Kajian Stabilisasi Base Course Dari Bahan Daur Ulang

51
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Prasarana transportasi merupakan infrastruktur yang sangat fital dalam melayani pergerakan lalulintas, orang dan barang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Hal ini terbukti dari kenyataan bahwa jalan melayani 80% s.d 90% dari seluruh angkutan barang dan orang Dengan prasarana berupa jalan raya yang memadai tentunya akan memperlancar pertumbuhan ekonomi di suatu daerah dan mempermudah hubungan antar daerah secara nasional. Untuk memenuhi prasarana tersebut perlu tersedianya konstruksi jalan yang memenuhi persyaratan teknis dan disesuaikan dengan kondisi dan keadaan lingkungan yang ada. Salah satu jenis perkerasan yang paling umum digunakan adalah perkerasan lentur. Hampir 80% dari total panjang jalan di Indonesia merupakan perkerasan lentur (Hadihardja, J., 1997)[1]. Sebagaimana struktur perkerasan pada umumnya, perkerasan lentur juga akan mengalami defisiensi dan penurunan kinerja akibat pengaruh beban lalulintas dan lingkungan seiring dengan berjalannya umur rencana perkerasan. Sehingga struktur perkerasan akan membutuhkan upaya-upaya pemeliharaan untuk menjaga kinerjanya. Untuk mempertahankan kinerja perkerasan, diperlukan beberapa tindakan perbaikan kerusakan, baik berupa pemeliharaan rutin yang dilakukan setiap tahun maupun pemeliharaan berkala yang biasanya dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali. Keseluruhan pemeliharaan tersebut bertujuan untuk menjaga kinerja perkerasan agar dapat memberikan pelayanan sampai akhir umur rencananya. Pada akhir umur rencana, dimana kondisi perkerasan telah mencapai kondisi kritis, maka jenis penanganan yang diperlukan adalah berupa peningkatan atau betterment, dalam hal ini dapat berupa pemberian lapis tambah maupun rekonstruksi perkerasan (Departemen Pekerjaan Umum, 1987)[2]. Sejalan dengan makin berkurangnya sumber-sumber material yang ada dialam bebas, yang diperlukan dalam pekerjaan perbaikan konstruksi jalan, sedangkan dilain pihak permintaan akan material perkerasan jalan juga semakin meningkat dengan semakin meningkatnya volume pembangunan prasarana jalan, maka dirasakan perlu untuk mencari teknologi baru ataupun material alternatif, sebagai pengganti teknologi perkerasan jalan yang dikenal saat ini. Maka salah satu alternatif solusi untuk permasalahan tersebut adalah mempertimbangkan teknik daur ulang atau recycling materials.

Transcript of Kajian Stabilisasi Base Course Dari Bahan Daur Ulang

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Prasarana transportasi merupakan infrastruktur yang sangat fital dalam melayani

pergerakan lalulintas, orang dan barang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Hal ini terbukti

dari kenyataan bahwa jalan melayani 80% s.d 90% dari seluruh angkutan barang dan orang

Dengan prasarana berupa jalan raya yang memadai tentunya akan memperlancar pertumbuhan

ekonomi di suatu daerah dan mempermudah hubungan antar daerah secara nasional. Untuk

memenuhi prasarana tersebut perlu tersedianya konstruksi jalan yang memenuhi persyaratan

teknis dan disesuaikan dengan kondisi dan keadaan lingkungan yang ada.

Salah satu jenis perkerasan yang paling umum digunakan adalah perkerasan lentur.

Hampir 80% dari total panjang jalan di Indonesia merupakan perkerasan lentur (Hadihardja,

J., 1997)[1]. Sebagaimana struktur perkerasan pada umumnya, perkerasan lentur juga akan

mengalami defisiensi dan penurunan kinerja akibat pengaruh beban lalulintas dan lingkungan

seiring dengan berjalannya umur rencana perkerasan. Sehingga struktur perkerasan akan

membutuhkan upaya-upaya pemeliharaan untuk menjaga kinerjanya.

Untuk mempertahankan kinerja perkerasan, diperlukan beberapa tindakan perbaikan

kerusakan, baik berupa pemeliharaan rutin yang dilakukan setiap tahun maupun

pemeliharaan berkala yang biasanya dilakukan setiap 2 atau 3 tahun sekali. Keseluruhan

pemeliharaan tersebut bertujuan untuk menjaga kinerja perkerasan agar dapat memberikan

pelayanan sampai akhir umur rencananya. Pada akhir umur rencana, dimana kondisi

perkerasan telah mencapai kondisi kritis, maka jenis penanganan yang diperlukan adalah

berupa peningkatan atau betterment, dalam hal ini dapat berupa pemberian lapis tambah

maupun rekonstruksi perkerasan (Departemen Pekerjaan Umum, 1987)[2].

Sejalan dengan makin berkurangnya sumber-sumber material yang ada dialam bebas,

yang diperlukan dalam pekerjaan perbaikan konstruksi jalan, sedangkan dilain pihak

permintaan akan material perkerasan jalan juga semakin meningkat dengan semakin

meningkatnya volume pembangunan prasarana jalan, maka dirasakan perlu untuk mencari

teknologi baru ataupun material alternatif, sebagai pengganti teknologi perkerasan jalan yang

dikenal saat ini. Maka salah satu alternatif solusi untuk permasalahan tersebut adalah

mempertimbangkan teknik daur ulang atau recycling materials.

2

Teknik daur ulang perkerasan adalah suatu metode perbaikan jalan yang menggunakan

kembali material perkerasan jalan eksisting sebagai material untuk perbaikan jalan tersebut,

dengan penambahan beberapa material tambahan seperti agregat baru, rejuvenator atau

recycling agents, semen, aspal emulsi, foamed asphalt (campuran aspal emulsi dan semen)

dan material lainnya. Dengan teknik ini, material perkerasan lama diolah kembali menjadi

material/agregat daur ulang untuk selanjutnya digunakan kembali dalam pekerjaan perbaikan

jalan, baik langsung pada jalan yang diperbaiki tersebut maupun untuk pekerjaan perbaikan

ruas jalan lain

Jalur Pantura (Pantai Utara) Jawa merupakan salah satu jalur nasional yang sangat,

dengan kondisi yang dapat mewakili kondisi keseluruhan ruas jalan nasional di Indonesia.

Jalur pantura sebagai jalur transportasi ekonomi yang strategis dan ekonomis dengan kondisi

lalulintas harian rata-rata yang padat, beban lalulintas dengan beban tinggi, dan lapis

permukaan aspal yang telah dilapis berulang-ulang, sering terjadi kerusakan baik dalam

kondisi ringan maupun sedang hingga berat. Pada penelitian ini penulis mencoba untuk

melakukan penelitian pada salah satu ruas jalan di Jalur Pantura yang sering mengalami

kerusakan, yaitu ruas Jalan Pantura Batas Kabupaten Batang – Batas Kabupaten Kendal yang

termasuk wilayah Kabupaten Batang, Provinsi Jawa Tengah.

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan, ruas Jalan Pantura Batas Kabupaten Batang

– Batas Kabupaten Kendal sering kali mengalami kerusakan. Jenis kerusakan jalan yang

terjadi antara lain alur (ruting), amblas (settlement), dan jembul (upheaval or swell) ditandai

dengan permukaan jalan bergelombang dengan tingkat kerusakan dari ringan hingga berat.

Berbagai upaya sudah dilakukan oleh pemerintah dalam memelihara dan meningkatkan

prasarana jalan ini. Namun kerusakan jalan tetap terjadi, sehingga diduga bahwa penyebabnya

adalah akibat kurang padatnya lapis perkerasan dari jalan, terutama lapis pondasi atas,

sehingga terjadi pemadatan tambahan pada lapis pondasi atas akibat repetisi beban lalulintas

pada lintasan roda atau disekitarnya.

Pada penelitian ini penulis menggunakan sistem daur ulang Cement Treated Recycling

Base (CTRB) sebagai lapis pondasi atas. Sistem daur ulang ini digunakan karena di perkiraan

tebal lapisan aspal yang mencapai 30 cm, yang terjadi karena proses overlay yang berulang-

ulang di sebagian besar ruas jalan di Pantura dan volume material yang cukup besar yang

dihasilkan dari proses daur ulang. Selain itu sistem daur ulang ini diharapkan mendapatkan

stabilitas pondasi lapis atas yang lebih baik, karena tujuan utama dari penelitian ini adalah

mengetahui apakah dan bagaimana material daur ulang secara teknis dapat digunakan sebagai

stabilisasi lapis pondasi atas.

3

I.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan

dari penilitian ini adalah apakah material (aspal dan agregat) hasil daur ulang dari pekerjaan

peningkatan ruas jalan yang akan diperbaiki dapat digunakan kembali sebagai material

perkerasan dan sebagai material untuk stabilisasi pada lapis pondasi atas pada ruas jalan

tersebut, baik secara langsung (tanpa tambahan material baru atau bahan kimia), dengan

tambahan material baru atau tambahan bahan kimia dan bagaimana rencana desain campuran

tersebut sehingga didapatkan kekuatan sesuai ketentuan yang telah ditetapkan.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang dikemukakan adalah :

a. Mengevaluasi sifat fisik aspal dan agregat yang diambil dari penggarukan perkerasan

lama,

b. Mengevaluasi sifat fisik agregat baru, aspal baru dan semen,

c. Melakukan desain campuran (Job Mix Design) untuk CRTB (Cement Treated

Recycling Base), sehingga diperoleh prosentase campuran yang optimal dan hasil daur

ulang yang maksimal.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Memperluas pengetahuan penggunaan teknik daur ulang terhadap pekerjaan

pemeliharaan jalan, terutama sebagai lapis pondasi atas,

b. Dari hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pengelola jalan atau

pihak lain yang berkepentingan dalam penanganan kerusakan jalan diperiode

selanjutnya.

