Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI
-
Upload
infest-yogyakarta -
Category
Documents
-
view
236 -
download
3
description
Transcript of Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI
Lembar Kajian
ASURANSI MEMERAS TKI
KEBIJAKAN KORUPTIF ASURANSI DAN
PRAKTIK PEMERASAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI)
Disusun oleh
Abdul Rahim Sitorus
Advokat Konsultan dan Bantuan Hukum TKI
Koordinator Advokasi Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSDBM)
Yogyakarta www.buruhmigran.or.id
Disampaikan kepada:
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Oleh Jaringan Kerja Advokasi Buruh Migran
1. Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSDBM) – Infest Yogyakarta
2. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)
3. Solidaritas Perempuan (SP)
4. Indonesia Family Network (IFN) Singapura
5. Lakpesdam NU Cilacap
6. Jingga Media Cirebon
7. Paguyuban BMI Seruni Banyumas
8.Komunitas BMI Saudi Arabia
Jaringan Advokasi Buruh Migran
2014
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 1
ASURANSI MEMERAS TKI
KEBIJAKAN KORUPTIF ASURANSI, MEMERAS TKI
Oleh : Abdul Rahim Sitorus1
A. Pengantar
Sejak Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia (UU PPTKILN) diberlakukan pada tahun 2004, setiap tenaga kerja
Indonesia (TKI) untuk periode penempatan pertama dan perpanjangan kontrak diwajibkan
atau dipaksa untuk membayar premi Asuransi TKI. Pembayaran asuransi, saat ini, dilakukan
kepada perusahaan Konsorsium Asuransi yang telah ditunjuk oleh Kementerian Tenaga
Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) melalui pialang asuransi. Pembayaran asuransi
menjadi syarat pembuatan Kartu Tanda Kerja Luar Negeri (KTKLN). TKI diwajibkan
membayar premi asuransi sebesar Rp 400.000,-.
TKI yang bekerja ke luar negeri menggunakan jasa Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Swasta (PPTKIS) dan mandiri (perseorangan), keduanya diwajibkan membeli
premi asuransi komersial. TKI yang tidak memiliki asuransi tidak dapat memiliki KTKLN. TKI
menghadapi konsekuensi tidak adanya KTKLN berupa pembatalan dan cegah tangkal
(cekal) yang dilakukan secara sistematis di beberapa Bandara Internasional di Indonesia.
Perusahaan maskapai penerbangan, bahkan, turut menanyakan kepemilikan KTKLN
sebagai syarat penerbitan boarding pass bagi TKI. Ditemukan beberapa kasus maskapai
yang menolak penerbitan boarding pass karena TKI tidak memiliki KTKLN.
Pencekalan yang dilakukan terhadap TKI yang akan berangkat ke luar negeri tanpa KTKLN
dilakukan secara sistematis. Meski demikian, pencekalan tersebut tidak dilakukan secara
prosedural, yaitu dengan penerbitan secara resmi surat pencekalan yang menyebutkan
alasan terhalangnya TKI berangkat ke luar negeri. Pencekalan terhadap TKI sering
dilakukan secara lisan oleh petugas imigrasi di beberapa bandara Internasional Indonesia.
1 Advokat Konsultan & Bantuan Hukum TKI; Koordinator Advokasi Jejaring Pusat Sumber Daya Buruh Migran Yogyakarta.
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 2
Tabel 1. Jumlah Penempatan TKI
NO TAHUN JUMLAH TKI
1 2006 680.000
2 2007 696.746
3 2008 644.731
4 2009 632.172
5 2010 575.803
6 2011 581.081
7 2012 s.d Sep 362.510
2006 s.d Sep 2012 4.173.043
Sumber data: PUSAT PENELITIAN PENGEMBANGAN DAN INFORMASI
(PUSLITFO BNP2TKI)
Menurut data BNP2TKI ada sejumlah 4.173.043 TKI telah ditempatkan sejak 2006 hingga
September 2012. Berdasarkan Peraturan Menakertrans sejak Tahun 2006 hingga 2012
jumlah premi asuransi untuk setiap TKI ditetapkan sebesar Rp 400.000,- (empat ratus ribu
rupiah). Sepanjang tahun 2006 hingga 2012 diperkirakan asuransi TKI yang terakumulasi
sebesar Rp 1.669.217.200.000,- (satu trilyun enam ratus enam puluh sembilan milyar dua
ratus tujuh belas juta dua ratus ribu rupiah). Dana tersebut dipungut paksa dari setiap TKI
melalui pembayaran premi asuransi berdalih perlindungan TKI.
Padahal berdasarkan UU PPTKILN junto Peraturan Menakertrans tentang Asuransi TKI
sejak tahun 2006 hingga tahun 2012 terang benderang bahwa TKI bukanlah subjek hukum
atau pihak yang diwajibkan membayar premi asuransi TKI. Sebab, pihak yang berkewajiban
membayar premi Asuransi TKI adalah PPTKIS alias PJTKI. Setiap TKI pada kenyataannya
diwajibkan oleh petugas BNP2TKI/BP3TKI untuk memiliki Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri
(KTKLN) dengan asuransi sebagai salah syarat mendapatkan KTKLN.
Fakta menunjukkan bahwa setiap TKI yang ditempatkan oleh PPTKIS alias PJTKI untuk
masa penempatan pertama atau pun pada periode perpanjangan kontrak dipungut biaya
premi Asuransi TKI sebagai syarat pembuatan Kartu Tenaga Kerja Luar negeri (KTKLN).
Mengacu UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia (UU PPTKILN) junto Peraturan Menakertrans No. 7 Tahun 2010 tentang Asuransi
TKI, TKI bukanlah subjek hukum atau pihak yang diwajibkan membayar premi asuransi TKI.
Pihak yang berkewajiban membayar premi Asuransi TKI adalah PPTKIS (dikenal umum
dengan istilah PJTKI).
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 3
Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menakertrans No. 7 Tahun 2010 tentang
Asuransi TKI terang benderang bahwa subjek hukum atau pihak yang diwajibkan membayar
premi asuransi TKI.
