Kajian posthumanisme sastra di era pandemi corona

20
31 SENASBASA (4) (2020) (E-ISSN 2599-0519) PROSIDING SEMINAR BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (SENASBASA) http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA Makalah UMM 28 Oktober 2020 Kajian posthumanisme sastra di era pandemi corona Oleh Suwardi Endaswara Guru Besar Antropologi Sastra FBS UNY Ketua Umum HISKI Pusat A. Posthumnisme Antropoteknologi Sastra Posthumanisme antropoteknologi sastra adalah perspektif terbaru untuk memahami manusia melalui karya sastra yang telah terdegradasi oleh teknologi. Sastra itu objek garapnya manusia, terlebih di era pandemi corona, yang serba membatasi gerak manusia. Ada kalanya objek garap melebihi manusia, mempertanyakan eksistensi manusia, dan meragukan fungsi manusia saat semua perkara sastra harus daring. Manusia telah terbayang-bayangi oleh gegar teknologi di jagad pandemi, sebagai pintalan kultur yang lambat laun berpacu dengan peradaban manusia. Kalau berpijak pada pemikiran Plato (Teeuw, 1988:219-220) manusia yang berolah sastra, tak mungkin melukiskan kenyataan, melainkan hanya meniru realitas. Manusia hanya membayangkan kenyataan. Melalui pembayangan, mimesis alam semesta, ternyata manusia sering melampaui akal sehatnya. Teknologi telah memoles manusia semakin mekanik, inspiratif, dan suka instan di wajah pandemi. Akal manusia semakin terbuai dengan teknologi, menuju new normal yang serba canggung. Banyak karya-karya sastra yang telah melampaui akal manusia, termasuk karya-karya sastra corona. Karya-karya tersebut perlu dipahami menggunakan perspektif posthumanisme antropoteknologi sastra. Perspektif ini untuk menggali makna karya-karya sastra radikal, absurd, eksperimen, abu-abu, dan gelap. Ketika berhadapan dengan era pandemi corona, seperti puisi berikut ini, manusia memiliki tanggapan berbeda. KUPIYA NGADHEPI PAGEBLUG CORONA Asmaradana, bait 6 nyegah kumpul dadi siji tumrape marang wong liya najan ra umum dadine wit tan srawung tangga kanca kabeh kanggo kabecikan dimen virus bisa putus ora ngrembaka sumebar (Hidratmoko Andritamtomo, 2020:217)

Transcript of Kajian posthumanisme sastra di era pandemi corona

31

SENASBASA (4) (2020) (E-ISSN 2599-0519)

PROSIDING SEMINAR

BAHASA DAN SASTRA INDONESIA (SENASBASA)

http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA

Makalah UMM 28 Oktober 2020

Kajian posthumanisme sastra di era pandemi corona Oleh Suwardi Endaswara Guru Besar Antropologi Sastra FBS UNY Ketua Umum HISKI Pusat A. Posthumnisme Antropoteknologi Sastra

Posthumanisme antropoteknologi sastra adalah perspektif terbaru untuk memahami manusia melalui karya sastra yang telah terdegradasi oleh teknologi. Sastra itu objek garapnya manusia, terlebih di era pandemi corona, yang serba membatasi gerak manusia. Ada kalanya objek garap melebihi manusia, mempertanyakan eksistensi manusia, dan meragukan fungsi manusia saat semua perkara sastra harus daring. Manusia telah terbayang-bayangi oleh gegar teknologi di jagad pandemi, sebagai pintalan kultur yang lambat laun berpacu dengan peradaban manusia. Kalau berpijak pada pemikiran Plato (Teeuw, 1988:219-220) manusia yang berolah sastra, tak mungkin melukiskan kenyataan, melainkan hanya meniru realitas. Manusia hanya membayangkan kenyataan. Melalui pembayangan, mimesis alam semesta, ternyata manusia sering melampaui akal sehatnya.

Teknologi telah memoles manusia semakin mekanik, inspiratif, dan suka instan di wajah pandemi. Akal manusia semakin terbuai dengan teknologi, menuju new normal yang serba canggung. Banyak karya-karya sastra yang telah melampaui akal manusia, termasuk karya-karya sastra corona. Karya-karya tersebut perlu dipahami menggunakan perspektif posthumanisme antropoteknologi sastra. Perspektif ini untuk menggali makna karya-karya sastra radikal, absurd, eksperimen, abu-abu, dan gelap. Ketika berhadapan dengan era pandemi corona, seperti puisi berikut ini, manusia memiliki tanggapan berbeda.

KUPIYA NGADHEPI PAGEBLUG CORONA Asmaradana, bait 6 nyegah kumpul dadi siji tumrape marang wong liya najan ra umum dadine wit tan srawung tangga kanca kabeh kanggo kabecikan dimen virus bisa putus ora ngrembaka sumebar (Hidratmoko Andritamtomo, 2020:217)

32

Terjemahan: mencegah berkumpul menjadi satu pada orang lain biarpun menjadi tak wajar sebab tk bersilahturahmi ke tetangga agar virus corona bisa terputus tak menyebar ke mana-mana Sungguh aneh getar puisi itu. Upaya manusia untuk membunuh corona, dengan

menjaga jarak. Tafsir manusia, telah viral lewat jalur teknologi, agar manusia menjaga jarak. Banyak hal yang kurang masuk akal, ketik manusia berhadapan dengan virus corona. Pikiran radikal pun harus muncul, saat membaca sastra coron semacam itu. Akal manusia semakin radikal, bila kita membaca cerpen berjudul Radikal karya Keliek Eswe (Endraswara, 1993:25). Cerpen eksperimen, yang pernah saya antologikan dalam buku berjudul Niskala ini, melukiskan seorang perempuan yang hamil, kandungannya berisi anjing. Cerpen ini jelas melukiskan posthuman yang melampaui batas-batas kewajaran nalar manusia. Saya juga pernah menulis cerpen berjudul Bayi Seka Planet (Endraswara, 1992:29), yang membayangkan sebuah alam semesta simbolik peradaban manusia mengikuti fenomena teknologi. Banyak cerpen lain yang bersifat absurd, aneh, dan surrealis juga memunculkan tafsir posthumanisme. Oleh sebab itu, memahami manusia yang semakin radikal ini, membutuhkan cara pandang yang kita sebut perspektif.

Perspektif berarti cara pandang manusia terhadap fenomena. Perspektif posthumanisme antropoteknologi sastra, akan membuka pemahaman kary-karya sastra yang di luar kewajaran. Termasuk ketika kita memahami cerpen Adam Makrifat karya Danarto dan Telinga karya Seno Gumiro Adjidarmo yang melukiskan fenomen serba aneh, di luar peta pikiran manusia. cerpenis sering kaya bayangan yang keluar dari pikiran manusia. Bayangan itu mungkin emosi atau intuisi. Bayangan meniru kesemestaan itu menurut Plato (Wellek dan Warren, 1989:35) sering terjadi pada karya sastra apa saja. Dia menegaskan bahwa sastra itu sering melahirkan ketegangan pemikiran. Sastra pula yang sering membangkitkan atau menyuburkan emosi. Lewat emosi pula, pembayangan manusia terhadap fenomena sering melampaui batas kewajaran.

Ketakwajaran dalam karya sastra itu sah-sah saja, sebagai perwujudan intuisi. Intuisi sastrawan sering melukiskan hal ihwal di luar dugaan manusia. Manusia sebagai human, sering berbuat yang melewati fenomena biasa. Itulah fenomena yang sering disebut degan istilah posthumanisme. Kekuatan posthumaisme sering melebihi takaran akal. Robert Pepperell (Nugroho, 2014:1) menyatakan bahwa posthumanisme juga disebut pascahumaisme. Posthumanisme berarti sebuah era, di mana teknologi tidak lagi dapat ditempatkan di bawah manusia, melainkan boleh sejajar dan bahkan melampaui manusia. Yang aneh, tokoh ini sempat meneguhkan bahwa tanpa teknologi, manusia bukan apa-apa, sebagai contoh ketika sakit jantung, harus dipacu alat pemacu lemah jantung. Fenomena pergeseran humanism ke posthumanisme, sebagai akibat getran teknologi, bisa dipahamimenggunakan perspektif posthumanisme antropoteknologi sastra.

