Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

35
KAJIAN SINKRONISASI PUNGUTAN PUSAT DAN DAERAH Tim Penyusun : Dr. Robert P. Simanjuntak (Universitas Indonesia) Drs. Masrizal, M.Soc.Sc. (Universitas Andalas) Drs. Abdul Hamid Paddu (Universitas Hasanuddin) Lisbon Sirait, SE., ME. (Departemen Keuangan) TIM ASISTENSI MENTERI KEUANGAN BIDANG DESENTRALISASI FISKAL DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2006

Transcript of Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Page 1: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

KAJIAN SINKRONISASI PUNGUTAN PUSAT DAN DAERAH

Tim Penyusun :

Dr. Robert P. Simanjuntak (Universitas Indonesia)

Drs. Masrizal, M.Soc.Sc. (Universitas Andalas)

Drs. Abdul Hamid Paddu (Universitas Hasanuddin)

Lisbon Sirait, SE., ME. (Departemen Keuangan)

TIM ASISTENSI MENTERI KEUANGAN BIDANG DESENTRALISASI FISKAL

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

TAHUN 2006

Page 2: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 1

KAJIAN SINKRONISASI PUNGUTAN PUSAT DAN DAERAH

1. Latar Belakang dan Tujuan

Sistem keuangan publik di Indonesia sampai saat ini masih diwarnai oleh ketimpangan

hubungan antara Pusat dengan Daerah. Sebagian besar sumber-sumber keuangan

yang potensial berada dalam kewenangan Pusat, sementara pada umumnya Daerah

hanya menguasai sumber-sumber penerimaan sendiri yang kurang memadai relatif

dibandingkan besar pengeluarannya. Konsekuensinya adalah Daerah menjadi amat

bergantung kepada transfer dari Pusat.

Ketergantungan tersebut terasa ironis ketika negeri ini melakukan penataan ulang

sistem penyelenggaraan pemerintahannya, dari sistem yang tersentralisasi menjadi

sistem dengan otonomi daerah yang luas. Sejak implementasi pelaksanaan otonomi

daerah pada tahun 2001, Daerah (terutama: Kabupaten/Kota) memiliki kewenangan

politik dan administratif yang jauh lebih luas dibandingkan era sebelumnya. Namun,

secara keuangan, tingkat ketergantungannya secara umum menjadi lebih besar.

Upaya penguatan sumber penerimaan daerah sendiri yang telah dicoba selama ini

lebih terfokus kepada identifikasi sumber-sumber penerimaan (pajak-pajak) daerah

yang baru, dan kurang menyentuh sumber-sumber yang potensial (pajak Pusat).

Kemungkinan pengalihan pajak Pusat menjadi pajak Daerah (seperti misalnya PBB),

atau bagi hasil dari pajak-pajak Pusat yang potensial (selain PPh orang pribadi), masih

dianggap terlalu jauh.

Akibatnya, upaya tersebut kurang berhasil karena hanya berkutat pada wilayah yang

memang sudah sempit atau kurang potensinya. Malah yang terjadi banyak daerah

berupaya keras mencari sumber-sumber pajak (pungutan) baru tanpa memikirkan

dampaknya kepada ekonomi biaya tinggi, serta efeknya yang distortif terhadap

perekonomian.

Tulisan ini bertujuan untuk membahas beberapa alternatif penguatan keuangan daerah

yang akan menjadi bahan kajian, yakni:

• penambahan jenis pajak dan retribusi daerah, yang diantaranya bisa berupa

pengalihan pajak pusat; dan/atau

• perluasan obyek pajak/retribusi daerah; dan/atau

• penambahan jenis bagi hasil pajak pusat kepada daerah.

Page 3: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 2

Pada hakekatnya, alternatif-alternatif tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan taxing

autonomy dan taxing power serta akuntabilitas dari daerah dengan tetap

memerhatikan stabilitas makroekonomi dan keuangan negara, serta berdasarkan

prinsip-prinsip yang lazim diterapkan. Sinkronisasi dari pajak pusat dan daerah adalah

krusial di sini, dimana tidak boleh ada double taxation dan dimungkinkannya

penghapusan pajak-pajak yang dianggap tidak efisien, distortif, atau bahkan

mengganggu efektivitas pelaksanaan berbagai alternatif tersebut di atas.

Dengan demikian rambu-rambu yang ada dalam UU No 34 Tahun 2000 digunakan

secara utuh sebagai acuan dalam kajian ini. Rambu-rambu (kriteria) tersebut adalah:

• bersifat pajak dan bukan retribusi;

• obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang

• bersangkutan dan mempunyai mobilitas yang cukup rendah, serta hanya

• melayani masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan;

• obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan

umum;

• obyek pajak bukan merupakan obyek pajak propinsi dan/atau obyek pajak

pusat;

• potensinya memadai;

• tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;

• memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan

• menjaga kelestarian lingkungan.

2. Tax Assignment di Indonesia Dewasa Ini

Seperti disebutkan sebelumnya, selama ini upaya yang dilakukan untuk memperbaiki

pendapatan Daerah lebih fokus kepada menambah jenis-jenis pajak yang boleh

dipungut. Persoalannya adalah berbagai jenis pajak yang potensial sudah menjadi

pajak Pusat. Sehingga penambahan jenis pajak Daerah untuk peningkatan kapasitas

fiskal Pemerintah Daerah tersebut malah bisa mendistorsi keuangan negara dan

perekonomian secara keseluruhan. Oleh karena itu, pemikiran yang cermat mesti

dilakukan untuk mencari jenis-jenis pajak yang dapat diterapkan untuk memperkuat

kapasitas fiskal Daerah. Selain itu, mesti ditekankan pula pentingnya sinkronisasi

perpajakan Pemerintah Pusat dengan Daerah.

Page 4: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 3

Sebagai langkah awal sebelum melakukan kajian untuk mencari alternatif penguatan

keuangan daerah yang sinkron dengan keuangan negara, adalah perlu untuk

mengetahui kondisi tax assignment pada setiap tingkat pemerintahan di Indonesia saat

ini. Ini digambarkan secara ringkas pada tabel 1.

3. Prinsip-prinsip Tax Assignment

Dalam rangka mencari tahu dan menyusun sumber-sumber penerimaan yang layak,

cocok dan sinkron untuk setiap tingkatan pemerintahan di Indonesia, perlu dipahami

dulu teori dan berbagai konsep yang lazim dikenal serta digunakan dalam tax

assignment. Pengalaman negara-negara lain juga bisa dijadikan acuan.

Musgrave (1983) menggunakan kriteria equity (konsistensi antara sumber-sumber

penerimaan dengan kebutuhan pengeluaran) dan efficiency (biaya yang sekecil

mungkin) sebagai landasan untuk mengembangkan prinsip-prinsip tax assignment

sebagai berikut:

• pajak-pajak yang sifatnya progresif dan redistributif seyogyanya menjadi pajak

nasional/pusat;

• pajak-pajak yang cocok dan dapat digunakan untuk stabilisasi ekonomi

seyogyanya menjadi pajak nasional/pusat;

• pajak-pajak yang basisnya tidak merata antar daerah seyogyanya menjadi

pajak nasional/pusat;

• pajak atas faktor-faktor produksi atau obyek yang mobil seyogyanya menjadi

pajak nasional/pusat;

• pajak-pajak yang basisnya “menetap” (residence-based) seyogyanya menjadi

pajak daerah (utamanya: provinsi)

• pajak atas faktor-faktor atau obyek yang tidak mobil sama sekali seyogyanya

menjadi pajak daerah (utamanya: kota/kabupaten)

• pajak atas manfaat yang diberikan (benefit taxes) dan retribusi (user charges)

dapat dikenakan oleh setiap tingkatan pemerintah.

Landasan lain yang dapat digunakan untuk tax assignment dan sejalan atau tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip Musgrave di atas, adalah dua kriteria berikut:

Page 5: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 4

• Efisiensi dalam Administrasi Perpajakan. Tingkat pemerintahan yang memiliki

informasi terbaik/terlengkap atas suatu obyek pajak adalah yang

berwenang/bertanggung jawab atas pajak tersebut. Sebagai misal, untuk PPh

perusahaan, pusat lah yang paling mungkin memiliki informasi akurat

menyangkut pendapatan perusahaan dari berbagai sumber dalam dan luar

negeri. Di lain pihak, untuk pajak properti, pemerintah daerah relatif memiliki

keunggulan dibanding pusat untuk melakukan penilaian maupun evaluasi

properti di daerahnya.

• Kebutuhan Fiskal. Berdasarkan kriteria ini, sumber dan instrumen penerimaan

seyogyanya sepadan dan sedekat mungkin dengan kebutuhan penerimaan.

Jadi, instrumen penerimaan perpajakan yang digunakan untuk mendorong

pencapaian suatu kebijakan seyogyanya diserahkan kepada tingkat

pemerintahan yang bertanggungjawab melaksanakan kebijakan tersebut.

Pajak-pajak yang bersifat progresif redistributif, yang bisa sebagai alat

stabilisasi, dan yang terkait sumber daya alam, lebih cocok di tangan

pemerintah pusat. Sementara tol antar kota seyogyanya menjadi kewenangan

provinsi.

Berdasarkan kriteria-kriteria ini, assignments dari berbagai jenis pajak yang lazim di

dunia kepada setiap tingkat pemerintahan ditunjukkan dalam tabel 2 berikut.

Sementara praktik dan pengalaman di beberapa negara berkembang (termasuk

Indonesia) menyangkut tax assignment dapat diringkas dalam tabel 3.

4. Beberapa Pemikiran ke Depan

Berdasarkan berbagai prinsip yang dikemukakan di bagian depan dan dalam rangka

menyinkronkan pungutan Pusat dan Daerah lewat penguatan keuangan Daerah, maka

beberapa alternatif berikut diajukan.

• Pengalihan PBB (dan BPHTB) menjadi Pajak Daerah

• Pengalihan beberapa pungutan Pusat (PNBP) ke Daerah

• Penambahan dua jenis Pajak Daerah baru

• Perluasan basis Pajak Daerah; dan

• Penerapan bagi hasil PPN disertai penghapusan beberapa Pajak Daerah yang

mendistorsi penerimaan PPN (menggerus basis PPN).

Page 6: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 5

4.1. Pengalihan PBB & BPHTB ke Daerah

Dalam kajian ini, berbagai argumen menyangkut pengalihan PBB dan BPHTB menjadi

pajak daerah tidak akan dibahas secara rinci, mengingat sudah ada tulisan mengenai

hal itu yang dibuat oleh para penulis. Apa yang dikemukakan di sini hanyalah uraian

secara ringkas saja.

