Kajian Penggunaan Ruang Pada Upacara Akad Nikah Bekasi 2

15
ANALISIS PENGGUNAAN RUANG PADA UPACARA AKAD NIKAH DI BEKASI Waridah Muthi’ah NIM. 27110047 TUGAS 1 DESAIN DAN LINGKUNGAN BINAAN 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Dalam konsep budaya tradisional, pernikahan selalu dipandang sebagai salah satu tahap yang penting dalam kehidupan seseorang. Pernikahan tidak hanya dipandang dalam perspektif penyatuan dua manusia sejalan dengan fungsi biologis dan reproduksi. Dalam ranah kultural, pernikahan dihubungkan dengan pembentukan keluarga sebagai unsur terkecil pembentuk masyarakat, penyatuan dua keluarga, hingga dikaitkan dengan fungsi yang memiliki latar belakang kosmis. Dalam pernikahan, terdapat satu tahapan yang dipandang sebagai inti prosesi pernikahan itu sendiri, yakni akad nikah. Keberadaan akad nikah dalam upacara pernikahan tradisional di masa kini dapat dipandang sebagai upaya penggabungan tuntutan agama dengan tahap-tahap prosesi pernikahan sebelum dan sesudahnya yang lebih mencerminkan nilai dan makna kultural. Akan tetapi, dalam pelaksanaan akad nikah sendiri, nilai-nilai kultural yang dianut masyarakat juga memegang peran penting. Hal ini terlihat utamanya pada tradisi pembagian ruang dan susunan acara dalam prosesi akad nikah yang berbeda-beda pada tiap daerah. Di daerah Bekasi yang secara tradisional mewarisi tradisi Betawi yang kental dengan pengaruh Arab dan Cina, prosesi akad nikah tidak hanya menjadi acara pengesahan perkawinan secara agama. Dengan populasi yang mayoritas menganut agama Islam, upacara akad nikah tradisional Bekasi memenuhi syariat Islam. Akan tetapi, bukan berarti prosesi akad nikah sama sekali bebas dari nilai-nilai kultural. Nilai ini tampak antara lain dalam susunan prosesi menuju dan setelah akad nikah, pembagian ruang antara keluarga mempelai perempuan dan mempelai laki-laki, serta kelengkapan-kelengkapan lain seperti mas kawin dan busana. Pembagian ruang dalam prosesi akad nikah tradisional Bekasi memiliki keunikan tersendiri, akan tetapi pembahasan mengenai hal ini jarang didapatkan. Dengan demikian, perlu dilakukan kajian tersendiri mengenai hal tersebut dengan menimbang latar belakang kebudayaan dan nilai yang dianut oleh masyarakat setempat. 1.2. FOKUS KAJIAN Makalah ini akan mengkaji prosesi akad nikah di salah satu daerah sub-etnis budaya Betawi, yakni Bekasi, dengan difokuskan pada analisis mengenai penggunaan ruang dan keterkaitannya dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Bekasi, dihubungkan dengan konsep primordial pada masyarakat tradisional.

Transcript of Kajian Penggunaan Ruang Pada Upacara Akad Nikah Bekasi 2

Page 1: Kajian Penggunaan Ruang Pada Upacara Akad Nikah Bekasi 2

ANALISIS PENGGUNAAN RUANG PADA UPACARA AKAD NIKAH DI BEKASI

Waridah Muthi’ah NIM. 27110047

TUGAS 1 DESAIN DAN LINGKUNGAN BINAAN

1. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Dalam konsep budaya tradisional, pernikahan selalu dipandang sebagai salah satu tahap yang

penting dalam kehidupan seseorang. Pernikahan tidak hanya dipandang dalam perspektif

penyatuan dua manusia sejalan dengan fungsi biologis dan reproduksi. Dalam ranah kultural,

pernikahan dihubungkan dengan pembentukan keluarga sebagai unsur terkecil pembentuk

masyarakat, penyatuan dua keluarga, hingga dikaitkan dengan fungsi yang memiliki latar belakang

kosmis.

Dalam pernikahan, terdapat satu tahapan yang dipandang sebagai inti prosesi pernikahan itu

sendiri, yakni akad nikah. Keberadaan akad nikah dalam upacara pernikahan tradisional di masa

kini dapat dipandang sebagai upaya penggabungan tuntutan agama dengan tahap-tahap prosesi

pernikahan sebelum dan sesudahnya yang lebih mencerminkan nilai dan makna kultural. Akan

tetapi, dalam pelaksanaan akad nikah sendiri, nilai-nilai kultural yang dianut masyarakat juga

memegang peran penting. Hal ini terlihat utamanya pada tradisi pembagian ruang dan susunan

acara dalam prosesi akad nikah yang berbeda-beda pada tiap daerah.

Di daerah Bekasi yang secara tradisional mewarisi tradisi Betawi yang kental dengan pengaruh

Arab dan Cina, prosesi akad nikah tidak hanya menjadi acara pengesahan perkawinan secara

agama. Dengan populasi yang mayoritas menganut agama Islam, upacara akad nikah tradisional

Bekasi memenuhi syariat Islam. Akan tetapi, bukan berarti prosesi akad nikah sama sekali bebas

dari nilai-nilai kultural. Nilai ini tampak antara lain dalam susunan prosesi menuju dan setelah akad

nikah, pembagian ruang antara keluarga mempelai perempuan dan mempelai laki-laki, serta

kelengkapan-kelengkapan lain seperti mas kawin dan busana.

Pembagian ruang dalam prosesi akad nikah tradisional Bekasi memiliki keunikan tersendiri, akan

tetapi pembahasan mengenai hal ini jarang didapatkan. Dengan demikian, perlu dilakukan kajian

tersendiri mengenai hal tersebut dengan menimbang latar belakang kebudayaan dan nilai yang

dianut oleh masyarakat setempat.

1.2. FOKUS KAJIAN

Makalah ini akan mengkaji prosesi akad nikah di salah satu daerah sub-etnis budaya Betawi, yakni

Bekasi, dengan difokuskan pada analisis mengenai penggunaan ruang dan keterkaitannya dengan

nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Bekasi, dihubungkan dengan konsep primordial pada

masyarakat tradisional.

Page 2: Kajian Penggunaan Ruang Pada Upacara Akad Nikah Bekasi 2

Dengan menimbang latar belakang di atas, muncul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah latar belakang sub-etnik Bekasi?

b. Bagaimanakan prosesi akad nikah dalam tradisi Bekasi dan unsur yang mempengaruhinya?

c. Bagaimanakah pembagian ruang dalam upacara akad nikah?

d. Bagaimana hal tersebut merepresentasikan nilai yang dianut oleh masyarakat dikaitkan

dengan konsep primordial?