“Pelaksana Penempatan TKI Swasta wajib mengasuransikan calon TKI/TKI pada
konsorsium asuransi TKI yang telah ditetapkan sebagai penyelenggara program asuransi
TKI dengan membayar premi asuransi TKI.”
(Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menakertrans No. 7 Tahun 2010 tentang Asuransi TKI)
Serupa dengan proses penempatan TKI untuk pertama kali, PPTKIS juga berkewajiban
untuk memperpanjang kepesertaan asuransi TKI apabila TKI tersebut memperpanjang
kontrak atau perjanjian kerja. Pasal 17 Pasal 17 Peraturan Menakertrans No. 7 Tahun
2010 tentang Asuransi TKI menyebutkan secara eksplisit bahwa PPTKIS adalah pihak
atau subjek hukum yang berkewajiban memperpanjang kepesertaan asuransi TKI berkaitan
dengan membayar asuransi.
(1) Dalam hal TKI memperpanjang perjanjian kerja melalui Pelaksana Penempatan TKI
Swasta, maka Pelaksana Penempatan TKI Swasta wajib memperpanjang kepesertaan
asuransi TKI yang bersangkutan dengan membayar premi asuransi.
(Pasal 17 Peraturan Menakertrans No. 7 Tahun 2010 tentang Asuransi TKI)
Praktik pemaksaan pembayaran premi asuransi TKI tanpa dasar hukum dapat digolongkan
sebagai tindak pidana korupsi pemerasan. Tindakan tersebut melanggar Pasal 12 huruf e
UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Kajian ini mencoba memaparkan kemungkinan terjadinya praktik korupsi berupa
pemerasan dengan TKI sebagai korban.
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 4
Terdapat beberapa unsur tindak pidana korupsi “pemerasan”, seperti yang diatur pada pada
pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara
2. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
3. Secara melawan hukum
4. Memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran
dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya
5. Menyalahgunakan kekuasaan.
Tindak Pidana Korupsi “Pemerasan” dalam Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi :
“pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri”.
B. Penjelasan Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi “Pemerasan” dalam kebijakan
Asuransi TKI
Secara rinci berikut pemenuhan unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi “Pemerasan” dalam
kebijakan Asuransi TKI:
1) Unsur “Pegawai negeri atau penyelenggara negara”;
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) adalah penyelenggara negara yang
mendapat kewenangan berdasarkan Pasal 68 ayat (2) UU PPTKILN untuk menerbitkan
aturan perundangan tentang program asuransi TKI dalam bentuk nomenklatur Peraturan
Menteri. Faktanya, para Menakertrans sejak tahun 2006 hingga 2012 telah mengeluarkan
Peraturan Menakertrans dan Keputusan Menakertrans tentang asuransi TKI dan
penyelenggara asuransi TKI berbentuk perusahaan konsorsium asuransi swasta komersial.
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 5
Peraturan Menakertrans dan Keputusan Menakertrans tentang asuransi TKI tersebut
ditunaikan oleh BNP2TKI/BP3TKI beserta jajarannya di seluruh Indonesia selaku lembaga
pelaksana kebijakan penempatan dan perlindungan TKI. Pelaksanaan aturan tentang
asuransi TKI tersebut dilakukan oleh petugas-petugas BP3TKI ketika TKI secara mandiri
ataupun melalui PJTKI mengurus proses pembuatan KTKLN.
Pelaku yang memaksa atau mewajibkan membayar premi asuransi TKI sebagai syarat
penerbitan/pembuatan KTKLN adalah petugas BNP2TKI/BP3TKI yang bekerja sama
dengan petugas perusahaan asuransi dan atau pialang asuransi demi menjalankan aturan
dan keputusan dikeluarkan oleh Menakertrans. Petugas BNP2TKI/BP3TKI adalah pegawai
negeri yang bertugas melayani pengajuan permohonan pembuatan KTKLN bagi setiap TKI,
baik yang diajukan oleh setiap TKI secara mandiri/langsung ataupun pengajuan melalui
PJTKI. Salah satu syarat pembuatan KTKLN adalah Kartu Peserta Asuransi (KPA) yang
wajib dimiliki oleh setiap TKI.
Saat mengurus KTKLN petugas BNP2TKI/BP3TKI mewajibkan setiap TKI memiliki KPA
dengan cara membayar premi asuransi sejumlah Rp 400.000,- kepada perusahaan
Konsorsium Asuransi TKI melalui perusahaan pialang asuransi. Perusahaan Konsorsium
Asuransi TKI beserta perusahaan pialang asuransi TKI tersebut adalah perusahaan
asuransi komersial yang telah ditetapkan oleh Menakertrans berdasarkan nomenklatur
Peraturan dan Keputusan Menakertrans selaku penyelenggara negara yang memiliki
kewenangan mengatur program asuransi TKI selaras ketentuan Pasal 68 UU PPTKILN.
Guna mendapatkan Kartu Peserta Asuransi, setiap TKI ataupun PJTKI diharuskan
mengurusnya kepada pihak perusahaan Konsorsium Asuransi TKI melalui perusahaan
pialang asuransi yang sudah ditetapkan oleh Menakertrans. Setiap TKI diwajibkan
membayar premi sebesar Rp 400.000,- langsung melalui perusahaan pialang asuransi TKI
untuk disetorkan kepada perusahaan konsorsium asuransi. Jika TKI ditempatkan melalui
PJTKI, maka setiap TKI membayar premi asuransi sebesar Rp 400.000,- kepada
perusahaan pialang asuransi/konsorsium asuransi melalui PJTKI. Pihak PJTKI dapat
meminta uang tunai kepada setiap TKI untuk premi asuransi sebagai komponen biaya
penempatan ataupun dapat menagih biaya pembayaran premi asuransi dengan cara
pemotongan gaji TKI. Pengurusan KPA dan pembayaran premi asuransi dilakukan di kantor
pialang asuransi TKI yang berada di lokasi kantor BP3TKI atau di Bandara Soekarno Hatta.