Secara praktis, sesungguhnya pajak-pajak ini sudah merupakan pajak daerah, paling

tidak dilihat dari sisi kepada siapa sebagian besar penerimaannya diserahkan. Namun

kewenangan dalam hal penentuan basis pajak dan pentarifan masih berada pada

Pusat. Seyogyanya ini diserahkan kepada daerah kabupaten/kota, meskipun dapat

dilakukan secara bertahap dimulai dari, misalnya, kewenangan menentukan tarif. Jika

ini bisa dilakukan maka buat sebagian daerah akan menjadi sumber PAD yang amat

signifikan dibandingkan keseluruhan penerimaan pajak-pajak daerah selama ini.

Disamping itu, sifat lokalitas, visibilitas dan immobilitas dari obyek PBB dan BPHTB

menjadi alasan sangat penting mengapa ini seyogianya jadi pajak daerah. Apalagi

kalau dikaitkan dengan pelayanan masyarakat, dimana prinsip akuntabilitas dan

transparansi menjadi isu yang amat disoroti di era otonomi daerah. Pengalaman di

banyak negara menunjukkan bahwa beban pajak properti sering dikaitkan langsung

dengan pelayanan masyarakat yang diberikan oleh pemerintah daerah, misalnya

dalam menyediakan dan memelihara sarana-prasarana publik. Untuk konteks

Indonesia, mungkin yang paling feasibel adalah pengalihan PBB sektor perkotaan,

perdesaan dan perkebunan. Dua sektor lain, pertambangan dan kehutanan, memiliki

kompleksitas yang lebih tinggi, sehingga barangkali masih lebih baik dipertahankan

sebagai pajak Pusat.

Persoalan yang mungkin timbul adalah dari segi kemampuan aparat daerah terutama

dalam penentuan basis pajak. Ini menyangkut kemampuan teknis karena penilaian

juga mesti mengikuti perkembangan harga pasar. Selain itu, terbuka kemungkinan

kecilnya kemauan politik daerah untuk mengenakan tarif yang memadai dan/atau

menerapkan sanksi yang keras berhubung ini terkait langsung dengan kepentingan

politik penguasa yang bersangkutan di daerah. Hal lain yang juga kemungkinan dapat

menjadi masalah adalah masih terbatasnya pengalaman daerah dalam

Page 7: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 6

pengembangan sistem informasi. Kesulitan-kesulitan itu pula yang barangkali

menyebabkan sebagian daerah lebih suka kalau pajak ini tetap menjadi pajak pusat

sementara daerah cukup menantikan bagiannya saja. Namun demikian, mengingat

pengalaman dari aparat daerah, ditambah tuntutan era reformasi dan desentralisasi,

maka semestinya dalam jangka menengah persoalan tersebut bisa diatasi. Lagipula

satu hal yang sulit terbantahkan bahwa yang paling memahami soal daerah tentunya

adalah orang daerah sendiri.

4.2. Pengalihan Beberapa PNBP ke Daerah

Pengalihan beberapa jenis penerimaan negara bukan pajak (PNBP) menjadi perlu

karena adanya pengalihan fungsi/kewenangan dari Pusat kepada Daerah.

Terdapat 2 kategori PNBP yang berkaitan dengan penyerahan kewenangan kepada

Daerah, yaitu (1) PNBP yang berasal dari pemanfaatan sumber daya alam (PNBP

SDA) dan (2) PNBP yang berasal dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh

pemerintah (PNBP Fungsional). PNBP SDA merupakan pungutan yang lebih bersifat

pajak (license fee), bukan pungutan yang berkaitan dengan pemulihan biaya (cost

recovery) untuk penyediaan layanan.

Sesuai dengan dengan pembagian kewenangan di bidang pertambangan, kehutanan

dan perikanan, daerah diberikan kewenangan untuk menerbitkan izin berdasarkan

cakupan perizinannya. Pembagian kewenangan dalam perizinan tersebut tidak disertai

dengan pemberian kewenangan dalam pengenaan pungutan, kecuali dalam perikanan.

Pembiayaan fungsi perizinan dalam pertambangan dan kehutanan masih dilakukan

melalui mekanisme bagi hasil. Kebijakan tersebut dalam banyak hal dapat dibenarkan.

Pungutan atas pemanfaatan sumber daya alam umumnya tetap dikelola pusat dengan

pertimbangan politis bahwa sumber daya alam dimanfaatkan untuk kepentingan

masyarakat secara keseluruhan, alasan ketimpangan potensi antar daerah, dan

pertimbangan eksternalitas yang tidak dapat dilokalisir.

Pertimbangan pemberian kewenangan daerah untuk mengenakan pungutan terhadap

eksploitasi SDA sektor perikanan dapat dijustifikasi karena potensi penerimaan yang

relatif tidak terlalu besar (tidak terlalu timpang), disamping dampak eksploitasi antar

daerah mungkin tidak terlalu besar sehingga dapat dipulihkan dari pungutan SDA yang

Page 8: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 7

menjadi kewenangan Pusat. Berbeda halnya dengan eksploitasi tambang dan hutan,

yang memiliki potensi sangat timpang antar daerah, dan dampak eksploitasi yang

sangat besar terhadap daerah lain (misal: kegiatan pengangkutan, pemurnian),

sehingga menjadi sebab mengapa kewenangan pengenaan pungutan terhadap

eksploitasi tambang dan hutan tidak didesentralisasikan kepada daerah dan

mekanisme bagi hasil tetap dipertahankan.

Namun demikian, mencermati jenis-jenis PNBP SDA, khususnya iuran tetap (land rent)

di sektor pertambangan, dan iuran hak pengusahaan hutan (IHPH) dan dana reboisasi

(DR) di sektor kehutanan yang merupakan pungutan terkait dengan perizinan yang

tentunya dimaksudkan untuk membiayai kegiatan pengawasan aktivitas pertambangan

dan pengambilan hasil hutan, maka seharusnya kewenangan daerah untuk

mengenakan pungutan atas pemberian izin tersebut juga diberikan kepada daerah.

Pengenaan pungutan terhadap pemberian izin tersebut memenuhi kriteria yang

ditetapkan dalam UU 34/2000, yang menyaratkan bahwa kegiatan yang dapat

dikenakan retribusi adalah kegiatan-kegiatan yang memerlukan pengawasan dan

pengendalian secara terus-menerus agar aktivitas tersebut tidak menimbulkan dampak

negatif terhadap masyarakat umum.

Dari sisi keuangan, pengenaan pungutan daerah atas pengelolaan SDA (sesuai

dengan kewenangan daerah), khususnya dari iuran tetap dan IHPH, tidak terlalu

membebani keuangan negara dan bahkan tidak terlalu berdampak terhadap

ketimpangan keuangan antar daerah. Pada tahun 2002, bagian pusat dari penerimaan

negara dari iuran tetap dan IHPH hanya sebesar Rp 21,4 miliar dan sisanya sejumlah

Rp 85,6 miliar (Rp 72,80 miliar di tahun 2004) dibagikan hanya kepada daerah

penghasil (provinsi dan kabupaten/kota).

Berbeda dengan pungutan royalti dan PSDH yang lebih bersifat pajak, dalam banyak

hal, jenis pungutan ini dianggap tidak layak dijadikan sebagai pungutan daerah. Hal ini

didasarkan pertimbangan bahwa penerimaan dari royalti tersebut kurang stabil atau

fluktuatif karena besarnya royalti akan sangat banyak ditentukan oleh perkembangan

harga bahan tambang dan hutan tersebut di pasaran. Ekternalitas negatif dari aktivitas

pertambangan dan pengambilan hasil hutan, yang ditutup dari pengenaan pajak atas

eksploitasi sumber daya alam, tidak hanya ditanggung oleh daerah yang menjadi

lokasi pertambangan dan hutan. Oleh karena itu hasil penerimaan pajak itu perlu

Page 9: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 8

didistribusikan kepada daerah lain yang juga terkena dampak negatif dari kebijakan

tersebut. Ini tentunya hanya dapat dilaksanakan dengan baik bila penerimaan tersebut

masuk ke Pusat. Kelancaran aktivitas pertambangan dan pengambilan hasil hutan juga

tidak terlepas dari adanya sarana dan prasarana yang disediakan oleh daerah lainnya

yang terletak dekat dengan wilayah administratif lokasi pertambangan sehingga

penerimaan pajak tersebut seyogyanya juga dibagihasilkan kepada daerah-daerah itu.

Potensi sumber daya alam yang timpang antar daerah dan mengingat sumber daya

harus dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat umum masih menjadi alasan yang

kuat untuk tetap mempertahankan jenis PNBP ini sebagai penerimaan negara. Akan

tetapi ketimpangan penerimaan ini hampir sama dengan ketimpangan penerimaan

PAD. Bila dibandingkan dengan distribusi penerimaan pajak daerah yang ada saat ini,

penerimaan pungutan pusat (PNBP) dari sektor ini antar provinsi tidak berbeda secara

signifikan. Hanya saja tidak semua daerah memiliki sumber daya alam. Ketimpangan

yang sangat besar terlihat dalam penerimaan PSDH dan royalti. Penerimaan PNBP

dari penerbitan izin usaha pertambangan dan kehutanan memiliki ketimpangan yang

relatif sama dengan ketimpangan penerimaan PAD di tingkat Provinsi (tabel 4).

Ketimpangan tersebut semakin besar di tingkat kabupaten/kota.

Demikian juga dengan alasan pemerataan sumber-sumber daya alam untuk

kemakmuran seluruh masyarakat juga kurang realistis karena sebagian besar

penerimaan dari royalti dan PSDH telah dibagihasilkan kepada daerah penghasil, yang

berarti hanya sebesar Rp 443,2 miliar yang didistribusikan secara nasional (20%).

Kepentingan nasional yang selalu dipertimbangkan dapat diakomodasi melalui

penerimaan Negara yang masih tetap ada untuk eksploitasi SDA di wilayah lintas

provinsi.

Dalam tabel 5 di bawah ini terlihat dampak disparitas penerimaan daerah bila terjadi

pengalihan kewenangan pengenaan pungutan atas pemanfaatan sumber daya alam.

Bila pengalihan tersebut dilakukan secara menyeluruh (alternatif I) disparitas

pendapatan daerah tidak berbeda dari sebelumnya (koefisien variasi sama). Demikian

juga dengan bila PNBP yang dialihkan tersebut hanya yang terkait dengan pemberian

izin (alternatif II) disparitas tidak berbeda. Disparitas akan semakin melebar justru bila

pengalihan royalty dan PSDH dilakukan (alternatif III).

