Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah
-
Upload
herry-prananto -
Category
Business
-
view
667 -
download
2
Transcript of Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah
KAJIAN SINKRONISASI PUNGUTAN PUSAT DAN DAERAH
Tim Penyusun :
Dr. Robert P. Simanjuntak (Universitas Indonesia)
Drs. Masrizal, M.Soc.Sc. (Universitas Andalas)
Drs. Abdul Hamid Paddu (Universitas Hasanuddin)
Lisbon Sirait, SE., ME. (Departemen Keuangan)
TIM ASISTENSI MENTERI KEUANGAN BIDANG DESENTRALISASI FISKAL
DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2006
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 1
KAJIAN SINKRONISASI PUNGUTAN PUSAT DAN DAERAH
1. Latar Belakang dan Tujuan
Sistem keuangan publik di Indonesia sampai saat ini masih diwarnai oleh ketimpangan
hubungan antara Pusat dengan Daerah. Sebagian besar sumber-sumber keuangan
yang potensial berada dalam kewenangan Pusat, sementara pada umumnya Daerah
hanya menguasai sumber-sumber penerimaan sendiri yang kurang memadai relatif
dibandingkan besar pengeluarannya. Konsekuensinya adalah Daerah menjadi amat
bergantung kepada transfer dari Pusat.
Ketergantungan tersebut terasa ironis ketika negeri ini melakukan penataan ulang
sistem penyelenggaraan pemerintahannya, dari sistem yang tersentralisasi menjadi
sistem dengan otonomi daerah yang luas. Sejak implementasi pelaksanaan otonomi
daerah pada tahun 2001, Daerah (terutama: Kabupaten/Kota) memiliki kewenangan
politik dan administratif yang jauh lebih luas dibandingkan era sebelumnya. Namun,
secara keuangan, tingkat ketergantungannya secara umum menjadi lebih besar.
Upaya penguatan sumber penerimaan daerah sendiri yang telah dicoba selama ini
lebih terfokus kepada identifikasi sumber-sumber penerimaan (pajak-pajak) daerah
yang baru, dan kurang menyentuh sumber-sumber yang potensial (pajak Pusat).
Kemungkinan pengalihan pajak Pusat menjadi pajak Daerah (seperti misalnya PBB),
atau bagi hasil dari pajak-pajak Pusat yang potensial (selain PPh orang pribadi), masih
dianggap terlalu jauh.
Akibatnya, upaya tersebut kurang berhasil karena hanya berkutat pada wilayah yang
memang sudah sempit atau kurang potensinya. Malah yang terjadi banyak daerah
berupaya keras mencari sumber-sumber pajak (pungutan) baru tanpa memikirkan
dampaknya kepada ekonomi biaya tinggi, serta efeknya yang distortif terhadap
perekonomian.
Tulisan ini bertujuan untuk membahas beberapa alternatif penguatan keuangan daerah
yang akan menjadi bahan kajian, yakni:
• penambahan jenis pajak dan retribusi daerah, yang diantaranya bisa berupa
pengalihan pajak pusat; dan/atau
• perluasan obyek pajak/retribusi daerah; dan/atau
• penambahan jenis bagi hasil pajak pusat kepada daerah.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 2
Pada hakekatnya, alternatif-alternatif tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan taxing
autonomy dan taxing power serta akuntabilitas dari daerah dengan tetap
memerhatikan stabilitas makroekonomi dan keuangan negara, serta berdasarkan
prinsip-prinsip yang lazim diterapkan. Sinkronisasi dari pajak pusat dan daerah adalah
krusial di sini, dimana tidak boleh ada double taxation dan dimungkinkannya
penghapusan pajak-pajak yang dianggap tidak efisien, distortif, atau bahkan
mengganggu efektivitas pelaksanaan berbagai alternatif tersebut di atas.
Dengan demikian rambu-rambu yang ada dalam UU No 34 Tahun 2000 digunakan
secara utuh sebagai acuan dalam kajian ini. Rambu-rambu (kriteria) tersebut adalah:
• bersifat pajak dan bukan retribusi;
• obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang
• bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah, serta hanya
• melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan;
• obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan
umum;
• obyek pajak bukan merupakan obyek pajak propinsi dan/atau obyek pajak
pusat;
• potensinya memadai;
• tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
• memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan
• menjaga kelestarian lingkungan.
2. Tax Assignment di Indonesia Dewasa Ini
Seperti disebutkan sebelumnya, selama ini upaya yang dilakukan untuk memperbaiki
pendapatan Daerah lebih fokus kepada menambah jenis-jenis pajak yang boleh
dipungut. Persoalannya adalah berbagai jenis pajak yang potensial sudah menjadi
pajak Pusat. Sehingga penambahan jenis pajak Daerah untuk peningkatan kapasitas
fiskal Pemerintah Daerah tersebut malah bisa mendistorsi keuangan negara dan
perekonomian secara keseluruhan. Oleh karena itu, pemikiran yang cermat mesti
dilakukan untuk mencari jenis-jenis pajak yang dapat diterapkan untuk memperkuat
kapasitas fiskal Daerah. Selain itu, mesti ditekankan pula pentingnya sinkronisasi
perpajakan Pemerintah Pusat dengan Daerah.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 3
Sebagai langkah awal sebelum melakukan kajian untuk mencari alternatif penguatan
keuangan daerah yang sinkron dengan keuangan negara, adalah perlu untuk
mengetahui kondisi tax assignment pada setiap tingkat pemerintahan di Indonesia saat
ini. Ini digambarkan secara ringkas pada tabel 1.
3. Prinsip-prinsip Tax Assignment
Dalam rangka mencari tahu dan menyusun sumber-sumber penerimaan yang layak,
cocok dan sinkron untuk setiap tingkatan pemerintahan di Indonesia, perlu dipahami
dulu teori dan berbagai konsep yang lazim dikenal serta digunakan dalam tax
assignment. Pengalaman negara-negara lain juga bisa dijadikan acuan.
Musgrave (1983) menggunakan kriteria equity (konsistensi antara sumber-sumber
penerimaan dengan kebutuhan pengeluaran) dan efficiency (biaya yang sekecil
mungkin) sebagai landasan untuk mengembangkan prinsip-prinsip tax assignment
sebagai berikut:
• pajak-pajak yang sifatnya progresif dan redistributif seyogyanya menjadi pajak
nasional/pusat;
• pajak-pajak yang cocok dan dapat digunakan untuk stabilisasi ekonomi
seyogyanya menjadi pajak nasional/pusat;
• pajak-pajak yang basisnya tidak merata antar daerah seyogyanya menjadi
pajak nasional/pusat;
• pajak atas faktor-faktor produksi atau obyek yang mobil seyogyanya menjadi
pajak nasional/pusat;
• pajak-pajak yang basisnya “menetap” (residence-based) seyogyanya menjadi
pajak daerah (utamanya: provinsi)
• pajak atas faktor-faktor atau obyek yang tidak mobil sama sekali seyogyanya
menjadi pajak daerah (utamanya: kota/kabupaten)
• pajak atas manfaat yang diberikan (benefit taxes) dan retribusi (user charges)
dapat dikenakan oleh setiap tingkatan pemerintah.
Landasan lain yang dapat digunakan untuk tax assignment dan sejalan atau tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip Musgrave di atas, adalah dua kriteria berikut:
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 4
• Efisiensi dalam Administrasi Perpajakan. Tingkat pemerintahan yang memiliki
informasi terbaik/terlengkap atas suatu obyek pajak adalah yang
berwenang/bertanggung jawab atas pajak tersebut. Sebagai misal, untuk PPh
perusahaan, pusat lah yang paling mungkin memiliki informasi akurat
menyangkut pendapatan perusahaan dari berbagai sumber dalam dan luar
negeri. Di lain pihak, untuk pajak properti, pemerintah daerah relatif memiliki
keunggulan dibanding pusat untuk melakukan penilaian maupun evaluasi
properti di daerahnya.
• Kebutuhan Fiskal. Berdasarkan kriteria ini, sumber dan instrumen penerimaan
seyogyanya sepadan dan sedekat mungkin dengan kebutuhan penerimaan.
Jadi, instrumen penerimaan perpajakan yang digunakan untuk mendorong
pencapaian suatu kebijakan seyogyanya diserahkan kepada tingkat
pemerintahan yang bertanggungjawab melaksanakan kebijakan tersebut.
Pajak-pajak yang bersifat progresif redistributif, yang bisa sebagai alat
stabilisasi, dan yang terkait sumber daya alam, lebih cocok di tangan
pemerintah pusat. Sementara tol antar kota seyogyanya menjadi kewenangan
provinsi.
Berdasarkan kriteria-kriteria ini, assignments dari berbagai jenis pajak yang lazim di
dunia kepada setiap tingkat pemerintahan ditunjukkan dalam tabel 2 berikut.
Sementara praktik dan pengalaman di beberapa negara berkembang (termasuk
Indonesia) menyangkut tax assignment dapat diringkas dalam tabel 3.
4. Beberapa Pemikiran ke Depan
Berdasarkan berbagai prinsip yang dikemukakan di bagian depan dan dalam rangka
menyinkronkan pungutan Pusat dan Daerah lewat penguatan keuangan Daerah, maka
beberapa alternatif berikut diajukan.
• Pengalihan PBB (dan BPHTB) menjadi Pajak Daerah
• Pengalihan beberapa pungutan Pusat (PNBP) ke Daerah
• Penambahan dua jenis Pajak Daerah baru
• Perluasan basis Pajak Daerah; dan
• Penerapan bagi hasil PPN disertai penghapusan beberapa Pajak Daerah yang
mendistorsi penerimaan PPN (menggerus basis PPN).
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 5
4.1. Pengalihan PBB & BPHTB ke Daerah
Dalam kajian ini, berbagai argumen menyangkut pengalihan PBB dan BPHTB menjadi
pajak daerah tidak akan dibahas secara rinci, mengingat sudah ada tulisan mengenai
hal itu yang dibuat oleh para penulis. Apa yang dikemukakan di sini hanyalah uraian
secara ringkas saja.
