KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN...
Transcript of KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN...
-
LAPORAN KEGIATAN KAJIAN ISU-ISU AKTUAL KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN 2013
KAJIAN STRATEGI PENGEMBANGAN DIVERSIFIKASI PANGAN LOKAL
Oleh:
Mewa Ariani Hermanto
Gatoet Sroe Hardono Sugiarto
Tonny Sulistiyo Wahyudi
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PERTANIAN
2013
-
I
KATA PENGANTAR
Mewujudkan ketahanan pangan nasional yang tertumpu pada kemandirian
dan kedaulatan pangan telah menjadi komitmen pemerintah dalam rangka
pembangunan ekonomi dan pertanian domestik. Ketahanan pangan dibangun
berdasarkan sumberdaya, kelembagaan, dan budaya lokal yang bertujuan untuk
meningkatkan keanekaragaman produksi dan konsumsi pangan lokal yang
bergizi dan aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.
Pemerintah menetapkan kebijakan Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal yang ditindaklanjuti dengan
Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya
Lokal oleh Kementerian Pertanian dengan target terjadi penurunan konsumsi
beras sebesar 1,5 %/tahun dan kenaikan skor Pola Pangan Harapan (PPH)
sebesar 1/tahun. Hal ini berarti pola pangan masyarakat Indonesia harus
berdiversifikasi tidak hanya pangan pokok yang bertumpu pada beras tetapi juga
diversifikasi pangan secara luas. Potensi pangan lokal sumber karbohidrat di
Indonesia telah banyak dan beragam jenisnya seperti jagung, ubikayu, ubijalar,
sagu, adung, gembili, pisang, sukun, talas dan lain-lain. Pangan ini dapat
dikembangkan sebagai upaya mempercepat diversifikasi pangan.
Pada tahun 2013, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
melaksanakan kajian Strategi Pengembangan Diversifikasi Pangan Lokal.
Kajian ini termasuk dalam ranah kegiatan Analisis Kebijakan. Hasil kajian ini
diharapkan sebagai bahan penyempurnaan kebijakan pangan terutama dikaitkan
dengan diversifikasi pangan. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak dan tim yang telah membantu dari persiapan dan sampai tersusunnya
laporan. Semoga laporan ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Bogor, Desember 2013
Kepala Pusat
Dr. Ir. Handewi Purwati Saliem.MS
NIP. 19570604 198103 2 001
-
II
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ..................
DAFTAR TABEL .......... DAFTAR GAMBAR .........
i ii
iii vi
I. PENDAHULUAN . 1 1.1. Latar Belakang
Dasar Pertimbangan Tujuan Penelitian ... Keluaran Penelitian ............
Perkiraan Manfaat dan Dampak .............
1
1.2. 4 1.3. 6 1.4. 7
1.5. 7
II. TINJAUAN PUSTAKA .. 7 2.1. Kerangka Teoritis . 7
2.2. Hasil-Hasil Penelitian Terkait .. 9
III. METODOLOGI .. 12
3.1. Kerangka Pemikiran . 12 3.2. Ruang Lingkup Kegiatan .. 13
3.3. Lokasi Penelitian ........................ 13 3.4. Data dan Metode Analisis . 14
3.4.1. Jenis dan Sumber Data . 14 3.4.2. Metode Analisis . 14
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............... 15 4.1. Potensi dan Capaian Produksi Pangan Lokal ........ 15
4.1.1. Potensi Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan ....................................................
15
4.1.2. Perkembangan Harga Gabah, Jagung,
Ubi Kayu dan Ubi Jalar ................................
39 4.1.3. Kebijakan, Program, Permasalahan dan
Tantangan Produksi Pangan ......................
42 4.2. Pola Konsumsi Pangan Lokal .... 44
4.2.1. Pangsa Pengeluaran Pangan ... 44 4.2.2. Konsumsi Energi dan Protein Serta
Diversifikasi Konsumsi Pangan ...... 45 51
4.2.3. Tingkat Konsumsi Pangan ............ 59 4.2.4. Kebijakan, Program, Permasalahan dan
Tantangan Pola Konsumsi Pangan ......
63
4.3. Industri Pengolahan dan Produk Pangan Lokal ............ 68
-
III
4.3.1. Industri Pengolahan Pangan Lokal ...... 68 4.3.2. Teknologi Pengolahan Pangan .............. 82
4.3.3. Produk dan Harga Pangan ....................... 84 4.4.
4.5.
Kebijakan Program, Permasalahan dan Tantangan
Teknologi Industri Pangan .................. Strategi Pengembangan Diversifikasi Pangan ..............
88 91
4.5.1. Identifikasi Unsur SWOT ... 91 4.5.2. Alternatif Kebijakan Untuk Pengembangan
Program ...................................................
101
V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN . 103
5.1. Kesimpulan .. 103 5.2. Implikasi Kebijakan 107
DAFTAR PUSTAKA . LAMPIRAN .................................
109 110
-
IV
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1.
4.2.1.
4.2.2. 4.2.3.
4.2.4. 4.2.5.
4.2.6.
4.2.8. 4.2.9.
4.2.10
4.2.11
4.2.12
4.2.13
4.2.14
4.2.15
4.2.16
4.3.1.
4.3.2.
4.3.3.
4.3.4. 4.3.5.
4.3.6. 4.3.7.
Distribusi Propinsi Menurut Pola Konsumsi Makanan Pokok Tahun 1979, 1984 dan 1996 . Dinamika Pangsa Pengeluaran Pangan Nasional (%) ..
Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Pulau (%) ... Pangsa Pengeluaran Padi-padian Menurut Pulau ....
Pangsa Pengeluaran Umbi-umbian Menurut Pulau (%) .......... Distribusi Propinsi Menurut Tingkat Konsumsi Energi dan Protein 2012 ..................................................................
Konsumsi Energi, Protein dan Skor PPH Provinsi Banten .......................................................
Pencapaian Skor PPH .. .. Distribusi Propinsi Berdasarkan Perubahan Skor PPH
(2005 dan 2012) .......................................................... Pola Pangan Masyarakat, 2011 dan 2012 Gram/Kapita/Hari) ........................................................
Perkembangan Pola Konsumsi Pangan Pokok Di Indonesia Di Indonesia ..
Tingkat Konsumsi Pangan: Beras, Umbi-umbian dan Terigu Menurut Wilayah (Kg/Kap/Th) ......
Rata-rata Tingkat Konsumsi Beras dan Terigu Menurut Pulau (Kg/Kap/Th) ..................................... Rata-rata Tingkat Konsumsi Jagung, Ubikayu dan Ubijalar
Menurut Pulau (Kg/Kap/Th) ......................................... Rata-rata Tingkat Konsumsi Sagu dan Umbi Lainnya
Menurut Pulau (Kg/Kap/Th) ........................................... Perkembangan Kebijakan/Program/Kegiatan Diversifikasi Konsumsi Pangan ................................................................
Kinerja Umum Industri Besar dan Sedang Tahun 2007 2011 .....................................................................
Jumlah Industri Pangan, Penyerapan Tenaga Kerja dan Nilai Tambah .....................................................................
Beberapa Produk Industri Pengolahan Padi, Palawija, Kacang- Kacangan, Umbi-umbian dan Pangan Sumber Karbohidrat Lain 2011 .........................................................................
Beberapa Produk Industri Pangan Hewan 2011 .. Beberapa Produk Industri Pangan Nabati .............
Beberapa Produk Industri Sayur Buah ......... Beberapa Produk Industri Minyak, Lemak dan
Produk Turunannya ............................................................
11 46
47 50
51
55
57
58
58
58
60
61
61
62
62
67
73
75
76
77 78
78
79
-
V
4.3.8.
4.3.9.
4.3.10 4.3.11
4.4.1.
4.4.2.
4.4.3.
4.4.4.
Beberapa Produk Industri Gula, Produk Turunan Gula,
Dan Pemanis Lain .............................................................. Beberapa Produk Industri Minuman dan Penyegar Lain ..........
Beberapa Produk Industri Pangan Lainnya ............................ Rataan Harga Produsen Beberapa Jenis Komoditas Pangan ....
Matrik Urgensi Internal Dalam Pengembangan Diversifikasi Pangan ........................................................... Matrik Urgensi Eksternal Dalam Pengembangan
Diversifikasi Pangan ........................................................... Nilai Keterkaitan Antara Faktor Internal dan Eksternal
Pengembangan Diversifikasi Pangan .................................... Formulasi Strategi Pengembangan Diversifikasi Pangan Berdasarkan Evaluasi Faktor Internal Eksternal .................
80 81
81 87
97
97
99
100
-
VI
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
4.1.1. 4.1.2. 4.1.3.
4.1.4.
4.1.5. 4.1.6. 4.1.7.
4.1.8.
4.1.9. 4.1.10.
4.1.11.
4.1.12. 4.1.13.
4.1.14.
4.1.15.
4.1.16.
4.1.17.
4.1.18.
4.1.19.
4.1.20.
4.1.21.
4.1.22. 4.1.23.
4.1.24.
4.1.25.
4.1.26.
Perkembangan Produksi Padi Indonesia 2000 2012 .......
Perkembangan Produksi Padi Menurut Wilayah 2000 2012 ..... Rata-rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Produksi Padi 2000 - 2012 ..............................................................
Pangsa Produksi Padi 2000 2012 ....... Perkembangan Pangsa Produksi Padi 2000 2012 ...................
Perkembangan Produktivitas Padi 2000 2012 ........................ Rata-rata Produktivitas dan Standard Deviasi Produksi Padi 2000 2012 ...................................................................
Laju Pertumbuhan Produktivitas Padi 2000 2012 ................... Perkembangan Produksi Jagung Indonesia 2000 2012 ...........
Rata-rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Produksi Jagung 2000 2012 ..............................................................
Perkembangan Produksi Jagung Menurut Wilayah 2000-2012 ................................................................ Pangsa Produksi Jagung 2000 2012 .....................................
Rata-rata Produktivitas dan Standard Deviasi Produktivitas Jagung 2000 2012 ...............................................................
Perkembangan Produksi Ubi Kayu Indonesia 2000 2012 ......... Rata-rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Produksi
Ubi Kayu 2000 2012 ............................................................. Perkembangan Produksi Ubi Kayu Menurut Wilayah 2000 2012 ..............................................................
Pangsa Produksi Ubi Kayu 2000 2012 .................................... Rata-rata Produktivitas dan Standard Deviasi Produktivitas
Ubi Kayu 2000 2012 ............................................................ Perkembangan Produksi Ubi Jalar Indonesia 2000 2012 .........
Rata-rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Produksi Ubi Jalar 2000 2012 ............................................................ Perkembangan Produksi Ubi Jalar Menurut
Wilayah 2000 2012 ............................................................. Pangsa Produksi Ubi Jalar 2000 2012 ...................................
Rata-rata Produktivitas dan Standard Deviasi Produktivitas Ubi Jalar 2000 2012 ........................................................... Perkembangan Luas Panen Padi Menurut
Wilayah 2000 2012 .............................................................. Rata-rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Luas Panen Padi
Menurut Wilayah Tahun 2000 2012 ....................................... Pangsa Luas Panen Padi 2000 2012 ......................................
16 16
17 18
19 20
20 20
21
21
22
22
23 24
25
25 25
27 27
28
28
29
29
31
31
31
-
VII
4.1.27.
4.1.28.
4.1.29.
4.1.30.
4.1.31.
4.1.32.
4.1.33.
4.1.34.
4.1.35.
4.1.36.
4.1.37.
4.2.1.
4.2.2. 4.2.3.
4.2.4. 4.2.5.
4.2.6. 4.2.7. 4.2.8.
4.3.1. 4.3.2.
4.3.3. 4.4.1.
