KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN...

download KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN …pse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_06.pdf · Semoga laporan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

If you can't read please download the document

Transcript of KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN...

  • LAPORAN KEGIATAN KAJIAN ISU-ISU AKTUAL KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN 2013

    KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN LOKAL

    Oleh:

    Mewa Ariani Hermanto

    Gatoet Sroe Hardono Sugiarto

    Tonny Sulistiyo Wahyudi

    PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

    BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

    PERTANIAN

    2013

  • I

    KATA PENGANTAR

    Mewujudkan ketahanan pangan nasional yang tertumpu pada kemandirian

    dan kedaulatan pangan telah menjadi komitmen pemerintah dalam rangka

    pembangunan ekonomi dan pertanian domestik. Ketahanan pangan dibangun

    berdasarkan sumberdaya, kelembagaan, dan budaya lokal yang bertujuan untuk

    meningkatkan keanekaragaman produksi dan konsumsi pangan lokal yang

    bergizi dan aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

    Pemerintah menetapkan kebijakan Percepatan Penganekaragaman

    Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal yang ditindaklanjuti dengan

    Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya

    Lokal oleh Kementerian Pertanian dengan target terjadi penurunan konsumsi

    beras sebesar 1,5 %/tahun dan kenaikan skor Pola Pangan Harapan (PPH)

    sebesar 1/tahun. Hal ini berarti pola pangan masyarakat Indonesia harus

    berdiversifikasi tidak hanya pangan pokok yang bertumpu pada beras tetapi juga

    diversifikasi pangan secara luas. Potensi pangan lokal sumber karbohidrat di

    Indonesia telah banyak dan beragam jenisnya seperti jagung, ubikayu, ubijalar,

    sagu, adung, gembili, pisang, sukun, talas dan lain-lain. Pangan ini dapat

    dikembangkan sebagai upaya mempercepat diversifikasi pangan.

    Pada tahun 2013, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

    melaksanakan kajian Strategi Pengembangan Diversifikasi Pangan Lokal.

    Kajian ini termasuk dalam ranah kegiatan Analisis Kebijakan. Hasil kajian ini

    diharapkan sebagai bahan penyempurnaan kebijakan pangan terutama dikaitkan

    dengan diversifikasi pangan. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua

    pihak dan tim yang telah membantu dari persiapan dan sampai tersusunnya

    laporan. Semoga laporan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.

    Bogor, Desember 2013

    Kepala Pusat

    Dr. Ir. Handewi Purwati Saliem.MS

    NIP. 19570604 198103 2 001

  • II

    DAFTAR ISI

    Halaman

    KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ..................

    DAFTAR TABEL .......... DAFTAR GAMBAR .........

    i ii

    iii vi

    I. PENDAHULUAN . 1 1.1. Latar Belakang

    Dasar Pertimbangan Tujuan Penelitian ... Keluaran Penelitian ............

    Perkiraan Manfaat dan Dampak .............

    1

    1.2. 4 1.3. 6 1.4. 7

    1.5. 7

    II. TINJAUAN PUSTAKA .. 7 2.1. Kerangka Teoritis . 7

    2.2. Hasil-Hasil Penelitian Terkait .. 9

    III. METODOLOGI .. 12

    3.1. Kerangka Pemikiran . 12 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan .. 13

    3.3. Lokasi Penelitian ........................ 13 3.4. Data dan Metode Analisis . 14

    3.4.1. Jenis dan Sumber Data . 14 3.4.2. Metode Analisis . 14

    IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............... 15 4.1. Potensi dan Capaian Produksi Pangan Lokal ........ 15

    4.1.1. Potensi Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan ....................................................

    15

    4.1.2. Perkembangan Harga Gabah, Jagung,

    Ubi Kayu dan Ubi Jalar ................................

    39 4.1.3. Kebijakan, Program, Permasalahan dan

    Tantangan Produksi Pangan ......................

    42 4.2. Pola Konsumsi Pangan Lokal .... 44

    4.2.1. Pangsa Pengeluaran Pangan ... 44 4.2.2. Konsumsi Energi dan Protein Serta

    Diversifikasi Konsumsi Pangan ...... 45 51

    4.2.3. Tingkat Konsumsi Pangan ............ 59 4.2.4. Kebijakan, Program, Permasalahan dan

    Tantangan Pola Konsumsi Pangan ......

    63

    4.3. Industri Pengolahan dan Produk Pangan Lokal ............ 68

  • III

    4.3.1. Industri Pengolahan Pangan Lokal ...... 68 4.3.2. Teknologi Pengolahan Pangan .............. 82

    4.3.3. Produk dan Harga Pangan ....................... 84 4.4.

    4.5.

    Kebijakan Program, Permasalahan dan Tantangan

    Teknologi Industri Pangan .................. Strategi Pengembangan Diversifikasi Pangan ..............

    88 91

    4.5.1. Identifikasi Unsur SWOT ... 91 4.5.2. Alternatif Kebijakan Untuk Pengembangan

    Program ...................................................

    101

    V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN . 103

    5.1. Kesimpulan .. 103 5.2. Implikasi Kebijakan 107

    DAFTAR PUSTAKA . LAMPIRAN .................................

    109 110

  • IV

    DAFTAR TABEL

    Tabel Halaman

    2.1.

    4.2.1.

    4.2.2. 4.2.3.

    4.2.4. 4.2.5.

    4.2.6.

    4.2.8. 4.2.9.

    4.2.10

    4.2.11

    4.2.12

    4.2.13

    4.2.14

    4.2.15

    4.2.16

    4.3.1.

    4.3.2.

    4.3.3.

    4.3.4. 4.3.5.

    4.3.6. 4.3.7.

    Distribusi Propinsi Menurut Pola Konsumsi Makanan Pokok Tahun 1979, 1984 dan 1996 . Dinamika Pangsa Pengeluaran Pangan Nasional (%) ..

    Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Pulau (%) ... Pangsa Pengeluaran Padi-padian Menurut Pulau ....

    Pangsa Pengeluaran Umbi-umbian Menurut Pulau (%) .......... Distribusi Propinsi Menurut Tingkat Konsumsi Energi dan Protein 2012 ..................................................................

    Konsumsi Energi, Protein dan Skor PPH Provinsi Banten .......................................................

    Pencapaian Skor PPH .. .. Distribusi Propinsi Berdasarkan Perubahan Skor PPH

    (2005 dan 2012) .......................................................... Pola Pangan Masyarakat, 2011 dan 2012 Gram/Kapita/Hari) ........................................................

    Perkembangan Pola Konsumsi Pangan Pokok Di Indonesia Di Indonesia ..

    Tingkat Konsumsi Pangan: Beras, Umbi-umbian dan Terigu Menurut Wilayah (Kg/Kap/Th) ......

    Rata-rata Tingkat Konsumsi Beras dan Terigu Menurut Pulau (Kg/Kap/Th) ..................................... Rata-rata Tingkat Konsumsi Jagung, Ubikayu dan Ubijalar

    Menurut Pulau (Kg/Kap/Th) ......................................... Rata-rata Tingkat Konsumsi Sagu dan Umbi Lainnya

    Menurut Pulau (Kg/Kap/Th) ........................................... Perkembangan Kebijakan/Program/Kegiatan Diversifikasi Konsumsi Pangan ................................................................

    Kinerja Umum Industri Besar dan Sedang Tahun 2007 2011 .....................................................................

    Jumlah Industri Pangan, Penyerapan Tenaga Kerja dan Nilai Tambah .....................................................................

    Beberapa Produk Industri Pengolahan Padi, Palawija, Kacang- Kacangan, Umbi-umbian dan Pangan Sumber Karbohidrat Lain 2011 .........................................................................

    Beberapa Produk Industri Pangan Hewan 2011 .. Beberapa Produk Industri Pangan Nabati .............

    Beberapa Produk Industri Sayur Buah ......... Beberapa Produk Industri Minyak, Lemak dan

    Produk Turunannya ............................................................

    11 46

    47 50

    51

    55

    57

    58

    58

    58

    60

    61

    61

    62

    62

    67

    73

    75

    76

    77 78

    78

    79

  • V

    4.3.8.

    4.3.9.

    4.3.10 4.3.11

    4.4.1.

    4.4.2.

    4.4.3.

    4.4.4.

    Beberapa Produk Industri Gula, Produk Turunan Gula,

    Dan Pemanis Lain .............................................................. Beberapa Produk Industri Minuman dan Penyegar Lain ..........

    Beberapa Produk Industri Pangan Lainnya ............................ Rataan Harga Produsen Beberapa Jenis Komoditas Pangan ....

    Matrik Urgensi Internal Dalam Pengembangan Diversifikasi Pangan ........................................................... Matrik Urgensi Eksternal Dalam Pengembangan

    Diversifikasi Pangan ........................................................... Nilai Keterkaitan Antara Faktor Internal dan Eksternal

    Pengembangan Diversifikasi Pangan .................................... Formulasi Strategi Pengembangan Diversifikasi Pangan Berdasarkan Evaluasi Faktor Internal Eksternal .................

    80 81

    81 87

    97

    97

    99

    100

  • VI

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar Halaman

    4.1.1. 4.1.2. 4.1.3.

    4.1.4.

    4.1.5. 4.1.6. 4.1.7.

    4.1.8.

    4.1.9. 4.1.10.

    4.1.11.

    4.1.12. 4.1.13.

    4.1.14.

    4.1.15.

    4.1.16.

    4.1.17.

    4.1.18.

    4.1.19.

    4.1.20.

    4.1.21.

    4.1.22. 4.1.23.

    4.1.24.

    4.1.25.

    4.1.26.

    Perkembangan Produksi Padi Indonesia 2000 2012 .......

    Perkembangan Produksi Padi Menurut Wilayah 2000 2012 ..... Rata-rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Produksi Padi 2000 - 2012 ..............................................................

    Pangsa Produksi Padi 2000 2012 ....... Perkembangan Pangsa Produksi Padi 2000 2012 ...................

    Perkembangan Produktivitas Padi 2000 2012 ........................ Rata-rata Produktivitas dan Standard Deviasi Produksi Padi 2000 2012 ...................................................................

    Laju Pertumbuhan Produktivitas Padi 2000 2012 ................... Perkembangan Produksi Jagung Indonesia 2000 2012 ...........

    Rata-rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Produksi Jagung 2000 2012 ..............................................................

    Perkembangan Produksi Jagung Menurut Wilayah 2000-2012 ................................................................ Pangsa Produksi Jagung 2000 2012 .....................................

    Rata-rata Produktivitas dan Standard Deviasi Produktivitas Jagung 2000 2012 ...............................................................

    Perkembangan Produksi Ubi Kayu Indonesia 2000 2012 ......... Rata-rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Produksi

    Ubi Kayu 2000 2012 ............................................................. Perkembangan Produksi Ubi Kayu Menurut Wilayah 2000 2012 ..............................................................

    Pangsa Produksi Ubi Kayu 2000 2012 .................................... Rata-rata Produktivitas dan Standard Deviasi Produktivitas

    Ubi Kayu 2000 2012 ............................................................ Perkembangan Produksi Ubi Jalar Indonesia 2000 2012 .........

    Rata-rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Produksi Ubi Jalar 2000 2012 ............................................................ Perkembangan Produksi Ubi Jalar Menurut

    Wilayah 2000 2012 ............................................................. Pangsa Produksi Ubi Jalar 2000 2012 ...................................

    Rata-rata Produktivitas dan Standard Deviasi Produktivitas Ubi Jalar 2000 2012 ........................................................... Perkembangan Luas Panen Padi Menurut

    Wilayah 2000 2012 .............................................................. Rata-rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Luas Panen Padi

    Menurut Wilayah Tahun 2000 2012 ....................................... Pangsa Luas Panen Padi 2000 2012 ......................................

    16 16

    17 18

    19 20

    20 20

    21

    21

    22

    22

    23 24

    25

    25 25

    27 27

    28

    28

    29

    29

    31

    31

    31

  • VII

    4.1.27.

    4.1.28.

    4.1.29.

