Kalamsiasi v1n1 Mart 2008

download Kalamsiasi v1n1 Mart 2008

of 108

Transcript of Kalamsiasi v1n1 Mart 2008

KALAMSIASIJurnal Ilmu Komunikasi dan Ilmu Administrasi NegaraVol. 1, No. 1, Maret 2008

Daftar IsiIdentitas Lokal Dalam Program Acara Cangkruan Di JTV: Studi Analisis Resepsi Pada Penonton JTV Maya Diah Nirwana Pengaruh Nilai Kebersamaan Budaya Lokal, Lingkungan Kerja, Dan Motivasi Terhadap Kreativitas Kerja Pegawai Di Badan Kepegawaian Kabupaten Sidoarjo Isnaini Rodiyah Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Dalam Hukum Islam Dan Perundang-undangan Di Indonesia (Upaya Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa) Samun Kredibilitas Mahasiswa Kknt Sebagai Komunikator Dalam Pengaruhnya Terhadap Sikap Masyarakat Di Kecamatan Jabon Totok Wahyu Abadi Budaya Dan Politik Lokal: Sebuah Wacana Pascakolonial Lusi Andriyani Pentingnya Grand Design Reformasi Birokrasi Dalam Mewujudkan Reformasi Birokrasi Di Lingkungan Pemerintah Daerah S. Sangadji Politik, Demokratisasi Media, Dan Perwujudan Masyarakat Sipil Imam Sofyan Evaluasi Kebijakan Askeskin Tahun 2007 Andik Afandi 1

17

33

43

55 69

81 89

i

KATA PENGANTARAssalamualaikum wr.wb. Pembaca yang budiman, Mengiringi awal tahun 2008 KALAMSIASI pada edisi bulan Maret ini kembali hadir kehadapan sidang pembaca. Berbagai masalah yang terjadi selama tahun 2007 dan bagaimana masalah tersebut dipecahkan sudah selayaknya menjadi inspirasi dan pelajaran berharga bagi semua pihak untuk menghadapi tahuntahun berikutnya guna menyongsong masa depan yang lebih cerah. Kehidupan yang lebih baik di masa mendatang hanya dapat diraih dengan bekal semangat disertai dengan kemampuan belajar dari guru yang terbaik, yakni: pengalaman masa lalu. Sebagai media yang berfokus pada masalah-masalah komunikasi dan administrasi negara, Jurnal KALAMSIASI berinisiatif menyajikan berbagai pelajaran penting sebagai hasil olah pikir melalui pengalaman riset dan pemikiran dari beberapa penulis. Topik riset dan pemikiran tersebut berfokus pada sejumlah isu yang merentang mulai dari masalah kehidupan seharihari masyarakat yang membutuhkan solusi yakni tentang program acara televisi sebagaimana ditulis oleh Maya Diah Nirwana hingga masalah yang cukup mengundang perhatian yang cukup serius untuk dibahas seperti masalah budaya dan politik lokal serta reformasi birokrasi dan korupsi sebagaimana masing-masing dibahas oleh Imam Sofyan, Lusi Andriyani, S. Sangaji, dan Samiun. Tidak cukup dengan topik-topik tersebut, Jurnal KALAMSIASI juga menambahkan berbagai topik yang berkaitan dengan kreatifitas Pegawai Negeri Sipil yang memegang peran vital dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan sebagaimana ditulis oleh Isnaini Rodiyah, peranan elit dalam pembangunan di suatu daerah seperti yang disajikan oleh Ainur Rochmaniah dkk, serta peranan mahasiswa dalam KKN seperti ditulis oleh Totok Wahyu Abadi. Hasil olah pikir penulis tersebut diharapkan menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak, khususnya sidang pembaca, guna memperoleh inspirasi untuk meraih masa depan yang lebih baik daripada masa lalu. Dengan demikian kehadrian Jurnal KALAMSIASI tidak sekadar menjadi bahan referensi dalam pewacanaan suatu isu dalam masyarakat, namun lebih daripada itu adalah sebagai bahan melakukan refleksi perilaku menuju perubahan yang lebih bermakna bagi kehidupan ummat manusia. Selamat membaca dan berkarya. Wassalamualaikum wr.wb.

Penyuntingii

IDENTITAS LOKAL DALAM PROGRAM ACARA CANGKRUAN DI JTV: STUDI ANALISIS RESEPSI PADA PENONTON JTV

Maya Diah Nirwana(Dosen Ilmu Komunikasi FISIP UMSIDA, Jln. Mojopahit No. 666 B Sidoarjo, Telp. 0318945444 Ext. 20, Fax. 031-8949333, e-mail: [email protected])

ABSTRACT The aim of this research was study about reception of JTV audiences on any local identities found in the variety show of Cangkruan on JTV. This study was a qualitative research with constructivism and was analyzed by descriptive analysis. Analysis unit in this study was individuals who stated qualitative narrations. Data in this study was collected by conducting Focus Group Discussion (FGD) in discussion room on Jl. Mojopahit No. 666 B Sidoarjo on 23rd May 2005 since 18.30 till 20.00 WIB. This FGD was attended by ten participants who lived or worked in Surabaya. The method used in this research was reception analysis. Result of FGD showed that -according to JTV audiences- there were some local identities which showed the performance of typical Suroboyoan in the variety show of Cangkruan on JTV. Local identities of Suroboyoan were showed by some identities as follows: the used of dialect Suroboyoan especially by Cangkruan presenter (Cak Priyo Aljabbar); the used of Ngampelan costume, sarong, and udheng; musics of terbang jidor, kentrungan, and kenthongan; the presenced of local food of Suroboyoan as lontong balap, tahu thk, tahu campur, pecel rice, mixed rice, negosari, and fried banana. The theme of Cangkruan on the other hand showed slightly in connection with problems of local Suroboyoan as floods, fire, cleanliness, Suroboyo 2005, condemnation, and regional election. According to participants, settings of Cangkruan an those typically Suroboyoan was ought to be descriptions of places at corners of Surabaya kampong like sidewalk, salesmen, village patrol, foodstalls, newspaper salesmen, transsexuals, disableds, and woman security guards. Keywords: Local identity; Cangkruan; Reception analysis; JTV Audiences.

PENDAHULUANGlobalisasi teknologi (informasi dan) komunikasi membuat manusia hidup dalam dunia yang tampaknya makin kecil,1

apalagi setelah adanya teknologi komunikasi baru (misalnya e-mail dan www) yang sangat memudah-kan manusia memindahkan informasi melintasi batas-

2

KALAMSIASI, Vol. I, No. 1, Maret 2008, 1 - 16

batas dunia, bukan hanya dalam batas geografis, tetapi juga melintasi batas sosial maupun psikologis. Teknologi komunikasi telah membawa dunia manusia semakin dekat dengan kebersamaan, kedekatan secara fisik.Telah terjadi global village karena teknologi membiarkan manusia mengalami kebudayaan yang lain, dan manusia tidak terpaku dalam kebudayaannya sendiri, sehingga mendorong manusia untuk mengembangkan relasi sosial yang semakin kompleks. (Marshall McLuhan dalam Liliweri, 2003:42)

kembali identitas-identitas lokal masyarakat dan adanya tuntutan pengakuan atas identitas lokal dan hak budaya lokal sekaligus membuktikan ada resistensi atas kecenderungan peminggiran, dominasi, dan homogenisasi global. Globalisasi sebagai proses deteritorialisasi dan mengglobalnya kebudayaan menyebabkan adanya upaya yang semakin intensif untuk mencari dan melakukan gerakan kembali ke identitas lokal (http:// w w w. p o l a r h o m e . c o m / p i p e r m a i l / nusantara/2002November/00068 html, diakses 4 Februari 2005) Perkembangan pluralisme baru dalam skala global telah menciptakan ruang-ruang segmentasi (segmentation space) yang semakin kompleks, dengan ideologi-ideologi yang semakin berwarnawarni, salah satunya anti globalisasi. Gerakan ini merupakan upaya menyampaikan ekspresi lokalitas agar memperoleh tempat semestinya dalam ruang publik. Hal ini karena semakin mengglobal, maka manusia semakin rindu akan identitas lokalnya. Pernyataan ini didukung dengan adanya politik identitas yang menempatkan identitas/budaya lokal, etnisitas, ras, dan agama sebagai unit terkecil yang harus diper-juangkan untuk melawan universalisme pencerahan yang sering kali memang mengidap tendensi dominasi dan penaklukan Barat terhadap yang lain.

Dalam globalisasi, informasi dari satu belahan dunia dengan cepat disebarluaskan ke belahan dunia yang lain sehingga benar apa kata McLuhan dalam Liliweri (2003:43), sebagaimana pernah diramalkannya tahun 1962 dari Canada, bahwa dunia akan menjadi sebuah desa global, dan di sana ada kecenderungan umat manusia menafikan perbedaan budaya lalu ingin bersama-sama memandang dunia hanya dalam satu budaya, yakni budaya global. Munculnya globalisasi yang lepas kendali sebagai akibat era modern yang menindas budaya dan identitas lokal telah membuat dunia semakin terbuka, dan melahirkan aneka tuntutan perluas-an partisipasi dan pemberdayaan rakyat yang lebih besar. Fenomena ini juga diiringi oleh munculnya berbagai bentuk penegasan

Maya Diah Nirwana, Identitas Lokal Dalam Program Acara Cangkruan di JTV

3

Kerinduan terhadap munculnya kembali identitas lokal didasari oleh kesadaran masyarakat untuk menghargai dan melestarikan identitas lokalnya sendiri. Budaya massal dan ekonomi global yang dihasilkan era informasi berusaha menyatukan dunia menjadi McWorld (seperti adanya waralaba McDonald dan KFC). Kerinduan manusia untuk mencari identitas lokalnya juga disebabkan adanya kebijakan-kebijakan pemerintah pada masa Orde Baru yang mengabaikan kearifan-kearifan tradisional dan secara kultural, identitas masyarakat lokal atau masyarakat adat sudah lama mengalami polusi. UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan kebijakan yang telah memberikan pengakuan keragaman pada lokalitas, sekaligus membuka ruang bagi tumbuhnya desentralisasi. Kedua UU yang muncul pada masa reformasi ini juga mencanangkan suatu kebijakan restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup penting yaitu pelaksanaan otonomi daerah, yang salah satunya dapat dilihat dari sudut kultur, untuk lebih memperhatikan kekhususan suatu daerah, seperti geografi, keadaaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya. Salah satu pelaksanaan otonomi daerah adalah dalam dunia penyiaran,

misalnya televisi yang merupakan ruang publik yang bisa berisi apapun yang dibutuhkan publik (Wardhana, 2001: 144). Televisi adalah medium raksasa yang setiap saat hadir sebagai ruang publik untuk menjadi cermin bagi siapapun yang menontonnya atau mendengarkannya. Televisi merupakan alun-alun demokrasi modern. Begitu besar dan begitu dahsyat dampak televisi bagi keberlangsungan kehidupan dan kebudayaan. Menonton televisi membentuk dan dibentuk oleh berbagai jenis identitas yang salah satunya adalah identitas lokal. Televisi adalah sumber bagi konstruksi identitas yang salah satunya adalah identitas lokal dan kompetensi budaya mereka untuk mendecode program dengan cara tertentu. Meski televisi bisa mengedarkan diskursus pada skala global, konsumsi, dan pemanfaatannya sebagai sumber bagi konstruksi identitas budaya selalu terjadi pada konteks lokal (Barker, 2000:289). Saat ini sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah dan adanya kebebasan pers, maka muncul stasiun televisi di daerah-daerah. Salah satunya adalah Jawa Timur Televisi (JTV) yang juga terkadang disebut dengan Jawa Pos Televisi. JTV sebagai televisi swasta regional Jawa Timur yang lebih menekankan pilihan kepada program dengan local content (90%) dan menggunakan bahasa

