Kajian Kerusakan Lahan Akibat Penambangan Pasir Kelurahan Kalampangan Kecamatan Sabangau
-
Upload
andoariando -
Category
Documents
-
view
1.202 -
download
12
Transcript of Kajian Kerusakan Lahan Akibat Penambangan Pasir Kelurahan Kalampangan Kecamatan Sabangau
KAJIAN KERUSAKAN LAHAN
AKIBAT PENAMBANGAN PASIR
DI KELURAHAN KALAMPANGAN
KECAMATAN SABANGAU
KOTA PALANGKA RAYA
Oleh :
ARIANDO
NIM. CFA. 208 006
TESIS
Untuk memperoleh gelar Magister Sains
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Bidang Konsentrasi Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Tanaman
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
PALANGKA RAYA
2011
KAJIAN KERUSAKAN LAHAN
AKIBAT PENAMBANGAN PASIR
DI KELURAHAN KALAMPANGAN
KECAMATAN SABANGAU KOTA PALANGKA RAYA
Oleh :
ARIANDO
NIM. CFA. 208 006
TESIS
Untuk memperoleh gelar Magister Sains
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Bidang Konsentrasi Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Tanaman
Palangka Raya, Juni 2011.
PEMBIMBING I
Prof. Ir. Y.SULISTIYANTO, MP, Ph.D.
NIP. 19610921 198810 1 001
PEMBIMBING II
Dr. Ir. MOFIT SAPTONO, MP.
NIP. 19651113 199103 1 002
Mengetahui :
Program Pascasarjana
Universitas Palangka Raya
Direktur,
Prof. Drs. FERDINAND, MS.
NIP.19580111 198701 1 001
Program Magister
Pengelolaan Sumberdaya Alam
dan Lingkungan
Ketua,
Dr. Ir. URAS TANTULO, M.Sc. NIP. 19670228 199203 1 002
LEMBAR PENGESAHAN
KAJIAN KERUSAKAN LAHAN
AKIBAT PENAMBANGAN PASIR
DI KELURAHAN KALAMPANGAN
KECAMATAN SABANGAU
KOTA PALANGKA RAYA
ARIANDO
NIM. CFA. 208 006
Dipertahankan di depan Tim Penguji Tesis
Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Program Pascasarjana Universitas Palangka Raya
Tanggal 21 Juni 2011.
TIM PENGUJI
1.
2.
3.
4.
5.
Prof. Ir. Y.Sulistiyanto, MP, Ph.D.
Ketua
Dr. Ir. Mofit Saptono, MP.
Anggota
Dr. Ir. Akhmad Sajarwan, MP.
Anggota
Ir. Vera Amelia, MP.
Anggota
Ir. Yulian Taruna, M.Si.
Anggota
.........................................
.........................................
.........................................
.........................................
..........................................
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan :
1. Karya tulis saya, tesis ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik, baik di Universitas Palangka Raya maupun
perguruan tinggi lainnya.
2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penilaian sendiri, tanpa
bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan
dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian
hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini,
maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar
yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai
norma yang berlaku di perguruan tinggi ini.
Palangka Raya, Juni 2011.
Yang membuat pernyataan.
ARIANDO
NIM. CFA. 208 006
ABSTRAK
Ariando, 2011, Kajian Kerusakan Lahan Akibat Penambangan Pasir di
Kelurahan Kalampangan Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya.
Tesis Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Program
Pascasarjana Universitas Palangka Raya. Di bawah bimbingan Prof. Ir.
Y. Sulistiyanto, MP, Ph.D. dan Dr. Ir. Mofit Saptono, MP.
Penelitian ini mengkaji tingkat kerusakan lahan yang terjadi di lokasi
penambangan berdasarkan kondisi fisik lahan, kualitas tanah dan kualitas air di
lokasi penambangan serta pengamatan benthos pada lubang bekas galian tambang,
dengan tujuan untuk mengetahui seberapa besar dampak yang terjadi akibat
kegiatan penambangan, sehingga pengendalian pada kegiatan penambangan pasir
akan mengurangi kerusakan pada lahan.
Metode penelitian dilakukan dengan cara membandingkan kondisi fisik
lahan, kualitas tanah dan kualitas air serta analisis benthos pada lahan yang
ditambang dengan lahan yang belum ditambang. Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan September hingga Nopember 2010. Variabel yang diamati dalam
penelitian ini meliputi : (1). Batas tepi galian; (2). Tinggi dinding dan batas
kedalaman galian dari permukaan tanah awal; (3).Pengangkutan bahan galian; (4).
Kondisi jalan umum; (5). Luas reklamasi; (6). Pengembalian tanah pucuk untuk
vegetasi. Kemudian untuk melengkapi data dari pengamatan fisik lahan tersebut
dilakukan analisis laboratorium yang meliputi : (1).Analisis tanah; (2).Analisis
kualitas air; dan (3).Analisis benthos.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan lahan akibat
kegiatan penambangan pasir. Kerusakan lahan yang terjadi seperti rusaknya
tanah pucuk (top soil), terjadi lubang bukaan yang besar, tinggi dinding galian
sangat dalam. Akibat dari kerusakan lahan tersebut juga mempengaruhi
lingkungan yang lain seperti terjadinya perubahan bentuk lahan, berubahnya
fungsi lahan, vegetasi penutup hilang, terjadinya pencemaran debu, bekas lahan
tambang menjadi gersang karena tidak ada revegetasi, sehingga terjadi perubahan
suhu disekitar lokasi tambang. Pada masing – masing lokasi tambang juga tidak
dilakukannya reklamasi, dimana tanah pucuk (top soil) tidak diolah untuk
menutupi kembali lahan yang sudah di tambang. Tanah di lokasi penelitian secara
umum dikategorikan mempunyai tingkat kesuburan yang tergolong rendah, baik
di lokasi penambangan (tanah terusik) maupun di luar lokasi penambangan (tanah
alami). Secara umum kualitas air yang berada di luar lokasi penambangan berada
pada skala 4 dengan kategori baik, sedangkan kualitas air di lokasi penambangan
di ketegorikan buruk dan berada pada skala 2 dengan status mutu air cemar berat.
Selanjutnya berdasarkan analisis benthos menyatakan bahwa kualitas lingkungan
pada lubang bekas galian berada pada skala yang sangat buruk, sedangkan lahan
yang di luar lokasi penambangan yang merupakan lahan yang belum berusik
memperlihatkan tingkat kelimpahan benthos yang sangat baik, namun pada indeks
keragaman menunjukkan skala sangat buruk, hal ini karena di dominasi oleh 1
(satu) spesies benthos saja.
ABSTRACT
Ariando, 2011. Analysis of Land Damage Caused by Sand Mining
in Kalampangan, Sabangau, Palangka Raya. Magister Thesis of
Environment and Natural Resources Management, Post-Graduate Program
of Palangka Raya University. Advisors Prof. Ir. Y. Sulistiyanto, MP, Ph.D. and
Dr. Ir. Mofit Saptono, MP.
This research analyzed the level of land damage which occured in mining
location based on land physical condition, water and land quality in the mining
location and benthos analysis in former mining quarry pit for the purpose to find
out how big the impact of mining activities, so the control of sand mining
activities can decrease the land damage.
The research method was done with comparing land physical condition,
land and water condition and benthos analysis in land that had been mined and
land that had not been mined. This research was done in September until
November 2010. The observed variables were : (1) the excavation edge boundary;
(2) the wall height and the depth boundary of excavation from the surface; (3) the
transportation of mining materials; (4) the condition of public road; (5) the width
of reclamation area; (6) the top soil conservation for vegetation. To complete the
data from land physical condition, laboratorium analysis was done which
consisted of : (1) soil analysis; (2) water quality analysis; (3) benthos analysis.
The result indicated that the land damage had occured because of the sand
mining activities. The land damage such as the damage of top soil, wide and deep
quarry pit. The impact of the land damage also influenced the other environment
aspects such as changes in landform, land function, dissapearance of top
vegetation, dust pollution, former mining land became barren because of no
revegetation so temperature changes occured in mining location. In each of
mining location, reclamation was not done, in where the top soil was not
processed to cover the land that had been mined. In general, soil in the location
was categorized as low fertility level, inside and outside mining location. In
general, the water quality outside mining location was on scale 4 which was
categorized in well condition, while inside mining location was on scale 2 with
heavy polluted water quality. Furthermore, according to benthos analysis, it
stated that environment quality on former mining quarry pit had bad scale,
meanwhile the outside land which was not disturbed land indicated benthos
abudantly in very well level, but the variety index showed bad scale, this was
because it was dominated only by one benthos species.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
ARIANDO, dilahirkan di Mandumai, pada tanggal 26
September 1970, sebagai anak sulung dari enam
bersaudara, dengan nama Ayah Eduard Songkay
Mering (Almarhum) dan Ibu Yance Frans Ikat.
Menamatkan sekolah dasar pada Sekolah Dasar
Katholik Yos Sudarso Sampit pada tahun 1983. Setelah
lulus dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1
Palangka Raya tahun 1986, kemudian melanjutkan ke
Sekolah Menegah Atas (SMA) Negeri 2 Palangka Raya dan lulus pada tahun
1989. Selanjutnya pada tahun yang sama masuk Akademi Teknik Pembangunan
Nasional (ATPN) Banjarbaru, Jurusan Teknik Pertambangan, lulus pada tahun
1995 dan memperoleh gelar Ahli Madya (A.Md). Pada tahun 2002 mendapatkan
ijin belajar dari Walikota Palangka Raya untuk melanjutkan studi pada Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Kristen Palangkaraya
(UNKRIP), jurusan Ilmu Pemerintahan dan lulus pada tahun 2005 serta mendapat
gelar Sarjana Sosial (S.Sos). Kemudian pada tahun 2008 memperoleh
kesempatan ijin belajar dari Walikota Palangka Raya untuk melanjutkan studi
pada Program Magister (S2) Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
(PSAL), Program Pascasarjana (PPs) Universitas Palangka Raya (UNPAR).
Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada bulan Juni tahun 1996 di
Sekretariat Daerah Kotamadya Dati II Palangka Raya, dan sejak tahun 2001
sampai dengan sekarang penulis ditempatkan pada Dinas Pertambangan dan
Energi Kota Palangka Raya.
Palangka Raya, Juni 2011.
Penulis.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis haturkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,
karena atas berkat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tesis ini dengan judul ”KAJIAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT
PENAMBANGAN PASIR DI KELURAHAN KALAMPANGAN
KECAMATAN SABANGAU KOTA PALANGKA RAYA”.
Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Sains (M.Si) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
(PSAL), Program Pascasarjana (PPs) Universitas Palangka Raya (UNPAR).
Dengan selesainya penulisan tesis ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Direktur Program Pascasarjana (PPs) Universitas Palangka Raya (UNPAR),
Prof. Drs. Ferdinand, MS, atas kesempatan yang diberikan kepada saya
menjadi mahasiswa pada Program Pascasarjana UNPAR.
2. Bapak Dr. Ir. Uras Tantulo, M.Sc, selaku Ketua Program Magister
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSAL), Program
Pascasarjana (PPs) UNPAR.
3. Bapak Prof. Ir. Y. Sulistiyanto, MP, Ph.D, selaku Pembimbing Utama, yang
dengan tulus dan penuh perhatian membimbing penulis sehingga penelitian
dan penulisan tesis ini dapat terselesaikan.
4. Bapak Dr. Ir. Mofit Saptono, MP, selaku pembimbing II yang telah banyak
memberikan dorongan, bimbingan dan arahan, selama proses penulisan tesis
ini.
5. Bapak Dr. Ir. Akhmad Sajarwan, MP, sebagai penguji yang telah banyak
memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.
6. Ibu Ir. Vera Amelia, MP, sebagai penguji yang telah banyak memberikan
arahan dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.
7. Bapak Ir. Yulian Taruna, M.Si, sebagai penguji yang telah banyak
memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian tesis ini.
8. Walikota Palangka Raya, H.M. Riban Satia, S.Sos, M.Si., yang telah
memberikan kesempatan dan dukungan kepada penulis untuk melanjutkan
studi pada Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan.
9. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Program Magister Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSAL) Universitas Palangka Raya
(UNPAR) yang telah banyak membekali penulis dengan berbagai disiplin
ilmu.
10. Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kota Palangka Raya dan seluruh Staf
pegawai yang telah memberikan dukungan sepenuhnya kepada penulis
selama mengikuti studi pada Program Pascasarjana.
11. Rekan-rekan sesama angkatan 2008, atas solidaritas dan kekompakkannya
selama menempuh pendidikan Program Pascasarjana UNPAR.
12. Staf Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
(PSAL) - UNPAR : Bu Titin, Bu Eti, Sri, Febri dan lainnya yang tidak dapat
disebutkan satu per satu, terima kasih atas bantuannya.
13. Kepada semua pihak yang telah membantu penulis selama penulisan tesis ini.
THE LAST BUT NOT LEAST, kepada isteriku terkasih Nensianie,
yang telah memberikan dukungan sepenuhnya serta pengertian yang dalam dan
penuh kesabaran selama penulis mengikuti studi sampai terselesaikan, juga
anandaku tersayang Vinky Maharani Gabriella Paramitha dan Vanessa
Nethania Gracia Putri, penulis mengucapkan terima kasih yang sangat dalam
atas pengertian dan dukungannya, kiranya kasih setia Allah Bapa menyertai kita.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini masih banyak kekurangan
yang berkaitan dengan keterbatasan waktu, dana dan kemampuan sehingga
penulis sangat mengharapkan segala saran dan kritik yang membangun demi
perbaikan dan penyempurnaan tesis ini.
Akhirnya penulis berharap semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan
memberikan tambahan pengetahuan khususnya dalam pengelolaan tambang bahan
galian golongan C.
Palangka Raya, Juni 2011.
Penulis.
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK. ...................................................................................................... v
ABSTRACT ....................................................................................................... vi
RIWAYAT HIDUP PENULIS ........................................................................ vii
KATA PENGANTAR. .................................................................................... viii
DAFTAR ISI .................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL. ........................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR. ...................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN. ................................................................................... xviii
I. PENDAHULUAN. ................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ........................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................... 4
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................. 5
II. TINJAUAN PUSTAKA. .......................................................................... 6
2.1. Lahan, Daya Dukung Lahan dan Kerusakan Lahan .......................... 6
2.2. Pengelolaan dan Penentuan Kelayakan Penambangan ...................... 11
2.3. Pemanfaatan Lahan Untuk Penambangan Pasir................................. 21
2.4. Kerusakan Lingkungan Akibat Penambangan Pasir. ......................... 22
2.5. Kerangka Pemikiran........................................................................... 27
2.7. Hipotesis ............................................................................................ 29
III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN. ................................................ 30
3.1. Tempat dan Waktu ............................................................................. 30
3.2. Bahan dan Alat ................................................................................... 31
3.3. Desain Penelitian ............................................................................... 32
3.4. Variabel Penelitian ............................................................................. 32
3.5. Metode Penarikan Sampel ................................................................. 33
3.6. Prosedur Pengumpulan Data .............................................................. 34
3.7. Metode Analisis Data ......................................................................... 34
3.8. Definisi Operasional. ......................................................................... 37
IV. KEADAAN UMUM LOKASI. ................................................................ 40
4.1. Lokasi dan Luas Wilayah................................................................... 40
4.2. Keadaan Iklim. ................................................................................... 42
4.3. Jumlah Penduduk. .............................................................................. 43
4.4. Mata Pencaharian Penduduk. ............................................................. 44
4.5. Jenis dan Penggunaan Lahan. ............................................................ 46
4.6. Topografi............................................................................................ 47
4.7. Geologi Regional. .............................................................................. 47
4.8. Morfologi. .......................................................................................... 49
V. HASIL DAN PEMBAHASAN. ................................................................ 51
5.1. Kondisi Fisik Lahan. .......................................................................... 51
5.1.1. Batas Tepi Galian. .................................................................. 51
5.1.2. Tinggi Dinding/Batas Kedalaman Galian dari Pemukaan
Tanah Awal. ........................................................................... 52
5.1.3. Pengangkutan Bahan Galian (truck pengangkut). .................. 53
5.1.4. Kondisi Jalan. ......................................................................... 56
5.1.5. Luas Reklamasi. ..................................................................... 58
5.1.6. Pengembalian Tanah Pucuk Untuk Vegetasi. ........................ 59
5.2. Analisis Tanah Pada Lokasi Penambangan. ...................................... 60
5.3. Analisis Kualitas Air di Lubang Bekas Galian. ................................. 62
5.4. Analisis Benthos Yang Berada di Lubang Bekas Galian Pasir. ......... 73
5.5. Tingkat Kerusakan Lahan. ................................................................. 75
5.6. Dampak Kegiatan Penambangan Pasir. ............................................. 77
5.7. Pengelolaan Lahan Bekas Tambang. ................................................. 77
5.8. Uji Hipotesis. ..................................................................................... 86
VI. KESIMPULAN DAN SARAN. ................................................................ 88
6.1. Kesimpulan. ....................................................................................... 88
6.2. Saran. ................................................................................................. 89
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel. 1. Jenis dan Perkiraan Cadangan Bahan Galian di Setiap
Kecamatan Di Kota Palangka Raya .................................... 2
Tabel. 2. Bentuk Kerusakan Lahan Akibat Panambangan Bahan
Galian Pasir. ........................................................................ 26
Tabel. 3. Tingkat Resiko Gangguan Akibat Kerusakan Lahan. ......... 26
Tabel. 4. Bahan dan Alat Yang Digunakan. ....................................... 31
Tabel. 5. Luas Wilayah Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya
menurut Kelurahan, Tahun 2009......................................... 42
Tabel. 6. Jumlah Penduduk dan Kepala Keluarga di Kecamatan
Sabangau Kota Palangka Raya, Tahun 2009. ..................... 44
Tabel. 7. Jenis mata Pencaharian Penduduk di Kecamatan
Sabangau menurut Kelurahan, Tahun 2009. ....................... 45
Tabel. 8. Luas Lahan Menurut Penggunaannya di Kecamatan
Sabangau Kota Palangka Raya, Tahun 2009. ..................... 46
Tabel. 9. Batas Tepi Galian di Tiap Lokasi........................................ 51
Tabel. 10. Tinggi Dinding/Batas Kedalaman Galian dari Permukaan
Tanah Awal. ........................................................................ 53
Tabel. 11. Jumlah Truck Pengangkut Pasir dalam 7 (tujuh) Hari
Secara Kontinyu. ................................................................. 55
Tabel. 12. Data Hasil Analisis Tanah. .................................................. 62
Tabel. 13. Kriteria Penilaian Sifat Kimia Tanah. ................................. 63
Tabel. 14. Skala Penilaian Kualitas Air Permukaan. ........................... 67
Tabel. 15. Data Hasil Analisis Kualitas Air di Lokasi Penelitian. ....... 67
Tabel. 16. Penentuan Indeks Pencemaran (IP) untuk Baku Mutu Air
Kelas II dengan Kode Sampel (Alami-1). ........................... 68
Tabel. 17. Penentuan Indeks Pencemaran (IP) untuk Baku Mutu Air
Kelas II dengan Kode Sampel (Alami-2). ........................... 70
Tabel. 18. Penentuan Indeks Pencemaran (IP) untuk Baku Mutu Air
Kelas II dengan Kode Sampel (Rusak-1). ........................... 72
Tabel. 19. Penentuan Indeks Pencemaran (IP) untuk Baku Mutu Air
Kelas II dengan Kode Sampel (Rusak-2). ........................... 74
Tabel. 20. Skala Penilaian Kualitas Lingkungan Biota Perairan. ........ 76
Tabel. 21. Hasil Analisa Benthos. ........................................................ 77
Tabel. 22. Klasifikasi Kerusakan Lahan Pada Masing-Masing
Lokasi Penambangan. ......................................................... 79
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar. 1. Kegiatan Land Clearing Yang Dilanjutkan Dengan
Pengupasan Tanah Pucuk / Top Soil Pada Lokasi
“Tambang-3 (HS)” .............................................................. 23
Gambar. 2. Bekas Galian Penambangan Pasir Pada Lokasi
“Tambang-4 (ZB)” .............................................................. 24
Gambar. 3. Bekas Penambangan Pada Lokasi “Tambang-1 (YS)”
yang tidak direklamasi. ....................................................... 25
Gambar. 4. Kerangka Pemikiran Penelitian ........................................... 28
Gambar. 5. Peta Lokasi Penambangan................................................... 30
Gambar. 6. Peta Administrasi Kecamatan Sabangau. ............................ 41
Gambar. 7. Pengukuran Batas Tepi Galian Pada Lokasi “Tambang-6
(ALT). ................................................................................. 52
Gambar. 8. Truck Pengangkut Bahan Galian Pasir Di Lokasi
“Tambang-7 (BAD)” ........................................................... 54
Gambar. 9. Kondisi Jalan Mahir Mahar Pada Jalan Masuk Menuju
Lokasi “Tambang-6 (ALT)” ............................................... 56
Gambar. 10. Kondisi Jalan Tambang Pada Lokasi “Tambang-6
(ALT)”................................................................................. 57
Gambar. 11. Kondisi Jalan Tambang Pada Lokasi “Tambang-7
(BAD)”. ............................................................................... 57
Gambar. 12. Lahan Bekas Tambang Di Lokasi “Tambang-1 (YS)”
yang tidak direklamasi. ....................................................... 58
Gambar. 13. Lapisan Gambut Yang Tidak Dikembalikan Di Lokasi
“Tambang-5 (HS)”. ............................................................. 59
Gambar. 14. Pengukuran Ketebalan Gambut Pada Lokasi „Tambang-3
(HS). .................................................................................... 60
Gambar. 15. Pengukuran Ketebalan Gambut Pada Lokasi „Tambang-3
(HS). .................................................................................... 60
Gambar. 16. Pengambilan Sampel Tanah pada Lokasi di Luar
Kegiatan Penambangan. ...................................................... 61
Gambar. 17. Pengambilan Sampel Tanah pada Lahan Kegiatan
Penambangan. ..................................................................... 62
Gambar. 18. Pengambilan Sampel Air di Luar Kegiatan Penambangan
(kondisi Belum Terusik). .................................................... 66
Gambar. 19. Pengambilan Sampel Air pada Lubang Bekas Galian
Tambang. ............................................................................. 66
Gambar. 20. Bekas galian yang menjadi danau / kolam di lokasi
“Tambang-6 (ALT)”. .......................................................... 81
Gambar. 21. Model Reklamasi Yang Dijadikan Kolam Persediaan Air. 84
Gambar. 22. Papan Reklame Kegiatan Pemanfaatan Lahan Bekas
Tambang. ............................................................................. 85
Gambar. 23. Pengembangan Peternakan Itik Petelor dan Itik Pedaging
pada Lubang Bekas Galian Pasir......................................... 85
Gambar. 24. Keramba Jaring Apung pada Lubang Bekas Galian Pasir. . 86
Gambar. 25. Bekas Lubang Galian Pasir yang Dijadikan Obyek
Wisata atau Taman Wisata. ................................................. 87
Gambar. 26. Bekas Lubang Galian Pasir yang Dijadikan Obyek
Wisata atau Taman Wisata. ................................................. 87
Gambar. 27. Penampang Lahan Sebelum Direklamasi ........................... 88
Gambar. 28. Penampang Lahan yang Ditimbun Sampah Organik .......... 89
Gambar. 29. Penampang Lahan yang Dilapisi Timbunan Tanah Urug
dan atau Gambut. ................................................................ 89
Gambar. 30. Penampang Lahan yang Telah Dilapisi Tanah Subur. ........ 90
Gambar. 31. Penampang Lahan Bekas Tambang yang Telah
Direklamasi. ........................................................................ 90
Gambar. 32. Penampang Lahan Bekas Tambang yang Telah
Direklamasi. ........................................................................ 91
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran. 1. Bobot Penilaian (skor) Untuk Beberapa Variabel ............... 100
Lampiran. 2. Hasil Perhitungan dan Pengukuran Variabel di Lokasi
Tambang 1 (YS). ................................................................. 105
Lampiran. 3. Hasil Perhitungan dan Pengukuran Variabel di Lokasi
Tambang 2 (CV.DG).. ......................................................... 106
Lampiran. 4. Hasil Perhitungan dan Pengukuran Variabel di Lokasi
Tambang 3 (AS) .................................................................. 107
Lampiran. 5. Hasil Perhitungan dan Pengukuran Variabel di Lokasi
Tambang 4 (ZB) .................................................................. 108
Lampiran. 6. Hasil Perhitungan dan Pengukuran Variabel di Lokasi
Tambang 5 (HS) ................................................................. 109
Lampiran. 7. Hasil Perhitungan dan Pengukuran Variabel di Lokasi
Tambang 6 (ALT) .............................................................. 110
Lampiran. 8. Hasil Perhitungan dan Pengukuran Variabel di Lokasi
Tambang 7 (BAD)............................................................... 111
Lampiran. 9. Data Hasil Analisis Tanah. .................................................. 112
Lampiran. 10. Data Hasil Analisis Kualitas Air. ........................................ 113
Lampiran. 11. Hasil Analisa Benthos. ........................................................ 114
Lampiran. 12. Peta Sebaran Bahan Galian. ................................................ 115
Lampiran. 13. Peta Sebaran Bahan Tambang di Kecamatan Sabangau. .... 116
Lampiran. 14. Peta Perijinan Tambang di Kecamatan Sabangau ............... 117
Lampiran. 15. Peta Geologi Kota Palangka Raya. ..................................... 118
Lampiran. 16. Peta Formasi Geologi. ......................................................... 119
Lampiran. 17. Peta Sebaran Kelas Lereng.................................................. 120
Lampiran. 18. Peta Jenis Tanah. ................................................................. 121
Lampiran. 19. Peta Penutupan Lahan Berdasarkan Data DEPHUT
Wilayah Kecamatan Sabangau. ........................................... 122
Lampiran. 20. Peta Fungsi Kawasan Berdasarkan TGHK Wilayah
Kecamatan Sabangau. ......................................................... 123
Lampiran. 21. Peta Fungsi Kawasan Berdasarkan Tata Ruang Wilayah
Kecamatan Sabangau. ......................................................... 124
Lampiran. 22. Peta Tata Ruang Wilayah Kota Palangka Raya Tahun
2009 - 2029. ........................................................................ 125
Lampiran. 23. Peta Kawasan Lindung. ....................................................... 126
Lampiran. 24. Peta Kawasan Budidaya. ..................................................... 127
Lampiran. 25. Peta Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lainnya. ........ 128
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sumberdaya tambang merupakan salah satu modal dasar pembangunan
yang memiliki sifat khusus dibandingkan dengan sumberdaya alam yang lain,
di mana sumberdaya tambang ini tidak dapat diperbaharui kembali, dengan kata
lain industri pertambangan merupakan industri tanpa daur ulang. Pengusahaan
pertambangan selalu berhadapan dengan berbagai permasalahan yang harus dapat
diatasi seperti kesehatan dan keselamatan kerja serta lingkungan, sehingga
diperlukan penerapan sistem penambangan yang sesuai, baik ditinjau dari segi
teknis maupun ekonomis (Ambyo,1995 dalam Distamben Kota Palangka Raya,
2005).