    4.1.30.

    4.1.31.

    4.1.32.

    4.1.33.

    4.1.34.

    4.1.35.

    4.1.36.

    4.1.37.

    4.2.1.

    4.2.2. 4.2.3.

    4.2.4. 4.2.5.

    4.2.6. 4.2.7. 4.2.8.

    4.3.1. 4.3.2.

    4.3.3. 4.4.1.

    Perkembangan Luas Panen Jagung Menurut Wilayah

    Tahun 2000 2012................................................................. Rata-rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Luas Panen

    Jagug Menurut Wilayah Tahun 2000 2012 ............................. Pangsa Luas Panen Jagung 2000 2012 ..................................

    Perkembangan Luas Panen Ubi Kayu Menurut Wilayah 2000 2012 ........................................................................... Rata-rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Luas Panen

    Ubi Kayu Menurut Wilayah 2000 2012 .................................... Pangsa Luas Panen Ubi Kayu 2000 2012 ................................

    Perkembangan Luas Panen Ubi Jalar Menurut Wilayah 2000 2012 ........................................................................... Rata-rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Luas Panen

    Ubi Jalar Menurut Wilayah 2000 2012 .................................... Pangsa Luas Panen Ubi Jalar 2000 2012 .................................

    Pangsa Luas Panen Padi, Jagung, dan Ubi Kayu + Ubi Jalar 2000 2012 ............................................................................

    Perkembangan Harga Gabah, Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar 2011 2013 ............................................................. Pangsa Pengeluaran Pangan (%) ..............................................

    Pangsa Pengeluaran Kelompok Pangan Tingkat Nasional (%) ..... Pangsa Pengeluaran Kelompok Pangan di Perkotaan (%) ...........

    Pangsa Pengeluaran Kelompok Pangan di Pedesaan (%) ............ Konsumsi Energi Menurut Wilayah ............................................

    Konsumsi Protein Menurut Wilayah ........................................... Konsusmi Energi dan Protein di Kab. Gunung Kidul .................... Capaian Skor PPH ....................................................................

    Peran Sektor Industri Pangan Dalam Pembentukan PDB ............. Pencapaian Kapasitas Terpasang Industri, 2006 2010 .............

    Dinamika Harga Komoditas Pangan 2000 2011 ....................... Peta Kekuatan Faktor-faktor yang Dapat Menentukan Kesuksesan Pengembangan Diversifikasi Pangan

    Di Indonesia ...........................................................................

    32

    32 33

    34

    34 35

    36

    36 37

    38

    40 46

    49 49

    50 53

    53 56 58

    70 72

    88

    100

  • VIII

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran Halaman

    4.1.

    4.2.

    4.3.

    Gambar Skema Pemanfaatan Ubi kayu Untuk Berbagai Produk Pangan ................................. Gambar Skema Pemanfaatan Jagung Untuk Berbagai Produk

    Pangan ................................................................. Gambar Skema Pemanfaatan Sagu Untuk Berbagai Produk

    Pangan ..............................................................

    111

    112

    113

  • 1

    I. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dan strategis,

    mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Oleh karenannya,

    pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangan di berbagai

    tingkatan wilayah, mulai dari tingkat nasional sampai rumahtangga bahkan individu

    sesuai konsep ketahanan pangan dalam Undang-Undang Pangan No. 7, 1996.

    Terdapat 11 permasalahan mendasar di sektor pertanian diantaranya adalah masih

    rawannya ketahanan pangan dan belum berjalannya diversifikasi pangan dengan

    baik. Berkaitan dengan hal tersebut, Kementerian Pertanian (2009), yang

    dituangkan dalam Renstra Kementerian Pertanian tahun 2010-2014 mencanangkan

    empat target sukses pertanian yang salah satunya adalah peningkatan diversifikasi

    pangan.

    Pencanangan target sukses ini didasari pada masih belum tercapainya

    konsumsi sesuai Pola Pangan harapan (PPH). Dengan jumlah penduduk yang besar

    dan akan terus bertambah maka dominasi beras dalam pola konsumsi pangan akan

    memberatkan upaya pemantapan pangan secara berkelanjutan di tingkat lokalita.

    Tantangan ke depan adalah bagaimana mendidik masyarakat untuk melakukan

    diversifikasi produksi dan konsumsi bahan pangan sesuai skor PPH yang

    dicanangkan. Dengan demikian diharapkan ketahanan pangan nasional akan dapat

    dicapai secara berkelanjutan. Disamping itu, sumberdaya alam yang tersedia dapat

    dikembangkan untuk mendorong komoditas pangan lain dan bahan baku industri

    yang mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan devisa negara.

    Dalam kebijakan terbaru seperti pada Masterplan Percepatan dan Perluasan

    Pembangunan Ekonomi Indonesia atau dikenal dengan MP3EI, (Kemenko Bidang

    Perekonomian, 2011), juga menyebutkan akan pentingnya diversifikasi pangan

    untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Dalam MP3EI disebutkan bahwa

    ketahanan pangan merupakan prasyarat penting mendukung keberhasilan

    pembangunan Indonesia. Ketahanan pangan yang dibangun berdasarkan prinsip-

  • 2

    prinsip sebagai berikut: 1) Ketahanan pangan memperhatikan dimensi konsumsi

    dan produksi, 2) Pangan tersedia secara mencukupi dan merata bagi seluruh rakyat

    Indonesia untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sehat dan produktif, 3) Upaya

    diversifikasi konsumsi pangan terjadi jika pendapatan masyarakat meningkat dan

    produk pangan dihargai sesuai dengan nilai ekonominya, 4) Diversifikasi produksi

    pangan terutama tepung-tepungan, disesuaikan dengan potensi produksi pangan

    daerah, 5) Pembangunan sentra produksi pangan baru berskala ekonomi luas di

    Luar Jawa dan 6) Peningkatan produktivitas melalui peningkatan kegiatan penelitan

    dan pengembangan khususnya untuk bibit maupun teknologi pasca panen.

    Dalam Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor. 68 Tahun 2002 tentang

    Ketahanan Pangan, secara eksplisit dituangkan bahwa penganekaragaman pangan

    diselenggarakan untuk meningkatkan ketahanan pangan dengan memperhatikan

    sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal (Badan Bimas Ketahanan Pangan,

    2003). Ketahanan pangan diwujudkan dengan membangun kemandirian pangan

    yaitu untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional dari produksi domestik. Namun

    untuk mewujudkan hal tersebut tidak mudah karena jumlah penduduk terus

    bertambah. Jumlah penduduk tahun 2010 sebesar 237,5 juta jiwa, dimana

    53,45% berada di Pulau Jawa dengan laju pertumbuhan sebesar 1,49%. (BPS,

    2011). Diperkirakan pada tahun 2020, penduduk Indonesia berjumlah 250 juta.

    Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan pangan nasional untuk memperkuat

    ketahanan pangan tidaklah mudah. Sumaryanto (2009) mengemukakan kendala

    yang dihadapi dalam peningkatan ketersediaan produksi pangan per kapita

    terutama adalah: (1) pertumbuhan luas panen sangat terbatas karena (i) laju

    perluasan lahan pertanian baru sangat rendah dan (ii) konversi lahan pertanian ke

    non pertanian sulit dikendalikan, (iii) degradasi sumberdaya air dan kinerja irigasi

    serta turunnya tingkat kesuburan fisik dan kimia lahan pertanian; dan (2) adanya

    gejala kemandegan dalam pertumbuhan produktivitas.

    Pola konsumsi masyarakat Indonesia masih bias pada komoditas beras

    bahkan beras sudah menjadi makanan pokok tunggal. Provinsi yang semula

    mengkonsumsi pangan bukan beras beralih ke beras (Ariani dan Asari, 2003). Hal

  • 3

    ini yang mengakibatkan tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia relatif masih

    tinggi. Makmur, M (2010) mengatakan bahwa konsumsi beras total untuk Indonesia

    tahun 2009 sebesar 139 kg/kapita/tahun lebih besar dibandingkan dengan negara

    tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Jepang, misalnya sudah dibawah angka

    100 kg, yaitu masing-masing sebesar 90 kg, 80 kg dan 60 kg. Ke depan, ketahanan

    pangan akan rapuh jika hanya bertumpu pada beras.

    Konsumsi pangan secara umum merupakan pengeluaran terbesar dari rumah

    tangga di wilayah perdesaan yang rata-rata mencapai 58,57% dari total

    pengeluaran rumah tangga. Khususnya untuk konsumsi padi-padian, rumah tangga

    di perdesaan harus menyediakan 13,25 % dari total pendapatannya untuk membeli

    komoditas pangan ini. Kondisi demikian menunjukkan terjadinya ketergantungan

    yang tinggi terhadap konsumsi pangan padi-padian telah menyebabkan besarnya

    alokasi pendapatan rumah tangga. Pada tingkat nasionalpun negara Indonesia

    sangat tergantung kepada sumber pangan karbohidrat seperti beras dan

    gandum/tepung terigu. Kondisi itu dibuktikan dengan upaya melakukan impor

    pangan karbohidrat beras secara berkesinambungan yang melebihi kuota yang

    ditetapkan pemerintah, yakni lebih dari 62 %.

    Ketergantungan negara akan pangan beras ini, merupakan cerminan dari

    pola konsumsi pangan masyarakat (food habits) yang cenderung ke beras, padahal

    sumber pangan non beras masih melimpah ruah, seperti ketela, ubi jalar, jagung,

    kedele dan umbi-umbi lainnya. Menyikapi kondisi demikian, pemerintah berupaya

    mendorong diversifikasi pangan untuk mengurangi beban konsumsi pangan

    karbohidrat kepada komoditi pangan lain yang lebih murah dan terjangkau.

    Beras adalah salah satu pangan kunci di dunia dan dimakan oleh sekitar 3

    miliar orang setiap harinya. Di Asia, beras merupakan makanan pokok untuk sekitar

    600 juta penduduk. Lebih dari 60 % penduduk dunia atau satu milyar orang yang

    tinggal di Asia tergantung pada beras sebagai makanan pokok dan hidup dalam

    kemiskinan serta kekurangan gizi. Oleh karena itu, jika terjadi penurunan produksi

    padi, maka berarti akan lebih banyak orang tergelincir ke dalam jurang kemiskinan

    dan kelaparan (Tim Peneliti Pangan IPSK-LIPI, 2011).

  • 4

    Indonesia merupakan salah satu negara megadiversitas (hasil studi United

    Nations Environmental Protection). Hasil studi Kementerian Lingkungan Hidup

    seperti yang disitir oleh Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, Badan

    Ketahanan Pangan (2012) bahwa Indonesia sedikitnya memiliki 100 spesies

    tanaman biji-bijian, umbi-umbian, sagu, penghasil tepung dan gula sebagai sumber

    karbohidrat. Namun hanya beberapa pangan sumber karbohidrat yang dikenal

    secara luas dan dimanfaatkan untuk dikonsumsi secara intensif seperti padi,

    jagung, ubikayu, ubijalar, sagu dan lainnya. Bahkan beberapa pangan tersebut

    telah tergantikan oleh beras dan gandum.

    Beragam pangan lokal seperti jagung, umbi-umbian dan sagu mempunyai

    prospek yang cukup luas untuk dikembangkan sebagai substitusi beras dan untuk

    diolah menjadi makanan bergengsi. Kegiatan ini memerlukan dukungan

    pengembangan teknologi proses dan pengolahan serta strategi pemasaran yang

    baik untuk mengubah image pangan inferior menjadi pangan normal bahkan

    superior. Upaya peningkatan nilai tambah melalui agroindustri, selain meningkatkan

    pendapatan juga berperan dalam penyediaan pangan yang beragam dan bermutu.

    1.2. Dasar Pertimbangan

    Mewujudkan ketahanan pangan nasional yang tertumpu pada kemandirian

    pangan telah menjadi komitmen pemerintah dalam rangka pembangunan ekonomi

    dan pertanian domestik. Ketahanan pangan dibangun berdasarkan sumberdaya,

    kelembagaan, dan budaya lokal yang bertujuan untuk meningkatkan

    keanekaragaman produksi dan konsumsi pangan lokal yang bergizi dan aman untuk

    dikonsumsi oleh masyarakat.

