Kakao Indonesia

31
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional dengan sebaran sentra penanaman yang cukup banyak dan tumbuh dengan baik di Indonesia. Kakao juga telah lama menjadi salah satu komoditi ekspor unggulan Indonesia yang memiliki kontribusi yang cukup besar dalam menghasilkan devisa negara. Di samping itu, kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Indonesia sebenarnya berpotensi untuk menjadi produsen utama kakao dunia apabila berbagai permasalahan utama yang dihadapi perkebunan kakao dapat diatasi dan agribisnis kakao dikembangkan dan dikelola secara baik. Indonesia masih memiliki prospek yang sangat besar untuk pengembangan kakao baik dari tingkat hulu sampai dengan hilir. B. Rumusan Masalah a. Apa bentuk pasar, performa pasar (SCP), dan iklim persaingan usaha dalam komoditas kakao di Kolaka, Sulawesi Tenggara? b. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi harga kakao di Sulawesi? c. Bagaimana pasar input kokoa di Sulawesi? 1

description

kakao indonesia

Transcript of Kakao Indonesia

Page 1: Kakao Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup

penting bagi perekonomian nasional dengan sebaran sentra penanaman yang cukup

banyak dan tumbuh dengan baik di Indonesia. Kakao juga telah lama menjadi salah satu

komoditi ekspor unggulan Indonesia yang memiliki kontribusi yang cukup besar dalam

menghasilkan devisa negara. Di samping itu, kakao juga berperan dalam mendorong

pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri.

Indonesia sebenarnya berpotensi untuk menjadi produsen utama kakao dunia

apabila berbagai permasalahan utama yang dihadapi perkebunan kakao dapat diatasi dan

agribisnis kakao dikembangkan dan dikelola secara baik. Indonesia masih memiliki

prospek yang sangat besar untuk pengembangan kakao baik dari tingkat hulu sampai

dengan hilir.

B. Rumusan Masalah

a. Apa bentuk pasar, performa pasar (SCP), dan iklim persaingan usaha dalam

komoditas kakao di Kolaka, Sulawesi Tenggara?

b. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi harga kakao di Sulawesi?

c. Bagaimana pasar input kokoa di Sulawesi?

d. Bagaimana peran pemerintah, kegagalan pasar, dan perlindungan konsumen

dalam industri kakao?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan yang dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

a. Mengetahui bentuk dan performa pasar (SCP) komoditas kakao di Kolaka,

Sulawesi Tenggara

b. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi harga kakao dan pasar input, peran

pemerintah, kegagalan pasar, perlindungan konsumen, dan Iklim persaingan

usaha terhadap komoditas kakao

1

Page 2: Kakao Indonesia

BAB II

PEMBAHASAN

A. Bentuk Pasar Kakao di Kolaka, Sulawesi Tenggara

Berdasarkan teori, Oligopsoni adalah keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha

menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa

dalam suatu pasar komoditas. Ada juga teori yang menyebutkan bahwa Oligospsoni

merupakan pasar yang dikuasai oleh beberapa pembeli yang mempunyai kemampuan

mempengaruhi harga pasar.

Dalam kasus ini, yaitu Industri komoditas kakao di kabupaten kolaka utara

mempunyai bentuk pasar Oligopsoni, karena pabrik kakao yang terletak di Industri

Makasar menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal dari beberapa

rantai pemasaran pada komoditas coklat.

Di Indonesia, ada beberapa kasus lain Oligopsoni dalam komoditas coklat yaitu

pembeli coklat (kakao) yang dilakukan oleh satu asosiasi pembeli kakao yaitu ASKINDO

(Asosiasi Kakao Indonesia).

B. Performa Pasar (SCP) Kakao di Kolaka, Sulawesi Tenggara

B.1Sekilas Tentang Kakao Indonesia

Indonesia merupakan produsen cokelat terbesar ketiga di dunia setelah Pantai

Gading dan Ghana. Sumbangan devisa dari eksport kakao tahun 2002 adalah sebesar US$

701 Juta, terbesar ketiga dari sub sektor perkebunan setelah karet dan kelapa sawit.

Perkebunan kakao telah menyerap tenaga kerja sebanyak ± 900 ribu kepala keluarga

petani yang kebanyakan berada di kawasan Timur Indonesia (KTI). Provinsi Sulawesi

Selatan sebagai daerah penghasil cokelat terbesar di Indonesia, menyumbang sebanyak

201.851,29 ton, atau senilai US$ 283.830. 683,413.

Areal perkebunan kakao Indonesia pada tahun 2002 tercatat seluas 914.051 hektar

(ha). Perkebunan kakao tersebut sebagian besar (87,4%) dikelola oleh rakyat dan

selebihnya 6,0% dikelola perkebunan besar negara serta 6,7% perkebunan besar swasta.

2

Page 3: Kakao Indonesia

Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan

sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.

