

Septi Novida, M.Pd menyatakan:

“…kami juga menunjuk beberapa guru di SLB untuk berperan sebagai

Guru Pembimbing Khusus (GPK) guna mendampingi anak-anak

berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggara program pendidikan

inklusif. Memang kondisi GPK sejak 2003 sudah ditunjuk beberapa

orang guru untuk bisa membantu sekolah-sekolah reguler dalam

menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Namun semakin ke

sini jumlah mereka semakin menyusut karena status mereka adalah

guru honorer. Kondisi kehidupan yang seperti sekarang ditambah

dengan status guru honorer yang mereka sandang, kalau tidak

berangkat dari hati nurani maka sulit bagi mereka untuk tetap

bertahan, apalagi kebanyakan dari mereka masih memiliki status

sebagai mahasiswa yang sekarang sudah sarjana dan akhirnya

memutuskan untuk bertugas di tempat lain. Berbeda dengan guru-guru

yang berstatus PNS yang sampai sekarang masih bertahan sebagai

GPK…”48

Guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo menyatakan bahwa:

“…Pendidik dan tenaga kependidikan yang menanganai pelaksanaan

pendidikan inklusif sama dengan pendidik dan tenaga kependidikan

yang menangani pendidikan reguler. Tidak banyak pendidik dan

tenaga pendidikan yang memang secara khusus menangani

47Wawancara dengan Fitri 48Wawancara dengan Septi Novida

Page 103: Kamal fuadi fitk

91

pelaksanaan pendidikan inklusif, karena sekolah ini dari awal

pelaksanaan program pendidikan inklusif sudah ditunjuk, maka kami

pun belajar bagaimana menangani pelaksanaan pendidikan

inklusif…”49

Manajer program Inklusi SMA Negeri 66 menyatakan:

“…Sampai saat ini masing-masing pendidik dan tenaga kependidikan

di sekolah mengetahui dengan baik mengenai keberadaan anak-anak

berkebutuhan khusus dan bagaimana mereka seharusnya mendapatkan

pembelajaran dan pelayanan pendidikan yang baik. Saya selaku

manajer program inklusi pun selalu menyampaikan dalam berbagai

kesempatan mengenai pentingnya pelayanan bagi anak-anak yang

berkebutuhan khusus. Ketika ada kesulitan dalam penanganan anak-

anak berkebutuhan khusus, pendidik-pendidik di sekolah selalu

melakukan kerjasama yang sampai saat ini terjalin dengan baik…”50

Kebijakan yang terkait dengan tenaga pendidik dan kependidikan dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusif dilaksanakan dengan melakukan

sosialisasi kepada guru-guru agar dapat memahami dengan baik konsep

pendidikan inklusif sehingga peserta didik berkebutuhan khusus dapat

terpenuhi kebutuhannya di sekolah.

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta mengadakan pelatihan-pelatihan

yang diperuntukkan bagi guru-guru sekolah penyelenggara program

pendidikan inklusif. Pelatihan tersebut, salah satunya, bekerjasama

dengan LSM Hellen Keller Internasional (HKI) yang memiliki program

Opportunities for Vulnerable Children (OCV). Salah satu yang program

OVC tersebut bergerak untuk membantu anak-anak berkebutuhan khusus

agar memperoleh pendidikan yang layak dengan tidak ditempatkan

dengan serta merta di SLB.

Penunjukkan Guru Pembimbing Khusus ditujukan agar sekolah-sekolah

penyelenggara program pendidikan inklusif mendapatkan pendampingan

dan arahan yang tepat sehingga ketika terdapat kesulitan-kesulitan dalam

49Wawancara dengan Sukarto 50Wawancara dengan Suparno

Page 104: Kamal fuadi fitk

92

pelaksanaan pendidikan inklusif, sekolah dapat berkonsultasi dengan

GPK. Namun memang hingga sekarang keberadaan GPK sendiri tidak

jelas, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd,

sehingga kadang-kadang kesulitan-kesulitan yang terdapat di sekolah

dalam pelaksanaan pendidikan inklusif tidak dapat teratasi dengan baik.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar

Nasional Pendidikan disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan yang

melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga kependidikan

yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi

peserta didik dengan kebutuhan khusus51

.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009

disebutkan bahwa pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyediakan

paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan

pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif.

Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak ditunjuk

oleh pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyediakan paling sedikit 1

(satu) orang Guru Pembimbing Khusus.

Ketersediaan Guru Pembimbing Khusus dalam Peraturan Gubernur

Nomor 116 Tahun 2007 dipenuhi oleh sekolah yang menyelenggarakan

program pendidikan inklusif. Dalam hal tidak tersedia Guru Pembimbing

Khusus pada sekolah yang bersangkutan, pemerintah daerah dapat

menyediakan dengan meminta bantuan kepada SLB atau Pusat Sumber

atau lembaga lain.

d. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana dalam penyelenggaran pendidikan inklusif

menggunakan sarana dan prasarana yang terdapat di sekolah dimana

pendidikan inklusif diselenggarakan. Bila memang dibutuhkan, Dinas

51Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 41

Page 105: Kamal fuadi fitk

93

Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memberikan bantuan kepada sekolah

yang mengajukan proposal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi

Novida:

“…Kebijakan sarana prasarana sendiri mempergunakan sarana dan

prasarana yang sudah tersedia di sekolah-sekolah reguler. Jika

memang dibutuhkan, kami memberikan dana khusus bagi sekolah-

sekolah penyelenggara pendidikan inklusif agar dapat memenuhi

kebutuhan sarana dan prasarana. Namun tidak semua sekolah kami

bantu karena mereka harus mengajukan proposal permohonan bantuan

dana. Pada prinsipnya, baik pemerintah pusat maupun pemerintah

daerah membantu pihak sekolah dengan catatan pihak sekolah

mengajukan proposal permohonan bantuan mengenai kebutuhan apa

saja yang diperlukan mereka dalam penyelenggaraan pendidikan

inklusif. Bila memang diperlukan, saya sendiri mengajukan

rekomendasi kepada pemerintah pusat agar sekolah tertentu dibantu

oleh pemerintah pusat…”52

Guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo menyatakan bahwa Dinas Pendidikan

Provinsi DKI Jakarta sangat membantu dalam pengadaan sarana dan

prasarana penyelenggaraan pendidikan inklusif. Hal ini sebagaimana

penjelasan Sukarto, S.Pd:

“…Dinas Pendidikan Provinsi memberikan bantuan sarana dan

prasarana agar memudahkan pelaksanaan pendidikan inklusif.

Misalnya alat rekam agar siswa berkebutuhan khusus dapat merekam

pelajaran untuk diputar ulang di rumah dengan bantuan orang tua…”53

Hal senada juga diungkapkan oleh Manajer Program Inklusi SMA Negeri

66 Cilandak. Ketika ditanya mengenai pengadaan sarana dan prasarana

dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, ia menjawab bahwa pihak

sekolah sangat terbantu oleh bantuan-bantuan yang diberikan oleh Dinas

Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Selain dari Dinas Pendidikan Provinsi,

SMA Negeri 66 juga mendapatkan bantuan dari Direktorat PSLB

Kementerian Pendidikan Nasional. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan

oleh Suparno, S.Pd:

52Wawancara dengan Septi Novida 53Wawancara dengan Sukarto

Page 106: Kamal fuadi fitk

94

“…Sampai saat ini kami sangat terbantu dengan bantuan-bantuan

yang diberikan baik oleh Direktorat PSLB maupun oleh Dinas

Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Orang tua anak-anak berkebutuhan

khusus pun ada beberapa yang membantu kami, sehingga sarana dan

prasarana dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif pun dapat

terpenuhi dengan baik. Misalnya ketika kebutuhan untuk laptop bagi

peserta didik, kami pun menyediakan laptop khusus untuk anak-anak

berkebutuhan khusus agar tidak ada pembedaan antara anak-anak

reguler dengan anak-anak berkebutuhan khusus...”54

Dapat dipahami bahwa Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memiliki

komitmen tinggi dalam pengadaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan

sekolah dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusif.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009

disebutkan bahwa satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif

berhak memperolah bantuan profesional sesuai dengan kebutuhan dari

pemerintah Kabupaten/Kota. Bantuan profesional yang dimaksud dalam

peraturan tersebut dapat berupa penyediaan sarana dan prasarana55

.

Ketentuan mengenai sarana dan prasarana disebutkan dalam Peraturan

Gubernur Nomor 116 Tahun 2007. Dalam peraturan tersebut disebutkan

bahwa sarana dan prasarana yang terdapat pada satuan pendidikan

penyelenggara pendidikan inklusi adalah sarana dan prasarana yang telah

terdapat pada sekolah/madrasah yang bersangkutan dan ditambah dengan

aksesabilitas serta media pembelajaran yang diperlukan bagi peserta

didik berkebutuhan khusus56

.

e. Keuangan/Dana

Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Gubernur Nomor

116 Tahun 2007, pembiayaan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif

54Wawancara dengan Suparno 55Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 56Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Pasal 11

Page 107: Kamal fuadi fitk

95

bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada pos

anggaran Dinas Dikdas dan Dinas Dikmenti57

.

Dalam hal keuangan, Dinas Pendidikan Provinsi DKI menyatakan bahwa

Dinas memberikan bantuan finansial bagi sekolah-sekolah yang

mengajukan proposal dan proposalnya diterima. Selain itu, dana yang

dialokasikan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta diambil dari dana BOP (Bantuan

Operasional Pendidikan) dan DOP (Dana Operasional Pendidikan). Hal

ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd:

“…Kebijakan keuangan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif

kami berikan kepada sekolah-sekolah yang mengajukan proposal

permohonan bantuan dana. Dana tersebut kami ambil dari dana BOP

dan DOP. Di samping itu kami juga mengalokasikan dana dari bidang

kami (Bidang TK, SD, dan PLB) untuk diberikan kepada sekolah-

sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif jika

dibutuhkan…”58

Dana operasional dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yang

diperuntukkan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif sudah

diberikan sebanyak 2 (dua) kali yaitu pada tahun 2009 dan tahun 2010.

Pada tahun 2009 jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang

menerima dana operasional sebanyak 20 sekolah dengan besaran dana

sebesar Rp. 20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah) untuk masing-masing

sekolah. Alokasi anggaran biaya operasional penyelenggara pendidikan

inklusif tersebut berasal dari Dana APBD Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta Dokumen Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat

Daerah (DPA-SKPD) Dinas Pendidikan Tahun 200959

.

Pada tahun 2010, jumlah sekolah penyelenggara program pendidikan

inklusif yang menerima dana pendamping berjumlah 5 (lima) sekolah

57

Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Pasal 16 58Wawancara dengan Septi Novida 59Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor

842/2009 Tentang Penunjukkan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi TK, SD, SMP yang

Mendapatkan Biaya Operasional Tahun Anggaran 2009

Page 108: Kamal fuadi fitk

96

dengan besaran dana untuk masing-masing sekolah berjumlah Rp.

18.000.000,- (Delapan belas juta rupiah).

Daftar sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif yang

menerima biaya operasional tahun 2009 dan dana pendamping tahun

2010 sebagai berikut:

Tabel 4

Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Penerima Biaya

Operasional Tahun Anggaran 2009

No Nama Sekolah Alamat Kecamatan Wilayah

1 SDN Johar Baru 29

Pagi

Jl. Percetakan

Negara II A

Johar Baru Pusat

2 SDN Cempaka Putih

Barat 16 Pagi

Jl. Cempaka Putih

Barat XIX

Cempaka

Putih

Pusat

3 SDN Kramat Jati 24

Pagi

Jl. Kerja Bakti Rt.

003/09 No. 40

Kramat Jati Timur

4 SDN Sukabumi Selatan

07 Pagi

Jl. Raya Pos

Pengumben Rt.

002/08 Sukabumi

Selatan

Kebon Jeruk Barat

5 SDN Slipi 18 Pagi Jl. KS Tubun III

Dalam

Palmerah Barat

6 TK Aisyiyah 31 Jl. Salemba

Bluntas I/77

Salemba Paseban

Senen Pusat

7 SDN Jatinegara Kaum

14 Pagi

Jl. Jatinegara

Kaum 10/3

Pulo Gadung Timur

8 SDN Lebak Bulus 06

Pagi

Jl. Gunung Balong Cilandak Selatan

Page 109: Kamal fuadi fitk

97

9 SDN Marunda 02 Pagi Jl. Marunda Pulo

Rt. 003/07

Cilincing Utara

10 SMP Negeri 118 Jl. Pramukasari I

No. 19

Cempaka

Putih

Pusat

11 SDN Tanah Tinggi 01

Pagi

Jl. Tanah Tinggi I

Gang 2

Johar Baru Pusat

12 SDN Rawabadak

Selatan 07 Pagi

Jl. Mundari

Bendungan

Melayu

Rawabadak

Koja Utara

13 SDN Pluit 06 Petang Jl. Komp. Nelayan

Muara Angke Rt.

001/01

Penjaringan Utara

14 TK Negeri Pembina

DKI Jakarta

Jl. Bambu Duri X

Pondok Bambu

Duren Sawit

Duren Sawit Timur

15 SDN Kartini 02 Petang Jl. Gotong Royong

Gang E

Sawah Besar Pusat

16 SMP Negeri 191 Jl. Kepa Duri Raya Kebon Jeruk Barat

17 SMP Negeri 240 Jl. H. Raya No. 16

B

Kebayoran

Baru

Selatan

18 SMP Negeri 120 Jl. Kamal Muara

Raya No. 9

Penjaringan Utara

19 SDN Gedong 12 Pagi Jl. Raya Cindet

Gg. Masjid

Pasar Rebo Timur

20 SMP Negeri 223 Jl. Surilang No. 6 Pasar Rebo Timur

Tabel 5

Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif

Page 110: Kamal fuadi fitk

98

Penerima Dana Pendamping Tahun Anggaran 2010

No Nama Sekolah Alamat Kecamatan Wilayah

1 SDN Cempaka Putih

Barat 16 Pagi

Jl. Cempaka Putih

Barat XIX

Cempaka

Putih

Pusat

2 SDN Marunda 02 Pagi Jl. Marunda Pulo

Rt. 003/07

Cilincing Utara

3 SDN Meruya Selatan

06 Pagi

Jl. Lap. Jabek Rt.

002/001 Mega

Kembangan Barat

4 SDN Mentas 04 Jl. Dr. Sahardjo

No. 121 Menteng

Setiabudi Selatan

5 SDN Kramat Jati 24

Pagi

Jl. Kerja Bakti Rt.

003/09 No. 40

Kramat Jati Timur

Dalam hal pendanaan, guru SMP Negeri 223 menyatakan bahwa

pendanaan untuk penyelenggaraan program pendidikan inklusif selain

berasal dari sekolah sendiri, juga berasal dari Dinas Pendidikan Provinsi

DKI Jakarta dan Direktorat PSLB. Hal ini sebagaimana diungkapkan

oleh Sukarto:

“…Pendanaan untuk pelaksanaan pendidikan inklusif berasal dari

biaya sekolah, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, dan Direktorat

PSLB Pusat…”60

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Suparno selaku Manajer Program

Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak. Ia menyatakan:

“…Pendanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif diperoleh dari

bantuan dari Direktorat PSLB, Dinas Pendidikan Provinsi DKI

Jakarta, dan dana sekolah yang dialokasikan untuk penyelenggaraan

pendidikan inklusif…”61

60Wawancara dengan Sukarto 61Wawancara dengan Suparno

Page 111: Kamal fuadi fitk

99

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memang belum bisa memberikan

bantuan finansial kepada semua sekolah yang telah ditunjuk untuk

menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Hal ini dikarenakan

dana yang dibutuhkan sangat besar jika semua sekolah yang telah

ditunjuk tersebut diberikan bantuan finansial. Maka, sebagaimana

dijelaskan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd, bantuan diberikan hanya

kepada sekolah-sekolah yang mengajukan proposal permohonan bantuan

dana dan proposal tersebut diterima karena telah dipertimbangkan

kelayakannya. Namun demikian, pihak sekolah sendiri pun mengakui

bahwa sekolah sendiri sudah mengalokasikan dana untuk

penyelenggaraan pendidikan inklusif. Dana yang dibutuhkan sekolah pun

ada juga yang berasal dari pemerintah pusat yang diberikan lewat

Direktorat PSLB.

f. Model Pendidikan Inklusif

Model inklusif yang dipakai di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi

DKI Jakarta adalah model inklusif moderat, dimana peserta didik

berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan peserta didik lainnya

di kelas reguler. Pada kesempatan-kesempatan tertentu dimana peserta

didik berkebutuhan khusus membutuhkan penanganan khusus maka

peserta didik berkebutuhan khusus dipisahkan untuk diberikan treatment

khusus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd:

“…Pada prinsipnya, baik anak-anak normal dan anak-anak

berkebutuhan khusus selalu bersama-sama dalam pembelajaran di

sekolah inklusif. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak normal dapat

mengetahui dan memahami bahwa di sekitar mereka terdapat anak-

anak berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan dalam hal fisik

maupun emosional. Pun dengan anak-anak berkebutuhan khusus agar

mereka dapat merasakan kehidupan normal layaknya anak-anak

lainnya. Namun dalam prakteknya, sebagian dari anak-anak

berkebutuhan khusus mungkin dapat dipisah ketika memang mereka

Page 112: Kamal fuadi fitk

100

tidak dapat disatukan. Ini bagian dari strategi pembelajaran yang dapat

dipraktikkan oleh guru…”62

Hal senada juga diungkapkan oleh guru inklusi SMP Negeri 223 Pasar

Rebo yang menyatakan:

“…Dari awal sudah disampaikan bahwa di sekolah ini ada siswa yang

berkebutuhan khusus sebelum tahun ajaran baru dimulai. Informasi ini

kami sampaikan di kelas-kelas agar guru-guru di sini mengetahui

kondisi yang ada di sekolah… Selain itu, ada juga anak-anak

berkebutuhan khusus yang diberi catatan oleh psikolog. Hal ini

diperlukan karena masing-masing siswa berkebutuhan khusus

memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Misalnya siswa tuna netra

yang bisa saja duduk di belakang atau duduk di depan kelas. Contoh

lain misalnya siswa tuna rungu yang harus duduk di depan. Pada awal

proses belajar mengajar, kami menginformasikan kepada wali kelas

untuk membuat denah yang disesuaikan dengan kondisi anak-anak

berkebutuhan khusus…”63

Manajer program inklusi SMA Negeri 66 Cilandak juga menyatakan hal

yang serupa yaitu:

“…Proses pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus

disamakan dengan anak-anak reguler lainnya…”64

Pada prinsipnya, peserta didik berkebutuhan khusus diberikan

kesempatan yang sama untuk mendapatkan pembelajaran di kelas

bersama-sama dengan peserta didik yang tidak digolongkan ke dalam

anak-anak berkebutuhan khusus. Pemisahan peserta didik berkebutuhan

khusus dari kelas reguler dilakukan hanya pada kesempatan-kesempatan

tertentu dimana proses pembelajaran tidak bisa disama ratakan. Dra.

Septi Novida, M.Pd sendiri menyatakan bahwa hal tersebut merupakan

bagian dari strategi yang disesuaikan saja dengan kebutuhan. Pihak dinas

sendiri tidak memberikan aturan ketat mengenai bagaimana model

pendidikan inklusif seharusnya dipraktikkan di sekolah. Sekolahlah yang

paling mengetahui kondisi peserta didiknya, sehingga kebutuhan peserta

didik harus diidentifikasi sendiri oleh sekolah.

62Wawancara dengan Septi Novida 63Wawancara dengan Sukarto 64Wawancara dengan Suparno

Page 113: Kamal fuadi fitk

101

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, penyelenggaraan pendidikan

inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta mengacu

kepada konsep inklusi penuh (full inclusion) dimana peserta didik

berkebutuhan khusus belajar secara penuh di kelas reguler. Dengan

demikian model tersebut tidak sesuai dengan model yang ditentukan oleh

pemerintah. Pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd sendiri memberikan

pemhaman bahwa proses pembelajaran yang diperuntukkan bagi peserta

didik berkebutuhan khusus baik penuh maupun parsial hanya merupakan

bagian dari strategi yang perlu dipahami dengan baik oleh guru-guru

yang menangani pendidikan inklusif.

Model pendidikan inklusif moderat seperti yang menjadi ketentuan dari

pemerintah pusat secara literatur tidak ditemukan karena sebagaimana

dinyatakan Morrison, pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua

model. Pertama yaitu model inklusi penuh (full inclusion) dimana

peserta didik berkebutuhan khusus menerima pembelajaran individual

dalam kelas reguler. Kedua yaitu model inklusif parsial (partial

inclusion) dimana peserta didik berkebutuhan khusus sebagian mengikuti

pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam

kelas-kelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus65

.

Model kelas inklusif yang dimodifikasi sesuai dengan ketentuan

pemerintah yang terdiri dari kelas reguler penuh, kelas reguler dengan

cluster, kelas reguler dengan pull out, kelas reguler dengan cluster dan

pull out, kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian, dan kelas khusus

penuh di sekolah reguler sebagaimana dinyatakan oleh Sip Jan Pijl dan

Cor J.W.Meijer66, tidak dipakai dalam penyelenggaraan pendidikan

inklusif di Provinsi DKI Jakarta. Sebagaimana dinyatakan pemerintah

65

George Morrison, Early Childhood Education Today, (New Jersey: Pearson Education Inc.,

2009), h. 462. 66Sip Jan Pijl dan Cor J.W.Meijer, Factor In Inclusion: A Framework dalam Sip Jan Pijl (eds.),

Inclusive Education; A Global Agenda, (London: Routledge, 1997), h. 12.

Page 114: Kamal fuadi fitk

102

pusat lewat Direktorat PSLB, penyelenggaraan pendidikan bagi peserta

didik berkebutuhan khusus di Indonesia tetap mengambil semangat dan

filosofi inklusif.

Implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi

DKI Jakarta selalu dievaluasi oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.

Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd:

“…Sebenarnya kami tidak mengalokasikan proses khusus untuk

penilaian atau peninjauan ulang terhadap kebijakan-kebijakan

penyelenggaraan pendidikan inklusif yang sudah kami keluarkan, namun

kami melakukan proses penilaian saat kami melakukan monitoring di

sekolah-sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif dengan cara

menanyakan langsung apakah kebijakan-kebijakan penyelenggaraan

program pendidikan inklusif sudah berjalan di sekolah atau belum

terselenggara…”67

Guru inklusif di SMP Negeri 223 Pasar Rebo mendukung pernyataan

tersebut dengan mengatakan bahwa:

“…Dinas Pendidikan melakukan monitoring terhadap pelaksanaan

pendidikan inklusif di sini. Di samping itu, monitoring juga dilakukan

oleh pengawas dan pihak penyelenggara Sekolah Luar Biasa…”68

Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak menambahkan

dukungan atas pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd dengan menyatakan:

“…Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta selalu melakukan

pengawasan terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Kami

sebagai penyelenggara pendidikan inklusif merasa sangat terbantu

dengan adanya pengawasan yang dilakukan oleh pihak Dinas. Selain dari

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, monitoring juga dilakukan oleh

Direktorat PSLB Pusat…”69

Dengan ini Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta melakukan evaluasi

terhadap kebijakan karena melihat pentingnya proses evaluasi terhadap

kebijakan. Dalam hal ini Budi Winarno menyatakan bahwa evaluasi

67Wawancara dengan Septi Novida 68Wawancara dengan Sukarto 69Wawancara dengan Suparno

Page 115: Kamal fuadi fitk

103

diperlukan untuk melihat sejauh mana kebijakan telah mampu memecahkan

masalah atau tidak70

. Selain itu, evaluasi tersebut akan menentukan

perubahan terhadap kebijakan. Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI

Jakarta terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat tetap seperti

semula, diubah, atau dihilangkan sama sekali71

.

Dari deskripsi dan analisis data di atas, kebijakan penyelenggaraan pendidikan

Inklusif di Provinsi DKI Jakarta telah melalui tahap-tahap kebijakan sebagai

berikut:

a. Penyusunan agenda, dikaitkan dengan dimasukkannya pendidikan peserta

didik berkebutuhan dalam bentuk pendidikan inklusif sebagai salah satu

masalah yang perlu disusun dalam agenda kebijakan Pemerintah Daerah

Provinsi DKI Jakarta.

b. Formulasi kebijakan, dikaitkan dengan formulasi kebijakan

penyelenggaraan pendidikan inklusif yang secara substansi sama dengan

kebijakan dari tingkat pusat dengan penyesuaian yang disesuaikan dengan

kemampuan sumber daya Provinsi DKI Jakarta

c. Adopsi kebijakan, dikaitkan dengan dilegitimasinya kebijakan

penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta lewat

Peraturan Pemerintah Daerah Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional dan Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007

Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi

d. Implementasi kebijakan, dikaitkan dengan pelaksanaan kebijakan

penyelenggaraan pendidikan inklusif seperti penunjukkan sekolah-sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi

DKI Jakarta, pemberian bantuan kepada sekolah-sekolah penyelenggara

program pendidikan inklusif, pemberian beasiswa bagi peserta didik

berkebutuhan khusus, dan lain-lain.

70Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, (Yogyakarta: Media Presindo, 2007), h.

34 71Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt, Public Administration: An Action Orientation,

(Boston: Wadsworth, 2009), h. 55

Page 116: Kamal fuadi fitk

104

e. Evaluasi kebijakan, dikaitkan dengan monitoring terhadap pelaksanaan

pendidikan inklusif yang dilakukan oleh Bidang SD/TK/PLB Dinas

Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

Page 117: Kamal fuadi fitk

105

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan mengenai kebijakan

penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta, didapati

kesimpulan sebagai berikut:

1. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

merupakan kebijakan yang akomodatif dan fleksibel. Disebut akomodatif

karena kebijakan tersebut memberikan kesempatan kepada peserta didik

berkebutuhan khusus yang memiliki kelainan dalam hal fisik, mental,

emosional, dan sosial dan peserta didik dengan kecerdasan luar biasa

dan/atau bakat istimewa untuk bersama-bersama belajar di kelas yang

sama dengan peserta didik normal lainnya. Disebut fleksibel karena

kebijakan tersebut tidak secara rigid diterapkan di lapangan. Kebijakan

penyelenggaraan pendidikan inklusif disesuaikan dengan kondisi dan

kebutuhan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif

2. Definisi yang dipakai pemerintah untuk pendidikan inklusif cenderung

untuk mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkelainan (penyandang

hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Aturan mengenai pendidikan

Page 118: Kamal fuadi fitk

106

inklusif ingin memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan

anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan

interaksi sosial yang ada di sekolah. Walaupun peserta didik dengan

kecerdasan dan/atau bakat istimewa juga dimasukkan dalam salah satu

peserta didik pendidikan inklusif, keberadaan mereka tidak banyak

menjadi isu dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Dengan demikian

pendidikan inklusif yang diselenggarakan di lingkungan Dinas Pendidikan

Provinsi DKI Jakarta berbicara mengenai hak anak berkebutuhan khusus

yang memiliki kelainan atau kekurangan dalam hal fisik, mental, dan

emosional untuk dapat belajar bersama dengan peserta didik lainnya di

sekolah reguler.

3. Tidak terdapat model pendidikan inklusif yang dijadikan acuan dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan

Provinsi DKI Jakarta. Model yang terdapat dalam literatur hanya

dipandang sebagai bagian dari strategi yang perlu dipahami dan diterapkan

oleh guru-guru pendidikan inklusif.

4. Belum semua kategori peserta didik yang telah ditentukan pemerintah

tertampung di sekolah inklusif. Hal ini disebabkan karena keterbatasan

sumber daya yang dapat memenuhi kebutuhan pelayanan pendidikan bagi

semua kategori peserta didik berkebutuhan khusus. Selain itu, orang tua

anak berkebutuhan khusus banyak yang masih enggan memasukkan anak

mereka ke sekolah-sekolah inklusif

5. Penunjukkan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di

Provinsi DKI Jakarta melebihi ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah

pusat. Jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Provinsi DKI

Jakarta sendiri hingga saat ini belum memenuhi ketentuan yang termuat

dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif.

6. Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memberikan bantuan dalam bentuk

pelatihan bagi guru-guru inklusi, bantuan finansial, bantuan sarana dan

Page 119: Kamal fuadi fitk

107

prasarana, dan beasiswa bagi sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan

inklusif

B. Saran

Beberapa saran yang dapat penulis kemukakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta perlu terus melakukan koordinasi

internal, terutama dengan Bidang Tenaga Kependidikan, dalam rangka

pemenuhan kebutuhan pendidik yang memahami dengan baik konsep dan

implementasi pendidikan inklusif sehingga semua kategori peserta didik

berkebutuhan khusus dapat tertangani dengan baik

2. Sebaiknya, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta melakukan pendataan

kembali jumlah Guru Pembimbing Khusus (GPK) yang saat ini ada di

lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta agar peningkatan

kualitas pendidikan inklusif, sebagaimana dicanangkan oleh Bidang

TK/SD/PLB, dapat berjalan dengan lancar

3. Sebaiknya, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dan sekolah-sekolah

inklusif melakukan pendataan secara berkala mengenai jumlah dan kondisi

peserta didik setiap tahun ajaran baru di sekolah-sekolah penyelenggara

pendidikan inklusif agar kebutuhan-kebutuhan peserta didik di sekolah

dapat dipetakan untuk kemudian dipenuhi

4. Sebaiknya, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta melakukan peninjauan

ulang mengenai keberadaan peserta didik dengan kecerdasan dan/atau

bakat istimewa yang dimasukkan ke dalam kategori peserta didik

pendidikan inklusif

5. Sebaiknya, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta terus mengadakan

kerjasama dengan pihak luar seperti LSM Hellen Keller Internasional

(HKI) dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan

inklusif

6. Agar aspek pemerataan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif tidak

diabaikan, maka Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta perlu meninjau

kondisi kecamatan-kecamatan yang memiliki sekolah inklusif dalam

jumlah yang sedikit atau bahkan belum memiliki sekolah inklusif seperti

Page 120: Kamal fuadi fitk

108

Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu

Selatan di Kabupaten Kepulauan Seribu

7. Agar pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah-sekolah inklusif dapat

berjalan dengan baik, maka guru-guru di sekolah reguler, terutama guru-

guru di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif (yang ditunjuk Dinas

Pendidikan Provinsi DKI Jakarta) perlu terus meningkatkan pemahaman

dan kompetensi yang berkaitan dengan konsep pendidikan inklusif

8. Agar sekolah penyelenggara pendidikan inklusif tidak melaksanakan

pendidikan inklusif sendirian, maka orang tua peserta didik berkebutuhan

khusus perlu terus aktif untuk berkordinasi dengan pihak sekolah dalam

rangka mengetahui kondisi, perkembangan, dan kebutuhan anak-anak

mereka di sekolah

Page 121: Kamal fuadi fitk

DAFTAR PUSTAKA

Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, Jakarta:

Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009

Anderson, James E., dkk., Public Policy and Politics in America, California:

Brooks/Cole Publishing Company, 1984, cet. ke-2

_________________, Public Policy Making, New York: Holt, Rinehart and Winston,

1984, cet. ke-3

_________________, Public Policy Making: An Introduction, Boston: Houghton

Mifflin Company: 1994, cet. ke-2

Baihaqi, MIF. dan M. Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, Bandung:

PT. Refika Aditama, 2006

Barton, Len dan Felicity Armstrong, Policy, Experience, and Change; Cross Cultural

Reflection on Inclusive Education, Dordrecht: Springer, 2007

Bungin, M. Burhan, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,

dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana, 2009

Danim, Sudarwan, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, Jakarta: PT. Bumi Aksara,

2005), cet. ke-3

Delphie, Bandi, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan

Inklusi, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006

_______, Bandi, Pembelajaran Anak Tunagrahita; Suatu Pengantar dalam

Pendidikan Inklusi, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006

Denhardt, Robert B. dan Janet V. Denhardt, Public Administration: An Action

Orientation, Boston: Wadsworth, 2009

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Rencana Strategis Dinas Pendidikan Provinsi

DKI Jakarta Tahun 2009-2013

Page 122: Kamal fuadi fitk

Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Policy Brief, Sekolah

Inklusif; Membangun Pendidikan Tanpa Diskriminasi, No. 9. Th.II/2008,

Departemen Pendidikan Nasional

Dunn, William N., Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 2000, cet. ke-4

Dye, Thomas R., Understanding Public Policy, (New Jersey: Pearson Education Inc.,

2005)

Edwards III, George C. dan Ira Sharkansky, The Policy Predicament: Making and

Implementing Public Policy, San Francisco: W.H. Freeman and Company, 1978

Fliegler, Louis A., “Curriculum Implementation” dalam Curriculum Planning for The

Gifted, New Jersey: Prentice Hall Inc., 1961

Hallahan, Daniel P. dkk., Exceptional Learners: An Introduction to Special

Education, Boston: Pearson Education Inc., 2009, cet. ke-10

Hanbal, Ahmad Ibn, Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, (Kairo: Muassasah

Qurtubah, tt), juz 5

Hardin, Brent dan Maria Hardin, “Into the Mainstream: Practical Strategies for

Teaching in Inclusive Environments”, dalam Kathleen M. Cauley (ed.),

Educational Psychology, New York: McGraw-Hill/Dushkin, 2004

Harjaningrum, Agus Tri, dkk., Peranan Orang Tua dan Praktisi dalam Membantu

Tumbuh Kembang Anak Berbakat Melalui Pemahaman Teori dan Tren

Pendidikan, Jakarta: Prenada, 2007

Hornby, AS, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford:

Oxford University Press, 1995), cet. ke-5

http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29

http://en.wikipedia.org/wiki/Mainstreaming_%28education%29

http://groups.yahoo.com/group/ditplb/message/130

http://puslitjaknov.org/data/file/2008/makalah_undangan/DYAH%20S_Pengkajian%

20Pendidikan%20Inklusif.pdf

Page 123: Kamal fuadi fitk

http://www.depdagri.go.id/media/filemanager/2010/01/29/1/1/11__dki_jakarta.pdf

Islamy, M. Irfan, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bina

Aksara, 1988, cet. ke-3

Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor

842/2009 Tentang Penunjukkan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi TK,

SD, SMP yang Mendapatkan Biaya Operasional Tahun Anggaran 2009

Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor

1190/2010 Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, dan SMA/SMK

Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010

Lindgren, Henry Clay, Educational Psychology in the Classroom, Tokyo: Charles E.

Tuttle Company, 1967, cet. ke-3

Moloeng, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2009

Morrison, George S., Early Childhood Education Today, New Jersey: Pearson

Education Inc., 2009

Muslim, al Imam Abi Husain bin al Hajjaj, Shahih Muslim, Kairo: Daar Ibnu Al

Haitam, 2001

Nawawi, Hadari dan Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial,

Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995

Nawawi, Ismail, Public Policy; Analisis, Strategi, Advokasi, Teori, dan Praktek,

Surabaya: PMN, 2009

Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Direktorat Pembinaan

Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan

Menengah Departemen Pendidikan Nasional, 2007

Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 116 Tahun 2007

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan

Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi

Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan

Page 124: Kamal fuadi fitk

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa

Perlu Pelatihan Khusus untuk Guru; Sekolah Inklusi Butuh Pengajar, Kompas, Rabu,

3 Maret 2010

Pijl, Sip Jan (eds), Inclusive Education: A Global Agenda, London: Routledge, 1997

Putt, Allen D. dan J. Fred Springer, Policy Research; Concepts, Methods, and

Application, New Jersey: Prentice Hall, 1989

Reid, Gavin, Dyslexia and Inclusion; Classroom Approaches for Assesment,

Teaching and Learning, London: David Fulton Publisher, 2005

Santrock, John W., Psikologi Pendidikan, Jakarta: Prenada Media Group, 2008

Schulz, Jane B., Mainstreaming Exceptional Students; A Guide for Classroom

Teachers, Boston: Allyn and Bacon, 1991

Smith, J. David, Inklusi: Sekolah Ramah untuk Semua, Bandung: Penerbit Nuansa,

2006

Stephens, Thomas M. dkk., Teaching Mainstreamed Students, Canada: John

Wiley&Sons, 1982

Suharto, Edi, Analisis Kebijakan Publik; Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan

Kebijakan Sosial, Bandung: CV. Alfabeta, 2005

Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2008, cet. ke-4.

Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003

Perihal Pendidikan Inklusif

Taylor, Ronald L., Assesment of Exceptional Students; Educational and

Psychological Procedures, New Jersey: Pearson Education Inc., 2009, Cet. Ke-8

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional

Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta:

PT. Bumi Aksara, 2008

Page 125: Kamal fuadi fitk

Winarno, Budi, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, Yogyakarta: Media Presindo,

2007

Page 126: Kamal fuadi fitk

ANALISIS KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

DI PROVINSI DKI JAKARTA

Oleh:

Kamal Fuadi

105018200722

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN

JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011M/1432H

Page 127: Kamal fuadi fitk

ANALISIS KEBIJAKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

DI PROVINSI DKI JAKARTA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan

Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:

Kamal Fuadi

105018200722

Di bawah Bimbingan

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN

JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2011M/1432H

Page 128: Kamal fuadi fitk

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

di Provinsi DKI Jakarta” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

(FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan

lulus dalam Ujian Munaqasyah pada hari Jum‟at, 11 Maret 2011 di hadapan dewan

penguji. Karena itu penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) pada

Jurusan Kependidikan Islam Program Studi Manajemen Pendidikan.

Jakarta, 11 Maret 2011

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan KI)

Tanggal dan Tanda Tangan

Drs. Rusydy Zakaria, M.Ed., M.Phil.

NIP. 19560530 198503 1 002

(………..……..) (……..…..……)

Ketua Program Studi Manajemen Pendidikan

Drs. H. Mu‟arif SAM, M.Pd

NIP. 19650717 199403 1 003

(………..……..) (………..……..)

Penguji I

Prof. Dr. H. Armai Arief, MA

NIP. 19560119 198603 1 003

(………..……..) (………..……..)

Penguji II

Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA

NIP. 19540802 198503 1 002

(………..……..) (………..……..)

Mengetahui

Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Page 129: Kamal fuadi fitk

ABSTRAKSI

Kamal Fuadi, 105018200722, Analisis Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan

Inklusif di Provinsi DKI Jakarta

Pemerintah Indonesia memiliki komitmen untuk menyelenggarakan pendidikan

demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak

asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa yang

diwujudkan dengan menyelenggarakan pendidikan inklusif. Provinsi DKI Jakarta

merupakan satu-satunya daerah yang mengeluarkan kebijakan khusus

penyelenggaraan pendidikan inklusif yang tertuang dalam Peraturan Gubernur Nomor

116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif. Kebijakan

penyelenggaraan pendidikan inklusif masih menyisakan berbagai permasalahan

seperti belum adanya pemahaman mengenai kebijakan penyelenggaraan pendidikan

inklusif, belum tertampungnya anak-anak yang teridentifikasi berkebutuhan khusus

dalam sekolah-sekolah inklusif dan belum tersedianya sumber daya pendidik sekolah

inklusif yang memadai.

Penelitian yang menggunakan metode kualitatif deskriptif ini berusaha untuk

mendeskripsikan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif dan implementasi

kebijakan tersebut di Provinsi DKI Jakarta. Peneliti melakukan wawancara dengan

Kepala Bidang TK, SD, PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Koordinator

Program Opportunity for Vulnerable Children (OVC) Hellen Keller International

(HKI), dan Guru Program Pendidikan Inklusif di SMP Negeri 223 Pasar Rebo Jakarta

Timur dan SMA Negeri 66 Cilandak Jakarta Selatan.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa, pertama, pendidikan inklusif yang

diselenggarakan di Provinsi DKI Jakarta cenderung untuk mendeskripsikan

penyatuan anak-anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program

sekolah. Keberadaan peserta didik dengan kecerdasan dan/atau bakat istimewa tidak

banyak menjadi isu dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Kedua,

penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak menggunakan model sebagaimana

terdapat dalam literatur dan ketentuan umum pendidikan inklusif. Model hanya

merupakan bagian dari strategi yang perlu diketahui dan dilaksanakan guru. Ketiga,

belum semua kategori anak berkebutuhan khusus diterima menjadi peserta didik

program pendidikan inklusif. Hal tersebut berkaitan dengan belum terpenuhinya

sumber daya sekolah yang memadai. Keempat, penunjukkan sekolah-sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta melebihi ketentuan yang

ditetapkan pemerintah pusat. Kelima, Pemerintah Provinsi DKI selalu bekerja sama

dengan pihak sekolah dengan memberikan pelatihan bagi guru-guru inklusi, bantuan

finansial, bantuan sarana dan prasarana, dan beasiswa bagi sekolah-sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif.

Kata Kunci: Kebijakan, Pendidikan Inklusif

Page 130: Kamal fuadi fitk

Kata Pengantar

Bismillaahirrahmaanirraahiim

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang tak pernah berhenti

melimpahkan rahmat dan ridla-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat penulis

selesaikan. Shalawat teriring salam penulis curahkan kepada Nabi Muhammad SAW,

keluarga, sahabat, tabi‟in, dan para pengikut beliau yang setia menjalankan ajaran-

ajarannya hingga akhir zaman.

Penulisan skripsi ini bukan sekadar pemenuhan kewajiban tugas akhir yang harus

penulis tunaikan sebagai mahasiswa untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan

(S.Pd) pada Program Studi Manajemen Pendidikan Jurusan Kependidikan Islam

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Namun lebih

jauh penulisan skripsi ini merupakan pembuktian penulis sebagai mahasiswa untuk

menulis sebuah karya tulis di akhir masa kuliah.

Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis sampaikan rasa terima kasih kepada

semua pihak yang telah berperan kepada penulis baik semasa penulis berkuliah

maupun semasa penulis menyelesaikan penulisan skripsi ini. Dengan segala

kerendahan dan ketulusan hati, penulis menghaturkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dosen Pembimbing Skripsi

yang telah meluangkan waktu di tengah kesibukan beliau untuk memberikan

arahan selama penulis menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi

2. Bapak Rusydi Zakaria, M.Ed., M.Phil., Ketua Jurusan Kependidikan Islam,

Bapak Drs. Mu‟arif SAM, M.Pd, Ketua Program Studi Manajemen

Pendidikan, dan Ibu Iffah Zahriyani, S.Pd, Staf Jurusan KI-MP yang telah

memberikan layanan akademik dan menjadi teman diskusi selama penulis

menempuh perkuliahan

Page 131: Kamal fuadi fitk

3. Bapak Drs. Syauki, M.Pd, Dosen Penasehat Akademik yang selalu

memberikan saran dalam menjalani perkuliahan

4. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Jurusan Kependidikan Islam Program

Studi Manajemen Pendidikan yang telah mendidik dan membimbing penulis

dengan ketulusan, profesionalisme, dan dedikasi yang tinggi

5. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ilmu

Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

6. Bapak Dr. Taufik Yudi Mulyanto, M.Pd, Kepala Dinas Pendidikan dan Ibu

Drs. Septi Novida, M.Pd, Kepala Bidang TK/SD/PLB Dinas Pendidikan

Provinsi DKI Jakarta beserta staf dan jajarannya yang telah memfasilitasi

penulis untuk mengadakan penelitian di lingkungan Dinas Pendidikan

Provinsi DKI Jakarta

7. Bapak Drs. Sugiyono, M.Pd, M.Si, Kepala Sekolah SMA Negeri 66 Jakarta

dan Bapak Dr. H.A. Otjin Kusnadie, M.Pd, Kepala Sekolah SMP Negeri 223

yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengadakan

penelitian dan wawancara

8. Ibu Fitri selaku Koordinator Program Opportunity for Vulnerable Children

(OVC) Hellen Keller International (HKI) yang telah meluangkan waktu beliau

untuk penulis

9. Bapak Drs. Moh. Djazeri (alm) dan Ibu Dra. Umi Azizah, orangtua penulis

yang selalu mendidik, membimbing, memberikan nasehat dan dukungan, serta

doa dimanapun penulis berada

10. Fikri Ali, SE, Muthmainnah (feat. Muhammad Nidzam Ardiyan) dan Rofik

Habibi, kakak-kakak penulis yang tidak pernah lelah memotivasi. Muhammad

Auva Ahdi, Charis Luthfi, dan Shovia Afida, adik-adik penulis yang selalu

menjadi penyemangat. Kalian yang terbaik yang penulis miliki

11. Bapak Prof. Dr. Ali Mustafa Ya‟qub, MA, Khadim Ma‟had „Aly DARUS

SUNNAH, guru dan orang tua penulis, yang telah mengenalkan lebih jauh

kepada penulis mengenai arti istiqamah dan totalitas dalam mendalami ilmu.

Page 132: Kamal fuadi fitk

Semoga Allah selalu memberikan kesehatan dan limpahan rahmat kepada

beliau.

12. Sahabat-sahabat DARUS SUNNAH 2005, A. Syarif Hidayatullah, S.Th.I, Lc.,

Rikza Ahmad, S.Th.I, Lc., Edo Abdullah Faqih, S.Si, Lc., Fathuddin, SH.I,

Lc., Agus Gunawan, S.Th.I, Lc., Zainal Muttaqin, S.Th.I, Lc., Abdul Aziz,

Lc., Arya „Izzudin, Lc., Alvian Iqbal Zahasfan, S.SI, Lc., Ahmad Masy‟ari

SH.I, Rahmat, Devita Zuliati, S.Pd.I, Lc., Dida Farida, S.SI., Lc., Fajriyati

Aljabhati, S.SI, Lc., Fitriyani, S.SI, Lc., dan Maryam Shofa, S.SI, Lc.. Kita

adalah sahabat terbaik

13. Sahabat-sahabat AL BARKAH INSTITUTE, Syarif Zakky Azizi, Muhammad

Fatkhurrahman, Rohim, Habibullah Siregar, Kurnia Aswaja, Nasihin Aziz

Raharjo, dan Ana Mulyana

14. Pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Jurusan Kependidikan Islam-

Manajemen Pendidikan (BEMJ KI-MP) Periode 2007-2008 yang telah

bersama-sama mewarnai aktivisme kampus

15. Kawan-kawan Ikatan Mahasiswa Tegal (IMT) Ciputat. Gus Aqib Malik,

Abdul Latif, Abraham Firdaus, Iqbal Kaukabuddin, Fatkhul Muin, M.

Shobahur Rizqi, Zainal Muttaqin, Hendri Pradiyanto, Alimuddin Tarlay,

Atfiyanah, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan di sini. Sungguh

kalian menjadi saudara terbaik di perantauan

16. Teman-teman kelas A dan terutama kelas B Jurusan Kependidikan Islam-

Manajemen Pendidikan (KI-MP) angkatan 2005. Maaf saya bukan teman

yang baik

Penulis menyadari bahwa skripsi sederhana ini sebagai karya tulis sangat jauh dari

sempurna. Oleh karena itu penulis selalu mengharapkan kritik dan saran konstruktif.

namun dengan kerendahan hati, penulis sangat berharap agar skripsi ini dapat

bermanfaat untuk semua pihak yang menggeluti bidang manajemen pendidikan,

Page 133: Kamal fuadi fitk

minimal bagi diri penulis. Akhirnya hanya kepada Allah jua segala sesuatu penulis

kembalikan. Wallaahu A’lamu Bi As Shawab.

Ciputat, 25 Februari 2011

Penulis

Page 134: Kamal fuadi fitk

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................................... iv

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL ................................................................. vi

BAB I : PENDAHULUAN ........................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah............................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ..................................................................... 8

C. Pembatasan Masalah .................................................................... 9

D. Perumusan Masalah ..................................................................... 9

E. Manfaat Penelitian ....................................................................... 9

BAB II : KAJIAN TEORI ............................................................................ 10

A. Kebijakan .................................................................................... 10

1. Pengertian Kebijakan ............................................................. 10

2. Tahap-Tahap Kebijakan ......................................................... 14

3. Analisis Kebijakan ................................................................. 16

B. Pendidikan Inklusif

1. Pengertian Pendidikan Inklusif .............................................. 20

2. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif..................... 25

3. Model Pendidikan Inklusif .................................................... 27

4. Komponen Pendidikan Inklusif ............................................. 31

5. Pembelajaran Model Inklusif di Kelas Reguler ...................... 35

BAB III : METODE PENELITIAN ............................................................... 39

A. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................... 39

B. Tujuan Penelitian ......................................................................... 39

C. Metode Penelitian ........................................................................ 39

Page 135: Kamal fuadi fitk

D. Sumber Data ................................................................................ 40

E. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 41

F. Teknik Analisis Data ................................................................... 42

BAB IV : HASIL PENELITIAN .................................................................... 44

A. Gambaran Umum Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ........... 44

1. Visi dan Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ............. 44

a. Visi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ....................... 44

b. Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ....................... 44

2. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pendidikan Provinsi DKI

Jakarta ..................................................................................... 47

a. Tugas Pokok Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.......... 48

b. Fungsi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ................... 48

3. Tujuan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ....................... 49

4. Sasaran Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ...................... 49

5. Strategi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ...................... 49

6. Arah Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta .......... 50

7. Sasaran Strategik Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta........ 50

8. Kondisi Sekolah, Siswa, dan Guru di Lingkungan Dinas

Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ............................................. 51

B. Deskripsi dan Analisis Data ......................................................... 53

1. Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi

DKI Jakarta ............................................................................. 53

2. Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

di Provinsi DKI Jakarta ............................................................ 78

BAB V : PENUTUP ....................................................................................... 102

A. Kesimpulan.................................................................................. 102

B. Saran ........................................................................................... 103

Page 136: Kamal fuadi fitk

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 105

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... 109

Page 137: Kamal fuadi fitk

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Gambar

Gambar 1 Analisis Kebijakan yang Berorientasi pada Masalah … Hal. 18

Gambar 2 Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi, dan

Penempatan Peserta Didik dalam Pendidikan Luar

Biasa …………………………………………………..

Hal. 38

Gambar 3 Jumlah Sekolah di Provinsi DKI Jakarta ……………... Hal. 51

Gambar 4 Jumlah Siswa di Provinsi DKI Jakarta ……………….. Hal. 52

Gambar 5 Jumlah Pendidik di Provinsi DKI Jakarta ……………. Hal. 53

Gambar 6 Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ….. Hal. 62

Tabel

Tabel 1 Daftar Nama TK, SD, SMP, SMA/SMK Negeri

Penyelenggara Pendidikan Inklusi Provinsi DKI

Jakarta …………………………………………………

Hal. 66

Tabel 2 Sebaran Sekolah Inklusif di Provinsi DKI Jakarta …… Hal. 74

Tabel 3 Daftar Sekolah Inklusif Penerima Subsidi Beasiswa

Tahun Anggaran 2010 ………………………………...

Hal. 82

Tabel 4 Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan

Inklusif Penerima Biaya Operasional Tahun Anggaran

2009 …………………………………………………...

Hal. 93

Tabel 5 Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan

Inklusif Penerima Dana Pendamping Tahun Anggaran

2009 …………………………………………………...

Hal. 95

Page 138: Kamal fuadi fitk

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki komitmen tinggi terhadap upaya

pencerdasan bangsa. Komitmen ini dibuktikan dengan pencantuman upaya

pencerdasan bangsa dalam konstitusi negara sebagai salah satu hal paling mendasar

yang perlu dibangun dan dikembangkan pasca kemerdekaan Indonesia. Komitmen ini

kemudian dijabarkan dalam pasal UUD 1945 pasal 31 yang menyebutkan:

1. Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran

2. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran

nasional yang diatur dengan undang-undang1

Realisasi komitmen yang tercantum dalam konstitusi ini diupayakan dengan

menyelenggarakan pendidikan yang terdiri dari beberapa jalur, jenjang dan jenis

mulai dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

1Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Page 139: Kamal fuadi fitk

Pendidikan ini diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak

diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai

kultural, dan kemajemukan bangsa2.

Dalam sekolah, salah satu komponen yang terpenting yaitu peserta didik, karena

merekalah yang dijadikan subjek pembelajaran. Peserta didik memiliki keragaman

baik dari segi fisik maupun kemampuan. Keragaman yang dimiliki peserta didik ini

mempengaruhi proses pembelajaran sehingga perbedaan fisik dan kemampuan

peserta didik membutuhkan penanganan tersendiri oleh tenaga pendidik.

Pada umumnya, rata-rata peserta didik di sekolah memiliki kondisi fisik dan

kemampuan yang normal. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam mengikuti proses

pembelajaran sesuai dengan ketentuan yang telah ditentukan pemerintah. Kesulitan

terjadi tatkala terdapat peserta didik yang memiliki kelainan atau kecerdasan dan

bakat istimewa. Perbedaan yang demikian harus mendapat perhatian dari tenaga

pendidik. Perbedaan ini seharusnya tidak menjadikan adanya diskriminasi terhadap

peserta didik dalam mengikuti proses pembelajaran di sekolah.

Salah satu upaya pemerintah untuk menghindari atau bahkan menghilangkan

diskriminasi dalam pendidikan yaitu dengan menyelenggarakan pendidikan yang

tidak membeda-bedakan kelainan dan tingkat kecerdasan yang dimiliki peserta didik.

Pendidikan yang demikian disebutkan secara eksplisit dengan istilah Pendidikan

Khusus dalam Pasal 15 dan Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun

2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 15 disebutkan bahwa pendidikan

khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan

atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara

2Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

Page 140: Kamal fuadi fitk

inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan

menengah3.

Dalam Pasal 32 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun

2003 juga disebutkan istilah Pendidikan Khusus ini sebagai penjelas Pasal 15 di atas.

Dalam Pasal 32 Ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan

bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam proses pembelajaran karena

kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan

bakat istimewa4.

Dalam kedua pasal di atas disebutkan secara jelas mengenai apa yang disebut

dengan istilah Pendidikan Khusus dan siapa saja yang berhak mendapatkan

pendidikan ini. Pendidikan Khusus ini memang didesain untuk mengakomodir

perbedaan yang terdapat pada peserta didik. Perbedaan ini harus direspon dalam

bentuk pelaksanaan pendidikan yang mampu mengelola perbedaan-perbedaan yang

dimaksud dalam pasal di atas.

Pemerintah Indonesia sudah sejak lama menyelenggarakan pendidikan yang secara

khusus disediakan bagi peserta didik yang memiliki kelainan. Bentuk pendidikan bagi

peserta didik berkelainan ini secara khusus diatur lewat Peraturan Pemerintah Nomor

72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa5. Peraturan pemerintah ini hanya

mengatur pendidikan yang disediakan bagi peserta didik yang memiliki kelainan fisik

dan mental. Dalam peraturan ini tidak disebutkan adanya aturan yang

mengikutsertakan peserta didik yang memiliki bakat dan kecerdasan luar biasa atau

istimewa.

Istilah Pendidikan Luar Biasa memang selalu dikaitkan dengan pendidikan bagi

peserta didik yang memiliki kelainan fisik dan mental. Pendidikan ini didesain secara

3Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional 4Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 5Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa.

Page 141: Kamal fuadi fitk

khusus dengan membedakan dan sekaligus memisahkan peserta didik yang memiliki

kelainan fisik dan mental dengan peserta didik yang tidak memiliki kelainan fisik dan

mental (normal).

Di Indonesia pendidikan bagi peserta didik berkelainan selama ini disediakan

dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah

Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga

pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama,

sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa,

SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda. Sedangkan SDLB menampung berbagai jenis

anak berkelainan, sehingga di dalamnya mungkin terdapat anak tunanetra, tunarungu,

tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda. Sedangkan Pendidikan

Terpadu adalah sekolah reguler yang menampung anak berkelainan dengan

kurikulum, guru, sarana pengajaran, dan kegiatan belajar mengajar yang sama.

Namun selama ini baru menampung anak tunanetra, itupun perkembangannya kurang

menggembirakan karena banyak sekolah umum yang keberatan menerima anak

berkelainan.

Pada umumnya, lokasi SLB berada di Ibu Kota Kabupaten. Padahal anak-anak

berkelainan tersebar hampir di seluruh daerah (Kecamatan/Desa), tidak hanya di Ibu

Kota Kabupaten. Akibatnya, sebagian anak-anak berkelainan, terutama yang

kemampuan ekonomi orang tuanya lemah, terpaksa tidak disekolahkan karena lokasi

SLB jauh dari rumah; sementara kalau akan disekolahkan di SD terdekat, SD tersebut

tidak bersedia menerima karena merasa tidak mampu melayaninya. Sebagian yang

lain, mungkin selama ini dapat diterima di SD terdekat, namun karena ketiadaan

pelayanan khusus bagi mereka, akibatnya mereka beresiko tinggal kelas dan akhirnya

putus sekolah. Permasalahan di atas akan berakibat pada kegagalan program wajib

belajar.

Page 142: Kamal fuadi fitk

Untuk mengantisipasi hal di atas, dan dalam rangka menyukseskan wajib belajar

pendidikan dasar, dipandang perlu meningkatkan perhatian terhadap anak-anak

berkelainan, baik yang telah memasuki sekolah umum (SD) tetapi belum

mendapatkan pelayanan pendidikan khusus maupun anak-anak berkelainan yang

belum sempat mengenyam pendidikan sama sekali karena tidak diterima di SD

terdekat atau karena lokasi SLB jauh dari tempat domisilinya.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak

berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 dan pasal 32 tentang pendidikan khusus

disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang

berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang

diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat

pendidikan dasar dan menengah. Pasal inilah yang memungkinkan terobosan bentuk

pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan berupa penyelenggaraan pendidikan

inklusif.

Istilah inklusif mulai digunakan untuk menggantikan istilah pendidikan luar biasa6.

Di Amerika Serikat misalnya, perubahan model pendidikan anak berkekhususan

sudah berlangsung mulai tahun 70-an. Tujuan dari perubahan itu tidak lain adalah

peniadaan diskriminasi pendidikan bagi populasi individu berkekhususan. Indonesia

juga mengalami perkembangan yang hampir sama. Sampai saat ini terdapat banyak

sekolah yang mulai membuka program pendidikan inklusif7. Yang melandasi

pelaksanaan pendidikan inklusif ini secara umum adalah semangat egalitarianisme

yang berarti terdapat kesempatan yang sama bagi semua anak untuk memperoleh

pendidikan. Masing-masing anak harus mendapatkan pengalaman belajar yang

6Ronald L. Taylor, Assesment of Exceptional Students; Educational and Psychological Procedures,

(New Jersey: Pearson Education Inc., 2009), Cet. Ke-8, h. 4-6. 7Agnes Tri Harjaningrum, dkk., Peranan Orang Tua dan Praktisi dalam Membantu Tumbuh

Kembang Anak Berbakat Melalui Pemahaman Teori dan Tren Pendidikan, (Jakarta: Prenada, 2007), h.

8-9.

Page 143: Kamal fuadi fitk

berbeda-beda. Pengalaman yang berbeda ini tidak meniscayakan adanya pendidikan

yang dipisahkan, namun berangkat dari perbedaan yang terdapat dalam individu

anak8.

Menurut data Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah

(Dirjen Mandikdasmen) Departemen Pendidikan Nasional, jumlah sekolah yang

menyelenggarakan pendidikan Inklusif yaitu sebanyak 814 sekolah dengan jumlah

siswa mencapai 15.1819. Secara operasional, aturan mengenai sekolah inklusif ini

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional

Pendidikan. Selain itu, pemerintah melalui Dirjen Mandikdasmen juga telah

mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Mandikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 tanggal

20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif10. Aturan terbaru yang mengatur

pendidikan inklusif yaitu Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan Nasional Nomor 70

Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan

dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

Selaras dengan semangat otonomi daerah, pengelolaan pendidikan inklusif

didasarkan atas Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Penyelenggaraan pendidikan

inklusif di tingkat daerah juga telah memiliki payung hukum tingkat daerah. Sebagai

ibukota Indonesia dan memiliki otonomi, Daerah Khusus Ibukota Jakarta memiliki

aturan penyelenggaraan pendidikan inklusif lewat Peraturan Gubernur (Pergub)

Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi.

Sampai saat ini, Provinsi DKI Jakarta sudah memiliki 164 Sekolah penyelenggara

pendidikan inklusif dari mulai tingkat TK, SD, SMP, dan SMA/SMK. Secara

8Louis A. Fliegler, “Curriculum Implementation” dalam Curriculum Planning for The Gifted, (New

Jersey: Prentice Hall Inc., 1961), h. 372-373. 9Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Policy Brief, Sekolah Inklusif;

Membangun Pendidikan Tanpa Diskriminasi, No. 9. Th.II/2008, Departemen Pendidikan Nasional, h.

5. 10Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan

Menengah Departemen Pendidikan Nasional, Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif,

h. 13.

Page 144: Kamal fuadi fitk

terperinci jumlah tersebut terdiri dari TK sebanyak 3, SD sebanyak 120, SMP

sebanyak 31, dan SMA/SMK sebanyak 1011. Jumlah ini bukanlah jumlah ideal sesuai

dengan yang dipersyaratkan dalam Pergub Nomor 116 Tahun 2007. Dalam pasal 4

disebutkan bahwa setiap kecamatan sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga) TK/RA,

SD/MI dan 1 (satu) SMP/MTs yang menyelenggarakan pendidikan inklusi. Setiap

kotamadya sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga) SMA/SMK atau MA/MAK yang

menyelenggarakan pendidikan inklusi12.

Provinsi DKI Jakarta memiliki 5 kotamadya dan 1 kabupaten dengan 44

kecamatan13. Dengan 5 kotamadya dan kabupaten serta kecamatan sebanyak itu,

seharusnya jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusi, sesuai dengan Pergub

Nomor 116 Tahun 2007, di tingkat TK/RA dan SD/MI adalah sebanyak 132 sekolah.

Jumlah SMP/MTs sebanyak 44 sekolah dan jumlah SMA/SMK dan MA/MAK

sebanyak 15 Sekolah.