Secara praktis, sesungguhnya pajak-pajak ini sudah merupakan pajak daerah, paling
tidak dilihat dari sisi kepada siapa sebagian besar penerimaannya diserahkan. Namun
kewenangan dalam hal penentuan basis pajak dan pentarifan masih berada pada
Pusat. Seyogyanya ini diserahkan kepada daerah kabupaten/kota, meskipun dapat
dilakukan secara bertahap dimulai dari, misalnya, kewenangan menentukan tarif. Jika
ini bisa dilakukan maka buat sebagian daerah akan menjadi sumber PAD yang amat
signifikan dibandingkan keseluruhan penerimaan pajak-pajak daerah selama ini.
Disamping itu, sifat lokalitas, visibilitas dan immobilitas dari obyek PBB dan BPHTB
menjadi alasan sangat penting mengapa ini seyogianya jadi pajak daerah. Apalagi
kalau dikaitkan dengan pelayanan masyarakat, dimana prinsip akuntabilitas dan
transparansi menjadi isu yang amat disoroti di era otonomi daerah. Pengalaman di
banyak negara menunjukkan bahwa beban pajak properti sering dikaitkan langsung
dengan pelayanan masyarakat yang diberikan oleh pemerintah daerah, misalnya
dalam menyediakan dan memelihara sarana-prasarana publik. Untuk konteks
Indonesia, mungkin yang paling feasibel adalah pengalihan PBB sektor perkotaan,
perdesaan dan perkebunan. Dua sektor lain, pertambangan dan kehutanan, memiliki
kompleksitas yang lebih tinggi, sehingga barangkali masih lebih baik dipertahankan
sebagai pajak Pusat.
Persoalan yang mungkin timbul adalah dari segi kemampuan aparat daerah terutama
dalam penentuan basis pajak. Ini menyangkut kemampuan teknis karena penilaian
juga mesti mengikuti perkembangan harga pasar. Selain itu, terbuka kemungkinan
kecilnya kemauan politik daerah untuk mengenakan tarif yang memadai dan/atau
menerapkan sanksi yang keras berhubung ini terkait langsung dengan kepentingan
politik penguasa yang bersangkutan di daerah. Hal lain yang juga kemungkinan dapat
menjadi masalah adalah masih terbatasnya pengalaman daerah dalam
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 6
pengembangan sistem informasi. Kesulitan-kesulitan itu pula yang barangkali
menyebabkan sebagian daerah lebih suka kalau pajak ini tetap menjadi pajak pusat
sementara daerah cukup menantikan bagiannya saja. Namun demikian, mengingat
pengalaman dari aparat daerah, ditambah tuntutan era reformasi dan desentralisasi,
maka semestinya dalam jangka menengah persoalan tersebut bisa diatasi. Lagipula
satu hal yang sulit terbantahkan bahwa yang paling memahami soal daerah tentunya
adalah orang daerah sendiri.
4.2. Pengalihan Beberapa PNBP ke Daerah
Pengalihan beberapa jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) menjadi perlu
karena adanya pengalihan fungsi/kewenangan dari Pusat kepada Daerah.
Terdapat 2 kategori PNBP yang berkaitan dengan penyerahan kewenangan kepada
Daerah, yaitu (1) PNBP yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam (PNBP
SDA) dan (2) PNBP yang berasal dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh
pemerintah (PNBP Fungsional). PNBP SDA merupakan pungutan yang lebih bersifat
pajak (license fee), bukan pungutan yang berkaitan dengan pemulihan biaya (cost
recovery) untuk penyediaan layanan.
Sesuai dengan dengan pembagian kewenangan di bidang pertambangan, kehutanan
dan perikanan, daerah diberikan kewenangan untuk menerbitkan izin berdasarkan
cakupan perizinannya. Pembagian kewenangan dalam perizinan tersebut tidak disertai
dengan pemberian kewenangan dalam pengenaan pungutan, kecuali dalam perikanan.
Pembiayaan fungsi perizinan dalam pertambangan dan kehutanan masih dilakukan
melalui mekanisme bagi hasil. Kebijakan tersebut dalam banyak hal dapat dibenarkan.
Pungutan atas pemanfaatan sumber daya alam umumnya tetap dikelola pusat dengan
pertimbangan politis bahwa sumber daya alam dimanfaatkan untuk kepentingan
masyarakat secara keseluruhan, alasan ketimpangan potensi antar daerah, dan
pertimbangan eksternalitas yang tidak dapat dilokalisir.
Pertimbangan pemberian kewenangan daerah untuk mengenakan pungutan terhadap
eksploitasi SDA sektor perikanan dapat dijustifikasi karena potensi penerimaan yang
relatif tidak terlalu besar (tidak terlalu timpang), disamping dampak eksploitasi antar
daerah mungkin tidak terlalu besar sehingga dapat dipulihkan dari pungutan SDA yang
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 7
menjadi kewenangan Pusat. Berbeda halnya dengan eksploitasi tambang dan hutan,
yang memiliki potensi sangat timpang antar daerah, dan dampak eksploitasi yang
sangat besar terhadap daerah lain (misal: kegiatan pengangkutan, pemurnian),
sehingga menjadi sebab mengapa kewenangan pengenaan pungutan terhadap
eksploitasi tambang dan hutan tidak didesentralisasikan kepada daerah dan
mekanisme bagi hasil tetap dipertahankan.
Namun demikian, mencermati jenis-jenis PNBP SDA, khususnya iuran tetap (land rent)
di sektor pertambangan, dan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH) dan dana reboisasi
(DR) di sektor kehutanan yang merupakan pungutan terkait dengan perizinan yang
tentunya dimaksudkan untuk membiayai kegiatan pengawasan aktivitas pertambangan
dan pengambilan hasil hutan, maka seharusnya kewenangan daerah untuk
mengenakan pungutan atas pemberian izin tersebut juga diberikan kepada daerah.
Pengenaan pungutan terhadap pemberian izin tersebut memenuhi kriteria yang
ditetapkan dalam UU 34/2000, yang menyaratkan bahwa kegiatan yang dapat
dikenakan retribusi adalah kegiatan-kegiatan yang memerlukan pengawasan dan
pengendalian secara terus-menerus agar aktivitas tersebut tidak menimbulkan dampak
negatif terhadap masyarakat umum.
Dari sisi keuangan, pengenaan pungutan daerah atas pengelolaan SDA (sesuai
dengan kewenangan daerah), khususnya dari iuran tetap dan IHPH, tidak terlalu
membebani keuangan negara dan bahkan tidak terlalu berdampak terhadap
ketimpangan keuangan antar daerah. Pada tahun 2002, bagian pusat dari penerimaan
negara dari iuran tetap dan IHPH hanya sebesar Rp 21,4 miliar dan sisanya sejumlah
Rp 85,6 miliar (Rp 72,80 miliar di tahun 2004) dibagikan hanya kepada daerah
penghasil (provinsi dan kabupaten/kota).
Berbeda dengan pungutan royalti dan PSDH yang lebih bersifat pajak, dalam banyak
hal, jenis pungutan ini dianggap tidak layak dijadikan sebagai pungutan daerah. Hal ini
didasarkan pertimbangan bahwa penerimaan dari royalti tersebut kurang stabil atau
fluktuatif karena besarnya royalti akan sangat banyak ditentukan oleh perkembangan
harga bahan tambang dan hutan tersebut di pasaran. Ekternalitas negatif dari aktivitas
pertambangan dan pengambilan hasil hutan, yang ditutup dari pengenaan pajak atas
eksploitasi sumber daya alam, tidak hanya ditanggung oleh daerah yang menjadi
lokasi pertambangan dan hutan. Oleh karena itu hasil penerimaan pajak itu perlu
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 8
didistribusikan kepada daerah lain yang juga terkena dampak negatif dari kebijakan
tersebut. Ini tentunya hanya dapat dilaksanakan dengan baik bila penerimaan tersebut
masuk ke Pusat. Kelancaran aktivitas pertambangan dan pengambilan hasil hutan juga
tidak terlepas dari adanya sarana dan prasarana yang disediakan oleh daerah lainnya
yang terletak dekat dengan wilayah administratif lokasi pertambangan sehingga
penerimaan pajak tersebut seyogyanya juga dibagihasilkan kepada daerah-daerah itu.
Potensi sumber daya alam yang timpang antar daerah dan mengingat sumber daya
harus dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat umum masih menjadi alasan yang
kuat untuk tetap mempertahankan jenis PNBP ini sebagai penerimaan negara. Akan
tetapi ketimpangan penerimaan ini hampir sama dengan ketimpangan penerimaan
PAD. Bila dibandingkan dengan distribusi penerimaan pajak daerah yang ada saat ini,
penerimaan pungutan pusat (PNBP) dari sektor ini antar provinsi tidak berbeda secara
signifikan. Hanya saja tidak semua daerah memiliki sumber daya alam. Ketimpangan
yang sangat besar terlihat dalam penerimaan PSDH dan royalti. Penerimaan PNBP
dari penerbitan izin usaha pertambangan dan kehutanan memiliki ketimpangan yang
relatif sama dengan ketimpangan penerimaan PAD di tingkat Provinsi (tabel 4).
Ketimpangan tersebut semakin besar di tingkat kabupaten/kota.
Demikian juga dengan alasan pemerataan sumber-sumber daya alam untuk
kemakmuran seluruh masyarakat juga kurang realistis karena sebagian besar
penerimaan dari royalti dan PSDH telah dibagihasilkan kepada daerah penghasil, yang
berarti hanya sebesar Rp 443,2 miliar yang didistribusikan secara nasional (20%).
Kepentingan nasional yang selalu dipertimbangkan dapat diakomodasi melalui
penerimaan Negara yang masih tetap ada untuk eksploitasi SDA di wilayah lintas
provinsi.
Dalam tabel 5 di bawah ini terlihat dampak disparitas penerimaan daerah bila terjadi
pengalihan kewenangan pengenaan pungutan atas pemanfaatan sumber daya alam.
Bila pengalihan tersebut dilakukan secara menyeluruh (alternatif I) disparitas
pendapatan daerah tidak berbeda dari sebelumnya (koefisien variasi sama). Demikian
juga dengan bila PNBP yang dialihkan tersebut hanya yang terkait dengan pemberian
izin (alternatif II) disparitas tidak berbeda. Disparitas akan semakin melebar justru bila
pengalihan royalty dan PSDH dilakukan (alternatif III).