I.5 Pembatasan Permasalahan

Untuk mendapatkan hasil penelitian yang telah ditentukan, maka perlu di berikan

batasan masalah sebagai berikut :

a. Wilayah penelitian dan bahan material yang didaur ulang berasal dari kegiatan

pemeliharaan di ruas Jalan Pantura Batas Kabupaten Batang – Batas Kabupaten

Kendal (KM. SMG. 80+600 s/d 82+400),

b. Penelitian kondisi material daur ulang dilakukan di lapangan (insitu) dan di

Laboratorium Mekanika Tanah Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas

4

Diponegoro, Semarang serta di Laboratorium Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional

V, Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementrian Pekerjaan Umum, Surabaya.

Gambar 1.1 Peta lokasi Penelitian

Gambar 1.2 Kondisi Jalan Eksisting

1.6. Keaslian Penelitian

Agustine, J. (2012) dalam penelitian karakteristik marshall dan modulus resilien

campuran laston lapis pengikat AC-BC hasil daur ulang (studi kasus : Proyek peningkatan

5

Jalan Palembang – Tanjung Api Api), menjelaskan tentang penggunaan material dari lapisan

aspal hasil daur ulang yang digunakan sebagai lapis perkerasan aspal yang baru. Penelitian ini

menarik kesimpulan bahwa material dari lapisan aspal hasil daur ulang dapat digunakan

sebagai lapis perkerasan aspal baru dengan beberapa perbaikan diantaranya penambahan

material baru dan bahan kimia aditif dan nilai modulus resilien pada perkerasan aspal baru

dengan material dari perkerasan aspal dari hasil daur ulang tidak terdapat perbedaan yang

cukup besar dibandingkan dengan perkerasan aspal dengan material baru, sehingga masih

dapat digunakan sebagai lapis perkerasan aspal.[3]

Sunaryono (2009) tentang kajian penggunaan lapis pondasi agregat yang distabilisasi

semen, penelitian ini membahas tentang penggunaan lapis pondasi, baik lapis pondasi atas

maupun lapis pondasi bawah dengan agregat yang distabilisasi semen. Berdasarkan hasil

kajian, diperolah bahwa penggunaan lapis pondasi yang distabilisasi semen memberikan

beberapa keuntungan, antara lain memiliki keofisien kekuatan relatif yang lebih tinggi

sehingga dapat meningkatkan nilai struktur dari perkerasan, dan keuntungan lainnya adalah

mengurangi penggunaan material baru sehingga mencegah kerusakan lingkungan.[4]

Dari dua penelitian diatas, penelitian yang dilakukan penulis memiliki perbedaan yaitu

bahan yang digunakan adalah aspal dan material/agregat daur ulang pada lapis pondasi atas

dan bukan pada lapis perkerasan aspal (lapis permukaan), dan selanjutnya penelitian yang

dilakukan yaitu dengan penggunaan tambahan semen pada material agregat daur ulang.

1.7 Sistematika Penulisan

Penulisan tesis sebagai laporan dari penelitian yang dilakukan akan mengikuti

sistematika yang telah ditentukan sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan Latar Belakang Permasalahan, Pokok Permasalahan, Tujuan

dan Manfaat penelitian, Pembatasan Permasalahan, Keaslian Penelitian dan

Sistematika Penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan memperlihatkan teori-teori penunjang yang digunakan sebagai

landasan konseptual dari penelitian.

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini dikemukakan tahapan penelitian yang dilakukan agar lebih terarah

serta memiliki langkah penyelesaian yang sistematis, meliputi penetapan

tujuan penelitian, studi pustaka, identifikasi masalah, pengujian lapangan dan

laboratorium, pengolahan data, evaluasi, kesimpulan serta rekomendasinya.

6

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini disajikan data-data yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan

penelitian, selanjutnya dilakukan pemilihan dan pengolahan data dengan

metode tertentu.

BAB V : KESIMPULAN, SARAN DAN REKOMENDASI

Bab ini merupakan tahapan akhir dalam penyusunan tesis yang berisikan

kesimpulan dan berbagai saran, serta disampaikan pula rekomendasi yang

berkaitan dengan hasil penelitian.

7

BAB II

TINJAUN PUSTAKA

II.1 Umum

Jalan adalah suatu prasarana perhubungan darat dalam bentuk apapun, meliputi segala

bentuk bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan pelengkapnya yang diperuntukkan

bagi lalulintas. atau bisa di sebut juga jalan adalah suatu lintasan yang bermanfaat untuk

melewatkan lalulintas dan satu tempat ketempat lain sebagai penghubung dalam satu daratan.

Jalan raya sebagai sarana penghubung harus lancar dan aman untuk dilalui, serta memenuhi

syarat-syarat secara teknis maupun ekonomis.

Syarat-syarat umum jalan yang harus dipenuhi adalah :

a. Segi konstruksi : jalan harus kuat, awet dan kedap air.

b. Segi pelayanan : rata, tidak licin dan geometrik yang memadai.

c. Segi ekonomis : jalan tersebut tidak mahal dan mudah dikerjakan.

Persyaratan tersebut dapat dipenuhi dengan adanya desain perkerasan yang sesuai

dengan kondisi perencanaan (kelas jalan, moda yang lewat, waktu pelaksanaan, dan biaya)

(Hadihardja, J., 1997)[1].

Lapis perkerasan aspal selama masa layannya akan mengalami penurunan kualitas dan

kemampuan dalam fungsinya melayani lalulintas, disamping faktor cuaca yang diterimanya.

Karena proses penurunan kualitas tersebut maka konstruksi perkerasan aspal membutuhkan

pemeliharaan dan peningkatan ataupun rehabilitasi agar konstruksi perkerasan dapat berfungsi

secara optimal.

Konsep mendaur ulang perkerasan merupakan konsep yang sederhana namun sangat

berarti. Mendaur ulang perkerasan eksisting untuk mendapatkan perkerasan baru sangat

berarti dalam penghematan material, biaya dan energi. Selain itu, daur ulang juga membantu

dalam permasalahan pembuangan limbah. Karena konsepnya menggunakan kembali material

perkerasan lama, maka geometri dan tebal perkerasan dapat dipertahankan selama proses

konstruksi. Dalam beberapa kasus, gangguan lalulintas selama konstruksi lebih kecil

dibandingkan metode rehabilitasi lainnya.

Berdasarkan beberapa alas an diatas, banyak peneliti tertarik pada pengunaan kembali

material dari perkerasan lama dalam kegiatan peningkatan dan pemeliharaan perkerasan.

Teknologi daur ulang ini sudah secara luas digunakan dibeberapa Negara di Eropa, Amerika,

Hongkong dan Malaysia.

8

Dilihat dari material yang digunakan dalam konstruksi perkerasan yaitu batuan dalam

bentuk agregat dan aspal sebagai bahan ikat, material perkerasan aspal termasuk pada bahan

yang bisa dipergunakan kembali atau didaur ulang (Anas Ali, 2007)[5].

Material yang ada dan sudah rusak dapat digunakan kembali, karakteristiknya dapat

diperbaiki, didaur ulang dan ditingkatkan. Material lama dapat digunakan dengan aplikasi

yang sama dengan pemakaian awal, atau sebagai bagian untuk material baru (Fernandez del

Campo, 2003)[6].

Gambar 2.1 Ilustrasi Kondisi Perkerasan Jalan

II.2 Perkerasan Jalan

Perkerasan jalan adalah konstruksi yang dibangun diatas lapisan tanah dasar

(subgrade), yang berfungsi untuk menopang beban lalulintas. Lapisan perkerasan berfungsi

untuk menerima dan menyebarkan beban lalulintas tanpa menimbulkan kerusakan pada

konstruksi jalan itu sendiri. Jenis konstruksi perkerasan jalan umumnya ada dua jenis, yaitu :

a. Perkerasan lentur (flexible pavement), dan

b. Perkerasan kaku (rigid Pavement)

Selain dari dua jenis tersebut, sekarang telah banyak digunakan jenis gabungan

(composite pavement), yaitu perpaduan antara lentur dan kaku. Perencanaan konstruksi

perkerasan juga dapat dibedakan antara perencanaan untuk jalan baru dan untuk peningkatan

(jalan lama yang sudah pernah diperkeras).[1]

Gambar 2.2 Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

9

Gambar 2.3 Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)

Gambar 2.4 Perkerasan Gabungan (Composit Pavement)

II.3 Lapis pondasi

II.3.1 Umum

Menurut PU (2006)[2], lapis pondasi merupakan bagian perkerasan jalan raya yang

terletak antara lapis permukaan jalan dan tanah dasar dimana salah satu fungsi utamanya pada

perkerasan lentur adalah untuk menyebarkan beban kendaraan agar tegangan yang sampai ke

tanah dasar tidak melampaui tegangan yang dapat menimbulkan deformasi berlebih. Pada

perkerasan kaku, fungsi utama lapis pondasi adalah untuk mencegah pemompaan.

Atas pertimbangan efisiensi bahan, lapis pondasi dapat terdiri atas dua bagian, yaitu

lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah. Pada perkerasan kaku, istilah lapis pondasi atas

dan lapis pondasi bawah kadang-kadang digunakan secara bergantian.

Karena letaknya yang langsung di bawah lapis permukaan sehingga menerima

tegangan yang besar akibat beban roda kendaraan, maka lapis pondasi atas dan lapis pondasi

bawah pada perkerasan lentur harus mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap deformasi.

