Kajian Urban Heat Island di Kota Yogyakarta - Hubungan antara Tutupan Lahan dan Suhu Permukaan
-
Upload
nurul-ihsan-fawzi -
Category
Documents
-
view
333 -
download
2
description
Transcript of Kajian Urban Heat Island di Kota Yogyakarta - Hubungan antara Tutupan Lahan dan Suhu Permukaan
Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi ~ III 2013
“Meningkatkan Kualitas Data Geospasial Melalui Analisis Citra dan Pemodelan Spasial” (275 – 280) ISBN: 978-979-98521-4-4
Hak cipta © 2013 PUSPICS Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada
Kajian Urban Heat Island di Kota Yogyakarta - Hubungan
antara Tutupan Lahan dan Suhu Permukaan
Nurul Ihsan Fawzi 1,2, Nisfu Naharil M.1
1 Program Studi Kartografi dan Penginderaan Jauh, Fakultas Geografi 2 Fast Track Program pada Program Magister Perencanaan dan Pengelolaan Pesisir dan Daerah Aliran Sungai,
Fakultas Geografi
Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur, Yogyakarta 55284
Email: [email protected], [email protected]
ABSTRAK
Penginderaan jauh sistem termal telah digunakan pada perencanaan perkotaan untuk menilai
dampak dari urban heat island. Penelitian ini menganalisis apakah karakteristik tutupan lahan dalam
daerah perkotaan berhubungan dengan suhu permukaan yang lebih tinggi atau lebih rendah. Metode
yang digunakan untuk ekstraksi suhu permukaan menggunakan persamaan Planck dan klasifikasi tutupan
lahan secara multispektral menggunakan algoritma Maximum Likelihood. Hasilnya menunjukkan bahwa
Urban heat island di Kota Yogyakarta berhubungan dengan suhu tutupan lahan terbangun yang lebih
tinggi akibat urbanisasi yang terjadi di Kota Yogyakarta. Besaran perbedaan nilai antara pusat kota
dan wilayah pedesaan disekitarnya yang dihasilkan pada ∆Tµ-r mencapai 18o C.
Kata Kunci: Urban Heat Island (UHI), suhu permukaan, tutupan lahan, Yogyakarta
1. PENDAHULUAN
Selama 3 dekade terakhir, urbanisasi yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia berlangsung
secara cepat dan terus berlanjut (Setiawan, et al., 2006). Sebagian besar ekspansi perkotaan tersebut
terjadi di Pulau Jawa karena merupakan pulau terpadat dengan 59% dari polulasi di Indonesia (Hugo,
2000) dalam (Setiawan, et al., 2006). Studi menunjukkan urbanisasi berdampak negatif terhadap
lingkungan terutama pada produksi polusi, modifikasi sifat fisik dan kimia atmosfer, yang juga
diketahui dan didokumentasikan bahwa urbanisasi dapat memiliki efek yang signifikan pada cuaca
lokal dan iklim (Landsberg, 1981). Salah satu efek yang ditimbulkan adalah urban heat island.
Urban heat island merupakan isoterm tertutup yang menunjukkan daerah permukaan yang
relatif hangat, yakni sebagai suhu yang lebih hangat di daerah perkotaan dibandingkan dengan
lingkungan pedesaan disekitarnya (United States Environmental Protection Agency, 2008). Dengan
perkembangan masyarakat dan percepatan proses urbanisasi sebagai dampak dari pembangunan,
urban heat island telah menjadi lebih signifikan dan telah memiliki dampak negatif pada kondisi
kualitas udara, lingkungan hidup manusia, dan mempengaruhi penggunaan energi, hingga perubahan
iklim di masa yang akan datang (Chen, et al., 2009; Tursilowati, 2007; Zong-Ci, et al., 2013).
