KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK · Kajian ini bertujuan: (a) mengidentifikasi potensi,...

9
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK Oleh : Benny Rachman Delima Hasri Azahari Henny Mayrowani Arief Iswariyadi Valeriana Darwis Ahmad M. Ar-Rozi PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2011

Transcript of KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK · Kajian ini bertujuan: (a) mengidentifikasi potensi,...

Page 1: KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK · Kajian ini bertujuan: (a) mengidentifikasi potensi, pelu ang dan kendala pengembangan pupuk organik, (b) menganalisis kelembagaan/ regulasi

LAPORAN AKHIRPENELITIAN TA 2011

KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK

Oleh :Benny Rachman

Delima Hasri AzahariHenny Mayrowani

Arief IswariyadiValeriana Darwis

Ahmad M. Ar-Rozi

PUSAT ANALISIS SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIANBADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN2011

Page 2: KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK · Kajian ini bertujuan: (a) mengidentifikasi potensi, pelu ang dan kendala pengembangan pupuk organik, (b) menganalisis kelembagaan/ regulasi

xii

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pendahuluan

1. Pupuk merupakan salah satu unsur penting dan strategis dalam peningkatan produksi dan

produktivitas serta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem usahatani. Demikian

penting dan strategisnya peranan pupuk dalam meningkatkan produksi dan produktivitas

tanaman, pemerintah terus mendorong penggunaan pupuk secara efisien melalui kebijakan

harga pupuk, pengadaan dan distribusinya. Seiring dengan perkembangannya, produksi

pupuk, khususnya pupuk an-organik terus menurun, sehingga di beberapa wilayah terjadi

kelangkaan. Adanya opsi kebijakan pengembangan pupuk organik bukan semata-mata

diarahkan untuk mensubstitusi pupuk an-organik, akan tetapi untuk mendukung

penggunaan pupuk secara berimbang dan peningkatan efisiensi penggunaan pupuk.

Kondisi ini membuka peluang produksi berbagai jenis pupuk organik untuk melengkapi

kekurangan pasokan pupuk.

2. Untuk memproduksi pupuk organik dapat dilakukan oleh pabrikan/ industri pupuk dan/atau

oleh petani/ kelompok tani dengan menggunakan bahan baku yang tersedia dilokasi

setempat (in situ). Adanya peluang usaha baru (pupuk organik) cenderung menjadi

perhatian berbagai pihak untuk ikut partisipasi dalam usaha tersebut, yang terkadang keluar

dari etika dan norma. Mengantisipasi semakin banyaknya peredaran pupuk organik dalam

berbagai jenis, bentuk dan kualitas yang belum terjamin dan teruji kebenarannya

dikhawatirkan akan mengganggu kesehatan dan lingkungan, sehingga dibutuhkan

pengawasan dan monitoring yang ketat terhadap kualitas pupuk organik. Sehubungan

dengan itu, perlu dibangun suatu kesepahaman tentang arah pengembangan pupuk

organik, etika komersialisasi, pentingnya baku mutu dan payung hukum, serta sosialisasi

pemanfaatannya.

3. Kajian ini bertujuan : (a) mengidentifikasi potensi, peluang dan kendala pengembangan

pupuk organik, (b) menganalisis kelembagaan/ regulasi pengembangan pupuk organik, (c)

menganalisis pengaruh penggunaan pupuk (organik dan an-organik) terhadap produksi dan

pendapatan usahatani padi, dan (e) merumuskan alternatif kebijakan pengembangan pupuk

organik. Untuk menjawab tujuan pertama digunakan teknik eksplorasi data dan informasi

yang antara lain mencakup : (a) luas areal yang harus dipupuk; (b) potensi bahan baku

pupuk organik (hijauan, kotoran hewan, sisa tanaman/jerami, dan kompos); dan (c)

Page 3: KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK · Kajian ini bertujuan: (a) mengidentifikasi potensi, pelu ang dan kendala pengembangan pupuk organik, (b) menganalisis kelembagaan/ regulasi

xiii

teknologi pembuatan pupuk organik insitu. Untuk menjawab tujuan kedua, digunakan

analisis kelembagaan yang difokuskan pada aspek kelembagaan (regulasi/ peraturan

perundangan). Untuk menjawab tujuan ketiga digunakan pendekatan analisis finansial atau

benefit cost ratio (B/C) dan fungsi produksi linier Cobb-Douglas. Untuk menjawab tujuan

keempat dilakukan sintesis dari hasil tujuan pertama sampai dengan tujuan ketiga.

