KAJIAN LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA

96
KAJIAN LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA (Studi Kasus: Kawasan Industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan Tegakan Mahoni Cikabayan) Oleh: MUNGKI EKA PRATIWI E34101066 DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Transcript of KAJIAN LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR KUALITAS UDARA

KAJIAN LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR

KUALITAS UDARA (Studi Kasus: Kawasan Industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan

Tegakan Mahoni Cikabayan)

Oleh: MUNGKI EKA PRATIWI

E34101066

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

KAJIAN LUMUT KERAK SEBAGAI BIOINDIKATOR

KUALITAS UDARA (Studi Kasus: Kawasan Industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan

Tegakan Mahoni Cikabayan)

Oleh:

MUNGKI EKA PRATIWI

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan pada

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

RINGKASAN

Mungki Eka Pratiwi. E 34101066. Kajian Lumut Kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara (Studi Kasus : Kawasan Industri Pulo Gadung, Arboretum Cibubur dan Tegakan Mahoni Cikabayan). Dibawah bimbingan: Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si dan Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si. Pencemaran udara adalah masuknya zat pencemar ke dalam udara baik secara alamiah maupun oleh aktivitas manusia. Pencemaran udara yang disebabkan oleh aktivitas manusia dapat berasal dari kegiatan transportasi dan industri, hal tersebut akan menyebabkan penurunan kualitas lingkungan berupa polusi udara. Udara bagi kehidupan merupakan komponen abiotik pada atmosfer yang dibutuhkan oleh berbagai organisme seperti tumbuhan. Polusi udara dapat mempengaruhi kondisi tumbuhan termasuk lumut kerak secara fisiologis. Beberapa jenis lumut kerak dilaporkan dapat menjadi bioindikator yang peka terhadap pencemaran udara. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keberadaan lumut kerak dihubungkan dengan lokasi tertentu dengan kualitas udara yang diduga berbeda, dengan ruang lingkup mengkaji jenis-jenis morfologi lumut kerak, jenis tanaman dan beberapa faktor lingkungan (suhu, kelembaban udara dan kandungan polutan). Penelitian dilakukan pada kawasan industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur Jakarta, dan tegakan mahoni Cikabayan. Lokasi-lokasi tersebut diduga sebagai memiliki kualitas udara relatif tercemar (kawasan industri Pulo Gadung dan arboretum Cibubur) dan relatif tidak tercemar (tegakan mahoni Cikabayan). Pengamatan talus lumut kerak secara makroskopik dilakukan terhadap tiap unit contoh pohon. Ciri-ciri makroskopik talus yang diamati antara lain adalah warna, bentuk, dan keadaan talus serta luas talus lumut kerak pada batang tanaman yang terletak pada jarak 5 meter, 10 meter, dan 25 meter dari titik pengukuran kualitas udara. Pengambilan data pertumbuhan lumut kerak juga diamati pada kedua sisi batang pohon (menghadap dan membelakangi titik pengukuran kualitas udara ambien). Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung ditemukan 3 jenis lumut kerak (Phaeographis sp., Strigula sp. dan Dirinaria cf. picta). Pada arboretum Cibubur ditemukan 6 jenis lumut kerak (Strigula sp., Verrucaria sp., Graphidaceae, Heterodermia sp. dan Parmelia cf.austrosinensis). Pada tegakan mahoni Cikabayan ditemukan 10 jenis lumut kerak (Graphidaceae, Strigula sp. dan Verrucaria sp., Phaeographis sp., Parmelia sp. dan Heterodermia sp.). Jumlah lumut kerak yang temukan pada lokasi pengamatan semakin bertambah dengan nilai kualitas udara ambien yang semakin bersih (kandungan polutan rendah). Dari 12 jenis lumut kerak yang ditemukan, 3 jenis lumut kerak tidak teridentifikasi (2 tipe crustose dan 1 tipe foliose). Pada lokasi pengamatan di kawasan industri, nilai rata-rata luas talus lumut kerak pada jarak 5 m, 10 m, dan 25 m pada masing-masing spesies tidak terlalu berbeda nyata. Hal tersebut diduga karena dalam jarak yang diambil terlalu dekat. Rata-rata luas talus D. cf.picta pada jarak pengamatan 5 meter dari titik pengukuran kualitas udara dengan titik pengamatan membelakangi titik pengambilan kualitas udara (jalan raya) yaitu sebesar 16,52 cm2, memiliki nilai yang relatif jauh lebih besar dibanding dengan menghadap titik pengambilan kualitas udara (jalan raya) yaitu sebesar 0,01 cm2). Hal tersebut diduga karena pengaruh polutan yang ada. Pada arboretum Cibubur, rata-rata luas talus lumut kerak memiliki nilai yang relatif lebih besar dibanding dengan lokasi lainnya. Hal tersebut diduga karena umur ukuran keliling batang tanaman yang lebih besar dibanding dengan lokasi lainnya, namun jumlah jenis lumut kerak yang ditemukan pada tegakan mahoni Cikabayan lebih bervariasi.

2

Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan berdasarkan hasil pengukuran kelembaban udara rata-rata diperoleh kelembaban udara sebesar 72%, 86% dan 90%, dengan suhu udara pada lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung berkisar antara 29,4-31,8 ºC, pada arboretum Cibubur berkisar antara 25,8-30,0 ºC dan pada tegakan mahoni Cikabayan berkisar antara 24,8-27,8 ºC. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, tipe morfologi talus crustose lebih mudah ditemukan bila dibanding dengan tipe morfologi foliose. Strigula sp. dapat ditemukan pada masing-masing lokasi pengamatan. Hal tersebut menggambarkan bahwa jenis tersebut mampu bertahan hidup pada segala kondisi kualitas udara ambien. Heterodermia sp. pada arboretum Cibubur memiliki warna talus cenderung pucat dibanding dengan warna talus yang berada di tegakan mahoni. Pada kawasan industri Pulo Gadung tidak dijumpai lumut kerak dari kelompok marga Parmelia, sedangkan pada arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan dapat ditemukan marga dari kelompok Parmelia meskipun frekuensi perjumpaan marga ini pada arboretum Cibubur tidak sebesar di tegakan mahoni Cikabayan. Pada kawasan industri Pulo Gadung, D. cf picta ditemukan dengan nilai frekuensi perjumpaan yang tidak terlalu tinggi dibanding dengan jenis lumut kerak lainnya dan sebelumnya telah dilaporkan bahwa jenis ini sebagai bioindikator udara kotor. Parmelia sp. hanya ditemukan pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan, dimana telah dilaporkan sebelumnya bahwa jenis lumut kerak ini sebagai bioindikator udara bersih.

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 27 Februari

1984 dari pasangan Prakoso dan St.Rukiyah. Penulis

merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Penulis menempuh pendidikan menengah atas di SMUN 54

Jakarta dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama lulus seleksi masuk

IPB melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) pada Program

Studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi anggota

HIMAKOVA dan Kelompok Pemerhati Burung (KPB) “Prenjak”. Pada bulan Juni-

Agustus 2004 penulis mengikuti Praktek Pengenalan Hutan di BKPH Rawa

Timur-KPH Banyumas Barat dan BKPH Gunung Slamet-KPH Banyumas Timur

serta praktek pengelolaan hutan di Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Pada

bulan Februari-April 2005, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang Profesi

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata di Taman Nasional

Bromo Tengger Semeru, Jawa Timur.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan,

penulis melakukan penelitian dan menyusun karya ilmiah dengan judul “Lumut

kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara (Studi Kasus : Kawasan Industri Pulo

Gadung, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan)” dibawah

bimbingan Ir. Siti Badriyah Rushayati M.Si dan Ir. Elis Nina Herliyana M.Si.

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan

karunia yang telah diberikan, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan.

Skripsi ini berjudul “Lumut kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara (Studi

Kasus : Kawasan Industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni

Cikabayan)”.

Dengan penuh rasa hormat, penulis menyampaikan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada Ibu Ir. Siti Badriyah Rushayati M.Si dan Ibu Ir.

Elis Nina Herliyana M.Si selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan dan

pengarahannya selama penulis menyelesaikan skripsi. Selama penyusunan

skripsi ini tidak dapat dipungkiri banyak sekali hambatan yang penulis hadapi.

Berkat kearifan dan kemurahan-Nya serta bantuan dari berbagai pihak, skripsi ini

dapat penulis selesaikan. Untuk itu, dengan segala hormat, penulis

mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam

penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih belum sempurna.

Akhirnya, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang

berkepentingan.

Bogor, Juni 2006

Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat izin-

Nya, kekuasaan-Nya serta kasih sayang-Nya karya kecil ini dapat penulis

selesaikan. Dengan segala hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M.Si dan Ir. Elis Nina Herliyana, M.Si selaku

pembimbing yang telah membimbing penulis dengan kesabaran dan kearifan

serta memotivasi penyelesaian skripsi ini.

2. Ir. Rita Kartika Sari, M.Si sebagai dosen penguji dari Departemen HasiL

Hutan dan Dr. Ir. Nurhaeni Wijayanto, MS, selaku dosen penguji Departemen

Silvikultur.

3. Bapak dan Mama yang senantiasa penuh kasih sayang dan doa agar penulis

tetap tegar sehingga mampu menyelesaikan skripsi ini serta adik tercinta,

yang selalu menghibur penulis dalam suka dan duka.

4. Bapak Ir. Ali Hambali dan Ibu Ir. Fida yang telah mengizinkan penulis untuk

melakukan penelitian di kawasan industri Pulo Gadung.

5. Bapak Agus Syafii yang telah mengizinkan penulis untuk melakukan

penelitian di arboretum Cibubur.

6. Pihak Herbarium Bogorensis, khususnya Ibu Ida Haerida, S.Si atas bantuan

dan informasinya.

7. Insan Kurnia, S.Hut yang telah memberikan bantuan, dukungan dan

arahannya selama penyusunan skripsi.

8. Monic, Wisye, Ernest, Boni dan Tommy atas dukungan dan bantuan selama

penyusunan skripsi. I can’t made it with out u guys.

9. Mbak Eka, Mbak Rita, Berny, Mba Eko, Purie, Mirna, Catur (untuk kamera)

dan Mas Ajie atas semangat, bantuan dan dukungannya selama penyusunan

skripsi. Maaf sudah merepotkan kalian.

10. Bapak dan Ibu di KPAP DKSHE, Ibu Evan, Ibu Titin, Ibu Eti, Ibu Tuti, Bapak

Acu dan Teh Sri yang telah membantu penulis dalam administrasinya.

11. Seluruh mahasiswa DKSHE angkatan 38 terimakasih atas kebersamaannya

dalam suka dan duka selama ini.

12. Semua pihak lainnya yang telah banyak membantu penulis.

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI .................................................................................... ii

DAFTAR TABEL.............................................................................. iv

DAFTAR GAMBAR ......................................................................... v

DAFTAR LAMPIRAN....................................................................... vi

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang......................................................................... 1

B. Tujuan Penelitian .................................................................... 2

C. Manfaat Penelitian ................................................................... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi Lumut Kerak ........................................................... 3

B. Morfologi Lumut Kerak ............................................................ 4

1. Talus Crustose ................................................................... 5

2. Talus Foliose ...................................................................... 5

3. Talus Fruticose................................................................... 5

4. Talus Squamulose.............................................................. 5

C. Anatomi Lumut Kerak .............................................................. 6

1. Korteks atas....................................................................... 6

2. Lapisan Alga ...................................................................... 6

3. Medulla .............................................................................. 7

4. Korteks Bawah .................................................................. 7

D. Habitat dan Penyebaran Lumut Kerak ..................................... 7

E. Pengaruh Lingkungan terhadap Lumut Kerak.......................... 9

1. Faktor Lingkungan.............................................................. 9

2. Bioindikator Kualitas Udara ................................................ 10

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 13

B. Bahan dan Alat Penelitian ...................................................... 13

C. Metode.................................................................................. 13

1. Pemilihan Lokasi Contoh .................................................... 13

2. Jenis Data .......................................................................... 14

3. Prosedur Pengambilan Data............................................... 14

Halaman 3. Analisis Data ...................................................................... 15

D. Kerangka Pemikiran ................................................................ 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Karakteristik Tempat Hidup Lumut Kerak

a. Kawasan Industri Pulo Gadung ...................................... 18

b. Arboretum Cibubur ......................................................... 19

c. Tegakan Mahoni Cikabayan Kampus IPB Dramaga ...... 21

2. Karakteristik abiotik

a. Kualitas Udara Ambien ................................................... 21

b. Suhu dan Kelembaban Udara ........................................ 23

3. Jenis-jenis Lumut Kerak

a. Jenis-jenis Lumut Kerak yang Ditemukan ...................... 23

b. Tipe Morfologi Talus Lumut Kerak .................................. 24

c. Penggunaan Kulit Batang Tanaman sebagai Substrat

Lumut Kerak ................................................................... 26

4. Ciri Makroskopik Talus Lumut Kerak

a. Bentuk Talus secara Umum ............................................ 28

b. Warna Talus Lumut Kerak secara Umum....................... 30

5. Ciri Mikroskopik Lumut Kerak .............................................. 32

6. Luas dan Frekuensi Perjumpaan Talus Lumut Kerak ........ 33

a. Frekuensi Perjumpaan Jenis Lumut Kerak .................... 33

b. Luas Talus Lumut Kerak ................................................ 34

B. Pembahasan

1. Jenis-jenis Lumut Kerak yang Ditemukan ........................... 36

a. Morfologi Talus Lumut Kerak .......................................... 36

b. Bentuk dan Keadaan Talus secara Umum ..................... 36

c. Warna Talus secara Umum ............................................ 37

d. Ciri Mikroskopik Talus Lumut Kerak ............................... 39

e. Kulit Batang Tanaman sebagai Substrat ........................ 42

f. Luas dan Frekuensi Perjumpaan Talus Lumut Kerak..... 42

3

Halaman

2. Hubungan Karakteristik Lingkungan dengan Pertumbuhan

Lumut Kerak .............................................................................. 45

a. Kualitas Udara Ambien ................................................... 45

b. Suhu dan Kelembaban Udara ........................................ 47

c. Lumut Kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara .......... 48

V. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 51

A. Kesimpulan ............................................................................ 51

B. Saran ..................................................................................... 52

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 53

LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Bahan dan Alat yang Digunakan dalam Penelitian ........................... 13

2. Kandungan Udara Ambien ................................................................ 22

3. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan di Tiga Lokasi Pengamatan ..... 23

4. Jenis Lumut Kerak pada Lokasi Pengamatan Pulo Gadung ............ 25

5. Jenis Lumut Kerak pada Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur ... 25

6. Jenis Lumut Kerak pada Lokasi Pengamatan Tegakan Mahoni

Cikabayan ......................................................................................... 25

7. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan dengan Jenis Tanaman

sebagai Substrat pada Lokasi Pengamatan Kawasan Industri

Pulo Gadung ..................................................................................... 26

8. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan dengan Jenis Tanaman

sebagai Substrat pada Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur ...... 27

9. Bentuk Talus Lumut Kerak secara Umum ........................................ 28

10. Warna Talus Lumut Kerak secara Umum ......................................... 30

11. Luas Talus Lumut Kerak (cm2) pada Ketinggian Batang Tanaman

hingga 150 cm dari Permukaan Tanah ............................................ 34

12. Luas Talus Rata-rata (Cm2) per Jarak Pengamatan ......................... 35

13. Pengukuran Kualitas Udara dan Jumlah Lumut Kerak yang

Ditemukan ........................................................................................ 49

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Bentuk Lobus pada Tipe Morfologi Talus ......................................... 5

2. Morfologi Talus Lumut Kerak ........................................................... 6

3. Bagan Alir Kerangka Pemikiran ........................................................ 17

4. jenis Tanaman Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung ..................................................................................... 18

5. Kondisi Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung .......... 19

6. Jenis Tanaman Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur ................. 20

7. Kondisi Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur .............................. 20

8. Kondisi Lokasi Pengamatan di Tegakan Mahoni Cikabayan ........... 21

9. Suhu dan Kelembaban Udara Rata-rata .......................................... 23

10. Jumlah Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan Berdasarkan Tipe Morfologi Talus ................................................................................. 24

11. Kulit Batang Tanaman Tanjung sebagai Substrat Spesies III .......... 26

12. Bentuk dan Warna Talus Lumut Kerak secara Umum ..................... 32

13. Warna Talus Spesies II .................................................................... 38

14. Warna Talus Spesies IV ................................................................... 39

15. Struktur Talus pada Tipe Talus Foliose ............................................ 40

16. Rizoid pada Tipe Talus Foliose ........................................................ 41

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Jenis Tanaman pada Lokasi Pengamatan ........................................ 57

2. Hasil Analisis Pengukuran Kualitas Udara Ambien ........................... 58

3. Rekapitulasi Data Iklim Mikro (Suhu dan Kelembaban Udara) ......... 59

4. Struktur Makroskopis dan Mikroskopis Talus Lumut Kerak ............... 60

5. Rekapitulasi Luas Talus Lumut Kerak (Cm2) ..................................... 69

6. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 .................................. 81

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sarana dan prasarana fisik seperti pusat-pusat industri merupakan salah

satu penunjang aktivitas dan simbol kemajuan peradaban kota. Di sisi lain,

pembangunan pusat-pusat industri juga dapat menimbulkan berbagai dampak

negatif seperti penurunan kualitas lingkungan berupa polusi udara, polusi air,

tanah dan suara. Dalam aktivitas produksinya, industri tersebut menyebabkan

timbulnya polutan-polutan yang dibebaskan dalam udara yang dapat

menyebabkan pencemaran udara. Pencemaran udara adalah masuknya zat

pencemar ke dalam udara baik secara alamiah maupun oleh aktivitas manusia

(Ryadi, 1982; Soedomo, 2001). Aktivitas manusia tersebut dapat berupa

meningkatnya kendaraan bermotor.

Menurut Ryadi (1982), udara bagi kehidupan merupakan komponen abiotik

pada atmosfer yang dibutuhkan oleh berbagai organisme seperti tumbuhan.

Polusi udara dapat mempengaruhi kondisi tumbuhan secara fisiologis, sehingga

menyebabkan adanya tingkatan kepekaan, yaitu sangat peka, peka dan kurang

peka (resisten). Oleh karena itu, tumbuhan dapat digunakan sebagai bioindikator

yang akan menunjukan perubahan keadaan, ketahanan tubuh, dan akan

memberikan reaksi sebagai dampak perubahan kondisi lingkungan yang akan

memberikan informasi tentang perubahan dan tingkat pencemaran lingkungan

(Kovacs, 1992). Lumut kerak merupakan tumbuhan indikator yang peka

terhadap pencemaran udara, dengan pertumbuhan kerak tidak hanya mengalami

kemunduran di daerah yang terkena polusi berat tetapi menjadi langka atau

menghilang (Alexopoulos & Mims, 1979; Treshow ,1989).

Lumut kerak adalah hasil simbiosis antara fungi dan alga. Simbiosis

tersebut menghasilkan keadaan fisiologi dan morfologi yang berbeda dengan

keadaan semula sesuai dengan keadaan masing-masing komponen

pembentuknya (Ahmadjian, 1967). Lumut kerak dapat mempengaruhi komponen

ekosistem lain dan juga keberadaannya sangat dipengaruhi oleh keadaan

lingkungan, seperti mempunyai kemampuan dalam menyerap bahan-bahan

beracun di udara dan menampilkan gejala yang khas untuk bahan beracun

tertentu. Hampir sebagian besar spesies lumut kerak sangat sensitif terhadap

2

gas belerang dioksida (SO2) dan gas buang lainnya yang berasal dari industri

maupun dari kendaraan bermotor (Suwarso, 2004).

Penelitian terhadap jenis-jenis lumut kerak yang dapat menjadi bioindikator

pencemaran udara masih kurang, diantaranya adalah hasil penelitian

Soedaryanto et al. (1992) yang menemukan 3 jenis lumut kerak pada daerah

yang relatif tercemar dan 7 jenis lumut kerak pada daerah kontrol di Denpasar,

Bali. Pada penelitian ini akan dikaji tentang jenis-jenis lumut kerak pada kawasan

industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan

Kampus IPB Bogor, sebagai daerah yang diduga relatif tercemar dan relatif tidak

tercemar.

