KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran...

152
KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM RANGKA PERCEPATAN SWASEMBADA PANGAN PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN KEMENTERIAN PERDAGANGAN 2013

Transcript of KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran...

Page 2: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan i

RINGKASAN EKSEKUTIF

Swasembada pangan merupakan salah satu dari empat target utama

pembangunan pertanian ke depan (2010-2014). Program swasembada pangan

ini mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa

karena pengalaman telah membuktikan bahwa gangguan pada ketahanan

pangan seperti terjadinya krisis beras pada tahun 2008 yang ditandai oleh

gejolak harga beras, telah memberikan pelajaran bahwa melindungi pasar dalam

negeri dengan swasembada pangan yang efisien merupakan hal yang sangat

diperlukan.

Indonesia saat ini masih sulit mencapai target swasembada pangan 2014

karena produksi dan produktivitas tanaman pangan terus menurun. Bahkan hasil evaluasi Indeks Ketahanan Pangan Global yang dilakukan oleh Economist

Intelligence Unit pada tahun 2012 menempatkan Indonesia di posisi ke 5 dari 7

negara ASEAN. Posisi ketahanan pangan Indonesia tersebut berada di bawah

Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Hal tersebut menunjukan bahwa

dengan demikian, peran diversifikasi konsumsi pangan menjadi penting sebagai

salah satu instrumen kebijakan untuk mengurangi ketergantungan konsumsi

pada beras sehingga mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional dan

dapat dijadikan sebagai instrumen peningkatan produktifitas kerja melalui

perbaikan gizi masyarakat.

Analisis terhadap perkembangan pola diversifikasi dan tingkat konsumsi

pangan pokok di Indonesia menjadi sangat penting untuk dilakukan. Demikian

pula analisis kebijakan pangan pokok di Indonesia pada saat ini dan waktu

mendatang dalam perspektif percepatan pencapaian swasembada pangan pokok

juga sangat perlu dilakukan melalui serangkaian analisis, yang mencakup: (1)

Dinamika permintaan, penawaran dan kebijakan perdagangan tentang komoditas

pangan pokok di Indonesia dibandingkan dengan di negara-negara lain di

kawasan ASEAN; (2) Proyeksi perkembangan permintaan dan penawaran

pangan pokok dalam jangka pendek, menengah dan panjang; dan (3) Alternatif

kebijakan perdagangan yang diperlukan untuk mendorong diversifikasi konsumsi

pangan masyarakat dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada

pangan pokok.

Page 3: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan ii

Tujuan dari kajian ini adalah menganalisis dinamika pola diversifikasi dan

tingkat konsumsi komoditas pangan pokok di Indonesia. Menganalisis

perkembangan permintaan dan penawaran komoditas pangan pokok di

Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Merumuskan opsi-opsi

kebijakan perdagangan untuk mendorong diversifikasi konsumsi komoditas

pangan masyarakat dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada

pangan pokok.

Berdasarkan hasil analisis dan FGD dapat disimpulkan beberapa hal yaitu

1) Pangsa pengeluaran pangan masyarakat Indonesia meningkat dari 52,42

persen pada tahun 2002 menjadi 54,69 persen pada 2011 atau meningkat

sebesar 4,15 persen selama periode 2002-2011. Pola konsumsi masyarakat

masih didominasi oleh padi-padian dan makanan-jadi sehingga kualitas

konsumsi pangan masyarakat dinilai masih rendah, dimana konsumsi karbohidrat

masih tinggi, sedangkan konsumsi protein, kacang-kacangan, dan umbi-umbian

rendah. Padahal, potensi keanekaragaman pangan Indonesia sebenarnya

tergolong besar karena negeri ini kaya akan jenis pangan nabati dan hewani. 2)

Konsumsi energi masyarakat selalu berada di bawah 2.200 kkal selama periode

2002-2011 sehingga tidak sesuai dengan pola pangan yang ditetapkan dalam

Pola Pangan Harapan (PPH). Untuk menuju PPH, konsumsi beras harus

dikurangi, sebaliknya konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, sayur dan buah

perlu ditingkatkan secara signifikan. 3) Dilihat dari segi ketersedian energi

pangan, di Indonesia terjadi kesinambungan surplus energi pangan sejak 2005.

Namun terdapat masalah pada keseimbangannya, yang diindikasikan oleh

persentase ketersedian energi dari: (a) Padi-padian terlalu tinggi, (b) Pangan

Hewani terlalu rendah, (c) Umbi-umbian terlalu tinggi, dan (d) Kacang-kacangan

terlalu rendah. Apabila ketersedian energi dibandingkan dengan konsumsi energi

maka kelebihan energi tertinggi diperoleh dari Padi-padian (992 kkal), yang

kemudian diikuti dari Umbi-umbian (56 kkal) dan Pangan Hewani (165 kkal). 4)

Upaya membangun diversifikasi konsumsi pangan telah dilaksanakan sejak

tahun 60-an. Namun dalam perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan

lebih ditekankan pada usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, karena

diversifikasi konsumsi pangan hanya diartikan pada penganekaragaman pangan

pokok. Program diversifikasi konsumsi pangan juga dilakukan secara parsial,

baik dalam konsep, target, wilayah maupun sasaran, dan tidak dalam kerangka

diversifikasi secara utuh.

Page 4: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan iii

Berdasarkan hasil analisis terhadap Perkembangan Permintaan dan

Penawaran diperoleh gambaran bahwa: 1) Permintaan lima komoditas pangan

yang dianalisis, yaitu beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi mengalami

pertumbuhan yang cepat selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2008-2012), yaitu

masing-masing 4,14 persen, 6,16 persen, 7,58 persen, 8,24 persen dan 8,11

persen per tahun. Laju pertumbuhan permintaan tersebut jauh melebihi laju

pertumbuhan jumlah penduduk yang hanya 2,01 persen per tahun. Hal ini

mengindikasikan pertumbuhan yang cepat pada industri pengolahan makanan

dan minuman; 2) Selama kurun waktu 2008-2012, produksi lima komoditas

pangan yang dianalisis mengalami pertumbuhan yang bervariasi dari negatif

yaitu gula (-1,73 persen/tahun), sangat lambat yaitu kedelai (0,75 persen/tahun),

lambat yaitu jagung (3,21 persen/tahun) dan beras (2,85 persen/tahun), dan

sangat cepat yaitu daging sapi (19,50 persen/tahun). Khusus daging sapi, perlu

dicatat bahwa laju pertumbuhan produksi yang sangat cepat tersebut bukan

berasal dari ternak sapi lokal saja tetapi juga termasuk sapi bakalan dari

Australia yang diimpor, digemukkan dan dipotong di Indonesia; 3) Selama kurun

waktu yang sama (2008-2012), secara konsisten terjadi defisit produksi dan

cenderung meningkat cepat. Laju peningkatan defisit rata-rata per tahun sangat

cepat pada beras dan jagung, yaitu masing-masing 62,06 persen dan 69,68

persen, sedangkan deficit gula, daging sapi dan kedelai masing-masing sebesar

24,38 persen, 18,73 persen dan 11,23 persen; 4) Hasil estimasi elastisitas

menunjukkan penurunan sensitivitas dari konsumsi pangan langsung terhadap

perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan

gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis). Elastisitas

pengeluaran pada 2011 menunjukkan bahwa kelima komoditas yang dikaji

tergolong barang normal. Dengan demikian, permintaan akan terus meningkat

jika pendapatan masyarakat meningkat; 5) Luas panen padi, jagung, kedelai dan

tebu/gula dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh harga output sendiri di

tingkat produsen dengan elastisitas paling rendah pada padi (0,477) dan paling

tinggi pada tebu/gula (0,901). Harga komoditas pesaing yang berpengaruh hanya

harga jagung terhadap luas panen kedelai dengan elastisitas -0.648, namun luas

panen jagung tidak dipengaruhi oleh harga kedelai. Dengan perkataan lain,

perluasan areal panen jagung dapat menurunkan luas areal panen kedelai, tetapi

tidak terjadi yang sebaliknya; 6) Hasil analisis respon produktivitas menunjukkan

bahwa harga output sendiri berpengaruh positif pada produktivitas padi, jagung,

Page 5: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan iv

kedelai dan tebu/gula dengan elastisitas yang bervariasi dari paling rendah yaitu

0,103 pada jagung dan 0,403 pada tebu/gula. Variabel Trend sebagai proksi

teknologi berpengaruh positif pada produktivitas padi, jagung, kedelai dan gula.

Untuk produksi daging sapi, harga produsen berpengaruh positif dengan

elastisitas 0,381. Produksi daging sapi juga dipengaruhi secara positif oleh

teknologi dengan elastisitas 0,019; 7) Elastisitas transmisi harga impor ke harga

konsumen berkisar dari yang paling rendah sebesar 0,663 (gula) hingga yang

tertinggi sebesar 0,974 (jagung). Elastisitas transmisi TBM ke harga konsumen

bervariasi dari yang paling rendah sebesar 0,175 (beras) sampai dengan yang

tertinggi yaitu 0,320 (gula). Harga produsen dipengaruhi secara positif oleh harga

konsumen dengan elastistas yang bervariasi dari yang paling rendah sebesar

0,884 (gula) hingga yang tertinggi sebesar 0,966 (kedelai). Khusus untuk gabah

dan gula, harga produsen juga dipengaruhi oleh HPP dengan elastisitas masing-

masing 0,080 dan 0,144.

Berdasarkan Proyeksi Permintaan dan Penawaran 2013-2050 dapat

disimpulkan bahwa untuk Beras: pada tahun 2014 masih akan mengalami defisit

produksi 71.818-78.639 ton. Surplus produksi diproyeksikan akan mulai diraih

pada tahun 2015 yang mencapai 693-1.113 ribu ton. Surplus tersebut akan terus

meningkat sampai dengan tahun 2050 yang mencapai 28.962-35.933 ribu ton.

Skenario III (optimis) menghasilkan surplus beras paling besar, sedangkan

Skenario I (pesimis) paling kecil. Jagung: defisit produksi akan terus menurun

sampai dengan tahun 2025 dan mencapai surplus 39.946 ton pada tahun 2026

dengan Skenario I (pesimis) pada tahun 2023 surplus 3.885 ton dengan Skenario

II (sedang) dan pada tahun 2020 surplus 33.579 ton dengan Skenario III

(optimis). Dengan Skenario III (optimis), swasembada jagung dapat dicapai

paling cepat. Surplus terus meningkat sampai dengan 2050 yang mencapai

12.618-15.064 ribu ton. Kedelai: defisit produksi diproyeksikan akan terus

meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit produksi kedelai akan

mencapai 2.053-2.078 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan naik menjadi 4.921-

5.051 ribu ton. Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit paling besar, sementara

Skenario III (optimis) paling kecil. Gula: defisit produksi diproyeksikan akan terus

meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit produksi gula akan mencapai

2.197-2.198 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan meningkat cepat menjadi 8.068-

9.363 ribu ton. Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit paling besar, sementara

Skenario III (optimis) paling kecil. Daging sapi lokal: defisit produksi

Page 6: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan v

diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit

produksi daging sapi akan mencapai 101.242-109.986 ton, dan pada tahun 2050

akan meningkat sangat cepat menjadi 2.589-2.650 ribu ton. Kebalikan dari empat

komoditas sebelumnya, pada daging sapi Skenario I (pesimis) menghasilkan

defisit paling kecil, sementara Skenario III (optimis) paling besar.

Berdasarkan hasil analisis terhadap pola konsumsi, analisis trend dan hasil

proyeksi, maka langkah-langkah kebijakan yang dapat diambil adalah 1)

Pengembangan produk (product development) yang diperankan oleh industri

pengolahan makanan untuk meningkatkan cita-rasa dan citra-produk pangan

khas nusantara; 2) Kampanye nasional diversifikasi konsumsi pangan berbasis

sumberdaya pangan lokal bagi aparat pemerintahan di tingkat pusat dan daerah,

individu, kelompok masyarakat dan industri; 3) Pendidikan diversifikasi konsumsi

pangan secara sistematis, terutama mengenai pola pangan beragam, bergizi,

dan berimbang, yang dilakukan sejak dini (perlu dimasukkan ke dalam kurikulum

di SD, SLTP dan SLTA); 4) Peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak

memproduksi, menyediakan, memperdagangkan, dan/atau mengkonsumsi

pangan yang tidak aman (mengandung zat adiktif, terkontaminasi mikroba, kotor,

dan lain-lain); 5) Program penganekargaman pangan nasional dan daerah perlu

diselaraskan, khususnya dalam pengembangan pertanian, perikanan dan industri

pengolahan pangan guna mendorong produksi, distribusi, dan konsumsi sumber

pangan non-beras, namun tidak menggantungkan pada barang pangan impor; 6)

Fasilitas pengembangan bisnis pangan melalui fasilitasi pengembangan aneka

pangan segar, industri pangan olahan dan pangan siap saji berbasis sumber

daya lokal. Untuk itu, perlu program yang jelas dan terkoordinasi untuk

memproduksi pangan lokal secara memadai.

Sedangkan untuk Kebijakan Perdagangan Luar Negerinya yang feasible

untuk dilakukan adalah Kebijakan perdagangan dalam bentuk TBM (Tarif Bea

Masuk), baik tarif spesifik untuk beras dan gula, maupun tarif ad-valorem untuk

jagung, kedelai dan daging sapi, sebagai salah satu bentuk perlindungan

kuantitatif bagi pertanian kelima komoditas pangan strstegis tersrbut di Indonesia

masih tetap diperlukan. Sehubungan dengan itu, Indonesia berkewajiban untuk

menotifikasi atau merenegosiasi TBM-nya dengan anggota ASEAN dan

ASEAN+mitra, sebagaimana Indonesia juga harus menotifikasikan TBM-nya ke

negara-negara anggota WTO melalui Sekretariat WTO. Tujuan kebijakan

Page 7: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan vi

perdagangan dalam bentuk TBM tersebut adalah untuk menghambat laju

pertumbuhan konsumsi per kapita bagi komoditas-komoditas yang konsumsi per

kapitanya dinilai sudah berlebihan, sekaligus mendorong pertumbuhan produksi

beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi, sehingga swasembada dapat lebih

cepat tercapai.

Kebijakan lain yang tidak kalah pentingnya adalah Kebijakan Pertanian dan

Prasarana Umum melalui: 1) Pengembangan inovasi teknologi secara terus-

menerus sesuai dengan kondisi alam perdesaan, sosial-budaya dan ekonomi

petani, yang disertai dengan sistem penyuluhan yang efektif untuk diseminasi

teknologi tersebut kepada petani produsen, sehingga produktivitas dan efisiensi

proses produksi makin tinggi; 2) Percepatan peningkatan Harga Pembelian

Pemerintah (HPP) untuk beras dan Harga Patokan (HP) untuk gula untuk

mendorong penerapan teknologi produksi yang lebih baik sekaligus mendorong

perluasan areal tanam; 3) Perlambatan kenaikan harga subsidi input, yaitu benih

unggul baru, pupuk organik dan pupuk anorganik (Urea, ZA, SP36, NPK) untuk

mendorong penerapan teknologi produksi yang lebih baik; 4) Pembangunan dan

perbaikan prasarana pertanian, utamanya jaringan irigasi, jalan pertanian,

jembatan dan pelabuhan laut. Jaringan irigasi diperlukan untuk memenuhi

kebutuhan pengairan sehingga Indeks Pertanamaan (IP) dan produktivitas dapat

ditingkatkan; 5) Pencetakan sawah untuk padi, dan pengadaan lahan untuk

kedelai dan tebu/ gula harus lebih besar dibanding konversinya. Pemerintah

Daerah harus mematuhi berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan

kelestarian lahan pangan dan alih fungsi lahan pertanian, dan tidak sekadar

mengejar PAD melalui pembangunan kaawsan industri yang dapat mengancam

produksi pangan pokok, utamanya beras; 6) Pengendalian/pencegahan

pemotongan ternak sapi potong betina produktif untuk mencegah terjadinya

pengurasan populasi ternak sapi potong melalui pengawasan pemotongan di

Rumah Pemotongan Hewan (RPH) milik pemerintah, swasta dan pribadi. Untuk

itu perlu diterbitkan Perda (Peraturan Daerah) tentang pelarangan pemotongan

sapi betina produktif. Pemotongan harus mendapatkan izin Dinas Peternakan

dan para pelaku yang melanggar harus dikenakan sanksi hukum sesuai dengan

Perda terkait; 7) Jalan pertanian diperlukan untuk memperlancar angkutan hasil

pertanian dari lahan/kebun ke jalan desa/jalan raya, sementara jalan raya,

jembatan dan pelabuhan laut diperlukan untuk memperlancar proses distribusi

pangan dalam daerah dan antar daerah (aspek konektivitas).

Page 8: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan vii

Untuk kebijakan Kebijakan Demografi yang perlu dilakukan adalah

Perlambatan laju pertumbuhan penduduk melalui penggalakan kembali program

Keluarga Berencana (KB) dengan moto “Dua Anak Cukup” dan “Keluarga Kecil

Sejahtera” untuk memperlambat laju pertumbuhan jumlah penduduk. Salah satu

dampak positif dari perlambatan laju pertumbuhan jumlah penduduk adalah

memperlambat laju kenaikan konsumsi pangan. Peran lembaga-lembaga yang

terkait erat dengan masalah kependudukan (PKK, Posyandu, dan lain-lain),

lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan perlu mengajarkan dan

menanamkan pengertian tentang pentingnya melakukan KB.

Page 9: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan viii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas rahmat dan hidayah-Nya, laporan tentang : Kajian Peran Kebijakan

Perdagangan Dalam Rangka Pencapaian Swasembada Pangan ini dapat

diselesaikan sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan. Kajian ini bertujuan

untuk menganalisis dinamika pola diversifikasi dan tingkat konsumsi komoditas

pangan pokok di Indonesia. Menganalisis perkembangan permintaan dan

penawaran komoditas pangan pokok di Indonesia dalam jangka pendek,

menengah dan panjang. Merumuskan opsi-opsi kebijakan perdagangan untuk

mendorong diversifikasi konsumsi komoditas pangan masyarakat dalam

mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan pokok.

Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan Data dan informasi

tentang dinamika pola diversifikasi dan tingkat konsumsi komoditas pangan

pokok di Indonesia. Perkembangan permintaan dan penawaran komoditas

pangan pokok di Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang serta

Informasi tentang rumusan opsi-opsi kebijakan perdagangan untuk mendorong

diversifikasi konsumsi komoditas pangan masyarakat dalam mendukung

percepatan pencapaian swasembada pangan pokok.

Akhir kata, semoga hasil kajian ini menjadi langkah awal bagi proses

penyusunan rencana dan tindak lanjut kebijakan perdagangan untuk mendukung

pencapaian swasembada pangan yang komprehensif dan berguna bagi

pembangunan perekonomian daerah dan nasional.

Jakarta, Nopember 2013

Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri

Page 10: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan ix

DAFTAR ISI

RINGKASAN EKSEKUTIF .............................................................................

KATA PENGANTAR .......................................................................................

DAFTAR ISI ....................................................................................................

DAFTAR TABEL .............................................................................................

DAFTAR GAMBAR .........................................................................................

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................

Hal

i

viii

ix

xi

xiii

xiv

BAB I

BAB II

BAB III

BAB IV

PENDAHULUAN ..........................................................................

1.1. Latar Belakang ......................................................................

1.2. Tujuan ...................................................................................

1.3. Keluaran Yang Diharapkan ...................................................

1.4. Dampak Kajian ......................................................................

1.5. Ruang Lingkup ......................................................................

1.6. Sistimatika Laporan ...............................................................

TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................

2.1. Konsep Diversifikasi dan Pola Konsumsi Pangan .................

2.2. Hukum Permintaan dan Penawaran ......................................

2.3. Konsep Kebijakan Perdagangan – Tarif Bea Masuk .............

2.4. Konsep Ketergantungan Impor ..............................................

2.5. Metode Analisis Penawaran dan Permintaan Pangan ..........

2.6. Pengalaman Kebijakan Perdagangan dan Harga Komoditas

Pangan Strategis di Indonesia ..............................................

2.7. Promosi Diversifikasi Pangan ................................................

METODOLOGI .............................................................................

3.1. Kerangka Teori ......................................................................

3.2. Kerangka Analisis ..................................................................

3.3. Jenis dan Sumber Data .........................................................

3.4. Metoda Analisis .....................................................................

POLA DIVERSIFIKASI DAN TINGKAT KONSUMSI

KOMODITAS PANGAN STRATEGIS ..........................................

4.1. Dinamika Pola Konsumsi .......................................................

4.2. Pola Konsumsi Energi Pangan ..............................................

1

1

3

4

4

4

5

7

7

10

13

15

17

19

36

37

37

42

44

44

57

57

63

Page 11: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan x

BAB V

BAB VI

BAB VII

4.3. Ketersediaan Energi Pangan .................................................

4.4. Pola Diversifikasi ...................................................................

4.5. Kebijakan Diversifikasi Pangan .............................................

PERKEMBANGAN PERMINTAAN DAN PENAWARAN

KOMODITAS PANGAN SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG

MEMPENGARUHINYA ................................................................

5.1. Perkembangan Permintaan dan Penawaran .........................

5.2. Faktor-faktor Determinan Permintaan dan Penawaran .........

5.3. Transmisi Harga ....................................................................

PROYEKSI PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS

PANGAN STRATEGIS THUN 2013-2050 ....................................

6.1. Skenario Kebijakan Pemerintah dan Variabel lain ................

6.2. Proyeksi Konsumsi/Permintaan .............................................

6.3. Proyeksi Produksi/Penawaran ...............................................

6.4. Pencapaian Swasembada Pangan .......................................

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ..............................

7.1. Kesimpulan ............................................................................

7.2. Implikasi Kebijakan ................................................................

67

70

74

79

79

82

87

89

89

93

95

97

101

101

104

Daftar Pustaka ................................................................................................ 108

Page 12: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan xi

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 2.1. Rasio Ketergantungan Impor Pangan (Persen) ......................... 16

Tabel 2.2. Regim Kebijakan Pergulaan Nasional ........................................ 26

Tabel 4.1. Pangsa Pengeluaran Kelompok Pangan Pendk Indonesia ...... 59

Tabel 4.2. Dinamika Konsumsi Beberapa Jenis Pangan (Kg/Kp/Th) .......... 60

Tabel 4.3. Besaran Pengeluaran Pangan Penduduk Indonesia Menurut

Kelas Pengeluaran (Kg/Kap/Th) .................................................

61

Tabel 4.4. Susunan Pola Pangan Harapan(PPH) Nasional Kkal/Kap/Hr .... 64

Tabel 4.5. Konsumsi Energi Pangan Penduduk Indonsia MenurutKelas

Pendapatan (Kka/Kap/Hr)Tahun 2011 .......................................

66

Tael 4.6. Pola Ketersediaan dan Konsumsi Energi Bahan Pangan

Penduduk Indonesia Tahun 2010 ..............................................

70

Tabel 4.7. Konsumsi Pangan Sumber Karbohindrat : Beras, Umbi-umbian

dan Terigu Tahun 2002-2011 (Kg/Kp/Th) ..................................

71

Tabel 4.8. Konsumi Pangan Sumber Protein : Daging, Telur, Susu dan

Kedelai Tahun 2002-2011 (Kg/Kp/Th) ........................................

72

Tabel 5.1. Perkembangan Konsumsi Lima Komoditas Pangan Strategis

Tahun 2008-2012 (Ton) .............................................................

79

Tabel 5.2. Perkembangan Produksi Lima Komoditas Pangan Strategis

2008-2012 (ton) ..........................................................................

80

Tabel 5.3. Perkebangan Defisit Produksi Lima Komodta Pangan Strategis

2008-2012 (ton) ..........................................................................

82

Tabel 5.4. Elastisitas Harga Sendiri dan Elastisitas Pengeluaran

Konsumsi Langsung Komoditas Pangan Strategis Per Kap .....

83

Tabel 5.5. Elastisitas Luas Panen dan Prduktivitas Komoditas Pangan

Strategis .....................................................................................

86

Tabel 5.6. Elastisitas Transmisi Harga Impor dan TBM Ke Harga

Konsumen Komoditas Pangan strategis ....................................

88

Tabel 5.7. Elastisitas Transmisi Harga Konsumen dan HPP/HP Ke Harga

Produsen Komoditas Pangan strategis ......................................

88

Tabel 6.1. Skenario Analisis Simulasi Untuk Proyeksi Permintaan dan

Penawaran Komoditas Pangan Strategis ..................................

90

Tabel 6.2. Proyeksi Konsumsi Beras 2013-2050 (ton) ................................ 93

Page 13: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan xii

Tabel 6.3. Proyeksi Konsumsi Jagung 2013-2050 (ton) ............................. 93

Tabel 6.4. Proyeksi Konsumsi Kedelai 2013-2050 (ton) ............................. 94

Tabel 6.5. Proyeksi Konsumsi Gula 2013-2050 (ton) .................................. 94

Tabel 6.6. Proyeksi Konsumsi Sapi 2013-2050 (ton) .................................. 94

Tabel 6.7. Proyeksi Produksi Beras 2013-2050 (ton) .................................. 95

Tabel 6.8. Proyeksi Produksi Jagung 2013-2050 (ton) ............................... 96

Tabel 6.9. Proyeksi Produksi Kedelai 2013-2050 (ton) ............................... 96

Tabel 6.10. Proyeksi Produksi Gula 2013-2050 (ton) ................................... 96

Tabel 6.11. Proyeksi Produksi Sapi 2013-2050 (ton) .................................... 97

Tabel 6.12. Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Beras 2013-2050 (ton) ......... 99

Tabel 6.13 Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Jagung 2013-2050 (ton) ....... 99

Tabel 6.14. Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Kedelai 2013-2050 (ton) ....... 100

Tabel 6.15. Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Gula 2013-2050 (ton) ........... 100

Tabel 6.16. Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Dg Sapi 2013-2050 (ton) ...... 100

Page 14: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan xiii

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 2.1. Kurva Penawaran, Permintaan dan Harga .......................... 11

Gambar 2.2. Teori Dampak Kebijakan TBM ............................................ 14

Gambar 4.1. Pangsa Pengeluaran Masyarakat Perkapita Pertahun........ 57

Gambar 4.2. Pangsa Pengeluaran 2002 .................................................. 62

Gambar 4.3. Pangsa Pengeluaran 2005 .................................................. 62

Gambar 4.4. Pangsa Pengeluaran 2008 .................................................. 62

Gambar 4.5. Pangsa Pengeluaran 2009 .................................................. 62

Gambar 4.6. Pangsa Pengeluaran 2010 .................................................. 62

Gambar 4.7. Pangsa Pengeluaran 2011 .................................................. 62

Gambar 4.8. Konsumsi Energi Pangan Penduduk Indonesia Per Kap

Per Hari................................................................................

63

Gambar 4.9. Konsumsi Energi Pangan dari Beberapa Jenis Kelompok

Bahan Pangan Penduduk Indonesia ...................................

65

Gambar 4.10. Skor Aktual Pola Pangan Harapan (PPH) ........................... 67

Gambar 4.11. Pola Ketersediaan Energi Pangan Dari 4 Kelompok Bahan

Pangan ................................................................................

68

Gambar 4.12. Pola ketersediaan Energi Pangan Tahun 2002-2010 ......... 69

Page 15: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepata Swasembada Pangan xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1 Jenis dan Sumber Data........................................................ 112

Lampiran 2 Proyeksi Konsumsi Beras 2013-2050 (ton) ......................... 113

Lampiran 3 Proyeksi Konsumsi Jagung 2013-2050 (ton) ...................... 114

Lampiran 4 Proyeksi Konsumsi Kedelai 2013-2050 (ton) ...................... 115

Lampiran 5 Proyeksi Konsumsi Gula 2013-2050 (ton) .......................... 116

Lampiran 6 Proyeksi Konsumsi Daging Sapi Lokal 2013-2050 (ton) ..... 117

Lampiran 7 Proyeksi Produksi Beras 2013-2050 (ton) ........................... 118

Lampiran 8 Proyeksi Produksi Jagung 2013-2050 (ton) ........................ 119

Lampiran 9 Proyeksi Produksi Kedelai 2013-2050 (ton) ........................ 120

Lampiran 10 Proyeksi Produksi Gula 2013-2050 (ton) ............................ 121

Lampiran 11 Proyeksi Produksi Daging Sapi Lokal 2013-2050 (ton) ....... 122

Lampiran 12 Proyeksi Surplus/Defisit Prod. Beras 2013-2015 (ton) ........ 123

Lampiran 13 Proyeksi Surplus/Defisit Prod. Jagung 2013-2015 (ton) ..... 124

Lampiran 14 Proyeksi Surplus/Defisit Prod. Kedelai 2013-2015 (ton) ..... 125

Lampiran 15 Proyeksi Surplus/Defisit Prod. Gula 2013-2015 (ton) .......... 126

Lampiran 16 Proyeksi Surplus/Defisit Prod. Daging Sapi Lokal 2013-

2015 (ton) ............................................................................

127

Page 16: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Swasembada pangan merupakan salah satu dari empat target utama

pembangunan pertanian ke depan (2010-2014). Program swasembada pangan ini

mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa karena

pengalaman telah membuktikan bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti

terjadinya krisis beras pada tahun 2008 yang ditandai oleh gejolak harga beras,

telah memberikan pelajaran bahwa melindungi pasar dalam negeri dengan

swasembada pangan yang efisien merupakan hal yang sangat diperlukan (Sawit et

al, 2010).

Dengan permintaan pangan yang terus meningkat seiring dengan laju

pertumbuhan penduduk yang pada 10 tahun terakhir mencapai sekitar 1,49 persen

atau 4,5 juta jiwa per tahun (BPS, 2011), tidak mengherankan untuk memenuhi

kebutuhan pangan dalam negeri, ketergantungan pada bahan pangan impor

semakin tidak dapat dihindari. Hal ini terlihat dari jumlah impor pangan yang terus

bertambah dari tahun ke tahun. Sebagai contoh, impor pangan pada Semester I

tahun 2011 tercatat Rp 45,6 triliun atau bertambah Rp 5 triliun dibanding Semester I

tahun 2010 yang tercatat Rp 39,91 triliun (BPS, 2011).

Bahkan saat ini ketergantungan Indonesia pada produk pangan impor terus

meningkat. Beras misalnya, dari dari 2,2 persen pada tahun 2008 menjadi 5,8

persen pada tahun 2012. Demikian pula untuk komoditi lainnya, seperti gula dari

34,4 persen (2008) menjadi 65,6 persen (2012), dan jagung dari 8,3 persen (2008)

menjadi 19,5 persen (2012). Khusus komoditi kedelai meskipun ketergantungan

terhadap impor cenderung menurun dari 60,1 persen (2008) menjadi 50,3 persen

(2012), namun proporsi tingkat ketergantungan Indonesia pada impor masih cukup

besar.

Selama ini pemerintah Indonesia selalu berupaya mewujudkan swasembada

pangan terutama beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi, dengan berbagai

program. Untuk mewujudkan swasembada pangan, pemerintah menargetkan

produksi padi sebanyak 75,7 juta ton, jagung 29 juta ton, kedelai 2,7 juta ton, gula

4,81 juta ton, dan daging sapi 0,55 juta ton. Namun untuk mengejar target tersebut

Page 17: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 2

masih terdapat sejumlah kendala, di antaranya adalah alih fungsi lahan, perubahan

iklim, dan kerusakan infrastruktur pertanian.

Pada sisi permintaan, pemerintah juga terus mendorong percepatan

penganekaragaman konsumsi pangan untuk mencapai skor pola pangan harapan

(PPH) sekitar 93,3 poin pada tahun 2014. Untuk mencapai target tersebut,

diperlukan gerakan untuk mendorong peningkatan kesadaran dan motivasi

masyarakat dalam mengembangkan diversifikasi pangan melalui peningkatan

konsumsi umbi-umbian, sayuran, buah-buahan, dan pangan hewani dengan

mengutamakan produksi pangan lokal. Salah satu sasaran dari gerakan ini adalah

tingkat konsumsi pangan beras per kapita diharapkan dapat turun sekitar 1,5 persen

per tahun.

Apalagi Indonesia saat ini dinilai oleh berbagai pihak masih sulit mencapai

target swasembada pangan 2014 karena produksi dan produktivitas tanaman

pangan terus menurun. Bahkan hasil evaluasi Indeks Ketahanan Pangan Global

yang dilakukan oleh Economist Intelligence Unit pada tahun 2012 menempatkaan

Indonesia di posisi ke 5 dari 7 negara ASEAN. Posisi ketahanan pangan Indonesia

tersebut berada di bawah Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Oleh karena itu,

isu ketahanan pangan menjadi topik penting di negeri ini karena pangan merupakan

kebutuhan paling hakiki yang menentukan kualitas sumberdaya manusia dan

stabilitas sosial politik sebagai prasayarat untuk melaksanakan pembangunan.

Bagi pemerintah ketahanan pangan merupakan hal yang harus diwujudkan.

Sebagai bangsa dengan jumlah penduduk besar dan tersebar di ribuan pulau

Indonesia harus mampu memenuhi kebutuhan pangan. Untuk mewujudkan hal

tersebut Kementerian Pertanian telah mentargetkan pencapaian swasembada dan

swasembada yang berkelanjutan yaitu mensukseskan upaya pencapaian surplus 10

juta ton beras dan mencapai swasembada jagung, kedelai, daging, dan gula pada

2014.

Meskipun upaya pencapaian swasembada pangan terus dilakukan, namun

fenomena eskalasi harga pangan masih terus terjadi. Hal ini lebih disebabkan oleh

aspek suplai karena gangguan sistem produksi dan distribusi di beberapa tempat.

Apabila peningkatan harga di titik konsumsi cukup proporsional dengan peningkatan

harga di titik produksi, maka dimensi keadilan masih dapat diharapkan. Akan tetapi,

Page 18: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 3

karena karakter beberapa komoditas pangan di Indonesia memiliki nilai elastisitas

transmisi yang rendah, maka peningkatan harga di titik konsumsi hanya sedikit yang

dinikmati petani. Persentase kenaikan harga di tingkat konsumen jauh lebih besar

dibandingkan dengan persentase kenaikan harga di tingkat produsen. Kenaikan atau

ketidakstabilan harga pangan tersebut menyebabkan turunnya kemampuan

konsumen membeli pangan sehingga berpotensi terjadinya krisis pangan.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka peran kebijakan perdagangan dalam

upaya percepatan pencapaian swasembada pangan sangat penting untuk

dirumuskan secara komprehensif. Pada kenyataannya, pemerintah sering kali

berada di posisi yang sulit dalam mengambil kebijakan. Pemerintah harus sama-

sama memikirkan konsumen dan petani, karena kalau harga pangan naik,

konsumen yang dirugikan. Di sisi lain, apabila pemerintah menekan harga, produsen

dan petani yang dirugikan. Oleh karena itu, diperlukan peran kebijakan mulai dari

upaya peningkatan kemampuan konsumen membeli pangan yang cukup, hingga

peningkatan kesejateraan petani. Hal ini penting karena target swasembada pangan agak sulit terealisasi jika tidak ada insentif bagi petani. Untuk itu, analisis terhadap

dinamika permintaan dan penawaran komoditas pangan perlu dilakukan sehingga

dapat dirumuskan kebijakan perdagangan pangan yang tepat dan efektif untuk

meningkatkan kemampuan konsumen membeli pangan dan meningkatkan

kesejahteraan petani, yang pada akhirnya dapat mempercepat pencapaian

swasembada pangan.

1.2. Tujuan

a. Menganalisis dinamika pola diversifikasi dan tingkat konsumsi komoditas

pangan pokok di Indonesia.

b. Menganalisis perkembangan permintaan dan penawaran komoditas

pangan pokok di Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan

panjang.

c. Merumuskan opsi-opsi kebijakan perdagangan pangan dalam

mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan pokok.

Page 19: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 4

1.3. Keluaran yang Diharapkan

a. Data dan informasi tentang dinamika pola diversifikasi dan tingkat

konsumsi komoditas pangan pokok di Indonesia.

b. Data tentang perkembangan permintaan dan penawaran komoditas

pangan pokok di Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan

panjang.

c. Informasi tentang rumusan opsi-opsi kebijakan perdagangan pangan

dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan. 1.4. Dampak Kajian

Kajian ini diharapkan dapat menghasilkan bahan masukan yang dapat

dijadikan sebagai referensi dalam merumuskan kebijakan dibidang perdagangan,

khususnya dalam menunjang percepatan swasembada pangan.

1.5. Ruang Lingkup

Kajian ini difokuskan pada peran kebijakan perdagangan pangan, yang

dianalisis melalui dinamika permintaan dan penwaran komoditi pangan di Indonesia.

Selain itu, kajian ini juga akan melakukan proyeksi jumlah penawaran dan

permintaan komoditas pangan pokok di Indonesia di dalam jangka pendek,

menengah dan panjang. Komoditas pangan yang dianalisis adalah beras, jagung,

kedelai, gula dan daging sapi. Pangan tersebut merupakan pangan strategis yang

mendapat perhatian khusus pemerintah dalam mewujudkankan swasembada

pangan. 1.6. Sistematika Laporan

Laporan hasil kajian ini terdiri dari enam bab, yaitu sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan. Bab ini mendeskripsikan tentang latar belakang,

tujuan dan keluaran, ruang lingkup kajian, dan sistematika penulisan

laporan.

BAB II : Tinjauan Pustaka. Bab ini berisi hasil studi literatur yang digunakan

sebagai referensi di dalam kajian ini, yang meliputi konsep

diversifikasi dan tingkat konsumsi pangan, hukum permintaan dan

Page 20: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 5

penawaran, teori dampak tarif impor, konsep ketergantungan impor,

metode proyeksi penawaran dan permintaan pangan yang pernah

digunakan, dan perkembangan kebijakan perdagangan lima

komoditas yang dikaji.

BAB III : Metodologi. Bab ini menjelaskan tentang metode yang digunakan di

dalam kajian ini, yang meliputi kerangka pemikiran, metode analisis

data, lokasi kajian dan responden, serta jenis, sumber dan teknik

pengumpulan data.

BAB IV : Pola Diversifikasi dan Tingkat Konsumsi Komoditas Pangan Strategis. Bab ini menguraikan hasil-hasil analisis tentang dinamika

pola diversikasi dan tingkat konsumsi komoditas pangan strategis

(beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi) berdasarkan data hasil

Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari BPS tahun 2002,

2005, 2008 dan 2011.

BAB V : Analisis Permintaan dan Penawaran Komoditas Pangan Strategis. Bab ini berisi hasil-hasil analisis mengenai perkembangan

(laju pertumbuhan) permintaan dan penawaran, tingkat

ketergantungan impor, faktor-faktor yang mempengaruhi

perkembangan permintaan dan penawaran, transmisi harga, simulasi

dampak kebijakan tarif impor dan kebijakan lain, serta proyeksi

jumlah permintaan dan penawaran dengan berbagai skenario/opsi

kebijakan perdagangan dan lain-lain untuk lima komoditas pangan

strategis (beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi).

BAB VI : Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Pangan Strategis. Bab ini berisi hasil proyeksi permintaan dan penawaran

komoditas pangan pokok dari tahun 2013 sampai dengan tahun 2050

dengan skenario kebijakan Tarif Bea Masuk (TBM) dan lain-lain.

BAB VII : Kesimpulan dan Saran. Bab ini berisi kesimpulan dari hasil-hasil

analisis dan rumusan kebijakan perdagangan untuk mempercepat

pencapaian swasembada komoditas pangan pokok (beras, jagung,

kedelai, gula dan daging sapi) di Indonesia.

Page 21: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Diversifikasi dan Pola Konsumsi Pangan

2.1.1. Diversifikasi Pangan

Konsep diversifikasi pangan bukan suatu hal baru dalam terminologi

kebijakan pembangunan pertanian di Indonesia karena konsep tersebut telah

banyak dirumuskan dan diinterprestasikan oleh para pakar. Kasryno et al (1993)

memandang diversifikasi pangan sebagai upaya yang sangat erat kaitannya dengan

peningkatan kualitas sumberdaya manusia, pembangunan pertanian di bidang

pangan dan perbaikan gizi masyarakat, yang mencakup aspek produksi, konsumsi,

pemasaran, dan distribusi.

Pada dasarnya diversifikasi pangan mencakup tiga lingkup pengertian yang

saling berkaitan, yaitu diversifikasi konsumsi pangan, diversifikasi ketersediaan

pangan, dan diversifikasi produksi pangan. Pada kajian ini, diversifikasi yang

dimaksud adalah diversifikasi konsumsi pangan. Pakpahan dan Suhartini (1989)

mendefinisikan diversifikasi konsumsi pangan sebagai pengurangan konsumsi beras

yang dikompensasi oleh penambahan konsumsi bahan pangan non beras. Secara

lebih tegas, Suhardjo dan Martianto (1992) menyatakan dimensi diversifikasi

konsumsi pangan tidak hanya terbatas pada diversifikasi konsumsi makanan pokok,

tetapi juga makanan pendamping.

Dari beberapa pendapat tersebut di atas terlihat bahwa dimensi diversifikasi

konsumsi pangan tidak hanya terbatas pada pangan pokok tetapi juga pangan jenis

lainnya. Di Indonesia terdapat pedoman untuk mengukur diversifikasi konsumsi

pangan termasuk pangan pokok yang dikenal dengan indeks Pola Pangan Harapan

(PPH). Indeks PPH ideal diharapkan mencapai angka 100, namun indeks PPH

penduduk Indonesia pada tahun 2008 baru sebesar 81,9. Pemerintah menetapkan

bahwa pada tahun 2015, indeks PPH akan mencapai 95, yang berarti setiap tahun

harus meningkat sekitar 2,5.

Dalam konsep PPH, setiap orang per hari dianjurkan mengkonsumsi pangan

seperti berikut: padi-padian 275 gr, umbi-umbian 100 gr, pangan hewani 150 gr,

minyak+lemak 20 gr, buah/biji berminyak 10 gr, kacang-kacangan 35 gr, gula 30 gr

Page 22: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 7

dan sayur+buah 250 gr. Artinya, dalam setahun kebutuhan padi-padian yang terdiri

dari beras, jagung dan terigu untuk konsumsi langsung penduduk adalah 99

kg/kapita/tahun. Dengan kata lain, susunan hidangan makanan dalam PPH

dianggap baik apabila mengandung 10-12 persen energi dari protein, 20-25 persen

energi dari lemak dan sisanya dari karbohidrat. 2.1.2. Pola Konsumsi Pangan

Pola konsumsi pangan merupakan gambaran mengenai jumlah, jenis, dan

frekuensi bahan makanan yang dikonsumsi seseorang sehari-hari dan merupakan

ciri khas pada suatu kelompok masyarakat tertentu (Harper, 1985; Suhardjo, 1998).

Pemetaan dan analisis pola konsumsi sangat penting dilakukan karena dapat

dijadikan sebagai acuan untuk memprediksi indikator-indikator kesejahteraan

penduduk seperti status kesehatan penduduk, status gizi, dan status kemiskinan

penduduk.

Pola konsumsi masyarakat pada masing-masing daerah berbeda-beda,

tergantung dari potensi daerah dan struktur budaya masyarakat (Ariningsih,

2009). Pola konsumsi juga mencerminkan perilaku penduduk yang berkaitan dengan

keadaan sumberdaya manusia yang merupakan modal dasar dalam pertumbuhan

ekonomi suatu negara (Ayiek, 2008). Perubahan perilaku konsumsi penduduk

(rumahtangga) dapat dijadikan sebagai indikator kemampuan rumahtangga tersebut

untuk memenuhi kebutuhannya sebagai akibat dari perubahan pendapatan.

Selama ini pola konsumsi masyarakat Indonesia masih didominasi oleh padi-

padian, khususnya beras, yang diindikasikan oleh starchy staple ratio yang

tinggi (Ni Made, 2008). Masyarakat umumnya mempunyai ketergantungan yang

kuat terhadap beras sebagai sumber karbohidrat. Hasil analisis Sumaryanto (2009)

dengan menggunakan data SUSENAS 2008 menunjukkan bahwa konsumsi beras

penduduk Indonesia adalah sekitar 107,8 kg/kapita/tahun. Dari jumlah itu yang langsung dari beras konsumsi rumahtangga (beras dari padi cere untuk dimasak)

adalah sekitar 88 %. Sisanya adalah beras dalam bentuk tepung, makanan olahan,

beras ketan, dan sebagainya.

Dari sisi teori ekonomi, pola konsumsi pangan dipengaruhi oleh beberapa

faktor, di antaranya adalah harga dan pendapatan (yang dapat didekati dari sisi

Page 23: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 8

pengeluaran). Hal ini dapat ditunjukkan dengan teori Engel yang menyatakan bahwa

rumahtangga berpendapatan rendah akan mengeluarkan sebagian besar

pendapatannya untuk membeli kebutuhan pokok (pangan). Sebaliknya, rumah

tangga yang berpendapatan tinggi hanya akan membelanjakan sebagian kecil

lsaja dari total pendapatannya untuk kebutuhan pokok (Nicholson, 2002).

Peningkatan pendapatan akan menurunkan permintaan terhadap pangan

pokok tetapi akan meningkatkan permintaan terhadap pangan mewah, yaitu

barang yang elastisitas pendapatannya lebih besar dari satu. Hal ini menunjukkan

adanya realokasi dari suatu pemusatan belanja konsumen ke bentuk

pembelanjaan yang lebih menyebar sesuai dengan peningkatan pendapatan.

Teori yang mendasari analisis konsumsi ini adalah teori pendekatan kurva indifferent (indifferent curve), yang mengasumsikan bahwa barang-barang yang

dikonsumsi mempunyai nilai guna batas (utility). Utility adalah kepuasan yang

diterima dari kombinasi jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi.

Variabel-variabel yang mempengaruhi konsumsi masyarakat (seseorang)

sebenarnya tidak hanya harga dan pendapatan saja, akan tetapi juga variabel-

variabel lain di antaranya adalah variabel sosial ekonomi, selera, faktor geografis

seperti perkotaan dan pedesaan, dan sebagainya (Chandra dan Moeis, 2007).

Menurut Riyadi (2003), makin tinggi tingkat pendidikan dan pengetahuan yang

dimiliki seseorang umumnya makin tinggi pula kesadaran untuk menseleksi

pangan guna memenuhi pola konsumsi yang seimbang dan memenuhi syarat gizi

berkaitan dengan ketahanan pangan. Hal ini berarti makin tinggi pendidikan formal

masyarakat maka pengetahuan dan wawasan tentang pentingnya kualitas pangan

yang dikonsumsi masyarakat makin baik, sehingga makin bervariasi pula komoditas

pangan yang dikonsumsi. Sementara ketahanan pangan umumnya merupakan

capaian peningkatan ketersediaan pangan dengan ruang lingkup wilayah nasional,

sasaran utamanya adalah komoditas pangan dari produk pertanian seperti beras,

jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar. Dengan demikian

strategi yang diterapkan dalam swasembada pangan adalah subtitusi impor.

Ketahanan pangan menurut definisi FAO 1997 merupakan situasi dimana

semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk

memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak

beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Berdasarkan definisi dapat

Page 24: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 9

disimpulkan bahwa ketahanan pangan memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi yaitu

berorientasi pada rumah tangga dan individu, dimensi waktu setiap saat pangan

tersedia dan dapat diakses, menekankan pada akses pangan rumah tangga dan

individu, baik fisik, ekonomi dan social, berorientasi pada pemenuhan gizi serta

ditujukan untuk hidup sehat dan produktif. Capaian utama dalam konsep ini meliputi

peningkatan status gizi (penurunan kelaparan, gizi kurang dan gizi buruk).

Jumlah anggota rumahtangga juga akan mempengaruhi pola konsumsi

pangan. Makin banyak jumlah anggota rumahtangga maka kebutuhan pangan

yang dikonsumsi akan makin bervariasi karena masing-masing anggota

rumahtangga mempunyai selera yang belum tentu sama. Dengan makin

bervariasinya (beranekaragamnya) komoditas pangan yang dikonsumsi, kondisi gizi

dan kesehatan masyarakat diharapkan akan menjadi makin baik.

Perubahan pola konsumsi pangan secara tidak langsung tergantung pada

kemampuan daya beli masyarakat dan kestabilan harga pangan. Karena itu,

kebijaksanaan pangan mencakup usaha peningkatan produksi dan pemerataan

distribusi pangan, efisiensi perdagangan, pengembangan industri pangan, dan

peningkatan daya beli masyarakat menjadi sesuatu yang mendesak untuk segera

diupayakan.

2.2. Hukum Permintaan dan Penawaran

Di dunia ini ada dua kelompok barang, yaitu barang publik (public good) dan

barang privat (private good). Suatu barang dapat dikategorikan sebagai barang

publik jika barang itu mempunyai empat ciri, yaitu: non-rivalry, non-excludable, non-

transferrable, dan ada free rider (George and Shorey, 1978). Non-rivalry berarti

bahwa konsumsi barang/jasa oleh seseorang tidak mengurangi jumlah yang dapat dikonsumsi oleh orang lain karena suplainya tidak terbatas; non-excludable berarti

semua orang bebas mengkonsumsi barang tersebut pada jumlah berapapun; non-

transferrable berarti kepemilikan barang/jasa itu tidak bisa dipindahtangankan; dan

free rider berarti orang yang menggunakan barang/jasa itu tidak perlu membayar.

Karena itu, barang publik tidak mempunyai harga. Contoh klasik barang publik

adalah udara dan pertahanan/keamanan.

Page 25: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 10

Sementara itu, suatu barang dapat dikategorikan sebagai barang privat jika

barang itu mempunyai karakteristik yang sebaliknya dari karakteristik barang publik,

yaitu: rivalry, berarti bahwa konsumsi barang/jasa oleh seseorang akan mengurangi

jumlah yang dapat dikonsumsi oleh orang lain karena suplainya terbatas; excludable

berarti tidak semua orang dapat mengkonsumsi barang tersebut pada jumlah berapapun; transferrable berarti kepemilikan barang/jasa itu bisa dipindahtangankan

(menjadi milik pribadi, dan lain-lain); dan tidak ada free rider, berarti orang yang

menggunakan barang/jasa itu harus membayar. Karena itu, barang privat

mempunyai harga.

Pada barang privat, termasuk komoditas pertanian, harga barang tersebut

terbentuk pada titik temu (titik keseimbangan) antara permintaan dan penawaran.

Gambar 2.1 memberikan ilustrasi bahwa perpotongan kurve penawaran S1 dan

kurve permintaan D1 pada titik E1, terbentuk harga keseimbangan P1, dimana

jumlah barang yang diminta sama dengan jumlah barang yang ditawarkan yaitu Q1.

Di pasar yang bersaing, harga per unit barang akan bergerak dan berhenti

sampai pada suatu titik dimana jumlah permintaan sama dengan jumlah penawaran

yang menghasilkan keseimbangan ekonomi bagi kuantitas dan harga. Ini disebut sebagai keseimbangan statis (static equilibrium), karena jumlah penawaran hanya

bergerak di sepanjang kurve penawaran yang ada, demikian pula jumlah permintaan

hanya bergerak di sepanjang kurve permintaan.

Gambar 2.1.

Kurva Penawaran, Kurva Permintaan dan Harga

Q3

E4 E3

P4 P3

D2

E2 E1

0 Jumlah

Harga

Q1 Q2

P1 P2

D1 S1 S2

Page 26: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 11

Ada empat hukum dasar penawaran dan permintaan, yaitu: (1) Jika

penawaran turun tetapi permintaan tetap, maka terjadi kekurangan penawaran, yang

akan meningkatkan harga keseimbangan; (2) Jika penawaran meningkat tetapi

permintaan tetap, maka akan terjadi surplus penawaran, yang akan menurunkan

harga keseimbangan; (3) Jika permintaan naik tetapi penawaran tetap, maka akan

terjadi kekurangan penawaran, yang akan meningkatkan harga keseimbangan; dan

(4) Jika permintaan turun tetapi penawaran tetap, maka akan terjadi surplus

penawaran, yang akan menurunkan harga keseimbangan.

Jika kurve kurve permintaan tetap D1, tetapi kurve penawaran bergeser kekiri

atas dari S1 ke S2, yang mencerminkan berkurangnya penawaran, maka titik

keseimbangan akan bergerak ke kiri atas dari E1 ke E2, dimana harga akan naik

dari P1 ke P2 dan jumlah permintaan/penawaran akan turun dari Q1 ke Q2. Jika

permintaan meningkat yang tercermin pada bergesernya kurve permintaan ke kanan

atas dari D1 ke D2, tetapi penawaran tetap S1, maka titik keseimbangan akan

bergeser dari E1 ke E3, dimana jumlah permintaan/penawaran akan naik menjadi

Q3 dan harga akan naik menjadi P3. Jika permintaan meningkat yang tercermin

bergesernya kurve permintaan ke kanan atas menjadi D2, dan penawaran menurun

menjadi S2, maka titik keseimbangan akan bergeser ke E4, dimana harga akan naik

menjadi P4 dan jumlah permintaan/ penawaran akan turun lagi menjadi Q1.

Dapat disimpulkan bahwa titik keseimbangan bersifat dinamis (dynamic

equilibrium) dengan pola sebagai berikut: (1) Permintaan tetap tetapi penawaran

turun, maka harga akan naik; (2) Naiknya harga akan direspon secara positif oleh

produsen/pemasok sehingga penawaran naik; (3) Naiknya penawaran akan

menyebabkan harga turun, yang kemudian direspon secara positif oleh konsumen

sehingga permintaan naik; (4) Naiknya permintaan akan meningkatkan harga; (5)

Naiknya harga akan direspon oleh produsen/pemasok kembali sehingga penawaran

akan naik. Tingkat respon produsen/pemasok dan konsumen terhadap harga

berubah dari tahun ke tahun, yang menyebabkan terjadinya fluktuasi harga, jumlah

penawaran dan jumlah permintaan dari tahun ke tahun.

Secara teoritis, faktor-faktor selain harga barang itu sendiri yang menentukan

jumlah permintaan adalah: (1) Pendapatan masyarakat; (2) Selera/preferensi; (3)

Harga barang substitusi/komplemen; (4) Ekspektasi konsumen mengenai harga

barang dan pendapatan di masa datang; dan (5) Jumlah konsumen potensial.

Page 27: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 12

Sementara faktor-faktor selain harga barang itu sendiri yang ikut menentukan jumlah

penawaran adalah: (1) Biaya produksi; (2) Harga barang substitusi/komplemen; (3)

Tingkat teknologi produksi yang digunakan; (4) Ekspektasi produsen/pemasok

mengenai harga barang itu sendiri di masa datang; dan (5) Jumlah

produsen/pemasok

Oleh karena itu, dalam analisis permintaan dan penawaran masing-masing

dikenal fungsi respon permintaan (demand response function) dan respon

penawaran (supply response function), sebagaimana ditunjukkan oleh Tomek dan

Robinson (1982). Fungsi respon yang banyak digunakan adalah dari kelas Partial

Adjustment Model yang diperkenalkan oleh Marc Nerlove and Addison (1958), yang

dapat menghasilkan elastisitas permintaan dan elastisitas penawaran jangka pendek

dan jangka panjang. Karena itu, untuk tujuan analisis proyeksi permintaan dan

penawaran jangka panjang, banyak yang mengadopsi Partial Adjustment Model dari

Marc Nerlove dan Addision tersebut.

2.3. Konsep Kebijakan Perdagangan – Tarif Bea Masuk

Terkait dengan tujuan kajian ini, konsep kebijakan perdagangan yang perlu

dipahami adalah konsep kebijakan impor, yang terdiri dari tarif dan non-tarif (kuota,

pengaturan, SPS, dan lain-lain). Di dalam kajian ini, kebijakan tarif (selanjutnya

digunakan terminologi Tarif Bea Masuk/TBM) menjadi fokus perhatian utama karena

datanya tersedia paling lengkap dan secara kuantitatif dapat diukur dampaknya.

Tujuan kebijakan TBM adalah untuk melindungi industri di dalam negeri, termasuk

pertanian, dari kejatuhan harga karena jumlah impor yang berlebihan.

Untuk lima komoditas pangan yang dianalisis (beras, jagung, kedelai, gula dan dgaing sapi), Indonesia berada pada posisi sebagai Net Importing Country,

dimana jumlah konsumsi lebih besar daripada jumlah penawaran sehingga

diperlukan impor. Untuk menjelaskan teori kebijakan TBM digunakan Gambar 2.2.

Secara teoritis, pengenaan TBM dapat meningkatkan harga domestik dari P1 ke P2,

dimana P2 = P1 + TBM. Naiknya harga domestik akan berdampak menurunkan

konsumsi dari QD1 ke QD2, sekaligus meningkatkan produksi dari QY1 ke QY2

sehingga jumlah impor berkurang. Besarnya penurunan konsumsi dan peningkatan

produksi masing-masing dipengaruhi oleh elastisitas konsumsi dan elastisitas

produksi terhadap harga domestik dari output komoditas yang bersangkutan.

Page 28: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 13

Dari aspek kesejahteraan ekonomi (economic welfare), kenaikan harga dan

penurunan konsumsi berdampak menurunkan surplus ekonomi konsumen dari

daerah segitiga P1EH menjadi P2GH yang berarti kesejahteraan konsumen

menurun sebesar daerah trapesium P1EGP2. Sementara kenaikan harga dan

peningkatan produksi berdampak meningkatkan surplus ekonomi produsen/petani

dari daerah segitiga ABP1 menjadi AFP2, yang berarti kesejahteraan produsen

meningkat sebesar daerah trapesium P1BFP2. Dengan adanya TBM, pemerintah

juga memperoleh pendapatan dari pajak impor (tax revenue) sebesar daerah

segiempat CDGF sebesar jumlah impor (QD2 – QY2) dikalikan dengan TBM.

Namun kesejahteraan total sebenarnya mengalami penurunan karena jumlah

surplus ekonomi produsen dan pendapatan Negara dari pajak impor lebih kecil

dibanding penurunan surplus ekonomi konsumen sebagai akibat dari timbulnya Deadweight Economic Lost (DEL) yaitu bagian dari surplus ekonomi yang hilang

begitu saja sebesar daerah dua segitiga BCF + DEG. Karena itu, timbulnya DEL

tersebut sebenarnya menyebabkan ekonomi secara keseluruhan menjadi kurang

efisien. Namun jika tujuan pembangunan nasional di bidang pertanian adalah untuk

meningkatkan produksi dalam upaya mencapai ketahanan pangan sekaligus

memperbaiki kesejateraan petani, maka kebijakan tarif mendapatkan justifikasi untuk

dilakukan. Namun TBM tidak boleh berlebihan karena disamping dapat

menyebabkan penurunan yang berlebihan dari daya beli atau kesejahteraan

konsumen yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia, juga akan bertentangan

Gambar 2.2. Teori Dampak Kebijakan TBM

QY1 A

H

G

E D C

QD1

F

B

0 Jumlah

Harga

QD2 QY2

P1

P2

D S

Page 29: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 14

dengan aturan WTO dan timbul retaliasi dari Negara-negara partner dagang

Indonesia.

2.4. Konsep Ketergantungan Impor

Untuk komoditas pangan pokok, banyak negara yang mempunyai

ketergantungan pada impor karena produksi domestik tidak mencukupi untuk

memenuhi kebutuhan konsumsi domestik. Tingkat ketergantungan impor masing-

masing Negara bervariasi dari rendah sampai dengan tinggi, yang dapat diukur

dengan menghitung nilai Rasio Ketergantungan Impor (Import Dependency Ratio),

sebagaimana diperlihatkan pada rumus sebagai berikut (FAO, 2012):

( ) QXQMQYQMIDR

−+=

dimana: IDR = Import Dependency Ratio; QM = Jumlah impor (ton); QY = Jumlah produksi domestik (ton); dan QX = Jumlah ekspor (ton). Dengan catatan bahwa impor hanya untuk konsumsi domestik, dan tidak ada yang diekspor kembali (re-export).

Ada beberapa terminologi yang terkait dengan penghitungan rasio

ketergantungan impor, khususnya untuk komoditas pangan, yang perlu dipahami

secara benar (Shapouri et al, 2010), yaitu: (1) Suplai Pangan Domestik = (Total

Produksi Domestik + Impor Komersial + Bantuan Pangan) – Ekspor; (2)

Ketersediaan Pangan Domestik = Suplai Pangan Domestik – Penggunaan Non

Pangan (pakan, bahan baku industri pengolahan pangan dan minuman, tercecer);

dan (3) Konsumsi Pangan Domestik = Ketersediaan Pangan Domestik

Nilai IDR untuk tiga kelompok komoditas pangan, yaitu serealia, gula dan

daging menurut kelompok negara disajikan pada Tabel 2.1. Untuk komoditas

serealia, negara Asia yang sudah maju, mempunyai rasio ketergantungan impor

paling tinggi (83 persen), posisi kedua ditempati Amerika Tengah (46 persen),

sedangkan kelompok negara lainnya berkisar 5-18 persen (rata-rata dunia 15

persen). Untuk komoditas gula, banyak kelompok negara yang rasio ketergantungan

impornya tinggi (29-86 persen), dan hanya Amerika Tengah yang rendah (12

persen). Untuk komoditas daging, hanya kelompok negara Asia maju yang rasio

ketergantungan impornya tinggi (46 persen), sedangkan kelompok negara lainnya

rendah (3-24 persen). Lanchovichina et al (2012) juga menunjukkan bahwa 15

Page 30: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 15

negara Arab dan Timur Tengah mempunyai rata-rata rasio ketergantungan impor yang tinggi, yaitu 78.1 persen (39-101 persen) untuk biji-bijian (grains), 57.1 persen

(23-88 persen) untuk daging, dan 93.2 persen (37-151 persen) untuk gula. Hal ini

erjadi karena Negara-negaar Arab dan Timur tengah tidak atau sedikit memproduksi

komoditas-komoditas tersebut.

Tabel 2.1. Rasio Ketergantungan Impor Pangan (persen)

Countries Cereals Sugar Meat

World 15 32 10 Industrial countries 18 30 17 Europe 18 49 21 Asia (developed) countries 83 51 46 Least developed countries 16 40 3 Central America 42 12 17 Eastern Europe 5 29 6 Transition markets 9 60 13 CIS 13 73 18 Russian Federation 13 86 24 Sumber: FAOSTAT (FAO, 2012)

Negara-negara yang rasio ketergantungan impornya tinggi akan lebih rentan terhadap guncangan (shock) yang terjadi pada produksi karena berbagai sebab,

baik di dalam maupun di luar negeri. Faktor penyebab di dalam negeri antara lain

adalah banjir, kekeringan, dan gempa/tsunami dan serangan hama/penyakit yang

terjadi dalam wilayah yang luas. Sementara faktor penyebab di luar negeri adalah stok pangan dunia yang tipis (thin market) sebagai akibat produksi yang rendah

yang disebabkan oleh perubahan iklim dunia, dan permintaan yang meningkat

karena meningkatnya jumlah penduduk. Situasi demikian akan menyebabkan harga

dunia meningkat, yang akan meningkatkan beban ekonomi Negara-negara yang

rasio ketergantungan impor pangannya tinggi.

Mengenai penghitungan jumlah konsumsi nasional, Bappenas (2012) menggunakaan konsep Domestic Food Supply, namun dengan catatan bahwa

produksi domestik adalah sebesar total produksi kotor (gross production) dikurangi

dengan bibit (khususnya padi, jagung, kedelai) dan tercecer (semua komoditas),

atau disebut sebagai produksi neto (net production). Dengan demikian, maka jumlah

Page 31: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 16

konsumsi domestik mencerminkan total konsumsi, baik yang dikonsumsi rumah

tangga (konsumsi langsung) maupun yang digunakan untuk bahan baku industri

pakan dan industri pengolahan makanan dan minuman (konsumsi tidak langsung).

2.5. Metoda Analisis Penawaran dan Permintaan Pangan

Proyeksi jangka panjang permintaan dan penawaran komoditas pangan

pokok di Indonesia sudah dilakukan oleh beberapa peneliti atau lembaga penelitian

dengan menggunakan berbagai model kuantitatif (ekonometrik) kelas Cobb-Douglas

dengan persamaan tunggal, antara lain Syafa’at et al (2005). Beberapa kelemahan

yang ditemui di dalam model yang digunakan antara lain pertama, analisis

konsumsi/permintaan menggunakan data cross-section dari hasil SUSENAS BPS

untuk konsumsi langsung (oleh rumah tangga) per kapita, kemudian dilakukan

proyeksi perdasarkan proyeksi jumlah penduduk. Model yang digunakan bisa Almost

Ideal Demand System dari Deaton and Muelbauer (1980) dengan persamaan

regresi simultan. Analisis fungsi konsumsi langsung per kapita memang lebih tepat

untuk beras dan gula, tetapi kurang tepat untuk komoditas-komoditas pangan yang

sebagian besar digunakan untuk bahan baku industri pengolahan, yaitu jagung

(untuk industri pakan), kedelai (untuk industri tahu dan tempe), dan daging sapi

(untuk bakso), sehingga konsumsi langsungnya sangat kecil. Karena itu hasil

analisis akan cukup baik untuk beras dan gula tetapi kurang baik untuk jagung,

kedelai dan daging sapi.

Kedua, di dalam model produksi/penawaran tanaman pangan menggunakan

data time series dan model Partial Adjustment Model dari Nerlove and Addison

(1958), tetapi tidak memasukkan variabel iklim (utamanya curah hujan), harga

komoditas pesaing dan perkembangan teknologi di dalam model produksi, padahal

ketiga variabel ini sangat menentukan luas panen dan produktivitas tanaman

tersebut. Di Indonesia sudah sering terjadi kekeringan yang menyebabkan gagal

panen di beberapa daerah. Demikian pula, antar komoditas pangan terjadi

persaingan di dalam penggunaan lahan pertanian (utamanya sawah di pulau Jawa).

Perkembangan teknologi juga berpengaruh pada produktivitas tanaman/ternak.

Hasil analisis Priyanto (2005) yang menggunaan persamaan simultan

penawaran, impor dan harga daging sapi menyimpulkan bahwa tarif impor daging

sapi berpengaruh negatif dan nyata terhadap jumlah daging sapi impor. Selanjutnya

Page 32: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 17

disimpulkan bahwa meningkatnya harga daging impor akan meningkatkan harga

daging di pasar domestik. Namun meningkatnya harga daging di pasar domestik

tidak mampu merangsang perkembangan populasi sapi potong. Pada sisi produksi,

populasi sapi nasional berpengaruh nyata terhadap produksi daging sapi potong

rakyat, walaupun populasi sapi yang ada belum sepenuhnya mencerminkan

produksi daging sapi karena bobot hidup yang rendah. Program IB (Inseminasi

Buatan) mampu memperbaiki kualitas ternak sapi yang ada. Kebijakan proteksi

melalui pembebanan tarif impor daging dipandang mampu memacu perkembangan

sistem usaha peternakan rakyat di Indonesia. 2.6. Pengalaman Kebijakan Perdagangan dan Harga Komoditas Pangan

Strategis di Indonesia

2.6.1. Kebijakan Perdagangan

1) Beras

Terlepas dari relatif rendahnya tingkat kepentingan perdagangan internasional

beras, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir, tujuan untuk meningkatkan volume

perdagangan internasional beras telah mendominasi kebijakan perberasan di tingkat

internasional dan nasional di banyak negara. Di Indonesia, misalnya sejak tahun

1967 berbagai kebijakan beras telah diimplementasikan. Kebijakan tersebut dapat

dikelompokkan menjadi tiga fase.

Fase pertama (1967-1996): Pada fase ini, pemerintah mengendalikan pasar

beras di dalam negeri dengan melakukan intervensi pasar dalam rangka mendorong

produksi padi dan menjaga stabilitas harga. Intervensi dilakukan dengan cara

mengelola persediaan beras nasional melalui BULOG (Badan Usaha Logistik), yaitu

lembaga pemerintah yang bertanggungjawab mengelola logistik. Pada saat itu impor

diatur secara ketat melalui kebijakan pengendalian impor dan tarif dengan tujuan

untuk menutup kesenjangan antara produksi dan konsumsi nasional. Pada tahun

1984, Indonesia mencapai swasembada pangan dan pada tahun 1985-1987 menjadi

pengekspor beras. Setelah masa tersebut Indonesia kembali menjadi negara

pengimpor beras.

Selanjutnya, pada tahun 1995 Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation – WTO) dan mulai menerapkan

Page 33: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 18

Agreement on Agriculture (AoA) atau Perjanjian Pertanian dalam WTO yang

meminta pemerintah Indonesia membuka pasar terhadap produk dari negara-negara

lain, menurunkan dan akhirnya menghapuskan subsidi input pertanian seperti

pupuk, pestisida dan bibit. Lebih jauh, batas harga beras ditetapkan sebesar 160

persen dari harga impor c.i.f dan berdasarkan jadwal AoA Indonesia harus membuka

akses masuknya beras dengan kuota minimal 70.000 ton per tahun. Dengan kuota

tersebut, tingkat tarif preferensi (preferential tariff) ditetapkan maksimum 90 persen.

Indonesia kemudian berkomitmen menurunkan subsidi ekspor yang telah dilakukan

selama tahun 1986-1990. Subsidi tersebut menghasilkan total ekspor 300.000 ton

beras per tahun dengan nilai subsidi US$ 28.000.000 per tahun.

Sejak AoA diberlakukan, Indonesia berhenti mengekspor beras dan berbalik

menjadi pengimpor. Sejak tahun 1995 Indonesia membuka pasar dalam negeri yang

melebihi ketentuan WTO. Pada tahun 1995-1997, tidak ada pengenaan tarif impor,

dan kuota impor diterapkan fleksibel dan mengundang masuknya 3,1 juta ton beras

impor pada tahun 1995, 1 juta ton pada tahun 1996 dan 400 ribu ton pada tahun

1997. Keseluruhan impor tersebut membuat Indonesia menjadi negara pengimpor

beras terbesar dunia selama tahun 1995-1997. Thailand, Vietnam dan Amerika

Serikat adalah pemasok utama beras impor Indonesia selama periode tersebut.

Fase kedua (1997-2000): Pada fase ini, pemerintah Indonesia meliberalkan

pasar berasnya, memprivatisasikan BULOG dan menghapuskan hambatan

perdagangan. Semua ini dilakukan oleh pemerintah atas desakan World Bank dan IMF yang memaksa pemerintah menandatangani surat perjanjian (Letter of Intent -

LOI) sebagai usaha untuk keluar dari dampak krisis ekonomi Asia. Selama kurun

waktu tersebut swasembada pangan Indonesia menurun, ketergantungan terhadap

beras impor meningkat, dan harga di tingkat konsumen dan produsen beras menjadi

tidak stabil. Pada periode ini terjadi lonjakan volume impor beras yang sangat tajam

yaitu dari 911 ribu ton pada periode 1996-1997 menjadi 3,8 juta ton pada 1998-

1999. Pemerintah tidak mampu menahan serbuan impor ini akibat kebijakan

liberalisasi perdagangan ditambah nilai tukar sudah relatif stabil (setelah tahun 1998)

sehingga harga beras juga menurun drastis (Sawit et al, 2007).

Pada tahun 1997, penerapan AoA bertumpang-tindih dengan kebijakan

penyesuaian struktural IMF dan World Bank yang melampaui ketetapan WTO. Pada

tahun yang sama Indonesia dan negara-negara Asia lain mengalami krisis ekonomi

Page 34: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 19

yang parah. Dalam konteks tersebut pemerintah menghapuskan atau menurunkan

dalam jumlah besar semua subsidi pertanian, termasuk subsidi input yang

sebelumnya berperan penting di dalam pengembangan sektor pertanian di

Indonesia. Kebijakan penetapan harga beras di pasar dalam negeri dihentikan dan

BULOG kehilangan hak monopoli impor. Tarif impor menjadi nol persen dan impor

dalam jumlah tak terbatas mengalir antara tahun 1998 dan 1999.

Fase ketiga (sejak 2001): Secara bertahap pemerintah kembali melakukan

pengendalian pasar beras di dalam negeri namun dengan berbagai modifikasi

dibandingkan masa sebelum liberalisasi di tahun 1997. Kebijakan ini diambil karena

dampak negatif liberalisasi pasar terhadap harga di tingkat produsen dan konsumen

beras. Kebijakan terdahulu yaitu harga dasar gabah telah diganti dengan harga

pembelian pemerintah (HPP) dengan batas harga atas yang ternyata tidak efektif.

Kebijakan menerapkan tarif spesifik yang bertujuan untuk melindungi petani dan mengatur pengelolaan impor beras tidak berjalan efektif (Sawit et al, 2007).

Kebijakan perdagangan tersebut bertujuan khusus menstabilkan harga gabah di

dalam negeri melalui pelarangan impor berkala dan mengatur persediaan beras

melalui privatisasi Bulog. Akhir-akhir ini, tarif impor yang dikenakan terhadap impor

beras adalah Rp 400/kg sebagai bentuk proteksi.

2) Jagung

Jagung di Indonesia merupakan komoditas pangan terpenting kedua setelah

padi/beras. Selain sebagai sumber pendapatan dan lapangan kerja, komoditas ini

juga dapat menghasilkan devisa negara melalui ekspor, khususnya di masa-masa

mendatang. Di masa datang terdapat indikasi kuat bahwa tingkat permintaan jagung

oleh industri akan terus meningkat, seiring dengan penambahan penduduk dan

peningkatan kebutuhan pakan ternak. Sementara produksi jagung pada 2011 turun

1,1 juta ton atau 5,99 persen menjadi 17,23 juta ton pipilan kering dibandingkan

produksi pada tahun 2010. Sementara kebutuhan jagung di dalam negeri pada

tahun 2011 mencapai 22 juta ton, sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersebut

harus dipasok melalui impor (BPS, 2011).

Data yang dirilis oleh BPS menyebutkan bahwa impor jagung selama Januari

sampai November 2011 mencapai 3 juta ton, dengan nilai impor USD 967,33 juta.

Nilai impor ini melampaui realisasi impor jagung selama jangka waktu yang sama

Page 35: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 20

pada 2010 sebesar 1,52 juta ton dengan nilai USD 369,07 juta. Masih tingginya

volume impor jagung tersebut antara lain karena minimnya produksi jagung

domestik menyusul sikap petani yang cenderung memilih bertanam padi karena

harga gabah yang relatif makin mahal.

Banyak hasil penelitian yang menunjukkan bahwa dayasaing jagung Indonesia cukup baik, sebagaimana diperlihatkan oleh nilai koefisien Domestic

Resource Cost Ratio DRCR yang lebih kecil dari satu, yaitu di luar Jawa 0,52-0,73,

dan di Jawa 0,54-0,92. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan sumberdaya

domestik dalam usaha memproduksi jagung di dalam negeri lebih efisien dibanding

dengan melakukan impor, sebab setiap satuan devisa yang dihasilkan dari produksi

jagung di Indonesia hanya memerlukan modal sumberdaya domestik sekitar 52–73 persen (Hutabarat et al, 1997; Sadikin et al, 1999 dan 2000).

Masalah perdagangan jagung di Indonesia, tidak terlepas dari berbagai

kebijakan yang diimplementasikan. Instrumen kebijakan pemerintah yang menonjol

pada komoditas ini adalah kebijakan harga dasar dan stabilisasi harga dalam negeri.

Kebijakan harga dasar jagung diawali tahun 1977/78, namun dalam perjalanannya

dinilai tidak efektif karena harga pasar di tingkat petani selalu berada diatas harga dasar. Karena itu sejak 1990 kebijakan harga jagung dihentikan (Rachman et al,

2000). Tataniaga jagung diserahkan sepenuhnya kepada pihak swasta sehingga

harga jagung ditentukan oleh mekanisme pasar.

Kebijakan perdagangan lainnya adalah pengenaan tarif impor jagung dengan

tujuan melindungi petani jagung dalam negeri. Selama 1974-1979, besaran tarif

yang dikenakan adalah 5 persen, kemudian meningkat menjadi 10 persen selama

tahun 1980-1993. Tarif impor kembali diturunkan menjadi 5 persen pada tahun 1994

hingga saat ini. Meskipun tarifikasi dan bentuk-bentuk proteksi lainnya akan

mempengaruhi kesejahteraan petani produsen, semua bentuk proteksi dipandang

sebagai upaya sementara sebelum sistem produksi nasional mampu bersaing

secara efisien.

Saat ini pemerintah sedang mengkaji penurunan tarif bea masuk (TBM) impor

jagung yang saat ini sebesar 5 persen. Langkah ini dilakukan untuk menurunkan

harga pakan ternak. Permintaan penurunan TBM ini juga diusulkan oleh Gabungan

Pengusaha Pakan Ternak Indonesia yang terbebani tingginya biaya impor jagung.

Page 36: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 21

Karena itu, tujuan penurunan TBM ini lebih pada penurunan harga pakan ternak

jangka panjang.

3) Komoditas Kedelai

Di Indonesia kedelai merupakan salah satu komoditas pangan strategis

sehingga mendapat perhatian yang lebih dari pemerintah dalam kebijakan pangan

nasional. Upaya untuk berswasembada tidak hanya bertujuan untuk memenuhi

kebutuhan pangan, tetapi juga untuk mendukung agroindustri dan menghemat

devisa dan mengurangi ketergantungan terhadap impor. Namun, tingkat

swasembada kedelai sampai saat ini belum tercapai karena jumlah kebutuhan masih

jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah produksi. Hal ini menyebabkan impor

kedelai terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data BPS (2012) volume

impor kedelai sepanjang Januari-Agustus 2010 naik sebesar 33,96 persen dari

periode yang sama tahun 2009, yaitu dari 928.200 ton menjadi 1.243.400 ton. Pada

tahun 2011 volume impor kedelai mencapai 1,9 juta ton dengan nilai US$ 1,2 milyar

dan menjadi 2,1 juta ton atau US$ 1,3 milyar pada 2012. Bahkan Kementerian

Pertanian, mencatat bahwa konsumsi kedelai Indonesia pada 2012 mencapai 2,5

juta ton. Konsumsi ini jauh dari produksi lokal yang hanya 700-800 ribu ton per

tahun. Oleh karena itu, pemerintah sangat membutuhkan impor (sekitar 70-80%)

untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri.

Swasembada kedelai di dalam negeri memang cukup sulit karena tantangan

yang dihadapi cukup berat dan kompleks. Selain terbatasnya lahan, tingkat harga

kedelai di dalam negeri juga tidak selalu berpihak kepada petani. Kedelai impor

yang harganya lebih murah saat ini membuat harga kedelai produksi dalam negeri

terpukul, sehingga petani pun lebih bergairah bertanam padi dan jagung. Agar petani

kembali bergairah mengembangkan komoditi ini, pemerintah harus membuat

kebijakan yang secara nyata melindungi kedelai produksi dalam negeri.

Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun 2012, sasaran tanaman kedelai

mencapai 600 ribu ton dengan target produksi sebesar 1,92 juta ton sedangkan

tahun 2013 menjadi 2,2 juta ton. Guna mencapai sasaran ini, produktivitas harus

dipacu menjadi 1,5 ton/ha.

Di tengah harga pangan dunia yang melonjak, ancaman terjadinya

kekurangan pasokan pangan menghantui Indonesia. Hal itu ditandai dengan terus

Page 37: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 22

melonjaknya harga beberapa bahan pangan termasuk kedelai. Harga kedelai terus

meningkat, dari sekitar Rp 3.800 per kg pada tahun 2010, menjadi Rp 6.800,

bahkan hingga Rp 8.000 pada tahun 2011, dan naik lagi menjadi Rp 10,300 pada

tahun 2012. Kenaikan tersebut sebagai dampak pemenuhan kebutuhan kedelai

nasional yang masih harus diimpor, sehingga sangat rentan terhadap fluktuasi harga

di pasar internasional.

Berbagai kebijakan untuk menstabilkan harga kedelai di dalam negeri telah

dilakukan sejak lama. Pada awal tahun delapan puluhan BULOG melaksanakan

pengadaan, penyimpanan dan penyaluran kedelai. Tujuannya adalah untuk

menjamin ketersediaan kedelai bagi pengrajin tahu/tempe terutama bagi anggota

KOPTI (Koperasi Perajin Tahu-Tempe Indonesia). Pengadaan dalam negeri hanya

berlangsung selama 3 tahun (1979/80-1982/83) dan jumlahnya sangat kecil atau

kurang dari 1 persen dari produksi dalam negeri. Sebaliknya pengadaan melalui

impor berlangsung tiap tahun dengan jumlah yang cukup besar. Pengadaan melalui

impor meningkat hingga mencapai 1,1 juta ton pada tahun 1984, tetapi kemudian

menurun drastis pada tahun berikutnya dan meningkat lagi hingga mencapai 490,9

ton pada tahun 1991 (Purwoto, 1997; Sudaryanto, 1999).

Kebijakan perdagangan internasional yang lain adalah pengenaan tarif ad-

valorem untuk impor kedelai. Tarif tersebut dimulai sejak 1974 sebesar 30 persen

yang dipertahankan sampai tahun 1980. Sejak tahun 1981 sampai tahun 1993 tarif

impor kedelai diturunkan menjadi 10 persen dan kemudian menjadi 5 persen pada

tahun 1994 sampai 1996. Pada tahun 1997 tarif tersebut diturunkan lagi menjadi 2,5

persen dan akhirnya tarif impor kedelai ditiadakan mulai tahun 1998 (Erwidodo dan

Hadi, 1999). Pada Januari 2008, pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri

Keuangan atau PMK menetapkan tarif impor nol persen pada komoditas kedelai

akibat meroketnya harga kedelai dunia (Ahmad, 2009).

Selanjutnya, pada tahun 2011 Kementerian Keuangan menerbitkan PMK

Nomor 13/PMK.011/2011 yang menetapkan TBM untuk komoditas kedelai sebesar

nol persen hingga 31 Desember 2011. Hal ini berarti tarif bea masuk untuk kedelai

akan kembali dinaikkan pada 1 Januari 2012 menjadi 5 persen. Langkah ini

dilakukan untuk mendukung program swasembada kedelai pada tahun 2014.

Page 38: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 23

4) Komoditas Gula

Gula juga merupakan salah satu komoditas pokok dan strategis di Indonesia.

Pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan yang mempunyai efek langsung

dan tidak langsung terhadap pasang-surutnya industri gula nasional. Kebijakan

pergulaan nasional diterapkan secara intensif, identik dengan intensitas kebijakan

yang berkaitan dengan industri beras. Di samping intensitasnya tinggi, kebijakan

pemerintah tersebut juga mempunyai dimensi yang cukup luas, mulai dari kebijakan

lahan, input, produksi, distribusi, kelembagaan, hingga kebijakan harga.

Walaupun dimensi kebijakan yang demikian luas dan sudah diterapkan sejak

lama oleh pemerintah Indonesia, secara garis besar kebijakan tersebut dapat dibagi

ke dalam tiga regim yang dilandasi oleh aspek esensi dan periode waktu (Tabel 2.2).

Ketiga regim kebijakan tersebut adalah: (i) Regim Kebijakan Suportif dan Stabilisasi

(1971-1997); (ii) Regim Kebijakan Liberalisasi (1997-2002); dan (iii) Regim

Kebijakan Proteksi dan Promosi (2002-sekarang).

Regim Kebijakan Suportif dan Stabilisasi

Sejalan dengan isu utama pada tahun 1970-an di negara sedang

berkembang, masalah ketersediaan dan ketahanan pangan merupakan salah satu

isu nasional yang sangat penting. Oleh sebab itu, upaya pemerintah Indonesia untuk

mendorong pembangunan sektor pertanian secara umum, dan secara lebih spesifik

untuk mencapai swasembada pangan, dalam hal ini, upaya peningkatan produksi

pangan dengan harga yang murah, merupakan fenomena utama kebijakan

pertanian, bahkan kebijakan nasional pada saat itu.

Tabel 2.2. Regim Kebijakan Pergulaan Nasional

Page 39: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 24

Regim Kebijakan Nomor SK/Keppres/ Keputusan Menteri Perihal Tujuan

Suportif dan Stabilisasi (1971 -1997)

Keppres No. 43/1971, 14 Juli 1971

Pengadaan, penyaluran, dan pemasaran gula

Menjaga kestabilan gula sebagai bahan pokok

Surat Mensekneg No. B.136/ABNSEKNEG/3/74, 27 Maret 1974

Penguasaan, pengawasan, dan penyaluran gula pasir non PNP

Penjelasan mengenai Keppres No. 43/1971 yang meliputi gula PNP

Inpres No. 9/1975, 22 April 1975

Intensifikasi tebu (TRI) Peningkatan produksi gula serta peningkatan petani tebu

Kep. Mendagkop No. 122/Kp/III/81, 12 Maret 1981

Tataniaga gula pasir dalam negeri

Menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan petani

Kep. Menkeu No. 342/KMK.011/1987

Penetapan harga gula pasir produksi dalam negeri dan impor

Menjamin stabilitas harga, devisa, serta kesesuaian pendapatan petani dan pabrik

Liberalisasi (1997-2002)

Inpres No. 5/1997, 29 Desember 1997

Program pengembangan tebu rakyat

Pemberian peranan pada pelaku bisnis dalam rangka perdagangan bebas

Inpres No. 5/1998, 21 Januari 1998

Penghentian pelaksanaan Inpres No. 5/1997

Kebebasan pada petani untuk memilih komoditas sesuai dengan Inpres No. 12/1992

Kep. Menperindag No. 25/MPP/Kep/1/1998

Komoditas yang diatur tataniaga impornya

Mendorong efisiensi dan kelancaran arus barang

Kep. Menhutbun No. 282/Kpts-IX/1999, 7 Mei 1999

Penetapan harga provenue gula pasir produksi petani

Menghindari kerugian petani dan mendorong peningkatan produksi

Kep. Menperindag No. 363/MPP/Kep/8/1999, 5 Agustus 1999

Tataniaga impor gula Pengurangan beban anggaran pemerintah melalui impor gula oleh produsen

Kep. Menperindag No. 230/MPP/Kep/6/1999, 5 Juni 1999

Mencabut Keputusan Menteriperindag No. 363/MPP/Kep/8/1999

Pembebanan tarif impor gula untuk melindungi industri dalam negeri.

Protektif dan Promosi (2002 – sekarang)

Kep. Menkeu No. 324/KMK.01/2002

Perubahan bea masuk Peningkatan efektivitas bea masuk

Kep. Menperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002, 23 September 2002

Tataniaga impor gula Pembatasan pelaku impor gula hanya menjadi importir gula produsen dan importir gula terdaftar untuk peningkatan pendapatan petani/produsen

Kep Menperindag No. 527/MPP/Kep/2004 jo Kep Menperindag No. 02/M/Kep/XII/2004 jo Kep Menperindag No. 08/M-DAG/Per/4/2005

Pengaturan Impor, kualitas gula, dan hara referen gula petani

Pembatasan pelaku impor gula ; kualiatas gual , waktu impor, dan harga penyangga/jaminan.

Kep Mendag N0. 19/M-DAG/PER/4/2006, 19 April 2006

Penetapan harga gula petani

Ketahanan pangan, peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat, dan swasembada gula

Sumber : Susila (2005).

