KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN … · 2.2 KUNJUNGAN LAPANGAN Kunjungan...
Transcript of KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN … · 2.2 KUNJUNGAN LAPANGAN Kunjungan...
KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN
KETELUSURAN PRODUK HIU DAN PARI
DI INDONESIA DAN PETA JALANNYA
Juni 2019
Pernyataan
Dokumen ini dimungkinkan dengan dukungan Rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan
Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari dokumen ini adalah pendapat para penulis dan
tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.
KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN
KETELUSURAN PRODUK HIU DAN PARI
DI INDONESIA DAN PETA JALANNYA
Tim Penulis:
Andi Rusandi
Sarminto Hadi
Wendy Fadri Ariansyah
Efin Muttaqin
Risris Sudarisman
Ita Sualia
Raditya Wahyu Prihardiyanto
Photo credit: Ita Sualia/Wildlife Conservation Society
KAJIAN PENYUSUNAN DESAIN KETELUSURAN PRODUK HIU DAN PARI DI INDONESIA iii
Daftar Isi
Daftar Gambar dan table ...................................................................................................................... iv
I. Pendahuluan .........................................................................................................................................1
II. Pengumpulan Data dan Informasi ...................................................................................................2
2.1 Studi literature ............................................................................................................................2
2.2 Kunjungan lapangan ...................................................................................................................2
2.3 Wawancara dan Diskusi terarah ............................................................................................2
III. Sistem ketelusuran dalam implementasi mekanisme CITES .....................................................3
3.1 Prinsip – prinsip ketelusuran ..........................................................................................................4
IV. Review pelaksanaan sistem ketertelusuran di Indonesia ...........................................................8
V. Monitoring perdagangan dan ketelusuran hiu dan pari ........................................................... 12
5.1 Catch recording (Pencatatan hasil tangkapan) ................................................................. 12
5.2 Sertifikat kelayakan pengolahan ikan UPI .......................................................................... 14
5.3 Rekomendasi perdagangan produk hiu dan pari .............................................................. 14
5.4 Penjaminan kesehatan ikan dan hasil perikanan untuk perdagangan domestik dan
ekspor. .................................................................................................................................................... 14
VI. Perdagangan Hiu dan Pari di Indonesia ...................................................................................... 16
6.1 Sentra pendaratan hiu dan pari di Indonesia. .......................................................................... 16
6.2 Produk hiu dan pari ................................................................................................................ 19
6.3 Rantai perdagangan hiu dan pari di Indonesia. ................................................................. 21
6.4 Tantangan dalam rantai perdagangan produk hiu dan pari Indonesia. .............................. 23
VII. Rekomendasi dan aplikasi ketelusuran sirip hiu ......................................................................... 27
VIII. Peta Jalan (Road Map) Sistem Ketelusuran Produk Hiu Dan Pari di Indonesia ................ 31
Daftar Pustaka ............................................................................................................................................ 48
Lampiran 1. Form pengisian data penangkapan hiu dilindungi appendiks CITES. ................. 49
Lampiran 2. Form pengisian data pengolahan hiu dilindungi appendiks CITES ..................... 50
Lampiran 3. Form pengisian data pengiriman dalam negeri hiu dilindungi appendiks ......... 51
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL
Figure 1 Kunjungan lapangan .....................................................................................................................2
Figure 2 Contoh penggunaan “kode unik” dalam rantai perdagangan. ............................................4
Figure 3 Contoh titik pencatatan dan data yang dicatat untuk ketelusuran produk hiu. ............5
Figure 4 Sistem pengelolaan data multi databased system .................................................................6
Figure 5 Sistem pengelolaan “single databased system” (Taylor and Sant, 2015) .........................7
Figure 6 Analisis penggunaan sistem data based (Taylor and Sant, 2015).......................................7
Figure 7 Alur pemanfaatan satwa dan tumbuhan Appendix CITES. .................................................9
Figure 8 Skema pemanfaatan jenis satwa dan tumbuhan appendix CITES. .................................. 11
Figure 9 Beberapa contoh system ketertelusuran dalam perdagangan satwa di Indonesia ..... 11
Figure 10 Skema penerbitan Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan.......................................................... 13
Figure 11 Produksi ikan hiu Nasional periode 2005 - 2014 ............................................................ 16
Figure 12 Sentra-sentra Perikanan Hiu dan Pari di Indonesia ......................................................... 17
Figure 13 Sentra – sentra pendaratan hiu dan pari di Indonesia. ................................................... 19
Figure 14 Jenis produk hiu dan pari yang dipasarkan ........................................................................ 20
Figure 15 Nilai ekspor produk hiu Indonesia per tahun .................................................................. 21
Figure 16 Rantai Perdagangan Hiu dan Pari Indonesia ...................................................................... 22
Figure 17 Rantai perdagangan produk hiu dalam negeri .................................................................. 23
Figure 18 Identifikasi stakeholder yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perdagangan hiu
dan pari di Indonesia ................................................................................................................................. 24
Figure 19 Rekomendasi alur ketertelusuran ....................................................................................... 27
Figure 20 Rekomendasi alur sistem ketelusuran sirip hiu appendik 2 di Indonesia. .................. 29
Figure 21 Rekomendasi penanda produk hiu...................................................................................... 30
I. Pendahuluan
Konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar langka atau “Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) melaksanakan
Conference of the Parties (CoP) CITES ke-12 tahun 2002 di Santiago (Chile) dan pada CoP
CITES tersebut negara-negara anggota CITES telah sepakat untuk memasukan beberapa jenis
hiu ke dalam daftar Appendix II, yaitu Rhincodon typus dan Cetorhinus maximus. Selanjutnya,
pada CoP-13 CITES tahun 2004 di Bangkok (Thailand), jenis hiu lainnya yaitu Carcharodon carcharias juga dimasukan ke dalam daftar Appendix II CITES Lamna nasus, Sphyrna spp., Carcharinus longimanus, Manta spp. adalah jenis-jenis hiu dan pari yang kemudian dimasukan ke
dalam daftar Appendix II pada CoP-16 CITES tahun 2013 di Bangkok (Thailand). Terakhir, pada
CoP-17 tahun 2016 di Johannesburg, Afrika Selatan, negara-negara anggota CITES sepakat
untuk memasukkan Alopias spp., Mobula spp. dan Carcharinus falciformis ke dalam daftar
Appendix II CITES.
Berdasarkan ketentuan CITES terkait perdagangan internasional spesies yang masuk dalam
daftar Appendix II yang walaupun saat ini populasinya tidak terancam punah, tetapi
kemungkinan bisa menjadi terancam punah, jika perdagangan jenis tersebut tidak diatur dengan
ketat untuk menghindari pemanfaatan yang mengancam kelangsungan hidup mereka.
Berdasarkan Artikel IV CITES tentang ketentuan perdagangan spesimen dari jenis Appendix II,
ekspor dari spesimen suatu jenis dalam Appendix II memerlukan penerbitan izin export (export permit) yang dikeluarkan oleh Otorita Ilmiah dari negara pengekspor. Selain itu otorita ilmiah
juga telah memberikan rekomendasi bahwa ekspor tersebut tidak menimbulkan kerusakan
(detriment) terhadap kelangsungan jenis yang diperdagangkan tersebut di alam.
Pada artikel VIII tentang upaya pengelolaan menyebutkan bahwa setiap negara anggota CITES
harus memmiliki database perdagangan spesimen dari jenis-jenis yang termasuk dalam Appendix
II. Pada data base tersebut, terdapat informasi kunci yang harus tercata antara lain: nama
eksportir/importir, izin eskport atau import dan informasi mengenai spesimen yang diperjual
belikan.
Pengaturan perdagangan species dengan mekanisme CITES bertujuan untuk memastikan
keberlanjutan (sustainable), sesuai aturan (legality) dan ketelusuran (traceability) dari spesies
yang diperdagangkan. Selain itu, juga pengaturan perdagangan terhadap spesies – spesies
appendix II dapat mencegah perdagangan illegal dan meningkatkan kepatuhan pada mekanisme
CITES. Prinsip dasar pada monitoring perdagangan adalah identifikasi jejak dan asal produk hiu
yang diperdagangkan.
Bagi Management Autorithy (MA) di suatu negara, ketelusuran dapat membantu melakukan
penilaian apakah produk dan spesimen yang diperdagangkan berasal dari sumber yang legal.
Sementara bagi Scientitific Authority (SA), ketelusuran dapat membantu dalam menyusun
dokumen Non Detrimental Finding (NDF), melakukan pendugaan bahwa perdagangan yang
dilakukan masih berada pada batas-batas keberlanjutan.
Selanjutnya CITES, melalui pertemuan Standing Committee 69 mengeluarkan mandate (SC69
Doc 50) kepada semua Standing Committee untuk melakukan kajian sistem ketelusuran. Kajian
dilakukan dengan mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan dari sistem yang telah ditetapkan oleh
CITES, identifikasi permasalahan dan pembelajaran dari sistem ketelusuran yang sudah ada dari
specimen jenis Appendix II lainnya. Hasil identifikasi tersebut menjadi dasar dalam penyusunan
sistem ketelusuran perdagangan spesies hiu dan pari di Indonesia.
II. Pengumpulan Data dan Informasi
Proses penyusunan dokumen ini dilakukan melalui studi literatur, kunjungan lapangan ke sentra
pendaratan, pengolahan dan penjualan hiu dan produknya, wawancara dan diskusi grup terarah.
2.1 STUDI LITERATURE
Studi literature dilakukan untuk mengidentifikasi teori dan konsep dasar perdagangan jenis
appendiks CITES, identifikasi permasalahan perdagangan hiu dan pari di Indonesia dan
identifikasi regulasi terkait perlindungan dan pemanfaatan hiu dan pari di Indonesia.
2.2 KUNJUNGAN LAPANGAN
Kunjungan lapangan dilakukan untuk mengumpulkan informasi perdagangan produk hiu dan pari
dan melakukan verifikasi. Kunjungan lapangan dilakukan di Muara Baru – Jakarta, Lombok timur
– Nusa Tenggara Barat, Banyuwangi dan Surabaya – Jawa Timur serta Banda Aceh – Aceh.
Figure 1 Kunjungan lapangan
No Lokasi Kajian Waktu Kunjungan
1 Muara Baru – Jakarta Desember 2017
2 Lombok timur – Nusa Tenggara Barat Januari 2018
3 Banyuwangi dan Surabaya – Jawa Timur Desember 2017
4 Banda Aceh – Aceh April 2018
2.3 WAWANCARA DAN DISKUSI TERARAH
Wawancara dan Diskusi terarah dilakukan untuk mengidentifikasi rantai perdagangan produk
hiu dan pari, pembelajaran sistem ketelusuran dari spesies CITES Appendix II lainnya dan
menjaring aspirasi terkait konsep keterlusuran produk hiu dan pari. Wawancara dan diskusi
grup terarah melibatkan para pihak, seperti:
1. Management Authority CITES Indonesia yang dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal
Konservasi Sumber Daya Alam – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
2. Lingkup Kementerian Kelautan dan Perikanan yang meliputi:
• Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati Laut, Direktorat Jenderal
Pengelolaan Ruang Laut,
• Direktorat Sumber Daya Ikan – Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap,
• Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan,
Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan,
• Pusat Riset Perikanan – Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan
Perikanan.
3. Scientific Authority CITES Indonesia yaitu Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dalam
hal ini Pusat Penelitian Oseanografi
4. Pihak swasta yang meliputi pengumpul dan eksportir produk hiu dan pari.
III. Sistem ketelusuran dalam implementasi mekanisme
CITES
Traceability atau ketelusuran adalah kemampuan untuk menelusuri jejak atau sejarah, perlakuan
dan lokasi dari produk termasuk di dalamnya bahan-bahan penyusunnya, bagiannya dan sejarah
pengolahan, pengiriman dan lokasi tujuan pengiriman (ISO, 2015). Sistem ketelusuran juga
menyediakan informasi tentang penyimpanan dan pemindahan produk selama dan di antara para
pelaku di dalam rantai perdagangan. Sistem ini dapat memastikan sebuah produk dapat
dilakukan pengecekan ke proses sebelumnya selama rantai perdagangan, melalui berbagai
macam proses atau transformasi yang telah dilakukan (FAO, 2014).
Pada awalnya konsep ketelusuran digunakan untuk merespon isu keamanan pangan, dimana
skema yang diterapkan dapat mengidentifikasi jejak produk-produk yang terkontaminasi melalui
sumber produk dan dapat mengambil langkah-langkah untuk melakukan penarikan produk
(Knuckey et al., 2014). Dalam kontek memperkuat implementasi CITES, ketelusuran juga
digunakan untuk melihat kepatuhan, jumlah produk yang beredar dan menjamin keberlanjutan
makhluk hidup. Selain itu juga, sistem ketelusuran dapat melakukan penilaian bahwa produk dan
spesimen yang diperdagangkan berasal dari sumber yang legal dan tidak membahayakan
kelangsungan spesies tersebut di alam. Selain itu, bagi Scientitific Authority (SA), ketelusuran
dapat membantu dalam menyusun dokumen Non Detrimental Finding (NDF), melakukan
pendugaan bahwa perdagangan yang dilakukan masih berada pada batas-batas keberlanjutan
(Mundy and Sant, 2015).
Pengaturan perdagangan internasional (eksport, import dan re – eksport) spesies dibawah
pengawasan CITES dilakukan melalui (CITES Secretariat, 2013):
• Pengeluaran izin dan sertifikat.
• Pencatatan dan pelaporan secara nasional terhadap izin yang telah dikeluarkan.
• Identifikasi dan verifikasi setiap keluar – masuk spesies dari suatu negara.
• Kewajiban memberikan penanda (misalnya pelabelan standar, tagging, barcode) pada
spesiesyang diperdagangkan.
• Melakukan kolaborasi antara otoritas pengelola CITES suatu negara dengan lembaga
lainnya dan otoritas penegak hukum.
Untuk meningkatkan ketelusuran produk spesimen yang diperdagangkan, beberapa langkah
telah diambil dalam rangka melakuan pemantauan perdagangan bagi beberapa spesies yang
menjadi perhatian CITES. Beberapa contoh di bawah didesain untuk identifikasi sumber
specimen yang antara lain, meliputi:
• Pelabelan standar untuk telur caviar yang berasal dari ikan sturgeon (order:
Acipenseriformes). Label standar ditetapkan untuk perdagangan internasional
berdasarkan resolusi CITES pada COP 16 (Conf. 12.7. Rev. CoP16);
• Penggunaan tagging untuk identifikasi kulit buaya dan bagian – bagiannya.
Penggunaan tagging dilakukan untuk perdagangan internasional berdasarkan resolusi
CITES pada COP 15 (CITES Resolution Conf. 11.12. Rev. CoP15);
• Penggunaan penanda untuk gading gajah (Elephantidae spp.) berdasarkan resolusi
COP 16 (CITES Resolution 10.10 (Rev. CoP16);
• Penggunaan penanda untuk perburuan legal macan tutul Panthera pardus dan
markhor Capra falconeri – berdasarkan resolusi CITES pada COP 16 dan 14
(Resolution Conf. 10.14 dan Resolution Conf. 10.15 (Rev. CoP14).
3.1 PRINSIP – PRINSIP KETELUSURAN
Secara umum prinsip dari ketelusuran adalah memungkinkan transparansi dalam rantai pasokan
hiu dan produk turunannya serta memungkinkan untuk mengetahui asal usul produk,
perlakukan yang didapat serta kepemilikan barang dari tahapan atau proses sebelumnya.
a. Identifikasi unik (unique identification)
Sistem ketelusuran bertujuan untuk membangun jejaring antara setiap pelaku usaha perikanan
dalam rantai perdagangan dengan mencantumkan informasi yang dibutuhkan pada setiap
produknya. Untuk memudahkan proses identifikasi produk diperlukan “unit pengenal” yang bisa
membedakan antara produk yang satu dengan produk lainnya yang disebut “kode unik”.
• “Kode unik” ini menempel pada produk dalam setiap unit atau satuan. Satu unit
atau satu satuan bisa berupa massa, set (satu set), box (satu box), kontainer (satu
kontainer), atau satuan lainnya.
• Informasi yang termuat di dalam “kode unik” tersebut meliputi informasi : nama
jenis, jumlah (kg atau individu), asal (perairan, lokasi pendaratan, kota, atau provinsi),
waktu, dan proses pengolahan.
• Setiap perpindahan tempat, perubahan bentuk produk wajib memiliki “kode unik”
berbeda dengan mencatat informasi dari “kode unik” sebelumnya.
Pada beberapa kasus ketelusuran produk, “kode unik” ditempelkan pada produk dengan
mengunakan beberapa benda seperti tagging pada kulit buaya, label pada Caviar.
Figure 2 Contoh penggunaan “kode unik” dalam rantai perdagangan.
b. Pencatatan dan pengelolaan data
Sistem ketelusuran bertujuan untuk melakukan identifikasi jalur atau rute perjalanan produk
perikanan seperti sirip hiu, berawal dari tertangkap, didaratkan, dijual, diproses, dikumpulkan
dan dipasarkan. Rantai perdagangan produk hiu di Indonesia sangat komplek karena melibatkan
banyak pihak dan banyak tingkatan. Sangat penting bagi setiap pelaku usaha untuk melakukan
pencatatan dan mendokumentasikan semua aktivitas atau proses yang dilakukan terhadap
produk hiu yang diperdagangkan. Pencatatan dilakukan mulai dari proses penangkapan,
pemrosesan produk hiu sampai dengan pemasaran.
Ada 2 aspek penting yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan pencatatan, yaitu:
1. Elemen data kunci (Key data element/KDEs).
2. Titik pelacakan kritis (Critical Tracking Event/CTEs).
Elemen data kunci (Key data element/KDEs) merupakan informasi penting yang harus ada dan
dicatat di setiap tahapan pada rantai perdagangan. Untuk produk hiu, informasi penting yang
harus ada adalah “who, what, where, and how”. Dengan demikian, untuk produk hiu informasi
jenis hiu, pelaku usaha, lokasi, kapan dan cara menangkap menjadi elemen data minimum yang
harus dicatat.
Titik pelacakan kritis (Critical Tracking Event/CTEs) merupakan simpul-simpul dari rantai
perdagangan yang memungkinkan terjadinya perubahan bentuk, lokasi atau kepemilikan, dan
tahapan. Pada produk hiu titik pelacakan penting terdapat pada lokasi penangkapan, lokasi
pendaratan, lokasi pengolahan, pengiriman dan pintu eksport.
Figure 3 Contoh titik pencatatan dan data yang dicatat untuk ketelusuran produk hiu.
No Titik pelacakan penting
(CTEs) Element data kunci (KDEs)
1. Aktivitas penangkapan Tanggal, nama spesies hiu, jumlah, alat
tangkap, lokasi penangkapan.
2. Pendaratan Nama spesies, jumlah, tanggal pendaratan,
lokasi pendaratan
3. Pengolahan (penggabungan) Nama spesies hiu, nama produk, jumlah,
asal sirip, informasi pengolahan.
4. Distribusi Nama spesies, nama produk, jumlah, asal
sirip, pengolahan, lokasi pergudangan,
lama penyimpangan, metode pengiriman,
tujuan pemasaran
5. Pemasaran Tanggal, nama spesies, nama produk,
jumlah, asal sirip, tujuan.
Tahapan yang paling penting lainnya dalam menerapkan sistem ketelusuran adalah pengelolaan
data yang telah dikumpulkan dari setiap titik-titik kritis pelacakan. Proses pengelolaan data
ketelusuran berawal dari proses pencatatan dari setiap tahapan. Terdapat 3 cara pencatatan
yaitu:
• Berbasiskan kertas (Paper based): Metode ini dilakukan dengan bukti pencatatan
berupa kertas dengan format yang telah ditentukan oleh pengelola. Setiap tahapan seperti
penangkapan, pendaratan, pengolahan, distribusi dan pemasaran wajib mengisi informasi
yang telah ditentukan. Informasi diisi oleh setiap pelaku usaha di setiap titik pelacakan,
kemudian diserahkan kepada pengelola untuk dilakukan penyimpanan data.
• Berbasiskan sistem elektronik (Electronic system based). Penyimpanan data
dilakukan pada setiap tahapan oleh pelaku usaha dengan mengisi data oleh operator
menggunakan sistem komputerisasi.
• Perangkat keras (Integrated hardware). Penyimpanan data dengan metode ini
merupakan perpaduan antara perangkat keras dengan sistem infomasi yang terintegrasi
pada perangkat keras. Dalam pelaksanaanya dilakukan dengan barcode atau Radio Frequency Identification (RFID).
c. Sistem penyimpanan data dan penyajian (akses data).
Setelah data tersimpan, data yang tersimpan dari setiap tahapan kemudian dikumpulkan dalam
bank data sehingga menjadi catatan lalu lintas perdagangan hiu. . Selain itu, setiap informasi
ketelusuran memiliki kemudahan untuk disajikan dan diakses oleh publik. Proses penyimpanan
data dari setiap tahapan ke bank data pusat dilakukan dengan beberapa pendekatan:
• Sistem penyimpanan data individu
Sistem penyimpanan data individu dikenal dengan sistem one step up – up step down
dimana pencatatan dilakukan pada setiap tahapan. Konsekuensinya setiap tahapan harus
memiliki operator yang mencatat informasi asal produk (Gambar 2). Sistem pencatatan
tersebut dikenal dengan nama multi – data based system.
Figure 4 Sistem pengelolaan data multi databased system
• Sistem penyimpanan terintegrasi
Sistem ini dikenal dengan nama single database system, di mana semua operator pada
rantai perdagangan akan mengisi setiap informasi pada setiap titik pelacakan kritis ke
dalam satu database terpusat yang dapat di akses kapan pun (Gambar 3). Mekanisme ini
memiliki keuntungan lebih cepat dan lebih mudah dalam proses penyimpanan. Tetapi
konsekuensinya, pengelola harus memiliki sistem data based yang terpusat dan rumah
data based yang cukup besar.
Figure 5 Sistem pengelolaan “single databased system” (Taylor and Sant, 2015)
Figure 6 Analisis penggunaan sistem data based (Taylor and Sant, 2015)
One up - One down (multi
databased system)
Integrated data based system
(single data based system)
Keuntungan
Mudah dilaksanakan Respon lebih cepat
Sesuai dengan pencatatan berbasis
kertas ( paper based)
Konsistensi data tinggi
Lebih irit Akses data lebih mudah
Data lebih aman Cocok dengan pengembangan teknologi
Kekurangan
Slow response Biaya mahal
Peluang terjadinya Human eror
tinggi
Dibutuhkan kolaborasi
Konsistensi data diragukan
IV. Review pelaksanaan sistem ketertelusuran di
Indonesia Pada tahun 1978, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi CITES (Convention on International Trade in Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna) melalui Keputusan Presiden No 43
Tahun 1978. Untuk melindungi tumbuhan dan satwa liar, serta mengatasi permasalahan
perdagangan dan eksploitasi satwa liar di Indonesia yang populasinya terancam, Pemerintah
Indonesia mengeluarkan kebijakan melalui Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta peraturan turunannya, yaitu
Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta
Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar.
Peraturan-peraturan tersebut kemudian disusul dengan keluarnya Undang – Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan yang kemudian di revisi menjadi Undang – Undang No 45 tahun
2009, Peraturan Pemerintah No 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan.
Dalam pelaksanaan CITES di Indonesia, Pemerintah Indonesia menunjuk Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai focal point untuk otoritas pengelola (Management
Authority) di Indonesia. Sementara itu, untuk otoritas keilmuan, pemerintah menetapkan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai focal point. Hal tersebut tertuang dalam
Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1999 Pasal 65.
Mekanisme pemanfaatan dengan regulasi CITES diberlakukan untuk jenis – jenis yang diatur
CITES yang diketagorikan dalam Appendix I, II dan III. Hal tersebut dilakukan untuk memastikan
bahwa perdagangan internasional dari jenis – jenis tersebut tidak membahayakan populasi di
alam sesuai dengan prinsip – prinsip pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar, yaitu:
• Pemanfaatan yang terkontrol.
• Pemanfaatan yang lestari dan tidak menyebabkan kelangkaan.
• Pemanfaatan yang tidak merusak lingkungan.
• Perdagangan yang legal dan dapat ditelusuri asal usulnya.
Pemanfaatan jenis yang masuk ke dalam daftar Appendix CITES baik secara utuh maupun
bagian-bagian tubuhnya dikategorikan menjadi pemanfaatan untuk penelitian dan pengembangan,
penangkaran/perkembangbiakan, perdagangan, pertukaran luar negeri, pemeliharaan untuk
kesenangan/akuaria. Pemanfaatan jenis – jenis appendix CITES di Indonesia harus didasari oleh
sebuah kajian ilmiah yang komprehensif yang menyatakan status populasi jenis tersebut di alam,
kemudian kajian mengenai layak atau tidaknya jenis – jenis tersebut dimanfaatkan dan mengatur
mekanisme pemanfaatan dan perdagangannya (dikenal dengan nama dokumen Non Detriment Finding). Pemanfaatan jenis diatur oleh pengelola dengan ketat dan untuk memastikan
pemanfaatan dan perdagangan internasional tidak membahayakan populasi di alam salah satunya
adalah dengan mekanisme kuota. Setiap pelaku usaha yang memiliki ijin pemanfaatan jenis
appendix CTES dalam memanfaatkan satwa dan tumbuhan appendix CITES tidek boleh
memanfaatkan melebihi kuota yang telah ditetapkan oleh otoritas pengelola.
Monitoring pemanfaatan dan perdagangan jenis dilakukan dengan pencatatan setiap satwa dan
tumbuhan yang ditangkap dan dilalulintaskan baik di dalam negeri dan atau ke luar negeri. Data
pemanfaatan tersebut didokumentasikan olehOtoritas Pengelola. Data tersebut, terutama
realisasi ekspor akan dijadikan menjadi salah satu dasar pertimbangan dalam mengeluarkan
rekomendasi pemanfaatan pada tahun selanjutnya oleh Otoriats Ilmiah (gambar 4).
Figure 7 Alur pemanfaatan
satwa dan tumbuhan
Appendix CITES.
Alur pemanfaatan jenis appendix CITES untuk pemanfaatan dalam negeri maupun luar negeri
meliputi: pendugaan status populasi dan sebaran jenis yang akan dimanfaatkan di alam, status
konservasi, realisasi ekspor, dll. Berdasarkan data-data tersebut Otoritas keilmuan kemudian
mengajukan usulan kuota kepada Otorita Pengelola dan selanjutnya Otoritas Pengelola
mentapkan jumlah kuota tangkap dan kuota ekspor untuk jenis – jenis yang ditentukan. Kuota
tersebut menjadi dasar pengeluaran izin penangkapan dan izin perdagangan satwa liar di dalam
dan di luar negeri bagi setiap perusahaan atau orang yang memiliki ijin untuk memperdagngakan
satwa liar. Setiap pelaku usaha baik perorangan maupun perusahaan kemudian akan mengajukan
permohonan kuota pemanfaatan dan perdagangan satwa dan tumbuhan yang masuk appendix II
CITES kepada Otoritas Pengelola untuk beberapa tujuan antara lain :.
a. Pemanfaatan dari alam
b. Pemanfaatan dari pengembangbiakan
c. Perdagangan dalam negeri
Pelaku usaha yang memiliki izin penangkapan/pengambilan dari alam maupun dari hasil
penangkaran dapat melakukan perdagangan dalam negeri, ekspor, impor maupun re – ekspor.
Setiap perdagangan jenis satwa dan tumbuhan appendix CITES wajib dilengkapi dengan
dokumen yang sah antara lain; SAT – DN (Surat Angkut Tumbuhan dan Satwa Dalam Ngeri)
untuk perdaganan dalam negeri dari unit pelaksana teknis di Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan atau SAJI – DN (Surat Angkut Jenis Ikan – Dalam Negeri) dari Kementerian
Kelautan dan Perikanan.
d. Perdagangan luar negeri.
Untuk perdagangan luar negeri dokumen yang sah yang diperlukan adalah SAT – LN dari
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau SAJI – LN dari Kementerian Kelautan dan
Perikanan. Selain dokumen tersebut, masih diperlukan dokumen pendukung lainnya yaitu Surat
Persetujuan Eksport dari Kementerian Perdagangan dan Sertifikat Kesehatan dari Badan
Karantina.
Asal Spesimen Pemanfaatan Perizinan Verifikasi dokumen Penanda Contoh
spesimen
Pengambilan dari
alam
Perdagangan
dalam negeri
Izin tangkap Surat rekomendasi
BPSPL
Kertas
segel
Sirip Hiu
Penangkaran/Pem
besaran
Perdagangan luar
negeri
Izin edar
dalam negeri
Health sertifikat dari
BKIPM
Stiker Kulit phyton
Izin edar luar
negeri
Surat Persetujuan
Eksport dari Kemendag
Tagging Kulit buaya,
kulit phyton
Surat Pemberitahuan
eksport barang/Surat
pemberitahuan import
barang dari Dirjen Bea
Cukai
Chip Arwana
Super Red
Figure 9 Beberapa contoh system ketertelusuran dalam perdagangan satwa di Indonesia
Figure 8 Skema pemanfaatan jenis satwa dan
tumbuhan appendix CITES.
V. Monitoring perdagangan dan ketelusuran hiu dan pari
5.1 CATCH RECORDING (PENCATATAN HASIL TANGKAPAN)
Dalam kegiatan penangkapan ikan, pencatatan dilakukan melalui logbook, enumerator dan
observer di beberapa titik pendaratan. Pencatatan melalui logbook diwajibkan untuk kapal-kapal
penangkap ikan dengan ukuran diatas 5 GT (Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan
Republik Indonesia Nomor 48/Permen-Kp/2014 Tentang Log Book Penangkapan Ikan).
Enumerator dan observer diwajibkan untuk kapal-kapal penagkap ikan diatas 30 GT (Permen
KP No 1 Tahun 2013 tentang Pemantauan dan Pemantau Kapal Penangkap Ikan dan Kapal
Pengangkut Ikan). Semntara itu, untuk kapal dibawah 5 GT belum ada mekanisme kewajiban
untuk pencatatan aktivitas penangkapan dan pencatatan hasil tangakapannya.
Armada kapal yang mendarat di pelabuhan perikanan memiliki kewajiban untuk melaporkan
hasil tangkapannya kepada pengawasperikanan dan mendaratkan ikan hasil tangkapan di
pelabuhan pangkalan. Verifikasi hasil tangkapan ikan dilakukan sebagai persyaratan
dikeluarkannya Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan (SHTI) atau catch recording. Sertifikat Hasil
Tangkapan Ikan (SHTI) merupakan surat keterangan yang menyatakan bahwa hasil perikanan
yang diekspor bukan dari kegiatan Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing. Informasi
yang tercantum dalam laporan hasil verifikasi yang kemudian didokumentasikan dalam sertifikat
hasil tangkapan ikan antara lain: nama kapal, surat izin, jenis alat tangkap, waktu penangkapan,
daerah penangkapan ikan, pelabuhan pangkalan, jenis ikan dan berat atau jumlah ikan.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per. 13 /MEN/ 2012
tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan menyatakan bahwa SHTI merupakan alat
penelusuran (traceability) hasil tangkapan ikan pada tahapan penangkapan, pengolahan,
pengangkutan dan pemasaran. Sertifikat tersebut dapat membantu pemerintah dalam
memberantas (menghindari, melawan dan memerangi) kegiatan IUU Fishing di perairan
Indonesia. Selain itu sertifikat hasil tangkapan juga menjamin ikan yang ditangkap sesuai dengan
aturan yang berlaku baik nasional dan internasional, sehingga dapat memperlancar kegiatan
perdagangan hasil tangkapan ikan dari laut oleh kapal penangkap ikan Indonesia dan/atau kapal
penangkap ikan asing baik secara langsung maupun tidak langsung dipasarkan ke Uni Eropa.
SHTI diberikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan kepada armada kapal yang memiliki surat
izin usaha perikanan (SIUP) dan surat izin penangkapan ikan dengan ukuran > 20 GT dan kapal
dengan ukuran < 20 GT. Pada pelaksanaanya, Menteri Kelautan dan Perikanan memberikan
kewenangannya kepada Direktur Jenderal selaku otoritas kompeten, kemudian ditingkat
lapangan dilakukan oleh otoritas pelabuhan perikanan melalui unit pelaksana teknis kementerian
atau unit pelaksana teknis daerah.
Dalam memroses penerbitan SHTI, petugas di pelabuhan perikanan melakukan verifikasi
terhadap:
• Kelengkapan dokumen izin penangkapan ikan (SIPI atau Bukti Pencatatan Kapal
Perikanan)
• Hasil pemeriksaan Logbook penangkapan ikan
• Kedatangan kapal perikanan di pelabuhan perikanan yang dibuktikan dengan Surat Tanda
Bukti Lapor Kedatangan Kapal (STBLKK)
• Hasil pengumpulan data produksi kapal perikanan di pelabuhan perikanan
• Memperhatikan standar waktu pelayanan penerbitan SHTI
Dalam rangka memastikan penelusuran hasil perikanan yang akan diekspor, Otoritas Kompeten
Lokal Pelabuhan Perikanan dapat melakukan pengecekan asal bahan baku hasil perikanan pada
unit penangkapan ikan dan pengolahan ikan terkait (pasal 17 Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan No. 13 tahun 2012 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan Ikan).
Figure 10 Skema penerbitan Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan
5.2 SERTIFIKAT KELAYAKAN PENGOLAHAN IKAN UPI
Produk hiu dan pari di Indonesia termasuk sirip hiu dibeberapa tempat diolah menjadi produk
turunan sirip seperti sirip kering danhisit hiu kering. Pengolahan sirip hiu tersebut dilakukan
oleh usaha kecil dan menengah yang tersebar di berapa wilayah di Indonesia, terutama di
daerah yang terdapat pendaratan hiu. Beberapa tempat pengolahan ikan termasuk hiu beberapa
diantaranya ada yang terdaftar di dalam Unit Pengolahan Ikan (UPI).
Dalam rangka menjamin mutu dan keamanan hasil perikanan serta peningkatan nilai tambah
produk perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan No 72 tahun 2016 tentang Persyaratan dan Tata Cara Penerbitan
Sertifikat Kelayakan Pengolahan. Berdasarkan peraturan ini, sertifikat diberikan kepada pelaku
usaha Unit Pengolahan Ikan yang telah menerapkan cara pengolahan Ikan yang baik (good manufacturing practices) dan memenuhi persyaratan prosedur operasi sanitasi standar
(standard sanitation operating procedure). Melalui peraturan Menteri tersebut, diatur juga
mengenai bahan baku, penanganan dan pengolahan, pengemasan dan penyimpan serta sanitasi
lingkungan termasuk proses – proses pengolahannya.
5.3 REKOMENDASI PERDAGANGAN PRODUK HIU DAN PARI
Produk hiu dan pari memiliki nilai jual yang cukup tinggi, sehingga dipasarkan baik di pasar
domestik maupun pasar internasional. Dalam rangka mengendalikan dan mengontrol
perdagangan produk hiu dan pari dari dan ke Indonesia, Direktorat Jendral Pengelolaan Ruang
Laut (PRL) - Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan Peraturan Dirjen PRL No 5
tahun 2016 tentang Pedoman Standar Pelayanan Publik di Lingkungan Direktorat Jenderal
Pengelolaan Ruang Laut. Produk pelayanan dapat berupa penyediaan barang, jasa, dan/atau
produk administrasi yang diberikan dan diterima oleh pengguna layanan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan. Produk layanan dimaksud meliputi pemberian surat
rekomendasi hiu dan sirip utuh, pari, insang pari dan kulit pari, dan produk olahan hiu dan
pari.
Surat rekomendasi tersebut diberikan oleh unit pengelola teknis di bawah Direktorat
Konservasi Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL) kepada pelaku usaha yang akan melalu
lintaskan produk – produk hiu dan pari baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dengan surat
rekomendasi tersebut dimungkinkan untuk mengendalikan dan menghentikan perdagangan jenis
– jenis hiu yang dilindungi dan jenis – jenis yang dilarang keluar dari negara Indonesia. Selain itu,
surat rekomendasi tersebut juga dapat dipergunakan unutk melakukan monitoring perdagangan
produk hiu dan pari di Indonesia.
5.4 PENJAMINAN KESEHATAN IKAN DAN HASIL PERIKANAN
UNTUK PERDAGANGAN DOMESTIK DAN EKSPOR.
Pengawasan perdagangan hasil perikananan dilakukan oleh Badan Karantina Ikan, Pengendalian
Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM). Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan No 32/PERMEN-KP/2014 tentang Pelayanan Publik di Lingkungan Kementerian
Kelautan dan Perikanan yang dimaksud Pelayanan Jasa Publik meliputi Pelayanan Jasa Tindakan
Karantina. dan Pelayanan Administrasi Penerbitan Sertifikasi dan/atau rekomendasi di bidang
karantina ikan dan pengendalian mutu hasil perikanan. Pelayanan tersebut antara lain berupa
Penjaminan Kesehatan Ikan dan Hasil Perikanan serta mutu dan keamanan hasil perikanan
ekspor, impor, dan perdagangan domestik.
Pada praktek pelayanannya, BKIPM melalui unit pelaksana teknis melakukan pengecekan kepada
semua produk perikanan termasuk produk hiu dan pari yang akan dilalu lintas di dalam negeri,
ke luar negeri maupun dari luar negeri yang masuk ke Indonesia. Khusus pengecekan produk
hiu dan pari seperti sirip hiu dan daging, proses pengecekan dilakukan setelah adanya surat
rekomendasi dari BPSPL. Untuk produk yang akan dilalu lintaskan di tingkat domestik, produk
yang lolos pengecekan akan mendapat dokumen sertifikat kesehatan ikan perikanan domestik
dan sertifikat keterangan lalu lintas ikan dan produk perikanan. Sementara untuk produk yang
akan dilalu lintaskan ke luar negeri akan mendapatkan Health Certificate for Fish and Fish Product dari BKIPM.
VI. Perdagangan Hiu dan Pari di Indonesia
6.1 SENTRA PENDARATAN HIU DAN PARI DI INDONESIA.
Hiu dan pari seperti halnya beberapa spesies yang masuk daftar appendiks CITES memiliki nilai
ekonomi yang sangat tinggi. Bagi hiu sendiri, sirip merupakan produk yang memiliki nilai
ekonomi yang paling tinggi, dibandingkan produk lainnya seperti daging, tulang, minyakdan kulit.
Indonesia merupakan salah satu produsen dan eksportir produk hiu terbesar di dunia.
Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tahun 2015, produksi ikan hiu selama periode
2005 sampai dengan 2014 menunjukkan kecenderungan peningkatan produksi ikan hiu,
walaupun perubahannya tidak signifikan. Pada tahun 2014 produksi hiu nasional mencapai
49.020 ton dengan nilai Rp 677.900.570.000,00. Dari lima kelompok hiu, hiu lanjaman
(Carcharinidae) memiliki volume produksi terbesar dibandingkan dengan kelompok hiu lainnya
yaitu sebesar 31.113 ton. Setelah hiu lanjaman, hiu tikus menempati peringkat kedua sebagai
kelompok hiu yang memiliki volume produksi terbesar.
No Kelompok Hiu PRODUKSI (TON)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
1 Hiu Botol
(Squalidae) 16,536 14,472 12,066 5,413 5,302 2,585 4,014 3,281 3,863 5,494
2 Hiu Lanjaman
(Carcharinidae) 12,971 25,530 29,687 26,000 28,378 26,454 23,934 28,116 33,681 31,113
3 Hiu Martil
(Sphyrnidae) 253 99 1,423 2,366 3,112 3,438 3,394 1,497 529 658
4 Hiu Tikus
(Alopidae) 13,274 14,474 13,767 9,385 8,210 12,890 18,240 8,792 13,229 11,051
5 Hiu Mako
(Lamnidae) 272 1,363 497 461 830 733 632 350 966 704
TOTAL 43,306 55,938 57,440 43,625 45,832 46,100 50,214 42,036 52,268 49,020
Figure 11 Produksi ikan hiu Nasional periode 2005 - 2014
Sumber: Statistik Perikanan 2014
Ikan hiu dan pari merupakan salah satu komoditi yang penting bagi nelayan di Indonesia.
Perikanan hiu dan pari di Indonesia pada umumnya dilakukan oleh nelayan skala kecil/artisanal.
Alat tangkap yang biasa digunakan untuk menangkap hiu antara lain: jaring, pancing, rawai, dan
tombak yang tersebar di seluruh wilayah perairan di Indonesia. Berdasarkan wilayah
pengelolaan perikanan Indonesia, wilayah – wilayah yang berpotensi sebagai lokasi penangkapan
hiu dan pari antara lain wilayah barat Sumatera (WPP 572), selatan Jawa, Bali, dan Nusa
Tenggara (WPP 573), Laut Natuna dan Selat Karimata (WPP 711), Laut Jawa (WPP 712) dan
Laut Arafuru (Tabel 5).
Figure 12 Sentra-sentra Perikanan Hiu dan Pari di Indonesia
No Sentra Perikanan
Kategori/
Level
Pelabuhan
Pengelola Daerah
Penangkapan
1 Lampulo Banda Aceh Pelabuhan
Perikanan
Samudera
UPTD Provinsi WPPNRI 572,
WPPNRI 571
2 Meulaboh, Aceh Barat
(Ujung Baroeh dan
Kuala Tuha)
Pelabuhan
Pendaratan
Ikan
UPTD
Kabupaten/Kota
WPPNRI 572
3 Pelabuhan Ujung
Seurangga - Aceh Barat
Daya
Pelabuhan
Pendaratan
Ikan
UPTD
Kabupaten/Kota
WPPNRI 572
4 Labuhan Haji - Aceh
Selatan
Pelabuhan
Perikanan
Pantai
UPTD
Kabupaten/Kota
WPPNRI 572
5 Pelabuhan Perikanan
Krueng Mane - Aceh
Utara
Pelabuhan
Perikanan
UPTD
Kabupaten/Kota
WPPNRI 571
6 Sibolga, Sumatera Utara Pelabuhan
Perikanan
Nusantara
UPT Pusat WPPNRI 572
7 Bengkulu NA NA WPPNRI 572
8 Lampung NA NA WPPNRI 572,
WPPNRI 712
9 Bangka, Bangka belitung NA NA WPPNRI 711
10 Belitung, Bangka
belitung
NA NA WPPNRI 711
11 Muara Baru, DKI
Jakarta
Pelabuhan
Perikanan
Samudera
UPT Pusat WPPNRI 712,
WPPNRI 718,
WPPNRI 573
12 Muara angke, DKI
Jakarta
Pelabuhan
Perikanan
Nusantara
UPTD
Kabupaten/Kota
WPPNRI 712,
WPPNRI 713,
WPPNRI 711,
WPPNRI 573
13. PP Karangsong,
Indramayu, Jawa Barat
Pelabuhan
Perikanan Ikan
UPTD
Kabupaten/Kota
WPPNRI 712,
WPPNRI 711
14 Pelabuhan Perikanan
Mayangan -
Probolinggo, Jawa
Timur
Pelabuhan
Perikanan
Pantai
UPTD Provinsi WPPNRI 712,
WPPNRI 713
15. Pelabuhan Perikanan
Brondong - Lamongan,
Pelabuhan
Perikanan
UPT Pusat WPPNRI 712,
WPPNRI 713
No Sentra Perikanan
Kategori/
Level
Pelabuhan
Pengelola Daerah
Penangkapan
Jawa Timur Nusantara
16. Pelabuhan Perikanan
Pelabuhan ratu – Jawa
Barat
Pelabuhan
Pelabuhan
Perikanan
Nusantara
UPT Pusat WPPNRI 573,
WPPNRI 572
14 Pelabuhan Perikanan
Cilacap, Jawa Tengah
Pelabuhan
Perikanan
Samudera
UPT Pusat WPPNRI 573
17. Pelabuhan Tegal Sari -
Tegal, Jawa Tengah
Pelabuhan
Perikanan
Pantai
UPTD Provinsi WPPNRI 712,
WPPNRI 713
18. Pelabuhan Perikanan
Pekalongan, Jawa
Tengah
Pelabuhan
Perikanan
Nusantara
UPT Pusat WPPNRI 712,
WPPNRI 713
19. Pelabuhan Perikanan
Sadeng - Yogyakarta
Pelabuhan
Perikanan
Pantai
UPTD Provinsi WPPNRI 573
20 Pelabuhan Perikanan
Prigi - Trenggalek, Jawa
Timur
Pelabuhan
Perikanan
Nusantara
UPT Pusat WPPNRI 573
21. Pelabuhan Perikanan
Muncar - Banyuwangi,
Jawa Timur
Pelabuhan
Perikanan
Pantai
UPTD Provinsi WPPNRI 573,
WPPNRI 713
22. Benoa, Bali WPPNRI 573,
WPPNRI 713,
WPPNRI 714.
23 Pelabuhan Perikanan
Kedonganan, Badung -
Bali
Pelabuhan
Perikanan Ikan
UPTD
Kabupaten/Kota
WPPNRI 573
23. Pelabuhan Perikanan
Tanjung luar, Lombok
Timur - NTB
Pelabuhan
Perikanan Ikan
UPTD Provinsi WPPNRI 573,
WPPNRI 713
24 Flores Timur, NTT WPPNRI 573,
WPPNRI 713
25. Bima, Sumbawa WPPNRI 573,
WPPNRI 713
26. Halmahera Selatan,
Maluku Utara
WPPNRI NRI 715
27. Sungai Pemangkat,
Kalbar
WPPNRI 711
28. Balikpapan, Kaltim WPPNRI 713
Figure 13 Sentra – sentra pendaratan hiu dan pari di Indonesia.
6.2 PRODUK HIU DAN PARI
Bagian tubuh Hiu dan pari memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi bagi masyarakat nelayan,
pedagang lokal dan eksportir antara lain; daging, tulang rawan, kulit, gigi, rahang, isi perut, hati,
tapis insang, dan sirip. Berdasarkan kategori, produk hiu dan pari diperjual belikan dalam bentuk
daging beku (Frozen), daging kering (dried), daging asin (salted) dan sirip kering.
Daging hiu dan pari dipasarkan secara domestik dan internasional. Untuk konsumsi di tingkat
domestik, daging hiu diolah dengan berbagai cara seperti dibakar, diasap, dipindang, dibuat steak, sup
dan ikan asin. Daging ikan hiu dan pari dapat pula diolah menjadi abon, dendeng bakso, otak-otak
ataukerupuk ikan. Daging ikan hiu yang sudah dijadikan ikan asin dijual ke berbagai kota besar
seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Aceh dan Medan. Di beberapa wilayah seperti Aceh,
daging hiu dijadikan salah satu sumber protein dan kuliner lokal dalam bentuk kari hiu.
Saat ini ekspor daging hiu dan pari dari Indnesia cukup tinggi terutama berasal dari famili
Carcharhinidae. Negara yang menjadi tujuan ekspor daging hiu dan pari adalah Banglades,
Srilankadan negara- negara Amerika Selatan.
Tulang rawan ikan hiu kering menjadi salah satau komoditas ekspor dengan negara tujuan
utama adalah Jepang. Di Jepang, tulang rawan hiu akan diolah untuk dijadikan bahan dasar
perekat, kosmetik, pupuk, bahkan dijadikan bahan farmasi untuk mengobati kanker. Jumlah
ekspor tulang kering hiu masing sangat kecil dibandingkan produk hiu lainnya seperti daging dan
sirip.
Kulit dan bagian tubuh hiu lainnya biasanya akan ditampung oleh industri yang lebih kecil untuk
dijadikan berbagai macam produk seperti kerupuk kulit, kerajinan, maupun pakan ternak.
Kulit ikan hiu dapat diolah menjadi berbagai macam produk, misalnya pada Hiu Karet (Blue
Shark / Prionace glauca) dan Hiu Martil (Sphyrna sp) dapat digunakan untuk bahan kerupuk,
sedangkan dari jenis hiu dan pari lainnya dapat digunakan untuk bahan industri produk kulit
misalnya dijadikan dompet dan sepatu. Selain jenis hiu, jenis pari yang sering dijadikan bahan
sepatu adalah pari yang memiliki duri seperti genera Himantura dan Dasyatis. Pemasaran
kerajinan kulit pari cukup luas mulai dari skala lokal, nasional dan beberapa produk dengan
kualitas bagus menjadi salah satu komoditas ekpsor.
Gigi ikan hiu dapat diolah menjadi berbagai perhiasan seperti kalung, cincin, kancing baju dan
sebagainya. Bagian usus hiu dapat diolah menjadi bahan baku pembuat insulinDisamping itu,
organ usus hiu juga menghasilkan enzim protease sehingga banyak dimanfaatkan dalam berbagai
industri. Pada kelompok hiu botol (Suku Squalidae dan Centrophoridae), minyak hati kelompok
hiu ini biasa dimanfaatkan sebagai pelumas maupun sebagai bahan industri obat dan kosmetik,
karena memiliki kandungan yang bermanfaat bagi kesehatan. Selain itu minyak hati ikan hiu dari
marga Centrophorus dapat dimanfaatkan sebagai pelumas dan bahan bakar pesawat.
No Bagian tubuh hiu atau Manta Nama produk Tujuan
1 Sirip Sup sirip hiu Sebagain
besar untuk
ekspordan
hanya
sebagian kecil
untuk pasar
domestik
2 Tulang rawan
Pil dan serbuk kesehatan Ekspor
Sumber untuk supplement kesehatan Ekspor
3 Insang kering Pari Manta Sumber obat tradisional Ekspor
4
Minyak hati (Squalinidae)
Kosmetik (lip balm, krim wajah, pembersih) Ekspor
Vaksin Ekspor
Minyak pelumas Ekspor
4
Daging
Fillet Domestik
Ikan Asin Domestik
Baso ikan Domestik
Daging beku Ekspor
5
Kulit
Dompet Domestik
Sepatu Domestik
Ikat pinggang Domestik
Kulit kering Domestik dan
ekspor
6 Gigi Perhiasan dan souvernir Domestik dan
ekspor
Figure 14 Jenis produk hiu dan pari yang dipasarkan
Sirip ikan hiu merupakan bagian tubuh yang memiliki nilai ekonomis paling tinggi untuk dijadikan
bahan utama sup sirip ikan hiu. Hidangan ini merupakan sajian bergengsi di restoran-restoran
penyaji makanan laut baik di dalam negeri (Kota besar seperti Jakarta, Semarang dan Surabaya)
maupun di luar negeri (misalnya China, Hongkong. Taiwan, dan Singapura). Rata-rata nilai
ekspor sirip hiu Indonesia mencapai $10.035.000 per tahun (Gambar 8). Periode tahun 2010
dan 2013 merupakan nilai tertinggi eskpor siirp hiu dalam 10 tahun terakhir. Akan tetapi jika
dibandingkan dengan negara lainnya nilai ekspor sirip hiu Indonesia berada di peringkat ke 6.
Negara dengan nilai ekspor tertinggi adalah China (Hongkong) dengan nilai $ 110.152,
kemudian Singapura $ 26.631.000, China $ 23.732.000, Thailand $15.158.000, dan UEA
$14.330.000.
Figure 15 Nilai ekspor produk hiu Indonesia per tahun
6.3 RANTAI PERDAGANGAN HIU DAN PARI DI INDONESIA.
Rantai perdagangan hiu di Indonesia cenderung panjang dan kompleks, mulai dari tingkat
nelayan, pengepul, eksportir, hingga negara-negara tujuan ekspor. Rantai perdagangan di tingkat
pengepul adalah tingkat perdagangan hiu yang paling kompleks di Indonesia karena banyaknya
tingkatan dan menyebabkan sulitnya membangun sistem ketelusuran. Berdasarkan data dari
Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) seluruh Indonesia, alur perdagangan
domestik berasal dari berbagai daerah dengan sumber daya perikanan hiu dan pari yang tinggi
seperti Cilacap, Banyuwangi, Kupang, Lamongan dan Lombok, yang kemudian dikumpulkan oleh
para pengusaha/pengepul lokal dari berbagai provinsi di Indonesia.
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
16,000
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Nila
i eks
po
r si
rip
hiu
pe
r ta
hu
n (
US$
)
Figure 16 Rantai Perdagangan Hiu dan Pari Indonesia
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
--
-
Figure 17 Rantai perdagangan produk hiu dalam negeri
Produk hiu dan pari yang berasal kota-kota asal kemudian dikirim ke kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar dan Medan untuk selanjutnya diolah baik untuk konsumsi domestik maupun internasional. Negara-negara utama tujuan ekspor produk hiu dari Indonesia antara lain
adalah Jepang, Cina, Taiwan dan Hong Kong, selain itu juga diekspor ke Korea Selatan, Singapura dan Malaysia dimana komoditas utama yang bernilai tinggi berupa produk sirip hiu. Tercatat setidaknya
ada 123 perusahan yang melakukan perdagangan produk hiu dan pari di Indonesia. Perusahan terbanyak terdapat di wilayah Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah.
6.4 TANTANGAN DALAM RANTAI PERDAGANGAN PRODUK HIU DAN
PARI INDONESIA.
Rantai perdagangan produk hiu dan pari di Indonesia sangat komplek karena melibatkan banyak pihak
dari setiap tahapnya. Selain itu, setiap produk memiliki jalur perdagangan yang berbeda dengan tingkat
perubahan bentuk dan jumlah produk sangat tinggi. Salah satu syarat penting dalam menyusun system
ketertelusuran adalah memetakan rantai perdagangan hiu dan pari khususnya yang masuk ke dalam
Appendix II CITES.
Beberapa isu yang teridentifikasi dalam menfidentifikasi ketertelusuran produk hiu dan pari di
Indonesia adalah:
1. Beberapa armada penangkapan hiu dengan ukuran < 5 GT tidak memiliki izin penangkapan.
2. Lokasi pendaratan hiu di Indonesia berada dilokasi remote area, sehingga menyulitkan untuk
melakukan proses pendataan dan monitoring.
3. Di beberapa lokasi, hiu didaratkan dalan keadaan tidak utuh sehingga menyulitkan proses
identifikasi dan pencatatan.
4. Pencatatan pendaratan ikan tidak terhubung dengan informasi wilayah penangkapan hiu. Hal ini
akan berpengaruh pada penggunaan kuota pendaratan hiu per Propinsi.
5. Rantai distribusi yang panjang membuat pencatatan ketelusuran barang tidak tercatat dengan baik
dan/atau menyulitkan pencatatan.
6. Harmonized System code (kode HS) produk hiu tidak spesifik berdasarkan spesies. Kode HS
hanya berdasarkan jenis produk. Misalnya sirip hiu memiliki kode 0305.71.00.00.
7. Format pencatatan pendaratan ikan berbeda-beda, sehingga menyebabkan masih ada kelemahan
dalam hal pencatatan di lokasi pendaratan. Selain sistem pendataan hiu (logbook) yang didaratkan
di pelabuhan-pelabuhan perikanan di Indonesia yang belum akurat, terdapat kelemahan pada
jumlah sumberdaya manusia pencatat.
8. Pengolahaan produk hiu tidak dipisahkan berdasarkan spesies. Dalam pengolahan produk hiu,
bahan baku daging atau bagian tubuh hiu lainnya dicampur tanpa membedakan species.
9. Pencatatan pendaratan ikan tidak sepenuhnya dijalankan. Masih ada kelemahan dalam hal
pencatatan di lokasi pendaratan. Selain sistem pendataan hiu (logbook) yang didaratkan di
pelabuhan-pelabuhan perikanan di Indonesia yang belum akurat, juga masih terdapat kelemahan
pada jumlah sumberdaya manusia yang membantu proses pencatatan.
Figure 18 Identifikasi stakeholder yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perdagangan hiu dan pari di Indonesia
Tahapan Stakeholder Tugas dan fungsi
Penangkapan 1. Pemerintah Provinsi. • Perizinan kapal penangkapan ikan < 30
GT.
• Pengaturan pelabuhan perikanan pantai.
• Pengelolaan sumber daya < 12 mil.
• Kapal > 60 GT : DJPT Direktorat
Perijinan dan Kenelayanan
• Nelayan
2. Pemerintah pusat (Kementerian
Kelautan dan Perikanan).
- Perizinan kapal penangkapan ikan
- Pengelolaan pelabuhan ikan skala
nasional dan samudera.
- Pengelolaan sumber daya ikan > 15 mil.
Pendaratan 1. Pemerintah kabupaten
2. Pemerintah provinsi
3. Pemerintah Pusat.
4. Nelayan
Kabupaten : Pelabuhan Pendaratan Ikan
(PPI)
Propinsi : PPP
Pusat : PPN, PPS
Stakeholder: Pemerintah, PS DKP
Nelayan dan Pengumpul
Pengolahan 1. Unit Pengolahan Ikan > Direktorat
Pengelohan dan Bina Mutu/
Karantina (cek lagi)
2. Pengumpul dan Pengolah (indutri
pengolahan)
Perdagangan
Dalam Negeri
1. Balai Pengelolaan Sunber daya
Pesisir dan Laut (BPSPL).
2. Badan Karantina Ikan,
Pengendalian Mutu dan Keamanan
Hasil Perikanan:
3. Balai Konservasi Sumber Daya
Alam.
Tahapan Stakeholder Tugas dan fungsi
4. Pedagang produk perikanan antar
daerah.
Perdagangan
luar Negeri
1. Balai Pengelolaan Sunber daya
Pesisir dan Laut (BPSPL).
2. Badan Karantina Ikan,
Pengendalian Mutu dan Keamanan
Hasil Perikanan:
3. Balai Konservasi Sumber Daya
Alam.
4. Direktorat Jenderal Pengelolaan
Ruang Laut – Kementerian
Kelautan dan Perikanan
5. Direktorat Jenderal Konservasi
Sumber Daya Alam dan
Ekosistemnya.
6. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
– Kementerian Keuangan.
7. Kementerian Perdagangan
8. Eksportir.
BPSPL : untuk
BKIPM:
KSDAE :
Bea Cukai
MA:
Pengumpul, Eksportir
Tahap Regulasi Bunyi / Keterangan
pengaturan
Gap dalam
Implementasi
Regulasi
Penangkapan • Perijinan Armada
Tangkap : Permen KP
No.17 Tahun 2006 pasal
6 ayat (2) dan (3)
• Pencatatan: Log book ,
Observer: Permen KP
No.48 Tahun 2014 pasal
5 ayat (1)
pasal 6 ayat (2)
- Setiap orang atau badan hukum
Indonesia yang menggunakan
kapal untuk melakukan
penangkapan ikan di WPP
Republik Indonesia, wajib
melengkapi dengan SIPI untuk
setiap kapal yang digunakan
pasal 6 ayat (3)
- Kewajiban memiliki SIUP
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 huruf a dikecualikan bagi
kegiatan usaha di bidang
penangkapan ikan yang
dilakukan oleh nelayan dengan
menggunakan sebuah kapal
perikanan tidak bermotor atau
bermotor luar atau bermotor
dalam tidak lebih dari 5 GT.
pasal 5 ayat (1)
- Setiap kapal perikanan yang
memiliki SIPI dan melakukan
operasi penangkapan ikan wajib
dilengkapi dengan log book
penangkapan ikan.
SIPI dan Surat Ijin
Pengangkutan cek
diaturan mana dan
kapal mana yang
diwajibkan
Pendaratan SHTI: Permen KP No.13
Tahun 2012 pasal 6 ayat
(1)
Pasal 6 ayat (1)
- SHTI digunakan sebagai
kelengkapan dokumen ekspor
untuk hasil tangkapan ikan di
laut yang berasal dari kapal
Hanya mengatur kapal
> 20 GT sehingga
tidak ada kewajiban
kapal <10GT untuk
melapor
Tahap Regulasi Bunyi / Keterangan
pengaturan
Gap dalam
Implementasi
Regulasi
*sebagai Surat Keterangan
Asal Pencatatan hasil
Tangkapan Kepelabuhan
penangkap ikan Indonesia dan
kapal penangkap ikan asing.
Pengolahan • Ijin Pengolahan: UPI
(masih draft Permen)
• Sertifikat Kelayakan
Pengolahan (SKP):
Permen KP No.72
Tahun 2016 pasal 3 ayat
(1) dan pasal 6 terkait
alur proses keluarnya
sertifikat
pasal 3 ayat (1)
- Terhadap UPI yang telah
menerapkan Cara Pengolahan
Ikan yang Baik (good manufacturing practices) dan
memenuhi persyaratan Prosedur
Operasi Sanitasi Standar
(standard sanitation
operating procedure)
diberikan SKP oleh Menteri KKP
Perdagangan Dalam
Negeri
KSDAE : SATS-DN
Kepmenhut 447/ 2003
pasal 61
pasal 61
- Seluruh kegiatan peredaran
komersial dalam negeri wajib
disertai Surat Angkut
Tumbuhan dan Satwa Liar
Dalam Negeri (SATS-DN).
Perdagangan Luar
Negeri
KSDAE : Export permit
• Kepmenhut 447/ 2003
pasal 63 ayat (1)
Permen Kemdag untuk
Perdagangan Spesies yang
dilindungi
BKIPM: Health Certificate
untuk kesehatan Ikan
Permen KP No. 26 Tahun
2008 pasal 3 ayat (1)
Beacukai : Undang-undang
Kepabean
pasal 63 ayat (1)
- Peredaran komersial luar negeri
baik ekspor, impor, re-ekspor
maupun introduksi dari laut
wajib disertai dengan Surat
Angkut Tumbuhan dan Satwa
Liar Luar Negeri (SATS-LN)
pasal 3 ayat (1)
- Sertifikat Kesehatan Ikan dan
Produk Perikanan (Health Certificate for Fish and Fish Products) sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a,
diterbitkan apabila media
pembawa yang akan dikeluarkan
dari wilayah Negara Republik
Indonesia telah dilakukan
tindakan karantina dan/atau
memenuhi persyaratan yang
ditetapkan oleh negara tujuan
VII. Rekomendasi dan aplikasi ketelusuran sirip hiu Sistem ketelusuran produk sirip hiu yang masuk ke dalam daftar Appendik IICITES dilakukan pada
skala nasional hingga global. Hal ini terjadi karena sirip hiu merupakan komoditas ekspor yang
memiliki nilai ekonomi tinggi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia dan bermuara di negara –
negara pengimpor seperti China, Hongkong, Taiwan, Singapura Thailand dan Jepang. Rantai
perdagangan sirip hiu di Indonesia tergolong sangat komplek dengan berbagai tahapan dan setiap
tahapannya memiliki pelaku usaha yang berbeda (Gambar 11).
Figure 19 Rekomendasi alur ketertelusuran
Titik pelacakan penting (CTEs) yang memungkin dilakukan pencatatan adalah:
1. Titik perpindahan dari nelayan – pengumpul.
2. Pengumpul tingkat 1 – pengumpul lebih besar.
3. Pintu keluar ekspor
Pada titik kritis pertama adalah perpindahan hiu dari nelayan kepada pengumpul. Hiu biasanya
didaratkan untuk kemudian dilakukan penjualan dengan lelang atau langsung ke pembeli. Pembeli ini
biasanya tidak hanya membeli hiu dari satu armada melainkan dari berbagai armada. Setelah
dilakukan pembelian para pengumpul tahap 1 melakukan pemisahan produk hiu menjadi beberapa
bagian seperti sirip, daging, tulang dan kulit. Beberapa pengumpul tahap 1 melakukan pengolahan
dengan mencuci dan melakukan pengeringan sirip. Pada tahapan ini dilakukan pencatatan terhadap
asal hiu yang didaratkan pengumpul.
Pada titik kritis kedua adalah perpindahan sirip hiu dari pengumpul kecil kepada pengumpul
besar. Para pengumpul tingkat 1 biasanya pembeli yang berasal dari daerah tempat dilakukannya
penjualan dari nelayan. Pengumpul tahap 1 tersebut kemudian menjual kepada pengumpul yang jauh
besar yang berada di luar kota atau luar provinsi. Pengumpul besar ini menampung sirip dari
berbagai kota dan provinsi dengan pendistribusian menggunakan jalur darat dan laut. Sebelum
melakukan pengiriman antar provinsi pengumpul tahap 1 atau 2 wajib melakukan pencatatan dan
pelaporan barang kepada pihak BPSPL di setiap wilayah. Pencatatan dan pendokumentasian
dilakukan kedalam sistem data based terpusat (nasional), dimana pengisian informasi dilakukan oleh
petugas. Setelah dilakukan pengisian, setiap unit sirip wajib mendapatkan label baru yang memuat
informasi asal produk dan tujuan produk.
Pada titik kritis ketiga: Pengumpul besar di Indonesia biasanya berlokasi di Medan, Jakarta,
Semarang, Surabaya, Medan dan Denpasar. Para pengumpul tersebut mendapatkan produk sirip
kering dari berbagai wilayah di Indonesia yang berbeda provinsi sehingga terjadi penambahan
jumlah dan perubahan kemasan pengiriman. Pada beberpa kasus para pengumpul ini melakukan
penyimpanan di gudangnya masing-masing sampai dilakukan ekspor. Pada tahapan ini para
pengumpul wajib melaporkan kembali kepada pihak BPSPL untuk dilakukan pengecekan dan
pencatatan sebelum dilakukan pengecepak ulang oleh pihak BKPIM untuk kemudian di ekspor
melalui pintu – pintu ekspor.
Pihak Tahapan Aktivitas Pencatatan Kode unik
Nelayan
Pendaratan
Hiu yang ditangkap oleh armada
yang terdaftar pada SIPJI Menggunakan
kertas (Form A1) Belum ada
Pemisahan hiu
Hiu appendiks CITES dipisahkan
dan diberi tagging/label/atau
keterangan
Pengumpul
Penerimaan
Sirip hiu appendiks CITES yang
sudah dipisahkan diberi
tanda/tagging kemudian di cuci dan
dikeringkan Menggunakan
kertas (Form A2) Belum ada
Penyimpanan Sirip hiu disimpan berdasarkan jenis
Pengemasan
Sirip dikemas dalam box
berdasarkan spesies dengan
menggunakan label
Pengajuan izin
Pelaku usaha mengajukan Ijin
perdagangan dalam negeri (SAJI -
DN).
Data based
terpusat
(komputerisasi)
UPT KKP
(BPSPL dan
BKIPM)
Pengecekan
Verifikasi dilakukan dari dari form
A1 dan A2
Data based
terpusat
(komputerisasi)
Sirip yang lolos verifikasi diberi
label/barcode Barcode
Penyimpanan data dan informasi
form A1 dan A2 (Form B1)
Eksportir
Penerimaan
Pembacaan barcode terhadap
produk
Data based
terpusat
(komputerisasi)
Pengisian informasi ke dalam data
based (form B1)
Penyimpanan
Sirip hiu disimpan berdasarkan jenis
dengan label/barcode terpasang
Pengemasan
Sirip dikemas dalam box
berdasarkan spesies dengan
menggunakan label/keterangan baru
(Form B2)
Data based
terpusat
(komputerisasi)
Pengajuan izin
pengajuan Ijin perdagangan Luar
negeri (SAJI- LN)
Data based
terpusat
(komputerisasi)
UPT KKP
(BPSPL dan
BKIPM)
Pengecekan
Verifikasi dilakukan dari dari form
B1 dan B2
Data based
terpusat
(komputerisasi)
Sirip yang lolos verifikasi diberi
label/barcode baru Barcode
Penyimpanan data dan informasi
form B2
Figure 20 Rekomendasi alur sistem ketelusuran sirip hiu appendik 2 di Indonesia.
No Tahapan Informasi
tercantum Kode unik Pihak Bahan Tata cara pelaksanaan
1. Pendaratan Jenis, Tanggal pendaratan, Lokasi pendaratan, Lokasi tangkap
• Jenis: Martil= M, Lanjaman = L, Koboy= K
• Tanggal pendaratan= DDMMYY
• Lokasi pendaratan: Tj Luar : TJ Lampulo
• Wilayah tangkap:
Samudera Hindia,Laut jawa, Selat Bali
• Individu ke _
Contoh kode
M121219-Lampulo – Hindia - 1
Nelayan / pengumpul
Bahan sementara contoh pita laundy roll
• Penandaan (tagging) dilakukan di pelabuhan atau tempat pendaratan.
• Sirip Hiu Appendiks yang sudah dipisah dan masih basah di-tag dengan pita laundry.
• Posisi tag pada ujung atas sirip dorsal (liat gambar 1.)
• Informasi tangkapan ditulisan tangan pada pita laundry.
• Ukuran pita 1.5 x 5 cm
• Dilakukan pencatatan pada form 1.
• Tagging sementara dipertahankan hingga penggantian tagging resmi .
2. Gudang pengumpul
Kode provinsi.Tahun kuota.Kode perusahaan. Tanggal pendaratan. Individu ke-
• Kode jenis hiu. Martil Lewini= ML, Martil Mokkaran =MM, Lanjaman =L
• Kode provinsi
Contoh: 01 = Aceh
• Tahun kuota
Contoh: 2019
• Kode perusahaan : adalah kode yang akan diberikan B/LPSPL kepada pemilik SIPJI di provinsi
• Tanggal pendaratan dituliskan sesuai yang tercantum pada tagging sementara
• Informasi “individu ke-“ dituliskan sesuai yang tercantum pada tagging sementara
Contoh :
ML.01.2019.01.020319.1
Martil lewini. Provinsi Aceh, kuota tahun 2019, perusahaan, didaratkan pada 2 maret 2019 individu ke 1.
Pengumpul / pemilik SIPJI Perdagangan DN
Bahan disiapkan oleh pemerintah
• Penandaan (tagging) dilakukan di gudang penyimpanan pengepul.
• Sirip Hiu Appendiks yang sudah dipisah di-tag dengan tagging yang telah disiapkan
• Posisi tag pada ujung atas sirip dorsal (liat gambar 1.)
• Informasi tangkapan ditulisan tangan pada tagging
• Dilakukan pencatatan pada form 2
• Proses pengiriman sirip hiu Appendiks CITES melalui penerbitan SAJI-DN dilakukan per set, yang terdiri dari minimal 1 dorsal dan 2 pektoral
• Satu kemasan pengiriman hanya untuk satu jenis dan tidak boleh dicampur dengan jenis lain
Figure 21 Rekomendasi penanda produk hiu
VIII. Peta Jalan (Road Map) Sistem Ketelusuran Produk Hiu
Dan Pari di Indonesia
Dasar Hukum
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3274);
2. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5073);
3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Perencanaan Pembangunan Jangka Panjang
Tahun 2005 sampai 2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4866); 8. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan
dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 141); 9.
5. Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa
(Lampiran diubah dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.
P.92/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi
6. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi
Secara Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 90, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6215);
7. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian
Negara Serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara Republik
Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 92
Tahun 2011 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 142); 11. Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.15/MEN/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kelautan dan Perikanan;
8. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 61/PERMEN-KP/2018
tentang Pemanfaatan Jenis Ikan Yang Dilindungi Dan/Atau Jenis Ikan Yang Tercantum Dalam
Appendiks Convention On International Trade In Endangered Species Of Wild Fauna And Flora
9. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.18/Men/2010 tentang Log Book
Penangkapan Ikan
10. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12/Men/2012 tentang Usaha Perikanan
Tangkap di Laut Lepas
11. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1/PERMEN-KP/2013 tentang Pemantau Kapal
Penangkap Ikan dan Kapal Pengangkut Ikan
12. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 26/PERMEN-KP/2013 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Nomor PER.30/MEN/2012 tentang Usaha
Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia
13. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18/KEPMEN-KP/2013 tentang Penetapan
Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus (Rhincodon typus)
14. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 4/KEPMEN-KP/2014 tentang Penetapan
Status Perlindungan Penuh Ikan Pari Manta
Identifikasi Permasalahan
Kategor
i
Isu dan permasalahan Status pelaksanaan Rekomendasi
Arm
ad
a T
an
gkap
• Armada kapal yang menangkap hiu
berukuran 5GT hingga > 60GT).
• Kapal berukuran 5GT atau lebih
kecil dari tidak memiliki kewajiban
untuk memiliki SIUP, SIPI dan SIKPI.
Registrasi kapal hanya berupa surat
ijin kepemilikan kapal yaitu "pas
kecil"
Hiu tertangkap atau ditangkap di perairan
pesisir dengan armada berukuran < 60GT
dan di laut lepas dengan armada berukuran >
60GT.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI
Nomor 30/Men/2012 Tentang Usaha
Perikanan Tangkap di WPP RI Pasal 12
(1) Kewajiban memiliki SIUP sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a
dikecualikan bagi:
a. nelayan kecil; dan
b. Pemerintah, pemerintah daerah, atau
perguruan tinggi untuk
kepentingan pelatihan dan
penelitian/eksplorasi perikanan.
(2) Kewajiban memiliki SIPI dan SIKPI
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat
(2) huruf b dan huruf c, dikecualikan bagi
nelayan kecil dan kewajiban tersebut diganti
dengan Bukti Pencatatan Kapal.
Pengefektifan
registrasi kapal
ukuran ≤ 5GT
Kapal penangkap hiu ukuran > 5GT
ada yang memiliki ijin dan tidak
memiliki ijin
Kapal berukuran > 5GT wajib memiliki SIUP,
SIPI dan SIKPI.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI
Nomor 30/Men/2012 Tentang Usaha
Perikanan Tangkap Di WPP RI
Pasal 86
(1) Dokumen yang ada di atas kapal
penangkap ikan dan/atau kapal
pengangkut ikan terdiri atas:
a. SIPI/SIKPI asli;
b. Surat Laik Operasi (SLO) asli; dan
c. Surat Persetujuan Berlayar (SPB) asli
Pengefektifan
registrasi kapal
ukuran > 5GT
Alat tangkap tidak selektif dan multi
alat tangkap
Sekitar 70% hiu yang didaratkan merupakan
hasil tangkapan sampingan (bycatch).
Beberapa jenis alat tangkap yang memiliki
potensi tinggi tertangkapnya hiu yaitu: (1)
Trawl dan modifikasi trawl; (2) Jaring insang;
(3) Pancing rawai (longline, tuna longline,
rawai dasar, rawai hanyut); (4) Pukat cincin
(purse seine)
Pengefektifan
penegakan aturan
tentang
pelarangan alat
tangkap yang tidak
ramah lingkungan
Lo
kasi
Pen
an
g
kap
an Lokasi ditangkap atau tertangkap nya
hiu sebagian di open seas, terutama
kapal berukuran > 60 GT
Penangkapan ikan di laut lepas menganut
prinsip kebebasan sehingga tidak ada
kewajiban atau pemeriksaan dokumen dan
pencatatan aktivitas penangkapan ikan di laut
lepas (open sea).
Pen
dara
tan
Tidak semua hiu didaratkan di
pelabuhan wilayah penangkapan
(fishing ground) nya.
• Pencatatan Sertifikat Hasil Tangkapan Ikan
(SHTI) ada tetapi belum efektif.
• Perbedaaan lokasi pendaratan dan wilayah penangkapan menjadikan ketelusuran lebih
kompleks.
• Pencatatan di pelabuhan belum tentu
mencatat asal wilayah ikan tersebut
ditangkap. Hal ini akan berpengaruh pada
penggunaan kuota pendaratan per Propinsi
Diperlukan format
formulir verifikasi
yang sama antar
wilayah dan
sistem input data base yang online
dan terpusat
Pencatatan pendaratan ikan tidak
terhubung dengan informasi wilayah
penangkapan hiu. Hal ini akan
berpengaruh pada penggunaan kuota
pendaratan hiu per Propinsi
Pencatatan memiliki format yang berbeda dan
tidak terhubung dengan informasi wilayah
penangkapan (fishing ground) sehingga
pencatatan hanya menghitung jumlah hiu yang
didaratkan di Propinsi tersebut. Hal ini pada
akhirnya akan berpengaruh pada penggunaan
kuota pendaratan hiu per Propinsi yang telah
ditetapkan pemerintah.
Perbedaaan lembaga pengelola pelabuhan
perikanan misalnya PPS (Pelabuhan Perikanan
Samudera) dan PPN (Pelabuhan Perikanan
Nusantara) oleh pemerintah pusat, PPP
(Pelabuhan Perikanan Pantai) dan PPI
(Pangkalan Pendaratan Ikan) membuat
pencatatan memiliki format dan tingkat
kualitas data yang berbeda.
Pencatatan
mencakup detail
asal usul atau dari
wilayah mana hiu
tertangkap/
ditangkap
Diperlukan format
formulir verifikasi
yang sama antar
wilayah dan
sistem input data base yang online
dan terpusat.
Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP)
yang luas untuk cakupan wilayah kerja
BPSPL
Terdapat kegiatan verifikasi hiu yang
didaratkan, namun pelaksanaan pengawasan
lalu lintas perdagangan jenis ikan yang
dilindungi belum efektif, salah satu nya adalah
tidak ada nya BPSPL di semua WPP, sehingga
pengawasan lalu lintas perdagangan jenis ikan
yang dilindungi tidak langsung dilakukan oleh
BPSPL namun dibantu oleh PSDKP, Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten/ Propinsi
setempat
Sertifikasi
kualifikasi SDM
yang akan
membantu BPSPL
dalam pengawasan
lalu lintas
perdagangan jenis
ikan yang
dilindungi
Pencatatan pendaratan ikan tidak
sepenuhnya dijalankan
Masih ada kelemahan dalam hal pencatatan di
lokasi pendaratan. Selain sistem pendataan
hiu (logbook) yang didaratkan di pelabuhan-
pelabuhan perikanan di Indonesia yang belum
akurat, masih terdapat kelemahan pada
jumlah sumberdaya manusia pencatat.
Kemampuan petugas enumerator untuk
mengidentifikasi berbagai tangkapan hiu
(termasuk sirip hasil tangkapan shark finning)
mutlak diperlukan
Diperlukan SDM
dan sistem
database yang
mudah untuk
menginput dan
menyimpan data
pendaratan ikan
Peningkatan
kapasitas
enumerator
dalam mengidentifikasi
jenis hiu
Terdapat hiu yang didaratkan tidak
utuh, sehingga kesulitan untuk
diidentifikasi
Praktik ini cenderung membiaskan jumlah
tangkapan hiu sebenarnya yang terjadi.
Praktik ini dapat dikategorikan sebagai ilegal
dan unreported fishing.
Kewajiban
mendaratkan hiu
secara utuh
Banyak hiu yang memiliki nama lokal
yang sama walaupun dari spesies yang
berbeda. Contoh: hiu lanjaman untuk
semua spesies dari genus
Charchahinus dan hiu martil untuk
semua jenis Spyrna. Sedangkan dalam
CITES pengaturan ketelusuran
komoditas dilakukan per spesies
Kemampuan petugas enumerator untuk
mengidentifikasi berbagai tangkapan hiu
(termasuk sirip hasil tangkapan shark finning)
mutlak diperlukan
Peningkatan
kapasitas
enumerator
dalam
mengidentifikasi
jenis hiu
Pen
go
lah
an
Dalam pengolahan produk hiu, bahan
baku daging atau bagian tubuh hiu
lainnya dicampur tanpa membedakan
species
Pengolahan produk hiu tidak memisahkan per
spesies hiu
Dari proses
pendaratan,
distribusi ke
pengolahan
sampai ke proses
pengolahan harus
dipisah per
spesies.
Tidak semua Sentra pengolahan atau
Unit Pengolahan Ikan (UPI) memiliki
nomer registrasi atau terdaftar.
UPI berskala indutri rumah tangga sehingga
kesulitan dalam memenuhi kriteria HACCP
Sentra pengolahan
didorong untuk
menjadi UPI
Sentra pengolahan tidak mensyaratkan
surat keterangan asal barang dari
distributor, pelabuhan pendaratan
atau tempat pelelangan ikan.
Surat asal barang tidak menjadi persyaratan
oleh industri pengolahan saat penerimaan
bahan baku
Surat asal usul
barang dijadikan
syarat saat
penerimaan bahan
baku
Dalam penyimpanan stok bahan baku
hiu di gudang, hiu dicampur, tidak
dipisahkan perjenis maupun waktu
datang nya bahan bau tersebut.
Pemisahan biasanya dilakukan berdasarkan
jenis bahan baku dan teknik penyimpanan,
misalnya daging disimpan secara beku, sirip
disimpan secara kering
Penyimpanan
barang (hiu)
dikemas agar
informasi asal usul
bahan baku tidak
hilang
Tidak ada atau tidak lengkap nya
pencatatan lalu lintas barang keluar
Pencatatan barang keluar masuk tidak spesifik
mencatat informasi jenis hiu dari setiap
produk olahan. Sejak proses pengolahan
tidak ada pembedaan spesies hiu, bahkan hiu
dicampur sehingga informasi jenis spesies dan
asal barang ataupun kemungkina besar sudah
tidak ada lagi
Penyimpanan (hiu)
dikemas agar
informasi asal usul
bahan baku tidak
hilang
Dis
trib
usi
Tidak memiliki surat keterangan asal
usul (SHTI) dan surat jalan (surat
angkut) termasuk informasi tujuan
pengiriman barang
• Surat keterangan asal usul tidak menjadi
persyaratan pasar.
• Tidak ada surat angkut barang dari penjual
ke pembeli.
• Pencampuran spesies dalam proses
pengolahan sudah tidak memungkinkan lagi
adanya pemisahan spesies untuk tujuan
ketelusuran
Sosialisasi spesies
ikan yang
dilindungi yang
sering
diperdagangkan
kepada penegak
hukum dan Dinas
Perhubungan
Lalu lintas barang melalui transportasi
darat sulit terverifikasi
Lalu lintas barang melalui darat sulit
terverifikasi karena tidak ada pemeriksaan
khusus di perbatasan antar Propinsi
Rantai distribusi yang panjang
membuat pencatatan ketelusuran
barang tidak tercatat dengan baik atau
menyulitkan pencatatan
Rantai distribusi yang panjang di mulai setelah
pendaratan ikan hingga distribusi ke
konsumen membuat keakuratan pencatatan
menurun bahkan kemungkinan besar dari
proses tersebut tidak dilakukan lagi kontrol
pencatatan asal usul bahan baku.
Diperlukan
teknologi
informasi input
data yang terpusat
dan terhubung.
Informasi yang
diperlukan
mencakup asal
usul bahan baku,
produk olahan,
siapa industri
pengolahan nya,
informasi waktu
kapan produk
diproduksi dan
tujuan distribusi
produk Beragam nya asal dan jenis bahan baku
membuat pencatatan di pengumpul
kompleks, lemah atau tidak ada
pencatatan sama sekali
Rantai distribusi yang panjang dan beragam
nya asal, jenis bahan baku dan perbedaan
waktu bahan baku diterima pengumpul
membuat pencatatan di pengumpul
kompleks, bahkan tidak ada pencatatan sama
sekali.
Memperpendek
rantai distribusi
dapat membantu
ketelusuran,
mereduksi biaya
dan menjaga
kualitas produk
Kemasan produk olahan belum
terstandarisasi
Kemasan produk olahan belum
terstandarisasi sehingga tercampur dengan
produk olahan lainnya, khususnya produk
yang memiliki metode distribusi yang sama
Membuat dan
mengefektifkan
penggunaan
kemasan yang
terstandar dan
memuat informasi
asal usul bahan
baku. L
alu
lin
tas
dala
m
negeri
Pencatatan distribusi antar propinsi
tidak sepenuh nya dilakukan karena
representasi UPT tidak ada di seluruh
Propinsi. BPSPL saat ini ada di
Propinsi Sumatera Barat, Riau
Kepulauan, Banten, Bali, Kalimantan
Barat, Sulawesi Selatan
Daerah yang belum ada BPSPL atau bukan
Wilayah Kerja BPSPL, maka pengawasan
perdagangan jenis yang dilindungi dibantu
oleh PSDKP atau Dinas Kelautan dan
Perikanan setempat. Sumberdaya Manusia
yang membantu tersebut haruslah
berkompeten yang dibuktikan dengan
sertifikat. Minimal di tiap Pendaratan memiliki
satu orang yang kompeten untuk
memverifikasi dokumen SHTI
Harus disertai
dokumen
karantina/sertifikat
sanitasi produk
hewan.
Ikan tidak didaratkan di pelabuhan,
bahkan beberapa langsung diserahkan
ke pengumpul
Tidka ada proses pencatatan Pengefektifan
aturan kewajiban
pendaratan ikan di
pelabuhan dan
pencatatan
pendaratan ikan
Lalu
lin
tas
luar
negeri
Harmonized System code (kode HS)
Produk hiu tidak spesifik berdasarkan
spesies
Kode HS hanya berdasarkan jenis produk.
Misal nya sirip hiu memiliki kode
0305.71.00.00
Pintu ekspor banyak dan illegal Ekspor dilakukan melalui transhipment di laut, jalur darat
Pengefektifan
pengawasan
transhipment
Alur perijinan ekspor belum
tersosialisasi dengan baik sehingga
banyak ekportir yang tidak
mengetahui alur perijinan eksport
dengan baik
Perijinan eksport oleh pihak ketiga Sosialisasi
prosedur ekspor
hiu
Koordinasi dengan KLHK sebagai MA
CITES yang mengeluarkan Ijin ekspor
dengan KKP yang mengelola tahapan
mulai dari penangkapan hingga
compliance untuk mendapatkan ijin
export
Koordinasi untuk menerapkan persyaratan
ijin ekspor yang akan dikeluarkan oleh KKHL
Meningkatkan
koordinasi
Kuota ekspor untuk spesies hiu
Appendix II CITES masih nol (dilarang
ekspor) dan untuk jenis lainnya belum
ada
Hiu Appendix II CITES yang dilarang untuk
diekspor yaitu hiu koboi, hiu martil
Pembuatan NDF
dan pengaturan
kuota ekspor dan
kuota penjualan
dalam negeri
Informasi pemeriksaaan barang Belum ada penanda barang yang menyatakan bahwa barang tersebut sudah terverifikasi
Mekanisme secara visual untuk
menerangkan
bahwa produk
olahan tersebut
telah diverifikasi
oleh otoritas RI
Traceability tidak disyaratkan oleh
pasar luar negeri
Perdagangan hiu merupakan perdebatan di
dunia secara global, meskipun CITES telah
mengatur perdagangan global nya, namun
ketidak telusuran spesies hiu dan asal usul
nya yang menjadi masalah untuk menjamin
kelestarian populasi hiu di alam
Edukasi konsumen
dan pasar
Data
Format pencatatan pendaratan ikan
yang berbeda-beda
Masih ada kelemahan dalam hal pencatatan di
lokasi pendaratan. Selain sistem pendataan
hiu (logbook) yang didaratkan di pelabuhan-
pelabuhan perikanan di Indonesia yang belum
akurat, terdapat kelemahan pada jumlah
sumberdaya manusia pencatat.
Kemampuan petugas enumerator untuk
mengidentifikasi berbagai tangkapan hiu
(termasuk sirip hasil tangkapan shark finning)
mutlak diperlukan
Data ini dapat
menjadi
pertimbangan
untuk pengaturan
lokasi
penangkapan,
pengaturan jenis
alat tangkap, dan
musim
penangkapan
dianjurkan.
Lebih lanjut, data
yang ada dapat
digunakan untuk
penelitian lebih
lanjut tentang
wilayah kawin
(mating area),
wilayah
pembesaran
anakan (nursery
ground) dan
pelepasan anakan.
Desain Alur Ketelusuran Perdagangan Produk Hiu dan Pari
Peta Jalan Ketertelusuran Produk Hiu dan Pari 2020-2024
Pendekatan Langkah
Operasional
Unit Kerja
Terkait Tata Waktu Pelaksanaan
Lokasi
Kegiatan
Anggaran
(RP)
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 Tahun 4 Tahun 5
Peraturan
Perundangan
Surat Dirjen
PRL kepada
Kepala BKIPM,
BPSPL, PSDKP
tentang
penerapan
Permen-KP
61/2018 dan
perangkat
turunan nya
(Juknis
stracability,
SOP
pemberian
surat
rekomendasi)
BPSPL
Dit KKHL
Dirjen PRL
Semester 1
Surat Menteri
KP kepada
Kemdag,
Kemenkeu
tentang
penerapan
Permen-KP
61/2018
Dit KKHL
Dirjen PRL
Menteri
KKP
Kementerian
Perdagangan
&
Kementerian
Keuangan
Semester 1
Pendekatan Langkah
Operasional
Unit Kerja
Terkait Tata Waktu Pelaksanaan
Lokasi
Kegiatan
Anggaran
(RP)
Surat dari
Dirjen PRL
untuk
kesamaan
format
rekomendasi
perdagangan
BPSPL
Minimal
keputusan
Dirjen untuk
Juknis
Traceability
hiu dan pari
Dit KKHL
Dirjen PRL
Semeter1
Legalitas
Kelembagaan
dan
Implementasi
Peraturan
Perundangan
dalam
Ketelusuran
Surat notifikasi
MA CITES dari
KKP ke
Sekretariat
CITES
(tembusan ke
Kemlu, KLHK,
Kemendag dan
Bea Cukai)
Dit KKHL
Dirjen PRL
Menteri
KKP
Kementerian
Luar Negeri,
KLHK
CITES
Sekretariat,
Kementerian
perdagangan,
Bea Cukai
Semeter1
Kuota Tangkap
Pendekatan Langkah
Operasional
Unit Kerja
Terkait Tata Waktu Pelaksanaan
Lokasi
Kegiatan
Anggaran
(RP)
Formulasi dan
Legalisasi Kuota
Tangkap dan
Ekspor
Usulan kuota
penangkapan
per provinsi
untuk
perdagangan
hiu lanjaman
dari UPT ke
Dit. KKHL
(format
seragam)
BPSPL
Dit KKHL
P2B LIPI
Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Setiap UPT BPSPL
KKHL Jakarta
Usulan kuota
penangkapan
dari Dirjen
PRL ke LIPI
cq. Kepala P2B
BPSPL
Dit KKHL
P2B LIPI
Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 KKP Jakarta
P2B LIPI
Cibinong
Penetapan
kuota
penangkapan
setiap provinsi
oleh Dirjen
PRL
BPSPL
Dit KKHL
Dirjen PRL
Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 KKP Jakarta
Penyampaian
kuota
penangkapan
dari Dirjen
PRL kepada
Kepala UPT
BPSPL
Dit KKHL
Dirjen PRL
Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 KKP Jakarta
Pendekatan Langkah
Operasional
Unit Kerja
Terkait Tata Waktu Pelaksanaan
Lokasi
Kegiatan
Anggaran
(RP)
Penetapan
formulasi
pembagian
kuota
penangkapan
dari Kepala
UPT ke
pemilik SIPJI
Perdagangan
DN
BPSPL
Dit KKHL
Dirjen PRL
Pengusaha
Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Di Setiap
UPT
BPSPL dan
Wilayah
kerjanya
Penetapan
kuota
penangkapan
dari Kepala
UPT ke
pemilik SIPJI
Perdagangan
DN
BPSPL
Pengusaha
pemegang
SIPJI
Perdagangan
DN
Semester 2 Semester 1 Semester 1 Semester 1 Semester 1 Di Setiap
UPT
BPSPL dan
Wilayah
kerjanya
Kuota
Ekspor
Penetapan
kuota ekspor
tahunan
dengan
menyertakan
detail
informasi
BPSPL
Dit KKHL
Dirjen PRL
P2B LIPI
Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 KKP
Jakarta
P2B LIPI
Cibinong
Pendekatan Langkah
Operasional
Unit Kerja
Terkait Tata Waktu Pelaksanaan
Lokasi
Kegiatan
Anggaran
(RP)
perhitungan
untuk
1. Sirip
2. Daging
3. Tulang
dan organ
tubuh
lainnya
Penetapan
formulasi
pembagian
kuota ekspor
kepada pemilik
SIPJI
Perdagangan
LN
BPSPL
Dit KKHL
Dirjen PRL
P2B LIPI
Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 KKP
Jakarta
P2B LIPI
Cibinong
Penetapan
kuota ekspor
kepada pemilik
SIPJI
Perdagangan
LN
BPSPL
Dit KKHL
Dirjen PRL
Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 Semester 2 KKP
Jakarta
Di setiap
UPT
Penetapan HPI
dan PNBP
Pemanfaatan
Jenis Ikan di
Lindungi dana
Usulan PNBP
pemanfaatan
Jenis Ikan
untuk merevisi
PP 75/ 2015
tentang PNBP
di KKP oleh
Dit KKHL
Dirjen PRL
Kementerian
Keuangan
Semester 1 & 2 Semester 1
Pendekatan Langkah
Operasional
Unit Kerja
Terkait Tata Waktu Pelaksanaan
Lokasi
Kegiatan
Anggaran
(RP)
tau Appendix
CITES
Ditjen PRL
kepada
Kementerian
Keuangan
Proses Revisi
PP75/ 2015
Dit KKHL
Dirjen PRL
Biro hukum
KKP
Kementerian
Keuangan
Semester 1 & 2 Semester 1 & 2 Semester 1 & 2
Usulan Harga
Patokan Ikan
oleh Ditjen
PRL kepada
Kementerian
Perdagangan
Dit KKHL
Dirjen PRL
Kementerian
Perdagangan
Semester 1 &
2
Peningkatan
Kapasitas
(BIMTEK dan
Sosialisasi)
Bimbingan
teknis
identifikasi hiu
dan pari
terutama
spesies CITES
Appendix
Puslatluh
KKP
KKHL
BPSPL
BKIPM
Bea Cukai
Semester 1 Semester 1 Semester 1 Semester 1 Semester 1
Pendekatan Langkah
Operasional
Unit Kerja
Terkait Tata Waktu Pelaksanaan
Lokasi
Kegiatan
Anggaran
(RP)
Bimbingan
Teknis OSS,
Pendampingan
Perijinan dan
Penerbitan
SIPJI, SAJI DN
dan SAJI LN
oleh Ditjen
PRL kepada
UPT BPSPL
Dit KKHL
Dirjen PRL
BPSPL
Semester 1 Semester 1 Semester 1 Semester 1 Semester 1
Sosialisai dan
Pendampingan
Perizinan dari
BPSPL kepada
pengusaha
Dit KKHL
Dirjen PRL
BPSPL
Semester 1 Semester 1 Semester 1 Semester 1 Semester 1
Pelayan
Administrasi
Penerbitan Ijin
Pelayanan
penerbitan
surat angkut
DN
Dit KKHL Semester 1 & 2 Semester 1 & 2 Semester 1 & 2 Semester 1 & 2 Semester 1 & 2
Pelayanan
penerbitan
surat angkut
LN
Dirjen PRL Semester 1 & 2 Semester 1 & 2 Semester 1 & 2 Semester 1 & 2 Semester 1 & 2
Surat dari
Direktur
KKHL kepada
Kepala UPT
B/LPSPL
BPSPL
Pendekatan Langkah
Operasional
Unit Kerja
Terkait Tata Waktu Pelaksanaan
Lokasi
Kegiatan
Anggaran
(RP)
terkait
permintaan
data lalu lintas
produk hiu per
pelaku usaha
per provinsi
Surat dari
Direktur
KKHL kepada
Kepala UPT
B/LPSPL
terkait
permintaan
untuk
melakukan
pemeriksaan
stok gudang
pelaku usaha
Dit KKHL
Dirjen PRL
BPSPL
Catatan:
Rencana penerapan Permen-KP 61/2018:
• 2019 akan diterapakan pada C. falciformis dan Alopias sp.
• 2020 akan diterapakan C. falciformis , kuda laut, napoleon, Sphyrna sp., sidat, kima, BCF dan Alopias sp.
• 2021 akan diterapakan C. falciformis , kuda laut, napoleon, Sphyrna sp.,sidat, kima, BCF, Alopias sp., teripang, Rhincobatus sp., kepiting bakau,
lobster, rajungan, lola,
Daftar Pustaka FAO, 2017. The Food Traceability Guidanace. Santiago. Acessed at
http://www.fao.org/3/i7665en/I7665EN.pdf
ISO, 2015. ISO 9001 2015. 8.5.2 Indentification and traceability
Knuckey, Ian & Ciconte & Koopman, Matt & Hudson & Rogers, Paul. (2014). Trials of Longlines to
Target Gummy Shark in SESSF Waters off South Australia.
Lehr, H. 2015. Traceability study in shark products. Report commissioned by the CITES Secretariat.
Acessed at ttps://cites.org/sites/default/files/eng/prog/shark/docs/BodyofInf11.pdf
Mundy, V. and Sant, G. (2015). Traceability systems in the CITES context: A review of experiences,
best practices and lessons learned for the traceability of commodities of CITESlisted shark species.
TRAFFIC report for the CITES Secretariat.
LAMPIRAN 1. FORM PENGISIAN DATA PENANGKAPAN HIU DILINDUNGI APPENDIKS CITES.
FORMAT A1 PENGISIAN DATA PENANGKAPAN HIU DILINDUNGI DAN APPENDIKS
No Kode Tanggal
penangkapan Nama Kapal
Lokasi
penangkapan
(WPP)
Jenis hiu Jumlah
(Ekor)
Tanggal
pendaratan Lokasi pendaratan
LAMPIRAN 2. FORM PENGISIAN DATA PENGOLAHAN HIU DILINDUNGI APPENDIKS CITES
FORMAT A2 PENGISIAN DATA PENGOLAHAN HIU DILINDUNGI DAN APPENDIKS
No No
Batch
Kuantitas
(kg)
Nama
jenis hiu
Nama
produk
Asal
produk
Kategori
pengolahan
Lama
penyimpanan
(hari)
Lokasi
penyimpanan
(kota)
Tujuan
pengiriman
(kota)
Metode
pengiriman
LAMPIRAN 3. FORM PENGISIAN DATA PENGIRIMAN DALAM NEGERI HIU DILINDUNGI APPENDIKS
FORMAT B1 : PENGISIAN DATA PENGIRIMAN DALAM NEGERI HIU DILINDUNGI DAN APPENDIKS
No
Batch
Kuantitas
(kg)
Nama
perusahan
Nama
produk
Asal
produk
Kategori
pengolahan
Lama
penyimpanan
(hari)
Lokasi
penyimpanan
Ikota)
Tujuan
pengiriman
(kota)
Metode
pengiriman
Lampiran 4. Form pengisian data pengiriman luar negeri hiu dilindungi appendiks
FORMAT B2 : PENGISIAN DATA PENGIRIMAN LUAR NEGERI HIU DILINDUNGI DAN APPENDIKS
No Batch
lama
No Batch
baru
Kuantitas
(kg)
Nama
perusahan
Nama
produk
Asal
produk
Kategori
pengolahan
Lama
penyimpanan
(hari)
Lokasi
penyimpanan
(kota)
Negara
tujuan
Metode
pengiriman