Perkembangan Luas Panen Jagung Menurut Wilayah
Tahun 2000 2012................................................................. Rata-rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Luas Panen
Jagug Menurut Wilayah Tahun 2000 2012 ............................. Pangsa Luas Panen Jagung 2000 2012 ..................................
Perkembangan Luas Panen Ubi Kayu Menurut Wilayah 2000 2012 ........................................................................... Rata-rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Luas Panen
Ubi Kayu Menurut Wilayah 2000 2012 .................................... Pangsa Luas Panen Ubi Kayu 2000 2012 ................................
Perkembangan Luas Panen Ubi Jalar Menurut Wilayah 2000 2012 ........................................................................... Rata-rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Luas Panen
Ubi Jalar Menurut Wilayah 2000 2012 .................................... Pangsa Luas Panen Ubi Jalar 2000 2012 .................................
Pangsa Luas Panen Padi, Jagung, dan Ubi Kayu + Ubi Jalar 2000 2012 ............................................................................
Perkembangan Harga Gabah, Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar 2011 2013 ............................................................. Pangsa Pengeluaran Pangan (%) ..............................................
Pangsa Pengeluaran Kelompok Pangan Tingkat Nasional (%) ..... Pangsa Pengeluaran Kelompok Pangan di Perkotaan (%) ...........
Pangsa Pengeluaran Kelompok Pangan di Pedesaan (%) ............ Konsumsi Energi Menurut Wilayah ............................................
Konsumsi Protein Menurut Wilayah ........................................... Konsusmi Energi dan Protein di Kab. Gunung Kidul .................... Capaian Skor PPH ....................................................................
Peran Sektor Industri Pangan Dalam Pembentukan PDB ............. Pencapaian Kapasitas Terpasang Industri, 2006 2010 .............
Dinamika Harga Komoditas Pangan 2000 2011 ....................... Peta Kekuatan Faktor-faktor yang Dapat Menentukan Kesuksesan Pengembangan Diversifikasi Pangan
Di Indonesia ...........................................................................
32
32 33
34
34 35
36
36 37
38
40 46
49 49
50 53
53 56 58
70 72
88
100
-
VIII
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
4.1.
4.2.
4.3.
Gambar Skema Pemanfaatan Ubi kayu Untuk Berbagai Produk Pangan ................................. Gambar Skema Pemanfaatan Jagung Untuk Berbagai Produk
Pangan ................................................................. Gambar Skema Pemanfaatan Sagu Untuk Berbagai Produk
Pangan ..............................................................
111
112
113
-
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dan strategis,
mengingat pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Oleh karenannya,
pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan ketahanan pangan di berbagai
tingkatan wilayah, mulai dari tingkat nasional sampai rumahtangga bahkan individu
sesuai konsep ketahanan pangan dalam Undang-Undang Pangan No. 7, 1996.
Terdapat 11 permasalahan mendasar di sektor pertanian diantaranya adalah masih
rawannya ketahanan pangan dan belum berjalannya diversifikasi pangan dengan
baik. Berkaitan dengan hal tersebut, Kementerian Pertanian (2009), yang
dituangkan dalam Renstra Kementerian Pertanian tahun 2010-2014 mencanangkan
empat target sukses pertanian yang salah satunya adalah peningkatan diversifikasi
pangan.
Pencanangan target sukses ini didasari pada masih belum tercapainya
konsumsi sesuai Pola Pangan harapan (PPH). Dengan jumlah penduduk yang besar
dan akan terus bertambah maka dominasi beras dalam pola konsumsi pangan akan
memberatkan upaya pemantapan pangan secara berkelanjutan di tingkat lokalita.
Tantangan ke depan adalah bagaimana mendidik masyarakat untuk melakukan
diversifikasi produksi dan konsumsi bahan pangan sesuai skor PPH yang
dicanangkan. Dengan demikian diharapkan ketahanan pangan nasional akan dapat
dicapai secara berkelanjutan. Disamping itu, sumberdaya alam yang tersedia dapat
dikembangkan untuk mendorong komoditas pangan lain dan bahan baku industri
yang mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat dan devisa negara.
Dalam kebijakan terbaru seperti pada Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia atau dikenal dengan MP3EI, (Kemenko Bidang
Perekonomian, 2011), juga menyebutkan akan pentingnya diversifikasi pangan
untuk mendukung ketahanan pangan nasional. Dalam MP3EI disebutkan bahwa
ketahanan pangan merupakan prasyarat penting mendukung keberhasilan
pembangunan Indonesia. Ketahanan pangan yang dibangun berdasarkan prinsip-
-
2
prinsip sebagai berikut: 1) Ketahanan pangan memperhatikan dimensi konsumsi
dan produksi, 2) Pangan tersedia secara mencukupi dan merata bagi seluruh rakyat
Indonesia untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sehat dan produktif, 3) Upaya
diversifikasi konsumsi pangan terjadi jika pendapatan masyarakat meningkat dan
produk pangan dihargai sesuai dengan nilai ekonominya, 4) Diversifikasi produksi
pangan terutama tepung-tepungan, disesuaikan dengan potensi produksi pangan
daerah, 5) Pembangunan sentra produksi pangan baru berskala ekonomi luas di
Luar Jawa dan 6) Peningkatan produktivitas melalui peningkatan kegiatan penelitan
dan pengembangan khususnya untuk bibit maupun teknologi pasca panen.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) RI Nomor. 68 Tahun 2002 tentang
Ketahanan Pangan, secara eksplisit dituangkan bahwa penganekaragaman pangan
diselenggarakan untuk meningkatkan ketahanan pangan dengan memperhatikan
sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal (Badan Bimas Ketahanan Pangan,
2003). Ketahanan pangan diwujudkan dengan membangun kemandirian pangan
yaitu untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional dari produksi domestik. Namun
untuk mewujudkan hal tersebut tidak mudah karena jumlah penduduk terus
bertambah. Jumlah penduduk tahun 2010 sebesar 237,5 juta jiwa, dimana
53,45% berada di Pulau Jawa dengan laju pertumbuhan sebesar 1,49%. (BPS,
2011). Diperkirakan pada tahun 2020, penduduk Indonesia berjumlah 250 juta.
Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan pangan nasional untuk memperkuat
ketahanan pangan tidaklah mudah. Sumaryanto (2009) mengemukakan kendala
yang dihadapi dalam peningkatan ketersediaan produksi pangan per kapita
terutama adalah: (1) pertumbuhan luas panen sangat terbatas karena (i) laju
perluasan lahan pertanian baru sangat rendah dan (ii) konversi lahan pertanian ke
non pertanian sulit dikendalikan, (iii) degradasi sumberdaya air dan kinerja irigasi
serta turunnya tingkat kesuburan fisik dan kimia lahan pertanian; dan (2) adanya
gejala kemandegan dalam pertumbuhan produktivitas.
Pola konsumsi masyarakat Indonesia masih bias pada komoditas beras
bahkan beras sudah menjadi makanan pokok tunggal. Provinsi yang semula
mengkonsumsi pangan bukan beras beralih ke beras (Ariani dan Asari, 2003). Hal
-
3
ini yang mengakibatkan tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia relatif masih
tinggi. Makmur, M (2010) mengatakan bahwa konsumsi beras total untuk Indonesia
tahun 2009 sebesar 139 kg/kapita/tahun lebih besar dibandingkan dengan negara
tetangga seperti Thailand, Malaysia dan Jepang, misalnya sudah dibawah angka
100 kg, yaitu masing-masing sebesar 90 kg, 80 kg dan 60 kg. Ke depan, ketahanan
pangan akan rapuh jika hanya bertumpu pada beras.
Konsumsi pangan secara umum merupakan pengeluaran terbesar dari rumah
tangga di wilayah perdesaan yang rata-rata mencapai 58,57% dari total
pengeluaran rumah tangga. Khususnya untuk konsumsi padi-padian, rumah tangga
di perdesaan harus menyediakan 13,25 % dari total pendapatannya untuk membeli
komoditas pangan ini. Kondisi demikian menunjukkan terjadinya ketergantungan
yang tinggi terhadap konsumsi pangan padi-padian telah menyebabkan besarnya
alokasi pendapatan rumah tangga. Pada tingkat nasionalpun negara Indonesia
sangat tergantung kepada sumber pangan karbohidrat seperti beras dan
gandum/tepung terigu. Kondisi itu dibuktikan dengan upaya melakukan impor
pangan karbohidrat beras secara berkesinambungan yang melebihi kuota yang
ditetapkan pemerintah, yakni lebih dari 62 %.
Ketergantungan negara akan pangan beras ini, merupakan cerminan dari
pola konsumsi pangan masyarakat (food habits) yang cenderung ke beras, padahal
sumber pangan non beras masih melimpah ruah, seperti ketela, ubi jalar, jagung,
kedele dan umbi-umbi lainnya. Menyikapi kondisi demikian, pemerintah berupaya
mendorong diversifikasi pangan untuk mengurangi beban konsumsi pangan
karbohidrat kepada komoditi pangan lain yang lebih murah dan terjangkau.
Beras adalah salah satu pangan kunci di dunia dan dimakan oleh sekitar 3
miliar orang setiap harinya. Di Asia, beras merupakan makanan pokok untuk sekitar
600 juta penduduk. Lebih dari 60 % penduduk dunia atau satu milyar orang yang
tinggal di Asia tergantung pada beras sebagai makanan pokok dan hidup dalam
kemiskinan serta kekurangan gizi. Oleh karena itu, jika terjadi penurunan produksi
padi, maka berarti akan lebih banyak orang tergelincir ke dalam jurang kemiskinan
dan kelaparan (Tim Peneliti Pangan IPSK-LIPI, 2011).
-
4
Indonesia merupakan salah satu negara megadiversitas (hasil studi United
Nations Environmental Protection). Hasil studi Kementerian Lingkungan Hidup
seperti yang disitir oleh Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, Badan
Ketahanan Pangan (2012) bahwa Indonesia sedikitnya memiliki 100 spesies
tanaman biji-bijian, umbi-umbian, sagu, penghasil tepung dan gula sebagai sumber
karbohidrat. Namun hanya beberapa pangan sumber karbohidrat yang dikenal
secara luas dan dimanfaatkan untuk dikonsumsi secara intensif seperti padi,
jagung, ubikayu, ubijalar, sagu dan lainnya. Bahkan beberapa pangan tersebut
telah tergantikan oleh beras dan gandum.
Beragam pangan lokal seperti jagung, umbi-umbian dan sagu mempunyai
prospek yang cukup luas untuk dikembangkan sebagai substitusi beras dan untuk
diolah menjadi makanan bergengsi. Kegiatan ini memerlukan dukungan
pengembangan teknologi proses dan pengolahan serta strategi pemasaran yang
baik untuk mengubah image pangan inferior menjadi pangan normal bahkan
superior. Upaya peningkatan nilai tambah melalui agroindustri, selain meningkatkan
pendapatan juga berperan dalam penyediaan pangan yang beragam dan bermutu.
1.2. Dasar Pertimbangan
Mewujudkan ketahanan pangan nasional yang tertumpu pada kemandirian
pangan telah menjadi komitmen pemerintah dalam rangka pembangunan ekonomi
dan pertanian domestik. Ketahanan pangan dibangun berdasarkan sumberdaya,
kelembagaan, dan budaya lokal yang bertujuan untuk meningkatkan
keanekaragaman produksi dan konsumsi pangan lokal yang bergizi dan aman untuk
dikonsumsi oleh masyarakat.
