Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di...

34
BAB III PULAU TIMOR DAN TRADISI PENJUALAN ANAK DI JEMAAT GEREJA MASEHI INJILI DI TIMOR (GMIT) Dalam bab ini akan dijelaskan tentang hasil penelitian tradisi penjualan anak di pulau Timor. Penjelasan diawali dengan deskripsi tempat penelitian yang berisi paparan secara garis besar tentang penduduk yang berdomisili di pulau ini dan paparan singkat tentang Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Penjelasan dilanjutkan dengan mendeskripsikan pemahaman para partisipan tentang tradisi penjualan anak dan analisa penulis pada deskripsi para partisipan tentang tradisi penjualan anak. A. DESKRIPSITEMPAT PENELITIAN 1. Deskripsi Umum Pulau Timor Pulau Timor yang dimaksud dalam kajian ini adalah Timor Barat, yang dibedakan dari bagian timur yaitu yang adalah wilayah negara Timor Leste. Kondisi geografis pulau Timor umumnya terdiri dari padang-padang sabana dan steppa yang luas dengan deretan bukit-bukit dan gunung-gunung dengan hutan-hutan primer dan sekunder. Umumnya mengalami musim kemarau yang sangat kering dan curah hujan yang sedikit dan tidak panjang pada musim penghujan. Hal ini menyebabkan pulau Timor termasuk salah satu pulau yang dikategorikan minus dalam sumber daya alamnya. Penduduk pulau Timor dibedakan antara orang Rote, orang Helon, orang Atoni, orang Belu, orang Kamak, orang Marae dan orang Kupang. Orang Rote mendiami pulau Rote yang terletak di sebelah barat-daya pulau Timor. Orang Helon mendiami suatu daerah di sekitar kota Kupang, orang Atoni tinggal di daerah pedalaman di pulau Timor dan disebut sebagai orang asli pulau Timor. Orang Belu tinggal menyempit dari pulau

Transcript of Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di...

Page 1: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

BAB III

PULAU TIMOR DAN TRADISI PENJUALAN ANAK

DI JEMAAT GEREJA MASEHI INJILI DI TIMOR (GMIT)

Dalam bab ini akan dijelaskan tentang hasil penelitian tradisi penjualan anak di pulau

Timor. Penjelasan diawali dengan deskripsi tempat penelitian yang berisi paparan secara

garis besar tentang penduduk yang berdomisili di pulau ini dan paparan singkat tentang

Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Penjelasan dilanjutkan dengan mendeskripsikan

pemahaman para partisipan tentang tradisi penjualan anak dan analisa penulis pada deskripsi

para partisipan tentang tradisi penjualan anak.

A. DESKRIPSITEMPAT PENELITIAN

1. Deskripsi Umum Pulau Timor

Pulau Timor yang dimaksud dalam kajian ini adalah Timor Barat, yang dibedakan dari

bagian timur yaitu yang adalah wilayah negara Timor Leste. Kondisi geografis pulau

Timor umumnya terdiri dari padang-padang sabana dan steppa yang luas dengan

deretan bukit-bukit dan gunung-gunung dengan hutan-hutan primer dan sekunder.

Umumnya mengalami musim kemarau yang sangat kering dan curah hujan yang sedikit

dan tidak panjang pada musim penghujan. Hal ini menyebabkan pulau Timor termasuk

salah satu pulau yang dikategorikan minus dalam sumber daya alamnya.

Penduduk pulau Timor dibedakan antara orang Rote, orang Helon, orang Atoni, orang

Belu, orang Kamak, orang Marae dan orang Kupang. Orang Rote mendiami pulau Rote

yang terletak di sebelah barat-daya pulau Timor. Orang Helon mendiami suatu daerah di

sekitar kota Kupang, orang Atoni tinggal di daerah pedalaman di pulau Timor dan

disebut sebagai orang asli pulau Timor. Orang Belu tinggal menyempit dari pulau

Page 2: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

Timor bagian tengah dan mendiami daerah ini dari bagian utara sampai selatan. Orang

Kemak tinggal di bagian utara pulau Timor, orang Marae tinggal di daerah perbatasan

antara Timor Barat dan Timor Leste, sedangkan orang Kupang mendiami kota Kupang

dan sekitarnya, terdiri atas campuran orang-orang yang berasal dari daerah-daerah

Timor sendiri dan dari luar Timor, yaitu orang-orang Cina, Arab dan orang-orang yang

berasal dari berbagai daerah lain di Indonesia.1

Dalam kajian ini secara general dipakai nama “Pulau Timor”, dengan pertimbangan

bahwa tradisi penjualan anak ini secara umum diyakini dan dipraktekkan oleh banyak

orang dari berbagai kelompok suku di pulau Timor yang disebutkan di atas, tidak

terbatas pada orang Rote saja, atau orang Helon, orang Atoni, Belu, Kamak, Marae,

tetapi juga dalam kehidupan masyarakat majemuk di kota Kupang.

Lokasi penelitian yang dipilih adalah di kota Kupang, tetapi partisipan yang dipilih

bervariasi dari beberapa kelompok suku. Secara khusus penulis memilih beberapa

partisipan yang adalah anggota jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT).

2. Deskripsi Umum Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)

2.1. Sejarah GMIT

Van den End dan Weitjens berpendapat bahwa sejarah berdirinya GMIT tidak

terlepas dari sejarah Kekristenan di Nusa Tenggara yang dibawa oleh orang-orang

Belanda lewat lembaga-lembaga pekabaran Injilnya. Pada tahun 1899, wilayah Timor,

Rote dan Sawu dilayani oleh seorang Pendeta bantu/zendeling dari Belanda dan jumlah

orang Kristen di ketiga pulau itu kurang lebih sekitar 15.000 jiwa, dengan jumlah

terbanyak adalah di pulau Rote, yakni sekitar 8.000 jiwa. Oleh karena jumlah orang

Kristen yang terus meningkat, didirikan sebuah sekolah Pendeta di Ba’a Rote yang pada

�������������������������������������������������������������1Parsudi Suparlan, ‘Kebudayaan Timor’ dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan,

1976), 198-200.�

Page 3: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

tahun 1920 dipindahkan ke Kupang. Karena ada semangat anti-Belanda yang kemudian

mendorong perjuangan untuk dibentuknya sebuah gereja mandiri di Timor dan

sekitarnya, maka pada tahun 1931 sekolah ini ditutup, kemudian dibuka lagi pada tahun

1935 di Kapan, dan tahun 1936 dipindahkan ke SoE.2

Dalam Ragi Cerita II (1996), Van den End dan Weitjens mengatakan bahwa

berita-berita tentang perkembangan Kekristenan di Minahasa dan Maluku semakin

memperuncing semangat orang-orang Kristen di Timor dan sekitarnya untuk berdiri

sendiri. Pada tahun 1938 mulailah diambil tindakan-tindakan konkret seperti

pembentukan Perhimpunan Kelengkapan yang terdiri dari orang Belanda dan orang

Indonesia, yang kemudian memilih dan membentuk Majelis Penolong selaku badan

penasihat bagi Pendeta ketua di Kupang. Pendeta ketua dan para pendeta bantu wajib

meminta pendapat atau pemikiran kedua badan ini sehubungan dengan rencana

pembentukan gereja mandiri di Timor. Setelah dibuat berbagai peraturan untuk majelis

gereja yang lengkap dan kemudian disahkan oleh Gereja Protestan Indonesia (GPI),

maka pada tanggal 31 Oktober 1947 berdirilah Gereja Masehi Injili di Timor. Gereja ini

meliputi wilayah pulau Timor, Flores, Alor, Pantar, Rote, Sawu dan Sumbawa. Selama

periode 1947-1950, yang menjabat sebagai ketua sinode adalah seorang pendeta

Belanda dan biaya kehidupan gereja tetap ditanggung oleh pemerintah. Barulah pada

tahun 1950, jabatan ketua sinode dipegang oleh seorang pendeta pribumi, yaitu Pdt. J. L.

Ch. Abineno, dan pemerintah mengakhiri pembayaran gaji serta sokongan lain yang

masih tersisa dari zaman gereja-negara. Dengan demikian GMIT benar-benar menjadi

sebuah gereja yang berdiri sendiri.3

��������������������������������������������������������������Van den End, Th, danWeitjens, J. RagiCerita 2: SejarahGereja di Indonesia, (Jakarta: BPK GunungMulia, 1996), 113�3Ibid�

Page 4: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

2.2. Struktur Dasar GMIT

Sruktur dasar GMIT dijalankan dalam azas presbiterial sinodal di mana seluruh

jemaat berada di bawah koordinasi sinode GMIT yang dijalankan oleh Majelis Sinode.