    Pemerintah menetapkan kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi

    Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal yang ditindaklanjuti dengan Gerakan

    Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya Lokal oleh

    Kementerian Pertanian dengan target terjadi penurunan konsumsi beras sebesar

    1,5 % per tahun dan kenaikan skor Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 1 per

    tahun (Badan Ketahanan Pangan, 2009). Hal ini berarti pola pangan masyarakat

  • 5

    Indonesia harus berdiversifikasi tidak hanya pangan pokok yang bertumpu pada

    beras tetapi juga diversifikasi pangan secara luas seperti pangan sumber protein,

    vitamin dan mineral.

    Potensi pangan pokok di Indonesia telah banyak dan beragam jenisnya.

    Sejak lama Indonesia mempunyai pola pangan pokok yang beragam dengan

    menggunakan pangan lokal non beras seperti jagung, aneka umbi-umbian, pisang

    dan sagu. Indonesia mempunyai 11 pola pangan pokok yang tersebar di berbagai

    provinsi. Walaupun program diversifikasi konsumsi pangan telah digulirkan sejak

    tahun 1960-an, namun justru pangan pokok telah bergeser yaitu pola pangan

    pokok yang semula beragam dan berasal dari pangan lokal seperti jagung, ubikayu,

    ubijalar, sagu dan lain-lain, beralih ke pola tunggal dengan komoditas beras.

    Masyarakat di beberapa wilayah yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok

    bukan beras beralih ke beras.

    Pelaksanaan penganekaragaman konsumsi pangan menuju konsumsi

    pangan yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman akan memberikan manfaat

    yang besar, apabila mampu menggali dan mengembangkan potensi sumber-sumber

    pangan lokal. Namun diversifikasi pangan pokok atau pangan sumber karbohidrat

    yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, masih sukar dilaksanakan

    yang ditunjukkan dengan masih tingginya konsumsi beras dan pola pangan pokok

    yang kearah tunggal yaitu beras.

    Upaya penurunan konsumsi beras dan peningkatan konsumsi pangan lokal

    non beras serta peningkatan skor PPH dilakukan melalui diversifikasi konsumsi

    pangan pokok. Diversifikasi pangan dapat diwujudkan sesuai dengan kekayaan

    keanekaragaman hayati yang dimiliki. Selain beras dan terigu, ada lebih dari 30

    jenis aneka pangan lokal non beras. Misalnya jagung dan umbi-umbian seperti

    talas, singkong, gadung, gembili, pisang, huwi, sukun, dan lain-lain. Umbi-umbian

    adalah bahan nabati yang tumbuh di dalam tanah seperti ubikayu, ubijalar,

    kentang, dan sebagainya. Di Indonesia ubikayu merupakan makanan pokok ketiga

    setelah beras dan jagung. Ubikayu mempunyai arti ekonomi terpenting diantara

    jenis umbi-umbian lainnya, sebab selain dapat dikonsumsi langsung, dapat

  • 6

    dijadikan tepung tapioka, gaplek, pelet, tape, dekstrin, lem, kerupuk, dan lain-

    lainnya.

    Selain ubikayu, terdapat pula ubijalar yang tingkat produksinya di negara kita

    ini cukup berlimpah, tetapi penggunaannya belum seluas ubikayu (singkong). Ubi

    jalar umumnya masih dikonsumsi sebagai ubijalar rebus, kolak, atau ubi bakar.

    Padahal, peranan ubijalar sebagai sumber karbohidrat dan zat tenaga adalah

    sangat penting, yaitu hampir menyamai singkong. Kelebihan yang dimiliki ubijalar

    ini (terutama yang berwarna merah) dibandingkan ubi-ubian lainnya seperti

    ganyong, kentang, singkong, suweg, talas, dan uwi adalah kandungan Vit A-nya

    yang sangat tinggi.

    Peningkatan peran pangan lokal non beras mampu mensubsitusi atau

    komplemen dengan beras atau gandum melalui pengembangan teknologi

    pengolahan produk pangan lokal non beras baik dari segi keanekaragaman produk

    maupun rasa, packaging, ukuran, dan lainnya. Hal ini juga sesuai dengan

    Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 2002 yang menyebutkan bahwa

    penganekaragaman pangan dilakukan dengan mengembangkan teknologi

    pengolahan dan produk pangan. Oleh karena itu, kajian terkait diversifikasi pangan

    non beras berbasis pangan lokal perlu dilakukan. Peran pangan non beras ini dapat

    sebagai pangan pokok atau pangan selingan. Kajian mencakup potensi produksi,

    konsumsi, teknologi pengolahan dan produk pangan lokal. Selain itu juga dianalisis

    mengenai permasalahan, peluang dan strategi pengembangan diversifikasi

    pangan lokal baik dari sisi produksi maupun sisi konsumsi pangan. Pangan lokal

    yang dimaksud adalah pangan sumber karbohidrat (umbi-umbian, jagung, sagu,

    dll) yang dikonsumsi dan diproduksi berbasis potensi dan kearifan lokal.

    1.3. Tujuan Penelitian

    Secara umum tujuan dari kajian ini adalah untuk menganalisis

    pengembangan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal. Adapun tujuan khusus

    adalah :

    1. Menganalisis potensi produksi pangan lokal

  • 7

    2. Menganalisis pola konsumsi pangan lokal

    3. Mengidentifikasi teknologi pengolahan dan produk pangan lokal

    4. Menyusun strategi pengembangan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal

    1.4. Keluaran Penelitian

    Secara umum keluaran penelitian ini adalah rumusan kebijakan

    pengembangan diversifikasi pangan lokal. Secara khusus seperti berikut:

    1. Potensi dan perkembangan produksi pangan lokal

    2. Pola konsumsi pangan lokal

    3. Teknologi pengolahan dan produk pangan lokal

    4. Strategi pengembangan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal

    1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak

    Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar rekomendasi dalam

    penyempurnaan kebijakan ketahanan pangan ke depan terutama terkait dengan

    kebijakan diversifikasi pangan terutama untuk pangan lokal. Selain itu juga dapat

    digunakan untuk dasar kebijakan pengembangan agroindustri berbasis pangan

    lokal. Dampak dari kegiatan ini adalah penguatan ketahanan pangan berbasis

    kemandirian pangan dan peningkatan pendapatan petani.

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Kerangka Teoritis

    Dalam Peraturan Menteri Pertanian tentang Gerakan Percepatan

    Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya Lokal disebutkan

    bahwa pangan lokal didefinisikan sebagai pangan baik sumber karbohidrat, protein,

    vitamin dan mineral yang diproduksi dan dikembangkan sesuai dengan potensi

    sumberdaya wilayah dan budaya setempat. Sementara itu, pangan olahan adalah

    makanan atau minuman hasil proses dengan cara arau metode tertentu dengan

    atau tanpa bahan tambahan (Badan ketahanan pangan, 2009). Dalam penelitian ini

  • 8

    pangan lokal dibatasi hanya pangan sumber karbohidrat yang diproduksi dan dan

    dikembangkan sesuai dengan potensi sumberdaya wilayah dan budaya setempat.

    Konsep diversifikasi pangan bukan suatu hal baru dalam peristilahan

    kebijakan ketahanan pangan baik di Indonesia maupun di luar negeri. Konsep

    diversifikasi pangan telah banyak dirumuskan dan diinterprestasikan oleh para

    pakar sesuai dengan kontek tujuannya. Ada yang mengartikan diversifikasi dalam

    arti sempit hanya pada pangan sumber karbohidrat yaitu pada pangan pokok, ada

    pula dalam arti luas mencakup pangan sumber karbohidrat, protein, vitamin dan

    mineral.

    Namun pada umumnya seperti ditulis oleh Cahyani, G.I (2008) bahwa

    diversifikasi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu diversifikasi vertikal, horizontal

    dan regional. Diversifikasi horizontal merupakan upaya penganekaragaman produk

    yang dihasilkan (dari sisi penawaran) dan produk yang dikonsumsi (dari sisi

    permintaan) pada tingkat individu, rumah tangga maupun perusahaan. Secara

    prinsip diversifikasi horizontal adalah penganekaraman antar komoditas.

    Diversifikasi vertikal merupakan upaya pengembangan produk pokok menjadi

    produk baru untuk keperluan pada tingkat konsumsi. Secara prinsip diversifikasi

    vertikal adalah merupakan upaya pengembangan setelah panen di dalamnya

    termasuk kegiatan pengolahan hasil dan limbah pertanian. Diversifikasi vertical

    dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas pangan agar lebih

    berdaya guna bagi kebutuhan manusia. Sementara itu Diversifikasi regional yaitu

    merupakan diversifikasi antar wilayah dan social budaya. Badan Ketahanan Pangan

    (2009) dalam Peraturan Menteri Pertanian tentang Gerakan Percepatan

    Penganekaragan Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya Lokal mendefinisikan

    diversifikasi/ penganekaragaman konsumsi pangan adalah proses pemilihan pangan

    yang dikonsumsi dengan tidak tergantung kepada satu jenis saja tetapi terhadap

    bermacam-macam bahan pangan.

  • 9

    2.2. Hasil-hasil Penelitian Terkait Diversifikasi Pangan Non Beras berbasis

    Pangan Lokal

    Meskipun konsumsi beras cenderung menurun namun kontribusinya

    terhadap total energi masih diatas 60 % sedangkan umbi-umbian baru

    menyumbang energi sekitar 3 %, aneka umbi-umbian mempunyai prospek yang

    cukup luas untuk dikembangkan sebagai substitusi beras dan untuk diolah menjadi

    makanan bergengsi. Kegiatan ini memerlukan dukungan pengembangan teknologi

    proses dan pengolahan serta strategi pemasaran yang baik untuk mengubah image

    pangan inferior menjadi pangan normal bahkan superior. Upaya peningkatan nilai

    tambah melalui agroindustri, selain meningkatkan pendapatan juga berperan dalam

    penyediaan pangan yang beragam dan bermutu (Hardinsyah dan Martianto, 2001).

    Seringkali pemerintah hanya menganjurkan masyarakat untuk melakukan

    keanekaragaman konsumsi pangan dan bersifat hanya menyuruh tanpa didukung

    oleh ketersediaan bahannya yang dapat diperoleh secara mudah. Dalam memenuhi

    permintaan konsumen, salah satu faktor yang sangat penting dalam mensukseskan

    program keanekaragaman pangan adalah melaksanakan product development.

    Produk ini merupakan upaya menciptakan suatu produk baru yang memiliki sifat

    antara lain sangat praktis, tersedia dalam segala ukuran, kalau digunakan tidak ada

    sisanya dan mudah diperoleh di mana saja. Dengan semakin sibuknya kehidupan

    setiap anggota rumah tangga dan tidak cukupnya waktu untuk memasak makanan

    maka bentuk makanan yang siap olah dan siap santap merupakan pilihan yang

    terbaik (Baharsyah, 1994).

    Hasil analisis dengan menggunakan data Susenas 1979 (Pusat Penelitian

    Agro Ekonomi, 1989) dan 1996 (Rachman, 2001) di wilayah Kawasan Timur

    Indonesia (KTI) menunjukkan bahwa: 1) semua propinsi di Indonesia pada tahun

    1979 mempunyai pola pangan pokok utama beras. Pada tahun 1996, posisi

    tersebut masih tetap, kalaupun berubah hanya terjadi pada pangan kedua yaitu

    antara jagung dan umbi-umbian; 2) pola tunggal beras pada tahun 1979 hanya

    terjadi di satu propinsi yaitu Kalsel, maka pada tahun 1996 terjadi di 8 propinsi

    yaitu Kalsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim, NTB, Sulsel, Sulut dan Sulteng (Ariani, 2010).

  • 10

    Ini berarti telah terjadi peningkatan preferensi dan jumlah konsumsi beras yang

    signifikan di propinsi tersebut, sehingga mampu menggeser peran jagung dan

    umbi-umbian sebagai pangan pokok seperti pada Tabel 2.1.

    Peran beras sebagai pangan pokok semakin kuat, yang ditunjukkan oleh

    tingkat partisipasi yang cukup tinggi di berbagai wilayah termasuk pada wilayah

    yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok bukan beras. Bahkan di beberapa

    propinsi, terjadi pergeseran pangan pokok dari beragam cenderung pola tunggal

    yaitu beras. Di sisi lain, pangan lokal seperti jagung dan ubikayu semakin

    ditinggalkan masyarakat, sebaliknya pangan global seperti mi semakin banyak

    digemari oleh masyarakat yang ditunjukkan dengan kenaikan tingkat partisipasi

    yang signifikan.

    Banyak faktor yang menyebabkan terhambatnya diversifikasi konsumsi

    pangan. Diantaranya adalah : 1) beras memang lebih enak dan mudah diolah, 2)

    adanya konsep makan yang keliru, belum dikatakan makan kalau belum makan

    nasi, 3) beras sebagai komoditas superior, 4) ketersediaan beras melimpah dan

    harganya murah, 5) pendapatan rumah tangga, 6) terbatasnya teknologi

    pengolahan dan promosi pangan non beras (pangan lokal), 7) kebijakan pangan

    yang tumpang tindih dan 8) adanya kebijakan impor gandum, jenis product

    development cukup banyak dan promosi yang gencar.

    Sayaka dkk (2005) melaksanakan penelitian di tiga provinsi yaitu Jawa

    Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua. Hasil penelitian adalah: a)

    Sebagian besar penduduk di wilayah penelitian, terutama yang tinggal di pedesaan,

    mengkonsumsi ubikayu, jagung, dan sagu sebagai makan pokok sesuai yang

    dihasilkan oleh lahan pertanian atau sumberdaya alam setempat. Sementara itu,

    sumber perolehan beras yang dikonsumsi oleh rumah tangga termasuk rumah

    tangga di pedesaan berasal dari pembelian. Jenis pangan lokal yang banyak

    dikonsumsi oleh rumah tangga untuk ubikayu berupa ubikayu segar, untuk jagung

    berupa jagung pipilan dan sagu berupa tepung sagu. Pola konsumsi pangan rumah

    tangga masih bias pada pangan sumber karbohidrat, belum beragam seperti dalam

  • 11

    PPH, demikian pula untuk konsumsi pangan pokoknya. Konsumsi pangan pokok di

    pedesaan lebih beragam dibandingkan di perkotaan.

    Tabel 2.1. Distribusi Propinsi Menurut Pola Konsumsi Makanan Pokok Tahun 1979, 1984, dan 1996

    No. Pola Makanan

    Pokok 1979 1984 1996

    1. Beras Kalsel, DKI, NAD, Sumbar

    DKI, NAD,

    Sumbar, Bengkulu

    NTB, Kalbar,

    Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulsel

    2. Beras+umbi-umbian

    Kaltim, NTB,

    Kalteng, Kalbar, Bali, DIY, Lampung,

    Bengkulu, Jambi, Riau, Sumsel,

    Kaltim, Kalteng,

    Kalbar, Kalsel, Sumut, Sumsel, Riau, Jambi,

    Jabar

    -

    3. Beras+jagung+ umbi-umbian

    Sumut, Jabar

    Sulut, Jateng, Tim-Tim, Jatim

    Sultra

    4. Beras+umbi-

    umbian+jagung Sulut, NTT

    NTT, Lampung,

    DIY, Bali -

    5. Beras+umbi-umbian+sagu+ pisang

    Sulsel, Jateng, Jatim

    Maluku -

    6. Beras+sagu+umbi-umbian

    Maluku Papua -

    7. Beras+umbi-umbian+sagu+ jagung

    Papua - Maluku, Papua

    8. Beras + sagu - NTB,Sulsel, Sultra

    NTT, Tim-Tim

    9. Beras + jagung Sulteng - -

    10. Beras+jagung+sagu+umbi-umbian

    - Sulteng -

    11. Beras+sagu+umbi-umbian+ jagung

    Sultra - -

    b) Sebagian besar rumah tangga mengkonsumsi ubikayu dan jagung sebagai

    makanan pokok dalam bentuk campuran dengan mencampur beras untuk konsumsi

    ubikayu, dengan ubikayu/ubijalar untuk konsumsi jagung. Sementara itu, sagu

    dikonsumsi dalam bentuk tunggal. Jenis makanan olahan yang menggunakan

    bahan baku ubikayu, jagung dan sagu yang masak oleh rumah tangga sebagai

  • 12

    makanan selingan relatif banyak, namun cara masaknya masih bersifat tradisional

    (dikukus, direbus, digoreng) dan tidak ada jenis makanan baru yang diolah. Rumah

    tangga juga jarang membeli makanan olahan yang menggunakan bahan baku

    ketiga komoditas tersebut. Pada rumah tangga perkotaan telah terjadi perubahan

    konsumsi pangan pokok dari pangan lokal (ubikayu, jagung dan sagu) ke beras

    melalui mekanisme RASKIN dan tunjangan beras PNS.

    Hasil analisis yang dilakukan oleh Ariani (2010) dengan menggunakan data

    Susenas tahun 2002, 2005 dan 2008 diperoleh hasil seperti berikut: 1) Pola

    konsumsi pangan pokok di Indonesia cenderung pola pangan tunggal yaitu beras.

    Selain itu pola pangan pokok kedua, yang semula dari umbi-umbian dan jagung

    bergeser ke terigu dan produknya seperti mi instan, 2). Tingkat konsumsi beras

    langsung untuk rumahtangga masih tinggi yaitu 104,9 kg/kap/tahun. Untuk pangan

    pokok lainnya relatif kecil (jagung: 2,9 kg; terigu: 11,2 kg; ubikayu: 12,9 kg;

    ubijalar: 2,8 kg/kap/tahun), 3) Dari segi diversifikasi pangan dalam konsep Pola

    Pangan Harapan (PPH), konsumsi beras perlu diturunkan, sebaliknya konsumsi

    jagung dan umbi-umbian ditingkatkan. Oleh karena itu, diversifikasi pangan

    termasuk pangan pokok yang telah dicanangkan oleh pemerintah

    diimplementasikan secara konsisten dan berkelanjutan oleh semua elemen

    masyarakat. Keberhasilan diversifikasi pangan pokok akan mengurangi konsumsi

    beras, dan pada gilirannya mempermudah pencapaian swasembada beras.

    III. METODOLOGI

    3.1. Kerangka Pemikiran

    Indonesia mempunyai wilayah yang beragam dengan potensi pangan lokal

    non beras yang beragam pula. Pangan lokal sumber karbohidrat non beras yang

    dikenal antara lain jagung, ubikayu, ubijalar, sagu, pisang. Pangan lokal non beras

    ini berpotensi menjadi subsitusi atau komplemen dengan komoditas beras baik

    terutama sebagai pangan pokok. Namun demikian pangan lokal non beras ini juga

    berpotensi untuk menjadi makanan selingan. Oleh karena itu, identifikasi potensi

    pangan lokal termasuk permasalahannya sangat diperlukan untuk mengetahui

  • 13

    seberapa besar ketersediaan pangan lokal yang dapat digunakan sebagai pijakan

    pengembangan produk olahannya.

    Peningkatan ketersediaan pangan lokal terutama dari produksi harus seiring

    dengan peningkatan konsumsinya agar pangan yang disediakan benar-benar

    dikonsumsi oleh masyarakat. Oleh karena itu, kondisi eksisting pola konsumsi

    pangan lokal baik dari sisi pengeluaran, tingkat partisipasi/tingkat konsumsi dan

    tingkat diversifikasi konsumsi pangan sangat diperlukan.

    Dalam upaya pengembangan diversifikasi pangan lokal juga harus dianalisis

    kondisi eksisting jenis teknologi dan produknya sehingga dapat dilakukan

    pengembangan teknologi pangan lokal sesuai dengan selera konsumen dan daya

    jangkau masyarakat. Preferensi konsumen terhadap suatu produk dipengaruhi

    status ekonomi, pendidikan, kesadaran terhadap berbagai aspek (pangan dan gizi,

    keamanan pangan, kesehatan lingkungan dan agama), kondisi produk olahan

    (kualitas, masa simpan, ukuran, rasa, desain kemasan, kepraktisan, harga, dll) dan

    promosi produk.

    Dengan memperhatikan aspek produksi, konsumsi, jenis teknologi dan

    produk yang dihasilkan pada saat ini serta memperhatikan permasalahannya, akan

    dapat disusun suatu kebijakan pengembangan produk pangan lokal sebagai upaya

    pengembangan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal.

    3.2. Ruang Lingkup Kegiatan

    Ruang lingkup kegiatan meliputi penyusunan proposal, penggalian data dan

    informasi terutama berasal dari data sekunder, serta penyusunan laporan akhir.

    Sementara itu, ruang lingkup substansi meliputi potensi produksi, konsumsi,

    teknologi pengolahan dan produk pangan lokal serta permasalahannya.

    3.3. Lokasi Penelitian

    Secara umum bahasan kajian akan meliputi seluruh propinsi dengan

    menggunakan data sekunder, namun untuk memperdalam pembahasan dilakukan

  • 14

    pendalaman substansi di Provinsi DKI Jakarta, Banten dan Daerah Istimewa

    Yogyakarta.

    3.4. Data dan Metoda Analisis

    3.4.1. Jenis dan Sumber Data

    Sumber data terutama berasal dari data sekunder, namun untuk

    memperdalam kajian substansi dilakukan pengumpulan data primer. Dara sekunder

    meliputi: a) Potensi (lahan) dan perkembangan luas panen, produksi dan

    produktivitas pangan lokal; b) Pola konsumsi pangan: pangsa pengeluaran, tingkat

    partisipasi dan tingkat konsumsi pangan lokal, diversifikasi konsumsi pangan dan

    persepsi konsumsi pangan lokal; dan c) Jenis teknologi pengolahan pangan lokal

    dan produknya. Sementara itu, data primer meliputi permasalahan produksi,

    konsumsi dan agroindustri; situasi perkembangan konsumsi dan teknologi pangan.

    Sumber data utama adalah data dari Badan Pusat Statistik (BPS) seperti Survey

    Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Statistik Indonesia berbagai tahun; Badan

    Ketahanan Pangan (BKP); Kementerian Perindustrian, Ditjen Tanaman Pangan,

    Badan Ketahanan Pangan dan Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian,

    Kementerian Pertanian; Kementerian Riset dan Teknologi; Institut Pertanian Bogor,

    Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, Dinas Perindustrian tingkat Provinsi dan

    Kabupaten serta lembaga/instansi lainnya.

    3.4.2. Metoda Analisis

    Data dan informasi yang terkumpul dilakukan analisis deskriptif kualitatif

    dengan mengungkapkan keragaan, persepsi, masalah dan peluang pengembangan

    dan lainnya. Pengembangan produk olahan pangan lokal non beras dianalisis

    secara deskriptif dengan memperhatikan aspek kekuatan, kelemahan, kesempatan

    dan ancaman seperti dalam analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity,

    Threat). Dengan analisis SWOT diharapkan dapat membantu mengatasi kelemahan

  • 15

    dan ancaman, serta memaksimalkan kekuatan yang ada. Kekuatan yang dimiliki

    akan mampu memanfaatkan peluang pasar (Bradford, Duncan, dan Tarcy, 2004).

    Untuk mengembangkan strategi berdasarkan hasil analisis SWOT digunakan

    Matriks SWOT. Dalam hal ini ada empat kemungkinan strategi yang dipilih, yaitu:

    1. Strategi S-O : menentukan kesempatan yang sesuai dengan kekuatan

    perusahaan atau industri.

    2. Strategi W-O : mengatasi kelemahan untuk mendapatkan kesempatan.

    3. Strategi S-T : mengidentifikasi kekuatan perusahaan untuk mengatasi

    ancaman dari luar.

