Kajian Pustaka Tenaga Kerja

23
TESIS 2009 Teknik Arsitektur - Perancangan Kota 2 - 1 Universitas Indonesia BAB II KAJIAN TEORI 2. 1. Perkembangan Kota Kota dalam perkembangannya mendapat banyak pengaruh. Konsentrasi penduduk yang tinggal dalam suatu area perkotaan, yang ditunjang oleh berbagai kegiatan dan menawarkan berbagai kesempatan memicu urbanisasi. Kota memiliki berbagai arti dan klasifikasi yang mempengaruhi perkembangan kota itu sendiri. Bukan hanya peningkatan kualitas kehidupan yang ditimbulkan oleh adanya proses perkembangan kota, tetapi seringkali dampak negatif juga muncul akibat peningkatan kegiatan dan pertumbuhan kota. 2. 1. 1. Definisi Kota Menurut Plato seperti dikutip London, kota merupakan sebuah pencerminan dari kehidupan dalam ruang jagat yang berdasarkan pada hubungan manusia dengan sesamanya (London, 2000). Lebih jauh lagi, ia juga mendefinisikan kota sebagai sebuah bentuk organisasi sosial dan politis yang memudahkan warganya mengembangkan potensi mereka dan hidup bersama sesuai dengan nilai kemanusiaan dan kebenaran (London, 2000). Bentukan kota berasal dari sekumpulan manusia yang berkumpul di suatu tempat dan berdiam berdasarkan suatu tujuan (Wikipedia, 2007). Kota adalah sebuah tempat dimana orang-orang didalamnya mengidentifikasi diri mereka dengan lokasi tersebut. Sedangkan Arthur B. Gallion dalam Urban Pattern melihat kota dalam unit yang lebih detil. “The confideration or union of neighbourhood, clans resorting to a center used as a common meeting place for workshop, protection, and the like; hence, the political or sovereign body formed by such a community” (Gallion, 1992). Terlihat bahwa kota memiliki keragaman aktifitas dan sarana kegiatan yang ditentukan oleh komunitasnya. Beberapa ahli mengatakan bahwa kota tidak akan terlepas dari manusia yang berdiam dan melakukan kegiatan di wilayah itu. Melihat beberapa pemahaman diatas, saya menyimpulkan bahwa kota merupakan suatu wadah yang memiliki keragaman guna lahan dengan keragaman kegiatan, gaya hidup dan interaksi. Kota diharapkan mampu Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

description

Universitas Indonesia

Transcript of Kajian Pustaka Tenaga Kerja

Page 1: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 1 Universitas Indonesia

BAB II

KAJIAN TEORI

2. 1. Perkembangan Kota

Kota dalam perkembangannya mendapat banyak pengaruh. Konsentrasi penduduk

yang tinggal dalam suatu area perkotaan, yang ditunjang oleh berbagai kegiatan dan

menawarkan berbagai kesempatan memicu urbanisasi. Kota memiliki berbagai arti dan

klasifikasi yang mempengaruhi perkembangan kota itu sendiri. Bukan hanya peningkatan

kualitas kehidupan yang ditimbulkan oleh adanya proses perkembangan kota, tetapi

seringkali dampak negatif juga muncul akibat peningkatan kegiatan dan pertumbuhan

kota.

2. 1. 1. Definisi Kota

Menurut Plato seperti dikutip London, kota merupakan sebuah

pencerminan dari kehidupan dalam ruang jagat yang berdasarkan pada

hubungan manusia dengan sesamanya (London, 2000). Lebih jauh lagi, ia juga

mendefinisikan kota sebagai sebuah bentuk organisasi sosial dan politis yang

memudahkan warganya mengembangkan potensi mereka dan hidup bersama

sesuai dengan nilai kemanusiaan dan kebenaran (London, 2000). Bentukan kota

berasal dari sekumpulan manusia yang berkumpul di suatu tempat dan berdiam

berdasarkan suatu tujuan (Wikipedia, 2007). Kota adalah sebuah tempat dimana

orang-orang didalamnya mengidentifikasi diri mereka dengan lokasi tersebut.

Sedangkan Arthur B. Gallion dalam Urban Pattern melihat kota dalam

unit yang lebih detil. “The confideration or union of neighbourhood, clans

resorting to a center used as a common meeting place for workshop, protection,

and the like; hence, the political or sovereign body formed by such a

community” (Gallion, 1992). Terlihat bahwa kota memiliki keragaman aktifitas

dan sarana kegiatan yang ditentukan oleh komunitasnya. Beberapa ahli

mengatakan bahwa kota tidak akan terlepas dari manusia yang berdiam dan

melakukan kegiatan di wilayah itu.

Melihat beberapa pemahaman diatas, saya menyimpulkan bahwa kota

merupakan suatu wadah yang memiliki keragaman guna lahan dengan

keragaman kegiatan, gaya hidup dan interaksi. Kota diharapkan mampu

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 2: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 2 Universitas Indonesia

memberikan tempat terbaik bagi warganya, untuk melaksanakan fungsi-fungsi

dasar hidupnya, serta dapat menampung kebutuhan perkembangan masyarakat

di masa depan.

2. 1. 2. Keragaman kegiatan dalam kota

Seiring munculnya modernisasi, kebanyakan kota di dunia menggunakan

penzoningan sebagai metode merancang untuk menciptakan keterpisahan ruang-

ruang kota berdasarkan fungsi. Kota dibagi menjadi daerah pemukiman,

komersial dan perkantoran. Akibatnya, terjadi pemusatan aktifitas di waktu

tertentu. Sebagai contoh pada siang hari aktifitas masyarakat kota terpusat pada

daerah perkantoran, sehingga daerah pemukiman menjadi sepi. Hal ini

berdampak negatif terhadap kehidupan kota. Terdapat homogenitas fungsi atau

kegiatan yang berlangsung pada sebuah daerah dalam suatu kota.

Setelah mengungkap fakta yang terjadi ada era modernisasi, Jane Jacobs

membuka pemikirannya dan mengibaratkan kota seperti titik-titik api yang

tersebar pada sebuah lahan yang terbakar. Ada bagian yang terang dan bagian

gelap yang terletak diantaranya. Ia menyarankan agar dalam suatu daerah

tertentu dalam suatu kota terdapat penggabungan fungsi dan kegiatan yang

berbeda sehingga keduanya dapat saling mendukung.

This ubiquitous principle is the need of cities for most intricate and

close grained diversity of uses thet give each other constant mutual

support, both economically and socially. The component of this diversity

can differ enormously, but they must supplement each other in certain

concrete way (Jacobs, 1961).

Dari tulisan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya

penggabungan kegiatan yang berbeda dalam suatu daerah akan menciptakan

suatu keberagaman. Hal ini sangat diperlukan karena unsur yang berbeda akan

saling mendukung dan kota akan selalu hidup, karena antara kegiatan satu dan

lainnya akan saling melengkapi.

Dalam kegiatan berkota terdapat struktur sosial yang mengidentifikasi

tingkat interaksi dari kawasan urban dan sub-urban. Struktur sosial suatu

kawasan umumnya terbentuk dari kelas-kelas sosial yang mendiami kawasan

tersebut dan dapat dilihat melalui berbagai interaksi yang terjadi didalamnya.

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 3: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 3 Universitas Indonesia

Penelitian yang dilakukan William Whyte menunjukkan bahwa dilihat dari

frekuensi, interaksi antar manusia yang terjadi di kawasan urban akan lebih

tinggi dibandingkan kawasan sub-urban (Whyte, 1988).

Berdasarkan identifikasi ragam kelas sosial yang terlibat dalam interaksi

sosial, kawasan urban juga memiliki tingkat keragaman yang lebih tinggi.

Interaksi sosial yang terjadi di kawasan urban tergolong heterogen. Banyaknya

ragam kelas sosial yang terlibat dalam interaksi sosial masyarakat kota

membuat struktur sosial kawasan urban menjadi lebih kompleks, walau

interaksi tersebut hanya bersifat sementara atau tidak berlanjut di kemudian

hari. Heterogenitas kelas sosial dan tingginya interaksi sosial merupakan ciri

utama struktur sosial kawasan urban (Whyte, 1988).

Dari ungkapan dan penjabaran Whyte mengenai struktur sosial kawasan

urban, saya menyimpulkan bahwa heterogenitas kelas sosial pada kawasan

urban akan mempengaruhi keragaman „place‟ yang dibentuk oleh masyarakat

urban dan pengaruh dari berbagai aspek lingkungan kota.

Pada perkembangannya, pertumbuhan kota semakin memicu keragaman

kegiatan yang berlangsung. Salah satu kecenderungan kegiatan masyarakat kota

adalah adanya kebutuhan untuk bertukar pengalaman dan memperoleh tempat

yang nyaman untuk saling bersosialisasi. Kegiatan-kegiatan tersebut bukan lagi

dilakukan di rumah ataupun di kantor; melainkan pada suatu tempat yang

disebut ruang ketiga atau Third Place (Oldenburg, 1999).

Tempat ketiga adalah istilah yang digunakan dalam konsep community

building untuk merujuk sebuah lingkungan sosial yang memiliki karakter fisik

yang cukup berbeda dengan lingkungan sosial biasa di rumah dan tempat kerja.

Ray Oldenburg memberikan sedikit gambaran mengenai fungsi third place

dengan frase, How they get you through the day (Oldenburg,1999). Third place

akan muncul, ketika first place dan second place dirasakan tidak cukup lagi.

Setelah berakhirnya perang dunia, beberapa kota di dunia melakukan

perencanaan dengan sistem zoning. Akibatnya, jarak antara daerah pemukiman

dengan daerah publik menjadi jauh, sehingga harus ditempuh dengan

menggunakan kendaraan. Keadaan ini menimbulkan kejenuhan dan

berkurangnya aktifitas sosial yang dilakukan di luar rumah. Ditambah dengan

kondisi lingkungan perumahan dimana tetangga tidak saling kenal, maka

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 4: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 4 Universitas Indonesia

kebutuhan untuk menjalin interaksi sosial juga semakin tidak terpenuhi. Hal ini

mengakibatkan tingginya tingkat stress pada masyarakat setempat akibat

kejenuhan pada masyarakat. Dari sini dapat terlihat bagaimana pentingnya

keberadaan tempat-tempat dimana sesama manusia dapat menjalin informal

social interactionst dan melepaskan diri sejenak dari rutinitas kantor maupun

rumah (Oldenburg, 1999).

Dalam bukunya, The Great Good Place, Ray Oldenburg (1999)

menggambarkan A generic designation for a great variety of public places that

host the regular, voluntary, informal and happily anticipated gatherings of

individuals beyond the realms of home and work. Menurut Oldenburg ada tiga

setting kehidupan yang harus ada untuk memenuhi kebutuhan manusia akan

place, yaitu home sebagai first place, tempat bekerja sebagai second place dan

tempat dimana orang dapat rutin berkunjung untuk berkumpul dengan teman,

tetangga, sebagai third place.

Gambar 2.1. Third Place

(http://www.cooltownstudios.com/images/pps/)

Terdapat beberapa karakter yang menjadikan Third Place berbeda dengan

ruang publik. Third place digunakan sebagai ruang netral yang menyetarakan

semua pengguna ruang tersebut, biasanya digunakan sebagai ruang informal

dengan beberapa komunitas yang saling mengenal, melepas kepenatan, mencari

kesenangan, berada di tempat yang mudah dicapai dan memberikan

kenyamanan bagi setiap orang yang datang (Oldenburg, 1999). Saya

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 5: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 5 Universitas Indonesia

menyimpulkan bahwa perkembangan kegiatan berkota telah memunculkan

ruang ketiga (third place) yang akan mempengaruhi keragaman kegiatan di kota

dan secara tidak langsung memunculkan ruang kota yang mewadahi fungsi-

fungsi “leisure” seperti café dan tempat makan.

2. 1. 3. Tata Guna Lahan dalam Kota dan Perkembangannya

Perkembangan fisik kota, pada dasarnya memperoleh pengaruh dari

kegiatan yang berlangsung. Perkembangan kegiatan berkota akan berpengaruh

pada perkembangan sarana kota. Dilihat dari bentuknya, kota terdiri atas bentuk

geometri dan organik. Bentuk geometri pada perkotaan terbagi atas dua jenis,

yaitu Planned dan Unplanned (Gallion, 1992).

Bentuk Planned (terencana) dapat dijumpai pada kota-kota di Eropa abad

pertengahan dengan pengaturan kota yang selalu regular dan rancangan

bentuk geometrik.

Bentuk Unplanned (tidak terencana) banyak terjadi pada kota-kota

metropolitan, dimana satu segmen kota berkembang secara spontan dengan

bermacam-macam kepentingan yang saling mengisi, sehingga akhirnya kota

akan memiliki bentuk semaunya yang kemudian disebut dengan organic

pattern.

Lorenz dalam pembahasan Spatial Pattern menegaskan mengenai guna

lahan dan keterkaitannya dengan jaringan-jaringan kota.

…Represents the spatial patterns of the physical elements that cities

consist of. These elements belong to the following three categories:

'networks' - e.g. transportation networks for people, goods, water, energy

and information -, 'buildings' - including residential, commercial and

industrial buildings -, and 'open space' - such as parks, gardens, places

and courtyards…” (Lorenz, 2003).