Pemerintah menetapkan kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi
Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal yang ditindaklanjuti dengan Gerakan
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya Lokal oleh
Kementerian Pertanian dengan target terjadi penurunan konsumsi beras sebesar
1,5 % per tahun dan kenaikan skor Pola Pangan Harapan (PPH) sebesar 1 per
tahun (Badan Ketahanan Pangan, 2009). Hal ini berarti pola pangan masyarakat
-
5
Indonesia harus berdiversifikasi tidak hanya pangan pokok yang bertumpu pada
beras tetapi juga diversifikasi pangan secara luas seperti pangan sumber protein,
vitamin dan mineral.
Potensi pangan pokok di Indonesia telah banyak dan beragam jenisnya.
Sejak lama Indonesia mempunyai pola pangan pokok yang beragam dengan
menggunakan pangan lokal non beras seperti jagung, aneka umbi-umbian, pisang
dan sagu. Indonesia mempunyai 11 pola pangan pokok yang tersebar di berbagai
provinsi. Walaupun program diversifikasi konsumsi pangan telah digulirkan sejak
tahun 1960-an, namun justru pangan pokok telah bergeser yaitu pola pangan
pokok yang semula beragam dan berasal dari pangan lokal seperti jagung, ubikayu,
ubijalar, sagu dan lain-lain, beralih ke pola tunggal dengan komoditas beras.
Masyarakat di beberapa wilayah yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok
bukan beras beralih ke beras.
Pelaksanaan penganekaragaman konsumsi pangan menuju konsumsi
pangan yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman akan memberikan manfaat
yang besar, apabila mampu menggali dan mengembangkan potensi sumber-sumber
pangan lokal. Namun diversifikasi pangan pokok atau pangan sumber karbohidrat
yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, masih sukar dilaksanakan
yang ditunjukkan dengan masih tingginya konsumsi beras dan pola pangan pokok
yang kearah tunggal yaitu beras.
Upaya penurunan konsumsi beras dan peningkatan konsumsi pangan lokal
non beras serta peningkatan skor PPH dilakukan melalui diversifikasi konsumsi
pangan pokok. Diversifikasi pangan dapat diwujudkan sesuai dengan kekayaan
keanekaragaman hayati yang dimiliki. Selain beras dan terigu, ada lebih dari 30
jenis aneka pangan lokal non beras. Misalnya jagung dan umbi-umbian seperti
talas, singkong, gadung, gembili, pisang, huwi, sukun, dan lain-lain. Umbi-umbian
adalah bahan nabati yang tumbuh di dalam tanah seperti ubikayu, ubijalar,
kentang, dan sebagainya. Di Indonesia ubikayu merupakan makanan pokok ketiga
setelah beras dan jagung. Ubikayu mempunyai arti ekonomi terpenting diantara
jenis umbi-umbian lainnya, sebab selain dapat dikonsumsi langsung, dapat
-
6
dijadikan tepung tapioka, gaplek, pelet, tape, dekstrin, lem, kerupuk, dan lain-
lainnya.
Selain ubikayu, terdapat pula ubijalar yang tingkat produksinya di negara kita
ini cukup berlimpah, tetapi penggunaannya belum seluas ubikayu (singkong). Ubi
jalar umumnya masih dikonsumsi sebagai ubijalar rebus, kolak, atau ubi bakar.
Padahal, peranan ubijalar sebagai sumber karbohidrat dan zat tenaga adalah
sangat penting, yaitu hampir menyamai singkong. Kelebihan yang dimiliki ubijalar
ini (terutama yang berwarna merah) dibandingkan ubi-ubian lainnya seperti
ganyong, kentang, singkong, suweg, talas, dan uwi adalah kandungan Vit A-nya
yang sangat tinggi.
Peningkatan peran pangan lokal non beras mampu mensubsitusi atau
komplemen dengan beras atau gandum melalui pengembangan teknologi
pengolahan produk pangan lokal non beras baik dari segi keanekaragaman produk
maupun rasa, packaging, ukuran, dan lainnya. Hal ini juga sesuai dengan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 2002 yang menyebutkan bahwa
penganekaragaman pangan dilakukan dengan mengembangkan teknologi
pengolahan dan produk pangan. Oleh karena itu, kajian terkait diversifikasi pangan
non beras berbasis pangan lokal perlu dilakukan. Peran pangan non beras ini dapat
sebagai pangan pokok atau pangan selingan. Kajian mencakup potensi produksi,
konsumsi, teknologi pengolahan dan produk pangan lokal. Selain itu juga dianalisis
mengenai permasalahan, peluang dan strategi pengembangan diversifikasi
pangan lokal baik dari sisi produksi maupun sisi konsumsi pangan. Pangan lokal
yang dimaksud adalah pangan sumber karbohidrat (umbi-umbian, jagung, sagu,
dll) yang dikonsumsi dan diproduksi berbasis potensi dan kearifan lokal.
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum tujuan dari kajian ini adalah untuk menganalisis
pengembangan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal. Adapun tujuan khusus
adalah :
1. Menganalisis potensi produksi pangan lokal
-
7
2. Menganalisis pola konsumsi pangan lokal
3. Mengidentifikasi teknologi pengolahan dan produk pangan lokal
4. Menyusun strategi pengembangan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal
1.4. Keluaran Penelitian
Secara umum keluaran penelitian ini adalah rumusan kebijakan
pengembangan diversifikasi pangan lokal. Secara khusus seperti berikut:
1. Potensi dan perkembangan produksi pangan lokal
2. Pola konsumsi pangan lokal
3. Teknologi pengolahan dan produk pangan lokal
4. Strategi pengembangan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal
1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak
Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar rekomendasi dalam
penyempurnaan kebijakan ketahanan pangan ke depan terutama terkait dengan
kebijakan diversifikasi pangan terutama untuk pangan lokal. Selain itu juga dapat
digunakan untuk dasar kebijakan pengembangan agroindustri berbasis pangan
lokal. Dampak dari kegiatan ini adalah penguatan ketahanan pangan berbasis
kemandirian pangan dan peningkatan pendapatan petani.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teoritis
Dalam Peraturan Menteri Pertanian tentang Gerakan Percepatan
Penganekaragaman Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya Lokal disebutkan
bahwa pangan lokal didefinisikan sebagai pangan baik sumber karbohidrat, protein,
vitamin dan mineral yang diproduksi dan dikembangkan sesuai dengan potensi
sumberdaya wilayah dan budaya setempat. Sementara itu, pangan olahan adalah
makanan atau minuman hasil proses dengan cara arau metode tertentu dengan
atau tanpa bahan tambahan (Badan ketahanan pangan, 2009). Dalam penelitian ini
-
8
pangan lokal dibatasi hanya pangan sumber karbohidrat yang diproduksi dan dan
dikembangkan sesuai dengan potensi sumberdaya wilayah dan budaya setempat.
Konsep diversifikasi pangan bukan suatu hal baru dalam peristilahan
kebijakan ketahanan pangan baik di Indonesia maupun di luar negeri. Konsep
diversifikasi pangan telah banyak dirumuskan dan diinterprestasikan oleh para
pakar sesuai dengan kontek tujuannya. Ada yang mengartikan diversifikasi dalam
arti sempit hanya pada pangan sumber karbohidrat yaitu pada pangan pokok, ada
pula dalam arti luas mencakup pangan sumber karbohidrat, protein, vitamin dan
mineral.
Namun pada umumnya seperti ditulis oleh Cahyani, G.I (2008) bahwa
diversifikasi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu diversifikasi vertikal, horizontal
dan regional. Diversifikasi horizontal merupakan upaya penganekaragaman produk
yang dihasilkan (dari sisi penawaran) dan produk yang dikonsumsi (dari sisi
permintaan) pada tingkat individu, rumah tangga maupun perusahaan. Secara
prinsip diversifikasi horizontal adalah penganekaraman antar komoditas.
Diversifikasi vertikal merupakan upaya pengembangan produk pokok menjadi
produk baru untuk keperluan pada tingkat konsumsi. Secara prinsip diversifikasi
vertikal adalah merupakan upaya pengembangan setelah panen di dalamnya
termasuk kegiatan pengolahan hasil dan limbah pertanian. Diversifikasi vertical
dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas pangan agar lebih
berdaya guna bagi kebutuhan manusia. Sementara itu Diversifikasi regional yaitu
merupakan diversifikasi antar wilayah dan social budaya. Badan Ketahanan Pangan
(2009) dalam Peraturan Menteri Pertanian tentang Gerakan Percepatan
Penganekaragan Konsumsi Pangan berbasis Sumberdaya Lokal mendefinisikan
diversifikasi/ penganekaragaman konsumsi pangan adalah proses pemilihan pangan
yang dikonsumsi dengan tidak tergantung kepada satu jenis saja tetapi terhadap
bermacam-macam bahan pangan.
-
9
2.2. Hasil-hasil Penelitian Terkait Diversifikasi Pangan Non Beras berbasis
Pangan Lokal
Meskipun konsumsi beras cenderung menurun namun kontribusinya
terhadap total energi masih diatas 60 % sedangkan umbi-umbian baru
menyumbang energi sekitar 3 %, aneka umbi-umbian mempunyai prospek yang
cukup luas untuk dikembangkan sebagai substitusi beras dan untuk diolah menjadi
makanan bergengsi. Kegiatan ini memerlukan dukungan pengembangan teknologi
proses dan pengolahan serta strategi pemasaran yang baik untuk mengubah image
pangan inferior menjadi pangan normal bahkan superior. Upaya peningkatan nilai
tambah melalui agroindustri, selain meningkatkan pendapatan juga berperan dalam
penyediaan pangan yang beragam dan bermutu (Hardinsyah dan Martianto, 2001).
Seringkali pemerintah hanya menganjurkan masyarakat untuk melakukan
keanekaragaman konsumsi pangan dan bersifat hanya menyuruh tanpa didukung
oleh ketersediaan bahannya yang dapat diperoleh secara mudah. Dalam memenuhi
permintaan konsumen, salah satu faktor yang sangat penting dalam mensukseskan
program keanekaragaman pangan adalah melaksanakan product development.
Produk ini merupakan upaya menciptakan suatu produk baru yang memiliki sifat
antara lain sangat praktis, tersedia dalam segala ukuran, kalau digunakan tidak ada
sisanya dan mudah diperoleh di mana saja. Dengan semakin sibuknya kehidupan
setiap anggota rumah tangga dan tidak cukupnya waktu untuk memasak makanan
maka bentuk makanan yang siap olah dan siap santap merupakan pilihan yang
terbaik (Baharsyah, 1994).
Hasil analisis dengan menggunakan data Susenas 1979 (Pusat Penelitian
Agro Ekonomi, 1989) dan 1996 (Rachman, 2001) di wilayah Kawasan Timur
Indonesia (KTI) menunjukkan bahwa: 1) semua propinsi di Indonesia pada tahun
1979 mempunyai pola pangan pokok utama beras. Pada tahun 1996, posisi
tersebut masih tetap, kalaupun berubah hanya terjadi pada pangan kedua yaitu
antara jagung dan umbi-umbian; 2) pola tunggal beras pada tahun 1979 hanya
terjadi di satu propinsi yaitu Kalsel, maka pada tahun 1996 terjadi di 8 propinsi
yaitu Kalsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim, NTB, Sulsel, Sulut dan Sulteng (Ariani, 2010).
-
10
Ini berarti telah terjadi peningkatan preferensi dan jumlah konsumsi beras yang
signifikan di propinsi tersebut, sehingga mampu menggeser peran jagung dan
umbi-umbian sebagai pangan pokok seperti pada Tabel 2.1.
Peran beras sebagai pangan pokok semakin kuat, yang ditunjukkan oleh
tingkat partisipasi yang cukup tinggi di berbagai wilayah termasuk pada wilayah
yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok bukan beras. Bahkan di beberapa
propinsi, terjadi pergeseran pangan pokok dari beragam cenderung pola tunggal
yaitu beras. Di sisi lain, pangan lokal seperti jagung dan ubikayu semakin
ditinggalkan masyarakat, sebaliknya pangan global seperti mi semakin banyak
digemari oleh masyarakat yang ditunjukkan dengan kenaikan tingkat partisipasi
yang signifikan.