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 9
Bila pengalihan tersebut dilakukan, maka sebaiknya diserahkan kepada provinsi
karena penerimaan Negara dari sektor ini sebagian besar telah diserahkan hanya
kepada daerah provinsi penghasil. Dengan demikian daerah kabupaten/kota di provinsi
yang bersangkutan tetap memperoleh bagian. Daerah lainnya diluar daerah penghasil
hanya menerima bagian secara tidak langsung dari DAU. Jika kebijakan ini
dipertimbangkan, jenis penerimaan ini juga harus dibagihasilkan kepada daerah
kabupaten/kota. Kebijakan ini juga sekaligus menjadi perekat antara provinsi dan
kabupaten/kotanya yang telah mulai berkurang selama ini.
PNBP yang berasal dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah
(PNBP Fungsional) dapat dikelompokkan ke dalam (1) pungutan atas pemberian
layanan umum, yang merupakan layanan wajib pemerintah (Tera/Tera Ulang); (2)
pungutan atas pelayanan usaha (kepelabuhanan); 3) pungutan atas pemberian izin
tertentu (izin penggunaan tenaga kerja asing) dan (4) pungutan atas pelayanan
administrasi pemerintahan (retribusi izin usaha penyelenggaraan pelayanan dan
sarana di bidang kesehatan).
Praktek pemungutan PNBP atas pelayanan yang selama ini dilaksanakan oleh
pemerintah pusat menjadi alasan yang kuat untuk menyatakan bahwa pengenaan
pungutan retribusi oleh daerah atas pelayanan yang sama yang telah diserahkan
kepada daerah, layak untuk dilaksanakan oleh daerah. Pertimbangan lain yang juga
mendasari kelayakan pungutan tersebut oleh daerah adalah kenyataan bahwa praktek
pengenaan pungutan langsung atas pelayanan pemerintahan dalam tingkat tertentu
telah mengalami perkembangan hingga kepada pelayanan yang selama ini dianggap
tidak layak untuk dikenakan retribusi (pelayanan kepolisian dan perlindungan
kebakaran). Bahkan pungutan langsung juga telah dikenakan terhadap pelayanan
pemerintahan yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, seperti
pendaftaran kendaraan bermotor, KTP, dan SIM.
Pertimbangan ekonomi yang menjadi dasar utama untuk mengenakan pungutan
langsung (retribusi) kepada pengguna langsung layanan kelihatannya tidak lagi dapat
sepenuhnya dipertahankan dalam menentukan layak tidaknya pelayanan atau aktivitas
pemerintah untuk dikenakan pungutan. Pertimbangan keadilan, perlunya redistribusi
pendapatan (yang mungkin tidak mencukupi dari pajak) dan perlunya tambahan
penerimaan untuk menutup tambahan pengeluaran (yang mungkin tidak dapat selalu
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 10
ditutup dari dana transfer) menjadi pertimbangan yang kuat dalam menilai kelayakan
pengenaan retribusi.
Namun demikian praktek pengenaan pungutan atas pelayanan-pelayanan tertentu
yang bersifat kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan perundangan, seperti
tera/tera ulang, izin usaha perlu diterapkan secara berhati-hati agar tujuan yang ingin
dicapai dari pelayanan tersebut dapat dipenuhi. Demikian juga dengan pelayanan-
pelayanan atau aktivitas yang sepenuhnya untuk meningkatkan pendapatan daerah
harus dilakukan secara berbeda dengan pengenaan retribusi atas pelayanan-
pelayanan umum pemerintah yang selama ini telah banyak dikenal. Tabel 7 berikut ini
menunjukkan layak tidaknya pungutan PNBP yang dikenakan atas pelayanan
pemerintahan untuk ditetapkan sebagai pungutan daerah.
Pungutan Jasa Tera dan Tera Ulang
Penyelenggaraan pelayanan tera dan tera ulang alat-alat UTTP oleh Pemerintah
dilaksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tetang Metrologi
Legal. Sesuai dengan undang-undang tersebut, Pemerintah diwajibkan untuk menera
secara periodik alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh
masyarakat untuk kegiatan usaha. Kewajiban pemerintah untuk menera dan tera
ulang alat-alat ukur, takar dan timbang tersebut dimaksudkan untuk memastikan
bahwa alat-alat tersebut berfungsi dengan baik sehingga tidak menimbulkan kerugian
bagi masyarakat umum. Dengan melaksanakan fungsi tersebut kepentingan
masyarakat akan terlindungi dari kemungkinan penggunaan alat-alat takar yang tidak
layak pakai.
Pelaksanaan fungsi tera dan tera ulang tersebut telah didesentralisasikan kepada
Propinsi dengan PP 25 Tahun 1999 dan telah ditindaklanjuti dengan Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 731/MPP/Kep/10/2002. Dari sisi
kewenangan, pelaksanaan tera/tera ulang UTTP dan perlengkapannya oleh Propinsi
telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan bukan merupakan kewenangan
daerah kabupaten/kota sebagaimana dilaksanakan oleh Kabupaten Krawang.
Dari sisi ekonomi, pengenaan retribusi atas jasa tera/tera ulang tidak memiliki dasar
yang cukup kuat karena penyediaan layanan ini tidak responsif terhadap permintaan
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 11
layanan (prinsip efisiensi ekonomi dalam pengenaan retribusi). Penetapan tarif retribusi
tidak akan mempengaruhi pola konsumsi masyarakat terhadap layanan ini. Berapun
tarif retribusi yang akan dikenakan oleh daerah atas setiap jasa tera/tera ulang tetap
akan dibayar oleh masyarakat. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, masyarakat
tidak boleh menggunakan alat-alat UTTP yang tidak ditera/.tera ulang oleh pemerintah
daerah. Hal ini berarti, masyarakat tidak dapat menghindari pembayaran retribusi ini
dengan cara tetap menggunakan alat-alat UTTP yang tidak ditera/tera ulang
Pemerintah. Namun demikian, pengenaan tarif yang terlalu besar yang mengakibatkan
rendahnya kesadaran masyarakat untuk melakukan tera/tera ulang juga perlu
dipertimbangkan sehingga alat-alat UTTP yang digunakan masyarakat tidak merugikan
masyarakat banyak.
Sebaliknya, penyediaan layanan secara gratis (atau dibiayai dari penerimaan umum)
tidak akan mengakibatkan inefisiensi penyediaan layanan karena tidak ada alasan
yang kuat bagi masyarakat untuk melakukan tera secara terus-menerus hanya karena
disediakan secara gratis oleh Pemerintah Daerah. Namun demikian, pembiayaan
layanan dari penerimaan umum (bila disediakan gratis) tidak mencerminkan keadilan
karena akan menambah beban bagi pembayar pajak yang tidak menikmati layanan
tersebut.
Pedagang, pelaku usaha hanya dapat melakukan kegiatan usahanya apabila telah
melakukan kewajibannya untuk menera alat-alat UTTP. Dengan kata lain pungutan ini
merupakan suatu pungutan berbentuk access fee yang dikenakan kepada pengusaha
untuk dapat melakukan kegiatan usaha. Pengusaha yang mengkonsumsi layanan ini
memperoleh manfaat secara pribadi karena yang bersangkutan diberikan akses untuk
melakukan usaha yang tentunya memberikan keuntungan. Konsumsi atas layanan ini
juga memberikan manfaat bagi masyarakat umum berupa terhindarnya dari kerugian
penggunaan alat-alat UTTP yang tidak benar ukuran atau takarannya.
Pertimbangan lain yang juga mendasari pengenaan pungutan atas tera adalah bahwa
penyediaan layanan ini memerlukan biaya yang cukup besar, khususnya pengadaan
peralatan untuk menera alat UTTP yang menggunakan teknologi canggih, seperti
SPBU, meteran taksi, listrik, telepon. Pengenaan retribusi atas pelayanan tersebut
dapat menghasilkan pandapatan yang dapat digunakan oleh daerah untuk
meningkatkan pelayanan dan untuk membiayai kegiatan pengeluaran.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 12
Dari sisi administrasi, pemungutan retribusi ini dapat dilakukan dengan mudah,
khususnya pengenaan retribusi kepada SPBU, TELKOM, PLN, perusahaan angkutan
dan pengenaan sanksi dapat dilakukan dengan mengkaitkan kewajiban ini dengan izin
usaha. Perusahaan perusahaan yang tidak melakukan tera alat-alat UTTP-nya dapat
dikenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha.
Pengenaan retribusi tera kepada pedagang di pasar-pasar secara administratif sulit
dilaksanakan terutama bagi pedagang karena dapat menggangu aktivitas dari
pedagang, disamping ada tambahan biaya yang akan ditanggung oleh pedagang untuk
memenuhi kewajiban tersebut karena pelaksanaan tera dilakukan di UPTD (bukan di
lokasi usaha). Selain itu, perlindungan masyarakat akibat penggunaan alat-alat UTTP
yang tidak benar oleh pedagang pada dasarnya dapat dikoreksi lewat mekanisme
pasar.
Pungutan Jasa Kepelabuhanan
Pelayanan kepelabuhanan khususnya jasa tunda dan jasa pandu merupakan salah
satu contoh pelayanan pemerintah yang sangat layak dikenakan pungutan langsung
(retribusi) karena jasa kepelabuhan tersebut disediakan bagi orang tertentu dan sangat
mudah mengidentifikasikan pengguna layanan tersebut. Penyediaan layanan jasa
kepelabuhan pada prinsipnya dapat dilaksanakan oleh semua level pemerintahan.
Saat ini pelayanan jasa kepelabuhan diselenggarakan oleh satu entity tersendiri yaitu
PT. PELINDO yang merupakan badan usaha milik Negara yang diberikan kewenangan
oleh pemerintah untuk mengelola jasa kepelabuhanan di Indonesia.
Keterlibatan daerah dalam menyediaan fasilitas kepelabuhanan dalam skala tertentu
dapat dibenarkan, namun tentunya perlu dilakukan dengan mempertimbangkan
efisiensi penyediaan layanan. Pada prinsipnya keterlibatan pemerintah daerah dalam
penyediaan layanan diperlukan dengan pertimbangan bahwa layanan tersebut belum
memadai disediakan oleh swasta, atau karena pertimbangan efisiensi (sunk cost)
penyediaan layanan tersebut tidak menarik bagi swasta. Pertimbangan lain adalah
bahwa penyediaan fasilitas pelabuhan tersebut lebih murah oleh pemerintah karena
berbagai faktor-faktor produksi, seperti tanah, biaya perizinan yang ditanggung oleh
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 13
daerah lebih murah sehingga diharapkan harga layanan dapat lebih murah bila
dibandingkan dengan jika layanan tersebut disediakan oleh pihak swasta.