4. Lokasi kajian dilakukan di Jawa barat dan jawa Tengah. Basis informasi dalam kajian ini

adalah data primer yang dikumpulkan secara berlapis mulai dari tingkat desa, kabupaten

dan provinsi contoh. Disamping itu, digunakan data sekunder dari berbagai lembaga dan

instutusi terkait yang relevan dengan kajian ini. Pengumpulan data primer dilakukan dengan

menggunakan daftar isian yang diwawancarakan kepada responden.

Pengembangan Rumah Kompos/ UPPO

1. Dalam upaya meningkatkan kesuburan lahan, mulai tahun 2007 Kementerian Pertanian

melakukan kegiatan penyediaan alat pengolah pupuk organik (APPO), rumah kompos/

Rumah Percontohan Pembuatan Pupuk Organik (RP3O) dan UPPO (Unit Pengolah Pupuk

Organik). Prasarana tersebut khususnya diarahkan pada kawasan produksi padi yang

disalurkan kepada Kelompok Tani/ Gapoktan dalam rangka pengembangan pupuk organik

di tingkat kelompok tani (insitu). Saat ini, total jumlah prasarana tersebut adalah : APPO

(1.086 unit); rumah kompos/ RP3O/ UPPO (2.578 unit) dan ternak sapi (47.695 ekor).

2. Apabila seluruh prasarana pembuat pupuk organik tersebut dapat beroperasi secara

optimal, maka jumlah pupuk organik yang dapat dihasilkan oleh petani sebanyak 5,496 juta

ton/tahun (asumsi 1 unit mesin APPO/RP3O/rumah kompos mampu mengolah bahan

organik sebanyak 5 ton/hari/unit dan dalam setahun bekerja 300 hari). Mengingat pupuk

organik saat ini belum tersosialisasi dengan baik di lapangan/ petani, maka potensi

prasarana pembuatan pupuk organik yang telah tersedia tersebut belum dapat

menghasilkan jumlah produksi pupuk organik sesuai dengan kapasitas yang tersedia, atau

50 persen dari kapasitasnya.

Potensi, Kendala dan Peluang Pengembangan Pupuk Organik

3. Data luas panen lahan sawah tahun 2010 di Jawa Barat dan Jawa tengah tercatat 1,894

juta hektar dan 1,779 juta hektar dengan produksi mencapai 10,99 juta ton dan 10,08 juta

ton. Apabila produksi jerami segar sekitar 5 ton/ha, maka potensi jerami untuk pembuatan

Page 4: KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK · Kajian ini bertujuan: (a) mengidentifikasi potensi, pelu ang dan kendala pengembangan pupuk organik, (b) menganalisis kelembagaan/ regulasi

xiv

pupuk organik masing-masing 5,49 juta ton dan 5,04 juta ton. Sedangkan agregat nasional

luas panen lahan sawah 12,87 juta hektar dengan produksi 65,15 juta ton, sehingga potensi

jerami untuk pembuatan pupuk organik adalah 32,57 juta ton. Apabila diasumsikan semua

jerami segar yang dapat digunakan untuk memupuk lahan sawah, dengan dosis 5 ton/ha,

maka lahan sawah yang dapat dipupuk jerami segar dengan dosis 5 ton/ha mencapai 12,87

juta hektar. Sedangkan apabila menggunakan jerami dikomposkan luas lahan sawah yang

dapat dipupuk sekitar 6,4 juta hektar.

4. Ternak sapi dewasa, kuda, dan kerbau dapat memproduksi kotoran rata-rata 9 kg/ekor/hari,

sedangkan kambing dan domba rata-rata 1 kg/ekor/hari. Atas dasar asumsi tersebut, maka

dalam waktu satu tahun akan diproduksi kotoran ternak sapi, kuda, kerbau, kambing dan

domba sebanyak 8,401 juta ton (di Jawa barat), 6,308 juta ton (di Jawa Tengah), dan

agregat nasional 51,526 juta ton. Bila lahan pertanian memerlukan pupuk kandang 5-10

ton/ha, maka kotoran ternak tersebut dapat digunakan untuk memupuk seluas 0,84 – 1,6

juta ha (Jawa Barat), 0,63 – 1,2 juta ha (Jawa Tengah), dan 5,1 – 10,0 juta ha (Indonesia).

5. Pengembangan pupuk organik juga dihadapkan pada berbagai kendala teknis dan non

teknis. Pertama, pupuk organik diperlukan dalam jumlah besar sehingga menimbulkan

kesulitan dalam pengangkutan dan penggunaannya. Kedua, komposisi hara dalam pupuk

organik relatif rendah dan sangat bervariasi sehingga manfaatnya bagi tanaman tidak

langsung dan dalam jangka panjang. Ketiga, masih adanya pemahaman bahwa usahatani

yang menggunakan pupuk organik diartikan sebagai usahatani pertanian organik. Keempat,

sumber bahan untuk pupuk organik sangat bervariasi, sehingga kualitas pupuk organik yang

dihasilkan juga bervariasi mutunya.

6. Pemanfaatan pupuk organik semakin meningkat seiring dengan meningkatnya pemahaman

petani akan pentingnya pupuk organik dalam kelangsungan usahataninya. Kondisi ini

membuka peluang produksi berbagai jenis pupuk hayati dan pupuk organik untuk

melengkapi kekurangan pasokan pupuk. Pupuk organik bisa dibuat dan diproduksi secara

komersial dan non komersial oleh berbagai kalangan termasuk petani/kelompok tani dan

pengusaha kecil-menengah (UKM). Pupuk organik bukan sebagai pengganti pupuk an-

organik, tetapi sebagai komplementer.

7. Prospek pengembangan pupuk organik semakin jelas bila dikaitkan dengan pelaksanaan

program Sekolah Lapang-Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT). Untuk tahun 2011 luas

SL-PTT di Jawa Barat dan jawa Tengah tercatat 201,5 ribu ha dan 220,0 ribu ha, dan total

Page 5: KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK · Kajian ini bertujuan: (a) mengidentifikasi potensi, pelu ang dan kendala pengembangan pupuk organik, (b) menganalisis kelembagaan/ regulasi

xv

nasional mencapai 2,78 Juta ha. Dalam pendekatan PTT dianjurkan untuk menggunakan

pupuk organik minimal 2 (dua) ton per ha. Mengingat program SL-PTT akan terus

dikembangkan dan diperluas, maka ketersediaan pupuk organik dalam rangka mendukung

peningkatan produksi pangan nasional menjadi sangat penting, baik secara produksi

pabrikan (komersial) maupun produksi kelompok tani insitu (non komersial).

Kelembagaan Pengelolaan Usaha Pupuk Organik Insitu

8. Produk pupuk organik yang dihasilkan oleh kelompok tani bersifat non komersial (insitu)

atau hanya diperuntukkan bagi kebutuhan kelompok tani dan/atau masayarakat petani

yang berada di desa UPPO. Kewenangan kelompok tani dalam mengelola UPPO adalah :

(a) Membentuk struktur organisasi pengelola mulai dari manager, sekretaris,

bendahara, tenaga operator; sehingga pengelolaan dapat berjalan baik dan

profsional; (b) Menetapkan biaya operasional dan pemeliharaan UPPO, termasuk

biaya manajemen; dan (c) Kelompok tani/ gapoktan pemula hanya memproduksi

pupuk organik untuk kebutuhan kelompok dan masyarakat petani di wilayah UPPO.

Namun bagi kelompok tani yang telah maju dan bermaksud memproduksi pupuk

organik secara komersial, dapat mengajukan permoihonan ijin ke Dinas Pertanian

Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan yang berlaku;

9. Unit pengolah pupuk organik (UPPO) yang dibangun beserta segala perlengkapan

penunjangnya (termasuk ternak sapi 35 ekor) menjadi asset milik kelompok tani. Sesuai

program UPPO jumlah ternak sapi yang dipelihara berjumlah 35 ekor yang meliputi 32 ekor

ternak betina dan 3 ekor ternak jantan.Ternak tersebut dipelihara pada kandang ternak

komunal oleh anggota kelompok tani yang aktif dengan rata-rata beranggotakan 8-10 orang.