Jelas bahwa petugas BNP2TKI/BP3TKI yang mewajibkan pembayaran asuransi TKI
sebagai syarat pembuatan KTKLN adalah pegawai negeri yang menjalankan tugas sesuai
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 6
perintah dari Menakertrans dalam bentuk Peraturan dan Keputusan Menakertrans,
sedangkan Menakertrans adalah penyelenggara negara. Jadi petugas BP3TKI selaku
subjek hukum yang menjadi unsur pelaku (daader) dan sedangkan Menakertrans
merupakan pihak yang memerintahkan yang memenuhi unsur pegawai negeri atau
penyelenggara negara dalam rumusan Pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999 junto UU
No. 20 Tahun 2001. Tindakan atau perbuatan hukum Menakertrans dengan cara
membuat Peraturan dan Keputusan tentang Asuransi TKI adalah merupakan suatu
kebijakan resmi yang menjadi dasar pijakan bagi petugas BNP2TKI / BP3TKI untuk
mewajibkan atau memaksa TKI membayar premi asurasi TKI sebagai syarat
penerbitan KTKLN.
2) Unsur “Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain”;
Apakah unsur “dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain” sungguh-
sungguh ada dalam kebijakan/peraturan/keputusan Menakertrans tentang asuransi TKI?
Apakah kebijakan / peraturan Menakertrans tentang asuransi TKI dan keputusan
Menakertrans dimaksudkan untuk menguntungkan perusahaan konsorsium asuransi dan
atau perusahaan pialang asuransi TKI sebagaimana ketentuan Pasal 12 huruf e UU No. 31
Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001?
Teori kesengajaan (opzet) berdasarkan kehendak (willen) dan pengetahuan (weten)
sebagai unsur subjektif dari syarat pemidanaan yang terletak pada diri pembuat dan bukan
pada kenyataan yang objektif (Hamzah, 2008).
Pegawai negeri di BNP2TKI/BP3TKI, selaku pegawai negeri yang melayani pembuatan
KTKLN jelas menjalankan perintah Menakertrans selaku penyelenggara negara yang
berwenang terkait kebijakan penetapan perusahaan Konsorsium Asuransi TKI dan
perusahaan pialang asuransi komersial. Pemaksaan yang dilakukan oleh para petugas
BNP2TKI/BP3TKI terhadap setiap TKI untuk membeli premi asuransi kepada perusahaan
asuransi komersial melalui perusahaan pialang asuransi dapat dengan mudah dibuktikan
akan memberikan keuntungan kepada perusahaan asuransi dan pialang asuransi yang
didirikan dengan tujuan meraup laba sebanyak-banyaknya. Komisi Pengawas Persaingan
Usaha (KPPU) menyebut sistem perasuransian tersebut memerkaya pihak tertentu. TKI
sebagai pihak yang idealnya dilindung, justeru menjadi subjek (Antara News, Oktober 2010).
Petugas BNP2TKI/BP3TKI hanya melaksanakan perintah jabatan selaku pegawai negeri
BNP2TKI/BP3TKI yang bertugas melayani penerbitan KTKLN dengan persyaratan wajib
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 7
membayar premi asuransi terhadap TKI yang bersangkutan. Dengan begitu jelas bahwa
petugas BNP2TKI/BP3TKI dapat dikatakan tidak bermaksud menguntungkan diri sendiri
ataupun orang lain.
Berdasarkan investigasi Majalah TEMPO Edisi 05-11 September 2011 terungkap bahwa
dari total Rp 400.000,- premi asuransi TKI 50 % atau sebesar Rp 200.000,- disetorkan
Konsorsium Asuransi TKI PROTEKSI sebagai imbalan (fee) kepada perusahaan pialang
(broker) PT. Paladin International. Besarnya imbalan ini membuat perusahaan asuransi tak
bisa memberikan manfaat optimal untuk TKI (Investigasi Jejak Korupsi Asuransi TKI Majalah
“TEMPO” edisi 5 – 11 September 2011, hal. 60 kolom 2-3).
Pemotongan premi asuransi terjadi dalam pengelolaan dana jaminan TKI ini. Total Rp
400.000 premi asuransi TKI 50 % atau sebesar Rp 200.000,- dipotong lebih dulu sebagai
imbalan (fee) untuk perusahaan pialang (broker) PT. Paladin International. Sisanya
disetorkan kepada Konsorsium Asuransi TKI PROTEKSI. Besarnya imbalan ini membuat
perusahaan asuransi tak bisa memberikan manfaat optimal untuk TKI (Majalah “TEMPO”
edisi 5 – 11 September 2011, hal. 60 kolom 3).
Fakta temuan laporan BPK Juli 2011 biaya pialang atau brokerage fee berkisar 20 – 50 %
dari total premi pada konsorsium asuransi TKI sangat tinggi. Menurut Auditor BPK, Hasan
Bisri, tingginya fee pialang membuat nilai riil premi yang dikelola perusahaan asuransi
menyusut. Otomatis nilai manfaatnya yang bisa diklaim TKI ikut berkurang. Akibatnya,
perusahaan asuransi kesulitan menutup klaim asuransi para TKI. (Majalah “TEMPO” edisi 5
– 11 September 2011, hal. 60 kolom 2-3).
Menakertrans di hadapan Komisi IX DPR RI tanggal 8 September 2011 melaporkan fakta
bahwa sejak tahun 2010 hingga bulan September 2011 ternyata sudah terkumpul dana
asuransi TKI sebesar Rp 180 milyar sedangkan pembayaran klaim yang telah dicairkan
kepada TKI hanya sejumlah Rp 10 milyar. Jadi faktanya perusahaan asuransi dan
pialang asuransi sudah menikmati keuntungan sekitar Rp 170 milyar.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa 50% dana asuransi TKI dikelola oleh
asuransi TKI, sementara 50% dikelola oleh Palladin Internasional untuk rincian dana
pengurusan TKI. Dana 179 Miliar diduga habis untuk dana kegiatan Palladin, seperti
cadangan operasional, CSR, pajak, gaji dan sponsor (Tribunnews, 15 Juli 2013).