Perspektif posthumanisme antropoteknologi sastra adalah upaya pemahaman manusia terbaru lewat teks sastra. Posthumanisme antropoteknologi sastra merupakan gabungan dari istilah posthumanisme sastra, antropologi sastra, dan teknologi sastra. Posthumanisme sastra adalah ilmu sastra interdisipliner yang berguna untuk memahami

33

teks-teks sastra yang melampaui batas kemanusiaan. Antropologi sastra merupakan ilmu interdisipliner, sebab gabungan atara antropologi dengan sastra itu masih berada pada wilayah ilmu humaniora. Teknologi sastra merupakan ilmu transdisipliner, sebab menyuguhkan kolaborasi wilayah keilmuan yang berbeda, yaitu teknologi itu ilmu eksakta dan sastra sebagai ilmu humaniora. Gabungan antara ilmu sastra interdisipliner dengan transdisipliner bisa melahirkan ilmu baru yang kita sebut multidisipliner.

Manusia itu makhluk yang serba multidimensional, sehingga layak apabila pemahaman sastra juga menggunakan perspektif multidisipliner. Sebenarnya, sastrawan sudah lama membaca nuansa posthumaisme. Saat manusia tergila-gdila pada teknologi, akal akan terdegradasi, sebagai misal untuk literasi menghitung, manusia justru mengandalkan kalkulator. Maka dalam perspektif posthumanisme antropoteknologi sastra boleh dinyatakan bahwa manusia memiliki kultur ketergantungan pada teknologi. Teknologi pula yang memicu denyut kreativitas sastrawan, sehingga melahirkan karya-karya yang berdampingan dan bahkan sempat menyenggamai teknologi. Manusia telah terusik oleh fenomena teknologi, untuk melangsungkan hidup, berolah sastra, dan sejumlah aktivitas lain.

Dalam wawasan antropologi sastra, menurut Mahaswa (2017:1) manusia itu memiliki julukan homo technologicus. Sastra, sering menggarap hal ihwal manusia sebagai homo technologicus. Manusia lebih cocok dipanggil homo technologicus, karena selama 24 jam manusia hidup dengan teknologi. Begitu pula ketika berolah sastra, terlebih di era serba daring, digital, dan internet, sastra senantiasa enyesuaikan iri. Kemampuan manusia telah dibuktikan dengan teknik adaptasi pada lingkungan, jauh melampaui makhluk hidup lainnya. Tepatnya, dengan menengok terlebih dahulu homo technicus. Dalam diri manusia sebagai sastrawan sering memiliki tiga hal, yaitu (1) intuisi, yaitu kemampuan nalar yang melebihi getaran manusia biasa, (2) imajinasi, berarti daya untuk membayangkan beragam aktivitas hidup di luar kewajaran, (3) kreasi, berarti kemampuan menciptakan apa saja di luar dugaan manusia awam.

Homo technicus sebagai term konseptual pertama kali diungkapkan Galván Mahaswa (2017:2) pada tahun 2003 untuk membantu menyempurnakan definisi manusia secara lebih akurat. Technicus mencerminkan kondisi keterjalinan antara perkembangan manusia dengan masyarakat-teknologis. Acuan gagasan ini karena adanya manusia secara teknologis dibentuk oleh alam dan berkembang bersama dengan teknologi. Galván menyatakan dalam On Technoethics: manusia tidak dapat menjauh dari dimensi teknis (technical dimension), sebab pada dasarnya manusia sudah terkonstitusi secara teknis. Teknologi bukan tambahan pada manusia, tetapi fakta manusia itu sendiri, sebagai salah satu pembeda manusia dengan makhluk lainnya. Melalui sastra, manusia sering mengotak-atik suasana sehingga melahirkan beragam karya yang penuh jebkan teknologi. Sastrawan sering mampu mengubah wajah manusia, yang melampaui kemanusiaan.

Emka (2017:1) Yang mencengangkan adalah wajah semua ‘mahluk’ itu mengerucut bagai tabung yang meruncing ke depan, bentuk yang mengesankan sebuah topeng oksigen bagi sebuah lingkungan yang tercemar berat. Fenomena itu bukanlah topeng, namun wajah kedua mahluk yang unik. Betapa hegemoni teknologi telah merembes ke ranah mitologis dan ontologis. Bukan ruang yang menjadi latar belakang adegan ini adalah cetak biru sebuah sirkuit terpadu. Realitas teknologis yang merasuk hingga ke bidang wacana ontologis, terjadi ketika tubuh yang tercangkok dengan perangkat teknologis masih menunjukkan keutuhan wacana kemanusiaan dan tetap menggenggam dominasi idea ketuhanan dalam realitas dan kondisi posthuman. Hal ini terjadi pula pada novel “Sampar” terjemahan Nh Dini, dengan judul aslinya “La Peste”

34

karya Albert Camus merupakan novel yang menempati kedudukan istimewa di antara novel-novel lain pada masanya. Karya sastra absurd adalah karya sastra yang tidak masuk akal, susah diduga dalam memainkan tokoh-tokohnya kerena pandangan, pemikiran atau gaya pengarangnya. Banyak pengetahuan baru yang tak terbayangkan oleh akal.

Sastra itu sumber ilmu pengethuan. Sastra itu rekaman pemikiran manusia. Namun, seringkali karya-karya sastra ‘keluar’ dari kotak pemikiran manusia. Hadirnya karya-karya yang unik, aneh, absurd, sering mengolah hal ihwal di luar akal manusia. Banyak science fiction, yang sering melebihi batas-batas akal. Karya-karya yang bernuansa teknologi, sering melewati pusaran hidup manusia. Pemikiran manusia sering kalah dengan perkembangan teknologi. Bahkan Saryono (2019:1) menegaskan bahwa kehebatan sains dan teknologi harus dibayar dengan kerapuhan, kerentanan, bahkan ancaman “kepunahan” spesies manusia (yang manusiawi) sehingga kelangsungan dan keberlanjutan manusia dan kemanusiaan di samping kebudayaan dan peradaban berada di ambang bahaya.

Perlu diketahui bahwa seolah serupa nasib dokter Faust dalam karya Goethe Saryono (2019:2), perkembangan sains dan teknologi yang dikatakan demikian hebat dan luar biasa justru menjadikan manusia, kemanusiaan, kebudayaan, peradaban, bahkan bumi tempat hidup manusia di bawah bayang-bayang ancaman. Di tengah-tengah keadaan demikian sebagian manusia (baca: para ahli dan pemuka sosial) mempertanyakan dan merenungkan kembali berbagai fenomena yang timbul pada satu sisi dan pada sisi lain memikirkan dan memaknai untuk kemudian menawarkan pilihan-pilihan yang dapat diikuti dan dipakai manusia untuk membela dan malah menyelamatkan manusia dan kelangsungan hidup manusia selain kelangsungan dan keselamatan alam semesta.

Beragam karya sastra telah banyak yang melampaui humanisme.karya-karya sastra yang mempertanyakan eksistensi manusia, kegerahan manusia terhadap teknologi, dan ketergantungan manusia pada teknologi perlu dikaji secara cermat. Terlebih lagi pada saat pandemic corona, ketika semua orang digiring harus menggunakan teknologi, khususnya handphone. Bahkan ketika manusia harus melawan teknologi, ingin kumpul-kumpul, seringkali harus berurusan dengan hokum, telah memantik kreativitas sastrawan.

B. Posthumanisme Etologi Sastra

Posthumanisme etologi sastra adalah perspektif memahami teks sastra yang menggunakan kaca pandang setelah humanisme. Posthumanisme etologi sastra merupakan gabungan antara posthumanisme, etiologi, dan sastra. Posthumanisme berarti perspektif membaca karya sastra yang melampaui humanisme. Etologi berarti ilmu tentang perilaku hewan (Endraswara, 2019:215). Etologi (ethology) sastra adalah “The scientific study of animal behavior“ (McDonell, 2013:12). Artinya, etologi itu studi ilmiah tentang perilaku hewan. Etologi sastra adalah interdisipliner antara ilmu perilaku hewan dengan sastra.

Karya sastra dalam konteks ini diyakini sebagai lukisan perilaku hewan, yang sekaligus simbol perilaku manusia. Perilaku hewan di era pandemi corona ini telah diasumsikan berbeda-beda oleh para sastrawan. Sastrwan menangkap bergam hewan yangmemiliki andil pada penyebaranvirus corona. Berikut ini puisi yang mengisahkan kekuatan posthumaan di era corona,menggunakan koteks etologi sastra.