    4. Strategi W-T : membuat perencanaan guna mengatasi kelemahan untuk

    menghindari ancaman yang lebih besar.

    IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    4.1. Potensi dan Capaian Produksi Pangan Lokal

    4.1.1. Potensi Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan

    Padi

    Padi, yang kemudian diolah menjadi beras, merupakan sumber utama kalori

    bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Oleh karena itu, produksi padi sangat

    menentukan bagi ketersediaan pangan pokok bagi penduduk Indonesia yang saat

    ini bejumlah lebih dari 244 juta jiwa. Perkembangan produksi padi di Indonesia

    selama periode tahun 2000 - 2012 menunjukkan trend yang masih meningkat

    (Gambar 4.1.1). Pada tahun 2000, produksi padi nasional masih mencapai 51,90

    juta ton, meningkat menjadi 68,59 juta ton pada tahun 2012, atau tumbuh dengan

    laju pertumbuhan rata-rata 2,39 % pertahun. Rata-rata laju pertumbuhan produksi

    padi nasional tersebut masih relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju

    pertumbuhan penduduk sebesar 1,43 % pertahun. Kondisi ini dipertahankan dalam

    jangka panjang akan menjaga kemandirian dalam penyediaan beras nasional

    secara berkelanjutan.

  • 16

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Jika produksi padi dilihat per wilayah pulau atau menurut kepulauan, dapat

    diketahui bahwa produksi padi di Jawa, sebagai pemasok utama produksi padi

    nasional, pada akhir-akhir ini (2010 sd 2012), pertumbuhannya sudah menunjukkan

    gejala leveling off (Gambar 4.1.2). Kondisi ini cukup mengkhawatirkan bagi

    keberlanjutan produksi padi di Jawa, jika hal ini terjadi dalam jangka yang relatif

    panjang. Gambar 4.1.2 juga menunjukkan bahwa trend pertumbuhan produksi

    padi di Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi masih cenderung meningkat.

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Dilihat dari rata-rata pertumbuhan produksi padi menurut wilayah, dapat

    dikatakan bahwa Pulau Jawa selama periode tahun 2000 sampai dengan 2012

    mengalami laju pertumbuhan produksi padi yang relatif rendah, yaitu dengan laju

    pertumbuhan produksi rata-rata 1,85 %/tahun dan standard deviasi 3,39 %/tahun.

    Pro

    du

    ksi (

    ton

    )

    Tahun

    Gambar 4.1.1. Perkembangan Produksi Padi Indonesia, 2000 - 2012 2000

    2001

    2002

    2003

    2004

    2005

    2006

    Po

    du

    ksi (

    ton

    )

    Tahun

    Gambar 4.1.2. Perkembangan Produksi Padi Menurut Wilayah, 2000 - 2012 Sumatera

    Jawa

    Bali (NTB+NTT)

    Kalimantan

    Sulawesi

    Maluku (+Papua)

  • 17

    Di wilayah Maluku+Papua (meliputi provinsi: Maluku, Maluku Utara, Papua dan

    Papua Barat) selama periode tahun 2000 sd 2012, mempunyai rata-rata laju

    pertumbuhan produksi pertahun yang tertinggi, yaitu 10,35 % pertahun, namun

    jika dilihat stabilitas pertumbuhannya, data menunjukkan bahwa laju pertumbuhan

    produksi padi di Maluku+Papua sangat tidak stabil, yaitu dengan standar deviasi

    23,21 %/tahun (Gambar 4.1.3).

    Dengan mengacu pada besaran laju pertumbuhan produksi dan stabilitas

    pertumbuhannya, maka wilayah yang potensial sebagai sumber pertumbuhan baru

    untuk produksi padi nasional adalah wilayah Pulau Kalimantan, dengan laju

    pertumbuhan produksi 3,91 %/tahun dan standard deviasi 4,17, serta Pulau

    Sulawesi dengan laju pertumbuhan produksi padi rata-rata 3,66 %/tahun dan

    standard deviasi 5,09 %/tahun.

    Dilihat dari pangsa produksi padi nasional, Pulau Jawa masih merupakan

    pemasok produksi beras nasional, dengan pangsa sekitar 55 %. Pulau Sumatera

    mempunyai pangsa produksi sekitar 23 %. Adapun Pulau Sulawesi dan Pulau

    Kalimatan, masing-masing memasok sekitar 10 % dan 7 % (Gambar 4.1.4).

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Laju

    Per

    tum

    bu

    han

    (%/t

    h)

    Wilayah

    Gambar 4.1.3. Rata-Rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Produksi Padi, 2000 -

    2012

    Average

    STDEV

  • 18

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Dengan laju pertumbuhan produksi yang relatif rendah, peran Pulau Jawa

    sebagai pemasok beras nasional selama periode tahun 2000 - 2012 relatif menurun

    (Gambar 4.1.5). Peran Pulau Jawa lambat laun cenderung digantikan oleh Pulau

    Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan. Mengingat Pulau Sumatera

    merupakan wilayah pengembangan komoditas perkebunan (sawit), maka

    pengembangan padi ke depan akan bergeser ke Kalimantan dan Sulawesi.

    Permasalahannya adalah bahwa pengembangan padi sawah memerlukan

    sarana irigasi untuk menjamin ketersediaan air bagi tanaman padi, sedangkan di

    Pulau Kalimantan ketersediaan sarana irigasi relatif terbatas. Di samping itu, ada

    juga permasalahan yang terkait dengan konektivitas antara daerah sentra produksi

    dan sentra konsumsi padi, sehingga perlu dilakukan pembangunan infrasrtuktur

    jalan, jembatan, pelabuhan, serta sarana transportasi dan sarana logistik di pulau

    Kalimantan dan Pulau Sulawesi, jika di kedua wilayah ini akan mengembangkan

    tanaman padi yang kemudian akan dikirim ke Jawa.

    Pangsa Produksi; Sumatera; 023; 23%

    Pangsa Produksi;

    Jawa; 054; 55%

    Pangsa Produksi;

    Bali (NTB+NTT); 005; 5%

    Pangsa Produksi;

    Kalimantan; 007; 7%

    Pangsa Produksi; Sulawesi; 010; 10%

    Pangsa Produksi; Maluku

    (+Papua); 000; 0%

    Gambar 4.1.4. Pangsa Produksi Padi, 2000-2012

  • 19

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Dilihat dari aspek produktivitas, data menunjukkan bahwa rata-rata

    produktivitas padi nasional adalah 41,95 kw per hektar, dengan laju pertumbuhan

    selama periode 2000-2012 rata-rata sebesar 1,59 % per tahun. Angka produktivitas

    per wilayah tertinggi masih terdapat di Jawa, yaitu 53,76 kw per ha dengan laju

    pertumbuhan rata-rata 0,91 % per tahun. Produktivitas padi tertinggi ke dua

    setelah Jawa adalah di Sulawesi, yaitu rata-rata sebesar 46,01 dengan laju

    pertumbuhan rata-rata sebesar 1,21 %per tahun.

    Wilayah yang mempunyai produktivitas padi tertinggi ketiga adalah wilayah

    Bali+NTB+NTT, yaitu sebesar 44,11 kw per hektar dengan laju pertumbuhan rata-

    rata 0,97 % per tahun. Wilayah dengan produktivitas tertinggi ke empat adalah

    Sumatera, yaitu sebesar 41,60 kw per hektrar denga laju pertumbuhan rata-rata

    1,60 % per tahun. Secara grafis perkembangan produktivitas padi menurut wilayah

    tercantum pada Gambar 4.1.6, rata-rata produktivitas padi per wilayah tercantum

    pada Gambar 4.1.7, serta rata-rata laju pertumbuhan produktivitas padi pada

    periode 2000 2012 menurut wilayah tercantum pada Gambar 4.1.8.

    Pan

    gsa

    Pro

    du

    ksi (

    %)

    Tahun

    Gambar 4.1.5. Perkembangan Pangsa Produksi Padi, 2000 - 2012

    Sumatera

    Jawa

    Bali (NTB+NTT)

    Kalimantan

    Sulawesi

    Maluku (+Papua)

  • 20

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Jagung

    Produksi jagung secara nasional dalam periode 2000 2012 cenderung

    meningkat dengan laju rata-rata 6.40 % per tahun (Gambar 4.1.9). Pertumbuhan

    produksi jagung yang tinggi dan relatif stabil terdapat di Kalimantan dengan laju

    Pro

    du

    ktiv

    itas

    (kw

    t/h

    a)

    Tahun

    Gambar 4.1.6. Perkembangan Produktivitas Padi, 2000 - 2012

    Sumatera

    Jawa

    Bali (NTB +NTT)Kalimantan

    Pro

    du

    ktiv

    itas

    (kw

    t/h

    a)

    Wilayah

    Gambar 4.1.7. Rata-Rata Produktivitas dan Standard Deviasi Produktivitas Padi, 2000 - 2012

    Produktivitas

    STDEV

    Laju

    Per

    tum

    bu

    han

    (%/t

    h)

    Wilayah

    Gambar 4.1.8. Laju Pertumbuhan Produktivitas Padi, 2000-2012 Sumatera

    Jawa

    Bali (NTB + NTT)

    Kalimantan

    Sulawesi

    Maluku (+Papua)

    Indonesia

  • 21

    pertumbuhan 10,99 % per tahun (STD 13, 43 %) dan Sulawesi dengan laju

    pertumbuhan 10,14 (STD 15,01 % per tahun).

    Pertumbuhan produksi jagung di Jawa dan di Sumatera relatif kecil, yaitu

    masing-masing 5,23 % per tahun dan 6,40 % per tahun (Gambar 4.1.10). Adapun

    perkembangan produksi jagung menurut wilayah secara grafis dapat dilihat pada

    Gambar 4.1.11. Walaupun demikian, pangsa produksi jagung terbesar masih

    berada di Jawa dan Sumatera, yaitu masing-masing 57 % dan 22 % (Gambar

    4.1.12). Dengan mengacu pada laju pertumbuhan produksinya, dapat dikatakan

    bahwa wilayah Kalimantan dan Sulawesi mempunyai prospek bagi pengembangan

    sentra produksi jagung, menggantikan posisi Jawa.

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Pro

    du

    ksi (

    ton

    )

    Tahun

    Gambar 4.1 9. Perkembangan Produksi Jagung Indonesia, 2000 - 2012

    2000

    2001

    2002

    2003

    2004

    2005

    2006

    Laju

    Per

    tum

    bu

    han

    (%/t

    h)

    Wilayah

    Gambar 4.1.10. Rata-Rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Produksi Jagung, 2000 - 2012

    Average

    STDEV

  • 22

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Adapun produktivitas jagung tertinggi masih ditemui di Jawa dengan

    produktivitas rata-rata 39,11 kw per ha, dan diikuti oleh produktivitas jagung di

    Sumatera sebesar 37,90 kw per ha. Ditinjau dari sisi produktivitasnya, produksi

    jagung kedepan akan bergeser ke Sulawesi dengan produktivitas sebesar 34,77

    kwt per ha dan Kalimantan dengan produktivitas 32,01 kwt per ha (Gambar

    4.1.13). Mengingat bahwa sentra konsumsi jagung, yang dalam hal ini adalah

    pabrik pakan ternak, sebgian besar terletak di Jawa, maka ke depan perlu difikirkan

    secara matang tentang strategi pengembangan peternakan unggas di Indonesia.

    Kaitannya dengan wilayah pengembangan jagung di luar Jawa ini, ada beberapa

    pilihan untuk pengembangan peternakan unggas.

