KAJIAN PUSTAKA · 2017. 4. 1. · 2. Pertimbangan lalu-lintas, seperti kapasitas dan pergerakan...
Transcript of KAJIAN PUSTAKA · 2017. 4. 1. · 2. Pertimbangan lalu-lintas, seperti kapasitas dan pergerakan...
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Persimpangan
Persimpangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari semua
sistem jalan. Ketika berkendaran didalam kota, orang dapat melihat bahwa
kebanyakan jalan didaerah perkotaan biasanya memiliki persimpangan, dimana
pengemudi dapat memutuskan untuk jalan terus atau membelok dan pindah jalan.
Persimpangan jalan dapat didefinisikan sebagai daerah umum di mana dua jalan
atau lebih bergabung atau persimpangan termasuk jalan dan fasilitas tepi jalan
untuk pergerakan lalu-lintas didalamnya. Persimpangan adalah Lokasi atau
daerah dimana dua atau lebih jalan, bergabung, berpotongan, atau bersilang.
Pengertian lain dari Manual Kapasitas Jalan Indonesia (1997), adalah Dua buah
ruas jalan atau lebih yang saling bertemu, saling berpotongan atau
bersilangan disebut dengan persimpangan (intersection).
Karena persimpangan harus dimanfaatkan bersama-sama oleh setiap
orang yang ingin menggunakannya, maka persimpangan tersebut harus
dirancang dengan hati-hati, dengan mempertimbangkan efisiensi, keselamatan,
kecepatan, biaya operasi, dan kapasitas. Pergerakan lalu-lintas yang terjadi dan
urutan-urutannya dapat ditangani dengan berbagai cara, tergantung pada jenis
persimpangan yang dibutuhkan.
Tujuan pembuatan persimpangan adalah mengurangi potensi konflik di
antara kendaraan (termasuk pejalan kaki) dan sekaligus menyediakan
9
kenyamanan maksimum dan kemudahan pergerakan bagi kendaraan atau
dengan kata lain untuk mengatasi konflik-konflik potensial antara kendaraan
bermotor, pejalan kaki , sepeda dan fasilitas angkutan lainnya agar pada saat
melewati persimpangan didapatkan tingkat kemudahan dan kenyamanan.
Secara umum terdapat tiga jenis persimpangan, yaitu: (1)
persimpangan sebidang, (2) pembagian jalur jalan tanpa ramp, dan (3)
interchange (simpang susun). Persimpangan sebidang (intersection at grade)
adalah persimpangan di mana dua jalan raya atau lebih bergabung, dengan tiap
jalan raya mengarah keluar dari sebuah persimpangan dan membentuk bagian
darinya. Persimpangan tidak sebidang adalah suatu bentuk khusus dari
pertemuan jalan yang bertujuan untuk mengurangi titik konflik atau bahaya
belok kanan yang menghambat lalu-lintas dan lain-lain, perencanaan
persimpangan ini memerlukan lahan yang luas yang cukup besar dan
perencanaan yang cukup teliti untuk mendapatkan hasil yang maksimal..
Ada empat elemen dasar yang umumnya dipertimbangkan dalam
merancang persimpangan sebidang :
1. Faktor manusia, seperti kebiasaan mengemudi, dan waktu pengambilan
keputusan dan waktu reaksi
2. Pertimbangan lalu-lintas, seperti kapasitas dan pergerakan membelok,
kecepatan kendaraan, dan ukuran serta penyebaran kendaraan
3. Elemen-elemen fisik, seperti karateristik dan penggunaan dua fasilitas yang
saling berdampingan, jarak pandang dan fitur-fitur geometris
4. Faktor ekonomi, seperti biaya dan manfaat, dan konsumsi energi
10
Khusus untuk interchange, jenis dan desainnya dipengaruhi oleh banyak
faktor seperti klasifikasi jalan raya, karakter dan komposisi lalu-lintas, kecepatan
desain, dan tingkat pengendalian akses. Interchange merupakan fasilitas yang
mahal, dan karena begitu bervariasinya kondisi lokasi, volume lalu-lintas, dan
tata letak interchange, hal- hal yang menentukan dibuatnya interchange bisa
berbeda-beda di tiap lokasi.
Pada prinsipnya sebuah persimpangan akan dirancang untuk menyediakan
lalu lintas pada volume jam perencanaan dari jalan yang saling bersilangan.
Kecepatan rencana adalah besar kecepatan yang direncanakan pada saat
mendekati persimpangan (kaki persimpangan).
Terdapat dua kecepatan rencana yaitu:
1. Dengan tanda Stop, berarti mempunyai kecepatan rencana < 15 Km/Jam
2. Tanpa tanda Stop, berarti mempunyai kecepatan rencana >20 Km/Jam
Pemilihan kecepatan rencana dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor
antara lain, tipe serta fungsi pertemuan, sifat serta keadaan lalu lintas dan sifat
daerah. Untuk kondisi dimana kesulitan keadaaan topografi untuk jalan yang
direncanakan kecepatan tinggi, kecepatan rencana pada persimpangan dapat
dikurangi sehingga tidak lebih dari 20 Km/Jam.
2.2 Pengendalian Persimpangan
Tujuan pengendalian persimpangan (Control Intersection) dimaksudkan
untuk memanfaatkan sepenuhnya kapasitas persimpangan, mengurangi dan
menghindari terjadinya kecelakaan dengan mengurangi jumlah konflik serta
11
melindungi jalan utama dari gangguan sehingga hirarki jalan tetap terjamin.
Terdapat paling tidak enam cara utama mengendalikan lalu lintas
persimpangan, bergantung pada jenis persimpangan dan volume lalu lintas pada
tiap aliran kendaraan. Adapun urutan pengendalian simpang antara lain tanpa
kendali, kanalisasi, rambu pengendali kecepatan, rambu henti, bundaran dan
lampu lalu lintas sebagai berikut:
2.2.1 Persimpangan Tanpa Pengendalian
Apabila sebuah persimpangan tidak memiliki peranti pengatur lalu lintas,
pengemudi kendaraan yang menuju persimpangan tersebut harus dapat
mengamati keadaan agar dapat mengatur kecepatan yang diperlukan sebelum
mencapai persimpangan. Waktu yang diperlukan untuk memperlambat kendaraan
adalah waktu persepsi reaksi pengemudi dan dapat diasumsikan sebesar 2 detik.
Selain itu, pengemudi harus memulai menginjak rem pada jarak tertentu dari
persimpangan. Jarak yang dimaksudkan, dimana pengemudi dapat melihat
kendaraan lain datang mendekat persimpangan, adalah jarak yang ditempuh
selama 2 detik untuk persepsi dan reaksi, ditambah 1 detik lagi untuk mulai
menginjak rem atau untuk mempercepat laju hingga laju hingga mencapai
kecepatan yang inginkan.
2.2.2 Kanalisasi dipersimpangan (Channelization)
Kanalisasi adalah proses pemisahan atau pengaturan terhadap aliran
kendaraan yang saling konflik ke dalam rute-rute jalan yang jelas dengan
12
menempatkan beton pemisah atau rambu perkerasan untuk menciptakan
pergerakan yang aman dan teratur bagi kendaraan dan pejalan kaki. Kanalisasi
yang benar dapat meningkatkan kapasitas, menyempurnakan keamanan,
memberikan kenyamanan penuh, dan juga menaikkan kepercayaan pengemudi.
Kanalisasi sering kali digunakan bersama dengan rambu berhenti atau rambu
pengatur kecepatan atau pada persimpangan dengan lampu lalu lintas
2.2.3 Persimpangan dengan Rambu Berhenti
Rambu berhenti harus ditempatkan pada suatu persimpangan pada kondisi-
kondisi:
1. Persimpangan antara suatu jalan yang relatif kurang penting dengan jalan
utama, dimana penerapan aturan daerah-milik-jalan yang normal bisa
berbahaya
2. Persimpangan antara jalan-jalan luar kota dan perkotaan dengan jalan raya
3. Jalan yang memasuki suatu jalan atau jalan raya yang tembus
4. Persimpangan tanpa lalu lintas di suatu daerah
5. Persimpangan tanpa lampu lintas dimana kombinasi antara kecepatan tinggi,
pandangan terbatas, dan banyaknya kecelakaan serius mengindikasikan
adanya kebutuhan akan pengendalian oleh rambu berhenti
2.2.4 Persimpangan dengan Rambu Pengendali Kecepatan
Rambu ini umumnya ditempatkan:
1. Pada suatu jalan minor di titik masuk menuju persimpangan ketika perlu
13
memberikan hak jalan ke jalan utama, namun di mana kondisi berhenti tidak
diperlukan setiap saat, dan di mana kecepatan datang yang aman di jalan
minor melebihi 10 mil per-jam.
2. Pada pintu masuk ke jalan ekspress, dimana lajur khusus untuk percepatan
tidak ada
3. Di mana terdapat suatu lajur belok-kanan yang terpisah atau kanalisasi,
namun tanpa adanya lajur percepatan yang memadai
4. Di semua persimpangan, dimana masalah lalu lintas dapat ditanggulangi
dengan mudah dengan pemasangan rambu pengatur kecepatan
5. Di suatu persimpangan dengan jalan raya yang terbagi, di mana rambu
berhenti terletak di pintu masuk menuju jalan yang pertama, dan
pengendalian selanjutnya diperlukan pada pntu masuk menuju jalan yang
kedua
2.2.5 Bundaran (Rotary) dan Perputaran (Roundabout)
Bundaran dan perputaran adalah persimpangan kanalisasi yang terdiri
dari sebuah lingkaran pusat yang dikelilingi oleh jalan satu arah. Perbedaan
mendasar antara bundaran dan perputaran adalah bahwa bundaran umumnya
menggunakan lampu lalu lintas sedangkan perputaran tidak. Umumnya, dalam
kasus perputaran, lalu lintas yang masuk mengikuti arah lalu lintas yang ada
disitu.
Perputaran umumnya mempunyai tingkat keselamatan yang baik dan
kendaraan tidak harus berhenti saat volume lalu lintas rendah. Perputaran yang
14
didesain dengan baik seharusnya dapat membelokkan kendaraan yang melalui
persimpangan dengan menggunakan pulau pusat (central island) yang cukup
besar, pulau di dekat persimpangan yang desainnya layak dan meliukkan
alinyemen keluar dan alinyemen masuk.
2.2.6 Pengaturan dengan Lampu Lalu Lintas
Satu metode yang paling penting dan efektif untuk mengatur lalu lintas di
persimpangan adalah dengan menggunakan lampu lalu lintas. Lampu lalu lintas
adalah sebuah alat elektrik (dengan sistem pengatur waktu) yang memberikan hak
jalan pada satu arus lalu lintas sehingga aliran lalu lintas ini bisa melewati
persimpangan dengan aman dan efisien. Lampu lalu lintas sesuai untuk:
1. Penundaaan berlebihan pada rambu berhenti dan rambu pengendali
kecepatan
2. Masalah yang timbul akibat tikungan jalan
3. Tabrakan sudut dan sisi
4. Kecelakaan pejalan kaki
Instansi lampu lalu lintas terdiri dari tampilan – tampilan warna lampu.
Instalasi ini juga dapat meliputi berbagai peralatan pendeteksi kendaraan atau
bebarapa bentuk peralatan lainnya yang dapat diaktifkan sesuai dengan kebutuhan
(seperti tombol untuk pejalan kaki yang hendak menyeberangi jalan).
Warna yang ditampilkan lampu lalu lintas ketika menyala ada beberapa,
dimana masing- masing mengendalikan satu aliran lalu lintas atau lebih yang tiba
dari arah yang sama. Kepala lampu lalu lintas terdiri dari satu muka lalu lintas
15
atau lebih, yang dapat ditempatkan di sebuah tiang atau digantung pada kabel.
Warna yang menyala pada lampu lalu lintas dibedakan dengan warna,
bentuk dan kontinuitasnya. Ada tiga warna yang digunakan: (1) hijau, untuk
memberikan hak jalan kepada satu atau kombinasi aliran lalu lintas; (2)
merah, untuk melarang pergerakan atau mengharuskan untuk berhenti; (3)
kuning, untuk mengatur pemindahan hak jalan dari sekelompok aliran lalu lintas
kepada kelompok lainnya atau untuk memberikan peringatan. Apabila terdapat
lampu lalu lintas khusus untuk pejalan kaki, biasanya berbentuk pesan tulisan atau
logo yang berpendar. Nyala lampu lalu lintas bisa konstan atau berkedip-kedip.
Pengendali lampu lalu lintas adalah piranti eletromekanis atau elektronis
yang mengatur panjang dan urutan nyala lampu pada persimpangan. Pengendali
yang waktunya sudah diset terlebih dahulu beroperasi dengan lama waktu yang
tetap yang dialokasikan untuk pergerakan lalu lintas tertentu dalam urutan yang
tetap penetapan waktu dilakukan berdasarkan pengamatan pola arus di
persimpangan tersebut. Pengendali sesuai lalu lintas dibuat untuk menerima
informasi mengenai pola arus lalu lintas dari berbagai alat pengukur dalam
interval waktu yang telah diatur sebelumnya. Informasi ini digunakan untuk
memilih satu dari beberapa skema waktu yang disimpan di dalam memory alat
pengendali.
