Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

92
III.11. TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH (1/2) oleh Masdar F. Mas'udi Dengan mengatakan innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat (amal ditentukan niyatnya), maka sesungguhnya Nabi Muhammad saw sedang berteori bagaimana suatu amal, harus dikritik atau, dalam bahasa manajemennya, dievaluasi. Niat, seperti diketahui, adalah kesadaran tentang tujuan suatu amal dilakukan. Dan amal berdimensi ganda, pertama yang bersifat ke dalam dan personal, dan kedua yang bersifat keluar dan sosial. Tujuan amal yang bersifat "kedalam" landasannya adalah "iman," sedang tujuan yang bersifat "ke luar" landasannya adalah "realitas kehidupan." Syahdan, kritik amal atas dasar niat yang bersifat kedalam sama sekali bukan urusan kita. Itu adalah urusan Tuhan dan pribadi yang bersangkutan, dan waktunya, menurut agama, bukan di sini, di dunia ini, tapi di sana, di alam akhirat nanti. Yang ada pada wewenang kita, sebagai makhluk sosial, adalah kritik atau evaluasi amal dari sudut niat (tujuan)nya yang bersifat "keluar," yaitu mengapa dan dalam konteks sosial yang bagaimana suatu amal telah dilakukan. Dalam hubungan ini innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat akan berarti, amal itu diikat dan ditentukan oleh konteksnya, oleh realitas kehidupan yang mendorong kehadirannya. Tak ada suatu amal yang muncul begitu saja lepas dari kaitan sebab akibat yang melingkupinya. Dan hanya dalam kaitan sebab akibat itulah suatu amal bisa dinilai, dikritik atau dievaluasi. Dengan menerima dasar penilaian atau kritik yang demikian ini, maka bisa dikemukakan beberapa acuan sebagai berikut. Pertama, bobot dan relevansi suatu amal (dalam hal ini amal pemikiran) pada dasarnya adalah relatif dan bisa berubah, justru lantaran konteks yang melahirkannya adalah juga bersifat relatif dan berubah. Kedua, bobot dan relevansi suatu amal pemikiran pertama-tama tidak ditentukan penilaian benar tidaknya dari sudut doktrin, melainkan lebih pada kenyataan sejauh mana ia mengena pada realitas yang diresponsnya. Ketiga, karena setiap amal adalah respons terhadap realitas yang didefinisikannya. Maka bobot dan relevansinya juga tergantung pada sejauh mana definisi atas realitas itu memiliki ketepatan. Semakin tepat definisi realitas yang ditangkap, semakin tinggi pula bobot dan relevansi pemikiran yang diresponinya. Sementara itu, realitas yang menjadi pijakan amal pemikiran, dapat kita kelompokkan dalam dua katagori, yaitu realitas teoritik dan realitas empirik. Yang pertama adalah realitas yang terdapat dalam dunia ide yang dipikirkan. Sedang yang kedua adalah realitas yang ada dalam dunia kenyataan yang dirasakan. Memang, keduanya tak harus selalu terpisah; yang satu terhadap yang lain bisa saling pengaruh mempengaruhi. Tapi yang saya maksudkan adalah, sebagian amal pemikiran benar-benar lahir dengan titik tolak keprihatinan pada realitas teoritis (baru kemudian, jika dirasa perlu, bergerak ke realitas empiris), sedang sebagian amal

Transcript of Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Page 1: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