Page 10: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 9

Bila pengalihan tersebut dilakukan, maka sebaiknya diserahkan kepada provinsi

karena penerimaan Negara dari sektor ini sebagian besar telah diserahkan hanya

kepada daerah provinsi penghasil. Dengan demikian daerah kabupaten/kota di provinsi

yang bersangkutan tetap memperoleh bagian. Daerah lainnya diluar daerah penghasil

hanya menerima bagian secara tidak langsung dari DAU. Jika kebijakan ini

dipertimbangkan, jenis penerimaan ini juga harus dibagihasilkan kepada daerah

kabupaten/kota. Kebijakan ini juga sekaligus menjadi perekat antara provinsi dan

kabupaten/kotanya yang telah mulai berkurang selama ini.

PNBP yang berasal dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah

(PNBP Fungsional) dapat dikelompokkan ke dalam (1) pungutan atas pemberian

layanan umum, yang merupakan layanan wajib pemerintah (Tera/Tera Ulang); (2)

pungutan atas pelayanan usaha (kepelabuhanan); 3) pungutan atas pemberian izin

tertentu (izin penggunaan tenaga kerja asing) dan (4) pungutan atas pelayanan

administrasi pemerintahan (retribusi izin usaha penyelenggaraan pelayanan dan

sarana di bidang kesehatan).

Praktek pemungutan PNBP atas pelayanan yang selama ini dilaksanakan oleh

pemerintah pusat menjadi alasan yang kuat untuk menyatakan bahwa pengenaan

pungutan retribusi oleh daerah atas pelayanan yang sama yang telah diserahkan

kepada daerah, layak untuk dilaksanakan oleh daerah. Pertimbangan lain yang juga

mendasari kelayakan pungutan tersebut oleh daerah adalah kenyataan bahwa praktek

pengenaan pungutan langsung atas pelayanan pemerintahan dalam tingkat tertentu

telah mengalami perkembangan hingga kepada pelayanan yang selama ini dianggap

tidak layak untuk dikenakan retribusi (pelayanan kepolisian dan perlindungan

kebakaran). Bahkan pungutan langsung juga telah dikenakan terhadap pelayanan

pemerintahan yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, seperti

pendaftaran kendaraan bermotor, KTP, dan SIM.

Pertimbangan ekonomi yang menjadi dasar utama untuk mengenakan pungutan

langsung (retribusi) kepada pengguna langsung layanan kelihatannya tidak lagi dapat

sepenuhnya dipertahankan dalam menentukan layak tidaknya pelayanan atau aktivitas

pemerintah untuk dikenakan pungutan. Pertimbangan keadilan, perlunya redistribusi

pendapatan (yang mungkin tidak mencukupi dari pajak) dan perlunya tambahan

penerimaan untuk menutup tambahan pengeluaran (yang mungkin tidak dapat selalu

Page 11: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 10

ditutup dari dana transfer) menjadi pertimbangan yang kuat dalam menilai kelayakan

pengenaan retribusi.

Namun demikian praktek pengenaan pungutan atas pelayanan-pelayanan tertentu

yang bersifat kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan perundangan, seperti

tera/tera ulang, izin usaha perlu diterapkan secara berhati-hati agar tujuan yang ingin

dicapai dari pelayanan tersebut dapat dipenuhi. Demikian juga dengan pelayanan-

pelayanan atau aktivitas yang sepenuhnya untuk meningkatkan pendapatan daerah

harus dilakukan secara berbeda dengan pengenaan retribusi atas pelayanan-

pelayanan umum pemerintah yang selama ini telah banyak dikenal. Tabel 7 berikut ini

menunjukkan layak tidaknya pungutan PNBP yang dikenakan atas pelayanan

pemerintahan untuk ditetapkan sebagai pungutan daerah.

Pungutan Jasa Tera dan Tera Ulang

Penyelenggaraan pelayanan tera dan tera ulang alat-alat UTTP oleh Pemerintah

dilaksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tetang Metrologi

Legal. Sesuai dengan undang-undang tersebut, Pemerintah diwajibkan untuk menera

secara periodik alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang dipergunakan oleh

masyarakat untuk kegiatan usaha. Kewajiban pemerintah untuk menera dan tera

ulang alat-alat ukur, takar dan timbang tersebut dimaksudkan untuk memastikan

bahwa alat-alat tersebut berfungsi dengan baik sehingga tidak menimbulkan kerugian

bagi masyarakat umum. Dengan melaksanakan fungsi tersebut kepentingan

masyarakat akan terlindungi dari kemungkinan penggunaan alat-alat takar yang tidak

layak pakai.

Pelaksanaan fungsi tera dan tera ulang tersebut telah didesentralisasikan kepada

Propinsi dengan PP 25 Tahun 1999 dan telah ditindaklanjuti dengan Keputusan

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 731/MPP/Kep/10/2002. Dari sisi

kewenangan, pelaksanaan tera/tera ulang UTTP dan perlengkapannya oleh Propinsi

telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan bukan merupakan kewenangan

daerah kabupaten/kota sebagaimana dilaksanakan oleh Kabupaten Krawang.

Dari sisi ekonomi, pengenaan retribusi atas jasa tera/tera ulang tidak memiliki dasar

yang cukup kuat karena penyediaan layanan ini tidak responsif terhadap permintaan

Page 12: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 11

layanan (prinsip efisiensi ekonomi dalam pengenaan retribusi). Penetapan tarif retribusi

tidak akan mempengaruhi pola konsumsi masyarakat terhadap layanan ini. Berapun

tarif retribusi yang akan dikenakan oleh daerah atas setiap jasa tera/tera ulang tetap

akan dibayar oleh masyarakat. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, masyarakat

tidak boleh menggunakan alat-alat UTTP yang tidak ditera/.tera ulang oleh pemerintah

daerah. Hal ini berarti, masyarakat tidak dapat menghindari pembayaran retribusi ini

dengan cara tetap menggunakan alat-alat UTTP yang tidak ditera/tera ulang

Pemerintah. Namun demikian, pengenaan tarif yang terlalu besar yang mengakibatkan

rendahnya kesadaran masyarakat untuk melakukan tera/tera ulang juga perlu

dipertimbangkan sehingga alat-alat UTTP yang digunakan masyarakat tidak merugikan

masyarakat banyak.

Sebaliknya, penyediaan layanan secara gratis (atau dibiayai dari penerimaan umum)

tidak akan mengakibatkan inefisiensi penyediaan layanan karena tidak ada alasan

yang kuat bagi masyarakat untuk melakukan tera secara terus-menerus hanya karena

disediakan secara gratis oleh Pemerintah Daerah. Namun demikian, pembiayaan

layanan dari penerimaan umum (bila disediakan gratis) tidak mencerminkan keadilan

karena akan menambah beban bagi pembayar pajak yang tidak menikmati layanan

tersebut.

Pedagang, pelaku usaha hanya dapat melakukan kegiatan usahanya apabila telah

melakukan kewajibannya untuk menera alat-alat UTTP. Dengan kata lain pungutan ini

merupakan suatu pungutan berbentuk access fee yang dikenakan kepada pengusaha

untuk dapat melakukan kegiatan usaha. Pengusaha yang mengkonsumsi layanan ini

memperoleh manfaat secara pribadi karena yang bersangkutan diberikan akses untuk

melakukan usaha yang tentunya memberikan keuntungan. Konsumsi atas layanan ini

juga memberikan manfaat bagi masyarakat umum berupa terhindarnya dari kerugian

penggunaan alat-alat UTTP yang tidak benar ukuran atau takarannya.

Pertimbangan lain yang juga mendasari pengenaan pungutan atas tera adalah bahwa

penyediaan layanan ini memerlukan biaya yang cukup besar, khususnya pengadaan

peralatan untuk menera alat UTTP yang menggunakan teknologi canggih, seperti

SPBU, meteran taksi, listrik, telepon. Pengenaan retribusi atas pelayanan tersebut

dapat menghasilkan pandapatan yang dapat digunakan oleh daerah untuk

meningkatkan pelayanan dan untuk membiayai kegiatan pengeluaran.

Page 13: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 12

Dari sisi administrasi, pemungutan retribusi ini dapat dilakukan dengan mudah,

khususnya pengenaan retribusi kepada SPBU, TELKOM, PLN, perusahaan angkutan

dan pengenaan sanksi dapat dilakukan dengan mengkaitkan kewajiban ini dengan izin

usaha. Perusahaan perusahaan yang tidak melakukan tera alat-alat UTTP-nya dapat

dikenakan sanksi berupa pencabutan izin usaha.

Pengenaan retribusi tera kepada pedagang di pasar-pasar secara administratif sulit

dilaksanakan terutama bagi pedagang karena dapat menggangu aktivitas dari

pedagang, disamping ada tambahan biaya yang akan ditanggung oleh pedagang untuk

memenuhi kewajiban tersebut karena pelaksanaan tera dilakukan di UPTD (bukan di

lokasi usaha). Selain itu, perlindungan masyarakat akibat penggunaan alat-alat UTTP

yang tidak benar oleh pedagang pada dasarnya dapat dikoreksi lewat mekanisme

pasar.

Pungutan Jasa Kepelabuhanan

Pelayanan kepelabuhanan khususnya jasa tunda dan jasa pandu merupakan salah

satu contoh pelayanan pemerintah yang sangat layak dikenakan pungutan langsung

(retribusi) karena jasa kepelabuhan tersebut disediakan bagi orang tertentu dan sangat

mudah mengidentifikasikan pengguna layanan tersebut. Penyediaan layanan jasa

kepelabuhan pada prinsipnya dapat dilaksanakan oleh semua level pemerintahan.

Saat ini pelayanan jasa kepelabuhan diselenggarakan oleh satu entity tersendiri yaitu

PT. PELINDO yang merupakan badan usaha milik Negara yang diberikan kewenangan

oleh pemerintah untuk mengelola jasa kepelabuhanan di Indonesia.

Keterlibatan daerah dalam menyediaan fasilitas kepelabuhanan dalam skala tertentu

dapat dibenarkan, namun tentunya perlu dilakukan dengan mempertimbangkan

efisiensi penyediaan layanan. Pada prinsipnya keterlibatan pemerintah daerah dalam

penyediaan layanan diperlukan dengan pertimbangan bahwa layanan tersebut belum

memadai disediakan oleh swasta, atau karena pertimbangan efisiensi (sunk cost)

penyediaan layanan tersebut tidak menarik bagi swasta. Pertimbangan lain adalah

bahwa penyediaan fasilitas pelabuhan tersebut lebih murah oleh pemerintah karena

berbagai faktor-faktor produksi, seperti tanah, biaya perizinan yang ditanggung oleh

Page 14: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 13

daerah lebih murah sehingga diharapkan harga layanan dapat lebih murah bila

dibandingkan dengan jika layanan tersebut disediakan oleh pihak swasta.