Karena posisinya yang terletak dibawah lapis pondasi atas, lapis pondasi bawah dapat

mempunyai mutu yang lebih rendah daripada mutu untuk lapis pondasi.

Untuk memenuhi fungsi di atas, lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah dapat

dibuat dari berbagai jenis bahan, tergantung pada ketersediaan bahan, efisiensi pengerjaan

serta fungsi lainnya.

Posisi dan skema pembagian beban pada lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah,

baik pada perkerasan lentur maupun perkerasan kaku, ditunjukkan pada gambar 2.5 dan 2.6

sebagai berikut.

10

Gambar 2.5 Potongan melintang tipikal jalan

Gambar 2.6 Skema Pembagian Beban Pada Perkerasan Jalan Raya

II.3.2 Lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah pada perkerasan lentur

Sebagaimana disebutkan diatas bahwa fungsi utama lapis pondasi atas dan lapis

pondasi bawah pada perkerasan lentur adalah sebagai media untuk menyebarkan tegangan

yang ditimbulkan oleh beban kendaraan yang bekerja pada permukaan perkerasan. Dengan

demikian, maka tegangan yang sampai pada permukaan tanah dasar tidak mengakibatkan

deformasi yang berlebih.

Lapis pondasi pada perkerasan lentur biasanya terdiri atas lapisan hasil pemadatan

batu pecah, kerikil atau slag yang bergradasi tertentu, lapis pondasi bawah dapat terdiri atas

bahan yang atau bahan hasil stabilisasi, sedangkan sama seperti untuk lapis pondasi, tetapi

dengan mutu yang lebih rendah. Untuk memastikan bahwa tanah dasar tidak menerima

tegangan berlebih, maka lapis pondasi atas dan lapis pondasi bawah harus mempunyai tebal

memadai.

11

a. Lapis pondasi atas

Untuk mencegah terjadinya keruntuhan akibat tegangan yang terjadi langsung di

bawah permukaan, lapis pondasi atas harus terdiri atas bahan bermutu tinggi. Apabila

lapis pondasi atas terdiri atas agregat, maka agregat tersebut harus gradasi yang sesuai

dengan gradasi yang dicantumkan dalam spesifikasi. Untuk kondisi lalulintas dan

cuaca tertentu, penentuan persyaratan gradasi harus mempertimbangkan berat isi dan

stabilitas.

CBR yang harus dipenuhi bahan lapis pondasi biasanya ditetapkan 100 persen.

Namun demikian, lapis pondasi pada perkerasan yang melayani lalulintas rendah

mungkin tidak menuntut bahan bermutu tinggi, tetapi cukup bahan bermutu lebih

rendah. Penggunaan bahan bermutu rendah untuk lapis pondasi dapat

dikompensasikan dengan mempertebal lapis permukaan. Lapis pondasi yang terdiri

atas bahan yang distabilisasi aspal atau semen dapat menghemat biaya, karena lapis

pondasi dengan bahan tersebut akan menjadi lebih tipis.

b. Lapis pondasi bawah

Untuk lapis pondasi bawah dapat digunakan bahan pilihan, misal kerikil alam.

Bahan pilhan biasanya mempunyai stabilitas cukup tinggi, tetapi mempunyai

karakteristik lain yang menjadikan bahan tersebut tidak sepenuhnya memenuhi syarat

sebagai lapis pondasi atas. Agar dapat dijadikan lapis pondasi bawah, bahan pilihan

mungkin perlu distabilisasi atau mungkin langsung digunakan dalam kondisi aslinya.

Tujuan pemasangan lapis pondasi bawah adalah untuk mendapatkan perkerasan

yang relatif tebal tetapi dengan biaya yang lebih murah. Oleh karena itu, bahan untuk

lapis pondasi bawah dapat mempunyai mutu yang rentang batas-batasnya lebar, sejauh

persyaratan tebal dipenuhi. Persyaratan berat isi dan kadar air seharusnyaa ditetapkan

berdasarkan pengujian laboratorium atau lapangan.

Hal ini sehubungan dengan terlalu lemahnya daya dukung tanah dasar terhadap

roda-roda alat besar atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera

menutup tanah dasar, dari pengaruh cuaca. Bermacam-macam tipe tanah setempat

(CBR > 20%, PI < 10%) yang relatif lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan

sebagai bahan pondasi bawah.

Campuran-campuran tanah setempat dengan kapur dan semen Portland dalam

beberapa hal sangat dianjurkan, agar dapat bantuan yag efektif terhadap kestabilan

konstruksi perkerasan.

12

II.4 Faktor-Faktor Penyebab Kerusakan Lapis Keras

Sejak perkerasan jalan dibuka untuk melayani lalu-lintas kendaraan, perkerasan jalan

akan mengalami pembebanan akibat lalu-lintas kendaraan, pengarah kondisi lingkungan serta

proses daur ulang lapis keras itu sendiri. Lapis keras akan mengalami penurunan kualitas

maupun kuantitas , yang berarti lapis keras akan mengalami peningkatan kerusakan. Selain

itu kerusakan lapis keras dapat juga diakibatkan oleh adanya kesalahan perencanaan atau

pelaksanaan, sehingga kadang-kadang sebelum digunakan Jalan sudah mengalami kerusakan.

Lapis keras jalan akan selalu menerima gaya - gaya lalu-lintas dan faktor regional (pengaruh

lingkungan).

II.4.1 Lalu lintas

Akibat kendaraan yang melewati permukaan jalan, lapis keras akan mengalami dua

macam beban kendaraan, yaitu pada saat kendaraan dalam keadaan berhenti (beban statis)

dan pada saat kendaraan dalam keadaan bergerak (beban dinamis).

a. Beban dinamis

Beban dinamis pada lapis keras terjadi akibat beban lalu-lintas yang bergerak

melintasi permukaan jalan. Gaya akibat beban dinamis ini bersifat lebih komplek

dibanding dengan gaya akibat beban statis. Gaya-gaya tersebut dapat berupa gaya

vertikal seperti halnya beban statis serta gaya horizontal berupa gaya hisap, gaya

pengereman, traksi dan lain sebagainya.

Gaya tekan vertikal yang dialami lapis keras akibat lalu-lintas yang bergerak

mempunyai pengaruh yang lebih kecil dibanding dengan gaya vertikal akibat

kendaraan dalam keadaan berhenti (beban statis), hal ini disebabkan karena

pendeknya waktu pembebanan. Semakin tinggi kecepatan kendaraan, waktu

pembebanan semakin rendah, tetapi karena frekuensi pembebanan yang lebih banyak

atau terjadi repetisi lenturan berulang-ulang, oleh karena itu dibutuhkan lapis keras

yang memiliki fleksibilitas tinggi agar lapis keras tidak mudah mengalami retak.

Kecepatan kendaraan juga dapat menimbulkan gaya tarikan pada lapis keras

yang besarnya tergantung pada kecepatan dan dimensi kendaraan, sehingga semakin

tinggi kecepatan dan semakin besar dimensi kendaraan semakin besar pula gaya

tarikan yang dialami oleh lapis keras.

Pengereman kendaraan mengakibatkan terjadinya gesekan antara roda dan

permukaan lapis keras. Akibatnya tahanan gesek (skid resistance) lapis keras akan

semakin berkurang, akibat adanya pengausan yang disebabkan oleh gesekan roda

13

dengan lapis keras. Dengan berkurangnya skid resistance ini akan memudahkan

terjadinya penggelinciran pada saat dilakukan pengereman, terutama pada saat

permukaan jalan dalam keadaan basah.

Selain berpengaruh pada pengereman tahanan gesek juga mempengaruhi traksi

antara roda dan permukaan lapis keras. Pada saat kendaraan bergerak di atas lapis

keras akan timbul gaya horizontal yang berlawanan arah dengan arah gerak

kendaraan. Traksi antara roda kendaraan dengan lapis keras dipengaruhi oleh tahanan

gesek permukaan dan luas bidang kontak antara roda kendaraan dan permukaan lapis

keras. Permukaan yang kasar mempunyai tahanan gesek yang tinggi dibanding

permukaan yang halus. Sedangkan luas bidang kontak dipengaruhi oleh berat roda

kendaraan, tekanan angin roda dan keadaan kebersihan permukaan lapis keras. Gaya

horisontal akibat traksi dapat mengakibatkan pengausan permukaan lapis keras

menjadi licin dan tahanan gesek berkurang.

Gaya-gaya tersebut akan selalu diterima oleh lapis keras selama lapis keras

masih dibuka untuk melayani lalu-lintas, selanjutnya meningkatnya kerusakan akan

terjadi akibat adanya gaya-gaya tersebut secara terus menerus. Kerusakan utama akibat

lalu-lintas adalah (OECD, 1978):

1) Retak kelelahan (fatigue cracking),

2) Usang karena aus atau lepasnya agregat,

3) Deformasi.

b. Beban Statis

Beban statis terjadi pada saat kendaraan berhenti dalam waktu yang lama pada

lapis keras, beban ini menimbulkan gaya tekan vertikal statis pada lapis keras.

Semakin besar beban yang bekerja pada permukaan jalan, gaya tekan akan semakin

besar pula. Beban ini akan menimbulkan lenturan pada lapis keras, sedangkan

besarnya lenturan tergantung pada besarnya beban dan Kekakuan lapis keras.