III.11. TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH (1/2) oleh Masdar F. Mas'udi Dengan mengatakan innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat (amalditentukan niyatnya), maka sesungguhnya Nabi Muhammad sawsedang berteori bagaimana suatu amal, harus dikritik atau,dalam bahasa manajemennya, dievaluasi. Niat, sepertidiketahui, adalah kesadaran tentang tujuan suatu amaldilakukan. Dan amal berdimensi ganda, pertama yang bersifatke dalam dan personal, dan kedua yang bersifat keluar dansosial. Tujuan amal yang bersifat "kedalam" landasannyaadalah "iman," sedang tujuan yang bersifat "ke luar"landasannya adalah "realitas kehidupan." Syahdan, kritik amal atas dasar niat yang bersifat kedalamsama sekali bukan urusan kita. Itu adalah urusan Tuhan danpribadi yang bersangkutan, dan waktunya, menurut agama,bukan di sini, di dunia ini, tapi di sana, di alam akhiratnanti. Yang ada pada wewenang kita, sebagai makhluk sosial,adalah kritik atau evaluasi amal dari sudut niat (tujuan)nyayang bersifat "keluar," yaitu mengapa dan dalam kontekssosial yang bagaimana suatu amal telah dilakukan. Dalamhubungan ini innama 'l-a'malu bi 'l-niyyat akan berarti,amal itu diikat dan ditentukan oleh konteksnya, olehrealitas kehidupan yang mendorong kehadirannya. Tak adasuatu amal yang muncul begitu saja lepas dari kaitan sebabakibat yang melingkupinya. Dan hanya dalam kaitan sebabakibat itulah suatu amal bisa dinilai, dikritik ataudievaluasi. Dengan menerima dasar penilaian atau kritik yangdemikian ini, maka bisa dikemukakan beberapa acuan sebagaiberikut. Pertama, bobot dan relevansi suatu amal (dalam hal ini amalpemikiran) pada dasarnya adalah relatif dan bisa berubah,justru lantaran konteks yang melahirkannya adalah jugabersifat relatif dan berubah. Kedua, bobot dan relevansisuatu amal pemikiran pertama-tama tidak ditentukan penilaianbenar tidaknya dari sudut doktrin, melainkan lebih padakenyataan sejauh mana ia mengena pada realitas yangdiresponsnya. Ketiga, karena setiap amal adalah responsterhadap realitas yang didefinisikannya. Maka bobot danrelevansinya juga tergantung pada sejauh mana definisi atasrealitas itu memiliki ketepatan. Semakin tepat definisirealitas yang ditangkap, semakin tinggi pula bobot danrelevansi pemikiran yang diresponinya. Sementara itu, realitas yang menjadi pijakan amal pemikiran,dapat kita kelompokkan dalam dua katagori, yaitu realitasteoritik dan realitas empirik. Yang pertama adalah realitasyang terdapat dalam dunia ide yang dipikirkan. Sedang yangkedua adalah realitas yang ada dalam dunia kenyataan yangdirasakan. Memang, keduanya tak harus selalu terpisah; yangsatu terhadap yang lain bisa saling pengaruh mempengaruhi.Tapi yang saya maksudkan adalah, sebagian amal pemikiranbenar-benar lahir dengan titik tolak keprihatinan padarealitas teoritis (baru kemudian, jika dirasa perlu,bergerak ke realitas empiris), sedang sebagian amal

Page 2: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

pemikiran yang lain, titik tolaknya adalah keprihatinanterhadap realitas empiris (baru kemudian realitas yangbersifat teoritis). Pemikiran kategori pertama, karena titik tolakkeprihatinannya pada realitas abstrak dan umumnya terbatashanya pada concern kalangan tertentu, maka dampak sosialnyapun cenderung abstrak dan terbatas pada kalangan tertentusaja. Sebaliknya, pemikiran yang lahir dari keprihatinanpada realitas riil yang dirasakan orang banyak, dengansendirinya, juga akan cenderung pada hal-hal yang konkrityang bisa mengena pada kepentingan orang banyak.Demikianlah, pemikiran katagori pertama, akan cenderungbercorak elitis, sedang yang kedua akan bercorak populis. PEMIKIRAN TEOLOGI MU'TAZILAH Fakta sejarah, bahwa pemikiran-pemikiran keagamaan (fiqhatau teologi) sebagai amal yang ditawarkan para pemikirMuslim sejak abad pertengahan adalah lahir dari suatu polakeprihatinan yang serupa, yaitu bagaimana ajaran agama bisadipahami umat secara benar. (Suatu pemikiran yang jelasberangkat dari keprihatinan teoritik). Seperti selaludiulang-ulang para sejarawan, bahwa pada paroh kedua abadpertama Hijriah, telah terjadi dua perkembangan yang sangatsignifikan dalam sejarah umat Islam. Pertama, kenyataanbahwa di kalangan umat terjadi konflik internal yang bolehjadi tidak pernah diinginkan oleh mereka sendiri, dimanasatu kelompok bukan saja telah mengutuk kelompok yang lain,tapi telah saling membunuh. Perkembangan yang tragis iniyang terjadi dua kali, dikenal dengan sebutan fitnah kubra,"cobaan besar." Perkembangan kedua adalah masuknya bangsaParsi dan sekitarnya kedalam Islam berikut pemikiran dankeyakinan-keyakinan lamanya yang sudah terbentuk kuat dalambenak masing-masing. Dengan kedua perkembangan itulah munculpertanyaan-pertanyaan teologis. Bagaimana hukumnya orangIslam yang melakukan dosa besar (seperti membunuh sesamaMuslim tanpa hak). Siapakah yang sesungguhnyabertanggungjawab atas tindakan manusia: dirinyakah, ataukekuatan-kekuatan itu, dan dalam kontrol siapakah ia.Menurut ajaran Islam, ada dua jenis balasan sejati diakhirat nanti, yaitu balasan sorga dan balasan neraka.Berkaitan dengan tanggungjawab perbuatan manusia tadi,faktor apakah yang memastikan orang memperoleh penyelamatanTuhan dengan masuk sorga, apakah faktor itu adalah "amalperbuatannya" ataukah "rahmat Tuhan" semata yang diberikankepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Pertanyaan inimuncul -besar kemungkinan karena menurut doktrin Kristianiyang ketika itu juga sudah dibawa masuk dalam lingkunganumat Islam- "penyelamatan Tuhan" itu tak ada sangkut pautnyadengan amal perbuatan manusia, tapi semata-mata atas dasar"rahmat" yang disediakan melalui pintu tunggalnya: Yesus. Syahdan, dari keprihatinan atas pertanyaan-pertanyaan inilahpara pemikir Islam ketika itu merasa ditantang merumuskan

Page 3: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

jawabannya yang benar sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yangshahih. Karuan saja, karena ajaran-ajaran Islam itu punharus diolah terlebih dahulu melalui subyektifitasmasing-masing pemikir, maka jawaban pun hadir dalam corakdan pendekatan yang demikian berbeda-beda. Masing-masingjawaban tumbuh sebagai aliran pemikiran yang berdirisendiri. Tersebutlah, di kemudian hari nama-nama: Khawarij,Murjiah, Mu'tazilah, Qadariyah, Jabariyah, Asy'ariyah,Maturidiya, Khasywiyah dan sebagainya. Yang menarik adalahbahwa masing-masing aliran ini, karena merasa berpedomanpada pegangan mutlak yang ada di tangan, mengaku sebagaisatu-satunya yang benar, yang lainnya adalah salah. Berbicara tentang awal mula sejarah Muitazilah, orang akanselalu merujuk pada episoda diskusi Hasan al-Bashri (w. 110H/ 728 M), seorang ulama terkemuka pada zamannya, denganpara muridnya diseputar tema Muslim yes, Muslim no yang barupada taraf pembentukan diri, sangat menekankan perlunyaseseorang dapat memperjelas (diperjelas) kedudukannya apakahtermasuk orang dalam (in group, minna) atau termasuk orangluar (out group, minhum). Maka terhadap pertanyaan yangterlontar dalam diskusi Hasan tadi, yang berkembang saat ituadalah jawaban-jawaban berikut. Pertama, dengan melakukandosa besar, seorang Muslim telah terpental dari kelompok(komunitas) alias menjadi "kafir" dan karena itu -sesuaidengan hukum riddah- halal ditumpahkan darahnya. Jawaban inidiajukan kelompok yang terkenal dengan sebutan Khawarij.Jawaban kedua mengatakan bahwa Muslim yang melakukan dosabesar masih tetap tergolong Muslim, dan bagaimana dengandosa yang dilakukannya itu terserah Tuhan di hari akhiratnanti. Jawaban inilah yang agaknya dicondongi mayoritas umatIslam yang disebut sebagai kelompok Murji'ah (artinya:menangguhkan). Saya kira, Hasan Basri selaku pemimpin dan tokoh yang merasaharus menjaga keutuhan umat berada dalam arus kecenderunganumum ini, yaitu bahwa identitas seseorang apakah ada "didalam" (minna) atau "di luar" (minhum) harus benar-benarjelas. Itulah sebabnya ketika Washil melontarkan pendapatnyayang melawan arus tadi, dengan nada menyesal Hasanberkomentar: Ia telah keluar dari kita. I'tazala'anna!. Katai'tazala (hengkang) yang jadi sebutan Mu'tazilah (yanghengkang dari arus umum) itu pun kemudian ditempelkan kepadaWashil bin Atha dan segenap pengikutnya. Tapi kalau pertanyaan tentang "status pendosa besar" inibanyak diselimuti latar belakang politis, maka pertanyaantentang "kebebasan manusia," terasa lebih bersifat murniteologis. Dan sebenarnya pada kisaran inilah Mu'tazilahbenar-benar tumbuh sebagai aliran teologi yang tersendiridiantara aliran-aliran teologi yang lain. Berbeda denganaliran teologi lainnya, Mu'tazilah secara tegas mengatakanbahwa "manusia sepenuhnya memiliki kebebasannya sendiribertindak." Baginya, hanya dengan prinsip kebebasan inilah,manusia secara moral dapat dituntut pertanggungjawaban dikemudian hari. Prinsip "janji dan ancaman" (al-wa'du wa 'lwa'id) yang akan dilaksanakan di hari kemudian tak bisa

