Kalaidoskop Kinerja Konservasi Tahun 2013 - BBKSDA NTT

download Kalaidoskop Kinerja Konservasi Tahun 2013 - BBKSDA NTT

of 40

description

Sepanjang tahun 2013 Balai Besar KSDA NTT telah mengalami berbagai peristiwa yang secara umum berkaitan dengan kegiatan pengelolaan kawasan konservasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur.Arah dalam menentukan kebijakan pengelolaan ini tentunya sejalan dengan arah dan strategi konservasi yang dikembangkan berupa “perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara lestari” untuk sebesar besarnya kesejahteraan masyarakat.Pencapaian keberhasilan pengelolaan kawasan ini adalah berkat keterpaduan pikiran dan tenaga serta dukungan dari berbagai pihak. Melalui kalaidoskop tahun 2013 ini diharapkan semua informasi mengenai pencapaian yang telah dilakukan Balai Besar KSDA NTT selain menjadi sebuah cerminan dalam menentukan langkah ke depan dalam tata kelola kawasan konservasi juga dapat memberikan andil besar dalam meningkatkan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan.

Transcript of Kalaidoskop Kinerja Konservasi Tahun 2013 - BBKSDA NTT

  • KALAIDOSKOP KINERJAKONSERVASI TAHUN 2013

    Balai Besar Konservasi Sumber Daya AlamNusa Tenggara Timur

  • ii

    TIM PENYUSUN :Ir. Wiratno, M.ScMaman Surahman, S.Hut, M.SiOra YohanesSilfiana Nugrahaeni, S.HutNatu Agustina Nuban

    EDITOR : Suer Suryadi

    KONTRIBUTOR :Dadang Suryana, S.Hut.T, M.ScElisa Iswandono, S.Pi, M.PIsai Yusidarta,ST, M.ScWantoko, S.Hut.TJuna MardaniRio Duta TriwijayaArdi Ismanto, S.Hut

    KALAIDOSKOP KINERJAKONSERVASI TAHUN 2013

    Balai Besar Konservasi Sumber Daya AlamNusa Tenggara Timur

  • iii

    Kata Pengantar

    Sepanjang tahun 2013 ini Balai Besar KSDA NTT telah mengalami berbagai peristiwa yang secara umum berkaitan dengan kegiatan pengelolaan kawasan konservasi di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Arah dalam menentukan kebijakan pengelolaan ini tentunya sejalan dengan arah dan strategi konservasi yang dikembangkan berupa perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara lestari untuk sebesar besarnya kesejahteraan masyarakat.

    Sejalan dengan konsep tersebut kebijakan pengelolaan yang telah dan perlu terus dikembangkan adalah membangun komunikasi yang harmonis baik dengan masyarakat maupun stakeholder terkait dan melakukan berbagai kajian terhadap potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya pada setiap kawasan. Berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan yang harus terus dikembangkan dan patut diberikan apresiasi setinggi-tingginya adalah ditemukannya sponge sebagai materi anti cancer di perairan TWL Teluk Kupang oleh Tim Peneliti dari 3 (tiga) universitas (Universitas Diponegoro, Universitas Lampung dan Universitas Ryusyu Jepang). Hasil kajian telah mengidentifikasi 60 jenis tumbuhan yang berkhasiat obat di TWA Ruteng serta terinventarisirnya populasi satwa purba Biawak Komodo (Varanus komodoensis) di sepanjang pantai Flores. Hal menarik adalah terobosan baru dalam membangun konsep kolaborasi pengelolaan kawasan konservasi dalam penyelesaian berbagai persoalan melalui konsep kolaborasi para pihak, khususnya masalah sosial budaya di TWA Ruteng dan penyelesaian konflik penggunaan lahan di CA Watu Ata melalui evaluasi fungsi.

  • iv

    Pencapaian keberhasilan pengelolaan kawasan ini adalah berkat keterpaduan pikiran dan tenaga serta dukungan dari berbagai pihak. Melalui kalaidoskop tahun 2013 ini diharapkan semua informasi mengenai pencapaian yang telah dilakukan Balai Besar KSDA NTT selain menjadi sebuah cerminan dalam menentukan langkah ke depan dalam tata kelola kawasan konservasi juga dapat memberikan andil besar dalam meningkatkan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan.

    Kupang, Januari 2014

    Drs. Tamen Sitorus, M.Sc

  • vDaftar Isi

    Kata Pengantar iiiDaftar Isi vDaftar Gambar viKalaidoskop Kinerja Konservasi Tahun 2013 Balai BKSDA NTT 11. Pengelolaan Potensi Kawasan 2

    2. Konflik Buaya 3

    3. Fenomena Hotspot di Provinsi NTT 6

    4. Tiga Pilar untuk Kelola TWA Ruteng 9

    5. Komodo ada Dimana-mana 11

    6. Hutan Lindung Pota sebagai Ekosistem Esensial 15

    7. Sponge sebagai Materi Anti Cancer 17

    8. Uji Fitokimiawi Tumbuhan Obat 20

    9. Spirit Kembali ke Lapangan 23

    10. Evaluasi Fungsi CA Watu Ata 24

    11. Restorasi SM Kateri 25

    12. Potret Kesehatan TWA 17 Pulau 27

    Penutup 29

  • vi

    Daftar Gambar

    1. Potensi Satwa Liar di Kawasan Balai Besar KSDA NTT 3

    2. Penanganan Buaya yang akan dilepasliarkan ke habitatnya 5

    3. Kebakaran di TWA Menipo (Kiri) dan Kebakaran di CA Mutis (Kanan) 9

    4. Lontoleok Hari Bersejarah 12-12-2012, Konsep Telu Siri Disepakati di Rumah Gendang Colol 10

    5. Komodo (Varanus komodoensis) di Pulau Ontoloe TWA 17 Pulau 12

    6. Dari Kiri ; Kepala Balai Besar KSDA NTT, Bupati Manggarai Timur dan Kepala Dinas Kehutanan Manggarai Timur Saat Membuka Rapat Koordinasi Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial HL. Pota di Borong 17

    7. Sponge yang ditemukan di Perairan TWL Teluk Kupang, yang belum teridentifikasi 18

    8. Potensi Tanaman Obat di TWA Ruteng 22

    9. Pendampingan UPT dalam Pelaksanaan RBM 24

    10. Penjelasan Pengelolaan CA. Watu Ata di Kantor DPRD Kabupaten Ngada oleh Kepala Balai Besar KSDA NTT yang dihadiri oleh Wakil Bupati, Ketua Dewan dan Anggota, Ketua LAPMAS, Kepala Desa Sekitar CA. Watu Ata, Tokoh Masyarakat, Tokoh Adat 25

    11. Kondisi Kawasan SM. Kateri yang perlu di Restorasi 27

    12. Keragaman Jenis Ikan Karang di TWA 17 Pulau 28

  • 1Sepanjang tahun 2013, Balai Besar KSDA NTT telah melakukan berbagai upaya konservasi alam. Upaya-upaya yang dinilai penting untuk diketahui oleh publik, antara lain : a) Terkait dengan pengelolaan potensi kawasan, b) Penyelesaian konflik satwa liar-manusia, c) Pengendalian kebakaran hutan dan lahan di kawasan savana, d) Inisiatif baru pengelolaan di TWA Ruteng dengan membangun kerjasama Tiga Pilar, e) Survey, inventarisasi dan identifikasi Satwa Purba Komodo (Varanus komodoensis) dan satwa mangsa di sepanjang pantai utara Flores dengan camera trap bersama Komodo Survival Program dan Yayasan Burung Indonesia, f ) Penetapan kawasan Ekosistem Esensial di Hutan Lindung Pota, g) Risert sponge (karang lunak) untuk anti cancer bersama Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP Semarang, h) Peningkatan kapasitas staf melalui kegiatan in-house training untuk keberlanjutan RBM, i) Penyelesaian penggunaan lahan di kawasan