Sumberdaya tambang di Kota Palangka Raya cukup bervariasi dan
melimpah, meliputi batubara, emas, zirkon, serta bahan galian golongan C.
Sumberdaya bahan galian golongan C seperti pasir kuarsa, kaolin, pasir urug,
tanah urug, kerikil dan batuan granit dimanfaatkan sebagai bahan bangunan
(Distamben Kota Palangka Raya, 2005). Adapun jenis dan perkiraan cadangan
bahan galian yang terdapat di Kota Palangka Raya dapat dilihat pada tabel 1.
Seiring dengan pesatnya pembangunan fisik di Kota Palangka Raya, maka
kebutuhan akan bahan baku yang berasal dari bahan galian golongan C semakin
banyak. Bahan ini antara lain dimanfaatkan untuk bahan urugan, bahan material
bangunan, bahan baku industri dan bahan untuk hiasan. Pemenuhan akan
kebutuhan bahan baku ini semakin meningkatkan aktivitas penambangan bahan
galian tersebut. Di dalam melakukan aktivitas penambangan, pada saat ini
masyarakat penambang sudah menggunakan alat-alat mekanik seperti excavator
(back hoe) dan bulldozer. Namun demikian dalam pelaksanaan kegiatan
penambangan, masyarakat belum membuat perencanaan yang baik dari
persiapan, pelaksanaan penambangan sampai dengan pengelolaan lahan pasca
penambangan. Kondisi ini akan berpotensi mengakibatkan terjadinya kerusakan
lahan akibat penambangan tersebut (Najib, 2006).
Tabel 1. Jenis dan perkiraan cadangan bahan galian di setiap Kecamatan di Kota
Palangka Raya.
No. Jenis
Bahan
Galian
K e c a m a t a n
Pahandut
(m3)
Jekan Raya
(m3)
Sabangau
(m3)
Bukit Batu
(m3)
Rakumpit
(m3)
1. Pasir
Kuarsa
Tidak Ada Data 75.371.886,18 42.180.728,43 1.556.763 365.780.400
2. Kaolin -------------- ---------- 13.900.000 ton ----------- 142.483.200
3. Lempung
17.252.409,81 10.309.535,33 30.822.349,45 166.500.000 Tidak Ada
Data
4. Granit /
Grano
diorit
-------------- --------- 258.210 950.000.000 -------------
5. Gambut Tidak Ada Data 12.126.388,9 21.955.516,3 455.500.000 Tidak Ada
Data
6. Zirkon Tidak Ada Data Tidak Ada
Data
--------------- 78.382.000 156.764.000
7. Emas
Plaser
-------------- Tidak Ada
Data
--------------- Tidak Ada
Data
Tidak Ada
Data
Sumber : Dinas Pertambangan dan Energi Kota Palangka Raya, Laporan Inventarisasi, Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Mineral, Tahun 2005.
Kebijakan pembangunan perekonomian Kota Palangka Raya cenderung
belum menempatkan sumberdaya tambang sebagai bagian penting dalam
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Artinya Kota Palangka Raya belum
secara optimal memanfaatkan sumberdaya tambang bagi sebesar-besarnya
kemakmuran masyarakat. Sementara itu terangkatnya isu kerusakan lingkungan
di Kota Palangka Raya pada saat ini justru di bidang pertambangan. Kondisi
tersebut menuntut Pemerintah Kota Palangka Raya perlu menentukan arah dan
sikap dalam menetapkan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya
tambang (Distamben Kota Palangka Raya, 2005).
Kegiatan penambangan bahan galian pasir di Kota Palangka Raya banyak
diusahakan oleh perorangan maupun perusahaan-perusahaan kecil yang biasanya
terbatas pada material untuk memenuhi permintaan dari pembangunan fisik, yang
merupakan kegiatan pembangunan pekerjaan umum dengan jenis bahan tambang
terdiri dari pasir, batu dan tanah urug (Distamben Kota Palangka Raya, 2005).
1.2. Perumusan Masalah
Kelurahan Kalampangan yang jaraknya ± 18 km dari Kota Palangka Raya
merupakan daerah eks transmigrasi yang berhasil di lahan gambut. Petani di
Kelurahan Kalampangan mampu mengolah lahan gambut marjinal menjadi lahan
pertanian produktif. Pola tanam yang dikembang petani di Kelurahan
Kalampangan yakni pola tanam rotasi dengan berbagai komoditas sayur-sayuran
sehingga memberikan hasil pendapatan yang berkesinambungan (Firmansyah,
2008). Sementara itu, isu kerusakan lahan akibat kegiatan penambangan pasir
justru terjadi di Kelurahan Kalampangan.
Kegiatan panambangan pasir di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan
Sabangau, Kota Palangka Raya dengan sistem tambang terbuka menggunakan alat
mekanik seperti excavator (back hoe) mempunyai pengaruh terhadap kerusakan
lahan. Dengan kondisi tersebut, maka timbul beberapa permasalahan yang ada
pada kegiatan penambangan pasir tersebut :
a. Bagaimana tingkat kerusakan lahan yang terjadi pada lokasi penambangan
pasir di Kelurahan Kalampangan ?.
b. Apa dampak yang terjadi akibat penambangan pasir di Kelurahan
Kalampangan ?.
c. Bagaimana pengelolaan lingkungan pada lokasi penambangan pasir di
Kelurahan Kalampangan ?.
Bertitik tolak dari latar belakang tersebut, maka penulis menduga adanya
suatu perubahan lahan dalam wilayah administratif Kelurahan Kalampangan,
Kecamatan Sabangau, Kota Palangka Raya sebagai akibat dari kegiatan
penambangan pasir.
Dalam hal ini penulis ingin mengetahui tingkat kerusakan lahan dan
dampak lingkungan sebagai akibat dari kegiatan penambangan pasir serta
pengelolaan lingkungan di lokasi penambangan pasir. Untuk itu judul penelitian
ini adalah Kajian Kerusakan Lahan Akibat Penambangan Pasir Di Kelurahan
Kalampangan Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya.
1.3. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan orientasi latar belakang dan rumusan masalah yang ada,
maka penelitian ini bertujuan untuk :
a. Mendapatkan deskripsi tingkat kerusakan lahan yang terjadi pada lokasi
penambangan pasir di Kelurahan Kalampangan;
b. Teridentifikasinya dampak lingkungan yang terjadi akibat kegiatan
penambangan pasir di Kelurahan Kalampangan;
c. Mengajukan usulan pengelolaan lingkungan pada lokasi penambangan
pasir dalam rangka pengendalian kegiatan penambangan pasir di
Kelurahan Kalampangan.
1.4. Manfaat Penelitian
Secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
masukan dan saran kepada Pemerintah Kota Palangka Raya dalam upaya
pembinaan dan pengawasan di bidang pertambangan umum khususnya
pertambangan bahan galian golongan C (penambangan pasir) di Kota Palangka
Raya. Selain dari pada itu, diharapkan juga dapat menambah wawasan dan
pengetahuan tentang konsep pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam
secara berkelanjutan.
Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam
penyusunan kebijakan penataan dan pengaturan usaha serta pengendalian kegiatan
penambangan pasir.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Lahan, Daya Dukung Lahan dan Kerusakan Lahan
Lahan adalah hamparan di muka bumi berupa bagian (segment) sistem
terestrik yang merupakan suatu perpaduan sejumlah sumberdaya alam dan binaan.
Lahan juga merupakan wahana sejumlah ekosistem. Lahan merupakan suatu
wilayah (region), yaitu suatu satuan ruang berupa suatu lingkungan hunian
masyarakat manusia dan masyarakat hayati yang lain. Sebagai suatu lingkungan
hunian masyarakat hayati, lahan memberikan gambaran tentang keseluruhan
keadaan luar tempat suatu organisme, masyarakat organisme atau obyek berada,
yang melingkupi dan mempengaruhi keberadaan (existence) organisme,
masyarakat organisme atau obyek dimaksud. Lahan merupakan penjelmaan
keseluruhan faktor atau kekuatan (force) di suatu tapak (site) yang mempengaruhi
atau berperan dalam hidup dan kehidupan suatu makhluk atau masyarakat
makhluk (Notohadiprawiro, 2006).
Sedangkan menurut Purwowidodo (1991), lahan mempunyai pengertian
yakni suatu lingkungan fisik yang mencakup iklim, relief tanah, hidrologi, dan
tumbuhan yang sampai pada batas tertentu akan mempengaruhi kemampuan
penggunaan lahan.
Lahan berkonsep holistik, dinamik dan geografik. Konsepnya bersifat
holistik karena berpangkal pada kebulatan ujud dan fungsi komponen-
komponennya. Konsepnya bersifat dinamik karena nasabah struktural dan
fungsional antar komponennya dapat berganti menurut tempat dan waktu.
Konsepnya bersifat geografik karena lahan digambarkan sebagai suatu hamparan
yang dicirikan oleh berbagai tampakan muka daratan dan pola agihannya
(distribution pattern) (Notohadiprawiro, 2006).
Lahan (land) diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas, iklim,
relief, tanah, air dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada
pengaruhnya terhadap potensi penggunaan lahan. termasuk di dalamnya juga
hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang seperti hasil reklamasi laut,
pembersihan vegetasi dan juga hasil yang merugikan seperti tersalinisasi. Dalam
hal ini, lahan juga mengandung makna pengertian ruang dan tempat. Dengan
demikian maka lahan mengandung makna yang lebih luas dari tanah atau
topografi (FAO, 1976, dalam Arsyad, 2006),
Selain itu pengertian lahan adalah suatu daerah di permukaan bumi dengan
sifat-sifat tertentu yang meliputi biosfer, atmosfer, tanah, lapisan geologi,
hidrologi, populasi tanaman dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan
sekarang, sampai pada tingkat tertentu dengan sifat-sifat tersebut mempunyai
pengaruh yang berarti terhadap fungsi lahan oleh manusia pada masa sekarang
dan masa yang akan datang (FAO, 1976, dalam Sitorus, 2003).
Berdasarkan pengertian di atas, maka tanah merupakan salah satu
komponen lahan. Dalam hal ini tanah merupakan suatu tampakan berupa
hamparan yang dinamakan pedosfer (Notohadiprawiro., 1999).
Semua sumberdaya alam menjadi komponen lahan, yaitu atmosfer (udara,
iklim, musim), pedosfer (tanah), bentuk muka bumi, geologi (batuan, mineral,
bahan tambang), hidrologi (air), dan biosfer (flora, fauna). Sumberdaya binaan
adalah hasil rekayasa manusia pada masa lampau atau pada masa kini.
Sumberdaya binaan menjadi komponen lahan apabila kehadirannya berpengaruhi
penting atas penggunaan lahan pada masa kini dan pada masa mendatang, seperti
waduk, hamparan sawah, kawasan industri, jaringan jalan besar, kota. Jadi,
komponen lahan ialah segala tampakan dan gejala baik yang bersifat tetap (contoh
tanah) maupun yang bersifat mendaur (contoh musim), yang menentukan nilai
guna lahan untuk manusia (Notohadiprawiro, 2006).
Batasan pengertian daya dukung lahan yaitu kemampuan sebidang lahan
dalam mendukung kehidupan manusia (Soemarwoto, 2000 dalam Inkantriani,
2008).
Daya dukung lahan (land carrying capacity) dinilai menurut ambang batas
kesanggupan lahan sebagai suatu ekosistem menahan keruntuhan akibat dampak
penggunaan. Konsep daya dukung merujuk pada, yakni : (1) tingkat penggunaan
lahan; (2) pemeliharaan secara berkesinambungan terhadap mutu lingkungan; (3)
tujuan pengelolaan; (4) biaya pemeliharaan; (5) penggunaan sumberdaya (George
Payot dalam Schwarz, dkk., 1976, dalam Notohadiprawiro, 1999).
Sedangkan menurut Hadi, 2005, dalam Inkantriani, 2008, Approprieated
carrying capacity adalah lahan yang dibutuhkan untuk dapat menyediakan
sumberdaya alam dan mengabsorbsi limbah yang dibuang. Konsep daya dukung
lahan ini menjadi alat untuk menguji lahan yang dibutuhkan untuk mendukung
aktivitas ekonomi kita.
Konsep daya dukung lahan akan membawa pengaruh dalam perencanaan,
diantaranya :
a. Penerapan tata ruang perencanaan yang tepat, dalam arti bahwa
pengembangan sumber daya alam harus memperhitungkan daya dukungnya.
b. Penempatan berbagai macam aktivitas yang mendayagunakan sumberdaya
alam harus memperhatikan kapasitasnya dalam mengabsorbsi perubahan yang
diakibatkan oleh aktivitas tersebut.
c. Sumberdaya alam di suatu wilayah hendaknya dialokasikan ke dalam
beberapa zona diantaranya hutan lindung, wilayah industri, perkebunan,
daerah aliran sungai.
d. Perlunya standar kualitas lingkungan seperti standar ambient untuk air
permukaan, air tanah dan air laut dan kualitas udara (Inkantriani, 2008).
Makna daya dukung bermacam-macam tergantung pada kepuasan yang
ingin diperoleh pengguna lahan. Ada daya dukung menurut ukuran estetika,
rekreasi, hayati, ekologi, ekonomi, fasilitas, sosial, psikologi, dan kehidupan
margasatwa. Daya dukung lahan berkenaan dengan kekayaan lahan
(Notohadiprawiro, 1999).
Kerusakan lahan (land degradation) merujuk kepada penurunan kapasitas
lahan bagi produksi atau penurunan potensi bagi pengelolaan lingkungan yang
dengan kata lain ialah penurunan mutu lahan (Pieri, dkk., 1995, dalam
Notohadiprawiro, 1999).
Menurut Arsyad, 1989, dalam Anto, 2008, Kerusakan lahan dapat
disebabkan oleh satu atau beberapa faktor apakah karena iklim, keadaan tanah,
keadaan air atau gabungan diantaranya.
Kerusakan lahan dapat terjadi secara alami atau akibat aktivitas manusia.
Secara alami sebagian besar disebabkan bencana alam, sedangkan akibat
aktivitas manusia adalah pembukaan lahan hutan menjadi pemukiman atau
tegalan tanpa memperhatikan kaidah konservasi, penebangan liar, penambangan
liar (tanpa izin) dan ladang berpindah, akan menyebabkan berkurangnya
kemampuan tanah. Tekanan penggunaan lahan melebihi daya dukung lahan
akan menyebabkan terjadinya kerusakan lahan (Anto, 2008).
Akibat kerusakan tidak terbatas pada lahan tempat kerusakan itu terjadi,
akan tetapi dapat menyebar mengenai tapak-tapak yang berada di luarnya,
misalnya, erosi di lahan hulu menimbulkan sedimentasi di lahan hilir atau
mengotori air sungai dengan bahan tersuspensi yang berasal dari bahan erosi
(Notohadiprawiro, 1999).
