KAJIAN KETERKAITAN ANTARA KARAKTERISTIK DAN...
Transcript of KAJIAN KETERKAITAN ANTARA KARAKTERISTIK DAN...
KAJIAN KETERKAITAN ANTARA KARAKTERISTIK
DAN KLASIFIKASI TANAH DENGAN LANDFORM
SEBAGAI EVALUASI TERHADAP PEMETAAN TANAH
DI INDONESIA
MUHAMMAD GIRI WIBISONO
A14060397
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN
DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN
MUHAMMAD GIRI WIBISONO. Kajian Keterkaitan antara Karakteristik dan
Klasifikasi Tanah dengan Landform sebagai Evaluasi terhadap Pemetaan Tanah di
Indonesia. Dibimbing oleh DARMAWAN dan DWI PUTRO TEJO
BASKORO.
Survei dan pemetaan tanah di Indonesia belum dapat dikatakan tuntas,
karena antara lain masalah tenaga dan biaya yang sangat besar. Salah satu
pendekatan yang sudah diterapkan untuk percepatan ialah menerapkan metode
pendekatan landform (Fisiografik Unit). Konsep ini didasarkan pada pandangan
bahwa terdapat hubungan erat antara satuan landform dengan satuan tanah. Dari
hasil pemetaan LREPP I dijumpai fakta yang menunjukkan bahwa dalam satu
satuan landform, masih terdapat variasi karakteristik yang berimplikasi pada
klasifikasi yang berbeda. Hal yang sama juga terindikasi kuat terjadi pada hasil
survei dan pemetaan tanah yang lebih intensif yaitu tingkat semi detil skala
1:50.000 LREPP II. Fakta tersebut perlu dikaji lebih lanjut pada tingkat dan
intensitas keragamannya untuk dijadikan sebagai dasar dalam penentuan
pendekatan / metode survei yang digunakan selanjutnya.
Penelitian bertujuan untuk melakukan analisis konsistensi hubungan
klasifikasi tanah dengan landform, mengetahui gambaran tingkat homogenitas dan
heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada suatu satuan landform dari
hasil pemetaan terdahulu skala 1:50.000, dan mengidentifikasi karakteristik tanah
penciri klasifikasi yang sulit diduga dari unsur-unsur landform dari hasil pemetaan
terdahulu skala 1:50.000. Penelitian ini merupakan studi pustaka dari hasil-hasil
survei dan pemetaan tanah LREPP II yang tersedia di arsip data base Balai Besar
Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Jl. Ir. H. Juanda No. 98 Bogor.
Penelitian ini menggunakan Uji Tabular dan Analisis Koefisien Keragaman (KK)
internal karakteristik tanah penciri landform dan KK karakteristik tanah penciri
antar landform.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman jenis tanah yang terdapat
pada suatu landform masih sangat tinggi walaupun pada landform tersebut
mempunyai faktor pembentuk tanah yang dianggap homogen. Keragaman yang
tinggi juga terjadi pada karakteristik tanah penciri yang terdapat di dalamnya.
Kedua hal tersebut, menunjukkan bahwa sistem pendekatan landform (fisiografi)
dalam pemetaan tanah tidak berarti dapat sertamerta mendelineasi satuan tanah
pada suatu landform.
SUMMARY
MUHAMMAD GIRI WIBISONO. Study of Relevance between Soil
Characteristic and Clasification with Landform, as an Evaluation for soil Mapping
in Indonesia. Supervised by DARMAWAN and DWI PUTRO TEJO
BASKORO.
Main problem of soil mapping in Indonesia are limitation of cost and man
power. Landform approach is used as an aprroach to accelerate the soil mapping.
The principle of landform approach is based on correlation between landform unit
and soil unit. This approach has been used in Land Resource Evaluation Planning
Project (LREPP) I & II semi-detailed soil mapping project in Indonesia. The
result showed that a landform unit consists of several characteristics implicating,
different soil classifications. This fact must be studied further to determine the
level and intensity of diversity for a reference to developing of mapping in the
future.
The study aims to analyze the consistency of correlation of soil
clasification with the landform, description of homogeneity and heterogeneity of
soil characteristics and classifications within a landform unit from previous
mapping of 1:50,000 scale, and identify unpredictable soil characteristics from
landform elements. This research is a literature study of LREPP II survey and soil
mapping data avaliable data base in Research Center for Agricultural Land
Resources (BBSDLP), Jl. Ir. H. Juanda No. 98 Bogor. This research used Tabular
Test and Internal Variability Coefficient (CV) analisys of soil characteristics as
key of landform characteristics and variability coefficient characteristics as key of
soil characteristic inter landforms.
The results showed that the diversity of soil taxa on the landform is very
high, despite the landform has by definition homogeneous soil-forming factors.
High diversity also occurs in key of soil characteristics contained inside a
landform. Both of cases showed that the approach of landform system in soil
mapping can not use to delineate soil unit boundary.
KAJIAN KETERKAITAN ANTARA KERAGAMAN KARAKTERISTIK
DAN KLASIFIKASI TANAH DENGAN LANDFORM
SEBAGAI EVALUASI TERHADAP PEMETAAN TANAH
DI INDONESIA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
MUHAMMAD GIRI WIBISONO A14060397
PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA LAHAN DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN
FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
Judul Penelitian : Kajian Keterkaitan antara Keragaman Karakteristik dan Klasifikasi Tanah dengan Landform sebagai Evaluasi terhadap Pemetaan Tanah di Indonesia
Nama : MUHAMMAD GIRI WIBISONO NRP : A14060397
Menyetujui,
Pembimbing I Pembimbing II Dr Ir Darmawan, M.Sc Dr Ir D.P.T. Baskoro, M.Sc NIP. 19631103 199002 1 001 NIP. 19630126 198703 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan
Dr Ir Syaiful Anwar, M.Sc NIP. 19621113 198703 1 003
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cianjur pada tanggal 31 Oktober 1987 dari pasangan
H. Suharsono, S.Pd dan Dra. Hj. Liplip Mukhalipah. Penulis merupakan anak
kedua dari dua bersaudara.
Penulis memulai studi di Taman Kanak-Kanak (TK) Perwari tahun 1992
dan melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri (SDN) I Ciherang, Kecamatan Pacet
Kabupaten Cianjur dan lulus pada tahun 2000. Setelah itu penulis melanjutkan
studi ke Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) I Cipanas, Kabupaten
Cianjur dan lulus pada tahun 2003. Selanjutnya, penulis melanjutkan studi ke
Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) I Sukaresmi, Kabupaten Cianjur dan
lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama dengan kelulusan SMA, penulis
diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB (USMI). Setelah menjalankan Tingkat Persiapan Bersama (TPB) pada tahun
pertama di IPB, penulis diterima di Program Studi Manajemen Sumberdaya
Lahan, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian.
Selama menjalankan studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam
berbagai organisasi, baik organisasi kemahasiswaan maupun organisasi non-
kemahasiswaan. Organisasi yang pernah diikuti di antaranya Himpunan
Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) IPB sebagai Ketua pada masa kepengurusan
tahun 2009-2010, Forum Komunikasi Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah
Indonesia (FOKUSHIMITI) sebagai Koordinator Badan Eksekutif Wilayah II
Fokushimiti priode 2008-2010, dan Scooter IPB Club (SIC) sebagai anggota
sekaligus salah satu pendiri SIC tahun 2010. Selama itu juga penulis pernah
menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Survei dan Evaluasi Lahan serta
mata kuliah Morfologi dan Klasifikasi Tanah tahun 2010-2011.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta
anugrahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
skripsi ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa tanpa dukungan, bantuan serta doa dari berbagai
pihak maka penyelesaian tugas akhir ini tidak akan berjalan dengan baik. Untuk
itu penulis menghaturkan ucapan terima kasih kepada :
1. Dr Ir Darmawan, M.Sc selaku dosen pembimbing I yang telah
memberikan waktu, arahan, dan pengalamannya sehingga penulisan
skripsi ini terselesaikan dengan sangat baik.
2. Dr Ir Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc selaku dosen pembimbing II yang
telah memberikan waktu, arahan, dan pengalamannya sehingga penulisan
skripsi ini terselesaikan dengan sangat baik.
3. Dr Ir Dyah Tjahyandari, M.appl.Sc selaku dosen penguji yang telah
memberikan saran untuk perbaikan skripsi ini.
4. Ir Chendy Tafakresnanto, MP selaku peneliti Balai Besar Litbang
Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) yang telah
memberikan waktu, arahan, bantuan serta fasilitas selama penyusunan
skripsi.
5. Keluarga tersayang Mamah, Bapak, Teteh dan segenap keluarga besar H.
Ahmad Furqon yang selalu memberikan dukungan serta doa kepada
penulis.
6. Teman-teman mahasiswa Manajemen Sumberdaya Lahan angkatan 43
serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah
membantu dalam penelitian serta penulisan skripsi ini.
Penulis sangat berharap tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pihak
yang membacanya.
Bogor, Desember 2011
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2. Tujuan ................................................................................................... 2
1.3. Hipotesis ............................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2.1. Konsep dan Definisi Tanah .................................................................. 4
2.2. Proses Pembentukan Tanah .................................................................. 5
2.3. Klasifikasi Tanah .................................................................................. 6
2.3.1. Sistem Klasifikasi Tanah di Indonesia ....................................... 7
2.4. Karakteristik Tanah Untuk Klasifikasi ................................................. 10
2.5. Kaidah Pemetaan Tanah ....................................................................... 12
2.5.1. Pengertian Peta Tanah ................................................................ 12
2.5.2. Prinsip dan Tingkat Pemetaan .................................................... 13
2.5.3. Pendekatan Metode Survei Tanah .............................................. 14
2.6. Konsep dan Dasar-dasar Klasifikasi Landform ................................... 15
2.6.1. Pengertian Bentuk Lahan (Landform) ........................................ 16
2.6.2. Faktor dan Proses landform ........................................................ 16
2.6.3. Sistem Klasifikasi Landform di Indonesia ................................. 17
2.6.4. Klasifikasi Landform LREPP I .................................................. 17
2.6.5. Klasifikasi Landform LREPP II ................................................. 20
2.6.6. Kerangka Acuan LREPP II ........................................................ 22
III. BAHAN DAN METODE ........................................................................ 23
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... 23
3.2. Metode Penelitian ................................................................................. 23
3.2.1. Tahap Kompilasi Data ................................................................ 23
3.2.2. Analisis Data .............................................................................. 24
vi
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 28
4.1. Hubungan Keterkaitan antara Landform dan Klasifikasi Tanah .......... 28
4.2. Gambaran Tingkat Homogenitas dan Heterogenitas Karakteristik
dan Klasifikasi Tanah pada Suatu Unit Landform ............................... 30
4.2.1. Grup Landform Aluvial (A) ....................................................... 32
4.2.2. Grup Landform Fluvio-Marin (B) .............................................. 45
4.2.3. Grup Landform Karst (K) ........................................................... 51
4.2.4. Grup Landform Marin (M) ......................................................... 54
4.2.5. Grup Landform Tektonik dan Struktural (T) .............................. 60
4.2.6. Grup Landform Volkanik (V) .................................................... 68
4.3 Karakteristik Tanah Penciri Klasifikasi yang Sulit Diduga dari Landform .............................................................................................. 74
4.4 Keragaman Karkteristik Tanah Pada Suatu Unit Landform Berdasarkan Data Lapang dan Laboratorium ....................................... 79
4.4.1. Landform Dataran Aluvial (A.1.3) ............................................. 80
4.4.2. Landform Dataran Fluvio-Marin (B.3) ....................................... 80
4.4.3. Landform Perbukitan Karst (K.3) ............................................... 81
4.4.4. Landform Dataran Pasang Surut Lumpur (M.2.2) .................... 81
4.4.5. Landform Perbukitan Tektonik (T.12.1) .................................... 82
4.4.6. Landform Pegunungan Volkanik Tua (V.3.3) ............................ 82
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 83
5.1. Kesimpulan ........................................................................................... 83
5.2. Saran ..................................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 84
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Teks
1. Parameter Bahan Induk ............................................................................. 26
2. Parameter Iklim ......................................................................................... 26
3. Kriteria Pengklasifikasian Keragaman Tanah Berdasarkan Nilai
Koefisien Keragaman ................................................................................ 27
4. Data Landform LREEP II yang Dianalisis ................................................ 29
5. Klasifikasi Tanah yang Dijumpai Pada Grup Landform LREPP II .......... 30
6. Lembar Peta Plotting Pengamatan Tanah LREPP II ................................ 31
7. Sebaran Landform A.1.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya ........ 33
8. Pengelompokan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan induk dan Iklim Pada Landform A.1.3 ................................................................................ 36
9. Klasifikasi pada masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Karawang Bagian Barat .............................................................................................. 38
10. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Karawang Bagian Timur ........................................................................... 39
11. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Gresik - Jatim ............................................................................................ 42
12. Sebaran Landform B.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya ........... 46
13. Pengelompokan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan Iklim Pada Landform B.3 ................................................................................... 47
14. Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di B.3 Karawang - Jabar ...................................................................................... 49
15. Sebaran Landform K.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya ........... 52
16. Pengelompokkan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan Iklim Pada Landform K.3 ......................................................................... 54
17. Sebaran landform M.22 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya.......... 55
18. Pengelompokkan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan Iklim Pada Landform M.22 ....................................................................... 56
19. Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di M.2.2 Karawang – Jabar ...................................................................................... 58
20. Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform M.2.2 Oesao
– NTT ........................................................................................................ 60
21. Sebaran Landform T.12.1 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya ...... 62
viii
22. Pengelompokkan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan Iklim Pada Landform T.1.2.1 .................................................................... 64
23. Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di T.12.1 Karawang Bagian Selatan ......................................................................... 66
24. Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di T.1.2.1 Oesao – NTT ............................................................................................. 67
25. Sebaran Landform V.33 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya ......... 69
26. Pengelompokkan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan Induk dan Iklim Pada Landform V.33 ...................................................................... 71
27. Klasifikasi tanah pada masing-masing Poligon Landform di V.3.3 Pacitan – Jatim .......................................................................................... 73
28. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform A.1.3 ..................... 75
29. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform T.12.1 ................... 77
30. Karakteristik Tanah yang Sulit Diduga Landform Berdasarkan Klasifikasi ................................................................................................. 78
31. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Masing-masing Landform dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform ......................... 80
Lampiran
1. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform A.1.3 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform................................................ 88
2. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform B.3 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform................................................ 88
3. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform K.3 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform................................................ 88
4. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform M.22 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform................................................ 88
5. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform T.121 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform................................................ 89
6. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform V.33 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform................................................ 89
ix
7. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Masing-masing Landform dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform ......................... 90
8. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform A.1.3 ..................... 93
9. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform K.3 ........................ 93
10. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform B.3 ........................ 94
11. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform M.2.2 .................... 94
12. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform V.3.3 ..................... 94
13. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform T.12.1 ................... 95
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Teks
1. Diagram alir proses pemetaan tanah LREPP II ........................................ 22
2. Diagram alir tahapan kerja dalam penelitian ............................................ 24
3. Sebaran landform A.1.3 daerah Karawang - Jawa Barat .......................... 37
4. Sebaran pedon tanah pada landform A.1.3 Karawang – Jabar ................ 37
5. Sebaran pedon tanah pada landform A.1.3 Karawang – Jabar ................ 39
6. Sebaran landform A.1.3 daerah Gresik - Jawa Timur.............................. 40
7. Sebaran Pedon tanah pada landform A.1.3 Gresik - Jawa Timur ............ 41
8. Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 bagian barat Karawang-
Jabar .......................................................................................................... 43
9. Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 bagian timur Karawang -
Jabar .......................................................................................................... 43
10. Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 Gresik - Jatim ................. 44
11. Sebaran pedon tanah pada landform B.3 Karawang – Jabar..................... 48
12. Sebaran pedon tanah pada landform B.3 Karawang – Jabar (Perbesaran
pada Gambar 11) ....................................................................................... 48
13. Sketsa sebaran klasifikasi tanah pada landform B.3 Karawang ............... 50
14. Sebaran landform M.2.2 daerah Karawang – Jabar .................................. 57
15. Sebaran pedon tanah pada landform M.2.2 Karawang - Jabar ................. 57
16. Sebaran landform M.2.2 daerah Oesao – NTT ......................................... 59
17. Sebaran landform M.2.2 daerah Oesao – NTT ......................................... 59
18. Sebaran landform T.1.2.1 daerah Karawang – Jabar ................................ 65
19. Sebaran pedon tanah pada landform Karawang – Jabar ........................... 65
20. Sebaran landform T.1.2.1 daerah Oesao - NTT ........................................ 66
21. Sebaran pedon tanah pada landform V.3.3 daerah Pacitan – Jatim .......... 72
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemenuhan kebutuhan akan peta sumberdaya alam pada saat ini masih
belum memadai, termasuk peta tanah (soil map) di dalamnya. Survei dan peta
tanah merupakan sarana penting dalam mempersiapkan rencana pemanfaatan
lahan dan pengembangan pertanian, antara lain; perencanaan-perencanaan
pengembangan komoditas pertanian, irigasi, transmigrasi, rekomendasi
pemupukan, pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), serta monitoring kualitas
lahan, degradasi lahan, dan pencemaran lingkungan (Hikmatullah dan Hidayat,
2007). Peta tanah juga bermanfaat untuk perencanaan di bidang non-pertanian.
Survei dan pemetaan tanah di Indonesia dimulai sejak diperkenalkan
sistem klasifikasi Dudal dan Soepraptohardjo. Sampai saat ini, survei dan
pemetaan tanah di Indonesia belum dapat dikatakan tuntas. Hasil inventarisasi
sumberdaya lahan tingkat tinjau skala 1:250.000 menunjukkan bahwa wilayah
yang sesuai untuk pertanian dan perlu dilakukan pemetaan tanah lebih detil (>
semi detil) ialah seluas 100,7 juta ha (Badan Litbang Pertanian, 2005), termasuk
di dalamnya yang sudah terpetakan pada tingkat semi detil seluas 36.7 juta ha,
(Hikmatullah dan Hidayat, 2007).
Tantangan serta permasalahan pemetaan tanah di Indonesia saat ini adalah
bagaimana supaya wilayah yang belum terpetakan pada skala semi detil tersebut
dapat diselesaikan dengan waktu yang cepat dan biaya yang murah. Guna
mengatasi tantangan pemetaan tanah di Indonesia, kajian-kajian teknik pemetaan
tanah perlu terus dikembangkan. Salah satu pendekatan yang sudah diterapkan
untuk percepatan ialah menerapkan metode pendekatan landform (Fisiografik
Unit). Metode ini merupakan substitusi seluruh atau sebagian terhadap metode
pemetaan tanah Grid System yang memerlukan waktu lama dan intensif tenaga
sehingga menjadi mahal.
Pendekatan landform dalam pemetaan pada dasarnya terletak pada konsep
bahwa landform adalah sebagai dasar delineasi satuan pemetaan pada daerah
survei sehingga dapat mengurangi intensitas pengamatan di lapangan. Konsep ini
2
didasarkan pada pandangan bahwa terdapat hubungan erat antara satuan landform
dengan satuan tanah.
Survei pemetaan tanah dengan pendekatan landform telah dilakukan pada
survei dan pemetaan tanah tingkat tinjau, skala 1:250.000 LREPP I (Buurman,
1987) dan LREPP II dengan Skala 1:50.000. Dari hasil pemetaan LREPP I
dijumpai fakta yang menunjukkan bahwa dalam satu satuan landform masih
terdapat variasi karakteristik tanah yang berimplikasi pada klasifikasi tanah yang
berbeda. Sehingga menyulitkan dalam menyajikan satuan peta dengan
heterogenitas yang rendah padahal seharusnya dalam satu satuan peta
mencerminkan satu tingkat manajemen yang sama. Hal yang sama juga
terindikasi kuat terjadi pada hasil survei dan pemetaan tanah yang lebih intensif
yaitu tingkat semi detil skala 1:50.000 LREPP II.
Fakta tersebut perlu dikaji lebih lanjut terutama mengenai tingkat dan
intensitas keragamannya yang kemudian dijadikan sebagai acuan dalam
penentuan pendekatan / metode survei selanjutnya. Database hasil survei
terdahulu cukup banyak tersedia untuk dijadikan sebagai dasar kajian ini.
1.2. Tujuan
1. Melakukan analisis keterkaitan hubungan karakteristik dan satuan
klasifikasi tanah dengan unit landform.
2. Mengetahui gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik
dan klasifikasi tanah pada suatu unit landform dari hasil pemetaan
terdahulu skala 1:50.000.
3. Mengidentifikasi karakteristik tanah penciri klasifikasi yang sulit diduga
landform berdasarkan klasifikasi.
1.3. Hipotesis
1. Karakteristik tanah yang dicerminkan dalam satuan klasifikasi tanah
merupakan hasil dari proses pembentukan dan perkembangan tanah yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor pembentuk tanah, di mana faktor-faktor
pembentuk tanah tersebut terdapat dalam unsur-unsur satuan landform.
3
2. Pendekatan analisis spasial faktor-faktor pembentuk tanah yang
didelineasi secara homogen menghasilkan karakteristik tanah yang
homogen.
3. Klasifikasi tanah yang dijumpai pada suatu satuan landform menunjukkan
karakteristik tanah penciri yang terdapat di dalam satuan landform
tersebut.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep dan Definisi Tanah
Pada tahun 1898 Dokuchaev mengusulkan proses pembentukan tanah
dengan faktor pembentuknya. Prosesnya yaitu:
s = f (cl, o, p) t0
Di mana s = tanah, cl = iklim, o = organisme, dan t0 yang merepresentasikan
waktu relatif. Meskipun relief atau topografi tidak termasuk sebagai salah satu
faktor pembentuk tanah pada persamaan tersebut, Dokuchaev mengakui bahwa
relief sebagai salah satu faktor yang penting. Para ahli selanjutnya memodifikasi
proses tersebut dan menambahkan relief sebagai faktor pembentuk tanah.
Sehingga prosesnya menjadi :
s = f (cl, o,r, p, t)
Di mana s adalah tanah, cl adalah iklim lingkungan, o adalah organisme, r adalah
relief, p adalah bahan induk, dan t adalah waktu terbentuknya tanah.
Dengan demikian, proses pembentukan tanah terjadi akibat beberapa
faktor yang saling beinteraksi sehingga dapat membentuk tanah. Faktor-faktor
tersebut adalah iklim, organisme, topografi (relief), bahan induk, dan waktu.
Kelima faktor tersebut dikenal dengan istilah faktor pembentuk tanah. Sebenarnya
banyak sekali faktor lain yang mempengaruhi dalam proses pembentukan tanah,
akan tetapi kelima faktor inilah yang dianggap paling berperan penting dalam
proses pembentukan tanah (Gerrard, 1980).
Para ahli mendefinisikan tanah sesuai dengan cara pandang dan penekanan
yang digunakan oleh masing-masing ahli tersebut (Tan, 1994). Buol et al. (1980)
mendefinisikan tanah sebagai suatu tubuh alam yang terdiri atas lapisan-lapisan
atau horizon-horizon dari komponen mineral atau organik dengan ketebalan yang
bervariasi. Sedangkan Tan (1994) menyebutkan bahwa tanah merupakan tubuh
alam, penutup permukaan bumi yang mendukung pertumbuhan tanaman, dan
terintegrasi akibat adanya pengaruh aktivitas iklim dan organisme terhadap bahan
induk.
5
Selain para ahli secara individual, Soil Survey Staff (1975) mendefiniskan
bahwa tanah adalah kumpulan tubuh alami pada permukaan bumi yang dapat
berubah atau dibuat oleh manusia dari penyusun-penyusunnya, yang meliputi
bahan organik yang sesuai bagi perkembangan akar tanaman. Di bagian atas
dibatasi oleh oleh udara atau air yang dangkal, ke samping dapat dibatasi oleh air
yang dalam atau bahkan hamparan es atau batuan, sedangkan bagian bawah
dibatasi oleh suatu materi yang tidak dapat disebut sebagai tanah, yang sulit
didefinisikan, ukuran terkecilnya 1 – 10 m2 tergantung pada keragaman
horisonnya.
2.2. Proses Pembentukan Tanah
Buol et al. (1980) menjelaskan bahwa setiap faktor mempunyai peran
masing-masing dalam proses pembentukan tanah. Iklim merupakan faktor yang
sangat penting dari proses pembentukan tanah. Suhu dan curah hujan sangat
berpengaruh terhadap intensitas reaksi kimia dan fisika di dalam tanah. Adanya
curah hujan dan suhu tinggi di daerah tropika menyebabkan reaksi kimia berjalan
cepat sehingga proses pelapukan dan pencucian berjalan cepat. Selain itu, iklim
berperan dalam proses erosi dan pengendapan tanah yang mengakibatkan terjadi
pergerakan materi tanah termasuk bahan organik dari satu tempat ke tempat lain.
Hal ini terjadi akibat adanya interaksi antara iklim (curah hujan) dengan faktor
kemiringan lereng (relief).
Organisme merupakan faktor pembentuk tanah yang tergolong aktif.
Proses pelapukan mineral dan pencampuran merupakan salah satu tugas dari
organisme makro dan mikro. Organisme ini mempengaruhi pembentukan humus,
pembentukan profil tanah, dan sifat fisika-kimia tanah. Di samping itu organisme
hidup memperlancar peredaran unsur hara dan membina struktur tanah yang baik.
Di antara berbagai organisme, vegetasi (makroflora) merupakan yang paling
berperan dalam mempengaruhi proses genesis dan pekembangan profil tanah,
karena merupakan sumber utama biomass atau bahan organik tanah (Hanafiah,
2007).
Bahan Induk menentukan sifat fisik maupun kimiawi tanah yang terbentuk
secara endodinamomorf, tetapi pengaruhnya menjadi tidak jelas terhadap tanah-
6
tanah yang terbentuk secara ektodinamomorf. Sifat dari bahan induk dengan nyata
dapat mempengaruhi ciri-ciri dari tanah, muda maupun dewasa, namun dalam
perkembangannya terjadi proses pelapukan lebih lanjut bahkan mengalami
pencucian atau erosi, maka pengaruh ini makin tidak jelas bahkan hilang sama
sekali (Hanafiah, 2007).
Relief adalah perbedaan tinggi atau bentuk wilayah suatu daerah termasuk
di dalamnya perbedaan kecuraman dan bentuk lereng. Relief mempengaruhi
proses pembentukan tanah dengan cara mempengaruhi jumlah air hujan yang
meresap atau ditahan masa tanah, mempengaruhi dalamnya air tanah,
mempengaruhi besarnya erosi, dan mengarahkan gerakan air berikut bahan-bahan
yang terlarut di dalamnya (Hardjowigeno, 2003).
Waktu, berapa lamanya suatu bahan mengalami hancuran memegang
peranan penting dalam pembentukan tanah. Peranan waktu dalam perkembangan
tanah sangat tergantung pada faktor pembentuk tanah lainnya. Semakin lambat
faktor pembentuk tanah bekerja, semakin lama pula waktu yang diperlukan untuk
tanah tersebut mengalami perkembangan (weathering), begitu juga sebaliknya
(Soepardi, 1983).
2.3. Klasifikasi tanah
Klasifikasi merupakan alat penata atau pengorganisasian pengetahuan
suatu objek yang diklasifikasikan, sehingga manusia mudah untuk mengingatnya.
Melalui klasifikasi tanah, manusia akan lebih mudah untuk memahami sifat-sifat
tanah baik secara umum maupun khusus. Klasifikasi tanah adalah suatu sistem
pengelompokan tubuh-tubuh tanah yang sama berdasarkan sifat-sifat penciri
tertentu (Rachim & Suwardi, 2002).
Buol et al. (1980) mengemukakan lima tujuan klasifikasi tanah, yaitu :
1. Menata atau mengorganisir pengetahuan tentang tanah.
2. Memudahkan dalam mengingat sifat-sifat dan perilaku tanah.
3. Mengetahui hubungan antar individu tanah.
4. Mempelajari hubungan-hubungan dan sifat-sifat tanah yang baru.
5. Mengelompokan tanah untuk tujuan yang lebih praktis antara lain:
menaksir sifat-sifat dan produktivitasnya, menentukan lahan yang buruk,
7
baik, atau terbaik, menentukan areal untuk pertanian, atau kemungkinan
hasil ekstrapolasi penelitian di tempat lain.
2.3.1. Sistem Klasifikasi Tanah di Indonesia
Terdapat 3 sistem klasifikasi tanah yang pernah dan atau masih digunakan
di Indonesia saat ini. Sistem klasifikasi itu adalah sistem klasifikasi tanah Pusat
Penelitian Tanah (1983), sistem klasifikasi tanah menurut FAO/UNESCO (1974),
dan sistem Taksonomi Tanah yang dikembangkan oleh United State Departement
of Agriculture (USDA).
Sistem klasifikasi tanah PPT (1983) merupakan penyempurnaan dari
sistem Dudal dan Soepraptohardjo (1957, 1961). Perbaikan didasarkan atas
pengalaman para Staf Pusat Penelitian Tanah dan dari hasil evaluasi pemetaan
yang telah dilakukan. Sistem klasifikasi PPT ini menggunakan enam kategori
yaitu Golongan, Kumpulan, Jenis, Macam, Rupa, dan Seri. Kelebihan dari sistem
ini yaitu: dasar klasifikasinya menggunakan bahan induk sehingga memudahkan
dalam klasifikasi, dan sudah banyak dikenal oleh para ahli di Indonesia sehingga
memudahkan dalam berkomunikasi. Sedangkan kelemahannya yaitu: sistem ini
mengambil dari berbagai kriteria sistem klasifikasi, dan dari 6 kategori yang telah
disusun, hanya 2 kategori yang berkembang yaitu Jenis dan Macam.
Sistem klasifikasi FAO/UNESCO (1974) merupakan sistem klasifikasi
yang dibuat berdasarkan rekomendasi International Society of Soil Science.
Dalam sistem ini hanya dikenal nama tanah yang setara dengan greatgroup dan
subgroup dalam sistem Taksonomi Tanah. Kelebihan dari sistem klasifikasi ini
yaitu: sistematikanya sederhana, hanya terdiri dari 2 kategori sehingga mudah
untuk diingat, dan dilengkapi dengan peta tanah dunia sehingga dapat mengetahui
penyebaran setiap nama tanah di dunia. Sedangkan kelemahannya yaitu: sistem
ini mengambil nama tanah dari berbagai negara sehingga kriterianya tidak begitu
baik, dan didominasi nama-nama yang berasal dari negara pembuat sistem ini.
Sistem Klasifikasi Tanah USDA, yaitu sistem Klasifikasi Taksonomi
Tanah (Soil Taxonomy) yang dikembangkan oleh United State Departement of
Agriculture (USDA) mulai 1975 telah dipakai secara luas di dunia. Sistem ini
telah beberapa kali mengalami perbaikan baik definisi maupun nama-nama tanah
8
pada setiap kategori. Taksonomi tanah terus dikembangkan sehingga selalu
mengalami perubahan dalam jangka waktu yang relatif pendek. Adapun kelebihan
dari sistem Taksonomi Tanah ini ialah: Pertama, sistematikanya sangat baik,
berjenjang seperti piramida dan setiap kategori berkembang proporsional. Kedua,
nama pada setiap kategori memiliki arti khusus sehingga dari namanya dapat
diketahui sifat-sifat tanahnya. Ketiga, sistem ini telah digunakan di seluruh dunia
minimal untuk komunikasi ilmiah. Sedangkan kelemahannya, pertama, sistem ini
belum banyak dikenal di Indonesia sehingga agak sulit untuk komunikasi selain
ahli tanah. Kedua, untuk dapat mengklasifikasikan dengan sistem ini memerlukan
data yang cukup detil dan akurat. Ketiga, pengembangan sistem ini sebagian besar
berdasar tanah-tanah di Amerika sehingga tidak seluruh nama tanah yang ada di
dalam sistem ini terdapat di Indonesia (Suwardi & Hidayat, 2000).
Indonesia termasuk negara yang merekomendasikan penggunaan sistem
Taksonomi Tanah dalam pembuatan peta tanah pada setiap survei tanah sejak
Kongres Nasional V Himpunan Ilmu Tanah Indonesia di Medan tahun 1989
(Hardjowigeno, 1993). Sistem ini dinilai lebih komprehensif dibandingkan dengan
sistem yang dikembangkan oleh Pusat Penelitian Tanah (PPT, 1983) maupun
FAO/UNESCO (1974) (Suwardi & Hidayat, 2000).
Kategori Sistem Taksonomi Tanah adalah sekumpulan kelas yang
ditentukan kira-kira pada tingkat keumuman (generalisasi) atau abstraksi yang
sama dan mencakup semua tanah. Dalam taksonomi tanah ada enam kategori,
menurut urutan penggolongan dan peningkatan jumlah pembeda dan kelas-kelas,
kategori tersebut adalah order, suborder, greatgroup, subgroup, family, dan serie.
Kategori order adalah tingkat pengelompokan tanah tertinggi. Order
dibedakan oleh kehadiran dan ketidakhadiran horison penciri atau sifat yang
menjadi pembeda tanah dalam derajat dan jenis sekumpulan proses pembentukan
tanah yang dominan yang telah berjalan.
Kategori suborder adalah kategori satu tingkat di bawah order. Suatu
order dapat dipilah-pilah lagi untuk mengurangi keragaman sifat ke dalam kelas-
kelas pada tingkat suborder. Alasan pembedaan utamanya adalah ketidakhadiran
diferensiasi horison.
9
Kategori greatgroup adalah kategori di bawah suborder, yang
menunjukan sifat-sifat taksa lebih homogen dari pada sifat-sifat taksa pada
suborder. Pembeda dalam kategori ini menempatkan tanah bersama-sama yang
memiliki sifat-sifat umum berikut :
1. Kesamaan yang erat dalam jenis, pengaturan, dan derajat ekspresi horison.
2. Kesamaan yang erat dalam regim kelembaban dan temperatur.
3. Kesamaan status basa.
Kategori subgroup adalah kategori satu tingkat di bawah greatgroup.
Kategori ini mempunyai tujuan dalam mengelompokan tanah sebagai tanda pada
sekumpulan proses yang dominan atau penting pada kategori greatgroup,
suborder, atau order.
Kategori Family adalah kategori yang tujuannya dalam mengelompokan
tanah dalam subgroup yang memiliki sifat fisik dan kimia yang sama, yang
mempengaruhi tanggapan terhadap pengolahan atau manipulasi dalam
penggunaannya. Family ditentukan terutama untuk mengelompokan tanah dengan
tekanan :
1. Distribusi ukuran butir dalam horison-horison aktivitas biologi utama di
bawah kedalaman lapisan olah.
2. Mineralogi horison-horison yang sama diperhatikan dalam penamaan
kelas-kelas ukuran butir.
3. Regim temperatur.
4. Ketebalan tanah yang dapat dipenetrasi akar.
5. Beberapa sifat lain yang digunakan dalam penentuan beberapa family
untuk menghasilkan homogenitas yang diperlukan.
Kategori serie adalah kategori terendah dalam taksonomi tanah. Ada dua
jenis pembeda yang ditetapkan untuk serie, yaitu:
1. Pembeda antara family dan antara kelas-kelas dari semua kategori yang
lebih tinggi adalah sebagai pembeda antar serie. Suatu serie tidak dapat
melewati selang batas dua family atau dua kelas dari kategori lebih tinggi.
2. Pembeda antar serie di dalam family yang sama adalah ditekankan pada
satu atau lebih selang sifat dari family (Rachim, 2001).
10
2.4. Karakteristik Tanah untuk Klasifikasi
Sejumlah sifat tanah merupakan kunci dalam pengklasifikasian tanah.
Sifat-sifat tanah tersebut dapat dikelompokan ke dalam sifat morfologi yang dapat
diamati di lapangan dan sifat-sifat kimia yang dapat diketahui melalui analisis
laboratorium. Sifat-sifat morfologi tanah yang dapat diamati di lapangan
diantaranya horison tanah, warna tanah, tekstur lapang, dan kedalaman efektif
tanah. Sedangkan sifat-sifat kimia tanah yang diketahui melalui analisis
laboratorium diantaranya adalah tekstur tanah, pH tanah, dan kapasitas tukar
kation (KTK) tanah.
Horison tanah adalah lapisan tanah yang hampir sejajar dengan permukaan
tanah yang terbentuk karena proses pembentukan tanah (Suwardi & Hidayat,
2000). Ada 6 horison utama yang menyusun profil tanah berturut-turut dari atas
ke bawah yaitu horison O, A, E, B, C, dan R. Sedang horison yang menyusun
solum tanah adalah hanya horison A, E, dan B.
Horison O merupakan horison organik yang terbentuk di atas lapisan tanah
mineral. Di daerah rawa-rawa horison O merupakan horison utama pada tanah
gambut (Histosol). Horison A merupakan horison di permukaan tanah yang terdiri
dari campuran bahan organik dan bahan mineral berwarna lebih gelap daripada
horison di bawahnya. Horison E merupakan horison di mana terjadi pencucian
(eluviasi) maksimum terhadap liat, Fe, Al, bahan organik, serta berwarna pucat.
Horison B dalah horison utama, yang terdiri dari bahan-bahan telah diubah secara
kimia dan fisik, telah kehilangan hampir seluruhnya atau semua struktur batuan
asal, dan telah terbentuk di bawah horison A, E, dan O. Horison C merupakan
bahan induk, sedikit terlapuk, sehingga lunak dan dapat ditembus oleh akar
tanaman. Horison R merupakan batuan keras yang belum dilapuk, horison ini
tidak dapat ditembus oleh akar tanaman.
Kedalaman efektif tanah merupakan kedalaman di mana perakaran
tanaman masih bisa masuk ke dalam tanah dan berkembang dengan baik.
Kedalaman tersebut umumnya dibatasi oleh suatu lapisan penghambat, misalnya
berupa batu keras (bedrock), padas atau lapisan lain yang menganggu atau
menghambat perkembangan perakaran. Kedalaman efektif tanah dikelompokan
menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu: dangkal (<25 cm), sedang (25-75 cm), dan dalam
11
(>75 cm) (Soepraptohardjo, 1970; Pusat Penelitian Tanah, 1983; Direktorat
Konservasi Tanah Dephut, 1984).
Tekstur tanah, biasanya juga disebut besar butir tanah merupakan
karakteristik tanah yang berhubungan erat dengan pergerakan air, zat terlarut, dan
luas permukaan spesifik (specifik surface) yang mempengaruhi potensi tanah
(Hilel, 1982). Tekstur tanah adalah perbandingan relatif antara fraksi pasir, debu,
dan liat, yaitu partikel tanah yang berdiameter efektif < 2 mm. Berbagai lembaga
penelitian atau institut mempunyai kriteria sendiri untuk membagi fraksi partikel
tanah. Dalam bidang pertanian umumnya menggunakan klasifikasi menurut
United State Departement of Agriculture (USDA). Berdasarkan perbandingan ke-
3 fraksi tanah, terkstur tanah di bagi menjadi 12 (dua belas) tekstur tanah (Soil
Survei Manual, 1993), yaitu: pasir, pasir berlempung, lempung berpasir, lempung,
lempung berdebu, debu, lempung liat berpasir, lempung berliat, lempung liat
berdebu, liat berpasir, liat berpasir, liat berdebu, dan liat. Soepraptohardjo (1970),
Subagyo (1975), dan Direktorat Konservasi Tanah Dephut (1984) untuk keperluan
evaluasi potensi atau kemampuan lahan telah melakukan penyederhanan kelas
tekstur tanah menjadi 3 (tiga), yaitu: kasar, sedang, dan halus.
Kemasaman tanah atau pH tanah merupakan jumlah log [H+] dalam
larutan tanah. pH tanah dapat memperkirakan keadaan hara tanah, jumlah basa-
basa, tingkat pelapukan tanah, derajat pencucian tanah. pH tanah menurut
Soepraptohardjo (1970), Subagyo (1975), dan Pusat Penelitian Tanah (1983)
dikelompokan menjadi 5 (lima) klas, yaitu: sangat masam (pH <4,5), masam (pH
4,5-5,6), agak masam (pH 5,6-6,5), netral (pH 6,6-7,5), dan alkalis (pH >7,5).
Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan kemampuan tanah untuk
menahan dan menukarkan kation-kation/basa-basa. KTK yang tinggi merupakan
petunjuk bahwa tanah mempunyai kemampuan untuk menahan unsur hara yang
besar. KTK tanah antara lain dipengaruhi oleh kadar liat dan C-organik tanah
(Tisdale dan Nelson, 1975; Tan, 1991), pH tanah untuk muatan terubahkan (Juo
dan Adams, 1986), kandungan oksida besi (Rachim, 1994; Hidayat, 1996).
Kondisi tersebut terkait dengan jenis bahan induk tanah dan kondisi iklim di mana
tanah tersebut terbentuk. KTK tanah dikelompokan menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu:
12
rendah (<16 me/100 g tanah), sedang (16-24 me/100 g tanah), tinggi (>24 me/100
g tanah) (Pusat Penelitian Tanah, 1983).
2.5. Kaidah Pemetaan Tanah
2.5.1. Pengertian Peta Tanah
Data tanah dapat disajikan secara spasial dengan berbagai teknik
tergantung tujuan (intensitas pengamatan) dan teknik pelaksanaannya yang
kesemuanya dapat dipandang sebagai peta tanah.
Berdasarkan cara penyajiannya, peta tanah dapat dibedakan sebagai
berikut:
1. Peta tanah bersimbolkan titik (Point soil maps), yaitu peta yang
menunjukkan lokasi titik-titik pengamatan yang sesungguhnya dilakukan,
disertai nama taksa (kelas) tanah atau satu atau lebih sifat-sifat tanah.
2. Peta tanah poligon kelas-areal. Daerah survei dibagi atau beberapa poligon
dengan menggunakan garis batas secara tegas. Masing-masing poligon
diberi simbol dengan nama kelas dan tiap-tiap kelas dijelaskan dalam
legenda.
3. Peta lapangan kontinyu yang dibuat dengan metode interpolasi. Peta ini
umumnya disajikan dengan isoline atau pada grid halus. Peta ini
memperlihatkan kontinuitas sebaran sifat sifat tanah yang diduga dengan
jalan interpolasi.
4. Peta lapangan kontinyu yang dibuat melalui pengamatan langsung di
seluruh daerah survei. Peta ini umunya disajikan dengan peta grid. Peta ini
memperlihatkan sebaran sifat tanah kontinyu yang diukur.
Dari semua jenis peta tanah tersebut, peta tanah poligon kelas-areal
merupakan peta yang paling umum dibuat (Rayes, 2006). Peta tanah jenis ini
merupakan peta yang dibuat untuk memperlihatkan sebaran taksa tanah dalam
hubungannya dalam kenampakan fisik dari permukaan bumi (Soil Survei Staff,
1975). Pada setiap peta tanah digambarkan garis-garis batas (delineasi) tanah-
tanah yang dijumpai di lapangan. Garis batas tersebut membentuk poligon-
poligon yang digambarkan pada peta tanah yang disebut satuan peta tanah (SPT),
13
yang merupakan gambar sebaran tubuh tanah di lapangan (serupa dengan
polipedon).
Dalam setiap peta tanah umumnya selalu berisikan lebih dari satu satuan
peta tanah. Pada setiap satuan peta tanah, dapat terdiri atas satu satuan (taksa)
tanah tertentu atau dapat pula terdiri atas dua atau lebih taksa tanah, baik itu
berupa asosiasi maupun kompleks tanah yang didefinisikan dalam istilah
taksonomi tanah atau sistem klasifikasi tanah lainnya.
2.5.2. Prinsip dan Tingkat Pemetaan
Berdasarkan teknik pelaksanaannya, terdapat dua pendekatan yang
ditempuh oleh pemeta, yaitu:
1. Pendekatan sintetik (synthetic approach), mengamati, mendeskripsi dan
mengklasifikasikan profil tanah (pedon) pada beberapa lokasi di daerah
survei kemudian membuat (mendelineasi) batas di sekitar daerah yang
mempunyai profil tanah serupa, sesuai dengan klasifikasi yang digunakan.
2. Pendekatan analitik (analytical approach), membagi ‘kontinum’ atas
persil-persil atau satuan-satuan berdasarkan dalam pengamatan perubahan
dalam sifat-sifat tanah eksternal (sifat bentang lahan), melalui interpretasi
foto udara, yang diteruskan dengan melakukan pengamatan dan
pengklasifikasian tanah untuk masing-masing satuan yang dibuat tersebut.
Berdasarkan tingkatannya, survei tanah dibedakan atas enam macam, yaitu
peta tanah bagan, eksplorasi, tinjau, semi-detil, detil dan sangat detil. Masing-
masing peta tersebut memiliki skala peta yang berbeda-beda.
Peta tanah bagan, peta ini dibuat sebagai hasil kompilasi dan generalisasi
peta-peta tanah eksplorasi atau peta tanah tinjau. Peta ini hanya digunakan untuk
memperoleh gambaran umum tentang sebaran tanah secara nasional. Dalam
pembuatannya tidak dilakukan pengamatan lapangan. Skala peta sama atau lebih
kecil dari 1:2.500.000.
Peta tanah eksplorasi, peta ini menyajikan keterangan yang sangat umum
tentang keadaan tanah dari suatu daerah. Biasanya peta ini dibuat dengan survei
yang dilakukan sepanjang jalan atau menggunakan helikopter pada tempat-tempat
tertentu yang dianggap mempunyai perbedaan jenis tanah, yang ditunjukkan oleh
14
bentang alam yang berbeda. Survei ini juga dapat dilakukan dengan bantuan
interpretasi foto udara atau citra satelit, dengan intensitas pengamatan yang sangat
rendah. Skala bervariasi dari 1:500.000 hingga 1:1.000.000.
Peta tanah tinjau, umumnya peta ini dibuat pada skala 1:250.000. Satuan
peta didasarkan atas satuan tanah-bentuk lahan atau sistem lahan yang didelineasi
melalui interpretasi foto udara dan atau citra satelit. Pengamatan di lapangan
kurang lebih 1 untuk 12,5 km2.
Peta tanah semi-detil, peta ini umumnya dibuat dengan skala 1:50.000,
dengan intensitas pengamatan sekitar 1 untuk setiap 50 hektar, tergantung dari
kerumitan bentang lahan. Biasanya dilakukan dengan sistem grid yang dibantu
oleh hasil interpretasi foto udara dan citra satelit. Peta ini memberi gambaran
tentang potensi daerah secara lebih terperinci serta dapat menunjukkan lokasi
proyek yang akan dilaksanakan.
Peta tanah detil, peta ini biasanya dibuat dengan skala 1:25.000 dan
1:10.000 serta ditujukan untuk mempersiapkan pelaksanaan suatu proyek
termasuk proyek konservasi tanah sehingga informasi sifat dan ciri tanah
diuraikan sedetil mungkin. Jumlah pengamatan untuk tanah adalah sekitar 1 untuk
setiap 2 ha sampai 12,5 ha.
Peta tanah sangat detil, peta tanah ini mempunyai skala > 1:10.000.
Pengamatannya 2 atau lebih untuk setiap hektarnya. Peta ini ditujukan untuk
penelitian khusus, misalnya untuk petak percobaan pertanian guna mempelajari
variabilitas respons tanaman terhadap pemupukan atau perlakuan tertentu dan
lain-lain (Rayes, 2006).
2.5.3. Pendekatan Metode Survei Tanah
Terdapat 3 macam pendekatan metode survei tanah, yaitu metode grid,
sistem fisiografi dengan bantuan interpretasi foto udara, dan grid bebas yang
merupakan penerapan gabungan dari kedua pendekatan tersebut. Metode survei
grid biasa disebut juga metode grid kaku. Skema pengambilan contoh tanah secara
sistematik dirancang dengan mempertimbangkan kisaran spasial autokorelasi
yang diharapkan. Jarak pengamatan dibuat secara teratur pada jarak tertentu untuk
seluruh daerah survei. Pengamatan tanah dilakukan dengan pola teratur dan jarak
15
pengamatan tergantung dari skala peta. Survei grid ini sangat cocok diterapkan
pada daerah yang posisi pemetanya sukar ditentukan dengan pasti.
Keuntungan dari metode survei grid ini diantaranya tidak memerlukan
penyurvei yang berpengalaman karena lokasi titik-titik pengamatan sudah diplot
pada peta rencana pengamatan, sangat baik diterapkan pada daerah yang luas yang
memerlukan penyurvei dalam jumlah besar, cukup teliti dalam menentukan batas
satuan peta tanah pada daerah survei yang relatif datar, dan dapat mengurangi
sejumlah sifat tanah pada suatu variasi yang menggambarkan proporsi yang besar
dari data yang tersedia. Kerugian dari metode survei grid ini antara lain
memerlukan waktu yang lama, pemanfaatan seluruh titik-titik pengamatan
sehingga tidak efektif, sebagian lokasi pengamatan tidak mewakili satuan peta
yang dikehendaki.
Metode selanjutnya adalah metode survei fisiografi. Survei ini diawali
dengan melakukan interpretasi foto udara (IFU) untuk mendelineasi landform
yang terdapat di daerah survei, diikuti dengan pengecekan lapangan terhadap
komposisi satuan peta, biasanya hanya di daerah pewakil. Survei ini umumnya
diterapkan skala 1:50.000 - 1:200.000. Metode ini hanya dapat diterapkan jika
tersedia foto udara yang berkualitas tinggi. Batas satuan peta sebagian besar atau
seluruhnya didelineasi dari hasil IFU.
Metode yang terakhir adalah metode grid bebas (fleksibel). Metode ini
merupakan perpaduan metode grid kaku dan metode fisiografi. Metode ini
diterapkan pada survei detil hingga semi-detil, foto udara berkemampuan terbatas
dan di tempat-tempat yang orientasi di lapangan cukup sulit dilakukan.
Pengamatan lapangan dilakukan seperti pada grid-kaku, tetapi jarak pengamatan
tidak perlu sama dalam dua arah, tergantung fisiografi daerah survei. Dengan
demikian kerapatan pengamatan disesuaikan menurut kebutuhan skala survei yang
dilaksanakan serta tingkat kerumitan pola tanah di lapangan (Rayes, 2006).
2.6. Konsep dan Dasar-dasar Klasifikasi Landform
Sebagaimana sistem klasifikasi di bidang lain (flora, fauna, tanah, dan
lain-lain) yang mempunyai dasar-dasar dan sistematik tertentu, klasifikasi
landform juga harus ada dasar yang jelas dan disusun secara sistematik
16
berdasarkan kategori-kategori dari golongan atau kelompok yang besar menjadi
kelompok yang kecil (hirarki). Mengingat bahwa landform merupakan bentukan
alam yang terjadi melalui serangkaian proses geomorfik dan evolusi, maka
klasifikasi landform didasarkan kepada kedua hal tersebut.
2.6.1. Pengertian Bentuk Lahan (Landform)
Bentuk lahan (landform) adalah bentukan alam di permukaan bumi,
khususnya di daratan, yang terjadi karena proses geomorfik tertentu dan melalui
serangkaian evolusi tertentu pula, dan dapat dibedakan berdasarkan skalanya dari
sub-kontinental (misalnya rangkaian pegunungan) sampai bagian dari lereng
tunggal (Marsoedi et al., 1997). Sedangkan Bloom (1979) mendefinisikan
landform adalah setiap elemen dari bentang lahan (lanskap) yang dapat diamati
secara keseluruhan, dan mempunyai bentuk yang konsisten atau perubahan bentuk
yang teratur.
2.6.2. Faktor dan Proses Landform
Menurut Wiradisastra et al. (1999) bentuk-bentuk lahan yang ada di muka
bumi terjadi melalui proses geomorfik yaitu semua perubahan, baik fisik maupun
kimia yang mempengaruhi perubahan bentuk permukaan bumi. Faktor
penyebabnya berupa tenaga geomorfik yaitu semua media alami yang mampu
memantapkan dan mengangkut bahan di permukaan bumi. Tenaga tersebut antara
lain berupa air mengalir, air tanah, gletser, angin, dan gerakan air lainnya
(gelombang laut, pasang surut, dan tsunami).
Menurut Thornbury (1969) secara garis besar proses geomorfik yang
membentuk rupa bumi terdiri dari proses eksogenetik (epigenetik), endogenetik
(hipogenetik), dan ekstraterestrial. Proses eksogenetik terjadi melalui proses
gradasi dan aktivitas organisme termasuk manusia. Proses gradasi dapat berupa
degradasi yang dapat terjadi melalui proses hancuran iklim (weathering
processes), gerakan massa (mass wasting), dan erosi. Proses gradasi dapat pula
terjadi melalui agradasi yang penyebabnya berupa air mengalir, air tanah,
gelombang air (laut atau danau), arus pasang surut, tsunami, gerakan angin dan
17
gletser. Proses endogenetik terjadi melalui diastrofisme dan volkanisme,
sedangkan proses ekstraterestrial terjadi melalui jatuhnya meteor.
Proses hancuran iklim dan erosi yang terjadi pada batuan memberikan
pengaruh yang berbeda-beda terhadap bentuk lahan, yang disebabkan oleh tiga
faktor utama, yaitu: kondisi iklim, jenis penyusun batuan, dan lamanya proses
pembentukan lahan tersebut (Desaunettes, 1975).
2.6.3. Sistem Klasifikasi Landform di Indonesia
Christian & Steward (1968) menggunakan pendekatan Landsystem.
Pendekatan ini dikembangkan di Australia dan di Indonesia pernah digunakan
oleh Departemen Transmigrasi pada tahun 1989 dalam proyek RePPProT. Sistem
klasifikasi ini menggunakan aspek geomorfologi, iklim dan penutupan lahan.
Desaunnetes (1977), dengan “Catalogue Landform for Indonesia” yang
menggunakan pendekatan fisiografik dan bentuk wilayah. Katalog ini digunakan
oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dalam penyusunan sistem klasifikasi
lahan untuk Proyek LREPP-I tahun 1985-1990.
Zuidam (1979) & Zuidam and Cancelado (1978) dengan metode “Terrain
Analysis” nya, menggunakan dasar geomorfologi disertai keadaan bentuk
wilayah, stratigrafi dan keadaan medan.
Buurman dan Balsem (1990) menggunakan pendekatan satuan lahan.
Sistem ini digunakan oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dalam
penyusunan sistem klasifikasi lahan untuk Proyek LREPP-I di Pulau Sumatra
tahun 1985-1990.
Marsoedi, et.al. (1997) menggunakan pendekatan proses geomorfik.
Sistem ini merupakan perbaikan sistem Desaunnetes dan Buurman & Balsem
dengan memperhatikan kondisi di Indonesia.
2.6.4. Klasifikasi Landform LREPP I
Land Resources Evaluation and Planning Project (LREPP I) adalah
kegiatan survei dan pemetaan tanah tingkat tinjau dengan skala 1 : 250.000 di
Pulau Sumatera. Pembagian landform dalam LREPP I ini, kategori paling tinggi
berupa grup-grup fisiografi yang pada dasarnya berdasarkan proses geomorfik.
18
Namun masih terdapat grup fisiografi yang masih tidak konsisten dalam
penamaannya, yaitu grup perbukitan, grup pegunungan, dan grup dataran, yang
menggunakan terminologi bentuk wilayah (relief). Di samping itu, karena sistem
ini digunakan khusus untuk Pulau Sumatera, maka muncul grup-grup fisiografi
khusus karena kekhasannya, yaitu: Grup dataran Tuff masam dan grup Tuff Toba
masam.
2.6.4.1. Landform Utama LREPP I
Grup Kubah Gambut (D), gambut ombrogen yang luas di daerah dataran
pantai, membentuk kubah setinggi 10 m atau lebih (di atas level batas permukaan
air sungai tertinggi), pada umumnya dipengaruhi oleh air dengan salinitas tinggi.
Bagian ini tidak termasuk kedalam bagian gambut topogen dengan level
permukaan hampir tidak cembung yang terjadi pada bagian rawa belakang. Grup
Aluvial dan daerah tersebut merupakan daerah yang mengalami banjir musiman
akibat posisi topografi daerah tersebut. Vegetasi khusus : hutan gambut.
Grup Aluvial (A), landform lain yang terkait dengan aktivitas danau
muda/recent, meandering dan sungai braiding, dan proses pengendapan akibat
kemiringan lereng (koluvium), tidak termasuk bagian-bagian di mana marin
berpengaruh dominan (tidak salin). Landform ini sebagian besar terdiri dari
dataran aluvial yang luas pada daerah pantai, lembah sungai pada daerah dataran
tinggi, endapan koluvial pada kipas aluvium dan foot slopes, endapan lakustrin,
dan teras sungai.
Grup Marin (B), landform recent dan subrecent lainnya yang terkait
dengan proses marin dan perimarin; lingkungan payau dan salin: punggung
pesisir, cekungan pesisir, rawa air asin, dataran lumpur, mangrove, endapan delta,
endapan estuarin, bukit pasir, terumbu karang. Grup ini bukan termasuk landform
yang berumur lebih tua, daerah dataran angkatan atau teras marin (pencucian
garam).
Grup Teras Marin (T), dataran pantai dan teras abrasi yang terangkat,
tererosi, dan tertoreh. Torehan landform, datar, horisontal, atau mempunyai
permukaan lereng yang halus. Landform ini mempunyai luas yang besar, pada
umumnya subsoil terdiri atas stratifikasi endapan marin atau hasil erosi batuan
19
yang lebih tua. Teras sungai dan teras lakustrin tidak termasuk ke dalam satuan
landform ini, akan tetapi termasuk ke dalam grup landform Aluvial.
Grup Dataran Tuff Masam (I), dataran luas yang terdiri atas akumulasi tuff
volkan masam dengan karakteristiknya, landform, dan tanah. Tuf masam utama
yang tergolong pada grup ini adalah formasi Palembang (QTpv, Tpp, Tmp)
pembentuk tuff Lampung (Qhv), tuff Ranau (Qrv), dan lain-lain. Tuff masam ini
juga dikenal dengan istilah “ Ignimbrites”, bagian dari tuff yang telah mengendap
di dalam lingkungan cekungan marin. Rhyolit Toba tidak termasuk ke dalam
bagian ini.
Grup Dataran (P), dataran lain yang tidak terbentuk dari bahan volkan
masam. Daerah-daerah yang mempunyai keseragaman lereng dengan kemiringan
kurang dari 16% dan amplitudo kurang dari 50 m, serta cakupannya sangat luas.
Bentang lahan tua; yang telah tererosi dan terpotong. Volkan muda, marin,
dataran aluvial, dan dataran karst tidak termasuk ke dalam grup landform ini.
Grup Tuff Toba Masam (Q), tuff masam yang berasal dari erupsi Toba
(Toba Rhyolite), mencakup ketinggian 0 – 2000 m. Pada umumnya panjang,
mempunyai derajat kemiringan lereng yang homogen, terdapat pada lembah-
lembah sungai, plateau. Akumulasi endapan tuff masam, kadang terlihat.