4

KALAMSIASI, Vol. I, No. 1, Maret 2008, 1 - 16

Suroboyoan, Malang, maupun Jawa Timuran di beberapa program acaranya (http://www. jtvrek.com /program.htm, diakses 1 Oktober 2004). Adanya globalisasi yang menghancurkan identitas lokal membuat manusia rindu pada jatidiri lokal. Namun kerinduan ini kini mulai mendapatkan penyaluran. Wajah dan hawa kampung halaman manusia kini telah berada di depan mata, di layar televisi lokal, seperti Cangkruan yang ditayangkan oleh JTV. Cangkruan adalah acara TV bermuatan lokal yang menggunakan nama khas lokal. Saat ini televisi lokal menjadi panggung bagi budaya lokal. Cangkruan yang ditayangkan oleh JTV mempertahankan setting lokal, bahasa lokal Suroboyoan, dan pakaian khas Suroboyoan dalam beberapa tayangannya. Pernyataan ini didukung oleh pendapat Rachmah Ida yang mengatakan, TV lokal seperti JTV harus mampu menjaga lokalitasnya (Jawa Pos, 9 Januari 2005:40). Hal ini karena dalam era otonomi daerah, tiap daerah berhak mempromosikan dan menyuarakan ciri khas, identitas, dan budayanya sendiri yang dijamin oleh konstitusi. Munculnya JTV salah satunya memberikan kesempatan penggiat seni/budaya lokal untuk bisa tampil dalam mengisi acara, misalnya musik kentrungan, kidungan, dan menam-

pilkan setting lokal, pakaian, dan makanan khas setempat serta bahasa lokal Suroboyoan. JTV mempopulerkan bahasa Suroboyoan dalam program Pojok Kampung, Kuis RT/RW, Pojok Perkoro, dan Cangkruan. Identitas lokal Surabaya sengaja ditampilkan dalam variety show Cangkruan di JTV karena identitas lokal masyarakat Surabaya yang pernah kuat dan khas, kini dalam keadaan kedodoran, karena sarana atau wadah yang diperlukan guna berbudaya semakin hilang, terutama tempat masyarakat saling bertemu dan bersosialisasi (budaya cangkruan) (Silas, 1996:421). Program acara Cangkruan di JTV yang mengudara mulai 7 September 2003 dan ditayangkan setiap Minggu pukul 21.30-22.30 WIB menggunakan bahasa Suroboyoan sebagai salah satu sarana berkomunikasi dan menampilkan iden-titas lokal yang lain seperti musik, pakaian, makanan, dan setting lokal. Cangkruan yang ditayangkan JTV menurut peneliti termasuk dalam program acara variety show. Hal ini karena dalam Cangkruan selain topik yang dibicarakan presenter (cak Priyo Aljabbar) dengan pak RW (cak Suko Widodo), narasumber, dan penelepon interaktif dari penonton, juga diser tai lawak/komedi pendek dan pertunjukan musik. Gambaran acara ini

Maya Diah Nirwana, Identitas Lokal Dalam Program Acara Cangkruan di JTV

5

seperti yang diungkapkan oleh Wardhana (2001:214) mengenai pengertian variety show, yaitu: pertunjukan pusparagam. A variety show is a show with a variety of acts, often including music and comedy skits (http://www.fact-index.com/v/va/ variety_show.html, diakses 22 Oktober 2004). Salah satu manifestasi dari identitas lokal adalah adanya bahasa Suroboyoan yang ditampilkan dalam Cangkruan di JTV. Tema-tema Cangkruan di antaranya menampilkan persoalan lokal (yang mengandung unsur kedekatan/proximity) dengan penontonnya. Pernyataan ini sejalan dengan era postmodern yang saat ini sedang berlangsung. Orang postmodern adalah orang-orang yang anti kemapanan yaitu orang yang tidak ingin kemapanan sampai membuat seseorang/ masyarakat stagnan karena biasanya kalau seseorang/ kelompok sudah mapan akan merasa berpuas diri dan tidak ingin melakukan sesuatu yang lebih dari yang sudah dicapai, and not pushing the limit. Jadi, anti kemapanan itu terus mendorong untuk dinamis dan kritis, bukannya stagnan, dan tidak terus-menerus terpaku pada keadaan yang sudah ada. Kekritisan ini juga mendorong seseorang untuk terus mempertimbangkan hal-hal yang dianggap masyarakat sebagai hal yang sudah established, dan bukannya cuma membeo.

Postmodern yang anti kemapanan inilah yang akhirnya mendobrak konsep globalisasi yang ingin mewujudkan monocultural sebab karakter orang-orang postmodern adalah: irony, the blurring of traditional boundaries, fluid identity, intertextuality, pastiche, appropriation, bricolage, hybridity, self-reflexivity, and self-referentiality (Shaunessy & Stadler, 2004:308). Munculnya postmodern menyebabkan masyarakat tidak apriori terhadap tayangan yang sifatnya lokal. Post-modern gives space again to the topic of local cultures (http://www.ideamagazine.net/en/ cont/csc 07001.htm, diakses 5 April 2005). Hal ini karena era postmodern membuat masyarakat terutama penikmat media membutuhkan tayangan beragam yang salah satunya tayangan lokal yang sesuai dengan identitasnya. Saat ini, kebebasan yang besar dalam mengakses media telah memberikan pengaruh besar dalam konstruksi identitas individu. Proses terjadi-nya pengaruh media terhadap konstruksi identitas seperti di bawah ini:Bahwa individu secara aktif dan kreatif mencontoh simbol-simbol budaya, dongeng, dan ritual yang tersedia di media selama mereka membangun identitas diri mereka. Media memegang peranan penting dalam proses ini, karena dipandang sebagai sumber pilihan budaya yang tidak

6

KALAMSIASI, Vol. I, No. 1, Maret 2008, 1 - 16

menyusahkan. (Brown dalam Kellner, 1995:234)

meaning it is given by its receivers under the specific conditions of reception. Menurut Hall (1980) dalam Mc Quail (1997:101), audience decode the meanings proposed by sources according to their own perspectives and wishes, although often within some shared framework of experience. Dari uraian di atas, penelitian ini ingin mengkaji bagaimana penerimaan penonton JTV terhadap adanya identitas lokal dalam variety show Cangkruan di JTV, mengingat penonton JTV berasal dari berbagai latar belakang budaya dan etnis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerimaan penonton JTV terhadap identitas lokal yang terdapat dalam variety show Cangkruan di JTV. Penerimaan ini nantinya akan dieksplor melalui pemikiran, persepsi, inferensi, dan perasaan penonton JTV terhadap identitas lokal dalam variety show tersebut. Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan referensi bagi pihak produsen (baik production house maupun stasiun televisi komersial/swasta) mengenai penerimaan khalayak akan tayangan-nya. Hal ini lebih lanjut akan membantu produsen untuk memahami kepentingan dan keinginan khalayak sehingga nantinya mampu menghasilkan program acara yang kreatif (misalnya menampilkan identitas lokal melalui bahasa verbal, bahasa nonverbal,

Penelitian ini menggunakan reception analysis untuk mengetahui bagaimana penerimaan penonton JTV terhadap adanya identitas lokal dalam variety show Cangkruan di JTV. Penonton Cangkruan yang merupakan pencipta aktif makna dalam kaitannya dengan teks dan sebelumnya mereka membawa kompetensi budaya yang telah mereka dapatkan untuk dikemukakan dalam teks sehingga penonton yang terbentuk dengan cara yang berbeda akan mengerjakan makna yang berlainan. Dalam reception analysis, pemahaman selalu berasal dari posisi dan sudut pandang orang yang paham, yang tidak hanya melibatkan reproduksi makna tekstual namun juga produksi makna oleh pembacanya, namun dia tidak dapat memapankan makna, yang merupakan hasil dari interaksi antar teks dengan imajinasi pembacanya. Audience behavior menurut Mc Quail (1997:22) terbagi menjadi dua yaitu active audience dan passive audience. Pada prinsipnya, active audience provide more feedback for media communicators, and the rela-tionship between senders and receivers is more interactive. Dalam bukunya yang lain, Mc Quail (2002: 288) menjelaskan bahwa active audience meaning making of content yang artinya

Maya Diah Nirwana, Identitas Lokal Dalam Program Acara Cangkruan di JTV

7

dan setting yang mudah dipahami khalayaknya), inovatif (misalnya menggunakan metode terbaru dalam menyampaikan pesan), dan edukatif bagi khalayaknya (misalnya identitas lokal dalam program televisi perlu dilestarikan karena dapat memberikan pendidikan multikulturalisme).

di suatu tempat. Identitas lokal dalam Cangkruan seperti bahasa, intonasi/aksen, musik/lagu, tema, makanan/ masakan, aktivitas cangkruan, pakaian/ kostum/ asesoris, dan setting/ tempat lokal. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu yang mengeluarkan narasi-narasi kualitatif. Melalui wawancara saringan/ preliminary questions/ screening questionnare, peneliti mengambil partisipan yang memiliki heterogenitas dari segi status ekonomi, sosial, pendidikan, profesi/pekerjaan, jenis kelamin, asal daerah, lingkungan, religi, dan yang mengetahui atau sedikit mengetahui tentang identitas lokal Surabaya. Mereka yang memenuhi kriteria tersebut dipilih peneliti untuk diundang dalam FGD. Peneliti merekrut 10 partisipan, dengan 2 partisipan cadangan yang tinggal/bekerja di Surabaya. Hal ini karena menurut peneliti, Surabaya adalah kota metropolis sehingga masyarakatnya heterogen, ada penduduk asli dan ada penduduk urban. Menurut Widodo (2002:462), sebagai kota bandar, masyarakat penghuni Surabaya dari berbagai daerah sekitar, ditambah bangsa pendatang yaitu: Arab, Cina, serta India yang kemudian anak cucunya lahir di kota Surabaya.Arek Suroboyo itu bukan saja penduduk asli kota ini, tetapi siapapun orangnya yang menetap di kota ini dan mempunyai peranan penting di dalam

METODE PENELITIANPenelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan paradigma konstruktivis. Penggalian data yang bertujuan menggambarkan penerimaan penonton JTV terhadap identitas lokal dalam variety show Cangkruan menyebabkan penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam jenis penelitian deskriptif. Sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini masuk dalam ranah kajian studi khalayak. Metode reception analysis merupakan metode yang sesuai untuk diterapkan karena penelitian ini ingin mengkonstruk data valid akan penerimaan penonton JTV yang menjadi active meaning making terhadap adanya identitas lokal dalam variety show Cangkruan di JTV. Isu/tema penelitian ini membahas identitas lokal, reception analysis, dan variety show Cangkruan. Adapun pengertian identitas lokal adalah keadaan, sifat atau ciri-ciri khusus seseorang atau suatu benda

8

KALAMSIASI, Vol. I, No. 1, Maret 2008, 1 - 16

melestarikan budaya kota ini, itulah Arek Suroboyo. Tidak itu saja, ia juga memiliki peranan penting dalam hal pembangunan dan perkembangan kota, itulah Arek Suroboyo. (Cak Roeslan dalam Widodo, 2002:463)

dilakukan, yang mencakup perubahan dalam daftar pertanyaan, karakteristik partisipan, frase, dan kata-kata deskriptif yang digunakan partisipan dalam mendiskusikan pertanyaan, antusiasme dari partisipan, bahasa tubuh sampai suasana diskusi secara keseluruhan. Data ditulis ulang secara verbatim. Ada 3 unsur pokok/ steps dalam reception analysis yang akan dilakukan peneliti sesuai pendapat Jensen (1993: 139), three main elements of this definition may be explicated in terms of the collection, analysis, and interpretation of reception data.

Data ini termasuk data primer berkaitan dengan penerimaan penonton JTV terhadap identitas lokal dalam variety show Cangkruan di JTV. Penerimaan tersebut meliputi persepsi, pemikiran, preferensi, dan perasaan. Narasi-narasi kualitatif yang terkumpul nantinya akan dianalisis dan diinterpretasikan guna menjawab dirumuskan. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan Focus Group Discussion (FGD). Alasan peneliti menggunakan FGD karena FGD dapat menstimuli peserta sehingga memungkinkan adanya negosiasi makna, dan FGD memiliki kelebihankelebihan, yaitu: FGD dapat digunakan untuk mengumpulkan data awal tentang sebuah topik diskusi atau fenomena. FGD dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Dalam FGD dimungkinkan adanya fleksibilitas dalam desain pertanyaan. (disimpulkan peneliti dari Wimmer & Dominick, 2000:119-120). permasalahan yang

HASIL DAN PEMBAHASANDari Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan peneliti sebanyak 1 kali dengan 10 partisipan, yang dilakukan di ruang diskusi di Jl. Mojopahit No. 666B Sidoarjo maka terkumpul narasi-narasi kualitatif yang oleh peneliti kemudian dianalisis dan diinterpretasikan. Profil partisipan FGD adalah sebagai berikut: Partisipan A: pemuda, 20 tahun, lahir di Wonokromo-Surabaya, maha-siswa FISIP . Partisipan B: bapak, 32 tahun, bekerja di Surabaya, detailer. Partisipan C: laki-laki, 30 tahun, tinggal lebih dari 3 tahun di Surabaya, asal Bojonegoro, dosen.