Secara umum pengertian kerusakan lahan dapat dibagi 2 (dua) kategori,
yaitu : 1). Kerusakan lahan secara kualitas, artinya sifat-sifat fisik dan kimiawi
lahan sudah rusak sehingga tidak berfungsi lagi sesuai potensinya. Hal ini
disebabkan karena adanya pencemaran, baik yang sengaja maupun tidak, seperti
pemakaian pupuk yang tidak terkontrol dengan baik, pemakaian pestisida dan
zat-zat kimia lain yang berfungsi untuk mengontrol pengganggu tanaman, dan
pola tanam yang tidak beraturan bisa menyebabkan lahan menjadi rusak dan
tidak produktif, 2). Kerusakan lahan secara kuantitas, artinya secara luasan lahan
sudah berkurang karena beralih fungsi dari lahan pertanian menjadi non
pertanian (Budi, 2004, dalam Vandalisna, 2008).
Dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1992
tentang penataan ruang, perusakan lahan adalah tindakan yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik dan / atau
hayati lahan yang mengakibatkan lahan tersebut kurang atau tidak dimanfaatkan
lagi sesuai dengan fungsinya dalam menunjang pembangunan yang
berkelanjutan (UU RI Nomor 24 Tahun 1992).
Kerusakan lahan dapat terjadi karena peristiwa alam, seperti gempa bumi,
longsoran, perubahan iklim. Sedangkan akibat perbuatan manusia (penggundulan
vegetasi penutup hulu yang menimbulkan erosi tanah dan / atau banjir, kegiatan
penambangan) atau gabungan peristiwa alam dengan perbuatan manusia misalnya
kebakaran lahan karena kekeringan (Notohadiprawiro, 1999).
2.2. Pengelolaan dan Penentuan Kelayakan Penambangan
Kegiatan pertambangan diartikan sebagai rangkaian kegiatan yang
meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan (termasuk pengolahan dan pemurnian), pengangkutan / penjualan
dan rehabilitasi lahan pasca tambang. Pengelolaan pertambangan adalah suatu
upaya yang dilakukan baik secara teknis maupun non teknis agar kegiatan
pertambangan tersebut tidak menimbulkan permasalahan, baik terhadap kegiatan
pertambangan itu sendiri maupun terhadap lingkungan. Pengelolaan
pertambangan sering hanya dilakukan pada saat penambangan saja. Hal ini dapat
dimengerti, karena pada tahap inilah dinilai paling banyak atau sering
menimbulkan permasalahan apabila tidak dikelola dengan baik dan benar.
Sebelum suatu deposit bahan tambang ditambang, perlu dilakukan kajian
terlebih dahulu apakah deposit tersebut layak untuk ditambang ditinjau dari
berbagai aspek. Dengan demikian pengelolaan pertambangan secara garis besar
perlu dilakukan pada 3 (tiga) jenis tahapan kegiatan, yaitu 1). tahap persiapan atau
kegiatan awal berupa penentuan kelayakan penambangan, kemudian 2). tahap
eksploitasi yakni kegiatan pada saat penambangan, dan selanjutnya 3). kegiatan
reklamasi lahan pasca penambangan (Kusuma, 2008).
Deposit bahan tambang yang terdapat pada suatu daerah harus dikaji
terlebih dahulu, apakah deposit tersebut layak untuk ditambang. Hal ini bertujuan
untuk menghindari timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan yang tidak
diharapkan dan terjadinya konflik kepentingan penggunaan lahan (Kusuma,
2008).
Sedangkan aspek-aspek yang perlu dikaji adalah sebagai berikut (Badan
Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2007 dalam Kusuma,
2008) :
a). Aspek penggunaan lahan pada dan di suatu lokasi deposit bahan
tambang : dalam rangka harmonisasi pemanfaatan ruang, sebelum bahan
tambang diusulkan untuk ditambang, maka perlu diperhatikan terlebih
dahulu peruntukan lahan dimana bahan tambang tersebut berada. Apabila
terletak pada peruntukan lahan yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan ataupun fungsinya tidak boleh untuk kawasan budidaya, maka
bahan tambang tersebut tidak boleh / tidak layak untuk ditambang.
b). Aspek geologi : kajian aspek geologi dilakukan setelah selesai kegiatan
eksplorasi bahan tambang dimana jenis, sebaran, kuantitas dan kualitasnya
sudah diketahui. Adapun yang menjadi kajian dalam aspek geologi yakni :
Topografi
Kajian ini untuk mendapatkan gambaran mengenai letak atau lokasi
deposit bahan tambang. Apakah terdapat di daerah pedataran,
perbukitan bergelombang atau landai (kemiringan lereng antara 0o dan
17o), terjal (kemiringan lereng antara 17
o dan 36
o) atau sangat terjal
(kemiringan lereng >36o). Lereng yang sangat terjal dan curam akan
mempersulit teknik penambangannya, terutama untuk sistem tambang
terbuka (open-pit mining).
Tanah penutup
Ketebalan tanah yang menutupi deposit bahan tambang sangat
bervariasi, tipis (beberapa cm), sedang (beberapa cm hingga 1 m),
dan tebal (lebih dari 1 m). Mengetahui ketebalan tanah penutup ini
penting karena menyangkut masalah teknik penambangannya,
terutama mengenai penempatan tanah penutup tersebut.
Sifat fisik dan keteknikan tanah / batuan
Kajian sifat fisik tanah / batuan antara lain meliputi warna, tekstur,
dan kondisi batuan apakah padat, berongga, keras atau bercelah. Sifat
keteknikan meliputi kuat tekan / daya dukung batuan, ketahanan
lapuk, daya kohesi, dan besaran sudut geser tanah. Sifat keteknikan
tanah / batuan dapat dipergunakan untuk menganalisis desain
tambang, terutama besaran sudut lereng tambang dalam kaitannya
dengan kestabilan lereng.
Hidrogeologi
Hal penting dari kajian hidrogeologi adalah apakah deposit bahan
tambang terletak di daerah imbuhan air tanah atau dekat dengan mata
air yang penting. Juga perlu diperhatikan kondisi air tanah di
sekitarnya apakah bahan tambang tersebut terdapat pada alur sungai
yang merupakan salah satu sumberdaya alam yang berfungsi
serbaguna.
Kebencanaan geologi
Kajian ini untuk mengetahui apakah lokasi bahan tambang tersebut
terletak pada atau di dekat daerah rawan gerakan tanah, jalur gempa
bumi, daerah bahaya gunung api, daerah rawan banjir, daerah mudah
tererosi.
Kawasan lindung geologi
Kajian ini untuk melihat apakah lokasi bahan tambang tersebut
terletak pada Kawasan Lindung Geologi atau tidak. Kawasan
Lindung Geologi adalah suatu daerah yang memiliki ciri / fenomena
ke-geologi-an yang unik, langka dan khas sebagai akibat dari hasil
proses geologi masa lalu dan atau yang sedang berjalan yang tidak
boleh dirusak dan atau diganggu, sehingga perlu dilestarikan, terutama
untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pariwisata. Fenomena ke-
geologi-an tersebut antara lain berupa keunikan batuan dan fosil,
keunikan bentang alam (misalnya kaldera, kawah, gumuk vulkanik,
gumuk pasir, kubah, dan bentang alam karst), dan keunikan proses
geologi (misalnya mud-volcano dan sumber api alami).
c). Aspek Sosial ekonomi dan budaya ; kajian ini antara lain meliputi
jumlah dan letak pemukiman penduduk di sekitar lokasi penambangan,
adat-istiadat dan cagar / situs budaya (termasuk daerah yang
dikeramatkan).
Selain itu, untuk menghindari atau menekan sekecil mungkin dampak
negatif terhadap lingkungan akibat kegiatan penambangan, maka hal-hal yang
perlu diperhatikan lebih lanjut adalah : (1). lokasi penambangan sedapat mungkin
tidak terletak pada daerah resapan atau pada akuifer sehingga tidak akan
mengganggu kelestarian air tanah di daerah sekitarnya; (2). lokasi penambangan
sebaiknya terletak agak jauh dari pemukiman penduduk sehingga suara bising
ataupun debu yang timbul akibat kegiatan penambangan tidak akan mengganggu
penduduk; (3). lokasi penambangan tidak berdekatan dengan mata air penting
sehingga tidak akan mengganggu kualitas maupun kuantitas air dari mata air
tersebut, juga untuk menghindari hilangnya mata air; (4). lokasi penambangan
sedapat mungkin tidak terletak pada daerah aliran sungai bagian hulu (terutama
tambang batuan) untuk menghindari terjadinya pelumpuran sungai yang
dampaknya bisa sampai ke daerah hilir yang akhirnya dapat menyebabkan banjir
akibat pendangkalan sungai. Hal ini harus lebih diperhatikan terutama di kota-
kota besar dimana banyak sungai yang mengalir dan bermuara di wilayah kota
besar tersebut; (5). lokasi penambangan tidak terletak di kawasan lindung (cagar
alam, taman nasional); (6). lokasi penambangan hendaknya dekat dengan
konsumen untuk menghindari biaya transportasi yang tinggi sehingga harga jual
material tidak menjadi mahal; (7). lokasi penambangan tidak terletak dekat
dengan bangunan infrastruktur penting, misalnya jembatan dan menara listrik
tegangan tinggi. Juga sedapat mungkin letaknya tidak dekat dengan gedung
sekolah sehingga tidak akan mengganggu proses belajar dan mengajar.
Hasil kajian dari berbagai aspek tersebut, digabung dengan aspek
peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis untuk menentukan
kelayakan penambangan suatu deposit bahan tambang. Hasil analisis kelayakan
menghasilkan 2 (dua) kategori, yaitu layak tambang dan tidak layak tambang.
Layak tambang bukan berarti kegiatan penambangan tanpa aturan, melainkan
harus mengikuti kaidah-kaidah penambangan yang berlaku agar dampak negatif
terhadap lingkungan akibat adanya kegiatan penambangan dapat dihindari atau
ditekan sekecil mungkin. Selain itu, konflik / tumpang tindih kepentingan
penggunaan lahan juga dapat dihindari.
Setelah suatu deposit bahan tambang dinyatakan layak untuk ditambang,
maka selanjutnya bahan tambang tersebut akan ditambang (dieksploitasi). Dalam
eksploitasi ini juga diperlukan suatu pengelolaan yang berwawasan lingkungan.
Hal ini berkaitan erat dengan teknik penambangan yang akan dipergunakan,
termasuk pembuatan dan penempatan infrastruktur tambang.
Dalam suatu kegiatan penambangan biasanya terdiri dari beberapa tahapan
yaitu (Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2007 dalam
Kusuma, 2008) :
a). Tahap Persiapan ; pada tahapan persiapan ini biasanya didahului dengan
kegiatan pengangkutan berbagai jenis peralatan tambang, termasuk bahan-
bahan bangunan untuk pembuatan perkantoran, gudang, perumahan (jika
ada) dan fasilitas-fasilitas tambang yang lain, pembukaan lahan (land-
clearing), dan selanjutnya adalah pembuatan / pembukaan jalan tambang.
Dalam hal pengangkutan peralatan tambang dan bahan-bahan bangunan,
yang perlu diperhatikan adalah jalan yang akan dilalui. Perlu
diperhitungkan lebar jalan, apakah dijalan tersebut terdapat jembatan
(bagaimana kondisinya), apakah melewati pemukiman penduduk, berapa
kali kendaraan melintasi jalan tersebut dan jenis maupun kapasitas truck
pengangkut. Hal-hal tersebut perlu diperhitungkan secara matang agar
tidak terjadi dampak negatif terhadap lingkungan di sepanjang jalan yang
akan dilalui, baik terhadap manusia maupun fisik alam itu sendiri.
Beberapa contoh dampak negatif yang dapat ditimbulkan oleh adanya
kegiatan pengangkutan ini apabila tidak dikelola dengan baik, antara lain
jalan menjadi rusak (banyak lubang, becek di musim hujan), kecelakaan
lalu-lintas (karena jalan terlalu sempit, atau kondisi jembatan kurang
memenuhi syarat), debu bertebaran yang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan (karena jalan berupa tanah dan dilalui kendaraan pada musim
kemarau), dan gangguan kebisingan. Pada kegiatan pembukaan lahan
perlu diperhatikan kemiringan dan kestabilan lereng, bahaya erosi dan
sedimentasi (karena penebangan pepohonan, terutama saat musim hujan),
serta hindari penempatan hasil pembukaan lahan terhadap sistem drainase
alam yang ada. Demikian pula pada saat pembuatan jalan tambang.
Lokasi pembuatan fasilitas tambang, seperti perkantoran, gudang, dan
perumahan perlu memperhatikan kondisi tanah / batuan dan kemiringan
lerengnya. Sedapat mungkin hindari lokasi yang berlereng terjal dan
kemungkinan rawan longsor. Jika diperlukan pembuatan kolam
pengendapan, letakkan pada lokasi yang sifat batuannya kedap air,
misalnya batu lempung, dan tidak pada batuan yang banyak kekar-
kekarnya. Hal ini untuk menghindari terjadinya kebocoran. Bila kondisi
batuan tidak memungkinkan, maka kolam pengendapan bisa dibuat dari
beton, walaupun memerlukan tambahan biaya.
b). Tahap Eksploitasi ; kegiatan yang dilakukan pada tahap ini utamanya
berupa penambangan / penggalian bahan tambang dengan jenis dan
keterdapatan bahan tambang yang berbeda-beda. Dengan demikian teknik
/ tata cara penambangannya berbeda-beda pula. Bahan tambang yang
terdapat di daerah perbukitan, walaupun jenisnya sama, misalnya pasir,
teknik penambangannya akan berbeda dengan deposit pasir yang terdapat
di daerah dataran, apalagi yang terdapat di dalam alur sungai.
Hal-hal yang perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut :
Jenis, sebaran dan susunan perlapisan batuan yang terdapat di sekitar
deposit bahan tambang, termasuk ketebalan lapisan tanah penutup;
Sifat fisik dan keteknikan tanah / batuan;
Kondisi hidrogeologi (kedalaman muka air tanah dangkal dan / dalam,
pola aliran air tanah, sifat fisika dan kimia air tanah dan air
permukaan, letak mata air dan besaran debitnya, letak dan pola aliran
sungai berikut peruntukannya, sistem drainase alam);
Topografi / kemiringan lereng;
Kebencanaan geologi (kerawanan gerakan tanah, bahaya letusan
gunung api, banjir, kegempaan);
Kandungan unsur-unsur mineral yang terdapat dalam batuan yang
terdapat di sekitar deposit bahan tambang, misalnya pirit
Dengan mengetahui dan kemudian memperhitungkan seluruh data-data
tersebut, maka dapat ditentukan teknik penambangan yang sesuai,
sehingga dampak negatif terhadap lingkungan akibat kegiatan
penambangan dapat dihindari atau ditekan sekecil mungkin.
c). Tahap Reklamasi ; kegiatan reklamasi tidak harus menunggu sampai
seluruh kegiatan penambangan berakhir, terutama pada lahan
penambangan yang luas. Reklamasi sebaiknya dilakukan secepat mungkin
pada lahan bekas penambangan yang telah selesai dieksploitasi, walaupun
kegiatan penambangan tersebut secara keseluruhan belum selesai karena
masih terdapat deposit bahan tambang yang belum ditambang. Sasaran
akhir dari reklamasi adalah untuk memperbaiki lahan bekas tambang agar
kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat
dimanfaatkan kembali.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan lingkungan pada tahap
reklamasi adalah sebagai berikut:
Rencana reklamasi sebaiknya dipersiapkan sebelum pelaksanaan
penambangan;
Luas areal yang direklamasi sama dengan luas areal penambangan;
Memindahkan dan menempatkan tanah pucuk pada tempat tertentu
dan mengatur sedemikian rupa untuk keperluan revegetasi;
Mengembalikan / memperbaiki pola drainase alam yang rusak;
Menghilangkan / memperkecil kandungan (kadar) bahan beracun (jika
ada) sampai ke tingkat yang aman sebelum dibuang ke suatu tempat
pembuangan;
Mengembalikan lahan seperti semula atau sesuai dengan tujuan
penggunaan;
Memperkecil erosi selama dan setelah proses reklamasi;
Memindahkan seluruh peralatan yang sudah tidak digunakan lagi ke
tempat yang dianggap aman;
Permukaan tanah yang padat harus digemburkan, atau ditanami
dengan tanaman pionir yang akarnya mampu menembus tanah yang
keras;
Jenis tanaman yang akan dipergunakan untuk revegetasi harus sesuai
dengan rencana rehabilitasi (dapat berkonsultasi dahulu dengan dinas
terkait);
Mencegah masuknya hama dan gulma yang berbahaya;
Memantau dan mengelola areal reklamasi sesuai dengan kondisi yang
diharapkan.
Dalam beberapa kasus, lahan bekas penambangan tidak harus seluruhnya
direvegetasi, namun dapat dimanfaatkan untuk tujuan lain, misalnya
menjadi kolam persediaan air, padang golf, perumahan, dan sebagainya
apabila dinilai lebih bermanfaat atau sesuai dengan rencana tata ruang.
Oleh karena itu, sebelum merencanakan reklamasi, sebaiknya
berkonsultasi dahulu dengan pemerintah daerah setempat, pemilik lahan
atau instansi terkait lainnya (Kusuma, 2008).
2.3. Pemanfaatan Lahan Untuk Penambangan Pasir
Pemanfaatan lahan atau penggunaan lahan (land use) adalah setiap bentuk
campur tangan (intervensi) manusia terhadap lahan dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidupnya baik material maupun spiritual. Penggunaan lahan dapat
dikelompokkan ke dalam dua golongan besar yaitu penggunaan lahan pertanian
dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian
dibedakan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditi yang diusahakan atau
yang dimanfaatkan, jenis tumbuhan atau tanaman yang terdapat di atas lahan
tersebut. Berdasarkan hal ini dikenal macam-macam penggunaan lahan seperti
tegalan, sawah, kebun, hutan produksi dan hutan lindung. Sedangkan
penggunaan lahan bukan pertanian meliputi pemukiman, industri, rekreasi dan
pertambangan (Dit. Land Use, 1967, dalam Arsyad, 2006).
Dengan adanya program pembangunan fisik, maka kebutuhan akan bahan
baku yang berasal dari bahan galian golongan C semakin banyak terutama pasir.
Pemenuhan kebutuhan bahan baku ini menyebabkan semakin meningkatnya
aktivitas penambangan bahan galian tersebut, yang mengakibatkan terjadinya
pergeseran penggunaan lahan pertanian menjadi lahan pertambangan.
Di dalam melakukan aktivitas penambangan, masyarakat penambang
sudah menggunakan alat-alat mekanik seperti excavator. Namun demikian dalam
pelaksanaan kegiatan penambangan, masyarakat belum membuat perencanaan
yang matang, baik dari segi persiapan, pelaksanaan penambangan sampai dengan
pengelolaan lahan pasca penambangan. Kondisi ini akan berpotensi
mengakibatkan terjadinya kerusakan lahan akibat penambangan tersebut (Najib,
2006).
2.4. Kerusakan Lingkungan Akibat Penambangan Pasir
Kriteria kerusakan lingkungan bagi usaha atau kegiatan penambangan
bahan galian golongan C berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup Nomor 43 Tahun 1996 tentang Kriteria Kerusakan Lingkungan Bagi
Usaha Atau Kegiatan Penambangan Bahan Galian Golongan C Jenis Lepas di
Daratan pasal 1 butir (5) menyebutkan bahwa Kriteria Kerusakan Lingkungan
Penambangan adalah batas kondisi penambangan yang menunjukkan indikator-
indikator terjadinya kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan adalah
perubahan yang terjadi akibat tindakan manusia yang langsung maupun tidak
langsung terhadap sifat fisik dan lingkungan hayati, yang mengakibatkan
lingkungan tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang
berkesinambungan (Syah, 1987).
Penambangan bahan galian pasir diawali dengan pembersihan vegetasi
permukaan. Kemudian dilanjutkan dengan pengupasan tanah pucuk (top soil),
setelah itu dilakukan penggalian atau eksploitasi dengan alat mekanik seperti yang
terlihat pada gambar 1.
Gambar 1. Kegiatan pembersihan vegetasi, yang
dilanjutkan dengan pengupasan tanah pucuk /
top soil pada lokasi “Tambang-3 (HS)” (photo
diambil tanggal 09 Juni 2009, Dokumentasi
Seksi Geologi Tata Lingkungan Distamben
Kota Palangka Raya).
Pada saat kegiatan penambangan ini berjalan, terjadi perubahan
karakteristik lahan baik fisik - kimia dan biotik lahan yang ditandai dengan
terjadinya proses erosi, terganggunya tatanan air, hilangnya lapisan tanah atau
berubahnya sifat-sifat fisik, dan biologi tanah. Lubang bekas galian menyebabkan
rusaknya lahan atau bentang alam setempat seperti terlihat pada gambar 2 di
bawah ini.
Gambar 2. Lubang bekas galian penambangan pada lokasi
“Tambang-4 (ZB)” (photo diambil tanggal 14
Pebruari 2010).
Sedangkan reklamasi yang tidak terencana atau bahkan tidak
dilaksanakannya reklamasi lahan, menyebabkan proses perusakan lahan ini terus
berlanjut hinga berakhir masa penambangan (Najib, 2006) dapat dilihat pada
gambar 3.
Gambar 3. Lubang bekas galian penambangan pada lokasi
“Tambang-1 (YS)” yang tidak direklamasi (photo
diambil tanggal 14 Pebruari 2010).
Kegiatan manusia yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan atau
kelangkaan sumberdaya alam berlangsung dalam tiga cara: (1). jika sumberdaya
di-eksploitasi dengan tingkat kecepatan yang melebihi daya pulihnya; (2).
kelangkaan sumberdaya disebabkan oleh pertumbuhan penduduk, dan (3). akses
terhadap lingkungan dan sumberdaya alam yang tidak seimbang (Mitchell, dkk,
2007).
Kerusakan lingkungan akibat usaha pertambangan antara lain disebabkan
oleh berbagai bentuk gangguan atau kerusakan lahan akibat penambangan bahan
galian pasir.
Adapun kerusakan lahan akibat penambangan bahan galian pasir dapat di
lihat pada tabel 2.
Tabel. 2. Bentuk kerusakan lahan akibat penambangan bahan galian pasir.
No Aspek lahan yang rusak /
terganggu
Bentuk kerusakan
1 Bentang alam Terbentuknya lubang galian yang
dalam, memiliki relief dasar lubang
yang tidak beraturan
2 Vegetasi / penutup lahan Hilang atau berubahnya struktur
vegetasi / penutup lahan
3 Tanah Hilangnya tanah pucuk (top soil), tanah
tertutup oleh kerikil atau batuan, serta
berubahnya sifat fisik, kimia dan
biologis tanah (aerasi, drainase).
4 Hidrologi Berubahnya muka air tanah, munculnya
genangan, menurunnya kualitas air.
Sumber : Kep.Men.LH No. 43/MENLH/10/1996.
Sedangkan tingkat risiko gangguan akibat kerusakan lahan seperti pada
tabel 3. di bawah ini :
Tabel. 3. Tingkat risiko gangguan akibat kerusakan lahan
Nilai Tata Guna Lahan dan Fungsi Kawasan Resiko Gangguan
1 Tanaman kering, tegalan, semak-semak Resiko gangguan rendah
2 Sawah, kebun, dan ladang Resiko gangguan sedang
3 Pemukiman, resapan air dan kawasan
lindung
Resiko gangguan tinggi
Sumber : Najib, 2006.
Pembukaan hutan untuk jalur transportasi hasil tambang dapat merusak
ekosistem hutan dan potensi hidrologi. Perubahan lingkungan yang berlangsung
secara alami bercirikan keseimbangan dan keselarasan, sedangkan manusia
sesungguhnya mempunyai potensi dan kemampuan untuk merubahnya secara
berbeda, karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasainya
serta perkembangan kebudayaan pada umumnya. Bahkan seringkali perubahan
itu secara sadar ditimbulkan, walau tahu hal tersebut akan menimbulkan kerugian
pada orang lain serta mahluk hidup lainnya, atau kerusakan lingkungan pada
umumnya (Darsono, 1995).
Variabel dalam penelitian ini meliputi batas tepi galian dari luas ijin
pertambangan, tinggi dinding / batas kedalaman galian dari permukaan tanah
awal, pengangkutan bahan galian, kondisi jalan, luas reklamasi, pengembalian
tanah pucuk. Kemudian untuk melengkapi data dari pengamatan fisik lahan
tersebut dilakukan analisis laboratorium yang meliputi : analisis tanah pada lokasi
penambangan pasir, analisis kualitas air yang berada di lubang bekas galian pasir
dan analisis benthos yang berada di lubang bekas galian pasir.
2.5. Kerangka Pemikiran
Pembangunan menuntut adanya dinamika kemajuan dan seringkali
dimensi lingkungan kurang dapat mengimbangi perkembangan ini. Sementara
itu terjadi pula pengelolaan sumberdaya alam yang terlalu boros, tidak sesuai
dengan tingkat perkembangan pembangunan yang ada. Kegiatan dalam suatu
usaha untuk mengelola sumberdaya alam merupakan suatu kegiatan yang harus
memperhatikan kelestarian lingkungan. Perubahan pada bentang lahan
merupakan awal dari suatu kerusakan dalam mengelola sumberdaya alam baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pengelolaan sumberdaya alam yang
dimaksud adalah pada pelaksanaan teknologi pertambangan mulai dari eksplorasi
sampai dengan pengolahan. Pertambangan merupakan suatu kegiatan yang
memberi kesan bahwa kegiatan ini sebagai kegiatan yang memberikan gangguan
terhadap lingkungan, baik lingkungan fisik, biotik maupun sosial (Ambyo, 1995).
Adapun kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat dari gambar 4.
di bawah ini :
Sumberdaya Pasir
Potensi Wilayah
Variabel yang diamati dalam
Penelitian
Rusak Ringan
Rusak Berat Rusak Sedang
Kegiatan Penambangan Pasir
Proses Penambangan Pasir
Kerusakan Lahan
Pengendalian Kegiatan
Penambangan Pasir
Meningkatnya permintaan
pasir
Gambar 4. Kerangka pemikiran penelitian.
Pengembangan Wilayah
2.6. Hipotesis
Berdasarkan uraian landasan teori dan tujuan penelitian, maka dapat
dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
a. Perbedaan tingkat kerusakan lahan dipengaruhi oleh banyaknya kegiatan
penambangan pasir.
b. Pengendalian kegiatan penambangan pasir akan mengurangi kerusakan
pada lahan
.
III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu
Tempat penelitian / observasi ini dilakukan pada 7 (tujuh) lokasi
penambangan di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sabangau, Kota Palangka
Raya seperti pada gambar 5, dan waktu penelitian di mulai bulan September
s/d Nopember 2010.
Gambar 5. Peta lokasi penambangan
3.2. Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini seperti pada tabel 4,
sedangkan sumber data didapat dengan melakukan pengamatan dan pengukuran
langsung di lokasi penambangan yaitu dengan pengamatan dan pengukuran pada
masing-masing sampel penelitian yang merupakan data primer. Disamping data
primer juga data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait yang berhubungan
dengan penelitian ini.
Tabel 4. Bahan dan alat yang digunakan
No. Bahan dan Alat Fungsi
1. GPS (Global Position System) Untuk menentukan lokasi / posisi
geografis dan ketinggian dengan bantuan
satelit.
2. Kompas Navigasi (Suunto) Untuk menentukan arah.
3. Kompas Geologi (Bruunton) Untuk menentukan arah dan mengukur
kemiringan lereng penambangan.
4. Kamera Digital Untuk mengambil gambar di lapangan
(dokumentasi)
5. Meteran (50 meter) Untuk mengukur jarak dan tinggi atau
kedalaman penambangan.
6. Peta Fungsi Kawasan
Berdasarkan Tata Ruang
Tahun 2003
Skala 1 : 200.000
Untuk mengetahui fungsi kawasan di
wilayah Kecamatan Sabangau
berdasarkan tata ruang Provinsi
Kalimantan Tengah
7. Peta Fungsi Kawasan
Berdasarkan TGHK
Tahun 1982
Skala 1 : 200.000
Untuk mengetahui fungsi kawasan di
wilayah Kecamatan sabangau
berdasarkan Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK).
8. Peta Penutupan Lahan
Berdasarkan Data Dephut
Tahun 2009
Skala 1 : 200.000
Untuk mengetahui tutupan lahan (land
cover) di wilayah Kecamatan Sabangau
berdasarkan data dari Kementerian
Kehutanan.
3.3. Desain Penelitian
Desain penelitian dalam kajian kerusakan lahan ini menggunakan 2 (dua)
pendekatan yakni pendekatan kualitatif verifikatif dan grounded research.
Menurut Bungin (2007), pendekatan kualitatif verifikatif pada umumnya
dilakukan dalam penelitian studi kasus yang merupakan sebuah upaya pendekatan
induktif terhadap seluruh proses penelitian sehingga akan berupaya
mengungkapkan makna yang ada dibalik data yang tampak. Pendekatan
kualitatif memusatkan diri pada suatu unit tertentu dari berbagai fenomena,
sedangkan pendekatan grounded research yang diperkenalkan oleh Glaser dan
Straus, 1967, dalam Bungin, 2007, merupakan kegiatan penelitian yang langsung
ke lapangan, semua kegiatan dilaksanakan di lapangan.
3.4. Variabel Penelitian
Sumber data yang didapat dengan pengamatan dan pengukuran langsung
di lokasi penambangan merupakan variabel fisik lahan berdasarkan kondisi non
alamiah meliputi :
(1). Batas tepi galian dari luas ijin pertambangan (SIPD/SIPRD);
(2). Tinggi dinding / batas kedalaman galian dari permukaan tanah awal;
(3). Pengangkutan bahan galian (truck angkutan);
(4). Kondisi jalan umum yang dilewati truck angkutan bahan galian;
(5). Luas reklamasi;
(6). Pengembalian tanah pucuk untuk vegetasi.
Variabel fisik lahan berdasarkan kondisi non alamiah tersebut di atas yang dipilih
untuk memberikan gambaran dalam menentukan tingkat kerusakan lahan.
Kemudian untuk melengkapi data dari pengamatan fisik lahan tersebut
dilakukan analisis laboratorium yang meliputi :
(1). Analisis tanah pada lokasi penambangan pasir,
(2). Analisis kualitas air yang berada di lubang bekas galian pasir
(3). Analisis benthos yang berada di lubang bekas galian pasir.
3.5. Metode Penarikan Sampel
Metode penelitian dilakukan dengan cara observasi atau pengamatan
langsung di lapangan (grounded research) untuk mendapatkan data primer di
lokasi tambang dengan melakukan pengukuran dan pengamatan. Pengambilan
sampel ditentukan pada 7 (tujuh) lokasi penambangan baik yang sudah tidak aktif
(tidak beroperasi) maupun yang masih aktif (beroperasi). Data sekunder yang
dikumpulkan berupa hasil-hasil penelitian terdahulu dikumpulkan dari hasil studi
perpustakaan, lembaga atau instansi-instansi terkait tingkat Kabupaten / Kota
maupun Propinsi, sedangkan pelaksanaan kegiatan penelitian meliputi :
a. Melakukan pengukuran dan pengamatan pada 7 (tujuh) lokasi
penambangan yang terdapat di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan
Sabangau, Kota Palangka Raya.
b. Pengambilan sampel.
c. Pengumpulan dokumen.
3.6. Prosedur Pengumpulan data
Tahap observasi dan analisis kegiatan penambangan pasir dilakukan
dengan beberapa tahapan : (1) persiapan bahan dan alat, (2) pelaksanaan, (3)
pengamatan dan pengambilan sampel.
3.7. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini, analisis data yang dipakai untuk mengetahui
kerusakan lahan akibat kegiatan penambangan pasir di Kelurahan Kalampangan,
Kecamatan Sabangau, Kota Palangka Raya meliputi analisis deksriptif dari data
fisik lahan yang mengacu pada kerusakan lahan akibat penambangan terhadap
kondisi non alamiah. Kondisi non alamiah tersebut meliputi batas tepi galian dari
luas ijin pertambangan (SIPD/SIPRD), tinggi dinding / batas kedalaman galian
dari permukaan tanah awal, pengangkutan bahan galian (truck angkutan), kondisi
jalan umum yang dilewati oleh truck angkutan bahan galian, luas reklamasi,
pengambilan tanah pucuk untuk vegetasi.
Kemudian untuk melengkapi data fisik lahan yang berdasarkan kondisi
non alamiah dilakukan analisis laboratorium yang meliputi analisis tanah pada
lokasi penambangan dengan memperhatikan kriteria penilaian sifat kimia tanah
dari Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor (1983). Analisis kualitas air
yang berada di lubang bekas galian mengacu pada lampiran Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air, yang selanjutnya hasil dari pengujian kualitas air
tersebut dikonversikan ke dalam skala kualitas lingkungan dalam bentuk indeks
pencemaran (IP) yang prosedur perhitungannya berpedoman pada lampiran II
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang
Pedoman Penentuan Status Mutu Air. Sedangkan analisis benthos di lubang
bekas galian pasir dilakukan dengan metode analogi, yaitu membandingkan hasil
laboratorium dengan skala penilaian kualitas lingkungan biota perairan.
Untuk penentuan tingkat kerusakan lahan disetiap lokasi sampel yang
terdapat di Kelurahan Kalampangan digunakan tahapan sebagai berikut :
(a) Pemilihan variabel
Untuk setiap kategori data perlu dipilih variabel yang dapat mewakili
kehadiran komponen lingkungan dalam analisis. Variabel yang dipilih
adalah yang dipandang penting dan dapat memberikan gambaran yang
kuat dari kategori data dalam analisis data.
(b) Pengharkatan
Satuan yang berbeda dari setiap tolok ukur perlu diberikan harkat / skoring
relatif yang mewakili keadaan berjenjang.
(c) Menentukan skala / tingkat pengukuran
Untuk mendapatkan gambaran komponen utama perlu menjumlahkan nilai
skala berbagai variabel di setiap analisis, sehingga diperoleh skala untuk
setiap analisis. Skala pengukuran adalah peraturan penggunaan notasi
bilangan dalam pengukuran (Hasan, 2004).
(d) Klasifikasi
Hasil pengukuran (skala) disederhanakan untuk membuat perbedaan antar
lokasi sampel melalui skala setiap variabel terpilih pada setiap satuan ukur
ke beberapa klas.
Dalam menentukan tingkat kerusakan lahan, satuan ukur yang digunakan
mempunyai satuan yang berbeda, sehingga perlu diadakan standarisasi. Cara
pembakuan yang digunakan adalah dengan scaling yaitu dilakukan dengan
memberikan nilai pada setiap satuan ukur yang dikaji.
Formulasi yang digunakan adalah :
Dimana :
Bobot penilaian (skor) : 1 = baik; 2 = sedang; 3 = rusak;
Jumlah variabel dalam pengamatan : 6 variabel
Kelas kerusakan : ringan; sedang; berat = 3 klas
maka,
∑ skor tertinggi = bobot tertinggi x jumlah variabel
= 3 x 6
= 18
∑ skor terendah = bobot terendah x jumlah variabel
= 1 x 6
= 6
dan
∑ klas = 3
sehingga,
Interval klas adalah :
Dalam penentuan klasifikasi tingkat kerusakan lahan perlu dirumuskan
metode klasifikasi. Adapun metode klasifikasi yang digunakan adalah sebagai
berikut:
a. Klas I dengan skor 6 - 9, menunjukkan bahwa kriteria kerusakan lahan
adalah ringan;
b. Klas II dengan skor 10 - 13, menunjukan bahwa kriteria kerusakan lahan
adalah sedang;
c. Klas III dengan skor 14 - 18, menunjukan bahwa kriteria kerusakan lahan
adalah berat.
Penilaian tingkat kerusakan lahan akibat kegiatan penambangan
dilakukan dengan menggunakan metode analisis tingkat kerusakan, yaitu dengan
cara mengamati penentu kerusakan yang ada di lapangan. Parameter / variabel
inilah yang disebut sebagai indikator kerusakan lahan. Hasil pengamatan yang
didapat di lapangan kemudian diolah dan diberi bobot penilaian.
3.8. Definisi Operasional
Definisi operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Dampak lingkungan hidup adalah pengaruh perubahan pada lingkungan
hidup yang diakibatkan oleh suatu usaha dan / atau kegiatan.
Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup adalah ukuran batas
perubahan sifat fisik, kimia, dan / atau hayati lingkungan hidup yang dapat
ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan
fungsinya.
Kerusakan lingkungan hidup adalah perubahan langsung dan / atau tidak
langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan / atau hayati lingkungan hidup
yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
Kriteria Kerusakan Lingkungan Penambangan adalah batas kondisi
penambangan yang menunjukkan indikator-indikator terjadinya kerusakan
lingkungan.
Pengelolaan pertambangan adalah suatu upaya yang dilakukan baik
secara teknis maupun non teknis agar kegiatan pertambangan tersebut
tidak menimbulkan permasalahan, baik terhadap kegiatan pertambangan
itu sendiri maupun terhadap lingkungan.
Usaha pertambangan bahan galian adalah usaha pertambangan yang
kegiatannya melalui beberapa tahap terdiri dari prospekting (penyelidikan
umum), eksplorasi, eksploitasi, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan
dan penjualan serta pemanfaatan bahan galian.
Lahan adalah hamparan di muka bumi berupa temberengan (segment)
sistem terestrik yang merupakan suatu perpaduan sejumlah sumberdaya
alam dan binaan.
Perusakan lahan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung
atau tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik dan / atau hayati lahan yang
mengakibatkan lahan tersebut kurang atau tidak dimanfaatkan lagi sesuai
dengan fungsinya dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan.
IV. KEADAAN UMUM LOKASI
4.1. Lokasi dan Luas Wilayah
Kecamatan Sabangau merupakan salah satu kecamatan di wilayah
administrasi Kota Palangka Raya. Kecamatan Sabangau berada di bagian barat
Kota Palangka Raya, dengan posisi geografis pada 113o58‟‟20,00‟‟ hingga
114o03‟20,00‟‟ Bujur Timur dan 2
o16‟‟00,00‟‟ hingga 2
o19‟20,00‟‟ Lintang
Selatan. Wilayah administrasi Kecamatan Sabangau sebagaimana terlihat pada
gambar 6, mempunyai batas-batas wilayah sebagai berikut :
a. Sebelah Utara, berbatasan dengan Kecamatan Jekan Raya, Kecamatan
Pahandut dan Kabupaten Pulang Pisau.
b. Sebelah Timur, berbatasan dengan Kabupaten Pulang Pisau.
c. Sebelah Barat, berbatasan dengan Kabupaten Katingan.
d. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kabupaten Pulang Pisau
Kecamatan Sabangau memiliki luas wilayah 58.350 Ha atau sekitar
21,79% dari luas wilayah Kota Palangka Raya yang mencapai 267.851 Ha (Profil
Kecamatan Sabangau, 2010). Berdasarkan luas wilayah tersebut, maka
Kecamatan Sabangau merupakan wilayah kecamatan terluas ke 2 di Kota
Palangka Raya setelah Kecamatan Rakumpit (105.314 Ha).
Kab. Pulang Pisau
Kecamatan Pahandut
Kecamatan Jekan Raya
Kabupaten Pulang Pisau
Kabupaten
Katingan
Kabupaten Pulang Pisau
Gambar 6. Peta administrasi Kecamatan Sabangau.
Wilayah administratif Kecamatan Sabangau melingkupi 6 wilayah
kelurahan, yakni Kereng Bangkirai, Sabaru, Kalampangan, Kameloh Baru,
Bereng Bengkel, dan Danau Tundai. Ke – 6 wilayah kelurahan tersebut
mempunyai luas wilayah berkisar 0,69% - 10,10% dari luas wilayah Kota
Palangka Raya. Kelurahan yang paling luas wilayahnya adalah Kelurahan
Kereng Bangkirai (27.050 Ha), dan kelurahan paling kecil luas wilayahnya adalah
Kelurahan Bereng Bengkel (1.850 Ha). Sementara itu, Kelurahan Kalampangan
yang berjarak 18 km dari Kota Palangka Raya memiliki luas wilayah 4.625 Ha
atau sekitar 1,73% dari luas wilayah Kota Palangka Raya. Secara terinci,
keadaan luas wilayah masing-masing kelurahan di Kecamatan Sabangau tersebut,
sebagaimana terlihat pada tabel 5.
Tabel 5. Luas wilayah Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya menurut
Kelurahan, Tahun 2009.
No. Kelurahan Luas
(Ha)
% Terhadap
Luas
Kecamatan
Sabangau
% Terhadap
Luas Kota
Palangka Raya
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kereng Bangkirai
Sabaru
Kalampangan
Kameloh Baru
Bereng Bengkel
Danau Tundai
27.050
15.225
4.625
5.350
1.850
4.250
46,36
26,09
7,93
9,17
3,17
7,28
10,10
5,68
1,73
2,00
0,69
1,59
Jumlah 58.350 100,00 21,79 Sumber : Profil Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya, 2010.
4.2. Keadaan Iklim
Keadaan iklim Kecamatan Sabangau tidak jauh berbeda dengan keadaan
iklim wilayah Kota Palangka Raya pada umumnya. Wilayah Kota Palangka
Raya merupakan daerah yang beriklim tropis, dengan rata-rata mendapat
penyinaran matahari di atas 50 %. Berdasarkan klasifikasi iklim Oldeman, tipe
iklim Kota Palangka Raya termasuk tipe iklim B1 (iklim bulan basah), yaitu
wilayah bulan basah (curah hujan > 200 mm / bulan) terjadi antara 7 - 9 bulan dan
bulan kering (curah hujan < 100 mm / bulan) kurang dari 2 (dua) bulan (Bappeda
Kota Palangka Raya, 2007).
Curah hujan tahunan untuk wilayah Kota Palangka Raya sepanjang tahun
2008 berkisar 93,4 – 212,4 mm, dengan rata-rata curah hujan mencapai 301,3 mm.
Suhu udara rata-rata berkisar 23,5 – 32,6 OC, dengan suhu maksimum rata-rata
33,5 OC. Sementara itu kelembaban nisbi udara relatif tinggi, dengan rata-rata
tahunan di atas 80 % (BPS Kota Palangka Raya, 2009).
4.3. Jumlah Penduduk
Penduduk Kecamatan Sabangau sampai akhir tahun 2009 mencapai 11.382
jiwa, dan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 3.545 KK. Dari jumlah
penduduk tersebut, sebagian besar yaitu 5.992 jiwa (62,64 %) merupakan
penduduk laki-laki dan selebihnya 5.390 jiwa (47,36 %) penduduk wanita (Profil
Kecamatan Sabangau, 2010).
Dilihat dari jumlah penduduk pada setiap kelurahan, penduduk Kecamatan
Sabangau tersebut sebagian besar terdapat di Kelurahan Kereng Bangkirai (5.627
jiwa atau 49,44 %) dan yang paling sedikit terdapat di Kelurahan Danau Tundai
(221 jiwa atau 1,94 %). Khususnya pada Kelurahan Kalampangan, jumlah
penduduk akhir tahun 2009 mencapai 3.010 jiwa atau 26,45 %. Secara terinci
keadaan jumlah penduduk dan Kepala Keluarga (KK) di Kecamatan Sabangau
tersebut sebagaimana tabel 6.
Tabel 6. Jumlah penduduk dan kepala keluarga di Kecamatan Sabangau Kota
Palangka Raya, Tahun 2009.
No. Kelurahan Laki-laki
(Jiwa)
Wanita
(Jiwa)
Jumlah
Jiwa KK
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kereng Bangkirai
Sabaru
Kalampangan
Kameloh Baru
Bereng Bengkel
Danau Tundai
3.032
474
1.515
338
514
119
2.595
393
1.495
326
479
102
5.627
867
3.010
664
993
221
1.516
676
855
172
265
61
Jumlah 5.992 5.390 11.382 3.545 Sumber : Profil Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya, 2010.
Kepadatan penduduk di Kecamatan Sabangau yang merupakan
perbandingan antara jumlah penduduk dengan luas wilayah, rata-rata mencapai 19
Jiwa / km2. Meskipun demikian, tingkat penyebaran penduduk tersebut masih
belum merata. Dari 6 (enam) kelurahan di wilayah Kecamatan Sabangau,
Kelurahan Kalampangan mempunyai kepadatan penduduk paling tinggi (65 Jiwa /
km2) dan diikuti oleh Kelurahan Bereng Bengkel (54 Jiwa / km
2). Pada
kelurahan yang lainnya, kepadatan penduduk relatif masih jarang yaitu berkisar 5
– 21 Jiwa / km2.
4.4. Mata Pencaharian Penduduk
Penduduk di Kecamatan Sabangau hingga akhir tahun 2009 yang telah
mempunyai mata pencaharian tetap sebanyak 4.535 orang atau sekitar 39,84 %
dari jumlah penduduk. Berdasarkan data Kecamatan Sabangau (2010), paling
tidak terdapat 9 (Sembilan ) jenis mata pencaharian penduduk, yaitu swasta,
pegawai negeri, TNI/POLRI, pedagang, penjahit, tukang kayu/batu, montir, petani
dan jasa angkutan. Secara terinci jumlah penduduk yang bekerja menurut
berbagai jenis mata pencaharian tersebut sebagaimana pada tabel 7.
Tabel 7. Jenis mata pencaharian penduduk di Kecamatan Sabangau Menurut
Kelurahan , Tahun 2009.
No. Mata Pencaharian
Penduduk Bekerja Menurut Kelurahan
(Orang)
Kereng
Bangkirai Sabaru
Kalampa
ngan
Kameloh
Baru
Bereng
Bengkel
Danau
Tundai
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Swasta
Pegawai negeri
TNI/POLRI
Pedagang
Penjahit
Tukang Kayu/batu
Montir
Petani
Jasa Angkutan
196
320
31
270
8
141
4
677
8
79
63
4
9
1
12
1
295
6
252
43
15
64
3
27
5
1.333
11
30
2
-
15
-
4
-
220
2
37
24
-
12
1
12
2
189
4
-
3
-
5
-
-
-
95
-
Jumlah 1.655 470 1.753 273 281 103 Sumber : Profil Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya, 2010.
Sebagaimana data tabel 7, bekerja sebagai petani merupakan pekerjaan
sebagian besar penduduk di Kecamatan Sabangau. Pada tahun 2009, penduduk
yang menjadi petani mencapai 2.809 orang atau rata-rata 61,94 % dari jumlah
penduduk yang bekerja, sedangkan jenis pekerjaan lain rata-rata berkisar 0,26 –
13,10 %. Penyebaran penduduk yang bekerja sebagi petani menurut kelurahan
berkisar 40,91 – 92,23 %, dengan jumlah terbesar terdapat di Kelurahan Danau
Tundai (92,23 %) dan terkecil di Kelurahan Kereng Bangkirai (40,91 %).
Khususnya pada Kelurahan Kalampangan, jumlah penduduk yang bekerja sebagai
petani mencapai 1.333 orang atau 76,04 % dari jumlah penduduknya yang
mempunyai pekerjaan.
4.5. Jenis dan Penggunaan Lahan
Tipologi lahan yang terdapat hampir merata di semua wilayah Kecamatan
Sabangau adalah lahan basah / rawa. Sedangkan jenis tanah yang dapat dijumpai
adalah tanah organosol, podzol, regosol, dan alluvial. Dari beberapa jenis tanah
tersebut, jenis tanah yang paling luas penyebarannya adalah tanah gambut
(organosol) hingga mencapai 83,17 % atau 48,529 Ha (BPP Kalampangan, 2010).
Penggunaan lahan oleh sebagian masyarakat terutama untuk kegiatan
pertanian masih relatif kecil. Berdasarkan data BPP Kalampangan (2010), luas
lahan yang dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian (tegalan/ladang/kebun,
tambak/kolam/empang, perkebunan) di wilayah Kecamatan Sabangau hanya
berkisar 2,73 – 44,4 %. Dari 4 (empat) kelurahan yang tersedia datanya
mengenai penggunaan lahan, hanya Kelurahan Kalampangan yang mempunyai
areal untuk kegiatan pertanian yang relatif besar yaitu mencapai 2.005 Ha atau
44,43 % dari luas wilayahnya. Adapun jenis penggunaan lahan di wilayah
Kecamatan Sabangau tersebut secara terinci sebagaimana pada tabel 8.
Tabel 8. Luas lahan menurut penggunaannya di Kecamatan Sabangau Kota
Palangka Raya, Tahun 2009.
No. Penggunaan Lahan
Luas Penggunaan Lahan Menurut Kelurahan (Ha)
Kereng
Bangkirai Sabaru
Kalampa
ngan
Kameloh
Baru
Bereng
Bengkel
Danau
Tundai
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Permukiman
Tegalan/Ladang/Kebun
Tambak/Kolam/Empang
Sawah
Perkebunan
Tanaman Kayu-kayuan
Padang Rumput
Tanah Belum diusahakan
Lainnya
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
157
2.35
5
-
15
1.766
15
232
400
58
216
-
-
10
850
10
270
3.936
61
184
-
-
-
200
8
608
789
62
116
2
-
-
623
2
216
3.231
Jumlah Tidak ada
data
Tidak
ada
data
4.625 5.350 1.850 4.250
Sumber : Profil Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya, 2010.
4.6. Topografi
Keadaan topografi wilayah Kecamatan Sabangau merupakan daerah
dataran rendah dan rawa, dengan kemiringan 0 – 8 %. Sebagian besar wilayah
Kecamatan Sabangau berada di bantaran Sungai Kahayan dan Sabangau kecuali
Kelurahan Sabaru, Kelurahan Kalampangan dan sebagian kecil wilayah
Kelurahan Kereng Bangkirai. Ketinggian tempat wilayah Kecamatan Sabangau
berkisar 16 – 19 meter di atas permukaan laut (BPS Kota Palangka Raya, 2009).
4.7. Geologi Regional
Geologi regional daerah penelitian termasuk dalam peta geologi lembar
Palangka Raya dan lembar Tewah, sekala 1 : 250.000, dari Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi (P3G) Bandung, yang berumur Pra-Tersier hingga
Tersier, yaitu :
a). Batuan Metamorfik Tak Terurai
Batuan ini diduga berumur Perm-Trias, terdiri dari phylit, gneiss, skeiss
dan kuarsit. Satuan batuan ini singkapannya menyebar ke arah utara
hingga sekitar daerah Gunung Mas dan tidak tersingkap di daerah Kota
Palangka Raya.
b). Batuan Granitan
Batuan ini merupakan tubuh batolit berumur Kapur Atas yang menerobos
batuan metamorfik, terdiri dari granit, diorit, granodiorit dan tonalit.
Sebaran batuan ini sangat luas ke arah utara, sedangkan di bagian selatan
tersingkap di daerah Bukit Batu wilayah Kasongan, Tangkiling Kecamatan
Bukit Batu wilayah Kota Palangka Raya dan di hulu sungai Sabangau dan
sungai Bakung di sebelah baratdaya Kota Palangka Raya.
c). Formasi Warukin
Formasi ini berumur Tersier, terdiri dari batupasir hingga konglomeratan,
setempat terdapat lensa batugamping. sisipan batulanau dan lempung
dengan sisipan batubara. Satuan ini sebagai hasil endapan pada transisi
antara darat dan laut dangkal. Di Kecamatan Rakumpit diperkirakan
muncul formasi ini di Kelurahan Mungku Baru dan Gaung Baru yang
dicirikan oleh sisipan batubara.
d). Formasi Dahor
Secara umum formasi ini terdiri dari konglomerat mengandung fragmen
kuarsit dan basal, berselingan dengan batupasir berbutir sedang – sangat
kasar, setempat berstruktur silang siur, sisipan batulempung setempat
karbonan hingga gambut. Ketebalan formasi ini ada yang mencapai 300 m
dan berumur Miosen Tengah – Pleistosen. Formasi Dahor terdapat meluas
di daerah penelitian yang dikuasai oleh batupasir kuarsa dengan sisipan
batulempung.
e). Alluvium
Endapan ini merupakan satuan paling muda berumur Kuarter, umumnya
terdapat di daerah sekitar aliran sungai dan rawa. Satuan alluvium ini
biasanya belum padat atau lunak terdiri dari pasir dan lempung atau
lumpur. Sebaran utamanya terdapat di daerah lembah aliran sungai
Rungan dan sungai Kahayan.
4.8. Morfologi
Morfologi secara umum di daerah penelitian merupakan morfologi dataran
rendah, dengan pembagian morfologi berdasarkan pada bentukan lahan
yaitu :
a). Satuan Morfologi Dataran Bentukan Limpasan Banjir
Morfologi ini merupakan dataran yang berkembang di sisi aliran sungai
utama seperti sungai Sabangau dan sungai Kahayan. Di dalam satuan
morfologi ini berkembang endapan sedimen berbutir halus berupa
lempung dan lumpur, sebagai hasil endapan yang terjadi pada masa air
banjir hingga melimpas di bagian sisi sungai yang membentuk endapan
alluvium. Sebaran morfologi ini terdapat disekitar aliran sungai utama
berbentuk memanjang searah dengan aliran sungai itu sendiri.
b). Satuan Morfologi Dataran Bentukan Lahan Gambut
Satuan morfologi ini dibentuk oleh hamparan endapan gambut dengan
ketebalan bervariasi. Umumnya berupa daerah datar dengan setempat
berawa-rawa dan ketinggian bervariasi antara 12 m hingga sekitar 19 m
dari muka air laut. Morfologi endapan gambut punya penyebaran cukup
luas di daerah penelitian sebagian besar di sisi barat hingga sangat luas ke
arah selatan.
c). Satuan Morfologi Dataran Bentukan Batupasir dan Formasi Dahor
Morfologi dataran ini disusun oleh satuan batuan yang umumnya berupa
pasir kuarsa dan kaolin dengan ketinggian rata-rata antara 15 m hingga 18
m di atas muka air laut. Satuan ini berbentuk memanjang terutama di
sepanjang areal jalan Tjilik Riwut dan melebar di sekitar wilayah Kota
Palangka Raya, secara umum berarah baratlaut – tenggara hingga wilayah
Kalampangan.
d). Morfologi Bentukan Batuan Beku / Terobosan
Batuan beku yang terdiri dari variasi batuan granitan, mempunyai daya
tahan terhadap erosi yang lebih tinggi di daerah ini, sehingga bentuk
satuan ini lebih menonjol dari daerah sekitarnya. Morfologi ini hanya
terdapat setempat di bagian hulu sungai Sabangau merupakan bentuk
tonjolan yang terisolir di 2 (dua) tempat yang dipisahkan oleh aliran
sungai, dengan ketinggian maksimal 10 m dan mempunyai bentuk lonjong.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Kondisi Fisik Lahan
5.1.1. Batas tepi galian
Batas tepi galian adalah jarak antara titik terluar lubang dengan titik
terdekat dari batas Surat Ijin Pertambangan Daerah (SIPD). Jarak lubang galian
dari batas SIPD merupakan zona penyangga agar lahan di luar batas SIPD tidak
terganggu oleh kegiatan penambangan.
Hasil pengukuran dan pengamatan batas tepi galian di setiap lokasi
penelitian dapat lihat pada tabel 9. di bawah ini :
Tabel 9. Batas tepi galian di setiap lokasi
No. Lokasi Batas Tepi Galian
(meter)
Bobot Penilaian
(skor) Kategori
1. Tambang 1
(YS)
0,00 3 Rusak
2. Tambang 2
(CV.DG)
0,00 3 Rusak
3. Tambang 3
(AS)
0,00 3 Rusak
4. Tambang 4
(ZB)
0,00 3 Rusak
5. Tambang 5
(HS)
0,00 3 Rusak
6. Tambang 6
(ALT)
1,00 3 Rusak
7. Tambang 7
(BAD)
0,00 3 Rusak
Sumber : Analisis data primer, 2010.
Dari hasil pengukuran dan pengamatan batas galian terhadap batas
kepemilikan/perijinan (SIPD) pada tiap lokasi penambangan dan bekas kegiatan
penambangan mempunyai tepi batas galian yang berkisar antara 0,00 – 1,00 meter
dari tepi kepemilikan perijinan, sehingga dikategorikan RUSAK.
Gambar 7. Pengukuran batas tepi galian pada lokasi
“Tambang-6 (ALT)” (photo di ambil tanggal 19
Oktober 2010).
5.1.2. Tinggi Dinding/Batas Kedalaman Galian dari Pemukaan Tanah Awal
Dinding galian adalah pinggiran lubang secara menyeluruh dari
permukaan sampai dasar lubang. Kedalaman lubang galian adalah jarak vertikal
dari pemukaan lahan hingga ke dasar lubang galian. Permukaan disini adalah
permukaan awal pada tepi lubang atau garis lurus yang menghubungkan tepi
galian sebelum ada galian, sedangkan dasar galian adalah lubang galian yang
terdalam. Pengukuran kedalaman lubang galian dilakukan dengan mengukur
jarak dari permukaan awal dengan dasar lubang terdalam.
Hasil dari pengukuran dan pengamatan tinggi dinding/batas kedalaman
galian dari permukaan tanah awal didapat seperti pada tabel 10 di bawah ini :
Tabel 10. Tinggi dinding/batas kedalaman galian dari permukaan tanah awal
No. Lokasi
Tinggi Dinding/Batas
Kedalaman
(meter)
Bobot Penilaian
(skor) Kategori
1. Tambang 1
(YS)
6,15 3 Rusak
2. Tambang 2
(CV.DG)
6,12 3 Rusak
3. Tambang 3
(AS)
6,75 3 Rusak
4. Tambang 4
(ZB)
6,10 3 Rusak
5. Tambang 5
(HS)
6,00 3 Rusak
6. Tambang 6
(ALT)
6,32 3 Rusak
7. Tambang 7
(BAD)
6,00 3 Rusak
Sumber : Analisis data primer, 2010.
Dari hasil pengukuran dan pengamatan tinggi dinding/batas kedalaman
galian dari permukaan tanah awal pada tiap lokasi penambangan dan bekas
kegiatan penambangan berkisar antara 6,00 – 6,75 meter dari permukaan tanah
awal, sehingga dikategorikan RUSAK.
5.1.3. Pengangkutan Bahan Galian (truck pengangkut)
Sarana transportasi utama dalam pengangkutan pasir adalah truck yang
merupakan alat transportasi untuk mengangkut bahan galian pasir ke tempat
pembeli seperti terlihat pada gambar 8.
Gambar. 8. Truck pengangkut bahan galian pasir di lokasi
“Tambang-7 (BAD)” (photo diambil pada
tanggal 19 Oktober 2010).
Hasil dari pengamatan pengangkutan bahan galian pasir (truck
pengangkut) di setiap lokasi penambangan dapat dilihat pada tabel 11 di bawah
ini :
Tabel 11. Jumlah truck pengangkut pasir dalam 7 (tujuh) hari secara kontinyu
No
Hari /
tanggal
Pengamatan
Jumlah truck pengangkut pasir pada masing-masing lokasi
Tambang
1
(YS)
Tambang
2
(CV.DG)
Tambang
3
(AS)
Tambang
4
(ZB)
Tambang
5
(HS)
Tambang
6
(ALT)
Tambang
7
(BAD)
1. Senin
18/04/2011
- - - - 20 25 20
2. Selasa
19/04/2011
- - - 25 23 27 23
3. Rabu
20/04/2011
- - - 20 25 30 22
4. Kamis
21/04/2011
- - - 20 22 25 25
5. Jum‟at
22/04/2011
- - - - 20 25 -
6. Sabtu
23/04/2011
- - - 20 23 27 25
7. Minggu
24/04/2011
- - - 21 20 21 20
Sumber : Analisis data primer, 2011
Berdasarkan tabel 11 di atas, bahwa di setiap lokasi penambangan, dalam
1 (satu) hari didapat berkisar antara 20 – 30 truck keluar masuk lokasi tambang
untuk mengangkut bahan galian pasir secara kontinyu. Kapasitas muatan truck
pengangkut yaitu 6 m3 dan bahan galian pasir yang diangkut per trip = 1 ret = 4
m3, maka muatan tidak melebihi dari kapasitas truck, maka dengan demikian
untuk pengangkutan bahan galian dinyatakan BAIK.
5.1.4. Kondisi Jalan
Berdasarkan hasil pengamatan pada kondisi Jalan Mahir Mahar yang
merupakan jalan trans Kalimantan (lintas propinsi) yang merupakan jalan kelas I
dengan beban maksimum 8 Ton, yang dilalui oleh truck pengangkut bahan galian
pasir dalam keadaan tidak berlubang dan bergelombang, sehingga dikategorikan
BAIK seperti terlihat pada gambar 9.
Gambar 9. Kondisi Jalan Mahir Mahar pada jalan masuk
menuju lokasi “Tambang-6 (ALT)” (photo
diambil pada tanggal 20 Maret 2011)
Gambar 10. Kondisi jalan tambang pada lokasi
“Tambang-6 (ALT)” (photo diambil pada
tanggal 19 Oktober 2010)
Gambar 11. Kondisi jalan tambang pada lokasi
“Tambang-7 (BAD)” (photo diambil pada
tanggal 09 Juni 2009, Dokumentasi Seksi
Geologi Tata Lingkungan, Distamben Kota
Palangka Raya)
5.1.5. Luas Reklamasi
Kegiatan reklamasi selalu terkait dengan luas lahan yang akan direklamasi,
ini menyangkut luas kepemilikan atau luas perijinan yang diberikan. Luas lahan
yang akan ditambang tidak perlu harus dibuka vegetasi penutup lahan secara
keseluruhan. Dari hasil pengamatan, bahwa semua lokasi penambangan yang
diteliti umumnya tidak melaksanakan reklamasi, karena lahan yang dibuka seluas
dengan lahan yang ditambang, bahkan kegiatan penambangan sampai keluar dari
lokasi perijinan yang diberikan atau yang ditetapkan sesuai dengan Surat
Keputusan Walikota Palangka Raya. Kondisi demikian mengakibatkan lahan
bekas galian menjadi gersang tanpa vegetasi dan terdapat banyak lubang bekas
galian.
Melihat kondisi secara keselurahan di setiap lokasi yang tidak
melaksanakan reklamasi, maka lokasi tambang tersebut di kategorikan RUSAK
seperti pada gambar 12.
Gambar 12. Lahan bekas tambang di lokasi “Tambang-
1(YS)” yang tidak direklamasi.(photo
diambil pada tanggal 19 Oktober 2010)
5.1.6. Pengembalian Tanah Pucuk Untuk Vegetasi
Tanah pucuk (top soil) merupakan tanah penutup sebelum pengupasan
lahan dilakukan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang, Bab II Pasal 2
Ayat (1), (2), (3) dan (4), bahwa pemegang izin usaha pertambangan wajib
melaksanakan reklamasi terhadap lahan terganggu pada kegiatan pertambangan
dengan sistem penambangan terbuka maupun penambangan bawah tanah.