B. Tujuan Penelitian Mengidentifikasi keberadaan lumut kerak dihubungkan dengan lokasi

tertentu dengan kualitas udara yang diduga berbeda, yaitu kawasan industri Pulo

Gadung, arboretum Cibubur dan tegakan mahoni. Adapun ruang lingkup

penelitian adalah mengkaji jenis-jenis morfologi lumut kerak, jenis tanaman dan

beberapa faktor lingkungan (suhu, kelembaban udara dan kandungan polutan).

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang jenis-

jenis lumut kerak yang tumbuh dengan kondisi kualitas udara tertentu yang dapat

dijadikan biondikator kualitas udara.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi Lumut Kerak

Menurut Fitting et al. (1954) diacu dalam Ronoprawiro (1989); Noer (2004);

Tjitrosoepomo (1981), lumut kerak merupakan tumbuhan rendah yang temasuk

dalam divisi Thallophyta yang merupakan tumbuhan komposit dan perpaduan

fisiologik dari dua makhluk, yakni antara fungi dan alga.

Menurut Dharmaputra et al. (1989), fungi merupakan salah satu organisme

heterotrof yang tidak termasuk tumbuhan maupun hewan, yaitu termasuk dalam

regnum fungi. Fungi dapat hidup sebagai saprob atau parasit. Saprob

merupakan organisme yang hidup dari bahan organik mati, sedangkan parasit

adalah organisme yang hidup pada organisme hidup lain dan mengambil

makanan darinya.

Keberadaan simbiosis antara dua organisme ini masih diperdebatkan.

Lumut kerak seharusnya termasuk dan diklasifikasikan dengan fungi sejati

(Bessey, 1950; Martin, 1950; Alexopoulos, 1956 diacu dalam Pandey & Trivendi,

1977). Namun, menurut Smith (1955) diacu dalam Pandey & Trivendi (1977)

menerangkan bahwa lumut kerak harus berada pada kelompok yang terpisah

dari alga dan fungi.

Dua organisme tersebut hidup berasosiasi satu sama lain, sehingga

muncul sebagai satu organisme. Penyusun komponen fungi disebut mycobiont

yang pada umumnya berasal dari kelas Ascomycetes dan dua atau tiga genus

termasuk kelas Basidiomycetes, sedangkan penyusun komponen alga disebut

phycobiont, berasal dari divisi alga biru-hijau (Chyanophyceae) atau alga hijau

(Chlorophyta). Tercatat bahwa terdapat 12 genus dari divisi alga biru-hijau

(Chyanophyceae) dan 21 dari alga hijau (Chlorophyta). Pada umumnya genus

yang termasuk dalam Cyanobacteria adalah Nostoc, Gloeocapsa dan Rivularia,

sedangkan yang termasuk alga hijau diantaranya Protococcus, Trentepohlia dan

Cladophora (Pandey & Trivendi, 1977).

Menurut Misra & Agrawal (1978), menyatakan bahwa klasifikasi lumut

kerak berdasarkan komponen fungi terbagi menjadi tiga tipe, yaitu:

1) Ascolichens

Pada tipe ini, komponen fungi yang membentuk lumut kerak berasal dari

kelas Ascomycetes. Tipe ini terbagi dalam dua bagian yaitu Gymnocarpae

4

yang memiliki tubuh buah berupa apotesium dengan struktur terbuka,

contohnya Parmelia. Sedangkan pada bagian Pyrenocarpae, memiliki tubuh

buah berupa peritesium dengan struktur tertutup, contohnya Dermatocarpon.

Komponen alga dari Ascolichen termasuk dalam Myxophyceae di antaranya

Scytonema, Nostoc, Rivularia, Gleocapsa. Pada Chlorophyceae di antaranya

adalah Protococcus, Trentepohlia, Cladophora.

2) Basidiolichens

Pada tipe ini, komponen fungi yang membentuk lumut kerak adalah dari kelas

Basidiomycetes. Basidioliches memiliki komponen alga yang termasuk dalam

kelas Myxophyceae, berupa filamen (Scytonema) atau non-filamen

(Chroococcus).

3) Lichen Imperfecti

Pada tipe ini, komponen fungi yang membentuk lumut kerak adalah dari kelas

Deuteromycetous dengan contoh antara lain Cystocoleus, Lepraria,

Leprocanlon, Normandia. Fink (1961), menambahkan bahwa golongan ini

tidak dapat membentuk spora fungi dan talus tersusun dari hifa atau massa

padat yang seringkali terlihat menyerupai serbuk atau bubuk pada substrat

yang ditumbuhinya.

Menurut Pandey & Trivendi (1977), simbiosis antara alga dan fungi,

memberikan dua penafsiran yang berbeda, yaitu :

1) Disebut simbiosis mutualisme, bila dipandang ke dua simbion dapat

memperoleh keuntungan dari hidup bersama. Pada simbiosis tersebut alga

memberikan hasil fotosintesisnya, terutama yang berupa karbohidrat kepada

fungi, dan sebaliknya fungi memberikan air dan garam-garam kepada alga.

2) Disebut helotisme, bila keuntungan yang timbal balik itu hanya sementara,

yaitu pada permulaannya saja, tetapi pada akhirnya alga akan diperalat oleh

fungi.

B. Morfologi Lumut Kerak

Menurut Fink (1961), bagian utama lumut kerak adalah talus yang

merupakan jaringan vegetatif. Keberadaan talus dapat terangkat atau tegak lurus

dari substratnya, terjumbai, tergantung atau talus juga dapat terlihat tubuh secara

rapat atau jarang pada substrat. Menurut Dharmaputra et al. (1989), talus

adalah merupakan istilah umum untuk bagian vegetatif tumbuh-tumbuhan tak

berpembuluh (non-vascular).

5

Lumut kerak dapat dikelompokkan dalam tiga tipe berdasarkan morfologi

talusnya yaitu crustose, foliose, dan fruticose. Pengelompokan itu berdasarkan

pada organisasi jaringan tubuh dan perlekatan talus pada substratnya, yaitu:

1. Talus Crustose

Ukuran talus crustose bermacam-macam dengan bentuk talus rata, tipis,

dan pada umumnya memiliki bentuk tubuh buah yang hampir sama. Talus

berupa lembaran tipis atau seperti kerak yang permukaan bawahnya melekat

pada substrat. Permukaan talus biasanya terbagi menjadi areal-areal yang agak

heksagonal yang disebut areole (Vashishta 1982, diacu dalam Januardania

1995; Moore, 1972; Hale, 1979).

2. Talus Foliose Talus foliose bertingkat, lebar, besar, kasar dan menyerupai daun yang

mengkerut dan melipat. Permukaan talus foliose bagian bawah dan atas

berbeda, pada permukaan bawah berwarna lebih terang atau gelap dan pada

bagian tepi talus biasanya menggulung ke atas (Vashishta 1982, diacu dalam

Januardania 1995; Moore, 1972; Hale, 1979).

Gambar 1. Bentuk Lobus Tipe Talus Foliose (Hale, 1989)

3. Talus Fruticose Talus fruticose merupakan tipe talus kompleks dengan cabang-cabang

yang tidak teratur. Talus ini memiliki bentuk cabang silinder atau pita. Talus

hanya menempati bagian dasar dengan cakram bertingkat. Lumut kerak fruticose

ini memperluas dan menunjukan perkembangannya hanya pada batu-batuan,

daun, dan cabang pohon (Vashishta 1982, diacu dalam Januardania 1995;

Moore, 1972).

6

4. Talus Squamulose

Talus ini memiliki bentuk seperti talus crustose dengan pingiran yang

terangkat ke atas di atas tempat hidupnya. Talus ini memiliki bentuk seperti sisik

yang tersusun oleh banyak cuping (lobes) yang kecil tetapi tidak memiliki rizin

(Vashishta 1982, diacu dalam Januardania 1995; Moore, 1972; Hale, 1979; Noer,

2004).

Gambar 2. Morfologi Talus (www.ucmp.berkeley.edu/fungi/lichens)

C. Anatomi Talus Lumut Kerak

Secara umum anatomi jaringan talus lumut kerak tersusun atas beberapa

lapisan diantaranya sebagai berikut :

1. Korteks Atas Lapisan teratas disebut sebagai lapisan hifa fungi. Lapisan ini tidak

memiliki ruang antar sel dan jika ada maka ruang antar sel biasanya diisi oleh

gelatin. Pada beberapa jenis lumut kerak yang bergelatin, kulit atas juga

kekurangan satu atau beberapa sel tipis. Namun, permukaan tersebut dapat

ditutupi oleh epidermis (Misra & Agrawal, 1978). Alga sangat penting bagi untuk

memenuhi kebutuhan nutrisi lumut kerak, karena alga dapat melakukan

fotosintesis (Moore, 1972). Secara umum, lapisan atas alga diketahui dapat

menerima cahaya sinar matahari. Simbiosis yang terjadi mengakibatkan kedua

komponen tersebut saling tergantung satu sama lain. Lumut kerak dapat

mengabsorbsi air dari hujan, aliran permukaan, dan embun.

2. Lapisan Alga

Lapisan ini berada di bawah lapisan cortex atas yang terdiri atas lapisan

gonidial. Lapisan ini merupakan jalinan hifa fungi yang bercampur dengan alga.

Berdasarkan penyebaran lapisan alga pada talusnya, lumut kerak telah

diklasifikasikan menjadi dua katagori yaitu homoiomerus dan heteromerous.

7

Pada homoimerus, sel alga tersebar merata pada jaringan longgar hifa fungi

sedangkan pada heteromerus sel-sel alga terbatas pada lapisan atas talus

(Misra & Agrawal, 1978).

3. Medulla Menurut Misra & Agrawal (1978), lapisan medulla terdiri dari jalinan

longgar hifa-hifa. Lapisan ini akan memberikan kekuatan dan penghubung antara

lapisan bawah dan atas atau bagian luar dan dalam talus. Menurut Fink (1961),

lapisan ini menyerupai parenkim bunga karang seperti pada jaringan daun.

Pembagian atau pemisahan antara lapisan alga dan lapisan medula tidak selalu

terjadi secara sempurna. Pada lapisan ini hanya sedikit terdapat sel-sel alga, dan

pada umumnya lapisan ini relatif tebal dan tidak berwarna atau transparan.

4. Korteks Bawah Menurut Fink (1961), lapisan korteks bagian bawah sangat mirip dengan

lapisan cortex bagian atas. Pada lapisan ini akan terbentuk rizoid yang

berkembang masuk ke substrat. Jika rizoid tidak ada, maka fungsinya akan

digantikan oleh hifa-hifa fungi yang merupakan perpanjangan hifa dari lapisan

medulla.

Menurut Meler & Chapman (1983) diacu dalam Ronoprawiro (1989)

menyatakan bahwa hubungan fungi dan alga merupakan simbiosis dan

hubungan ini terjadi melalui houstoria, yaitu terjadi pelekatan yang erat benang

fungi pada alga. Pada lumut kerak, terdapat dua tipe houstoria, yaitu houstoria

intramembran yang hanya masuk ke dalam dinding sel alga dan tidak banyak

yang melewatinya dan houstoria intrasel, masuk jauh ke dalam sel alga

(Pevelling, 1973; Fitting et al., 1954 diacu dalam Ronoprawiro, 1989). Lumut

kerak yang memiliki struktur talus yang jelas pada umumnya hanya mempunyai

houstoria intramembran (Tschermak, Geitler, Plessl, cit Pevelling, 1973 diacu

dalam Ronoprawiro, 1989).

D. Habitat dan Penyebaran Lumut Kerak

Lumut kerak hidup sebagai tidak hanya menjadi tumbuh pada pohon-

pohonan, tetapi juga di atas tanah, terutama pada daerah tundra di sekitar kutub

utara. Lokasi tumbuhnya dapat di atas maupun di dalam batu dan tidak terikat

pada tingginya tempat di atas permukaan laut. Lumut kerak dapat ditemukan dari

tepi pantai sampai di atas gunung-gunung yang tinggi. Tumbuhan ini tergolong

dalam tumbuhan perintis yang ikut berperan dalam pembentukan tanah.

8

Beberapa jenis dapat masuk pada bagian pinggir batu-batu, yang biasa disebut

sebagai bersifat endolitik (Tjitrosoepomo, 1981). Lumut kerak juga dapat hidup

dan tumbuh pada habitat yang agak kering (Polunin, 1990).

Menurut Fink (1981), lumut kerak yang ada pada pohon umumnya tumbuh

pada batang atau bagian batang yang lebih rendah. Menurut Pandey & Trivendi

(1977); Misra & Agrawal (1978), habitat lumut kerak dapat dibagi menjadi 3

katagori, yaitu :

1) Saxicolous adalah jenis lumut kerak yang hidup di batu. Menempel pada

substrat yang padat dan di daerah dingin.

2) Corticolous adalah jenis lumut kerak yang hidup pada kulit pohon. Jenis ini

sangat terbatas pada daerah tropis dan subtropis, yang sebagian besar

kondisi lingkungannya lembab.

3) Terricolous adalah jenis lumut kerak terestrial, yang hidup pada permukaan

tanah.

Menurut Pandey & Trivendi (1977); Fitting et al. (1954) diacu dalam

Ronoprawiro (1989); Misra & Agriwal (1978), penyebaran koloni lumut kerak

dapat terjadi secara vegetatif yaitu dengan cara fragmentasi, soredia, dan isidia

serta secara seksual. Penyebaran secara vegetatif secara tidak langsung dapat

dibawa oleh air, angin, serangga atau satwa (Moore, 1972). Air hujan sangat

penting dalam penyebaran soredia, meskipun dengan angin juga dapat terjadi

penyebaran.

Menurut Pandey & Trivendi (1977), fragmentasi merupakan salah satu cara

penyebaran secara vegetatif yang paling umum dijumpai. Lumut kerak yang

kering dengan kondisi yang sangat rapuh, bila terpisah dari talus utamanya maka

potongan talus tersebut akan terbawa oleh angin atau air sehingga akan jatuh

pada tempat yang baru. Pada tempat yang baru, potongan talus tersebut akan

tumbuh menjadi talus yang baru. Soredia merupakan struktur berbentuk bubuk

yang berwarna putih keabuan atau hijau keabuan, yang biasanya terletak pada

permukaan talus atau pinggiran talus. Soredia akan disebarkan oleh angin atau

air hujan dalam mencari substrat yang sesuai sehingga dapat berkembang

menjadi talus baru. Isidia merupakan struktur yang memiliki bentuk seperti

karang yang terdapat pada permukaan atau pinggiran talus.

Untuk reproduksi seksual terbatas untuk pasangan fungi yang terdapat

pada lumut kerak, sebab sebagian besar komponen fungi pada lumut kerak

termasuk dalam golongan Ascomycetes. Reproduksi ini meliputi pembentukan

9

askokarp dalam struktur khusus yang disebut dengan asci, tumbuh pada

apotesium atau peritesium. Banyak jenis fungi pada lumut kerak membentuk

askokarp, tergantung pada golongannya.

Menurut Vashishta (1982) diacu dalam Januardania (1995), menyebutkan

bahwa ada beberapa faktor yang membantu penyebaran lumut kerak.

Penyebaran secara vegetatif merupakan cara efisien membantu penyebarannya,

hal tersebut juga didukung oleh sifat lumut kerak yang memiliki ketahanan

terhadap suhu dan kelembaban yang ekstrim.

E. Pengaruh Faktor Lingkungan bagi Lumut Kerak

1. Faktor Lingkungan

a. Suhu udara

Pertumbuhan lumut dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, antara

lain suhu udara, kelembaban udara dan kualitas udara. Lumut kerak memiliki

kisaran toleransi suhu yang cukup luas. Lumut kerak dapat hidup baik pada suhu

yang sangat rendah atau pada suhu yang sangat tinggi. Lumut kerak akan

segera menyesuaikan diri bila keadaan lingkungannya kembali normal. Salah

satu contohnya alga jenis Trebouxia tumbuh baik pada kisaran suhu 12-24°C,

dan fungi penyusun lumut kerak pada umumnya tumbuh baik pada suhu 18-21°C

(Ahmadjian, 1967).

b. Kelembaban udara

Walaupun lumut kerak tahan pada kekeringan dalam jangka waktu yang

cukup panjang, namun lumut kerak tumbuh dengan optimal pada lingkungan

yang lembab (Ronoprawiro, 1989).

c. Kualitas Udara

Menurut Kristanto (2002), udara adalah suatu campuran gas yang berada

pada lapisan yang mengelilingi bumi, dengan komposisi campuran gas tersebut

tidak selalu konstan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999;

Soedirman (1975) diacu dalam Ryadi (1982); Kozak & Sudarmo (1992) diacu

dalam Purnomohadi (1995), pencemaran udara adalah masuknya atau

dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain berupa debu, uap air, bau,

asap, dan berbagai jenis gas lainnya yang dalam jumlah konsentrasi, sifat dan

lama waktu keberadaannya di atmosfer, sehingga mutu udara ambien turun

sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat

10

memenuhi fungsinya dan dapat menyebabkan gangguan terhadap lingkungan

disekitarnya baik terhadap gangguan kesehatan, kerusakan pada kualitas

barang/benda tertentu atau kenyamanan makluk disekitarnya.

Kemampuan lumut kerak untuk merespon perubahan yang ditimbulkan

oleh kondisi lingkungan menyebabkan lumut kerak dapat dipakai sebagai

bioindikator untuk pencemaran udara (Galun, 1988 diacu dalam Noer, 2004). Hal

tersebut dijelaskan oleh Woodruff (1996) diacu dalam Simonson (1996) yang

menyatakan bahwa berdasarkan objek penelitian yang telah dilakukan beberapa

jenis lumut kerak dapat menjadi indikator dalam waktu pendek karena

pertumbuhannya yang lambat dan di dalam sel terdapat bahan campuran dari

polusi yang telah telah ada.

2. Biondikator Kualitas Udara.

Alexopolous & Mims (1979) menyatakan bahwa pusat kota dengan polusi

industri beratnya tidak ditemukan atau jarang ditemukan lumut kerak. Populasi

lumut kerak secara bertahap bertambah pada jarak semakin jauh dari pusat kota

tersebut. Dengan demikian lumut kerak dapat digunakan sebagai petunjuk

didalam program mengukur kualitas lingkungan, dimana bahwa tidak ada

organisme lain yang lebih peka terhadap sulfur dioksida (SO2) daripada lumut

kerak. Sulfur dioksida (SO2) merupakan hasil samping pembakaran batubara (dan

juga minyak bumi pada batas-batas tertentu) dan bentuk sulfur lainnya, dimana

hasil-hasil tersebut akan mempengaruhi banyak tumbuh-tumbuhan khususnya

lumut kerak (Lubis, 1996).

Menurut Noer (2004), jenis–jenis lumut kerak yang tumbuh di daerah

tercemar berat antara lain adalah Desmococcus viridis, L. conizoides, Lepraria

incana, B. punctata, Diploicia canescens, L. expallens, Xanthoria parietina,

Cladonia coniocraea, C. macilenta, dan L. dispersa. Untuk jenis–jenis lumut

kerak yang tumbuh pada daerah yang tercemar sedang antara lain Hypogymnia

physodes, Ramalina farinacea, Evernia prunastri, Physia adscendens, Physia

tenella, Lecanora chlarotera, Foraminella ambigua, Platismatia glauca, Lecidella

elaeochroma, P. sulcata, P.saxatilis, P. glabratula. Jenis–jenis lumut kerak yang

tumbuh di daerah tercemar ringan adalah Pseudevernia furfuracea, Bryria

fuscescens, Physconia distorta, Physconia enteoxantha, Phaeophysia

orbicularis, Physia aipolia, Opegrapha varia, P. cerperta, P.a acetabulum, G.

11

scripta, G. elegans, dan Anaptychia ciliaris. Jenis–jenis lumut kerak yang tumbuh

di daerah yang bersih adalah Usnea rubicunda, U. subfloridana, U. florida, U.

articulata, Teloschistes flavicans, Lobaria pulmonaria, P. perlata, Lobaria

scrobiculata, R. fastigiata, R. fraxinea, R. calicaris, Pannaria rubiginosa, dan

Degelia plumbea.

Menurut Clark et al. (1999) diacu dalam Wijaya (2004), ada beberapa sifat

lumut kerak yang ideal sebagai bioindikator antara lain :

1) Secara geografis penyebarannya luas

2) Morfologinya tetap meskipun terjadi perubahan musim

3) Tidak memiliki kutikula, sehingga mempermudah air, larutan dan logam serta

mineral diserap oleh lumut kerak

4) Nutrisinya tergantung dari bahan-bahan yang diendapkan dari udara

5) Mampu menimbun pencemar selama bertahun-tahun

Menurut Kovacs (1992), lumut kerak sangat peka terhadap emisi pencemar

bila dibanding dengan tumbuhan tinggi. Adapun kepekaan tersebut dikarenakan

adanya perbedaan fisiologis dan morfologi, yaitu :

1) Kandungan klorofil yang sangat kurang, sehingga mengakibatkan laju

fotosintesis dan metabolisme yang rendah serta kemampuan regenerasi yang

terbatas.

