Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

22
Lembar Kajian ASURANSI MEMERAS TKI KEBIJAKAN KORUPTIF ASURANSI DAN PRAKTIK PEMERASAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI) Disusun oleh Abdul Rahim Sitorus Advokat Konsultan dan Bantuan Hukum TKI Koordinator Advokasi Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSDBM) Yogyakarta www.buruhmigran.or.id Disampaikan kepada: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Oleh Jaringan Kerja Advokasi Buruh Migran 1. Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSDBM) – Infest Yogyakarta 2. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) 3. Solidaritas Perempuan (SP) 4. Indonesia Family Network (IFN) Singapura 5. Lakpesdam NU Cilacap 6. Jingga Media Cirebon 7. Paguyuban BMI Seruni Banyumas 8.Komunitas BMI Saudi Arabia Jaringan Advokasi Buruh Migran 2014 Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 1

description

Sejak Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (UU PPTKILN) diberlakukan pada tahun 2004, setiap tenaga kerja Indonesia (TKI) untuk periode penempatan pertama dan perpanjangan kontrak diwajibkan atau dipaksa untuk membayar premi Asuransi TKI. Pembayaran asuransi, saat ini, dilakukan kepada perusahaan Konsorsium Asuransi yang telah ditunjuk oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) melalui pialang asuransi. Pembayaran asuransi menjadi syarat pembuatan Kartu Tanda Kerja Luar Negeri (KTKLN). TKI diwajibkan membayar premi asuransi sebesar Rp 400.000,-. Padahal dalam UU 39/2004 tentang PPTKILN junto Permenakertrans tentang Asuransi TKI, tegas dinyatakan bahwa Asuransi adalah kewajiban PPTKIS, bukan TKI. Namun faktanya bertahun-tahun TKI dipaksa beli premi asuransi TKI. Melalui kajian ini PSD-BM bersama jejaring organisasi TKI ingin mengurai indikasi kebijakan koruptif Asuransi TKI.

Transcript of Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

Page 1: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

Lembar Kajian

ASURANSI MEMERAS TKI

KEBIJAKAN KORUPTIF ASURANSI DAN

PRAKTIK PEMERASAN TENAGA KERJA INDONESIA (TKI)

Disusun oleh

Abdul Rahim Sitorus

Advokat Konsultan dan Bantuan Hukum TKI

Koordinator Advokasi Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSDBM)

Yogyakarta www.buruhmigran.or.id

Disampaikan kepada:

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Oleh Jaringan Kerja Advokasi Buruh Migran

1. Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSDBM) – Infest Yogyakarta

2. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI)

3. Solidaritas Perempuan (SP)

4. Indonesia Family Network (IFN) Singapura

5. Lakpesdam NU Cilacap

6. Jingga Media Cirebon

7. Paguyuban BMI Seruni Banyumas

8.Komunitas BMI Saudi Arabia

Jaringan Advokasi Buruh Migran

2014

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 1

Page 2: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

ASURANSI MEMERAS TKI

KEBIJAKAN KORUPTIF ASURANSI, MEMERAS TKI

Oleh : Abdul Rahim Sitorus1

A. Pengantar

Sejak Undang-undang (UU) Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan

Tenaga Kerja Indonesia (UU PPTKILN) diberlakukan pada tahun 2004, setiap tenaga kerja

Indonesia (TKI) untuk periode penempatan pertama dan perpanjangan kontrak diwajibkan

atau dipaksa untuk membayar premi Asuransi TKI. Pembayaran asuransi, saat ini, dilakukan

kepada perusahaan Konsorsium Asuransi yang telah ditunjuk oleh Kementerian Tenaga

Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) melalui pialang asuransi. Pembayaran asuransi

menjadi syarat pembuatan Kartu Tanda Kerja Luar Negeri (KTKLN). TKI diwajibkan

membayar premi asuransi sebesar Rp 400.000,-.

TKI yang bekerja ke luar negeri menggunakan jasa Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja

Indonesia Swasta (PPTKIS) dan mandiri (perseorangan), keduanya diwajibkan membeli

premi asuransi komersial. TKI yang tidak memiliki asuransi tidak dapat memiliki KTKLN. TKI

menghadapi konsekuensi tidak adanya KTKLN berupa pembatalan dan cegah tangkal

(cekal) yang dilakukan secara sistematis di beberapa Bandara Internasional di Indonesia.

Perusahaan maskapai penerbangan, bahkan, turut menanyakan kepemilikan KTKLN

sebagai syarat penerbitan boarding pass bagi TKI. Ditemukan beberapa kasus maskapai

yang menolak penerbitan boarding pass karena TKI tidak memiliki KTKLN.

Pencekalan yang dilakukan terhadap TKI yang akan berangkat ke luar negeri tanpa KTKLN

dilakukan secara sistematis. Meski demikian, pencekalan tersebut tidak dilakukan secara

prosedural, yaitu dengan penerbitan secara resmi surat pencekalan yang menyebutkan

alasan terhalangnya TKI berangkat ke luar negeri. Pencekalan terhadap TKI sering

dilakukan secara lisan oleh petugas imigrasi di beberapa bandara Internasional Indonesia.

1 Advokat Konsultan & Bantuan Hukum TKI; Koordinator Advokasi Jejaring Pusat Sumber Daya Buruh Migran Yogyakarta.

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 2

Page 3: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

Tabel 1. Jumlah Penempatan TKI

NO TAHUN JUMLAH TKI

1 2006 680.000

2 2007 696.746

3 2008 644.731

4 2009 632.172

5 2010 575.803

6 2011 581.081

7 2012 s.d Sep 362.510

2006 s.d Sep 2012 4.173.043

Sumber data: PUSAT PENELITIAN PENGEMBANGAN DAN INFORMASI

(PUSLITFO BNP2TKI)

Menurut data BNP2TKI ada sejumlah 4.173.043 TKI telah ditempatkan sejak 2006 hingga

September 2012. Berdasarkan Peraturan Menakertrans sejak Tahun 2006 hingga 2012

jumlah premi asuransi untuk setiap TKI ditetapkan sebesar Rp 400.000,- (empat ratus ribu

rupiah). Sepanjang tahun 2006 hingga 2012 diperkirakan asuransi TKI yang terakumulasi

sebesar Rp 1.669.217.200.000,- (satu trilyun enam ratus enam puluh sembilan milyar dua

ratus tujuh belas juta dua ratus ribu rupiah). Dana tersebut dipungut paksa dari setiap TKI

melalui pembayaran premi asuransi berdalih perlindungan TKI.

Padahal berdasarkan UU PPTKILN junto Peraturan Menakertrans tentang Asuransi TKI

sejak tahun 2006 hingga tahun 2012 terang benderang bahwa TKI bukanlah subjek hukum

atau pihak yang diwajibkan membayar premi asuransi TKI. Sebab, pihak yang berkewajiban

membayar premi Asuransi TKI adalah PPTKIS alias PJTKI. Setiap TKI pada kenyataannya

diwajibkan oleh petugas BNP2TKI/BP3TKI untuk memiliki Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri

(KTKLN) dengan asuransi sebagai salah syarat mendapatkan KTKLN.

Fakta menunjukkan bahwa setiap TKI yang ditempatkan oleh PPTKIS alias PJTKI untuk

masa penempatan pertama atau pun pada periode perpanjangan kontrak dipungut biaya

premi Asuransi TKI sebagai syarat pembuatan Kartu Tenaga Kerja Luar negeri (KTKLN).

Mengacu UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja

Indonesia (UU PPTKILN) junto Peraturan Menakertrans No. 7 Tahun 2010 tentang Asuransi

TKI, TKI bukanlah subjek hukum atau pihak yang diwajibkan membayar premi asuransi TKI.

Pihak yang berkewajiban membayar premi Asuransi TKI adalah PPTKIS (dikenal umum

dengan istilah PJTKI).

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 3

Page 4: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menakertrans No. 7 Tahun 2010 tentang

Asuransi TKI terang benderang bahwa subjek hukum atau pihak yang diwajibkan membayar

premi asuransi TKI.

“Pelaksana Penempatan TKI Swasta wajib mengasuransikan calon TKI/TKI pada

konsorsium asuransi TKI yang telah ditetapkan sebagai penyelenggara program asuransi

TKI dengan membayar premi asuransi TKI.”

(Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menakertrans No. 7 Tahun 2010 tentang Asuransi TKI)

Serupa dengan proses penempatan TKI untuk pertama kali, PPTKIS juga berkewajiban

untuk memperpanjang kepesertaan asuransi TKI apabila TKI tersebut memperpanjang

kontrak atau perjanjian kerja. Pasal 17 Pasal 17 Peraturan Menakertrans No. 7 Tahun

2010 tentang Asuransi TKI menyebutkan secara eksplisit bahwa PPTKIS adalah pihak

atau subjek hukum yang berkewajiban memperpanjang kepesertaan asuransi TKI berkaitan

dengan membayar asuransi.

(1) Dalam hal TKI memperpanjang perjanjian kerja melalui Pelaksana Penempatan TKI

Swasta, maka Pelaksana Penempatan TKI Swasta wajib memperpanjang kepesertaan

asuransi TKI yang bersangkutan dengan membayar premi asuransi.

(Pasal 17 Peraturan Menakertrans No. 7 Tahun 2010 tentang Asuransi TKI)

Praktik pemaksaan pembayaran premi asuransi TKI tanpa dasar hukum dapat digolongkan

sebagai tindak pidana korupsi pemerasan. Tindakan tersebut melanggar Pasal 12 huruf e

UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Kajian ini mencoba memaparkan kemungkinan terjadinya praktik korupsi berupa

pemerasan dengan TKI sebagai korban.

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 4

Page 5: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

Terdapat beberapa unsur tindak pidana korupsi “pemerasan”, seperti yang diatur pada pada

pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:

1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara

2. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain

3. Secara melawan hukum

4. Memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran

dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya

5. Menyalahgunakan kekuasaan.

Tindak Pidana Korupsi “Pemerasan” dalam Pasal 12 huruf e UU No. 20 Tahun 2001

tentang Perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi :

“pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri

sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan

kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima

pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri”.

B. Penjelasan Unsur-Unsur Tindak Pidana Korupsi “Pemerasan” dalam kebijakan

Asuransi TKI

Secara rinci berikut pemenuhan unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi “Pemerasan” dalam

kebijakan Asuransi TKI:

1) Unsur “Pegawai negeri atau penyelenggara negara”;

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) adalah penyelenggara negara yang

mendapat kewenangan berdasarkan Pasal 68 ayat (2) UU PPTKILN untuk menerbitkan

aturan perundangan tentang program asuransi TKI dalam bentuk nomenklatur Peraturan

Menteri. Faktanya, para Menakertrans sejak tahun 2006 hingga 2012 telah mengeluarkan

Peraturan Menakertrans dan Keputusan Menakertrans tentang asuransi TKI dan

penyelenggara asuransi TKI berbentuk perusahaan konsorsium asuransi swasta komersial.

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 5

Page 6: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

Peraturan Menakertrans dan Keputusan Menakertrans tentang asuransi TKI tersebut

ditunaikan oleh BNP2TKI/BP3TKI beserta jajarannya di seluruh Indonesia selaku lembaga

pelaksana kebijakan penempatan dan perlindungan TKI. Pelaksanaan aturan tentang

asuransi TKI tersebut dilakukan oleh petugas-petugas BP3TKI ketika TKI secara mandiri

ataupun melalui PJTKI mengurus proses pembuatan KTKLN.

Pelaku yang memaksa atau mewajibkan membayar premi asuransi TKI sebagai syarat

penerbitan/pembuatan KTKLN adalah petugas BNP2TKI/BP3TKI yang bekerja sama

dengan petugas perusahaan asuransi dan atau pialang asuransi demi menjalankan aturan

dan keputusan dikeluarkan oleh Menakertrans. Petugas BNP2TKI/BP3TKI adalah pegawai

negeri yang bertugas melayani pengajuan permohonan pembuatan KTKLN bagi setiap TKI,

baik yang diajukan oleh setiap TKI secara mandiri/langsung ataupun pengajuan melalui

PJTKI. Salah satu syarat pembuatan KTKLN adalah Kartu Peserta Asuransi (KPA) yang

wajib dimiliki oleh setiap TKI.

Saat mengurus KTKLN petugas BNP2TKI/BP3TKI mewajibkan setiap TKI memiliki KPA

dengan cara membayar premi asuransi sejumlah Rp 400.000,- kepada perusahaan

Konsorsium Asuransi TKI melalui perusahaan pialang asuransi. Perusahaan Konsorsium

Asuransi TKI beserta perusahaan pialang asuransi TKI tersebut adalah perusahaan

asuransi komersial yang telah ditetapkan oleh Menakertrans berdasarkan nomenklatur

Peraturan dan Keputusan Menakertrans selaku penyelenggara negara yang memiliki

kewenangan mengatur program asuransi TKI selaras ketentuan Pasal 68 UU PPTKILN.

Guna mendapatkan Kartu Peserta Asuransi, setiap TKI ataupun PJTKI diharuskan

mengurusnya kepada pihak perusahaan Konsorsium Asuransi TKI melalui perusahaan

pialang asuransi yang sudah ditetapkan oleh Menakertrans. Setiap TKI diwajibkan

membayar premi sebesar Rp 400.000,- langsung melalui perusahaan pialang asuransi TKI

untuk disetorkan kepada perusahaan konsorsium asuransi. Jika TKI ditempatkan melalui

PJTKI, maka setiap TKI membayar premi asuransi sebesar Rp 400.000,- kepada

perusahaan pialang asuransi/konsorsium asuransi melalui PJTKI. Pihak PJTKI dapat

meminta uang tunai kepada setiap TKI untuk premi asuransi sebagai komponen biaya

penempatan ataupun dapat menagih biaya pembayaran premi asuransi dengan cara

pemotongan gaji TKI. Pengurusan KPA dan pembayaran premi asuransi dilakukan di kantor

pialang asuransi TKI yang berada di lokasi kantor BP3TKI atau di Bandara Soekarno Hatta.

Jelas bahwa petugas BNP2TKI/BP3TKI yang mewajibkan pembayaran asuransi TKI

sebagai syarat pembuatan KTKLN adalah pegawai negeri yang menjalankan tugas sesuai

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 6

Page 7: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

perintah dari Menakertrans dalam bentuk Peraturan dan Keputusan Menakertrans,

sedangkan Menakertrans adalah penyelenggara negara. Jadi petugas BP3TKI selaku

subjek hukum yang menjadi unsur pelaku (daader) dan sedangkan Menakertrans

merupakan pihak yang memerintahkan yang memenuhi unsur pegawai negeri atau

penyelenggara negara dalam rumusan Pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999 junto UU

No. 20 Tahun 2001. Tindakan atau perbuatan hukum Menakertrans dengan cara

membuat Peraturan dan Keputusan tentang Asuransi TKI adalah merupakan suatu

kebijakan resmi yang menjadi dasar pijakan bagi petugas BNP2TKI / BP3TKI untuk

mewajibkan atau memaksa TKI membayar premi asurasi TKI sebagai syarat

penerbitan KTKLN.

2) Unsur “Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain”;

Apakah unsur “dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain” sungguh-

sungguh ada dalam kebijakan/peraturan/keputusan Menakertrans tentang asuransi TKI?

Apakah kebijakan / peraturan Menakertrans tentang asuransi TKI dan keputusan

Menakertrans dimaksudkan untuk menguntungkan perusahaan konsorsium asuransi dan

atau perusahaan pialang asuransi TKI sebagaimana ketentuan Pasal 12 huruf e UU No. 31

Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001?

Teori kesengajaan (opzet) berdasarkan kehendak (willen) dan pengetahuan (weten)

sebagai unsur subjektif dari syarat pemidanaan yang terletak pada diri pembuat dan bukan

pada kenyataan yang objektif (Hamzah, 2008).

Pegawai negeri di BNP2TKI/BP3TKI, selaku pegawai negeri yang melayani pembuatan

KTKLN jelas menjalankan perintah Menakertrans selaku penyelenggara negara yang

berwenang terkait kebijakan penetapan perusahaan Konsorsium Asuransi TKI dan

perusahaan pialang asuransi komersial. Pemaksaan yang dilakukan oleh para petugas

BNP2TKI/BP3TKI terhadap setiap TKI untuk membeli premi asuransi kepada perusahaan

asuransi komersial melalui perusahaan pialang asuransi dapat dengan mudah dibuktikan

akan memberikan keuntungan kepada perusahaan asuransi dan pialang asuransi yang

didirikan dengan tujuan meraup laba sebanyak-banyaknya. Komisi Pengawas Persaingan

Usaha (KPPU) menyebut sistem perasuransian tersebut memerkaya pihak tertentu. TKI

sebagai pihak yang idealnya dilindung, justeru menjadi subjek (Antara News, Oktober 2010).

Petugas BNP2TKI/BP3TKI hanya melaksanakan perintah jabatan selaku pegawai negeri

BNP2TKI/BP3TKI yang bertugas melayani penerbitan KTKLN dengan persyaratan wajib

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 7

Page 8: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

membayar premi asuransi terhadap TKI yang bersangkutan. Dengan begitu jelas bahwa

petugas BNP2TKI/BP3TKI dapat dikatakan tidak bermaksud menguntungkan diri sendiri

ataupun orang lain.

Berdasarkan investigasi Majalah TEMPO Edisi 05-11 September 2011 terungkap bahwa

dari total Rp 400.000,- premi asuransi TKI 50 % atau sebesar Rp 200.000,- disetorkan

Konsorsium Asuransi TKI PROTEKSI sebagai imbalan (fee) kepada perusahaan pialang

(broker) PT. Paladin International. Besarnya imbalan ini membuat perusahaan asuransi tak

bisa memberikan manfaat optimal untuk TKI (Investigasi Jejak Korupsi Asuransi TKI Majalah

“TEMPO” edisi 5 – 11 September 2011, hal. 60 kolom 2-3).

Pemotongan premi asuransi terjadi dalam pengelolaan dana jaminan TKI ini. Total Rp

400.000 premi asuransi TKI 50 % atau sebesar Rp 200.000,- dipotong lebih dulu sebagai

imbalan (fee) untuk perusahaan pialang (broker) PT. Paladin International. Sisanya

disetorkan kepada Konsorsium Asuransi TKI PROTEKSI. Besarnya imbalan ini membuat

perusahaan asuransi tak bisa memberikan manfaat optimal untuk TKI (Majalah “TEMPO”

edisi 5 – 11 September 2011, hal. 60 kolom 3).

Fakta temuan laporan BPK Juli 2011 biaya pialang atau brokerage fee berkisar 20 – 50 %

dari total premi pada konsorsium asuransi TKI sangat tinggi. Menurut Auditor BPK, Hasan

Bisri, tingginya fee pialang membuat nilai riil premi yang dikelola perusahaan asuransi

menyusut. Otomatis nilai manfaatnya yang bisa diklaim TKI ikut berkurang. Akibatnya,

perusahaan asuransi kesulitan menutup klaim asuransi para TKI. (Majalah “TEMPO” edisi 5

– 11 September 2011, hal. 60 kolom 2-3).

Menakertrans di hadapan Komisi IX DPR RI tanggal 8 September 2011 melaporkan fakta

bahwa sejak tahun 2010 hingga bulan September 2011 ternyata sudah terkumpul dana

asuransi TKI sebesar Rp 180 milyar sedangkan pembayaran klaim yang telah dicairkan

kepada TKI hanya sejumlah Rp 10 milyar. Jadi faktanya perusahaan asuransi dan

pialang asuransi sudah menikmati keuntungan sekitar Rp 170 milyar.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa 50% dana asuransi TKI dikelola oleh

asuransi TKI, sementara 50% dikelola oleh Palladin Internasional untuk rincian dana

pengurusan TKI. Dana 179 Miliar diduga habis untuk dana kegiatan Palladin, seperti

cadangan operasional, CSR, pajak, gaji dan sponsor (Tribunnews, 15 Juli 2013).

Pihak yang paling diuntungkan dalam pengelolaan asuransi TKI adalah perusahaan

broker/pialang asuransi PT. Paladin International. PT. Paladin mendapatkan fee sebesar

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 8

Page 9: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

50% dari setiap jumlah premi yang dibayarkan oleh TKI. Jika TKI yang pulang cuti

perpanjang kontrak bayar premi asuransi Rp 290.000,-, maka 50 % dari nilai Rp 290.000,-

adalah upah untuk perusahaan pialang asuransi PT. Paladin International. Sedangkan

sisanya sejumlah Rp 145.000,- lagi, jika tidak ada klaim, maka akan menjadi keuntungan

bagi perusahaan asuransi komersial yang tergabung dalam Konsorsium Asuransi TKI

PROTEKSI.

Ada 2 (dua) modus untuk menguntungkan pihak lain yaitu, pertama, pembagian fee sebesar

50 % dari total premi Rp 400.000,- untuk perusahaan pialang asuransi. (Fee sebesar 50 %

ini disampaikan dan diketahui Menakertrans Muhaimin Iskandar, baca Majalah “TEMPO”

edisi 5 – 11 September 2011, hal. 70, kolom 2-3).

Kedua, dengan cara mempersulit pengajuan klaim, membayar klaim ala kadarnya tidak

sesuai jumlah klausul pertanggungan atau bahkan menolak pembayaran klaim sama sekali

dengan berbagai dalih. Pihak yang mempersulit atau bahkan menolak klaim TKI justru

berasal dari pialang asuransi yang seharusnya bertindak mewakili kepentingan TKI sebagai

pihak tertanggung. Anehnya, praktik melanggar UU Usaha Perasuransian, pialang asuransi

yang bertindak untuk kepentingan perusahaan asuransi malah diketahui dan dibiarkan oleh

Menakertrans.

Maksud untuk menguntungkan orang lain (teori kesengajaan yang diobjektifkan) yakni

perusahaan asuransi dan atau perusahaan pialang asuransi dapat dilihat, dianalisa dan

dibuktikan merujuk pada fakta adanya pembuatan kebijakan oleh Menteri. Menakertrans

membuat kebijakan peraturan dan keputusan yang menetapkan lembaga pengelola program

asuransi wajib yang bersifat sosial justru kepada perusahaan asuransi dan atau perusahaan

pialang asuransi yang keduanya bersifat komersial atau bertujuan meraup laba sebesar-

besarnya.

Kenapa Menakertrans memilih menetapkan perusahaan asuransi dan pialang asuransi

swasta komersial? Bukan BUMN?. Dalam hal asuransi komersial (perusahaan asuransi

yang terdaftar di Departemen Keuangan), penetapan jenis pertanggungan dan preminya

dilakukan berdasarkan hasil kompetisi secara terbuka diantara perusahaan asuransi.

Sedangkan untuk asuransi sosial jenis pertanggungan/asuransi TKI beserta besaran premi

ditetapkan oleh pemerintah. Terkait hal ini hanya PT. Jamsostek yang menurut ketentuannya

dapat menjadi penjamin asuransi TKI sepanjang diberi kewenangan yang perlu ditetapkan

dalam peraturan pemerintah. Nyatanya, kebijakan Asuransi TKI tidak tergolong sebagai

asuransi sosial dan tidak juga berupa asuransi komersial.

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 9

Page 10: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

Analisis sikap batin Menakertrans pakai teori pidana Aji mumpung sesuai ”teori

kesengajaan yang diobyektifkan” (Eddy OS. Hiariej). Kesengajaan atau maksud/sikap

batin Menakertrans untuk menguntungkan pihak asuransi dan pialang asuransi dapat

dibuktikan karena selaras UU Perasuransian asuransi yang bersifat wajib hanya dapat

diselenggarakan oleh BUMN; bukan usaha asuransi komersial. Namun, nyatanya

Menakertrans justru mengatur dan menetapkan badan penyelenggara asuransi yang

bersifat wajib kepada perusahaan asuransi dan pialang asuransi komersial yang bertujuan

meraup laba semata. Dapat dipastikan bahwa Menakertrans mengetahui dan menghendaki

agar perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi komersial dapat mengeruk

untung (mendapatkan keuntungan) sebagai penyelenggara program asuransi TKI yang

bersifat wajib.

Padahal semestinya Menakertrans menetapkan bahwa badan penyelenggara program

asuransi TKI yang bersifat wajib adalah BUMN sesuai ketentuan Pasal UU Usaha

Perasuransian. Jika BUMN atau negara akan mendapatkan keuntungan bila

menyelenggarakan program asuransi TKI yang bersifat wajib. Dengan begitu terdapat

kemungkinan Menakertrans telah menimbulkan kerugian negara karena tidak ada BUMN

yang ditetapkan oleh Menakertrans sebagai badan penyelenggaraan program asuransi TKI

yang bersifat wajb.

Melalui beberapa Kepmenakertrans, Menteri telah menetapkan beberapa konsorsium

asuransi TKI. Melalui Kepmenakertrans Nomor 212/2013, Kepmenakertrans Nomor

213/2013, Kepmenakertrans Nomor 214/2013 menteri telah menetapkan tiga konsorsium

asuransi TKI, yaitu Jasindo, Astindo dan Mitra TKI. Penetapan tersebut menunjukkan

besarnya peran asuransi komersial dalam penanganan asuransi TKI.

3) Unsur “secara melawan hukum”; Bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 1992

tentang Usaha Perasuransian jo PP No. 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan

Usaha Perasuransian.

Pemaksaan membayar premi asuransi sebesar Rp 400.000,- kepada perusahaan asuransi

komersial melalui perusahaan pialang asuransi komersial adalah melanggar ketentuan UU

No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian jo PP No. 73 Tahun 1992 tentang

Penyelenggaraan Usaha Perasuransian. Pemaksaan terhadap BMI/TKI untuk membayar

premi asuransi TKI yang dilakukan pegawai BNP2TKI/BP3TKI melanggar ketentuan Pasal

68 ayat (1) UU PPTKILN jo Pasal 29 ayat (2) Permenakertrans No. 14 Tahun 2011. Pegawai

BP3TKI juga dianggap melawan hukum lantaran telah melanggar Penjelasan Pasal 6 UU

No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 10

Page 11: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

Berdasarkan ketentuan Pasal 68 ayat (1) UU PPTKILN jo Pasal 29 ayat (2)

Permenakertrans No. 14 Tahun 2011 TKI semestinya bukan pihak yang diwajibkan untuk

membayar premi asuransi. Pihak yang diwajibkan pada UU tersebut adalah majikan,

pengguna jasa melalui PPTKIS. Mengacu pada Penjelasan Pasal 6 dan Penjelasan Umum

UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, maka jelaslah bahwa semestinya

seseorang (termasuk TKI) tidak boleh dipaksa atau diwajibkan membayar atau membeli

premi asuransi yang bersifat komersial.

Peraturan Menakertrans No. 7 Tahun 2010 tidak memiliki unsur yang mewajibkan atau

memaksa TKI membayar atau membeli premi asuransi TKI kepada perusahaan asuransi

komersial. Begitu pula, Pasal 68 UU PPTKILN secara jelas tidak mewajibkan atau

memaksa TKI membayar atau membeli premi asuransi TKI kepada perusahaan asuransi

komersial sebesar Rp 400.000,- atau berapa pun.

Konsorsium Asuransi PROTEKSI TKI adalah terdiri dari beberapa perusahaan asuransi dan

perusahaan pialang asuransi komersial yang didirikan dengan tujuan untuk meraup laba

sebesar-besarnya. Pendek kata, asuransi TKI adalah asuransi komersial. Paska

penghentian asuransi proteksi oleh Otoritas Jasa Keuangan sejak 1 Agustus 2013,

Menakertrans telah menetapkan pihak yang menggantikan fungsi konsorsium tersebut.

Melalui beberapa Kepmenakertrans, Menteri telah menetapkan beberapa konsorsium

asuransi TKI. Melalui Kepmenakertrans Nomor 212/2013, Kepmenakertrans Nomor

213/2013, Kepmenakertrans Nomor 214/2013 menteri telah menetapkan tiga konsorsium

asuransi TKI, yaitu Jasindo, Astindo dan Mitra TKI. Penetapan tersebut menunjukkan

besarnya peran asuransi komersial dalam penanganan asuransi TKI.

Pemaksaan pihak pemerintah/BNP2TKI/BP3TKI yang mewajibkan TKI menggunakan jasa

Konsorsium Asuransi TKI dan menggunakan pialang asuransi komersial tertentu merupakan

pelanggaran terhadap kebebasan yang menjadi hak asasi manusia dari setiap TKI serta

melanggar UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. Ketentuan Pasal 6 UU NO.

2 tahun 1992 yang dalam penjelasannya secara tegas menekankan :”Ketentuan ini

dimaksudkan untuk melindungi hak tertanggung agar dapat secara bebas memilih

perusahaan asuransi sebagai penanggungnya." Mengacu pada Penjelasan Pasal 6 dan

Penjelasan Umum UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, maka jelaslah

bahwa semestinya seseorang (termasuk TKI) tidak boleh dipaksa atau diwajibkan

membayar atau membeli premi asuransi yang bersifat komersial.

Pendapat hukum kami, selaku tim advokasi TKI, menyatakan bahwa pemaksaan terhadap

TKI untuk membeli atau membayar premi asuransi TKI adalah tindak kejahatan pemerasan

oleh pejabat atau penyelenggara negara. TKI, pada konteks ini, adalah korban pemerasan

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 11

Page 12: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

yang dilakukan secara sistematis. Pemerasan tersebut bertentangan dengan Pasal 12 huruf

e UU No. 31 tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

Masalah materi muatan Permenakertrans tentang Asuransi TKI yang bersifat melawan

hukum karena bertentangan dengan aturan UU Asuransi adalah terkait:

pertama, TKI diwajibkan ikut serta atau menjadi peserta asuransi komersial

melanggar ketentuan Pasal 6 UU NO. 2 tahun 1992.

Kedua, unsur pemaksaan untuk memakai jasa perusahaan konsosium asuransi

komersial dan kewajiban menggunakan pialang asuransi.

Ketiga, pemaksaan membayarkan sejumlah premi asuransi yang sudah ditetapkan

lebih dulu sebesar Rp 400.000,-. Sebab, premi asuransi harus ditetapkan

berdasarkan kesepakatan para pihak (pihak penanggung dengan tertanggung)

secara suka rela.

Keempat, peran pialang sebagai pengelola premi asuransi dengan porsi 50 % dari

keseluruhan jumlah premi asuransi.

Pada kenyataannya pialang atau broker bukan berperan untuk kepentingan TKI selaku

tertanggung. Tapi justru pialang secara sengaja tidak memberikan polis sehingga TKI tidak

tahu hak-haknya. Pihak pialang juga tidak membantu TKI menguruskan syarat-syarat

pengajuan klaim TKI yang semestinya menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Alih-alih saat

pengajuan klaim malah pialang yang bertindak untuk dan atas nama Konsorsium Asuransi

menolak pengajuan klaim TKI. Bahkan terakhir Direktur Utama pialang Surachman Jusuf

justru beralih tugas jadi pengurus Konsorsium Asuransi TKI. Jadi keberadaan fungsi dan

peran pialang merupakan pintu masuk korupsi dan kolusi.

Berikut ini adalah beberapa penjelasan tentang pelanggaran sistematis tentang asuransi

TKI:

1. Mengacu ketentuan Pasal 68 UU PPTKILN junto Pasal 15 ayat (1)

Permenakertrans No. 7 Tahun 2010 TKI bukanlah subjek hukum atau orang yang

dibebani kewajiban hukum membayar premi asuransi. Mengacu pada

Permenakertrans tentang Asuransi TKI, subjek hukum yang memikul kewajiban

membayar premi asuransi TKI untuk penempatan pertama kali adalah PPTKIS

(Pasal 15 ayat (1) Permenakertrans No. 7 Tahun 2010). Terkait dengan

perpanjangan kontrak kerja TKI, subjek hukum yang dibebani kewajiban membayar

premi asuransi TKI adalah PPTKIS (Pasal 17 ayat (1) Permenakertrans No. 7 Tahun

2010) atau pihak majikan (Pasal 29 ayat (2) huruf a Permenakertrans No. 14

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 12

Page 13: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

Tahun2010). Subjek hukum yang diwajibkan untuk membayarkan asuransi TKI

bukanlah individu TKI itu sendiri.

2. Merujuk Pasal 6 UU NO. 2 tahun 1992 sangat jelas bahwa setiap orang bebas

memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya. Pemaksaan untuk

membayar premi asuransi kepada perusahaan asuransi komersial melalui

perusahaan pialang asuransi juga tergolong tindak pemerasan yang bersifat

melawan hukum karena melanggar ketentuan Pasal 6 UU NO. 2 tahun 1992.

Pemaksaan pihak pemerintah/BNP2TKI/BP3TKI yang mewajibkan memakai Konsorsium

Asuransi TKI dan menggunakan pialang asuransi komersial tertentu merupakan pelanggran

terhadap kebebasan yang menjadi hak asasi manusia dari setiap TKI serta melanggar UU

No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian

Ketentuan Pasal 6 UU NO. 2 tahun 1992 yang dalam penjelasannya secara tegas

menekankan: ”Ketentuan ini dimaksudkan untuk melindungi hak tertanggung agar dapat

secara bebas memilih perusahaan asuransi sebagai penanggungnya."

3. pemaksaan membayar premi asuransi TKI sebagai syarat mendapatkan pekerjaan di

luar negeri adalah melanggar Pasal UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 23

ayat (1) DUHAM setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan dan berhak

atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil serta menguntungkan. Hal

tersebut termuat pula dalam Pasal 38 ayat (2) UU HAM yang menyatakan

kebebasan memilih pekerjaan dan hak atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang

adil.

4. Pemaksaan untuk membayar premi asuransi TKI kepada kepada perusahaan

komersial Konsorsium Asuransi melalui pialang asuransi dengan ancaman hukuman

berakibat pembatalan keberangkatan ke luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan

dengan tujuan menguntungkan/memperkaya orang lain sesungguhnya adalah

melanggar Penjelasan Pasal 74 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM bahwa

siapapun tidak dibenarkan mengambil keuntungan sepihak dan atau mendatangkan

kerugian kepada pihak lain sehingga mengakibatkan berkurangnya dan atau

hapusnya HAM.

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 13

Page 14: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

4) Unsur pemaksaan membayar – “Memaksa seseorang memberikan sesuatu,

membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan

sesuatu bagi dirinya”.

Unsur paksaan membayar premi asuransi terhadap setiap TKI sangat terang benderang

telah benar-benar terjadi yang dilakukan oleh pegawai negeri BNP2TKI bekerja sama

dengan petugas Konsorsium Asuransi TKI/pialang asuransi terhadap TKI ketika proses

permohonan pembuatan KTKLN. Faktanya, TKI dipaksa harus membayar premi asuransi

sebagai syarat pembuatan KTKLN kepada perusahaan Konsorsium Asuransi komersial

melalui perusahaan pialang asuransi komersial yang telah ditetapkan Menakertrans. Artinya,

TKI dipaksa memakai jasa komersial bukan hanya jasa perusahaan asuransi tapi juga

perusahaan pialang asuransi.

Faktanya, Pegawai Negeri BNP2TKI / BP3TKI demi menjalankan aturan yang ditetapkan

oleh Menakertrans, memaksa setiap TKI, baik yang perseorangan, melalui PJTKI atupun

BNP2TKI, untuk membayar premi asuransi TKI sebagai syarat pembuatan KTKLN. Padahal

TKI bukanlah orang atau subjek hukum yang boleh dipaksa /diwajibkan membayar premi

asuransi TKI. Jadi unsur paksaan dialami oleh TKI karena secara hukum TKI bukanlah

orang atau subjek hukum yang diwajibkan membayar premi asuransi TKI. Lebih tepatnya

TKI mengalami paksaan membayar /memberikan sesuatu kepada pegawai negeri tanpa

dasar hukum atau tanpa alasan yang sah atau secara melawan hukum dengan ancaman

kekerasan yang lazim disebut pemerasan atau pemalakan (Pasal 368 KUHP). Dengan kata

lain TKI diperas / dipalak oleh pegawai negeri / penyelenggara negara lantaran dipaksa

membayar premi asuransi yang bukan merupakan kewajiban hukumnya dengan ancaman

kekerasan.

Dalam kasus TKI perseorangan / mandiri, TKI tidak dapat menolak karena jika menolak

atau tidak membayar premi asuransi, maka TKI tidak akan mendapatkan Kartu Peserta

Asuransi (KPA). Tanpa KPATKI tidak akan memperloleh KTKLN. TKI tanpa KTKLN

menghadapi sanksi administrartif berupa pembatalan keberangkatan ke luar negeri.

Pada konteks penempatan TKI melalui PPTKIS ataupun melalui BNP2TKI, meski pihak atau

subjek yang dipaksa membayar premi asuransi adalah pihak PJTKI saat pengurusan

pembuatan KTKLN, namun pada akhirnya pihak TKI menjadi subjek yang sesungguhnya

dipaksa membayar premi asuransi. Pemotongan gaji juga terjadi guna membayar premi

asuransi dengan dalih sebagai salah satu komponen biaya penempatan yang wajib dibayar

TKI.

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 14

Page 15: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

5) Unsur menyalahgunakan kekuasaan.

a). Penyalahgunaan kekuasaan melalui penerbitan Peraturan dan Kepmenakertrans

tidak sesuai maksud dan tujuan pemberian wewenang untuk mengatur masalah “jenis

program asuransi” TKI sebagaimana dimaksud Pasal 68 UU PPTKILN.

Terdapat beberapa bentuk penyalahgunaan yang dilakukan oleh Menakertrans,

berpedoman pengertian menyalahgunakan kekuasaan berdasarkan penjelasan Pasal 8 UU

PTPPO, yaitu :

1. Menjalankan kekuasaan yang ada padanya secara tidak sesuai tujuan pemberian

kekuasaan. Dengan kata lain, Menakertrans telah menyalahgunakan kekuasaan

lantaran tindakan membuat Peraturan dan Keputusan menyimpang dari tujuan

pemberian wewenang sesuai ketentuan Pasal 68 UU PPTKILN. Lugasnya,

Menakertrans menerbitkan Peraturan dan Kepmenakertrans tidak sesuai maksud dan

tujuan pemberian wewenang untuk mengatur masalah “jenis program asuransi” TKI

sebagaimana dimaksud Pasal 68 UU PPTKILN;

2. Menjalankan kekuasaannya secara tidak sesuai ketentuan peraturan. Karena

Menakertrans menetapkan materi muatan Peraturan dan Kepmenakertrans yang

bertentangan dengan UU No. 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.

Menakertrans memang berwenang menetapkan jenis program perlindungan bagi TKI, tetapi

tidak dengan menentukan perusahaan asuransi, konsorsium dan pialangnya yang bersifat

komersial. Akibatnya, perusahaan asuransi TKI tidak bisa melindungi TKI. Apalagi, asuransi

tersebut bersifat komersial.

Permenakertrans/Kepmenakertrans itu justru bertentangan dengan UU PPTKILN khususnya

pasal 5, 6, 7, dan 80 yang menyatakan prinsip perlindungan TKI dalam asuransi TKI.

Perlindungan TKI termasuk pemberian bantuan hukum di negara tujuan penempatan TKI

yang menjadi ruang lingkup pertanggungan asuransi.

Pertanyaan mendasar terkait dengan penetapan konsorsium terkait dengan hak dan

wewenang Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk mengatur asuransi komersial.

Usaha perasuransian adalah wewenang Menteri Keuangan sesuai UU No. 2 Tahun 1992

tentang Usaha Perasuransian. Peraturan Menakertrans No. 7 Tahun 2010 tentang Asuransi

TKI dalam konsideran mencantumkan UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.

Menakertrans yang membuat peraturan tentang asuransi TKI mengacu pada UU Usaha

Perasuransian, justeru melanggar UU Keasuransian.

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 15

Page 16: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

b). Penyalahgunaan kekuasaan karena TKI bukan subjek hukum yang wajib

membayar premi asuransi.

Menakertrans menerbitkan Peraturan dan Keputusan yang justru membolehkan PPTKIS

membebankan biaya premi asuransi sebagai komponen biaya penempatan yang

ditanggung TKI. Mengacu pada Pasal 45 ayat (1) huruf i Permenakertrans No. 14 Tahun

2010 pihak PJTKI/PPTKIS boleh membebankan biaya premi asuransi TKI sebagai

komponen biaya penempatan. Secara khusus Menakertrans juga mengeluarkan 2 (dua)

Keputusan mengenai Biaya Penempatan TKI PRT untuk negara penempatan Hong Kong

dan Singapura yang membebankan biaya premi asuransi kepada TKI PRT (lihat

Kepmenakertrans No. 98 Tahun 2012 Tentang Komponen Dan Besarnya Biaya

Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia Sektor Domestik Negara Tujuan Hong Kong

SAR dan,; Kepmenakertrans No. 588 Tahun 2012 Tentang Komponen Dan Besarnya Biaya

Penempatan Calon Tenaga Kerja Indonesia Sektor Domestik Negara Tujuan Singapura).

Hal tersebut bertentangan dengan Permenakertrans tentang Asuransi TKI sebaliknya

komponen biaya premi asuransi yang membebankan biaya asuransi kepada PPTKIS,

bukan TKI. Jadi

Terdapat beberapa ketentuan yang spesifik mengatur bahwa beban pembayaran asuransi

menjadi tanggungjawab PPTKIS, yaitu:

1. Pasal 39 ayat (1) huruf f Permenakertrans No. 18 Tahun 2007, Pasal 53 ayat (1)

huruf f;

2. Permenakertrans No. 22 Tahun 2008 dan Pasal 45 ayat (1) huruf i

3. Permenakertrans No. 14 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Penempatan dan

Perlindungan TKI,

Permenakertrans a quo mengandung muatan materi aturan tidak sebagaimana dimaksud

dan tujuan ketentuan Pasal 76 ayat (1) dan (2) UU PPTKILN. Pasal 76 ayat (1) UU

PPTKILN menyatakan PPTKIS alias PJTKI hanya dapat membebankan biaya penempatan

kepada TKI untuk komponen biaya pengurusan jati diri, pemeriksaan kesehatan dan

psikologi dan pelatihan kerja serta sertifikasi kompetensi. PPTKIS tidak dapat memikulkan

biaya komponen premi asuransi TKI kepada TKI. Lebih lanjut Pasal 76 ayat (2) UU

PPTKILN hanya memberikan mandat kepada Menakertrans untuk membuat aturan yang

menetapkan tambahan komponen biaya penempatan apabila memang pihak pengguna atau

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 16

Page 17: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

negara penempatan memang menetapkan komponen biaya tertentu menjadi tanggung

jawab TKI.

Tanggung jawab pembayaran premi asuransi TKI sudah diatur dalam Permenakertrans

khusus tentang Asuransi TKI yang merupakan lex spesialis. Artinya, ketentuan

Permenakertrans yang mengatur khusus tentang Asuransi TKI berbeda atau bertentangan

dengan Permenakertrans yang dimaksudkan mengatur pelaksanaan penempatan secara

umum. Prinsip hukum bahwa undang-undang atau aturan hukum yang bersifat khusus

melumpuhkan/mengenyampingkan aturan hukum yang bersifat umum (Lex specialis

derogat legi generali) seharusnya berlaku.

3. Muatan materi Permenakertrans a quo telah mengalihkan tanggung jawab PPTKIS

kepada TKI. Oleh karena mengandung materi muatan yang mengatur tentang

hak/kewajiban warga negara yang semestinya menjadi muatan materi Undang-Undang,

maka materi muatan Permenakertrans sudah menyalahi asas kewenangan pembentukan

aturan perundangan.

Menakertrans telah berlaku sewenang-wenang menyalahgunakan kewenangannya

membuat aturan hukum menyangkut perihal kewajiban warga negara dalam nomenklatur

Peraturan atau Keputusan Menakertrans. Padahal materi muatan tentang perihal hak atau

kewajiban warga negara adalah merupakan muatan-muatan materi yang hanya bisa diatur

dalam bentuk nomenklatur undang-undang. Tegasnya, tindakan Menakertrans yang

menerbitkan Permenakertrans dan Kepmenakertrans sebenarnya adalah bentuk

penyalahgunaan kekuasaan lantaran telah membuat aturan tidak sebagaimana dimaksud

dan tujuan dari ketentuan Pasal 76 ayat (1) dan (2) UU PPTKILN.

Dan dalam hal penempatan TKI melalui pemerintah (BNP2TKI), faktanya pihak TKI juga

dibebankan biaya premi asuransi berlandaskan Keputusan Menakertrans seperti

Kepmenakertrans No.258 Tahun 2007 tentang Biaya Penempatan dan Perlindungan TKI

Negara Tujuan Republik Korea atau Kepmenakertrans Nomor 17/MEN/II/2011 tentang

''Biaya Penempatan dan Perlindungan calon TKI Negara Tujuan Republik Korea''

tertanggal 7 Februari 2011 yang ditandatangani Menakertrans Muhaimin Iskandar.

c). Menyalahgunakan kekuasaan dalam kasus pemaksaan terhadap TKI untuk

membayar premi asuransi yang dilakukan pegawai BP3TKI.

Wewenang atau tugas pegawai BP3TKI sesuai ketentuan Pasal 98 ayat (2) UU PPTKILN

adalah memberikan kemudahan pelayanan pemrosesan seluruh dokumen penempatan TKI

seperti penerbitan KTKLN. Sesuai dengan ketentuan Pasal 68 UU PPTKILN junto Pasal 105

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 17

Page 18: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

UU PPTKILN junto Surat Edaran Kepala BNP2TKI,. Idealnya, TKI Perseorangan tanpa

melalui PPTKIS adalah tidak wajib membayar asuransi. Faktanya, TKI perseorangan

terutama TKI pekerja rumah tangga (PRT) yang tidak menggunakan jasa komersial PPTKIS

tetap dipaksa atau diwajibkan membayar premi asuransi sebagai syarat pembuatan KTKLN.

Parameter penyalahgunaan wewenang atau menyalahgunakan kekuasaan berdasarkan

Asas Spesialitas secera negatif adalah bahwa “terjadinya penyalahgunaan wewenang

apabila penggunaan wewenang itu menyimpang dari tujuan” (Minarno, 2010, hal 83).

Guna mengukur tindakan pejabat administrasi yang termasuk wewenang bebas (diskresi)

tersebut melakukan penyalahgunaan wewenang atau tidak adalah dengan cara menilai

apakah tindakan pejabat tersebut menyimpang dari tujuan pemberian wewenang tersebut

atau tidak (asas larangan penyalahgunaan wewenang). Jika menyimpang dari tujuan

pemberian wewenang tersebut, maka perbuatan tersebut dikategorikan sebagai

penyalahgunaan wewenang[“Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi

dalam Pengelolaan Keuangan Daerah” : Nur Basuki Minarno : 88].

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 18

Page 19: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

Sumber Rujukan:

Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta, Rieke Cipta, 2008. Hal 106, 111.

Minaro, Nur Basuki,. & Murhani, Suriansyah. Penyalahgunaan wewenang dan tindak pidana

korupsi dalam pengelolaan keuangan daerah. Jakarta. Laksbang Mediatama, 2009.

Kliping Koran:

KPPU: Asuransi TKI Perkaya Pihak Tertentu. Antara News.

(http://www.antaranews.com/berita/1286884949/kppu-konsorsium-asuransi-tki-

perkaya-pihak-tertentu ), diakses pada 15 Juli 2014.

Dana Asuransi TKI Terkuras untuk Kegiatan Pialang Asuransi. Tribunnews,

http://www.tribunnews.com/bisnis/2013/07/15/dana-asuransi-tki-terkuras-untuk-

kegiatan-pialang-asuransi, diakses pada Juli 2014.

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 19

Page 20: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

Lampiran Bukti Kasus Penipuan Klaim Asuransi TKI

Kronologi:

Belum usai duka yang dialami keluarga almarhumah Nur Rohmi (35) yang meninggal di

Arab Saudi, pihak keluarga harus kecewa karena klaim asuransi yang diterima dari

Konsorsium Proteksi TKI tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Konsorsium

Proteksi TKI hanya mencairkan klaim asuransi sebesar 55 juta rupiah dari 80 juta yang

seharusnya diterima keluarga almarhumah.

“Pihak Konsorsium Proteksi TKI berdalih bahwa klaim sebesar 55 juta rupiah sudah sesuai Peraturan Menakertrans No.07/2010 tentang Asuransi, padahal jelas-jelas Permenakertrans tersebut sudah dicabut dan diganti dengan Permenakertrans No.01/2012 tentang Asuransi, dimana nilai klaim untuk risiko meninggal dunia menjadi 75 juta ditambah 5 juta rupiah untuk biaya pemakaman.”ungkap Abdul Hadi, Sekjen Komunitas BMI-SA sekaligus kuasa hukum keluarga almarhumah Nur Rohmi.

Kejanggalan saat proses pencairan klaim asuransi yang dilakukan di Kantor Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI) Semarang juga ditunjukkanoleh AB Rachman, Kepala BP3TKI. Alih-alih menjadi saksi proses pencairan asuransi, Kepala BP3TKI Semarang justru berpihak kepada Proteksi TKI dengan menyebut bahwa Permenakertrans No.01/2012 tentang Asuransi itu tidak ada dan klaim asuransi almarhumah Nur Rohmi sudah sesuai.

“BP3TKI Semarang memang tidak memahami kebijakan dan dasar hukum asuransi TKI ataukah sengaja membiarkan penipuan yang dilakukan Konsorsium Proteksi TKI. Lebih-lebih Kepala BP3TKI justru memberikan informasi publik yang sesat dengan menyebut bahwa Permenakertrans No.01/2012 tentang Asuransi itu tidak ada.” papar Abdul Rahim Sitorus, Koordinator Advokasi PSD-BM saat bertemu keluarga almarhumah Nur Rohmi di BP3TKI Semarang.

Menyikapi indikasi penipuan klaim asuransi yang dilakukan Konsorsium Proteksi TKI dan dibiarkan oleh Kepala BP3TKI Semarang, maka Komunitas BMI SA akan berkoordinasi dengan jejaring organisasi buruh migran guna melakukan proses hukum dan pengaduan ke Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) di Jakarta.

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 20

Page 21: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

DOKUMEN PENDUKUNG

Catatan: saksi no 2 adalah kepala BP3TKI Semarang

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 21

Page 22: Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI

Kajian Kebijakan Koruptif Asuransi TKI (rahim/bhtki/psdbm)| Halaman 22