KAJIAN YURIDIS MENGENAI PEMBERHENTIAN …/Kajian... · terkait. Penulis melakukan ... HALAMAN JUDUL...
-
Upload
truongkhanh -
Category
Documents
-
view
217 -
download
0
Embed Size (px)
Transcript of KAJIAN YURIDIS MENGENAI PEMBERHENTIAN …/Kajian... · terkait. Penulis melakukan ... HALAMAN JUDUL...

1
KAJIAN YURIDIS MENGENAI PEMBERHENTIAN SEMENTARA
PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG DIDUGA TERLIBAT TINDAK PIDANA
PENIPUAN (Studi Kasus di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah)
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Almaarif Mahmud
NIM. E0005074
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010

2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN YURIDIS MENGENAI PEMBERHENTIAN SEMENTARA
PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG DIDUGA TERLIBAT TINDAK PIDANA
PENIPUAN (Studi Kasus di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah)
Oleh
Almaarif Mahmud
NIM. E0005074
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 14 April 2010 Dosen Pembimbing
Waluyo, S.H., M.Si.
NIP. 196808131994031001

3
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)
KAJIAN YURIDIS MENGENAI PEMBERHENTIAN SEMENTARA
PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG DIDUGA TERLIBAT TINDAK PIDANA
PENIPUAN (Studi Kasus di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah)
Oleh
Almaarif Mahmud NIM. E0005074
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada:
Hari : Tanggal :
DEWAN PENGUJI
1. Wida Astuti, S.H. :..................................................................
Ketua
2. Rahayu Subekti, S.H., M.Hum. :.................................................................. Sekretaris
3. Waluyo, S.H., M.Si. :..................................................................
Anggota
Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. NIP. 196109301986011001

4
PERNYATAAN
Nama : Almaarif Mahmud
NIM : E0005074
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :
KAJIAN YURIDIS MENGENAI PEMBERHENTIAN SEMENTARA
PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG DIDUGA TERLIBAT TINDAK PIDANA
PENIPUAN (Studi Kasus di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-
hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi
dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti
pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik
berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari
penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 10 April 2008
Yang membuat pernyataan
Almaarif Mahmud NIM. E0005074

5
ABSTRAK
Almaarif Mahmud. 2010. KAJIAN YURIDIS MENGENAI PEMBERHENTIAN SEMENTARA PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG DIDUGA TERLIBAT TINDAK PIDANA PENIPUAN (Studi Kasus di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah). Fakultas Hukum UNS.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara prosedur pemberhentian sementara terhadap Pegawai Negeri Sipil yang diduga terlibat tindak pidana penipuan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta untuk mengetahui apa implikasi hukum yang timbul dari pemberhentian sementara bagi Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dan bersifat deskriptif. Lokasi penelitian ini di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah. Data yang penulis gunakan adalah data sekunder. Teknik pengumpulan data penulis lakukan melalui studi kepustakaan dan wawancara dengan pejabat terkait. Penulis melakukan wawancara sebagai keterangan tambahan dan validasi terhadap datatertulis di perpustakaan. Setelah data terkumpul, kemudian dilakukan analisis secara kualitatif dengan menggunakan metode logika deduktif yang berpangkal dari pengajuan premis mayor kemudian diajukan premis minor kemudian dari kedua premis ini akan ditarik suatu kesimpulan.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa prosedur pelaksanaan pemberhentian sementara dari jabatan negeri terhadap Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi, berkaitan dengan jangka waktu penetapan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing terhadap Pegawai Negeri Sipil tersebut tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Sementara dari Pegawai Negeri Sipil, sehingga kepastian hukum belum sepenuhnya terwujud. Implikasi hukum pemberhentian sementara terhadap kewajiban dalam tugas jabatan negeri untuk sementara diberhentikan dengan maksud untuk memperlancar proses peradilan dan kinerja institusi sehingga pemberhentian sementara tersebut memenuhi aspek kemanfaatan. Adapun implikasi hukum pemberhentian sementara terhadap hak sebagai Pegawai Negeri Sipil yaitu, berupa pengurangan gaji 50 % terhadap Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan. Pengurangan gaji tersebut diberikan karena Pegawai Negeri Sipil yang dikenai pemberhentian sementara tersebut untuk sementara tidak menjalankan tugas dan pekerjaannya. Berdasarkan hal tersebut, pelaksanaan pemberhentian sementara dari jabatan negeri terhadap memenuhi rasa keadilan. Kata Kunci: pemberhentian sementara, pegawai negeri sipil, implikasi hukum

6
ABSTRACT
Almaarif Mahmud. 2010. JURIDICIAL INVESTIGATION OF TEMPORARY DISMISSAL OF CIVILIAN PUBLIC SERVANT WHO WAS SUSPECTED TO BE INVOLVED BY DOING AN INJUSTICE DECEPTION (Case Study at Regional Office of Law and Human Rights Ministry of Republic of Indonesia Central Java). Law Faculty of Eleventh March University.
This research aims to know suitability between procedure of temporary dismissal to Civilian Public Servant who was suspected to be involved by doing an injustice deception with the law and regulation and also to know the arising law implications of temporary dismissal of Civilian Public Servant at Regional Office of Law and Human Rights Ministry of Republic Of Indonesia Central Java. This Research represents a normative and descriptive law research. This Research location is at Regional Office of Law and Human Rights Ministry of Republic of Indonesia Central Java. Writer used a secondary data. Writer used data collecting technique by bibliography studying and interviewing some officers related. Writer carried out some interviews as additional description and validation to data written in library. After data gathered, writer analysed qualitatively by using deductive logic method started from major proffering premise then minor premise and after that from both premise will be pulled the conclusion.
Based on result of the research, it could be concluded that the procedure of temporary dismissal execution from country occupation to Civilian Public Servant at Regional Office of Law and Human Rights Ministry of Republic of Indonesia Central Java has appropriated to law and regulation that has been going into effect. However, related to the duration of the Head of Regional Office of Law and Human Rights Department of Republic of Indonesia Central Java’s Decision Number: W9-1013-Kp.05.05- 2009 about temporary dismissal to that Civilian Public Servant was not appropriated with Article 2 verse (1) Governmental Regulation Number 4 Year 1966 about Dismissal/Temporary Dismissal from Civilian Public Servant, so that rule of law was not completely existed. Law implications of the temporary dismissal concerning to the obligation in a duty was temporarily stopped with a purposes to smoothen the process of jurisdiction and institution works, so that temporary dismissal fulfilled the benefit aspect. There was also a law implication to the right as a Civilian Public Servant formed of 50 % salary reduction to that civilian Public Servant. The Salary reduction was given because the temporary dismissal Civilian Public Servant did not run his duty and work. According to that, temporary dismissal execution from country occupation has fulfilled a sense of justice.
Keywords: temporary dismissal, civilian public servant, law implication

7
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
suatu penulisan hukum. Penulisan hukum yang dilakukan mengkaji secara yuridis
pelaksanaan pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil serta implikasi
hukum yang timbul dengan studi kasus di Kantor Wilayah Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah.
Penulis berkeyakinan bahwa penulisan karya ilmiah ini masih jauh dari
sempurna karena masih banyaknya keterbatasan pengetahuan dan pengalaman
dari penulis. Oleh sebab itulah penulis masih mengharapkan masukan, saran serta
kritik yang membangun dari para pembaca sekalian.
Dalam kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu baik materiil maupun non materiil sehingga penulisan
hukum ini dapat diselesaikan, terutama kepada:
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret, yang telah memberikan izin dan kesempatan
kepada penulis untuk melakukan penelitian dalam penyusunan penulisan
hukum ini.
2. Bapak Waluyo, S.H., M.Si., selaku Pembimbing yang telah bersedia
memberikan waktu, arahan dan bimbingannya kepada penulis dalam
penyusunan penulisan hukum ini.
3. Bapak Winarno, S.H., M.S., selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan dukungan kepada penulis selama masa perkuliahan sekaligus
pada penyusunan penulisan hukum ini.
4. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian penulisan hukum.

8
5. Bapak dan Ibu Dosen Hukum serta karyawan dan karyawati Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
6. Bapak Tulus Basuki, Bc.IP., S.Sos., M.M., selaku Kepala Rumah Penyimpanan
Benda Sitaan Negara Klas I Surakarta yang telah memberikan informasi dan
data selamadalam penelitian yang penulis lakukan.
7. Bapak Drs. Yuri Priyanto selaku Kepala Sub Bagian Kepegawaian Kantor
Wilayah ementerian Hukum dan Hak Asasi Republik Indonesia Jawa Tengah
yang telah memberikan informasi dan data selamadalam penelitian yang
penulis lakukan.
8. Bapak Sudiyono, S.Ip., selaku Kepala Seksi Bimbingan Teknis Badan
Kepegawaian Negara Yogyakarta yang telah memberikan informasi dan data
selamadalam penelitian yang penulis lakukan.
9. Serta semua pihak yang baik secara fisik maupun psikis telah membantu
penulis menyelesaikan skripsi ini.
Demikian mudah-mudahan penulisan hukum ini dapat memberikan
manfaat bagi kita semua, terutama untuk penelitian, kalangan akademisi, praktisi
serta masyarakat umum.
Surakarta, 10 April 2010
Penulis

9
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI...............................................................iii
HALAMAN PERNYATAAN................................................................................iv
ABSTRAK...............................................................................................................v
KATA PENGANTAR...........................................................................................vii
DAFTAR ISI...........................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................xii
DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah...........................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................5
C. Tujuan Penelitian......................................................................................5
D. Manfaat Penelitian....................................................................................6
E. Metode Penelitian.....................................................................................7
F. Sistematika Penulisan Hukum................................................................14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................16
A. Kerangka Teori.......................................................................................16

10
1. Tinjauan Umum Tentang Hukum.......................................................16
2. Tinjauan Tentang Sifat Hukum...........................................................17
3. Tinjauan Tentang Tujuan Hukum.......................................................18
4. Tinjauan Tentang Hukum Administrasi Negara.................................19
5. Tinjauan Tentang Keputusan Tata Usaha Negara...............................27
6. Tinjauan Tentang Pegawai Negeri Sipil..............................................29
7. Tinjauan Tentang Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri
Sipil.....................................................................................................42
B. Kerangka Pemikiran...............................................................................49
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHAN..........................................52
A. Pemberhentian sementara terhadap Pegawai Negeri Sipil di Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Jawa Tengah yang diduga terlibat tindak pidana
penipuan..................................................................................................52
1. Jejak kasus dugaan tindak pidana penipuan oleh Pegawai Negeri Sipil
di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Jawa Tengah........................................................52
2. Pelaksanaan Pemberhentian Sementara terhadap Pegawai Negeri Sipil
di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Jawa Tengah yang diduga terlibat tindak pidana
penipuan..............................................................................................56
3. Kesesuaian prosedur pemberhentian sementara terhadap Pegawai
Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah yang diduga terlibat tindak
pidana penipuan dengan peraturan-perundangan yang
berlaku.................................................................................................62

11
B. Implikasi hukum yang timbul karena pemberhentian sementara Pegawai
Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah............................................65
BAB IV SIMPULAN DAN SARAN.....................................................................70
A. Simpulan.................................................................................................70
B. Saran.......................................................................................................71
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................72

12
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran.................................................................49

13
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Perintah Penahanan Kejaksaan Negeri Cilacap.......................76
Lampiran 2. Berita Acara Pelaksanaan Perintah Penahanan.................................77
Lampiran 3. Surat Keputusan Pemindahan Pegawai Negeri Sipil.........................78
Lampiran 4. Surat Keputusan Pemberhentian Sementara PNS.............................79
Lampiran 5. Surat Keterangan Penghentian Pembayaran......................................81
Lampiran 6. Putusan No. 58/Pid.B/2009/Pn.Clp. A.n. Eko Purwantoro...............83

14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945 merupakan “jembatan emas”, demikian kata Presiden pertama kita sekaligus
proklamator kemerdekaan, Bung Karno. Melalui jembatan emas itu bangsa
Indonesia meninggalkan kegelapan alam penjajahan dan memasuki alam
kemerdekaan dengan penuh sinar harapan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945
yang dikeluarkan sehari setelah proklamasi, tercantum cita-cita dan tujuan
nasional kita. Bangsa Indonesia tentunya bertekad untuk mewujudkan Negara
yang dikelola dengan tata pemerintahan yang baik (good governance) untuk
mengisi kemerdekaan. Lebih lanjut lagi bangsa Indonesia juga ingin mewujudkan
pembangunan yang inklusif dengan desentralisasi dan otonomi daerah, sehingga
seluruh rakyat di segala penjuru Indonesia dapat merasakan manfaat
pembangunan secara adil dan bermartabat.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Pegawai Negeri Sipil merupakan tulang punggung pemerintahan dalam rangka menyelengarakan pemerintahan dan pembangunan untuk mencapai tujuan nasional seperti apa yang telah diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial (Djoko Prakoso, 1992: 2).
Pemerintah mengatur ruang lingkup Pegawai Negeri Sipil dalam suatu
Undang-Undang. Salah satu hal yang menjadi pertimbangan dalam pembentukan
Undang-Undang mengenai kepegawaian adalah dalam rangka usaha mewujudkan
masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern, demokratis, makmur,
adil, dan bermoral tinggi, diperlukan Pegawai Negeri yang merupakan unsur
aparatur negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan
pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dengan
penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.

15
Pegawai Negeri Sipil sebagai alat pemerintah (aparatur pemerintah) memiliki keberadaan yang sentral dalam membawa komponen kebijaksanaan-kebijaksanaan atau peraturan-peraturan pemerintah guna terealisasinya tujuan nasional. Komponen tersebut terakumulasi dalam betuk pendistribusian tugas, fungsi dan kewajiban Pegawai Negeri Sipil. Dengan adanya pergeseran paradigma dalam pelayanan publik, secara otomatis hal tersebut akan menciptakan perubahan sistem dalam hukum kepegawaian dengan adanya penyesuaian-penyesuaian dalam pelaksanaan tugas, fungsi dan kewajiban dari Pegawai Negeri Sipil meliputi penataan kelembagaan birokrasi pemerintahan, sistem dan penataan manajemen kepegawaian (Sri Hartini, 2008: 3).
Aspek yuridis Pegawai Negeri Sipil berada dalam ranah Hukum
Administrasi Negara yang mengatur bagaimana Negara dengan alat-alat
perlengkapan Negaranya melaksanakan kewenangannya secara aktif di dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Pegawai Negeri Sipil merupakan salah satu alat
perlengkapan Negara dalam penyelenggaraan pembangunan.
Sebagai salah satu usaha untuk menjamin pelaksanaan tugas kedinasan
dengan sebaik-baiknya, maka setiap Calon Pegawai Negeri Sipil pada saat
pengangkatannya menjadi Pegawai Negeri Sipil wajib mengangkat sumpah
pegawai (Nainggolan, 1985: 261). Pengaturan mengenai sumpah atau janji
Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Pokok Kepegawaian
namun pengaturan secara khusus telah tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor
11 Tahun 1959 tentang Sumpah Jabatan Pegawai Negeri Sipil dan Anggota
Angkatan Perang (Djoko Prakoso, 1992: 43). “Sumpah atau janji pegawai adalah
suatu kesanggupan pegawai untuk mentaati keharusan atau untuk tidak melakukan
larangan yang ditentukan yang diikrarkan di hadapan atasan pejabat yang
berwenang menurut agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”
(Ahmad Ghufron, 1991: 17). Dengan diucapkannya sumpah itu berarti ada
keterikatan religius antara seorang Pegawai Negeri Sipil terhadap Tuhan Yang
Maha Esa yang akan menjadi sebuah tanggung jawab spiritual dalam
melaksanakan tugas agar sesuai dengan koridor keagamaan di mana koridor
keagamaan tentunya mengajarkan kebajikan bagi pemeluknya. Pentingnya aspek
keagamaan yang melandasi tingkah laku Pegawai Negeri Sipil dinyatakan Abdun
Noor dalam jurnalnya sebagai berikut.

16
Without the existence of such a realization, people’s perception of ethics is bound to be smoky and would become dependent on expediency. As a result, the concept of should and shouldn’t would be a relative phenomenon. This may then be subjected to misuse for personal or group interest. As man’s requirements are dependent on ever changing social environment, in such a process, it becomes difficult to determine any stable ethical standard (Abdun Noor, 2008: 71-72).
Abdun Noor beranggapan bahwa tanpa adanya kesadaran tentang
keagamaan, persepsi masyarakat mengenai etika menjadi kabur dan akan
bergantung pada kelayakan. Sebagai hasilnya, konsep “seharusnya dan tidak
seharusnya” menjadi suatu relativitas. Keadaan tersebut bisa saja dimanfaatkan
kepada penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.
Sebagaimana kebutuhan manusia yang dipengaruhi oleh perubahan lingkungan
sosial, dalam prosesnya akan sulit untuk menentukan ukuran etika yang stabil.
Dewasa ini, kita sering memperoleh informasi dari berbagai media baik
media cetak maupun media elektronik tentang banyak pelanggaran bahkan
kejahatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang menyandang status
sebagai Pegawai Negeri Sipil. Hal tersebut sangat disayangkan karena Pegawai
Negeri Sipil sebagai tauladan masyarakat.
Negara mengatur mengenai seorang Pegawai Negeri Sipil yang terjerat
kasus pidana dalam penjelasan atas Pasal 24 Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 yang berbunyi, untuk menjamin kelancaran pemeriksaan, maka Pegawai
Negeri Sipil yang disangka oleh pejabat yang berwajib melakukan tindak pidana
kejahatan, dikenakan pemberhentian sementara sampai adanya putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pemberhentian
sementara tersebut adalah pemberhentian sementara dari jabatan negeri bukan
pemberhentian sementara sebagai Pegawai Negeri Sipil. Apabila pemeriksaan
oleh yang berwajib telah selesai atau telah ada putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan ternyata bahwa Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan tidak bersalah, maka Pegawai Negeri Sipil tersebut
direhabilitasikan terhitung sejak dikenakan pemberhentian sementara. Rehabilitasi

17
yang dimaksud mengandung pengertian, bahwa Pegawai Negeri Sipil yang
bersangkutan diaktifkan dan dikembalikan pada jabatan semula.
Apabila setelah pemeriksaan oleh pengadilan telah selesai dan ternyata
Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bersalah dan oleh sebab itu dihukum
penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum yang tetap, maka Pegawai Negeri Sipil tersebut dapat
diberhentikan.
Hal tersebut di atas terjadi pada seorang Pegawai Negeri Sipil
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang sedang menjalani masa
pemberhentian sementara sebagai Pegawai Negeri Sipil karena adanya dugaan
atas delik penipuan yang dia lakukan. Dalam pertimbangan surat perintah
penahanan Nomor print-36/0.3.17/Ep.1/02/2009 disebutkan beberapa
pertimbangan. Oknum Pegawai Negeri Sipil tersebut diduga telah melakukan
tindak pidana penipuan terhadap empat orang korban yang dijanjikannya pada
Bulan September 2006 untuk dilantarkan agar masuk menjadi Pegawai Negeri
Sipil di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan
membayar uang kepada oknum tersebut masing-masing sebesar Rp. 40.000.000,-
(empat puluh juta rupiah). Pada bulan Januari 2007, terdakwa menyerahkan Surat
Keputusan diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), namun sampai
sekarang keempat korban belum dipanggil untuk bekerja di lingkungan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Berdasarkan hasil pemeriksaan
berkas perkara penyidik, diperoleh bukti yang cukup, terdakwa diduga telah
melakukan tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan dan dikhawatirkan
akan melarikan diri, merusak dan menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana maka dikeluarkan perintah penahanan.
Atas dugaan keterlibatannya dalam kasus tersebut di atas, maka Pegawai
Negeri Sipil tersebut diberhentikan sementara dari jabatan negeri. Adanya
tindakan administratif berupa pemberhentian sementara dari jabatan negeri yang
diterapkan kepada Pegawai Negeri Sipil Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia di atas, menunjukkan bahwa Kementerian Hukum dan Hak Asasi

18
Manusia Kantor Wilayah Jawa tengah telah memberikan kesempatan kepada
pihak yang berwajib untuk melanjutkan proses pemeriksaan terhadap Pegawai
Negeri Sipil yang bersangkutan tanpa campur tangan dari instansi manapun.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka penulis melakukan
penelitian terhadap pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil dalam bentuk
penulisan hukum dengan judul: “KAJIAN YURIDIS MENGENAI
PEMBERHENTIAN SEMENTARA PEGAWAI NEGERI SIPIL YANG
DIDUGA TERLIBAT TINDAK PIDANA PENIPUAN (Studi Kasus di Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa
Tengah)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
membatasi penulisan ini dengan melakukan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah prosedur pemberhentian sementara terhadap Pegawai Negeri Sipil di
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Jawa Tengah yang diduga terlibat tindak pidana penipuan telah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku?
2. Apa implikasi hukum yang timbul karena pemberhentian sementara Pegawai
Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Jawa Tengah?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya,
maka untuk mengarahkan suatu penelitian diperlukan adanya tujuan dari suatu
penelitian. Tujuan penelitian dikemukakan secara deklaratif dan merupakan
pernyataan-pernyataan yang hendak dicapai dalam dalam penelitian tersebut
(Soerjono Soekanto, 2007: 118-119).
Tujuan yang dikenal dalam suatu penelitian ada dua macam, yaitu:
tujuan objektif dan tujuan subjektif. Dalam penelitian ini, tujuan objektif dan
tujuan subjektif adalah:

19
1. Tujuan Objektif
Tujuan objektif yaitu tujuan penulisan dilihat dari tujuan umum yang
mendasari penulis dalam melakukan penelitian. Dalam penelitian ini, tujuan
objektifnya adalah sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui kesesuaian prosedur pemberhentian sementara terhadap
Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah yang diduga terlibat
tindak pidana penipuan terhadap peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
b. Untuk mengetahui implikasi hukum pemberhentian sementara bagi Pegawai
Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah.
2. Tujuan Subjektif
Tujuan subjektif yaitu tujuan penelitian diihat dari tujuan pribadi
penulis dalam melakukan penelitian. Dalam penelitian ini, tujuan subjektifnya
adalah sebagai berikut.
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti di bidang ilmu hukum
secara teoritis maupun praktis dalam lingkup Hukum Administrasi Negara
bidang Hukum Kepegawaian khususnya mengenai pemberhentian
sementara Pegawai Negeri Sipil.
b. Untuk melengkapi syarat akademis guna meraih gelar sarjana bidang ilmu
hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat merupakan salah satu alasan dilakukannya penelitian ini karena
besarnya nilai dari suatu penelitian ditentukan dari besarnya manfaatnya. Dengan
manfaat itu maka tidak sia-sia dilakukannya penelitian ini.

20
1. Manfaat Teoritis
Manfaat teoritis yaitu manfaat yang berkaitan dengan pengembangan
ilmu hukum yang konseptual. Dalam penulisan ini manfaat teoritis terdiri dari:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi dorongan untuk
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum baik teori dan praktek
dalam lingkup Hukum Administrasi Negara khususnya dalam
pemberdayaan Pegawai Negeri Sipil.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur
dalam dunia kepustakaan tentang pemberdayaan Pegawai Negeri Sipil.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penelitian-penelitian sejenis untuk tahap berikutnya.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis merupakan manfaat dari penelitian hukum ini yang
berkaitan dengan cara penyelesaian perkara yang ada dan yang akan ada.
Manfaat praktis dari penulisan ini adalah sebagai berikut.
a. untuk memberikan jawaban atas masalah yang diteliti;
b. dapat memberikan masukan, data dan informasi mengenai eksistensi
Pegawai Negeri Sipil;
c. sebagai bahan perbandingan dan masukan bagi pihak-pihak yang
berkepentingan dalam penelitian ini.
E. Metode Penelitian
Cara kerja keilmuan salah satunya ditandai dengan penggunaan metode
(Inggris: method, Latin: methodus, Yunani: methodos-meta berarti sesudah, di
atas, sedangkan hodos berarti suatu jalan, suatu cara). Van Peursen
menerjemahkan pengertian metode secara harfiah, mula-mula metode diartikan
sebagai suatu jalan yang harus ditempuh, menjadi: penyelidikan atau penelitian
berlangsung menurut suatu rencana tertentu (Johnny Ibrahim, 2006: 25-26).

21
Suatu penelitian ilmiah agar dapat berjalan dengan baik maka diperlukan
suatu metode penelitian yang baik dan tepat pula. Metodologi merupakan suatu
unsur yang mutlak harus ada dalam penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Adapun peranan metode penelitian ilmiah dalam suatu peneltian
adalah (Soerjono Soekanto, 2007:7):
1. menambah kemampuan para ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan
penelitian secara lebih baik dan lengkap;
2. memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian
interdisipliner;
3. memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk meneliti hal-hal yang belum
diketahui;
4. memberikan pedoman mengorganisasikan serta mengintegrasikan pengetahuan
mengenai masyarakat.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa metodologi merupakan unsur
yang sangat penting dalam penelitian untuk memperoleh data yang akurat, relevan
dan lengkap. Dalam mencari data mengenai suatu masalah diperlukan suatu
metode penelitian yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Metode
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis pergunakan dalam penyusunan
penulisan hukum ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum
kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti
bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun
secara sistematis, dikaji, kemudian ditarik suatu kesimpulan dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti.
Hal ini sesuai dengan pandangan Soerjono Soekanto bahwa
penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif atau

22
penelitian hukum kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan
tersebut mencakup (Soerjono Soekanto 2007:13-14):
a. penelitian terhadap asas-asas hukum;
b. penelitian terhadap sistematik hukum;
c. penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horisontal;
d. perbandingan hukum;
e. sejarah hukum.
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian ini termasuk ke dalam tipe
penelitian terhadap sistematik hukum, yaitu meneliti sistematika hukum yang
digunakan dalam pelaksanaan pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil
yang diduga terlibat tindak pidana penipuan.
2. Sifat penelitian
Di dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan penelitian
hukum yang bersifat deskriptif, yaitu suatu penelitian yang dimaksudkan
untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya. Menurut Soerjono Soekanto, maksud penelitian bersifat
deskriptif ini adalah untuk mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat
membantu dalam memperkuat teori atau dalam kerangka menyusun teori baru
(Soerjono Soekanto, 2007: 10).
Penulis menggambarkan mengenai pelaksanaan pemberhentian
sementara dari jabatan negeri terhadap Pegawai Negeri Sipil yang terjerat
kasus hukum pidana. Penulis menggambarkan semua data yang diperoleh
secara jelas dan rinci untuk kemudian dianalisis guna menjawab permasalahan
yang ada.
3. Pendekatan Penelitian
Nilai ilmiah suatu pembahasan dan pemecahan masalah terhadap
legal issue yang diteliti sangat tergantung kepada cara pendekatan (approach)

23
yang digunakan. Jika cara pendekatan tidak tepat, maka bobot penelitian tidak
akurat dan kebenarannya pun dapat digugurkan (Johnny Ibrahim, 2006: 299).
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan dalam penelitian
hukum terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan
(statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach) dan
pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2006:
93). Sedangkan menurut Johny Ibrahim dari kelima pendekatan tersebut
ditambah dengan pendekatan analitis (analytical approach) dan pendekatan
filsafat (philosophical approach) berikut (Johnny Ibrahim, 2006: 300).
Dari beberapa pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan
penelitian hukum ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute
approach) dan pendekatan analitis (analytical approach). Pendekatan
perundang-undangan dilakukan dengan mendekati masalah yang diteliti
dengan menggunakan sifat hukum yang normatif, karena dalam penelitian ini
hukum dikonsepkan sebagai norma-norma tertulis yang dibuat oleh lembaga
atau pejabat yang berwenang. Oleh karena itu, pengkajian yang dilakukan
hanyalah terbatas pada peraturan perundang-undangan (tertulis) yang terkait
dengan masalah yang diteliti. Selanjutnya penelitian ini akan diuraikan secara
deskriptif dengan menelaah, menjelaskan, memaparkan, menggambarkan serta
menganalisis permasalahan atau isu hukum yang diangkat, seperti apa yang
telah dikemukakan dalam perumusan masalah.
4. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data
sekunder. “Data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi,
buku-buku hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya”
Amiruddin, dkk, 2004: 30).

24
Data sekunder diperoleh dari bahan-bahan hukum yang terdiri atas:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat
dan terdiri dari kaidah dasar (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2006:
13). Yang menjadi bahan hukum primer dalam penelitian hukum ini yaitu:
1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme;
2) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian;
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara;
4) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/
Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri Pegawai Negeri;
5) Peraturan Pemerintah Nomor 3 tahun 1980 tentang Pengangkatan
Dalam Pangkat Pegawai Negeri Sipil;
6) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
7) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang
Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil;
8) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang
Pengangkatan, Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil;
9) Surat Perintah Penahanan dari Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap
Nomor: PRINT-36/0.3.17/Ep.1/02/2009 tertanggal 03 Februari 2009
terhadap tersangka staf pengamanan Lembaga Pemasyarakatan Kelas
IIA Pasir Putih Nusakambangan;

25
10) Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia Nomor: W9-313-Kp.04.10. Tahun 2009 tertanggal 6
Pebruari 2009 tentang Pemindahan Pegawai Negeri Sipil;
11) Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009
tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing;
12) Surat Keterangan Penghentian Pembayaran Kantor Pelaksana
Perbendaharaan Negara Cilacap.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat
hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu
menganalisis serta memahami bahan hukum primer. Menurut Peter
Mahmud, bahan penelitian hukum sekunder adalah bahan-bahan berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen resmi,
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud, 2006: 141).
Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini berupa buku-buku atau
literatur, artikel-artikel dan jurnal-jurnal yang terkait dengan masalah yang
penulis teliti.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan-bahan yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum
primer dan sekunder. Bahan hukum tersier yang penulis gunakan yaitu
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
5. Teknik Pengumpulan Data
Suatu penelitian membutuhkan data yang lengkap dan memiliki nilai
validitas yang tinggi. Untuk mengumpulkan data tersebut penulis
menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut:

26
a. Studi Kepustakaan
Penelitian ini penulis lakukan dengan cara meneliti data yang
berupa dokumen-dokumen yang didapatkan dari Kantor Regional I Badan
Kepegawaian Negara Yogyakarta, Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Kantor Wilayah Jawa Tengah, Lembaga Pemasyarakatan Klas II
A Pasir Putih Nusakambangan serta Rumah penyimpanan Benda Sitaan
Negara Klas I Surakarta, mengkaji bahan-bahan pustaka dengan membaca
dan mempelajari buku-buku literatur serta peraturan perundang-undangan
terkait dengan masalah yang penulis teliti.
b. Wawancara
Wawancara ini penulis lakukan sebagai pelengkap dan validasi
terhadap data yang penulis peroleh dan juga sebagai keterangan tambahan.
Wawancara dilakukan dengan pejabat-pejabat di berbagai instansi terkait
seperti Kantor Regional I Badan Kepegawaian Negara Yogyakarta,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Jawa
Tengah, Lembaga Pemasyarakatan Klas II A Pasir Putih Nusakambangan
serta Rumah penyimpanan Benda Sitaan Negara Klas I Surakarta.
6. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil
penelitian menjadi suatu laporan. “Analisis data adalah proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori dan satuan
uraian dasar sehingga dapat ditemukan suatu tema dan dapat dirumuskan
hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data” (Lexy J. Moleong, 2002:
103).
Dalam penulisan skripsi ini, setelah data yang diperlukan terkumpul
melalui penelitian yang dilakukan penulis, maka langkah selanjutnya adalah
menganalisis data tersebut. Penulis menggunakan analisis data kualitatif yaitu
berupa keterangan yang diberikan oleh pihak dari Kantor Regional I Badan
Kepegawaian Negara Yogyakarta, Kementerian Hukum dan Hak Asasi

27
Manusia Kantor Wilayah Jawa Tengah, Lembaga Pemasyarakatan Klas II A
Pasir Putih Nusakambangan serta Rumah penyimpanan Benda Sitaan Negara
Klas I Surakarta, baik secara lisan maupun tertulis, kemudian data tersebut
diteliti dan diuraikan sedemikian rupa sehingga dapat disajikan secara
sistematis. Cara pengolahan data yang dilakukan penulis adalah dengan
metode logika deduktif. Metode deduktif ini berpangkal dari pengajuan premis
mayor kemudian diajukan premis minor kemudian dari kedua premis ini akan
ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud, 2006: 47). Pola dan
sistematika penalaran logika deduktif adalah penetapan kebenaran universal
kemudian menjabarkannya pada hal yang lebih khusus.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberi gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum, maka
sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat bab yang tiap-tiap bab terbagi
dalam sub-sub bab untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil
penelitian ini.
Sistematika penulisan hukum tersebut sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika
penulisan hukum.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisi kerangka teori yang terdiri dari tinjauan umum
tentang hukum, tinjauan tentang sifat hukum, tinjauan tentang tujuan hukum,
tinjauan tentang Hukum Administrasi Negara, tinjauan tentang Keputusan Tata
Usaha Negara, tinjauan tentang Pegawai Negeri Sipil dan tinjauan tentang
pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil serta berisi kerangka pemikiran
penulis mengenai permasalahan yang diangkat dalam penulisan hukum ini.

28
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan membahas dan menjawab permasalahan
yang telah ditentukan sebelumnya yakni mengenai kesesuaian antara prosedur
pemberhentian sementara terhadap Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah
yang diduga terlibat tindak pidana penipuan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku serta implikasi hukum pemberhentian sementara bagi
Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah.
BAB IV PENUTUP
Dalam bab ini berisi simpulan dari jawaban permasalahan yang menjadi
obyek penelitian dan saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA
Berisi mengenai daftar literatur-literatur yang dapat dipergunakan oleh
penulis yang dijadikan sebagai data kepustakaan dalam penelitian ini.
LAMPIRAN
Berisi mengenai daftar lampiran sebagai data kepustakaan yang
diperoleh dari proses penelitian.

29
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan umum tentang hukum
Pertanyaan yang sering muncul di benak setiap orang ketika pertama
kali mempelajari ilmu hukum adalah mengenai apakah sebenarnya hukum itu.
Dahulu biasanya orang akan memberikan definisi yang indah-indah mengenai
hukum. Namun pada dasarnya definisi hukum itu sulit dibuat karena karena
menurut W.L.G. Lemaire hukum itu mempunyai segi dan bentuk yang sangat
banyak, sehingga tidak mungkin tercakup keseluruhan segi dan bentuk hukum
itu ke dalam suatu definisi (C.S.T. Kansil, 1989: 36).
Definisi hukum sangat sulit karena para sarjana hukum memiliki
pendapat yang berbeda-beda walaupun ada kesamaan, beberapa definisi
hukum oleh para sarjana meliputi (C.S.T Kansil, 1989: 38):
a. S.M. Amin
Dalam bukunya yang berjudul “Bertamasya ke Alam Hukum”,
hukum dirumuskan sebagai, “kumpulan peraturan yang terdiri dari norma
dan sanksi-sanksi itu disebut hukum dan tujuan hukum itu adalah
mengadakan ketatatertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan
dan ketertiban terpelihara”.
b. J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto
Dalam buku yang disusun bersama berjudul “Pelajaran Hukum
Indonesia” telah diberikan definisi hukum sebagai berikut, “hukum ialah
peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah
laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan

30
resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi
berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu”.
c. M. H. Tirtaatmidjaja
Dalam buku beliau “Pokok-Pokok Hukum Perniagaan”
ditegaskan bahwa “Hukum ialah semua aturan (norma) yang harus diturut
dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan
ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan
membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan
kemerdekaannya, didenda dan sebagainya”.
Sebagai kaidah (norma) hukum dapat dirumuskan sebagai
berikut: “hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan)
yang mengatur tatatertib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati
oleh anggota masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat
yang bersangkutan” (E. Utrecht, 1989: 3).
2. Tinjauan tentang sifat hukum
Hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat (ubi socitas ibi
ius), sebab antara keduanya mempunyai hubungan timbal balik. Hal ini
dikarenakan hukum memiliki sifat universal dan hukum mengatur semua
aspek kehidupan masyarakat (politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan
keamanan) dengan tidak ada satupun segi kehidupan manusia dalam
masyarakat yang luput dari sentuhan hukum (Titik Triwulan Tutik, 2006: 34).
Tata-tertib dalam masyarakat dapat terwujud apabila masyarakat tersebut
menaati kaidah-kaidah hukum yang ada, akan tetapi realitanya tidak semua
orang mau menaatinya. Agar hukum itu efektif, maka hukum mempunyai sifat
mengatur dan memaksa. Hukum merupakan peraturan hidup kemasyarakatan
yang dapat memaksa orang agar menaati tata-tertib dalam masyarakat serta
memberikan sanksi yang tegas (berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak
mau mematuhinya.

31
Peraturan-peraturan hukum yang bersifat mengatur dan memaksa
anggota masyarakat untuk patuh menaatinya menyebabkan terdapatnya
keseimbangan dalam tiap perhubungan dalam masyarakat. Selain itu, hukum
juga memiliki sifat luwes dimana pengaturannya menyesuaikan dengan
perubahan yang ada atau perkembangan masyarakat saat ini. Dengan sifatnya
yang selalu menyesuaikan perkembangan masyarakat saat inilah, maka hukum
diharapkan mampu memberikan arahan dan pedoman bagi setiap orang dalam
bertindak.
3. Tinjauan tentang tujuan hukum
Tujuan hukum ialah apa yang hendak dicapai oleh hukum. Pada
dasarnya hukum itu berlaku dan untuk ditaati, dengan demikian akan tercipta
ketentraman dan ketertiban. Berkenaan dengan tujuan hukum, terdapat
beberapa pendapat para sarjana ilmu hukum yang diantaranya sebagai berikut:
a. Subekti mengatakan bahwa, “hukum itu mengabdi pada tujuan Negara yang
dalam pokoknya ialah mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada
rakyatnya. Hukum melayani tujuan Negara tersebut dengan
menyelenggarakan keadilan dan ketertiban” (C.S.T. Kansil, 1989: 41).
b. Van Apeldorn mengatakan bahwa, “tujuan hukum ialah mengatur pergaulan
hidup manusia secara damai. Adapun hukum mempertahankan perdamaian
dengan menimbang kepentingan yang bertentangan itu secara teliti dan
mengadakan keseimbangan di antaranya, karena hukum hanya dapat
mencapai tujuan, jika ia menuju peraturan yang adil” (C.S.T. Kansil, 1989:
42).
c. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa, “tujuan hukum berdasarkan
cita-cita hukum Pancasila, adalah melindungi manusia secara pasif
(negatif) dengan mencegah tindakan sewenang-wenang. Dan secara aktif
(positif) dengan menciptakan kondisi kemasyarakatan yang manusiawi
yang memungkinkan proses kemasyarakatan berlangsung secara adil, tiap
manusia memperoleh kesempatan yang luas dan sama untuk

32
mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya secara utuh” (Titik
Triwulan Tutik, 2006: 33).
Dari pendapat-pendapat di atas, maka tujuan hukum adalah untuk
mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4. Tinjauan tentang Hukum Administrasi Negara
a. Peristilahan Administrasi Negara
Penggunaan istilah Hukum Administrasi Negara (HAN) sedikit
banyak dipengaruhi oleh keputusan/ kesepakatan pengasuh mata kuliah
Fakultas Hukum pada pertemuan di Cibulan tanggal 26-28 Maret 1973.
Sebelum itu, dalam kurikulum minimal tahun 1972, istilah yang digunakan
dalam SK Menteri P dan K tanggal 30 Desember 1972 No. 0198/U/1972
adalah Hukum Tata Pemerintahan. Meskipun istilah Hukum Tata
Pemerintahan tercantum dalam SK tersebut diatas, namun dalam
kenyataan penggunaan istilah itu oleh beberapa fakultas hukum terutama
fakultas hukum universitas negeri (yang kemudian diikuti juga oleh
berbagai fakultas hukum universitas swasta) tidak seragam. Istilah-istilah
yang beranekaragam itu adalah: Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Tata
Usaha Negara dan Hukum Administrasi Negara
(http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/07/hukum-administrasi-
negara.html).
Soewarno Handayaningrat dalam bukunya “Administrasi
Pemerintahan Dalam Pembangunan Nasional” menengahkan sebagai
berikut: Administrasi Negara merupakan bagian dari administrasi umum.
Ilmu Administrasi Negara merupakan cabang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Pada halaman 2 juga diketengahkan pendapat Leonard D.White bahwa
Administrasi Negara terdiri atas semua kegiatan Negara dengan maksud
untuk menunaikan dan melaksanakan kebijakan Negara. Pada halaman 3
diketengahkan pendapat Dimock dan Koening tentang Administrasi

33
Negara dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, Administrasi
Negara adalah kegiatan Negara dalam melaksanakan kekuasaan
politiknya. Dalam arti sempit, Administrasi Negara adalah kegiatan
eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan (Soewarno
Handayaningrat, 1982: 2-3).
b. Peristilahan Hukum Adminstrasi Negara
Deskripsi dari J. Oppenheim mengetengahkan perbedaan
terhadap tinjauan Negara oleh Hukum Tata Negara dan oleh Hukum
Administrasi. Hukum Tata Negara menyoroti Negara dalam keadaan
bergerak. Pendapat selanjutnya dijabarkan oleh C.Van Vollenhoven dalam
definisi Hukum Tata Negara dan definisi Hukum Administrasi. Hukum
Tata Negara adalah keseluruhan peraturan hukum yang membentuk alat-
alat perlengkapan Negara dan menentukan kewenangan alat-alat
perlengkapan Negara tersebut. “Hukum Administrasi adalah keseluruhan
ketentuan yang mengingat alat-alat perlengkapan Negara, baik tinggi
maupun rendah, setelah alat-alat itu akan menggunakan kewenangan-
kewenangan ketatanegaraan” (Philipus M. Hadjon etc, 2005: 23).
Hukum Administrasi menurut Logeman ialah, “Hukum
Administrasi meliputi peraturan-peraturan khusus, yang disamping hukum
positif yang berlaku umum, mengatur cara-cara organisasi Negara ikut
serta dalam lalu lintas masyarakat” (Philipus M. Hadjon etc, 2005: 23).
Van Apeldorn menjelaskan bahwa, “Hukum Administrasi Negara
dalam arti materiil ialah keseluruhan aturan yang hendaknya diperhatikan
oleh para pendukung kekuasaan (penguasa) yang diserahi suatu tugas
pemerintahan dalam melakukan tugas pemerintahan itu“ (CST. Kansil,
1984: 29).
“Struijcken menyebutkan Hukum Administrasi Negara sebagai
peraturan-peraturan tentang cara bagaimana badan-badan pemerintah
harus menjalankan kewajibannya“ (CST. Kansil, 1984: 29).

34
Menurut de La Basseour Caan bahwa yang dimaksud dengan
Hukum Administrasi Negara adalah, ”himpunan peraturan-peraturan
tertentu yang menjadi sebab maka Negara berfungsi (beraksi). Maka
peraturan-peraturan itu mengatur hubungan-hubungan antara tiap-tiap
warga (Negara) dengan pemerintahnya” (SF. Marbun, 2001: 45).
Menurut E. Utrecht Hukum Administrasi Negara atau yang
disebut sebagai Hukum Pemerintahan adalah “menguji hubungan hukum
istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat (ambstdragers)
Administrasi Negara melakukan tugas mereka yang khusus” (SF. Marbun,
2001: 46).
Menurut Muchsan, Hukum Administrasi Negara dirumuskan
sebagai “hukum mengenai struktur dan kefungsian administrasi Negara”
(SF. Marbun, 2001: 46).
Menurut Prajudi Atmosudirdjo Hukum Administrasi Negara
adalah “hukum yang mengenai pemerintah beserta aparatnya yang
terpenting yakni Administrasi Negara” (SF. Marbun, 2001: 46). Atau
merupakan “hukum yang mengatur wewenang, tugas fungsi dan tingkah
laku para pejabat administrasi Negara…, bertujuan untuk menjamin
adanya Administrasi Negara yang bonafide, artinya: yang tertib, sopan,
berlaku adil dan objektif, jujur efisien dan fair (sportif)” (SF. Marbun,
2001: 47).
Dari beberapa pengertian di atas, maka yang dimaksud dengan
Hukum Administrasi Negara adalah keseluruhan peraturan yang
berkenaan dengan cara bagaimana organ pemerintahan melaksanakan
tugasnya. Jadi Hukum Administrasi Negara berisi aturan main yang
berkenaan dengan fungsi organ-organ pemerintahan. Ada tiga arti Hukum
Administrasi Negara, yaitu:
1) Sebagai aparatur Negara, aparatur pemerintahan, atau institusi politik
(kenegaraan); artinya meliputi organ yang berada di bawah pemerintah

35
mulai dari Presiden, Menteri (termasuk Sekretaris Jenderal, Direktur
Jenderal, Inspektur Jenderal), Gubernur, Bupati, dan sebagainya,
singkatnya semua organ yang menjalankan Administrasi Negara;
2) Sebagai fungsi atau aktivitas, yakni sebagai kegiatan pemerintahan,
artinya sebagai kegiatan mengurus kepentingan Negara;
3) Sebagai proses teknis penyelenggaraan Undang-Undang, artinya
meliputi segala tindakan aparatur Negara dalam menyelenggarakan
Undang-Undang (CST. Kansil, 1997: 4).
Dari ketiga arti dari Hukum Administrasi Negara di atas, maka
Hukum Administrasi Negara jelas memegang peranan penting bagi
aparatur Negara dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Betapa
pentingnya Hukum Administrasi Negara, sehingga Van Vollenhoven
mengatakan bahwa:
Pejabat-pejabat Pemerintahan tanpa ketentuan Hukum Tata Negara seperti burung yang lumpuh sayapnya, karena tidak mempunyai kewenangan atau ada keragu-raguan tentang ini; pejabat-pejabat pemerintahan tanpa ketentuan-ketentuan dalam Hukum Administrasi laksana burung bebas dengan sayapnya, karena mereka dapat mempergunakan kewenangannya sekehendak hatinya (Amrah Muslimin, 1985: 10).
c. Administrasi Negara dalam lapangan pekerjaannya
Kekuasaan pemerintah yang menjadi objek kajian Hukum
Administrsi Negara sangat luas, maka tidak mudah menentukan ruang
lingkup Hukum Administrasi Negara.
Menurut C.J.N. Versteden, berbeda dengan hukum perdata dan hukum pidana, Hukum Administrasi Negara tidak dapat dikodifikasi. Dengan kata lain, keseluruhan atau sebagian besar tidak dapat dikumpulkan dalam satu kitab undang undang umum. Keanekaragaman dan perkembangan yang pesat dari Hukum Administrasi ini membuat kodifikasi umum itu tidak memungkinkan (Ridwan, HR, 2006: 38-39).
Alasan yang hampir senada dikemukakan pula oleh E. Utrecht,
dengan mengutip pendapat A.M. Donner yaitu:

36
Hukum Administrasi Negara itu sukar untuk dikodifikasi karena dua alasan. Pertama, peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara berubah lebih cepat dan sering mendadak, sedangkan peraturan-peraturan-peraturan hukum privat dan hukum pidana hanya berubah secara berangsur-angsur saja. Kedua, pembuatan peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara tidak di dalam satu tangan. Di luar pembuat Undang-Undang pusat hampir semua departemen dan pemerintah daerah otonom membuat juga peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara sehingga lapangan Hukum Administrasi Negara saat itu sangat beraneka warna dan tidak bersistem. Karena tidak dapat dikodifikasi, maka sukar diidentifikasi ruang lingkupnya dan yang dapat dilakukan hanyalah membagi bidang-bidang atau bagian-bagian HAN (Ridwan, HR, 2006: 39).
C.J.N. Versteden menyebutkan bahwa secara garis besar Hukum
Administrasi Negara meliputi bidang pengaturan antara lain:
1) peraturan mengenai penegakan ketertiban dan keamanan, kesehatan
dan kesopanan, dengan menggunakan aturan tingkah laku bagi warga
Negara yang ditegakkan dan ditentukan lebih lanjut oleh pemerintah;
2) peraturan yang ditujukan untuk memberikan jaminan sosial bagi
rakyat;
3) peraturan-peraturan mengenai tata ruang yang ditetapkan pemerintah;
4) peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tugas-tugas pemeliharaan
dari pemerintah termasuk bantuan terhadap aktivitas swasta dalam
rangka pelayanan umum;
5) peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pemungutan pajak;
6) peraturan-peraturan mengenai perlindungan hak dan kepentingan
warga Negara terhadap pemerintah;
7) peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penegakan hukum
administrasi;
8) peraturan-peraturan mengenai pengawasan organ pemerintah yang
lebih tinggi terhadap organ yang lebih rendah;
9) peraturan-peraturan mengenai kedudukan hukum pegawai
pemerintahan (Ridwan, HR, 2006: 41).

37
Ada penulis yang menyebutkan bahwa Hukum Administrasi
Negara mencakup hal-hal di antaranya:
1) sarana-sarana (instrumen) bagi penguasa untuk mengatur,
menyeimbangkan dan mengendalikan berbagai kepentingan
masyarakat;
2) mengatur cara-cara partisipasi warga masyarakat dalam proses
penyuluhan dan pengendalian tersebut termasuk proses penentuan
kebiksanaan;
3) perlindungan hukum bagi warga masyarakat;
4) menyusun dasar-dasar bagi pelaksanaan pemerintahan yang baik
(Ridwan, HR, 2006: 43-44).
Dari pemaparan beberapa pendapat sarjana di atas, dapatlah
disebutkan bahwa Hukum Administrasi adalah hukum yang berkenaan
dengan pemerintahan dalam arti sempit (bestuursrechet of administratief
recht omvat regels, die betrekking hebben op de administratie) yaitu
hukum yang cakupannya secara garis besar mengatur hal-hal antara lain:
1) perbuatan pemerintah (pusat dan daerah) dalam bidang publik;
2) kewenangan pemerintah (dalam melakukan perbuatan di bidang publik
tersebut); di dalamnya diatur mengenai dari mana, dengan cara apa dan
bagaimana pemerintah menggunakan kewenangannya; penggunaan
kewenangan ini dituangkan dalam bentuk instrumen hukum sehingga
diatur pula tentang pembuatan dan penggunaan instrumen hukum;
3) akibat-akibat hukum yang lahir dari perbuatan atau penggunaan
kewenangan pemerintah itu;
4) penegakan hukum dan penerapan sanksi-sanksi dalam bidang
pemerintahan (Ridwan, HR, 2006: 44).
Sehubungan dengan adanya hukum administrasi tertulis, yang
tertuang dalam bebagai peraturan perundang-undangan dan hukum
administrasi tidak tertulis yang lazim disebut asas-asas umum

38
pemerintahan yang layak (algemene beginselen van behoorlijke bestuur),
keberadaan dan sasaran dari hukum administrasi adalah sekumpulan
peraturan hukum yang mengatur tentang tugas dan kewenangan
pemerintah dalam berbagai dimensinya sehingga tercipta penyelenggaraan
pemerintahan dan kemasyarakatan yang baik dalam suatu Negara hukum.
Dengan demikian, keberadaan Hukum Administrasi Negara dalam suatu
Negara hukum merupakan qonditio sine quanon (Ridwan, HR, 2006: 44-
45).
d. Asas-asas umum pemerintahan yang baik
Supaya alat perlengkapan Negara, dalam hal ini Administrasi
Negara dapat menjalankan tugasnya secara baik, maka Administrasi
Negara memerlukan kemerdekaan untuk bertindak atas inisiatif sendiri
terutama dalam menyelesaikan masalah-masalah penting yang timbul, di
mana peraturan penyelesaiannya belum ada atau belum dibuat oleh badan
legislatif. Kemerdekaan tersebut disebut Freis Ermessen. Tentu saja
kemerdekaan ini tidaklah boleh dijalankan sedemikian rupa sehingga
merugikan warga, tanpa alasan yang patut. Apabila suatu perlengkapan
Negara yang diberi kewenangan tertentu, tidak mempergunakan
kewenangannya sesuai dengan tujuan yang telah diberikan oleh peraturan
yang menjadi dasarnya dapat dikatakan bahwa alat perlengkapan itu telah
melakukan “detournement de pouvoir” (penyalahgunaan wewenang).
Istilah asas-asas umum pemerintahan yang baik merupakan
terjemahan dari bahasa Belanda, “Algemene Beginselen van Behoorlijk
Bestuur. Pengertian “behoorlijk” bukanlah “baik”, melainkan “sebaiknya”
atau “sepatutnya”, dengan demikian, terjemahannya menjadi “Asas-asas
Umum Pemerintahan yang Sebaiknya”. Ada juga ahli yang mengganti kata
“baik” dengan “layak”, sehingga menjadi “Asas-asas Umum Pemerintahan
yang Layak” (Ridwan, HR, 2006: 245).
Beberapa pengertian asas-asas umum pemerintahan yang baik
dalam beberapa bahasa:

39
1) Di Belanda dikenal dengan “Algemene Beginselen van Behoorllijke
Bestuur” (ABBB);
2) Di Inggris dikenal “The Principal of Natural Justice”;
3) Di Perancis “Les Principaux Generaux du Droit Coutumier Publique”;
4) Di Belgia “Aglemene Rechtsbeginselen”;
5) Di Jerman “Verfassung Sprinzipien”;
6) Di Indonesia “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik”.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme disebutkan beberapa asas-asas umum
pemerintahan yang baik yaitu:
1) Asas Kepastian Hukum
Adalah asas dalam rangka Negara Hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan dan keadilan
dalam setiap kebijakan penyelenggara Negara.
2) Asas Tertib Penyelenggaraan Negara
Adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan
keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan Negara.
3) Asas Kepentingan Umum
Adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara
yang aspiratif, akomodatif dan selektif.
4) Asas Keterbukaan
Adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif
tentang penyelenggaraan Negara dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia Negara.

40
5) Asas Proporsionalitas
Adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggara Negara.
6) Asas Profesionalitas
Adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode
etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7) Asas Akuntabilitas.
Adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari kegiatan penyelenggara Negara harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Ridwan, HR, 2006: 254-
255).
5. Tinjauan tentang Keputusan Tata Usaha Negara
a. Pengertian Keputusan Tata Usaha Negara
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1958 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha
Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha
Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkret, individual dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Rumusan Pasal 1 angka 3 mengandung elemen-elemen utama
sebagai berikut.
1) penetapan tertulis;
2) (oleh) badan atau pejabat Tata Usaha Negara;
3) tindakan Hukum Tata Usaha Negara;
4) konkret, individual;

41
5) final;
6) akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata (Philipus M.
Hadjon etc, 2005: 138).
Penulis dalam penelitian ini mengkaji Keputusan Tata Usaha
Negara yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05-
Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing terhadap
Pegawai Negeri Sipil Lembaga Pemasyarakatan Klasa IIA Pasir Putih
Nusakambangan yang diduga terlibat dalam tindak pidana penipuan.
b. Perkecualian dalam Keputusan Tata Usaha Negara
Setelah diadakan perubahan dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ketentuan
Pasal 2 diubah sehingga yang tidak termasuk dalam pengertian Keputusan
Tata Usaha Negara adalah sebagai berikut.
1) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum
perdata;
2) Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang
bersifat umum;
3) Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang
bersifat hukum pidana;
5) Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil
pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
6) Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional
Indonesia;

42
7) Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah
mengenai hasil pemilihan umum.
c. Perluasan Keputusan Tata Usaha Negara
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara menyebutkan.
1) Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut
disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan
keputusan yang dimohon, sedangkan jangka waktu sebagaimana
ditentukan data peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat,
maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah
menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak
menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2),
maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimnya
permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan (R.
Wiyono, 2008: 54).
6. Tinjauan tentang Pegawai Negeri Sipil
a. Pengertian Pegawai Negeri
Untuk memperoleh pengertian Pegawai Negeri, pegangan pokok
tentunya berada pada Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian, namun ada baiknya bila diketahui pula pengertian
maupun peristilahan mengenai Pegawai Negeri yang ada pada peraturan
sebelumnya yang pernah berlaku. Kalau menengok peraturan-peraturan
yang berlaku pada zaman kolonial, maka baik dalam BBL 1938
(Bezoldigingsregeling Burgerlijke Landsdienaren 1938) maupun BAG

43
1949 (Betalingsregeling Ambtenaren en Gopensioneerden 1949) tidak
akan dijumpai tentang pengertian yang mendeskripsikan Pegawai Negeri
itu. Hanya di dalam BBL 1938 menggunakan istilah Landsdienaren
(Pengabdi Negara) dan BAG 1949 menggunakan istilah Ambtenaar
(Pegawai Negeri). Sedangkan siapa saja yang diangkat menjadi Pegawai
Negeri, Prof. Dr. J.H.A Logemann dalam “Over de theorie van een stellig
staatsrecht” (1984) berpendapat bahwa Pegawai Negeri (ambtenaar)
adalah tiap pejabat yang mempunyai hubungan dinas publik (openbare
dienstbetrekking) dengan Negara. Mengenai hubungan dinas publik ini
J.H.A Logemann lebih lanjut menjelaskan bahwa hubungan dinas publik
itu terjadi jika seseorang mengikatkan dirinya untuk tunduk pada perintah
dari pemerintah untuk melakukan sesuatu atau beberapa macam jabatan
tertentu dengan mendapatkan penghargaan berupa gaji dan beberapa
keuntungan lain. Jadi seseorang yang mempunyai hubungan dinas publik
dengan Negara, yang berarti dia menjadi Pegawai Negeri, tidak akan
menolak dan menerima tanpa syarat pengangkatannya dalam suatu jabatan
yang telah ditentukan oleh pemerintah (Sudibyo Triatmodjo, 1983: 26-27).
Dengan demikan kalau diikuti pendapat Prof. Dr. J.H.A Logemann, pemerintah berhak dengan tanpa persesuaian kehendak dari pihak Pegawai Negeri yang bersangkutan (eenzijdig) mengangkat dalam jabatan yang ditetukan, sehingga perbuatan pemerintah di sini dapat disebut dengan perbuatan hukum yang bersegi satu (Sudibyo Triatmodjo, 1983: 27).
Sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian maka telah ditemukan pengertian Pegawai
Negeri karena dalam Undang-Undang ini telah diberi rumusan tentang apa
yang dimaksud dan diartikan dengan Pegawai Negeri. Rumusan tersebut
terdapat dalam Pasal 1 huruf a yang berbunyi, “Pegawai Negeri adalah
setiap warga Negara Republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang
ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas

44
dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas Negara lainnya, dan digaji
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku .”
Kalau memperhatikan rumusan di atas maka akan didapatkan
empat unsur yang harus dipenuhi seseorang agar dapat disebut sebagai
Pegawai Negeri. Empat unsur tersebut ialah:
1) Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi syarat yang
ditentukan;
2) diangkat oleh pejabat yang berwenang;
3) diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri/ tugas Negara berdasarkan
peraturan perundang-undangan;
4) digaji oleh Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pegawai Negeri bekerja dalam suatu sistem pemerintahan yang
biasa disebut dengan birokrasi. Birokrasi berasal dari kata bureucracy
(Bahasa Inggris bureu+cracy) diartikan sebagai suatu organisasi yang
memiliki rantai komando dengan bentuk piramida, di mana lebih banyak
orang berada di tingkat bawah daripada tingkat atas, biasanya ditemui
pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer
(http://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi).
Beberapa ahli dalam jurnal yang ditulis oleh Awal Hossain
Mollah menyatakan pendapatnya mengenai pengertian birokrasi sebagai
berikut.
There is no consensus on the definition of the term ‘bureaucracy’. It appears to mean different things to different people. According to H. Finer, bureaucracy is an institution composed of “government officials who are permanent, paid and skilled” (Bhuyan, 1998:833). Bureaucracy has been defined as a government by officials who tend to dominate in policy-making. Bureaucracy is also seen as a system of rule. This conceptualization of bureaucracy, as a rule by officials to the virtual exclusion of all others, is found in a variety of authors. German Sociologist, Max Weber called it a rational-legal

45
authority which operates on the basis of formal rules and regulations (Weber, 1947). Since the bureaucratic system of rule is based on the knowledge and the expertise of officials, there is a potential for erosion of the power of the non-specialist, who is placed in command of the bureaucratic administration (Warwick, 1974:2) (Awal Hossain, 2008: 88).
Awal Hossein Mollah dalam jurnalnya mengutip pendapat
beberapa ahli bahwa, tidak ada persetujuan umum pada definisi dari istilah
“birokrasi”. Setiap orang memiliki pendapat yang berbeda. Menurut H.
Finer, birokrasi adalah institusi yang tersusun dari “perangkat-perangkat
pemerintahan yang secara permanen digaji dan terlatih” (Bhuyan,
1998:833). Birokrasi telah didefinisikan sebagai pemerintahan yang
diselenggarakan oleh pegawai-pegawai yang cenderung berwenang dalam
pembuatan kebijakan. Birokrasi juga dilihat sebagai sistem peraturan.
Konseptualisasi dari birokrasi ini yang sebagai sebuah peraturan yang
lazim dikeluarkan oleh para pejabat kepada seluruh perangkat pelaksana,
ditemukan dalam keanekaragaman dari penyusun peraturannya. Sosiolog
Jerman, Max Weber menyebutnya sebagai kewenangan peraturan rasional
yang berjalan pada dasar dari kaidah-kaidah formal dan peraturan-
peraturan (Weber 1947). Sejak sistem peraturan birokrasi didasarkan pada
pengetahuan dan keahlian dari pejabat-pejabat, ada potensi terjadinya
pengikisan kekuatan dari yang bukan ahlinya diletakkan pada pimpinan
administrasi birokrasi (Warwick, 1974: 2).
Dalam penulisan ini, istilah birokrasi digunakan dalam konteks
pemerintahan yang terlibat dalam proses pembuatan kebijakan dan
pelaksanaannya di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor
Wilayah Jawa Tengah.
b. Yang termasuk Pegawai Negeri Sipil
Tidak semua Pegawai Negeri Sipil termasuk dalam Pegawai
Negeri. Pegawai Negeri Sipil merupakan salah satu bagian dari Pegawai
Negeri. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

46
Kepegawaian Pasal 2 ayat (1) menyebutkan bahwa Pegawai Negeri terdiri
dari:
1) Pegawai Negeri Sipil;
2) Anggota Tentara Nasional Indonesia; dan
3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pegawai Negeri Sipil terdiri pula dari:
1) Pegawai Negeri Sipil Pusat;
2) Pegawai Negeri Sipil Daerah.
Pembedaan Pegawai Negeri Sipil menjadi Pegawai Negeri Sipil
Pusat dan Pegawai Negeri Sipil daerah disinggung oleh Bagus Sarwana
dalam jurnalnya yang menyebutkan bahwa:
Pegawai Negeri Sipil dibedakan menjadi Pegawai Negeri Sipil Pusat dan Pegawai Negeri Sipil Daerah. Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibayarkan berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara, sedangkan Pegawai Negeri Sipil Daerah adalah Pegawai Negeri Sipil yang gajinya dibayarkan berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (Bagus Sarwana, 2006: 162).
Dalam penulisan ini, penulis melakukan penelitian terhadap salah
seorang Pegawai Negeri Sipil yang termasuk dalam Pegawai Negeri Sipil
Pusat.
c. Hak, kewajiban, larangan, hukuman disiplin dan pemberhentian
Pegawai Negeri Sipil
1) Hak Pegawai Negeri Sipil
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999
Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
Tentang Pokok-pokok Kepegawaian menetapkan hak bagi Pegawai
Negeri Sipil, sebagai berikut:
a) hak atas gaji yang layak sesuai dengan pekerjaan dan
tanggungjawabnya (Pasal 7);

47
b) hak atas cuti (Pasal 8);
c) hak memperoleh perawatan dikala ditimpa oleh sesuatu kecelakaan
dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya (Pasal 9 ayat
1);
d) hak memperoleh tunjangan dikala menderita cacat jasmani atau
cacat rohani dalam dan karena menjalankan tugas kewajibannya
yang mengakibatkan Pegawai Negeri yang bersangkutan tidak
dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun juga (Pasal 9 ayat 2);
e) hak memperoleh uang duka bagi keluarga dari Pegawai Negeri
yang tewas (Pasal 9 ayat 3);
f) hak atas pensiun (Pasal 10).
2) Kewajiban Pegawai Negeri Sipil
Kewajiban Pegawai Negeri menurut Sastra Djatmika yang
diuraikan Sri Hartini dalam jurnalnya dibagi dalam tiga golongan,
yaitu:
a) kewajiban-kewajiban yang ada hubungan dengan suatu jabatan;
b) kewajiban-kewajiban yang tidak langsung berhubungan dengan suatu tugas dalam jabatan, melainkan dengan kedudukannya sebagai Pegawai Negeri pada umumnya;
c) kewajiban-kewajiban lain (Srihartini, 2009: 74).
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian kewajiban Pegawai Negeri antara lain:
a) setiap Pegawai Negeri wajib setia dan taat kepada Pancasila,
Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah, serta wajib
menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Pasal 4);

48
b) wajib menaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan dengan
penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab (Pasal 5);
c) wajib menyimpan rahasia jabatan dan hanya dapat mengemukakan
rahasia jabatan kepada dan atas perintah pejabat yang berwajib atas
kuasa Undang-Undang (Pasal 6).
Lebih khusus, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri
Sipil mengatur tentang kewajiban Pegawai Negeri Sipil yakni:
a) setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar
1945, Negara dan Pemerintah;
b) mengutamakan kepentingan Negara di atas kepentingan golongan
atau diri sendiri, serta menghindarkan segala sesuatu yang dapat
mendesak kepentingan Negara oleh kepentingan golongan, diri
sendiri atau pihak lain;
c) menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara, Pemerintah
dan Pegawai Negeri Sipil;
d) mengangkat dan mentaati sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan
sumpah/janji jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
e) menyimpan rahasia Negara dan atau rahasia jabatan dengan sebaik-
baiknya;
f) memperhatikan dan melaksanakan segala ketentuan Pemerintah
baik langsung menyangkut tugas kedinasannya maupun yang
berlaku secara umum;
g) melaksanakan tugas kedinasan dengan sebaik-baiknya dan dengan
penuh pengabdian, kesadaran dan tanggung jawab;
h) bekerja dengan jujur, tertib, cermat dan bersemangat untuk
kepentingan Negara;

49
i) memelihara dan meningkatkan keutuhan, kekompakan, persatuan
dan kesatuan Korps Pegawai Negeri Sipil;
j) segera melaporkan kepada atasannya, apabila mengetahui ada hal
yang dapat membahayakan atau merugikan Negara/Pemerintah,
terutama di bidang keamanan, keuangan dan material;
k) mentaati ketentuan jam kerja;
l) menciptakan dan memelihara suasana kerja yang baik;
m) menggunakan dan memelihara barang-barang milik Negara dengan
sebaik-baiknya;
n) memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat
menurut bidang tugasnya masing-masing;
o) bertindak dan bersikap tegas, tetapi adil dan bijaksana terhadap
bawahannya;
p) membimbing bawahannya dalam melaksanakan tugasnya;
q) menjadi dan memberikan contoh serta teladan yang baik terhadap
bawahannya;
r) mendorong bawahannya untuk meningkatkan prestasi kerjanya;
s) memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk
mengembangkan kariernya;
t) mentaati ketentuan peraturan perundang-undangan tentang
perpajakan;
u) berpakaian rapi dan sopan serta bersikap dan bertingkah laku sopan
santun terhadap masyarakat, sesama Pegawai Negeri Sipil dan
terhadap atasan;
v) hormat menghormati antara sesama Warga Negara yang memeluk
agama/ kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang
berlainan;
w) menjadi teladan sebagai Warga Negara yang baik dalam
masyarakat;

50
x) mentaati segala peraturan perundang-undangan dan peraturan
kedinasan yang berlaku;
y) mentaati perintah kedinasan dari atasan yang berwenang;
z) memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaik-baiknya setiap
laporan yang diterima mengenai pelanggaran disiplin (Djoko
Prakoso, 1992: 106-107).
3) Larangan Pegawai Negeri Sipil
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30
Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil bagi para
Pegawai Negeri Sipil diberlakukan larangan, sebagai berikut:
a) melakukan hal-hal yang dapat menurunkan kehormatan atau
martabat Negara, pemerintah atau Pegawai Negeri Sipil;
b) menyalahgunakan wewenangnya;
c) tanpa izin pemerintah menjadi pegawai atau bekerja untuk Negara
asing;
d) menyalahgunakan barang-barang, uang atau surat-surat berharga
milik Negara;
e) memiliki, menjual, membeli, menggadaikan, menyewakan, ataupun
meminjamkan barang-barang, dokumen atau surat-surat berharga
milik Negara secara tidak sah;
f) melakukan kegiatan bersama dengan atasan, teman sejawat,
bawahan atau orang lain dialam maupun di luar lingkungan
kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan atau
pihak lain yang secara langsung atau tidak langsung merugikan
Negara;
g) melakukan tindakan yang bersifat negatif dengan maksud
membalas dendam terhadap bawahannya atau orang lain di dalam
maupun di luar lingkungan kerjanya;

51
h) menerima hadiah atau sesuatu pemberian berupa apa saja dari
siapapun juga yang diketahui atau patut dapat diduga bahwa
pemberian itu bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan Pegawai
Negeri Sipil yang bersangkutan;
i) memasuki tempat-tempat yang dapat mencerminkan kehormatan
atau martabat Pegawai Negeri Sipil kecuali untuk kepentingan
jabatan;
j) bertindak sewenag-wenang terhadap bawahannya;
k) melakukan suatu tindakan atau sengaja tidak melakukan suatu
tindakan yang dapat berakibat menghalangi atau mempersulit salah
satu pihak yang dilayaninya sehingga mengakibatkan kerugian bagi
pihak yang dilayani;
l) mengahalangi jalanya tugas kedinasan;
m) membocorkan dan atau memanfaatkan rahasia Negara yang
diketahui karena kedudukan jabatan untuk kepentingan pribadi,
golongan atau pihak lain;
n) bertindak selaku perantara bagi sesuatu pengusaha atau golongan
untuk mendapatkan pekerjaan atau peranan dari kantor/ instansi
pemerintahan;
o) memiliki saham/ modal dalam perusahaan yang kegiatan usahanya
berada dalam ruang lingkup kekuasaannya;
p) memiliki saham suatu perusahaan yang kegiatan usahanya tidak
berada dalam ruang lingkup kekuasaannya yang jumlah dan sifat
pemilikan itu sedemikian rupa sehingga melalui pemilikan saham
tersebut dapat langsung atau tidak langsung menentukan
penyelenggaraanatau jalannya perusahaan;
q) melakukan kegiatan uasaha dagang, baik resmi maupun sambilan,
menjadi direksi, pimpinan atau komisaris perusahaan swasta bagi
yang berpangkat Pembina golongan ruang IV/a ke atas atau yang
memangku jabatan eselon I;

52
r) melakukan pungutan tidak sah dalam bentuk apapun juga dalam
melaksanakan tugasnya untuk kepentingan pribadi, golongan atau
pihak lain. (Djoko Prakoso, 1992: 107-109).
4) Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil
Hubungan sebab akibat yang terjadi karena adanya
pertentangan terhadap kewajiban yang tidak ditaati atau larangan yang
dilanggar menimbulkan sanksi. Sanksi yang dimaksud dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1980 tentang
Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil adalah hukuman disiplin.
Jenis hukuman disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil yang
terdapat pada Pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1980
tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil khususnya pada Pasal
6 ayat (1) terdiri dari:
a) Tingkat hukuman disiplin terdiri dari:
(1) hukuman disiplin ringan;
(2) hukuman disiplin sedang;
(3) hukuman disiplin berat.
b) Jenis hukuman ringan terdiri dari:
(1) teguran lisan;
(2) teguran tertulis;
(3) pernyataan tidak puas secara tertulis.
c) Jenis hukuman disiplin sedang terdiri dari:
(1) penundaan kenaikan gaji berkala untuk paling lama satu tahun;
(2) penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk
paling lama satu tahun;
(3) penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama satu tahun.

53
d) Jenis hukuman disiplin berat terdiri dari:
(1) penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah
untuk paling lama satu tahun;
(2) pembebasan dari jabatan;
(3) pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri
sebagai Pegawai Negeri Sipil;
(4) pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri
Sipil.
Menurut Tedi Sudrajat, Penegakan hukuman disiplin
Kepegawaian dipengaruhi oleh struktur hukum, substansi hukum dan
budaya hukumnya. Penjelasanya adalah sebagai berikut.
a) Dari aspek struktur hukum, mekanisme penjatuhan hukuman yang sifatnya ringan dan sedang sulit untuk diterapkan pada si pelanggar karena dipengaruhi oleh sistem delegasi secara hierarkis dan struktural.
b) Dari aspek substansi hukum, PP No. 30 Tahun 1980 tidak memenuhi syarat hukum yang efektif karena kaidah hukumnya tidak jelas, menimbulkan penafsiran yang berbeda bagi setiap pejabat yang berwenang, sanksi yang diberikan tidak tepat karena penentuan pelanggaran yang ditujukan dalam PP tersebut masih belum jelas serta menimbulkan ketidakpastian dalam penjatuhan hukuman.
c) Dari aspek budaya hukum, adanya pengaruh antara kondisi dalam lingkungan kerja dan dengan budaya kerja, dalam arti kecenderungan sesama pegawai untuk membiarkan terjadinya pelanggaran (budaya permisif), yang didukung dengan kurangnya fungsi kontrol dan evaluasi terhadap pelanggaran.
Untuk menegakkan hukuman disiplin diperlukan sistem hukum yang baik dengan cara mengubah paradigma dalam Hukum Kepegawaian yang bukan hanya diperlukan sistem hukum yang baik dengan cara mengubah paradigma dalam Hukum Kepegawaian yang bukan hanya berorientasi pada pelaksanaan tugas namun berorientasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini akan berkaitan dengan prinsip meritrokasi dimana inti dari prinsip ini adalah jenis penguatannya (reinforcement) melalui reward and punishment. Prinsip tersebut akan

54
mengarah pada penegakan hukuman disiplin yang natural dan berimbang, yang di dalamnya akan terkandung aspek kompetisi dan aspek peningkatan kualitas SDM aparatur yang berorientasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya (Tedi Sudrajat, 2008: 54).
5) Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian menetapkan bahwa Pegawai Negeri Sipil
dapat diberhentikan dengan hormat karena:
a) atas permintaan sendiri;
b) mencapai batas usia pensiun;
c) perampingan organisasi pemerintah; atau
d) tidak cakap jasmani dan rohani sehingga tidak dapat menjalankan
kewajiban sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia dengan
sendirinya dianggap diberhentikan dengan hormat (Pasal 23 ayat (1)).
Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43
Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian juga menetapkan bahwa
Pegawai Negeri Sipil dapat diberhentikan tidak dengan hormat karena:
a) melanggar sumpah/janji Pegawai Negeri Sipil dan sumpah/janji
jabatan selain pelanggaran sumpah/janji karena tidak setia kepada
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah;
atau;
b) dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena
melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumannya
kurang dari 4 (empat) tahun.

55
Pegawai Negeri Sipil juga diberhentikan tidak dengan
hormat, karena:
a) dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak
pidana kejahatan yang ancaman empat tahun atau lebih; atau
b) melakukan pelanggaran disiplin Pegawai Negeri Sipil tingkat berat
(Pasal 23 ayat (4).
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
1979 tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil mengatur beberapa
hal sebagai berikut.
a) pemberhentian atas permintaan sendiri;
b) pemberhentian karena mencapai batas usia pensiun;
c) pemberhentian karena adanya penyederhanaan organisasi;
d) Pemberhentian karena melakukan pelanggaran atau tindak
pidana/penyelewengan;
e) pemberhentian karena tidak cakap jasmani atau rohani;
f) pemberhentiaan karena meninggalkan tugas;
g) pemberhentian karena meninggal dunia atau hilang;
h) pemberhentian karena hal-hal lain.
7. Tinjauan tentang Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil
Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan tahanan sementara oleh pejabat
yang berwajib karena disangka telah melakukan suatu tindak pidana kejahatan
dikenakan pemberhentian sementara.
Untuk kepentingan peradilan terhadap Pegawai Negeri Sipil yang didakwa telah melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran atas jabatan maupun kejahatan atau pelanggaran atas hukum pidana dan kemudian berhubungan dengan itu oleh pihak yang berwajib dikenakan penahanan, maka mulai saat penahanan harus dikenakan pemberhentian sementara (Sudibyo Triatmodjo, 1983: 170).

56
Dalam penjelasan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian disebutkan bahwa Untuk menjamin kelancaran
pemeriksaan, maka Pegawai Negeri Sipil yang disangka oleh pejabat yang
berwajib melakukan tindak pidana kejahatan dikenakan pemberhentian
sementara sampai adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap. Pemberhentian sementara tersebut adalah pemberhentian
sementara dari jabatan negeri bukan pemberhentian sementara sebagai
Pegawai Negeri Sipil. Apabila pemeriksaan oleh yang berwajib telah selesai
atau telah ada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
yang tetap dan ternyata bahwa Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan tidak
bersalah, maka Pegawai Negeri Sipil tersebut direhabilitasikan terhitung sejak
dikenakan pemberhentian sementara. Rehabilitasi yang dimaksud
mengandung pengertian, bahwa Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan
diaktifkan dan dikembalikan pada jabatan semula.
Apabila setelah pemeriksaan oleh pengadilan telah selesai dan
ternyata Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bersalah dan oleh sebab itu
dihukum penjara atau kurungan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka Pegawai Negeri Sipil tersebut
dapat diberhentikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 23 ayat (3) huruf
b, ayat (4) huruf a, dan ayat (5) huruf c.
Keputusan pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang. Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil diatur mengenai pemberhentian
sementara dari jabatan Negeri. Substansi mengenai hal tersebut tertulis dalam.
Pasal 18
Presiden menetapkan pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi
Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan struktural eselon I, jabatan
fungsional Jenjang Utama atau jabatan lain yang pengangkatan dan

57
pemberhentiannya menjadi wewenang Presiden, pemberhentian sementara
dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan
struktural eselon I di lingkungan Pemerintah Daerah Propinsi.
Pasal 19
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat menetapkan pemberhentian
sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat di
lingkungannya yang menduduki jabatan struktura eselon II ke bawah atau
jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan
sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di
lingkungannya untuk memberhentikan sementara dari jabatan negeri bagi
Pegawai Negeri Sipil Pusat yang menduduki jabatan struktural eselon III
ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.
Pasal 20
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Propinsi menetapkan :
a. pemberhentian sementara Sekretaris Daerah Propinsi;
b. pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil
di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon II ke
bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan
sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di
lingkungannya untuk memberhentikan sementara dari jabatan negeri bagi
Pegawai Negeri Sipil di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural
eselon III ke bawah atau jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat
dengan itu.
Pasal 21
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah Kabupaten/Kota menetapkan :

58
a. pemberhentian sementara Sekretaris Daerah Kabupaten/ Kota;
b. pemberhentian sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil
di lingkungannya yang menduduki jabatan struktural eselon II ke
bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan
sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di
lingkungannya untuk memberhentikan sementara dari jabatan negeri bagi
Pegawai Negeri Sipil di Kabupaten/Kota yang menduduki jabatan
struktural eselon IV dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat
dengan itu.
Dari pengaturan-pengaturan diatas yang terkait dengan objek
penelitian yang penulis lakukan Surat Keputusan pemberhentian sementara
Pegawai Negeri Sipil ditetapkan oleh pejabat pembina kepegawaian pusat
yang kemudian mendelegasikan sebagian wewenangnya atau memberikan
kuasa kepada pejabat lain di lingkungannya dalam hal ini Kepala Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah.
Secara khusus pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang
Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri. Pengaturannya
adalah sebagai berikut.
Pasal 2
(1) Untuk kepentingan peradilan seorang Pegawai Negeri yang didakwa telah
melakukan suatu kejahatan/pelanggaran jabatan dan berhubung dengan itu
oleh pihak yang berwajib dikenakan tahanan sementara, mulai saat
penahanannya harus dikenakan pemberhentian sementara.
(2) Ketentuan menurut ayat (1) Pasal ini dapat pula diperlakukan terhadap
seorang Pegawai Negeri yang oleh pihak berwajib dikenakan tahanan
sementara karena didakwa telah melakukan suatu pelanggaran hukum
pidana yang tidak menyangkut pada jabatannya dalam hal pelanggaran

59
yang dilakukan itu berakibat hilangnya pengharapan dan kepercayaan atas
diri pegawai yang bersangkutan atau hilangnya martabat serta wibawa
pegawai itu.
Dari pengaturan-pengaturan di atas yang terkait dengan objek
penelitian yang penulis lakukan, penyebab dikeluarkannya Surat Keputusan
pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil adalah karena Pegawai Negeri
Sipil yang bersangkutan diduga melakukan tindak pidana penipuan yang
dalam Pasal 2 ayat (1) di atas tersirat dan tersurat adanya upaya penegakan
hukum terhadap kasus tersebut yang prosesnya tidak dapat diganggu oleh
jabatan dan tanggung jawab seseorang sebagai Pegawai Negeri Sipil. Dalam
ayat (2) Pasal yang sama, pemberhentian sementara juga dilakukan karena
tindak pidana yang disangkakan terhadapnya mengakibatkan hilangnya
pengharapan dan kepercayaan atas diri pegawai yang bersangkutan atau
hilangnya martabat serta wibawa pegawai itu.
Implikasi yang timbul akibat keluarnya Surat Keputusan
Pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil adalah mengenai hak dan
kewajibannya sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pemberhentian sementara
mengakibatkan timbulnya pembatasan dalam hal penggajian. Sistem
penggajian untuk Pegawai Negeri Sipil yang dikenakan pemberhentian
sementara telah diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun
1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri yang
berbunyi sebagai berikut.
Pasal 4
(1) Kepada seorang Pegawai Negeri yang dikenakan pemberhentian
sementara menurut pasal 2, ayat (1) peraturan ini:
a. jika terdapat petunjuk-petunjuk yang cukup meyakinkan bahwa ia
telah melakukan pelanggaran yang didakwakan atas dirinya mulai
bulan berikutnya ia diberhentikan diberikan bagian gaji sebesar

60
50% (lima puluh perseratus) dari gaji pokok yang diterimanya
terakhir;
b. jika belum terdapat petunjuk-petunjuk yang jelas tentang telah
dilakukannya pelanggaran yang didakwakan atas dirinya mulai
bulan berikutnya ia diberhentikan diberikan bagian gaji sebesar
75% (tujuh puluh lima perseratus) dari gaji pokok yang diterimanya
terakhir.
(2) Kepada seorang Pegawai Negeri yang dikenakan pemberhentian
sementara menurut pasal 2 ayat (2) peraturan ini mulai bulan
berikutnya ia diberhentikan diberikan bagian gaji sebesar 75% (tujuh
puluh lima perseratus) dari gaji pokok yang diterimanya terakhir.
(3) Bagian gaji yang dimaksudkan dalam ayat (1) dan (2) diatas berjumlah
paling rendah Rp 200, - (dua ratus rupiah), sedangkan pecahan rupiah
dibulatkan menjadi satu rupiah.
Terkait dengan kasus yang penulis teliti, Surat Keputusan
Pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil mengenakan pemberlakuan
gaji sebesar 50% pada Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.
Di lain sisi mengenai implikasi pemberhentian sementara terkait
dengan kewajibannya Pegawai Negeri Sipil mengalami pembatasan dalam hal
kewajibannya melaksanakan fungsi jabatan dan tanggung jawab tugas yang
ada padanya. Karena Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan menepuh
proses hukum untuk kasus yang disangkakan kepadanya, maka dia tidak
diwajibkan untuk melaksanakan kewajibannya tersebut.
Pemberhentian sementara dari jabatan negeri adalah pemberhentian yang menyebabkan yang bersangkutan tidak lagi bekerja pada suatu satuan organisasi Negara, tetapi masih berkedudukan sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pada dasarnya pemberhentian sementara dari jabatan negeri bukan merupakan sanksi, tetapi merupakan tindakan administratif yang ditujukan untuk menjamin kelancaran pemeriksaan oleh pihak yang berwajib terhadap Pegawai Negeri Sipil yang diduga melakukan tindak pidana kejahatan sampai adanya putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pemberhentian sementara tersebut adalah pemberhentian

61
sementara dari jabatan negeri bukan pemberhentian sebagai Pegawai Negeri Sipil (Penjelasan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999).

62
B. Kerangka Pemikiran
proses hukum Pegawai Negeri Sipil yang diduga terlibat tindak
pidana
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Kepegawaian
Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah
Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009 tentang
Pemberhentian Sementara/ Skorsing
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang
Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri
Pasal 284 ayat (2) KUHAP
dugaan delik
penipuan
Surat Perintah Penahanan
No. Perintah: 36/0.3.17/Ep.1/02/2009
implikasi hukum
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

63
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Kepegawaian menyebutkan bahwa dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional
untuk mewujudkan masyarakat madani yang taat hukum, berperadaban modern,
demokratis, makmur, adil dan bermoral tinggi, diperlukan Pegawai Negeri Sipil
yang merupakan unsur aparatur Negara yang bertugas sebagai abdi masyarakat
yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Untuk mencapai apa yang dimaksudkan tersebut diperlukan Pegawai
Negeri Sipil yang berkemampuan melaksanakan tugas secara profesional dan
bertanggung jawab dalam menyelenggarakan tugas pemerintahan dan
pembangunan, serta bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dalam upaya pembentukan sosok Pegawai Negeri Sipil sebagaimana
tersebut di atas diperlukan upaya meningkatkan manajemen Pegawai Negeri Sipil.
Namun secara kodrati seorang Pegawai Negeri Sipil adalah manusia biasa yang
memiliki keterbatasan dan kelemahan. Keterbatasan dan kelemahan tersebut
memungkinkan seorang Pegawai Negeri Sipil melakukan perbuatan yang
melawan hukum, termasuk perbuatan melawan hukum pidana atau yang biasa
disebut dengan delik.
Hal tersebut di atas terjadi pada seorang Pegawai Negeri Sipil yang
berstatus sebagai Pegawai di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah. Pegawai Negeri Sipil tersebut sedang
menjalani masa pemberhentian sementara sebagai Pegawai Negeri Sipil karena
dugaan delik penipuan yang dilakukannya. Berdasarkan Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana, maka selanjutnya proses pemeriksaan dilakukan untuk
membuat terang suatu perbuatan yang diduga memenuhi unsur-unsur tindak
pidana. Sampai pada ditemukannya temuan-temuan dan bukti-bukti yang
mengarah kepada fakta bahwa Pegawai Negeri Sipil tersebut melakukan
perbuatan melawan hukum pidana yaitu penipuan maka keluar Surat Perintah

64
Penahanan. Di lain sisi, dalam konteks Hukum Kepegawaian yang tertuang dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/
Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri Pegawai Negeri pada Pasal 2 ayat
(1) diamanatkan untuk melakukan pemberhentian sementara kepada Pegawai
Negeri Sipil yang didakwa telah melakukan tindak pidana dan karena itu
dikenakan penahanan. Implementasi dari perturan tersebut adalah dengan
diterbitkannya Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009
tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing.
Hukum harus ditegakkan, sehingga proses hukum yang berlangsung
sesuai asasnya diselenggarakan dengan cepat. Dengan demikian Pegawai Negeri
Sipil yang terjerat kasus hukum pidana diberhentikan sementara untuk kelancaran
proses tersebut.
Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, akan penulis sajikan sebuah
penelitian yang akan penulis teliti mengenai prosedur pemberhentian sementara
Pegawai Negeri Sipil serta implikasi hukum yang timbul.

65
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pemberhentian Sementara Terhadap Pegawai Negeri Sipil di Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Jawa Tengah yang Diduga Terlibat Tindak Pidana Penipuan
1. Jejak kasus dugaan tindak pidana penipuan oleh Pegawai Negeri Sipil di
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Jawa Tengah
Penulis melakukan penelitian terhadap kasus dugaan tindak pidana
penipuan oleh Pegawai Negeri Sipil Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Jawa Tengah, atas nama Eko Purwanto yang terjadi pada sekitar
bulan Januari 2007 sampai dengan Maret 2007. Pada saat dugaan tindak
pidana penipuan itu dilakukan sampai keluarnya perintah penahanan tanggal 3
Pebruari 2009, Eko Purwantoro adalah seorang Pegawai Negeri Sipil dengan
satuan kerja di Unit Pelaksana Teknis Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Pasir Putih Nusakambangan, namun pada tanggal 6 Pebruari 2009 keluar Surat
Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-313-Kp.04.10- Tahun 2009 yang
menetapkan, Eko Purwantoro dipindahkan ke satuan kerja Unit Pelaksana
Teknis Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Klas I Surakarta. Eko
Purwanto yang bertempat di Jalan Belimbing nomor 538 Rt. 02 Rw. 01
Kelurahan Tambakreja, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap
diduga dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang
sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu
ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, yang dilakukan terdakwa.
Kejadian itu bermula pada bulan Sepember 2006 di mana di
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menerima pendaftaran sebagai

66
Calon Pegawai Negeri Sipil dan Eko Purwanto sebagai Pegawai Negeri Sipil
di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan
mengetahui hal tersebut dan bersedia membantu Hendi Hermawan, Upit Piter
Pitoyo dan Dedy Wahyudi untuk menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil di
Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Adapun beberapa
persyaratan yang diperlukan antara lain berupa: foto copy ijazah terakhir,
daftar riwayat hidup, foto copy KTP, pas foto ukuran 3x4 sebanyak tiga
lembar, surat keterangan dokter, foto copy akta kelahiran, surat keterangan
bebas HIV dan narkotik, surat lamaran kerja dan uang Rp. 100.000,- untuk
blangko formulir pendaftaran. Selain persyaratan tersebut, Hendi Hermawan,
Upit Piter Pitoyo dan Dedy Wahyudi juga harus menyediakan masing-masing
Rp. 40.000.000,- namun Eko Purwanto baru meminta Rp. 10.000.000,-
sebagai tanda jadi, sedangkan sisanya sebesar Rp. 30.000.000,- dibayar setelah
keluarnya Surat Keputusan atas diterimanya sebagai Pegawai Negeri Sipil di
lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Eko Purwanto
berjanji apabila tidak diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil, uang yang sudah
diterima olehnya akan dikembalikan, namun sampai sekarang uang tersebut
belum dikembalikan semuanya. Kemudian pada suatu hari setelah mengikuti
seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia, Hendi Hermawan, Upit Piter Pitoyo dan Dedy Wahyudi
memberikan sejumlah uang kepada Eko Purwanto di rumahnya di Jalan
Belimbing nomor 538 Rt. 02 Rw. 01 Kelurahan Tambakreja, Kecamatan
Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap atas permintaan Eko Purwanto yang
katanya uang tersebut akan dipergunakan sebagai uang pelicin agar yang
bersangkutan bisa lulus dalam mengikuti seleksi sehingga menjadi Calon
Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Pada kenyataannya uang tersebut oleh Eko Purwanto dipergunakan
untuk keperluan sendiri sehingga ketiga orang tersebut sampai sekarang tidak
menjadi Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia.

67
Perbuatan yang dilakukan oleh Eko Purwanto akhirnya
menjadikannya sebagai tersangka dalam kasus ini. Hal tersebut terjadi ketika
Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap mengeluarkan Surat Perintah Penahanan
No. Prin: 36/0.3.17/Ep.1/02/2009 pada tanggal 3 Pebruari 2009 untuk
melakukan penahanan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap terhadap
tersangka Eko Purwanto yang diduga telah melakukan tindak pidana penipuan
terhitung mulai tanggal 3 Pebruari 2009 selama dua puluh hari.
Proses persidangan di Pengadilan Negeri Cilacap atas kasus dugaan
tindak pidana penipuan oleh seorang Pegawai Negeri Sipil atas nama Eko
Purwantoro mengungkap fakta-fakta yang diperoleh dari keterangan para saksi
dan sejumlah barang bukti. Saksi-saksi yang dihadirkan sebanyak empat orang
seluruhnya adalah saksi dari Penuntut umum yang diajukan untuk
memberatkan terdakwa. Saksi-saksi yang hadir antara lain adalah Dwi
Haryono, Ahmad Tarmidzi, Upit Piter Pitoyo dan Diah Mintarsih. Para saksi
mengaku telah menyerahkan sejumlah uang kepada terdakwa Eko Purwantoro,
namun saksi dan anak saksi tidak kunjung diangkat menjadi Calon Pegawai
Negeri Sipil di Lingkungan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Adapun barang bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum antara lain.
a. 1 (satu) lembar Petikan Putusan Kanwil Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia atas nama Upit Piter Pitoyo;
b. 1 (satu) lembar Petikan Putusan Kanwil Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia atas nama Hendi Hermawan;
c. 1 (satu) lembar Petikan Putusan Kanwil Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia atas nama Dedy Wahyudi;
d. 1 (satu) lembar kwitansi penyerahan uang senilai Rp. 6.500.000,-
Dengan berbagai bukti yang diajukan oleh Penuntut Umum maka
terdakwa didakwa dengan Pasal 378 KUHP dan Pasal 372 KUHP. Dengan
berbagai pertimbangan maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cilacap
memutuskan bahwa dakwaan Penuntut Umum yaitu Pasal 378 KUHP sesuai

68
dengan perbuatan terdakwa dan secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana penipuan dengan unsur-unsur sebagai berikut.
a. barang siapa;
b. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melawan hak;
c. baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan
tipu muslihat, maupun dengan perkataan-perkataan bohong;
d. membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang membuat utang atau
menghapus piutang.
Majelis Hakim pengadilan Negeri Cilacap pada putusan No.
28/Pid.B/2009/Pn. Clp. mengeluarkan putusan-putusan yakni:
a. menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan;
b. menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
c. memerintahkan agar supaya terdakwa tetap ditahan;
d. memerintahkan supaya barang bukti berupa:
1) 1 (satu) lembar Petikan Putusan Kanwil Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia atas nama Upit Piter Pitoyo dikembalikan kepada Upit
Piter Pitoyo;
2) 1 (satu) lembar Petikan Putusan Kanwil Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia atas nama Hendi Hermawan dikembalikan kepada
Hendi Hermawan;
3) 1 (satu) lembar Petikan Putusan Kanwil Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia atas nama Dedy Wahyudi dikembalikan kepada Dedy
Wahyudi;
4) 1 (satu) lembar kwitansi penyerahan uang senilai Rp. 6.500.000,-
dikembalikan kepada Nasiyem;

69
e. membebankan terdakwa untuk membayar untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 1000,-.
2. Pelaksanaan Pemberhentian Sementara Terhadap Pegawai Negeri Sipil di
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Jawa Tengah yang Diduga Terlibat Tindak Pidana Penipuan
Surat Perintah Penahanan Nomor Print-36/0.3.17/Ep.1/02/2009 yang
dikeluarkan pada tanggal 3 Pebruari 2009 oleh Kepala Kejaksaan Negeri
Cilacap untuk melakukan penahanan terhadap Pegawai Negeri Sipil Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan atas nama Eko
Purwantoro menjadikan statusnya pada saat itu sebagai tersangka dalam kasus
dugaan tindak pidana penipuan. Secara administratif Kepegawaian untuk
mempermudah proses persidangan maka Eko Purwantoro diberhentikan
sementara dari Jabatan Negeri. Secara normatif pemberhentian sementara
terhadap Eko Purwantoro ditetapkan dengan Surat Keputusan Kepala Kantor
Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor:
W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009 tertanggal 9 Juni 2009.
Pelaksanaan Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
Jawa Tengah yang diduga terlibat tindak pidana penipuan melalui beberapa
prosedur sebagai berikut.
a. Penerbitan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun
2009.
1) Koordinasi antara Kejaksaan Negeri Cilacap dengan Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan
Surat Perintah Penahanan Nomor Print-
36/0.3.17/Ep.1/02/2009 yang dikeluarkan pada tanggal 3 Pebruari
2009 oleh Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap untuk menahan terdakwa

70
Eko Purawanto, Pegawai Negeri Sipil di satuan kerja Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan disikapi oleh
pejabat struktural instansi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir
Putih Nusakambangan untuk keperluan Kepegawaian. Tindak lanjut
yang dilakukan adalah dengan melakukan komunikasi dengan instansi
terkait, Kejaksaan Negeri Cilacap mengenai kasus dugaan penipuan
yang melibatkan salah satu Pegawai Negeri Sipil Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan.
Kejaksaan Negeri Cilacap dalam kasus ini meyakinkan
instansi Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih
Nusakambangan bahwa telah ditemukan petunjuk-petunjuk dan bukti-
bukti yang mengarah kepada fakta bahwa salah satu Pegawai Negeri
Sipil Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan
yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana penipuan dan oleh
karena itu perlu dilakukan penahanan untuk kelancaran proses hukum.
Menyikapi hasil komunikasi dengan Kejaksaan Negeri
Cilacap maka Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih
Nusakambangan melanjutkan proses administratif Kepegawaian
selanjutnya.
2) Pemberitahuan oleh Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih
Nusakambangan kepada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kantor Wilayah Jawa Tengah
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih
Nusakambangan melakukan komunikasi dengan Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Kantor wilayah Jawa Tengah mengenai hasil
pengkajian antara Kejaksaan Negeri Cilacap dengan Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan mengenai
penahanan terdakwa Eko Purawanto, yang dikuatkan dengan Surat
Perintah Penahanan Nomor Print-36/0.3.17/Ep.1/02/2009 yang

71
dikeluarkan pada tanggal 3 Pebruari 2009 oleh Kepala Kejaksaan
Negeri Cilacap.
Komunikasi dilakukan dengan lisan dan tertulis. Secara lisan
Pejabat struktural Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih
Nusakambangan aktif melakukan pembicaraan langsung maupun
kontak telepon untuk mendiskusikan kasus dugaan tindak pidana
penipuan dan penahanan Eko Purawanto, dengan para pejabat di
divisi-divisi terkait di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Jawa Tengah. Secara tertulis Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan melayangkan Surat Kepala
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan
tertanggal 3 Maret 2009 Nomor: W9.Egg.KP.11.01-57 perihal
pemberitahuan penahanan Eko Purwanto.
3) Penetapan Keputusan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor
Wilayah Jawa Tengah menerima informasi lisan maupun tertulis
terkait penahanan Eko Purawanto. Membaca Surat Kepala Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan tertanggal 3
Maret 2009 Nomor: W9.Egg.KP.11.01-57 perihal pemberitahuan
penahanan Eko Purwanto dan Surat Perintah Penahanan Nomor Print-
36/0.3.17/Ep.1/02/2009 yang dikeluarkan pada tanggal 3 Pebruari
2009 oleh Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap maka keluarlah
Keputusan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor
Wilayah Jawa Tengah. Keputusan tersebut dirumuskan dalam Surat
Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009
tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing. Dalam keputusan
tersebut, pada pokoknya berisi hal-hal sebagai berikut.

72
a) judul
Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun
2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing.
b) konsiderans
Memuat berbagai pengkajian terhadap Surat Perintah Penahanan
Nomor Print-36/0.3.17/Ep.1/02/2009 yang dikeluarkan pada
tanggal 3 Pebruari 2009 oleh Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap
serta Surat Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih
Nusakambangan tertanggal 3 Maret 2009 Nomor:
W9.Egg.KP.11.01-57 perihal pemberitahuan penahanan Eko
Purwanto, Pegawai Negeri Sipil Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Kantor Wilayah Jawa Tengah. Pertimbangan lain
yang digunakan adalah untuk kepentingan pemeriksaan lebih lanjut
dipandang perlu dengan segera memberhentikan sementara
(skorsing) kepada Pegawai Negeri Sipil atas nama Eko Purwanto.
c) dasar hukum
Dasar hukum yang digunakan dalam penerbitan Surat Keputusan
Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009
tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing ini antara lain:
(1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian Jo. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999;
(2) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2000 tentang
Wewenang pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian
Pegawai Negeri Sipil (LN Tahun 2000 Nomor 193);

73
(3) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil;
(4) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang
Pemberhentian/ Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri
Sipil;
(5) Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 2005 Jo. Peraturan
Pemerintah Nomor 8 Tahun 2009 tentang Peraturan Gaji
Pegawai Negeri Sipil.
Adapun beberapa perturan yang menjadi perhatian dikeluarkannya
Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan
Hak Asasi Manusia Jawa Tengah No: W9-1013-Kp.05.05-1043.
2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing yakni,
(1) SE Kepala BAKN Nomor 12/SE/1975 tanggal 14 Oktober
1975 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan dan
Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil;
(2) SE Kepala BAKN Nomor 23/SE/1980 tanggal 30 Oktober
tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
d) diktum
Bagian diktum Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor:
W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian
Sementara/ Skorsing berisi beberapa penetapan sebagai berikut.
(1) Pegawai Negeri Sipil yang namanya tersebut dalam lajur 2
(Eko Purwantoro) diberhentikan sementara (skorsing) terhitung
mulai tanggal sebagaimana tersebut dalam lajur 5 (3 Pebruari
2009) dan kepadanya diberikan gaji pokok sebagaimana
tersebut dalam lajur 6 (Rp. 666.450,-) ditambah dengan
penghasilan lainnya yang sah berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku terhitung seperti yang

74
tersebut dalam lajur 7 (1 Maret 2009) di dalam lampiran Surat
Keputusan ini;
(2) apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam
keputusan ini, akan diadakan perubahan sebagaimana mestinya.
e) penutup
Berisi tempat dan tanggal ditetapkannya Keputusan Kepala Kantor
Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa
Tengah tersebut, disertai tanda tangan dan nama lengkap dari
pejabat yang berwenang menetapkan keputusan tersebut, dalam hal
ini adalah Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia Jawa Tengah.
f) tembusan
b. Penginformasian Keputusan Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah kepada instansi-instansi terkait.
Setelah Keputusan pemberhentian sementara ditetapkan, maka
langkah selanjutnya adalah penyampaian keputusan tersebut secara tertulis
kepada Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan dan pihak-pihak yang
berkepentingan. Dalam Keputusan Kepala Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah tersebut, tembusan
Keputusan disampaikan kepada:
1) Ketua Badan Pemeriksa Keuangan di Jakarta;
2) Inspektur Jenderal Dep. Hukum dan HAM RI di Jakarta;
3) Sekretaris Jenderal Dep. Hukum dan HAM RI di Jakarta;
4) Direktur Jenderal Pemasyarakatan Dep. Hukum dan HAM RI di
Jakarta;
5) Kepala Badan Kepegawaian Negara di Jakarta Up. Deputi Bidang
Mutasi Kepegawaian di Jakarta;
6) Kepala Kantor Regional I BKN di Yogyakarta;

75
7) Kepala Kantor Tata Usaha Anggaran Semarang II di Semarang;
8) Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Cilacap;
9) Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih
Nusakambangan.
3. Kesesuaian prosedur pemberhentian sementara terhadap Pegawai Negeri
Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Jawa Tengah yang diduga terlibat tindak pidana
penipuan dengan peraturan-perundangan yang berlaku
Dari data yang penulis peroleh dari pejabat-pejabat yang berwenang
dan terkait dengan objek penelitian yang telah penulis lakukan, prosedur
pelaksanaan pemberhentian sementara Eko Purwanto, Pegawai Negeri Sipil
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Jawa Tengah telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang secara khusus diatur dalam Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang
Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri. Pasal 2 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang
Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri, berbunyi: ”Untuk
kepentingan peradilan seorang Pegawai Negeri yang didakwa telah melakukan
suatu kejahatan/pelanggaran jabatan yang berhubung dengan itu oleh pihak
yang berwajib dikenakan tahanan sementara, mulai saat penahanannya harus
dikenakan pemberhentian sementara”. Unsur dakwaan yang terdapat dalam
pasal tersebut pada kasus ini adalah dikeluarkannya Surat Perintah Penahanan
Nomor Print-36/0.3.17/Ep.1/02/2009 yang dikeluarkan pada tanggal 3
Pebruari 2009 oleh Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap untuk menahan
terdakwa Eko Purawanto, Pegawai Negeri Sipil Lembaga Pemasyarakatan
Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan. Unsur dakwaan tersebut adalah
penyebab atau alasan diberlakukannya pemberhentian sementara terhadap Eko
Purwanto, seorang Pegawai Negeri Sipil sekaligus tersangka kasus penipuan.

76
Masih terkait dengan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4
Tahun 1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Sementara Pegawai
Negeri dalam hal penetapan tanggal mulai diberlakukannya Pemberhentian
Sementara Pegawai Negeri Sipil. Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-
Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing mengatur
mengenai tanggal mulai diberlakukannya Pemberhentian Sementara Pegawai
Negeri Sipil, Eko Purwantoro adalah pada tanggal 3 Pebruari 2009. Hal
tersebut sudah sesuai dengan salah satu esensi dari Pasal 2 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian
Sementara Pegawai Negeri yang mengamanatkan bahwa mulai saat
penahanannya harus dikenakan pemberhentian sementara, karena tanggal
pemberlakuannya sesuai dengan tanggal keluarnya Surat Perintah Penahanan
No. Prin: 36/0.3.17/Ep.1/02/2009 pada tanggal 3 Pebruari 2009 dari Kepala
Kejaksaan Negeri Cilacap untuk melakukan penahanan di Lembaga
Pemasyarakatan Klas IIB Cilacap terhadap tersangka Eko Purwanto yang
diduga telah melakukan tindak pidana penipuan terhitung mulai tanggal 3
Pebruari 2009 selama dua puluh hari.
Menurut keterangan yang diperoleh dari Kepala Sub Bagian
Kepegawaian Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Kantor Wilayah Jawa Tengah, penetapan Surat Keputusan
Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil dilakukan dengan banyak
pertimbangan dan pengkajian. Selain dengan adanya faktor tersebut, kondisi
birokrasi internal dan banyaknya urusan administrasi Kepegawaian yang
menumpuk mengakibatkan penetapan Surat Keputusan Pemberhentian
Sementara Pegawai Negeri mengalami keterlambatan. Hal tersebut terbukti
karena tanggal keluarnya Surat Perintah Penahanan No. Prin:
36/0.3.17/Ep.1/02/2009 dari Kepala Kejaksaan Negeri Cilacap terbit pada
tanggal 3 Pebruari 2009, sedangkan Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah No: W9-1013-

77
Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing baru
ditetapkan empat bulan kemudian, yaitu pada tanggal 1 Juni 2009.
Penetapan Surat Keputusan pemberhentian sementara Pegawai
Negeri Sipil yang terlambat selama empat bulan agak mencederai amanat dari
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang
Pemberhentian/Pemberhentian Pegawai Negeri. Hal tersebut dikarenakan oleh
isi pasal tersebut mengatur bahwa mulai saat penahanan harus dikenakan
pemberhentian sementara. Tanggal pemberlakuan pemberhentian sementara
sudah sesuai dengan tanggal penahannya, namun dalam waktu empat bulan
status hukum kepegawaian Eko Purwantoro sebagai Pegawai Negeri Sipil
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Kantor
Wilayah Jawa Tengah menjadi kabur dan ngambang.
Di bagian akhir Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Jawa
Tengah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: W9-1013-
Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing, tertera
tanda tangan, nama lengkap, jabatan dan Nomor Induk Pegawai dari pejabat
yang menetapkan Keputusan tersebut, yaitu Kepala Kantor Wilayah Jawa
Tengah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Bapak Drs. Bambang
Margono, M.H. Berdasarkan hal tersebut, maka Keputusan Kepala Kantor
Wilayah Jawa Tengah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tentang
pemberhentian sementara dari jabatan negeri terhadap Eko Purwantoro,
Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah telah ditetapkan oleh pejabat yang
berwenang. Pegawai Negeri Sipil Lembaga tersebut adalah pegawai golongan
II/b dengan pangkat Pengatur Muda Tingkat I. Yang berwenang
memberhentikan sementara Pegawai Negeri tersebut adalah Kepala Kantor
Wilayah Jawa Tengah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Penetapan keputusan oleh Kepala Kantor Wilayah Jawa Tengah Kementerian
Hukum dan Hak asasi Manusia telah memenuhi ketentuan perundang-
undangan yang telah diatur dalam beberapa pasal mengenai Pemberhentian

78
Sementara dari Jabatan Negeri pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
2003, tertulis pada:
Pasal 19
(1) Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat menetapkan pemberhentian
sementara dari jabatan negeri bagi Pegawai Negeri Sipil Pusat di
lingkungannya yang menduduki jabatan struktur, eselon II ke bawah atau
jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mendelegasikan
sebagian wewenangnya atau memberikan kuasa kepada pejabat lain di
lingkungannya untuk memberhentikan sementara dari jabatan negeri bagi
Pegawai Negeri Sipil Pusat yang menduduki jabatan struktural eselon III
ke bawah dan jabatan fungsional yang jenjangnya setingkat dengan itu.
B. Implikasi Hukum yang Timbul Karena Pemberhentian Sementara
Pegawai Negeri Sipil di Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah
Implikasi hukum dalam hal ini dimaksudkan pada akibat yang timbul
dari terbitnya Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor
Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-
1013-Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing
terhadap Eko Purwantoro, Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah. Implikasi
hukum yang timbul terkait dengan kewajiban dan haknya sebagai Pegawai Negeri
Sipil.
Sebagai Pegawai Negeri Sipil, Eko Purwantoro memiliki tugas dan
kewajiban untuk mengabdi kepada Negara dengan melaksanakan tugas jabatan
yang diberikan kepadanya sesuai dengan keputusan dari pejabat yang berwenang.

79
Setelah keluarnya Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum
dan Hak Asasi Manusia Nomor: W9-313-Kp.04.10. Tahun 2009 tertanggal 6
Pebruari 2009 tentang Pemindahan Pegawai Negeri Sipil, Eko Purwantoro
diberikan tugas dan jabatan sebagai staf di Rumah Penyimpanan Benda Sitaan
Negara Kelas I Surakarta. Setelah diberlakukannya pemberhentian sementara
terhadapnya, maka demi kelancaran proses hukum yang dilaluinya berjalan
dengan lancar, tugas jabatan sebagai staf yang diembannya untuk sementara
diberhentikan. Hal tersebut merupakan perwujudan dari penjelasan Pasal 24
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok kepegawaian
yang berbunyi, “untuk menjamin kelancaran pemeriksaan, maka Pegawai Negeri
Sipil yang disangka oleh pejabat yang berwajib melakukan tindak pidana
kejahatan, dikenakan pemberhentian sementara sampai adanya putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pemberhentian
sementara tersebut adalah pemberhentian sementara dari jabatan Negeri bukan
pemberhentian sementara sebagai Pegawai Negeri Sipil”. Dari hal tersebut maka
dapat diketahui bahwa pemberhentian sementara Eko Purwantoro dari jabatan
Negeri yang meliputi pemberhentian sementara dalam pelaksanaan tugas jabatan
dan fungsi pengamanan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih
Nusakambangan merupakan suatu implikasi hukum dari keluarnya Surat
Keputusan Kepala Kantor Wilayah Jawa Tengah Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian
Sementara/ Skorsing.
Selain berakibat pada kewajibannya sebagai Pegawai Negeri Sipil,
implikasi hukum terbitnya keputusan pemberhentian sementara terhadap Eko
Purwantoro, Pegawai Negeri Sipil Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia Kantor Wilayah Jawa Tengah juga berakibat pada hak
kepegawaian yang dimilikinya. Hak yang dimaksud penulis adalah gaji.
Keputusan pemberhentian sementara mengamanatkan untuk diberikan
kepada Eko Purwantoro gaji sebesar 50% (lima puluh perseratus) dari gaji pokok

80
yang diterimanya terakhir dengan jumlah Rp.666.450,- dan selain itu terhadapnya
diberikan tambahan penghasilan lain yang sah berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku terhitung mulai diberlakukannya pemotongan gaji tersebut
yaitu 1 Maret 2009. Besarnya gaji tersebut didasarkan pada pertimbangan dari
hasil pengkajian bersama antara pejabat-pejabat struktural sebagai tim
penyelesaian kasus-kasus kepegawaian setelah berkoordinasi dengan Kejaksaan
Negeri Cilacap. Dari pengkajian tersebut diperoleh petunjuk yang menguatkan
keterlibatan Eko Purwantoro, dalam kasus dugaan tindak pidana penipuan.
Pemberian gaji 50% dari gaji pokok terakhir terkait dengan
pemberhentian sementara Eko Purwantoro telah sesuai dengan ketentuan Pasal 4
ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang
Pemberhentian/ Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri Pegawai Negeri
Sipil. Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang
Pemberhentian/ Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri Pegawai Negeri
Sipil, berbunyi: “Kepada seorang Pegawai Negeri yang dikenakan pemberhentian
sementara menurut Pasal 2 ayat (1) peraturan ini:
a. jika terdapat petunjuk-petunjuk yang cukup meyakinkan bahwa ia telah
melakukan pelanggaran yang didakwakan atas dirinya mulai bulan berikutnya
ia diberhentikan diberikan bagian gaji sebesar 50% (lima puluh perseratus)
dari gaji pokok yang diterimanya terakhir;
b. jika belum terdapat petunjuk-petunjuk yang jelas tentang telah dilakukannya
pelanggaran yang didakwakan atas dirinya mulai bulan berikutnya ia
diberhentikan diberikan bagian gaji sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus)
dari gaji pokok yang diterimanya terakhir”.
Berdasarkan peraturan di atas dan terkait dengan temuan beberapa
petunjuk yang mengarah kepada fakta bahwa Eko Purwantoro melakukan tindak
pidana penipuan, maka kebijakan yang diambil oleh Kepala Kantor Wilayah Jawa
Tengah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam hal penetapan gaji
selama yang bersangkutan diberhentikan sementara telah sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.

81
Di sisi lain, tanggal penetapan Surat Keputusan Kepala Kantor
Wilayah Jawa Tengah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: W9-
1013-Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing yaitu
pada tanggal 9 Juni 2009 ternyata menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya.
Tertulis dalam Surat Keputusan tersebut mengenai pemberlakuan pemberian gaji
50% dari gaji pokok yang diterima terakhir ditetapkan pada tanggal 1 Maret 2009.
Pada kenyataannya, ada perbedaan persepsi mengenai bulan mulai
diberlakukannya pemotongan gaji. Menurut Kantor Pelaksana Perbendaharaan
Negara Cilacap, pemberlakuan pemotongan gaji dimulai sesuai dengan
pemberlakuan pemberhentian sementara yaitu bulan Februari 2009. Dengan
demikian, yang bersangkutan, Eko Purwantoro, menerima gaji penuh sebelum
keluarnya penetapan Surat Keputusan tersebut yaitu 1 Juni 2009 karena Kantor
Pelayanan Perbendaharaan Negara tidak memiliki dasar normatif untuk
memotong gajinya. Pada tanggal 1 Juni 2009 pada saat ditetapkannya surat
pemberhentian sementara, gaji bulan itu terlanjur terbayar 100% karena sudah
diusulkan sehingga yang bersangkutan, Eko Purwantoro memperoleh gaji 100%
selama pemberhentian sementara adalah lima bulan terhitung dari bulan Februari
sampai dengan Juni 2009.
Menurut keterangan yang penulis peroleh dari staf bendahara di Unit
Pelaksana Teknis Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Klas I Surakarta,
tempat Eko Purwantoro dipindah tugaskan, untuk tetap mempertahankan amanat
dari Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang
Pemberhentian/ Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri Pegawai Negeri
Sipil khususnya di huruf a, maka pemotongan gaji sebesar 50% dilakukan mulai
bulan setelah ditetapkannya Surat Keputusan Pemberhentian Sementara sampai
dengan keluarnya keputusan baru yang mengganti dan mencabut keputusan
pemberhentian sementara Pegawai Negeri Sipil tersebut. Sedangkan jumlah gaji
penuh yang diterimanya pada bulan Februari sampai Juni 2009 dikembalikan
kepada Negara sebesar pemotongan yang dikenakan terhadapnya dengan
memotong gaji pada bulan setelah ditetapkannya Surat Keputusan Pemberhentian
Sementara yaitu mulai bulan Juli 2009 sampai dengan bulan Nopember 2009.

82
Dengan dasar Surat Keputusan Kepala Kantor Wilayah Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun
2009 tentang Pemberhentian Sementara/ Skorsing dan Surat Keputusan Kepala
Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: W9-313-
Kp.04.10. Tahun 2009 tentang Pemindahan Pegawai Negeri Sipil bendahara
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Pasir Putih Nusakambangan mengajukan
usulan penghentian pembayaran kepada Kantor Pelaksana Perbendaharaan Negara
Cilacap. Akhirnya pada tanggal 10 Juli 2009 keluarlah Surat Keterangan
Penghentian Pembayaran dari Kantor Pelaksana Perbendaharaan Negara Cilacap.
Pembayaran gaji bulan Juli 2009 termasuk cicilan pengembalian uang Negara
serta pemotongan 50% dari gaji pokok terakhir masih dibayarkan oleh Kantor
Pelaksana Perbendaharaan Negara Cilacap karena sudah diusulkan. Untuk bulan
Agustus 2009 sampai dengan bulan Nopember 2009 cicilan pengembalian uang
Negara serta pemotongan 50% dari gaji pokok terakhir dibayarkan oleh Kantor
Pelaksana Perbendaharaan Negara Surakarta karena yang bersangkutan telah
berstatus sebagai pegawai Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara Klas I
Surakarta.
Demikian adalah kronologi pelaksanaan pemotongan 50% gaji terakhir
Eko Purwantoro sebagai implikasi hukum terkait pemberhentian sementara
terhadapnya menyangkut hak kepegawaiannya. Walaupun menurut penulis sudah
memenuhi rasa keadilan, namun keterlambatan terbitnya Surat Keputusan Kepala
Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Jawa Tengah
Nomor: W9-1013-Kp.05.05- Tahun 2009 tentang Pemberhentian Sementara/
Skorsing mengakibatkan pelaksanaannya juga menjadi terlambat dan
menimbulkan fenomena baru di mana gaji Eko Purwantoro dipotong dua kali
yaitu 50% terkait pemberhentian sementara dan 50% terkait pembayaran cicilan
gaji pada saat Surat Keputusan pemberhentian sementaranya belum ditetapkan.

83
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan penelitian, diperoleh kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pelaksanaan pemberhentian sementara dari jabatan negeri terhadap Eko
Purwantoro Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah telah dilaksanakan
sesuai ketentuan Kepegawaian di setiap lini konstitusional. Terkait dengan
lamanya penetapan Keputusan Tata Usaha Negara mengenai pemberhentian
sementara dalam kasus ini membutuhkan waktu yang relatif lama yaitu empat
bulan. Hal tersebut tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/Pemberhentian Sementara dari
Jabatan Negeri Pegawai Negeri Sipil. Oleh karena itu, kepastian hukum belum
sepenuhnya terwujud dengan baik.
2. Pelaksanaan pemberhentian sementara dari jabatan negeri terhadap Eko
Purwantoro Pegawai Negeri Sipil Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Jawa Tengah menimbulkan implikasi
hukum yang berkenaan dengan kewajiban dan hak yang dimilikinya sebagai
Pegawai Negeri Sipil. Kewajibannya sebagai Pegawai Negeri dalam hal
pelaksanaan tugas jabatan, untuk sementara dihentikan karena yang
bersangkutan harus menempuh proses peradilan. Selain itu, pemberhentian
sementara dari jabatan negeri diharapkan agar stabilitas kerja di instansi tetap
terjaga. Terkait dengan hak yang dimilikinya sebagai Pegawai Negeri Sipil,
pemberhentian sementara mengakibatkan adanya pemotongan gaji sebesar
50% dari gaji pokok terakhir yang diterimanya. Pemotongan gaji tersebut
diberikan karena Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan tidak lagi

84
menjalankan tugas dan pekerjaannya sehingga ia tidak memiliki hak untuk
mendapat gaji penuh meskipun masih berstatus Pegawai Negeri Sipil. Terkait
dengan keterlambatan penetapan Surat Keputusan pemberhentian sementara
sehingga yang bersangkutan menerima gaji penuh dalam masa pemberhentian
sementara yang diberlakukan, maka ia diwajibkan untuk mengganti karena
kelebihan gaji yang diterimanya menjadi hutang terhadap Negara.
Berdasarkan hal tersebut, pemberhentian dari jabatan negeri sebagai implikasi
hukum terhadap kewajibannya sebagai Pegawai Negeri Sipil telah memenuhi
asas kemanfaatan dan pelaksanaan pemotongan gaji sebagai implikasi hukum
terhadap haknya sebagai Pegawai Negeri Sipil telah memenuhi rasa keadilan.
B. Saran
1. Pelaksanan pemberhentian sementara terhadap Eko Purwantoro Pegawai
Negeri Sipil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia hendaknya
ditetapkan secara cepat tanpa mengurangi kehati-hatian agar implikasi hukum
yang timbul karena proses peradilan dapat diselaraskan dengan implikasi
hukum yang timbul terkait dengan administrasi kepegawaian.
2. Proses peradilan khususnya pemeriksaan terhadap dugaan tindak pidana
penipuan oleh Eko Purwantoro Pegawai Negeri Sipil Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia sebaiknya dilaksanakan dengan waktu yang sesingkat-
singkatnya untuk menghindari kerugian bagi keuangan Negara, karena
semakin lama diperiksa maka semakin banyak Negara membayar seorang
Pegawai yang tidak berkontribusi terhadap kinerja di instansi akibat
pemeriksaannya.
3. Setelah keluar putusan tetap dari Pengadilan Negeri Cilacap yang memvonis
bersalah Eko Purwantoro, Pegawai Negeri Sipil Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia dalam kasus tindak pidana penipuan, maka seharusnya pejabat
yang berwenang segera mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara untuk
menetapkan sikap mengenai status Kepegawaiannya dalam hal penjatuhan
hukuman disiplin.

85
DAFTAR PUSTAKA
Dari Buku
Ahmad Ghufron dan Sudarsono. 1991. Hukum Kepegawaian Indonesia. Jakarta:
P.T. Rineka Cipta.
Amirudduin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: Raja Grafindo.
Amrah Muslimin. 1985. Beberapa Asas Dan Pengertian Pokok Tentang
Administrasi Dan Hukum Administrasi. Bandung: Alumni.
C.S.T. Kansil. 1984. Hukum Tata Pemerintahan Indonesia. Jakarta Timur: Ghalia
Indonesia.
.1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka
.1997. Modul Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Pradnya
Paramita
Djoko Prakoso. 1992. Tindak Pidana Pegawai Negeri Sipil di Indonesia. Jakarta:
Sinar Grafika.
E. Utrecht. 1989. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: P.T. Ichtiar Baru
Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Bayumedia Publishing.
Lexy J Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remja
Rosdakarya.
Muchsan. 1988. Pengangkatan Dalam Pangkat Pegawai Negeri Sipil.
Yogyakarta: Liberty.

86
Nainggolan, H. 1985. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: Pemerintah
Republik Indonesia.
Peter Mahmud Marzuki. 2006. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Philipus M. Hadjon etc. 2005. Pengantar Hukum Administrasi
Indonesia.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
R. Wiyono. 2008. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Sinar
Grafika.
Ridwan HR. 2006. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
SF. Marbun dkk, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi
Negara. Yogyakarta: UII Press
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Soerjono Soekanto. 2007. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
Soewarno Handayaningrat. 1982. Administrasi Pemerintahan Dalam
Pembangunan Nasional. Jakarta: Gunung Agung.
Sri Hartini, Setiadjeng Kadarsih dan Tedi Sudrajat. 2008. Hukum Kepegawaian di
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Sudibyo Triatmodjo.1983. Hukum Kepegawaian Mengenai Kedudukan Hak Dan
Kewajiban Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: Balai Aksara.
Titik Triwulan Tutik. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Dari Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme.

87
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 tentang Pemberhentian/
Pemberhentian Sementara dari Jabatan Negeri Pegawai Negeri.
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1980 tentang Pengangkatan Dalam Pangkat
Pegawai Negeri Sipil.
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai
Negeri Sipil.
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan,
Pemindahan dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil.
Dari Jurnal
Bagus Sarwana. 2006. “Analisisis Terhadap Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil
Dalam Jabatan Struktural Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta”.
Jurnal Media Hukum. Volume 13 Nomor 2. Yogyakarta.
Tedi Sudrajat. 2008. “Problematika Penegakan Hukuman Disiplin Kepegawaian”.
Jurnal Dinamika Hukum. Volume 8 Nomor 3. Purwokerto: Fakultas
Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Abdun Noor. 2008. “Ethics, Religion and Good Governance”. Good Governance
in Rural Developmen. Volume 3 No. 2. Comilla: JOOGA.
Awal Hossain Mollah. 2008. “Bureaucracy and Accountability: The Case of
Bangladesh”. International Journal on Governmental Financial
Management. Volume 8 No. 1. Virginia: The International Consortium
on Governmental Financial Management Alexandria, Virginia United
States of America.
Sri Hartini. 2009. “Kewajiban Pegawai Negeri Memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP)”. Jurnal Dinamika Hukum.Volume 9 Nomor 1.
Purwokerto: Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

88
Dari Internet
Caray Label. Hukum Administrasi Negara.
http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2008/07/hukum-administrasi-
negara.html > [21 Nopember 2009 pukul 19.35 WIB].
Wikipedia. Birokrasi-Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.
http://id.wikipedia.org/wiki/Birokrasi> [23 Maret 2010 pukul 19.29
WIB].