2. KAJIAN PROSESI PERNIKAHAN TRADISIONAL DALAM SUB-ETNIK BEKASI

2.1. SUB-ETNIK BEKASI

Sub-etnik Bekasi merujuk pada masyarakat penghuni wilayah Bekasi dengan latar belakang kultur Betawi. Adapun suku Betawi, menurut www.kampungbetawi.com, adalah sebutan bagi suku bangsa yang mendiami Jakarta dan sekitarnya. Penyebutan sub-etnik Bekasi dilakukan untuk membedakan kebudayaan Bekasi dengan kebudayaan sub-etnik Betawi yang lain. Perbedaan ini muncul dari segi kultural, yakni latar belakang masyarakat Bekasi yang juga mengalami percampuran dengan Jawa dan Sunda; dari segi kesejarahan, yakni perjalanan sejarah Bekasi mulai masa Neolitikum hingga era reformasi; dan dari segi administratif, yakni masuknya Bekasi sebagai wilayah Jawa Barat. Bekasi yang terletak di pinggiran Jakarta, dan masuk wilayah administratif Jawa Barat, membuat masyarakat Bekasi sering disebut sebagai Betawi-Ora, yang berarti pengusung kebudayaan Betawi tapi bukan-Betawi. Akan tetapi juga berbeda dengan wilayah lain di Jawa Barat, Bekasi juga bukan pengusung kebudayaan Sunda. Menurut Sagiman MD dalam Sopandi (2005:8), penduduk Betawi telah mendiami Jakarta dan sekitarnya sejak era Neolitikum, yakni sejak abad ke-15 SM. Bukti keberadaan mereka ditemukan di situs Buni, kecamatan Babelan, Bekasi. Pada masa berikutnya, Bekasi menjadi bagian dari kerajaan Salakanegara pada abad ke-2 M, yang bermula dari Dukuh Pulasari Pandeglang di pesisir barat ujung pulau Jawa. Kerajaan Salakanegara ini didirikan oleh perantau dari India Selatan, dan kemudian menjadi akar kerajaan Tarumanegara yang berkuasa hingga abad ke-7 atau ke-8. Keberadaan daerah sekitar Bekasi sebagai daerah pelabuhan yang penting tidak hanya ditunjukkan oleh Prasasti Tugu dan Ciaruteun, tetapi juga dari keberadaan kawasan candi di Karawang yang menunjukkan bahwa pada masa itu, Bekasi dan sekitarnya tak hanya menjadi pusat perdagangan dan pusat kerajaan, tetapi juga pusat keagamaan.

Menurut Jakob Sumardjo (2002:75), secara kasar terdapat tiga arus besar budaya Indonesia, yakni

budaya Jawa agraris-sawah yang bercorak kehinduan, budaya Melayu ladang-kelautan yang

keislaman, dan budaya Indonesia Timur ladang-peramu yang kekristenan. Berdasarkan kaitan

dengan arus kebudayaan ini dan cara pandang mengenai dunia yang bersifat kosmos, Sumardjo

(2002: 18-37) membagi pola pikir kosmik masyarakat Indonesia menjadi kesatuan dua, kesatuan

tiga, dan kesatuan lima/kesatuan sembilan.

Kesatuan dua adalah cara pandang masyarakat yang mendasarkan segalanya dalam kerangka

oposisi biner, yang biasanya terdapat pada masyarakat peramu, pemburu, dan pengumpul

makanan (food gathering). Prinsip kesatuan tiga terdapat pada masyarakat ladang yang lebih

kompleks, setengah produktif dan setengah konsumtif. Prinsip ini berpijak bahwa ada kekuatan

perantara yang berada di tengah diagram oposisi biner, yang merupakan hasil refleksi dan

personifikasi mereka akan kekuatan alam. Sedangkan prinsip kesatuan lima dianut oleh masyarakat

sawah yang produktif. Dalam masyarakat sawah yang mengutamakan etos kerja, hierarki ruang

Page 3: Kajian Penggunaan Ruang Pada Upacara Akad Nikah Bekasi 2

menjadi penting, sehingga memunculkan kesadaran mengenai posisi berdasarkan mata angin,

dengan keberadaan ‘pusat’ yang memiliki kekuasaan besar.

Masyarakat Bekasi yang pada masa awal termasuk dalam masyarakat Sunda yang berciri ladang-

kelautan, yang pada masa kerajaan Hindu Buddha mendapat pengaruh corak agraris. Integrasi

antara kedua hal tersebut dapat dilihat pada pembangunan candi di wilayah yang dekat pantai,

yakni Karawang, yang tidak bersesuaian dengan konsep candi sebagai representasi Meru, yakni

gunung yang menjadi pusat dunia. Pada perkembangan selanjutnya, konsep ini mengalami

pergeseran seiring dengan memudarnya kekuatan Hindu Buddha di wilayah ini dan kembalinya

tradisi bercorak Sunda di Bekasi. Hal ini dikuatkan oleh kedatangan bangsa Melayu yang juga

berciri ladang-kelautan, serta masyarakat Cina dan Arab yang merupakan perantau yang bersifat

bahari (kelautan). Pola kesatuan tiga yang semula dianut oleh masyarakat Sunda, termasuk Bekasi,

mendapat pengaruh pola kesatuan lima yang dianut di Jawa.

Setelah kerajaan Padjajaran lenyap oleh serangan kesultanan Banten, maka kesatuan-kesatuan

kampung asli Sunda yang tetap menganut paham kesatuan tiga, muncul kembali ke permukaan.

(Sumardjo, 2002: 36). Pola inilah yang kemudian lebih memasyarakat dalam kultur Bekasi.

Terutama dengan menimbang kaitan kultural dengan pedagang-pedagang asing sehubungan

dengan letak Bekasi di daerah pesisiran, Bekasi tidak mengenal konsep ‘pusat’ sebagaimana dianut

di kota-kota Islam dengan latar belakang Hindu-Buddha di Jawa. Masyarakat bekasi, sebagaimana

masyarakat Betawi, cenderung lebih bersifat egaliter dan bebas.

2.2. FUNGSI PERNIKAHAN DALAM KULTUR BEKASI

Dalam budaya tradisional, pernikahan merupakan salah satu tahap inisiasi dalam proses

pendewasaan seseorang. Melalui pernikahan, seseorang benar-benar dianggap sebagai manusia

yang mandiri, yang bergerak dari posisi yang semula sebagai subordinat dari sebuah unit

pembentuk masyarakat yang dinamakan keluarga, membentuk unit baru yang terlepas dari unit

keluarga asal. Dalam unit baru ini, seseorang bergerak menjadi subjek utama dengan predikat

sebagai kepala keluarga atau ayah dan kepala rumah tangga atau ibu. Keberadaan keluarga

menjadi penting dalam masyarakat tidak hanya dalam fungsi reproduktif, tetapi juga fungsi

pedagogis berkenaan dengan penanaman nilai-nilai kultural dalam pembentukan anak sebagai

anggota masyarakat.

