Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

104
LAPORAN LAPORAN Kajian Kajian Kebijakan Kebijakan Penanggulangan Penanggulangan ( ( Wabah Wabah ) ) Penyakit Penyakit Menular Menular ( Studi Studi Kasus Kasus DBD) DBD) Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Deputi Bidang SDM dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional 2006

description

Kebijakan Wabah Penyakit Menular

Transcript of Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

  • LAPORANLAPORANKajianKajian KebijakanKebijakan

    PenanggulanganPenanggulangan ((WabahWabah) ) PenyakitPenyakit MenularMenular

    ((StudiStudi KasusKasus DBD)DBD)

    Direktorat Kesehatan danGizi Masyarakat

    Deputi Bidang SDMdanKebudayaanBadan PerencanaanPembangunan Nasional2006

  • Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

    LLAAPPOORRAANN AAKKHHIIRR

    KKAAJJIIAANN KKEEBBIIJJAAKKAANN PPEENNAANNGGGGUULLAANNGGAANN ((WWAABBAAHH)) PPEENNYYAAKKIITT MMEENNUULLAARR

    Studi Kasus DBD

    DDIIRREEKKTTOORRAATT KKEESSEEHHAATTAANN DDAANN GGIIZZII MMAASSYYAARRAAKKAATT

    BBAADDAANN PPEERREENNCCAANNAAAANN PPEEMMBBAANNGGUUNNAANN NNAASSIIOONNAALL TTAAHHUUNN 22000066

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

    ii

    Ringkasan Eksekutif

    Kajian ini dilatarbelakangi adanya kecenderungan terus meningkatnya wabah penyakit menular di berbagai daerah di Indonesia. Selain penyakit menular yang telah lama ada, penyakit menular baru (new emerging diseases) juga menunjukkan peningkatan. Kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular telah diatur dalam peraturan perundangan. Namun demikian implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai permasalahan. Beberapa permasalahan yang teridentifikasi antara lain berkaitan dengan (1) pelaksanaan surveilans, (2) upaya penanggulangan, serta (3) adanya desentralisasi kewenangan pengelolaan. Berdasarkan hasil penelitian WHO Tahun 2003 dilaporkan bahwa pelaksanaan kegiatan surveilans masih menghadapi kendala antara lain berkaitan dengan (1) kebijakan sistem surveilans yang belum dipahami sampai ke petugas teknis di lapangan, (2) terbatasnya tenaga pelaksana surveilans, (3) adanya ketidaksesuaian kompetensi, (4) terbatasnya dana pelaksanaan surveilans di tingkat operasional, dan (5) belum optimalnya penggunaan sarana kesehatan dalam mendukung pelaksanaan surveilans penyakit seperti pemanfaatan laboratorium dan peralatan.

    Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan utama kajian adalah menyusun rumusan kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular secara terpadu berdasarkan analisis faktor-faktor yang berpengaruh melalui (1) identifikasi kinerja surveilans, (2) identifikasi kinerja penanggulangan wabah penyakit , serta (3) identifikasi peran dan tanggungjawab Pemerintah Daerah. Metode kajian dilakukan melalui analisis diskriptif (kualitatif) berdasarkan data dan informasi yang didapat di lapangan, baik berbentuk data sekunder maupun hasil wawancana mendalam serta melakukan pembahasan dengan nara sumber dalam bentuk focus group discussion (FGD) dan workshop.

    Landasan pemikiran kajian didasarkan pada asumsi adanya hubungan timbal balik antara rendahnya kinerja surveilans dan kinerja penanggulangan dengan implementasi kebijakan wabah penyakit menular khususnya dalam kasus kebijakan penanganan penyakit DBD. Kinerja surveilans diukur dengan melihat (1) keberadaan peta rawan, (2) pelaksanaan diseminasi informasi DBD, dan (3) Pelaporan serta dengan melihat faktor-faktor berpengaruh mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana, (4) dana, dan (5) SOP. Kinerja Penanggulangan diukur dengan melihat (1) Frekuensi KLB, (2) Jumlah Kasus, (3) Jumlah Kematian, (4) Luas Daerah Terserang serta dengan melihat faktor-faktor berpengaruh mencakup (1) tenaga, (2) data, (3) sarana, (4) dana, dan (5) SOP. Implementasi kebijakan wabah penyakit menular juga dipengaruhi kebijakan desentralisasi kewenangan pengelolaan pembangunan.

    Kajian menyimpulkan bahwa kendala utama yang dihadapi dalam implementasi kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular dalam kasus DBD adalah (1) koordinasi antar instansi dan antar unit yang bertanggung jawab dalam penanganan DBD masih belum optimal, khususnya dalam pelaksanaan surveilans dan penanggulangan DBD, (2) koordinasi antara pusat dan daerah belum dilandasi suatu kebijakan operasional yang jelas tentang kewenangan dan tanggung jawab masing-masing, (3) sistem pengelolaan program penanganan penyakit menular masih didominasi pusat, (4) tingginya beban puskesmas sebagai unit operasional utama di lapangan dalam implementasi kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular. Indikator Kinerja Surveilans dan Penanggulangan mencakup (1) Peta rawan, hampir semua dinkes propinsi maupun dinkes kab/kota memiliki peta rawan, sedangkan di Puskesmas sebagai unit pelayanan dasar dan rumah sakit sebagai unit pelayanan rujukan, peta rawan tidak selalu tersedia, (2) proses diseminasi informasi dilakukan

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

    iii

    melalui penerbitan buletin kajian epidemiologi yang diterbitkan oleh dinkes propinsi dan dinkes kabupaten/kota, (3) sistem pelaporan ditunjukkan dengan kelengkapan laporan mencapai 90-100%, namun ketepatannya masih 60%, (4) Jumlah Kasus periode 2003-2005 cenderung stagnan untuk propinsi lokasi kajian (kecuali Jatim meningkat), sedangkan data kematian cenderung meningkat. Case Fatality Rate (CFR) DBD fluktuatif. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja surveilans dan penanggulangan terkait dengan (1) tenaga, (2) pengetahuan, (3) dana, (4) SOP, (5) sarana, dan (6) data. Tenaga. Hampir semua level baik di propinsi hingga kabupaten/kota termasuk puskesmas dan rumah sakit mengalami masalah ketenagaan dalam kegiatan surveilans dan penanggulangan. Kurangnya jumlah SDM, kualifikasi pendidikan yang belum sesuai, perpindahan yang begitu cepat, beban kerja yang tinggi merupakan masalah yang hampir ditemukan disemua tingkatan. Kualitas dan kualifikasi masih belum terpenuhi sesuai dengan bidang tugas dan kompetensinya. Pendidikan rata-rata perawat, Sarjana (SKM) dan MKes. Tidak ada batas yang tegas yang membedakan antara Surveilans dan Penanggulangan dalam praktek operasional di lapangan. Struktur organisasi Dinkes propinsi maupun Kab/Kota tidak menggambarkan pembedaan kedua tugas tersebut. Operasi lapangan untuk suatu kasus (DBD) serentak dilakukan. Bidang pendidikan yang ada adalah perawat, dan epidemiologi. Pengetahuan. Pemahaman tentang surveilans dan penanggulangan KLB masih belum sama. Upaya yang dilakukan Dinas Kesehatan Propinsi maupun kabupaten/kota dalam rangka peningkatan kemampuan adalah pembinaan teknis, mengadakan pertemuan/ lokakarya, rakor dan melakukan berbagai pelatihan di bidang surveilans maupun penangulangan penyakit. Selain pelatihan formal, pengetahuan tim pada umumnya dipenuhi dari pengalaman lapangan dalam penanganan P2M. Dana. Dana menjadi persoalan dalam implementasi kebijakan penanggulangan penyakit menular. Pada tingkat propinsi, dana untuk pelaksanaan penanggulangan wabah penyakit menular dirasakan pihak daerah mencukupi, khusus untuk KLB tersedia block grant dari pusat. Untuk tingkat kabupaten/kota, hampir semuanya menggunakan dana APBD. Baik APBD propinsi maupun APBD kabupaten/kota atau APBD sharing. Puskesmas tidak memiliki alokasi dana khusus untuk kegiatan surveilans. Dana operasional selain bersumber dari dana operasional umum juga memanfaatkan dana JPK-MM. Di rumah sakit tidak terdapat dana surveilans, yang ada hanya pencatatan pelaporan yang dilakukan di bagian rekam medis. Dana yang digunakan untuk penanggulangan KLB berasal dari APBN (Dekon) dan APBD. Permasalahan dana terutama berkaitan dengan (1) keterlamabatan turunnya DIPA, (2) ada masa ketiadaan anggaran, khususnya ketika kasus terjadi, dan (3) proporsi anggaran untuk preventif dan kuratif yang tidak seimbang. SOP. Hampir semua unit pelayanan kesehatan di daerah memiliki pedoman dan peraturan dalam rangka pelaksanaan surveilans dan penanggulangan DBD. Namun demikian kebanyakan SOP tersebut belum operasional. Beberapa dinkes kabupaten/kota inisiatif melakukan modifikasi terhadap SOP yang dibuat Depkes. Sarana. Walaupun kondisi sarana dan prasarana untuk kegiatan penanggulangan penyakit menular tidak selalu memadai, tetapi tidak menjadi kendala dalam berjalannya sistem. Sarana utama yang dibutuhkan dalam penanganan kasus DBD adalah adanya mesin fogging serta insektisida. Pengadaan insektisida dan mesin fogging di supply oleh Dinkes Propinsi karena kab/kota belum siap. Data. Ketepatan dan kelengkapan laporan dari kabupaten masih rendah, Data yang ada belum dilakukan analisis, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten (baru bersifat pengumpulan data). Sehingga untuk SKD-KLB data yang seharusnya dapat dilihat/diprediksi diawal untuk kewaspadaan terjadinya KLB, belum dilakukan. Validitas data yang dilaporkan tidak pernah dipermasalahkan. Propinsi belum mempunyai sistem peringatan ke kabupaten bila terjadi keterlambatan atau ketidak lengkapan data.