Data yang didapatkan berupa narasi atau transkrip acara diskusi yang telah

Maya Diah Nirwana, Identitas Lokal Dalam Program Acara Cangkruan di JTV

9

-

Partisipan D: bapak, 50 tahun, lahir di Surabaya, pegawai swasta. Partisipan E: bapak, 55 tahun, tinggal di Perak-Surabaya, asal Lamongan, pemilik wartel.

terhadap identitas lokal dalam Cangkruan. Topik-topik tersebut adalah Pengertian Cangkruan menurut Partisipan, Tidak Semua yang Ada dalam Cangkruan adalah Identitas Surabaya, Tema, Narasumber, Bahasa Suroboyoan, Obrolan Lucu, dan Segmen Interaktif merupakan Hal-hal yang Disukai Penonton Cangkruan, Khas Cangkruan: Nuansa Tradisional dengan Penggunaan Bahasa Suroboyoan, Identitas: Sesuatu yang Membedakan, Bahasa-bahasa yang Kurang Sesuai dalam Cangkruan, Identitas Lokal yang Berkaitan dengan Musik Ditampilkan Kurang Maksimal dalam Cangkruan, Tema Lokal Surabaya: Kejadian yang Ada di Surabaya, Penyajian Makanan Lokal dalam Cangkruan Kurang Mencerminkan Suroboyoan, Pakaian Religi dalam Cangkruan untuk Menunjukkan bahwa Orang Surabaya adalah Agamis, Setting Lokal: Dari Sepeda Kebo sampai Banci, dan Cangkruan Perlu Menampilkan Identitas Surabaya Secara Total.

-

Partisipan F: bapak, 45 tahun, tinggal di Surabaya, asal Blitar, aktif dalam Ormas.

-

Partisipan G: bapak, 35 tahun, lahir di Surabaya, guru SLTA. Partisipan H: pemuda, 22 tahun, bekerja di Surabaya/karyawan pabrik, asal Pasuruan.

-

Partisipan I: bapak, 40 tahun, lahir di Pakis Gunung-Surabaya, PNS. Partisipan J: pemuda, 20 tahun, tinggal di Surabaya, sopir travel. Kendala dalam pelaksanaan FGD

adalah tidak hadirnya 4 partisipan perempuan, padahal sebelumnya mereka menyatakan bersedia hadir dalam diskusi. Sebelum diskusi, peneliti menayangkan ulang acara Cangkruan selama 15 menit. Semua narasi yang dihasilkan dari FGD berasal dari partisipan dengan latar belakang yang beragam, yaitu dari segi status ekonomi, sosial, pendidikan, profesi/pekerjaan, asal daerah, dan lingkungan. Sebelumnya narasi-narasi tersebut dimasukkan ke dalam sub-sub topik untuk menjawab rumusan permasalahan, yaitu penerimaan penonton JTV

Pengertian Cangkruan menurut PartisipanKebiasaan warga Surabaya yang masih ada sampai sekarang yaitu melakukan aktivitas Cangkruan, dimana aktivitas ini oleh JTV diangkat dalam program acara Cangkruan. Dari pernyata-

10

KALAMSIASI, Vol. I, No. 1, Maret 2008, 1 - 16

an partisipan FGD, dalam acara Cangkruan di JTV ada setting gardu/pos jaga yang pada jaman dulu sampai sekarang merupakan tempat cangkruan seperti dikatakan salah seorang partisipan. Tapi kegiatan cangkruan dalam kehidupan masyarakat Surabaya sehari-hari tidak dilakukan di gardu saja, tapi bisa di pasar, di dekat orang akan naik dokar, di hotel, di rombong PKL, di dekat orang berjualan koran, warung, pojok kampung dengan main catur, dll. Hanya saja dalam kehidupan masyarakat sehari-hari cangkruan tidak saja dilaksanakan pada malam hari, tetapi juga di siang atau sore hari seperti yang dinyatakan partisipan FGD.

memang menggunakan pakaian lokal Surabaya Ngampelan dan terkadang menggunakan udheng, dan bahasa Cak Priyo konsisten menggunakan bahasa Suroboyoan. Performance Suroboyoan juga ditunjukkan dengan penampilan Cak Heru yang dalam lawakan-lawakannya menggunakan bahasa dan pakaian Suroboyoan dengan sarung yang diselempangkan di pundaknya.

Tema, Nara Sumber, Bahasa Suroboyoan, Obrolan Lucu, dan Interaktif Merupakan Hal-hal yang Disukai Penonton CangkruanCangkruan yang menampilkan pembahasan tentang sebuah tema dan diselingi dengan lawakan dan segmen interaktif ternyata di dalamnya ada hal yang disukai oleh penonton. Daya tarik Cangkruan terlihat dari tema-tema lokal Suroboyo, misalnya bagaimana kemampuan Surabaya dalam memberikan pendidikan gratis bagi siswa SD-SMU, atau ketika Surabaya mengadakan Pilpres/ Pemilihan Presiden Langsung tahun 2004 lalu juga dibahas dalam Cangkruan (sampai dua hari berturut-turut yaitu pada tanggal 4-5 April 2004), bagaimana kesiapan Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu) dan KPU (Komisi Pemilihan Umum) Kota Surabaya juga pernah

Tidak Semua yang Ada dalam Cangkruan adalah Identitas Surabaya: Ikon Surabaya Lebih Banyak Ditunjukkan oleh Cak PriyoAcara Cangkruan di JTV menimbulkan pendapat yang beragam dari penontonnya. Dari pendapat partisipan FGD, diketahui bahwa tidak semua yang ada dalam Cangkruan itu mencerminkan identitas Surabaya. Performance Suroboyoan dalam Cangkruan bisa dilihat dari penampilan Cak Priyo seperti yang dikatakan salah seorang partisipan. Dari pendapat partisipan FGD, Cak Priyo

Maya Diah Nirwana, Identitas Lokal Dalam Program Acara Cangkruan di JTV

11

dibahas dalam Cangkruan. Daya tarik Cangkruan yang lain adalah adanya floor yang dilibatkan untuk diskusi yang berasal dari perguruan tinggi, instansi pemerintah, dan swasta serta masyarakat di Surabaya dan sekitarnya.

hanya sesuatu yang membedakan. Padahal Webters New World Dictionary menyebutkan bahwa identitas juga bisa dilihat dari kesamaan, artinya identitas adalah kondisi/kenyataan tentang sesuatu yang sama, suatu keadaan yang mirip satu sama lain. Ketika partisipan FGD ditanya tentang pengertian identitas lokal dan apa saja jenis-jenisnya, ternyata jawaban partisipan FGD beragam. Misalnya pengertian identitas itu adalah didasarkan pada etnisitas seperti musik, pakaian, tempat, aksen/logat/intonasi, makanan, dan bahasa lokal. Tetapi partisipan FGD tidak ada yang menyebutkan bahwa identitas itu sebenarnya juga bisa dilihat dari status kelas sosial, agama, jenis kelamin, kecenderungan seksual, dan suku bangsa.

Khas Cangkruan: Nuansa Tradisional dengan Penggunaan Bahasa SuroboyoanPeneliti menyajikan hal-hal yang dianggap khas (teristimewa, tidak umum) oleh penonton Cangkruan untuk mengetahui apa saja kekhasan yang ada dalam Cangkruan, sehingga nantinya dapat diketahui identitas lokal apa saja yang ada dalam Cangkruan. Dari pendapat partisipan FGD, ternyata yang dianggap khas dalam Cangkruan adalah nuansa tradisional dengan penggunaan bahasa Suroboyoan.

Bahasa-bahasa yang Kurang Sesuai dalam CangkruanDalam penggunaan bahasa Suroboyoan masih ada beberapa kata yang kurang pas, misalnya bilang orang melahirkan dengan ndoboli, padahal ndoboli itu untuk ayam yang akan bertelur. Dari pendapat partisipan FGD, aksen/ intonasi dalam Cangkruan ada yang khas misalnya Cak Priyo bilang Yo opo se? Aksen bahasa Suroboyoan yang digunakan dalam Cangkruan penuh nuansa keakraban meski cara mengungkapkannya dengan nada ngeyel. Cak

Identitas: Sesuatu yang MembedakanKarena penelitian ini mengenai identitas lokal, maka peneliti dalam pelaksanaan FGD juga menanyakan kepada partisipan mengenai apa pengertian identitas, identitas lokal, dan macammacam identitas lokal menurut partisipan. Dari pendapat partisipan FGD, peneliti mengintepretasikan bahwa yang disebutkan partisipan tentang identitas itu adalah

12

KALAMSIASI, Vol. I, No. 1, Maret 2008, 1 - 16

Kadaruslan, budayawan asli Surabaya dalam Sirikit (2005:4) yang mengatakan bahwa, Aksen bahasa Suroboyoan itu bernuansa keakraban, keintiman, mengandung emosi, namun tetap melihat konteksnya, di mana, dan kapan akan digunakan.

sebagai musik patrol pada malam hari atau pada waktu puasa untuk membangunkan umat muslim agar segera bangun untuk melakukan sahur. Hanya saja penyajian musik kentrungan dalam Cangkruan kurang mencerminkan Suroboyoan, karena lagu yang ditampilkan harusnya lagu-lagu Islami, bukan lagu dangdutan seper ti banyak ditayangkan dalam episode-episode Cangkruan.

Identitas Lokal yang Berkaitan dengan Musik Ditampilkan Kurang Maksimal dalam CangkruanMusik/lagu merupakan salah satu jenis kesenian yang berupa bunyi-bunyian dengan ragam suara yang berirama. Dari pendapat partisipan FGD, maka musik lokal yang ada dalam Cangkruan adalah kentrung yang sudah dimodifikasi, dan terkadang dicampur dengan ludruk garingan (tanpa menggu-nakan gamelan). Tentang tampilnya terbang jidor memang pernah ada dalam Cangkruan. Lagu-lagu terbang jidor ini sama dengan lagu-lagu terbang jidor yang ada dalam kehidupan masyarakat Surabaya sehari-hari. Ketipung dan jidor yang ada dalam Cangkruan dalam kehidupan masyarakat Surabaya sehari-hari juga dipakai untuk peralatan musik ludruk. Irama Cangkruan ada yang menunjukkan identitas lokal Surabaya, misalnya jula-juli. Grup musik Sanggar Alang-Alang yang memakai kenthongan juga merupakan identitas lokal Surabaya sebab kenthongan ini dipakai

Tema Lokal Surabaya: Kejadian yang Ada di SurabayaDari pernyataan partisipan FGD yang menyebutkan bahwa tema Cangkruan adalah lokal menurut JTV, bukan lokal Surabaya, peneliti menginterpretasikan bahwa dalam memilih tema untuk Cangkruan, maka JTV menyelek-si tema aktual dalam sepekan, sebagai-mana ungkapan direktur JTV bahwa tema Cangkruan yang dipilih adalah tema dalam sepekan yang paling banyak dibicarakan masyarakat, misalnya tentang Pilpres, maka Cangkruan mengangkat Pilpres. Dari ucapan direktur JTV dapat diinterpretasikan bahwa tema yang dipilih dalam Cang-kruan tidak hanya aktual di Surabaya saja tetapi juga di daerah lain. Hanya saja agar tema itu terlihat lokal Sura-baya, maka dilengkapi dengan kejadian yang ada di Surabaya. Contoh lain ten-tang kebersihan, penggusuran,

Maya Diah Nirwana, Identitas Lokal Dalam Program Acara Cangkruan di JTV

13

kebakar-an, banjir juga terjadi di daerah lain, hanya saja dalam Cangkruan kejadian seperti ini lebih dikedepankan yang terjadi di Surabaya. Jadi tema Cangkruan seperti ungkapan partisipan FGD sebenarnya adalah umum, hanya kasus-nya yang ada di Surabaya yang diangkat.

totalitas, mestinya nasi bungkus yang ada dalam meja Cangkruan kalau untuk menunjukkan identitas lokal Suroboyoan seharusnya dipincuk dengan daun pisang atau daun Jati seperti yang diutarakan partisipan FGD. Tetapi isi nasi bungkus itu sudah merupakan makanan lokal Suroboyoan, seperti nasi campur dan nasi pecel lengkap dengan kulupan-nya (kangkung, kacang panjang, tauge, ditambah daun Kemangi) dan dilengkapi peyek yang terkadang hanya tepung goreng, tanpa ikan teri, kacang/kedelai. Menurut Widodo (2002:900), pecel merupakan salah satu makanan tradisional Surabaya yang tetap lestari hingga saat ini.