Lorenz (2003) menyatakan bahwa pola tata ruang seringkali mewakili

elemen-elemen fisik kota. Elemen-elemen fisik kota mendukung terbentuknya

struktur visual kota. Elemen fisik kota juga menyangkut kualitas spasial figural

dan wujud pembentuk ruang yang dapat dibaca melalui pola, hirarki dan

hubungan ruang kota satu dengan yang lainnya. Guna lahan merupakan salah

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 6: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 6 Universitas Indonesia

satu elemen fisik dua dimensi yang mempengaruhi pembentukan ruang tiga

dimensi. Menurut Gallion (1992) guna lahan memiliki peran yang penting

karena perencanaan guna lahan merupakan langkah untuk mewujudkan

komunitas fisik, sosial dan ekonomi yang baik.

Pada awalnya, terdapat lima klasifikasi peruntukkan lahan perkotaan,

antara lain ruang terbuka, pertanian, perumahan, perdagangan dan industri.

Tetapi Stuart Chapin (1985) mempelajari kembali klasifikasi tersebut dan

melihat keterbatasan perluasan batas kawasan kota yang akan terjadi, kemudian

ia mengungkapkan bahwa klasifikasi peruntukan guna lahan perkotaan hanya

berupa perumahan, perdagangan dan industri. Tiga klasifikasi tersebut harus

memenuhi kelengkapan sarana dan prasarana, termasuk jalan, ruang terbuka dan

fasilitas penunjang.

Di Indonesia telah disusun rencana peruntukan terkait dengan kegiatan

fungsional, dengan kebijakan dan pola pengembangan yang berbeda antara satu

kawasan peruntukan tertentu dengan kawasan peruntukan lainnya. Klasifikasi

peruntukan disusun sebagai berikut: (Pedoman Teknis Intensitas Bangunan

Gedung, 2006),

Wisma, penggunaan utama dipergunakan sebagai bangunan perumahan atau

tempat hunian, termasuk ruang terbuka dan fasilitas penunjangnya.

Karya, penggunaan utama dipergunakan sebagai tempat bekerja atau

berusaha, baik yang bersifat pelayanan, perdagangan, jasa, industri atau

pergudangan.

Marga, penggunaan utama dipergunakan sebagai jaringan prasarana kota,

baik yang berada diatas atau dibawah tanah maupun di udara, perairan atau

sungai termasuk bangunan pelengkap.

Suka, dipergunakan sebagai sarana utama kota termasuk bangunan

pelengkap, yang dirinci menjadi fasilitas parkir, terminal, pendidikan, sosial

ibadah, sosial kesehatan, pelayanan umum, rekreasi olah raga.

Penyempurna, dipergunakan sebagai ruang terbuka, lapangan dan

penyempurnaan fungsi kota termasuk yang menampung segala kegiatan

yang tidak termasuk pada tempat lingkungan pokok lainnya yang dirinci

menjadi penyempurna fasilitas umum,

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 7: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 7 Universitas Indonesia

Kawasan campuran yang berupa campuran dari beberapa kegiatan

fungsional yang terwujud dalam kombinasi dari keempat unsur lingkungan

utama kota Wisma, Karya, Suka, dan Penyempurna (RBWK, 2000).

Terdapat perbedaan klasifikasi di Indonesia dan negara-negara barat.

Stuart Chapin melihat klasifikasi guna lahan hanya menjadi tiga dan ia

menganggap masing-masing fungsi tersebut akan mengalami keragaman fungsi

lagi didalamnya. Negara-negara barat telah mengantisipasi perkembangan kota

melalui sebuah rencana umum yang diatur melalui persyaratan-persyaratan

sehingga pertumbuhan kota yang kurang baik dapat teratasi (Chapin dan

Edward, 1985; Kostof, 1991; Gallion, 1992). Sedangkan di Indonesia walaupun

sudah terdapat klasifikasi yang lebih rinci, namun klasifikasi ini masih belum

dapat mengantisipasi pertumbuhan kota yang terjadi. Akibatnya sering terjadi

kasus-kasus perubahan guna lahan, terutama di kota-kota besar.

Di Jakarta, kebanyakan kasus perubahan guna lahan bermula dari

adanya perkembangan infrastruktur kota dan pergerakan kawasan. Sebagian

besar kawasan yang berubah merupakan kawasan hunian yang memiliki lokasi

strategis, antara lain: Tebet, Kebayoran Baru dan Kemang. Di Kemang

perubahan fungsi bangunan hunian diawali dengan digunakannya lingkungan

Kemang sebagai akses alternatif dari kawasan Mampang, Kebayoran Baru ke

kawasan Warung Buncit. Dengan dibukanya akses tersebut, nilai lahan di

sepanjang akses menjadi semakin tinggi, sehingga banyak tumbuh bangunan

komersial (Kompas, 2009).

Di kawasan Kemang, perubahan bangunan hunian menjadi bangunan

komersial mendapat tanggapan baik dari pemerintah kota dan sebagian warga

setempat. Pemerintah kota menilai bahwa perubahan fungsi hunian menjadi

fungsi komersial dapat menghidupkan dan memperkuat karakter kawasan

(Kompas, 2009). Tetapi permasalahan terjadi pada ketidaksiapan daya dukung

lahan terhadap peningkatan keragaman kegiatan yang terjadi, termasuk semakin

tingginya intensitas kendaraan, kemacetan, parkir, dan tumbuhnya sektor

informal yang ilegal.

Sama halnya dengan Kemang, kawasan hunian Pondok Indah juga

mengalami perubahan fungsi lahan. Pemicunya adalah jalur Simatupang, jalan

tol lingkar luar dan meningkatnya kelas jalan Pondok Indah menjadi jalan arteri,

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 8: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 8 Universitas Indonesia

sehingga lingkungan hunian Pondok Indah berubah menjadi kawasan dengan

aksesibilitas tinggi. Tetapi pemerintah Kota masih belum memberikan

tanggapan serius mengenai perubahan fungsi lahan yang terjadi di Pondok

Indah (Kompas, 2009).

2. 2. Kawasan Hunian

Sebelum manusia memiliki tempat tinggal yang tetap, kehidupan manusia selalu

berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain dengan mendiami gua-gua

sebagai tempat perlindungan dari gangguan cuaca maupun binatang buas. Setelah

kehidupan mereka semakin berkembang dan maju, maka mereka mulai membuat suatu

tempat tinggal yang lebih baik dan permanen. Dengan semakin berkembangnya

peradaban manusia, maka manusia mulai memecahkan masalah perumahan akibat laju

pertumbuhan penduduk yang tinggi dan terbatasnya lahan untuk permukiman, terutama

di kota-kota besar (Chiara, 1984).

Kawasan hunian atau perumahan merupakan sekelompok rumah yang berfungsi

sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan

prasarana dan sarana lingkungan (SNI-Menpera, 2004). Pada pembahasan sebelumnya

telah diungkapkan bahwa hunian merupakan salah satu peruntukan lahan perkotaan selain

perdagangan dan industri.

Perumahan merupakan sekelompok rumah. Pengertian rumah berdasarkan UU

No. 4 tahun 1992 merupakan bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau

hunian dan sarana pembinaan keluarga di lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur

(UU-Ciptakarya, 1992). Jika dikaitkan dengan kegiatan yang berlangsung didalamnya,

rumah dapat disetarakan dengan istilah-istilah dwelling, residential, dan neighborhood.

Telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya bahwa di Indonesia telah terdapat

aturan mengenai klasifikasi peruntukan. Klasifikasi yang ada pada lingkungan hunian

(wisma) yaitu : Wisma Kecil (Wkc), Wisma Sedang (Wsd), Wisma Besar (Wbs), Wisma

Susun (Wss), Wisma Kantor (Wkt), Wisma Perdagangan (Wdg), Wisma Industri Kecil

(Wik), dan Wisma Taman (Wtn) Masing-masing klasifikasi memiliki batasan kegiatan

tambahan dan persyaratan ruang, antara lain (Pedoman Teknis Intensitas Bangunan,

2006) :

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 9: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 9 Universitas Indonesia

Pada dasarnya peruntukan wisma diperbolehkan mengadakan kegiatan tambahan

didalamnya.

Untuk klasifikasi wisma besar, wisma kantor, wisma perdagangan dan wisma

industri, diperbolehkan melakukan kegiatan tambahan di luar bangunan rumahnya

atau memperluas bangunan rumahnya sebagai wadah kegiatan tambahan dengan

syarat-syarat tertentu.

Untuk klasifikasi wisma sedang, dan wisma taman, diperbolehkan melakukan

kegiatan tambahan hanya dalam bangunan rumahnya.

Untuk klasifikasi wisma kecil tidak diperbolehkan melakukan kegiatan tambahan di

dalam bangunan rumahnya ataupun di sekitar bangunan rumahnya, kecuali pada

lingkungan fasilitas umum dan sosial.

Dari pembahasan di atas, saya melihat bahwa di Indonesia klasifikasi hunian

(wisma) sudah dibuat secara rinci sampai pada aturan fasilitas dan kegiatan apa yang

dapat berlangsung didalamnya. Tetapi belum terdapat aturan-aturan mengenai batasan

kegiatan dan persyaratan ruang sehingga masih banyak ditemukan bangunan-bangunan

rumah yang digunakan untuk kegiatan bukan hunian.

2. 2. 1 Neighborhood dan Komunitas

Menurut kamus Oxford (2007), neighborhood berasal dari kata neighbour

yang mendapat penambahan sufiks ”hood”. Neighbour diartikan sebagai

kelompok orang yang tinggal di rumah-rumah, jalan, dan area yang berdekatan

satu sama lain. Kata ini juga digunakan untuk mendefinisikan sekelompok

manusia yang tinggal di sebuah kawasan dan berada dalam sebuah kondisi

berdekatan.

Penggunaan bentuk unit neighborhood dibuat dengan tujuan agar

masyarakat tidak dapat terpisahkan secara paksa oleh ras, agama, atau

pendapatan. Unit neighborhood adalah tempat dimana seseorang tinggal, dan

penghuninya satu sama lain dapat bekerja sama dengan baik dalam segala hal

(Gallion, 1992).

Gallion (1992) menggambarkan sebuah neighborhood dengan cerita

singkatnya, dimana seorang ibu merasa nyaman untuk melepas anaknya ke

sekolah dengan jarak yang cukup dekat dengan sekolah dan merasa anaknya

tidak akan kesulitan menyeberang jalan menuju sekolah. Penduduk

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 10: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 10 Universitas Indonesia

neighborhood mudah untuk mendapatkan sarana berbelanja kebutuhan sehari-

hari dan para pekerja bisa menemukan sarana transportasi menuju dan dari

tempat kerja mereka. Begitu juga dengan adanya kantong-kantong interaksi

antar komunitas, dengan adanya taman bermain memungkinkan anak-anak bisa

bermain dengan aman. Terlihat bahwa neighborhood merupakan area hunian

dengan berbagai kelengkapan sarana penunjangnya yang ditujukan untuk

pembentukan komunitas dengan interaksi dan tingkat sosial yang baik.

Neighborhood are not created by planners and builders, not by network or

people who know each other, share some of their social life, help each other out

in emergencies and get together to manage community projects (Barnett, 2003).

Jarak merupakan salah satu kondisi fisik yang mempengaruhi sebuah

neighborhood tapi bukan hal yang utama. Tentunya untuk dapat saling

mengenal, harus ada pertemuan, perkenalan, dan sebagainya. Pertemuan yang

berulang-ulang akan membentuk sense of community. Neighborhood terbentuk

bukan hanya dari interaksi yang diciptakan, tetapi kondisi tempat, rancangan

dan faktor fisik dalam sebuah komunitas sangat berpengaruh dalam terbentuk

atau tidaknya sebuah neighborhood (Barnett, 2003).

Gambar 2.2. Interaksi dalam lingkungan hunian - Sacramento

(http://www.communicationsmgr.com/projects/Houstonpedwalking/)

Ali Madanipour (2003) melihat neighborhood sebagai sebuah komunitas

ideal yang memiliki sense of community. Dalam sebuah neighborhood,

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 11: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 11 Universitas Indonesia

komunitas menjadi faktor pembentuk utama, dimana manusia dilahirkan untuk

berinteraksi dengan manusia lainnya, dan cenderung membentuk kelompok-

kelompok sosial dengan tujuan yang relatif sama. Komunitas (Community)

dalam bahasa Jerman disebut Gemeinschaft, yaitu suatu bentuk kehidupan

bersama yang antara anggotanya terdapat ikatan batin dan ikatan emosional.

Pada masyarakat modern, Gemeinschaft ini terlihat dalam ikatan keluarga,

tetangga dan kerabat (Soekanto, 2004).

Dari kondisi tersebut, terlihat bahwa neighborhood tidak hanya

menggambarkan kedekatan fisik hunian dalam sebuah lokasi dalam sebuah

kawasan. Neighboorhood juga menunjukkan sebuah kedekatan secara

emosional antar penghuninya. Setiap orang yang tinggal dalam sebuah area

tertentu akan mempunyai kedekatan secara fisik. Tetapi kedekatan tersebut

belum tentu dapat disebut neighbour. Sebab antar individu yang tinggal sebagai

tetangga yang saling bersebelahan pun bisa saja tidak saling kenal.

Berdasarkan beberapa penjabaran definisi diatas, terlihat bahwa suatu

Neighborhood akan terbentuk, jika terjadi interaksi. Jarak dan pola penempatan

elemen pembentuk neighborhood akan menentukan, apakah dalam

neighborhood tersebut akan terjadi interaksi antar penghuninya, yang secara

tidak langsung akan menghidupkan lingkungannya.

2. 2. 2 Elemen Pembentuk Ruang dalam Neighborhood

Tujuan utama pembentukan sebuah kawasan neighborhoods adalah untuk

memudahkan sosialisasi antar individu melalui pengelompokkan, sehingga akan

lebih mudah bagi individu untuk saling mengenal satu sama lain.

Frederick Gibberd (1970) menyatakan bahwa elemen yang paling dasar

dalam sebuah neighborhood adalah dwelling. Perumahan ataupun area hunian,

bukan hanya merupakan sekumpulan rumah tetapi juga keberadaan sarana dan

prasarananya. Sarana yang harus ada sebagai penunjang, antara lain adalah

keberadaan open space dan social services sebagai pemenuhan kebutuhan

sehari-hari. Social service yang paling umum adalah tersedianya sarana

pendidikan (sampai dengan rentang usia 12 tahun) dan tempat belanja

kebutuhan sehari-hari. Selain itu juga disediakan fasilitas berkumpul untuk

individu yang tinggal berdekatan (lihat gambar 2.3).

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 12: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 12 Universitas Indonesia

Gambar. 2.3. Neighborhood Context (Frederick Gibberd – New Urbanism)

Di Indonesia, berdasarkan SNI 03-1733-2007 yang dikeluarkan oleh

Kementerian Perumahan Rakyat disebutkan bahwa dalam suatu perencanaan

dan pengawasan perumahan, kelengkapan sarana dan prasarana perumahan

menjadi faktor yang sangat penting. Sarana lingkungan merupakan fasilitas

penunjang yang berfungsi untuk menyelenggarakan dan mengembangkan

kehidupan ekonomi, sosial dan budaya (SNI Menpera, 2004).

Di negara-negara barat, pemerintah umumnya memberikan berbagai

standar dalam menentukan area hunian (Gibberd, 1970; Chiara, 1984, Barnett,

2003). Bukan hanya kenyamanan bagi fungsi huniannya saja, tetapi juga pada

sarana penunjang (commercial area), ruang terbuka, elemen pergerakan (jalan,

jalur pedestrian, dan parkir), elemen lansekap, elemen utilitas dan elemen

streetscapes (Residential Handbook, 2004). Perkembangan elemen-elemen

tersebut dalam area hunian akan sangat berpengaruh terhadap daya dukung

lahan.

Menurut Keputusan Kementerian Perumahan Rakyat tahun 2004,

perencanaan lingkungan perumahan kota harus memperhatikan prasarana dan

sarana lingkungan serta utilitas umum yang diperlukan untuk menciptakan

lingkungan perumahan perkotaan yang serasi, sehat, harmonis dan aman.

Lingkungan hunian harus memenuhi beberapa fasilitas dan kriteria antara

lain (SNI Menpera, 2004) :

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 13: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 13 Universitas Indonesia

Kriteria lokasi,

Kriteria pencapaian dan kemudahan transportasi,

Kriteria kenyamanan dan kesehatan,

Kelengkapan fasilitas, antara lain rekreasi, pertokoan atau komersial,

sekolah, perpustakaan dan fasilitas publik lainnya.

Sedangkan Standar Nasional Indonesia yang disusun oleh Kementerian

Perumahan Rakyat mensyaratkan, antara lain: Kriteria keamanan, kesehatan,

kenyamanan, keserasian, fleksibilitas dan terjangkau dari sarana umum

(keterangan rinci, lihat lampiran).

2. 2. 3 Sarana Penunjang pada Kawasan Hunian

Selain klasifikasi bentuk bangunan hunian, terdapat pula klasifikasi ruang

hunian berdasarkan pola pembentukan lingkungan hunian. Dari klasifikasi pola

pembentukan lingkungan hunian, dapat dilihat juga bagaimana penempatan

sarana penunjang pada lingkungan hunian (Gibberd, 1970) yaitu :

Pola Cluster (berkelompok)

Bangunan hunian dikelompokkan sedemikian rupa hingga membentuk satu

kesatuan wilayah yang terpisah dengan lingkungan sekitar dan tidak

terjangkau oleh sirkulasi umum. Umumnya, sarana penunjang diletakkan

pada pusat kawasan.

Pola Linier

Bangunan hunian diletakkan berderet tanpa ada upaya pengelompokkan

dengan sirkulasi berupa jalan lokal atau jalan kolektor yang sifatnya publik.

Sarana penunjang diletakkan pada jalan yang hirarkinya tertinggi dan

biasanya cenderung diletakkan pada titik-titik persimpangan.

Menurut Rob Krier (1979) ruang publik yang berada di pusat hunian

umumnya tidak akan berkembang, baik dalam hal penggunaan, pemeliharaan,

maupun maknanya. Hal ini berbeda dengan ruang publik yang ditempatkan pada

jalan-jalan utama (arterial roads) yang biasanya menghubungkan satu

lingkungan hunian dengan lingkungan hunian lainnya. Dapat disimpulkan

bahwa penempatan sarana penunjang di jalan utama lingkungan hunian,

cenderung lebih mudah untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 14: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 14 Universitas Indonesia

perkembangan kota ketimbang hunian dengan pola cluster yang menempatkan

sarana penunjangnya di pusat.

2. 2. 4 Elemen Pembentuk Ruang Kota di Kawasan Hunian

Pada kawasan hunian, melalui kajian terhadap beberapa sumber terungkap

bahwa elemen pembentuk ruang kota memiliki ketentuan sebagai berikut :

1) Jalan.

Dalam Residential Handbook (2004) jalan pada lingkungan hunian harus

memenuhi keamanan dan kenyamanan. Jalan pada lingkungan hunian harus

memperhatikan volume dan kepadatan lalu lintas. Terdapat dua bentuk jalan

dalam lingkungan hunian, yaitu jalan kolektor dan jalan lokal. Jalan kolektor

merupakan penghubung antara jalan arteri dan jalan lokal. Sedangkan jalan

lokal merupakan jalan yang menghubungkan jalan kolektor dengan unit-unit

hunian atau area off-street parking. Pada lingkungan hunian, biasanya jalan

kolektor hanya digunakan sebagai jalur pencapaian ke tempat-tempat area

publik dalam lingkungan hunian. Untuk memenuhi kenyamanan pada jalan

lingkungan hunian, terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan, yaitu

lebar jalan, pola dan rambu-rambu pada persimpangan. Lebar jalan pada

lingkungan hunian dibuat tidak terlalu lebar, sehingga kendaraan hanya

dapat melintas dengan kecepatan rendah hingga sedang. Lebar jalan untuk

jalur kendaraan pada jalan kolektor 6 meter atau 2 lajur kendaraan dan untuk

jalan lokal hanya 3 meter atau 1 lajur kendaraan. Pada kedua jalan ini

diperbolehkan merencanakan on-street parking dengan lebar maksimal 2,5

meter.

2) Jalur Pedestrian (Walkways).

Menurut Cliff Moughtin (1992) jalur pejalan kaki merupakan elemen

penting dalam kenyamanan lingkungan hunian, yang terdiri atas beberapa

faktor pembentuk yaitu adanya pembatas (barrier) pada jalur pedestrian

yang berhubungan dengan lahan unit hunian, unsur vegetasi di sepanjang

jalur pedestrian dan elemen keamanan di titik persimpangan dalam bentuk

penanda pada jalur pedestrian.

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 15: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 15 Universitas Indonesia

3) Parkir.

Dalam Land Development (2007) parkir yang ada di lingkungan hunian

hanya diperuntukkan bagi penghuni dan tamu. Biasanya parkir pada

lingkungan hunian sudah terdapat pada masing-masing unit hunian, tetapi

berdasarkan Residential Parking Requirement pada Land Development

Handbook, di kawasan hunian masih diperkenankan adanya on street

parking pada salah satu sisi jalannya.

4) Streetscape.

Streetscape pada lingkungan hunian terkait erat dengan skala ruang

lingkungan hunian dan kegiatan yang berlangsung. Skala dari jalan pada

lingkungan hunian haruslah konsisten dengan kepadatan dan tipe dari

perumahan. Andrés Duany dan Elizabeth Plater-Zyberk (2006) dalam New

Urbanism menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen streetscape pada

lingkungan hunian yang dapat menjadi pembentuk ruang kota, yaitu unsur

vegetasi di sepanjang sidewalks, frontage atau penggunaan tampak depan

bangunan yang baik, penggunaan teras dan kanopi pada entrance,

penggunaan curbs sebagai elemen penutup utilitas dan untuk mendukung

estetika streetscape kawasan hunian dan elemen penerangan dan informasi

untuk mendukung keamanan lingkungan hunian.

Gambar. 2.4. Streetscape pada townhouse

(http://farm4.static.flickr.com/3313/3415932715_50b397a30a)

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 16: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 16 Universitas Indonesia

2. 3. Kawasan Komersial

Salah satu bentuk kegiatan di kota adalah kegiatan komersial. Kata komersial

berasal dari kata sifat, commercial yang artinya :

…Of Pertaining to, or engaged in commerce, Having profit as a major aim.

Sedangkan kata benda commerce artinya, The buying and selling of goods;trade dan

Social intercourse (Oxford Dictionary, 2006).

Dari pernyataan diatas, fungsi komersial dapat dilihat sebagai kegiatan atau

pertemuan sosial yang berhubungan dengan pembelian dan penjualan barang atau disebut

juga perdagangan dengan tujuan utamanya adalah mencari keuntungan. Awal munculnya

sebuah kompleks perbelanjaan umumnya berasal dari satu pola yang sama yaitu saat

suatu daerah permukiman tumbuh, lalu timbul kegiatan usaha eceran, toko dan kemudian

berkembang.

Menurut International Council of Shopping Centre (2004) pusat perbelanjaan

merupakan kompleks pertokoan yang dikunjungi untuk membeli atau melihat dan

membandingkan barang-barang dalam memenuhi kebutuhan ekonomi sosial masyarakat

serta memberikan kenyamanan dan keamanan berbelanja bagi pengunjung. Sedangkan

Nadine Beddington (1982) menyatakan suatu tempat perbelanjaan merupakan kelompok

pertokoan terencana yang dikelola oleh suatu manajemen pusat, yang menyewakan unit-

unit kepada pedagang. Pengawasannya dilakukan oleh manajer yang sepenuhnya

bertanggung jawab terhadap kegiatan ekonomi yang berlangsung di pusat perbelanjaan.

Dilihat dari luas areal pelayanan berdasarkan U.L.I. standar (Shopping Centers,

Planning, Development & Administration), terdapat beberapa jenis tempat perbelanjaan

yaitu :

Regional Shopping Centers, dengan luas areal antara 27.870 – 92.900 m2, terdiri dari 2

atau lebih yang seukuran dengan department store. Skala pelayanan antara 150.000 –

400.000 penduduk, terletak pada lokasi yang strategis, tergabung dengan lokasi

perkantoran, rekreasi dan seni.

Community Shopping Centre, dengan luas areal antara 9.290 – 23.225 m2, terdiri atas

junior department store, supermarket dengan jangkauan pelayanan antara 40.000-

150.000 penduduk. Letaknya mendekati pusat-pusat kota (wilayah).

Neigbourhood Shopping Centre, dengan luas areal antara 2.720 – 9.290 m2. Jangkauan

pelayanan antara 5.000-40.000 penduduk. Unit terbesar berbentuk supermarket, berada

pada suatu lingkungan tertentu.

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 17: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 17 Universitas Indonesia

Gambar. 2.5. Neighborhood Commercial Centre di London

(http://www.streetsblog.org/wp- London_parking/)

Sedangkan menurut standar perencanaan DKI Jakarta, Pusat Perbelanjaan di Jakarta

dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Pusat Perbelanjaan Lingkungan, dengan jangkauan pelayanan meliputi 3000-30.000

penduduk. Pada umumnya barang yang diperdagangkan adalah barang-barang primer

(dipakai sehari-hari). Radius pelayanan 15 menit berjalan kaki, lokasinya berada di

lingkungan pemukiman.

Pusat Perbelanjaan Wilayah, dengan jangkauan pelayanan meliputi 30.000-200.000

penduduk. Pada umumnya barang yang diperdagangkan adalah barang sekunder

(kebutuhan berkala). Radius pelayanan wilayah/ tingkat kecamatan. Pencapaian 2500

m dengan kendaraan cepat, 1500 m dengan kendaraan lambat, 500 m dengan berjalan

kaki. Lokasinya berada di pusat wilayah.

Pusat Perbelanjaan Kota, dengan jangkauan pelayanan meliputi 200.000-1.000.000

penduduk. Jenis barang yang diperdagangkan lengkap dan tersedia fasilitas toko,

bioskop, rekreasi, bank, dan lain-lain. Pencapaian maksimal 25 menit dengan

kendaraan. Lokasinya strategis dan dapat digabungkan dengan lokasi perkantoran.

Terdapat perbedaan dalam jangkauan pelayanan, standarisasi pencapaian dan

lokasi antara pusat perbelanjaan di negara barat dengan kota Jakarta. Selain dari area

pelayanan, pencapaian dan lokasi, terdapat beberapa jenis klasifikasi tempat perbelanjaan

berdasarkan sistem sirkulasinya, yaitu: Sirkulasi pada suatu koridor, plaza, dan mall.

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 18: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 18 Universitas Indonesia

Dalam penelitian ini saya membatasi pembahasan mengenai Shopping street.

Pengertian shopping adalah pusat/daerah pertokoan atau pusat berbelanja. Sedangkan

street atau jalan merupakan jalur yag mempunyai hirarki sebagai tempat lintasan serta

pergerakan manusia dan kendaraan (Rubberstein, 1992). Pada dasarnya shopping strip

sama dengan shopping street, tetapi pada shopping strip orientasi kendaraan dan

penyediaan parkir lebih diperhatikan. Sedangkan shopping street dapat diartikan sebagai

pusat pertokoan atau perbelanjaan yang terletak disepanjang jalur perlintasan serta

pergerakan manusia dan kendaraan.

Pada shopping street terdapat pola penyusunan atau pengaturan layout toko-toko

(Rubberstein, 1992). Kedua tipe pengembangan tersebut adalah :

Pola row atau strip development.

Pada pola ini layout toko-toko yang disewakan berada di sepanjang trotoar atau

sidewalk baik yang terlindung (arcade) maupun terbuka, dengan parkir mobil di depan

toko dan menghadap ke jalan (off-street parking). Biasanya tipe semacam ini terdapat

di pusat kota (downtown).

Pola cluster development.

Pada pola ini, layout toko-toko yang disewakan disusun mengelilingi area pedestrian

yang posisinya di tengah, dengan parkir ditempatkan di luar daerah pertokoan.

Pengembangan tipe cluster development inilah yang nantinya disebut Shopping Mall.

Hal yang perlu diperhatikan dalam pembentukan shopping street antara lain

(Rubberstein, 1992) :

1. Tampilan bangunan

Tampilan bangunan sebuah shopping street merupakan salah satu penentu utama

untuk mendukung visual image sebuah shopping street .

Kriteria tampilan tersebut antara lain :

a. Sesuai dengan karakter lingkungan.

b. Memiliki material dengan perawatan yang mudah.

c. Mempunyai penampilan yang baik.

2. Kanopi

Pada shopping street dengan pola perimeter wall, biasanya selalu ada arcade yang

berfungsi melindungi fasade toko dari cuaca, serta memberikan kenyamanan bagi

pejalan kaki yang sedang berbelanja. Bagi tipe neighborhood ataupun community

center, lebar pedestrian yang baik adalah 3,6-4,5 m. Kanopi yang melindungi

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 19: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 19 Universitas Indonesia

pedestrian, dapat berupa kantilever dari dinding bangunan atau bertumpu pada kolom.

Jika tinggi kanopi lebih dari 3,6 m, maka dinding di bawahnya biasanya digunakan

untuk penempatan label toko-toko.

3. Landscaping

Landscaping merupakan bagian dari desain sebuah shopping street. Manfaat

landscaping antara lain :

a. Sebagai buffer,

b. Sebagai pembatas antara pedestrian dengan jalan kendaraan ataupun area parkir

4. Signage

Pengaturan signage sebagai penanda shopping center secara tipikal dipengaruhi oleh

peraturan pemerintah setempat dalam rangka mengatur bisnis komersial di daerah

tersebut.

Semua elemen signage (logo, bentuk huruf khusus) harus dikoordinasikan dengan

desain eksterior. Umumnya signage yang singkat dan jelas akan dengan segera

diterima oleh publik daripada sebuah tulisan yang panjang lebar.

5. Penerangan ( untuk malam hari )

Penerangan eksterior terutama pada malam hari penting untuk keselamatan pengguna

dan kepentingan fasilitas parkir.

6. Fasilitas Servis

Area servis harus tertutup, atau dijauhkan dari pandangan pengunjung. Pada shopping

center tipe neighborhood center, jalur-jalur kendaraan barang dapat dibuat bersilang

(crossing) dengan jalur pejalan kaki, asalkan pengiriman dilakukan pada jam-jam

tertentu (waktu-waktu sepi pengunjung ).

7. Koridor Jalan

Ruang jalan pada fungsi komersial dinilai memiliki keterkaitan dengan ruang kota,

antara lain, jalan, jalur pedestrian, area setback, ruang bangunan (Rubberstein, 1992).

Jalan, dipahami sebagai jalur pergerakan yang menghubungkan berbagai simpul

kegiatan. Jalur pergerakan ini digunakan oleh kendaraan dan orang. Sedangkan jalur

pedestrian merupakan fasilitas utama pejalan kaki, dengan bentuk tepi jalan besar

yang sedikit lebih tinggi dari pada jalan kendaraan, Jalur pedestrian dapat dibagi

dalam tiga zona yaitu (Craig and Walter, 2000) :

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 20: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 20 Universitas Indonesia

Zona perlengkapan jalan, mempunyai fungsi utama sebagai tempat meletakan

perlengkapan jalan atau utilitas, juga difungsikan sebagai tempat duduk-duduk,

halte dan tempat pepohonan.

Zona pedestrian dengan fungsi utama sebagai tempat pergerakan pejalan.

Zona untuk utilitas biasanya dimana untuk jaringan utilitas di bawah tanah

diletakkan di bawah zona pejalan, sedangkan jaringan utilitas di atas tanah

umumnya ditempatkan pada zona perlengkapan jalan atau zona plasa.

Dapat disimpulkan bahwa terdapat kemiripan antara persyaratan shopping street

dengan hunian, khususnya pada sarana penunjangnya. Ketika akses ruang hunian terbuka

dan dilalui oleh berbagai transportasi umum, sifat jalan akses akan menjadi lebih publik

sehingga ruang hunian dengan mudah akan berubah menjadi ruang komersial.

2. 4. Ruang Kota

Perkembangan dan pertumbuhan kota telah mendorong munculnya pemahaman

tentang ruang kota. Beberapa pakar urban design memiliki pemahaman yang berbeda

satu sama lain mengenai definisi ruang kota. Paul D. Spreiregen (1965) melihat ruang

kota sebagai formal space, yaitu ruang yang dibatasi oleh elemen buatan. Ruang kota

yang didominasi oleh unsur-unsur alam seperti air dan pepohonan didefinisikan sebagai

informal space, ruang alami atau ruang terbuka. Sedangkan Rob Krier (1979)

mengklasifikasikan ruang kota berdasarkan bentuk dasar yang mempresentasikan sebuah

ruang kota, dengan berbagai kemungkinan variasi dan kombinasi. Kualitas estetik dari

setiap elemen ruang kota dapat dilihat dari detail strukturalnya. Kualitas ini juga

digunakan ketika membahas hal-hal fisik mengenai keruangan. Menurutnya dua elemen

dasar yang membentuk sebuah ruang kota yaitu street dan square.

Dari dua pemahaman urban space diatas, terlihat bahwa ruang kota tersusun atas

elemen yang membatasi atau membentuknya. Hal tersebut diperkuat kembali dengan

pandangan Spiro Kostof (1991) yaitu ruang kota terjadi melalui pembentukan elemen

fisik dalam prosesnya ketika berkembang menjadi kota. Elemen yang dimaksud adalah

jalan, ruang public dan urban divisions. Carmona (2003) melihat pentingnya aktifitas,

bentuk (wujud fisik) dan citra untuk membuat suatu ruang kota menjadi sebuah tempat

atau place. Tempat tersebut dapat meningkat menjadi tempat dengan sense of place bila

wujud fisiknya mampu berperan sebagai setting fisik kegiatan dan citra tempatnya

mampu memberi makna yang kuat (lihat gambar 2.6).

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 21: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 21 Universitas Indonesia

Gambar 2.6. Perubahan place menjadi sense of place (Carmona, 2003).

Dalam ruang kota, jalan sering kali digunakan sebagai elemen pembentuk

kualitas ruang kota. Jalan bukan hanya berperan secara fisik, tetapi juga sebagai

pembentuk ruang interaksi sosial masyarakat urban. Allan Jacobs (1993) menyatakan

bahwa jalan yang masuk dalam klasifikasi “great streets”, biasanya selalu memiliki

kualitas ruang yang baik dan dapat mengundang pengguna untuk beraktifitas dan

berinteraksi. Dalam merencanakan perancangan jalan yang berkualitas, harus

diperhatikan kriteria sosial ekonomi yang ada serta mempertimbangkan aksesibilitas,

kebersamaan, publicness, livability, keamanan, kenyamanan, partisipasi dan tanggung

jawab.

Hal itu diimplementasikan dalam bentuk-bentuk antara lain:

Tempat yang nyaman untuk pejalan kaki.

Jalan harus memberikan kesempatan para pejalan kaki untuk bersosialisasi. Jalan

kaki adalah bentuk interaksi dan keterlibatan pengguna secara langsung dengan

lingkungan.

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 22: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 22 Universitas Indonesia

Kenyamanan.

Urban street yang baik memberikan perlindungan terhadap cuaca. Iklim yang

berkaitan dengan karakteristik kenyamanan khas suatu kawasan dapat

memberikan nilai positif dan menjadi aspek penting untuk membuat perencanaan

yang baik.

Kejelasan (Definition).

Pada dasarnya jalan dibagi dalam dua bagian: yaitu bagian vertikal, yang

berhubungan dengan ketinggian bangunan, dinding/tembok, dan pohon serta

bagian horizontal, yang berkaitan dengan panjang jalan dan ruang antara

sepanjang jalan tersebut.

Kualitas dari pandangan mata.

Jalan yang baik membutuhkan karakteristik fisik yang membantu mengarahkan

pandangan mata untuk melakukan pengamatan terhadap sesuatu.

Transparansi.

Jalan yang baik mempunyai kualitas transparansi untuk menjangkau hubungan

positif antara jalan dan bangunan.

Komplimentari.

Bangunan yang berada disepanjang jalan dan jalan memiliki hubungan yang

saling melengkapi dan saling memberi pengaruh.

Pemeliharaan.

Pemeliharaan fisik dilakukan dengan menjaga kebersihan dan mengadakan

perawatan berkala.

Mutu dari konstruksi dan perancangan

Kecermatan pelaksanaan dan pemilihan material jalan menentukan mutu

konstruksi dan perancangan jalan.

2. 5. Perubahan Fungsi Akibat Perkembangan di Lingkungan Hunian (Kesimpulan Teori)

Kota dalam proses perkembangannya mendapat banyak pengaruh, dengan

pertumbuhan penduduk sebagai salah satu pemicunya. Selain itu, adanya gaya hidup

masyarakat kota yang mengikuti tren ekonomi juga mempengaruhi laju perkembangan

kota. Perkembangan kota mencakup perkembangan fisik kota dan kegiatan berkota.

Semakin berkembang suatu kota, semakin banyak keragaman kegiatan yang terjadi. Gaya

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009

Page 23: Kajian Pustaka Tenaga Kerja

TESIS – 2009

Teknik Arsitektur - Perancangan Kota

2 - 23 Universitas Indonesia

hidup masyarakat yang meningkat akan memicu tumbuhnya kegiatan baru. Dengan

meningkatnya keragaman kegiatan, maka terjadi pula peningkatan ruang kegiatan kota.

Dampak peningkatan ruang/wadah dari kegiatan tersebut, antara lain meluasnya batas

dan wilayah kota, serta meningkatnya intensitas lahan dan perubahan guna lahan. Di

antara ketiganya, perubahan guna lahan merupakan fenomena yang paling sering terjadi.

Di Indonesia, khususnya Jakarta banyak sekali kasus penyalahgunaan dan perubahan tata

guna lahan yang dipicu oleh adanya tren ekonomi.

Terdapat perbedaan dalam pengelompokan guna lahan perkotaan. Negara-negara

barat umumnya menetapkan tiga jenis guna lahan secara makro, yang masing-masing

memiliki batasan dan persyaratan ruang. Indonesia memiliki klasifikasi guna lahan yang

lebih rinci, tetapi tidak terdapat batasan dan persyaratan ruang di dalamnya; sehingga

pada saat terjadi perkembangan kota yang tidak sesuai dengan perencanaan awal, timbul

permasalahan di berbagai aspek termasuk perubahan tata guna lahan. Di beberapa kota

besar di Indonesia, perubahan tata guna lahan sering kali terjadi di lingkungan hunian.

Pada lingkungan hunian, terdapat aturan rinci dan syarat, antara lain kelengkapan

kenyamanan dan keamanan di dalamnya, lokasi, aksesibilitas, dan sebagainya. Tetapi

lokasi dan aksesibilitas yang baik seringkali memicu lingkungan hunian untuk cepat

berubah menjadi non-hunian. Akses yang baik di hunian tersebut umumnya berkembang

menjadi jalur alternatif yang dilalui oleh berbagai sarana transportasi. Hal itu dapat

merubah skala pelayanan dan kelas jalan.

Gejala ini sering terjadi di sepanjang koridor utama perumahan yang memiliki

karakteristik menyerupai koridor komersial; sehingga dengan semakin berkembangnya

bentuk ruang; fungsi hunian akan beralih ke fungsi komersial dan merubah kualitas ruang

kota. Di sisi lain, karena tidak direncanakan sebagai area komersial; lingkungan ini sejak

awal tidak didukung oleh berbagai kelengkapan seperti daya dukung lahan, parkir dan

sebagainya. Persoalan inilah yang akan saya bahas dan teliti dalam tesis ini.

Perubahan fungsi hunian..., Pradita Widasari, FT UI, 2009