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

    iv

    Kondisi umum Pelaksanaan Surveilans dan Penanggulangan DBD: (1) Ujung tombak pelaksanaan surveilans ada di Puskesmas, namun belum maksimal melaksanakan surveilans karena keterbatasan tenaga, sarana dan dana, (2) Aktivitas surveilans dilakukan oleh Tim Lapangan, sebagai suatu kegiatan rutin, namun belum maksimal, karena tidak seimbang antar area yang harus dipantau dengan kemampuan sumberdaya yang tersedia, (3) Surveilans mulai diperlukan ketika ada kasus. Namun pada saat kasus, yang paling menonjol adalah penanggulangan (PE). PE tidak dilakukan maksimal sesuai prosedur yang ada. Banyak kendala, antara lain keterbatasan tenaga, keterbatasan dana, ketiadaan sarana. Penyelidikan Epidemiologi (PE) yang dilakukan Puskesmas belum maksimal, tidak setiap kasus DBD ditindaklnajuti dengan PE karena DBD dianggap kasus rutin, akibatnya kegiatan tindak lanjut yang seharusnya dilakukan tidak berjalan. Pengobatan dan isolasi penderita dirujuk ke rumah sakit. Penanggulangan DBD di Rumah sakit relatif tidak masalah, kecuali kalau ada kasus KLB yang menyebabkan sarana TT tidak mencukupi. Pengobatan dapat dilakukan dengan baik kecuali kalau ada keterlambatan datang ke sarana pengobatan dan akibat terlambat merujuk. Permasalahan operasional penanganan DBD juga dipengaruhi oleh sistem kepemerintahan yang belum sepenuhnya dapat mengakomodasi sistem perencanaan dan sistem keuangan yang baru. Komitmen daerah dalam penyediaan anggaran (APBD) untuk penanganan wabah penyakit menular belum optimal. Hal ini berkaitan dengan masih cukup besarnya alokasi dana yang berasal dari APBN (dalam bentuk DAU, dekonsentrasi maupun tugas perbantuan). Koordinasi penanganan kasus masih bersifat sporadis, belum tertata dalam sebuah sistem yang aktif dan terstruktur, baik pada internal sektor maupun lintas sektor. Keperdulian pemerintah daerah masih belum terlihat, hal ini tampak dari keaktifan instansi kesehatan dalam penyebaran informasi kesehatan, bukan sebaliknya pemerintah daerah yang aktif meminta informasi. Rekomendasi kajian yang diusulkan mencakup (1) Peningkatan koordinasi antar instansi dan antar unit dalam berbagai tingkatan dalam penanganan wabah penyakit menular yang dilakukan oleh Menko Kesra, Gubernur, Bupati/Walikota , (2) Percepatan penyusunan kebijakan operasional dalam koordinasi pelaksanaan program antar pusat daerah yang mencakup aspek perencnaaan, pelaksanaan (monitoring), serta pelaporan (evaluasi), (3) Mengurangi secara bertahap dominasi peran pengelolaan program oleh pusat melalui pendelegasian kewenangan ke daerah serta peningkatan profesionalisme pengelola program di daerah, (4) Memperkuat kapasitas dan kapabilitas Puskesmas sebagai unit terdepan dalam operasionalisasi surveilans dan penanggulangan wabah penyakit menular, malalui (i) Peningkatan dukungan dana yang memadai dari APBN maupun APBD, (ii) Penyempurnaan SOP sesuai local specific, (iii) Peningkatan kualitas sistem pelaporan melalui ketepatan data, analisis, validasi dan pengembangan respond system, dan sistem kewaspadaan dini (early warning system), (iv) Optimalisasi penggunaan sarana dan prasarana dengan melibatkan peran aktif masyarakat, (5) Meningkatkan peran dan tanggung jawab Pemerintah Daerah melalui intensifikasi kegiatan sosialisasi, advokasi, promosi dan koordinasi, (6) Meningkatkan kemampuan tenaga pengendalian penyakit untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan faktor risiko, (7) Melakukan bimbingan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan pencegahan dan penanggulangan faktor resiko, (8) Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis pencegahan dan penanggulangan faktor resiko, surveilans epidemiologi dan penanggulangan KLB/wabah, (9) Membangun dan mengembangkan kemitraan, jejaring kerja informasi dan konsultasi teknis peningkatan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) pencegahan dan pemberantasan penyakit, (10) Diperlukan dukungan dalam bentuk peraturan perundangan dalam meningkatkan komitmen para pihak di daerah dalam rangkan pencegahan dan penanggulangan DBD, (11) Diperlukan model manajemen pemberantasan penyakit dan penyehatan lingkungan secara terintegrasi yang berbasis wilayah kabupaten/kota dalam perspektif

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

    v

    komprehensif. Serta didukung jaringan dan kerjasama erat baik antar wilayah dan adimistrasi pemerintah maupun diantara para pelaku pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan itu sendiri dalam satu wilayah. Implikasi Kebijakan dan Rencana Tindak Lanjut mencakup aspek-aspek: (1) Kelembagaan, diperlukan revitalisasi peran kelembagaan khususnya kelembagaan Puskesmas. Sebagai perangkat utama Kesehatan, Puskesmas perlu diperkuat dengan kapasitas manajemen pelayanan untuk kegiatan yang bersifat promotif, preventif, dan rehabilitatif, selain kuratif. Dukungan pendanaan serta tenaga dan sarana dalam rangka pelaksanaan operasional pencegahan dan penanggulangan (preventif, promotif dan rehabilitatif) menyertai peran dimaksud secara memadai. (2) Pendanaan, perlu terus dikembangkan pola pendanaan sistem jaminan kesehatan seperti askeskin sehingga kepastian dana sampai kepada masyarakat terjamin, sekaligus menjamin setiap masyarakat terlayani untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, (3) Data dan Informasi, perlu di kelola secara profesional dan berkesinambungan dengan memanfaatkan teknologi yang tepat dan mudah diaplikasikan serta dimungkinkan adanya Pusat Informasi Penanaganan DBD (DBD Center). Keberadaan data dan informasi yang akurat dan sinambung menjadi salah satu indikator kinerja pembangunan kesehatan, (4) Ketenagaan, mendorong terbangunnya motivasi dan komitmen para pelaksana pembangunan kesehatan di lapangan sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan. Motivasi dankomitmen selain muncul atas kesadaran memerlukan dukungan eksternal dalam bentuk insentif, (5) SOP, dibuat sesederhana mungkin agar memudahkan pelaksanaan operasional tenaga lapangan dan distribusikan.

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

    vi

    KATA PENGANTAR Dengan memanjat puji dan syukur pada Allah SWT, akhirnya Kajian

    Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Kajian ini dilatarbelakangi adanya kecenderungan terus meningkatnya wabah penyakit menular di berbagai daerah di Indonesia, khususnya kasus Demam Berdarah dengue (DBD). Selain penyakit menular yang telah lama ada, penyakit menular baru (new emerging diseases) juga menunjukkan peningkatan. Kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular telah diatur dalam peraturan perundangan. Namun demikian implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai permasalahan. Kasus penyakit menular dalam kajian ini adalah Demam Berdarah Dengue (DBD).

    Pelaksanaan kajian telah melibatkan Deputi bidang SDM dan Kebudayaan Bappenas, Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat serta seluruh staf di lingkungan Direktorat Kesehatan dan Gizi Masyarakat Bappenas serta melibatkan nara sumber dari Departemen Kesehatan, khususnya Subdit Arbovirosis, Pemerintah Daerah, Dinas Teknis terkait, Perguruan Tinggi, masyarakat serta FGD dari Bappenas. Banyak hal telah didapat dari pelaksanaan kajian ini, tidak saja dalam bentuk temuan tetapi juga pengalaman proses pelaksanaan survey lapangan yang dilakukan sampai ke tingkat Puskesmas dan pelosok masyarakat untuk melakukan wawancara dan diskusi. Hasil temuan dan kesimpulan dirumuskan menjadi suatu rekomendasi kebijakan yang diharapkan dapat memperbaiki kebijakan dalam penanggulangan wabah penyakit menular, khususnya dalam penanganan kasus demam berdarah. Selanjutnya berdasarkan rekomendasi yang dirumuskan, dibuat implikasi kebijakan yang harus menjadi langkah tindak lanjut, baik di di tingkat kebijakan makro (RKP) maupun dalam bentuk kebijakan teknis yang perlu di tindak lanjuti oleh departemen/instansi teknis maupun instansi terkait lainnya.

    Tiada gading yang tak retak. Hasil kajian ini jelas belum menggambarkan kondisi utuh pelaksanaan kabijakan sehingga langkah kebijakan yang diambil pun tidak luput dari bias dari peneliti dan pengkaji. Unuk itu saran dan masukan guna penyempurnaan hasil kajian ini secara terbuka dinantikan.

    Ucapan terima kasih pada seluruh pihak yang telah memberikan kontribusi pada pelaksanaan kajian ini mulai dari tim perumus rekomendasi kebijakan, para nara sumber, anggota FGD, serta responden di dinas kesehatan propinsi dan dinas kesehatan kabupaten/kota, bappeda serta masyarakat.

    Mudah-mudahan laporan kajian ini memliki kontribusi substansial bagi penataan kebijakan di bidang kesehatan maupun menjadi salah satu referensi bagi penelitian kebijakan selanjutnya maupun untuk kepentingan bersifat akademis.

    Jakarta, Desember 2006 Tim Perumus Rekomendasi Kebijakan

    1. DR. Arum Atmawikarta, SKM, MPH 2. DR. Hadiat, MA 3. Dadang Rizki Ratman, SH, MPA 4. Ir. Yosi Diani Tresna, MPM 5. Sularsono, SP, ME 6. Pungkas Bahjuri Ali, STP, MS 7. Inti Wikanestri, SKM 8. Nurlaili Aprilianti

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

    vii

    DAFTAR ISI Ringkasan Eksekutif - i Kata Pengantar - vi BAB 1 : PENDAHULUAN - 1

    1.1 Latar Belakang - 1 1.2 Perumusan Masalah - 5 1.3 Tujuan dan Sasaran 5 1.4 Keluaran Kajian - 6 1.5 Ruang Lingkup Kajian - 6 1.6 Sistematika Penulisan - 6

    BAB 2 : LANDASAN TEORI - 8

    2.1 Penyakit Menular di Indonesia 8 2.2 Surveilans Epidemiologi 8 2.3 Kebijakan Sistem Surveilans 10 2.4 Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan 11 2.5 Penanggulangan Wabah Penyakit Menular 14 2.6 Epidemiologi Global Penyakit 16 2.7 Strategi Pengendalian Penyakit 18 2.8 Kejadian Luar Biasa 18 2.9 Penyakit Demam Berdarah 20

    - Kendala Pencegahan DBD 21 - Tatalaksana Penanggulangan DBD 23 - Peran Masyarakat dalam Penanggulangan DBD - 25

    BAB 3 : METODOLOGI - 27

    3.1 Kerangka Pemikiran 27 3.2 Disain Kajian - 29 3.3 Jenis dan Sumber Data 30 3.4 Responden Kajian 31 3.5 Lokasi Kajian 32 3.6 Teknik Analisis 32

    BAB 4 : HASIL DAN PEMBAHASAN - 33

    4.1 Implementasi Kebijakan Penanggulangan DBD 33 4.1.1 Incidence Rate (IR) dan Case Fatalities Rata (CFR) 33 4.1.2 Kebijakan Penanggulangan Penyakit DBD 35 4.1.3 Kendala Penanggulangan DBD 41 4.2 Kinerja Surveilans dan Penanggulangan DBD 41 4.2.1 Indikator Kinerja Surveilans dan Penanggulangan KLB 42 4.2.2 Faktor-faktor Berpengaruh terhadap Kinerja Surveilans dan Kinerja Penangulangan KLB 46 (1) Tenaga - 46 (2) Dana 51 (3) Standar Operasi dan Prosedur 53 (4) Data 56 (5) Sarana 57

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

    viii

    4.3 Peran dan Tanngung Jawab Pememrintah Daerah dalam Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit DBD 59

    4.3.1 Kewenangan Daerah dan Stndar Pelayanan Minumum 59 4.3.2 Peran Pemerintah Daerah Dalam Penanggulangan DBD 61 4.3.3 Koordinasi Antar Sektor 63

    BAB 5 : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN - 65

    5.1 Kesimpulan 65 5.2 Rekomendasi Kebijakan 68 5.3 Implikasi Kebijakan - 68

    DAFTAR PUSTAKA - 70 DAFTAR LAMPIRAN - LAMPIRAN 1: Instrumen Kajian 72 LAMPIRAN 2: Pelaksanaan Kegiatan dan Pembahasan 76 LAMPIRAN 3 : Struktur Organisasi/Tim Pelaksana LAMPIRAN 4: Notulen Pembahsan Dengan Tim Pakar 81 LAMPIRAN 5 : Pokok-Pokok Pikiran Hasil Ekspose dengan Tim Ahli 83 LAMPIRAN 6 : Laporan Pelaksanaan Survey 86

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

    ix

    DAFTAR TABEL Tabel 1.1 : Sepuluh Penyakit Utama Pada Pasien Rawat Inap Tahun 2003 2