16
2.3 Konflik Pergerakan Simpang
Tujuan utama dari perencanaan simpang adalah mengurangi konflik yang
terjadi di daerah simpang dan menyediakan fasilitas yang memberikan
kemudahan, kenyamanan, dan keselamatan terhadap pemakai jalan yang melalui
persimpangan.
Terdapat 4 (empat) sifat gerakan kendaraan yang menyebabkan terjadinya
konflik di daerah simpang seperti yang ditampilkan pada Gambar 2.1, yaitu :
berpencar (diverging) pada Gambar 2.1.a, bergabung (merging) pada Gambar
2.1.b, bersilang (weaving) pada Gambar 2.1.c, dan berpotongan (crossing) pada
Gambar 2.1.d.
a. Diverging (berpencar)
Diverging adalah peristiwa memisahnya kendaraan dari suatu arus yang sama
kejalur lain.
Gambar 2.1.a Diverging (berpencar)
Sumber: Departemen P.U., 1997
17
b. Merging (bergabung)
Merging adalah peristiwa menggabungnya kendaraan dari suatu jalur ke jalur
yang lain.
Gambar 2.1.b Merging (bergabung)
Sumber: Departemen P.U., 1997
c. Weaving (menyilang)
Weaving adalah pertemuan dua arus lalu lintas atau lebih yang berjalan
menurut arah yang sama sepanjang suatu lintasan dijalan raya tanpa bantuan
rambu lalu lintas. Gerakan ini sering terjadi pada suatu kendaraan yang
berpindah dari suatu jalur kejalur lain misalnya pada saat kenderaan masuk
kesuatu jalan raya dari jalan masuk, kemudian bergerak kejalur lainnya untuk
18
mengambil jalan keluar dari jalan raya tersebut keadaan ini juga akan
menimbulkan titik konflik pada persimpangan tersebut.
Gambar 2.1.c Weaving (menyilang)
Sumber: Departemen P.U., 1997
d. Crossing (berpotongan)
Crossing adalah peristiwa perpotongan antara arus kendaraan dari satu jalur ke
jalur yang lain pada persimpangan dimana keadaan yang demikian akan
menimbulkan titik konflik pada persimpangan tersebut.
19
Gambar 2.1.d Weaving (menyilang)
Sumber: Departemen P.U., 1997
Gambar 2.1 Jenis-jenis Pergerakan Kendaraan
Keempat sifat gerakan kendaraan tersebut diusahakan terjadi seminimal
mungkin untuk mengurangi resiko kecelakaan lalu-lintas. Gerakan berpotongan
adalah gerakan yang paling memiliki resiko mengakibatkan kecelakaan yang
tinggi apalagi dalam keadaan kecepatan tinggi.
20
2.3.1 Konflik Pergerakan Simpang Empat
Suatu perempatan jalan yang umum dengan jalur tunggal dan jalan keluar
ditunjukkan pada Gambar 2.2. Dari Gambar dapat diketahui tempat-tempat yang
sering terjadi konflik dan tabrakan kendaraaan. Jumlah konflik yang terjadi setiap
jamnya pada masing-masing pertemuan jalan dapat langsung diketahui dengan
cara mengukur volume aliran untuk seluruh gerakan kendaraan. Masing- masing
titik berkemungkinan menjadi tempat terjadinya kecelakaan dan tingkat keparahan
kecelakaannya berkaitan dengan kecepatan relatif suatu kendaraan. Apabila ada
pejalan kaki yang menyeberang jalan pertemuan jalan tersebut, konflik
langsung kendaraan dan pejalan kaki akan meningkatkan frekuensinya sekali
lagi tergantung pada jumlah dan arah aliran kendaraan dan pejalan kaki. Pada
saat pejalan kaki menyeberang jalur pendekatan, 24 titik konflik
kendaraan/pejalan kaki terjadi pada pertemuan jalan tersebut, dengan
mengabaikan gerakan diagonal yang dilakukan oleh pejalan kaki
Terdapat 2 macam konflik lalu-lintas yang dapat terjadi antara lain:
1. Konflik Primer
Konflik primer merupakan konflik antara lalu lintas dari arah memotong.
2. Konflik Sekunder
Konflik sekunder merupakan konflik antara arus lalu lintas kanan dan arus
lalu lintas arah lainnya atau antara arus lalu lintas belok kiri dengan pejalan
kaki.
21
Pada dasarnya jumlah titik konflik yang terjadi dipersimpangan tergantung
beberapa faktor antara lain :
1. Jumlah kaki persimpangan yang ada
2. Jumlah lajur pada setiap kaki persimpangan
3. Jumlah arah pergerakan yang ada
3. Sistem pengaturan yang ada
Berikut disajikan titik-titik konflik pada simpang empat.
Gambar 2.2 Konflik yang terjadi pada Persimpangan
Sumber: Departemen P.U., 1997
2.3.2 Konflik Pergerakan Bundaran
Bundaran didesain untuk lalu lintas dengan kecepatan rendah dan
konsisten. Kunci utama keselamatan lalu lintas dengan bundaran ini adalah
Keterangan:Konflik PrimerKonflik SekunderArus KendaraanArus Pejalan Kaki
22
dengan mengurangi jumlah titik konflik dan menurunkan derajatnya dari konflik
utama (pertemuan silang/crossing) menjadi konflik sekunder berupa kendaraan
yang bergabung dan memisah (weaving) seperti terlihat pada Gambar 2.3.
Keterangan:
Keterangan:
Gambar 2.3 Tipe titik konflik pada persimpangan biasa dan bundaran
Sumber: Departemen P.U., 1997
Diverging = 8
Merging = 8
Crossing = 16
32
Diverging = 4
Merging = 4
Crossing = 0
8
23
Lalu lintas yang didahulukan adalah lalu lintas yang sudah berada dibundaran,
sehingga kendaraan yang akan masuk ke bundaran harus memberikan kesempatan
terlebih dahulu kepada lalu lintas yang sudah berada dibundaran, untuk itu
dilengkapi dengan marka jalan beri kesempatan berupa dua garis putus-putus yang
berdampingan yang melintang jalan.
Pergerakan di bundaran mengacu pada sistem yang berlaku di Inggris (satu arah
mengelilingi lingkaran searah jarum jam, sama dengan sistem lalu lintas di
Indonesia) bagi kendaraan yang akan masuk area bundaran diberlakukan aturan
memperlambat kecepatan kendaraan sebelum memasuki area bundaran itu, dan
harus memprioritaskan/memberi jalan kepada kendaraan yang datang dari sebelah
kanan.
2.4 Tipe Persimpangan
Persimpangan dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis (Morlok, 1991), yaitu
persimpangan sebidang (At Grade Intersection) dan persimpangan tak sebidang
(Grade Separated Intersection).
2.4.1 Persimpangan sebidang (at Grade Intersection)
Persimpangan sebidang memiliki kaki simpang berada pada satu bidang
sama. Keadaan ini akan menimbulkan berbagai masalah bila terjadi arus kendaran
yang melebihi kapasitasnya. Di daerah persimpangan terjadi gerakan membelok
atau memotong arus lalu- lintas. Dilihat dari bentuknya ada beberapa macam
jenis persimpangan sebidang yaitu antara lain:
24
a. Pertemuan/persimpangan sebidang bercabang 3
b. Pertemuan/persimpangan sebidang bercabang 4
c. Pertemuan/persimpangan sebidang bercabang banyak
d. Bundaran ( Rotary Intersection )
Beberapa jenis pertemuan sebidang dapat dilihat pada Gambar 2.4
sampai dengan Gambar 2.10.
Gambar 2.4 Persimpangan Tipe ”T” tanpa kanal dan dengan lebar tambahan
(Flare)
25
Gambar 2.5 Persimpangan Tipe ”T” dengan kanal dan tanpa lebar tambahan
(Flare)
26
Gambar 2.6 Persimpangan Tipe ”Y” tanpa kanal dan tanpa lebar tambahan
(Flare)
Gambar 2.7 Persimpangan Tipe ”Y” dengan kanal dan dengan lebar tambahan
(Flare)
27
Gambar 2.8 Persimpangan Tipe ”Y” dengan kanal dan tanpa lebar tambahan
(Flare)
Tanpa kanalisasi
28
Gambar 2.9 Persimpangan 4 (empat) kaki tanpa kanalisasi, melebar dan dengan
kanalisasi
Melebar
Persimpangan 4 kaki
Dengan kanalisasi
29
Gambar 2.10 Persimpangan jalan berkaki banyak dan bundaran
Gambar 2.4 sampai Gambar 2.10, diatas menggambarkan tipe
persimpangan sebidang secara skematik mulai dari bentuk yang sederhana
sampai yang kompleks. Persimpangan jalan tanpa kanalisasi adalah yang
termurah dan paling sederhana. Pada jenis ini, titik pertemuan jalan dibuat
melengkung untuk memudahkan kendaraan yang akan membelok kiri.
Pada jalan dengan volume lalu lintas atau kemungkinan pemasangan kerb agar
kendaraan tidak keluar dari lapis kendaraan.
Persimpangan jalan
berkaki banyak
Dengan bundaran
30
Pada persimpangan jalan berbentuk Y atau yang serupa, sebaiknya
disediakan kanalisasi mengingat kendaraan bertemu pada sudut yang kurang
menguntungkan. Pada bentuk melebar diperlukan:
1. Jalan masuk untuk memungkinkan perlambatan kendaraan menjelang aliran
lalu lintas lurus
2. Pelebaran jalur untuk penggabungan ke dalam aliran lalu lintas.
Permasalahan yang sering terjadi pada arus pertemuan sebidang adalah timbulnya
titik konflik dalam pergerakan kendaraan.
2.4.2 Persimpangan tak sebidang
Persimpangan tak sebidang disebut juga dengan jalan bebas hambatan
dimana tidak terdapat jalur gerak kendaraan yang berpapasan dengan jalur gerak
lainnya pada persimpangan tak sebidang.
Keuntungan dari persimpangan tak sebidang adalah :
1. Dengan adanya jalur gerak yang saling memotong pada persimpangan tak
sebidang, maka tingkat kecelakaan akan dapat dikurangi.
2. Kecepatan kendaraaan akan dapat bertambah besar dikarenakan arus lalu
lintas terganggu.
3. Kapasitas akan meningkat oleh karena tiadanya gangguan dalam setiap jalur
lalu lintas.
Persimpangan ini bertujuan untuk mengurangi titik konflik atau bahaya
belok kanan yang selalu menghambat lalu lintas jalan tersebut, mengurangi
31
kemacetan lalu lintas dan lain-lain. Perencanaan persimpangan ini memerlukan
lahan yang cukup luas serta biaya yang cukup besar. Perencanaan ini harus
dilakukan dengan teliti untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Berikut akan
diperlihatkan jenis-jenis persimpangan tak sebidang mulai dari Gambar 2.11
samapai dengan Gambar 2.17.
Gambar 2.11 Persimpangan tidak sebidang Tipe Diamond
Gambar 2.12 Persimpangan tidak sebidang Tipe Semanggi Parsial
32
Gambar 2.13 Persimpangan tidak sebidang Tipe Semanggi
Gambar 2.14 Persimpangan tidak sebidang Tipe Directional
33
Gambar 2.15 Persimpangan tidak sebidang Tipe “Y”
Gambar 2.16 Persimpangan tidak sebidang Tipe “T” atau Terompet
34
Gambar 2.17 Persimpangan tidak sebidang Tipe Bundaran
Bentuk pertemuan tak sebidang yang paling sederhana dan umumnya
paling murah adalah belah ketupat (diamond) yang dapat dilihat pada Gambar
2.11. Bentuk ini terutama digunakan pada situasi dimana jalan bebas hambatan
tak terputus, kecuali apabila terdapat lalu-lintas lain yang keluar atau masuk
melalui ramp, tetapi lalu-lintas pada jalan arteri cukup kompleks, karena jalan
harus melayani 2 buah gerakan terus dan 4 gerakan belok kanan. 2 diantara
gerakan membelok kiri harus mengunakan lajur dalam atau lajur membelok
terpisah. Bila volume lalu-lintas cukup besar, umumnya siperlukan lampu lalu-
lintas.
Bentuk setengah semanggi (Gambar 2.12) memungkinkan kendaraan
35
bergabung ke dalam jalan bebas hambatan utama, tetapi kendaraan yang berbelok
kekenan harus menantang arus lalu-lintas yang berlawanan pada arteri kecil.
Simpang susun jenis ini dapat dibangun dalam berbagai bentuk dengan
menetapkan loop dikuadran yang berlainan di sesuaikan dengan kondisi topografi
dan pola lalu-lintas.