Setelah selesai kegiatan penambangan, maka tanah pucuk tersebut harus
dikembalikan seperti kondisi awal sebelum kegiatan penambangan. Hasil
pengamatan di lokasi penambangan, tanah pucuk tersebut tidak kembali lagi
untuk menutup lahan yang telah selesai ditambang. Melihat kondisi tersebut
diatas maka aspek pengembalian tanah pucuk untuk vegetasi yang tidak
dilaksanakan dinyatakan RUSAK seperti terlihat pada gambar 13.
Gambar 13. Lapisan gambut yang tidak dikembalikan di
lokasi “Tambang-3(HS)” (photo diambil
pada tanggal 19 Oktober 2010).
Pada lokasi penambangan pasir di Kelurahan, sebagian besar gambut
merupakan tanah penutup di atas pasir. Ketebalan gambut di lokasi
penambangan pasir berkisar antara 0,5 meter hingga 2,5 meter (gambar 14 dan
15).
Gambar 14. Pengukuran ketebalan gambut pada lokasi
“Tambang-3 (HS)” (photo diambil pada
tanggal 01 Nopember 2010).
Gambar 15. Pengukuran ketebalan gambut pada lokasi
“Tambang-3 (HS)” (photo diambil pada
tanggal 01 Nopember 2010).
5.2. Analisis Tanah Pada Lokasi Penambangan
Tanah merupakan badan bumi pertama yang terkena dampak kegiatan
pertambangan. Parameter yang dianalisis dalam analisis tanah ini meliputi pH
H2O (1:2,5), N-total (%), K-dd (me/100g), Ca-dd (me/100g), Mg-dd (me/100g),
Na-dd (me/100g), serta berat isi tanah atau BV (g/cm3).
Pengambilan sampel tanah dilakukan pada lokasi tanah alami (di luar
lokasi kegiatan penambangan) dan di lokasi kegiatan penambangan (tanah terusik)
seperti terlihat pada gambar 16 dan 17.
Gambar 16. Pengambilan sampel tanah yang dilakukan
oleh pembimbing dan penulis pada lokasi di
luar kegiatan penambangan (tanah alami)
(photo diambil pada tanggal 01 Nopember
2010).
Gambar 17. Pengambilan sampel tanah pada lahan
kegiatan penambangan di lokasi “Tambang-3
(HS)‟ (tanah terusik) (photo diambil pada
tanggal 01 Nopember 2010)
Hasil analisis sampel tanah yang diambil dari lokasi penambangan,
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 12.
Tabel 12. Data hasil analisis tanah
No. Parameter
Yang
Dianalisis
Kode Sampel
Tanah
Alami -
1
Tanah
Alami -
2
Rerata
Tanah
Terusik
- 1
Tanah
Terusik -
2
Rerata
1. pH H20
(1:2,5)
3,71 3,59 3,65 3,65 3,69 3,67
2. N-Total
(%)
0,74 0,71 0,725 0,88 0,88 0,88
3. K-dd
(me/100g)
0,53 0,52 0,525 0,13 0,13 0,13
4. Ca-dd
(me/100g)
0,59 0,82 0,705 1,09 1,09 1,09
5. Mg-dd
(me/100g)
0,92 0,93 0,925 0,91 0,91 0,91
6. Na-dd
(me/100g)
0,10 0,11 0,105 0,08 0,08 0,08
7. BV
(g/cm3)
0,27 0,27 0,27 0,23 0,23 0,23
Sumber : Hasil analisis Lab. Dasar dan Analitik Universitas Palangka Raya, 2010.
Hasil analisis tanah kemudian dikonversi dalam bentuk skala
penilaian sifat kimia tanah. Skala dibuat berdasarkan kriteria dari Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Departemen Pertanian (1983). Kriteria
penilaian sifat kimia tanah disajikan pada Tabel 13.
Tabel. 13. Kriteria penilaian sifat kimia tanah
Parameter Sifat
Tanah
Kriteria Penilaian
1
(Sangat
Rendah)
2
(Rendah)
3
(Sedang)
4
(Tinggi)
5
(Sangat
Tinggi)
C (%). < 1,00 1,00-2,00 2,01-3,00 3,01-5,00 > 5,00
N (%) < 0,10 0,10-0,20 0,21-0,50 0,51-0,75 > 0,75
C/N < 5 5 - 10 11 - 15 16 - 25 > 25
P2O5HC
(mh/100g)
< 10 10 - 20 21 - 40 41 - 60 > 60
P2O5 Bray 1
(ppm)
< 10 10 - 15 16 - 25 26 - 35 > 35
P2O5 Olsen < 10 10 -25 26 - 45 46 - 60 > 60
K2OHCL. 25 %
(mg/100g)
< 10 10 - 20 21 - 40 41 - 60 > 60
KTK
(me/100g)
< 5 5 - 16 17 - 24 25 - 40 > 40
Susunan Kation :
K
(me/100g)
< 0,1 0,1 – 0,2 0,3 – 0,5 0,6 – 1,0 > 1,0
Na
(me/100g)
< 0,1 0,1 – 0,3 0,4 – 0,7 0,8 – 1,0 > 1,0
Mg
(me/100g)
< 0,4 0,4 – 1,0 1,1 – 2,0 2,1 – 8,0 > 8,0
Ca
(me/100g)
< 2 2 - 5 6 - 10 11 - 20 > 20
Kejenuhan Basa
(%)
<20 20 - 35 36 - 50 51 - 70 > 70
Kejenuhan
Alluminium
(%)
< 10 10 – 20 21 - 30 31 - 60 > 60
pH H20 Sangat
Masam
Masam Agak
Masam
Netral Agak
Alkali
Alkalis
< 4,5 4,5 –
5,5
5,6 – 6,5 6,6 – 7,5 7,6 – 8,5 > 8,5
Sumber : Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor (1983)
Dari hasil analisis tanah (tabel 12) yang kemudian dikonversikan dalam
kriteria penilaian sifat kimia tanah (tabel 13), menunjukkan bahwa rerata pH H2O
(1:2,5) pada tanah alami 3,65 dan rerata pH H2O (1:2,5) pada tanah terusik 3,67,
maka dikategorikan Sangat Masam karena < 4,5, rerata N-total pada tanah
alami yakni 0,725 dengan kategori Tinggi, sedangkan rerata N-total pada tanah
terusik adalah 0,88 dengan ketegori Sangat Tinggi. Kemudian rerata kandungan
K pada tanah alami berkisar antara 0,525 me/100g dengan kategori Sedang,
sedangkan pada tanah yang terusik 0,13 me/100g dengan kategori Rendah.
Selanjutnya rerata kandungan Ca pada tanah alami yakni 0,705 me/100g, dan pada
tanah terusik adalah 1,09 me/100g dengan kategori Sangat Rendah. Rerata
kandungan Na pada tanah alami yaitu 0,105 me/100g dengan kategori Rendah dan
pada tanah terusik dalam kriteria penilaian dikategorikan Sangat Rendah, yakni
0,08 me/100g. Sedangkan rerata kandungan Mg pada tanah alami adalah 0,925
me/100g dan pada tanah terusik yakni 0,91 dengan kategori Sangat Tinggi.
Dengan memperhatikan kriteria penilaian sifat kimia tanah dari Pusat
Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor (1983) terhadap parameter yang
dianalisis, maka tanah di lokasi penelitian secara umum dikategorikan mempunyai
tingkat kesuburan yang tergolong rendah, baik di lokasi penambangan (tanah
terusik) maupun di luar lokasi penambangan (tanah alami).
5.3. Analisis Kualitas Air di Lubang Bekas Galian
Air merupakan media bagi kehidupan dan jasad perairan. Oleh karena itu
kualitas air ini akan berpengaruh terhadap kondisi kesehatan manusia yang
mengkonsumsi air tersebut, terutama untuk keperluan air minum.
Kekeruhan air adalah sifat optik yang berhubungan dengan pembiasan dan
penyerapan cahaya oleh bahan-bahan yang mengapung dan melayang dalam air.
Dengan demikian kekeruhan, warna dan kejernihan serta padatan tersuspensi
suatu badan perairan dengan nilai kekeruhan tinggi akan menyebabkan penetrasi
cahaya terhalang sehingga aktivitas fotosintesa di perairan tersebut rendah dan
sebagai akibatnya produktivitasnya rendah pula. Parameter yang dianalisis
dalam analisis kualitas air terdiri dari : pH, NO2 (mg/l), NO3 (mg/l), K (mg/l), Ca
(mg/l), Na (mg/l), padatan terlarut / TDS (mg/l), serta padatan tersuspensi / TSS
(mg/l) yang mengacu pada Lampiran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian
Pencemaran Air.
Data hasil pengujian laboratorium kemudian dibandingkan dengan baku
mutu air kelas II sebagaimana yang tercantum pada lampiran II Peraturan
Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air. Untuk mengkonversi hasil pengujian kualitas air
kedalam skala kualitas lingkungan, maka hasil pengujian kualitas air akan
dikonversi dalam bentuk Indeks Pencemaran (IP). Tujuan perhitungan indeks
pencemaran adalah untuk menggambarkan secara utuh kualitas air yang ada di
lokasi penelitian. Prosedur perhitungan berpedoman pada Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman Penentuan
Status Mutu Air.
Pengambilan sampel air dilakukan pada lokasi di luar lokasi kegiatan
penambangan (kondisi perairan yang belum terusik) dan di lokasi kegiatan
penambangan (air di lubang bekas galian) seperti terlihat pada gambar 18 dan 19.
Gambar 18. Pengambilan sampel air yang dilakukan oleh
penulis pada lokasi di luar kegiatan
penambangan (kondisi belum terusik) (photo
diambil pada tanggal 01 Nopember 2010).
Gambar 19. Pengambilan sampel air pada lubang bekas
galian tambang di lokasi “Tambang-3 (HS)”
(photo diambil pada tanggal 01 Nopember
2010).
Hasil perhitungan status mutu air kemudian dikonversi ke dalam skala
kualitas lingkungan dengan skala sebagaimana disajikan pada tabel 14.
Tabel 14. Skala penilaian kualitas air permukaan
Nilai Indeks Pencemaran
(Pollutant Index)
Status Mutu Air Skala Penilaian
0 ≤ PIj ≤ 1,0 Memenuhi baku mutu Sangat baik (skala 5)
1,0 < PIj ≤ 5,0 Cemar Ringan Baik (skala 4)
5,0 < PIj ≤ 10 Cemar Sedang Sedang (skala 3)
10 < PIj ≤ 15 Cemar Berat Buruk (skala 2)
PIj > 15 Cemar Sangat Berat Sangat Buruk (skala 1) Sumber : Lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003.
Sedangkan hasil analisis kualitas air di lokasi penelitian di sajikan dalam
tabel 15.
Tabel 15. Data hasil analisis kualitas air di lokasi penelitian
No.
Parameter
Yang
Dianalisis
Satuan
Kode Sampel
Alami -
1
Alami -
2 Rerata
Rusak -
1
Rusak -
2 Rerata
1. pH 4,05 3,98 4,015 3,87 3,81 3,840
2. NO2 mg/l 0,04 0,03 0,035 0,06 0,07 0,065
3. NO3 mg/l 0,21 0,32 0,265 1,50 1,82 1,660
4. K mg/l 1,36 1,37 1,365 1,57 1,67 1,620
5. Cu mg/l 1,08 0,90 0,990 2,60 4,08 3,340
6. Mn mg/l 0,14 0,13 0,135 0,31 0,34 0,325
7. Na mg/l 0,24 0,21 0,225 0,97 1,02 0,995
8. TDS mg/l 68,00 104,00 86,000
126,00 168,00 147,00
0
9 TSS mg/l 132,00 126,00 129,00
0
710,00 704,00 707,00
0 Sumber : Hasil analisis Lab. Dasar dan Analitik Universitas Palangka Raya, 2010.
Gambaran tentang kualitas air pada lokasi penelitian yang diperoleh dari
hasil analisis laboratorium terhadap sampel air yang diambil dari luar lokasi
penambangan (kanal) dapat dilihat pada tabel 16 berikut ini.
Tabel 16. Penentuan indeks pencemaran (IP) untuk baku mutu air kelas II
dengan kode sampel (Alami-1)
No. Parameter
Yang
Dianalisis
Hasil
Analisis
Laboratorium
( C )
Baku
Mutu
Kelas
II ( L
)
Indeks
Pencemaran
Sampel
IP = C / L
Status
Mutu Air
Skala
Penilaian
1. pH 4,05 6 - 9 0,697 Cemar
Ringan
Baik
(skala 4)
2.
NO2 (mg/l)
0,04
0,06
0,667
Memenuhi
Baku
Mutu
Sangat
Baik
(skala 5)
3.
NO3 (mg/l)
0,21
10
0,021
Memenuhi
Baku
Mutu
Sangat
Baik
(skala 5)
4.
K (mg/l)
1,36
(-)
5.
Ca (mg/l)
1,08
(-)
6.
Mg (mg/l)
0,14
(-)
7.
Na (mg/l)
0,24
(-)
8.
TDS
(mg/l)
68,00
1000
0,068
Memenuhi
Baku
Mutu
Sangat
baik
(skala 5)
9.
TSS (mg/l)
132,00
50
2,640
Cemar
Ringan
Baik
(skala 4)
IPparameter = C/Lrata-rata
0,819
IPparameter = C/Lmaksimum 2,640 Sumber : Hasil analisis Lab. Dasar dan Analitik UNPAR, 2010.
Keterangan : (-) parameter tersebut tidak dipersyaratkan.
Karena harga baku mutu pH memilki rentang, maka penentuan IP = C/L
dilakukan dengan cara :
Lrata-rata = 6 + 9 = 7,5 maka, IP = C/L untuk pH kode sampel (Alami-1)
2
= (4,05 - 7,5) = 0,696
( 9 - 4,05)
Dari data tabel 16 di atas maka nilai Indeks Pencemaran (IP) untuk Baku Mutu
Kelas II dapat ditentukan dengan persamaan :
IPsampel = √ (C/L)2
maksimum + (C/L)2
rata-rata
2
= √ (2,640)2 + (0,819)
2
2
= √ 6,969 + 0,670
2
= √ 7,639 / 2
= √ 3,8195
= 1,954
Maka sampel air dengan kode sampel (Alami-1), dinyatakan Tidak Memenuhi
Baku Mutu untuk Baku Mutu Air Kelas II, dan status mutu air dikategorikan
Cemar Ringan dengan skala penilaian Baik (Skala 4).
Selanjutnya untuk penentuan Indeks Pencemaran (IP) sampel air dengan
Kode Sampel (Alami-2) dapat dilihat pada tabel 17 di bawah ini :
Tabel 17. Penentuan indeks pencemaran (IP) untuk baku mutu air kelas II
dengan kode sampel (Alami-2)
No. Parameter
Yang
Dianalisis
Hasil
Analisis
Laboratorium
( C )
Baku
Mutu
Kelas
II ( L
)
Indeks
Pencemaran
Sampel
IP = C / L
Status
Mutu Air
Skala
Penilaian
1. pH 3,98 6 - 9 0,701 Cemar
Ringan
Baik
(skala 4)
2.
NO2 (mg/l)
0,03
0,06
0,500
Memenuhi
Baku
Mutu
Sangat
Baik
(skala 5)
3.
NO3 (mg/l)
0,32
10
0,032
Memenuhi
Baku
Mutu
Sangat
Baik
(skala 5)
4.
K (mg/l)
1,37
(-)
5.
Ca (mg/l)
1,90
(-)
6.
Mg (mg/l)
0,13
(-)
7.
Na (mg/l)
0,21
(-)
8.
TDS
(mg/l)
104,00
1000
0,104
Memenuhi
Baku
Mutu
Sangat
baik
(skala 5)
9.
TSS (mg/l)
126,00
50
2,520
Cemar
Ringan
Baik
(skala 4)
IPparameter = C/Lrata-rata 0,771
IPparameter = C/Lmaksimum 2,520 Sumber : Hasil analisis Lab. Dasar dan Analitik UNPAR, 2010.
Keterangan : (-) parameter tersebut tidak dipersyaratkan.
Karena harga baku mutu pH memilki rentang, maka penentuan IP = C/L
dilakukan dengan cara :
Lrata-rata = 6 + 9 = 7,5 maka, IP = C/L untuk pH kode sampel (Alami-2)
2
= (3,98 - 7,5) = 0,701
( 9 - 3,98)
Dari dari tabel 17 di atas maka nilai Indeks Pencemaran (IP) untuk Baku Mutu
Kelas II dapat ditentukan dengan persamaan :
IPsampel = √ (C/L)2
maksimum + (C/L)2
rata-rata
2
= √ (2,520)2 + (0,771)
2
2
= √ 6,350 + 0,544
2
= √ 6,944 / 2
= √ 3,472
= 1,863
Maka sampel air dengan kode sampel (Alami-2), dinyatakan Tidak Memenuhi
Baku Mutu untuk Baku Mutu Air Kelas II, dan status mutu air dikategorikan
Cemar Ringan dengan skala penilaian Baik (Skala 4).
Sedangkan untuk penentuan Indeks Pencemaran (IP) sampel air dengan
Kode Sampel (Rusak-1) dapat disajikan pada tabel 18 di bawah ini :
Tabel 18. Penentuan indeks pencemaran (IP) untuk baku mutu air kelas II
dengan kode sampel (Rusak-1)
No. Parameter
Yang
Dianalisis
Hasil
Analisis
Laboratorium
( C )
Baku
Mutu
Kelas
II ( L
)
Indeks
Pencemaran
Sampel
IP = C / L
Status
Mutu Air
Skala
Penilaian
1. pH 3,87 6 - 9 0,708 Cemar
Ringan
Baik
(skala 4)
2.
NO2 (mg/l)
0,06
0,06
1,000
Cemar
Ringan
Baik
(skala 4)
3.
NO3 (mg/l)
1,50
10
0,150
Memenuhi
Baku
Mutu
Sangat
Baik
(skala 5)
4.
K (mg/l)
1,37
(-)
5.
Ca (mg/l)
0,90
(-)
6.
Mg (mg/l)
0,13
(-)
7.
Na (mg/l)
0,21
(-)
8.
TDS
(mg/l)
126,00
1000
0,126
Memenuhi
Baku
Mutu
Sangat
baik
(skala 5)
9.
TSS (mg/l)
710,00
50
14,200
Cemar
Berat
Buruk
(skala 2)
IPparameter = C/Lrata-rata 3,237
IPparameter = C/Lmaksimum 14,200 Sumber : Hasil analisis Lab. Dasar dan Analitik UNPAR, 2010.
Keterangan : (-) parameter tersebut tidak dipersyaratkan.
Karena harga baku mutu pH memilki rentang, maka penentuan IP = C/L
dilakukan dengan cara :
Lrata-rata = 6 + 9 = 7,5 maka, IP = C/L untuk pH kode sampel (Rusak-1)
2
= (3,87 - 7,5) = 0,708
( 9 - 3,87)
Berdasarkan data tabel 18 di atas maka nilai Indeks Pencemaran (IP) untuk Baku
Mutu Kelas II dapat ditentukan dengan persamaan :
IPsampel = √ (C/L)2
maksimum + (C/L)2
rata-rata
2
= √ (14,200)2 + (3,237)
2
2
= √ 201,640 + 11,069
2
= √ 212,709 / 2
= √ 106,355
= 10,313
Maka sampel air dengan kode sampel (Rusak-1), dinyatakan Tidak Memenuhi
Baku Mutu untuk Baku Mutu Air Kelas II, dan status mutu air dikategorikan
Cemar Berat dengan skala penilaian Buruk (Skala 2).
Kemudian dalam menentukan Indeks Pencemaran (IP) sampel air dengan
Kode Sampel (Rusak-2) dapat dilihat pada tabel 19 di bawah ini :
Tabel 19. Penentuan indeks pencemaran (IP) untuk baku mutu air kelas II
dengan kode sampel (Rusak-2)
No. Parameter
Yang
Dianalisis
Hasil
Analisis
Laboratorium
( C )
Baku
Mutu
Kelas
II ( L
)
Indeks
Pencemaran
Sampel
IP = C / L
Status
Mutu Air
Skala
Penilaian
1. pH 3,81 6 - 9 0,711 Cemar
Ringan
Baik
(skala 4)
2.
NO2 (mg/l)
0,07
0,06
1,167
Cemar
Ringan
Sangat
Baik
(skala 5)
3.
NO3 (mg/l)
1,82
10
0,182
Memenuhi
Baku
Mutu
Sangat
Baik
(skala 5)
4.
K (mg/l)
1,67
(-)
5.
Ca (mg/l)
4,08
(-)
6.
Mg (mg/l)
0,34
(-)
7.
Na (mg/l)
1,02
(-)
8.
TDS
(mg/l)
168,00
1000
0,168
Memenuhi
Baku
mutu
Sangat
baik
(skala 5)
9.
TSS (mg/l)
704,00
50
14,080
Cemar
Berat
Baik
(skala 4)
IPparameter = C/Lrata-rata 3,262
IPparameter = C/Lmaksimum 14,080 Sumber : Hasil analisis Lab. Dasar dan Analitik UNPAR, 2010.
Keterangan : (-) parameter tersebut tidak dipersyaratkan.
Karena harga baku mutu pH memilki rentang, maka penentuan IP = C/L
dilakukan dengan cara :
Lrata-rata = 6 + 9 = 7,5 maka, IP = C/L untuk pH kode sampel (Rusak-2)
2
= (3,81 - 7,5) = 0,711
( 9 - 3,81)
Dari data tabel 19 di atas maka nilai Indeks Pencemaran (IP) untuk Baku Mutu
Kelas II dapat ditentukan dengan persamaan :
IPsampel = √ (C/L)2
maksimum + (C/L)2
rata-rata
2
= √ (14,080)2 + (3,262)
2
2
= √ 198,246 + 10,641
2
= √ 208,887 / 2
= √ 104,444
= 10,220
Maka sampel air dengan kode sampel (Rusak-2), dinyatakan Tidak Memenuhi
Baku Mutu untuk Baku Mutu Air Kelas II, dan status mutu air dikategorikan
Cemar Berat dengan skala penilaian Buruk (Skala 2).
Berdasarkan dari data tabel 16 dan tabel 17 dapat dilihat secara umum
bahwa kualitas air yang berada di luar lokasi penambangan berada pada skala 4
dengan kategori Baik, sedangkan kualitas air di lokasi penambangan (data tabel
18 dan tabel 19) dikategorikan Buruk dan berada pada skala 2 dengan status mutu
air Cemar Berat.
5.4. Analisis Benthos Yang Berada di Lubang Bekas Galian Pasir
Benthos merupakan biota perairan yang sebagian besar hidup di dasar
perairan sehingga apabila keadaan substratnya baik, maka benthos dapat hidup
dan berkembang biak dengan baik. Perkiraan dampak terhadap biota akibat
kegiatan penambangan pasir, dilakukan dengan metode analogi, yaitu dengan
membandingkan hasil laboratorium dengan skala penilaian kualitas lingkungan
biota perairan.
Sedangkan skala penilaian kualitas lingkungan biota perairan dapat dilihat
pada tabel 20.
Tabel 20. Skala penilaian kualitas lingkungan biota perairan
No. Parameter
Skala Penilaian
1 (Sangat
Buruk)
2 (buruk) 3 (Sedang) 4 (Baik) 5 (Sangat
Baik)
1. Indeks
Keanekaragaman
(H)
< 0,5 0,5 - 1,4 1,5 - 1,9 2,0 - 3,0 > 3,0
2. Indeks
Keseragaman
(E)
0,0 - 2,0 0,3 - 0,4 0,5 - 0,6 0,7 - 0,8 0,9 - 1,0
3. Indeks Dominasi
(D)
0,9 - 1,0 0,7 - 0,8 0,5 - 0,6 0,3 - 0,4 0,0 - 0,2
4. Komposisi Jenis < 2 jenis 2 - 3 jenis 3 - 4 jenis 5 - 6 jenis > 6 jenis
5. Kelimpahan
Phytoplankton
< 8,5
individu/l
8,51 - 17
individu/l
17,1 - 25,5
individu/l
25,51 - 34
individu/l
> 34
individu/l
6. Kelimpahan
Zooplankton
< 179
individu/l
180 - 362
individu/l
363 - 542
individu/l
543 - 722
individu/l
> 723
individu/l
7. Kelimpahan
Benthos
< 50
individu/m2
51 - 74
individu/m2
75 - 99
individu/m2
100 - 124
individu/m2
> 124
indivudi/m2
Sumber : Fandelli, 1992.
Benthos yang terdapat di luar lokasi penambangan hanya terdapat satu
Genera dengan Phyllum insecta yakni (Chironomus) yang terdapat di ST.III dan
ST.IV yang merupakan lokasi yang belum terusik oleh kegiatan penambangan
atau yang masih alami, sedangkan pada lubang bekas galian tidak terdapat
adanya benthos. Hasil analisa benthos, dapat dilihat pada tabel 21.
Tabel 21. Hasil analisa benthos
No. Phyllum Genera Kode Sampel
ST. I ST. II ST. III ST. IV
1. Insecta Chironomus - - 704 1804
Kelimpahan (individu/m2) 0 0 704 1804
Indeks Keanekaragaman (Shanon -
Wiener) 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
Indeks Keseragaman 0,0000 0,0000 0,0000 0,0000
Indeks Dominasi 0,0000 0,0000 1,0000 1,0000
Jumlah Taksa 0 0 1 1 Sumber : Laboratorium Kualitas Air, Fakultas Perikanan Unlam, Banjarbaru, 2010.
Keterangan : ST. I dan ST. II merupakan lubang bekas galian tambang.
ST. III dan ST. IV merupakan lokasi perairan di sekitar lokasi penambangan
yang belum terusik.
Dari hasil analisa benthos (tabel 21) dapat diketahui bahwa untuk indeks
kelimpahan, keanekaragaman, keseragaman dan indeks dominasi benthos pada
lubang bekas galian tambang dinyatakan SANGAT BURUK, hal ini karenakan
tidak terdapatnya benthos. Sedangkan pada lokasi di sekitar lokasi penambangan
yang belum terusik dapat diketahui bahwa indeks kelimpahan (individu/m2)
dikategorikan SANGAT BAIK berkisar antara 704 - 1804, kemudian pada indeks
keanekaragaman (shanon-wiener) dengan nilai 0,000 dinyatakan SANGAT
BURUK karena < 0,5. Selanjutnya pada indeks Keseragaman dengan nilai 0,000
dinyatakan SANGAT BURUK, sedangkan pada indeks dominasi dengan nilai
1,0000 dinyatakan SANGAT BURUK.
Berdasarkan data tersebut di atas, bahwa kualitas lingkungan pada lubang
bekas galian berada pada skala yang sangat buruk. Sedangkan pada lahan di luar
lokasi penambangan yang merupakan lahan belum terusik memperlihatkan tingkat
kelimpahan yang sangat baik, namun pada indeks keseragaman menunjukkan
skala sangat buruk, hal ini karena di dominasi oleh 1 (satu) genera benthos saja
yakni chironomus.
5.5. Tingkat Kerusakan Lahan
Dengan pengharkatan tingkat kerusakan lahan di masing-masing lokasi
penambangan dapat diketahui interaksi dari komponen lingkungan fisik terhadap
kerusakan lahan di Kelurahan Kalampangan. Variabel yang diukur dan diteliti,
pada tiap lokasi diketahui klas, skor dan kriteria tingkat kerusakan lahan akibat
penambangan pasir dapat dilihat pada tabel 22.
Tabel 22. Klasifikasi kerusakan lahan pada masing-masing lokasi penambangan
No. Variabel
Bobot Penilaian (skor) masing-masing lokasi tambang
Tambang
1
(YS)
Tambang
2
(CV.DG)
Tambang
3
(AS)
Tambang
4
(ZB)
Tambang
5
(HS)
Tambang
6
(ALT)
Tambang
7
(BAD)
1. Batas tepi
galian
3 3 3 3 3 3 3
2. Tinggi dinding
/ batas
kedalam
3 3 3 3 3 3 3
3. Pengangkutan
bahan galian
- - - 1 1 1 1
4. Kondisi jalan 1 1 1 1 1 1 1
5. Luas
reklamasi
3 3 3 3 3 3 3
6. Pengembalian
tanah pucuk
3 3 3 3 3 3 3
Jumlah Skor 13 13 13 14 14 14 14
Klas / Kriteria
Kerusakan
II
SEDANG
II
SEDANG
II
SEDANG
III
BERAT
III
BERAT
III
BERAT
III
BERAT Sumber : Analisis data primer, 2010.
Dari data tabel 22. secara umum tingkat kerusakan lahan akibat kegiatan
penambangan berdasarkan Variabel yang diukur dan diteliti, pada tiap lokasi
diketahui klas, skor dan kriteria tingkat kerusakan lahan akibat penambangan pasir
dikategorikan dalam Klas / Kriteria Rusak Sedang - Berat.
5.6. Dampak Kegiatan Penambangan Pasir
Hasil penelitian lapangan menujukkan bahwa dampak dari kegiatan
penambangan pasir dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu : dampak secara
langsung dan dampak tidak langsung. Dampak langsung berupa hilangnya tanah
penutup, dan rusaknya vegetasi. Dampak secara tidak langsung yaitu adanya
pencemaran debu, gas buang, ceceran oli dan pasir di sepanjang jalan umum, dan
berubahnya suhu udara disekitar lokasi penambangan.
Disisi lain dampak positif tidak dirasakan oleh warga masyarakat
Kelurahan Kalampangan, karena berdasarkan data dari kantor Kecamatan
Sabangau tidak ada penduduk Kecamatan Sabangau yang bekerja sebagai
penambang. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja yang terserap pada
kegiatan pertambangan bukanlah warga masyarakat atau penduduk di sekitar
lokasi penambangan
5.7. Pengelolaan Lahan Bekas Tambang
Penggalian lahan untuk pengambilan pasir menyisakan lubang-lubang
bekas galian dengan kedalaman 5 – 6 meter dan luas yang beragam. Lubang
bekas galian tersebut akan terisi oleh air tanah dan hujan sehingga tampak seperti
sebuah danau seperti terlihat pada gambar 14, atau jika tidak terisi air maka
tampak seperti sebuah jurang atau lembah. Pengelolaan lahan bekas
penambangan adalah upaya pengembalian atau perbaikan lahan yang rusak
menjadi keadaan yang lebih baik dan lebih berdaya guna untuk pertanian maupun
non pertanian.
Gambar 20. Bekas Galian Yang Menjadi Danau /
Kolam di lokasi “Tambang-6(ALT)” (photo
diambil pada tanggal 19 Oktober 2010).
Terjadinya kerusakan pada lahan bekas lokasi penambangan perlu
mendapat perhatian dari pemerintah daerah, terutama bagi yang melakukan
kegiatan penambangan. Merupakan kewajiban bagi penambang untuk
melakukan reklamasi lahan pasca tambang sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2011 tentang Reklamasi dan Pasca
Tambang.
Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata
kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan, agar
dapat berfungsi dan berdayaguna sesuai peruntukannya. Reklamasi tidak berarti
akan mengembalikan seratus persen sama dengan kondisi rona awal (Suprapto,
2008).
Kegiatan reklamasi tidak harus menunggu sampai seluruh kegiatan
penambangan berakhir, terutama pada lahan penambangan yang luas. Reklamasi
sebaiknya dilakukan secepat mungkin pada lahan bekas penambangan yang telah
selesai dieksploitasi, walaupun kegiatan penambangan tersebut secara keseluruhan
belum selesai karena masih terdapat deposit bahan tambang yang belum
ditambang. Sasaran akhir dari reklamasi adalah untuk memperbaiki lahan bekas
tambang agar kondisinya aman, stabil dan tidak mudah tererosi sehingga dapat
dimanfaatkan kembali. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pengelolaan lingkungan pada tahap reklamasi adalah sebagai berikut :
Rencana atau model reklamasi disesuaikan dengan kondisi lahan;
Luas areal yang direklamasi sama dengan luas areal penambangan;
Memindahkan dan menempatkan tanah pucuk pada tempat tertentu dan
mengatur sedemikian rupa untuk keperluan revegetasi;
Mengembalikan / memperbaiki pola drainase alam yang rusak;
Menghilangkan / memperkecil kandungan (kadar) bahan beracun (jika
ada) sampai ke tingkat yang aman sebelum dibuang ke suatu tempat
pembuangan;
Mengembalikan lahan seperti semula atau sesuai dengan tujuan
penggunaan;
Memperkecil erosi selama dan setelah proses reklamasi;
Memindahkan seluruh peralatan yang sudah tidak digunakan lagi ke
tempat yang dianggap aman;
Permukaan tanah yang padat harus digemburkan, atau ditanami dengan
tanaman pionir yang akarnya mampu menembus tanah yang keras;
Jenis tanaman yang akan dipergunakan untuk revegetasi harus sesuai
dengan rencana rehabilitasi (dapat berkonsultasi dahulu dengan dinas
terkait);
Mencegah masuknya hama dan gulma yang berbahaya;
Memantau dan mengelola areal reklamasi sesuai dengan kondisi yang
diharapkan (Kusuma, 2008).
Dalam beberapa kasus, lahan bekas penambangan tidak harus seluruhnya
direvegetasi, namun dapat dimanfaatkan untuk tujuan lain, misalnya menjadi
kolam persediaan air, padang golf, perumahan, kolam perikanan terpadu, tempat
rekreasi / wisata apabila dinilai lebih bermanfaat atau sesuai dengan rencana tata
ruang. Oleh karena itu, sebelum merencanakan reklamasi, sebaiknya
berkonsultasi dahulu dengan pemerintah daerah setempat, pemilik lahan atau
instansi terkait lainnya.
Berdasarkan kerusakan lahan akibat penambangan pasir di Kelurahan
Kalampangan, ada beberapa model reklamasi pada lahan bekas penambangan
yakni sebagai berikut :
1. Pemanfaatan lahan bekas penambangan untuk dijadikan kolam persediaan
air (reservoir). Model atau sistem reklamasi ini dilakukan dengan cara
menata kembali lubang-lubang bekas galian tambang, kemudian pada area
antar lubang ditanami dengan tanaman keras dengan jenis akasia (seperti
pada gambar 21.).
Gambar 21. Model reklamasi yang dijadikan kolam persediaan air
: Kolam Bekas Tambang
: Jalan masuk tambang / area penyangga
: Basecamp pekerja
: Tanaman Reklamasi
2. Pengelolaan lahan bekas galian pasir dapat dikembangkan untuk budidaya
itik petelor dan itik pedaging serta perikanan terpadu seperti gambar 22, 23
dan 24 di bawah ini.
Gambar 22. Papan reklame kegiatan pemanfaatan lahan
bekas tambang pada lokasi “Tambang-7
(BAD)” (photo diambil pada tanggal 10
April 2011).
Gambar 23.Pengembangan peternakan itik pada lubang
bekas galian pasir di lokasi “Tambang-7
(BAD)” (photo diambil pada tanggal 10
April 2011)
Gambar 24. Karamba jaring apung pada lubang bekas
galian pasir pada lokasi “Tambang-7
(BAD)” (photo diambil pada tanggal 10
April 2011)
3. Model reklamasi yang lain yakni berupa pemanfaatan lubang bekas
penambangan menjadi sesuatu yang baru seperti dijadikannya tempat
rekreasi atau obyek wisata seperti pada gambar 25 dan 26. Model / sistem
reklamasi seperti ini memerlukan penanganan yang lebih serius, apabila
dalam perencanaan pengembangan suatu tempat wisata / rekreasi yakni
dengan dibangunnya berbagai fasilitas hiburan. Penambahan fasilitas
hiburan dengan melalukan penggalian lahan lagi, maka top soil harus
dikembalikan sebagai bahan penutup pada penanaman ganti lokasi yang
digali. Penambahan fasilitas hiburan juga hendaknya diarahkan untuk
pembelajaran bagi pengunjung untuk memelihara alam, misalnya dengan
memberi kesempatan kepada pengunjung untuk melakukan penanaman
pada lokasi yang ditetapkan dengan membeli bibit yang disediakan oleh
pengelola sehingga kunjungan ke obyek wisata juga merupakan
kesempatan untuk peduli lingkungan.
Gambar 25. Bekas lubang galian pasir yang dijadikan
obyek wisata atau taman wisata (photo
diambil tanggal 01 Mei 2011, lokasi
Taman Gaul km. 21 Jalan Tjilik Riwut)
Gambar 26. Bekas lubang galian pasir yang dijadikan
obyek wisata atau taman wisata (photo
diambil tanggal 01 Mei 2011, lokasi
Taman Gaul km. 21 Jalan Tjilik Riwut)
4. Selain itu sistem atau model reklamasi dapat dilakukan dengan cara
meratakan dan menimbun permukaan tanah. Penimbunan dengan
menggunakan tanah urug atau gambut yang tidak diambil selama
penambangan dan kemudian ditutupi dengan menggunakan tanah subur.
Bekas tambang dapat kembali menjadi lahan tegalan, atau kebun campuran
setelah proses perataan. Kebun campuran ini dapat ditanami dengan
kacang tanah, jagung, ubi kayu atau juga dengan jenis tanaman keras yakni
dari jenis buah-buahan.
Gambar 27. Penampang lahan sebelum direklamasi.
Dalam rangka reklamasi lahan bekas penambangan, ada 4 (empat) tahap
pekerjaan yang perlu dilakukan yaitu :
a). Lubang-lubang galian ditimbun dengan sampah organik (sampah yang
mudah membusuk, terdiri dari sisa sayuran dan atau makanan, serta
sampah daun-daun kering) seperti pada gambar 28.
Gambar 28. Penampang lahan yang ditimbun sampah organik.
b). Di atas timbunan sampah organik tersebut kemudian dilapisi dengan
timbunan tanah urug atau gambut (gambar 29).
Gambar 29. Penampang lahan yang dilapisi timbunan
tanah urug dan atau gambut.
c). Di atas timbunan tanah urug atau gambut, kemudian diberi lapisan
tanah subur sebagai pengganti lapisan tanah pucuk (top soil). Lapisan
tanah subur ini disebar secara merata di atas lapisan tanah urug atau
gambut (gambar 30).
Gambar 30. Penampang lahan yang telah dilapisi tanah
subur.
d). Pada tahap ini, dilakukan penanaman kembali dengan jenis tanaman
keras yaitu dari jenis buah-buahan (gambar 31 dan 32).
Gambar 31. Penampang lahan bekas tambang yang telah
direklamasi.
Gambar 32. Penampang lahan bekas tambang yang telah
direklamasi.
5.8. Uji Hipotesis
a). Hipotesis I
Perbedaan tingkat kerusakan lahan dipengaruhi oleh banyaknya kegiatan
penambangan pasir. Timbulnya kerusakan lahan seringkali terjadi pada
usaha pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang tidak didasari
pada prinsip-prinsip pelestarian, semakin banyak usaha / kegiatan
penambangan yang dilakukan maka lahan akan rusak dan berubah bentuk
atau kondisinya.
b). Hipotesis II
Pengendalian kegiatan penambangan pasir akan mengurangi kerusakan
pada lahan. Kegiatan penambangan terutama yang menggunakan
tambang terbuka, sudah tentu akan merubah bentuk bentang lahan.
Namun hal itu tidak berarti merusak lingkungan, karena sifatnya hanya
sementara dan pada akhir kegiatan penambangan lahan tersebut akan
direhabilitasi kembali. Hal ini bisa terjadi apabila kegiatan penambangan
tersebut dirancang dan dikelola dengan baik. Kegiatan penambangan
yang sering menimbulkan kesan selalu merusak lingkungan, ini
disebabkan karena kegiatan penambangan tersebut tidak dikelola dengan
baik dan tidak memperhatikan keseimbangan dan daya dukung
lingkungannya. Suatu kegiatan penambangan yang dikelola dengan baik
atau yang berwawasan lingkungan menghasilkan manfaat yang besar dan
tidak merusak lingkungan fisik. Bahkan tidak mustahil bahwa suatu lahan
bekas tambang yang direklamasi dengan benar akan menjadikan lahan
tersebut lebih bermanfaat dibandingkan sebelum adanya kegiatan
penambangan.
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan tujuan dari penelitian tentang kajian kerusakan lahan akibat
penambangan pasir di Kelurahan Kalampangan, Kecamatan Sabangau, Kota
Palangka Raya, dapat disimpulkan bahwa kerusakan lahan diakibatkan
penambangan pasir tidak menerapkan sistem penambangan yang benar.
Pengaruh langsung dari sistem penambangan pasir yang tidak benar tersebut,
yakni rusaknya bentang lahan, terbentuk lubang bukaan yang luas dan dalam,
sedangkan pengaruh tidak langsung, dengan adanya perubahan suhu di lokasi
bekas penambangan yang tidak direklamasi, pencemaran debu dan gas buang.
Akibat tidak direklamasinya bekas galian tersebut, sehingga pada musim
penghujan akan terbentuk danau atau kolam yang luas dan dalam. Dengan
kedalaman lubang galian disetiap lokasi penambangan pasir berkisar antara 6 m -
6,75 m dari permukaan lubang. Adapun tingkat kerusakan lahan akibat
penambangan pasir berada pada kriteria rusak sedang - berat.
Tanah di lokasi penelitian secara umum dikategorikan mempunyai tingkat
kesuburan yang tergolong rendah, baik dilokasi penambangan (tanah terusik)
maupun di luar lokasi penambangan (tanah alami). Secara umum bahwa kualitas
air yang berada di luar lokasi penambangan berada pada skala 4 dengan kategori
baik, sedangkan kualitas air dilokasi penambangan dikategorikan buruk dan
berada pada skala 2 dengan status mutu air cemar berat. Kemudian berdasarkan
data analisa benthos, bahwa kualitas lingkungan pada lubang bekas galian berada
pada skala yang sangat buruk karena tidak terdapatnya atau tidak
teridentifikasinya benthos, sedangkan pada lokasi di luar penambangan yang
belum terusik memperlihatkan tingkat kelimpahan yang sangat baik, namun pada
indeks keseragaman menunjukkan skala sangat buruk, hal ini karena didominasi
oleh 1 (satu) genera benthos saja.
6.2. Saran
Berdasarkan hasil dari penelitian dan bertitik tolak pada kesimpulan, maka
saran yang berkaitan dengan kerusakan lahan akibat penambangan pasir sebagai
berikut : 1) melakukan pendataan kegiatan penambangan di Kelurahan
Kalampangan, baik yang illegal (tidak memiliki ijin) maupun yang memiliki ijin;
2). untuk mengantisipasi meluasnya kerusakan lahan, akibat dari kegiatan
penambangan pasir yang terus berlangsung perlu dilakukan penghentian
sementara (moratorium) terhadap semua kegiatan penambangan di Kelurahan
Kalampangan; 3). segera dilakukan inventarisasi lahan bekas tambang, untuk
dilakukan reklamasi yang benar sesuai dengan peruntukkan dan penggunaannya;
4). segera melakukan zonasi kawasan pertambangan yang ditetapkan dengan
peraturan.
Berdasarkan kerusakan lahan akibat penambangan pasir, ada beberapa
model / sistem reklamasi pada lahan bekas penambangan yakni : 1). lahan bekas
penambangan tersebut dijadikan kolam persediaan air; 2). juga dapat dijadikan
kawasan rekreasi atau wisata;
3). pemanfaatan lahan bekas galian pasir dapat dikembangkan untuk
budidaya itik petelor dan itik pedaging serta perikanan terpadu (dengan
pembuatan karamba jaring apung); 4). sistem reklamasi dengan cara menimbun
dan meratakan lubang-lubang bekas galian, kemudian ditanami dengan tanaman
keras penghasil kayu maupun tanaman perkebunan.
Sesuai dengan Rencana Pembangunan Investasi Jangka Menengah Kota
Palangka Raya Tahun 2009 – 2029 (peta terlampir), bahwa kawasan tersebut
merupakan kawasan pemukiman dan penggunaan lainnya yang dapat dijadikan
kawasan budidaya, sehingga diperlukan sosialisasi dari instansi terkait tentang
pentingnya pelestarian lingkungan serta ditingkatkannya pengawasan dan
penertiban terhadap penambangan yang tidak memiliki perijinan, kemudian
dilakukan pengendalian dalam periijanan.
DAFTAR PUSTAKA
Anto. 2008. Pengaruh Penambangan Pasir Terhadap Kualitas Lahan Di
Kecamatan Cimalaka Kabupaten Sumedang, Skripsi, S.Pd, Jurusan
Pendidikan Geografi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial,
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung.
Ambyo, S.M. 1995. Teknologi Pertambangan yang Berwawasan Lingkungan,
Temu Profesi Tahunan IV, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia,
Bandung.
Arsyad, Sitanala. 2006. Konservasi Tanah dan Air, Edisi Kedua, Institut Pertanian
Bogor Press, Bogor
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kota Palangka Raya.
2007. Selayang Pandang Kota Palangka Raya, Palangka Raya.
Bungin, H.M.B. 2007. Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
BPP Kalampangan. 2010. Rencana Kerja Penyuluhan Pertanian Tahun 2009,
Kalampangan.
Dinas Pertambangan dan Energi Kota Palangka Raya. 2002. Analisis Dampak
Lingkungan dan Rencana Reklamasi Bekas Penambangan Galian
Golongan C di Wilayah Kecamatan Pahandut dan Bukit Batu, Laporan
Hasil Studi, Palangka Raya.
Dinas Pertambangan dan Energi Kota Palangka Raya. 2005. Laporan
Inventarisasi, Penelitian Dan Pengembangan Potensi Sumberdaya Mineral
Wilayah Kota Palangka Raya Di Kecamatan Pahandut, Jekan Raya,
Sabangau, Palangka Raya.
Dinas Pertambangan dan Energi Kota Palangka Raya. 2009. Pengkajian Geologi
Tata Lingkungan di Kecamatan Sabangau, Laporan Akhir, Palangka Raya.
Darsono, V. 1995. Pengantar Ilmu Lingkungan, Universitas Atmajaya,
Yogyakarta.
Dyahwanti, Inarni Nur. 2008. Kajian Dampak Lingkungan Kegiatan
Penambangan Pasir pada Daerah Sabuk Hijau Gunung Sumbing di
Kabupaten Temanggung, Tesis, M.Si, Program Magister Ilmu
Lingkungan, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.
Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air, Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan, Kanisius, Yogyakarta.
Fandeli, Ch. 1992. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Prinsip Dasar dan
Pemapanannya Dalam Pembangunan, Liberty, Yogyakarta.
Firmansyah, Anang. 2008. Kalampangan Profil Desa Sukses Di Pertanian
Gambut Kalteng, Tabloid Sinar Tani, 30 Juli 2008,
Foth, Henry D. 1988. Dasar - Dasar Ilmu Tanah, edisi ketujuh, Terjemahan : Ir.
Endang Dwi Purbayanti,MS, Ir. Dwi Retno Lukiwati, MS, Ir. Rahayuning
Trimulatsih, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hasan, Iqbal. 2004. Analisis Data Penelitian Dengan Statistik, PT. Bumi Aksara,
Jakarta.
Heryanto, R, Nila, E.S, dan Rustandi, E. 1995. Peta Geologi Lembar
Palangkaraya, Skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi (P3G), Bandung.
Inkantriani, Betha Patria. 2008. Evaluasi Daya Dukung Lingkungan Zona
Industri Genuk Semarang. Tesis, M.Si, Program Magister Ilmu
Lingkungan, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.
Kecamatan Sabangau Kota Palangka Raya. 2010. Profil Kecamatan Sabangau,
Kalampangan.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 1996. Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 43 Tahun 1996 tentang Kriteria
Kerusakan Lingkungan Bagi Usaha atau Kegiatan Penambangan bahan
Galian Golongan C Jenis Lepas di Daratan, Jakarta.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia. 2003. Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 115 Tahun 2003 tentang
Pedoman Penentuan Status Mutu Air, Jakarta.
Kusuma, Adang P. 2008. Menambang Tanpa Merusak Lingkungan,
(http://bulletin.penataanruang.net/edisi_juli-agustus_2008 / upload / data_artikel /
menambang-tanpa-merusak-lingkungan.pdf), Badan Geologi, Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral, Bandung, di download pada hari Sabtu,
24 April 2011.
Margono, U, dan Sumartadipura, A.S. 1996. Peta Geologi Lembar Tewah (Kuala
Kurun), Skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
(P3G), Bandung.
Mitchel, B., B. Setiawan dan D.H. Rahmi. 2007. Pengelolaan Sumberdaya Dan
Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Najib. 2006. Kajian Geologi Lingkungan Dalam Evaluasi Tingkat Kerusakan
Lahan Akibat Pertambangan Bahan Galian Golongan C, Teknik – Vo. 28
No. 3 Tahun 2006, ISSN 0852-1697.
Notohadiprawiro, Tejoyuwono. 2006. Pengelolaan Lahan dan Lingkungan Pasca
Penambangan, Repro : Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Notohadiprawiro, Tejoyuwono. 1999. Diagnosis Fisik, Kimia dan Hayati Tanah
Kerusakan Lahan, disampaikan pada Seminar Penyusunan Kriteria
Kerusakan Tanah / Lahan, Asmendep I LH / Bapedal Yogyakarta, 1- 3 Juli
1999.
Purwowidodo. 1991. Ganesa Tanah, Proses Ganesa dan Morfologi, Rajawali
Press, Jakarta.
Program Pasca Sarjana, Fakultas Pertanian Universitas Palangka Raya. 2009.
Panduan Penulisan Usulan Penelitian Dan Tesis, Palangka Raya.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air, Jakarta.
Sekretariat Negara Republik Indonesia. 2010. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca Tambang,
Jakarta.
Syah, Soerjani. 1987. Lingkungan Sumber Alam dan Kependudukan dalam
Pembangunan, Universitas Indonesia, Jakarta.
Sitorus, S.R.P. 2003. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan, Jurusan
Tanah, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor.
Suharto, Totok. 2010. Kajian Kualitas Lingkungan Akibat Penambangan Pasir
dan Batu, (http://totoksuharto.blogspot.com/2010/07/kajian-kualitas-
lingkungan-akibat.html). di download pada hari Sabtu 2 April 2011.
Suprapto, Sabtanto Joko. 2008, Tinjauan Reklamasi Lahan Bekas Tambang dan
Aspek Konservasi Bahan Galian. (http://psdg.bgl.esdm.go.id/buletin-
2008/tanto/makalah/reklamasi-lahan-bekas-tambang.pdf), Kelompok
Program Penelitian Konservasi, Pusat Sumber Daya Geologi, di download
pada hari Sabtu 2 April 2011.
Vandalisna. 2008. Konservasi Lahan Padi Sawah (Oryza Sativa, L) Dengan
Sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Di Desa Aman Damai
Kecamatan Kuala Kabupaten Langkat, Tesis, M.Si, Sekolah Pasca Sarjana,
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Yudhistira. 2008. Kajian Dampak Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan
Penambangan Pasir di Daerah Kawasan Gunung Merapi (Studi Kasus di
Desa Keningar Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang, Propinsi Jawa
Tengah), Tesis, M.Si, Program Magister Ilmu Lingkungan, Program Pasca
Sarjana, Universitas Diponegoro, Semarang.
Lampiran 1. Bobot Penilaian (Skor) Untuk Beberapa Variabel
Variabel – variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi :
(1). Batas tepi galian;
a. Baik, bila batas tepi galian > 5 m dari tepi kepemilikan (ijin yang
diberikan), diberi bobot penilaian (skor) = 1;
b. Sedang, bila batas tepi galian 3 – 4 m dari tepi kepemilikan, diberi
bobot penilaian (skor) = 2;
c. Rusak, bila batas tepi galian < 3 m dari tepi kepemilikan, diberi bobot
penilaian (skor) = 3;
Yang dimaksud dengan batas tepi galian adalah jarak antara titik terluar
lubang dengan titik terdekat dari batas SIPD. Jarak lubang galian dari batas SIPD
merupakan zona penyangga agar lahan di luar batas SIPD tidak terganggu oleh
kegiatan penambangan.
Gambar. 1. Jarak Galian dengan Batas Lahan Penambangan (sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 43 Tahun 1996)
Jika ada dua atau lebih SIPD yang berdampingan maka jarak lubang galian
masing-masing SIPD dapat mencapai batas SIPD yang berdampingan /
bersinggungan, sedangkan jarak lubang galian pada batas SIPD yang tidak
berdampingan / bersinggungan minimal 5 (lima) meter dari batas SIPD.
Gambar. 2. Jarak Galian dengan Batas Lahan Penambangan Yang
Bersinggungan (sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 43 Tahun 1996)
(2). Tinggi dinding / batas kedalaman galian dari permukaan tanah awal;
a. Baik, bila tinggi dinding galian < 2 m, diberi bobot penilaian
(skor) = 1;
b. Sedang, bila tinggi dinding galian 2 -3 m, diberi bobot penilaian
(skor) = 2;
c. Rusak, bila tinggi dinding galian > 3 m, diberi bobot penilaian
(skor) = 3;
Dinding galian adalah pinggiran lubang secara menyeluruh dari
permukaan sampai dasar lubang. Untuk menjaga stabilitas dinding galian,
kemiringan lereng dinding galian secara umum dibatasi maksimum 50% dan
harus dibuat berteras-teras. Setiap teras terdiri dari tebing teras dan dasar teras
sebagai parameter yang diamati. Tinggi tebing teras dibatasi, maksimum 3
meter sehingga batas toleransi bagi keamanan lingkungan disekitarnya.
Sedangkan lebar dasar teras minimum 6 m untuk mempertahankan agar
kemiringan dinding galian tidak lebih curam dari 50 %.
Gambar. 3. Relief Dinding Galian yang Disyaratkan untuk Semua Peruntukkan. (sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 43 Tahun 1996)
Kedalaman lubang galian adalah jarak vertikal dari pemukaan lahan
hingga ke dasar lubang galian. Permukaan disini adalah permukaan awal pada
tepi lubang atau garis lurus yang menghubungkan tepi galian sebelum ada galian,
sedangkan dasar galian adalah lubang galian yang terdalam. Pengukuran
kedalaman lubang galian dilakukan dengan mengukur jarak dari permukaan awal
dengan dasar lubang terdalam.
Gambar. 4. Kedalaman Lubang Galian. (sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 43 Tahun 1996)
(3). Pengangkutan bahan galian (Truck pengangkut)
a. Baik, bila muatan < 10 % dari kapasitas truck (6 m3), diberi bobot
penilaian (skor) = 1;
b. Sedang, bila muatan kelebihan 10 – 20 % dari kapasitas truck (6 m3),
diberi bobot penilaian (skor) = 2;
c. Rusak, bila muatan kelebihan > 20 % dari kapasitas truck (6 m3), diberi
bobot penilaian (skor) = 3;
(4). Kondisi jalan umum yang dilewati truck angkutan bahan galian;
a. Baik, bila jalan umum tidak berlubang dan bergelombang, diberi
bobot penilaian (skor) = 1;
b. Sedang, bila jalan umum sudah ada lubang dengan luas sebaran lubang
< 30 % dari sebelum ada penambangan, diberi bobot penilaian
(skor) = 2;
c. Rusak, bila jalan berlubang dengan sebaran lubang > 30 % dari sebelum
ada penambangan, diberi bobot penilaian (skor) = 3;
(5). Luas reklamasi
a. Baik, bila lahan yang direklamasi + luas lahan yang masih tertutup > 75
% dari luas kepemilikan / ijin, diberi bobot penilaian (skor) = 1;
b. Sedang, bila lahan yang direklamasi + luas lahan yang tertutup 50 – 75
% dari luas kepemilikan / ijin, diberi bobot penilaian (skor) = 2;
c. Rusak, bila lahan yang direklamasi + luas lahan yang tertutup < 50 %
dari luas kepemilikan / ijin, diberi bobot penilaian (skor) = 3;
(6). Pengembalian tanah pucuk untuk vegetasi.
a. Baik, bila tanah pucuk yang telah diambil dimanfaatkan > 90 %, diberi
bobot penilaian (skor) = 1;
b. Sedang, bila tanah pucuk yang telah diambil dimanfaatkan 50 – 90 %,
diberi bobot penilaian (skor) = 2;
c. Rusak, bila tanah pucuk yang telah diambil dimanfaatkan < 50 %,
diberi bobot penilaian (skor) = 3;
Lampiran 2. Hasil Perhitungan Dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang-
1 (YS).
Luas : 5,00 Ha
No SK. : 298 Tahun 2007, tanggal 20 Nopember 2007
No. Variabel
Hasil Pengukuran
/ Pengamatan
Bobot
Penilaian
(Skor)
Kategori
1.
Batas tepi galian 0,00 meter 3 Rusak
2.
Tinggi dinding / batas
kedalaman galian dari
permukaan tanah awal
6,15 meter 3 Rusak
3. Pengangkutan bahan
galian (truck pengangkut) Tidak beroperasi - -
4.
Kondisi jalan umum yang
dilewati truck angkutan
bahan galian
tidak berlubang
dan
bergelombang
1 Baik
5.
Luas reklamasi tidak
dilaksanakan 3 Rusak
6. Pengembalian tanah pucuk
untuk vegetasi
tidak
dikembalikan 3 Rusak
Lampiran 3. Hasil Perhitungan Dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang-
2 (CV.DG).
Luas : 20,20 Ha
No SK. : 122 Tahun 2007, tanggal 16 April 2007
No. Variabel
Hasil Pengukuran
/ Pengamatan
Bobot
Penilaian
(Skor)
Kategori
1.
Batas tepi galian 0,00 meter 3 Rusak
2.
Tinggi dinding / batas
kedalaman galian dari
permukaan tanah awal
6,12 meter 3 Rusak
3. Pengangkutan bahan
galian (truck pengangkut) tidak beroperasi - -
4.
Kondisi jalan umum yang
dilewati truck angkutan
bahan galian
tidak berlubang
dan
bergelombang
1 Baik
5.
Luas reklamasi tidak
dilaksanakan 3 Rusak
6. Pengembalian tanah pucuk
untuk vegetasi
tidak
dikembalikan 3 Rusak
Lampiran 4. Hasil Perhitungan Dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang-
3 (AS).
Luas : 2,235 Ha
No SK. : 155 Tahun 2007, tanggal 23 Mei 2007
No. Variabel
Hasil Pengukuran
/ Pengamatan
Bobot
Penilaian
(Skor)
Kategori
1.
Batas tepi galian 0,00 meter 3 Rusak
2.
Tinggi dinding / batas
kedalaman galian dari
permukaan tanah awal
6,75 meter 3 Rusak
3. Pengangkutan bahan
galian (truck pengangkut) tidak beroperasi - -
4.
Kondisi jalan umum yang
dilewati truck angkutan
bahan galian
tidak berlubang
dan
bergelombang
1 Baik
5.
Luas reklamasi tidak
dilaksanakan 3 Rusak
6. Pengembalian tanah pucuk
untuk vegetasi
tidak
dikembalikan 3 Rusak
Lampiran 5. Hasil Perhitungan Dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang-
4 (ZB).
Luas : 3,00 Ha
No SK. : 45 Tahun 2008, tanggal 28 Pebruari 2008
No. Variabel
Hasil Pengukuran
/ Pengamatan
Bobot
Penilaian
(Skor)
Kategori
1.
Batas tepi galian 0,00 meter 3 Rusak
2.
Tinggi dinding / batas
kedalaman galian dari
permukaan tanah awal
6,10 meter 3 Rusak
3. Pengangkutan bahan
galian (truck pengangkut) 4 m
3 1 Baik
4.
Kondisi jalan umum yang
dilewati truck angkutan
bahan galian
tidak berlubang
dan
bergelombang
1 Baik
5.
Luas reklamasi tidak
dilaksanakan 3 Rusak
6. Pengembalian tanah pucuk
untuk vegetasi
tidak
dikembalikan 3 Rusak
Lampiran 6. Hasil Perhitungan Dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang-
5 (HS).
Luas : 4,194 Ha
No SK. : 153 Tahun 2008, tanggal 26 Juli 2008
No. Variabel
Hasil Pengukuran
/ Pengamatan
Bobot
Penilaian
(Skor)
Kategori
1.
Batas tepi galian 0,00 meter 3 Rusak
2.
Tinggi dinding / batas
kedalaman galian dari
permukaan tanah awal
6,00 meter 3 Rusak
3. Pengangkutan bahan
galian (truck pengangkut) 4 m
3 1 Baik
4.
Kondisi jalan umum yang
dilewati truck angkutan
bahan galian
tidak berlubang
dan
bergelombang
1 Baik
5.
Luas reklamasi tidak
dilaksanakan 3 Rusak
6. Pengembalian tanah pucuk
untuk vegetasi
tidak
dikembalikan 3 Rusak
Lampiran 7. Hasil Perhitungan Dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang-
6 (ALT).
Luas : 4,956 Ha
No SK. : 60 Tahun 2008, tanggal 15 Maret 2008
No. Variabel
Hasil Pengukuran
/ Pengamatan
Bobot
Penilaian
(Skor)
Kategori
1.
Batas tepi galian 0,00 meter 3 Rusak
2.
Tinggi dinding / batas
kedalaman galian dari
permukaan tanah awal
6,32 meter 3 Rusak
3. Pengangkutan bahan
galian (truck pengangkut) 4 m
3 1 Baik
4.
Kondisi jalan umum yang
dilewati truck angkutan
bahan galian
tidak berlubang
dan
bergelombang
1 Baik
5.
Luas reklamasi tidak
dilaksanakan 3 Rusak
6. Pengembalian tanah pucuk
untuk vegetasi
tidak
dikembalikan 3 Rusak
Lampiran 8. Hasil Perhitungan Dan Pengukuran Variabel di Lokasi Tambang-
7 (BAD).
Lokasi : BAD
Luas : 1,93 Ha
No SK. : 72 Tahun 2008, tanggal 19 April 2008
No. Variabel
Hasil Pengukuran
/ Pengamatan
Bobot
Penilaian
(Skor)
Kategori
1.
Batas tepi galian 0,00 meter 3 Rusak
2.
Tinggi dinding / batas
kedalaman galian dari
permukaan tanah awal
6,15 meter 3 Rusak
3. Pengangkutan bahan
galian (truck pengangkut) 4 m
3 1 Baik
4.
Kondisi jalan umum yang
dilewati truck angkutan
bahan galian
tidak berlubang
dan
bergelombang
1 Baik
5.
Luas reklamasi tidak
dilaksanakan 3 Rusak
6. Pengembalian tanah pucuk
untuk vegetasi
tidak
dikembalikan 3 Rusak