    Pertama adalah perusahan pakan dan peternakan tetap terkonsentrasi di

    Jawa, berarti jagung pipilan dari luar Jawa harus didatangkan ke Jawa. Strategi ini

    kemungkinan besar yang akan terjadi, karena tidak memerlukan perubahan strategi

    Po

    du

    ksi (

    ton

    )

    Tahun

    Gambar 4.1.11. Perkembangan Produksi Jagung Menurut Wilayah, 2000 - 2012 Sumatera

    Jawa

    Bali (NTB+NTT)

    Kalimantan

    Pangsa Produksi; Sumatera; 022; 22%

    Pangsa Produksi;

    Jawa; 057; 57%

    Pangsa Produksi; Bali (NTB+NTT);

    006; 6%

    Pangsa Produksi;

    Kalimantan; 001; 2%

    Pangsa Produksi; Sulawesi; 013; 13%

    Pangsa Produksi; Maluku

    (+Papua); 000; 0%

    Gambar 4.1.12. Pangsa Produksi Jagung, 2000-2012

  • 23

    investasi di perusahaan pakan dan perusahaan peternakan. Namun demikian,

    bukan berarti strategi ini tidak mengandung risiko. Salah satu risiko, diantaranya

    adalah jika biaya transportasi jagung ke Jawa ini tidak kompetitif, maka yang terjadi

    adalah kekurangan pasokan jagung bagi perusahaan pakan ternak di Jawa akan

    diisi oleh jagung impor, dan inilah kelihatannya yang berjalan selama ini.

    Strategi kedua adalah membangun industri pakan ternak di luar Jawa, yang

    kemudian produk pakannya di angkut ke Jawa. Strategi ini memerlukan strategi

    investasi baru untuk membangun perusahaan pakan di luar Jawa, tetapi hal ni

    dalam jangka menengah dan panjang bukanlah tidak mungkin dilaksanakan,

    mengingat bahwa harga tanah di Jawa yang semakin lama semakin tinggi bila

    dibanding dengan harga tanah di luar Jawa.

    Strategi ketiga, dan ini sudah mulai terjadi di dekat kota-kota besar di luar

    Jawa, yaitu mengembangkan industri pakan dan peternakan di luar Jawa dengan

    tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan produksi unggas di luar Jawa. Jika

    industri ini berkembang bukan lah tidak mungkin surplus hasil produksi unggas di

    luar Jawa dipergunakan untuk memasok kebutuhan di Jawa.

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Ubi Kayu

    Secara nasional produksi ubi kayu selama periode 2000 - 2012 cenderung

    meningkat dengan laju pertumbuhan yang moderat, yaitu 3,36 % per tahun

    (Gambar 4.1.14). Laju pertumbuhan produksi tertinggi terjadi di Sumatera dengan

    laju 9,03 % per tahun dan di Sulawesi 2,84 % per tahun. Laju pertumbuhan

    Pro

    du

    ktiv

    itas

    (kw

    t/h

    a)

    Wilayah

    Gambar 4.1.13. Rata-Rata Produktivitas dan Standard Deviasi Produktivitas Jagung, 2000 -

    2012

    Produktivitas

    STDEV

  • 24

    produksi ubi kayu di Jawa sudah relatif rendah, dan sama dengan laju pertumbuhan

    produksi ubi kayu di wilayah Bali+NTB+NTT, yaitu 0,66 % per tahun. Pertumbuhan

    produksi ubi kayu di Kalimantan sudah menunjukkan tren yang menurun, yaitu

    dengan laju pertumbuhan 1,79 % per tahun (Gambar 4.1.15). Secara grafis, pola

    perkembangan produksi ubi kayu menurut wilayah dapat dilihat pada Gambar

    4.1.16. Yang menarik adalah bahwa produksi ubi kayu di Jawa mulai digantikan

    oleh produksi ubi kayu di Sumatera sejak tahun 2011.

    Walaupun pada tahun 2011, produksi ubi kayu di Sumatera sudah lebih

    besar dari pada di Jawa, tetapi dilihat dari pangsa produksinya, Jawa masih

    merupakan sentra produksi ubi kayu, karena menyumbang rata-rata 51 % dari

    produksi nasional. Sedangkan Sumatera merupakan mpenyumbang produksi ke dua

    terbesar, yaitu 35 % (Gambar 4.1.17).

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Pro

    du

    ksi (

    ton

    )

    Tahun

    Gambar 4.1.14. Perkembangan Produksi Ubi Kayu Indonesia, 2000 - 2012

    2000

    2001

    2002

    2003

    2004

    2005

    2006

    2007

  • 25

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Laju

    Per

    tum

    bu

    han

    (%/t

    h)

    Wilayah

    Gambar 4.1.15. Rata-Rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Produksi Ubi Kayu, 2000 - 2012

    Average

    STDEV

    Po

    du

    ksi (

    ton

    )

    Tahun

    Gambar 4.1.16. Perkembangan Produksi Ubi Kayu Menurut Wilayah, 2000 - 2012 Sumatera

    Jawa

    Bali (NTB+NTT)

    Kalimantan

    Sulawesi

    Maluku (+Papua)

    Pangsa Produksi; Sumatera; 035; 35%

    Pangsa Produksi;

    Jawa; 051; 51%

    Pangsa Produksi;

    Bali (NTB+NTT);

    006; 6%

    Pangsa Produksi;

    Kalimantan; 002; 2%

    Pangsa Produksi; Sulawesi; 004; 4%

    Pangsa Produksi; Maluku

    (+Papua); 001; 2%

    Gambar 4.1.17. Pangsa Produksi Ubi Kayu, 2000-2012

  • 26

    Dari sisi produktivitasnya, Sumatera mempunyai produktivitas rata-rata

    terbesar, yaitu 186 kw per hektar, dan produktivitas ubi kayu di Jawa hanya

    mencapai 165,51 kw per hektar (Gambar 4.1.18). Dilihat dari produktivitasnya,

    potensi pengembangan ubi kayu ke depan adalah di wilayah Sulawesi, Kalimantan

    dan Maluku+Papua.

    Ditinjau dari sisi pertumbuhan produksi dan produktivitasnya, prospek

    pengembangan sentra produksi ubi kayu adalah di wilayah Sumatera. Namun

    demikian, mengingat bahwa wilayah Sumatera sudah menjadi sentra

    pengembangan perkebunan, maka pengembangan ubi kayu di Sumatera akan

    mengalamai kendala dalam penyediaan lahannya. Sebagai alternatifnya,

    pengembangan sentra produksi ubi kayu dapat diarahkan ke wilayah timur, seperti

    di wilayah Maluku+Papua. Namun wilayah ini masih memerlukan pengembangan

    infrastruktur pertanian dan transportasi. Mengingat produktivitasnya yang relatif

    rendah, pengembangan ubikayu di Maluku+Papua juga memerlukan

    pengembangan dan adopsi teknologi produksi, yang didukung oleh sarana

    pengolahan, sarana pemasaran dan sarana logistik, serta pengembangan

    kelembagaan dan sumber daya petani.

    Strategi pengembangan ubi kayu secara nasional ini perlu mulai

    mendapatkan perhatian yang lebih serius, mengingat bahwa ubi kayu merupakan

    bahan baku bagi pengembangan agro industri makanan dan industri bio energy.

    Sebagai bahan baku pangan, ubi kayu dapat diolah menjadi tapioca dan modified

    cassava flour (mocaf), yang dapat mensubtitusi gandum. Sebagai bahan bio

    energy, ubi kayu dapat dibuat bio ethanol. Sudah barang tentu strategi

    pengembangan produksi ubi kayu perlu disesuaikan dengan peruntukkannya.

  • 27

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Ubi Jalar

    Produksi ubi jalar selama periode tahun 2000 - 2012 secara nasional

    meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata 2,09 % per tahun (Gambar 4.1.19).

    Pada tahun 2000 total produksi ubi jalar Indonesia mencapai 1,83 juta ton, dan

    meningkat menjadi 2.30 juta ton pada tahun 2012. Pertumbuhan produksi terbesar

    terjadi di Maluku+Papua sebesar 5,90 % per tahun, tetapi pertumbuhan tersebut

    tidak stabil, karena standar deviasinya tinggi, yaitu 32,93 % per tahun.

    Pertumbuhan produksi ubi jalar yang kedua adalah Sulawesi dengan laju 3,66 %

    per tahun. Produksi ubi jalar di Bali+NTT+NTB dan di Kalimantan mengalami

    pertumbuhan negative, masing-masing dengan laju -0,45 % per tahun dan -0,79 %

    per tahun (Gambar 4.1.20). Secara grafis perkembangan produksi ubi jalar menurut

    wilayah dapat dilihat pada Gambar 4.1.21.

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Pro

    du

    ktiv

    itas

    (kw

    t/h

    a)

    Wilayah

    Gambar 4.1. 18. Rata-Rata Produktivitas dan Standard Deviasi Produktivitas Ubi Kayu, 2000

    - 2012

    Produktivitas

    STDEVP

    rod

    uks

    i (to

    n)

    Tahun

    Gambar 4.1.19. Perkembangan Produksi Ubi Jalar Indonesia, 2000 - 2012 2000

    2001

    2002

    2003

    2004

    2005

    2006

  • 28

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Dilihat dari pangsa produksinya, Jawa masih merupakan penyumbang

    produksi ubi jalar terbesar, dengan pangsa produksi sekitar 39 %. Sumatera dan

    Maluku+Papua sama-sama merupakan pemasok ubi jalar kedua terbesar, masing-

    masing dengan pangsa produksi 19 %. Selanjutnya, Bali+NTB+NTB dan Sulawesi

    masing-masing menyumbang 11 dan 8 % dari produksi nasional. Adapun pangsa

    produksi terkecil ada di Kalimantan dengan pangsa produksi sekitar 4 % (Gambar

    4.1.22).

    Laju

    Per

    tum

    bu

    han

    (%/t

    h)

    Wilayah

    Gambar 4.1.20. Rata-Rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Produksi Ubi Jalar, 2000 - 2012

    Average

    STDEV

    Po

    du

    ksi (

    ton

    )

    Tahun

    Gambar 4.1.21. Perkembangan Produksi Ubi Jalar Menurut Wilayah, 2000 - 2012 Sumatera

    Jawa

    Bali (NTB+NTT)

    Kalimantan

  • 29

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Secara nasional, rata-rata produktivitas ubi jalar selama periode tahun 2000

    2012 adalah 101 kw per hektar. Produktivitas ubi jalar secara nasional selama

    periode tahun 2000 - 2012 tumbuh dengan laju yang relatif lamban, yaitu 2,27 %

    per tahun. Jawa masih merupakan daerah dengan produktivitas ubi jalar yang

    tinggi, yaitu 127,46 kwt/ha. Selanjutnya adalah wilayah dengan produktivitas ubi

    jalar tinggi ke produktivitas rendah, yaitu Sumatera 104,23 kwt/ha, Sulawesi 97,03

    kwt/ha, Maluku+Papua 96,34 kwt/ha, Bali+NTB+NTT 93,65 kwt/ha, dan

    Kalimantan 88,16 kwt/ha. Dilihat dari sisi produktivitasnya maka wilayah

    pengembangan produksi ubi jalar di luar Jawa adalah Sumatera, Sulawesi dan

    Maluku+Papua (Gambar 4.1.23).

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Mengingat bahwa sebagian besar ubi jalar dikonsumsi dalam bentuk segar

    baik untuk kudapan, atau pun sebagai bahan pangan pokok terutama oleh

    penduduk di Papua dan Papua Barat, maka strategi pengembangan sentra produksi

    ubi jalar sudah barang tentu akan berbeda dengan strategi pengembangan

    Pangsa Produksi; Sumatera; 019; 19%

    Pangsa Produksi;

    Jawa; 039; 39%

    Pangsa Produksi;

    Bali (NTB+NTT); 011; 11%

    Pangsa Produksi;

    Kalimantan; 004; 4%

    Pangsa Produksi; Sulawesi; 008; 8%

    Pangsa Produksi; Maluku

    (+Papua); 019; 19%

    Gambar 4.1. 22. Pangsa Produksi Ubi Jalar, 2000-2012

    Pro

    du

    ktiv

    itas

    (kw

    t/h

    a)

    Wilayah

    Gambar 41.23. Rata-Rata Produktivitas dan Standard Deviasi Produktivitas Ubi Jalar, 2000 -

    2012

    Produktivitas

    STDEV

  • 30

    produksi ubi kayu yang dapat diproduksi secara massal. Pengembangan produksi

    ubi jalar sebaiknya dalam bentuk klaster-klaster, yang luasannya disesuaikan

    dengan kapasitas permintaan pasar, baik untuk dikonsumsi dalam bentuk umbi

    segar, maupun untuk memenuhi permintaan bahan baku bagi industri pengolahan

    pangan lokal. Dengan demikian sentra pengembangan ubi jalar hendaknya

    disinergikan dengan program pengembangan diversifikasi pangan berbasis sumber

    daya lokal yang memerlukan ubi jalar sebagai bahan bakunya.