Penyajian Makanan Lokal dalam Cangkruan Kurang Mencerminkan SuroboyoanCangkruan di JTV juga menampilkan berbagai penganan, lauk pauk, dan kue-kue. Makanan tradisional yang pernah ditampilkan dalam Cangkruan menurut partisipan FGD adalah tahu thk, lonthong balap Wonokromo, nogosari, pisang goreng, tahu campur, nasi pecel/nasi campur, dan gethuk. Surabaya memang identik dengan lonthong balap Wonokromonya seperti yang dikemukakan partisipan FGD. Masakan ini dinamakan lonthong balap Wonokromo karena dulu di kawasan Wonokromo banyak sekali penjual lonthong balapnya. Makanan ini terdiri dari lontong, diberi cukulan/kulupan tauge dan lentho tetapi kuahnya menggunakan bumbu khusus. Sehabis makan lonthong balap biasanya ditambah dengan sate kerang dan es kelapa muda. Dalam menyajikan makanan lokalnya, acara Cangkruan kurang melakukan

Pakaian Religi dalam Cangkruan untuk Menunjukkan bahwa Orang Surabaya adalah AgamisPakaian/kostum/asesoris lokal dalam Cangkruan menimbulkan penerimaan yang beragam di benak partisipan. Pakaian lokal yang diangkat dalam Cangkruan menurut partisipan FGD adalah pakaian Ngampelan dengan jubah, topi yang ada pentulnya, sabuk, udheng, dan sarung. Pakaian Ngampel-an untuk menunjukkan meskipun masyarakat Surabaya hidup di metropolis, namun orangnya tetap agamis.

14

KALAMSIASI, Vol. I, No. 1, Maret 2008, 1 - 16

Setting Lokal: Dari Sepeda Kebo sampai BanciDari pendapat partisipan FGD, setting Cangkruan yang menampilkan sepeda kebo, warung, ponten, telepon umum, penjual koran, orang main catur, PKL, waria (akronim wanita-pria) yang dalam bahasa Suroboyoan dikenal dengan istilah banci, orang cacat, dan satpam perempuan adalah identitas lokal Surabaya. Hanya saja dalam kehidupan masyarakat Surabaya sehari-hari jarang yang melakukan cangkruan di meja besar. Menurut partisipan, Cangkruan yang menggunakan meja besar disebut dengan tamu-tamuan.

SIMPULAN DAN SARANBerdasarkan hasil Focus Group Discussion (FGD), maka penonton JTV menerima bahwa tidak semua yang ada dalam Cangkruan adalah identitas Surabaya. Ikon Surabaya menurut partisipan dapat dilihat dari penggunaan bahasa Suroboyoan terutama yang dilakukan oleh presenter Cangkruan (Cak Priyo Aljabbar). Penerimaan partisipan terhadap Cangkruan juga menyebutkan bahwa ada bahasa-bahasa yang kurang sesuai dalam Cangkruan (misalnya menyebutkan orang melahirkan dengan ndoboli, padahal ndoboli itu untuk ayam yang akan bertelur). Partisipan ada yang menerima bahwa musik lokal ditampil-kan kurang maksimal dalam Cangkruan (karena seharusnya musik kentrungan menampilkan lagu Islami, tapi dalam Cangkruan kebanyakan menayangkan lagu dangdut). Partisipan FGD ada yang menerima bahwa dalam Cangkruan ada tema lokal Surabaya, yaitu kejadian yang ada di Surabaya (seperti banjir, kebakaran, kebersihan, penggusuran, dan Pilkada), penyajian makanan lokal dalam Cangkruan diterima partisipan kurang mencerminkan Suroboyoan karena nasi bungkusnya tidak dibungkus daun pisang (dipincuk) dan penyajian kopinya menurut partisipan mestinya menggunakan ceret (sejenis

Cangkruan Perlu Menampilkan Identitas Surabaya secara TotalPartisipan FGD memberikan saran terhadap program acara Cangkruan, misalnya Cangkruan sekali-kali perlu diselingi dengan celetukan tentang babad/ sejarah Surabaya, tema lokal Surabaya perlu sering diangkat, setting Cangkruan disesuaikan dengan tema yang sedang dibahas, kemasan Cangkruan diganti sesuai kegiatan Cangkruan yang dilakukan masyarakat Surabaya, misalnya perlu dilakukan survei terlebih dahulu agar produser Cangkruan mengetahui identitas lokal Surabaya itu yang sebenarnya apa.

Maya Diah Nirwana, Identitas Lokal Dalam Program Acara Cangkruan di JTV

15

teko). Partisipan ada yang menerima bahwa ada beberapa makanan lokal dalam Cangkruan (seperti lonthong balap, tahu thk, tahu campur, nasi pecel, nasi campur, nogosari dan pisang goreng), namun menurut partisipan ada makanan lokal yang menjadi identitas Surabaya yang belum disajikan dalam Cangkruan, yaitu semanggi Suraboyo dan rujak cingur. Pakaian pada program acara Cangkruan ada yang diterima partisipan sebagai pakaian religi yaitu pakaian Ngampelan, sarung, topi djamino yang menurut partisipan menunjukkan bahwa orang Surabaya adalah agamis. Menurut partisipan penggunaan pakaian lokal Suroboyoan belum mencerminkan identitas Surabaya, karena sarung yang dikenakan presenter dan pelawak Cangkruan, mestinya diikatkan di perutnya, bukan diselempangkan di lehernya. Partisipan juga ada yang menerima bahwa pakaian lokal dalam Cangkruan ditunjukkan dengan udheng. Ada setting lokal dalam Cangkruan yang diterima partisipan sebagai tempat di pojok-pojok kampung Surabaya seperti: PKL, gardu, warung, penjual koran, waria, orang cacat, dan satpam perempuan. Penerimaan partisi-pan terhadap setting meja besar yang ada dalam Cangkruan menyebutkan bahwa hal demikian bukan setting Cangkruan, tapi tamu-tamuan.

Karena itulah partisipan menyarankan, sebelum menayangkan identitas lokal Suro-boyoan, produser Cangkruan perlu melakukan survei terlebih dahulu agar identitas Surabaya dapat ditampilkan secara total dalam Cangkruan. Saran yang diberikan peneliti sebagai berikut: berada pada kajian studi khalayak yang mencoba untuk menjelaskan bagaimana khalayak dalam memaknai teks, reception analysis dengan metode FGD dianggap telah mampu digunakan untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana khalayak memaknai teks media. Namun peneliti menyarankan penggunaan metode etnografi sehingga peneliti dapat terjun langsung sebagai pengamat dalam menanggapi fenomenafenomena budaya yang menjadi latar belakang partisipan. Hasil penelitian ini disarankan peneliti untuk dijadikan masukan dan referensi bagi pihak produsen (baik production house maupun stasiun televisi komersial/swasta) mengenai penerimaan khalayak akan tayangan-nya. Hal ini lebih lanjut akan membantu produsen untuk memahami kepentingan dan keinginan khalayak sehingga nantinya mampu menghasilkan program acara yang kreatif (misalnya menampilkan identitas lokal melalui bahasa verbal, bahasa nonverbal, dan setting), inovatif (misalnya mengguna-

16

KALAMSIASI, Vol. I, No. 1, Maret 2008, 1 - 16

kan metode terbaru dalam menyampaikan pesan), dan edukatif bagi khalayaknya (program acara bermuatan identitas lokal perlu dilestarikan karena dapat memberikan pendidikan multikulturalisme).

Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. LKiS. Yogyakarta. Jawa Pos. 2005. TV Lokal Harus Pertahankan Lokalitas. 9 Januari 2005 McQuail, Dennis. 1997. Audience Analysis. Sage Publications. London. Nusantara, Gigih. 2002. (Nusantara) Globalisasi, Fundamentalisme, dan Tuntutan Demo-krasi. Online. http:/ /www. polarhome.com/piper mail/ nusantara/2002-November/ 000685.html, diakses 4 Februari 2005. PT. Jawa Pos Media Televisi. 2004. Programming Strategy. Online. http:/ /www.jtvrek.com/program.htm, diakses 1 Oktober 2004. Shaughnessy, Michael O. & Jane Stadler. 2004. Media and Society: an introduction. Second edition. Oxford University Press. Victoria, Australia. Wardhana, Veven Sp. 2001. Televisi dan Prasangka Budaya Massa. PT Media Lintas Inti Nusantara. Jakarta. Widodo, Imam Dukut. 2002. Soerabaia Tempo Doeloe. Dinas Pariwisata Kota Surabaya. Wimmer, Roger D & Dominick, Joseph R. 2000. Mass Media Research: An Introduction. Wadsworth Publishing Company. USA.

DAFTAR RUJUKANBarker, Chris. 2000. Cultural Studies, Theory and Practice. Terjemahan oleh Nurhadi. 2004. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Kreasi Wacana. Yogyakarta. Burkhardt, Francois. 2005. Local Identity Today and Globalization. Online. http://www.ideamagazine.net/en/ cont/csc07001.htm, diakses 5 April 2005. Burkhardt, Francois. 2004. Variety Show. Online. http://www.fact-index.com/v/ va/variety_show.html, diakses 22 Oktober 2004. Jensen, Klaus Bruhn & Nicholas W. Jankowski. 1991. A Handbook of Qualitative Methodo-logies for Mass Communication Research. Routledge. London & New York. Kellner, Douglas. 1995. Media Culture, Cultural Studies, Identity and Politics between the Modern and the Postmodern. Routledge. London & New York.

PENGARUH NILAI KEBERSAMAAN BUDAYA LOKAL, LINGKUNGAN KERJA, DAN MOTIVASI TERHADAP KREATIVITAS KERJA PEGAWAI DI BADAN KEPEGAWAIAN KABUPATEN SIDOARJO

Isnaini Rodiyah(Dosen Ilmu Administrasi Negara FISIP UMSIDA, Jln. Mojopahit No. 666 B Sidoarjo, Telp. 031-8945444, Fax. 031-8949333)

ABSTRACT The aim of the research is to identify and prove the influence of local culture togetherness value, motivation and work environment on employee work creativity of Local Government Personnel Office of Sidoarjo Regency. This study was explanative research, explaining causal relationship between variables by testing the hypothesis. Population in this study was all staffs in Local Government Personnel Office of Sidoarjo Regency as many as 51 individuals were taken as informan. Instrument used in this study was questionnaire. Measurement on the variables was elaborated in question item with score ranging from 0 to 4. Variables observed were exogen variable (W) Local culture togetherness value, endogen variables i.e., (X) Motivation, (Y) Work environment, (Z) Work creativity. Analysis applied using path analysis with simultan model, is to test the causality through empirical data test. Result proved that variable of local culture togetherness value has a significance influence on work environment by 0,000 (p < 0,05). Local culture togetherness value has a significance influence on motivation by 0,000 (p < 0,05). However, motivation have no influence on work creativity by 0,325 (p > 0.05). Another result show that work environment has a significance influence on work creativity by 0,002 (p < 0,05). Keywords: Local Culture Togetherness Value; Motivation; Work Environment; Work Creativity

PENDAHULUANSejak tahun 2001 Pemerintah Republik Indonesia mulai mengimplementasikan kebijakan otonomi daerah

berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan

17

18

KALAMSIASI, Vol. I, No. 1, Maret 2008, 17 - 32

Antara Pusat dan Daerah yang selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004. Kebijakan ini telah membawa perubahan mendasar terhadap sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik. Dengan demikian maka kewenangan daerah menjadi lebih luas dan nyata dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, dengan tatanan pemerintahan yang desentralistis, sasaran utamanya adalah menciptakan daya saing yang tinggi pada masing-masing daerah. Masalah yang juga tidak kalah pentingnya adalah bagaimana mengoptimalkan pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat. Jika selama ini masalah-masalah tersebut kurang diperhatikan, maka pada era desentralisasi optimasi pelayanan yang diberikan tersebut merupakan momentum bagi pemerintah. Beranjak dari perubahan tatanan pemerintahan tersebut di atas, aparat pemerintah selaku Pegawai Negeri Sipil (PNS) dituntut untuk selalu lebih giat dan bekerja keras serta mampu menciptakan ide, strategi dan prosedur baru yang dapat menyederhanakan segala kompleksitas permasalahan yang ada. Tuntutan tersebut terangkum dalam suatu konsep yang disebut kreatifitas kerja PNS. Kehadiran kreativitas individu sangat

dibutuhkan dalam setiap orga-nisasi karena kreativitas yang dimiliki individu berdampak positif bagi kelangsungan hidup organisasi. Moster dan Frijling (dalam Bake, 2004) menyatakan bahwa kreativitas menunjukkan peranan yang semakin meningkat dalam organisasi sebagai dasar bagi arus inovasi secara terus-menerus. Namun amat disayangkan oleh Guilford (dalam Munandar, 2002:6) bahwa penelitian di bidang kreativitas sangat kurang mendapat perhatian. Kerenanya penelitian ini dilakukan sebagai bentuk sumbangsih dalam khasanah pengembangan sumber daya manusia dalam menumbuhkan tingkat kreatifitas, khususnya di kalangan PNS. Pemikiran tersebut dapat pula dili-hat sebagai suatu fenomena di kalangan PNS sebagai aparat pemerintahan. Sebagai pusat kegiatan perangkat daerah di daerah yaitu Kabupaten Sidoarjo di Jawa Timur, pemerintah Kabupaten Sidoarjo dituntut adanya daya kreativitas tinggi bagi setiap PNS yang bertugas di berbagai lembaga pemerintahan kabupaten. Salah satu lembaga vital yang ada di Pemerintah Kabupaten Sidoarjo adalah Badan Kepegawaian Daerah (BKD). BKD merupakan sebuah badan yang khusus mengurusi permasalahan-permasalahan yang menyangkut tentang PNS di daerah yang meliputi perencanaan,

Isnaini Rodiyah, Pengaruh Nilai Kebersamaan Budaya Lokal, Lingkungan kerja dan Motivasi

19

pengadaan, pengembangan kualitas, penempatan, promosi, kesejahteraan, dan pemberhentian pegawai. Sebelum menjadi sebuah badan, BKD merupakan suatu lembaga pada tingkat bagian (Bagian Kepegawaian) pada Sekretariat Daerah Kabupaten Sidoarjo. Permasalahan yang dikeluhkan oleh PNS terhadap urusan kepegawaian di Bagian Kepegawaian di antaranya adalah mengenai lamanya penyelesaian urusan kepegawaian, prosedur yang berbelit-belit dan hirarkhi birokrasi yang terlalu panjang. Permasalahan ini disebabkan oleh situasi di mana Bagian Kepegawaian dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya harus mengacu kepada peraturan perundangan yang berlaku, sedangkan teknis pelaksanaannya berdasarkan petunjuk pelaksanaan kegiatan yang telah ditetapkan. Kedudukan Bagian Kepegawaian yang berada di dalam Sekretariat Daerah mengakibatkan hampir semua keputusan dan kebijakan harus mendapat persetujuan dari Bupati dan Sekretaris Daerah Kabupaten Sidoarjo. Fenomena prosedur urusan yang berbelit tersebut tampaknya tidak berubah hingga bagian kepegawaian berubah status menjadi BKD (hasil wawancara pendahuluan dengan pejabat di BKD, Januari 2005). Fenomena legal-prosedural yang

didukung pula dengan kondisi pribadi pegawainya yang cenderung bermalasmalasan dalam bekerja, pulang lebih awal dari jam kerja, suka meninggalkan tempat kerja pada jam kerja, serta bersantai pada jam-jam kerja, mau bekerja keras jika ada uang tambahan.(hasil wawancara dengan pejabat di BKD Sidoarjo) menjadi kesempurnaan di bagian kepegawaian yang jauh dari kehidupan kreativitas kerja. Hal ini juga terjadi hampir di setiap institusi pemerintahan. Fenomena-fenomena tersebut akhirnya berdampak pada representasi citra negatif PNS yang lamban dalam menjalankan tugas, bekerja berdasarkan perintah, kurang berinisiatif dan mempunyai pola kerja yang monoton, serta tidak kreatif (lihat Kompas, 26 Maret 2005). Perubahan alih status dari sebuah bagian menjadi sebuah badan membuat BKD tidak hanya sebagai lembaga yang mandiri dalam menyelesaikan tugas tetapi juga memiliki otoritas/kewenangan yang lebih besar dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang menyangkut seluruh PNS di Kabupaten Sidoarjo. BKD dituntut untuk mampu bersifat adaptif, kompetitif serta efektif dalam menjalankan tugas. Hal itu dapat terwujud dengan dukungan kualitas sumber daya manusia yang handal, mempunyai mental yang tinggi ser ta kreatif dalam bekerja (Farazmand, 2004).

20

KALAMSIASI, Vol. I, No. 1, Maret 2008, 17 - 32

Melihat adanya kesenjangan anta-ra tuntutan dan realitas kesiapan jajaran kepegawaian yang ada, pimpinan BKD pun mengupayakan untuk mengatasi kesenjangan yang ada. Langkah yang dilakukan adalah dengan mengadakan restrukturisasi, mengubah sistem kerja, mengadakan pendidikan dan pelatihan, mengirim pegawai untuk tugas belajar, menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, membuat program PNS Award yang bertujuan memotivasi pegawai agar dapat mengoptimalkan potensi yang dimiliki pegawai, serta menciptakan hubungan kekeluargaan di luar hubungan kerja dengan suasana informal yang berlandaskan pada nilai kebersamaan (hasil wawancara pendahuluan dengan pejabat BKD, Januari 2005). Dalam penelitian ini kajian dibatasi pada variabel kreativitas kerja yang dipengaruhi oleh lingkungan kerja, motivasi dan nilai kebersamaan budaya lokal. Dipilihnya lingkungan kerja, motivasi serta nilai kebersamaan budaya lokal sebagai variabel pengaruh karena ditemukan indikasi di lapangan bahwa ada masalah pada variabel-variabel tersebut. Hal ini dapat dilihat dari kurangnya interaksi antara pimpinan dan bawahan, adanya hubungan yang tidak harmonis antar pegawai baik dalam suasana formal (dalam menjalankan tugas) atau suasana

informal (di luar jam kerja), di samping itu pegawai lebih bersemangat dalam menjalankan pekerjaan jika ada uang tambahan. Penelitian ini mencoba melihat apakah variabel nilai kebersamaan budaya lokal, lingkungan kerja dan motivasi berpengaruh terhadap kreativitas kerja pegawai. Penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis secara jalur variabel nilai kebersamaan terhadap lingkungan kerja dan motivasi, serta likngkungan kerja dan motivasi terhadap kreativitas kerja. Adapun manfaat praktis penelitian ini diharapkan sebagai masukan bagi Pemerintah Kabupaten Sidoarjo khususnya Badan Kepegawaian Daerah dalam upaya meningkatkan pengembangan sumber daya manusia melalui pengujian kreativitas pegawai.

Kreativitas KerjaHarvey C. Lehman memberi pengertian kreativitas sebagai kemampuan menampilkan gagasan atau ide dan halhal baru serta merancang kembali gagasan serta hal-hal lama berikut menempatkannya ke dalam perspektif baru (http:// .www.hri.reference/general-3htm). Kreativitas dipahami sebagai produk, gagasan dan prosedur memenuhi dua syarat: Pertama, kebaruan dan keaslian. Kedua, secara potensial relevan untuk atau berguna bagi organisasi. Pendapat tersebut

Isnaini Rodiyah, Pengaruh Nilai Kebersamaan Budaya Lokal, Lingkungan kerja dan Motivasi

21

diperkuat dengan pernyataan Amabile (dalam Dharma, 2004). Kreativitas memuat arti ultilitas potensial suatu produk, proses, dan gagasan yang dibuat, serta perilaku kreatif yang diperankan. Dari pendapat yang telah disebutkan tersebut, dapat ditarik sebuah batasan tentang kreativi-tas yang memuat tiga hal, yaitu: (1) Kemampuan menciptakan ide atau gagasan, (2) merealisasikan dalam ben-tuk hasil, dan (3) mempunyai hasil guna. Dengan mengacu pada beberapa teori tentang kreativitas dan disesuaikan dengan kondisi lapangan penelitian, dapatlah kiranya dipaparkan bahwa orang yang kreatif mempunyai ciri-ciri: 1. Memiliki rasa konsisten terhadap pekerjaan 2. Memiliki ketertarikan terhadap kompleksitas masalah 3. Mampu memandang situasi dengan banyak cara 4. Memiliki disiplin diri dalam kaitannya dengan pekerjaan 5. Mandiri dalam bekerja.

kajian tentang lingkungan kerja dalam penelitian ini dimaknai sebagai veriabel yang sama dengan iklim kerja. Iklim kerja dapat diartikan sebagai pola perilaku, sikap dan perasaan berulang yang mencirikan kehidupan kerja dalam organisasi. Hal ini menunjukkan arti bahwa konsep iklim dipahami sebagai persepsi individu terhadap kecenderungan perasaan, sikap dan perilaku orang di tempat kerja. Dalam hal ini Gibson (2001:102) mengatakan bahwa iklim organisasi adalah seperangkat prioritas lingkungan kerja yang dipersepsikan individu secara langsung atau tidak langsung yang dianggap sebagai faktor utama dalam mempengaruhi perilaku pegawai. Kirk L. Rogga (dalam Bake, 2004) menjelaskan adanya empat dimensi lingkungan kerja yang mendukung tumbuhnya kreativitas kerja, yakni: 1. Dukungan pimpinan 2. Dukungan antar pegawai 3. Dukungan antar unit, bagian, atau divisi Dukungan pimpinan yang segera dapat terbentuk melalui sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh setiap pimpinan dapat menjadi sumber motivasi bagi pegawai untuk berkreasi, atau malah sebaliknya. Pemahaman ini bukan hanya didasarkan pada kejelasan tujuan yang

Lingkungan KerjaFaktor-faktor di luar individu atau juga disebut faktor organisasi yang berpengaruh terhadap kreativitas kerja adalah faktor lingkungan kerja. Lingkungan kerja dapat disebut sebagai iklim kerja (Saragih, 2004), karena itu dalam

22

KALAMSIASI, Vol. I, No. 1, Maret 2008, 17 - 32

akan dicapai, melainkan yang terpenting adalah bagaimana gaya komunikasi yang dibangun antara pimpinan dengan pegawai (tingkat keterbukaan satu sama lain dan dukungan pimpinan terhadap ideide yang dilahirkan oleh pegawai). Dukungan antar pegawai dapat diamati lewat adanya rasa saling mengerti dan memahami karakteristik antara pegawai yang satu dengan lainnya yang dicapai melalui komunikasi dan intensif antar pegawai, sehingga di antara mereka merasa menjadi bagian dari yang lainnya. Situasi seperti ini akan menciptakan kelompok kerja yang kohesif serta dapat menjadi sumber motivasi intrinsik bagi tumbuhnya kreativitas pegawai. Kerjasama antar unit atau bagian juga akan menciptakan kohesivitas kelompok kerja yang pada gilirannya akan terbentuk tim keja yang solid, satu unit terhadap unit kerja lainnya akan memberikan sinergi positif.

Teori motivasi diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu teori motivasi content, yang berhenti hanya pada sekedar pemuas kebutuhan dan setelah terpenuhi kebutuhan maka akan muncul kebutuhan lain yang juga harus terpenuhi. Yang kedua adalah teori motivasi proses, yang lebih memusatkan pada daya kognisi pegawai untuk mencapai sebuah harapan dalam mencapai tujuan. Dalam tulisan ini lebih menggunakan teori motivasi proses yang sebelumnya dikembangkan oleh Victor Vroom yang lebih dikenal dengan teori harapan (expectancy) (Luthans,1986: 211). Dalam perkembangan lebih lanjut teori harapan Victor Vroom ini dikembangkan oleh Perter & Lewler berdasarkan pada empat asumsi: 1. Orang mempunyai pilihan-pilihan antara berbagai hasil-keluaran yang secara potensial dapat mereka gunakan. Dengan perkataan lain, setiap hasil keluaran alternatif mempunyai harkat (valence = V), yang mengacu pada ketertarikan seseorang. Hasil keluaran alternatif, juga disebut tujuan-tujuan pribadi (personal goals), dapat disadari atau tidak disadari oleh bersangkutan. Jika disadari, maknanya serupa dengan penetapan tujuantujuan. Jika tidak disadarai, motivasi kerjanya lebih bercorak reaktif.

MotivasiSecara umum motivasi diartikan sebagai suatu proses di mana kebutuhankebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang mengarah pada tercapainya tujuan tertentu. Tujuan yang, jika berhasil dicapai akan memuaskan atau memenuhi kebutuhankebutuhan tersebut (Munandar, 2002: 55).

Isnaini Rodiyah, Pengaruh Nilai Kebersamaan Budaya Lokal, Lingkungan kerja dan Motivasi

23

2. Orang mempunyai harapan-harapan tentang kemungkinan-kemungkinan bahwa upaya (effort = E) mereka akan mengarah ke perilaku kinerja (performence = P) yang dituju. Ini diungkapkan sebagai harapan E P . 3. Orang mempunyai harapan-harapan tentang kemungkinan bahwa hasilhasil keluaran (outcomes = O) tertentu akan diperoleh setelah kinerja (P) mereka. Ini diungkapkan dalam rumusan harapan P O. 4. Dalam setiap situasi, tindakantindakan dan upaya yang berkaitan dengan tindakan-tindakan tadi yang dipilih seseorang untuk dilaksanakan ditentukan oleh harapan-harapan (E P dan P O) dan pilihan-pilihan , yang dipunyai orang pada saat itu. Inti dari teori harapan terletak pada kuatnya kecenderungan seseorang bertindak dengan cara tertentu tergantung pada kekuatan harapan bahwa tindakan tertentu dan pada daya tarik dari hasil itu bagi yang bersangkutan. Dalam dunia organisasi, kekuatan harapan yang dimiliki pegawai tergan-tung dari apa yang dipersepsikan pegawai terhadap organisasinya; jika nilai yang dibentuk organisasi mendukung terciptanya serta memberi peluang bagi pegawai untuk mengembangkan diri, maka hara-

pan yang dimiliki pegawai akan semakin kuat. Kondisi seperti ini akan menciptakan sebuah usaha yang luar biasa dari pegawai untuk berusaha mengeluarkan segala potensi yang ada serta berkreasi dalam bekerja untuk sebuah hasil yang optimal.

Nilai Kebersamaan Budaya LokalMenurut Geert Hofstede (dalam Likert, 1986:29) mengatakan nilai merupakan suatu kecenderungan luas untuk lebih menyukai atau memilih keadaankeadaan tertentu dibanding dengan yang lain. Nilai merupakan suatu perasaan yang mendalam yang dimiliki oleh anggota masyarakat yang akan sering menentukan perbuatan atau tindak-tanduk perilaku masyarakat. Dalam sebuah budaya, nilai dipegang secara intensif dan dianut bersama secara meluas. Makin banyak anggota yang menerima nilai-nilai, makin besar komitmen mereka pada nilai-nilai itu dan makin kuat budaya tersebut, sehingga budaya yang kuat menimbulkan tingginya tingkta kebersamaan atau shareness (Tjahjono, 2003: 45). Menurut Sudikan (2001: 70) budaya lokal adalah suasana umum lokal yang merupakan perwujudan dari kegiatankegiatan kehidupan para warga, sesuatu bagian dari masyarakat majemuk yang

24

KALAMSIASI, Vol. I, No. 1, Maret 2008, 17 - 32

masyarakatnya terdiri lebih dari satu suku bangsa. Sehingga dengan demikian kegiatan-kegiatan kehidupan tersebut berlandaskan atas pranata-pranata sosial yang bersumber atas kebudayaankebudayaan suku bangsa yang berlaku setempat yang dalam beberapa hal dipengaruhi oleh kebudayaan nasional. Suasana umum lokal merupakan wadah bagi terjadinya interaksi di antara warga dari berbagai suku bangsa yang menjadi komponen dari masyarakat tersebut. Suasana umum lokal dapat didominasi oleh salah satu kebudayaan suku bangsa yang ada pada entitas setempat, tetapi dapat juga merupakan hasil paduan dari berbagai unsur kebudayaan suku bangsa yang ada yang tergantung pada corak hubungan kekuatan yang berlaku di antara suku-suku bangsa dalam masyarakat tersebut. Suasana umum lokal yang dipenuhi dengan berbagai karakteristik individu yang ada akan menumbuhkan warna baru dalam berperilaku, dan perilaku tersebut secara terus-menerus ada hingga menjadi sebuah kebiasaan, yang mana kebiasaan ini diinternalisasi serta diyakini secara bersama-sama yang selanjutnya disebut budaya lokal. Karakteristik individu-individu yang diwujudkan dalam bentuk perilaku dapat diklasifikasikan dalam tepe-tipe kelom-pok sosial. Tonnies (dalam Soekanto, 2002:

142) mengklasifikasikan kelompok sosial menjadi dua tipe, yaitu paguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (gessellschaft). Paguyuban adalah bentuk kehidupan bersama di mana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa kesatuan batin yang memang telah dikodratkan. Kehidupan tersebut dinamakan juga bersifat nyata dan organis. Tipe pagu-yuban ini mempunyai ciri-ciri pokok, yaitu: intimate (hubungan menyeluruh yang mesra), private (hubungan yang bersifat pribadi, yaitu khusus untuk beberapa orang saja, exlusive (hubungan tersebut hanyalah untuk kita saja dan tidak untuk orang-orang lain di luar kita. Paguyuban ini bisa dilihat pada kehidupan masyarakat di pedesaan. Patembayan (gessellschaft) merupakan ikatan lahir yang bersifat pokok untuk jangka waktu yang pendek, bersifat sebagai suatu bentuk dalam fikiran belaka (imaginary) serta strukturnya bersifat mekanis. Bentuk gessellschaft terutama terdapat di dalam hubungan perjanjian yang berdasarkan ikatan timbal-balik, misalnya ikatan perdagangan, organisasi serta ikatan-ikatan yang berbentuk formal lainnya. Kehidupan dalam patembayan adalah public life, artinya hubungan yang

Isnaini Rodiyah, Pengaruh Nilai Kebersamaan Budaya Lokal, Lingkungan kerja dan Motivasi

25

terjadi bersifat untuk semua orang, batasbatas antara kami dengan bukan kami sangat kabur. Nilai kebersamaan yang terdapat pada budaya setempat (lokal) diangkat dari perpaduan dari berbagai budaya yang ada. Jika ditinjau lagi dari uraian tentang budaya lokal yang telah dibahas sebelumnya, maka nilai kebersamaan yang ada di lingkungan BKD Sidoarjo adalah bentuk campuran antara paguyuban dan petembayan, karena hubungan yang terjalin di situ pada awalnya adalah didasarkan adanya ikatan kerja, namun perkembangan lebih lanjut karena adanya interaksi terus-menerus dalam bekerja sehingga timbul kesamaan pandang dan ikatan batin antar teman. Karena itu hubungan yang terjadi selanjutnya juga dalam bentuk paguyuban. Nilai kebersamaan memuat nilai kerukunan dan harmoni, di mana anggota diajarkan agar mempunyai kesediaan untuk saling memperingan beban dan kesadaran berbagi. Adanya jalinan hubungan persahabatan dan persaudaraan termasuk hubungan komunikasi dilakukan dalam suasana asih, asah dan asuh, yang seperti halnya dalam kehidupan kekeluargaan tetap menjaga persatuan dan kesatuan dalam demokrasi partisipatif, di mana setiap anggauta keluarga berkarya dengan tepo sliro dan

rangsa rumangsa dalam menunaikan hak-hak dan tugas-kewajibannya. Dengan demikian daya dan pekerti serta kegiatankegiatan manusia dalam masyarakat dapat terwujud dalam kegotong-royongan untuk memayu-humaning bhawana. (Setyodarmodjo.2000: 26). Walau dewasa ini dirasakan ada-nya pergeseran nilai budaya, namun semangat kebersamaan masih amat terasa dalam interaksi antar individu di lokasi setempat. Nilai kebersamaan ini dapat diperhatikan kehadirannya tidak hanya pada tingkatan dalam keluarga tetapi juga kehidupan masyarakat dari organisasi tingkat RT sampai tingkat pemerintahan. Secara teoretis nilai budaya dipersepsikan untuk selanjutnya diinternalisasi sebagai nilai pibadi. Di samping itu nilai budaya juga dipakai sebagai pijakan dalam menentukan sikap, niat dan perilaku. Proses seperti ini dapat dilihat dalam teori Fishbein & Ajzen (1991) sebagaimana gambar 1. Gambar 1 menjelaskan bahwa: Faktor latar belakang yang dimiliki seseorang akan berpengaruh terhadap keyakinan dalam berperilaku, keyakinan normatif, dan keyakinan pengontrol yang dimiliki individu. Ketiga keyakinan tersebut mempunyai derajat yang berbeda pada setiap individu. Hal tersebut tergantung seberapa kuat proses internalisasi dari masing-masing individu. Keyakinan dalam

26

KALAMSIASI, Vol. I, No. 1, Maret 2008, 17 - 32

berperilaku akan menghasilkan penilaian individu terhadap perilaku tertentu (sikap terhadap perilaku, bisa positif, netral, atau negatif). Keyakinan terhadap norma akan menghasilkan norma subyektif yaitu aturan dalam diri individu tentang apa yang pantas dilakukan atau tidak dilakukan. Keyakinan terhadap kontrol akan menghasilkan kontrol terhadap perilaku individu yang didasarkan pada persepsi orang lain, di mana individu mengalami sebuah proses dalam memutuskan perilakunya dengan mempertimbangkan persepsi orang lain sebagai kontrol. Ketiga proses yang terjadi dalam diri individu (sikap terhadap perilaku, norma subyektif, kontrol perilaku yang dipersepsikan) tersebut akan menghasilkan niatan kuat

untuk berperilaku yang tentunya didukung dengan kontrol perilaku yang nyata dari individu Teori Fishbein & Ajzen di atas memberikan pemahaman bahwa perilaku terbentuk tergantung dari niat yang ada pada diri seseorang; dari niat positif akan terbentuk perilaku positif dan dari niat negatif akan juga terbentuk perilaku negatif.

METODE PENELITIANJenis penelitian ini adalah penelitian eksplanasi, yaitu menjelaskan hubungan antar variabel melalui pengujian hipotesis (hypotheses testing). Jenis penelitian ini juga ditujukan untuk menganalisis pengaruh suatu variabel terhadap variabel

Isnaini Rodiyah, Pengaruh Nilai Kebersamaan Budaya Lokal, Lingkungan kerja dan Motivasi

27

lainnya. (Sugiono, 2004: 109). Variabel-variabel dalam penelitian ini adalah kreativitas kerja, motivasi, lingkungan kerja, dan nilai budaya lokal. Kreativitas kerja sebagai variabel endogen (Z), sedangkan motivasi sebagai variabel endogen (X) dan lingkungan kerja sebagai variabel endogen (Y). Kedua variabel ini mempengaruhi kreativitas kerja. Sementara nilai budaya lokal sebagai variabel eksogen (W) yang mempengaruhi motivasi dan lingkungan kerja. Klasifikasi variabel didasarkan pada jenis analisis data yang dipergunakan. Penelitian ini menggunakan analisis jalur. Dalam analisis jalur, variabel diklasifikasikan dua macam yaitu variabel eksogen dan endogen. Populasi dalam penelitian ini adalah Pegawai Negeri Sipil Badan Kepagawaian Daerah Pemerintah kabupaten Sidoarjo yang seluruhnya berjumlah 51 orang. Pertimbangan menggunakan sampel total populasi, diharapkan untuk mendapatkan data yang representatif atau mewakili gambaran seluruh populasi. Maka studi ini adalah studi populasi. Instrumen penelitian yang digunakan untuk mendapatkan data dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berisi pertanyaan tertulis dengan alternatif jawaban yang telah tersedia berbentuk pilihan (close ended item). Sedangkan data dikumpulkan melalui observasi dan

wawancara langsung dengan responden (indepth interview). Skala yang dipergunakan adalah skala Likert dengan skor antara 0 sampai dengan 4. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis jalur yang bertujuan untuk mengukur pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat yang didahului dengan variabel anteseden yang dapat dianalisis dengan menggunakan program AMOS 4.01. Selanjutnya untuk mengetahui diterima atau tidaknya hipotesis, dalam penelitian ini ditetapkan signifikansi pada taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASANDilihat dari tingkat pendidikan, komposisi pendidikan sarjana lebih banyak dari pendidikan SMA. Terdapat 13,70% (7 orang) lulus S2, 51,00% (26 orang) lulus S1, 5,90% (3 orang) lulus D2. sedangkan 29,40% (15 orang) lulus SMA. Bila dilihat berdasarkan jabatannya maka yang menjabat eselon III berjumlah 4 orang (7,84%), eselon IV berjumlah 10 orang (19,61%) dan staf (non eselon) berjumlah 37 orang (72,55%). Masa kerja pegawai di BKD Sidoarjo dari 05 tahun terdapat 19,61% (10 orang), 610 tahun terdapat 27,45% (14 orang), 1115 tahun terdapat 31,37% (16), 1620 tahun terdapat 9,80 % (5 orang), 21 tahun terdapat 11,77% (6 orang).

28

KALAMSIASI, Vol. I, No. 1, Maret 2008, 17 - 32

Hasil Pengujian HipotesisGambar 2 memuat jalinan hubungan antar variabel, hipotesis-hipotesis dan hasil pengujiannya. Hipotesis 1 : Variabel nilai kebersamaan budaya lokal berpengaruh terhadap lingkungan kerja. Hubungan antara nilai kebersamaan budaya lokal dengan lingkungan kerja mempunyai critical ratio 10,894 dengan tingkat signifikansi lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,000. Dengan demikian terdapat pengaruh nilai kebersamaan budaya lokal terhadap lingkungan kerja dengan koefisien strandardized sebesar 0,84. Dengan demikian apabila nilai kebersamaan berubah akan menyebabkan perubahan lingkungan kerja dengan arah

perubahan yang searah. Jika nilai kebersamaan meningkat maka lingkungan kerja juga akan meningkat, sebaliknya jika nilai kebersamaan menurun maka lingkungan kerja juga menurun. Hipotesis 2: Variabel nilai kebersamaan budaya lokal berpengaruh terha-dap motivasi. Hubungan antara nilai kebersamaan budaya lokal dengan motivasi mempunyai critical ratio 9,583 dengan tingkat signifikan lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,000. Dengan demikian terdapat pengaruh nilai kebersamaan terhadap motivasi dengan koefisien standardized sebesar 0,808. Dengan demikian apabila nilai kebersamaan berubah akan menyebabkan perubahan motivasi dengan arah perubah-

Isnaini Rodiyah, Pengaruh Nilai Kebersamaan Budaya Lokal, Lingkungan kerja dan Motivasi

29

an searah. Jika nilai kebersamaan meningkat maka motivasi juga akan meningkat, sebaliknya jika nilai keber-samaan menurun maka motivasi juga menurun. Hipotesis 3: Variabel motivasi berpengaruh terhadap kreativitas. Hubungan antara motivasi de-ngan kreativitas mempunyai critical ratio 0,325 dengan tingkat signifikan lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,325. Dengan demikian motivasi tidak berpengaruh terhadap kreativitas kerja dengan koefisien standardized sebesar 0,153. Dengan demikian jika motivasi berubah maka tidak akan mengubah kreativitas kerja dengan arah perubahan yang tidak searah. Jika motivasi meningkat maka kreativitas kerja dalam kondisi tetap (tidak meningkat dan tidak menurun). Hipotesis 4: Variabel lingkungan kerja berpengaruh terhadap kreativitas. Hubungan antara lingkungan kerja mempunyai critical ratio 3,136 dengan tingkat signifikan lebih kecil dari 0,05 yaitu 0,002. Dengan demikian terdapat pengaruh positif lingkungan kerja terhadap kreativitas kerja dengan koefisien standardized sebesar 0,488. Dengan demikian apabila lingkungan kerja berubah maka menyebabkan perubahan kreativitas kerja dengan arah perubahan yang searah. Jika lingkungan kerja meningkat maka kreativitas kerja juga akan meningkat, sebalik-

nya jika lingkungan kerja menurun maka kreativitas kerja juga akan menurun.

Nilai KebersamaanNilai kebersamaan budaya setempat yang diciptakan pimpinan BKD diinternalisasi dan mampu dipersepsikan dengan baik oleh pegawai sehingga ada kesatuan paham di antara para pegawai. Hubungan yang terjalin dengan baik di luar rutinitas kerja menjadi sebuah landasan kebersamaan untuk menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga dalam menjalan-kan tugas sehari-hari mendapat dukungan baik dari pimpinan, teman kerja maupun dari unit kerja serta dukungan antar unit kerja. Nilai kebersamaan budaya lokal yang diciptakan pimpinan BKD untuk mewujudkan lingkungan kerja yang kondusif sangat tepat. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dinyatakan Adisubroto (1993: 17) bahwa nilai dapat digunakan untuk mengubah dan mempengaruhi orang lain. Selanjutnya pemahaman tersebut dapat dijelaskan melalui teori yang disampaikan Fihsbein & Ajzen (1991: 211) bahwa nilai sebagai lan-dasan individu dapat berfungsi dalam menentukan sikap, niat dan perilaku. Dari teori tersebut bisa dijelaskan bahwa keyakinan terhadap sebuah nilai akan dipersepsikan individu untuk diproses dalam menentukan sikap. Jika suatu nilai yang dipersepsikan positif

30

KALAMSIASI, Vol. I, No. 1, Maret 2008, 17 - 32

maka sikap yang keluar akan positif. Sikap inilah yang menentukan perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Nilai kebersamaan budaya lokal yang dibangun oleh pimpinan juga mampu menggerakkan motivasi kerja pegawai di BKD Kabupaten Sidoarjo. Sebagai sarana motivasi, nilai kebersa-maan yang diciptakan di luar rutinitas kerja dalam bentuk percakapan ringan (informal) pada saat jam istirahat atau saat-saat tertentu untuk menghilangkan kejenuhan rutinitas kantor, atau kegiatan lain yaitu secara bersama-sama mengadakan rekreasi akan dapat membentuk jalinan yang akrab antar pegawai. Suasana ini akan menciptakan organisasi yang aman dan nyaman bagi pegawai. Dengan situasi seperti ini pegawai merasa mendapat perhatian serta dapat menggantungkan harapan pada organisasi. Dengan demikian pegawai akan lebih dapat berkonsentrasi dan memiliki semangat dalam menjalankan pekerjaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dinyatakan Kisni & Salis (2004: 51) bahwa nilai berfungsi sebagai sarana yang kuat untuk membentuk motivasi. Pengujian tersebut sangat rele-van jika dikaitkan dengan teori Fishbein & Ajzen (1991: 211) bahwa nilai yang diinternalisasi serta dipersepsikan individu membentuk keyakinan dalam menentukan sikap dan niat. Jika nilai sebagai stimu-

lus diinternalisasi dan dipersepsikan positif maka keyakinan dalam membentuk sikap dan niat akan positif sehingga perilaku yang terbentuk akan positif pula. Inti dari teori Fiesbien & Ajzen ini adalah bahwa perilaku individu tergantung pada niat yang ada pada masing-masing individu. Motivasi yang diberikan kapada pegawai tidak berpengaruh pada terwujudnya kreativitas kerja pegawai di BKD Kabupaten Sidoarjo. Hal ini dapat dijelaskan karena motivasi pegawai yang terbentuk disebabkan hanya oleh dorongan eksternal (motivasi ekstrinsik) serta belum adanya kesadaran pegawai tentang betapa pentingnya kreativitas kerja dalam menjalankan pekerjaan. Kreativitas akan muncul tidak hanya karena dorongan eksternal saja (motivasi ekstrinsik). Kreativitas akan terwujud jika pegawai sadar serta mempunyai keinginan yang kuat untuk bertindak secara kreatif dalam menjalankan aktivitasnya di kantor. Dengan demikian kesadaran diri itulah yang menjadi motivasi intrinsik bagi terwujudnya kreativitas kerja pegawai. Realitas ini sesuai dengan pendapat yang dinyatakan oleh Munandar (2002: 39) bahwa perwujudan kreativitas tidak hanya memerlukan dorongan eksternal (motivasi ekstrinsik) dari lingkungan dorongan melainkan juga dorongan internal (motivasi intrinsik).

Isnaini Rodiyah, Pengaruh Nilai Kebersamaan Budaya Lokal, Lingkungan kerja dan Motivasi

31

Asumsi yang mendasari rendahnya pengaruh motivasi terhadap kreativitas kerja adalah adanya peraturan-peraturan legal dan prosedural yang bersifat mengikat pegawai. Dengan adanya ikatan ketat dari peraturan tersebut, pegawai merasa enggan untuk menciptakan ide-ide kreatifnya. Pegawai berpendapat bahwa kreativitas pada akhirnya akan berbenturan dengan aturan yang ada. Boleh jadi hasil penelitian ini mematahkan teori yang telah berkem-bang saat ini bahwa motivasi tidak berpengaruh terhadap kreativitas kerja walau hanya di lingkungan BKD Kabupaten Sidorajo, namun tidak selalu demikian ketika teori ini dibuktikan pada lokasi yang berbeda karena kondisi lokasi juga akan turut menentukan pembuktian sebuah teori. Dalam kajian di luar dunia ilmiah yang biasa disebut dunia ngilmu, di mana orang tidak saja diajak berpikir secara logika tapi bagaimana logika tersebut di bawa dalam alam rasa, maka kreativitas seseorang mungkin saja terwujud tanpa adanya motivasi. Hal ini dikarenakan dunia ngilmu mengajarkan bagaimana seseorang lebih mengenali diri sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihan untuk selanjutnya diproses menjadi sebuah kekuatan dalam setiap aktifitasnya. Lingkungan kerja dalam konteks penelitian ini adalah dukungan dari

pimpinan, dari teman, dan dari unit kerja. Dukungan dari orang-orang sekelilingnya dapat diamati melalui interaksi yang terjalin antar pimpinan, pimpinan dengan bawahan, dan bawahan dengan bawahan, serta interaksi antar unit kerja. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dinyatakan Gilley & Mycunich (2000: 314) bahwa lingkungan kerja tercipta berdasarkan respek dan hubungan timbal-balik yang saling mendukung, berkolaborasi, dan adanya kerjasama. Lingkungan kerja yang demikian ini akan membangkitkan rasa memiliki di antara pegawai sehingga pegawai mampu beradaptasi dengan realitas dan tujuan bersama. Lingkungan kerja yang kondusif tersebut dapat menumbuhkan kreativitas kerja pegawai. Dari hasil penelitian para pakar yang tergabung dalam The Creative Problem Solving Group (Lihat: Saragih, 2004: 42) tentang lingkungan kerja dan kreativitas, menghasilkan suatu simpulan bahwa lingkungan kerja memegang peranan penting dalam menentukan kreativitas dan inovasi.

SIMPULAN DAN SARAN SimpulanBeberapa simpulan yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain: (a) nilai kebersamaan yang dibangun pimpinan BKD Sidoarjo berlandaskan pada

32

KALAMSIASI, Vol. I, No. 1, Maret 2008, 17 - 32

bodaya lokal mampu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan menjadi motivasi pegawai dalam bekerja, (b) lingkungan kerja yang kondusif juga berhasil menciptakan kerja kreatif para pegawai, (c) motivasi yang diberikan pimpinan belum mampu berpengaruh terhadap cara kerja yang kreatif bagi pegawai.

Dharma, S., 2004. Kreativitas sebagai Esensi dan Orientasi pengembangan SDM. Usahawan, 06(XXXIII): 29-36. Gibson, J. L., Ivancevich, J. M., & Donnelly Jr., J. H., 2001. Organisasi: Perilaku, Struktur dan Proses. Erlangga. Jakarta. Luecke, R., 2003. Managing Creativity and Innovation. Harvard Bussiness School. Harvard. Likert, R., 1986. Organisasi Manusia: Nilai dan Managemen. Penerbit Erlangga. Jakarta. Luthans, Fred., 1986. Organizational Bahavior. Tien Wah Press. Singapore. Munandar, U., 2004. Kreativitas dan Keberbakatan., Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Saragih, F. D., 2004. Iklim Organisasi Kreatif: Memahami Iklim Organisasi Sebagai Determinasi Kreativitas. Usahawan. 08(XXXIII): 37-49. Setyodarmodjo, S., 2000. Daya dan Pekerti Manusia sesuai Ajaran Jawa. Lembaga Javanologi. Surabaya. Soekanto, S., 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sudikan, S. Y., 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Citra Wacana. Surabaya. Tjahjono, H. K., 2003. Budaya Organisasi & Balance Scorecard, Dimensi dan Praktik. Unit Penerbitan FE Unmuh Yogyakarta, Yogyakarta. Wisnu, 1998. Inteligensi dan Kreativitas Anak. Skripsi. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Surabaya. Kompas, 26 maret 2005 http/www,hri. reference/general-3htm. Diakses Januari 2005.

SaranBerdasarkan pada hasil penelitian ini, saran-saran yang bisa diberikan antara lain: a. Penelitian kreativitas pegawai dapat dikembangkan lagi dalam lingkup yang lebih luas terutama kreativitas pegawai pemerintah kabupaten di era otonomi daerah. b. Motivasi yang diberikan pimpinan seharusnya bukan hanya motivasi ekstrinsik saja tetapi yang lebih penting adalah pemberian motivasi secara intrinsik. c. Dalam menetapkan kebijakan pengangkatan pejabat hendaknya dilakukan tes kreativitas terlebih dahulu, dengan menggunakan tes tulis atau wawancara.

DAFTAR RUJUKANBake, J., 2004. Pendekatan 4P kreatif: Pengertian dan Model pengukuran Kreativitas dan Inovasi. Usahawan, 04 (XXXIII): 51-56.

KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME DALAM HUKUM ISLAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA (Upaya Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa)

Samun(Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya)

ABSTRACT One of the serious problems encountered by Indonesia nowadays is corruption, collusion, and nepotism. It seems that the problem has become a way of life and entrenched of Indonesian societies. Even, it causes Indonesia becomes one of the corruptor countries in the world. Besides, it makes the government authority loses on societies view. The phenomena urge the nation elements to clean Indonesia from corruption, collusion, and nepotism. Hence, it is important to do some efforts to make the society aware of its risks. One of ways is to implant a concept of corruption, collusion, and nepotism law in Islamic perspective and Indonesian legislation to the societies. Hopefully, the society are be able to understand and aware, and also avoid the corruption, collusion, and nepotism. It is also expected to make the societies realize and guarantee their life order and the nationality peacefully with clean and authority government. Keywords: clean and authority; corruption, collusion, and nepotism; Islamic law, and Indonesian legislation.

PENDAHULUANPemerintah yang bersih dan berwibawa merupakan dambaan semua orang, khususnya rakyat yang merupakan bagian komunitas tak terpisahkan dengan keberadaan suatu pemerintah(an). Sebagaimana dimaklumi bahwa keberadaan suatu

negara tidak lepas dari keberadaan rakyat sebagai komunitas yang diperintah dan pemerintah sebagai komunitas yang memerintah. Kedua komunitas ini harus terjalin hubungan yang mesra sehingga kehidupan suatu negara bisa terjamin ketentramannya. Rakyat memerlukan

33

34

KALAMSIASI, Vol. I, No. 1, Maret 2008, 33 - 42

perlindungan dari pemerintah dan pemerintah memerlukan loyalitas dan legalitas dari rakyat. Keduanya harus saling memberi dan mengisi karena manusia memang diciptakan sebagai makhluk sosial yang paling banyak memerlukan bantuan pihak lain dibanding makhluk-makhluk lainnya. Dalam praktik kehidupan bernegara, loyalitas rakyat biasanya ditentukan oleh kadar kewibawaan suatu pemerintahan. Semakin tinggi kewibawaan pemerintah maka semakin tinggi pula loyalitas rakyat. Dalam hal ini kewibawaan tentu bukan yang didasari atas keterpaksaan, namun kewibawaan yang tumbuh atas dasar kesadaran masyarakat. Kewibawaan seperti ini bisa muncul jika pemerintah melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan harapan dan kehendak rakyat yang antara lain adalah bersih dari praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Tulisan singkat ini akan mengetengahkan pembahasan mengenai Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dalam perspektif hukum Islam dan per-Undang-Undangan di Indonesia, sebagai upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

yang baku. Hal ini barangkali disebabkan adanya subyektivitas pandangan setiap orang terhadap istilah tersebut dengan cara pandang mereka masing-masing. Oleh karena itu dalam memahami istilah tersebut penulis mencoba untuk mengetengahkan batasan sesuai dengan issue yang berkembang di masyarakat dewasa ini. Sebagaimana yang kita maklumi, dalam era reformasi ini hampir semua orang menuntut agar pemerintah Indonesia bersih dari praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Tuntutan ini bergulir mulai dari tingkatan rakyat elit sampai dengan rakyat alit. Mulai dari pejabat yang belum pernah terlibat dalam kekuasaan pemerintah prareformasi sampai dengan pejabat atau mantan pejabat yang berstatus sebagai bunglon politik. Mereka semua menuntut agar pemerintah era reformasi ini bisa membersihkan praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang sudah membudaya pada pemerintah era Orde Baru selama 32 tahun. Tuntutan ini tentu tidak semudah yang diucapkan, dan hal itu memerlukan waktu yang sangat panjang. Sekalipun demikian jika tuntutan itu bisa terpenuhi maka pemerintah yang bersih dan berwibawa akan terwujud di negeri ini. Dari uraian di atas, pemerintah yang bersih dan berwibawa adalah yang bebas dari praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Oleh karena itu dalam pembahasan

PEMERINTAH YANG BERSIH DAN BERWIBAWABatasan pemerintah yang bersih dan berwibawa secara konseptual masih sulit didapati penulis pada literatur-literatur

Samun, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam Hukum Islam

35

berikutnya penulis akan melihat tiga hal tersebut dari sudut pandang Islam dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

atau kedudukannya, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan. 3) Melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415 sampai dengan 420, 423, 425, dan 435 KUHP . 4) Perbuatan memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu. 5) Perbuatan pihak yang menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti yang tersebut dalam pasal 418 s/d. 420 KUHP tanpa , alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib. Dari paparan tersebut dapatlah dikonstruksikan bahwa korupsi itu adalah perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan karena jabatan dengan tujuan memperkaya dan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau

1. Pandangan Hukum IslamKorupsi berasal dari Bahasa Latin corruptio atau corruptus yang kemudian muncul dalam hanyak bahasa Eropa seperti Inggris dan Perancis corruption, bahasa Belanda corroptie, yang selanjutnya muncul pula dalam perbendaharaan bahasa Indonesia: korupsi yang berarti gejala dimana para pejabat badan-badan negara menyalahgunakan jabatan mereka, sehingga memungkinkan terjadinya penyuapan, pemalsuan, serta berbagai ketidakberesan lainnya. Dari segi Yuridis teknis pengertian korupsi mencakup: 1) Dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan atau diketahui atau patut disangka oleh pelakunya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau pereko-nomian negara. 2) Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada pada seseorang karena jabatan

36

KALAMSIASI, Vol. I, No. 1, Maret 2008, 33 - 42

suatu badan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Dalam hal ini para ulama fiqh sepakat mengharamkan perbuatan korupsi tersebut karena bertentangan dengan maqashid al-syariah (tujuan hukum Islam). Sebagaimana yang kita maklum bahwa hukum Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk kemaslahatan manusia. Di antara kemaslahatan yang hendak diwujudkan dengan turunnya syariat tersebut adalah terpeliharanya harta dari pemindahan hak milik yang tidak melalui prosedur hukum, dan dari pemanfaatannya yang tidak sesuai dengan kehendak syari. Oleh karena itu haramnya mencuri, merampas (termasuk korupsi), adalah untuk menjaga keamanan harta dari pemilikan yang tidak sah. Keharaman praktik korupsi ini dapat ditinjau dari hal-hal sebagai berikut: 1. Korupsi adalah perbuatan yang curang dan penipuan yang secara langsung merugikan keuangan negara. Dalam hal ini Allah SWT memberi peringatan agar kecurangan dan penipuan itu dihindari, sebagaimana firman-Nya pada surat Ali lmran ayat 161 sebagai berikut:Artinya: Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan

perang itu maka pada hari kiamat ia akan datang dengan membawa apa yang dikhianatinya itu. Kemudian tiaptiap orang akan diberi balasan tentang apa yang ia kerjakan dengan pembalasan yang setimpal, dan mereka tidak dianiaya.

Sekalipun ayat tersebut menyoroti masalah rampasan perang, namun secara umum dapat dikonotasikan kepada semua harta milik rakyat yang harus didistribusikan sesuai dengan hak-hak mereka masing-masing. Dalam hal ini Nabi SAW tidak pernah memanfaatkan jabatannya sebagai panglima perang untuk mengambil harta rampasan di luar dari ketentuan yang ada. Selain itu, ayat tersebut juga mengandung pengertian bahwa setiap perbuatan curang seperti korupsi akan diberi hukuman yang setimpal di hari kiamat. Hal ini memberi peringatan agar setiap pejabat tidak terlibat dalam praktik korupsi. Dalam kaitan ini Umar bin Abdul Aziz dengan nada yang keras menolak pemberian kalung emas oleh seorang pengawas Baitul Mal kepada puterinya karena hal itu dianggap sebagai pemberian yang tidak sah dan termasuk kategori korupsi. 2. Korupsi termasuk penyalahgunaan jabatan dan pengkhianatan amanah untuk memperkaya diri. Berkhianat terhadap amanah adalah perbuatan yang terlarang dalam Islam, sebagai-

Samun, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam Hukum Islam

37

mana dalam firman Allah SWT dalam surat al-Anfal ayat 27 sebagai berikut:Artinya: Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengkhianati Allah dan jangan pula kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui hal itu.

mengharamkan memperoleh serta membelanjakan harta korupsi tersebut. Kolusi berasal dari kata collusion yang berarti persekongkolan. Persekongkolan ini tentunya melibatkan dua orang atau lebih yang berakibat pada kerugian pihak lain di luar kelompok persekongkolan tersebut. Kolusi adalah kerjasama (persekongkolan) dengan maksud untuk melakukan penipuan atau mengelabui hak-hak seseorang atau untuk memperoleh sesuatu benda atau tujuan tertentu dengan cara melanggar hukum. Bila dilakukan untuk mendapat keuntungan yang dapat membawa kerugian langsung atau tidak langsung pada keuangan negara atau perekonomian negara, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Jadi biasanya praktik persekongkolan ini terjadi dengan memanfaatkan wewenang pejabat untuk memperoleh suatu keuntungan. Misalnya dalam praktik perekonomian atau peradilan. Dalam praktik perekonomian, seorang pejabat bisa meloloskan tender yang mestinya tidak layak, dan dalam praktik peradilan seorang hakim bisa meloloskan perkara yang mestinya tidak lolos. Kedua hal tersebut bisa terjadi karena adanya praktik kolusi. Praktik kolusi ini sangat bertentangan dengan prinsip keadilan yang harus ditegakkan dalam Islam. Oleh karena itu,

Ayat tersebut mengandung pengertian bahwa mengkhianati amanat seperti perbuatan korupsi adalah haram. Adapun penggunaan dan pemanfaatan harta hasil korupsi, para ulama juga sepakat mengharamkannya. Sebab pada prinsipnya harta itu bukanlah milik yang sah, melainkan milik orang yang diperoleh dengan cara terlarang. Dasar yang menguatkan pendapat mereka ini adalah firman Allah SWT surat al-Baqarah ayat 188 sebagai berikut:Artinya : Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu membawa (urusan) harta itu kepada Hakim supaya kamu mendapatkan sebagian kamu dari harta benda orang lain dengan (jalan) berbuat dosa padahal kamu mengetahui.

Pada ayat ini terdapat larangan memakan harta orang lain yang diperoleh dengan cara yang batil termasuk ko