Pihak yang paling diuntungkan dalam pengelolaan asuransi TKI adalah perusahaan
broker/pialang asuransi PT. Paladin International. PT. Paladin mendapatkan fee sebesar
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 8
50% dari setiap jumlah premi yang dibayarkan oleh TKI. Jika TKI yang pulang cuti
perpanjang kontrak bayar premi asuransi Rp 290.000,-, maka 50 % dari nilai Rp 290.000,-
adalah upah untuk perusahaan pialang asuransi PT. Paladin International. Sedangkan
sisanya sejumlah Rp 145.000,- lagi, jika tidak ada klaim, maka akan menjadi keuntungan
bagi perusahaan asuransi komersial yang tergabung dalam Konsorsium Asuransi TKI
PROTEKSI.
Ada 2 (dua) modus untuk menguntungkan pihak lain yaitu, pertama, pembagian fee sebesar
50 % dari total premi Rp 400.000,- untuk perusahaan pialang asuransi. (Fee sebesar 50 %
ini disampaikan dan diketahui Menakertrans Muhaimin Iskandar, baca Majalah “TEMPO”
edisi 5 – 11 September 2011, hal. 70, kolom 2-3).
Kedua, dengan cara mempersulit pengajuan klaim, membayar klaim ala kadarnya tidak
sesuai jumlah klausul pertanggungan atau bahkan menolak pembayaran klaim sama sekali
dengan berbagai dalih. Pihak yang mempersulit atau bahkan menolak klaim TKI justru
berasal dari pialang asuransi yang seharusnya bertindak mewakili kepentingan TKI sebagai
pihak tertanggung. Anehnya, praktik melanggar UU Usaha Perasuransian, pialang asuransi
yang bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi malah diketahui dan dibiarkan oleh
Menakertrans.
Maksud untuk menguntungkan orang lain (teori kesengajaan yang diobjektifkan) yakni
perusahaan asuransi dan atau perusahaan pialang asuransi dapat dilihat, dianalisa dan
dibuktikan merujuk pada fakta adanya pembuatan kebijakan oleh Menteri. Menakertrans
membuat kebijakan peraturan dan keputusan yang menetapkan lembaga pengelola program
asuransi wajib yang bersifat sosial justru kepada perusahaan asuransi dan atau perusahaan
pialang asuransi yang keduanya bersifat komersial atau bertujuan meraup laba sebesar-
besarnya.
Kenapa Menakertrans memilih menetapkan perusahaan asuransi dan pialang asuransi
swasta komersial? Bukan BUMN?. Dalam hal asuransi komersial (perusahaan asuransi
yang terdaftar di Departemen Keuangan), penetapan jenis pertanggungan dan preminya
dilakukan berdasarkan hasil kompetisi secara terbuka diantara perusahaan asuransi.
Sedangkan untuk asuransi sosial jenis pertanggungan/asuransi TKI beserta besaran premi
ditetapkan oleh pemerintah. Terkait hal ini hanya PT. Jamsostek yang menurut ketentuannya
dapat menjadi penjamin asuransi TKI sepanjang diberi kewenangan yang perlu ditetapkan
dalam peraturan pemerintah. Nyatanya, kebijakan Asuransi TKI tidak tergolong sebagai
asuransi sosial dan tidak juga berupa asuransi komersial.
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 9
Analisis sikap batin Menakertrans pakai teori pidana Aji mumpung sesuai ”teori
kesengajaan yang diobyektifkan” (Eddy OS. Hiariej). Kesengajaan atau maksud/sikap
batin Menakertrans untuk menguntungkan pihak asuransi dan pialang asuransi dapat
dibuktikan karena selaras UU Perasuransian asuransi yang bersifat wajib hanya dapat
diselenggarakan oleh BUMN; bukan usaha asuransi komersial. Namun, nyatanya
Menakertrans justru mengatur dan menetapkan badan penyelenggara asuransi yang
bersifat wajib kepada perusahaan asuransi dan pialang asuransi komersial yang bertujuan
meraup laba semata. Dapat dipastikan bahwa Menakertrans mengetahui dan menghendaki
agar perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi komersial dapat mengeruk
untung (mendapatkan keuntungan) sebagai penyelenggara program asuransi TKI yang
bersifat wajib.
Padahal semestinya Menakertrans menetapkan bahwa badan penyelenggara program
asuransi TKI yang bersifat wajib adalah BUMN sesuai ketentuan Pasal UU Usaha
Perasuransian. Jika BUMN atau negara akan mendapatkan keuntungan bila
menyelenggarakan program asuransi TKI yang bersifat wajib. Dengan begitu terdapat
kemungkinan Menakertrans telah menimbulkan kerugian negara karena tidak ada BUMN
yang ditetapkan oleh Menakertrans sebagai badan penyelenggaraan program asuransi TKI
yang bersifat wajb.
Melalui beberapa Kepmenakertrans, Menteri telah menetapkan beberapa konsorsium
asuransi TKI. Melalui Kepmenakertrans Nomor 212/2013, Kepmenakertrans Nomor
213/2013, Kepmenakertrans Nomor 214/2013 menteri telah menetapkan tiga konsorsium
asuransi TKI, yaitu Jasindo, Astindo dan Mitra TKI. Penetapan tersebut menunjukkan
besarnya peran asuransi komersial dalam penanganan asuransi TKI.
3) Unsur “secara melawan hukum”; Bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian jo PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan
Usaha Perasuransian.
Pemaksaan membayar premi asuransi sebesar Rp 400.000,- kepada perusahaan asuransi
komersial melalui perusahaan pialang asuransi komersial adalah melanggar ketentuan UU
No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian jo PP No. 73 Tahun 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Pemaksaan terhadap BMI/TKI untuk membayar
premi asuransi TKI yang dilakukan pegawai BNP2TKI/BP3TKI melanggar ketentuan Pasal
68 ayat (1) UU PPTKILN jo Pasal 29 ayat (2) Permenakertrans No. 14 Tahun 2011. Pegawai
BP3TKI juga dianggap melawan hukum lantaran telah melanggar Penjelasan Pasal 6 UU
No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 10
Berdasarkan ketentuan Pasal 68 ayat (1) UU PPTKILN jo Pasal 29 ayat (2)
Permenakertrans No. 14 Tahun 2011 TKI semestinya bukan pihak yang diwajibkan untuk
membayar premi asuransi. Pihak yang diwajibkan pada UU tersebut adalah majikan,
pengguna jasa melalui PPTKIS. Mengacu pada Penjelasan Pasal 6 dan Penjelasan Umum
UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, maka jelaslah bahwa semestinya
seseorang (termasuk TKI) tidak boleh dipaksa atau diwajibkan membayar atau membeli
premi asuransi yang bersifat komersial.
Peraturan Menakertrans No. 7 Tahun 2010 tidak memiliki unsur yang mewajibkan atau
memaksa TKI membayar atau membeli premi asuransi TKI kepada perusahaan asuransi
komersial. Begitu pula, Pasal 68 UU PPTKILN secara jelas tidak mewajibkan atau
memaksa TKI membayar atau membeli premi asuransi TKI kepada perusahaan asuransi
komersial sebesar Rp 400.000,- atau berapa pun.
Konsorsium Asuransi PROTEKSI TKI adalah terdiri dari beberapa perusahaan asuransi dan
perusahaan pialang asuransi komersial yang didirikan dengan tujuan untuk meraup laba
sebesar-besarnya. Pendek kata, asuransi TKI adalah asuransi komersial. Paska
penghentian asuransi proteksi oleh Otoritas Jasa Keuangan sejak 1 Agustus 2013,
Menakertrans telah menetapkan pihak yang menggantikan fungsi konsorsium tersebut.
Melalui beberapa Kepmenakertrans, Menteri telah menetapkan beberapa konsorsium
asuransi TKI. Melalui Kepmenakertrans Nomor 212/2013, Kepmenakertrans Nomor
213/2013, Kepmenakertrans Nomor 214/2013 menteri telah menetapkan tiga konsorsium
asuransi TKI, yaitu Jasindo, Astindo dan Mitra TKI. Penetapan tersebut menunjukkan
besarnya peran asuransi komersial dalam penanganan asuransi TKI.
Pemaksaan pihak pemerintah/BNP2TKI/BP3TKI yang mewajibkan TKI menggunakan jasa
Konsorsium Asuransi TKI dan menggunakan pialang asuransi komersial tertentu merupakan
pelanggaran terhadap kebebasan yang menjadi hak asasi manusia dari setiap TKI serta
melanggar UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Ketentuan Pasal 6 UU NO.
2 tahun 1992 yang dalam penjelasannya secara tegas menekankan :”Ketentuan ini
dimaksudkan untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas memilih
perusahaan asuransi sebagai penanggungnya." Mengacu pada Penjelasan Pasal 6 dan
Penjelasan Umum UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, maka jelaslah
bahwa semestinya seseorang (termasuk TKI) tidak boleh dipaksa atau diwajibkan
membayar atau membeli premi asuransi yang bersifat komersial.
Pendapat hukum kami, selaku tim advokasi TKI, menyatakan bahwa pemaksaan terhadap
TKI untuk membeli atau membayar premi asuransi TKI adalah tindak kejahatan pemerasan
oleh pejabat atau penyelenggara negara. TKI, pada konteks ini, adalah korban pemerasan
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 11
yang dilakukan secara sistematis. Pemerasan tersebut bertentangan dengan Pasal 12 huruf
e UU No. 31 tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Masalah materi muatan Permenakertrans tentang Asuransi TKI yang bersifat melawan
hukum karena bertentangan dengan aturan UU Asuransi adalah terkait:
pertama, TKI diwajibkan ikut serta atau menjadi peserta asuransi komersial
melanggar ketentuan Pasal 6 UU NO. 2 tahun 1992.
Kedua, unsur pemaksaan untuk memakai jasa perusahaan konsosium asuransi
komersial dan kewajiban menggunakan pialang asuransi.
Ketiga, pemaksaan membayarkan sejumlah premi asuransi yang sudah ditetapkan
lebih dulu sebesar Rp 400.000,-. Sebab, premi asuransi harus ditetapkan
berdasarkan kesepakatan para pihak (pihak penanggung dengan tertanggung)
secara suka rela.
Keempat, peran pialang sebagai pengelola premi asuransi dengan porsi 50 % dari
keseluruhan jumlah premi asuransi.
Pada kenyataannya pialang atau broker bukan berperan untuk kepentingan TKI selaku
tertanggung. Tapi justru pialang secara sengaja tidak memberikan polis sehingga TKI tidak
tahu hak-haknya. Pihak pialang juga tidak membantu TKI menguruskan syarat-syarat
pengajuan klaim TKI yang semestinya menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Alih-alih saat
pengajuan klaim malah pialang yang bertindak untuk dan atas nama Konsorsium Asuransi
menolak pengajuan klaim TKI. Bahkan terakhir Direktur Utama pialang Surachman Jusuf
justru beralih tugas jadi pengurus Konsorsium Asuransi TKI. Jadi keberadaan fungsi dan
peran pialang merupakan pintu masuk korupsi dan kolusi.
Berikut ini adalah beberapa penjelasan tentang pelanggaran sistematis tentang asuransi
TKI:
1. Mengacu ketentuan Pasal 68 UU PPTKILN junto Pasal 15 ayat (1)
Permenakertrans No. 7 Tahun 2010 TKI bukanlah subjek hukum atau orang yang
dibebani kewajiban hukum membayar premi asuransi. Mengacu pada
Permenakertrans tentang Asuransi TKI, subjek hukum yang memikul kewajiban
membayar premi asuransi TKI untuk penempatan pertama kali adalah PPTKIS
(Pasal 15 ayat (1) Permenakertrans No. 7 Tahun 2010). Terkait dengan
perpanjangan kontrak kerja TKI, subjek hukum yang dibebani kewajiban membayar
premi asuransi TKI adalah PPTKIS (Pasal 17 ayat (1) Permenakertrans No. 7 Tahun
2010) atau pihak majikan (Pasal 29 ayat (2) huruf a Permenakertrans No. 14
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 12
Tahun2010). Subjek hukum yang diwajibkan untuk membayarkan asuransi TKI
bukanlah individu TKI itu sendiri.
2. Merujuk Pasal 6 UU NO. 2 tahun 1992 sangat jelas bahwa setiap orang bebas
memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Pemaksaan untuk
membayar premi asuransi kepada perusahaan asuransi komersial melalui
perusahaan pialang asuransi juga tergolong tindak pemerasan yang bersifat
melawan hukum karena melanggar ketentuan Pasal 6 UU NO. 2 tahun 1992.
Pemaksaan pihak pemerintah/BNP2TKI/BP3TKI yang mewajibkan memakai Konsorsium
Asuransi TKI dan menggunakan pialang asuransi komersial tertentu merupakan pelanggran
terhadap kebebasan yang menjadi hak asasi manusia dari setiap TKI serta melanggar UU
No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian
Ketentuan Pasal 6 UU NO. 2 tahun 1992 yang dalam penjelasannya secara tegas
menekankan: ”Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi hak tertanggung agar dapat
secara bebas memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya."
3. pemaksaan membayar premi asuransi TKI sebagai syarat mendapatkan pekerjaan di
luar negeri adalah melanggar Pasal UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 23
ayat (1) DUHAM setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan dan berhak
atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil serta menguntungkan. Hal
tersebut termuat pula dalam Pasal 38 ayat (2) UU HAM yang menyatakan
kebebasan memilih pekerjaan dan hak atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang
adil.
4. Pemaksaan untuk membayar premi asuransi TKI kepada kepada perusahaan
komersial Konsorsium Asuransi melalui pialang asuransi dengan ancaman hukuman
berakibat pembatalan keberangkatan ke luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan
dengan tujuan menguntungkan/memperkaya orang lain sesungguhnya adalah
melanggar Penjelasan Pasal 74 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM bahwa
siapapun tidak dibenarkan mengambil keuntungan sepihak dan atau mendatangkan
kerugian kepada pihak lain sehingga mengakibatkan berkurangnya dan atau
hapusnya HAM.
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 13
4) Unsur pemaksaan membayar – “Memaksa seseorang memberikan sesuatu,
membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan
sesuatu bagi dirinya”.
Unsur paksaan membayar premi asuransi terhadap setiap TKI sangat terang benderang
telah benar-benar terjadi yang dilakukan oleh pegawai negeri BNP2TKI bekerja sama
dengan petugas Konsorsium Asuransi TKI/pialang asuransi terhadap TKI ketika proses
permohonan pembuatan KTKLN. Faktanya, TKI dipaksa harus membayar premi asuransi
sebagai syarat pembuatan KTKLN kepada perusahaan Konsorsium Asuransi komersial
melalui perusahaan pialang asuransi komersial yang telah ditetapkan Menakertrans. Artinya,
TKI dipaksa memakai jasa komersial bukan hanya jasa perusahaan asuransi tapi juga
perusahaan pialang asuransi.
Faktanya, Pegawai Negeri BNP2TKI / BP3TKI demi menjalankan aturan yang ditetapkan
oleh Menakertrans, memaksa setiap TKI, baik yang perseorangan, melalui PJTKI atupun
BNP2TKI, untuk membayar premi asuransi TKI sebagai syarat pembuatan KTKLN. Padahal
TKI bukanlah orang atau subjek hukum yang boleh dipaksa /diwajibkan membayar premi
asuransi TKI. Jadi unsur paksaan dialami oleh TKI karena secara hukum TKI bukanlah
orang atau subjek hukum yang diwajibkan membayar premi asuransi TKI. Lebih tepatnya
TKI mengalami paksaan membayar /memberikan sesuatu kepada pegawai negeri tanpa
dasar hukum atau tanpa alasan yang sah atau secara melawan hukum dengan ancaman
kekerasan yang lazim disebut pemerasan atau pemalakan (Pasal 368 KUHP). Dengan kata
lain TKI diperas / dipalak oleh pegawai negeri / penyelenggara negara lantaran dipaksa
membayar premi asuransi yang bukan merupakan kewajiban hukumnya dengan ancaman
kekerasan.
Dalam kasus TKI perseorangan / mandiri, TKI tidak dapat menolak karena jika menolak
atau tidak membayar premi asuransi, maka TKI tidak akan mendapatkan Kartu Peserta
Asuransi (KPA). Tanpa KPATKI tidak akan memperloleh KTKLN. TKI tanpa KTKLN
menghadapi sanksi administrartif berupa pembatalan keberangkatan ke luar negeri.
Pada konteks penempatan TKI melalui PPTKIS ataupun melalui BNP2TKI, meski pihak atau
subjek yang dipaksa membayar premi asuransi adalah pihak PJTKI saat pengurusan
pembuatan KTKLN, namun pada akhirnya pihak TKI menjadi subjek yang sesungguhnya
dipaksa membayar premi asuransi. Pemotongan gaji juga terjadi guna membayar premi
asuransi dengan dalih sebagai salah satu komponen biaya penempatan yang wajib dibayar
TKI.
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 14
5) Unsur menyalahgunakan kekuasaan.
a). Penyalahgunaan kekuasaan melalui penerbitan Peraturan dan Kepmenakertrans
tidak sesuai maksud dan tujuan pemberian wewenang untuk mengatur masalah “jenis
program asuransi” TKI sebagaimana dimaksud Pasal 68 UU PPTKILN.
Terdapat beberapa bentuk penyalahgunaan yang dilakukan oleh Menakertrans,
berpedoman pengertian menyalahgunakan kekuasaan berdasarkan penjelasan Pasal 8 UU
PTPPO, yaitu :
1. Menjalankan kekuasaan yang ada padanya secara tidak sesuai tujuan pemberian
kekuasaan. Dengan kata lain, Menakertrans telah menyalahgunakan kekuasaan
lantaran tindakan membuat Peraturan dan Keputusan menyimpang dari tujuan
pemberian wewenang sesuai ketentuan Pasal 68 UU PPTKILN. Lugasnya,
Menakertrans menerbitkan Peraturan dan Kepmenakertrans tidak sesuai maksud dan
tujuan pemberian wewenang untuk mengatur masalah “jenis program asuransi” TKI
sebagaimana dimaksud Pasal 68 UU PPTKILN;
2. Menjalankan kekuasaannya secara tidak sesuai ketentuan peraturan. Karena
Menakertrans menetapkan materi muatan Peraturan dan Kepmenakertrans yang
bertentangan dengan UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
Menakertrans memang berwenang menetapkan jenis program perlindungan bagi TKI, tetapi
tidak dengan menentukan perusahaan asuransi, konsorsium dan pialangnya yang bersifat
komersial. Akibatnya, perusahaan asuransi TKI tidak bisa melindungi TKI. Apalagi, asuransi
tersebut bersifat komersial.