Dalam kasus fasilitas kepelabuhanan, yang tentunya perlu pertimbangan skala
ekonomi dalam penyediaannya, penyediaan fasilitas tersebut oleh pemerintah daerah,
diperkirakan tidak akan efisien. Oleh karena itu, fasilitas kepelabuhanan yang saat ini
telah diselenggarakan oleh PT. PELINDO seharusnya tidak perlu disediakan oleh
pemerintah Daerah. Penyediaan sarana kepelabuhanan berupa jasa tunda yang
dilakukan oleh Kota Cilegon, di pelabuhan-pelabuhan khusus (Pelsus) layak
dilaksanakan tentunya dengan pertimbangan bahwa pelayanan tersebut dapat
memberikan keuntungan yang layak bagi Pemerintah Daerah. Pada dasarnya jenis
pungutan tersebut telah diakomodasi dalam jenis retribusi yang ditetapkan dalam PP
66/2001, yaitu Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.
Pungutan atas Izin Peredaran Minuman Beralkohol
Dari sisi kewenangan, pengenaan retribusi atas pemberian izin peredaran minuman
beralkohol oleh Pemerintah Propinsi tidak sesuai dengan ketentuan perundangan yang
berlaku. Kewenangan pengawasan dan pengendalian peredaran minuman beralkhol
dalam PP 25 tidak secara ekplisit di atur, namun berdasarkan Peraturan Pemerintah
tersebut, Pemerintah pusat memiliki kewenangan dalam pengaturan lalu lintas barang
dan jasa dalam negeri. Sesuai hal tersebut pengaturan lalu-lintas peredaran minuman
beralkohol tetap menjadi kewenangan pusat. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya
secara eksplisit di atar dalam PP 25/1999 tersebut kewenangan propinsi. Sebaliknya,
kabupaten/kota, sesuai dengan Kepmendagri 130-67 Tahun 2002, mempunyai
kewenangan untuk pengawasan dan peredaran minuman beralkohol di tingkat
pengecer/penjual langsung untuk diminum melalui Surat Izin Usaha Perdagangan
Minuman Beralkohol (SIUP-MB).
Pada prinsipnya pengendalian peredaran barang dalam negeri akan lebih efektif
dilakukan secara terpusat sehingga akan mengurangi terjadinya penyelundupan
barang antar daerah dan tidak akan merintangi lalulintas perdagangan. Di beberapa
negara, pungutan dan pengaturan yang merintangi lalulintas barang dan jasa secara
jelas dilarang dengan undang-undang. Dalam rangka menjamin keamanan dan
ketertiban umum sebaiknya yang perlu dikendalikan adalah pembelian minol di tingkat
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 14
konsumen akhir. Oleh karena itu, pemberian kewenangan kepada kabupaten/kota
mengendalikan minuman untuk pengecer dan penjual langsung untuk diminum sudah
tepat.
Dana Pengembangan Keterampilan Kerja (DPKK)
Kewenangan di bidang ketenagakerjaaan, khususnya tenaga kerja asing pendatang,
sampai saat ini masih belum ada kejelasan. Pemerintah Pusat menganggap bahwa
kewenangan tersebut masih menjadi kewenangannya dengan pertimbangan bahwa
kebijaksanaan perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional
secara makro, termasuk di dalamnya perencanaan tenaga kerja secara nasional masih
tetap menjadi kewenangan Pusat (Pasal 7 ayat 2 UU 22/1999). Sementara itu,
berdasarkan Kepmendagri 130-67 tahun 2002 tentang Pengakuan Kewenangan,
kewenangan daerah di bidang ketenagakerjaan, khususnya tenaga kerja asing
pendatang hanya terbatas pada perpanjangan izin kerja sedangkan dalam
kewenangan di bidang Penanaman Modal, ditetapkan bahwa kewenangan daerah
adalah pemberian izin tenaga kerja asing pendatang.
Memang diakui bahwa kebijaksanaan lalu-lintas orang asing, khususnya mengenai
tenaga kerja asing dan keberadaannya di wilayah Indonesia perlu dilakukan melalui
satu pintu (one gate policy). Ketentuan ini dimaksudkan agar dalam penggunaan
tenaga kerja asing tetap memperhatikan pasar tenaga kerja nasional. Sebelum ada
ketentuan penggunaan tenaga kerja warga negara asing (TKWNA) yang baru, maka
yang masih tetap menjadi kewenangan daerah sesuai dengan ketentuan adalah
penerbitan perpanjangan Izin Kerja Tenaga Asing (IKTA) bagi TKWNA yang
dipekerjakan pada lokasi daerah tersebut sesuai dengan Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja (RPTK) yang masih berlaku (UU No. 3 Tahun 1958 tentang Penempatan
Tenaga Kerja Asing).
Sesuai hal tersebut di atas dan agar pengendalian tenaga kerja asing pendatang dapat
berjalan efektif, maka penerbitan izin tetap di Pusat dan perpanjangan diserahkan
kepada daerah. Dengan demikian pungutan berkaitan dengan pemberian izin tersebut
untuk tahun pertama tetap merupakan PNBP, sedangkan pungutan selanjutnya
menjadi penerimaan daerah. Kebijaksanaan tersebut sekaligus untuk mencapai tujuan
yang ingin dicapai dari pengenaan pungutan tersebut, yaitu pengembangan
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 15
keterampilan dan keahlian tenaga kerja nasional. Sebagaimana dimaklumi, pengenaan
pungutan terhadap penggunaan tenaga kerja asing dimaksudkan untuk mengurangi
dampak negatif (adanya opportunity cost) dari penggunaan tenaga kerja asing tersebut
bagi tenaga kerja lokal dan nasional. Dengan demikian baik Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah dapat membiayai pengembangan tenaga kerja sehingga pada
saatnya tenaga asing tersebut dapat digantikan oleh tenaga kerja Indonesia.
Di era otonomi sekarang ini, adanya keinginan banyak pihak agar perusahaan-
perusahaan yang beroperasi di daerah lebih memprioritaskan tenaga kerja lokal, maka
penggunaan tenaga kerja asing akan lebih berdampak pada hilangnya kesempatan
tenaga kerja lokal untuk mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu, kebutuhan dana
untuk pengembangan tenaga kerja lokal menjadi sangat penting untuk
dipertimbangkan. Mempertahankan seluruh dana tersebut sebagai PNBP untuk
selanjutnya dialokasikan kepada daerah dalam bentuk DAU atau instrumen lainnya
tidak memberikan kepastian bahwa dana tersebut akan digunakan untuk pelatihan dan
pengembangan tenaga kerja karena penerimaan tersebut menjadi penerimaan umum
yang penggunaannya tergantung pada prioritas daerah.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
pungutan atas pemberian ITKA berupa DPKK menjadi sangat relevan menjadi
pungutan daerah. Sementara itu, pengembangan tenaga kerja secara nasional dapat
dibiayai dari DPKK yang dipungut oleh Pusat untuk satu tahun pertama dan dari
sumber dana APBN lainnya.
Pungutan atas Izin Usaha Penyelenggaraan Pelayanan & Sarana di Bidang Kesehatan
Pemberian izin usaha penyelenggaraan pelayanan dan sarana di bidang kesehatan
telah menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota sesuai dengan Kepmendagri 130-
67 tentang Pengakuan Kewenangan. Pada dasarnya pengendalian penyelenggaraan
pelayanan dan sarana di bidang kesehatan telah tercover dari izin gangguan. Seluruh
aktivitas/kegiatan usaha yang berpotensi menimbulkan kerugian, bahaya dan ancaman
harus mendapatkan izin ganguan. Demikian juga dengan pelayanan kesehatan, seperti
apotik, juga telah menjadi objek pengendalian dari BPOM atas obat-obatan yang
diperjualbelikan. Dengan demikian, kewenangan daerah dalam pemberian izin usaha
tersebut lebih diarahkan pada registrasi dari setiap usaha yang ada di daerah yang
bersangkutan.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 16
4.3. Penambahan Pajak Daerah Baru
Terdapat dua jenis pajak baru yang layak dijadikan pajak daerah, yaitu Pajak Sarang
Burung Walet dan Pajak Lingkungan.
Pajak Sarang Burung Walet
Pengenaan pajak atas peternakan sarang burung walet dilakukan dengan
pertimbangan bahwa peternakan sarang burung walet tersebut menimbulkan dampak
negatif terhadap lingkungan, berupa kebisingan dan aroma yang tidak sedap. Secara
teoritis pengenaan pajak atas peternakan sarang burung walet dimaksudkan untuk
menginternalisasi biaya yang ditimbulkan aktivitas penangkaran sarang burung walet
tersebut. Biaya tersebut termasuk biaya pengawasan dan pengendalian penangkaran
sarang burung walet agar tidak berdampak negatif terhadap masyarakat sekitar lokasi
penangkaran.
Dari sisi keadilan dalam perpajakan, pengenaan pajak atas penangkaran sarang
burung walet lebih adil karena pada umumnya pengusaha sarang burung walet lebih
mampu dibandingkan dengan peternakan lainnya. Penangkaran sarang burung walet
lebih bersifat eksklusif dibandingkan dengan penangkaran lainnya sehingga
pengenaan pajak tersebut layak dilakukan. Oleh karena itu, saat ini sarang burung
walet tersebut dikenakan PPN oleh Pusat. Dengan demikian secara politis pengenaan
pajak atas sarang burung walet dapat diterima. Untuk mengurangi penolakan
masyarakat terhadap rencana pengenaan pajak daerah, maka sebagai seyogyanya
pemerintah pusat tidak lagi mengenakan PPN atas burung walet tersebut.
Pajak tersebut cocok sebagai pajak daerah karena dampak eksternalitas yang
ditimbulkan oleh aktivitas peternakan burung walet tersebut bersifat lokal. Dari segi
hasil, potensi penerimaan pajak dari sarang burung walet relatif besar khususnya bagi
daerah-daerah dimana penangkaran sarang burung walet banyak dilakukan.
Pajak Lingkungan
Pengenaan pajak lingkungan ini dilakukan terhadap aktivitas usaha manufaktur yang
memberikan dampak negatif terhadap lingkungan berupa pencemaran udara air dan
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 17
tanah. Pengenaan pajak tersebut sekaligus sebagai respon terhadap keinginan banyak
daerah agar kegiatan industri yang berpotensi membebani lingkungan memberikan
kontribusi terhadap perbaikan lingkungan tersebut. Respon terhadap keinginan
tersebut secara politis telah dilakukan dalam rapat pembahasan RUU tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, yang mengusulkan agar dalam
RUU Pajak dan Retribusi Daerah ditetapkan pajak lingkungan.
Pengendalian lingkungan atas terhadap kegiatan industri dilakukan dengan instrumen
regulasi yang tidak memberikan toleransi terhadap pencemaran lingkungan (UU
Nomor Tahun 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup). Sesuai dengan undang-
undang tersebut pemerintah menetapkan ambang batas atas setiap limbah yang akan
dibuang ke sungai, tanah dan udara. Namun demikian pembuangan limbah ke
lingkungan walaupun dalam batas ambang yang ditetapkan, secara kumulatif akan
membebani lingkungan. Saat ini sebagian besar pajak yang dikenakan terhadap
kegiatan usaha merupakan pajak pusat (PPh badan, karyawan dan PPN). Kontribusi
dunia usaha terhadap pengeluaran APBD, khususnya untuk membiayai dampak
negatif dari kegiatan usaha sangat terbatas dan hanya dilakukan melalui mekanisme
bagi hasil (PPh karyawan) dan melalui DAU dan DAK.
Keterbatasan instrumen fiskal daerah terhadap kegiatan usaha dan di pihak lain
adanya ruang untuk mengenakan pajak dan retribusi baru oleh daerah, berbagai
pungutan saat ini telah dikenakan oleh daerah terhadap kegiatan usaha, seperti
retribusi izin usaha industri, yang pada umumnya dikenakan setiap tahun, pendaftaran
usaha, izin gangguan, dan retribusi pembuangan limbah cair. Walaupun retribusi yang
dikenakan tesebut relatif kecil, pengenaan berbagai retribusi tersebut secara
administrasi cenderung membebani dunia usaha.
Untuk mengatasi hal tersebut dan sejalan dengan upaya untuk memberikan taxing
power yang lebih besar kepada daerah, pengenaan pajak lingkungan terhadap
aktivitas usaha yang berpotensi membebani lingkungan perlu dipertimbangkan.
Secara teori dan praktek pengenaan pajak lingkungan (green tax atau environment
tax) dapat diterima. Pengenaan pajak tersebut dilakukan dengan memajaki input
(taxing bads by taxing goods) atau limbah atau produksi. Pilihan terhadap basis pajak
tersebut dapat dilakukan dengan pertimbangan kemudahan administrasi dan efisiensi
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 18
ekonomi. Pengenaan pajak atas penggunaan input yang menghasilkan limbah pada
dasarnya telah dilakukan seperti pajak air oleh daerah, PPN atas bahan bakar minyak.
Pengenaan pajak tersebut dari sisi administrasi sangat mudah dilakukan tetapi tidak
banyak diharapkan dapat meningkatkan efisiensi ekonomi.
Basis pajak berupa limbah secara administratif sulit dilakukan karena sulit mengukur
tingkat pencemaran dari limbah yang dibuang oleh perusahaan, namun lebih
mencerminkan keadilan dalam perpajakan. Pengenaan pajak lingkungan atas tingkat
pencemaran akan lebih efisien dari sisi ekonomi karena pengenaan pajak tersebut
akan memberikan disinsentif bagi perusahaan untuk mengurangi limbah. Dari sisi
administrasi perpajakan, pilihan basis pajak berupa limbah akan menyulitkan
administrasi karena sangat sulit untuk mengukur tingkat pencemaran dari setiap
kegiatan usaha.
Basis pajak lingkungan berupa produksi dari sisi administrasi relatif lebih mudah
karena data produksi dari kegiatan usaha dapat dengan mudah diketahui. Diakui
pilihan produksi sebagai basis pajak kurang adil karena tidak mencerminkan tingkat
pencemaran dari masing-masing kegiatan usaha. Pada dasarnya pengenaan pajak
atas produksi merupakan pajak perusahaan (business tax atau pajak atas izin
(business lisence tax) yang banyak dikenakan di berbagai Negara. Penyebutan pajak
ini sebagai pajak lingkungan diperlukan karena hasil penerimaan pajak tersebut
sebagian (atau seluruhnya) akan digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang
berkaitan dengan pengendalian dan pemeliharaan lingkungan yang telah menjadi
tanggungjawab daerah (earmarking tax). Dengan demikian pengenaan pajak tersebut
lebih akuntabel.
Dari sisi efisiensi ekonomi, pengenaan pajak ini akan meningkatkan biaya produksi
khususnya terhadap kegiatan usaha yang menghasilkan produk yang menjadi input
bagi perusahaan lain. Pengenaan pajak lingkungan tersebut dapat terjadi secara
berulang-ulang dan dapat menimbulkan dampak ekonomi biaya tinggi (tax cascading).
Namun, pengalokasian penerimaan pajak untuk pemeliharaan lingkungan akan
memperkuat daya dukung lingkungan yang pada akhirnya juga akan mengurangi
beban dunia usaha. Selain itu pajak daerah ini dapat menjadi faktor pengurang dalam
perhitungan PPh badan.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 19
Hasil penerimaan pajak diperkirakan cukup besar. Dengan tarif sebesar 0,5% dari
harga pokok penjualan maka penerimaan pajak lingkungan akan mencapai Rp 4,9
triliun, atau sekitar 50% dari keseluruhan PAD kabupaten/kota tahun 2004.
4.4. Perluasan Basis Pajak Daerah
Peningkatan taxing power daerah melalui perluasan basis pajak daerah yang ada
dimaksudkan agar pengenaan pajak lebih adil dan sekaligus untuk menghindari
adanya grey area di lapangan antara pajak Pusat dengan Daerah.
Perluasan basis Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor (BBN-KB) yang mencakup kendaraan pemerintah dimaksudkan untuk lebih
mencerminkan keadilan dalam perpajakan. Setiap pemilik kendaraan baik masyarakat
umum maupun pemerintah wajib menanggung beban pajak. Pengenaan pajak atas
kendaraan pemerintah sekaligus untuk meningkatkan efisiensi anggaran. Dengan
adanya PKB dan BBNKB untuk kendaraan pemerintah maka pengadaan kendaraan
akan dapat dilakukan lebih selektif.
Penambahan obyek pajak restoran dan hiburan dimaksudkan untuk memberikan
kepastian terhadap objek pajak tersebut. Selama ini di beberapa daerah katering ada
yang dipungut oleh Pusat dan ada juga yang dipungut oleh Daerah. Beberapa wajib
pajak tidak bersedia untuk membayar sebagai pajak daerah karena di pihak lain Pusat
juga mengklaimnya sebagai objek PPN. Dengan ditetapkannya katering sebagai pajak
daerah maka Pusat tidak lagi mengenakan PPN atas katering. Berbeda dengan golf
dan bowling selain dapat dikenakan PPN oleh Pusat, juga dapat dikenakan Pajak
Hiburan oleh Daerah. Semua ini ditunjukkan dalam tabel 8.
4.5. Penerapan Bagi Hasil PPN
Bagian ini membahas usulan perbaikan sistem keuangan Pusat dan Daerah lewat cara
yang sekarang mungkin dianggap langkah drastis, yakni bagi hasil PPN. Analisis yang
akan diberikan dalam bagian ini dan berikutnya fokus kepada bagaimana dampak
keuangan yang akan terjadi kepada Daerah dan Pusat, dan bisa saja tidak sejalan
dengan usulan-usulan yang telah dibuat di atas. Analisis ini tidak melihat besar atau
kecilnya kemungkinan penerapannya berdasarkan situasi dan kondisi obyektif yang
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 20
ada saat ini di Indonesia. Dengan kata lain, ini merupakan “uji coba akademik”
(academic exercise).
Ada tiga perspektif yang dipakai sebagai landasan dalam pembahasan usulan ini,
yaitu: (1) meningkatkan penerimaan pajak secara keseluruhan; (2) memperbaiki sistem
pajak daerah dengan menghapuskan (lebih jauh) berbagai pungutan yang tidak sesuai
dengan UU No. 34/2000; dan (3) memperkuat koordinasi penerimaan pajak-pajak
Pusat dan Daerah, dengan menerapkan bagi hasil PPN.
Pertama, memperbesar penerimaan pajak di tingkat makro secara signifikan
merupakan strategi awal yang harus dipilih/diprioritaskan. Rasio penerimaan pajak
terhadap PDB (Tax Ratio) Indonesia selama lima tahun terakhir ini hanya berkisar 13-
14%. Lebih rendah dibanding umumnya negara-negara tetangga ASEAN yang sudah
mencapai rata-rata 18%. Sehingga, prioritas reformasi perpajakan seyogyanya
memberikan perhatian pada peningkatan rasio perpajakan secara signifikan. Dengan
penerimaan negara yang lebih besar, maka penerimaan bagi Pemerintah Daerah pun
akan menjadi lebih banyak. Sudah menjadi hal yang baku di dunia bahwa untuk
mobilisasi penerimaan pajak yang efektif dan efisien, maka pajak-pajak yang potensial
dikelola oleh Pemerintah Pusat.
Kedua, menghapuskan berbagai pungutan (pajak dan retribusi) daerah yang tidak
sesuai dengan UU No. 34/2000. Sudah menjadi pengetahuan umum saat ini bahwa
banyak pungutan yang diterapkan daerah dalam rangka memperkuat PADnya justru
sering menyumbang pada ekonomi biaya tinggi, dan pada gilirannya distortif dan
melemahkan daya saing perekonomian Indonesia. Upaya yang lebih tegas dan tanpa
makan banyak waktu perlu dilakukan untuk ini.
Ketiga, memperkuat koordinasi penerimaan Pusat dan Daerah dengan melakukan
sinkronisasi pajak-pajak Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam konteks ini terbuka
kemungkinan dimana Daerah boleh memungut pajak atas pajak-pajak yang sudah
menjadi pajak Pusat (piggybacked). Pajak-pajak yang mungkin untuk itu misalnya:
PPN, PPh orang pribadi, PPh badan, PBB, dan penerimaan SDA seperti royalti dan ijin
perhutanan serta sewa dan royalti tanah pertambangan.
Dari semua alternatif itu, barangkali yang paling penting adalah PPN. Ada beberapa
kelebihan PPN untuk menjadi sumber penerimaan Pusat dan Daerah. Beberapa
kelebihan tersebut adalah:
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 21
(1) PPN jika dikelola secara efisien dan efektif menjamin penerimaan yang
memadai bagi Pusat dan Daerah. Menilik kondisi Indonesia dewasa ini
dimana kebutuhan dana untuk pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, dan
infrastruktur) sangat mendesak, maka menjamin sumber penerimaan yang
cukup dan stabil bagi pemerintah (Daerah) harus menjadi prioritas utama;
(2) PPN merupakan pajak yang efisien dan berkeadilan secara ekonomi; dan
(3) Secara administratif efisien karena dikelola terpusat.
Namun demikian, perlu dilakukan kajian mendalam tentang bagaimana bagi hasil PPN
antara Pusat dengan Daerah ini bisa dilakukan sebaik mungkin. Secara teoretis, ada
beberapa manfaat dari dilakukannya bagi hasil PPN dengan Pemerintah Daerah.
Pertama, PPN adalah pajak yang tumbuh terus (growth tax) seiring pertumbuhan
ekonomi. Pertumbuhan penerimaan PPN secara keseluruhan memberikan penerimaan
yang lebih banyak bagi Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua, Pemerintah Daerah
akan mendapat insentif menarik dalam mobilisasi penerimaannya. Sebab, boleh
dibilang besarnya penerimaan PPN suatu wilayah menggambarkan intensitas kegiatan
ekonomi daerah. Maka, Daerah akan cenderung berkomitmen tinggi untuk
pertumbuhan ekonominya, sehingga akan meningkatkan basis pajak. Ketiga, disparitas
antar daerah dari bagi hasil PPN juga akan relatif lebih kecil dibandingkan dengan
misalnya bagi hasil pajak penghasilan (PPh) orang pribadi.
Secara ringkas, usulan perbaikan yang diajukan dalam tulisan ini adalah dengan
melakukan sinkronisasi pembiayaan daerah dengan total pembiayaan negara lewat:
(1) Memperbaiki sistem perpajakan daerah, terutama dengan menghapuskan pajak-
pajak yang distortif dan pajak-pajak yang sudah menjadi sumber potensial selama ini,
yaitu: pajak hotel, pajak restoran dan pajak penerangan jalan; dan (2)
membagihasilkan PPN antara Pemerintah Pusat dengan Daerah.
Karena keterbatasan lingkup bahasan, isu-isu mengenai skema transfer keuangan
antara Pemerintah Pusat dan daerah tidak akan dibahas di sini. Namun demikian perlu
disampaikan bahwa bersamaan dengan penerapan usulan ini perlu juga dilakukan
perbaikan Dana Perimbangan (DAU, BHSDA, DAK) untuk menjamin kecukupan dan
stabilitas penerimaan Daerah, adanya distribusi yang lebih merata, dan mendukung
pengembangan perekonomian daerah.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 22
Simulasi Dampak Bagi Hasil PPN1
Bagian ini berisi tentang simulasi yang dilakukan untuk melihat mobilisasi penerimaan
Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan perubahan yang diusulkan. Saat ini, Daerah
hanya mampu membiayai kurang dari 10% total anggarannya dari penerimaan daerah
sendiri. Simulasi ini juga bertujuan untuk memperlihatkan kasus dimana penerapan
bagi hasil PPN akan memampukan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menaikkan
rasio tersebut hingga 40%!
Dalam simulasi ini, ada dua hal krusial yang dilakukan. Pertama, menghapus pajak-
pajak yang “mengganggu” potensi atau basis pajak PPN, yakni: pajak hotel dan
restoran dan pajak penerangan jalan2. Kedua, memperkenalkan bagi hasil PPN,
dimana bagi hasil diberikan kepada Daerah berdasarkan pada tingkat pendapatan
(PDRB) dan jumlah penduduk3.
Disini diasumsikan bahwa tidak ada perubahan kelembagaan lainnya selain dua hal
yang sudah disebut di atas. Sehingga dalam hal DAU, distribusinya memperhitungkan
alokasi minimum (perhitungan lump-sump dan persentase gaji), dan kondisi hold
harmless dengan cara yang sama dengan perhitungan DAU tahun 2003, ditambah
dana penyeimbang.
Besarnya perubahan penerimaan akibat penerapan usulan ini dikaji secara
menyeluruh. Akan dilihat perubahan besaran penerimaan Pemerintah Pusat dan
Daerah sesudah dilakukan bagi hasil. Penerimaan Pemerintah Pusat yang “baru”
1 Berikut ini adalah dua jenis data yang digunakan dalam studi pada bagian ini. Yakni [Data-
1] kalkulasi DAU tahun 2002: Keppres tahun 2002 tentang DAU (Kabupaten/Kota) dan
Keppres di tingkat Provinsi tahun 2002 tentang DAU, dan [Data-2] data pajak daerah yang lebih rinci: perhitungan APBD 2001 baru (Kabupaten/Kota dan Provinsi). Dengan adanya 46
observasi yang hilang (dari 336) untuk Kabupaten/Kota dan 4 observasi (dari 336) untuk Provinsi si [Data-2], maka lebih diprioritaskan menggunakan [Data-1] dan penggunaan
[Data-2] yang lebih terbatas untuk menghitung komposisi penerimaan pajak asli daerah
(PPDS) di Tabel 2. Data penerimaan pajak daerah yang lebih terperinci seperti pajak hotel
dan restoran, dan pajak penerangan jalan juga dapat diperoleh dari [Data-2]. 2 Dalam simulasi ini penerimaan pajak hotel, pajak restoran, dan pajak penerangan jalan di
DKI Jakarta, juga dihapus. 3 Penggunaan data konsumsi lebih diperlukan untuk mengalokasikan dana PPN kepada Pemerintah Daerah. Karena data konsumsi tidak tersedia, digunakan data PDRB dan
informasi jumlah penduduk sebagai indeks distribusi untuk setiap Pemerintah
Kabupaten/Kota. (1) Besaran PDRB Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap total PDB nasional.
(2) Besaran jumlah penduduk Kabupaten/Kota terhadap total penduduk nasional, dan (3) rata-rata dari (1) dan (2). Dengan membedakan ketiga indeks tersebut, digunakan indeks
yang ketiga agar lebih mendekatkan pada tingkat konsumsi daerah yang aktual. Dalam pendistribusian bagi hasil PPN, dihitung total penduduk nasional dan PDB dengan menambah
Pemerintah Kabupaten/Kota dan DKI (Provinsi). Sehingga, bagi hasil PPN juga diasumsikan dapat didistribusikan kepada DKI dalam rerata tertimbang dari besaran penduduk dan
pendapatannya (PDRB) terhadap nasional (hal yang sama juga dilakukan pada Pemerintah Kabupaten/Kota).
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 23
terdiri atas: penerimaan dalam negeri netto ditambah kenaikan penerimaan akibat
perubahan (yakni penerimaan pajak hotel, pajak restoran dan pajak penerangan jalan
yang dipungut sebagai PPN), dikurangi bagi hasil PPN yang ditransfer ke Daerah.
Sementara penerimaan Daerah yang “baru” terdiri dari: penerimaan pajak daerah yang
berasal dari daerah sendiri (PPDS) ditambah dengan bagian Daerah dari bagi hasil
PPN, dikurangi dengan penerimaan pajak hotel, pajak restoran dan pajak penerangan
jalan.
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota disatukan menjadi Pemerintah
Daerah. Selanjutnya dilakukan perhitungan persentase penerimaan pajak daerah yang
berasal dari daerah sendiri terhadap total penerimaan daerah (PPDS/TREV). Ini
dilakukan untuk melihat bagaimana peningkatan kemampuan mobilisasi penerimaan
Pemerintah Daerah.
Tabel 9 menunjukkan dampak penerapan Bagi Hasil PPN antara Pemerintah Pusat
dan Daerah. Dalam simulasi ini, berbagai alternatif perubahan yang terjadi (z: 0%-
50%), dimana: z = 0% berarti menghapuskan pajak hotel dan restoran dan pajak
penerangan jalan tetapi penerimaan PPN tidak ditransfer kepada Pemerintah Daerah.
z = 50% berarti menghapuskan pajak hotel, pajak restoran, dan pajak penerangan
jalan, dimana 50% dari penerimaan PPN ditransfer kepada Pemerintah Daerah, dan
seterusnya. Tabel 9 tersebut memperlihatkan bahwa:
• Semakin tinggi tingkat bagi hasil (z), maka semakin banyak penerimaan yang
akan diterima oleh Pemerintah Daerah. Sebaliknya yang terjadi untuk
Pemerintah Pusat.
• Kenaikan tingkat bagi hasil (z) akan meningkatkan porsi penerimaan Daerah
(Provinsi dan Kabupaten/Kota) terhadap keseluruhan penerimaan Negara dari
30,88% menjadi 38.64%.
• Persentase penerimaan PPDS terhadap total penerimaan daerah
(PPDS/TREV) Pemerintah Daerah adalah awalnya sebesar 22.25%. Kemudian
naik menjadi 25.85% pada tingkat bagi hasil 10% (z=0.1), menjadi 35.77%
pada tingkat bagi hasil 30% (z=0.3), dan naik lagi menjadi 45.68% pada tingkat
bagi hasil 50% (z=0.5).
Dalam skema diatas nampaknya Pemerintah Pusat menjadi pihak yang “dirugikan.”
Namun, akan ditunjukkan bahwa penerapan bagi hasil PPN dapat menguntungkan
baik Pusat maupun Daerah. Ini berlandaskan asumsi bahwa pengelolaan PPN yang
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 24
efisien oleh Pusat tanpa distorsi dari pajak-pajak Daerah dan, bahkan, didukung
secara antusias oleh Daerah, akan menyebabkan basis PPN tumbuh dengan pesat.
Tabel 10 menunjukkan hasil dari dampak makro dengan asumsi terjadinya
pertumbuhan penerimaan PPN (tingkat pertumbuhan ditunjukkan dengan alpha (α)).
Simulasi disini adalah dengan asumsi tingkat bagi hasil PPN antara Pemerintah Pusat
dan Daerah (z) sebesar 0.3 (yakni 30% dari penerimaan PPN ditransfer kepada
Daerah). Dalam Tabel 11 ditunjukkan hasil dimana tingkat bagi hasil (z) diasumsikan
sebesar 0.5 (yakni 50% dari penerimaan PPN ditransfer untuk Pemerintah Daerah).
Jika tingkat bagi hasil z adalah 0.5, maka kenaikan penerimaan Pemerintah Pusat
tidak dapat diharapkan hingga alpha mencapai 1. Namun, jika tingkat bagi hasil adalah
0.3, dapat diharapkan adanya kenaikan penerimaan Pemerintah Pusat setelah alpha
sama dengan 0.4 (yakni pertumbuhan penerimaan PPN = 40%).
Dapat dilihat juga bahwa bagi hasil PPN ini berkontribusi pada perbaikan porsi
penerimaan pajak daerah yang berasal dari daerah sendiri terhadap total penerimaan
daerah (PPDS/TREV). Jika tingkat bagi hasil PPN (z) sebesar 0.5, maka persentase
PPDS/TREV akan meningkat dari 22.25% (awal) menjadi 48,16% (jika tingkat
pertumbuhan penerimaan PPN sebesar 10%), menjadi 53,12% (jika tingkat
pertumbuhan penerimaan PPN sebesar 30%), dan menjadi 58,08% (jika tingkat
pertumbuhan penerimaan PPN sebesar 50%). Dan seterusnya.
5. Kesimpulan
Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia (sebagaimana yang berlangsung di banyak
negara demokratis) diharapkan dapat menciptakan pengelolaan fiskal yang efektif dan
efisien. Namun, harapan tersebut masih jauh dari terlaksana. Pertama, sumber-sumber
penerimaan yang stabil belum dipersiapkan untuk Pemerintah Daerah. Data
menunjukkan bahwa menyangkut Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota)
dalam potret keuangan Indonesia, hanya 22,25% dari total penerimaan daerahnya
yang diperoleh berasal dari daerahnya sendiri (PPDS). Keinginan daerah untuk
meningkatkan penerimaan daerahnya sendiri secara signifikan belum terjamin dengan
sumber-sumber penerimaan yang ada. Konsekuensinya, Daerah sangat bergantung
pada transfer dari Pemerintah Pusat.
Kedua, beberapa pajak daerah memiliki kecenderungan untuk mengikis potensi pajak-
pajak nasional di Indonesia. Pajak hotel dan restoran dan pajak penerangan jalan saat
ini, yang yang berkontribusi sekitar 12% dari total penerimaan pajak daerah sendiri
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 25
(PPDS) di Pemerintah Kabupaten/Kota, diberlakukan seperti layaknya PPN. Hal ini
tidak hanya menyebabkan hilangnya penerimaan Pemerintah Pusat tetapi juga
mengakibatkan inefisiensi pemungutan pajak secara nasional.
Tulisan ini mengusulkan reformasi yang bertujuan meningkatkan local taxing power
dan efektivitas mobilisasi penerimaan untuk Pemerintah Daerah (dan Pusat). Upaya
peningkatan kemampuan keuangan daerah yang bisa berjalan serentak nampaknya
adalah (1) pengalihan pajak Pusat tertentu menjadi pajak daerah, (2) pengalihan PNBP
tertentu kepada Daerah, (3) penambahan pajak Daerah baru, dan (4) penguatan basis
pajak Daerah.
Pemikiran yang mungkin saat ini dianggap “radikal” diajukan juga disini, (meski
disadari mungkin tidak compatible dengan beberapa usulan di atas) yakni sinkronisasi
pajak-pajak daerah dan nasional, lewat (1) penghapusan beberapa pajak daerah
(pajak hotel dan restoran dan pajak penerangan jalan) yang terbukti “mengganggu”
basis pajak Pusat dan sebagai kompensasinya (2) melakukan bagi hasil PPN antara
Pemerintah Pusat dan Daerah.
Simulasi bagi hasil PPN menunjukkan bahwa penggunaan bagi hasil PPN antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah akan membawa peningkatan penerimaan
yang substansial bagi Pemerintah Daerah di Indonesia.
Ditunjukkan dalam tulisan ini bahwa penerapan bagi hasil tidak selalu menghasilkan
zero-sum game antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pilihan yang tepat atas
penerimaan pajak daerah sendiri (PPDS) memungkinkan Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah memperoleh hasil yang positif. Penggunaan bagi hasil PPN
diyakini akan meningkatkan komitmen baik Pusat maupun Daerah untuk mendorong
laju perekonomiannya, yang akan berakibat pada peningkatan potensi penerimaan
keuangan. Semakin berkembangnya penerimaan dari PPN akan menawarkan lebih
banyak penerimaan bagi Pemerintah Pusat. Sehingga, komitmen pada pertumbuhan
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menimbulkan kesempatan bagi Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah untuk bersama-sama mendapat manfaat.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 26
Daftar Pustaka
Ahmad, E and R Krelove, 2000, Tax Assignments: Options for Indonesia, makalah dipresentasikan dalam “Indonesia: Decentralization Sequencing Agenda”, 20-21 Maret 2000, Auditorium Plaza Mandiri, Jl. Jend. Gatot Subroto – Jakarta
Brodjonegoro, B. dan J. Martinez-Vazquez, 2002, An Analysis of Indonesia’s Transfer System: Recent Performance and Future Prospect, makalah dipresentasikan untuk konferensi “Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?” Konferensi disponsori oleh Andrew Young School of Policy Studies, George State University, 1-3 Mei, Evergreen Resort, Stone Mountain Park, Atlanta, Andrew Young School of Policy Studies, George State University
Lewis, B.D., 2001, The New Indonesian Equalization Transfer, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 37(3), 325-343
Mahi, R., R. Simanjuntak, K. Muchtar, dan B. Brodjonegoro, 2000, Alternative Local Revenue and Tax Sharing: Some Notes on the Implementation Law No. 25/1999, makalah dipresentasikan dalam “Indonesia: Decentralization Sequencing Agenda”, 20-21 Maret 2000, Auditorium Plaza Mandiri, Jl. Jend. Gatot Subroto – Jakarta
Sidik, M. dan Kadjatmiko, 2002, Indonesia Fiscal Decentralization: Combining Expenditure Assignment and Revenue Assignment, makalah dipresentasikan untuk konferensi “Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?” Konferensi disponsori oleh Andrew Young School of Policy Studies, George State University, 1-3 Mei, Evergreen Resort, Stone Mountain Park, Atlanta, Andrew Young School of Policy Studies, George State University
Simanjuntak, R. dan Raksaka Mahi, 2003, Local Tax Revenue Mobilization and Local Borrowing, makalah dipresentasikan dalam International Symposium on Indonesia’s Decentralization Policy: Problems and Policy Directions, 31 Januari – 1 Februari 2003, Hitotsubashi Memorial Hall, Hitotsubashi University, Tokyo, Japan
Simanjuntak, Robert, 2006, Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai: Sebuah Alternatif Penguatan Keuangan Daerah di Era Desentralisasi, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia (JEPI), Vol. VI No.2, Januari, Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi UI.
Sirait, Lisbon, 2006, Evaluasi Atas Kelayakan Pengenaan Retribusi Atas Fungsi Pelayanan dan Perizinan yang Diselenggarakan Daerah, Tesis Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik FEUI, Tidak dipublikasikan.
Silver, C., Iwan Jaya Azis, dan Schroeder L., 2000, Intergovernmental Transfer and Decentralization in Indonesia, Bulletin of Indonesian Economics Studies, Vol. 37 (3), 345-362.
Naskah Akademik untuk Revisi Undang-Undang No 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 27
Lampiran
Tabel 1. Indonesia: Tax Assignment 2004
Responsibility Disposition Revenues (%) Type of Tax Base Rate Admin Center Province Local
National Tax Oil and Gas Receipts Income Tax – Corporate Value Added Taxes Import Duties Excises Export Tax Tax/Revenue Sharing Income Tax – Personal Land and Building Tax 1) Land and Bulding Transfer Tax 2) Forestry – Royalties 3) Forestry – Licenses 4) Mining – Landrents 5) Mining – Royalties 6) Oil 7) Natural Gas 8) Geothermal 9) Province Tax Vehicle Tax Vehicle Transfer Tax Fuel Tax Exploration Tax of Surface and Underground Water Local Tax Hotels Tax Restaurants Tax Entertainment Tax Advertisement Tax Street Lightening Tax Mine Exploration Tax (type C) Parking Tax
C C C C C C C C C C C C C C C C C, P C, P C, P C, P C, L C, L C, L C, L C, L C, L C, L
C C C C C C C C C C C C C C C C P P P P L L L L L L L
C C C C C C C C, P, L C C C C C C C C P P P P L L L L L L L
100 100 100 100 100 100 80 10 20 20 20 20 20 84.5 69.5 20 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 8 see notes “ “ “ “ “ 3 6 16 30 30 10 100 0 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0 12 see notes “ “ “ “ “ 12.5 24.5 64 70 70 90 0 100 100 100 100 100 100 100
Sumber: Law 33/2004, Law 25/1999, Law 34/2000, and several government
regulations
Catatan: 1) from the central share (10%): 6.5% will be distributed evenly to
districts/cities and 3.5% is collection incentives; from the region’s share (90%): 16.2%
are provinces share, 64.8% local shares, and 9% collection costs. 2) all the central
share (20%) will be distributed evenly to districts/cities; and 80% of the regions share:
16% for provinces and 64% for districts/cities. 3) 80% of regional share: 16% province,
32% producing districts/cities, 32% other districts/cities in the province. 4) 80% regional
share: 16% province, 64% producing districts/cities. 5) and 6) 80% regional share: 16%
province, 32% producing districts/cities, 32% other districts/cities in the province. 7)
and 8) the centre portion reduced by 0.5% to add regional portion, and this additional
revenues earmark for basic education, 9) introduced in Law 33/2004.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 28
Tabel 2. Conceptual Basis of Tax Assignment
Determination of Type of Tax Base Rate
Collection & Administration
Comments
Customs Corporate Income Personal Income Resource Taxes - resource rent (profits, income) tax - royalties, fees, charges, severance taxes, production, output, and property taxes - conservation charges Wealth Taxes (taxes on capital, wealth, wealth transfers, inheritances, and bequests) Payroll Value-Added Tax (Multi-stage sales taxes) Single-stage sales taxes (retail, manufacturer, wholesale) - option A - option B “Sin” Taxes - excise on alcohol & tobacco - betting, gambling - lotteries - race tracks Taxation of “Bads” - carbon - BTU taxes - motor fuels - effluent charges
F F F F S, L S, L F F, S F S F F, S S, L S, L S, L F F, S, L F, S, L F, S, L
F F F, S, L F S, L S, L F, S F, S F S, L S F, S S, L S, L S, L F F, S, L F, S, L F, S, L
F F F F S, L S, L F F, S F S, L F F, S S, L S, L S, L F F, S, L F, S, L F, S, L
International trade taxes. Mobile factor, stabilization tool. Redistributive, mobile factor & stabilization tool. Highly unequally distributed tax bases. Benefit taxes/ charges for state & local services. To preserve local environment. Redistributive Benefit charge, e.g. social security coverage. Border tax adjustments possible under federal assignment; potential stabilization tool. Higher compliance cost. Harmonized, lower compliance cost. Health care a shared responsibility. State and local responsibility. State and local responsibility. State and local responsibility. To combat global/ national pollution. Pollution impact
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 29
- congestion tolls - parking fees Motor Vehicles - registration, transfer taxes & annual fees - driver’s licenses and fees Business Taxes Excises Property Land Frontage, betterment Poll
F, S, L L S S S S, L S S S, L F, S, L
F, S, L L S S S S, L L L L F, S, L
F, S, L L S S S S, L L L L F, S, L
may be national, regional or local. Tolls on federal/ provincial/local road. To deal with interstate, intermunicipal or local pollution issues. Tolls on federal/ provincial/local road. To control local congestion. State responsibility. State responsibility. Benefit taxes Residence-based taxes. Completely immobile factor, benefit tax. Completely immobile factor, benefit tax. Cost recovery. Payment for services.
User Charges
F, S, L F, S, L F, S, L Payment for services received.
Sumber: World Bank and IMF, various policy studies.
Catatan: F is federal or central; S is state or province, L is local or municipal
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 30
Tabel 3. A Summary View of Subnational Tax Assignment in 15 Developing
Countries
Number of countries with subnational determination of Type of Tax Base Rate Collection & Admin
- Customs - Income - Estates - Corporate - Resource - Sales - Value Added Taxes - Excises - Property - Fees - Residual Powers
1 1 4 1 3 4 1 8 11 10 2
1 1 4 1 3 5 1 8 12 10 2
2 6 4 4 6 7 4 12 14 12 2
Data include Argentina, Bangladesh, Brazil, China, Colombia, India, Indonesia,
Malaysia, Mexico, Nigeria, Pakistan, Papua New Guinea, Philippines, Russia,
Thailand.
Sumber: World Bank, berbagai penerbitan.
Tabel 4. Disparitas Penerimaan Pajak Daerah dan PNBP SDA Kehutanan dan Pertambangan Tahun 2004 (dalam miliar Rp)
Variabel PAD Provinsi
IHPH PSDH Land rent
Royalti
1 2 3 4 5 Tertinggi 6.430,33 18,33 1894,97 10,10 464,62 Terendah 0,19 0,08 0.07 0,01 0,0009 Rata-rata 708,03 3,13 20,48 1,17 46,54 Standar Deviasi 1.268,12 5,13 39,66 2,01 102,76 Koefisien variasi 1,79 1,64 1,94 1.71 2,21 Jumlah daerah 30 11 27 28 22
Sumber: diolah oleh penulis.
Tabel 5. Dampak Penyerahan Kewenangan Pemungutan Retribusi terhadap Disparitas Penerimaan Daerah
Variabel Alternatif I Alternatif II Alternatif III 1+2+3+4+5 1+2+4 1+3+5 Tertinggi 6.430,33 6.430,33 6.430,33 Terendah 20,88 19,30 1,77 Rata-rata 762,32 760,04 710,31 Standar Deviasi 1.263,70 1.263,93 1.267,53 Koefisien variasi 1,66 1,66 1,78
Catatan: Alternatif I sd III berdasarkan tabel 4
Sumber: diolah oleh penulis.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 31
Tabel 6. Kelayakan PNBP dari Pertambangan Umum dan Kehutanan sebagai Pungutan Retribusi Daerah
No. Fungsi Pemerintahan
Jenis PNBP Kategori Pungutan Kelayakan
Landrent Retribusi Perizinan Tertentu
Layak 1 Pemberian Izin Usaha Pertambangan Landrent layak sebagai pungutan
daerah karena pungutan tersebut sangat terkait dengan pemberian izin yang telah menjadi kewenangan daerah, namun memerlukan perubahan UU 33/2004
Royalti Pajak Tidak layak
2
Royalti tidak layak menjadi pungutan daerah karena hasil penerimaan timpang antar daerah, bersifat fluktuatif, dan dampak negatif dari aktivitas pertambangan tidak hanya ditanggung oleh daerah setempat
Iuran Hak Pengusahaan Hutan
Retribusi Perizinan Tertentu
Layak 3 Pemberian Izin/Hak Pengusahaan Hutan
IHPH layak menjadi pungutan daerah karena terkait dengan pemberian izin yang telah menjadi kewenangan daerah, namun memerlukan perubahan UU 33/2004
Iuran Hasil Hutan (PSDH)
Pajak Tidak layak 4
PSDH tidak layak sebagai pungutan daerah karena hasil yang timpang antar daerah, bersifat fluktuatif, dan dampak negatif dari aktivitas pertambangan tidak hanya ditanggung oleh daerah setempat
5 Dana Reboisasi
Dana Jaminan Layak
Dana reboisasi layak sebagai pungutan daerah karena sebagian tanggung jawab pelestarian hutan telah menjadi kewenangan daerah, namun memerlukan perubahan UU 33/2004.
Sumber: diolah oleh penulis.
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 32
Tabel 7. Jenis PNBP yang layak ditetapkan sebagai pungutan Daerah
No. Kewenangan di Bidang
Jenis PNBP Golongan Retribusi
Keterangan
1 Perindustrian dan Perdagangan
Jasa Tera/tera ulang Jasa Umum Layak
2 Perhubungan Jasa Kepelabuhanan
Jasa Usaha Layak
3 Ketenagakerjaan DPKK Perizinan Tertentu
Layak
4 Perindustrian dan Perdagangan
Pungutan atas Izin Peredaran Minuman Beralkohol
Perizinan Tertentu
Tidak layak, karena lebih efektif dilakukan di tingkat pusat (bukan kewenangan daerah)
5 Kesehatan Pungutan atas Izin Usaha Penyelenggaraan Pelayanan & Sarana di bidang Kesehatan
Jasa Umum Layak, namun hanya bersifat administratif, karena aktivitas tersebut telah dikenakan izin HO
Sumber: diolah oleh penulis.
Tabel 8. Perluasan Basis beberapa Pajak Daerah
No. Jenis Pajak Daerah Perluasan Basis Pajak Alasan 1. PKB Termasuk kendaraan
pemerintah Keadilan dalam perpajakan dan efisiensi penggunaan anggaran
2. BBN-KB Termasuk kendaraan pemerintah
Keadilan dalam perpajakan dan efisiensi penggunaan anggaran
3. Pajak Restoran Jasa boga Lebih bersifat lokal 4. Pajak Hiburan Bowling, Golf Lebih bersifat lokal
Sumber: diolah oleh penulis
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 33
Tabel 9. Dampak Makro dari Penerapan Bagi Hasil PPN
Tingkat Perubahan Penerimaan Total (%)
Proporsi Penerimaan Pemerintah Pusat
dan Daerah (%)
Proporsi PPDS terhadap
Penerimaan Total (%) z (Tingkat Bagi Hasil
Dana PPN (%)) Pemerintah
Pusat Pemerintah
Daerah Pemerintah
Pusat Pemerintah
Daerah
Sekarang: Sebelum
Bagi Hasil PPN
Sesudah Bagi Hasil PPN
Penerimaan Sebelum Bagi Hasil PPN (Rp. Triliun) 343.20 153.35
0 0.62 -1.36 69.12 30.88 22.25 20.89 10 -1.64 3.60 67.57 32.43 22.25 25.85 20 -3.90 8.55 66.02 33.98 22.25 30.81 30 -6.16 13.51 64.47 35.53 22.25 35.77 40 -8.42 18.47 62.92 37.08 22.25 40.72 50 -10.68 23.43 61.36 38.64 22.25 45.68
Catatan: Tingkat pertumbuhan PPN (alpha)=0
Sumber: Hasil Perhitungan Penulis dari Data Departemen Keuangan, 2004.
Tabel 10
Peningkatan Penerimaan PPN (dengan Peningkatan Efisiensi) & Dampak
Makronya
Tingkat Perubahan Penerimaan Total (%)
Proporsi Penerimaan Pemerintah Pusat
dan Daerah (%)
Proporsi PPDS terhadap
Penerimaan Total (%)
Tingkat Pertumbuhan
PPN (dPPN/PPN) (alpha)
Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah
Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah
Sekarang: Sebelum
Bagi Hasil PPN
Sesudah Bagi Hasil
PPN
0 -5.54 13.51 64.62 35.38 22.25 35.77 10 -3.96 15.00 64.70 35.30 22.25 37.25 20 -2.37 16.49 64.78 35.22 22.25 38.74 30 -0.79 17.98 64.86 35.14 22.25 40.23 40 0.79 19.46 64.93 35.07 22.25 41.72 50 2.37 20.95 64.62 35.38 22.25 43.20
Catatan: Asumsi z = 0,3
Sumber: Hasil Perhitungan Penulis dari Data Departemen Keuangan, 2004
Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 34
Tabel 11 Peningkatan Penerimaan PPN (dengan Peningkatan Efisiensi) & Dampak
Makronya
Tingkat Perubahan Penerimaan Total (%)
Proporsi Penerimaan Pemerintah Pusat
dan Daerah (%)
Proporsi PPDS terhadap
Penerimaan Total (%)
Tingkat Pertumbuhan
PPN (dPPN/PPN) (alpha)
Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah
Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah
Sekarang: Sebelum
Bagi Hasil PPN
Sesudah Bagi Hasil PPN
0 -10.05 23.43 61.53 38.47 22.25 45.68 10 -8.93 25.91 61.35 38.65 22.25 48.16 20 -7.80 28.39 61.18 38.82 22.25 50.64 30 -6.67 30.87 61.02 38.98 22.25 53.12 40 -5.54 33.35 60.86 39.14 22.25 55.60 50 -4.41 35.82 61.53 38.47 22.25 58.08 Catatan: Asumsi z = 0,5
Sumber: Hasil Perhitungan Penulis dari Data Departemen Keuangan, 2004