Disamping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa

Timur dan Jawa Tengah. Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao

Ghana. Kelebihan utama kakao Indonesia adalah titik lelehnya yang tinggi sehingga

cocok untuk blending. Sekitar 80% produksi kakao Indonesia diperuntukkan untuk

eksport, sedangkan sisanya digunakan sebagai bahan baku industri cokelat dalam negeri.

Kakao umumnya dieksport dalam bentuk biji yang belum difermentasikan.

B.2 Kakao di Kolaka, Sulawesi Tenggara

Salah satu sentra penghasil kakao di Sulawesi Tenggara adalah Kabupaten

Kolaka. Kegiatan penanaman komoditas eksport tersebut telah dimulai di Kabupaten

Kolaka sejak tahun 1970-an. Luas areal kakao di Kabupaten Kolaka pada kurun waktu

lima tahun belakangan ini memperlihatkan terjadinya penambahan luas sebesar 6,31

persen pertahun atau rata-rata areal tanamnya 71.767 ha/tahun. Peningkatan ini juga

terjadi pada produksinya, yaitu dari 59.899 ton pada tahun 1998 menjadi 74.614 ton pada

tahun 2002. Pada tahun 2006 areal kakao semakin bertambah luas menjadi 81.236 ha,

namun dari sisi produksi mengalami penurunan yang signifikan sebagai dampak dari

serangan hama yang cukup hebat terhadap tanaman kakao. Produksi kakao Kabupaten

Kolaka tahun 2006 hanya sebesar 49.807 ton, di bawah produksi kakao Kabupaten

Kolaka Utara.

3

Page 4: Kakao Indonesia

B.2.1 Perkembangan Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Kakao di Provinsi

Sulawesi Tenggara Tahun 1990 – 2006

B.2.2 Perkembangan Luas Areal dan Produksi Kakao Rakyat di Kabupaten Kolaka,

Sulawesi Tenggara

4

Page 5: Kakao Indonesia

B.2.3 Alur Pasar Kakao di Kabupaten Kolaka

B.2.3.1 Petani

Walaupun para petani tersebut bebas menjual ke pedagang pengumpul tersebut, tetapi dari

segi jumlah sebenarnya pedagang pengumpul yang mencari kakao di desa ini jumlahnya

tetap. Pernah ada pedagang pengumpul lainnya yang ingin mencari biji kakao di desa ini,

tetapi hal ini tidak berlangsung lama. Pedagang pengumpul baru tersebut berani membeli

dengan harga yang lebih tinggi, sehingga para petani banyak menjual kepadanya. Dengan

melihat kondisi tersebut menyebabkan para pedagang pengumpul yang lama bersatu dan

membuat kesepakatan untuk mencegah pedagang pengumpul baru tersebut, caranya dengan

mencegat di tengah jalan dan memberikan sedikit ancaman.

5

Page 6: Kakao Indonesia

B.2.3.2 Bakul

Bakul adalah sebutan untuk pedagang yang mengumpulkan biji kakao dari petani dan

biasanya mereka hanya mengumpulkan dalam areal yang lebih sempit dibandingkan

pedagang pengumpul. Umumnya mereka mengumpulkan dalam jumlah yang kecil dan

ukuran yang biasa dipergunakan adalah liter. Dalam menjualpun tidak setiap hari, mereka

mengumpulkan biji kakao tersebut di rumah dan menjual ke pasar terdekat pada hari pasar

atau ke pedagang pengumpul yang ada di desa. Untuk pasar kecamatan, hari pasaran yang

ramai pada hari Rabu dan Minggu, kemudian diikuti pasar pada desa-desa lainnya. Sehingga

secara keseluruhan setiap hari ada pasar di Kecamatan Ladonge.

B.2.3.3 Pedagang Pengumpul

Pedagang pengumpul di kecamatan ini sangat banyak dan sangat beragam kemampuannya

dalam pengadaan kakao. Ada beberapa cara yang dijalankan oleh para pedagang dalam

mengumpulkan kakao tersebut, antara lain mengambil langsung ke rumah-rumah petani,

melalui pedagang bakul yang ada di desa dan melalui pedagang yang mengumpulkan kakao

di pasar kecamatan dan di pasar desa. Biji kakao yang sudah terkumpul tersebut kemudian

diambil oleh pedagang antar pulau. Untuk menjamin adanya pasokan kakao, para pedagang

pengumpul mengambil cara dengan memberikan bantuan atau pinjaman sarana produksi

maupun dana segar ke petani kakao yang membutuhkan.

B.2.3.4 Pedagang Antar Pulau

Pedagang antar pulau mendapatkan biji kakao paling banyak dari pedagang pengumpul dan

sekali-kali dari para bakul. Pedagang pengumpul itu ada yang bebas dan ada juga yang

terikat. Keterikatan itu terjadi apabila pedagang antar pulau meminjamkan dana untuk

pembelian kakao dan umumnya harga sudah ditentukan, apabila ada kenaikan harga

pedagang pengumpul tersebut tidak bisa menjual ke pedagang antar pulau yang lainnya.