    4.1.2. Perkembangan Luas Panen Tanaman Pangan

    Luas Panen Padi

    Cenderung menurunnya peran Jawa sebagai pemasok produksi padi nasional

    berkaitan erat dengan lamabannya pertumbuhan luas panen padi di Jawa. Selama

    periode tahun 2000 sd 2012, luas panen padi di Jawa mencapai puncaknya pada

    tahun 2010, yaitu 6,358 juta ha, kemudian menurun menjadi sekitar 6,17 juta ha

    pada periode tahun 2011 sd 2012. Secara grafis dapat digambarkan laju

    pertumbuhan luas panen padi di wilayah Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara,

    Kalimantan, Sulawesi dan Maluku+Papua (Gambar 4.1.24).

    Rata-rata pertumbuhan luas panen padi di Jawa selama periode 2000

    sampai dengan 2012 adalah 0,63 % per tahun. Rata-rata pertumbuhan luas panen

    padi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa dan mempunyai stabilitas

    yang relatif rendah, terdapat di Bali-Nusa Tenggara (1,26 %/th), Sumatera (1,29

    %/th), Kalimantan (1,68 %/th), dan di Sulawesi (2,48 %/th). Pertumbuhan luas

    panen padi yang tinggi terdapat di wilayah Maluku+Papua, yaitu rata-rata 6,27 %

    per tahun, tetapi stabilitas pertumbuhannya rendah (Gambar 4.1.25).

    Walaupun laju pertumbuhan luas panen padi di Jawa relatif rendah, tetapi

    data menunjukkan bahwa kontribusi luas panen padi di Jawa selama peride 2000-

    2012 masih relatif tinggi, yaitu rata-rata sebesar 48 %. Pangsa luas panen padi tiga

    wilayah terbesar selanjunya adalah Sumatera (11 %), Sulawesi (11%), dan

    Kalimantan (10 %) (Gambar 4.1.26).

  • 31

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Luas Panen Jagung

    Berbeda dengan luas panen padi, luas panen jagung di Indonesia masih

    berkembang dari sekitar 3,5 juta hektar pada tahun 2000, menjadi sekitar 4,0 juta

    Luas

    Pan

    en (

    ha)

    Tahun

    Gambar 4.1.24. Perkembangan Luas Panen Padi Menurut Wilayah, 2000-2012 Sumatera

    Jawa

    Bali (NTB+NTT)

    Kalimantan

    Sulawesi

    Maluku (+Papua)

    Laju

    Per

    tum

    bu

    han

    (%/t

    h)

    Wilayah

    Gambar 25. Rata-Rata dan Stadard Deviasi Pertumbuhan Luas Panen Padi Menurut Wilayah, Tahun 2000-2012

    Pertumbuhan

    STDEV

    Average; Sumatera; 3170941,0;

    26%

    Average; Jawa; 5827962,308;

    48%

    Average; Bali

    (NTB+NTT); 676335,615

    ; 5%

    Average; Kalimantan;

    1204748,846; 10%

    Average; Sulawesi;

    1301855,615; 11%

    Average; Maluku

    (+Papua);

    57281,0; 0%

    Gambar 4.1.26. Pangsa Luas Panen Padi, 2000-2012

  • 32

    hektare pada tahun 2012, atau dengan laju pertumbuhan rata-rata sekitar 1,30 %

    per tahun selama perode 2000 2012. Pertumbuhan luas panen jagung tertinggi

    terdapat di Maluku+Papua, yaitu 8,27 % per tahun, tetapi dengan stabilitas

    pertumbuhan yang rendah (STD 16,43 % per tahun). Pertumbuhan luas panen

    jagung yang lebih stabil terdapat di Sulawesi dan Kalimantan, masing-masing

    dengan laju pertumbuhan 4,49 dan 2,70 % per tahun (Gambar 4.1.27 dan 4.1.28).

    Rendahnya pertumbuhan luas panen jagung di Jawa menandakan bahwa lambat

    laun peran Jawa sebagai penghasil jagung akan beralih ke Sulawesi dan

    Kalimantan.

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Walaupun pada saat ini pertumbuhan luas panen jagung di Jawa sudah

    melambat, namun peran Jawa sebagai penyedia lahan untuk produksi jagung pada

    saat ini masih relatif tinggi, yaitu 54 %. Angka ini jauh diatas pangsa luas panen

    Luas

    Pan

    en (

    ha)

    Tahun

    Gambar 4.1. 27. Perkembangan Luas Panen Jagung Menurut Wilayah, Tahun 2000-2012 Sumatera

    Jawa

    Bali (NTB+NTT)

    Kalimantan

    Sulawesi

    Maluku (+Papua)

    Laju

    Per

    tum

    bu

    han

    (%/t

    h)

    Wilayah

    Gambar 4.1.28. Rata-Rata dan Stadard Deviasi Pertumbuhan Luas Panen Jagung Menurut

    Wilayah, Tahun 2000-2012

    Pertumbuhan

    STDEV

  • 33

    jagung di Sumatera yang hanya 21%, Sulawesi 14%, dan Bali+NTB+NTT sebesar

    9% (Gambar 4.1.29).

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Luas Panen Ubi Kayu

    Perkembangan luas panen ubi kayu di Indonesia menunjukkan pertumbuhan

    rata-rata yang negatif, yaitu rata-rata tumbuh dengan laju - 0,7 %. Pada tahun

    2000 luas lahan panen ubi kayu di Indonesia masih sekitar 1,28 juta hektar, tetapi

    luas panen tersebut menyusut menjadi 1,18 juta hektar pada tahun 2012.

    Penyusutan luas panen ubi kayu tertinggi terjadi di Kalimantan, yaitu sebesar

    3,86 % per tahun, selanjutnya di Sulawesi - 2,15 per tahun, Jawa 1,75 % per

    tahun, dan ironisnya penurunan luas panen juga terjadi di Maluku+Papua.

    Sebaliknya luas panen ubi kayu meningkat di Sumatera dengan laju 1,67 %

    per tahun dan di Bali+NTB+NTT sebesar 0,66 % per tahun (Gambar 4.1.30 dan

    4.1.31). Penurunan luas panen ubi kayu secara nasional ini perlu dicermati,

    mengingat posisi Indonesia sebagai eksportir produk ubi kayu. Jika hal ini berjalan

    secara berkelanjutan, bukanlah mustahil jika suatu saat Indonesia akan menjadi

    negara net importir ubi kayu, sebagaimana telah dialami pada komoditas kedelai.

    Average; Sumatera;

    766681,769; 21%

    Average; Jawa;

    1954917,846; 54%

    Average; Bali

    (NTB+NTT); 331856,0;

    9%

    Average; Kalimantan; 63251,308;

    2%

    Average; Sulawesi;

    511481,692; 14%

    Average; Maluku

    (+Papua); 16900,923;

    0%

    Gambar 4.1.29. Pangsa Luas Panen Jagung, 2000-2012

  • 34

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Walaupun luas panen ubi kayu di Jawa cenderung menyusut, namun

    kontribusi luas panen ubi kayu di Jawa terhadap total luas panen ubi kayu nasional

    masih cukup tinggi, yaitu sekitar 50 %. Posisi penyumbang luas panen kedua

    adalah Sumatera, Sedangkan sumbangan luas panen ubi kayu di daerah lainnya

    boleh dikatakan relatif kecil, yaitu di bawah 10 % (Gambar 4.1.32).

    Luas

    Pan

    en (

    ha)

    Tahun

    Gambar 4.1.30. Perkembangan Luas Panen Ubi Kayu Menurut Wilayah, 2000-2012

    Sumatera

    Jawa

    Bali (NTB+NTT)

    Kalimantan

    Sulawesi

    Laju

    Per

    tum

    bu

    han

    (%/t

    h)

    Wilayah

    Gambar 4.1. 31. Rata-Rata dan Stadard Deviasi Pertumbuhan Luas Panen Ubi Kayu Menurut

    Wilayah, 2000-2012

    Pertumbuhan

    STDEV

  • 35

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Luas Panen Ubi Jalar

    Seperti halnya dengan luas panen ubi kayu, luas panen ubi jalar secara

    nasional cenderung menyusut pada periode tahun 2000 2012 dengan laju

    penurunan rata-rata sebesar - 0,56 % per tahun. Pada tahun 2000, luas panen

    ubi jalar di Indonesia masih 194,26 ribu hektar, turun menjadi 179,28 ribu hektare

    pada tahun 2012. Penurunan luas panen ubi jalar tertinggi terjadi di Kalimantan,

    dengan laju penurunan rata-rata sebesar 2,56 % per tahun.

    Penurunan luas panen di Jawa adalah 1,51 % per tahun, kemudian di

    Bali+NTB+NTT sebesar 0,54 % per tahun dan di Sumatera sebesar 0,20 % per

    tahun. Luas panen ubi jalar masih meningkat di Sulawesi dengan laju peningkatan

    sebesar 1,04 % per tahun dan di Maluku+Papua sebesar 4,69 % tetapi dengan

    stablitas yang rendah (STD 33,14 % per tahun) (Gambar 4.1.33 dan 4.1.34).

    Average; Sumatera; 387377,0;

    31%

    Average; Jawa;

    615217,538; 50%

    Average; Bali (NTB+NTT); 106813,462;

    9%

    Average; Kalimantan; 34872,462;

    3%

    Sulawesi 5%

    Average; Maluku

    (+Papua); 23753,923;

    2%

    Gambar 4.1.32. Pangsa Luas Panen Ubi Kayu, 2000-2012

  • 36

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Walaupun luas panen ubi jalar di Jawa cenderung menurun, tetapi

    sumbangan luas panen di Jawa masih tinggi, yaitu sekitar 33 %. Penyumbang luas

    panen tertinggi kedua adalah luas panen ubi jalar di Maluku+Papua, dengan

    pangsa 22 %, yang kemudian diikuti dengan lauas panen ubi jalar di Sumatera,

    Bali+NTB+NTT, Sulawesi, dan Kalimantan dengan sumbangan masing-masing

    berturut-turut sebagai berikut 19 %, 12 %, 9 % dan 5 % (Gambar 4.1.35). Kondisi

    semacam ini mengindikasikan bahwa ke depan penyumbang luas panen ubi jalar

    dari Jawa akan cenderung beralih ke wilayah timur, yaitu Maluku+Papua dan

    Sulawesi.

    Luas

    Pan

    en (

    ha)

    Tahun

    Gambar 4.1.33. Perkembangan Luas Panen Ubi Jalar Menurut Wilayah, 2000-2012

    Sumatera

    Jawa

    Bali (NTB+NTT)

    Kalimantan

    Sulawesi

    Maluku (+Papua)

    Laju

    Per

    tum

    bu

    han

    (%/t

    h)

    Wilayah

    Gambar 4.1.34. Rata-Rata dan Stadard Deviasi Pertumbuhan Luas Panen Ubi Jalar Menurut Wilayah,

    2000-2012

    Pertumbuhan

    STDEV

  • 37

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Pola Luas Panen Padi, Jagung, Ubi kayu dan Ubi jalar

    Data nasional dengan menggabungkan luas panen padi, jagung dan ubi

    kayu+ubi jalar menunjukkan bahwa pangsa luas panen padi selama periode 2000

    2012 naik 1,19 %, yaitu dari 70,32 % pada tahun 2000, menjadi 71,51 % pada

    tahun 2012 (Gambar 4.1.36). Hal ini menunjukkan bahwa petani pada umumnya

    masih memilih menanam padi dibandingkan dengan menanam jagung.

    Sebagaimana data menunjukkan bahwa penambahan pangsa luas panen jagung

    selama periode 2000 - 2012 relatif lebih kecil, yaitu 0, 40 %.

    Sebaliknya data juga menunjukkan bahwa pangsa luas panen ubi kayu+ubi

    jalar selama periode tahun 2000 2012 mengalami penurunan sebesar 1,59 %,

    yaitu dari 8,81 % pada tahun 2000 menjadi 7,22 % pada tahun 2012. Keadaan ini

    mengindikasikan bahwa selama periode 2000 2012, ubi kayu dan ubi jalar tidak

    memberikan insentif yang memadai bila dibandingkan dengan menanam padi atau

    jagung.

    Masih meningkatnya pangsa luas panen padi dibandingkan dengan pangsa

    luas panen jagung, mengindikasikan bahwa kebijakan-kebijakan Pemerintah untuk

    mendukung peningkatan produksi padi, baik berupa subsidi pupuk dan benih,

    pengendalian harga produsen melalui kebijakan pengadaan gabah/beras dalam

    negeri, serta pengendalian tataniaga impor beras, ternyata mempunyai dampak

    Average; Sumatera; 35313,769;

    19%

    Average; Jawa;

    59276,154; 33%

    Average; Bali

    (NTB+NTT); 22370,0;

    12%

    Average; Kalimantan; 8597,538;

    5%

    Average; Sulawesi;

    17047,308; 9%

    Average; Maluku

    (+Papua); 39263,0;

    22%

    Gambar 35. Pangsa Luas Panen Ubi Jalar, 2000-2012

  • 38

    positif dalam memberikan insentif bagi petani untuk memilih menanam padi,

    dibandingkan menanam jagung.

    Sebenarnya Pemerintah juga memberikan kebijakan mendukung

    peningkatan produksi jagung, namun demikian paket kebijakan untuk peningkatan

    produksi jagung tidak selengkap paket kebijakan peningkatan produksi padi.

    Bahkan dapat dikatakan bahwa peningkatan produksi jagung lebih banyak didorong

    oleh pemanfaatan benih unggul, baik jagung komposit maupun jagung hibrida, dan

    ditarik oleh industri pengolahan pakan ternak yang menggunakan jagung sebagai

    bahan baku utamanya.

    Sumber data: BPS (data diolah)

    Berbeda dengan padi dan jagung, pengembangan ubi kayu dan ubi jalar di

    Indonesia boleh dikatakan tidak didukung oleh kebijakan dan program pemerintah.

    Oleh karena itu, dampak yang terjadi adalah bahwa petani tidak atau kurang

    mempunyai insentif untuk menanam ubi kayu atau ubi jalar. Bahkan data secara

    tidak langsung menunjukkan adanya kecenderungan bagi petani untuk beralih dari

    menanam ubi kayu dan ubi jalar, dan menggantikannya dengan dengan menanam

    padi atau jagung. Jika hal ini berjalan secara berkelanjutan, maka dikhawatirkan

    bahwa diversifikasi produksi pangan nasional akan berkurang, dan hal ini dalam

    jangka menengah, ataupun jangka panjang akan menimbulkan kerentanan bagi

    system produksi pangan nasional. Kedepan risiko kegagalan produksi akan

    Per

    sen

    Tahun

    Gambar 4.1.36. Pangsa Luas Panen Padi, Jagung dan Ubikayu+Ubijalar, 2000 - 2012

    Ubikayu+Ubijalar

    Jagung

    Padi

  • 39

    meningkat akibat perubahan iklim global yang semakin dirasakan dampak

    negatifnya. Diversifikasi produksi pangan diharapkan dapat mengurangi risiko

    kegagalan produksi akibat semakin meningkatnya cekaman lingkungan.

    4.1.2. Perkembangan Harga Gabah, Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar

    Secara umum data menunjukkan bahwa perkembangan harga gabah (GKG),

    jagung (pipilan kering), ubi kayu (basah) dan ubi jalar (basah) selama periode 2011

    sampai dengan bulan November 2013 dapat dikatakan stagnan, walaupun ada

    gejolak harga pada minggu-minggu tertentu (Gambar 4.1.37). Mengingat bahwa

    data harga dikumpulkan pada tingkat produsen, maka lonjakan-lonjakan harga

    keempat komoditas tersebut diduga berkaitan erat dengan pola panen diwilayah

    pengamatan. Pada saat musim tidak panen (paceklik) harga cenderung meningkat.

    Sebaliknya pada musim panen harga cenderung menurun. Yang menarik dari data

    harga tersebut, umumnya lonjakan harga naik hanya berjalan dalam waktu singkat,

    yaitu dalam bilangan mingguan. Kemudian harga umumnya turun kembali pada

    tingkat normal.

    Harga gabah pada minggu pertama bulan Maret sampai dengan Mei 2011

    cenderung turun yaitu menjadi sekitar Rp 3.000,-/kg, dari posisi harga Januari 2011

    sekitar Rp 4.000,-/kg. Kemudian pada bulan Juli 2011 harga gabah cenderung naik

    menjadi sekitar Rp 5.000,-/kg, tetapi pada bulan Agustus 2011 harga gabah sudah

    turun kembali menjadi sekitar Rp 4.000,-/kg. Lonjakan-lonjakan harga gabah

    dengan pola yang serupa juga terjadi selama periode pengamatan.

  • 40

    Sumber data: Ditjen PPHP, Kementan (data diolah)

    Dengan pola harga demikian, dapat dikatakan bahwa selama periode tahun

    2011 2013 harga gabah cenderung stabil pada harga rata-rata Rp 4.296,40/kg

    dengan koefisien variasi (CV) yang relatif rendah, yaitu 11.07 %. Harga tertinggi

    gabah yang pernah dicapai adalah Rp 5.316,-/kg. Sedangkan harga terendah

    berada pada posisi harga Rp 3.000,-/kg. Pola perubahan harga gabah yang relatif

    stabil tersebut diduga erat kaitannya dengan program Pemerintah untuk melakukan

    stabilisasi harga pada tingkat produsen, melalui kebijakan pembelian gabah/beras

    dalam negeri oleh Perum Bulog pada Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

    Harga jagung pipilan selama periode pengamatan juga menunjukkan pola

    harga yang serupa dengan pola harga beras, tetapi dengan frekuensi lonjakan-

    lonjakan harga yang lebih sering jika dibandingkan dengan harga gabah. Harga

    jagung secara umum dapat dikatakan stabil pada harga rata-rata Rp 3.340,18/kg,

    dengan angka koefisien variasi sebesar 11,57 %. Harga jagung tertinggi yang

    pernah dicapai selama periode pengamatan adalah Rp 4.914,-/kg. Sedangkat

    tingkat harga jagung terendah yang pernah dicapai adalah Rp 2.486,-/kg. Dapat

    diketahui bahwa angka koefisien variasi harga jagung tidak jauh berbeda dengan

    besarnya angka koefisien variasi harga gabah.

    Hal ini secara implisit menunjukkan bahwa walaupun tidak ada kebijakan

    stabilisasi harga jagung pada tingkat produsen, tetapi mekanisme pasar telah

    mampu melakukan stabilisasi harga pada tingkat produsen. Hal ini dilakukan baik

    melalui proses pengolahan, sehingga jagung dapat disimpan dalam waktu relatif

    Har

    ga R

    p/k

    g

    Gambar 4.1.37. Perkembangan Harga Gabah, Jagung,

    Ubi Kayu dan Ubi Jalar, 2011 - 2013

    Gabah KeringGiling (GKG)

    Jagung PipilanKering

    Ubi Kayu Basah

    Ubi Jalar Basah

  • 41

    lama, maupun melalui pembelian pada saat panen oleh perusahaan pengolah pakan

    ternak yang merupakan pembeli terbesar dari produksi jagung ini. Perusahaan

    pengolah pakan ternak inilah yang kemudian melakukan proses

    pengolahan/pengeringan dan penyimpanan.

    Berbeda dengan pola harga jagung, pola harga ubi kayu relatif tidak stabil

    jika dibanding dengan harga jagung. Walaupun demikian lonjakan harga pada ubi

    kayu terjadi pada interval yang lebih lama jika dibandingkan dengan harga jagung.

    Hal ini kemungkinan besar terkait dengan umur tanaman ubi kayu yang panjang,

    yaitu mencapai 7 sampai dengan 9 bulan, dibandingkan dengan umur panen

    jagung yang hanya 86 sampai dengan 96 hari. Adapun harga rata-rata ubi kayu

    basah selama periode pengamatan adalah Rp 2.105,99/kg dengan koefisien variasi

    sebesar 30,33 %. Harga tertinggi ubi kayu adalah Rp 4.343,-/kg, dan harga

    terendahnya tercapai pada harga Rp 1.100,-/kg. Lonjakan harga yang tinggi pada

    ubi kayu ini diduga karena ubi kayu di jual dalam bentuk umbi basah, sehingga

    boleh dikatakan bahwa umumnya petani tidak menyimpan atau mengolah ubi kayu

    hasil produksinya untuk menahan harga agar tidak terlalu turun. Memang ada di

    beberapa lokasi, petani menyimpan sebagian hasil produksinya untuk konsumsi

    sendiri, dan diolah menjadi gaplek. Pengolahan ubi kayu basah pada umumnya

    dilakukan oleh para industri pengolahan ubi kayu.

    Menurut hasil analisis data, harga tertinggi ubi jalar basah pada periode

    pengamatan adalah Rp 4.071,-/kg, harga terendahnya adalah Rp 2.000,-/kg.

    Adapun harga rata-rata adalah Rp 2.960,32,-/kg, dengan koefisien variasi sebesar

    16,82 %. Harga ubi jalar mengalami fluktuasi harga yang mirip dengan pola harga

    ubi kayu, tetapi dengan selang interval fluktuasi yang lebih pendek. Hal ini diduga

    berkaitan erat dengan masa tanam ubi jalar yang berkisar antara 3 sampai dengan

    4 bulan. Kemiripan pola harga antara ubi jalar dengan ubi kayu karena petani

    umumnya menjual ke dua komoitas ini dalam bentuk umbi basah.

    Namun demikian data menunjukkan bahwa koefisien variasi harga ubi jalar

    jauh lebih kecil dari koefisien variasi harga ubi kayu. Hal ini diduga bahwa pasar

    akan lebih cepat dalam menyerap hasil panen ubi jalar, keadaan ini mungkin terjadi

  • 42

    karena petani sudah menyesuaikan volume produksi ubi jalar dengan kemampuan

    pasar untuk menyerapnya. Di Jawa, khususnya di Jawa Barat, ubi jalar umumnya

    dikonsumsi sebagai kudapan, bukan sebagai bahan makanan pokok (contonya ubi

    Cilembu). Sebaliknya di Papua dan Papua Barat, ubi jalar masih menjadi bahan

    makanan pokok pagi penduduk setempat.

    4.1.3. Kebijakan, Program, Permasalahan dan Tantangan Produksi

    Pangan

    Selama ini kebijakan pangan pemerintah bias pada kebijakan komoditas padi.

    Memang beras merupakan kebutuhan pangan pokok sebagian besar masyarakat

    Indonesia, namun kebijakan terhadap beras dibandingkan dengan pangan jenis

    lainnya sangat tidak proposional. Kebijakan tersebut berlanjut dengan

    ditetapkannya program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) sejak tahun

    2008. Di Kementerian Pertanian, program ini dilaksanakan oleh beberapa unit kerja

    eselon I, namun Dirjen Tanaman Pangan bertindak sebagai komandonya. Program

    ini bertujuan untuk peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai yang juga

    menjadi target swasembada pemerintah melalui program Kementerian Pertanian

    dengan kementerian lainnya. Program ini dilaksanakan sampai saat ini dengan

    jumlah dana yang relatif besar. Bahkan untuk 18 propinsi yang merupakan sentra

    produksi beras, alokasi dana untuk program ini lebih besar