    KALAIDOSKOP KINERJAKONSERVASI TAHUN 2013

    Balai Besar Konservasi Sumber Daya AlamNusa Tenggara Timur

  • 2K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    CA. Watu Ata melalui evaluasi fungsi, j) Penyelesaian warga baru yang menggarap di SM Kateri dan inisiatif dukungan JICS untuk restorasi SM Kateri, k) Dukungan bagi Marine Diving Clubs dalam pemantauan kesehatan karang di TWA 17 Pulau. Dari 11 kegiatan dan atau peristiwa yang terjadi di sepanjang tahun 2013 yang kami nilai perlu untuk diketahui oleh publik tersebut dapat kami gambarkan sebagai berikut :

    (1) Pengelolaan Potensi KawasanSecara umum pengelolaan potensi kawasan diarahkan pada

    target pencapaian Indikator Kinerja Utama Kementerian Kehutanan yang terkait bidang tugas Ditjen PHKA di Provinsi NTT, sebagaimana telah dijabarkan dalam Rencana Strategis (Renstra) dan Rencana Kerja (Renja) Balai Besar KSDA NTT untuk jangka waktu lima tahun. Upaya-upaya yang dilakukan berupa kegiatan dalam rangka memperkuat kelembagaan Balai Besar KSDA NTT serta pelaksanaan dari tugas pokok dan fungsi Balai Besar KSDA NTT.

    Sejalan dengan renstra dan renja Balai Besar KSDA NTT, dalam rentang waktu selama satu tahun (tahun 2013), pengelolaan potensi kawasan diarahkan pada kegiatan : Inventarisasi Satwa Purba Komodo (Varanus komodoensis), Inventarisasi burung kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea), Inventarisasi rusa (Rusa timorensis), Pembinaan habitat, Pembinaan penangkaran satwa, Pengelolaan wisata alam dan jasa lingkungan, Pemberdayaan masyarakat, Penyadartahuan kepada masyarakat, Perlindungan dan pengamanan hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan, Penyusunan blok/zonasi, Penyusunan desain tapak dan Koordinasi pengelolaan hutan lindung dan TAHURA.

  • 3K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    Gambar 1. Potensi Satwa Liar di Kawasan Balai Besar KSDA NTT

    (2) Konflik Buaya1. Dari 29 kawasan konservasi yang dikelola oleh BBKSDA NTT,

    terdapat beberapa kawasan perairan yang merupakan habitat buaya, di antaranya adalah TWL Teluk Kupang, TWA Menipo dan TB Bena (Kab Kupang), serta CA Maubesi di Kab Malaka. Banyak laporan masyarakat tentang adanya gangguan buaya ke kantor Balai Besar KSDA atau ke petugas resort, mulai dari yang hanya sekedar penampakan pada daerah wisata seperti di Pantai Lasiana, Pantai Manikin, Pantai Tablolong (ketiganya masuk wilayah TWL Teluk Kupang di Kabupaten Kupang), Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Ngada serta di Teluk Kalabahi (Kabupaten Alor), hingga peristiwa diterkamnya warga masyarakat yang mengakibatkan luka sebagian atau meninggal dunia. Pada Tahun 2013, peristiwa konflik buaya antara lain terjadi pada :

  • 4K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    1. Tanggal 6 Januari 2013, buaya muara yang selama ini meresahkan masyarakat di lokasi wisata Pantai Manikin Kabupaten Kupang, ditangkap oleh masyarakat yang selanjutnya diserahkan kepada BBKSDA NTT. Buaya sepanjang sekitar 3,5 meter tersebut telah dilepasliarkan di Teluk Manipo yang merupakan habitat buaya pada kawasan TWA Manipo, Kabupaten Kupang pada tanggal 9 Januari 2013 oleh Tim Penyelamat Satwa Balai Besar KSDA NTT.

    2. Tanggal 30 Mei 2013; seorang warga masyarakat Kelurahan Merdeka, Kecamatan Kupang Timur, Kabupaten Kupang bernama Sam Sem Ledo (53 tahun) tewas diterkam buaya. Ayah 11 anak ini tidak kembali ke rumahnya setelah izin pergi memancing. Keluarga melapor ke polisi dan melakukan pencarian ke sungai. Polisi mengatakan mereka awalnya menemukan keranjang kepiting milik Sam dan alat-alat pancing serta sandalnya. Dalam penyusuran selanjutnya, polisi dan keluarga terkejut saat melihat kepala Sam mengapung di air. Organ tubuhnya, termasuk usus, ditemukan berceceran di dekat lokasi kepala tersebut. Pada kasus ini BBKSDA NTT belum dapat berbuat banyak untuk menemukan, menangkap dan merelokasi buaya tersebut .

    3. Tanggal 14 September 2013, setelah meresahkan masyarakat di sekitar Pasar Oeba Kota Kupang selama beberapa hari, seekor buaya akhirnya berhasil dijerat oleh masyarakat nelayan setempat. Buaya sepanjang 362 Cm selanjutnya diserahkan kepada BBKSDA NTT. Pelepasliaran dilakukan ke habitat alam buaya pada Muara Sungai Noelmina di Taman Buru Bena, Kabupaten Timor Tengah Selatan pada tanggal 16 September 2013xxxx

    4. Tanggal 29 September 2013, sekor buaya muara sepanjang 392 cm masuk di areal pesawahan sekitar kawasan CA Maubesi, Kabupaten Malaka. Buaya tersebut kemudian ditangkap oleh

  • 5K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    masyarakat dan dilaporkan ke petugas Resort Wilayah CA Maubesi. Sehari setelah ditangkapnya buaya tersebut, petugas dengan dibantu masyarakat setempat melakukan pelepasliaran ke habitatnya di CA. Maubesi. Dalam proses pelepasliaran pada awal Oktober 2013 terjadi kecelakaan yang mengakibatkan putusnya jari tengah tangan kiri petugas lapangan An. Joni Karya, Polhut pada Resort Konservasi Wilayah CA Hutan Bakau Maubesi akibat tergigit satwa.

    5. Tanggal 17 Oktober 2013, seekor buaya muara sepanjang 425 cm memasuki tambak masyarakat di sekitar TWA Bipolo di Kabupaten Kupang. Pada tanggal 20 Oktober 2013, Petugas BBKSDA NTT telah menangkap dan langsung merelokasi buaya tersebut pada Muara Sungai Noelmina di Taman Buru Bena, Kabupaten Timor Tengah Selatan

    6. Tanggal 16 November 2013; Amarsing (39 thn), warga Kelurahan Solor, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang, diduga tewas diterkam buaya di Pantai Namosain, Kupang. Tim dari Badan SAR Nasional (Basarnas) Kupang yang mencari jenazah Amarsing hingga Sabtu malam belum berhasil menemukannya. Terhadap peristiwa ini BBKSDA NTT belum dapat berbuat banyak mengingat penanganan buaya di perairan memerlukan prasarana dan sarana berupa kapal serta perlengkapan yang lebih lengkap.

