KAJIAN TASAWUF AL-HARITS IBN ASAD AL-MUHASIBI STUDI...

28
ISTIQRO’ Volume 15, Nomor 01, 2017 41 3 KAJIAN TASAWUF AL-HARITS IBN ASAD AL-MUHASIBI STUDI KITAB AL-RI`AYAH LI HUQUQ ALLAH Abdul Moqsith Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Di lingkungan umat Islam, nama al-Muhasibi tidak cukup masyhur. Popularitasnya kalah dengan para yuniornya seperti al-Ghazali, Junaid al-Bagdadi, Abi al- Hasan al-Syadzili, dan Abdul Qadir al-Jilani. Bahkan, tasawuf al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi sudah menjadi madzhab tasawuf resmi organisasi keulamaan seperti Nahdlatul Ulama. Sementara al-Syadzili dan al- Jilani cukup terkenal di dunia tarekat terutama di kalangan para pengikut tarekat Syadziliyah dan tarekat Qadiriyah. Namun, di kalangan para pengkaji tasawuf, nama al- Muhasibi bukan nama asing. Buku-buku al-Muhasibi bahkan telah lama menjadi rujukan utama para sufi seperti al-Ghazali. Dengan terus-terang dalam al-Munqid min al-Dhalal Imam al-Ghazali mengakui keterpengaruhannya pada al-Muhasibi. Sedangkan Junaid al-Baghdadi adalah murid langsung dari al- Muhasibi. Junaid pun mengakui bahwa pilihan hidup dan kesukannya pada tasawuf sangat dipengaruhi al- Muhasibi. Begitu juga dengan sufi-sufi lain yang banyak mengutip tasawuf al-Muhasibi seperti al-Qusyairi, al- Sarraj, al-Hujwiri, dan lain-lain. Perujukan pada tasawuf al-Muhasibi tersebut bisa dimaklumi karena al-Muhasibi merupakan salah satu

Transcript of KAJIAN TASAWUF AL-HARITS IBN ASAD AL-MUHASIBI STUDI...

Abdul Moqsith

ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 41

3

KAJIAN TASAWUF

AL-HARITS IBN ASAD AL-MUHASIBI

STUDI KITAB AL-RI`AYAH LI HUQUQ ALLAH

Abdul Moqsith

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Di lingkungan umat Islam, nama al-Muhasibi tidak

cukup masyhur. Popularitasnya kalah dengan para

yuniornya seperti al-Ghazali, Junaid al-Bagdadi, Abi al-

Hasan al-Syadzili, dan Abdul Qadir al-Jilani. Bahkan,

tasawuf al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi sudah

menjadi madzhab tasawuf resmi organisasi keulamaan

seperti Nahdlatul Ulama. Sementara al-Syadzili dan al-

Jilani cukup terkenal di dunia tarekat terutama di

kalangan para pengikut tarekat Syadziliyah dan tarekat

Qadiriyah.

Namun, di kalangan para pengkaji tasawuf, nama al-

Muhasibi bukan nama asing. Buku-buku al-Muhasibi

bahkan telah lama menjadi rujukan utama para sufi

seperti al-Ghazali. Dengan terus-terang dalam al-Munqid

min al-Dhalal Imam al-Ghazali mengakui

keterpengaruhannya pada al-Muhasibi. Sedangkan

Junaid al-Baghdadi adalah murid langsung dari al-

Muhasibi. Junaid pun mengakui bahwa pilihan hidup

dan kesukannya pada tasawuf sangat dipengaruhi al-

Muhasibi. Begitu juga dengan sufi-sufi lain yang banyak

mengutip tasawuf al-Muhasibi seperti al-Qusyairi, al-

Sarraj, al-Hujwiri, dan lain-lain.

Perujukan pada tasawuf al-Muhasibi tersebut bisa

dimaklumi karena al-Muhasibi merupakan salah satu

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah

42 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I

ulama yang meletakkan dasar-dasar tasawuf. Ia tak

hanya mendidik para murid melainkan juga menulis

buku. Di antara karyanya yang cukup monumental

adalah al-Ri`ayah li huquq Allah,1 dan al-Washaya.2 Namun,

al-Ri`ayah li Huquq Allah merupakan karya al-Muhasibi

yang paling banyak dirujuk para ulama sufi pasca al-

Muhasibi. Karena itu, membedah kitab tersebut adalah

cukup penting. Namun, sebelum artikel ini menelaah

kitab tersebut, penting kiranya dikemukakan biografi

sosial intelektual al-Muhasibi. Sebab, dengan cara itu

akan diketahui bagaimana pola pembentukan tasawuf al-

Muhasibi, bagaimana konteks sosial yang ikut

mempengaruhi tasawuf al-Muhasibi.

Biografi Singkat Al-Harits ibn Asad al-Muhsibi

Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah al-Harits ibn

Asad al-Muhsibi al-Bashri. Ia dilahirkan di Bashrah, Iraq.

Tentang tahun kelahirannya, Abdul Halim Mahmud tidak bisa

memastikan. Buku-buku sejarah yang mengupas tentang

riwayat hidupnya tidak menyebutkan tahun kelahirannya.

Mereka hanya memperkirakan bahwa al-Muhsibi lahir pada

tahun 165 H. dan wafat tahun 243 H.3

1 Bedakan dengan kitab dengan judul yang hampir mirip, yaitu al-

Ri`yah bi Huquq Allah karya Muhammad ibn Hadhrawih. Kitab al-

Ri`ayah li Huquq Allah karya al-Muhasibi ini belakangan diedit oleh

Abdul Qadir Ahmad `Atha. Baca al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah,

Beirut-Lebanon, Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, Tanpa Tahun.

2 Kitab al-Washaya karya al-Muhasibi ini belakangan diedit oleh

Abdul Qadir Ahmad `Atha. Baca al-Muhasibi, al-Washaya, Beirut-

Lebanon, Dar al-Kutub al-`Ilmiyah, 1986. 3 Abdul Halim Mahmud pada pengantar Abi Abdillah al-Harits

al-Muhsibi, al-Riayah li huquq Allah, Kairo: Dr al-Marif, 1984, hlm. 6.

Untuk mengetahui secara agak lengkap tentang al-Muhasibi mulai dari

Abdul Moqsith

ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 43

Jika al-Muhasibi lahir tahun itu, maka itu berarti al-

Muhasibi hidup pada zaman keemasan Islam dimana ilmu

pengetahuan berada pada puncak kejaannya. Di era itu semua

disiplin ilmu tumbuh dan berkembang, bukan hanya teologi,

fikih, ushul fikih, fikih, dan tasawuf melainkan juga sastra dan

seni. Sebab, pada era ini para khalifah ikut mendorong

pengembangan ilmu pengetahuan. Lahir tahun 165-243 H./781-

837 M, maka itu berarti al-Muhasibi hidup di era kekhalifahan

al-Mahdi (775-785 M.), al-Hadi (785-786 M.), Harun al-Rasyid

(786-909 M.), al-Amin (809-813), al-Mamun (813-833 M.), dan

al-Mutashim (833-842). Ia beruntung hidup di era itu.