Selain jumlah yang belum memenuhi kondisi ideal yang seharusnya,

penyelenggaraan pendidikan inklusi juga masih menemui berbagai kendala. Dalam

salah satu laporan penelitian berjudul Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi Anak

Berkebutuhan Khusus pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, disebutkan

bahwa efektifitas pendidikan inklusif masih dapat dilihat dinamikanya hanya di

tingkat SD, karena di tingkat lanjutan dapat dikatakan tidak ada model pendidikan

inklusif, yang ada adalah model pendidikan integrasi (ABK mengikuti semua

kegiatan dan aktivitas di sekolah reguler tanpa ada bantuan dan penanganan

khusus)14.

11Lampiran Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Nomor 1190/2010 Tentang

Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, dan SMA/SMK Penyelenggara Pendidikan Inklusif di

Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010. 12Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 116 Tahun 2007. 13Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, dari

http://www.depdagri.go.id/media/filemanager/2010/01/29/1/1/11__dki_jakarta.pdf, 23 Januari 2011 14Penelitian ini dilakukan dalam skala nasional dengan mengambil sampel di beberapa provinsi

penyelenggara pendidikan inklusi. Lihat Pengkajian Pendidikan Inklusif bagi Anak Berkebutuhan

Page 145: Kamal fuadi fitk

Pemerintah sendiri mengakui bahwa sampai saat ini tidak semua sekolah umum

mau menerima anak-anak dengan kebutuhan khusus. Alasan yang dikemukakan

karena tidak ada guru khusus yang menangani mereka dan tidak ada fasilitas yang

memadai. Kengganan untuk mengakomodasi anak berkebutuhan khusus disebabkan

tidak adanya kesadaran dan minimnya pemahaman tentang pendidikan inklusif.

Kengganan tersebut juga lebih banyak terjadi di sekolah-sekolah di kota besar15.

Sebagai model pendidikan yang baru memang wajar bila masih terdapat beberapa

permasalahan terkait pendidikan inklusif. Namun sangat disayangkan bila pemerintah

tidak secara serius menggarap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pendidikan

inklusi diharapkan dapat memecahkan salah satu persoalan dalam penanganan

pendidikan bagi anak berkelainan selama ini. Pemerintah menyatakan

ketidakmungkinan membangun SLB di tiap Kecamatan/Desa karena akan memakan

biaya yang sangat mahal dan waktu yang cukup lama. Selain itu, penyelenggaraan

pendidikan inklusif juga akan membantu percepatan pencapaian target program wajib

belajar 9 tahun yang telah dicanangkan pemerintah.

Mengingat urgensi permasalahan mengenai pendidikan inklusif di atas, penulis

tertarik untuk menulis skripsi berjudul ”Analisis Kebijakan Penyelenggaraan

Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah mengenai kebijakan penyelenggaraan

pendidikan inklusif, maka dapat diidentifikasi masalah penelitian sebagai berikut:

1. Analisis kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI

Jakarta belum direncanakan dengan baik Khusus pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, dari

http://puslitjaknov.org/data/file/2008/makalah_undangan/DYAH%20S_Pengkajian%20Pendidikan%2

0Inklusif.pdf, 14 Januari 2010. 15Perlu Pelatihan Khusus untuk Guru; Sekolah Inklusi Butuh Pengajar, Kompas, Rabu, 3 Maret

2010.

Page 146: Kamal fuadi fitk

2. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta belum

diimplementasikan dengan efektif

3. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusi di provinsi DKI Jakarta belum

disosialisasikan secara maksimal

4. Belum adanya pemahaman yang sama mengenai kebijakan penyelenggaraan

pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

5. Belum adanya persepsi yang sama mengenai urgensi penyelenggaraan

pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

6. Kurangnya guru-guru yang dibutuhkan dalam penyelenggaraan pendidikan

inklusif di Provinsi DKI Jakarta

C. Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan permasalahan dalam kebijakan penyelenggaraan

pendidikan inklusif di DKI Jakarta, untuk memfokuskan penelitian dan efisiensi

waktu, maka penelitian ini hanya dibatasi pada:

1. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

2. Implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI

Jakarta

D. Perumusan Masalah

Dari pembatasan terhadap masalah-masalah yang muncul, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini yaitu “Bagaimana kebijakan penyelenggaraan pendidikan

inklusif dilaksanakan di Provinsi DKI Jakarta?”

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini yaitu:

1. Bagi pemerintah, sebagai bahan tambahan pertimbangan dalam pengambilan

kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif

Page 147: Kamal fuadi fitk

2. Bagi sekolah, sebagai pengetahuan mengenai kebijakan pemerintah dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusif

3. Bagi peneliti, sebagai pengetahuan dan pengalaman

Page 148: Kamal fuadi fitk

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kebijakan

1. Pengertian Kebijakan

Kebijakan merupakan terjemahan dari kata policy yang berasal dari bahasa

Inggris. Kata policy diartikan sebagai sebuah rencana kegiatan atau pernyataan

mengenai tujuan-tujuan, yang diajukan atau diadopsi oleh suatu pemerintahan,

partai politik, dan lain-lain. Kebijakan juga diartikan sebagai pernyataan-

pernyataan mengenai kontrak penjaminan atau pernyataan tertulis16. Pengertian ini

mengandung arti bahwa yang disebut kebijakan adalah mengenai suatu rencana,

pernyataan tujuan, kontrak penjaminan dan pernyataan tertulis baik yang

dikeluarkan oleh pemerintah, partai politik, dan lain-lain. Dengan demikian

siapapun dapat terkait dalam suatu kebijakan.

16AS Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford: Oxford

University Press, 1995), cet. ke-5, h. 893.

Page 149: Kamal fuadi fitk

James E. Anderson memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian

tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh

seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan suatu masalah

tertentu17.

Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa kebijakan dapat berasal dari

seorang pelaku atau sekelompok pelaku yang berisi serangkaian tindakan yang

mempunyai tujuan tertentu. Kebijakan ini diikuti dan dilaksanakan oleh seorang

pelaku atau sekelompok pelaku dalam rangka memecahkan suatu masalah tertentu.

James E. Anderson secara lebih jelas menyatakan bahwa yang dimaksud

kebijakan adalah kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-

pejabat pemerintah. Pengertian ini, menurutnya, berimplikasi: (1)bahwa kebijakan

selalu mempunyai tujuan tertentu atau merupakan tindakan yang berorientasi pada

tujuan, (2)bahwa kebijakan itu berisi tindakan-tindakan atau pola-pola tindakan

pejabat-pejabat pemerintah, (3)bahwa kebijakan merupakan apa yang benar-benar

dilakukan oleh pemerintah, (4)bahwa kebijakan bisa bersifat positif dalam arti

merupakan beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu

atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk

tidak melakukan sesuatu, (5)bahwa kebijakan, dalam arti positif, didasarkan pada

peraturan perundang-undangan dan bersifat memaksa (otoritatif)18. Dalam

pengertian ini, James E. Anderson menyatakan bahwa kebijakan selalu terkait

dengan apa yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh pemerintah.

Pernyataan bahwa kebijakan terkait dengan pemerintah tidak hanya

disampaikan oleh James E. Anderson. George C. Edwards III dan Ira Sharkansky

mengemukakan pengertian kebijakan sebagai apa yang dinyatakan dan dilakukan

atau tidak dilakukan oleh pemerintah. Kebijakan itu dapat berupa sasaran atau

tujuan dari program-program pemerintah. Penetapan kebijakan tersebut dapat

17James E. Anderson, Public Policy Making, (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1984), cet.

ke-3, h. 3. 18James, Public Policy Making, h. 3-5.

Page 150: Kamal fuadi fitk

secara jelas diwujudkan dalam peraturan-peraturan perundang-undangan atau

dalam pidato-pidato pejabat teras pemerintah serta program-program dan tindakan-

tindakan yang dilakukan pemerintah19.

Pengertian serupa juga dikemukakan oleh Thomas R. Dye. Ia menyatakan

bahwa kebijakan merupakan apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk

dilakukan atau tidak dilakukan20.

Dalam mendudukkan pengertian kebijakan, James Anderson mencontohkan

penggunaan istilah kebijakan seperti dalam kalimat “Kebijakan Ekonomi

Amerika”, “Kebijakan Minyak Arab Saudi”, atau “Kebijakan Pertanian Eropa

Barat”. Menurutnya, istilah kebijakan dapat juga digunakan untuk istilah yang

lebih spesifik dalam arti tidak hanya dilekatkan untuk penggunaan dalam lingkup

makro (baca: negara). Contoh yang dikemukakan James E. Anderson seperti pada

penggunaan dalam kalimat “Kebijakan Kota Chicago dalam Polusi di Danau

Michigan dari Milwaukee, Wisconsin”21.

Pengertian lain mengenai kebijakan dikemukakan oleh M. Irfan Islamy. Ia

memberikan pengertian kebijakan sebagai serangkaian tindakan yang ditetapkan

dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan

atau berorientasi pada tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat22.

Kebijakan yang dikemukakan oleh Irfan Islamy ini mencakup tindakan-

tindakan yang ditetapkan pemerintah. Kebijakan ini tidak cukup hanya ditetapkan

tetapi dilaksanakan dalam bentuk nyata. Kebijakan yang ditetapkan oleh

pemerintah tersebut juga harus dilandasi dengan maksud dan tujuan tertentu.

Terakhir, pengertian Irfan Islamy meniscayakan adanya kepentingan bagi seluruh

masyarakat yang harus dipenuhi oleh suatu kebijakan dari pemerintah.

19George C. Edwards III dan Ira Sharkansky, The Policy Predicament: Making and Implementing

Public Policy, (San Francisco: W.H. Freeman and Company, 1978), h.2. 20Thomas R. Dye, Understanding Public Policy, (New Jersey: Pearson Education Inc., 2005), h. 1. 21James E. Anderson, dkk., Public Policy and Politics in America, (California: Brooks/Cole

Publishing Company, 1984), cet. ke-2, h. 3. 22M. Irfan Islamy, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, (Jakarta: Bina Aksara,

1988), cet. ke-3, h. 20.

Page 151: Kamal fuadi fitk

James Anderson menyatakan adanya keharusan untuk membedakan antara apa

yang ingin dilaksanakan pemerintah dengan apa yang sebenarnya mereka lakukan

di lapangan. Hal ini menjadi penting karena kebijakan bukan hanya sebuah

keputusan sederhana untuk memutuskan sesuatu dalam suatu momen tertentu,

namun kebijakan harus dilihat sebagai sebuah proses23. Untuk itulah pengertian

kebijakan sebagai suatu arah tindakan dapat dipahami secara lebih baik bila

konsep ini dirinci menjadi beberapa kategori. Kategori-kategori itu antara lain

adalah tuntutan-tuntutan kebijakan (policy demands), keputusan-keputusan

kebijakan (policy decisions), pernyataan-pernyataan kebijakan (policy statements),

hasil-hasil kebijakan (policy outputs), dan dampak-dampak kebijakan (policy

outcomes)24.

Tuntutan-tuntutan kebijakan adalah tuntutan-tuntutan yang dibuat oleh aktor-

aktor swasta atau pemerintah, ditujukan kepada pejabat-pejabat pemerintah dalam

suatu sistem politik. Keputusan kebijakan dimengerti sebagai keputusan-keputusan

yang dibuat oleh pejabat-pejabat pemerintah yang mengesahkan atau memberi

arah dan substansi kepada tindakan-tindakan kebijakan publik. Sedangkan

pernyataan-pernyataan kebijakan adalah pernyataan-pernyataan resmi atau

artikulasi-artikulasi kebijakan publik. Hasil-hasil kebijakan lebih merujuk pada

manifestasi nyata dari kebijakan, yaitu hal-hal yang sebenarnya dilakukan menurut

keputusan-keputusan dan pernyataan-pernyataan kebijakan. Adapun dampak-

dampak kebijakan lebih merujuk pada akibat-akibatnya bagi masyarakat, baik

yang diinginkan atau tidak diinginkan yang berasal dari tindakan atau tidak adanya

tindakan pemerintah.

Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan

merupakan serangkaian tindakan yang menjadi keputusan pemerintah untuk

23James, dkk., Public Policy and Politics in America, h. 3. 24James E. Anderson, Public Policy Making: An Introduction, (Boston: Houghton Mifflin

Company: 1994), cet. ke-II, h. 6-8. Lihat juga Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses,

(Yogyakarta: Media Presindo, 2007), h. 19-21.

Page 152: Kamal fuadi fitk

melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertujuan untuk memecahkan

masalah demi kepentingan masyarakat.

2. Tahap-tahap Kebijakan

Dalam pembuatan kebijakan terdapat tahap-tahap yang harus dilewati agar

suatu kebijakan dapat disusun dan dilaksanakan dengan baik. Kebijakan yang

dimunculkan sebagai sebuah keputusan terlebih dahulu melewati beberapa tahap

penting. Tahap-tahap penting tersebut sangat diperlukan sebagai upaya melahirkan

kebijakan yang baik dan dapat diterima sebagai sebuah keputusan. Tahap-tahap

dalam kebijakan tersebut yaitu:

a. Penyusunan Agenda

Sebelum kebijakan ditetapkan dan dilaksanakan, pembuat kebijakan perlu

menyusun agenda dengan memasukkan dan memilih masalah-masalah mana

saja yang akan dijadikan prioritas untuk dibahas25. Masalah-masalah yang

terkait dengan kebijakan akan dikumpulkan sebanyak mungkin untuk

diseleksi.

Pada tahap ini beberapa masalah dimasukkan dalam agenda untuk dipilih.

Terdapat masalah yang ditetapkan sebagai fokus pembahasan, masalah yang

mungkin ditunda pembahasannya, atau mungkin tidak disentuh sama sekali.

Masing-masing masalah yang dimasukkan atau tidak dimasukkan dalam

agenda memiliki argumentasi masing-masing26. Pihak-pihak yang terlibat

dalam tahap penyusunan agenda harus secara jeli melihat masalah-masalah

mana saja yang memiliki tingkat relevansi tinggi dengan masalah kebijakan.

Sehingga pemilihan dapat menemukan masalah kebijakan yang tepat.

b. Formulasi Kebijakan

Masalah yang sudah dimasukkan dalam agenda kebijakan kemudian dibahas

oleh pembuat kebijakan dalam tahap formulasi kebijakan. Dari berbagai

25Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt, Public Administration: An Action Orientation,

(Boston: Wadsworth, 2009), h. 50-52. 26Winarno, Kebijakan Publik…, h. 33.

Page 153: Kamal fuadi fitk

masalah yang ada tersebut ditentukan masalah mana yang merupakan

masalah yang benar-benar layak dijadikan fokus pembahasan27.

c. Adopsi Kebijakan

Dari sekian banyak alternatif yang ditawarkan, pada akhirnya akan diadopsi

satu alternatif pemecahan yang disepakati untuk digunakan sebagai solusi

atas permasalahan tersebut28. Tahap ini sering disebut juga dengan tahap

legitimasi kebijakan (policy legitimation) yaitu kebijakan yang telah

mendapatkan legitimasi29. Masalah yang telah dijadikan sebagai fokus

pembahasan memperoleh solusi pemecahan berupa kebijakan yang nantinya

akan diimplementasikan.

d. Implementasi Kebijakan

Pada tahap inilah alternatif pemecahan yang telah disepakati tersebut

kemudian dilaksanakan. Pada tahap ini, suatu kebijakan seringkali

menemukan berbagai kendala. Rumusan-rumusan yang telah ditetapkan

secara terencana dapat saja berbeda di lapangan. Hal ini disebabkan berbagai

faktor yang sering mempengaruhi pelaksanaan kebijakan.

Kebijakan yang telah melewati tahap-tahap pemilihan masalah tidak serta

merta berhasil dalam implementasi. Dalam rangka mengupayakan

keberhasilan dalam implementasi kebijakan, maka kendala-kendala yang

dapat menjadi penghambat harus dapat diatasi sedini mungkin.

e. Evaluasi Kebijakan

Pada tahap ini, kebijakan yang telah dilaksanakan akan dievaluasi, untuk

dilihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan

masalah atau tidak. Pada tahap ini, ditentukan kriteria-kriteria yang menjadi

dasar untuk menilai apakah kebijakan telah meraih hasil yang diinginkan30.

27Winarno, Kebijakan Publik…, h. 34. 28Winarno, Kebijakan Publik…, h. 34. 29Robert, Public Administration…, h. 53. 30Winarno, Kebijakan Publik…, h. 34.

Page 154: Kamal fuadi fitk

Pada tahap ini, penilaian tidak hanya menilai implementasi dari kebijakan.

Namun lebih jauh, penilaian ini akan menentukan perubahan terhadap

kebijakan. Suatu kebijakan dapat tetap seperti semula, diubah atau

dihilangkan sama sekali31.

3. Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan merupakan penelitian sosial terapan yang secara sistematis

disusun dalam rangka mengetahui substansi dari kebijakan agar dapat diketahui

secara jelas informasi mengenai masalah-masalah yang dijawab oleh kebijakan

dan masalah-masalah yang mungkin timbul sebagai akibat dari penerapan

kebijakan. Ruang lingkup dan metode analisis kebijakan umumnya bersifat

deskriptif dan faktual mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat suatu kebijakan32.

Penelitian kebijakan sedapat mungkin melihat berbagai aspek dari kebijakan

agar dapat menghasilkan informasi yang lengkap. Informasi mengenai masalah-

masalah yang dijawab oleh kebijakan serta masalah-masalah yang ditimbulkan

dari penerapan kebijakan menjadi fokus dari analisis kebijakan.

Sudarwan Danim menyatakan bahwa proses penelitian kebijakan pada

hakikatnya merupakan penelitian yang dimaksudkan guna melahirkan

rekomendasi untuk pembuat kebijakan dalam rangka pemecahan masalah sosial.

Kegiatan penelitian ini dilakukan untuk mendukung kebijakan33. Sudarwan Danim

secara jelas menyatakan hasil yang ingin dicapai dari penelitian kebijakan yaitu

menghasilkan rekomendasi yang mungkin diperlukan pembuat kebijakan dalam

rangka pemberian solusi terhadap masalah-masalah sosial. Selain itu, penelitian

kebijakan perlu dipahami sebagai bentuk dukungan kepada kebijakan itu sendiri.

Rekomendasi yang dihasilkan dari proses penelitian kebijakan dapat berupa

dukungan penuh terhadap kebijakan, kritik dan saran mengenai bagian mana dari

31Robert, Public Administration…, h. 55. 32William N. Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Gajah Mada University

Press, 2000), cet. ke-IV, h. 95-97. 33Sudarwan Danim, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2005), cet.

ke-III, h. 20-23.

Page 155: Kamal fuadi fitk

kebijakan yang perlu diperbaiki, atau dapat juga berupa rekomendasi agar

kebijakan tidak lagi diterapkan.

Karakteristik dari penelitian kebijakan secara terperinci dijelaskan oleh Allen

D. Putt dan J. Fred Springer. Mereka menyatakan bahwa penelitian kebijakan

dicirikan sebagai penelitian yang terfokus pada manusia, plural, multi-perspektif,

sistematis, berhubungan dengan keputusan, dan kreatif34.

Penelitian mengenai kebijakan berkaitan erat dengan manusia dan

permasalahannya. Hasil yang ingin dicapai dari penelitian kebijakan yaitu

mengenai informasi yang diformulasikan dalam bentuk rekomendasi dalam rangka

pemecahan masalah yang terkait dengan kebijakan.

Karakteristik plural dari penelitian kebijakan berasal dari hubungan penelitian

dengan manusia. Penelitian kebijakan tidak dapat dipisahkan dari konflik nilai dan

kepentingan terdapat dari interaksi manusia.

Karakteristik yang plural meniscayakan adanya pendekatan penelitian yang

juga plural, dalam arti multi-perspektif. Informasi yang diformulasikan dalam

bentuk rekomendasi sebagai hasil yang ingin dicapai oleh penelitian kebijakan

mengharuskan adanya pendekatan yang menyeluruh sehingga informasi yang

dihasilkan juga dapat berupa rekomendasi yang sesuai dengan kondisi yang ada.

Sebagai sebuah penelitian, penelitian kebijakan harus secara sistematis disusun

berdasarkan prosedur penelitian sebagai upaya untuk memperoleh informasi

terkait dengan kebijakan.

Penelitian kebijakan selalu terkait dengan keputusan. Keputusan yang

dihasilkan berasal dari rekomendasi yang disampaikan. Keputusan dapat berupa

keputusan untuk tetap melanjutkan kebijakan, keputusan untuk memperbaiki

kebijakan atau keputusan untuk menghapus atau tidak melanjutkan kebijakan.

Informasi yang berkaitan dengan kebijakan berupa masalah kebijakan, masa

depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan. Analisis

34Allen D. Putt dan J. Fred Springer, Policy Research; Concepts, Methods, and Application, (New

Jersey: Prentice Hall, 1989), h. 19-24.

Page 156: Kamal fuadi fitk

kebijakan menggabungkan lima prosedur umum yang lazim dipakai dalam

pemecahan masalah manusia, yaitu: definisi, prediksi, preskripsi, deskripsi dan

evaluasi35. Masing-masing dari informasi kebijakan berkaitan dengan prosedur

kebijakan. Secara lebih jelas Dunn menggambarkan hubungan antara lima

informasi kebijakan dan lima prosedur kebijakan yang ia formulasikan sebagai

analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah dengan gambar di bawah ini:

Gambar 1. analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah

(William Dunn, 2000: 21)

Kelima informasi yang terkait dengan kebijakan saling berkaitan satu sama lain

seperti ditunjukkan dalam gambar 1. Tanda panah yang menghubungkan tiap

komponen informasi menggambarkan proses dinamis dimana satu tipe informasi

dipindahkan ke informasi lain dengan menggunakan prosedur analisis kebijakan

yang tepat.

35Dunn, Pengantar Analisis, …, h. 17-21.

Kinerja

Kebijakan

Masalah

Kebijakan Masa Depan

Kebijakan Hasil

Kebijakan

Aksi

Kebijakan

Evaluasi

Perumusan Masalah

Per

um

usa

n M

asal

ah

Per

um

usa

n M

asal

ah

Rekomendasi Pemantauan

Perumusan Masalah

Peramalan

Page 157: Kamal fuadi fitk

Perumusan masalah (definisi) merupakan upaya untuk mengumpulkan

informasi mengenai masalah-masalah yang menimbulkan masalah kebijakan.

Melalui prosedur perumusan masalah dapat diidentifikasi mengenai masalah

kebijakan yang tepat yang akan dijadikan sebagai fokus. Peramalan (prediksi)

berisi informasi mengenai kondisi yang mungkin dapat terjadi pada masa

mendatang sebagai konsekuensi dari penerapan kebijakan. Rekomendasi

(preskripsi) menyediakan informasi mengenai kegunaan dari dari konsekuensi di

masa mendatang dari suatu pemecahan masalah. Pemantauan (deskripsi)

menghasilkan informasi tentang konsekuensi sekarang dari penerapan kebijakan.

Evaluasi menyediakan informasi mengenai kegunaan dari pemecahan suatu

masalah.

Analisis kebijakan dapat dilaksanakan dengan beberapa bentuk. Menurut Dunn

terdapat tiga bentuk analisis kebijakan, yaitu:

a. analisis kebijakan prospektif

analisis kebijakan prospektif adalah analisis kebijakan yang mengarahkan

kajiannya pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan sebelum suatu kebijakan

diterapkan. Model ini dapat disebut sebagai model prediktif.

b. analisis kebijakan retrospektif

analisis kebijakan retrospektif adalah analisis kebijakan yang dilakukan

terhadap akibat-akibat kebijakan setelah suatu kebijakan diimplementasikan.

Model ini biasanya disebut sebagai model evaluatif.

c. analisis kebijakan integratif

analisis kebijakan integratif adalah bentuk perpaduan antara analisis

kebijakan prospektif dan analisis kebijakan retrospektif36.

Bentuk analisis kebijakan prospektif memiliki kelemahan karena hanya

berkutat pada analisis kebijakan yang mengarahkan perhatian pada konsekuensi

kebijakan sebelum kebijakan diterapkan. Pun dengan bentuk analisis kebijakan

retrospektif yang hanya memfokuskan kajiannya pada konsekuensi kebijakan

setelah kebijakan diterapkan. Maka analisis kebijakan seharusnya menggunakan

36Dunn, Pengantar Analisis…, h. 117-124.

Page 158: Kamal fuadi fitk

bentuk kebijakan integratif, yaitu dengan memadukan antara analisis kebijakan

prospektif dan analisis kebijakan retrospektif.

Pada umumnya, analisis kebijakan memfokuskan kajiannya pada tiga hal.

Ketiga fokus tersebut merupakan pijakan yang dipedomani dalam melakukan

analisis kebijakan. Tiga fokus tersebut, yaitu:

a. Definisi masalah sosial

b. Implementasi kebijakan

c. Akibat-akibat kebijakan37

Dengan memfokuskan kajian pada ketiga hal diatas, proses analisis kebijakan

akan berusaha mendefinisikan secara jelas permasalahan yang akan menjadi fokus

kajian untuk ditanggulangi oleh kebijakan. Setelah masalah yang menjadi fokus

kajian analisis kebijakan ditentukan, analisis kebijakan bertugas menentukan

kebijakan yang sesuai dengan masalah sehingga masalah dapat dipecahkan dengan

baik.

Kebijakan yang telah ditetapkan dan diimplementasikan tentu menghasilkan

konsekuensi dalam bentuk akibat-akibat. Akibat yang ditimbulkan dapat berupa

akibat positif dan atau akibat negatif. Untuk itulah, analisis kebijakan

mengupayakan upaya prediktif dengan meramalkan akibat yang dapat ditimbulkan

sebelum kebijakan diimplementasikan dan atau sesudah kebijakan

diimplementasikan.

Dengan demikian, analisis kebijakan selalu berkaitan dengan hal-hal sebelum

dan sesudah kebijakan ditetapkan dan diimplementasikan. Analisis kebijakan

berusaha memberikan definisi yang jelas mengenai kedudukan suatu masalah

kebijakan, prediksi yang berkaitan dengan kebijakan, rekomendasi atau preskripsi

yang mungkin dapat bermanfaat bagi kebijakan, deskripsi atau pemantauan

terhadap kebijakan, dan evaluasi mengenai kebijakan. Semuanya berjalan sebagai

37Ismail Nawawi, Public Policy; Analisis, Strategi, Advokasi, Teori, dan Praktek, (Surabaya: PMN,

2009), h. 45-46. Lihat juga Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik; Panduan Praktis Mengkaji

Masalah dan Kebijakan Sosial, (Bandung: CV. Alfabeta, 2005), h. 87.

Page 159: Kamal fuadi fitk

proses yang runtut dan sistematis dalam rangka mendukung kebijakan yang

bertujuan untuk mengatasi masalah.

B. Pendidikan Inklusif

1. Pengertian Pendidikan Inklusif

Istilah inklusif memiliki ukuran universal. Istilah inklusif dapat dikaitkan

dengan persamaan, keadilan, dan hak individual dalam pembagian sumber-sumber

seperti politik, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Menurut Reid, masing-masing

dari aspek-aspek tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling berkaitan satu

sama lain38. Reid ingin menyatakan bahwa istilah inklusif berkaitan dengan banyak

aspek hidup manusia yang didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan hak

individu.

Dalam ranah pendidikan, istilah inklusif dikaitkan dengan model pendidikan

yang tidak membeda-bedakan individu berdasarkan kemampuan dan atau kelainan

yang dimiliki individu. Dengan mengacu pada istilah inklusif yang disampaikan

Reid di atas, pendidikan inklusif didasarkan atas prinsip persamaan, keadilan, dan

hak individu.

Istilah pendidikan inklusif digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-

anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah.

Konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan anak-

anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan interaksi

sosial yang ada di sekolah39.

MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah

mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual.

Para siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka. Untuk

38Gavin Reid, Dyslexia and Inclusion; Classroom Approaches for Assesment, Teaching and

Learning, (London: David Fulton Publisher, 2005), h. 88. 39J. David Smith, Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2006), h. 45

Page 160: Kamal fuadi fitk

mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dirancang dengan

memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka

yang memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang

luar biasa harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan

tepat40.

Baihaqi dan Sugiarmin menekankan bahwa siswa memiliki hak yang sama

tanpa dibeda-bedakan berdasarkan perkembangan individu, sosial, dan intelektual.

Perbedaan yang terdapat dalam diri individu harus disikapi dunia pendidikan

dengan mempersiapkan model pendidikan yang disesuaikan dengan perbedaan-

perbedaan individu tersebut. Perbedaan bukan lantas melahirkan diskriminasi

dalam pendidikan, namun pendidikan harus tanggap dalam menghadapi

perbedaan.

Daniel P. Hallahan mengemukakan pengertian pendidikan inklusif sebagai

pendidikan yang menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus dalam

sekolah reguler sepanjang hari. Dalam pendidikan seperti ini, guru memiliki

tanggung jawab penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus tersebut41.

Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa pendidikan inklusif menyamakan

anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Untuk itulah, guru

memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses pelaksanaan pembelajaran di

kelas. Dengan demikian guru harus memiliki kemampuan dalam menghadapi

banyaknya perbedaan peserta didik.

Senada dengan pengertian yang disampaikan Daniel P. Hallahan, dalam

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem

40MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, (Bandung: PT. Refika

Aditama, 2006), h. 75-76. 41Daniel P. Hallahan dkk., Exceptional Learners: An Introduction to Special Education, (Boston:

Pearson Education Inc., 2009), cet. ke-10, h. 53.

Page 161: Kamal fuadi fitk

penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta

didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat

istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan

pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya42.

Pengertian pendidikan dalam Permendiknas di atas memberikan penjelasan

secara lebih rinci mengenai siapa saja yang dapat dimasukkan dalam pendidikan

inklusif. Perincian yang diberikan pemerintah ini dapat dipahami sebagai bentuk

kebijakan yang sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, sehingga pemerintah

memandang perlu memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik

dari yang normal, memilik kelainan, dan memiliki kecerdasan dan/atau bakat

istimewa untuk mengikuti pendidikan. Dengan demikian pemerintah mulai

mengubah model pendidikan yang selama ini memisah-misahkan peserta didik

normal ke dalam sekolah reguler, peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan

bakat istimewa ke dalam sekolah (baca: kelas) akselerasi, dan peserta didik dengan

kelainan ke dalam Sekolah Luar Biasa (SLB).

Rumusan mengenai pendidikan inklusif yang disusun oleh Direktorat

Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Direktorat Jenderal Manajemen

Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Kementrian Pendidikan

Nasional (Kemendiknas) mengenai pendidikan inklusif menyebutkan bahwa

pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak

berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama-

sama teman seusianya. Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah

yang menampung semua murid di sekolah yang sama. Sekolah ini menyediakan

program pendidikan yang layak dan menantang, tetapi disesuaikan dengan

42Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi

Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

Page 162: Kamal fuadi fitk

kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang

dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil43.