Namun, pernikahan dan pembentukan keluarga baru tidak membuat ikatan seseorang dengan

keluarga asalnya putus begitu saja. Lewat pernikahan pula, dua keluarga yang berbeda menjalin

hubungan kekerabatan. Khususnya dalam masyarakat yang menganut sistem ambilineal, yang

memandang hubungan kekerabatan dari ayah dan ibu sama kuatnya, ikatan antarkeluarga ini

menjadi sangat penting.

2.3. PROSESI PERNIKAHAN TRADISIONAL BEKASI

Gaya pengantin tradisional Bekasi dikenal dengan sebutan Penganten Kembang Gede. Pada

dasarnya, gaya pengantin yang berkembang di Bekasi merupakan varian dari gaya pengantin

Betawi, yang diwarnai oleh tradisi Islam (Arab), Cina, dan Eropa. Namun, pada perkembangannya,

Page 4: Kajian Penggunaan Ruang Pada Upacara Akad Nikah Bekasi 2

di Bekasi sendiri bermunculan varian-varian dalam detail upacara pernikahan maupun gaya busana

pengantin tergantung pada kreativitas dan nilai yang dianut oleh masyarakat masing-masing

daerah di Bekasi. Namun, secara garis besar, ada dua kecenderungan jenis pengantin di Bekasi,

yakni Cara Haji dan Cara Abangan. Dua jenis pengantin inilah yang dijadikan model dalam

pembakuan pengantin adat Bekasi pada tahun 2007.

Kemunculan dua jenis pengantin Bekasi ini didasari oleh perbedaan latar belakang kebudayaan

yang mempengaruhi tata nilai di masyarakat. Keduanya dapat dibedakan dari prosesi upacara

pernikahan dan gaya busana, khususnya pada busana pengantin pria. Gaya Abangan kental dengan

unsur kepercayaan primordial pra-Islam yang dianut oleh masyarakat Bekasi asli, yang kemudian

menerima pengaruh Melayu. Gaya ini dapat ditemui pada daerah-daerah yang berada di bawah

pengaruh tuan-tuan tanah di zaman kekuasaan Belanda, seperti daerah Gabus dan Pebayuran.

Adapun gaya Cara Haji sangat dipengaruhi Arab, yang umumnya ditemui di daerah yang kental

dengan pengaruh Islam, khususnya di daerah pesantren yang banyak dihuni ulama keturunan Arab,

misalnya di daerah Ujung Harapan. Adapun untuk busana pengantin perempuan, tidak ditemukan

variasi yang mencolok pada kedua jenis gaya di atas, sehingga hanya dibakukan satu gaya. Gaya

busana pengantin perempuan dipengaruhi unsur budaya Cina dari bentuk hiasan kepala dan

busana, serta budaya Eropa dari pola rok dan penggunaan bahan satin. (HARPI Melati, 2007: 29-40)

Gambar 1.

Penganten Kembang Gede Cara Haji (kiri) dan Penganten Kembang Gede Abangan (kanan)

Pernikahan tradisional di daerah Bekasi merupakan satu kesatuan yang terdiri atas tahapan-

tahapan yang dimulai sejak masa pendekatan hingga prosesi pernikahan. Terdapat sedikit

Page 5: Kajian Penggunaan Ruang Pada Upacara Akad Nikah Bekasi 2

perbedaan pada detail prosesi pernikahan setiap daerah, namun secara garis besar, tahapan-

tahapan yang harus dilalui adalah:

a. Masa pendekatan (demenan)

b. Lamaran, yakni kedatangan rombongan perempuan dari keluarga calon mempelai laki-laki,

biasanya terdiri atas ibu-ibu dan nenek-nenek, untuk melamar calon mempelai

perempuan.

c. Ngebakal, yakni acara mempersiapkan kayu bakar untuk keperluan hajatan (kriaan) di

rumah calon pengantin perempuan. Penebangan pohon, yang disebut ngampakin kayu,

dilakukan oleh calon pengantin laki-laki beserta teman-temannya yang juga menjadi ajang

penilaian lingkup pergaulan sang calon menantu oleh keluarga pengantin perempuan.

d. Miara, yakni proses pemingitan calon pengantin perempuan selama seminggu sebelum

acara pernikahan. Pada Cara Abangan, pemingitan dilakukan oleh sesepuh atau dukun,

sementara pada Cara Haji, proses ini dilakukan oleh guru ngaji.

e. Bawa duit (ngebruk), yakni prosesi serah terima barang-barang yang telah disepakati

sebelumnya oleh kedua pihak pada saat lamaran. Acara ini biasanya dilangsungkan tiga

hari sebelum akad nikah.

f. Mangkat, yakni acara penjemputan pengantin dari rumah dukun atau guru ngaji.

g. Besanan, yakni acara pengantaran pengantin laki-laki kepada pihak pengantin perempuan,

yang diikuti seluruh keluarga laki-laki.

h. Akad nikah, yakni pembacaan ijab qabul oleh pengantin laki-laki di hadapan penghulu.

Acara ini disaksikan oleh keluarga dari kedua belah pihak yang duduk dalam formasi

melingkar, diikuti dengan pembacaan doa dan pengucapan janji pernikahan.

i. Arakan Penganten, yakni prosesi iring-iringan kedua pengantin beserta sanak saudara

mengelilingi kampung untuk memberitahukan pernikahan secara luas.

j. Macarin, prosesi menyandingkan kedua mempelai di kursi pelaminan.

k. Niga Hari, yakni acara pengenalan pengantin perempuan ke kerabat pengantin laki-laki

yang dilakukan tiga hari setelah pernikahan.

Lama proses tersebut, mulai dari lamaran hingga pasca-nikah, sangat tergantung pada kesiapan

dan kesepakatan kedua keluarga, tetapi umumnya bisa mencapai 3-4 bulan. Acara resepsi

pernikahan sendiri memakan waktu sehari penuh bagi kalangan kebanyakan. Pada zaman dahulu,

orang berada, khususnya para tuan tanah, biasa menunjukkan statusnya dengan

menyelenggarakan keriaan (hajatan, acara pesta menyambut pernikahan) selama seminggu

bahkan hingga sepuluh hari penuh.

Dalam tradisi Bekasi, prosesi utama pernikahan, yakni ngebruk, besanan, akad nikah, arakan

penganten, dan macarin tidak harus dilangsungkan pada hari yang sama. Ngebruk biasa

dilangsungkan tiga hari sebelum akad nikah. Pada acara ini, utusan dari pihak keluarga laki-laki

datang dengan membawa barang-barang bawaan yang diminta oleh pihak keluarga perempuan.