2) Tidak adanya kutikula, maka pencemar dapat dengan mudah masuk ke

dalam talus.

3) Lumut kerak golongan corticolous, dapat menyerap air dan nutrien langsung

dari udara.

4) Keseimbangan air di dalam lumut kerak hampir sepenuhnya untuk menjaga

kelembaban atau presepitasi, sehingga menyebabkan kesempatan untuk

asimilasi dan regenerasi menjadi terbatas.

5) Lumut kerak dapat mengakumulasi berbagai macam bahan tanpa melakukan

seleksi.

6) Sekali bahan pencemar diserap, maka akan diakumulasikan dan tidak

dieksresikan.

7) Terjadi perubahan warna talus, akibat adanya bahan pencemar.

Kadar tertentu zat pencemar udara akan mampu menghambat

pertumbuhan lumut kerak, tetapi logam-logam berat tidak banyak mempengaruhi

pertumbuhan lumut kerak. Lumut kerak dan Bryophyta akan mampu menimbun

12

logam-logam berat yang dipancarkan ke udara lebih cepat daripada tanaman

tinggi (Noer dan Bonito, 1982 diacu dalam Soedaryanto et al., 1992).

Menurut Garty (2000) diacu dalam Wijaya (2004), berdasarkan daya

sensitivitasnya terhadap pencemar udara maka lumut kerak dikelompokkan

menjadi tiga yaitu: sensitif, merupakan jenis yang sangat peka terhadap

pencemaran udara, pada daerah yang telah tercemar jenis ini tidak akan

dijumpai; toleran merupakan jenis yang tahan (resisten) terhadap pencemaran

udara dan tetap mampu hidup pada daerah yang tercemar; pengganti

merupakan jenis yang muncul setelah sebagian besar komunitas lumut kerak

yang asli rusak karena pencemaran udara.

Menurut Noer (2004), terdapat beberapa parameter yang dapat

dipergunakan dalam penelitian lumut kerak untuk mengukur adanya pencemaran

udara :

1) Keanekaan ; jumlah jenis yang terdapat di setiap substrat yang diamati. Pada

daerah dimana pencemaran telah terjadi, jumlah jenis yang ada sedikit dan

jenis-jenis yang peka sekali akan hilang.

2) Pertumbuhan ; diamati dengan melihat keadaan morflogi dan warna

talusnya. Lumut kerak di daerah yang tercemar pertumbuhannya kurang

baik, warnanya pucat atau berubah.

3) Kesuburan ; dilihat ada tidaknya alat berkembangbiak yaitu soredia, isidia,

lobules, chypellae dan chepaloidia. Pada daerah tercemar, lumut kerak yang

ada kurang subur dan alat berkembang biak tidak ada.

4) Frekuensi ; penyebaran dan pengelompokan lumut kerak pada setiap

substrat yang diamati, sedangkan frekuensi adalah kehadiran lumut kerak

pada setiap pohon contoh di masing-masing stasiun pengamatan.

5) Persentase penutupan (density) ; diukur dengan menghitung luas penutupan

lumut kerak pada substrat atau habitat yang diamati.

III. METODE PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan industri Pulo Gadung, arboretum Cibubur

Jakarta, dan tegakan mahoni Cikabayan. Pengambilan data di lapangan,

dilaksanakan pada bulan September sampai dengan bulan Desember 2005.

B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan dan alat yang digunakan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Bahan dan Alat yang Digunakan dalam Penelitian No Nama Fungsi

Bahan 1 Peta lokasi Melihat lokasi penelitian 2 Plastik transparan Menggambar lumut kerak 3 Amplop Menyimpan sampel lumut kerak 4 Akuades, laktofenol-analin blue,

tissue Membuat preparat

Alat 5 Pita meteran Mengukur keliling batang pohon 6 Kape, pahat, dan martil Mengambil sampel lumut kerak 7 Termometer bola basah dan bola

kering Mengukur suhu (ºC) dan kelembaban udara (%)

8 Planimeter Mengukur luas lumut kerak 9 Imvinger dan dust sampler Mengukur kualitas udara 10 Alat tulis dan tally sheet Mencatat hasil 11 Kamera Dokumentasi 12 Object glass, cover glass, pinset,

pipet, pisau silet, dan mikroskop Melihat ciri-ciri mikroskopik

C. Metode 1. Pemilihan Lokasi Contoh Lokasi contoh pengamatan pada masing-masing lokasi ditentukan secara

purposive/sengaja yaitu dengan kriteria lokasi merupakan habitat tumbuhnya

lumut kerak dengan dugaan memiliki kondisi kualitas udara yang berbeda.

Pemilihan lokasi pengamatan yaitu di kawasan industri Pulo Gadung (A) dan

arboretum Cibubur (B) dan tegakan mahoni Cikabayan (C) merupakan daerah

relatif tidak tercemar.

14

2. Jenis Data Talus lumut kerak yang diamati terbagi secara makroskopik dan

mikroskopik. Pengamatan secara mikroskopik mencakup bentuk, keadaan serta

warna talus lumut kerak, luas talus lumut kerak serta frekuensi perjumpaan serta

melakukan komposisi jenis (melalui pendekatan tipe morfologi talus lumut kerak).

Pengamatan secara mikroskopik dilakukan untuk melihat struktur jaringan

penyusun talus lumut kerak.

Jenis data faktor biotik yang diperoleh adalah jenis tanaman sebagai

substrat bagi lumut kerak dan keliling batang atas tanaman, sedangkan jenis

data faktor abiotik yang diperoleh adalah iklim mikro, terdiri dari suhu dan

kelembaban udara rata-rata serta kandungan udara ambien.

3. Prosedur Pengambilan Data a. Data Lumut Kerak

Membuat lokasi contoh pengamatan berbentuk lingkaran seluas 0,1 ha,

kemudian melakukan pengamatan secara makroskopik terhadap tiap unit contoh

pohon. Ciri-ciri yang diamati antara lain adalah warna, bentuk, dan keadaan talus

serta luas talus lumut kerak pada batang tanaman yang terletak pada jarak 5

meter, 10 meter, dan 25 meter dari titik pengukuran kualitas udara. Pengambilan

titik pengamatan data lumut kerak yang tumbuh pada kedua sisi batang pohon

(menghadap dan membelakangi titik pengukuran kualitas udara ambien).

Langkah-langkah yang dilakukan dalam mengukur luas lumut kerak

sebagai berikut :

1) Mengukur lingkar batang bawah pohon pada ketinggian 150 cm dari

permukaan tanah dan lingkar batang pohon pada tepat di atas permukaan

tanah.

2) Menggambar luas lumut kerak tersebut pada batang pohon bagian bawah

pada plastik transparan.

3) Menghitung luas lumut kerak pada setiap pohon dengan menggunakan

planimeter.

Contoh talus yang diambil adalah yang tumbuh pada batang tanaman pada

ketinggian 0-150 cm di atas permukaan tanah. Contoh talus disimpan dalam

amplop, kemudian diberi label/keterangan. Contoh talus tersebut akan di

identifikasi di Herbarium Bogorensis dan dilakukan pengamatan secara

mikroskopik.

15

Pengamatan secara mikroskopik dilakukan pada beberapa jenis lumut

kerak. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui struktur internal jaringan talus

lumut kerak. Lumut kerak diiris setipis mungkin dengan menggunakan silet. Irisan

diletakkan di atas gelas objek, kemudian diberi beberapa tetes air dan diberi

gelas penutup lalu diamati strukturnya dengan menggunakan mikroskop. Setelah

mendapatkan struktur lumut kerak yang jelas, baru ditambahkan laktofenol-analin

blue dengan cara meneteskannya disamping gelas penutup dan kelebihan

larutan diserap dengan menggunakan tissue (Trisusanti, 2003).

b. Faktor Abiotik

Melakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara dengan digantungkan

pada ketinggian sekitar 120 cm di atas permukaan tanah (Pukul 07.30; 13.30;

dan 17.30 WIB). Pengukuran dilakukan dalam kurun waktu satu bulan dan

kemudian melakukan pengukuran kandungan polutan (NO2, CO2, SO2, dan

debu) di udara dengan menggunakan satu set alat pengukur kualitas udara

(impvinger dan dust sampler).

4. Analisis Data a. Luas Talus Lumut Kerak

Menentukan luas suatu jenis lumut kerak dengan menggunakan

planimeter. Luas areal yang diamati sampai setinggi 150 cm pada setiap pohon

contoh dihitung berdasarkan rumus trapesium sebagai berikut (Noer, 2004):

Luas areal yang diamati = ½ x (A+B) x C

Keterangan :

A = Keliling batang atas pohon B = Keliling batang bawah pohon

C = Tinggi batang pohon sampai setinggi 150 cm

b. Frekuensi Perjumpaan Lumut Kerak

Perjumpaan lumut kerak digunakan untuk melihat penyebaran jenis lumut

kerak pada tiap lokasi. Rumus yang digunakan dalam analisis ini adalah :

Perjumpaan jenis = Jumlah titik pengamatan ditemukan suatu jenis lumut kerak

Jumlah seluruh titik pengamatan

c. Ciri Makroskopik Talus Lumut Kerak

Analisis ciri talus lumut kerak secara makroskopik dilakukan secara

deksriptif kualitatif yaitu dengan melihat bentuk, keadaan serta warna talus lumut

kerak pada masing-masing lokasi.

16

d. Ciri Mikroskopis Lumut Kerak

Analisis ciri-ciri mikroskopis terhadap lumut kerak dilakukan secara

deskriptif kualitatif yaitu dengan melihat jaringan-jaringan yang menyusun talus

lumut kerak tersebut.

e. Suhu Udara Harian Rata-rata

Suhu udara rata-rata pada masing-masing lokasi penelitian dilakukan

pengukuran 3 kali sehari yaitu pada pukul 07.30, 13.30, dan 17.30 WIB, dengan

menggunakan rumus sebagai berikut :

Suhu Udara (T) = (2 x T pagi) + ( T siang) + (T sore)

4

f. Kelembaban Udara Harian Rata-rata

Kelembaban udara rata-rata pada masing-masing lokasi penelitian

dilakukan pengukuran 3 kali sehari. Rumus yang digunakan untuk menghitung

kelembaban udara harian adalah:

Kelembaban udara (KU) = (2 x KU pagi) + ( KU siang) + (KU sore)

4

g. Kandungan Udara Ambien

Analisis hasil kandungan udara ambien dilakukan secara deskriptif

kualitatif, kemudian membandingkan dengan peraturan pemerintahan yang ada

yaitu Peraturan Pemerintahan No. 41 Tahun 1999.

D. Kerangka Pemikiran

Udara merupakan penunjang utama kehidupan. Pada saat kondisi normal,

udara yang terdiri atas campuran berbagai gas dan debu memiliki komposisi

yang relatif konstan dan udara normal ini berkualitas baik. Namun, bila terjadi

kontaminan pada konsentrasi yang sudah melebihi ambang batas maka

komposisi udara tersebut dapat berubah dan kualitasnya pun akan turun.

Menurut Noer (2004), apabila batas tersebut dilampaui akan timbul

berbagai kerugian karena terjadi perubahan keseimbangan ekosistem. Batas

toleransi tersebut sulit untuk diketahui, akan tetapi beberapa tumbuhan dan

hewan yang mempunyai kepekaan terhadap perubahan lingkungan dapat

17

dipakai sebagai petunjuk secara dini untuk mengetahui adanya pencemaran

udara. Tumbuhan yang peka tersebut dapat digunakan sebagai indikator biologi.

Adapun pengetahuan tentang jenis-jenis lumut kerak dalam hal ini pada batang

pohon (corticolous) dan respon tumbuhnya, hubungannya dengan tingkat

pencemaran udara merupakan hal dasar untuk mempelajari kepekaan suatu

jenis lumut kerak dan peranannya sebagai indikator biologi.

Gambar 3. Bagan Alir Kerangka Pemikiran

Kualitas udara Polutan

Lumut kerak corticolous

Bioindikator

Jumlah jenis lumut kerak pada batang pohon

Luas koloni lumut kerak pada batang pohon

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil 1. Karakteristik Tempat Hidup Lumut Kerak a. Kawasan Industri Pulo Gadung

Kawasan industri Pulo Gadung ditetapkan melalui Surat Keputusan

Gubernur No. 1b.3/2/35/69 pada tanggal 20 Mei 1969 dengan luas 415 ha serta

Surat Keputusan No. 424 tanggal 29 April 1988 dan revisi Surat Keputusan No.

519 tanggal 14 Maret 1988 dengan tambahan luas 183 ha. Pada saat ini terdapat

± 420 unit perusahaan, yang dalam komponen kegiatannya dapat berpotensi

menimbulkan perubahan lingkungan (PT. JIEP & PT. NINCEC Multi Dimensi,

2005).

Kawasan industri Pulo Gadung merupakan daerah yang datar dengan

curah hujan sedang (2000-2300 mm) per tahun dan dengan ketinggian dari

permukaan laut berkisar 7-14 m (PT. JIEP & PT. NINCEC Multi Dimensi, 2005).

Tanaman yang ada pada lokasi pengamatan terdiri atas 5 jenis yaitu

mahoni (Swietenia sp.), johar (Cassia siamea), angsana (Pterocarpus indicus),

tanjung (Mimosops sp.) dan saga (Adenanthera pavonina) dengan keliling

batang bagian atas berkisar antara 13-58 cm. Pada lokasi pengamatan,

persentase jenis tumbuhan berturut-turut dari yang terbesar johar (51%), mahoni

(24%), tanjung (16%), saga (7%), dan angsana (2%) (Gambar 4; Gambar 5;

Lampiran 1a).

7%16%

51%

24%2% Adenanthera pavonina

Mimosops sp.Cassia siameaSwietenia sp.Pterocarpus indicus

Gambar 4. Jenis Tanaman Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung

19

(a)

(b)

(c)

Gambar 5. Kondisi Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung. (a) Lokasi Pengamatan (b) Aktivitas Transportasi (c) Kondisi Tanaman

b. Arboretum Cibubur

Arboretum wanawisata pramuka Cibubur dibangun oleh Departemen

Kehutanan dengan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka berdasarkan surat No.

229/OA/K/KM/1981 pada tanggal 24 Februari 1981 dan Departemen Pertanian

berdasarkan surat perjanjian No. 1/Mentan/KS/VI/8/089/1981. Secara

administratif bumi perkemahan Cibubur berada di daerah Cibubur Jakarta Timur

(Departemen Kehutanan, 1991).

Area ini memiliki arboretum seluas 20 ha dengan topografi datar sampai

landai serta bagian tengah yang cekung pada ketinggian ± 30 meter dari

permukaan laut. Daerah ini memiliki jenis tanah latosol warna merah coklat, serta

memiliki pengaruh curah hujan mencapai 2.800 mm per tahun, dengan 147 hari

yang hampir merata setiap tahunnya, serta suhu berkisar 22-32°C (Departemen

Kehutanan, 1991).

20

Pengamatan di arboretum Cibubur mencakup 0,2 ha. Jenis tanaman

yang terdapat pada lokasi pengamatan terdiri atas angsana, mahoni, krey

Payung (Filicium desipiens), saga, tanjung, karet (Hevea sp.), ki putri

(Podocarpus nerifolii), sapu tangan (Maniltoa grandiflora), kayu manis

(Cinnamomum sp.) dan jamuju (Podocarpus imbricata). Jenis tanaman yang

berada pada lokasi pengamatan memiliki keliling batang bagian atas (pada

ketinggian 150 cm dari atas permukaan tanah) berkisar antara 22-227 cm. Pada

lokasi pengamatan di arboretum Cibubur, persentase jenis tumbuhan berturut-

turut dari yang terbesar mahoni (26%), karet (19%), krey payung (15%), angsana

(11 %), tanjung (11%), ki putri (11%), saga (9%), jamuju (2%), sapu tangan (2%)

dan kayu manis (2%) (Gambar 6; Gambar 7; Lampiran 1b).

11%13%

9%

22%11%11%

17%

2%

2%

2% Pterocarpus indicusFilicium desipiensAdenanthera pavoninaSwietenia sp.Podocapus nerifoliiMimosops elingiHevea sp.Podocapus imbricataCinnamomum sp.Maniltoa grandiflora

...

Gambar 6. Jenis Tanaman Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur

(a)

(b)

Gambar 7. Kondisi Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur. (a) dan (b) Kondisi

Lokasi Pengamatan

21

c. Tegakan Mahoni Cikabayan Kampus IPB Dramaga

Kampus IPB Darmaga terletak di Desa Babakan, Kecamatan Darmaga

Kabupaten Bogor, yang berjarak kurang lebih 10 km ke arah Barat dari Kota

Bogor. Secara geografis terletak antara 6°30’-6°45’ LS dan 106°45’-106°50’ BT.

Tipe curah hujan di areal ini termasuk tipe A menurut klasifikasi Schmidt dan

Ferguson, dengan curah hujan rata-rata tahunan sebesar 3500 mm per tahun

dan dengan jumlah hari hujan 187 per tahun. Kelembaban nisbi rata-rata per

tahun 88% dan suhu rata-rata sepanjang tahun sebesar 20-30°C. Taman Hutan

blok Cikabayan terletak di sebelah barat laut kampus IPB Darmaga, berjarak

kurang lebih 1 km dari Kampus Fakultas Kehutanan. Areal ini berada di dekat

dua pertemuan sungai, perbatasan antara kampus dan daerah persawahan dan

permukiman penduduk, jauh dari keramaian dan dekat dengan suasana alami,

dengan batas-batasnya yaitu di sebelah Utara dibatasi oleh areal pusat studi

Biofarmaka dan Sungai Cisadane, sebelah Timur Sungai Ciapus, sebelah

Selatan Perumahan Dosen IPB (Jl. Lengkeng 2) dan sebelah Barat areal praktek

Fakultas Pertanian. Jenis tanaman dominan yang ada di lokasi pengamatan

adalah jenis Swietenia sp. dengan keliling batang atas tanaman yang diamati

berkisar antara 28–53 cm (Gambar 8).

Gambar 8. Lokasi Pengamatan Tegakan mahoni Cikabayan

2. Karakteristik abiotik a. Kualitas Udara Ambien

Pengambilan sampel udara dilakukan pada saat musim hujan yaitu sekitar

tanggal 19 Desember 2005. Pada kawasan industri Pulo Gadung, pengambilan

sampel udara ambien dilakukan pada pukul 08.52-09.52 WIB dengan suhu udara

berkisar 29,5-31,8°C dan kelembaban udara berkisar 64,2-74,9%. Pada kawasan

22

industri Pulo Gadung terdapat beberapa pabrik yang dalam kegiatan produksinya

dan kegiatan transportasi diduga akan memberikan kontribusi pada udara

ambien pada lingkungan sekitarnya.

Pada arboretum Cibubur, pengambilan sampel udara ambien dilakukan

pada pukul 11.13-12.13 WIB dengan suhu udara berkisar 32,6–34,2°C dan

kelembaban udara berkisar 53,4-68,2%. Pada tegakan mahoni Cikabayan

dilakukan pengambilan sampel udara ambien pada pukul 14.04-15.04 WIB

dengan suhu udara berkisar 28,2-30,0°C dan kelembaban udara berkisar 69,3-

76,7%.

Pengukuran nilai kandungan sampel udara ambien dengan parameter

debu, karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (NO2) dan sulfur dioksida (SO2)

masih jauh berada di bawah ambang batas baku mutu udara menurut Peraturan

Pemerintah No. 41 Tahun 1999.

Berdasarkan hasil pengukuran, lokasi yang memiliki kandungan udara

ambien berturut-turut dari yang tertinggi adalah kawasan industri Pulo Gadung,

arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan.

Dengan rincian, pada kawasan industri Pulo Gadung didapatkan

kandungan CO2 sebesar 342 ppmv, debu sebesar 61 μg/Nm3, NO2 sebesar 21

μg/Nm3/Jam dan SO2 sebesar 12 μg/Nm3/Jam. Pada arboretum Cibubur

didapatkan kandungan CO2 sebesar 336 ppmv, debu sebesar 45 μg/Nm3, NO2

sebesar 15 μg/Nm3/Jam dan SO2 sebesar 8 μg/Nm3/Jam. Kemudian, pada

tegakan mahoni Cikabayan didapatkan kandungan CO2 sebesar 325 ppmv, debu

sebesar 22 μg/Nm3, NO2 sebesar 15 μg/Nm3/Jam dan SO2 sebesar 6

μg/Nm3/Jam (Tabel 2; Lampiran 2).

Tabel 2. Kandungan Udara Ambien

Parameter Lokasi Peraturan Pemerintah No 41

Tahun 1999 Kawasan Industri Pulo Gadung

Arboretum Cibubur

Tegakan Mahoni Cikabayan

Debu (μg/Nm3) 61 45 22 230 (μg/Nm3) Karbon dioksida (CO2) (ppmv)

342 336 325 -

Nitrogen dioksida (NO2) (μg/Nm3/Jam)

21 15 10 400 (μg/Nm3/Jam)

Sulfur dioksida (SO2) (μg/Nm3/Jam)

12 8 6 900 (μg/Nm3)

23

b. Suhu dan Kelembaban Udara

Kondisi iklim mikro pada lokasi pengamatan kawasan industri yang terdiri

atas suhu udara rata–rata berkisar antara 29,4-31,8ºC dan kelembaban udara

rata-rata berkisar antara 69-75%. Pada arboretum Cibubur Jakarta memiliki suhu

udara rata–rata berkisar antara 25,8–30,0ºC dengan kelembaban udara rata–rata

berkisar antara 78-95%, sedangkan pada tegakan mahoni Cikabayan memiliki

suhu udara rata–rata berkisar antara 25,3–27,8ºC dengan kelembaban udara

rata–rata berkisar antara 84–95% (Gambar 9; Lampiran 3).

Keterangan: A = Kawasan industri Pulo Gadung B = Arboretum Cibubur C = Tegakan mahoni Cikabayan

Gambar 9. Suhu dan Kelembaban Udara Rata-rata

3. Jenis-jenis Lumut Kerak yang Ditemukan

a. Jenis Lumut Kerak yang ditemukan pada tiga lokasi pengamatan

Jenis lumut kerak yang ditemukan selama penelitian sebanyak 12 jenis.

Lumut kerak yang tidak teridentifikasi terdiri atas 3 jenis lumut kerak, terdiri atas

2 jenis lumut kerak dengan tipe morfologi crustose dan 1 jenis lumut kerak

dengan tipe morfologi foliose (Tabel 6).

30,46 27,4 26,1

72

86 90

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

100

A B C

Kelembaban udara (%)

Suhu udara (°C)

24

Tabel 3. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan pada Tiga Lokasi Pengamatan No Kode Jenis lumut kerak Lokasi

A B C 1 Spesies I Phaeographis sp. v - v 2 Spesies II Strigula sp. v v v3 Spesies III Dirinaria cf. picta v - - 4 Spesies IV Heterodermia sp. - v v5 Spesies V Parmelia cf autrosinensis - v - 6 Spesies VI - - v v7 Spesies VII Verrucaria sp. - v v8 Spesies VIII Parmelia sp. - - v9 Spesies IX - - - v10 Spesies X - - - v11 Spesies XI Grapidaceae - - v12 Spesies XII Grapidaceae - v vKeterangan: A : Lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung B : Lokasi pengamatan arboretum Cibubur C : Lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan v : hadir/ditemui

b. Tipe Morfologi Talus Lumut Kerak

Jenis lumut kerak berdasarkan tipe morfologi talus, pada masing-masing

lokasi pengamatan terdiri atas tipe talus crustose dan foliose. Jenis lumut kerak

dengan tipe morfologi crustose lebih banyak ditemukan dibanding dengan tipe

morfologi foliose (Gambar 10).

Keterangan: A = Lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung B = Lokasi pengamatan arboretum Cibubur C = Lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan

Gambar 10. Jumlah Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan Berdasarkan Tipe Morfologi Talus

23

7

12

3

0

2

4

6

8

A B C

Crustose

Foliose

25

Pada lokasi pengamatan kawasan industri ditemukan 3 jenis lumut kerak

yaitu Spesies I, Spesies II dan Spesies III (Tabel 4). Dengan tipe morfologi talus terdiri atas 2 tipe crustose dan 1 tipe foliose. Jumlah yang ditemukan pada jalur

pengamatan 5 meter dari sumber polutan ditemukan sebanyak 1 jenis, 10 meter

dari sumber polutan sebanyak 2 jenis dan jarak 25 meter dari sumber polutan

sebanyak 2 jenis.

Tabel 4. Jenis Lumut Kerak Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung

No Suku Jenis Tipe morfologi talus

1 Graphidaceae Spesies I (Phaeographis sp.) Crutose

2 Strigulaceae Spesies II (Strigula sp.) Crutose 3 Physiceace Spesies III (Dirinaria cf. picta) Foliose Pada lokasi pengamatan di arboretum Cibubur ditemukan sebanyak 6 jenis

lumut kerak, terdiri atas 4 tipe talus crustose dan 2 tipe talus foliose (Tabel 5).

Pada lokasi pengamatan jarak 5 meter ditemukan 6 jenis lumut kerak, pada jarak

10 meter dari titik pengukuran dapat ditemukan 5 jenis lumut kerak dan pada

jarak 25 meter dapat ditemukan 3 jenis lumut kerak.

Tabel 5. Jenis Lumut Kerak Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur No Suku Jenis Tipe morfologi talus

1 Parmeliaceae Spesies IV (Heterodermia sp.) Foliose

2 Parmeliaceae Spesies V (Parmelia cf austrosinensis) Foliose

3 Strigulaceae Spesies II (Strigula sp.) Crustose

4 - Spesies VI (Tidak teridentifikasi) Crustose

5 Verrucariacae Spesies VII (Verrucaria sp.) Crustose 6 Graphidaceae Spesies XII (Graphidaceae) Crustose

Pada tegakan mahoni Cikabayan, jenis lumut kerak yang ditemui cukup

banyak dengan warna yang bervariasi. Jenis-jenis lumut kerak yang ditemukan,

yaitu terdiri atas 10 jenis lumut kerak, dengan rincian 7 jenis merupakan tipe

talus crustose dan 3 jenis lumut kerak merupakan tipe talus foliose (Tabel 6).

26

Tabel 6. Jenis Lumut Kerak Lokasi Pengamatan Tegakan Mahoni Cikabayan No Suku Jenis Tipe morfologi talus

1 Graphidaceae Spesies I (Phaeographis sp.) Crustose 2 Strigulaceae Spesies II (Strigula sp.) Crustose 3 Parmeliaceae Spesies IV (Heterodermia sp.) Crustose 4 Graphidaceae Spesies VI (Tidak teridentifikasi) Foliose 5 Verrucariaceae Spesies VII (Verrucaria sp.) Crustose 6 Parmeliaceae Spesies VIII (Parmelia sp.) Foliose 7 - Spesies IX (tidak teridentifikasi) Foliose 8 - Spesies X (tidak teridentifikasi) Crustose 9 Graphidaceae Spesies XI (Graphidaceae) Crustose 10 Graphidaceae Spesies XII (Graphidaceae) Crustose

c. Penggunaan Kulit Batang Tanaman sebagai Substrat Lumut Kerak

Pada lokasi pengamatan di kawasan industri, tercatat bahwa jenis Spesies

III cenderung untuk menggunakan kulit batang jenis tanaman tanjung sebagai

substrat (Tabel 7).

Tabel 7. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan dengan Jenis Tanaman sebagai Substrat pada Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung

No Jenis tanaman Jenis lumut kerak

Spesies I Spesies II Spesies III 1 Tanjung (Mimosops sp. ) - - v 2 Angsana (Pterocarpus indicus) v - - 3 Johar (Cassia siamea) v v - 4 Mahoni (Swietenia sp.) v v - Keterangan: v = hadir/ditemui

Gambar 11. Kulit Batang Tanaman Tanjung sebagai Substrat Spesies III

27

ada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, jenis tanaman yang diamati

diantaranya adalah angsana dan mahoni. Dengan jenis lumut kerak yang

ditemukan antara lain jenis Spesies II, Spesies IV, Spesies V dan Spesies VII.

Jenis lumut kerak yang ditemukan pada substrat kulit batang tanaman (Tabel 8).

Tabel 8. Jenis Lumut Kerak yang Ditemukan dengan Jenis Tanaman sebagai Substrat pada Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur

No Jenis tanaman Jenis lumut kerak

SpesiesII

Spesies IV

Spesies V

SpesiesVI

Spesies VII

Spesies XII

1 Angsana (Pterocarpus indicus)

v v v v v -

2 Mahoni (Swietenia sp.)

v v - v v -

3 Saga (Adenanthera pavonina)

v v - v v -

4 Tanjung (Mimosops elingi)

v - - - v v

5 Karet (Hevea sp.)

v - - - v -

6 Kiputri (Podocarpus nerifolii)

v - - - v -

7 Jamuju (Podocarpus imbricata)

v - - v -

8 Kayu Manis (Cinnamomum sp.)

v - - v v -

9 Krey Payung (Filicium desipiens)

v V - v v -

Keterangan: v = hadir/ditemui

Dari hasil pengamatan yang dilakukan tercatat bahwa terdapat beberapa

spesies yang hanya menggunakan jenis pohon tertentu sebagai substratnya,

yaitu Spesies V hanya menggunakan kulit batang pohon angsana sebagai

substratnya dan Spesies XII dengan jenis kulit tanaman tanjung sebagai

substratnya.

28

Pada lokasi pengamatan di tegakan mahoni Cikabayan Kampus IPB

Darmaga, jenis lumut kerak yang menggunakan batang kulit jenis tanaman

mahoni sebagai substrat terdiri atas Spesies I, Spesies II, Spesies IV, Spesies

VI, Spesies VII, Spesies VIII, Spesies IX, Spesies X, Spesies XI dan Spesies XII.

4. Ciri Makroskopik Talus Lumut Kerak.

a. Bentuk Talus secara Umum

Pengamatan dilakukan secara makroskopik dengan melihat bentuk dan

warna talus. Berdasarkan morfologi talus lumut kerak, lumut kerak yang

ditemukan tergolong ke dalam kelompok crustose dan foliose. Menurut

Januardania (1995), ciri-ciri makroskopik yang paling mudah diamati dan

dibedakan adalah bentuk dan warna talus. Hal tersebut memungkinkan talus

lumut kerak dapat dianalisis secara deskriptif. Talus lumut kerak secara

makroskopik disajikan pada Lampiran 4. Bentuk talus secara umum ditemukan beragam, ada yang memiliki bentuk

lonjong (memanjang), lingkaran serta bentuk yang tidak teratur (Tabel 9; Gambar

12).

Tabel 9. Bentuk Talus Lumut Kerak secara Umum No Jenis lumut

kerak Bentuk Talus

Cenderung membulat

Memanjang vertikal

Memanjang horisontal

Tidak beraturan

A B C A B C A B C A B C1 Spesies I v - - - v - v - - - - - 2 Spesies II v v v - - - - - - - - - 3 Spesies III v - - - - - - - - - - - 4 Spesies IV - - v - - - - - - - v - 5 Spesies V - - - - - - - - - - v - 6 Spesies VI - - - - v - - - - - v v 7 Spesies VII - v v - - - - - - - - - 8 Spesies VIII - - v - - - - - - - - - 9 Spesies IX - - v - - - - - - - - - 10 Spesies X - - v - - - - - - - - - 11 Spesies XI - - - - - - - - - - - v 12 Spesies XII - - - - - - - - - - v vKeterangan: A = Lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung B = Lokasi pengamatan di arboretum Cibubur C = Lokasi pengamatan di tegakan mahoni Cikabayan Kampus IPB Darmaga v = hadir/ditemui

29

Spesies I ditemukan pada dua lokasi pengamatan yaitu lokasi kawasan

industri dan tegakan mahoni Cikabayan. Pada kawasan industri, sebagian besar

bentuk talus Spesies I dengan mahoni sebagai substrat memiliki bentuk

memanjang horisontal. Namun, dengan angsana sebagai substrat memiliki

bentuk yang cenderung membulat. Pada tegakan mahoni, beberapa koloni

spesies I ditemukan dalam bentuk memanjang horisontal.

Menurut Wolsely & Hudson (1994), apotesia merupakan tubuh buah yang

biasa terdapat pada permukaan atas talus, dapat dalam bentuk memanjang

(elongated) dan lirella (lip-like). Berdasarkan hal tersebut, spesies I

(Phaeographis sp.) memiliki apotesia dalam bentuk lirella.

Spesies II dapat ditemukan pada tiga lokasi pengamatan. Jenis ini memiliki

koloni dengan batas talus yang cukup jelas, sehingga mudah untuk dilakukan

pengukuran luas koloni talus. Spesies II memiliki tipe morfologi talus crustose

non-lirella. Pada kawasan industri, bentuk talus cenderung membulat dengan

ukuran yang relatif kecil. Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, kehadiran

lumut kerak ini cenderung untuk bergerombol atau berkelompok. Pada tegakan

mahoni Cikabayan, memiliki kondisi bentuk talus hampir sama dengan lokasi

pengamatan di kawasan industri yaitu dalam memiliki kondisi yang tidak

bergerombol atau mengelompok.

Spesies III ditemukan dengan bentuk talus yang cenderung membulat

dengan batas koloni talus yang kurang tegas. Namun, memiliki keadaan yang

cenderung menggerombol atau mengelompok. Pada spesies ini dapat terlihat

soredia berupa serbuk halus pada permukaan talus.

Spesies IV ditemukan pada dua lokasi yaitu, arboretum Cibubur dan

tegakan mahoni Cikabayan. Spesies ini memiliki ukuran lobus atau cuping yang

relatif kecil bila dibanding Spesies IV dan Spesies V. Pada arboretum Cibubur,

spesies ini berkembang pada tanaman angsana dan saga dalam bentuk talus

yang relatif tidak beraturan dan pecah-pecah. Pada tegakan mahoni Cikabayan

dengan tanaman mahoni sebagai substrat koloni lumut kerak ini, memiliki bentuk

yang relatif cenderung membulat, meskipun tidak teratur.

Jenis lumut kerak Spesies V, pada penelitian ini hanya ditemukan pada

lokasi pengamatan di arboretum Cibubur. Jenis ini cenderung ditemukan dalam

bentuk membulat dengan ukuran lobus atau cuping yang relatif lebih besar dari

jenis Spesies IV. Jenis lumut kerak ini ditemukan pada batang tanaman angsana.

30

Jenis lumut kerak Spesies VI ditemukan pada dua lokasi pengamatan yaitu

pada arboretum cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan. Bentuk talus Spesies

VI pada arboretum Cibubur, cenderung memiliki bentuk talus yang memanjang

(lonjong) secara vertikal dan dengan kondisi pecah-pecah, khususnya pada

tanaman mahoni. Bentuk talus cenderung dalam bentuk yang tidak teratur dan

pecah-pecah (pada kulit tanaman angsana, saga dan krey payung). Pada

tegakan mahoni, secara umum koloni spesies ini berkembang dalam bentuk

yang tidak teratur. Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, warna talus

pada bagian batang 0-50 cm dari permukaan tanah terlihat lebih tebal dan pada

beberapa pohon dapat terlihat jelas apotesianya.

Jenis Spesies VII ditemukan pada dua lokasi pengamatan, yaitu pada

arboretum Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan. Jenis ini memiliki tipe

morfologi talus crustose lirella. Bentuk talus spesies ini memiliki bentuk yang

relatif mirip dengan spesies II dengan warna talus yang relatif sama, yaitu

memiliki warna hijau kebiruan.

Jenis Spesies VIII dan Spesies IX memiliki tipe morfologi foliose. Spesies

VIII ditemukan pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan dengan

bentuk talus cenderung menyerupai lingkaran (membulat). Spesies IX ditemukan

pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan. Spesies ini memiliki bentuk

talus yang cenderung membulat dengan batas talus jelas.

Jenis spesies X memiliki tipe morfologi talus crustose non-lirella. Pada

lokasi pengamatan yaitu pada tegakan mahoni Cikabayan, jenis ini memiliki

bentuk yang relatif mirip dengan spesies II dan VII.

Jenis spesies XI dan XII ditemukan pada tegakan mahoni Cikabayan dan

arboretum Cibubur. Jenis lumut kerak ini memiliki tipe morfologi talus crustose

non-lirella, dengan apotesia pada permukaan talus. Bentuk talus ini cenderung

dalam bentuk yang tidak beraturan, namun sering ditemukan memanjang secara

horisontal pada batang tanaman.

b. Warna talus lumut kerak secara umum

Warna talus lumut kerak yang ditemukan cukup beragam. Warna talus

yang ditemukan antara lain warna putih, hijau, dan warna putih agak pudar

(Tabel 10; Gambar 12).

31

Tabel 10. Warna Talus Lumut Kerak secara Umum No Jenis lumut

kerak Warna Talus

Hijau tua Hijau muda

Hijau keabuan/kusam

Putih Putih keabuan

A B C A B C A B C A B C A B C 1 Spesies I - - - - - - - - - - - - v - v 2 Spesies II v v v v - - - - - - - - - - -3 Spesies III v - - - - - v - - - - - - - - 4 Spesies IV - - v - - - - v - - - - - - - 5 Spesies V - - - - - v - v - - - - - - - 6 Spesies VI - - - v v - - - - - - - - - 7 Spesies VII - - - - - - - - - - v v - v - 8 Spesies VIII - v - - - - - - - - - - - - - 9 Spesies IX - - v - - v - - - - - - - - - 10 Spesies X - - - - - v - - - - - - - - - 11 Spesies XI - - - - - - - - - - - - - - v * 12 Spesies XII - - - - - - - - - - - - - - v * Keterangan: A = Lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung B = Lokasi pengamatan arboretum Cibubur C = Lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan v* = Permukaan talus tidak terlihat jelas

Spesies I memiliki warna talus putih kusam atau abu-abu. Perbedaan

warna pada lokasi pengamatan yang berbeda tidak ditemukan, hal tersebut di

duga karena tipe morfologi talusnya yang melekat pada substrat.

Spesies II mempunyai talus berwarna hijau tua dengan warna putih perak

melingkar pada bagian pinggir talus, sehingga terlihat seperti batas talus. Pada

lokasi pengamatan arboretum Cibubur, beberapa koloni ditemukan bulatan kecil

berwarna kuning kemerahan di tengah talus (apotesia).

Spesies III memiliki kisaran warna talus hijau tua hingga hijau kusam.

Spesies IV memiliki warna lebih tua pada lokasi tegakan mahoni Cikabayan

dibanding dengan spesies yang berkembang pada arboretum Cibubur.

Sedangkan, Spesies V memiliki warna talus hijau keabuan hingga hijau muda.

Spesies VI, spesies VII, dan spesies X memiliki tipe morfologi talus yang

sama namun memiliki warna talus yang berbeda. Spesies VI memiliki warna

putih pada semua bagian talusnya, Spesies VII memiliki warna talus hijau muda,

dan Spesies X memiliki warna talus hijau. Adapun, persamaan antara spesies II

dan Spesies VII adalah memiliki batas berwarna keperakan yang melingkar pada

pinggir koloni talus. Namun, pada Spesies X tidak ditemukan batas yang

melingkari koloni talus.

32

Spesies VIII dan Spesies IX secara makroskopik memiliki tipe talus foliose,

akan tetapi memiliki warna yang relatif berbeda. Pada spesies VIIII talus

berwarna hijau tua hingga hijau muda, sedangkan Spesies IX memiliki warna

talus hijau tua hingga hijau muda keputihan dengan keadaan tengah talus

terdapat bulatan berwarna putih.

Spesies XI dan XII merupakan tipe morfologi crustose lirella dengan warna

talus yang kurang jelas sehingga akan sulit untuk menentukan batas koloni talus.

Adapun perbedaan antar dua spesies ini adalah pada warna apotesia, pada

spesies XI memiliki warna hitam dan spesies XII memiliki warna putih tipis.