Dalam ensiklopedi online Wikipedia disebutkan bahwa yang dimaksud dengan

pendidikan inklusi yaitu pendidikan yang memasukkan peserta didik berkebutuhan

khusus untuk bersama-sama dengan peserta didik normal lainnya. Pendidikan

inklusif adalah mengenai hak yang sama yang dimiliki setiap anak. Pendidikan

inklusif merupakan suatu proses untuk menghilangkan penghalang yang

memisahkan peserta didik berkebutuhan khusus dari peserta didik normal agar

mereka dapat belajar dan bekerja sama secara efektif dalam satu sekolah44.

Pengertian-pengertian yang dikemukakan di atas secara umum menyatakan hal

yang sama mengenai pendidikan inklusif. Pendidikan inklusif berarti pendidikan

yang dirancang dan disesuaikan dengan kebutuhan semua peserta didik, baik

peserta didik yang normal maupun peserta didik berkebutuhan khusus. Masing-

masing dari mereka memperoleh layanan pendidikan yang sama tanpa dibeda-

bedakan satu sama lain.

Mereka yang berkebutuhan khusus ini dulunya adalah anak-anak yang

diberikan label (labelling) sebagai Anak Luar Biasa (ALB). Anak berkebutuhan

khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan istilah Anak Luar Biasa

(ALB) yang menandakan adanya kelainan khusus. Istilah lain yang juga biasa

dipakai untuk menandai anak yang “lain” dari yang lain ini yaitu hendaya

(impairment)45, disability dan handicap46.

43Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, h. 4. 44Ensiklopedi Online Wikipedia “Inclusion” dari

http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29, 7 Juni 2010. 45Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita; Suatu Pengantar dalam Pendidikan Inklusi,

(Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 1. 46Beberapa istilah selain ABK, seperti impairment, handicap, dan disability seringkali disamakan

dalam penggunaannya. Sebenarnya terdapat perbedaan arti dari ketiga istilah tersebut. Impairment

digunakan untuk menunjukkan kemampuan yang tidak sepenuhnya rusak/cacat. Handicap digunakan

untuk menunjukkan adanya kesulitan-kesulitan dalam penggunaan organ tubuh. Disability digunakan

Page 163: Kamal fuadi fitk

Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara yang

satu dengan yang lain. Bandi Delphie menyatakan bahwa di Indonesia, anak

berkebutuhan khusus yang mempunyai gangguan perkembangan dan telah

diberikan layanan antara lain: Anak yang mengalami hendaya (impairment)

penglihatan (tunanetra), tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras,

autism (autistic children), hiperaktif (attention deficit disorder with hyperactive),

anak dengan kesulitan belajar (learning disability atau spesific learning disability),

dan anak dengan hendaya kelainan perkembangan ganda (multihandicapped and

developmentally disabled children)47.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70

Tahun 2009, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang

dan zat adiktif lainnya juga dikategorikan sebagai anak berkebutuhan khusus48.

Selain anak-anak berkebutuhan khusus yang telah disebutkan di atas, anak-anak

yang memiliki bakat dan/atau kecerdasan luar biasa juga dikategorikan sebagai

anak-anak berkebutuhan khusus.

Dengan demikian, pendidikan inklusif, sesuai dengan beberapa pengertian diatas,

selain menampung anak-anak yang memiliki kelainan juga menampung anak-anak

yang memiliki bakat dan/atau kecerdasan luar biasa agar dapat belajar bersama-

sama dalam satu kelas.

2. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif

untuk menunjukkan ketidakmampuan yang ada sejak dilahirkan atau cacat yang sifatnya permanen.

Lihat Thomas M. Stephens, dkk., Teaching Mainstreamed Students, (Canada: John Wiley&Sons,

1982), h. 27. Lihat juga Hornby, Oxford Advanced..., h. 327. Disability berarti batasan fungsi yang membatasi kemampuan seseorang. Handicap adalah kondisi yang dinisbahkan kepada seseorang yang

menderita ketidakmampuan. Kondisi ini boleh jadi disebabkan oleh masyarakat, lingkungan fisik, atau

sikap orang itu sendiri. Dalam hal ini sering muncul ungkapan “jangan sampai disability menjadi

handicap”. Lihat John W. Santrock, Educational Psychology, (New York: The McGraw Hill Inc.,

2004), h. 175 47Delphie, Pembelajaran Anak…, h. 1-3. 48Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi

Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

Page 164: Kamal fuadi fitk

Landasan yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di

Indonesia yaitu landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan empiris. Secara

terperinci, landasan-landasan tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Landasan Filosofis

Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan

sebagai berikut:

1) Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara

Burung Garuda yang berarti Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman dalam

etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi dan budaya merupakan

kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

2) Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan bahwa: (a)

manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (inklusif) dan

bahwa kemuliaan manusia di sisi Allah adalah ketaqwaannya. Hal

tersebut dinyatakan dalam Al Qur‟an sebagai berikut:

Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu

berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-

mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi

Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah

Maha mengetahui lagi Maha Mengenal49.

49QS. Al Hujurat Ayat 13

Page 165: Kamal fuadi fitk

(b)Allah pernah menegur Nabi Muhammad SAW karena beliau bermuka

masam dan berpaling dari orang buta. Al Qur‟an menceritakan kisah

tersebut sebagai berikut:

Artinya: (1)Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, (2)karena

telah datang seorang buta kepadanya, (3)tahukah kamu barangkali ia

ingin membersihkan dirinya (dari dosa), (4)atau Dia (ingin)

mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat

kepadanya?(5)Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, (6)Maka

kamu melayaninya, (7)Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau Dia

tidak membersihkan diri (beriman), (8)dan Adapun orang yang datang

kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), (9)sedang

ia takut kepada (Allah), (10)Maka kamu mengabaikannya, (11)sekali-kali

jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu

peringatan, (12)Maka Barangsiapa yang menghendaki, tentulah ia

memperhatikannya, (13)di dalam Kitab-Kitab yang dimuliakan, (14)yang

Page 166: Kamal fuadi fitk

ditinggikan lagi disucikan, (15)di tangan Para penulis (malaikat),

(16)yang mulia lagi berbakti50.

(c) Allah tidak melihat bentuk (fisik) seorang muslim, namun Allah

melihat hati dan perbuatannya. Hal ini dinyatakan dalam salah satu hadis

yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, yaitu:

ث نا جعفر بن ب رقان عن ث نا كثري بن هشام حد ث نا عمرو الناقد حد حد

:صلى اهلل عليه وسلم سول الله يزيد بن األصم عن أب هري رة قال قال ر

إن الله ال ي نظر إل صوركم وأموالكم ولكن ي نظر إل ق لوبكم وأعمالكم Artinya: dari Abu Hurairah RA: Rasulullah SAW bersabda:

Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk dan harta kalian, akan

tetapi Allah melihat kepada hati dan perbuatan kalian51.

(d)Tidak ada keutamaan antara satu manusia dengan manusia yang lain.

Nabi Muhammad mengajarkan hal tersebut dalam hadis:

ث نا سعيد الريري عن ث نا إساعيل حد ع حد ثن من س أب نضرة حد

خطبة رسول الله صلى الله عليه وسلم ف وسط أيام التشريق ف قال يا

50QS. „Abasa Ayat 1-16. Orang buta dalam Surat „Abasa tersebut bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Dia datang kepada Rasulullah SAW meminta ajaran-ajaran tentang Islam; lalu Rasulullah

SAW bermuka masam dan berpaling daripadanya, karena beliau sedang menghadapi pembesar

Quraisy dengan pengharapan agar pembesar-pembesar tersebut mau masuk Islam. Maka turunlah surat

ini sebagi teguran kepada Rasulullah SAW

51Al Imam Abi Husain Muslim bin Al Hajjaj, Shahih Muslim, (Kairo: Daar Ibnu Al Haitam, 2001),

h. 655

Page 167: Kamal fuadi fitk

أي ها الناس أال إن ربكم واحد وإن أباكم واحد أال ال فضل لعرب على

جمي وال لعجمي على عرب وال ألحر على أسود وال أسود على أع

قوى أحر إال بالت Artinya: Seseorang yang mendengar khutbah Rasulullah SAW di tengah

hari Tasyriq bercerita kepadaku bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:

Wahai manusia, sungguh Tuhan kalian itu satu, bapak kalian satu, maka

sungguh tidak ada keutamaan orang Arab atas orang ‘Ajam, begitu pula

sebaliknya, tidak ada keutamaan yang merah atas yang hitam, begitu

pula sebaliknya, kecuali taqwa52.

3) Pandangan universal hak asasi manusia menyatakan bahwa setiap

manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak

kesehatan, dan hak pekerjaan.

b. Landasan Yuridis

Secara yuridis, pendidikan inklusif dilaksanakan berdasarkan atas:

1) UUD 1945

2) UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat

3) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

4) UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

5) UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

6) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional

Pendidikan

7) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20

Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif: Menyelenggarakan dan

52Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, (Kairo: Muassasah Qurtubah, tt), juz 5, h. 411

Page 168: Kamal fuadi fitk

mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4

(empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK.

8) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70

tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang

Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat

Istimewa

Khusus untuk DKI Jakarta, landasan yuridis yang berlaku yaitu:

9) Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan

Pendidikan Inklusif

c. Landasan Empiris

Landasan empiris yang dipakai dalam pelaksanaan pendidikan inklusif yaitu:

1) Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human Rights)

2) Konvensi Hak Anak 1989 (Convention of The Rights of Children)

3) Konferensi Dunia Tentang Pendidikan untuk Semua 1990 (World

Conference on Education for All)

4) Resolusi PBB nomor 48/96 Tahun 1993 Tentang Persamaan Kesempatan

Bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization of

opportunitites for person with dissabilities)

5) Pernyataan Salamanca Tentang Pendidikan Inklusi 1994 (Salamanca

Statement on Inclusive Education)

6) Komitmen Dakar mengenai Pendidikan Untuk Semua 2000 (The Dakar

Commitment on Education for All)

7) Deklarasi Bandung 2004 dengan komitmen “Indonesia Menuju

Pendidikan Inklusif”

8) Rekomendasi Bukittinggi 2005 mengenai pendidikan yang inklusif dan

ramah.

3. Model Pendidikan Inklusif

Page 169: Kamal fuadi fitk

Pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu.

Pada sekolah inklusif setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua

diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi

dan atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana-prasarana, tenaga pendidik

dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya.

Keuntungan dari pendidikan inklusif adalah bahwa anak berkebutuhan khusus

maupun anak biasa dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan

kehidupan sehari-hari di masyarakat dan kebutuhan pendidikannya dapat terpenuhi

sesuai dengan potensinya masing-masing.

Pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan

dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang

menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Pandangan mengenai pendidikan yang

harus menyesuaikan dengan kondisi peserta didik ini sangat terkait dengan adanya

perbedaan yang terdapat dalam diri peserta didik. Pandangan lama yang

menyatakan bahwa peserta didiklah yang harus menyesuaikan dengan pendidikan

dan proses pembelajaran di kelas lambat laun harus berubah53.

Istilah inklusif berimplikasi pada adanya kebutuhan yang harus dipenuhi bagi

semua anak dalam sekolah. Hal ini menyebabkan adanya penyesuaian-

penyesuaian yang harus dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran54.

Penyesuaian pendidikan (adaptive education) dilaksanakan dengan menyediakan

pengalaman-pengalaman belajar guna membantu masing-masing peserta didik

dalam meraih tujuan-tujuan pendidikan yang dikehendakinya. Penyesuaian

pendidikan dapat berlangsung tatkala lingkungan pembelajaran sekolah

dimodifikasi untuk merespon perbedaan-perbedaan peserta didik secara efektif dan

53Henry Clay Lindgren, Educational Psychology in the Classroom, (Tokyo: Charles E. Tuttle

Company, 1967), cet. ke-III, h. 503-504 54Reid, Dyslexia and Inclusion…, h. 85

Page 170: Kamal fuadi fitk

mengembangkan kemampuan peserta didik agar dapat bertahan dalam lingkungan

tersebut55.

Dengan melihat adanya penyesuaian terhadap kebutuhan peserta didik yang

berbeda-beda, maka dalam setting pendidikan inklusif model pendidikan yang

dilaksanakan memiliki model yang berbeda dengan model pendidikan yang lazim

dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler.

Pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua model. Pertama yaitu model

inklusi penuh (full inclusion). Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan

khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler. Kedua yaitu

model inklusif parsial (partial inclusion). Model parsial ini mengikutsertakan

peserta didik berkebutuhan khusus dalam sebagian pembelajaran yang berlangsung

di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out dengan bantuan guru

pendamping khusus56.

Model lain misalnya dikemukakan oleh Brent Hardin dan Marie Hardin. Brent

dan Maria mengemukakan model pendidikan inklusif yang mereka sebut inklusif

terbalik (reverse inclusive). Dalam model ini, peserta didik normal dimasukkan ke

dalam kelas yang berisi peserta didik berkebutuhan khusus57. Model ini

55George S. Morrison, Early Childhood Education Today, (New Jersey: Pearson Education Inc.,

2009), h. 462. Lihat juga http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29 56Morrison, Early Childhood…, h. 462. Ada yang menyatakan bahwa dalam inklusi tidak terdapat

adanya model. Yang perlu ditekankan dalam inklusi adalah filosofi dan semangat yang dimiliki.

Dengan demikian, penerapan pendidikan inklusif di masing-masing negara akan berbeda-beda. Lihat

misalnya dalam milis (mailing list) Direktorat Pendidikan Luar Biasa Kementrian Pendidikan

Nasional. Dalam milis ini Julia Maria van Tiel mengemukakan beberapa contoh pelaksanaan

pendidikan inklusif di beberapa negara. Untuk lebih jelas lihat Julia Maria Van Tiel, “Pembenahan

Pendidikan Inklusif”, dari http://groups.yahoo.com/group/ditplb/message/130, 18 April 2010, lihat juga Barton, Len dan Felicity Armstrong, Policy, Experience, and Change; Cross Cultural Reflection

on Inclusive Education, Dordrecht: Springer, 2007.

Istilah full inclusion merupakan istilah yang jarang digunakan. Para ahli lebih banyak

menggunakan istilah inclusion saja. Di samping itu istilah full inclusion juga lebih berkonotasi negatif

dan bagi sebagian orang sulit disepakati. Orang lebih banyak menggunakan istilah optimal inclusion.

Pengertian ini dimaksudkan untuk mendorong pendidik agar berusaha menemukan jenis dan tingkat

inklusi yang memuaskan tiap individu. Lihat Smith, Inklusi, Sekolah…, h. 46. 57Brent Hardin dan Maria Hardin, “Into the Mainstream: Practical Strategies for Teaching in

Inclusive Environments”, dalam Kathleen M. Cauley (ed.), Educational Psychology, (New York:

McGraw-Hill/Dushkin, 2004), h. 46-48.

Page 171: Kamal fuadi fitk

berkebalikan dengan model yang pada umumnya memasukkan peserta didik

berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang berisi peserta didik normal.

Model inklusif terbalik agaknya menjadi model yang kurang lazim

dilaksanakan. Model ini mengandaikan peserta didik berkebutuhan khusus sebagai

peserta didik dengan jumlah yang lebih banyak dari peserta didik normal. Dengan

pengandaian demikian seolah sekolah untuk anak berkebutuhan khusus secara

kuantitas lebih banyak dari sekolah untuk peserta didik normal, atau bisa juga

tidak. Model pendidikan inklusif seperti apapun tampaknya tidak menjadi

persoalan berarti sepanjang mengacu kepada konsep dasar pendidikan inklusif.

Model pendidikan inklusif yang diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu

model pendidikan inklusif moderat58. Pendidikan inklusif moderat yang dimaksud

yaitu:

a. Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh

b. Model moderat ini dikenal dengan model mainstreaming

Model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan

antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa)

dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan

ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja59.

c. Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak

berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan

kemampuan dan kebutuhannya. Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah

dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti:

1) Bentuk kelas reguler penuh

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di

kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama

2) Bentuk kelas reguler dengan cluster

58Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, h. 8-9. 59Jane B. Schulz, Mainstreaming Exceptional Students; A Guide for Classroom Teachers, (Boston:

Allyn and Bacon, 1991), h. 20-21. Lihat juga Ensiklopedi Online Wikipedia “Mainstreaming” dari

http://en.wikipedia.org/wiki/Mainstreaming_%28education%29, 7 Juni 2010.

Page 172: Kamal fuadi fitk

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler

dalam kelompok khusus

3) Bentuk kelas reguler dengan pull out

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler

namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang

sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus

4) Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out

Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler

dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari

kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru

pembimbing khusus

5) Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian

Anak berkelainan belajar di kelas khusus pada sekolah reguler, namun

dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di

kelas reguler

6) Bentuk kelas khusus penuh di sekolah reguler

Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler60

Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak

mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan

semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak

berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi

kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi

kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus

pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya

sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat

disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).

4. Komponen Pendidikan Inklusif

Karena terdapat perbedaan dalam konsep dan model pendidikan, maka dalam

pendidikan inklusif terdapat beberapa komponen pendidikan yang perlu dikelola

dalam sekolah inklusif, yaitu:

60Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, (Jakarta: Lembaga

Penelitian UIN Jakarta, 2009), h. 100. Lihat juga Sip Jan Pijl dan Cor J.W.Meijer, Factor In Inclusion:

A Framework dalam Sip Jan Pijl (eds.), Inclusive Education; A Global Agenda, (London: Routledge,

1997), h. 12.

Page 173: Kamal fuadi fitk

a. Manajemen Kesiswaan

b. Manajemen Kurikulum

c. Manajemen Tenaga Kependidikan

d. Manajemen Sarana dan Prasarana

e. Manajemen Keuangan/Dana

f. Manajemen Lingkungan (Hubungan Sekolah dan Masyarakat)

g. Manajemen Layanan Khusus61

Manajemen kesiswaan merupakan salah satu komponen pendidikan inklusif

yang perlu mendapat perhatian dan pengelolaan lebih. Hal ini dikarenakan kondisi

peserta didik pada pendidikan inklusif yang lebih majemuk daripada kondisi

peserta didik pada pendidikan reguler. Tujuan dari manajemen kesiswaan ini tidak

lain agar kegiatan belajar mengajar di sekolah dapat berjalan lancar, tertib, dan

teratur, serta mencapai tujuan yang diinginkan.

Pendidikan inklusif masih menggunakan kurikulum standar nasional yang telah

ditetapkan pemerintah. Namun dalam pelaksanaan di lapangan, kurikulum pada

pendidikan inklusif disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik peserta

didik.

Pemerintah menyatakan bahwa kurikulum yang dipakai satuan pendidikan

penyelenggara pendidikan inklusif adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

(KTSP) yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai

dengan bakat, minat dan potensinya62.

Model kurikulum pendidikan inklusif terdiri dari:

a. Model kurikulum reguler

b. Model kurikulum reguler dengan modifikasi

c. Model kurikulum Program Pembelajaran Individual (PPI)63

61Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Policy Brief, Sekolah Inklusif;

Membangun Pendidikan Tanpa Diskriminasi, No. 9. Th.II/2008, Departemen Pendidikan Nasional, h.

6-9. 62Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 Tentang

Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan

dan/atau Bakat Istimewa, Pasal 7. 63Direktorat, Pedoman Umum…, h. 19.

Page 174: Kamal fuadi fitk

Model kurikulum reguler, yaitu kurikulum yang mengikutsertakan peserta didik

berkebutuhan khusus untuk mengikuti kurikulum reguler sama seperti kawan-

kawan lainnya di dalam kelas yang sama.

Model kurikulum reguler dengan modifikasi, yaitu kurikulum yang

dimodifikasi oleh guru pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada

program tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan peserta didik

berkebutuhan khusus. Di dalam model ini bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus

yang memiliki PPI.

Model kurikulum PPI yaitu kurikulum yang dipersiapkan guru program PPI

yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru

pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait.

Kurikulum PPI atau dalam bahasa Inggris Individualized Education Program

(IEP) merupakan karakteristik paling kentara dari pendidikan inklusif. Konsep

pendidikan inklusif yang berprinsip adanya persamaan mensyaratkan adanya

penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap perbedaan individu.

Maka PPI atau IEP menjadi hal yang perlu mendapat penekanan lebih.

Thomas M. Stephens menyatakan bahwa IEP merupakan pengelolaan yang

melayani kebutuhan unik peserta didik dan merupakan layanan yang disediakan

dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan serta bagaimana efektivitas

program tersebut akan ditentukan64.

Tenaga kependidikan merupakan salah satu unsur penting dalam pendidikan

inklusif. Tenaga kependidikan dalam pendidikan inklusif mendapat porsi tanggung

jawab yang jelas berbeda dengan tenaga kependidikan pada pendidikan

noninklusif. Perbedaan yang terdapat pada individu meniscayakan adanya

kompetensi yang berbeda dari tenaga kependidikan lainnya. Tenaga kependidikan

secara umum memiliki tugas seperti menyelenggarakan kegiatan mengajar,

64Thomas, Teaching Mainstreamed…, h. 19.

Page 175: Kamal fuadi fitk

melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pelayanan

teknis dalam bidang pendidikan.

Guru yang terlibat di sekolah inklusi yaitu guru kelas, guru mata pelajaran, dan

guru pembimbing khusus. Manajemen tenaga kependidikan antara lain meliputi:

(1)Inventarisasi pegawai, (2)Pengusulan formasi pegawai, (3)Pengusulan

pengangkatan, kenaikan tingkat, kenaikan berkala, dan mutasi, (4)Mengatur usaha

kesejahteraan, (5)Mengatur pembagian tugas65.

Manajemen sarana-prasarana sekolah bertugas merencanakan,

mengorganisasikan, mengarahkan, mengkordinasikan, mengawasi, dan

mengevaluasi kebutuhan dan penggunaan sarana-prasarana agar dapat

memberikan sumbangan secara optimal pada kegiatan belajar mengajar.

Pendanaan pendidikan inklusif memerlukan manajemen keuangan atau

pendanaan yang baik. Walaupun penyelenggaraan pendidikan inklusif

dilaksanakan pada sekolah reguler dengan penyesuaian-penyesuaian, namun tidak

serta merta pendanaan penyelenggaraannya dapat diikutkan begitu saja dengan

pendanaan sekolah reguler. Maka diperlukan manajemen keuangan atau

pendanaan yang mampu memenuhi berbagai kebutuhan dalam penyelenggaraan

pendidikan inklusif dan mengatasi berbagai permasalahan terkait dengan

pendanaan.

Pembiayaan pendidikan inklusif untuk wilayah DKI Jakarta bersumber pada

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada pos anggaran Dinas Dikdas, Dinas

Dikmenti dan Kanwil Depag dan sumber lain yang sah. Pembiayaan pelaksanaan

penyelenggaraan pendidikan inklusif untuk lembaga pendidikan swasta

dibebankan pada anggaran yayasan/lembaga pendidikan swasta yang

bersangkutan66.

65Direktorat, Policy Brief…, h. 8. 66Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 116 Tahun 2007 Tentang

Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi, Pasal 16 dan Pasal 17. Pendanaan penyelenggaraan pendidikan

inklusif tidak ditangani oleh pemerintah pusat. Hal ini dapat dilihat pada Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki

Page 176: Kamal fuadi fitk

Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan inklusi, perlu dialokasikan dana

khusus, yang antara lain untuk keperluan: (1)Kegiatan identifikasi input siswa,

(2)Modifikasi kurikulum, (3)Insentif bagi tenaga kependidikan yang terlibat,

(4)Pengadaan sarana-prasarana, (5)Pemberdayaan peran serta masyarakat,

(6)Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar67.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak hanya menjadi tanggung jawab

pemerintah. Stake holder pendidikan lain seperti masyarakat hendaknya selalu

dilibatkan dalam rangka memajukan pendidikan. Apalagi dalam semangat otonomi

daerah dimana pendidikan juga merupakan salah satu bidang yang

didesentralisasikan, maka keterlibatan masyarakat merupakan suatu keharusan.

Dalam rangka menarik simpati masyarakat agar mereka bersedia berpartisipasi

memajukan sekolah, perlu dilakukan berbagai hal, antara lain dengan memberitahu

masyarakat mengenai program-program sekolah, baik program yang telah

dilaksanakan, yang sedang dilaksanakan, maupun yang akan dilaksanakan

sehingga masyarakat mendapat gambaran yang jelas tentang sekolah yang

bersangkutan.

Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif perlu mengelola dengan baik

hubungan sekolah dengan masyarakat agar dapat tercipta dan terbina hubungan

yang baik dalam rangka upaya memajukan pendidikan di daerah.

Dalam pendidikan inklusif terdapat komponen manajemen layanan khusus.

Manajemen layanan khusus ini mencakup manajemen kesiswaan, kurikulum,

tenaga kependidikan, sarana-prasarana, pendanaan dan lingkungan. Kepala

sekolah dapat menunjuk stafnya, terutama yang memahami ke-PLB-an, untuk

melaksanakan manajemen layanan khusus ini68.

5. Pembelajaran Model Inklusif di Kelas Reguler

Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Tidak ada satu pasalpun yang

menyebutkan bahwa pemerintah pusat terlibat dalam pembiayaan penyelenggaraan pendidikan

inklusif. 67Direktorat, Policy Brief…, h. 8. 68Direktorat, Policy Brief…, h. 9.

Page 177: Kamal fuadi fitk

Pelaksanaan pembelajaran dalam kelas inklusif sama dengan pelaksanaan

pembelajaran dalam kelas reguler. Namun jika diperlukan, anak berkebutuhan

khusus membutuhkan perlakuan tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi dan

kebutuhan anak berkebutuhan khusus.

Untuk mengetahui kondisi dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus

diperlukan proses skrining atau assesment yang bertujuan agar pada saat

pembelajaran di kelas, bentuk intervensi pembelajaran bagi anak berkebutuhan

khusus merupakan bentuk intervensi pembelajaran yang sesuai bagi mereka.

Assesment yang dimaksud yaitu proses kegiatan untuk mengetahui kemampuan

dan kelemahan setiap peserta didik dalam segi perkembangan kognitif dan

perkembangan sosial melalui pengamatan yang sensitif69.

Seorang pendidik hendaknya mengetahui program pembelajaran yang sesuai

bagi anak berkebutuhan khusus. Pola pembelajaran yang harus disesuaikan dengan

anak berkebutuhan khusus biasa disebut dengan Individualized Education

Program (IEP) atau Program Pembelajaran Individual (PPI). Perbedaan

karakteristik yang dimiliki anak berkebutuhan khusus membuat pendidikan harus

memiliki kemampuan khusus.

Sebelum Program Pembelajaran Individual dijalankan oleh pendidik, terlebih

dahulu pendidik harus melakukan identifikasi terhadap kondisi dan kebutuhan

anak berkebutuhan khusus agar diperoleh informasi yang akurat mengenai

kebutuhan pembelajaran anak berkebutuhan khusus. Setelah proses skrining atau

assesment dilakukan dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus teridentifikasi,

maka Program Pembelajaran Individual (IEP) dapat dijalankan di kelas-kelas

reguler. Program Pembelajaran Individual tersebut sebenarnya tidak mutlak

diperlukan bagi anak berkebutuhan khusus dalam pembelajaran model inklusif di

kelas reguler. Pada praktiknya ada beberapa anak berkebutuhan khusus yang tidak

69Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi,

(Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 1

Page 178: Kamal fuadi fitk

memerlukan Program Pembelajaran Individual. Mereka dapat belajar bersama

dengan anak reguler dengan program yang sama tanpa perlu dibedakan.

Program Pembelajaran Individual meliputi enam komponen, yaitu elicitors,

behaviors, reinforcers, entering behavior, terminal objective, dan enroute. Secara

terperinci, keenam komponen tersebut yaitu:

a. Elicitors, yaitu peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan atau

menyebabkan perilaku

b. Behaviors, merupakan kegiatan peserta didik terhadap sesuatu yang dapat ia

lakukan

c. Reinforcers, suatu kejadian atau peristiwa yang muncul sebagai akibat dari

perilaku dan dapat menguatkan perilaku tertentu yang dianggap baik

d. Entering behavior, kesiapan menerima pelajaran

e. Terminal objective, sasaran antara dari pencapaian suatu tujuan

pembelajaran yang bersifat tahunan

f. Enroute, langkah dari entering behavior menujut ke terminal objective70

Model pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus harus memperhatikan

prinsip umum dan prinsip khusus. Prinsip umum pembelajaran meliputi motivasi,

konteks, keterarahan, hubungan sosial, belajar sambil bekerja, individualisasi,

menemukan, dan prinsip memecahkan masalah. Prinsip umum ini dijalankan

ketika anak berkebutuhan khusus belajar bersama-sama dengan anak reguler

dalam satu kelas. Baik anak reguler maupun anak berkebutuhan khusus

mendapatkan program pembelajaran yang sama. Prinsip khusus disesuaikan

dengan karakteristik masing-masing peserta didik berkebutuhan khusus. Prinsip

khusus ini dijalankan ketika peserta didik berkebutuhan khusus membutuhkan

pembelajaran individual melalui Program Pembelajaran Individual (IEP)71.

Model pembelajaran anak berkebutuhan khusus memerlukan komponen-

komponen tertentu yang meliputi:

a. Rasional

70Bandi Delphie, Pembelajaran Anak, h. 150-151. 71Bandi Delphie, Pembelajaran Anak, h. 154.

Page 179: Kamal fuadi fitk

Layanan pendidikan dan pembelajaran anak berkebutuhan khusus

seharusnya sejalan dan tidak lepas dari prinsip, kebijakan, dan praktik dalam

pendidikan berkebutuhan khusus.

b. Visi dan misi

Model pembelajaran anak berkebutuhan khusus mengarah pada visi dan misi

sebagai sumber pengertian bagi perumusan tujuan dan sasaran yang harus

ditetapkan

c. Tujuan pembelajaran

Tujuan pembelajaran anak berkebutuhan khusus harus didasarkan pada visi

dan misi pembelajaran yang sudah ditetapkan

d. Komponen dasar model pembelajaran

Berdasarkan pada visi dan misi pembelajaran, komponen-komponen dasar

model pembelajaran anak berkebutuhan khusus dapat dikelompokkan

menjadi:

1) Masukan yang berupa masukan mentah yang terdiri dari elicitors,

behaviors, dan reinforcers, masukan instrumen yang terdiri dari

program, guru kelas, tahapan, dan sarana, dan masukan lingkungan yang

berupa norma, tujuan, lingkungan, dan tuntutan

2) Proses yang terdiri dari atas program pembelajaran individual,

pelaksanaan intervensi, dan refleksi hasil pembelajaran

3) Keluaran berupa perubahan kompetensi setiap peserta didik yang

mempunyai kesulitan atau hambatan perkembangan diri

e. Komponen pendukung sistem model pembelajaran

Komponen pendukung sistem adalah kegiatan-kegiatan manajemen yang

bertujuan untuk memantapkan, memelihara, dan meningkatkan program

pembelajaran72

Proses skrining atau assesment yang di atas dapat digambarkan sebagai berikut:

72Bandi Delphie, Pembelajaran Anak, h. 154-157.