    Tabel 1.2 : Target dan Capaian Pemberantasan Penyakit DBD - 4

    Tabel 2.1 : Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan 12

    Tabel 3.1 : Responden Kajian 31

    Tabel 4.1 : Distribusi Indikator Kinerja Surveilans di Dinkes Propinsi,

    Kab/kota, Rs dan Puseksmas 42

    Tabel 4.2 : Distribusi Indikator Diseminasi Informasi Surveilans di Dinkes

    Propinsi, Kab/Kota, RS dan Puskesmas 44

    Tabel 4.3 : Distribusi Jenis Tenaga di Dinkes Propinsi dan Kab/Kota 47

    Tabel 4.4 : Distribusi Jenis Tenaga di Rumah Sakit dan Puskesmas 48

    Tabel 4.5 : Persepsi Responden Tentang Surveilans DBD 49

    Tabel 4.6 : Persepsi Responden Tentang Penanggulangan DBD 50

    Tabel 4.7 : Distribusi Sumber Dana di Dinkes Propinsi dan Kab/Kota 51

    Tabel 4.8 : Distribusi Sumber Dana di Rumah Sakit dan Puskesmas 52

    Tabel 4.9 : Distribusi Ketersediaan SOP Surveilans dan Dinkes Propinsi,

    Kab/Kota, RS dan Puskesmas 54

    Tabel 4.10 : Distribusi Ketersediaan SOP Penanggulangan KLB di Propinsi,

    Dinkes Kab/Kota, RS dan Puskesmas 55

    Tabel 4.11 : Distribusi Ketersediaan Data Surveilans di Dinkes Propinsi, Dnkes

    Kab/Kota, RS dan Puskesmas 56

    Tabel 4.12 : Distribusi Ketersediaan Data Penanggulangan KLB Propinsi, Dikes

    Kab/Kota, RS dan Puskesmas 57

    Tabel 4.13 : Distribusi Ketersediaan Sarana Surveilans di Dinkes Propinsi,

    Kab/Kota , RS dan Puskesmas 58

    Tabel 4.14 : Distribusi Ketersediaan Sarana Penanggulangan di Dinkes Propinsi,

    Kab/Kota , RS dan Puskesmas 58

    Tabel 4.15 : Daftar KW dan SPM Bidang Kesehatan 60

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

    x

    DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 : Alusr Distribusi Data Surveilans Terpadu Penyakit 10

    Gambar 2.2 : Skema Program Penanggulangan KLB 15

    Gambar 2.3 : Bagan Penanggulangan Fokus (Penanggulangan Penderita DBD di

    Lapangan) 24

    Gambar 3.1 : Kerangka Pikir Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit

    Menular 27

    Gambar 3.2 :Kerangka Konsep Kinerja Surveilans 28

    Gambar 3.3 : kerangka Konsep Kinerja Penanggulangan 28

    Gambar 3.4 : Tahapan Pelaksanan Kajian 32

    Gambar 4.1 : IR & CFR DBD Tahun 1968-2004 33

    Gambar 4.2 : Perkembangan Kasus DBD Nasional Per bulan 34

    Gambar 4.3 : Kasus DBD Per Bulan di Indonesia, Tahuan 2005-20006 34

    Gambar 4.4 : Jumlah Kasus DBD di Indonesia Tahun 2005-2006 35

    Gambar 4.5 : Data Kasus DBD di Lokasi Kajian 44

    Gambar 4.6 : Data Kematian DBD di Lokasi Kajian 45

    Gambar 4.7 : Case Fatality Rate (CFR) DBD di Lokasi Kajian 46

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

    xi

    DAFTAR SINGKATAN & DEFINISI ISTILAH 3 M : Menguras, Menutup, Mengubur ABJ : Angka Bebas Jentik APBN : Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara APBD : Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah Askeskin : Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin Bappeda : Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Bappenas : Badan Perencanaan Pembangunan Nasional COMBI : Communication for Behavioral Impact CFR : Case Fatality Rate DAU : Dana Alokasi Umum DBD : Demam Berdarah Dengue Dekon : Dekonsentrasi DOP : Dana Operasional Puskesmas DPRD : Dewan Perwakilan Daerah Epidemiologi : Ilmu yang mempeljari penyebaran penyakit dan faktor-faktor

    yang mempengaruhi kejadian penyakit pada manusia Epidemiologis: Orang yang ahli dalam ilmu epidemiologi FGD : Focused Group Discussion Gakin : Keluarga Miskin HIV/AIDS : Human Immuno deficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency

    Syndrome IPTEK : Ilmu Pengetahuan dan Teknologi IR : Incidence Rate ISPA : Infeksi Saluran Pernafasan Akut JPK-MM : Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat miskin KIE : Komunikasi, Informasi dan Edukasi KLB : Kejadian Luar Biasa LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat MDGs : Millennium Development Goals P2B2 : Penanggulangan Penyakit Bersumber Binatang P2M : Pemberantasan Penyakit Menular PE : Penyelidikan Epidemiologi PHBS : Pola Hidup Bersih dan Sehat PI : Perencanaan dan Informasi PJB ; Pemeriksaan Jentik Berkala PKK : Pembinaan Kesejahteraan Kelaurga PKPS-BBM : Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak Pokjanal : Kelompok Kerja Operasional Posyandu : Pos Pelayanan Terpadu PP & PL : Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan PSN : Pemberantasan Sarang Nyamuk Puskesmas : Pusat Kesehatan Masyarakat RSUD : Rumah Sakit Umum Daerah SARS : Severe Acute Respiratory Syndrome SKD-KLB : Sistem Kesiapan Dini Kejadian Luar Biasa SOP : Standar Operasional Prosedur SDM : Sumber Daya Manusia SKM : Sarjana Kesehatan Masyarakat

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Wabah Penyakit Menular

    xii

    SPIRS : Sistem Pelaporan Rumah Sakit SP2PT : Sistem Pencatatan Pelaporan Terpadu Puskesmas SST : Sistem Surveilans Terpadu STP : Surveilans : Rangkaian kegiatan secara teratur dan terus menerus, secara

    aktif maupun pasif dalam mengamati, mengumpulkan, emnganalisis, dan menginterpretasi suatu fenomena peristiwa kesehatan pada manusia/masyarakat tertentu yang hasilnya dipakai untuk melakukan tindakan terhadap peristiwa kesehatan tersebut

    TBC : Tuberculosis TPA : Tempat Penampungan Air UGD : Unit Gawat Darurat UKS : Usaha Kesehatan Sekolah UPT : Unit Pelaksanan Teknis Wabah : Suatu peningkatan kejadian kesakitan dan atau kematian suatu

    penyakit di suatu tempat tertentu, yang melebihi keadaan biasanya

    WHO : World Health Organization Yanmedik : Pelayanan Medik

  • Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular

    BAB 1 PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    a. Kondisi Umum Pembangunan Kesehatan

    Pembangunan kesehatan di Indonesia ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, yang ditandai dengan penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata. Pembangunan kesehatan selama ini secara umum dapat dilihat dari status kesehatan dan gizi masyarakat yang telah menunjukkan perbaikan seperti terlihat dari angka kematian bayi, kematian ibu melahirkan dan prevalensi gizi kurang. Angka kematian bayi menurun dari 46 (1997) menjadi 35 per 1.000 kelahiran hidup (20022003) dan angka kematian ibu melahirkan menurun dari 334 (1997) menjadi 307 per 100.000 kelahiran hidup (2002-2003). Umur harapan hidup meningkat dari 65,8 tahun (1999) menjadi 66,2 tahun (2003). Prevalensi gizi kurang (underweight) pada anak balita, telah menurun dari 34,4 persen (1999) menjadi 25,8 persen (2002).

    Di samping kemajuan yang telah dicapai di atas, di masa datang pembangunan kesehatan menghadapi berbagai permasalahan dan tantangan yang cukup berat. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN seperti Thailand, Malaysia, dan Philipina, status kesehatan masyarakat Indonesia masih tertinggal. Disparitas status kesehatan masih cukup tinggi, baik ditinjau dari tingkat sosial ekonomi, antar kawasan, dan antar perkotaan-perdesaan. AKB dan AKI lebih tinggi di daerah perdesaan, di kawasan timur Indonesia, serta pada penduduk dengan tingkat ekonomi dan pendidikan rendah.

    Selain itu, indikator kesehatan dan gizi yang telah dicapai selama ini masih jauh dari sasaran yang telah ditargetkan dalam Millennium Development Goals (MDGs). MDGs merupakan suatu kesepakatan global, sebagai benchmarks untuk mengukur perkembangan dalam pencapaian Deklarasi Millenium 2000. Beberapa target MDG yang ingin dicapai pada akhir tahun 2015, yang berkaitan dengan pembangunan kesehatan di Indonesia antara lain adalah: (1) mengurangi separuh penduduk yang mengalami kelaparan, (2) mengurangi dua per tiga angka kematian bayi dan angka kematian balita, (3) mengurangi tiga per empat angka kematian ibu, (4) menekan penyebaran penyakit HIV/AIDS, (5) menekan penyebaran penyakit malaria dan TBC, (6) meningkatkan akses terhadap obat esensial, dan (7) mengurangi separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses terhadap penyediaan air bersih.

    Masalah kesehatan dapat disebabkan oleh berbagai sebab, oleh karena itu secara operasional masalah-masalah kesehatan tidak dapat diselesaikan oleh

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 2

    sektor kesehatan sendiri. Diperlukan tatalaksana terintegrasi dan komprehensif dengan kerjasama yang harmonis antar sektor dan antar program. Untuk itu perlu dikembangkan subsistem surveilans epidemiologi kesehatan yang terdiri dari Surveilans Epidemiologi Penyakit Menular, Surveilans Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, Surveilans Epidemiologi Masalah Kesehatan, dan Surveilans Epidemiologi Kesehatan Matra.

    b. Penyakit Menular

    Penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia, disamping mulai meningkatnya masalah penyakit tidak menular. Penyakit menular tidak mengenal batas-batas daerah administratif, sehingga pemberantasan penyakit menular memerlukan kerjasama antar daerah, misalnya antar propinsi, kabupaten/kota bahkan antar negara. Beberapa penyakit menular yang menjadi masalah utama di Indonesia adalah diare, malaria, demam berdarah dengue, influenza, tifus abdominalis, penyakit saluran pencernaan dan penyakit lainnya.

    Tabel 1.1

    Sepuluh Penyakit Utama Pada Pasien Rawat Inap Tahun 2003 No Pasien Rawat inap % 1 Diare dan gastroenteritis infeksi tertentu 8,0 2 Demam berdarah dengue 3,7 3 Penyakit kehamilan dan persalinan lainnya 2,9 4 Demam tifoid dan paratifoid 2,7 5 Cedera intrakanial 2,0 6 Tuberkulosis paru 1,9 7 Demam yang sebabnya tidak tahu 1,9 8 Diabetes Melietus 1,9 9 Cedera YDT lainnya, YYT dan daerah badan multiple 1,8 10 Pneumonia 1,6

    Salah satu penyakit menular yang akhir-akhir ini menonjol adalah munculnya kasus polio di beberapa wilayah seperti Provinsi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Lampung dan Sumatera Selatan. Polio merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya disebabkan oleh virus yang menyerang sistem syaraf dan bisa menyebabkan kelumpuhan total. Satu dari 200 kasus infeksi virus akan menyebabkan kelumpuhan, 5-10 % pasien meninggal akibat kelumpuhan pada otot pernafasan. Tidak ada obat untuk penyakit polio. Penyakit ini hanya bisa dicegah dengan imunisasi.

    Berbagai emerging diseases misalnya polio dan flu burung dapat terjadi antara lain karena tingginya mobilitas penduduk antar negara. Dengan demikian penularan penyakit antar negara (trans-nasional) ini dapat terjadi dengan mudah mengingat semakin mudahnya transportasi manusia, hewan dan lain-lain antar

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 3

    negara. Oleh karena itu perlu upaya ekstra agar penularan dapat dicegah dan ditangani sedini mungkin.