(a)

(a)

(b)

( c )

(d) Gambar 12. Bentuk dan Warna Talus Lumut Kerak secara Umum. (a) Bentuk

Cenderung Membulat serta Talus Berwarna Hijau Tua pada Talus Tipe Morfologi Foliose (b) Bentuk Tidak Beraturan serta Talus Berwarna Hijau Keabuan pada Tipe Morfologi Talus Foliose (c) Bentuk Cenderung Membulat serta Warna Talus Hijau Muda pada Talus Tipe Morfologi Crustose (d) Bentuk Memanjang Horisontal serta Warna Putih Keabuan pada Talus Tipe Morfologi Crustose

5. Ciri Mikroskopik Lumut Kerak Spesies I memiliki tipe morfologi crustose lirella, dengan struktur

mikroskopis yang tidak terlalu jelas. Namun, terlihat bahwa struktur talus

sederhana. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya susunan lapisan-lapisan pada

talus. Lapisan sederhana ini biasa disebut dengan homomerous, yaitu struktur

yang menyusun talus sederhana, jaringan hifa dan sel-sel alga menyebar secara

merata.

33

Spesies II memiliki tipe morfologi talus crustose dengan struktur talus

homomerous. Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, beberapa koloni

ditemukan apotesia berbentuk bulatan kecil berwarna kuning kemerahan. Secara

mikroskopis dapat dilihat hymenium dan askus.

Pada Spesies III terdapat lapisan yang menyusun talus, namun tidak dapat

terlihat dengan jelas. Akan tetapi, pada jenis ini ditemukan rizoid yaitu struktur

yang terbentuk dari kumpulan fungi yang berfungsi untuk melekatkan talus pada

substrat. Pada Spesies IV memiliki ciri mikroskopis talus adanya lapisan yang

menyusun talus, diantaranya terlihat korteks lapisan atas, lapisan medulla, serta

ditemukannya rizoid.

Spesies VII memiliki tipe morfologi talus crustose lirella. Pada

pengamatan secara mikroskopik pada irisan penampang melintang apotesia

dapat terlihat askokarp dan ascospora.

Spesies VIII dan Spesies IX memiliki tipe morfologi talus foliose. Hasil

pengamatan secara mikroskopis terlihat lapisan-lapisan yang menyusun talus

yaitu terlihatnya lapisan korteks bagian atas dan lapisan medula dan terlihat

rizoid, sehingga jenis ini memiliki struktur talus heteromerous. Namun, pada ciri

mikroskopis Spesies IX ditemukan bagian yang menyerupai klostesium

Spesies X, Spesies XI dan Spesies XII memiliki tipe morfologi crustose.

Spesies X memiliki tipe morfologi talus crustose dengan struktur mikroskopis

yang tidak terlalu jelas. Namun, terlihat bahwa struktur talus sederhana. Hal

tersebut dikarenakan tidak adanya susunan lapisan-lapisan pada talus. Spesies

XI dan XII memiliki tipe morfologi talus crustose lirella. Struktur mikroskopis talus

ini, tidak terlalu terlihat jelas, namun pada irisan penampang melintang

apotesium terlihat ascocarp, hymenium dan askospora.

6. Luas Talus Lumut Kerak dan Frekuensi Perjumpaan a. Frekuensi Perjumpaan Jenis Lumut Kerak

Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung dengan 90 titik

pengamatan didapatkan frekuensi perjumpaan berturut-turut dari yang terbesar

yaitu Spesies I (24,4 %), Spesies II (8,89 %) dan Spesies III (6,67%).

Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur diantara 86 titik

pengamatan, didapatkan frekuensi perjumpaan berturut-turut dari yang terbesar

yaitu Spesies II (73.25%), Spesies VI (63,95%), Spesies VII (60,46%), Spesies

IV (19,77%), Spesies V (10,46%) dan spesies XII (1,16%).

34

Pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan diantara 56 titik

pengamatan, didapatkan frekuensi perjumpaan berturut-turut dari yang terbesar

yaitu: Spesies IV (73,21%), Spesies VI (73,21%), Spesies IX (58,93%), Spesies

VII (57,14%), Spesies XI (44,64%), Spesies XII (39,28%), Spesies II (32,14%),

Spesies I (28,57%), Spesies X (28,57%) dan Spesies VIII (16,67%).

b. Luas Talus Lumut Kerak

Pengetahuan tentang talus dalam hubungannya dengan tingkat

pencemaran udara merupakan hal dasar dalam mengetahui respon

perkembangan talus lumut kerak (Tabel 11).

Tabel 11. Luas Talus Lumut Kerak (Cm2) pada Ketinggian Batang Tanaman hingga 150 Cm dari Permukaan Tanah

No Jenis Luas talus lumut kerak (cm2)

Kawasan industri Pulo Gadung

Arboretum Cibubur Tegakan mahoni

Cikabayan 1 Spesies I 6,4891 - 3,12321 2 Spesies II 0,39 189,9012 7,750 3 Spesies III 1,8367 - - 4 Spesies IV - 8,4732 12,09 5 Spesies V - 1,6709 - 6 Spesies VI - 100,8860 19,92327 Spesies VII - 40,1105 29,0786 8 Spesies VIII - - 11,275 9 Spesies IX - - 22,7125 10 Spesies X - - 12,57 11 Spesies XI - - 20,0589 12 Spesies XII - 0,1814 16,0686

Jumlah rata-rata 8,7158 341,2232 154,65 Keterangan: 1) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 90 titik pengamatan/45 unit contoh 2) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 86 titik pengamatan/43 unit contoh 3) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 56 titik pengamatan/28 unit contoh Secara rinci, rekapitulasi luas talus lumut kerak disajikan pada Lampiran 5

dan Tabel 16.

35

Tabel 12. Luas Talus Rata-rata (cm2) per Jarak Pengamatan Lokasi Jarak luas

batang tanaman (cm2)

Bagian Luas Talus (cm2)

SP I

SP II

SP III

SP IV

SP V

SP VI

SP VII

SP VIII

SP IX

SP X

SP XI

SP XII

Kawasan industri Pulo Gadung1)

5 3727,5 D 0,00 0,00 0,01 - - - - - - - - - B 0,00 0,00 16,52 - - - - - - - - -

10 1823,33 D 11,10 0,79 0,00 - - - - - - - - - B 10,65 0,44 0,00 - - - - - - - - -

25 3104,17 D 5,48 0,54 0,00 - - - - - - - - - B 5,84 0,22 0,00 - - - - - - - - -

Arboretum Cibubur2)

5 6623,86 D - 20,26 - 395,25 9,74 236,72 31,81 - - - - - B - 252,16 - 6,24 4,63 144,15 75,14 - - - - -

10 7068,75 D - 359,24 - 330,45 0 56,83 44,50 - - - - - B - 198,76 - 0,62 0 103,86 90,85 - - - - -

25 6030,86 D - 185,83 - 0 0 52,53 28,52 - - - - - B - 344,30 - 0 0 30,95 33,72 - - - - -

Tegakan mahoni Cikabayan3)

5 2970,83 D 4,93 0,67 - 7,83 - 13,11 10,66 39,96 19,26 19,17 70,19 34,21 B 1,53 7,71 - 17,17 - 8,53 8,53 9,28 51,46 12,83 34,10 29,64

10 3183,33 D 4,23 13,31 - 3,44 - 9,1 42,32 4,24 5,96 21,92 6,39 28,94 B 8,73 19,90 - 9,92 - 76,32 76,32 8,70 19,56 24,16 3,00 10,09

25 4016,25 D 0,00 2,68 - 5,06 - 7,17 8,83 1,23 14,3 0 3,27 0,83 B 0,00 2,93 - 28,13 - 29,96 29,96 5,95 26,29 0,1 2,14 1,45

Keterangan : D: Pengamatan pada bagian kulit batang menghadap titik pengukuran kualitas udara B: Pengamatan pada bagian kulit batang membelakangi titik pengukuran kualitas udara 1) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 90 titik pengamatan/45 unit contoh 2) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 86 titik pengamatan/43 unit contoh 3) Nilai rata-rata luas talus lumut kerak dari 56 titik pengamatan/28 unit contoh

35

B. Pembahasan 1. Jenis lumut Kerak yang ditemukan a. Morfologi Talus Lumut Kerak

Berdasarkan morfologi talus, pada lokasi pengamatan kawasan industri Pulo

Gadung ditemukan 3 jenis lumut kerak yang terdiri atas 2 jenis memiliki morfologi

talus crustose (Spesies I dan Spesies II) dan 1 jenis lumut kerak talus foliose

(Spesies III). Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur ditemukan 2 jenis lumut

kerak yang memiliki tipe morfologi talus foliose (Spesies IV dan Spesies V) dan 4

jenis lumut kerak tipe crustose (Spesies II, Spesies VI, Spesies VII dan Spesies XII).

Pada lokasi pengamatan di tegakan mahoni Cikabayan, ditemukan 10 jenis lumut

kerak dengan 3 jenis lumut kerak yang tergolong kelompok foliose (Spesies IV,

Spesies VIII dan Spesies IX) dan 7 jenis tipe morfologi talus crustose (Spesies I,

Spesies II, Spesies VI, Spesies VII, Spesies X, Spesies XI dan Spesies XII). Beberapa jenis lumut kerak belum semua dapat teridentifikasi, karena lumut

kerak tersebut belum memiliki struktur alat reproduksi yaitu tubuh buah. Hal tersebut

didukung oleh pernyataan Purvis (2000) bahwa lumut kerak mempunyai rata-rata

pertumbuhan yang lambat pada masing-masing habitatnya sehingga kebanyakan

lumut kerak yang ditemukan belum memiliki alat reproduksi (tubuh buah).

Menurut Baron (1999), tipe talus crustose memiliki ciri-ciri bentuk seperti

kerak yang yang melekat pada substratnya. Tipe talus foliose memiliki ciri-ciri

dengan talus mudah terkelupas dari substratnya. Perbedaan tipe morfologi talus

lumut kerak dapat dilihat dan ditentukan secara makroskopis.

b. Bentuk dan Keadaan Talus secara Umum

Bentuk talus yang ditemukan beragam, terdiri atas bentuk lonjong

(memanjang), melingkar/membulat serta bentuk yang tidak teratur. Bentuk talus

lumut kerak dengan jenis yang sama dengan lokasi pengamatan yang sama dapat

berbeda. Hal tersebut ditentukan oleh faktor tempat tumbuh seperti keadaan

permukaan tempat tumbuh. Pada kulit permukaan batang tanaman yang tidak

pecah-pecah, pertumbuhan talus lumut kerak dapat utuh dan batas antar koloni

terlihat dengan jelas. Secara umum perkembangan talus lumut kerak akan

cenderung membulat. Pada kulit batang pohon yang pecah-pecah, perkembangan

bentuk talus lumut kerak cenderung akan mengikuti pola pecahan permukaan kulit

batang pohon tersebut.

Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, permukaan kulit batang angsana

relatif tidak pecah-pecah sehingga memungkinkan untuk talus berkembang ke

segala arah, sedangkan pada tanaman mahoni di lokasi arboretum Cibubur memiliki

kulit batang yang pecah–pecah. Hal tersebut akan mempengaruhi bentuk talus

lumut kerak, sehingga bentuk dan keadaan talus ditentukan oleh keadaan tempat

tumbuh yaitu umur dan sifat tanaman itu sendiri sebagai faktor substrat.

Pada lokasi pengamatan tegakan mahoni Cikabayan, bentuk talus yang

ditemukan cenderung memiliki bentuk yang relatif membulat (untuk tipe talus

foliose) dan pada tipe talus crustose juga cenderung membulat, akan tetapi

terkadang memiliki bentuk yang tidak beraturan.

Fink (1961) menyatakan bahwa bentuk talus khususnya untuk tipe talus

crustose, akan ditemukan dalam bentuk yang tidak tetap serta beberapa jenis lumut

kerak memiliki bentuk talus yang cenderung berbentuk menyerupai lingkaran tetapi

juga dapat ditemukan pada keadaan tidak beraturan. Keadaan yang tidak beraturan

dapat tumbuh pada permukaan batang kayu, kayu yang sudah lapuk dan batu.

Keadaan talus terlihat dalam berbagai macam keadaan, diantaranya

ditemukan utuh, pecah-pecah dan saling tumpang tindih antar satu jenis talus

dengan jenis lainnya. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, pada lokasi

arboretum Cibubur dan tegakan mahoni beberapa koloni Spesies VI ditemukan

tertindih oleh jenis Spesies IV, akan tetapi keadaan sebaliknya tidak ditemukan. Dari

keadaan tersebut, terlihat kemungkinan kolonisasi pada permukaan kulit batang

tanaman dimulai dari jenis Spesies VI, kemudian jenis Spesies IV. Namun tidak

harus selalu demikian, karena jenis Spesies IV juga dapat ditemukan langsung

tumbuh pada permukaan kulit batang.

c. Warna talus secara Umum

Warna talus tidak hanya dapat terjadi pada jenis lumut kerak yang berbeda,

namun dapat terjadi pada jenis yang sama dengan lokasi pengamatan yang

berbeda. Warna talus lumut kerak yang ditemukan cukup beragam. Warna talus

yang ditemukan antara lain warna putih, hijau, dan warna putih agak pudar. Spesies II di lokasi pengamatan kawasan industri Pulo Gadung memiliki

warna lebih muda bila dibanding dengan lokasi pengamatan lainnya, hal tersebut

selain diduga pertumbuhannya kurang baik akibat faktor lingkungan juga

dikarenakan umur tanaman di kawasan industri Pulo Gadung lebih muda dibanding

dengan umur tanaman yang berada pada lokasi pengamatan lainnya. Warna talus

dapat semakin menggelap seiring dengan bertambahnya umur serta khasnya akan

mengikuti tempat kondisi dari tempat tumbuhnya (Fink, 1961) (Gambar 13).

(a)

(b)

(c)

Gambar 13. Warna Talus Spesies II. (a) Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo

Gadung (b) Arboretum Cibubur (c) Tegakan Mahoni Cikabayan

Berbeda halnya dengan Spesies IV (tipe morfologi foliose), spesies ini pada

arboretum Cibubur memiliki warna talus yang lebih muda dibanding dengan di lokasi

pengamatan tegakan mahoni Cikabayan. Hal tersebut diduga karena pengaruh

faktor kualitas udara. Umur tanaman sebagai substrat Spesies IV lebih tua

dibanding dengan umur tanaman di lokasi tegakan mahoni Cikabayan, sehingga hal

tersebut diduga disebabkan pengaruh faktor kualitas udara. Noer (2004)

menyatakan bahwa lumut kerak di daerah yang tercemar pertumbuhannya akan

kurang baik dengan warna menjadi pucat atau berubah (Gambar 14).

Perubahan warna dapat terjadi karena adanya perubahan kadar klorofil pada

talus lumut kerak, yang disebabkan gas-gas yang bersifat racun/pencemar (Kovaks,

1992; Hawksworth & Rose, 1976 diacu dalam Wijaya, 2004). Hal tersebut didukung

oleh penelitian yang dilakukan Wijaya (2004), bahwa jenis P. wallichiana (tipe

morfologi foliose) di wilayah Alun-alun, Jamika, Mohamad Toha dan Antapani yang

memiliki talus berwarna hijau pucat keabuan sampai putih dan abu-abu keputihan

nampaknya sudah terpengaruh oleh pencemar yang berasal dari kendaraan

bermotor dan industri kecil maupun besar.

(a)

(b)

(c )

Gambar 14. Warna Talus Spesies IV. (a) Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur

(b) dan (c) Lokasi Pengamatan Tegakan Mahoni Cikabayan

d. Ciri mikroskopik talus lumut kerak

Menurut Baron (1999), sebagian besar elemen fungi menyusun jaringan talus

lumut kerak dengan sel-sel alga menyusun sekitar 5-15% dari talus. Pada lumut

kerak, penyatuan cabang hifa fungi membentuk hubungan benang seperti rambut

yang merupakan bagian terbesar dalam menyusun talus. Benang-benang hifa akan

terbagi dalam bentuk sekat atau dinding pemisah, namun dapat menyalurkan

substansi sel dari satu sel ke sel lainnya. Menurut Dharmaputra et al. (1989), hifa

adalah satuan struktur pada fungi (Gambar 15).

Gambar 15. Jalinan Hifa pada Tipe Talus Foliose

Aspek mikroskopik dilakukan untuk mengetahui lapisan-lapisan yang

menyusun talus lumut kerak. Berdasarkan hasil pengamatan makroskopis yang

dilakukan, sebagian besar tipe morfologi talus lumut kerak yang ditemukan

termasuk ke dalam jenis talus crustose dan 3 jenis diantaranya termasuk crustose

lirella. Pengamatan secara mikroskopis pada tipe morfologi talus crustose sulit

untuk dilakukan, karena talusnya yang tipis dan melekat pada substrat. Ahmadjian &

Hale (1973) menyatakan pada umumnya tipe talus crustose hanya terbagi ke dalam

lapisan korteks atas, lapisan alga, dan medula; tidak pernah memiliki lapisan

korteks bawah sehingga pelekatan dengan substratnya langsung menggunakan

medula; bersifat homoiomerous, artinya tidak memiliki stratifikasi pada lapisan-

lapisan tersebut, miselium menyebar di atas substrat berupa filamen tipis kusut

yang menyelubungi alga. Adapun ciri-ciri struktur mikroskopis pada masing-masing

jenis lumut kerak yang ditemukan disajikan pada Lampiran 3.

Salah satu jenis lumut kerak yang ditemukan saat pengamatan diantaranya

adalah dari marga Graphidaceae (Spesies I, Spesies XI dan Spesies XII) dan dari

suku Pyrenorales (Spesies II dan Spesies VII). Menurut Trisusanti (2003), Fissurina,

Graphis, Phaeographis, Graphina, dan Phaeographina memiliki apotesium tunggal

dengan memiliki ukuran yang pendek sampai panjang.

Apotesia pada kelompok crustose lirella dapat berada dalam bentuk tunggal

atau berkelompok (mesokarp). Pada pengamatan terhadap jenis lumut kerak

crustose lirela yang ada termasuk ke dalam bentuk apotesium tunggal. Menurut

Dharmaputra et al. (1989); Misra & Agriwal (1978), apotesia merupakan badan buah

yang berbentuk seperti mangkuk yang menonjol di permukaan atas talus, terdapat

askokarp dengan hymenium terbuka pada waktu askospora menjadi matang.

Menurut Trisusanti (2003); Fink (1961), spesies I memiliki apotesium tunggal

dengan ukuran pendek sampai panjang; askospora berwarna kecokelatan dengan

tipe askospora berupa fragmospora (askospora dengan sekat melintang); dan

menurut spesies ini memiliki phycobiont Trentepohlia yang termasuk kedalam

kelompok alga hijau (Chlorophyta), phycobiont ini banyak ditemukan di daerah

tropis.

Tipe talus foliose secara makroskopis memiliki bentuk seperti lembaran daun,

sedangkan secara mikroskopis tipe talus ini memiliki batasan antar lapisan tidak

terlalu terlihat jelas. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Fink (1961), yang

menyatakan bahwa lapisan dermis pada kebanyakan tipe talus foliose tidak dapat

dibedakan dengan lapisan atasnya. Namun, pada tipe talus ini terlihat adanya rizoid,

yaitu struktur yang terbentuk dari kumpulan hifa fungi yang berfungsi untuk

memperkuat kedudukan talus sehingga dapat melekat pada substrat. Meskipun

struktur ini mirip akar, akan tetapi tidak berperan penting sebagai penyalur bahan

mineral seperti fungsi akar (Fink, 1961; Baron, 1999).

Menurut Baron (1999), pada tipe talus foliose terbentuk rizoid yang terdiri dari

kumpulan hifa yang dapat berbentuk bercabang maupun sederhana. Akan tetapi

tidak semua jenis lumut kerak pada tipe talus foliose memiliki rizoid (Gambar 16).

Gambar 16. Rizoid pada tipe talus foliose

Hasil identifikasi terhadap jenis–jenis lumut kerak yang ditemukan yaitu

menurut Fink (1961), untuk jenis P. cf austrosinensis Zahllar, Parmelia sp. dan

Heterodermia sp. termasuk ke dalam kelas Ascolichens, subkelas Gymnocarpeae,

marga Parmeliaceae, sedangkan Graphidaceae dan Pheographis sp. termasuk ke

dalam kelas Ascolichens subkelas Gymnocarpeae, marga Graphidaceae.

Sedangkan Strigula sp. termasuk ke dalam bangsa Pyrenocarpaceae, suku

Strigulaceae.

Rizoid

Menurut Baron (1999), untuk mengidentifikasi jenis alga pada lumut kerak,

khususnya sampai tingkat jenis cukup sulit. Menurut Fink (1960), ciri-ciri

mikroskopis beberapa golongan lumut kerak adalah sebagai berikut :

1. Kelas Ascolichens ; memiliki ciri–ciri yang membedakan dari kelas lainnya yaitu

spora yang dihasilkan dalam askus.

2. Bangsa Lecanorales ; ciri utama adalah hymenium yang dihasilkan dalam

struktur yang terbuka, yang menyerupai bentuk cawan.

3. Suku Parmeliaceae (Lecanorales) ; ciri yang paling membedakan dari suku lain

yang ada pada bangsa Lecanorales adalah bahwa suku Parmeliaceae

merupakan lumut kerak bertalus foliose dan inang alga termasuk golongan

Chlorophyceae. Ciri lain yaitu struktur talus berlapis, pada permukaan bawah

terdapat rizoid, yang berfungsi untuk melekatkan pada substrat, cyphella atau

penutup padat yang merupakan jalinan hifa fungi padat yang berwarna gelap

serta spora tidak bersepta.

e. Kulit batang tanaman sebagai substrat

Pada penelitian ini lumut kerak yang diamati adalah lumut kerak yang

menempel pada kulit pohon (corticolous), sehingga kulit pohon tersebut akan

menjadi substrat bagi lumut kerak. Sifat dan kondisi dari kulit batang tanaman

secara langsung akan mempengaruhi bentuk dan keadaan talus yang berkembang.

Menurut Boiret (1921) diacu dalam Tophan (1977) diacu dalam Januardania (1995),

menyatakan bahwa perbandingan antara garis tengah mendatar dan tegak pada

bentuk talus dipengaruhi oleh jenis tempat tumbuh dalam hal ini adalah permukaan

kulit pohon.

Dari hasil penelitian ditemukan, Spesies V (Parmeliaceae) dan Spesies IV

(Parmeliaceae) dapat tumbuh pada kulit batang tanaman angsana. Hal tersebut

sesuai dengan penelitian yang dilakukan Wijaya (2004) yang menggunakan jenis

lumut kerak P. wallichiana (Parmeliaceae) yang menjadikan tanaman jenis rasamala

dan angsana sebagai substrat.

f. Luas dan Frekuensi Perjumpaan Talus Lumut Kerak

Luas talus dihitung berdasarkan luas koloni talus yang menempel pada

batang tanaman dengan ketinggian sampai 150 cm dari permukaan tanah. Pada

Tabel 12, terlihat bahwa lokasi pengamatan arboretum Cibubur memiliki rata-rata

luas talus lumut kerak yang relatif lebih besar. Hal tersebut dikarenakan umur

tanaman yang berada pada lokasi pengamatan yang akan mempengaruhi ukuran

talus lumut kerak. Menurut Fitting et al. (1954) & Ryan (1986) diacu dalam

Ronoprawiro (1989), bahwa talus lumut kerak memiliki pertumbuhan yang pada

umumnya sangat lambat, hanya kurang dari 1 cm dalam setahun dan tubuh buah

fungi baru dapat terbentuk setelah bertahun-tahun. Adanya perbedaan antara luas talus lumut kerak pada batang pohon dengan

letak dan jarak tempat tumbuh yang berbeda selain karena adanya pengaruh

sumber polutan pada kawasan industri dan arboretum Cibubur diduga juga

disebabkan oleh faktor-faktor lain seperti tingkat kelembaban udara, umur pohon,

dan jenis tanaman sebagai substrat.

Pada kawasan industri Pulo Gadung, Spesies I merupakan spesies yang

memliki penyebaran talus yang relatif lebih sering dijumpai dibanding dengan jenis

lainnya yang berada pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung. Hal

tersebut dapat dilihat pada frekuensi perjumpaan talus dan rata-rata luas talus

berturut-turut dari yang terbesar yaitu Spesies I sebesar 24,4 % dengan rata-rata

luas talus 6,489 cm2. Spesies II memiliki frekuensi perjumpaan sebesar 8,89 %

dengan rata-rata luas talus 0,39 cm2 dan Spesies III memiliki frekuensi perjumpaan

sebesar 6,67 % dengan rata-rata luas talus 1,8367 cm2. Pada 5 meter dari titik pengambilan kualitas udara (jalan raya) jenis lumut

kerak yang ditemukan adalah Spesies III, akan tetapi pada Lampiran 6 dapat dilihat

bahwa rata-rata luas talus Spesies III pada titik pengamatan membelakangi titik

pengambilan kualitas udara (jalan raya) yaitu sebesar 16,52 cm2 , memiliki nilai

yang relatif jauh lebih besar dibanding dengan menghadap titik pengambilan

kualitas udara (jalan raya) yaitu sebesar 0,01 cm2 (Tabel 12). Hal tersebut diduga

tejadi karena pengaruh zat pencemar.

Pada jarak 10 meter hanya ditemukan 2 jenis lumut kerak. Spesies I tidak

memiliki perbedaan nilai rata-rata talus talus yang berbeda jauh antara

membelakangi dan menghadap titik pengukuran kualitas udara. Demikian pula

dengan jenis Spesies II memiliki nilai rata-rata luas talus yang relatif lebih besar

pada titik pengamatan yang menghadap jalan raya meskipun tidak terlalu berbeda

jauh.

Pada jarak 25 meter, Spesies I memiliki nilai rata-rata luas talus yang relatif

lebih besar pada titik pengamatan yang membelakangi jalan raya yaitu sebesar

5,8412 cm2. Sedangkan Spesies II, memiliki nilai rata-rata luas talus pada titik

pengamatan yang menghadap jalan raya sebesar 0,5412 cm2 dan yang titik

membelakangi jalan raya 0,2235 cm2.

Pada lokasi pengamatan di kawasan industri, nilai rata-rata luas talus lumut

kerak pada jarak 5 m, 10 m, dan 25 m pada masing-masing spesies tidak terlalu

berbeda jauh. Hal tersebut diduga karena dalam kawasan industri yang memiliki

sumber polutan titik dan bergerak (transportasi) akan memberi pengaruh pada

lingkungan sekitar dan tidak hanya memberikan pengaruh pada tanaman yang

berada pada jarak 5 m, 10 m dan 25 m.

Pada arboretum Cibubur, rata-rata luas talus lumut kerak memiliki nilai yang

relatif lebih besar dibanding dengan lokasi lainnya. Hal tersebut diduga karena umur

tanaman yang akan mempengaruhi ukuran keliling batang tanaman sehingga

diduga akan meningkatkan luasan talus lumut kerak. Frekuensi perjumpaan dan rata-rata luas koloni talus lumut kerak berturut-

turut dari yang tertinggi: Spesies II (73,25%) dengan rata-rata luas talus 189,9012

cm2, Spesies VI (63,95%) dengan rata-rata luas talus 100,8860 cm2 dan Spesies VII

(60,46%) dengan rata-rata luas talus 40,1105 cm2.

Pada lokasi pengamatan arboretum Cibubur, Spesies IV dan Spesies V

memiliki nilai luas talus yang lebih tinggi pada bagian atau letak batang pohon yang

menghadap jalan. Rata-rata luas koloni talus berturut-turut pada Spesies IV dan

Spesies V, yaitu Spesies IV (395,25 cm2); Spesies V (330,45 cm2) pada bagian

batang yang menghadap titik pengukuran kandungan udara ambien dan Spesies IV

(6,24 cm2); Spesies V (0,62 cm2) pada bagian batang yang membelakangi titik

pengukuran kandungan udara.

Nilai luas talus yang semakin kecil seiring dengan bertambahnya jarak dari

jalan. Hal tersebut terjadi diduga karena faktor substrat, yaitu kulit tanaman

angsana. Kulit batang tanaman tersebut memiliki kemampuan untuk menyerap air

lebih besar bila dibanding dengan jenis tanaman lainnya yang berada pada jarak 10

meter dan 25 meter. Terlihat pada keadaan batang tanaman yang basah dan

dengan kulit yang cukup lunak. Hal tersebut didukung oleh pernyataan berbagai

jenis pohon memiliki sifat kimia dan fisika yang berbeda (LeBlanc & De Sloover,

1970 diacu dalam Lubis, 1996), sebagaimana juga diungkapkan oleh Hale (1983)

diacu dalam Lubis (1996) yang menyatakan bahwa tiap jenis pohon memiliki

kemampuan menyimpan air yang berbeda-beda, sangat tergantung pada porositas

dan tekstur batang. Pada pohon yang memiliki kulit lunak, kapasitas penyimpanan

air lebih dan laju penguapan lebih lambat, bila dibandingkan dengan pohon yang

berkulit keras. Akibat faktor-faktor tersebut, setiap jenis lumut kerak lebih menyukai

jenis-jenis pohon yang kondisinya sesuai untuk pertumbuhannya.

Pada tegakan mahoni Cikabayan, nilai luas talus pada tiap jenis tidak terlalu

berbeda nyata. Hal tersebut diduga karena tempat tumbuh pada tiap letak dan jarak

yang dipilih untuk pengamatan memiliki keadaan yang relatif sama untuk

perkembangan talus. Meskipun rata-rata luas talus pada batang kulit tanaman tidak

sebesar di arboretum Cibubur, namun jumlah jenis lumut kerak yang ditemukan

lebih bervariasi.

2. Hubungan Karakteristik Lingkungan dengan Pertumbuhan Lumut Kerak

a. Kualitas Udara Ambien

Menurut Soedomo (2001), pengukuran udara ambien dilakukan untuk

mengetahui tingkat pencemaran udara di suatu daerah, dengan mengacu kepada

ketentuan dan peraturan mengenai kualitas udara yang berlaku dan baku mutu

udara yang berlaku. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1999, terlihat

bahwa semua parameter masih berada di bawah ambang batas baku mutu

(Lampiran 8). Akan tetapi, pada hasil analisis tiga lokasi tersebut terlihat bahwa

kawasan industri Pulo Gadung memiliki nilai pengukuran yang relatif lebih tinggi

pada semua parameter.

Pencemaran udara tersebut baik berupa gas maupun partikel dapat

menyebabkan kerusakan pada tumbuhan secara fisiologik, termasuk lumut kerak.

Menurut Chamberlain (1986) diacu dalam Karliansyah (1997), masuknya pencemar

tersebut kedalam jaringan tumbuhan sangat tergantung pada karakteristik

tumbuhan tersebut dan sifat pencemar secara alami yang kadang-kadang

dipengaruhi oleh faktor cuaca.

Lumut kerak dapat tumbuh dengan baik pada kondisi udara yang bersih.

Faktor-faktor tersebut diduga akan mempengaruhi fotosintesis lumut kerak, yang

akan dilakukan oleh lapisan alga yang berklorofil. Hale (1983) diacu dalam Lubis

(1996) menyatakan bahwa pertumbuhan lumut kerak ditentukan oleh faktor iklim

(40%) dan substrat (60%). Serta didukung oleh pernyataan Seaward (1977) diacu

dalam Noer (2004) bahwa distribusi lumut kerak dipengaruhi oleh morfologi dan

respon fisiologi lumut kerak terhadap pengaruh kondisi ekstrim, iklim, substrat dan

pencemaran udara.

Menurut Treshow (1989); Jeran et al. (2000) diacu dalam Wijaya (2004),

lumut kerak dapat menyerap seluruh nutrien dalam bentuk berupa endapan basah

ataupun kering dari atmosfer. Fungi dapat menyediakan kebutuhan utama dari

lumut kerak, termasuk tempat jaringan alga berada, menerima air dan melindungi

dari pengaruh lingkungan yang buruk. Hal tersebut didukung oleh keadaan lumut

kerak yang tidak memiliki kutikula atau pelindung, sehingga lumut kerak akan

menyerap semua unsur-unsur termasuk polutan yang berbahaya tanpa adanya

penyeleksian melalui permukaan talus dan diakumulasikan dalam talusnya.

Akumulasi logam-logam tersebut tidak pernah diseksresikan sehingga terus

ditimbun oleh talus lumut kerak. Hal tersebut yang memungkinkan pemakaian lumut

kerak untuk pemantauan pencemaran udara akibat logam-logam yang diemisikan

oleh sumber-sumber pencemar (Kovacs, 1992).

Lumut kerak merupakan simbiosis dari dua organisme. Untuk kelangsungan

hidupnya, salah satu organisme melakukan fotosintesis yaitu alga. Menurut

Soedaryanto et al. (1992), lumut kerak sebagai tumbuhan fotosintetik membutuhkan

CO2 sampai batas tertentu. Jika kadar CO2 telah melampaui batas yang

dibutuhkan, justru akan menurunkan laju fotosintesis. Fotosintesis lumut kerak

dilakukan oleh lapisan alga yang berklorofil dan proses tersebut dipengaruhi oleh

kelembaban udara, sinar matahari, temperatur udara dan karbon dioksida. Jika

faktor-faktor tersebut tidak optimal bagi masing-masing spesies maka fotosintesis

tidak maksimal.

Pada hasil pengukuran kualitas udara ambien, lokasi pengamatan kawasan

industri Pulo Gadung memiliki nilai kandungan SO2 yang relatif lebih tinggi

dibanding lokasi pengamatan lainnya, meskipun relatif tidak terlalu jauh. SO2 dapat

bereaksi dalam tubuh lumut kerak yaitu dapat membuat talus menjadi asam dan

merusak klorofil menjadi phaeophytin, sehingga lumut kerak tidak dapat

melanjutkan proses fotosintesis. Klorofil dapat kembali normal hanya bila pengaruh

SO2 tidak terlalu lama dan lingkungan memungkinkan untuk kembali normal (Cooke,

1977; Hale, 1963). Menurut Connel & Miller (1995) bahwa SO2 dan hujan asam

mempunyai bermacam-macam hubungan timbal balik dengan fisiologi dan biokimia

tanaman (Varshney & Garg, 1979 diacu dalam Connel & Miller, 1995).

Menurut Fardiaz (1992), pengaruh partikel terhadap tanaman antara lain,

dalam bentuk debunya dan jika debu tersebut bergabung dengan uap air atau air

hujan akan membentuk kerak tebal pada permukaan. Lumut kerak corticolous

merupakan lumut kerak yang menjadikan kulit batang pohon sebagai substratnya.

Lapisan kerak tersebut diduga dapat mengganggu proses fotosintesis karena akan

menghambat masuknya sinar matahari dan dapat mencegah pertukaran CO2

dengan atmosfer.

Faktor lingkungan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi

pertumbuhan lumut kerak. Pencemaran udara sebagai salah satu faktor lingkungan

diduga dapat mempengaruhi iklim mikro suatu tempat. Hal tersebut didukung oleh

pernyataan Soedaryanto et al. (1992), yang menyatakan dengan meningkatnya SO2

dan CO2 di udara akan meningkatkan suhu udara di sekitar lingkungan dan dengan

suhu yang tinggi akan meningkatkan laju respirasi dan menurunkan laju fotosintesis.

Jika hal tersebut terus menerus berlangsung, akan menyebabkan kematian pada

lumut kerak (Soedaryanto et al., 1992).

b. Suhu dan Kelembaban Udara

Kondisi iklim mikro yang diukur adalah kelembaban dan suhu udara. Hal

tersebut diharapkan menggambarkan kondisi lingkungan sekitar. Pada kawasan

industri memiliki suhu udara rata-rata yang relatif lebih tinggi bila dibandingkan

dengan lokasi lainnya. Hal tersebut dikarenakan adanya aktivitas industri dan

kurangnya vegetasi penghijauan. Menurut Dahlan (2004), tumbuhan yang tinggi

dan luasan yang cukup akan dapat mengurangi efek pemanasan. Namun, dengan

semakin berkurangnya lahan yang tertutup pepohonan sebagai akibat dari

pembangunan, maka lingkungan kota menjadi semakin panas. Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung, arboretum

Cibubur dan tegakan mahoni Cikabayan berdasarkan hasil pengukuran kelembaban

udara rata-rata diperoleh kelembaban udara sebesar 72%, 86% dan 90%,

sedangkan menurut Noer (2004), menyatakan bahwa lumut kerak menyukai tempat

yang kering dengan kelembaban 40% sampai 69 %. Hal tersebut, menggambarkan

bahwa pertumbuhan dan perkembangan talus lumut kerak pada suatu wilayah tidak

hanya ditentukan oleh faktor kelembaban udara. Pertumbuhan dan perkembangan

talus lumut kerak diduga juga dipengaruhi oleh tingkat pencemaran udara.

Pengukuran suhu udara pada lokasi pengamatan kawasan industri Pulo

Gadung berkisar antara 29,4-31,8 ºC, pada arboretum Cibubur berkisar antara 25,8-

30,0 ºC dan pada tegakan mahoni Cikabayan berkisar antara 24,8-27,8 ºC. Menurut

Lubis (1996); Baron (1999), suhu yang tinggi akan meningkatkan laju respirasi dan

menurunkan laju fotosintesis. Jika hal tersebut terus berlangsung akan

menyebabkan kematian pada lumut kerak. Pengambilan, penahanan, dan

pengeluaran air merupakan hal yang sangat penting dalam lumut kerak, karena

lumut kerak dapat mengabsorbsi air hujan, air larian, dan air embun sehingga

mampu menciptakan kelembaban yang diperlukan (Landecker, 1996 diacu dalam

Rahmatia, 2003).

c. Lumut Kerak sebagai Bioindikator Kualitas Udara

Menurut Noer (2004), pada daerah dimana pencemaran telah terjadi, jumlah

jenis yang ada sedikit dan jenis-jenis yang peka sekali akan hilang. Hal tersebut

juga didukung oleh hasil penelitian Soedaryanto et al., (1992) yang menemukan 3

jenis lumut kerak pada daerah yang relatif tercemar dan 7 jenis lumut kerak pada

daerah kontrol di Denpasar, Bali. Cahyono (1987) diacu dalam Herlinda (1990),

menyatakan bahwa lumut kerak dapat dijadikan sebagai tumbuhan indikator untuk

pencemaran udara dari kendaraan bermotor, dimana dengan adanya pencemaran

udara akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan lumut kerak dan penurunan

jumlah jenis dengan beberapa marga yang dapat dijadikan indikator polusi yaitu

Parmelia, Hypogymnia dan Strigula. Menurut Boonpragob (2003) di Thailand,

dengan memilih 20 pohon pada masing-masing lokasi didapatkan pada daerah

yang terpolusi ditemukan 7 jenis lumut kerak yaitu: Buelia punctata, Laurera

bengaulensis, Lecanora paliida, D. picta, Trypethelium tropicum, Graphis liberta,

Cryptothecia sp.

Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung hanya ditemukan 3

jenis lumut kerak, pada arboretum Cibubur ditemukan 6 jenis lumut kerak dan pada

tegakan mahoni Cikabayan sebagai daerah yang diduga memiliki tingkat

pencemaran yang rendah, ditemui 10 jenis lumut kerak (Tabel 13).

Tabel 13. Pengukuran Kualitas Udara dan Jumlah Lumut Kerak yang Ditemukan

Parameter Lokasi Pengamatan

Kawasan industri Pulo Gadung

Arboretum Cibubur

Tegakan mahoni Cikabayan

Debu (μg/Nm3) 61 45 22 Karbon dioksida (CO2) (ppmv)

342 336 325

Nitrogen dioksida (NO2) (μg/Nm3/Jam)

21 15 10

Sulfur dioksida (SO2) (μg/Nm3/Jam)

12 8 6

Jumlah lumut kerak yang ditemukan

3 6 10

Daerah kawasan industri Pulo Gadung memiliki nilai pengukuran kandungan

udara ambien yang konsentrasinya relatif lebih tinggi bila dibanding dengan lokasi

lainnya (Tabel 2; Tabel 13). Hal tersebut dikarenakan pada kawasan industri telah

mengalami perubahan kondisi lingkungan yang diduga karena adanya pencemaran

udara akibat emisi buangan yang berasal dari kegiatan industri dan transportasi

berupa CO2, SO2, NO2, dan debu. Pada kawasan industri, unsur-unsur tersebut

secara langsung maupun tidak langsung dapat menyebabkan beberapa hal yang

dapat menghambat pertumbuhan maupun keberadaan lumut kerak.

Daerah arboretum Cibubur memiliki kadar kandungan udara ambien yang

sedang pada semua parameter, hal ini dikarenakan lokasi pengamatan merupakan

daerah luas yang cukup untuk konservasi dan menyerap pencemar udara. Keadaan

ini yang memungkinkan terjadinya penurunan kadar kandungan udara ambien

sehingga terukur rendah, walaupun daerah ini terdapat aktivitas transportasi.

Tegakan mahoni Cikabayan memiliki kadar pencemaran yang sangat rendah,

karena daerah ini merupakan daearah dengan pencemaran yang ada hanya

dihasilkan oleh sepeda motor yang tidak terlalu banyak.

Pengaruh kadar masing-masing zat pencemar terhadap talus lumut kerak

secara khusus belum dapat diketahui, akan tetapi diharapkan respon dari kondisi

lingkungan tersebut dapat terlihat dari morfologi talus yang dapat dilihat secara

makroskopik. Pertumbuhan lumut kerak di kawasan industri dan Cibubur tidak

memiliki pertumbuhan sebaik di tegakan mahoni Cikabayan Kampus IPB.

Pertumbuhan lumut kerak diduga akan kurang baik salah satunya apabila

daerahnya telah tercemar.

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, Spesies II dapat ditemukan

pada masing-masing lokasi pengamatan. Hal tersebut menggambarkan bahwa jenis

tersebut mampu bertahan hidup pada segala kondisi kualitas udara ambien.

Berdasarkan atas nilai frekuensi perjumpaan Spesies II, berturut-turut mulai dari

yang terbesar adalah lokasi pengamatan arboretum Cibubur, tegakan mahoni

Cikabayan dan kawasan industri Pulo Gadung. Hal tersebut diduga dapat terjadi

karena adanya pengaruh umur tanaman, pada arboretum umur tanaman lebih tua

dibanding dengan tegakan mahoni Cikabayan.

Spesies IV ditemukan pada arboretum Cibubur dan tegakan mahoni

Cikabayan. Dengan nilai frekuensi perjumpaan Spesies IV di arboretum Cibubur

tidak sebesar pada lokasi pengamatan di tegakan mahoni Cikabayan yaitu sebesar

73,21 %. Pada kawasan industri Pulo Gadung tidak dijumpai lumut kerak dari

kelompok marga Parmelia, sedangkan pada arboretum Cibubur dan tegakan

mahoni Cikabayan dapat ditemukan marga dari kelompok Parmelia meskipun

frekuensi perjumpaan marga ini pada arboretum Cibubur tidak sebesar di tegakan

mahoni Cikabayan.

Pada kawasan industri Pulo Gadung, Spesies III ditemukan dengan nilai

frekuensi perjumpaan yang tidak terlalu tinggi dibanding dengan jenis lumut kerak

lainnya. Menurut Boonpragob (2003), Dirinaria picta dapat ditemukan di daerah

yang tercemar di Thailand.

Pada lokasi pengamatan terlihat bahwa lumut kerak dengan tipe morfologi

talus crustose memiliki frekuensi perjumpaan dan rata-rata luas talus yang relatif

lebih tinggi dibanding dengan tipe foliose. Hal tersebut mengambarkan bahwa tipe

talus crustose mudah tumbuh. Boonpragob (2003) mengatakan bahwa tipe talus

crustose merupakan tipe talus yang paling resisten dibandingkan dengan tipe talus

lainnya. Hal tersebut terjadi karena lumut kerak dengan tipe morfologi talus crustose

terlindung dari potensi kehilangan air dengan bertahan pada substratnya, mengingat

tipe ini memiliki sifat melekat erat pada substratnya dan tipe jaringan talus

homoiomerous, yaitu keadaan dimana phycobiont (alga) berada di sekitar hifa

(Baron, 1999).

Tipe talus foliose memiliki tipe jaringan talus heteromerous, sehingga talus ini

terdiri dari beberapa lapisan. Tipe talus ini dapat memelihara kelembaban, yang

dilakukan pada lapisan medula. Menurut Baron (1999), meskipun lumut kerak tidak

dapat mengendalikan kadar air, seperti tumbuhan tingkat tinggi namun tidak berarti

bahwa tidak ada variasi dalam genus dan spesies lumut kerak yang berbeda dalam

mengabsorbsi dan melepaskan air. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab

yang memungkinkan tipe talus ini mampu hidup dengan kondisi lingkungan yang

berbeda. Hal tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Prasetyo & Hastuti

(1992), yang menunjukan hasil penelitiannya terhadap lumut kerak dengan tipe

morfologi talus foliose dapat mengabsorbsi kation-kation logam dengan senyawa

kimia yang berbeda.

Menurut Ahmadjian (1967) diacu dalam Soedaryanto et al. (1992),

mengatakan bahwa pada umumnya lumut kerak tahan terhadap perubahan

temperatur dan kekeringan, tetapi ada juga yang tidak tahan serta terdapat

beberapa jenis lumut kerak yang mampu hidup di daerah industri serta kota besar.

Sehingga jenis lumut kerak yang ada pada kawasan industri Pulo Gadung dengan

kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk tumbuh dan berkembang merupakan

jenis yang mampu hidup dengan kondisi kandungan polutan relatif memiliki nilai

yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan lokasi pengamatan lainnya, hal tersebut

dapat dilihat pada hasil pengukuran kualitas udara ambien pada masing-masing

lokasi pengamatan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo Gadung ditemukan 3 jenis

lumut kerak (Phaeographis sp., Strigula sp. dan D. cf picta). Pada arboretum

Cibubur ditemukan 6 jenis lumut kerak (Strigula sp., Verrucaria sp.,

Graphidaceae, Heterodermia sp dan P. cf austrosinensis). Pada tegakan mahoni

Cikabayan ditemukan 10 jenis lumut kerak (Graphidaceae, Strigula sp. dan

Verrucaria sp., Phaeographis sp., Parmelia sp. dan Heterodermia sp.).

2. Dari 12 jenis lumut kerak yang ditemukan, 3 jenis lumut kerak belum

teridentifikasi (2 tipe crustose dan 1 tipe foliose).

3. Jumlah lumut kerak yang temukan pada lokasi pengamatan semakin bertambah

dengan nilai kualitas udara ambien yang semakin bersih (kandungan polutan

rendah).

4. Tipe morfologi talus crustose lebih mudah ditemukan dibanding dengan tipe

morfologi foliose. Strigula sp. diduga mampu bertahan hidup pada kondisi

kualitas udara ambien yang ada.

5. D. cf picta hanya ditemukan pada lokasi pengamatan di kawasan industri Pulo

Gadung dan Parmelia sp. hanya ditemukan pada lokasi pengamatan tegakan

mahoni Cikabayan.

6. Pada kawasan industri Pulo Gadung, lumut kerak yang ditemukan hanya terdiri

atas satu tipe morfologi talus dalam batang tanaman. Pada arboretum Cibubur

dan tegakan mahoni, tipe morfologi talus yang ditemukan dapat lebih dari satu

tipe morfologi talus. Bentuk talus lumut kerak dipengaruhi oleh faktor substrat

yaitu umur dan jenis tanaman. Heterodermia sp. pada arboretum Cibubur

memiliki warna talus cenderung pucat dibanding dengan warna talus yang

berada di tegakan mahoni.

B. Saran Hal–hal yang harus diperhatian pada penelitian selanjutnya, adalah :

1. Penelitian ini hanya membahas lumut kerak sebagai bioindikator dengan melihat

bentuk fisiknya saja, sehingga salah satunya perlu dilakukan penelitian dengan

melihat kandungan zat pencemar yang diterima oleh lumut kerak.

2. Pengelompokan berdasarkan marga masih sangat terbatas terhadap spesies

yang ditemukan, sehingga diperlukan penelitian selanjutnya untuk melakukan

identifikasi pada beberapa sampel lumut kerak yang belum diketahui.

3. Memperhatikan lokasi penelitian dengan kondisi yang relatif sama, diantaranya

adalah jenis tanaman/substrat, umur tanaman dan kondisi iklim mikro.

4. Kajian lumut kerak sebagai bioindikator perlu diteliti lebih lanjut dengan

memperluas daerah penelitian dan stasiun pengamatan.

DAFTAR PUSTAKA

Alexopoulos, C.J & C.W. Mims. 1979. Introductory Mycology, Third Edition. John Wiley and sons, Inc. New York.

Ahmadjian, V. 1967. The Lichen Symbiosis. Blaisdell Publishing Company Waltham,

Massachusetts.Toronto-London. Ahmadjian, V & Hale, M.E. 1973. The Lichens. Academic Press, A Subsidiary of

Harcourt Brace Javanovich. New York. Baron, G. 1999. Understanding Lichens. The Richmond Publishing Co.ltd. England.

Boonpragob, K. 2003. Using Lichens as Bioindicator of air pollution. http://www.nfofile.pcd.go.thair31_LichenAcidDep.pdf. [11 Mei 2006].

Cook, R. 1977. The Biology of Simbiotic Fungi. John Wiley and Sons. Chichecter. New York

Connel & Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Koestoer,Y (terj).

Universitas Indonesia. Jakarta . Dahlan, E.N. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City), Bernuasa Hutan Kota.

IPB Press. Bogor. Departemen Kehutanan. 1991. Arboretum Wanawisata Pramuka, Cibubur Jakarta.

Kantor Wilayah Departemen Kehutanan DKI Jakarta. Jakarta. Dharmaputra, O.S; Wydia, A & Nampiah, G. 1989. Penuntun Praktikum Mikologi

Dasar. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Dobson, F.S. Lichens: An Illustrated Guide to British and Irish Species, Morphology.

http://www.ucmp.berkeley.edu/fungi/lichens/lichenmm.html [30 Agustus 2005]

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta. Fink, B. 1961. The Lichen Flora of The United States. Ann Harbor, The University of

Michigan. United State of America. Hale, M.E. 1979. How to Know The Lichens, Second Edition. WCB McGraw-Hill.

Boston. Herlinda, M. 1990. Identifikasi Lumut Kerak dari Gunung Tangkuban Perahu

sebagai Studi Pendahuluan. Skripsi. Departemen Biologi. Fakultas Ilmu Matematika dan Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Januardania, D. 1995. Jenis-jenis Lumut Kerak yang Berkembang pada Tegakan Pinus dan Karet di Kampus IPB Darmaga Bogor. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Karliansyah, N.S.W. 1997. Kerusakan Daun Tanaman sebagai Bioindikator Pencemaran Udara (Studi Kasus : Tanaman Peneduh Jalan Angsana dan Mahoni dengan Pencemaran Udara NOX dan SO2). Tesis. PascaSarjana Program Studi Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Jakarta.

Kovacs, M. 1992. Indicators in Environmental Protection. Ellis Horwood. New York. Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. ANDI. Yogyakarta. Lubis, H. 1996. Tingkat Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) di Kawasan Medan,

Analisa Lumut Kerak. Laporan Penelitian. Jurusan Teknik Mesin. Fakultas Teknik Industri. Institut Teknologi Medan. Medan.

Misra, A & Agrawal, R.P. 1978. Lichens (A Preliminary Text).Oxford & IBH Publishing. India.

Moore, E. 1972. Fundamental of The Fungi, 4th Edition. Landecker Prentince Hall

International Inc. Noer, I.S. 2004. Bioindikator Sebagai Alat Untuk Menengarai Adanya Pencemaran

Udara. Forum Komunikasi Lingkungan III, Kamojang. Bandung. Pandey, S.N & Trivendi, P.S. 1977. A Text Book of Botany (Algae, Fungi, Bacteria,

Hycoplasma, Viruses, Lichens and Elementary Plant Pathology), Volume I. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. No 41 Tahun 1999 Tentang

Pengendalian Pencemaran Udara. PT. Persero JIEP&PT. NINCEC Multi Dimensi. 2005. Pemantauan Pelaksanaan

RKL dan RPL di Kawasan Industri Pulo Gadung. Laporan akhir. PT. Persero JIEP&PT. NINCEC Multi Dimensi. Jakarta.

Polunin, N. 1990. Pengantar Geografi Tumbuhan dan beberapa Ilmu Serumpun.

Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Prasetyo, T.I & Hastuti , U.S. 1992. Lichens sebagai salah satu alternatif dalam

penanggulangan polusi logam berat. Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA IKIP Malang. Makalah disajikan pada pertemuan ilmiah tahunan perhimpunan Mikrobiologi Indonesia.Bandung.

Purnomohadi, S. 1995. Peranan Ruang Terbuka Hijau dalam Pengendalian Kualitas

Udara di DKI Jakarta. Disertasi. PascaSarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Purvis, W. 2000. Lichens. Smithsonian Institution Press. Washington. D.C.

Rahmatia, D. 2003. Hubungan Mikroklimat dan pH Substrat di Hutan Pinus, Hutan Transisi dan Hutan Campuran Gunung Tangkuban Perahu terhadap Kadar Asam Usnat Lumut kerak Usnea. Skripsi. Departemen Biologi. Fakultas Ilmu Matematika dan Pengetahuan Alam. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Ryadi, S. 1982. Pencemaran Udara. Usaha Nasional. Surabaya. Ronoprawiro, S. 1989. Gulma Lumut dan Lumut Kerak terhadap Pertumbuhan dan

Hasil Teh (Camellia sinensis.L). Disertasi. Universitas Gajah Mada. Yogjakarta.

Simonson, S. 1996.Lichen and Lichen-Feeding Moths (Arctiidae: Lithosiinae) as Bioindicators of Air Pollution in the Rocky Mountain Front Range. http://www.colostate.edu/Depts/Entomology/courses/en570/papers_1996/simonson.html. [05 Agustus 2005].

Soedaryanto; Hardini, Y; Proborini, M.W & Yusuf, D.S. 1992. Lichens Sebagai

Bioindikator Pencemaran Udara di Jalan Pb. Sudirman, Denpasar. Laporan Penelitian. Universitas Udayana. Bali.

Soedomo, M. 1999. Kumpulan Karya Ilmiah Mengenai Pencemaran Udara. ITB.

Bandung. Suwarso, W.P. 2004. Lichens, Tanaman Suku Rendah yang Berkhasiat sebagai

Obat. http://www.Sinar Harapan.co.id. [30 Agustus 2005]. Tjitrosoepomo, G. 1981. Taksonomi Tumbuhan Schizophyta, Thallophyta,

Bryophyta, Pteridopyta. Bhantara Karya Aksara. Jakarta. Treshow, M. 1989. Plant Stess From Air Pollution. John Wiley & Sons Ltd. Britain.

Inggris.

Trisusanti, D. 2003. Inventarisasi Liken Krustos Lirela Asal Jawa Barat dan Pengenalan Bentuk Kristalnya. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Wijaya, L.F. 2004. Biomonitoring Beberapa Kandungan Logam Mempergunakan

Parmelia wallichiana Tayl di Wilayah Muntakul Buruz Bandung. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Padjajaran. Bandung.

Lampiran 1a. Jenis Tanaman pada Lokasi Pengamatan Kawasan Industri Pulo Gadung

No Nama Imiah Nama lokal Famili Jumlah

1 Mimosops sp. Tanjung Fabaceae 7 2 Cassia siamea Johar Fabaceae 23 3 Adenanthera pavonina Saga Fabaceae 3 4 Swietenia sp. Mahoni Meliaceae 11 5 Pterocarpus indicus Angsana Fabaceae 1

Lampiran 1b. Jenis Tanaman pada Lokasi Pengamatan Arboretum Cibubur

No Nama Imiah Nama lokal Famili Jumlah 1 Pterocarpus indicus Angsana Fabaceae 5 2 Filicium desipiens Krey payung Sapindaceae 6 3 Adenanthera pavonina Saga Fabaceae 4 4 Swietenia sp. Mahoni Meliaceae 10 5 Podocapus nerifolii Ki putri Podocarpaceae 5 6 Mimosops elingi Tanjung Fabaceae 5 7 Hevea sp. Karet Euphorbiaceae 8 8 Podocapus imbricata Jamuju Podocarpaceae 1 9 Cinnamomum sp. Kayu manis Lauraceae 1

10 Maniltoa grandiflora Sapu tangan Fabaceae 1

Lampiran 2. Hasil Analisis Pengukuran Kualitas Udara Ambien

Lampiran 3a. Rekapitulasi Suhu Udara Rata-Rata (°C) Lampiran 3b. Rekapitulasi Kelembaban Udara Rata-Rata (%)

Suhu Udara Rata - Rata (ºC)A B C

1 31.8 27.8 25.5 2 31.0 28.8 25.5 3 31.3 27.0 26.6 4 29.8 28.3 25.8 5 31.0 27.3 25.5 6 29.4 26.0 26.0 7 29.8 25.8 27.8 8 31.3 27.8 26.5 9 29.8 28.3 25.4

10 29.8 26.5 26.9 11 26.5 24.8 12 26.3 25.7 13 30.0 25.3 14 27.0 27.6 15 27.0 26.5 16 28.8 17 26.5

Rata - Rata 30.5 27.4 26.1

No

A B C1 70 83 87 2 71 80 92 3 74 79 86 4 74 84 93 5 72 85 89 6 69 92 91 7 74 88 89 8 70 85 92 9 75 85 89

10 73 87 95 11 83 86 12 89 92 13 85 91 14 95 92 15 90 84 16 78 17 86

Rata - Rata 72 86 90 Keterangan :A : Kawasan industri Pulo GadungB : Arboretum Cibubur C: Tegakan mahoni Cikabayan

No Kelembaban Udara Rata - Rata (% )

Lampiran 4. Struktur Makroskopik dan Mikroskopik Talus Lumut Kerak

Gambar 17. Koloni Spesies I (Phaeographis sp.)

Gambar 18. Jaringan Talus Spesies I (Phaeographis sp.) (perbesaran 400x)

Lampiran 6 (Lanjutan)

Gambar 19. Koloni Spesies II (Strigula sp.)

Gambar 20. Penampang Melintang Apotesia Strigula sp. (perbesaran 100x)

Lampiran 6 (Lanjutan)

Gambar 21. Koloni Spesies III (Dirinaria cf. picta)

Gambar 22. Jaringan Talus Dirinaria cf. picta (perbesaran 100x)

Lampiran 6 (Lanjutan)

Gambar 23. Koloni Spesies IV (Heterodermia sp.)

(a) (b)

(c) (d) Gambar 24. Jaringan Talus Heterodermia sp. (perbesaran 100x) (a) dan

(b)Jaringan Talus (perbesaran 400x)

Lampiran 6 (Lanjutan)

Gambar 25. Koloni Talus Spesies VI (Tipe Talus Crustose)

Gambar 26. Struktur Mikroskopis Spesies VI (perbesaran 400x)

Lampiran 6 (Lanjutan)

Gambar 27. Koloni Spesies VII (Verrucaria sp.)(tipe talus crustose)

(a) (b)

( c ) (d) Gambar 28. Lapisan Talus Verrucaria sp. (perbesaran 400x) (a) Bentuk Apotesium

(perbesaran 100x) (b) Askospora (perbesaran 400x)

Lampiran 6 (Lanjutan)

Gambar 29. Koloni Spesies VIII (Parmelia sp.)