Mungkin bentuk yang paling umum untuk perpotongan antara jalan bebas
hambatan dan jalan arteri adalah bentuk semanggi (Gambar 2.13). Pada
persimpangan susun ini, jalan arteri memotong letaknya terpisah dan selain itu
kedelapan gerakan membelok dapat dilakukan bebas dai perpotongan dimana
lintasan kendaraan harus memotong. Kendaraan yang membelok keluar dari
bagian kiri jalan, kemudian memasuki simpang susun dan selanjutnya
bergabung lalu-lintas pada jalan yang dimasuki.
Gambar 2.14 adalah bentuk diagram simpang susun directional yang
sesuai untuk simpang susun antara jalan hambatan dengan jalan bebas hambatan
lain. Gambar tersebut dengan jelas menunjukkan konsep dasar bahwa gerakan
belok kanan yang padat dapat diatasi dengan menyediakan belokan 90º kearah
kanan. Ini diperlihatkan denagan adanya hubungan antara bagian kanan atas
dengan kiri atas.
Gambar 2.15 mengambarkan susunan smpanga susun bentuk Y. Disini
hanya 1 pemisahan tak sebidang yang dbutuhkan untuk menghindari
perpotongan-perpotongan arus lalu-lintas sebidang. Tetapi perlu dicatat bahwa
kendaraan yang berjalan dari atas kekanan bahwa adalah harus memutar. Juga
dibutuhkan 2 buah gerakan menyelip dan keluar dari 1 jalan dan memasuki yang
36
lainnya pada bagian kanan. Cara demikian sebenarnya kurang baik sehingga
gerakan ini sepenuhnya harus dilarang.
Gambar 2.16 memperlihatkan pola simpang bentuk T atau terompet yang
cocok untuk pertigaan. Perhatikan bahwa lalu-lintas yang berasal dari kiri atas ke
kiri bahwa harus melalui belokan sebesar 270º, tetapi gerakan membelok lainnya
memiliki sudut kelengkungan yang lebih kecil dari 90º. Suatu variasi bentuk
terompet menggantikan loop sebesar 270 dengan sebuah jalan langsung
(directional road way).
Gambar 2.17 adalah diagram sebuah bundaran (rotary intercection) yang
digabungkan dengan sebuah “lalu-lintas atas tanpa hambatan” (over crossing)
atau “ lalu-lintas bawah tanpa hambatan” “(under crossing) untuk jalan bebas
hambatan. Bentuk ini efektif hanya bila digunakan untuk menarik volume lalu-
lintas yang relatif rendah dari beberapa jalan lokal.
2.5 Bundaran
Bagian jalinan dibagi dua tipe utama yaitu bagian jalinan tunggal dan bagian
jalinan bundaran. Bundaran dianggap sebagai jalinan yang berurutan. Bundaran
paling efektif jika digunakan persimpangan antara jalan dengan ukuran dan
tingkat arus yang sama. Karena itu bundaran sangat sesuai untuk persimpangan
antara jalan dua-lajur atau empat-lajur. Untuk persimpangan antara jalan yang
lebih besar, penutupan daerah jalinan mudah terjadi dan keselamatan bundaran
menurun.
37
2.5.1 Geometrik Bundaran
Kondisi geometri digambarkan dalam bentuk Gambar 2.18 yang
memberikan informasi geometri untuk tiap lengan persimpangan.
Gambar 2.18 Sketsa Geometrik Bundaran
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2004
Informasi geometrik bundaran dan syarat kondisi lingkungan yang
dipergunakan dalam perhitungan kinerja bundaran antara lain sebagai berikut:
Diameterbundaran
Diameter pulaupusat
38
2.5.1.1 Kondisi Geometrik Bundaran
a. Pulau Bundaran
Bentuk geometri yang umum dipakai untuk pulau bundaran adalah
lingkaran. Selain lingkaran, seperti bentuk oval, tidak disarankan (Departemen
Permukiman dan Prasarana Wilayah., 2004). Pulau bundaran harus memberikan
pandangan yang cukup bagi pengendara untuk dapat mengantisipasi kendaraan
dari arah lengan pendekat lain.
Diameter pulau bundaran dihitung dengan mengurangkan total lebar jalur
lingkar terhadap diameter bundaran.
1) Untuk bundaran lajur tunggal, diameter pulau bundaran adalah diameter
bundaran dikurangi dua kali lebar jalur lingkar yang dipilih.
2) Untuk bundaran lajur ganda dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Lebar minimum jalur lingkar pada bundaran lajur ganda
No. Diameter bundaran
(meter)
Lebar jalur lingkar*
(meter)
Diameter pulau
pusat (meter)
1 45 9,8 25,4
2 50 9,3 31,4
3 55 9,1 36,8
4 60 9,1 41,8
5 65 8,7 47,6
*) Keterangan: lebar 1 lajur di jalur lingkar = 4,3 m s.d. 4,9 m, kendaraan rencanayaitu mobil penumpang
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2004
39
.
Gambar 2.19 Ilustrasi Lebar Jalur Lingkar pada Bundaran
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2004
b. Diameter Bundaran
Diameter bundaran diukur dari sisi luar lingkaran yang bersinggungan
dengan lengan pendekat. Diameter bundaran ditentukan berdasarkan kendaraan
rencana dan kecepatan rencana seperti yang tertera pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Kecepatan Rencana Maksimum dan Dimensi Bundaran
No. Kendaraan rencana
Kecepatan rencana
maksimum lengan
pendekat (km/jam)
Rentang
dimensi
diameter
bundaran (m)
Jenis
bundaran
1 Truk sumbu
tunggal/Bis
25 25 - 30 Bundaran
sederhana
2 Truk sumbu
ganda/semi trailer
35 30 - 45 Bundaran
lajur tunggal
3 Semi trailer atau
trailer
50 45 - 60 Bundaran
lajur ganda
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2004
40
c. Tipe Bundaran
Ada beberapa bentuk bundaran yang biasa digunakan dalam pengendalian
persimpangan. Tipe bundaran dapat dilihat dari Tabel 2.3 berikut ini:
Tabel 2.3. Tipe Bundaran
Tipe
Bundaran
Radius
(m)
Jumlah lajur
masuk
Lebar
lajur (m)
Panjang
jalinan (m)
Lebar
jalinan (m)
R 10 – 11 10 1 3,5 23 7
R 10 – 22 10 2 7,0 27 9
R 14 – 22 14 2 7,0 31 9
R 20 - 22 20 2 7,0 43 9
Sumber: Departemen P.U., 1997
d. Lebar Jalan Masuk Rata-Rata (WE)
Lebar Jalan Masuk (W) adalah lebar jalur lalu-lintas dari pendekat (diukur
pada bagian tersempit) yang digunakan oleh lalu-lintas yang bergerak. Lebar fisik
masing-masing sisi dengan banyak parkir, sebaiknya dikurangi 2 m. Sehingga
yang dimaksud dengan Lebar jalan masuk rata-rata (WE) adalah lebar rata-rata
pendekat ke bagian jalinan.
Lebar masuk rata-rata (WE) untuk masing-masing bagian jalinan dinyatakan
dalam rumus sebagai berikut:
2
WWW 21
E
; jika W1 > W, maka W1 = W
jika W2 > W, maka W2 = W
41
e. Lebar Jalinan (WW)
Lebar jalinan adalah lebar efektif bagian jalinan (pada bagian tersempit).
Lebar masing-masing sisi dengan banyak parkir sebaiknya dikurangi 2 meter.
f. Panjang Jalinan (LW)
Panjang jalinan yang dipergunakan dalam perhitungan adalah panjang
jalinan efektif untuk bagian jalinan.
Untuk bagian jalinan bundaran, metode dan prosedur yang diuraikan dalam
(MKJI, 1997) mempunyai dasar empiris. Alasan dalam hal aturan memberi jalan,
disiplin lajur, dan antri tidak mungkin digunakannya model yang besar pada
pengambilan celah. Nilai variasi untuk variabel data empiris yang menganggap
bahwa medan datar adalah sebagai berikut:
Tabel 2.4 Rentang variasi data empiris untuk variabel masukan
VariabelBundaran
Minimum Rata-rata MaksimumLebar pendekat (W1) 8 9,7 11
Lebar jalinan (Ww) 8 11,6 20
Panjang jalinan (Lw) 50 84 121
Rasio lebar/panjang (Ww/Lw) 0,07 0,14 0,20
Rasio jalinan (Pw) 0,69 0,80 0,95
Sumber: Departemen P.U., 1997
42
Keterangan:
W1 = Lebar pendekat 1 yang akan masuk ke jalinan
W2 = Lebar pendekat 2 yang akan masuk ke jalinan
LW = Panjang jalinan
WW = Lebar jalinan
WE = Lebar rata-rata pendekat untuk masing-masing bagian jalinan
Gambar 2.20 Parameter Geometrik Bundaran
Sumber: Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2004
W1
W2
WW
LW
U
A
B
C
D
43
2.5.1.2 Kondisi Lingkungan
a. Kelas Ukuran Kota (CS)
Ukuran kota dimasukkan sebagai jumlah penduduk di seluruh daerah
perkotaan dalam juta.
Tabel 2.5 Kelas ukuran kota
Ukuran Kota Jumlah Penduduk Juta
Sangat kecil < 0,1
Kecil 0,1 – 0,5
Sedang 0,5 – 1,0
Besar 1,0 – 3,0
Sangat besar > 3,0
Sumber: Departemen P.U., 1997
b. Tipe Lingkungan Jalan (RE)
Lingkungan jalan diklasifikasikan dalam kelas menurut guna tanah dan
aksesibilitas jalan tersebut dari aktivitas sekitarnya. Hal ini ditetapkan secara
kualitatif dari pertimbangan teknik lalu-lintas dengan bantuan Tabel 2.6. di
bawah:
Tabel 2.6 Tipe Lingkungan Jalan
Sumber: Departemen P.U., 1997
44
c. Hambatan Samping (SF)
Hambatan samping menunjukkan pengaruh aktivitas samping jalan di
daerah simpang pada arus berangkat lalu-lintas, misalnya pejalan kaki berjalan
atau menyeberangi jalur, angkutan kota dan bis berhenti untuk menaikkan dan
menurunkan penumpang, kendaraan masuk dan keluar halaman dan tempat parkir
di luar jalur. Hambatan samping ditentukan secara kualitatif dengan pertimbangan
teknik lalu-lintas sebagai Tinggi, Sedang atau Rendah.
2.5.2 Lalu Lintas
Data lalu lintas dibagi dalam beberapa tipe kendaraan yaitu kendaraan
ringan (LV), kendaraan berat (HV), sepeda motor (MC) dan kendaraan tak
bermotor (UM). Arus lalu lintas tiap pendekat dibagi dalam tipe pergerakan,
antara lain: gerakan belok kanan (RT), belok kiri (LT), dan lurus (ST). Arus lalu
lintas ini kemudian dikonversi dari kendaraan per jam menjadi satuan mobil
penumpang (smp) per jam dengan menggunakan ekuivalen mobil penumpang
(smp) yang dapat dilihat pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7 Faktor ekuivalensi mobil penumpang
Jenis kendaraan Kelas (emp)
Kendaraan Ringan LV 1,0
Kendaraan Berat HV 1,3
Sepeda Motor MC 0,5
Sumber: Departemen P.U., 1997
45
Kondisi lalu lintas dapat ditentukan menurut Lalu Lintas Harian Rata-Rata
Tahunan (LHRT) dengan faktor k yang sesuai untuk konversi dari LHRT menjadi
arus per jam. Nilai normal variabel umum lalu lintas yang digunakan untuk
keperluan perencanaan adalah nilai normal faktor k, nilai normal komposisi lalu
lintas, dan nilai normal lalu lintas umum, dapat dilihat di Tabel 2.8 dan 2.9.
Tabel 2.8 Nilai normal faktor k
Lingkungan Jalan
Faktor k
> 1 juta
penduduk
< 1 juta
penduduk
Jalan di daerah komersial dan jalan arteri 0,07 – 0,08 0,08 – 0,10
Jalan di daerah pemukiman 0,08 – 0,09 0,09 – 0,12
Sumber: Departemen P.U., 1997
Tabel 2.9 Nilai normal komposisi lalu lintas
Ukuran Kota
(Juta
Penduduk)
Komposisi Lalu Lintas Kendaraan Bermotor
(%)
Rasio
Kendaraan
Tak
Bermotor
(UM/MV)
Kend. Ringan
(HV)
Kend. Berat
(HV)
Sepeda Motor
(MC)
> 3 juta 60 4,5 35,5 0,01
1 – 3 juta 55,5 3,5 41 0,05
0,5 – 1 juta 40 3,0 57 0,14
0,1 – 0,5 juta 63 2,5 34,5 0,05
< 0,1 juta 63 2,5 34,5 0,05
Sumber: Departemen P.U., 1997
46
Nilai normal rasio jalinan PW rasio belok pada bundaran dan faktor-smp berikut
dapat digunakan jika informasi yang lebih baik tidak tersedia, lihat Tabel 2.10.