    Pola penyakit yang diderita oleh masyarakat sebagian besar adalah penyakit infeksi menular seperti tuberkulosis paru, infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), malaria, diare, polio dan penyakit kulit. Namun demikian, pada waktu yang bersamaan terjadi peningkatan penyakit tidak menular seperti penyakit jantung dan pembuluh darah, serta diabetes mellitus dan kanker. Indonesia juga menghadapi emerging diseases seperti demam berdarah dengue (DBD), HIV/AIDS, chikunguya, Severe Acute Respiratory Syndrom (SARS) dan Flu Burung. Dengan demikian telah terjadi transisi epidemiologi sehingga Indonesia menghadapi beban ganda pada waktu yang bersamaan (double burden).

    Kebijakan penanggulangan penyakit menular khususnya dalam penanggulangan wabah telah diatur dalam bentuk peraturan perundangan, yaitu UU No 4 Tahun 1984 tentang Penyakit Menular serta Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Penyakit Menular. Peraturan tersebut pada intinya mengatur (1) tata cara penetapan dan pencabutan penetapan daerah wabah , (2) upaya penanggulangan, (3) peran serta masyarakat, (4) pengelolaan bahan-bahan yang mengandung penyebab penyakit, (5) ganti rugi dan penghargaan, (6) pembiayaan penanggulangan wabah, serta (7) pelaporan.

    Salah satu penyakit menular yang merupakan masalah kesehatan masyarakat dan menimbulkan dampak sosial maupun ekonomi adalah penyakit demam berdarah dengue (DBD). Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di wilayah tropis. Daerah endemis tersebar di sebagian besar wilayah Indonesia, dan berulang kali menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) disertai kematian yang banyak. Penyakit yang ditularkan melalui nyamuk Aedes aegypti ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti lingkungan domestik maupun iklim, demografi, sosial ekonomi dan perilaku.

    Berbagai penelitian mengenai faktor risiko terhadap kejadian DBD telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan memberikan hasil yang selaras maupun yang kontradiktif. Walaupun demikian, pada umumnya kajian menunjukkan bahwa pengendalian DBD perlu dilakukan secara komprehensif dari berbagai aspek baik medis maupun sosial, dengan keterlibatan petugas kesehatan maupun pemberdayaan masyarakat.

    Meskipun sudah lebih dari 35 tahun berada di Indonesia, DBD bukannya terkendali, tetapi bahkan semakin mewabah. Sejak Januari sampai 17 Maret 2004, kejadian luar biasa (KLB) DBD di Indonesia telah menyerang 39.938 orang dengan angka kematian 1,3 persen. Meskipun dibandingkan dengan KLB 1968 angka kematiannya jauh telah menurun, sebenarnya angka kematian masih terlalu tinggi jika dibandingkan dengan Singapura (0,1 persen), India (0,2 persen), Vietnam (0,3 persen), Thailand (0,3 persen), Malaysia (0,9 persen), dan Filipina (1 persen).

    Dalam KLB 2004 tercatat angka kejadian (incidence rate) 15 per 100.000 penduduk, padahal tujuan program pemberantasan DBD dalam Indonesia Sehat 2010 adalah menurunkan angka kejadian di bawah 5 per 100.000 penduduk pada tahun 2010. DBD masih sulit diberantas karena tidak tersedianya vaksin dan

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 4

    kurangnya peran serta masyarakat. Ketiadaan vaksin merupakan penghambat utama eradikasi DBD. Meskipun demikian, saat ini perkembangan vaksin masih memerlukan penelitian lebih lanjut agar dapat digunakan ke manusia.

    Pemerintah sejak tahun 1993 telah berusaha membina peran serta masyarakat melalui berbagai kelompok kerja pemberantasan DBD di desa atau kelurahan. Gerakan pemberantasan sarang nyamuk dengan instrumen 3M (menguras, menutup, dan mengubur) sudah sering disosialisasikan namun hasilnya belum menggembirakan. Gerakan 3M selama 30 menit setiap minggu juga dicanangkan. Semuanya menyadari bahwa strategi hanya dapat diperoleh dengan melaksanakan analisis situasi berdasarkan aspek epidemiologi, entomologi, pengetahuan, dan sikap masyarakat.

    Berdasarkan data Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan, rasio penderita DBD per 100.000 penduduk selama periode tahun 2001-2005 selalu menunjukkan diatas rasio yang ditargetkan. Data ini selain menunjukkan kecenderungan makin tingginya penderita DBD dari tahun ke tahun, juga masih belum optimalnya pengendalian penyakit yang dilakukan oleh Pemerintah.

    Tabel 1.2 Target dan Capaian Pemberantasan Penyakit DBD

    TARGET DAN CAPAIAN PEMBERANTASAN DBD

    0

    20

    40

    60

    TAHUN

    RASI

    O

    Target 5.7 5 4.5 4 10

    Realisasi 21.66 19.25 24.34 37.1 43.31

    2001 2002 2003 2004 2005

    Sumber: Ditjen PP & PL Depkes, 2006

    Kebijakan penanggulangan penyakit menular telah diatur dalam peraturan perundangan. Namun demikian implementasi di lapangan masih menghadapi berbagai permasalahan. Beberapa permasalahan yang teridentifikasi antara lain berkaitan dengan (1) pelaksanaan surveilans, (2) upaya penanggulangan, serta (3) adanya desentralisasi kewenangan pengelolaan.

    Berdasarkan hasil penelitian WHO Tahun 2003 dilaporkan bahwa pelaksanaan kegiatan surveilans masih menghadapi kendala. Kendala yang dihadapi antara lain berkaitan dengan (1) kebijakan sistem surveilans yang belum dipahami sampai ke petugas teknis di lapangan, (2) terbatasnya tenaga pelaksana

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 5

    surveilans, (3) adanya ketidaksesuaian kompetensi, (4) terbatasnya dana pelaksanaan surveilans di tingkat operasional, dan (5) belum optimalnya penggunaan sarana kesehatan dalam mendukung pelaksanaan surveilans penyakit seperti pemanfaatan laboratorium dan peralatan.

    Permasalahan yang dihadapi dalam penanggulangan wabah terutama berkaitan dengan aspek manajemen menyangkut kesiapan tenaga lapangan, dukungan logistik, fasilitas pendukung, dana serta sistem pelaporan.

    Berkaitan dengan desentralisasi kewenangan pengelolaan kebijakan pembangunan (otonomi daerah), adanya regulasi pemerintahan dalam bentuk UU No. 22 dan 25 tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No. 32 dan 33 Tahun 2005 telah memberikan pembagian kewenangan dalam pengelolaan pemerintahan di daerah. Reformasi pemerintahan tersebut memberi dampak perubahan cukup signifikan terhadap peran pemerintah dan swasta dalam program dan pelayanan kesehatan. Adanya otonomi daerah ini juga berpengaruh terhadap peran dan tanggung jawab Kabupaten/Kota/Propinsi untuk mengembangkan diri sesuai masalah kesehatan masyarakat, kemampuan SDM dan sumber dana daerah.

    1.2 Perumusan Masalah

    Berdasarkan permasalahan di atas, beberapa pertanyaan penelitian yang melandasi kajian ini antara lain adalah :

    1. Faktor-faktor apa saja yang mwempengaruhi kinerja surveilans dan penaggulangan penyakit menular ?

    2. Langkah-langkah apa yang diperlukan untuk penanggulangan penyakit menular, mencakup aspek tenaga, dana, sarana, SOP dan data ?

    3. Bagaimana peran dan tanggungjawab (kewenangan) pemerintah daerah dalam penanggulangan penyakit menular ?

    1.3 Tujuan dan Sasaran Tujuan Tujuan utama kajian adalah menyusun rumusan kebijakan penanggulangan penyakit menular secara terpadu berdasarkan analisis faktor-faktor yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan penanggulangan penyakit menular di pusat dan daerah.

    Tujuan khusus : 1. Identifikasi kinerja surveilans serta faktor-faktor yang mempengaruhi

    kinerja surveilans penyakit menular 2. Identifikasi kinerja penanggulangan penyakit menular serta faktor-faktor

    yang mempengaruhi kinerja penanggulangan penyakit menular 3. Identifikasi peran dan tanggungjawab Pemerintah Daerah dalam

    penanggulangan penyakit menular

    Sasaran

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 6

    Tersusunnya rumusan kebijakan upaya penanggulangan penyakit menular secara terpadu melalui optimalisasi sumberdaya yang tersedia sekaligus sebagai acuan bagi pelaksanaan program penanggulangan penyakit menular di pusat dan daerah. 1.4 Keluaran

    Keluaran kajian adalah rumusan kebijakan penanggulangan penyakit menular yang mencakup aspek surveilans, penanganan wabah, serta tanggung jawab dan kewenangan antara pusat dan daerah.

    1.5 Ruang Lingkup

    Kajian ini difokuskan pada evaluasi kebijakan penanggulangan penyakit menular yang telah dilakukan selama ini. Lingkup kegiatan yang akan dilakukan dalam kajian ini antara lain, adalah :

    1. Identifikasi kinerja surveilans yang mencakup (1) ketersediaan peta rawan KLB DBD, dan (2) pelaksanaan diseminasi informasi

    2. Identifikasi faktor berpengaruh terhadap kinerja surveilans mencakup kondisi tenaga, dana, data, sarana, dan SOP.

    3. Identifikasi kinerja penanggulangan KLB DBD yang mencakup frekuensi KLB, jumlah kasus, jumlah kematian dan luas daerah terserang

    4. Identifikasi faktor berpengaruh terhadap kinerja penanggulangan KLB DBD mencakup tenaga, dana, data, sarana dan SOP

    5. Identifikasi peran dan tanggung jawab daerah dalam penanganan penyakit menular khususnya pada kasus DBD.

    1.6 Sistematika Penulisan Penulisan laporan dibuat dengan sistematika sebagai berikut: Bab I membahas tentang latar belakang, tujuan dan sasaran kajian,

    keluaran serta ruang lingkup kajian. Bab II membahas tentang landasan teori mencakup pengertian dan hasil

    kajian yang sudah dilakukan. Bab III membahas tentang metodologi yang digunakan berkaitan dengan

    kerangka pemikiran, disain kajian, jenis, sumber, dan pengumpulan data serta metode analisis.

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 7

    Bab IV Hasil dan Pembahasan, mencakup Gambaran Umum Penanggulangan DBD, Kinerja Surveilans dan Penanggulangan DBD, Indikator kinerja surveilans dan penanggulangan KLB, Faktor-faktor Berpengaruh terhadap Kinerja Surveilans dan Penanggulangan KLB, mencakup tenaga, dana, data, sarana dan SOP.

    Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan.

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 8

    BAB 2 LANDASAN TEORI

    2.1 Penyakit Menular di Indonesia

    Penyakit menular masih merupakan masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia, disamping mulai meningkatnya masalah penyakit tidak menular. Penyakit menular tidak mengenal batas-batas daerah administratif, sehingga pemberantasan penyakit menular memerlukan kerjasama antar daerah, misalnya antar propinsi, Kabupaten/kota bahkan antar negara. Beberapa penyakit menular yang menjadi masalah utama di Indonesia adalah diare, malaria, demam berdarah dengue, influenza, tifus abdominalis, penyakit saluran pencernaan dan penyakit lainnya.

    Strategi pengendalian penyakit menular secara umum pada dasarnya sama, yakni menghilangkan sumber penyakit dengan cara menemukan dan mencari kasus secara proaktif, kemudian melakukan pengobatan hingga sembuh. Intervensi faktor resiko, misalnya lingkungan dan intervensi terhadap perilaku. Manajemen pemberantasan dan pengendalian penyakit menular juga memiliki dua perspektif: a. Epidemiologi global yakni perjalan penyakit antar benua. b. Epidemiologi lokal yang intinya dinamika tranmisi penyakit tertentu pada

    wilayah tertentu.