Dalam kasus fasilitas kepelabuhanan, yang tentunya perlu pertimbangan skala

ekonomi dalam penyediaannya, penyediaan fasilitas tersebut oleh pemerintah daerah,

diperkirakan tidak akan efisien. Oleh karena itu, fasilitas kepelabuhanan yang saat ini

telah diselenggarakan oleh PT. PELINDO seharusnya tidak perlu disediakan oleh

pemerintah Daerah. Penyediaan sarana kepelabuhanan berupa jasa tunda yang

dilakukan oleh Kota Cilegon, di pelabuhan-pelabuhan khusus (Pelsus) layak

dilaksanakan tentunya dengan pertimbangan bahwa pelayanan tersebut dapat

memberikan keuntungan yang layak bagi Pemerintah Daerah. Pada dasarnya jenis

pungutan tersebut telah diakomodasi dalam jenis retribusi yang ditetapkan dalam PP

66/2001, yaitu Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.

Pungutan atas Izin Peredaran Minuman Beralkohol

Dari sisi kewenangan, pengenaan retribusi atas pemberian izin peredaran minuman

beralkohol oleh Pemerintah Propinsi tidak sesuai dengan ketentuan perundangan yang

berlaku. Kewenangan pengawasan dan pengendalian peredaran minuman beralkhol

dalam PP 25 tidak secara ekplisit di atur, namun berdasarkan Peraturan Pemerintah

tersebut, Pemerintah pusat memiliki kewenangan dalam pengaturan lalu lintas barang

dan jasa dalam negeri. Sesuai hal tersebut pengaturan lalu-lintas peredaran minuman

beralkohol tetap menjadi kewenangan pusat. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya

secara eksplisit di atar dalam PP 25/1999 tersebut kewenangan propinsi. Sebaliknya,

kabupaten/kota, sesuai dengan Kepmendagri 130-67 Tahun 2002, mempunyai

kewenangan untuk pengawasan dan peredaran minuman beralkohol di tingkat

pengecer/penjual langsung untuk diminum melalui Surat Izin Usaha Perdagangan

Minuman Beralkohol (SIUP-MB).

Pada prinsipnya pengendalian peredaran barang dalam negeri akan lebih efektif

dilakukan secara terpusat sehingga akan mengurangi terjadinya penyelundupan

barang antar daerah dan tidak akan merintangi lalulintas perdagangan. Di beberapa

negara, pungutan dan pengaturan yang merintangi lalulintas barang dan jasa secara

jelas dilarang dengan undang-undang. Dalam rangka menjamin keamanan dan

ketertiban umum sebaiknya yang perlu dikendalikan adalah pembelian minol di tingkat

Page 15: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 14

konsumen akhir. Oleh karena itu, pemberian kewenangan kepada kabupaten/kota

mengendalikan minuman untuk pengecer dan penjual langsung untuk diminum sudah

tepat.

Dana Pengembangan Keterampilan Kerja (DPKK)

Kewenangan di bidang ketenagakerjaaan, khususnya tenaga kerja asing pendatang,

sampai saat ini masih belum ada kejelasan. Pemerintah Pusat menganggap bahwa

kewenangan tersebut masih menjadi kewenangannya dengan pertimbangan bahwa

kebijaksanaan perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional

secara makro, termasuk di dalamnya perencanaan tenaga kerja secara nasional masih

tetap menjadi kewenangan Pusat (Pasal 7 ayat 2 UU 22/1999). Sementara itu,

berdasarkan Kepmendagri 130-67 tahun 2002 tentang Pengakuan Kewenangan,

kewenangan daerah di bidang ketenagakerjaan, khususnya tenaga kerja asing

pendatang hanya terbatas pada perpanjangan izin kerja sedangkan dalam

kewenangan di bidang Penanaman Modal, ditetapkan bahwa kewenangan daerah

adalah pemberian izin tenaga kerja asing pendatang.

Memang diakui bahwa kebijaksanaan lalu-lintas orang asing, khususnya mengenai

tenaga kerja asing dan keberadaannya di wilayah Indonesia perlu dilakukan melalui

satu pintu (one gate policy). Ketentuan ini dimaksudkan agar dalam penggunaan

tenaga kerja asing tetap memperhatikan pasar tenaga kerja nasional. Sebelum ada

ketentuan penggunaan tenaga kerja warga negara asing (TKWNA) yang baru, maka

yang masih tetap menjadi kewenangan daerah sesuai dengan ketentuan adalah

penerbitan perpanjangan Izin Kerja Tenaga Asing (IKTA) bagi TKWNA yang

dipekerjakan pada lokasi daerah tersebut sesuai dengan Rencana Penggunaan

Tenaga Kerja (RPTK) yang masih berlaku (UU No. 3 Tahun 1958 tentang Penempatan

Tenaga Kerja Asing).

Sesuai hal tersebut di atas dan agar pengendalian tenaga kerja asing pendatang dapat

berjalan efektif, maka penerbitan izin tetap di Pusat dan perpanjangan diserahkan

kepada daerah. Dengan demikian pungutan berkaitan dengan pemberian izin tersebut

untuk tahun pertama tetap merupakan PNBP, sedangkan pungutan selanjutnya

menjadi penerimaan daerah. Kebijaksanaan tersebut sekaligus untuk mencapai tujuan

yang ingin dicapai dari pengenaan pungutan tersebut, yaitu pengembangan

Page 16: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 15

keterampilan dan keahlian tenaga kerja nasional. Sebagaimana dimaklumi, pengenaan

pungutan terhadap penggunaan tenaga kerja asing dimaksudkan untuk mengurangi

dampak negatif (adanya opportunity cost) dari penggunaan tenaga kerja asing tersebut

bagi tenaga kerja lokal dan nasional. Dengan demikian baik Pemerintah Pusat maupun

Pemerintah Daerah dapat membiayai pengembangan tenaga kerja sehingga pada

saatnya tenaga asing tersebut dapat digantikan oleh tenaga kerja Indonesia.

Di era otonomi sekarang ini, adanya keinginan banyak pihak agar perusahaan-

perusahaan yang beroperasi di daerah lebih memprioritaskan tenaga kerja lokal, maka

penggunaan tenaga kerja asing akan lebih berdampak pada hilangnya kesempatan

tenaga kerja lokal untuk mendapatkan pekerjaan. Oleh karena itu, kebutuhan dana

untuk pengembangan tenaga kerja lokal menjadi sangat penting untuk

dipertimbangkan. Mempertahankan seluruh dana tersebut sebagai PNBP untuk

selanjutnya dialokasikan kepada daerah dalam bentuk DAU atau instrumen lainnya

tidak memberikan kepastian bahwa dana tersebut akan digunakan untuk pelatihan dan

pengembangan tenaga kerja karena penerimaan tersebut menjadi penerimaan umum

yang penggunaannya tergantung pada prioritas daerah.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa

pungutan atas pemberian ITKA berupa DPKK menjadi sangat relevan menjadi

pungutan daerah. Sementara itu, pengembangan tenaga kerja secara nasional dapat

dibiayai dari DPKK yang dipungut oleh Pusat untuk satu tahun pertama dan dari

sumber dana APBN lainnya.

Pungutan atas Izin Usaha Penyelenggaraan Pelayanan & Sarana di Bidang Kesehatan

Pemberian izin usaha penyelenggaraan pelayanan dan sarana di bidang kesehatan

telah menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota sesuai dengan Kepmendagri 130-

67 tentang Pengakuan Kewenangan. Pada dasarnya pengendalian penyelenggaraan

pelayanan dan sarana di bidang kesehatan telah tercover dari izin gangguan. Seluruh

aktivitas/kegiatan usaha yang berpotensi menimbulkan kerugian, bahaya dan ancaman

harus mendapatkan izin ganguan. Demikian juga dengan pelayanan kesehatan, seperti

apotik, juga telah menjadi objek pengendalian dari BPOM atas obat-obatan yang

diperjualbelikan. Dengan demikian, kewenangan daerah dalam pemberian izin usaha

tersebut lebih diarahkan pada registrasi dari setiap usaha yang ada di daerah yang

bersangkutan.

Page 17: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 16

4.3. Penambahan Pajak Daerah Baru

Terdapat dua jenis pajak baru yang layak dijadikan pajak daerah, yaitu Pajak Sarang

Burung Walet dan Pajak Lingkungan.

Pajak Sarang Burung Walet

Pengenaan pajak atas peternakan sarang burung walet dilakukan dengan

pertimbangan bahwa peternakan sarang burung walet tersebut menimbulkan dampak

negatif terhadap lingkungan, berupa kebisingan dan aroma yang tidak sedap. Secara

teoritis pengenaan pajak atas peternakan sarang burung walet dimaksudkan untuk

menginternalisasi biaya yang ditimbulkan aktivitas penangkaran sarang burung walet

tersebut. Biaya tersebut termasuk biaya pengawasan dan pengendalian penangkaran

sarang burung walet agar tidak berdampak negatif terhadap masyarakat sekitar lokasi

penangkaran.

Dari sisi keadilan dalam perpajakan, pengenaan pajak atas penangkaran sarang

burung walet lebih adil karena pada umumnya pengusaha sarang burung walet lebih

mampu dibandingkan dengan peternakan lainnya. Penangkaran sarang burung walet

lebih bersifat eksklusif dibandingkan dengan penangkaran lainnya sehingga

pengenaan pajak tersebut layak dilakukan. Oleh karena itu, saat ini sarang burung

walet tersebut dikenakan PPN oleh Pusat. Dengan demikian secara politis pengenaan

pajak atas sarang burung walet dapat diterima. Untuk mengurangi penolakan

masyarakat terhadap rencana pengenaan pajak daerah, maka sebagai seyogyanya

pemerintah pusat tidak lagi mengenakan PPN atas burung walet tersebut.

Pajak tersebut cocok sebagai pajak daerah karena dampak eksternalitas yang

ditimbulkan oleh aktivitas peternakan burung walet tersebut bersifat lokal. Dari segi

hasil, potensi penerimaan pajak dari sarang burung walet relatif besar khususnya bagi

daerah-daerah dimana penangkaran sarang burung walet banyak dilakukan.

Pajak Lingkungan

Pengenaan pajak lingkungan ini dilakukan terhadap aktivitas usaha manufaktur yang

memberikan dampak negatif terhadap lingkungan berupa pencemaran udara air dan

Page 18: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 17

tanah. Pengenaan pajak tersebut sekaligus sebagai respon terhadap keinginan banyak

daerah agar kegiatan industri yang berpotensi membebani lingkungan memberikan

kontribusi terhadap perbaikan lingkungan tersebut. Respon terhadap keinginan

tersebut secara politis telah dilakukan dalam rapat pembahasan RUU tentang

Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, yang mengusulkan agar dalam

RUU Pajak dan Retribusi Daerah ditetapkan pajak lingkungan.

Pengendalian lingkungan atas terhadap kegiatan industri dilakukan dengan instrumen

regulasi yang tidak memberikan toleransi terhadap pencemaran lingkungan (UU

Nomor Tahun 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup). Sesuai dengan undang-

undang tersebut pemerintah menetapkan ambang batas atas setiap limbah yang akan

dibuang ke sungai, tanah dan udara. Namun demikian pembuangan limbah ke

lingkungan walaupun dalam batas ambang yang ditetapkan, secara kumulatif akan

membebani lingkungan. Saat ini sebagian besar pajak yang dikenakan terhadap

kegiatan usaha merupakan pajak pusat (PPh badan, karyawan dan PPN). Kontribusi

dunia usaha terhadap pengeluaran APBD, khususnya untuk membiayai dampak

negatif dari kegiatan usaha sangat terbatas dan hanya dilakukan melalui mekanisme

bagi hasil (PPh karyawan) dan melalui DAU dan DAK.

Keterbatasan instrumen fiskal daerah terhadap kegiatan usaha dan di pihak lain

adanya ruang untuk mengenakan pajak dan retribusi baru oleh daerah, berbagai

pungutan saat ini telah dikenakan oleh daerah terhadap kegiatan usaha, seperti

retribusi izin usaha industri, yang pada umumnya dikenakan setiap tahun, pendaftaran

usaha, izin gangguan, dan retribusi pembuangan limbah cair. Walaupun retribusi yang

dikenakan tesebut relatif kecil, pengenaan berbagai retribusi tersebut secara

administrasi cenderung membebani dunia usaha.

Untuk mengatasi hal tersebut dan sejalan dengan upaya untuk memberikan taxing

power yang lebih besar kepada daerah, pengenaan pajak lingkungan terhadap

aktivitas usaha yang berpotensi membebani lingkungan perlu dipertimbangkan.

Secara teori dan praktek pengenaan pajak lingkungan (green tax atau environment

tax) dapat diterima. Pengenaan pajak tersebut dilakukan dengan memajaki input

(taxing bads by taxing goods) atau limbah atau produksi. Pilihan terhadap basis pajak

tersebut dapat dilakukan dengan pertimbangan kemudahan administrasi dan efisiensi

Page 19: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 18

ekonomi. Pengenaan pajak atas penggunaan input yang menghasilkan limbah pada

dasarnya telah dilakukan seperti pajak air oleh daerah, PPN atas bahan bakar minyak.

Pengenaan pajak tersebut dari sisi administrasi sangat mudah dilakukan tetapi tidak

banyak diharapkan dapat meningkatkan efisiensi ekonomi.

Basis pajak berupa limbah secara administratif sulit dilakukan karena sulit mengukur

tingkat pencemaran dari limbah yang dibuang oleh perusahaan, namun lebih

mencerminkan keadilan dalam perpajakan. Pengenaan pajak lingkungan atas tingkat

pencemaran akan lebih efisien dari sisi ekonomi karena pengenaan pajak tersebut

akan memberikan disinsentif bagi perusahaan untuk mengurangi limbah. Dari sisi

administrasi perpajakan, pilihan basis pajak berupa limbah akan menyulitkan

administrasi karena sangat sulit untuk mengukur tingkat pencemaran dari setiap

kegiatan usaha.

Basis pajak lingkungan berupa produksi dari sisi administrasi relatif lebih mudah

karena data produksi dari kegiatan usaha dapat dengan mudah diketahui. Diakui

pilihan produksi sebagai basis pajak kurang adil karena tidak mencerminkan tingkat

pencemaran dari masing-masing kegiatan usaha. Pada dasarnya pengenaan pajak

atas produksi merupakan pajak perusahaan (business tax atau pajak atas izin

(business lisence tax) yang banyak dikenakan di berbagai Negara. Penyebutan pajak

ini sebagai pajak lingkungan diperlukan karena hasil penerimaan pajak tersebut

sebagian (atau seluruhnya) akan digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan yang

berkaitan dengan pengendalian dan pemeliharaan lingkungan yang telah menjadi

tanggungjawab daerah (earmarking tax). Dengan demikian pengenaan pajak tersebut

lebih akuntabel.

Dari sisi efisiensi ekonomi, pengenaan pajak ini akan meningkatkan biaya produksi

khususnya terhadap kegiatan usaha yang menghasilkan produk yang menjadi input

bagi perusahaan lain. Pengenaan pajak lingkungan tersebut dapat terjadi secara

berulang-ulang dan dapat menimbulkan dampak ekonomi biaya tinggi (tax cascading).

Namun, pengalokasian penerimaan pajak untuk pemeliharaan lingkungan akan

memperkuat daya dukung lingkungan yang pada akhirnya juga akan mengurangi

beban dunia usaha. Selain itu pajak daerah ini dapat menjadi faktor pengurang dalam

perhitungan PPh badan.

Page 20: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 19

Hasil penerimaan pajak diperkirakan cukup besar. Dengan tarif sebesar 0,5% dari

harga pokok penjualan maka penerimaan pajak lingkungan akan mencapai Rp 4,9

triliun, atau sekitar 50% dari keseluruhan PAD kabupaten/kota tahun 2004.

4.4. Perluasan Basis Pajak Daerah

Peningkatan taxing power daerah melalui perluasan basis pajak daerah yang ada

dimaksudkan agar pengenaan pajak lebih adil dan sekaligus untuk menghindari

adanya grey area di lapangan antara pajak Pusat dengan Daerah.

Perluasan basis Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan

Bermotor (BBN-KB) yang mencakup kendaraan pemerintah dimaksudkan untuk lebih

mencerminkan keadilan dalam perpajakan. Setiap pemilik kendaraan baik masyarakat

umum maupun pemerintah wajib menanggung beban pajak. Pengenaan pajak atas

kendaraan pemerintah sekaligus untuk meningkatkan efisiensi anggaran. Dengan

adanya PKB dan BBNKB untuk kendaraan pemerintah maka pengadaan kendaraan

akan dapat dilakukan lebih selektif.

Penambahan obyek pajak restoran dan hiburan dimaksudkan untuk memberikan

kepastian terhadap objek pajak tersebut. Selama ini di beberapa daerah katering ada

yang dipungut oleh Pusat dan ada juga yang dipungut oleh Daerah. Beberapa wajib

pajak tidak bersedia untuk membayar sebagai pajak daerah karena di pihak lain Pusat

juga mengklaimnya sebagai objek PPN. Dengan ditetapkannya katering sebagai pajak

daerah maka Pusat tidak lagi mengenakan PPN atas katering. Berbeda dengan golf

dan bowling selain dapat dikenakan PPN oleh Pusat, juga dapat dikenakan Pajak

Hiburan oleh Daerah. Semua ini ditunjukkan dalam tabel 8.

4.5. Penerapan Bagi Hasil PPN

Bagian ini membahas usulan perbaikan sistem keuangan Pusat dan Daerah lewat cara

yang sekarang mungkin dianggap langkah drastis, yakni bagi hasil PPN. Analisis yang

akan diberikan dalam bagian ini dan berikutnya fokus kepada bagaimana dampak

keuangan yang akan terjadi kepada Daerah dan Pusat, dan bisa saja tidak sejalan

dengan usulan-usulan yang telah dibuat di atas. Analisis ini tidak melihat besar atau

kecilnya kemungkinan penerapannya berdasarkan situasi dan kondisi obyektif yang

Page 21: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 20

ada saat ini di Indonesia. Dengan kata lain, ini merupakan “uji coba akademik”

(academic exercise).

Ada tiga perspektif yang dipakai sebagai landasan dalam pembahasan usulan ini,

yaitu: (1) meningkatkan penerimaan pajak secara keseluruhan; (2) memperbaiki sistem

pajak daerah dengan menghapuskan (lebih jauh) berbagai pungutan yang tidak sesuai

dengan UU No. 34/2000; dan (3) memperkuat koordinasi penerimaan pajak-pajak

Pusat dan Daerah, dengan menerapkan bagi hasil PPN.

Pertama, memperbesar penerimaan pajak di tingkat makro secara signifikan

merupakan strategi awal yang harus dipilih/diprioritaskan. Rasio penerimaan pajak

terhadap PDB (Tax Ratio) Indonesia selama lima tahun terakhir ini hanya berkisar 13-

14%. Lebih rendah dibanding umumnya negara-negara tetangga ASEAN yang sudah

mencapai rata-rata 18%. Sehingga, prioritas reformasi perpajakan seyogyanya

memberikan perhatian pada peningkatan rasio perpajakan secara signifikan. Dengan

penerimaan negara yang lebih besar, maka penerimaan bagi Pemerintah Daerah pun

akan menjadi lebih banyak. Sudah menjadi hal yang baku di dunia bahwa untuk

mobilisasi penerimaan pajak yang efektif dan efisien, maka pajak-pajak yang potensial

dikelola oleh Pemerintah Pusat.

Kedua, menghapuskan berbagai pungutan (pajak dan retribusi) daerah yang tidak

sesuai dengan UU No. 34/2000. Sudah menjadi pengetahuan umum saat ini bahwa

banyak pungutan yang diterapkan daerah dalam rangka memperkuat PADnya justru

sering menyumbang pada ekonomi biaya tinggi, dan pada gilirannya distortif dan

melemahkan daya saing perekonomian Indonesia. Upaya yang lebih tegas dan tanpa

makan banyak waktu perlu dilakukan untuk ini.

Ketiga, memperkuat koordinasi penerimaan Pusat dan Daerah dengan melakukan

sinkronisasi pajak-pajak Pemerintah Pusat dan Daerah. Dalam konteks ini terbuka

kemungkinan dimana Daerah boleh memungut pajak atas pajak-pajak yang sudah

menjadi pajak Pusat (piggybacked). Pajak-pajak yang mungkin untuk itu misalnya:

PPN, PPh orang pribadi, PPh badan, PBB, dan penerimaan SDA seperti royalti dan ijin

perhutanan serta sewa dan royalti tanah pertambangan.

Dari semua alternatif itu, barangkali yang paling penting adalah PPN. Ada beberapa

kelebihan PPN untuk menjadi sumber penerimaan Pusat dan Daerah. Beberapa

kelebihan tersebut adalah:

Page 22: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 21

(1) PPN jika dikelola secara efisien dan efektif menjamin penerimaan yang

memadai bagi Pusat dan Daerah. Menilik kondisi Indonesia dewasa ini

dimana kebutuhan dana untuk pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, dan

infrastruktur) sangat mendesak, maka menjamin sumber penerimaan yang

cukup dan stabil bagi pemerintah (Daerah) harus menjadi prioritas utama;

(2) PPN merupakan pajak yang efisien dan berkeadilan secara ekonomi; dan

(3) Secara administratif efisien karena dikelola terpusat.

Namun demikian, perlu dilakukan kajian mendalam tentang bagaimana bagi hasil PPN

antara Pusat dengan Daerah ini bisa dilakukan sebaik mungkin. Secara teoretis, ada

beberapa manfaat dari dilakukannya bagi hasil PPN dengan Pemerintah Daerah.

Pertama, PPN adalah pajak yang tumbuh terus (growth tax) seiring pertumbuhan

ekonomi. Pertumbuhan penerimaan PPN secara keseluruhan memberikan penerimaan

yang lebih banyak bagi Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua, Pemerintah Daerah

akan mendapat insentif menarik dalam mobilisasi penerimaannya. Sebab, boleh

dibilang besarnya penerimaan PPN suatu wilayah menggambarkan intensitas kegiatan

ekonomi daerah. Maka, Daerah akan cenderung berkomitmen tinggi untuk

pertumbuhan ekonominya, sehingga akan meningkatkan basis pajak. Ketiga, disparitas

antar daerah dari bagi hasil PPN juga akan relatif lebih kecil dibandingkan dengan

misalnya bagi hasil pajak penghasilan (PPh) orang pribadi.

Secara ringkas, usulan perbaikan yang diajukan dalam tulisan ini adalah dengan

melakukan sinkronisasi pembiayaan daerah dengan total pembiayaan negara lewat:

(1) Memperbaiki sistem perpajakan daerah, terutama dengan menghapuskan pajak-

pajak yang distortif dan pajak-pajak yang sudah menjadi sumber potensial selama ini,

yaitu: pajak hotel, pajak restoran dan pajak penerangan jalan; dan (2)

membagihasilkan PPN antara Pemerintah Pusat dengan Daerah.

Karena keterbatasan lingkup bahasan, isu-isu mengenai skema transfer keuangan

antara Pemerintah Pusat dan daerah tidak akan dibahas di sini. Namun demikian perlu

disampaikan bahwa bersamaan dengan penerapan usulan ini perlu juga dilakukan

perbaikan Dana Perimbangan (DAU, BHSDA, DAK) untuk menjamin kecukupan dan

stabilitas penerimaan Daerah, adanya distribusi yang lebih merata, dan mendukung

pengembangan perekonomian daerah.

Page 23: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 22

Simulasi Dampak Bagi Hasil PPN1

Bagian ini berisi tentang simulasi yang dilakukan untuk melihat mobilisasi penerimaan

Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan perubahan yang diusulkan. Saat ini, Daerah

hanya mampu membiayai kurang dari 10% total anggarannya dari penerimaan daerah

sendiri. Simulasi ini juga bertujuan untuk memperlihatkan kasus dimana penerapan

bagi hasil PPN akan memampukan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk menaikkan

rasio tersebut hingga 40%!

Dalam simulasi ini, ada dua hal krusial yang dilakukan. Pertama, menghapus pajak-

pajak yang “mengganggu” potensi atau basis pajak PPN, yakni: pajak hotel dan

restoran dan pajak penerangan jalan2. Kedua, memperkenalkan bagi hasil PPN,

dimana bagi hasil diberikan kepada Daerah berdasarkan pada tingkat pendapatan

(PDRB) dan jumlah penduduk3.

Disini diasumsikan bahwa tidak ada perubahan kelembagaan lainnya selain dua hal

yang sudah disebut di atas. Sehingga dalam hal DAU, distribusinya memperhitungkan

alokasi minimum (perhitungan lump-sump dan persentase gaji), dan kondisi hold

harmless dengan cara yang sama dengan perhitungan DAU tahun 2003, ditambah

dana penyeimbang.

Besarnya perubahan penerimaan akibat penerapan usulan ini dikaji secara

menyeluruh. Akan dilihat perubahan besaran penerimaan Pemerintah Pusat dan

Daerah sesudah dilakukan bagi hasil. Penerimaan Pemerintah Pusat yang “baru”

1 Berikut ini adalah dua jenis data yang digunakan dalam studi pada bagian ini. Yakni [Data-

1] kalkulasi DAU tahun 2002: Keppres tahun 2002 tentang DAU (Kabupaten/Kota) dan

Keppres di tingkat Provinsi tahun 2002 tentang DAU, dan [Data-2] data pajak daerah yang lebih rinci: perhitungan APBD 2001 baru (Kabupaten/Kota dan Provinsi). Dengan adanya 46

observasi yang hilang (dari 336) untuk Kabupaten/Kota dan 4 observasi (dari 336) untuk Provinsi si [Data-2], maka lebih diprioritaskan menggunakan [Data-1] dan penggunaan

[Data-2] yang lebih terbatas untuk menghitung komposisi penerimaan pajak asli daerah

(PPDS) di Tabel 2. Data penerimaan pajak daerah yang lebih terperinci seperti pajak hotel

dan restoran, dan pajak penerangan jalan juga dapat diperoleh dari [Data-2]. 2 Dalam simulasi ini penerimaan pajak hotel, pajak restoran, dan pajak penerangan jalan di

DKI Jakarta, juga dihapus. 3 Penggunaan data konsumsi lebih diperlukan untuk mengalokasikan dana PPN kepada Pemerintah Daerah. Karena data konsumsi tidak tersedia, digunakan data PDRB dan

informasi jumlah penduduk sebagai indeks distribusi untuk setiap Pemerintah

Kabupaten/Kota. (1) Besaran PDRB Pemerintah Kabupaten/Kota terhadap total PDB nasional.

(2) Besaran jumlah penduduk Kabupaten/Kota terhadap total penduduk nasional, dan (3) rata-rata dari (1) dan (2). Dengan membedakan ketiga indeks tersebut, digunakan indeks

yang ketiga agar lebih mendekatkan pada tingkat konsumsi daerah yang aktual. Dalam pendistribusian bagi hasil PPN, dihitung total penduduk nasional dan PDB dengan menambah

Pemerintah Kabupaten/Kota dan DKI (Provinsi). Sehingga, bagi hasil PPN juga diasumsikan dapat didistribusikan kepada DKI dalam rerata tertimbang dari besaran penduduk dan

pendapatannya (PDRB) terhadap nasional (hal yang sama juga dilakukan pada Pemerintah Kabupaten/Kota).

Page 24: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 23

terdiri atas: penerimaan dalam negeri netto ditambah kenaikan penerimaan akibat

perubahan (yakni penerimaan pajak hotel, pajak restoran dan pajak penerangan jalan

yang dipungut sebagai PPN), dikurangi bagi hasil PPN yang ditransfer ke Daerah.

Sementara penerimaan Daerah yang “baru” terdiri dari: penerimaan pajak daerah yang

berasal dari daerah sendiri (PPDS) ditambah dengan bagian Daerah dari bagi hasil

PPN, dikurangi dengan penerimaan pajak hotel, pajak restoran dan pajak penerangan

jalan.

Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota disatukan menjadi Pemerintah

Daerah. Selanjutnya dilakukan perhitungan persentase penerimaan pajak daerah yang

berasal dari daerah sendiri terhadap total penerimaan daerah (PPDS/TREV). Ini

dilakukan untuk melihat bagaimana peningkatan kemampuan mobilisasi penerimaan

Pemerintah Daerah.

Tabel 9 menunjukkan dampak penerapan Bagi Hasil PPN antara Pemerintah Pusat

dan Daerah. Dalam simulasi ini, berbagai alternatif perubahan yang terjadi (z: 0%-

50%), dimana: z = 0% berarti menghapuskan pajak hotel dan restoran dan pajak

penerangan jalan tetapi penerimaan PPN tidak ditransfer kepada Pemerintah Daerah.

z = 50% berarti menghapuskan pajak hotel, pajak restoran, dan pajak penerangan

jalan, dimana 50% dari penerimaan PPN ditransfer kepada Pemerintah Daerah, dan

seterusnya. Tabel 9 tersebut memperlihatkan bahwa:

• Semakin tinggi tingkat bagi hasil (z), maka semakin banyak penerimaan yang

akan diterima oleh Pemerintah Daerah. Sebaliknya yang terjadi untuk

Pemerintah Pusat.

• Kenaikan tingkat bagi hasil (z) akan meningkatkan porsi penerimaan Daerah

(Provinsi dan Kabupaten/Kota) terhadap keseluruhan penerimaan Negara dari

30,88% menjadi 38.64%.

• Persentase penerimaan PPDS terhadap total penerimaan daerah

(PPDS/TREV) Pemerintah Daerah adalah awalnya sebesar 22.25%. Kemudian

naik menjadi 25.85% pada tingkat bagi hasil 10% (z=0.1), menjadi 35.77%

pada tingkat bagi hasil 30% (z=0.3), dan naik lagi menjadi 45.68% pada tingkat

bagi hasil 50% (z=0.5).

Dalam skema diatas nampaknya Pemerintah Pusat menjadi pihak yang “dirugikan.”

Namun, akan ditunjukkan bahwa penerapan bagi hasil PPN dapat menguntungkan

baik Pusat maupun Daerah. Ini berlandaskan asumsi bahwa pengelolaan PPN yang

Page 25: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 24

efisien oleh Pusat tanpa distorsi dari pajak-pajak Daerah dan, bahkan, didukung

secara antusias oleh Daerah, akan menyebabkan basis PPN tumbuh dengan pesat.

Tabel 10 menunjukkan hasil dari dampak makro dengan asumsi terjadinya

pertumbuhan penerimaan PPN (tingkat pertumbuhan ditunjukkan dengan alpha (α)).

Simulasi disini adalah dengan asumsi tingkat bagi hasil PPN antara Pemerintah Pusat

dan Daerah (z) sebesar 0.3 (yakni 30% dari penerimaan PPN ditransfer kepada

Daerah). Dalam Tabel 11 ditunjukkan hasil dimana tingkat bagi hasil (z) diasumsikan

sebesar 0.5 (yakni 50% dari penerimaan PPN ditransfer untuk Pemerintah Daerah).

Jika tingkat bagi hasil z adalah 0.5, maka kenaikan penerimaan Pemerintah Pusat

tidak dapat diharapkan hingga alpha mencapai 1. Namun, jika tingkat bagi hasil adalah

0.3, dapat diharapkan adanya kenaikan penerimaan Pemerintah Pusat setelah alpha

sama dengan 0.4 (yakni pertumbuhan penerimaan PPN = 40%).

Dapat dilihat juga bahwa bagi hasil PPN ini berkontribusi pada perbaikan porsi

penerimaan pajak daerah yang berasal dari daerah sendiri terhadap total penerimaan

daerah (PPDS/TREV). Jika tingkat bagi hasil PPN (z) sebesar 0.5, maka persentase

PPDS/TREV akan meningkat dari 22.25% (awal) menjadi 48,16% (jika tingkat

pertumbuhan penerimaan PPN sebesar 10%), menjadi 53,12% (jika tingkat

pertumbuhan penerimaan PPN sebesar 30%), dan menjadi 58,08% (jika tingkat

pertumbuhan penerimaan PPN sebesar 50%). Dan seterusnya.

5. Kesimpulan

Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia (sebagaimana yang berlangsung di banyak

negara demokratis) diharapkan dapat menciptakan pengelolaan fiskal yang efektif dan

efisien. Namun, harapan tersebut masih jauh dari terlaksana. Pertama, sumber-sumber

penerimaan yang stabil belum dipersiapkan untuk Pemerintah Daerah. Data

menunjukkan bahwa menyangkut Pemerintah Daerah (Provinsi dan Kabupaten/Kota)

dalam potret keuangan Indonesia, hanya 22,25% dari total penerimaan daerahnya

yang diperoleh berasal dari daerahnya sendiri (PPDS). Keinginan daerah untuk

meningkatkan penerimaan daerahnya sendiri secara signifikan belum terjamin dengan

sumber-sumber penerimaan yang ada. Konsekuensinya, Daerah sangat bergantung

pada transfer dari Pemerintah Pusat.

Kedua, beberapa pajak daerah memiliki kecenderungan untuk mengikis potensi pajak-

pajak nasional di Indonesia. Pajak hotel dan restoran dan pajak penerangan jalan saat

ini, yang yang berkontribusi sekitar 12% dari total penerimaan pajak daerah sendiri

Page 26: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 25

(PPDS) di Pemerintah Kabupaten/Kota, diberlakukan seperti layaknya PPN. Hal ini

tidak hanya menyebabkan hilangnya penerimaan Pemerintah Pusat tetapi juga

mengakibatkan inefisiensi pemungutan pajak secara nasional.

Tulisan ini mengusulkan reformasi yang bertujuan meningkatkan local taxing power

dan efektivitas mobilisasi penerimaan untuk Pemerintah Daerah (dan Pusat). Upaya

peningkatan kemampuan keuangan daerah yang bisa berjalan serentak nampaknya

adalah (1) pengalihan pajak Pusat tertentu menjadi pajak daerah, (2) pengalihan PNBP

tertentu kepada Daerah, (3) penambahan pajak Daerah baru, dan (4) penguatan basis

pajak Daerah.

Pemikiran yang mungkin saat ini dianggap “radikal” diajukan juga disini, (meski

disadari mungkin tidak compatible dengan beberapa usulan di atas) yakni sinkronisasi

pajak-pajak daerah dan nasional, lewat (1) penghapusan beberapa pajak daerah

(pajak hotel dan restoran dan pajak penerangan jalan) yang terbukti “mengganggu”

basis pajak Pusat dan sebagai kompensasinya (2) melakukan bagi hasil PPN antara

Pemerintah Pusat dan Daerah.

Simulasi bagi hasil PPN menunjukkan bahwa penggunaan bagi hasil PPN antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah akan membawa peningkatan penerimaan

yang substansial bagi Pemerintah Daerah di Indonesia.

Ditunjukkan dalam tulisan ini bahwa penerapan bagi hasil tidak selalu menghasilkan

zero-sum game antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pilihan yang tepat atas

penerimaan pajak daerah sendiri (PPDS) memungkinkan Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah memperoleh hasil yang positif. Penggunaan bagi hasil PPN

diyakini akan meningkatkan komitmen baik Pusat maupun Daerah untuk mendorong

laju perekonomiannya, yang akan berakibat pada peningkatan potensi penerimaan

keuangan. Semakin berkembangnya penerimaan dari PPN akan menawarkan lebih

banyak penerimaan bagi Pemerintah Pusat. Sehingga, komitmen pada pertumbuhan

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menimbulkan kesempatan bagi Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah untuk bersama-sama mendapat manfaat.

Page 27: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 26

Daftar Pustaka

Ahmad, E and R Krelove, 2000, Tax Assignments: Options for Indonesia, makalah dipresentasikan dalam “Indonesia: Decentralization Sequencing Agenda”, 20-21 Maret 2000, Auditorium Plaza Mandiri, Jl. Jend. Gatot Subroto – Jakarta

Brodjonegoro, B. dan J. Martinez-Vazquez, 2002, An Analysis of Indonesia’s Transfer System: Recent Performance and Future Prospect, makalah dipresentasikan untuk konferensi “Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?” Konferensi disponsori oleh Andrew Young School of Policy Studies, George State University, 1-3 Mei, Evergreen Resort, Stone Mountain Park, Atlanta, Andrew Young School of Policy Studies, George State University

Lewis, B.D., 2001, The New Indonesian Equalization Transfer, Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 37(3), 325-343

Mahi, R., R. Simanjuntak, K. Muchtar, dan B. Brodjonegoro, 2000, Alternative Local Revenue and Tax Sharing: Some Notes on the Implementation Law No. 25/1999, makalah dipresentasikan dalam “Indonesia: Decentralization Sequencing Agenda”, 20-21 Maret 2000, Auditorium Plaza Mandiri, Jl. Jend. Gatot Subroto – Jakarta

Sidik, M. dan Kadjatmiko, 2002, Indonesia Fiscal Decentralization: Combining Expenditure Assignment and Revenue Assignment, makalah dipresentasikan untuk konferensi “Can Decentralization Help Rebuild Indonesia?” Konferensi disponsori oleh Andrew Young School of Policy Studies, George State University, 1-3 Mei, Evergreen Resort, Stone Mountain Park, Atlanta, Andrew Young School of Policy Studies, George State University

Simanjuntak, R. dan Raksaka Mahi, 2003, Local Tax Revenue Mobilization and Local Borrowing, makalah dipresentasikan dalam International Symposium on Indonesia’s Decentralization Policy: Problems and Policy Directions, 31 Januari – 1 Februari 2003, Hitotsubashi Memorial Hall, Hitotsubashi University, Tokyo, Japan

Simanjuntak, Robert, 2006, Bagi Hasil Pajak Pertambahan Nilai: Sebuah Alternatif Penguatan Keuangan Daerah di Era Desentralisasi, Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia (JEPI), Vol. VI No.2, Januari, Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi UI.

Sirait, Lisbon, 2006, Evaluasi Atas Kelayakan Pengenaan Retribusi Atas Fungsi Pelayanan dan Perizinan yang Diselenggarakan Daerah, Tesis Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik FEUI, Tidak dipublikasikan.

Silver, C., Iwan Jaya Azis, dan Schroeder L., 2000, Intergovernmental Transfer and Decentralization in Indonesia, Bulletin of Indonesian Economics Studies, Vol. 37 (3), 345-362.

Naskah Akademik untuk Revisi Undang-Undang No 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.

Page 28: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 27

Lampiran

Tabel 1. Indonesia: Tax Assignment 2004

Responsibility Disposition Revenues (%) Type of Tax Base Rate Admin Center Province Local

National Tax Oil and Gas Receipts Income Tax – Corporate Value Added Taxes Import Duties Excises Export Tax Tax/Revenue Sharing Income Tax – Personal Land and Building Tax 1) Land and Bulding Transfer Tax 2) Forestry – Royalties 3) Forestry – Licenses 4) Mining – Landrents 5) Mining – Royalties 6) Oil 7) Natural Gas 8) Geothermal 9) Province Tax Vehicle Tax Vehicle Transfer Tax Fuel Tax Exploration Tax of Surface and Underground Water Local Tax Hotels Tax Restaurants Tax Entertainment Tax Advertisement Tax Street Lightening Tax Mine Exploration Tax (type C) Parking Tax

C C C C C C C C C C C C C C C C C, P C, P C, P C, P C, L C, L C, L C, L C, L C, L C, L

C C C C C C C C C C C C C C C C P P P P L L L L L L L

C C C C C C C C, P, L C C C C C C C C P P P P L L L L L L L

100 100 100 100 100 100 80 10 20 20 20 20 20 84.5 69.5 20 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 8 see notes “ “ “ “ “ 3 6 16 30 30 10 100 0 0 0 0 0 0 0

0 0 0 0 0 0 12 see notes “ “ “ “ “ 12.5 24.5 64 70 70 90 0 100 100 100 100 100 100 100

Sumber: Law 33/2004, Law 25/1999, Law 34/2000, and several government

regulations

Catatan: 1) from the central share (10%): 6.5% will be distributed evenly to

districts/cities and 3.5% is collection incentives; from the region’s share (90%): 16.2%

are provinces share, 64.8% local shares, and 9% collection costs. 2) all the central

share (20%) will be distributed evenly to districts/cities; and 80% of the regions share:

16% for provinces and 64% for districts/cities. 3) 80% of regional share: 16% province,

32% producing districts/cities, 32% other districts/cities in the province. 4) 80% regional

share: 16% province, 64% producing districts/cities. 5) and 6) 80% regional share: 16%

province, 32% producing districts/cities, 32% other districts/cities in the province. 7)

and 8) the centre portion reduced by 0.5% to add regional portion, and this additional

revenues earmark for basic education, 9) introduced in Law 33/2004.

Page 29: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 28

Tabel 2. Conceptual Basis of Tax Assignment

Determination of Type of Tax Base Rate

Collection & Administration

Comments

Customs Corporate Income Personal Income Resource Taxes - resource rent (profits, income) tax - royalties, fees, charges, severance taxes, production, output, and property taxes - conservation charges Wealth Taxes (taxes on capital, wealth, wealth transfers, inheritances, and bequests) Payroll Value-Added Tax (Multi-stage sales taxes) Single-stage sales taxes (retail, manufacturer, wholesale) - option A - option B “Sin” Taxes - excise on alcohol & tobacco - betting, gambling - lotteries - race tracks Taxation of “Bads” - carbon - BTU taxes - motor fuels - effluent charges

F F F F S, L S, L F F, S F S F F, S S, L S, L S, L F F, S, L F, S, L F, S, L

F F F, S, L F S, L S, L F, S F, S F S, L S F, S S, L S, L S, L F F, S, L F, S, L F, S, L

F F F F S, L S, L F F, S F S, L F F, S S, L S, L S, L F F, S, L F, S, L F, S, L

International trade taxes. Mobile factor, stabilization tool. Redistributive, mobile factor & stabilization tool. Highly unequally distributed tax bases. Benefit taxes/ charges for state & local services. To preserve local environment. Redistributive Benefit charge, e.g. social security coverage. Border tax adjustments possible under federal assignment; potential stabilization tool. Higher compliance cost. Harmonized, lower compliance cost. Health care a shared responsibility. State and local responsibility. State and local responsibility. State and local responsibility. To combat global/ national pollution. Pollution impact

Page 30: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 29

- congestion tolls - parking fees Motor Vehicles - registration, transfer taxes & annual fees - driver’s licenses and fees Business Taxes Excises Property Land Frontage, betterment Poll

F, S, L L S S S S, L S S S, L F, S, L

F, S, L L S S S S, L L L L F, S, L

F, S, L L S S S S, L L L L F, S, L

may be national, regional or local. Tolls on federal/ provincial/local road. To deal with interstate, intermunicipal or local pollution issues. Tolls on federal/ provincial/local road. To control local congestion. State responsibility. State responsibility. Benefit taxes Residence-based taxes. Completely immobile factor, benefit tax. Completely immobile factor, benefit tax. Cost recovery. Payment for services.

User Charges

F, S, L F, S, L F, S, L Payment for services received.

Sumber: World Bank and IMF, various policy studies.

Catatan: F is federal or central; S is state or province, L is local or municipal

Page 31: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 30

Tabel 3. A Summary View of Subnational Tax Assignment in 15 Developing

Countries

Number of countries with subnational determination of Type of Tax Base Rate Collection & Admin

- Customs - Income - Estates - Corporate - Resource - Sales - Value Added Taxes - Excises - Property - Fees - Residual Powers

1 1 4 1 3 4 1 8 11 10 2

1 1 4 1 3 5 1 8 12 10 2

2 6 4 4 6 7 4 12 14 12 2

Data include Argentina, Bangladesh, Brazil, China, Colombia, India, Indonesia,

Malaysia, Mexico, Nigeria, Pakistan, Papua New Guinea, Philippines, Russia,

Thailand.

Sumber: World Bank, berbagai penerbitan.

Tabel 4. Disparitas Penerimaan Pajak Daerah dan PNBP SDA Kehutanan dan Pertambangan Tahun 2004 (dalam miliar Rp)

Variabel PAD Provinsi

IHPH PSDH Land rent

Royalti

1 2 3 4 5 Tertinggi 6.430,33 18,33 1894,97 10,10 464,62 Terendah 0,19 0,08 0.07 0,01 0,0009 Rata-rata 708,03 3,13 20,48 1,17 46,54 Standar Deviasi 1.268,12 5,13 39,66 2,01 102,76 Koefisien variasi 1,79 1,64 1,94 1.71 2,21 Jumlah daerah 30 11 27 28 22

Sumber: diolah oleh penulis.

Tabel 5. Dampak Penyerahan Kewenangan Pemungutan Retribusi terhadap Disparitas Penerimaan Daerah

Variabel Alternatif I Alternatif II Alternatif III 1+2+3+4+5 1+2+4 1+3+5 Tertinggi 6.430,33 6.430,33 6.430,33 Terendah 20,88 19,30 1,77 Rata-rata 762,32 760,04 710,31 Standar Deviasi 1.263,70 1.263,93 1.267,53 Koefisien variasi 1,66 1,66 1,78

Catatan: Alternatif I sd III berdasarkan tabel 4

Sumber: diolah oleh penulis.

Page 32: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 31

Tabel 6. Kelayakan PNBP dari Pertambangan Umum dan Kehutanan sebagai Pungutan Retribusi Daerah

No. Fungsi Pemerintahan

Jenis PNBP Kategori Pungutan Kelayakan

Landrent Retribusi Perizinan Tertentu

Layak 1 Pemberian Izin Usaha Pertambangan Landrent layak sebagai pungutan

daerah karena pungutan tersebut sangat terkait dengan pemberian izin yang telah menjadi kewenangan daerah, namun memerlukan perubahan UU 33/2004

Royalti Pajak Tidak layak

2

Royalti tidak layak menjadi pungutan daerah karena hasil penerimaan timpang antar daerah, bersifat fluktuatif, dan dampak negatif dari aktivitas pertambangan tidak hanya ditanggung oleh daerah setempat

Iuran Hak Pengusahaan Hutan

Retribusi Perizinan Tertentu

Layak 3 Pemberian Izin/Hak Pengusahaan Hutan

IHPH layak menjadi pungutan daerah karena terkait dengan pemberian izin yang telah menjadi kewenangan daerah, namun memerlukan perubahan UU 33/2004

Iuran Hasil Hutan (PSDH)

Pajak Tidak layak 4

PSDH tidak layak sebagai pungutan daerah karena hasil yang timpang antar daerah, bersifat fluktuatif, dan dampak negatif dari aktivitas pertambangan tidak hanya ditanggung oleh daerah setempat

5 Dana Reboisasi

Dana Jaminan Layak

Dana reboisasi layak sebagai pungutan daerah karena sebagian tanggung jawab pelestarian hutan telah menjadi kewenangan daerah, namun memerlukan perubahan UU 33/2004.

Sumber: diolah oleh penulis.

Page 33: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 32

Tabel 7. Jenis PNBP yang layak ditetapkan sebagai pungutan Daerah

No. Kewenangan di Bidang

Jenis PNBP Golongan Retribusi

Keterangan

1 Perindustrian dan Perdagangan

Jasa Tera/tera ulang Jasa Umum Layak

2 Perhubungan Jasa Kepelabuhanan

Jasa Usaha Layak

3 Ketenagakerjaan DPKK Perizinan Tertentu

Layak

4 Perindustrian dan Perdagangan

Pungutan atas Izin Peredaran Minuman Beralkohol

Perizinan Tertentu

Tidak layak, karena lebih efektif dilakukan di tingkat pusat (bukan kewenangan daerah)

5 Kesehatan Pungutan atas Izin Usaha Penyelenggaraan Pelayanan & Sarana di bidang Kesehatan

Jasa Umum Layak, namun hanya bersifat administratif, karena aktivitas tersebut telah dikenakan izin HO

Sumber: diolah oleh penulis.

Tabel 8. Perluasan Basis beberapa Pajak Daerah

No. Jenis Pajak Daerah Perluasan Basis Pajak Alasan 1. PKB Termasuk kendaraan

pemerintah Keadilan dalam perpajakan dan efisiensi penggunaan anggaran

2. BBN-KB Termasuk kendaraan pemerintah

Keadilan dalam perpajakan dan efisiensi penggunaan anggaran

3. Pajak Restoran Jasa boga Lebih bersifat lokal 4. Pajak Hiburan Bowling, Golf Lebih bersifat lokal

Sumber: diolah oleh penulis

Page 34: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 33

Tabel 9. Dampak Makro dari Penerapan Bagi Hasil PPN

Tingkat Perubahan Penerimaan Total (%)

Proporsi Penerimaan Pemerintah Pusat

dan Daerah (%)

Proporsi PPDS terhadap

Penerimaan Total (%) z (Tingkat Bagi Hasil

Dana PPN (%)) Pemerintah

Pusat Pemerintah

Daerah Pemerintah

Pusat Pemerintah

Daerah

Sekarang: Sebelum

Bagi Hasil PPN

Sesudah Bagi Hasil PPN

Penerimaan Sebelum Bagi Hasil PPN (Rp. Triliun) 343.20 153.35

0 0.62 -1.36 69.12 30.88 22.25 20.89 10 -1.64 3.60 67.57 32.43 22.25 25.85 20 -3.90 8.55 66.02 33.98 22.25 30.81 30 -6.16 13.51 64.47 35.53 22.25 35.77 40 -8.42 18.47 62.92 37.08 22.25 40.72 50 -10.68 23.43 61.36 38.64 22.25 45.68

Catatan: Tingkat pertumbuhan PPN (alpha)=0

Sumber: Hasil Perhitungan Penulis dari Data Departemen Keuangan, 2004.

Tabel 10

Peningkatan Penerimaan PPN (dengan Peningkatan Efisiensi) & Dampak

Makronya

Tingkat Perubahan Penerimaan Total (%)

Proporsi Penerimaan Pemerintah Pusat

dan Daerah (%)

Proporsi PPDS terhadap

Penerimaan Total (%)

Tingkat Pertumbuhan

PPN (dPPN/PPN) (alpha)

Pemerintah Pusat

Pemerintah Daerah

Pemerintah Pusat

Pemerintah Daerah

Sekarang: Sebelum

Bagi Hasil PPN

Sesudah Bagi Hasil

PPN

0 -5.54 13.51 64.62 35.38 22.25 35.77 10 -3.96 15.00 64.70 35.30 22.25 37.25 20 -2.37 16.49 64.78 35.22 22.25 38.74 30 -0.79 17.98 64.86 35.14 22.25 40.23 40 0.79 19.46 64.93 35.07 22.25 41.72 50 2.37 20.95 64.62 35.38 22.25 43.20

Catatan: Asumsi z = 0,3

Sumber: Hasil Perhitungan Penulis dari Data Departemen Keuangan, 2004

Page 35: Kajian sinkronisasi pungutan pusat dan daerah

Tim Asistensi Menteri Keuangan Bidang Desentralisasi Fiskal (2006) 34

Tabel 11 Peningkatan Penerimaan PPN (dengan Peningkatan Efisiensi) & Dampak

Makronya

Tingkat Perubahan Penerimaan Total (%)

Proporsi Penerimaan Pemerintah Pusat

dan Daerah (%)

Proporsi PPDS terhadap

Penerimaan Total (%)

Tingkat Pertumbuhan

PPN (dPPN/PPN) (alpha)

Pemerintah Pusat

Pemerintah Daerah

Pemerintah Pusat

Pemerintah Daerah

Sekarang: Sebelum

Bagi Hasil PPN

Sesudah Bagi Hasil PPN

0 -10.05 23.43 61.53 38.47 22.25 45.68 10 -8.93 25.91 61.35 38.65 22.25 48.16 20 -7.80 28.39 61.18 38.82 22.25 50.64 30 -6.67 30.87 61.02 38.98 22.25 53.12 40 -5.54 33.35 60.86 39.14 22.25 55.60 50 -4.41 35.82 61.53 38.47 22.25 58.08 Catatan: Asumsi z = 0,5

Sumber: Hasil Perhitungan Penulis dari Data Departemen Keuangan, 2004