Pedagang ini ada yang tinggal di kecamatan dan sebagian ada juga yang tinggal di kota

Kolaka. Ciri-ciri umum untuk pedagang antar pulau di desa ini, yaitu mereka sudah

mempunyai truk-truk dengan muatan besar. Sedangkan pedagang pengumpul hanya

mempunyai mobil angkutan yang kecil, karena jarak dan tonasenya tidak terlalu besar.

6

Page 7: Kakao Indonesia

Tujuan terakhir dari kakao yang ada di Kabupaten Kolaka ini adalah pabrik kakao yang ada

di Kawasan Industri Makasar (KIMA).

B.2.3.5 Marjin Pemasaran

Harga perkilonya menurut petani bisa berubah setiap harinya dan harga tersebut biasanya

ditentukan oleh para pedagang. Menurut petani para pedagang mengambil keuntungan dari

berat timbangan yang tidak semestinya dan penentuan kadar air yang hanya mempergunakan

tangan (bukan dengan tester). Timbangan yang dipergunakan harus timbangan milik para

pedagang, timbangan petani tidak diakui kebenarannya.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Harga Kakao di Sulawesi

Berdasarkan uji individual, dua variabel yang dianalisis yaitu konsumsi kakao

dunia dan kurs Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat memiliki signifikan pada taraf

nyata 95 persen. Penolakan hipotesis nol dalam uji ini menunjukkan ketiga faktor-faktor

tersebut berpengaruh signifikan terhadap harga kakao Indonesia. Harga kakao di NYBOT

(New York Board of Trade) memiliki nilai p sebesar 0,068, yang berarti variabel ini dapat

dipercaya berpengaruh nyata pada harga kakao Indonesia sampai 94,2 persen. Dua

variabel lain yaitu impor Amerika Serikat dan lag produksi kakao tidak mengindikasikan

pengaruh yang signifikan terhadap harga kakao Indonesia. Berikut penjelasan hasil

analisis model faktor-faktor yang mempengaruhi harga kakao Indonesia.

Harga Kakao NYBOT

Harga kakao di bursa NYBOT berpengaruh positif dan nyata terhadap harga kakao yang

terjadi di bursa berjangka NYBOT, hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan harga

yang terjadi di bursa NYBOT menyebabkan harga kakao di Indonesia naik. Koefisien

harga kakao NYBOT sebesar 0,39 berarti bahwa setiap kenaikan harga kakao di bursa

NYBOT sepuluh persen akan menyebabkan harga kakao Indonesia naik sebesar 3,9. Dari

besaran tersebut, terlihat bahwa respon harga kakao Indonesia bersifat inelastis terhadap

perubahan harga kakao di bursa NYBOT.

7

Page 8: Kakao Indonesia

Konsumsi Dunia

Konsumsi kakao dunia berpengaruh positif terhadap harga kakao Indonesia. Jika

konsumsi dunia meningkat, maka harga kakao Indonesia akan meningkat. Konsumsi

kakao dunia berpengaruh nyata terhadap harga kakao di Indonesia pada taraf nyata 5

persen. Koefisien konsumsi kakao dunia yang diperoleh sebesar 0,69. Ini berarti untuk

setiap kenaikan konsumsi dunia sebesar 10 persen, akan menyebabkan penurunan harga

kakao Indonesia sebesar 6,9 persen. Hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan hipotesis

yang dikemukakan. Ketidkasesuaian ini diduga karena ekspor kakao Indonesia sebagian

besar ke satu negara tujuan yaitu AS. Kakao Indonesia yang diekspor kebanyakan adalah

kakao dengan kualitas yang lebih rendah, karena kebanyakan tidak difermentasi.

Sedangkan konsumsi dunia lebih banyak untuk kakao yang difermentasi. Sehingga

peningkatan konsumsi dunia berdampak pada permintaan kakao yang difermentasi,

bukan pada permintaan kakao Indonesia.

Impor Amerika Serikat (AS)

Impor kakao AS diduga berpengaruh terhadap harga kakao Indonesia karena AS adalah

negara tujuan utama ekspor Indonesia. Impor kakao AS diduga berpengaruh positif,

artinya apabila terjadi kenaikan impor Amerika Serikat, maka harga kakao Indonesia

akan cenderung meningkat.

Kurs Rp/US $

Kurs rupiah (Rp) terhadap dollar Amerika Serikat (US $) diduga berpengaruh positif

terhadap harga kakao Indonesia. Kenaikan nilai Rp/US $ akan menyebabkan kenaikan

permintaan kakao AS. Akibatnya harga kakao Indonesia akan meningkat.

Lag Produksi Dunia

Produksi kakao dunia pada kurun waktu sebelumnya diduga berpengaruh negatif

terhadap harga kakao Indonesia. Jika produksi kakao secara global turun, maka harga

kakao dunia termasuk di Indonesia akan meningkat.