Permenakertrans/Kepmenakertrans itu justru bertentangan dengan UU PPTKILN khususnya
pasal 5, 6, 7, dan 80 yang menyatakan prinsip perlindungan TKI dalam asuransi TKI.
Perlindungan TKI termasuk pemberian bantuan hukum di negara tujuan penempatan TKI
yang menjadi ruang lingkup pertanggungan asuransi.
Pertanyaan mendasar terkait dengan penetapan konsorsium terkait dengan hak dan
wewenang Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mengatur asuransi komersial.
Usaha perasuransian adalah wewenang Menteri Keuangan sesuai UU No. 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian. Peraturan Menakertrans No. 7 Tahun 2010 tentang Asuransi
TKI dalam konsideran mencantumkan UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.
Menakertrans yang membuat peraturan tentang asuransi TKI mengacu pada UU Usaha
Perasuransian, justeru melanggar UU Keasuransian.
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 15
b). Penyalahgunaan kekuasaan karena TKI bukan subjek hukum yang wajib
membayar premi asuransi.
Menakertrans menerbitkan Peraturan dan Keputusan yang justru membolehkan PPTKIS
membebankan biaya premi asuransi sebagai komponen biaya penempatan yang
ditanggung TKI. Mengacu pada Pasal 45 ayat (1) huruf i Permenakertrans No. 14 Tahun
2010 pihak PJTKI/PPTKIS boleh membebankan biaya premi asuransi TKI sebagai
komponen biaya penempatan. Secara khusus Menakertrans juga mengeluarkan 2 (dua)
Keputusan mengenai Biaya Penempatan TKI PRT untuk negara penempatan Hong Kong
dan Singapura yang membebankan biaya premi asuransi kepada TKI PRT (lihat
Kepmenakertrans No. 98 Tahun 2012 Tentang Komponen Dan Besarnya Biaya
Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia Sektor Domestik Negara Tujuan Hong Kong
SAR dan,; Kepmenakertrans No. 588 Tahun 2012 Tentang Komponen Dan Besarnya Biaya
Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia Sektor Domestik Negara Tujuan Singapura).
Hal tersebut bertentangan dengan Permenakertrans tentang Asuransi TKI sebaliknya
komponen biaya premi asuransi yang membebankan biaya asuransi kepada PPTKIS,
bukan TKI. Jadi
Terdapat beberapa ketentuan yang spesifik mengatur bahwa beban pembayaran asuransi
menjadi tanggungjawab PPTKIS, yaitu:
1. Pasal 39 ayat (1) huruf f Permenakertrans No. 18 Tahun 2007, Pasal 53 ayat (1)
huruf f;
2. Permenakertrans No. 22 Tahun 2008 dan Pasal 45 ayat (1) huruf i
3. Permenakertrans No. 14 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Penempatan dan
Perlindungan TKI,
Permenakertrans a quo mengandung muatan materi aturan tidak sebagaimana dimaksud
dan tujuan ketentuan Pasal 76 ayat (1) dan (2) UU PPTKILN. Pasal 76 ayat (1) UU
PPTKILN menyatakan PPTKIS alias PJTKI hanya dapat membebankan biaya penempatan
kepada TKI untuk komponen biaya pengurusan jati diri, pemeriksaan kesehatan dan
psikologi dan pelatihan kerja serta sertifikasi kompetensi. PPTKIS tidak dapat memikulkan
biaya komponen premi asuransi TKI kepada TKI. Lebih lanjut Pasal 76 ayat (2) UU
PPTKILN hanya memberikan mandat kepada Menakertrans untuk membuat aturan yang
menetapkan tambahan komponen biaya penempatan apabila memang pihak pengguna atau
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 16
negara penempatan memang menetapkan komponen biaya tertentu menjadi tanggung
jawab TKI.
Tanggung jawab pembayaran premi asuransi TKI sudah diatur dalam Permenakertrans
khusus tentang Asuransi TKI yang merupakan lex spesialis. Artinya, ketentuan
Permenakertrans yang mengatur khusus tentang Asuransi TKI berbeda atau bertentangan
dengan Permenakertrans yang dimaksudkan mengatur pelaksanaan penempatan secara
umum. Prinsip hukum bahwa undang-undang atau aturan hukum yang bersifat khusus
melumpuhkan/mengenyampingkan aturan hukum yang bersifat umum (Lex specialis
derogat legi generali) seharusnya berlaku.
3. Muatan materi Permenakertrans a quo telah mengalihkan tanggung jawab PPTKIS
kepada TKI. Oleh karena mengandung materi muatan yang mengatur tentang
hak/kewajiban warga negara yang semestinya menjadi muatan materi Undang-Undang,
maka materi muatan Permenakertrans sudah menyalahi asas kewenangan pembentukan
aturan perundangan.
Menakertrans telah berlaku sewenang-wenang menyalahgunakan kewenangannya
membuat aturan hukum menyangkut perihal kewajiban warga negara dalam nomenklatur
Peraturan atau Keputusan Menakertrans. Padahal materi muatan tentang perihal hak atau
kewajiban warga negara adalah merupakan muatan-muatan materi yang hanya bisa diatur
dalam bentuk nomenklatur undang-undang. Tegasnya, tindakan Menakertrans yang
menerbitkan Permenakertrans dan Kepmenakertrans sebenarnya adalah bentuk
penyalahgunaan kekuasaan lantaran telah membuat aturan tidak sebagaimana dimaksud
dan tujuan dari ketentuan Pasal 76 ayat (1) dan (2) UU PPTKILN.