Kekakuan lapis keras dipengaruhi oleh kekakuan bahan, terutama aspal

sebagai bahan pengikat lapis keras. Lama pembebanan akan mempengaruhi kekakuan

bahan dan lapis keras. Semakin lama kendaraan berada di atas permukaan lapis keras

tegangan lentur yang terjadi semakin besar, berarti kekakuan lapis keras makin kecil,

sehingga semakin besar deformasi lapis keras akibat beban yang terjadi. Hal ini

berkaitan dengan sifat tegangan dan regangan bahan yang dipengaruhi oleh intensitas

pembebanan.

14

Pengaruh beban statis dari kendaraan ini semakin .besar jika terdapat sederetan

kendaraan yang berhenti pada tempat-tempat tertentu dalam periode waktu yang

cukup lama, misalnya pada tempat parkir, persimpangan jalan dengan traffic light dan

terminal.

II.4.2 Faktor Regional

Faktor regional yang berpengaruh terhadap kerusakan lapis keras meliputi kondisi

iklim setempat berupa temperatur udara, curah hujan dan sebagainya, serta kondisi

lingkungan antara lain tanah dasar, muka air tanah, bangunan pelengkap dan sebagainya.

Pengaruh iklim dan kondisi lingkungan ini akan selalu dialami oleh lapis keras, hal ini

disebabkan karena jalan dalam keadaan terbuka.

a. Temperatur udara

Temperatur udara merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap lapis

keras lentur, hal ini disebabkan karena aspal sebagai salah satu bahan utama lapis keras

lentur merupakan bahan yang sangat peka terhadap temperatur (thermoplastic). Pada

saat temperatur tinggi aspal akan bersifat lunak, hal ini akan mengganggu fungsi aspal

sebagai bahan ikat agregat, sehingga tahanan ikat aspal menjadi lebih kecil. Dengan

demikian nilai stabilitas perkerasan menjadi lebih kecil, sehingga memudahkan terjadi

deformasi pada lapis keras saat menerima beban. Temperatur yang tinggi juga akan

mempercepat terjadinya penguapan dan oksidasi. Proses penguapan terjadi pada

komponen aspal yang ringan (oils), sehingga terjadi perubahan perbandingan fraksi

komponen aspal yang berarti akan mengubah sifat aspal dari sifat semula. Dengan

menguapnya komponen yang ringan, aspal menjadi lebih mudah mengalami proses

pengerasan (hardening) dan bersifat getas (brittle), sehingga permukaan lapis keras

mudah retak. Proses oksidasi akan mengakibatkan adanya lapisan film tipis keras pada

permukaan lapis keras yang dapat larut dalam air. Apabila suatu saat terkena air lapisan

tersebut akan terlarut dalam air dan apabila terjadi terus-menerus kadar aspal akan

berkurang, sehingga dapat mengurangi stabilitas lapis keras. Dengan demikian lapis

keras akan mudah mengalami retak.

b. Curah hujan

Curah hujan berpengaruh terhadap kadar air lapis keras maupun tanah dasar.

Seperti uraian diatas, adanya air pada permukaan lapis keras akan melarutkan lapisan

film tipis yang keras pada permukaan lapis keras. Selain itu air akan mengganggu ikatan

antara aspal dan batuan apabila berhasil masuk dalam lapis keras karena adanya retak

15

pada bagian lapis keras. Selanjutnya air akan menggusur batuan lepas dari ikatan

semula. Jika terdapat aliran air pada permukaan lapis keras yang telah lepas, maka

akan dapat mempengaruhi perbandingan material pembentuk lapis keras. Apabila air

dapat meresap sampai ke tanah dasar, maka tanah dasar akan mengalami penurunan

daya dukung. Kerusakan akibat pengaruh iklim yang sering terjadi adalah (OECD,

1978):

1) Striping,

2) Deformasi dan retak khususnya karena pengaruh temperatur,

3) Turunnya daya dukung tanah dasar karena kandungan air yang terlalu tinggi. [11]

II.5 Kerusakan Jalan

Asphalt Institute (1997)[11] dalam MS-16, menjelaskan kerusakan jalan dapat

disebabkan oleh :

a. Beban lalu lintas,

b. Lingkungan, merupakan pengaruh dari suhu udara dan curah hujan yang tinggi,

c. Drainase yang tidak baik, drainase jalan yang tidak baik dapat menyebabkan naiknya

air ke lapisan perkerasan akibat kapilaritas,

d. Material konstruksi perkerasan. Dapat berupa sifat material yang tidak baik atau

pengolahan material yang tidak baik,

e. Kasus lainnya. Dapat berupa penurunan akibat penanaman utilitas dibawah lapis

permukaan,

f. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil. Kemungkinan disebabkan oleh sistem

pelaksanaan yang kurang baik, atau dapat juga disebabkan oleh sifat tanah dasarnya

yang memang jelek.

Umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul itu tidak disebabkan oleh satu faktor saja,

tetapi dapat merupakan gabungan penyebab yang saling kait mengkait. Jenis kerusakan jalan

dapat berupa :

a. Retak (Cracking)

Retak dapat dibedakan atas :

1) Retak reflektif (reflective crack). Retak reflektif dapat berupa longitudinal,

memanjang, diagonal atau membentuk kotak. Terjadi akibat gerakan vertikal atau

gerakan horisontal di bawah lapis tambahan (overlay) akibat tidak dilakukan

perbaikan sebelum overlay dilaksananakan. Retak reflektif dapat juga terjadi

16

akibat perubahan kadar air pada subgrade dengan kadar lempung yang tinggi atau

jenis tanah ekspansif.

2) Retak pinggir (edge cracking). Berupa retak longitusinal sekitar 30 cm dari tepi

perkerasa. Retak pinggir ini terjadi akibat tidak baiknya sokongan dari arah

samping, drainase kurang baik, terjadi penyusutan tanah atau terjadi shrinkage di

bawah daerah tersebut dan akar tanaman tumbuh di tepi perkerasan.

3) Retak susut (shrinkage cracking). Retak ini berbentuk kotak-kotak yang saling

bersambungan sepanjang 1 sampai 3 meter dan biasanya membentuk sudut tajam.

Retak disebabkan oleh perubahan volume pada lapisan permukaan yang memakai

aspal dengan penetrasi rendah atau perubahan volume pada lapisan pondasi dan

tanah dasar.

4) Retak kulit buaya (alligator crack/fatique cracking). Berupa retak-retak yang

membentuk sebuah jaringan dari bidang bersegi banyak (polygon) menyerupai

kulit buaya, lebar celah lebih besar atau sama dengan 3 mm. Ukuran bidang bisa

berkisar antara 5 cm sampai sekitar 50 cm. Daerah dengan retak kulit buaya dapat

atau tidak dapat di sertai oleh penyimpangan dalam bentuk penurunan dan dapat

terjadi dimanapun pada permukaan perkerasan. Retak ini dapat disebabkan oleh

bahan perkerasan yang kurang baik, pelapukan permukaan, tanah dasar atau

bagian perkerasan dibawah lapis permukaan kurang stabi, atau bahan lapis

pondasi dalam keadaan jenuh air (air tanah naik).

5) Retak garis (linier cracking). Merupakan retak-retak yang tampak pada

permukaan sebagai akibat keretakan di lapisan bawah aspal. Biasanya tercermin

dalam retak-retak memanjang dan melintang. Retak yang sejajar dengan dan

dalam rentang 30 cm dari tepi perkerasan, keretakan dapat berupa suatu retak

lurus yang hampir menerus, ataupun retak-retak yang terdiri dari suatu formasi

berbentuk seperti bulan sabit. Retak ini terjadi akibat bahan perkerasan yang

kurang baik, tanah dasar atau base dan subbase yang kurang stabil.

b. Distorsi (distorsion)

1) Alur (ruting). Dapat terjadi pada lintasan roda sejajar dengan as jalan. Alur ini

dapat terjadi karena lapis perkerasan yang kurang padat, dengan demikian akan

terjadi tambahan pemadatan akibat repetisi beban lalulintas pada lintasan roda.

2) Keriting dan sungkur (corrugation and shoving). Kerusakan ini berupa alur dan

deformasi Dapat terjadi karena rendahnya stabilitas campuran yang dapat berasal

dari terlalu tingginya kadar aspal, terlalu banyak mempergunakan agregat halus,

17

agregat berbentuk bulat dan berpermukaan licin atau aspal yang dipergunakan

mempunyai penetrasi yang tinggi.

3) Amblas (settlement or grade depressions). Kerusakan ini berupa penurunan

bagian perkerasan yang dapat terjadi setempat dengan atau tanpa retak.

Penyebabnya adalah overloading kendaraan atau penurunan bagian perkerasan

karena tanah dasar mengalami settlement.

4) Jembul (upheaval or swell). Kerusakan ini terjadi setempat dengan atau tanpa

retak. Penyebabnya karena adanya pengembangan tanah dasar pada tanah dasar

expansif.

c. Disintegration (disintegration)

Disintegration merupakan kehilangan material perkerasan bertahap dari lapisan

permukaan kearah bawah. Perkerasan tampak seakan pecah kedalam bagian-bagian

kecil seperti pengelupasan akibat terbakar sinar matahari, atau mempunyai garis-garis

goresan yang berjalan sejajar terhadap garis tengah perkerasan pada suatu jalan dengan

permukaan yang terawat. Pelepasan butir dapat terjadi diatas seluruh permukaan,

tetapi jalur-jalur roda umumnya adalah daerah terburuk karena aksi lalulintas.

Pelepasan butir permukaan dimana agregat kasar dan halus sudah terkikis dan

kehilangan material. Tekstur kasar, meskipun dengan aspal hotmix, biasanya masih

terdapat material halus permukaan.

Dapat dibedakan atas :

1) Pelepasan butir (raveling/weathering). Kerusakan ini dapat terjadi secara meluas

dan dapat meresapkan air kedalam lapis permukaan. Penyebabnya adalah

campuran material lapis permukaan kurang baik.

2) Lubang (pothole). Kerusakan ini berupa lubang-lubang, amblas berbentuk

mabgkuk (lubang) pada perkerasan dapat berhubungan atau tidak berhubungan

dengan kerusakan permukaan lainnya. Penyebab kerusakan ini adalah campuran

material lapis permukaan yang kurang baik.

3) Kegemukan (bleeding or flushing). Kerusakan ini menyebabkan permukaan jalan

menjadi licin. Pada temperatur tinggi aspal menjadi lunak dan akan terjadi jejak

roda. Penyebabnya adalah pemakaian kadar aspal yang tinggi pada campuran

aspal, pemakaian terlalu banyak aspal pada pekerjaan prime coat atau tack coat.

4) Pengausan (polished aggregate). Kerusakan ini menyebabkan permukaan jalan

menjadi licin sehingga membahayakan kendaraan. Penyebabnya adalah agregat

berasal dari material yang tidak tahan haus terhadap roda kendaraan atau agregat

18

yang dipergunakan menjadi berbentu bulat dan licin, tidak berbentuk bulat dan

licin, tidak berbentuk kubikal.

II.6 Rehabilitasi dan Pemeliharaan Lapis Perkerasan

II.6.1 Pemeliharaan.

Pemeliharaan dan rehabilitasi dapat diklasifikasikan berdasarkan tujuan dan

programnya yang biasanya dilaksanakan sesuai dengan kondisi di lapangan yang dibedakan

menjadi 2 kategori, yaitu:

- Pemeliharaan Rutin,

- Pemeliharaan Berkala.

a. Berdasarkan tujuannya

Berdasarkan tujuannya pemeliharaan dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

1) Pencegahan (preventive)

Pemeliharaan dimaksudkan untuk mengurangi tingkat memburuknya jalan dan

mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah. serta mempertahankan tingkat

keamanan, kenyamanan, kekedapan permukaan dan kelancaran arus lalu-lintas.

Pemeliharaan ini dilakukan secara berkala pada kerusakan-kerusakan yang

bersifat ringan dengan tingkat penyebaran luas. Pada umumnya kerusakan berupa

kerusakan fungsional atau kerusakan non struktural seperti retak halus, pengausan,

kegemukan dan lain-lain cacat permukaan. Pekerjaan pemeliharaan dilakukan pada

lapis permukaan tanpa menambah kekuatan. Tambahan pada lapis permukaan

dianggap tidak memiliki atau menambah nilai struktural jalan.

2) Pembetulan (corrective)

Perbaikan atau pembetulan dilakukan untuk mengembalikan kekuatan jalan,

tingkat keamanan kenyamanan dan kelancaran lalu- lintas. Perbaikan ini bertujuan

agar setiap bagian lapis keras jalan mampu menjalankan fungsi strukturalnya menahan

beban yang bekerja padanya sesuai dengan yang direncanakan, serta mengembalikan

bagian lapis keras yang mengalami kerusakan agar berkemampuan seperti semula.

Tindakan pemeliharaan ini dilakukan pada bagian lapis keras yang mengalami

kerusakan berat. Kerusakan dapat terjadi pada lapis permukaan, lapis fondasi, bahkan

sampai ke tanah dasar. Kerusakan yang memerlukan pemeliharaan ini merupakan

kerusakan struktural yang membutuhkan perbaikan untuk menambahkan kemampuan

strukturalnya. Perbaikan umumnya mencakup daerah yang terbatas/setempat sesuai

dengan tingkat kondisi lapangan. Perbaikan ini dilaksanakan pada lokasi dengan

19

tingkat kerusakan yang berat antara lain lubang, amblas, alur dan retak bersama-sama

dan lain-lain kerusakan struktural lapis keras. Perbaikan kerusakan struktural yang

terjadi pada lapis keras dengan tingkat penyebaran yang meluas (seluruh permukaan

jalan) sudah bukan termasuk dalam kategori Pemeliharaan lagi tapi merupakan

tindakan rehabilitasi yang dapat dilakukan dengan rekonstruksi atau dengan metode

daur ulang.

b. Berdasar programnya

Pemeliharaan berdasarkan programnya dapat diklasifikasikan dalam dua kategori

yaitu:

1) Pemeliharaan rutin atau menerus

Pemeliharaan rutin dilakukan secara terus menerus yang meliputi semua

pekerjaan pemeliharaan dan perbaikan yang dilakukan sebagai perawatan jalan.

Pekerjaan ini dilakukan untuk mengontrol gangguan atau kerusakan pada lapis keras

maupun samping jalan seperti pemotongan rumput, pembersihan endapan dan kotoran

pada saluran diainase, tambal lubang dan sebagainya. Aktivitas yang dilakukan

termasuk aktivitas kecil, karena bersifat setempat pada tempat di mana terdapat

kerusakan jalan.

2) Pemeliharaan berkala atau periodik

Pemeliharaan berkala merupakan tindakan yang telah direncanakan pada saat

pembangunan jalan baru Biasanya berupa pemberian lapis permukaan untuk

mempertahankan kualitas permukaan lapis keras khususnya kerataan, skid resistance,

serta mencegah kerusakan struktur lebih lanjut. Jenis kerusakan yang memerlukan

Pemeliharaan berkala (Soedarmanto dan Dardak, 1991)[12] :

a) Lapis permukaan telah mengalami oksidasi,

b) Skid resistance sudah tidak memadai,

c) Terjadinya unexpected failure permukaan lapis keras secara menyeluruh,

d) Lapis permukaan telah mengalami retak rambut secara merata akibat

kelelahan (fatigue).

Pekerjaan Pemeliharaan berkala umumnya dilakukan pada jalan dengan

kondisi mantap pada lingkup dan tujuan pekerjaan sebagai berikut (Soedarmanto dan

Dardak, 1991)[12]:

a) Tidak meningkatkan kapasitas stuktur,

b) Mengembalikan pada kapasitas struktur semula,

c) Terutama dilakukan pada lapis permukaan,

20

d) Dimaksudkan agar masa pelayanan yang direncanakan dapat tercapai.

II.6.2 Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan tindakan perbaikan pada jalan yang bersifat luas dan tidak

termasuk dalam kategori Pemeliharaan (maintenance). Perbaikan dapat dilakukan dengan

rekonstruksi, pelapisan ulang permukaan lapis keras (overlay) dan daur ulang. Rehabilitasi

dimaksudkan untuk memulihkan atau memperbaharui karakteristik utama lapis keras seperti

stabilitas, kerataan permukaan (evenness), kekasaran permukaan (roughness), dan profil

permukaan atau meningkatkan kemampuan lapis keras untuk melayani perkembangan lalu-

lintas. Sehingga tindakan ini disebut juga peningkatan jalan.

Jenis-jenis kerusakan yang memerlukan peningkatan jalan yaitu (Soedarmanto dan

Dardak, 1991)[12]:

a. Lapis permukaan telah mengalami kerusakan merata berupa retak kulit buaya,

b. Struktur lapis keras mempunyai lendutan lebih besar atau sama dengan 1,5 mm,

c. Lapis permukaan mengalami perubahan kerusakan yang relatif cepat (lebih cepat dari

yang direncanakan).

Pekerjaan peningkatan jalan pada umumnya dilakukan pada jalan yang tidak mantap

atau jalan dengan masa pelayanan yang telah tercapai, dengan lingkup dan tujuan sebagai

berikut (Soedarmanto dan Dardak, 1991)[12]:

a. Meningkatkan kapasitas struktur sesuai tuntutan lalu-lintas,

b. Pada umumnya dilaksanakan pada lapisan permukaan saja (satu atau dua lapis),

termasuk lapis fondasi atas dan jarang sekali sampai lapis fondasi bawah,

c. Mencakup keseluruhan permukaan jalan,

d. Dengan target masa pelayanan ± 10 tahun.

Tujuan tersebut dapat tercapai dengan pemilihan metode rehabilitasi yang sesuai.

Riechert (1977)[13] memberikan beberapa alternatif yaitu :

a. Membuat kembali (redoing) lapis permukaan untuk memperbaiki atau mencegah

pengaruh cuaca terhadap permukaan lapis keras,

b. Pemberian lapis permukaan baru di atas lapis keras lama,

c. Membongkar lapis keras yang rusak dan menggantinya dengan lapisan baru,

d. Pelaksanaan dengan teknik hot in-place recycling, antara lain dengan mencampur

kembali ( remixing ) lapis permukaan lama dengan atau tanpa penambahan bahan additive

dan menghampar kembali untuk mendapatkan profil yang diinginkan,

e. Pelaksanaan dengan teknik cold in-place recycling dan rehabilitasi lapis pondasi.

21

II.7 Perkerasan Daur Ulang

Rehabilitasi/peningkatan dan pemeliharaan dari sistem transportasi sekarang adalah

mahal, menghabiskan waktu dan pengadaan material yang banyak. Proses daur ulang

mungkin memberikan beberapa keuntungan dari penggunaan cara konvensional. Diantara

keuntungan utama adalah penghematan agregat, aspal, energi dan juga pemeliharaan serta

kondisi asli dari geometrik jalan (Epps, 1981; Little, 1981; Little, 1982; Scherochman,

1979).[7]

Konsep perkerasan daur ulang sudah ada dan bertahun–tahun masih digunakan. Baru-

baru ini karena sangat tertarik dengan penghematan seperti faktor energi dan bahan, daur

ulang menjadi suatu pilihan yang menarik untuk rehabilitasi perkerasan. Daur ulang meliputi

penglupasan perkerasan, penghancuran, penambahan aspal atau bahan peremaja dan agregat

baru jika diperlukan (Epps, 1980).[7]

Jenis perkerasan daur ulang dapat dibagi dalam tiga golongan (Lida A and Maruyama

M., 1983; Epps, 1980; Little, 1982; Scherochman, 1979)[7,8], seperti dibawah ini :

a. Surface Recycling, cara ini terdiri dari pekerjaan ulang lapisan permukaan perkerasan

yang ada dari ketebalan 25 mm atau kurang. Beberapa jenis peralatan yang digunkaan

sekarang ini untuk daur ulang lapisan permukaan perkerasan, meliputi heater planers

dan heater scarifiers, cold planning dan mesin cold milling serta hot millers,

b. In place recycling, seperti pembangunan ulang yang umumnya dikerjakan dengan cara

dingin yaitu menggunakan kembali agregat tanpa memanaskan. Cara ini terdiri dari

penggarukan lapisan permukaan (surface) atau lapisan bawah (base) dari perkerasan

aspal dengan kedalaman lebih dari 25 mm. Lapisan perkerasan itu biasanya

dihancurkan ditempatnya. Untuk mencapai gradasi yang direncanakan, agregat baru

ditambahkan pada bahan perkerasan yang sudah hancur (reclaimed) bila diperlukan.

Bahan penstabilisasi seperti aspal keras, aspal emulsi, semen, kapur dan bahan

peremaja kimia lainnya dapat ditambahkan setelah proses pulverisasi. Pencampuran

ditempat dengan menggunakan stabilisator dan alat pulvimixer. Akhirnya bahan

perkerasan dibentuk pada puncak dan kemiringan yang baik dan kemudian dipadatkan,

c. Central plant recycling, cara ini dimana lapisan perkerasan digaruk dan dipindahkan

dari jalan tersebut. Material ini kemudain dipecahkan dan dianalisa tingkah laku atau

karakteristik hasil campuran dari perencanaan campuran lapisan perkerasan tersebut.

Agregat dan aspal keras, dengan atau tanpa suatu bahan peremaja, ditambahkan pada

bahan garukan melalui satu dari dua tipe aspal plant yaitu batch plant atau drum dryer

22

mixer. Hasil dari hot mix ini kemudian dihamparkan pada jalan dengan menggunakan

cara dan alat konvensional dan akhirnya dipadatkan seperti biasa oleh rollers.

Berdasarkan metode pencampuran teknologi daur ulang dibagi menjadi 2 :

a. Daur ulang campuran dingin (cold recycling), contohnya : CTRB (Cement Treated

Recycling Base), CTRSB (Cement Treated Recycling Sub Base), Campuran dengan

pengikat aspal emulsi, aspal cair, dan aspal bitumen atau CMRFB-Base (Cold Mix

Recycling Base by Foam Bitumen),

b. Daur ulang campuran panas (hot recycling), contohnya : daur ulang bahan garukan

yang dipanaskan kembali di AMP (in plant) dan di permukaan (in place).

Pemilihan dari jenis dan metode daur ulang yang akan digunakan akan sangat

bergantung pada banyak faktor, diantaranya ketebalan lapis perkerasan yang didaur ulang,

tingkat kerusakan, jenis konstruksi perkerasan, kondisi lalulintas dan ketersediaan alat. Pada

penelitian ini metode yang di pergunakan oleh penulis adalah Cement Treated Recycling Base

(CRTB).

II.8 Metode Cement Treated Recycling Base (CTRB)

CTRB dapat berupa campuran antara RAM (Reclaimed Agregate Material) dengan

semen atau campuran antara RAM dan RAP (Reclaimed Asphalt Pavement) dan agregat baru

dengan semen yang dicampur di unit produksi campuran beraspal sentral (in plant) atau di

tempat (in place). Bahan dan cara pengerjaannya CTRB meliputi:

a. Semen

Hidrasi dari semen merupakan faktor penting pada perubahan sifat teknis dari

material. Perubahan ini terwujud dari adanya pembentukkan sementasi material

selama proses hidrasi. Ikatan yang kuat antara partikel secara terus menerus

membentuk suatu rangkaian yang keras dan selanjutnya menjadi material kuat dan

permanen. Faktor yang mempengaruhi stabilisasi bahan garukan dari semen adalah

1) Tipe campuran

Untuk menurunkan indeks plastisitas material dibutuhkan kadar semen yang

relatif kecil dibandingkan untuk meanmbah kekuatan dari campuran. Material

berbutir, indeks plastisitas < 15 % akan menguntungkan apabila distabilisasi

dengan semen (SNI 03-3438-1994).

2) Jumlah dan tipe dari semen

- Penentuan prosentase dari semen ditentukan berdasarkan berat atau volume,

23

- Tipe semen terdiri dari type 1, 2, 3, 4 dan 5. Kriteria masing-masing tipe

tergantung oleh proporsi bahan baku, suhu pembakaran dan kehalusan

penggilingan.

b. Pencampuran

Homogenitas campuran sangat dibutuhkan untuk mencapai kekuatan maksimum.

Waktu pencampuran yang dibutuhkan adalah dari saat air ditambahkan terhadap

matrial bahan garukan dan semen hingga campuran terlihat homogen. Pemadatan

segera dilakukan untuk menghindari proses hidrasi berlangsung karena keterlambatan

akan mengakibatkan campuran menjadi sukar untuk dipadatkan.

c. Pemadatan

Pemadatan laboratorium untuk menentukan kadar air optimum dan kepadatan

maksimum dilakukan dengan modified compaction test. Masalah yang sering timbul

adalah waktu yang terbatas antara pencampuran dan pemadatan di lapangan. Hal ini

terjadi karena proses ikat antara semen dan air dan material berlangsung sangat cepat

sehingga apabila proses ini terlampaui sebelum pemadatan berakhir, campuran sudah

bersifat semi plastis sehingga pemadatan kurang maksimal.

d. Kadar Air

Jumlah kadar air dalam campuran mempengaruhi kekuatan dan kepadatan dari

campuran bahan garukan dan semen.

e. Perawatan

Merupakan proses pemeliharaan campuran pada masa dan temperatur tertentu guna

menjamin hidrasi dari semen dan pengerasan campuran berlangsung secara normal.

Pada masa perawatan air yang terkandung dalam campuran akan keluar perlahan-

lahan seiring dengan hal tersebut kekuatan campuran akan bertambah besar.

f. Kriteria

Kekuatan tanah yang distabilisasi akan meningkat sesuai dengan besar kadar semen

yang ditambahkannya, sehingga bahan dapat dipergunakan sebagai lapis perkerasan

dengan kualitas yang lebih tinggi sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Material

daur ulang yang distabilisasi dengan semen masih mempunyai sifat linier elastis yang

memungkinkan untuk dianalisa sebagai perkerasan aspal (Rusbintardjo, G, 1992 cc

Djoko Widayat, 2007).

24

Kekuatan campuran CTRB dan CTRSB ditentukan berdasarkan kuat tekan, didalam

spesifikasi khusus kekuatan minimum harus memenuhi persayatan dalam Tabel

dibawah ini.

Tabel 2.1 Kekuatan Campuran CTRB dan CTRSB

Peruntukan

Kuat Tekan pada umur 7 hari (Kg/cm2)

UCS

(diameter 70 mm x tinggi 140

mm)

Kuat Tekan Silinder Beton

(diameter 150 mm x tinggi 300 mm)

CTRB Min. 30 Min. 35

CTRSB Min. 20 Min. 25

Sumber : Pustlitbang Jalan dan Jembatan PU, 2007

Pada Lokasi pekerjaan lalulintas tidak diijinkan lewat di atas CTRB atau CTRSB

minimum 4 hari sesudah pemadatan terakhir dan mengalihkan lalu lintas dan membuat

jalan alternatif (berdasarkan Spesifiaksi Umum pelaksanaan Cement Treated Base

(CTB)).[10]

25

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Lokasi dan Bahan Penelitian

Lokasi studi dalam penelitian ini adalah ruas Jalan Pantura Batas Kabupaten Batang –

Batas Kabupaten Kendal (KM. SMG. 80+600 s/d 82+400) dan Laboratorium Mekanika

Tanah, Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang serta

Laboratorium Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional V, Direktorat Jenderal Bina Marga,

Kementrian Pekerjaan Umum, Surabaya. Bahan atau material yang digunakan dalam

penelitian ini adalah bahan yang diambil dari lapis perkerasan di ruas Jalan Pantura Batas

Kabupaten Batang – Batas Kabupaten Kendal (KM. SMG. 80+600 s/d 82+400) tersebut.

III.2 Alat yang digunakan

Dalam penelitian ini peralatan yang digunakan adalah :

a. Penelitian dilapangan menggunakan :

1) Satu set alat Dynamic Cone Penetrometer (DCP),

2) Satu set alat uji California Bearing Ration (CBR),

b. Pengujian sifat-sifat tanah dan material hasil daur ulang, terdiri dari :

1) Alat uji konsistensi tanah terdiri dari : alat uji kadar air, uji berat jenis (specific

gravity) dan uji berat isi (natural density),

2) Alat uji atterberg limit yang terdiri dari : alat uji batas cair, batas susut, dan batas

plastis,

3) Alat uji analisa saringan (sieve analysis) meliputi satu set ayakan standar dan

analisa hydrometer berupa satu set alat analisa hydrometer untuk menentukan fraksi

ukuran butir bahan uji,

4) Satu set alat geser langsung (direct shear test),

c. Pembuatan desain campuran (job mix design) untuk CTRB, diperlukan alat berupa :

1) Alat uji analisa saringan (sieve analysis) meliputi satu set ayakan standar,

2) Alat uji tekan (Unconfined Compresive Strength (UCS)),

3) Alat pembuat benda uji tekan silinder beton dan alat uji tekan silinder beton,

4) Alat uji kadar air untuk menentukan kadar air optimum dan berat jenis kering

maksimal dari agregat.

26

III.3 Prosedur Penelitian

a. Penyelidikan Lapangan

Penyelidikan lapangan dilakukan terlebih dahulu sebelum penelitian di laboratorium

dan pembuatan campuran (job mix design). Penyelidikan lapangan yang dilaksanakan

antara lain :

1) Pekerjaan pembuatan test pit,

2) Pemeriksaan visual struktur perkerasan,

3) Pengambilan contoh tanah terganggu dan tidak terganggu pada tanah dasar

(subgrade),

4) Pengujian DCP (Dynamic Cone Penetrometer) pada semua lapis struktur (base,

sub base dan subgrade), dan

5) pengujian CBR (California Bearing Ratio) lapangan (CBR insitu).

b. Penelitian sifat-sifat tanah dan material hasil daur ulang

Penelitian sifat-sifat tanah dan material hasil daur ulang dilakukan untuk mengetahui

konsistensi tanah dan batas-batas Atterberg, meliputi :

1) Pemeriksaan kadar air alami (natural water content),

2) Pemeriksaan berat jenis (specific gravity),

3) Pemeriksaan batas cair (liquid limit),

4) Pemeriksaan batas plastis (plastic limit),

5) Pemeriksaan gradasi tanah (grain size analysis), dan

6) Pemeriksaan geser langsung (direct shear).

Dari hasil penelitian laboratorium ini digunakan untuk mengetahui sifat dasar (index

properties) dan klasifikasi tanah tersebut. Jenis-jenis pengujian pendahuluan serta

metode pengujian tercantum pada tabel 3.1.

Tabel 3.1. Jenis dan Metode Pengujian

No Jenis Pengujian Prosedur Pengujian

Bina Marga AASHTO ASTM

1 Kadar air 0117-76 T-100-90 D-265-86

2 Berat jenis 0108-76 T-100-90 D-854-92

3 Berat isi 2024-76 - D-2937-72

4 Batas cair 0109-76 T-88-90 D-424-66

5 Batas plastis 0110-76 T-90-90 D-424-74

6 Distribusi ukuran partikel 0105-76 dan T-88-81 D4318-95a

27

0106-76

7 Hydrometer 0106-76 da

0107-76 T-88-72 C-422-72

8 Geser langsung 0116-76 T-234-79 D3080-79

c. Pembuatan desain campuran (Job Mix Design)

Pembuatan desain campuran (job mix design) dilakukan untuk mendapatkan formula

campuran yang hasilnya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

d. Langkah-langkah penelitian

1) Dilakukan pengamatan lapangan secara visual di ruas Jalan Pantura Batang –

Weleri (KM. SMG. 82+950 s/d 84+000) untuk mengetahui permasalahan yang ada

pada lapis perkerasan diruas jalan tersebut.

2) Dicari dan dipelajari literatur-literatur yang berhubungan dengan permasalahan

yang diamati pada pengamatan dilapangan di ruas Jalan Pantura Batang – Weleri

(KM. SMG. 82+950 s/d 84+000),

3) Dilakukan persiapan-persiapan dan pengumpulan data yang berkaitan dengan

keadaan jalan tersebut sebelumnya,

4) Dilaksanakan penyelidikan lapangan,dan pengambilan contoh tanah, aspal dan

material yang ada dilapangan dan akan didaur ulang, dan pengujian dilapangan

yaitu uji DCP dan CBR insitu,

5) Dilakukan pengujian sifat-sifat material dasar dari material daur ulang di

laboratorium agar didapatkan data-data penelitian, dan selanjutnya dilakukan

pengolahan data,

6) Pembuatan Job Mix Design di laboratorium untuk mendapatkan formula campuran

CTRB yang sesuai dengan hasil yang telah ditetapkan,

7) Dilakukan analisa dari hasil uji sifat-sifat material daur ulang dan hasil dari

pembuatan job mix design,

8) Diambil kesimpulan dari penelitian yang sudah dilakukan.

III.4 Job Mix Design CTRB

a. Urutan pembuatan job mix design CTRB

Data laboratorium yang akan digunakan untuk pembuatan Job Mix Design CTRB

terdiri dari beberapa hasil pengujian material. Dari data tersebut dapat digunakan

untuk proses pembuatan Job Mix Design CTRB. Berikut adalah detail proses

pembuatan Job Mix Design CTRB :

28

1) Bahan

Bahan campuran terdiri atas bahan garukan perkerasan, semen dan air. Apabila

bahan garukan tidak memenuhi persyaratan gradasi, maka harus ditambahkan

agregat baru.

a) Bahan garukan perkerasan

Bahan garukan perkerasan digunakan sebagai agregat, diperoleh dari campuran

lapis perkerasan lama yang digaruk dan di hancurkan hingga lolos saringan 1 ½

inci (37,50 mm) untuk lapis pondasi dan lolos saringan 2 inci (50 mm) untuk

lapis pondasi bawah. Bahan garukan perkerasan harus kering udara

b) Agregat baru

Agregat yang akan ditambahkan dapat berupa batu pecah, sirtu, sirtu pecah,

slag, pasir, abu batu atau kombinasi dari beberapa bahan ini yang memenuhi

persyaratan. Agregat baru terdiri dari agregat kasar dan halus.

i. Agregat kasar

Agregat kasar yang tertahan pada ayakan No.8 (2,36 mm) dapat terdiri atas

batu pecah, sirtu pecah atau slag yang keras, awet dan bersih. Agregat kasar

yang berasal dari sirtu/kerikil, harus mempunyai paling sedikit satu bidang

pecah.

ii. Agregat halus

Agregat halus yang lol os ayakan No. 8 (2,36 mm) dapat terdiri atas pasir

alam atau abu batu dan parti kel halus lainnya yang bersih.

Fraksi yang lolos saringan No. 200 (0,075 mm) harus tidak lebih dari

dua pertiga fraksi yang l olos saringan No. 40 (0,425 mm).

Agregat harus bebas dari gumpalan lempung atau bahan-bahan lain yang tidak

dikehendaki dan memenuhi sifat-sif at yang diberikan pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2 Persyaratan mutu agregat

Sumber : Pd T-08-2005, Departemen Pekerjaan Umum

29

c) Semen

Semen yang digunakan sebagai bahan tambah adalah semen Portland tipe I

sesuai SII –13 - 1977.

d) Air

Air yang digunakan untuk mencampur, merawat atau penggunaan lainnya

harus bebas dari minyak, sulfat dan klorida atau bahan lainnya yang

merugikan terhadap hasil akhir. Ketentuan air yang digunakan diperlihatkan

pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Ketentuan Air

Sumber : Pd T-08-2005, Departemen Pekerjaan Umum

2) Peralatan

Peralatan laboratorium yang digunakan dalam pengujian harus memenuhi

persyaratan ketelitian dan kalibrasi. Peralatan meliputi :

a) 1 set pengukur Berat Jenis agregat kasar dan halus,

b) 1 set pengukur Batas Cair Casagrande dan Batas Plastis,

c) 1 set saringan ukuran dari 2 inci (50 mm) hingga No.200 (0,075 mm),

d) 1 set alat uji kepadatan berat,

e) 1 set alat uji kuat tekan bebas, ukuran tabung dim. 7 cm dan tinggi 14 cm,

f) Alat pengaduk dan alat bantu lainnya

3) Perencanaan Campuran

Perencanaan campuran dilakukan di laboratorium untuk mendapatkan kadar

semen yang menghasilkan kekuatan campuran optimum dan memenuhi kriteria

kekuatan campuran daur ulang perkerasan dengan bahan tambah semen.

Pencampuran harus homogen.

a) Gradasi

Gradasi campuran bahan garukan atau kombinasi bahan garukan dan agregat

baru sesuai dengan gradasi seperti ditunjukkan pada Tabel 3.4.

30

Tabel 3.4 Gradasi Campuran

Sumber : Pd T-08-2005, Departemen Pekerjaan Umum

b) Kriteria kekuatan campuran

Kekuatan campuran akan meningkat sesuai dengan meningkatnya kadar

semen yang ditambahkan, sehingga campuran dapat dipergunakan sebagai

lapis perkerasan dengan kualitas sesuai kriteria kekuatan yang di syaratkan

pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5 Kreiteria kekuatan campuran daur ulang perkerasan dengan semen

Sumber : Pd T-08-2005, Departemen Pekerjaan Umum

c) Penentuan kadar semen

i. Pengujian berat isi kering maksimum dan kadar optimum

- Kadar semen dan air yang diperlukan harus ditunjukkan sebagai

persentase terhadap berat total agregat,

- Tentukan 5 variasi kadar semen untuk 5 set benda uji dengan rentang

antara 1,5% - 7,5% berat total agregat, dengan interval sama,

- Untuk berbagai variasi kadar semen, kadar air optimum perkiraan

ditetapkan (umumnya pada rentang 5% - 8% terhadap berat total

agregat, untuk kadar semen yang rendah dipilih kadar air perkiraan yang

rendah, demikian pula kadar semen yang tinggi dipilih kadar air

perkiraan yang tinggi pula),

- Siapkan benda uji agregat sesuai prosedur SNI 03-1743-1989 metode D,

- Bagilah setiap set benda uji agregat menjadi 6 bagian dan tiap bagian

dicampur air dengan kadar air yang berbeda yang bervariasi antara 1-3%.