Grup Volkanik (V), landform lain yang berumur recent dan subrecent,
secara umum intermedier sampai mafik, aktivitas volkan. Stratovolkan dan hasil
erosi stratovolkan, aliran lava, plateau lava, lahar. Blok patahan volkan tidak
termasuk di dalamnya, dan subgrup ini tidak mencakup Rhyolit Toba.
Grup Karst (K), landform yang sebagian besar terbentuk oleh bahan
berkapur. Bentuknya secara umum tidak beraturan, pelarutan bahan kapur lunak
menimbulkan munculnya batu gamping yang keras yang tahan terhadap pelarutan
ke permukaan. Berlereng curam dan bentuknya berombak tidak beraturan
dibandingkan dengan bahan yang muncul secara horisontal. Pada batu gamping
yang keras, tanah pada umumnya tidak memiliki solum yang dalam, kecuali
terjadi pada lekukan-lekukan daerah tersebut. Pada umumnya tanah yang terdapat
pada landform ini mempunyai solum yang dangkal dengan ketebalan yang
beragam. Pada umumya terdapat jalur drainase yang tampak jelas.
20
Grup Perbukitan (H), landform yang terbentuk oleh proses erosi dan
orogenesa, terdiri dari bukit kecil dan perbukitan dengan amplitudo relief 10 – 50
m atau 50 – 300 m, dengan bahan induk yang bervariasi. Termasuk di dalamnya
yang diakibatkan oleh proses struktural.
Grup Pegunungan dan Plateau (M), gunung : area yang sangat luas dengan
amplitudo relief lebih dari 300 m. Rangkaian pegunungan, blok pegunungan.
Daerah ketinggian yang relatif datar, sedikit atau banyak tertoreh, dibatasi oleh
tebing yang terjal menuju daerah yang lebih rendah. Landform pegunungan akibat
proses volkanik baru dan Rhyolit Toba tidak termasuk ke dalam bagian ini.
Grup Aneka, landform lain yang tidak termasuk ke dalam salah satu grup
landform, dan bukan lahan pertanian atau pengaruh aktivitas manusia. Termasuk
ke dalam landform ini adalah lembah curam, kota, danau, tempat pembuangan
sampah akhir, dan lain-lain (Buurman dan Balsem, 1990).
2.6.5. Klasifikasi Landform LREPP II
Second Land Resource Evaluation and Planning Project (LREPP II)
adalah proyek kegiatan survei dan pemetaan tanah tingkat semi detil dengan skala
1:50.000 pada tahun 1992-1997 pada beberapa wilayah di Indonesia. Kegiatan
LREPP II ini merupakan lanjutan kegiatan LREPP I yang telah melaksanakan
kegiatan survei sumberdaya lahan tingkat tinjau skala 1:250.000 di Pulau
Sumatera. Sistem pambagian landform yang diterapkan oleh LREPP II ini
merupakan hasil perbaikan dari sistem landform LREPP I yang dinilai masih
kurang konsisten antara proses geomorfik dan relief.
Kategori paling tinggi dalam sistem landform LREPP II didasarkan pada
proses geomorfik utama, yaitu proses geomorfik karena gaya endogen/hipogen,
gaya eksogen/epigen, dan gaya ekstraterestrial. Kategori-kategori selanjutnya
didasarkan atas bentukan landformnya sendiri, relief, litologi, tingkat erosi atau
torehan, dan sebagainya (Marsoedi et al., 1997).
21
2.6.5.1. Landform Utama LREPP II
Grup Aluvial (A), landform muda (recent dan subrecent) yang terbentuk
dari proses fluvial (aktivitas sungai), koluvial (gravitasi), atau gabungan dari
proses fluvial dan koluvial.
Grup Marin (M), landform yang terbentuk dari proses marin, baik yang
bersifat konstruktif (pengendapan) maupun destruksi (abrasi). Daerah yang
terpengaruh air permukaan yang bersifat asin secara langsung ataupun daerah
pasang-surut tergolong dalam landform marin.
Grup Fluvio-Marin (B), landform yang terbentuk oleh gabungan dari
proses fluvial dan marin. Keberadaan landform ini dapat terbentuk pada
lingkungan laut (berupa delta) ataupun di muara sungai yang terpengaruh
langsung oleh aktivitas laut.
Grup Gambut (G), landform yang terbentuk di daerah rawa (baik rawa
pedalaman maupun maupun di daerah dataran pantai) dengan akumulasi bahan
organik yang cukup tebal. Landform ini dapat berupa kubah (dome) maupun
bukan kubah.
Grup Eolin (E), landform yang terbentuk oleh proses pengendapan bahan
halus (pasir, debu) yang terbawa angin.
Grup Karst (K), landform yang didominasi oleh bahan batu gamping keras
dan masif, pada umumnya keadaan topografi daerah tidak teratur. Landform ini
terbentuk terutama karena proses pelarutan bahan batuan penyusun, dengan
terjadinya antara lain : sungai di bawah tanah, gua-gua dengan stalaktit dan
stalagmit, sinkhole, doline, uvala, polje, dan tower karst.
Grup Volkanik (V), landform yang terbentuk karena aktivitas volkan atau
gunung berapi. Landform ini terutama dicirikan dengan adanya bantukan kerucut
volkan, aliran lahar, lava ataupun wilayah yang merupakan akumulasi bahan
volkanik.
Grup Tektonik dan Struktural (T), landform yang terbentuk sebagai akibat
dari proses tektonik (orogenesis dan epirogenesis) berupa proses angkatan,
lipatan, dan atau patahan. Umumnya Landform ini mempunyai bentukan yang
ditentukan oleh proses-proses tersebut dan karena sifat litologinya (struktural).
22
Grup Aneka (X), bentukan alam atau hasil kegiatan manusia yang tidak
termasuk dalam grup yang telah diuraikan di atas, misalnya : lahan rusak,
singkapan batuan, penambangan, penggalian, landslide, wilayah sangat berbatu,
dan lain-lain (Marsoedi et al., 1997).
2.6.6. Kerangka Acuan LREPP II
Tujuan utama dari kegiatan proyek LREPP II ini adalah pengembangan
kemampuan institusional dalam hal pengumpulan, penelitian, evaluasi, penyajian,
dan pengelolaan data sumberdaya lahan serta penggunaannya dalam proses
perencanaan fisik (Marsoedi et al., 1997).
Secara garis besar kerangka acuan pelaksanaan proyek LREPP II adalah
sebagai berikut :
Gambar 1. Diagram alir proses pemetaan LREPP II
Persiapan
Pengumpulan dan Evaluasi Data
- Peta Rupa Bumi 1: 50.000
- FU dan Citra Satelit
- Data Iklim
- Data Pendukung
Interpretasi Foto Udara
- Delineasi Landform
- Delineasi Land use &
Vegetasi
Prasurvei Laporan Persiapan
Survei Tanah Utama Pengamatan sifat
dan penyebaran
tanah
Analisa Tanah
- Fisik & Kimia
- Korelasi Tanah
Digitasi & Pencetakan Peta Tanah
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini merupakan studi pustaka dari hasil-hasil survei dan
pemetaan tanah LREPP II yang tersedia di arsip data base Balai Besar Litbang
Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Jl. Ir. H. Juanda No. 98 Bogor.
Penelitian dimulai dari bulan Agustus 2010 hingga Januari 2011.
3.2. Metode Penelitian
Secara garis besar penelitian ini dilakukan melalui 2 (dua) tahapan, yaitu:
tahap kompilasi dan tahap analisis data, dengan rincian masing-masing disajikan
pada Gambar 2.
3.2.1. Tahap Kompilasi Data
Kompilasi data dilakukan dari data base Balai Besar Sumberdaya Lahan
Pertanian. Data yang dikompilasi berasal dari hasil survei dan pemetaan Second
Land Resource Evaluaton And Planning Project (LREPP II) yang terdiri dari 4
jenis data, yaitu data site dan horizon (SH), data soil sample analysis (SSA),
plotting pengamatan lapang, peta tanah dan legenda (MU). Data LREPP II yang
digunakan meliputi 8 lokasi, yaitu: daerah Karawang (Jawa Barat), Semarang
(Jawa Tengah), Pangkalanbun (Kalimantan Tengah), Pacitan dan Gresik (Jawa
Timur), serta daerah Oesao, Besikama, dan Bena (Nusa Tenggara Timur).
Data SH terdiri atas: nama pemeta, nomor observasi, data iklim, landform,
bahan induk, elevasi, relief, kedalaman efektif, drainase, dan klasifikasi tanah
sampai kategori serie tanah menurut sistem USDA 2003. Data SSA terdiri atas:
nama pemeta, nomor observasi, kedalaman, simbol lapisan, warna tanah, tekstur
struktur, konsistensi, pH, KTK tanah, KTK liat, kejenuhan basa, kadar Ca, Mg, K,
Na, N, dan kadar C. Plotting pengamatan terdiri atas data yang mempunyai
referensi geografis. Sedangkan peta tanah berupa data spasial dan legenda.
Legenda peta terdiri atas: No SPT, klasifikasi tanah pada kategori seri & famili,
persen kemiringan lereng, bentuk wilayah, landform, bahan induk, dan luas.
24
Gambar 2. Diagram alir tahapan kerja dalam penelitian
Seleksi data dilakukan untuk memilih daerah lokasi survei LREPP II yang
memiliki data lengkap, yaitu data pedon yang mempunyai data SH, SSA, dan
plotting pengamatan lapang. Sedangkan data yang tidak lengkap dipisahkan dari
data yang akan dianalisis.
Database Tanah LREPP II
Database Daerah Terpilih
Landform KarakteristikKlasifikasi
Seleksi
Analisa - Uji Tabular - Analisis Statistik
Hasil Interpretasi Data - Konsistensi Landform Terhadap Jenis Tanah - Gambaran Keragaman Karakteristik & Klasifikasi Tanah - Pendugaan Karakteristik Tanah Penciri yang Sulit Diduga
Oleh Landform
Data Pedon Terpilih Terkoreksi
25
Koreksi data dilakukan untuk memeriksa unsur-unsur data yang sudah
terpilih melalui proses seleksi, untuk meminimalisir adanya kesalahan data yang
dapat diakibatkan oleh manusia ataupun akibat kesalahan pada tahap proses data.
Proses ini dilakukan terhadap data SH. Setelah melakukan over lay data plotting
pengamatan dengan data MU maka perlu koreksi terhadap landform dan bahan
induk tanah. Hal ini perlu dilakukan supaya data tersebut valid atau layak
digunakan sebagai bahan penelitian.
Setelah melalui tahap seleksi dan koreksi, tahap selanjutnya adalah tahap
crosschek data. Tahap ini bertujuan agar data tabular (SH & SSA) memiliki
hubungan data yang sinkron dengan data spasial (plotting pengamatan lapang)
sehingga kedua jenis data tersebut sudah benar-benar berada dalam satu kesatuan
sistem yang saling terkait, pedon terpilih untuk tahap ini merupakan pedon yang
sudah siap untuk dianalisis pada tahap selanjutnya. Jumlah pedon terpilih adalah
sebanyak 475 pedon.
3.2.2. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan 2 (dua) cara, yaitu: uji
tabular dan analisis statistik.
3.2.2.1. Uji Tabular
Uji tabular dilakukan dengan mensortir pedon berdasarkan satuan
landform sehingga dapat diketahui sebaran jenis tanah (Subgroup) pada suatu
landform beserta faktor-faktor pembedanya. Satuan unit landform adalah satuan
terendah dalam klasifikasi landform LREPP II yang tidak dapat dipisahkan lagi.
Faktor pembeda yang digunakan adalah bahan induk dan iklim. Uji tabular
bertujuan untuk mencari hubungan klasifikasi tanah (Subgroup) dengan landform,
dan analisisnya secara deskriptif.
Parameter bahan induk dibedakan berdasarkan jenis bahan induk dan umur
geologi pembentukannya yang mengacu pada kriteria bahan induk yang
digunakan dalam pemetaan LREPP I. Parameter bahan induk selengkapnya tersaji
pada Tabel 1.
26
Tabel 1. Parameter Bahan Induk No simbol Rincian 1 aK Kuarter andesit 2 akT Tersier andesit berkapur 3 aT Tersier andesit 4 bK Kuarter Basal 5 bT Tersier Basal 6 cT Tersier batu gamping 7 dK Kuarter liparit 8 dkT Tersier dasit berkapur 9 dT Tersier dasit 10 fK Kuarter endapan liat 11 fkT Tersier batu liat berkapur 12 fqK Kuarter endapan liat dan pasir 13 fqT Tersier batu liat dan batu pasir 14 fT Tersier batuliat 15 gT Tersier granit 16 kT Tersier batu kapur 17 oK Kuarter organik 18 qK Kuarter endapan pasit 19 qkT Tersier batu pasir berkapur 20 qT Tersier batupasir 21 tT Tersier skis 22 yT Tersier batu sabak
Parameter yang kedua adalah iklim, parameter iklim digunakan untuk
membedakan dan mengetahui sejauh mana proses perkembangan tanah kaitannya
terhadap iklim setempat. Iklim adalah sintesis atau kesimpulan dari perubahan
nilai-nilai unsur cuaca dalam jangka panjang di suatu tempat atau pada suatu
wilayah. Parameter iklim yang digunakan adalah curah hujan pertahun. Data iklim
(curah hujan) tersebut digolongkan kedalam 3 tipe iklim (Tabel 2). Dasar dari
pembeda iklim tersebut adalah perubahan sifat-sifat tanah terkait dengan dengan
kelembaban tanah (regim kelembaban tanah).
Tabel 2. Parameter Iklim Tipe Iklim CH (mm/th)
A ≥ 2000 B ≥ 1500 - 2000 C < 1500
3.2.2.2 Analisis Statistik
Untuk membandingkan keragaman antar karakteristik tanah penciri pada
masing-masing satuan landform serta untuk membandingkan keragaman internal
antar satuan landform dari satu karakteristik tanah penciri digunakan nilai
koefisien keragaman (KK) yang diperoleh dengan rumus sebagai berikut :
27
Adapun ͞x merupakan nilai rata-rata dari suatu karakteristik tanah penciri,
sedangkan s adalah simpangan baku yang dapat diperoleh dengan rumus :
S = √ ( xi2 – (xi
2) ) n
n - 1
Di mana,
x : nilai setiap contoh tanah dari suatu karakteristik tanah penciri
n : jumlah contoh/populasi setiap karakteristik tanah penciri
i : contoh ke-i (Steel dan Torris, 1982 dalam Baskoro, 1986)
Di bawah ini tabel kriteria pengklasifikasian keragaman tanah berdasarkan
nilai koefisien keragaman (Sitorus, 1983 dalam Baskoro, 1986).
Tabel 3. Kriteria Pengklasifikasian Keragaman Tanah Berdasarkan Nilai Koefisien Keragaman (Sitorus, 1983 dalam Baskoro, 1986)
Kelas Keragaman Koefisian Keragaman (%) Sangat rendah < 15
Rendah 16 – 33 Sedang 33 – 66 Tinggi > 66
Karakteristik tanah penciri yang dianalisis dengan menggunakan koefisien
keragaman (KK) adalah ketebalan solum, rasio perbandingan tekstur liat horison
A dan B, derajat kemasaman tanah (pH), C-organik, Kapasitas Tukar Kation
(KTK), KTK liat, dan Kejenuhan Basa (KB).
KK = ( s ) × 100% ͞x
28
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hubungan Keterkaitan antara Landform dan Klasifikasi Tanah
Data yang digunakan berasal dari 475 pedon yang tersebar di 8 lokasi,
yaitu: Karawang (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Pangkalan Bun
(Kalimantan Tengah), Pacitan dan Gresik (Jawa Timur), serta daerah Oesao,
Besikama, dan Bena (Nusa Tenggara Timur). Data pedon tersebut tersebar ke
dalam 6 landform utama menurut LREPP II, yaitu Aluvial (A), Fluvio-marin (B),
Karst (K), Marin (M), Tektonik (T), dan Volkan (V). Jumlah landform yang
dijumpai dari 6 landform utama tersebut sebanyak 64 landform (Tabel 4).
Landform merupakan suatu bentuk lahan yang disebabkan oleh proses
geomorfik tertentu. Oleh karena itu, setiap landform diharapkan memiliki suatu
hubungan keterkaitan dengan klasifikasi tanah yang terdapat di dalamnya.
Keterkaitan ini dapat ditinjau dengan melihat klasifikasi tanah pada masing-
masing kategori order yang dijumpai pada suatu delineasi landform utama
menurut LREPP II (Tabel 5).
Tabel 5, menunjukkan bahwa tanah yang terdapat dalam Landform utama
yang memiliki klasifikasi tanah paling beragam pada kategori order adalah adalah
landform tektonik & struktural, landform ini mempunyai jumlah kelas tanah yang
paling banyak. Dari semua kelas tanah yang dijumpai, hanya satu order tanah
saja tanah saja yang tidak dijumpai dalam landform ini yaitu order Andisol.
Landform tektonik & struktural merupakan landform dengan bahan induk yang
sangat beragam sehingga berimplikasi terhadap keberagaman klasifikasi tanah
yang dijumpai pada landform tersebut.
Landform aluvial mempunyai tanah yang lebih beragam dibandingkan
dengan landform lainnya yang dipengaruhi oleh air (fluvio-marin & marin). Hal
ini menunjukkan pada landform yang dipengaruhi oleh air, bahan endapan yang
diendapkan pada landform aluvial lebih beragam dibandingkan pada landform
fluvio-marin dan marin.
Order Ultisol dan Oxisol yang memiliki tingkat perkembangan tanah
lanjut, tidak dijumpai pada landform utama yang dipengaruhi oleh air (aluvial,
29
Tabel 4. Data Landform LREPP II yang Dianalisis No Landform Utama Landform Jumlah pedon 1 Aluvial (A) A.1.1.1 4 2 A.1.1.2.1 5 3 A.1.1.2.2 18 4 A.1.1.2.6 2 5 A.1.1.2.7 4 6 A.1.1.2.8 2 7 A.1.1.3 2 8 A.1.2 7 9 A.1.2.1 6 10 A.1.2.3 1 11 A.1.3 64 12 A.1.4 5 13 A.1.5 5 14 A.2 4 15 A.2.1.1 1 16 A.2.1.3 3 17 A.2.2 2 18 A.2.2.1 6 19 A.2.2.2 1 20 Fluvio-Marin (B) B.1.2 2 21 B.3 25 22 Karst (K) K.1.1 1 23 K.1.2 2 24 K.1.3 1 25 K.2 2 26 K.2.1 2 27 K.3 4 28 K.3.1 1 29 K.5 1 30 Marin (M) M.1.1 2 31 M.1.1.2 1 32 M.1.2 2 33 M.1.3 2 34 M.1.7 4 35 M.2.2 10 36 M.3 1 37 M.3.2 3 38 M.3.3 1 39 Tektonik & Struktural T.10.2 1 40 T.10.3 7 41 T.11.1 8 42 T.11.2 26 43 T.11.3 13 44 T.1.2 1 45 T.12.1 42 46 T.12.2 8 47 T.5.5 2 48 T.6.1 6 49 T.6.2 2 50 T.6.4 2 51 T.6.5 5 52 T.8 33 53 T.9.2.1 6 54 Volkanik (V) V.1.1.3 7 55 V.1.1.4 3 56 V.1.1.5 6 57 V.1.3 2 58 V.1.6 4 59 V.2.2 12 60 V.3.1 3 61 V.3.2 24 62 V.3.3 40 63 V.4 2 64 V.ngarai 1
Total Pedon 475
*Warna berbeda menunjukan perbedaan pada tingkat grup landform Cetak tebal merupakan jumlah pedon pewakil terbanyak pada setiap grup landform
30
Tabel 5. Klasifikasi Tanah yang Dijumpai pada Grup Landform LREPP II
Klasifikasi Tanah
Landform
Aluvial (A) Fluvio-Marin (B) Marin (M) Karst (K) Tektonik & Struktural (T) Volkanik (V)
Entisol √ √ √ √ √
Inceptisol √ √ √ √ √ √
Ultisol √ √
Vertisol √ √ √ √ √
Alfisol √ √
Mollisol √ √ √
Andisol √
Oxisol √ √
Spodosol √
fluvio-marin, & marin) dan pada landform karst. Kedua order tersebut hanya
dijumpai pada landform utama tektonik & struktural dan landform volkanik.
Secara umum order tanah yang paling banyak dijumpai pada setiap
landform utama adalah Inceptisol, diikuti oleh Entisol dan Vertisol. Banyaknya
Vertisol yang dijumpai pada penelitian ini adalah karena data yang digunakan
dalam penelitian ini berasal dari database LREPP II yang merupakan proyek
pemetaan pengembangan sumberdaya lahan di daerah Indonesia timur yang
memiliki perbedaan iklim basah dan iklim kering yang tegas. Sementara itu,
order lain yang paling sedikit dijumpai adalah order Andisol yang hanya dijumpai
pada landform volkanik dan order Spodosol yang hanya dijumpai pada landform
tektonik & struktural.
4.2. Gambaran Tingkat Homogenitas dan Heterogenitas Karakteristik dan
Klasifikasi Tanah pada Suatu Unit Landform
Landform yang dibahas pada subbab ini, adalah landform yang memiliki
jumlah data pedon paling banyak pada masing-masing landform utamanya (Tabel
4). Selain itu juga data spasial pedon tersebut diambil dari peta plotting titik
pengamatan tanah LREPP II Skala 1: 50.000 (Tabel 6).
Pada subbab pembahasan ini, klasifikasi tanah yang digunakan berasal dari
klasifikasi pedon tanah pewakil yang memiliki kelengkapan data lapang dan data
laboratorium, sehingga pada tampilan spasialnya, titik pengamatan tanah tersebut
31
Tabel 6. Lembar Peta Plotting Pengamatan Tanah LREPP II
Lokasi Luas (ha) Nama Lembar Peta Nomor Peta
Besikama 58.650 Sukabisikun 2406-51&23
Besikama 2406-13&14
Anametan 2406-42
Nauleu 2406-11&12
Bena Tanjung Ela 2305-64
Tanjung Ela 2405-43
Panite 2305-63
Oesao 64.300 Oesao 2305-53&54
Oesao 2306-21&22
Semarang 132.550 Tugu 1409-221
Semarang Utara 1409-222
Wedung 1409-313
Sayung 1409-311
Boja 1408-543
Pacitan 74.420 Tegal Ombo 1507-44
Pacitan 1507-43
Klesem 1507-41
Sudimoro 1507-42
Gresik 166.992 Paciran 1509-32
Karawang 132.450 Sukatani 1209-53
Jatisari 1209-61
Pedes 1209-54
Cikarang 1209-51
Pangkalan Bun 73.703 Pangkalan Banteng 1513-52
Mulyajadi 1513-24
Pangkalan Bun 1513-23
terlihat tidak sesuai dengan kerapatan yang seharusnya ditampilkan pada skala
tertentu. Tampilan spasial titik pengamatan sebenarnya menampilkan seluruh titik
pengamatan baik itu pengamatan pedon maupun pengamatan boring tanah. Oleh
karena itu, posisi titik pengamatan tanah (klasifikasi) pada tampilan spasial
subbab ini apabila dikaitkan dengan prinsip Satuan Peta Tanah, masih belum
dapat disimpulkan secara pasti.
32
4.2.1. Grup Landform Aluvial (A)
Bloom (1979) mendefinisikan bahwa aluvial adalah sedimen yang
diendapkan melalui aliran air dan mempunyai umur geologi yang relatif muda.
Sementara itu definisi landform aluvial menurut Marsoedi et al. (1997) adalah
landform muda (recent dan subrecent) yang terbentuk dari proses fluvial (aktivitas
sungai), koluvial (gravitasi), atau gabungan dari proses fluvial dan koluvial.
Menurut Gerrard (1980), tanah-tanah yang terdapat pada daerah aluvial
seringkali tergenang akibat terjadinya banjir berkala. Hal ini menyebabkan
terjadinya keberagaman tanah pada daerah aluvial ini. Akibat adanya genangan
air yang berkala terjadilah proses gleisasi pada tanah-tanah di daerah aluvial.
Tanah-tanah yang terdapat di daerah aluvial, pada umumnya memiliki tingkat
perkembangan dari fase tanah belum berkembang hingga fase tanah muda. Pada
daerah aluvial, akumulasi bahan organik sangatlah wajar, terutama pada bagian
backswamp yang merupakan daerah limpasan banjir sungai yang membawa bahan
material endapan.
Terdapat 19 landform yang termasuk dalam landform utama aluvial (Tabel
4). Landform yang memiliki jumlah pedon pewakil terbanyak pada landform
utama aluvial ini adalah landform A.1.3 dengan jumlah pedon pewakil sebanyak
64 pedon. Atas dasar hal tersebut, landform A.1.3 akan dibahas sebagai contoh
studi kasus gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan
klasifikasi tanah pada suatu unit landform aluvial.
Landform A.1.3 merupakan landform dataran aluvial. Dataran aluvial
adalah dataran luas yang terbentuk karena pengendapan bahan aluvial oleh air,
terdiri lumpur, pasir atau kerikil, umumnya termasuk agak tua (subrecent) dan
sungai yang membentuk wilayah ini sudah tidak jelas lagi (Marsoedi et al., 1997).
Tabel 7 menunjukkan sebaran landform A.1.3 beserta karakteristik tanah
pencirinya yang dijumpai pada beberapa lokasi survei LREPP II. Lokasi tersebut
adalah Karawang (Jabar), Pacitan & Gresik (Jatim), dan Besikama, Bena, Oesao
(NTT). Landform A.1.3 ini tersebar pada lokasi-lokasi yang mempunyai iklim
tipe A (CH≥2000 mm/th), tipe B (CH≥1500-2000 mm/th) dan tipe C (CH<1500
33
Tabel 7. Sebaran Landform A.1.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya
Data Site Tebal solum
avr clay Avr pH Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB lokasi ID Iklim BI+U Subgrup Relief (m dpl) A B A/B A B A B A B A B A B Jabar HS-219 A fK Aquic Eutrudepts n 22 170 54,00 57,25 0,94 6,00 6,78 1,68 0,63 34,59 33,85 64,06 59,24 86,00 96,75 Jabar HS-112 A fK Plinthic Endoaquepts n 14 140 39,00 50,25 0,78 5,00 4,85 1,15 0,41 24,65 18,75 63,21 37,43 73,00 48,00 Jabar AY-179 A fK Typic Endoaquepts n 12 79 50,00 45,50 1,10 5,00 5,13 1,42 0,41 28,79 25,88 57,58 56,91 70,00 69,25 Jateng DK-147 A fK Typic Ustorthents n 50 16 47,00 50,00 0,94 7,70 6,90 1,41 0,53 33,49 41,52 71,26 83,04 5,00 79,00 Jabar HJ-206 A fK Vertic Endoaquepts n 7 130 53,00 60,75 0,87 5,00 5,05 2,02 0,47 32,72 24,62 61,74 40,99 85,00 85,00 Jabar HJ-259 A fK Vertic Endoaquepts n 13 140 70,00 65,25 1,07 5,30 5,58 1,77 0,52 35,74 33,61 51,06 51,63 81,00 90,50 Jabar HJ-275 A fK Vertic Endoaquepts n 27 160 66,00 59,67 1,11 6,00 6,57 0,86 1,01 34,42 37,39 52,15 62,62 82,00 83,00 Jabar HS-126 A fK Vertic Endoaquepts n 16 150 49,00 62,50 0,78 6,70 6,73 0,68 0,81 39,72 37,28 81,06 59,95 75,00 90,00 Jabar HS-157 A fK Vertic Endoaquepts n 6 130 62,00 69,75 0,89 5,40 5,55 2,36 0,76 40,93 42,70 66,02 61,15 85,00 91,50 Jabar HS-187 A fK Vertic Endoaquepts n 19 170 69,00 63,75 1,08 5,20 6,18 0,89 0,79 38,05 36,29 55,14 56,96 63,00 82,50 Jabar HP-001 B fK Chromic Endoaquerts n 7 16 79,00 6,00 1,17 55,09 69,73 87,00 Jabar EA-062 B fK Vertic Endoaquepts n 7 150 76,00 70,20 1,08 5,30 6,22 2,08 0,63 49,00 45,09 64,47 66,85 76,00 89,20 Jabar EA-063 B fK Vertic Endoaquepts n 7 140 85,00 66,40 1,28 5,10 5,10 2,99 1,01 50,17 44,95 59,02 68,89 80,00 109,80 Jabar HP-002 B fK Vertic Endoaquepts n 6 160 67,00 61,20 1,09 5,30 6,28 1,55 0,36 26,46 33,63 39,49 55,27 99,00 104,20 Jabar SY-056 B fK Vertic Endoaquepts n 8 138 60,00 53,25 1,13 5,20 6,68 1,70 0,38 33,69 38,86 56,15 73,51 76,00 97,25 Jabar SY-121 B fK Vertic Endoaquepts n 6 135 82,00 72,60 1,13 5,30 5,84 2,20 0,76 44,51 39,33 54,28 55,23 79,00 115,00 Jabar SY-126 B fK Vertic Endoaquepts n 6 160 82,00 68,75 1,19 5,80 6,45 1,58 0,45 43,60 44,04 53,17 64,54 89,00 106,00 Oesao AK-054 C fK Aeric Endoaquepts n 10 155 13,50 34,90 0,39 7,80 8,08 3,57 1,07 24,14 24,13 178,81 73,51 100,00 100,00 Oesao AK-220 C fK Aeric Endoaquepts n 20 155 49,60 53,46 0,93 7,80 8,06 1,95 0,92 19,44 21,19 39,19 39,27 100,00 100,00 Gresik HI-076 C fK Aquic Eutrudepts n 28 140 53,00 79,25 0,67 7,70 7,30 0,78 0,83 31,36 50,20 59,17 63,28 106,00 98,75 Bena AK-222 C fK Aquic Haplustepts n 10 115 64,00 74,40 0,86 7,80 8,24 2,91 0,63 36,19 29,93 56,55 40,13 156,00 185,00 Besi CB-016 C fK Aquic Haplustepts n 5 100 18,00 39,33 0,46 8,70 8,63 0,80 0,70 20,83 24,46 115,72 63,18 259,00 231,33 Gresik BJ-125 C fK Chromic Endoaquerts n 10 20 81,00 75,80 1,07 7,50 7,48 1,04 0,57 49,35 46,89 60,93 61,76 107,00 119,00 Gresik EA-090 C fK Chromic Haplusterts n 15 135 84,00 77,80 1,08 7,30 7,52 0,78 0,35 47,80 43,29 56,90 55,53 94,00 91,00 Gresik SL-211 C fK Chromic Haplusterts n 10 175 77,00 77,67 0,99 7,50 7,77 0,57 0,59 56,20 46,09 72,77 59,91 112,00 132,33 Gresik TB-040 C fK Chromic Haplusterts n 20 100 56,00 72,25 0,78 8,00 8,20 0,74 0,17 39,36 45,94 70,29 63,78 108,00 109,75 Gresik AD-156 C fK Fluventic Eutrudepts n 20 155 73,00 73,33 1,00 7,60 7,67 0,71 0,68 46,14 48,29 63,23 65,67 156,00 133,00 Besi CB-030 C fK Fluventic Haplustepts n 10 62 49,00 31,50 1,56 7,80 8,05 1,60 0,68 30,73 22,12 62,71 75,64 184,00 256,50 Oesao TB-073 C fK Fluventic Haplustepts n 25 92 71,00 63,22 1,12 8,10 8,20 2,08 0,69 33,95 32,23 47,82 58,73 100,00 100,00 Oesao TB-186 C fK Fluventic Haplustepts n 13 67 35,70 12,80 2,79 7,90 8,20 2,40 0,75 23,93 11,88 67,03 197,01 100,00 100,00 Gresik SL-173 C fK Oxyaquic Haplustepts n 10 99 70,00 73,00 0,96 8,00 7,83 2,36 1,07 46,65 48,28 66,64 65,92 152,00 98,50 Gresik HP-083 C fK Typic Endoaquerts n 30 130 78,00 77,00 1,01 7,60 7,45 1,17 0,58 66,55 63,82 85,32 82,91 113,00 123,25 Gresik MS-133 C fK Typic Endoaquerts n 52 110 86,00 84,75 1,01 7,50 7,43 3,54 0,88 65,65 63,28 76,34 74,83 106,00 108,50 Gresik SM-070 C fK fK Typic Endoaquerts n 10 160 70,50 71,00 0,99 7,30 7,78 0,71 0,33 47,52 47,86 67,40 67,50 95,50 100,50 Gresik TN-046 C fK Typic Endoaquerts n 52 120 79,00 81,33 0,97 7,30 7,63 3,75 0,81 64,54 64,16 81,70 78,91 125,00 113,67 Besi AK-087 C fK Typic Haplustepts n 20 100 51,00 52,80 0,97 8,20 8,20 1,36 0,77 29,04 26,06 56,94 49,53 181,00 213,20 Oesao TB-023 C fK Typic Haplustepts n 25 150 66,00 58,00 1,14 7,80 8,22 1,77 0,75 43,93 40,19 66,56 71,38 100,00 100,00 Besi CB-010 C fK Typic Haplusterts n 20 55 55,00 49,00 1,12 8,00 8,15 1,53 0,64 51,73 39,24 94,05 79,83 96,00 145,50
34
Lanjutan Tabel 7
*Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B
Data Site Tebal solum
avr clay Avr pH Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB lokasi ID Iklim BI+U Subgrup Relief (m dpl) A B A/B A B A B A B A B A B Gresik MK-050 C fK Typic Haplusterts n 20 115 85,00 86,50 0,98 7,40 7,18 1,42 0,87 54,18 50,83 63,74 58,71 107,00 107,50 Oesao TB-056 C fK Typic Haplusterts n 25 170 82,00 82,40 1,00 8,30 8,92 0,87 0,75 53,40 52,67 65,12 63,95 100,00 100,00 Gresik AD-130 C fK Vertic Endoaquepts n 100 69 67,00 69,50 0,96 5,80 6,55 0,97 0,35 36,05 34,14 53,81 49,13 83,00 98,50 Gresik HI-041 C fK Vertic Endoaquepts n 30 88 56,00 61,00 0,92 7,80 7,08 0,64 0,42 39,07 39,73 69,77 65,39 104,00 92,50 Gresik HI-092 C fK Vertic Endoaquepts n 30 145 72,00 77,00 0,94 6,00 7,06 0,88 0,57 60,99 63,42 84,71 84,95 113,00 112,80 Gresik HP-037 C fK Vertic Endoaquepts n 17 95 81,00 73,25 1,11 7,20 7,40 1,12 1,25 51,03 45,01 63,00 63,38 160,00 166,75 Gresik MK-046 C fK Vertic Endoaquepts n 10 91 75,00 66,80 1,12 5,10 5,12 1,46 0,55 39,09 39,95 52,12 63,52 70,00 86,80 Oesao BP-030 C fK Vertic Endoaquepts n 12 100 84,00 64,60 1,30 7,80 8,10 1,88 0,75 52,65 42,68 62,68 65,63 100,00 100,00 Oesao TB-022 C fK Vertic Endoaquepts n 26 156 59,00 59,67 0,99 7,80 7,97 2,64 0,83 45,81 42,34 77,64 71,11 100,00 100,00 Gresik AR-054 C fK Vertic Haplustepts n 10 157 64,00 61,00 1,05 7,30 8,03 0,55 0,30 26,58 32,77 41,53 54,01 130,00 110,75 Gresik AR-153 C fK Vertic Haplustepts n 20 150 67,00 67,60 0,99 7,70 7,96 1,87 0,86 38,83 34,16 57,96 50,50 118,00 67,20 Gresik SL-172 C fK Vertic Haplustepts n 15 165 71,00 70,50 1,01 7,70 7,78 0,91 0,88 45,03 43,24 63,42 61,50 123,00 137,50 Oesao HN-005 C fK Vertic Haplustepts n 20 160 46,00 68,00 0,68 8,00 8,48 1,79 0,53 41,36 31,96 89,91 47,05 100,00 100,00 pacitan HR-257 B fqK Typic Endoaquepts n 10 125 59,00 59,00 1,00 6,00 5,70 0,66 0,50 37,77 41,17 64,02 69,69 93,00 96,50 Oesao BP-220 C fqK Aeric Endoaquepts n 5 99 67,30 42,77 1,57 7,80 8,23 1,76 0,44 28,50 19,01 42,35 44,67 100,00 100,00 Oesao TB-185 C fqK Aeric Endoaquepts n 14 56 37,90 17,05 2,22 8,00 8,20 2,18 0,59 24,92 12,95 65,75 77,08 100,00 100,00 Besi UY-097 C fqK Fluventic Haplustepts n 6 100 37,00 34,00 1,09 7,90 8,08 0,82 0,46 23,28 21,69 62,92 69,26 212,00 254,25 Besi YS-116 C fqK Fluventic Haplustepts n 10 97 49,00 48,67 1,01 7,30 7,67 2,23 0,54 35,65 24,79 72,76 52,06 137,00 213,00 Gresik HI-083 C fqK Fluventic Haplustepts n 30 74 17,00 31,25 0,54 5,50 6,70 0,54 0,16 11,75 20,20 69,12 89,54 57,00 76,75 Oesao AK-213 C fqK Fluventic Haplustepts n 60 160 63,50 59,32 1,07 8,00 8,23 1,69 0,74 30,59 33,80 48,17 57,18 100,00 93,41 Besi AK-013 C fqK Typic Haplustepts n 20 100 12,00 21,25 0,56 7,80 8,10 1,85 0,51 24,23 17,24 201,92 81,23 154,00 211,50 Gresik AR-150 C fqK Typic Haplusterts n 52 60 80,50 83,00 0,97 7,45 7,53 0,66 0,33 49,67 48,47 61,69 58,36 97,50 102,33 Gresik SG-087 C fqK Typic Haplusterts n 20 103 55,50 67,50 0,82 7,40 6,95 0,64 0,41 37,08 39,87 66,79 59,52 94,00 98,50 Gresik MS-100 C fqK Vertic Endoaquepts n 52 150 86,00 70,60 1,22 7,10 7,04 1,23 0,70 60,95 54,13 70,87 82,71 104,00 102,20 Gresik TN-071 C fqK Vertic Endoaquepts n 30 125 92,00 94,00 0,98 7,00 7,27 1,02 2,14 45,33 56,20 49,27 60,04 160,00 142,33 Oesao BP-029 C fqK Vertic Endoaquepts n 12 150 79,00 76,80 1,03 8,00 8,24 1,69 0,60 47,60 47,80 60,25 62,34 100,00 100,00
35
mm/th), dengan 2 bahan induk penyusun tanah yang dijumpai yaitu bahan induk
endapan liat kuarter (fK) yang bertekstur halus dan endapan liat & pasir kuarter
(fqK) yang bertekstur agak kasar. Seluruh landform A.1.3 yang dijumpai pada
lokasi-lokasi tersebut memiliki bentuk relief n (nearly flat) dengan slope 1-3 %.
Secara umum landform A.1.3 yang dijumpai berada pada daerah ketinggian <700
m dpl (dataran rendah).
Karakteristik tanah yang dijumpai pada landform ini, secara umum
memiliki kedalaman solum di atas 85 cm tergolong tebal (dalam). Tanah yang
memiliki sifat vertic dan fluventic pada landform ini cenderung memiliki
kandungan liat pada horison A lebih besar daripada horison B, sedangkan tanah
yang bersifat aquic kandungan liat pada horison A cenderung lebih kecil
dibanding pada horison B. Kondisi pH sangat berbeda terjadi pada tanah-tanah
yang beriklim basah dengan kering, pH 5-6 dapat dijumpai pada tanah-tanah yang
beriklim basah sedangkan tanah dengan pH 7-8 dijumpai di daerah yang beriklim
kering.
Klasifikasi tanah yang ditunjukkan pada Tabel 7 masih sangat beragam.
Keberagaman klasifikasi tanah tidak hanya terjadi pada tingkat subgroup dalam
order yang sama, keberagaman tanah juga dapat terjadi pada kategori order dalam
Landform A.1.3 ini. Hal ini dikarenakan di dalam landform A.1.3 ini unsur-unsur
pembentuk landform yang telah diuraikan sebelumnya (iklim & bahan induk)
masih beragam.
Sehubungan dengan masih adanya perbedaan unsur pembentuk landform
A.1.3, selanjutnya dilakukan pengelompokan klasifikasi tanah berdasarkan bahan
induk dan iklim yang terdapat pada landform A.1.3 ini (Tabel 8). Apabila
dikelompokan berdasarkan kategori Taksonomi, diketahui bahwa dalam delineasi
landform A.1.3 setelah dipisahkan lagi berdasarkan bahan induk dan iklimnya
masih dijumpai tanah dengan taksonomi yang sangat berbeda. Dengan demikian,
walaupun landform sudah dianggap homogen bahkan bahan induknya pun sudah
dianggap homogen pada kenyataanya klasifikasi tanah yang dijumpai masih
beragam.
36
Tabel 8. Pengelompokan Klasifikasi Tanah Berdasarkan Bahan induk dan Iklim pada Landform A.1.3
BI+Umur Iklim Order Suborder Great Grup Subgrup fK A Entisol Orthent Usthorthent Typic Ustorthents
Inceptisol Udept Eutrudept Aquic Eutrudepts Aquept Endoaquept Typic Endoaquepts
Vertic Endoaquepts Plinthic Endoaquepts
B Inceptisol Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts
Vertisol Aquert Endoaquert Chromic Endoaquerts C Inceptisol Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts
Vertic Endoaquepts Udept Eutrudept Aquic Eutrudepts
Fluventic Eutrudepts Ustep Haplustept Aquic Haplustepts
Oxyaquic Haplustepts Vertic Haplustepts Fluventic Haplustepts Typic Haplustepts
Vertisol Aquert Endoaquert Chromic Endoaquerts Ustert Haplustert Typic Endoaquerts
Chromic Haplusterts Typic Haplusterts
fqK B Inceptisol Aquept Endoaquept Typic Endoaquepts
C Inceptisol Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Vertic Endoaquepts
Ustep Haplustept Fluventic Haplustepts Typic Haplustepts
Vertisol Ustert Haplustert Typic Haplusterts
Gambar 3 memperlihatkan sebaran landform A.1.3 di daerah Karawang.
Pedon pewakil yang terdapat pada landform ini sebarannya terpusat pada bagian
barat (kotak merah) dan timur (kotak biru). Kotak merah memperlihatkan
sebaran klasifikasi pedon tanah di bagian barat daerah Karawang (Gambar 4),
sedangkan kotak biru memperlihatkan sebaran klasifikasi pedon tanah di bagian
timur daerah Karawang (Gambar 5).
Gambar 4 memperlihatkan posisi pedon pewakil yang dijumpai pada
landform A.1.3 daerah Karawang bagian barat. Dari gambar tersebut, terlihat
beberapa pedon yang menggerombol. Berdasarkan klasifikasinya (Tabel 9), tanah
yang terdapat pada wilayah tersebut didominasi oleh greatgroup Endoaquept,
walaupun keragaman klasifikasi tanah pada kategori subgrup masih terlihat tinggi.
37
Gambar 3. Sebaran landform A.1.3 daerah Karawang - Jawa Barat
Gambar 4. Sebaran pedon tanah pewakil pada landform A.1.3 Karawang – Jabar (Kotak Merah)
38
Tabel 9. Klasifikasi Tanah pada Masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Karawang Bagian Barat
Pedon Order Subgrup Kode HP 001 Vertisol Chromic Endoaquerts * HS 112 Inceptisol Plinthic Endoaquepts *** AY 179 Inceptisol Typic Endoaquepts **** SY 121 Inceptisol Vertic Endoaquepts * SY 126 Inceptisol Vertic Endoaquepts * EA 063 Inceptisol Vertic Endoaquepts * EA 062 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HP 002 Inceptisol Vertic Endoaquepts * SY 056 Inceptisol Vertic Endoaquepts **
Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama
Tabel 9 memperlihatkan bahwa hampir seluruh klasifikasi tanah yang
dijumpai di daerah Karawang bagian barat didominasi oleh order Inceptisol.
Selain order Inceptisol terdapat juga satu pedon yang memiliki order Vertisol (HP
001). Pedon HP 001 yang memiliki order Vertisol letaknya berada pada poligon
landform yang sama dengan 5 pedon lain yang memiliki order Inceptisol dengan
subgrup Vertic Endoaquepts (SY 121, SY 126, EA 063, EA 062, dan HP 002).
Hal tersebut menunjukkan bahwa order berbeda bisa berada pada poligon
yang sama (HP 001 yang merupakan order Vertisol dengan SY 121, SY 126, EA
063, EA 062, dan HP 002 yang merupakan order Inceptisol). Sebaliknya pada
order yang sama dengan subgroup yang sama bisa berada pada poligon yang
berbeda. Dilihat dari posisinya pedon HP 001 dengan order Vertisol terletak satu
poligon dengan 5 poligon lain yang memiliki order Inceptisol. Untuk
menyimpulkan dalam penarikan batas SPT diperlukan delineasi lebih lanjut
dengan data-data boring yang mendukung guna menentukan apakah pedon
tersebut merupakan SPT asosiasi ataukah SPT inklusi.
Gambar 5 memperlihatkan sejumlah pedon yang bergerombol pada daerah
Karawang bagian timur. Klasifikasi tanah pada pedon yang dijumpai di daerah ini
seluruhnya didominasi oleh order Inceptisol (Tabel 10). Tabel 10 menunjukkan
bahwa terdapat 2 subgroup tanah yang dijumpai yaitu Vertic Endoaquepts dan
Aquic Eutrudepts, semua pedonnya berada dalam satu poligon yang sama
(Gambar 5).
39
Gambar 5. Sebaran pedon tanah pada landform A.1.3 Karawang – Jabar (Kotak Biru)
Tabel 10. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di A.1.3 Karawang Bagian Timur
Pedon Order Subgrup Kode HS 157 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HJ 206 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HJ 259 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HS 126 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HS 187 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HJ 275 Inceptisol Vertic Endoaquepts * HS 219 Inceptisol Aquic Eutrudepts *
Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama
Subgroup Vertic Endoaquepts sangat dominan pada poligon ini. Menurut
prinsip SPT dalam kasus ini, pedon dengan subgroup Aquic Eutrudepts dapat
dikatakan sebagai tanah inklusi. Hal ini karena posisi pedon tersebut terletak
diantara pedon-pedon lain dengan subgroup yang relatif seragam (Vertic
Endoaquepts). Meskipun demikian, di daerah ini regim kelembaban aquic muncul
pada kategori pembentuk suborder dan subgroup yang menandakan pengaruh air
yang cukup dominan terjadi pada intensitas yang berbeda sehingga menghasilkan
klasifikasi tanah yang berbeda pada landform ini. Hal ini berarti pada landform
40
yang telah didelineasi homogen masih dapat dijumpai proses pembentukan tanah
dengan intensitas yang tidak homogen.
Selain di daerah Karawang, landform A.1.3 dengan jumlah pedon yang
banyak dijumpai di daerah Gresik Jawa Timur. Sebaran pedon yang terlihat
menggerombol dijumpai di daerah Gresik bagian barat (Gambar 6). Jumlah pedon
yang dijumpai dalam delineasi landform A.1.3 di daerah Gresik bagian barat
berjumlah 16 pedon yang didominasi oleh 2 order tanah yaitu order Inceptisol
dan order Vertisol (Tabel 11).
Gambar 6. Sebaran landform A.1.3 daerah Gresik - Jawa Timur
Gambar 7 memperlihatkan pedon-pedon yang dijumpai pada daerah
tersebut posisinya tersebar pada beberapa poligon landform yang berbeda,
walaupun ada beberapa pedon yang berada dalam satu poligon landform. Pada
suatu poligon landform A.1.3 yang di dalamnya terdapat pedon HI 092, HI 083,
41
HI 076, & MS 100 seluruhnya didominasi oleh order Inceptisol walaupun masih
terdapat keragaman pada tingkat subgroupnya.
Pada poligon lain yang didalamnya terdapat pedon AR 153, MK 050, MS
133, HP 083, EA 090, & AR 150 hampir seluruhnya didominasi oleh order
Vertisol walaupun masih terdapat keragaman pada tingkat subgroupnya. pedon
AR 153 merupakan subgroup Vertic Haplustepts (order Inceptisol) yang berada
pada satu poligon dengan MK 050 yang merupakan subgroup Typic Haplusterts
(order Vertisol). Jadi di dalam satu poligon, masih dijumpai kelas tanah yang
berbeda pada tingkat order (Vertisol dan Inceptisol) walaupun keduanya memiliki
karakteristik yang berdekatan (sama-sama memiliki sifat vertic). Namun
demikian, sifat vertic yang terdapat pada pedon AR 153 tidak terlalu kuat
sehingga masih belum termasuk ke dalam order Vertisol.
Gambar 7. Sebaran pedon tanah pada landform A.1.3 Gresik - Jawa Timur
(Kotak Merah) Daerah di mana pedon AD 130 dengan subgroup Vertic Endoaquepts
ditemukan menandakan bahwa terdapat sifat aquic yang dominan pada daerah
tersebut. Sementara pada daerah di mana ditemukannya pedon AR 153 dan MK
050 cenderung lebih kering dibandingkan dengan daerah di mana pedon pertama
42
dijumpai. Walaupun demikian, terdapat juga pedon dengan klasifikasi yang sama
tetapi berada pada poligon yang berbeda.
Tabel 11. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di A.1.3
Gresik - Jatim Pedon Order Subgrup Kode HI 076 Inceptisol Aquic Eutrudepts 1* HI 083 Inceptisol Fluventic Haplustepts 1* SL 173 Inceptisol Oxyaquic Haplustepts 8* AD 130 Inceptisol Vertic Endoaquepts 9* HI 092 Inceptisol Vertic Endoaquepts 1* MS 100 Inceptisol Vertic Endoaquepts 1* MK 046 Inceptisol Vertic Endoaquepts 5* TN 071 Inceptisol Vertic Endoaquepts 4* SL 172 Inceptisol Vertic Haplustepts 7* AR 153 Inceptisol Vertic Haplustepts 2* EA 090 Vertisol Chromic Haplusterts 3* MS 133 Vertisol Typic Endoaquerts 2* HP 083 Vertisol Typic Endoaquerts 2* TN 046 Vertisol Typic Endoaquerts 6* AR 150 Vertisol Typic Haplusterts 3* MK 050 Vertisol Typic Haplusterts 2*
Angka bertanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama
Untuk lebih memperjelas kondisi landform A.1.3 yang sebelumnya telah
diuraikan, Gambar 8, 9, dan 10 menyajikan sebaran klasifikasi yang terdapat pada
landform A.1.3 ini. Gambar 8 memperlihatkan bahwa pedon yang dijumpai
didominasi oleh order Inceptisol yang memiliki kelembaban aquik di mana letak
pedon tersebut dapat dijumpai dalam poligon yang sama maupun poligon yang
berbeda, meskipun pada daerah ini terdapat satu pedon Vertisol dengan regim
kelembaban aquic juga. Hal ini menunjukkan bahwa dalam satu poligon masih
terdapat perbedaan klasifikasi tanah.
Intensitas kerapatan posisi pedon tampak masih belum dapat memutuskan
apakah SPT di mana terdapatnya tanah dengan order Vertisol termasuk kedalam
SPT inklusi ataukah SPT asosiasi. Dengan demikian, besar kemungkinan poligon
tersebut masih dapat didelineasi kembali dengan menambah titik-titik pengamatan
sebagai dasar acuan pengambilan keputusan.
43
Gambar 8. Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 bagian barat Karawang – Jabar
Gambar 9. Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 bagian timur Karawang - Jabar
44
Gambar 9 memperlihatkan bahwa pedon yang terdapat pada daerah
tersebut sudah relatif homogen meskipun letaknya tidak berada dalam satu
poligon yang sama, di daerah ini juga muncul satu pedon yang karakteristiknya
berbeda walaupun berada dalam order tanah yang sama yaitu Vertic Endoaquepts
dengan Aquic Eutrudepts.
Gambar 10. Sebaran klasifikasi tanah pada landform A.1.3 Gresik - Jatim
Gambar 10 memperlihatkan bahwa dalam suatu delineasi landform A.1.3
(warna hijau tua) terdapat beberapa keragaman klasifikasi tanah. Keragaman
klasifikasi tanah tersebut meskipun terjadi perbedaan pada tingkat order, jika
dilihat dari sifat-sifatnya tidak jauh berbeda. Order tanah yang dimaksud adalah
Vertisol dan Inceptisol yang memiliki sifat vertik. Uraian diatas menunjukkan
bahwa delineasi landform ke dalam A.1.3 tidak berarti mendelineasi satuan tanah
yang terdapat dalam delineasi landform A.1.3 tersebut.
Berdasarkan prinsip SPT, pada kasus landform A.1.3 ini masih belum
dapat menyatakan bahwa perbedaan klasifikasi tanah dapat dinyatakan sebagai
45
suatu asosiasi, konsosiasi, ataupun inklusi, karena jika diamati dari segi intensitas
titik pengamatannya masih sangat sedikit dan tidak cukup mewakili. Hal ini
menunjukkan bahwa pada landform aluvial A.1.3 ini jika pengamatan kurang
maka dapat dijumpai keragaman klasifikasi tanah seperti ini.
4.2.2. Grup Landform Fluvio-Marin (B)
Landform fluvio-marin adalah landform yang terbentuk oleh gabungan
dari proses fluvial dan marin. Keberadaan landform ini dapat terbentuk pada
lingkungan laut (delta) ataupun di muara sungai yang terpengaruh langsung oleh
aktivitas laut (Marsoedi et al., 1997). Terdapat 2 landform yang termasuk dalam
landform utama fluvio-marin (Tabel 4).
Satuan landform B.3 dengan jumlah pedon pewakil sebanyak 25 pedon
merupakan unit landform yang memilki pedon pewakil terbanyak pada landform
fluvio-marin ini. Atas dasar tersebut, landform B.3 menjadi contoh studi kasus
gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi
tanah pada suatu unit landform fluvio-marin. Landform B.3 merupakan landform
“dataran fluvio-marin”. Dataran fluvio-marin adalah wilayah yang berasal dari
endapan marin yang saat ini terletak/posisinya relatif sudah jauh dari asal
pembentukannya dan sudah banyak dipengaruhi oleh bahan fluvial (Marsoedi et
al., 1997).
Tabel 12 menunjukkan sebaran landform B.3 beserta karakteristik tanah
pencirinya yang dijumpai pada beberapa lokasi survei LREPP II, yaitu Besikama,
Bena, & Oesao (NTT), serta daerah Karawang (Jabar). Landform B.3 ini tersebar
pada lokasi-lokasi yang mempunyai iklim tipe A (CH≥2000 mm/th), tipe B
(CH≥1500-2000 mm/th) dan tipe C (CH<1500 mm/th), dengan 2 bahan induk
penyusun tanah yang dijumpai yaitu bahan induk endapan liat kuarter (fK) yang
bertekstur halus dan endapan liat & pasir kuarter (fqK) yang bertekstur agak
kasar. Seluruh landform B.3 yang dijumpai memiliki bentuk relief n (nearly flat)
dengan slope 1-3 %.
Berdasarkan karakteristik kimia tanah-tanah yang dijumpai tebal solum
yang sangat bervariasi mulai dari ketebalan 15 - 165 cm (dangkal-sangat dalam).
46
Tabel 12. Sebaran Landform B.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya Data Site Tebal avr clay Avr pH Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB
lokasi ID Iklim Bi+umur Subgrup Relief m dpl Solum A B A/B A B A B A B A B A B
Jabar BK 006 A fK Vertic Endoaquepts n 4 165 69,00 61,80 1,12 4,80 5,06 1,99 0,58 39,73 38,64 57,58 67,42 76,00 79,80
Jabar ER 345 B fK Aeric Endoaquepts n 5 102 66,00 55,25 1,19 6,10 6,33 1,76 0,91 37,92 36,93 57,45 68,15 88,00 92,25
Jabar SY 060 B fK Sulfic Endoaquepts n 5 113 84,00 70,25 1,20 5,30 4,30 2,52 1,32 52,38 44,51 62,36 65,34 82,00 84,75
Jabar HJ 020 B fK Typic Endoaquepts n 3 150 50,00 50,00 1,00 5,60 6,78 1,57 0,44 32,63 37,26 65,26 74,94 59,00 83,50
Jabar SY 118 B fK Typic Endoaquepts n 6 75 45,00 28,33 1,59 6,20 7,63 1,64 0,33 35,74 34,70 79,42 128,38 94,00 104,67
Jabar EA 041 B fK Typic Endofluvents n 5 17 28,00 6,50 0,53 29,57 105,61 93,00
Jabar EA 052 B fK Vertic Endoaquepts n 5 150 66,00 65,60 1,01 5,40 5,72 1,96 0,54 39,92 40,95 60,48 62,68 82,00 99,60
Jabar ER 002 B fK Vertic Endoaquepts n 4 95 57,00 57,75 0,99 6,40 7,38 1,74 0,36 42,06 42,46 73,79 77,14 70,00 81,00
Jabar ER 106 B fK Vertic Endoaquepts n 3 72 70,00 58,33 1,20 6,20 7,17 1,30 0,56 46,50 48,09 66,43 83,13 97,00 107,00
Jabar HJ 057 B fK Vertic Endoaquepts n 6 147 42,00 47,50 0,88 5,10 5,95 1,98 0,50 38,92 40,37 92,67 86,37 96,00 90,50
Oesao AK 101 C fK Aeric Endoaquepts n 10 160 48,10 42,20 1,14 8,90 8,75 1,62 0,85 29,83 26,22 62,02 63,07 100,00 100,00
Besi US 087 C fK Aquic Haplustepts n 3 100 40,00 35,00 1,14 7,40 9,37 1,83 0,34 25,21 19,17 63,03 57,04 238,00 278,33
Oesao HN 004 C fK Fluventic Haplustepts n 5 165 59,00 57,75 1,02 7,90 8,25 1,71 0,39 41,18 26,64 69,80 47,27 100,00 100,00
Besi CB 006 C fK Sodic Endoaquerts n 10 125 32,00 40,50 0,79 9,40 9,68 1,05 0,29 31,97 37,06 99,91 97,38 161,00 179,50
Besi HN 003 C fK Sodic Haplusterts n 15 68 69,00 67,00 1,03 8,00 8,40 2,38 0,61 45,98 30,50 66,64 45,52 118,00 213,00
Bena RR 280 C fK Sodic Haplusterts n 10 160 89,00 90,75 0,98 7,80 7,98 1,76 0,77 39,30 41,83 44,16 46,17 175,00 203,00
Bena RR 214 C fK Typic Endoaquepts n 10 53 64,00 57,50 1,11 8,00 8,15 1,10 0,77 29,52 24,84 46,13 44,00 199,00 222,50
Besi MY 006 C fK Typic Haplustepts n 4 150 35,50 44,75 0,79 7,80 8,15 0,98 0,40 29,56 29,34 83,37 65,75 161,50 202,50
Besi UY 115 C fK Typic Haplusterts n 4 89 63,00 53,67 1,17 7,50 7,77 1,22 0,76 36,17 36,99 57,41 87,25 186,00 179,33
Jabar AY 021 C fK Vertic Endoaquepts n 6 36 82,00 79,00 1,04 6,40 5,50 0,46 1,21 48,44 46,56 59,07 58,94 90,00 84,00
Oesao AK 017 C fK Vertic Endoaquepts n 10 155 65,00 69,50 0,94 8,10 8,18 1,62 0,78 44,54 45,73 68,52 65,81 100,00 100,00
Oesao AK 019 C fK Vertic Endoaquepts n 5 156 83,00 83,25 1,00 8,60 8,30 1,01 0,62 52,37 50,02 63,10 60,04 100,00 100,00
Jabar HS 101 B fqK Typic Endoaquents n 3 15 40,00 5,70 5,13 36,76 91,90 129,00
Besi AK 091 C fqK Aquic Haplustepts n 3 100 30,00 23,20 1,29 6,80 7,54 1,34 0,27 34,84 17,59 116,13 91,08 111,00 305,80
Bena US 215 C fqK Fluventic Haplustepts n 5 100 28,00 20,00 1,40 7,85 8,17 1,67 0,70 18,47 13,56 65,97 72,89 223,00 319,00
*Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B
47
Perbandingan liat antara horison A dan B menunjukkan bahwa klasifikasi tanah
yang dijumpai pada landform ini merupakan tanah pada tingkat perkembangan
muda dan baru berkembang. Hal ini disebabkan karena hampir semua kelas tanah
mempunyai nilai rasio liat >1 yang menandakan bahwa kadar liat pada horison A
lebih besar daripada horison B. Kandungan C-organik pada kelas tanah yang
dijumpai secara umum pada horison A memiliki nilai < 2% sedangkan pada
horison B < 1%. Sementara itu, nilai kejenuhan basa secara umum > 35% yang
menandakan tanah-tanah pada landform B.3 ini memiliki nilai KB yang tinggi.
Secara umum landform B.3 yang dijumpai berada pada daerah dataran
rendah (<700 m dpl). Tingkat keragaman klasifikasi tanah yang ditunjukkan
dalam Tabel 12 masih sangat tinggi, selanjutnya dilakukan pengelompokan
klasifikasi tanah berdasarkan bahan induk dan iklim yang terdapat dalam delineasi
landform B.3 ini (Tabel 13).
Tabel 13. Pengelompokan Klasifikasi Tanah berdasarkan Bahan Induk dan Iklim pada Landform B.3
BI+Umur Iklim Order Suborder Great Grup Subgrup fK A Inceptisol Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts
B Entisol Fluvent Endofluvent Typic Endofluvents Inceptisol Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts
Sulfic Endoaquepts Typic Endoaquepts Vertic Endoaquepts
C Inceptisol Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Typic Endoaquepts Vertic Endoaquepts
Ustept Haplustept Aquic Haplustepts Fluventic Haplustepts Typic Haplustepts
Vertisol Aquert Endoaquert Sodic Endoaquerts Ustert Haplustert Sodic Haplusterts
Typic Haplusterts fqK B Entisol Aquent Endoaquent Typic Endoaquents
C Inceptisol Ustept Haplustept Aquic Haplustepts Fluventic Haplustepts
Setelah dikelompokan, terdapat 3 order tanah yang dijumpai, yaitu
Entisol, Inceptisol, dan Vertisol, sehingga diketahui bahwa dalam delineasi
landform B.3 yang dipisahkan kembali berdasarkan bahan induk dan iklim yang
homogen, masih dijumpai klasifikasi tanah yang sangat berbeda.
48
Gambar 11. Sebaran landform B.3 daerah Karawang – Jabar
Gambar 12. Sebaran pedon tanah pada landform B.3 Karawang – Jabar (Perbesaran pada Gambar 11)
49
Gambar 11 memperlihatkan sebaran landform B.3 di daerah Karawang.
Sebaran pedon tanah pewakil pada landform ini terpusat di bagian utara daerah
lokasi survei (kotak merah). Kotak merah memperlihatkan sebaran pedon
(klasifikasi) tanah pada bagian utara Karawang (Gambar 12).
Gambar 12, memperlihatkan posisi pedon pewakil yang dijumpai pada
landform B.3 daerah Karawang sebelah utara. Dari gambar tersebut terlihat
beberapa pedon yang menggerombol. Berdasarkan klasifikasinya, tanah yang
terdapat pada wilayah tersebut didominasi oleh order Inceptisol dengan
greatgroup Endoaquept, walaupun keragaman klasifikasi tanah pada tingkat
subgroup masih terlihat beragam (Tabel 14).
Tabel 14. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di B.3 Karawang - Jabar
Pedon Order Subgrup Kode ER 345 Inceptisol Aeric Endoaquepts * SY 060 Inceptisol Sulfic Endoaquepts ** HJ 020 Inceptisol Typic Endoaquepts ** SY 118 Inceptisol Typic Endoaquepts ** BK 006 Inceptisol Vertic Endoaquepts ** EA 052 Inceptisol Vertic Endoaquepts ** ER 002 Inceptisol Vertic Endoaquepts ** ER 106 Inceptisol Vertic Endoaquepts ** HJ 057 Inceptisol Vertic Endoaquepts ** AY 021 Inceptisol Vertic Endoaquepts ** HS 101 Entisol Typic Endoaquents ** EA 041 Entisol Typic Endofluvents **
Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama
Tabel 14 menunjukkan klasifikasi tanah yang dijumpai pada landform B.3
daerah Karawang utara termasuk dalam kategori tanah muda (Entisol) dan tanah
baru berkembang (Inceptisol). Sekitar 80% tanah yang dijumpai di daerah ini
didominasi order Inceptisol dengan greatgroup Endoaquepts. Kondisi tanah pada
landform B.3 di daerah ini sangat dipengaruhi oleh air, terbukti dengan
munculnya regim kelembaban aquic dan fluventic pada kategori pembentuk
greatgroup.
Hampir semua pedon yang dijumpai di daerah ini letaknya berada dalam
satu poligon landform yang sama, walaupun terdapat beberapa pedon yang
letaknya tidak berada dalam satu poligon. Pedon-pedon yang dijumpai dalam
delineasi landform B.3 daerah ini hampir semua klasifikasinya menunjukkan sifat-
50
sifat aquic pada kategori greatgroup. Kemungkinan dijumpainya pedon dengan
order Entisol jika merujuk pada definisi landform B.3 dapat saja dijumpai. Akan
tetapi kondisi seperti ini yang dijumpai hanya sebagian kecil. Sehingga dalam
landform B.3 ini masih terdapat keragaman terutama pada karakteristik bahan
yang diendapkan. Keragaman bahan yang diendapkan tersebut secara tidak
langsung mempengaruhi pula pada tingkat perkembangan tanah yang dijumpai
pada landform ini.
Pada daerah tertentu yang iklimnya sedikit kering dan perbedaan iklimnya
tegas dapat dijumpai juga pedon-pedon tanah yang tidak dipengaruhi oleh air.
Karakteristik tanahnya memiliki sifat rekahan seperti jenis tanah dengan order
Vertisol. Pedon-pedon tanah yang dijumpai dalam delineasi landform B.3 hampir
seluruhnya dipengaruhi oleh regim kelembaban aquic, walaupun dari segi
klasifikasinya sifat tersebut muncul pada kategori greatgroup dan ada juga yang
Gambar 13. Sebaran klasifikasi tanah pada landform B.3 Karawang – Jabar
51
muncul pada kategori subgroup. Hal ini tidak dapat diprediksi dari homogenitas
landform.
Gambar 13 menyajikan sebaran pedon berikut klasifikasi yang terdapat
pada landform B.3 (warna biru kelabu). Gambar tersebut memperlihatkan bahwa
pedon yang dijumpai di bagian utara Karawang didominasi oleh order Inceptisol
yang memiliki kelembaban aquic dan letak pedonnya dijumpai dalam poligon
yang berbeda. Meskipun demikian, pada daerah ini terdapat 2 pedon dengan order
Entisol yang hanya dijumpai pada sebagian kecil saja landform B.3 daerah
Karawang bagian utara. Hasil uraian tersebut, dapat diketahui bahwa delineasi
landform kedalam landform B.3 tidak sertamerta dapat mendelineasi satuan tanah
yang terdapat dalam satuan landform B.3.
4.2.3. Grup Landform Karst (K)
Menurut Bloom (1979) karst adalah bentuk permukaan bumi yang
terbentuk akibat adanya proses pelarutan batuan yang melibatkan air sebagai
pelarut alaminya. Karst juga didefinisikan sebagai bentang lahan yang kering, di
mana proses drainase lebih dominan terjadi di bawah permukaan tanah dari pada
terjadi pada permukaan bumi.
Landform karst menurut Marsoedi et al. (1997) adalah landform yang
didominasi oleh bahan batu gamping keras dan masif, pada umumnya keadaan
topografi daerah tidak teratur. Landform ini terbentuk terutama karena proses
pelarutan bahan batuan penyusun, dengan terjadinya antara lain : sungai di bawah
tanah, gua-gua dengan stalaktit dan stalagmit, sinkhole, doline, uvala, polje, dan
tower karst.
Terdapat 8 satuan landform yang termasuk ke dalam landform karst (Tabel
4). Landform K.3 merupakan unit landform karst yang memiliki pedon pewakil
terbanyak dengan jumlah pedon sebanyak 4 pedon. Atas dasar tersebut,
landform K.3 menjadi contoh studi kasus gambaran tingkat homogenitas dan
heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada landform karst.
52
Tabel 15. Sebaran Landform K.3 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya
Data Site Tebal avr clay Avr pH Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB
lokasi ID Iklim Bi+umur Subgrup Relief m dpl Solum A B A/B A B A B A B A B A B
Besi AK 088 C cT Lithic Argiustolls r 15 42 82,00 76,00 1,08 7,50 7,50 7,30 4,71 72,24 61,87 88,10 81,41 109,00 110,00
Oesao TB 201 C cT Lithic Haplustolls c 350 22 12,20 7,50 0,98 66,22 542,79 100,00
Besi UY 015 C cT Typic Haplusterts r 110 76 65,00 73,00 0,89 7,80 7,97 3,78 1,91 50,78 51,46 78,12 70,58 95,00 121,33
Oesao TB 120 C cT Typic Haplustolls c 350 38 42,90 16,80 2,55 7,60 7,80 11,24 7,29 47,13 45,70 109,86 272,02 100,00 100,00 *Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B
53
Landform K.3 adalah landform perbukitan karst. Landform K.3 ini
merupakan wilayah karst dengan relief perbukitan. Tabel 15 menunjukkan
sebaran landform K.3 beserta karakteristik tanah pencirinya yang dijumpai pada 2
lokasi survei LREPP II, yaitu Besikama dan Oesao (NTT). Landform K.3 ini
tersebar pada lokasi-lokasi yang beriklim tipe C (CH<1500 mm/th).
Bahan induk penyusun tanah yang dijumpai berbahan induk batu gamping
tersier (cT). Landform K.3 yang dijumpai memiliki bentuk relief r
(bergelombang/rolling) dengan slope 8-15 % dan bentuk relief c (berbukit
kecil/hillocky) dengan slope 15-30 %. Secara umum landform K.3 yang dijumpai
berada pada daerah ketinggian dataran rendah (<700 m dpl).
Tebal solum pada tanah-tanah yang dijumpai tergolong tipis dan bervariasi
mulai dari ketebalan 22 cm sampai 76 cm. Kandungan liat pada tanah-tanah yang
dijumpai menunjukkan keragaman pada sifat tekstur tanahnya. Selain itu
pengaruh bahan induk berkapur sangat mempengaruhi pada karakteristik pH
didalamnya, nilai pH berkisar antara 7,50 sampai 7,80 yang menandakan pH
cukup tinggi. Selain itu juga untuk nilai KTK dan KB pada tanah-tanah yang
dijumpai tergolong tinggi.
Klasifikasi tanah yang ditunjukkan pada Tabel 15 masih cukup beragam.
Keberagaman klasifikasi tanah tidak hanya terjadi pada tingkat subgroup dalam
order yang sama, bahkan keberagaman tanah pada order yang berbeda pun masih
dijumpai pada Landform ini. Unsur pembentuk landform K.3 sudah dapat
dikatakan homogen, faktor perbedaan relief pada landform inilah yang menjadi
salah satu faktor yang masih belum homogen, sehingga masih terdapat keragaman
klasifikasi tanah yang dijumpai pada landform ini. Keragaman yang terjadi dapat
diduga dari teori pembentuk tanah melalui faktor lereng, sehingga apabila
landform K.3 didelineasi lagi berdasarkan lereng, maka tidak menutup
kemungkinan perbedaan klasifikasi dapat didelineasi.
Tabel 16, menunjukkan ringkasan klasifikasi tanah pada landform K.3
yang sudah dikelompokan berdasarkan iklim dan bahan induk yang sama.
Terdapat dua order klasifikasi tanah yang dijumpai yaitu order Mollisol dan
54
Tabel 16. Pengelompokan Klasifikasi Tanah berdasarkan Bahan Induk dan Iklim pada Landform K.3
BI+U Iklim Order Suborder Great Grup Subgrup cT C Vertisol Ustert Haplustert Typic Haplusterts
Mollisol Ustoll Argiustoll Lithic Argiustolls Haplustoll Lithic Haplustolls
Typic Haplustolls
Vertisol. Kedua order tersebut mempunyai kesamaan pada kategori suborder
yaitu munculnya regim kelembaban ustic pada kategori suborder.
Dari nama klasifikasi tanah pembentuk subgroup, dapat diperkirakan
bahwa tanah yang dijumpai pada landform ini mempunyai kedalaman solum yang
beragam. Terbukti dengan munculnya nama Lithic dan Typic sebagai unsur
pembentuk subgroup. Hal ini menggambarkan bahwa tanah pada daerah tersebut
ada yang memiliki solum dangkal dan ada juga yang memiliki solum yang dalam,
sehingga untuk kedalaman solum ini sulit untuk diprediksi. Adanya keragaman
tersebut diduga terjadi akibat proses pelarutan pada bahan induk kapur. Semakin
murni bahan induk kapur maka semakin tipis solum tanah yang dapat terbentuk
begitu pula sebaliknya.
Tanah-tanah yang dijumpai pada landform K.3 ini umumnya sangat
dipengaruhi oleh bahan induk batu gamping (Vertisol & Mollisol). Sehingga
tanah yang muncul mempunyai pH yang basa akibat adanya pengaruh kandungan
Ca tinggi yang terdapat dalam bahan induk batu gamping (Tabel 16). Delineasi
landform ke dalam landform K.3 masih belum dapat mendelineasi satuan tanah
yang terdapat dalam satuan landform K.3. Walaupun dari segi bahan induk dan
iklim sudah homogen, diduga faktor relief lerenglah yang mengakibatkan masih
tetap dijumpainya klasifikasi tanah yang beragam pada landform ini.
4.2.4. Grup Landform Marin (M)
Landform marin adalah landform yang terbentuk oleh proses marin, baik
proses yang bersifat konstruktif (pengendapan) maupun destruktif (abrasi).
Daerah yang terpengaruh air permukaan yang bersifat asin secara langsung
ataupun bersifat pasang surut tergolong dalam landform marin (Marsoedi et al.,
1997).
55
Tabel 17. Sebaran landform M.22 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya
Data Site Tebal avr clay Avr pH Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB
lokasi ID Iklim Bi+umur Subgrup Relief m dpl Solum A B A/B A B A B A B A B A B
Jabar AY 010 A fK Typic Endoaquents n 2 15 74,00 6,00 8,54 46,32 62,59 364,00
Jabar AY 062 A fK Typic Endoaquents n 4 18 79,00 6,50 8,30 48,74 61,70 204,00
Jabar SY 022 B fK Typic Endoaquents n 1 15 41,00 7,00 6,97 41,57 101,39 389,00
Oesao AK 024 C fK Aeric Endoaquepts n 3 160 45,00 57,25 0,79 7,80 8,05 1,02 0,85 39,21 43,08 87,13 76,92 100,00 100,00
Oesao AK 035 C fK Aeric Endoaquepts n 1 87 30,00 69,67 0,43 8,20 8,27 0,92 1,22 37,67 40,64 125,57 58,46 100,00 100,00
Oesao BP 048 C fK Aeric Endoaquepts n 1 100 52,20 59,95 0,87 8,20 8,35 1,26 1,19 37,09 39,07 71,05 83,32 100,00 100,00
Jabar AY 040 C fK Sulfic Endoaquents n 3 20 71,00 6,00 13,49 45,95 64,72 290,00
Oesao BP 042 C fK Typic Endoaquents n 1 20 72,00 8,30 1,66 40,94 56,86 100,00
Besi CB 127 C fK Typic Endoaquepts n 10 100 42,00 46,67 0,90 7,70 7,90 2,25 1,20 28,80 29,66 68,57 63,67 221,00 195,00
Besi AK 052 C fK Typic Fluvaquents n 1 15 27,00 7,20 4,48 26,03 96,41 333,00 *Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B
56
Terdapat 9 unit landform yang termasuk dalam landform Marin (Tabel 4).
Dari 9 unit landform tersebut landform dengan pedon pewakil terbanyak pada unit
landform marin adalah landform M.2.2 dengan pedon sebanyak 10 pedon. Atas
dasar tersebut, subgrup landform M.2.2 menjadi contoh studi kasus gambaran
tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi tanah pada
grup landform marin.
Landform M.2.2 adalah landform untuk dataran pasang surut lumpur.
Dataran pasang surut lumpur adalah wilayah pesisir yang terdiri dari bahan
berlumpur dan dipengaruhi pasang surut air laut (Marsoedi et al., 1997). Tabel 17,
menunjukkan sebaran landform M.2.2 beserta karakteristik tanah di dalamnya
yang dijumpai pada 3 lokasi survei LREPP II yaitu Karawang (Jabar), Besikama,
dan Oesao (NTT).
Landform M.2.2 ini tersebar pada lokasi-lokasi yang beriklim tipe A
(CH≥2000 mm/th), tipe B (CH≥1500-2000 mm/th) dan tipe C (CH<1500 mm/th),
dengan satu bahan induk penyusun tanah yang dijumpai. Nilai KB tanah-tanah
yang dijumpai pada landform ini memiliki nilai KB yang tergolong sangat tinggi
(>100). Klasifikasi tanah pada landform ini, tingkat keragamannya masih tinggi.
Keragaman klasifikasi tanah tidak hanya terjadi pada tingkat subgrup dalam
order yang sama, keberagaman tanah pada order yang berbeda pun masih
dijumpai pada Landform ini.
Selanjutnya dilakukan pengelompokan klasifikasi tanah berdasarkan bahan
induk dan iklim yang sama pada landform ini (Tabel 18). Setelah dikelompokan
berdasarkan kategori taksonomi, diketahui bahwa pada landform M.2.2 yang telah
dipisahkan berdasarkan bahan induk dan iklimnya masih dijumpai tanah dengan
klasifikasi yang sangat berbeda.
Tabel 18. Pengelompokan Klasifikasi Tanah berdasarkan Bahan Induk dan Iklim pada Landform M.22
BI+U Iklim Order Suborder Great Grup Subgrup fK A Entisol Aquent Endoaquent Typic Endoaquents
B Entisol Aquent Endoaquent Typic Endoaquents C Inceptisol Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts
Typic Endoaquepts Entisol Aquent Endoaquent Sulfic Endoaquents
Typic Endoaquents Fluvaquent Typic Fluvaquents
57
Gambar 14. Sebaran landform M.2.2 daerah Karawang – Jabar
Gambar 15. Sebaran pedon tanah pada landform M.2.2 Karawang – Jabar (Kotak Merah)
58
Gambar 14 memperlihatkan sebaran landform M.2.2 di daerah Karawang.
Sebaran pedon tanah pewakil yang terdapat pada landform ini terpusat di bagian
utara daerah Karawang (kotak merah). Dari kotak tersebut, terlihat beberapa
pedon yang menggerombol (Gambar 15). Berdasarkan klasifikasinya, tanah yang
terdapat pada wilayah tersebut didominasi oleh order Entisol dengan greatgroup
Endoaquent, walaupun pada tingkat subgroup masih terlihat beragam (Tabel 19).
Tabel 19. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di M.2.2 Karawang - Jabar
Pedon Order Subgrup Kode AY 062 Entisol Typic Endoaquents * AY 040 Entisol Sulfic Endoaquents * SY 022 Entisol Typic Endoaquents *
Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama
Tabel 19 menunjukkan keragaman tanah pada kategori subgroup yang
tergolong tanah dengan tahap perkembangan baru (Entisol). Pedon AY 062
dengan pedon AY 040 yang letaknya berdekatan memiliki perbedaan unsur
pembentuk pada kategori subgroup. Pedon AY 062 memiliki subgrup Typic
Endoaquents sedangkan pedon AY 040 memiliki subgroup Sulfic Endoaquents.
Berdasarkan prinsip SPT dalam kasus ini, penentuan SPT masih bisa
ditelusuri batas-batasnya. Hal ini karena jarak antara satu titik pengamatan dengan
pengamatan yang lainnya saling berjauhan sehingga masih bisa ditelusuri batas-
batasnya dengan menambah jumlah titik pengamatan. Secara umum tanah yang
dijumpai pada daerah ini sangat dipengaruhi oleh air, terbukti dengan munculnya
regim kelembaban aquic sebagai unsur pembentuk klasifikasi pada kategori
suborder.
Selain daerah Karawang, sebaran landform M.2.2 juga dijumpai di daerah
Oesao (NTT). Gambar 15 memperlihatkan sebaran landform M.2.2 di daerah
Oesao yang terpusat di bagian barat Oesao. Sebaran landform M.2.2 di daerah ini
tidak begitu luas, sehingga pedon yang dijumpai jumlahnya sedikit. Sebaran
pedon pada kotak pengamatan (kotak merah) tersusun atas 4 pedon pewakil yang
dijumpai (Gambar 16). Letak keempat pedon tersebut berada pada satu poligon
dan jarak antara satu pedon dengan pedon lainnya saling berjauhan.
59
Gambar 16. Sebaran landform M.2.2 daerah Oesao – NTT
Gambar 17. Sebaran landform M.2.2 daerah Oesao – NTT (Kotak Pengamatan)
60
Tabel 20. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform M.2.2 Oesao - NTT
Pedon Order Subgrup Kode BP 042 Entisol Typic Endoaquents * BP 048 Inceptisol Aeric Endoaquepts * AK 024 Inceptisol Aeric Endoaquepts * AK 035 Inceptisol Aeric Endoaquepts *
Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama
Tabel 20 memperlihatkan bahwa hampir seluruh klasifikasi tanah yang
dijumpai pada daerah Oesao sebelah barat didominasi oleh order Inceptisol.
Selain order Inceptisol terdapat juga satu pedon dengan order Entisol (BP 042).
Keragaman pada tingkat order masih terjadi, pedon BP 042 yang memiliki order
Entisol letaknya tidak jauh dari pedon BP 048 yang memiliki order Inceptisol.
Dari kondisi lingkungannya dapat diperkirakan bahwa klasifikasi tanah yang
dijumpai di daerah ini sangat dipengaruhi oleh air, hal ini ditandai dengan
munculnya regim kelembaban aquic pada unsur pembentuk suborder baik pada
order Inceptisol maupun Entisol.
Pedon dengan dengan order Inceptisol mempunyai kategori subgroup
tanah yang homogen yaitu Aeric Endoaquepts. Dengan komposisi pedon seperti
diperjelas pada Gambar 19 maka pedon Typic Endoaquents yang dijumpai pada
daerah ini belum dapat dianggap sebagai tanah inklusi pada landform tersebut
karena berdasarkan prinsip SPT jumlah pengamatannya masih belum memenuhi
syarat untuk menentukan jenis SPT.
4.2.5. Grup Landform Tektonik dan Strultural (T)
Landform tektonik dan struktural adalah landform yang terbentuk sebagai
akibat dari proses tektonik (orogenesis dan epirogenesis) berupa proses angkatan,
lipatan, dan atau patahan. Umumnya landform ini mempunyai bentukan yang
ditentukan oleh proses-proses tersebut dan karena sifat litologinya (struktural)
(Marsoedi et al., 1997).
Terdapat 15 landform yang termasuk dalam grup landform utama tektonik
dan struktural (Tabel 4). Unit landform tektonik dan struktural yang memiliki
pedon pewakil terbanyak adalah landform T.12.1 dengan pedon sebanyak 42
pedon. Atas dasar tersebut, landform T.12.1 dijadikan sebagai contoh studi kasus
61
gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi
tanah pada grup landform tektonik dan struktural.
Landform T.12.1 adalah landform perbukitan tektonik. Perbukitan tektonik
adalah landform dengan relief perbukitan (lereng dominan >15% dan perbedaan
tinggi >300m) terbentuk karena proses tektonik, tetapi tidak atau sedikit
menunjukkan adanya indikasi struktural dan mempunyai variasi perbedaan
intensitas relief, kecuraman lereng, bentuk lereng, pola puncak, kerapatan dan
pola drainase serta pola diseksinya. Pembentukan landform ini dipengaruhi oleh
tipe batuan (litologi) dan struktur tektonik dalam kaitannya dengan proses
pelapukan dan erosi (Marsoedi et al., 1997).
Tabel 21 menunjukkan sebaran landform T.12.1 beserta karakteristik tanah
pencirinya yang dijumpai di beberapa lokasi survei LREPP II, yaitu Karawang
(Jabar), Gresik (Jatim), Pangkalan Bun (Kalteng) dan Besikama, Bena, serta
Oesao (NTT). Landform T.12.1 ini tersebar pada lokasi-lokasi yang mempunyai
iklim tipe A (CH≥2000 mm/th) dan tipe C (CH<1500 mm/th), dengan 8 jenis
bahan induk penyusun tanah yang dijumpai. Bahan induk yang dijumpai adalah
bahan induk batu gamping tersier (cT), batu liat berkapur tersier (fkT), batu liat
dan batu pasir berkapur (fqT), batu liat tersier (fT), batu kapur tersier (kT), batu
pasir berkapur tersier (qkT), dan batu pasir tersier (qT). Ketebalan solum pada
tanah yang berbahan induk cT <100 cm, fkT bervariasi (13-150 cm), fqT <40 cm,
fT <70 cm, kT bervariasi (31-130 cm), qkT <50 cm, dan qT bervariasi (14-90
cm).
Tanah-tanah yang berbahan induk cT dan fkT memiliki kandungan liat
horison B yang lebih tinggi daripada horison A, sedangkan tanah-tanah dengan
bahan induk fqT, fT, kT, qkT, dan qT memiliki kandungan liat yang bervariasi.
Derajat kemasaman (pH) tanah pada tanah-tanah berbahan induk cT, fkT, & fT
berada pada kisaran agak masam-alkalis, tanah-tanah berbahan induk fqT sangat
masam, kT netral-alkalis, qkT alkalis, dan qT berada pada kisaran sangat masam
sampai agak masam. Kandungan C-organik yang tedapat pada tanah-tanah yang
dijumpai pada landform ini berada pada kisaran < 3%. Tanah-tanah dengan bahan
induk fqT merupakan tanah-tanah yang mempunyai nilai KTK yang paling rendah
dibandingkan dengan tanah-tanah yang berbahan induk lain pada landform ini.