Di samping beras, gula merupakan komoditas yang juga mendapatkan

perhatian serius dari pemerintah pada saat itu. Pemerintah mempunyai sasaran

untuk meningkatkan produksi melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi. Saat

itu, masalah distribusi dan harga juga menjadi domain kebijakan pemerintah.

Dengan perkataan lain, disamping masalah pertumbuhan dan ketersediaan,

masalah distribusi dan stabiliasi menjadi agenda utama pemerintah pada saat itu.

Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah sangat kental diwarnai oleh kebijakan yang

Page 40: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 25

bersifat suportif/mendukung yang umumnya termasuk kategori kebijakan domestic

support dan kebijakan untuk memelihara stabilisasi ketersediaan dan harga di

tingkat produsen dan konsumen. Karena itu, regim kebijakan ini diberi nama Regim Kebijakan Suportif dan Stabilisasi.

Secara umum, berbagai kebijakan yang termasuk ke dalam kategori domestic

support, seperti subsidi input, jaminan harga atau harga dasar, pengendalian

distribusi, dan pengendalian harga di tingkat konsumen, sangat lekat dengan regim

kebijakan ini. Berikut ini akan diuraikan beberapa kebijakan penting pada periode ini.

Fondasi atau jiwa dari regim kebijakan ini diawali dengan kebijakan pemerintah yang

tertuang di dalam Keppres No. 43/1971, yang dikeluarkan pada tanggal 14 Juli 1971.

Materi atau perihal kebijakan ini menyangkut pengadaan, penyaluran, dan

pemasaran. Salah satu esensi dari kebijakan ini adalah memberi wewenang kepada

Bulog untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan gula pasir. Kebijakan ini

menandai era dimulainya peran Bulog sebagai lembaga stabilisator pasar gula di

dalam negeri.

Agar lebih efektif, Keppres tersebut didukung oleh Surat Mensekneg

No.B.136/APBN Sekneg/3/74 yang menjelaskan mengenai Keppres tersebut. Pada

periode 1970-1980, jumlah stok yang dikuasai Bulog berkisar 50-80 persen dari total

stok. Ketika program TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) mulai dijalankan dan bagian

gula petani menjadi makin besar, maka stok dan penawaran gula di luar Bulog

meningkat. Oleh sebab itu, sejak tahun 1980 Bulog membeli semua produksi gula

dalam negeri dan menyalurkannya ke pasar sehingga peran Bulog makin kokoh

dalam memerankan fungsinya sebagai lembaga stabilisasi (Amang, 1994).

Di antara berbagai kebijakan pada regim kebijakan suportif dan stabilisasi,

kebijakan yang paling signifikan dari pemerintah adalah kebijakan TRI yang tertuang

dalam Inpres No. 9/1975 tanggal 22 April 1975. Tujuan kebijakan tersebut adalah

untuk meningkatkan produksi gula dan pendapatan petani tebu dalam upaya

mengatasi defisit produksi yang terus meningkat. Di satu sisi, perekonomian

Indonesia tumbuh relatif pesat dan jumlah penduduk juga meningkat sehingga

konsumsi gula terus meningkat pada tahun 1970-an. Di sisi lain, produksi gula dalam

negeri belum dapat memenuhi konsumsi, sementara harga gula di pasar

internasional melambung tinggi dan mencapai puncaknya pada tahun 1970-an.

Page 41: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 26

Jiwa dari kebijakan tersebut adalah upaya peningkatan produksi dengan

memberi peran yang lebih besar kepada petani tebu. Sebelum kebijakan ini

diterapkan, lahan petani disewa oleh perusahaan gula untuk ditanami tebu. Dengan

demikian, seluruh keputusan ada di tangan perusahaan, petani pemilik lahan tidak

berperan dalam aktivitas usahatani tebu. Kebijakan TRI tersebut mencoba

melakukan perubahan yang mendasar dengan memberi ruang yang luas bagi petani

untuk berpartisipasi dalam produksi gula sebagai pemasok bahan baku tebu.

Dengan perkataan lain, kebijakan TRI mencoba untuk membuat petani menjadi

manajer pada lahannya sendiri.

Untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut, pemerintah memberi berbagai

dukungan kebijakan yang termasuk ke dalam kategori domestic support. Dukungan

tersebut antara lain berbentuk kredit Bimas, bimbingan teknis, perbaikan sistem

pemasaran dengan melibatkan KUD, serta menciptakan suatu hubungan kerjasama

antara petani tebu dan pabrik gula (Adisasmito, 1998). Dalam hal ini, petani

bertindak sebagai pemasok bahan baku tebu yang dalam pengelolaannya mendapat

bimbingan dari perusahaan gula. Perusahaan gula, dalam hal ini PG, bertindak

sebagai pengolah bahan baku tebu menjadi gula. Kerjasama ini diwujudkan juga

dalam bentuk bagi hasil penglahan tebu petani menjadi gula petani.

Keputusan Mendag dan Koperasi No. 122/Kp/III/81 tanggal 12 Maret 1981

mengenai tataniaga gula pasir dalam negeri bertujuan untuk menjamin kelancaran

pengadaan dan penyaluran gula pasir serta peningkatan pendapatan petani.

Kebijakan ini jelas mengatur sistem distribusi gula sehingga pengadaan dan

penyaluran gula pasir dapat berjalan lancar untuk mencapai stabilitas pasar

domestik. Kebijakan tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani

dengan memberi harga provenue atau harga minimum untuk petani.

Kebijakan selanjutnya yang sangat identik dengan kebijakan periode ini

adalah Keputusan Menkeu No. 342/KMK.011/1987 mengenai harga gula. Kebijakan

ini kembali mempertegas jiwa kebijakan untuk tujuan stabilisasi. Instrumen utama

kebijakan tersebut adalah harga provenue dan harga jual yang dikelola oleh Bulog.

Jelas tampak bahwa stabilisasi yang ingin dicapai tidak hanya pada level usahatani

dengan harga provenuenya, tetapi juga pada harga konsumen dengan diaturnya

harga jual gula yang dikelola Bulog. Seperti diuraikan pada kebijakan tersebut,

tujuan kebijakan ini adalah untuk stabilisasi harga gula di pasar domestik,

Page 42: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 27

peningkatan penghasilan penerimaan pemerintah, harga gula yang terjangkau masyarakat, serta menjamin pendapatan petani tebu dan pabrik gula (Sudana et al,

2000). Kebijakan ini bersifat multi tujuan, bahkan antar tujuan ada yang bersifat berlawanan (conflicting), seperti peningkatan pendapatan petani versus harga yang

terjangkau, serta peningkatan penerimaan pemerintah.

Karena periode ini adalah periode stabilisasi, maka impor menjadi bersifat

residual. BULOG sebagai lembaga yang mengelola impor gula menjadikan impor

sebagai selisih antara konsumsi dengan produksi domestik. Karena bersifat residual,

maka volume impor cenderung fluktuatif pada periode tersebut. Pada periode 1984-

1991, impor cenderung meningkat. Kemudian menurun dan mencapai titik terendah

pada tahun 1994 dimana impor gula hanya 15 ribu ton. Pada posisi ini, Indonesia

sudah dapat mengklaim mencapai swasembada gula. Akhir periode stabilisasi

ditandai oleh meningkatnya kembali impor.

Regim Kebijakan Liberalisasi

Regim kebijakan Liberalisasi (1997-2002) tergiring oleh dua situasi yang

mendesak. Situasi pertama adalah tekanan isu liberalisasi perdagangan yang

bersifat multilateral melalui WTO dan regional seperti AFTA, serta memberi tekanan

substansial agar Indonesia meliberalisasikan perdagangan produk pertaniannya,

termasuk gula. Kalangan akademisi di Indonesia juga secara gencar memberi

tekanan untuk melakukan liberalisasi perdagangan. Mereka berargumen bahwa

melindungi industri gula yang tidak efisien adalah tidak bijaksana. Pada saat itu,

mereka cenderung tidak mau melihat bahwa industri gula dunia sangat distortif

sehingga meliberalisasi industri gula Indonesia sama dengan membiarkan industri

gula Indonesia bersaing pada medan persaingan yang tidak adil.

Krisis multidimensional, termasuk krisis ekonomi, telah memaksa Indonesia

dalam posisi yang lemah terhadap lembaga donor. IMF sebagai salah satu donor

utama Indonesia pada saat itu juga memberi tekanan agar Indonesia

meliberalisasikan perdagangan produk gulanya. Walaupun tidak secara ekplisit

tersurat, tekanan ke arah tersebut secara implisit tertuang pada butir 44 dari LoI (Letter of Intent) yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia dan IMF. Tekanan

dari IMF ini dinilai banyak kalangan lebih bersifat memaksa dibandingkan dengan

tekanan dari WTO.

Page 43: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 28

Tekanan tersebut membuat Indonesia menjadi negara yang menerapkan

tingkat liberalisasi tertinggi di dunia untuk komoditas gula, suatu perubahan

kebijakan yang dramatis. Dalam hal ini, pelaku impor dibebaskan, atau tidak

dimonopoli oleh BULOG lagi. Dengan argumen untuk peningkatan efisiensi ekonomi,

pemerintah mengeluarkan Keputusan Menperindag No. 25/MPP/Kep/1/1998 yang

tidak lagi memberi monopoli kepada BULOG untuk mengimpor komoditas strategis,

termasuk gula. Era ini merupakan akhir dari peran BULOG sebagai lembaga yang

memonopoli impor, sekaligus dimulainya era perdagangan bebas untuk gula di

pasar Indonesia.

Pada periode ini, impor gula dilakukan dengan TBM sebesar 0 persen dan

pelakunya adalah perusahaan importir umum. Akibatnya, impor gula melonjak pesat

pada periode ini. Jika pada tahun 1996 impor masih di bawah 1 juta ton, maka pada

tahun 1997 sudah mencapai 1,36 juta ton dan mencapai puncaknya menjadi 1,73

juta ton pada tahun 1998.

Kebijakan tersebut yang diduga berkaitan dengan tekanan IMF merupakan

suatu perubahan kebijakan sangat drastis sehingga mempunyai dampak cukup luas

terhadap industri gula Indonesia. Hal ini diperkuat lagi oleh krisis ekonomi Indonesia

yang makin parah yang menyebabkan terjadinya kenaikan biaya produksi. Pada

tingkat usaha tani tebu, kenaikan biaya produksi tersebut terutama sebagai akibat

kenaikan upah dimana usahatani tebu memerlukan tenaga kerja cukup besar yaitu

600 HOK/ha untuk lahan sawah dan 400 HOK/ha untuk lahan kering. Pada tingkat

pabrik, biaya tenaga kerja mencapai sekitar 30 persen dari keseluruhan biaya

produksi (Susmiadi, 1998).

Banjirnya gula impor dengan harga murah membuat industri gula dalam

negeri mengalami kontraksi atau kemunduran. Pada periode ini areal tebu turun

drastis dari 446 ribu ha pada tahun 1996 menjadi sekitar 350 ribu ha pada periode

liberalisasi. Sebagai akibatnya, produksi menurun dari diatas 2 juta ton pada akhir

periode stabilisasi menjadi sekitar 1,5 juta ton pada periode liberalisasi.

Kinerja pergulaan Indonesia yang mengalami penurunan sudah disadari

pemerintah sejak awal krisis ekonomi terjadi. Untuk mengatasi masalah tersebut,

pemerintah mengeluarkan Inpres No. 5/1997. Inpres tersebut pada dasarnya

dimaksudkan untuk mengoptimalkan sinergi dan peran tebu rakyat, perusahaan

Page 44: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 29

perkebunan, dan koperasi dalam pengembangan industri gula. Inpres tersebut juga

mempertegas peran Menteri Pertanian dalam pengembangan industri gula, baik

melalui penyediaan bibit dan bimbingan teknis, peningkatan peran lembaga

penelitian, maupun menghilangkan berbagai pungutan yang tidak ada kaitannya

dengan pembangunan tebu rakyat (Sudana et al, 2000). Namun Inpres tersebut

dicabut dan diganti dengan Inpres No. 5/1998 yang membebaskan petani menanam

komoditas yang paling menguntungkan sesuai dengan Inpres No. 12/1992 tentang

budidaya tanaman.

Ketika krisis ekonomi Indonesia mulai berkurang pada tahun 1999, harga gula

di dalam negeri justru mengalami penurunan secara signifikan. Penurunan tersebut

disebabkan oleh tiga faktor, yaitu (1) harga gula dunia yang terus menurun, (2) nilai

tukar Rupiah yang menguat, dan (3) tidak adanya TBM. Pada tahun 1999, rata-rata

harga dunia di pasar internasional adalah US$ 137.3/ton, sedangkan nilai tukar

Rupiah pada saat itu rata-rata mencapai Rp 7.100/US$. Sebagai akibatnya, harga

paritas impor gula pada saat itu mencapai titik terendah yaitu sekitar Rp 1.800-1.900

per kg. Hal ini membuat harga gula dalam negeri mengalami tekanan. Untuk

melindungi produsen, maka pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri

Kehutanan dan Perkebunan No. 282/KPTS-IV/1999 yang kembali menetapkan

harga provenue gula sebesar Rp 2.500 per kg.

Kebijakan harga provenue tersebut ternyata tidak efektif karena tidak

didukung oleh rencana tindak lanjut yang memadai. Sebagai contoh, untuk

mengimplementasikan kebijakan tersebut, pemerintah tidak memiliki dana yang

memadai. Di sisi lain, BUMN perkebunan yang mengelola gula juga tidak memiliki

dana yang memadai untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Sebagai akibatnya,

kebijakan tersebut tidak dapat diwujudkan sehingga harga gula petani masih tetap

mengalami ketidak-pastian.

Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah melalui Departemen

Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan Keputusan Menperindag No.

364/MPP/Kep/8/1999. Instrumen utama dari kebijakan tersebut adalah pembatasan

jumlah importir dengan hanya mengijinkan importir produsen. Dengan kebijakan ini,

pemerintah dapat membatasi dan mengendalikan volume impor di samping memiliki

data yang lebih valid mengenai volume impor dan stok. Dengan demikian, harga

gula dalam negeri dan harga gula di tingkat petani dapat ditingkatkan.

Page 45: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 30

Kebijakan importir-produsen tersebut ternyata masih kurang efektif untuk

mengangkat harga gula di pasar domestik dan mengontrol volume impor. Walaupun

tidak ada data pendukung yang memadai, kegagalan tersebut terutama disebabkan

oleh stok gula dalam negeri yang berlebihan dan masih ada gula impor ilegal.

Situasi ini membuat harga gula di pasar domestik tetap melemah. Desakan petani

dan pabrik gula terhadap pemerintah untuk melindungi industri gula dalam negeri

makin kuat (Dewan Gula Indonesia, 1999). Menanggapi tekanan ini, pemerintah

mengeluarkan kebijakan tarif impor dengan Keputusan Menperindag

No.230/MPP/Kep/6/ 1999 yang memberlakukan TBM gula sebesar 20 persen untuk raw sugar (gula mentah) dan 25 persen untuk white sugar (gula putih).

Regim Kebijakan Promotif dan Protektif

Ketika harga gula domestik terus merosot dan industri gula sudah diambang

kebangkrutan dan tekanan produsen (PG dan petani) makin kuat, pemerintah

mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor dengan

membatasi importir menjadi hanya importir produsen (IP) dan importir terdaftar (IT).

Era ini merupakan era dimulainya Regim Protektif dan Promotif. Gula yang diimpor

oleh importir-produsen hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan industri dari

IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain untuk menjadi IT, bahan baku

dari PG milik IT minimal 75 persen berasal dari petani. Kebijakan ini dituangkan

dalam Keputusan Menperindag No. 643/MPP/Kep/9/2002 tanggal 23 September

2002. Esensi lainnya yang penting dari kebijakan tersebut adalah bahwa impor gula

akan diijinkan bila harga gula di tingkat petani mencapai minimal Rp 3.100/kg.

Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan harga di dalam negeri sehingga

memperbaiki pendapatan produsen.

Kebijakan tataniaga gula tersebut dinilai masih mempunyai beberapa

kelemahan antara lain belum jelasnya spesifikasi mutu gula, waktu impor, dan

jaminan harga untuk petani. Untuk itu, pemerintah menyempurnakan kebijakan

tersebut dengan Keputusan Menperindag No.527/MPP/Kep/2004 jo Kep.

Menperindag No. 02/M/Kep/XII/2004 jo Kep. Menperindag No. 08/M-

DAG/Per/4/2005 tentang Ketentuan Impor Gula. Esensi kebijakan ini adalah

ketentuan ICUMSA yang secara nyata membedakan antara gula kristal putih (GKP),

Page 46: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 31

gula kristal rafinasi (GKR), dan raw sugar; adanya kejelasan waktu dan pelabuhan

impor, serta kenaikan harga referensi di tingkat petani menjadi Rp 3.800/kg.

Kenaikan harga BBM pada akhir tahun 2005 di atas 100 persen membuat

biaya produksi meningkat tajam, terutama yang bersumber dari biaya transportasi.

Seperti diketahui, biaya transportasi mempunyai pangsa biaya sekitar 30 persen dari

biaya keseluruhan. Ditambah dengan peningkatan biaya lain sebagai kenaikan

harga BBM, biaya produksi meningkat menjadi sekitar Rp 4.400/kg GKP.

Berdasarkan pertimbangan ini dan dalam upaya meningkatkan ketahanan pangan,

peningkatan kegiatan ekonomi daerah, serta memelihara momentum yang baik

untuk mencapai swasembada pangan, maka pemerintah kembali meningkatkan

harga patokan petani (HPP) melalui Keputusan Mendag No. 19/M-DAG/PER/4/2006

tanggal 19 April 2006. Dengan kebijakan tersebut, harga gula petani ditetapkan

sebesar Rp 4.800/kg. Jika regim kebijakan ini dipertahankan dan diikuti oleh

perbaikan efisiensi di tingkat usahatani dan PG (Pabrik Gula), kebijakan ini

diperkirakan akan efektif untuk mendorong perkembangan industri gula nasional.

Kebijakan-kebijakan pada periode ini cukup efektif untuk membangkitkan

kembali industri gula nasional, walaupun faktor eksternal seperti kenaikan harga

gula di pasar internasional juga turut menolong industri gula nasional. Dari sisi areal,

dampaknya mulai tampak dan pada tahun 2005 areal mulai meningkat secara

signifikan. Produksi mulai meningkat dan mulai tahun 2004 sudah kembali diatas 2

juta ton. Sebagai akibatnya, impor mulai menurun dari sekitar 1,5 juta ton menjadi

sekitar 1,3 juta ton. Jika kebijakan-kebijakan ini dipertahankan dan didukung oleh

program revitalisasi pembangunan industri gula nasional, Indonesia dapat berharap

mencapai swasembada gula pada tahun 2010 (proporsi impor adalah sekitar 90

persen dari konsumsi nasional). Akhir-akhir ini pemerintah telah merencanakan

membangun lima pabrik gula baru di daerah-daerah yang belum ada pabrik gulanya,

yang salah satunya adalah pulau Madura. Untuk melindungi petani produsen,

pemerintah telah menetapkan TBM gula kristal putih sebesar Rp 790 per kg yang

diberlakukan sejak beberapa tahun yang lalu. Paling tidak, kebijakan-kebijakan

tersebut akan memberi landasan yang memadai untuk kebangkitan industri gula

nasional.

Page 47: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 32

5) Komoditas Ternak dan Daging Sapi

Impor daging sapi selalu dilakukan setiap tahun sejak pemerintahan Orde

Baru (mungkin juga pada periode sebelumnya) hingga sekarang dengan volume

yang berfluktuasi namun cenderung meningkat. Selain mengimpor daging sapi beku,

Indonesia juga mengimpor sapi bakalan dari Australia untuk digemukkan di

Indonesia yang baru dilakukan sejak tahun 1990. Alasan rasional dari impor sapi

bakalan tersebut adalah bahwa impor sapi bakalan yang selanjutnya digemukkan di

dalam negeri mempunyai efek pengganda jauh lebih besar dibandingkan jika

mengimpor dalam bentuk daging beku, antara lain: (1) Tumbuhnya peternakan berskala besar (feedlotter) yang memerlukan tenaga kerja cukup banyak, baik

tenaga kerja langsung di kandang sapi maupun tenaga kerja tidak langsung di

kantor; (2) Pemanfaatan limbah pabrik pengolahan hasil pertanian (misalnya ampas

nenas di Lampung) sebagai pakan yang bergizi tinggi untuk ternak; dan (3)

Tumbuhnya jasa angkutan ternak.

Namun sejak tahun 2009, volume impor sapi bakalan dan impor daging beku

berlebihan yang menyebabkan pasar daging di daerah konsumen utama yaitu

Jabodetabek menjadi jenuh. Kejenuhan pasar ini diindikasikan oleh turunnya harga

sapi potong hidup di daerah tersebut turun dari Rp 20.000 menjadi Rp 18.000 per kg

berat hidup. Walaupun secara resmi daging impor tidak masuk pasar daging sapi

lokal di pasar tradisional, dalam kenyataannya cukup banyak daging impor yang

masuk pasar tradisional (Hadi et al, 2009). Konsumen dan tukang bakso yang

semula fanatik terhadap daging sapi lokal, perlahan-lahan akhirnya mau juga

menerima daging sapi eks daging beku impor dan eks sapi bakalan impor. Sejak

2009, di daerah Jabodetabek jumlah ternak eks impor sapi bakalan yang harganya

lebih murah dibanding sapi lokal per kg berat hidupnya, terlalu banyak (menurut

pengakuan pedagang ternak sapi potong dari Jawa Timur, NTT dan NTB).

Akibatnya, ternak sapi asal daerah sentra produksi yaitu Jawa Timur, NTB dan NTT,

sulit masuk ke pasar Jabodetabek. Banyak ternak sapi yang numpuk di kandang

pedagang besar ternak karena masih rugi jika dikirim ke Jadebotabek. Jumlah

pedagang ternak sapi antar daerah banyak yang bangkrut karena banyak ternak

sapi dagangannya yang numpuk. Dampak lanjutannya adalah harga sapi hidup di

tingkat peternak jatuh sehingga peternak menjadi kurang tertarik bergairah untuk

memelihara sapi potong.

Page 48: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 33

Respon pemerintah terhadap fenomena tersebut adalah mulai membatasi

volume impor ternak sapi bakalan dan daging sapi melalui penetapan kuota impor

sejak tahun 2010 dan berlangsung hingga 2013 yaitu sebagai berikut: (1) Kuota

impor sapi bakalan yang terus menurun yaitu dari 101.000 ton (2010) menjadi

77.000 ton (2011), lalu menjadi 51.000 ton (2012) dan 42.000 ton (2013); dan (2)

Kuota impor daging sapi yang juga terus menurun yaitu dari 120.000 ton (2010)

menjadi 80.000 ton (2011), lalu menjadi 34.000 ton (2012), dan menjadi 38.000 ton

(2013). Kebijakan kuota tersebut berdampak meningkatkan harga sapi hidup di

tingkat peternak menjadi Rp 28.000 sampai dengan Rp 32.000 per kg, yang

sebelumnya hanya mencapai sekitar Rp 18.000 sampai dengan Rp 20.000 per kg.

Namun ternyata, kondisi tersebut menyebabkan harga daging yang meningkat terus

sejak pertengahan tahun 2012 dari Rp 65.000 menjadi diatas Rp 100.000 per kg

pada tahun 2013. Hal ini mengindikasikan bahwa penentuan impor sebagai upaya

untuk memenuhi kebutuhan konsumen masih belum bisa menutupi kebutuhan

konsumsi. Untuk dapat menstabilkan harga daging, dalam arti kata menurunkan

harga, pemerintah berupaya memenuhi kebutuhan konsumsi dengan menambah

pasokan dari luar negeri.

2.6.2. Kebijakan Harga Output dan Input Pertanian

Untuk memberikan insentif bagi petani produsen, pemerintah Indonesia setiap

tahun menetapkan HPP (Harga Pembelian Pemerintah) untuk Gabah dan Beras,

dan HPP (Harga Patokan Petani) untuk Gula Kristal Putih (GKP). Faktor-faktor yang

dipertimbangkan di dalam penentuan HPP tersebut adalah rata-rata biaya produksi

per kg hasil (gabah, beras, gula), marjin petani produsen, daya beli masyarakat

konsumen, dan potensi dampaknya terhadap inflasi. Untuk menjamin efektifitas

kebijakan HPP gabah, BULOG diberi tugas untuk mengamankan kebijakan tersebut

melalui pembelian gabah pada musim panen raya dimana harga produsen biasanya

turun.

Untuk merangsang petani menerapkan teknologi produksi yang lebih baik

dalam upaya peningkatan produktivitas, pemerintah juga memberikan subsidi harga

input, yaitu pupuk anorganik (Urea, ZA, SP36, NPK) dan pupuk organik melalui

penetapan HET (Harga Eceran Tertinggi) di tingkat pengecer resmi pupuk bersubsidi

dan benih unggul (padi, jagung, kedelai) melalui penetapan Harga Penyerahan di

Page 49: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 34

tingkat pengecer benih bersubsidi resmi. Peningkatan produktivitas diharapkan

mempunyai kontribusi yang signifikan di dalam peningkatan produksi nasional di

tengah-tengah ketersediaan lahan untuk pertanian yang makin terbatas untuk

perluasan areal karena konversi lahan pertanian subur untuk keperluan non-

pertanian (jalan raya, permukiman, perkantoran, perhotelan, pabrik, dll).

2.7. Promosi Diversifikasi Pangan

Salah satu sisi penyebab belum tercapainya atau terancamnya swasembada

pangan adalah jumlah konsumsi yang terus meningkat sebagai akibat dari

pertumbuhan jumlah penduduk yang masih cukup cepat dan pertumbuhan

pendapatan per kapita yang mencerminkan meningkatnya dayabeli masyarakat

konsumen. Untuk memperlambat laju pertumbuhan konsumsi, beberapa upaya telah

dilakukan oleh Pemerintah Indonesia, yaitu: (1) Penurunan laju pertumbuhan jumlah

peduduk melalui program Keluarga Berencana dengan moto Keluarga Kecil Sehat

dan Sejahtera; (2) Diversifikasi pangan beras dengan komoditas-komoditas pangan

lokal lainnya (jagung, ubi-ubian, sagu, dan lain-lain); (3) Program “One Day No Rice”

yang di beberapa daerah sudah dilaksanakan; dan (4) Sosialisasi tentang pangan

yang sehat, bergizi dan aman.

Page 50: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 35

BAB III METODOLOGI

3.1. Kerangka Teori

3.1.1. Teori Konsumsi/Permintaan

Fungsi konsumsi pada hakekatnya dapat diturunkan dari maksimisasi utilitas

(kegunaan) dengan kendala (faktor pembatas) jumlah pendapatan (diproksi dari

jumlah pengeluaran), sebagaimana ditunjukkan pada persamaan (1) dan (2):

Maksimumkan:

( )nQQQuU ,...,, 21= …………………………………………………......... (1)

Kendala :

∑=

=n

iiiQPE

1

………………………………………………..………...…....... (2)

dimana: U = Utilitas Pi = Harga barang yang dikonsumsi ke-i

Qi = Jumlah konsumsi barang ke-i

E = Total pengeluaran (proksi pendapatan)

Dari syarat-syarat maksimisasi utilitas tersebut di atas dapat diturunkan fungsi

konsumsi sebagai fungsi dari harga barang dan pengeluaran (pendapatan), yaitu:

( )EPPPqQ nii ,,...,, 21= …………………………….……………….…..…….. (3)

Di dalam analisis konsumsi terdapat konsep dualitas, yaitu untuk setiap fungsi

utilitas pasti terdapat suatu fungsí utililtas tak langsung dan fungsí pengeluaran. Dari

fungsí utilitas tak langsung dan fungsi pengeluaran ini dapat diperoleh jumlah

konsumsi yang nilainya identik pada titik optimal.

Fungsi utilitas tak langsung dapat diperoleh dari maksimisasi utilitas. Dengan

memasukkan persamaan (1) ke dalam persamaan (3), diperoleh fungsi utilitas tak

langsung sebagai fungsi dari harga dan pendapatan (4):

( )EPPPvV n ,,...,, 21= …………………..……………………………....…........ (4)

dimana: V = utilitas tak langsung

Page 51: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 36

Sementara itu, fungsi pengeluaran menunjukkan biaya minimum yang

diperlukan untuk mencapai tingkat kepuasan tertentu. Dengan demikian, fungsi

pengeluaran dapat diturunkan menjadi seperti pada persamaan (5) dan (6) sebagai

berikut :

Minimumkan:

∑=

=n

iiiQPE

1

……………………………………………………….................. (5)

Kendala:

( )nQQQuU ,...,, 21= …………………………………………………..….….... (6)

Dari jawaban persoalan minimisasi pengeluaran ini diperoleh fungsi

pengeluaran yang tergantung pada harga barang dan tingkat kepuasan, yaitu:

( )UPPPeE n ,,...,, 21= ………….……………………………………….…....... (7)

Hasil minimisasi pengeluaran tersebut dapat juga dipakai untuk memperoleh

fungsi transformasi, yang menunjukkan komposisi jumlah konsumsi yang paling

murah untuk mencapai tingkat kepuasan tertentu, yang ditunjukkan pada persamaan

(8) dan (9):

( ) =UQQQF n ,,...,, 21 Minimum

∑=

n

iiiQP

1

……………………..………………..............................…….…….... (8)

Kendala:

( ) UEPPPvV n ≤= ,,...,, 21 ……………………………………………...…….... (9)

Dari fungsi utilitas dan fungsi utilitas-tak-langsung dapat diperoleh fungsi

kebalikan dan fungsi langsung permintaan Marshallian. Fungsi langsung permintaan

tersebut diperoleh dengan menggunakan identitas Roy (10) sebagai berikut:

( )EVPvEPPPQ i

ni ∂∂∂∂

−=//,,...,, 21 …………………………………………..…… (10)

Fungsi kebalikan permintaan Marshallian diturunkan dari fungsi utilitas

langsung Marshallian (11) dengan menggunakan indentitas Hotelling-Word

(Weymark, 1980), yaitu:

Page 52: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 37

( )i

n

jj

ini

QuQ

QuEEQQQP∂∂

∂∂=

∑=

/

/,,...,,

1

21 ………..………………………………..(11)

Fungsi permintaan langsung dan kebalikan Hicksian dapat diperoleh dari

fungsi pengeluaran dan transformasi. Fungsi permintaan langsung ini diperoleh

dengan menggunakan Shephard Lemma, yaitu:

( ) ini PEUPPPQ ∂∂= /,,...,, 21 …………………………………….……....... (12)

Sementara itu dari fungsi transformasi dapat diperoleh fungsi kebalikan

permintaan Hicksian (13) dengan menggunakan Shephard – Hanoch Lemma:

( ) ini QFUQQQP ∂∂= /,,...,, 21 …………………..…………...………....... (13)

Berdasarkan pemikiran tersebut diatas, bentuk fungsi permintaan tergantung

pada asumsí bentuk fungsi utilitas, fungsi utilitas-tak-langsung, dan fungsi

pengeluaran atau fungsi fleksibilitas. Sifat-sifat teoritis permintaan berdasarkan

syarat-syarat maksimisasi tingkat kepuasan ditunjukkan pada persamaan (14)

sampai dengan (19):

(1) Agregasi Engel

( ) 1/1

=∂∂∑=

n

ii EQP atau 1

1=∑

=

n

iiiSη ……………………………………....... (14)

dimana:

Si = Pangsa pengeluaran untuk Qi

ηi = Elastisitas pendapatan untuk Qi

(2) Agregasi Cournot :

( ) j

n

ijii QPQP −=∂∂∑

=1/ atau j

n

iiji SS −=∑

=1ε ……………………………..…... (15)

dimana: ϵij = Elastisitas Qi terhadap Qj

(3) Simetri

∂−

∂∂

=∂∂

j

j

i

ijj

j

i

i

j

ii

jj

i

j

j

i

QE

EQ

QE

EQ

EQP

QP

PQ

EQP

EQP

QP

PQ

**** ……… (16)

Page 53: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 38

atau ( )jijjii

jij S

SS

ηηεε −−= …………………………………………….... (17)

(4) Homogeneity

( ) ( ) ( ) )/(*/)/(*/)/(*/ iiijjiiiii QEEQQPPQQPPQ ∂∂+∂∂=∂∂ ……………. (18)

atau

iijii ηεε += ……………………………………………………………........ (19)

3.1.2. Teori Produksi/Penawaran

1) Fungsi Produksi

Pada model-model perilaku produsen diasumsikan bahwa teknologi dapat

direpresentasikan oleh fungsi produksi. Jumlah satu atau lebih output/komoditas

yang diproduksi adalah fungsi dari jumlah input faktor produksi yang digunakan

dalam proses produksi. Untuk satu jenis output, fungsi produksinya dapat ditulis

sebagai berikut:

( )nXXXfY ,...,, 21= ……………………………………………..…........ (20)

dimana:

Y adalah output dan Xi adalah input.

Perkembangan teknologi dapat direpresentasikan sebagai model produksi

yang bergeser dari waktu ke waktu. Dengan kombinasi input tertentu dimungkinkan

untuk menghasilkan sejumlah output. Sebagai contoh adalah fungsi produksi Cobb-

Douglas yang pada tahun 1928 diusulkan oleh ahli matematika Cobb dan ahli

ekonomi Douglas. Di dalam fungsi Cobb-Douglas diasumsikan ada dua faktor

produksi yaitu tenaga kerja (L) dan modal (K) yang digunakan untuk memproduksi

komoditas Y sehingga bentuk fungsi produksinya adalah sebagai berikut:

βα KALY = ; A > 0 ……………………………………………………........ (21)

Fungsi produksi Cobb-Douglas merupakan fungsi perkalian dengan α>0, β>0

dan (α+β)<1. Persamaan (21) dapat juga ditulis sebagai hubungan linier logaritma

(22) sebagai berikut:

KLAY lnlnlnln βα ++= ………………………………………………....... (22)

Page 54: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 39

Produktifitas marjinal tenaga kerja dan modal masing-masing direpresentasikan

sebagai dY/dL=α(Y/L)>0 dan dY/dK=β(Y/K)>0, proporsional terhadap rata-rata

produktifitas. Produktifitas marjinal bersifat “decreasing function” dari L dan K.

Elastisitas produksi terhadap L dan K masing-masing direpresentasikan sebagai α

dan β, sehingga α+β adalah persentase perubahan produksi yang disebabkan oleh 1 persen perubahan input L dan K. Nilai α+β adalah derajat homogeneity fungsi

produksi, yang mempunyai nilai lebih kecil, sama dengan atau lebih besar dari satu, yang masing-masing tergantung pada decreasing, constant atau increasing return to

scale.

Ada beberapa teknologi produksi yaitu teknologi Cobb-Douglas, Leontief dan

linier. Teknologi Cobb-Douglas sering digunakan karena parameternya adalah elastisitas dan fungsi produksi dengan teknologi ini mengikuti “Law of Diminishing

Return to Scale”. Namun fungsi Cobb-Douglas terkendala oleh “Constant Elasticity

of Substitution”. Fungsi Cobb-Douglas dapat merepresentasikan fungsi produksi

yang masih increasing return to scale, tetapi untuk merefleksikan fungsi produksi

yang sudah decreasing return to scale harus menggunakan restriksi. Sementara itu,

teknologi Leontief diaplikasikan pada fungsi produksi yang input-inputnya

dikombinasikan secara proporsional, sehingga penggunaannya sangat terbatas.

Demikian pula teknologi linier diaplikasikan hanya jika input-input yang digunakan

dapat saling bersubstitusi secara sempurna.

2) Fungsi Penawaran

Seperti asumsi di atas bahwa produsen memproduksi satu komoditas Q

dimana karakteristik teknologinya dapat direpresentasikan oleh persamaan (20).

Produsen memilih input yang akan memaksimumkan keuntungan berdasarkan

fungsi produksi dan harga input-input tetap Wi dan harga output P. Keuntungan (π)

sama dengan penerimaan (R) dikurangi biaya (C), seperti pada rumus (23):.

( ) ∑=

−=−=Πn

iiin XWXXXfPCR

121 ,...,,. ………………………………....... (23)

Kondisi ordo pertama untuk keuntungan maksimum adalah:

0=−∂∂

ii

WXfP ………………………………………………………….......... (24)

Page 55: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 40

dimana: δf(Xi)/ δXi adalah produktifitas marjinal input Xi.

Hasil dari persamaan (24) dalam Xi sebagai fungsi dari P dan Wi adalah

sistem fungsi permintaan input (25) sebagai berikut:

( )nii WWWPxX ,...,,, 21= ; ni ,...,1= .......................................................... (25)

Substitusi persamaan (25) ke dalam fungsi produksi menghasilkan

persamaan (26) sebagai berikut:

( ){ }ni WWWPfXfY ,...,,,. 21= ; ni ,...,1= …………………………………. (26)

Persamaan (26) adalah fungsi penawaran, yang menghasilkan output optimal

sebagai fungsi dari peubah harga di pasar output dan harga pasar input.

Secara ringkas, fungsi produksi merepresentasikan hubungan teknis antara

input dan output. Oleh karena itu tidak ada peubah harga pada fungsi produksi.

Peubah harga-harga digunakan dalam perilaku optimasi produsen dengan kendala

pada fungsi produksi, yang menghasilkan fungsi penawaran sebagai fungsi dari

harga jika harga relevan pada pendekatan optimisasi produsen.

Perlu dicatat bahwa dalam analisis praktis, umumnya hanya fungsi

penawaran yang dapat dibentuk sebagai ex-post realisasi produksi. Secara umum,

hanya percobaan di laboratorium atau semacamnya yang dapat menghasilkan

fungsi produksi. Dalam kasus-kasus praktis, hanya fungsi penawaran yang relevan

(Kirbia, 1991).

3.2. Kerangka Analisis

Pelaku utama dalam pembangunan pertanian adalah petani, yang

mempunyai posisi penting dalam tatanan lokal, regional dan nasional. Agar usaha

pertanian yang dijalankannya mampu memberikan pendapatan yang memadai dan

berkesinambungan, maka komoditas yang diusahakan selayaknya mempunyai

prospek di pasar domestik dan internasional. Untuk memenuhi persyaratan ini,

komoditas pertanian harus dapat dikembangkan secara efisien sesuai dengan

sumberdaya alam dan perkembangan teknologi yang dikuasai.

Analisis permintaan dan penawaran dapat dilakukan dengan dua pendekatan

yaitu pendekatan trend dan ekonometrik. Dalam studi ini akan difokuskan pada

Page 56: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 41

pendekatan ekonometrik yang dapat menghasilkan parameter estimasi sebagai

dasar untuk dapat melakukan proyeksi permintaan dan penawaran.

3.2.1. Aspek Konsumsi/Permintaan Permintaan suatu komoditas berdasarkan tujuannya dapat dibedakan menjadi

permintaan pasar dalam negeri dan pasar internasional. Namun kajian ini hanya

mencakup pasar dalam negeri. Sementara berdasarkan penggunaannya,

permintaan dapat dibedakan menjadi permintaan untuk konsumsi langsung dan permintaan untuk penggunaan antara (derived demand) yaitu sebagai bahan baku

sektor industri pengolahan. Analisis mengenai aspek permintaan mencakup

perkembangan secara agregat dan permintaan per kapita serta faktor-faktor yang

mempengaruhinya, dan proyeksi.

Untuk permintaan langsung, total permintaan merupakan perkalian antara

konsumsi per kapita dengan jumlah penduduk. Konsumsi per kapita dipengaruhi

oleh tingkat pendapatan, harga dan karakteristik demografis. Sementara permintaan

untuk industri pengolahan dapat dipengaruhi oleh harga dan pendapatan nasional. 3.2.2. Aspek Produksi/Penawaran Analisis aspek penawaran akan mencakup: perkembangan produksi,

produktifitas, faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan produktifitas serta

proyeksi produksi. Untuk komoditas pertanian yang berbasis lahan, total penawaran

merupakan perkalian antara luas areal dengan hasil per ha. Luas areal ditentukan

oleh harga input, harga output, dan faktor-faktor penggeser (shifter). Hasil per ha

ditentukan oleh harga-harga, teknologi dan faktor-faktor penggeser lainnya.

3.3. Jenis dan Sumber Data Jenis data utama yang akan digunakan di dalam kajian ini adalah data

sekunder berupa data agregat time series selama periode tahun 1970-2012. Data ini

akan digunakan untuk mengestimasi fungsi permintaan dan fungsi penawaran lima

komoditas pangan pokok (beras, jagung, kedelai, gula, daging sapi) dengan

pendekatan ekonometrika.

Sumber utama data sekunder antara lain adalah: (1) Badan Pusat Statistik

(BPS); (2) Direktorat Jenderal lingkup Kementerian Pertanian; (3) Kementerian

Perindustrian; (4) Kementerian Perdagangan; (5) Lembaga-lembaga internasional

(Bank Dunia, FAO, IMF); dan (6) Asosiasi komoditas terkait di tingkat domestik dan

internasional. Jenis dan sumber data secara rinci ditunjukkan pada Lampiran 1.

Page 57: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 42

3.4. Metoda Analisis

Metoda analisis diperlukan untuk menjawab tiga tujuan kajian sebagaimana

telah disebutkan di dalam bab Pendahuluan, yaitu: (1) Menganalisis dinamika pola

diversifikasi dan tingkat konsumsi komoditas pangan pokok di Indonesia; (2)

Menganalisis perkembangan permintaan dan penawaran komoditas pangan pokok

di Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan panjang; dan (3) Merumuskan

opsi-opsi kebijakan perdagangan pangan dalam mendukung percepatan pencapaian

swasembada pangan pokok.

Secara teknis, di dalam melakukan analisis terhadap permintaan dan

penawaran sebelum peubah digunakan dalam model, maka dilakukan uji unit root

(stabilitas dan stasionaritas). Selanjutnya untuk mengetahui apakah variabel-variabel

yang digunakan di dalam persamaan mempunyai keterkaitan (kointegrasi), maka

dilakukan uji kointegrasi antara kedua peubah tersebut. Uji kointegrasi dapat

dilakukan antara lain dengan metode Engle-Granger dan Johansen. Engle-Granger

(1987) mengajukan prosedur untuk pengujian kointegrasi antar beberapa peubah.

3.4.1. Analisis Dinamika Diversifikasi dan Konsumsi Pangan

Pola diversifkasi dapat diukur dari pangsa pengeluaran masing-masing

komoditas pangan terhadap total pengeluaran konsumsi pangan rumah tangga.

Dalam hal ini, produk konsumsi untuk lima komoditas pangan yang dicakup dalam

analisis ini adalah semua produk yang tercantum dalam data Susenas BPS. Pangsa

pengeluaran konsumsi masing-masing komoditas dihitung dengan rumus (27) di

bawah ini:

%100*t

itit E

ES = …………………………………………………......... (27)

dimana:

Sit = Pangsa pengeluaran konsumsi komoditas ke-i tahun t ( persen)

Page 58: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 43

Eit = Pengeluaran konsumsi komoditas ke-i tahun t (Rp/kapita/tahun)

Et = Total pengeluaran konsumsi pangan tahun t (Rp/kapita/tahun)

Dari hasil analisis ini akan dapat diketahui perubahan pengeluaran masing-

masing komoditas pangan dari antar kurun waktu, misalnya 3 tahunan sesuai

dengan periode pelaksanaan Susenas BPS, yaitu apakah meningkat, menurun atau

stabil. Pola diversifikasi konsumsi pangan ini akan dilihat menurut kelompok rumah

tangga berpenghasilan rendah, sedang dan tinggi, serta menurut wilayah yaitu

perkotaan dan perdesaan, serta nasional.