Balada Kencing Coro

35

Oleh: Elen Inderasari Ketika alam bertengger terdiam malam sepi, Jangkrik bertanya pada Coro, kemana ini perginya manusia? Kenapa bumi tetiba sepi, Tak ada lagi anak polah, bopo kepradah. Aku rindukan polah-polah kepradahnya mereka, teriak-teriakan mereka di depan istana sang Raja, kemana tangisan lolongan simiskin mana senyum lebar sikaya semua menghilang bisu dan beku seakan menyatu. Apa kamu belum tau? ungkap Coro pada Jangkrik. Mereka semua takut pada bau kencingku bilangnya kencingku layaknya virus mematikan Sekali hirup, ajal maut menjemput Tikus got pun tak berani mondar mandir keluar sembunyi dibalik gedong-gedong mewah dengan segala macan kerakusan Tak kecuali sang Raja. Biarkan mereka disibuk ngurusin kencingku mencari vaksin, obat, jamu mujarab dan aku masih sepuasnya kencing, di manapun yang aku suka bahkan di kantor para punggawanya sang Raja. Kamu ngeriklah sepuasnya… layaknya Serigala mengaum Saat ini bumi milik kita, manusia biarkan sembunyi Menutup diri layaknya kepompong Ditengah ketakutan, mereka masih bertapa. Kita sekarang bertukan posisi dengan mereka, Ayo kita kerja kumpulkan sisa-sia makanan Menimbunnya dalam gudang dan perut buncit Sebelum episode ini berakhir dalam bertukar peran. Bulan kesatu Corona (Antologi Puisi Corona, IAIN Surakarta, 2020) Puisi tersebut berupa dialog naratif, antra jangkrik dengan coro, berkisah kencing

coro. Kencing coro tampaknya diidentikan dengan virus. Sebuah imajinasi perilaku hewan, menurut perspektif posthumanisme etologi sastra, coro itu memang hewan yang berbahaya kencingnya. Pemahaman teks sastra hewan dilakukan secara dekonstruksi. Oleh karena perilaku hewan itu sering meloncat-loncat, berubah-ubah, dan disesuaikan dengan tindakan manusia. Antara perilaku hewan dan manusia berjalan seiring, sehingga diperlukan pemahaman jejak (trace). Pemahaman jejak itu sama halnya peneliti sedang melakukan dekonstruksi. Perilaku manusia itu sering unik, simbolik, dan mirip dengan hewan. Dalam wawasan antropologi sastra, manusia itu sering mendapat julukan hewan yang berpikir.

Sejumlah karya sastra tentang hewan ada yang disebut fabel, sering melukiskan perilaku hewan yang seiring dengan perilaku manusia. bahkan ada yang menyebut orng

36

lain menggunakan metaphor hewan, misalnya ‘di itu memang kancil.’ Mungkin, penyebutan ini terkait dengan perilaku manusia yang licik seperti kancil. Namun, perlu direnungkan bahwa hewan pun sering memiliki perilaku yang humanis. Biarpun hewan itu mendasarkan insting, namun seringkali sisi simboliknya sangat menarik sebab mirip dengan humanitas. Maka Forster (Endraswara, 2017:1) menegaskan bahwa manusia memiliki naluri humanis, seperti rasa cinta. Semula, karya-karya sastra itu memang sebuah ungkapan humanis.

Yang sering unik, sebelum era pandemi, tahun 2018 lalu, ketika ada perilaku manusia bercinta, bermesraan, dan berangkulan, di tempat public/lorong hotel, jelas aneh. Perilaku ini sepertinya mirip ayam saja, yang menegasikan etika kultural kemanusiaan. Perillaku semacamitu, bila tertangkap kamera cctv sastrawan, akan memunculkan inspirasi baru tentang posthumanisme sastra. Begitu juga perilaku julig manusia yang penuh pura-pura suami-isteri, mengelabuhi orang lain, berkedok akademis, ini juga perilaku manusia yang posthumanis. Perilaku manusia yang bersandiwara, yang melampaui humanisme sering menjadi ilham sastrawan.

Untuk memahami karya-karya sastra bertajuk posthumanisme etologi sastra, tentu butuh paham humaisme. Seperti halnya memahami postmodernisme atau postrukturalisme perlu memahami yang modern dan strukturalis. Karya-karya sastra modern tersebut lebih antroposentris. Antroposentris, berarti lebih menekankan pada kemanusiaan. Seperti ungkapan, aku ingin nyaman, ingin tidak ada tekanan apa pun, dan ingin selamat. Namun, realitas perilaku manusia sudah sering konyol, berbeda dengan gayanya yang semanis madu, style yang sok bersih, padahal sebenarnya tindakannya telah melampaui humanism.

Itulah sandiwara bejat manusia. Fenomena hidup manusia itu memang unik, ada yang cari muka dengan sejumlah cara yang seolah-olah melampaui manusia. Mereka mencoba mencari celah, agar hidupnya lebih terpuji, lebih top, lalu menggunakan cara-cara yang berkedok akademis, padahal sebenarnya tak jauh berbeda dengan hewan. Manusia yang telah kenyang memasuki dunia remang-remang, kotor, dan menjijikkan sering tiba-tiba menjadi seperti malaikat. Manusia yang suka menasehati orang lain, sperti dewa dari dunia antah barantah.

Perilaku hewan, dalam wawasan etologi mengikuti gejala dekonstruksi Derrida (Barker, 2005;20) yaitu instabilitas makna. Makna perilaku hewan dalam teks boleh berubah-ubah, terserah pemberi makna. Pemberi makna akan melakukan interaksi khusus dengan teks. Interaksi itu akan membangun konteks. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa etologi sastra berarti “Human-animal studies: The study of the interactions and relationships between human and nonhuman animals (DeMello 2012: 5). Interaksi tersebut dijalin secara estetis. Tugas peneliti adalah mengungkap simbol-simbol estetis perilaku hewan. Simbol yang muncul berupa jejak-jejak. Peneliti tidak perlu memperhatikan struktur lagi, melainkan mendekonstruksi struktur sastra hewan, disesuaikan dengan keinginan perilaku yang hendak dicapai. Menurut Heidegger (2005:81) dekonstruksi sastra itu sebuah cara membaca teks secara fenomenologis. Maksudnya, membaca teks sastra hewan perlu dikaitkan dengan perilaku manusia atas dasar fenomena yang ada. Fenomena dalam sastra dianggap sebuah kenyataan.

Kalau membaca cerpen berjudul Ulat Bulu dan Syekh Daun Jati karya Cerpen Agus Noor (Kompas, 28 Juli 2013), kenyataan dalam sastra hewan itu seperti terjadi sungguhan. Apalagi cerpenis dengan sengaja menyebut konteks historis, seolah-olah cerita itu ada. Tentu, dalam Dalam perspektif etologi sastra yang memanfaatkan kacamata dekonstruksi, perlu memaknai karya itu sebagai sebuah perilaku hewan mistis. Ulat bulu yang mewabah, seperti menjadi kutukan kultural, akibat perilaku masyarakat

37

yang tega manganiaya orang lain. Itulah sebabnya, perilaku ulat bulu itu seperti mendapat kekuatan supersakti, dapat menghukum orang-orang. Lepas dari cerita itu nyata atau fiktif, yang jelas permainan imajinasi selalu mendominasi.

Plato dan Aristoteles (Teeuw, 1988:2019-222) kenyataan atau reality memang beda. Plato sastra itu melukiskan kenyataan, sedangkan Aristoteles sebaliknya. Aristoteles, sastrawan itu boleh membuat dunia tersendiri. Lepas dari kedua pendapat itu, perspektif etologi sastra perlu mendekonstruksi teks sastra hewan, untuk meraih makna yang fenomenal. Perspektif etologi sastra juga perlu mengungkap (1) bagaimana perilaku hewan pada manusia dan (2) bagaimana perilaku manusia terhadap hewan. Etologi sastra menitikberatkan ihwal perilaku dalam teks sastra. Hewan sering menjadi inspirasi pengarang untuk melukiskan perilaku tertentu. Perilaku hewan itu selalu ada yang unik. Apalagi perilaku hewan yang aneh-aneh. Kalau dalam puisi anak sering kita dengarkan tentang hewan mentog. Puisi selengkapnya sebagai berikut.

MENTHOG Menthog-menthog dakkandhani Mung rupamu angisin-isini Mbokya aja ngetok ana kandhang wae enak-enak ngorok ora nyambut gawe mentog-mentog mung lakumu megal-megol gawe guyu Terjemahan: Mentog Mentog-mentog kuberi tahu Hanya wajahmu sangat memalukan Janga menampakkan diri di kandang saja Enak-enak saja tidur mengorok Tidak perlu bekerja Mentog-mentog hanya jalanmu megal-megol Membuat aku tertawa Puisi tersebut menunjukkan perilaku hewan yang tidak perlu dicontoh. Seekor

menthog yang memiliki kesukaan tidur melulu, tentu tidak layak sebagai tauladan. Bahkan puisi tersebut juga ada kecenderungan berperilaku ingin disanjung. Dari cara jalan, kemungkinan menthog memang simbol dari orang yang ingin disanjung. Mencermati perilaku hewan dalam sastra dengan realita tentu berbeda. Namun, pengarang itu selalu berupaya menampilkan realitas perilaku hewan yang unik. Mungkin pula pengarang mempunyai obsesi pada perilaku hewan yang pantas dijadikan contoh. Berikut adlah puisi berjudul Kupu kuwi yang memberikan lukisan perilaku hewan kupu-kupu yang menggoda.

Kupu kuwi tak encupi Mung mabure ngewuhake Ngalor – ngidul , ngetan bali ngulon Mrana – mrene mung saparan-paran Mbok ya aja menclok Tak encupe Mentas menclok cegrok

38

Banjur mabur kleper Seekor kupu-kupu memang begitulah perilakunya. Da kecenderungan menggoda

kupu-kupu itu bagi yang melihatnya. Ada nuansa kesombongan diri perilaku kupu-kupu itu. Mungkin memamerkan sayapnya. Mungkin memamerkan gerakan sayap, cara terbang, dan segala gerak-geriknya yang indah. Dari perspektif etologi sastra, dapat diketahui bahwa pengarang puisi ini sengaja menampilkan perilaku hewan yang mempesona. Pesona tersebut lebih banyak menggoda manusia. Kesan manusia pada kupu-kupu memang sebagai hewan yang memiliki kelebihan tertentu. Berbeda dengan kesan manusia pada anjing, ada kalanya dianggap hewan rendah perilakunya. Begitu juga kucing yang dianggap suka mencuri.

Persepsi manusia pada anjing merupakan wujud representasi pemikiran. Memang harus diakui, hewan anjing ada yang setia, sebaliknya juga aa yang menggigit. Perilaku tersebut apat ddisimak pada lirik puisi berjudul E Dhayohe teawa ini, ada ungkapan yang berbunyi E jadahe mambu, E pakakno asu, E asune mati, E kelekno kali. Maksudnya, kalau jadah itu berbau berikan pada anjing. Penyair, tampaknya memiliki anggapan bahwa anjing itu biar diberi makanan yang basi atau bahkan busuk. Mungkin pula, pengarang dari perspektif etologi sastra sengaja menganggap aneh perilaku anjing itu. Dari strata, anjing dipandng rendah disbanding manusia.

Dickens (DeMello 2012: 7) pernah mengilustrasikan sejumlah poin penting yang relevan untuk setiap diskusi tentang penelitian pada hewan, antara lain membahas perilaku hewan yang aneh-aneh. Kalau belajar dari Derrida (Ratna, 2007:138) yang penting penelitia menemukan jejak (trace), yaitu tanda dan simbol perilaku manusia lewat hewan. Jejak berarti bekas. Perilaku hewan itu menciptakan bekas. Yang tampil dalam perilaku adalah bekas. Bekas atau jejak (tanda) itu yang menjadi objek penelitian, kelak menjadi data. Oleh sebab itu, meneliti etologi sastra hewan selalu melacak jejak-jejak estetis. Jejak dalam sastra hewan akan melukiskan hak asasi manusia yang terkait erat dengan hewan. Manusia dan hewan merupakan pusat titik awal untuk setiap diskusi di lapangan penelitian etologi sastra. Perilaku manusia menuntut hak sama halnya ketika hewan juga menuntut hak-haknya. Dalam kaitan ini, saya menyimpulkan dengan beberapa komentar pada karya sastra hewan yang menampilkan seorang protagonis dan antagonis selalu diwujudkan secara estetis. Ada perilaku hewan yang diwujudkan dalam bentuk sindiran, anakronik, dan simbolik. Puisi berjudul O Mata Harimau karya Yunical Saketi (Mihardja, 2015:189-190) memuat bait yang berbunyi sebagai berikut.

Puti, aku lah lihat kau jilma di mata mereka, berpasang-pasang Jadi serangkum warna hijau yang menggetarkan jiwa terperangkap kelam Jiwa penuh lubang yang tak sanggup mengaum Harimau terkapar, mati tak lagi tinggalkan apa-apa Tak juga belang itu, apalagi kisah tentang cinta lama adam-hawa …….. Profesor sastra Marjorie Garber (DeMello 2012: 5) mengamati bahwa kritikus

sastra dari genre sastra hewan memang jarang ditulis. Padahal dari perspektif etologi sastra, perilaku hewan itu tidak lain sebagai lukisan hidup manusia. Pembahasan sebelumnya menggambarkan bagaimana sebuah mitos spesies dapat merasionalisasi kekerasan terhadap kelas-kelas hewan tertentu dan bagaimana bahasa klasifikasi dapat digunakanuntuk menolak ciri-ciri spesifik spesies hewan individual.

39

Perbedaan antara manusia dan hewan tidak hanya dengan mengedepankan teknologi oleh hewan mana yang secara non-kriminal dihukum mati - tetapi juga karena posisi etis. Sastra hewan sering melukiskan manusia lebih etis, disbanding hewan. Namun, di sisi lain, sastra hewan dapat dibaca sebagai sebuah kritik terhadap gagasan manusia akan pengorbanan dan penebusan. Manusia sering mengeksploitasi hewan. Menurut Coetzee (1999b: 143), David Lurie pernah mengundurkan diri dengan tidak sadar dari posisi mengajarnya karena perselingkuhan dengan seorang siswa. Dia pindah untuk tinggal bersama putrinya, Lucy, di sebuah perkebunan kecil di Provinsi Timur, di mana dia menumbuhkan bunga dan sayuran untuk pasar di dekatnya Grahamstown dan menjalankan pekerjaan di kandang anjing. Bekerja sebagai sukarelawan di penampungan hewan setempat, David membantu Bev Shaw, terutama memelihara anjing. Proses pemaknaan tampaknya mengalami transformasi yang mana termasuk penerimaan kehidupan emosional bersama dengan hewan. Misalnya, David menjadi sadar ketika memberi makan anjing, saat melakukan penguburan yang layak, memastikan jenazahnya tidak akan dipukuli menjadi bentuk yang lebih nyaman untuk diproses.

Novel ini berakhir pada salah satu hari Minggu ada anjing yang terbunuh diusung seperti anak domba ke pembantaian. Coetzee (1999a:3) menawarkan penjelasan rasional dari Lurie untuk keputusannya berkorban anjing lumpuh yang dia tahu akan mati. Begitulah perilaku manusia dengan hewan. Bintang dieksploitasi sebagai korban. Seseorang terbiasa dengan hal-hal semakin sulit dalam hidupnya. Oleh karena itu yang dicari adalah keselamatan. Supaya selamat, manusia melakukan pengorbanan hewan, antara lain anjing, domba, dan lembu. Manusia memang memiliki perilaku bebas terhadap hewan. Hal ini juga sering mewarnai sastra hewan, termasuk di dalamnya fabel.

C. Zooposthumanisme Sastra

Zooposthumanisme sastra saya modifikasi secara transdisipliner dari istilah posthumanis (Endraswara, 2019:220). Poshumanisme sastra telah mengajak pemerhati sastra selalu jeli menggali makna di atas kemampuan manusia. Apalagi di era pandemi corona, seringkAli sastrawan banyak memainkan metafor hewan sebagai cetusan ekspresinya. Zooposthumanisme sastra merupakan sebuah perspektif pemahaman karya sastra hewan, yang memanfaatkan pandangan posthumanis.

Perspektif ini, merupakan bidang kajian transdisipliner sastra yang memanfaatkan wwasan posthumanisme. Penyebutan transdisipliner, menandai sebuah kepaduan ilmu sastra sebagai ilmu humaniora dengan zoology sebagai ilmu eksakta. Pemberdayaan zoology sastra, telah mengangkat kajian sastra ke arah transdisipliner berbasis posthumanisme. Posthumanis tentu lebih dari sekedar humanis. Pemaknaan zooposthumanisme sastra merupakan upaya mendekonstruksi teks sastra hewan, untuk mengejar makna. Dekonstruksi adalah upaya pemaknaan yang dikenalkan Derrida (Wiyatmi, dkk, 2017:xi), sebagai aktivitas pembacaan teks dengan cara sama sekali baru. Pembacaan teks sastra hewan boleh berbeda dengan teori sebelumnya. Jika sebelumnya mengandalkan humanisme, dekonstruksi zooposthumanis sastra boleh melebihi aspek-aspek humanisme. Humanisme kadang diruntuhkan oleh pengaruh globalisasi dan teknologi. Oleh karena itu, perlu pula memahami teks-teks sastra hewan yang sudah diolah atas dasar teknologi baru.