Dan dalam hal penempatan TKI melalui pemerintah (BNP2TKI), faktanya pihak TKI juga
dibebankan biaya premi asuransi berlandaskan Keputusan Menakertrans seperti
Kepmenakertrans No.258 Tahun 2007 tentang Biaya Penempatan dan Perlindungan TKI
Negara Tujuan Republik Korea atau Kepmenakertrans Nomor 17/MEN/II/2011 tentang
''Biaya Penempatan dan Perlindungan calon TKI Negara Tujuan Republik Korea''
tertanggal 7 Februari 2011 yang ditandatangani Menakertrans Muhaimin Iskandar.
c). Menyalahgunakan kekuasaan dalam kasus pemaksaan terhadap TKI untuk
membayar premi asuransi yang dilakukan pegawai BP3TKI.
Wewenang atau tugas pegawai BP3TKI sesuai ketentuan Pasal 98 ayat (2) UU PPTKILN
adalah memberikan kemudahan pelayanan pemrosesan seluruh dokumen penempatan TKI
seperti penerbitan KTKLN. Sesuai dengan ketentuan Pasal 68 UU PPTKILN junto Pasal 105
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 17
UU PPTKILN junto Surat Edaran Kepala BNP2TKI,. Idealnya, TKI Perseorangan tanpa
melalui PPTKIS adalah tidak wajib membayar asuransi. Faktanya, TKI perseorangan
terutama TKI pekerja rumah tangga (PRT) yang tidak menggunakan jasa komersial PPTKIS
tetap dipaksa atau diwajibkan membayar premi asuransi sebagai syarat pembuatan KTKLN.
Parameter penyalahgunaan wewenang atau menyalahgunakan kekuasaan berdasarkan
Asas Spesialitas secera negatif adalah bahwa “terjadinya penyalahgunaan wewenang
apabila penggunaan wewenang itu menyimpang dari tujuan” (Minarno, 2010, hal 83).
Guna mengukur tindakan pejabat administrasi yang termasuk wewenang bebas (diskresi)
tersebut melakukan penyalahgunaan wewenang atau tidak adalah dengan cara menilai
apakah tindakan pejabat tersebut menyimpang dari tujuan pemberian wewenang tersebut
atau tidak (asas larangan penyalahgunaan wewenang). Jika menyimpang dari tujuan
pemberian wewenang tersebut, maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai
penyalahgunaan wewenang[“Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi
dalam Pengelolaan Keuangan Daerah” : Nur Basuki Minarno : 88].
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 18
Sumber Rujukan:
Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta, Rieke Cipta, 2008. Hal 106, 111.
Minaro, Nur Basuki,. & Murhani, Suriansyah. Penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana
korupsi dalam pengelolaan keuangan daerah. Jakarta. Laksbang Mediatama, 2009.
Kliping Koran:
KPPU: Asuransi TKI Perkaya Pihak Tertentu. Antara News.
(http://www.antaranews.com/berita/1286884949/kppu-konsorsium-asuransi-tki-
perkaya-pihak-tertentu ), diakses pada 15 Juli 2014.
Dana Asuransi TKI Terkuras untuk Kegiatan Pialang Asuransi. Tribunnews,
http://www.tribunnews.com/bisnis/2013/07/15/dana-asuransi-tki-terkuras-untuk-
kegiatan-pialang-asuransi, diakses pada Juli 2014.
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 19
Lampiran Bukti Kasus Penipuan Klaim Asuransi TKI
Kronologi:
Belum usai duka yang dialami keluarga almarhumah Nur Rohmi (35) yang meninggal di
Arab Saudi, pihak keluarga harus kecewa karena klaim asuransi yang diterima dari
Konsorsium Proteksi TKI tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Konsorsium
Proteksi TKI hanya mencairkan klaim asuransi sebesar 55 juta rupiah dari 80 juta yang
seharusnya diterima keluarga almarhumah.
“Pihak Konsorsium Proteksi TKI berdalih bahwa klaim sebesar 55 juta rupiah sudah sesuai Peraturan Menakertrans No.07/2010 tentang Asuransi, padahal jelas-jelas Permenakertrans tersebut sudah dicabut dan diganti dengan Permenakertrans No.01/2012 tentang Asuransi, dimana nilai klaim untuk risiko meninggal dunia menjadi 75 juta ditambah 5 juta rupiah untuk biaya pemakaman.”ungkap Abdul Hadi, Sekjen Komunitas BMI-SA sekaligus kuasa hukum keluarga almarhumah Nur Rohmi.
Kejanggalan saat proses pencairan klaim asuransi yang dilakukan di Kantor Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Semarang juga ditunjukkanoleh AB Rachman, Kepala BP3TKI. Alih-alih menjadi saksi proses pencairan asuransi, Kepala BP3TKI Semarang justru berpihak kepada Proteksi TKI dengan menyebut bahwa Permenakertrans No.01/2012 tentang Asuransi itu tidak ada dan klaim asuransi almarhumah Nur Rohmi sudah sesuai.
“BP3TKI Semarang memang tidak memahami kebijakan dan dasar hukum asuransi TKI ataukah sengaja membiarkan penipuan yang dilakukan Konsorsium Proteksi TKI. Lebih-lebih Kepala BP3TKI justru memberikan informasi publik yang sesat dengan menyebut bahwa Permenakertrans No.01/2012 tentang Asuransi itu tidak ada.” papar Abdul Rahim Sitorus, Koordinator Advokasi PSD-BM saat bertemu keluarga almarhumah Nur Rohmi di BP3TKI Semarang.
Menyikapi indikasi penipuan klaim asuransi yang dilakukan Konsorsium Proteksi TKI dan dibiarkan oleh Kepala BP3TKI Semarang, maka Komunitas BMI SA akan berkoordinasi dengan jejaring organisasi buruh migran guna melakukan proses hukum dan pengaduan ke Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) di Jakarta.
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 20
DOKUMEN PENDUKUNG
Catatan: saksi no 2 adalah kepala BP3TKI Semarang
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 21
Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 22