Banyak faktor yang menyebabkan terhambatnya diversifikasi konsumsi
pangan. Diantaranya adalah : 1) beras memang lebih enak dan mudah diolah, 2)
adanya konsep makan yang keliru, belum dikatakan makan kalau belum makan
nasi, 3) beras sebagai komoditas superior, 4) ketersediaan beras melimpah dan
harganya murah, 5) pendapatan rumah tangga, 6) terbatasnya teknologi
pengolahan dan promosi pangan non beras (pangan lokal), 7) kebijakan pangan
yang tumpang tindih dan 8) adanya kebijakan impor gandum, jenis product
development cukup banyak dan promosi yang gencar.
Sayaka dkk (2005) melaksanakan penelitian di tiga provinsi yaitu Jawa
Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Papua. Hasil penelitian adalah: a)
Sebagian besar penduduk di wilayah penelitian, terutama yang tinggal di pedesaan,
mengkonsumsi ubikayu, jagung, dan sagu sebagai makan pokok sesuai yang
dihasilkan oleh lahan pertanian atau sumberdaya alam setempat. Sementara itu,
sumber perolehan beras yang dikonsumsi oleh rumah tangga termasuk rumah
tangga di pedesaan berasal dari pembelian. Jenis pangan lokal yang banyak
dikonsumsi oleh rumah tangga untuk ubikayu berupa ubikayu segar, untuk jagung
berupa jagung pipilan dan sagu berupa tepung sagu. Pola konsumsi pangan rumah
tangga masih bias pada pangan sumber karbohidrat, belum beragam seperti dalam
-
11
PPH, demikian pula untuk konsumsi pangan pokoknya. Konsumsi pangan pokok di
pedesaan lebih beragam dibandingkan di perkotaan.
Tabel 2.1. Distribusi Propinsi Menurut Pola Konsumsi Makanan Pokok Tahun 1979, 1984, dan 1996
No. Pola Makanan
Pokok 1979 1984 1996
1. Beras Kalsel, DKI, NAD, Sumbar
DKI, NAD,
Sumbar, Bengkulu
NTB, Kalbar,
Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulsel
2. Beras+umbi-umbian
Kaltim, NTB,
Kalteng, Kalbar, Bali, DIY, Lampung,
Bengkulu, Jambi, Riau, Sumsel,
Kaltim, Kalteng,
Kalbar, Kalsel, Sumut, Sumsel, Riau, Jambi,
Jabar
-
3. Beras+jagung+ umbi-umbian
Sumut, Jabar
Sulut, Jateng, Tim-Tim, Jatim
Sultra
4. Beras+umbi-
umbian+jagung Sulut, NTT
NTT, Lampung,
DIY, Bali -
5. Beras+umbi-umbian+sagu+ pisang
Sulsel, Jateng, Jatim
Maluku -
6. Beras+sagu+umbi-umbian
Maluku Papua -
7. Beras+umbi-umbian+sagu+ jagung
Papua - Maluku, Papua
8. Beras + sagu - NTB,Sulsel, Sultra
NTT, Tim-Tim
9. Beras + jagung Sulteng - -
10. Beras+jagung+sagu+umbi-umbian
- Sulteng -
11. Beras+sagu+umbi-umbian+ jagung
Sultra - -
b) Sebagian besar rumah tangga mengkonsumsi ubikayu dan jagung sebagai
makanan pokok dalam bentuk campuran dengan mencampur beras untuk konsumsi
ubikayu, dengan ubikayu/ubijalar untuk konsumsi jagung. Sementara itu, sagu
dikonsumsi dalam bentuk tunggal. Jenis makanan olahan yang menggunakan
bahan baku ubikayu, jagung dan sagu yang masak oleh rumah tangga sebagai
-
12
makanan selingan relatif banyak, namun cara masaknya masih bersifat tradisional
(dikukus, direbus, digoreng) dan tidak ada jenis makanan baru yang diolah. Rumah
tangga juga jarang membeli makanan olahan yang menggunakan bahan baku
ketiga komoditas tersebut. Pada rumah tangga perkotaan telah terjadi perubahan
konsumsi pangan pokok dari pangan lokal (ubikayu, jagung dan sagu) ke beras
melalui mekanisme RASKIN dan tunjangan beras PNS.
Hasil analisis yang dilakukan oleh Ariani (2010) dengan menggunakan data
Susenas tahun 2002, 2005 dan 2008 diperoleh hasil seperti berikut: 1) Pola
konsumsi pangan pokok di Indonesia cenderung pola pangan tunggal yaitu beras.
Selain itu pola pangan pokok kedua, yang semula dari umbi-umbian dan jagung
bergeser ke terigu dan produknya seperti mi instan, 2). Tingkat konsumsi beras
langsung untuk rumahtangga masih tinggi yaitu 104,9 kg/kap/tahun. Untuk pangan
pokok lainnya relatif kecil (jagung: 2,9 kg; terigu: 11,2 kg; ubikayu: 12,9 kg;
ubijalar: 2,8 kg/kap/tahun), 3) Dari segi diversifikasi pangan dalam konsep Pola
Pangan Harapan (PPH), konsumsi beras perlu diturunkan, sebaliknya konsumsi
jagung dan umbi-umbian ditingkatkan. Oleh karena itu, diversifikasi pangan
termasuk pangan pokok yang telah dicanangkan oleh pemerintah
diimplementasikan secara konsisten dan berkelanjutan oleh semua elemen
masyarakat. Keberhasilan diversifikasi pangan pokok akan mengurangi konsumsi
beras, dan pada gilirannya mempermudah pencapaian swasembada beras.
III. METODOLOGI
3.1. Kerangka Pemikiran
Indonesia mempunyai wilayah yang beragam dengan potensi pangan lokal
non beras yang beragam pula. Pangan lokal sumber karbohidrat non beras yang
dikenal antara lain jagung, ubikayu, ubijalar, sagu, pisang. Pangan lokal non beras
ini berpotensi menjadi subsitusi atau komplemen dengan komoditas beras baik
terutama sebagai pangan pokok. Namun demikian pangan lokal non beras ini juga
berpotensi untuk menjadi makanan selingan. Oleh karena itu, identifikasi potensi
pangan lokal termasuk permasalahannya sangat diperlukan untuk mengetahui
-
13
seberapa besar ketersediaan pangan lokal yang dapat digunakan sebagai pijakan
pengembangan produk olahannya.
Peningkatan ketersediaan pangan lokal terutama dari produksi harus seiring
dengan peningkatan konsumsinya agar pangan yang disediakan benar-benar
dikonsumsi oleh masyarakat. Oleh karena itu, kondisi eksisting pola konsumsi
pangan lokal baik dari sisi pengeluaran, tingkat partisipasi/tingkat konsumsi dan
tingkat diversifikasi konsumsi pangan sangat diperlukan.
Dalam upaya pengembangan diversifikasi pangan lokal juga harus dianalisis
kondisi eksisting jenis teknologi dan produknya sehingga dapat dilakukan
pengembangan teknologi pangan lokal sesuai dengan selera konsumen dan daya
jangkau masyarakat. Preferensi konsumen terhadap suatu produk dipengaruhi
status ekonomi, pendidikan, kesadaran terhadap berbagai aspek (pangan dan gizi,
keamanan pangan, kesehatan lingkungan dan agama), kondisi produk olahan
(kualitas, masa simpan, ukuran, rasa, desain kemasan, kepraktisan, harga, dll) dan
promosi produk.
Dengan memperhatikan aspek produksi, konsumsi, jenis teknologi dan
produk yang dihasilkan pada saat ini serta memperhatikan permasalahannya, akan
dapat disusun suatu kebijakan pengembangan produk pangan lokal sebagai upaya
pengembangan diversifikasi pangan berbasis pangan lokal.
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Ruang lingkup kegiatan meliputi penyusunan proposal, penggalian data dan
informasi terutama berasal dari data sekunder, serta penyusunan laporan akhir.
Sementara itu, ruang lingkup substansi meliputi potensi produksi, konsumsi,
teknologi pengolahan dan produk pangan lokal serta permasalahannya.
3.3. Lokasi Penelitian
Secara umum bahasan kajian akan meliputi seluruh propinsi dengan
menggunakan data sekunder, namun untuk memperdalam pembahasan dilakukan
-
14
pendalaman substansi di Provinsi DKI Jakarta, Banten dan Daerah Istimewa
Yogyakarta.
3.4. Data dan Metoda Analisis
3.4.1. Jenis dan Sumber Data
Sumber data terutama berasal dari data sekunder, namun untuk
memperdalam kajian substansi dilakukan pengumpulan data primer. Dara sekunder
meliputi: a) Potensi (lahan) dan perkembangan luas panen, produksi dan
produktivitas pangan lokal; b) Pola konsumsi pangan: pangsa pengeluaran, tingkat
partisipasi dan tingkat konsumsi pangan lokal, diversifikasi konsumsi pangan dan
persepsi konsumsi pangan lokal; dan c) Jenis teknologi pengolahan pangan lokal
dan produknya. Sementara itu, data primer meliputi permasalahan produksi,
konsumsi dan agroindustri; situasi perkembangan konsumsi dan teknologi pangan.
Sumber data utama adalah data dari Badan Pusat Statistik (BPS) seperti Survey
Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Statistik Indonesia berbagai tahun; Badan
Ketahanan Pangan (BKP); Kementerian Perindustrian, Ditjen Tanaman Pangan,
Badan Ketahanan Pangan dan Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian,
Kementerian Pertanian; Kementerian Riset dan Teknologi; Institut Pertanian Bogor,
Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan, Dinas Perindustrian tingkat Provinsi dan
Kabupaten serta lembaga/instansi lainnya.
3.4.2. Metoda Analisis
Data dan informasi yang terkumpul dilakukan analisis deskriptif kualitatif
dengan mengungkapkan keragaan, persepsi, masalah dan peluang pengembangan
dan lainnya. Pengembangan produk olahan pangan lokal non beras dianalisis
secara deskriptif dengan memperhatikan aspek kekuatan, kelemahan, kesempatan
dan ancaman seperti dalam analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity,
Threat). Dengan analisis SWOT diharapkan dapat membantu mengatasi kelemahan
-
15
dan ancaman, serta memaksimalkan kekuatan yang ada. Kekuatan yang dimiliki
akan mampu memanfaatkan peluang pasar (Bradford, Duncan, dan Tarcy, 2004).
Untuk mengembangkan strategi berdasarkan hasil analisis SWOT digunakan
Matriks SWOT. Dalam hal ini ada empat kemungkinan strategi yang dipilih, yaitu:
1. Strategi S-O : menentukan kesempatan yang sesuai dengan kekuatan
perusahaan atau industri.
2. Strategi W-O : mengatasi kelemahan untuk mendapatkan kesempatan.
3. Strategi S-T : mengidentifikasi kekuatan perusahaan untuk mengatasi
ancaman dari luar.
