Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di...
Transcript of Kajian Sosio-Teologis terhadad Tradisi Penjualan Anak di...
���
�
BAB III
PULAU TIMOR DAN TRADISI PENJUALAN ANAK
DI JEMAAT GEREJA MASEHI INJILI DI TIMOR (GMIT)
Dalam bab ini akan dijelaskan tentang hasil penelitian tradisi penjualan anak di pulau
Timor. Penjelasan diawali dengan deskripsi tempat penelitian yang berisi paparan secara
garis besar tentang penduduk yang berdomisili di pulau ini dan paparan singkat tentang
Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Penjelasan dilanjutkan dengan mendeskripsikan
pemahaman para partisipan tentang tradisi penjualan anak dan analisa penulis pada deskripsi
para partisipan tentang tradisi penjualan anak.
A. DESKRIPSITEMPAT PENELITIAN
1. Deskripsi Umum Pulau Timor
Pulau Timor yang dimaksud dalam kajian ini adalah Timor Barat, yang dibedakan dari
bagian timur yaitu yang adalah wilayah negara Timor Leste. Kondisi geografis pulau
Timor umumnya terdiri dari padang-padang sabana dan steppa yang luas dengan
deretan bukit-bukit dan gunung-gunung dengan hutan-hutan primer dan sekunder.
Umumnya mengalami musim kemarau yang sangat kering dan curah hujan yang sedikit
dan tidak panjang pada musim penghujan. Hal ini menyebabkan pulau Timor termasuk
salah satu pulau yang dikategorikan minus dalam sumber daya alamnya.
Penduduk pulau Timor dibedakan antara orang Rote, orang Helon, orang Atoni, orang
Belu, orang Kamak, orang Marae dan orang Kupang. Orang Rote mendiami pulau Rote
yang terletak di sebelah barat-daya pulau Timor. Orang Helon mendiami suatu daerah di
sekitar kota Kupang, orang Atoni tinggal di daerah pedalaman di pulau Timor dan
disebut sebagai orang asli pulau Timor. Orang Belu tinggal menyempit dari pulau
���
�
Timor bagian tengah dan mendiami daerah ini dari bagian utara sampai selatan. Orang
Kemak tinggal di bagian utara pulau Timor, orang Marae tinggal di daerah perbatasan
antara Timor Barat dan Timor Leste, sedangkan orang Kupang mendiami kota Kupang
dan sekitarnya, terdiri atas campuran orang-orang yang berasal dari daerah-daerah
Timor sendiri dan dari luar Timor, yaitu orang-orang Cina, Arab dan orang-orang yang
berasal dari berbagai daerah lain di Indonesia.1
Dalam kajian ini secara general dipakai nama “Pulau Timor”, dengan pertimbangan
bahwa tradisi penjualan anak ini secara umum diyakini dan dipraktekkan oleh banyak
orang dari berbagai kelompok suku di pulau Timor yang disebutkan di atas, tidak
terbatas pada orang Rote saja, atau orang Helon, orang Atoni, Belu, Kamak, Marae,
tetapi juga dalam kehidupan masyarakat majemuk di kota Kupang.
Lokasi penelitian yang dipilih adalah di kota Kupang, tetapi partisipan yang dipilih
bervariasi dari beberapa kelompok suku. Secara khusus penulis memilih beberapa
partisipan yang adalah anggota jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT).
2. Deskripsi Umum Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)
2.1. Sejarah GMIT
Van den End dan Weitjens berpendapat bahwa sejarah berdirinya GMIT tidak
terlepas dari sejarah Kekristenan di Nusa Tenggara yang dibawa oleh orang-orang
Belanda lewat lembaga-lembaga pekabaran Injilnya. Pada tahun 1899, wilayah Timor,
Rote dan Sawu dilayani oleh seorang Pendeta bantu/zendeling dari Belanda dan jumlah
orang Kristen di ketiga pulau itu kurang lebih sekitar 15.000 jiwa, dengan jumlah
terbanyak adalah di pulau Rote, yakni sekitar 8.000 jiwa. Oleh karena jumlah orang
Kristen yang terus meningkat, didirikan sebuah sekolah Pendeta di Ba’a Rote yang pada
�������������������������������������������������������������1Parsudi Suparlan, ‘Kebudayaan Timor’ dalam Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Jakarta : Djambatan,
1976), 198-200.�
���
�
tahun 1920 dipindahkan ke Kupang. Karena ada semangat anti-Belanda yang kemudian
mendorong perjuangan untuk dibentuknya sebuah gereja mandiri di Timor dan
sekitarnya, maka pada tahun 1931 sekolah ini ditutup, kemudian dibuka lagi pada tahun
1935 di Kapan, dan tahun 1936 dipindahkan ke SoE.2
Dalam Ragi Cerita II (1996), Van den End dan Weitjens mengatakan bahwa
berita-berita tentang perkembangan Kekristenan di Minahasa dan Maluku semakin
memperuncing semangat orang-orang Kristen di Timor dan sekitarnya untuk berdiri
sendiri. Pada tahun 1938 mulailah diambil tindakan-tindakan konkret seperti
pembentukan Perhimpunan Kelengkapan yang terdiri dari orang Belanda dan orang
Indonesia, yang kemudian memilih dan membentuk Majelis Penolong selaku badan
penasihat bagi Pendeta ketua di Kupang. Pendeta ketua dan para pendeta bantu wajib
meminta pendapat atau pemikiran kedua badan ini sehubungan dengan rencana
pembentukan gereja mandiri di Timor. Setelah dibuat berbagai peraturan untuk majelis
gereja yang lengkap dan kemudian disahkan oleh Gereja Protestan Indonesia (GPI),
maka pada tanggal 31 Oktober 1947 berdirilah Gereja Masehi Injili di Timor. Gereja ini
meliputi wilayah pulau Timor, Flores, Alor, Pantar, Rote, Sawu dan Sumbawa. Selama
periode 1947-1950, yang menjabat sebagai ketua sinode adalah seorang pendeta
Belanda dan biaya kehidupan gereja tetap ditanggung oleh pemerintah. Barulah pada
tahun 1950, jabatan ketua sinode dipegang oleh seorang pendeta pribumi, yaitu Pdt. J. L.
Ch. Abineno, dan pemerintah mengakhiri pembayaran gaji serta sokongan lain yang
masih tersisa dari zaman gereja-negara. Dengan demikian GMIT benar-benar menjadi
sebuah gereja yang berdiri sendiri.3
��������������������������������������������������������������Van den End, Th, danWeitjens, J. RagiCerita 2: SejarahGereja di Indonesia, (Jakarta: BPK GunungMulia, 1996), 113�3Ibid�
���
�
2.2. Struktur Dasar GMIT
Sruktur dasar GMIT dijalankan dalam azas presbiterial sinodal di mana seluruh
jemaat berada di bawah koordinasi sinode GMIT yang dijalankan oleh Majelis Sinode.
Di bawah Majelis Sinode ada Majelis Jemaat / Majelis Jemaat Harian yang
berkoordinasi langsung dengan jemaat. Dalam menjalankan tugasnya Majelis Sinode
berkonsultasi dan berada di bawah pengawasan Badan Pertimbangan Pengawasan
Pelayanan Sinode (BPPPS), sedangkan Majelis Jemaat / Majelis Jemaat Harian
berkonsultasi dan berada di bawah pengawasan Badan Pertimbangan Pengawasan
Jemaat (BPPPJ). Majelis Sinode terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua, Sekretaris dan
Wakil Sekretaris, Bendahara dan anggota-anggota. Keanggotaan Majelis Sinode adalah
Komisi Diakonia, KomisiUmum, Litbang, Komisi Kemitraan, Komisi Personil, Komisi
Kategorial, Komisi Teologi, Komisi Ibadah, Komisi Keuangan, Komisi Harta Milik, dan
Komisi Penggajian. Pengambilan keputusan tertinggi ada pada Persidangan Majelis
Sinode.4
Dalam Tata Gereja Masehi Injili di Timor (2011), pengambilan keputusan tertinggi
di tingkat jemaat ada pada Persidangan Majelis Jemat. Di bawah Persidangan Majelis
Jemaat ada Majelis Jemaat yang terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua, Sekretaris dan
Wakil Skretaris, Bendahara dan Wakil Bendahara, dan anggota-anggota; sedangkan
yang menjadi anggota adalah pengurus bidang kategorial, Komisi Ibadah dan
Persektuan Doa, Komisi Pelayanan Kasih, Panitia-panitia, Komisi Katekasasi dan
Kesaksian, Komisi Litbang dan Perencanaan. Sekretaris bertanggung jawab atas
Perpustakaan dan Pendayaan, serta Tata Usaha. Bendahara bertanggung jawab atas
Harta Milik dan Tata Usaha Keuangan. Jemaat yang terdiri dari rayon-rayon
berkoordinasi langsung dengan Majelis Jemaat / Majelis Jemaat harian.5
�������������������������������������������������������������4 Majelis Sinode Gereja Masehi Injili di Timor, Tata Gereja GMIT,(Majelis Sinode GMIT: Kupang, 2011), 7�5Ibid�
���
�
2.3. Visi dan Misi GMIT
2.3.1. Visi
“GMIT adalah keluarga Allah yang merupakan umat keluaran yang diutus
ke dalam dunia guna membawa syalom Allah. Setiap anggota GMIT
berfungsi sebagai surat Kristus yang hidup guna membawa kabar baik bagi
dunia sesuai dengan teladan Kristus, Sang Diakonos Agung. Dalam
menjalankan fungsi tersebut, setiap anggota GMIT bekerja dengan setia, taat
dan produktif dalam memperjuangkan keadilan dan kebenaran, yaitu
pembebasan bagi yang tertindas, kesetaraan derajat dan adanya
keseimbangan di antara pemenuhan hak dan kewajiban serta menggunakan
alam ciptaan Allah secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.6
2.3.2. Misi
Adapun yang menjadi misi GMIT7 adalah sebagai berikut:
1. Membangun struktur GMIT yang melayani dalam azas presbiterial-
sinodal
2. Menyatukan, mengarahkan dan mendayagunakan berbagai karunia dan
talenta warga GMIT dalam pelayanan bagi jemaat dan masyarakat untuk
menjawab kebutuhan nyata warga jemaat dan masyarakat sendiri.
3. Mengembangkan aksi-aksi sosial, politik, ekonomi, dan budaya dalam
rangka transformasi dunia ini sebagai antisipasi terhadap pemberlakuan
kerajaan Allah di dunia ini.
4. Menghadirkan GMIT sebagai sebuah komunitas ibadah yang memiliki
kepedulian ekologis dan bersikap ramah terhadap lingkungan hidup
(alam) dalam tindakan-tindakan pelayanan dan pembangunan
masyarakat.
5. Memungkinkan keterlibatan GMIT dalam berbagai bidang kehidupan di
dunia ini.
6.
�������������������������������������������������������������6 MS GMIT, Haluan dan Kebijaksanaan Umum Pelayanan 2011-2030, (Majelis Sinode GMIT: Kupang, 2011), 1�7Ibid�
�
�
B. TRADISI PENJUALAN ANAK DI PULAU TIMOR
1. Sejarah Awal Tradisi Penjualan Anak
Awal munculnya tradisi penjualan anak bermula dari orang-orang China yang
datang ke Pulau Timor. Maksud kedatangannya adalah ingin berdagang dan salah satu
dagangan adalah kayu cendana. Orang-orang China memiliki kepercayaan bahwa anak
laki-laki adalah penerus keturunan sehingga jikalau sebuah keluarga tidak mendapatkan
keturunan laki-laki, maka anak perempuan harus dijual kepada orang lain; setelah dijual
maka akan mendapatkan keturunan laki-laki. Kepercayaan inilah yang kemudian dianut
oleh masyarakat NTT secara khusus orang Rote. Hal ini disebabkan karena adanya
hubungan perkawinan antara orang China dengan masyarakat asli NTT 8.
Sebuah pandangan lain mengatakan bahwa jika sebuah keluarga tidak
mendapatkan seorang anak laki-laki sebagai penerus keturunan, maka salah satu anak
perempuan harus dijual kepada orang lain atau dinikahkan. Dari hasil pernikahan
tersebut, percaya atau tidak percaya, pasti akan mendapatkan keturunan laki-laki. Anak
laki-laki tersebut kemudian diangkat sebagai anak dan penerus keluarga. Hal inilah yang
diteruskan oleh masyarakat pulau Timor terutama orang-orang yang menikah dengan
orang China, sehingga adanya hubungan kawin mawin dan kemudian berkembang
menjadi tradisi penjualan anak. Tradisi ini lebih banyak dilakukan oleh orang Rote,
orang Timor (asli) juga mempunyai tradisi ini hanya tidak mempunyai nama khusus
atau dalam bahasa daerahnya tradisi ini tidak diberi nama. Bagi orang Timor lebih
berlaku tradisi tentang makna penting anak laki-laki daripada anak perempuan (sama
dengan kepercayaan orang China tentang anak laki-laki. 9
Dari hal ini timbul kepercayaan lainnya, seperti tradisi penjualan anak, yang
meyakini bahwa apabila anak memiliki wajah yang mirip dengan salah satu orang tua �������������������������������������������������������������
�Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Senin, 30 April,. 2012, jam 11.30 WITA)�
�Wawancara Bpk.Ruben Klonel, Ketua Adat Masyarakat Timor di Takari, (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�
��
�
maka anak tersebut akan sakit bahkan sampai bisa meninggal. Dengan adanya
kepercayaan itu maka anak tersebut harus dijual kepada orang lain.10
Tradisi penjualan anak dilakukan turun temurun dalam keluarga yang leluhurnya
sudah pernah menjalankannya, seperti dikemukakan oleh Bapak DR.H. Ataupah, “Hal
ini tidak dapat dihindari karena tradisi ini telah dilakukan dari nenek moyang yang
terdahulu, sehingga telah menjadi keharusan bahwa pada suatu hari kelak, akan ada
keluarga yang menjalani tradisi ini”.11
Hal ini juga disaksikan oleh kedua partisipan yang menyatakan bahwa tradisi
penjualan anak dalam keluarganya diwariskan orang tua sebelumnya. Dalam keluarga
partisipan, tradisi ini diturunkan dari pihak keluarga ibunya. Orang tuanya juga sudah
pernah melakukan tradisi ini, dan saat sekarangpun tidak hanya dirinya yang masih
melakukannya, tetapi saudara-saudaranya yang mengalami hal yang sama juga
melakukan tradisi penjualan anak. Mengenai latar belakang kepercayaan dari nenek
moyang atau orang-orang tua sebelumnya tentang menjual anak ini kurang
diketahuhinya, sebab dirinyapun hanya meneruskan tradisi ini demi keselamatan dalam
keluarga.
Kondisi anak yang mengharuskan penjualan atau penyingkiran adalah :
a. Anak bayi yang telah dinanti-nantikan tetapi diperkirakan akan memiliki kemiripan
dengan ayah atau ibunya, maka anak itu bisa ditinggalkan pada orang lain. Hal ini
dimaksudkan untuk mendapat keselamatan. Jika oleh sesuatu sebab, anak tetap
tinggal bersama orang tua kandung, tetapi jika bertumbuh dewasa dan perkiraan
tersebut menjadi kenyataan maka sang anak harus disingkirkan jauh-jauh, tidak
boleh berada dekat dengan keluarga. Keadaan ini disebut ‘nasan’, artinya
mengambil alih tabiat orang yang dekat padanya, sehingga merugikan orang
�������������������������������������������������������������10Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Senin, 30 April 2012, jam 11.30
WITA)��� Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Selasa, 22 Mei 2012, jam 18.30)�
��
�
tersebut; sebab ada kepercayaan bahwa tidak ada anak yang sama benar dengan
orang tuanya karena hanya akan menimbulkan persaingan. Latar belakang
pemikirannya adalah manusia diketahui sama dalam banyak hal, namun tetap ada
yang berbeda, apabila sama dalam banyak hal, si anak hanya akan merugikan
orang yang berada dekat dengannya, ia mengambil alih tabiat dari karakter atau
wajah orang yang dekat dengannya 12.
Kondisi ini dialami oleh Ibu Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa yang menjual
anaknya karena keluarga melihat adanya kemiripan wajah dengan ayahnya serta
sakit-sakit yang tidak kunjung hilang dari ayah dan anak sekalipun telah berulang
kali berobat ke dokter. Sedangkan Ibu Indah Benyamin - Tode Solo menjual
anaknya yang kedua, seorang anak laki-laki, karena wajah anak yang sangat identik
dengan ayahnya. Anak yang pertama juga mirip dengan ayahnya tetapi tidak dijual
karena anak perempuan. Sesuai tradisi dan kepercayaan, bila ada kemiripan antara
anak perempuan dengan ayahnya atau anak laki-laki dengan ibunya, anak tersebut
tidak perlu dijual karena tidak membahayakan; namun bila anak laki-laki mirip
dengan ayahnya atau anak perempuan yang mirip dengan ibunya maka anak
tersebut harus dijual karena akan membahayakan orang tua yang memiliki
kemiripan dengannya. Menurut Ibu Indah, “Yang junior selalu ingin sama atau
bahkan lebih dari yang senior, sehingga tidak akan ada kecocokan di antara
keduanya, entah itu watak yang berbeda atau sakit-sakit yang di derita oleh dua
orang yang bersangkutan” 13.
Ketua adat, Bapak Ruben Klonel menyatakan bahwa kemiripan wajah dengan
salah satu orang tua adalah alasan orang tua menjual anaknya; pada umumnya anak
�������������������������������������������������������������12 Ibid�13 Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) dan Ibu Indah Benyamin -
Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�
��
�
perempuan yang berwajah mirip sekali dengan ibunya dan juga anak laki-laki yang
mirip dengan ayahnya. Hal ini yang menyebabkan ketidakcocokan.14
b. Apabila anak terlahir dengan tali ari-ari terlilit di leher atau jika ari-ari belang seperti
cincin di jari; kepercayan orang-orang adalah anak ini sebaiknya dijauhkan atau
disembuhkan oleh dukun atau dibunuh, karena anak ini hanya akan membawa sial
bagi orang-orang di sekitarnya. Sang anak dibunuh dengan cara diputar lehernya.
Bila anak itu disembuhkan, biasanya akan disingkirkan jauh-jauh dari orang tuanya.
Disingkirkan yang dimaksud disini bukanlah penyingkiran akan sifat-sifat yang ada
dalam diri anak yang membawa sial itu, namun yang dimaksud disini adalah benar-
benar dipisahkan dari keluarga dan tidak tinggal serumah dengan orang tuanya.
Dalam istilah orang Rote, dipakai istilah dijual karena setelah penjualan itu, anak
diambil kembali untuk tinggal bersama keluarganya, sedang penyingkiran dalam
budaya orang Meto (Timor), sang anak benar-benar disingkirkan dari keluarganya.15
c. Pada umumnya, alasan orang tua memutuskan untuk menjual anaknya adalah
karena sakit yang diderita anak dan juga ayah atau ibu. Sakit adalah hal yang paling
dominan terjadi.16
d. Watak yang bertentangan dengan orang tua yang wajahnya mirip sekali dengan sang
anak, sering terjadi ketidakcocokan antara kedua orang yang bersangkutan dan sering
menimbulkan permusuhan) 17. Tradisi mempercayai bahwa kemiripan yang sangat
identik antara sang anak dan salah satu orang tuanya menyebabkan keduanya selalu
mengalami ketikdakcocokan, sifat dan karakter sangat berbeda dan sering
menimbulkan masalah sampai terjadi pertengkaran. Kepercayaan dari tradisi ini
��������������������������������������������������������������Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�15 Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Selasa, 22 Mei 2012, jam 18.30)���Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�17 ibid�
�
�
bahwa dengan adanya identik ini, yang muda akan lebih mau menguasai dari yang
tua atau dengan kata lain yang muda ingin menjadi yang tua atau seperti yang tua.18
2. Makna Tradisi Penjualan atau Penyingkiran Anak
Sebelum melihat lebih jauh makna tradisi penjualan anak di pulau Timor, hal
pertama yang perlu diketahui adalah makna seorang anak dalam keluarga Timor. Bagi
masyarakat Timor anak adalah harta yang harus dijaga dan dipelihara, karena bukan
seperti harta pada umumnya yang mempunyai nilai yang dapat ditukar. Harta yang lain
bila hilang dapat diganti dengan benda yang sama. Anak tidak dapat digantikan, nama
boleh diberikan sama seperti saudara sebelumnya atau yang telah meninggal, namun
rupa, fisik, wajahnya belum tentu sama. Anak adalah harta dan anugerah yang diberikan
Tuhan kepada manusia. Tuhan mempercayakan kepada orang tua atau keluarga untuk
merawat, menjaga dan memelihara anak-anak; oleh karena itu dengan segenap
kemampuan, orang tua dan keluarga harus dapat menjaga apa yang telah didapatkan. 19
Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa yang melakukan tradisi penjualan anak berpendapat
bahwa anak adalah titipan Tuhan yang dipercayakan untuk dijaga dan dipelihara, oleh
karena itu orang tua tidak boleh menyia-nyiakan kepercayaan tersebut. Menurutnya,
“Tuhan memberikan anak kepada kita, karena Dia tahu bahwa kita dapat menjaga dan
mencintai anak sebagaimana Dia mencintai anak-anak”20. Pandangan yang sama
dikemukakan oleh Ibu Indah Benyamin - Tode Solo yang mengatakan bahwa anak
adalah titipan Tuhan, untuk itu orang tua harus menjaga dan mendidik anak-anak
dengan baik karena kelak orang tua akan mempertanggungjawabkan pada Tuhan.21
�������������������������������������������������������������18Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) ���Wawancara Bpk Ruben Klonel, Ketua Adat Masyarakat Timor di Takari, (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).��Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) �21 Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�
��
�
Makna anak bagi orang tua dan keluarga dalam masyarakat Timor menunjukkan
bahwa tradisi penjualan anak memiliki makna khusus. Bagi keluarga yang
melaksanakannya tradisi ini dipandang sebagai bukti kasih sayang terhadap anak untuk
menyelamatkannya dan sebagai rasa tanggungjawab terhadap Tuhan yang telah
mempercayakan anak di tengah-tengah keluarga.
Bapak Ruben Klonel. ketua adat masyarakat Timor di Takari yang sekaligus
berperan sebagai mediator dalam pelaksanaan tradisi ini mengatakan, “Makna dari
tradisi ini adalah keselamatan. Bagaimana seseorang atau lebih terlepas dari beban yang
selama ini dipikul atau dideritanya.22 Partisipan lain mengatakan pendapat yang sama
bahwa makna dari tradisi ini adalah penyelamatan dari Tuhan secara tidak langsung.”
23
3. Tujuan Penjualan atau Penyingkiran Anak
Tujuan menjual anak disini bukan untuk mendapatkan uang, tetapi hanya bertujuan
agar sang anak menjadi baik jika tinggal bersama orang yang jauh berbeda dari dirinya.
Hal ini biasa terjadi pada anak laki-laki dan ayahnya atau pada anak pertama dan anak
kedua. Anak-anak yang berikut biasanya sudah tidak mengalami hal seperti ini.24.
Tradisi mempercayai bahwa anak khususnya anak laki-laki pertama yang memiliki
wajah yang benar-benar mirip dengan ayahnya atau anak perempuan pertama yang
mirip dengan ibunya, akan mendatangkan banyak masalah, seperti percekcokan terus
menerus ketidakcocokan hubungan serta sakit penyakit yang menimpa anak dan orang
tua secara bergantian. Jika sang anak tidak dijual maka akan mendatangkan akibat yang
buruk seperti kematian. Karena itu tujuan penjualan anak di sini tidak dimaksudkan
sebagai sebuah transaksi bisnis, tetapi sebagai sebuah tindakan penyelamatan atau usaha
���������������������������������������������������������������WawancaraBpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).���Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) �� Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Selasa, 22 Mei 2012, jam 18.30)�
��
�
untuk menjadikan sang anak menjadi baik, kondisi kesehatannya maupun watak atau
tabiatnya.
Selain untuk mendapatkan keselamatan agar terlepas dari sakit atau beban yang
dipikul oleh anak, maksud dan tujuan dari penjualan anak ini juga agar mendapatkan
keturunan laki-laki sebagai penerus keluarga25. Hal ini dilakukan bila sebuah keluarga
tidak mendapatkan keturunan laki-laki, maka anak perempuan harus dijual kepada
orang lain, atau dinikahkan. Dari hasil pernikahan atau penjualan tersebut, diyakini
akan mendapatkan keturunan laki-laki. Anak laki-laki tersebut kemudian diangkat
sebagai anak dan penerus keluarga. Kedua partisipan yang menjual anaknya
menyatakan pendapat yang sama bahwa maksud dan tujuan menjual anaknya hanyalah
satu yakni mendapatkan keselamatan dan terhindar dari sakit penyakit atau marabahaya
lainnya”26
4. Alasan Penjualan atau Penyingkiran Terhadap Anak.
Menurut DR. H. Ataupah27, ada pemikiran budaya di balik penjualan atau
penyingkiran anak. Secara tradisional diajarkan bahwa anak yang berbahaya harus
dienyahkan atau disingkirkan (tinggal dengan orang lain), dan anak tersebut tidak boleh
memikul nama keluarga kandungnya. Dengan sendirinya tradisi ini menurun hingga ke
cucu, dan apabila tradisi ini sudah pernah dilakukan dalam sebuah keluarga, maka
penjualan atau penyingkiran ini akan membudaya dalam keluarga tersebut. Suku Rote
melakukan hal ini dengan dijual namun pada akhirnya diambil kembali, sehingga
penjualan itu hanya sebagai simbolis bahwa sang anak telah dijual kepada orang lain,
���������������������������������������������������������������WawancaraBpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).���Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) dan Ibu Indah Benyamin -
Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)���
Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Selasa, 22 Mei 2012, jam 18.30)�
��
�
tetapi dalam kenyataannya, anak tersebut tetap menyandang nama keluarga dan tetap
tinggal dengan keluarga kandungnya.
Tradisi orang Meto (Timor), berbeda dengan tradisi suku Rote yang menjual tetapi
kemudian mengambil kembali sang anak. Bagi orang Meto (Timor), anak yang
dipercaya hanya akan membawa sial bagi kelurga, harus dibunuh atau disingkirkan.
Penyingkiran ini bukan karena keluarga tidak menyayangi anak tersebut, tetapi karena
keluarga menghindari akibat dari tabiat sang anak yang kelak hanya akan
mengakibatkan jatuhnya korban (yang dimaksud adalah orang yang memiliki kemiripan
dengan sang anak). Kepada sang anak harus disampaikan bahwa ia tidak disukai oleh
keluarga kandungnya dan ikatan dengan anak ini harus diputuskan dalam doa, dengan
maksud bahwa Tuhan menyertai apa yang telah dijalankan (penyingkiran dalam
keluarga kandung), sehingga dengan demikian, sang anak boleh bertumbuh dewasa
dalam iman dan percaya bahwa penyingkiran yang telah dilakukan adalah rencana
Tuhan dan Tuhan pun dapat menerangi jalan hidupnya. Sampai menanjak dewasa dan
sang anak sudah bisa mengerti, kepadanya tetap harus dijelaskan bahwa keluarga sangat
menyayanginya, namun karena ada kejahatan di dalam dirinya maka ia harus dijauhkan
dari keluarganya sendiri.
Berkaitan dengan anak yang sakit sejak kecil, di daerah orang Meto (Timor), ada
kepercayaan bahwa sang ayah harus melunaskan hutang kepada keluarga ibu. Ketika
menikahi sang istri (ibu dari si anak), terlebih dahulu sang suami (ayah si anak) harus
membayar segala hal yang terkait dengan keluarga perempuan, demikian juga isteri
sebagai anak perempuan yang akan menikah harus memberikan sarung kepada ibunya.
Hal ini dimaksudkan untuk membalas jasa kepada sang ibu yang telah merawatnya
sejak kecil hingga dapat bertemu dengan pasangan hidupnya.
��
�
Hal-hal di atas adalah dasar dari pemikiran sosial budaya. Alasan melakukan
penjualan atau penyingkiran terhadap anak sendiri adalah karena adanya filosofi bahwa
orang tidak ingin hidup susah. Hal ini bukan merupakan sumpah mati tetapi
kepercayaan bahwa jika mendidik anak sejak kecil maka akan ada kebahagiaan kelak
ketika anak dewasa. Pemikiran budaya berakar dalam keluarga adalah “mau untung atau
mau terus sial?
Di dalam masyarkat, ada latar belakang kepercayaan dari nenek moyang atau
orang-orang tua sebelumnya tentang menjual anak, dengan pemikiran bahwa pada
zaman dulu belum ada dokter atau obat-obat seperti sekarang, sehingga kondisi ini
membuat nenek moyang atau leluhur terdahulu memikirkan bagaimana cara untuk dapat
menyembuhkan atau dapat bertahan hidup. 28
5. Pihak-pihak yang Membuat Keputusan Menjual atau Menyingkirkan Anak
Dalam masyarakat di pulau Timor, ada filosofi yang telah membudaya dalam
keluarga bahwa biasanya hal memutuskan seorang anak dijual atau disingkirkan bukan
dari pemikiran orang tua kandung melainkan dari pihak keluarga terkait yang melihat
dan mengerti bahwa memang sang anak harus dijual, jika tidak akan mendatangkan
bahaya besar bagi orang yang dekat dengan dirinya.29
Tindakan menyingkirkan anak biasanya berat untuk diterima oleh orang tua
kandung terutama oleh sang ibu, oleh karena itu harus dibicarakan sebaik mungkin
dengan ibu sehingga mampu mengerti keadaan yang tidak sulit tersebut. Istilah yang
dipakai untuk menggambarkan keadaan ini adalah ‘tontaku’ artinya mencintai anak
dengan hati-hati, dalam pengertian, keluarga memang mencintai sang anak, tetapi
karena ada kejahatan dalam dirinya maka keluarga atau orang tua harus mencintainya
���������������������������������������������������������������Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) �29 Ibid�
��
�
dengan penuh kehati-hatian, sebab jangan karena cinta kepada sang anak, maka
keluarga atau orang tua mau saja menjadi korban dari kejahatan yang telah ada dalam
diri sang anak. 30
Dalam pengalaman Ibu Indah Benyamin - Tode Solo, kedua pihak, suami dan
isteri sama-sama menyetujui keputusan menjual anak,31 sedangkan Pdt. Paoina Ngefak
– Bara Pa mengatakan bahwa tidak ada perundingan antara suami dan istri, namun pada
saat disarankan untuk menjual, sebagai ibu ia segera menyetujui karena yang ada dalam
pikirannya ketika itu hanyalah bagaimana suami dan anak dapat terlepas dari sakit
penyakit yang tidak kunjung berhenti. Dalam hatinya ada rasa kurang yakin dan tidak
percaya, tetapi menurutnya hal itu hanya dibawa di dalam Nama Tuhan.32
6. Prosedur dan Proses dalam Ritual dan Penjualan Anak
6.1. Pihak yang Membeli
Pada zaman dahulu, anak tidak dijual pada sembarang orang, melainkan harus
kepada orang yang memiliki asal-usul dari leluhur orang tua. Dalam hal ini, para leluhur
atau nenek moyang keluarga yang bersangkutan juga melakukan tradisi ini, karena
dalam melakukan tradisi ini terlebih dahulu harus ada persetujuan dari para nenek
moyang. 33
Ketua Adat, Bapak Klonel mengungkapkan hal serupa bahwa pada zaman yang
lalu, orang yang membeli anak haruslah orang yang mempunyai latar belakang mengerti
tradisi ini, dalam arti tradisi ini juga dilakukan oleh para leluhur yang telah meninggal.
Pada zaman sekarang hal ini tidak berlaku lagi, pihak pembeli tidak mesti orang yang
mempunyai hubungan dengan para leluhur. Siapa saja yang siap menerima untuk
�������������������������������������������������������������30 Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Selasa, 22 Mei 2012, jam 18.30)���Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)���Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) ���Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Senin, 30 April 2012, jam 11.30
WITA)�
��
�
melakukan penjualan anak dapat menjadi pembeli. Orang yang membeli dapat juga dari
keluarga yang menjual, misalnya paman atau bibi dari anak tersebut Pada umumnya
pihak yang membeli tidak harus dari luar ataupun dalam, asalkan mengerti tradisi ini
sehingga hari-hari sebelum melakukan penjualan, sang pembeli sudah harus pergi ke
tempat leluhur untuk meminta persetujuan34 Misalnya yang terjadi dengan Pendeta
Paoina Ngefak – Bara Pa yang menjual anaknya kepada kakak kandungnya. Alasan
memilih keluarga tersebut karena kakak kandungnya melihat adanya kemiripan wajah
dengan sang ayah serta sakit-sakit yang tidak kunjung berhenti dari ayah dan anak,
sehingga saudara tersebut yang mengajukan agar anak ini dijual 35.
Pembeli juga tidak harus orang yang seiman. Pihak pembeli bisa saja beragama lain
36. Hal ini dilakukan oleh Ibu Indah Benyamin - Tode Solo yang menjual anaknya
kepada Ibu Mariam Buang, seorang Muslim, tetapi sangat demokrat karena sangat
menghargai agama lain termasuk agama Kristen. Hubungan kekerabatannya adalah dari
pihak orang tua wanita Ibu Mariam Buang.37. Menurut Bapak Ruben Klonel, “Pada
masa sekarang, mereka menjual anaknya kepada siapa saja yang siap membeli anak itu,
tidak memandang lagi orang itu mengerti tradisi tidak atau ada hubungannya dengan
para leluhur atau tidak” 38
6.2. Proses dalam Ritual dan Penjualan
Tradisi penjualan anak dilakukan juga oleh para leluhur, karena dalam
pelaksanaannya harus ada persetujuan terlebih dahulu dari nenek moyang. Dalam
bahasa Timor ‘Tate’un fatu, tate’un hun’ yang artinya “buka nisan, buka rahasia”.
Maksud ungkapan ini adalah, jauh hari sebelum dilakukan penjualan anak, orang yang �������������������������������������������������������������
�Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA)dan Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Senin, 30 April 2012, jam 11.30 WITA)�
��Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) ���Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).���Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)���WawancaraBpak Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�
���
�
akan membeli harus terlebih dahulu pergi ke kuburan para leluhur dan berbicara di sana.
Hal yang dibicarakan berkisar pada maksud akan membeli anak dari keluarga lain, dan
juga melakukan ritual, yakni membawa seekor babi atau ayam (salah satu) lalu
disembelih dan di ambil hatinya, karena dari hati hewan tersebut akan terjawab apakah
leluhur menyetujui penjualan anak tersebut atau tidak. Jawaban diketahui dengan
melihat, jika hati babi atau ayam tersebut dalam kondisi baik (hati terlilit dengan usus)
pertanda bahwa penjualan tersebut disetujui, tetapi jika hati hewan tersebut dalam
kondisi rusak, maka pertanda bahwa penjualan itu tidak disetujui. Bahasa yang
digunakan pada saat ritual bukan bahasa biasa tetapi bahasa ritual yang tidak dapat
disebutkan dalam wawancara 39
Menurut Bapak Ruben Klonel, jauh hari sebelum dilakukannya penjualan, pembeli
sudah harus naik ke kuburan (tempat leluhur) dengan membawa satu ekor babi atau
ayam. Ritual di kuburan dilaksanakan pada jam 02.00 pagi karena kepercayaan bahwa
pada jam-jam itulah apa yang disampaikan akan didengar oleh nenek moyang atau para
leluhur. Sesampai di sana ia harus menyampaikan maksud kedatangannya dengan
memakai bahasa ritual. (yang tidak dapat disampaikan dalam wawancara) setelah itu
babi atau ayam yang dibawanya dipotong dan diambil hatinya. Bila hatinya bagus maka
pertanda bahwa penjualan dan pembelian anak tersebut disetujui, namun apabila hati
dalam kondisi rusak maka pertanda bahwa penjualan dan pembelian tersebut tidak dapat
dijalankan atau tidak disetujui. Ritual khusus dijalankan hanya pada saat pergi ke
kuburan. Karena maksud disampaikan dalam bahasa ritual, maka orang yang membeli
memang haruslah orang yang mengerti tradisi ini. Saat proses penjualan berlangsung
tidak ada ritual atau cara-cara khusus yang harus dilakukan atau bahasa ritual yang
diucapkan. Penjualan, sebaiknya dilakukan di rumah sendiri sebab setelah itu anak
���������������������������������������������������������������
Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Senin, 30 April 2012, jam 11.30 WITA)�
���
�
tersebut akan dibawa pergi dulu oleh pembeli sebagai tanda bahwa anak tersebut telah
menjadi bagian keluarga dari yang membeli Selayaknya orang yang beragama,
penjualan didahului dengan doa, lalu anak didudukan di atas penampi beras kemudian
diserahkan kepada pembeli, lalu pemberi menerima dan memberikan sebuah amplop
yang beriskan uang. Uang yang diberikan tergantung dari pembeli, bukan dari hasil
perundingan. Pada masa sekarang, nominal uang ditentukan dari hasil perundingan jauh
hari sebelumnya, namun hal ini tetap tidak mengubah maksud dan tujuan yang ingin
dicapai 40
Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa mengatakan bahwa dalam proses penjualan
anaknya tidak ada upacara atau ritual khusus yang dilakukan, hanya diawali dengan
doa, kemudian anak diserahkan kepada pembeli yang menyerahkan amplop berisi uang
yang kemudian disimpan dalam Alkitab, lalu diakhiri dengan doa. Sang anak kemudian
dibawa pulang ke rumah pembeli sebagai tanda telah menjadi bagian dari keluarga dan
pada malam hari orang tua kandungnya mengambil kembali anak tersebut. 41 Proses
penjualan anak Ibu Indah Benyamin - Tode Solo juga tidak memakai ritual khusus.
Penjualan dilakukan dengan menaruh sang anak di atas penampi beras (niru). Kemudian
sang ibu menggendong anak dengan niru tersebut sambil berteriak-teriak “jual anak....,
jual anak”, lalu orang yang membelinya datang dan membeli dengan menyerahkan uang
yang sudah dimasukkan dalam amplop. Uang tersebut diberikan ke gereja sebagai tanda
nazar. 42
Dalam ritual penjualan anak, terutama di kuburan, kata-kata, bahasa dan ekspresi
dalam ritual mempunyai makna khusus, tetapo menurut Bapak Ruben Klonel, bahasa,
kata-kata, expresi, doa-doa atau mantra-mantra yang diucapkan tidak dapat dijelaskan
dalam wawancara yang berlangsung dengan penulis, tetapi makna dari bahasa ritual
�������������������������������������������������������������Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).��Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) ��Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�
���
�
yang diucapkan adalah, anak akan meninggalkan keburukan yang ada dalam rumahnya
dan akan menjadi lebih baik bila ia keluar menjadi orang lain. “Apabila kamu sukses
jangan sebut nama saya (nama kelurga kandung dan pembeli), namun bila nanti kamu
gagal dalam hidupmu sebutlah nama saya (yang membeli) karena kesalahan itu ada
pada saya bukan pada orang tua kandung atau dirimu sendiri”. Maksud disini adalah,
karena pada saat menerima untuk membeli anak tersebut, pembeli sendiri sudah harus
yakin bahwa dia akan dapat menjadikan sang anak lebih baik dari sebelumnya bahkan
dari orang tuanya, dan hal itu adalah tanggung jawab terbesar dari seorang pembeli. 43
Kedua partisipan yang melakukan penjualan anak mengemukakan bahwa tidak ada
bahasa, kata-kata, expresi, doa-doa atau mantra-mantra khusus yang diucapkan dalam
proses penjualan anak mereka.44
Pihak-pihak yang harus hadir dalam ritual dan penjualan anak adalah ketua adat,
pihak penjual, pihak pembeli serta rukun keluarga yang terkait dari pihak penjual.
Semua pihak harus hadir, ketua adat atau perwakilan dari perkumpulan adat mesti hadir
pada saat proses penjualan berlangsung karena ketua adat yang akan berperan sebagai
saksi bahwa anak tersebut telah diambil dan menjadi bagian dari keluarga pembeli
secara adat. Dan secara adat juga, anak tersebut syah menjadi anak dari pihak pembeli,
secara hukum dan agama tetap anak dari keluarga kandung. Tidak ada kewajiban yang
harus dipenuhi dari pihak keluarga kepada ketua adat, namun telah menjadi tradisi juga
bagi orang Timor untuk selalu memberikan tanda ucapan terima kasih; dapat berupa
uang, tetapi biasanya lebih dalam bentuk benda-benda. Dalam upacara ini, tidak ada
peran dan campur tangan pendeta, para pejabat gereja atau tokoh agama. 45 Dalam
pengalaman kedua partisipan yang menjual anak, yang terpenting adalah kedua belah
�������������������������������������������������������������43 Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�44 Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) Dan Wawancara Ibu Indah
Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�45 Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�
��
�
pihak yakni penjual dan pembeli wajib hadir. Tidak ada intervensi mediator, pemuka
adat atau tokoh agama yang hadir, hanya beberapa anggota keluarga yang menyaksikan
proses penjualan.46
6.3. Sarana Pendukung, Mediator atau Benda-benda sebagai Prasyarat dalam Ritual
dan Penjualan.
Benda-benda atau simbol-simbol yang diwajibkan ada atau dipakai pada saat ritual
dan penjualan antara lain penampi beras sebagai tempat bagi anak yang siap dijual dan
uang sebagai tanda bahwa sang anak akan dibeli oleh orang tua pembeli. Barang-barang
yang akan dipakai dalam penjualan harus dijajalkan, termasuk sang anak harus
dijajalkan di atas penampi beras lalu dijalankan sampai kepada pembeli.47
Dalam pelaksanaan tradisi, awalnya tidak perlu memakai beraneka ragam benda
untuk dijadikan simbol. Pelaksanaannya terserah pada setiap orang yang melakukan.
Berbagai benda yang dipakai dalam tradisi ini seperti niru dan uang. Ada juga ritual di
mana pada saat anak akan dijual, pembeli harus menerima anak tersebut dari jendela,
tetapi makna dari benda dan ritual tersebut sebenarnya tidak ada. Pada zaman dahulu
uang yang dipakai hanyalah sebagai simbol atau tanda bahwa anak telah dibeli secara
syah oleh keluarga dari pihak sebelah, dengan percaya bahwa anak tersebut akan
terlepas dari penyakitnya dan akan hidup seperti anak-anak yang lain. Pada zaman
sekarang, uang menjadi simbol derajat dari yang membeli, karena dari jumlahnya akan
menentukan bahwa pada hari esok anak tersebut akan hidup baik seperti orang tua
angkatnya (pembeli) atau dengan kata lain anak itu akan menjadi pewaris 48
�������������������������������������������������������������46 Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) Dan Wawancara Ibu Indah
Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)��Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).��Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Senin, 30 April. 2012, jam 11.30
WITA)�
���
�
Dalam penjualan anak Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa, benda yang disiapkan adalah
sirih pinang dan uang sebagai simbol budaya bahwa anak itu telah dibeli putus secara
adat oleh keluarga pembeli. Uang tersebut dijadikan nazar sebagai tanda ucapan syukur
kepada Tuhan.49
Tentang benda-benda yang dipakai pada saat penjualan anaknya, Ibu Indah
Benyamin - Tode Solo mengatakan bahwa niru yang dipakai hanyalah sebagai tempat
untuk menaruh anak pada saat dijual dan uang juga sebagai tanda bahwa sang anak
sudah dibeli secara adat.50
7. Konsekuensi Jika Tidak Melakukan Tradisi Penjualan Anak
Menurut ketua adat Bapak Ruben Klonel, konsekwensi terbesar yang akan terjadi
dan harus diterima apabila tidak melakukan ritual ini adalah akan ada yang menjadi
korban atau meninggal 51. Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa mengatakan bahwa
konsekuensinya, entah sudah pernah terjadi atau tidak, tetapi menurut kepercayaan
dahulu, jika tidak melakukan tradsi ini maka salah satu akan menjadi korban baik anak
maupun orang tua. Biasanya orang tua karena yang muda ingin menjadi sama dengan
yang tua atau bahkan lebih dari yang tua 52. Ibu Indah Benyamin - Tode Solo
mengatakan bahwa ritual ini harus dilakukan, sebab jika tidak maka konsekwensinya
akan sangat besar bagi keluarganya. Kepercayaan ini adalah anak akan semakin ingin
sama dengan orang tuanya. “Apalagi pada saat itu yang saya alami adalah anak dan
ayah sering sakit secara bersamaan dan bergantian saja siapa yang sakit lebih dulu pasti
nanti akan mengikut”. 53
��������������������������������������������������������������Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) ��Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�51 Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�52 Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�53 Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�
���
�
8. Hasil Penjualan atau Penyingkiran Anak
Tentang hasil dari pelaksanaan ritual dan penjualan anak, ketua adat Bapak Ruben
Klonel mengemukakan, “Selama saya menjadi mediator, tradisi ini selalu membuahkan
hasil positif. Dalam artian kami selalu berhasil mendapatkan dan apa yang menjadi
tujuan dan maksud kami selalu tercapai.” Apabila pada semula masalah yang terjadi
adalah watak yang bertentangan, maka hubungan kekerabatan yang terjadi setelah
penjualan menjadi lebih baik kembali selayaknya anak dan orang tua. Menurutnya
keberhasilan itu terjadi juga dikarenakan kepercayaan bahwa Tuhan campur tangan di
dalam pelaksanaan tradisi ini. 54.
Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa mengemukakan bahwa yang dialami dari hasil
ritual ini adalah hasil yang positif; ayah dan anak terselamatkan, terlepaas dari sakit
penyakit yang menggelutinya selama ini. Apabila sang ayah sakit, anak tidak
mengalami sakit, demikian juga sebaliknya. Hubungan antara anak dan ayah menjadi
baik, semakin akrab dan terlihat seperti biasanya sebagaimana ayah dan anak.
“Persaaan kami sangat lega, bersyukur karena bukan hanya ayah dan anak saja yang
terlepas dari sakit penyakit tersebut melainkan sebagai seorang ibu dan istri juga
merasa terlepas dari beban pikiran yang selama ini hadir dalam keluarga kami”. 55
Hal yang sama dikemukakan oleh partisipan Ibu Indah Benyamin - Tode Solo yang
mengatakan bahwa tradisi ini sangat baik dan sudah banyak orang yang merasakan atau
mengalami hal positif dari pelaksanaannya. Dalam keluarganya sendiri, tradisi ini
membuahkan hasil yang baik karena ketika sang ayah sakit, si anak tidak ikut sakit,
demikian pula sebaliknya. Perubahan ini nampak setelah melakukan tradisi penjualan
ini. Perasaaannya sangat senang dan puas, karena dengan melakukan tradisi ini maka
anak dan ayah akan terlepas dari ketidakcocokan selama ini. Ia selalu berdoa agar anak
��������������������������������������������������������������Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�55 Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�
���
�
adan ayah selalu diberikan kesehatan yang baik. Hubungan kekerabatan dengan pembeli
(Ibu Mariam) semakin dekat setelah penjualan.56
9. Tanggungjawab Orang Tua yang Membeli dalam Pengasuhan Anak
Anak yang telah disingkirkan biasanya akan memanggil orang tuanya dengan
sebutan paman dan bibi atau om dan tante, namun tetap dalam mendidik si anak,
tanggung jawab ada pada kedua belah pihak, baik keluarga yang telah mengambil atau
membeli maupun dalam keluarga kandung. Oleh karena ada anggapan, ‘penggembala
tua’ (orang yang membeli) dan juga ‘penggembala muda’ (orang tua kandung).57
Menurut Bapak Ruben Klonel, tanggung jawab pihak yang membeli terhadap anak
setelah ritual ini dijalankan adalah tetap memperhatikan anak tersebut sekalipun dia
tinggal bersama orang tua kandungnya. Mengenai status orang tua angkat atau tidak,
anak ini bukan diangkat atau diadopsi, melainkan hanya diminta secara adat untuk
mempunyai orang tua yang lain. Sebutan untuk orang tua yang membelinya bebas, anak
bebas memanggil apa saja, papa, mama, atau sebutan yang lainnya. 58
Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa yang menjual anak kepada kakak kandungnya
mengatakan bahwa tanggung jawab pembeli sama seperti tanggung jawab orang tua
kandung. Membimbing anak dalam hal rohani, memperhatikan dan memperlakukan
sang anak sebagaimana anak kandung sendiri. “Sekalipun anak kami tetap tinggal
bersama kami, anak kami memanggil mereka dengan sebutan mama dan bapak”.
Statusnya tidak sama dengan anak angkat karena secara adat dan budaya anak ini adalah
anak kandung dari pembeli. Secara adat anak ini telah putus hubungan dengan orang tua
���������������������������������������������������������������Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�57Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Selasa, 22 Mei 2012, jam 18.30)���Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�
���
�
kandung, namun secara hukum dan agama sang anak tetap adalah anak nikah dari orang
tua kandungnya59
10. Unsur Kekristenan dalam Tradisi Penjualan Anak
Dalam pelaksanaan tradisi penjualan anak seperti disaksikan oleh partisipan yang
melakukannya, maupun oleh ketua adat dan yang memahami tradisi ini, terlihat adanya
pencampuran unsur-unsur iman Kristen. Fakta tersebut terlihat dalam beberapa hal
berikut :
10.1. Iman yang mendasari tradisi dan menyertakan Tuhan dalam ritual di kuburan
dan pada saat penjualan.
Semua partisipan, baik ketua adat atau tokoh yang mengerti adat, dan yang
menjalankan tradisi penjualan anak percaya bahwa Tuhan berkenan dengan tradisi ini
demi keselamatan si anak atau orang tua, sehingga Tuhan turut campur tangan dalam
tradisi ini. Semua partisipan percaya bahwa kesembuhan atau keberhasilan dari
pelaksanaan tradisi ini adalah karena Tuhan yang menghendaki.
Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa mengungkapkan bahwa sekalipun di dalam
hatinya ada rasa kurang yakin dan tidak percaya, tapi semuanya dibawa di dalam Nama
Tuhan saja dan kemudian percaya kalau Tuhan pasti akan turut bekerja dalam tradisi ini.
Menurutnya pemikiran untuk menjual anak guna mendapatkan keselamatan adalah
hasil pemikiran akal manusia, tetapi darimana pemikiran itu ada? Tentu saja dari Tuhan,
lalu bila dijalankan dan dicapai hasilnya, hal itu menandakan bahwa Tuhan juga turut
bekerja dalam penjualan ini. Tradisi penjualan anak ini, merupakan tanda keselamatan
dari Tuhan yang dinyatakan secara tidak langsung. 60
�������������������������������������������������������������59 Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)��Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�
���
�
Partisipan Ibu Indah Benyamin - Tode Solo juga sependapat bahwa Tuhan dapat
memakai berbagai macam cara yang tidak pernah diduga oleh manusia untuk
memberikan keselamatan atau kesehatan itu; dalam hal ini Tuhan memakai tradisi
penjualan anak untuk memberikan keselamatan bagi sang anak dan orang tua.61
Tentang menyertakan Tuhan dalam ritual dan proses penjualan, ketua adat, Bapak
Ruben Klonel menyatakan bahwa pada saat proses penjualan diawali dalam doa.
Menurutnya yang menjalankan ritual harus percaya bahwa pada saat melakukan ritual
di kuburan, Tuhan juga hadir dan mengetahui apa yang menjadi maksud dan tujuan
berada disana. Hati babi atau ayam yang disembelih menunjukkan kondisi bagus juga
karena mempertanda bahwa Tuhan turut bekerja di dalamnya. 62
DR. H. Ataupah mengemukakan hal yang sama, yakni anak tersebut harus
diputuskan dalam doa dengan maksud bahwa apa yang telah dijalankan (penyingkiran
dalam keluarga kandung) Tuhan beserta di dalamnya, sehingga dengan demikian sang
anak boleh bertumbuh dewasa dalam iman dan percaya bahwa ini adalah rencana
Tuhan dan Tuhan pun dapat menerangi jalan hidupnya63
10.2. Uang dari hasil penjualan dipakai sebagai nazar ke gereja
Ibu Indah Benyamin - Tode Solo mengungkapkan bahwa uang yang diperoleh dari
penjualan ini diberikan ke gereja sebagai tanda nazar keluarga.64 Hal yang sama
dilakukan oleh Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa bahwa uang yang dipakai sebagai
tanda pembelian dijadikan nasar ke gereja. Maksud dari nazar itu adalah agar penjualan
yang dilakukan dapat diberkati oleh Tuhan, atau maksud dan tujuan keluarga dapat
tercapai karena Tuhan berkenan campur tangan di dalamnya.65
���������������������������������������������������������������Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)���Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�63 Wawancara DR. H. Ataupah, dosen Universitas Nusa Cendana, Kupang. (Oeba, Kupang, Selasa, 22 Mei 2012, jam 18.30)��Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)���Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�
��
�
Ketua adat, Bapak Ruben Klonel, mengemukakan bahwa sebagai seorang Kristen
apapun yang dilakukan harusnya dialaskan atas nama Tuhan, sehingga maksud nazar itu
adalah ucapan syukur kepada Tuhan karena percaya bahwa apabila maksud dan tujuan
penjualan ini berhasil, hal itu karena Tuhan juga turut bekerja dan setuju dengan tradisi
ini 66
11. Faktor-faktor yang Memengaruhi Dipertahankannya Tradisi Penjualan Anak di
Jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT)
Dari pemaparan para partisipan, dapat dipahami bahwa tradisi penjualan anak
terus dipertahankan dan dilakukan di pulau Timor sampai zaman modern ini, termasuk
dalam jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Dari hasil wawancara
dengan para partisipan, dapat dideskripsikan beberapa faktor yang memengaruhi tradisi
ini tetap dilestarikan dan dijalankan, antara lain :
11.1. Faktor Kesehatan atau keselamatan
Setiap keluarga yang menjalankan tradisi penjualan anak didesak oleh sebuah
kebutuhan dasar yang penting. Kebutuhan dasar yang dimaksud di sini bukanlah
sandang, pangan dan papan, tetapi kebutuhan kesehatan atau keselamatan. Setiap
partisipan yang menjalankan tradisi penjualan anak mengungkapkan bahwa tujuan dari
menjalankan tradisi ini hanyalah demi keselamatan atau kesembuhan dari sakit yang
diderita sang anak atau orang tua yang memiliki kemiripan wajah. Dapat dimengerti
bahwa kesehatan atau keselamatan adalah faktor penting yang mendorong orang tua
atau keluarga melakukan penjualan anak dan terus mempertahankannya turun temurun
dalam garis keluarga. Bapak Ruben Klonel mengatakan, “Makna dari tradisi ini adalah
keselamatan. Bagaimana seseorang atau lebih terlepas dari beban yang selama ini di
���������������������������������������������������������������Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�
���
�
pikul atau dideritanya” 67. Hal yang sana dikemukakan oleh Pendeta Paoina Ngefak –
Bara Pa dalam pernyataan, “Memutuskan untuk menjual anak ini adalah untuk
mendapatkan keselamatan”68
11.2. Faktor Agama
Faktor lain yang menjadi dasar tradisi penjualan anak tetap dipertahankan dan
dijalankan oleh masyarakat Timor, termasuk di tengah-tengah jemaat-jemaat Gereja
Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah faktor agama dalam hal ini pemahaman iman
dan interpretasi atau penafsiran terhadap Kitab Suci atau Firman Allah. Jemaat secara
khusus yang menjalankan tradisi penjualan anak, memiliki pemahaman iman tentang
hal-hal berikut ini :
� Tuhan Yesus memberikan keselamatan tetapi tidak secara langsung.
Jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) pada umumnya
memberikan tanggapan yang positif terhadap tradisi penjualan anak karena
meyakini bahwa keselamatan memang hanya datang dari Tuhan Yesus saja namun
Tuhan tidak langsung datang dan memberikan keselamatan atau kesehatan itu
melainkan dengan memakai berbagai macam cara yang tidak pernah diduga oleh
manusia. Tuhan juga bekerja dalam budaya dan tradisi. Manusia harus berusaha
dan berdoa, dan di dalam usaha itu, memakai pikiran dan pengetahuan dengan
didasarkan keyakinan bahwa Tuhan akan turut campur tangan dalam usaha tersebut
69
Ketua adat Bapak Ruben Klonel berpandangan sama bahwa penyelamatan
datangnya dari Tuhan, tetapi Tuhan tidak memberikan penyelamatan secara
�������������������������������������������������������������67 Ibid���Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)���Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA) dan ��Wawancara Pdt.
Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�
���
�
langsung kepada orang-orang yang mengalami, melainkan melalui tangan orang-
orang lain ataupun juga melalui barang-barang lain.70
� Mengidentikkan tradisi penjualan anak dengan tanda, kejadian-kejadian dan
tradisi dalam Alkitab.
Pemuka adat maupun partisipan yang menjalankan tradisi penjualan anak
memahami bahwa tradisi ini identik dengan tradisi-tradisi dalam masyarakat Israel
pada zaman Perjanjian Lama, atau kisah-kisah, kejadian ataupun mujizat
penyembuhan seperti yang dilakukan Tuhan Yesus dalam masa Perjanjian Baru.
Misalnya cerita-cerita yang memakai segala macam tanda baik di PL maupun di
PB, salah satu contoh Tuhan Yesus menyembuhkan orang buta dengan air ludah
yang dibuang ke tanah, Yesus mengambilnya dan mengusap ke mata orang tersebut
dan menyuruhnya pergi membasuh muka dengan air (Yohanes 9:6). 71
Sebagaimana Yesus menyembuhkan orang buta dalam kisah tersebut dengan
memakai air ludah yang dibuang ke tanah dan mengusap ke mata orang buta
tersebut, demikian juga syah-syah saja bagi orang Kristen pada zaman sekarang
yang ingin mencari kesembuhan, dengan memakai cara-cara tradisi atau barang-
barang lain. Cerita-cerita Alkitab menunjukkan bahwa tradisi sudah ada dari para
pendahulu, sehingga apa yang sekarang dilakukan dan yang sekarang masih tetap
dijalankan adalah warisan dari para nenek moyang yang ada dalam Alkitab.
Misalnya setiap kejadian terlebih dalam PL, banyak hal yang sangat tidak mungkin
sama dengan ajaran agama, tetapi pada kenyataannya, nenek moyang pada zaman
PL juga melakukannya. Contoh dari kisah penyelamatan anak-anak sulung Israel di
Mesir, ketika Tuhan akan menulahi bangsa Mesir. Orang Israel memasang tanda
��������������������������������������������������������������Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).�71 Ibid�
���
�
darah agar malaikat Tuhan melewati rumah mereka. Lalu anak sulung manusia, dan
anak binatang dari orang Mesir dimusnahkan. Dari situ dapat dilihat bahwa tanda
darah itu adalah tanda keselamatan dari Tuhan kepada orang Israel yang dinyatakan
secara tidak langsung. Demikian juga tradisi penjualan anak merupakan tanda
keselamatan dari Tuhanyang dinyatakan secara tidak langsung. Pada zaman dahulu
belum ada dokter dan obat seperti zaman sekarang, dengan akal pikiran yang Tuhan
berikan, para nenek moyang berpikir apa yang dapat dilakukan bila jatuh sakit.
Salah satunya adalah dengan melakukan tradisi penjualan anak, apabila hasil tujuan
dan maksudnya tercapai berarti mempertanda bahwa Tuhan turut bekerja di
dalamnya. 72
Dari pernyataan para partisipan, dapat dimengerti bahwa tradisi penjualan anak
tetap dipertahankan dan dijalankan karena pemahaman dan keyakinan bahwa tradisi
ini tidak bertentangan dengan Alkitab atau Firman Allah, sebagaimana diungkapkan
Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa dalam pernyataannya, “Menurut kami, apa yang
kami lakukan ini tidak bertentangan karena kami tidak melakukan penyembahan
berhala atau penyembahan kepada allah lain yang bertentangan dengan ajaran Alkitab”
73
� Pemahaman bahwa Tradisi Penjualan Anak Tidak Mengandung Dualisme
Kepercayaan.
Terhadap pelaksanaan tradisi penjualan anak, banyak juga orang yang
memandangnya sebagai tradisi yang menduakan kepercayaan yang seharusnya hanya
dilandaskan dalam keselamatan oleh Yesus Kristus, tetapi terhadap pemikiran ini,
�������������������������������������������������������������72 Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�73 Ibid �
��
�
pemuka adat dan para partisipan yang menjalankan tradisi ini tidak sependapat.
Menurut ketua adat Bapak Ruben Klonel, “Orang yang tidak tahu akan berpikir bahwa
kita menduakan kepercayaan kita, tapi coba lihat hasilnya apalagi kalau hasilnya
mendatangkan kebaikan bagi kehidupan”74
Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa berpandangan bahwa dengan melakukan tradisi
ini tidak berarti orang yang melakukannya percaya kepada roh nenek moyang atau
memiliki kepercayaan yang dualisme. Menurutnya tradisi ini tidak dapat dikatakan
kafir, karena tradisi dapat memajukan manusia 75. Partisipan Ibu Indah Benyamin -
Tode Solo mengatakan pandangan yang senada, “Hal ini bukan berarti kita berlari dari
ajaran agama atau kepercayaan kita ...”76.
11.3. Faktor Budaya, Adat atau Tradisi Turun-temurun
Faktor lain yang mendukung tetap dipertahankan dan dijalankannya tradisi
penjualan anak dalam masyarakat Timor dan dalam jemaat Gereja Masehi Injili di
Timor (GMIT) adalah faktor adat dan tradisi turun-temurun. Secara adat dipercayai
bahwa kemiripan yang identik, ketidakcocokan, permusuhan yang terjadi antara orang
tua dan anak, sakit dan ketakutan akan kematian yang bisa terjadi, keselamatan yang
diperoleh jika menjual sang anak, telah berakar dalam pikiran, jiwa dan roh keluarga
yang menjalankannya. Kepercayaan yang dipelihara ini membudaya, prakteknya
menjadi kebiasaan, adat atau tradisi yang harus dijalankan turun temurun.
Bapak Ruben Klonel mengatakan, “Tradisi ini menjadi suatu kebutuhan bagi
masyarakat, terlebih lagi bagi keluarga yang sudah pernah melakukan tradisi ini secara
terun temurun maka tradisi ini akan dilakukan terus menerus dalam keluarga.77
�������������������������������������������������������������74 Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).���Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�76 Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�77 Ibid�
���
�
Ibu Indah Benyamin - Tode Solo mengatakan bahwa tradisi ini dari orang tuanya
yang juga sudah pernah melakukan, bahkan saat sekarangpun tidak hanya dirinya saja
yang masih melakukannya, tetapi saudara-saudaranya yang mengalami hal yang sama
juga melakukan tradisi ini.78 Demikian juga Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa
mengatakan bahwa tradisi ini dilakukan juga dalam keluarga bapak dan ibu atau orang
tuanya. 79
11.4. Faktor Sosial
Faktor yang turut berperan dalam terpeliharanya tradisi penjualan anak di pulau
Timor dan di jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) adalah faktor
sosial, yang dimaksud di sini adalah lingkungan sosial baik keluarga, anggota jemaat,
pemuka agama termasuk pemimpin gereja, pemuka adat, akademisi dan masyarakat.
Tradisi penjualan anak tidak saja dilakukan oleh orang awam tapi juga oleh para
pemuka atau tokoh agama yang keluarganya mengalami masalah sakit penyakit atau
ketidakharmonisan hubungan antara anak dan orang tua karena kemiripan wajah yang
identik. Tanggapan gereja terhadap tradisi ini sangat baik, dikarenakan hasil yang
tercapai. Gereja juga melihat bahwa keselamatan yang ada karena Tuhan pun bekerja
dalam tradisi ini. Jemaat lain yang tidak melaksanakan tradisi ini ada yang
memberikan tanggapan baik ada juga yang seperti menolak karena mungkin dalam
keluarganya tidak pernah mengalami hal seperti yang dialami keluarga-keluarga yang
menjalankan tradisi ini. Setelah tradisi dilakukanpun relasi dengan gereja dan saudara
seiman lainnya terhadap lembaga adat tetap terjaga dan terjalin dengan baik.80
���������������������������������������������������������������Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)��� Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�80Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).��
���
�
Fakta yang mendukung adalah kepercayaan ini terbukti mendatangkan hasil yang
positif ketika dijalankan. Baik pemuka adat maupun partisipan yang melaksanakan
tradisi penjualan anak mengemukakan bahwa tradisi ini berhasil baik, membuahkan
hasil positif, yakni kesembuhan atau keselamatan, keharmonisan hubungan, dan
perasaan yang melegakan bagi semua pihak yang menyaksikan perubahan yang terjadi
setelah melakukan tradisi ini.
Bapak Ruben Klonel mengungkapkan bahwa selama menjadi mediator, tradisi ini
selalu membuahkan hasil positif. Dalam arti apa yang menjadi tujuan dan maksud
mediator dan keluarga yang menjalankan tradisi ini berhasil dan selalu tercapai.
Menurutnya,“Hasilnya mendatangkan kebaikan bagi kehidupan” . Berdasarkan hal-hal
tersebut, disarankan agar orang perlu memahami dan menjaganya. Tradisi ini
menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat, terlebih lagi bagi keluarga yang sudah
pernah melakukan tradisi ini secara terun temurun maka tradisi ini akan dilakukan
terus menerus dalam keluarga. Karena itu masyarakat perlu melihat sisi baik atau sisi
positif dari tradisi ini dan melestarikannya.81
Pendeta Paoina Ngefak – Bara Pa menyatakan bahwa jemaat menanggapi positif
pelaksanaan penjualan anak yang dilakukannya. Relasi dengan saudara seiman baik-
baik saja, dan tidak ada yang memberikan komentar negatif mengenai apa yang
dilakukan, karena jemaat berpandangan bahwa Tuhan mempunyai berbagai macam
cara untuk menolong manusia. Menurutnya sebagai seorang pendeta jemaat, tradisi
ini tidak dapat dikatakan kafir, karena tradisi dapat memajukan manusia. “Kalau
dengan tradisi dapat membuat manusia baik kenapa harus dihilangkan?” 82
Partisipan Ibu Indah Benyamin - Tode Solo menyatakan bahwa tradisi ini sangat
baik dan sudah banyak orang yang merasakan atau mengalami hal postif dari tradisi
���������������������������������������������������������������Wawancara Bpk. Ruben Klonel, Ketua Adat masyarakat Timor di Takari (Kupang, 10 Mei 2012, jam 16.00-18.30 WITA).���Wawancara Pdt. Paoina Ngefak – Bara Pa (Lasiana, Kupang, 12 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�
���
�
ini. Relasi dengan gereja dan saudara seiman lainnya tetap baik, karena jemaat bukan
melihat hal yang negatif, melainkan melihat dari hasil yang membuahkan sesuai
dengan maksud dan tujuan dilakukanya tradisi ini. Menurutnya, “Para anggota jemaat
memberikan tanggapan yang positif... Bahkan tanggapan dari pendeta pun baik,
sehingga pendeta kamipun melakukan tradisi ini”. Karena itu partisipan menyarankan
agar tradisi ini perlu dijaga dan dipahami maksud baik dan positifnya bagi orang-orang
yang menjalankan83
C. KESIMPULAN
Dari deskripsi hasil penelitian di atas, dipaparkan beberapa pemikiran sebagai
kesimpulan tentang tradisi penjualan anak di pulau Timor, khususnya di tengah-tengah
jemaat-jemaat Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) :
1. Tradisi penjualan anak diyakini sebagai solusi bagi permasalahan sakit penyakit,
kematian dan ketidakcocokan hubungan antara anak dan orang tua akibat memiliki
kemiripan wajah yang sangat identik. Dengan melakukan tradisi ini diyakini bahwa anak
dan orang tua yang memiliki kemiripan wajah akan terselamatkan dari sakit penyakit
atau ancaman kematian dan sang anak mengalami perubahaan watak dan hubungan yang
harmonis dengan orang tua.
2. Tradisi penjualan anak pada zaman dulu dilaksanakan dengan ritual yang sedikit berbeda
dengan zaman sekarang. Pada zaman dulu melibatkan koneksi atau keterhubungan
dengan para leluhur dan roh-roh nenek moyang untuk mendapatkan izin melalui ritual di
kuburan dengan persyaratan-persyaratan tertentu, sedangkan pada zaman sekarang
langsung mengacu pada pelaksanaan praktis penjualan atau pertukaran anak dengan
uang dalam nominal tertentu yang kemudian diberikan ke gereja.
���������������������������������������������������������������Wawancara Ibu Indah Benyamin - Tode Solo (Lasiana, Kupang, 5 Mei 2012, jam 10.00-12.00 WITA)�
���
�
3. Dapat dikatakan bahwa perbedaannya adalah dalam “kemasan” yang berbeda tetapi
memiliki essensi yang sama yaitu menyerahkan sang anak kepada kuasa yang lebih
tinggi untuk mendapatkan keselamatan atau kesehatan.
4. Tradisi penjualan anak diyakini oleh orang-orang yang menjalankannya sebagai adat
atau tradisi yang tidak bertentangan dengan Alkitab atau Firman Allah dan iman Kristen,
atau tradisi yang diyakini tidak mengandung dualisme kepercayaan.
5. Oleh anggota-anggota jemaat yang menjalankannya, tradisi penjualan anak diyakini dan
dibuktikan sebagai tradisi yang mendatangkan hasil yang positif dan memajukan
kehidupan masyarakat; misalnya mendatangkan keselamatan bagi anak dan orang tua
dalam keluarga, dan mengurangi percekcokan antara anak dan orang tua yang mirip
wajahnya. Keselamatan dan ketenteraman dalam keluarga, tentu berakibat bagi
ketenteraman dan mendukung kemajuan dalam masyarakat. Karena itu, tradisi ini telah
menjadi sebuah keharusan untuk dilaksanakan turun-temurun dan membudaya dalam
keluarga yang pernah menjalankannya; dan oleh mereka, disarankan sebagai adat atau
tradisi yang perlu dipertahankan atau dilestarikan.