    Gambar 2. Penanganan Buaya yang akan dilepasliarkan ke habitatnya

  • 6K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    (3) Fenomena Hotspot di Provinsi NTTBerdasarkan data dari mailing-list Sistem Informasi Kebakaran

    Hutan Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan, Situs InfoFire, dan NASA Firms, para periode Januari s/d November 2013, di Provinsi NTT terdapat 2.287 hotspot. Hotspot atau titik panas adalah parameter yang diperoleh dari data satelit dan diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Dari 2.287 hotspot di seluruh NTT, hanya 16 hotspot yang berada di kawasan konservasi di bawah pengelolaan BBKSDA NTT, yaitu CA Wae Wuul (1 titik), CA Wolo Tado (4 titik), CA Riung (2 titik), SM Kateri (3 titik), TWA Ruteng (1 titik), TWA Pulau Besar (1 titik), dan di TWA Tuti Adagae (4 titik).

    Kebakaran di kawasan konservasi umumnya terjadi di savana, sebagai peristiwa yangalami maupun disengaja. Kejadian kebakaran seperti ini sangat penting bila dikaitkan dengan ketersediaan pakan khususnya bagi satwa rusa. Hal ini dikarenakan setelah terjadi kebakaran, beberapa saat kemudian akan tumbuh rumput baru sebagai pakan segar bagi satwa mamalia seperti rusa dan kerbau liar. Namun demikian kejadian kebakaran di kawasan konservasi tetap harus dikendalikan karena akan berdampak kepada kerusakan habitat satwa lainnya terutama sebagai tempat berlindung, bersarang maupun mencari makan. Kebakaran yang terjadi di TWA Menipo pada 17 September 2012 seluas 30 Ha, telah kembali pulih (suksesi) dalam waktu kurang dari satu bulan dan menjadi sumber pakan bagi rusa.

    Hampir sama dengan TWA Menipo, savana di CA Wae Wuul pun kerap kali mengalami kebakaran hutan dan lahan, dan akan mengalami suksesi setelah terbakar berupa tumbuhnya rumput baru. Kondisi ini akan berbanding lurus dengan ketersediaan pakan bagi biawak komodo, karena populasi rusa bertambah seiring dengan rumput yang tumbuh subur. Namun yang harus diwaspadai adalah keberadaan para pemburu rusa, mereka akan

  • 7K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    memanfaatkan kejadian ini sehingga dengan mudah menembak rusa yang keluar dari persembunyian untuk menikmati rumput baru. Hal ini merupakan salah satu faktor penurunan jumlah satwa mangsa komodo, yaitu rusa.

    Kebakaran di kawasan CA Wae Wuul, terjadi di daerah Gunung Warloka (1,5 Ha) dan Gunung Menjerite (50 Ha), pada tanggal 20 Agustus 2013. Kebakaran di Gunung Menjerite sulit dipadamkan karena lokasinya sangat jauh dan tidak ada akses. Petugas belum mengetahui penyebab terjadinya kebakaran di kedua tempat ini.

    Pada tahun 2013, telah terjadi dua kali kebakaran hutan di CA Mutis. Kebakaran terjadi pada bulan-bulan kering yaitu pada Oktober dan November 2013. Kebakaran pertama terjadi pada tanggal 03 Oktober 2013 di dalam kawasan CA Mutis, lokasi Uknonin - Desa Bonleu Kec. Tobu Kab. TTS. Pada pukul 13.00 WITA, Tim pemadam dari BBKSDA NTT melakukan koordinasi dengan Kepala Desa dan tokoh masyarakat Desa Bonleu. Dengan mempertimbangkan masukan-masukan, kondisi medan serta ketersediaan tenaga masyarakat untuk membantu memadamkan, maka pemadaman baru bisa dilakukan keesokan harinya pada hari Jumat tanggal 04 Oktober 2013. Pukul 06:00 WITA. Tim pemadam bersama masyarakat bergerak ke lokasi yang terbakar. Lokasi kebakaran terletak pada titik koordinat (S 090 3426.0 E 12401439.0). Kebakaran masih termasuk dalam tipe kebakaran permukaan, karena kebakaran sebagian besar hanya membakar semak dan tumbuhan bawah. Dengan dibantu hujan gerimis yang turun pada malam sebelumnya (03 Oktober 2013) kebakaran akhirnya dapat dipadamkan oleh tim pada sore hari. Luas areal yang terbakar 5 Hektar. Penyebab kebakaran diduga akibat aktifitas masyarakat yang berburu kus-kus. Masyarakat membakar hutan untuk memudahkan menggiring kus-kus. Sehingga kebakaran ini mengakibatkan terbakarnya seresah (bawah) dan pohon ampupu.

  • 8K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    Kebakaran kedua terjadi pada tanggal 12 November 2013 selama tiga hari dan berhasil dipadamkan pada tanggal 14 November 2013. Informasi terjadinya kebakaran diterima oleh petugas RKW CA Mutis dari masyarakat Desa Tutem pada tanggal 12 November 2013 di malam hari . Keesokan harinya pada tanggal 13 November 2013 petugas melakukan koordinasi dengan Kepala Desa, Tokoh masyarakat dan Tokoh Agama Desa Tutem dan Desa Pusabu (Desa pemekaran dari Desa Tutem) untuk melakukan aksi pemadaman. Kebakaran terjadi di dua lokasi yang berbeda. Pemadaman pertama dilakukan di lokasi Telli Desa Tutem (S 090 38 40,24 E 12401623,77) dengan ketinggian 1.099 mdpl. Sedangkan pemadaman kedua dlakukan pada hari berikutnya di lokasi Oepah Desa Tutem (S 090 38 31,25 E 12401537,55) dengan ketinggian 1.295 m dpl. Jarak antara kedua lokasi 3 Km, tapi dengan kondisi medan yang berbukit-bukit membuat jangkauan ke lokasi semakin sulit. Kebakaran di kedua lokasi berhasil dipadamkan pada hari Kamis tanggal 14 November 2013 pukul 15:00 WITA. Aksi pemadaman sangat tertolong dengan turunnya hujan lebat di lokasi-lokasi kebakaran sehingga api dapat cepat padam. Luas yang terbakar di lokasi Telli seluas 8 Ha dan di lokasi Oepah seluas 12 Ha. Kebakaran termasuk kategori kebakaran permukaan karena tidak sampai membakar pohon-pohon yang ada di lokasi, dan hanya membakar tumbuhan bawah serta semak belukar.

    Penyebab kebakaran hutan di CA Mutis diduga akibat aktivitas masyarakat sekitar yang membakar lahan pertanian mereka untuk persiapan lahan tanam, yang kemudian merambat ke dalam kawasan. Untuk usaha ke depannya perlu dilakukan sosialisasi pencegahan kebakaran hutan di desa tersebut, sehingga tidak lagi terjadi kebakaran di kawasan CA Mutis akibat persiapan lahan masyarakat sekitar kawasan dan juga perlu dilakukan patroli intensif pada area-area rawan kebakaran.