4. Strategi W-T : membuat perencanaan guna mengatasi kelemahan untuk
menghindari ancaman yang lebih besar.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Potensi dan Capaian Produksi Pangan Lokal
4.1.1. Potensi Produksi dan Produktivitas Tanaman Pangan
Padi
Padi, yang kemudian diolah menjadi beras, merupakan sumber utama kalori
bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Oleh karena itu, produksi padi sangat
menentukan bagi ketersediaan pangan pokok bagi penduduk Indonesia yang saat
ini bejumlah lebih dari 244 juta jiwa. Perkembangan produksi padi di Indonesia
selama periode tahun 2000 - 2012 menunjukkan trend yang masih meningkat
(Gambar 4.1.1). Pada tahun 2000, produksi padi nasional masih mencapai 51,90
juta ton, meningkat menjadi 68,59 juta ton pada tahun 2012, atau tumbuh dengan
laju pertumbuhan rata-rata 2,39 % pertahun. Rata-rata laju pertumbuhan produksi
padi nasional tersebut masih relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju
pertumbuhan penduduk sebesar 1,43 % pertahun. Kondisi ini dipertahankan dalam
jangka panjang akan menjaga kemandirian dalam penyediaan beras nasional
secara berkelanjutan.
-
16
Sumber data: BPS (data diolah)
Jika produksi padi dilihat per wilayah pulau atau menurut kepulauan, dapat
diketahui bahwa produksi padi di Jawa, sebagai pemasok utama produksi padi
nasional, pada akhir-akhir ini (2010 sd 2012), pertumbuhannya sudah menunjukkan
gejala leveling off (Gambar 4.1.2). Kondisi ini cukup mengkhawatirkan bagi
keberlanjutan produksi padi di Jawa, jika hal ini terjadi dalam jangka yang relatif
panjang. Gambar 4.1.2 juga menunjukkan bahwa trend pertumbuhan produksi
padi di Pulau Sumatera dan Pulau Sulawesi masih cenderung meningkat.
Sumber data: BPS (data diolah)
Dilihat dari rata-rata pertumbuhan produksi padi menurut wilayah, dapat
dikatakan bahwa Pulau Jawa selama periode tahun 2000 sampai dengan 2012
mengalami laju pertumbuhan produksi padi yang relatif rendah, yaitu dengan laju
pertumbuhan produksi rata-rata 1,85 %/tahun dan standard deviasi 3,39 %/tahun.
Pro
du
ksi (
ton
)
Tahun
Gambar 4.1.1. Perkembangan Produksi Padi Indonesia, 2000 - 2012 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Po
du
ksi (
ton
)
Tahun
Gambar 4.1.2. Perkembangan Produksi Padi Menurut Wilayah, 2000 - 2012 Sumatera
Jawa
Bali (NTB+NTT)
Kalimantan
Sulawesi
Maluku (+Papua)
-
17
Di wilayah Maluku+Papua (meliputi provinsi: Maluku, Maluku Utara, Papua dan
Papua Barat) selama periode tahun 2000 sd 2012, mempunyai rata-rata laju
pertumbuhan produksi pertahun yang tertinggi, yaitu 10,35 % pertahun, namun
jika dilihat stabilitas pertumbuhannya, data menunjukkan bahwa laju pertumbuhan
produksi padi di Maluku+Papua sangat tidak stabil, yaitu dengan standar deviasi
23,21 %/tahun (Gambar 4.1.3).
Dengan mengacu pada besaran laju pertumbuhan produksi dan stabilitas
pertumbuhannya, maka wilayah yang potensial sebagai sumber pertumbuhan baru
untuk produksi padi nasional adalah wilayah Pulau Kalimantan, dengan laju
pertumbuhan produksi 3,91 %/tahun dan standard deviasi 4,17, serta Pulau
Sulawesi dengan laju pertumbuhan produksi padi rata-rata 3,66 %/tahun dan
standard deviasi 5,09 %/tahun.
Dilihat dari pangsa produksi padi nasional, Pulau Jawa masih merupakan
pemasok produksi beras nasional, dengan pangsa sekitar 55 %. Pulau Sumatera
mempunyai pangsa produksi sekitar 23 %. Adapun Pulau Sulawesi dan Pulau
Kalimatan, masing-masing memasok sekitar 10 % dan 7 % (Gambar 4.1.4).
Sumber data: BPS (data diolah)
Laju
Per
tum
bu
han
(%/t
h)
Wilayah
Gambar 4.1.3. Rata-Rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Produksi Padi, 2000 -
2012
Average
STDEV
-
18
Sumber data: BPS (data diolah)
Dengan laju pertumbuhan produksi yang relatif rendah, peran Pulau Jawa
sebagai pemasok beras nasional selama periode tahun 2000 - 2012 relatif menurun
(Gambar 4.1.5). Peran Pulau Jawa lambat laun cenderung digantikan oleh Pulau
Sumatera, Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan. Mengingat Pulau Sumatera
merupakan wilayah pengembangan komoditas perkebunan (sawit), maka
pengembangan padi ke depan akan bergeser ke Kalimantan dan Sulawesi.
Permasalahannya adalah bahwa pengembangan padi sawah memerlukan
sarana irigasi untuk menjamin ketersediaan air bagi tanaman padi, sedangkan di
Pulau Kalimantan ketersediaan sarana irigasi relatif terbatas. Di samping itu, ada
juga permasalahan yang terkait dengan konektivitas antara daerah sentra produksi
dan sentra konsumsi padi, sehingga perlu dilakukan pembangunan infrasrtuktur
jalan, jembatan, pelabuhan, serta sarana transportasi dan sarana logistik di pulau
Kalimantan dan Pulau Sulawesi, jika di kedua wilayah ini akan mengembangkan
tanaman padi yang kemudian akan dikirim ke Jawa.
Pangsa Produksi; Sumatera; 023; 23%
Pangsa Produksi;
Jawa; 054; 55%
Pangsa Produksi;
Bali (NTB+NTT); 005; 5%
Pangsa Produksi;
Kalimantan; 007; 7%
Pangsa Produksi; Sulawesi; 010; 10%
Pangsa Produksi; Maluku
(+Papua); 000; 0%
Gambar 4.1.4. Pangsa Produksi Padi, 2000-2012
-
19
Sumber data: BPS (data diolah)
Dilihat dari aspek produktivitas, data menunjukkan bahwa rata-rata
produktivitas padi nasional adalah 41,95 kw per hektar, dengan laju pertumbuhan
selama periode 2000-2012 rata-rata sebesar 1,59 % per tahun. Angka produktivitas
per wilayah tertinggi masih terdapat di Jawa, yaitu 53,76 kw per ha dengan laju
pertumbuhan rata-rata 0,91 % per tahun. Produktivitas padi tertinggi ke dua
setelah Jawa adalah di Sulawesi, yaitu rata-rata sebesar 46,01 dengan laju
pertumbuhan rata-rata sebesar 1,21 %per tahun.
Wilayah yang mempunyai produktivitas padi tertinggi ketiga adalah wilayah
Bali+NTB+NTT, yaitu sebesar 44,11 kw per hektar dengan laju pertumbuhan rata-
rata 0,97 % per tahun. Wilayah dengan produktivitas tertinggi ke empat adalah
Sumatera, yaitu sebesar 41,60 kw per hektrar denga laju pertumbuhan rata-rata
1,60 % per tahun. Secara grafis perkembangan produktivitas padi menurut wilayah
tercantum pada Gambar 4.1.6, rata-rata produktivitas padi per wilayah tercantum
pada Gambar 4.1.7, serta rata-rata laju pertumbuhan produktivitas padi pada
periode 2000 2012 menurut wilayah tercantum pada Gambar 4.1.8.
Pan
gsa
Pro
du
ksi (
%)
Tahun
Gambar 4.1.5. Perkembangan Pangsa Produksi Padi, 2000 - 2012
Sumatera
Jawa
Bali (NTB+NTT)
Kalimantan
Sulawesi
Maluku (+Papua)
-
20
Sumber data: BPS (data diolah)
Sumber data: BPS (data diolah)
Sumber data: BPS (data diolah)
Jagung
Produksi jagung secara nasional dalam periode 2000 2012 cenderung
meningkat dengan laju rata-rata 6.40 % per tahun (Gambar 4.1.9). Pertumbuhan
produksi jagung yang tinggi dan relatif stabil terdapat di Kalimantan dengan laju
Pro
du
ktiv
itas
(kw
t/h
a)
Tahun
Gambar 4.1.6. Perkembangan Produktivitas Padi, 2000 - 2012
Sumatera
Jawa
Bali (NTB +NTT)Kalimantan
Pro
du
ktiv
itas
(kw
t/h
a)
Wilayah
Gambar 4.1.7. Rata-Rata Produktivitas dan Standard Deviasi Produktivitas Padi, 2000 - 2012
Produktivitas
STDEV
Laju
Per
tum
bu
han
(%/t
h)
Wilayah
Gambar 4.1.8. Laju Pertumbuhan Produktivitas Padi, 2000-2012 Sumatera
Jawa
Bali (NTB + NTT)
Kalimantan
Sulawesi
Maluku (+Papua)
Indonesia
-
21
pertumbuhan 10,99 % per tahun (STD 13, 43 %) dan Sulawesi dengan laju
pertumbuhan 10,14 (STD 15,01 % per tahun).
Pertumbuhan produksi jagung di Jawa dan di Sumatera relatif kecil, yaitu
masing-masing 5,23 % per tahun dan 6,40 % per tahun (Gambar 4.1.10). Adapun
perkembangan produksi jagung menurut wilayah secara grafis dapat dilihat pada
Gambar 4.1.11. Walaupun demikian, pangsa produksi jagung terbesar masih
berada di Jawa dan Sumatera, yaitu masing-masing 57 % dan 22 % (Gambar
4.1.12). Dengan mengacu pada laju pertumbuhan produksinya, dapat dikatakan
bahwa wilayah Kalimantan dan Sulawesi mempunyai prospek bagi pengembangan
sentra produksi jagung, menggantikan posisi Jawa.
Sumber data: BPS (data diolah)
Sumber data: BPS (data diolah)
Pro
du
ksi (
ton
)
Tahun
Gambar 4.1 9. Perkembangan Produksi Jagung Indonesia, 2000 - 2012
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Laju
Per
tum
bu
han
(%/t
h)
Wilayah
Gambar 4.1.10. Rata-Rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Produksi Jagung, 2000 - 2012
Average
STDEV
-
22
Sumber data: BPS (data diolah)
Sumber data: BPS (data diolah)
Adapun produktivitas jagung tertinggi masih ditemui di Jawa dengan
produktivitas rata-rata 39,11 kw per ha, dan diikuti oleh produktivitas jagung di
Sumatera sebesar 37,90 kw per ha. Ditinjau dari sisi produktivitasnya, produksi
jagung kedepan akan bergeser ke Sulawesi dengan produktivitas sebesar 34,77
kwt per ha dan Kalimantan dengan produktivitas 32,01 kwt per ha (Gambar
4.1.13). Mengingat bahwa sentra konsumsi jagung, yang dalam hal ini adalah
pabrik pakan ternak, sebgian besar terletak di Jawa, maka ke depan perlu difikirkan
secara matang tentang strategi pengembangan peternakan unggas di Indonesia.
Kaitannya dengan wilayah pengembangan jagung di luar Jawa ini, ada beberapa
pilihan untuk pengembangan peternakan unggas.
Pertama adalah perusahan pakan dan peternakan tetap terkonsentrasi di
Jawa, berarti jagung pipilan dari luar Jawa harus didatangkan ke Jawa. Strategi ini
kemungkinan besar yang akan terjadi, karena tidak memerlukan perubahan strategi
Po
du
ksi (
ton
)
Tahun
Gambar 4.1.11. Perkembangan Produksi Jagung Menurut Wilayah, 2000 - 2012 Sumatera
Jawa
Bali (NTB+NTT)
Kalimantan
Pangsa Produksi; Sumatera; 022; 22%
Pangsa Produksi;
Jawa; 057; 57%
Pangsa Produksi; Bali (NTB+NTT);
006; 6%
Pangsa Produksi;
Kalimantan; 001; 2%
Pangsa Produksi; Sulawesi; 013; 13%
Pangsa Produksi; Maluku
(+Papua); 000; 0%
Gambar 4.1.12. Pangsa Produksi Jagung, 2000-2012
-
23
investasi di perusahaan pakan dan perusahaan peternakan. Namun demikian,
bukan berarti strategi ini tidak mengandung risiko. Salah satu risiko, diantaranya
adalah jika biaya transportasi jagung ke Jawa ini tidak kompetitif, maka yang terjadi
adalah kekurangan pasokan jagung bagi perusahaan pakan ternak di Jawa akan
diisi oleh jagung impor, dan inilah kelihatannya yang berjalan selama ini.