Namun, mempelai laki-laki dan orang tuanya sengaja tidak menghadiri acara ini, untuk

menghindari rasa malu atau terhina seandainya barang bawaan ini ditolak karena tidak sesuai

dengan kesepakatan sebelumnya.

Acara akad nikah tidak harus dilangsungkan pada hari yang sama dengan resepsi. Pada adat Cara

Haji, akad nikah biasa dilangsungkan pada malam hari sebelum pesta pernikahan, tepatnya ba’da

Page 6: Kajian Penggunaan Ruang Pada Upacara Akad Nikah Bekasi 2

magrib, sekitar pukul 18.30 atau 19.00. Acara akad nikah ini menjadi puncak dari acara yang

dilaksanakan sejak siang, ba’da dzuhur, sekitar pukul 13.00. Acara diawali dengan khataman

Qur’an oleh mempelai perempuan diikuti oleh pembacaan rawi, yang dihadiri oleh kaum hawa.

Khataman Qur’an menjadi penting untuk mengukur kemampuan mengaji mempelai perempuan,

sebagai tolak ukur dasar keagamaan, yang dianggap sebagai syarat mutlak bagi seseorang untuk

disebut ‘dewasa’. Prosesi yang sama juga ditunjukkan dalam prosesi inisiasi anak laki-laki, yakni

dalam upacara khitanan. Untuk kebutuhan itulah, selama seminggu pada saat pingitan, pengantin

perempuan dibimbing untuk mengaji dan mendalami ilmu agama, di samping melakukan tapa

dengan laku prihatin, yakni dengan berpuasa, berpantang makan makanan enak dan makanan

yang digoreng, hanya boleh makan makanan yang direbus, dan pantang memakai pakaian yang

bagus. Di samping itu, pengantin juga melakukan perawatan diri dengan rempah-rempah.

Menjelang akad nikah, rombongan dari pihak laki-laki datang dengan membawa barang bawaan,

beserta kue-kue khas Bekasi dan hasil bumi yang ditempatkan dalam tandu berhias yang disebut

sripuan. Pada acara ngebesan adat Cara Haji, rombongan diiringi dengan tabuhan rebana (hadroh)

dan nyanyian shalawat dari sekelompok remaja laki-laki. Kaum ibu dan para gadis menempati

banjar-banjar terdepan dalam barisan, diikuti oleh mempelai laki-laki, kaum bapak, dan kemudian

para pemuda. Mempelai laki-laki mengenakan busana Cara Haji, yakni gamis putih dengan sorban

dan igel (ikat kepala khas Arab). Sekitar 200 m dari rumah pengantin perempuan, rombongan

menyalakan petasan sambil terus membacakan shalawat. Mereka disambut oleh rombongan

penjemput dari keluarga pengantin perempuan yang berjejer membentuk lorong. Di muka rumah

mempelai perempuan, rombongan berhenti untuk bertukar salam dan sambutan dalam bahasa

Arab, sementara rombongan perempuan dari pihak laki-laki masuk ke dalam rumah.

Adapun dalam tradisi Abangan, acara ngebruk tidak dipisahkan dengan ngebesan dan akad nikah.

Acara ngebruk dihadiri oleh mempelai laki-laki, karena barang bawaan untuk mempelai perempuan

diikutsertakan dalam iring-iringan keluarga. Rombongan pembawa sripuan datang dengan diiringi

kelompok musik tanjidor atau ajeng, yakni kelompok pesilat bersenjatakan tongkat bambu.

Perbedaan lain dalam iring-iringan pengantin laki-laki adalah pada urutan barisan. Dalam tradisi

Abangan, mempelai laki-laki memimpin rombongan. Ia mengenakan baju tutup hitam yang disebut

baju Sadariya, kain kotak-kotak yang disebut kain gebeng, dan peci beludru hitam. Di belakang

mempelai laki-laki dan pendampingnya, terdapat barisan kaum ibu dan para gadis yang diiringi

barisan kaum bapak dan para pemuda. Di depan rumah mempelai perempuan, rombongan pihak

laki-laki dan perempuan mengutus seorang jawara alias pendekar silat yang saling beradu pantun

ejekan yang berujung pada tantangan untuk berkelahi. Perkelahian ini bersifat simbolis, yang

diwujudkan dalam pertandingan pencak silat antara kedua jawara guna memperebutkan dandang

yang dibawa oleh pihak mempelai laki-laki. Setelah dandang berhasil direbut, barulah rombongan

mempelai laki-laki diperbolehkan masuk untuk melangsungkan akad nikah.

Di Bekasi, setidaknya ada dua versi berebut dandang. Versi pertama berkembang di masyarakat

Buaran Bekasi. Dandang yang direbutkan adalah dandang yang ditutup kertas minyak. Kertas

minyak yang mudah robek ini melambangkan selaput dara, lambing kesucian sang gadis, sehingga

saat diperebutkan harus penuh kehati-hatian, tetapi tepat sasaran. Hal ini menegaskan bahwa

pada masyarakat tersebut, nilai keperawanan masih dijunjung tinggi. Selain itu, tradisi ini

melambangkan petuah agar suami memperlakukan istrinya dengan lembut serta menghargai

Page 7: Kajian Penggunaan Ruang Pada Upacara Akad Nikah Bekasi 2

kesuciannya dengan hormat. Sedangkan versi lainnya berkembang di Buaran Tambun, yang

mengetengahkan dandang yang berisi perhiasan yang ditutup kain, dengan cincin yang disematkan

di atasnya.

Dandang sendiri merupakan perlambang yoni alias rahim, yang sejak zaman batu identik dengan

feminitas. Kedua versi ini sama-sama menyimbolkan bentuk kesucian dan mitos mengenai

keperawanan yang dilambangkan dengan tabir di mulut dandang. Upacara berebut dandang ini

hanya dilakukan bila pengantin perempuan masih gadis, dalam artian belum pernah menikah

sebelumnya. Bahwa dandang itu harus diperebutkan dalam upacara pernikahan, berarti bahwa

keperawanan itu menjadi aset yang akan diserahkan pada suami, tetapi tidak bisa sembarangan.

Upacara ini bisa dijadikan perlambang, bahwa pihak keluarga perempuan berusaha

mempertahankan kehormatan putrinya yang sangat berharga, yang hanya bisa diberikan pada

orang yang tepat. Mengingat tradisi ini berkembang pada masa ketika tuan-tuan tanah masih

menguasai Bekasi, wajar saja bila ‘pria yang tepat’ di sini juga identik dengan kekuasaan dan

kekuatan.

Akad nikah dilangsungkan di ruang tengah rumah keluarga mempelai perempuan. Tamu duduk

dalam posisi melingkar, di beranda bagi tamu yang hubungan kekerabatannya jauh, dan di ruang

tengah bagi tamu yang masih sanak famili. Pihak keluarga pengantin perempuan berada di ruang

tengah sebelah dalam, berhadapan dengan pihak keluarga pengantin laki-laki di ruang tengah

sebelah luar, dekat dengan pintu.

Dalam tradisi Bekasi, pada acara akad nikah, pengantin laki-laki dan perempuan tidak duduk

berdampingan. Pengantin laki-laki melakukan upacara ijab qabul di hadapan penghulu, sedangkan

pengantin perempuan diwakili oleh ayah atau kerabat laki-lakinya. Pengantin perempuan duduk

mendengarkan di balik pintu kamar bersama para anggota keluarga perempuan. Sesudah upacara

akad nikah, barulah pengantin laki-laki menjemput pengantin perempuan ke kamar dengan diiringi

beberapa orang dari keluarganya. Saat itulah, pengantin perempuan mencium tangan pengantin

laki-laki sebagai tanda penerimaan sebagai suami.

3. KONSEP RUANG PADA UPACARA AKAD NIKAH DI BEKASI

3.1. KONSEP RUANG DALAM KEPERCAYAAN TRADISIONAL

Walaupun upacara akad nikah dalam tradisi Bekasi sangat kental oleh pengaruh Islam, pada pola

pembagian ruang, terdapat perbedaan dengan pola pembagian ruang yang dianut pada

masyarakat suku-suku lain yang juga mendapat pengaruh agama yang sama. Proses akad nikah di

Bekasi, misalnya, tidak dilakukan di masjid, tetapi di rumah. Demikian pula ada konsep-konsep

pembagian ruang menjadi ruang laki-laki dan ruang perempuan dalam akad nikah yang tidak

dikenal di suku-suku lain. Pengaruh ajaran Islam dalam hal ini tampak dalam pembatasan

hubungan laki-laki dan perempuan yang belum atau bukan muhrim, tetapi mengingat latar

belakang Bekasi yang memiliki sejarah kerohanian sejak era Palaeolitikum, perlu juga untuk

mengkaji konsep ruang tersebut dari sudut pandang primordial.

Page 8: Kajian Penggunaan Ruang Pada Upacara Akad Nikah Bekasi 2

Untuk membahas mengenai pembagian ruang dalam acara akad nikah, perlu untuk mengkaji

mengenai konsep rumah dalam kebudayaan Betawi, yang juga diwarisi Bekasi.

Rumah tradisional di daerah Bekasi berbentuk rumah panggung, tetapi penataan ruangnya

menyerupai rumah Betawi. Pada bagian muka rumah terdapat beranda yang dibatasi pagar

pendek, yang berfungsi sebagai ruang penerima tamu laki-laki. Sementara di bagian dalam,

terdapat ruang tengah yang juga berfungsi sebagai ruang untuk menerima tamu yang lebih akrab.

Kamar-kamar berjejer membujur/melebar, yakni di belakang ruang tengah, atau

melintang/memanjang, yakni di samping ruang tengah.

Bagan 1.

Pola rumah membujur / melebar (kiri), pola rumah melintang/memanjang (kanan)

Pada perkembangannya, rumah di Bekasi mengalami transformasi, tetapi secara umum, pola

pembagian ruangan menjadi beranda, ruang tengah, dan kamar-kamar tetap dipertahankan.

Rumah di daerah Bekasi yang berkembang kemudian tidak lagi berbentuk rumah panggung.

Ketimbang pola penataan membujur pun, pola melintang atau pola L lebih banyak diminati. Pola L

hadir dengan menggabungkan antara rumah induk dengan kamar mandi dan dapur, yang semula

berada di luar rumah. Sekeliling rumah dikitari oleh teras atau beranda, walaupun fungsi beranda

yang merangkap sebagai tempat menerima tamu hanya dimiliki oleh beranda depan. Keberadaan

Page 9: Kajian Penggunaan Ruang Pada Upacara Akad Nikah Bekasi 2

pagar kayu menghilang, walau keberadaannya kadang digantikan oleh pagar permanen dari

tembok semen yang juga berfungsi sebagai tempat duduk.

Dalam tradisi Bekasi, ruang tengah tidak disekat-sekat secara permanen, untuk mengantisipasi

acara-acara yang dilakukan di rumah yang melibatkan orang banyak seperti kenduri, hajatan, dan

tahlilan. Sekat dibuat dari peletakan foyer seperti lemari hias atau bufet. Keberadaan sekat ini

membatasi ruang untuk menerima tamu ‘formal’, tamu ‘kurang formal’, dan tamu ‘tidak formal’

atau keluarga. Tamu formal, tamu laki-laki, atau yang belum dikenal biasa ditemui di beranda,

sementara tamu perempuan dan keluarga ditemui di ruang dalam. Tamu yang dianggap keluarga

dekat bahkan bisa ditemui di ruang makan atau dapur, yang masuk melalui pintu samping.

Bagan 2.

Pola rumah bentuk L

Konsep pembagian ruang ini rupanya bersesuaian dengan konsep pemahaman ruang yang dualistik

pada masyarakat tradisional Indonesia. Konsep ini tak hanya berkembang di masyarakat pemburu

dan peramu, tetapi juga peladang dan maritim. Prinsip yang disebut ‘dwitunggal’ ini dipakai tidak

hanya untuk memaknai ruang dan waktu, tetapi juga sistem kekerabatan, sistem pekerjaan, dan

alam (Sumardjo, 2002: 17). Dalam sistem ini, konsep ‘dalam’ dan ‘luar’ dihubungkan oleh ‘batas’,

yakni garis pemisah yang bersifat sakral. Konsep ‘dalam’ dan ‘luar’ dikaitkan dengan oposisi biner

Page 10: Kajian Penggunaan Ruang Pada Upacara Akad Nikah Bekasi 2

‘perempuan’ dan ‘laki-laki’. ‘Depan’, ‘luar’, ‘terbuka’, ‘terang’, ‘muka’ merupakan kata sifat yang

homolog yang memiliki sifat laki-laki, sedangkan ‘belakang’, ‘dalam’, ‘tertutup’, ‘gelap’, ‘badan’

memiliki sifat perempuan. Beranda yang berada di muka luar rumah dan terbuka, dalam artian

tidak dibatasi oleh tembok, menjadi tempat menerima tamu laki-laki yang sesuai dengan sifatnya.

Sedangkan ruang dalam yang dibatasi tembok dan merupakan bagian inti rumah menjadi identik

dengan wilayah perempuan.

Konsep primordial yang memandang segalanya dalam pasangan dunia atas-dunia bawah dan laki-

berakar pada kepercayaan animisme-dinamisme masyarakat prasejarah. Namun, rupaya

kepercayaan semacam ini merupakan kepercayaan yang universal. Mitos mengenai asal-usul yang

mengindikasikan pola semacam ini juga dianut oleh masyarakat prasejarah di banyak belahan

dunia. Dalam setiap kebudayaan, selalu ada kisah yang melibatkan kekuatan supranatural dalam

penciptaan atau asal usul manusia, yang disebut mitos asal (origin myth). Mitos menyediakan

penjelasan bagi sesuatu yang dianggap penting, tetapi tidak diketahui kebenarannya (Carneiro,

library.thinkquest.org). Di baliknya ada ide mengenai latar belakang suatu fenomena.

Mitos asal, yang merupakan teori paling awal mengenai proses penciptaan alam semesta, hadir

sejalan dengan konsep yang memandang ada kekuatan luar biasa di balik penciptaan alam, yang

menghadirkan konsep mengenai Tuhan. Menurut Bakker dalam Sumardjo (2002: 3-5), konsep

Tuhan di Indonesia purba bersifat deistik, yakni ke-Tuhan-an murni, yang tidak antropomorfik,

dikenal dalam wujud atau sifat selayaknya manusia. Tuhan adalah sesuatu yang fascinosum

(memikat) sekaligus juga tramendum(menakutkan), yang membuat nama Tuhan dan

keberadaannya menjadi sangat sakral dan tidak dekat dengan manusia. Hal ini menjadikan

keberadaan Tuhan dianggap tidak relevan dengan urusan manusia di dunia. Kedudukan Tuhan pun

digantikan dengan lambang alam, sebagai sesuatu yang lebih nyata dan paling berpengaruh dalam

kehidupan manusia.

Awalnya kekuatan alam dipuja sebagai bagian dari kekuatan Tuhan, tetapi pada gilirannya,

kekuatan alam pun dipersonifikasi dalam wujud dewa dan roh yang mempengaruhi alam.

Pemujaan terhadap dewa-dewa yang memegang peran tertentu pun menggantikan pemujaan

terhadap dewa yang absolut. Untuk mengetahui segala misteri alam, manusia cenderung

membandingkan alam dengan dirinya, satu-satunya hal yang diketahuinya. Masyarakat primitif

mengembangkan penjelasan yang sangat khusus, yakni penyebab yang bersifat personal (personal

causation). Dalam hal ini, agen yang bertanggung jawab atas terjadinya suatu fenomena, baik

manusia atau roh, memiliki personalitas manusia yang mendasari tindakannya. Penyebab non-

personal (impersonal causation) yang disediakan sains hanyalah penyebab langsung (immediate

cause), tetapi tidak menjelaskan alasan terjadinya suatu fenomena (Carneiro,

library.thinkquest.org).

Pandangan atas keberadaan Tuhan yang mendua melahirkan konsep dualisme keberadaan dalam

alam pikiran masyarakat primordial. Langit adalah Dunia Atas yang tidak dikenal oleh manusia,

sedangkan bumi adalah Dunia Bawah yang dekat dengan manusia. Akan tetapi, mitos asal

memandang bahwa dunia manusia lahir dari Dunia Atas. Ada kesatuan dualistik antara Dunia Atas

dan Dunia Bawah. Pola hubungan kesatuan ini hadir lewat peperangan atau perkawinan, yang

dengan caranya masing-masing menumbuhkan kehidupan baru (Sumardjo, 2002: 4).

Page 11: Kajian Penggunaan Ruang Pada Upacara Akad Nikah Bekasi 2

Freud memandang mitos asal dalam kerangka fungsi paternal (Kristeva, 2008). Mitos penciptaan

pada berbagai bangsa selalu memuat fantasi pertama (primal fantasies), yakni fantasi asal mula

manusia dihubungkan dengan pengamatan akan relasi seksual orangtua, rayuan, dan kastrasi.

Green (1991) dalam Kristeva (2008) menghubungkannya dengan keingintahuan seksual masa kecil

mengenai ‘asal bayi’. Fantasi yang berasal dari jejak memori filogenetik ini direkonstruksi ke dalam

konsep atau adegan mitos, yang perannya bersifat mempolarisasi, mengorganisasi, dan

mengklasifikasi. Hal ini, menurut Freud, merupakan upaya menghadirkan missing link dalam

pengalaman fisik individu dengan menghubungkannya pada masa lalu ras manusia.

Hal ini menjelaskan alasan di balik penerapan konsep dualisme dalam tataran dunia manusia.

Secara umum, masyarakat Indonesia mengenal dualisme dalam tataran kosmis sebagai cara untuk

memetakan alam dan kekuatan yang mempengaruhinya. Dalam konsep primordial, segala sesuatu

merupakan pasangan oposisi biner yang memiliki sifat ‘kelaki-lakian’ dan ‘keperempuanan’. Jika

menggunakan teori ini, segala sifat dan objek yang dinisbahkan pada laki-laki dan perempuan

merupakan konotasi keberadaan laki-laki dan perempuan dalam fungsi reproduksi, yang akhirnya

membentuk fungsi kultural. ‘Luar’ dan ‘terang’ menjadi maskulin karena phallus atau lingga berada

di luar dan terlihat, sedangkan ‘dalam’ dan ‘gelap’ menjadi feminin karena rahim atau yoni berada

di dalam dan tidak terlihat. Pada gilirannya, kata sifat ini bergerak untuk menjelaskan objek yang

ada di alam. ‘Matahari’ yang ‘terang’ pada ‘siang hari’, demikian juga ‘gerak/aktif’, yakni kata kerja

yang merujuk pada aktivitas manusia di siang hari dilabeli sifat maskulin. ‘Bulan’ pada ‘malam hari’

yang ‘gelap’, demikian pula ‘diam/pasif’ yang merujuk pada aktivitas ‘tidur’ dilabeli sifat feminin.

Pasangan oposisi ini bersifat kosmis, yang memenuhi segala yang dikenal manusia sebagai ‘ada’.

Keberadaan oposisi biner yang saling bertentangan ini memunculkan keberadaan Dunia Tengah,

yakni dunia penghubung atau perantara. Pola hubungan oposisi kosmis laki-laki dan perempuan

yang berupa perkawinan menyebabkan segala sesuatu yang berada dalam lingkup Dunia Tengah

harus memiliki harmoni atau perkawinan kedua pasangan biner, yang menjadikannya memiliki sifat

keduanya. Dukun yang menghubungkan Dunia Atas dan Dunia Bawah disyaratkan tidak memiliki

fungsi laki-laki atau perempuan, yang bagi laki-laki ditandai dengan kebancian dan bagi perempuan

ditandai oleh belum atau tidak lagi mampu menstruasi. Benda-benda upacara diperlakukan sebagai

milik dunia Tengah, sehingga padanya ditorehkan gambar-gambar yang melambangkan

perkawinan kosmis.