Tabel 2.10 Nilai normal lalu lintas umum
Faktor Normal
Rasio jalinan PW 0,75
Rasio belok kiri PLT 0,15
Rasio belok kanan PRT 0,15
Faktor-smp, Fsmp 0,83
Sumber: Departemen P.U., 1997
2.5.3 Kinerja Bundaran (Kapasitas, Derajat Kejenuhan, Tundaan Lalu
Lintas, Peluang Antrian)
a. Kapasitas Bundaran
Kapasitas total bagian jalan adalah jumlah kendaraan maksimum yang
melewati bundaran. Kapasitas dasar (CO) tergantung dari lebar jalinan (WW), rasio
rata-rata/lebar jalinan (WF / WW), rasio menjalin (PW) dan rasio lebar/panjang
jalinan (WW / LW), yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus atau dengan
diagram gambar. Adapun rumusnya sebagai berikut:
CO = 135 x WW1,3 x (1 + WF / WW)1,5 x (1 - PW/3)0,5 x (1+WW/LW)-1,8
= Faktor WW x faktor WE/WW x faktor PW x faktor WW/LW .................. (2.1)
dimana:
CO : Kapasitas Dasar (smp/jam)
Faktor WW : Rasio lebar jalinan
Fakor WE/WW : Rasio rata-rata lebar jalinan
47
Faktor PW : Rasio menjalin
Faktor WW/LW : Rasio panjang jalinan
Kapasitas sesungguhnya bagian jalinan adalah hasil perkalian antara kapasitas
dasar (CO) yaitu kapasitas pada kondisi tertentu (ideal) dan faktor penyesuaian (F),
dengan memperhitungkan pengaruh kondisi lapangan sesungguhnya terhadap
kapasitas dapat dihitung menggunakan Rumus 2.2 sebagai berikut:
C = CO x FCS x FRSU ..................................................................................... (2.2)
dimana:
C : Kapasitas (smp/jam)
CO : Kapasitas Dasar (smp/jam)
FCS : Faktor penyesuaian ukuran kota
FRSU : Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan, hambatan samping
dan kendaraan tak bermotor
Faktor penyesuaian ukuran kota ditentukan dari Tabel 2.11 berdasarkan
jumlah penduduk kota (juta jiwa) sebagai berikut.
Tabel 2.11 Faktor penyesuaian ukuran kota (FCS)
Ukuran Kota (Cs) Penduduk
Juta
Faktor Penyesuaian
Ukuran Kota (Fcs)
Sangat kecil < 0,1 0,82
Kecil 0,1 -0,5 0,88
Sedang 0,5 – 1,0 0,94
Besar 1,0 – 3,0 1,00
Sangat besar > 3,0 1,05
Sumber: Departemen P.U., 1997
48
Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan, hambatan samping dan rasio
kendaraan tak bermotor, ditentukan dengan menggunakan Tabel 2.12 di bawah.
Tabel 2.12 Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan, hambatan samping danrasio kendaraan tak bermotor (FCS)
Sumber: Departemen P.U., 1997
b. Derajat Kejenuhan
Derajat kejenuhan yaitu rasio arus terhadap kapasitas, digunakan sebagai
factor utama dalam menentukan tingkat kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai
derajat kejenuhan menunjukkan apakah segmen jalan tersebut mempunyai
masalah kapasitas atau tidak (Departemen P.U., 1997).
Dengan rumus:
DS =C
Qsmp....................................................................................... (2.3)
dimana:
Qsmp : Arus total (smp/jam), dihitung dengan rumus, Qsmp = Qkend x Fsmp
49
Fsmp : Faktor smp, dihitung sebagai berikut:
Fsmp = (LV% + HV% empHV + MC% empMC)
C : kapasitas (smp/jam)
c. Tundaan (Delay)
Tundaan yaitu waktu tambahan yang diperlukan untuk melewati bundaran
di bandingkan dengan lintasan tanpa melalui bundaran. Tundaan lalu lintas bagian
jalinan (DT), menurut MKJI 1997 tundaan lalu lintas ditentukan dari hubungan
empiris antara tundaan lalu lintas dan derajat kejenuhan.
Dihitung dengan rumus sebagai berikut:
(DTR) = S (Qi x DT) / Q masuk .................................................................... (2.4)
dimana:
i : Bagian jalinan I dalam bundaran
n : Jumlah bagian jalinan dalam bundaran
Qi : Arus total pada bagian jalinan I (smp/jam)
Qmasuk : Jumlah arus yang masuk bundaran (smp/jam)
Tundaan lalu-lintas bagian jalinan (DT), ditentukan dari hubungan DT dan DS
50
.
Gambar 2.21 Tundaan lalu-lintas bagian jalinan vs Derajat kejenuhan (DT vs DS)
Sumber: Departemen P.U., 1997
Tundaan lalu-lintas bundaran (DTR) = masukii )/QDT(Q
Tundaan Bundaran (DR) = DTR + 4 (det/smp)
d. Peluang Antrian (QP %)
Tundaan antrian (QP %) yaitu peluang terjadinya antrian pada bundaran
oleh kendaraan. Menurut MKJI (1997), peluang antrian dihitug dari hubungan
empiris antara peluang antrian dan derajat kejenuhan yang dapat dihitung
menggunakan rumus:
Batas atas QP = 26,65 x DS – 55,55 x DS2 + 108,7 DS3 ......................... (2.5)
Batas bawah QP = 9,41 x DS + 29,967 x DS4,619 ................................. (2.6)
51
Peluang antrian bagian jalinan (OP%), peluang antrian dihitung dari hubungan
empiris antara peluang antrian dan derajat kejenuhan
Gambar 2.22 Peluang antrian vs Derajat kejenuhan (QP Vs DS)
Sumber: Departemen P.U., 1997
Peluang antrian bundaran (QPR%)
Peluang antrian bundaran ditentukan dari nilai:
QPR% = maks. dari (Qpi%) ...................................................................... (2.7)
2.6 Simpang Bersinyal
Persimpangan dengan APILL atau disebut juga simpang bersinyal
merupakan persimpangan dengan pengaturan arus kendaraan pada masing-masing
lengan simpang melalui sistem kendali waktu tetap yang dirangkai melalui Alat
52
Pengatur Isyarat Lalu Lintas (APILL). Secara awam, simpang bersinyal dikatakan
sebagai simpang yang diatur dengan traffic light.
Pada umumnya penggunaan APILL pada persimpangan dipergunakan
didasari atas alasan untuk menghindari kemacetan simpang akibat adanya konflik
arus lalu-lintas, sehingga terjamin bahwa suatu kapasitas tertentu dapat
dipertahankan, bahkan selama kondisi lalu-lintas jam puncak; untuk memberi
kesempatan kepada kendaraan dan/atau pejalan kaki dari jalan simpang (kecil)
untuk /memotong jalan utama; dan/ atau untuk mengurangi jumlah kecelakaan
Ialu-lintas akibat tabrakan antara kendaraan-kendaraan dari arah yang
bertentangan. Pemasangan sinyal lalu-lintas dengan alasan keselamatan lalu-lintas
umumnya diperlukan bila kecepatan kendaraan yang mendekati simpang sangat
tinggi dan/atau jarak pandang terhadap gerakan lalu-lintas yang berlawanan tidak
memadai yang disebabkan oleh bangunan-bangunan atau tumbuh-tumbuhan yang
dekat pada sudut-sudut simpang.
2.6.1 Kondisi dan Karakteristik Geometrik Persimpangan
Geometrik persimpangan yang harus diperhitungkan dalam analisa
termasuk di dalamnya jumlah jalur pada setiap pendekat, perhitungan lebar efektif
(We) yang dilakukan pada setiap pendekat. Lebar efektif ditentukan oleh lay out
masuk dan keluar serta distribusi pergeseran membelok. Data geometrik
lingkungan seperti besaran kota, phase sinyal, kondisi simpang dan lebar
pendekat.
53
2.6.1.1 Tipe Pendekat dan Lebar Efektif
a. Tipe Pendekat
Pada simpang dilihat kondisi yang berlaku, apakah simpang termasuk
kondisi terlindung atau terlawan. Jika arus yang berangkat tanpa konflik dengan
lalu lintas dari arah berlawanan, maka pendekat tersebut disebut sebagai pendekat
tipe P (terlindung). Sedangkan jika arus yang berangkat dengan konflik atau
terjadi konflik dengan lalu lintas dari arah berlawanan, maka pendekat tersebut
disebut sebagai pendekat tipe O (terlawan). Pada Gambar 2.23 diperlihatkan
beberapa jenis konfigurasi pendekat.
Gambar 2.23 Penentuan tipe pendekat
Sumber : Departemen P.U., 1997
54
b. Lebar Efektif
Lebar pendekat efektif (We) adalah lebar dari bagian pendekat yang
diperkeras, yang digunakan dalam perhitungan kapasitas (dengan pertimbangan
terhadap WA, Wmasuk, Wkeluar, dan gerakan lalu lintas membelok) (Sumber:
Departemen Pekerjaan Umum, 1997).
1) Penentuan lebar efektif (We) untuk pendekat dengan belok kiri langsung:
Jika WLTOR ≥ 2 m, dalam hal ini dianggap bahwa kendaraan yang belok
kiri boleh langsung, dapat mendahului antrian kendaraan lurus dan belok
kanan dalam pendekat selama sinyal merah. Maka perhitungan We adalah:
We = WA – WLTOR atau We = Wmasuk ……….............…….....(2.8)
Analisa penentuan waktu sinyal untuk pendekat ini adalah (Q = QST
+ QRT). Periksa lebar keluar hanya untuk pendekat tipe P, jika Wkeluar <We
x (1-pRT) maka nilai We = Wkeluar dan analisa penentuan waktu sinyal
dilakukan hanya untuk bagian lalu lintas lurus saja (yaitu Q = QST).
Jika WLTOR < 2 m, dalam hal ini dianggap bahwa kendaraan yang belok
kiri boleh langsung, tidak dapat mendahului kendaraan lainnya dalam
pendekat selama sinyal merah. Maka perhitungan We adalah:
We = Wmasuk + WLTOR atau We = WA….....................…………(2.9)
Analisa penentu waktu sinyal untuk pendekat ini adalah (Q = QST + QRT +
QLTOR).
55
Periksa lebar keluar hanya untuk pendekat tipe P, jika Wkeluar < We x (1-
pRT) maka nilai We = Wkeluar dan analisa penentuan waktu sinyal
dilakukan hanya untuk bagian lalu lintas lurus saja (yaitu Q = QST).
2) Penentuan lebar efektif (We) untuk pendekat tanpa belok kiri langsung:
Periksa lebar keluar hanya untuk pendekat tipe P, jika Wkeluar < We x (1-pRT-
PLTOR). We sebaiknya diberi nilai baru yang sama dengan Wkeluar, dan analisa
penentuan waktu sinyal pendekat ini dilakukan hanya untuk bagian lalu lintas
lurus saja (yaitu Q = QST).
Lebar pendekat efektif (We) adalah lebar dari bagian pendekat yang
diperkeras, yang digunakan dalam Perhitungan kapasitas (yaitu dengan
pertimbangan terhadap WA, WMASUK, dan WKELUAR serta gerakan lalu lintas
membelok).
c. Kelandaian Pendekat atau Gradient (FG)
Pada pendekat dengan gradient positif (jalan menanjak), maka arus jenuh
berkurang. Sedangkan pada kaki simpang yang menurun, arus jenuh akan
meningkat. Faktor penyesuaian kelandaian pendekat ditentukan dengan
menggunakan Gambar 2.24.
56
Gambar 2.24 Faktor penyesuaian untuk kelandaian
Sumber : Departemen P.U., 1997
2.6.1.2 Kondisi Lingkungan
Kondisi lingkungan di sekitar persimpangan mempengaruhi kinerja simpang
tersebut. Tata guna lahan yang berbeda memberikan nilai faktor penyesuaian yang
berbeda terhadap perhitungan kinerja simpang. Adapun tipe tata guna lahan dan
kondisi lingkungan yang dimaksud antara lain:
a. Tipe Tata Guna Lahan Komersial (Comercial/ COM)
Tata guna lahan komersial (sebagai contoh: toko, restoran, kantor) adalah
tata guna lahan dengan jalan masuk langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan.
b. Tipe Tata Guna Lahan Permukiman (Resident/ RES)
Tata guna lahan permukiman adalah tata guna lahan untuk tempat tinggal
dengan jalan masuk langsung bagi pejalan kaki dan kendaraan.
c. Tipe Tata Guna Lahan Akses Terbatas (Restricted Acces/ RA)
Tata guna lahan dengan akses terbatas adalah tata guna lahan dengan jalan
masuk langsung terbatas atau tidak ada sama sekali sebagai contoh, karena adanya
57
hambatan fisik, jalan samping sehingga jalan masuk menjadi terbatas atau tidak
ada sama sekali.
d. Kondisi Lingkungan berdasarkan Ukuran Kota (CS)
Ukuran suatu kota diukur berdasarkan jumlah penduduk yang menempati
kota tersebut. Seperti yang terlihat pada Tabel 2.13.
Tabel 2.13 Faktor penyesuaian ukuran kota (Fcs)
Penduduk kota
(Juta jiwa)
Faktor penyesuaian ukuran kota
(Fcs)
> 3,0 1,05
1,0 – 3,0 1,00
0,5 – 1,0 0,94
0,1 – 0,5 0,83
< 0,1 0,82
Sumber : Departemen P.U., 1997
e. Kondisi Lingkungan dilihat dari Hambatan Samping (SF)
Yang dimaksud dengan hambatan samping adalah dampak terhadap perilaku
lalu-lintas akibat kegiatan sisi jalan seperti pejalan kaki, penghentian angkot dan
kendaraan lainnya, kendaraan masuk dan keluar sisi jalan dan kendaraan lambat.
Hambatan samping dibagi menjadi 3 (tiga) tingkat antara lain:
1) Hambatan samping tinggi
Besar arus berangkat pada tempat masuk dan ke luar berkurang oleh karena
aktivitas disarnping jalan pada pendekat seperti angkutan umum berhenti, pejalan
kaki berjalan sepanjang atau melintas pendekat, keluar-masuk halaman disamping
jalan dan sebagainya.
58
2) Hambatan samping sedang
Besar arus berangkat pada tempat masuk dan ke luar berkurang akibat jenis-
jenis hambatan samping diatas namun tidak terlalu mempengaruhi kinerja
simpang.
3) Hambatan samping rendah
Besar arus berangkat pada tempat masuk dan keluar tidak berkurang oleh
hambatan samping dari jenis-jenis yang disebut di atas.
Faktor Penyesuaian Hambatan Samping ditentukan berdasarkan Tabel 2.14
sebagai fungsi dari jenis lingkungan jalan/tata guna lahan di sekitar simpang,
tingkat hambatan samping, dan rasio kendaraan tak bermotor (KTB). Jika
hambatan samping tidak diketahui, maka dapat dianggap sebagai tinggi agar tidak
menilai kapasitas terlalu besar.
Tabel 2.14 Faktor penyesuaian hambatan samping simpang bersinyal
Sumber : Departemen P.U., 1997
59
Kegiatan parkir di sisi jalan juga dapat menjadi hambatan samping bagi
kendaraan yang berlalu lalang sehingga berdampak pada kinerja persimpangan.
Faktor penyesuaian untuk pengaruh parkir (Fp) ditentukan dari Gambar 2.25
sebagai fungsi jarak dari garis henti sampai kendaraan yang diparkir pertama dan
lebar pendekat (WA).
Gambar 2.25 Faktor penyesuaian untuk pengaruh parkir
Sumber : Departemen P.U., 1997
FP dapat juga dihitung dengan Persamaan 2.3, yang mencakup pengaruh panjang
waktu hijau.
FP =
g
W
LPxW
LP
AA
83/)2(
3........................................(2.10)
Dimana :
LP = Jarak antara garsi henti dan kendaraan yang diparkir pertama atau panjang
dari lajur pendek (m)
WA = Lebar pendekat (m)
60
2.6.2 Kondisi dan Karakteristik Lalu Lintas
2.6.2.1 Volume Lalu Lintas
Volume lalu lintas didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang lewat pada
suatu titik di ruas jalan, atau pada suatu lajur selama interval waktu tertentu.
Satuan dari volume secara sederhana adalah ”kendaraan”, walaupun dapat
dinyatakan dengan cara lain yaitu satuan mobil penumpang (smp) yang diukur
dalam satu satuan waktu tertentu. Volume merupakan jumlah sebenarnya dari
kendaraan yang diamati atau diperkirakan dari suatu titik selama rentang waktu
tertentu.
2.6.2.2 Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR) / Average Daily Traffic (ADT)
Lalu lintas Harian Rata-rata (LHR) sering digunakan sebagai dasar untuk
perencanaan jalan raya dan pengamatan secara umum dan terhadap
kecenderungan pola perjalanan. Volume harian dinyatakan dalam satuan
kendaraan per hari atau smp per hari. Proyeksi volume lalu lintas sering
didasarkan pada volume harian terukur. LHR diperoleh dengan cara pengamatan
volume lalu lintas selama 24 jam pada suatu ruas jalan tertentu.
Satuan dari LHR adalah kendaraan perhari atau smp perhari. Volume harian
ini biasanya tidak ditetapkan perarah atau perlajur namun ditentukan keseluruhan
lajur untuk kedua arah.
61
2.6.2.3 Arus Jam Puncak
Arus jam puncak merupakan volume lalu lintas maksimum yang terjadi
dalam 1 jam yang diukur melalui pengamatan tiap 15 menitan. Fluktuasi arus lalu
lintas dalam jangka pendek dapat menjadi sangat penting untuk mengetahui
kondisi operasional lalu lintas dengan rentang waktu pengamatan 15 menitan
maka dapat diketahui arus jam puncak pada rentang waktu yang sangat spesifik.
Dengan mengetahui titik arus jam puncak maka kondisi kritis yang lebih rinci
tentang arus lalu lintas dapat digunakan sebagai bahan yang sangat bermanfaat
untuk melakukan analisis dan perancangan lalu lintas melalui manajemen lalu
lintas.
Hubungan antara volume jaman dan maksimum arus dalam satu jam
dedifinisikan sebagai faktor jam puncak (FJP). FJP adalah merupakan pembagian
antara volume jam puncak dengan arus maksimum, yang dinyatakan dengan
Rumus 2.11 dan Rumus 2.12.
...................................................(2.11)
Untuk arus periode 15-menit, persamaan di atas menjadi
............................................................................(2.12)
dimana:
q60 = tingkat arus jam (smp/jam)
q15 = tingkat arus puncak 15-menit (smp/15 menit)
PHF = FJP = faktor jam puncak
MaksimumArusTingkat
PuncakJamVolumePHFFJP
15
60
4xq
qPHFFJP
62
PHF secara umum mendeskripsikan karakteristik bangkitan-perjalanan dan
dapat diterapkan untuk suatu area atau bagian dari jalan atau sistem jalan. Ketika
nilai PHF diketahui, dapat digunakan untuk mengkonversi volume jam-puncak
menjadi suatu perkiraan tingkat puncak arus didalam suatu jam.
2.6.3 Klasifikasi Kendaraan dan Nilai emp
Menurut Direktoral Jenderal Bina Marga, arus lalu lintas adalah jumlah
kendaraan bermotor yang melalui titik tertentu per satuan waktu, dinyatakan
dalam kendaraan per jam atau smp/jam, arus lalu lintas perkotaan tersebut terbagi
menjadi empat (4) jenis, yaitu :
a. Kendaraan ringan / Light vehicle (LV)
Meliputi kendaraan bermotor 2 as beroda empat dengan jarak as 2.0-3.0
meter (termasuk mobil penumpang, mikrobis, pick-up, truk kecil, sesuai sistem
klasifikasi Bina Marga)
b. Kendaraan berat/ Heavy Vehicle (HV)
Meliputi kendaraan motor dengan jarak as lebih dari 3.5 m biasanya beroda
lebih dari empat (termasuk bis, truk 2 as, truk tiga as, dan truk kombinasi).
c. Sepeda Motor/ Motor cycle (MC)
Meliputi kendaraan bermotor roda 2 atau tiga (termasuk sepeda motor dan
kendaraan roda tiga sesuai sistem klasifikasi Bina Marga)
63
d. Kendaraan Tidak Bermotor / Un Motorized (UM)
Meliputi kendaraan beroda yang menggunakan tenaga manusia, hewan, dan
lain-lain (termasuk becak,sepeda,kereta kuda,kereta dorong dan lain-lain sesuai
sistem klasifikasi Bina Marga).
Data hasil survei yang dilakukan di lapangan merupakan jumlah dan waktu
tempuh kendaraan yang bermacam-macan jenisnya, maka data tersebut haruslah
dinyatakan dalam satuan yang sama. Oleh karena itu, dilakukan suatu proses
pengubahan satuan atau yang disebut dengan proses pengkonversian menjadi satu
satuan yang sama. Satuan dasar yang digunakan adalah Satuan Mobil Penumpang
(smp).
Menurut Manual Kapasitas Jalan Raya Indonesia (MKJI) Tahun 1997 yang
dikeluarkan oleh Direktorat Bina Marga dijelaskan pengertian dasar dari satuan
mobil penumpang (smp) yaitu sebuah besaran yang menyatakan ekivalensi
pengaruh suatu tipe kendaraan dibandingkan terhadap arus lalu lintas secara
keseluruhan. Dengan besaran/satuan ini kita dapat menilai setiap komposisi lalu
lintas. Satuan mobil penumpang (smp) untuk masing-masing kendaraan
tergantung pada tipe jalan dan arus lalu lintas total yang dinyatakan dalam
smp/jam. Satuan mobil penumpang (smp) merupakan Satuan arus lalu lintas,
dimana arus dari berbagai tipe kendaraan telah diubah menjadi kendaraan ringan
(termasuk mobil penumpang) dengan menggunakan emp (ekuivalen mobil
penumpang).
64
Ekivalensi Mobil Penumpang (emp) merupakan Faktor konversi berbagai
jenis kendaraan dibandingkan dengan mobil penumpang atau kendaraan ringan
lainnya sehubungan dengan dampaknya pada perilaku lalu lintas (untuk mobil
penumpang dan kendaraan ringan lainnya, emp = 1.0). Arus lalu-lintas (Q) untuk
setiap gerakan (belok-kiri QLT, lurus QST dan belok-kanan QRT) dikonversi dari
kendaraan per-jam menjadi satuan mobil penumpang (smp) per-jam dengan
menggunakan ekivalen kendaraan penumpang (emp) untuk masing-masing
pendekat terlindung dan terlawan: Nilai emp dari masing-masing jenis kendaraan
dan contoh rumus konversi emp dapat dilihat pada Tabel 2.15.
Tabel 2.15 Nilai emp masing-masing kendaraan.
Jenis Kendaraan emp untuk tipe pendekat
Terlindung Terlawan
Kendaraan Ringan (LV) 1,0 1,0
Kendaraan Berat (HV) 1,3 1,3
Sepeda Motor (MC) 0,2 0,4
Sumber : Departemen P.U., 1997
Seluruh nilai arus lalu lintas (per arah dan total) dikonversi menjadi satuan
mobil penumpang (smp) dengan menggunakan emp (ekivalensi mobil
penumpang) yang diturunkan secara empiris untuk tipe kendaraan berikut:
- Kendaraan ringan (meliputi mobil penumpang, minibus, truk pick-up dan jeep).
- Kendaraan berat menengah (meliputi truk dua gandar dan bus kecil).
- Bus besar.
- Truk besar (meliputi truk tiga-gandar dan truk kombinasi).
65
Emp mencerminkan pengurangan relatif kecepatan kendaraan ringan pada
arus lalu lintas campuran oleh penambahan satu unit tipe kendaraan khusus
sebagaimana dibandingkan dengan pengurangan kecepatan yang disebabkan oleh
penambahan sebuah kendaraan ringan. Pengaruh ini umumnya lebih tinggi pada
tingkatan arus rendah daripada arus mendekati kapasitas sebab kebebasan
pergerakan terhambat yang terjadi karena penambahan arus (yaitu derajat iringan
yang tinggi) (Departemen PU., 1997).
Perhitungan konversi satuan dari kend/jam menjadi smp/jam dapat dilakukan
dengan rumus sebagai berikut:
a. Konversi dengan cara I
smp/jam......
)emp(Q)emp(Q)emp(QQ MCMCHVHVLVLVsmp
.......................(2.13)
b. Konversi dengan cara II
)emp(%)emp(%)emp(%smpfaktor MCMCHVHVLVLV ............(2.14)
smp/jam...........
fQQ smpsmp
............................................................................(2.15)
dimana:
Q = volume lalu lintas (kend/jam)
Qsmp = volume lalu lintas (smp/jam)
fsmp = faktor smp
QLV = jumlah kendaraan ringan (kendaraan/jam)
QHV = jumlah kendaraan berat (kendaraan/jam)
66
QMC = jumlah sepeda motor (kendaraan/jam)
empLV = Nilai emp untuk kendaraan ringan
empHV = Nilai emp untuk kendaraan berat
empMC = Nilai emp untuk sepeda motor
%LV = persentase jumlah kendaraan ringan (%)
%HV = persentase jumlah kendaraan berat (%)
%MC = persentase jumlah sepeda motor (%)
2.6.4 Arus Jenuh (saturation flow)
Arus jenuh adalah jumlah arus berangkat rata-rata dari antrian dalam
pendekat selama sinyal hijau (smp/jam hijau).
Gambar 2.26 Model dasar untuk arus jenuh
Sumber : Departemen P.U., 1997
kuning
67
Pada Gambar 2.26 dapat dilihat hubungan antara laju pelepasan arus lalu lintas
dari mulut persimpangan pada keadaan jenuh selama waktu hijau pada satu siklus.
Juga akan terlihat pada saat lampu mulai hijau ada bagian dari waktu yang tidak
terpakai karena diperlukan suatu tenggang waktu dari saat lampu mulai
menunjukkan hijau dengan reaksi yang timbul dari pengemudi, demikian juga
pada akhir fase (pada waktu lampu sedang kuning) ada waktu yang hilang.
Sehingga waktu hijau yang efektif digunakan untuk mengalirkan arus lalu lintas
tindaklah sama dengan waktu hijau pada lampu.
Waktu Hijau Efektif = Tampilan Waktu Hijau – Kehilangan Awal
+ Tambahan Akhir
2.6.5 Arus Jenuh Dasar (So)
Arus jenuh dasar adalah besarnya keberangkatan antrian kendaraan
didalam pendekat dalam kondisi ideal (Departemen P.U., 1997).
1. Pendekat terlindung (P)
Adalah arus berangkat dari pendekat tanpa konflik dengan arus lalu lintas yang
berlawanan. Untuk pendekat terlindung arus jenuh dasar ditentukan sebagai
fungsi dari lebar efektif pendekat (We) yaitu:
So = 600 . We (smp/jam hijau)……………………..............……….(2.16)
2. Pendekat terlawan (O)
Adalah arus berangkat dari pendekat dengan konflik dengan arus lalu lintas
yang berlawanan. Sebagai fungsi dari So adalah lebar pendekat efektif (We),
besarnya arus belok kanan (QRT) dan besar arus belok kanan terhalang (QRTO).
68
Gambar 2.27 So Untuk pendekat tipe O tanpa lajur belok kanan terpisah
Sumber: Departemen P.U., 1997
Gambar 2.28 So Untuk pendekat tipe O dengan lajur belok kanan terpisah
Sumber: Departemen P.U., 1997
Jika gerakan belok kanan lebih besar dari 250 smp/jam (QRT/QRTO) maka
persamaan berikut digunakan:
1. Lajur belok kanan tidak terpisah.
Jika QRTO > 250 smp/jam dan QRT < 250 smp/jam :
69
- Tentukan Sprov pada QRTO = 250
- Tentukan S sesungguhnya sebagai
So = Sprov – {{QRTO – 250) x 8} smp/jam………………….(2.17)
Jika QRTO > 250 smp/jam dan QRT > 250 smp/jam :
- Tentukan Sprov pada QRTO dan = 250
- Tentukan S sesungguhnya sebagai
So = Sprov – {{QRTO + QRT - 500) x 2} smp/jam……..……(2.18)
Jika QRTO < 250 smp/jam dan QRT > 250 smp/jam :
- Tentukan So dari gambar 2.9 dengan QRT pada 250 smp/jam
2. Lajur belok kanan terpisah
Jika QRTO > 250 smp/jam dan QRT < 250 smp/jam :
- Tentukan So dari gambar 2.7 dengan extrapolasi
Jika QRTO > 250 smp/jam dan QRT < 250 smp/jam :
- Tentukan Sprov pada QRTO dan QRT = 250
Jika QRTO < 250 smp/jam dan QRT > 250 smp/jam :
- Tentukan So dari gambar 2.10 dengan extrapolasi
2.6.6 Arus Jenuh Nyata (S)
Adalah jumlah keberangkatan antrian kendaraan dalam pendekat dengan
kondisi yang telah disesuaikan dengan faktor-faktor penyesuaian (ukuran kota,
hambatan samping, kelandaian, parkir, belok kanan, dan belok kiri). Arus jenuh
nyata dapat dihitung dengan Rumus 2.19.
70
S = So x FCS x FSF x FP x FG x FRT x FLT (smp/jam hijau)….............(2.19)
dimana :
So = Arus jenuh dasar (smp/jam hijau).
FCS = Faktor koreksi ukuran kota.
FSF = Faktor lingkungan atau penyesuaian hambatan samping.
FP = Faktor penyesuaian parkir tepi jalan.
FG = Faktor penyesuaian hambatan pendekat atau gradien.
FRT = Faktor koreksi belok kanan.
FLT = Faktor penyesuaian belok kiri.
a. Faktor Penyesuaian Belok Kanan (FRT)
Faktor koreksi terhadap arus belok kanan pada pendekat tipe P tanpa
median, jalan dua arah, labar efektif ditentukan oleh lebar masuk, dapat dihitung
dengan Rumus 2.20.
FRT = 1 + (PRT x 0.26)…………....……………………………..(2.20)
dimana :
FRT = Faktor koreksi terhadap aru belok kanan.
PRT =)/(
)/(
jamsmpQ
jamsmpQ
Tota
RT rasio arus belok kanan pada pendekat.
b. Faktor Penyesuaian Belok Kiri (FLT)
Faktor koreksi terhadap arus belok kiri pada pendekat tipe P tanpa LTOR,
lebih efektif ditentukan oleh lebar masuk, dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
71
FLT = 1 – (PLT x 0.16) …………………………………...(2.21)
dimana :
FLT = Faktor koreksi terhadap arus belok kiri.
PLT =)/(
)/(
jamsmpQ
jamsmpQ
Tota
RT rasio arus belok kanan pada pendekat.
2.6.7 Parameter Pengaturan Sinyal
Dalam hal pengaturan simpang bersinyal terdapat beberapa parameter yang
dijadikan acuan. Parameter pengaturan simpang bersinyal dijelaskan sebagai
berikut:
2.6.7.1 Pembagian Fase
Pembagian fase adalah pengendalian konflik lalu lintas dengan pembagian
waktu sinyal. Jumlah fase yang umum digunakan dapat dilihat pada Gambar 2.29.
Gambar 2.29 Tipe pengaturan fase sinyal simpang 4 lengan
Sumber: Departemen P.U., 1997
72
2.6.7.2 Waktu Merah Semua (All Red)
Waktu merah semua atau clearance time adalah waktu yang dibutuhkan
untuk mengosongkan area konflik persimpangan (conflict area), waktu merah
semua ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
Ct =AV
AV
EV
EVEV
V
L
V
IL
(detik)..................................................(2.22)
Dimana :
LEV = Jarak dari garis ke titik arus yang dialirkan atau berangkat (m).
IEV = Panjang rata-rata kendaraan yang diberangkatkan.
Dengan nilai:
Kendaraan Ringan (KR) : 5m
Kendaraan Berat (KB) : 5m
Sepeda Motor (SM) : 2m
LA = Jarak dari garis henti ke titik konflik arus yang akan diberangkatkan (m)
VEV = Kecepatan kendaraan rata-rata untuk yang berangkat. Diambil nilai :
10m/dtk.
VAV = Kecepatan kendaraan rata-rata untuk yang akan diberangkatkan. Diambil
nilai : 10m/dtk untuk kendaraan dan 1.2m/dtk untuk pejalan kaki.
Gambar 2.30 menggambarkan kejadian dengan titik-titik konflik kritis yang
diberi tanda bagi kendaraan-kendaraan maupun para pejalan kaki yang memotong
jalan.
73
Gambar 2.30 Titik konflik dan jarak untuk keberangkatan dan kedatangan
Sumber: Departemen P.U., 1997
Nilai-nilai yang dipilih untuk VEV, VAV, dan IEV tergantung dari
komposisi lalu lintas dan kondisi kecepatan pada lokasi. Nilai-nilai sementara
berikut dapat dipilih dengan ketiadaan aturan di Indonesia akan ini.
Kecepatan kendaraan yang datang (VAV)
- (kend. Bermotor) :10 m/dtk
Kecepatan kendaraan yang berangkat (VEV)
- (kend. Bermotor) : 10m/dtk
- (kend. tak bermotor) : 3m/dtk
- (pejalan kaki) : 1.2m/dtk
Panjang kendaraan yang berangkat (IEV)
- (kend. Ringan atau kend. Berat) : 5 m/dtk
- (sepeda motor atau kend. tak bermotor) : 2 m/dtk
74
2.6.7.3 Waktu Kuning
Waktu kuning adalah waktu di mana lampu kuning dinyalakan setelah hijau
dalam sebuah pendekat dalam satuan detik. Panjang waktu kuning pada sinyal
lalu lintas perkotaan di Indonesia biasanya adalah 3,0 detik.
2.6.7.4 Waktu Hilang (LTI)
Waktu hilang pada pengaturan simpang bersinyal disingkat dengan istilah
LTI (Lost Time Intersection) yaitu total waktu hilang per siklus dalam satuan
detik.
Apabila periode merah semua untuk akhir masing-masing fase telah
ditetapkan, waktu hilang (LTI) untuk simpang dapat dihitung sebagai jumlah dari
waktu-waktu antar hijau:
LTI = ∑ (Merah semua + kuning)I
= ∑ IGi (detik).....................................................................(2.23)
2.6.7.5 Rasio Arus (FR)
Rasio arus (FR) merupakan perbandingan antara arus lalu lintas dan arus
jenuh nyata (S) pada setiap pendekat yang ditinjau. (Departemen P.U., 1997).
Dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :
FR =S
Q........................…………………………………………...(2.24)
dimana :
FR = Rasio arus
75
Q = Arus lalu lintas (smp/jam)
S = Arus jenuh nyata (smp/jam hijau)
Rasio arus simpang diperoleh dari penjumlahan rasio arus kritis dari
masing-masing pendekat simpang. Dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut :
IFR = (FRcrit)…………………....……………...………………(2.25)
Perlu diperhitungkan:
a. Jika nilai FRcrit > 0,8 hal ini menunjukkan pada pendekat tersebut telah terjadi
kemacetan dan simpang dalam kondisi jenuh.
b. Jika nilai IFR mendekati atau lebih dari 1 maka simpang sudah dalam keadaan
lewat jenuh dan akan dihasilkan waktu siklus yang tinggi sehingga tundaan
rata-rata simpang meningkat.
2.6.7.6 Rasio Fase (PR)
Rasio fase merupakan perbandingan antara ratio arus kritis dengan rasio
arus simpang dan juga merupakan persentase dari alokasi waktu hijau. (Sumber:
Departemen Pekerjaan Umum, 1997). Dihitung dengan rumus sebagai berikut :
PR = crit
crit
Fr
Fr…………........………………………………………….(2.26)
dimana :
PR = Rasio fase
FR crit = Rasio arus simpang = Jumlah FRcrit dari seluruh fase pada
simpang
76
FRcrit = Nilai FR tertinggi dari semua pendekat yang berangkat pada suatu
fase sinyal.
2.6.7.7 Waktu Siklus Sebelum Penyesuaian (CAU)
Yang dimaksud dengan waktu siklus adalah waktu untuk urutan lengkap
dari indikasi sinyal (sebagai contoh, diantara dua saat permulaan hijau yang
berurutan di dalam pendekat yang sama). Waktu siklus merupakan selang waktu
untuk urutan perubahan sinyal yang lengkap yaitu antara dua awal hijau yang
berurutan pada fase yang sama. Waktu siklus dapat ditentukan dengan rumus
sebagai berikut :
CAU =IFR
xLTI
1
55.1(detik)...............................................................(2.27)
Dimana :
CAU = Waktu siklus sebelum penyesuaian (detik)
LTI = Total waktu hilang per siklus (detik)
= Waktu merah semua + waktu kuning
IFR = Σ(FRCRIT) yaitu rasio arus simpang
= FRCRITfase 1 + FRCRITfase 2 + …. + FRCRIT fase n
FRCRIT = Nilai FR tertinggi dari semua pendekat yang berangkat pada suatu fase
sinyal
FR = Rasio arus
= Arus dibagi arus jenuh (Q/S)
n = Jumlah fase
77
g(i) = Waktu hijau masing-masing fase (detik)
2.6.7.8 Waktu Hijau (g(i))
Waktu hijau adalah waktu yang dibutuhkan dalam suatu fase untuk kendali
lalu-lintas aktuasi kendaraan (detik). Waktu hijau untuk masing-masing fase
ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
g(i) = (cAU – LTI) x)( CRIT
CRIT
FR
FR
(detik)........................................(2.28)
dimana :
g(i) = Waktu hijau pada fase i (detik)
CAU = Waktu siklus sebelum penyesuaian (detik)
LTI = Total waktu hilang per siklus (detik)
= Waktu merah semua + waktu kuning
IFR = Σ(FRCRIT) yaitu rasio arus simpang
= FRCRITfase 1 + FRCRITfase 2 + …. + FRCRIT fase n
FRCRIT = Nilai FR tertinggi dari semua pendekat yang berangkat pada suatu fase
sinyal
Waktu hijau dalam parameter pengaturan sinyal terdiri dari:
1) Waktu Hijau Maksimum (gmax)
Waktu hijau maksimum adalah waktu hijau maksimum yang diijinkan dalam
suatu fase untuk kendali lalu-lintas aktuasi kendaraan (detik)
2) Waktu Hijau Minimum (gmin)
Waktu hijau minimum yang diperlukan (sebagai contoh, karena
penyeberangan pejalan kaki, dan lain sebagainya).
78
3) Waktu Antar Hijau (IG)
Waktu antar hijau (IG) adalah berakhirnya lampu hijau pada satu fase dan
nyalanya lampu hijau pada fase berikutnya (diperoleh dari penjumlahan waktu
merah semua dengan waktu kuning) antara dua fase yang berurutan (Departemen
P.U., 1997). Prosedur yang harus dilakukan untuk menentukan waktu antar hijau
adalah sebagai berikut :
Tentukan waktu merah semua yang diperlukan untuk pengosongan pada
setiap akhir fase dan hasil waktu antar hijau (IG) per fase.
Tentukan waktu hilang (LTI) sebagai jumlah dari waktu antar hijau
persiklus.
Untuk analisa operasional dan perencanaan, disarankan untuk membuat suatu
perhitungan rinci dari waktu pengosongan (merah semua) dan waktu hilang total.
Bagi keperluan perancangan nilai normal waktu antar hijau seperti yang terlihat
pada Tabel 2.16 berikut:
Tabel 2.16 Nilai normal waktu antar hijau
Ukuran SimpangLebar Jalan
Rata-rata
Nilai Normal
Waktu antar Hijau
Kecil 6 – 9 m 4 detik/fase
Sedang 10 – 14 m 5 detik/fase
Besar ≥ 15 m ≥ 6 detik/fase
Sumber: Departemen P.U., 1997
79
2.6.7.9 Waktu Siklus yang Disesuaikan (c)
Waktu siklus yang disesuaikan ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
c = Σg + LTI (detik).............................................................(2.29)
2.6.8 Kinerja Simpang Bersinyal (Kapasitas, Derajat Kejenuhan, Panjang
Antrian, Jumlah Kendaraan Terhenti, Tundaan)
Penentuan tingkat kinerja simpang dengan APILL menggunakan indikator
sebagai berikut :
a. Kapasitas Persimpangan
Kapasitas adalah kemampuan persimpangan untuk menampung arus arus
lalu lintas maksimum per satuan waktu dinyatakan dalam smp/jam (Departemen
P.U., 1997). Kapasitas pada simpang dihitung pada setiap pendekat ataupun
kelompok lajur diidalam suatu pendekat. Kapasitas simpang dihitung dengan
rumus sebagai berikut :
C = S x GR (smp/jam).....……………………………...............(2.30)
dimana :
C = Kapasitas (smp/jam)
S = Arus Jenuh (smp/jam hijau)
GR =c
grasio hijau
b. Derajat Kejenuhan (DS)
Derajat kejenuhan (Degree of Saturation) adalah rasio dari arus lalu lintas
terhadap kapasitas untuk suatu pendekat (Departemen P.U., 1997). Derajat
80
kejenuhan pada masing-masing pendekat ditentukan dengan rumus sebagai
berikut :
DS =Sxg
Qxc
C
Q ..................................................................................(2.31)
Dimana :
DS = Derajat kejenuhan
Q = Arus lalu lintas (smp/jam)
C = Kapasitas (smp/jam)
S = Arus jenuh (smp/jam hijau)
g = Waktu hijau (detik)
c. Panjang Antrian (QL)
Panjang antrian sebagai indikasi panjang antrian kendaraan selama waktu
merah. Parameter ini digunakan untuk perencanaan pengendalian parkir tepi jalan
atau angkutan umum stop, panjang kebutuhan pelebaran persimpangan dan
panjang kebutuhan lebar belok kiri boleh langsung. Jumlah antrian (NQ) didapat
dari rumus sebagai berikut :
NQ = NQ1 + NQ2 ....................................................................(2.32)
Dimana :
NQ = Jumlah antrian
NQ1 = Jumlah kendaraan (smp) yang tertinggal pada penyalaan waktu hijau
sebelumnya.
NQ1 = 0, untuk DS < 0.5
81
NQ1 = 0.25 x C x
C
DSxDSDS
)5.0(8)²1()1( , untuk DS>0.5
NQ2 = Jumlah kendaraan (smp) yang datang selama waktu merah (antrian)
NQ2 = c x36001
1 Qx
GRxDS
GR
NQmax merupakan jumlah antrian maksimum yang dapat dicari dari
gambar 2.12 dengan menghubungkan nilai NQ dan probabilitas overloading POL
(%). Untuk perencanaan dan desain disarankan nilai POL < 5% dan untuk
operasional nilai POL dapat diambil 5% - 10%.
Gambar 2.31 Perhitungan jumlah antrian maksimum (NOMAX)
Sumber: Departemen P.U., 1997
82
Perhitungan panjang antrian (QL) didapat dari perkalian antara NQmax
dengan rata-rata area yang ditempati tiap smp (20 m2) dan dibagi masuk (Wmasuk).
Seperti terlihat pada persamaan 2.33.
QL =MASUK
MAX
W
xNQ 20(meter)........................................................(2.33)
Dimana :
QL = Panjang antrian (m)
WMASUK = Lebar masuk pendekat (m)
NQmax = Jumlah antrian maksimum
d. Jumlah Kendaraan Terhenti
Angka henti (NS) masing-masing pendekat didefinisikan sebagai jumlah
berhenti rata-rata per kendaraan (smp), ini termasuk henti berulang dalam antrian
sebelum melewati garis henti persimpangan. (Departemen P.U., 1997). Dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
NS = 0,9 x 3600xcxQ
NQ(stop/smp)...........…………………..….(2.34)
dimana :
Q = Arus lalu lintas (smp/jam)
c = Waktu siklus (detik)
NQ = Jumlah total kendaraan antri (smp)
NS = Jumlah rata-rata kendaraan berhenti (stop/smp)
83
Perlu diperhatikan :
Jika nilai NS lebih dari 1, dapat dipilih nilai NS 1,0 artinya semua
kendaraan terhenti pada suatu ketika.
Perhitungan jumlah kendaraan yang terhenti (NSV) adalah perkalian arus lalu
lintas dengan jumlah kendaraan yang berhenti, dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
NSV = Q x NS (smp/jam)………………….......……............…….(2.35)
Perhitungan rata-rata jumlah kendaraan yang berhenti untuk semua kaki
persimpangan dihitung dengan rumus sebagai berikut :
NSTOT =Qtot
N SV(stop/smp)....……………..…….............….(2.36)
dimana :
Qtot = Arus lalu lintas yang masuk total termasuk QLTOR (smp/jam)
NSV = Jumlah seluruh NSV dari setiap pendekat (smp/jam)
NSTOT = Rata-rata jumlah kendaaan yang berhenti pada seluruh simpang
(stop/smp)
e. Tundaan (delay)
Tundaan adalah waktu tempuh tambahan yang diperlukan untuk melewati
simpang. Tundaan pada simpang terdiri atas 2 (dua) komponen yaitu tundaan lalu
lintas (DT) dan tundan geometrik (DG). Dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
84
DJ = DTJ + DGJ (detik/smp)..………………..…….….(2.37)
dimana :
DJ = Tundaan rata-rata tiap pendekat j (detik/smp)
DTJ = Tundaan lalu lintas rata-rata pendekat j (detik/smp)
DGJ = Tundaan geometrik rata-rata penekat j (detik/smp)
Tundaan lalu lintas (DT) yaitu akibat interaksi antara lalu lintas dengan
gerakan lainnya pada suatu simpang. Seperti kemacetan pada lihir (pintu
keluar) dan pengaturan manual oleh polisi, dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
DT = c x A +C
xNQ 36001 (detik/smp)..………................…..(2.38)
dihitung :
DT = Tundaan lalu lintas rata-rata pendekat akibat interaksi antara lalu lintas
dengan gerakan lainnya pada suatu simpang (detik/smp)
A =)(1
)1(5,0 2
DSjxGRj
GRjx
c = Waktu siklus yang disesuaikan (detik/smp)
C = Kapasitas (smp/jam)
NQ1 = Jumlah antrian kendaraan yang tersisa dari fase hijau sebelumnya
Tundaan geometrik adalah tundaan akibat perlambatan dan percepatan saat
membelok pada suatu simpang atau akibat terhenti karena lampu merah.
Dihitung dengan rumus sebagai berikut :
85
DGj = (1 - Psv) x Pt x 6 + (Psv x 4)…………...........................…(2.39)
dimana :
DGJ = Tundaan geometrik rata-rata pendekat j (detik/smp)
Psv = Rasio kendaraan terhenti pada pendekat (NS)
Pt = Rasio kendaraan berbelok pada pendekat
Nilai DGj rata-rata untuk gerakan lalu lintas dengan belok kiri langsung
(LTOR) adalah 6 detik/smp (Departemen P.U., 1997).
Tundaan rata-rata simpang (D1) adalah jumlah tundaan rata-rata tiap pendekat
dikalikan dengan arus tiap pendekat (Q x D1) dibagi dengan arus lalu lintas
total (Qtot). Dihitung dengan rumus sebagai berikut :
D1 =tot
J
Q
DxQ )(
(detik).……….…..........................……..(2.40)
dimana :
Qtot = Arus lalu lintas yang masuk total termasuk QLTOR (smp/jam)
D1 = Tundaan rata-rata simpang (det/smp)
(Q x dJ) = Jumlah tundaan rata-rata tiap pendekat (det/smp)
2.7 Tingkat Pelayanan Simpang (Level of Service)
Konsep tingkat pelayanan jalan digunakan sebagai ukuran kualitas
pelayanan jalan yaitu perbandingan antara volume lalu lintas yang ada terhadap
kapasitas (Q/C). Ukuran yang cocok untuk menentukan tingkat pelayanan jalan
86
dapat diidentifikasi dari kecepatan atau volume kendaraan yang melewati suatu
ruas jalan. Tingkat pelayanan jalan tidak hanya dapat dilihat dari perbandingan
rasio Q/C namun juga tergantung dari besarnya kecepatan operasi pada suatu ruas
jalan. Kecepatan operasi dapat diketahui dari survei langsung di lapangan.
Apabila kecepatan operasi telah didapat maka dapat dibandingkan dengan
kecepatan optimum (kecepatan yang dipilih pengemudi pada saat kondisi
tertentu). Tingkat pelayanan berdasarkan volume dengan kapasitas yang
dibandingkan dengan kecepatan operasi dapat dilihat dari Gambar 2.32.
Gambar 2.32 Tingkat Pelayanan Jalan
Untuk tingkat pelayanan berdasarkan perbandingan karakteristik arus lalu
lintas dan rasio Q/C ditentukan dalam suatu skala interval yang terdiri dari enam
87
kelompok yaitu: tingkat pelayanan A, B, C, D, E dan F. Pengelompokan ini
didasarkan atas rasio antara volume lalu lintas dan kapasitas jalan serta rasio
antara kecepatan aktual terhadap kecepatan arus bebas.
Tingkat pelayanan umumnya digunakan sebagai ukuran dari pengaruh yang
membatasi akibat peningkatan volume setiap ruas jalan yang dapat digolongkan
pada tingkat tertentu yaitu antara A sampai F.
Tingkat pelayanan Bundaran dinilai berdasarkan Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor: KM 14 Tahun 2006 Tentang Tingkat Pelayanan
Persimpangan Prioritas “STOP” sesuai dengan tabel 2.17 berikut.
Tabel 2.17 Tingkat Pelayanan untuk Persimpangan Prioritas “STOP”
TingkatPelayanan
Rata-rata tundaan berhenti(detik per smp)
A < 5B 5 – 10C 11 – 20D 21 – 30E 31 – 45F > 45
Sumber: Kementerian Perhubungan, 2006
Tingkat pelayanan A berarti operasi pada simpang memiliki tundaan yang
sangat rendah, kurang dari 5,0 detik per kendaraan. Hal ini terjadi bila
sebagian besar kendaraan datang pada saat hijau sehingga banyak yang tidak
berhenti. Panjang siklus yang pendek juga dapat menghasilkan tundaan rendah
(sangat lancar).
Tingkat pelayanan B berarti operasi pada simpang memiliki tundaan dalam
rentang 5,1 – 10,0 detik per kendaraan. Biasanya hal ini terjadi bila panjang
88
siklus pada simpang pendek. Kendaraan berarti lebih banyak dari tingkat
pelayanan A, menghasilkan tundaan rata-rata sedang dan tidak terjadi
kemacetan (lancar).
Tingkat pelayanan C berarti operasi pada simpang memiliki tundaan dalam
rentang 11,0 – 20,0 detik per kendaran. Tundaan yang lebih besar ini
dihasilkan oleh siklus yang lebih panjang. Pada tingkat ini jumlah kendaraan
yang berhenti adalah signifikan, meski tetap cukup banyak kendaraan yang
berhenti adalah signifikan, meski tetap cukup banyak kendaraan yang terus
melalui simpang tanpa harus berhenti (cukup lancar).
Tingkat pelayanan D berarti operasi pada simpang memiliki tundaan dalam
rentang 21,0 – 30,0 detik per kendaaan. Pada tingkat pelayanan D pengaruh
dari kemacetan sudah lebih terlihat. Tundaan yang lebih besar dapat dihasilkan
dari kombinasi panjang siklus yang lebih tinggi. Banyak kendaraan yang
harus berhenti pasa simpang (mendekati macet).
Tingkat pelayanan E berarti operasi pada simpang memiliki tundaan dalam
rentang 31,0 – 45,0 detik per kendaraan. Pada tingkat pelayanan E ini
dijadikan sebagai batas tundaan yang sudah tidak bisa diterima. Tundaan besar
ini dihasilkan dari panjang siklus yang panjang, serta rasio Q/C yang tinggi,
dan kemacetan terjadi disetiap kaki persimpangan (macet).
Tingkat pelayanan F berarti operasi pada simpang memiliki tundaan lebih
besar dari 45,0 detik per kendaraan. Pada tingkat pelayanan F ini tundaan
sudah tidak dapat diterima, hal ini biasanya karena terjadinya kejenuhan pada
simpang akibat arus yang melalui simpang melampaui kapasitas simpang dan
89
juga dapat terjadi bilai nilai Q/C mendekati 1,00 atau dapat juga karena
panjang siklus yang terlalu panjang (sangat macet)
Tingkat pelayanan Persimpangan dengan APILL dinilai berdasarkan
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: KM 14 Tahun 2006 Tentang Tingkat
Pelayanan Persimpangan dengan APILL sesuai dengan tabel 2.18 berikut.
Tabel 2.18 Tingkat Pelayanan untuk Persimpangan dengan APILL
TingkatPelayanan
Tundaan(detik per smp)
Load Factor
A ≤ 5,0 0,0B 5,10 – 15,0 ≤ 0,1C 15,1 – 25,0 ≤ 0,3D 25,1 – 40,0 ≤ 0,7E 40,1 – 60,0 ≤ 1,0F > 60,0 NA
Sumber: Kementerian Perhubungan, 2006
Tingkat pelayanan A berarti operasi pada simpang memiliki tundaan yang
sangat rendah, kurang dari 5,0 detik per kendaraan. Hal ini terjadi bila
sebagian besar kendaraan datang pada saat hijau sehingga banyak yang tidak
berhenti. Panjang siklus yang pendek juga dapat menghasilkan tundaan rendah
(sangat lancar).
Tingkat pelayanan B berarti operasi pada simpang memiliki tundaan dalam
rentang 5,1 – 15,0 detik per kendaraan. Biasanya hal ini terjadi bila panjang
siklus pada simpang pendek. Kendaraan berarti lebih banyak dari tingkat
pelayanan A, menghasilkan tundaan rata-rata sedang dan tidak terjadi
kemacetan (lancar).
90
Tingkat pelayanan C berarti operasi pada simpang memiliki tundaan dalam
rentang 15,1 – 25,0 detik per kendaran. Tundaan yang lebih besar ini
dihasilkan oleh siklus yang lebih panjang. Pada tingkat ini jumlah kendaraan
yang berhenti adalah signifikan, meski tetap cukup banyak kendaraan yang
berhenti adalah signifikan, meski tetap cukup banyak kendaraan yang terus
melalui simpang tanpa harus berhenti (cukup lancar).
Tingkat pelayanan D berarti operasi pada simpang memiliki tundaan dalam
rentang 25,1 – 40,0 detik per kendaaan. Pada tingkat pelayanan D pengaruh
dari kemacetan sudah lebih terlihat. Tundaan yang lebih besar dapat dihasilkan
dari kombinasi panjang siklus yang lebih tinggi. Banyak kendaraan yang
harus berhenti pasa simpang (mendekati macet).
Tingkat pelayanan E berarti operasi pada simpang memiliki tundaan dalam
rentang 40,1 – 60,0 detik per kendaraan. Pada tingkat pelayanan E ini
dijadikan sebagai batas tundaan yang sudah tidak bisa diterima. Tundaan besar
ini dihasilkan dari panjang siklus yang panjang, serta rasio Q/C yang tinggi,
dan kemacetan terjadi disetiap kaki persimpangan (macet).
Tingkat pelayanan F berarti operasi pada simpang memiliki tundaan lebih
besar dari 60,0 detik per kendaraan. Pada tingkat pelayanan F ini tundaan
sudah tidak dapat diterima, hal ini biasanya karena terjadinya kejenuhan pada
simpang akibat arus yang melalui simpang melampaui kapasitas simpang dan
juga dapat terjadi bilai nilai Q/C mendekati 1,00 atau dapat juga karena
panjang siklus yang terlalu panjang (sangat macet)
91
2.8 Pendapatan domestik regional bruto (PDRB)
PDRB adalah keseluruhan nilai tambah dari sektor-sektor ekonomi yang ada
di suatu daerah dalam periode waktu tertentu. PDRB merupakan penjumlahan
nilai output bersih perekonomian yang ditimbulkan oleh seluruh kegiatan ekonomi
di suatu daerah tertentu (provinsi dan kabupaten) dan dalam satu periode waktu
tertentu (satu tahun kelender). Kegiatan ekonomi yang dimaksud meliputi:
kegiatan pertanian, pertambangan, industri pengolahan sampai dengan jasa.
2.8.1 Produk domestik dan produk regional
Semua barang dan jasa sebagai hasil dari kegiatan-kegiatan ekonomi yang
beroperasi di wilayah domestik tanpa memperhatikan apakah faktor produksinya
berasal dari atau dimiliki oleh penduduk wilayah tersebut merupakan produk
domestik wilayah bersangkutan. Pendapatan yang timbul oleh karena adanya
kegiatan produksi tersebut merupakan pendapatan. Dengan adanya arus
pendapatan yang mengalir antar daerah (termasuk juga dari dan ke luar negeri)
yang pada umumnya berupa upah atau gaji, bunga, deviden dan keuntungan maka
timbul perbedaan antara produk domestik dan produk regional.
Produk regional adalah produk domestik ditambah dengan pendapatan
yang diterima dari luar daerah atau negeri dikurangi dengan pendapatan yang
dibayarkan keluar daerah atau negeri tersebut. Akan tetapi untuk mendapatkan
angka-angka tentang pendapatan yang mengalir keluar dan masuk ke suatu daerah
(yang secara nasional dapat diperoleh dari neraca pembayaran luar negeri) masih
92
sangat sulit saat ini, hingga produk regional belum dapat dihitung. Untuk
sementara dalam perhitungan, produk regional diasumsikan sama dengan Produk
Domestik Regional Netto (PDRN) atas dasar biaya faktor. Apabila pendapatan
regional ini dibagi dengan jumlah penduduk yang tinggal di wilayah tersebut
maka diperoleh pendapatan per kapita.
2.8.2 PDRB atas dasar harga pasar
Angka PDRB atas dasar harga pasar diperoleh dengan menjumlahkan nilai
tambah bruto (gross value added) yang timbul dari seluruh sektor ekonomi di
wilayah itu. Nilai tambah bruto adalah nilai lebih yang timbul setelah melalui
suatu proses produksi atau nilai produksi (output) dikurangi dengan biaya antara.
Nilai tambah bruto disini mencakup komponen-komponen faktor pendapatan
(upah dan gaji, bunga, sewa tanah dan keuntungan), penyusutan dan pajak tak
langsung netto. Dengan menghitung nilai tambah bruto dari tiap-tiap sektor dan
menjumlahkan nilai tambah bruto dari seluruh sektor maka akan diperoleh produk
PDRB atas dasar harga pasar.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator
pertumbuhan ekonomi suatu negara/ wilayah/ daerah. Pertumbuhan tersebut dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya infrastruktur ekonomi. PDRB
adalah jumlah nilai tambah bruto yang dihasilkan seluruh unit usaha dalam
wilayah tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang
dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi.
93
PDRB atas dasar harga berlaku menggambarkan nilai tambah barang dan
jasa yang dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun, sedangkan
PDRB atas dasar harga konstan menunjukan nilai tambah barang dan jasa yang
dihitung menggunakan harga pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar
penghitungannya.
PDRB atas dasar harga berlaku dapat digunakan untuk melihat pergeseran
struktur ekonomi, sedangkan harga konstan dapat digunakan untuk mengetahui
pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun. Dengan demikian, PDRB merupakan
indikator untuk mengatur keberhasilan pemerintah dalam memanfaatkan sumber
daya yang ada, dan dapat digunakan sebagai perencanaan dan pengambilan
keputusan. Perkembangan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Bali atas
dasar harga berlaku untuk distribusi persentase PDRB Bali atas dasar harga
berlaku dan laju pertumbuhan PDRB Bali atas dasar harga berlaku untuk tahun
2008, tahun 2009, tahun 2010, tahun 2011 dan tahun 2012 disajikan dalam Tabel
berikut.
Distribusi Persentase PDRB Bali atas dasar harga berlaku disajikan dalam
Tabel berikut:
94
Tabel 2.19 Distribusi Persentase PDRB Bali atas dasar harga berlaku
Sektor2008
(%)
2009
(%)
2010
(%)
2011
(%)
2012
(%)
1. Pertanian 20,29 19,96 18,01 17,21 16,84
2. Pertambangan & penggalian 0,66 0,69 0,70 0,74 0,79
3. Industri pengolahan 8,69 8,70 9,16 8,92 8,90
4. Listrik, gas & air bersih 1,85 1,94 1,88 1,93 2,03
5. Bangunan 4,03 4,28 4,52 4,65 5,18
6. Perdag, hotel & restauran 29,37 28,88 30,06 30,66 30,23
7. Pengangkutan & komunikasi 11,85 11,86 14,41 14,44 14,65
8. Keu. Persewaan & Jasaperusahaan
7,07 7,46 6,87 6,79 6,75
9. Jasa-jasa 16,19 16,22 14,40 14,67 14,63
PDRB 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2013
Perkembangan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Bali atas dasar
harga konstan menunjukkan persentase laju pertumbuhan seperti disajikan dalam
tabel berikut:
95
Tabel 2.20 Laju Pertumbuhan PDRB Bali Atas Dasar Harga Konstan
Sektor2008
(%)
2009
(%)
2010
(%)
2011
(%)
2012
(%)
1. Pertanian 4,20 4,10 1,77 2,22 3,37
2. Pertambangan & penggalian 3,97 2,54 19,43 10,51 15,25
3. Industri pengolahan 5,11 4,36 6,08 3,12 6,04
4. Listrik, gas & air bersih 5,44 6,57 6,88 7,35 9,08
5. Bangunan 5,46 4,51 7,37 7,88 18,67
6. Perdag, hotel & restauran 6,72 5,11 6,39 8,69 5,65
7. Pengangkutan & komunikasi 6,77 6,06 5,77 5,97 7,56
8. Keu. Persewaan & Jasaperusahaan
7,26 6,72 7,47 6,22 9,18
9. Jasa-jasa 4,79 6,95 8,64 9,94 7,78
Laju Pertumbuhan PDRB Bali (%) 5,56 5,28 5,83 6,49 6,65
Rata- rata Laju PertumbuhanPDRB Bali (%)
5,96
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Bali, 2013
2.8.3 PDRN atas dasar harga pasar
PDRB atas dasar harga pasar dikurangi penyusutan akan diperoleh PDRN
atas dasar harga pasar. Penyusutan yang dimaksud adalah nilai susut dari barang-
barang modal yang terjadi selama barang tersebut ikut serta dalam proses
produksi.
96
2.8.4 PDRN atas dasar biaya faktor
Perbedaan antara konsep biaya faktor dengan harga pasar adalah karena
adanya pajak tidak langsung yang dipungut oleh pemerintah dan subsidi yang
diberikan oleh pemerintah kepada unit-unit produksi. Pajak tidak langsung yang
dibayar oleh perusahaan terdiri dari iuran wajib ke pemerintah yang diberlakukan
sebagai biaya untuk kegiatan produksi. Pajak tidak langsung mencakup segala
jenis pajak yang dikenakan atas kegiatan produksi, penjualan, pembelian atau
penggunaan barang dan jasa oleh perusahaan. Perusahaan dapat membayar pajak
tidak langsung kepada Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Pajak tidak
langsung meliputi: pajak penjualan, bea ekspor, cukai dan lain-lain kecuali pajak
pendapatan dan pajak perseorangan. Pajak tidak langsung dan subsidi memiliki
pengaruh terhadap harga barang-barang. Pajak berpengaruh menaikkan harga
sedangkan subsidi menurunkan harga. Pajak tidak langsung netto diperoleh dari
pajak tidak langsung dikurangi subsidi. PDRN atas dasar harga pasar dikurangi
pajak tidak langsung netto hasilnya PDRN atas dasar biaya faktor.