62
Tabel 21. Sebaran Landform T.12.1 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya Data Site Tebal avr clay Avr pH Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB
lokasi ID Iklim Bi+umur Subgrup Relief m dpl Solum A B A/B A B A B A B A B A B
Jabar AY 011 A cT Lithic Hapludolls h 40 28 52,00 51,00 1,02 6,10 6,20 2,70 1,75 57,21 55,63 110,02 109,08 95,00 97,00
Jabar HS 250 A cT Lithic Hapludolls h 75 50 85,00 91,50 0,93 7,40 7,40 3,16 2,37 47,44 48,24 55,81 52,70 111,00 109,00
Jabar SY 180 A cT Lithic Hapludolls h 63 25 95,00 97,00 0,98 6,10 6,15 3,12 2,32 69,51 66,01 73,17 68,05 102,00 102,00
Gresik AR 112 C cT Calcic Hasplusterts u 52 55 71,00 75,75 0,94 7,20 7,88 1,52 0,31 37,21 30,84 52,41 40,69 90,00 209,25
Besi AK 090 C cT Lithic Rodustalfs u 90 44 28,00 54,00 0,52 7,20 7,70 3,89 2,25 46,88 40,23 167,43 74,50 122,00 135,00
Besi CB 111 C cT Typic Haplusterts r 100 55 71,00 66,50 1,07 8,10 8,25 2,36 1,06 41,62 35,69 58,62 53,50 159,00 184,50
Oesao TB 202 C cT Vertic Haplustepts c 200 87 9,20 14,42 0,64 8,10 8,16 2,29 0,41 32,36 31,57 351,74 595,37 100,00 100,00
Jabar WG 134 A fkT Typic Eutrudepts h 95 124 88,50 92,50 0,96 6,65 7,78 1,30 0,49 49,72 40,72 56,19 44,06 101,50 159,50
Jabar WG 169 A fkT Typic Eutrudepts h 80 130 91,00 94,75 0,96 6,40 6,83 2,44 1,14 66,97 65,98 73,59 69,63 105,00 120,25
Oesao AK 120 C fkT Lithic Haplustepts c 75 39 97,50 30,50 3,20 6,80 6,80 2,80 1,09 38,09 32,06 39,07 105,11 86,14 86,06
Oesao BP 153 C fkT Lithic Haplustolls m 400 32 49,30 52,30 0,94 7,90 8,25 2,88 0,98 31,85 22,91 64,60 43,89 100,00 100,00
Oesao BP 101 C fkT Lithic Usthortents h 300 13 75,40 7,70 3,82 63,05 83,62 100,00
Oesao AK 185 C fkT Typic Argiustolls c 100 42 19,60 65,15 0,30 7,40 7,45 2,27 0,99 43,74 42,29 223,16 61,65 100,00 96,53
Oesao AK 203 C fkT Typic Argiustolls c 220 19 18,20 41,85 0,43 7,90 7,95 5,10 1,79 35,06 23,66 192,64 56,52 100,00 100,00
Oesao UY 111 C fkT Typic Haplustepts c 250 33 88,20 96,95 0,91 7,80 7,95 1,75 1,15 38,18 34,85 43,29 35,93 100,00 100,00
Oesao SM 004 C fkT Typic Ustorthents c 300 20 35,00 7,70 1,32 16,55 47,29 100,00
Oesao AK 175 C fkT Vertic Haplustepts c 125 150 72,90 57,75 1,26 7,70 8,48 1,23 0,47 51,87 34,50 71,15 60,16 100,00 100,00
Oesao AK 195 C fkT Vertic Haplustepts c 120 92 77,00 76,58 1,01 8,00 8,58 1,22 0,35 29,23 28,63 37,96 37,46 100,00 100,00
Oesao BP 222 C fkT Vertic Haplustolls h 300 99 69,30 76,90 0,90 6,50 7,08 2,23 1,02 38,56 39,62 55,64 51,56 83,92 92,23
P.bun KK 086 A fqT Lithic Hapludults h 105 34 27,00 33,00 0,82 4,00 4,40 2,48 0,95 13,91 10,30 51,52 31,21 6,00 5,00
P.bun AI 152 A fqT Typic Udorthents u 30 11 6,00 4,60 2,59 3,06 51,00 35,00
63
Lanjutan Tabel 21 Data Site Tebal avr clay Avr pH Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB
lokasi ID Iklim Bi+umur Subgrup Relief m dpl Solum A B A/B A B A B A B A B A B
Besi UY 060 C fT Lithic Ustorthents c 275 10 35,00 7,80 2,50 27,48 78,51 190,00
Oesao BP 111 C fT Typic Haplustalfs c 30 62 15,20 11,83 1,28 6,50 6,70 0,52 0,30 23,59 17,43 155,20 147,68 94,02 100,00
Oesao UY 152 C fT Typic Haplustepts m 110 47 41,90 56,10 0,75 6,50 6,70 3,28 1,30 39,82 41,48 95,04 73,94 90,46 100,00
Besi YS 118 C kT Lithic Haplustepts c 140 43 28,00 30,00 0,93 7,40 7,70 4,73 1,76 30,27 20,81 108,11 69,37 127,00 159,00
Besi AK 030 C kT Typic Haplustepts r 180 52 25,00 64,50 0,39 8,10 7,95 0,70 1,43 20,27 32,53 81,08 50,50 266,00 175,00
Besi US 097 C kT Typic Haplustepts c 200 75 68,00 63,67 1,07 8,20 8,33 1,15 0,73 31,37 33,35 46,13 53,07 155,00 186,67
Besi UY 078 C kT Typic Haplustepts r 200 53 68,00 54,00 1,26 7,80 8,05 1,93 0,88 39,39 26,99 57,93 49,98 146,00 201,50
Bena UY 227 C kT Typic Haplustepts r 140 31 43,00 44,50 0,97 7,90 8,15 1,74 0,64 20,10 13,89 46,74 31,17 252,00 373,50
Besi YS 011 C kT Typic Haplustepts h 140 41 83,00 70,50 1,18 7,80 8,05 2,68 1,17 53,21 39,19 64,11 54,60 137,00 189,50
Oesao SM 012 C kT Typic Haplustepts c 250 46 55,00 36,00 1,53 7,80 7,95 2,49 0,68 37,18 22,04 67,60 61,27 100,00 100,00
Bena YS 279 C kT Typic Haplustolls u 90 100 80,00 52,60 1,52 7,90 8,18 2,61 0,74 45,11 15,07 56,39 31,96 153,00 462,80
Oesao UY 125 C kT Typic Haplustolls h 75 55 67,50 62,37 1,08 7,90 7,73 1,19 1,83 32,88 37,89 48,71 59,05 100,00 99,72
Besi AK 036 C kT Vertic Haplustepts r 200 42 46,00 53,50 0,86 6,90 8,00 2,20 0,90 24,43 21,51 53,11 39,59 90,00 157,50
Bena CB 256 C kT Vertic Haplustepts n 39 130 70,00 72,50 0,97 7,90 8,00 1,75 0,77 35,73 33,59 51,04 46,47 185,00 196,25
Besi UY 051 C kT Vertic Haplustepts r 120 45 92,00 70,00 1,31 8,00 8,00 1,46 0,68 36,90 34,02 40,11 48,98 188,00 201,00
Bena UY 223 C qkT Lithic Haplustolls u 200 45 43,50 34,00 1,28 7,90 7,70 3,05 1,51 25,95 15,24 59,65 44,82 199,00 331,00
Besi AK 047 C qkT Typic Haplustolls c 260 32 67,00 70,00 0,96 7,00 7,40 3,72 2,10 54,65 53,69 81,57 76,70 92,00 100,00
Bena YS 232 C qkT Typic Ustorthents c 20 10 20,00 7,90 2,54 15,55 77,75 352,00
P.bun TB 127 A qT Typic Hapluhumults r 40 90 49,00 32,00 1,53 4,00 4,40 1,80 0,76 12,22 9,11 24,94 28,47 8,00 7,00
Oesao AK 138 C qT Lithic Usthortents m 300 14 20,30 6,60 1,44 36,18 178,23 100,00
Oesao BP 140 C qT Typic Ustipsamments m 350 16 15,80 6,90 1,38 11,79 74,62 100,00 *Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B
64
Sedangkan dari nilai KB, hampir seluruh klasifikasi tanah yang dijumpai pada
landform ini tergolong tinggi.
Seluruh landform T.12.1 yang dijumpai pada lokasi-lokasi tersebut
memiliki bentuk relief yang sangat beragam. Landform T.12.1 yang dijumpai
berada pada daerah dataran rendah (<700 m dpl). Klasifikasi tanah yang
ditunjukkan pada Tabel 21, masih sangat beragam. Keberagaman klasifikasi tanah
tidak hanya terjadi pada tingkat subgroup dalam order yang sama, akan tetapi
keberagaman juga terjadi pada tingkat order pada Landform T.12.1.
Selanjutnya dilakukan pengelompokan klasifikasi tanah berdasarkan bahan
induk dan iklim yang sama (Tabel 22). Setelah dikelompokan, diketahui pada
landform T.12.1 masih dapat dijumpai klasifikasi tanah yang sangat beragam.
Tabel 22. Pengelompokan Klasifikasi Tanah berdasarkan Bahan Induk dan Iklim
pada Landform T.1.2.1 BI+U Iklim Order Suborder Great Grup Subgrup
cT A Mollisol Udoll Hapludoll Lithic Hapludolls C Inceptisol Ustept Haplustept Vertic Haplustepts
Vertisol Ustert Haplustert Calcic Haplusterts Typic Haplusterts
Alfisol Ustalf Haplustalf Lithic Rodustalfs fkT A Inceptisol Udept Eutrudept Typic Eutrudepts
C Inceptisol Ustept Haplustept Lithic Haplustepts Typic Haplustepts Vertic Haplustepts
Mollisol Ustoll Haplustoll Lithic Haplustolls Argiustoll Typic Argiustolls
Entisol Orthent Ustorthent Lithic Ustorthents Typic Ustorthents
fqT A Entisol Orthent Udorthent Typic Udorthents Ultisol Udult Hapludult Lithic Hapludults
fT C Entisol Orthent Ustorthent Lithic Ustorthents Alfisol Ustalf Haplustalf Typic Haplustalfs Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts
kT C Inceptisol Ustept Haplustept Lithic Haplustepts Typic Haplustepts Vertic Haplustepts
Mollisol Ustoll Haplustoll Typic Haplustolls qkT C Mollisol Ustoll Haplustoll Lithic Haplustolls
Typic Haplustolls Entisol Orthent Ustorthent Typic Ustorthents
qT A Ultisol Humult Haplohumult Typic Haplohumults C Entisol Orthent Ustorthent Lithic Usthortents
Psamment Ustipsamment Typic Ustipsamments
Gambar 18 memperlihatkan sebaran landform T.12.1 di daerah Karawang
yang beriklim tipe A. Pedon tanah pewakil yang dijumpai pada landform ini
sebarannya terpusat di bagian selatan (kotak merah) daerah lokasi survei (Gambar
19).
65
Gambar 18. Sebaran landform T.1.2.1 daerah Karawang – Jabar (Kotak Merah)
Gambar 19. Sebaran pedon tanah pada landform T.12.1 Karawang – Jabar
66
Tabel 23. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di T.12.1 Karawang Bagian Selatan
Pedon BI+Umur Order Subgrup Kode AY 011 cT Mollisol Lithic Hapludolls * HS 250 cT Mollisol Lithic Hapludolls * SY 180 cT Mollisol Lithic Hapludolls ** WG 134 kT Inceptisol Typic Eutrudepts * WG 169 kT Inceptisol Typic Eutrudepts *
Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama
Tabel 23 menunjukkan klasifikasi tanah yang dijumpai di bagian selatan
Karawang sangat dipengaruhi oleh bahan induk. Pedon AY 011, HS 250, dan SY
180 terletak pada poligon yang sama dengan bahan induk batu gamping tersier
(cT). Ketiga pedon tersebut memiliki klasifikasi tanah yang sama yaitu Lithic
Hapludolls. Selain ketiga pedon tersebut, terdapat 2 pedon dengan bahan induk
batu kapur tersier dengan klasifikasi Typic Eutrudepts. Dengan demikian pedon
yang dijumpai pada daerah ini sangat tergantung dari jenis bahan induknya. Selain
di daerah Karawang, sebaran landform T.12.1 dengan pedon yang banyak
dijumpai berada di daerah Oesao (Gambar 20).
Gambar 20. Sebaran landform T.1.2.1 daerah Oesao – NTT
67
Tabel 24. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di T.1.2.1 Oesao – NTT
Pedon BI+Umur Order Subgrup Kode BP 101 fkT Entisol Lithic Usthortents *** AK 175 fkT Inceptisol Vertic Haplustepts * AK 120 fkT Inceptisol Lithic Haplustepts *** UY 111 fkT Inceptisol Typic Haplustepts ** AK 195 fkT Inceptisol Vertic Haplustepts * BP 222 fkT Molisoll Vertic Haplustolls * BP 153 fkT Molisoll Lithic Haplustolls * AK 185 fkT Molisoll Typic Argiustolls * AK 203 fkT Molisoll Typic Argiustolls * AK 138 qT Entisol Lithic Usthortents * BP 140 qT Entisol Typic Ustipsamments * BP 111 fT Alfisol Typic Haplustalfs *** UY 152 fT Inceptisol Typic Haplustepts ** UY 125 kT Molisoll Typic Haplustolls ** SM 004 kT Entisol Typic Usthorthents **** SM 012 kT Inceptisol Typic Haplustepts ***** TB 202 cT Inceptisol Vertic Haplustepts *
Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama
Tabel 24 menunjukkan klasifikasi tanah yang dijumpai di daerah Oesao
sangat beragam. Posisi beberapa pedon yang dijumpai berada pada satu poligon
dan ada pula berada pada poligon yang berbeda. Setelah dikelompokan
berdasarkan bahan induk yang homogen, klasifikasi tanah yang dijumpai pada
daerah ini masih tetap beragam. Namun pengaruh iklim sangat berpengaruh pada
klasifikasi tanah pada pedon yang dijumpai, ditanadai dengan munculnya regim
kelembaban ustik pada unsur pembentuk klasifikasi subgroup dan greatgroup.
Banyak pedon tanah pewakil yang berada dalam satu poligon yang
berasal dari bahan induk yang berbeda. Sebagai contoh, terdapat 2 pedon yang
letaknya berada satu poligon yaitu pedon UY 152 dan UY 125 yang letak kedua
pedon tersebut berjarak cukup dekat, akan tetapi memiliki klasifikasi yang
berbeda, pedon UY 152 termasuk ke dalam order Inceptisol sedangkan Pedon 125
termasuk ke dalam order Mollisol. Perbedaan tersebut terjadi karena bahan induk
yang terdapat pada kedua pedon tersebut berbeda pedon UY 152 berbahan induk
batu liat tersier (fT) sedangkan pedon UY 125 berbahan induk batu kapur tersier
(kT) (poligon sebelah kanan).
Dari hasil yang telah diuraikan dapat diketahui bahwa landform T.12.1
merupakan satuan landform yang paling banyak memiliki keragaman bahan induk
yang terdapat dalam satu delineasi (poligon yang sama) dengan tingkat keragaman
klasifikasi tanah yang dijumpai sangat tinggi. Sehingga delineasi landform ke
68
dalam landform T.12.1 tidak sertamerta dapat mendelineasi satuan tanah yang
terdapat pada landform T.12.1 tersebut.
4.2.6. Grup Landform Volkanik (V)
Aktivitas volkan menurut Bloom (1979) didefinisikan sebagai hasil dari
erupsi letusan gunung berapi, cikal bakal terjadi proses perkembangan dan
struktur dari landform volkanik. Beberapa buku menerangkan bahwa gunung api
sebagai celah dimana material panas perut bumi keluar menuju dasar permukaan
bumi. Secara umum, aktivitas erupsi merupakan karakteristik dari gunung berapi,
di mana gas panas, cairan, batuan cair, dan fragmen-fragment hancuran batuan
keluar dari celah permukaan bumi yang terbuka.
Landform volkanik menurut definisi Marsoedi et al. (1997) adalah
landform yang terbentuk karena aktivitas volkan atau gunung berapi. Landform
ini terutama dicirikan dengan adanya bentukan kerucut volkan, aliran lahar, lava
ataupun wilayah yang merupakan akumulasi bahan volkanik. Terdapat 11
landform yang termasuk dalam landform volkanik (Tabel 4).
Landform yang memiliki jumlah pedon pewakil terbanyak pada unit
landform volkanik ini adalah landform V.3.3 dengan jumlah sebanyak 40 pedon.
Atas dasar tersebut, landform V.3.3 dijadikan sebagai contoh studi kasus
gambaran tingkat homogenitas dan heterogenitas karakteristik dan klasifikasi
tanah pada grup landform volkanik.
Landform V.33 merupakan landform “pegunungan volkanik tua”.
Landform pegunungan volkanik tua berupa wilayah dari bahan volkanik yang
telah mengalami proses lebih lanjut antara lain: erosi, denudasi, angkatan, lipatan,
dan patahan, sehingga asal-usulnya dari pusat erupsi tidak jelas lagi, umumnya
termasuk volkan tua. Landform ini memiliki lereng >15% dan perbedaan tinggi
lebih dari 300m (Marsoedi et al., 1997).
Tabel 25 menunjukkan sebaran landform V.3.3 beserta karakteristik tanah
pencirinya yang dijumpai hanya pada satu lokasi survei LREPP II, yaitu daerah
Pacitan (Jatim). Landform A.1.3 ini tersebar pada lokasi-lokasi yang mempunyai
iklim tipe A (CH≥2000 mm/th) dan tipe B (CH≥1500-2000 mm/th), dengan empat
69
Tabel 25. Sebaran Landform V.33 dengan Karakteristik Tanah di Dalamnya
Data Site Tebal avr clay Avr pH Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB
lokasi ID Iklim Bi+umur Subgrup Relief m dpl Solum A B A/B A B A B A B A B A B
pacitan CD 239 A aT Lithic Hapludolls m 624 29 26,00 25,50 1,02 5,30 6,05 0,73 0,54 29,31 27,22 112,73 106,96 85,00 85,50
pacitan AR 254 A aT Typic Hapludolls m 820 80 24,00 50,33 0,48 5,80 5,73 0,31 1,17 14,21 16,54 59,21 33,18 77,00 50,67
pacitan CD 282 A aT Typic Hapludolls h 820 109 35,00 37,00 0,95 5,00 5,03 2,01 1,68 21,60 23,49 61,71 63,77 76,00 59,25
pacitan AR 253 A aT Typic Haplustepts m 720 109 64,00 58,33 1,10 5,60 5,97 0,34 0,32 36,09 41,09 56,39 70,79 62,00 68,00
pacitan AR 240 A aT Ustic Dystrudepts c 950 84 74,00 76,33 0,97 5,50 5,53 0,78 0,53 28,46 24,69 38,46 32,44 29,00 43,67
pacitan CD 276 A aT Ustic Dystrudepts r 800 154 67,00 72,50 0,92 5,30 5,63 1,63 0,65 28,46 27,51 42,48 38,15 27,00 24,25
pacitan CD 283 A aT Ustic Dystrudepts h 600 41 56,00 60,50 0,93 5,60 5,60 1,49 0,46 21,63 23,01 38,63 38,05 51,00 54,00
pacitan CD 312 B aT Lithic Haplustepts m 525 27 26,00 28,00 0,93 5,90 5,60 0,54 0,76 14,24 14,00 54,77 50,00 109,00 99,00
pacitan AR 259 B aT Oxiaquic Haplustalfs m 500 105 31,00 40,33 0,77 5,00 5,97 0,78 0,54 17,09 18,45 55,13 46,06 80,00 92,67
pacitan WS 198 B aT Oxiaquic Haplustepts m 600 10 41,00 41,50 0,99 4,70 5,70 0,77 0,60 14,38 13,29 35,07 32,02 59,00 86,50
pacitan AR 201 B aT Oxic Haplustepts m 700 57 50,00 57,00 0,88 5,40 5,67 0,97 0,65 11,44 11,12 22,88 19,49 96,00 92,67
pacitan AR 248 B aT Typic Argiustolls h 800 155 43,00 52,00 0,83 5,40 5,50 1,17 2,61 16,65 22,13 38,72 42,84 66,00 44,00
pacitan AR 202 B aT Typic Haplustepts m 475 38 40,00 39,00 1,03 6,10 6,20 0,68 0,64 18,82 20,85 47,05 53,46 103,00 103,00
pacitan AR 203 B aT Typic Haplustepts m 425 97 24,00 29,00 0,83 6,00 6,20 0,86 0,76 21,83 21,70 90,96 75,23 102,00 100,67
pacitan AR 217 B aT Typic Haplustepts m 200 85 28,00 29,67 0,94 5,40 5,87 0,67 0,46 17,59 17,17 62,82 58,19 98,00 104,00
pacitan AR 219 B aT Typic Haplustepts c 550 60 56,00 62,00 0,90 5,70 5,65 0,59 0,60 22,83 24,99 40,77 41,03 74,00 65,50
pacitan AR 220 B aT Typic Haplustepts c 510 57 55,00 49,00 1,12 4,80 5,10 1,27 0,97 17,78 15,91 32,33 32,47 61,00 66,00
pacitan AR 231 B aT Typic Haplustepts m 260 120 53,00 48,75 1,09 5,50 5,83 1,01 0,41 14,95 16,30 28,21 33,88 57,00 69,25
pacitan AR 243 B aT Typic Haplustepts c 790 98 51,00 52,00 0,98 5,30 5,80 0,56 0,38 30,75 30,53 60,29 58,77 62,00 63,67
pacitan AR 247 B aT Typic Haplustepts m 790 155 46,00 44,33 1,04 5,00 5,70 0,85 0,29 14,32 12,09 31,13 27,47 63,00 64,00
70
Lanjutan Tabel 25
Data Site Tebal avr clay Avr pH Avr C Avr KTK Avr KTK liat Avr KB
lokasi ID Iklim Bi+umur Subgrup Relief m dpl Solum A B A/B A B A B A B A B A B
pacitan CD 274 B aT Typic Haplustepts m 650 92 54,00 50,75 1,06 5,40 5,65 0,81 0,35 14,00 12,07 25,93 23,79 46,00 62,50
pacitan CD 298 B aT Typic Haplustepts c 400 41 45,00 46,67 0,96 5,40 5,53 1,66 0,84 13,88 14,23 30,84 30,56 55,00 64,00
pacitan CD 304 B aT Typic Haplustepts m 720 75 51,00 51,67 0,99 5,40 5,80 1,91 1,04 35,22 34,38 69,06 66,75 79,00 72,67
pacitan HI 167 B aT Typic Haplustepts m 420 120 39,00 42,00 0,93 6,00 6,07 0,68 0,48 24,76 25,20 63,49 60,09 81,00 80,67
pacitan HR 176 B aT Typic Haplustepts m 230 115 52,00 61,00 0,85 6,00 5,25 0,91 0,44 17,24 17,01 33,15 27,92 74,00 49,25
pacitan HR 184 B aT Typic Haplustepts m 380 80 26,00 26,33 0,99 5,60 6,63 0,70 0,22 23,61 35,08 90,81 152,31 62,00 83,67
pacitan MK 082 B aT Typic Haplustepts m 420 53 25,00 23,00 1,09 6,00 5,90 0,46 0,18 12,27 14,44 49,08 64,34 70,00 74,00
pacitan MK 094 B aT Typic Haplustepts m 400 140 39,00 38,00 1,03 5,60 5,50 0,65 0,34 32,78 33,82 84,05 89,00 85,00 80,00
pacitan MK 114 B aT Typic Haplustepts m 36 41 40,00 40,00 1,00 6,10 6,00 0,70 0,68 27,78 25,91 69,45 64,78 91,00 93,00
pacitan MK 117 B aT Typic Haplustepts m 530 34 29,00 39,00 0,74 5,50 5,60 0,46 0,31 20,24 18,35 69,79 47,05 83,00 73,00
pacitan MK 118 B aT Typic Haplustepts m 450 105 35,00 40,67 0,86 5,80 6,27 0,51 0,31 15,61 15,55 44,60 38,23 83,00 83,67
pacitan TB 222 B aT Typic Haplustepts m 600 31 36,00 35,00 1,03 5,10 5,50 1,25 0,66 14,03 10,92 38,97 31,20 39,00 66,00
pacitan AR 270 B aT Ultic Haplustalfs m 425 48 20,00 28,00 0,71 5,50 5,20 1,26 0,74 10,01 10,83 50,05 38,68 70,00 63,50
pacitan CD 258 B aT Ultic Haplustalfs m 450 65 56,00 64,50 0,87 5,70 5,75 0,75 0,51 15,55 16,98 27,77 26,34 70,50 68,50
pacitan CD 261 B aT Ultic Haplustalfs m 450 45 48,00 52,67 0,91 6,20 6,33 1,44 0,40 13,46 12,14 28,04 23,24 72,00 74,00
pacitan HR 195 B aT Ultic Haplustalfs m 525 170 50,00 69,75 0,72 5,20 5,58 1,68 0,68 19,28 23,31 38,56 33,52 43,00 43,75
pacitan MS 250 B aT Ultic Haplustalfs m 340 90 35,00 47,33 0,74 6,30 6,03 0,76 0,34 17,40 26,73 49,71 63,20 108,00 80,33
pacitan AR 244 A dT Typic Eutrudepts c 850 175 75,00 84,25 0,89 5,20 5,45 1,14 0,41 23,35 30,62 31,13 36,56 35,00 32,00
pacitan AR 221 B gT Typic Haplustepts m 660 60 25,00 23,00 1,09 5,70 6,20 0,70 0,41 53,48 50,05 213,92 217,61 91,00 97,00
pacitan CD 244 B qT Typic Haplustepts m 325 74 9,00 10,00 0,90 5,20 5,35 0,83 0,60 14,76 14,71 164,00 151,50 107,00 95,50 *Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B
71
jenis bahan induk penyusun tanah yang dijumpai, bahan induk tersebut adalah
bahan induk andesit tersier (aT), dasit tersier (dT), dan granit tersier (gT). Bentuk
relief yang terdapat pada landform V.3.3 di daerah Pacitan sangat beragam.
Secara umum landform V.3.3 yang dijumpai pada lokasi tersebut berada pada
daerah dataran rendah (<700 m dpl) dan dataran tinggi (>700 m dpl).
Ketebalan solum dari tanah-tanah yang dijumpai pada landform ini sangat
bervariasi dari yang dangkal sampai sangat dalam. Tanah-tanah yang dijumpai
memiliki kadar liat pada horison B lebih tinggi daripada horison A, dan
kandungan C-organiknya yang berkisar dibawah 2 %. Karakteristik pH yang
dijumpai relatif merata dan tergolong pada kisaran pH agak masam. Nilai KTK
yang dijumpai cukup bervariasi mulai dari KTK rendah sampai tinggi sedang
pada nilai KB relatif tinggi. Selanjutnya dilakukan pengelompokan klasifikasi
tanah berdasarkan bahan induk dan iklim yang sama (Tabel 26).
Tabel 26. Pengelompokan Klasifikasi Tanah berdasarkan Bahan Induk dan Iklim pada Landform V.3.3
BI+U Iklim Order Suborder Great Grup Subgrup aT A Mollisol Udoll Hapludoll Lithic Hapludolls
Typic Hapludolls Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts
Udept Dystrudept Ustic Dystrudepts B Inceptisol Ustept Haplustept Lithic Haplustepts
Oxiaquic Haplustepts Oxic Haplustepts Typic Haplustepts
Alfisol Ustalf Haplustalf Oxiaquic Haplustalfs Ultic Haplustalfs
Mollisol Ustoll Argiustoll Typic Argiustolls dT A Inceptisol Udept Eutrudept Typic Eutrudepts gT B Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts
Berdasarkan Tabel 26 diketahui bahwa pedon pewakil yang sudah
dianggap homogen faktor pembentuknya menunjukkan bahwa klasifikasi tanah
yang dijumpai masih beragam. Keberagaman klasifikasi tanah masih terjadi
walaupun berada pada daerah yang sama. Selain itu, pada landform ini tidak
dijumpai tanah dengan order Andisol, hal ini terjadi karena landform ini
merupakan landform volkanik tua dan kondisi ketinggiannya hampir semua
pengamatan pedon pewakil berada di bawah 700 m dpl.
72
Gambar 21. Sebaran pedon tanah pada landform V.3.3 daerah Pacitan – Jatim
Gambar 21 memperlihatkan sebaran landform V.3.3 di daerah Pacitan.
Pedon tanah pewakil yang terdapat pada landform ini sebarannya terpusat pada
bagian utara daerah lokasi survei. Dari gambar tersebut, terlihat beberapa pedon
yang menggerombol. Letak pedon yang dijumpai di daerah tersebut berada dalam
satu poligon.
Tabel 27 menunjukkan bahwa bahan induk tanah yang terdapat dalam
delineasi landform V.3.3 daerah Pacitan utara didominasi oleh bahan induk
andesit tersier (aT). Namun demikian, walaupun telah dipisahkan berdasarkan
bahan induk yang sama, masih tetap terjadi perbedaan klasifikasi tanah. Pada
bahan induk andesit tersier yang mendominasi hampir seluruh pedon yang
terdapat di daerah ini, perbedaan klasifikasi tanah pada tingkat order masih dapat
dijumpai. Terdapat tiga order tanah dengan bahan induk andesit tersier (aT)
tersebut, yaitu Inceptisol, Mollisol, dan Alfisol. Dari ketiga order tersebut order
Inceptisol merupakan order yang paling banyak mendominasi pada di daerah
tersebut.
73
Tabel 27. Klasifikasi Tanah pada masing-masing Poligon Landform di V.3.3 Pacitan – Jatim
Pedon BI+Umur Order Subgrup Kode AR 259 aT Alfisol Oxiaquic Haplustalfs * CD 258 aT Alfisol Ultic Haplustalfs * HR 195 aT Alfisol Ultic Haplustalfs ** AR 270 aT Alfisol Ultic Haplustalfs * CD 261 aT Alfisol Ultic Haplustalfs * MS 250 aT Alfisol Ultic Haplustalfs * CD 312 aT Inceptisol Lithic Haplustepts * WS 198 aT Inceptisol Oxiaquic Haplustepts * AR 201 aT Inceptisol Oxic Haplustepts * AR 202 aT Inceptisol Typic Haplustepts * AR 203 aT Inceptisol Typic Haplustepts * TB 222 aT Inceptisol Typic Haplustepts * CD 304 aT Inceptisol Typic Haplustepts * CD 298 aT Inceptisol Typic Haplustepts * AR 219 aT Inceptisol Typic Haplustepts * AR 220 aT Inceptisol Typic Haplustepts * AR 253 aT Inceptisol Typic Haplustepts * AR 243 aT Inceptisol Typic Haplustepts * AR 217 aT Inceptisol Typic Haplustepts * AR 247 aT Inceptisol Typic Haplustepts * HI 167 aT Inceptisol Typic Haplustepts * AR 231 aT Inceptisol Typic Haplustepts * CD 274 aT Inceptisol Typic Haplustepts * CD 244 qT Inceptisol Typic Haplustepts * CD 276 aT Inceptisol Ustic Dystrudepts * CD 283 aT Inceptisol Ustic Dystrudepts * AR 240 aT Inceptisol Ustic Dystrudepts * CD 239 aT Molisoll Lithic Hapludolls * AR 248 aT Molisoll Typic Argiustolls * AR 254 aT Molisoll Typic Hapludolls * CD 282 aT Molisoll Typic Hapludolls * AR 244 dT Inceptisol Typic Eutrudepts * AR 221 gT Inceptisol Typic Haplustepts *
Tanda (*) yang sama menunjukkan letak pedon pada suatu poligon yang sama
Dari hasil uraian tersebut menunjukkan bahwa landform V.3.3 merupakan
satuan landform yang masih memiliki keragaman klasifikasi tanah yang tinggi,
walaupun landform, bahan induk, serta unsur-unsur pembentuk landform tersebut
telah dianggap homogen. Sehingga delineasi landform ke dalam landform V.3.3,
tidak dapat mendelineasi satuan tanah yang terdapat pada landform V.3.3 tersebut.
Dari seluruh pembahasan dapat diketahui bahwa tingkat keragaman
karakteristik tanah pada masing-masing landform tersebut tingkat keragamannya
masih tinggi walaupun faktor-faktor pembentuk tanahnya sudah dikelompokan
secara homogen. Selain itu, dalam setiap delineasi landform tidak dapat diprediksi
74
kondisi karagaman tanah yang terdapat dalam suatu poligon landform pada suatu
delineasi landform yang sama.
4.3. Karakteristik Tanah Penciri Klasifikasi yang Sulit Diduga dari
Landform
Landform pada dasarnya memiliki hubungan erat terkait dengan sifat-sifat
tanah. Hal ini dikarenakan landform merupakan tempat di mana terdapatnya
tanah. Delineasi landform merupakan suatu pendekatan analisis spasial faktor-
faktor pembentuk tanah yang dianggap secara homogen. Diharapkan dengan
homogennya faktor-faktor pembentuk tanah, karakteristik tanah yang dijumpai
akan homogen pula. Karakteristik tanah dalam hal ini dapat dicerminkan dari
nama klasifikasi tanah yang dihasilkan.
Akan tetapi, hasil kajian pada subbab sebelumnya menunjukkan bahwa
dalam suatu unit landform yang faktor-faktor pembentuk tanahnya sudah
dikelompokkan secara homogen masih dapat dijumpai keragaman karakteristik
tanah. Keragaman karakteristik tanah tersebut tercermin dalam perbedaan
klasifikasi tanah yang dijumpai. Oleh karena itu, perlu adanya identifikasi
mengenai karakteristik tanah penciri klasifikasi tanah yang sulit diduga oleh
landform berdasarkan nama klasifikasi tanah yang dijumpai.
Setelah dilakukan identifikasi karakteristik tanah berdasarkan nama
klasifikasi pada seluruh landform yang terdapat dalam penelitian ini, diperoleh
hasil yang menunjukkan bahwa karakteristik penciri tanah yang sulit diduga dari
suatu landform berbeda-beda antara satu landform dengan landform yang lainnya.
Perbedaan ini tergantung dari jenis karakteristik landform, seperti pada landform
yang dipengaruhi oleh daerah air (grup landform aluvial, fluvio-marin, dan marin)
tentunya memiliki karakteristik tanah penciri klasifikasi yang berbeda dengan
dengan jenis landform yang tidak dipengaruhi air (grup landform karst, tektonik,
dan volkanik).
Tabel 28 dan 29, menunjukkan contoh identifikasi karakteristik tanah
penciri klasifikasi yang sulit diduga dari landform A.1.3 dan T.12.1. Setiap pedon
75
tanah yang dijumpai pada landform tersebut kemudian dikelompokan berdasarkan
poligon dimana pedon tersebut dijumpai.
Tabel 28. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform A.1.3
Poligon Iklim BI Taksa yang berbeda
Sifat Penciri Taksa Jml Order Suborder Greatgroup Subgrup
1 B fK Vertisol Aquert Endoaquert Chromic Endoaquerts Vertic, Aquic, Chroma 1 fK Inceptisol Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 5
2 A fK Inceptisol Aquept Endoaquept Typic Endoaquepts Aquic 1 3 B fK Inceptisol Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1 4 A fK Inceptisol Aquept Endoaquept Plinthic Endoaquepts Aquic, Plinthic 1 5 A fK Inceptisol Udept Eutrudept Aquic Eutrudepts KB tinggi, Aquic 1
fK Inceptisol Aquept Endoaquept Plinthic Endoaquepts Aquic, Plinthic 6 6 A fK Entisol Orthent Ustorthent Typic Ustorthents Ustic 1 7 C fK Inceptisol Ustept Haplustept Vertic Haplustepts Ustic, Vertic 1 8 C fK Inceptisol Ustept Haplustept Oxyaquic Haplustepts Aquic 1 9 C fK Inceptisol Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1 10 C fK Inceptisol Udept Eutrudept Aquic Eutrudepts KB tinggi, Aquic 1
fK Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1 fqK Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Ustic, Fluvial 1 fqK Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1
11 C fK Vertisol Ustert Haplustert Chromic Haplusterts Vertic, Ustic, Chroma 1 fqK Typic Haplusterts Vertic, Ustic 1
12 C fK Vertisol Aquert Endoaquert Typic Endoaquerts Vertic, Aquic 2 fK Ustert Haplustert Typic Haplusterts Vertic, Ustic 1 fK Inceptisol Ustept Haplustept Vertic Haplustepts Ustic, Vertic 2
13 C fK Inceptisol Aquepts Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1 14 C fK Vertisol Aquert Endoaquert Typic Endoaquerts Vertic, Aquic 1 15 C fK Vertisol Aquert Endoaquert Typic Endoaquerts Vertic, Aquic 1
fqK Inceptisol Aquepts Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1 16 C fK Inceptisol Udept Eutrudept Fluventic Eutrudepts KB tinggi, Fluvial 1 17 C fK Vertisol Aquert Endoaquert Chromic Endoaquerts Vertic, Aquic, Chroma 1 18 C fK Vertisol Aquert Endoaquert Chromic Endoaquerts Vertic, Aquic, Chroma 1
fK Inceptisol Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1 fqK Vertisol Ustert Haplustert Typic Haplusterts Vertic, ustic 1
19 C fK Inceptisol Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1 20 C fK Inceptisol Ustept Haplustept Aquic Haplustepts Ustic, Aquic 1 21 B fK Inceptisol Aquept Endoaquept Typic Endoaquepts Aquic 1 22 C fK Inceptisol Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Aquic, dangkal 2
fK Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1 fK Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Ustic, Fluvial 1 fK Typic Haplusteps Ustic 1 fqK Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Aquic, dangkal 1
23 C fK Inceptisol Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Ustic, Fluvial 1 fK Vertic Haplustepts Ustic, Vertic 1 fqK Fluventic Haplustepts Ustic, Fluvial 1 fK Vertisol Ustert Haplustert Typic Haplusterts Vertic, Ustic 1
24 C fK Inceptisol Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1 fqK Aeric Endoaquepts Aquic, dangkal 1 fqK Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1
25 C fK Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 1 fqK Fluventic Haplustepts Ustic, Fluvial 1
26 C fK Inceptisol Ustept Haplustept Aquic Haplustepts Ustic, Aquic 1 27 C fK Inceptisol Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Ustic, Fluvial 1 28 C fK Vertisol Ustert Haplustert Typic Haplusterts Vertic, Ustic 1 29 C fqK Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 1 30 C fqK Inceptisol Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Ustic, Fluvial 1 31 C fK Vertisol Ustert Haplustert Chromic Haplusterts Vertic, Ustic, Chroma 1
76
Tabel 28 menunjukkan bahwa terdapat 31 poligon yang dijumpai pada
satuan landform A.1.3 beserta pedon-pedon pengamatan di dalamnya. Berbagai
keragaman karakteristik yang dicirikan oleh klasifikasi terjadi baik dalam internal
poligon maupun antar poligon dalam satu landform. Dalam satu poligon landform
A.1.3 terjadi keragaman klasifikasi tanah yang sudah terjadi pada kategori order
dengan bahan induk yang sama seperti yang terjadi pada poligon 1 dan 23 (Tabel
28). Keragaman lain yang terjadi dalam satu poligon ialah terjadinya keragaman
klasifikasi pada kategori suborder, greatgroup, atau subgroup dalam order yang
sama dengan bahan induk yang sama seperti ditunjukkan oleh poligon 5, 10, dan
12 (Tabel 28).
Keragaman klasifikasi yang terjadi akibat perbedaan bahan induk yang
dijumpai di lapangan dalam satu poligon landform A.1.3 dapat mengakibatkan
terjadinya perbedaan klasifikasi pada kategori order sepeti yang terjadi pada
poligon 15 (Tabel 28). Selain itu, tidak semua perbedaan bahan induk
mengakibatkan terjadinya perbedaan klasifikasi pada tingkat order, akan tetapi
hanya mengakibatkan terjadinya perbedaan klasifikasi pada kategori suborder,
greatgroup, atau subgroup yang masih berada dalam satu order seperti yang
terjadi pada poligon 10, 22, 24, dan 25 (Tabel 28).
Secara keseluruhan keragaman yang terjadi dalam satuan landform A.1.3
masih sangat tinggi. Selain karena setiap poligon dalam landform ini berbeda
antara satu dengan yang lainnya, ditambah dengan terjadinya keragaman
klasifikasi yang terjadi dalam internal poligon itu sendiri. Selain itu karakteristik
tanah yang secara umum dapat dijumpai pada satuan landform A.1.3 ini adalah
sifat aquik dan sifat vertik, walaupun tidak semua tanah yang dijumpai pada
landform tersebut memiliki kedua sifat tersebut.
Kedua sifat tersebut merupakan sifat penciri yang paling utama karena
muncul pada kategori unsur pembentuk klasifikasi tanah yang paling tinggi,
semakin karakteristik unsur pembentuk klasifikasi muncul pada kategori
taksonomi yang lebih rendah semakin lemah pula pengaruh sifat karakteristik
tersebut dalam klasifikasi tanah. Selain itu, walaupun terdapat karakteristik
penciri klasifikasi yang muncul pada unsur pembentuk subgroup, delineasi
77
landform A.1.3 ini masih belum dapat menduga tanah-tanah yang bersifat vertic,
memiliki solum dalam atau dangkal, mempunyai warna dengan chroma tertentu,
dan sebagainya.
Tabel 29. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform T.12.1
Poligon Iklim BI Taksa yang berbeda
Sifat Penciri Taksa Jml Order Suborder Greatgroup Subgrup
1 A cT Mollisol Udoll Hapludoll Lithic Hapludolls Mollic, Udic, Lithic 2
fkT Inceptisol Udept Eutrudept Typic Eutrudepts Udic, KB tinggi 2
2 A cT Mollisol Udoll Hapludoll Lithic Hapludolls Mollic, Udic, Lithic 1 3 C cT Vertisol Ustert Haplustert Calcic Hasplusterts Vertic, Ustic, Calcic 1 4 C fkT Inceptisol Ustept Haplustept Lithic Haplustepts Ustic, Lithic 1
Entisol Orthent Ustorthent Lithic Usthortents Recent, Lithic 1
fT Alfisol Ustalf Haplustalf Typic Haplustalfs KB tinggi, Ustic 1
kT Inceptisol Ustept Haplustept Vertic Haplustepts Ustic, vertic 1
5 C cT Inceptisol Ustept Haplustept Vertic Haplustepts Ustic, vertic 1
C fkT Mollisol Ustol Haplustoll Lithic Haplustolls Mollic, Ustic, Lithic 1
C fkT Mollisol Ustol Argiustoll Typic Argiustolls Mollic, Argilik 2
C fkT Inceptisol Ustept Haplustept Vertic Haplustepts Ustic, vertic 2
C fkT Mollisol Ustol Haplustoll Vertic Haplustolls Mollic, ustic, vertic 1
C qT Entisol Orthent Ustorthent Lithic Usthortents Recent, Ustic, Lithic 1
C qT Entisol Psamment Ustipsamment Typic Ustipsamments Recent, Pasir, Ustic 1
6 C fkT Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 1
C fT Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 1
C kT Mollisol Ustoll Haplustoll Typic Haplustolls Mollic, ustic 1
7 C fkT Entisol Orthent Ustorthent Typic Ustorthents Recent, ustic 1
C kT Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 1
8 C fT Entisol Orthent Ustorthent Lithic Ustorthents Recent, Ustic, Lithic 1
C kT Inceptisol Ustept Haplustept Lithic Haplustepts Ustic, Lithic 1
C kT Inceptisol Ustept Haplustept Vertic Haplustepts Ustic, vertic 1
C qkT Mollisol Ustoll Haplustoll Typic Haplustolls Mollic, ustic 1
9 C kT Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 1 10 C kT Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 2 11 C cT Alfisol Ustalf Rodustalf Lithic Rodustalfs KB tinggi, Ustic,
Rodic, Lithic 1
12 C cT Vertisol Ustert Haplustert Typic Haplusterts Vertic, Ustic 1 13 C kT Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 1 14 A fqT Ultisol Udults Hapludult Lithic Hapludults Argilik, Udic, Lithic 1 14 A fqT Entisol Orthent Udoerthent Typic Udorthents Recent, Udik 1 15 A qT Ultisol Humult Haplohumult Typic Haplohumults Argilik, BO tinggi 1 16 C kT Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 1
C qkT Mollisol Ustoll Haplustoll Lithic Haplustolls Mollic, Ustic, Lithic 1
17 C kT Mollisol Ustoll Haplustoll Typic Haplustolls Mollic, ustic 1 18 C qkT Entisol Orthent Ustorthent Typic Ustorthents Recent, ustic 1 19 C kT Inceptisol Ustept Haplustept Vertic Haplustepts Ustic, vertic 1
Tabel 29 memperlihatkan 19 poligon landform yang dijumpai pada
landform T.12.1 beserta pedon-pedon pengamatan di dalamnya. Perbedaan bahan
induk yang terdapat dalam satu poligon landform T.12.1 membawa perbedaan
klasifikasi pada kategori order. Sehingga dalam satuan landform T.12.1 peran
bahan induk tanah akan sangat menentukan jenis tanah yang kemudian akan
dihasilkan.
Selain itu Tabel 29 memuat contoh identifikasi karakteristik yang sulit
diduga oleh landform T.12.1 menunjukkan bahwa pada kategori suborder, unsur
78
pembentuk klasifikasinya hampir seluruhnya didominasi oleh regim kelembaban
iklim. Dengan demikian delineasi landform T.12.1 hanya dapat menduga tanah-
tanah yang dijumpai pada landform ini tidak bersifat aquic.
Pada kategori subgroup, karakteristik penciri tanah yang mayoritas
muncul dalam delineasi landform T.12.1 adalah sifat kedalaman solum dan sifat
vertik. Dengan demikian delineasi landform T.12.1 ini masih belum dapat
menduga apakah tanah-tanah yang terdapat dalam landform tersebut memiliki
ketebalan solum yang dalam atau dangkal dan menduga tanah-tanah yang
memiliki sifat vertic atau tidak.
Tidak semua identifikasi karaktersitik tanah penciri klasifikasi yang sulit
diduga landform ditampilkan seluruhnya, hanya landform yang sebelumnya
menjadi pewakil dalam setiap landform utama yang akan ditampilkan. Tabel 30
memperlihatkan karakteristik tanah yang sulit diduga oleh landform pada
landform A.1.3, B.3, K.3, M.2.2, T.12.1, & V.3.3.
Tabel 30 menunjukkan bahwa karakteristik tanah yang sulit diduga oleh
landform berbeda antara satu landform dengan landform yang lainnya. Hal ini
disebabkan oleh faktor lingkungan yang dijumpai dalam suatu unit landform
berbeda antara satu dengan yang lain. Kelompok landform yang termasuk
landform yang dipengaruhi oleh air, hanya landform M.2.2 yang dapat menduga
tanahnya bersifat aquic berdasarkan data klasifikasi tanah yang dijumpai.
Sedangkan landform lain yang juga termasuk ke dalam landform yang secara
umum bersifat aquic yaitu landform A.1.3 dan B.3 tidak dapat menduga apakah
tanahnya bersifat aquic atau tidak.
Tabel 30. Karakteristik Tanah yang Sulit Diduga dari Landform Landform Karakteristik penciri tanah
A.1.3 (Dataran Aluvial) Kejenuhan Air; Kedalaman solum; Sifat vertic; C-organik; Warna chroma; Sifat plinthic.
B.3 (Dataran Fluvio-Marin) Kejenuhan Air; Kedalaman solum; Sifat vertic; C-organik; Natrium; Bahan sulfidik.
K.3 (Perbukitan Karst) Kedalaman solum; Sifat Vertic; Tekstur. M.2.2 (Dataran Pasang Surut Lumpur) Kedalaman solum; Bahan sulfidik. T.12.1 (Perbukitan Tektonik) Kedalaman solum; Sifat Vertic; Tekstur, C-
organik; Sifat Calcic. V.3.3 (Pengunungan Volkanik Tua) Kedalaman solum; Kejenuhan air; Tekstur; KB;
KTK liat.
79
Sementara itu, landform-landform yang berada pada daerah kering (K.3,
T.1.2.1, & V.3.3) hampir semuanya tidak bisa menduga karakteristik kedalaman
solum tanah, apakah kedalaman tanah yang terdapat dalam delineasi landform
tersebut memiliki ketebalan solum yang dangkal ataukah dalam. Hal ini ditandai
dengan munculnya unsur pembentuk klasifikasi Lithic dan Typic pada klasifikasi
tanah yang dijumpai pada landform tersebut. Dengan demikian, hasil identifikasi
karakteristik tanah penciri yang sulit diduga oleh landform tidak dapat
menyimpulkan suatu karakteristik penciri yang sulit diduga oleh landform yang
berlaku untuk semua landform.
4.4. Keragaman Karakteristik Tanah pada Suatu Unit Landform
berdasarkan Data lapang dan Laboratorium
Setelah diketahui bahwa karakteristik tanah yang dicerminkan oleh
klasifikasi dalam delineasi landform menurut LREPP II masih sangat beragam.
Dalam subbab ini akan diamati tingkat keragaman karakteristik tanah penciri
berdasarkan sifat kimianya tanpa melihat klasifikasi tanah yang dijumpai pada
suatu unit landform. Untuk mengetahui hal tersebut, digunakan analisis statistik
koefisien keragaman untuk mengetahui sejauh mana tingkat keragaman
karakteristik tanah dilihat dari data morfologi lapang dan analisis laboratorium
dalam suatu landform.
Diperlukan adanya analisis perbandingan antara nilai koefisien keragaman
(KK) sifat-sifat tanah penciri pada setiap unit landform dengan nilai koefisien
keragaman (KK) sifat tanah penciri antar landform. Nilai koefisien Keragaman
(KK) sifat tanah penciri antar landform berasal dari seluruh nilai sifat-sifat tanah
yang terdapat pada 64 landform yang dianalisis dalam penelitian ini (Tabel 4).
Sifat-sifat tanah penciri yang akan dibandingkan nilai koefisien
keragamannya (KK) antara lain tebal solum, rasio perbandingan persentase liat
horison A dan B, derajat kemasaman tanah (pH), kandungan C-organik tanah,
Kapasitas Tukar Kation (KTK), KTK liat, dan Kejenuhan Basa (KB). Tidak
semua landform nilai koefisien keragaman sifat-sifat tanah pencirinya akan
80
dibahas, hanya landform yang memiliki pedon terbanyak pada masing-masing
grup landform LREPP II yang telah dibahas pada subbab sebelumnya.
Tabel 31. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Masing-masing Landform dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform
KK (%) LREPP Tebal Liat pH C KTK KTK Liat KB
II Solum A/B A B A B A B A B A B A.1.3 33,52 32,84 15,78 14,06 50,99 44,70 30,34 32,73 37,96 31,44 35,51 37,66 B.3 43,39 16,80 18,33 18,52 52,26 44,55 22,02 28,71 25,24 27,72 40,85 52,21 K.3 51,03 60,41 1,86 3,05 76,23 58,03 20,40 15,46 110,28 80,17 5,77 9,66
M.2.2 95,28 28,96 12,23 2,52 87,51 15,82 18,70 15,40 28,00 16,30 53,51 38,38 T.12.1 67,33 45,54 14,43 13,14 43,45 53,13 42,31 42,74 73,31 128,60 51,77 62,19 V.3.3 51,56 14,06 6,98 6,01 45,84 68,67 41,31 41,22 65,04 71,07 29,88 27,41
Antar LF 44,19 63,59 16,55 15,09 64,58 75,08 37,01 35,56 71,77 77,27 70,99 56,27 *Kolom A dan B menunjukkan jenis horison (horison A dan horison B) Kolom A/B menunjukkan rasio perbadingan antara horison A dengan horison B
4.4.1. Landform Dataran Aluvial (A.1.3)
Karakteristik tanah penciri yang terdapat dalam landform dataran aluvial
ini tergolong dalam kelas kelas keragaman rendah – sedang. Walaupun apabila
dilihat dari segi klasifikasinya cukup beragam. Pada landform ini, karakteristik
tanah penciri internal landform A.1.3 nilai koefisien keragamannya tidak ada yang
melebihi nilai karakteristik tanah penciri eksternal (Tabel 31).
4.4.2. Landform Fluvio-Marin (B.3)
Karakteristik tanah penciri yang terdapat dalam landform dataran fluvio-
marin ini tergolong dalam kelas kelas keragaman rendah – sedang. Walaupun
apabila dilihat dari segi klasifikasinya cukup beragam. Pada landform ini,
karakteristik tanah penciri internal landform B.3 nilai koefisien keragamannya ada
yang melebihi nilai karakteristik tanah penciri eksternal yaitu pada karakteristik
pH tanah (Tabel 31).
Karakteristik pH tanah pada horison A maupun pada horison B apabila
dilihat dari nilai KK pada karakteristik pH tanah yang terdapat dalam landform
B.3 ini termasuk kedalam kelas keragaman rendah lebih tinggi daripada nilai KK
pada karakteristik pH antar landformnya. Sehingga pada landform ini karakteristik
pH tanah tidak dapat dijadikan penciri pada landform ini.
81
4.4.3. Landform Perbukitan Karst (K.3)
Karakteristik tanah penciri yang terdapat dalam landform perbukitan karst
ini tergolong dalam kelas kelas keragaman sangat rendah – tinggi. Karakteristik
tanah penciri yang termasuk ke dalam kelas keragaman sangat rendah adalah pada
pH tanah, sementara yang termasuk ke dalam kelas keragaman tinggi adalah
karakteristik KTK liat. Pada landform ini, Terdapat 2 karakteristik tanah penciri
internal landform K.3 yang nilai koefisien keragamannya melebihi nilai
karakteristik tanah penciri eksternal (Tabel 31).
Karakteristik tersebut adalah tebal solum dan KTK liat baik itu KTK liat
pada horison A maupun pada horison B. Kelas keragaman untuk nilai koefisien
keragaman (KK) untuk karakteristik KTK liat tergolong ke dalam kelas
keragaman tinggi. Sehingga karakteristik tebal solum dengan KTK liat tidak dapat
dijadikan penciri pada landform ini.
4.4.4. Landform Dataran Pasang Surut Lumpur (M.2.2)
Karakteristik tanah penciri yang terdapat dalam landform dataran pasang
surut lumpur ini tergolong dalam kelas kelas keragaman sangat rendah – tinggi.
Karakteristik tanah penciri yang termasuk ke dalam kelas keragaman sangat
rendah adalah pada pH tanah, kadar C-organik pada horison B, dan KTK pada
horison B. Sementara yang termasuk ke dalam kelas keragaman tinggi adalah
karakteristik tebal solum, kadar C-organik pada horison A, dan KB pada Horison
B. Pada landform ini, Terdapat 2 karakteristik tanah penciri internal landform
M.2.2 yang nilai koefisien keragamannya melebihi nilai karakteristik tanah
penciri eksternal (Tabel 31).
Karakteristik tersebut adalah tebal solum dan C-organik pada horison A.
Kelas keragaman untuk nilai koefisien keragaman (KK) untuk tebal solum dan C-
organik pada horison A tergolong ke dalam kelas keragaman tinggi. Sehingga
karakteristik tebal solum dan C-organik pada horison A tidak dapat dijadikan
penciri pada landform ini.
82
4.4.5. Landform Perbukitan Tektonik (T.12.1)
Karakteristik tanah penciri yang terdapat dalam landform perbukitan
tektonik ini tergolong dalam kelas kelas keragaman sangat rendah – tinggi.
Karakteristik tanah penciri yang termasuk ke dalam kelas keragaman sangat
rendah adalah pada pH tanah, sementara yang termasuk ke dalam kelas
keragaman tinggi adalah karakteristik tebal solum dan KTK liat. Pada landform
ini, Terdapat 4 karakteristik tanah penciri internal landform T.12.1 yang nilai
koefisien keragamannya melebihi nilai karakteristik tanah penciri eksternal (Tabel
31). Karakteristik tersebut adalah tebal solum dan C-organik pada horison A.
Sehingga karakteristik tersebut tidak dapat dijadikan penciri pada landform ini.
4.4.6. Landform Pegunungan Volkanik Tua (V.3.3)
Karakteristik tanah penciri yang terdapat dalam landform pegunungan
volkanik tua tergolong dalam kelas kelas keragaman sangat rendah – tinggi.
Karakteristik tanah penciri yang termasuk ke dalam kelas keragaman sangat
rendah adalah pada rasio pebandingan liat horison A & B dan pH tanah.
Sementara yang termasuk ke dalam kelas keragaman tinggi adalah karakteristik
C-organik dan KTK liat pada horison B. Pada landform ini, Terdapat 2
karakteristik tanah penciri internal landform V.3.3 yang nilai koefisien
keragamannya melebihi nilai karakteristik tanah penciri eksternal (Tabel 31).
Karakteristik tersebut adalah tebal solum dan KTK tanah horison A dan B. Kelas
keragaman pada 2 karakteristik tanah tersebut tergolong ke dalam kelas
keragaman sedang. Sehingga karakteristik tersebut tidak dapat dijadikan penciri
pada landform ini.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Keragaman karakteristik tanah pada suatu satuan landform yang
didefinisikan LREPP II masih tinggi dan dapat menyebabkan keragaman
klasifikasi tanah pada satuan hierarki klasifikasi tanah dari tingkat subgroup
hingga tingkat order. Landform tidak serta merta dapat dijadikan batas delineasi
satuan peta tanah, walaupun berdasarkan konsep klasifikasi landform yang
digunakan, satuan tersebut diasumsikan sudah sangat homogen dilihat dari faktor-
faktor pembentuk tanahnya. Karakteristik penciri klasifikasi tanah yang sulit
diduga oleh landform berdasarkan klasifikasi tanahnya tergantung dari satuan
landform masing-masing, hal ini dikarenakan setiap landform memiliki faktor
lingkungan dan karakteristik tanahnya masing-masing sehingga karakteristik
tanah penciri yang sulit diduga landform berbeda satu sama lainnya.
5.2. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan database pemetaan
tanah tingkat semidetil menggunakan sistem landform lain (non LREPP II). Selain
itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari faktor penyebab
karakteristik tanah yang sulit diduga oleh landform pada masing- masing satuan
landform berbeda antara satu dengan yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Baskoro, D.P.T. 1986. Keragaman Lateral Hantaran Hidrolik Jenuh, Stabilitas Agregat, dan Air tersedia Lapisan Atas Pada Suatu Profil Lereng Di Daerah Ciapus-Bogor [skirpsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Bloom, A. L. 1979. Geomorphology. Depatement of Geological Science. Cornel
University. New Delhi. Buol, S. W., E. D. Hole, R. J. McCracken. 1980. Soil Genesis and Classification
Second Edition. Ames: The Lowa University Press. Buurman, P. dan T. Balsem. 1990. Land Unit Classification the Reconaissance
Soil. Survey of Sumatera Tech. Rep no 3. Center for Soil and Agroclimat Research.
[CSAR] Center For Soil And Agroclimate Research. 1996. Kerangka Acuan
Survei Tanah Semi-Detail Daerah Prioritas. LREPP II. Bogor. Desaunettes, J. R. Catalogue of Landform for Indonesia. Working Paper No. 13.
AGL/TF/INS/44. Bogor: SRI Gerrard, A. J. 1980. Soils and Landform. Departement of Geography. University
of Birmingham. Hanafiah, K. A. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. RajaGrafindo Persada: Jakarta. Hikmatulah dan A. Hidayat. 2007. Tinjauan Pemetaan Sumberdaya Lahan Di
Indonesia: strategi penyelesaian dan alternatif teknologinya. Jurnal Sumberdaya Lahan 1 (3): 43-56.
Puslitanak. 1995. Laporan Akhir Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah
Tingkat Semidetil (Skala 1:50.000) Daerah DAS Citarum Bawah Provinsi Jawa Barat. Bogor: Puslitanak.
Puslitanak. 1995. Laporan Akhir Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah
Tingkat Semidetil (Skala 1:50.000) Daerah DAS Grindulu Provinsi Jawa Timur. Bogor: Puslitanak.
Puslitanak. 1995. Laporan Akhir Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah
Tingkat Semidetil (Skala 1:50.000) Daerah Pantai Timur Laut (Tuban-Gresik) Provinsi Jawa Timur. Bogor: Puslitanak.
Puslitanak. 1995. Laporan Akhir Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah
Tingkat Semidetil (Skala 1:50.000) Daerah Semarang Provinsi Jawa Tengah. Bogor: Puslitanak.
85
Puslitanak. 1996. Laporan Akhir Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah Tingkat Semidetil (Skala 1:50.000) Daerah Dataran Bena Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bogor: Puslitanak.
Puslitanak. 1996. Laporan Akhir Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah
Tingkat Semidetil (Skala 1:50.000) Daerah Dataran Besikama Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bogor: Puslitanak.
Puslitanak. 1996. Laporan Akhir Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah
Tingkat Semidetil (Skala 1:50.000) Daerah Oesao Provinsi Nusa Tenggara Timur. Bogor: Puslitanak.
Puslitanak. 1996. Laporan Akhir Survei dan Pemetaan Sumberdaya Tanah
Tingkat Semidetil (Skala 1:50.000) Daerah Pangkalan Bun Provinsi Kalimatan Tengah. Bogor: Puslitanak.
Marsoedi et al. 1997. Pedoman Klasifikasi Landform. LREPP II. Center For Soil
And Agroclimate Research. Bogor. Rachim, D. A. 2001. Mengenal Taksonomi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rachim, D. A. dan Suwardi. 2002. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Jurusan
tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Rayes, M. L. 2006. Metode Inventarisasi Sumberdaya Lahan. Yogyakarta: Andi
Yogyakarta. Sitorus, S. R. P. 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Bandung: Tarsito. Soil Survey Staff. 1951. Soil Survey Manual. Washington: USDA. Suwardi dan Hidayat W. 2000. Penuntun Praktikum Morfologi dan Klasifikasi
Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Tafakresnanto, Chendy. 2009. Proposal Penelitian Pengembangan Metodolologi
Identifikasi dan Evaluasi Potensi Sumberdaya Lahan melalui Analisis Data Base Tanah dengan memanfaatkan Citra Satelit dan DEM. Program Study Ilmu Tanah. Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Tan, K. H. 1994. Environmental Soil Science. The University of Georgia. Athens,
Georgia. Thornbury, W.D. 1969. Principles of Geomorfologi Second Edition. Departement
of Geologi. Indiana University.
86
Wiradisastra, U.S., dkk. 1999. Geomorfologi dan Analisis Lanskap. Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi. IPB. Bogor
Young, Anthony. 1976. Tropical Soil And Soil Survey. Cambridge: Cambridge
University Press.
LAMPIRAN
88
Tabel Lampiran 1. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform A.1.3 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform
LF/BI/Iklim KK (%)
K S Liat pH C KTK KTK Liat KB A/B A B A B A B A B A B
A.13/fK/A 36,94 13,34 15,55 13,32 38,10 31,64 14,29 23,34 14,68 21,95 34,34 17,24 A.13/fK/B 39,41 6,42 6,18 9,19 31,27 42,71 23,06 11,09 16,92 11,60 10,08 8,87 A.13/fK/C 32,20 36,55 9,20 8,69 57,87 34,16 29,73 31,44 34,69 37,87 30,27 34,64 A.13/fK 33,75 30,96 16,82 14,89 50,99 34,34 28,23 29,44 31,57 34,08 35,90 34,81 A.13/fqK/B - - - - - - - - - - - - A.13/fqK/C 32,38 41,16 9,51 7,47 45,31 78,93 39,67 47,43 57,56 20,76 34,73 44,49 A.13/fqK 30,97 39,73 10,73 10,33 47,54 77,10 37,81 45,07 55,72 19,85 34,33 44,20 A.13 33,52 32,84 15,78 14,06 50,99 44,70 30,34 32,73 37,96 31,44 35,51 37,66 Antar LF 44,19 63,59 16,55 15,09 64,58 75,08 37,01 35,56 71,77 77,27 70,99 56,27
Tabel Lampiran 2. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform B.3 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform
LF/BI/Iklim KK (%)
K S Liat pH C KTK KTK Liat KB A/B A B A B A B A B A B
B.3/fK/A - - - - - - - - - - - - B.3/fK/B 43,23 19,37 8,86 16,98 32,61 53,85 17,54 10,78 21,99 25,95 15,28 10,65 B.3/fK/C 39,75 12,46 9,55 12,42 37,00 40,77 23,18 28,66 23,07 26,92 34,09 39,18 B.3/fk 40,20 16,05 18,92 19,39 34,55 43,95 19,96 22,52 22,76 28,70 40,90 45,46 B.3/fqK/B - - - - - - - - - - - - B.3/fqK/C 0,00 5,61 10,14 5,64 15,50 62,27 43,44 18,32 38,96 15,69 47,42 2,99 B.3/fqK 68,48 5,61 15,85 5,64 77,37 62,27 33,49 18,32 27,47 15,69 38,97 2,99 B.3 43,39 16,80 18,33 18,52 52,26 44,55 22,02 28,71 25,24 27,72 40,85 52,21 Antar LF 44,19 63,59 16,55 15,09 64,58 75,08 37,01 35,56 71,77 77,27 70,99 56,27
Tabel Lampiran 3. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform K.3 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform
LF/BI/Iklim KK (%)
K S Liat pH C KTK KTK Liat KB A/B A B A B A B A B A B
K.3/cT/C 51,03 60,41 1,86 3,05 76,23 58,03 20,40 15,46 110,28 80,17 5,77 9,66 Antar LF 44,19 63,59 16,55 15,09 64,58 75,08 37,01 35,56 71,77 77,27 70,99 56,27
Tabel Lampiran 4. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform M.22 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform
LF/BI/Iklim
KK (%)
K S Liat pH C KTK KTK Liat KB
A/B A B A B A B A B A B M.2.2/fK/A 12,86 - 5,66 - 2,02 - 3,60 - 1,02 - 39,84 - M.2.2/fK/B - - - - - - - - - - - - M.2.2/fK/C 76,78 28,96 10,67 2,52 126,62 15,82 18,93 15,40 29,05 16,30 57,55 38,38 M.2.2 95,28 28,96 12,23 2,52 87,51 15,82 18,70 15,40 28,00 16,30 53,51 38,38 Antar LF 44,19 63,59 16,55 15,09 64,58 75,08 37,01 35,56 71,77 77,27 70,99 56,27
89
Tabel Lampiran 5. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform T.121 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform
LF/BI/Iklim KK (%)
K S Liat pH C KTK KTK Liat KB
A/B A B A B A B A B A B
T.1.2.1/cT/A 39,76 4,65 11,49 10,75 8,51 16,04 19,05 15,77 34,75 38,05 7,81 5,87
T.1.2.1/cT/C 30,82 32,31 6,79 3,18 39,46 88,92 15,68 12,51 88,75 141,31 25,97 31,21
T.1.2.1/cT 42,02 23,87 11,49 11,87 27,99 60,26 26,50 30,02 87,35 141,66 21,15 33,95
T.1.2.1/fkT/A 3,34 0,27 2,71 9,20 43,35 56,40 20,91 33,48 18,96 31,82 2,40 19,84
T.1.2.1/fkT/C 83,07 79,99 6,65 8,31 50,76 45,03 32,67 21,60 77,30 38,83 6,53 5,34
T.1.2.1/fkT 74,92 72,89 8,19 8,45 49,91 44,75 33,98 33,76 73,69 35,82 6,39 19,79
T.1.2.1/fqT/A 72,28 - 9,87 - 3,07 - 90,42 - 0,72 - 100,03 -
T.1.2.1/fqT 72,28 - 9,87 - 3,07 - 90,42 - 0,72 - 100,03 -
T.1.2.1/fT/C 67,47 37,43 10,83 0,00 67,75 88,87 27,97 57,74 36,83 47,06 45,24 0,00
T.1.2.1/fT 67,47 37,43 10,83 0,00 67,75 88,87 27,97 57,74 36,83 47,06 45,24 0,00
T.1.2.1/kT/C 48,39 28,60 4,41 2,18 50,95 42,44 28,66 31,58 31,21 22,84 35,68 50,66
T.1.2.1/kT 48,39 28,60 4,41 2,18 50,95 42,44 28,66 31,58 31,21 22,84 35,68 50,66
T.1.2.1/qkT/C 61,01 20,38 6,84 2,81 19,09 23,11 63,19 78,89 16,04 37,10 60,97 75,80
T.1.2.1/qkT 61,01 20,38 6,84 2,81 19,09 23,11 63,19 78,89 16,04 37,10 60,97 75,80
T.1.2.1/qT/A - - - - - - - - - - - -
T.1.2.1/qT/C 9,43 - 3,14 - 3,01 - 71,90 - 57,95 - 0,00 -
T.1.2.1/qT 108,28 - 27,34 - 14,75 - 69,58 - 84,46 - 76,61 -
T.121 67,33 45,54 14,43 13,14 43,45 53,13 42,31 42,74 73,31 128,60 51,77 62,19 Antar LF 44,19 63,59 16,55 15,09 64,58 75,08 37,01 35,56 71,77 77,27 70,99 56,27
Tabel Lampiran 6. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Landform V.33 dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform
LF/BI/Iklim KK (%)
K S Liat pH C KTK KTK Liat KB A/B A B A B A B A B A B
V.3.3/aT/A 49,44 22,01 4,84 5,94 64,15 63,47 27,61 28,60 44,18 50,46 40,22 34,87 V.3.3/aT/B 52,34 12,53 7,49 5,94 41,96 71,86 33,86 37,34 39,75 54,11 25,18 21,69 V.3.3/aT 51,11 14,36 7,08 5,93 47,18 69,62 34,77 37,03 40,92 52,81 28,62 25,86 V.3.3/dT/A - - - - - - - - - - - - V.3.3/gT/B - - - - - - - - - - - - V.33 51,56 14,06 6,98 6,01 45,84 68,67 41,31 41,22 65,04 71,07 29,88 27,41 Antar LF 44,19 63,59 16,55 15,09 64,58 75,08 37,01 35,56 71,77 77,27 70,99 56,27
90
Tabel Lampiran 7. Perbandingan antara Koefisien Keseragaman (KK) Internal Karakteristik Tanah pada Masing-masing Landform dan Koefisien Keseragaman (KK) Karakteristik Tanah antar Landform
No. KK (%)
LREPP Tebal Liat pH C KTK KTK Liat KB II Solum A/B A B A B A B A B A B
1 A.111 81,22 8,25 5,34 6,45 28,83 34,68 40,72 36,82 70,28 74,33 15,31 12,96 2 A.1121 31,62 47,35 18,08 14,40 37,30 40,58 31,13 41,57 56,11 41,78 58,66 76,05 3 A.1122 30,01 8,13 9,73 4,55 67,14 60,97 12,29 11,06 11,23 21,30 15,84 47,66 4 A.1126 1,99 24,73 3,82 0,30 20,04 38,44 17,79 13,14 20,79 41,21 36,82 32,61 5 A.1127 71,02 41,52 19,46 19,79 62,28 29,97 16,76 27,17 22,60 8,51 75,91 47,22 6 A.1128* 84,16 - 4,45 - 17,37 - 44,72 - 25,67 - 32,21 - 7 A.113 4,22 5,60 3,07 4,22 52,19 54,04 21,66 18,77 15,95 8,38 5,24 40,41 8 A.12 37,09 54,81 17,63 13,36 26,04 56,02 29,63 40,21 34,99 45,60 44,68 31,56 9 A.121 60,99 26,05 14,50 13,11 48,65 22,72 50,26 11,27 26,29 16,61 66,15 58,85 10 A.123** - - - - - - - - - - - - 11 A.13 33,52 32,84 15,78 14,06 50,99 44,70 30,34 32,73 37,96 31,44 35,51 37,66 12 A.14 36,67 15,17 14,37 14,72 126,06 69,92 34,80 42,93 21,98 40,55 57,42 60,53 13 A.15 44,01 19,45 14,52 17,58 32,24 44,62 26,73 27,21 15,69 19,32 10,29 1,56 14 A.2 41,08 35,88 11,72 10,10 27,21 39,26 44,07 28,52 18,81 27,20 27,48 22,77 15 A.211** - - - - - - - - - - - - 16 A.213 43,64 34,34 22,91 14,99 42,54 37,11 53,53 24,70 7,44 7,01 67,06 57,27 17 A.22 2,81 17,43 4,75 2,30 40,87 12,25 22,94 10,60 6,45 2,42 9,81 3,68 18 A.221 48,35 17,31 9,28 4,85 30,65 40,30 53,15 62,15 27,68 34,66 43,52 63,79 19 A.222 - - - - - - - - - - - - 20 B.12* 99,52 - 2,85 - 66,27 - 12,75 - 36,13 - 50,89 - 21 B.3 43,39 16,80 18,33 18,52 52,26 44,55 22,02 28,71 25,24 27,72 40,85 52,21 22 K.11** - - - - - - - - - - - - 23 K.12 108,15 6,24 3,93 13,73 26,26 18,42 2,83 12,19 5,67 23,99 14,57 48,24 24 K.13** - - - - - - - - - - - - 25 K.2 9,32 7,96 1,81 1,61 38,57 18,48 24,26 37,65 29,61 32,79 14,75 25,01 26 K.21* 28,28 - 5,51 - 63,08 - 4,67 - 4,67 - 24,89 -
91
Lanjutan Tabel Lampiran 7
No. KK (%)
LREPP Tebal Liat pH C KTK KTK Liat KB II Solum A/B A B A B A B A B A B
27 K.3 51,03 60,41 1,86 3,05 76,23 58,03 20,40 15,46 110,28 80,17 5,77 9,66 28 K.31** - - - - - - - - - - - - 29 K.5** - - - - - - - - - - - - 30 M.11* 21,21 - 1,29 - 62,85 - 59,53 - 60,64 - 96,70 - 31 M.112** - - - - - - - - - - - - 32 M.12* 35,36 - 15,71 - 101,02 - 35,15 - 13,07 - 19,84 - 33 M.13* 35,36 - 1,75 - 82,72 - 54,36 - 96,14 - 85,18 - 34 M.17 59,82 9,62 3,91 5,47 50,35 12,24 51,08 7,17 78,20 40,92 48,29 12,81 35 M.22 95,28 28,96 12,23 2,52 87,51 15,82 18,70 15,40 28,00 16,30 53,51 38,38 36 M.3** - - - - - - - - - - - - 37 M.32 33,29 3,54 5,97 6,77 31,56 50,21 20,11 19,87 7,22 5,40 69,55 50,57 38 M.33** - - - - - - - - - - - - 39 T.102** - - - - - - - - - - - - 40 T.103 64,32 26,56 16,78 19,17 117,21 25,40 37,92 25,67 7,93 17,86 58,70 54,88 41 T.111 26,82 41,93 20,67 20,29 53,18 52,33 87,84 119,20 63,96 55,06 126,97 124,72 42 T.112 38,99 19,87 22,71 20,59 52,73 87,23 80,36 97,45 82,60 95,68 82,35 83,49 43 T.113 40,27 40,57 28,48 26,03 43,54 56,77 63,38 57,54 48,36 42,90 64,98 76,26 44 T.12** - - - - - - - - - - - - 45 T.121 67,33 45,54 14,43 13,14 43,45 53,13 42,31 42,74 73,31 128,60 51,77 62,19 46 T.122 41,14 33,80 2,15 3,28 31,45 29,57 24,76 24,07 33,89 30,19 35,00 48,67 47 T.55 96,17 - 2,93 - 39,22 - 75,23 - 2,17 - 20,98 - 48 T.61 64,59 32,45 11,29 17,10 29,82 37,32 45,19 48,66 50,89 68,44 33,60 66,98 49 T.62 24,07 - 0,92 - 4,33 - 0,74 - 83,96 - 4,03 - 50 T.64 6,43 36,24 3,93 0,96 51,07 15,46 35,83 45,34 105,84 79,30 5,95 2,09 51 T.65 41,02 39,58 4,79 2,97 28,97 28,91 34,89 44,74 29,33 34,21 18,66 45,58 52 T.8 54,68 32,37 12,69 13,98 117,51 74,13 40,87 34,66 167,04 72,71 28,53 42,69 53 T.921 33,88 26,66 3,55 8,83 97,33 40,40 29,33 34,40 62,37 31,80 10,99 16,90
92
Lanjutan Tabel Lampiran 7
No.
KK (%)
LREPP Tebal Liat pH C KTK KTK Liat KB
II Solum A/B A B A B A B A B A B
54 V.113 44,74 37,68 5,74 10,44 49,12 105,51 19,63 36,53 52,90 79,20 84,84 82,92
55 V.114 15,85 76,28 11,71 16,18 86,02 48,51 32,86 16,99 56,67 111,27 37,01 53,01
56 V.115 32,92 39,75 9,67 12,29 62,24 146,21 21,85 23,15 41,26 87,99 28,90 55,99
57 V.13 31,86 38,10 4,12 2,06 89,93 115,16 8,26 31,00 88,95 121,79 103,71 32,68
58 V.16 75,71 19,28 13,56 18,02 22,90 32,65 39,09 38,42 53,73 33,64 45,86 75,94
59 V.22 30,98 29,31 11,20 10,69 34,78 112,50 50,59 54,38 120,98 104,45 50,22 59,12
60 V.31 57,46 77,71 22,46 21,44 44,51 19,22 50,50 57,32 98,17 64,29 86,10 111,00
61 V.32 54,72 26,56 18,47 6,24 30,67 34,44 53,02 63,04 56,48 68,73 26,13 32,28
62 V.33 51,56 14,06 6,98 6,01 45,84 68,67 41,31 41,22 65,04 71,07 29,88 27,41
63 V.4 15,71 0,75 10,10 7,44 58,12 26,60 11,98 4,88 42,61 27,48 10,71 9,92
64 V.ngarai** - - - - - - - - - - - -
65 Antar LF 44,19 63,59 16,55 15,09 64,58 75,08 37,01 35,56 71,77 77,27 70,99 56,27 Tanda (*) Menandakan landform tersebut hanya memiliki horison A pada pedon tanah pewakilnya Tanda (**) Menandakan landform tersebut hanya memiliki 1 pedon pewakil
93
Tabel Lampiran 8. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform A.1.3
Tabel Lampiran 9. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform K.3 Poligon Iklim BI
Taksa yang berbeda Sifat Penciri Taksa Jml
Order Suborder Greatgroup Subgrup 1 C cT Mollisol Ustoll Argiustoll Lithic Argiustolls Mollic, Argirlik, Lithic 1 2 C cT Vetisol Ustert Haplustert Typic Haplusterts Vertic, Ustic 1 3 C cT Mollisol Ustoll Haplustoll Lithic Haplustolls Mollic, Ustic, Lithic 1 4 C cT Mollisol Ustoll Haplustoll Typic Haplustolls Mollic, Ustic 1
Poligon Iklim BI Taksa yang berbeda
Sifat Penciri Taksa Jml Order Suborder Greatgroup Subgrup
1 B fK Vertisol Aquert Endoaquert Chromic Endoaquerts Vertic, Aquic, Chroma 1 fK Inceptisol Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 5
2 A fK Inceptisol Aquept Endoaquept Typic Endoaquepts Aquic 1 3 B fK Inceptisol Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1 4 A fK Inceptisol Aquept Endoaquept Plinthic Endoaquepts Aquic, Plinthic 1 5 A fK Inceptisol Udept Eutrudept Aquic Eutrudepts KB tinggi, Aquic 1
fK Inceptisol Aquept Endoaquept Plinthic Endoaquepts Aquic, Plinthic 6 6 A fK Entisol Orthent Ustorthent Typic Ustorthents Ustic 1 7 C fK Inceptisol Ustept Haplustept Vertic Haplustepts Ustic, Vertic 1 8 C fK Inceptisol Ustept Haplustept Oxyaquic Haplustepts Aquic 1 9 C fK Inceptisol Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1 10 C fK Inceptisol Udept Eutrudept Aquic Eutrudepts KB tinggi, Aquic 1
fK Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1 fqK Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Ustic, Fluvial 1 fqK Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1
11 C fK Vertisol Ustert Haplustert Chromic Haplusterts Vertic, Ustic, Chroma 1 fqK Typic Haplusterts Vertic, Ustic 1
12 C fK Vertisol Aquert Endoaquert Typic Endoaquerts Vertic, Aquic 2 fK Ustert Haplustert Typic Haplusterts Vertic, Ustic 1 fK Inceptisol Ustept Haplustept Vertic Haplustepts Ustic, Vertic 2
13 C fK Inceptisol Aquepts Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1 14 C fK Vertisol Aquert Endoaquert Typic Endoaquerts Vertic, Aquic 1 15 C fK Vertisol Aquert Endoaquert Typic Endoaquerts Vertic, Aquic 1
fqK Inceptisol Aquepts Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1 16 C fK Inceptisol Udept Eutrudept Fluventic Eutrudepts KB tinggi, Fluvial 1 17 C fK Vertisol Aquert Endoaquert Chromic Endoaquerts Vertic, Aquic, Chroma 1 18 C fK Vertisol Aquert Endoaquert Chromic Endoaquerts Vertic, Aquic, Chroma 1
fK Inceptisol Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1 fqK Vertisol Ustert Haplustert Typic Haplusterts Vertic, ustic 1
19 C fK Inceptisol Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1 20 C fK Inceptisol Ustept Haplustept Aquic Haplustepts Ustic, Aquic 1 21 B fK Inceptisol Aquept Endoaquept Typic Endoaquepts Aquic 1 22 C fK Inceptisol Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Aquic, dangkal 2
fK Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1 fK Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Ustic, Fluvial 1 fK Typic Haplusteps Ustic 1 fqK Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Aquic, dangkal 1
23 C fK Inceptisol Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Ustic, Fluvial 1 fK Vertic Haplustepts Ustic, Vertic 1 fqK Fluventic Haplustepts Ustic, Fluvial 1 fK Vertisol Ustert Haplustert Typic Haplusterts Vertic, Ustic 1
24 C fK Inceptisol Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1 fqK Aeric Endoaquepts Aquic, dangkal 1 fqK Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1
25 C fK Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 1 fqK Fluventic Haplustepts Ustic, Fluvial 1
26 C fK Inceptisol Ustept Haplustept Aquic Haplustepts Ustic, Aquic 1 27 C fK Inceptisol Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Ustic, Fluvial 1 28 C fK Vertisol Ustert Haplustert Typic Haplusterts Vertic, Ustic 1 29 C fqK Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 1 30 C fqK Inceptisol Ustept Haplustept Fluventic Haplustepts Ustic, Fluvial 1 31 C fK Vertisol Ustert Haplustert Chromic Haplusterts Vertic, Ustic, Chroma 1
94
Tabel Lampiran 10. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform B.3
Tabel Lampiran 11. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform M.2.2 Poligon Iklim BI
Taksa yang berbeda Sifat Penciri Taksa Jml
Order Suborder Greatgroup Subgrup 1 A fK Entisol Aquent Endoaquent Typic Endoaquents Recent, Aquic 1 2 A fK Entisol Aquent Endoaquent Typic Endoaquents Recent, Aquic 1
B fK Entisol Aquent Endoaquent Typic Endoaquents Recent, Aquic 1 C fK Entisol Aquent Endoaquent Sulfic Endoaquents Recent, Aquic, Sulfic 1
3 C fK Inceptisol Aquepts Endoaquepts Aeric Endoaquepts Aquic, Dangkal 3 Entisol Aquent Endoaquent Typic Endoaquents Recent, Aquic 1
4 C fK Inceptisol Aquepts Endoaquepts Typic Endoaquepts Aquic 1 5 C fK Entisol Aquent Fluvaquent Typic Fluvaquents Recent, Fluvial 1
Tabel Lampiran 12. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform V.3.3 Poligon Iklim BI
Taksa yang berbeda Sifat Penciri Taksa Jml
Order Suborder Greatgroup Subgrup 1 A aT Mollisol Udol Hapludoll Lithic Hapludolls Mollic, Udic, Lithic 1
Typic Hapludolls Mollic, Udic 2 A aT Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 1
Udept Dystrudept Ustic Dystrudepts Udic, KB rendah 3 B aT Inceptisol Ustept Haplustept Lithic Haplustepts Ustic, lithic 1 B aT Oxiaquic Haplustepts Ustic, aquic 1 B aT Oxic Haplustepts Ustic, Oxic 1 B aT Typic Haplustepts Ustic 21 B aT Alfisol Ustalf Haplustalf Ultic Haplustalfs Argilik, KB tinggi, Ustic, Ultic 4 B aT Oxiaquic Haplustalfs Argilik, KB tinggi, Aquic 1 B aT Typic Argiustolls Mollic, Ustic, Argilik 1 A dT Inceptisol Udept Eutrudept Typic Eutrudepts Udic, KB tinggi 1 B gT Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 1
2 B aT Alfisol Ustalf Haplustalf Ultic Haplustalfs Argilik, KB tinggi, Ustic, Ultic 1
Poligon Iklim BI Taksa yang berbeda
Sifat Penciri Taksa Jml Order Suborder Greatgroup Subgrup
1 A fK Inceptisol Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1 B fK Inceptisol Aquept Endoaquept Sulfic Endoaquepts Aquic, Sulfic 1
Typic Endoaquepts Aquic 2 Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 4
Entisol Fluvent Endofluvent Typic endofluvents Recent, Fluvial 1 C Inceptisol Aquept Endoaquept Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 1
fqK Entisol Aquent Endoaquent Typic Endoaquents Aquic, Recent 1 2 B fK Inceptisol Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Aquic, Dangkal 1 3 C fK Inceptisol Aquept Endoaquept Aeric Endoaquepts Aquic, Dangkal 1
Vertic Endoaquepts Aquic, Vertic 2 Ustept Haplustepts Fluventic haplustepts Ustic, Fluvial 1
4 C fK Inceptisol Ustept Haplustepts Aquic Haplustepts Ustic, Aquic 1 5 C fK Vertisol Aquert Endoaquert Sodic Endoaquerts Vertic, Aquic, Sodic 1
Usterts Haplusterts Sodic Haplusterts Vertic, Ustic, Sodic 1 Inceptisol Ustept Haplustepts Typic Haplustepts Ustic 1
6 C fK Vertisol Usterts Haplusterts Typic Haplusterts Vertic, Ustic 1 7 C fqK Inceptisol Ustept Haplustepts Aquic Haplustepts Ustic, Aquic 1 8 C fK Vertisol Usterts Haplusterts Sodic Endoaquerts Vertic, Ustic, Sodic 1 9 C fK Inceptisol Aquept Endoaquept Typic Endoaquepts Aquic 1 10 C fqK Inceptisol Ustept Haplustepts Fluventic haplustepts Ustic, Fluvial 1
95
Tabel Lampiran 13. Unsur Pembentuk Klasifikasi Tanah Pada Landform T.12.1 Poligon Iklim BI
Taksa yang berbeda Sifat Penciri Taksa Jml
Order Suborder Greatgroup Subgrup 1 A cT Mollisol Udoll Hapludoll Lithic Hapludolls Mollic, Udic, Lithic 2
fkT Inceptisol Udept Eutrudept Typic Eutrudepts Udic, KB tinggi 2 2 A cT Mollisol Udoll Hapludoll Lithic Hapludolls Mollic, Udic, Lithic 1 3 C cT Vertisol Ustert Haplustert Calcic Hasplusterts Vertic, Ustic, Calcic 1 4 C fkT Inceptisol Ustept Haplustept Lithic Haplustepts Ustic, Lithic 1
Entisol Orthent Ustorthent Lithic Usthortents Recent, Lithic 1 fT Alfisol Ustalf Haplustalf Typic Haplustalfs KB tinggi, Ustic 1 kT Inceptisol Ustept Haplustept Vertic Haplustepts Ustic, vertic 1
5 C cT Inceptisol Ustept Haplustept Vertic Haplustepts Ustic, vertic 1 C fkT Mollisol Ustol Haplustoll Lithic Haplustolls Mollic, Ustic, Lithic 1 C fkT Mollisol Ustol Argiustoll Typic Argiustolls Mollic, Argilik 2 C fkT Inceptisol Ustept Haplustept Vertic Haplustepts Ustic, vertic 2 C fkT Mollisol Ustol Haplustoll Vertic Haplustolls Mollic, ustic, vertic 1 C qT Entisol Orthent Ustorthent Lithic Usthortents Recent, Ustic, Lithic 1 C qT Entisol Psamment Ustipsamment Typic Ustipsamments Recent, Pasir, Ustic 1
6 C fkT Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 1 C fT Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 1 C kT Mollisol Ustoll Haplustoll Typic Haplustolls Mollic, ustic 1
7 C fkT Entisol Orthent Ustorthent Typic Ustorthents Recent, ustic 1 C kT Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 1
8 C fT Entisol Orthent Ustorthent Lithic Ustorthents Recent, Ustic, Lithic 1 C kT Inceptisol Ustept Haplustept Lithic Haplustepts Ustic, Lithic 1 C kT Inceptisol Ustept Haplustept Vertic Haplustepts Ustic, vertic 1 C qkT Mollisol Ustoll Haplustoll Typic Haplustolls Mollic, ustic 1
9 C kT Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 1 10 C kT Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 2 11 C cT Alfisol Ustalf Rodustalf Lithic Rodustalfs KB tinggi, Ustic,
Rodic, Lithic 1
12 C cT Vertisol Ustert Haplustert Typic Haplusterts Vertic, Ustic 1 13 C kT Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 1 14 A fqT Ultisol Udults Hapludult Lithic Hapludults Argilik, Udic, Lithic 1 14 A fqT Entisol Orthent Udoerthent Typic Udorthents Recent, Udik 1 15 A qT Ultisol Humult Haplohumult Typic Haplohumults Argilik, BO tinggi 1 16 C kT Inceptisol Ustept Haplustept Typic Haplustepts Ustic 1
C qkT Mollisol Ustoll Haplustoll Lithic Haplustolls Mollic, Ustic, Lithic 1 17 C kT Mollisol Ustoll Haplustoll Typic Haplustolls Mollic, ustic 1 18 C qkT Entisol Orthent Ustorthent Typic Ustorthents Recent, ustic 1 19 C kT Inceptisol Ustept Haplustept Vertic Haplustepts Ustic, vertic 1