3.2. PERWUJUDAN KONSEP RUANG DALAM UPACARA AKAD NIKAH TRADISIONAL BEKASI

Pada prinsipnya, dunia atas, tengah, dan bawah mencakup segala sesuatu yang satu sama lain

memiliki kesejajaran atau homologi yang bersifat kosmik. Peletakan suatu benda pada suatu sifat,

atau suatu kerja pada suatu objek, beserta pemaknaannya dalam ruang dan waktu harus

mempertimbangkan konsep kesejajaran tersebut.

Pemilihan waktu akad nikah pada sore hari atau pagi hari dalam upacara pengantin adat Bekasi

dapat dipandang dari kacamata kesejajaran kosmik tersebut. ‘Sore’ dianggap sebagai pertemuan

atau ‘batas’ antara ‘siang’ dan ‘malam’, sedangkan ‘pernikahan’ dianggap sebagai upacara yang

‘menghubungkan’ antara ‘laki-laki’ dan ‘perempuan’. Sore dianggap sakral terkait dengan fungsinya

sebagai batas, sebagai bagian dari Dunia Tengah, demikian pula pernikahan dianggap sakral dalam

Page 12: Kajian Penggunaan Ruang Pada Upacara Akad Nikah Bekasi 2

fungsinya yang selain menyatukan dua oposisi yang berlawanan, juga menjadi ‘batas’ antara

‘lajang’ dan ‘menikah’, antara ‘anak-anak’ dan ‘dewasa’.

Keberadaan ruang ini jelas terlihat pada prosesi ngebesan dan akad nikah. Ngebesan, baik dalam

adat Cara Haji maupun Abangan, dilakukan oleh iringan-iringan pengantin yang bergerak dari

rumah pengantin laki-laki menuju rumah pengantin perempuan, sebagai tempat dilangsungkannya

prosesi pernikahan. Tradisi ini bukanlah pengaruh Islam, bukan pula pengaruh Cina yang secara

tradisi menerapkan konsep perempuan yang diambil sebagai anggota keluarga laki-laki dan dengan

demikian mendatangi rumah laki-laki. Akan tetapi, konsep 'pernikahan yang dilakukan di rumah

mempelai perempuan' dapat ditemukan pada kebudayaan banyak suku di Indonesia. Hal ini dapat

dilihat contohnya pada suku Jawa dan Sunda, bahkan suku Minang yang menganut pola

matrilineal. Hal tersebut menjadikan prosesi tersebut layak dikaji dalam pola pemikiran dan tata

nilai primordial.

Jika dilihat dari sudut pandang kosmik, proses perjalanan ini merefleksikan konsep genesis dalam

mitos asal, yakni bahwa Dunia Atas menurunkan Dunia Bawah, sedangkan oposisi biner atas x

bawah merupakan refleksi laki-laki x perempuan. Pernikahan yang berpusat pada rumah

mempelai perempuan menunjukkan bahwa kehidupan terjadi di dunia bawah, yakni dunia

manusia.

Petasan yang dibunyikan dalam jarak 200 meter di depan rumah pengantin perempuan tidak hanya

menjadi tanda pemberitahuan bahwa rombongan besan telah datang. Area ini dikategorikan

sebagai batas, daerah antara yang menjadi gerbang masuk ke wilayah pengantin perempuan.

Untuk memahami arti pembunyian petasan, perlu ditelaah mengenai arti petasan dalam tradisi

masyarakat Cina dan arti bunyi-bunyian dalam konsep tradisional Indonesia serta mencari

kesesuaian antara keduanya. Hal ini dikarenakan pada prinsipnya, suatu tradisi yang berkembang

di negara atau masyarakat asal tidak akan semata diadopsi dan diterima di masyarakat peniru jika

tradisi tersebut sama sekali tidak bersesuaian dengan masyarakat tersebut atau perubahan-

perubahan yang terjadi dalam masyarakat tersebut.

Dalam konsep masyarakat primordial Indonesia yang masih dianut oleh suku-suku seperti Asmat

dan Dayak, menabuh bunyi-bunyian seperti genderang dan alat musik lain dikaitkan dengan

konsep kosmis Dunia Tengah yang transenden. Dunia Tengah merupaka tempat kekuatan tak kasat

mata seperti jin dan roh penunggu, yang karena sifat transendennya, memiliki kekuatan untuk

mempengaruhi manusia. Mereka menempati ruang yang dinamakan 'batas' atau 'antara'. Proses

membunyikan sesuatu diibaratkan sebagai proses meminta ijin, sekaligus menjaga diri dari

pengaruh jahat makhluk-makhluk halus tersebut.

Walaupun konsep penjagaan diri dan keberadaan batas sebagai tempat tinggal makhluk halus itu

tidak sepenuhnya diterapkan dalam prosesi akad nikah pengantin Bekasi, khususnya dalam Cara

Haji,pada hakikatnya, konsep 'meminta ijin' masih diterima secara luas, walau tidak kepada jin,

tetapi pada pihak keluarga pengantin perempuan.

Page 13: Kajian Penggunaan Ruang Pada Upacara Akad Nikah Bekasi 2

Demikian pula berlangsungnya acara di muka rumah pengantin perempuan dapat dihubungkan

dengan konsep tersebut. Pihak keluarga mempelai laki-laki tinggal untuk meminta ijin dibolehkan

masuk karena rumah atau 'dalam' dianggap sebagai ranah perempuan. Sedangkan anggota

keluarga perempuan langsung memasuki rumah karena sebagai perempuan, 'ruang dalam' juga

merupakan wilayahnya.

KETERANGAN:

Mempelai laki-laki

Keluarga mempelai laki-laki

Mempelai perempuan

Keluarga mempelai perempuan

Kerabat perempuan mempelai perempuan

Penghulu

Wali nikah pengantin perempuan

Tamu laki-laki

A Pembunyian petasan, iring-iringan pengantin laki-laki dan besan memasuki pekarangan rumah pengantin perempuan

B Rombongan besan disambut oleh kerabat pengantin perempuan; berbalas pantun/berebut dandang (Abangan), berbalas salam/sambutan (Cara Haji)

C Kaum perempuan dari keluarga mempelai laki-laki memasuki rumah lewat pintu samping

D Akad nikah

E Pengantin laki-laki menghampiri pengantin perempuan di pintu kamar; pengantin perempuan mencium tangan pengantin laki-laki

Bagan 3.

Prosesi Akad Nikah Tradisional Bekasi

Page 14: Kajian Penggunaan Ruang Pada Upacara Akad Nikah Bekasi 2

Hal ini juga terlihat pada pembagian ruang pada proses pernikahan. Kaum perempuan tinggal di

dalam kamar dan tidak keluar selama mendengarkan ijab kabul, sedangkan upacara ijab kabul

dilaksankan di tengah rumah, sementara tamu ditempatkan di beranda. Ketiga hal ini

merefleksikan ketiga hal yang berlawanan dalam kerangka kosmik. Perempuan ditempatkan di

ruang yang sifatnya sesuai dengan konsep Dunia Bawah, yakni 'ruang dalam', dalam hal ini 'kamar'.

Upacara akad nikah, sesuai dengan fungsinya, ditempatkan di 'ruang tengah'. Pengantin laki-laki

menempati dunia antara ini karena ia sedang melakukan prosesi untuk 'memasuki' dunia yang

ditempati perempuan, yakni keluarga dengan rumah sebagai pusatnya. Adapun tamu laki-laki

ditempatkan di beranda sesuai dengan kedudukannya sebagai 'orang luar', dan sebagaimana

penghuni Dunia Atas, tidak menempati 'rumah' atau 'keluarga' yang dibentuk lewat pernikahan

tersebut, yang menjadi bagian dari Dunia Bawah.

Konsep ruang dan kesadaran akan posisi ‘atas x bawah’, ‘depan x belakang’, dan ‘kanan x kiri’ juga

terlihat pada prosesi prosesi macarin, yakni menyandingkan kedua mempelai di pelaminan. Dalam

tradisi suku-suku di Indonesia, terdapat pemahaman yang universal bahwa kanan bersifat laki-laki

dan kiri bersifat perempuan. Kanan dianggap lebih tinggi karena bagian tubuh yang aktif adalah

bagian tubuh kanan, yang dianggap ‘baik’. Dengan demikian, laki-laki ditempatkan di sebelah kanan

perempuan, yang juga berarti melindungi. Pada prosesi ini, kedua mempelai yang semula

dipisahkan pada semua tahap pernikahan karena dianggap belum halal untuk bersanding, dalam

bingkai pemahaman Islam; atau tabu untuk bersanding karena masih merefleksikan dua kekuatan

yang saling berseberangan yang belum diikat penyatuan dalam bentuk pernikahan, dalam bingkai

pemahaman primordial, menjadi sah dan layak untuk disatukan. Penyatuan ini bahkan disambut

dengan kegembiraan, dilambangkan oleh para sanak saudara yang saling memberi ucapan selamat.

Pada prosesi ini, kedua mempelai dipersilahkan duduk, kemudian dukun atau tukang rias

meletakkan bantal di pangkuan pengantin dan mencipratkan air disertai doa atau mantra-mantra.

Air dianggap mewakili unsur ‘dingin’, sedangkan roh jahat, setan, dan jin dianggap mewakili unsur

‘panas’. Di sini terdapa kesadaran akan ruang yang jamak, yakni bahwa keberadaan makhluk halus

di dunia tengah yang immateril dapat mempengaruhi kehidupan manusia di dunia bawah yang

materil. Dengan demikian, air yang merupakan objek materil, karena perbedaan sifatnya, dapat

mengusir atau menjauhkan gangguan yang berasal dari dunia imateril.

4. KESIMPULAN

Dalam pola pikir masyarakat primordial, pernikahan dipandang memiliki hubungan kosmis, yakni

penyatuan dua kekuatan dari dua kutub yang berbeda dan saling bertentangan. Merunut pada

pembagian semesta menjadi dunia atas dan dunia bawah yang disatukan oleh dunia tengah, segala

sesuatu yang memiliki hubungan kesejajaran dengan dunia tengah, yakni memiliki sifat

mempersatukan kedua sifat dalam oposisi biner, dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Dengan

demikian, fungsi pernikahan yang sakral sebagai bagian dari dunia transenden, yakni dunia tengah,

juga terlihat pada perlambangan yang banyak diatributkan pada keseluruhan prosesinya.

Dalam menganalisa pola pembagian ruang pada upacara akad nikah sub-etnis Betawi-Bekasi, tampak

bahwa kepercayaan primordial yang dianut oleh masyarakat tradisional Indonesia masih sangat kuat

pengaruhnya. Masyarakat primordial memandang ruang, waktu, objek, dan sifat dalam kerangka

Page 15: Kajian Penggunaan Ruang Pada Upacara Akad Nikah Bekasi 2

oposisi yang masing-masing membentuk kesejajaran atau homologi. Walaupun pernikahan Bekasi

sendiri banyak dipengaruhi Cina, Arab, dan Eropa, dalam pola pembagian ruang, komposisi ruang yang

dipandang dalam bingkai oposisi biner, dengan dunia tengah yang sakral sebagai batasnya, masih

tampak jelas. Hal ini terutama tampak pada prosesi menjelang akad nikah seperti membunyikan

petasan pada jarak tertentu dari rumah mempelai, melalukan prosesi salam (Cara Haji) atau berbalas

pantun dan berebut dandang (Abangan) di muka rumah pengantin, yang menampakkan kesadaran

akan ruang perantara yang disebut ‘batas’ yang bersifat sakral dan transendental. Prosesi pernikahan

dan masuknya pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan dipandang sebagai masuknya sosok

yang berasal dari dunia ‘luar’ menuju dunia ‘dalam’, yakni rumah dan perempuan.

Penempatan tamu laki-laki, perempuan, dan kerabat dalam bagian-bagian rumah juga merefleksikan

aturan kosmos ini. Perempuan dari pihak laki-laki tetap dianggap ‘perempuan’, yang identik sebagai

‘pemilik rumah’ dan ‘penghuni dalam’, sehingga mereka tidak perlu meminta izin untuk memasuki

rumah dan bisa melalui pintu samping. Tetapi laki-laki bukan merupakan bagian dari ‘rumah’ dan

‘dalam’, sehingga harus meminta izin. Tamu laki-laki yang asing, dalam artian bukan kerabat,

ditempatkan di luar. Mempelai peremuan berada di dalam kamar. Sementara prosesi akad nikah

dilakukan di ruang tengah, sesuai dengan kedudukan pernikahan sebagai penghubung kedua objek dan

sifat yang bertentangan, yakni feminin x maskulin.

REFERENSI Hendriyana, Husen. 2009. Metodologi Kajian Artefak Budaya Fisik. Bandung: Sunan Ambu Press. Kamaly, Husein. 1973. Sejarah dan Kebudayaan Kabupaten Bekasi. Bekasi: Pemda Kabupaten Bekasi. Saidi, Ridwan. 2004. Profil Orang Betawi: Asal Muasal, Kebudayaan, dan Adat Istiadatnya. Jakarta: PT.

Gunara Kata. Sumardjo, Jakob. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Qalam. Sopandi, Andi. 2005. Hibridasi Masyarakat di Perbatasan Jakarta: Profil Masyarakat Bekasi dalam

Perspektif Budaya. Bekasi: PK2SB FKIP UNISMA Tim HARPI Melati Bekasi. 2007. Tata Rias Pengantin Adat Bekasi Kembang Gede. Bekasi: HARPI Melati. Utomo, Bambang Budi. 2004. Arsitektur Bangunan Suci Masa Hindu Buddha di Jawa Barat. Jakarta:

Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata