KAJIAN KINERJA INVESTASI DAN DAMPAK PENGETATAN...

29
0 KAJIAN KINERJA INVESTASI DAN DAMPAK PENGETATAN INVESTASI ASING DI SEKTOR PERTANIAN I. LATAR BELAKANG (1) Sejak awal pemerintahannya, JKW-JK bertekad memacu pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih tinggi, berkualitas dan berkesinambungan, melalui peningkatan investasi dan surplus neraca perdagangan. Pemerintah menyadari akan semakin melandainya pertumbuhan konsumsi dan belanja pemerintah yang selama ini justeru menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi nasional. Tidak heran kalau dalam setiap kesempatan, khususnya di dalam Sidang Kabinet terbatas, RI-1 menekankan pentingnya menggenjot kinerja investasi dan perdagangan (khususnya ekspor) sebagai sumber pertumbuhan baru perekonomian nasional. (2) Keinginan dan langkah untuk memacu pertumbuhan investasi telah beberapa kali dilakukan, termasuk investasi di sektor pertanian. Langkah yang telah dilakukan antara lain dengan merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI), yakni dengan cara membuka bidang usaha yang sebelumnya tertutup menjadi terbuka dengan persyaratan dan mengurangi atau menghilangkan persyaratan pada bidang usaha semula terbuka dengan persyaratan, termasuk persyaratan batas maksimum kepemilikan modal asing (PMA). Namun, Pemerintah masih tetap mencadangkan biidang-bidang usaha yang terbuka hanya untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam negeri. (3) Sudah sejak lama Pemerintah bertekad untuk meningkatkan investasi asing langsung (Foreign Direct Investment-FDI ) baik intra-ASEAN maupun dari luar ASEAN. Namun tekad ini belum sepenuhnya terwujud, terlihat dari besarnya nilai dan laju pertumbuhan investasi asing yang masuk ke Indonesia, dimana masih dibawah Singapore dan Thailand, bahkan mulai disusul oleh Vietnam. Situasi ini tidak hanya karena kebijakan investasinya yang cenderung tertutup bagi PMA, tetapi juga ada faktor lain yang menghambat masuknya FDI. Relatif rendahnya indeks dayasaing (Global Competitiveness Index) dan indeks kemudahan berusaha (Ease for Doing Business Index) merupakan indikator penjelas kecilnya realisasi investasi di Indonesia, baik investasi PMA maupun PMDN. (4) Khusus di subsektor hortikultura dengan adanya UU No 13 2010 tentang hortikultura merupakan contoh nyata terjadinya perbedaan antara harapan dengan kenyataan. Tekad dan keinginan pemerintah untuk memacu investasi di sektor hortikultura harus menghadapi kenyataan adanya UU No 13 2010

Transcript of KAJIAN KINERJA INVESTASI DAN DAMPAK PENGETATAN...

0

KAJIAN KINERJA INVESTASI DAN DAMPAK PENGETATAN INVESTASI

ASING DI SEKTOR PERTANIAN

I. LATAR BELAKANG

(1) Sejak awal pemerintahannya, JKW-JK bertekad memacu pertumbuhan

ekonomi nasional yang lebih tinggi, berkualitas dan berkesinambungan,

melalui peningkatan investasi dan surplus neraca perdagangan. Pemerintah

menyadari akan semakin melandainya pertumbuhan konsumsi dan belanja

pemerintah yang selama ini justeru menjadi sumber utama pertumbuhan

ekonomi nasional. Tidak heran kalau dalam setiap kesempatan, khususnya di

dalam Sidang Kabinet terbatas, RI-1 menekankan pentingnya menggenjot

kinerja investasi dan perdagangan (khususnya ekspor) sebagai sumber

pertumbuhan baru perekonomian nasional.

(2) Keinginan dan langkah untuk memacu pertumbuhan investasi telah beberapa

kali dilakukan, termasuk investasi di sektor pertanian. Langkah yang telah

dilakukan antara lain dengan merevisi Daftar Negatif Investasi (DNI), yakni

dengan cara membuka bidang usaha yang sebelumnya tertutup menjadi

terbuka dengan persyaratan dan mengurangi atau menghilangkan

persyaratan pada bidang usaha semula terbuka dengan persyaratan,

termasuk persyaratan batas maksimum kepemilikan modal asing (PMA).

Namun, Pemerintah masih tetap mencadangkan biidang-bidang usaha yang

terbuka hanya untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dalam

negeri.

(3) Sudah sejak lama Pemerintah bertekad untuk meningkatkan investasi asing

langsung (Foreign Direct Investment-FDI) baik intra-ASEAN maupun dari luar

ASEAN. Namun tekad ini belum sepenuhnya terwujud, terlihat dari besarnya

nilai dan laju pertumbuhan investasi asing yang masuk ke Indonesia, dimana

masih dibawah Singapore dan Thailand, bahkan mulai disusul oleh Vietnam.

Situasi ini tidak hanya karena kebijakan investasinya yang cenderung tertutup

bagi PMA, tetapi juga ada faktor lain yang menghambat masuknya FDI.

Relatif rendahnya indeks dayasaing (Global Competitiveness Index) dan

indeks kemudahan berusaha (Ease for Doing Business Index) merupakan

indikator penjelas kecilnya realisasi investasi di Indonesia, baik investasi PMA

maupun PMDN.

(4) Khusus di subsektor hortikultura dengan adanya UU No 13 2010 tentang

hortikultura merupakan contoh nyata terjadinya perbedaan antara harapan

dengan kenyataan. Tekad dan keinginan pemerintah untuk memacu investasi

di sektor hortikultura harus menghadapi kenyataan adanya UU No 13 2010

1

yang mengamanatkan pemerintah untuk membatasi investasi dan

penguasaan kepemilikan modal asing (PMA) dalam usaha bidang hortikultura.

Pasal 100 ayat (3) dan Pasal 131 ayat (2) UU No 13/2010 mengatur

pembatasan penanaman modal asing (PMA), dengan maksimum kepemilikan

30 persen di sektor usaha holtikultura, termasuk bidang usaha perbenihan.

Ketentuan batas maksimum kepemilikan modal asing ini jauh lebih ‘restriktif’

disbanding ketentuan yang berlaku pada saat itu, yang tertuang dalam

Perpres No 36 tahun 2010. Untuk ini, pemerintah diberi mandat untuk

membuat aturan implementasi dari UU No 13 Tahun 2010.

(5) Kehadiran UU Hortikultura No 13 Tahun 2010 telah mengundang pro-kontra

khususnya terkait persyaratan kepemilikan modal asing (PMA) maksimum

30% dan pernah digugat ke MK untuk dilakukan uji materi. Pihak yang

merasa dirugikan telah mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK)

pada 17 Februari 2014, meskipun akhirnya MK memutuskan menolak

gugatan tersebut (19 Maret 2015).

(6) Peraturan Presiden (Perpres) No.39 Tahun 2014 merupakan perubahan atas

Peraturan Presiden No.36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang

Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang

Penanaman Modal atau biasa disebut Daftar Negatif Investasi (DNI).

Ketentuan batas maksimal modal asing di bidang usaha hortikultura dalam

Perpres No 39/2014 merupakan amanat UU Hortikultura No.13/2010.

(7) Pada tahun 2016, Pemerintah kembali melakukan revisi Perpres No 39/2014

melalui Perpres No 44/2016. Tujuan dan alasan utama diterbitkannya Perpres

44/2016, adalah untuk mengurangi hambatan/persyaratan investasi dan

menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif agar Indonesia lebih menarik

bagi para penanam modal, khususnya PMA (Foreign Direct Investment-FDI)

di era pasar global dan pasar tunggal ASEAN (MEA) 2016.

(8) Mengacu kepada indeks daya saing global pada tahun 2016 (dari 140

negara), Indonesia berada dalam urutan 37, dibawah Singapore (2), Malaysia

(18), dan Thailand (32), meski berada di atas Philippines (47), Vietnam (56),

Laos PDR (83) dan Cambodia (90). Urutan daya saing Indonesia juga jauh di

bawah China yang berada pada urutan ke-28.

(9) Lebih merisaukan lagi, mengacu kepada indeks kemudahan berusaha dari

Bank Dunia (Ease of Doing Business Index dari 190) tahun 2016, Indonesia

menduduki urutan ke 91, jauh dibawah Singapore (2), Malaysia (23), Thailand

(46), Brunei (72), Vietnam (82), sedikit diatas Philippines (99). Situasi inilah

yang diperkirakan menjadi perhatian serius dan alasan kuat pemerintah untuk

terus berbenah menciptakan iklim investasi dan usaha yang kondusif agar

lebih berdaya saing.

2

(10) Namun langkah berbenah ini, secara politis, tidaklah mudah untuk dilakukan

karena selalu memicu pro-kontra. Kepentingan sektoral yang ditopang

kepentingan politik praktis jangka pendek seringkali menjadi penghambat

dalam melakukan perubahan dan deregulasi. Disamping itu, belum adanya

konsensus nasional dalam memaknai kedaulatan dan kemandirian, membuat

pemerintah tidak ‘satu suara’ dalam memaknai dan menyikapi keberadaan

modal asing (FDI) dalam perekonomian nasional.

II. TUJUAN DAN METODOLOGI

(11) Kajian ini bertujuan menilai dampak (positif-negatif) dari langkah deregulasi

dan perubahan kebijakan investasi terhadap perkembangan dan kinerja

investasi, baik PMDN dan PMA, di sektor pertanian dan perdagangan produk

pertanian. Untuk tujuan tersebut dilakukan pendekatan analisis sebagai

berikut: (i) review kebijakan investasi 2010-2017, (ii) analisa keterkaitan atau

dampak perubahan Prespres No.36/2010 menjadi Perpres No.39/2014 dan

Perpres No. 44/2016 terhadap kinerja investasi dan perdagangan di sektor

pertanian, dan (iii) interview dengan narasumber.

(12) Laporan hasil analisis mecakup uraian tentang: (1) Perubahan Perpres No

36/2010 menjadi Perpres No 39/2014 dan Perpres No 44/2016 Bidang Usaha

Pertanian, (2) Kinerja investasi terkait revisi selama 2010-2016, (3) Kinerja

perdagangan selama periode 2010-2016, dan (4) Kinerja investasi dan

perdagangan indonesia dalam perspektif ASEAN.

III. KEBIJAKAN INVESTASI: PERUBAHAN PERPRES 36/2010

MENJADI PERPRES 39/2014 DAN PERPRES 44/2016

BIDANG USAHA PERTANIAN

(13) Daftar Negatif Investasi (DNI) terdiri dari daftar (i) usaha yang tertutup untuk

penanaman modal, dan (ii) usaha terbuka dengan persyaratan. Adapun

persyaratan yang berlaku mencakup : (a) Dicadangkan untuk UMKMK (Usaha

Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi), (b) Kemitraan, (c) Kepemilikan modal

asing, (d) Lokasi tertentu, (e) Perizinan khusus, (f) Modal dalam negeri 100%,

(g) Kepemilikan modal asing serta lokasi, (h) Perizinan khusus dan

kepemilikan modal asing, (i) Modal dalam negeri 100% dan perizinan khusus,

(j) Persyaratan kepemilikan modal asing dan/atau lokasi bagi penanam modal

dari negara‐negara ASEAN.

3

(14) Di bidang usaha pertanian, revisi Perpres DNI No 36/2010 ke Perpres No

39/2014 tidak mengalami perubahan, kecuali perubahan yang terkait dengan

batas maksimal kepemilikan modal asing di bidang usaha hortikultura.

Kepemilikan asing untuk usaha hortikultura dari yang semula tidak diatur

secara khusus dalam Perpres 36/20101 menjadi maksimal 30% dalam

Perpres 39/2014, sesuai dengan amanat UU No 13/2010 tentang Hortikultura

(Lampiran 1 kolom 2 dan 3).

(15) Didorong keinginan pemerintah untuk meningkatkan laju pertumbuhan

ekonomi dan lapangan kerja, kembali pada tahun 2016, pemerintah

mengeluarkan paket kebijakan investasi dalam bentuk revisi DNI dari Perpres

No 39/2014 menjadi Perpres No 44/2016, yang perubahannya disajikan

dalam Lampiran 1 kolom 4. Investasi dalam bidang usaha tanaman pangan

pokok dengan luas lebih dari 25 ha, tidak lagi memerlukan rekomendasi

Menteri Pertanian dengan modal asing maksimal tetap sebesar 49%.

Rekomendasi Menteri Pertanian juga tidak lagi diperlukan dalam kegiatan

investasi di bidang usaha perkebunan dengan luas lebih dari 25 ha,

digantikan dengan kewajiban untuk mengembangkan kebun plasma sebesar

20%, dengan maksimum kepemilikan asing masih tetap 95%.

(16) Dampak perubahan kebijakan investasi dalam bentuk revisi DNI, yakni dari

Perpres 36/2010 menjadi Perpres 39/2014 dan yang terakhir Perpres

44/2016, akan dievaluasi dari kinerja sektor pertanian tanaman pangan dan

hortikultura, mencakup perkembangan investasi dan kinerja perdagangan

(ekspor-impor) selama periode 2010-2016.

IV. KINERJA INVESTASI SELAMA PERIODE 2010-2016

(17) Total investasi (PMDN dan PMA) di sektor primer, termasuk sektor pertanian,

masih tergolong kecil dibandingkan investasi di sektor sekunder (industri

pengolahan dan manufaktur) dan sektor tersier (bidang jasa). Selama periode

2010-2016, investasi di subsektor pertanian pangan, hortikultura dan

perkebunan rata-rata mencapai 7,2 persen dari total investasi, jauh lebih

rendah dibandingkan sektor pertambangan yang mencapai 12,6 persen dari

total investasi. Investasi langsung di subsektor peternakan sangat kecil, rata-

rata hanya 0,2 persen dari total investasi (Tabel 1). Mengingat investasi

merupakan salah satu sumber pertumbuhan sektoral, maka kecilnya investasi

di sektor pertanian, khususnya subsektor hortikultura dan peternakan,

seharusnya menjadi perhatian serius Kementerian Pertanian. Jika kedepan

1Dalam Perpres No 36/2010 bidang usaha hortikultura tidak diatur secara khusus .Jika hortikultura dimasukkan dalam bidang usaha tanaman pangan lain, maka modal asing maksimal ada lah 49%, sedangkan pa da Perpres No 39/2014 maksimal kepemilikan asing (sesuai UU Hortikultura No 13/2010) adalah 30%.

4

sektor pertanian diharapkan tumbuh dengan laju pertumbuhan lebih tinggi,

termasuk target untuk mencapai swasembada daging sapi, maka Kementan

harus berupaya keras untuk meningkatkan realisasi dan pertumbuhan

investasi, baik PMDN maupun PMA, di sektor pertanian, termasuk subsektor

hortikultura dan peternakan.

Tabel 1. Perkembangan Investari PMDN dan PMA di sektor pertanian, 2010-2016

Sektor/Subsektor Nilai investasi (USD juta) Growth

(%/thn) 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

1. Sektor Primer 4.383 6.706 8.039 8.582 8.319 7.473 6.565

Pangsa (%) 19,1 24,1 23,6 21,9 20,3 17,7 14,6 Growth (%/thn) 53,0 19,9 6,8 -3,1 -10,2 -12,2 9,0

Pangan, Horti, Kebun 1.722 2.255 2.598 2.146 3.228 2.945 3.153 Pangsa (%) 7,5 8,1 7,6 5,5 7,9 7,0 7,0

Growth (%/thn) 31,0 15,2 -17,4 50,4 -8,8 7,1 12,9 Peternakan 42 48 30 41 83 99 84

Pangsa (%) 0,2 0,2 0,1 0,1 0,2 0,2 0,2

Growth (%/thn) 14,3 -37,5 36,7 102,4 19,3 -15,2 20,0 Tambang 2.543 4.380 5.339 6.356 4.918 4.303 3.192

Pangsa (%) 11,1 15,7 15,7 16,2 12,0 10,2 7,1 Growth (%/thn) 72,2 21,9 19,1 -22,6 -12,5 -25,8 8,7

2. Sektor sekunder 6186 11039 16929 20057 17765 18218 24639

Pangsa (%) 26,9 39,6 49,6 51,3 43,2 43,1 54,7

Growth (%/thn) 78,5 53,4 18,5 -11,4 2,5 35,2 29,4

Industri makanan 2.850 1.980 2.938 3.355 4.715 3.300 4.500

Pangsa (%) 12,4 7,1 8,6 8,6 11,5 7,8 10,0 Growth (%/thn) -30,5 48,4 14,2 40,5 -30,0 36,4 13,2

3. Sektor tersier 12389 10111 9129 10493 14996 16594 13861

Pangsa (%) 54,0 36,3 26,8 26,8 36,5 39,2 30,8

Growth (%/thn) -18,4 -9,7 14,9 42,9 10,7 -16,5 4,0

Total Investasi 22.958 27.856 34.098 39.131 41.080 42.286 45.065 Growth (%/thn) 21,3 22,4 14,8 5,0 2,9 6,6 12,2

Sumber : BKPM (www.bkpm.go.id) Keterangan : Nilai pangsa merupakan persentase rasio investasi kelompok komoditas terhadap total

investasi

(18) Selama periode 2010-2016, dari total akumulatif investasi di Indonesia

sebesar USD 252 miliar, 70% (USD 176 miliar) merupakan PMA sedangkan

30% (USD 76 miliar) merupakan PMDN (Tabel 2). Data ini memperlihatkan

bahwa kontribusi PMA jauh lebih besar (lebih dari 2 kali lipat) dibandingkan

kontribusi PMDN. Hal ini berarti bahwa berbagai langkah dan keberpihakan

pemerintah untuk mendorong PMDN belum berhasil, para pemilik modal

belum tertarik untuk berinvestasi di Indonesia.

(19) Keberpihakan pemerintah kepada PMDN, lewat beberapa kali revisi DNI

(Perpres 36/2010, Perpres 39/2014 dan Perpres 44/2016) dengan cara

5

mencadangkan bidang usaha tertentu untuk UMKMK dan/atau membatasi

kepemilikan modal PMA belum berhasil meningkatkan PMDN secara nyata.

Kontribusi PMDN selama periode 2010-2016 fluktuatif berkisar antara 29%

tahun 2010, bahkan semakin menurun sampai hanya 26% tahun 2013, dan

paling tinggi 36% pada tahun 2016.

Tabel 2. Realisasi Investasi PMDN dan PMA di Indonesia, 2010-2016

Tahun

Investasi PMDN Investasi PMA Total Nilai

(USD juta) %

Nilai (USD juta)

% Nilai

(USD juta) %

2010 6.743 29,4 16.215 70,6 22.958 100

2011 8.381 30,1 19.474 69,9 27.856 100

2012 9.533 28,0 24.565 72,0 34.098 100

2013 10.514 26,9 28.618 73,1 39.131 100

2014 12.550 30,6 28.530 69,4 41.080 100

2015 13.009 30,8 29.276 69,2 42.286 100

2016 16.101 35,7 28.964 64,3 45.065 100

Total 76.831 30,4 175.641 69,6 252.472 100

Sumber : BKPM (www.bkpm.go.id)

(20) Jika situasi seperti ini terus berlangsung dan dibarengi dengan tumbuhnya

sentimen anti-asing lewat pembatasan PMA yang semakin ketat, dapat

dipastikan langkah pemerintah untuk memacu pertumbuhan investasi dan

target pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkualitas tidak akan tercapai.

Demikian juga, target untuk menciptakan lapangan kerja baru tidak akan

tercapai dan akibatnya tingkat pengangguran akan meningkat. Kalau situasi

ini juga terjadi dan terus berlangsung di sektor pertanian, maka pertumbuhan

sektor pertanian juga terhambat dan akibatnya defisit neraca perdagangan

pertanian akan meningkat dan Indonesia akan semakin tergantung impor

produk pangan dan pertanian.

(21) Investasi di sektor pertanian (mencakup bidang usaha tanaman pangan,

hortikultura, perkebunan dan peternakan) relatif kecil dibandingkan investasi

di bidang usaha lainnya. Ada beberapa kemungkinan, antara lain, bahwa (i)

bidang usaha sektor pertanian tidak menarik bagi investor, baik PMDN

maupun PMA, (ii) sektor ini menarik akan tetapi aturan investasi yang berlaku

membuat investor lebih tertarik untuk investasi di bidang usaha sektor lain

(industri dan jasa), (iii) bagi PMA, lebih menarik dan menguntungkan

berinvestasi di negara ASEAN lain dibandingkan di Indonesia. Ketiga alasan

ini menjadi pertimbangan pemerintah untuk terus melakukan revisi aturan

investasi agar dapat memenangkan kompetisi dalam menarik FDI.

(22) Tidak hanya sentimen anti PMA, belakangan juga muncul sentimen anti

perusahaan swasta berskala besar (korporasi), sementara perusahaan skala

6

kecil dan menengah juga tidak kunjung hadir atau sangat lambat dalam

memanfaatkan peluang usaha yang telah lama dicadangkan oleh pemerintah.

Akibatnya, pertumbuhan sektor pertanian, termasuk hortikultura dan

peternakan berjalan sangat lambat sehingga tidak mampu merespon

pertumbuhan permintaan yang terus meningkat secara cepat.

(23) Kebijakan investasi lewat pencadangan bidang usaha tertentu untuk UMKMK

ternyata belum membawa hasil, terbukti masih rendahnya realisasi investasi

di bidang usaha tersebut. Jadi, kebijakan pencadangan saja tidak cukup,

harus disertai dengan kebijakan lain agar UMKMK dapat memanfatkan

peluang tersebut dan berinvestasi di bidang usaha yang dicadangkan,

misalnya dengan menyederhanakan prosedur untuk memperoleh Kredit

Usaha Rakyat (KUR) dan/atau dengan memberikan subsidi bunga KUR.

Dengan cara ini diharapkan UMKMK dapat berinvestasi di bidang-bidang

usaha yang telah dicadangkan oleh pemerintah, termasuk usaha budidaya

pertanian pangan, hortikultura, perkebunan dan perbenihan pertanian dengan

luas dibawah 25 ha. Sangat mustahil mengharapkan sektor pertanian dapat

tumbuh dengan laju lebih tinggi, berkualitas dan berkesinambungan bilamana

realisasi investasi di sektor ini dan laju pertumbuhannya rendah.

(24) Tabel 3 memperlihatkan bahwa investasi PMDN di subsektor pangan,

hortikultura, dan perkebunan selama periode 2010-2016 tumbuh dengan laju

23,4% lebih tinggi dibandingkan laju pertumbuhan investasi PMDN di industri

makanan (18,3%) dan sedikit lebih rendah dibandingkan total PMDN (23,8%).

Meskipun nilai investasi di subsektor peternakan relative kecil, namun

mengalami pertumbuhan cukup signifikan sebesar 57,1%. Pada tahun 2016,

investasi di subsektor tanaman pangan, hortikultura dan perkebunan

mencapai Rp 21 triliun, hampir dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya

yang mencapai Rp 12 triliun. Realisasi investasi PMDN di sektor pertanian

tersebut diperkirakan lebih banyak terjadi di subsektor perkebunan. Pangsa

investasi di sektor pertanian selama periode 2010-2016 masih tergolong kecil,

baru mencapai9,8% lebih kecil dibandingkan sektor industri pengolahan

makanan yang mencapai 14,6%.

7

Tabel 3. Investasi PMDN di sektor pertanian dan industri makanan di Indonesia, 2010-2016

Bidang Usaha

Investasi PMDN (Rp miliar)

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Growth

(%/thn)

Pangan, Horti, Kebun 8.727 9.367 9.632 6.588 12.707 12.041 20.999

Pangsa (%) 14,4 12,3 10,5 5,1 8,1 6,7 9,7

Growth (%/thn) 7,3 2,8 -31,6 92,9 -5,2 74,4 23,4

Peternakan 157 247 97 361 651 325 466

Pangsa (%) 0,3 0,3 0,1 0,3 0,4 0,2 0,2 Growth (%/thn) 57,3 -60,7 272,2 80,3 -50,1 43,4 57,1

Industri makanan 16.405 7.941 11.167 15.081 19.596 24.534 32.029

Pangsa (%) 27,1 10,4 12,1 11,8 12,6 13,7 14,8 Growth (%/thn) -51,6 40,6 35,0 29,9 25,2 30,5 18,3

Total PMDN 60.626 76.001 92.182 128.151 156.126 179.466 216.231

Growth (%/thn) 25,4 21,3 39,0 21,8 14,9 20,5 23,8

Sumber : BKPM (www.bkpm.go.id)

(25) Tabel 4 memperlihatkan total nilai investasi PMA meningkat dengan laju

sebesar 10% selama periode 2010-2016. Secara rinci laju pertumbuhan untuk

subsektor pangan, hortikultura, dan perkebunan sebesar 17%, sedangkan

untuk subsektor peternakan dan industri makanan masing-masing sebesar

37% dan 21%.

Tabel 4. Realisasi PMA di sektor pertanian dan industri makanan di Indonesia, 2010-2016

Bidang Usaha

Realisasi nilai investasi PMA (USD miliar)

2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 Growth (%/thn)

Pangan, Horti, Kebun 801 1.265 1.642 1.628 2.268 2.222 1.687

Pangsa (%) 4,9 6,5 6,7 5,7 7,9 7,6 5,8

Growth (%/thn) 57,9 29,8 -0,8 39,3 -2,0 -24,1 16,7

Peternakan 25 21 20 11 31 75 49

Pangsa (%) 0,2 0,1 0,1 0,0 0,1 0,3 0,2

Growth (%/thn) -16,0 -4,8 -45,0 181,8 141,9 -34,7 37,2

Industri makanan 1.026 1.105 1.783 2.118 3.140 1.521 2.115

Pangsa (%) 6,3 5,7 7,3 7,4 11,0 5,2 7,3

Growth (%/thn) 7,7 61,4 18,8 48,3 -51,6 39,1 20,6

Total PMA 16.215 19.474 24.565 28.618 28.530 29.276 28.964

Growth (%/thn) 20,1 26,1 16,5 -0,3 2,6 -1,1 10,7

Sumber : BKPM (www.bkpm.go.id)

(26) Total investasi PMA selama periode 2010-2016 berfluktuasi, meningkat

hampir dua kali lipat dari USD 16,2 miliar pada tahun 2010 menjadi USD 28,6

miliar pada tahun 2013 atau tumbuh dengan laju rata-rata 21% per tahun

selama periode tersebut. Namun, pertumbuhan ini tidak berlanjut pada

periode 2013-2016, dimana laju pertumbuhan investasi tahun 2014 justru

menurun -0,31% dari USD 28,6 miliar pada tahun 2013 menjadi USD 28,5

miliar, sedikit tumbuh dengan laju 3% tahun 2015 menjadi USD 29,3 miliar.

Realisasi PMA tahun 2016 turun lagi (laju -1%) menjadi USD 28,9 miliar.

8

Penurunan laju pertumbuhan PMA selama 2013-2016 inilah yang

diperkirakan menjadi alasan pemerintah untuk kembali melakukan revisi

kebijakan DNI melalui Perpres No 44/2016.

(27) Realisasi investasi PMA di subsektor pertanian pangan, hortikultura dan

perkebunan berfluktuasi selama periode 2010-2016, meningkat cepat dari

USD 0,8 miliar pada tahun 2010 menjadi USD 1,6 miliar tahun 2012 atau

meningkat dengan laju 44% selama periode 2010-2012, tetapi kemudian

sedikit menurun tahun 2013 dan kembali meningkat dengan laju 39%

mencapai USD 2,3 miliar pada tahun 2014. Selanjutnya dalam periode 2014-

2016 realisai investasi menurun menjadi USD 2,2 miliar tahun 2015 dan USD

1,7 miliar atau dengan laju pertumbuhan negatif rata-rata 4,4% per tahun.

Menurunnya nilai investasi di subsektor pertanian pangan, hortikultura dan

perkebunan pada periode 2014-2016 seharusnya menjadi alasan yang

‘legitimate’ bagi pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pertanian) untuk

menggulirkan revisi aturan investasi (DNI) kearah yang lebih longgar baik

untuk PMDN dan PMA, disertai kebijakan kredit/pembiayaan yang lebih

sederhana dan terjangkau.

(28) Selama periode 2010-2016, pangsa investasi PMA di subsektor pangan,

hortikultura dan perkebunan berkisar 5-8% dari total investasi PMA, pangsa

terbesar terjadi tahun 2014 mencapai USD 2,3 miliar atau 8% dari total PMA

sebesar USD 28,5 miliar. Dalam periode 2010-2016, total nilai investasi PMA

akumulatif di subsektor ini mencapai USD 11,5 miliar atau sekitar Rp 130,3

triliun, jauh lebih besar dibandingkan total nilai akumulatif PMDN yang hanya

mencapai Rp 80,1 triliun.

(29) Investasi PMA di subsektor peternakan juga fluktuatif selama periode 2010-

2016, dengan nilai investasi tertinggi sebesar USD 75 juta atau sekitar Rp 1

triliun, yang terjadi tahun 2015. Meskipun investasi PMA di subsektor ini

tergolong kecil, dengan total nilai akumulatif USD 232 juta atau sekitar Rp 2,8

triliun, tetapi jauh lebih besar dibandingkan investasi PMDN di sektor ini yang

total nilai akumulatifnya sebesar Rp 2,3 triliun.

(30) Jika Kementrian Pertanian menargetkan pertumbuhan sektor pertanian yang

lebih tinggi dan berkualitas di masa mendatang, maka relatif kecilnya pangsa

investasi PMDN di sektor pertanian dibandingkan pangsa investasi PMA

menjadi tantangan dan harus dicari penyebabnya. Sentimen anti korporasi

(perusahan swasta besar) harus dihilangkan dan digantikan dengan

kampanye untuk menarik dan memfasilitasi PMDN agar berinvestasi di sektor

ini.

(31) Di subsektor peternakan sapi perah, misalnya, pemerintah seharusnya

mendorong dan memfasilitasi berkembangnya peternakan sapi perah

9

berskala besar (mega dairy farms) seperti Green Fields. Agar tidak bersaing

dan akhirnya mematikan peternak sapi perah rakyat, peternakan sapi perah

berskala besar harus diarahkan untuk berkembang di luar Jawa. Kalaupun

ada yang terlanjur berkembang di Jawa, peternakan sapi perah berskala

besar harus bermitra dengan peternak sapi perah rakyat. Hanya dengan cara

ini target untuk mencapai swasembada susu (60%) tahun 2040 dapat dicapai.

Langkah yang sama juga perlu dilakukan untuk mencapai target swasembada

daging sapi. Investasi menjadi salah satu faktor penentu tercapainya target

pertumbuhan sektor pertanian yang lebih tinggi, berkualitas dan

berkesinambungan.

(32) Perkembangan realisasi investasi agregat 2010-2016 di sektor pertanian,

seperti diuraikan diatas, harus menjadi tantangan dan sekaligus alasan kuat

bagi pemerintah (dhi Kementan) untuk melakukan perubahan lebih mendasar

kebijakan investasi di sektor ini, khususnya di subsektor hortikultura dan

peternakan. Sudah saatnya pemerintah (dhi Kementan) mendorong PMDN

berskala menengah-besar berkiprah di kedua subsektor, tanpa harus

mengorbankan usaha rakyat dan UMKMK, mengingat terus meningkatnya

permintaan produk hortikultura dan ternak selama ini. Untuk bidang usaha

yang ‘sarat kapital dan teknologi’(capital intensive), seperi bidang usaha

perbenihan hortikultura, Kementan harus lebih terbuka terhadap PMA.

Demikian juga bidang usaha hortikultura dan peternakan skala besar untuk

tujuan ekspor perlu lebih terbuka bagi PMA, karena disamping membutuhkan

modal besar, harus mampu berproduksi secara efisien, berkualitas, dan

berdaya saing. Pola kemitraan antara usaha besar dengan UMKMK perlu

didukung dan difasilitasi.

(33) Singkatnya, deregulasi dan reformasi kebijakan investasi di sektor pertanian

mendesak (urgent) untuk dilakukan. Paket kebijakan DNI beberapa kali telah

dilakukan dengan terbitnya Perpres 36/2010, Perpres 39/2014 dan Perpres

44/2016, namun tidak terjadi perubahan yang mendasar di sektor

pertanian.Dalam Perpres 39/2014 bahkan terjadi kemunduran di subsektor

hortikultura karena justru terjadi pengetatan/pembatasan kepemilikan asing

(PMA) maksimum 30% sesuai mandat UU Hortikultura No 13/2010. Perlu

perubahan ‘mindset’ dan pemahaman bahwa, sebagaimana terjadi di

subsektor perkebunan, investasi menjadi sumber pertumbuhan dan penentu

proses modernisasi di sektor pertanian.Oleh karena itu, Kementan perlu

mendorong besarnya investasi khususnya subsektor hortikultura dan

peternakan baik untuk tujuan pertumbuhan maupun penciptaan lapangan

kerja.

10

V. KINERJA INVESTASI DALAM PERSPEKTIF ASEAN DAN GLOBAL

(34) Investasi merupakan salah satu sumber pertumbuhan ekonomi dan penciptaan

lapangan kerja. Oleh karenanya, semua negara termasuk negara anggota

ASEAN berlomba saling bersaing dan berlomba untuk menarik investasi asing

PMA sebanyak mungkin. Di ASEAN, dilihat dari data nilai total investasi,

Indonesia masih menjadi negara tujuan utama investasi asing langsung (Foreign

Direct Investment-FDI)2. Namun nilai FDI ke Indonesia, baik intra-ASEAN dan

FDI dunia, cenderung menurun 3 tahun terakhir (2014-2016) setelah mengalami

laju pertumbuhan positif selama periode 2010-2014.

(35) Pada periode 2010-2014, FDI intra-ASEAN ke Indonesia meningkat pesat dari

USD 5,9 miliar meningkat menjadi USD 7,6 miliar tahun 2012 dan USD 13,1

miliar tahun 2014, atau meningkat dengan laju 25,2% per tahun. Namun nilai FDI

ke indonesia terus menurun dan tahun 2016 turun menjadi USD 9,8 miliar atau

turun dengan laju pertumbuhan negatif -12,7% pertahun (Tabel 5). Situasi yang

sama juga dihadapi oleh Malaysia, yang meningkat dengan laju 104% per tahun

selama periode 2010-2014, tetapi kemudian menurun dengan laju pertumbuhan

negatif 4,8% per tahun 2014-2016. Situasi berbeda dihadapi oleh negara

ASEAN lain termasuk Philippines, Singapore dan Vietnam, yang terus menikmati

laju pertumbuhan positif selama periode 2010-2016, dimana masing-masing

menikmati laju pertumbuhan sebesar 104,6%, 11,7% dan 14,7% per tahun.

(36) Situasi yang sama terjadi untuk aliran FDI dunia ke Indonesia, dimana

mengalami peningkatan pesat periode 2010-2014 tetapi kemudian menurun atau

mengalami laju pertumbuhan negatif (Tabel 6). Pada tahun 2010, nilai FDI dunia

yang masuk ke Indonesia sebesar USD 13,8 miliar, meningkat menjadi USD

19,1 miliar tahun 2012 dan USD 21,8 miliar tahun 2014, atau meningkat dengan

laju pertumbuhan 13,2% per tahun selama periode 2010-2014. Situasi

pertumbuhan positif dari aliran FDI dunia juga dihadapi oleh negara anggota

ASEAN lain, kecuali Thailand.

2 Jika dibobot dengan jumlah penduduk, pada tahun 2016 Indonesia berada di urutan ke empat sebagai negara penerima investasi intra-ASEAN, yakni sebesar USD 38/kapita, jauh di bawah Singapore USD 1031/kapita, Malaysia

USD 65/kapita, dan Cambodia USD 42/kapita.

11

Tabel 5. Realisasi Nilai FDI Intra-ASEAN 2010-2016

Negara Nilai Investasi

(USD juta) Laju Pertumbuhan

(%/thn) 2010 2012 2014 2016 2010-2014 2014-2016

ASEAN 16.306 23.538 21.556 24.662 Growth (%/thn) 22,18 -4,21 7,20 9,0 7,2

Indonesia 5.904 7.588 13.084 9.770 Growth (%/thn) 14,26 36,22 -12,66 25,2 -12,7

Malaysia 526 2.814 2.284 2.065 Growth (%/thn) 217,49 -9,42 -4,79 104,0 -4,8

Philippines 40 145 137 534 Growth (%/thn) 131,25 -2,76 144,89 64,2 144,9

Singapore 5.715 11.695 4.636 5.776 Growth (%/thn) 52,32 -30,18 12,30 11,1 12,3

Vietnam 1.301 1.263 1.547 2.307 Growth (%/thn) -1,46 11,24 24,56 4,9 24,6

Sumber: ASEAN Secretariat-ASEAN FDI Database.

(37) Namun Indonesia tidak lagi mengalami pertumbuhan positif FDI dunia dalam

periode 2014-2016, seiring dengan penurunan nilai total FDI dunia yang masuk

ke ASEAN. Nilai FDI dunia yang masuk ke Indonesia tahun 2016 mencapai USD

USD3,5 miliar, turun drastis dibandingkan nilai FDI tahun 2014, atau turun

dengan laju 41,9% per tahun. Situasi yang sama juga dihadapi oleh Singapore

dan Thailand. Menurut ASEAN Investment Report 2017, penurunan FDI dunia

yang masuk ke Indonesia dan Singapore karena terkait dengan program

divestasi oleh perusahaan asing di kedua negara. Untuk Indonesia, program

divestasi ini merupakan konsekuensi dari beberapa UU sektoral, termasuk yang

terjadi di subsektor hortikultura dan sektor pertambangan.

Tabel 6. Realisasi Nilai FDI Dunia ke ASEAN 2010-2016

Negara

Nilai Investasi (USD juta) Laju Pertumbuhan (%/thn)

2010 2012 2014 2016 2010-2014 2014-2016

ASEAN 108.174 117.545 133.057 98.042 5,5 -13,2

Indonesia 13.770 19.138 21.810 3.521 13,2 -41,9

Malaysia 9.156 9.400 10.875 11.329 4,6 2,1

Philliphines 1.298 2.797 5.815 7.933 55,8 18,2

Singapore 57.214 60.872 77.482 53.912 8,4 -15,2

Thailand 14.747 12.899 3.720 2.553 -20,9 -15,7

Vietnam 8.000 8.368 9.200 12.600 3,6 18,5

Sumber: ASEAN Secretariat-ASEAN FDI Database.

12

(38) Penurunan secara drastis aliran FDI ke Indonesia yang terjadi 2014-2016, baik

FDI intra-ASEAN maupun FDI dunia, inilah yang menjadi alasan pemerintah

Indonesia menggulirkan paket kebijakan DNI 44/2016. Sayangnya, wacana yang

sempat berkembang untuk melonggarkan batas maksimum kepemilikan modal

asing di subsector hortikultura tidak dapat dilakukan karena UU Hortikultura

13/2010 masih berlaku3. Kecilnya nilai FDI yang masuk ke Indonesia, termasuk

di sektor pertanian, jelas tidak sejalan dengan keinginan dan target pemerintah

untuk memacu pertumbuhan pertumbuhan ekonomi nasional, meningkatkan

lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

(39) Pertanyaan penting bagi Kementan adalah perlukah UU Hortikultura direvisi,

khususnya terkait dengan: pasal 100ayat 3 UU No. 13/2010 yang menyatakan

bahwa ‘maksimal modal asing untuk usaha hortikultura adalah 30 persen ’, dan

pasal 131 ayat 2 yang menyatakan ‘dalam waktu 4 tahun setelah penetapan UU

No. 13/2010 atau paling lambat tahun 2014 investor asing yang sudah

melakukan penanaman modal dan mendapatkan izin usaha hortikultura wajib

mengalihkan atau menjual sahamnya kepada investor domestik sehingga

kepemilikannya tinggal maksimal 30 persen’. Kalau UU Hortikultura 13/2010

tetap berlaku seperti saat ini, dikuatirkan subsektor hortikultura akan tumbuh

sangat lambat, tidak mampu mengimbangi permintaan produk hortikultura yang

meningkat cepat, dan akibatnya defisit neraca perdagangan produk hortikultura

akan semakin besar.

VI. KINERJA PERDAGANGAN TERKAIT REVISI PERPRES 36/2010 MENJADI

PERPRES 39/2014 DAN PERPRES 44/2016

(40) Perdagangan dan investasi tidak terpisahkan, satu mempengaruhi yang lain.

Perdagangan tidak akan tumbuh tanpa investasi dan sebaliknya, meskipun

pengaruhnya tidak langsung tetapi perlu tenggang waktu (time-lags) yang

bervariasi antar bidang usaha. Ada bidang usaha yang kegiatan investasinya

baru berdampak terhadap produksi dan ekspor setelah 1-2 tahun, tetapi ada

yang memerlukan waktu tenggang lebih lama. Oleh karena itu, analisis yang

dilakukan tidak ditujukan untuk melihat dampak langsung dari investasi terhadap

ekspor dan impor, tetapi lebih ditujukan untuk melihat apakah keduanya berjalan

seiring atau apakah kinerja ekspor-impor dapat menjelaskan terbitnya paket

kebijakan investasi (Perpres 39/2014 dan Perpres 44/2016). Hipotesa dalam

3 Sempat berkembang wacana Pemerintah akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu)

Hortikultura agar tujuan untuk meningkatkan batas maksimum kepemilikan asing dapat dilakukan.

13

kajian ini adalah bahwa terbitnya paket kebijakan investasi (revisi kebijakan DNI)

didasari oleh (i) tujuan pemerintah untuk memacu pertumbuhan surplus neraca

perdagangan (ekspor-impor), dan/atau (ii) kekuatiran pemerintah karena terus

meningkatnya defisit neraca perdagangan.

(41) Analisis kinerja perdagangan (ekspor-impor) hanya dilakukan untuk komoditas

pertanian selama periode 2010-2016. Kecuali subsektor perkebunan yang

mengalami surplus, neraca perdagangan untuk subsektor tanaman pangan,

hortikultura dan peternakan selalu mengalami defisit selama periode tersebut.

Surplus neraca perdagangan sektor pertanian selama ini (2010-2016)

disebabkan oleh surplus perdagangan di sub sektor perkebunan, yang melebihi

deficit neraca perdagangan di sub sektor tanaman pangan, hortikultura dan

peternakan. Defisit neraca perdagangan untuk subsektor hortikultura bahkan

cenderung terus meningkat. Tabel 7 menyajikan perkembangan ekspor-impor

untuk masing-masing subsektor pertanian.

Tabel 7. Nilai Ekspor-Impor Produk Pertanian 2010-2016

Komoditas

(USD juta) Laju Pertumbuhan (%/thn)

2010 2012 2014 2016 2010-2012 2012-2014 2014-2016

Tan Pangan

Ekspor 478 162 206 142 -33,1 13,6 -15,5

Impor 3.894 7.786 7.812 6.499 50,0 0,2 -8,4

Neraca -3.416 -7.624 -7.606 -6.357 61,6 -0,1 -8,2

Hortikultura Ekspor 391 490 523 507 12,7 3,4 -1,5

Impor 1.293 1.608 1.645 1.780 12,2 1,2 4,1

Neraca -902 -1118 -1122 -1273 12,0 0,2 6,7

Peternakan Ekspor 952 573 588 543 -19,9 1,3 -3,8

Impor 2.768 2.644 3.814 3.191 -2,2 22,1 -8,2

Neraca -1.816 -2.071 -3.226 -2.648 7,0 27,9 -9,0

Perkebunan

Ekspor 30.703 32.451 29.721 25.536 2,8 -4,2 -7,0

Impor 6.028 4.279 4.090 4.373 -14,5 -2,2 3,5

Neraca 24.675 28.172 25.631 21.163 7,1 -4,5 -8,7

TotalPertanian

Ekspor 32.524 33.676 31.038 26.728 1,8 -3,9 -6,9

Impor 13.983 16.317 17.361 15.843 8,3 3,2 -4,4

Neraca 18.541 17.359 13.677 10.885 -3,2 -10,6 -10,2

Sumber: Basis Data Ekspor-Impor Komoditas Pertanian (www.pertanian.go.id)

(42) Nilai ekspor produk tanaman pangan cenderung menurun selama periode 2010-

2016, yakni dari nilai sebesar USD 478 juta pada tahun 2010 turun menjadi USD

142 juta tahun 2016. Sebaliknya, nilai impor produk tanaman pangan meningkat

14

secara nyata pada periode 2010-2012 dari USD 3,9 miliar menjadi USD 7,8

miliar, atau meningkat dengan laju 50% per tahun, meskipun kemudian menurun

menjadi USD 6,5 juta pada tahun 2016. Hal ini mengakibatkan meningkatnya

defisit neraca perdagangan produk tanaman pangan yakni dari defisit sebesar

USD 3,4 miliar pada tahun 2010 meningkat menjadi USD 7,6 miliar pada tahun

2014 dan USD 6,4 miliar tahun 2016.

(43) Selama periode 2010-2016, neraca perdagangan produk hortikultura mengalami

defisit yang terus meningkat, dari defisit sebesar USD 902 juta pada tahun 2010

meningkat menjadi USD 1,3 miliar pada tahun 2016. Situasi ini akibat dari

meningkatnya nilai impor produk hortikultura dengan laju peningkatan yang lebih

besar dibandingkan laju peningkatan nilai ekspornya.

(44) Situasi yang sama juga dihadapi subsektor peternakan, dimana impornya

cenderung terus meningkat sedangkan ekspornya cenderung menurun. Pada

tahun 2010 nilai defisit perdagangan produk peternakan tercatat sebesar USD1,8

miliar, naik menjadi USD 2,1 miliar tahun 2012 dan USD 3,2 miliar tahun 2014,

meskipun kemudian sedikit menurun menjadi USD 2,6 miliar pada tahun 2016.

(45) Hanya subsektor perkebunan yang mengalami surplus neraca perdagangan

selama 2010-2016. Namun harus diwaspadai karena nilai surplusnya mengalami

penurunan. Penurunan nilai surplus neraca perdagangan subsektor perkebunan

terutama akibat langsung dari menurunnya harga dunia minyak sawit dan

beberapa komoditas perkebunan lain yang diekspor Indonesia.

(46) Meningkatnya defisit neraca perdagangan produk tanaman pangan, hortikultura

dan peternakan, serta menurunnya surplus neraca perdagangan produk

perkebunan harus dicermati dan diantisipasi. Situasi ini jelas bertolak belakang

dengan target pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional

secara berkualitas dan berkelanjutan dengan memacu surplus neraca

perdagangan. Situasi ini sangat mungkin terjadi akibat relatif kecilnya nilai dan

laju pertumbuhan investasi langsung (PMDN dan PMA) di sektor pertanian.

Secara teoritis, kegiatan investasi akan meningkatkan kapasitas produksi

nasional (produksi, produktivitas dan kualitas) dan jika dibarengi dengan

peningkatan efisiensi dan kualitas maka akan meningkatkan volume dan nilai

ekspor. Sudah saatnya pemerintah dhi. Kementan menyikapi serius situasi ini

dan melakukan langkah kongkrit untuk memacu peningkatan investasi di sektor

pertanian, terutama subsektor hortikultura dan peternakan.

15

VII. KINERJA PERDAGANGAN INDONESIA DALAM PERSPEKTIF

ASEAN DAN GLOBAL

(47) Pertumbuhan ekonomi nasional selama ini masih bertumpu kepada pertumbuhan

konsumsi dan belanja pemerintah, belum memanfaatkan investasi dan

perdagangan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi. Ada kekeliruan pandangan

yang mengatakan bahwa sebagai negara dengan penduduk terbesar dan pasar

terbesar di ASEAN, mengapa dan untuk apa Indonesia harus memikirkan

perdagangan di ASEAN dan dunia? Tidak heran kalau nilai perdagangan

Indonesia jauh lebih kecil dibandingkan nilai perdagangan negara anggota

ASEAN lain. Untuk membuktikannya, data berikut memperlihatkan kinerja

perdagangan Indonesia dalam perspektif ASEAN dan global.

(48) Tabel 8 memperlihatkan bahwa total nilai perdagangan (ekspor+impor) Indonesia

pada tahun 2010 (USD 80,5 miliar) menduduki peringkat ke-3 terbesar, setelah

Singapore (USD 182,6 miliar) dan Malaysia (USD 95,1 miliar), sedikit lebih besar

dibandingkan nilai perdagangan Thailand yang berada di peringkat ke-4 (USD

77,0 miliar). Namun selama periode 2012-2016, posisi Indonesia turun menjadi

peringkat ke-4, dibawah Singapore, Malaysia dan Thailand.

(49) Dari total nilai perdagangan intra-ASEAN sebesar USD 516 miliar pada tahun

2016, Indonesia menduduki ke-4 dengan nilai USD 68,6 miliar atau pangsa

13,3% dibawah nilai perdagangan Singapura USD 162,1 miliar (31,4%), Malaysia

USD 97,1 miliar (18,8%) dan Thailand USD 94,3 miliar (18,3%). Selama periode

2012-2016, nilai perdagangan intra-ASEAN dari Indonesia menurun dari USD

95,6 miliar pada tahun 2012, menjadi USD 90,6 miliar tahun 2014 dan USD 68,6

miliar tahun 2016, seiring dengan menurunnya nilai total perdagangan Intra-

ASEAN.

(50) Dari total ekspor intra-ASEAN tahun 2016 sebesar USD 276,2 miliar (Tabel

Lampiran 2), nilai ekspor Indonesia ke negara-negara ASEAN berada di urutan

ke-4 dengan total ekspor USD 33,8 atau dengan pangsa 12,2%, jauh dibawah

nilai ekspor Singapura sebesar USD 99,4 miliar (36,0%), Malaysia USD 55,7

miliar (20,2%) dan Thailand USD 54,7 miliar (19,8%), diatas nilai ekspor Vietnam

USD 17,3 miliar (6,3%). Sementara itu, dari total impor intra-ASEAN sebesar

USD 327,9 miliar, Indonesia berada di urutan ke-3 dengan total nilai impor USD

41,8 miliar atau dengan pangsa 12,8%, dibawah nilai impor Singapura USD

133,7 miliar (40,8%), Malaysia USD 60,9 miliar (18,6%), dan Thailand USD 56,7

miliar (17,3%), diatas Vietnam dengan nilai impor sebesar USD 17,1 miliar

(5,3%) seperti terangkum dalam Tabel Lampiran 3.

16

(51) Akhir-akhir ini tumbuh sikap anti impor di Indonesia, yang menyatakan impor

harus dihindari dan kalau perlu dilarang. Berbagai langkah ‘at all cost’ dilakukan

untuk menghindari impor, dan bahkan ‘tidak impor’ menjadi target capaian

pembangunan. Pandangan ini jelas keliru dan perlu diluruskan. Impor barang

modal tidak perlu dihindari atau dibatasi karena diperlukan dalam proses

produksi untuk menghasilkan barang/produk yang sebagian akan diekspor.

Membatasi secara ketat atau bahkan melarang impor jagung yang diperlukan

untuk pakan ternak, sementara produksi dalam negeri tidak mencukupi,

merupakan langkah yang keliru karena akan mengakibatkan kerugian besar atau

mematikan industri peternakan ayam nasional. Kesalahan yang sama juga bisa

terjadi dalam kasus pembatasan impor kedelai. Data perdagangan intra-ASEAN

dan ekstra-ASEAN memperlihatkan bahwa tingginya nilai ekspor beberapa

negara ASEAN ternyata juga disertai dengan tingginya nilai impor mereka.

Tabel 8. Total Perdagangan Intra-ASEAN, 2010-2016

2010 2012 2014 2016

Negara Nilai

(USD miliar) %

Nilai (USD miliar)

(%) Nilai

(USD miliar) (%)

Nilai (USD miliar)

(%)

Brunei 2.331 0,5 3.707 0,6 3.861 0,6 2.507 0,5

Cambodia 1.989 0,4 3.110 0,5 3.278 0,5 5.484 1,1

Indonesia 80.472 16,0 95.654 15,8 90.571 14,9 68.648 13,3

Lao PDR 2.640 0,5 2.589 0,4 4.877 0,8 4.603 0,9

Malaysia 95.113 18,9 115.816 19,1 118.965 19,6 97.092 18,8

Myanmar 6.175 1,2 8.392 1,4 11.454 1,9 9.258 1,8

Philippines 27.827 5,5 24.758 4,1 25.616 4,2 30.895 6,0

Singapore 182.597 36,3 213.958 35,3 205.969 33,9 162.108 31,4

Thailand 76.961 15,3 99.536 16,4 102.725 16,9 94.259 18,3

Viet Nam 26.758 5,3 37.947 6,3 40.798 6,7 41.159 8,0

ASEAN 502.864 100,0 605.468 100,0 608.114 100,0 516.013 100,0

Sumber: ASEAN Merchandise Trade Statistics Database

(52) Kinerja perdagangan ekstra-ASEAN Indonesia juga kurang menggembirakan,

berada jauh dibawah kinerja ekspor Singapore, Malaysia, Thailand dan Vietnam

(Tabel 9). Total nilai perdagangan ekstra-ASEAN tahun 2016 sebesar USD

1720,3 miliar, Indonesia menduduki urutan ke-5 dengan nilai USD 212,2 miliar

atau dengan pangsa (12,3%) jauh dibawah Singapura sebesar USD 467,9 miliar

(27,2%), Thailand USD 315,7 miliar (18,4%), Vietnam USD 310 miliar (18,0%)

dan Malaysia USD 260,7 miliar (15,2%). Nilai perdagangan ekstra-ASEAN

Indonesia tercatat meningkat tahun 2012, tetapi kemudian terus menurun selama

periode 2012-2016, dari USD 286,1 miliar turun menjadi USD 263,6 miliar tahun

2014 dan USD 212,2 miliar tahun 2016, seiring dengan menurunnya total

perdagangan ekstra-ASEAN.

17

(53) Dari total ekspor ekstra-ASEAN sebesar USD 874,3 miliar tahun 2016,

sebagaimana terangkum dalam Tabel Lampiran 4, Indonesia juga berada di

urutan ke-5 dengan total ekspor USD 111,4 miliar atau dengan pangsa 12,7%,

dibawah nilai ekspor Singapura USD 238,7 miliar (27,3%), Thailand USD 160,7

miliar (17.4%), Vietnam USD 159,3 miliar (18,2%) dan Malaysia USD 133,7 miliar

(15,3%). Sementara itu, dari total impor ekstra-ASEAN sebesar USD 846,1

miliar, Indonesia menduduki urutan ke-5 dengan nilai impor USD 100,8 miliar

atau dengan pangsa 11,9%, dibawah nilai impor Singapura USD 229,2 miliar

(27,1%), Thailand USD 155,1 miliar (18,3%), Vietnam USD 150,6 miliar (17,8%)

dan Malaysia USD 127,0 miliar (15,0%), seperti terangkum dalam Tabel

Lampiran 5.

Tabel 9. Total Perdagangan Ekstra-ASEAN, 2010-2016

Negara 2010 2012 2014 2016

Nilai (USD miliar) (%)

Nilai (USD miliar) (%)

Nilai (USD miliar) (%)

Nilai (USD miliar) (%)

Brunei 8.944 0,6 13.147 0,7 10.320 0,5 5.037 0,3

Cambodia 6.612 0,4 9.515 0,5 13.130 0,7 16.960 1,0

Indonesia 212.970 14,2 286.067 15,3 263.588 13,7 212.191 12,3

Lao PDR 1.106 0,1 1.605 0,1 2.148 0,1 2.628 0,2

Malaysia 268.122 17,9 308.126 16,4 323.813 16,8 260.715 15,2

Myanmar 5.692 0,4 8.781 0,5 15.803 0,8 17.947 1,0

Philippines 81.833 5,5 92.623 4,9 105.190 5,5 111.353 6,5

Singapore 483.721 32,3 587.474 31,3 587.324 30,5 467.885 27,2

Thailand 299.264 20,0 377.766 20,1 352.801 18,3 315.736 18,4

Viet Nam 130.317 8,7 189.846 10,1 252.979 13,1 309.879 18,0

ASEAN 1.498.579 100,0 1.874.952 100,0 1.927.095 100,0 1.720.330 100,0

Sumber: ASEAN Merchandise Trade Statistics Database

(54) Relatif rendahnya kinerja investasi dan perdagangan Indonesia dibandingkan

Singapore, Malayasia, dan Thailand (bahkan dibandingkan Vietnam untuk extra-

ASEAN trade) inilah yang nampaknya menjadi alasan kuat bagi pemerintah

untuk terus melakukan deregulasi aturan investasi dengan melonggarkan dan

mempermudah persyaratan investasi, baik bagi PMDN dan PMA, melalui revisi

Perpres DNI, mulai dari Perpres 36/2010, Perpres 39/2014 dan yang terbaru

Perpres 44/2016. Namun, melihat belum membaiknya kinerja investasi dan

perdagangan Indonesia, baik Intra-ASEAN maupun Extra-ASEAN, diperkirakan

pemerintah akan segera menerbitkan revisi Perpres DNI yang baru. Dalam

kaitan ini, Kementan perlu pro-aktif untuk mengusulkan revisi DNI sektor

pertanian agar sejalan dengan target pertumbuhan sektoral yang ingin dicapai.

18

VIII. DAMPAK PENGETATAN INVESTASI (DNI) DI SUBSEKTOR

HORTIKULTURA

(55) Sebagaimana diamanatkan di dalam UU Hortikultura 13/2010 dan tertuang di

dalam Perpres 39/2014 kepemilikan modal asing (PMA) dibatasi maskimal 30%

dan keharusan divestasi bagi perusahaan PMA yang ada. UU 13/2013 memicu

kontroversi dan pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh beberapa pihak

yang dirugikan yang dimotori oleh Asosiasi Perusahaan Benih Hortikultura

Indonesia (APBHI atau Hortindo). Setelah melewati persidangan panjang,

Mahkamah Konstitusi akhirnya menolak gugatan dan menyatakan UU

Hortikultura 13/2010 tetap berlaku. Bagaimana dampaknya terhadap kinerja

investasi di subsektor hortikultura, produksi, ekspor dan impor produk

hortikultura? Uraian berikut ini merupakan hasil analisis berdasarnya

data/informasi untuk menjawab pertanyaan tersebut.

(56) Sayangnya, rincian data investasi di subsektor hortikultura tidak tersedia,

sehingga dampak UU 13/2010 dan Perpres 39/2014 terhadap kinerja investasi

tidak dapat disajikan. Namun menurut informasi dari Ketua APBHI/Hortindo, dua

perusahaan benih asing (Nunhems dan Seminis) telah menutup usahanya di

Indonesia dan memindahkannya ke Thailand dan Vietnam. Kenyataan ini harus

disikapi dengan lebih arif agar tidak terjadi lagi dan industri benih hortikultura di

Indonesia dapat berkembang dan maju untuk menghasilkan benih unggul

dengan harga yang terjangkau. Kalau sentimen anti asing terus tumbuh,

dikuatirkan Indonesia tidak hanya menjadi pengimpor benih tetapi pada akhirnya

juga menjadi pengimpor produk hortikultura.

(57) Selama periode 2012-2016, Indonesia mengalami defisit perdagangan komoditas

hortikultura yang nilainya meningkat dari hanya USD 0,9 miliar tahun 2010

meningkat menjadi USD 1,3 miliar pada tahun 2016. Defisit neraca perdagangan

ini diperkirakan akan terus meningkat akibat permintaan/konsumsi yang juga

terus meningkat. Untuk mengurangi defisit neraca perdagangan produk

hortikultura tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan kapasitas produksi melalui

investasi, baik PMDN maupun PMA. Kegiatan investasi di subsektor hortikultura

bisa berupa perluasan area, perbaikan jaringan irigasi sehingga meningkatkan

intensitas tanam bagi tanaman semusim, serta kegiatan R&D untuk

meningkatkan efisiensi, produktivitas dan kualitas produk hortikultura.

Pelarangan impor tidak mungkin dilakukan karena melanggar aturan WTO,

sedangkan pembatasan impor secara ketat akan meningkatkan harga dan

memicu inflasi.

19

(58) Tabel 10 memperlihatkan data impor benih beberapa jenis hortikultura periode

2010-2013 yang terus meningkat. Meningkatnya impor benih beberapa jenis

hortikultura ini perlu diantisipasi, khususnya benih hibrida. Bukan besarnya nilai

impor yang perlu dikuatirkan, tetapi ketergantungan Indonesia terhadap impor

benih hibrida yang lebih mengkuatirkan dan perlu segera diantisipasi.

Perusahaan benih, khususnya untuk menghasilkan varietas unggul baru dan

benih hibrida, sangat ‘sarat modal dan teknologi’ karena membutuhkan investasi

untuk R&D yang besar, yang tidak mungkin dilakukan oleh perusahaan kecil

apalagi para penakar benih. Untuk kegiatan perbenihan seperti ini, dimana

PMDN belum tertarik untuk masuk, diperlukan investasi.

(59) Ada kerancuan berpikir dari banyak pihak yang mengartikan ‘kemandirian benih’

adalah kemampuan Indonesia untuk meproduksi benih sendiri tanpa melibatkan

PMA, bahkan ada yang lebih sempit lagi yakni kemampuan petani untuk

memproduksi benih sendiri. Mereka tidak belajar dari pengalaman dan

kenyataan selama ini bahwa berkembangnya industri benih di Indonesia,

khususnya benih hortikultura hibrida, dimulai dan dilakukan oleh perusahaan

benih asing (PMA). Menurut informasi, sampai saat ini, Puslitbang/Balit

Hotikultura memutuskan untuk tidak menangani penelitian dan pengembangan

benih hortikultura hibrida karena sangat mahal dan dianggap belum dibutuhkan.

Keputusan ini perlu ditinjau kembali mengingat benih hibriba ternyata menjadi

pilihan petani karena terbukti meningkatkan produktivitas dan keuntungan petani.

Indonesia akan tergantung impor benih hibrida, jika teknologi hibrida tidak

dikembangkan.

Tabel 10. Impor Benih Kentang dan Bawang Merah 2011-2013 (USD juta)

Komoditas 2011 2012 2013 Total 2010-2013

Ekspor Impor Ekspor Impor Ekspor Impor Ekspor Impor

Kentang 3,1 7,1 0,2 10,2 0,2 20,4 Bawang Merah 9,6 3,1 8,2 0 20,9

Anggrek 0,3 0,3 0,4 0,2 0,6 0,4 1,3 0,9 Krisan 1,3 0,02 1,8 0,03 1,6 0,01 4,7 0,06

Sumber: Rencana Strategis Ditjen Hortikultura 2015-2019

(60) Pertanyaannya, setelah UU Hortikultura 13/2010 dan Perpres 39/2014

diterbitkan, apakah sudah ada perusahaan baru PMDN perbenihan yang berdiri

dan beroperasi? Menurut informasi ketua APBHI/Hortindo, sampai saat ini,

setelah 7 tahun UU Hortikultura No 13 2010 diberlakukan, tidak ada perusahaan

baru di bidang usaha perbenihan hortikultura. Yang tumbuh dan berkembang

20

hanya perusahaan perbanyakan benih dan penangkar benih di pedesaan

(APBHI).

(61) Selama periode 2012-2016, Indonesia mengalami defisit perdagangan komoditas

hortikultura yang nilainya meningkat dari hanya USD 0,9 miliar tahun 2010

meningkat menjadi USD 1,3 miliar pada tahun 2016. Defisit neraca perdagangan

ini diperkirakan akan terus meningkat akibat permintaan/konsumsi yang juga

terus meningkat. Untuk mengurangi defisit neraca perdagangan produk

hortikultura, tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan kapasitas produksi melalui

investasi, baik PMDN maupun PMA. Kegiatan investasi di subsektor hortikultura

dapat berupa perluasan area, perbaikan jaringan irigasi (flooding atau springkle)

sehingga meningkatkan intensitas tanam bagi tanaman semusim, serta kegiatan

R&D untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas dan kualitas produk hortikultura.

Pelarangan impor tidak mungkin dilakukan, karena disamping melanggar aturan

WTO, pembatasan impor secara ketat akan meningkatkan harga dan memicu

inflasi.

(62) Ada pertanyaan mendasar yang perlu dijawab: mengapa Indonesia menjadi

importir produk/komoditas hortikultura tropis dengan nilai sangat besar dan terus

meningkat? Mengapa Thailand bisa menjadi eksportir buah dan sayuran tropis

dunia sementara Indonesia tidak mampu dan puas sebagai pemain di kandang

sendiri? Apa kelebihan Thailand dan apa yang salah dengan Indonesia? Salah

satu penyebab tertinggalnya Indonesia dari Thailand (dan juga Vietnam) adalah

karena rendahnya investasi (R&D) dan inovasi di subsector hortikultura sampai

saat ini baik oleh pemerintah maupun pelaku usaha. Kebijakan investasi di

Thailand lebih terbuka terhadap investasi berskala besar (perusahaan swasta

dan korporasi), baik PMDN dan PMA, dibandingkan kebijakan investasi di

Indonesia.

(63) Pemerintah India telah menyatakan tekadnya untuk melakukan transformasi

pertanian dan beralih ke komoditas pertanian bernilai tinggi, termasuk

hortikultura dan peternakan. Untuk mencapai tujuan ini, pemerintah India

memulai dengan membangun industri perbenihannya, yang salah satunya

dengan cara menerbitkan aturan investasi yang membuka 100% kepemilikan

modal asing (Lampiran 6).

21

IX. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

(64) Pemerintah menargetkan investasi dan perdagangan menjadi sumber

pertumbuhan sektoral dan perekonomian nasional yang berkualitas dan

berkelanjutan. Untuk itu, pemerintah terus berupaya menciptakan iklim investasi

dan iklim berusaha yang kondusif untuk menarik investor, baik PMDN maupun

PMA, menanamkan investasi dan menjalankan usahanya di Indonesia.

(65) Kegiatan investasi dan perdagangan tidak dapat dipisahkan. Kemampuan untuk

meningkatkan ekspor produk pertanian sangat ditentukan oleh besarnya nilai dan

laju pertumbuhan investasi, dan sebaliknya. Jika kenyataan selama ini kinerja

PMDN di sektor pertanian masih sangat terbatas, maka PMA seharusnya dapat

menjadi alternatif untuk meningkatkan produksi, produktivitas dan daya saing

dari sektor ini. Disamping membantu meningkatkan produksi dan produktivitas,

PMA sangat berperan untuk melakukan kegiatan R&D dan mendorong alih

teknologi untuk dapat menghasilkan produk secara efisien, berkualitas dan

berdaya saing.

(66) Untuk bidang usaha yang ‘sarat kapital dan teknologi’ (capital intensive), seperi

bidang usaha perbenihan hortikultura, pemerintah harus lebih terbuka terhadap

PMA. Demikian juga bidang usaha hortikultura dan peternakan skala besar untuk

tujuan ekspor perlu lebih terbuka bagi PMA, karena disamping membutuhkan

modal besar, harus mampu berproduksi secara efisien, berkualitas dan berdaya

saing. Pola kemitraan antara usaha besar dengan UMKMK perlu didukung dan

difasilitasi.

(67) Secara umum, dibandingkan sektor lain, sektor pertanian mengalami ‘under-

investment’. Di sektor pertanian, subsektor selain perkebunan juga mengalami

‘under-investment’. Untuk dapat mencapai target pertumbuhan sektor pertanian

yang lebih tinggi, tidak ada jalan lain bagi pemerintah kecuali dengan memacu

investasi (dan perdagangan) di sektor ini. Secara politik langkah ini tidak mudah

karena melibatkan jutaan penduduk yang bekerja dan menggantungkan

hidupnya di sektor pertanian, tetapi urgen dan wajib dilakukan.

(68) Meningkatnya defisit neraca perdagangan produk tanaman pangan, hortikultura

dan peternakan, serta menurunnya surplus neraca perdagangan produk

perkebunan harus dicermati dan diantisipasi, karena bertolak belakang dengan

target pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional secara

berkualitas dan berkelanjutan. Situasi ini diduga terjadi akibat kecilnya nilai dan

laju pertumbuhan investasi di sektor pertanian. Sudah saatnya pemerintah (dhi.

22

Kementan) melakukan langkah konkrit untuk memacu peningkatan investasi di

sektor pertanian, terutama subsektor hortikultura dan peternakan.

(69) Selama periode 2012-2016, Indonesia mengalami defisit neraca perdagangan

komoditas hortikultura yang nilainya meningkat. Untuk mengurangi defisit neraca

perdagangan produk hortikultura, tidak ada jalan lain kecuali meningkatkan

kapasitas produksi melalui investasi, baik PMDN maupun PMA. Pelarangan

impor tidak mungkin dilakukan karena melanggar aturan WTO, sedangkan

pembatasan impor secara ketat akan meningkatkan harga dan memicu inflasi.

(70) Kegiatan investasi di subsektor hortikultura dapat berupa perluasan area,

perbaikan jaringan irigasi sehingga meningkatkan intensitas tanam bagi tanaman

semusim, serta kegiatan R&D untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas dan

kualitas produk hortikultura.

(71) Pada saat ini, upaya untuk lebih melonggarkan persyaratan kepemilikan asing

(PMA) di bidang usaha hortikultura tidak dapat dilakukan, karena akan

bertentangan dengan perintah UU No. 13/2010 tentang Hortikultura. Namun

perlu disadari bahwa persyaratan ini menjadi dilematis karena dikuatirkan akan

menjadi penghambat pertumbuhan subsektor hortikultura yang berakibat

terjadinya stagnasi produksi, produktivitas dan nilai tambah produk hortikultura.

Jika dipandang perlu, pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah

Pengganti UU (Perpu).

(72) Banyak pihak mengartikan ‘kemandirian benih’ adalah kemampuan Indonesia

untuk memproduksi benih sendiri tanpa melibatkan PMA. Interpretasi ini jelas

tidak sesuai dengan pengalaman dan kenyataan yang terjadi, baik di Indonesia

maupun di negara lain. Data memperlihatkan bahwa berkembangnya industri

benih hortikultura, khususnya benih hibrida dan varietas unggul, dimulai dan

dilakukan oleh perusahaan benih asing multi-national (PMA). Oleh karena itu,

sikap anti-asing yang berlebihan justeru akan menjauhkan Indonesia dari target

mandiri benih dan sebaliknya akan membuat Indonesia tergantung kepada benih

impor.

(73) Situasi yang sama juga dihadapi subsektor peternakan, dimana impornya

cenderung terus meningkat sedangkan ekspornya cenderung menurun. Pada

tahun 2010 nilai defisit perdagangan produk peternakan tercatat sebesar USD1,8

miliar, naik menjadi USD 2,1 miliar tahun 2012 dan USD 3,2 miliar tahun 2014,

meskipun kemudian sedikit menurun menjadi USD 2,6 miliar pada tahun 2016.

Untuk mengurangi defisit neraca perdagangan ternak dan produk peternakan,

23

diperlukan langkah nyata untuk meningkatkan kapasitas produksi, terutama

melalui peningkatan nilai dan laju investasi, baik PMDN maupun PMA.

(74) Pada subsektor perkebunan, ketentuan kepemilikan modal asing sebesar 95%

dinilai sudah maksimal. Kinerja investasi di subsektor perkebunan telah berjalan

sesuai yang diharapkan. Kalaupun pemerintah ingin terus mendorong investasi

di subsektor ini dapat dilakukan dengan mempermudah persyaratan lain yang

berlaku, termasuk prosedur untuk memperoleh rekomendasi, dan perlu

diarahkan ke peningkatan produktivitas, efisien dan kualitas produksi melalui

pemberian insentif untuk kegiatan R&D dan inovasi.

(75) Dalam perspektif ASEAN dan global, kinerja investasi dan perdagangan

Indonesia berada di bawah kinerja Singapura, Malaysia, dan Thailand. Indonesia

kalah bersaing dengan ketiga negara tersebut dalam menarik investasi asing,

baik intra-ASEAN maupun ekstra-ASEAN. Jika tidak dilakukan pembenahan dan

perbaikan dalam iklim usaha, perdagangan dan investasi, diperkirakan nilai FDI

ke Indonesia akan terus menurun, defisit neraca perdagangan Indonesia akan

semakin membesar, dan akibatnya target untuk mencapai pertumbuhan ekonomi

nasional yang lebih tinggi (7-8%), perluasan kesempatan kerja dan pengurangan

kemiskinan akan sulit dicapai.

24

REFERENSI

1. Anonimous, 2013. Kebutuhan Benih Hortikultura Meningkat; Jumat, 04 Januari

2013.www.kontan.co.id

2. ASEAN Secretariat ASEAN Foreign Direct Investment Statistics Database as of

26 May 2017 (www.ASEAN.org)

3. ASEAN Secretariat ASEAN Merchandise Trade Statistics Database

(www.ASEAN.org)

4. ASEAN Secretariat, 2016. ASEAN Investment Report 2016 : Foreign Direct

Investment and MSME Linkage.

5. Badan Pusat Statistik. Statistik Indonesia, BerbagaiTahun. Jakarta.

6. Ditjen Hortikultura, 2015. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Hortikultura

2015-2019. Jakarta.

7. Erwidodo, Rachmat M, Suryani E. 2016. Dampak Pengetatan Investasi Asing

terhadap Industri Perbenihan Hortikultura. Laporan Analisis Kebijakan, Pusat

Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

8. Erwidodo, Rachmat M, Kustiari R, Kristyantoadi S, dan Dabukke FDM, 2015.

Kajian Revisi Perpres 39 tahun 2014. Laporan Analisis Kebijakan, Pusat Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.

9. Perpres 44 tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang

Usaha yang Terbuka denganPersyaratan di Bidang Penanaman Modal.

10. Prepres 36 tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang

Usaha yang Terbuka denganPersyaratan di Bidang Penanaman Modal.

11. Perpres 39 tahun 2014 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang

Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di bidang Penanaman Modal.

12. World Bank Group.2016. Doing Bussiness Measuring Business Regulation. http//

www.doingbusiness.org/rankings.

13. World Economic Forum 2016. The Global Competitiveness Report 2014-2015.

25

Lampiran 1. Ketentuan Bidang Usaha dan Pemilikan Modal Asing Perpres 36/2010, Perpres 39/2014 dan Perpres 44/2016

Bidang Usaha Prepres 36/2010 Prepres 39/2014 Perpres 44/2016

A. Tanaman Pangan Pokok

1. Usaha perbenihan tanaman pangan kurang dari 25 ha Usaha Mikro Kecil Menengah

dan koperasi (MUKMK)

UMKMK UMKMK

2. Usaha perbenihan tanaman pangan lebih dari 25 ha Rekomendasi dari Mentan

Modal asing maksimal 49%

Rekomendasi dari Mentan

Modal asing maksimal 49%

Modal asing maksimal 49%

3. Usaha budidaya tanaman pangan kurang dari 25 ha UMKMK UMKMK UMKMK

4. Usaha budidaya tanaman pangan lebih dari 25 ha Rekomendasi dari Mentan

Modal asing maksimal 49%

Rekomendasi dari Mentan

Modal asing maksimal 49%

Modal asing maksimal 49%

5. Usaha perbenihan tan pangan lainnya lebih dari 25 ha Rekomendasi dari Mentan

Modal asing maksimal 49%

Rekomendasi dari Mentan

Modal asing maksimal 49%

Modal asing maksimal 49%

6. Budidya tanaman pangan lainnya lebih dari 25 ha Rekomendasi dari Mentan

Modal asing maksimal 49%

Rekomendasi dari Mentan

Modal asing maksimal 49%

Modal asing maksimal 49%

B. Perkebunan

1. Usaha perbenihan perkebunan kurang dari 25 ha UMKMK UMKMK UMKMK

2. Usaha perbenihan perkebunan lebih dari 25 ha Rekomendasi dari Mentan

Modal asing maksimal 95%

Rekomendasi dari Mentan

Modal asing maksimal 95%

Modal asing maksimal 95%

Kewajiban kebun plasma 20%

3. Usaha perkebunan kurang dari 25 ha UMKMK UMKMK UMKMK

4. Usaha budidaya perkebunan lebih dari 25 ha Rekomendasi dari Mentan

Modal asing maksimal 95%

Rekomendasi dari Mentan

Modal asing maksimal 95%

Modal asing maksimal 95%

Kewajiban kebun plasma 20%

C. Hortikultura

1. Usaha perbenihan hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30% Modal asing maksimal 30%

2. Usaha budidaya hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30% Modal asing maksimal 30%

3. Usaha industry pengolahan hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30% Modal asing maksimal 30%

4. Usaha penelitian hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30% Modal asing maksimal 30%

5. Usaha wisata agro hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30% Modal asing maksimal 30%

6. Usaha jasa hortikultura Tidak diatur Modal asing maksimal 30% Modal asing maksimal 30%

D. Peternakan

1. Pembibitan dan budidaya ayam buras serta persilangannya

UMKMK UMKMK UMKMK

E. Peneliian dan Pengembangan ilmu teknologi dan rekayasa

Modal asing maksimal 49%

Rekomendasi Mentan

Modal asing maksimal 49%

Rekomendasi Mentan

Modal asing maksimal 49%

26

Lampiran 2. Nilai Ekspor Perdagangan Intra-ASEAN 2010-2016 (USD juta)

Negara

2010 2012 2014 2016

Nilai % Nilai % Nilai % Nilai %

Brunei 1.096 0,4 2.104 0,6 2.093 0,6 1.217 0,4

Cambodia 313 0,1 345 0,1 362 0,1 870 0,3

Indonesia 33.348 12,6 41.831 12,8 39.668 12,0 33.830 12,2

Lao PDR 1.152 0,4 905 0,3 1.391 0,4 1.551 0,6

Malaysia 50.396 19,1 60.947 18,6 65.239 19,8 55.681 20,2

Myanmar 4.194 1,6 4.388 1,3 4.360 1,3 3.348 1,2

Philippines 11.558 4,4 9.804 3,0 9.212 2,8 8.401 3,0

Singapore 107.673 40,7 133.724 40,8 130.199 39,4 99.375 36,0

Thailand 44.318 16,8 56.730 17,3 59.426 18,0 54.657 19,8

Viet Nam 10.351 3,9 17.073 5,2 18.261 5,5 17.289 6,3

ASEAN 264.398 100,0 327.851 100,0 330.209 100,0 276.219 100,0

Lampiran 3. Nilai Impor Perdagangan Intra-ASEAN 2010-2016 (USD juta)

Negara 2010 2012 2014 2016

Nilai % Nilai (%) Nilai (%) Nilai (%)

Brunei 1.234 0,5 1.603 0,6 1.768 0,6 1.290 0,4

Cambodia 1.676 0,7 2.765 1,0 417 0,1 345 0,1

Indonesia 47.125 19,8 53.823 19,4 42.099 13,3 41.831 12,8

Lao PDR 1.488 0,6 1.685 0,6 1.040 0,3 905 0,3

Malaysia 44.717 18,8 54.869 19,8 56.098 17,8 60.947 18,6

Myanmar 1.981 0,8 4.003 1,4 4.499 1,4 4.388 1,3

Philippines 16.270 6,8 14.954 5,4 8.635 2,7 9.804 3,0

Singapore 74.925 31,4 80.234 28,9 133.868 42,4 133.724 40,8

Thailand 32.643 13,7 42.805 15,4 54.045 17,1 56.730 17,3

Viet Nam 16.408 6,9 20.875 7,5 13.583 4,3 17.073 5,2

ASEAN 238.466 100,0 277.617 100,0 316.018 100,0 327.851 100,0

27

Lampiran 4. Nilai Ekspor Perdagangan Ekstra-ASEAN 2010-2016 (USD juta)

Negara 2010 2012 2014 2016

Nilai (%) Nilai (%) Nilai (%) Nilai (%)

Brunei 7.741 1,0 11.076 1,2 8.491 0,9 3.657 0,4

Cambodia 3.512 0,4 4.814 0,5 6.386 0,7 9.203 1,1

Indonesia 124.432 15,9 148.201 15,9 136.312 14,1 111.356 12,7

Lao PDR 757 0,1 692 0,1 1.181 0,1 1.573 0,2

Malaysia 148.216 18,9 166.597 17,9 168.689 17,5 133.733 15,3

Myanmar 3.677 0,5 3.986 0,4 6.671 0,7 8.161 0,9

Philippines 39.874 5,1 42.191 4,5 52.890 5,5 47.912 5,5

Singapore 245.570 31,3 281.890 30,3 285.179 29,6 238.708 27,3

Thailand 148.980 19,0 172.799 18,6 168.148 17,4 160.670 18,4

Viet Nam 61.886 7,9 97.438 10,5 129.831 13,5 159.286 18,2

ASEAN 784.645 100,0 929.685 100,0 963.778 100,0 874.260 100,0

Lampiran 5. Nilai Impor Perdagangan Ekstra-ASEAN 2010-2016 (USD juta)

Negara 2010 2012 2014 2016

Nilai (%) Nilai (%) Nilai (%) Nilai (%)

Brunei 1.203 0,2 2.071 0,2 1.829 0,2 1.380 0,2

Cambodia 3.099 0,4 4.701 0,5 6.744 0,7 7.757 0,9

Indonesia 88.539 12,4 137.866 14,6 127.276 13,2 100.836 11,9

Lao PDR 349 0,0 913 0,1 966 0,1 1.055 0,1

Malaysia 119.905 16,8 141.529 15,0 155.124 16,1 126.981 15,0

Myanmar 2.015 0,3 4.795 0,5 9.132 0,9 9.786 1,2

Philippines 41.959 5,9 50.432 5,3 52.300 5,4 63.440 7,5

Singapore 238.151 33,4 305.584 32,3 302.145 31,4 229.176 27,1

Thailand 150.284 21,1 204.968 21,7 184.653 19,2 155.066 18,3

Viet Nam 68.431 9,6 92.408 9,8 123.148 12,8 150.593 17,8

ASEAN 713.934 100,0 945.267 100,0 963.317 100,0 846.070 100,0

28

Lampiran 6. Kebijakan perbenihan di India

• Indian seed industry has experienced extensive transformation, through increasing

the role of private seed company, a joint venture of Indian companies with

multinational seed companies with a focus on biotechnology and widespread

changes in the regulatory framework that is expected to boost research, marketing

and trade in the seed sector.

• In 2002 the Indian government announced a new policy which was aimed to

encourage the growth of private seed industry. In 2002 India allowed the entry of

major international seed companies into the Indian markets. Those companies were

supported by powerful marketing and advance technology.

• Investment policy: India is 100% opened for foreign investment.

• This policy encouraged India to be the one of main producer of tropical vegetable

seeds in Asia.

• As a result the spending in R&D has been growing rapidly. 50% of the increase is

the impact of government regulations that allow the entry of foreign companies into

the seed industry.