  • 9K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    Kesulitan yang dihadapi petugas lapangan pada saat melakukan pemadaman adalah berupa kurangnya petugas lapangan di setiap resort, kurang tersediannya sarana pemadaman, sulitnya akses dengan kondisi topografi yang terjal dan batu karang, kesadaran masyarakat yang rendah, budaya masyarakat yang membakar lahan untuk persiapan pananaman saat musim hujan, kebiasaan pemburu yang membakar rumput untuk memancing satwa rusa keluar.

    Gambar 3. Kebakaran di TWA Menipo (Kiri) dan Kebakaran di CA Mutis (Kanan)

    (4) Tiga Pilar untuk Kelola TWA Ruteng Ketidaksepahaman masyarakat adat Colol dan Balai KSDA

    NTT II mengenai batas TWA Ruteng pada awal tahun 2000an, telah menimbulkan berbagai konflik. Salah satunya adalah upaya penegakan hukum pada tahun 2004 yang menimbulkan korban 7 orang warga Colol meninggal dan puluhan cacat permanen. Sejak saat itu, hingga akhir 2011, tidak pernah terjadi komunikasi antara Balai KSDA di Ruteng dengan masyarakat di Colol. Tiga Pilar adalah inisiatif untuk melakukan rekonsiliasi, melalui duduk bersama, atau lonto leok, dan telah dicapai kesepahaman awal pada 12 Desember 2012 di Rumah Gendang Induk di Colol. Musyawarah Besar di Kisol, Manggarai Timur pada 29-30 Mei 2013 dan di Manggarai pada 18-19 Juni 2013 telah mengkristalkan kesepahaman para pihak (Gereja, Masyarakat Adat, Pemerintah Kabupaten, Kecamatan, Desa dan

  • 10

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    Balai Besar KSDA NTT) untuk menyelamatkan dan melindungi TWA Ruteng demi kepentingan bersama, dengan simpul ikatan air untuk kehidupan. Semua masalah harus diselesaikan bersama Tiga Pihak tersebut.

    Gambar 4. Lontoleok Hari Bersejarah 12-12-2012, Konsep Telu Siri Disepakati di Rumah Gendang Colol

    Pada prinsipnya, Tiga Pilar adalah suatu Lembaga Dialog, dimana berbagai konflik dan persoalan diselesaikan bersama-sama secara damai. Demikian pula potensi kawasan harus bisa dimanfaatkan dengan pola musyawarah Tiga Pihak. Terbangunnya mekanisme komunikasi dan dialog untuk memecahkan masalah dan mengembangkan potensi ini diharapkan menjadi suatu kesadaran bersama para pihak. Akhir Desember 2013, telah dilaksanakan cek batas secara bersama (Adat, Gereja, Pemerintah Desa) untuk mengetahui batas yang sebenarnya dan batas yang disepakati. Era baru pengelolaan kolaboratif Tiga Pihak dimulai di TWA Ruteng dan akan terus dikawal pada tahun 2014 dan seterusnya.

  • 11

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    (5) Komodo ada Dimana-mana a. Pulau Ontoloe, TWA Tujuh Belas Pulau

    Pemantauan populasi satwa liar merupakan salah satu komponen yang sangat penting dalam upaya konservasi, terutama satwa yang terancam punah. Kegiatan pemantauan yang efektif haruslah dapat menentukan dan menggunakan metode-metode yang menghasilkan data yang akurat dengan biaya yang rendah dan efisien secara logistik.

    Pada tanggal 26 September 2012 s/d 6 Oktober 2012, Tim BBKSDA NTT dibantu oleh Komodo Survival Program (KSP) telah melakukan survey awal sebaran populasi Komodo di Pulau Ontoloe. Metode yang digunakan adalah dengan bantuan camera trap (kamera pengintai) untuk mengamati kehadiran satwa Biawak Komodo.

    Berdasarkan data dari foto-foto yang dihasilkan oleh camera trap, diperkirakan terdapat 6-8 ekor biawak Komodo di Pulau Ontoloe, sedangkan berdasarkan hasil perhitungan site occupancy menunjukkan nilai indeks populasinya adalah 0,80 0.14. Biawak Komodo di Pulau Ontoloe tergolong sehat, hal ini ditunjukkan melalui foto-foto yang didapatkan bahwa pada umumnya bagian pangkal ekor masing biawak Komodo tersebut terlihat gemuk (cembung) tidak cekung.

    Pada tahun 2013 ini, kegiatan survey populasi Biawak Komodo dan mangsanya di Pulau Ontoloe TWA 17 Pulau kembali dilakukan, tepatnya pada tanggal 26 Oktober 2013 s/d 5 November 2013. Berdasarkan perhitungan menggunakan metode Mark-Recapture, populasi biawak Komodo di dalam area kajian Pulau Ontoloe seluas 2,14 km2 diperkirakan sebanyak 16 ekor atau memiliki nilai kepadatan 7,5 individu per kilometer persegi .

  • 12

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    Ukuran tubuh Biawak Komodo bervariasi dari Komodo yang terkecil sepanjang 109,1 cm (SVL=44,6) dengan berat 10 kg, hingga yang terbesar berukuran 219,5 cm (SVL=100,7) dengan berat mencapai 18,4 kg. Komodo yang terkecil diperkirakan baru berumur 2 tahun. Namun untuk penentuan kelas umur Biawak Komodo di Flores masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Selain itu telah ditemukan dua sarang Biawak Komodo di Pulau Ontoloe, sehingga perlu diadakannya monitoring yang lebih intensif pada waktu musim reproduksi, untuk memastikan apakah sarang tersebut aktif atau digunakan Komodo betina untuk meletakkan telurnya.

    Gambar 5. Komodo (Varanus komodoensis) di Pulau Ontoloe TWA 17 Pulau

    b. Tanjung Watu Pajung

    Menerapkan Pola Tiga Pilar, pada tanggal 7 November 2013 dilakukan Lonto Leok (duduk bersama) dengan metode diskusi terbatas yang dipimpin langsung oleh Kepala Bidang KSDA Wilayah II (Ora Yohanes) dengan narasumber dari KSP (Achmad Ariefiandy

  • 13

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    Husen, M.Phil dan Deni) di Tanjung Watu Pajung, Kecamatan Sambi Rampas, Kabupaten Manggarai Timur.

    Lonto Leok dihadiri oleh para tokoh masyarakat dan Kepala Desa dari lima desa (Kel. Pota, Kel. Baras, Ds. Nampar Sepang, Ds. Nanga Mbaur, Ds. Nanga Mbaling), Camat Sambi Rampas beserta staf, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Manggarai Timur beserta staf, Kepala Bidang PHKA Dinas Kehutanan Kab. Manggarai Timur beserta staf RPH Sambi Rampas, dan Kepala Bidang KSDA Wilayah II beserta jajarannya. Lonto Leok tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi yang ditanda-tangani oleh semua pihak, diantaranya adalah :

    - Lokasi sebaran utama komodo adalah Nanga Baras dan Watu Pajung (Ds. Nanga Mbaur dan Ds. Nampar Sempang), Perisai (Kelurahan Pota), Golo Lijun/Nanga Lok sehingga untuk kepastian tempat diperlukan survey lokasi sebaran komodo oleh BBKSDA NTT, KSP dan masyarakat setempat.

    - Dinas Kehutanan Kabupaten Manggarai Timur mengupayakan pembangunan Pos Pengamanan Hutan di Watu Pajung.

    - Komodo yang selama ini dipelihara di Tompong akan dilepaskan kembali ke habitatnya di Watu Pajung, oleh Kepala Desa Nampar Sepang bersama masyarakat disaksikan oleh petugas lapangan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Manggarai Timur.

    Balai Besar KSDA NTT bersama KSP berencana akan melakukan survey awal sebaran populasi Komodo di Pota dan sekitarnya pada Tahun 2014. Selain survey lanjutan di tahun 2014, BBKSDA NTT bersama KSP berencana akan melakukan tes DNA komodo yang ada di CA Wae Wuul dan Pulau Ontoloe, TWA Tujuh Belas Pulau. Tes DNA tersebut dilakukan untuk memastikan apakah Komodo yang berada di Pulau Flores (CA Wae Wuul dan P. Ontoloe) dan Komodo di Pulau Komodo dan Rinca (TN. Komodo) merupakan jenis (spesies) yang berbeda atau

  • 14

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    jenis yang sama atau dapat dikelompokkan menjadi dua anak jenis (sub-spesies). Hal tersebut diperlukan untuk memberikan jawaban atas keingintahuan kelompok scientist, masyarakat dan khususnya pemerintah Kabupaten Manggarai Timur. Selain itu, hasil tes DNA itu merupakan kontribusi penting dalam ilmu biologi dan biogeografi.

    Tes DNA Komodo itu menggunakan sampel darah yang telah diambil pada saat kegiatan survey komodo di tahun 2013. Sampel-sampel darah tersebut telah diberikan perlakuan dan disimpan di Kantor Balai Besar KSDA NTT. Berkaitan dengan hal tersebut, Balai Besar KSDA NTT bersama dengan KSP meminta bantuan Puslitbang Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk melakukan tes DNA di Laboratorium LIPI. Sebanyak 11 tabung sampel darah dari 11 individu komodo di Ontoloe sedang dilakukan pemeriksaan di Laboratorium LIPI Biologi.

    c. Golo Mori dan Tanjung Kerati Mese

    Komodo di Golo Mori dan Tanjung Kerati Mese disurvey oleh KSP, Yayasan Burung Indonesia, dan BBKSDA NTT. Survey di Golo Mori dilakukan pada tanggal 30 Juni s/d 3 Juli 2013, sedangkan survey di Tanjung Kerita Mese dilakukan pada tanggal 24 s/d 27 September 2013.

    Berdasarkan pengamatan terhadap morfologi (ukuran tubuh dan pola warna) serta berdasarkan waktu tertangkap kamera dan pertimbangan jarak dan waktu pergerakan Biawak Komodo, diperkirakan sekurangnya ada lima ekor Biawak Komodo di hutan pesisir Desa Golo Mori dan tujuh ekor Biawak Komodo di Tanjung Kerita Mese, yang terekam oleh kamera. Angka tersebut merupakan perkiraan minimal berdasarkan rekaman camera trap, sedangkan untuk perkiraan jumlah Biawak Komodo di lokasi-lokasi tersebut perlu penelitian lebih lanjut.

    Berdasarkan pengamatan terhadap foto hasil camera trap menunjukan bahwa pada kedua lokasi kajian itu terdapat Biawak

  • 15

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    Komodo dari semua ukuran kelas umur, yaitu: anak, remaja dan dewasa. Biawak Komodo terbesar ditemukan di lembah Lajar, Desa Golo Mori. Untuk memastikan ukuran dan kelas umur Biawak Komodo diperlukan penelitian yang lebih mendalam, termasuk pengukuran secara langsung morfologi Biawak Komodo tersebut.

    Hal lain yang menjadi catatan penting dari hasil survey adalah bahwa kondisi tubuh Biawak Komodo yang dapat terekam oleh camera trap di pesisir Golo Mori dan di Tanjung Kerita Mese, hampir seluruhnya dalam kondisi yang ideal. Kondisi tersebut dinilai dari bentuk dan lingkar pangkal ekor dari masing-masing individu. Biawak Komodo yang sehat umumnya pangkal ekor mereka relatif bundar dan padat berisi. Pangkal ekor merupakan tempat penyimpanan cadangan lemak, sehingga bagian tubuh ini merupakan indikator kesehatan Biawak Komodo.

    (6) Hutan Lindung Pota sebagai Ekosistem EsensialUpaya pengelolaan kawasan ekosistem esensial menjadi salah

    satu perhatian dalam isu pembangunan yang berkeadilan. Instruksi Presiden RI No 3 Tahun 2010 tentang Program Pembangunan yang berkeadilan mengamanatkan untuk meningkatkan pengelolaan dan pendayagunaan ekosistem esensial sebagai sistem penyangga kehidupan melalui program konservasi keanekaragaman hayati dan perlindungan.

    Untuk mencapai target indikator tersebut, langkah-langkah pencapaian pelaksanaan Inpres 3/2010 yang telah dilaksanakan sebagai berikut : (a) Identifikasi, Inventarisasi dan Validasi Data Ekosistem, (b) Sosialisasi dan Koordinasi Pengelolaan Ekosistem Esensial, (c) Penyusunan kesepakatan Pengelolaan Ekosistem Esensial, (d) Pembentukan Forum Kerjasama/Kolaborasi Pengelolaan, (e) Penyusunan Rencana Strategis/Aksi akan dilaksanakan oleh

  • 16

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    Forum Kolaborasi pada Tahun 2013, dan (f ) Monitoring dan Evaluasi Implementasi oleh Ditjen PHKA cq.Direktorat KKBHL pada Tahun 2013 dan 2014.

    Kawasan ekosistem esensial (EE) di Kabupaten Manggarai Timur yang dipilih adalah Hutan Lindung Pota di Kecamatan Sambi Rampas . Mengapa hutan lindung ini penting dan dipilih menjadi kawasan EE? Tidak lain karena ditemukannya biawak komodo dan bahkan ditemukan banyak jejaknya sampai ke Pantai Watu Panjung. Luas Hutan Lindung Pota ini adalah 10.641 Ha (RTK.101). Bupati Manggarai Timur telah menetapkan Forum Kolaborasi Pengelolaan Ekosistem Esensial HL Pota, yaitu keputusan Nomor : HK/83.A/2013 tanggal 4 September 2013. Salah satu tugasnya adalah menyusun Rencana Aksi Pengelolaan HL Pota sebagai Ekosistem Esensial. BBKSDA NTT akan mendukung dimulainya survey awal komodo pada tahun 2014, bekerjasama dengan Komodo Survival Program (KSP). Keberadaan biawak komodo juga dilaporkan oleh masyarakat berada di HL Sawe Sange, di sebelah timur HL Pota. Hutan lindung ini memiliki luas 7.259 Ha, dan sebaiknya perlu dikelola sebagai perluasan kawasan EE pada Hutan Lindung Pota.

  • 17

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    Gambar 6. Dari Kiri ; Kepala Balai Besar KSDA NTT, Bupati Manggarai Timur dan Kepala Dinas Kehutanan Manggarai Timur Saat Membuka Rapat Koordinasi

    Pengelolaan Kawasan Ekosistem Esensial HL. Pota di Borong

    (7) Sponge sebagai Materi Anti CancerPengelolaan kawasan konservasi tidak hanya mengatasi

    masalah. Kelola kawasan konservasi harus mampu mengungkap rahasia di balik keindahan kawasan-kawasan konservasi tersebut. Hanya dengan penguasan IPTEK, ilmu dan teknologi atau science, dan membangun jejaring kerja kepakaran, maka rahasia yang terpendam di dalam kawasan konservasi itu dapat diungkap secara bertahap. Riset sponge sebagai bahan anti kanker dimulai pada tahun 2009-2010, dimana Tim Peneliti dari Universitas Diponegoro (Ir. Agus Trianto, M.Sc., Ph.D), Universitas Lampung (Prof. Andi Setiawan, Ph.D dan Idam Setiawan, ST.,M.Sc.) dan Universitas Ryusyhu, Jepang (Prof. Kobayashi Dekan Kimia Bahan Hayati Laut, Prof. Junichi Tanaka dan DR. Arai) bekerjasama dengan BBKSDA NTT.

    Tujuan kerjasama adalah mengeksplorasi jenis-jenis sponge di TWL Teluk Kupang. Telah berhasil dikumpulkan 80 sampel sponge

  • 18

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    dengan satu jenis di antaranya belum dapat diidentifikasi, yang kemungkinan adalah spesies baru.

    Gambar 7. Sponge yang ditemukan di Perairan TWL Teluk Kupang, yang belum teridentifikasi

    Tahun 2011, menggunakan sampel sponge dengan tagging K09-02 yang diidentifikasi sebagai Candidaspongia sp yang merupakan endemik perairan Teluk Kupang hasil koleksi tahun 2009 yang dibekukan, mendapatkan ekstrak kasar senyawa yang mampu menghambat sel NBT-T2 (sel kanker kandung kemih tikus putih) dengan lC50 sebesar 0,1/mL. Pemurnian ekstrak tersebut menghasilkan senyawa candidaspongiolide beserta dua derivat baru yang sangat kuat menghambat sel kanker dengan IC50 sebesar 37,0; 4,7 dan 19,0 ng/mL (nanogram/mililiter). Keunikan dan potensi candidaspongiolide tersebut membuat group NCl (National Cancer Institute, AS) terus menerus mengembangkan senyawa tersebut.

    Tahun 2012, dilakukan marine culture secara in-situ dan ex-situ untuk memperbanyak sampel stok dari senyawa Candidaspongiolide.

  • 19

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    Diperoleh kesimpulan bahwa hasil budidaya di Teluk Kupang (in-situ) lebih banyak daripada yang non budidaya (langsung diambil dari alam). Secara ex-situ, di perairan Pulau Panjang Jepara, budidaya tidak berhasil. Hal ini menunjukkan Candidaspongia sp adalah endemik di TWL Teluk Kupang.

    Tahun 2013, dilakukan tiga kegiatan, yaitu : (1) koleksi sampel mikroba simbion di TWA 17 Pulau (11-15 Oktober 2013), dan telah diperoleh 19 sampel sponge yang berbeda jenis pada kedalaman 10-20 meter. Koleksi sampel tersebut digunakan untuk bahan inokulasi mikroba simbion yang bertujuan untuk mendapatkan isolat murni mikroba yang bersimbiose pada sponge. Isolat murni tersebut nantinya akan dikembangkan sebagai bibit kultur massal mikrosimbion dan akan digunakan untuk bahan analisis kandungan senyawa anti kanker, (2) penyerahan bahan dan peralatan laboratorium dari BBKSDA NTT kepada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNDIP dalam rangka kerjasama eksplorasi sponge di TWL Teluk Kupang sebagai bahan antikanker, yaitu Malt Extract Agar (MEA), Malt Extract Broth (MEB), Nutrient Agar (NA), Nutrient Broth (NB), Bacto Agar (BA), Peptone, Yeast Extract, Aceton Hexane, Methanol, Ethylacetate, Asam sulfat, adalah bahan laboratorium untuk kultur simbion sponge; peralatan berupa petri disk, magneting stiring rod, pasteur pipet, filter paper watham, vanilin, rak kultur, yang mendukung ekstraksi sponge hasil eksplorasi di TWL Teluk Kupang, dan (3) kegiatan lapangan eksplorasi sponge di TWL Teluk Kupang berupa monitoring kultur sponge Candidaspongia sp yang telah dilakukan tahun 2012 di sekitar Dermaga Polair NTT di dalam TWL Teluk Kupang, dengan didukung monitoring parameter perairan berupa suhu, pH, salinitas, nitrat, fosfat, silikat, densitas, dan kenaekaragaman bakteri dan plankton.

  • 20

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    (8) Uji Fitokimiawi Tumbuhan Obat Riset S2 dengan tema tumbuhan yang memiliki potensi obat

    yang dimanfaatkan oleh masyarakat, telah dilakukan oleh Elisa Iswandono pada tahun 2007. Terdapat minimal 60 jenis tumbuhan yang berkasiat untuk berbagai jenis penyakit. Pada tahun 2013, BBKSDA telah mengirimkan sampel sebanyak 40 jenis tumbuhan dari TWA Ruteng dan 26 jenis tumbuhan dari TWA Camplong ke Laboratorium Farmaka IPB, untuk dilakukan uji fitokimia. Fitokimia merupakan studi mengenai tumbuhan yang berkaitan dengan kandungan senyawa kimia aktif farmakologis. Penelitian dasar ini penting untuk mengetahui khasiat dan kegunaan tumbuhan yang meliputi ekstraksi, isolasi dan skrining fitokimia. Tujuannya untuk mengetahui senyawa kelompok obatnya.

    Hasil uji fitokimia tersebut diharapkan dapat dijadikan dasar untuk pengembangan lebih lanjut penangkaran di tingkat masyarakat, sebagai bagian dari pengembangan daerah penyangga dalam upaya peningkatan pendapatan masyarakat sekitar TWA Ruteng. Upaya-upaya pengembangan daerah penyangga ini akan ditempuh melalui pendekatan Tiga Pilar, sehingga peran Gereja, dan pemerintah kabupaten dengan SKPDnya akan semakin jelas dan dapat dipadukan dnegan program-program yang dikerjakan oleh BBKSDA NTT.

    Secara kimia tumbuhan mengandung berbagai bahan kimia aktif yang berkhasiat obat. Komponen-komponen tersebut berupa senyawa-senyawa golongan alkaloid, steroid dan triterpenoid, flavonoid dan saponin.Hasil kajian dari Lab Biofarmaka IPB terhadap tumbuhan obat di TWA Ruteng adalah sebagai berikut :

    AlkaloidpadakegiatanBiofarmakadiTWARutengditemukandalam: (1) Kulit kayu dan akar boto (Tabernaemontana sphaerocarpa) yang dalam pengobatan tradisional Manggarai digunakan dalam pengobatan malaria dan juga demam,

  • 21

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    (2). Kulit kayu wuhar (Cryptocarya densiflora) yang dalam pengobatan tradisional Manggarai digunakan dalam pengobatan TBC, disentri dan sakit pinggang. Suatu kebetulan yang menakjubkan bahwa orang Manggarai seakan mengerti ada kesamaan manfaat untuk pengobatannya.

    Steroid pada kegiatan Biofarmaka di TWA Ruteng ditemukanpada 36 sampel atau 90% dari sampel tumbuhan obat kecuali pada kulit kayu redong (Trema orientalis), rebak (Macaranga tanarius), ajang (Toona sureni), garit (Canarium sp). Banyaknya sampel yang mengandung steroid ini mungkin dalam pengobatan tradisional berdampak pada pereda nyeri atau sakit sehingga memberikan efek perasaan cepat sembuh.