Strategi kedua adalah membangun industri pakan ternak di luar Jawa, yang
kemudian produk pakannya di angkut ke Jawa. Strategi ini memerlukan strategi
investasi baru untuk membangun perusahaan pakan di luar Jawa, tetapi hal ni
dalam jangka menengah dan panjang bukanlah tidak mungkin dilaksanakan,
mengingat bahwa harga tanah di Jawa yang semakin lama semakin tinggi bila
dibanding dengan harga tanah di luar Jawa.
Strategi ketiga, dan ini sudah mulai terjadi di dekat kota-kota besar di luar
Jawa, yaitu mengembangkan industri pakan dan peternakan di luar Jawa dengan
tujuan utama untuk memenuhi kebutuhan produksi unggas di luar Jawa. Jika
industri ini berkembang bukan lah tidak mungkin surplus hasil produksi unggas di
luar Jawa dipergunakan untuk memasok kebutuhan di Jawa.
Sumber data: BPS (data diolah)
Ubi Kayu
Secara nasional produksi ubi kayu selama periode 2000 - 2012 cenderung
meningkat dengan laju pertumbuhan yang moderat, yaitu 3,36 % per tahun
(Gambar 4.1.14). Laju pertumbuhan produksi tertinggi terjadi di Sumatera dengan
laju 9,03 % per tahun dan di Sulawesi 2,84 % per tahun. Laju pertumbuhan
Pro
du
ktiv
itas
(kw
t/h
a)
Wilayah
Gambar 4.1.13. Rata-Rata Produktivitas dan Standard Deviasi Produktivitas Jagung, 2000 -
2012
Produktivitas
STDEV
-
24
produksi ubi kayu di Jawa sudah relatif rendah, dan sama dengan laju pertumbuhan
produksi ubi kayu di wilayah Bali+NTB+NTT, yaitu 0,66 % per tahun. Pertumbuhan
produksi ubi kayu di Kalimantan sudah menunjukkan tren yang menurun, yaitu
dengan laju pertumbuhan 1,79 % per tahun (Gambar 4.1.15). Secara grafis, pola
perkembangan produksi ubi kayu menurut wilayah dapat dilihat pada Gambar
4.1.16. Yang menarik adalah bahwa produksi ubi kayu di Jawa mulai digantikan
oleh produksi ubi kayu di Sumatera sejak tahun 2011.
Walaupun pada tahun 2011, produksi ubi kayu di Sumatera sudah lebih
besar dari pada di Jawa, tetapi dilihat dari pangsa produksinya, Jawa masih
merupakan sentra produksi ubi kayu, karena menyumbang rata-rata 51 % dari
produksi nasional. Sedangkan Sumatera merupakan mpenyumbang produksi ke dua
terbesar, yaitu 35 % (Gambar 4.1.17).
Sumber data: BPS (data diolah)
Pro
du
ksi (
ton
)
Tahun
Gambar 4.1.14. Perkembangan Produksi Ubi Kayu Indonesia, 2000 - 2012
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
-
25
Sumber data: BPS (data diolah)
Sumber data: BPS (data diolah)
Sumber data: BPS (data diolah)
Laju
Per
tum
bu
han
(%/t
h)
Wilayah
Gambar 4.1.15. Rata-Rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Produksi Ubi Kayu, 2000 - 2012
Average
STDEV
Po
du
ksi (
ton
)
Tahun
Gambar 4.1.16. Perkembangan Produksi Ubi Kayu Menurut Wilayah, 2000 - 2012 Sumatera
Jawa
Bali (NTB+NTT)
Kalimantan
Sulawesi
Maluku (+Papua)
Pangsa Produksi; Sumatera; 035; 35%
Pangsa Produksi;
Jawa; 051; 51%
Pangsa Produksi;
Bali (NTB+NTT);
006; 6%
Pangsa Produksi;
Kalimantan; 002; 2%
Pangsa Produksi; Sulawesi; 004; 4%
Pangsa Produksi; Maluku
(+Papua); 001; 2%
Gambar 4.1.17. Pangsa Produksi Ubi Kayu, 2000-2012
-
26
Dari sisi produktivitasnya, Sumatera mempunyai produktivitas rata-rata
terbesar, yaitu 186 kw per hektar, dan produktivitas ubi kayu di Jawa hanya
mencapai 165,51 kw per hektar (Gambar 4.1.18). Dilihat dari produktivitasnya,
potensi pengembangan ubi kayu ke depan adalah di wilayah Sulawesi, Kalimantan
dan Maluku+Papua.
Ditinjau dari sisi pertumbuhan produksi dan produktivitasnya, prospek
pengembangan sentra produksi ubi kayu adalah di wilayah Sumatera. Namun
demikian, mengingat bahwa wilayah Sumatera sudah menjadi sentra
pengembangan perkebunan, maka pengembangan ubi kayu di Sumatera akan
mengalamai kendala dalam penyediaan lahannya. Sebagai alternatifnya,
pengembangan sentra produksi ubi kayu dapat diarahkan ke wilayah timur, seperti
di wilayah Maluku+Papua. Namun wilayah ini masih memerlukan pengembangan
infrastruktur pertanian dan transportasi. Mengingat produktivitasnya yang relatif
rendah, pengembangan ubikayu di Maluku+Papua juga memerlukan
pengembangan dan adopsi teknologi produksi, yang didukung oleh sarana
pengolahan, sarana pemasaran dan sarana logistik, serta pengembangan
kelembagaan dan sumber daya petani.
Strategi pengembangan ubi kayu secara nasional ini perlu mulai
mendapatkan perhatian yang lebih serius, mengingat bahwa ubi kayu merupakan
bahan baku bagi pengembangan agro industri makanan dan industri bio energy.
Sebagai bahan baku pangan, ubi kayu dapat diolah menjadi tapioca dan modified
cassava flour (mocaf), yang dapat mensubtitusi gandum. Sebagai bahan bio
energy, ubi kayu dapat dibuat bio ethanol. Sudah barang tentu strategi
pengembangan produksi ubi kayu perlu disesuaikan dengan peruntukkannya.
-
27
Sumber data: BPS (data diolah)
Ubi Jalar
Produksi ubi jalar selama periode tahun 2000 - 2012 secara nasional
meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata 2,09 % per tahun (Gambar 4.1.19).
Pada tahun 2000 total produksi ubi jalar Indonesia mencapai 1,83 juta ton, dan
meningkat menjadi 2.30 juta ton pada tahun 2012. Pertumbuhan produksi terbesar
terjadi di Maluku+Papua sebesar 5,90 % per tahun, tetapi pertumbuhan tersebut
tidak stabil, karena standar deviasinya tinggi, yaitu 32,93 % per tahun.
Pertumbuhan produksi ubi jalar yang kedua adalah Sulawesi dengan laju 3,66 %
per tahun. Produksi ubi jalar di Bali+NTT+NTB dan di Kalimantan mengalami
pertumbuhan negative, masing-masing dengan laju -0,45 % per tahun dan -0,79 %
per tahun (Gambar 4.1.20). Secara grafis perkembangan produksi ubi jalar menurut
wilayah dapat dilihat pada Gambar 4.1.21.
Sumber data: BPS (data diolah)
Pro
du
ktiv
itas
(kw
t/h
a)
Wilayah
Gambar 4.1. 18. Rata-Rata Produktivitas dan Standard Deviasi Produktivitas Ubi Kayu, 2000
- 2012
Produktivitas
STDEVP
rod
uks
i (to
n)
Tahun
Gambar 4.1.19. Perkembangan Produksi Ubi Jalar Indonesia, 2000 - 2012 2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
-
28
Sumber data: BPS (data diolah)
Sumber data: BPS (data diolah)
Dilihat dari pangsa produksinya, Jawa masih merupakan penyumbang
produksi ubi jalar terbesar, dengan pangsa produksi sekitar 39 %. Sumatera dan
Maluku+Papua sama-sama merupakan pemasok ubi jalar kedua terbesar, masing-
masing dengan pangsa produksi 19 %. Selanjutnya, Bali+NTB+NTB dan Sulawesi
masing-masing menyumbang 11 dan 8 % dari produksi nasional. Adapun pangsa
produksi terkecil ada di Kalimantan dengan pangsa produksi sekitar 4 % (Gambar
4.1.22).
Laju
Per
tum
bu
han
(%/t
h)
Wilayah
Gambar 4.1.20. Rata-Rata dan Standard Deviasi Pertumbuhan Produksi Ubi Jalar, 2000 - 2012
Average
STDEV
Po
du
ksi (
ton
)
Tahun
Gambar 4.1.21. Perkembangan Produksi Ubi Jalar Menurut Wilayah, 2000 - 2012 Sumatera
Jawa
Bali (NTB+NTT)
Kalimantan
-
29
Sumber data: BPS (data diolah)
Secara nasional, rata-rata produktivitas ubi jalar selama periode tahun 2000
2012 adalah 101 kw per hektar. Produktivitas ubi jalar secara nasional selama
periode tahun 2000 - 2012 tumbuh dengan laju yang relatif lamban, yaitu 2,27 %
per tahun. Jawa masih merupakan daerah dengan produktivitas ubi jalar yang
tinggi, yaitu 127,46 kwt/ha. Selanjutnya adalah wilayah dengan produktivitas ubi
jalar tinggi ke produktivitas rendah, yaitu Sumatera 104,23 kwt/ha, Sulawesi 97,03
kwt/ha, Maluku+Papua 96,34 kwt/ha, Bali+NTB+NTT 93,65 kwt/ha, dan
Kalimantan 88,16 kwt/ha. Dilihat dari sisi produktivitasnya maka wilayah
pengembangan produksi ubi jalar di luar Jawa adalah Sumatera, Sulawesi dan
Maluku+Papua (Gambar 4.1.23).
Sumber data: BPS (data diolah)
Mengingat bahwa sebagian besar ubi jalar dikonsumsi dalam bentuk segar
baik untuk kudapan, atau pun sebagai bahan pangan pokok terutama oleh
penduduk di Papua dan Papua Barat, maka strategi pengembangan sentra produksi
ubi jalar sudah barang tentu akan berbeda dengan strategi pengembangan
Pangsa Produksi; Sumatera; 019; 19%
Pangsa Produksi;
Jawa; 039; 39%
Pangsa Produksi;
Bali (NTB+NTT); 011; 11%
Pangsa Produksi;
Kalimantan; 004; 4%
Pangsa Produksi; Sulawesi; 008; 8%
Pangsa Produksi; Maluku
(+Papua); 019; 19%
Gambar 4.1. 22. Pangsa Produksi Ubi Jalar, 2000-2012
Pro
du
ktiv
itas
(kw
t/h
a)
Wilayah
Gambar 41.23. Rata-Rata Produktivitas dan Standard Deviasi Produktivitas Ubi Jalar, 2000 -
2012
Produktivitas
STDEV
-
30
produksi ubi kayu yang dapat diproduksi secara massal. Pengembangan produksi
ubi jalar sebaiknya dalam bentuk klaster-klaster, yang luasannya disesuaikan
dengan kapasitas permintaan pasar, baik untuk dikonsumsi dalam bentuk umbi
segar, maupun untuk memenuhi permintaan bahan baku bagi industri pengolahan
pangan lokal. Dengan demikian sentra pengembangan ubi jalar hendaknya
disinergikan dengan program pengembangan diversifikasi pangan berbasis sumber
daya lokal yang memerlukan ubi jalar sebagai bahan bakunya.
4.1.2. Perkembangan Luas Panen Tanaman Pangan
Luas Panen Padi
Cenderung menurunnya peran Jawa sebagai pemasok produksi padi nasional
berkaitan erat dengan lamabannya pertumbuhan luas panen padi di Jawa. Selama
periode tahun 2000 sd 2012, luas panen padi di Jawa mencapai puncaknya pada
tahun 2010, yaitu 6,358 juta ha, kemudian menurun menjadi sekitar 6,17 juta ha
pada periode tahun 2011 sd 2012. Secara grafis dapat digambarkan laju
pertumbuhan luas panen padi di wilayah Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara,
Kalimantan, Sulawesi dan Maluku+Papua (Gambar 4.1.24).
Rata-rata pertumbuhan luas panen padi di Jawa selama periode 2000
sampai dengan 2012 adalah 0,63 % per tahun. Rata-rata pertumbuhan luas panen
padi yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa dan mempunyai stabilitas
yang relatif rendah, terdapat di Bali-Nusa Tenggara (1,26 %/th), Sumatera (1,29
%/th), Kalimantan (1,68 %/th), dan di Sulawesi (2,48 %/th). Pertumbuhan luas
panen padi yang tinggi terdapat di wilayah Maluku+Papua, yaitu rata-rata 6,27 %
per tahun, tetapi stabilitas pertumbuhannya rendah (Gambar 4.1.25).
Walaupun laju pertumbuhan luas panen padi di Jawa relatif rendah, tetapi
data menunjukkan bahwa kontribusi luas panen padi di Jawa selama peride 2000-
2012 masih relatif tinggi, yaitu rata-rata sebesar 48 %. Pangsa luas panen padi tiga
wilayah terbesar selanjunya adalah Sumatera (11 %), Sulawesi (11%), dan
Kalimantan (10 %) (Gambar 4.1.26).
-
31
Sumber data: BPS (data diolah)
Sumber data: BPS (data diolah)
Sumber data: BPS (data diolah)
Luas Panen Jagung
Berbeda dengan luas panen padi, luas panen jagung di Indonesia masih
berkembang dari sekitar 3,5 juta hektar pada tahun 2000, menjadi sekitar 4,0 juta
Luas
Pan
en (
ha)
Tahun
Gambar 4.1.24. Perkembangan Luas Panen Padi Menurut Wilayah, 2000-2012 Sumatera
Jawa
Bali (NTB+NTT)
Kalimantan
Sulawesi
Maluku (+Papua)
Laju
Per
tum
bu
han
(%/t
h)
Wilayah
Gambar 25. Rata-Rata dan Stadard Deviasi Pertumbuhan Luas Panen Padi Menurut Wilayah, Tahun 2000-2012
Pertumbuhan
STDEV
Average; Sumatera; 3170941,0;
26%
Average; Jawa; 5827962,308;
48%
Average; Bali
(NTB+NTT); 676335,615
; 5%
Average; Kalimantan;
1204748,846; 10%
Average; Sulawesi;
1301855,615; 11%
Average; Maluku
(+Papua);
57281,0; 0%
Gambar 4.1.26. Pangsa Luas Panen Padi, 2000-2012
-
32
hektare pada tahun 2012, atau dengan laju pertumbuhan rata-rata sekitar 1,30 %
per tahun selama perode 2000 2012. Pertumbuhan luas panen jagung tertinggi
terdapat di Maluku+Papua, yaitu 8,27 % per tahun, tetapi dengan stabilitas
pertumbuhan yang rendah (STD 16,43 % per tahun). Pertumbuhan luas panen
jagung yang lebih stabil terdapat di Sulawesi dan Kalimantan, masing-masing
dengan laju pertumbuhan 4,49 dan 2,70 % per tahun (Gambar 4.1.27 dan 4.1.28).
Rendahnya pertumbuhan luas panen jagung di Jawa menandakan bahwa lambat
laun peran Jawa sebagai penghasil jagung akan beralih ke Sulawesi dan
Kalimantan.
Sumber data: BPS (data diolah)
Sumber data: BPS (data diolah)
Walaupun pada saat ini pertumbuhan luas panen jagung di Jawa sudah
melambat, namun peran Jawa sebagai penyedia lahan untuk produksi jagung pada
saat ini masih relatif tinggi, yaitu 54 %. Angka ini jauh diatas pangsa luas panen
Luas
Pan
en (
ha)
Tahun
Gambar 4.1. 27. Perkembangan Luas Panen Jagung Menurut Wilayah, Tahun 2000-2012 Sumatera
Jawa
Bali (NTB+NTT)
Kalimantan
Sulawesi
Maluku (+Papua)
Laju
Per
tum
bu
han
(%/t
h)
Wilayah
Gambar 4.1.28. Rata-Rata dan Stadard Deviasi Pertumbuhan Luas Panen Jagung Menurut
Wilayah, Tahun 2000-2012
Pertumbuhan
STDEV
-
33
jagung di Sumatera yang hanya 21%, Sulawesi 14%, dan Bali+NTB+NTT sebesar
9% (Gambar 4.1.29).
Sumber data: BPS (data diolah)
Luas Panen Ubi Kayu
Perkembangan luas panen ubi kayu di Indonesia menunjukkan pertumbuhan
rata-rata yang negatif, yaitu rata-rata tumbuh dengan laju - 0,7 %. Pada tahun
2000 luas lahan panen ubi kayu di Indonesia masih sekitar 1,28 juta hektar, tetapi
luas panen tersebut menyusut menjadi 1,18 juta hektar pada tahun 2012.
Penyusutan luas panen ubi kayu tertinggi terjadi di Kalimantan, yaitu sebesar
3,86 % per tahun, selanjutnya di Sulawesi - 2,15 per tahun, Jawa 1,75 % per
tahun, dan ironisnya penurunan luas panen juga terjadi di Maluku+Papua.
Sebaliknya luas panen ubi kayu meningkat di Sumatera dengan laju 1,67 %
per tahun dan di Bali+NTB+NTT sebesar 0,66 % per tahun (Gambar 4.1.30 dan
4.1.31). Penurunan luas panen ubi kayu secara nasional ini perlu dicermati,
mengingat posisi Indonesia sebagai eksportir produk ubi kayu. Jika hal ini berjalan
secara berkelanjutan, bukanlah mustahil jika suatu saat Indonesia akan menjadi
negara net importir ubi kayu, sebagaimana telah dialami pada komoditas kedelai.
Average; Sumatera;
766681,769; 21%
Average; Jawa;
1954917,846; 54%
Average; Bali
(NTB+NTT); 331856,0;
9%
Average; Kalimantan; 63251,308;
2%
Average; Sulawesi;
511481,692; 14%
Average; Maluku
(+Papua); 16900,923;
0%
Gambar 4.1.29. Pangsa Luas Panen Jagung, 2000-2012
-
34
Sumber data: BPS (data diolah)
Sumber data: BPS (data diolah)
Walaupun luas panen ubi kayu di Jawa cenderung menyusut, namun
kontribusi luas panen ubi kayu di Jawa terhadap total luas panen ubi kayu nasional
masih cukup tinggi, yaitu sekitar 50 %. Posisi penyumbang luas panen kedua
adalah Sumatera, Sedangkan sumbangan luas panen ubi kayu di daerah lainnya
boleh dikatakan relatif kecil, yaitu di bawah 10 % (Gambar 4.1.32).
Luas
Pan
en (
ha)
Tahun
Gambar 4.1.30. Perkembangan Luas Panen Ubi Kayu Menurut Wilayah, 2000-2012
Sumatera
Jawa
Bali (NTB+NTT)
Kalimantan
Sulawesi
Laju
Per
tum
bu
han
(%/t
h)
Wilayah
Gambar 4.1. 31. Rata-Rata dan Stadard Deviasi Pertumbuhan Luas Panen Ubi Kayu Menurut
Wilayah, 2000-2012
Pertumbuhan
STDEV
-
35
Sumber data: BPS (data diolah)
Luas Panen Ubi Jalar
Seperti halnya dengan luas panen ubi kayu, luas panen ubi jalar secara
nasional cenderung menyusut pada periode tahun 2000 2012 dengan laju
penurunan rata-rata sebesar - 0,56 % per tahun. Pada tahun 2000, luas panen
ubi jalar di Indonesia masih 194,26 ribu hektar, turun menjadi 179,28 ribu hektare
pada tahun 2012. Penurunan luas panen ubi jalar tertinggi terjadi di Kalimantan,
dengan laju penurunan rata-rata sebesar 2,56 % per tahun.
Penurunan luas panen di Jawa adalah 1,51 % per tahun, kemudian di
Bali+NTB+NTT sebesar 0,54 % per tahun dan di Sumatera sebesar 0,20 % per
tahun. Luas panen ubi jalar masih meningkat di Sulawesi dengan laju peningkatan
sebesar 1,04 % per tahun dan di Maluku+Papua sebesar 4,69 % tetapi dengan
stablitas yang rendah (STD 33,14 % per tahun) (Gambar 4.1.33 dan 4.1.34).
Average; Sumatera; 387377,0;
31%
Average; Jawa;
615217,538; 50%
Average; Bali (NTB+NTT); 106813,462;
9%
Average; Kalimantan; 34872,462;
3%
Sulawesi 5%
Average; Maluku
(+Papua); 23753,923;
2%
Gambar 4.1.32. Pangsa Luas Panen Ubi Kayu, 2000-2012
-
36
Sumber data: BPS (data diolah)
Sumber data: BPS (data diolah)
Walaupun luas panen ubi jalar di Jawa cenderung menurun, tetapi
sumbangan luas panen di Jawa masih tinggi, yaitu sekitar 33 %. Penyumbang luas
panen tertinggi kedua adalah luas panen ubi jalar di Maluku+Papua, dengan
pangsa 22 %, yang kemudian diikuti dengan lauas panen ubi jalar di Sumatera,
Bali+NTB+NTT, Sulawesi, dan Kalimantan dengan sumbangan masing-masing
berturut-turut sebagai berikut 19 %, 12 %, 9 % dan 5 % (Gambar 4.1.35). Kondisi
semacam ini mengindikasikan bahwa ke depan penyumbang luas panen ubi jalar
dari Jawa akan cenderung beralih ke wilayah timur, yaitu Maluku+Papua dan
Sulawesi.
Luas
Pan
en (
ha)
Tahun
Gambar 4.1.33. Perkembangan Luas Panen Ubi Jalar Menurut Wilayah, 2000-2012
Sumatera
Jawa
Bali (NTB+NTT)
Kalimantan
Sulawesi
Maluku (+Papua)
Laju
Per
tum
bu
han
(%/t
h)
Wilayah
Gambar 4.1.34. Rata-Rata dan Stadard Deviasi Pertumbuhan Luas Panen Ubi Jalar Menurut Wilayah,
2000-2012
Pertumbuhan
STDEV
-
37
Sumber data: BPS (data diolah)
Pola Luas Panen Padi, Jagung, Ubi kayu dan Ubi jalar
Data nasional dengan menggabungkan luas panen padi, jagung dan ubi
kayu+ubi jalar menunjukkan bahwa pangsa luas panen padi selama periode 2000
2012 naik 1,19 %, yaitu dari 70,32 % pada tahun 2000, menjadi 71,51 % pada
tahun 2012 (Gambar 4.1.36). Hal ini menunjukkan bahwa petani pada umumnya
masih memilih menanam padi dibandingkan dengan menanam jagung.