Kajian mengenai urban heat island penting untuk dilakukan, mengingat terus meningkatnya
suhu udara di daerah perkotaan menciptakan lingkungan yang tidak nyaman bagi masyarakat. Ini
menjadi perhatian utama bagi perencana kota untuk memahami pola pengembangan lahan dan
wilayah distribusi spasial yang mempengaruhi pembentukan urban heat island di kota-kota besar
Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi ~ III (2013) 275 – 280
Hak cipta © 2013 PUSPICS Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada ISBN: 978-979-98521-4-4
seperti Kota Yogyakarta. Apalagi identitas Kota Yogyakarta sebagai kota pendidikan dan kota
pariwisata ternyata mempunyai pengaruh yang kuat terhadap semakin tingginya urbanisasi yang
terjadi. Taha (1997) dalam Rinner & Hussain (2011) menemukan bahwa bentuk perkotaan, sifat
termal bangunan, dan sumber panas antropogenik memiliki pengaruh pada urban heat island, yang
dapat dideduksi bahwa tutupan lahan memiliki hubungan terhadap suhu permukaan yang
mempengaruhi intensitas urban heat island yang terjadi.
Analisis mengenai urban heat island yang diperoleh dari informasi suhu permukaan dapat
dilakukan dengan pengukuran in situ atau dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh.
Teknologi penginderaan jauh akan cukup tepat untuk mendapatkan data permukaan bumi yang
semakin kompleks dan dengan wilayah kajian yang cukup luas. Studi pada fenomena urban heat
island menggunakan penginderaan jauh diperoleh dari ekstraksi berbagai data penginderaan jauh
seperti NOAA-AVHRR dengan resolusi spasial 1,1 km, Landsat Thermatic Mapper (TM) dan
Enhanched Thematic Mapper Plus (ETM+) dengan sensor inframerah termal (Thermal Infrared) data
dengan resolusi spasial masing-masing 120 m dan 60 m (Basar, et al., 2008; Cao, et al., 2008;
Kindap, et al., 2012; Kumar, et al., 2012; Laosuwan & Sangpradit, 2012; Rigo, et al., 2006;
Southworth, 2004; Srivanit, et al., 2012; Sobrino, et al., 2004; Tan, et al., 2009).
Urbanisasi yang terjadi di Kota Yogyakarta memicu perubahan penggunaan lahan menjadi
lahan terbangun (Setiawan, et al., 2006). Deteksi tutupan lahan dan suhu permukaan dengan
penginderaan jauh mampu merepresentasikan distribusi keduanya. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengkaji hubungan antara efek tutupan lahan terhadap suhu permukaan di Kota Yogyakarta.
Aspek analisis lain dipresentasikan dalam tulisan ini.
2. DAERAH PENELITIAN
Kota Yogyakarta dipilih untuk penelitian ini karena itu merupakan kota berukuran sedang dan
padat penduduk. Peranan kota pelajar dan kota pariwisata mempercepat pembangunan fisik kota
menjadi lahan terbangun. Pada tahun 2010, kepadatan penduduk rata-rata adalah 14.086,43 jiwa/km2
(Dinas Kesehatan D.I. Yogyakarta, 2010). Berlangsungnya pembangunan Kota Yogyakarta yang
berada di tengah-tengah Provinsi Yogyakarta (Gambar 1), memiliki potensi untuk berdampak negatif
pada fenomena urban heat island yang terjadi.
Gambar 1. Kota Yogyakarta
Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi ~ III (2013) 275 – 280
Hak cipta © 2013 PUSPICS Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada ISBN: 978-979-98521-4-4
3. METODE PENELITIAN
3.1 Data Citra Satelit
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah citra Landsat TM perekaman tanggal 31 Juli
2009 dan peta Rupabumi Indonesia skala 1:25.000 untuk informasi spasial lain yang dibutuhkan.
3.2 Pengolahan Citra
Pengolahan citra perlu dilakukan untuk restorasi citra yang meliputi koreksi geometrik, koreksi
radiometrik, dan masking citra sesuai daerah penelitian.
Koreksi geometrik bertujuan untuk menempatkan kembali posisi piksel pada citra hasil
perekaman satelit sesuai dengan koordinat bumi, sehingga citra digital yang tertransformasi dapat
dilihat gambaran obyek di permukaan bumi yang terekam sensor sesuai dengan keadaan sebenarnya
di lapangan (Danoedoro, 2012). Sedangkan koreksi radiometrik ditujukan untuk memperbaiki nilai
piksel agar sesuai dengan yang seharusnya yang biasanya mempertimbangkan faktor gangguan
atmosfer sebagai sumber kesalahan utama (Soenarmo, 2009).
Koreksi radiometrik yang dilakukan untuk menghasilkan nilai radian pada sensor (at-sensor
radiance) dihitung dengan formula:
Lλ – TM = Grescale . Qcal + Brescale ……………..……….(1)
dimana untuk band 6, G rescale bernilai 0.055376 dan Brescale bernilai 1.18. sedangkan Qcal adalah nilai
piksel (Chander, et al., 2007; Kim, et al., 2005).
3.2 Klasifikasi Citra
Pada penelitian ini, citra Landsat yang digunakan diklasifikasi untuk mendapatkan tutupan
lahan yang diinginkan. Kategori klasifikasi meliputi: (1) kawasan perkotaan atau lahan terbangun, (2)
daerah bervegetasi (termasuk hutan, lahan pertanian, dan semak belukar), (3) badan air (terutama
termasuk sungai, anak sungai, kolam, dan danau) dan (4) Lainnya (lahan kosong). Ekstraksi pada citra
menggunakan algoritma maximum likelihood.
3.3 Ekstraksi suhu permukaan
Suhu permukaan diperoleh dari citra yang telah terkoreksi. Pembuatan suhu permukaan
mengikuti prosedur untuk diturunkan dari citra band 6 (10.44 – 12,42 um) landsat TM. Citra dengan
nilai radian yang dihasilkan dari koreksi radiometrik kemudian dikonversi kedalam suhu permukaan
menggunakan estimasi dari kurva Planck dengan asumsi emisivitas permukaan = 1 yang dihitung
dengan formula:
𝑇𝑘 = 𝐾2
ln(𝐾1
𝐿λ+ 1)
…………………..…………………..(2)
dimana Tk = suhu dalam Kelvin (K), K1 = konstanta kalibrasi spektral radian (607,76
watts/m2.ster.µm) dan K2 = konstanta kalibrasi suhu absolut (1260,56 Kelvin), dan Lλ = nilai radian
citra (watts/m2.ster.µm) (Chander, et al., 2007). Suhu yang diperoleh (Tk) kemudian dikonversi ke unit
skala Celcius (oC) dengan rumus konversi °C = K − 273,15.
Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi ~ III (2013) 275 – 280
Hak cipta © 2013 PUSPICS Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada ISBN: 978-979-98521-4-4
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Distribusi Suhu Permukaan dan Tutupan Lahan
Hasil ekstraksi suhu permukaan, nilai suhu tertinggi yang dihasilkan yakni 36o C dan nilai
suhu terendah yakni 27o C. Distribusi yang menyebar pada masing-masing tipe tutupan lahan yang
memberi nilai suhu permukaan yang berbeda-beda. Nilai tertinggi pada tipe lahan terbangun, dan
semakin menurun pada tipe tutupan vegetasi. Hal ini secara nyata terasa pada fluks radiasi yang
semakin semakin dirasakan karena kapasitas termal objek semakin besar pada lahan-lahan terbangun
(antropogenik) diperkotaan.
Gambar 2. Suhu permukaan Kota Yogyakarta (a) dan tutupan lahannya.
Gambar 3. Suhu permukaan Kota Yogyakarta beserta wilayah sekeliling perkotaan yang dianggap
sebagai desa (a) dan tutupan lahannya.
Peta yang diperoleh ditumpangtindihkan dengan wilayah kecamatan disekitar Kota Yogyakarta
yang dianggap sebagai wilayah pedesaan (rural area) atau suburban, yakni Kecamatan Mlati dan
Depok pada Kabupaten Sleman, dan Kecamatan Kasihan, Sewon, dan Banguntapan pada Kabupaten
Bantul. Hasilnya menunjukkan bahwa Kota Yogyakarta memiliki suhu yang lebih hangat
Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi ~ III (2013) 275 – 280
Hak cipta © 2013 PUSPICS Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada ISBN: 978-979-98521-4-4
dibandingkan dengan suhu wilayah yang berada disekitarnya. Dari hasil ini dapat dikatakan terjadi
fenomena urban heat island di Kota Yogyakarta yang berhubungan dengan suhu tutupan lahan
terbangun yang lebih tinggi akibat pembangunan perkotaan yang terjadi. Nilai hubungan ini jika
dikorelasikan menghasilkan korelasi -0.814 hubungan yang termasuk dalam kategori kuat, dengan
emisivitas sebagai parameter penghubungnya (Fawzi, 2013)
Kuantifikasi besaran urban heat island yang terjadi digunakan persamaan yang di peroleh dari
(Kindap, et al., 2012) dengan mencari perbedaan antara suhu tertinggi dan suhu terendah melalui
persamaan:
∆Tµ-r = Tµ - Tr ……………………………………..(3)
dimana Tµ merupakan suhu permukaan di kota, Tr merupakan suhu permukaan desa (disekitar wilayah
yang diukur Tµ), dan ∆Tµ-r merupakan efek dari urban heat island yang ditimbulkan. Sehingga ketika
nilai suhu permukaan dimasukkan kedalam persamaan menghasilkan nilai ∆Tµ-r mencapai 18o C.
Validasi suhu permukaan berdasarkan suhu aktual di lapangan memberikan hasil suhu yang
lebih tinggi. Untuk lahan terbangun, nilai suhu pada citra berkisar antara 31o – 37o C, sedangkan nilai
aktualnya berkisar antara 40o – 48o C. Pada objek yang bervegetasi, nilai pada citra berada pada
rentang 19o – 31o C, sedangkan pada nilai aktualnya berada pada rentang 31o – 36o C. Dengan
demikian pada sistem penginderaan jauh, ekstraksi suhu permukaan yang dilakukan pada citra
Landsat memberikan hasil yang “underestimate.” Hal tersebut dikarenakan nilai kisaran suhu yang
dihasilkan dari ekstraksi citra penginderaan jauh lebih rendah dari nilai yang sesungguhnya
dilapangan. Nilai estimasi tersebut dipengaruhi oleh tenaga pancaran suatu benda selalu lebih kecil
dari tenaga kinetiknya (Sutanto, 1987), sehingga nilai hasil estimasi berada lebih rendah dari nilai
suhu aktualnya. Hasil koreksi yang dilakukan untuk menghasilkan suhu citra yang mendekati nilai
suhu sebenarnya.
Jika dilakukan koreksi emisivitas, akan mempengaruhi suhu dalam kisaran 1o sampai 5o C
(Prancis et al., 2001) dalam (Glllies, 2002). Emisivitas dalam koreksi menghitung suhu permukaan,
sebenarnya tidak mengubah pola suhu untuk setiap kelas tutupan lahan, tapi itu untuk menonjolkan
perbedaan yang dihasilkan.
4.2 Hal yang Berpengaruh Mengenai Urban Heat Island
Salah satu untuk memperkecil dampak urban heat island adalah dengan penggunaan vegetasi
sebagai sarana untuk mengembalikan fungsi alam dilingkungan perkotaan. Hasil-hasil penelitian
menunjukkan vegetasi pada perkotaan memberikan pengaruh yang relatif kecil terhadap fenomena
urban heat island (Fadillah, 2011), akan tetapi pengaruh kecil tersebut cukup untuk mengurangi efek
urban heat island yang terjadi (Brontowiyono, et al., 2013; Srivanit, et al., 2012). Pengaruh kecil
vegetasi tersebut dipengaruhi oleh objek sekelilingnya yang lebih tinggi yang disebut sebagai
Emissivity Modulation, artinya suhu area yang bervegetasi akan lebih tinggi pada area perkotaan
karena dipengaruhi oleh suhu lahan terbangun disekitarnya yang lebih tinggi (Nichol, 2009). Rinner &
Hussain (2011) menyebutkan bahwa pengaruh luasan dari tipe penggunaan lahan juga mempengaruhi
suhu permukaan yang terekam oleh sensor. Pengaruhnya pada citra direpresentasikan dengan nilai
suhu yang lebih tinggi, padahal nilai sesungguhnya lebih rendah.
5. KESIMPULAN
Urban heat island di Kota Yogyakarta berhubungan dengan suhu tutupan lahan terbangun yang
lebih tinggi akibat urbanisasi yang terjadi di Kota Yogyakarta. Besaran perbedaan nilai antara pusat
kota dan wilayah pedesaan disekitarnya yang dihasilkan pada ∆Tµ-r mencapai 18o C. Penggunaan citra
Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi ~ III (2013) 275 – 280
Hak cipta © 2013 PUSPICS Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada ISBN: 978-979-98521-4-4
penginderaan jauh untuk estimasi suhu permukaan memberikan nilai yang bersifat “underestimate,”
artinya nilai kisaran suhu yang dihasilkan dari ekstraksi lebih rendah dari nilai yang sesungguhnya
dilapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Basar, U. G., Kaya, S. & Karaka, M., 2008. Evaluation of Urban Heat Island in Istanbul Using Remote
Sensing Technique.. The International Archive of Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial
Information Sciences. Vol. XXXVII Part B7. Beijing, pp. 971-976.
Brontowiyono, W., Lupiyanto, R., Wijaya, D. & Hamidin, J., 2013. Urban Heat Islands Mitigation by
Green Open Space (GOS) Canopy Improvement:A Case of Yogyakarta Urban Area (YUA),
Indonesia. [Online]
Available at: http://widodo.staff.uii.ac.id/files/2011/06/widodo-gos-uii-yogyakarta-ijtech.pdf
[Accessed September 2013].
Cao, L., Li, P., Zhang, L. & Chen, T., 2008. Remote Sensing Image-Based Analysis of The Relationhip
Between Urban Heat Island and Vegetation Fraction. The International Archive of the
Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences. Vol. XXXVII Part B7.
Beijing, pp. 1379-1383.
Chander, G., L, B. & Barsi, J. A., 2007. Revised Landsat-5 Thematic Mapper Radiometric Calibration.
IEEE GEOSCIENCE AND REMOTE SENSING LETTERS, VOL. 4, NO. 3, pp. 490-494.
Chen, Q., Ren, J., Li, Z. & Ni, C., 2009. Urban Heat Island Effect Research in Chengdu City Based on
MODIS Data. Beijing, China, Proceedings of 3rd International Conference on Bioinformatics and
Biomedical Engineering, ICBBE 2009, Beijing, China, 11–13 June 2009.
Danoedoro, P., 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Dinas Kesehatan D.I. Yogyakarta, 2010. Resume Profil Kesehatan Provinsi D.I. Yogyakarta tahun 2010.
[Online]
Available at: http://dinkes.jogjaprov.go.id/files/Lampiran-PROFIL-DIY-20103.pdf
[Accessed September 2013].
Fadillah, D. R., 2011. Analisis Pengaruh Tutupan Vegetasi terhadap Suhu Permukaan Kota Samarinda
berdasarkan Pengolahan Citra ASTER Tahun 2003 dan 2009. Skripsi. , Yogyakarta: Fakultas
Geografi, UGM.
Fawzi, N. I., 2013. Heat Island akibat Penambangan Batubara Menggunakan Penginderaan Jauh
Multitemporal. Skripsi, Yogyakarta: Fakultas Geografi, UGM.
Glllies, N. A. B. a. R. R., 2002. Incorporating Surface Emissivity into a Thermal Atmospheric Correction.
Photogrammetric Engineering & Remote Sensing, pp. 1263-1269..
Kim, H. M., Kim, B. K. & You, K. S., 2005. A Statistic Correlation Analysis Algorithm Between Land
Surface A Statistic Correlation Analysis Algorithm Between Land Surface. International Journal
of Information Processing Systems Vol.1, No.1, pp. 102-106.
Kindap, T. et al., 2012. Quantification of the Urban Heat Island Under a Changing Climate over Anotalian
Peninsula. In: N. Chhetri, ed. Human and Social Dimensions of Climate Change. Rijeka: InTech,
pp. 87-104.
Kumar, K. S., Bhaskar, P. U. & Padmakumari, K., 2012. Estimation of Land Surface Temperature to Study
Urban Heat Island Effect using Landsat ETM+ Image.. International Jurnal od Engineering
Science and Technology, Vol. 4 No. 2, pp. 771-778.
Landsberg, 1981. The urban climate. New York: Academic Press.
Laosuwan, T. & Sangpradit, S., 2012. Urban Heat Island Monitoring and Analyss by Using Integration of
Satellite Data and Knoledge Based Method. International Journal of Development and
Sustainability, Vol. 1 No.2, p. In Press.
Prosiding Simposium Nasional Sains Geoinformasi ~ III (2013) 275 – 280
Hak cipta © 2013 PUSPICS Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada ISBN: 978-979-98521-4-4
Nichol, J., 2009. An Emissivity Modulation Method for Spatial Enhancement of Thermal Satellite Images
in Urban Heat Island Analysis. Photogrammetric Engineering & Remote Sensing Vol. 75, No. 5,
May.p. 547–556.
Rigo, G., Parlow, E. & Oesch, D., 2006. Validation of satellite observed thermal emission with in-situ
measurements over an urban surface. Remote Sensing of Environment 104, pp. 201 - 210.
Rinner, C. & Hussain, M., 2011. Toronto’s Urban Heat Island—Exploring the Relationship between Land
Use and Surface Temperature. Remote Sensing Vol.3, pp. 1251-1265.
Setiawan, H., Mathieu, R. & Michelle , T.-F., 2006. Assessing the applicability of the V–I–S model to map
urban land use in the developing world: Case study of Yogyakarta, Indonesia. Computers,
Environment and Urban Systems, Volume 30, p. 503–522.
Sobrino, J. A., Jimenez-Munoz, J. C. & Paolini, L., 2004. Land Surface Temperature Retrieval from
Landsat TM 5. Remote Sensing of Environment 90, p. 434–440.
Soenarmo, S. H., 2009. Penginderaan Jauh dan Pengenalan Sistem Informasi Geografis untuk Bidang
Ilmu Kebumian. Bandung: Penerbit ITB Bandung.
Southworth, J., 2004. An Assessment of Landsat TM Band 6 Thermal Data For Analysing Land Cover in
Tropical Dry Forest Region.. International Journal of Remote Sensing Vol. 25 No.4, pp. 689-706.
Srivanit, M., Hokao, K. & Phonekeo, V., 2012. Assesing the Impact of Urbanization on Urban Thermal
Environment: A Case Study of Bangkok Metropolitan. International Journal of Applied Science
and Technology, Vol. 2 No. 7, p. 243 – 256.
Sutanto, 1987. Penginderaan Jauh Jilid II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tan, J. et al., 2009. The urban heat island and its impact on heat waves and human health in Shanghai.
International Journal Biometeorol Vol. 54, p. 75–84.
Tursilowati, L., 2007. Urban Heat Island dan Kontribusinya pada Perubahan Iklim dan Hubungannya
dengan Perubahan Lahan. Bandung, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, pp. 89-96.
United States Environmental Protection Agency, 2008. Urban Heat Island basics. In Reducing Urban Heat
Islands: Compendium of Strategies; Chapter 1; Draft Report. [Online]
Available at: http://www.epa.gov/heatisland/resources/compendium.html
[Accessed 8 Januari 2013].
Weng, Q., Lu, D. & Schubring, J., 2004. Estimation of Land Surface Temperature - Vegetation Abuncance
Relationship for Urban Heat Island. Remote Sensing for Environment, Volume 89, pp. 467-483.
Zong-Ci, Z., Yong, L. & Jiang-Bin, H., 2013. Are There Impacts of Urban Heat Island on Future Climate
Change?. Advances in Climate Change Research, Volume 4 (2), pp. 133-136.