Di bawah Majelis Sinode ada Majelis Jemaat / Majelis Jemaat Harian yang

berkoordinasi langsung dengan jemaat. Dalam menjalankan tugasnya Majelis Sinode

berkonsultasi dan berada di bawah pengawasan Badan Pertimbangan Pengawasan

Pelayanan Sinode (BPPPS), sedangkan Majelis Jemaat / Majelis Jemaat Harian

berkonsultasi dan berada di bawah pengawasan Badan Pertimbangan Pengawasan

Jemaat (BPPPJ). Majelis Sinode terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua, Sekretaris dan

Wakil Sekretaris, Bendahara dan anggota-anggota. Keanggotaan Majelis Sinode adalah

Komisi Diakonia, KomisiUmum, Litbang, Komisi Kemitraan, Komisi Personil, Komisi

Kategorial, Komisi Teologi, Komisi Ibadah, Komisi Keuangan, Komisi Harta Milik, dan

Komisi Penggajian. Pengambilan keputusan tertinggi ada pada Persidangan Majelis

Sinode.4

Dalam Tata Gereja Masehi Injili di Timor (2011), pengambilan keputusan tertinggi

di tingkat jemaat ada pada Persidangan Majelis Jemat. Di bawah Persidangan Majelis

Jemaat ada Majelis Jemaat yang terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua, Sekretaris dan

Wakil Skretaris, Bendahara dan Wakil Bendahara, dan anggota-anggota; sedangkan

yang menjadi anggota adalah pengurus bidang kategorial, Komisi Ibadah dan

Persektuan Doa, Komisi Pelayanan Kasih, Panitia-panitia, Komisi Katekasasi dan

Kesaksian, Komisi Litbang dan Perencanaan. Sekretaris bertanggung jawab atas

Perpustakaan dan Pendayaan, serta Tata Usaha. Bendahara bertanggung jawab atas

Harta Milik dan Tata Usaha Keuangan. Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon

berkoordinasi langsung dengan Majelis Jemaat / Majelis Jemaat harian.5

�������������������������������������������������������������4 Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor, Tata Gereja GMIT,(Majelis Sinode GMIT: Kupang, 2011), 7�5Ibid�

Page 5: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

2.3. Visi dan Misi GMIT

2.3.1. Visi

“GMIT adalah keluarga Allah yang merupakan umat keluaran yang diutus

ke dalam dunia guna membawa syalom Allah. Setiap anggota GMIT

berfungsi sebagai surat Kristus yang hidup guna membawa kabar baik bagi

dunia sesuai dengan teladan Kristus, Sang Diakonos Agung. Dalam

menjalankan fungsi tersebut, setiap anggota GMIT bekerja dengan setia, taat

dan produktif dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran, yaitu

pembebasan bagi yang tertindas, kesetaraan derajat dan adanya

keseimbangan di antara pemenuhan hak dan kewajiban serta menggunakan

alam ciptaan Allah secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.6

2.3.2. Misi

Adapun yang menjadi misi GMIT7 adalah sebagai berikut:

1. Membangun struktur GMIT yang melayani dalam azas presbiterial-

sinodal

2. Menyatukan, mengarahkan dan mendayagunakan berbagai karunia dan

talenta warga GMIT dalam pelayanan bagi jemaat dan masyarakat untuk

menjawab kebutuhan nyata warga jemaat dan masyarakat sendiri.

3. Mengembangkan aksi-aksi sosial, politik, ekonomi, dan budaya dalam

rangka transformasi dunia ini sebagai antisipasi terhadap pemberlakuan

kerajaan Allah di dunia ini.

4. Menghadirkan GMIT sebagai sebuah komunitas ibadah yang memiliki

kepedulian ekologis dan bersikap ramah terhadap lingkungan hidup

(alam) dalam tindakan-tindakan pelayanan dan pembangunan

masyarakat.

5. Memungkinkan keterlibatan GMIT dalam berbagai bidang kehidupan di

dunia ini.

6.

�������������������������������������������������������������6 MS GMIT, Haluan dan Kebijaksanaan Umum Pelayanan 2011-2030, (Majelis Sinode GMIT: Kupang, 2011), 1�7Ibid�

Page 6: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

B. TRADISI PENJUALAN ANAK DI PULAU TIMOR

1. Sejarah Awal Tradisi Penjualan Anak

Awal munculnya tradisi penjualan anak bermula dari orang-orang China yang

datang ke Pulau Timor. Maksud kedatangannya adalah ingin berdagang dan salah satu

dagangan adalah kayu cendana. Orang-orang China memiliki kepercayaan bahwa anak

laki-laki adalah penerus keturunan sehingga jikalau sebuah keluarga tidak mendapatkan

keturunan laki-laki, maka anak perempuan harus dijual kepada orang lain; setelah dijual

maka akan mendapatkan keturunan laki-laki. Kepercayaan inilah yang kemudian dianut

oleh masyarakat NTT secara khusus orang Rote. Hal ini disebabkan karena adanya

hubungan perkawinan antara orang China dengan masyarakat asli NTT 8.

Sebuah pandangan lain mengatakan bahwa jika sebuah keluarga tidak

mendapatkan seorang anak laki-laki sebagai penerus keturunan, maka salah satu anak

perempuan harus dijual kepada orang lain atau dinikahkan. Dari hasil pernikahan

tersebut, percaya atau tidak percaya, pasti akan mendapatkan keturunan laki-laki. Anak

laki-laki tersebut kemudian diangkat sebagai anak dan penerus keluarga. Hal inilah yang

diteruskan oleh masyarakat pulau Timor terutama orang-orang yang menikah dengan

orang China, sehingga adanya hubungan kawin mawin dan kemudian berkembang

menjadi tradisi penjualan anak. Tradisi ini lebih banyak dilakukan oleh orang Rote,

orang Timor (asli) juga mempunyai tradisi ini hanya tidak mempunyai nama khusus

atau dalam bahasa daerahnya tradisi ini tidak diberi nama. Bagi orang Timor lebih

berlaku tradisi tentang makna penting anak laki-laki daripada anak perempuan (sama

dengan kepercayaan orang China tentang anak laki-laki. 9

Dari hal ini timbul kepercayaan lainnya, seperti tradisi penjualan anak, yang

meyakini bahwa apabila anak memiliki wajah yang mirip dengan salah satu orang tua �������������������������������������������������������������

�Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Senin, 30 April,. 2012, jam 11.30 WITA)�

�Wawancara Bpk.Ruben Klonel, Ketua Adat Masyarakat Timor di Takari, (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�

Page 7: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

��

maka anak tersebut akan sakit bahkan sampai bisa meninggal. Dengan adanya

kepercayaan itu maka anak tersebut harus dijual kepada orang lain.10

Tradisi penjualan anak dilakukan turun temurun dalam keluarga yang leluhurnya

sudah pernah menjalankannya, seperti dikemukakan oleh Bapak DR.H. Ataupah, “Hal

ini tidak dapat dihindari karena tradisi ini telah dilakukan dari nenek moyang yang

terdahulu, sehingga telah menjadi keharusan bahwa pada suatu hari kelak, akan ada

keluarga yang menjalani tradisi ini”.11

Hal ini juga disaksikan oleh kedua partisipan yang menyatakan bahwa tradisi

penjualan anak dalam keluarganya diwariskan orang tua sebelumnya. Dalam keluarga

partisipan, tradisi ini diturunkan dari pihak keluarga ibunya. Orang tuanya juga sudah

pernah melakukan tradisi ini, dan saat sekarangpun tidak hanya dirinya yang masih

melakukannya, tetapi saudara-saudaranya yang mengalami hal yang sama juga

melakukan tradisi penjualan anak. Mengenai latar belakang kepercayaan dari nenek

moyang atau orang-orang tua sebelumnya tentang menjual anak ini kurang

diketahuhinya, sebab dirinyapun hanya meneruskan tradisi ini demi keselamatan dalam

keluarga.

Kondisi anak yang mengharuskan penjualan atau penyingkiran adalah :

a. Anak bayi yang telah dinanti-nantikan tetapi diperkirakan akan memiliki kemiripan

dengan ayah atau ibunya, maka anak itu bisa ditinggalkan pada orang lain. Hal ini

dimaksudkan untuk mendapat keselamatan. Jika oleh sesuatu sebab, anak tetap

tinggal bersama orang tua kandung, tetapi jika bertumbuh dewasa dan perkiraan

tersebut menjadi kenyataan maka sang anak harus disingkirkan jauh-jauh, tidak

boleh berada dekat dengan keluarga. Keadaan ini disebut ‘nasan’, artinya

mengambil alih tabiat orang yang dekat padanya, sehingga merugikan orang

�������������������������������������������������������������10Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Senin, 30 April 2012, jam 11.30

WITA)��� Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Selasa, 22 Mei 2012, jam 18.30)�

Page 8: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

��

tersebut; sebab ada kepercayaan bahwa tidak ada anak yang sama benar dengan

orang tuanya karena hanya akan menimbulkan persaingan. Latar belakang

pemikirannya adalah manusia diketahui sama dalam banyak hal, namun tetap ada

yang berbeda, apabila sama dalam banyak hal, si anak hanya akan merugikan

orang yang berada dekat dengannya, ia mengambil alih tabiat dari karakter atau

wajah orang yang dekat dengannya 12.

Kondisi ini dialami oleh Ibu Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa yang menjual

anaknya karena keluarga melihat adanya kemiripan wajah dengan ayahnya serta

sakit-sakit yang tidak kunjung hilang dari ayah dan anak sekalipun telah berulang

kali berobat ke dokter. Sedangkan Ibu Indah Benyamin - Tode Solo menjual

anaknya yang kedua, seorang anak laki-laki, karena wajah anak yang sangat identik

dengan ayahnya. Anak yang pertama juga mirip dengan ayahnya tetapi tidak dijual

karena anak perempuan. Sesuai tradisi dan kepercayaan, bila ada kemiripan antara

anak perempuan dengan ayahnya atau anak laki-laki dengan ibunya, anak tersebut

tidak perlu dijual karena tidak membahayakan; namun bila anak laki-laki mirip

dengan ayahnya atau anak perempuan yang mirip dengan ibunya maka anak

tersebut harus dijual karena akan membahayakan orang tua yang memiliki

kemiripan dengannya. Menurut Ibu Indah, “Yang junior selalu ingin sama atau

bahkan lebih dari yang senior, sehingga tidak akan ada kecocokan di antara

keduanya, entah itu watak yang berbeda atau sakit-sakit yang di derita oleh dua

orang yang bersangkutan” 13.

Ketua adat, Bapak Ruben Klonel menyatakan bahwa kemiripan wajah dengan

salah satu orang tua adalah alasan orang tua menjual anaknya; pada umumnya anak

�������������������������������������������������������������12 Ibid�13 Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) dan Ibu Indah Benyamin -

Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�

Page 9: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

��

perempuan yang berwajah mirip sekali dengan ibunya dan juga anak laki-laki yang

mirip dengan ayahnya. Hal ini yang menyebabkan ketidakcocokan.14

b. Apabila anak terlahir dengan tali ari-ari terlilit di leher atau jika ari-ari belang seperti

cincin di jari; kepercayan orang-orang adalah anak ini sebaiknya dijauhkan atau

disembuhkan oleh dukun atau dibunuh, karena anak ini hanya akan membawa sial

bagi orang-orang di sekitarnya. Sang anak dibunuh dengan cara diputar lehernya.

Bila anak itu disembuhkan, biasanya akan disingkirkan jauh-jauh dari orang tuanya.

Disingkirkan yang dimaksud disini bukanlah penyingkiran akan sifat-sifat yang ada

dalam diri anak yang membawa sial itu, namun yang dimaksud disini adalah benar-

benar dipisahkan dari keluarga dan tidak tinggal serumah dengan orang tuanya.

Dalam istilah orang Rote, dipakai istilah dijual karena setelah penjualan itu, anak

diambil kembali untuk tinggal bersama keluarganya, sedang penyingkiran dalam

budaya orang Meto (Timor), sang anak benar-benar disingkirkan dari keluarganya.15

c. Pada umumnya, alasan orang tua memutuskan untuk menjual anaknya adalah

karena sakit yang diderita anak dan juga ayah atau ibu. Sakit adalah hal yang paling

dominan terjadi.16

d. Watak yang bertentangan dengan orang tua yang wajahnya mirip sekali dengan sang

anak, sering terjadi ketidakcocokan antara kedua orang yang bersangkutan dan sering

menimbulkan permusuhan) 17. Tradisi mempercayai bahwa kemiripan yang sangat

identik antara sang anak dan salah satu orang tuanya menyebabkan keduanya selalu

mengalami ketikdakcocokan, sifat dan karakter sangat berbeda dan sering

menimbulkan masalah sampai terjadi pertengkaran. Kepercayaan dari tradisi ini

��������������������������������������������������������������Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�15 Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Selasa, 22 Mei 2012, jam 18.30)���Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�17 ibid�

Page 10: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

bahwa dengan adanya identik ini, yang muda akan lebih mau menguasai dari yang

tua atau dengan kata lain yang muda ingin menjadi yang tua atau seperti yang tua.18

2. Makna Tradisi Penjualan atau Penyingkiran Anak

Sebelum melihat lebih jauh makna tradisi penjualan anak di pulau Timor, hal

pertama yang perlu diketahui adalah makna seorang anak dalam keluarga Timor. Bagi

masyarakat Timor anak adalah harta yang harus dijaga dan dipelihara, karena bukan

seperti harta pada umumnya yang mempunyai nilai yang dapat ditukar. Harta yang lain

bila hilang dapat diganti dengan benda yang sama. Anak tidak dapat digantikan, nama

boleh diberikan sama seperti saudara sebelumnya atau yang telah meninggal, namun

rupa, fisik, wajahnya belum tentu sama. Anak adalah harta dan anugerah yang diberikan

Tuhan kepada manusia. Tuhan mempercayakan kepada orang tua atau keluarga untuk

merawat, menjaga dan memelihara anak-anak; oleh karena itu dengan segenap

kemampuan, orang tua dan keluarga harus dapat menjaga apa yang telah didapatkan. 19

Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa yang melakukan tradisi penjualan anak berpendapat

bahwa anak adalah titipan Tuhan yang dipercayakan untuk dijaga dan dipelihara, oleh

karena itu orang tua tidak boleh menyia-nyiakan kepercayaan tersebut. Menurutnya,

“Tuhan memberikan anak kepada kita, karena Dia tahu bahwa kita dapat menjaga dan

mencintai anak sebagaimana Dia mencintai anak-anak”20. Pandangan yang sama

dikemukakan oleh Ibu Indah Benyamin - Tode Solo yang mengatakan bahwa anak

adalah titipan Tuhan, untuk itu orang tua harus menjaga dan mendidik anak-anak

dengan baik karena kelak orang tua akan mempertanggungjawabkan pada Tuhan.21

�������������������������������������������������������������18Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) ���Wawancara Bpk Ruben Klonel, Ketua Adat Masyarakat Timor di Takari, (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).��Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) �21 Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�

Page 11: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

��

Makna anak bagi orang tua dan keluarga dalam masyarakat Timor menunjukkan

bahwa tradisi penjualan anak memiliki makna khusus. Bagi keluarga yang

melaksanakannya tradisi ini dipandang sebagai bukti kasih sayang terhadap anak untuk

menyelamatkannya dan sebagai rasa tanggungjawab terhadap Tuhan yang telah

mempercayakan anak di tengah-tengah keluarga.

Bapak Ruben Klonel. ketua adat masyarakat Timor di Takari yang sekaligus

berperan sebagai mediator dalam pelaksanaan tradisi ini mengatakan, “Makna dari

tradisi ini adalah keselamatan. Bagaimana seseorang atau lebih terlepas dari beban yang

selama ini dipikul atau dideritanya.22 Partisipan lain mengatakan pendapat yang sama

bahwa makna dari tradisi ini adalah penyelamatan dari Tuhan secara tidak langsung.”

23

3. Tujuan Penjualan atau Penyingkiran Anak

Tujuan menjual anak disini bukan untuk mendapatkan uang, tetapi hanya bertujuan

agar sang anak menjadi baik jika tinggal bersama orang yang jauh berbeda dari dirinya.

Hal ini biasa terjadi pada anak laki-laki dan ayahnya atau pada anak pertama dan anak

kedua. Anak-anak yang berikut biasanya sudah tidak mengalami hal seperti ini.24.

Tradisi mempercayai bahwa anak khususnya anak laki-laki pertama yang memiliki

wajah yang benar-benar mirip dengan ayahnya atau anak perempuan pertama yang

mirip dengan ibunya, akan mendatangkan banyak masalah, seperti percekcokan terus

menerus ketidakcocokan hubungan serta sakit penyakit yang menimpa anak dan orang

tua secara bergantian. Jika sang anak tidak dijual maka akan mendatangkan akibat yang

buruk seperti kematian. Karena itu tujuan penjualan anak di sini tidak dimaksudkan

sebagai sebuah transaksi bisnis, tetapi sebagai sebuah tindakan penyelamatan atau usaha

���������������������������������������������������������������WawancaraBpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).���Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) �� Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Selasa, 22 Mei 2012, jam 18.30)�

Page 12: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

��

untuk menjadikan sang anak menjadi baik, kondisi kesehatannya maupun watak atau

tabiatnya.

Selain untuk mendapatkan keselamatan agar terlepas dari sakit atau beban yang

dipikul oleh anak, maksud dan tujuan dari penjualan anak ini juga agar mendapatkan

keturunan laki-laki sebagai penerus keluarga25. Hal ini dilakukan bila sebuah keluarga

tidak mendapatkan keturunan laki-laki, maka anak perempuan harus dijual kepada

orang lain, atau dinikahkan. Dari hasil pernikahan atau penjualan tersebut, diyakini

akan mendapatkan keturunan laki-laki. Anak laki-laki tersebut kemudian diangkat

sebagai anak dan penerus keluarga. Kedua partisipan yang menjual anaknya

menyatakan pendapat yang sama bahwa maksud dan tujuan menjual anaknya hanyalah

satu yakni mendapatkan keselamatan dan terhindar dari sakit penyakit atau marabahaya

lainnya”26

4. Alasan Penjualan atau Penyingkiran Terhadap Anak.

Menurut DR. H. Ataupah27, ada pemikiran budaya di balik penjualan atau

penyingkiran anak. Secara tradisional diajarkan bahwa anak yang berbahaya harus

dienyahkan atau disingkirkan (tinggal dengan orang lain), dan anak tersebut tidak boleh

memikul nama keluarga kandungnya. Dengan sendirinya tradisi ini menurun hingga ke

cucu, dan apabila tradisi ini sudah pernah dilakukan dalam sebuah keluarga, maka

penjualan atau penyingkiran ini akan membudaya dalam keluarga tersebut. Suku Rote

melakukan hal ini dengan dijual namun pada akhirnya diambil kembali, sehingga

penjualan itu hanya sebagai simbolis bahwa sang anak telah dijual kepada orang lain,

���������������������������������������������������������������WawancaraBpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).���Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) dan Ibu Indah Benyamin -

Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)���

Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Selasa, 22 Mei 2012, jam 18.30)�

Page 13: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

��

tetapi dalam kenyataannya, anak tersebut tetap menyandang nama keluarga dan tetap

tinggal dengan keluarga kandungnya.

Tradisi orang Meto (Timor), berbeda dengan tradisi suku Rote yang menjual tetapi

kemudian mengambil kembali sang anak. Bagi orang Meto (Timor), anak yang

dipercaya hanya akan membawa sial bagi kelurga, harus dibunuh atau disingkirkan.

Penyingkiran ini bukan karena keluarga tidak menyayangi anak tersebut, tetapi karena

keluarga menghindari akibat dari tabiat sang anak yang kelak hanya akan

mengakibatkan jatuhnya korban (yang dimaksud adalah orang yang memiliki kemiripan

dengan sang anak). Kepada sang anak harus disampaikan bahwa ia tidak disukai oleh

keluarga kandungnya dan ikatan dengan anak ini harus diputuskan dalam doa, dengan

maksud bahwa Tuhan menyertai apa yang telah dijalankan (penyingkiran dalam

keluarga kandung), sehingga dengan demikian, sang anak boleh bertumbuh dewasa

dalam iman dan percaya bahwa penyingkiran yang telah dilakukan adalah rencana

Tuhan dan Tuhan pun dapat menerangi jalan hidupnya. Sampai menanjak dewasa dan

sang anak sudah bisa mengerti, kepadanya tetap harus dijelaskan bahwa keluarga sangat

menyayanginya, namun karena ada kejahatan di dalam dirinya maka ia harus dijauhkan

dari keluarganya sendiri.

Berkaitan dengan anak yang sakit sejak kecil, di daerah orang Meto (Timor), ada

kepercayaan bahwa sang ayah harus melunaskan hutang kepada keluarga ibu. Ketika

menikahi sang istri (ibu dari si anak), terlebih dahulu sang suami (ayah si anak) harus

membayar segala hal yang terkait dengan keluarga perempuan, demikian juga isteri

sebagai anak perempuan yang akan menikah harus memberikan sarung kepada ibunya.

Hal ini dimaksudkan untuk membalas jasa kepada sang ibu yang telah merawatnya

sejak kecil hingga dapat bertemu dengan pasangan hidupnya.

Page 14: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

��

Hal-hal di atas adalah dasar dari pemikiran sosial budaya. Alasan melakukan

penjualan atau penyingkiran terhadap anak sendiri adalah karena adanya filosofi bahwa

orang tidak ingin hidup susah. Hal ini bukan merupakan sumpah mati tetapi

kepercayaan bahwa jika mendidik anak sejak kecil maka akan ada kebahagiaan kelak

ketika anak dewasa. Pemikiran budaya berakar dalam keluarga adalah “mau untung atau

mau terus sial?

Di dalam masyarkat, ada latar belakang kepercayaan dari nenek moyang atau

orang-orang tua sebelumnya tentang menjual anak, dengan pemikiran bahwa pada

zaman dulu belum ada dokter atau obat-obat seperti sekarang, sehingga kondisi ini

membuat nenek moyang atau leluhur terdahulu memikirkan bagaimana cara untuk dapat

menyembuhkan atau dapat bertahan hidup. 28

5. Pihak-pihak yang Membuat Keputusan Menjual atau Menyingkirkan Anak

Dalam masyarakat di pulau Timor, ada filosofi yang telah membudaya dalam

keluarga bahwa biasanya hal memutuskan seorang anak dijual atau disingkirkan bukan

dari pemikiran orang tua kandung melainkan dari pihak keluarga terkait yang melihat

dan mengerti bahwa memang sang anak harus dijual, jika tidak akan mendatangkan

bahaya besar bagi orang yang dekat dengan dirinya.29

Tindakan menyingkirkan anak biasanya berat untuk diterima oleh orang tua

kandung terutama oleh sang ibu, oleh karena itu harus dibicarakan sebaik mungkin

dengan ibu sehingga mampu mengerti keadaan yang tidak sulit tersebut. Istilah yang

dipakai untuk menggambarkan keadaan ini adalah ‘tontaku’ artinya mencintai anak

dengan hati-hati, dalam pengertian, keluarga memang mencintai sang anak, tetapi

karena ada kejahatan dalam dirinya maka keluarga atau orang tua harus mencintainya

���������������������������������������������������������������Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) �29 Ibid�

Page 15: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

��

dengan penuh kehati-hatian, sebab jangan karena cinta kepada sang anak, maka

keluarga atau orang tua mau saja menjadi korban dari kejahatan yang telah ada dalam

diri sang anak. 30

Dalam pengalaman Ibu Indah Benyamin - Tode Solo, kedua pihak, suami dan

isteri sama-sama menyetujui keputusan menjual anak,31 sedangkan Pdt. Paoina Ngefak

– Bara Pa mengatakan bahwa tidak ada perundingan antara suami dan istri, namun pada

saat disarankan untuk menjual, sebagai ibu ia segera menyetujui karena yang ada dalam

pikirannya ketika itu hanyalah bagaimana suami dan anak dapat terlepas dari sakit

penyakit yang tidak kunjung berhenti. Dalam hatinya ada rasa kurang yakin dan tidak

percaya, tetapi menurutnya hal itu hanya dibawa di dalam Nama Tuhan.32

6. Prosedur dan Proses dalam Ritual dan Penjualan Anak

6.1. Pihak yang Membeli

Pada zaman dahulu, anak tidak dijual pada sembarang orang, melainkan harus

kepada orang yang memiliki asal-usul dari leluhur orang tua. Dalam hal ini, para leluhur

atau nenek moyang keluarga yang bersangkutan juga melakukan tradisi ini, karena

dalam melakukan tradisi ini terlebih dahulu harus ada persetujuan dari para nenek

moyang. 33

Ketua Adat, Bapak Klonel mengungkapkan hal serupa bahwa pada zaman yang

lalu, orang yang membeli anak haruslah orang yang mempunyai latar belakang mengerti

tradisi ini, dalam arti tradisi ini juga dilakukan oleh para leluhur yang telah meninggal.

Pada zaman sekarang hal ini tidak berlaku lagi, pihak pembeli tidak mesti orang yang

mempunyai hubungan dengan para leluhur. Siapa saja yang siap menerima untuk

�������������������������������������������������������������30 Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Selasa, 22 Mei 2012, jam 18.30)���Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)���Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) ���Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Senin, 30 April 2012, jam 11.30

WITA)�

Page 16: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

��

melakukan penjualan anak dapat menjadi pembeli. Orang yang membeli dapat juga dari

keluarga yang menjual, misalnya paman atau bibi dari anak tersebut Pada umumnya

pihak yang membeli tidak harus dari luar ataupun dalam, asalkan mengerti tradisi ini

sehingga hari-hari sebelum melakukan penjualan, sang pembeli sudah harus pergi ke

tempat leluhur untuk meminta persetujuan34 Misalnya yang terjadi dengan Pendeta

Paoina Ngefak – Bara Pa yang menjual anaknya kepada kakak kandungnya. Alasan

memilih keluarga tersebut karena kakak kandungnya melihat adanya kemiripan wajah

dengan sang ayah serta sakit-sakit yang tidak kunjung berhenti dari ayah dan anak,

sehingga saudara tersebut yang mengajukan agar anak ini dijual 35.

Pembeli juga tidak harus orang yang seiman. Pihak pembeli bisa saja beragama lain

36. Hal ini dilakukan oleh Ibu Indah Benyamin - Tode Solo yang menjual anaknya

kepada Ibu Mariam Buang, seorang Muslim, tetapi sangat demokrat karena sangat

menghargai agama lain termasuk agama Kristen. Hubungan kekerabatannya adalah dari

pihak orang tua wanita Ibu Mariam Buang.37. Menurut Bapak Ruben Klonel, “Pada

masa sekarang, mereka menjual anaknya kepada siapa saja yang siap membeli anak itu,

tidak memandang lagi orang itu mengerti tradisi tidak atau ada hubungannya dengan

para leluhur atau tidak” 38

6.2. Proses dalam Ritual dan Penjualan

Tradisi penjualan anak dilakukan juga oleh para leluhur, karena dalam

pelaksanaannya harus ada persetujuan terlebih dahulu dari nenek moyang. Dalam

bahasa Timor ‘Tate’un fatu, tate’un hun’ yang artinya “buka nisan, buka rahasia”.

Maksud ungkapan ini adalah, jauh hari sebelum dilakukan penjualan anak, orang yang �������������������������������������������������������������

�Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA)dan Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Senin, 30 April 2012, jam 11.30 WITA)�

��Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) ���Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).���Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)���WawancaraBpak Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�

Page 17: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

akan membeli harus terlebih dahulu pergi ke kuburan para leluhur dan berbicara di sana.

Hal yang dibicarakan berkisar pada maksud akan membeli anak dari keluarga lain, dan

juga melakukan ritual, yakni membawa seekor babi atau ayam (salah satu) lalu

disembelih dan di ambil hatinya, karena dari hati hewan tersebut akan terjawab apakah

leluhur menyetujui penjualan anak tersebut atau tidak. Jawaban diketahui dengan

melihat, jika hati babi atau ayam tersebut dalam kondisi baik (hati terlilit dengan usus)

pertanda bahwa penjualan tersebut disetujui, tetapi jika hati hewan tersebut dalam

kondisi rusak, maka pertanda bahwa penjualan itu tidak disetujui. Bahasa yang

digunakan pada saat ritual bukan bahasa biasa tetapi bahasa ritual yang tidak dapat

disebutkan dalam wawancara 39

Menurut Bapak Ruben Klonel, jauh hari sebelum dilakukannya penjualan, pembeli

sudah harus naik ke kuburan (tempat leluhur) dengan membawa satu ekor babi atau

ayam. Ritual di kuburan dilaksanakan pada jam 02.00 pagi karena kepercayaan bahwa

pada jam-jam itulah apa yang disampaikan akan didengar oleh nenek moyang atau para

leluhur. Sesampai di sana ia harus menyampaikan maksud kedatangannya dengan

memakai bahasa ritual. (yang tidak dapat disampaikan dalam wawancara) setelah itu

babi atau ayam yang dibawanya dipotong dan diambil hatinya. Bila hatinya bagus maka

pertanda bahwa penjualan dan pembelian anak tersebut disetujui, namun apabila hati

dalam kondisi rusak maka pertanda bahwa penjualan dan pembelian tersebut tidak dapat

dijalankan atau tidak disetujui. Ritual khusus dijalankan hanya pada saat pergi ke

kuburan. Karena maksud disampaikan dalam bahasa ritual, maka orang yang membeli

memang haruslah orang yang mengerti tradisi ini. Saat proses penjualan berlangsung

tidak ada ritual atau cara-cara khusus yang harus dilakukan atau bahasa ritual yang

diucapkan. Penjualan, sebaiknya dilakukan di rumah sendiri sebab setelah itu anak

���������������������������������������������������������������

Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Senin, 30 April 2012, jam 11.30 WITA)�

Page 18: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

tersebut akan dibawa pergi dulu oleh pembeli sebagai tanda bahwa anak tersebut telah

menjadi bagian keluarga dari yang membeli Selayaknya orang yang beragama,

penjualan didahului dengan doa, lalu anak didudukan di atas penampi beras kemudian

diserahkan kepada pembeli, lalu pemberi menerima dan memberikan sebuah amplop

yang beriskan uang. Uang yang diberikan tergantung dari pembeli, bukan dari hasil

perundingan. Pada masa sekarang, nominal uang ditentukan dari hasil perundingan jauh

hari sebelumnya, namun hal ini tetap tidak mengubah maksud dan tujuan yang ingin

dicapai 40

Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa mengatakan bahwa dalam proses penjualan

anaknya tidak ada upacara atau ritual khusus yang dilakukan, hanya diawali dengan

doa, kemudian anak diserahkan kepada pembeli yang menyerahkan amplop berisi uang

yang kemudian disimpan dalam Alkitab, lalu diakhiri dengan doa. Sang anak kemudian

dibawa pulang ke rumah pembeli sebagai tanda telah menjadi bagian dari keluarga dan

pada malam hari orang tua kandungnya mengambil kembali anak tersebut. 41 Proses

penjualan anak Ibu Indah Benyamin - Tode Solo juga tidak memakai ritual khusus.

Penjualan dilakukan dengan menaruh sang anak di atas penampi beras (niru). Kemudian

sang ibu menggendong anak dengan niru tersebut sambil berteriak-teriak “jual anak....,

jual anak”, lalu orang yang membelinya datang dan membeli dengan menyerahkan uang

yang sudah dimasukkan dalam amplop. Uang tersebut diberikan ke gereja sebagai tanda

nazar. 42

Dalam ritual penjualan anak, terutama di kuburan, kata-kata, bahasa dan ekspresi

dalam ritual mempunyai makna khusus, tetapo menurut Bapak Ruben Klonel, bahasa,

kata-kata, expresi, doa-doa atau mantra-mantra yang diucapkan tidak dapat dijelaskan

dalam wawancara yang berlangsung dengan penulis, tetapi makna dari bahasa ritual

�������������������������������������������������������������Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).��Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) ��Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�

Page 19: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

yang diucapkan adalah, anak akan meninggalkan keburukan yang ada dalam rumahnya

dan akan menjadi lebih baik bila ia keluar menjadi orang lain. “Apabila kamu sukses

jangan sebut nama saya (nama kelurga kandung dan pembeli), namun bila nanti kamu

gagal dalam hidupmu sebutlah nama saya (yang membeli) karena kesalahan itu ada

pada saya bukan pada orang tua kandung atau dirimu sendiri”. Maksud disini adalah,

karena pada saat menerima untuk membeli anak tersebut, pembeli sendiri sudah harus

yakin bahwa dia akan dapat menjadikan sang anak lebih baik dari sebelumnya bahkan

dari orang tuanya, dan hal itu adalah tanggung jawab terbesar dari seorang pembeli. 43

Kedua partisipan yang melakukan penjualan anak mengemukakan bahwa tidak ada

bahasa, kata-kata, expresi, doa-doa atau mantra-mantra khusus yang diucapkan dalam

proses penjualan anak mereka.44

Pihak-pihak yang harus hadir dalam ritual dan penjualan anak adalah ketua adat,

pihak penjual, pihak pembeli serta rukun keluarga yang terkait dari pihak penjual.

Semua pihak harus hadir, ketua adat atau perwakilan dari perkumpulan adat mesti hadir

pada saat proses penjualan berlangsung karena ketua adat yang akan berperan sebagai

saksi bahwa anak tersebut telah diambil dan menjadi bagian dari keluarga pembeli

secara adat. Dan secara adat juga, anak tersebut syah menjadi anak dari pihak pembeli,

secara hukum dan agama tetap anak dari keluarga kandung. Tidak ada kewajiban yang

harus dipenuhi dari pihak keluarga kepada ketua adat, namun telah menjadi tradisi juga

bagi orang Timor untuk selalu memberikan tanda ucapan terima kasih; dapat berupa

uang, tetapi biasanya lebih dalam bentuk benda-benda. Dalam upacara ini, tidak ada

peran dan campur tangan pendeta, para pejabat gereja atau tokoh agama. 45 Dalam

pengalaman kedua partisipan yang menjual anak, yang terpenting adalah kedua belah

�������������������������������������������������������������43 Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�44 Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) Dan Wawancara Ibu Indah

Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�45 Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�

Page 20: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

��

pihak yakni penjual dan pembeli wajib hadir. Tidak ada intervensi mediator, pemuka

adat atau tokoh agama yang hadir, hanya beberapa anggota keluarga yang menyaksikan

proses penjualan.46

6.3. Sarana Pendukung, Mediator atau Benda-benda sebagai Prasyarat dalam Ritual

dan Penjualan.

Benda-benda atau simbol-simbol yang diwajibkan ada atau dipakai pada saat ritual

dan penjualan antara lain penampi beras sebagai tempat bagi anak yang siap dijual dan

uang sebagai tanda bahwa sang anak akan dibeli oleh orang tua pembeli. Barang-barang

yang akan dipakai dalam penjualan harus dijajalkan, termasuk sang anak harus

dijajalkan di atas penampi beras lalu dijalankan sampai kepada pembeli.47

Dalam pelaksanaan tradisi, awalnya tidak perlu memakai beraneka ragam benda

untuk dijadikan simbol. Pelaksanaannya terserah pada setiap orang yang melakukan.

Berbagai benda yang dipakai dalam tradisi ini seperti niru dan uang. Ada juga ritual di

mana pada saat anak akan dijual, pembeli harus menerima anak tersebut dari jendela,

tetapi makna dari benda dan ritual tersebut sebenarnya tidak ada. Pada zaman dahulu

uang yang dipakai hanyalah sebagai simbol atau tanda bahwa anak telah dibeli secara

syah oleh keluarga dari pihak sebelah, dengan percaya bahwa anak tersebut akan

terlepas dari penyakitnya dan akan hidup seperti anak-anak yang lain. Pada zaman

sekarang, uang menjadi simbol derajat dari yang membeli, karena dari jumlahnya akan

menentukan bahwa pada hari esok anak tersebut akan hidup baik seperti orang tua

angkatnya (pembeli) atau dengan kata lain anak itu akan menjadi pewaris 48

�������������������������������������������������������������46 Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) Dan Wawancara Ibu Indah

Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)��Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).��Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Senin, 30 April. 2012, jam 11.30

WITA)�

Page 21: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

Dalam penjualan anak Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa, benda yang disiapkan adalah

sirih pinang dan uang sebagai simbol budaya bahwa anak itu telah dibeli putus secara

adat oleh keluarga pembeli. Uang tersebut dijadikan nazar sebagai tanda ucapan syukur

kepada Tuhan.49

Tentang benda-benda yang dipakai pada saat penjualan anaknya, Ibu Indah

Benyamin - Tode Solo mengatakan bahwa niru yang dipakai hanyalah sebagai tempat

untuk menaruh anak pada saat dijual dan uang juga sebagai tanda bahwa sang anak

sudah dibeli secara adat.50

7. Konsekuensi Jika Tidak Melakukan Tradisi Penjualan Anak

Menurut ketua adat Bapak Ruben Klonel, konsekwensi terbesar yang akan terjadi

dan harus diterima apabila tidak melakukan ritual ini adalah akan ada yang menjadi

korban atau meninggal 51. Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa mengatakan bahwa

konsekuensinya, entah sudah pernah terjadi atau tidak, tetapi menurut kepercayaan

dahulu, jika tidak melakukan tradsi ini maka salah satu akan menjadi korban baik anak

maupun orang tua. Biasanya orang tua karena yang muda ingin menjadi sama dengan

yang tua atau bahkan lebih dari yang tua 52. Ibu Indah Benyamin - Tode Solo

mengatakan bahwa ritual ini harus dilakukan, sebab jika tidak maka konsekwensinya

akan sangat besar bagi keluarganya. Kepercayaan ini adalah anak akan semakin ingin

sama dengan orang tuanya. “Apalagi pada saat itu yang saya alami adalah anak dan

ayah sering sakit secara bersamaan dan bergantian saja siapa yang sakit lebih dulu pasti

nanti akan mengikut”. 53

��������������������������������������������������������������Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) ��Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�51 Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�52 Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�53 Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�

Page 22: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

8. Hasil Penjualan atau Penyingkiran Anak

Tentang hasil dari pelaksanaan ritual dan penjualan anak, ketua adat Bapak Ruben

Klonel mengemukakan, “Selama saya menjadi mediator, tradisi ini selalu membuahkan

hasil positif. Dalam artian kami selalu berhasil mendapatkan dan apa yang menjadi

tujuan dan maksud kami selalu tercapai.” Apabila pada semula masalah yang terjadi

adalah watak yang bertentangan, maka hubungan kekerabatan yang terjadi setelah

penjualan menjadi lebih baik kembali selayaknya anak dan orang tua. Menurutnya

keberhasilan itu terjadi juga dikarenakan kepercayaan bahwa Tuhan campur tangan di

dalam pelaksanaan tradisi ini. 54.

Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa mengemukakan bahwa yang dialami dari hasil

ritual ini adalah hasil yang positif; ayah dan anak terselamatkan, terlepaas dari sakit

penyakit yang menggelutinya selama ini. Apabila sang ayah sakit, anak tidak

mengalami sakit, demikian juga sebaliknya. Hubungan antara anak dan ayah menjadi

baik, semakin akrab dan terlihat seperti biasanya sebagaimana ayah dan anak.

“Persaaan kami sangat lega, bersyukur karena bukan hanya ayah dan anak saja yang

terlepas dari sakit penyakit tersebut melainkan sebagai seorang ibu dan istri juga

merasa terlepas dari beban pikiran yang selama ini hadir dalam keluarga kami”. 55

Hal yang sama dikemukakan oleh partisipan Ibu Indah Benyamin - Tode Solo yang

mengatakan bahwa tradisi ini sangat baik dan sudah banyak orang yang merasakan atau

mengalami hal positif dari pelaksanaannya. Dalam keluarganya sendiri, tradisi ini

membuahkan hasil yang baik karena ketika sang ayah sakit, si anak tidak ikut sakit,

demikian pula sebaliknya. Perubahan ini nampak setelah melakukan tradisi penjualan

ini. Perasaaannya sangat senang dan puas, karena dengan melakukan tradisi ini maka

anak dan ayah akan terlepas dari ketidakcocokan selama ini. Ia selalu berdoa agar anak

��������������������������������������������������������������Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�55 Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�

Page 23: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

adan ayah selalu diberikan kesehatan yang baik. Hubungan kekerabatan dengan pembeli

(Ibu Mariam) semakin dekat setelah penjualan.56

9. Tanggungjawab Orang Tua yang Membeli dalam Pengasuhan Anak

Anak yang telah disingkirkan biasanya akan memanggil orang tuanya dengan

sebutan paman dan bibi atau om dan tante, namun tetap dalam mendidik si anak,

tanggung jawab ada pada kedua belah pihak, baik keluarga yang telah mengambil atau

membeli maupun dalam keluarga kandung. Oleh karena ada anggapan, ‘penggembala

tua’ (orang yang membeli) dan juga ‘penggembala muda’ (orang tua kandung).57

Menurut Bapak Ruben Klonel, tanggung jawab pihak yang membeli terhadap anak

setelah ritual ini dijalankan adalah tetap memperhatikan anak tersebut sekalipun dia

tinggal bersama orang tua kandungnya. Mengenai status orang tua angkat atau tidak,

anak ini bukan diangkat atau diadopsi, melainkan hanya diminta secara adat untuk

mempunyai orang tua yang lain. Sebutan untuk orang tua yang membelinya bebas, anak

bebas memanggil apa saja, papa, mama, atau sebutan yang lainnya. 58

Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa yang menjual anak kepada kakak kandungnya

mengatakan bahwa tanggung jawab pembeli sama seperti tanggung jawab orang tua

kandung. Membimbing anak dalam hal rohani, memperhatikan dan memperlakukan

sang anak sebagaimana anak kandung sendiri. “Sekalipun anak kami tetap tinggal

bersama kami, anak kami memanggil mereka dengan sebutan mama dan bapak”.

Statusnya tidak sama dengan anak angkat karena secara adat dan budaya anak ini adalah

anak kandung dari pembeli. Secara adat anak ini telah putus hubungan dengan orang tua

���������������������������������������������������������������Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�57Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Selasa, 22 Mei 2012, jam 18.30)���Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�

Page 24: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

kandung, namun secara hukum dan agama sang anak tetap adalah anak nikah dari orang

tua kandungnya59

10. Unsur Kekristenan dalam Tradisi Penjualan Anak

Dalam pelaksanaan tradisi penjualan anak seperti disaksikan oleh partisipan yang

melakukannya, maupun oleh ketua adat dan yang memahami tradisi ini, terlihat adanya

pencampuran unsur-unsur iman Kristen. Fakta tersebut terlihat dalam beberapa hal

berikut :

10.1. Iman yang mendasari tradisi dan menyertakan Tuhan dalam ritual di kuburan

dan pada saat penjualan.

Semua partisipan, baik ketua adat atau tokoh yang mengerti adat, dan yang

menjalankan tradisi penjualan anak percaya bahwa Tuhan berkenan dengan tradisi ini

demi keselamatan si anak atau orang tua, sehingga Tuhan turut campur tangan dalam

tradisi ini. Semua partisipan percaya bahwa kesembuhan atau keberhasilan dari

pelaksanaan tradisi ini adalah karena Tuhan yang menghendaki.

Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa mengungkapkan bahwa sekalipun di dalam

hatinya ada rasa kurang yakin dan tidak percaya, tapi semuanya dibawa di dalam Nama

Tuhan saja dan kemudian percaya kalau Tuhan pasti akan turut bekerja dalam tradisi ini.

Menurutnya pemikiran untuk menjual anak guna mendapatkan keselamatan adalah

hasil pemikiran akal manusia, tetapi darimana pemikiran itu ada? Tentu saja dari Tuhan,

lalu bila dijalankan dan dicapai hasilnya, hal itu menandakan bahwa Tuhan juga turut

bekerja dalam penjualan ini. Tradisi penjualan anak ini, merupakan tanda keselamatan

dari Tuhan yang dinyatakan secara tidak langsung. 60

�������������������������������������������������������������59 Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)��Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�

Page 25: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

Partisipan Ibu Indah Benyamin - Tode Solo juga sependapat bahwa Tuhan dapat

memakai berbagai macam cara yang tidak pernah diduga oleh manusia untuk

memberikan keselamatan atau kesehatan itu; dalam hal ini Tuhan memakai tradisi

penjualan anak untuk memberikan keselamatan bagi sang anak dan orang tua.61

Tentang menyertakan Tuhan dalam ritual dan proses penjualan, ketua adat, Bapak

Ruben Klonel menyatakan bahwa pada saat proses penjualan diawali dalam doa.

Menurutnya yang menjalankan ritual harus percaya bahwa pada saat melakukan ritual

di kuburan, Tuhan juga hadir dan mengetahui apa yang menjadi maksud dan tujuan

berada disana. Hati babi atau ayam yang disembelih menunjukkan kondisi bagus juga

karena mempertanda bahwa Tuhan turut bekerja di dalamnya. 62

DR. H. Ataupah mengemukakan hal yang sama, yakni anak tersebut harus

diputuskan dalam doa dengan maksud bahwa apa yang telah dijalankan (penyingkiran

dalam keluarga kandung) Tuhan beserta di dalamnya, sehingga dengan demikian sang

anak boleh bertumbuh dewasa dalam iman dan percaya bahwa ini adalah rencana

Tuhan dan Tuhan pun dapat menerangi jalan hidupnya63

10.2. Uang dari hasil penjualan dipakai sebagai nazar ke gereja

Ibu Indah Benyamin - Tode Solo mengungkapkan bahwa uang yang diperoleh dari

penjualan ini diberikan ke gereja sebagai tanda nazar keluarga.64 Hal yang sama

dilakukan oleh Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa bahwa uang yang dipakai sebagai

tanda pembelian dijadikan nasar ke gereja. Maksud dari nazar itu adalah agar penjualan

yang dilakukan dapat diberkati oleh Tuhan, atau maksud dan tujuan keluarga dapat

tercapai karena Tuhan berkenan campur tangan di dalamnya.65

���������������������������������������������������������������Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)���Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�63 Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Selasa, 22 Mei 2012, jam 18.30)��Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)���Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�

Page 26: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

��

Ketua adat, Bapak Ruben Klonel, mengemukakan bahwa sebagai seorang Kristen

apapun yang dilakukan harusnya dialaskan atas nama Tuhan, sehingga maksud nazar itu

adalah ucapan syukur kepada Tuhan karena percaya bahwa apabila maksud dan tujuan

penjualan ini berhasil, hal itu karena Tuhan juga turut bekerja dan setuju dengan tradisi

ini 66

11. Faktor-faktor yang Memengaruhi Dipertahankannya Tradisi Penjualan Anak di

Jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)

Dari pemaparan para partisipan, dapat dipahami bahwa tradisi penjualan anak

terus dipertahankan dan dilakukan di pulau Timor sampai zaman modern ini, termasuk

dalam jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Dari hasil wawancara

dengan para partisipan, dapat dideskripsikan beberapa faktor yang memengaruhi tradisi

ini tetap dilestarikan dan dijalankan, antara lain :

11.1. Faktor Kesehatan atau keselamatan

Setiap keluarga yang menjalankan tradisi penjualan anak didesak oleh sebuah

kebutuhan dasar yang penting. Kebutuhan dasar yang dimaksud di sini bukanlah

sandang, pangan dan papan, tetapi kebutuhan kesehatan atau keselamatan. Setiap

partisipan yang menjalankan tradisi penjualan anak mengungkapkan bahwa tujuan dari

menjalankan tradisi ini hanyalah demi keselamatan atau kesembuhan dari sakit yang

diderita sang anak atau orang tua yang memiliki kemiripan wajah. Dapat dimengerti

bahwa kesehatan atau keselamatan adalah faktor penting yang mendorong orang tua

atau keluarga melakukan penjualan anak dan terus mempertahankannya turun temurun

dalam garis keluarga. Bapak Ruben Klonel mengatakan, “Makna dari tradisi ini adalah

keselamatan. Bagaimana seseorang atau lebih terlepas dari beban yang selama ini di

���������������������������������������������������������������Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�

Page 27: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

pikul atau dideritanya” 67. Hal yang sana dikemukakan oleh Pendeta Paoina Ngefak –

Bara Pa dalam pernyataan, “Memutuskan untuk menjual anak ini adalah untuk

mendapatkan keselamatan”68

11.2. Faktor Agama

Faktor lain yang menjadi dasar tradisi penjualan anak tetap dipertahankan dan

dijalankan oleh masyarakat Timor, termasuk di tengah-tengah jemaat-jemaat Gereja

Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah faktor agama dalam hal ini pemahaman iman

dan interpretasi atau penafsiran terhadap Kitab Suci atau Firman Allah. Jemaat secara

khusus yang menjalankan tradisi penjualan anak, memiliki pemahaman iman tentang

hal-hal berikut ini :

� Tuhan Yesus memberikan keselamatan tetapi tidak secara langsung.

Jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) pada umumnya

memberikan tanggapan yang positif terhadap tradisi penjualan anak karena

meyakini bahwa keselamatan memang hanya datang dari Tuhan Yesus saja namun

Tuhan tidak langsung datang dan memberikan keselamatan atau kesehatan itu

melainkan dengan memakai berbagai macam cara yang tidak pernah diduga oleh

manusia. Tuhan juga bekerja dalam budaya dan tradisi. Manusia harus berusaha

dan berdoa, dan di dalam usaha itu, memakai pikiran dan pengetahuan dengan

didasarkan keyakinan bahwa Tuhan akan turut campur tangan dalam usaha tersebut

69

Ketua adat Bapak Ruben Klonel berpandangan sama bahwa penyelamatan

datangnya dari Tuhan, tetapi Tuhan tidak memberikan penyelamatan secara

�������������������������������������������������������������67 Ibid���Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)���Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) dan ��Wawancara Pdt.

Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�

Page 28: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

langsung kepada orang-orang yang mengalami, melainkan melalui tangan orang-

orang lain ataupun juga melalui barang-barang lain.70

� Mengidentikkan tradisi penjualan anak dengan tanda, kejadian-kejadian dan

tradisi dalam Alkitab.

Pemuka adat maupun partisipan yang menjalankan tradisi penjualan anak

memahami bahwa tradisi ini identik dengan tradisi-tradisi dalam masyarakat Israel

pada zaman Perjanjian Lama, atau kisah-kisah, kejadian ataupun mujizat

penyembuhan seperti yang dilakukan Tuhan Yesus dalam masa Perjanjian Baru.

Misalnya cerita-cerita yang memakai segala macam tanda baik di PL maupun di

PB, salah satu contoh Tuhan Yesus menyembuhkan orang buta dengan air ludah

yang dibuang ke tanah, Yesus mengambilnya dan mengusap ke mata orang tersebut

dan menyuruhnya pergi membasuh muka dengan air (Yohanes 9:6). 71

Sebagaimana Yesus menyembuhkan orang buta dalam kisah tersebut dengan

memakai air ludah yang dibuang ke tanah dan mengusap ke mata orang buta

tersebut, demikian juga syah-syah saja bagi orang Kristen pada zaman sekarang

yang ingin mencari kesembuhan, dengan memakai cara-cara tradisi atau barang-

barang lain. Cerita-cerita Alkitab menunjukkan bahwa tradisi sudah ada dari para

pendahulu, sehingga apa yang sekarang dilakukan dan yang sekarang masih tetap

dijalankan adalah warisan dari para nenek moyang yang ada dalam Alkitab.

Misalnya setiap kejadian terlebih dalam PL, banyak hal yang sangat tidak mungkin

sama dengan ajaran agama, tetapi pada kenyataannya, nenek moyang pada zaman

PL juga melakukannya. Contoh dari kisah penyelamatan anak-anak sulung Israel di

Mesir, ketika Tuhan akan menulahi bangsa Mesir. Orang Israel memasang tanda

��������������������������������������������������������������Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�71 Ibid�

Page 29: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

darah agar malaikat Tuhan melewati rumah mereka. Lalu anak sulung manusia, dan

anak binatang dari orang Mesir dimusnahkan. Dari situ dapat dilihat bahwa tanda

darah itu adalah tanda keselamatan dari Tuhan kepada orang Israel yang dinyatakan

secara tidak langsung. Demikian juga tradisi penjualan anak merupakan tanda

keselamatan dari Tuhanyang dinyatakan secara tidak langsung. Pada zaman dahulu

belum ada dokter dan obat seperti zaman sekarang, dengan akal pikiran yang Tuhan

berikan, para nenek moyang berpikir apa yang dapat dilakukan bila jatuh sakit.

Salah satunya adalah dengan melakukan tradisi penjualan anak, apabila hasil tujuan

dan maksudnya tercapai berarti mempertanda bahwa Tuhan turut bekerja di

dalamnya. 72

Dari pernyataan para partisipan, dapat dimengerti bahwa tradisi penjualan anak

tetap dipertahankan dan dijalankan karena pemahaman dan keyakinan bahwa tradisi

ini tidak bertentangan dengan Alkitab atau Firman Allah, sebagaimana diungkapkan

Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa dalam pernyataannya, “Menurut kami, apa yang

kami lakukan ini tidak bertentangan karena kami tidak melakukan penyembahan

berhala atau penyembahan kepada allah lain yang bertentangan dengan ajaran Alkitab”

73

� Pemahaman bahwa Tradisi Penjualan Anak Tidak Mengandung Dualisme

Kepercayaan.

Terhadap pelaksanaan tradisi penjualan anak, banyak juga orang yang

memandangnya sebagai tradisi yang menduakan kepercayaan yang seharusnya hanya

dilandaskan dalam keselamatan oleh Yesus Kristus, tetapi terhadap pemikiran ini,

�������������������������������������������������������������72 Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�73 Ibid �

Page 30: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

��

pemuka adat dan para partisipan yang menjalankan tradisi ini tidak sependapat.

Menurut ketua adat Bapak Ruben Klonel, “Orang yang tidak tahu akan berpikir bahwa

kita menduakan kepercayaan kita, tapi coba lihat hasilnya apalagi kalau hasilnya

mendatangkan kebaikan bagi kehidupan”74

Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa berpandangan bahwa dengan melakukan tradisi

ini tidak berarti orang yang melakukannya percaya kepada roh nenek moyang atau

memiliki kepercayaan yang dualisme. Menurutnya tradisi ini tidak dapat dikatakan

kafir, karena tradisi dapat memajukan manusia 75. Partisipan Ibu Indah Benyamin -

Tode Solo mengatakan pandangan yang senada, “Hal ini bukan berarti kita berlari dari

ajaran agama atau kepercayaan kita ...”76.

11.3. Faktor Budaya, Adat atau Tradisi Turun-temurun

Faktor lain yang mendukung tetap dipertahankan dan dijalankannya tradisi

penjualan anak dalam masyarakat Timor dan dalam jemaat Gereja Masehi Injili di

Timor (GMIT) adalah faktor adat dan tradisi turun-temurun. Secara adat dipercayai

bahwa kemiripan yang identik, ketidakcocokan, permusuhan yang terjadi antara orang

tua dan anak, sakit dan ketakutan akan kematian yang bisa terjadi, keselamatan yang

diperoleh jika menjual sang anak, telah berakar dalam pikiran, jiwa dan roh keluarga

yang menjalankannya. Kepercayaan yang dipelihara ini membudaya, prakteknya

menjadi kebiasaan, adat atau tradisi yang harus dijalankan turun temurun.

Bapak Ruben Klonel mengatakan, “Tradisi ini menjadi suatu kebutuhan bagi

masyarakat, terlebih lagi bagi keluarga yang sudah pernah melakukan tradisi ini secara

terun temurun maka tradisi ini akan dilakukan terus menerus dalam keluarga.77

�������������������������������������������������������������74 Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).���Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�76 Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�77 Ibid�

Page 31: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

Ibu Indah Benyamin - Tode Solo mengatakan bahwa tradisi ini dari orang tuanya

yang juga sudah pernah melakukan, bahkan saat sekarangpun tidak hanya dirinya saja

yang masih melakukannya, tetapi saudara-saudaranya yang mengalami hal yang sama

juga melakukan tradisi ini.78 Demikian juga Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa

mengatakan bahwa tradisi ini dilakukan juga dalam keluarga bapak dan ibu atau orang

tuanya. 79

11.4. Faktor Sosial

Faktor yang turut berperan dalam terpeliharanya tradisi penjualan anak di pulau

Timor dan di jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah faktor

sosial, yang dimaksud di sini adalah lingkungan sosial baik keluarga, anggota jemaat,

pemuka agama termasuk pemimpin gereja, pemuka adat, akademisi dan masyarakat.

Tradisi penjualan anak tidak saja dilakukan oleh orang awam tapi juga oleh para

pemuka atau tokoh agama yang keluarganya mengalami masalah sakit penyakit atau

ketidakharmonisan hubungan antara anak dan orang tua karena kemiripan wajah yang

identik. Tanggapan gereja terhadap tradisi ini sangat baik, dikarenakan hasil yang

tercapai. Gereja juga melihat bahwa keselamatan yang ada karena Tuhan pun bekerja

dalam tradisi ini. Jemaat lain yang tidak melaksanakan tradisi ini ada yang

memberikan tanggapan baik ada juga yang seperti menolak karena mungkin dalam

keluarganya tidak pernah mengalami hal seperti yang dialami keluarga-keluarga yang

menjalankan tradisi ini. Setelah tradisi dilakukanpun relasi dengan gereja dan saudara

seiman lainnya terhadap lembaga adat tetap terjaga dan terjalin dengan baik.80

���������������������������������������������������������������Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)��� Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�80Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).��

Page 32: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

Fakta yang mendukung adalah kepercayaan ini terbukti mendatangkan hasil yang

positif ketika dijalankan. Baik pemuka adat maupun partisipan yang melaksanakan

tradisi penjualan anak mengemukakan bahwa tradisi ini berhasil baik, membuahkan

hasil positif, yakni kesembuhan atau keselamatan, keharmonisan hubungan, dan

perasaan yang melegakan bagi semua pihak yang menyaksikan perubahan yang terjadi

setelah melakukan tradisi ini.

Bapak Ruben Klonel mengungkapkan bahwa selama menjadi mediator, tradisi ini

selalu membuahkan hasil positif. Dalam arti apa yang menjadi tujuan dan maksud

mediator dan keluarga yang menjalankan tradisi ini berhasil dan selalu tercapai.

Menurutnya,“Hasilnya mendatangkan kebaikan bagi kehidupan” . Berdasarkan hal-hal

tersebut, disarankan agar orang perlu memahami dan menjaganya. Tradisi ini

menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat, terlebih lagi bagi keluarga yang sudah

pernah melakukan tradisi ini secara terun temurun maka tradisi ini akan dilakukan

terus menerus dalam keluarga. Karena itu masyarakat perlu melihat sisi baik atau sisi

positif dari tradisi ini dan melestarikannya.81

Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa menyatakan bahwa jemaat menanggapi positif

pelaksanaan penjualan anak yang dilakukannya. Relasi dengan saudara seiman baik-

baik saja, dan tidak ada yang memberikan komentar negatif mengenai apa yang

dilakukan, karena jemaat berpandangan bahwa Tuhan mempunyai berbagai macam

cara untuk menolong manusia. Menurutnya sebagai seorang pendeta jemaat, tradisi

ini tidak dapat dikatakan kafir, karena tradisi dapat memajukan manusia. “Kalau

dengan tradisi dapat membuat manusia baik kenapa harus dihilangkan?” 82

Partisipan Ibu Indah Benyamin - Tode Solo menyatakan bahwa tradisi ini sangat

baik dan sudah banyak orang yang merasakan atau mengalami hal postif dari tradisi

���������������������������������������������������������������Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).���Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�

Page 33: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

ini. Relasi dengan gereja dan saudara seiman lainnya tetap baik, karena jemaat bukan

melihat hal yang negatif, melainkan melihat dari hasil yang membuahkan sesuai

dengan maksud dan tujuan dilakukanya tradisi ini. Menurutnya, “Para anggota jemaat

memberikan tanggapan yang positif... Bahkan tanggapan dari pendeta pun baik,

sehingga pendeta kamipun melakukan tradisi ini”. Karena itu partisipan menyarankan

agar tradisi ini perlu dijaga dan dipahami maksud baik dan positifnya bagi orang-orang

yang menjalankan83

C. KESIMPULAN

Dari deskripsi hasil penelitian di atas, dipaparkan beberapa pemikiran sebagai

kesimpulan tentang tradisi penjualan anak di pulau Timor, khususnya di tengah-tengah

jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) :

1. Tradisi penjualan anak diyakini sebagai solusi bagi permasalahan sakit penyakit,

kematian dan ketidakcocokan hubungan antara anak dan orang tua akibat memiliki

kemiripan wajah yang sangat identik. Dengan melakukan tradisi ini diyakini bahwa anak

dan orang tua yang memiliki kemiripan wajah akan terselamatkan dari sakit penyakit

atau ancaman kematian dan sang anak mengalami perubahaan watak dan hubungan yang

harmonis dengan orang tua.

2. Tradisi penjualan anak pada zaman dulu dilaksanakan dengan ritual yang sedikit berbeda

dengan zaman sekarang. Pada zaman dulu melibatkan koneksi atau keterhubungan

dengan para leluhur dan roh-roh nenek moyang untuk mendapatkan izin melalui ritual di

kuburan dengan persyaratan-persyaratan tertentu, sedangkan pada zaman sekarang

langsung mengacu pada pelaksanaan praktis penjualan atau pertukaran anak dengan

uang dalam nominal tertentu yang kemudian diberikan ke gereja.

���������������������������������������������������������������Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�

Page 34: Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/6829/3/T1_712006027_BAB III... · Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon ... Sang

���

3. Dapat dikatakan bahwa perbedaannya adalah dalam “kemasan” yang berbeda tetapi

memiliki essensi yang sama yaitu menyerahkan sang anak kepada kuasa yang lebih

tinggi untuk mendapatkan keselamatan atau kesehatan.

4. Tradisi penjualan anak diyakini oleh orang-orang yang menjalankannya sebagai adat

atau tradisi yang tidak bertentangan dengan Alkitab atau Firman Allah dan iman Kristen,

atau tradisi yang diyakini tidak mengandung dualisme kepercayaan.

5. Oleh anggota-anggota jemaat yang menjalankannya, tradisi penjualan anak diyakini dan

dibuktikan sebagai tradisi yang mendatangkan hasil yang positif dan memajukan

kehidupan masyarakat; misalnya mendatangkan keselamatan bagi anak dan orang tua

dalam keluarga, dan mengurangi percekcokan antara anak dan orang tua yang mirip

wajahnya. Keselamatan dan ketenteraman dalam keluarga, tentu berakibat bagi

ketenteraman dan mendukung kemajuan dalam masyarakat. Karena itu, tradisi ini telah

menjadi sebuah keharusan untuk dilaksanakan turun-temurun dan membudaya dalam

keluarga yang pernah menjalankannya; dan oleh mereka, disarankan sebagai adat atau

tradisi yang perlu dipertahankan atau dilestarikan.