3.4.2. Analisis Perkembangan Permintaan dan Penawaran

Analisis ini mencakup estimasi empat aspek, yaitu: (a) Laju pertumbuhan

(trend) permintaan dan penawaran komoditas pangan; (b) Fungsi permintaan dan

fungsi penawaran komoditas pangan pangan; (c) Transmisi vertikal harga komoditas

pangan; dan (d) Proyeksi permintaan dan penawaran komoditas pangan.

1) Analisis Laju Pertumbuhan Permintaan dan Penawaran

Analisis ini diperlukan untuk mengestimasi rata-rata laju pertumbuhan (trend)

per tahun dari permintaan dan penawaran. Dari hasil analisis ini akan dapat

diketahui perubahan laju pertumbuhan 5 tahunan selama 20-30 terakhir, yaitu

apakah makin cepat, stabil atau melambat. Untuk melakukan estimasi tersebut akan

digunakan metoda statistik berupa model semi-logaritma (28):

TQit βα += lnln …………………………………….…..………....... (28)

dimana: Qit = Permintaan atau penawaran komoditas ke-i tahun t β = Laju pertumbuhan per tahun (jika dikalikan 100 persen menjadi

persen/tahun) T = Tahun pengamatan (1, 2, 3, ….. n)

Page 59: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 44

2) Analisis Fungsi Permintaan

Fungsi Permintaan Langsung:

Permintaan langsung adalah permintaan oleh rumah tangga konsumen,

dimana produk yang dikonsumsi adalah produk primer (belum diolah). Untuk

komoditas yang dianalisis, produk primer yang dimaksud adalah beras, jagung pipil

kering, kedelai biji kering, gula pasir, dan daging sapi segar. Konsumen sebenarnya

tidak hanya mengkonsumsi produk primer tetapi juga produk olahan antara lain kueh

dari tepung beras, tepung maizena, corn flakes, tahu, tempe, makanan dan

minuman mengandung gula, sosis, dendeng, bakso, daging hokben, rendang, abon

dan lain-lain. Namun dalam analisis ini produk-produk olahan tersebut tidak dihitung

sebagai konsumsi rumah tangga untuk menghindari terjadinya penghitungan ganda (double counting) dengan konsumsi tidak lansung (akan dijelaskan kemudian).

Permintaan langsung komoditas pangan diestimasi dengan menggunakan model Linear Approximation dari Almost Ideal Demand System (LA/AIDS) yang

dikembangkan oleh Deaton dan Muellbauer (1980). Model ini mempunyai banyak

keunggulan, yaitu : (i) Memberikan aproksimasi orde pertama terhadap sistem

permintaan manapun; (ii) Memenuhi aksioma pilihan secara tepat; (iii) Mengagregasi

konsumen secara sempurna; (iv) Mempunyai bentuk persamaan yang konsisten

dengan data anggaran rumah tangga; (v) Sederhana dalam estimasi (dalam bentuk

aproksimasi liniernya); dan (vi) Dapat digunakan untuk menguji kendala

homogenitas dan simetri. Model LA/AIDS yang dimaksud adalah sebagai berikut:

( ) ZPPES i

n

i

n

jjiji

Fi i

lnln/lnln1 1

* δγβα +++= ∑∑= =

………….…………... (29)

dimana: Si = Pangsa pengeluaran konsumsi komoditas ke-i EF = Total pengeluaran konsumsi untuk pangan (Rp) Pi

* = Indeks harga konsumen Stone komoditas ke-i, dimana: Pi = Harga nominal komoditas ke-i (Rp/kg) Pj = Harga nominal komoditas substitusi/komplemen ke-j (Rp/kg) Z = Ukuran rumah tangga (jiwa) α, β, γ, δ = Parameter estimasi

∑=

=n

iiii PSP

1

* lnln

Page 60: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 45

Rumus yang digunakan untuk menghitung elastisitas permintaan dari model

LA/AIDS dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya (Buse, 1994; Chalfant, 1987; Harianto, 1994; dan Simatupang et al,

1995). Hal ini dilakukan karena pendugaan LA/AIDS dengan pendekatan yang

digunakan oleh Anderson dan Blundell (1983) dan Eales dan Unnevehr (1988)

menghasilkan pilihan rasional konsumen yang tidak konsisten (LaFrance, 2004).

Sedangkan pendekatan yang digunakan oleh Green dan Alson (1990) relatif rumit

dalam pelaksanaannya karena elastisitas permintaan komoditas tertentu

diekspresikan sebagai elastisitas sendiri dan elastisitas komoditas lainnya. Selain

itu, elastisitas yang dihasilkan dari pendekatan Chalfant (1987) dan Green dan Alson

(1990) tidak memberikan hasil yang relatif sama.

Elastisitas permintaan tidak terkompensasi dari LA/AIDS (εij) didefinisikan

sebagai berikut :

i

jiij

ijj

iij

j

iij S

PdPd

PdSd

PdQd

+−=+−==lnln

lnln

lnln

*

βγδδε …………………….…...... (30)

Elastisitas ini menunjukkan alokasi di dalam kelompok komoditas, dimana

total pengeluaran kelompok tersebut (x) dan semua harga lain (pk, k ≠ j) dianggap

konstan. δij adalah delta Kronecker (δij = 1 untuk i = j; δij = 0 untuk i ≠ j). Untuk

memperoleh rumus yang benar untuk LA/AIDS, perlu dilakukan pendiferensiasian

indeks harga Stone terhadap harga komoditas ke-j, yang memperoleh:

∑∑= =

+=n

k j

kk

n

jkj

j PdSdPSS

PdPd

1 1

*

lnlnln

lnln …………………………...……….......... (31)

Chalfant (1987) mengasumsikan bahwa pangsa pengeluaran adalah konstan

sehingga:

jj

SPdPd

=lnln *

…………………………………………………………................. (32)

Elastisitas harga menjadi:

( ) ijiijijij SS /βγδε −+−= …………………………………………..….................. (33)

Dengan demikian elastisitas harga sendiri (i = j) menjadi:

( ) 1/ −−= ijiiji SSβγε ……………………………………………….............. (34)

Page 61: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 46

Elastisitas harga silang (i ≠ j) menjadi:

( ) ijiijij SS /βγε −= …………………………………………………............... (35)

Elastisitas pendapatan/pengeluaran menjadi:

iiEi S/1 βε += ……………………………………………………................ (36)

Fungsi Permintaan Tidak Langsung:

Permintaan-tidak-langsung adalah permintaan bukan langsung oleh

konsumen rumah tangga, melainkan oleh industri pengolahan bahan makanan dan

minuman, termasuk hotel, restoran, catering, warung makan, industri pakan ternak,

dan sejenisnya. Data konsumsi-tidak-langsung tidak tersedia secara baik, sehingga

besarannya perlu diestimasi. Jumlah permintaan tidak langsung dihitung dengan

persamaan identitas (37) yaitu sebagai berikut:

itititititit SQXQMQDLQSQDTL ∆−−+−= ………………..........………...… (37)

dimana:

QDTLit = Permintaan tidak langsung kom ke-i tahun t (ton) QSit = Produksi neto komoditas ke-i tahun t (ton) QDLit = Permintaan langsung komoditas ke-i tahun t (ton) QMit = Impor komoditas ke-i tahun t (ton) QXit = Ekspor komoditas ke-i tahun t (ton) ∆Sit = Perubahan stok komoditas ke-i tahun t (ton)

Jumlah permintaan tidak langsung (QDTLit) semula dihipotesakan

dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti harga riil sendiri di tingkat konsumen, harga

riil komoditas lain di tingkat konsumen, dan pendapatan riil masyarakat yang diproksi

dengan PDB riil. Namun model ini memberikan hasil yang sangat tidak memuaskan,

baik dari arah, maupun besaran pengaruhnya. Karena itu, digunakan pendekatan

lain yang lebih sederhana yaitu dengan hipotesis bahwa permintaan tidak langsung

atau permintaan akan bahan baku sektor industri makanan dan minuman diengaruhi

oleg junlah penduduk sebagai konsumen dari produk-produk yang dihasillkan. Atas

dasar itu, maka bentuk persamaan ekonometriknya ditunjukkan pada persamaan

(38) di bawah ini:

itiiit NQDTL lnln βα += ………….........................................……………... (38)

dimana:

Page 62: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 47

QDTLit = Konsumsi tidak langsung kom i tahun t (ton) Nt = Jumlah penduduk pertengahan tahun t (000 jiwa) βi = Elastisitas konsumsi-tidak=langsung terhadap jumlah penduduk

3) Analisis Fungsi Penawaran

Komoditas Beras, Jagung, Kedelai dan Gula

Berdasarkan kerangka teori di atas, maka model penawaran komoditas

padi/beras, jagung, kedelai dan tebu/gula yang termasuk kedalam tanaman

semusim (siklus hidup 1 tahun atau kurang) menggunakan pendekatan dua tahap,

yaitu melalui pendugaan fungsi areal tanam dan fungsi produktivitas. Secara

matematis, fungsi areal tanam dapat diformulasikan seperti persamaan (39):

∑∑= =

−−− +++=n

i

n

jjtijitiitiiii PFPFAA

1 1112110 lnlnlnln αααα …………............... (39)

Sementara itu, fungsi produktivitas dapat dirumuskan seperti persamaan (41):

TPPFY i

m

xxtxitiiii 2

110 lnlnln ββββ +++= ∑

=……………..…...….................. (40)

dan produksi adalah:

ititii YAQY *= …………….....….……………………………………........... (41)

dimana: Ait = Areal panen komoditas ke-i tahun t (ha) Ait-1 = Areal panen komoditas ke-i tahun t-1 (ha) PFit-1 = Harga riil tingkat produsen komoditas ke-i tahun t-1 (Rp/kg) PFjt-1 = Harga riil tingkat produsen komoditas pesaing ke-j tahun t-1 (Rp/kg) α2i = Elastisitas areal panen komoditas ke-i thd harga riil sendiri αij = Elastisitas areal panen kom ke-i thd harga riil kom pesaing ke-j Yit = Produktivitas komoditas ke-i tahun t (ton/ha) PFit = Harga riil tingkat produsen komoditas ke-i tahun t (Rp/kg) Pxt = Harga riil input ke-x tahun t (Rp/satuan) β1i = Elastisitas produktivitas komoditas ke-i thd harga riil sendiri βx = Elastisitas produktivitas komoditas ke-i thdp harga riil input ke-x β2i = Parameter estimasi trend waktu sbg proksi perkembangan teknologi QYit = Produksi/penawaran komoditas ke-i (ton)

Komoditas Daging Sapi:

Fungsi penawaran daging sapi dispesifikasi sebagai berikut:

TPFQYQY iitiitiii 312110 lnlnln σσσσ +++= −− ………….................…... (42)

Page 63: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 48

dimana:

QYit = Produksi daging sapi tahun t (ton) QYit-1 = Produksi daging sapi tahun t-1 (ton) PFit-1 = Harga riil daging sapi tingkat produsen tahun t (Rp/kg) T = Peubah tahun sebagai proksi teknologi σ1i = Elastisitas produksi daging sapi tahun sebelumnya σ2i = Elastisitas produksi daging sapi terhadap harga produsen riil sendiri σ3i = Elastisitas produksi daging sapi terhadap teknologi

4) Analisis Transmisi Harga

Analisis transmisi harga bertujuan untuk mengestimasi dampak kebijakan

perdagangan, khususnya tarif impor, terhadap harga konsumen dan harga

produsen. Analisis ini diperlukan karena instrumen kebijakan perdagangan yang

akan digunakan untuk mempengaruhi konsumsi/permintaan adalah tarif impor.

Dengan berubahnya tarif impor, yang merupakan salah satu komponen harga impor,

maka harga konsumen akan berubah. Berubahnya harga konsumen selanjutnya

akan merubah konsumsi/permintaan. Berubahnya harga konsumen juga akan

merubah harga produsen yang selanjutnya akan merubah produksi/permintaan.

Perubahan konsumsi/permintaan dan produksi/penawaran akan merubah tingkat

pencapaian swasembada pangan. Analisis ini akan menggunakan persamaan (43)

sampai dengan (46) sebagai berikut.

TPWii 10ln φφ += ………….....................................................................… (43)

itii PWPM lnln 10 ϑϑ += ……………….......................................................... (44)

ititii TBMPMPC lnlnln 210 ϕϕϕ ++= …….………………...………………......... (45)

ititii PGPCPF lnlnln 210 ωωω ++= ………………………......................……. (46)

dimana:

PWit = Harga dunia komoditas ke-i tahun t (Rp/kg) T = Tahun PMit = Harga impor di pelabuhan Indonesia komoditas ke-i tahun t (Rp/kg) PCit = Harga konsumen komoditas ke-i tahun t (Rp/kg) TBMit = Tarif Bea Masuk komoditas ke-i tahun t (Rp/kg) PFit = Harga produsen komoditas ke-i tahun t (Rp/kg) PGit = Harga produsen komoditas ke-i ketentuan pemerintah thn t (Rp/kg) (HPP untuk gabah dan HP untuk gula petani) Φ1 = Laju perubahan harga dunia komoditas ke-i pertahun

Page 64: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 49

ϑ1 = Elastisitas transmisi harga dunia ke harga impor komoditas ke-i φ1 = Elastisitas transmisi harga impor ke harga konsumen kom ke-i φ2 = Elastisitas transmisi TBM ke harga konsumen kom ke-i ω1 = Elastisitas transmisi harga konsumen ke harga produsen kom ke-i ω2 = Elastisitas transmisi harga pemerintah ke harga produsen kom ke-i).

Catatan: Variabel PGit pada persamaan (46) hanya untuk gabah (HPP) dan

gula (HP), sedangkan untuk kedelai, jagung dan daging sapi variabel tersebut

tidak dimasukkan ke dalam persamaan (46) karena tidak ada harga ketentuan

pemerintah.

5) Analisis Proyeksi

Analisis Proyeksi Harga:

Analisis proyeksi harga konsumen dan harga produsen diperlukan karena

harga merupakan faktor penentu proyeksi konsumsi/permintaan dan proyeksi

produksi/penawaran. Analisis menggunakan persamaan (47) untuk harga impor,

persamaan (48) dan (49) untuk harga konsumen, dan persamaan (50) dan (51)

untuk harga produsen, yaitu sebagai berikut:

( )tPWiiit gPMPM *1* 10 φ+= …...........................................................… (47)

( )tTBMPMiiii iggPCPC **1* 210 ϕϕ ++= ………………….…………................. (48)

iTBMPMiPCi ggg ** 21 ϕϕ += ………………………...…...............…………..... (49)

( )tPGiPCiiii ggPFPF **1* 210 ωω ++= …………………….……….…….……..... (50)

PGiPCiPFi ggg ** 21 ωω += ……………………...………….………..….…...... (51)

dimana:

PMit = Harga impor komoditas ke-i tahun t (Rp/kg) PMi0 = Harga impor komoditas ke-i tahun dasar (Rp/kg) Φ1 = Elastisitas transmisi harga dunia ke harga impor komoditas ke-i gPWi = Laju perkembangan harga impor per tahun komoditas ke-i PCit = Proyeksi harga konsumen komoditas ke-i tahun t (Rp/kg) PCi0 = Harga konsumen komoditas ke-i tahun dasar (Rp/kg) φ1 = Elastisitas transmisi harga impor ke harga konsumen komoditas ke-i φ2 = Elastisitas transmisi TBM ke harga konsumen komoditas ke-i gPMi = Laju perkembangan harga impor per tahun komoditas ke-i gTBMi = Laju perubahan TBM per tahun komoditas ke-i gPCi = Laju perkembangan harga konsumen per tahun komoditas ke-i

Page 65: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 50

gPGi = Laju perkembangan harga pemerintah (HPP/HP) per tahun kom ke-i PFit = Proyeksi harga produsen komoditas ke-i tahun t (Rp/kg) PFi0 = Harga produsen komoditas ke-i tahun dasar (Rp/kg) ω1 = Elastisitas transmisi harga konsumen ke harga produsen kom ke-i ω2 = Elastisitas transmisi harga pemerintah ke harga produsen kom ke-i gPFi = Laju perkembangan harga produsen per tahun kom ke-i t = Tahun proyeksi

Analisis Proyeksi Permintaan:

Permintaan Langsung

o Per Kapita

( ){ }t

n

jPCjijpPCiipE

tiEiEdidit ggggqq

++++= ∑

=100 ***1*1* εεε ε ……..... (52)

dimana : qdit = Proyeksi konsumsi langsung per kapita per tahun tahun t (kg)

qdi0 = Konsumsi langsung per kapita per tahun tahun dasar (kg) ϵiE0 = Elastisitas pendaapatan tahun dasar ϵip = Elastisitas harga sendiri ϵijp = Elastisitas harga komoditas substitusi/komplemen gϵiE = Laju pertumbuhan elastisitas pengeluaran per tahun gE = Laju pertumbuhan tingkat pengeluaran riil per kapita per tahun gPci = Laju pertumbuhan harga sendiri riil tingkat konsumen per tahun gPCj = Laju pertumbuhan harga kom substitusi/kompl riil tkt kons per thn i, j = Komoditas yang dianalisis t = Tahun proyeksi

o Permintaan Langsung Total

tditit NqQDL *= …………………..……………………..………….......... (53)

dimana :

QDLit = Proyeksi total permintaan-langsung komoditas ke-i tahun t (ton) Nt = Proyeksi jumlah penduduk tahun t (jiwa)

Model tersebut di atas pada hakekatnya adalah model proyeksi dengan

menggunakan konsumsi per kapita pada tahun dasar. Perkembangan konsumsi per

kapita ditentukan oleh pertumbuhan pendapatan per kapita. Beberapa parameter

lain yang diperlukan dalam model proyeksi adalah: (1) Konsumsi per kapita pada

tahun dasar (qdi0); (2) Elastisitas pendapatan pada tahun dasar (ϵiy0); (3) Laju

Page 66: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 51

pertumbuhan elastisitas pendapatan (gϵiy); (4) Laju pertumbuhan pengeluaran per kapita (gE; dan (4) Laju pertumbuhan jumlah penduduk. Parameter-parameter

tersebut dapat ditentukan di luar model, yaitu dari data sekunder atau diperlakukan

sebagai peubah instrumen dalam simulasi model.

Untuk memenuhi informasi-informasi tersebut dilakukan langkah atau diambil asumsi sebagai berikut. Pertama, tahun dasar yang akan dijadikan titik tolak

proyeksi adalah tahun 2011. Penggunaan tahun 2011 sebagai tahun dasar

didasarkan atas pertimbangan bahwa survai paling mutakhir oleh BPS tentang

pengeluaran konsumsi penduduk Indonesia dilakukan pada tahun 2011.

Implikasinya adalah bahwa untuk melakukan proyeksi permintaan sudah selayaknya

apabila didasarkan pada parameter-parameter permintaan paling mutakhir dimana

cara untuk memperolehnya adalah lewat pemanfaatan data survai paling mutakhir

juga. Kedua, data jumlah penduduk Indonesia yang digunakan adalah data

pertengahan tahun yang dipublikasikan setiap tahun oleh BPS. Ketiga, laju

pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia dihitung berdasarkan pertumbuhan penduduk selama periode 2000-2011. Keempat, untuk data konsumsi per kapita

pada tahun dasar digunakan data Neraca Bahan Makanan (NBM) tahun 2011. Kelima, untuk mendapatkan nilai elastisitas pengeluaran terlebih dahulu dilakukan

pendugaan parameter sistem permintaan pangan model LA/AIDS dengan menggunakan data SUSENAS-BPS tahun 2005 dan 2011. Keenam, untuk

memperoleh laju perubahan elastisitas pengeluaran per tahun dilakukan dengan

menghitung perubahan elastisitas pengeluaran di antara tahun 2005 dan 2011.

Ketujuh, laju pertumbuhan pengeluaran berdasarkan data SUSENAS 2005 dan

2011.

Permintaan Tidak Langsung

( )tiiit gNQDTLQDTL *1*0 β+= ……………........................…….....….... (54)

dimana

QDTLit = Proyeksi permintaan-tdk-langsung kom ke-i tahun t (ton) QDTLi0 = Permintaan-tidak-langsung kom ke-i tahun dasar (ton) βi = Elastisitas permintaan-tdk-langsung kom ke-i thd jml pddk

Permintaan Total

Page 67: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 52

ititit QDTLQDLQD += …………………………………..………..…............ (55)

dimana

QDit = Proyeksi konsumsi total kom ke-i tahun t (ton) QDLit = Proyeksi konsumsi-langsung kom ke-i tahun t (ton) QDTLit = Proyeksi konsumsi-tidak-langsung kom ke-i tahun t (ton)

Analisis Proyeksi Penawaran:

Komoditas Beras, Jagung, Kedelai, Gula

Proyeksi penawaran menggunakan pendekatan tidak langsung, yaitu melalui

proyeksi areal dan proyeksi produktivitas dengan menggunakan elastisitas harga-

harga yang diperoleh dari estimasi fungsi areal dan fungsi produktivitas, serta

pertumbuhan dari masing-masing variabel harga. Proyeksi areal tanam dan

produktivitas dengan tahun dasar adalah tahun 2012 dirumuskan sebagai berikut:

o Areal Panen

( )t

n

jPFjijPFiiiit ggAA

++= ∑=1

0 **1* ϕω …………………......…..….….... (56)

o Produktivitas

( )tm

xPxxPFiiiit ggYY

++= ∑=1

0 **1* φµ ………………………....….….... (57)

o Produksi

ititit YAQS += …………………………………..…..……………........... (58)

dimana:

Ait Ai0 ωi ϕij

gPFi gPFj Yit Yi0 µi φx

gpx

: : : : : : : : : : :

Proyeksi areal panen komoditas ke-i tahun t (ha) Areal panen komoditas ke-i tahun dasar (ha) Elastisitas areal panen kom ke-i thd harga sendiri Elastisitas areal panen kom ke-i thd harga kom pesaing ke-j Laju pertumbuhan harga produsen kom ke-i per tahun Laju pertbh harga produsen kom pesaing ke-j per tahun Proyeksi produktivitas komoditas ke-i tahun t (kg) Produktivitas kom ke-i tahun dasar (kg) Elastisitas produktivitas kom ke-i thd harga sendiri Elastisitas produktivitas t kom ke-i thd harga input ke-x Laju pertumbuhan harga input ke-x per tahun

Page 68: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 53

t :

Tahun proyeksi

Komoditas Daging Sapi

Berbeda dengan komoditas tanaman padi/beras, jagung, kedelai dan

tebu/gula, model penawaran komoditas daging sapi yang siklus hidup ternak sapinya

lebih dari 1 tahun, menggunakan pendekatan satu tahap sesuai dengan bentuk

umum model penawaran, yaitu sebagai berikut:

{ }tPFiiiit gQSQS *1*0 ε+= ………………………………………………....... (59)

dimana:

QSit : Proyeksi penawaran daging sapi tahun t (ton) QSi0 : Penawaran daging sapi tahun dasar (ton) ϵi : Elastisitas penawaran daging sapi thd harga riil sendiri gPFi : Pertumbuhan harga rii sendiri t : Tahun proyeksi

Analisis Proyeksi Surplus/Defisit:

ititit QDQSQB −= ………………................................................................. (60)

dimana: QBit = Proyeksi surplus/defisit komoditas ke-i tahun t (ton) QSit = Proyeksi produksi/penawaran komoditas ke-i tahun t (ton) QDit = Proyeksi konsumsi/permintaan komoditas ke-i tahun t (ton)

Page 69: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 54

BAB IV POLA DIVERSIFIKASI DAN TINGKAT KONSUMSI

KOMODITAS PANGAN STRATEGIS

4.1. Dinamika Pola Konsumsi

Pola konsumsi pangan atau kebiasaan makan merupakan cara seseorang

atau sekelompok orang memilih pangan dan memakannya sebagai reaksi terhadap

pengaruh-pengaruh psikologis, budaya dan sosial. Pemetaan dan analisis pola

konsumsi sangat penting dilakukan karena dapat dijadikan sebagai acuan untuk

memprediksi indikator-indikator kesejahteraan penduduk, seperti status kesehatan,

status gizi, dan status kemiskinan penduduk.

Selama ini pola konsumsi masyarakat Indonesia dikelompokkan menjadi dua

kelompok pengeluaran, yaitu pengeluaran untuk pangan dan pengeluaran untuk non

pangan. Semakin rendah persentase pengeluaran untuk pangan terhadap total

pengeluaran berarti semakin baik tingkat kesejahteraan masyarakat. Merujuk hal

tersebut, tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia beberapa tahun terakhir

mengalami banyak perubahan (Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Pangsa Pengeluaran Masyarakat per Kapita per Tahun

(Sumber: Data Susenas, BPS)

Pada tahun 2002, pangsa pengeluaran pangan tercatat 52,42 persen. Angka

ini mengalami penurunan selama periode tahun 2005-2009. Hal ini berarti bahwa

tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia mengalami peningkatan dibandingkan

Page 70: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 55

pada tahun 2002. Namun, pada periode 2010-2011, pangsa pengeluaran pangan

meningkat menjadi 52,39 persen (2010) dan 54,69 persen (2011), berarti tingkat

kesejahteraan masyarakat Indonesia mengalami penurunan dibandingkan pada

periode sebelumnya. Banyak faktor yang menyebabkan tingkat kesejahteraan

masyarakat menurun diantaranya adanya kebutuhan pangan untuk energi

alternatif serta berbagai resesi ekonomi global yang terjadi pada periode tersebut,

yang pada akhirnya berdampak pada penurunan daya beli masyarakat dunia

termasuk di Indonesia.

Pada dasarnya setiap rumahtangga dan individu memiliki kemampuan yang

berbeda dalam mencukupi kebutuhan pangan, baik secara kuantitas maupun

kualitas untuk memenuhi kecukupan dan keseimbangan gizi. Dengan menggunakan

data SUSENAS, informasi mengenai beberapa komoditas pangan yang dikonsumsi

terlihat seperti pada Tabel 4.1. Tabel tersebut menunjukkan bahwa padi-padian dan

makanan-jadi masih mendominasi pangsa pengeluaran pangan masyarakat. Hal ini

mengindikasikan bahwa pola konsumsi masyarakat Indonesia masih didominasi oleh

padi-padian dan makanan-jadi. Artinya, masyarakat umumnya mempunyai

ketergantungan yang kuat terhadap padi-padian (beras) dan makanan-jadi sebagai

sumber karbohidrat. Pada tahun 2002, pangsa pengeluaran dari padi-padian dan

makanan-jadi masing-masing sekitar 20,55 persen dan 16,02 persen. Namun, dalam

perkembangannya pangsa pengeluaran pangan tersebut mengalami pergeseran.

Pangsa pengeluaran padi-padian mengalami penurunan menjadi 17,34 persen,

sebaliknya pangsa pengeluaran makanan-jadi meningkat menjadi 18,78 persen

pada tahun 2011.

Dengan meningkatnya konsumsi makanan-jadi, bisa diindikasikan bahwa

telah terjadi perubahan pola konsumsi di masyarakat yang cenderung lebih

menyukai makanan-jadi. Seiring dengan meningkatnya konsumsi makanan-jadi,

pertumbuhan industri makanan-jadi dan minuman di Indonesia juga menunjukkan

peningkatan omzet tiap tahun. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman

Indonesia (GAPMMI) mencatat bahwa nilai penjualan makanan dan minuman pada

tahun 2011 mencapai Rp 660 triliun dan pada tahun 2012 meningkat menjadi Rp

700 triliun.

Page 71: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 56

Tabel 4.1. Pangsa Pengeluaran Kelompok Pangan Penduduk Indonesia ( persen)

Sumber: Data Susenas (BPS)

Disamping itu, meningkatnya konsumsi makanan-jadi juga diikuti oleh

kenaikan impor produk-produk makanan dan minuman di dalam kemasan. Pada

tahun 2010 impor produk makanan dan minuman mencapai USD2.439,6 juta atau

meningkat sebesar 78,4 persen dibandingkan dengan tahun 2009 senilai USD

1.367,3 juta. Para pengusaha di sektor industri makanan dan minuman juga

mengkhawatirkan arus barang impor ilegal yang marak beberapa tahun belakangan

ini. Menurut GAPMMI, impor ilegal pada tahun 2010 diperkirakan mencapai 10-15

persen dari total produk barang yang beredar di pasaran.

Pada dasarnya makanan-jadi banyak digemari karena kepraktisannya.

Teknologi pangan yang berkembang pesat telah memudahkan konsumen untuk

menyantap beragam produk pangan kapan saja dengan cita rasa yang bervariasi.

Namun di sisi lain teknologi pangan akan menyebabkan semakin menumbuhkan

kekhawatiran akan tingginya risiko tidak aman dari makanan yang dikonsumsi.

Teknologi pangan telah mampu membuat makanan-makanan sintetis dan

menciptakan berbagai macam zat pengawet makanan. Zat-zat kimia tersebut

merupakan zat-zat yang ditambahkan pada produk-produk makanan sehingga

produk tersebut menjadi lebih awet, indah, lembut dan lezat. Produk-produk ini lebih

disukai konsumen untuk dikonsumsi.

No Jenis Pangan 2002 2005 2008 2009 2010 20111 Padi 20,55 16,65 19,53 18,11 17,74 17,342 Umbi-umbian 1,15 1,37 1,26 1,26 1,18 1,753 Kedele 2,49 2,46 2,29 2,45 2,28 1,954 Daging 5,12 4,83 3,61 3,66 3,96 4,075 Telur 3,10 2,85 3,40 2,73 2,60 2,426 Susu 2,51 3,01 2,57 3,55 3,39 3,117 Ikan 9,34 9,80 8,77 9,30 9,27 10,538 Sayuran 8,17 8,13 8,37 8,06 7,79 8,779 Buah 4,96 4,13 4,61 4,06 5,03 4,77

10 Makanan Jadi 16,02 18,33 18,06 20,92 20,86 18,7811 Gula 2,60 2,83 1,71 2,29 2,72 2,4412 Jagung 0,44 0,37 1,15 0,33 0,35 0,2413 Lain-lain 23,55 25,24 24,67 23,28 22,83 23,83

TOTAL 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00

Page 72: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 57

Tabel 4.2. Dinamika Konsumsi Beberapa Jenis Pangan (kg/kapita/tahun)

No Jenis Pangan 2002 2005 2008 2009 2010 2011 1 Beras 101,50 101,40 96,19 94,00 93,71 93,02 2 Jagung 3,64 3,36 3,33 2,49 2,36 1,57 3 Ikan 18,01 20,62 19,02 17,87 18,87 22,24 4 Telur 5,97 6,48 6,42 6,55 7,50 7,25 5 Susu 1,44 1,78 2,06 1,88 1,95 1,83 6 Ubi kayu 12,17 11,67 10,65 7,99 7,48 8,07 7 Ubi Jalar 2,67 4,12 3,42 3,07 3,37 6,16 8 Kedelai 6,85 6,81 5,74 5,68 5,65 5,13 9 Kc. Tanah 1,09 1,12 0,84 0,70 0,78 0,50

10 Gula 10,35 9,63 9,42 8,95 8,75 8,77 11 Daging 19,80 22,03 18,95 17,38 19,76 20,52

Sumber: Data Susenas (BPS), diolah

Hasil analisis data Susenas juga menunjukkan bahwa konsumsi beras

penduduk Indonesia turun dari 101,5 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 menjadi

93,01 kg/kapita/tahun pada tahun 2011 atau turun sebesar 9,1 persen (Tabel 4.2).

Dibandingkan dengan konsumsi beras di antara negara-negara ASEAN lainnya,

seperti Thailand dan Malaysia yang hanya berkisar 65-70 kg per/kapita/tahun,

konsumsi beras di Indonesia masih tergolong cukup tinggi. Demikian juga komoditas

strategis lainnya seperti Jagung, Kedelai dan Gula masing-masing dari 3,64 kg, 6,85

kg, dan 10,35 kg per kapita per tahun pada tahun 2002 turun masing-masing

menjadi 1,57 kg, 5,13 kg, dan 8,77 kg per kapita per tahun. Sebaliknya, konsumsi

daging dari 19,8 kg menjadi 20,52 kg per kapita per tahun atau meningkat 3,1

persen.

Dengan jumlah penduduk yang besar dan terus bertambah, serta persaingan

sumberdaya lahan yang semakin ketat, tentu konsumsi pangan yang masih tetap

didominasi oleh beras sebagai sumber karbohidrat akan cukup memberatkan bagi

upaya pemantapan ketahanan pangan yang berkelanjutan. Berbagai pihak menilai

bahwa masih tingginya konsumsi beras antara lain disebabkan oleh program

diversifikasi pangan seperti ubikayu, jagung dan ubi-ubian lain yang belum

berlangsung optimal. Bahkan konsumsi jagung, ubi kayu, kedelai dan kacang tanah

mengalami penurunan selama periode 2005-2011 dibanding pada tahun 2002. Hal

ini dapat dipahami karena bahan pangan pokok di Indonesia adalah beras.

Konsumsi yang tadinya berbahan pokok non-beras seperti sagu, jagung, ubikayu,

Page 73: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 58

dan ubi-ubian lain hampir semua beralih ke beras, sehingga jumlah produk non-

beras yang dikonsumsi masyarakat menjadi berkurang.

Perilaku rumahtangga dalam melakukan konsumsi pangan tidak terlepas dari

pengaruh faktor sosial dan ekonomi. Artinya, bagi rumahtangga yang berpendapatan

rendah, pola konsumsi pangannya mengarah kepada pangan pokok yang berbasis

potensi lokal dan variasi jenis pangan kurang mendapat perhatian. Dalam hal ini

pendapatan merupakan cermin dari daya beli sehingga kuantitas dan kualitas

barang yang dapat dibeli juga tergantung pada daya beli. Semakin tinggi

pendapatan rumahtangga maka kemampuan atau daya beli juga semakin tinggi,

baik dari sisi kuantitas maupun kualitas pangan yang dikonsumsi.

Tabel 4.3. Besaran Pengeluaran Pangan Penduduk Indonesia menurut Kelas Pengeluaran (Rp/kapita/tahun)

Kelas 2002 2005 2008 2009 2010 2011

I 355.390-1.459.876

953.701-1.698.525

499.858-2.294.853

628.500-3.136.383

517.820-2.836.375

427.700-3.205.510

II 1.459.880-1.951.501

1.698.550-2.328.667

2.294.967-3.172.338

3.136.450-4.235.000

2.836.600-4.014.080

3.205.513-4.507.867

III 1.951.586-2.620.537

2.328.750-3.196.920

3.172.410-4.325.870

4.235.150-5.687.000

4.014.320-5.665.067

4.507.936-6.269.199

IV 2.620.551-3.977.720

3.197.033-4.935.400

4.325.875-6.490.300

5.687.000-8.473.533

5.665.125-8.556.388

6.269.200-9.459.467

V 3.978.160-305.848.400

4.935.550-320.051.680

6.490.620-370.067.627

8.474.400-285.507.200

855.7292-330.259.880

9.459.467-959.538.940

Sumber: Data Susenas (BPS), diolah.

Dalam kajian ini perilaku rumahtangga dalam melakukan konsumsi pangan

juga dianalisis berdasarkan pengeluaran rumahtangga yang dikelompokkan menjadi

5 kelas (Tabel 4.3). Informasi ini merupakan bahan sangat penting untuk memahami

kondisi aktual kesinambungan variasi pangan yang dikonsumsi masyarakat.

Secara umum pola konsumsi pangan kelompok kelas pengeluaran I-IV masih

didominasi oleh beras, seperti disajikan pada Gambar 4.2 sampai dengan Gambar

4.7. Sebaliknya, penduduk dengan kelas pengeluaran V lebih mendominasi untuk

mengkonsumsi makanan-jadi. Pada tahun 2002 pangsa pengeluaran makanan-jadi

untuk kelompok kelas pengeluaran V adalah sebesar 24,5 persen. Konsumsi ini

meningkat menjadi 26,4 persen (2005), 25,9 persen (2008), 30,1 persen (2009),

29,3 persen (2010) dan 26,9 persen (2011).

Page 74: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 59

Gambar 4.2. Pangsa Pengeluaran Pangan 2002 Gambar 4.3. Pangsa Pengeluaran Pangan 2005

Gambar 4.3. Pangsa Pengeluaran

Pangan 2008

Gambar 4.4. Pangsa Pengeluaran Pangan 2008 Gambar 4.5. Pangsa Pengeluaran Pangan 2009

Gambar 4.6. Pangsa Pengeluaran Pangan 2010 Gambar 4.7. Pangsa Pengeluaran Pangan 2011

Secara teoritis ada hubungan positif antara tingkat pendapatan dengan

jumlah permintaan akan pangan yang lebih baik, dan sebaliknya untuk pangan

pengganti. Sebagai contoh semakin meningkatnya pendapatan seseorang, maka

konsumsi beras akan meningkat, sebaliknya konsumsi umbi-umbian akan

berkurang. Tingkat pendapatan keluarga itu sendiri merupakan gambaran daya beli.

Makin tinggi daya beli keluarga, sekurang-kurangnya akan berpengaruh terhadap

tiga hal, yaitu: (1) makin beranekaragamnya pangan yang dikonsumsi, (2) makin

Page 75: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 60

banyaknya pangan yang dikonsumsi yang mempunyai nilai gizi tinggi, dan (3)

cenderung menurunnnya proporsi pendapatan yang digunakan untuk komoditi

pangan.

4.2. Pola Konsumsi Energi Pangan

Gambar 4.8 menyajikan data konsumsi energi pangan harian rata-rata per

kapita per hari penduduk Indonesia. Selama periode 2002-2011, konsumsi energi

pangan berfluktuasi namun selalu berada di bawah 2.200 kkal. Konsumsi energi

pangan tertinggi adalah 2.146 kkal (97,5 persen) yang terjadi pada tahun 2005,

namun pada periode berikutnya (2008-2011) konsumsi energi pangan turun dari

2.115 kkal menjadi 2.012 kkal atau rata-rata penduduk Indonesia kekurangan sekitar

8-9 persen asupan energi pangan selama periode tersebut.

Gambar 4.8. Konsumsi Energi Pangan Penduduk Indonesia per Kapita per Hari

(Sumber: Data Susenas, BPS, diolah)

Apabila konsumsi energi pangan harian tersebut dilihat dari beberapa

komoditas utama, seperti padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, kacang-

kacangan, sayur dan buah, bumbu-bumbuan dan lainnya, maka dapat diketahui

kondisi aktual keseimbangan asupan energi pangan penduduk Indonesia, seperti

terlihat pada Gambar 4.9. Dengan membandingkan kondisi aktual asupan energi

tersebut dengan susunan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional (Tabel 4.4), terlihat

bahwa konsumsi padi-padian dalam kisaran 42-47 persen yang mendekati PPH

tetapi lebih dekat pada batas minimumnya. Hal ini berarti konsumsi padi-padian

2002 2005 2008 2009 2010 2011

Energi (kkal) 2,089 2,146 2,115 2,019 2,027 2,012

PPHN 2,200 2,200 2,200 2,200 2,200 2,200

Rasio thd 2200 95.0% 97.5% 96.2% 91.8% 92.1% 91.4%

-

500

1,000

1,500

2,000

2,500

Ener

gi (k

kal)

Page 76: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 61

hampir memadai, sementara konsumsi umbi-umbian berkisar antara 2-3 persen,

yang berarti belum memadai.

Tabel 4.4. Susunan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional (kkal/kap/hari)

Jenis Pangan Energi (kkal)

persen PPH

Konsumsi (g/kap/hari) Bobot Skor PPH

1. Padi-padian 1.100 50 300 0,5 25,0 2. Umbi-umbian 132 6 100 0,5 3,0 3. Pangan hewani 264 12 150 2,0 24,0 4. Kacang-kacangan 110 5 110 0,5 2,5 5. Gula 110 5 30 0,5 2,5 6. Sayur dan Buah 132 6 250 5 30,0 7. Bumbu-bumbuan 66 3 0 0 0 8. Lain-lain 286 13 91 1 13,0

Total 2.200 100 100 Sumber: Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1998

Selanjutnya, asupan energi pangan, seperti pangan hewani (5-7,1 persen),

kacang-kacangan (2-3,3 persen), gula (4-4,7 persen), sayur dan buah (3,9-4,7

persen) masih sangat kurang memadai. Hal ini memberikan gambaran bahwa pada

periode 2002-2011 program diversifikasi pangan belum optimal, karena

permasalahan sebagai berikut: (1) Konsumsi energi di bawah 2.200 kkal; (2)

Konsumsi padi-padian hampir memadai; (3) Konsumsi umbi-umbian rendah; (4)

Konsumsi pangan hewani terlalu rendah; dan (5) Konsumsi kacangan-kacangan,

sayuran dan buah, terlalu rendah.

Dilihat dari total konsumsi energi pangan penduduk menurut kelas pengeluran

(Tabel 4.5), penduduk kelas pengeluaran I-III mengkonsumsi energi pangan masih

di bawah 2.200 kkal. Sebaliknya, konsumsi energi pangan penduduk dengan kelas

pengeluaran IV dan V melebihi PPH. Dengan demikian, program diversifikasi

pangan seyogyanya diarahkan pada penduduk kelas pengeluaran I-II dengan cara

mengoptimalkan keseimbangan konsumsi energi dari beberapa kelompok pangan

(Gambar 4.9), yaitu: (1) Padi-padian, (2) Umbi-umbian, (3) Pangan hewani, (4)

Kacang-kacangan, (5) Gula, dan (6) Sayuran dan buah. Total kontribusi energi yang

diharapkan dari ke lima kelompok pangan ini adalah sebesar 1.848 kkal (84 persen).

Page 77: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 62

(1) Padi-padian (2) Umbi-umbian

(3) Pangan Hewani (4) Kacang-kacangan

(5) Gula (6) Sayur dan buah Bumbu-bumbuan Lain-lain Gambar 4.9. Konsumsi Energi Pangan dari Beberapa Jenis Kelompok Bahan

Pangan Penduduk Indonesia (Sumber: Data Susenas, BPS, diolah)

Asupan energi pangan seperti terlihat pada Gambar 4.9 di atas

mencerminkan bahwa susunan konsumsi pangan anjuran untuk hidup sehat, aktif

dan produktif belum terpenuhi secara optimal. Bahkan situasi kualitas konsumsi

pangan di tengah masyarakat Indonesia masih dirasakan kurang beragam dan

bergizi seimbang. Padahal komsumsi pangan dengan gizi cukup dan seimbang

merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan

intelegensia manusia.

Page 78: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 63

Tabel 4.5. Konsumsi Energi Pangan Penduduk Indonesia menurut Kelas Pendapatan (kkal/kapita/hari) Tahun 2011.

Kelas 2002 2005 2008 2009 2010 2011 I 1.684 1.639 1.702 1.622 1.626 1.615 II 1.942 1.958 1.977 1.892 1.868 1.841 III 2.113 2.139 2.175 2.050 2.048 2.012 IV 2.271 2.331 2.295 2.186 2.217 2.192 V 2.436 2.642 2.427 2.337 2.376 2.398

Sumber: Data Susenas (BPS), diolah.

Dalam kajian ini indikator kualitas konsumsi pangan ditunjukkan oleh skor

PPH yang dipengaruhi oleh keragaman dan keseimbangan konsumsi antar

kelompok makanan. Menurut Susenas, tingkat PPH di Indonesia pada periode tahun

2002, dan 2005-2011 mengalami fluktuasi (Gambar 4.10). Hal ini diindikasikan oleh

terjadinya penurunan Skor PPH dari padi-padian, yaitu 25,1 pada tahun 2002

menjadi 23,45 pada tahun 2011. Penurunan skor PPH juga terjadi pada konsumsi

umbi-umbian dan gula.