Poshumanisme dalam pandangan teks sastra hewan, hendak menafsirkan teks-teks yang tidak hanya sebatas sifat-sifat manusia, melinkan lebih dari itu. Kadang-kadang karakter manusia kalah dengan insting bintang. Kesetiaan manusia boleh dikalahkan oleh insting hewan. Pandangan-pandngan yang melebihi manusia, yang terjadi pada prehumanis, humanis, dan posthumanis dapat dipahami menggunakan perspektif

40

zooposthumanisme. Dalam kaitan ini, Barcz (2015:253) menyatakan pandangan sebagai berikut.

The posthumanist approach, therefore, exhibits a new genetic perspective – first taken up by Jacques Derrida in his L’Animal que donc je suis and La bete et le souverain, then continued by Wolfe – which raises questions about nonhuman or prehumen ancestors of man understood both literally and metaphorically, existentially. It is about such aspects of man and such relations between humans and animals which grew into culture and history, creating new constellations, new comprehension of existence in the world; and about such thinking which is now heard through numerous voices not at all reserved for humans – this is clearly visible in literature and animal narrations. Posthumanism admits other than human voices if they are constitutive to man who is in a stable relationship with them. Pandangan demikian, menekan bahwa posthumanisme semua isebut engan

pendekatan. Dalam istilah saya, lebih tepat disebut perspektif. Tampaknya, pandangan Derrida yang diteruskan Wolfe, penting dipertimbangkan untuk memahami sastra hewan. Menurut pencetus dekonstruksi pemaknaan itu, memahami teks sastra hewan dalam perspektif posthumanis, perlu mengaitkan aspek prehumanis, pandangan manusia kuna, dan kekuatan nonhumanis (misalkan hewan), yang sering melebihi manusia dalam realitas. Peneliti yang menggunakan zooposthumanisme dapat memanfaatkan permainan (1) metaforik tentang hewan, (2) narasi manusia dan hewan, dan (3) hubungan antara manusiadengan hewan, yang dibangun secara estetis.

Estetika dalam sastra hewan sudah semkin canggih. Era industri kreatif, sastra hewan kadang-kadang sudah diubah dan digubah aneh-aneh. Ada cerita hewan yang sudah digarap menjadi film animasi. Sastra hewan demikian perlu didekonstruksi, sebab menurut Derrida (Eagleton, 2006:192-193) membaca teks sastra itu sama halnya menangkap sebuah fragmen yang sepertinya berada di pinggir karya, berupa catatan kaki, istilah, dan citra minor. Teks-teks pinggiran pun seringkali justru memiliki makna lebih. Film-film hewan jelas teks yang aneh. Zooposthumanis sastra hendak mempelajari tindakan antropomorfisasi hewan yang menjadi citra manusia. Tindakan antropomorfisasi hewan sekedar didasarkan pada naluri (insting), sering muncul dalam kehidupan manusia. Manusia sering bertindak atas dasar insting, sebagai posthuman yang banyak memrugikan diri sendiri dan pihak lain.

Bentuk-bentuk tindakan hewan terhadap manusia, boleh dibaca juga dalam teks yang berbeda. Tindakan hewan oleh sastrawan boleh juga diekspresikan sebagai pancaran pemikiran. Itulah sebabnya, bukan tidak mungkin kalau hewan itu sifat kesetiaannya melebihi manusia. Dari perspektif zooposthumanisme sastra, kadang terlihat hewan dan manusia selalu berbanding terbalik. Tindakan yang aneh-aneh tersebut belum tentu berakar pada pikiran manusia, melainkan atas dasar insting hewan. Manusia selalu menganggap hewan itu sebagai medium ekspresi budaya atau simbolis dalam sastra. Dengan kata lain perspektif zooposthumanisme sastra akan mengungkap sastra hewan berupa: (1) tindakan manusia yang didasarkan pada insting atau perilaku hewan, yang terkategorikan di luar konteks beradab. (2) tindakan manusia yang semena-mena pada hewan, tanpa didasari humanisme, melainkan atas dasar insting hewan, (3) mengungkap tindakan hewan dalam teks sastra yang melebihi ukuran pikiran dan rasa manusia. zooposthumanisme sastra itu memandang keunikan hewan dan manusia dalam sebuah teks. Tentu saja, pemahaman zooposthumanisme sastra boleh bebas. Berikut sebuah puisi, yang oleh penulisnya juga diwujudkan dalam novel.

41

ANAK BAJANG MENGGIRING ANGIN Sindhunata Anak bajang menggiring angin naik kuda sapi liar ke padang bunga menggembalakan kerbau raksasa lidi jantan sebatang disapukan ke jagat raya dikurasnya samudera dengan tempurung bocor di tangannya di gelaran sayap garudayaksa naik anak bajang ke bukit hardacandra janur gebang berayun-ayunan anak bajang berarak-arakan dalam iring-iringan panjang para pencagakan dan kemamang di belakang riang memanjang barisan warudhoyong dan singabarong dhenokongkrong dan dhadhungwinong berkebit-kebit di ekor anak-anak carubawor paro petang bulan purnama lelap tertidur anak bajang dekat perapian kundakencana dibelai gading gajahmeta dan bisa permata nagaraja dengan tikar daun runya dari negeri atas angin berhembus nafas naga giyani dan mintuna meniupkan samirana dukula anak bajang terbang hingga ke puncak mandira menari-nari bersama kukila di bawah perempuan menangis melahirkan pedang dari luka-luka kedukaan sedih anak bajang bertanya bunda kenapa kaurobek kainmu dengan darah sedang hendak merayap aku di antara dua bukit-bukitmu?

42

gelap pun gulita dengan empat nafsu cahaya anak bajang menyalakan dian teja darpasura bumi bergoncang dahana menyala jaladri pecah prahara melimbah-limbah anak bajang dikejar dua manusia senjatanya pedang emas payung kencana menghadang di sana raksasa mulutnya berlumuran darah ikan berbisa anak bajang meronta-ronta menolak susu wanita yang menutup payung hitamnya gemuruh malam kumbang ular jantan di kiblatan dipeluk petang jalanan catur denda anak bajang lari menubruk sunya langit mendung hujan bintang matahari padam senyum bulan muram kusuma terbang merebut singgasana awan bidadari turun telanjang di madu-madu buah dadanya menyusu anak bajang sekeras duka-dukanya tangis dan sorak gambiralaya lahir di saptapratala dunia tua berusia bayi muda 1983 Puisi tersebut indah, melukiskan hewan pula, khususnya kuda dan lembu. Konteks

yang dibangun, seingat saya memang dunia wayang. Kata-kata yang muncul, seperti sedang melukiskan gunungan. Yang lebih penting, dari perspektif zooposthumanisme sastra dapat diketahui bahwa penyair sedang gerah menghadapi perubahan dunia. Dalam formulasi tersebut, pandangan zooposthumanis bekerja untuk tidak memprioritaskan konsepsi subjektivitas manusia secara eksklusif. Itulah sebabnya zooposthumanisme, secara historis, telah terjadi lebih banyak kesamaannya dengan sibernetika dan teori sistem, dengan menganggap bahwa fungsi otak manusia tidak seperti sistem umpan balik yang tertutup. Dengan demikian, sistem itu sendiri bisa menulis ulang sendiri berdasarkan informasi yang diterimanya dari lingkungannya.

Dalam konteks tersebut, menarik disimak gagasan dekonstruksionis Derrida (Ratelle, 2012:1) yang menyatakan bahwa hewan itu menatap kami, dan kami telanjang

43

di hadapannya. Berpikir mungkin dimulai di sana. Hewan itu ada karena aku. Pemikiran itu, menegaskan bahwa manusia tetap memiliki peran tertentu dibanding hewan. Hewan dianggap pasif, tergantung keinginan manusia untuk memperlakukan hewan. Keinginan manusia itu ada yang dilandasi insting. Atas dasar insting, dalam karya sastra, seringkali hewan dipandang lemah. Berikut ini puisi anak yang mencerminkan hewan cerdas.

Anjingku Chika Aku punya anjing kecil Kunamakan Dogi Bulunya lembut Berwarna putih coklat Berkaki empat dan berekor panjang Dogi lucu sekali Selalu minta dielus-elus Dogi selalu menggonggong Kalau aku pulang sekolah Teman-temanku juga sayang Dogi (Kompas Minggu, 31 Oktober 20040 Sekilas puisi itu seperti cerita biasa tentang anjing. Oleh karena penulisnya anak

TK tentu pemakaian diksi masih lugas. Yang menarik, puisi itu sempat melukiskan kecerdasan anjing, yang minta dielus-elus. Puisi itu juga mengungkapkan bagaimana kasih sayang manusia pada hewan. Itulah sebabnya dalam wawasan zooposthumanisme boleh memandang hewan memiliki kelebihan. Hewan pun dapat terpengaruh oleh lingkungan, sehingga otak manusia sering sulit membedakan yang dihadapi itu pikiran hewan atau kekuasaan lingkungan. Zooposthumanisme sastra berusaha merekonseptualisasikan otak manusia sebagai tipe biologis komputer, ketika membahas sastra hewan. Sastra hewan merupakan simbol yang perlu dipahami oleh orang lebih mirip dengan mesin cerdas. Di dalam sistem ini, bagaimana kerja otak diprioritaskan atas apa yang mungkin dipikirkannya. Bekerjanya otak posthumanis untuk melemahkan konsep subyek humanis liberal. Beberapa perkembangan dalam posthumanisme kontemporer telah membelok jauh dari sebelumnya, terfokus pada teknologi untuk meninjau kembali asumsi budaya yang mendasari hidup kita dalam hubungannya dengan hewan. Cary Wolfe (Ratelle, 2012:2) baru-baru ini bekerja untuk mengkritik humanisme liberal dan menemukan cara untuk mendorong analisis budaya di luar yang inheren dalam anthropocentrism. Untuk mencapai tujuan ini, Wolfe mengumpulkan tulisan hewan yang ditemukan di berbagai disiplin ilmu yang berbeda.

Menurut Wolfe, bagaimanapun, studi tentang humananimal sebenarnya dapat terus mempromosikan pandangan dunia yang tidak konsisten dengan tujuan yang lebih besar dari posthumanisme. Dia berpendapat, jika para sarjana belajar hewan bukan manusia dengan tujuan untuk mengungkapkan bagaimana mereka telah disalahpahami dan dieksploitasi, itu tidak berarti kita tidak terus menjadi humanis. Karena itu, pertanyaan Wolfe tentang penderitaan hewan yang dilecehkan atau ditindas sudah cukup untuk ditantang batas-batas konvensional antara manusia dan hewan. Berikut puisi tentng anjing bernama Helly, yang menunjukkan kelebihan hewan.

HELLY Penggubah:Nomo Koeswoyo

44

Aku punya anjing kecil Kuberi nama Helly Ia senang bermain-main Sambil berlari-lari Helly! Guk! Guk! Guk! Kemari! Guk! Guk! Guk! Ayo lari-lari... Helly! Guk! Guk! Guk! Kemari! Guk! Guk! Guk! Ayo lari-lari Helly itu nama anjing. Manusia sempat member nama anjing, seperti halnya

manusia. Yang unik, anjing pun dapat bermain. Anjing kemungkinan memiliki keinginan seperti manusia. Anjing memiliki otoritas yang mirip manusia. Asumsi otoritas manusia atas spesies lain kembali ke jaman dahulu, berdasarkan kurangnya alasan mereka. Namun, alasannya belum dapat dikonfigurasikan menjadi bukti dari subjektivitas khusus manusia. Pergeseran ini secara historis terletak pada konseptualisasi René Descartes tentang pemikiran dan ucapan manusia bertindak sebagai bukti nyata sebuah pemikiran (cogito). Baginya, pemikiran manusia membuktikan eksistensi manusia. Dengan demikian, cogito merupakan garis pemisah antara manusia dan hewan. Identitas manusia, kemudian, dapat didefinisikan ketika secara eksplisit diposisikan melawan tubuh hewan.

Sejak Descartes, filsafat Barat sebagian besar telah diinvestasikan dalam menegakkan batas ini. Jacques Derrida, bagaimanapun, baru-baru ini mempertanyakan tidak hanya relevansi pidato atau tindak tutur dalam membentuk divisi, tetapi juga apakah orang memiliki atau tidak hak untuk mendemarkasi dan menegakkannya. Derrida (Ratelle, 2012:3), pernah menanyakan apakah seseorang memiliki hak untuk menolak hewan tersebut dan kekuatan seperti ucapan, alasan, pengalaman kematian, berkabung, budaya, institusi, teknik, pakaian, kebohongan, kepura-puraan berpura-pura, menutupi jejak, hadiah, tawa, air mata, rasa hormat, dan sebagainya. Daftar itu tentu tanpa batas, dan paling banyak tradisi filosofis yang kuat di mana kita hidup telah menolak "hewan" daripada bertanya apakah panggilan manusia itu sendiri memiliki hak untuk itu. Meskipun Derrida akhirnya datang untuk memperkuat pembagian antara manusia dan hewan, namun ia meruntuhkan berabad-abad asumsi budaya tentang hewan.

Dalam posthumanisme, tantangan terhadap liberalisme manusia antroposentrik adalah bagaimana manusia disembunyikan melalui karya sastra yang ditujukan pembaca anak. Dengan memeriksa secara kultural karya budaya anak-anak yang signifikan dan sangat populer melalui posthumanist. Subjektivitas manusia secara eksklusif adalah terus-menerus membalas di teks-teks sastra yang seolah-olah berfungsi untuk mengatur identitas manusia. Sastra diarahkan menuju audiens anak yang mencerminkan ketegangan budaya antara manusia dan hewan itu. Konfigurasi masa kanak-kanak terpisah dari orang dewasa seperti perbedaan antara manusia dan hewan. Menurut Phillippe Ariès, masa kanak-kanak, seperti yang kita pahami sebelumnya tergantung pada lingkungan. Dengan kata lain, karya sastra hewan yang ditulis khusus untuk anak-anak menggunakan hewan perlu memanfatkan karakter anthropomorfisasi.

Ketergantungan pada hewan dalam sastra anak-anak selama dua abad terakhir menjadi sarana utama di mana proses pembudayaan yang dilalui oleh anak-anak telah terjadi mediasi oleh tubuh hewan. Nurgiyantoro (2005:190) menyatakan cerita hewan

45

memang cocok bagi anak. Hewan-hewan tersebut dapat berpikir dan berinteraksi layaknya komunitas manusia, juga dengan permasalahan hidup layaknya manusia. Dalam perspektif zooposhumanisme sastra, tentu lebih dari pandangan ini. Zooposthumanisme sastra memandang hewan justru serig melebihi pemikiran manusia. Oleh sebab itu, anak-anak sebagai pembaca seharusnya diminta secara implisit dan eksplisit untuk mengidentifikasi dengan hewan. Cara interaksi mereka dengan hewan digambarkan dalam sastra dan film. Mereka Bilang, Saya Monyet D. Posthumanisme Primatologi Sastra

Posthumnisme primatologi sastra adalah perspektif memahami teks-teks sastra tentang primat yaitu hewan kera, sebagai symbol pemikiran yang malampauihumanisme. Primatologi adalah cabang zoologi yang mempelajari kehidupan (biologi) primata selain manusia. Primatologi mempelajari kera, monyet, orang hutan, dan kerabatnya. Ilmu ini dianggap penting sekarang ini karena makin meningkatnya perhatian terhadap kelestarian hewan-hewan yang tergolong primate (Endraswara, 2019:146-147). Atas dasar ini, saya ciptakan istilah primatologi sastra. Primatologi sastra adalah perspektif pemahaman karya-karya sastra hewan yang mengekspresikan ihwal kera, monyet, orang hutan, dan kerabatnya.

Konon manusia berasal dari primat, berevolusi menjadi manusia. pergeseran evolutif sering melampaui kemampuan manusia. Plato (Azhar, 1999:66) menyatakan bahwa "semua yang ada itu mengalir" bagaikan air. Air itu menyejukkan. Air itu memiliki sifat mengalir. Begitu juga kultur manusia dan post-manusia atau posthuman, sering mengalir seperti air, sulit dibendung. Perjalanan pikiran manusia, sering melampui sifat-sifat dan eksistensi manusia. Dalam karyanya, Plato mampu meramu puisi, ilmu, seni dan filsafat menjadi suatu karya yang indah. Idea menurut Plato bersifat objektif-universal, tidak subyektif- parsial. Idea objektif berada di luar pikiran.

Wacana posthumanistik bertujuan untuk membuka ruang untuk mengkaji apa artinya menjadi manusia dan secara kritis mempertanyakan konsep "manusia" dalam konteks budaya dan sejarah saat ini. Posthumanisme teknologis, persepsi visual dan representasi digital dengan demikian secara paradoks menjadi semakin menonjol. Bahkan ketika seseorang berusaha untuk memperluas pengetahuan dengan mendekonstruksi batas-batas yang dipersepsikan, batas-batas yang sama inilah yang memungkinkan perolehan pengetahuan. Penggunaan teknologi dalam masyarakat kontemporer dianggap memperumit hubungan ini. Posthumanisme bercirikan hilangnya subjektivitas berdasarkan batas-batas tubuh, sementara sastra itu banyak menyuguhkan subjektivitas estetis. Untaian posthumanisme ini, termasuk perubahan gagasan subjektivitas dan gangguan gagasan tentang apa artinya menjadi manusia. Saat manusia gemar mempromosikan pandangan utopis inovasi teknologi untuk memperluas kapasitas biologis manusia, gagasan ini akan lebih tepat jatuh ke ranah transhumanisme.

Posthumanisme memiliki dua cabang utama: ontologis dan kritis. Posthumanisme ontologis identik dengan transhumanisme. Subjek ini dianggap sebagai "intensifikasi humanisme". Pemikiran transhumanis menunjukkan bahwa manusia belum menjadi manusia, tetapi peningkatan manusia, seringkali melalui kemajuan teknologi dan aplikasi, adalah perjalanan menjadi manusia pasca. Transhumanisme mempertahankan fokus humanisme pada homo sapien sebagai pusat dunia, tetapi juga menganggap teknologi sebagai bantuan integral untuk kemajuan manusia. Namun, posthumanisme kritis menentang pandangan ini. Posthumanisme

46

kritis "menolak pengecualian manusia (gagasan bahwa manusia adalah makhluk unik) dan instrumentalisme manusia (bahwa manusia memiliki hak untuk mengontrol alam.

Posthumanisme adalah suatu perubahan cara pandang dari “manusia adalah pusat” menjadi “setara” dengan makhluk yang lain. Maka terdapat penghapusan derajat makhluk karena tidak ada lagi hierarki dalam ekosistem. Kondisi posthumanisme juga berbicara tentang evolusi kehidupan, tentang bagaimana kita hidup, bagaimana kita mengatur eksploitasi kita atas lingkungan, hewan dan lainnya. Sastrawan memang seringkali melukiskan kehidupan melalui monyet atau kera. Ada kepuasan tersendiri bagi sastrawan, bila dapat mengekspresikan diri engan metafora monyet. Tugas peneliti primatologi sastra, adalah menginterpretasikan teks secara jernih. Yang saya maksud jernih, adalah menggunakan konsep yang jelas. Interpretasi teks sastra menurut Heidegger, Gadamer, dan Ricoeur (Said, 2013:2) harus dilakukan tidak hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu “menembus kedalaman makna” yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, interpreter (si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam.

Perspektif primatologi sastra tentu memiliki konteks budaya yang khas. Pengarang biasanya amat halus melukiskan golongan primat sebagai corong gagasannya. Perspektif ini, akan menginterpretasikan bahwa monyet tergolong makhluk primat, yang mirip dengan manusia. Dalam karyanya berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet, buku pertama Djenar Maesa Ayu ternyata langsung merebut perhatian pembaca sejak pertama kali diterbitkan. Tema yang berani dan cara bercerita yang lugas serta eksploratif membuat karya ini menuai banyak pujian ketika awal diluncurkan. Dalam perjalanannya buku ini telah dicetak berulang kali. Cerita yang dibukukan itu, ternyata sudah difilmkan, sehingga semakin tenar. Sastrawan engan gigih mengungkap ihwal keterkaitan manusia engan primat (monyet).

Saya pun tidak menolak, bila ada pernyataan estetis yang menyamakan dalam beberapa hal antara kera dengan manusia. Dua dari cerpen dalam buku ini pun menjadi inspirasi bagi Djenar untuk film Mereka Bilang, Saya Monyet! yang disutradarainya sendiri. Film ini berhasil meraih perhatian media massa, bahkan menyabet beberapa penghargaan pada festival bergengsi di dunia, seperti Indonesian Movie Award 2008 (Winner for the Best Actress, Winner of The Best New Comer Actress, Nominated as The Most Favorite Movie), Singapore International Film Festival 2008 (Nominated as The Best Asian Feature Film, Silver Screen Award), Osian’s Cinefan International Film Festival (Nominated as The Best First Feature Film), dan Hongkong International Film Festival 2008 (Official Selection). Djenar pun mendapat Piala Citra dari kategori Skenario Adaptasi Terbaik dan sebagai Sutradara Baru Terbaik pada Festival Film Indonesia 2009.

Tentu bukan suatu kebetulan, kalau garapan ihwal monyet dalam cerpen dan film mendapat pujian. Keunggulan karya sastra itu, tentu perlu dipahami lebih dalam, melalui primatologi sastra. Perlu diketahui, saya menduga bahwa sifat-sifat serakah monyet itu kadang mirip manusia. Hewan primat yang apabila menelan makanan lebih ari satu aktivitas, yaitu (1) mengambil makanan, (2) mengupas makanan, dan (3) menelan makanan diduga bersifat serakah. Melalui primatologi sastra, peneliti akan mempelajari kehidupan kera dan kerabatnya yang mirip dengan manusia. Pengarang sering terpengaruh oleh teori Darwin,bahwa secara evolusi manusia konon berasal dari bangsa kera. Realitas historis dan biologis ini yang memantik pengrang untuk membandingkan antara primat dan manusia. Dalam sastra hewan, tidak sedikit yang menceritakan watak-watak primat yang mirip manusia. Oleh sebab itu, penelitian di bidang perilaku hewan juga banyak mengambil objek primata dalam kaitan dengan memahami proses belajar. Primatologi sastra mempelajari sastra hewan sebagai upaya konservasi kehutanan.

47

Sebaliknya, sastrawan juga dapat memanfaatkan primatologi, untuk menggali lebih dalam tentang tingkah laku hewan primat. Berikut gambaran puisi tentang kera yang dilukiskan secara estetis.

ANOMAN OBONG oleh Waljinah Ceritane wayang jawi Ing praja Ngalengkadiraja Rahwanaraja arane Gawe geger nyolong shinta Anoman cancut tumandang Ngalengka wis dadi awu Kobong gedhe jeroning praja Ceritane wayang Ramayana Ing negara Ngalengkdiraja Ratu buta Rahwana raja Gawe geger nyolong dewi Shinta Anoman si kethek putih Mlebu taman, shinto dijak mulih Konangan indrajit lan patih Ning anoman ora wedi getih Eh lhadalah Ngalengka diobong Togog bilung wa a o Padha pating domblong Omah gedhe kabeh dadi areng Dasamuka mati gereng-gereng Iyo wae yaeya, iyo wae yaeIyo wae yae yaiyo yaeIyo wae yaeya iyo wae yaeIyo wae yae yaiyo yae Puisi tersebut melukiskan dunia wayang, khususnya melukiskan tokoh Anoman.

Membaca puisi itu hati kita akan tersentuh, untuk mengoreksi diri kita. Kita sebagai manusia, dimungkinkan ada kesamaan dengan kera. Kesanggupan tokoh kera sbagai senapati, untuk menguji kesetiaan raja, muncul dalam puisi tersebut. Penyair mencoba mengidentifikasi berbagai hal yang ada dalam diri kera, ternyata ada dalam diri manusia, yaitu: (1) kera juga memiliki perasaan, (2) kera memiliki pemikiran tentang wanita, (3) kera memiliki dorongan seks dan pencapaian orgasme melebihi manusia, (4) kera pun juga mencintai manusia. Beragam tafsir, dari perspektif primatologi sastra dapat dihadirkan. Tegasnya, puisi tentang kera itu dapat menjadi bahan perenungan diri. Siapa tahu budaya kera yang mirip manusia. Kera itu siapa tahu juga memiliki imajinasi.

Aristoteles (Johnson, 2009:12) menjelaskan, bahwa ada dua macam imajinatif dalam sastra hewan, yaitu: (1) imajinasi sensitive dan (2) imajinasi deliberative. Imajinasi sensitif, seperti yang telah dikatakan, ditemukan pada semua hewan. Imajinasi deliberatif hanya pada mereka yang secara kalkulatif memiliki standar tertentu. Aristoteles mengakui bahwa hewan tertentu mungkin memiliki kapasitas untuk berpikir dan berimajinasi. Namun tanpa kekuatan kalkulatif untuk menyatukan pikiran dan gambar antara hewan dengan manusia tentu berbeda. Cerpen berjudul Kisah Kera pada Minggu Pagi karya Jemmy Piran berikut menjadi bukti untuk direnungkan.