(a) (b)

(c) Gambar 30. Jaringan Talus Parmelia sp. (perbesaran 100x) (a) Jaringan Talus

(perbesaran 400x) (b) Jaringan Talus (perbesaran 400x)

Lampiran 6 (Lanjutan)

Gambar 31. Jenis Spesies IX (tipe talus foliose)

Gambar 32. Jaringan Spesies IX (tipe talus foliose)

Lampiran 6 (Lanjutan)

Gambar 33. Koloni Spesies XII (Graphidaceae) (Crustose lirella)

(a)

(b) (c) Gambar 34. Penampang Melintang Apotesia Graphidaceae (pembesaran 100x). (a)

dan (b) Jaringan Talus (perbesaran 400x)

69

Lampiran 5a. Rekapitulasi Luas Koloni Lumut Kerak (cm2) pada Bagian Menghadap Titik Pengukuran

Lokasi Jarak Pohon ke JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII JumlahA 5 1 Saga 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2 Saga 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 03 Saga 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 04 Tanjung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 05 Tanjung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 06 Tanjung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 07 Tanjung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 08 Tanjung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 09 Tanjung 0 0 0,1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,110 Tanjung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Jumlah 0,1Rata-rata 0,01

10 1 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 02 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 03 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 04 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 05 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 06 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 07 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 08 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 09 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 010 Angsana 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 011 Johar 14,6 10,2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 24,812 Johar 120,4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 120,413 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 014 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 015 Johar 30,2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 30,216 Mahoni 0 4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 417 Mahoni 24,4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 24,418 Johar 10,2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 10,2

Jumlah 199,8 14,2Rata-rata 11,1 0,78889

70

Lanjutan

Lokasi Jarak Pohon ke JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII JumlahA 25 1 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 03 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 04 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 05 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 06 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 07 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 08 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 09 Johar 34,6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 34,6

10 Johar 0 7,7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7,711 Johar 3,5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3,512 Johar 1,6 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1,613 Johar 0 1,5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1,514 Johar 9,4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9,415 Mahoni 7,7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 7,716 Mahoni 0,12 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0,1217 Mahoni 36,2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 36,2

Jumlah 93,12 9,2Rata-rata 5,4776 0,54118

71

LanjutanLokasi Jarak Pohon ke JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII JumlahB1 5 1 Angsana 0 0 0 20,3 56,1 229,1 34,1 0 0 0 0 0 339,6

2 Angsana 0 6,3 0 4,4 7,2 164 56,5 0 0 0 0 0 238,43 Angsana 0 2 0 4,7 6,3 22,7 26,2 0 0 0 0 0 61,94 Angsana 0 5,8 0 4,5 6,4 12,8 20,9 0 0 0 0 0 50,45 Angsana 0 0 0 21,4 98,4 0 0 0 0 0 0 119,8

Jumlah 14,1 33,9 97,4 527 137,7Rata-rata 2,82 6,78 19,48 105,4 27,54

10 1 Krey Payung 0 2530,2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2530,22 Krey Payung 0 592,8 0 0 0 0 99,6 0 0 0 0 0 692,43 Krey Payung 0 1244,5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1244,54 Krey Payung 0 2507,7 0 32,3 0 0 2,5 0 0 0 0 0 2542,55 Krey Payung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 06 Krey Payung 0 53,5 0 0 0 3,5 4,1 0 0 0 0 0 61,17 Mahoni 0 336,5 0 37,1 0 54,3 46 0 0 0 0 0 473,98 Mahoni 0 67,8 0 0 0 128,3 48,5 0 0 0 0 0 244,69 Mahoni 0 89,9 0 3,3 0 113,1 553,5 0 0 0 0 0 759,8

10 Saga 0 61,9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 61,911 Mahoni 0 33,2 0 0 0 699 53,5 0 0 0 0 0 785,7

Jumlah 7518 72,7 998,2 807,7Rata-rata 683,455 6,60909 90,7455 73,4273

25 1 Mahoni 0 3,1 0 0 0 85,7 55,7 0 0 0 0 0 144,52 Mahoni 0 22,1 0 0 0 0,6 19,4 0 0 0 0 0 42,13 Mahoni 0 8,3 0 0 0 0 26,1 0 0 0 0 0 34,44 Mahoni 0 81,7 0 0 0 23,8 51,1 0 0 0 0 0 156,65 Mahoni 0 17,7 0 0 0 47,2 8,1 0 0 0 0 0 736 Mahoni 0 69,7 0 0 0 0 14,3 0 0 0 0 0 847 Kyu manis 0 16,8 0 0 0 87,5 107,2 0 0 0 0 0 211,58 Sapu tangan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 09 Sapu tangan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Jumlah 219,4 244,8 281,9Rata-rata 24,3778 27,2 31,3222

72

LanjutanLokasi Jarak Pohon ke JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII JumlahB2 5 1 Saga 0 61,2 0 301,4 0 1563,7 138 0 0 0 0 0 2064,3

2 Ki putri 0 0 0 0 73,3 0 0 0 0 0 73,33 Ki putri 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 04 Ki putri 0 0 0 0 13,3 0 0 0 0 0 13,35 Saga 0 68,7 0 247,2 0 780 25,2 0 0 0 0 0 1121,16 Tanjung 0 41,4 0 0 0 99,9 0 0 0 0 0 0 141,37 Tanjung 0 92,6 0 0 0 132,7 2,8 0 0 0 0 0 228,1

Jumlah 263,9 548,6 2576,3 252,6Rata-rata 37,7 78,3714 368,043 36,0857

10 1 Karet 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 02 Ki putri 0 114 0 0 0 111,3 20,8 0 0 0 0 0 246,13 Ki putri 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 04 Tanjung 0 12,7 0 0 0 1,3 47,2 0 0 0 0 0 61,25 Tanjung 0 48,4 0 0 0 2 9,9 0 0 0 0 0 60,3

Jumlah 175,1 114,6 77,9Rata-rata 35,02 22,92 15,58

25 1 Tanjung 0 300,9 0 0 0 18,8 0 0 0 0 0 0 319,72 Saga 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 03 Ki putri 0 122,5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 122,54 Ki putri 0 57,6 0 0 0 0 18 0 0 0 0 0 75,65 Ki putri 0 189 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1896 jamuju 0 225,2 0 0 0 35,7 0 0 0 0 0 260,97 Karet 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Jumlah 895,2 54,5 18Rata-rata 127,886 7,78571 2,57143

73

LanjutanLokasi Jarak Pohon ke JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII JumlahC 5 1 Mahoni 7,1 0 0 9 0 29 0 344,5 69,4 0 0 0 459

2 Mahoni 0,8 0 0 36,4 0 19,8 0 0 0 0 0 0 573 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 04 Mahoni 0 0 0 6,1 0 19,4 75,7 0 5,5 0 0 3,4 110,15 Mahoni 36,5 0 0 12,7 0 17,7 6,4 15,1 85,4 0 177,5 77,4 428,76 Mahoni 0 0 0 0 0 28,8 0 0 0 121,3 344,9 211,8 706,87 Mahoni 0 0 0 0 0 3,3 0 0 13 51,2 109,3 4,7 181,58 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 09 Mahoni 0 6 0 6,3 0 0 13,8 0 0 0 0 10,6 36,7

Jumlah 44,4 6 0 70,5 0 118 95,9 359,6 173,3 172,5 631,7 307,9Rata-rata 4,9333 0,66667 7,83333 13,1111 10,6556 39,95556 19,2556 19,16667 70,18889 34,21111

10 1 Mahoni 13,6 0 0 13,8 0 22,8 0 0 0 0 1,1 3,9 55,22 Mahoni 0 0 0 10,9 0 0 0 38,2 11,2 0 0 0 60,33 Mahoni 0 14,6 0 0 0 3,4 141,9 0 13,9 83,4 18,8 226,8 502,84 Mahoni 0 23,8 0 0 0 16,3 64,4 0 0 44,7 11,6 2,8 163,65 Mahoni 0 78,4 0 3,6 0 20,3 130,9 0 4,1 24,2 15,2 22,4 299,16 Mahoni 5,2 3 0 1,1 0 1,6 26,4 0 15,6 3,1 10,8 4,6 71,47 Mahoni 10,9 0 0 1,6 0 17,5 0 0 8,8 0 0 0 38,88 Mahoni 8,4 0 0 0 0 0 0 0 0 41,9 0 0 50,39 Mahoni 0 0 0 0 0 0 17,3 0 0 0 0 0 17,3

Jumlah 38,1 119,8 0 31 0 81,9 380,9 38,2 53,6 197,3 57,5 260,5Rata-rata 4,2333 13,3111 0 3,44444 0 9,1 42,3222 4,244444 5,95556 21,92222 6,388889 28,94444

74

LanjutanLokasi Jarak Pohon ke JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII Jumlah

25 1 Mahoni 0 0 0 6 0 18 2,1 0 0 0 0 0 26,12 Mahoni 0 0 0 5,8 0 13,3 9,7 0 0 0 0 0 28,83 Mahoni 0 0 0 2,3 0 0 11,1 0 0 0 0 0 13,44 Mahoni 0 11,9 0 1,4 0 4,5 0 0 0 0 0 0 17,85 Mahoni 0 13,2 0 27,8 0 8,4 25 12,3 52,4 0 9,5 0 148,66 Mahoni 0 0 0 1,4 0 3,7 21,5 0 36,3 0 0 0 62,97 Mahoni 0 1,7 0 0,2 0 8,2 3,5 0 4,5 0 4,5 2,6 25,28 Mahoni 0 0 0 2,1 0 3,2 0 0 44,9 0 16,2 4,2 70,69 Mahoni 0 0 0 3,6 0 12,4 15,4 0 4,9 0 2,5 1,5 40,3

10 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Jumlah 0 26,8 0 50,6 0 71,7 88,3 12,3 143 0 32,7 8,3Rata-rata 2,68 5,06 7,17 8,83 1,23 14,3 3,27 0,83

Keterangan :A : Kawasan industri Pulo GadungB1 : Arboretum Cibubur IB2: Arboretum Cibubur 2C: Tegakan mahoni Cikabayan JT : Jenis tanaman

75

Lampiran 5b. Rekapitulasi Luas Koloni Lumut Kerak (cm2) pada Bagian Membelakangi Titik PengukuranLOKASJARAK Pohon ke- JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII JumlahA 5 1 Saga 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

2 Saga 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 03 Saga 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 04 Tanjung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 05 Tanjung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 06 Tanjung 0 0 150,9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 150,97 Tanjung 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 38 Tanjung 0 0 6,1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 6,19 Tanjung 0 0 1,8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1,8

10 Tanjung 0 0 3,4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3,4Jumlah 165,2Rata-rata 16,52

10 1 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 02 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 03 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 04 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 05 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 06 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 07 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 08 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 09 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

10 Angsana 51,3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 51,311 Johar 23 2,7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 25,712 Johar 44,1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 44,113 Johar 8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 814 Johar 16 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1615 Johar 25 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2516 Mahoni 0 2,5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2,517 Mahoni 24,4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 24,418 Johar 0 2,7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2,7

Jumlah 191,8 7,9Rata-rata 10,6556 0,43889

76

LanjutanLOKASJARAK Pohon ke- JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII Jumlah

25 1 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 02 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 03 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 04 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 05 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 06 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 07 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 08 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 09 Johar 19,9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 19,9

10 Johar 0 3,8 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3,811 Johar 74,3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 74,312 Johar 5,1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 5,113 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 014 Johar 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 015 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 016 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 017 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Jumlah 99,3 3,8Rata-rata 5,84118 0,22353

77

LanjutanLOKASJARAK Pohon ke- JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII JumlahB1 5 1 Angsana 0 0 0 42,4 14,7 91,1 158,4 0 0 0 0 0 306,6

2 Angsana 0 13,4 0 3,3 0 428,2 55,4 0 0 0 0 0 500,33 Angsana 0 0 0 8,8 6,7 39,1 15 0 0 0 0 0 69,64 Angsana 0 2,8 0 0 8,8 200,3 32,9 0 0 0 0 0 244,85 Angsana 0 4,8 0 7,9 16,1 104,4 70,4 0 0 0 0 0 203,6

Jumlah 21 62,4 46,3 863,1 332,1Rata-rata 4,2 12,48 9,26 172,62 66,42

10 1Krey Payung 0 1961 0 0,5 0 0 3,4 0 0 0 0 0 1964,92Krey Payung 0 86,3 0 0 0 0 274,8 0 0 0 0 0 361,13Krey Payung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 04Krey Payung 0 936,7 0 2,1 0 0 0 0 0 0 0 0 938,85Krey Payung 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 06Krey Payung 0 0 0 0 0 0 26,4 0 0 0 0 0 26,46 Mahoni 0 52,4 0 0 0 810,1 59,1 0 0 0 0 0 921,67 Mahoni 0 45,1 0 7,2 0 367,5 120,2 0 0 0 0 0 5408 Mahoni 0 0 0 0 0 270,1 124,8 0 0 0 0 0 394,99 Saga 0 95,1 0 0 0 12,4 0 0 0 0 0 107,5

10 Mahoni 0 37,6 0 0 0 350,3 219,3 0 0 0 0 0 607,2Jumlah 3214,2 9,8 1798 840,4Rata-rata 321,42 0,98 179,8 168,08

25 1 Mahoni 0 41 0 0 0 35,2 70,4 0 0 0 0 0 146,62 Mahoni 0 14,3 0 0 0 153,1 25,7 0 0 0 0 0 193,13 Mahoni 0 169,7 0 0 0 68,8 19,7 0 0 0 0 0 258,24 Mahoni 0 26,5 0 0 0 0 33,6 0 0 0 0 0 60,15 Mahoni 0 38,2 0 0 0 194,5 43,2 0 0 0 0 0 275,96 Mahoni 0 95,1 0 0 0 73,4 253,8 0 0 0 0 0 422,37 Kyu manis 0 2,9 0 0 0 1,5 14,1 0 0 0 0 0 18,58Sapu tangan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 09Sapu tangan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

Jumlah 387,7 526,5 460,5Rata-rata 43,0778 58,5 51,167

78

LanjutanLOKASJARAK Pohon ke- JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII JumlahB 2 5 1 Saga 0 1805,3 0 0 0 323,4 0 0 0 0 0 0 2128,7

2 Ki putri 0 14 0 0 0 0 51,2 0 0 0 0 0 65,23 Ki putri 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 04 Ki putri 0 0 0 0 0 0 5,9 0 0 0 0 0 5,95 Saga 0 1612,3 0 0 0 454,8 0 0 0 0 0 0 2067,16 Tanjung 0 13,6 0 6 0 28,2 1,6 0 0 0 0 0 49,47 Tanjung 0 55,7 0 0 0 3,4 0 0 0 0 0 0 59,1

Jumlah 3500,9 809,8 58,7Rata-rata 500,129 115,69 8,3857

10 1 Karet 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 02 Ki putri 0 173,8 0 0 0 133,6 68,1 0 0 0 0 15,6 391,13 Ki putri 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 04 Tanjung 0 147,5 1,3 0 6 0 0 0 0 0 0 154,85 Tanjung 0 59,2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 59,2

Jumlah 380,5 1,3 139,6 68,1Rata-rata 76,1 0,26 27,92 13,62

25 1 Tanjung 0 5,5 0 0 0 0 1,6 0 0 0 0 0 7,12 Saga 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 03 Ki putri 0 1190,4 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1190,44 Ki putri 0 36,2 0 0 0 14,3 0 0 0 0 0 0 50,55 Ki putri 0 321 0 0 0 0 31,4 0 0 0 0 0 352,46 jamuju 0 219,2 0 0 0 9,5 77,6 0 0 0 0 0 306,37 Karet 0 32,4 0 0 0 0 3,3 0 0 0 0 0 35,7

Jumlah 1804,7 23,8 113,9Rata-rata 257,814 3,4 16,271

79

LanjutanLOKASJARAK Pohon ke- JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII JumlahC 5 1 Mahoni 1,3 0 0 8,5 0 63,5 7,7 0 0 0 7,2 0 88,2

2 Mahoni 9,7 0 0 90,6 0 47,3 25 0 65,9 0 0 0 238,53 Mahoni 2,8 0 0 0 0 6,8 0 0 0 0 0 7,5 17,14 Mahoni 0 39,9 0 16 0 101,9 12,3 83,5 169,6 1,9 0 8,7 433,85 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 06 Mahoni 0 14,8 0 4,5 0 0,7 5,1 0 0 22,5 114 0 161,67 Mahoni 0 0 0 14,7 0 68,4 23,2 0 25,3 5,2 16,6 1 154,48 Mahoni 0 4,9 0 13,3 0 173,3 3,5 0 120,1 78,5 153,1 222,5 769,29 Mahoni 0 9,8 0 6,9 0 51,3 0 0 82,2 7,4 16 27,1 200,7

Jumlah 13,8 69,4 0 154,5 0 513,2 76,8 83,5 463,1 115,5 306,9 266,8Rata-rata 1,53333 7,71111 17,1667 57,022 8,5333 9,27778 51,4556 12,83333 34,1 29,64444

10 1 Mahoni 55 0 0 69,3 0 130,5 384,6 0 0 0 2,8 48,9 691,12 Mahoni 0 0 0 6,5 0 0 0 61,9 5,1 0 0 0 73,53 Mahoni 0 4,4 0 3,9 0 3,5 56,2 0 39,5 0 12 9,5 1294 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 05 Mahoni 0 120,5 0 0 0 144 129 0 29 0 0 32,4 454,96 Mahoni 14,4 55 0 0,7 0 0 0 0 24,2 22,8 10,8 0 127,97 Mahoni 0,7 0 0 3,3 0 7,5 0 16,4 71,9 0 0 0 99,88 Mahoni 3,9 0 0 0 0 7,8 0 0 0,8 122,6 0 0 135,19 Mahoni 4,6 0 0 5,6 0 1,4 117,1 0 5,5 72 1,4 0 207,6

Jumlah 78,6 179,9 0 89,3 0 294,7 686,9 78,3 176 217,4 27 90,8Rata-rata 8,73333 19,9889 9,92222 32,744 76,322 8,7 19,5556 24,15556 3 10,08889

80

LanjutanLOKASJARAK Pohon ke- JT SP I SP II SP III SP IV SP V SP VI SP VII SP VIII SP IX SP X SP XI SP XII JumlahC 25 1 Mahoni 0 0 0 15 0 4,2 101,1 34,6 105,5 0 0 0 260,4

2 Mahoni 0 0 0 37,7 0 3,4 0 0 115,2 0 0 0 156,33 Mahoni 0 0 0 4,6 0 8,1 94,7 0 10,5 0 0 0 117,94 Mahoni 0 11 0 3,9 0 4,3 0 0 1,4 0 0 0 20,65 Mahoni 0 0 0 190,6 0 0 8,5 0 0 0 0 0 199,16 Mahoni 0 9,5 0 12 0 6 66,3 0 0 0 2,7 0 96,57 Mahoni 0 0 0 3,8 0 0 10,4 0 7,1 1 1,7 1,6 25,68 Mahoni 0 8,3 0 6,8 0 5,1 1,5 24,9 16,7 0 4 11,3 78,69 Mahoni 0 0,5 0 6,9 0 5,1 17,1 0 6,5 0 13 1,6 50,7

10 Mahoni 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0Jumlah 0 29,3 0 281,3 0 36,2 299,6 59,5 262,9 1 21,4 14,5Rata-rata 2,93 28,13 3,62 29,96 5,95 26,29 0,1 2,14 1,45

Keterangan :A : Kawasan industri Pulo GadungB1 : Arboretum Cibubur IB2: Arboretum Cibubur 2C: Tegakan mahoni Cikabayan JT : Jenis tanaman

81

81

Lampiran 6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999

TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 41 TAHUN 1999 TANGGAL : 26 MEI 1999

BAKU MUTU UDARA AMBIEN NASIONAL

No. Parameter Waktu Pengukuran

Baku Mutu Metode Analisis

Peralatan

1 SO2 1 Jam 900 ug/Nm3 Pararosanilin Spektrofotometer

(Sulfur Dioksida)

24 Jam 365 ug/Nm3

1 Thn 60 ug/Nm3

2 CO 1 Jam 30.000 ug/Nm3 NDIR NDIR Analyzer

(Karbon Monoksida)

24 Jam 10.000 ug/Nm3

1 Thn -

3 NO2 1 Jam 400 ug/Nm3 Saltzman Spektrofotometer

(Nitrogen Dioksida)

24 Jam 150 ug/Nm3

1 Thn 100 ug/Nm3

4 O3 1 Jam 235 ug/Nm3 Chemiluminescent Spektrofotometer

(Oksidan) 1 Thn 50 ug/Nm3

5 HC 3 Jam 160 ug/Nm3 Flame Ionization Gas

(Hidro Karbon) Chromatogarfi

6 PM10 24 Jam 150 ug/Nm3 Gravimetric Hi - Vol

(Partikel < 10 um )

PM2,5 (*) 24 Jam 65 ug/Nm3 Gravimetric Hi - Vol

(Partikel < 2,5 um )

1 Thn 15 ug/Nm3 Gravimetric Hi - Vol

7 TSP 24 Jam 230 ug/Nm3 Gravimetric Hi - Vol

(Debu) 1 Thn 90 ug/Nm3

82

Lampiran 6 (Lanjutan)

8 Pb 24 Jam 2 ug/Nm3 Gravimetric Hi – Vol

(Timah Hitam) 1 Thn 1 ug/Nm3 Ekstraktif

Pengabuan AAS

9. Dustfall 30 hari

(Debu Jatuh ) 10 Ton/km2/Bulan

(Pemukiman)

Gravimetric Cannister

20 Ton/km2/Bulan

(Industri)

10 Total Fluorides (as F)

24 Jam 3 ug/Nm3 Spesific Ion Impinger atau

90 hari 0,5 ug/Nm3 Electrode Countinous Analyzer

11. Fluor Indeks 30 hari 40 u g/100 cm2 dari kertas limed filter

Colourimetric Limed Filter

Paper

12. Khlorine & 24 Jam 150 ug/Nm3 Spesific Ion Impinger atau

Khlorine Dioksida

Electrode Countinous Analyzer

13. Sulphat Indeks 30 hari 1 mg SO3/100 cm3

Colourimetric Lead

Dari Lead Peroksida

Peroxida Candle

Catatan : Nomor 10 s/d 13 Hanya di berlakukan untuk daerah/kawasan Industri Kimia Dasar Contoh : - Industri Petro Kimia - Industri Pembuatan Asam Sulfat.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBI