Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

43
Makalah Seminar Hasil Penelitian T.A. 2006 ANALISIS SISTEM PERBENIHAN KOMODITAS PANGAN DAN PERKEBUNAN UTAMA Oleh: Bambang Sayaka I. Ketut Kariyasa Waluyo Tjetjep Nurasa Yuni Marisa

description

azzzzzzzzzzzzzz

Transcript of Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

Page 1: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

Makalah Seminar Hasil Penelitian T.A. 2006

ANALISIS SISTEM PERBENIHAN KOMODITAS PANGAN DAN PERKEBUNAN UTAMA

Oleh:

Bambang SayakaI. Ketut Kariyasa

WaluyoTjetjep Nurasa

Yuni Marisa

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIANBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

DEPARTEMEN PERTANIAN2006

Page 2: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebutuhan benih bermutu baik untuk tanaman pangan dan perkebunan relatif tinggi seiring dengan tujuan produksi yang lebih berorientasi komersial. Benih yang bermutu tinggi akan menghasilkan produktivitas tinggi jika budidaya tanaman dilakukan secara memadai. Di sisi lain, penyediaan benih bermutu bagi petani dengan harga terjangkau masih mengalami hambatan. Produsen benih yang pusat produksinya tersebar di berbagai wilayah serta luasnya penyebaran areal tanam petani merupakan kendala dalam pengawasan produksi dan distribusi benih.

Dalam suatu sistem produksi pertanian baik ditujukan untuk memenuhi konsumsi sendiri maupun yang berorientasi komersial diperlukan adanya ketersediaan benih dengan varietas yang berdaya hasil tinggi dan mutu yang baik. Di sisi lain, penggunaan alat dan mesin pertanian dalam kegiatan tanam misalnya, memerlukan ukuran benih yang homogen. Daya hasil yang tinggi serta mutu yang terjamin pada umumnya terdapat pada varietas unggul. Namun manfaat dari suatu varietas akan dirasakan oleh petani atau konsumen lainnya apabila benihnya tersedia dalam jumlah yang cukup dengan harga yang sesuai. Dengan demikian, dalam pertanian modern, benih berperan sebagai delivery mechanism yang menyalurkan keunggulan teknologi kepada clients (petani dan konsumen lainnya).

1.2. Perumusan MasalahSistem perbenihan terus berkembang sesuai dengan dinamika yang

ada. Misalnya, Dirjen Tanaman Pangan telah membentuk Lembaga Sistem Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (LSSMB-TPH) yang berfungsi merintis sertifikasi mandiri oleh perusahaan benih. Produsen benih yang secara mandiri boleh melakukan sertifikasi adalah PT BISI, PT Dupont, PT East West Seed Indonesia, PT Fitotek Unggul dan PT SHS Cabang Sukamandi (Ditjen Tanaman Pangan, 2005). Dengan sistem sertifikasi mandiri maka peran BPSB semakin kecil, tetapi dengan semangat otonomi daerah instansi ini tetap dipertahankan fungsinya.

Berbagai peraturan perbenihan perlu ditinjau ulang untuk mengantisipasi situasi yang terus berkembang. Pemisahan departemen Kehutanan dan Departemen Kelautan dan Perikanan dari Departemen Pertanian membuat masalah perbenihan tidak lagi sepenuhnya menjadi wewenang Menteri Pertanian. Peraturan perbenihan komoditas perlu dibuat sesuai dengan wewenang setiap departemen terkait.

Aplikasi benih (bibit) bermutu dalam usahatani merupakan titik awal untuk mencapai produktivitas tinggi. Berbagai upaya telah ditempuh oleh produsen benih untuk memasarkan produknya sehingga memuaskan konsumen, antara lain melalui penelitian dan pengembangan, dan promosi termasuk diantaranya penyuluhan kepada petani bekerjasama dengan Penyuluh Pertanian Lapang (PPL) setempat. Untuk skala produksi benih dalam jumlah besar para produsen benih bekerjasama dengan penangkar benih. Pola kerjasama ini sangat beragam sesuai kesepakatan produsen dan penangkar. Pada taraf tertentu pola kerjasama ini tidak selalu saling menguntungkan, pihak penangkar dalam beberapa hal dirugikan.

Total areal perkebunan pada tahun 2003 adalah 17,3 juta ha. Penggunaan benih unggul komoditas perkebunan masih terbatas pada

1

Page 3: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

Perusahaan Besar Nasional (PBN), Perusahaan Besar Swasta (PBS), dan proyek-proyek perkebunan yang seluruhnya seluas 4,7 juta ha (27,2%) dari total area perkebunan. Sisanya, yaitu Perkebunan Rakyat, seluas 13,2 juta ha (72,8%) menggunakan benih asalan atau bukan benih unggul. Perkebunan rakyat umumnya memiliki produktivitas rendah karena penggunaan benih bukan unggul, serta aplikasi sarana produksi yang relatif rendah.

Kelapa sawit rakyat seluas 185.991 ha, yang harus diremajakan sekitar 100.00 ha karena sudah ditanam sejak tahun 1975. Perluasan dan peremajaan kelapa sawit rakyat umumnya menggunakan bibit bukan unggul atau palsu karena harga bibit kelapa sawit yang relatif mahal. Harga bibit kelapa sawit unggul siap tanam sekitar Rp 13.000 - Rp15.000 per batang. Sedangkan harga bibit palsu atau yang berkualitas rendah berkisar dari Rp 3.000 sampai Rp 5.000 per batang. Penggunaan benih kelapa sawit bukan unggul menyebabkan produktivitas kebun jauh lebih rendah dari potensi optimal sekitar 5 ton CPO per ha. Penjualan bibit (kecambah) kelapa sawit komersial selalu disertai dokumen resmi, yaitu Surat Perintah Penyerahan Barang, Surat Pengantar, dan Daftar Persilangan (Asmono, 2000). Tetapi sering terjadi dokumen-dokumen tersebut dipalsukan untuk penjualan bibit kelapa sawit oleh perusahaan yang secara resmi tidak terdaftar.

Kebutuhan benih kelapa sawit sekitar 130 – 140 juta butir per tahun, tetapi pasokan dalam negeri hanya sekitar 100 juta butir atau 71 persen. Untuk memenuhi kebutuhan benih ungul dalam negeri sejumlah perkebunan kelapa sawit mengimpor benih unggul dari Malaysia sebanyak 2 juta butir per tahun dan Costa Rica 200.000 butir per tahun (Maryoto, 2005). Dalam hal impor benih sawit, Badan Karantina Pertanian bertindak sangat hati-hati. Pada awal Januari 2006 sebanyak 200.000 benih sawit dari Papua new Guniea dimusnahkan karena terinfeski penyakit lethal yellowing (PT CPAS, 2006).

Petani sebagai pengguna benih mengalami berbagai kendala dalam memanfaatkan benih bermutu atau unggul. Harga yang mahal merupakan kendala utama. Disamping itu jaminan karakteristik benih sesuai yang tertera pada label merupakan hambatan lain. Masa berlaku benih maupun pemalsuan benih merupakan dampak negatif yang biasanya merugikan petani. Upaya pemerintah memberikan subsidi benih padi, misalnya, melalui PT SHS menimbulkan protes dari para produsen swasta yang sama sekali tidak b erhak mendapat subsidi.

1.3. Tujuan a. Menganalisis sistem perbenihan dari hulu hingga hilir untuk

tanaman pangan dan perkebunan utama (padi, jagung, kedelai dan kelapa sawit).

b. Melakukan inventarisasi berbagai peraturan yang terkait dengan produksi dan peredaran benih tanaman pangan dan perkebunan.

c. Mengkaji pola kemitraan antara produsen dan penangkar benih tanaman pangan dan perkebunan utama.

d. Mengkaji kelayakan subsidi untuk benih padi, jagung, dan kedelai.

II. METODE PENGKAJIAN

2.1. Kerangka PemikiranBidang perbenihan formal dapat didefinisikan sebagai kerangka

kelembagaan yang terlibat dalam produksi, pengolahan, dan distribusi

2

Page 4: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

benih unggul. Kelembagaan ini terdiri dari berbagai komponen dan tidak hanya meliputi pihak yang terkait secara langsung dalam produksi, pengolahan, distribusi dan pengawasan mutu benih. Sistem perbenihan nasional dapat didefinisikan sebagai kerangka institusional yang saling terkait dalam kegiatan produksi, pengolahan dan distribusi benih. Dalam hal ini terdapat berbagai lembaga yang terkait di tingkat nasional maupun sektoral yang berpengaruh nyata terhadap kinerja bidang perbenihan.

Secara longitudinal industri benih mulai dari pemuliaan di lembaga penelitian sampai distribusi eceran di tingkat petani, produksi benih melalui beberapa generasi dan tahapan operasi terkait yang membentuk alur. Pada saat yang sama, dengan memperhatikan usaha tani secara menyeluruh, keberhasilan pasokan benih tergantung pada keterkaitan longitudinal yang kuat dengan jasa lainnya yang secara kolektif membentuk sebuah paket.

Keberhasilan setiap komponen industri benih formal sangat dipengaruhi oleh kinerja komponen lainnya dan kekuatan keterkaitan antar komponen. Dalam hal ini industri benih secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh keterkaitan yang paling lemah. Keterkaitan antar komponen dalam industri benih merupakan ciri utama dan semua keputusan yang dibuat di tiap tahap pembangunan industri benih harus memperhatikan semua komponen. Ada tiga bentuk dasar pemilikan dan organisasi yang bisa diidentifikasi, yaitu lembaga perbenihan milik publik, perusahaan benih komersial swasta, dan lembaga benih berbasis masyarakat.

Banyak negara berkembang yang kesulitan memberikan pelayanan optimal kepada petani kecil untuk mengakses sistem perbenihan formal. Umumnya perusahaan benih swasta lebih banyak memproduksi benih hibrida (misalnya jagung), varietas yang lebih laku dijual, dan bisa diproduksi secara cepat (Cromwell, Wigins, dan Wentzel, 1993). Sedangkan pemanfaatan benih varietas unggul baru dikatakan berhasil jika petani sudah menikmati panen dari varietas unggul tersebut. Banyak program dibuat untuk memproduksi dan mengolah benih varietas unggul, tetapi kurang berguna jika distribusi hinga petani tidak diperhatikan secara baik (Douglas, 1980).

2.2. Lokasi KajianKegiatan dilakukan di sentra produksi benih padi, jagung, dan

kedelai (Jawa Timur dan Sulawesi Selatan), dan bibit kelapa sawit (Sumatera Utara). Sampel pengkajian akan meliputi lembaga penelitian yang menghasilkan varietas unggul untuk komoditas padi, jagung, kedelai dan kelapa sawit; produsen benih, perusahaan pemasaran benih, petani penangkar, petani pengguna, serta instansi pemerintah yang terkait dengan industri benih.

2.3. Jenis DataData yang dikumpulkan merupakan data primer dan sekunder. Data

primer mencakup sumberdaya manusia, fasilitas, jenis varietas yang dihasilkan, biaya produksi, dan respon lembaga penelitian maupun produsen benih terhadap permintaan pasar. Data sekunder dikumpulkan dari Direktorat Perbenihan Tanaman Pangan dan Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi Perkebunan, BBN, PT SHS, dan instansi terkait.

3

Page 5: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Perkembangan Penggunaan Benih BerlabelSalah satu penyebab lambanya peningkatan produksi padi, jagung,

dan kedelai di Indonesia diduga akibat masih rendahnya penggunaan benih berlabel (bermutu) di tingkat petani. Memang perlu disadari bahwa benih berlabel tidak serta merta mampu berproduksi baik jika tidak diikuti dengan penggunaan input lainnya secara seimbang.

Dalam sepuluh tahun terakhir (1996-2005), rata-rata penggunaan benih padi berlabel di Indonesia masih cukup rendah, yaitu baru mencapai 22,02% (Tabel 3.1.) Namun demikian, tampaknya penggunaan benih berlabel cenderung meningkat, terbukti pada dua tahun terakhir sudah mencapai 26% -27%. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih terbuka peluang untuk meningkatkan produksi padi nasional melalui pemasalan penggunaan benih berlabel.

Tabel 3.1. Perkembangan Luas Panen Padi Berdasarkan Penggunaan Benih di Indonesia, 1996-2005

Tahun Luas Panen (ha)

Berlabel Tidak Berlabel

ha (%) ha (%)

1996 11550045 2232252 19,33 9317793 80,67

1997 11126396 2562959 23,03 8563437 76,97

1998 11716499 2445960 20,88 9270540 79,12

1999 11963204 2356055 19,69 9607149 80,31

2000 11793475 2250442 19,08 9543033 80,92

2001 11499997 3069239 26,69 8430758 73,31

2002 11521166 1945375 16,89 9575791 83,11

2003 11488034 2490796 21,68 8997238 78,32

2004 11922974 3058007 25,65 8864967 74,35

2005 11818913 3214913 27,20 8604000 72,80

Rataan 11640070 2562600 22,02 9077471 77,98Sumber: Ditjen Tanaman Pangan, 2005

Perkembangan penggunaan benih jagung berlabel secara nasional disajikan pada Tabel 3.2. Pangsa penggunaan benih jagung berlabel cukup fluktuatif dan masih sangat rendah. Dalam sepuluh tahun terakhir (1996-2005), penggunaan benih jagung berlabel baru sekitar 2,80%. Pada tahun 2003 dan 2004 penggunaan benih jagung berlabel sempat mencapai lebih dari 7%, namun demikian pada tahun 2005 turun kembali dan hanya tinggal 3,90%. Penggunaan benih jagung berlabel, yang identik dengan benih jagung hibirda, merupakan salah satu penyebab masih rendahnya produktivitas jagung nasional, baru mencapai sekitar 3 ton/ha.

4

Page 6: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

Tabel 3.2. Perkembangan Luas Panen Jagung Berdasarkan Penggunaan Benih di Indonesia, 1996-2005

Tahun Luas Panen (ha)

Berlabel Tidak Berlabel

ha (%) ha (%)

1996 3685459 349929 9,49 3335530 90,51

1997 3301795 235649 7,14 3066146 92,86

1998 3815919 264092 6,92 3551827 93,08

1999 3456357 139366 4,03 3316991 95,97

2000 3500318 163710 4,68 3336608 95,32

2001 3285866 236292 7,19 3049574 92,81

2002 3126833 74421 2,38 3052412 97,62

2003 3355511 376707 11,23 2978805 88,77

2004 3356914 334519 9,97 3022395 90,03

2005 3597875 253811 7,05 3344064 92,95

Rataan 3448285 242849 7,04 3205435 92,96Sumber: Ditjen Tanaman Pangan, 2005

Kondisi yang sama juga ditunjukkan oleh kinerja penggunaan benih kedelai berlabel (Tabel 3.3.) Secara nasional penggunaan benih kedelai berlabel dalam sepuluh tahun terakhir baru mencapai 2,8%, merupakan suatu angka yang cukup rendah. Rendahnya penggunaan benih kedelai berlabel menunjukkan pasar benih kedelai tidak berjalan dengan baik, seperti halnya dengan pasar jagung. Penyaluran benih kedelai lebih banyak menggunakan pendekatan jalur benih antar lapang dan musim (JABALSIM), sehingga sistem sertifikasi tidak berjalan. Kualitas benih yang digunakan petani pun sulit untuk terdeteksi. Ke depan perlu adanya upaya perbaikan yang lebih serius dalam sistem perbenihan komoditas ini. Pendekatan sistem JABALSIM sebenarnya cukup efektif, tapi agar sistem sertifikasi bisa berjalan, maka sebaiknya petugas BPSB yang lebih proaktif ke produsen/penangkar benih.

Tabel 3.3. Perkembangan Luas Panen Kedelai Berdasarkan Penggunaan Benih di Indonesia, 1996-2005

Tahun Luas Panen (ha)

Berlabel Tidak Berlabel

ha (%) ha (%)

1996 1277736 15526 1,22 1262210 98,781997 1118140 16373 1,46 1101767 98,541998 1094262 17671 1,61 1076591 98,391999 1151079 17810 1,55 1133269 98,452000 824484 17676 2,14 806808 97,862001 678848 24521 3,61 654327 96,392002 544522 22233 4,08 522290 95,922003 526796 37736 7,16 489060 92,842004 565155 41615 7,36 523540 92,642005 621335 24250 3,90 597085 96,10

Rataan 840236 23541 2,80 816695 96,59Sumber: Ditjen Tanaman Pangan, 2005

5

Page 7: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

Berikut adalah gambaran kinerja penggunaan benih padi, jagung dan kedelai berlabel di Jawa Timur, sebagai salah satu lokasi kajian. Data pada Tabel 3.4. menunjukkan bahwa penggunaan benih berlabel di Jawa Timur sudah cukup tinggi, bahkan dalam tiga tahun terakhir (2003-2005) telah mencapai 60%.

Tabel 3.4. Perkembangan Luas Padi Berdasarkan Penggunaan Benih di Jawa Timur, 1996-2005 (ha)

TahunLuas Panen

(ha)

Berlabel Tidak Berlabel

Ha (%) ha (%)

1998 1717167 434141 25 1283026 75

1999 1758634 480605 27 1278029 73

2000 1754178 445298 25 1308880 75

2001 1708478 634442 37 1074036 63

2002 1686431 466299 28 1220132 72

2003 1695514 991795 58 703719 42

2004 1697024 753712 44 943312 56

2005 1686087 997604 59 688483 41

Rataan 1712939 650486 38 1062452 62Sumber: Dinas Pertanian Jatim, 2005

Hasil kunjungan di menunjukkan bahwa penggunaan benih berlabel pi Pada tingkat petani di beberapa daerah sentra produksi padi di Jawa Timur jauh lebih tinggi dari rata-rata provinsi. Pada tahun 2005, penggunaan benih padi berlabel diperkirakan telah mencapai sekitar 70%. Dari jumlah ini bahkan sekitar 80% petani sudah menggunakan benih kelas SS, sisanya 20% petani menggunakan benih berlabel kelas ES. Penggunaan benih ES pada umumnya pada MK, karena pasokan benih SS berkurang. Pergeseran secara tajam penggunaan benih ES ke SS mulai terjadi pada tahun 2005.

Data pada Tabel 3.5. menunjukkan bahwa penggunaan benih jagung berlabel di Jawa Timur masih rendah. Dalam periode 1996-2005, penggunaan benih jagung berlabel baru mencapai 12%. Pada tahun 2003, penggunaan benih jagung berlabel pernah mencapai 23%. Kalau dibandingkan dengan kenyataan di lapang diperkirakan angka penggunaan benih jagung berlabel ini pada Tabel 3.5 terlalu rendah.

Hasil kajian pada daerah-daerah sentra produksi jagung, penggunaan benih jagung hibrida di tingkat petani di Jawa Timur telah mencapai 90%. Sementara penggunaan benih jagung komposit dan lokal diperkirakan hanya sekitar 10%. Benih jenis ini ditanam petani di daerah marjinal (pinggiran dan dataran tinggi yang pasokan airnya terbatas).

6

Page 8: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

Tabel 3.5. Perkembangan Luas Jagung Berdasarkan Penggunaan Benih di Jawa Timur, 1996-2005 (ha)

TahunLuas Panen

(ha)

Berlabel Tidak Berlabel

ha (%) ha (%)

1998 1348462 132419 10 1216043 901999 1132407 89039 8 1043368 922000 1170481 140738 12 1029743 882001 1135832 200177 18 935655 822002 1043285 9442 1 1033843 992003 1169388 264871 23 904517 772004 1141671 176194 15 965478 852005 1156277 107178 9 1049100 91

Rataan 1162225 140007 12 1022218 88Sumber: Dinas Pertanian Jatim, 2005

Penggunaan benih kedelai berlabel baik menurut data provinsi maupun berdasarkan hasil kajian di tingkat petani pada daerah-daerah sentra produksi kedelai sangat rendah. Dalam sepuluh tahun terakhir (1996-2005), penggunaan benih kedelai berlabel di Jawa Timur baru mencapai sekitar 3% (Tabel 3.6). Namun demikiaan, benih kedelai tanpa label baik hasil produksi penangkar lokal maupun petani kedelai kualitasnya sebenarnya cukup baik (good seed) dan sama dengan benih berlabel. Pasar benih kedelai yang bersifat JABALSIM (Jalur Benih Antar Lapang dan Musim) yang sduah berjalan dengan baik salah satunya menyebabkan kenapa penggunaan benih kedelai berlabel belum banyak di Jatim.

Tabel 3.6. Perkembangan Luas Kedelai Berdasarkan Penggunaan Benih di Jawa Timur, 1996-2005 (ha)

TahunLuas Panen

(ha)

Berlabel Tidak Berlabel

ha (%) Ha (%)

1998 374093 4725 1 369368 991999 399065 4750 1 394315 992000 306328 4105 1 302223 992001 280653 6126 2 274527 982002 238136 6230 3 231906 972003 222452 3330 1 219122 992004 246940 17102 7 229838 932005 258266 15325 6 242941 94

Rataan 290741 7711 3 283029 97Sumber: Dinas Pertanian Jatim, 2005

Kinerja perkembangan penggunaan benih padi di Provinsi Sulawesi selama periode 1996-2005 disajikan pada Tabel 3.7. Penggunaan benih padi berlabel di Sulsel berkisar 23% - 30%, dengan rataan 20%. Pada tahun 2002 dan 2003 terlihat penggunaan benih berlabel tidak ada atau

7

Page 9: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

hanya 1%. Data dan informasi ini patut dicurigai, dimana salah satunya adalah tidak tercatatnya penggunaan benih berlabel secara baik.

Penggunaan benih berlabel di Sulsel sudah mencapai 40%. Namun kalau ditelusuri lebih lanjut sebenarnya penggunaan benih setara kelas ES sudah mencapai 80% . Untuk kasus Provinsi Sulsel, produsen benih padi terbesar PT Sang Hyang Seri (SHS) banyak melakukan mitra dengan petani penangkar dalam memproduksi benih padi. Banyak petani mitra dan keluarga/tetangganya menanam calon benih (belum disertifikasi) hasil produksi dari sawah sendiri. Sehingga benih yang ditanam petani mitra dengan tetangganya sebenarnya sudah setara kelas benih ES. Sehingga di Sulsel ada fenomena bahwa di mana banyak ada petani penangkar mitra dari PT SHS, penggunaan benih berlabel di daerah tersebut sangat rendah.

Tabel 3.7. Perkembangan Luas Padi Berdasarkan Penggunaan Benih di Sulsel, 1996-2005 (ha)

TahunLuas Panen

(ha)

Berlabel Tidak Berlabel

ha (%) ha (%)

1998 848368 242390 29 605977 711999 902286 234332 26 667953 742000 806041 187183 23 618858 772001 827265 214372 26 612892 742002 837878 0 0 837878 1002003 847305 9431 1 837873 992004 772773 228951 30 543821 702005 731783 215240 29 516542 71

Rataan 821712 166487 20 655224 80Sumber: Dinas Pertanian Sulsel, 2005

Data dari Dinas Pertanian Sulsel menunjukkan bahwa penggunaan benih jagung berlabel (jagung hibrida dan komposit) sangat rendah, yaitu dalam periode 1996-2005 rata-rata baru mencapai 2% (Tabel 3.8). Namun demikian hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan benih berlabel sebenarnya sudah cukup baik, diperkirakan ditas 40%. Perbandingan penggunaan benih berlabel jagung hibrida dan komposit sekitar 60% berbanding 40%. Fenomena ini menunjukkan bahwa pasar benih jagung berlabel di Provinsi Sulsel sebenarnya sudah berjalan cukup bagus, dan bahkan petani cukup respon dengan kehadiran jagung hibrida. Petani paham betul, bahwa pada lingkungan yang kondusif serta dibarengi dengan pemberian input berimbang, jagung hibrida terbukti mampu memberikan hasil lebih tinggi dari jagung komposit. Lebih lanjut petani mengakui, untuk lingkungan yang tidak kondusif (lahan marginal dan dataran tinggi), produksi jagung hibrida kurang stabil dan cenderung tidak sebagus jagung komposit.

Sama halnya dengan kondisi di Jawa Timur, penggunaan benih kedelai berlabel di Provinsi Sulsel juga masih sangat rendah. Rata-rata penggunaan benih kedelai berlabel dalam sepuluh tahun terakhir (1996-2005) hanya sekitar 2% (Tabel 3.9). Kondisi ini juga menunjukkan bahwa pasar benih kedelai di Sulsel tidak berjalan dengan bagus. Penyaluran benih masih banyak memakai pendekatan sistem JABALSIM. Peranan BPSP

8

Page 10: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

untuk sistem perbenihan tidak terlalu banyak. Demikian juga halnya dengan peranan kios-kios. Banyak penyaluran benih dari petani ke petani atau dari kelompok tani ke kelompok tani.

Tabel 3.8. Perkembangan Luas Jagung Berdasarkan Penggunaan Benih di Sulsel, 1996-2005 (ha)

TahunLuas Panen

(ha)

Berlabel Tidak Berlabel

ha (%) ha (%)

1998 338263 3362 1 334900 991999 241176 3575 1 237601 992000 241969 2655 1 239314 992001 191960 3583 2 188376 982002 205909 1161,8 1 204747 992003 213818 9295 4 204522 962004 196393 6925 4 189468 962005 210345 7235 3 203110 97

Rataan 229979, 4724 2 225254 98Sumber: Dinas Pertanian Sulsel, 2005

Tabel 3.9. Perkembangan Luas Kedelai Berdasarkan Penggunaan Benih di Sulsel, 1996-2005 (ha)

TahunLuas Panen

(ha)

Berlabel Tidak Berlabel

ha (%) ha (%)

1998 38526 411 1 38114 991999 33090 392 1 32697 992000 32709 439 1 32269 992001 14470 617 4 13852 962002 14482 287 2 14194 982003 2086 105 5 1981 952004 17986 287 2 17698 982005 16393 85 1 16308 99

Rataan 21217 328 2 20889 98Sumber: Dinas Pertanian Sulsel, 2005

Kebun benih sawit di Indonesia seluruhnya berada di Sumatra dengan total luas mencapai 999 ha pada tahun 2005 (Tabel 3.10). PPKS (Pusat Penelitian Kelapa Sawit) sebagai kebun benih tertua memiliki kebun bibit seluas 79,67 ha atau (7,97%), PT London Sumatera (Lonsum) 115,90 ha (11,50%), dan PT Socfindo 187 ha (18,71%). Selebihnya kebun bibit sawit dimiliki oleh empat perusahaan yang relatif baru baru, yaitu PT Bina Sawit Makmur (BSM), PT Dami Mas Sejahtera (DMS), PT Tunggul Yunus Estate (TYE), dan PT Tania Selatan (TS).

9

Page 11: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

Tabel 3.10. Luas kebun bibit sawit di Indonesia, 2005No.

Nama Luas (ha) Tahun Lokasi

1. PPKS Medan Stasiun Parindu

34,77 (3,48)

1984 Kab. Sanggau Kapuas, Kalbar

2.PPKS Medan Kebun Marihat

30,90 (3,09) 1984

Kab. Simalungun, Sumut

3. PPKS Medan Kebun Aek Pancur

14,00 (1,40)

1984 Kab. Deli Serdang, Sumut

4. PT Lonsum 52,10 (5,21)

1993 Kab Simalungun-Sumut

5. PT Socfindo 187,00 (18,71)

1984 Kab Deli Serdang-Sumut

6. PT Lonsum BLRS-SS 63,80 (6,38)

- Kab Mura-Sumsel

7. PT Bina Sawit Makmur 194,30 (19,44)

2004 Kab OKI-Sumsel

8. PT Dami Mas Sejahtera 128,60 (12,87)

2004 Kab Kampar-Riau

9. PT Tunggal Yunus Estate

192,00 (19,21)

2004 Kab Kampar-Riau

10.

PT Tania Selatan 102,00 (10,21)

2005 Kab OKI-Sumsel

Total 999,47 (100,00)

Keterangan: angka dalam kurung menyatakan prosentase terhadap total luas kebun benih sawitSumber: BPPMBP, 2005

Pada tahun 2005 luas perkebunan kelapa sawit nasional mencapai 5,74 juta ha dengan produksi CPO sebanyak 12 juta ton (Dirjen Perkebunan, 2005). Pembukaan lahan untuk perluasan perkebunan kelapa sawit terus dilakukan, baik untuk memproduksi CPO maupun menghasilkan biodiesel. Kegiatan ini memerlukan benih unggul yang relatif banyak.

Sebagai salah satu pusat perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia, di Sumatera Utara terdapat 78 produsen bibit kelapa sawit yang kualitas produknya tidak terjamin. Produksi tiap produsen bibit kelapa sawit tersebut berkisar antara 1.000 - 5.000 bibit per tahun. Disamping itu di provinsi ini juga terdapat tiga produsen benih kelapa sawit unggul yang sudah lama beroperasi, yaitu PT Socfin Indonesia (Socfindo), PT London Sumatera (Lonsum), dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Sekitar 80 persen pertanaman kelapa sawit di Indonesia dihasilkan oleh PPKS (Pikiran Rakyat, 2005).

10

Page 12: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

3.2. Sistem Produksi dan Distribusi Benih

Pengadaan Benih Bina dilakukan melalui produksi dalam negeri dan pemasukan (introduksi) dari luar negeri, yang dilakukan oleh Pemerintah, Produsen Benih BUMN maupun Swasta (nasional atau multinasional). Dalam pengadaannya, terdapat 4 (empat) kelas benih yaitu Benih Penjenis (BS), Benih Dasar (BD), Benih Pokok (BP) dan Benih Sebar (BR). Benih penjenis sampai dengan benih pokok merupakan benih sumber, dan BR merupakan benih yang langsung ditanam oleh petani.

Untuk tanaman pangan, sebagian BS dari vrietas unggul yang dihasilkan Badan Litbang diproduksi oleh breeder di Balai-Balai Penelitian, dan sebagian lainnya diproduksi oleh BUMN dengan supervisi dari breeder. BUMN dalam memproduksi BS belum mencerminkan mekanisme perlindungan HaKI dari varietas tersebut.

Prosedur baku untuk produksi BS telah dipahami oleh pemulia dan teknisi, tetapi prosedurnya tidak terdokumentasi (tidak tertulis) sehingga sulit dievaluasi kesesuaian (conformity) antara pelaksanaan produksi dengan prosedur baku. Hal ini dapat memperbesar peluang terjadinya penurunan (cacat) mutu dari BS yang dihasilkan. BS yang dihasilkan breeder di Balai Penelitian sebagian disalurkan ke produsen benih (BBI) melalui Direktorat Bina Perbenihan, sebagian lainnya disimpan di Balai Penelitian untuk kepentingan breeder dan peneliti lain. BS yang diproduksi oleh BUMN sebagian disimpan di BUMN yang bersangkutan untuk kepentingan mereka sendiri dan sebagian lain diserahkan kepada Direktorat Bina Perbenihan.

Untuk tanaman hortikultura tertentu (jeruk dan kentang), BS yang dihasilkan breeder disalurkan ke BBI terkait melalui Direktorat Bina Perbenihan.`Untuk tanaman pangan dan hortikultura lain (misal sayuran dan tanaman hias), permintaan BS dari swasta kepada breeder atau Balai Penelitian cukup banyak, tetapi masih menghadapi masalah dalam perlindungan HaKI. Benih tanaman sayuran didominasi oleh benih impor atau benih produksi swasta.

Pada Gambar 3.1 disajikan sistem pengadaan dan penyaluran benih secara formal. Varietas unggul yang baru dilepas (BS) yang dihasilkan oleh Puslitbang/Balai Komoditas, diteruskan oleh Direktorat Benih untuk disebarkan ke Balai Benih Induk (BBI) yang selanjutnya diperbanyak untuk menghasilkan FS. Benih FS tersebut kemudian diperbanyak oleh BUMN (PT SHS dan PT Pertani), Penangkar Swasta, dan Balai Benih Utama (BBU) yang masing-masing memproduksi SS atau ES. Kecuali di BBU, benih jenis SS tersebut selanjutnya diperbanyak menjadi benih jenis ES.

11

Page 13: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

Gambar 3.1. Pengadaan dan penyaluran benih secara formal

BS = Breeder seed, FS = Foundation seed, SS = Stock seed, dan ES = Extension seed. Badan Litbang/Puslitbang sebagai institusi hulu penghasil varietas dan produsen Benih Penjenis (BS). Direktorat Jenderal TPH/Dit. Bina Perbenihan, sebagai institusi pengambil kebijakan dan pembinaan teknis agar benih tersedia

dengan 6 tepat. Propinsi/Dinas Pertanian Propinsi sebagai institusi pembinaan tingkat propinsi untuk meningkatkan ketersediaan benih sesuai

dengan konsep 6 tepat

Dari penangkar swasta benih jenis ES ini langsung disebarkan ke petani, sedangkan dari PT SHS dan PT Pertani disebarkan ke daerah melalui penyalur yang telah ditunjuk. Sementara dari BBU benih SS diteruskan ke BPP yang sekarang di beberapa wilayah sudah satu atap dengan Dinas Pertanian Kabupaten. Di tingkat BPP, benih jenis SS ini diperbanyak menjadi benih jenis ES yang selanjutnya diteruskan kepada petani.

Sementara pada sistem pengadaan dan penyaluran benih yang riil yang di lapangan (Gambar 3.2) menunjukkan bahwa varietas unggul baru yang dilepas oleh Puslitbang Komoditas disamping diteruskan oleh Direktorat Benih ke BBI seperti yang terjadi pada sistem pengadaan dan distribusi secara formal, Puslitbang Komoditas pun melalui Balai-Balai komoditasnya dapat memperbanyak benih BS ini di masing-masing kebun percobaannya. Pada sistem ini, BUMN dan penangkar swasta selain mendapatkan benih jenis FS dari BBI bisa juga memperolehnya langsung ke Puslibang/Balai Komoditas yang selanjutnya di perbanyak menjadi benih SS dan ES. Bahkan ada beberapa penangkar swasta/lokal mendapatkan benih BS langsung ke Puslitb/Balit Komoditas. Ada perilaku yang berbeda antara pasar benih khususnya padi di Jawa Timur dan di Sulawesi Selatan. Pada sistem riil jenis benih yang dijual ke petani terutama oleh penangkar swasta kebanyakan masih merupakan jenis benih SS, seperti yang terjadi di Propinsi Jawa Timur. Sedangkan di Propinsi Sulawesi Selatan jenis benih yang diproduksi penangkar swasta pada umumnya ES.

12

GUBERNUR

DIPERTA I

DITJEN TPH

DITBIN BENIH

BADAN LITBANG/BATAN/PT

PUSLITBANGTAN

BBIBS-FS

BBUFS-SS

BBPSS-ES

PENANGKARSS-ES

BPSB BUMN/DBS-FS-SS

PEDAGANG-PENYALUR-PENGECER BENIH

PETANI - PETANI - PETANI

ES

SS

ES

ES

ES

ES

ES

SS

FS

BSBS/FSBS

BSBS

Page 14: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

Perbedaan jenis benih yang diproduksi tersebut sangat terkait dengan respon pasar benih. Para penanggkar lokal/petani penangkar benih untuk kasus Propinsi Jawa Timur ada dua jenis benih yang dihasilkannya yaitu benih SS yang bahan bakunya (benih jenis FS) bersumber dari BBI dan benih jenis ES yang bahan bakunya (benih jenis SS) bersumber dari BBU atau dari BPP (Dinas Pertanian kabupaten setempat). Pada beberapa wilayah selain BPP (Dinas Pertanian kabupaten) memberikan benih kepada penangkar lokal, sekaligus juga melakukan pembinaan dan bimbingan dalam upaya mendapatkan produksi benih dengan mutu yang tinggi. Sementara itu, pada kasus Propinsi Sulawesi Selatan, penangkar lokal pada umumnya hanya memproduksi benih jenis ES. Benih yang ditanam petani di semua lokasi penelitian pada MH umumnya benih berlabel, akan tetapi pada MK I atau MK II relatif kurang banyak petani menggunakan benih tidak berlabel. Benih jenis ini pada umumnya berasal dari hasil panen sebelummnya, pertukaran antar petani, ataupun membeli dari pasar lokal.

13

Page 15: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

Puslitbang KomoditasPuslitbang Komoditas

Kebun Percobaan

Kebun Percobaan

BPPBPPBBUBBU

Petani Penangkar

Petani Penangkar

BBIBBIDitjen BenihDitjen Benih

BS BS FS SS/ES

BS

FS SS/ES

SS/ES

SS/ES

Petani

Petani

SS

ES

DsitributorDsitributorPenangkar Swasta Penangkar Swasta PenyalurPenyalur

Petani Menyimpan benih sendiriPertukaran benih antar petaniPetani membeli benih dari pasar lokal

Petani Menyimpan benih sendiriPertukaran benih antar petaniPetani membeli benih dari pasar lokal

Gambar 3.2. Sistem pengadaan dan distribusi benih padi dan kedelai di lapangan (Bastari, 1995)

BUMN PT SHS

PT Pertani

BUMN PT SHS

PT PertaniES

SS

SS

Penangkar Swasta

15

Page 16: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

3.3. Peraturan PerbenihanTahap Awal Industri Benih Formal

Pada tahun 1971 Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden No. 27/1971 sebagai acuan resmi untuk membentuk Badan Benih Nasional (BBN). Badan ini langsung dikendalikan oleh Menteri Pertanian. Fungsi umum BBN adalah membantu Menteri Pertanian dalam merencanakan dan menyiapkan kebijakan perbenihan. Tugas khusus BBN adalah: (i) merencanakan dan merumuskan peraturan pemerintah tentang produksi dan pemasaran benih, dan (ii) mengusulkan kebijakan yang terkait dengan peraturan perbenihan termasuk penilaian atau penghapusan jenis, varietas, kualitas benih, serta pengawasan produksi dan pemasaran benih (Keputusan Presiden, 1971).

Untuk melaksanakan Keputusan Presiden tersebut, Menteri Pertanian membuat Keputusan Menteri pertanian No. 461/1971 tentang struktur organisasi, uraian tugas, dan aturan tugas BBN. Struktur BBN terdiri dari Sekretariat, Tim Penilai dan Pelepasan Varietas, dan Tim Pembinaan, Pengawasan, dan Sertifikasi (Keputusan Menteri Pertanian, 1971b). Berdasarkan Keputusan Menteri tersebut para pejabat BBN dipilih dan ditetapkan. Pada tahun 2001, sejumlah pejabat BBN dilantik berdasarkan Keputusan Menteri No. 3663/2001 untuk menggantikan para pejabat yang sebelumnya dilantik pada tahun 1996. Direktur Jenderal Tanaman Pangan diberi tugas sebagai Kepala BBN. Posisi wakil ketua dijabat oleh Direktur Jenderal Tanaman Hortikultura dan Direktur Jenderal Tanaman Perkebunan. Anngota BBN berasal dari berbagai institusi dibawah Departemen Pertanian dan organisasi terkait (Keputusan Menteri Pertanian, 2001).

Pada tahun 1971 Keputusan presiden No. 27/1971 diberlakukan untuk pembinaan dan pengawasan pemasaran benih, sertifikasi benih, dan penentuan standar benih impor. Semua kebijakan yang terkait dengan komoditas benih tersebut merupakan wewenang Menteri Pertanian (Keputusan Presiden, 1971). Untuk melaksanakan kebijakan perbenihan secara nasional berdasarkan Keputusan Presiden tersebut , Menteri Pertanian membuat Keputusan No. 461 (Keputusan Menteri Pertanian, 1971a).

Walaupun secara resmi Menteri Pertanian masih mempunyai wewenang untuk mengawasi pemasaran benih, sertifikasi benih, dan persyaratan standar untuk impor benih, tetapi sebenarnya wewenang Menteri Pertanian makin berkurang. Saat ini Departemen Pertanian sudah dipecah menjadi tiga Departemen, yaitu Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, dan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jadi, semua benih perikanan dan kehutanan diluar wewenang Menteri Pertanian. Dengan demikian dirasa perlu membuat aturan formal yang memberi wewenang ketiga departemen tersebut untuk mengatur komoditas benih sesuai dengan tugas dan fungsi setiap departemen. Perdagangan Benih

Undang-Undang Budidaya Tanaman No. 12/1992 disahkan pada tangal 30 April 1992. Undang-Undang ini mengatur pelaksanaan budidaya tanaman secara umumtermasuk pengolahan lahan, budidaya, perlindungan tanaman, perawatan tanaman, dan sebagainya. Masalah benih secara spesifik dibahas pada Pasal 8 sampai 17 UU tersebut. Bahasan pokok pada pasal-pasal tersebut adalah pengembangan varietas berdaya hasil tinggi, introduksi varietas dari luar negeri, pelepasan varietas, sertifikasi dan distribusi benih. Pasal 60 dan 61 membahas sangsi bagi pelanggaran UU. Misalnya, benih tanpa label akan dikenakan

16

Page 17: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

denda maskimal Rp 250 juta. Juga secara khusus disebutkan jika benih yang dipasarkan tidak sesuai dengan isi label maka produsen bisa dikenakan sangsi. Juga dilarang membuat sertifikasi benih tanpa ijin resmi dari lembaga yang berwenang, yaitu Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih atau BPSB (UU No. 12, 1992). Sertifikasi benih perkebunan dilaksanakan oleh Balai Pengawasan dan Pemasaran Mutu Benih (BP2MB).

Menindaklanjuti UU No. 12 tahun 1992, Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 44/1995 tentang benih tanaman yang mencakup penggunaan sumberdaya plasma nutfah, introduksi benih dan klon dari luar negeri, pengujian dna pelepasan varietas, produksi dan distribusi varietas komersial berdaya hasil tinggi. Misalnya, benih yang diintroduksi dari luar negeri harus mendapat persetujuan dari Menteri Pertanian. Pelepasan varietas berdaya ahsil tinggi dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan Menteri Pertanian (Peraturan Pemerintah, 1995).

Pengujian, penilaian, dan pelepasan vairietas baru dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian No. 902/96 dan 737/96. Kedua keputusan tersebut mengatur pelepasan varietas baru baik yang berasal dari pemuliaan di dalam negeri maupun impor dari negara lain. Varietas baru ditetapkan sebagai varietas berdaya hasil tinggi setelah uji adaptasi lapang sesuai dengan penilaian yang dilakukan para ahli yang bersangkutan. Beberapa varieta sharus diuji selama beberapa musim dan di berbagai lokasi, dan satuan pengujian sesuai dengan jenis tanaman. Varietas tanaman yang sangat dipengaruhi oleh preferensi konsumen seperti tanaman hias, bisa dikecualikan dari uji adaptasi dan pengamatan. Uji adaptasi dapat dilakukan oleh BPSB, BPTP, lembaga pemuliaan, atau lembaga swasta bekerjasama dengan lembaga pemuliaan milik pemerintah (Keputusan Menteri Pertanian, 1996 dan 1998b).

Keputusan Menteri Pertanian No. 803/97 berkaitan dengan sertifikasi dan pengawasan benih komersial berdaya hasil tinggi. Sertifikasi benih bertujuan untuk menjamin kemurnian dan keaslian varietas, dan untuk menjamin suplai benih berkualitas secara berkelanjutan. Aturan tersebut ditujukan untuk benih yang diperbanyak dari benih penjenis (BS) yang dikelompokkan menjadi benih pokok (FS), benih pokok (SS), dan benih sebar (ES). Benih penjenis adalah benih yang diproduksi oleh dan dibawah pengawasan pemulia tanaman. Benih dasar adalah turunan pertama dari benih penjenis. Benih pokok adalah turunan pertama benih penjenis atau benih dasar. Benih sebar adalah tutunan pertama benih pokok maupun benih dasar. Benih hibrida adalah hasil persilangan yang dikelompokkan sebagai benih sebar. BPSB diberi wewenang untuk melaksanakan sertifikasi benih tanaman pangan dan hortikultura (Keputusan Menteri Pertanian, 1997).

Ijin untuk benih komersial berdaya hasil tinggi, impor benih, dan ekspor benih komersial berdaya hasil tinggi diatur dalam Keputusan menteri 1017/98. Produksi benih komersial bisa dilakukan oleh perorangan, lembaga resmi maupun instansi pemerintah. Modal untuk produksi benih bisa dimiliki oleh perorangan atau perusahaan Indonesia, perusahaan patungan, atau sepenuhnya dimiliki oleh investor asing. Produsen benih harus bersedia diinspeksi setiap tahun oleh Direktorat Jenderal yang berkepentingan.

Impor benih bisa dilakukan oleh perorangan, lembaga resmi atau lembaga pemerintah. Ijin untuk impor benih dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal atau Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Impor benih diijinkan baik untuk tujuan penelitian maupun non penelitian jika benih

17

Page 18: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

tersebut tidak tersedia di dalam negeri dan harus mengikuti peraturan karantina tanaman.

Ekspor benih bisa dilaksanakan oleh perorangan, lembaga resmi atau lembaga pemerintah dan harus memperoleh ijin yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal terkait. Ekspor benih diijinkan jika memmenuhi syarat-syarat berikut, yaitu suplai benih di dalam negeri mencukupi, produksi benih untuk tujuan ekspor, dan benih memenuhi kualitas standar yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian (Keputusan menteri Pertanian, 1998a).

Selanjutnya perlu dibuat peraturan tentang produksi benih domestik dengan menggunakan benih impor. Benih impor yang diproduksi di dalam negeri akan mendorong pertumbuhan industri benih domestik. Lebih jauh lagi, negara kita juga akan memperoleh nilai tambah dari benih yang diproduksi di dalam negeri.Sertifikasi Benih

Untuk melaksanakan Keputusan Menteri Pertanian No.460/1971, Direktur Jenderal Tanaman Pangan pada tahun 1984 mengeluarkan keputusan tentang prosedur sertifikasi benih dengan semua persyatan yang diperlukan. Dengan keputusan tersebut, sertifikasi benih dilaksanakan oleh Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) yang meliputi benih dasar, benih pokok, dan benih sebar. Keputusan tersebut menguraikan persyaratan untuk sertifikasi benih meliputi areal sertifikasi, permohonan sertifikasi, inspeksi lapang, pengawasan pengolahan benih dan gudang penyimpanan, pengambilan contoh benih, uji laboratorium, dan pemberian label (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, 1984).

Pada tangal 5 Juli tahun 2000 Direktur Benih Tanaman Pangan mengeluarkan memoradum kepada seluruh Kepala BPSB di Indonesia tentang beberapa produsen benih yang diberi wewenang untuk melakukan sertifikasi sendiri. Memorandum tersebut merujuk pada sertifikat yang diterbitkan oleh Lembaga Sistem Sertifikasi Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (LSSM BTPH) pada bulan maret dan April 2000. Ada enam produsen benih yang menerima sertifikat tersebut, yaitu: (i) PT Benihinti Subur Intani (BISI) di kabupaten Kediri, Jawa Timur, untuk benih padai komposit, benih jagung hibrida dan komposit, dan benih hortikultur; (ii) PT Pioneer Hibrida Indonesia (sekarang bernama PT Dupont Indonesia) di Kabupaten Malang, Jawa Timur, untuk benih jagung hibrida; (iii) PT Pioneer Hibrida Indonesia (sekarang bernama PT Dupont Indonesia) di Kabupaten Kabanjahe, Sumatra Utara, untuk benih jagung hibrida; (iv) PT East West Seed Indonesia di Purwakarta, Jawa barat, untuk benih hortikultura; (v) PT Sang Hyang Seri UBD Sukamandi, Jawa Barat, untuk benih padi komposit; dan (vi) PT Fitotex Unggul, Jakarta untuk benih hortikultura.

Sertifikat tersebut memberi wewenang kepada produsen benih yang bersangkutan untuk melabel produk benih mereka sendiri tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari BPSB tetapi harus memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Tanaman Pangan pada tahun 1984. Tugas BPSB untuk para produsen benih tersebut terbatas pada pengawasan eksternal seperti mengumpulkan data luas tanam dan volume produksi benih. Walaupun demikian BPSB juga tetap bertugas mengawasi benih yang dipasarkan, misalnya kesesuaian label dengan produk benih di dalam kemasan dalam hal kadar air, kemurnian, dan daya tumbuh. Disamping itu benihyang sudah kadaluwarsa harus ditarik dari peredaran atau duperpanjang labelnya tetapi harus lulus uji ulang. Sertifkat tersebut hanya berlaku dua tahun dan bisa diperpanjang

18

Page 19: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

dua tahun lagi setelah dilakukan penilaian oleh LSSM BTPH. Pada bulan Maret dan April 2002 LSSM BTPH memperpanjang sertifikat untuk keenam produsen benih tersebut (LSSM, 2002).

Disamping wewenang sertifikasi benih yang diberikan kepada PT BISI dan PT Dupont Indonesia, BPSB masih diberi mandat untuk melakukan sertifikasi benih yang diproduksi produsen lokal termasuk produk PT Sang Hyang Seri diproduksi di luar Sukamandi. Produsen benih harus mengajukan permohonan sertifikasi 10 hari sebelum tanam. Biaya sertifikasi benih adalah Rp 2.000 per ha untuk benih jagung hibrida dan Rp 1.500 per ha untuk benih jagung komposit. Tahapan sertifikasi benih harus diikuti secara urut oleh produsen benih termasuk pembayaran semua biaya uji laboratorium dan pelabelan ulang.

Pemberian sertifikasi benih oleh LSSM BTPH mempunyai implikasi bahwa secara bertahap pemerintah menerapkan mekanisme pasar. Berdasarkan penilaian secara berkala, produsen benih tidak perlu bergantung pada sertifikasi yang dilaksanakan oleh BPSB tetapi mereka melabel benih produksi mereka sendiri. Konsumen akan menilai apakah benih yang disertifikasi oleh LSSM BTPH memenuhi standar mutu. Di pihak lain, kebijakan tersebut kuga mengurangi biaya produksi benih terutama untuk produsen benih skala besar.Perlindungan Varietas Tanaman

Pada tanggal 20 Desember tahun 2000 pemerintah memberlakukan Undang-undang Perlindungan Varietas Tanaman. Melalui UU ini pemulia tanaman dan sektor swasta didorong untuk berperan serta dalam pemuliaan varietas baru. Hak cipta pemulia meliputi pemberian nama varietas baru, memperoleh royalti, menggunakan varietas baru, melarang pihak lain menggunakan varietas baru tersebut, dan menyerahkan hak cipta kepada pihak lain. Pemulia tanaman harus mendaftarkan varietas baru tersebut kepada Kantor Perlindungan Varietas Tanaman untuk mendapatkan hak cipta. Varietas yang akan didaftarkan harus memiliki karakter khusus yang bisa dibedakan dengan varietas lain, yaitu baru, seragam, dan stabil. Varietas baru bisa bersifat transgenik maupun non transgenik (Effendi, 2001).

Untuk melaksanakan aturan yang tertulis pada Pasal 6 ayat 7 dan Pasal 7 ayat 4 UU Perlindungan Tanaman yang diberlakukan pada tahun 2000, pemerintah mengesahkan peraturan tentang pemberian nama, pendaftaran, dan penggunaan varietas lokal untuk menghasilkan varietas turunan esensial harus memenuhi berbagai persyaratan seperti identital varietas lokal, tidak menggunakan nama alam, tidak menggunakan simbol negara dan tidak menggunakan merek dagang. Terkait dengan era otonomi daerah, Bupati/walikota atau gubernur mewakili masyarakat yang meiliki varietas lokal bisa mendaftarkan varietas lokal ke Kantor Perlindungan Varietas Tanaman. Langkah berikutnya adalah pengumuman yang dibuat oleh Kantor Perlindungan Varietas Tanaman terakit nama dan pendaftaran varietas lokal (Peraturan Pemerintah, 2004).

Perlindungan varietas tanaman memberi kepastian bahwa pemulia tanaman memiliki hak cipta atas varietas yang mereka temukan. Jika kebijakan tersebut dilaksanakan secara efektif, para pemulia akan terdorong untuk terus berkarya menghasilkan varietas baru.

3.4. Pola Kemitraan Produsen dan Penangkar Benih

Perusahaan benih tanaman pangan BUMN, yaitu PT SHS dan PT Pertani melakukan kemitraan dengan penangkar dalam memproduksi benih padi, jagung, dan kedele. Perjanjian dilaksnakan secara formal

19

Page 20: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

dengan melibatkan kelompok penangkar yang potensial dalam hal cara bercocdok tanam mapun potensi produktivitas lahan. Walaupun demikian, jika permintaan cukup banyak dan waktunya mendesak, kedua BUMn melakukan opkup dengan membeli produksi petani lalu diproses menjadi benih. Dalam hal ini peluang dihasilkan benih berkualitas rendah adalah sangat besar.

Produsen benih tanaman pangan swasta lokal maupun multinasional juga melakukan kemitraan dengan petani. Swasta multinasional lebih ketat dalam perjanjian dan pengawasan produksi di lapang. Sedangkan swasta lokal lebih informal dalam membuat perjanjian kemitraan, sedang pengawasan relatif ketat dilakukan. Produsen swasta lokal juga membeli bakal banih dari produsen lain yang lebih kecil jika permintaan cukup tinggi sementara produksi yang ada tidak mencukupi permintaan pasar.

Diantara produsen bibit sawit, hanya PPKS yang melakukan kerjasama penjualan benih dengan kelompok tani/pengecer benih. Sistem kerjasama pemasaran bibit sawit dilterapkan di Sumatra Utara dan disebut wara laba. Produsen bibit sawit lainnya tidak bersedia melakakukan wara laba karena rawan pemalsuan sertifikat penjualan bibit yang dialkukan oleh pengecer.

3.5. Perilaku Petani Dalam Menggunakan Benih

Benih merupakan salah satu input produksi yang mempunyai kontribusi cukup signifikan terhadap hasil produksi. Dengan demikian, dalam suatu sistem produksi pertanian diperlukan adanya ketersediaan benih dengan varietas yang berdaya hasil tinggi dan mutu yang baik. Daya hasil yang tinggi serta mutu yang terjamin pada umumnya terdapat pada varietas unggul. Namun manfaat dari suatu varietas akan dirasakan oleh petani atau konsumen lainnya apabila benihnya tersedia dalam jumlah yang cukup dengan harga yang sesuai. Dengan demikian, dalam pertanian modern, benih berperan sebagai delivery mechanism yang menyalurkan keunggulan teknologi kepada clients (petani dan konsumen lainnya).

Pada dasarnya petani cukup tahu bahwa benih bersertifikat umumnya memberikan hasil yang lebih baik dibanding benih tidak bersertifikat. Hasil kajian di Provinsi Jawa Timur menunjukkan adanya prilaku yang berbeda di tingkat petani dalam menggunakan benih. Berturut-turut akan diinformasikan alasan kenapa petani menggunakan benih berlabel dan benih tidak berlabel.

Alasan Petani Menggunakan Benih Bersertifikat

Pada dasarnya alasan petani menggunakan benih bersertifikat, karena benih jenis ini mampu memberikan produksi yang lebih tinggi dari benih tidak bersertifikat. Dengan penggunanan input produksi yang relatif tidak banyak berbeda, benih bersertifikat mampu memberikan produksi sekitar 10-30% lebih tinggi dari benih tidak bersertifikat. Peningkatan produksi tertinggi terutama terjadi pada penggunaan benih jagung bersertifikat (hibrida) mencapai 30%, disusul benih padi bersertifikat (15%-25%), dan benih kedelai bersertifikat 10%. Dengan demikian, walaupun dibutuhkan biaya benih lebih banyak ternyata usahatani padi, jagung, dan kedelai yang menggunakan benih bersertifikat mampu memberikan keuntungan yang lebih menarik dibanding dengan usahatani dengan yang menggunakan benih tidak berlabel. Usahatani akan mampu

20

Page 21: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

memberikan keuntungan yang lebih atraktif lagi jika harga oututnya semakin tinggi. Selain produktivitas, alasan petani menggunakan benih bersertifikat karena penampakan tanaman lebih serempat (sedikit campuran varietas lainnya, CVL), sehingga pada akhirnya lebih memudahkan dalam pemeliharaan.

Daya beli petani terhadap benih bersertifikat cukup tinggi. Hal ini terlihat dalam memutuskan untuk menentukan jenis benih yang akan ditanam lebih banyak ditentukan oleh kualitas benih, bukan harga. Petani akan memilih benih dengan kualitas yang lebih baik walaupun harganya lebih mahal. Fakta di lapang menunjukkan bahwa hampir 80% petani padi di Jawa Timur lebih memilih benih bersertifikat kelas SS yang notabena kualitasnya lebih baik dari kelas ES, walaupun benih jenis ini harganya jauh lebih mahal dibanding dengan ES. Sebaliknya benih padi kelas ES yang sebagian besar diproduksi oleh PT SHS dan PT Pertani permintaannya sangat terbatas di Jawa Timur. Sama-sama benih kelas ES, petani lebih cenderung membeli dari produksi penangkar lokal/swasta yang harga lebih mahal, karena kualitasnya relatif lebih baik. Karena keterbatasan petani, secara eksplisit mereka tidak pernah mengadu langsung ke PT SHS dan PT Pertani berkaitan dengan mutu benih, namun demikian secara implisit protes yang dilakukan petani terhadap kedua produsen benih ini terlihat dari beralihnya petani ke produsen lain atau lebih bahkan ada yang memproduksi benih sendiri (memilih dari hasil panennya sendiri tanpa label).

Hal yang sama juga terjadi pada petani jagung dan kedelai. Daya petani terhadap benih berlabel cukup tinggi. Terbukti petani cukup mampu membeli benih jagung hibrida walaupun harganya mencapai Rp 36.000/kg. Untuk jagung komposit, petani lebih memilih produksi perusahaan multinasional dibanding dari PT SHS dan PT Pertani, karena kualitasnya lebih baik, walaupun harga benih jagung dari perusahaan mutinasional lebih tinggi Rp 10.000 berbanding Rp 6.000. Kondisi ini menunjukkan bahwa petani cukup mampu untuk membeli benih bersertifikat, asalkan dimbangi dengan kualitas yang semakin baik.

Petani cukup akses terhadap benih bersertifikat. Pada umumnya, ketersediaan benih berlabel di kios-kios cukup memadai baik dilihat dari volume maupun jenis varietas serta asal produsen. Bahkan seperti kasus di di Kabupaten Mojekerto, Jombang, dan Kediri di Provinsi Jawa Timur, akses petani terhadap benih tidak sebatas pasar kabupaten dan provinsi saja, melainkan sudah antar provinsi. Di kios-kios banyak dijumpai benih padi yang di produksi oleh produsen-produsen swasta di luar kabupaten dan provinsi, seperti Perusahaan Penangkar Benih Santosa dari Kabupaten Banyuwangi dan Perusahaan Penangkar Benih Kerja (PP kerja) dari Jawa Tengah.

Frekuensi penggunaan benih bersertifikat di tingkat petani cukup bervariasi. Untuk benih padi, dalam setahun (2x tanam padi), frekuensi penggunaan benih padi bersertifikat berkisar 1- 2 kali. Bagi petani yang menggunakan benih bersertifikat 1 kali ditemui pada petani yang pada MH menggunakan benih SS, sehingga benih untuk MK dapat diperoleh dari hasil seleksi panen MH . Sementara penggunaan benih berlabel 2 kali setahun umumnya dijumpai pada petani baik MH maupun MK menggunakan benih ES. Namun demikian, frekuensi penggunaan benih berlabel 2 kali setahun juga sering dijumpai pada petani yang menggunakan benih SS baik pada MH maupun MK, karena kelompok petani ini ingin penampakan tanamannya tetap seragam. Sementara pada

21

Page 22: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

petani jagung, penggunaan benih bersertifikat dilakukan pada setiap musim tanam.

Frekuensi penggunaan benih kedelai bersertifikat di Provinsi Jawa Timur sangat beragam, mengingat masa kadaluarsa benih ini sangat pendek. Salah satu kesulitan yang dihadapi BPSB dalam melakukan pengawasan dan sertifikasi untuk benih kedelai adalah perdagangannya di tingkat petani sangat cepat. Hal ini juga diungkapkan oleh para penangkar. Seringkali ada keterlambatan dalam proses pelabelan, padahal benih yang didaftarkan untuk dilabel sudah lebih dulu ditanam petani. Padahal itu sebenarnya sudah termasuk katagori benih bersertifikat. Penyebaran benih berlabel untuk benih kedelai oleh PT SHS dan PT Pertani pada umumnya melalui program intensifikasi yang dicanangkan oleh pemerintah. Sementara di tingkat petani, pasar kedelai tanpa intervensi pemerintah lebih banyak jalinan arus benih antar lapang dan musim(JABALSIM). Tampaknya pasar benih kedelai dengan sistem JABALSIM sudah cukup bagus. Peranan pemerintah sebaiknya sebagai pengawasan dan fasilitator saja. Untuk daerah-daerah yang pasar kedelai dengan sistem JABALSIM sudah jalan, subsidi benih kedelai akan lebih baik jika dialihkan pada pembinaan penangkar lokal.

Alasan Petani Menggunakan Benih Tidak Bersertifikat

Tidak ada jaminan benih bersertifikat yang beredar di kios/petani memberikan tingkat produksi yang lebih baik dari benih yang tidak bersertifikat merupakan salah satu satu alasan yang menyebabkan petani tidak menggunakan benih bersertifikat. Banyak petani yang mengeluh dan mempertanyakan kenapa benih padi berlabel khususnya yang diproduksi oleh PT SHS dan PT Pertani tidak ada jaminan daya tumbuh dan produktivitas benih lebih baik dari benih tidak berlabel. Kurang percayanya petani terhadap benih berlabel ES diindikasikan oleh banyaknya petani yang menggunakan benih hasil produksi sendiri khususnya pada musim kemarau. Pemanfaatan benih sendiri pada MK merupakan hasil seleksi dari hasil panen pada MH yang menggunakan benih SS. Sehingga kebanyakan petani dalam setahun membeli benih berlabel hanya sekali saja yaitu pada MH dan pada musim berikutnya (MK I) menggunakan benih produksi sendiri. Produksi benih ini memberikan tingkat produksi yang hampir sama dengan benih padi berlabel kelas ES. Kurang bagusnya kualitas benih yang dihasilkan terutama oleh dua BUMN yang ditunjuk pemerintah, karena juga sering kali disebabkan oleh adanya proyek-proyek dari pemerintah yang bersifat dadakan (diadakan pada tahun berjalan) yang membutuhkan benih dalam jumlah yang cukup besar, sehingga untuk memenuhi permintaan akan benih tersebut, sebenarnya dari lahan milik PT SHS atau PT Pertani sendiri tidak mencukupi, sehingga kekurangannya harus didatangkan dari pertanaman padi petani yang sebelumnya ditujukan untuk konsumsi, bukan untuk benih dengan cara opkup. Benih yang diproduksi dari hasil panen padi untuk konsumsi, mutunya tidak akan jauh berbeda dari benih produksi petani sendiri yang bersumber dari hasil seleksi panen sebelumnya.

Alasan berikutnya petani tidak menggunakan benih berlabel adalah masalah harga. Petani menjadikan harga benih berlabel cukup mahal sebenarnya lebih dikaitkan dengan kualitas benih itu sendiri. Artinya antara harga yang dibayarkan petani tidak sebanding dengan kualitas benih itu sendiri. Namun kalau dicermati secara mendalam, pada umumnya petani yang tidak menggunakan benih berlabel sebenarnya

22

Page 23: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

mempunyai daya beli yang cukup memadai, walaupun pada sebagian kecil petani mengatakan karena terbatasnya permodalan merupakan salah satu alasan juga belum menggunakan benih bersertifikat. Petani mengatakan mau membeli benih dengan harga relatif mahal asalkan mutunya terjamin. Fenomena ini menunjukkan sekalipun pada kelompok petani yang belum menggunakan benih bersertifikat pada dasarnya cukup respon terhadap kualitas benih. Permintaan benih di tingkat petani relatif dominan dipengaruhi oleh kualitas dibanding oleh pergerakan harganya. Seperti diungkap sebelumnya, fenomena ini dapat dicermati pada petani padi di Propinsi Jawa Timur yang cukup banyak menggunakan benih padi jenis SS terutama hasil produksi dari penangkar swasta, padahal dari segi harga benih kelas ini tentunya lebih mahal dari jenis ES. Faktanya menunjukkan petani lebih memilih untuk menggunakan benih padi jenis SS. Menurut petani, benih padi jenis SS disamping kualitasnya lebih baik terbukti dari daya tumbuhnya lebih tinggi serta terhindarnya dari CVL (campuran varietas lain) Indikasinya adalah tinggi pertanaman padi di persawahan serempak, dan hasil panen dapat dipilih untuk benih musim berikutnya yang kualitasnya tidak kalah dengan benih kelas ES.

Selain masalah kualitas, harga, dan permodalan/daya beli, tidak aksesnya petani terhadap benih bersertifikat juga merupakan salah satu penyebab kenapa petani tidak menggunakan benih bersertifikat. Alasan ini terutama terjadi pada petani yang lokasinya terisolasi/terpencil, sehingga belum ada kios saprodi di tempat sebagai penyedia benih bersertifikat.

Sebagian petani kelapa sawit sampai saat ini masih menggunakan bibit sawit palsu. Beberapa alasan masih banyak bibit sawit palsu yang beredar dan digunakan oleh petani antara lain: (i) pemahaman mengenai bibit yang baik dan benar masih relatif terbatas, khususnya untuk petani kecil; (ii) akses untuk mendapat kecambah unggul juga tidak mudah, selain karena sebagian pekebun kurang mengenal sumber benih (kecuali "Marihat"), juga regulasi distribusi benih dari produsen ke konsumen dikontrol oleh pemerintah (ada surat menyurat dan SP2BKS yang harus diurus oleh konsumen atau pembeli bibit sawit) dan hal ini agak menyulitkan jika kebutuhan benih hanya sedikit dan petani tinggal agak jauh dari pusat pemerintahan (daerah); (iii) sampai 2005, permintaan benih lebih tinggi dari penawaran/ketersediaan benih.  Faktor ini tidak terjadi lagi (atau sangat minimal) dengan masuknya empat produsen bibit sawit baru (PT Dami Mas, PT Bina Sawit Makmur, PT Tunggal Yunus dan PT Tania Selatan); (iv) teknis pemalsuan kecambah sangat mudah dan murah; (v) konsekuensi hukum yang sangat ringan untuk para pemalsu (meskipun UU-nya cukup keras, yiatu UU 12 tahun 1992, dalam realita implementasi di lapangan tidak efektif).

Upaya mengurangi peredaran benih palsu sebenarnya sederhana jika UU dan peraturan dapat dilaksanakan secara konsekuens.  Walaupun demikian berdasarkan pengamatan pelaku pasar selama 10 tahun terakhir tampaknya sulit berharap hal tersebut dapat terlaksana dalam waktu dekat, walau test case untuk memberi efek jera pernah diupayakan (seperti di Bengkulu). Sampai UU/Peraturan yang ada dapat dijalankan dengan sungguh-sungguh, langkah sosialisasi penggunaan benih unggul merupakan pilihan yang cukup efektif, walau tidak dapat dibilang efisien. Pemerintah dapat memanfaatkan UPTD2 Benih di daerah untuk memberikan penyadaran kepada pekebun tentang konsekuensi penggunaan benih palsu. Produsen, baik sendiri-sendiri maupun melalui

23

Page 24: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

Forum Kerjasama Produsen Benih Kelapa Sawit (FKPB-KS) juga harus mengupayakan langkah sosialisasi tersebut.

3.5. Kelayakan Subsidi Benih

Pasar benih padi di Jatim sekitar 80%-90% diisi oleh produsen swasta. Jenis benih berlabel yang diproduksi swasta hampir semuanya kelas SS sesuai dinamika permintaan pasar. Sementara pangsa pasar PT SHS dan PT Pertani diperkirakan hanya sekitar 10%-20%, itupun umumnya pada MK dimana pasokan benih kelas SS dari produsen swasta tidak mencukupi. Petani terpaksa menggunakan benih ES produksi PT Pertani dan PT SHS karena tidak ada pilihan lagi, bukan karena harganya lebih murah. Petani cenderung memilih produksi produsen swasta karena kualitasnya lebih terjamin. Semakin kuatnya pilihan petani kepada produsen swasta, karena PT Pertani dan PT SHS pernah punya sejarah buruk terutama dari kualitas benih.

Pangsa pasar benih jagung hibrida (berlabel) di Jatim sepenuhnya diisi oleh produsen swasta multinasional. Demikian juga untuk pasar jagung komposit sekitar 60%-70% diisi produsen swasta multinasional dan sisanya oleh penangkar lokal. Dapat dikatakan sangat jarang dijumpai jagung komposit produksi PT SHS dan PT Pertani yang beredar di kios-kios dan di tingkat petani.

Pangsa pasar benih kedelai berlabel hampir seluruhnya diisi oleh produsen lokal, sebalikya tidak dijumpai benih kedelai berlabel baik di kios-kios maupun petani yang merupakan produksi PT SHS dan PT Pertani. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa rendahnya pangsa pasar PT SHS dan PT Pertani di Jawa Timur lebih banyak disebabkan kualitas benih yang dihasilkan tidak mampu bersaing dengan produsen lainnya. Cara satu-satunya yang harus dilakukan kedua produsen ini untuk meningkatkan pangsa pasarnya adalah dengan memperbaiki kualitas benih yang dihasilkan. Membuat harga benih dengan kualitas bagus dan harga murah merupakan ide dasar subsidi benih yang dilakukan pemerintah, tetapi sangat sulit dilaksanakan dalam pasar benih yang relatif sudah maju seperti saat ini. Petani memilih benih berkualitas bagus walaupun harganya agak mahal.

Biaya Produksi Benih

Data terakhir (Pebruari 2006) menunjukkan bahwa pada harga calon benih kering sawah (CBKS) Rp 1750/kg, harga pokok produksi (HPP) untuk memproduksi 1 kg benih dari PT Pertani setelah memperhitungkan biaya pengiriman ke tingkat kios sekitar Rp 2897/kg. Dengan subsidi sebesar Rp 500/kg, maka HPP PT Pertani di tingkat kios sekitar Rp 2397/kg.

Sementara itu, besarnya HPP benih padi di tingkat kios dari penangkar lokal di Jawa Timur hanya sekitar Rp 1414/kg. Terlihat biaya produksi benih padi dari PT Pertani 100% lebih tinggi dari penangkar swasta. Walaupun dengan subsidi, ternyata HPP PT Pertani masih sekitar 70% lebih tinggi dari penangkar swasta. Ini membuktikan bahwa PT Pertani, termasuk juga PT SHS tidak efisien dalam memproduksi benih disamping juga kualitas benihnya tidak sebagus penangkar swasta/lokal.

24

Page 25: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

Pada tingkat harga jual di kios Rp 3300/kg, penangkar swasta/lokal memperoleh keuntungan sebesar Rp 9,9 juta/ha atau sekitar Rp 1.886 per kg benih yang dihasilkan.

Selain biaya overhead dan manajemen yang cukup tinggi, HPP benih PT Pertani sangat ditntukan oleh perkembangan harga gabah (CBKS) di tingkat petani/mitra. Besarnya HPP benih padi PT Pertani menurut perkembangan harga gabah (CBKS) disajikan pada Tabel 3.11.

Tabel 3.11. Harga Pokok Produksi (HPP) Benih Padi dari PT Pertani Menurut Perubahan Harga Calon Benih Kering Sawah (CBKS) di Jawa Timur, Pebruari 2006

UraianHarga CBKS (Rp/kg)

1650 1750 1850 1950 2050 2150

HPP Benih Tanpa Subsidi 2764 2897 3030 3164 3297 3430

HPP Benih Subsidi 2264 2397 2530 2664 2797 2930

Sumber: data primer, diolah

Pada harga CBKS dibawah Harga Dasar Pembelian (HDPP) gabah yang ditetapkan pemerintah (Rp 1700/kg GKP), HPP benih padi tanpa subsidi dan bersubsidi berturut-turut Rp 2764/kg dan Rp 2264/kg. HPP benih padi terus meningkat seiring dengan meningkatnya harga CBKS. Pada harga gabah Rp 2100/kg GKP setera dengan Rp 2150 kg CBKS (dimana PT Pertani membeli CBKS sekitar Rp 50/kg lebih mahal dari gabah untuk konsumsi) maka diperkirakan HPP benih padi di kios dari produksi PT Pertani tanpa subsidi dan dengan subsidi berturut-turut Rp 3430/kg dan Rp 2930/kg. Salah satu caranya PT Pertani untuk menekan HPP selain efisiensi di tingkat pabrik dan manajemen adalah dengan memiliki lahan/kebun sendiri, sehingga HPP tidak tergantung harga CBKS.

UPB (unit Pengolahan Benih) PT Pertani di Jatim tidak memproduksi benih jagung komposit dan benih kedelai. Kalaupun memproduksi benih kedelai, sebenarnya PT Pertani lebih banyak hanya sebagai pedagang saja. PT Pertani tidak bermitra dengan petani, hanya melakukan opkup saja, atau langsung membeli dari penangkar lokal jika ada pesanan (program) dari pemerintah. Sehingga pada bahasan ini tidak bisa membandingkan HPP jagung dan kedelai dari PT Pertani dengan penangkar swasta, hanya sebatas mengimformasikan HPP dari penangkar swasta/lokal saja.

Dengan produksi sekitar 6 ton jagung/ha, dimana sekitar 3,6 ton (60%) menjadi benih dan 2,4 ton (40%) menjadi jagung konsumsi/pakan, HPP benih jagung Bisma yang dihasilkan penangkar swasta sekitar Rp 1.151/kg. Keuntungan penangkar benih jagung sekitar 15,7 juta/ha atau Rp 4349 per kg benih yang dihasilkan. Sementara itu, HPP benih kedelai dari penangkar lokal sekitar Rp 2.006/kg. Dari sekitar 1,7 ton/ha, masing-masing sekitar 1190 kg menjadi benih dan 510 kg menjadi kedelai konsumsi. Pada tingkat harga jual benih di kios Rp 5000/kg, keuntungan yang diperoleh penangkar benih kedelai sekitar Rp 3,6 juta/ha atau Rp 2,994 per kg benih kedelai yang dihasilkan. Gambaran di atas menunjukkan bahwa usaha penangkaran benih padi, jagung, dan kedelai cukup atraktif dan mempunyai daya saing yang cukup tinggi dibanding usahatani konsumsi.

Dinamika Harga Benih

25

Page 26: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

Harga beli dan harga jual benih menurut produsen benih di tingkat kios sangat bervariasi. Secara umum terlihat harga jual benih padi PT SHS sekitar Rp 150/kg lebih mahal dibanding PT Pertani baik untuk benih kelas SS maupun ES (Tabel 3.12). Harga jual benih PT SHS di kios untuk kelas benih SS dan ES berturut-turut Rp 3,450/kg dan Rp 3,250/kg, sementara dari PT Pertani untuk kelas benih yang sama berturut-turut Rp 3,300/kg dan 3,100/kg. Sementara harga jual benih kelas SS dari Penangkar berkisar Rp 3450 – Rp 4300 per kg dan lebih mahal dari PT SHS dan PT Pertani. Harga jagung jual benih jagung hibrida dari Produsen Swasta Multinaisonal berkisar Rp 26.000 – Rp 35.000 per kg. Harga jual di kios benih jagung kompisit yang dihasilkan perusahaan lebih mahal dari yang dihasilkan produsen swasta/lokal yaitu Rp 8.000/kg berbanding Rp 5.500 – Rp 6.250 per kg.

Tabel 3.12. Keragaan harga beli benih padi, jagung, dan kedelai oleh kios menurut produsen di Jawa Timur, Pebruari 2006

Produsen

Harga Benih (Rp/Kg)

Padi Jagung Kedelai SS ES Hibrida Komposit

1. PT Sang Hyang Seri

3450 3250 - * *

2. PT Pertani 3300 3100 - * *

3. Swasta/Lokal 3450-4300 5500-6250 5000

4. Swasta Multinasional

- - 26000-35000

8000 -

Keterangan: * di kios tidak dijumpai benih jagung dan kedelai produksi PT SHS dan PT Pertani yang diperdagangkan

Keragaan harga jagung di tingkat petani (ditunjukkan oleh harga jual kios) juga cukup beragam, seperti disajikan pada Tabel 3.13. Cukup menarik adalah walaupun kios membeli benih padi dari PT Pertani sekitar Rp 150/kg lebih murah dari PT SHS, akan tetapi kios menetapkan harga jual yang sama ke petani. Sehingga keuntungan kios menjual benih PT Pertani lebh tinggi dari PT SHS. Hal ini diduga penyebab pangsa pasar benih dari PT Pertani relatif lebih banyak dibanding PT SHS untuk kasus Jawa Timur, disamping menurut pengakuan petani dan kios kualitasnya juga sedikit lebih baik. Perbedaan harga beli kios dari produsen benih dan harga jual kios ke petani untuk benih padi berkisar Rp 200/kg, sementara untuk jagung dan kedelai sekitar Rp 1000/kg.

Tabel 3.13. Keragaan harga jual benih padi, jagung, dan kedelai di oleh kios menurut produsen di Jawa Timur, Pebruari 2006

Produsen

Harga Benih (Rp/Kg)

Padi JagungKedelai

SS ES Hibrida Komposit

1. PT Sang Hyang Seri 3650 3400 - * *

26

Page 27: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

2. PT Pertani 3650 3300-3400

- * *

3. Swasta/Lokal 3650-4500

6500-8500

6000

4. Swasta Multinasional - - 27000-36000

10000 -

Keterangan: * di kios tidak dijumpai benih jagung dan kedelai produksi PT SHS dan PT Pertani yang diperdagangkan

Informasi harga jual di atas kalau dikaitkan dengan HPP PT Pertani dengan harga jual riil PT Pertani ke Kios secara tidak langsung menunjukkan bahwa subsidi benih yang ditetapkan pemerintah tidak efektif sampai di petani, sekalipun harga CBKS sampai Rp 2150/kg. Pada saat harga CBKS mencapai Rp 2150 HPP tanpa subsidi di tingkat kios hanya sekitar Rp 2930/kg. HPP di tingkat kios akan lebih rendah lagi jika harga CBKS atau harga gabah di tingkat petani lebih rendah dari Rp 2000/kg.

Di sisi lain, subsidi benih padi, jagung, dan kedelai yang masih berlangsung saat ini terkesan kurang mensyaratkan standar kualitas benih yang harus dihasilkan. Kualitas apapun benih yang dihasilkan oleh PT SHS dan PT Pertani akan mendapatkan subsidi yang sama. Kondisi ini diduga turut memicu kemunduran kualitas benih disamping karena faktor mementingkan pemenuhan volume yang ditargetkan.

Kualitas benih padi yang kurang memuaskan juga terjadi karena adanya proyek khusus (membutuhkan benih dalam jumlah besar) yang direncanakan pada tahun berjalan. Sehingga seringkali PT SHS dan PT Pertani yang ditunjuk sebagai pemasok tidak mampu menyediakan benih bermutu pada waktu dibutuhkan. Untuk memenuhi pasokannya, kedua produsen benih ini membeli gabah hasil panen petani untuk dijadikan calon benih. Semua sepakat bahwa untuk memproduksi benih dalam volume besar dan kualitas baik dibutuhkan waktu yang cukup lama. Impilikasinya bahwa proyek khusus yang membutuhkan benih dalam jumlah besar sebaiknya direncanakan jauh-jauh sebelumnya. Karena benih merupakan salah satu faktor kunci yang menentukan keberhasilan suatu kegiatan usahatani.

Tingginya respon petani di Jawa Timur terhadap penggunaan benih padi jenis SS bisa dipandang sebagai fenomena positif dan juga bisa dipandang sebagai fenomena negatif. Dari sisi positifnya, bahwa petani sudah begitu besar respon terhadap kualitas benih yang akan ditanamnya, dan disisi lain sebenarnya harga belum merupakan kendala utama bagi petani dalam menggunakan benih berlabel. Namun demikian respon petani terhadap benih SS pada pasar benih kalau dikaji lebih lanjut sebenarnya berdampak negatif terhadap upaya pemerintah untuk meningkatkan penggunaan benih berlabel. Karena penggunaan benih SS ini dapat menghambat penyebaran penggunaan benih ES. Sementara itu pihak swasta lebih tertarik memproduksi hanya sampai benih jenis SS saja, karena melihat respon pasar terhadap permintaan jenis benih ini, maka yang tadinya dari 1 kg SS bisa diharapkan bisa diperbanyak menjadi sekitar 50–70 kg benih ES tidak terlaksana. Untuk itu maka sebaiknya respon petani terhadap benih SS dalam pasar benih perlu dipertimbangkan dampak positif dan negatifnya secara bijaksana dikaitkan dengan upaya pemerintah mempercepat meluasnya penggunaan benih berlabel. Implikasinya adalah upaya pemerintah dalam

27

Page 28: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

meningkatkan penggunaan benih berlabel bisa dipercepat salah satunya melalui perbaikan mutu benih jenis ES, sehingga penggunaan benih padi jenis SS di tingkat petani bisa dikurangi.

Penemuan varietas unggul baru yang mempunyai daya hasil tinggi dan sesuai dengan permintaan pasar oleh para breeder di Indonesia terkesan mengalami stagnasi. Kondisi ini disamping disebabkan oleh semakin berkurangnya dana dan fasilitas untuk melakukan penelitian dan penemuan suatu varietas, juga diduga kuat karena kurang penghargaan pemerintah terhadap para breeder, seperti tidak adanya kejelasan akan property right (hak paten) akan penemuan suatu varietas baru. Penghargaan dan pengakuan akan hak paten yang telah dilakukan oleh beberapa negara telah memicu terjadinya persaingan sehat dalam melakukan inovasi dan penelitian antar sesama breeder, sehingga terjadi persaingan dan percepatan pencitaan varietas unggul baru dengan mutu yang lebih baik. Sedangkan di Indonesia, seperti vareitas padi IR-64 sudah cukup lama dibudidayakan petani karena belum adanya varietas unggul baru yang bisa menggantikannya dengan kinerja yang lebih baik. Belajar dari pengalaman beberapa negara yang sukses dalam menciptakan varietas baru, maka sebaiknya ada kejelasan akan hak paten seorang breeder dalam penemuan varietas unggul baru.

Harga bibit kelapa sawit bervariasi antar produsen benih. Harga kecambah (biji) sawit yang paling murah adalah Rp 3.500/biji yang diproduksi oleh PPKS dan yang termahal adalah Rp 7.000/biji yang dijual oleh PT Lonsum (Tabel 3.14). Sementara itu bibit sawit berumur satu tahun berharga Rp 9.000/batang (PPKS) hingga Rp 13.000/batang (PT Sucfindo). Harga bibit sawit berumur 1 tahun di waralaba PPKS harganya emncapai Rp 16.000/batang. Sedangkan harga bibit palsu sangat murah, yaitu Rp 250 – Rp 500/biji untuk kecambah, dan Rp 5.000 – Rp 7.000 untuk bibit berumur 1 tahun.

Perbedaan harga bibit sawit antar produsen tidak menunjukkan perbedaan kualitas karena masing-masing varietas mempunyai kelebihan dan kekurangan. Perbedaan harga yang ada lebih menunjukkan pada pasar bibit sawit yang relatif tidak bersaing sempurna (oligopolistik) sehingga setiap produsen mampu menentukan harga untuk porduk yang dijual. Biaya investasi yang relatif tinggi, yaitu mencapai puluhan milyar rupiah untuk 10 tahun pertama, membuat tidak banyak investor yang bersedia masuk ke bisnis produksi benih sawit. Disamping itu umumnya produsen swasta juga mempunyai kebun sawit sendiri sehingga sebagain produki bibit digunakan untuk kebutuhan sendiri, dismaping untuk menghindari bibit palsu jika sumber benih berasal dari perusahaan lain.

Secara umum produsen benih mampu melakukan integrasi yang ditunjukkan oleh indeks integrasi yang tinggi, yaitu lebih dari 42 % (Suvanichwong, 1997). Hanya dua kasus yaitu produksi benih padi oleh PT Pertani dan benih kedelai oleh PT SHS yang memiliki indeks intgrasi relatif rendah (Tabel 3.15). Semakin tinggi nilai integrasi merupakan indikasi produsen benih mampu menghasilakn nilai tambah dari produk yang dihasilkan. Rendahnya indeks integrasi PT Pertani dan PT SHS (benih kedelai) antara lain karena kedua perusahaan tersebut membeli bakal benih dari penangkar dan memprosesnya. Nilai tambah yang dihasilkan relatif rendah dimana harga beli benih merupakan komponen terbesar dalam proses produksi.

28

Page 29: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

Tabel 3.14. Keragaan harga jual benih sawit menurut asal produsen, 2006

No.

Sumber Benih Satuan Rp/satuan

1. PPKS Kecambah Biji 3500 Umur 1 th Batang 9000 Umur 1 th di

WaralabaBatang 16000

2. PT. Sucfindo Kecambah Biji 4300 Umur 3 bulan Batang 6500 Umur 1 th Batang 13000

3. PT. Lonsum Kecambah Biji 7000 ($US 0,7) Umur 3 bulan Batang 9000

4. PT. TYE*)

Kecambah Biji 37505. PT. Dami Mas*)

Kecambah Biji 45006. PT. BSM*)

Kecambah Biji 40007. Asalan/Palsu

Kecambah Biji 250-500 Umur 3 bulan Batang 2500-3000 Umur 1 th Batang 5000-7000

Keterangan: *) harga perkiraan

Tabel 3.15. Indeks Integrasi Produsen Benih, 2006

Produsen Benih Benih

Nilai Jual

Input dari Perusahaan

Lain Nilai

Tambah Indeks

Integrasi (Rp/kg) (Rp/kg) (Rp/kg) (%)

PT Pertani Padi 2.397 1.839 558 23,3PT SHS Padi 3172 1.646 1.526 48,1PT SHS Jagung Komposit 6593 1.210 5.383 81,6PT SHS Kedelai 5.371 4.763 608 11,3Swasta Lokal Padi 3.300 212 3.088 93,6Swasta Lokal Jagung Komposit 6.300 593 5.707 90,6Swasta Lokal Kedelai 6.371 1.017 5.354 84,0Swasta MNC Jagung Hibrida Bisi 61.200 11.405 49.795 81,4

Swasta MNCJagung Hibrida Pioneer 50.000 8.424 41.576 83,2

Swasta MNC Jagung Hibrida Cargill 33.600 8.649 24.952 74,3Swasta Jagung Komposit 15.000 8.111 6.889 45,9

PPKS*)Kelapa Sawit (kecambah) 4.000 50 3.950 98,8

PPKS**) Kelapa sawit (bibit) 15.000 100 14.900 99,3*) per unit **) per batang

29

Page 30: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

V. KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN

(1). Secara nasional penggunaan benih bersertifikat untuk padi, jagung, dan kedelai relatif masih kecil. Dalam sepuluh tahun terakhir (1996-2005), rata-rata penggunaan benih padi berlabel baru sekitar 22,02% dari total luas tanam. Demikian juga penggunaan benih jagung berlabel dan kedelai masing-masing 7,04% dan 2,80%. Dalam periode yang sama, penggunaan benih berlabel di dua provinsi kajian relatif lebih tinggi dari nasional. Penggunaan benih padi berlabel di Jatim rata-rata telah mencapai 38%, bahkan mulai tahun 2003 tmendekati 600%. Penggunaan benih jagung dan kedelai berlabel masih cukup rendah, yaitu masing-masing 12% dan 3%. Penggunaan benih berlabel di Sulawesi Selatan dalam 2 tahun terakhir lebih tinggi dari nasional, yaitu sekitar 30%. Sementara rata-rata luas pertanaman jagung dan kedelai yang menggunakan benih berlabel dalam sepuluh tahun terakhir masing-masing 2%.

(2). Secara formal mekanisme penyaluran benih sumber dan sebar sebagai berikut: Puslitbang/Balitkomoditas memproduksi BS kemudian diteruskan ke BBI untuk diperbanyak menjadi benih FS, dan dari BBI diteruskan ke BBU untuk diperbanyak menjadi benih SS. Para penangkar dan produsen benih mendapat benih SS dari BBU untuk diperbanyak menjadi benih ES yang selanjutnya diperjualbelikan ke petani.

(3). Kenyataan di lapang menunjukkan bahwa sistem perbenihan sudah mengalami pergesaran secara tajam. Produsen/penangkar benih sudah bisa akses langsung untuk mendapatkan benih FS ke BBI atau Puslit/Balit Komoditas, dan bahkan banyak produsen/penangkar benih yang langsung mendapatkan benih BS ke Puslit/Balit Komoditas. Produsen benih tidak hanya sebatas memproduksi benih ES, juga telah memproduksi sendiri kelas-kelas benih di atasnya (FS dan SS). Hal yang sama juga telah dilakukan oleh Puslit/Balit Komoditas, BBI, dan BBU tidak hanya memproduksi kelas benih yang menjadi mandatnya.

(4). Fakta di lapang menunjukkan bahwa petani sangat respon terhadap benih bersertifikat. Keputusan petani dalam menentukan benih yang akan ditanam lebih banyak ditentukan oleh kualitas benih itu sendiri dibanding harga.

(5). Peraturan perbenihan saat ini cukup baik untuk mendorong tumbuhnya pasar benih yang relatif menguntungkan produsen maupun mampu melindungi konsumen. Implementasi atau law enforcement secara konsisten akan mendorong pasar benih tumbuh semakin sehat.

(6). Produsen benih BUMN, swasta lokal, maupun swasta multinasional melakukan kerjasama dengan penangkar benih khususnya benih tanaman pangan. Kerjasama antara produsen benih sawit dengan pengecer hanya dilakukan oleh PPKS dengan cara wara laba, produsen lainnya tidak bersedia karena rawan pemalsuan sertifikat.

(7). Kinerja industri benih dari penangkar swasta/lokal lebih baik dari PT SHS dan PT Pertani. Terbukti pasar benih padi, jagung, dan kedelai di

30

Page 31: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

Provinsi Jawa Timur didominasi oleh penangkar swasta/lokal. Untuk kasus Jawa Timur, petani pada umumnya akses terhadap benih bersertifikat (berkualitas), baik dilihat dari segi harga maupun sumber benih. Fenomena ini menunjukkan bahwa secara implit bahwa tanpa subsidi pun petani sudah akses terhadap benih berlabel sekalipun dengan harga pasar yang berlaku.

(8). Dikaitkan dengan Harga Pokok Produksi (HPP) dan margin keuntungan di tingkat kios, tampaknya harga benih di tingkat petani cukup tinggi, termasuk dari produksi PT SHS dan PT Pertani yang mendapat subsidi dari pemerintah. Artinya, kebijakan subsidi benih tampakya belum efektif menyentuh kepada yang berhak untuk mempercepat penggunaan benih berlabel di tingkat petani.

(9). Jika pemerintah berniat untuk terus menerapkan kebijakan subsidi benih, maka perlu diterapkan secara hati-hati dan perlu dipikirkan kembali modus pemberian subsidi tersebut (untuk jenis benih komoditas apa saja dan dalam bentuk apa), agar tujuan penggunaan benih berkualitas (tidak hanya sekedar berlabel) secara masif bisa tercapai.

(10). Kenyataan di lapang semua produsen benih, baik swasta maupun BUMN, memproduksi dan menjual benih dengan mekanisme pasar (tanpa subsidi). Produsen BUMN memperhitungkan subsidi sebagai tambahan pendapatan perusahaan, bukan untuk menurunkan harga jual benih. Pasar benih akan lebih bergairah jika kesadaran petani untuk menggunakan benih bermutu bertambah tingggi dan kualitas benih yang dijual kepada petani tetap bagus. Subsidi benih seperti nyag dilakukan saat ini tidak akan mendorong industri benih menjadi lebih berkembang.

(11). Jika pemerintah akan tetap menerapkan kebijakan subsidi benih, dalam upaya mengamankan kebijakan tersebut, ada dua alternatif yang disarankan dalam mekanisme penyaluran benih, yaitu (1) harga jual ditetapkan pemerintah, dan (2) harga jual berdasarkan mekanisme pasar. Penyaluran benih tetap bersifat terbuka, dimana semua benih disubsidi dari manapun asal produksi (produsen), sehingga tidak terjadi dualisme pasar akibat adanya perbedaan harga, seperti yang terjadi pada pasar pupuk.

31

Page 32: Kajian Sistem Perbenihan (BBS)

DAFTAR PUSTAKA

Asmono, D. 2000. Bahan Tanaman Kelapa Sawit hal. 3-1 - 3-17. Dalam Budidaya Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.

Bastari, T. 1995. Seed Production and Marketing in Asia Pacific. Country Paper: Indonesia (2). Report of an APO Seminar, September 14-23, 1993, Jakarta. Asian Productivity organization. Tokyo, pp: 210-232.

Cromwell, E., S. Wiggins, and S. Wentzel. 1993. Sowing Beyond the State, NGOs and Seed Supply in Developing Countries. Overseas Development Institute. London.

Direktorat Jenderal Perkebunan. 2005. Subsidi Terpadu untuk Sub Sektro Perkebunan. Jakarta. Bahan Presentasi.

Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. 2005. Kebijakan Perbenihan Tanaman Pangan. Seminar Nasional: Peran Perbenihan dalam Revitalisasi Pertanian. Kerjasama Departemen Pertanian dan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor, 23 November 2005.

Douglas, J.E. 1980. Successful Seed Programs. Westview. International Agricultural Development Series. Colorado.

Effendi, K. 2001. Undang-Undang Perlindungan Varietas Tanaman. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 23 NO. 4, 2001.

LSSM (Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu). 2002. Sertifikat Sertifikasi No. 01-05/LSSM-BPTH/04/2002 LSSM Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura. Jakarta. Loose Leaves.

Maryoto, A. 2005. Benih Sawit Diimpor, Petani Mulai beralih dari Tanaman Kakao. Kompas. Edisi 27 Agustus 2005.

Peraturan Pemerintah. 2004. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2004 tentang Penamaan, Pendaftaran, dan Penggunaan Varietas Asal untuk Pembuatan Varietas Turunan Esensial 17 Maret 2004. Jakarta.

Pikiran Rakyat. 2005. Pusat Penelitian Kelapa Sawit Menyiapkan benih Berkualitas. Harian. Bandung. Edisi 24 Maret 2005.

PT CPAS (Cakrawala Pengembangan Agro Sejahtera). 2006. 200.000 Benih Sawit asal PNG Dimusnahkan. www.agroindonesia.com . Edisi 12 Januari 2006.

Suvanichwong, P. 1997. Structural Changes in Market Organization and Performance of the Thai Animal Feed Industry. Unpublished Ph.D. Dissertation, University of the Philippines Los Banos. 134pp.

32