Sebagaimana diketahui, dari deretan para khalifah

tersebut, Harun al-Rasyid dan al-Mamun adalah dua khalifah

yang getol menyemarakkan penerjemahan buku-buku

berbahasa Yunani ke dalam bahasa Islam dan yang paling kuat

mendorong penulisan karya-karya akademik tinggi.4 Jika pada

saat Harun al-Rasyid menjadi khalifah, al-Muhasibi baru

berumur 5 tahun5, maka pada saat al-Mamun menjadi khalifah

al-Muhasibi sudah berumur 32 tahun, usia yang sudah matang

baik secara psikologis maupun intelektual.

Memperhatikan tahun kelahiran dan kematian al-

Muhasibi, maka al-Muhasibi sesungguhnya satu generasi

dengan para pendiri madzhab fikih Islam. Imam Ahmad ibn

Hanbal lahir tahun 164 H. dan wafat tahun 241 H., itu berarti

al-Muhasibi lebih muda satu tahun dari Imam Ahmad ibn

biografinya sampai dengan ajaran-ajaran tasawufnya, baca Abdul Halim

Mahmud, Ustadz al-Sairin al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, Kairo: Dr al-

Kutub al-Haditsah, 1973.

4 Kautsar Azhari Noer, al-Riayah Li Huquq Allah al-Muhasibi,

dalam Kautsar Azhari Noer (editor), Warisan Agung Tasawuf: Mengenal

Karya Besar Para Sufi, Jakarta: Sadra, 2015, hlm. 7.

5 Abdul Halim Mahmud, Ustadz al-Sairin al-Harits ibn Asad al-

Muhasibi, hlm. 34.

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah

44 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I

Hanbal. Sementara dengan Imam Syafii, al-Muhasibi lebih

muda 15 tahun karena Imam Syafii lahir tahun 150 H. dan

wafat tahun 204 H. Walau usianya terpaut jauh, al-Muhasibi

masih mengikuti zaman Imam Malik karena Imam Malik wafat

tahun 179 H. dan lahir tahun 93 H. Itu berarti , ketika Imam

Malik wafat, al-Muhasibi sudah berumur 14 tahun. Hanya al-

Muhasibi tidak mengikuti zaman Imam Abu Hanifah karena

Imam Abu Hanifah wafat tahun 150 H. bersamaan dengan

lahirnya Imam Syafii.6

Al-Muhasibi juga hidup dalam satu era dimana diskursus

ilmu Kalam cukup semarak diselenggarakan. Al-Muhasibi

sezaman dengan tokoh-tokoh Muktazilah seperti Abu al-

Hudzail al-`Allaf yang wafat tahun 226 H., Ibrahim al-

Nazhzham yang wafat tahun 231 H. Juga hidup sezaman

dengan a-Jahizh yang wafat tahun 225 H. Ia juga hidup

sezaman dengan seorang penyair besar bernama, Abu Nuwas

(l.145 H./747 M.- w. 190 H./806 M.). Sementara dalam bidang

tasawuf, ia hidup sezaman dengan Maruf al-Karkhi (l. 165

H./781 M.-w. 200 H./815), Bisyr ibn al-harits al-Hafi (l.

150H./767 M.-w. 227 H./841), dan al-Siri al-Saqathi (l.153 H./800

M.- w. 254 H./898 M.).

Bersama para sufi abad kedua ini, al-Muhasibi memiliki

andil besar dalam meletakkan fondasi tasawuf Islam. Hanya

beda dengan Sirri al-saqathi yang tak membuat karya

akademik, al-Muhasibi menulis banyak buku. Secara umum

buku tasawufnya berisi renungan dan refleksi diri yang

didasarkan pada al-Quran dan hadits. Konon ia diberi nama

6 Abdul Halim Mahmud, Ustadz al-Sairin al-Harits ibn Asad al-

Muhasibi, Kairo: Dar al-Maarif, 1992, hlm. 34-35.

Abdul Moqsith

ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 45

al-Muhsibi karena ia senantiasa melakukan introspeksi diri

(muhsabah al-nafs).7

Al-Muhasibi lahir dari keluarga kaya. Ketika

ayahandanya meninggal dunia, sang ayah mewarisi tujuh

puluh ribu dirham uang. Namun, al-Muhasibi tak mengambil

bagian dari harta peninggalan ayahandanya itu. Ini, menurut

Abdul Halim Mahmud, disebabkan perbedaan pemikiran

antara sang ayah dan sang anak. Al-Muhasibi tak mau

mengikuti pemikiran ayahandanya yang mengikuti pemikiran

Muktazilah. Al-Muhasibi berbeda pandangan dengan ayahnya.

Jika sang ayah mengagungkan rasionalisme murni, maka sang

anak mendambakan kebersihan hati melalui perpaduan antara

rasionalisme dan spiritualisme. Abdul Halim Mahmud

menambahkan, keengganan al-Muhasibi mengambil warisan

orang tuanya sebagai salah satu usahanya untuk

membersihkan hati dari syubhat.8

Kecenderungannya pada spiritualisme terus bergelora.

Al-Muhasibi merasa tak cukup hanya belajar di Bashrah. Umur

20 tahun, ia pindah ke Baghdad. Saat itu Baghdad memang

7 Ibnu al-Mulaqqin, Thabaqt al-Auliya`, Kairo: Dr al-Talif, Tanpa

Tahun, hlm. 175.

8 Abdul Halim Mahmud pada pengantar Abi Abdillah al-Harits

al-Muhasibi, al-Ri ayah li huquq Allah, hlm. 6. Sebelum ayahanda al-

Muhasibi wafat, sebuah kisah menarik dikemukakan Abu Ali ibn

Khairan al-Faqih. Suatu waktu Abu Ali ibn Khairan melihat Abu

Abdillah al-Haraits ibn Asad sedang bersandar pada pintu bangunan

yang ada di tengah jalan, sementara banyak orang berkerumun di sekitar

al-Muhasibi. Lalu al-Muhasibi berkata pada ibunya, thalliq ummi

fainnaka `ala din wa hiya `ala gharihi (ceraikanlah ibuku, sebab engkau

telah menganut satu agama, sedang ibu menganut agama yang lain).

Baca Al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad aw Madinah al-Salam, Beirut-

Lebanon: Dar al-Kutub al-`Arabi, Tanpa Tahun, Jiilid VIII, hlm. 214;

Muhammad Jalal Syaraf, al-Tashawuf al-Islami fi Madrasah Baghdad,

Iskandariyah: Dar al-Mathbu`at al-Jami`iyah, 1972, hlm. 195.

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah

46 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I

menjadi pusat ilmu, bukan hanya ilmu yang bertumpu pada

argumen-argumen rasional melainkan juga ilmu yang bertitik

tekan pada pembersihan hati. Dengan perkataan lain, Baghdad

bisa menampung dua kekuatan ilmu; ilmu yang berbasis pada

rasionalisme dan ilmu yang berbasis pada spiritualisme.