Sebagaimana data menunjukkan bahwa penambahan pangsa luas panen jagung
selama periode 2000 - 2012 relatif lebih kecil, yaitu 0, 40 %.
Sebaliknya data juga menunjukkan bahwa pangsa luas panen ubi kayu+ubi
jalar selama periode tahun 2000 2012 mengalami penurunan sebesar 1,59 %,
yaitu dari 8,81 % pada tahun 2000 menjadi 7,22 % pada tahun 2012. Keadaan ini
mengindikasikan bahwa selama periode 2000 2012, ubi kayu dan ubi jalar tidak
memberikan insentif yang memadai bila dibandingkan dengan menanam padi atau
jagung.
Masih meningkatnya pangsa luas panen padi dibandingkan dengan pangsa
luas panen jagung, mengindikasikan bahwa kebijakan-kebijakan Pemerintah untuk
mendukung peningkatan produksi padi, baik berupa subsidi pupuk dan benih,
pengendalian harga produsen melalui kebijakan pengadaan gabah/beras dalam
negeri, serta pengendalian tataniaga impor beras, ternyata mempunyai dampak
Average; Sumatera; 35313,769;
19%
Average; Jawa;
59276,154; 33%
Average; Bali
(NTB+NTT); 22370,0;
12%
Average; Kalimantan; 8597,538;
5%
Average; Sulawesi;
17047,308; 9%
Average; Maluku
(+Papua); 39263,0;
22%
Gambar 35. Pangsa Luas Panen Ubi Jalar, 2000-2012
-
38
positif dalam memberikan insentif bagi petani untuk memilih menanam padi,
dibandingkan menanam jagung.
Sebenarnya Pemerintah juga memberikan kebijakan mendukung
peningkatan produksi jagung, namun demikian paket kebijakan untuk peningkatan
produksi jagung tidak selengkap paket kebijakan peningkatan produksi padi.
Bahkan dapat dikatakan bahwa peningkatan produksi jagung lebih banyak didorong
oleh pemanfaatan benih unggul, baik jagung komposit maupun jagung hibrida, dan
ditarik oleh industri pengolahan pakan ternak yang menggunakan jagung sebagai
bahan baku utamanya.
Sumber data: BPS (data diolah)
Berbeda dengan padi dan jagung, pengembangan ubi kayu dan ubi jalar di
Indonesia boleh dikatakan tidak didukung oleh kebijakan dan program pemerintah.
Oleh karena itu, dampak yang terjadi adalah bahwa petani tidak atau kurang
mempunyai insentif untuk menanam ubi kayu atau ubi jalar. Bahkan data secara
tidak langsung menunjukkan adanya kecenderungan bagi petani untuk beralih dari
menanam ubi kayu dan ubi jalar, dan menggantikannya dengan dengan menanam
padi atau jagung. Jika hal ini berjalan secara berkelanjutan, maka dikhawatirkan
bahwa diversifikasi produksi pangan nasional akan berkurang, dan hal ini dalam
jangka menengah, ataupun jangka panjang akan menimbulkan kerentanan bagi
system produksi pangan nasional. Kedepan risiko kegagalan produksi akan
Per
sen
Tahun
Gambar 4.1.36. Pangsa Luas Panen Padi, Jagung dan Ubikayu+Ubijalar, 2000 - 2012
Ubikayu+Ubijalar
Jagung
Padi
-
39
meningkat akibat perubahan iklim global yang semakin dirasakan dampak
negatifnya. Diversifikasi produksi pangan diharapkan dapat mengurangi risiko
kegagalan produksi akibat semakin meningkatnya cekaman lingkungan.
4.1.2. Perkembangan Harga Gabah, Jagung, Ubi Kayu dan Ubi Jalar
Secara umum data menunjukkan bahwa perkembangan harga gabah (GKG),
jagung (pipilan kering), ubi kayu (basah) dan ubi jalar (basah) selama periode 2011
sampai dengan bulan November 2013 dapat dikatakan stagnan, walaupun ada
gejolak harga pada minggu-minggu tertentu (Gambar 4.1.37). Mengingat bahwa
data harga dikumpulkan pada tingkat produsen, maka lonjakan-lonjakan harga
keempat komoditas tersebut diduga berkaitan erat dengan pola panen diwilayah
pengamatan. Pada saat musim tidak panen (paceklik) harga cenderung meningkat.
Sebaliknya pada musim panen harga cenderung menurun. Yang menarik dari data
harga tersebut, umumnya lonjakan harga naik hanya berjalan dalam waktu singkat,
yaitu dalam bilangan mingguan. Kemudian harga umumnya turun kembali pada
tingkat normal.
Harga gabah pada minggu pertama bulan Maret sampai dengan Mei 2011
cenderung turun yaitu menjadi sekitar Rp 3.000,-/kg, dari posisi harga Januari 2011
sekitar Rp 4.000,-/kg. Kemudian pada bulan Juli 2011 harga gabah cenderung naik
menjadi sekitar Rp 5.000,-/kg, tetapi pada bulan Agustus 2011 harga gabah sudah
turun kembali menjadi sekitar Rp 4.000,-/kg. Lonjakan-lonjakan harga gabah
dengan pola yang serupa juga terjadi selama periode pengamatan.
-
40
Sumber data: Ditjen PPHP, Kementan (data diolah)
Dengan pola harga demikian, dapat dikatakan bahwa selama periode tahun
2011 2013 harga gabah cenderung stabil pada harga rata-rata Rp 4.296,40/kg
dengan koefisien variasi (CV) yang relatif rendah, yaitu 11.07 %. Harga tertinggi
gabah yang pernah dicapai adalah Rp 5.316,-/kg. Sedangkan harga terendah
berada pada posisi harga Rp 3.000,-/kg. Pola perubahan harga gabah yang relatif
stabil tersebut diduga erat kaitannya dengan program Pemerintah untuk melakukan
stabilisasi harga pada tingkat produsen, melalui kebijakan pembelian gabah/beras
dalam negeri oleh Perum Bulog pada Harga Pembelian Pemerintah (HPP).
Harga jagung pipilan selama periode pengamatan juga menunjukkan pola
harga yang serupa dengan pola harga beras, tetapi dengan frekuensi lonjakan-
lonjakan harga yang lebih sering jika dibandingkan dengan harga gabah. Harga
jagung secara umum dapat dikatakan stabil pada harga rata-rata Rp 3.340,18/kg,
dengan angka koefisien variasi sebesar 11,57 %. Harga jagung tertinggi yang
pernah dicapai selama periode pengamatan adalah Rp 4.914,-/kg. Sedangkat
tingkat harga jagung terendah yang pernah dicapai adalah Rp 2.486,-/kg. Dapat
diketahui bahwa angka koefisien variasi harga jagung tidak jauh berbeda dengan
besarnya angka koefisien variasi harga gabah.
Hal ini secara implisit menunjukkan bahwa walaupun tidak ada kebijakan
stabilisasi harga jagung pada tingkat produsen, tetapi mekanisme pasar telah
mampu melakukan stabilisasi harga pada tingkat produsen. Hal ini dilakukan baik
melalui proses pengolahan, sehingga jagung dapat disimpan dalam waktu relatif
Har
ga R
p/k
g
Gambar 4.1.37. Perkembangan Harga Gabah, Jagung,
Ubi Kayu dan Ubi Jalar, 2011 - 2013
Gabah KeringGiling (GKG)
Jagung PipilanKering
Ubi Kayu Basah
Ubi Jalar Basah
-
41
lama, maupun melalui pembelian pada saat panen oleh perusahaan pengolah pakan
ternak yang merupakan pembeli terbesar dari produksi jagung ini. Perusahaan
pengolah pakan ternak inilah yang kemudian melakukan proses
pengolahan/pengeringan dan penyimpanan.
Berbeda dengan pola harga jagung, pola harga ubi kayu relatif tidak stabil
jika dibanding dengan harga jagung. Walaupun demikian lonjakan harga pada ubi
kayu terjadi pada interval yang lebih lama jika dibandingkan dengan harga jagung.
Hal ini kemungkinan besar terkait dengan umur tanaman ubi kayu yang panjang,
yaitu mencapai 7 sampai dengan 9 bulan, dibandingkan dengan umur panen
jagung yang hanya 86 sampai dengan 96 hari. Adapun harga rata-rata ubi kayu
basah selama periode pengamatan adalah Rp 2.105,99/kg dengan koefisien variasi
sebesar 30,33 %. Harga tertinggi ubi kayu adalah Rp 4.343,-/kg, dan harga
terendahnya tercapai pada harga Rp 1.100,-/kg. Lonjakan harga yang tinggi pada
ubi kayu ini diduga karena ubi kayu di jual dalam bentuk umbi basah, sehingga
boleh dikatakan bahwa umumnya petani tidak menyimpan atau mengolah ubi kayu
hasil produksinya untuk menahan harga agar tidak terlalu turun. Memang ada di
beberapa lokasi, petani menyimpan sebagian hasil produksinya untuk konsumsi
sendiri, dan diolah menjadi gaplek. Pengolahan ubi kayu basah pada umumnya
dilakukan oleh para industri pengolahan ubi kayu.
Menurut hasil analisis data, harga tertinggi ubi jalar basah pada periode
pengamatan adalah Rp 4.071,-/kg, harga terendahnya adalah Rp 2.000,-/kg.
Adapun harga rata-rata adalah Rp 2.960,32,-/kg, dengan koefisien variasi sebesar
16,82 %. Harga ubi jalar mengalami fluktuasi harga yang mirip dengan pola harga
ubi kayu, tetapi dengan selang interval fluktuasi yang lebih pendek. Hal ini diduga
berkaitan erat dengan masa tanam ubi jalar yang berkisar antara 3 sampai dengan
4 bulan. Kemiripan pola harga antara ubi jalar dengan ubi kayu karena petani
umumnya menjual ke dua komoitas ini dalam bentuk umbi basah.
Namun demikian data menunjukkan bahwa koefisien variasi harga ubi jalar
jauh lebih kecil dari koefisien variasi harga ubi kayu. Hal ini diduga bahwa pasar
akan lebih cepat dalam menyerap hasil panen ubi jalar, keadaan ini mungkin terjadi
-
42
karena petani sudah menyesuaikan volume produksi ubi jalar dengan kemampuan
pasar untuk menyerapnya. Di Jawa, khususnya di Jawa Barat, ubi jalar umumnya
dikonsumsi sebagai kudapan, bukan sebagai bahan makanan pokok (contonya ubi
Cilembu). Sebaliknya di Papua dan Papua Barat, ubi jalar masih menjadi bahan
makanan pokok pagi penduduk setempat.
4.1.3. Kebijakan, Program, Permasalahan dan Tantangan Produksi
Pangan
Selama ini kebijakan pangan pemerintah bias pada kebijakan komoditas padi.
Memang beras merupakan kebutuhan pangan pokok sebagian besar masyarakat
Indonesia, namun kebijakan terhadap beras dibandingkan dengan pangan jenis
lainnya sangat tidak proposional. Kebijakan tersebut berlanjut dengan
ditetapkannya program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) sejak tahun
2008. Di Kementerian Pertanian, program ini dilaksanakan oleh beberapa unit kerja
eselon I, namun Dirjen Tanaman Pangan bertindak sebagai komandonya. Program
ini bertujuan untuk peningkatan produksi padi, jagung dan kedelai yang juga
menjadi target swasembada pemerintah melalui program Kementerian Pertanian
dengan kementerian lainnya. Program ini dilaksanakan sampai saat ini dengan
jumlah dana yang relatif besar. Bahkan untuk 18 propinsi yang merupakan sentra
produksi beras, alokasi dana untuk program ini lebih besar