Page 180: Kamal fuadi fitk

1. RUJUKAN GURU

Catatan-catatan dari pengawas SD,

menghubungi orang tua siswa, observasi

guru, dan kemudian memberikan rujukan

pada kepala sekolah

2. SKRINING OLEH TIM PANITIA

Dilakukan oleh guru, kepala sekolah,

psikolog, perawat, dokter, ahli terapi guna

mendapatkan rekomendasi dilanjutkan ke

prosedur berikutnya atau dikembalikan ke

kelas reguler

3. REKOMENDASI OLEH 5

KOMPONEN

- Orang tua yang memberikan evaluasi

tentang anaknya mengenai cara berbicara

berbahasa, dan daya pendengaran

- Assesmen pendidikan

- Laporan hasil skrining oleh tim panitia

khusus

- Rujukan dari guru pengamat

- Kepala sekolah

Waktu evaluasi 45 hari

4. PANITIA PENGESAHAN

Terdiri atas guru, orang tua, para ahli

pendidikan, psikolog, pengawas PLB,

konselor,dan speech terapist

5. REKOMENDASI DARI 3 KOMPONEN

(Psychological, Sociological, Physical)

6. PROGRAM PEMBELAJARAN

INDIVIDUAL (IEP)

7. PENEMPATAN SISWA PADA

PROGRAM KEGIATAN SEKOLAH

YANG COCOK DENGAN

KEBERADAANNYA

20 hari

20 hari

STOP

STOP

10 hari

Gambar 2. Prosedur Identifikasi, Evaluasi, Konfirmasi, dan Penempatan Peserta Didik dalam

Pendidikan Luar Biasa (Bandi Delphie, 2006: 8)

Page 181: Kamal fuadi fitk

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta.

Adapun waktu penelitian terhitung mulai dari bulan April-Desember 2010.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui:

1. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

2. Implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI

Jakarta

C. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode berparadigma deskriptif kualitatif. Penelitian

deskriptif ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada secara

alamiah maupun rekayasa manusia. Penelitian deskriptif

tidak memberikan

perlakukan, manipulasi atau pengubahan pada variabel, tetapi menggambarkan suatu

Page 182: Kamal fuadi fitk

kondisi apa adanya73

. Dalam penelitian ini, peneliti hanya melakukan penelitian

terhadap fenomena yang alamiah terkait kebijakan penyelenggaraan pendidikan

inklusif.

Metode penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud memahami

fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian secara holistik dengan cara

deskripsi dalam kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan

dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah74

.

Penelitian ini dilaksanakan untuk menggambarkan realitas empiris sesuai dengan

fenomena yang terjadi secara rinci dan tuntas serta untuk mengungkapkan gejala

secara holistik melalui pengumpulan data dari latar yang alami dengan penelit i

sebagai instrumen kunci.

Adapun jenis penelitian yang dipilih peneliti yaitu studi kasus dengan

menghimpun dan menganalisis data berkenaan dengan kasus pendidikan inklusif.

Data-data yang terkait dengan proses analisis kebijakan penyelenggaraan pendidikan

inklusif akan dihimpun untuk kemudian dianalisis.

D. Sumber Data

Sumber data penelitian ini terdiri dari dua macam, yaitu sumber data primer dan

sumber data sekunder.

1. Sumber data primer adalah sumber data yang langsung memberikan data

kepada pengumpul data. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sumber

data primer dari Kepala Bidang TK, SD, dan PLB Dinas Pendidikan DKI

Jakarta, guru satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif, dan LSM

Hellen Keller Internasional (HKI).

73Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,

2008), cet. Ke-4, h. 72-74 74Lexy J. Moloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2009),

cet. ke-29, h. 6

Page 183: Kamal fuadi fitk

2. Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung memberikan

data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau dokumen.

Sumber data sekunder dalam penelitian ini berasal dari data tertulis lembaga

Dengan sumber data primer dan sekunder di atas, penelitian ini diharapkan dapat

memperoleh data-data valid dan holistik yang diperlukan dalam menganalisa

permasalahan yang menjadi fokus penelitian.

Pada dasarnya, sumber data dalam penelitian dengan menggunakan metode

kualitatif berkembang terus (snowball) secara bertujuan (purposive) sampai data yang

dikumpulkan dianggap memuaskan75

. Dengan demikian, bila dimungkinkan maka

sumber data dalam penelitian dapat bertambah dari sumber data yang telah ditentukan

jika sumber data yang telah ditentukan tersebut belum dapat memberikan data yang

relevan dengan penelitian.

E. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan, peneliti menggunakan teknik

pengumpulan data sebagai berikut:

1. Wawancara

Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian

dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara penanya atau

pewawancara dengan penjawab atau interviewee dengan atau tanpa

menggunakan panduan wawancara76

.

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara

mendalam (in-depth interview) bebas atau wawancara tidak terstruktur.

Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui secara mendetail mengenai fokus

penelitian dengan menanyakan langsung kepada informan kunci (key

75Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta: PT. Bumi

Aksara, 2008, h. 78. 76M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu

Sosial Lainnya, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 108.

Page 184: Kamal fuadi fitk

informan) sehingga didapatkan data-data yang valid dari narasumber yang

terkait dengan fokus penelitian.

2. Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk mencari data

mengenal hal-hal atau variabel yang berupa catatan-catatan, transkrip, buku,

surat kabar, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya.

Pada intinya, metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk

meneliti data historis77

.

Dokumentasi dapat diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu dokumen resmi

dan dokumen pribadi. Dokumen resmi merupakan dokumen yang berasal dari

suatu lembaga atau organisasi. Dokumen resmi terbagi atas dokumen internal

(berupa memo, pengumuman, instruksi, aturan suatu lembaga masyarakat

tetapi digunakan dikalangan sendiri)dan dokumen eksternal (yang berupa

majalah, buletin, penyataan dan berita yang disiarkan kepada media masa).

Dokumen pribadi merupakan catatan seseorang secara tertulis tentang

tindakan, pengalaman dan kepercayaan. Dokumen pribadi dapat berupa buku

harian, surat pribadi dan autobiografi78

.

Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa dokumen resmi dalam

bentuk dokumen internal yang ada dimiliki Dinas Pendidikan DKI Jakarta.

Selain itu, dokumen internal lain yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

dokumen milik sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif. Peneliti

tidak menggunakan dokumen pribadi karena peneliti tidak menemukan data

dokumen tersebut.

F. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data merupakan suatu cara yang digunakan untuk menguraikan

keterangan-keterangan atau data-data yang diperoleh agar data-data tersebut dapat

77Burhan, Penelitian Kualitatif…, h. 121. 78Burhan, Penelitian Kualitatif…, h. 122-123.

Page 185: Kamal fuadi fitk

dipahami bukan saja oleh orang yang meneliti (peneliti), akan tetapi juga oleh orang

lain yang ingin mengetahui hasil penelitian itu.

Dalam penelitian kualitatif, analisis data bersifat interaktif, berlangsung dalam

lingkaran yang saling tumpang tindih79

. Analisis kualitatif cenderung menggunakan

pendekatan logika induktif, dimana silogisme dibangun berdasarkan pada hal-hal

yang khusus atau data di lapangan dan bermuara pada kesimpulan-kesimpulan

umum80

.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis

data deskriptif kualitatif. Data-data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan dianalisis

dengan membuat kategorisasi agar mempermudah dalam penafsiran data. Masing-

masing data yang telah dikategorisasi, dikaitkan untuk memperoleh hubungan agar

sampai pada kesimpulan.

Secara sistematis, dalam menganalisa data penelitian ini, data yang diperoleh

dalam penelitian terlebih dahulu dicatat dan diberi kode agar sumber datanya dapat

ditelusuri. Setelah proses pencatatan selesai, data-data tersebut dikumpulkan untuk

dipilah-pilah dan dikategorikan. Agar kategori tersebut memiliki makna, maka dicari

hubungan-hubungan dan pola-pola yang terdapat dalam data untuk dibuat temuan-

temuan umum81

. Dengan langkah analisis data deskriptif kualitatif demikian dapat

diperoleh hasil penelitian yang mencerminkan hasil sebenarnya yang diharapkan.

79Nana, Metode Penelitian…, h. 114. 80Burhan, Penelitian Kualitatif…, h. 143. 81Lexy, Metodologi Penelitian…, h. 248.

Page 186: Kamal fuadi fitk

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Gambaran Umum Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

Jakarta adalah kota yang bisa menjanjikan kehidupan yang nyaman dan sejahtera,

apabila kita semua, dalam hal ini pemerintah dan masyarakat, dapat menjawab

tantangan, menyelesaikan permasalahan dan dapat memanfaatkan potensi dan

peluang yang ada.

Kita telah ketahui bersama bahwa Jakarta tidak memiliki sumber daya alam

sebagaimana di provinsi-provinsi lain, sementara itu Jakarta dihadapkan pada

berbagai permasalahan yang cukup kompleks terkait dengan kedudukan dan fungsi

Jakarta sebagai Ibukota Negara, baik permasalahan penduduk, masalah ekonomi,

maupun terkait dengan permasalahan sosial budaya.

Dari sejumlah permasalahan yang dihadapi kota Jakarta, khususnya yang terkait

dengan sumber daya manusia diperlukan satu solusi untuk penyelesaiannya antara

lain dengan cara meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat Jakarta

Page 187: Kamal fuadi fitk

agar mereka dapat menjadi sumber daya manusia yang memiliki karakter terpuji, rasa

nasionalisme yang tinggi dan tangguh, kompetensi, keterampilan, serta sehat rohani

dan jasmani sehingga akan tangguh menghadapi berbagai tantangan dan

permasalahan yang dihadapi Ibukota dan juga dunia global.

Tidak dapat dipungkiri dengan kedudukan Jakarta sebagai Ibukota Negara

Republik Indonesia, Pusat Pemerintahan, Kota Jasa, Pintu Gerbang Dari dan Ke

Manca Negara, Lokasi Perkantoran dan Perwakilan Duta-Duta Bangsa. Sebagai kota

yang tidak memiliki sumber kekayaan alam, maka sumber daya manusia yang ada

harus terus dikembangkan agar bisa sejajar dengan kota-kota besar lainnya di dunia.

Pengembangan sumber daya manusia dapat dilakukan tidak lain melalui peningkatan

mutu pendidikan. Pendidikan memegang peranan penting dan sebagai salah satu

kunci keberhasilan pembangunan nasional dan daerah. Keberhasilan penyelenggaraan

pendidikan di Provinsi DKI Jakarta harus dilandasi dengan kemampuan dalam

menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (serta imtak) yang merupakan cerminan

keberhasilan bangsa Indonesia dimasa mendatang.

Untuk membentuk sumber daya manusia yang memiliki karakter tersebut harus

dipersiapkan melalui suatu proses pembelajaran dan pendidikan pada lembaga

pendidikan yang memiliki kualitas, baik pada lembaga pendidikan jalur pendidikan

formal, non formal, dan informal.

Semua anggota masyarakat, bersama dengan seluruh jajaran Pemerintah Provinsi

DKI Jakarta memiliki tanggungjawab untuk mencari solusi dalam menyelesaikan

permasalahan sekaligus mengelola dan memanfaatkan potensi dan peluang yang ada.

Untuk itulah diperlukan adanya kebersamaan dalam pelayanan pendidikan di Provinsi

DKI Jakarta untuk membangun sumber daya manusia dalam mencapai cita-cita dan

menjadikan Provinsi DKI Jakarta menjadi sesuai visi yaitu ”Jakarta yang Nyaman

dan Sejahtera untuk Semua”.

Page 188: Kamal fuadi fitk

Dalam penyelenggaraan pendidikan harus berorientasi pada masa depan, karena ke

depan tantangan pendidikan akan semakin kompleks seiring dengan persaingan

global sehingga pendidikan harus terus-menerus melakukan penyesuaian dengan

gerak perkembangan ilmu pengetahuan modern dan inovasi.

1. Visi dan Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

a. Visi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

Visi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yaitu “Mewujudkan Layanan

Pendidikan yang Bermutu Tinggi dalam Membangun Insan yang Cerdas dan

Kompetitif82”

Penjelasan makna atas pernyataan visi dimaksud adalah terciptanya upaya

peningkatan pemerataan akses memperoleh pendidikan yang bermutu dan

terjangkau bagi masyarakat Jakarta sehingga tercipta rasa nyaman dalam

memperoleh layanan pendidikan. Selain itu visi tersebut mengandung

maksud adanya peningkatan kualitas lulusan pendidikan formal dan

nonformal yang cerdas secara komprehensif yang meliputi cerdas spiritual,

cerdas emosional, cerdas sosial, cerdas intelektual, dan cerdas kinestetis.

Kompetitif dimaksudkan dalam rangka mengupayakan lulusan pendidikan

untuk dapat berdaya saing global dan melanjutkan ke jenjang pendidikan

yang lebih tinggi maupun dapat bekerja di mancanegara.

b. Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

Misi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yaitu:

1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh

pendidikan yang bermutu bagi seluruh masyarakat Jakarta

2. Mewujudkan pendidikan yang kompetitif untuk menghadapi perubahan

3. Meningkatkan standar kualitas layanan pendidikan

4. Meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan

pengelolaan pendidikan

82Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Kebijakan Dinas Pendidikan, h. 1

Page 189: Kamal fuadi fitk

5. Penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik83

Penjelasan makna atas pernyataan misi dimaksud adalah:

1. Melayani masyarakat dalam penyediaan sarana dan prasarana pendidikan

formal dan nonformal, sehingga dirasakan oleh masyarakat luas mudah

mendapatkan layanan di segala jenis dan jenjang pendidikan yang

bermutu

2. Mengupayakan lulusan pendidikan di DKI Jakarta untuk dapat berdaya

saing global dalam rangka menghadapi setiap perubahan

3. Melayani masyarakat dengan prinsip pelayanan prima yakni

mengutamakan norma pelayanan pendidikan berdasar pada standar

minimal pelayanan pendidikan dengan selalu mengupayakan peningkatan

mutu para tenaga kependidikan maupun lulusan pendidikan formal dan

nonformal melalui beberapa kegiatan yang dapat berdaya saing global

serta membangun sarana dan prasarana pendidikan yang menjamin

kenyamanan dengan memperhatikan prinsip pembangunan pendidikan

yang berkelanjutan

4. Memberdayakan masyarakat dengan prinsip pemberian otoritas pada

masyarakat untuk mengenali permasalahan yang dihadapi dan

mengupayakan pemecahan yang terbaik pada tahapan perencanaan,

pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian penyelenggaraan, dan

pengelolaan pendidikan

5. Mengedepankan prinsip bersih, transparan, dan profesional dalam rangka

membangun tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pendidikan

2. Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor

10 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah, terdiri dari Sekretariat

83Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 1

Page 190: Kamal fuadi fitk

dan 7 (tujuh) bidang yakni Bidang Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, dan

Pendidikan Luar Biasa, Bidang Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah

Menengah Atas, Bidang Sekolah Menengah Kejuruan, Bidang Pendidikan Non

Formal dan Informal, Bidang Tenaga Pendidikan, Bidang Sarana Prasarana

Pendidikan, Bidang Standarisasi dan Pendidikan Tinggi. Dinas Pendidikan

Provinsi DKI Jakarta juga memiliki UPT, yaitu BP3LS, 5 BPPK, UPT

Planetarium dan Observatorium, BPTKD. Adapun tugas pokok dan fungsi

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai berikut:

a. Tugas Pokok Dinas Pendidikan

Melaksanakan urusan pendidikan

b. Fungsi Dinas Pendidikan

1. Penyusunan dan pelaksanaan rencana kerja dan anggaran dinas

pendidikan

2. Perumusan kebijakan tenis pelaksanaan urusan pendidikan

3. Pelaksanaan pendidikan pra sekolah, dasar, menengah, dan luar biasa

serta pendidikan nonformal dan informal

4. Pembinaan pendidikan prasekolah, dasar, menengah, dan luar biasa serta

pendidikan nonformal dan informal

5. Pelayanan pendidikan prasekolah, dasar, menengah, dan luar biasa serta

pendidikan nonformal dan informal

6. Pengkajian dan pengembangan pendidikan prasekolah, dasar,

menengah, dan luar biasa serta pendidikan nonformal dan informal

7. Pengawasan dan pengendalian pendidikan prasekolah, dasar, menengah,

dan luar biasa serta pendidikan nonformal dan informal

8. Pembinaan dan pengembangan tenaga fungsional kependidikan dan

tenaga teknis pendidikan

9. Fasilitasi pengembangan kerjasama antar lembaga pendidikan

10. Pemberian rekomendasi pendirian dan penutupan satuan pendidikan

tinggi

Page 191: Kamal fuadi fitk

11. Pelayanan, pembinaan, dan pengendalian rekomendasi, standarisasi

dan/atau perizinan di bidang pendidikan

12. Penegakan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan

13. Pemungutan, penatausahaan, penyetoran, pelaporan, dan

pertanggungjawaban penerimaan retribusi pendidikan

14. Penyediaan, penatausahaan, penggunaan, pemeliharaan, dan perawatan

sarana dan prasarana pendidikan

15. Pemberian dukungan teknis kepada masyarakat dan perangkat daerah

16. Pengelolaan kepegawaian, keuangan, barang, dan ketatausahaan dinas

pendidikan

17. Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan fungsi

3. Tujuan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

a. Meningkatkan upaya peningkatan kualitas proses pembelajaran pada semua

jenjang pendidikan

b. Meningkatkan kualitas dan kemandirian pengelolaan pendidikan yang

berdaya saing global

c. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesionalisme tenaga pendidik

dan tenaga kependidikan

d. Meningkatkan pembinaan perguruan tinggi sebagai bagian integral dari tata

kota

e. Mengentaskan masyarakat putus sekolah dan meningkatkan pengetahuan

dan keterampilan (kecakapan hidup) warga belajar84

4. Sasaran Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

a. Peningkatan mutu program dan relevansi pendidikan

b. Pengembangan dan peningkatan sarana pendidikan

c. Peningkatan mutu manajemen pendidikan

d. Peningkatan materi pendidikan agama, kewarganegaraan dan ekstrakurikuler

84Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 1

Page 192: Kamal fuadi fitk

e. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan (kecakapan hidup) serta mutu

lulusan

f. Peningkatan pendidikan nonformal dan informal (PNFI) dan keterampilan

masyarakat

g. Pembinaan perguruan tinggi85

5. Strategi Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

Mendorong upaya pemerataan kesempatan Pendidikan Anak Usia Dini,

pendidikan dasar, pendidikan luar biasa, pendidikan menengah kepada

kelompok yang kurang mampu melalui kebijakan yang mendorong terciptanya

pendidikan-pendidikan alternatif khususnya Pendidikan Nonformal Informal

(PNFI), mengurangi angka putus sekolah dengan memperhatikan

keterjangkauan biaya, serta meningkatkan peran pendidikan tinggi guna

mendukung upaya peningkatan kerjasama antar perguruan tinggi86.

6. Arah Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

Berdasarkan rumusan program strategis atas visi dan misi Pemerintah Provinsi

DKI Jakarta terkait dengan pembangunan bidang pendidikan yaitu Peningkatan

Akses dan Mutu Pendidikan yang meliputi 9 (sembilan) kebijakan yaitu:

Penuntasan Wajib Belajar 12 Tahun, Meminimalkan Jumlah Siswa yang Drop

Out, Peningkatan Mutu Lulusan, Peningkatan Standar Kualitas Layanan

Pendidikan, Peningkatan Kompetensi Guru (Standar Asia), Peningkatan

Kapasitas Manajemen Sekolah, Peningkatan Daya Tampung dan Mutu Lulusan

SMK, Bantuan Biaya Pendidikan Bagi Masyarakat Miskin, dan Meningkatkan

Jumlah Sarana Tempat Belajar Mengajar87.

7. Sasaran Strategik Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

Sasaran strategik yang akan dicapai Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

yaitu:

85Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 2 86Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 2 87Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Rencana Strategis Dinas Pendidikan Provinsi DKI

Jakarta Tahun 2009-2013, h. 66

Page 193: Kamal fuadi fitk

a. Menurunnya jumlah siswa yang drop out

b. Meningkatnya daya tampung

c. Menurunnya angka buta aksara

d. Meningkatnya pembinaan pendidikan kesetaraan

e. Meningkatnya standar kualitas layanan pendidikan

f. Meningkatnya mutu lulusan

g. Meningkatnya kualifikasi dan sertifikasi guru

h. Meningkatnya pengembangan ICT dalam KBM

i. Meningkatnya sarana dan prasarana belajar mengajar

j. Meningkatnya penyelenggaraan akreditasi dan mutu pendidikan

k. Meningkatnya pemberdayaan komite sekolah dan dewan pendidikan

l. Meningkatnya penerapan manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah88

8. Kondisi Sekolah, Siswa, dan Guru di Lingkungan Dinas Pendidikan

Provinsi DKI Jakarta

Kondisi sekolah, siswa, dan guru di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI

Jakarta dapat dilihat dari ilustrasi gambar-gambar di bawah ini. Data pada

gambar-gambar tersebut merupakan data pada tahun 2008. Jumlah sekolah, dari

mulai tingkat TK hingga tingkat SMA, baik negeri maupun swasta yaitu:

Gambar 389

Jumlah Sekolah di Provinsi DKI Jakarta

88Dinas, Rencana Strategis…, h. 66 89Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 2

Page 194: Kamal fuadi fitk

609

9277993388

670559

192323

862882

227722

135465

363187

9188685731

177617

41848

157751

199599

3933

0

100000

200000

300000

400000

500000

600000

700000

800000

900000

TK SD SMP SMA SMK PKBM

N S JML

0

500

1000

1500

2000

2500

3000

TK SD SMP SMA SMK PKBM

9

2249

306

116 62 35

1733

753 631

381

512

175

1742

3002

937

497 574

210

N S JML

Gambar di atas menunjukkan bahwa sekolah di Provinsi DKI Jakarta berjumlah

6.962 sekolah yang terdiri dari 2.777 sekolah negeri dan 4.185 sekolah swasta.

Adapun jumlah siswa di Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada gambar di

bawah ini:

Gambar 490

Jumlah siswa di Provinsi DKI Jakarta

90Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 2

Page 195: Kamal fuadi fitk

57

8938 8995

28802

11374

40176

11242

9853

21095

6773

9144

15917

3153

12696

15849

30918

0

5000

10000

15000

20000

25000

30000

35000

40000

45000

TK SD SMP SMA SMK PKBM

N S JML

Gambar di atas menunjukkan bahwa jumlah total siswa yang ada terdapat di

sekolah-sekolah di Provinsi DKI Jakarta yaitu 1.696.673 siswa. Mereka yang

menempuh pendidikan di sekolah negeri berjumlah 1.032.624 siswa. Adapun

yang menempuh pendidikan di sekolah swasta berjumlah 664.049 siswa.

Jumlah pendidik di Provinsi DKI Jakarta dapat dilihat pada gambar di bawah

ini:

Gambar 591

Jumlah Pendidik di Provinsi DKI Jakarta

Jumlah pendidik di Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan gambar di atas, yaitu

102.032 orang yang terdiri dari 50.027 pendidik di sekolah negeri dan 52.005

pendidik di sekolah swasta.

B. Deskripsi dan Analisis Data

91Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 3

Page 196: Kamal fuadi fitk

Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan mengenai kebijakan

penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta, penulis menemukan

data-data yang terkait dengan kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di

Provinsi DKI Jakarta. Data-data tersebut penulis temukan dengan menggunakan

metode dokumentasi dan wawancara. Data-data yang penulis temukan sebagai

berikut:

1. Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta

Penyelenggaraan pendidikan inklusif merupakan masalah yang telah menjadi

konsen bersama. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif merupakan

kebijakan yang mengacu kepada beberapa ketetapan yang telah digariskan oleh

kesepakatan di tingkat dunia dan ketetapan yang telah digariskan pemerintah

Indonesia di tingkat pusat.

Pendidikan inklusif yang dimaksud dalam kebijakan yang dikeluarkan oleh

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merupakan pendidikan bagi peserta didik

yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena

kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan

dan bakat istimewa. Pendidikan tersebut secara yuridis dimasukkan ke dalam

jenis pendidikan khusus yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa

satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah92. Dari

sini dapat dipahami bahwa pendidikan inklusif merupakan salah satu

pendidikan yang secara khusus diselenggarakan bagi peserta didik yang

berkelainan.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang

Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki

Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa disebutkan bahwa peserta didik

92Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 15, Pasal 32,

dan Penjelasan Pasal 15

Page 197: Kamal fuadi fitk

yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki

potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa perlu mendapatkan layanan

pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan dan hak asasinya. Layanan

pendidikan tersebut dapat diselenggarakan secara inklusif93. Layanan

pendidikan yang dimaksud dalam peraturan tersebut merupakan sistem

penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua

peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau

bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam

lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada

umumnya. Pada intinya, semua peserta didik, dalam kondisi bagaimana pun,

mendapatkan layanan pendidikan yang sama.

Pendidikan inklusif juga diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI

Jakarta Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Sistem Pendidikan. Dalam Perda tersebut

ditetapkan bahwa warga masyarakat yang memiliki kelainan fisik, mental,

emosional, dan mengalami hambatan sosial berhak memperoleh pendidikan

khusus. Begitu pula dengan warga masyarakat yang memiliki potensi

kecerdasan dan/atau bakat istimewa juga berhak mendapatkan pendidikan

khusus. Pendidikan khusus tersebut berfungsi memberikan layanan pendidikan

bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses

pembelajaran karena kendala fisik, emosional, mental, sosial dan/atau peserta

didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Pendidikan

khusus tersebut diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal

dan informal. Pendidikan khusus formal bagi peserta didik yang memiliki

kendala fisik, emosional, mental, sosial berbentuk Sekolah Luar Biasa (SLB)

dan/atau kelas inklusif sesuai dengan jenjang masing-masing. Pendidikan

khusus nonformal berbentuk lembaga kursus, kelompok belajar, lembaga

93Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi

Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa

Page 198: Kamal fuadi fitk

pelatihan serta satuan pendidikan lain yang sederajat. Pendidikan khusus

informal berbentuk pendidikan keluarga dan lingkungan. Jenis pendidikan

khusus dapat berupa pendidikan umum, kejuruan, keagamaan, dan khusus94.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan penyelenggaraan

pendidikan inklusif lewat Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 116

Tahun 2007 Tentang Pendidikan Inklusif. Hal ini sebagaimana dikatakan Ibu

Septi Novida, Kepala Bidang TK, SD, PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI

Jakarta, yaitu:

“…kebijakan tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif di DKI Jakarta

berdasarkan hasil kebijakan yang juga sudah ditetapkan oleh pemerintah

pusat melalui Direktorat PSLB Kementrian Pendidikan Nasional. Kebijakan

Direktorat PSLB ini terkait dengan kesepakatan di tingkat dunia dimana

anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, khususnya dalam hal fisik dan

emosional diberikan kesempatan untuk bersekolah atau mengenyam

pendidikan. Sebenarnya dari dulu, anak-anak yang memiliki kebutuhan

khusus ini sudah diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan di SLB.

Namun kenapa tidak jika pendidikan mereka dijadikan satu di sekolah

reguler dari mulai tingkat TK, SD, SMP, dan SMA/SMK. Terkait dengan

itu, tahun 2007 keluar Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 116

Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif dimana di

dalamnya memuat ketentuan bahwa masing-masing kecamatan di Provinsi

DKI Jakarta harus memiliki lembaga yang menampung dan melayani anak-

anak berkebutuhan khusus…”95

Pendidikan inklusif yang diselenggarakan di lingkungan Dinas Pendidikan

Provinsi DKI Jakarta adalah pendidikan yang ditujukan bagi anak-anak

berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, mental, dan

emosional agar mereka dapat belajar bersama-sama di sekolah reguler bersama-

sama anak-anak normal lain. Hal tersebut didukung dengan pernyataan yang

diberikan Dra. Septi Novida, M.Pd yaitu:

94Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Sistem Pendidikan 95Wawancara dengan Septi Novida, Kepala Bidang TK, SD, PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI

Jakarta (23 November 2010 Pukul 07.30) di Kantor Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

Page 199: Kamal fuadi fitk

“…anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus, khususnya dalam hal fisik

dan emosional diberikan kesempatan untuk bersekolah atau mengenyam

pendidikan. Sebenarnya dari dulu, anak-anak yang memiliki kebutuhan

khusus ini sudah diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan di SLB.

Namun kenapa tidak jika pendidikan mereka dijadikan satu di sekolah

reguler dari mulai tingkat TK, SD, SMP, dan SMA/SMK”96.

Wawancara yang penulis lakukan dengan guru program inklusif di lingkungan

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta juga menunjukkan bahwa pendidikan

inklusif yang diselenggarakan di Provinsi DKI Jakarta ditujukan bagi anak-anak

berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, mental, dan

emosional. Guru di SMP Negeri 223 Pasar Rebo Jakarta Timur menyatakan:

“…Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang tidak membeda-bedakan

kemampuan peserta didik. Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang

merangkul kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam diri peserta

didik…”97

Ibu Fitri dari Hellen Keller Internasional (HKI) menyatakan bahwa pendidikan

inklusif yaitu:

“…Pendidikan inklusif adalah pendidikan yang memberi kesempatan kepada

peserta didik yang memiliki kekurangan dalam hal fisik, mental, dan

emosional untuk dapat belajar bersama di sekolah reguler bersama anak-

anak normal lain…”98

Manajer program inklusi di SMA Negeri 66 Cilandak Jakarta Selatan

memberikan pemaparan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif

yaitu:

“…Pendidikan inklusif seringkali salah dipahami oleh sebagian besar

masyarakat. Pendidikan inklusif sebenarnya bukan hanya mengakomodir

kekurangan-kekurangan yang terdapat dalam diri peserta didik seperti

kekurangan dalam hal fisik, emosional, dan mental saja, namun lebih jauh

96Wawancara dengan Septi Novida 97Wawancara dengan Sukarto, Guru Inklusi SMP Negeri 223 Pasar Rebo (9 Desember 2010, Pukul

13.00) di ruang guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo 98Wawancara dengan Fitri, Hellen Keller Internasional (HKI) (26 Nopember 2010 Pukul 10.00) di

ruang pelatihan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

Page 200: Kamal fuadi fitk

pendidikan inklusif harus dimaknai lebih luas dimana seharusnya pendidikan

merangkul semua kekurangan karena sejatinya setiap orang memiliki

kekurangan…”99

Berdasarkan pernyataan-pernyataan diatas, pendidikan inklusif yang

diselenggarakan di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta ingin

memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai dengan hak yang dimiliki setiap

peserta didik atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual, sebagaimana

dinyatakan MIF Baihaqi dan M. Sugiarmin. Peserta didik yang memiliki

ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa

diberikan akses terhadap pendidikan yang bermutu di sekolah-sekolah

reguler100.