    Flavonoid merupakan senyawa fenolik alam yang potensialsebagai antioksidan dan mempunyai bioaktifitas sebagai obat. Flavonoid pada manusia berfungsi sebagai antioksidan sehingga sangat baik untuk pencegahan kanker. Manfaat flavonoid adalah melindungi struktur sel, meningkatkan efektivitas vitamin C, anti inflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik. Sebanyak 23 dari 40 sampel atau lebih dari 50% sampel mengandung flavonoid. Beberapa sampel yang mengandung flavomoid adalah kulit kayu puser, waek, kenda lagkok, redong, ndingar, ara, garit, sita; daun cawat, wua, menangis, kampel, rao, karot diong, cigir, mulu, nangker, renggong, ngelong, sandal urat, cangkar, randiawang, ntila, puser, wase wanger, sensus, tongkak, rukus, garit; akar boto.

    Kegunaan tanin dalam pengobatan modern adalah sebagaianti septik pada jaringan luka, misalnya luka bakar yaitu dengan cara mengendapkan protein, campuran obat cacing dan anti kanker. Sebanyak 31 dari 40 sampel biofarmaka TWA Ruteng mengandung tanin, yaitu: kulit kayu puser, waek, kenda langkok, redong, ndingar, ara, mulu, garit; daun cawat, wua,

  • 22

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    menangis, kampel, rao, karot diong, cigir, nangker, renggong, ngelong, sandal urat, randiawang, ntila, puser, wase wanger, sensus, tongkak, rukus, garit, tepotai, laso ular, tai ntala, legi.

    Saponin mempunyai aktifitas farmakologi yang cukup luasdiantaranya meliputi: immunomodulator, anti tumor, anti inflamasi, antivirus, anti jamur, dapat membunuh kerang-kerangan, hipoglikemik, dan efek hypokholesterol. Saponin juga mempunyai sifat bermacam-macam, misalnya: terasa manis, ada yang pahit, dapat berbentuk buih, dapat menstabilkan emulsi, dapat menyebabkan hemolisis. Dalam pemakaiannya saponin bisa dipakai untuk banyak keperluan, misalnya dipakai untuk membuat minuman beralkohol, dalam industri pakaian, kosmetik, membuat obat-obatan, dan dipakai sebagai obat tradisional1. Dalam kegiatan biofarmaka di Ruteng, sebanyak 36 dari 40 sampel atau sebanyak 90% mengandung tanin yang ditemukan dalam kulit kayu puser, lui, waek, redong, ndingar, boto, teno, rebak, wuhar, ara, mulu, ajang, garit, sita; daun cawat, wua, menangis, kampel, rao, karot diong, cigir, nangker, cangkar, randiawang, ntila, puser, wase wanger, sensus, tongkak, rukus, garit, tepotai, laso ular, tai ntala, legi; akar boto.

    Gambar 8. Potensi Tanaman Obat di TWA Ruteng

  • 23

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    (9) Spirit Kembali ke LapanganResort Based Management (RBM) adalah upaya membangun

    sistem kerja yang lebih berorientasi di lapangan yang didukung dengan sistem informasi yang akurat sehingga data diolah dan dijadikan informasi sebagia bahan perencanaan yang lebih rasional, dan secara bertahap berbagai persoalan dapat diselesaikan dan potensi dapat dikembangkan. RBM di BBKSDA NTT dimulai pada awal Maret 2012 dengan workshop RBM, yang melibatkan seluruh resort. Pada tahun 2013, telah dilaksanakan pelatihan GIS, GPS, dan Sistem Informasi bagi 40 staf muda dari seluruh Resort/Seksi/Bidang Wilayah. Dengan demikian, pada tahun 2014 seluruh staf telah mampu melakukan update data dan informasi dari lapangan ke dalam peta, SIM RBM, dan update Situation Room, yang telah diserahkan dari Balai Besar kepada Bidang Wilayah di Soe dan Ruteng. Bahkan, setiap Kepala Seksi, sebaiknya dapat melakukan update data dan informasi dalam Situation Room, sehingga perkembangan di lapangan dapat didokumentasi dengan rapi dan mudah untuk dipakai sebagai bahan untuk laporan dan pengambilan keputusan-keputusan yang cepat dan akurat.

    RBM dengan fokus pendataan kondisi pal-pal batas di lapangan telah terbukti membantu ketika data tersebut diperlukan, misalnya untuk cek pal batas secara partisipatif di wilayah Colol TWA Ruteng, cek kondisi batas di CA Watu Ata dalam evaluasi fungsi kawasan tersebut. Manfaat lainnya adalah untuk bahan negosiasi dengan BPKH dalam rangka membuat skala prioritas rekonstruksi batas kawasan-kawasan konservasi yang menjadi prioritas. Secara umum, spirit kerja di lapangan meningkat, kinerja staf dapat dipantau dengan lebih cermat dan tepat. Dengan demikian, berbagai persoalan lapangan dapat dipotret dengan lebih cermat dan berdasarkan kondisi faktual yang ada.

  • 24

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    Gambar 9. Pendampingan UPT dalam Pelaksanaan RBM

    (10) Evaluasi Fungsi CA Watu AtaCagar alam ini terletak di Kabupaten Ngada, dengan luas 4.800

    Ha, yang semula berstatus sebagai hutan lindung RTK 142. Sejak penetapannya pada tahun 1992, telah menimbulkan berbagai pertentangan, karena masyarakat merasakan lahannya diklaim dan masuk ke dalam wilayah cagar alam. BBKSDA NTT melakukan evaluasi fungsi secara reguler untuk mengetahui perubahan-perubahan yang telah terjadi selama hampir 20 tahun terakhir. Fakta menunjukkan bahwa seluas 1.977 Ha atau 40% dari kawasan CA Watu Ata sudah tidak layak lagi sebagai cagar alam, karena kondisi tutupan vegetasinya bukan lagi asli, tetapi berupa kopi, dengan berbagai bentuk tanaman peneduh, seperti jarak, dan sengon; tanaman subsisten seperti jagung dan juga berkembang sayur-sayuran. Berdasarkan data 2012, jumlah petani yang bekerja penggarap sebanyak 1.824 KK. Hasil kerja Tim Evaluasi Fungsi ini akan disampaikan kepada Tim Revisi Tata Ruang Provinsi NTT, yang akan bekerja mulai Januari 2014. Pihak Pemkab menghendaki kawasan tetap sebagai hutan negara, namun masyarakat masih diperkenankan menggarap di dalamnya.

    Kondisi ini tentu tidak bisa dipenuhi apabila sebagian kawasan yang telah berubah tersebut berfungsi sebagai cagar alam. Kemungkinannya adalah diturunkan kembali sebagai hutan lindung,

  • 25

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    dan selanjutnya dapat dikelola melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKm). Tanpa penyelesaian yang saling menguntungkan, maka persoalan CA Watu Ata akan terus menggantung dan tidak pernah bisa diselesaikan secara tuntas. Hasil evaluasi fungsi yang dilakukan oleh BBKSDA NTT akan dilaporkan kepada Dirjen PHKA dan disampaikan kepada Ketua Tim Revisi tata Ruang Provinsi NTT, agar dapat dijadikan salah satu pertimbangan dalam menyusun rekomendasi.

    Gambar 10. Penjelasan Pengelolaan CA. Watu Ata di Kantor DPRD Kabupaten Ngada oleh Kepala Balai Besar KSDA NTT yang dihadiri oleh Wakil Bupati, Ketua Dewan dan Anggota, Ketua LAPMAS, Kepala Desa Sekitar CA. Watu Ata, Tokoh

    Masyarakat, Tokoh Adat

    (11) Restorasi SM Kateri Setelah terjadinya jajak pendapat Timor Timur pada tahun

    1999, telah terjadi eksodus pengungsi Timor Timur ke Provinsi NTT. Berdasarkan data Bappeda Kabupaten Belu tahun 2008, jumlah pengungsi yang bermukim di Kabupaten Belu sebanyak 12.792 KK (60.049 jiwa). Sebanyak 504 KK (3,6 %) bermukim di sekitar SM Kateri. Bahwa sampai dengan tahun 2012, berdasarkan analisis

  • 26

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    kami lebih dari 60 % kawasan SM Kateri mengalami kerusakan. Hal ini disebabkan adanya penggarapan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat eks pengungsi dari Timor-Timur sejak tahun 1999 sampai dengan saat ini. Mereka terpaksa menggarap lahan tersebut untuk penanaman tanaman pangan terutama jagung. Pemerintah sudah membantu penyediaan rumah bagi eks pengungsi termasuk pengungsi sebanyak 504 KK. Mereka terkonsentrasi pada 7 (tujuh) titik lokasi pemukiman yang berbatasan langsung dengan SM Kateri, yaitu di Wematek 40 KK, Waebua 90 KK, Kakaeknuan 130 KK, Benain 112 KK, Wehali 48 KK, Wemalae 45 KK dan Kamanas 39 KK.

    Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 25 tahun 2003 tanggal 5 Mei 2003 tentang Pendataan eks Penduduk Provinsi Timor Timur, disebutkan bahwa penduduk bekas Provinsi Timor Timur yang tetap setia pada NKRI diproses status kependuduannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Atas dasar Keppres tersebut, seluruh pengungsi telah mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), dengan demikian maka status mereka adalah Warga Negara Indonesia.

    Dampak dari kerusakan kawasan tersebut, yang dirasakan saat ini adalah banjir di lokasi Desa Kamanasa dan Desa Lakekun Barat, tanah longsor yang mengakibatkan putusnya ruas jalan Atambua-Betun (lokasi Wemer), menurunnya debit air dari beberapa sumber mata air yang berasal dari dalam kawasan (antara lain mata air Lamela, Tubaki, Weserasa, Wemaama, Wekalae).

    Pada tahun 2013 dilakukan sensus terhadap warga eks pengungsi Timor-Timur yang kehidupannya tergantung pada penggarapan di SM Kateri. Telah diperoleh data sebanyak 1.311 KK (6.283 jiwa, tersebar di 16 lokasi pemukiman) sebagai penggarap aktif di SM Kateri. Rapat koordinasi yang difasilitasi oleh Pusdalbanghut Regional II pada tanggal 25-26 November 2013, menghasilkan kesimpulan perlu

  • 27

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    segera dilakukan rapat koordinasi yang melibatkan Menko Kesra dan Menpera. Sedangkan Kemenhut perlu fokus pada pencarian solusi lahan untuk eks warga Timtim tersebut, di kawasan hutan produksi, yang dimungkinkan melalui skema hutan tanaman rakyat. Japan International Corporation System (JICS) telah mengirimkan Tim Kajian untuk melakukan cek lapangan, kemungkinan dilakukannya rehabilitasi SM Kateri, pada areal seluas 1.500 Ha. Salah satu syarat utama dari bantuan ini adalah selesainya persoalan eks warga Timtim yang saat ini menggarap di dalam SM Kateri.

    Gambar 11. Kondisi Kawasan SM. Kateri yang perlu di Restorasi

    (12) Potret Kesehatan TWA 17 PulauMarine Diving Clubs (MDC) dari Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas

    Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro, Semarang, telah bekerjasama dengan BBKSDA NTT untuk melakukan monitoring di kawasan perairan TWA 17 Pulau. Monitoring dilakukan pada 12 titik penyelaman antara tanggal 11-15 April 2013. Keragaman hayati

  • 28

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    laut dinilai masih baik. Banyak ditemukan ikan butana (Surgeonfish) dan kambing-kambing (Angelfish). Ditemukan pula ikan Napoleon (Cheilinus undulatus), yang panjangnya mencapai satu meter dan Kerondong (belut laut) raksasa yang panjangnya sekitar dua meter dengan diameter kepala sepuluh sentimeter.

    Gambar 12. Keragaman Jenis Ikan Karang di TWA 17 Pulau

    Hasil kajian tersebut menunjukkan kondisi tutupan karang yang mengkhawatirkan, yaitu di bawah 50%. Masih ditemukan penggunaan bom, potasium, dan pukat. Walupun demikian telah ditemukan lokasi yang mulai pulih kembali, seperti di North Bakau Island, yang didominasi oleh soft coral. Tutupan hard coral life yang rendah membawa akibat sedikitnya kelimpahan ikan karang bernilai ekonomis. Kondisi hard coral life berperan aktif terhadap density dan biomass ikan, seperti dibuktikan di South Tiga Island, dengan biomass tertinggi (719 biomass/ha (kg) dengan density kedua terbanyak, yaitu 3.406 density/ha (individu).

  • 29

    K A L A I D O S K O P K I N E R J A K O N S E R VA S I TA H U N 2 0 1 3

    Penutupan lamun meningkat untuk spesies Enhaus acorides namun terjadi penurunan pada spesies Cymodocea rotundata. Sementara itu kondisi mangrove dengan kerapatan cukup tinggi. MDC menyarankan dilakukannya peningkatan upaya pengamanan kawasan dari pemboman dan penggunaan potas serta pukat.

    PenutupSemoga dengan dipublikasikannya Kalaidoskop 2013 BBKSDA

    NTT ini, pimpinan di tingkat Jakarta, baik pada level Direktur, Dirjen, dan Menteri Kehutanan dapat mengetahui secara cepat, tetapi jelas dan fokus tentang peristiwa-peristiwa dan upaya-upaya konservasi yang telah dikerjakan dan menjadi prioritas di wilayah kerja BBKSDA NTT. Bagi masyarakat luas, khususnya yang berada di Provinsi NTT, diharapkan dapat membantu mendapatkan informasi yang tepat dari sumber pertama, karena masyarakat berhak mendapatkan informasi tentang berbagai persoalan maupun potensi sumberdaya alam di wilayahnya.

    Dengan demikian, diharapkan dukungan masyarakat untuk meningkatkan upaya konservasi tersebut dalam arti luas, menjadi suatu kesadaran kolektif sebagai syarat untuk membangun suatu gerakan kolektif. From collective awareness to collective action. Dengan membangun jaringan kerja kepakaran dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, kita ungkap rahasia alam bumi Nusa Tenggara Timur, baik yang di gunung maupun di bawah laut. Bekerjasama dengan masyarakat dan pemerintah daerah di berbagai tingkatannya, kawasan konservasi dapat dijaga dan dikelola secara bersama, lebih bertanggungjawab, dalam semangat perdamaian yang didukung oleh nilai-nilai budaya dan kearifan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat di NTT.

  • Disusun oleh Tim BBKSDA NTTKantor : Jl.SK Lerik, Kelapa Lima, Kode Pos 85228, Kupang

    Tlp/Fax: 0380-832211/0380-825318Email : [email protected]; [email protected]

  • Blank PageBlank Page