Dengan tujuan untuk pendalaman ilmu-ilmu sipiritualnya, al-

Muhasibi memilih untuk tinggal di Baghdad.9

Walau lahir dari keluarga kaya raya, al-Muhasibi memilih

hidup sederhana. Al-Junaid menceritakan tentang seringnya

menyaksikan kesederhanaan al-Muhasibi. Suatu waktu al-

Junaid menyaksikan wajah al-Muhasibi yang lesu karena

kelaparan. Al-Junaid berkata, wahai pamanku jika engkau

datang ke rumahku, maka engkau akan mendapati makanan.

Lalu al-Junaid menyediakan makanan untuk sang guru. Duduk

di samping al-Muhasibi, al-Junaid menyaksikan al-Muhasibi

yang kesulitan memasukkan makanan ke dalam mulut.

Makanan itu ia muntahkan dan dia pergi meninggalkan al-

Junaid tanpa berkata satu kata pun. Keesokan harinya, ketika

bertemu al-Muhasibi, al-Junaid bertanya, kenapa kemarin

engkau tak bisa makan?. Al-Muhasibi menjawab demikian:

Artinya: Wahai anakku, sesungguhnya kebutuhan (terhadap

makanan) sudah mendesak. Saya sudah berusaha untuk

9 Hamdani Anwar, Sufi al-Junaid, Jakarta: Fikahati Aneska, 1995,

hlm. 25.

Abdul Moqsith

ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 47

memakan makanan yang engkau bawa untukku. Tapi,

antara aku dan Allah tampaknya sudah ada tanda. Jika

makanan itu tak diridhai, maka aku akan kesedak dan

jiwaku tak bisa menerima. Maka aku lemparkan satu suap

makanan itu di gang rumahmu lalu aku pergi.10

Begitulah cara Allah menjaga al-Muhasibi. Dia bukan tak

mampu membeli makanan dan al-Muhasibi memang tak

tergolong orang miskin. Bahkan, menurut al-Junaid, rumah al-

Muhasibi jauh lebih luas dari rumah al-Junaid. Di rumah al-

Muhasibi tersedia beragam makanan. Tapi, tak setiap makanan

yang tersaji dikonsumsi al-Muhasibi. Dia memilih menjadi sufi

dengan melupakan urusan-urusan duniawi yang mengganggu

komunikasinya dengan Allah. Al-Muhasibi berkata:

Artinya: Meninggalkan harta benda dunia tapi masih

mengingatnya merupakan sifat orang-orang zuhud.

Sedangkan meninggalkan harta benda dunia sambil

melupakannya merupakat sifat orang-orang `arifin (orang

yang makrifat kepada Allah).11

Namun, itu tak berarti al-Muhasibi membenci harta.

Menurutnya, zuhud tak identik dengan kemiskinan. Banyak

juga orang kaya yang zuhud dan tak semua orang miskin itu

zahid. Ia berkata:

10 Al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad aw Madinah al-Salm,

Jiilid VIII, hlm. 213-214.

11 Al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad aw Madinah al-Salm,

Jiilid VIII, hlm. 213.

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah

48 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I

Artinya: Zuhud tak berarti menghancurkan kepemilikan

pribadi. Zuhud adalah perbuatan hati yang dibenarkan

anggota badan (tangan). Sebab, banyak orang miskin

yang serakah. Dan tak sedikit juga orang kaya yang

zuhud.12

Ini menunjukkan tahap kematangan spiritual al-Muhasibi.

Jika sebelumnya ia terkesan anti kekayaan, maka dalam

perkembangannya ia tak meletakkan kezuhudan pada ukuran-

ukuran lahiriah semata-mata. Zuhud baginya ada di dalam hati

yang memantul ke dalam tindakan jasmani. Menurut al-

Muhasibi, banyak orang kaya yang hatinya tak terpaut pada

harta. Sementara tak sedikit orang miskin yang serakah pada

harta sehingga tak disebut sebagai zahid.

Kematangan spiritual al-Muhsibi mengantarkan yang

bersangkutan mendapatkan kedudukan terhormat di kalangan

sufi lain. Banyak ulama dan para sufi Baghdad belajar pada al-

Muhasibi. Di antaranya adalah Abu al-Abbas ibn Masruq al-

Thusi (w. 299 H.) dan Junaid al-Baghdadi (w. 298 H.). Tentu al-

Muhasibi bukan satu-satunya rujukan para sufi Baghdad. Di

samping al-Muhasibi, al-Siri al-Saqathi tak bisa diabaikan, dan

al-Muhasibi memang sahabat al-Siri al-Saqati. Al-Muhsibi

sering berkunjung ke rumah al-Saqati. Demikian juga

sebaliknya. Seringnya berkunjung ke rumah al-Saqathi--

berdiskusi dan sekaligus bertemu dengan al-Junaid--maka al-

Muhsibi dapat mengenal al-Junaid dengan baik.

12 Majdi Muhammad Ibrahim, Abu al-`Abbas al-Mursi: Madzhabuhu

wa Arauhu al-Shufiyyah, Beirut: Books Publisher, 2014, hlm. 19.

Abdul Moqsith

ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 49

Hubungan guru-murid antara al-Muhsibi dan al-Junaid

bermula dari keinginan al-Muhsibi untuk mengajak al-Junaid

jalan-jalan. Di tengah jalan, al-Muhasibi menasehati al-Junaid.

Al-Junaid mengisahkan peristiwa itu demikian:

Artinya: al-Junaid berkata, pada suatu ketika, Harits datang

ke rumah kami dan berkata; Mari keluar jalan-jalan

bersamaku. Aku (al-Junaid) menjawab; Apakah engkau

akan mengajak aku ke luar dari kesendirinku, yang

didalamnya aku merasa tentram, menuju jalan penuh

resiko yang penuh dengan godaan nafsu? Namun, al-

Harits tetap mengajakku; Keluarlah bersamaku dan

jangan takut. Maka aku pun pergi keluar. Jalanan

kosong. Kami hanya melihat pemandangan yang

menyenangkan. Tiba-tiba kami sudah sampai di suatu

tempat diskusi.. Lalu dia memintaku, bertanyalah

tentang sesuatu. Lalu aku menjawab; Aku tidak

mempunyai pertanyaan untuk ditanyakan kepadamu.

Dia berkata lagi; Tanyakan tentang sesuatu yang sedang

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah

50 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I

ada dalam pikiranmu. Kemudian aku menanyakan

semua masalah yang ada dalam pikiranku. Dia pun

langsung menjawab semua pertanyaan yang aku ajukan

saat itu. Lalu ia pulang ke rumah, dan dia menuliskan

semua pertanyaan dan jawaban itu pada kitab-

kitabnya.13

Dari dialog al-Muhasibi dan al-Junaid tersebut, ada dua

hal yang dapat disimpulkan. Pertama, sebagaimana telah

diungkapkan sebelumnya bahwa al-Junaid lebih suka

mengisolir diri ketimbang bergaul dengan masyarakat umum.

Kedua, relasi al-Junaid dengan al-Muhsibi sebagai guru-murid

memiliki hubungan simbiosis mutualistis. Bukan hanya al-

Junaid yang kebetulan berposisi sebagai murid mendapat

tambahan ilmu dari jawaban-jawaban al-Muhsibi, tapi juga al-

Muhsibi yang berperan sebagai guru merasa mendapat

wawasan dan inspirasi baru dari pertanyaan-pertanyaan kritis

al-Junaid.14

Dalam bertasawuf, al-Muhsibi berbeda dengan al-Saqati.

Al-Saqathi dan sebagin besar para sufi meyakini bahwa tujuan

tasawuf adalah bersatu dengan Allah. Bagi al-Muhsibi,

tasawuf adalah ilmu yang lebih banyak berhubungan dengan

akhlaq ketimbang berkaitan dengan tauhid (persatuan dengan

Tuhan), fana` dan syathahat. Dengan demikian, dalam

bertasawuf, al-Muhsibi mengingatkan murid-muridnya agar

13 Su`ad al-Hakim, Taj al-`Arifin: al-Junaid al-Baghdadi, Mesir: Dar al-

Syuruq, 2007, hlm. 90; Abu Na`im al-Ishfahani, Hilyah al-Auliya wa

Thabaqat al-Ashfiya, Mesir: al-Saadah, 1972, Jilid I, hlm. 255-256; Abdul

Halim Mahmud, Ustadz al-Sairin al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, hlm. 10.

Al-Khthib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad aw Madinah al-Salam, Jilid VIII,

hlm. 213; Muhammad Jalal Syaraf, al-Tashawwuf al-Islami Fi Madrasah

Baghdad, hlm. 178.

14 Hamdani Anwar, Sufi al-Junaid, hlm. 26.

Abdul Moqsith

ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 51

menjauhi syathahat, karena syathahat bisa berujung pada

kesesatan.15

Setelah sekian lama mendidik umat dan menulis kitab, al-

Muhasibi meninggal dunia pada tahun 243 H. 16 Beberapa menit

sebelum wafat, al-Muhasibi berbisik kepada Ja`far (anak laki-

laki Abi Tsaur), jika aku melihat sesuatu yang aku sukai, maka

aku akan tersenyum kepadamu. Dan jika aku melihat sesuatu

yang tak aku sukai, kamu pasti akan melihat perubahan di

mukaku. Ja`far berkata, al-Muhasibi tersenyum sebelum

meninggal dunia.17

Namun, ada informasi lain bahwa al-Muhasibi wafat

ketika ia sedang uzlah, dari tahun 232 H.-243 H. Kepergian al-

Muhasibi merupakan kehilangan besar bagi dunia Islam saat

itu. Al-Qusyairi berkata:

Artinya: Al-Muhasibi memang tiak ada tolok bandingnya,

baik ilmu, keilmuan, pergaulan, maupun hal ihwal

kesehariannya.18

15 Hamdani Anwar, Sufi al-Junaid, hlm. 26-27. 16 Abdul Halim Mahmud pada pengantar Abi Abdillah al-Harits

al-Muhasibi, al-Riayah li huquq Allah, Kairo: Dr al-Marif, 1984, hlm. 6.

Untuk mengetahui secara agak lengkap tentang al-Muhasibi mulai dari

biografinya sampai dengan ajaran-ajaran tasawufnya, baca Abdul Halim

Mahmud, Ustadz al-Sairin al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, Kairo: Dr al-

Kutub al-Haditsah, 1973.

17 Al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad aw Madinah al-Salam,

Jilid VIII, hlm. 215.

18 Muhammad Ghallab, al-Tashawwuf al-Muqarin, hlm. 52.

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah

52 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I

Isi dan Kandungan Kitab

Al-Riayah li Huquq Allah adalah salah satu karya al-

Muhasibi. Sebab, al-Muhasibi memiliki karya-karya lain.

Merujuk pada al-Subki dalam Thabaqat al-Syafiiyyah dan al-

Manawi dalam al-Kawakib al-Durriyah, Abdul Halim Mahmud

memperkirakan 200 buku karya al-Muhasibi. Bahkan, ada yang

berkata; 460 buku, yang sebagian besar berbicara ilmu tasawuf

dan suluk. Disebut sebagian besar karena al-Muhasibi juga

menulis buku-buku lain selain tasawuf, seperti fahm al-Quran

dalam bidang ilmu Kalam. Namun, buku ini sudah tak

dijumpai lagi.19

Beberapa buku al-Muhasibi yang masih berbentuk

manuskrip adalah Kitab al-Masail fi al-Zuhd, Fashl min Kitab al-

`Adlmah, Kitab fi al-Muraqabah, Ahkam al-Taubah, Kitab al-`Ilm,

Kitab al-Shabr wa al-Ridla.20 Sedangkan di antara beberapa karya

al-Muhasibi yang sudah dicetak adalah: Pertama, dalam

pengantar al-Riayah li Huquq Allah, Abdul Halim menyebut

karya akademik al-Muhasibi adalah Kitab al-Wahm yang

pertama kali terbit di Mesir tahun 1937. Namun, pada buku

Ustadz al-Sairin al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, Abdul Halim

Mahmud menyebut judul buku al-Muhasibi dengan Kitab al-

Tawahhum.

Kedua, adalah Risalah al-Mustarsyidin. Kitab ini cukup

ringkas hanya berisi petunjuk bagi orang-orang yang ingin

mengenal Allah seperti menjelaskan tentang taubat, taqwa,

khauf (takut pada Allah), sabar, dan ridha atas ketentuan Allah.

Melalui kita ini diketahui bahwa tasawuf al-Muhasibi

disandarkan sepenuhnya pada dalil-dalil al-Quran dan al-

19 Abdul Halim Mahmud, Muqaddimah, dalam al-Muhasibi, al-

Riayah li Huquq Allah, hlm. 11-12.

20 Secara lebih utuh, baca Abdul Halim Muhammad, Ustadz al-

Sa irin al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, hlm. 69-96.