    Indonesia sebagai wilayah tropik dan wilayah dinamik secara sosial ekonomi, merupakan kawasan endemik berbagai penyakit menular. Sekaligus merupakan kawasan yang berpotensi tinggi untuk hadirnya penyakit infeksi baru. Beberapa penyakit infeksi baru (ketika itu) dan kini endemik adalah demam berdarah dengue (pertama kali tahun 1968 di Surabaya), virus hantaan (1977) dijumpai pada tikus diberbagai pelabuhan, kini diberbagai kota pelabuhan, HIV/AIDS (pertama kali di Denpasar 1987) kini merambah ke Indonesia. Penyakit lain merupakan penyakit infeksi endemik dan sudah lama di Indonesia dan endemik di berbagai kabupaten (daerah pegunungan maupun pantai) yaitu TBC dan Malaria. Masing-masing penyakit memiliki peta endemisitas tersendiri. Tiap tahun diselenggarakan pertemuan nasional semacam konvensi untuk melakukan monitoring kemajuan program serta perkuatan dari networking, yakni apa yang dikenal sebagai Sistem Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Semua institusi pelayanan seperti kuratif penyakit menular maupun pelayanan kesehatan masyarakat, pemerintah, swasta, orgfanisasi nonpemerintah, partner nonkesehatan, bergabung menjadi satu sistem. 2.2 Surveilans Epidemiologi Selama ini pengertian konsep surveilans epidemiologi sering dipahami hanya sebagai kegiatan pengumpulan data dan penanggulangan KLB. Pengertian

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 9

    seperti itu menyembunyikan makna analisis dan penyebaran informasi epidemiologi sebagai bagian yang sangat penting dari proses kegiatan surveilans epidemiologi. Menurut WHO, surveilans adalah proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interpretasi data secara sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk mengambil tindakan. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu definisi surveilans epidemiologi yang lebih mengedepankan analisis atau kajian epidemiologi serta pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa melupakan pentingnya kegiatan pengumpulan dan pengolahan data. Dalam sistem ini yang dimaksud dengan surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut agar dapat melakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efesien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan. Sistem surveilans epidemiologi merupakan tatanan prosedur penyelenggaraan surveilans epidemiologi yang terintehrasi antara unit-unit penyelenggara surveilans dengan laboratorium, sumber-sumber data, pusat penelitian, pusat kajian dan penyelenggara program kesehatan, meliputi tata hubungan surveilans epidemiologi antar wilayah Kabupaten/Kota, Propinsi dan Pusat.

    Jejaring Surveilans Jejaring surveilans digunakan dalam Surveilans terpadu penyakit adalah a. Jejaring surveilans dalam pengiriman data dan informasi serta peningkatan

    kemampuan manajemen surveilans epidemiologi antara Puskesmas, Rumah Sakit, Laboratorium, unit surveilans di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, unit surveilans di Dinas Kesehatan Propinsi dan unit surveilans di Ditjen PPM & PL Depkes, termasuk Puskesmas dan Rumah Sakit Sentinel. Alur distribusi data dan umpan balik dalam dilihat dalam skema di bawah.

    b. Jejaring surveilans dalam distribusi informasi kepada program terkait pusat-pusat penelitian, pusat-pusat kajian, unit surveilans program pada masing-masing Puskesmas, Rumah Sakit, Dinas Kesehatan Kab/Kota, Dinas Kesehatan Propinsi dan Ditjen PPM & PL Depkes termasuk Puskesmas Sentinel dan Rumah Sakit Sentinel

    c. Jejaring surveilans dalam pertukaran data, kajian, upaya peningkatan kemampuan sumberdaya antara unit surveilans Dinas Kesehatan Kab/Kota, unit surveilans Dinas Kesehatan Propinsi dan Unit Surveilans Ditjen PPM & PL Depkes.

    Surveilans Terpadu Penyakit merupakan proses kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dan sistematis, sehingga membutuhkan dukungan perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi serta dukungan sumberdaya yang memadai sebagai suatu program surveilans terpadu.

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 10

    2.3 Kebijakan Sistem Surveilans

    Surveilans Epidemiologi merupakan kegiatan yang sangat penting dalam manajemen kesehatan untuk memberikan dukungan data dan informasi epidemiologi agar pengelolaan program kesehatan dapat berdaya guna secara optimal. Informasi epidemiologi yang berkualitas, cepat, akurat merupakan evidance atau bukti untuk digunakan dalam proses pengambilan kebijakan yang tepat dalam pembangunan kesehatan.

    Untuk melakukan upaya pemberantasan penyakit menular, penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit dan keracunan, serta penanggulangan penyakit tidak menular diperlukan suatu sistem surveilans penyakit yang mampu memberikan dukungan upaya program dalam daerah kerja

    Unit Surveilans Ditjen PPM &

    PL Depkes

    Unit Surveilans Dinas Kesehatan

    Propinsi

    Unit Surveilans Dinas Kesehatan

    Kab/Kota

    Unit Surveilans Puskesmas

    Unit Surveilans Laboratorium

    Unit Surveilans Rumah Sakit

    Gambar 2.1 Alur Distribusi Data Surveilans Terpadu Penyakit

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 11

    Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional, dukungan kerjasama antar program dan sektor serta kerjasama antara Kabupaten/Kota, Propinsi, Nasional dan internasional. Pada tahun 1987 telah dikembangkan Sistem Surveilans Terpadu (SST) berbasis data, Sistem Pencatatan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP), dan sistem Pelaporan Rumah Sakit (SPIRS), yang telah mengalami beberapa kali perubahan dan perbaikan. Disamping keberadaan SST telah juga dikembangkan beberapa Sistem Surveilans khusus penyakit. Sistem surveilans tersebut perlu dikembangkan dan disesuaikan dengan ketetapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pemerintah Pusat dan Daerah; Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom; dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan serta kebutuhan informasi epidemiologi untuk mendukung upaya pemberantasan penyakit menular dan penyakit tidak menular. Beberapa produk hukum lain terkait dengan pelaksanaan surveilans epidemiologi adalah

    1. Undang-Undang No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular. 2. Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Penyakit

    Menular. 3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 560 tahun 1989 tentang Jenis Penyakit

    yang dapat menimbulkan wabah, tatacara penyampaian laporannya dan tacara penanggulangan seperlunya.

    4. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 242 tahun 2003 tentang Penetapan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah dan pedoman penanggulangannya.

    5. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 1116 tahun 2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Surveilans Epidemilogi Kesehatan.

    6. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 1479 tahun 2003 tentang Surveilans Terpadu Penyakit.

    7. Peraturan Menteri Kesehatan tentang Sistem Kewaspadan Dini KLB No. 949 tahun 2004.

    2.4 Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan

    Kinerja penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan diukur dengan indikator masukan, proses dan keluaran. Ketiga indikator tersebut merupakan satu kesatuan, dimana kelemahan salah satu indikator tersebut menunjukkan kinerja sistem surveilans yang belum memadai. Indikator-indikator tersebuat adalah sebagai berikut:

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 12

    Tabel 2.1 Indikator Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan

    Masukan Tingkat Indikator

    1. Pusat Unit utama Departemen Kesehatan memiliki a. 1 tenaga epidemiologi ahli (S3) b. 8 tenaga epidemiologi ahli (S2) c. 16 tenaga epidemiologi ahli (S1) d. 32 tenaga epidemiologi terampil UPT Departemen Kesehatan memiliki a. 2 tenaga epidemiologi ahli (S2) b. 4 tenaga epidemiologi ahli (S1) c. 4 tenaga epidemiologi terampil d. 1 tenaga dokter umum

    2. Propinsi a. 1 tenaga epidemiologi ahli (S2) b. 2 tenaga epidemiologi ahli (S1) c. 2 tenaga epidemiologi terampil d. 1 tenaga dokter umum

    3. Kabupaten/Kota a. 1 tenaga epidemiologi ahli (S2) b. 2 tenaga epidemiologi ahli (S1) atau terampil c. 1 tenaga dokter umum

    4. Rumah Sakit a. 1 tenaga epidemiologi ahli b. 1 tenaga epidemiologi terampil

    Tenaga

    5. Puskesmas 1 tenaga epidemiologi terampil 1. Pusat, Propinsi a. 1 paket jaringan elektromedia

    b. 1 paket alat komunikasi (telepon, faksimili, SSB dan telekomunikasi lainnya)

    c. 1 paket kepustakaan d. 1 paket pedoman pelaksanaan surveilans

    epidemiologi dan program aplikasi komputer

    e. 4 paket peralatan pelaksanaan surveilans epidemiologi

    f. 1 roda empat, 1 roda dua

    Sarana

    2. Kabupaten/Kota a. 1 paket jaringan elektromedia b. 1 paket alat komunikasi (telepon,

    faksimili, SSB dan telekomunikasi lainnya)

    c. 1 paket kepustakaan d. 1 paket pedoman pelaksanaan surveilans

    epidemiologi dan program aplikasi komputer

    e. 1 paket formulir

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 13

    f. 2 paket peralatan pelaksanaan surveilans epidemiologi

    g. 1 roda empat, 1 roda dua 3. Puskesmas dan

    Rumah Sakit a. 1 paket komputer b. 1 paket alat komunikasi (telepon,

    faksimili, SSB) c. 1 paket kepustakaan d. 1 paket pedoman pelaksanaan surveilans

    epidemiologi dan program aplikasi komputer

    e. 1 paket formulir f. 1 paket peralatan pelaksanaan surveilans

    epidemiologi g. 1 roda dua

    1. Pusat a. Kelengkapan laporan unit pelapor dan sumber data awal sebesar 80% atau lebih

    b. Ketepatan laporan unit pelapor dan sumber data awal sebesar 80% atau lebih

    c. Penerbitan buletin kajian epidemiologi sebesar 12 kali atau lebih setahun

    d. Umpan balik sebesar 80% atau lebih 2. Propinsi a. Kelengkapan laporan unit pelapor dan

    sumber data awal sebesar 80% atau lebih b. Ketepatan laporan unit pelapor dan

    sumber data awal sebesar 80% atau lebih c. Penerbitan buletin kajian epidemiologi

    sebesar 12 kali atau lebih setahun d. Umpan balik sebesar 80% atau lebih

    Proses Kegiatan Surveilans

    3. Kabupaten/Kota a. Kelengkapan laporan unit pelapor sebesar 80% atau lebih

    b. Ketepatan laporan unit pelapor sebesar 80% atau lebih

    c. Penerbitan buletin kajian epidemiologi sebesar 4 kali atau lebih setahun

    d. Umpan balik sebesar 80% atau lebih 1. Pusat Profil Surveilans Epidemiologi Nasional

    sebesar 1 kali setahun Profil Surveilans Epidemiologi Propinsi

    sebesar 1 kali setahun

    Keluaran

    Profil Surveilans Epidemiologi Kabupaten/ Kota sebesar 1 kali setahun

    Sumber: Inspektorat Jenderal Depkes RI, 2003 Selanjutnya Indikator Surveilans Kesehatan dijabarkan dalam Indikator Kinerja Penyelenggaraan terpadu Penyakit sebagai berikut:

    a. Kelengkapan laporan bulanan STP unit pelayanan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebesar 90%

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 14

    b. Ketepatan laporan bulanan STP Unit Pelayanan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Kota sebesar 80%

    c. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota mencapai indikator Epidemiologi STP sebesar 80%

    d. Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan Propinsi sebesar 100%

    e. Ketepatan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas Kesehatan Propinsi sebesar 90%

    f. Kelengkapan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Propinsi ke Ditjen PPM & PL Depkes sebesar 100%

    g. Ketepatan laporan bulanan STP Dinas Kesehatan Propinsi ke Ditjen PPM & PL Depkes sebesar 90%

    h. Distribusi data dan informasi bulanan Kabupaten/Kota, propinsi dan nasional sebesar 100%

    i. Umpan balik laporan bulanan Kabupaten/Kota, propinsi dan nasional sebesar 100%

    j. Penerbitan buletin Epidemiologi di Kabupaten/Kota adalah 4 kali setahun k. Penerbitan buletin Epidemologi di propinsi dan nasional adalah sebesar 12

    kali setahun l. Penerbitan profil tahunan atau buku data surveilans epidemiologi

    Kabupaten/Kota, Propinsi dan Nasional adalah satu kali setahun. 2.5 Penanggulangan Penyakit Menular