Selain itu, penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas

Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, sebagaimana dinyatakan Daniel P. Hallahan,

memberikan kesempatan yang sama kepada setiap peserta didik berkebutuhan

khusus untuk ditempatkan bersama-sama dengan peserta didik normal lainnya

dalam kelas yang sama sepanjang hari101. Pendidikan inklusif memang berusaha

merangkul semua kekurangan yang terdapat dalam diri peserta didik. Sesuai

dengan yang dinyatakan Gavin Reid bahwa pendidikan inklusif memang

dimaksudkan untuk menghilangkan perbedaan dengan berpijak pada prinsip

persamaan, keadilan, dan hak individu102.

Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

dimaksudkan untuk menghilangkan pembedaan yang selama ini terjadi kepada

anak-anak berkebutuhan khusus. Pendidikan segregatif di SLB (Sekolah Luar

Biasa) yang selama ini diperuntukkan bagi anak-anak berkebutuhan khusus

99Wawancara dengan Suparno, Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak (17 Desember

2010 Pukul 12.30) di ruang guru SMA Negeri 66 Cilandak 100MIF. Baihaqi dan M. Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, (Bandung: PT. Refika

Aditama, 2006), h. 75-76. 101Daniel P. Hallahan dkk., Exceptional Learners: An Introduction to Special Education, (Boston:

Pearson Education Inc., 2009), cet. ke-10, h. 53. 102Gavin Reid, Dyslexia and Inclusion, Classroom Approaches for Assesment, Teaching and

Learning, (London: David Fulton Publisher, 2005), h. 88

Page 201: Kamal fuadi fitk

memisahkan mereka dari kenormalan, sehingga mereka terbiasa dengan

ketidaknormalan yang selama ini dilekatkan kepada mereka. Dengan

penyelenggaraan pendidikan inklusif tersebut, diharapkan agar halangan yang

selama ini membatasi akses anak-anak berkebutuhan khusus untuk

mendapatkan pendidikan yang layak dapat teratasi.

Hanya saja peraturan perundangan seperti Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Nomor 70 Tahun 2009 dan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta

Nomor 116 Tahun 2006 memberikan batasan mengenai siapa saja yang

termasuk dalam kategori peserta didik berkebutuhan khusus. Peserta didik yang

dimaksud dalam pendidikan inklusif sebagaimana disebutkan dalam Peraturan

Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 terdiri atas:

a. Tunanetra

b. Tunarungu

c. Tunawicara

d. Tunagrahita

e. Tunadaksa

f. Tunalaras

g. Berkesulitan belajar

h. Lamban belajar

i. Autis

j. Memiliki gangguan motorik

k. Menjadi korban penyalahgunaan narkoba, obat terlarang, dan zat adiktif

lainnya

l. Memiliki kelainan lainnya

m. Tunaganda103

103Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009

Page 202: Kamal fuadi fitk

Dalam Pergub Nomor 116 Tahun 2007 disebutkan bahwa peserta didik

berkebutuhan khusus yang dimaksud dalam pendidikan inklusif yaitu:

a. Siswa dengan gangguan penglihatan

b. Siswa dengan gangguan pendengaran

c. Siswa dengan gangguan wicara

d. Siswa dengan gangguan fisik

e. Siswa dengan kesulitan belajar

f. Siswa dengan gangguan lambat belajar

g. Siswa dengan gangguan pemusatan pemikiran

h. Siswa cerdas istimewa, dan

i. Siswa yang memiliki kebutuhan khusus secara sosial104

Dengan pembatasan ini, maka tidak semua peserta didik yang memiliki

kekurangan dapat menjadi peserta didik pendidikan inklusif. Dalam

implementasi di lapangan ditemukan data bahwa tidak semua kelainan yang

dikategorikan pemerintah ke dalam jenis kelainan atau kebutuhan khusus dapat

ditemukan di sekolah sekolah reguler. Hal ini diakui oleh Kepala Bidang

TK/SD/PLB Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dimana sebagian besar

peserta didik yang kelainan atau berkebutuhan khusus yang masuk ke sekolah

inklusif yaitu peserta didik kategori A (tunanetra). Kelainan lain yang banyak

ditemukan di sekolah-sekolah inklusif yaitu peserta didik dengan kategori B

(tunarungu) dan C (tunagrahita), walaupun keduanya juga jarang ditemukan.

Selain itu, peserta didik yang memiliki kelainan fisik dan harus memakai alat

bantu seperti kursi roda juga jarang ditemukan. Hingga penelitian skripsi ini

dilakukan untuk mengumpulkan data, penulis tidak menemukan data mengenai

jumlah dan kategori kelainan peserta didik yang terdapat di sekolah inklusif.

104Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007

Page 203: Kamal fuadi fitk

Di sekolah inklusif seperti SMP Negeri 223 Pasar Rebo Jakarta Timur dan

SMA Negeri 66 Cilandak Jakarta Selatan sebagian besar peserta didik

berkebutuhan khusus adalah peserta didik kategori A. Kategori lain yang juga

banyak terdapat di sekolah tersebut yaitu anak-anak autis.

Pada prinsipnya, sesuai dengan konsep dasar pendidikan inklusif, Dinas

Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memberikan arahan agar semua kelainan atau

kebutuhan khusus yang tertera dalam peraturan baik Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional maupun Peraturan Gubernur untuk diterima sebagai

peserta didik di sekolah-sekolah inklusif yang telah ditunjuk. Namun

sebagaimana ditemukan dalam penelitian, tidak serta merta semua peserta didik

dengan kelainan atau kebutuhan khusus dapat diterima menjadi peserta didik

sekolah inklusif. Peserta didik yang ingin mendaftarkan diri di sekolah inklusif

harus melalui tahap identifikasi (skrining atau assesment) agar diketahui

kondisi dan kebutuhan peserta didik tersebut. Peserta didik dengan kelainan

ekstrem tidak dapat diterima menjadi peserta didik di sekolah inklusif karena

memang diakui pihak sekolah belum memiliki Sumber Daya Manusia yang

memadai untuk menangani kelainan ekstrem tersebut.

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta lewat Kepala Bidang TK/SD/PLB

mengakui bahwa sebenarnya pihak Dinas telah menunjuk beberapa guru SLB

untuk menjadi Guru Pembimbing Khusus (GPK) untuk membantu proses

penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah, namun hingga kini jumlah

GPK terus berkurang bahkan keberadaannya tidak jelas.

Selain tidak tertampungnya semua kelainan atau kebutuhan khusus peserta

didik di sekolah inklusif, peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau

bakat istimewa sebagai peserta didik yang diikutsertakan dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusif jarang mendapatkan sorotan. Padahal

sebagaimana kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan

Page 204: Kamal fuadi fitk

Nasional dan Peraturan Gubernur, peserta didik dengan kecerdasan luar biasa

dan/atau baka istimewa merupakan salah satu kategori peserta didik yang

diikutsertakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Jarangnya sorotan

terhadap peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau bakat istimewa

terlihat dari jarangya penyebutan peserta didik dengan kecerdasan luar biasa

dan/atau bakat istimewa dalam setiap kesempatan yang berkaitan dengan

pendidikan inklusif. Saat wawancara penulis lakukan dengan beberapa

narasumber, jarang sekali narasumber menyinggung mengenai peserta didik

dengan kecerdasan luar biasa dan/atau bakat istimewa. Begitu pula saat

pelatihan untuk guru-guru sekolah inklusif penulis ikuti, jarang sekali

pembahasan mengenai peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau

bakat istimewa menjadi salah satu fokus.

Jika mengacu kepada konsep pendidikan inklusif, peserta didik dengan

kecerdasan dan/atau bakat istimewa tidak menjadi salah satu kategori yang

perlu dimasukkan dalam pendidikan inklusif, karena istilah pendidikan inklusif,

menurut J. David Smith, digunakan untuk mendeskripsikan penyatuan anak-

anak berkelainan (penyandang hambatan/cacat) ke dalam program sekolah.

Konsep inklusi memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan

anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan

interaksi sosial yang ada di sekolah105.

Dari dokumen yang penulis dapatkan, kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi

DKI Jakarta digambarkan sebagai berikut:

Gambar 6106

Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

105J. David Smith, Inklusi, Sekolah Ramah untuk Semua, (Bandung: Penerbit Nuansa, 2006), h. 45 106Dinas, Kebijakan Dinas…, h. 3

Page 205: Kamal fuadi fitk

Seluruh kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta didasarkan atas

landasan yang ditetapkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Kebijakan

penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta didasarkan atas

ketetapan-ketetapan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah

daerah Provinsi DKI Jakarta yaitu:

a. Pusat

- Undang-Undang (UU)

Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif didasarkan atas ketetapan

pemerintah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang

Sistem Pendidikan Nasional.

- Peraturan Pemerintah (PP)

Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur pelaksanaan pendidikan

inklusif yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 Tentang

Standar Pendidikan Nasional.

- Peraturan Menteri

KEBIJAKAN DINAS PENDIDIKAN

LANDASAN

A. PUSAT

1. UU

2. PP

3. Kebijakan

B. PEMERINTAH

DAERAH

1. Perda

2. Pergub

3. Kebijakan

4. Program

C. KEADAAN UMUM, PERMASALAHAN, DAN TANTANGAN

Page 206: Kamal fuadi fitk

Peraturan Menteri Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif

bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi

Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa mengatur pelaksanaan pendidikan

inklusif.

- Kebijakan

b. Pemerintah Daerah

- Peraturan Daerah (Perda)

Provinsi DKI Jakarta memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang

didalamnya memuat aturan mengenai pendidikan inklusif. Perda yang

dimaksud yaitu Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Sistem

Pendidikan.

- Peraturan Gubernur (Pergub)

Peraturan Gubernur (Pergub) yang mengatur penyelenggaraan pendidikan

inklusif di Provinsi DKI Jakarta yaitu Peraturan Gubernur Nomor 116

Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi.

- Kebijakan

- Program

Program pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi

DKI Jakarta berada di bawah koordinasi Bidang TK/SD/PLB. Program

tersebut dimasukkan ke dalam Program Pendidikan Luar Biasa yang

berisi program-program sebagai berikut107:

1. Pengembangan penyelenggaraan pendidikan inklusi

2. Pembinaan dan Pemberdayaan SD/SMP Model Inklusi

3. Pembinaan SLB sebagai Pusat Sumber Pendidikan Inklusi

107Dinas, Rencana Strategis.., h. 120

Page 207: Kamal fuadi fitk

4. Pembinaan Instruktur, Guru Pendamping dan Pembimbing (Guru SLB)

Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi

5. Pembinaan Kepala Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi

6. Pembinaan Pengawas TK/SD dalam Penyelenggaraan Inklusi

7. Biaya Operasional Pokja Inklusi

8. Biaya Operasional Penyelenggara Pendidikan Inklusi TK, SD, dan

SMP

9. Operasional Guru Pendamping Khusus untuk Sekolah Inklusi

10. Operasional Guru Pembimbing Khusus Sekolah Inklusi

Semua program yang dicanangkan oleh Bidang TK/SD/PLB terkait pendidikan

inklusif sudah terlaksana. Kepala Bidang TK/SD/PLB Dra. Septi Novida, M.Pd

menyatakan bahwa saat ini Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta sedang

berusaha meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan inklusif setelah

kuantitas sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif terpenuhi.

Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

dilaksanakan dengan menunjuk sekolah-sekolah reguler untuk

menyelenggarakan program pendidikan inklusif.

Penunjukkan sekolah-sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan

inklusif sudah ditetapkan dari pusat. Berdasarkan Surat Edaran Dirjen

Dikdasmen (Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah) No.

380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif,

setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya memiliki 4 (empat) sekolah yang

terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK108.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang

Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki

108Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal

Pendidikan Inklusif

Page 208: Kamal fuadi fitk

Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa disebutkan bahwa Pemerintah

Kabupaten/Kota menunjuk paling sedikit 1 (satu) Sekolah Dasar, dan 1 (satu)

Sekolah Menengah Pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan

pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib

menerima peserta didik berkebutuhan khusus109.

Sebagai Daerah Khusus Istimewa dan otonom, Provinsi DKI Jakarta

mengeluarkan peraturan khusus berupa Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor

116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Dalam Pergub

ini disebutkan bahwa setiap Kecamatan sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga)

TK/RA, SD/MI dan 1 (satu) SMP/MTs yang menyelenggarakan pendidikan

inklusi. Untuk tingkat SMA/SMK, MA/MAK, setiap Kotamadya sekurang-

kurangnya memiliki 3 (tiga) SMA/SMK, MA/MAK110. Pergub inilah yang

kemudian dijadikan acuan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta untuk

menunjuk sekolah-sekolah reguler dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif.

Berdasarkan Pergub tersebut, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

merealisasikannya dengan menunjuk sekolah-sekolah reguler untuk

menyelenggarakan pendidikan inklusif sejumlah 164 sekolah dari jenjang TK

hingga SMA. Penunjukkan sekolah-sekolah tersebut berdasarkan Keputusan

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor

1190/2010 Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, dan SMA/SMK

Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010111.

Sekolah-sekolah yang menyelenggarakan program pendidikan inklusif yaitu

sebagai berikut:

109Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 110Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 111Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 1190/2010

Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, dan SMA/SMK Penyelenggara Pendidikan Inklusif

di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010

Page 209: Kamal fuadi fitk

Tabel 1112

DAFTAR NAMA TK, SD, SMP, SMA/SMK NEGERI PENYELENGGARA

PENDIDIKAN INKLUSI

PROVINSI DKI JAKARTA

No Nama Sekolah Alamat Kecamatan

Taman Kanak-Kanak (TK)

1 TK Negeri Pembina Nasional Jl. Muchtar Raya Pesanggrahan

2 TK Negeri Cipete Jl. Cipete VII No. 70 Cilandak

3 TK Pembina Tingkat Provinsi

Jl. Bambu Duri X Pd

Bambu Duren Sawit

Sekolah Dasar (SD)

1 SDN Johar Baru 29 Jl. Percetakan Negara II Johar Baru

2 SDN Bendungan Hilir 01

Jl. Danau Toba

Pejompongan Tanah Abang

3 SDN Cempaka Putih Barat 16

Jl. Cempaka Putih Barat

19 Cempaka Putih

4 SDN Kartini 02 Jl. Gotong Royong Gg. E Sawah Besar

5 SDN Mangga Dua Selatan 01 Pg Jl. Melawai Dalam No. 1 Sawah Besar

6 SDN Pasar Baru 01 Pg Jl. Pintu Besi I/42 Sawah Besar

7 SDN Petamburan 01 Pg Jl. Petamburan IV Tanah Abang

8 SDN Bendungan Hilir 07 Jl. Danau Limboto No. 9 Tanah Abang

9 SDN Kenari 01 Jl. Kramat IV/25 Senen

10 SDN Bungur 01 Pg Jl. Angsana No. 4 Senen

11 SDN Kebon Sirih 01 Pg Jl. Kebon Sirih No. 29 Menteng

12 SDN Cikini 01 Pg Jl. Cidurian No. 2 A Menteng

13 SDN Cempaka Putih Timur 02 Jl. Rawasari Timur IV/2 Cempaka Putih

112Lampiran Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor

1190/2010 Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, dan SMA/SMK Penyelenggara

Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010 Tanggal 19-08-2010

Page 210: Kamal fuadi fitk

14 SDN Cempaka Putih Barat 07 Jl. Percetakan Negara Cempaka Putih

15 SDN Tanah Tinggi 11 Jl. Tanah Tinggi I/2 Johar Baru

16 SDN Johar Baru 10

Jl. Mardani Raya No. 12

A Johar Baru

17 SDN Cideng 11 Pt Jl. Cimalaya No. 1 Gambir

18 SDN Petojo Selatan 05 Jl. Petojo Encelek XIV Gambir

19 SDN Serdang 01 Pt Jl. Lapangan Poros Kemayoran

20 SDN Sumur Batu 07 Pt

Jl. Sumur Batu Utara No.

2 Kemayoran

21 SDN Kelapa Gading Timur 04

Komplek PT. HI Kelapa

Gading Kelapa Gading

22 SDN Merunda 02

Jl. Marundo Pulo Rt.

01/01 Cilincing

23 SDN Pluit 06

Jl. Komplek Nelayan

Muara Angke Rt. 01/01 Penjaringan

24 SDN Sungai Bambu 02 Pg Jl. Gadang No. 52 Tanjung Priok

25 SDN Cilincing 05 Pg

Jl. Baru Gg. II Rt. 011/02

No. 2 Cilincing

26 SDN Semper Barat 07 Pg Jl. Pepaya V No. 20 Cilincing

27 SDN Tugu Utara 12

Jl. Kramat Jaya Gg. 8

Blok R Koja

28 SDN Rawa Badak Selatan 11 Pg Jl. Bendungan Selatan Koja

29 SDN Penjaringan 11

Jl. Bandengan Utara No.

80 Penjaringan

30 SDN Kapuk Muara 03 Pg Jl. SMP Negeri 122 Penjaringan

31 SDN Sunter Jaya 07 Pg Jl. Sunter Jaya VI No. 31 Tanjung Priok

32 SDN Sunter Agung 04 Pt Jl. Agung Jaya No. 15 Tanjung Priok

33 SDN Ancol 03 Pg Jl. Kampung Muka Rt. Pademangan

Page 211: Kamal fuadi fitk

09-04

34 SDN Pademangan Barat 08 Pt Jl. Ampera VII Pademangan

35 SDN Pegangsaan Dua 03 Pg Jl. Kepu Pegangsaan Dua Kelapa Gading

36 SDN Slipi 18 Pg Jl. KS Tubun III Dalam Palmerah

37 SDN Sukabumi Selatan 07 Jl. Pos Pengumben Kebon Jeruk

38 SDN Meruya Selatan 06 Pg

Jl. Lapangan Jabek

Komp. Mega Kembangan

39 SDN Kembangan Utara 05 Pg Jl. Kampung Rt. 05/03 Kembangan

40 SDN Joglo 04 Pg

Jl. Komplek DKI Rt.

002/08 Kembangan

41 SDN Duri Kelapa 06 Pg Jl. Mangga XIV Rt. 06/04 Kebon Jeruk

42 SDN Kelapa Dua 04 Pg Jl. Inpres Rt. 004/05 Kebon Jeruk

43 SDN Jatipulo 08 Pg

Jl. Seroja No. 16 Rt.

004/01 Palmerah

44 SDN Kota Bambu Selatan 01 Pg

Jl. Komplek PJKA Pndk.

Bandung Palmerah

45 SDN Jembatan Besi 01 Pg

Jl. Jembatan Besi IX No.

31 Tambora

46 SDN Duri Utara 02 Pg Jl. Duri Utara I No. 1 Tambora

47 SDN Pinangsia 02 Pg Jl. Pinangsia I No. 20 Tamansari

48 SDN Krukut 03 Pg

Jl. KH. Zaenal Arifin No.

4 Tamansari

49

SDN Tanjung Duren Utara 01

Pg

Jl. Tanjung Duren Utara

III/3 Grogol

50 SDN Jelambar 03 Pg Jl. Jelambar Selatan XVI Grogol

51 SDN Pegadungan 11 Pg Jl. Peta Utara No. 10 Kalideres

52 SDN Kamal 02 Pg Jl. Kebon 200 Rt. 03/06 Kalideres

53 SDN Cengkareng Timur 01 Pg Jl. Daan Mogot Km. 14 Cengkareng

Page 212: Kamal fuadi fitk

54 SDN Rawa Buaya 03 Pg Jl. Al Barkah Rt. 001/03 Cengkareng

55 SDN Menteng Atas 04 Jl. Dr. Saharjo 121 Setiabudi

56 SDN Cipete Utara 12 Pg Jl. Kirai Ujung Kebayoran Baru

57 SDN Lebak Bulus 02 Pg Jl. Pertanian Raya No. 59 Cilandak

58 SDN Lebak Bulus 03 Pg Jl. Pertanian III No. 88 Cilandak

59 SDN Lebak Bulus 06 Pg Jl. Gunung Balong Cilandak

60 SDN Cipete Selatan 04 Jl. Anggus II Cilandak

61 SDN Pela Mampang 01 Pg Jl. Bangka II Gg. IV

Mampang

Prapatan

62 SDN Pejaten Timur 15 Pg Jl. Siaga Dharma VIII Pasar Minggu

63 SDN Ragunan 11 Pg Jl. Harsono RM Pasar Minggu

64 SDN Pondok Labu 01 Pg Jl. RS Fatmawati Cilandak

65 SDN Gandaria Selatan 01 Pg Jl. Teladan No. 3 Cilandak

66 SDN Pesanggrahan 03 Pg Jl. Kodam Pesanggrahan

67 SDN Petukangan Selatan 05 Jl. Inpres Rt. 0014/02 Pesanggrahan

68 SDN Grogol Selatan 03 Jl. Raya Kebayoran Lama Pesanggrahan

69 SDN Grogol Utara 09 Pagi Jl. Kemandoran I

Kebayoran

Lama

70 SDN Pulo 05 Pg Jl. Jembatan Selatan Kebayoran Baru

71 SDN Gandaria Utara 11 Pagi Jl. BRI Radio Dalam Kebayoran Baru

72 SDN Pancoran 05 Pg Jl. Pancoran Timur II Pancoran

73 SDN Pengadegan 08 Pagi Jl. Pengadegan Barat XIII Pancoran

74 SDN Kuningan Barat 03 Pagi Jl. PLN Kuningan Barat

Mampang

Prapatan

75 SDN Mampang Prapatan 05 Pg

Jl. Kapten Tendean Gg.

Kamboja

Mampang

Prapatan

76 SDN Karet Kuningan 03 Pagi Jl. Genteng Ijo No. 1 Setiabudi

77 SDN Setiabudi 01 Jl. Setiabudi Barat No. 8 Setiabudi

Page 213: Kamal fuadi fitk

78 SDN Cipedak 03 Pagi Jl. Timbul Rt. 007/05 Jagakarsa

79 SDN Lenteng Agung 07 Pagi Jl. Raya Depok Gg. Subur Jagakarsa

80 SDN Gedong 04

Jl. Raya Condet Rt.

012/03 Pasar Rebo

81 SDN Kramatjati 24 Jl. Langgar Rt. 008/10 Kramatjati

82 SDN Kebon Pala 03 Pagi Jl. Raya Condet Makasar

83 SDN Batu Ampar 04 Jl. Batu Ampar III Kramatjati

84 SDN Gedong 12

Jl. Raya Condet Gg.

Masjid Pasar Rebo

85 SDN Gedong 03 Jl. Raya Condet Pasar Rebo

86 SDN Cipinang Muara 24 Pt Jl. Cipinang Muara Jatinegara

87 SDN Cipayung 09 Pt Jl. SMU 64 Cipayung Cipayung

88 SDN Cakung Barat 18 Pt Jl. Raya Bekasi Km. 23 Cakung

89 SDN Jatinegara 05 Pg Jl. Raya Bekasi Km. 17 Cakung

90 SDN Jatinegara Kaum 03 Pg Jl. Raya Bekasi Km. 18 Pulo Gadung

91 SDN Pisangan Timur 16 Pt Jl. Mugeni I Pulo Gadung

92 SDN Rawabunga 16 Pg Jl. Jatinegara Timur IV Jatinegara

93 SDN Bidaracina 04 Pt Jl. Setia No. 10 Jatinegara

94 SDN Pisangan Baru 02 Pg

Jl. Jenderal A. Yani No.

30 Matraman

95 SDN Pisangan Baru 10 Pt Jl. Pisangan Baru I Matraman

96 SDN Pondok Bambu 03 Pg Jl. Pahlawan Revolusi Duren Sawit

97 SDN Klender 17 Pt Jl. Pertanian Utara Duren Sawit

98 SDN Ciracas 13 Pt Jl. Kramat Rt. 12/10 Ciracas

99 SDN Susukan 13 Pt Jl. Makmur IV Rt. 009/02 Ciracas

100 SDN Cawang 06 Pt Jl. Dewi Sartika No. 200 Kramat Jati

101 SDN Dukuh 02 Pt

Jl. Raya Pondok Gede Rt.

001/01 Kramat Jati

Page 214: Kamal fuadi fitk

102 SDN Kebon Pala 08 Pt Jl. Permata Rt. 07/005 Makasar

103 SDN Kebon Pala 15 Pg Jl. SD Inpres Rt. 003/04 Makasar

104 SDN Cijantung 09 Pt

Jl. Gongseng Raya Rt.

010/01 Pasar Rebo

105 SDN Kalisari 10 Pt Jl. Kalisari Rt. 006/02 Pasar Rebo

106 SDN Ceger 03 Pt Jl. SMP 222 Rt. 05/02 Cipayung

107 SDN Lubang Buaya 02 Pt Jl. Yusufiah Rt. 010/01 Cipayung

108 SDN Cijantung 01 Jl. Pertengahan Pasar Rebo

109 SDN Kramat Jati 01 Jl. Masjid Al Amin Kramatjati

110 SDN Kramat Jati 16 Jl. Langgar Rt. 008/010 Kramatjati

111 SDN Rambutan 01 Jl. HM. Sabar No. 49 Ciracas

112 SDN Cilangkap 01 Jl. Mabes ABRI Cipayung

113 SDN Halim Perdanakusuma 01 Jl. Halim Golf Makasar

114 SDN Cipayung 02

Jl. Komp. Perwira TNI

AD Cipayung

115 SDN Kebon Pala 01 Pagi Jl. Cakrawala No 01 Makasar

116 SDN Balimester 01

Jl. Matraman Raya No.

226 Jatinegara

117 SDN Kampung Melayu 02 Pt Jl. Kebon Pala I No. 34 Jatinegara

118

SDN Cipinang Besar Utara 01

Pg Jl. Bekasi Timur IV No. 1 Jatinegara

119 SDN Duren Sawit 01 Pagi Jl. Kelurahan I Duren Sawit

120 SDN Klender 03 Pagi Jl. Raden Inten II Buaran Duren Sawit

Sekolah Menengah Pertama (SMP)

1 SMPN 118 Jl. Pramuka Sari I Cempaka Putih

2 SMPN 183 Jl. Cempaka Baru VII/47 Kemayoran

3 SMPN 269

Jl. Harapan Mulia

Kemayoran Cempaka Putih

Page 215: Kamal fuadi fitk

4 SMPN 4 Jl. Perwira No. 10-11 Sawah Besar

5 SMPN 70 Jl. H. Awaludin IV Tanah Abang

6 SMPN 42 Jl. Pademangan Timur 3 Pademangan

7 SMPN 120

Jl. Kamal Muara Raya

No. 9 Penjaringan

8 SMPN 122 Jl. SMP 122 Penjaringan Penjaringan

9 SMPN 114

Jl. HM. Darpi Plum

Semper Koja

10 SMPN 266 Jl. Cilincing Batik VI Cilincing

11 SMPN 270

Jl. Kompi Udin Rt. 01/01

Pgangs Dua Kelapa Gading

12 SMPN 264

Jl. Barkah I Rt. 001/03

Rawa Buaya Cengkareng

13 SMPN 191

Jl. Duta Raya Kebon

Jeruk Kebon Jeruk

14 SMPN 248

Jl. Kamal Raya

Cengkareng Timur Cengkareng

15 SMPN 207 Jl. Meruya Utara Kembangan

16 SMPN 63 Jl. Perniagaan No. 31 Tambora

17 SMPN 271

Jl. Pahlawan Sukabumi

Selatan VI/F1 Kebon Jeruk

18 SMPN 226 Jl. Kayu Kapur No. 2 Pondok Labu

19 SMPN 240 Jl. H. Raya No. 16 B Gandaria Utara

20 SMPN 235 Jl. Pondok Indah Pesanggrahan

21 SMPN 16

Jl. Palmerah Barat 59

Grogol Utara

Kebayoran

Lama

22 SMPN 276 Jl. Srengseng Sawah Jagakarsa

23 SMPN 15 Jl. Profesor Supomo Tebet

Page 216: Kamal fuadi fitk

Menteng

24 SMPN 223 Jl. Surilang No. 6 Pasar Rebo

25 SMPN 36 Jl. Pedati Jatinegara

26 SMPN 62 Jl. Jatinegara Timur IV Jatinegara

27 SMPN 259 Jl. Komplek TMII Cipayung

28 SMPN 165 Jl. Balai Rakyat III/16 Duren Sawit

29 SMPN 287 Jl. Balai Rakyat III/16 Makasar

30 SMPN 90

Jl. Raya Bekasi Km. 18

Jatinegara Cakung

31 SMPN 232

Jl. Gading Raya No. 16

Pisang Timur Pulo Gadung

Sekolah Menengah Atas (SMA)/Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

1 SMA Negeri 5 Jl. Raya Sumur Batu Kemayoran

2 SMK Negeri 27 Jl. Dr. Sutomo No. 1 Senen

3 SMA Negeri 40

Jl. Budi Mulia Raya

Pademangan Pademangan

4 SMK Negeri 33

Jl. Gading Timur Kelapa

Gading Kelapa Gading

5 SMA Negeri 112

Jl. Senggrehan Meruya

Utara Kembangan

6 SMK Negeri 13 Jl. Rawa Belong II E Palmerah

7 SMA Negeri 66

Jl. Bango III Pondok

Labu Cilandak

8 SMK Negeri 30 Jl. Pakubuwono 6 Kebayoran Baru

9 SMA Negeri 54 Jl. Jatinegara Timur IV Jatinegara

10 SMK Negeri 58

Jl. SMIK Bambu Apus

TMII Cipayung

Page 217: Kamal fuadi fitk

Sebagai Daerah Khusus Istimewa dan daerah otonom, Provinsi DKI Jakarta

telah mengeluarkan peraturan daerah dalam bentuk Peraturan Gubernur Nomor

116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi. Secara umum,

tidak ada perbedaan antara Pergub tersebut dengan peraturan-peraturan di

atasnya seperti Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009

Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan

Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Kedua peraturan

tersebut secara teknis memberikan ketentuan-ketentuan umum mengenai

pelaksanaan pendidikan inklusif.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional berlaku secara nasional, sedangkan

Peraturan Gubernur berlaku hanya di Provinsi DKI Jakarta. Yang membedakan

keduanya yaitu pada penunjukkan sekolah-sekolah reguler yang

menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Dalam Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa Pemerintah

Kabupaten/Kotamadya menunjuk paling sedikit 1 (satu) Sekolah Dasar dan 1

(satu) Sekolah Menengah Pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan

pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib

menerima peserta didik berkebutuhan khusus. Adapun dalam Peraturan

Gubernur disebutkan bahwa setiap Kecamatan sekurang-kurangnya memiliki 3

(tiga) TK/RA dan SD/MI dan 1 (satu) SMP/MTs yang menyelenggarakan

pendidikan inklusi. Untuk tingkatan SMA/SMK atau MA/MAK, setiap

kotamadya sekurang-kurangnya memiliki 3 (tiga) SMA/SMK atau MA/MAK

yang menyelenggarakan pendidikan inklusif.

Di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta telah terdapat sejumlah

164 sekolah yang ditunjuk untuk menyelenggarakan program pendidikan

inklusif dari mulai tingkat SD hingga SMA. Jumlah TK penyelenggara program

pendidikan inklusif berjumlah 3 sekolah. SD yang menyelenggarakan program

pendidikan inklusif berjumlah 120 sekolah. SMP yang menyelenggarakan

Page 218: Kamal fuadi fitk

program pendidikan inklusif berjumlah 31 sekolah. Di tingkat SMA/SMK,

jumlah penyelenggara program pendidikan inklusif mencapai 10 sekolah.