Abdul Moqsith

ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 53

Sunnah. Ketiga, adalah Kitab al-Washaya. Judul lengkapnya

adalah al-Washaya au al-Nashaih al-Diniyah wa al-Nafahat al-

Qudsiyahli Nafi Jami al-Bariyyah. Muhammad Ghallab

menambahkan karya-karya al-Muhasibi; Risalah fi al-Mabadi` al-

`Asyrah al-Mushilah ila al-Saadah, Syarh al-Maain wa Badzl al-

Nashihah, al-Bats wa al-Nasyr, Risalah fiy al-Akhlaq, Mahiyah al-

`aql wa Manah, Risalah fi al-`Azhamah, Risalah fi Fahm al-Shalah.21

Namun, dari beberapa karya al-Muhasibi, kitab al-Riayah

li Huquq Allah adalah yang paling banyak dirujuk. Menurut

Abdul Halim Mahmud, kitab ini dari segi kedalaman

kandungannya laksana Ihya `ulum al-Din bagi al-Ghazali.22

Mahmud al-Nawawi menilai, al-Ri`ayah merupakan kitab

pertama yang menteorisasikan akhlaq.23 Dalam bertasawuf, al-

Muhasibi berbeda dengan al-Saqati. Al-Saqathi dan sebagin

besar para sufi meyakini bahwa tujuan tasawuf adalah bersatu

dengan Allah. Bagi al-Muhasibi, tasawuf adalah ilmu yang

lebih banyak berhubungan dengan akhlaq ketimbang berkaitan

dengan persatuan dengan Tuhan, fana` dan syathahat. Dengan

demikian, dalam bertasawuf, al-Muhasibi mengingatkan

murid-muridnya agar menjauhi syathahat, karena syathahat bisa

berujung pada kesesatan.24

21 Muhammad Ghallab, al-Tashawwuf al-Muqarin, Kairo: Maktabah

Nahdlah, Tanpa Tahun, hlm. 52. Majdi Muhammad Ibrahim, Abu al-

`Abbas al-Mursi: Madzhabuhu wa Arauhu al-Shufiyyah, hlm. 20-21 22 Lebih jauh ia menjelaskan bahwa dalam beberapa hal al-Ghazali

banyak terpengaruh al-Muhasibi. Memang betul, baik dalam al-Munqidz

min al-Dhalal maupun dalam Ihya `Uum al-Din bisa terlihat dengan jelas

pikiran-pikiran al-Muhsibi yang dikutip al-Ghazali. Baca Abdul Halim

Mahmud, Ustadz al-Sairin al-Harits ibn Asad al-Muhasibi, hlm. 23-24. 23Mahmud al-Nawawi, dalam pengantar al-Kalabadzi, al-Taarruf li

Madzhab Ahli al-Tashawuf, Kairo: Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah,

1969, hlm. 17.

24 Hamdani Anwar, Sufi al-Junaid, hlm. 26-27.

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah

54 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I

Perhatiannya pada pembinaan akhlaq mendapat apresiasi

dari ulama lain. Al-Ghazali memuji al-Muhasibi sebagai ulama

tasawuf yang mempunyai andil besar dalam pembinaan moral

umat. Al-Ghazali mengaku bahwa dirinya dipengaruhi al-

Muhasibi. Menurut al-Ghazali, di bidang muamalah, al-

Muhasibi memiliki pengetahuan luas dibanding ulama lain.25

Imam al-Ghazali berkata:

Artinya: Al-Muhasibi adalah orang terbaik di bidang

muamalah. Dia telah melampaui para ulama lain dalam

membahas catat jiwa, bahaya amal dan kebakan

ibadah.26

Fokus membahas akhlaq itu menyebabkan al-Muhasibi

kurang mendapat perhatian dari sufi lain yang berharap

kebersatuan (ittihad/hulul). Namun, al-Muhasibi tak peduli. Ia

tetap pada pendiriannya. Menurut al-Muhasibi, tasawuf adalah

pengetahuan yang dapat dijelaskan akal. Tasawuf bukan ilmu

kebatinan yang spekulatif. Untuk menjadi muslim yang baik,

demikian al-Muhasibi, di samping harus berpatokan pada al-

Quran dan al-Sunnah, seseorang juga harus mempertimbang-

25 Al-Ghazali, al-Munqid min al-Dhalal, Lebanon: Dar al-Fikr, 1996,

hlm. 68.

26 Hasan al-Syafii & Abu al-Yazid al-`Ajami, Fi al-Tashawwuf al-

Islami, Kairo: Dar al-Salam, 2006, hlm. 50-51. Abdul Halim Mahmud pada

pengantar Abi Abdillah al-Harits al-Muhasibi, al-Riayah li huquq Allah,

hlm. 28.

Abdul Moqsith

ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 55

kan kalkulasi akal. Ahmad ibn Muhammad ibn Masruq

mengutip pendapat al-Muhasibi sebagai berikut:

Artinya: Segala sesuatu punya inti. Inti manusia adalah

akalnya. Dan inti akal adalah taufiq (bimbingan dari

Allah).27

Karena itu, menelaah isi dan kandungan kitab al-Riayah

ini sangat bermanfaat terutama bagi umat Islam yang tak bisa

mengakses langsung pada sumber-sumber primer yang belum

diterjemahkan seperti kitab al-Riayah ini. Melalui judul buku al-

Riayah li Huquq Allah tampak perhatian al-Muhasibi pada

pentingnya menjalankan syariat Allah. Terkait dengan judul

buku Memelihara Hak-Hak Allah, al-Muhasibi menjelaskan

di bagian awal buku ini. Dia berkata:

27 Al-Khathib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad aw Madinah al-Salm,

Jilid VIII, hlm. 213. Menarik, nomen klatur akal muncul dari konsep

tasawuf al-Muhasibi. Ini tak bisa lepas dari pengaruh ayahandanya yang

beraliran Muktazilah. Namun, beda sang ayah yang sangat rasional,

dalam pandangan al-Muhasibi adalah piranti untuk menyerap

bimbingan Allah.

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah

56 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I

Artinya: Wajib bagi hamba-hamba Allah mengerjakan apa

yang diwajibkan Allah kepada mereka, baik yang terkait

dengan diri mereka atau orang-orang yang berada dalam

tanggung-jawab mereka. Pemimpin adalah penggembala

umat manusia yang diwajibkan untuk menjaga seluruh

urusan orang-orang gembalaannya, khusus maupun

umum. Perhatikan apa yang dikatakan Umar Ibn Khattab,

sekiranya seekor domba hilang di pinggir sungai Efrat,

akhu khawatir Allah akan meminta pertanggung-jawaban

kepadaku. Setiap yang diwajibkan Allah atas hambanya

baik yang terkait dengan dirinya atau terkait dengan

relasi satu kelompok pada kelompok lain, maka Allah

telah memerintahkan agar mereka menjaga dan

melaksanakannya. Itulah makna dari memelihara hak

Allah yang diwajibkan atas mereka.

Namun, dalam buku ini, al-Muhasibi sebenarnya tak

menjelaskan langsung tentang hak-hak Allah tersebut. Ia

menjelaskan hak-hak Allah itu dalam konteks peningkatan

taqwa dengan membersihkan hati dari riya`, ujub, dan penyakit

hati lain. Kitab al-Riayah yang diedit dengan baik oleh Abdul

Halim Mahmud ini terdiri dari 424 halaman, terdiri dari dari

sembilan bab, yaitu: [1]. Muqaddimah, [2]. Kitab al-riya, [3]. Kitab

al-ikhwan wa ma`rifah al-nafs, [4]. Kitab al-tanbih `ala ma`rifah al-

nafs wa sui af`aliha wa du`aiha ila hawaha, [5]. Kitab al-`ujb, [6].

Kitab al-kibr, [7]. Kitab al-ghurrah, [8]. Kitab al-hasad, [9]. Kitab

tadib al-murid wa siratihi wa tahdzirihi.

Dengan bab-bab tersebut, maka sebagian besar isi dan

kandungan buku ini sesungguhnya lebih berbicara tentang

pentingnya tazkiyah al-nafs. Mungkin bagi al-Muhasibi, sifat-

Abdul Moqsith

ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 57

sifat buruk seperti iri-dengki dan sombong itu bukan hanya

akan mengotori hati melainkan juga akan menjatuhkan

manusia dalam posisi terendahnya (asfala safilin). Ayat al-

Quran menggambarkan manusia seperti itu laksana binatang

bahkan lebih buruk dari binatang. Namun, sebaliknya

sekiranya manusia sanggup menjaga hati dan pikirannya dari

perasaan dan sifat buruk, maka manusia akan naik derajatnya

hingga derajat paling puncak (a`la `illiyin).

Untuk menjaga agar hati seseorang tetap bersih, maka

tahap-tahap pembersihan hati versi al-Muhasibi adalah sebagai

berikut:

Artinya: Dasar ketaatan adalah wara, dasar wara adalah

taqwa, dasar taqwa adalah evaluasi diri, dasar evaluasi

diri adalah takut dan harapan, dasar takut dan harapan

adalah mengetahui janji dan ancaman, mengerahui dasar

janji dan ancaman adalah besarnya balasan, dan dasar itu

semua adalah permenungan dan kemampuan mengambil

pelajaran.28

Bagi al-Muhasibi, semuanya bermula dari ketaatan.

Sedangkan pangkal ketaatan adalah wara` dan fondasi wara`

adalah taqwa. Menurut al-Muhasibi, taqwa adalah

kekhawatiran seseorang jika tak menjauhi apa yang tak disukai

28 Muhammad Jalal Syaraf, al-Tashawwuf al-Islami Fi Madrasah

Baghdad, hlm. 194.

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah

58 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I

Allah. Itu bisa dalam bentuk dua hal, yaitu mengabaikan apa

yang diwajibkan Allah dan melakukan apa yang dilarang Allah

baik ketika sendirian maupun ketika banyak orang. Dengan

perkataan lain, sebagaimana sudah menjadi pandangan umum,

taqwa mencakup pada mengerjakan apa yang diperintahkan

dan menjauhi apa yang dilarang.29 Di lokasi lain, al-Muhasibi

coba membedakan antara al-taqwa dan al-birru. Bagi al-

Muhasibi, al-birru adalah mengerjakan apa yang diperintah-

kan, sedangkan taqwa adalah menjauhi apa yang dilarang. Ini

dikatakan al-Muhasibi, ketika yang bersangkutan menafsirkan

ayat al-Quran, wa ta`awanu `ala al-birri wa al-taqwa (tolong

menolonglah kalian dalam al-birru dan al-taqwa).

Selanjutnya, bagi al-Muhasibi, salah satu bagian dari

taqwa adalah al-wara. Sebab, menurutnya, jika seseorang takut

pada Allah, maka dengan sendirinya dia akan wara`. Dengan

perkataan lain, ketakwaan menimbulkan sikap wara`, yaitu

kehati-hatian dalam bersikap sehingga tak terjatuh ke dalam

syubhat apalagi haram. Sedangkan al-Muhasibi mendefinisikan

wara sebagai menjauhi segala sesuatu yang tak disukai Allah.

Tak seperti para sufi lain, al-Muhasibi tak memisahkan taqwa

dari riya karena riya adalah bagian dari taqwa. Tegas

dikatakan al-Muhasibi, taqwa adalah awwalu manzilah al-`abidin

(kelas paling awal dari hamba-hamba yang sedang menuju

Allah).30 Sebab, sufi yang tak memulai proses pembersihan

hatinya dengan taqwa, ia bisa tertipu. Betapa banyak orang

yang memakai buju lusuh, berpenampilan sederhana, shalat,

puasa, dan lain-lain ternyata yang bersangkutan melakukan itu

semua tidak karena Allah, melainkan karena ingin mendapat

kedudukan tertentu ketika di dunia.

29 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 43.

30 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 41.

Abdul Moqsith

ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 59

Itu sebabnya, setelah membahas mengenai taqwa, al-

Muhasibi membahas pentingnya menjaga hati agar tak

dimasuki unsur-unsur duniawi yang menyebabkan seseorang

jauh dari Allah. Ketika hati seseorang kosong dari Allah, maka

yang bersangkutan tak menyesal atas dosa-dosa yang pernah

dilakukannya. Menurut al-Muhasibi, muatan hati itu ada dua.

Jika hati tak memuat ketakutan pada Allah, maka ia akan

memuat soal-soal dunia. Al-Muhasibi berkata demikian:

Artinya: Hatimu pada waktu itu akan berisi satu dari dua,

yaitu hati yang ketika di dunia hanya berisi rasa takut

kepada Allah dan hati yang ketika di dunia lupa pada

Allah, tertipu tapi merasa aman dengan itu.31

Namun, manusia memang makhluk lemah. Ia tak bisa

sepenuhnya di jalan Allah. Hatinya berubah-ubah, mudah

tergoda pada gemerlap dunia. Akhinya manusia jatuh dalam

dosa. Sekiranya tak tergelincir pada dosa yang bersifat dhahir,

maka kadang manusia tak bisa menghindar dari dosa yang

bersifat bathin (dhamir). Fisik jasmani manusia bisa selamat dari

dosa, tapi kadang hatinya berisi al-kibr (sombong), al-hasad (iri-

dengki), al-syamatah (mencela), suu al-zhan (buruk sangka), al-

`ujb (takjub pada diri sendiri), al-riya (pamer). Setiap hari,

demikian al-Muhasibi, kita hanya menumpuk dosa kemarin

dengan dosa sekarang. Al-Muhasibi berkata:

31 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 40.

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah

60 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I

Artinya: Setiap hari kita selalu memperharui dosa-dosa,

sehingga tak ada waktu berlalu yang kosong dari dosa

berupa dosa badan dan dosa hati berupa kesombongan,

iri-dengki, mencela, buruk sangka, takjub pada diri

sendiri, pamer amal ibadah, dan sebagainya. Hari-hari

datang mengurangi umur kita kecuali kita mengisinya

dengan dosa, baik dosa fisik maupun dosa hati. Pekerjaan

kita seperti menumpuk dosa-dosa, dosa kemarin dengan

dosa sekarang.32

Demikian besar pentingnya menjaga hati sehingga al-

Muhasibi merasa perlu membahas mengenai bahaya riya.

Bahkan, bahasan riya dalam buku ini telah telah mengambil

porsi paling panjang. Bagi al-Muhasibi, riya adalah hasrat

duniawi yang muncul ketika mengerjakan ibadah-ukhrawi.

Misalnya, memamerkan aktivitas ibadah mengandung hasrat

subtil agar pelaku ibadah mendapat kedudukan tinggi di

depan manusia, bukan di hadapan Allah SWT. Dengan

perkataan lain, secara lahir orang riya tampak melakukan

aktivitas ukhrawi, tapi dalam hatinya bersembunyi motif

duniawi.33

32 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 45.

33 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 127.

Abdul Moqsith

ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 61

Riya yang bersemayam dalam hati bisa dihancurkan

dengan memupuk keikhlasan secara terus menerus. Dan ikhlas

ini adalah satu kedudukan spiritual yang hanya bisa dicapai

orang yang tekun ibadah kepada-Nya.34 Suatu waktu Nabi

SAW ditanya tentang makna keselamatan. Nabi SAW

menjawab bahwa keselamatan itu sekiranya engkau

mengerjakan sesuatu karena Allah bukan karena manusia (

). Lalu laki-laki itu bertanya lagi, bagaimana

tips agar amal ibadah dirinya bisa selamat? Nabi SAW

menjawab, jauhi riya.35

Walau begitu, riya tak bisa dihilangkan begitu. Ia bisa

masuk pada siapa saja. Alkisah, pada zaman Nabi SAW pernah

hidup tiga orang laki-laki. Yang pertama, adalah orang mati di

jalan Allah. Kedua, orang rajin bersedekah. Ketiga, orang yang

selalu membaca dan mengkaji kitab Allah. Tapi kelak di akhirat

Allah berkata pada mereka. Pada yang pertama, Allah berkata,

engkau bohong. Engkau hanya ingin disebut sebagai lai-laki

pemberani. Pada yang kedua Allah berkata, engkau hanya

ingin disebut laki-laki dermawan. Pada yang ketiga Allah

berkata, engkau hanya ingin disebut laki-laki yang alim.

Tentang tiga laki-laki itu, Nabi SAW bersabda, mereka adalah

tiga orang pertama yang masuk neraka. Riya di hati mereka

telah menghapus seluruh pahala ibadahnya ketika di dunia. 36

Al-Muhasibi menggambarkan orang ikhlas itu seperti

gambaran Allah dalam al-Quran surat al-Insan [76]: 9,

sesungguhnya kami memberi makanan kepada kalian

hanyalah karena mengharapkan kerelaan Allah, kami tidak

mengharap balasan dan terima kasih dari kalian. Dalam

menafsirkan ayat tersebut, al-Muhasibi mengutip tafsir al-

34 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 129.

35 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 131.

36 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 132.

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah

62 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I

Imam Mujahid yang menyatakan bahwa perkataan seperti

dalam ayat itu terucap di hati mereka bukan di lisan mereka.

Dengan itu, mereka beramal saleh karena Allah bukan riya

pada manusia. Menurut al-Muhasibi, riya adalah beribadah

karena manusia bukan karena Allah (

). 37

Al-Muhasibi membagi riya ke dalam dua bagian.

Pertama, adalah riya besar (a`zhamu wa asyaddu), yaitu ketika

seseorang beribadah semata berharap pujian dari manusia dan

tak muncul niat mencari ridha Allah. Kedua, adalah riya kecil

(adna wa aysar), yaitu orang beribadah karena manusia tapi

tetap berharap pahala dari Allah. Riya kedua ini disebut syirk

kecil. Tentang riya kedua ini, Thawus menceritakan sebab

turun ayat al-Quran. Dikisahkan, seorang laki-laki datang pada

Nabi SAW. Ia bertanya tentang sedekah yang dilakukan

dengan maksud ganda; ingin dipuja dan ingin pahala. Nabi

SAW tak tahu jawabnya, lalu turunlah al-Quran surah al-Kahfi

*18+: 110 sebagai jawabannya, Katakanlah (Muhammad),

Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang

telah meneria wahyu, bahwa Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha

Esa. Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya,

maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia

mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada

Tuhannya. 38

Orang riya biasanya mengidap penyakit iri-dengki. Ia

tidak suka sekiranya orang lain mendapat pujian masyarakat.

Ia ingin agar kebaikan pada orang lain itu hilang dan pujian

hanya datang padanya.39 Orang riya suka pamer ibadah.

Karena itu, secara lebih jauh al-Muhasibi berkata bahwa ibadah

37 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm.132-133.

38 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 134-135.

39 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 178.

Abdul Moqsith

ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 63

yang dilakukan sembunyi-sembunyi lebih utama dari ibadah

yang dilakukan terang-terangan. Sebab, ibadah terang-terangan

(`alaniyah) lebih mudah memerosokkan pelakunya pada riya.

Karena itu, menurut al-Muhasibi, jika memungkinkan,

seyogyanya seseorang menyembunyikan amal ibadahnya.

Namun, jika tak memungkinkan beribadah secara sembunyi,

maka beribadah terang-terangan tak masalah asal tetap

dilakukan ikhlas karena Allah. Sebab, menurut al-Muhasibi,

bagaimanapun beribadah terang-terangan lebih baik daripada

tak beribadah.40

Namun, penting diwaspadai, melaksanakan ibadah

mahdhah seara terbuka tak hanya menyebabkan yang

bersangkutan jatuh pada riya melainkan juga pada saat yang

sama ia bisa jatuh pada ketakjuban pada diri sendiri (al-`ujb)

dan kesombongan (al-kibr). Al-Muhasibi menjelaskan beberapa

hal yang menyebabkan kesombongan yang kelak dielaborasi

rinci dalam buku-buku al-Ghazali. Pertama, karena amal-

ibadahnya.41 Mereka takjub pada amal ibadah dirinya, lalu

merendahkan orang lain yang tak bisa beribadah seperti

dirinya.42 Al-Ghazali memasukan mereka sebagai golongan

orang-orang yang tertipu (al-maghrurin). Mereka beribadah

bukan karena Allah melainkan untuk merendahkan manusia.43

Kedua, sombong karena ilmu.44 Dengan detail al-Ghazali

menjelaskan jenis-jenis ulama yang tertipu karena ilmunya.

Menurut al-Ghazali, ulama yang menguasai secara mendalam

ilmu-ilmu syariyyah dan `aqliyah bisa tertipu. Mereka

40 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 207.

41 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 269.

42 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 271.

43 Al-Ghazali, Ashnaf al-Maghrurin: al-Kasyf wa al-Tabyin fi Ghurur

al-Kahlq Ajma`in,, Kairo: Maktabah al-Quran, 1986, hlm. 53-59.

44 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 269.

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah

64 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I

menyangka bahwa dengan ilmunya itu mereka tak akan disiksa

oleh Allah. Padahal, ilmu yang dimilikinya itu kelak akan

dipertanggung-jawabkan di hadapan-Nya. Al-Ghazali

mengingatkan mereka pada sabda Rasulullah SAW, inna

asyadda al-nas `adzaban yauma al-qiyamah `alim lam yanfa`hu Allah

bi `ilmihi (sesungguhnya orang yang paling pedih siksanya di

hari kiamat nanti adalah siksa bagi orang alim yang ilmunya

tak bermanfaat).45

Ketiga, sombong karena harta. Orang kaya yang bisa

memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya potensial

sombong. Ia bisa merendahkan orang fakir dan miskin. Sebagai

digambarkan al-Quran, mereka dengan angkuh berkata,

nahnu aktsaru amwalan wa auladan (kami adalah yang paling

banyak harta dan anak-anak).46 Kesombongan itu secara subtil

bisa masuk pada orang kaya yang sedang membangun masjid,

madrasah, dan pesantren. Orang kaya itu akhirnya

mematenkan namanya di atas monumen di depan bangunan

untuk dikenang sebagai seorang dermawan. Mereka

menyangka bahwa dengan membangun rumah ibadah dan

pesantren itu, mereka akan mendapat ampunan Allah. Padahal,

kata al-Ghazali, mereka sedang tertipu karena dua hal. [a].

mereka memperoleh harta itu dengan cara haram. Padahal,

Allah mengharamkam pemerolehan harta dengan cara haram.

[b]. mereka menyangka bahwa dirinya akan mendapat pahala,

padahal ia menyembunyikan niat selain Allah, yaitu

kemasyhuran nama dan pujian manusia.47

Keempat, sombong karena nasab-keturunan. Ketinggian

nasab dan kemulian orang tua bisa menimbulkan sikap

sombong. Alkisah, al-Harits ibn Hisyam, Suhail ibn `Amr, dan

45 Al-Ghazali, Ashnaf al-Maghrurin, hlm. 36-37.

46 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 294.

47 Al-Ghazali, Ashnaf al-Maghrurin, hlm. 61.

Abdul Moqsith

ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 65

Khalid ibn Usaid pernah menolak Bilal ibn Rabah yang sedang

adzan di Kabah. Al-Harits ibn Hisyam berkata, mengapa

budak hitam seperti Bilal ibn Rabah ini adzan di Kabah.

Sebagai teguran terhadap mereka, maka turunlah firman Allah

dalam al-Quran, inna akramakum `inda Allah atqakum

(sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang

paling takwa di antara kalian). Nabi SAW menegaskan,

sebagaimana dikutip al-Muhasibi, semua kalian adalah anak

keturunan Adam dan Adam berasal dari tanah (kullukum banu

Adam wa Adam min turab).48

Kelima, sombong karea banyak pengikut. Allah pernah

menegur para sahabat Nabi SAW yang sombong dengan

banyaknya pasukan Islam dalam perang Hunain. Mereka

merasa tak akan kalah dalam perang itu. Mereka tak lagi

bersandar pada Allah, melainkan pada banyaknya pengikut

dan pasukan Islam. Allah memberi pelajaran kepada mereka;

umat Islam kalah dalam perang ini.49 Disebutkan dalam al-

Quran Surah al-Taubah *9+: 25, Sungguh, Allah telah menolong

kamu (mukminin) di banyak medan perang, dan (ingatlah) Perang

Hunain, ketika jumlahmu yang besar itu membanggakan kamu, tetapi

(jumlah yang banyak itu) sama sekali tidak berguna bagimu dan bumi

yang luas itu terasa sempit bagimu, kemudian kamu berbalik ke

belakang dan lari tunggang langgang.

Keenam, sombong karena kekuatan fisik atau kebesaran

kekuasaan. Mereka lupa, kekuatan fisik dan kebesaran kuasa

itu semuanya dari Allah bukan dari dirinya. Al-Quran

menyontohkan kaum `Ad sebagai kaum sombong ketika

mereka berkata, man asyaddu minna quwwatan (siapa yang

lebih kuat dari kami.50 Ketujuh, sombong karena

48 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 288-289.

49 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm. 292.

50 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm.285.

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah

66 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I

kesempurnaan fisik. Mereka lupa bahwa ketampanan,

kecantikan, kemerduan suara adalah pemberian Allah, juga tak

berasal dari dirinya. 51

Pada akhirnya, jika diperhatikan, maka seluruh bahasan

mengenai bahaya riya, `ujub, kibr, dan iri-dengki ini dikerahkan

al-Muhasibi dalam rangka membentuk umat Islam yang benar-

benar taqwa kepada Allah (haqqa tuqatihi) sehingga dapat

memelihara hak-hak Allah (al-Riayah li huquq Allah) seperti

tercermin pada judul buku al-Muhasibi ini. Itulah beberapa

ajaran pokok tasawuf al-Muhasibi seperti dalam kitab al-Ri`ayah

li Huquq Allah.

Penutup

Demikian pokok-pokok ajaran tasawuf al-Muhasibi.

Membaca bab per bab al-Ri`ayah li Huquq Allah karya al-

Muhasibi ini akan tampak bahwa corak tasawuf al-Muhasibi

bukan falsafi sebagaimana corak tasawuf Abu Manshur al-

Hallaj, Muhyiddin Ibnu Arabi, Suhrawardi, dan lain-lain.

Corak tasawuf al-Muhasibi adalah corak tasawuf khuluqi-`amali.

Tak ditemukan dalam kitab ini bahasan filosofis yang menjadi

menjadi ciri utama tasawuf falsafi. Al-Muhasibi tak berbicara

tentang ma`rifah seperti Dzunnun al-Mishri, fana-baqa dan

ittihad seperti Abu Yazid al-Busthami, al-hulul seperti Abu

Manshur al-Hallaj, dan wihdatul wujud seperti Muhyiddin Ibn

Arabi.

Ciri pokok tasawuf khuluqi-`amali adalah kemampuan

para perumusnya untuk melandaskan tasawuf pada dalil-dalil

al-Quran dan al-Sunnah. Itu sebabnya, dalam kitab al-Ri`ayah li

Huquq Allah ini banyak dijumpai kutipan ayat al-Quran dan

hadits Nabi SAW. Corak tasawuf inilah yang mempengaruhi

tasawuf pasca al-Muhasibi seperti pada sebagian tasawuf

51 Al-Muhasibi, al-Ri`ayah li Huquq Allah, hlm.285.

Abdul Moqsith

ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 67

Junaid al-Baghdadi, al-Qusyairi, Imam al-Ghazali, al-Sarraj, al-

Hujwiri, dan lain-lain. Al-Junaid pernah berkata, tasawufku

ini terikat pada dalil-dalil al-Quran dan al-Sunnah.

Di Indonesia, sekalipun nama al-Muhasibi tak cukup

populer, tapi ajaran tasawufnya sudah banyak dikenal melalui

karya sufi-sufi lain seperti Imam al-Ghazali, Junaid al-

Baghdadi, dan lain-lain. Dengan demikian, jika disimpulkan

secara sederhana, tasawuf yang berkembang di Indonesia

sesungguhnya adalah tasawuf al-Muhasibi. *

Kajian Tasawuf al-Harits ibn Asad al-Muhasibi Studi Kitab al-Ri`ayah li Huquq Allah

68 ISTIQRO Volume 15, Nomor 01, 2017 I

.