Skor PPH untuk konsumsi umbi-umbian turun dari 1,4 (2002) menjadi 0,9

(2011). Demikian juga Skor PPH untuk konsumsi gula turun dari 2,5 menjadi 2,2

pada periode yang sama. Hal ini terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat

akan pangan yang beragam, bergizi, berimbang, dan aman, dan diikuti juga dengan

meningkatnya konsumsi terigu yang merupakan bahan pangan impor. Sementara

itu, konsumsi pangan lainnya masih belum memenuhi komposisi ideal yang

dianjurkan, seperti pada kelompok umbi-umbian, pangan hewani, sayur dan buah.

Selama ini, energi yang dikonsumsi oleh masyarakat masih bertumpu pada

pangan sumber karbohidrat, terutama dari padi-padian. Pangsa dari padi-padian

mencapai lebih dari 60 persen. Walaupun pangsa tersebut menurun dari tahun ke

tahun, penurunannya sangat kecil seperti terlihat pada Gambar 4.9. Pangsa yang

demikian besar, tidak sesuai dengan pola pangan yang dituangkan dalam Pola

Pangan Harapan (PPH), karena dalam PPH pangsa energi dari kelompok padi-

padian yang ideal adalah 50,0 persen.

Page 79: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 64

Gambar 4.10. Skor Aktual Pola Pangan Harapan (PPH) (Sumber: Data Susenas, BPS, diolah)

4.3. Ketersedian Energi Pangan

Gambaran pola ketersediaan energi pangan berikut ini merupakan ringkasan

dari hasil kajian yang dilakukan oleh Budi (2012). Kajian ini telah membagi 4

kelompok bahan pangan untuk setiap penduduk Indonesia periode 2000-2010.

Keempat kelompok pangan ini terbagi atas 9 komoditas, yaitu: (1) Kelompok Padi-

padian, terdiri dari beras dan jagung, (2) Kelompok Pangan Hewani terdiri dari Ikan,

Telur, dan Susu, (3) Kelompok Umbi-umbian terdiri dari Ubi Kayu dan Ubi Jalar, dan

(4) Kelompok Kacang-kacangan terdiri dari Kedelai dan Kacang Tanah. Nilai energi

(kalori) dihitung dari setiap komoditas tersebut berdasarkan pada kandungan 3 Gizi

Makronya, yakni: Karbonhidrat, Protein dan Lemak.

1.4

1.7

1.5

0.8

1.2

0.9

0.0

0.2

0.4

0.6

0.8

1.0

1.2

1.4

1.6

1.8

2002 2005 2008 2009 2010 2011

Umbi-umbian

1.8 1.7

1.4 1.51.4

2.0

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

2002 2005 2008 2009 2010 2011

Kacang-kacangan

25.1

24.3

23.3

23.923.6

23.45

22.0

22.5

23.0

23.5

24.0

24.5

25.0

25.5

2002 2005 2008 2009 2010 2011

Padi-padian

12.414.0 13.6 13.2

14.615.6

0.0

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

14.0

16.0

18.0

2002 2005 2008 2009 2010 2011

Pangan hewani

20.5 20.5

24.5

21.0

22.0 22.0

18.0

19.0

20.0

21.0

22.0

23.0

24.0

25.0

2002 2005 2008 2009 2010 2011

Sayur dan Buah

2.50

2.25 2.25

2.15 2.152.20

1.90

2.00

2.10

2.20

2.30

2.40

2.50

2.60

2002 2005 2008 2009 2010 2011

Gula

Page 80: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 65

Dengan mengacu pada hasil kajian tersebut, ketersedian energi pangan

pada periode 2002 dibawah 2.200 kkal, tertinggi 2.861 kkal pada tahun 2010.

Ketersedian energi pangan rata-rata selama periode 2002-2011 adalah sebesar

2.584 kkal atau 117 persen bila dibagi 2.200 kkal (Gambar 4.11). Dengan demikian,

bila dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi 2.200 kkal maka sejak 2005 terjadi

kesinambungan surplus energi pangan.

Gambar 4.11. Pola Ketersedian Energi Pangan Dari 4 Kelompok Bahan Pangan (Sumber: BPS; Kementan dan DKP)

Gambar 4.12 memperlihatkan data tentang pola ketersediaan energi pangan

untuk setiap kelompok bahan pangan. Terlihat bahwa sejak 2002, ketersediaan

energi pangan dari Padi-padian dan Umbi-umbian melebihi batas maksimumnya.

Sementara ketersedian energi dari Pangan Hewani dan Kacang-kacangan masing-

masing berada di antara kedua batas minimum dan maksimumnya. Dengan

demikian dapat diperoleh gambaran bahwa pada periode 2002-2010, ketersedian

energi dari keempat kelompok bahan pangan sudah memadai. Namun demikian

terdapat masalah pada keseimbangannya, dimana persentase ketersedian energi

dari: (1) Padi-padian terlalu tinggi, (2) Pangan Hewani terlalu rendah, (3) Umbi-

umbian terlalu tinggi, dan (4) Kacang-kacangan terlalu rendah.

2002 2005 2008 2009 2010 Rata2

Energi Total (kkal) 2,107 2,465 2,688 2,798 2,861 2,584

PPHN (kkal) 2,200 2,200 2,200 2,200 2,200 2200

Rasio thd 2200 (%) 95.8 112.0 122.2 127.2 130.0 117.4

-

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

Energ

i (kkal

)

Page 81: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 66

Padi-padian Umbi-umbian Pangan Hewani Kacang-kacangan Gambar 4.12. Pola Ketersedian Energi Pangan, Tahun 2002-2010 (Sumber: BPS, Kementan dan DKP)

Apabila ketersedian energi pangan tersebut dihubungkan dengan konsumsi

energi maka keempat kelompok pangan tersebut masing-masing memiliki kelebihan

energi seperti disajikan pada Tabel 4.6. Kelebihan energi tertinggi diperoleh dari

Padi-padian (992 kkal), yang kemudian diikuti dari Umbi-umbian (56 kkal) dan

Pangan Hewani (165 kkal). Dengan demikian dilihat dari sisi ketersediaan energi,

program diversifikasi pangan seyognya diarahkan juga untuk meningkatkan

ketersedian Pangan Hewani dan Kacang-kacangan agar persentase

ketersediaannya juga meningkat.

2002 2005 2008 2009 2010 Rata2

Energi Total (kkal) 1,619 1,661 1,808 1,909 1,948 1,789

Max (kkal) 1,320 1,320 1,320 1,320 1,320 1,320

Min (kkal) 880 880 880 880 880 880

-

500

1,000

1,500

2,000

2,500

En

erg

i (k

ka

l)

2002 2005 2008 2009 2010 Rata2

Energi Total (kkal) 397 434 468 470 503 454.4

Max (kkal) 176 176 176 176 176 176

Min (kkal) 2.2 2.2 2.2 2.2 2.2 2.2

0

100

200

300

400

500

600

En

erg

i (k

ka

l)

2002 2005 2008 2009 2010 Rata2

Energi Total (kkal) 90 103 93 102 98 97.2

Max (kkal) 220 220 220 220 220 220

Min (kkal) 44 44 44 44 44 44

0

50

100

150

200

250

Ene

rgi (

kkal

)

2002 2005 2008 2009 2010 Rata2

Energi Total (kkal) 267 320 316 312 303.75

Max (kkal) 440 440 440 440 440 440

Min (kkal) 110 110 110 110 110 110

050

100150200250300350400450500

Ene

rgi (

kkal

)

Page 82: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 67

Tabel 4.6. Pola Ketersedian dan Konsumsi Energi Bahan Pangan Penduduk Indonesia, Tahun 2010.

Kelompok Pangan Energi (kkal)

Tersedia Konsumsi Surplus 1. Padi-padian 1.948 956 992 2. Umbi-umbian 503 47 456 3. Pangan Hewani 312 147 165 4. Kacang2-an 98 56 42

Total 2.861 1.206 1.655 Sumber: Data Susenas (BPS), diolah

4.4. Pola Diversifikasi

Tingginya dominasi beras dalam pola konsumsi pangan penduduk Indonesia

hingga saat ini merupakan salah satu penyebab masih rendahnya kualitas

konsumsi pangan nasional, yaitu belum beragam dan bergizi seimbang, yang

diindikasikan oleh skor PPH. Kontribusi beras dalam konsumsi kelompok padi-

padian sebesar 944 kkal/kap/hari atau mencapai 86 persen terhadap total energi

padi-padian (1.100 kkal/kap/hr) pada tahun 2011.

Beras sebagai pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia

tidak hanya telah membudaya dalam pola konsumsi pangan masyarakat, namun

juga dianggap memiliki citra pangan yang lebih baik dari sisi sosial. Sementara

komoditas sumber karbohidrat lainnya yang biasa dikonsumsi sebagian

masyarakat di masa lampau, saat ini semakin tergeser sejalan dengan

perkembangan ekonomi dan teknologi. Hal ini tercermin pada Tabel 4.7, dimana

pola diversifikasi pangan penduduk Indonesia masih terdapat ketimpangan, antara

lain masih tingginya konsumsi padi-padian, terutama beras dan rendahnya konsumsi

pangan umbi-umbian (Ubi kayu dan Ubi jalar).

Pada Tabel 4.7 juga terlihat bahwa konsumsi terigu dan turunannya

mengalami peningkatan dari 37,5 kg/kap/tahun menjadi 50,2 kg/kap/tahun atau

meningkat 25.30 persen selama periode 2002-2005. Hal ini terjadi karena

keberhasilan sosialisasi dan promosi produk mie instan sehingga memicu kenaikan

konsumsi tepung terigu. Kondisi ini juga yang mengakibatkan impor tepung terigu

meningkat dan berujung pada penggerusan devisa negara. Namun demikian, sejak

Page 83: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 68

tahun 2008 konsumsi terigu dan turunannya mengalami penurunan dari 47,5

kg/kap/tahun menjadi 40,9 kg/kap/tahun pada tahun 2011.

Tabel 4.7. Konsumsi Pangan Sumber Karbohidrat: Beras, Umbi-umbian dan Terigu, Tahun 2002-2011 (kg/kap/tahun).

Tahun Beras Ubi Kayu Ubi Jalar Sagu Umbi lainnya

Terigu dan turunannya

2002 101,5 12,2 2,7 120,0 49,3 37,5 2005 101,4 11,7 4,1 176,3 72,6 50,2 2008 96,2 10,7 3,4 3,7 16,2 47,5 2009 94,5 7,1 1,4 0,2 8,9 45,8 2010 93,7 7,5 3,4 2,5 12,3 44,9 2011 93,0 8,1 6,2 5,4 17,1 40,9

Sumber: Data Susenas (BPS), diolah Sementara itu, sumber-sumber protein seperti Daging, Telur, Susu dan

kedelai juga mengalami fluktuasi selama periode tahun 2002-2011 (Tabel 4.8). Pada

tabel tersebut terlihat bahwa perubahan tingkat konsumsi daging dari 19,8

Kg/kap/tahun pada tahun 2002 menjadi 20,52 kg/kap/tahun pada tahun 2011.

Dibandingkan dengan proyeksi Badan Pangan Dunia (FAO) pada 2012, konsumsi

daging dunia telah mencapai 42,5 kg/kap/tahun. Bahkan di negera-negara

berkembang konsumsi daging sekitar 32,7 kg/kap/tahun. Demikian pula tingkat

konsumsi susu di Indonesia mencapai 1,83 kg/kap/tahun pada tahun 2011,

sedangkan di Malaysia sudah mencapai 20 kg/kap/tahun dan bahkan Amerika

mencapai 100 kg/kap/tahun. Selanjutnya, konsumsi telur di Indonesia sekitar 7,25

kg/kap/tahun, sementara di Thailand mencapai 9,9 kg/kapita/tahun.

Tidak hanya tingkat konsumsi daging, telur dan susu yang rendah, tetapi juga

konsumsi kedelai. Padahal pangan tersebut mempunyai peran yang penting dalam

asupan gizi masyarakat, terutama dalam pemenuhan protein. Jika kondisi seperti ini

tidak segera ditangani dengan serius, maka masalah yang lebih besar akan

dihadapi, yaitu hilangnya generasi penerus masa depan akibat kekurangan protein.

Page 84: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 69

Tabel 4.8. Konsumsi Pangan Sumber Protein: Daging, Telur, Susu, dan Kedelai, Tahun 2002-2011 (kg/kap/tahun).

Tahun Daging Telur Susu Kedelai 2002 19,80 5,97 1,44 6,85 2005 22,10 6,48 1,78 6,81 2008 18,96 6,42 2,06 5,74 2009 18,09 6,88 1,92 6,28 2010 19,76 7,50 1,95 5,65 2011 20,52 7,25 1,83 5,13

Sumber: Data Susenas (BPS), diolah

Pada dasarnya, permasalahan utamanya diversifikasi pangan di Indonesia

adalah ketidakseimbangan antara pola konsumsi pangan dan penyediaan produksi

/ketersediaan pangan di masyarakat. Produksi berbagai jenis pangan tidak dapat

dihasilkan di semua wilayah dan tidak dapat dihasilkan setiap saat dibutuhkan.

Sementara konsumsi dilakukan oleh semua penduduk setiap saat. Selain itu,

masalah distribusi pangan terutama menyangkut sarana transportasi (jalan,

angkutan), pergudangan, sarana penyimpanan dan teknologi pengolahan untuk

memudahkan distribusi pangan antar wilayah masih sering menjadi masalah dalam

pengembangan diversifikasi pangan.

Sebenarnya, program diversifikasi pangan telah diluncurkan sejak tahun 1974

dan disempurnakan dengan Inpres 20/1979. Namun sampai saat ini belum

terlaksana secara efektif karena banyak hal yang menjadi kendala dalam program

ini. Menurut Hariyadi et al (2004), setidaknya ada beberapa kendala dalam upaya

melakukan diversifikasi pangan, yaitu sebagai berikut.

Pertama, tingkat pengetahuan masyarakat terutama kelas menengah dan

bawah, yang merupakan 80 persen dari total penduduk, masih relatif rendah.

Kondisi seperti ini jelas menjadi kendala yang sangat besar dalam proses

komunikasi. Mereka tidak mudah memahami suatu pesan yang relatif kompleks.

Kedua, budaya makan adalah kebiasaan yang sulit diubah. Bila tidak ada

perubahan besar pada lingkungan eksternal, masyarakat akan cenderung

mempertahankan kebiasaan yang sudah dilakukan bertahun-tahun. Seseorang

mengatakan belum makan apabila belum makan nasi, walaupun sudah

mengkonsumsi berbagai makanan alternatif.

Page 85: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 70

Ketiga, sudah sejak lama, secara sengaja atau tidak sengaja, beras telah

diposisikan sebagai makanan unggulan, dimana beras adalah simbol kemakmuran.

Masyarakat yang belum mampu mengkonsumsi beras dianggap sebagai kelompok

yang belum makmur. Beras juga diposisikan sebagai komoditas politik. Keberhasilan

pemerintah dalam bidang pangan, diukur dari kemampuan untuk menyediakan

beras semata. Ada kesan yang kuat bahwa ketersediaan beras adalah hal

fundamental untuk menjaga kestabilan politik.

Keempat, harus diakui bahwa beras memiliki rasa yang relatif enak. Dengan

kata lain, berbagai bahan makanan alternatif lain belum mampu meyakinkan lidah

sebagian besar masyarakat Indonesia. Keunggulan lain dari nasi adalah kandungan

gizinya yang cukup baik, mudah diperoleh, lebih tahan disimpan dalam waktu cukup

lama, mudah memasaknya (ccoking ease, terutama wanita yang bekerja di luar

rumah), dan kompatibilitasnya (dengan lauk apa saja tetap enak). Inovasi dalam

bidang alternatif pangan yang lain relatif terlambat. Keberhasilan mie siap saji

merupakan fenomena yang dapat dijadikan contoh bagi alternatif pangan yang lain,

sementara beberapa bahan alternatif pangan lain relatif tidak terjangkau harganya.

Tidak mengherankan jika proses penganekaragaman pangan sangat mudah terjadi

untuk masyarakat golongan atas. Masyarakat yang mempunyai penghasilan yang

pas-pasan akan lebih memilih makanan yang sesuai dengan kondisi daya beli

mereka. Mereka cenderung makan beras dalam jumlah yang banyak dan

mengorbankan sebagian makanan komplemen termasuk lauk pauknya.

Kelima, adalah masalah ketersediaan. Saat ini proses produksi dan distribusi

pangan banyak difokuskan pada beras. Tidak mengherankan, ketersediaan pangan

alternatif seringkali dianggap sebagai pelengkap saja.

Keenam, adalah tidak maksimalnya peran berbagai stakeholder di luar

pemerintah. Tidak cukup insentif bagi industri untuk mengembangkan pangan

alternatif. Lembaga-lembaga riset juga belum maksimal dalam melakukan studi-studi

pengembangan alternatif pangan. Stakeholder lain seperti media massa, seringkali

tidak memberikan dukungan yang maksimal pula dalam memberikan informasi

mengenai alternatif pangan.

Ketujuh, komitmen yang belum maksimal. Diakui atau tidak, program

penganekaragaman selama ini masih sering bersifat sporadis dan reaktif. Kurangnya

Page 86: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 71

komitmen ini juga terlihat tidak adanya sasaran yang jelas seperti berapa persen

peran beras harus diturunkan sebagai makanan sumber karbohidrat di masa

mendatang.

Dengan mengetahui kendala-kendala diversifikasi pangan seperti ini,

diharapkan program diversifikasi pangan akan mudah dilaksanakan pada semua

tingkatan. Hal ini juga menuntut peran pemerintah untuk terus mengkampanyekan

pentingnya diversifikasi pangan serta memberikan bimbingan teknis dan insentif

ekonomi dari pangan pokok beras kepada pangan pokok lokal lainnya, atau dengan

kombinasi untuk mengurangi konsumsi beras antara lain dengan jagung, sagu,

jagung, ubi dan sebagainya.

4.5. Kebijakan Diversifikasi Pangan Program diversifikasi pangan dapat diusahakan secara simultan di tingkat

nasional, regional (daerah) dan keluarga. Upaya tersebut sebetulnya sudah dirintis

sejak awal dasawarsa 60-an, dimana pemerintah telah menyadari pentingnya

dilakukan diversifikasi tersebut (Rahardjo, 1993). Saat itu pemerintah mulai

menganjurkan konsumsi bahan-bahan pangan pokok selain beras. Yang menonjol

adalah anjuran untuk mengkombinasikan beras dengan jagung, sehingga pernah

populer istilah ”beras-jagung”. Ada dua arti dari istilah itu, yaitu: (1) Campuran beras

dengan jagung; dan (2) Penggantian konsumsi beras pada waktu-waktu tertentu

dengan jagung. Kebijakan ini ditempuh sebagai reaksi terhadap krisis pangan yang

terjadi saat itu.

Kemudian di akhir Pelita I (1974), secara eksplisit pemerintah mencanangkan

kebijaksanaan diversifikasi pangan melalui Inpres 14/1974 tentang Perbaikan Menu

Makanan Rakyat (UPMMR), yang disempurnakan melalui Inpres 20/1979. Maksud

dari instruksi tersebut adalah untuk lebih menganekaragamkan jenis pangan dan

meningkatkan mutu gizi makanan rakyat, baik secara kualitas maupun kuantitas,

sebagai usaha untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Namun dalam

perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih ditekankan sebagai usaha

untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, dan diversifikasi konsumsi pangan hanya

diartikan pada penganekaragaman pangan pokok, tidak pada keanakeragaman

pangan secara keseluruhan.

Sebagai konsekuensinya, banyak bermunculan berbagai pameran dan demo

masak-memasak yang menggunakan bahan baku non-beras seperti dari sagu,

Page 87: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 72

jagung, ubikayu atau ubijalar, dengan harapan masyarakat akan beralih pada

pangan non-beras. Namun kenyataanya usaha tersebut kurang berhasil untuk

mengangkat citra pangan non-beras dan mengubah pola pangan pokok masyarakat.

Setelah sekian lama tidak terdengar gemanya, secara eksplisit baru pada

tahun 1991/1992 pemerintah melalui Departemen Pertanian mulai menggarap

diversifikasi konsumsi melalui Program Diversifikasi Pangan dan Gizi (DPG).

Berbeda dengan kondisi dasa warsa 60-an yang semata-mata karena terjadi krisis

pangan, DPG dilakukan pada saat Indonesia sudah pernah mencapai swasembada

beras, dan masyarakat tergantung pada beras.

Program DPG bertujuan untuk: (1) Mendorong meningkatnya ketahanan

pangan di tingkat rumah tangga; dan (2) Mendorong meningkatnya kesadaran

masyarakat terutama di pedesaan untuk mengkonsumsi pangan yang

beranekaragam dan bermutu gizi seimbang. Fokus program DPG lebih diarahkan

pada upaya pemberdayaan kelompok rawan pangan di wilayah miskin dengan

memanfaatkan pekarangan pada jangkauan sasaran wilayah program yang

terbatas, sehingga upaya yang dilakukan adalah meningkatkan ketersediaan

keanekaragaman pangan di tingkat rumah tangga (Irawan et al, 1999).

Kemudian pada tahun anggaran 1998/1999 dilakukan revitalisasi program

DPG untuk memberikan respon yang lebih baik dalam rangka meningkatkan

diversifikasi pangan pokok. Upaya ini dilaksanakan dengan perubahan orientasi dari

pendekatan sempit (pemanfaatan pekarangan untuk menyediakan aneka ragam

kebutuhan pangan) ke arah yang lebih luas yaitu pemanfaatan pekarangan/kebun di

sekitar rumah guna pengembangan pangan lokal alternatif. Pembinaannya juga

tidak terbatas pada aspek budidaya tetapi juga meliputi aspek pengolahan dan

penanganan pasca panen agar pangan lokal alternatif ini dapat memenuhi selera

masyarakat (Program DPG Pusat, 1998). Departemen Kesehatan juga

melaksanakan program diversifikasi konsumsi pangan secara tidak langsung melalui

program perbaikan gizi, yang tujuan utamanya adalah untuk menurunkan angka

prevalensi Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Vitamin A (KVA), Gangguan Yodium (GAKI), dan anemia (Kodyat, 1998; Kodyat et al, 1998).

Kebijakan atau program secara langsung dan tidak langsung yang terkait

dengan diversifikasi konsumsi pangan terus digulirkan oleh pemerintah melalui

Page 88: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 73

berbagai kegiatan dan dilakukan oleh banyak instansi. Sebagai contoh, gerakan

sadar pangan dan gizi yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan, program

diversifikasi pangan dan gizi oleh Departemen Pertanian (1993-1998) dan lain-lain.

Dari sisi kelembagaan, pada tahun 1989 pada kabinet Pembangunan VI juga

dibentuk Kantor Menteri Negara Urusan Pangan yang meluncurkan slogan ”Aku

Cinta Makanan Indonesia (ACMI)".

Pada tahun 1996 juga telah lahir Undang-undang No. 7 tentang Pangan,

kemudian pada tahun 2002 muncul Kepres No. 68 tentang Ketahanan Pangan.

Pada tahun 2001, pada era Kabinet Gotong Royong telah dibentuk Dewan

Ketahanan Pangan (DKP) yang dipimpin langsung oleh Presiden. Kepres ini

kemudian diperbaharui melalui Perpres 83/2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan,

yang mempunyai tugas untuk mengkoordinasikan program ketahanan pangan,

termasuk tujuan untuk mengembangkan diversifikasi pangan.

Dalam usaha mewujudkan ketahanan pangan pada umumnya dan

diversifikasi konsumsi pangan pada khususnya juga dituangkan dalam UU 25/2000

tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) melalui Program Peningkatan

Ketahanan Pangan. Program ini salah satunya bertujuan untuk menjamin

peningkatan produksi dan konsumsi yang lebih beragam (Krisnamurthi, 2003).

Dengan semakin disadarinya bahwa diversifikasi konsumsi pangan

merupakan tuntutan yang penting untuk dilaksanakan, maka berbagai kegiatan

pembangunan ketahanan pangan dilaksanakan dalam rangka percepatan

penganekaragaman konsumsi pangan. Kegiatan promosi/kampanye dilakukan

melalui iklan layanan masyarakat, poster, baliho, leaflet, komik dan lain- lain. Hampir

semua provinsi dan kabupaten/kota telah mengeluarkan aturan/edaran tentang

upaya penganekaragaman konsumsi berbasis sumber daya lokal.

Pengenalan masyarakat terhadap menu pilihan pengganti beras dan terigu

baik sebagai pangan pokok maupun kudapan, dilakukan dengan melibatkan para

ahli teknologi pangan dari perguruan tinggi dan Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Disamping itu upaya peningkatan kualitas konsumsi

pangan dilakukan melalui upaya pemberdayaan kelompok wanita untuk

mengoptimalkan pemanfaatan pekarangan dengan menanam sayur dan buah serta

Page 89: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 74

budidaya ternak kecil melalui pengembangan Kawasan Rumah Pangan Lestari

(KRPL).

Bahkan Pemerintah melalui Kementerian Pertanian pada 2014, mentargetkan

secara nasional skor untuk PPH penganekaragaman pangan berbasis sumberdaya

lokal dapat mencapai 93.3. Undang-Undang 18/2012 tentang Pangan juga memberi

arahan bahwa untuk memenuhi pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi

seimbang dan aman serta mengembangkan usaha pangan dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat. Bahkan, pada tahun 2013 program Percepatan

Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) Berbasis Sumber Daya Lokal telah

diimplementasikan melalui kegiatan, antara lain: (1) Optimalisasi Pemanfaatan

Pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL); (2) Model

Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L); dan (3) Sosialisasi dan Promosi P2KP

Sebagai bentuk keberlanjutan program Percepatan Penganekaragaman

Konsumsi Pangan (P2KP) Berbasis Sumber Daya Lokal tahun 2010, pada tahun

2013 program P2KP diimplementasikan melalui kegiatan: (1) Optimalisasi

Pemanfaatan Pekarangan melalui konsep Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL);

(2) Model Pengembangan Pangan Pokok Lokal (MP3L); dan (3) Sosialisasi dan

Promosi P2KP.

Melalui tiga kegiatan besar tersebut diharapkan dapat meningkatkan mutu

konsumsi pangan masyarakat untuk membentuk pola konsumsi pangan yang baik.

Disamping itu perlu dijalin kerja sama kemitraan dengan pihak swasta yang antara lain bisa berupa Corporate Social Responsibility (CSR)/Program Kemitraan dan Bina

Lingkungan (PKBL), baik di bidang pangan maupun bidang lainnya, seperti

pendidikan. PKBL memerlukan sosialisasi, baik kepada anak usia dini maupun ke

kelompok wanita dan masyarakat, dalam konsumsi pangan yang beragam, bergizi

seimbang dan aman.

Gerakan P2KP sangat jelas di lapangan, terutama pada tingkat provinsi dan

kabupaten/kota, baik itu melalui integrasi berbagai kegiatan dalam mewujudkan

pengembangan ekonomi daerah, maupun dari segi pelaksanaan dan

pembiayaannya. Selain itu, gubernur dan bupati/walikota sebagai integrator utama

memiliki peranan penting dalam mengkoordinasikan gerakan P2KP, khususnya

terhadap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebagai agen pembawa

perubahan (agent of change).

Page 90: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 75

BAB V PERKEMBANGAN PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PANGAN

STRATEGIS SERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

5.1. Perkembangan Permintaan dan Penawaran

5.1.1. Perkembangan Permintaan

Permintaan/konsumsi lima komoditas pangan yang dianalisis mengalami laju

pertumbuhan yang cepat selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2008-2012), yaitu

masing-masing 4,14 persen, 6,16 persen, 7,58 persen, 8,24 persen dan 8,11 persen

per tahun (Tabel 5.1). Laju pertumbuhan permintaan tersebut melebihi laju

pertumbuhan jumlah penduduk yang hanya 2,01 persen per tahun pada kurun waktu

yang sama. Hal ini mengindikasikan pertumbuhan yang cepat dari industri

pengolahan makanan, minuman, dan lain-lain, yang menggunakan komoditas

tersebut sebagai bahan baku atau bahan penolong, antara lain: (1) Industri tepung

beras; (2) Industri pakan ternak yang menggunakan jagung sebagai bahan baku; (3)

Industri tahu, tempe, dan kecap yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku; (4)

Industri roti, kue, dan minuman yang menggunakan gula sebagai bahan penolong;

dan (5) Industri bakso, sosis, daging kaleng, dendeng, catering, restoran dan hotel

yang menggunakan daging sebagai bahan bakunya. Permintaan akan produk-

produk olahan makanan dan minuman merupakan akibat dari meningkatnya

pendapatan masyarakat, perubahan selera dan makin pentingnya makanan dan

minuman yang lebih mudah disiapkan untuk konsumsi (cepat saji).

Tabel 5.1. Perkembangan Konsumsi Lima Komoditas Pangan Strategis, Tahun 2008-2012 (ton).

Tahun Beras Jagung Kedelai Gula Daging Sapi 2008 38.291.835 16.496.792 2.147.782 3.648.367 395.238 2009 40.817.360 17.905.971 2.288.686 3.708.318 413.083 2010 42.561.481 19.813.198 2.647.151 3.858.953 440.774 2011 43.890.593 20.088.558 2.781.533 4.459.669 488.930 2012 45.424.911 21.195.720 2.846.461 5.023.493 544.894

Trend ( persen/th) 4,14 6,16 7,58 8,24 8,11

Sumber: Kementerian Pertanian, diolah

Page 91: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 76

5.1.2. Perkembangan Penawaran

Selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2008-2012), penawaran/produksi lima

komoditas pangan yang dianalisis, yaitu beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi

mengalami laju pertumbuhan yang bervariasi dari negatif yaitu gula (-1,73

persen/tahun) sangat lambat yaitu kedelai (0,75 persen/tahun), lambat yaitu jagung

(3,21 persen/tahun) dan beras (2,85 persen/tahun) dan sangat cepat yaitu daging

sapi lokal (19,50 persen/tahun), sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 5.2.

Produksi gula pada tahun 2012 memang ada peningkatan, tetapi masih di bawah

produksi tahun 2008.

Tabel 5.2. Perkembangan Produksi Lima Komoditas Pangan Strategis, 2008-2012 (ton).

Tahun Beras Jagung Kedelai Gula Daging Sapi Lokal

2008 38.005.333 16.317.252 775.710 2.668.428 222.656 2009 40.571.301 17.629.748 974.512 2.517.374 213.477 2010 41.875.718 18.327.636 907.031 2.290.116 349.967 2011 41.192.665 17.230.172 870.068 2.228.140 410.698 2012 43.498.439 19.377.030 851.647 2.601.258 425.495

Trend ( persen/th) 2,85 3,21 0,73 -1,73 19,50

Sumber: Kementerian Pertanian, diolah

Sumber pertumbuhan produksi adalah pertumbuhan luas areal panen dan

pertumbuhan produktivitas, yaitu sebagai berikut: (1) Untuk beras, sumber

pertumbuhan produksinya adalah pertumbuhan luas panen (1,99 persen/tahun),

sementara pertumbuhan produktivitasnya sangat lambat (0,86 persen); (2) Untuk

jagung, sumber pertumbuhan produksinya adalah pertumbuhan produktivitas yang

cepat (4,14 persen/tahun), sementara luas areal panennya malahan menurun 0,93

persen/tahun; (3) Untuk kedelai, seperti halnya jagung, sumber pertumbuhan

produksinya adalah pertumbuhan produktivitas yang cukup cepat (2,95

persen/tahun), sementara luas areal panennya turun cukup cepat yaitu 2,22

persen/tahun; dan (4) Untuk tebu, sumber pertumbuhan produksinya adalah

pertumbuhan luas areal panen (1,85 persen/tahun), sementara produktivitasnya

menurun cepat (3,58 persen/tahun).

Page 92: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 77

Pertumbuhan produktivitas yang lambat pada padi menunjukkan bahwa

inovasi teknologi budidaya tanaman tersebut sudah mendekati jenuh, sementara

pertumbuhan produktivitas yang negative pada gula mengindikasikan terjadinya

kemunduran di dalam teknologi, baik pada budidaya tebu (makin banyak tanaman

tebu ratoon hingga lebih dari 3 kali), maupun proses pengolahan pada industri gula

(lebih banyak pabrik gula yang sudah tua). Pertumbuhan produktivitas yang cepat

pada jagung dan kedelai merupakan indikasi terjadinya kemajuan teknologi yang

cepat, yaitu meluasnya penggunaan benih unggul hibrida pada jagung, dan varietas-

varietas baru pada kedelai.

Peningkatan produksi daging sapi local yang cepat sejak tahun 2010 hingga

2012 sebenarnya bukan kemajuan yang patut dibanggakan, tetapi sebaliknya

menimbulkan kekhawatiran, yaitu makin banyaknya ternak sapi betina produktif yang

dipotong. Kecenderungan ini terjadi karena makin terbatasnya pasokan sapi potong

jantan untuk konsumsi di daerah-darah sentra sapi potong (NTB dan NTT),

sementara pedagang (jagal) ingin mempertahankan eksistensi bisnisnya dan

permintaan daging sapi local terus meningkat, dan pemerintah belum mampu

mengatasi permasalahan tersebut. Jika hal ini terus berjalan, maka sumberdaya sapi

potong di Indonesia akan terus terkuras, sehingga pada akhirnya ketergantungan

pada impor sapi bakalan dan daging sapi akan makin tinggi.

5.1.3. Perkembangan Surplus/Defisit

Besaran swasembada merupakan selisih antara produksi dan konsumsi. Jika

selisih itu bernilai positif berarti terjadi surplus atau swasembada, sementara jika

bernilai negative berarti tejadi defisit atau belum swasembada. Selama kurun waktu

5 tahun terakhir (2008-2012), secara konsisten terjadi defisit dan cenderung

meningkat cepat (Tabel 5.3). Laju peningkatan defisit rata-rata per tahun sangat

cepat pada beras dan jagung yaitu masing-masing 62,06 persen dan 69,68 persen

per tahun, gula 24,38 persen dan kedelai 11,23 persen per tahun. Lonjakan deficit

pada beras terjadi sejak 2011, jagung sejak 2010 dan gula sejak 2009, sementara

peningkatan deficit pada kedelai kurang bergejolak (lebih smooth). Untuk daging

sapi, defisit sebenarnya menurun cepat selama 2010-2011, tetapi kemudian

meningkat cepat lagi pada tahun 2012. Jika dilihat dari persentasenya, tingkat deficit

beras, jagung, kedelai dan gula meningkat dari sekitar 0.75 persen sampai 63,88

Page 93: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 78

persen pada tahun 2008 menjadi 4,24 persen sampai 70,08 persen pada tahun

2012, sementara untuk daging sapi menurun dari 43,67 persen pada tahun 2008

menjadi 21,91 persen pada tahun 2012. Hal tersebut menunjukkan bahwa tingkat

ketergantungan pangan Indonesia pada impor masih tinggi.

Tabel 5.3. Perkembangan Defisit Produksi Lima Komoditas Pangan Strategis, 2008-2012 (ton).

Tahun Beras Jagung Kedelai Gula Daging Sapi

2008 -286.502 -179.540 -1.372.072 -979.939 -172.582 2009 -246.059 -276.223 -1.314.174 -1.190.944 -199.606 2010 -685.763 -1.485.562 -1.740.120 -1.568.837 -90.807 2011 -2.697.927 -2.858.386 -1.911.465 -2.231.529 -78.232 2012 -1.926.472 -1.818.690 -1.994.814 -2.422.235 -119.399

Trend ( persen/th) 62,06 69,68 11,23 24,38 16,73

5.2. Faktor-faktor Determinan Permintaan dan Penawaran

5.2.1. Permintaan

Permintaan Langsung

Yang dimaksud dengan permintaan-langsung adalah permintaan oleh rumah

tangga konsumen. Hasil analisis empiris menunjukkan bahwa permintaan-langsung

per kapita per tahun lima komoditas pangan dianalisis (beras, jagung, kedelai, gula

dan daging sapi) dipengaruhi secara negatif oleh harga komoditas itu sendiri dan

secara positif oleh pendapatan konsumen (pendapatan diproksi dengan nilai

pengeluran). Hasil ini sesuai dengan teori permintaan. Hasil pendugaan elastisitas

konsumsi (permintaan) langsung kelima komoditas tanaman pangan terhadap

harganya sendiri dan pengeluaran (proksi pendapatan) dengan mengunakan model

LA-AIDS pada tahun 2005, 2007 dan 2011 disajikan pada Tabel 5.4. Pembahasan

hasil analisis untuk masing-masing komoditas adalah sebagai berikut.

Beras mempunyai nilai elastisitas harga sendiri > 1 (nilai absolut) atau sensitif

terhadap adanya perubahan harga pada 2005, namun elastisitas tersebut menurun

pada tahun 2007, yaitu menjadi inelastis, dan menurun lagi pada tahun 2011, yaitu

makin inelastis. Hal ini mengindikasikan makin sedikit komoditas substitusi beras,

Page 94: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 79

sehingga program diversifikasi pangan dapat dikatakan belum berhasil sepenuhnya.

Elastisitas konsumsi beras terhadap pendapatan rumah tangga (pendapatan

diproksi dengan nilai pengeluaran) menunjukkan bahwa beras telah berubah dari barang tuna-nilai (inferior goods) menjadi barang normal. Dengan kata lain,

kesejahteraan masyarakat Indonesia menurun karena menu utamanya tergantung

pada karbohidrat atau beras yang merupakan barang normal. Elastisitas harga

untuk beras yang cenderung menurun menjadi makin inelastis menunjukkan bahwa

beras merupakan bahan pangan kebutuhan pokok, walaupun pada 2011 elastisitas

pendapatan meningkat menjadi 0,083.

Tabel 5.4. Elastisitas Harga Sendiri dan Elastisitas Pengeluaran Konsumsi-Langsung Komoditas Pangan Strategis Per Kapita.

Komoditas Elastisitas Harga Sendiri Elastisitas Pengeluaran

2005 2007 2011 2005 2007 2011 Beras -1,062 -0,894 -0,811 -0,037 0,047 0,083 Jagung -1,834 -1,117 -0,928 0,223 -0,744 0,101 Kedelai -0,554 -1,117 -1,055 0,768 0,711 0,255 Gula -1,035 -0,912 -0,845 0,098 0,375 0,224 Daging sapi -1,109 -1,430 -1,233 1,785 1,642 1,478 Sumber: Data Susenas (BPS), diolah.

Jagung mempunyai nilai elastisitas harga sendiri > 1 (nilai absolut), baik pada

tahun 2005 maupun 2007, namun nilai elastisitasnya menurun dari 1,834 menjadi

1,117. Pada 2011 nilai elastisitas harga jagung menurun lagi menjadi hanya 0,928.

Hal ini merupakan indikasi tentang makin sedikit komoditas substitusi jagung.

Sedangkan elastisitas pengeluaran menunjukkan bahwa jagung telah berubah dari

barang normal menjadi barang inferior. Kenaikan pendapatan akan menyebabkan

penurunan permintaan terhadap jagung sebagai komoditas pangan substitusi beras.

Hal ini dapat terjadi karena masyarakat Indonesia tidak mengkonsumsi jagung

secara langsung, tetapi sebagian besar digunakan sebagai bahan baku industri

pakan ternak. Pada 2011, jagung kembali menjadi barang normal dengan nilai

elastisitas 0,101.

Pada tahun 2005, di antara lima komoditias yang dianalisis, kedelai tergolong

komoditas yang inelastis terhadap perubahan harga sendiri. Hal ini karena

komoditas tersebut sudah mempunyai segmen pasar tertentu, dimana konsumen

akan tetap membelinya karena merupakan kebutuhan pokok. Segmen pasar yang

Page 95: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 80

dimaksud adalah industri tahu dan tempe. Namun pada tahun 2007 keadaannya

berubah, dimana permintaan kedelai menjadi elastis (1,117), demikian juga pada

2011 (1,055). Ini menunjukkan bahwa industri dan konsumen tahu dan tempe sudah

mulai merespon terhadap perubahan harga kedelai. Dengan kata lain, permintaan

kedelai akan menurun jika terjadi kenaikan harga walaupun elastisitas pengeluaran

menunjukkan bahwa kedelai masih merupakan barang normal (elastisitas

pengeluaran > 0), yaitu 0,768 (tahun 2005), 0,711 (tahun 2007) dan 0,255 (tahun

2011). Artinya, tingkat konsumsi per kapita masih akan bertambah apabila

pendapatan masyarakat meningkat, namun dengan tingkat pertambahan yang

menurun.

Nilai elastisitas harga sendiri komoditas gula menunjukkan bahwa permintaan

komoditas ini cukup responsif terhadap perubahan harganya sendiri, walaupun

elastisitas tersebut cenderung menurun, yaitu -1,035; - 0,912 dan - 0,845 masing-

masing untuk tahun 2005, 2007 dan 2011. Sebaliknya, elastisitas pengeluaran

menunjukkan peningkatan pada tahun 2007, yang berarti gula masih tetap tergolong

barang normal. Dengan demikian, permintaan gula akan terus meningkat jika

pendapatan masyarakat meningkat. Namun pada 2011 elastisitas pengeluaran

menurun menjadi hanya 0,224.

Elastisitas harga sendiri daging sapi menunjukkan peningkatan dari 1,109

pada 2005 menjadi 1,430 pada 2007, namun kemudian turun menjadi 1,233 pada

2011. Nilai elastisitas yang semakin tinggi menunjukkan bahwa permintaan daging

sapi makin elastis terhadap perubahan harganya sendiri. Hal ini merupakan indikasi

bahwa makin banyak produk yang dapat mensubstitusi daging sapi dengan jenis-

jenis daging lainnya. Nilai elastisitas pengeluaran yang lebih besar daripada 1

menunjukkan bahwa daging sapi masih merupakan produk mewah (luxury goods)

untuk masyarakat Indonesia, walaupun elastisitas terhadap perubahan pendapatan

menurun dari 1,785 pada 2005 menjadi 1,642 pada 2007 dan turun lagi menjadi

1,478 pada 2011.

Menurut hasil penelitian Kustiari et al (2009), hampir semua produk

peternakan mempunyai nilai elastisitas harga sendiri dan elastisitas pengeluaran

lebih dari satu. Dengan kata lain, produk peternakan dapat dikatakan sebagai

barang pangan mewah (bukan pangan pokok) yang permintaannya bersifat elastis

terhadap perubahan harganya sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa produk

Page 96: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 81

peternakan merupakan produk pangan yang sebagian besar dikonsumsi oleh

masyarakat berpendapatan menengah ke atas.

Hal menarik yang bisa dicermati adalah adanya perubahan respon

masyarakat terhadap kualitas pangan yang dikonsumsi. Khususnya elastisitas

pengeluaran daging sapi yang mengalami penurunan terus-menerus, merupakan

fenomena bahwa masyarakat makin menyadari akan pentingnya asupan protein

hewani.

Permintaan Tidak Langsung

Hasil analisis hubungan antara jumlah konsumsi-tidak-langsung dengan

jumlah penduduk diperoleh nilai elastisitas sebagai berikut: beras 0,126; jagung

1,996; kedelai 2,669; gula 1,110; dan daging sapi 0,668. Dengan laju pertumbuhan

jumlah penduduk sebesar X persen/tahun, maka proyeksi laju pertumbuhan

konsumsi-tidak- langsung per tahun adalah sebesar 0,126*X persen untuk beras;

1,996*X persen untuk jagung; 2,669*X persen untuk kedelai; 1,110*X persen untuk

gula; dan 0,668*X persen untuk daging sapi. Nilai elastisitas yang tinggi pada

jagung, kedelai, gula dan daging sapi, menunjukkan hubungan yang erat antara

konsumsi-tidak-langsung dengan jumlah penduduk.

5.2.2. Penawaran

Analisis penawaran/produksi menggunakan model ekonometrik linier dua

tahap, yaitu model respon luas panen dan model respon produktivitas, karena

produksi merupakan perkalian antara luas panen dan produktivitas. Data yang

digunakan adalah time series 1970-2012. Hasil analisis elastisitas luas panen

terhadap harga output sendiri dan harga output komoditas pesaing, serta elastisitas

produktivitas terhadap harga output sendiri, harga pupuk dan teknologi (diproksi

dengan variabel tahun) diperlihatkan pafa Tabel 5.5.

Luas panen padi, jagung, kedelai dan tebu/gula dipengaruhi secara positif

dan signifikan oleh harga output sendiri di tingkat produsen dengan elastisitas paling

rendah pada padi (0,477) dan paling tinggi pada gula (0,901). Sementara harga

komoditas pesaing yang berpengaruh hanya harga jagung terhadap luas panen

kedelai dengan elastisitas sebesar -0,648, yang artinya kenaikan 10 persen harga

Page 97: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 82

jagung di tingkat produsen akan menurunkan luas panen kedelai 6,48 persen.

Namun luas panen jagung tidak dipengaruhi oleh harga kedelai.

Tabel 5.5. Elastisitas Luas Panen dan Produktivitas Komoditas Pangan Strategis

Uraian Padi Jagung Kedelai Gula Daging Sapi

Luas Panen a): Harga riil output sendiri 0,477 0,616 0,864 0,601 0,381 Harga riil output pesaing b) - - -0,648 - - Trend - - - - 0,019 Produktivitas: Harga riil output sendiri 0,209 0,103 0,112 0,403 - Harga riil pupuk Urea -0,058 -0,009 -0,017 -0,042 - Harga riil pupuk TSP/SP36 -0,175 -0,095 -0,038 -0,309 - Trend 0,017 0,039 0,016 0,035 -

Keterangan: a) Luas panen untuk daging sapi adalah produksi b) Harga komoditas pesaing yang berpengaruh nyata hanya harga jagung

terhadap luas panen kedelai.

Hasil analisis respon produktivitas menunjukkan bahwa harga output sendiri

berpengaruh positif pada produktivitas padi, jagung, kedelai dan tebu/gula dengan

elastisitas yang bervariasi dari paling rendah yaitu 0,103 untuk jagung dan 0,403

untuk tebu. Sementara harga pupuk Urea berpengaruh negatif pada produktivitas

semua komoditas, tetapi yang paling besar adalah pada padi karena jenis tanaman

ini menggunakan Urea sebagai pupuk utama. Harga pupuk TSP/SP36 juga

berpengaruh negatif pada produktivitas padi, jagung dan gula dengan kedelai yang

paling rendah dan tebu/gula yang paling tinggi. Variabel Trend sebagai proksi

teknologi berpengaruh positif pada produktivitas semua jenis tanaman (padi, jagung,

kedelai dan gula). Untuk produksi daging sapi, harga produsen berpengaruh positif

dengan elastisitas 0,381. Produksi daging sapi juga dipengaruhi secara positif oleh

teknologi dengan elastisitas 0,019.

5.3. Transmisi Harga

Harga di tingkat tertentu ditransmisikan ke harga di tingkat tertentu dan

parameter pengaruhnya disebut elastisitas transmisi harga. Dalam analisis ini

dihipotesakan bahwa harga produsen, harga impor dalam rupiah dan tari bea masuk

Page 98: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 83

secara positif ditransmisikan ke harga konsumen. Sementara itu, harga konsumen

dan harga pembelian pemerintah untuk gabah dan harga patokan petani untuk gula

dihipotesakan secara positif ditransmisikan ke harga produsen. Hasil analisis

transmisi harga ditunjukkan pada Tabel 5.6 untuk harga konsumen dan Tabel 5.7

untuk harga produsen.

Harga konsumen semua komoditas dipengaruhi secara positif harga impor

dalam rupiah di pelabuhan Indonesia dan TBM (tarif bea masuk). Elastisitas

transmisi harga impor ke harga konsumen berkisar dari yang paling rendah sebesar

0,663 yaitu untuk gula hingga yang tertinggi sebesar 0,974 yaitu untuk jagung. Ini

berarti bahwa sebagian besar perubahan harga impor akan ditrasmisikan ke harga

konsumen. Sementara elastisitas trnasmisi TBM ke harga konsumen bervariasi dari

yang paling rendah sebesar 0,175 yaitu untuk beras sampai dengan yang tertinggi

yaitu untuk gula. Implikasinya bagi kebijakan perdagangan adalah bahwa TBM

dapat digunakan sebagai instrumen untuk mempengaruhi harga beras pangan di

tingkat konsumen. Pada tahun 2012, TBM untuk beras dan gula menggunakan tarif

spesifik yaitu masing-masing Rp 450 dan Rp 790 per kg, sementara untuk tiga

komoditas pangan lainnya yaitu jagung, kedelai dan daging sapi menggunakan tarif ad-valorem 5 persen (dari harga impor).

Tabel 5.6. Elastisitas Transmisi Harga Impor dan TBM ke Harga Konsumen Komoditas Pangan Strategis.

Komoditas Harga Impor TBM Beras 0,889 0,175 Jagung 0,974 0,224 Kedelai 0,991 0,294 Gula 0,663 0,320 Daging Sapi 0,818 0,250

Harga produsen dipengaruhi secara positif oleh harga konsumen dengan

elastistas yang bervariasi dari yang paling rendah sebesar 0,884 yaitu untuk gula

hingga yang tertinggi sebesar 0,966 yaitu untuk kedelai. Elastisitas trasmisi harga

yang tinggi pada kedelai disebabkan sebagian besar kebutuhan konsumsi domestik

dipasok dari impor, dimana harga konsumen juga sangat dipengaruhi oleh harga

impor. Untuk padi/beras dan tebu/gula, harga produsen juga dipengauhi oleh harga

Page 99: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 84

ketentuan pemerintah yaitu HPP (harga pembelian pemerintah) untuk gabah dan HP

(harga patokan petani) untuk gula dengan elastisitas transmisi harga masing-masing

sebesar 0,080 dan 0,144. Implikasinya adalah bahwa kebijakan HPP dan HP dapat

digunakan sebagai instrumen kebijakan untuk mempengaruhi harga produsen dalam

upaya memberikan insentif bagi produsen komoditas pangan untuk meningkatkan

produksnya.

Tabel 5.7. Elastisitas Transmisi Harga Konsumen dan HPP/HP ke Harga Produsen Komoditas Pangan Strategis.

Komoditas Harga Konsumen HPP/HP*)

Beras 0,885 0,080 Jagung 0,917 - Kedelai 0,966 - Gula 0,884 0,144 Daging Sapi 1,079 - Keterangan: *) Tidak ada HPP pada jagung,

kedelai dan daging sapi.

Page 100: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 85

BAB VI PROYEKSI PERMINTAAN DAN PENAWARAN KOMODITAS PANGAN

STRATEGIS TAHUN 2013-2050

6.1. Skenario Kebijakan Pemerintah dan Variabel Lain

Kebijakan pemerintah yang disimulasikan terdiri dari kebijakan perdagangan,

kebijakan pertanian dan kebijakan demografi. Kebijakan perdagangan yang

disimulasikan sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mempercepat

pencapaian swasembada pangan strategis adalah Tarif Bea Masuk (TBM). Pada

saat ini (2013), TBM yang dikenakan terhadap impor beras dan gula kristal putih

adalah tarif spesifik yaitu masing-masing Rp 450 dan Rp 790 per kg, sedangkan

TBM yang dikenakan terhadap impor jagung, kedelai dan daging sapi adalah tarif

ad-valorem yang sama yaitu sebesar 5 persen. Sementara kebijakan pertanian yang

disimulasikan sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mempercepat

pencapaian swasembada pangan strategis adalah HPP gabah, HP gula petani,

harga subsidi pupuk Urea dan pupuk TSP/SP36/NPK, teknologi dan pencetakan

sawah baru. Kebijakan demogafi yang disimulasikan adalah program KB untuk

memperlambat laju pertumbuhan penduduk. Variabel non-kebijakan yang

disimulasikan adalah laju perkembangan harga internasional komoditas pengan

strategis, PDB per kapita, dan konversi lahan sawah.

Ada tiga skenario kebijakan dan perubahan variabel non-kebijakan yang

disimulasikan, sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 6.1 dengan beberapa

penjelasan singkat sebagai berikut:

Skenario I (Pesimis):

1) TBM spesifik untuk impor beras dan gula kristal putih selama 2013-2014 tetap

yaitu masing-masing Rp 450 dan Rp 790 per kg, tetapi mulai tahun 2015 naik 5

persen setiap lima tahun.

2) TBM ad-valorem jagung, kedelai dan daging sapi selama 2013-2050 tetap 5

persen.

Page 101: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 86

Tabel 6.1. Skenario Analisis Simulasi untuk Proyeksi Pernintaan dan Penawaran Komoditas Pangan Strategis.

Uraian Variabel/ Instrumen Kebijakan

Skenario I (Pesimis)

Skenario II (Sedang)

Skenario III (Optimis)

Komoditas:

Beras dan Gula TBM Spesifik 2013-2014 tetap, mulai 2015 naik 5 persen per 5 tahun

2013-2014 tetap, mulai 2015 naik 7,5 persen per 5 tahun

2013-2014 tetap, mulai 2015 naik 10 persen per 5 tahun

HPP riill Mulai 2014 kenaikan dipercepat 0,1 persen/tahun

Mulai 2014 kenaikan dipercepat 0,5 persen/tahun

Mulai 2014 kenaikan dipercepat 1 persen/tahun

Jagung, Kedelai dan Daging Sapi

TBM advalorem 2013-2050 tetap 5 persen

2013-2014 tetap 5 persen; 2015-2050: 5,5 persen

2013-2014 tetap 5 persen; 2015-2050: 6 persen

Semua komoditas

Percepatan kenaikan harga riil internasional

0,1 persen/tahun

0,1 persen/tahun

0,1 persen/tahun

Non Komoditas:

Pupuk Urea Harga riil mengikuti historical trend

-1,70 persen/th -1,70 persen/th -1,70 persen/th

Pupuk TSP Perlambatan kenaikan harga riil

0,1 persen/th sejak 2013

0,5 persen/th sejak 2013

1 persen/th sejak 2013

Teknologi Percepatan perkembangan

Tidak ada sejak 2013

Tidak ada sejak 2013

Tidak ada sejak 2013

Konversi lahan Pengendalian Cetak = Konversi sejak 2013

Cetak = Konversi sejak 2013

Cetak = Konversi sejak 2013

Penduduk Perlambatan laju pertumbuhan

0,1 persen/th sejak 2013

0,2 persen/th sejak 2013

0,3 persen/th sejak 2013

PDB riil/kapita Percepatan laju pertumbuhan

0 persen/th sejak 2013

0,1 persen/th sejak 2013

0,2 persen/th sejak 2013

3) Laju kenaikan HPP riil untuk gabah dan HP riil untuk gula kristal putih mulai

tahun 2014 dipercepat 0,1 persen/tahun.

4) Laju kenaikan harga riil di pasar internasional semua komoditas strategis akan

mengalami percepatan 0,1 persen/tahun selama 2013-2050. Hal ini dilandasi

Page 102: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 87

oleh melambatnya laju pertumbuhan suplai di pasar dunia sebagai akibat

perubahan iklim, sementara permintaan terus meningkat karena pertumbuhan

jumlah penduduk.

5) Laju perkembangan harga riil pupuk Urea mengikuti historical trend yang negatif,

dimana jenis pupuk ini paling banyak digunakan petani untuk tanaman pangan,

utamanya padi. Sementara laju kenaikan harga riil pupuk TSP/SP36/ NPK

diperlambat 0,1 persen/tahun selama 2013-2050 agar pemakaian jenis pupuk

majemuk ini dapat meningkat dalam upaya peningkatan produktivitas pertanian

pangan.

6) Selama 2013-2050 teknologi tetap berkembang tetapi tidak ada terobosan

teknologi (technology breakthrough) di tingkat petani karena permasalahan

penyuluhan pertanian yang sulit diatasi dalam upaya diseminasi teknologi

(masalah sistem dan fasilitas) serta kurangnya modal petani.

7) Kemampuan mencetak sawah oleh pemerintah dan petani selama 2013-2050

diasumsikan sama dengan konversi lahan sawah karena kurangnya anggaran

dan sulitnya mencari lahan untuk mencetak sawah baru, dan permintaan akan

lahan pertanian subur (sawah) yang terus meningkat karena: (a) Meningkatnya

jumlah penduduk yang memerlukan perumahan; dan (b) Tumbuhnya industri

manufaktur, perdagangan, pariwisata dan perkantoran serta kebutuhan

prasarana jalan dan bandara baru yang memerlukan lahan.

Skenario II (Moderat):

1) TBM spesifik untuk impor beras dan gula kristal putih selama 2013-2014 tetap

yaitu masing-masing Rp 450 dan Rp 790 per kg, tetapi mulai tahun 2015 naik

7,5 persen setiap lima tahun.

2) TBM ad-valorem jagung, kedelai dan daging sapi selama 2013-2050 naik

menjadi 5,5 persen.

3) Laju kenaikan HPP riil untuk gabah dan HP riil untuk gula kristal putih mulai

tahun 2014 dipercepat 0,5 persen/tahun.

4) Laju kenaikan harga riil di pasar internasional semua komoditas strategis akan

mengalami percepatan 0,1 persen/tahun selama 2013-2050.

Page 103: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 88

5) Laju perkembangan harga riil pupuk Urea mengikuti historical trend yang negatif,

sementara laju kenaikan harga riil pupuk TSP/SP36/ NPK diperlambat 0,5

persen/tahun selama 2013-2050.

6) Selama 2013-2050 teknologi tetap berkembang tetapi tidak ada terobosan

teknologi (technology breakthrough) di tingkat petani.

7) Kemampuan mencetak sawah oleh pemerintah dan petani selama 2013-2050

diasumsikan sama dengan konversi lahan sawah.

Skenario III (Optimis):

1) TBM spesifik untuk impor beras dan gula kristal putih selama 2013-2014 tetap

yaitu masing-masing Rp 450 dan Rp 790 per kg, tetapi mulai tahun 2015 naik 10

persen setiap lima tahun.

2) TBM ad-valorem jagung, kedelai dan daging sapi selama 2013-2050 naik

menjadi 6 persen.

3) Laju kenaikan HPP riil untuk gabah dan HP riil untuk gula kristal putih mulai

tahun 2014 dipercepat 0,5 persen/tahun.

4) Laju kenaikan harga riil di pasar internasional semua komoditas strategis akan

mengalami percepatan 0,1 persen/tahun selama 2013-2050.

5) Laju perkembangan harga riil pupuk Urea mengikuti historical trend yang negatif,

sementara laju kenaikan harga riil pupuk TSP/SP36/ NPK diperlambat 1

persen/tahun selama 2013-2050.

6) Selama 2013-2050 teknologi tetap berkembang tetapi tidak ada terobosan teknologi (technology breakthrough) di tingkat petani.

7) Kemampuan mencetak sawah oleh pemerintah dan petani selama 2013-2050

diasumsikan sama dengan konversi lahan sawah.

6.2. Proyeksi Konsumsi/Permintaan

Proyeksi permintaan/konsumsi total berdasarkan tiga skenario tersebut diatas

selama 2013-2050 untuk lima komoditas pangan pokok ditunjukkan pada Lampiran

2 sampai dengan Lampiran 6, sementara untuk versi ringkasnya diperlihatkan pada

Page 104: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 89

Tabel 6.2 sampai dengan Tabel 6.6. Dari lima tabel tersebut dapat diketahui bahwa

permintaan total beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi akan meningkat terus

sampai 2050, baik dengan Skenario I (pesimis), II (moderat) maupun III (optimis).

Dalam hal ini, total konsumsi pada Skenario I adalah yang paling tinggi, sedangkan

pada Skenario III adalah yang paling rendah untuk beras, jagung, kedelai dan gula.

Tetapi untuk daging sapi adalah yang sebaliknya, yaitu konsumsi tertinggi terjadi

pada Skenario III, sedangkan yang terendah terjadi pada Skenario I.

Tabel 6.2. Proyeksi Konsumsi Beras, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 44.366.417 44.365.647 44.365.312 2014 44.460.681 44.459.184 44.458.953 2015 44.387.271 44.300.801 44.216.816 2020 44.692.221 44.511.469 44.345.855 2025 44.999.696 44.716.305 44.471.299 2030 45.309.719 44.915.302 44.593.230 2035 45.622.315 45.108.462 44.711.734 2040 45.937.507 45.295.797 44.826.900 2045 46.255.319 45.477.325 44.938.826 2050 46.575.776 45.653.076 45.047.609

Tabel 6.3. Proyeksi Konsumsi Jagung, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 20.797.764 20.797.047 20.796.686 2014 21.157.487 21.156.035 21.155.308 2015 21.523.668 21.513.139 21.503.718 2020 23.455.509 23.441.102 23.429.917 2025 25.566.851 25.547.828 25.534.524 2030 27.874.189 27.849.706 27.833.870 2035 30.395.534 30.364.626 30.345.785 2040 33.150.555 33.112.124 33.089.737 2045 36.160.731 36.113.529 36.086.978 2050 39.449.519 39.392.130 39.360.715

Page 105: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 90

Tabel 6.4. Proyeksi Konsumsi Kedelai, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 2.894.701 2.894.593 2.894.535 2014 2.942.047 2.941.856 2.941.770 2015 2.991.037 2.949.997 2.909.116 2020 3.262.586 3.221.953 3.181.799 2025 3.583.995 3.543.834 3.504.568 2030 3.963.832 3.924.134 3.885.879 2035 4.412.120 4.372.791 4.335.623 2040 4.940.583 4.901.430 4.865.370 2045 5.562.936 5.523.646 5.488.656 2050 6.295.227 6.255.347 6.221.314

Tabel 6.5. Proyeksi Konsumsi Gula, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 4.718.490 4.718.268 4.718.149 2014 4.851.239 4.850.831 4.850.638 2015 4.958.183 4.942.261 4.926.675 2020 5.692.408 5.658.964 5.626.832 2025 6.578.196 6.525.797 6.476.244 2030 7.650.083 7.577.064 7.509.104 2035 8.950.624 8.855.017 8.767.523 2040 10.532.262 10.411.708 10.303.367 2045 12.459.623 12.311.257 12.180.515 2050 14.812.360 14.632.661 14.477.650

Tabel 6.6. Proyeksi Konsumsi Daging Sapi, 2013-2050 (ton)

Tahun Konsumsi (ton) I II III

2013 516.222 516.230 516.243 2014 538.156 538.198 538.254 2015 561.315 550.366 539.439 2020 698.165 684.236 670.424 2025 878.554 861.772 845.365 2030 1.117.068 1.098.301 1.080.512 2035 1.433.205 1.414.674 1.398.397 2040 1.853.029 1.839.284 1.830.365 2045 2.411.375 2.410.848 2.420.137 2050 3.154.793 3.182.222 3.228.871

Page 106: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 91

Dengan Skenario I, II dan III, maka total konsumsi kelima komoditas pangan

strategis tersebut adalah sebagai berikut: (1) Beras: pada tahun 2014 diproyeksikan

akan mencapai 44.459-44.461 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan mencapai

45.048-46.576 ribu ton; (2) Jagung: pada tahun 2014 diproyeksikan akan mencapai

21.155-21.157 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan mencapai 39.361-39.450 ribu

ton; (3) Kedelai : pada tahun 2014 diproyeksikan akan mencapai 2.942-2.942 ribu

ton, dan pada tahun 2050 akan mencapai 6.221-6.295 ribu ton; (4) Gula: pada tahun

2014 diproyeksikan akan mencapai 4.850,6-4.851,2 ribu ton, dan pada tahun 2050

akan mencapai 14.478-14.812 ribu ton; dan (5) Daging Sapi: pada tahun 2014

diproyeksikan akan mencapai 538.156-538.254 ton, dan pada tahun 2050 akan

mencapai 3.155-3.229 ribu ton.

6.3. Proyeksi Produksi/Penawaran

Proyeksi penawaran/produksi berdasarkan tiga skenario tersebut diatas

selama 2013-2050 untuk lima komoditas pangan strategis ditunjukkan pada

Lampiran 7 sampai dengan Lampiran 11, sedangkan untuk versi ringkasnya

diperlihatkan pada Tabel 6.7 sampai dengan Tabel 6.11. Dari lima tabel tersebut

dapat diketahui bahwa produksi beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi lokal

akan meningkat terus sampai dengan 2050, baik dengan Skenario I, II maupun III.

Dalam hal ini, total produksi pada Skenario I adalah yang paling rendah, sedangkan

pada Skenario III adalah yang paling tinggi, baik untuk beras, jagung, kedelai, gula

maupun daging sapi lokal.

Tabel 6.7. Proyeksi Produksi Beras, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 43.933.914 43.934.517 43.935.531 2014 44.382.042 44.384.075 44.387.135 2015 45.080.575 45.203.844 45.329.128 2020 47.856.595 48.139.144 48.432.086 2025 51.041.159 51.527.571 52.039.603 2030 54.692.075 55.436.176 56.229.025 2035 58.877.885 59.945.047 61.093.483 2040 63.679.949 65.149.950 66.745.211 2045 69.195.000 71.165.599 73.319.669 2050 75.538.266 78.129.671 80.980.671

Page 107: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 92

Tabel 6.8. Proyeksi Produksi Jagung, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 19.738.744 19.738.921 19.739.143 2014 20.115.415 20.434.840 20.755.667 2015 20.507.637 20.833.848 21.161.642 2020 22.724.982 23.092.581 23.463.496 2025 25.439.617 25.863.482 26.293.895 2030 28.769.288 29.268.625 29.779.452 2035 32.866.358 33.466.311 34.084.697 2040 37.928.918 38.662.780 39.424.404 2045 44.215.877 45.128.164 46.080.416 2050 52.067.591 53.218.345 54.424.736

Tabel 6.9. Proyeksi Produksi Kedelai, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 857.881 857.900 857.902 2014 864.287 876.307 888.336 2015 870.866 883.035 895.162 2020 906.491 919.750 932.439 2025 946.997 961.984 975.361 2030 992.895 1.010.347 1.024.551 2035 1.044.782 1.065.554 1.080.742 2040 1.103.351 1.128.447 1.144.792 2045 1.169.406 1.200.014 1.217.714 2050 1.243.879 1.281.413 1.300.694

Tabel 6.10. Proyeksi Produksi Gula, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 2.626.441 2.626.543 2.626.636 2014 2.652.856 2.653.167 2.653.448 2015 2.718.502 2.738.218 2.757.942 2020 2.920.121 2.965.355 3.010.675 2025 3.165.980 3.244.370 3.323.044 2030 3.464.536 3.586.043 3.708.268 2035 3.826.528 4.004.229 4.183.508 2040 4.265.608 4.516.768 4.771.105 2045 4.799.178 5.146.710 5.500.262 2050 5.449.493 5.923.966 6.409.340

Page 108: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 93

Tabel 6.11. Proyeksi Produksi Daging Sapi Lokal, 2013-2050 (ton).

Tahun Konsumsi (ton) I II III

2013 426.351 426.351 426.351 2014 428.170 428.170 437.012 2015 430.078 430.078 438.962 2020 440.995 440.995 450.139 2025 454.331 454.331 463.820 2030 470.284 470.284 480.214 2035 489.099 489.099 499.574 2040 511.067 511.067 522.208 2045 536.542 536.542 548.484 2050 565.941 565.941 578.841

Dengan Skenario I, II dan III, maka total produksi kelima komoditas pangan

strategis tersebut adalah sebagai berikut: (1) Beras: pada tahun 2014 diproyeksikan

akan mencapai 44.382-44.387 rubu ton, dan pada tahun 2050 akan mencapai

75.538-80.981 ribu ton; (2) Jagung: pada tahun 2014 diproyeksikan akan mencapai

20.115-20.756 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan mencapai 52.068-54.425 ribu

ton; (3) Kedelai : pada tahun 2014 diproyeksikan akan mencapai 864-888 ribu ton,

dan pada tahun 2050 akan mencapai 1.244-1.301 ribu ton; (4) Gula: pada tahun

2014 diproyeksikan akan mencapai 2.653-2.653 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan

mencapai 5.449-6.409 ribu ton; dan (5) Daging Sapi: pada tahun 2014

diproyeksikan akan mencapai 428.170-437.012 ton, dan pada tahun 2050 akan

mencapai 565.941-578.841 ton. Peningkatan produksi disebabkan oleh peningkatan

luas panen dan produktivitas. Khusus kedelai, peningkatan produksi lambat karena

ada persaingan yang cukup kuat dengan jagung dalam penggunaan lahan.

6.4. Pencapaian Swasembada Pangan

Proyeksi surplus/defisit produksi berdasarkan tiga skenario tersebut diatas

selama 2013-2050 untuk lima komoditas pangan strategis ditunjukkan pada

Lampiran 12 sampai dengan Lampiran 16, sementara untuk versi ringkasnya

diperlihatkan pada Tabel 6.12 sampai dengan Tabel 6.16. Dari lima tabel tersebut

dapat diketahui bahwa:

Page 109: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 94

1) Beras: pada tahun 2014 masih akan mengalami defisit produksi 71,818-78.639

ton. Surplus produksi mulai diraih pada tahun 2015 yang diproyeksikan akan

mencapai 693-1.113 ribu ton (Tabel 6.12). Surplus tersebut akan terus

meningkat sampai dengan tahun 2050 yang akan mencapai 28.962-35.933 ribu

ton. Skenario III (optimis) menghasilkan surplus beras paling besar, sedangkan

Skenario I (pesimis) paling kecil.

2) Jagung: defisit produksi akan terus menurun dan mencapai surplus pada tahun

2026 dengan Skenario I (surplus 39.946 ton), pada tahun 2023 dengan Skenario

II (surplus 3.885 ton), dan pada tahun 2020 dengan Skenario III (surplus 33.579

ton) (Tabel 6.13). Terlihat bahwa dengan Skenario III (optimis), swasembada

jagung dapat dicapai paling cepat. Surplus terus meningkat sampai dengan

2050 yang mencapai 12.618-15.064 ribu ton.

3) Kedelai: defisit produksi diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050. Pada

tahun 2014, defisit produksi kedelai akan mencapai 2.053-2.078 ribu ton, dan

pada tahun 2050 akan naik menjadi 4.921-5.051 ribu ton (Tabel 6.14). Skenario I

(pesimis) menghasilkan defisit paling besar, sementara Skenario III (optimis)

paling kecil.

4) Gula: seperti halnya pada kedelai, defisit produksi diproyeksikan akan terus

meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit produksi gula akan mencapai

2.197-2.198 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan meningkat menjadi 8.068-9.363

ribu ton (Tabel 6.15). Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit paling besar,

sementara Skenario III (optimis) paling kecil.

5) Daging sapi lokal: seperti halnya pada kedelai dan gula, defisit produksi

diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit

produksi daging sapi akan mencapai 101.242-109.986 ton, dan pada tahun 2050

akan meningkat menjadi 2.589-2.650 ribu ton (Tabel 6.18). Kebalikan dari empat

komoditas sebelumnya, pada daging sapi Skenario I (pesimis) menghasilkan

defisit paling kecil, sementara Skenario III (optimis) paling besar.

Page 110: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 95

Tabel 6.12. Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Beras, 2013-2050 (ton).

Tahun Skenario I II III

2013 -432.502 -431.129 -429.781 2014 -78.639 -75.109 -71.818 2015 693.303 903.043 1.112.311 2020 3.164.374 3.627.675 4.086.231 2025 6.041.463 6.811.266 7.568.304 2030 9.382.356 10.520.874 11.635.795 2035 13.255.570 14.836.584 16.381.749 2040 17.742.442 19.854.153 21.918.311 2045 22.939.680 25.688.273 28.380.843 2050 28.962.490 32.476.595 35.933.062

Tabel 6.13. Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Jagung, 2013-2050 (ton).

Tahun Skenario I II III

2013 -1.059.021 -1.058.126 -1.057.543 2014 -1.042.072 -721.195 -399.641 2015 -1.016.031 -679.291 -342.076 2016 -980.387 -635.673 -290.644 2017 -934.603 -581.400 -228.001 2018 -878.107 -515.876 -153.527 2019 -810.295 -438.472 -66.565 2020 -730.527 -348.521 33.579 2021 -638.127 -245.317 147.641 2022 -532.379 -128.112 276.402 2023 -412.523 3.885 420.686 2024 -277.758 151.511 581.367 2025 -127.234 315.653 759.370 2026 39.946 497.249 955.675 2030 895.099 1.418.918 1.945.581 2035 2.470.824 3.101.684 3.738.912 2040 4.778.363 5.550.656 6.334.668 2045 8.055.146 9.014.635 9.993.438 2050 12.618.071 13.826.215 15.064.021

Page 111: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 96

Tabel 6.14. Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Kedelai, 2013-2050

Tahun Skenario (ton) I II III

2013 -2.036.820 -2.036.693 -2.036.634 2014 -2.077.760 -2.065.550 -2.053.434 2015 -2.120.171 -2.066.962 -2.013.954 2020 -2.356.094 -2.302.203 -2.249.360 2025 -2.636.998 -2.581.849 -2.529.207 2030 -2.970.938 -2.913.787 -2.861.328 2035 -3.367.338 -3.307.237 -3.254.881 2040 -3.837.231 -3.772.982 -3.720.578 2045 -4.393.530 -4.323.632 -4.270.942 2050 -5.051.348 -4.973.935 -4.920.620

Tabel 6.15. Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Gula, 2013-2050

Tahun Skenario (ton) I II III

2013 -2.092.050 -2.091.725 -2.091.513 2014 -2.198.383 -2.197.664 -2.197.190 2015 -2.239.681 -2.204.043 -2.168.732 2020 -2.772.287 -2.693.609 -2.616.158 2025 -3.412.216 -3.281.427 -3.153.200 2030 -4.185.547 -3.991.020 -3.800.836 2035 -5.124.097 -4.850.788 -4.584.016 2040 -6.266.653 -5.894.940 -5.532.262 2045 -7.660.445 -7.164.547 -6.680.253 2050 -9.362.867 -8.708.695 -8.068.310

Tabel 6.16. Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Daging Sapi, 2013- 2050

Tahun Skenario (ton) I II III

2013 -89.871 -89.879 -89.892 2014 -109.986 -110.029 -101.242 2015 -131.237 -120.288 -100.477 2020 -257.169 -243.241 -220.285 2025 -424.223 -407.441 -381.546 2030 -646.783 -628.017 -600.298 2035 -944.106 -925.575 -898.823 2040 -1.341.961 -1.328.217 -1.308.157 2045 -1.874.833 -1.874.306 -1.871.653 2050 -2.588.852 -2.616.280 -2.650.030

Page 112: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 97

BAB VII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

7.1. Kesimpulan

Perkembangan Pola dan Diversifikasi Konsumsi Pangan

a. Pangsa pengeluaran pangan masyarakat Indonesia meningkat dari 52,42

persen pada tahun 2002 menjadi 54,69 persen pada 2011 atau meningkat

sebesar 4,15 persen selama periode 2002-2011. Pola konsumsi masyarakat

masih didominasi oleh padi-padian dan makanan-jadi sehingga kualitas

konsumsi pangan masyarakat dinilai masih rendah, dimana konsumsi

karbohidrat masih tinggi, sedangkan konsumsi protein, kacang-kacangan, dan

umbi-umbian rendah. Padahal, potensi keanekaragaman pangan Indonesia

sebenarnya tergolong besar karena negeri ini kaya akan jenis pangan nabati

dan hewani.

b. Konsumsi energi masyarakat selalu berada di bawah 2.200 kkal selama

periode 2002-2011 sehingga tidak sesuai dengan pola pangan yang ditetapkan

dalam Pola Pangan Harapan (PPH). Untuk menuju PPH, konsumsi beras harus

dikurangi, sebaliknya konsumsi umbi-umbian, pangan hewani, sayur dan buah

perlu ditingkatkan secara signifikan.

c. Dilihat dari segi ketersedian energi pangan, di Indonesia terjadi kesinambungan

surplus energi pangan sejak 2005. Namun terdapat masalah pada

keseimbangannya, yang diindikasikan oleh persentase ketersedian energi dari:

(a) Padi-padian terlalu tinggi, (b) Pangan Hewani terlalu rendah, (c) Umbi-

umbian terlalu tinggi, dan (d) Kacang-kacangan terlalu rendah. Apabila

ketersedian energi dibandingkan dengan konsumsi energi maka kelebihan

energi tertinggi diperoleh dari Padi-padian (992 kkal), yang kemudian diikuti

dari Umbi-umbian (56 kkal) dan Pangan Hewani (165 kkal).

d. Upaya membangun diversifikasi konsumsi pangan telah dilaksanakan sejak

tahun 60-an. Namun dalam perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi

pangan lebih ditekankan pada usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi

beras, karena diversifikasi konsumsi pangan hanya diartikan pada

penganekaragaman pangan pokok. Program diversifikasi konsumsi pangan

Page 113: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 98

juga dilakukan secara parsial, baik dalam konsep, target, wilayah maupun

sasaran, dan tidak dalam kerangka diversifikasi secara utuh.

Perkembangan Permintaan dan Penawaran

e. Permintaan lima komoditas pangan yang dianalisis, yaitu beras, jagung,

kedelai, gula dan daging sapi mengalami pertumbuhan yang cepat selama

kurun waktu 5 tahun terakhir (2008-2012), yaitu masing-masing 4,14 persen,

6,16 persen, 7,58 persen, 8,24 persen dan 8,11 persen per tahun. Laju

pertumbuhan permintaan tersebut jauh melebihi laju pertumbuhan jumlah

penduduk yang hanya 2,01 persen per tahun. Hal ini mengindikasikan

pertumbuhan yang cepat pada industri pengolahan makanan dan minuman.

f. Selama kurun waktu 2008-2012, produksi lima komoditas pangan yang

dianalisis mengalami pertumbuhan yang bervariasi dari negatif yaitu gula (-1,73

persen/tahun), sangat lambat yaitu kedelai (0,75 persen/tahun), lambat yaitu

jagung (3,21 persen/tahun) dan beras (2,85 persen/tahun), dan sangat cepat

yaitu daging sapi (19,50 persen/tahun). Khusus daging sapi, perlu dicatat

bahwa laju pertumbuhan produksi yang sangat cepat tersebut bukan berasal

dari ternak sapi lokal saja tetapi juga termasuk sapi bakalan dari Australia yang

diimpor, digemukkan dan dipotong di Indonesia.

g. Selama kurun waktu yang sama (2008-2012), secara konsisten terjadi defisit

produksi dan cenderung meningkat cepat. Laju peningkatan defisit rata-rata per

tahun sangat cepat pada beras dan jagung, yaitu masing-masing 62,06 persen

dan 69,68 persen, sedangkan deficit gula, daging sapi dan kedelai masing-

masing sebesar 24,38 persen, 18,73 persen dan 11,23 persen.

h. Hasil estimasi elastisitas menunjukkan penurunan sensitivitas dari konsumsi

pangan langsung terhadap perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran

terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1

(inelastis). Elastisitas pengeluaran pada 2011 menunjukkan bahwa kelima

komoditas yang dikaji tergolong barang normal. Dengan demikian, permintaan

akan terus meningkat jika pendapatan masyarakat meningkat.

i. Luas panen padi, jagung, kedelai dan tebu/gula dipengaruhi secara positif dan

signifikan oleh harga output sendiri di tingkat produsen dengan elastisitas

paling rendah pada padi (0,477) dan paling tinggi pada tebu/gula (0,901).

Page 114: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 99

Harga komoditas pesaing yang berpengaruh hanya harga jagung terhadap luas

panen kedelai dengan elastisitas -0.648, namun luas panen jagung tidak

dipengaruhi oleh harga kedelai. Dengan perkataan lain, perluasan areal panen

jagung dapat menurunkan luas areal panen kedelai, tetapi tidak terjadi yang

sebaliknya.

j. Hasil analisis respon produktivitas menunjukkan bahwa harga output sendiri

berpengaruh positif pada produktivitas padi, jagung, kedelai dan tebu/gula

dengan elastisitas yang bervariasi dari paling rendah yaitu 0,103 pada jagung

dan 0,403 pada tebu/gula. Variabel Trend sebagai proksi teknologi

berpengaruh positif pada produktivitas padi, jagung, kedelai dan gula. Untuk

produksi daging sapi, harga produsen berpengaruh positif dengan elastisitas

0,381. Produksi daging sapi juga dipengaruhi secara positif oleh teknologi

dengan elastisitas 0,019.

k. Elastisitas transmisi harga impor ke harga konsumen berkisar dari yang paling

rendah sebesar 0,663 (gula) hingga yang tertinggi sebesar 0,974 (jagung).

Elastisitas transmisi TBM ke harga konsumen bervariasi dari yang paling

rendah sebesar 0,175 (beras) sampai dengan yang tertinggi yaitu 0,320 (gula).

Harga produsen dipengaruhi secara positif oleh harga konsumen dengan

elastistas yang bervariasi dari yang paling rendah sebesar 0,884 (gula) hingga

yang tertinggi sebesar 0,966 (kedelai). Khusus untuk gabah dan gula, harga

produsen juga dipengaruhi oleh HPP dengan elastisitas masing-masing 0,080

dan 0,144.

Proyeksi Permintaan dan Penawaran 2013-2050

l. Beras: pada tahun 2014 masih akan mengalami defisit produksi 71.818-78.639

ton. Surplus produksi diproyeksikan akan mulai diraih pada tahun 2015 yang

mencapai 693-1.113 ribu ton. Surplus tersebut akan terus meningkat sampai

dengan tahun 2050 yang mencapai 28.962-35.933 ribu ton. Skenario III

(optimis) menghasilkan surplus beras paling besar, sedangkan Skenario I

(pesimis) paling kecil.

m. Jagung: defisit produksi akan terus menurun sampai dengan tahun 2025 dan

mencapai surplus 39.946 ton pada tahun 2026 dengan Skenario I (pesimis)

pada tahun 2023 surplus 3.885 ton dengan Skenario II (sedang) dan pada

Page 115: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 100

tahun 2020 surplus 33.579 ton dengan Skenario III (optimis). Dengan Skenario

III (optimis), swasembada jagung dapat dicapai paling cepat. Surplus terus

meningkat sampai dengan 2050 yang mencapai 12.618-15.064 ribu ton.

n. Kedelai: defisit produksi diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050.

Pada tahun 2014, defisit produksi kedelai akan mencapai 2.053-2.078 ribu ton,

dan pada tahun 2050 akan naik menjadi 4.921-5.051 ribu ton. Skenario I

(pesimis) menghasilkan defisit paling besar, sementara Skenario III (optimis)

paling kecil.

o. Gula: defisit produksi diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050. Pada

tahun 2014, defisit produksi gula akan mencapai 2.197-2.198 ribu ton, dan

pada tahun 2050 akan meningkat cepat menjadi 8.068-9.363 ribu ton. Skenario

I (pesimis) menghasilkan defisit paling besar, sementara Skenario III (optimis)

paling kecil.

p. Daging sapi lokal: defisit produksi diproyeksikan akan terus meningkat sampai

2050. Pada tahun 2014, defisit produksi daging sapi akan mencapai 101.242-

109.986 ton, dan pada tahun 2050 akan meningkat sangat cepat menjadi

2.589-2.650 ribu ton. Kebalikan dari empat komoditas sebelumnya, pada

daging sapi Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit paling kecil, sementara

Skenario III (optimis) paling besar.

7.2. Implikasi Kebijakan

Kebijakan Diversifikasi Konsumsi Pangan

Secara implisit, upaya diversifikasi konsumsi pangan dapat diidentikkan

dengan upaya perbaikan gizi untuk mendapatkan kualitas sumberdaya manusia

Indonesia yang mampu berdaya saing. Oleh karena itu, ke depan upaya mendorong

diversifikasi pangan perlu terus diupayakan melalui:

a. Pengembangan produk (product development) yang diperankan oleh industri

pengolahan makanan untuk meningkatkan cita-rasa dan citra-produk pangan

khas nusantara.

b. Kampanye nasional diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumberdaya

pangan lokal bagi aparat pemerintahan di tingkat pusat dan daerah, individu,

kelompok masyarakat dan industri.

Page 116: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 101

c. Pendidikan diversifikasi konsumsi pangan secara sistematis, terutama

mengenai pola pangan beragam, bergizi, dan berimbang, yang dilakukan

sejak dini (perlu dimasukkan ke dalam kurikulum di SD, SLTP dan SLTA).

d. Peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak memproduksi, menyediakan,

memperdagangkan, dan/atau mengkonsumsi pangan yang tidak aman

(mengandung zat adiktif, terkontaminasi mikroba, kotor, dan lain-lain).

e. Program penganekargaman pangan nasional dan daerah perlu diselaraskan,

khususnya dalam pengembangan pertanian, perikanan dan industri

pengolahan pangan guna mendorong produksi, distribusi, dan konsumsi

sumber pangan non-beras, namun tidak menggantungkan pada barang

pangan impor.

f. Fasilitas pengembangan bisnis pangan melalui fasilitasi pengembangan

aneka pangan segar, industri pangan olahan dan pangan siap saji berbasis

sumber daya lokal. Untuk itu, perlu program yang jelas dan terkoordinasi

untuk memproduksi pangan lokal secara memadai.

Kebijakan Perdagangan Luar Negeri

g. Kebijakan perdagangan dalam bentuk TBM (Tarif Bea Masuk), baik tarif spesifik untuk beras dan gula, maupun tarif ad-valorem untuk jagung, kedelai

dan daging sapi, sebagai salah satu bentuk perlindungan kuantitatif bagi

pertanian kelima komoditas pangan strstegis tersrbut di Indonesia masih tetap

diperlukan. Sehubungan dengan itu, Indonesia berkewajiban untuk

menotifikasi atau merenegosiasi TBM-nya dengan anggota ASEAN dan

ASEAN+mitra, sebagaimana Indonesia juga harus menotifikasikan TBM-nya

ke negara-negara anggota WTO melalui Sekretariat WTO. Tujuan kebijakan

perdagangan dalam bentuk TBM tersebut adalah untuk menghambat laju

pertumbuhan konsumsi per kapita bagi komoditas-komoditas yang konsumsi

per kapitanya dinilai sudah berlebihan, sekaligus mendorong pertumbuhan

produksi beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi, sehingga swasembada

dapat lebih cepat tercapai.

Page 117: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 102

Kebijakan Pertanian dan Prasaran Umum

Upaya peningkatan produksi pangan dan pertanian dilakukan melalui kebijakan dan

kegiatan, antara lain:

h. Pengembangan inovasi teknologi secara terus-menerus sesuai dengan

kondisi alam perdesaan, sosial-budaya dan ekonomi petani, yang disertai

dengan sistem penyuluhan yang efektif untuk diseminasi teknologi tersebut

kepada petani produsen, sehingga produktivitas dan efisiensi proses produksi

makin tinggi.

i. Percepatan peningkatan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk beras

dan Harga Patokan (HP) untuk gula untuk mendorong penerapan teknologi

produksi yang lebih baik sekaligus mendorong perluasan areal tanam.

j. Perlambatan kenaikan harga subsidi input, yaitu benih unggul baru, pupuk

organik dan pupuk anorganik (Urea, ZA, SP36, NPK) untuk mendorong

penerapan teknologi produksi yang lebih baik.

k. Pembangunan dan perbaikan prasarana pertanian, utamanya jaringan irigasi,

jalan pertanian, jembatan dan pelabuhan laut. Jaringan irigasi diperlukan

untuk memenuhi kebutuhan pengairan sehingga Indeks Pertanamaan (IP)

dan produktivitas dapat ditingkatkan.

l. Pencetakan sawah untuk padi, dan pengadaan lahan untuk kedelai dan tebu/

gula harus lebih besar dibanding konversinya. Pemerintah Daerah harus

mematuhi berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan

kelestarian lahan pangan dan alih fungsi lahan pertanian, dan tidak sekadar

mengejar PAD melalui pembangunan kaawsan industri yang dapat

mengancam produksi pangan pokok, utamanya beras.

m. Pengendalian/pencegahan pemotongan ternak sapi potong betina produktif

untuk mencegah terjadinya pengurasan populasi ternak sapi potong melalui

pengawasan pemotongan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) milik

pemerintah, swasta dan pribadi. Untuk itu perlu diterbitkan Perda (Peraturan

Daerah) tentang pelarangan pemotongan sapi betina produktif. Pemotongan

Page 118: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 103

harus mendapatkan izin Dinas Peternakan dan para pelaku yang melanggar

harus dikenakan sanksi hukum sesuai dengan Perda terkait.

n. Jalan pertanian diperlukan untuk memperlancar angkutan hasil pertanian dari

lahan/kebun ke jalan desa/jalan raya, sementara jalan raya, jembatan dan

pelabuhan laut diperlukan untuk memperlancar proses distribusi pangan

dalam daerah dan antar daerah (aspek konektivitas).

Kebijakan Demografi

o. Perlambatan laju pertumbuhan penduduk melalui penggalakan kembali

program Keluarga Berencana (KB) dengan moto “Dua Anak Cukup” dan

“Keluarga Kecil Sejahtera” untuk memperlambat laju pertumbuhan jumlah

penduduk. Salah satu dampak positif dari perlambatan laju pertumbuhan

jumlah penduduk adalah memperlambat laju kenaikan konsumsi pangan.

Peran lembaga-lembaga yang terkait erat dengan masalah kependudukan

(PKK, Posyandu, dan lain-lain), lembaga pendidikan dan lembaga

keagamaan perlu mengajarkan dan menanamkan pengertian tentang

pentingnya melakukan KB.

Page 119: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 104

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, S. 2009. Dampak Pemberlakuan Tarif Impor Kedelai Nol Persen Terhadap Keunggulan Komparatif dan Profitabilitas Usahatani Kedelai di Indonesia tahun 2008. Deskripsi Dokumen: http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/ libri2/detail.

Ali, M. Bakir. 2002. Pola Konsumsi Beras di Indonesia. Disertasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.

Ariningsih, E. 2009. Konsumsi dan Kecukupan Energi dan Protein Rumah Tangga Pedesaan di Indonesia: Analisis Data Susenas 1999, 2002, 2005. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Ayiek, S.S. 2008. Pola Konsumsi Pangan Rumah Tangga di Wilayah Historis Pangan Beras dan Non beras di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian Dan Perdesaan: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Bogor, 19 Nopember 2008. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Departemen Pertanian.

Budi, I Setiawan, 2012. Optimalisasi Diversiikasi Pangan Guna Mewujudkan Ketahanan Pangan Nasional Yang Berkelanjutan. Majalah TANNAS. Edisi 94 tahun 2012.

Buse, A. 1994. Evaluating the Linearized Almost Ideal Demand System. American Journal of Agricultural Economics 76(3):781-793.

Chandra, A.D. dan J.P. Moeis. 2007. Analisis Permintaan Sayur-Sayuran Dalam Pemenuhan Sendiri Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Agriculture & Rural Economy, Universitas Indonesia. Depok

Clark, G., S. Goldberg and N. Gurushina. 2012. RGE Agriculture Sensitivity Index (RASI): Impacts on Individual Economies. http://www.roubini.com/strategy/ flash/168315.php.

Dahl, W. C. dan J. W. Hammond. 1970. Market and Price Analysis: The Agricultural Industries. McGraw-Hill Book Company, New York.

Deaton, A., and J. Muellbauer. 1980. An Almost Ideal Demand System. The American Economic Review 70(3):312-326.

Enders, W. 1995. Applied Econometric Time Series. John Wiley & Sons Inc., New York.

Engle, R.F. and C.W.J. Granger. 1987. Co-integration and Deviasi-Correction: Representation, Estimation and Testing. Econometrica 55(2):251-276.

FAO. 2012. Import Dependency Ratio. FAO Statistics. FAO. Rome.

Page 120: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 105

George, K.D. and J. Shorey. 1978. The Allocation of Resources: Theory and Policy. George Allen & Unwin (Publishers) Ltd. London, Boston and Sydney.

Green R. dan J. M. Alston. 1990. Elasticities in AIDS Models. American Journal of Agricultural Economics 72(2):442-445.

Hadi, P.U., H.J. Purba dan S.K. Dermorejo. 2009. Pemasaran Daging Sapi di Wilayah DKI Jakarta. Laporan Hasil Penelitian. Kerjasama Pusat Analisis Kebijakan Sosial Ekonomi Pertanian dan ACIAR.

Hariyadi, P., B. Krisnamurthi, D. Syah dan F.G. Winarno. 2004. Roadmap Penganekaragaman Pangan. Prosiding Penganekaragaman Pangan. konsep, realitas dan aplikasi. PT. Indofood Sukses Makmur tbk. Bogasari Flour Mills dan Forum Kerja Penganekaragaman Pangan

Harper, L.J., A. Deaton, dan J. A. Driskel. 1985. Pangan, Gizi dan Pertanian (penerjemah : Suhardjo). UI Press. Jakarta.

Hutabarat B., A. Djauhari, A. Agustian, T.D. Permata, B. Rachman, Ikin Sadikin, dan J.Situmorang. 1997. Potensi dan Peluang Pemanfaatan Sumberdaya Produksi Tanaman Pangan di Luar Jawa. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.

Irawan, B., M. Ariani, H. Purwati dan A. Supriatna. 1999. Analisis Program Diversifikasi Pangan Selama Lima Tahun. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian dan Biro Perencanaan Departemen Pertanian

Kasryno, F., M. Gunawan, dan C.A. Rasahan. 1993. Strategi Diversifikasi Produksi Pangan. Prisma, Vol. 5. Tahun XXII. LP3ES, Jakarta. Pp. 13-24.

Kodyat, B.A. 1998. Overview Masalah dan program Kesehatan dan Gizi Masyarakat di Indonesia. Makalah Disampaikan pada Training Peningkatan Kemampuan Penelitian Bidang Kesehatan dan Gizi Masyarakat. Bogor. 18-30 Agustus.

Kodyat, BA., A.R. Thaha, dan Minarto. 1998. Penuntasan Masalah Gizi Kurang. Di dalam : Winarno F G, editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI. Serpong, 17-20 Februari 1998. Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pp.755-757.

Krisnamurthi, B. 2003. Penganekaragaman Pangan : Pengalaman 40 tahun dan Tantangan ke Depan. (http://www.ekonomirakyat.org/edisi_19/artikel_4.htm 22/11/06). Diakses 20 April 2013.

Lanchovichina, E., J. Loening, and Ch. Wood. 2012. How Vulnerable are Arab Countries to Global Food Price Shocks?

Malian A.H., S. Mardianto dan M. Ariani. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi, Konsumsi dan Harga Beras Serta Inflasi Bahan Makanan. Jurnal Agro Ekonomi 22(2):119-146.

Page 121: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 106

Nerlove, M. and W. Addison. 1958. Statistical Estimation of Long-run Elasticities of Supply and Demand. Journal of Farm Economics 40(4):861-880.

Ni Made Suyastiri Y.P. 2008. Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Berbasis Potensi Lokal dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan RumahTangga Pedesaan di Kecamatan Semin Kabupaten Gunung Kidul. Jurnal Ekonomi Pembangunan 13(1):51-60.

Nicholson, W. 2002. Microconomic Theory: Basic Principles and Extensions. Eighth Edition. South Western Thomsom Learning Publication.

Pakpahan, A. dan S.H. Suhartini. 1989. Permintaan Rumah Tangga Kota di Indonesia Terhadap Keanekaragaman. Jurnal Agro Ekonomi. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor

Priyanto, D. 2005. Evaluasi Kebijakan Impor Daging Sapi melalui Analisis Penawaran dan Permintaan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Pp. 275-284.

Purwoto, A, 1997. Pengembangan Kedelai di Indonesia: Peluang dan Tantangan. Dalam: Kebijakan Pembangunan Petanian: Analisis Kebijakan Antisipatif dan Responsif. Monograph Series No.17. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Rachman, B., S.H. Susilowati, H. Malian, dan I.K. Karyasa, 2000. Dinamika dan Prospek Harga dan Perdagangan Komiditi Pertanian. Seminar Nasional Perspektif Pembangunan dan Kehutanan.

Rachman, H.P.S. dan Mewa Ariani. 2008. “Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Indonesia: Permasalahan dan Implikasi untuk Kebijakan dan Program”. Analisis Kebijakan Pertanian 6(2):140-154.

Rahardjo, M.D. 1993. Politik Pangan dan Industri Pangan di Indonesia. Prisma No. 5, Th XXII. LP3ES. Jakarta. Pp.13-24.

Riyadi. 2003. Kebiasaan Makan Masyarakat dalam Kaitannya dengan Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Prosiding Simposium Pangan dan Gizi serta Kongres IV Bergizi dan Pangan Indonesia. Jakarta

Sadikin, I. 1999. Analisis Daya Saing Jagung dan Dampaknya terhadap Pengembangan Agribisnis Jagung di Bengkulu. Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional “Sektor Pertanian Memasuki Abad-21: Prospek dan Tantangan” Tanggal 9 Nopember 1999 di UNAS, Jakarta. Pp.1-30.

Sadikin, I. 2000. Analisis Daya Saing Jagung pasca Krisis dan Dampak Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangan Agribisnis Jagung di NTT. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Sektor Pertanian Tahun 2000: Kendala, Tantangan dan Prospek” Tanggal 8-9 Nopember 2000 di Bogor. Pp.1-26.

Page 122: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 107

Shapouri, S., M. Peters, S. Allen, S. Rosen, and F. Baquedano. 2010. Food Security Assessment 2010-2010. A Report from the Economic Research Service. USDA. GFA-21. Washington, D.C.

Sawit H.M., Saifullah, A., dan Muhart. 2010. Arsitektur Kebijakan Beras di Era Swasembada. Dalam Sawit, M.H dan Halid, H. (eds): Arsitektur Kebijakan Beras di Era Baru. IPB Press.

Simatupang, P. dan M. Maulana. 2006. Prospek Penawaran dan Permintaan Pangan Utama: Analisis Masalah, Kendala dan Opsi Kebijakan Revitalisasi Produksi. Dalam Rusastra, I.W. et al (eds): Revitalisasi Ketahanan Pangan: Membangun Kemandirian Pangan Berbasis Pedesaan. Departemen Pertanian, Dewan Ketahanan Pangan, HKTI, dan Kemenneg Ristek.

Sudaryanto. T., Prajogo U. Hadi, S.H. Susilowati dan E. Suryani, 1999. Perkembangan Kebijakan Harga dan Perdagangan Komoditas Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian sosial ekonomi Pertanian. Bogor.

Suhardjo dan D. Martianto. 1992. Analisis Tipologi Makanan Pokok. PSKPG.LP-IPB. Bogor.

Syafa’at, N., Prajogo U. Hadi, A. Purwoto, D.K.S. Swastika., F.B.M. Debukke., J. Situmorang dan E.M. Lokollo. 2005. Proyeksi Permintaan dan Penawaran Komoditas Utama Pertanian. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

Tomek, W.G. and K.L. Robinson. 1972. Agricultural Product Prices. Cornell University Press. Itaca and London.

Page 123: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 108

Lampiran 1: Jenis dan Sumber Data

Jenis Data Sumber Data

Data statistik luas panen, produktivitas dan produksi beras, jagung, dan kedelai 1980-2012

Ditjen Tanaman Pangan

Data statistik luas panen, produktivitas dan produksi gula 1980-2012 Ditjen Perkebunan Data statistik populasi sapi potong, dan produksi daging 1980-2012 Ditjen Peternakan Data statistik impor dan ekspor beras, jagung, kedelai, gula, sapi bakalan dan daging sapi 1980-2012 (lima nilai terbesar berdasarkan HS)

Badan Pusat Statistik, Asosiasi Komoditas

Data statistik harga produsen, harga perdagangan besar, harga konsumen dan harga internasional semua komoditas 1980-2012

Badan Pusat Statistik

Data jumlah penduduk, PDB, IHK dan nilai tukar mata uang 1980-2012 Badan Pusat Statistik Data konsumsi langsung SUSENAS (2000 - 2012) Badan Pusat Statistik Data tarif impor per HS 1980-2012 Ditjen Bea dan Cukai Data stok beras, jagung, kedelai, gula 1980-2012 Bulog Data kuota impor beras, jagung, kedelai 1980-2012 Bulog, Ditjen Tanaman

Pangan Data kuota impor gula 1980-2012 Ditjen Perkebunan Data kuota impor sapi bakalan dan daging sapi 1980-2012 Ditjen Peternakan Data harga input usaha tani (benih, pupuk Urea, SP36 dan NPK, upah tenaga kerja) 1980-2012

DItjen Tanaman Pangan, BPS

Data harga pakan ternak 1980-2012 Ditjen Peternakan Data pangan menurut jenis pengadaan 1980-2012 Bulog Permendag, Permentan, Permenkeu, dan UU terkait dengan perdagangan dan produksi komoditas yang dikaji 1980 – 2012

Kemendag, Kementan, Kemenkeu,

Page 124: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 109

Lampiran 2: Proyeksi Konsumsi Beras, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 44.366.417 44.365.647 44.365.312 2014 44.460.681 44.459.184 44.458.953 2015 44.387.271 44.300.801 44.216.816 2016 44.481.564 44.393.543 44.309.625 2017 44.576.058 44.486.160 44.402.385 2018 44.670.753 44.578.650 44.495.093 2019 44.765.649 44.671.011 44.587.749 2020 44.692.221 44.511.469 44.345.855 2021 44.787.147 44.603.037 44.437.691 2022 44.882.275 44.694.473 44.529.472 2023 44.977.606 44.785.773 44.621.198 2024 45.073.140 44.876.938 44.712.868 2025 44.999.696 44.716.305 44.471.299 2026 45.095.260 44.806.680 44.562.160 2027 45.191.028 44.896.914 44.652.964 2028 45.287.001 44.987.007 44.743.707 2029 45.383.177 45.076.955 44.834.390 2030 45.309.719 44.915.302 44.593.230 2031 45.405.928 45.004.465 44.683.117 2032 45.502.341 45.093.481 44.772.943 2033 45.598.959 45.182.348 44.862.704 2034 45.695.783 45.271.065 44.952.402 2035 45.622.315 45.108.462 44.711.734 2036 45.719.172 45.196.398 44.800.648 2037 45.816.236 45.284.180 44.889.497 2038 45.913.506 45.371.806 44.978.279 2039 46.010.983 45.459.276 45.066.992 2040 45.937.507 45.295.797 44.826.900 2041 46.035.019 45.382.491 44.914.845 2042 46.132.738 45.469.024 45.002.720 2043 46.230.665 45.555.397 45.090.525 2044 46.328.801 45.641.606 45.178.258 2045 46.255.319 45.477.325 44.938.826 2046 46.353.491 45.562.765 45.025.804 2047 46.451.871 45.648.038 45.112.709 2048 46.550.461 45.733.144 45.199.540 2049 46.649.260 45.818.081 45.286.297 2050 46.575.776 45.653.076 45.047.609

Page 125: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 110

Lampiran 3: Proyeksi Konsumsi Jagung, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 20.797.764 20.797.047 20.796.686 2014 21.157.487 21.156.035 21.155.308 2015 21.523.668 21.513.139 21.503.718 2016 21.896.420 21.885.170 21.875.422 2017 22.275.860 22.263.862 22.253.776 2018 22.662.108 22.649.335 22.638.896 2019 23.055.283 23.041.707 23.030.903 2020 23.455.509 23.441.102 23.429.917 2021 23.862.910 23.847.642 23.836.064 2022 24.277.615 24.261.455 24.249.469 2023 24.699.751 24.682.670 24.670.260 2024 25.129.452 25.111.416 25.098.567 2025 25.566.851 25.547.828 25.534.524 2026 26.012.086 25.992.042 25.978.266 2027 26.465.294 26.444.195 26.429.931 2028 26.926.617 26.904.427 26.889.657 2029 27.396.200 27.372.883 27.357.589 2030 27.874.189 27.849.706 27.833.870 2031 28.360.733 28.335.046 28.318.649 2032 28.855.983 28.829.054 28.812.076 2033 29.360.095 29.331.881 29.314.303 2034 29.873.225 29.843.686 29.825.487 2035 30.395.534 30.364.626 30.345.785 2036 30.927.184 30.894.864 30.875.359 2037 31.468.341 31.434.564 31.414.373 2038 32.019.173 31.983.893 31.962.993 2039 32.579.853 32.543.022 32.521.390 2040 33.150.555 33.112.124 33.089.737 2041 33.731.457 33.691.376 33.668.208 2042 34.322.739 34.280.959 34.256.985 2043 34.924.587 34.881.053 34.856.247 2044 35.537.188 35.491.847 35.466.182 2045 36.160.731 36.113.529 36.086.978 2046 36.795.413 36.746.292 36.718.827 2047 37.441.429 37.390.332 37.361.924 2048 38.098.982 38.045.849 38.016.469 2049 38.768.276 38.713.046 38.682.664 2050 39.449.519 39.392.130 39.360.715

Page 126: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 111

Lampiran 4: Proyeksi Konsumsi Kedelai, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 2.894.701 2.894.593 2.894.535 2014 2.942.047 2.941.856 2.941.770 2015 2.991.037 2.949.997 2.909.116 2016 3.041.726 3.000.759 2.960.009 2017 3.094.168 3.053.279 3.012.667 2018 3.148.419 3.107.612 3.067.146 2019 3.204.538 3.163.817 3.123.504 2020 3.262.586 3.221.953 3.181.799 2021 3.322.623 3.282.082 3.242.095 2022 3.384.716 3.344.268 3.304.453 2023 3.448.929 3.408.577 3.368.939 2024 3.515.332 3.475.075 3.435.621 2025 3.583.995 3.543.834 3.504.568 2026 3.654.990 3.614.924 3.575.853 2027 3.728.392 3.688.422 3.649.548 2028 3.804.280 3.764.402 3.725.732 2029 3.882.732 3.842.946 3.804.481 2030 3.963.832 3.924.134 3.885.879 2031 4.047.665 4.008.051 3.970.009 2032 4.134.318 4.094.784 4.056.957 2033 4.223.882 4.184.423 4.146.813 2034 4.316.451 4.277.060 4.239.670 2035 4.412.120 4.372.791 4.335.623 2036 4.510.991 4.471.716 4.434.769 2037 4.613.164 4.573.935 4.537.211 2038 4.718.747 4.679.554 4.643.052 2039 4.827.849 4.788.682 4.752.402 2040 4.940.583 4.901.430 4.865.370 2041 5.057.065 5.017.913 4.982.073 2042 5.177.415 5.138.252 5.102.629 2043 5.301.757 5.262.568 5.227.160 2044 5.430.220 5.390.990 5.355.792 2045 5.562.936 5.523.646 5.488.656 2046 5.700.040 5.660.674 5.625.887 2047 5.841.674 5.802.212 5.767.623 2048 5.987.983 5.948.404 5.914.006 2049 6.139.115 6.099.398 6.065.186 2050 6.295.227 6.255.347 6.221.314

Page 127: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 112

Lampiran 5: Proyeksi Konsumsi Gula, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 4.718.490 4.718.268 4.718.149 2014 4.851.239 4.850.831 4.850.638 2015 4.958.183 4.942.261 4.926.675 2016 5.100.483 5.084.199 5.068.382 2017 5.248.036 5.231.389 5.215.349 2018 5.401.059 5.384.046 5.367.791 2019 5.559.777 5.542.393 5.525.933 2020 5.692.408 5.658.964 5.626.832 2021 5.862.861 5.828.855 5.796.352 2022 6.039.737 6.005.162 5.972.293 2023 6.223.302 6.188.148 6.154.920 2024 6.413.832 6.378.089 6.344.507 2025 6.578.196 6.525.797 6.476.244 2026 6.783.155 6.729.954 6.679.871 2027 6.995.977 6.941.958 6.891.347 2028 7.216.989 7.162.134 7.110.998 2029 7.446.532 7.390.821 7.339.161 2030 7.650.083 7.577.064 7.509.104 2031 7.897.373 7.823.260 7.754.587 2032 8.154.300 8.079.065 8.009.677 2033 8.421.266 8.344.880 8.274.773 2034 8.698.690 8.621.120 8.550.291 2035 8.950.624 8.855.017 8.767.523 2036 9.249.887 9.152.825 9.064.403 2037 9.560.970 9.462.411 9.373.052 2038 9.884.371 9.784.269 9.693.963 2039 10.220.604 10.118.911 10.027.647 2040 10.532.262 10.411.708 10.303.367 2041 10.895.375 10.772.917 10.663.391 2042 11.273.001 11.148.576 11.037.847 2043 11.665.749 11.539.292 11.427.341 2044 12.074.256 11.945.696 11.832.502 2045 12.459.623 12.311.257 12.180.515 2046 12.901.225 12.750.389 12.618.150 2047 13.360.655 13.207.262 13.073.497 2048 13.838.665 13.682.621 13.547.299 2049 14.336.038 14.177.244 14.040.330 2050 14.812.360 14.632.661 14.477.650

Page 128: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 113

Lampiran 6: Proyeksi Konsumsi Daging Sapi, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 516.222 516.230 516.243 2014 538.156 538.198 538.254 2015 561.315 550.366 539.439 2016 585.770 574.237 562.737 2017 611.598 599.473 587.394 2018 638.882 626.157 613.498 2019 667.707 654.380 641.142 2020 698.165 684.236 670.424 2021 730.352 715.826 701.450 2022 764.373 749.256 734.333 2023 800.335 784.642 769.193 2024 838.355 822.104 806.158 2025 878.554 861.772 845.365 2026 921.063 903.781 886.961 2027 966.018 948.279 931.101 2028 1.013.566 995.420 977.953 2029 1.063.862 1.045.369 1.027.693 2030 1.117.068 1.098.301 1.080.512 2031 1.173.358 1.154.403 1.136.613 2032 1.232.916 1.213.874 1.196.212 2033 1.295.937 1.276.924 1.259.541 2034 1.362.627 1.343.778 1.326.848 2035 1.433.205 1.414.674 1.398.397 2036 1.507.902 1.489.867 1.474.470 2037 1.586.965 1.569.628 1.555.370 2038 1.670.654 1.654.244 1.641.418 2039 1.759.244 1.744.020 1.732.960 2040 1.853.029 1.839.284 1.830.365 2041 1.952.317 1.940.381 1.934.028 2042 2.057.437 2.047.681 2.044.369 2043 2.168.738 2.161.575 2.161.840 2044 2.286.587 2.282.483 2.286.924 2045 2.411.375 2.410.848 2.420.137 2046 2.543.517 2.547.144 2.562.030 2047 2.683.451 2.691.876 2.713.196 2048 2.831.641 2.845.579 2.874.265 2049 2.988.581 3.008.825 3.045.916 2050 3.154.793 3.182.222 3.228.871

Page 129: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 114

Lampiran 7: Proyeksi Produksi Beras, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 43.933.914 43.934.517 43.935.531 2014 44.382.042 44.384.075 44.387.135 2015 45.080.575 45.203.844 45.329.128 2016 45.557.418 45.685.121 45.815.891 2017 46.047.905 46.180.984 46.318.386 2018 46.552.367 46.691.787 46.836.998 2019 47.071.145 47.217.903 47.372.125 2020 47.856.595 48.139.144 48.432.086 2021 48.407.981 48.701.480 49.007.537 2022 48.974.861 49.280.453 49.600.983 2023 49.557.629 49.876.492 50.212.893 2024 50.156.691 50.490.043 50.843.753 2025 51.041.159 51.527.571 52.039.603 2026 51.677.437 52.182.710 52.716.998 2027 52.331.409 52.856.948 53.415.132 2028 53.003.543 53.550.802 54.134.577 2029 53.694.324 54.264.807 54.875.923 2030 54.692.075 55.436.176 56.229.025 2031 55.425.531 56.198.174 57.024.375 2032 56.179.296 56.982.225 57.843.791 2033 56.953.930 57.788.951 58.687.966 2034 57.750.008 58.618.997 59.557.619 2035 58.877.885 59.945.047 61.093.483 2036 59.723.113 60.830.736 62.026.130 2037 60.591.765 61.742.024 62.986.874 2038 61.484.505 62.679.662 63.976.557 2039 62.402.022 63.644.425 64.996.054 2040 63.679.949 65.149.950 66.745.211 2041 64.654.310 66.179.513 67.838.541 2042 65.655.804 67.238.939 68.964.856 2043 66.685.228 68.329.132 70.125.181 2044 67.743.404 69.451.028 71.320.580 2045 69.195.000 71.165.599 73.319.669 2046 70.319.176 72.363.274 74.601.996 2047 71.474.918 73.595.948 75.923.246 2048 72.663.176 74.864.711 77.284.668 2049 73.884.936 76.170.695 78.687.559 2050 75.538.266 78.129.671 80.980.671

Page 130: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 115

Lampiran 8: Proyeksi Produksi Jagung, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 19.738.744 19.738.921 19.739.143 2014 20.115.415 20.434.840 20.755.667 2015 20.507.637 20.833.848 21.161.642 2016 20.916.032 21.249.496 21.584.778 2017 21.341.257 21.682.463 22.025.774 2018 21.784.001 22.133.459 22.485.369 2019 22.244.988 22.603.235 22.964.337 2020 22.724.982 23.092.581 23.463.496 2021 23.224.783 23.602.325 23.983.705 2022 23.745.236 24.133.343 24.525.871 2023 24.287.228 24.686.555 25.090.946 2024 24.851.694 25.262.928 25.679.934 2025 25.439.617 25.863.482 26.293.895 2026 26.052.032 26.489.291 26.933.942 2027 26.690.028 27.141.486 27.601.249 2028 27.354.753 27.821.258 28.297.055 2029 28.047.415 28.529.864 29.022.664 2030 28.769.288 29.268.625 29.779.452 2031 29.521.712 30.038.936 30.568.868 2032 30.306.100 30.842.267 31.392.442 2033 31.123.943 31.680.168 32.251.788 2034 31.976.810 32.554.275 33.148.607 2035 32.866.358 33.466.311 34.084.697 2036 33.794.334 34.418.096 35.061.953 2037 34.762.579 35.411.551 36.082.378 2038 35.773.038 36.448.703 37.148.085 2039 36.827.762 37.531.693 38.261.308 2040 37.928.918 38.662.780 39.424.404 2041 39.078.793 39.844.353 40.639.869 2042 40.279.801 41.078.934 41.910.335 2043 41.534.495 42.369.191 43.238.589 2044 42.845.571 43.717.941 44.627.578 2045 44.215.877 45.128.164 46.080.416 2046 45.648.427 46.603.014 47.600.401 2047 47.146.405 48.145.824 49.191.023 2048 48.713.181 49.760.123 50.855.973 2049 50.352.319 51.449.645 52.599.164 2050 52.067.591 53.218.345 54.424.736

Page 131: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 116

Lampiran 9: Proyeksi Produksi Kedelai, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 857.881 857.900 857.902 2014 864.287 876.307 888.336 2015 870.866 883.035 895.162 2016 877.623 889.962 902.192 2017 884.560 897.094 909.431 2018 891.682 904.433 916.882 2019 898.991 911.983 924.550 2020 906.491 919.750 932.439 2021 914.187 927.738 940.553 2022 922.081 935.950 948.898 2023 930.178 944.392 957.477 2024 938.482 953.068 966.297 2025 946.997 961.984 975.361 2026 955.727 971.145 984.676 2027 964.677 980.556 994.247 2028 973.852 990.223 1.004.079 2029 983.256 1.000.151 1.014.179 2030 992.895 1.010.347 1.024.551 2031 1.002.772 1.020.816 1.035.204 2032 1.012.894 1.031.564 1.046.142 2033 1.023.266 1.042.599 1.057.373 2034 1.033.894 1.053.927 1.068.904 2035 1.044.782 1.065.554 1.080.742 2036 1.055.937 1.077.489 1.092.893 2037 1.067.366 1.089.737 1.105.366 2038 1.079.073 1.102.308 1.118.168 2039 1.091.066 1.115.209 1.131.307 2040 1.103.351 1.128.447 1.144.792 2041 1.115.936 1.142.033 1.158.632 2042 1.128.826 1.155.973 1.172.835 2043 1.142.030 1.170.277 1.187.409 2044 1.155.554 1.184.954 1.202.366 2045 1.169.406 1.200.014 1.217.714 2046 1.183.595 1.215.467 1.233.464 2047 1.198.128 1.231.323 1.249.626 2048 1.213.014 1.247.591 1.266.211 2049 1.228.261 1.264.284 1.283.230 2050 1.243.879 1.281.413 1.300.694

Page 132: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 117

Lampiran 10: Proyeksi Produksi Gula, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 2.626.441 2.626.543 2.626.636 2014 2.652.856 2.653.167 2.653.448 2015 2.718.502 2.738.218 2.757.942 2016 2.747.892 2.768.251 2.788.580 2017 2.778.635 2.799.764 2.820.813 2018 2.810.769 2.832.800 2.854.687 2019 2.844.334 2.867.403 2.890.249 2020 2.920.121 2.965.355 3.010.675 2021 2.957.192 3.004.040 3.050.881 2022 2.995.848 3.044.478 3.092.991 2023 3.036.139 3.086.724 3.137.066 2024 3.078.116 3.130.838 3.183.172 2025 3.165.980 3.244.370 3.323.044 2026 3.212.138 3.293.429 3.374.851 2027 3.260.180 3.344.597 3.428.972 2028 3.310.170 3.397.947 3.485.488 2029 3.362.173 3.453.557 3.544.489 2030 3.464.536 3.586.043 3.708.268 2031 3.521.577 3.647.705 3.774.339 2032 3.580.884 3.711.939 3.843.264 2033 3.642.541 3.778.843 3.915.156 2034 3.706.632 3.848.518 3.990.129 2035 3.826.528 4.004.229 4.183.508 2036 3.896.742 4.081.378 4.267.330 2037 3.969.714 4.161.702 4.354.723 2038 4.045.550 4.245.331 4.445.834 2039 4.124.360 4.332.398 4.540.818 2040 4.265.608 4.516.768 4.771.105 2041 4.351.923 4.613.141 4.877.259 2042 4.441.625 4.713.479 4.987.929 2043 4.534.852 4.817.949 5.103.314 2044 4.631.745 4.926.728 5.223.620 2045 4.799.178 5.146.710 5.500.262 2046 4.905.341 5.267.169 5.634.780 2047 5.015.702 5.392.626 5.775.072 2048 5.130.438 5.523.300 5.921.403 2049 5.249.735 5.659.424 6.074.051 2050 5.449.493 5.923.966 6.409.340

Page 133: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 118

Lampiran 11: Proyeksi Produksi Daging Sapi Lokal, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 426.351 426.351 426.351 2014 428.170 428.170 437.012 2015 430.078 430.078 438.962 2016 432.076 432.076 441.006 2017 434.166 434.166 443.144 2018 436.348 436.348 445.378 2019 438.624 438.624 447.709 2020 440.995 440.995 450.139 2021 443.463 443.463 452.668 2022 446.029 446.029 455.300 2023 448.695 448.695 458.034 2024 451.461 451.461 460.874 2025 454.331 454.331 463.820 2026 457.305 457.305 466.874 2027 460.386 460.386 470.039 2028 463.574 463.574 473.315 2029 466.873 466.873 476.706 2030 470.284 470.284 480.214 2031 473.810 473.810 483.839 2032 477.451 477.451 487.586 2033 481.212 481.212 491.455 2034 485.094 485.094 495.451 2035 489.099 489.099 499.574 2036 493.230 493.230 503.828 2037 497.489 497.489 508.216 2038 501.880 501.880 512.740 2039 506.405 506.405 517.403 2040 511.067 511.067 522.208 2041 515.869 515.869 527.159 2042 520.815 520.815 532.259 2043 525.906 525.906 537.510 2044 531.148 531.148 542.918 2045 536.542 536.542 548.484 2046 542.093 542.093 554.214 2047 547.805 547.805 560.110 2048 553.681 553.681 566.177 2049 559.725 559.725 572.420 2050 565.941 565.941 578.841

Page 134: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 119

Lampiran 12: Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Beras, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 -432.502 -431.129 -429.781 2014 -78.639 -75.109 -71.818 2015 693.303 903.043 1.112.311 2016 1.075.854 1.291.579 1.506.265 2017 1.471.848 1.694.823 1.916.001 2018 1.881.615 2.113.137 2.341.905 2019 2.305.496 2.546.891 2.784.376 2020 3.164.374 3.627.675 4.086.231 2021 3.620.834 4.098.443 4.569.847 2022 4.092.585 4.585.980 5.071.511 2023 4.580.022 5.090.718 5.591.695 2024 5.083.551 5.613.105 6.130.885 2025 6.041.463 6.811.266 7.568.304 2026 6.582.176 7.376.031 8.154.837 2027 7.140.380 7.960.034 8.762.169 2028 7.716.542 8.563.795 9.390.869 2029 8.311.147 9.187.852 10.041.532 2030 9.382.356 10.520.874 11.635.795 2031 10.019.603 11.193.709 12.341.257 2032 10.676.955 11.888.744 13.070.848 2033 11.354.970 12.606.602 13.825.261 2034 12.054.224 13.347.931 14.605.218 2035 13.255.570 14.836.584 16.381.749 2036 14.003.941 15.634.338 17.225.482 2037 14.775.528 16.457.845 18.097.377 2038 15.570.998 17.307.856 18.998.279 2039 16.391.039 18.185.149 19.929.062 2040 17.742.442 19.854.153 21.918.311 2041 18.619.291 20.797.022 22.923.696 2042 19.523.066 21.769.914 23.962.136 2043 20.454.563 22.773.735 25.034.656 2044 21.414.603 23.809.423 26.142.322 2045 22.939.680 25.688.273 28.380.843 2046 23.965.686 26.800.509 29.576.192 2047 25.023.047 27.947.910 30.810.537 2048 26.112.716 29.131.567 32.085.127 2049 27.235.676 30.352.614 33.401.262 2050 28.962.490 32.476.595 35.933.062

Page 135: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 120

Lampiran 13: Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Jagung, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 -1.059.021 -1.058.126 -1.057.543 2014 -1.042.072 -721.195 -399.641 2015 -1.016.031 -679.291 -342.076 2016 -980.387 -635.673 -290.644 2017 -934.603 -581.400 -228.001 2018 -878.107 -515.876 -153.527 2019 -810.295 -438.472 -66.565 2020 -730.527 -348.521 33.579 2021 -638.127 -245.317 147.641 2022 -532.379 -128.112 276.402 2023 -412.523 3.885 420.686 2024 -277.758 151.511 581.367 2025 -127.234 315.653 759.370 2026 39.946 497.249 955.675 2027 224.734 697.291 1.171.319 2028 428.136 916.831 1.407.398 2029 651.215 1.156.981 1.665.075 2030 895.099 1.418.918 1.945.581 2031 1.160.979 1.703.889 2.250.218 2032 1.450.116 2.013.213 2.580.366 2033 1.763.847 2.348.287 2.937.484 2034 2.103.585 2.710.589 3.323.120 2035 2.470.824 3.101.684 3.738.912 2036 2.867.150 3.523.232 4.186.594 2037 3.294.238 3.976.988 4.668.005 2038 3.753.865 4.464.811 5.185.092 2039 4.247.909 4.988.671 5.739.917 2040 4.778.363 5.550.656 6.334.668 2041 5.347.336 6.152.976 6.971.660 2042 5.957.062 6.797.976 7.653.350 2043 6.609.908 7.488.137 8.382.342 2044 7.308.383 8.226.093 9.161.395 2045 8.055.146 9.014.635 9.993.438 2046 8.853.014 9.856.722 10.881.574 2047 9.704.976 10.755.492 11.829.098 2048 10.614.199 11.714.274 12.839.504 2049 11.584.043 12.736.599 13.916.500 2050 12.618.071 13.826.215 15.064.021

Page 136: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 121

Lampiran 14: Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Kedelai, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 -2.036.820 -2.036.693 -2.036.634 2014 -2.077.760 -2.065.550 -2.053.434 2015 -2.120.171 -2.066.962 -2.013.954 2016 -2.164.103 -2.110.797 -2.057.816 2017 -2.209.607 -2.156.185 -2.103.236 2018 -2.256.737 -2.203.179 -2.150.264 2019 -2.305.547 -2.251.833 -2.198.954 2020 -2.356.094 -2.302.203 -2.249.360 2021 -2.408.437 -2.354.345 -2.301.541 2022 -2.462.635 -2.408.319 -2.355.555 2023 -2.518.752 -2.464.185 -2.411.462 2024 -2.576.851 -2.522.007 -2.469.324 2025 -2.636.998 -2.581.849 -2.529.207 2026 -2.699.263 -2.643.779 -2.591.177 2027 -2.763.715 -2.707.865 -2.655.301 2028 -2.830.428 -2.774.179 -2.721.653 2029 -2.899.476 -2.842.795 -2.790.303 2030 -2.970.938 -2.913.787 -2.861.328 2031 -3.044.893 -2.987.235 -2.934.805 2032 -3.121.424 -3.063.220 -3.010.815 2033 -3.200.616 -3.141.824 -3.089.440 2034 -3.282.557 -3.223.133 -3.170.766 2035 -3.367.338 -3.307.237 -3.254.881 2036 -3.455.053 -3.394.227 -3.341.876 2037 -3.545.799 -3.484.198 -3.431.845 2038 -3.639.674 -3.577.246 -3.524.884 2039 -3.736.783 -3.673.473 -3.621.094 2040 -3.837.231 -3.772.982 -3.720.578 2041 -3.941.129 -3.875.881 -3.823.441 2042 -4.048.589 -3.982.279 -3.929.794 2043 -4.159.728 -4.092.292 -4.039.750 2044 -4.274.667 -4.206.036 -4.153.426 2045 -4.393.530 -4.323.632 -4.270.942 2046 -4.516.445 -4.445.207 -4.392.423 2047 -4.643.546 -4.570.889 -4.517.996 2048 -4.774.968 -4.700.812 -4.647.795 2049 -4.910.854 -4.835.113 -4.781.956 2050 -5.051.348 -4.973.935 -4.920.620

Page 137: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 122

Lampiran 15: Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Gula, 2013-2050 (ton)

Tahun Skenario I II III

2013 -2.092.050 -2.091.725 -2.091.513 2014 -2.198.383 -2.197.664 -2.197.190 2015 -2.239.681 -2.204.043 -2.168.732 2016 -2.352.591 -2.315.948 -2.279.802 2017 -2.469.401 -2.431.625 -2.394.536 2018 -2.590.290 -2.551.246 -2.513.105 2019 -2.715.443 -2.674.991 -2.635.684 2020 -2.772.287 -2.693.609 -2.616.158 2021 -2.905.669 -2.824.815 -2.745.471 2022 -3.043.889 -2.960.684 -2.879.302 2023 -3.187.163 -3.101.423 -3.017.854 2024 -3.335.717 -3.247.251 -3.161.335 2025 -3.412.216 -3.281.427 -3.153.200 2026 -3.571.016 -3.436.525 -3.305.020 2027 -3.735.796 -3.597.361 -3.462.376 2028 -3.906.819 -3.764.187 -3.625.510 2029 -4.084.359 -3.937.264 -3.794.672 2030 -4.185.547 -3.991.020 -3.800.836 2031 -4.375.796 -4.175.554 -3.980.248 2032 -4.573.416 -4.367.126 -4.166.412 2033 -4.778.725 -4.566.037 -4.359.617 2034 -4.992.058 -4.772.602 -4.560.162 2035 -5.124.097 -4.850.788 -4.584.016 2036 -5.353.145 -5.071.447 -4.797.072 2037 -5.591.256 -5.300.709 -5.018.329 2038 -5.838.821 -5.538.938 -5.248.129 2039 -6.096.244 -5.786.513 -5.486.828 2040 -6.266.653 -5.894.940 -5.532.262 2041 -6.543.452 -6.159.776 -5.786.132 2042 -6.831.376 -6.435.097 -6.049.918 2043 -7.130.898 -6.721.343 -6.324.028 2044 -7.442.511 -7.018.967 -6.608.882 2045 -7.660.445 -7.164.547 -6.680.253 2046 -7.995.884 -7.483.220 -6.983.370 2047 -8.344.953 -7.814.636 -7.298.425 2048 -8.708.227 -8.159.321 -7.625.896 2049 -9.086.303 -8.517.820 -7.966.280 2050 -9.362.867 -8.708.695 -8.068.310

Page 138: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 123

Lampiran 16: Proyeksi Surplus/Defisit Produksi Daging Sapi Lokal, 2013-2050 (ton).

Tahun Skenario I II III

2013 -89.871 -89.879 -89.892 2014 -109.986 -110.029 -101.242 2015 -131.237 -120.288 -100.477 2016 -153.694 -142.161 -121.731 2017 -177.433 -165.307 -144.250 2018 -202.534 -189.810 -168.120 2019 -229.083 -215.756 -193.433 2020 -257.169 -243.241 -220.285 2021 -286.889 -272.362 -248.782 2022 -318.344 -303.227 -279.033 2023 -351.640 -335.947 -311.158 2024 -386.893 -370.643 -345.284 2025 -424.223 -407.441 -381.546 2026 -463.757 -446.476 -420.087 2027 -505.632 -487.893 -461.063 2028 -549.992 -531.846 -504.637 2029 -596.988 -578.496 -550.986 2030 -646.783 -628.017 -600.298 2031 -699.548 -680.594 -652.773 2032 -755.464 -736.422 -708.626 2033 -814.725 -795.712 -768.086 2034 -877.533 -858.684 -831.398 2035 -944.106 -925.575 -898.823 2036 -1.014.673 -996.638 -970.642 2037 -1.089.476 -1.072.139 -1.047.154 2038 -1.168.774 -1.152.364 -1.128.679 2039 -1.252.839 -1.237.615 -1.215.558 2040 -1.341.961 -1.328.217 -1.308.157 2041 -1.436.448 -1.424.512 -1.406.869 2042 -1.536.623 -1.526.866 -1.512.110 2043 -1.642.831 -1.635.669 -1.624.330 2044 -1.755.439 -1.751.335 -1.744.006 2045 -1.874.833 -1.874.306 -1.871.653 2046 -2.001.424 -2.005.051 -2.007.817 2047 -2.135.646 -2.144.071 -2.153.086 2048 -2.277.961 -2.291.898 -2.308.088 2049 -2.428.857 -2.449.100 -2.473.496 2050 -2.588.852 -2.616.280 -2.650.030

Page 139: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 124

RINGKASAN EKSEKUTIF

Swasembada pangan merupakan salah satu dari empat target utama

pembangunan pertanian ke depan (2010-2014). Program swasembada pangan ini

mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa karena

pengalaman telah membuktikan bahwa gangguan pada ketahanan pangan seperti

terjadinya krisis beras pada tahun 2008 yang ditandai oleh gejolak harga beras, telah

memberikan pelajaran bahwa melindungi pasar dalam negeri dengan swasembada pangan

yang efisien merupakan hal yang sangat diperlukan.

Indonesia saat ini masih sulit mencapai target swasembada pangan 2014 karena

produksi dan produktivitas tanaman pangan terus menurun. Bahkan hasil evaluasi Indeks

Ketahanan Pangan Global yang dilakukan oleh Economist Intelligence Unit pada tahun 2012

menempatkan Indonesia di posisi ke 5 dari 7 negara ASEAN. Posisi ketahanan pangan

Indonesia tersebut berada di bawah Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina. Hal tersebut

menunjukan bahwa dengan demikian, peran diversifikasi konsumsi pangan menjadi penting

sebagai salah satu instrumen kebijakan untuk mengurangi ketergantungan konsumsi pada

beras sehingga mampu meningkatkan ketahanan pangan nasional dan dapat dijadikan

sebagai instrumen peningkatan produktifitas kerja melalui perbaikan gizi masyarakat.

Analisis terhadap perkembangan pola diversifikasi dan tingkat konsumsi pangan

pokok di Indonesia menjadi sangat penting untuk dilakukan. Demikian pula analisis

kebijakan pangan pokok di Indonesia pada saat ini dan waktu mendatang dalam perspektif

percepatan pencapaian swasembada pangan pokok juga sangat perlu dilakukan melalui

serangkaian analisis, yang mencakup: (1) Dinamika permintaan, penawaran dan kebijakan

perdagangan tentang komoditas pangan pokok di Indonesia dibandingkan dengan di

negara-negara lain di kawasan ASEAN; (2) Proyeksi perkembangan permintaan dan

penawaran pangan pokok dalam jangka pendek, menengah dan panjang; dan (3) Alternatif

kebijakan perdagangan yang diperlukan untuk mendorong diversifikasi konsumsi pangan

masyarakat dalam mendukung percepatan pencapaian swasembada pangan pokok.

Tujuan dari kajian ini adalah menganalisis dinamika pola diversifikasi dan tingkat

konsumsi komoditas pangan pokok di Indonesia. Menganalisis perkembangan permintaan

dan penawaran komoditas pangan pokok di Indonesia dalam jangka pendek, menengah dan

panjang. Merumuskan opsi-opsi kebijakan perdagangan untuk mendorong diversifikasi

konsumsi komoditas pangan masyarakat dalam mendukung percepatan pencapaian

swasembada pangan pokok.

Page 140: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 125

Berdasarkan hasil analisis dan FGD dapat disimpulkan beberapa hal yaitu 1) Pangsa

pengeluaran pangan masyarakat Indonesia meningkat dari 52,42 persen pada tahun 2002

menjadi 54,69 persen pada 2011 atau meningkat sebesar 4,15 persen selama periode

2002-2011. Pola konsumsi masyarakat masih didominasi oleh padi-padian dan makanan-

jadi sehingga kualitas konsumsi pangan masyarakat dinilai masih rendah, dimana konsumsi

karbohidrat masih tinggi, sedangkan konsumsi protein, kacang-kacangan, dan umbi-umbian

rendah. Padahal, potensi keanekaragaman pangan Indonesia sebenarnya tergolong besar

karena negeri ini kaya akan jenis pangan nabati dan hewani. 2) Konsumsi energi

masyarakat selalu berada di bawah 2.200 kkal selama periode 2002-2011 sehingga tidak

sesuai dengan pola pangan yang ditetapkan dalam Pola Pangan Harapan (PPH). Untuk

menuju PPH, konsumsi beras harus dikurangi, sebaliknya konsumsi umbi-umbian, pangan

hewani, sayur dan buah perlu ditingkatkan secara signifikan. 3) Dilihat dari segi ketersedian

energi pangan, di Indonesia terjadi kesinambungan surplus energi pangan sejak 2005.

Namun terdapat masalah pada keseimbangannya, yang diindikasikan oleh persentase

ketersedian energi dari: (a) Padi-padian terlalu tinggi, (b) Pangan Hewani terlalu rendah, (c)

Umbi-umbian terlalu tinggi, dan (d) Kacang-kacangan terlalu rendah. Apabila ketersedian

energi dibandingkan dengan konsumsi energi maka kelebihan energi tertinggi diperoleh dari

Padi-padian (992 kkal), yang kemudian diikuti dari Umbi-umbian (56 kkal) dan Pangan

Hewani (165 kkal). 4) Upaya membangun diversifikasi konsumsi pangan telah dilaksanakan

sejak tahun 60-an. Namun dalam perjalanannya, tujuan diversifikasi konsumsi pangan lebih

ditekankan pada usaha untuk menurunkan tingkat konsumsi beras, karena diversifikasi

konsumsi pangan hanya diartikan pada penganekaragaman pangan pokok. Program

diversifikasi konsumsi pangan juga dilakukan secara parsial, baik dalam konsep, target,

wilayah maupun sasaran, dan tidak dalam kerangka diversifikasi secara utuh.

Berdasarkan hasil analisis terhadap Perkembangan Permintaan dan Penawaran

diperoleh gambaran bahwa: 1) Permintaan lima komoditas pangan yang dianalisis, yaitu

beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi mengalami pertumbuhan yang cepat selama

kurun waktu 5 tahun terakhir (2008-2012), yaitu masing-masing 4,14 persen, 6,16 persen,

7,58 persen, 8,24 persen dan 8,11 persen per tahun. Laju pertumbuhan permintaan tersebut

jauh melebihi laju pertumbuhan jumlah penduduk yang hanya 2,01 persen per tahun. Hal ini

mengindikasikan pertumbuhan yang cepat pada industri pengolahan makanan dan

minuman; 2) Selama kurun waktu 2008-2012, produksi lima komoditas pangan yang

dianalisis mengalami pertumbuhan yang bervariasi dari negatif yaitu gula (-1,73

persen/tahun), sangat lambat yaitu kedelai (0,75 persen/tahun), lambat yaitu jagung (3,21

persen/tahun) dan beras (2,85 persen/tahun), dan sangat cepat yaitu daging sapi (19,50

persen/tahun). Khusus daging sapi, perlu dicatat bahwa laju pertumbuhan produksi yang

Page 141: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 126

sangat cepat tersebut bukan berasal dari ternak sapi lokal saja tetapi juga termasuk sapi

bakalan dari Australia yang diimpor, digemukkan dan dipotong di Indonesia; 3) Selama

kurun waktu yang sama (2008-2012), secara konsisten terjadi defisit produksi dan

cenderung meningkat cepat. Laju peningkatan defisit rata-rata per tahun sangat cepat pada

beras dan jagung, yaitu masing-masing 62,06 persen dan 69,68 persen, sedangkan deficit

gula, daging sapi dan kedelai masing-masing sebesar 24,38 persen, 18,73 persen dan

11,23 persen; 4) Hasil estimasi elastisitas menunjukkan penurunan sensitivitas dari

konsumsi pangan langsung terhadap perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran

terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Elastisitas pengeluaran pada 2011 menunjukkan bahwa kelima komoditas yang dikaji

tergolong barang normal. Dengan demikian, permintaan akan terus meningkat jika

pendapatan masyarakat meningkat; 5) Luas panen padi, jagung, kedelai dan tebu/gula

dipengaruhi secara positif dan signifikan oleh harga output sendiri di tingkat produsen

dengan elastisitas paling rendah pada padi (0,477) dan paling tinggi pada tebu/gula (0,901).

Harga komoditas pesaing yang berpengaruh hanya harga jagung terhadap luas panen

kedelai dengan elastisitas -0.648, namun luas panen jagung tidak dipengaruhi oleh harga

kedelai. Dengan perkataan lain, perluasan areal panen jagung dapat menurunkan luas areal

panen kedelai, tetapi tidak terjadi yang sebaliknya; 6) Hasil analisis respon produktivitas

menunjukkan bahwa harga output sendiri berpengaruh positif pada produktivitas padi,

jagung, kedelai dan tebu/gula dengan elastisitas yang bervariasi dari paling rendah yaitu

0,103 pada jagung dan 0,403 pada tebu/gula. Variabel Trend sebagai proksi teknologi

berpengaruh positif pada produktivitas padi, jagung, kedelai dan gula. Untuk produksi daging

sapi, harga produsen berpengaruh positif dengan elastisitas 0,381. Produksi daging sapi

juga dipengaruhi secara positif oleh teknologi dengan elastisitas 0,019; 7) Elastisitas

transmisi harga impor ke harga konsumen berkisar dari yang paling rendah sebesar 0,663

(gula) hingga yang tertinggi sebesar 0,974 (jagung). Elastisitas transmisi TBM ke harga

konsumen bervariasi dari yang paling rendah sebesar 0,175 (beras) sampai dengan yang

tertinggi yaitu 0,320 (gula). Harga produsen dipengaruhi secara positif oleh harga konsumen

dengan elastistas yang bervariasi dari yang paling rendah sebesar 0,884 (gula) hingga yang

tertinggi sebesar 0,966 (kedelai). Khusus untuk gabah dan gula, harga produsen juga

dipengaruhi oleh HPP dengan elastisitas masing-masing 0,080 dan 0,144.

Berdasarkan Proyeksi Permintaan dan Penawaran 2013-2050 dapat disimpulkan

bahwa untuk Beras: pada tahun 2014 masih akan mengalami defisit produksi 71.818-78.639

ton. Surplus produksi diproyeksikan akan mulai diraih pada tahun 2015 yang mencapai 693-

1.113 ribu ton. Surplus tersebut akan terus meningkat sampai dengan tahun 2050 yang

mencapai 28.962-35.933 ribu ton. Skenario III (optimis) menghasilkan surplus beras paling

Page 142: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 127

besar, sedangkan Skenario I (pesimis) paling kecil. Jagung: defisit produksi akan terus

menurun sampai dengan tahun 2025 dan mencapai surplus 39.946 ton pada tahun 2026

dengan Skenario I (pesimis) pada tahun 2023 surplus 3.885 ton dengan Skenario II

(sedang) dan pada tahun 2020 surplus 33.579 ton dengan Skenario III (optimis). Dengan

Skenario III (optimis), swasembada jagung dapat dicapai paling cepat. Surplus terus

meningkat sampai dengan 2050 yang mencapai 12.618-15.064 ribu ton. Kedelai: defisit

produksi diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit

produksi kedelai akan mencapai 2.053-2.078 ribu ton, dan pada tahun 2050 akan naik

menjadi 4.921-5.051 ribu ton. Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit paling besar,

sementara Skenario III (optimis) paling kecil. Gula: defisit produksi diproyeksikan akan terus

meningkat sampai 2050. Pada tahun 2014, defisit produksi gula akan mencapai 2.197-2.198

ribu ton, dan pada tahun 2050 akan meningkat cepat menjadi 8.068-9.363 ribu ton. Skenario

I (pesimis) menghasilkan defisit paling besar, sementara Skenario III (optimis) paling kecil.

Daging sapi lokal: defisit produksi diproyeksikan akan terus meningkat sampai 2050. Pada

tahun 2014, defisit produksi daging sapi akan mencapai 101.242-109.986 ton, dan pada

tahun 2050 akan meningkat sangat cepat menjadi 2.589-2.650 ribu ton. Kebalikan dari

empat komoditas sebelumnya, pada daging sapi Skenario I (pesimis) menghasilkan defisit

paling kecil, sementara Skenario III (optimis) paling besar.

Berdasarkan hasil analisis terhadap pola konsumsi, analisis trend dan hasil proyeksi,

maka langkah-langkah kebijakan yang dapat diambil adalah 1) Pengembangan produk

(product development) yang diperankan oleh industri pengolahan makanan untuk

meningkatkan cita-rasa dan citra-produk pangan khas nusantara; 2) Kampanye nasional

diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumberdaya pangan lokal bagi aparat pemerintahan

di tingkat pusat dan daerah, individu, kelompok masyarakat dan industri; 3) Pendidikan

diversifikasi konsumsi pangan secara sistematis, terutama mengenai pola pangan beragam,

bergizi, dan berimbang, yang dilakukan sejak dini (perlu dimasukkan ke dalam kurikulum di

SD, SLTP dan SLTA); 4) Peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak memproduksi,

menyediakan, memperdagangkan, dan/atau mengkonsumsi pangan yang tidak aman

(mengandung zat adiktif, terkontaminasi mikroba, kotor, dan lain-lain); 5) Program

penganekargaman pangan nasional dan daerah perlu diselaraskan, khususnya dalam

pengembangan pertanian, perikanan dan industri pengolahan pangan guna mendorong

produksi, distribusi, dan konsumsi sumber pangan non-beras, namun tidak menggantungkan

pada barang pangan impor; 6) Fasilitas pengembangan bisnis pangan melalui fasilitasi

pengembangan aneka pangan segar, industri pangan olahan dan pangan siap saji berbasis

sumber daya lokal. Untuk itu, perlu program yang jelas dan terkoordinasi untuk

memproduksi pangan lokal secara memadai.

Page 143: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 128

Sedangkan untuk Kebijakan Perdagangan Luar Negerinya yang feasible untuk

dilakukan adalah Kebijakan perdagangan dalam bentuk TBM (Tarif Bea Masuk), baik tarif

spesifik untuk beras dan gula, maupun tarif ad-valorem untuk jagung, kedelai dan daging

sapi, sebagai salah satu bentuk perlindungan kuantitatif bagi pertanian kelima komoditas

pangan strstegis tersrbut di Indonesia masih tetap diperlukan. Sehubungan dengan itu,

Indonesia berkewajiban untuk menotifikasi atau merenegosiasi TBM-nya dengan anggota

ASEAN dan ASEAN+mitra, sebagaimana Indonesia juga harus menotifikasikan TBM-nya ke

negara-negara anggota WTO melalui Sekretariat WTO. Tujuan kebijakan perdagangan

dalam bentuk TBM tersebut adalah untuk menghambat laju pertumbuhan konsumsi per

kapita bagi komoditas-komoditas yang konsumsi per kapitanya dinilai sudah berlebihan,

sekaligus mendorong pertumbuhan produksi beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi,

sehingga swasembada dapat lebih cepat tercapai.

Kebijakan lain yang tidak kalah pentingnya adalah Kebijakan Pertanian dan Prasarana

Umum melalui: 1) Pengembangan inovasi teknologi secara terus-menerus sesuai dengan

kondisi alam perdesaan, sosial-budaya dan ekonomi petani, yang disertai dengan sistem

penyuluhan yang efektif untuk diseminasi teknologi tersebut kepada petani produsen,

sehingga produktivitas dan efisiensi proses produksi makin tinggi; 2) Percepatan

peningkatan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk beras dan Harga Patokan (HP)

untuk gula untuk mendorong penerapan teknologi produksi yang lebih baik sekaligus

mendorong perluasan areal tanam; 3) Perlambatan kenaikan harga subsidi input, yaitu benih

unggul baru, pupuk organik dan pupuk anorganik (Urea, ZA, SP36, NPK) untuk mendorong

penerapan teknologi produksi yang lebih baik; 4) Pembangunan dan perbaikan prasarana

pertanian, utamanya jaringan irigasi, jalan pertanian, jembatan dan pelabuhan laut. Jaringan

irigasi diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pengairan sehingga Indeks Pertanamaan (IP)

dan produktivitas dapat ditingkatkan; 5) Pencetakan sawah untuk padi, dan pengadaan

lahan untuk kedelai dan tebu/ gula harus lebih besar dibanding konversinya. Pemerintah

Daerah harus mematuhi berbagai peraturan perundangan yang berkaitan dengan

kelestarian lahan pangan dan alih fungsi lahan pertanian, dan tidak sekadar mengejar PAD

melalui pembangunan kaawsan industri yang dapat mengancam produksi pangan pokok,

utamanya beras; 6) Pengendalian/pencegahan pemotongan ternak sapi potong betina

produktif untuk mencegah terjadinya pengurasan populasi ternak sapi potong melalui

pengawasan pemotongan di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) milik pemerintah, swasta

dan pribadi. Untuk itu perlu diterbitkan Perda (Peraturan Daerah) tentang pelarangan

pemotongan sapi betina produktif. Pemotongan harus mendapatkan izin Dinas Peternakan

dan para pelaku yang melanggar harus dikenakan sanksi hukum sesuai dengan Perda

terkait; 7) Jalan pertanian diperlukan untuk memperlancar angkutan hasil pertanian dari

Page 144: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 129

lahan/kebun ke jalan desa/jalan raya, sementara jalan raya, jembatan dan pelabuhan laut

diperlukan untuk memperlancar proses distribusi pangan dalam daerah dan antar daerah

(aspek konektivitas).

Untuk kebijakan Kebijakan Demografi yang perlu dilakukan adalah Perlambatan laju

pertumbuhan penduduk melalui penggalakan kembali program Keluarga Berencana (KB)

dengan moto “Dua Anak Cukup” dan “Keluarga Kecil Sejahtera” untuk memperlambat laju

pertumbuhan jumlah penduduk. Salah satu dampak positif dari perlambatan laju

pertumbuhan jumlah penduduk adalah memperlambat laju kenaikan konsumsi pangan.

Peran lembaga-lembaga yang terkait erat dengan masalah kependudukan (PKK, Posyandu,

dan lain-lain), lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan perlu mengajarkan dan

menanamkan pengertian tentang pentingnya melakukan KB.

Page 145: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 130

MEMO KEBIJAKAN

PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM RANGKA PERCEPATAN PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN (BERAS, JAGUNG, KEDELAI, GULA DAN DAGING SAPI)

ISU KEBIJAKAN

1. Program swasembada pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa karena pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Pemerintah selalu berupaya mewujudkan swasembada pangan dengan target produksi padi sebanyak 75,7 juta ton, jagung 29 juta ton, kedelai 2,7 juta ton, gula 4,81 juta ton, dan daging sapi 0,55 juta ton. Namun untuk mengejar target tersebut masih terdapat sejumlah kendala, di antaranya adalah alih fungsi lahan, perubahan iklim, dan buruknya infrastruktur pertanian.

2. Belum terwujudnya swasembada pangan menyebabkan Indonesia semakin bergantung pada produk pangan impor. Beras misalnya, dari 2,2% kebutuhan dalam negeri pada tahun 2008 meningkat menjadi 5,8% pada tahun 2012. Demikian pula untuk komoditi lainnya, seperti gula dari 34,4% (2008) menjadi 65,6%(2012), dan jagung dari 8,3% (2008) menjadi 19,5% (2012). Khusus komoditi kedelai meskipun ketergantungan terhadap impor cenderung menurun dari 60,1% (2008) menjadi 50,3% (2012), namun proporsi tingkat ketergantungan Indonesia pada impor masih cukup besar.

3. Dengan mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, memberikan kondisi ketahanan pangan yang semu karena negara menjadi rapuh oleh ketergantungan impor pangan yang dapat berfluktuasi sewaktu-waktu, terutama ketika terjadi gejolak produksi pangan dunia. Apalagi berdasarkan RGE’s Agriculture Sensitivity Index/RASI (2012) Indonesia termasuk ke-dalam 10 Besar negara yang sangat sensitif terhadap kenaikan harga pangan dunia. Bahkan Indonesia juga dinilai oleh Economist Intelligence Unit pada tahun 2012 sebagai negara yang rentan terhadap kerawanan pangan dengan Indeks Ketahanan Pangan berada pada urutan ke 5 dari 7 negara ASEAN.

4. Dalam konteks permasalahan pangan tersebut, maka peran kebijakan perdagangan pada saat ini dan waktu mendatang dalam perspektif percepatan pencapaian swasembada pangan sangat penting dirumuskan secara terstruktur dan komprehensif terutama terkait dengan dinamika pola konsumsi dan diversifikasi pangan, perkembangan permintaan dan penawaran komoditas pangan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Pola Konsumsi dan Diversifikasi Pangan

5. Selama ini pola konsumsi masyarakat menunjukkan adanya dinamika. Pada tahun 2002, pangsa pengeluaran pangan tercatat 52,42%. Angka ini selama periode tahun 2005-2009 mengalami penurunan, namun selama periode 2010-2011 pangsa tersebut meningkat menjadi 52,39% (2010) dan 54,69% (2011). Dari beberapa komoditas pangan yang dikonsumsi terlihat bahwa konsumsi beras penduduk Indonesia turun dari 101,5 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 menjadi 93,01 kg/kapita/tahun pada

Page 146: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 131

tahun 2011 atau turun sebesar 9,1%. Demikian juga komoditi startegis lainnya seperti jagung, kedele dan gula masing-masing dari 3,64 kg/kapita/tahun, 6,85 kg/kapita/tahun, dan 10,35 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 turun masing-masing menjadi 1,57 kg/kapita/tahun, 5,13 kg/kapita/tahun, dan 8,77 kg/kapita/tahun. Sebaliknya, konsumsi daging dari 19,8 kg/kapita/tahun menjadi 20,52 kg/kapita/tahun atau meningkat 3,1% pada periode yang sama.

6. Konsumsi energi pangan masyarakat Indonesia selalu berada di bawah 2.200 kkal selama periode 2002-2011. Konsumsi energi pangan tertinggi adalah 2.146 kkal (97,5%) yang terjadi pada tahun 2005, namun pada periode berikutnya (2008-2011) konsumsi energi pangan turun, atau rata-rata penduduk Indonesia kekurangan sekitar 8-9% asupan energi pangan selama periode tersebut. Dengan membandingkan kondisi aktual asupan energi dengan susunan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional, terlihat konsumsi padi-padian dalam kisaran 42-47% yang mendekati PPH tetapi lebih dekat pada batas minimumnya. Hal ini berarti konsumsi padi-padian hampir memadai, sementara konsumsi umbi-umbian berkisar antara 2-3%, yang berarti belum memadai. Selanjutnya, asupan energi pangan, seperti pangan hewani (5-7,1%), kacang-kacangan (2-3,3%), gula (4-4,7%), sayur dan buah (3,9-4,7%) masih sangat kurang memadai. Hal ini memberikan gambaran bahwa program diversifikasi pangan belum optimal selama periode tersebut.

7. Dengan mengacu pada ketersedian energi pangan, maka rata-rata ketersedian energi pangan selama periode 2002-2010 tercatat sebesar 2.584 kkal atau 117% bila dibagi 2.200 kkal. Apabila dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi 2.200 kkal maka sejak 2005 terjadi kesinambungan surplus energi pangan. Hal ini terlihat dari pola ketersediaan energi pangan untuk setiap kelompok bahan pangan. Ketersediaan energi pangan dari padi-padian dan umbi-umbian melebihi batas maksimumnya. Sementara ketersedian energi dari pangan hewani dan kacang-kacangan masing-masing berada di antara kedua batas minimum dan maksimumnya. Dengan demikian ketersedian energi dari keempat kelompok bahan pangan sudah memadai. Namun demikian terdapat masalah pada keseimbangannya, dimana persentase ketersedian energi dari: (1) Padi-padian terlalu tinggi, (2) Pangan hewani terlalu rendah, (3) Umbi-umbian terlalu tinggi, dan (4) Kacang-kacangan terlalu rendah.

8. Apabila ketersedian energi pangan tersebut dihubungkan dengan konsumsi energi maka keempat kelompok pangan tersebut masing-masing memiliki kelebihan energi. Kelebihan energi tertinggi diperoleh dari padi-padian (992 kkal), yang kemudian diikuti umbi-umbian (56 kkal) dan pangan hewani (165 kkal). Kontribusi beras dalam konsumsi kelompok padi-padian sebesar 944 kkal/kap/hari atau mencapai 86% terhadap total energi padi-padian (1.100 kkal/kap/hr) pada tahun 2011. Sementara komoditas sumber karbohidrat lainnya yang biasa dikonsumsi sebagian masyarakat di masa lampau, saat ini semakin tergeser sejalan dengan perkembangan ekonomi dan teknologi.

Page 147: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 132

Perkembangan Permintaan dan Penawaran

9. Permintaan lima komoditas pangan beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi mengalami laju pertumbuhan yang cepat selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2008-2012), yaitu masing-masing 4,14%, 6,16%, 7,58%, 8,24% dan 8,11% per tahun. Laju pertumbuhan permintaan tersebut melebihi laju pertumbuhan jumlah penduduk yang hanya 2,01% per tahun. Sebaliknya, laju pertumbuhan produksi dari lima komoditas pangan yang dianalisis ditemukan; gula negatif (-1.73%/tahun), kedelai sangat lambat (0.75%/tahun), jagung lambat (3.21%/tahun), beras lambat (2.85%/tahun) dan daging sapi lokal sangat cepat (19.50%/tahun). Dengan demikian secara konsisten terjadi defisit dan cenderung meningkat cepat selama periode tersebut. Rata-rata laju peningkatan defisit per tahun untuk beras, jagung, gula dan kedelai masing-masing 62,06%, 69,68%, 24,38% dan 11,23%.

10. Hasil estimasi elastisitas menunjukkan adanya penurunan sensitivitas dari konsumsi pangan terhadap perubahan harga. Elastisitas konsumsi beras terhadap pendapatan rumah tangga menunjukkan bahwa beras telah berubah dari barang tuna-nilai menjadi barang normal. Dengan kata lain, kesejahteraan masyarakat Indonesia menurun karena menu utamanya tergantung pada karbohidrat atau beras yang merupakan barang normal. Sebaliknya, jagung telah berubah dari barang normal menjadi barang inferior. Kedelai dan gula masih menjadi barang normal, sedangkan daging sapi masih merupakan barang mewah (luxury goods).

11. Kebijakan perdagangan yang dihipotesakan sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mempercepat pencapaian swasembada pangan pokok adalah Tarif Bea Masuk (TBM). Pada saat ini, TBM yang dikenakan terhadap impor beras dan gula adalah tarif spesifik yaitu masing-masing Rp 450 dan Rp 790 per kg. Sementara, TBM yang dikenakan terhadap impor jagung, kedelai dan daging sapi adalah tarif ad-valorem sebesar 5%.Hasil analisis menunjukkan bahwa tanpa adanya perubahan TBM pada beras sudah terjadi surplus sekitar 19.883 ton pada tahun 2014, dan surplus tersebut akan terus meningkat sampai dengan 2050. Peningkatan TBM spesifik 5% setiap satu tahun sekali akan meningkatkan suplus beras, bahkan suplus beras akan meningkat lebih cepat lagi apabila diimplementasikan peningkatan TBM 10% setiap tahun sekali. Sebaliknya, untuk jagung, tanpa perubahan TBM, defisit produksi akan terus menurun hingga tahun 2026 dan menjadi surplus pada tahun 2027 sebesar 175.839 ton, dan selanjutnya surplus tersebut terus meningkat hingga 2050. Kenaikan TBM ad-valorem dari 5% menjadi 7,5% dapat mempercepat pencapaian surplus produksi yaitu pada tahun 2024 sebesar 163.215 ton, dan surplus tersebut akan terus meningkat sampai dengan 2050. Peningkatan TBM menjadi 10% dapat mempercepat lagi pencapaian surplus produksi yaitu pada tahun 2022 sebesar 177.699 ton, dan surplus tersebut akan terus meningkat sampai dengan 2050.

12. Untuk kedelai, gula dan daging sapi (ex sapi lokal), tanpa perubahan TBM, defisit produksi akan terus meningkat selama 2013-2050. Kenaikan TBM ad-valorem dari 5% menjadi 7,5% dapat memperkecil defisit produksi, namun defisit akan tetap meningkat sampai 2050. Kenaikan TBM ad-valorem dari menjadi 10% dapat memperkecil defisit produksi lebih cepat, namun defisit masih akan tetap meningkat sampai 2050.

Page 148: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

Kajian Peran Kebijakan Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan 133

Rekomendasi Kebijakan

13. Pola konsumsi masyarakat yang masih didominasi oleh padi-padian dan makanan-jadi menjadikan kualitas konsumsi pangan masyarakat dinilai masih rendah karena konsumsi karbohidrat masih tinggi, sedangkan konsumsi protein, kacang-kacangan, dan umbi-umbian rendah. Upaya mendorong diversifikasi pangan perlu terus dilakukan melalui :

Pengembangan produk (Product Development) melalui peran industri pengolahan untuk meningkatkan cita rasa dan citra produk pangan khas nusantara;

Kampanye nasional diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumberdaya pangan lokal baik untuk aparat pemerintahan tingkat pusat dan daerah, individu, kelompok masyarakat maupun industri;

Pendidikan diversifikasi konsumsi pangan secara sistematis sejak dini terutama mengenai pola pangan beragam, bergizi, juga berimbang;

Peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak memproduksi, menyediakan atau memperdagangkan, mengkonsumsi pangan yang tidak aman;

Program penganekargaman pangan nasional dan daerah perlu diselaraskan khususnya dalam pengembangan pertanian, perikanan dan industri pengolahan pangan guna mendorong produksi, distribusi, dan konsumsi sumber pangan non-beras, dan;

Fasilitas pengembangan bisnis pangan melalui fasilitasi pengembangan aneka pangan segar, industri pangan olahan dan pangan siap saji berbasis sumberdaya lokal.

14. Kebijakan perdagangan dalam bentuk Tarif Bea Masuk (TBM), baik tarif spesifik untuk beras dan gula, maupun tarif ad-valorem untuk jagung, kedelai dan daging sapi, sebagai salah satu bentuk perlindungan kuantitatif bagi pertanian di Indonesia, masih tetap diperlukan. Tujuan kebijakan perdagangan dalam bentuk Tarif Bea Masuk (TBM) ini adalah untuk menghambat laju pertumbuhan konsumsi per kapita yang berlebihan, utamanya beras, sekaligus untuk mendorong pertumbuhan produksi beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi, sehingga swasembada dapat lebih cepat tercapai.

15. Selain kebijakan perdagangan, kebijakan pertanian untuk mendorong produksi pangan dan pertanian yang juga diperlukan, antara lain: (1) Pengembangan teknologi secara terus menerus; (2) Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk beras dan Harga Patokan untuk gula; (3) Pemberian subsidi harga input (benih dan pupuk); (4) Perbaikan prasarana pertanian (jaringan irigasi, jalan pertanian, dan lain-lain); (5) Pencetakan sawah untuk padi, dan pengadaan lahan untuk kedelai dan gula; dan (6) Pengendalian/pencegahan pemotongan sapi potong betina produktif.

Page 149: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

1

MEMO KEBIJAKAN

PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM RANGKA PERCEPATAN PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN (BERAS, JAGUNG, KEDELAI, GULA DAN DAGING SAPI)

ISU KEBIJAKAN

1. Program swasembada pangan mempunyai arti dan peran yang sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa karena pangan merupakan kebutuhan dasar manusia. Pemerintah selalu berupaya mewujudkan swasembada pangan dengan target produksi padi sebanyak 75,7 juta ton, jagung 29 juta ton, kedelai 2,7 juta ton, gula 4,81 juta ton, dan daging sapi 0,55 juta ton. Namun untuk mengejar target tersebut masih terdapat sejumlah kendala, di antaranya adalah alih fungsi lahan, perubahan iklim, dan buruknya infrastruktur pertanian.

2. Belum terwujudnya swasembada pangan menyebabkan Indonesia semakin bergantung pada produk pangan impor. Beras misalnya, dari 2,2% kebutuhan dalam negeri pada tahun 2008 meningkat menjadi 5,8% pada tahun 2012. Demikian pula untuk komoditi lainnya, seperti gula dari 34,4% (2008) menjadi 65,6%(2012), dan jagung dari 8,3% (2008) menjadi 19,5% (2012). Khusus komoditi kedelai meskipun ketergantungan terhadap impor cenderung menurun dari 60,1% (2008) menjadi 50,3% (2012), namun proporsi tingkat ketergantungan Indonesia pada impor masih cukup besar.

3. Dengan mengandalkan impor untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, memberikan kondisi ketahanan pangan yang semu karena negara menjadi rapuh oleh ketergantungan impor pangan yang dapat berfluktuasi sewaktu-waktu, terutama ketika terjadi gejolak produksi pangan dunia. Apalagi berdasarkan RGE’s Agriculture Sensitivity Index/RASI (2012) Indonesia termasuk ke-dalam 10 Besar negara yang sangat sensitif terhadap kenaikan harga pangan dunia. Bahkan Indonesia juga dinilai oleh Economist Intelligence Unit pada tahun 2012 sebagai negara yang rentan terhadap kerawanan pangan dengan Indeks Ketahanan Pangan berada pada urutan ke 5 dari 7 negara ASEAN.

4. Dalam konteks permasalahan pangan tersebut, maka peran kebijakan perdagangan pada saat ini dan waktu mendatang dalam perspektif percepatan pencapaian swasembada pangan sangat penting dirumuskan secara terstruktur dan komprehensif terutama terkait dengan dinamika pola konsumsi dan diversifikasi pangan, perkembangan permintaan dan penawaran komoditas pangan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Pola Konsumsi dan Diversifikasi Pangan

5. Selama ini pola konsumsi masyarakat menunjukkan adanya dinamika. Pada tahun 2002, pangsa pengeluaran pangan tercatat 52,42%. Angka ini selama periode tahun 2005-2009 mengalami penurunan, namun selama periode 2010-2011 pangsa tersebut meningkat menjadi 52,39% (2010) dan 54,69% (2011). Dari beberapa komoditas pangan yang dikonsumsi terlihat bahwa konsumsi beras penduduk Indonesia turun dari 101,5

Page 150: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

2

kg/kapita/tahun pada tahun 2002 menjadi 93,01 kg/kapita/tahun pada tahun 2011 atau turun sebesar 9,1%. Demikian juga komoditi startegis lainnya seperti jagung, kedele dan gula masing-masing dari 3,64 kg/kapita/tahun, 6,85 kg/kapita/tahun, dan 10,35 kg/kapita/tahun pada tahun 2002 turun masing-masing menjadi 1,57 kg/kapita/tahun, 5,13 kg/kapita/tahun, dan 8,77 kg/kapita/tahun. Sebaliknya, konsumsi daging dari 19,8 kg/kapita/tahun menjadi 20,52 kg/kapita/tahun atau meningkat 3,1% pada periode yang sama.

6. Konsumsi energi pangan masyarakat Indonesia selalu berada di bawah 2.200 kkal selama periode 2002-2011. Konsumsi energi pangan tertinggi adalah 2.146 kkal (97,5%) yang terjadi pada tahun 2005, namun pada periode berikutnya (2008-2011) konsumsi energi pangan turun, atau rata-rata penduduk Indonesia kekurangan sekitar 8-9% asupan energi pangan selama periode tersebut. Dengan membandingkan kondisi aktual asupan energi dengan susunan Pola Pangan Harapan (PPH) Nasional, terlihat konsumsi padi-padian dalam kisaran 42-47% yang mendekati PPH tetapi lebih dekat pada batas minimumnya. Hal ini berarti konsumsi padi-padian hampir memadai, sementara konsumsi umbi-umbian berkisar antara 2-3%, yang berarti belum memadai. Selanjutnya, asupan energi pangan, seperti pangan hewani (5-7,1%), kacang-kacangan (2-3,3%), gula (4-4,7%), sayur dan buah (3,9-4,7%) masih sangat kurang memadai. Hal ini memberikan gambaran bahwa program diversifikasi pangan belum optimal selama periode tersebut.

7. Dengan mengacu pada ketersedian energi pangan, maka rata-rata ketersedian energi pangan selama periode 2002-2010 tercatat sebesar 2.584 kkal atau 117% bila dibagi 2.200 kkal. Apabila dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi 2.200 kkal maka sejak 2005 terjadi kesinambungan surplus energi pangan. Hal ini terlihat dari pola ketersediaan energi pangan untuk setiap kelompok bahan pangan. Ketersediaan energi pangan dari padi-padian dan umbi-umbian melebihi batas maksimumnya. Sementara ketersedian energi dari pangan hewani dan kacang-kacangan masing-masing berada di antara kedua batas minimum dan maksimumnya. Dengan demikian ketersedian energi dari keempat kelompok bahan pangan sudah memadai. Namun demikian terdapat masalah pada keseimbangannya, dimana persentase ketersedian energi dari: (1) Padi-padian terlalu tinggi, (2) Pangan hewani terlalu rendah, (3) Umbi-umbian terlalu tinggi, dan (4) Kacang-kacangan terlalu rendah.

8. Apabila ketersedian energi pangan tersebut dihubungkan dengan konsumsi energi maka keempat kelompok pangan tersebut masing-masing memiliki kelebihan energi. Kelebihan energi tertinggi diperoleh dari padi-padian (992 kkal), yang kemudian diikuti umbi-umbian (56 kkal) dan pangan hewani (165 kkal). Kontribusi beras dalam konsumsi kelompok padi-padian sebesar 944 kkal/kap/hari atau mencapai 86% terhadap total energi padi-padian (1.100 kkal/kap/hr) pada tahun 2011. Sementara komoditas sumber karbohidrat lainnya yang biasa dikonsumsi sebagian masyarakat di masa lampau, saat ini semakin tergeser sejalan dengan perkembangan ekonomi dan teknologi.

Page 151: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

3

Perkembangan Permintaan dan Penawaran

9. Permintaan lima komoditas pangan beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi mengalami laju pertumbuhan yang cepat selama kurun waktu 5 tahun terakhir (2008-2012), yaitu masing-masing 4,14%, 6,16%, 7,58%, 8,24% dan 8,11% per tahun. Laju pertumbuhan permintaan tersebut melebihi laju pertumbuhan jumlah penduduk yang hanya 2,01% per tahun. Sebaliknya, laju pertumbuhan produksi dari lima komoditas pangan yang dianalisis ditemukan; gula negatif (-1.73%/tahun), kedelai sangat lambat (0.75%/tahun), jagung lambat (3.21%/tahun), beras lambat (2.85%/tahun) dan daging sapi lokal sangat cepat (19.50%/tahun). Dengan demikian secara konsisten terjadi defisit dan cenderung meningkat cepat selama periode tersebut. Rata-rata laju peningkatan defisit per tahun untuk beras, jagung, gula dan kedelai masing-masing 62,06%, 69,68%, 24,38% dan 11,23%.

10. Hasil estimasi elastisitas menunjukkan adanya penurunan sensitivitas dari konsumsi pangan terhadap perubahan harga. Elastisitas konsumsi beras terhadap pendapatan rumah tangga menunjukkan bahwa beras telah berubah dari barang tuna-nilai menjadi barang normal. Dengan kata lain, kesejahteraan masyarakat Indonesia menurun karena menu utamanya tergantung pada karbohidrat atau beras yang merupakan barang normal. Sebaliknya, jagung telah berubah dari barang normal menjadi barang inferior. Kedelai dan gula masih menjadi barang normal, sedangkan daging sapi masih merupakan barang mewah (luxury goods).

11. Kebijakan perdagangan yang dihipotesakan sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk mempercepat pencapaian swasembada pangan pokok adalah Tarif Bea Masuk (TBM). Pada saat ini, TBM yang dikenakan terhadap impor beras dan gula adalah tarif spesifik yaitu masing-masing Rp 450 dan Rp 790 per kg. Sementara, TBM yang dikenakan terhadap impor jagung, kedelai dan daging sapi adalah tarif ad-valorem sebesar 5%.Hasil analisis menunjukkan bahwa tanpa adanya perubahan TBM pada beras sudah terjadi surplus sekitar 19.883 ton pada tahun 2014, dan surplus tersebut akan terus meningkat sampai dengan 2050. Peningkatan TBM spesifik 5% setiap satu tahun sekali akan meningkatkan suplus beras, bahkan suplus beras akan meningkat lebih cepat lagi apabila diimplementasikan peningkatan TBM 10% setiap tahun sekali. Sebaliknya, untuk jagung, tanpa perubahan TBM, defisit produksi akan terus menurun hingga tahun 2026 dan menjadi surplus pada tahun 2027 sebesar 175.839 ton, dan selanjutnya surplus tersebut terus meningkat hingga 2050. Kenaikan TBM ad-valorem dari 5% menjadi 7,5% dapat mempercepat pencapaian surplus produksi yaitu pada tahun 2024 sebesar 163.215 ton, dan surplus tersebut akan terus meningkat sampai dengan 2050. Peningkatan TBM menjadi 10% dapat mempercepat lagi pencapaian surplus produksi yaitu pada tahun 2022 sebesar 177.699 ton, dan surplus tersebut akan terus meningkat sampai dengan 2050.

12. Untuk kedelai, gula dan daging sapi (ex sapi lokal), tanpa perubahan TBM, defisit produksi akan terus meningkat selama 2013-2050. Kenaikan TBM ad-valorem dari 5% menjadi 7,5% dapat memperkecil defisit produksi, namun defisit akan tetap meningkat sampai

Page 152: KAJIAN PERAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM … · perubahan harga sendiri. Elastisitas pengeluaran terhadap permintaan beras dan gula cenderung meningkatkan namun tetap < 1 (inelastis).

4

2050. Kenaikan TBM ad-valorem dari menjadi 10% dapat memperkecil defisit produksi lebih cepat, namun defisit masih akan tetap meningkat sampai 2050.

Rekomendasi Kebijakan

13. Pola konsumsi masyarakat yang masih didominasi oleh padi-padian dan makanan-jadi menjadikan kualitas konsumsi pangan masyarakat dinilai masih rendah karena konsumsi karbohidrat masih tinggi, sedangkan konsumsi protein, kacang-kacangan, dan umbi-umbian rendah. Upaya mendorong diversifikasi pangan perlu terus dilakukan melalui :

Pengembangan produk (Product Development) melalui peran industri pengolahan untuk meningkatkan cita rasa dan citra produk pangan khas nusantara;

Kampanye nasional diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumberdaya pangan lokal baik untuk aparat pemerintahan tingkat pusat dan daerah, individu, kelompok masyarakat maupun industri;

Pendidikan diversifikasi konsumsi pangan secara sistematis sejak dini terutama mengenai pola pangan beragam, bergizi, juga berimbang;

Peningkatan kesadaran masyarakat untuk tidak memproduksi, menyediakan atau memperdagangkan, mengkonsumsi pangan yang tidak aman;

Program penganekargaman pangan nasional dan daerah perlu diselaraskan khususnya dalam pengembangan pertanian, perikanan dan industri pengolahan pangan guna mendorong produksi, distribusi, dan konsumsi sumber pangan non-beras, dan;

Fasilitas pengembangan bisnis pangan melalui fasilitasi pengembangan aneka pangan segar, industri pangan olahan dan pangan siap saji berbasis sumberdaya lokal.

14. Kebijakan perdagangan dalam bentuk Tarif Bea Masuk (TBM), baik tarif spesifik untuk beras dan gula, maupun tarif ad-valorem untuk jagung, kedelai dan daging sapi, sebagai salah satu bentuk perlindungan kuantitatif bagi pertanian di Indonesia, masih tetap diperlukan. Tujuan kebijakan perdagangan dalam bentuk Tarif Bea Masuk (TBM) ini adalah untuk menghambat laju pertumbuhan konsumsi per kapita yang berlebihan, utamanya beras, sekaligus untuk mendorong pertumbuhan produksi beras, jagung, kedelai, gula dan daging sapi, sehingga swasembada dapat lebih cepat tercapai.

15. Selain kebijakan perdagangan, kebijakan pertanian untuk mendorong produksi pangan dan pertanian yang juga diperlukan, antara lain: (1) Pengembangan teknologi secara terus menerus; (2) Penetapan Harga Pembelian Pemerintah untuk beras dan Harga Patokan untuk gula; (3) Pemberian subsidi harga input (benih dan pupuk); (4) Perbaikan prasarana pertanian (jaringan irigasi, jalan pertanian, dan lain-lain); (5) Pencetakan sawah untuk padi, dan pengadaan lahan untuk kedelai dan gula; dan (6) Pengendalian/pencegahan pemotongan sapi potong betina produktif.