48

Ini hanya soal membidik denan tepat, menarik panah hingga batas terakhir lalu melepaskan tali busur, begitu pikirannya. Apa lagi ini hanya kera. Jika ia berada di dahan yang rendah akan ia gunakan panah agar kera-kera itu tahu rasa. (Haluan, 4 Maret 2018) Dari cerpen itu, jelas bahwa kera sebagai hewan memiliki perwatakan yang

dianggap tak bijaksana. Kera-kera itu menjengkelkan seorang manusia, gara-gara sering mencuri jagung. Sastrawan berusaha menyemaikan nilai-nilai edukasi melalui kera. Cerpen itu juga memuat kejengkelan manusia pada kera. Kera memiliki perilaku mencuri. Maka manusia berusaha ingin menghabisi kera-kra menurut caranya dengan cara memanah. Itulah sebabnya, dari perspektif primatologi sastra dapat dinyatakan beberapa hal: (1) ternyata hewan primat (kera) mampu mencapai kejayaan (greatness) hidup pada suatu waktu, dapat mengalahkan perilaku manusia, (2) Sementara adanya anggapan bahwa hewan kera itu memiliki jiwa dalam bahasa, memang sulit terelakkan. Jiwa-jiwa hewan memang lebih rendah karena mereka tidak mencapai kesatuan. Kera seolah-olah menjadi musuh manusia.

Pada akhirnya, penentuan batas manusia dan hewan oleh Aristoteles (Johnson, 2009:13) kembali ke bagian dan keutuhan di mana kapasitas keberadaan sebagai bagian dari keinginan. Keinginan itu adalah satu keadaan terpadu yang hanya bisa berhubungan dengan manusia. Pergeseran mendasar dalam berpikir tentang hewan, jauh dari rasa kekeluargaan. Teori hierarkis Aristoteles tetap ada hingga Abad Pertengahan, ketika yang dominan agama Kristen. Alkitab banyak memperkuat pandangan Aristoteles tentang hewan dengan menegaskan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambarnya sendiri. Kita bebas untuk menggunakannya sumber daya alam, termasuk hewan, untuk tujuan kita sendiri. Di sisi lain dengan menyatakan bahwa semua manusia dibuat menurut gambar Allah. Alkitab melegitimasi pandangan egaliter mentang kemanusiaan yang menentang aristokratis kecenderungan pemikiran Yunani, termasuk Aristoteles. Akibat dari gagasan seorang cerpenis sudah berhasil memandang kera, sangat dekat dengan manusia. Aris Kurniawan dalam cerpennya berjudul Mata Monyet (Media Indonesia, 19 Oktober 2014), mengekspresikan hal-hal penting keterkaitan monyet dan manusia, sebagai berikut.

“Itulah yang selalu ia tanamkan pada Punang. Ketika anak semata wayangnya itu bilang bahwa monyet-monyet di taman wisata Pelangon ialah jelmaan manusia yang suka berkhianat, Liman dengan berbagai cara menjelaskan itu dongeng belaka. Tak boleh dipercaya.” Jika kutipan ini ditinjau dari perspektif primatologi sastra, memang ada perbedaan dan kesamaan antara monyet dan manusia. Dalam hal berkhianat, manusia tampaknya dianggap jagoan. Melalui realitas semacam ini, biasanya memancing cerpenis untuk berusaha mengoreksi tindakan manusia yang seharusnya lebih baik dibanding monyet. Kera memang memiliki keunikan yang sering tidak jauh berbeda dengan manusia. Dalam cerpen Jemmy Piran berjudul Kisah Kera Pada Minggu Pagi (Haluan, 04 Maret 2018), kera dianggap musuh bagi manusia. Kera diburu dan ditembaki, dianggap perusak tanaman jagung. Yang menarik, dalam cerpen itu, cerpenis melukiskan percakapan imajiner kera dengan kera lain terhadap kejahatan manusia yang sering berburu.

Dari berbagai pembahasan karya sastra tentang kera atau primat tersebut, dalam perspektif primatologi sastra memang memiliki kekhasan. Pemahaman primatologi sastra, terhadap sastra primat dapat menggali makna, antara lain: (1) seberapa jauh sifat-sifat kera yang mirip dengan perilaku manusia, (2) seberapa jauh perkembangan pikiran, keinginan, dan perasaan kera atau primat seirama dengan aktivitas manusia, (3)

49

bagaimana pern hewat primat dalam kehidupan manusia dan sebaliknya, (4) mengapa manusia ingin mengeksploitasi hewan primat, memusuhi primat, dan menganggap sebagai lawan dalam rantai kehidupan, (5) seberapa mungkin keterkaitan hewan primat dalam sastra mampu menjaga keseimbangan hidup dengan manusia.

Pendek kata, dalam realitas sastra primat, sepertinya manusia selalu dominan. Manusia adalah makhluk-makhluk yang menempati pusat alam semesta, sehingga bebas melakukan apa saja terhadap primat. Hewan monyet, orang hutan, dan sebangsa primat lain dianggap sebagai prioritas kesenangan manusia. Itulah sebabnya, memang masih ada gagasan seperti Descartes (Johnson, 2009:14) bahwa cogito manusia adalah cerminan dari Tuhan yang tidak terlihat dalam bentuk kehidupan. Menurut Descartes, manusia tidak mungkin membentuk gagasan tentang Tuhan tanpa ada awalnya diciptakan oleh Tuhan. Karena itu Descartes memandang kesadaran sebagai tingkat yang paling sempurna dari keberadaan dan manusia. Kesadaran itu, hampir tidak seluruhnya ada pada dunia primat. Ralitas semacam ini ditangkap oleh pengarang sebagai kelebihan manusia disbanding primat. Bahkan sampai ada asumsi Descartes gagasan negatif mempengaruhi persepsi manusia tentang hewan primat di Indonesia. Dari segi kemampuan mereka untuk merasakan, pada saat yang sama, pandangan ekstrim ini menyebabkan tanggapan dari suara-suara perbedaan pendapat tentang etika terhadap hewan. DAFTAR PUSTAKA Azhar, Muhammad. 1999. Filsafat Plato: Tentang ldea, Hermeneutika dan Internet. Jumal

lDlA, Edisi 5, Tahun l4l911999. Barcz, Anna. 2015. Posthumanism and Its Animal Voices in Literature. English: Teksty

Drugie. Barker, Chris. 2000. Kultural Studies; Teori dan Praktik. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Coetzee, J.M. 1999a The Lives of the Animals, Princeton, University Press, Princeton. DeMello, M. 2012. Animals and Society: An Introduction to Human-Animal Studies,

Columbia University Press, New York. Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra; Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta:

Jalasutra. Emka, Heru. 2017. Post-Human dan Tubuh yang Rawan. http://sastra-indonesia.com/ Endraswara, Suwardi. 1992. Bayi Saka Planet. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Utama. __________________. 1993. Niskla; Antologi Cerkak Eksperimen. Yogyakarta: S:ewon Press. __________________. 2017. Apa dan Bagaimana Sastra Humanitas dalam Endaswara (Ed.)

Sastra Humanitas; Konsep dan Praktik Pemaknaan. Yogyakarta: Morfolingua. __________________. 2019. Metodologi Penelitian Zoologi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu. Inderasari, Elen. 2020. Balada Kencing Coro dalam Antologi Puisi Corona. Surakarta:

IAIN. Johnson, Jamie. 2009. The Philosophy of the Animal in 20th Century Literature. Amerika:

Florida Atlantic University. Mahaswa, Rangga Kala. 2016. Tentang Homo Technologicus.Yogyakarta: Lingkar Studi

Filsafat. McDonell, Jennifer. 2013. Literary Studies, the Animal Turn, and the Academy. Sosial

Alternatives Vol. 32 No 4, 2013. Australia: The University of Queenland. Nugroho, Wahyu Budi. 2014. Menuju Era Posthuman.

http://kolomsosiologi.blogspot.com/ Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak; Pengantar Pemahaman Dunia Anak.

Yogyakarta: Gama Press.

50

Ratelle, Amy. 2012. The Anthropomorphized Animal In Children’s Culture. Canada: Presented to Ryerson University and York University.

Said, Hasani Ahmad. 2013. “Hermeneutik dalam Kajian Sastra” Jakarta; Makalah Disampaikan kepada Program Pascasarjana FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Saryono, Djoko. 2019. Indonesia Di Tengah Tantangan Pascahumanisme: Merumuskan Model Humanisme Baru. Prosiding Seminar Nasional HISKI-MLI 2019 Indonesia Di Tengah Pascahumanisme: Merumuskan Model Humanisme Baru Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Senin 30 September 2019. Yogyakarta: HISKI Komisariat USD Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma.

Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya. Wellek & Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: PT

Gramedia. Wiyatmi, Maman Suryaman, dan Esti Swastikasari. 2017. Ekofeminisme: Kritik Sastra

Berwawasan Ekologis dan Feminisme. Yogyakarta: Cantrik Pustaka.