Secara terperinci, sebaran sekolah-sekolah penyelenggara program pendidikan

inklusif di masing-masing kecamatan se-Provinsi DKI Jakarta adalah sebagai

berikut:

Tabel 2

Sebaran Sekolah Inklusif di Provinsi DKI Jakarta

No Kecamatan Kotamadya/Kabupaten Sekolah Inklusif

TK SD SMP SMA/SMK

1 Gambir Jakarta Pusat - 2 - -

2 Tanah Abang Jakarta Pusat - 3 1 -

3 Menteng Jakarta Pusat - 2 - -

4 Senen Jakarta Pusat - 2 - 1

5 Cempaka

Putih Jakarta Pusat - 3 2 -

6 Johar Baru Jakarta Pusat - 3 - -

7 Kemayoran Jakarta Pusat - 2 1 1

8 Sawah Besar Jakarta Pusat - 3 1 -

Jumlah - 20 5 2

9 Tamansari Jakarta Barat - 2 - -

10 Tambora Jakarta Barat - 2 1 -

11 Palmerah Jakarta Barat - 3 - 1

12 Grogol

Petamburan Jakarta Barat - 2 - -

13 Kebon Jeruk Jakarta Barat - 3 2 -

14 Kembangan Jakarta Barat - 3 1 1

15 Cengkareng Jakarta Barat - 2 2 -

Page 219: Kamal fuadi fitk

16 Kalideres Jakarta Barat - 2 - -

Jumlah - 19 6 2

17 Kebayoran

Baru Jakarta Selatan - 3 1 1

18 Kebayoran

Lama Jakarta Selatan - 1 1 -

19 Pesanggrahan Jakarta Selatan 1 2 1 -

20 Cilandak Jakarta Selatan 1 6 1 1

21 Pasar Minggu Jakarta Selatan - 2 - -

22 Jagakarsa Jakarta Selatan - 2 1 -

23 Mampang

Prapatan Jakarta Selatan - 2 - -

24 Pancoran Jakarta Selatan - 2 - -

25 Tebet Jakarta Selatan - - 1 -

26 Setiabudi Jakarta Selatan - 2 - -

Jumlah 2 22 6 2

27 Matraman Jakarta Timur - 2 - -

28 Pulo Gadung Jakarta Timur - 2 1 -

29 Jatinegara Jakarta Timur - 5 2 1

30 Duren Sawit Jakarta Timur 1 4 1 -

31 Kramat Jati Jakarta Timur - 4 - -

32 Makasar Jakarta Timur - 5 - -

33 Pasar Rebo Jakarta Timur - 6 1 -

34 Ciracas Jakarta Timur - 3 - -

35 Cipayung Jakarta Timur - 5 1 1

36 Cakung Jakarta Timur - 2 1 -

Jumlah 1 38 7 2

37 Cilincing Jakarta Utara - 3 1 -

Page 220: Kamal fuadi fitk

38 Koja Jakarta Utara - 2 1 -

39 Kelapa

Gading Jakarta Utara - 2 1 1

40 Tanjung Priok Jakarta Utara - 3 - -

41 Pademangan Jakarta Utara - 2 1 1

42 Penjaringan Jakarta Utara - 3 2 -

Jumlah - 15 6 2

43 Kepulauan

Seribu Utara Kepulauan Seribu - - - -

44 Kepulauan

Seribu Selatan Kepulauan Seribu - - - -

Jumlah - - - -

Jumlah Total 3 120 31 10

Provinsi DKI Jakarta memiliki 5 Kotamadya dan 1 Kabupaten yang terdiri dari

44 Kecamatan113. Tabel di atas menunjukkan sebaran sekolah-sekolah yang

ditunjuk sebagai penyelenggara program pendidikan inklusif di kecamatan-

kecamatan yang terdapat di Provinsi DKI Jakarta. 164 sekolah penyelenggara

program pendidikan inklusif hanya tersebar di 5 Kotamadya di Provinsi DKI

Jakarta yaitu Kotamadya Jakarta Pusat, Kotamadya Jakarta Barat, Kotamadya

Jakarta Selatan, Kotamadya Jakarta Timur, dan Kotamadya Jakarta Utara. Di 2

kecamatan, yaitu Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan

Kepulauan Seribu Selatan tidak terdapat satu sekolah pun yang

menyelenggarakan program pendidikan inklusif.

Tidak semua kecamatan memiliki TK penyelenggara program pendidikan

inklusif. Jumlah TK yang ditunjuk Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

113Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, dari

http://www.depdagri.go.id/media/filemanager/2010/01/29/1/1/11__dki_jakarta.pdf, 23 Januari 2011

Page 221: Kamal fuadi fitk

hanya berjumlah 3 TK yang terdapat di Kecamatan Pesanggrahan dan

Kecamatan Cilandak. Kedua Kecamatan tersebut terdapat di Kotamadya Jakarta

Selatan. Satu TK lagi terdapat di Kecamatan Duren Sawit Kotamadya Jakarta

Timur.

Jumlah SD penyelenggara program pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

sebanyak 120 sekolah. Jumlah tersebut tersebar di 41 Kecamatan dari jumlah

total 44 Kecamatan yang terdapat di Provinsi DKI Jakarta. 3 Kecamatan yang

tidak memiliki SD yaitu Kecamatan Tebet Kotamadya Jakarta Selatan,

Kecamatan Kepulauan Seribu Utara Kabupaten Kepulauan Seribu, dan

Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan.

Di tingkat SMP, sebaran sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif

hampir merata di setiap Kecamatan karena tidak setiap Kecamatan memiliki

sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif di tingkat SMP. Di

Kotamadya Jakarta Pusat yang memiliki 8 Kecamatan, terdapat 5 SMP

penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 4 Kecamatan.

Kotamadya Jakarta Barat yang memiliki 8 Kecamatan, terdapat 6 SMP

penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 4 Kecamatan.

Kotamadya Jakarta Selatan yang memiliki 10 Kecamatan, terdapat 6 SMP

penyelenggara program pendidikan inklusif yang tersebar di 6 Kecamatan. Di

Kotamadya Jakarta Timur, SMP penyelenggara program pendidikan inklusif

berjumlah 7 sekolah yang tersebar di 6 Kecamatan dari 10 Kecamatan yang

terdapat di Kotamadya Jakarta Timur. Adapun di Kotamadya Jakarta Utara

yang memiliki 6 Kecamatan terdapat 6 SMP penyelenggara program

pendidikan inklusif yang tersebar di 5 Kecamatan.

Dengan demikian, 120 SMP penyelenggara program pendidikan inklusif

tersebut tersebar di 25 Kecamatan dari total 44 Kecamatan yang terdapat di

Page 222: Kamal fuadi fitk

Provinsi DKI Jakarta. Sehingga terdapat 19 Kecamatan di Provinsi DKI Jakarta

yang tidak memiliki SMP penyelenggara program pendidikan inklusif.

Di tingkat SMA/SMK terdapat 10 sekolah penyelenggara program pendidikan

inklusif. 10 SMA/SMK tersebut tersebar di 10 Kecamatan di 5 Kotamadya.

Masing-masing Kotamadya memiliki 2 SMA/SMK penyelenggara program

pendidikan inklusif. Dengan demikian, terdapat 34 Kecamatan yang tidak

memiliki SMA/SMK penyelenggara program pendidikan inklusif.

2. Implementasi Kebijakan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Provinsi

DKI Jakarta

Implementasi kebijakan-kebijakan yang terkait penyelenggaraan pendidikan

inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dapat

dikelompokkan menjadi:

h. Kesiswaan

Kebijakan yang terkait dengan kesiswan pendidikan inklusif dilaksanakan

dengan menerima semua kategori anak-anak berkebutuhan khusus. Dalam

implementasi di lapangan, tidak serta semua jenis kebutuhan khusus yang

dimiliki peserta didik dapat diterima di sekolah reguler. Proses skrining dan

assesment selalu dilakukan sebelum peserta didik berkebutuhan khusus

masuk di sekolah reguler. Dra. Septi Novida, M.Pd sendiri menyatakan

bahwa:

“…Sampai saat ini memang hanya kasus-kasus tertentu yang dapat

tertampung di sekolah-sekolah inklusif. Biasanya anak A yang banyak

masuk di sekolah-sekolah inklusif, anak B masih jarang ditemukan karena

faktor komunikasi yang menyulitkan. Kasus anak C yang lambat belajar

juga masih jarang ditemukan. Anak-anak berkebutuhan khusus yang

memiliki kekurangan dalam hal fisik, misalnya anak-anak yang memakai

Page 223: Kamal fuadi fitk

kursi roda juga masih jarang ditemukan yang masuk ke sekolah-sekolah

inklusif…”114

Pada kenyataan yang terjadi di lapangan, sekolah pada prinsipnya menerima

semua jenis kebutuhan khusus yang terdpat dalam diri calon peserta didik.

Guru program inklusi SMP Negeri 223 Pasar Rebo memberikan pemaparan

bahwa:

“…Pada prinsipnya kami menerima semua jenis anak-anak berkebutuhan

khusus. Namun memang kami harus melakukan identifikasi agar anak-

anak berkebutuhan khusus yang memiliki kekurangan ekstrem tidak serta

merta kami terima sebagai siswa di sini. Kalau anak-anak berkebutuhan

khusus tersebut dianggap mampu mengikuti proses pembelajaran, maka

mereka kami terima sebagai siswa, namun jika mereka tidak dapat

mengikuti proses pembelajaran maka mereka kami arahkan untuk masuk

ke SLB dan disitu ada pendidikan secara khusus. Kalau di sekolah reguler

seperti ini kan semuanya harus mengikuti pendidikan yang sama,

kalaupun anak-anak berkebutuhan khusus tersebut harus ditangani secara

khusus maka kami sudah menyiapkan program pembelajaran khusus bagi

mereka. Selain itu, di sekolah reguler juga tidak banyak terdapat tenaga

pendidikan khusus yang dapat menangani pembelajaran khusus bagi

anak-anak berkebutuhan khusus...”115

Berkaitan dengan penerimaan peserta didik berkebutuhan khusus, manajer

program inklusi SMA Negeri 66 Cilandak menyatakan bahwa:

“…Pada dasarnya kami menerima semua jenis kebutuhan khusus yang

dimiliki peserta didik. Hanya saja memang tidak serta merta mereka yang

berkebutuhan khusus dapat masuk menjadi peserta didik, karena tidak

mungkin kami menerima anak-anak berkebutuhan khusus dengan

kekurangan-kekurangan yang ekstrem. Kami pun tidak serta merta

menerima mereka yang sebelumnya bersekolah di SLB. Pada saat

penerimaan pun kami mewajibkan orang tua-orang tua yang anaknya

berkebutuhan khusus untuk datang ke sekolah menemui kami untuk kami

jelaskan mengenai bagaimana anak-anak mereka kami tangani di sekolah.

Kalau para orang tua tersebut menyanggupi agar anak-anak mereka

114Wawancara dengan Septi Novida 115Wawancara dengan Sukarto

Page 224: Kamal fuadi fitk

bersekolah di sini, kami menyiapkan perjanjian di atas kertas mengenai

apa saja yang harus mereka penuhi ketika anak-anak mereka yang

berkebutuhan khusus bersekolah di sini…”116

Pada saat masa Penerimaan Siswa Baru (PSB), jalur penerimaan peserta

didik berkebutuhan khusus tidak sama dengan peserta didik reguler lainnya.

Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Manajer Program Inklusi SMA Negeri

66 Cilandak:

“…Kebijakan lain yaitu mengenai adanya jalur penerimaan yang

diperuntukkan secara khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus

dimana mereka yang berkebutuhan khusus ketika mendaftarkan diri di

sekolah maka penerimaannya tidak disamakan dalam hal ujian masuk dan

persyaratan-persyaratan lainnya…”117

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009

disebutkan bahwa penerimaan peserta didik berkelainan dan/atau peserta

didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa pada satuan

pendidikan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah. Satuan

pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif mengalokasikan kursi peserta

didik yang memiliki kelainan paling sedikit 1 (satu) peserta didik dalam 1

(satu) rombongan belajar yang akan diterima. Apabila dalam waktu yang

telah ditentukan, alokasi peserta didik tidak terpenuhi, satuan pendidikan

dapat menerima peserta didik normal118.

Di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, satuan pendidikan

penyelenggara program pendidikan inklusif hanya menerima maksimal 2

(dua) peserta didik yang memiliki kelainan atau kebutuhan khusus dalam 1

(satu) rombongan belajar. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Dra. Septi

Novida, M.Pd:

116Wawancara dengan Suparno 117Wawancara dengan Suparno 118Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009, Pasal 5

Page 225: Kamal fuadi fitk

“…Kami sendiri memiliki kebijakan agar anak-anak berkebutuhan khusus

dalam satu kelas tidak lebih dari 2 orang sehingga guru sendiri tidak

kerepotan dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus…”119

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dengan sekolah-sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif telah merencanakan program identifikasi

kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengetahui kondisi dan

kebutuhan mereka. Identifikasi dilakukan melalui proses skrining atau

assesment yang bertujuan agar pada saat pembelajaran di kelas, bentuk

intervensi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus merupakan bentuk

intervensi pembelajaran yang sesuai bagi mereka. Assesment yang dimaksud

yaitu proses kegiatan untuk mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap

peserta didik dalam segi perkembangan kognitif dan perkembangan sosial

melalui pengamatan yang sensitif120.

Selain itu, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta juga memberikan subsidi

beasiswa bagi peserta didik berkebutuhan khusus yang terdapat pada

sekolah-sekolah yang telah ditunjuk untuk menyelenggarakan program

pendidikan inklusif. Daftar sekolah yang menerima subsidi beasiswa sebagai

berikut:

Tabel 3121

Daftar Nama Sekolah Inklusif Penerima Subsidi Beasiswa

Tahun Anggaran 2010

No Nama Sekolah Alamat Wilayah Jumlah

Peserta

Beasiswa /1

Tahun

119Wawancara dengan Septi Novida 120Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi,

(Bandung: PT. Refika Aditama, 2006), h. 1 121Lampiran I Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta Nomor 1449/2010

Tanggal 13 Oktober 2010

Page 226: Kamal fuadi fitk

Didik

1 SDN Cempaka

Putih Barat 16

PG

Jl. Cempaka Putih

Barat XIX

Pusat 30 3.600.000

2 SD Johar Baru 29

PG

Jl. Percetakan

Negara II A

Pusat 23 2.760.000

3 SDN Kartini 02

Petang

Jl. Gotong Royong

Gg. E

Pusat 12 1.440.000

4 SDN Bendhil 01

PG

Jl. Danau Toba

Pejompongan

Pusat 22 2.640.000

5 SDN Kelapa

Gading Timur 04

PG

Jl. Komplek PT.

HII

Utara 23 2.760.000

6 SDN Sungai

Bambu 02 PG

Jl. Gadang No. 52 Utara 26 3.120.000

7 SDN Marunda 02

PAGI

Jl. Marunda Pulo

Rt. 003/07

Marunda

Utara 71 8.520.000

8 SDN SLIPI 18

PAGI

Jl. KS Tubun III

Dalam

Barat 57 6.840.000

9 SD Negeri

Meruya Selatan

06 Pagi

Jl. Lap. Jabek

Komp. Mega

Barat 66 7.920.000

10 SDN Palmerah

24 Pagi

Jl. Rawa Belong II

E Rt. 06/10 No.

153

Barat 50 6.000.000

11 SDN Lebak

Bulus 03

Jl. Pertanian III/58 Selatan 14 1.680.000

Page 227: Kamal fuadi fitk

12 SDN Lebak

Bulus 06 Pagi

Jl. Gunung Balong

Lebak Bulus

Selatan 10 1.200.000

13 SDN Cipete

Selatan 08 PT

Jl. Anggur II

Komplek BRI

Cilandak

Selatan 18 2.160.000

14 SDN Menteng

Atas 04 PG

Jl. Dr. Sahardjo

No. 121 Menteng

Atas

Selatan 32 3.840.000

15 SDN Cipete

Selatan 04

Jl. Anggur II

Komplek BRI

Cilandak

Selatan 14 1.680.000

16 SDN Cipete

Utara 12 PG

Jl. Kirai Ujung Selatan 32 3.840.000

17 SDN Lebak

Bulus 02 PAGI

Jl. Pertanian Raya

No. 59 Lebak

Bulus

Selatan 23 2.760.000

18 SDN Pela

Mampang 01

PAGI

Jl. Bangka II Gg V

Rt 10/02

Selatan 24 2.880.000

19 SDN Kebon Pala

03

Jl. Jengki Cip.

Asem Kebon Pala

Timur 50 6.000.000

20 TK Negeri

Pembina DKI

Jl. Bambu Duri X

Pd. Bambu

Timur 10 1.200.000

21 SDN Gedong 04

Pagi

Jl. Raya Condet

Gedong

Timur 24 2.880.000

22 SDN Gedong 12

Pagi

Jl. Raya Condet

Gg. Pembangunan

II

Timur 35 4.200.000

Page 228: Kamal fuadi fitk

23 SDN Cijantung

01 Pagi

Jl. Pertengahan Rt.

06/07 Cijantung

Timur 25 3.000.000

24 SDN Gedong 03

Pagi

Jl. Raya Condet

Gedong

Timur 31 3.720.000

25 SDN Kramat Jati

24 Pagi

Jl. Kerja Bakti Rt.

003/09 No. 40

Timur 40 4.800.000

26 SDN Kramat Jati

16 Pagi

Jl. Langgar Rt.

008/10

Timur 27 3.240.000

27 SDN Cipayung

09 PTG

Jl. SMAN 64 Rt.

005/02

Timur 26 3.120.000

i. Kurikulum

Kurikulum yang digunakan dalam proses pembelajaran pendidikan inklusif

sama dengan kurikulum yang digunakan dalam proses pembelajaran

pendidikan inklusif karena program pendidikan inklusif dilaksanakan di

sekolah-sekolah reguler.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009

disebutkan bahwa satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif

menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengakomodasi

kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat, minat, dan

potensinya122. Dalam Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007

disebutkan bahwa kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan

pendidikan inklusi adalah kurikulum yang berlaku yang disesuaikan dengan

kebutuhan khusus masing-masing peserta didik berkebutuhan khusus123.

122Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 123Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi

Page 229: Kamal fuadi fitk

Mengenai kurikulum pada program pendidikan inklusif, Dra. Septi Novida,

M.Pd menyatakan bahwa:

“…Kebijakan mengenai kurikulum sama dengan kebijakan kurikulum

yang diselenggarakan di sekolah reguler atau dengan kata lain kebijakan

kurikulum pendidikan inklusif mengikuti kurikulum yang sudah ada.

Kurikulum itu bersifat fleksibel. Contoh penyelenggaraan pendidikan

inklusif yaitu pendidikan yang terdapat dalam film Laskar Pelangi dimana

Harun sebagai anak yang mentally retarded diberikan treatment khusus

yang disesuaikan dengan kondisi Harun yang tidak sama dengan anak-

anak normal lainnya yang berada di kelas…”124

Berkaitan dengan kurikulum pendidikan inklusif, guru SMP Negeri 223

Pasar Rebo menyatakan:

“…Secara umum kurikulum bagi anak-anak berkebutuhan khusus adalah

sama dengan anak-anak reguler. kalau ada kasus-kasus tertentu dalam

kurikulum maka kami adakan modifikasi pada kurikulum agar dapat

memenuhi kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus…”125

Manajer program inklusi SMA Negeri 66 menyatakan bahwa:

“…Tidak ada kurikulum khusus yang kami rancang untuk anak-anak

berkebutuhan khusus, karena anak-anak berkebutuhan khusus yang

bersekolah di sini rata-rata malah anak-anak yang memiliki prestasi.

Namun kami selalu menyiapkan modifikasi agar anak-anak berkebutuhan

khusus yang membutuhkan layanan khusus dapat terbantu…”126

Sebagaimana dikemukakan di atas, kurikulum yang digunakan dalam

penyelenggaraan program pendidikan inklusif adalah kurikulum yang

digunakan di sekolah-sekolah reguler, karena peserta didik berkebutuhan

khusus belajar di ruang kelas yang sama seperti halnya anak-anak reguler

yang tidak digolongkan ke dalam peserta didik berkebutuhan khusus.

124Wawancara dengan Septi Novida 125Wawancara dengan Sukarto 126Wawancara dengan Suparno

Page 230: Kamal fuadi fitk

Kurikulum yang digunakan saat ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan

Pendidikan (KTSP). Jika memang diperlukan, pihak sekolah melakukan

modifikasi terhadap kurikulum sesuai dengan kebutuhan peserta didik

berkebutuhan khusus di kelas.

j. Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta, Dinas

Pendidikan Provinsi DKI Jakarta menyiapkan tenaga pendidik agar dapat

memahami konsep dan pelaksanaan pendidikan inklusif yang benar.

Penyiapan tenaga pendidikan tersebut dilakukan dengan cara mengadakan

pelatihan kepada guru-guru sekolah penyelenggara program pendidikan

inklusif. Pelatihan ini dilaksanakan bekerjasama dengan LSM Hellen Keller

Internasional (HKI) yang memiliki konsen, salah satunya, dalam pendidikan

inklusif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi Novida, yaitu:

“…Kebijakan mengenai tenaga pendidik sendiri hingga sekarang kami

melakukan pemberdayaan guru-guru di sekolah reguler agar dapat

memahami konsep inklusif sehingga mereka dapat melayani anak-anak

berkebutuhan khusus. Hingga kini memang kami sedang berusaha agar

pengetahuan mengenai pendidikan inklusif dapat dipahami dengan baik

oleh para pendidik, terutama mereka yang terlibat dalam penyelenggaraan

program pendidikan inklusif. Kami sendiri memiliki kebijakan agar anak-

anak berkebutuhan khusus dalam satu kelas tidak lebih dari 2 orang

sehingga guru sendiri tidak kerepotan dalam menangani anak-anak

berkebutuhan khusus. Tugas guru GPK nantinya adalah membantu anak-

anak berkebutuhan khusus agar dapat mengikuti pembelajaran…Kami

sendiri menjalin kerjasama dengan Hellen Keller Internasional (HKI)

sejak tahun 2003 dimana kami dengan HKI menyelenggarakan pelatihan

untuk guru-guru di sekolah reguler agar dapat melayani dan membimbing

anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler penyelenggara

program pendidikan inklusif…”127

Pihak Hellen Keller Internasional (HKI) sendiri menyatakan bahwa:

127Wawancara dengan Septi Novida

Page 231: Kamal fuadi fitk

“…Sejak tahun 2003 HKI menjalin kerjasama dengan Dinas Pendidikan

Provinsi DKI Jakarta. Kerjasama yang kami jalin yaitu dalam pendidikan

program pendidikan inklusif. Di HKI program ini masuk ke dalam

program Opportunities for Vulnerable Children (OVC)… kami juga

mengadakan pelatihan untuk guru-guru dengan mengundang guru-guru

sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif. Namun pelatihan ini

Cuma beberapa kali saja kami adakan. Pelatihan untuk guru lebih banyak

kami adakan di sekolah-sekolah model pendidikan inklusif…”128

Selain mengadakan pelatihan bagi guru-guru sekolah penyelenggara

program pendidikan inklusif, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta juga

menunjuk beberapa guru SLB (Sekolah Luar Biasa) di lingkungan Dinas

untuk menjadi GPK (Guru Pembimbing Khusus) yang mendampingi

pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah reguler. Dra. Septi Novida, M.Pd

menyatakan:

“…kami juga menunjuk beberapa guru di SLB untuk berperan sebagai

Guru Pembimbing Khusus (GPK) guna mendampingi anak-anak

berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggara program pendidikan

inklusif. Memang kondisi GPK sejak 2003 sudah ditunjuk beberapa orang

guru untuk bisa membantu sekolah-sekolah reguler dalam

menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Namun semakin ke sini

jumlah mereka semakin menyusut karena status mereka adalah guru

honorer. Kondisi kehidupan yang seperti sekarang ditambah dengan

status guru honorer yang mereka sandang, kalau tidak berangkat dari hati

nurani maka sulit bagi mereka untuk tetap bertahan, apalagi kebanyakan

dari mereka masih memiliki status sebagai mahasiswa yang sekarang

sudah sarjana dan akhirnya memutuskan untuk bertugas di tempat lain.

Berbeda dengan guru-guru yang berstatus PNS yang sampai sekarang

masih bertahan sebagai GPK…”129

Guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo menyatakan bahwa:

“…Pendidik dan tenaga kependidikan yang menanganai pelaksanaan

pendidikan inklusif sama dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang

menangani pendidikan reguler. Tidak banyak pendidik dan tenaga

pendidikan yang memang secara khusus menangani pelaksanaan

128Wawancara dengan Fitri 129Wawancara dengan Septi Novida

Page 232: Kamal fuadi fitk

pendidikan inklusif, karena sekolah ini dari awal pelaksanaan program

pendidikan inklusif sudah ditunjuk, maka kami pun belajar bagaimana

menangani pelaksanaan pendidikan inklusif…”130

Manajer program Inklusi SMA Negeri 66 menyatakan:

“…Sampai saat ini masing-masing pendidik dan tenaga kependidikan di

sekolah mengetahui dengan baik mengenai keberadaan anak-anak

berkebutuhan khusus dan bagaimana mereka seharusnya mendapatkan

pembelajaran dan pelayanan pendidikan yang baik. Saya selaku manajer

program inklusi pun selalu menyampaikan dalam berbagai kesempatan

mengenai pentingnya pelayanan bagi anak-anak yang berkebutuhan

khusus. Ketika ada kesulitan dalam penanganan anak-anak berkebutuhan

khusus, pendidik-pendidik di sekolah selalu melakukan kerjasama yang

sampai saat ini terjalin dengan baik…”131

Kebijakan yang terkait dengan tenaga pendidik dan kependidikan dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusif dilaksanakan dengan melakukan

sosialisasi kepada guru-guru agar dapat memahami dengan baik konsep

pendidikan inklusif sehingga peserta didik berkebutuhan khusus dapat

terpenuhi kebutuhannya di sekolah.

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta mengadakan pelatihan-pelatihan

yang diperuntukkan bagi guru-guru sekolah penyelenggara program

pendidikan inklusif. Pelatihan tersebut, salah satunya, bekerjasama dengan

LSM Hellen Keller Internasional (HKI) yang memiliki program

Opportunities for Vulnerable Children (OCV). Salah satu yang program

OVC tersebut bergerak untuk membantu anak-anak berkebutuhan khusus

agar memperoleh pendidikan yang layak dengan tidak ditempatkan dengan

serta merta di SLB.

Penunjukkan Guru Pembimbing Khusus ditujukan agar sekolah-sekolah

penyelenggara program pendidikan inklusif mendapatkan pendampingan dan

130Wawancara dengan Sukarto 131Wawancara dengan Suparno

Page 233: Kamal fuadi fitk

arahan yang tepat sehingga ketika terdapat kesulitan-kesulitan dalam

pelaksanaan pendidikan inklusif, sekolah dapat berkonsultasi dengan GPK.

Namun memang hingga sekarang keberadaan GPK sendiri tidak jelas,

sebagaimana yang dijelaskan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd, sehingga

kadang-kadang kesulitan-kesulitan yang terdapat di sekolah dalam

pelaksanaan pendidikan inklusif tidak dapat teratasi dengan baik.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar

Nasional Pendidikan disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan yang

melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga kependidikan yang

mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik

dengan kebutuhan khusus132.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009

disebutkan bahwa pemerintah Kabupaten/Kota wajib menyediakan paling

sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang

ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. Satuan pendidikan

penyelenggara pendidikan inklusif yang tidak ditunjuk oleh pemerintah

Kabupaten/Kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang Guru

Pembimbing Khusus.

Ketersediaan Guru Pembimbing Khusus dalam Peraturan Gubernur Nomor

116 Tahun 2007 dipenuhi oleh sekolah yang menyelenggarakan program

pendidikan inklusif. Dalam hal tidak tersedia Guru Pembimbing Khusus

pada sekolah yang bersangkutan, pemerintah daerah dapat menyediakan

dengan meminta bantuan kepada SLB atau Pusat Sumber atau lembaga lain.

k. Sarana dan Prasarana

132Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 41

Page 234: Kamal fuadi fitk

Sarana dan prasarana dalam penyelenggaran pendidikan inklusif

menggunakan sarana dan prasarana yang terdapat di sekolah dimana

pendidikan inklusif diselenggarakan. Bila memang dibutuhkan, Dinas

Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memberikan bantuan kepada sekolah yang

mengajukan proposal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dra. Septi Novida:

“…Kebijakan sarana prasarana sendiri mempergunakan sarana dan

prasarana yang sudah tersedia di sekolah-sekolah reguler. Jika memang

dibutuhkan, kami memberikan dana khusus bagi sekolah-sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif agar dapat memenuhi kebutuhan

sarana dan prasarana. Namun tidak semua sekolah kami bantu karena

mereka harus mengajukan proposal permohonan bantuan dana. Pada

prinsipnya, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah membantu

pihak sekolah dengan catatan pihak sekolah mengajukan proposal

permohonan bantuan mengenai kebutuhan apa saja yang diperlukan

mereka dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Bila memang

diperlukan, saya sendiri mengajukan rekomendasi kepada pemerintah

pusat agar sekolah tertentu dibantu oleh pemerintah pusat…”133

Guru SMP Negeri 223 Pasar Rebo menyatakan bahwa Dinas Pendidikan

Provinsi DKI Jakarta sangat membantu dalam pengadaan sarana dan

prasarana penyelenggaraan pendidikan inklusif. Hal ini sebagaimana

penjelasan Sukarto, S.Pd:

“…Dinas Pendidikan Provinsi memberikan bantuan sarana dan prasarana

agar memudahkan pelaksanaan pendidikan inklusif. Misalnya alat rekam

agar siswa berkebutuhan khusus dapat merekam pelajaran untuk diputar

ulang di rumah dengan bantuan orang tua…”134

Hal senada juga diungkapkan oleh Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66

Cilandak. Ketika ditanya mengenai pengadaan sarana dan prasarana dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusif, ia menjawab bahwa pihak sekolah

sangat terbantu oleh bantuan-bantuan yang diberikan oleh Dinas Pendidikan

133Wawancara dengan Septi Novida 134Wawancara dengan Sukarto

Page 235: Kamal fuadi fitk

Provinsi DKI Jakarta. Selain dari Dinas Pendidikan Provinsi, SMA Negeri

66 juga mendapatkan bantuan dari Direktorat PSLB Kementerian

Pendidikan Nasional. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Suparno,

S.Pd:

“…Sampai saat ini kami sangat terbantu dengan bantuan-bantuan yang

diberikan baik oleh Direktorat PSLB maupun oleh Dinas Pendidikan

Provinsi DKI Jakarta. Orang tua anak-anak berkebutuhan khusus pun ada

beberapa yang membantu kami, sehingga sarana dan prasarana dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusif pun dapat terpenuhi dengan baik.

Misalnya ketika kebutuhan untuk laptop bagi peserta didik, kami pun

menyediakan laptop khusus untuk anak-anak berkebutuhan khusus agar

tidak ada pembedaan antara anak-anak reguler dengan anak-anak

berkebutuhan khusus...”135

Dapat dipahami bahwa Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memiliki

komitmen tinggi dalam pengadaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan

sekolah dalam penyelenggaraan program pendidikan inklusif.

Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009

disebutkan bahwa satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif

berhak memperolah bantuan profesional sesuai dengan kebutuhan dari

pemerintah Kabupaten/Kota. Bantuan profesional yang dimaksud dalam

peraturan tersebut dapat berupa penyediaan sarana dan prasarana136.

Ketentuan mengenai sarana dan prasarana disebutkan dalam Peraturan

Gubernur Nomor 116 Tahun 2007. Dalam peraturan tersebut disebutkan

bahwa sarana dan prasarana yang terdapat pada satuan pendidikan

penyelenggara pendidikan inklusi adalah sarana dan prasarana yang telah

terdapat pada sekolah/madrasah yang bersangkutan dan ditambah dengan

135Wawancara dengan Suparno 136Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009

Page 236: Kamal fuadi fitk

aksesabilitas serta media pembelajaran yang diperlukan bagi peserta didik

berkebutuhan khusus137.

l. Keuangan/Dana

Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Peraturan Gubernur Nomor

116 Tahun 2007, pembiayaan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif

bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada pos

anggaran Dinas Dikdas dan Dinas Dikmenti138.

Dalam hal keuangan, Dinas Pendidikan Provinsi DKI menyatakan bahwa

Dinas memberikan bantuan finansial bagi sekolah-sekolah yang mengajukan

proposal dan proposalnya diterima. Selain itu, dana yang dialokasikan untuk

penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan

Provinsi DKI Jakarta diambil dari dana BOP (Bantuan Operasional

Pendidikan) dan DOP (Dana Operasional Pendidikan). Hal ini sesuai dengan

pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd:

“…Kebijakan keuangan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif kami

berikan kepada sekolah-sekolah yang mengajukan proposal permohonan

bantuan dana. Dana tersebut kami ambil dari dana BOP dan DOP. Di

samping itu kami juga mengalokasikan dana dari bidang kami (Bidang

TK, SD, dan PLB) untuk diberikan kepada sekolah-sekolah

penyelenggara program pendidikan inklusif jika dibutuhkan…”139

Dana operasional dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta yang

diperuntukkan untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif sudah diberikan

sebanyak 2 (dua) kali yaitu pada tahun 2009 dan tahun 2010. Pada tahun

2009 jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang menerima

dana operasional sebanyak 20 sekolah dengan besaran dana sebesar Rp.

20.000.000,- (Dua puluh juta rupiah) untuk masing-masing sekolah. Alokasi

137Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Pasal 11 138Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Pasal 16 139Wawancara dengan Septi Novida

Page 237: Kamal fuadi fitk

anggaran biaya operasional penyelenggara pendidikan inklusif tersebut

berasal dari Dana APBD Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Dokumen

Pelaksanaan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (DPA-SKPD) Dinas

Pendidikan Tahun 2009140.

Pada tahun 2010, jumlah sekolah penyelenggara program pendidikan

inklusif yang menerima dana pendamping berjumlah 5 (lima) sekolah

dengan besaran dana untuk masing-masing sekolah berjumlah Rp.

18.000.000,- (Delapan belas juta rupiah).

Daftar sekolah penyelenggara program pendidikan inklusif yang menerima

biaya operasional tahun 2009 dan dana pendamping tahun 2010 sebagai

berikut:

Tabel 4

Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif Penerima Biaya

Operasional Tahun Anggaran 2009

No Nama Sekolah Alamat Kecamatan Wilayah

1 SDN Johar Baru 29 Pagi Jl. Percetakan

Negara II A

Johar Baru Pusat

2 SDN Cempaka Putih

Barat 16 Pagi

Jl. Cempaka Putih

Barat XIX

Cempaka Putih Pusat

3 SDN Kramat Jati 24 Pagi Jl. Kerja Bakti Rt.

003/09 No. 40

Kramat Jati Timur

4 SDN Sukabumi Selatan

07 Pagi

Jl. Raya Pos

Pengumben Rt.

Kebon Jeruk Barat

140Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 842/2009

Tentang Penunjukkan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi TK, SD, SMP yang Mendapatkan

Biaya Operasional Tahun Anggaran 2009

Page 238: Kamal fuadi fitk

002/08 Sukabumi

Selatan

5 SDN Slipi 18 Pagi Jl. KS Tubun III

Dalam

Palmerah Barat

6 TK Aisyiyah 31 Jl. Salemba Bluntas

I/77 Salemba

Paseban

Senen Pusat

7 SDN Jatinegara Kaum 14

Pagi

Jl. Jatinegara Kaum

10/3

Pulo Gadung Timur

8 SDN Lebak Bulus 06

Pagi

Jl. Gunung Balong Cilandak Selatan

9 SDN Marunda 02 Pagi Jl. Marunda Pulo

Rt. 003/07

Cilincing Utara

10 SMP Negeri 118 Jl. Pramukasari I

No. 19

Cempaka Putih Pusat

11 SDN Tanah Tinggi 01

Pagi

Jl. Tanah Tinggi I

Gang 2

Johar Baru Pusat

12 SDN Rawabadak Selatan

07 Pagi

Jl. Mundari

Bendungan Melayu

Rawabadak

Koja Utara

13 SDN Pluit 06 Petang Jl. Komp. Nelayan

Muara Angke Rt.

001/01

Penjaringan Utara

14 TK Negeri Pembina DKI

Jakarta

Jl. Bambu Duri X

Pondok Bambu

Duren Sawit

Duren Sawit Timur

15 SDN Kartini 02 Petang Jl. Gotong Royong

Gang E

Sawah Besar Pusat

Page 239: Kamal fuadi fitk

16 SMP Negeri 191 Jl. Kepa Duri Raya Kebon Jeruk Barat

17 SMP Negeri 240 Jl. H. Raya No. 16

B

Kebayoran

Baru

Selatan

18 SMP Negeri 120 Jl. Kamal Muara

Raya No. 9

Penjaringan Utara

19 SDN Gedong 12 Pagi Jl. Raya Cindet Gg.

Masjid

Pasar Rebo Timur

20 SMP Negeri 223 Jl. Surilang No. 6 Pasar Rebo Timur

Tabel 5

Daftar Nama Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif

Penerima Dana Pendamping Tahun Anggaran 2010

No Nama Sekolah Alamat Kecamatan Wilayah

1 SDN Cempaka Putih

Barat 16 Pagi

Jl. Cempaka Putih

Barat XIX

Cempaka Putih Pusat

2 SDN Marunda 02 Pagi Jl. Marunda Pulo

Rt. 003/07

Cilincing Utara

3 SDN Meruya Selatan 06

Pagi

Jl. Lap. Jabek Rt.

002/001 Mega

Kembangan Barat

4 SDN Mentas 04 Jl. Dr. Sahardjo

No. 121 Menteng

Setiabudi Selatan

5 SDN Kramat Jati 24 Pagi Jl. Kerja Bakti Rt.

003/09 No. 40

Kramat Jati Timur

Dalam hal pendanaan, guru SMP Negeri 223 menyatakan bahwa pendanaan

untuk penyelenggaraan program pendidikan inklusif selain berasal dari

Page 240: Kamal fuadi fitk

sekolah sendiri, juga berasal dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dan

Direktorat PSLB. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sukarto:

“…Pendanaan untuk pelaksanaan pendidikan inklusif berasal dari biaya

sekolah, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, dan Direktorat PSLB

Pusat…”141

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Suparno selaku Manajer Program

Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak. Ia menyatakan:

“…Pendanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif diperoleh dari

bantuan dari Direktorat PSLB, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta,

dan dana sekolah yang dialokasikan untuk penyelenggaraan pendidikan

inklusif…”142

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memang belum bisa memberikan

bantuan finansial kepada semua sekolah yang telah ditunjuk untuk

menyelenggarakan program pendidikan inklusif. Hal ini dikarenakan dana

yang dibutuhkan sangat besar jika semua sekolah yang telah ditunjuk

tersebut diberikan bantuan finansial. Maka, sebagaimana dijelaskan oleh

Dra. Septi Novida, M.Pd, bantuan diberikan hanya kepada sekolah-sekolah

yang mengajukan proposal permohonan bantuan dana dan proposal tersebut

diterima karena telah dipertimbangkan kelayakannya. Namun demikian,

pihak sekolah sendiri pun mengakui bahwa sekolah sendiri sudah

mengalokasikan dana untuk penyelenggaraan pendidikan inklusif. Dana

yang dibutuhkan sekolah pun ada juga yang berasal dari pemerintah pusat

yang diberikan lewat Direktorat PSLB.

m. Model Pendidikan Inklusif

141Wawancara dengan Sukarto 142Wawancara dengan Suparno

Page 241: Kamal fuadi fitk

Model inklusif yang dipakai di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI

Jakarta adalah model inklusif moderat, dimana peserta didik berkebutuhan

khusus belajar bersama-sama dengan peserta didik lainnya di kelas reguler.

Pada kesempatan-kesempatan tertentu dimana peserta didik berkebutuhan

khusus membutuhkan penanganan khusus maka peserta didik berkebutuhan

khusus dipisahkan untuk diberikan treatment khusus. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd:

“…Pada prinsipnya, baik anak-anak normal dan anak-anak berkebutuhan

khusus selalu bersama-sama dalam pembelajaran di sekolah inklusif. Hal

ini dimaksudkan agar anak-anak normal dapat mengetahui dan

memahami bahwa di sekitar mereka terdapat anak-anak berkebutuhan

khusus yang memiliki kekurangan dalam hal fisik maupun emosional.

Pun dengan anak-anak berkebutuhan khusus agar mereka dapat

merasakan kehidupan normal layaknya anak-anak lainnya. Namun dalam

prakteknya, sebagian dari anak-anak berkebutuhan khusus mungkin dapat

dipisah ketika memang mereka tidak dapat disatukan. Ini bagian dari

strategi pembelajaran yang dapat dipraktikkan oleh guru…”143

Hal senada juga diungkapkan oleh guru inklusi SMP Negeri 223 Pasar Rebo

yang menyatakan:

“…Dari awal sudah disampaikan bahwa di sekolah ini ada siswa yang

berkebutuhan khusus sebelum tahun ajaran baru dimulai. Informasi ini

kami sampaikan di kelas-kelas agar guru-guru di sini mengetahui kondisi

yang ada di sekolah… Selain itu, ada juga anak-anak berkebutuhan

khusus yang diberi catatan oleh psikolog. Hal ini diperlukan karena

masing-masing siswa berkebutuhan khusus memiliki kebutuhan yang

berbeda-beda. Misalnya siswa tuna netra yang bisa saja duduk di

belakang atau duduk di depan kelas. Contoh lain misalnya siswa tuna

rungu yang harus duduk di depan. Pada awal proses belajar mengajar,

kami menginformasikan kepada wali kelas untuk membuat denah yang

disesuaikan dengan kondisi anak-anak berkebutuhan khusus…”144

Manajer program inklusi SMA Negeri 66 Cilandak juga menyatakan hal

yang serupa yaitu:

143Wawancara dengan Septi Novida 144Wawancara dengan Sukarto

Page 242: Kamal fuadi fitk

“…Proses pembelajaran bagi anak-anak berkebutuhan khusus disamakan

dengan anak-anak reguler lainnya…”145

Pada prinsipnya, peserta didik berkebutuhan khusus diberikan kesempatan

yang sama untuk mendapatkan pembelajaran di kelas bersama-sama dengan

peserta didik yang tidak digolongkan ke dalam anak-anak berkebutuhan

khusus. Pemisahan peserta didik berkebutuhan khusus dari kelas reguler

dilakukan hanya pada kesempatan-kesempatan tertentu dimana proses

pembelajaran tidak bisa disama ratakan. Dra. Septi Novida, M.Pd sendiri

menyatakan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari strategi yang

disesuaikan saja dengan kebutuhan. Pihak dinas sendiri tidak memberikan

aturan ketat mengenai bagaimana model pendidikan inklusif seharusnya

dipraktikkan di sekolah. Sekolahlah yang paling mengetahui kondisi peserta

didiknya, sehingga kebutuhan peserta didik harus diidentifikasi sendiri oleh

sekolah.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, penyelenggaraan pendidikan

inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta mengacu

kepada konsep inklusi penuh (full inclusion) dimana peserta didik

berkebutuhan khusus belajar secara penuh di kelas reguler. Dengan demikian

model tersebut tidak sesuai dengan model yang ditentukan oleh pemerintah.

Pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd sendiri memberikan pemhaman bahwa

proses pembelajaran yang diperuntukkan bagi peserta didik berkebutuhan

khusus baik penuh maupun parsial hanya merupakan bagian dari strategi

yang perlu dipahami dengan baik oleh guru-guru yang menangani

pendidikan inklusif.

Model pendidikan inklusif moderat seperti yang menjadi ketentuan dari

pemerintah pusat secara literatur tidak ditemukan karena sebagaimana

dinyatakan Morrison, pendidikan inklusif pada dasarnya memiliki dua

145Wawancara dengan Suparno

Page 243: Kamal fuadi fitk

model. Pertama yaitu model inklusi penuh (full inclusion) dimana peserta

didik berkebutuhan khusus menerima pembelajaran individual dalam kelas

reguler. Kedua yaitu model inklusif parsial (partial inclusion) dimana

peserta didik berkebutuhan khusus sebagian mengikuti pembelajaran yang

berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelas-kelas pull out

dengan bantuan guru pendamping khusus146.

Model kelas inklusif yang dimodifikasi sesuai dengan ketentuan pemerintah

yang terdiri dari kelas reguler penuh, kelas reguler dengan cluster, kelas

reguler dengan pull out, kelas reguler dengan cluster dan pull out, kelas

khusus dengan berbagai pengintegrasian, dan kelas khusus penuh di sekolah

reguler sebagaimana dinyatakan oleh Sip Jan Pijl dan Cor J.W.Meijer147,

tidak dipakai dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI

Jakarta. Sebagaimana dinyatakan pemerintah pusat lewat Direktorat PSLB,

penyelenggaraan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus di

Indonesia tetap mengambil semangat dan filosofi inklusif.

Implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI

Jakarta selalu dievaluasi oleh Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta. Hal ini

sebagaimana dinyatakan oleh Dra. Septi Novida, M.Pd:

“…Sebenarnya kami tidak mengalokasikan proses khusus untuk penilaian

atau peninjauan ulang terhadap kebijakan-kebijakan penyelenggaraan

pendidikan inklusif yang sudah kami keluarkan, namun kami melakukan

proses penilaian saat kami melakukan monitoring di sekolah-sekolah

penyelenggara program pendidikan inklusif dengan cara menanyakan

146George Morrison, Early Childhood Education Today, (New Jersey: Pearson Education Inc.,

2009), h. 462. 147Sip Jan Pijl dan Cor J.W.Meijer, Factor In Inclusion: A Framework dalam Sip Jan Pijl (eds.),

Inclusive Education; A Global Agenda, (London: Routledge, 1997), h. 12.

Page 244: Kamal fuadi fitk

langsung apakah kebijakan-kebijakan penyelenggaraan program pendidikan

inklusif sudah berjalan di sekolah atau belum terselenggara…”148

Guru inklusif di SMP Negeri 223 Pasar Rebo mendukung pernyataan tersebut

dengan mengatakan bahwa:

“…Dinas Pendidikan melakukan monitoring terhadap pelaksanaan

pendidikan inklusif di sini. Di samping itu, monitoring juga dilakukan oleh

pengawas dan pihak penyelenggara Sekolah Luar Biasa…”149

Manajer Program Inklusi SMA Negeri 66 Cilandak menambahkan dukungan

atas pernyataan Dra. Septi Novida, M.Pd dengan menyatakan:

“…Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta selalu melakukan pengawasan

terhadap penyelenggaraan pendidikan inklusif. Kami sebagai penyelenggara

pendidikan inklusif merasa sangat terbantu dengan adanya pengawasan yang

dilakukan oleh pihak Dinas. Selain dari Dinas Pendidikan Provinsi DKI

Jakarta, monitoring juga dilakukan oleh Direktorat PSLB Pusat…”150

Dengan ini Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta melakukan evaluasi

terhadap kebijakan karena melihat pentingnya proses evaluasi terhadap

kebijakan. Dalam hal ini Budi Winarno menyatakan bahwa evaluasi diperlukan

untuk melihat sejauh mana kebijakan telah mampu memecahkan masalah atau

tidak151. Selain itu, evaluasi tersebut akan menentukan perubahan terhadap

kebijakan. Kebijakan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta terkait

penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat tetap seperti semula, diubah, atau

dihilangkan sama sekali152.

148Wawancara dengan Septi Novida 149Wawancara dengan Sukarto 150Wawancara dengan Suparno 151Budi Winarno, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, (Yogyakarta: Media Presindo, 2007), h. 34 152Robert B. Denhardt dan Janet V. Denhardt, Public Administration: An Action Orientation,

(Boston: Wadsworth, 2009), h. 55

Page 245: Kamal fuadi fitk

Dari deskripsi dan analisis data di atas, kebijakan penyelenggaraan pendidikan

Inklusif di Provinsi DKI Jakarta telah melalui tahap-tahap kebijakan sebagai

berikut:

a. Penyusunan agenda, dikaitkan dengan dimasukkannya pendidikan peserta

didik berkebutuhan dalam bentuk pendidikan inklusif sebagai salah satu

masalah yang perlu disusun dalam agenda kebijakan Pemerintah Daerah

Provinsi DKI Jakarta.

b. Formulasi kebijakan, dikaitkan dengan formulasi kebijakan penyelenggaraan

pendidikan inklusif yang secara substansi sama dengan kebijakan dari tingkat

pusat dengan penyesuaian yang disesuaikan dengan kemampuan sumber daya

Provinsi DKI Jakarta

c. Adopsi kebijakan, dikaitkan dengan dilegitimasinya kebijakan

penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta lewat Peraturan

Pemerintah Daerah Nomor 8 Tahun 2006 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

dan Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan

Pendidikan Inklusi

d. Implementasi kebijakan, dikaitkan dengan pelaksanaan kebijakan

penyelenggaraan pendidikan inklusif seperti penunjukkan sekolah-sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif oleh Kepala Dinas Pendidikan Provinsi

DKI Jakarta, pemberian bantuan kepada sekolah-sekolah penyelenggara

program pendidikan inklusif, pemberian beasiswa bagi peserta didik

berkebutuhan khusus, dan lain-lain.

e. Evaluasi kebijakan, dikaitkan dengan monitoring terhadap pelaksanaan

pendidikan inklusif yang dilakukan oleh Bidang SD/TK/PLB Dinas

Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

Page 246: Kamal fuadi fitk

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan mengenai kebijakan

penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta, didapati kesimpulan

sebagai berikut:

1. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

merupakan kebijakan yang akomodatif dan fleksibel. Disebut akomodatif

karena kebijakan tersebut memberikan kesempatan kepada peserta didik

berkebutuhan khusus yang memiliki kelainan dalam hal fisik, mental,

emosional, dan sosial dan peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan/atau

bakat istimewa untuk bersama-bersama belajar di kelas yang sama dengan

peserta didik normal lainnya. Disebut fleksibel karena kebijakan tersebut tidak

secara rigid diterapkan di lapangan. Kebijakan penyelenggaraan pendidikan

inklusif disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan sekolah-sekolah

penyelenggara pendidikan inklusif

Page 247: Kamal fuadi fitk

2. Definisi yang dipakai pemerintah untuk pendidikan inklusif cenderung untuk

mendeskripsikan penyatuan anak-anak berkelainan (penyandang

hambatan/cacat) ke dalam program sekolah. Aturan mengenai pendidikan

inklusif ingin memberikan pemahaman mengenai pentingnya penerimaan

anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan, dan

interaksi sosial yang ada di sekolah. Walaupun peserta didik dengan

kecerdasan dan/atau bakat istimewa juga dimasukkan dalam salah satu peserta

didik pendidikan inklusif, keberadaan mereka tidak banyak menjadi isu dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusif. Dengan demikian pendidikan inklusif

yang diselenggarakan di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta

berbicara mengenai hak anak berkebutuhan khusus yang memiliki kelainan

atau kekurangan dalam hal fisik, mental, dan emosional untuk dapat belajar

bersama dengan peserta didik lainnya di sekolah reguler.

3. Tidak terdapat model pendidikan inklusif yang dijadikan acuan dalam

penyelenggaraan pendidikan inklusif di lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi

DKI Jakarta. Model yang terdapat dalam literatur hanya dipandang sebagai

bagian dari strategi yang perlu dipahami dan diterapkan oleh guru-guru

pendidikan inklusif.

4. Belum semua kategori peserta didik yang telah ditentukan pemerintah

tertampung di sekolah inklusif. Hal ini disebabkan karena keterbatasan

sumber daya yang dapat memenuhi kebutuhan pelayanan pendidikan bagi

semua kategori peserta didik berkebutuhan khusus. Selain itu, orang tua anak

berkebutuhan khusus banyak yang masih enggan memasukkan anak mereka

ke sekolah-sekolah inklusif

5. Penunjukkan sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Provinsi

DKI Jakarta melebihi ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Provinsi DKI Jakarta

sendiri hingga saat ini belum memenuhi ketentuan yang termuat dalam

Page 248: Kamal fuadi fitk

Peraturan Gubernur Nomor 116 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan

Pendidikan Inklusif.

6. Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta memberikan bantuan dalam bentuk

pelatihan bagi guru-guru inklusi, bantuan finansial, bantuan sarana dan

prasarana, dan beasiswa bagi sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan

inklusif

B. Saran

Beberapa saran yang dapat penulis kemukakan dalam penelitian ini yaitu:

1. Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta perlu terus melakukan koordinasi

internal, terutama dengan Bidang Tenaga Kependidikan, dalam rangka

pemenuhan kebutuhan pendidik yang memahami dengan baik konsep dan

implementasi pendidikan inklusif sehingga semua kategori peserta didik

berkebutuhan khusus dapat tertangani dengan baik

2. Sebaiknya, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta melakukan pendataan

kembali jumlah Guru Pembimbing Khusus (GPK) yang saat ini ada di

lingkungan Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta agar peningkatan kualitas

pendidikan inklusif, sebagaimana dicanangkan oleh Bidang TK/SD/PLB,

dapat berjalan dengan lancar

3. Sebaiknya, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta dan sekolah-sekolah

inklusif melakukan pendataan secara berkala mengenai jumlah dan kondisi

peserta didik setiap tahun ajaran baru di sekolah-sekolah penyelenggara

pendidikan inklusif agar kebutuhan-kebutuhan peserta didik di sekolah dapat

dipetakan untuk kemudian dipenuhi

4. Sebaiknya, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta melakukan peninjauan

ulang mengenai keberadaan peserta didik dengan kecerdasan dan/atau bakat

istimewa yang dimasukkan ke dalam kategori peserta didik pendidikan

inklusif

Page 249: Kamal fuadi fitk

5. Sebaiknya, Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta terus mengadakan

kerjasama dengan pihak luar seperti LSM Hellen Keller Internasional (HKI)

dalam rangka peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan inklusif

6. Agar aspek pemerataan sekolah penyelenggara pendidikan inklusif tidak

diabaikan, maka Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta perlu meninjau

kondisi kecamatan-kecamatan yang memiliki sekolah inklusif dalam jumlah

yang sedikit atau bahkan belum memiliki sekolah inklusif seperti Kecamatan

Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan di

Kabupaten Kepulauan Seribu

7. Agar pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah-sekolah inklusif dapat

berjalan dengan baik, maka guru-guru di sekolah reguler, terutama guru-guru

di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif (yang ditunjuk Dinas

Pendidikan Provinsi DKI Jakarta) perlu terus meningkatkan pemahaman dan

kompetensi yang berkaitan dengan konsep pendidikan inklusif

8. Agar sekolah penyelenggara pendidikan inklusif tidak melaksanakan

pendidikan inklusif sendirian, maka orang tua peserta didik berkebutuhan

khusus perlu terus aktif untuk berkordinasi dengan pihak sekolah dalam

rangka mengetahui kondisi, perkembangan, dan kebutuhan anak-anak mereka

di sekolah

Page 250: Kamal fuadi fitk

DAFTAR PUSTAKA

Agustyawati dan Solicha, Psikologi Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, Jakarta:

Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2009

Anderson, James E., dkk., Public Policy and Politics in America, California:

Brooks/Cole Publishing Company, 1984, cet. ke-2

_________________, Public Policy Making, New York: Holt, Rinehart and Winston,

1984, cet. ke-3

_________________, Public Policy Making: An Introduction, Boston: Houghton

Mifflin Company: 1994, cet. ke-2

Baihaqi, MIF. dan M. Sugiarmin, Memahami dan Membantu Anak ADHD, Bandung:

PT. Refika Aditama, 2006

Barton, Len dan Felicity Armstrong, Policy, Experience, and Change; Cross Cultural

Reflection on Inclusive Education, Dordrecht: Springer, 2007

Bungin, M. Burhan, Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,

dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Kencana, 2009

Danim, Sudarwan, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, Jakarta: PT. Bumi Aksara,

2005), cet. ke-3

Delphie, Bandi, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan

Inklusi, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006

_______, Bandi, Pembelajaran Anak Tunagrahita; Suatu Pengantar dalam

Pendidikan Inklusi, Bandung: PT. Refika Aditama, 2006

Denhardt, Robert B. dan Janet V. Denhardt, Public Administration: An Action

Orientation, Boston: Wadsworth, 2009

Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, Rencana Strategis Dinas Pendidikan Provinsi

DKI Jakarta Tahun 2009-2013

Page 251: Kamal fuadi fitk

Direktorat Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Policy Brief, Sekolah

Inklusif; Membangun Pendidikan Tanpa Diskriminasi, No. 9. Th.II/2008,

Departemen Pendidikan Nasional

Dunn, William N., Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 2000, cet. ke-4

Dye, Thomas R., Understanding Public Policy, (New Jersey: Pearson Education Inc.,

2005)

Edwards III, George C. dan Ira Sharkansky, The Policy Predicament: Making and

Implementing Public Policy, San Francisco: W.H. Freeman and Company, 1978

Fliegler, Louis A., “Curriculum Implementation” dalam Curriculum Planning for The

Gifted, New Jersey: Prentice Hall Inc., 1961

Hallahan, Daniel P. dkk., Exceptional Learners: An Introduction to Special

Education, Boston: Pearson Education Inc., 2009, cet. ke-10

Hanbal, Ahmad Ibn, Musnad Ahmad Ibnu Hanbal, (Kairo: Muassasah

Qurtubah, tt), juz 5

Hardin, Brent dan Maria Hardin, “Into the Mainstream: Practical Strategies for

Teaching in Inclusive Environments”, dalam Kathleen M. Cauley (ed.),

Educational Psychology, New York: McGraw-Hill/Dushkin, 2004

Harjaningrum, Agus Tri, dkk., Peranan Orang Tua dan Praktisi dalam Membantu

Tumbuh Kembang Anak Berbakat Melalui Pemahaman Teori dan Tren

Pendidikan, Jakarta: Prenada, 2007

Hornby, AS, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English, (Oxford:

Oxford University Press, 1995), cet. ke-5

http://en.wikipedia.org/wiki/Inclusion_%28education%29

http://en.wikipedia.org/wiki/Mainstreaming_%28education%29

http://groups.yahoo.com/group/ditplb/message/130

http://puslitjaknov.org/data/file/2008/makalah_undangan/DYAH%20S_Pengkajian%

20Pendidikan%20Inklusif.pdf

Page 252: Kamal fuadi fitk

http://www.depdagri.go.id/media/filemanager/2010/01/29/1/1/11__dki_jakarta.pdf

Islamy, M. Irfan, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Bina

Aksara, 1988, cet. ke-3

Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor

842/2009 Tentang Penunjukkan Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusi TK,

SD, SMP yang Mendapatkan Biaya Operasional Tahun Anggaran 2009

Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor

1190/2010 Tentang Penunjukkan Nama-nama TK, SD, SMP, dan SMA/SMK

Penyelenggara Pendidikan Inklusif di Provinsi DKI Jakarta Tahun 2010

Lindgren, Henry Clay, Educational Psychology in the Classroom, Tokyo: Charles E.

Tuttle Company, 1967, cet. ke-3

Moloeng, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2009

Morrison, George S., Early Childhood Education Today, New Jersey: Pearson

Education Inc., 2009

Muslim, al Imam Abi Husain bin al Hajjaj, Shahih Muslim, Kairo: Daar Ibnu Al

Haitam, 2001

Nawawi, Hadari dan Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial,

Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1995

Nawawi, Ismail, Public Policy; Analisis, Strategi, Advokasi, Teori, dan Praktek,

Surabaya: PMN, 2009

Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Direktorat Pembinaan

Sekolah Luar Biasa Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan

Menengah Departemen Pendidikan Nasional, 2007

Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 116 Tahun 2007

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan

Inklusif Bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi

Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa

Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan

Page 253: Kamal fuadi fitk

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 Tentang Pendidikan Luar Biasa

Perlu Pelatihan Khusus untuk Guru; Sekolah Inklusi Butuh Pengajar, Kompas, Rabu,

3 Maret 2010

Pijl, Sip Jan (eds), Inclusive Education: A Global Agenda, London: Routledge, 1997

Putt, Allen D. dan J. Fred Springer, Policy Research; Concepts, Methods, and

Application, New Jersey: Prentice Hall, 1989

Reid, Gavin, Dyslexia and Inclusion; Classroom Approaches for Assesment,

Teaching and Learning, London: David Fulton Publisher, 2005

Santrock, John W., Psikologi Pendidikan, Jakarta: Prenada Media Group, 2008

Schulz, Jane B., Mainstreaming Exceptional Students; A Guide for Classroom

Teachers, Boston: Allyn and Bacon, 1991

Smith, J. David, Inklusi: Sekolah Ramah untuk Semua, Bandung: Penerbit Nuansa,

2006

Stephens, Thomas M. dkk., Teaching Mainstreamed Students, Canada: John

Wiley&Sons, 1982

Suharto, Edi, Analisis Kebijakan Publik; Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan

Kebijakan Sosial, Bandung: CV. Alfabeta, 2005

Sukmadinata, Nana Syaodih, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, 2008, cet. ke-4.

Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003

Perihal Pendidikan Inklusif

Taylor, Ronald L., Assesment of Exceptional Students; Educational and

Psychological Procedures, New Jersey: Pearson Education Inc., 2009, Cet. Ke-8

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional

Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, Jakarta:

PT. Bumi Aksara, 2008

Page 254: Kamal fuadi fitk

Winarno, Budi, Kebijakan Publik: Teori dan Proses, Yogyakarta: Media Presindo,

2007