10. Secara umum bentuk pengelolaan ternak di setiap UPPO relatif sama. Sebagai ilustrasi,

pengelolaan ternak dilakukan dengan sistem gaduh, dimana keuntungan atas hasil usaha

dibagi menurut kesepakatan : (a) Untuk sapi betina, dalam satu paket terdiri dari 4 ekor sapi

betina apabila sudah beranak maka anak induk sapi yang pertama diserahkan kepada

kelompok tani sebagai asset kelompok, dan anakan kedua , ketiga, dan keempat menjadi

milik pengelola / penggaduh dengan kurun waktu 1,5 tahun, (b) Untuk sapi jantan dikelola

dengan sistem bagi hasil dengan perhitungan 50% penggaduh dan 50% kelompok, dan (c)

sistem bagi hasil berlaku untuk satu periode.

Page 6: KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK · Kajian ini bertujuan: (a) mengidentifikasi potensi, pelu ang dan kendala pengembangan pupuk organik, (b) menganalisis kelembagaan/ regulasi

xvi

11. Aturan representasi dalam pengembangan UPPO dapat ditelaah dari berbagai tingkatan,

yaitu institusi pusat (Kementan dan Ditjen terkait), institusi Dinas Pertanian Tanaman

Pangan / Peternakan, kelompok tani serta kelompok pengelola UPPO. Pola aturan

representasi pada pelaksanaan UPPO dirancang secara homogen untuk semua lokasi

penerima UPPO. Pada tingkat kelompok tani, berbagai aturan main dibuat dalam

pemeliharaan ternak. pengelola kandang ternak komunal. Dalam hal ini terdapat perjanjian

tertulis antara pengelola ternak sapi/penggaduh dengan kelompok tani. Kelompok tani

sesuai program UPPO menyediakan kandang komunal beserta fasilitas-fasilitasnya dan

menyerahkan sapi (35 ekor) kepada pihak pengelola. Pihak pengelola memiliki kewajiban :

(a) Merawat dan dan memelihara kandang beserta semua fasilitasnya; (b) Mengelola ternak

sapi dengan sistem bagi hasil dalam kesepakatan bersama.

Biaya Produksi Pupuk Organik Non Komersial

12. Untuk pembuatan pupuk organik padat, setiap bahan baku kotoran ternak 1 ton dapat

menghasilkan pupuk organik sebanyak 650 Kg. Proses pembuatan pupuk organik dalam

satu siklus pembuatan dilakukan selama 5-6 minggu. Jenis dan bahan-bahan yang

dibutuhkan pada kedua lokasi relatif sama : (1) Satu ton kotoran hewan (dari usaha ternak

kelompok), (2) Arang sekam 100 kg, (3) Jerami padi sebanyak 50 kg dilembutkan, (4) Kalsit

20 kg, (5) Stardeck (pengurai) sebanyak 2 kg,dan (6) tenaga kerja sebanyak 8 orang. Total

biaya pembuatan pupuk organik padat adalah Rp 271.000 (di Jawa Barat), dan Rp 268.000

(di Jawa Tengah) dengan rata-rata biaya produksi Rp 400/Kg, harga tersebut tanpa adanya

subsidi dari pemerintah. Harga jual di tingkat distributor (sesuai pesanan) berkisar Rp 500 –

Rp 525 per Kg, sehingga pendapatan bersih berkisar Rp 52.000 – Rp 124.000,- (per 650 kg

pupuk organik) atau Rp 83 - Rp 112,-/kg.

13. Untuk pembuatan pupuk alam cair (PAC) pada setiap bahan baku urine ternak 120 liter

dapat menghasilkan PAC sebanyak 100 liter. Proses pembuatan pupuk organik cair dalam

satu siklus pembuatan dilakukan selama 6 minggu. Total biaya yang dibutuhkan Rp 351.000

(Jawa Barat), dan Rp 346.500 (Jawa Tengah). Harga jual PAC berkisar Rp 6.000 hingga Rp

7.000 per liter, sehingga pendapatan bersih per 100 liter mencapai Rp 349.000 (Jabar) dan

Rp 253.500 (Jateng), atau Rp 3.490 dan Rp 2.535 per liter.

Kemitraan Usaha Pupuk Organik Insitu

Page 7: KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK · Kajian ini bertujuan: (a) mengidentifikasi potensi, pelu ang dan kendala pengembangan pupuk organik, (b) menganalisis kelembagaan/ regulasi

xvii

14. Mengingat batas kewenangan kelompok tani UPPO untuk memproduksi dan memasarkan

POG hanya untuk kebutuhan kelompok (insitu ), maka untuk memperluas pemasaran

menuntut adanya jalinan Kemitraan antara kelompok tani/ produsen POG insitu dengan

produsen pupuk organik pabrikan (swasta) yang telah memiliki sertifikasi mutu produksi

POG untuk dikomersialisasikan. Saat kajian dilakukan, telah terbentuk jalinan kemitraan

dengan produsen POG pabrikan dan pedagang/kios pupuk di desa lain dalam rangka

memperluas pemasaran pupuk organiknya. Kemitraan pemasaran hasil POG di kabupaten

Bandung, Jawa Barat sudah terjalin dengan produsen POG komersial (pabrikan), seperti

PT. Petroganik dan PT. Agrimas. Pasokan POG dari kelompok tani ke PT. Petroganik,

selanjutnya diproses menjadi POG (bentuk granul), pemasarannya disalurkan melalui kios-

kios binaan PT. Petroganik. Sedangkan kemitraan dengan PT. Agrimas diarahkan untuk

memasok POG (bentuk curah) ke PTP.VIII dan lainnya. Harga jual POG padat ke mitra

usaha (swasta) berkisar Rp 500 – Rp 525 per kg, dan harga jual swasta ke pedagang/kios

pengecer sebesar Rp 600 – Rp 650 per kg..

15. Sementara itu, gambaran kemitraan dalam pemasaran produk POG (bentuk curah) di

kabupaten Wonosobo dilakukan dengan perusahaan swasta, yaitu PT Alam Global

Nusantara (PT. AGN). PT. AGN saat ini telah melakukan pengolahan sampah untuk dibuat

pupuk organik. Produksi riil pupuk organik yang diperoleh baru sekitar 3-4 ton per hari

dengan bentuk curah. Pemasaran masih terbatas pada permintaan langsung dari

distributor, karena untuk pemasaran luas masih harus menunggu ijin edar dari Kementerian

Pertanian. Uji kandungan dan penelitian pun terus dilakukan dengan mengundang para ahli

dari Universitas Gadjah Mada.

Dukungan Kebijakan Pengembangan Pupuk Organik

16. Pengembangan pupuk organik, baik pada skala kecil (kelompok tani) maupun skala

komersial dengan manajemen mutu dan standar kualitas terjamin akan mendorong

penggunaan pupuk organik secara massal dengan tingkat harga yang terjangkau. Hal ini

dapat terwujud melalui dukungan kebijakan berupa regulasi mengenai etika komersialisasi,

baku mutu dan payung hukum, serta sosialisasi pemanfaatannya. Dengan demikian, produk

pupuk organik yang dihasilkan dapat bermanfaat bagi petani, dan mengurangi dampak

negatif bagi kesehatan dan pencemaran lingkungan. Secara spesifik, regulasi yang

diperlukan adalah: (1) kebijakan investasi dan pelayanan, (2) kebijakan diseminasi dan

Page 8: KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK · Kajian ini bertujuan: (a) mengidentifikasi potensi, pelu ang dan kendala pengembangan pupuk organik, (b) menganalisis kelembagaan/ regulasi

xviii

pendampingan, (3) kebijakan standardisasi dan mutu produk pupuk organik, (4) kebijakan

subsidi pupuk organik, dan (5) kebijakan dalam mendorong peran swasta.

Kesimpulan

17. Secara agregat nasional potensi jerami untuk pembuatan pupuk organik sekitar 32,57 juta

ton, sehingga lahan sawah yang dapat dipupuk jerami segar dengan dosis 5 ton/ha

mencapai 12,87 juta hektar, dan apabila menggunakan jerami dikomposkan luas lahan

sawah yang dapat dipupuk sekitar 6,4 juta hektar.

18. Sejalan dengan upaya peningkatan produksi padi, program SL-PTT akan terus

dikembangkan dan diperluas, maka ketersediaan pupuk organik dalam rangka mendukung

peningkatan produksi pangan nasional menjadi sangat strategis untuk dikembangkan, baik

secara produksi pabrikan (komersial) maupun produksi kelompok tani insitu (non

komersial).

19. Secara umum teknologi pembuatan pupuk organik non komersial (insitu ) masih tergolong

sederhana, yaitu teknologi sederhana fermentasi. Untuk pembuatan pupuk organik padat,

setiap bahan baku kotoran ternak 1 ton dapat menghasilkan pupuk organik sebanyak 650

Kg. Proses pembuatan pupuk organik dalam satu siklus dilakukan selama 5-6 minggu.

Harga jual pupuk organik berkisar Rp 500 – Rp 525,- dengan keuntungan berkisar Rp 83 -

Rp 112,- per kg.

20. Produk pupuk organik yang dihasilkan oleh kelompok tani bersifat non komersial (insitu)

atau hanya diperuntukkan bagi kebutuhan kelompok tani dan/atau masayarakat petani yang

berada di desa UPPO. Bagi kelompok tani/ gapoktan yang telah maju dan bermaksud

memproduksi pupuk organik yang akan dijual secara komersial, harus memiliki sertifikat

stadarisasi mutu produk.

21. Batas kewenangan kelompok tani UPPO untuk memproduksi dan memasarkan pupuk

organik hanya untuk kebutuhan kelompok (insitu), untuk memperluas pemasaran diperlukan

kemitraan antara kelompok tani/ produsen insitu dengan produsen pupuk organik pabrikan

(swasta) yang telah memiliki sertifikasi mutu produksipupuk organik untuk

dikomersialisasikan.

Page 9: KAJIAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PUPUK ORGANIK · Kajian ini bertujuan: (a) mengidentifikasi potensi, pelu ang dan kendala pengembangan pupuk organik, (b) menganalisis kelembagaan/ regulasi

xix

22. Usahatani padi semi organik di lokasi kajian baru berlangsung dua musim, sehingga kondisi

tanahnya belum stabil. Namun dari segi produktivitas, usahatani padi semi organik relatif

sama dengan usahatani padi an organik. Hal ini masih membuka peluang adanya

peningkatan produksi dan produktivitas bilamana kondisi tanah mendekati stabil (setelah 4

musim).

Implikasi Kebijakan

23. Pengembangan aspek produksi, distribusi, dan pemanfaatan pupuk organik perlu

dukungan sosialisasi terhadap pemahaman pupuk organik yang intensif yang difokuskan

kearah keberimbangan penggunaan pupuk an-organik dan organik serta pembenahan

tanah, disertai dengan Sekolah lapang (SL) - Pupuk Organik minimal selama empat musim.

24. Manajemen mutu dan standar kualitas yang baik akan mendorong penggunaan pupuk

organik secara massal, sekaligus mengurangi dampak negatif bagi kesehatan dan

pencemaran lingkungan. Secara spesifik, bentuk kebijakan untuk mendukung

pengembangan pupuk organik adalah : (a) kebijakan investasi dan pelayanan, (b) kebijakan

diseminasi dan pendampingan, (c) kebijakan standardisasi dan mutu produk pupuk organik,

(4) kebijakan subsidi pupuk organik, dan (d) kebijakan dalam mendorong peran swasta.

25. Untuk meningkatkan pemasaran pupuk organik perlu fasilitasi dan dukungan : (a) uji

kandungan pupuk, (b) pembuatan label usaha pengolahan pupuk organik yang diproduksi

kelompok tani, (c) pemerintah seyogyanya tidak menurunkan harga pupuk organik pabrikan

yang disubsidi, mengingat pupuk organik dari kelompok tani adalah biaya swadaya yang

tidak memperoleh subsidi dari pemerintah, dan (d) meningkatkan pembinaan terhadap

produsen pupuk organik (kelompok tani).

26. Pengembagan produksi pupuk organik oleh kelompok tani perlu terus dilakukan untuk

memenuhi kebutuhan anggotanya. Dalam rangka peningkatan pendapatan petani

organik,pemerintah daerah perlu memfasilitasi temu usaha/bisnis. Disamping itu, perlu

adanya dukungan jaminan harga dan pasar pupuk organik melalui kemitraan.