8

Page 9: Kakao Indonesia

D. Pasar Input Kakao di Sulawesi

D.1Lahan

Jenis tanaman kakao di Indonesia umumnya adalah kakao jenis lindak dengan

sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah.

Disamping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa

Timur dan Jawa Tengah.

Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam kurun

waktu 20 tahun terakhir. Pada tahun 2006 areal perkebunan kakao Indonesia tercatat

seluas 1.191.800 ha, dimana 1.105.700 (93%) diantaranya merupakan perkebunan rakyat

sedangkan sisanya sebesar 38.500 ha (3%) merupakan Perkebunan Milik Negara dan

47.600 ha (4%) merupakan perkebunan swasta. Namun dari total luas areal tersebut,

hanya 839.300 ha (70%) yang merupakan perkebunan yang menghasilkan. Sisanya

merupakan areal perkebunan baru ataupun areal tanaman rusak.

Sulawesi merupakan penghasil utama kakao di Indonesia, dengan produsen

terbesar kakao di Provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan.

Pada awalnya Provinsi Sulawesi Selatan adalah produsen terbesar kedua setelah Sulawesi

Tengah, namun sejak pemekaran wilayah Provinsi Sulawesi Barat pada tahun 2003 areal

perkebunan kakao Sulawesi Selatan menurun dari 296.039 ha menjadi 217.399 ha.

Akibatnya produksi kakao Sulawesi Selatan pun ikut menurun, dari 282.692 ton pada

tahun 2003, menjadi 153.122 ton pada tahun 2004.

Provinsi Sulawesi Tengah merupakan salah satu penghasil kakao terbesar di

Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Areal perkebunan kakao di Sulawesi Tengah

menunjukkan pertumbuhan pesat. Pada tahun 1990 areal kakao hanya sekitar 15.169

hektar. Satu dasawarsa kemudian luas areal perkebunan kakao telah meningkat sebesar

450% menjadi 83.462 hektar. Tahun 2006 areal perkebunan kakao berkembang semakin

pesat menjadi 1,2 kali dari luas areal tahun 2000 atau seluas 180.873 hektar.

Sentra produksi kakao di Provinsi Sulawesi Tengah meliputi beberapa daerah

seperti Kabupaten Donggala, Kab. Parigi Moutong dan Kab. Poso. Berdasarkan data

Statistik Perkebunan Indonesia dari Departemen Pertanian, pada tahun 2001 luas areal

perkebunan kakao terbesar terdapat di Kab. Donggala sebesar 42.545 hektar, diikuti oleh

9

Page 10: Kakao Indonesia

Kab. Buol Toli-Toli seluas 10.090 hektar, Kab. Buol 8.180 hektar, Kab. Poso 7.382

hektar, Kab. Banggai 5.319 hektar dan Kab. Morowali seluas 3.892 hektar. Pada tahun

2002 luas areal perkebunan kakao di Sulawesi Tengah meningkat. Kab. Donggala masih

menjadi daerah dengan areal perkebunan kakao terluas, meskipun turun sebesar 2%

menjadi 41.696 hektar. Luas areal perkebunan kakao di Kab. Poso menunjukkan

perkembangan yang pesat. Tahun 2002 areal kakao di Kab. Poso mencapai 27.228 hektar.

Pertumbuhan yang signifikan juga dialami oleh Kab. Morowali sehingga luas areal yang

ditanami kakao berkembang menjadi 14.632 hektar. Kab. Buol, Kab. Buol Toli-Toli dan

Kab. Banggai masih menjadi daerah sentra produksi kakao di Sulawesi Tengah dengan

luas areal masing-masing sebesar 10.791 hektar, 10.030 hektar, dan 5.902 hektar.

Pada tahun 2006 tercatat bahwa Kab. Parigi Moutong merupakan daerah

penghasil kakao dengan luas areal terbesar di Sulawesi Tengah yaitu 61.780 hektar. Kab.

Donggala menempati peringkat kedua dengan areal kakao 48.007 hektar, diikuti Kab.

Poso seluas 40.354 hektar, Kab. 17.314 hektar, Kab. Banggai 17.314 hektar dan Kab.

Morowali 16.245 hektar. Semantara itu dari sisi produksi, Kab. Donggala merupakan

daerah produsen kakao terbesar dengan jumlah produksi 44.197 ton. Kab. Parigi

Moutong yang memiliki luas areal terbesar memproduksi kakao sebanyak 28.564 ton.

Salah satu sentra penghasil kakao di Sulawesi Tenggara adalah Kabupaten

Kolaka. Kegiatan penanaman komoditas eksport tersebut telah dimulai di Kabupaten

Kolaka sejak tahun 1970-an. Luas areal kakao di Kabupaten Kolaka pada kurun waktu

lima tahun belakangan ini memperlihatkan terjadinya penambahan luas sebesar 6,31

persen pertahun atau rata-rata areal tanamnya 71.767. Selain Kab. Kolaka, beberapa

daerah lain di Sulawesi Tenggara merupakan daerah sentra produksi kakao. Sebagaimana

disebutkan di atas, pada tahun 2006, Kab. Kolaka Utara mempunyai areal perkebunan

kakao seluas 61.985 ha dengan produksi sebesar 51.299 ton. Kab. Konawe Selatan juga

memproduksi kakao dengan jumlah produksi 8.334 ton dan luas areal perkebunan kakao

17.287 ha, Kab. Bombana dengan luas areal kakao 8.858 ha mampu menghasilkan kakao

sebesar 4.269 ton, dan Kab. Muna seluas 7.502 ha memproduksi kakao sebanyak 2.992

ton.ha/tahun.

10

Page 11: Kakao Indonesia

E. Peranan Pemerintah dalam Industri Kakao

Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan mulai tahun 2009

melaksanakan program “Gerakan Peningkatan Produktivitas dan Mutu Kakao Nasional”

(Gernas kakao) yang merupakan upaya percepatan peningkatan produktivitas tanaman

dan mutu hasil kakao nasional melalui pemberdayaan yang melibatkan seluruh pemangku

kepentingan dan sumberdaya yang ada secara optimal.

Gernas kakao tersebut dilaksanakan selama 3 tahun mulai tahun 2009 – 2011 di 9

provinsi dan 40 kabupaten dengan sasaran sebagai berikut: (i) perbaikan tanaman kakao

rakyat seluas 450.000 ha yang terdiri dari peremajaan seluas 70.000 ha, rehabilitasi

235.000 ha dan intensifikasi seluas 145.000 ha; (ii) pemberdayaan petani melalui

pelatihan dan pendampingan kepada 450.000 petani; (iii) pengendalian hama dan

penyakit tanaman seluas 450.000 ha; dan (iv) perbaikan mutu kakao sesuai dengan

standar nasional Indonesia (SNI). Beberapa target yang ingin dicapai melalui pelaksanaan

kebijakan ini adalah: (i) peningkatan produktivitas kakao di lokasi gerakan dari 660

kg/ha/tahun menjadi 1.500 kg/ha/tahun pada tahun 2013; (ii) peningkatan produksi kakao

di lokasi gerakan dari 297.000 ton/tahun menjadi 675.000 ton/tahun; (iii) meningkatnya

pendapatan petani dari Rp. 13.200.000/ha/tahun (2009) menjadi Rp. 30.000.000/ha/tahun

(2013); (iv) meningkatnya devisa negara dari US$ 494 juta (2009) menjadi US$ 1.485

juta (2013). Perdagangan kakao juga tidak terlepas dari target kebijakan pemerintah.

Dalam upaya pengendalian ekspor biji kakao dan penyediaan bahan baku bagi

industri dalam negeri, pemerintah menerapkan kebijakan bea keluar untuk ekspor biji

kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 67 tahun 2010. Bea keluar ekspor biji

kakao ditetapkan sesuai dengan harga referensi yaitu harga rata-rata internasional yang

berpedoman pada harga rata-rata CIF New York Board of Trade (NYBOT). Tarif bea

keluar biji kakao adalah sebagai berikut: (i) untuk harga referensi sampai dengan USD

2.000, tarif sebesar nol persen; (ii) harga referensi USD 2.000 – 2.750, tarif sebesar 5

persen; (iii) harga referensi USD 2.750 – 3.500, tarif sebesar 10 persen; dan (iv) harga

referensi lebih dari USD 3.500, tarif sebesar 15 persen. Selain bea keluar, pemerintah

juga menetapkan tarif bea masuk untuk biji kakao dan produk olahan kakao. Tarif MFN

bea masuk biji kakao dikenakan sebesar 5 persen, sedangkan produk olahan kakao

dikenakan tarif sebesar 10 persen. Sedangkan untuk negara-negara yang termasuk dalam

11

Page 12: Kakao Indonesia

perjanjian perdagangan bebas ATIGA, ASEANCHINA dan ASEAN-KOREA tarifnya

sudah dihapuskan.

Kebijakan lain dalam upaya pengembangan agribisnis kakao adalah berupa

insentif pajak. Melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2007, biji kakao kering baik

yang difermentasi maupun non fermentasi termasuk kriteria barang hasil pertanian yang

bersifat strategis sehingga dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai

F. Kegagalan Pasar dalam Industri Kakao

Dalam hal pemasaran dan penguasaan pangsa pasar internasional, komoditas

perkebunan dan pertanian umumnya menderita gejala struktur pasar yang sangaat

asimetris antara pasar internasional dan pasar domestik. Gejala asimetris tersebut sering

dianalogikan dengan fenomena serupa pada hubungan antara petani produsen dan

pedagang atau konsumen, karena produsen komoditas perkebunan sebagian besar berada

di negara-negara berkembang sementara konsumen produk hilir perkebunan berada di

negara-negara maju. Bagi negara-negara berkembang yang lebih banyak mengandalkan

ekspor komoditas pertanian dan agroindustri, struktur pasar yang asimetris jelas

merupakan ancaman serius bagi peningkatan produksi, produktivitas dan ekspor

komoditas.

Hal terpenting yang menentukan tingkat harga di pasar internasional adalah mutu

biji kakao. Oleh karenanya perhatian produsen kakao Indonesia terhadap kualitas biji

kakao yang diekspor sangat penting. Namun harga biji kakao di tingkat internasional

sering mendapat potongan sampai 15 persen karena persyaratan standar mutu biji dan

persyaratan fermentasi kakao yang relatif rendah bila dibandingkan dengan harga produk

yang sama dari negara produsen lain. Rendahnya nilai mutu biji kakao disebabkan karena

hama dan umur tanaman yang sudah tua juga mutu kakao mengandung keasaman yang

tinggi, rendahnya senyawa prekusor flavor, dan rendahnya kadar lemak.

Selain dari itu, jumlah dan kualitas sarana gudang dan pelabuhan kurang

memenuhi syarat untuk menjangkau sentra-sentra produksi kakao. Kondisi ini menjadi

kendala bagi pengembangan agribisnis kakao khususnya pada sentra produksi yang

belum memiliki pelabuhan ekspor. Kendala lain yang dihadapi dalam pengembangan

agribisnis kakao adalah masih lambatnya penyebarluasan teknologi maju hasil penelitian

12

Page 13: Kakao Indonesia

G. Perlindungan Konsumen dalam Industri Kakao

Bursa Kakao Indonesia menjadi Acuan Harga Kakao Nasional sudah berjalan

selama 16 bulan. Setelah Kontrak Berjangka Kakao diperdagangkan di Bursa Berjangka

Jakarta, 80% produksi biji kakao lokal telah diserap seluruhnya oleh industri pengolahan

kakao dalam negeri. Ini adalah suatu revolusi industri bagi Indonesia, bahwa kakao

adalah satu-satunya komoditas yang telah banyak diekspor dalam keadaan setengah jadi ,

atau telah diproses menjadi bubuk coklat dan butter.

Dengan adanya patokan harga nasional, maka harga yang akan diterima petani di

bursa produsen seperti Indonesia tentunya lebih tinggi daripada harga dari bursa

konsumen (New York dan London). Sudah saatnya petani Indonesia menggunakan acuan

harga kakao di Jakarta Futures Exchange, sebagai price-maker yang mewakili

kepentingan para produsen (seller’s market), bukannya harga New York yang mewakili

kepentingan konsumen (buyer’s market). JFX mengadakan sosialiasi perdagangan

berjangka kepada para pemain komoditas kakao di Makassar, serta memberikan pelatihan

intensif kepada para pialang agar semakin meramaikan transaksi komoditas kakao di

Jakarta Futures Exchange.

H. Iklim Persaingan Usaha Kakao di Kolaka, Sulawesi Tenggara

Kakao di tingkat petani umumnya dibeli oleh pedagang pengumpul, pedagang

antar kota, atau pedagang perantara. Para pedagang ini berfungsi sebagai perantara antara

petani dengan pabrik cokelat atau eksportir cokelat.

13

Page 14: Kakao Indonesia

Untuk daerah Sulawesi, seperti di Kabupaten Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara,

terdapat permasalahan dalam tata niaga kakao, dimana walaupun para petani tersebut bebas

menjual ke pedagang pengumpul, tetapi dari segi jumlah sebenarnya pedagang pengumpul yang

mencari kakao di desa ini jumlahnya tetap. Bila ada pedagang pengumpul baru yang masuk ke

wilayah tersebut dan berani membeli dengan harga yang lebih tinggi, para pedagang pengumpul

yang lama bersatu dan membuat kesepakatan untuk mencegah pedagang pengumpul baru

tersebut. Selain itu harga ditentukan oleh pedagang pengumpul. Patokan harga di setiap level tata

niaga semuanya mengacu kepada harga yang berlaku di Kawasan Industri Makasar (KIMA)

yang ada di Propinsi Sulawesi Selatan. Apabila ada penurunan harga di KIMA maka semua

pemain di rantai tata niaga ini akan mengikutinya serta informasi tersebut akan cepat sampai ke

tangan petani. Sebaliknya, apabila ada kenaikan harga, maka informasi itu sampai ke tangan

petani tidak secepat bila terjadi penurunan harga. Melihat hal ini KPPU perlu melakukan kajian

komprehensif tentang sektor unggulan kakao di Sulawesi, mengingat besarnya peluang kakao

Sulawesi untuk menjadi komoditas unggulan Indonesia di pasar dunia, dan adanya beberapa

hambatan dalam tata niaga kakao yang mengarah ke persaingan tidak sehat.

14

Page 15: Kakao Indonesia

Terdapat perbedaan dalam perilaku penjualan antara desa yang dekat dengan pasar

kecamatan dengan desa yang jauh dari pasar kecamatan. Di desa yang dekat dengan pasar

kecamatan, petani menjual hasil biji kakaonya kepada pedagang pengumpul yang umumnya

langsung datang ke rumah petani dan pedagang tersebut bebas menjual kepada siapa saja.

Sedangkan di desa yang lokasinya jauh dari pasar kecamatan, pedagang pengumpul mempunyai

cara tersendiri dalam mempertahankan eksistensinya membeli kakao di tingkat petani. Walaupun

para petani bebas menjual kepada pedagang pengumpul, tetapi dari segi jumlah sebenarnya

pedagang pengumpul yang mencari kakao di desa tersebut jumlahnya tetap. Jika ada pedagang

pengumpul lain ingin mencari biji kakao di desa tersebut, maka hal ini tidak akan berlangsung

lama. Apalagi jika pedagang pengumpul baru (new entrant) tersebut berani membeli dengan

harga yang lebih tinggi, sehingga petani banyak yang menjual kepadanya. Kondisi ini

menyebabkan para pedagang pengumpul lama (incumbent) bersatu dan membuat kesepakatan

untuk mencegah masuknya pedagang pengumpul baru tersebut, caranya dengan mencegat di

tengah jalan dan memberikan sedikit ancaman.

Selain itu, petani juga dapat menjual langsung kepada pedagang pengumpul yang sudah

menjadi langganan. Disebut ‘langganan’ karena kondisi petani yang menggantungkan segala

keperluan rumah tangga dan budidaya kakaonya kepada pedagang pengumpul tersebut dan

pembayarannya dilakukan setiap kali panen dalm bentuk biji kakao. Selain biji kakao tersebut,

petani juga diwajibkan membayar bunga. Bagi petani yang sudah terikat dengan satu pedagang

pengumpul, mereka tidak boleh meminjam atau menjual kepada pedagang pengumpul lainnya.

Pedagang pengumpul di kecamatan jumlahnya sangat banyak dan beragam kemampuannya

dalam pengadaan kakao. Ada beberapa cara yang dilakukan oleh para pedagang dalam

mengumpulkan kakao, antara lain mengambil langsung ke rumah petani, melalui pedagang

pengumpul yang ada di desa (bakul), dan melalui pedagang yang mengumpulkan kakao di pasar

kecamatan dan di pasar desa. Biji kakao yang sudah terkumpul tersebut kemudian diambil oleh

pedagang besar. Untuk menjamin adanya pasokan kakao, para pedagang pengumpul mengambil

cara dengan memberikan bantuan atau pinjaman sarana produksi maupun dana segar ke petani

kakao yang membutuhkan.

Pedagang besar kakao di Ladongi-Kolaka jumlahnya mencapai sekitar 10-15 pedagang.

Rata-rata volume kakao yang diperdagangkan dapat mencapai antara 290-500 ton/tahun.

Menurut pedagang besar, dalam 2 tahun terakhir volume kakao yang diperdagangkan cenderung

15

Page 16: Kakao Indonesia

kecil. Hal ini disebabkan oleh bermunculannya eksportir kakao yang diantaranya memiliki

gudang penampungan. Pembelian kakao yang dilakukan oleh eksportir bisa langsung ke

pedagang pengumpul ataupun membeli dari pedagang besar.

Pedagang besar kakao di Kolaka, Sulawesi Tenggara bisa mendapatkan pasokan kakao

dari pedagang pengumpul desa atau bahkan dari petani. Pada kegiatan transaksi pembelian ini,

pedagang besar akan menjalin kerjasama secara erat dengan pedagang pengumpul sehingga

pedagang besar akan menjadi langganan tujuan pemasaran pedagang pengumpul. Para pedagang

besar umumnya memiliki modal yang kuat dan sarana transportasi sendiri untuk memudahkan

mobilitas pembelian dan penjualan kakao. Dalam kegiatan pembelian, pedagang besar umumnya

akan membayar kakao yang diterimanya secara tunai. Pedagang besar mengikat pedagang

pengumpul dengan meminjamkan dana untuk pembelian kakao. Umumnya harga sudah

ditentukan sehingga bila ada kenaikan harga, pedagang pengumpul tersebut tidak dapat menjual

kepada pedagang besar lainnya.

Komoditas kakao yang telah ditampung pedagang besar selanjutnya akan dijual kepada

eksportir yang ada di Kolaka atau dijual kepada eksportir yang berada di Makassar. Sistem

pembayaran yang diterima juga tunai. Dalam penjualan kakao ke eksportir, standar ukuran biji

ditetapkan, yaitu setiap 100 gram biji kakao terdiri dari 95 – 110 biji. Ukuran ini dapat tercapai

terutama saat musim panen, sedangkan pada saat bukan musim panen ukurannya lebih kecil

sehingga dalam 100 garam biji kakao jumlahnya dapat mencapai 160 biji. Pemasaran tujuan

Makassar membutuhkan biaya transportasi yang lebih tinggi daripada bila menjual kepada

eskportir di Kolaka. Biaya transportasi bila dipasarkan ke Makassar sebesar Rp. 300,-/kg,

sedangkan bila dipasarkan melalui eksportir di Kolaka hanya Rp. 150,-/kg. Menurut pedagang

besar, secara umum mereka telah menjalin kerjasama yang relatif lama dengan eksportir di

Makassar, sementara eksportir di Kolaka baru mulai muncul tahun 2003. Perlakuan terhadap

komoditas kakao sebelum dipasarkan ke eksportir mencakup kegiatan sortasi, pembersihan dan

pengeringan kembali biji kakao. Sementara itu, dalam hal perolehan harga jual terdapat potongan

harga rata-rata 10-15 % dari harga standar (kualitas baik), karena batas toleransi dari keempat

standar di atas terlampaui.

Para eksportir di Kab. Kolaka baru muncul sekitar tahun 2003. Pada saat itu hanya

terdapat 2 eksportir, yaitu PT Komekstra dan PT Mega. Pada tahun 2004, kedua eksportir

tersebut masih berjalan dengan baik, namun pada tahun 2005 PT Mega tidak beroperasi lagi dan

16

Page 17: Kakao Indonesia

muncul eksportir baru, yaitu PT Hakiwa. Para eksportir di Kolaka mengeksport kakao ke

Malaysia dan Amerika Serikat (AS). Volume eksport kakao dari Kab. Kolaka tahun 2005

berkisar antara 5.400 – 7.100 ton.

17

Page 18: Kakao Indonesia

BAB III

PENUTUP

1.1 Kesimpulan

Indonesia merupakan produsen cokelat terbesar ketiga di dunia setelah Pantai

Gading dan Ghana. Sumbangan devisa dari eksport kakao tahun 2002 adalah sebesar US$

701 Juta, terbesar ketiga dari sub sektor perkebunan setelah karet dan kelapa sawit. Bursa

Kakao Indonesia menjadi Acuan Harga Kakao Nasional sudah berjalan selama 16 bulan.

Sedangkan dari sisi industri (word cocoa brinding), Indonesia berada di nomor tujuh

dunia dibawah Belanda, Amerika, Jerman, Pantai Gading, Malaysia dan Brazil. Ini adalah

suatu revolusi industri bagi Indonesia, bahwa kakao adalah satu-satunya komoditas yang

telah banyak diekspor.

Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia dimana

bila  dilakukan fermentasi dengan baik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao

yang berasal dari Ghana. Kelebihan kakao Indonesia antara lain adalah kakao Indonesia

tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan

keunggulan tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun

kebutuhan dalam negeri. Dengan kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao

sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan distribusi pendapatan cukup terbuka.

1.2 Saran

Indonesia masih tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara industri.

Namun, kedepan Indonesia akan mengarah kesana, agar para petani dan industri

pengolahan cokelat di Indonesia bisa mendapatkan nilai tambah. Sementara itu, agar

mutu kakao Indonesia lebih terjaga, Seharusnya pemerintah merencanakan untuk

menerapkan sertifikasi kakao sehingga dapat meyakinkan konsumen atas sustainability

kakao Indonesia.

18

Page 19: Kakao Indonesia

DAFTAR PUSTAKA

http://bbj-jfx.com/detail-artikel-berita-informasi-jakarta-futures-exchanges-100-cocoa-gathering-

makassar.html

http://www.kppu.go.id/docs/Positioning_Paper/positioning_paper_kakao.pdf.

http://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/article/download/4098/3085.

Anonim.http://www.pasarkakaojatim.com (diakses pada tanggal 18 Mei 2013)

Maswadi. 2011. Agribisnis Kakao Dan Produk Olahannya Berkaitan Dengan Kebijakatan Tarif

Pajak Di Indonesia. Perkebunan dan Lahan Tropika J. Tek. Perkebunan & PSDL. Vol 1, No 2,

Desember 2011, hal 23-30

Copal Cocoa Info. (2011). Issue No. 424. 24th – 28th January 2011.

Cocoa Report Annual. (2012). Global Agricultural Network. 15 Maret 2012.

Daryanto. (2007). The Analysis of the Competitivenes of Indonesia Cocoa in the International

Market. These MBIPB, tidak diterbitkan.

Dewan kakao Indonesia. (2011). Strategi Pengembangan Agribisnis Perkakaoan Nasional,

disampaikan dalam Focus Group Discussion pada Badan Kebijakan Fiskal, 5 Mei 2011.

19