Penambahan air di atur sehingga didapat 3 benda uji dengan kadar air

31

kira-kira dibawah optimum dan 3 benda uji dengan kadar air kira-kira

diatas optimum,

- Sebelum penambahan semen, tambahkan air sekitar 50% dari total yang

diperlukan ketiap benda uji agregat, aduk sampai merata, masing-masing

benda uji dimasukkan kedalam kantong plastik, kemudian peram berkisar

antara 18 – 24 jam,

- Setelah pemeraman, tambahkan semen dan air kekurangannya ke tiap

benda uji, aduk sampai merata, kemudian segera lakukan pemadatan

untuk menghindari proses hidrasi yang terlalu cepat,

- Tentukan berat isi kering maksimum dan kadar air optimum tiap benda

uji agregat dan semen yang diperoleh dari percobaan Pemadatan Berat

(SNI 03-1743-1989).

ii. Pengujian kuat tekan bebas (KTB)

- Siapkan benda uji untuk pengujian KTB seperti disebutkan sebelumnya

masing-masing 2 contoh dengan kepadatan maksimum dan kadar air

optimum didapat dari percobaan pemadatan berat (SNI 03-1743-1989).

Benda uji untuk pengujian KTB dalam bentuk silinder berdiameter 7 cm

dan tinggi 14 cm. Masing-masing benda uji dibungkus plastik lalu

disimpan pada tempat pemeraman pada temperatur ruang masing-

masing selama 7 hari. Guna menjaga kondisi tetap lembab, benda uji

ditutup karung basah,

- Setelah pemeraman, lakukan pengujian kuat tekan bebas sesuai SNI 03-

6887-2002.

iii. Pemilihan kadar semen, kadar air optimum dan berat isi kering maksimum

- Gambarkan grafik hubungan antara kadar semen campuran dengan KTB

setiap variasi kadar semen untuk menentukan kadar semen yang

memberikan nilai KTB yang di syaratkan pada Tabel 3.5,

- Gambarkan grafik hubungan antara kadar semen campuran dengan kadar

air optimum setiap variasi kadar semen untuk menentukan kadar air

optimum campuran pada kadar semen yang dipilih,

- Gambarkan grafik hubungan antara kadar semen campuran dengan berat

isi kering maksimum setiap variasi kadar semen untuk menentukan

kepadatan kering maksimum campuran pada kadar semen yang dipilih.

32

III.5 Diagram Alir Penelitian

- Diagram alir penelitian

Gambar 3.1 Diagram Alir Penelitian

Hasil Uji Lap.

Penyelidikan

Lapangan

Persiapan Alat dan

Lokasi

Uji Lapangan &

Pengambilan

Material

Hasil Desain

Pengambilan data

Lalulintas Harian

Analisa

Perhitungan

Hasil Perhitungan

Analisa Lapangan

dan Laboratorium

Mulai

Studi Pendahuluan

Latar Belakang

dan Rumusan

Penelitian

Pengumpulan Data

Tujuan Penelitian

Analisa Hasil

Pembahasan &

Kesimpulan

Selesai

Penyelidikan

Laboratorium

Sifat-sifat tanah

dan Material Daur

Ulang

Desain Campuran

(Job Mix Design)

CTRB

Hasil Uji Lab.

33

- Diagram alir pembuatan Job Mix Design untuk CTRB

Gambar 3.2 Diagram Alir Penelitian untuk Pembuatan Job Mix Design CTRB

Agregat

Mulai

Air Semen

RAM Agregat Baru

- Sesuai gradasi tabel 2.1

-

Sesuai SNI

03-6817-2002

Sesuai SNI

15-2049-1994

Menentukan hub. kadar air,

Agregat dan semen, (SNI

03-6886-2002), didapat :

- Kepadatan Kering Maks.

(MDD)

- Kadar Air Opt. (OMC)

Membuat 4 benda uji untuk

uji tekan (UCS)

Uji UCS sesuai dengan SNI

03-6429-2000

Hasil Job Mix Design

Memenuhi syarat?

Ya

Tidak

Memilih Campuran

Optimum

Selesai

34

III.6 Jadwal Penelitian

Rencana jadwal penelitian adalah sebagai berikut :

Tabel 3.6 Jadwal Penelitian

Bulan Februari Maret April Mei

Minggu 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14

Proposal Tesis

Seminar Proposal Tesis

Survey Pendahuluan

Pengumpulan Data

Analisa Data

Bab I. Pendahuluan

Bab II. Tinjaun Pusataka

Bab III. Metode Penelitian

Bab IV. Analisa dan Rekomendasi

Bab V. Kesimpulan

Draft Laporan Tesis

Seminar Hasil Penelitian/Tesis

Ujian tesis

Revisi

35

DAFTAR PUSTAKA

[1] Hadihardja, J., 1997, Rekayasa Jalan Raya, Penerbit Gunadarma, Jakarta.

[2] Departemen Pekerjaan Umum, 1987, Petunjuk Perencanaan Tebal Perkerasan Lentur

Jalan Raya Dengan Metode Analisa Komponen, SNI NO : 03-1732-1989-F , Yayasan

Badan Penerbit PU, Jakarta.

[3] Augustine, Julia., 2007., Karakteristik Marshall dan Modulus Resilien Campuran

Laston Lapis Pengikat (AC-BC) Hasil Daur Ulang (Studi Kasus : Proyek Peningkatan

Jalan Palembang – Tanjung Api Api)., Tesis, Magister Sistem Teknik Jalan Raya, ITB,

Bandung.

[4] Sunaryono., 2009., Kajian Penggunaan Lapis Pondasi Agregat yang Distabilisasi

Semen., Makalah Penelitian, Pusat Litbang Jalan dan Jembatan, Departemen Pekerjaan

Umum, Bandung.

[5] Anas Aly, M., 2007, Teknik Dasar dan Potensi Daur Ulang Konstruksi Jalan, Yayasan

Pengembang Teknologi dan Manajemen, Jakarta.

[6] Fernandez del Campo, J. A., 2003, Recycling in Road Pavements,

MAIREPAV03_Third International Symposium on Maintenance anda Rehabilitation of

Pavements and Technological Control, Universitas of Minho, Guimaraes.

[7] Epps J. A., Little D. N., and Holmgreen R. J., (1980), Guidlies for Recycling Pavement

Materials, Transportation Research Board, Washington D. C..

[8] Lida A. and Maruyama M., (1983), Surface Recycling as an Optimum Alternative for

Pavement Rehabilitation, The Fourth Conference of The Road Engineering Association

of Asia and Australia, Jakarta, Indonesia.

[9] Tim Pusat Litbang Jalan dan Jembatan., 2007., Spesifikasi Khusus tentang Cement

Treated Recycling Base and Subbase (CTRB and CTRSB) Dicampur di Tempat (Mix in

Place)., Pusat Litbang Jalan dan Jembatan., Bandung.

[10] Tim Pusat Litbang Jalan dan Jembatan., 2007., Spesifikasi Khusus tentang Daur Ulang

Campuran Beraspal Dingin Lapis Pondasi dengan Foam Bitumen (Cold Mix Recycling

Base by Foam Bitumen, CMRFB)., Pusat Litbang Jalan dan Jembatan., Bandung.

[11] AASHTO, 1986, Pavement Design Procedure For New Construction or

Reconstruction, AASHTO Guide for Design of Pavement 1986, The American

Association of State Highway ad Transportation Officials, Washington DC 20001.

36

[12] Soedharmanto dan Dardak, 1992, Percobaan Daur Ulang in Place di Camp. Gunung

Putri Jalan Tol Jagorawi. Badan Penelitian dan Pengembangan PU, Bandung.

[13] Reichert,U,1977, Modern Methods of Road Maintenance. Wirtgen GmbH. West

Germany.

[14] Departemen Pekerjaan Umum, 2005, Pedoman Teknik Perencanaan Campuran Lapis

POndasi Hasil Daur Ulang Perkerasan Lama Dengan Semen (Pd.T-08-2005), Yayasan

Badan Penerbit PU, Jakarta.

[15] Departemen Pekerjaan Umum, 1990, Metode Pengujian Berat Jenis dan Penyerapan Air

Agregat Kasar (SNI 03-1969-1990), Yayasan Badan Penerbit PU, Jakarta.

[16] Departemen Pekerjaan Umum, 1989, Metode Pengujian Kepadatan Berat Untuk Tanah

(SNI 03-1743-1989), Yayasan Badan Penerbit PU, Jakarta.

[17] Departemen Pekerjaan Umum, 2002, Metode Pengujian Kuat Tekan Bebas Campuran

Tanah Semen (SNI 03-6887-2002), Yayasan Badan Penerbit PU, Jakarta.

37

LAMPIRAN 1

Peta Lokasi Penelitian

38

39

40

LAMPIRAN 2

Foto Kondisi Jalan Eksisting

41

Kondisi KM SMG 80+900

Kondisi KM SMG 81+400

Kondisi KM SMG 82+750

Kondisi KM SMG 82+950

42

LAMPIRAN 3

Foto Kondisi Jalan Pada Proses Daur Ulang

43

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

44

LAMPIRAN 4

Foto Kondisi Jalan Pada CTRB

45

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

46

LAMPIRAN 5

Foto Kondisi Jalan Pada AC-Base

47

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

48

LAMPIRAN 6

Foto Kondisi Jalan Pada AC-Binder

49

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

Kondisi KM SMG 81+000

50

LAMPIRAN 7

Foto Kondisi Jalan Pada AC-Wearing

51

Kondisi KM SMG 81+600

Kondisi KM SMG 81+600

Kondisi KM SMG 81+600

Kondisi KM SMG 81+600