    Penanggulangan penyakit menular merupakan bagian dari pelaksanaan pembangunan kesehatan. Dalam upaya penanggulangan penyakit menular, harus dilakukan secara terpadu dengan upaya kesehatan lain, yaitu upaya pencegahan, penyembuhan dan pemulihan kesehatan. Oleh karena itu penanggulangan wabah harus dilakukan secara dini. Penanggulangan secara dini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya kejadian luar biasa dari suatu penyakit wabah yang dapat menjurus terjadinya wabah yang dapat mengakibatkan malapetaka. Wabah penyebaran penyakit dapat berlangsung secara cepat, baik melalui perpindahan, maupun kontak hubungan langsung atau karena jenis dan sifat dari kuman penyebab penyakit wabah itu sendiri. Kondisi lain yang dapat menimbulkan penyakit menular adalah akibat kondisi masyarakat dari suatu wilayah tertentu yang kurang mendukung antara lain kesehatan lingkungan yang kurang baik atau gizi masyarakat yang belum baik. Penanggulangan wabah penyakit menular bukan hanya semata menjadi wewenang dan tanggung jawab Departemen Kesehatan, tetapi menjadi tanggung jawab bersama. Oleh karena itu dalam pelaksanaan penanggulangannya memerlukan keterkaitan dan kerjasama dari berbagai lintas sektor Pemerintah dan masyarakat. Berbagai lintas sektor Pemerintah misalnya Departemen Pertahanan Keamanan, Departemen Komunikasi dan Informasi, Depatemen Sosial, Departemen Keuangan dan Departemen Dalam Negeri. Keterkaitan sektor-sektor dalam upaya penanggulangan wabah tersebut sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya dalam upaya penanggulangan wabah. Selain itu dalam upaya

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 15

    penanggulangan wabah tersebut, masyarakat juga dapat diikutsertakan dalam penanggulangannya, yang keseluruhannya harus dilaksanakan secara terpadu. Penanggulangan wabah/KLB penyakit menular diatur dalam UU No. 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, PP No. 40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Penyakit Menular, Peraturan Menteri Kesehatan No. 560 tentang Jenis Penyakit Tertentu Yang dapat Menimbulkan Wabah. Pada tahun 2000, Indonesia menerapkan secara penuh UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yamg kemudian diikuti dengan terbitnya PP No. 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan penanggulangan KLB. Undang-undang tersebut kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

    KLB penyakit dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kesakitan dan kematian yang besar, yang juga berdampak pada pariwisata, ekonomi dan sosial, sehingga membutuhkan perhatian dan penanganan oleh semua pihak terkait. Kejadian-kejadian KLB perlu dideteksi secara dini dan diikuti tindakan yang cepat dan tepat, perlu diidentifikasi adanya ancaman KLB beserta kondisi rentan yang memperbesar resiko terjadinya KLB agar dapat dilakukan peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan KLB.

    Data & Informasi Penduduk dan Lingkungan

    Data KLB dan Data Epidemiologi

    Lain

    Prioritas Penanggulangan

    KLB

    Perbaikan kondisi rentan KLB

    SKD-KLB

    Kesiapsiagaan Menghadapi KLB

    Penanggulangan KLB

    KLB tidak Menjadi Masalah

    Kesehatan Masyarakat

    Gambar 2.2 Skema Program Penanggulangan KLB

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 16

    2.6. Epidemiologi Global Penyakit Penyakit menular bersifat global. Misalnya, wilayah tropik secara umum memiliki karakteristik ekosistem sama, maka memiliki masalah yang sama seperti malaria. Peta endemisitas malaria terbentang dari Asia Tenggara, Afrika Tengah, hingga Amerika Latin. Dalam perspektif global, setiap sudut Kabupaten dan Kota di Indonesia harus dianggap sebagai bagian dari komunitas dunia. Maksudnya, kabupaten dan kota di Indonesia merupakan wilayah yang terkena resiko yang sama dalam perspektif global. Dengan demikian, kabupaten/kota terikat pada komitmen dunia. Penyebaran global memiliki potensi terjadinya pandemik. Seorang Kepala Dinas Kesehatan harus memahami benar apakah daerahnya termasuk lalulintas internasional atau bukan. Sebab, epidemiologi global harus pempelajari kejadian dan persebaran dalam perspektif dunia. Seperti asal datangnya penyakit, kemudian melalui apa penyakit tersebut datang. Sebagai contoh Avian influenza, KLB polio pada awal tahun 2005. Selain itu, migrasi berbagai binatang seperti migrasi burung antar benua bisa merupakan sumber pembawa penyakit. Atau perjalanan kelelawar yang dapat menyebarluaskan virus Nipah. Wilayah-wilayah yang merupakan jalur transmisi sebaiknya memiliki kapasitas dan aktif mengakses informasi. Misalnya, migrasi burung utara selatan dan sebaliknya, memiliki jalur barat yakni kawasan semenanjung Malaysia, Sumatera, Jawa. Sedangkan wilayah timur dari arah utara menyusur pantai timur China, Filipina, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Timur, kemudian langsung ke selatan menuju Australia, serta sebaliknya. Demikian juga dengan daerah wisata internasional. Dalam hal ini Dinas Kesehatan, LSM, maupun masyarakat hendaknya memiliki kapasitas terhadap permasalahan epidemiologi global. Termasuk petugas yang mengawasi jalur-jalur penerbangan internasional, hendaknya meningkatkan kemampuannya untuk mengahadapi globalisasi penyakit menular.

    Lintas Batas Penyakit menular bersifat lintas batas, terutama penyakit menular melalui transmisi serangga atau binatang yang memiliki reservoir. Binatang umumnya memiliki habitat tertentu dan terkait dan batasan ekosistem. Penyakit menular juga dapat berpindah atau bergerak dari satu wilayah ke wilayah lainnya melalui mobilitas penduduk sebagai sumber penularan maupun komoditas sebagai wahana transmisi. Dengan kata lain, penyakit menular tidak mengenal batas wilayah administratif pemerintah. Penyakit menular yang sifatnya relatif tertutup, lebih dipengaruhi oleh batasan ekosistem, ketimbang batasan administratif. Oleh karena itu, dua kabupaten berbatasan yang memiliki ekosistem penyakit yang sama wajib bekerjasama. Sedangkan wilayah yang sifatnya terbuka dengan teknologi transportasi jarak jauh, penyakit menular dipengaruhi mobilitas penduduk sebagai sumber penyakit. Hal ini memerlukan kerjasama global, dan mekanisme jaringan antar negara yang bersifat lintas batas. Seorang Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/kota yang berbatasan dengan negara lain, harus memahami hal ini. Dengan kata lain,

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 17

    dalam satu wilayah otonomi kabupaten, seorang kepala pengendalian penyakit harus mampu menemukan dan mengobati sumber penularan penyakit secara aktif. Yakni, penderita penyakit menular itu sendiri. Serta mengendalikan faktor risiko penyakit, dalam perspektif ekosistem maupun dinamika/mobilitas faktor risiko penyakit antar kabupaten, antar propinsi, antar negara. Untuk itu, memerlukan model manajemen pemberantasan penyakit dan penyehatan lingkungan secara terintegrasi yang berbasis wilayah kabupaten/kota dalam perspektif komprehensif. Serta didukung jaringan dan kerjasama erat baik antar wilayah dan adimistrasi pemerintah maupun diantara para pelaku pemberantasan penyakit menular dan penyehatan lingkungan itu sendiri dalam satu wilayah. Di lain pihak, desentralisasi berati mengharuskan manajemen penyakit menular melakukan pendekatan wilayah administratif. Di satu sisi, pendekatan wilayah kabupaten/kota membantu perencanaan dan pelaksanaan serta pelaksanaan program lebih fokus. Namun, seperti yang telah diuraikan sebelumnya hal-hal yang bersifat lintas batas berpotensi terabaikan. Desentralisasi juga memudahkan identifikasi faktor resiko yang bersifat lokal. Sehingga intervensi faktor resiko yang bersifat lokal lebih bisa mudah dikendalikan. Sebagai contoh, penularan Malaria di Kabupaten Banjarnegara berkenaan dengan nyamuk yang memiliki habitat kebun salak dan/atau kolam yang merupakan jamban keluarga, sekaligus sebagai mata air. Kemudian, di daerah Pacitan berkaitan dengan cekungan-cekungan padas di sungai-sungai, sedangkan di wilayah Riau risiko tertular malaria datang ketika sedang menyadap karet di pagi buta. Dengan memahami faktor-faktor yang berperan timbulnya penyakit menular khas daerahnya, maka perlu identifikasi mitra kerja untuk menangani faktor risiko tersebut. Kemudian ditentukan siapa saja yang harus diikutsertakan, mitra mana yang dianggap berkepentingan. Dengan demikian, secara teoritis Bupati atau Kepala Dinas Kesehatan secara efektif melakukan upaya pemberantasan penyakit menular yang bersifat spesifik lokal. Semua itu dituangkan dalam bentuk perencanaan yang didukung fakta (evidences) lokal, sehingga dapat meyakinkan pihak-pihak otoritas pendanaan seperti DPRD.

    Keterpaduan Untuk memvisualisasikan proses transmisi penyakit serta simpul manajemen, membutuhkan model manajemen penyakit menular berbasis wilayah kabupaten/kota. Didukung fakta hasil surveilans terpadu, untuk kepentingan perencanaan dan kegiatan berdasarkan keperluan (fakta). Analisis masing-masing faktor risiko dilakukan sekaligus dan terpadu melalui perencanaan. Kemudian keterpaduan dikaitkan dengan promosi kesehatan seperti penggunaan alat pelindung ketika bekerja, dan berbagai upaya lain secara bersama dengan lintas sektor. Keterpaduan pun termasuk penggunaan sumber daya, jadwal, penggunaan mikroskop, kendaraan, tenaga, intervensi holistik, antara stakeholder, antara penyakit. Bahkan keterpaduan surveilans yakni surveilans kasus sekaligus bersama-sama dengan faktor risiko terkait.

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 18

    2.7 Strategi Pengendalian Penyakit Strategi pemberantasan penyakit menular berbasis wilayah memiliki pengertian bahwa setiap wilayah administrasi pembangunan (kabupaten/kota) pemberantasan penyakit menggunakan paket pendekatan strategi sebagai berikut : (1) Intensifikasi Pencarian dan Pengobatan Kasus

    Melakukan pencarian dan pengobatan secara intensif terhadap penderita, selain mengobati dan menyembuhkan penderita yang juga merupakan upaya pokok untuk menghilangkan sumber penularan dengan cara pemutusan mata rantai penularan. Dalam satu wilayah kabupaten dapat dilakukan secara intensif dengan memperluas jangkauan pelayanan, seperti pemberdayaan tenaga semi-profesional terlatih misalnya juru Malaria Desa, Juru Kusta, dan sebagainya. Di masa mendatang sebaiknya diciptakan petugas lapangan penyakit menular setara dengan bidan di desa untuk menekan angka kematian ibu. Untuk penyakit tertentu yang membutuhkan konfirmasi laboratorium lebih tinggi, memerlukan bantuan pemeriksaan yang dilakukan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Penyelidikan Penyakit (Labkes) terdekat yang secara regional harus tersedia. Untuk beberapa penyakit menular yang memerlukan pengobatan jangka panjang seperti halnya TBC, harus ada jaminan ketersediaan obat dan jaminan disiplin menelan obat. Oleh sebab itu, keluarga terdekat atau tokoh masyarakat setempat dapat meminta bantuan Pengawas Menelan Obat (PMO).

    (2) Memberikan Perlindungan Spesifik dan Imunisasi Manajemen pengendalian penyakit menular dapat dilakukan dengan cara memberikan kekebalan secara artifisial yaitu imunisasi. Cakupan imunisasi amat penting karena dapat mencegah penyakit dalam satu wilayah. Namun, tentu saja tidak semua penyakit menular dapat dicegah dengan imunisasi. Untuk itu, perlu dilakukan upaya alternatif berupa pemberantasan penyakit yang berbasis lingkungan.

    2.8 Kejadian Luar Biasa (KLB)

    Kejadian Luar Biasa (KLB) yaitu munculnya penyakit di luar kebiasaan (base line condition) yang terjadi dalam waktu relatif singkat serta memerlukan upaya penanggulangan secepat mungkin, karena dikhawatirkan akan meluas, baik dari segi jumlah kasus maupun wilayah yang terkena persebaran penyakit tersebut. Kejadian luar biasa pertama di Indonesia dilaporkan oleh David Beylon di Batavia (Jakarta) pada tahun 1779. Namun, demam berdarah dengue baru dikenal pada tahun 1968 dalam KLB di Jakarta dan Surabaya dengan angka kematian sangat tinggi sekitar 41,3 persen.

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 19

    Menurut PP 40, tahun 1991, Bab 1, Pasal 1 Ayat 7, KLB adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan/kematian yang bermakna secara epidemologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus pada terjadinya wabah. Penanggungjawab operasional pelaksanaan penanggulangan KLB adalah Bupati/Walikota. Sedangkan penanggugjawab teknis adalah Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Bila KLB terjadi lebih dari satu wilayah kabupaten/kota maka penanggulangannya dikoordinasikan oleh Gubernur. Pengertian KLB seringkali dikacaukan dengan pengertian wabah. Penyakit menular adalah kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat dengan jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi keadaan yang lazim pada waktu daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka (UU Nomor 4, Tahun 1984, Bab I, Pasal 1). Kepala wilayah ketika mengetahui adanya tersangka di wilayah atau adanya tersangka penderita penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah, wajib melakukan tindakan secara cepat berupa penanggulangan seperlunya (UU Nomor 4, Tahun 1984, Bab IV, Pasal 12, Ayat 1). Kemudian kegiatan tersebut harus dilaporkan kepada Menteri Kesehatan secara berjenjang.

    Sedangkan yang menetapkan penyakit menular dan kemudian mencabut ketetapan tersebut adalah Menteri Kesehatan (UU Nomor 4, Tahun 1984, Pasal 4, Ayat 1 dan 2 serta PP Nomor 40, Tahun 1991, Pasal 2 sampai 5). Penetapan daerah wabah merupakan pertimbangan epidemologis dan keadaan masyarakat (mencakup keamanan, sosial, ekonomi dan budaya) yang disampaikan Kepala Daerah. Penetapan atau pencabutan daerah wabah diberlakukan dalam suatu wilayah Kabupaten/Kota. Sedangkan untuk penetapan dan pencabutan KLB hingga saat ini belum diatur, namun draft Permenkes menyebutkan Pemerintah Daerah atas usulan Kepala Dinas Kesehatan setempat menetapkan dan mencabut KLB.

    Penetapan KLB, dapat juga ditetapkan pada faktor risiko penyakit seperti bila terjadi ledakan gas beracun, ledakan industri, atau suhu yang meningkat sehingga menimbulkan populasi nyamuk atau ledakan gas, memang tidak lazim disebut sebagai KLB, namun terminologi ini digunakan untuk tujuan atau rumusan upaya antisipatif, prediktif, dan akhirnya berupa pencegahan.

    Apabila kita mencermati proses kejadiannya, KLB merupakan kejadian proses awal, pencermatan ini dikenal sebagai pencermatan pra-KLB. Misalnya, adanya indikasi peningkatan jumlah dan kepadatan vektor penular penyakit, terjadinya kerusakan hutan secara terus menerus, pemantauan kondisi kualitas lingkungan tertentu yang menurun, dan sebagainya.

    Manajemen pra-KLB termasuk sistem kewaspadaan dini, amat penting, tidak hanya mencegah terjadinya KLB, penanganan saat kejadian KLB dan pasca-KLB, informasi pra-KLB menjadi penting. Gempa bumi di sebuah wilayah endemik malaria memerlukan peta dimana pengungsi akan ditempatkan.

    Mengacu kepada teori simpul atau mengacu kepada patogenesis kejadian penyakit, KLB pada dasarnya merupakan suatu kejadian baik pada sumber penyakit (penyebab) dengan dinamika transmisi, serta korban kejadian penyakit yang berlangsung dalam tempo yang relatif singkat.

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 20

    Setiap KLB-apakah itu bencana alam, bencana lingkungan karena ulah manusia, konflik sosial maupun timbulnya penyakit baru seperti SARS, Avian influenza, atau penyakit infeksi lama-selalu memiliki dua makna manajemen, yakni manajemen kesehatan masyarakat untuk mengendalikan jatuhnya korban berikutnya.

    Manajemen KLB secara terintegrasi berbasis wilayah adalah juga manajemen dua bagian penting yang tak terpisahkan, dan harus dilakukan secara simultan dalam waktu relatif singkat, yakni : a. Manajemen kasus. b. Manajemen public health (manajemen faktor risiko)

    Manajemen public health atau manajemen kesehatan masyarakat, pada hakekatnya adalah manejemen faktor risiko kejadian KLB. Manajemen kasus maupun faktor risiko mencegah timbulnya eskalasi yang lebih luas. Manajemen kasus menjadi amat penting, khususnya saat penanganan KLB penyakit menular, untuk mencegah terjadinya penularan penyakit lebih lanjut. Sebagai perwujudan demokratisasi pembangunan maka sejak tahun 2000, upaya-upaya kesehatan termasuk didalamnya manajemen KLB semuanya sudah di desentralisasikan kepada Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota. Tugas Pemerintah Nasional (Pusat) antara lain menyusun berbagai kebijakan nasional, perencanaan strategik, dan menetapkan sasaran nasional, menyusun guidlines petunjuk, standar. Sedangkan kewenangan pelaksanaan ada pada pemerintah Kabupaten/Kota, namun dalam hal KLB dan bencana dapat meminta bantuan Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Pusat. Bahkan bila dipandang perlu, Pemerintah Pusat dapat mengambil inisiatif melakukan penanganan KLB.

    Kurun waktu 2000-2005 banyak terjadi kejadian luar biasa. Mengapa hal tersebut terjadi? Pemberantasan penyakit menular memerlukan sistem manajemen. Sementara sistem lama telah dicabut, tetapi sistem baru belum established atau mapan. Untuk membangun sistem tersebut, memerlukan waktu. KLB pada dasarnya merupakan ujung dari sebuah proses. Kegagalan manajemen penyakit secara terintegrasi dalam satu wilayah, akan menimbulkan KLB. Oleh sebab itu, selama sistem atau kapasitas manajemen penyakit berbasis wilayah secara terintegrasi belum mapan, maka KLB akan terus menjadi ancaman.

    Di samping itu, penyakit menular tidak mengenal batas wilayah administratif seperti halnya kesehatan lingkungan, tetapi keduanya memiliki batas wlayah ekosistem. Satu foci penyakit menular entah itu demam berdarah, malaria, TBC, HIV/AIDS, filariasis, dan sebagainya, apabila dibiarkan berkembang, dengan mobilitas penduduk yang tinggi akibat krisis sosial, maka berpotensi menyebarkan KLB ke saentero Nusantara. Contohnya tahun 2005 yaitu penyakit polio. Hal ini tampak adanya kesimpang siuran menajemen penyakit menular pada saat dimulainya otonomi atau peralihan sistem tersebut.

    2.9 Penyakit Demam Berdarah Penyakit Demam berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Sejak tahun 1968 jumlah kasusnya cenderung meningkat dan penyebarannya bertambah luas. Keadaan ini erat kaitannya dengan

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 21

    peningkatan mobilitas penduduk sejalan dengan semakin lancarnya hubungan transportasi serta tersebar luasnya virus dengue dan nyamuk penularnya di berbagai wilayah Indonesia. Jumlah kasus terus meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit dan secara sporadis, selalu menjadi KLB setiap tahun. KLB yang terbesar terjadi pada tahun 1998 dilaporkan dari 16 propinsi dengan IR=35,19 per 100.000 penduduk dan CFR 2.0%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10.17 per 100.000 penduduk, namun pada tahun-tahun berikutnya tampak adanya peningkatan IR, yaitu 15,99, 21,75, dan 19,24 per 100.000 penduduk berturut-turut pada tahun 2000 sampai 2002. Melihat kondisi tersebut penyakit DBD harus diwaspadai kemungkinan adanya KLB lima tahunan.

    Penyakit demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit menular berbahaya yang disebabkan oleh virus Dengue dan dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat oleh karena terjadinya perdarahan dan shock. Penyakit DBD sering kali muncul sebagai wabah. Di Asia Tenggara, penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1953 di Manila, selanjutnya menyebar ke berbagai negara. Di Indonesia sendiri, penyakit DBD dilaporkan pertama kali di Surabaya dan DKI Jakarta. Pada awalnya penyakit DBD ini merupakan penyakit perkotaan dan menyerang terutama anak-anak usia di bawah 5 tahun. Namun, dengan perkembangan waktu penyakit ini kemudian tidak hanya berjangkit di daerah perkotaan, tetapi juga menyebar ke daerah pedesaan. Usia penderita juga cenderung bergeser menyerang usia dewasa. Cara penularan penyakit DBD adalah melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti yang menggigit penderita DBD kemudian ditularkan kepada orang sehat.

    Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyebaran dan penularan penyakit DBD, yaitu urbanisasi yang cepat, perkembangan pembangunan di daerah pedesaan, kurangnya persediaan air bersih, mudahnya transportasi yang menyebabkan mudahnya lalu lintas manusia antardaerah, adanya pemanasan global yang dapat mempengaruhi bionomik vektor Aedes aegypti. Upaya pemberantasan demam berdarah terdiri dari 3 hal, yaitu: (1) Peningkatan kegiatan surveilans penyakit dan surveilans vektor, (2) Diagnosis dini dan pengobatan dini, (3) Peningkatan upaya pemberantasan vektor penular penyakit DBD.

    Upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah baik lintas sektor maupun lintas program dan masyarakat termasuk sektor swasta. Tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam upaya pemberantasan penyakit DBD antara lain membuat kebijakan dan rencana strategis penanggulangan penyakit DBD, mengembangkan teknologi pemberantasan, mengembangkan pedoman pemberantasan, memberikan pelatihan dan bantuan teknis, melakukan penyuluhan dan promosi kesehatan serta penggerakan masyarakat.

    Kendala Pencegahan DBD

    Penularan DBD terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dewasa. Pemberantasan nyamuk dewasa dilakukan dengan menggunakan racun serangga (insektisida) yang disemprotkan atau dengan pengasapan (fogging) bila dilakukan pada wilayah yang luas. Dengan fogging yang disemprotkan ke udara, maka

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 22

    nyamuk dewasa yang beterbangan atau yang hinggap di tempat persembunyiannya di lingkungan rumah penderita akan mati. Semua insektisida adalah bahan beracun yang jika penggunaannya tidak tepat dapat mengganggu kesehatan manusia maupun hewan dan dapat mencemari lingkungan.

    Gagalnya atau tidak efektifnya fogging dapat terjadi akibat salahnya lokasi pengasapan (yang diasapi adalah got-got atau saluran kota yang kotor dan mampet, bukan sarang nyamuk Aedes aegypti). Selain itu, penggunaan insektisida yang tidak tepat dosisnya atau tidak tepat jenisnya dapat menjadikan fogging tidak memberikan hasil yang memuaskan atau gagal sama sekali. Takaran insektisida yang dikurangi (asal bau obat), selain termasuk kategori korupsi, juga dapat menimbulkan dampak serius di kemudian hari, yaitu terjadinya kekebalan nyamuk Aedes aegypti terhadap insektisida yang digunakan saat ini. Karena nyamuk dewasa Aedes aegypti berada di dalam lingkungan rumah tinggal, penggunaan insektisida menjadi rawan keracunan bagi penghuni dan lingkungan hidup sekitar rumah.

    Keberadaan sarang nyamuk Aedes aegypti di dalam rumah memerlukan tindakan yang spesifik. Pemberian abate untuk membunuh jentik nyamuk yang terdapat di dalam air bak kamar mandi atau tandon air bersih lainnya cukup efektif mencegahnya berkembang biak. Menutup rapat tempat penyimpanan air bersih dan mengurasnya sesering mungkin akan bermanfaat mengurangi kesempatan nyamuk untuk bertelur dan berkembang biak. Dari jentik nyamuk yang hidup di dalam air (tandon air), termasuk kaleng-kaleng berisi air atau bak mandi, dalam waktu beberapa hari akan tumbuh nyamuk dewasa. Karena itu, sebelum larva berubah jadi nyamuk dewasa, sarang nyamuk harus segera dimusnahkan. Gerakan PSN harus dilakukan terus-menerus, sepanjang tahun, baik di musim hujan maupun di musim kemarau, selama tandon-tandon air masih dijumpai. PSN harus dilakukan segenap warga. Sebab, jika ada satu rumah saja tidak melakukan PSN, ia menjadi sumber terbentuknya populasi nyamuk Aedes aegypti untuk wilayah di sekitarnya. Apalagi nyamuk Aedes aegypti mampu terbang dalam radius 100 meter dari sarang asalnya.

    Fogging ditujukan untuk memberantas nyamuk betina dewasa karena hanya nyamuk betina yang mengisap darah. Dengan melakukan fogging di sekitar tempat tinggal penderita, nyamuk dewasa yang beterbangan atau yang hinggap di tempat persembunyiannya di lingkungan rumah penderita akan mati. Dengan demikian, penularan virus oleh nyamuk dapat dihentikan segera. Karena itu, pada waktu ada laporan kasus DBD di satu rumah, seharusnya segera dilakukan fogging terhadap rumah tinggal penderita dan area dengan radius 100 meter di sekitarnya. Tidak usah menunggu terjadinya KLB atau wabah yang lebih luas.

    Selain itu, sebelum seseorang menunjukkan gejala klinis DBD dalam darahnya sudah beredar virus dengue yang dapat ditularkan kepada orang lain. Fogging tidak akan berefek lama dan tidak boleh dilakukan terus-menerus karena insektisida yang digunakan adalah bahan beracun, baik untuk manusia maupun lingkungan hidup. Karena itu, fogging harus segera diikuti dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN). Hal ini harus dilakukan karena sarang-sarang nyamuk

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 23

    merupakan sumber produksi nyamuk dewasa. Sosialisasi dalam pelaksanaan PSN dan cara hidup gotong royong harus kembali digalakkan, misalnya, melalui GGPSN (Gebyar Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk), sehingga setiap warga dapat saling melindungi diri, keluarga, dan lingkungannya dari penularan DBD.

    Adanya nyamuk Aedes aegypti penular DBD sepanjang tahun di Indonesia menyebabkan penularan virus dengue juga akan terjadi sepanjang tahun, baik di musim penghujan maupun di musim kemarau. Karena itu, jika terdapat laporan adanya kasus DBD, untuk mencegah penyebaran penyakit, tindakan yang pertama-tama harus dilakukan adalah memberantas nyamuk dewasa di lingkungan tempat tinggal penderita dan sekitarnya dengan melakukan fogging, tanpa menunggu terjadinya KLB. Fogging akan sangat efisien jika dilakukan pada waktu populasi nyamuk masih rendah. Jika terjadi kegagalan fogging, harus dicari penyebabnya, apakah telah terjadi resistensi nyamuk terhadap insektisida yang digunakan, ataukah terjadi "kesalahan teknis" di lapangan.

    Tata Laksana Penanggulangan DBD

    Setiap diketahui adanya penderita DBD, segera ditindaklanjuti dengan kagiatan Penyelidikan Epidemiologis (PE) dan Penanggulangan Fokus, sehingga kemungkinan penyebarluasan DBD dapat dibatasi dan KLB dapat dicegah. Selanjutnya dalam melaksanakan kegiatan pemberantasan DBD sangat diperlukan peran serta masyarakat, baik untuk membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan pemberantasan maupun dalam memberantas jentik nyamuk penularnya.

    Penyelidikan Epidemiolegis (PE) adalah kegiatan pencarian penderita DBD atau tersangka DBD lainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD di tempat tinggal penderita dan rumah/bangunan sekitarnya, termasuk tempat-tempat umum dalam radius sekurang-kurangnya 100 m. Tujuannya adalah untuk mengetahui penularan dan penyebaran DBD lebih lanjut serta tindakan penanggulangan yang perlu dilakukan di wilayah sekitar tempat penderita. PE juga dilakukan untuk mengetahui adanya penderita dan tersangka DBD lainnya, mengetahui ada tidaknya jentik nyamuk penular DBD, dan menentukan jenis tindakan (penanggulangan fokus) yang akan dilakukan.

    Penanggulangan Fokus adalah kegiatan pemberantasan nyamuk penular DBD yang dilaksanakan dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD), larvadiasasi, penyuluhan dan penyemprotan (pengasapan) menggunakan insektisisda sesuai kriteria. Tujuannya adalah membatasi penularan DBD dan mencegah terjadinya KLB di lokasi tempat tinggal penderita DBD dan rumah/bangunan sekitarnya serta tempat-tempat umum yang berpotensi menjadi sumber penularan DBD lebih lanjut.

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 24

    Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah upaya penanggulangan yang meliputi : pengobatan/perawatan penderita, pemberantasan vektor penular DBD, penyuluhan kepada masyarakat dan evaluasi/penilaian penanggulangan yang dilakukan di seluruh wilayah yang terjadi KLB. Tujuannya adalah membatasi penularan DBD, sehingga KLB yang terjadi di suatu wilayah tidak meluas ke wilayah lainnya. Penilaian Penanggulangan KLB meliputi penilaian operasional dan penilaian epidemiologi. Penilaian operasional ditujukan untuk mengetahui persentase (coverage) pemberantasan vektor dari jumlah yang direncanakan. Penilaian ini dilakukan melalui kunjungan rumah secara acak dan wilayah-wilayah yang direncanakan untuk pengasapan, larvasidasi dan penyuluhan. Sedangkan penilaian epidemiologi ditujukan untuk mengetahui dampak upaya penanggulangan terhadap jumlah penderita dan kematian DBD dengan cara membandingkan data kasus/kematian DBD sebelum dan sesudah penanggulangan KLB.

    Pemberantasan Sarang Nyamuk demam berdarah dengue (PSN DBD) adalah kegiatan memberantas telur, jentik dan kepompong nyamuk penular DBD (Aedes aegypti) di tempat-tempat perkembangbiakannya. Tujuannya adalah mengendalikan populasi nyamuk, sehingga penularan DBD dapat dicegah dan dikurangi. Keberhasilan PSN DBD diukur dengan Angka

    Penderita/tersangka DBD

    Penyelidikan Epidemiologi (PE)

    Ada penderita DBD lain atau ada jentik dan ada penderita panas 3 orang dan ditemukamn jentik ( 25%)

    - Pemeriksaan Jentik - Pencarian Penderita Panas

    - Penyuluhan - PSN DBD - Fogging radius 200m

    - Penyuluhan - PSN FDBD - Larvasidasi

    Ya Tidak

    Gambar 2.3. Bagan Penanggulangan Fokus (Penanggulangan Penderita DBD di Lapangan)

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 25

    Bebas Jentik (ABJ). Apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi. Cara PSN DBD dilakukan dengan 3M, yaitu (1) menguras dan menyikat tempat-trempat penampungan air, (2) menutup rapat-arapat tempat penampungan air, dan (3) mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan.

    Pemeriksaan Jentik Berkala adalah pemeriksaan tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang dilakukan secara teratur oleh petugas kesehatan atau kader atau petugas pemantau jentik (jumantik). Tujuannya adalah melakukan pemeriksaan jentik nyamuk penular demam berdarah dengue termasuk memotivasi keluarga/masyarakat dalam melaksanakan PSN DBD.

    Peran Masyarakat dalam Penanggulangan DBD

    Masyarakat berperan dalam upaya pemberantasan penyakit DBD. Sebagai contoh: peran masyarakat dalam kegiatan surveilans penyakit, yaitu masyarakat dapat mengenali secara dini tanda-tanda penyakit DBD yang menimpa salah satu anggota keluarga maupun tetangga mereka dan segera merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat. Sehingga bisa dilakukan penegakan diagnosa secara dini dan diberikan pertolongan dan pengobatan dini.

    Pertolongan pertama kepada tersangka penderita DBD dapat dilakukan di rumah sebelum dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan yaitu dengan memberikan minum sebanyak-banyaknya dengan oralit, teh manis, sirup, juice buah-buahan, pemberian obat penurun panas seperti paracetamol. Obat penurun panas yang tidak boleh diberikan adalah dari jenis yang mengandung asam salisilat yang dapat memperberat perdarahan. Tujuan pemberian pertolongan pertama di atas adalah untuk mempertahankan volume cairan dalam pembuluh darah penderita sehingga dapat membantu mengurangi angka kematian karena DBD.

    Masyarakat juga berperan dalam upaya pemberantasan vektor yang merupakan upaya paling penting untuk memutuskan rantai penularan dalam rangka mencegah dan memberantas penyakit DBD muncul di masa yang akan datang. Dalam upaya pemberantasan vektor tersebut antara lain masyarakat berperan secara aktif dalam pemantauan jentik berkala dan melakukan gerakan serentak Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN). Seperti diketahui nyamuk Aedes aegipty adalah nyamuk domestik yang hidup sangat dekat dengan pemukiman penduduk seperti halnya Culex. Sehingga upaya pemberantasan dan pencegahan penyebaran penyakit DBD adalah upaya yang diarahkan untuk menghilangkan tempat perindukan (breeding places) nyamuk Aedes aegypti yang ada dalam lingkungan permukiman penduduk. Dengan demikian gerakan PSN dengan 3M Plus yaitu Menguras tempat-tempat penampungan air minimal seminggu sekali atau menaburinya dengan bubuk abate untuk membunuh jentik nyamuk Aedes aegypti, Menutup rapat-rapat tempat penampungan air agar nyamuk Aedes aegypti tidak bisa bertelur di tempat itu, Mengubur/membuang pada tempatnya barang-barang bekas seperti ban bekas, kaleng bekas yang dapat menampung air hujan.

  • LAPORAN AKHIR

    Kajian Kebijakan Penanggulangan Penyakit Menular 26

    Masyarakat juga melakukan upaya mencegah gigitan nyamuk dengan menggunakan obat gosok antinyamuk, tidur dengan kelambu, menyemprot rumah dengan obat nyamuk yang tersedia luas di pasaran. Hal sederhana lainnya yang dilakukan oleh masyarakat adalah menata gantungan baju dengan baik agar tidak menjadi tempat hinggap dan istirahat nyamuk Aedes aegypti. Sejak dulu tidak ada yang berubah dengan bionomik atau perilaku hidup nyamuk Aedes aegypti sehingga teknologi pemberantasannya pun dari dulu tidak berubah. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD oleh masyarakat sangat besar, boleh dikatakan lebih dari 90% dari keseluruhan upaya pemberantasan penyakit DBD. Dan upaya tersebut sangat berkaitan dengan faktor perilaku dan faktor lingkungan.

    Pemberantasan DBD akan berhasil dengan baik jika upaya PSN dengan 3M Plus dilakukan secara sistematis, terus-menerus berupa gerakan serentak, sehin