Page 4: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

dipahami tanpa adanya prinsip "kebebasan" tadi. Dansebaliknya, prinsip kebebasan juga hanya akan berarti kalauada "janji dan ancaman" yang setimpal di hari kemudian.III.11. TELAAH KRITIS ATAS TEOLOGI MU'TAZILAH (2/2) oleh Masdar F. Mas'udi Mu'tazilah yakin bahwa pembalasan di akhirat semata-mataditentukan oleh "amal perbuatan manusia" yang diambilnyasendiri secara bebas merdeka. Sebagai yang Maha adil Tuhanharus membalas keburukan atas setiap tindakan buruk danharus membalas kebaikan atas semua tindakan yang baik. Dansebagai yang Maha adil, Dia tak bisa tidak kecuali harusbertindak yang terbaik bagi manusia. Sementara itu, manusia yang bebas dan bertanggungjawab itu,pastilah manusia yang memiliki kemampuan yang memungkinkandirinya menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.Kemampuan itu menurut keyakinan Mu'tazilah sudah diberikanTuhan, berupa akal yang lebih dipahami sebagai rasio ataunalar. Dengan nalarnya, manusia tumbuh sebagai makhluk yangmandiri dan tidak lagi tergantung pada pihak lain dalammenentukan jalan hidupnya. Baik atau buruk (al-hasan wa'l-qabh) bukanlah sesuatu yang harus didiktekan siapa punjuga, diluar diri manusia sendiri. Pada poin inilah Mu'tazilah dimasyhurkan sebagai aliranpemikiran yang rasionalistik, yang cenderung mengunggulkanotoritas "akal" (nalar) atas "naqal," suatu pendirian yangoleh mayoritas Muslim dipandang sangat membahayakan keutuhandoktrin. Apakah dengan begitu, Mu'tazilah tak lagi perlu?Tak ada penegasan eksplisit tentang itu. Tapi, dengantesisnya bahwa al-Qur'an itu makhluk, maka sebenarnyaMu'tazilah sudah berketetapan hati bahwa sebagai sesamamakhluk, al-Qur'an (wahyu) tidak memiliki otoritas yangdapat mendikte manusia. Seperti diketahui, tesis tentang Qur'an tersebut eratkaitannya dengan tesisnya yang lain tentang "Keesaan Tuhan"yang dibangunnya dengan pendekatan murni filosofis. Secaraharfiyah prinsip yang tersebut terakhir ini bukan barangbaru bagi umat Islam pada jamannya, bahkan juga sebelumnya.Tapi "keesaan Tuhan" dalam teori Mu'tazilah ini menjadi barukarena yang ia maksudkan rupanya adalah pembebasan (tanzih)Tuhan dari seluruh "sifat" bahkan yang secara eksplisittersebut dalam ajaran-ajaran wahyu (Qur'an). Sifat-sifatatau atribut yang dikenakan kepada Tuhan bukanlah sesuatuyang sebangun dengan hakikat-Nya. Keduanya memilikiperbedaan yang substansial. Yakni, jika hakikat Tuhan ituqadim, maka segala sesuatu selainnya, termasuk sifat-sifatyang dikenakan kepadaNya, adalah hadits. Dengan menarikpostulat ini lebih jauh, maka Qur'an sebagai ekspresi salahsatu sifat-Nya (al-kalam) yang hadits dengan demikian jugaberkapasitas hadits, maka diciptakan (makhluq). TIGA KRITIK Adalah al-Asy'ari (w. 330 H/942 M), menurut catatan sejarah

Page 5: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

yang pertama kali menyatakan kekecewaannya terhadap konsepteologi Mu'tazilah yang rasionalistik itu. Konon, pada suatuketika, al-Asy'ari bertanya kepada guru besarnya,al-Jubba'iy, yang adalah teolog Mu'tazilah terkemuka padazamannya, tentang nasib seorang anak dan seorang dewasa yangsama-sama masuk sorga karena imannya. Tapi, sesuai dengankeadilan Tuhan dalam persepsi Mu'tazilah, orang yang matidewasa itu menempati kedudukan lebih tinggi dibandingkedudukan si anak. Mengapa harus begitu? Tanya Asy'ari.Karena yang dewasa telah sempat beramal kebaikan, sedang sianak belum, jawab Jubbaiy. Kenapa harus terjadi si anaktidak diberi usia yang cukup agar ia bisa berbuat kebaikanseperti temannya yang dewasa? Kejar Asy'ari. Tuhan tahu,jika si anak dibiarkan hidup, ia akan tumbuh menjadi manusiadurhaka. Sementara Tuhan harus berbuat yang terbaik untukmanusia, kilah Jubbaiy. Kalau begitu, kejar Asy'ari lebihlanjut, bagaimana jika orang-orang yang dijebloskan dalamneraka protes, kenapa mereka tidak dimatikan saja ketikamasih muda, hingga tak sempat tumbuh jadi manusia durhaka? Yang menarik dari diskusi ini bukan saja al-Jubbaiykehabisan akal menjawabnya, tapi seperti halnya Jubbaiy,Asy'ari pun juga menggunakan akal (logika) untuk mendukungargumentasinya. Bedanya adalah bahwa Jubbaiy (Mu'tazilah)dengan logika akalnya bersikeras untuk mendefinisikan Tuhanmenurut batas-batas manusia, sedang Asy'ari, juga denganlogika akalnya, justru ingin membebaskan-Nya tetap berada diatas batas-batas manusia tadi. Kalau kritik al-Asy'ari itu adalah juga kritik kita kepadaMu'tazilah, maka kritik kita yang kedua adalah pada klaimnyasebagai telah menemukan kebenaran tunggal yang harusditerima semua pihak. Sesungguhnyalah kritik ini tidak sajamengena pada Mu'tazilah, tapi juga pada semua aliran teologiyang tumbuh pada masa-masa itu karena klaim yang sama. Hanyabedanya, bahwa Mu'tazilah mengaku telah menemukan kebenarantunggal dan mutlak itu melalui logika akal, sedanglawan-lawannya mengaku menemukan kebenaran mutlak itumelalui huruf-huruf naqal. Yang tersebut terakhir ini dengansangat militan diwakili oleh golongan Khasywiyah yangmengaku menjadi pengikut Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H/855M). Itulah sebabnya, salah satu ciri yang menonjol dari sejarahpemikiran keagamaan saat itu adalah kesembronoannya yangbenar-benar diyakini dalam menuduh orang atau pihak lainsebagai kafir, syirk, murtad dan sejenisnya hanya lantaranpendapat yang berbeda. Untuk kasus Mu'tazilah sikap intoleransi ini ditindaklanjuti dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkarnya yangmerisaukan banyak pihak yang menjadi lawan polemiknya.Seperti diketahui, dengan dalih itu, Mu'tazilah telahmelancarkan intrik terhadap orang lain untuk menerimadoktrin-doktrin teologinya dan menimpakan hukuman atas siapasaja yang mencoba menolaknya. Tragedi teologis ini dikenaldengan mihnah, atau inquition yang dilakukannya dengan

Page 6: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

dukungan tangan-tangan kekuasaan dan birokrasi pemerintahanyang karena alasan politik tertentu dapat dipengaruhinya. Sementara itu, kritik yang ketiga, karena pada dasarnyaMu'tazilah lahir dari keprihatinan pada realitas teoritisbahkan yang berdimensi metafisik, maka isu-isu yangdigelutinya pun hampir tak punya sentuhan yang bermakna bagiumat pada umumnya. (Kritik ini pun mengena pada aliranteologi lainnya, karena dasar keprihatinannya yang serupa).Seperti telah disinggung di atas, salah satu prinsip ajaranyang dipropagandakan Mu'tazilah adalah tentang "keadilan"suatu isu yang sebenarnya sangat relevan pada saat itu,terutama jika diingat praktek kesewenang-wenangan yangdilakukan kalangan penguasa. Tapi, lantaran dasarkeprihatinannya yang elitis tadi, maka rupanya keadilan yangdimaksudkan adalah keadilan lain (yang bersifat eskatologis)yang berkaitan dengan "peranan" Tuhan di hari kemudian. Dandalam kaitannya dengan persoalan keadilan yang dirasakanumat, kelompok Mu'tazilah ini justru bergandengan-tangandengan rejim yang berkuasa untuk melakukan tindaksewenang-wenang terhadap siapa saja yang tidak disukainya. TAWARAN ALTERNATIF Mencoba konsisten dengan kerangka teori "niat" sepertitersebut di atas, maka bagi saya, sistem pemikiran teologisatau apa saja atributnya yang relevan untuk dibangun, adalahyang benar-benar berangkat dari lapisannya paling bawah.(Dari dasar keprihatinannya ini, ia bisa disebut misalnya"teologi populis," atau "teologi kerakyatan"). Sehinggakalau realitas yang menggugah keprihatinannya adalah soalkeadilan, maka keadilan yang dimaksud bukanlah keadilanTuhan yang harus ditegakkan di "sana," tapi keadilan yangmenjadi tanggung jawab manusia dalam kehidupan di "sini." Saya pikir, kalau teologi abad pertengahan (sepertiMu'tazilah maupun lawan-lawannya) yang mengabdi kepadakepentingan doktrin disebut teologi dialektik, maka sebutanyang sama pun bisa juga dikenakan pada teologi yang perlukita kembangkan ini. Tapi kalau dialektika teologi yangmengabdi doktrin itu berwatak retorik (dialektika yangterjadi dalam proses penghadapan antagonis antara satudoktrin dengan doktrin yang lain), maka dialektika teologibaru itu bersifat empiris (dialektika yang terjadi dariproses penghadapan kritis antara realitas kehidupan denganpesan-pesan universal). Dilihat dari sudut muaranya, bedaantara teologi dialektika retorik di satu pihak dengandialektika empiris di lain pihak, adalah yang tersebutpertama muaranya adalah pada terbangunnya kesesuaianrealitas pemahaman dengan bunyi doktrin yang statis, sedangyang tersebut terakhir concernnya pada kesesuaian antararealitas kehidupan dengan semangat doktrin yang dinamis.Yang pertama berwatak formal dengan orientasi pada bentukdan cenderung tertutup, sedang yang kedua berwataksubstansial yang berorientasi pada substansi dan bersifatterbuka. Dengan watak keterbukaannya, teologi dialektikaempiris ini akan menerima perbedaan pendapat sebagai

Page 7: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

realitas kehidupan yang wajar. Justru dengan pendapat yangberbeda-beda itu, maka kemungkinan menemukan pilihan "yangterbaik" menjadi tersedia. Dengan demikian, teologidialektika empiris ini secara vertikal berwatak populis,sedang secara horizontal berwatak demokratis; dua sisi yangselama ini seperti cenderung terpisah.

Page 8: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

III.12. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PAHAM ASY'ARI (1/3) SEBAGAI DOKTRIN AKIDAH oleh Zainun Kamal Paham teologi Asy'ari termasuk paham teologi tradisional,yang mengambil posisi antara ekstrim rasionalis yangmenggunakan metafor dan golongan ekstrim tekstualis yangleterlek. Ia mengambil posisi di antara aliran Mu'tazilahdan Salafiyah, tetapi "benang merah" sebagai jalan tengahyang diambilnya tidak begitu jelas. Suatu kali ia memihakMu'tazilah, lain kali cenderung ke Salafiyah, dan lain kalilagi, mengambil kedua pendapat dari kedua aliran yangbertentangan itu lalu mengkompromikannya menjadi satu. [1] Untuk meninjau pemikiran-pemikiran al-Asy'ari lebih baikmemaparkan lebih dulu sejarah hidupnya meski secara ringkas.Dengan pemaparan ini akan terlihat gambaran latar belakangpemikirannya. Sebab suatu pemikiran merupakan hasil refleksizaman dan kondisi dari suatu masyarakat. Dan al-Asy'ari jugatidak lepas dari konteks zaman dan maksyarakatnya sendiri. Sebenarnya, nama asli Imam Asy'ari adalah Ali Ibn Ismail [2]-keluarga Abu Musa al-Asy'ari. [3] Panggilan akrabnya Abual-Hasan [4]. Dia dilahirkan di Bashrah pada 260 H./875 M[5] -saat wafatnya filsuf Arab muslim al-Kindi. [6] Ia wafatdi Baghdad pada tahun 324 H./935 M. Abu al-Hasan al-Asy'ari pada mulanya belajar membaca,menulis dan menghafal al-Qur'an dalam asuhan orang tuanya,yang kebetulan meninggal dunia ketika ia masih kecil.Selanjutnya dia belajar kepada ulama Hadits, Fiqh, Tafsirdan bahasa antara lain kepada al-Saji, Abu Khalifahal-Jumhi, Sahal Ibn Nuh, Muhammad Ibn Ya'kub, Abdur RahmanIbn Khalf dan lain-lain. [7] Demikian juga ia belajar FiqihSyafi'i kepada seorang faqih: Abu Ishak al-Maruzi (w. 340H./951 M.) -seorang tokoh Mu'tazilah di Bashrah. Sampai umurempat puluh tahun ia selalu bersama ustaz al-Juba'i, sertaikut berpartisipasi dalam mempertahankan ajaran-ajaranMu'tazilah. [9] Pada tahun 300 H./915 M dalam usia 40 tahun, Abu al-Hasanal-Asy'ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu'tazilah. Untuk halini terdapat beberapa pendapat mengenai sebab-sebabmeninggalkan atau keluar dari Mu'tazilah. Sebab klasik yangbiasa disebut perpisahan dia dengan gurunya karenaterjadinya dialog antara keduanya tentang salah satu ajaranpokok Mu'tazilah, yaitu masalah "keadilan Tuhan." Mu'tazilahberpendapat, "semua perbuatan Tuhan tidak kosong darimanfaat dan kemashlahatan. Tuhan tidak menghendaki sesuatu,kecuali bermanfaat bagi manusia, bahkan Dia mestimenghendaki yang baik dan terbaik untuk kemashlahatanmanusia. Paham ini di sebut al-Shalah wa 'l-Ashlah. [10] Dialog tersebut berlangsung sebagai berikut:

Page 9: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Al-Asy'ari (A) - Bagaimana pendapat tuan tentang nasib tigaorang bersaudara setelah wafat; yang tua mati dalambertaqwa; yang kedua mati kafir; dan yang ketiga mati dalamkeadaan masih kecil. Aldubba'i (J) - yang taqwa mendapat terbaik; yang kafirmasuk neraka; dan yang kecil selamat dari bahaya neraka. A - Kalau yang kecil ingin mendapatkan tempat yang lebihbaik di Sorga, mungkinkah? J - Tidak, karena tempat itu hanya dapat dicapai denganjalan ibadat dan kepatuhan kepada Tuhan. Adapun anak kecilbelum mempunyai ibadat dan kepatuhan kepada-Nya. A- Kalau anak kecil itu mengatakan kepada Tuhan: itu bukansalahku. Sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup, aku akanmengerjakan perbuatan baik seperti yang dilakukan oleh yangtaqwa itu. J - Allah akan menjawab kepada anak kecil itu, Aku tahu,jika engkau terus hidup, engkau akan berbuat maksiat danengkau akan mendapat siksa; maka Saya (Allah - Red) matikanengkau adalah untuk kemaslahatanmu. A - Sekiranya saudaranya yang kafir mengatakan, "Ya TuhankuEngkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masadepannya, mengapa Engkau tidak jaga kepentinganku? Al-Jubba'i menjawab, "Engkau gila, (dalam riwayat laindikatakan, bahwa Al-Jubba'i hanya terdiam dan tidakmenjawab). [11] Dalam percakapan di atas, al-Jubba'i, jagoan Mu'tazilah itu,tampaknya dengan mudah saja dapat ditumbangkan olehal-Asy'ari. Tetapi dialog ini kelihatannya hanyalah sebuahilustrasi yang dibuat para pengikut al-Asy'ari sendiri untukmemperlihatkan perbedaan logikanya dengan logika orang-orangMu'tazilah. Bagi Mu'tazilah, si anak kecil tentu tidak akan mengajukanprotes kepada Allah, karena dia sendiri tahu, bahwa sesuaidengan keadilan Tuhan, tempat yang cocok untuknya memang disana. Kalau Tuhan menempatkan anak kecil sederajat dengantempat orang yang taqwa, tentu dia sendiri akan merasakanbahwa Tuhan sudah tidak adil lagi terhadap dirinya. Sebab,tempatnya memang bukanlah seharusnya sederajat denganorang-orang yang taqwa. Di alam akhirat, menurut Mu'tazilah, tidak ada lagiperdebatan tentang keadilan Tuhan. Di sana, manusia sudahmendapati al-Wa'ad wa al-Wa'id. Dia sudah menepati janji.Yang taqwa mendapat sorga, yang kafir mendapat neraka, danjika di sana terdapat yang meninggal dunia dalam keadaanmasih kecil, baik anak-anak orang mukmin atau kafir, makabagi mereka tidak ada alasan untuk disiksa, karena TuhanMaha Suci dari penganiayaan. [12]

Page 10: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Bagi yang kafir lebih tidak punya alasan lagi. Sebab, Tuhanlebih memperhatikan kemaslahatannya di dunia. Tuhan tidakmenghendaki kekafirannya. Berarti, jika ia kafir samaartinya dengan kehendak diri sendiri. Sementara, dia sendirisudah tahu akibat kekafirannya, karena ia diberi akal danpetunjuk. [13] Jadi, kalau yang kafir harus menyalahkanTuhan atas kehendak dan perbuatannya sendiri, maka iadianggap oleh Memorandum suatu pemikiran yang tidakrasional. Sebab lain yang biasa disebutkan adalah meninggalkanajaran-ajaran Mu'tazilah karena pernah bermimpi melihatRasulullah saw sebanyak tiga kali. Mimpi itu terjadi padabulan Ramadhan. Mimpi pertama terjadi pada tanggal 10; mimpikedua pada tanggal duapuluh, dan mimpi ketiga pada tanggaltigapuluh. [14] Dalam mimpi yang terjadi pada bulan Ramadlanitu Rasulullah menyampaikan bahwa madzhab ahli haditslahyang benar, karena itulah madzhabnya yang berasal dari saya.[15] Diriwayatkan bahwa al-Asy'ari sebelum mengambil keputusanuntuk keluar dari Mu'tazilah, ia mengisolir diri di rumahnyaselama limabelas hari. Sesudah itu ia pergi ke mesjid lalunaik mimbar dan menyampaikan: "Saya dulu mengatakan, bahwa al-Qur'an adalah makhluk; Allahswt. tidak dapat dilihat dengan pandangan mata orang mukmindi akhirat dan perbuatan jahat adalah perbuatan sayasendiri. Sekarang saya taubat dari semuanya itu. Sayalemparkan keyakinan-keyakinan lama saya, sebagaimana sayalemparkan baju ini (isyarat pada jubahnya). Dan saya keluardari kekejian dan skandal Mu'tazilah." [16] Terlepas dari soal sesuai atau tidaknya uraian di atasdengan fakta sejarah; maka dari sisi lain dapat pula kitaungkapkan sebab yang mendorong al-Asy'ari meninggalkan fahamMu'tazilah. Sebab itu ialah rasa skeptis danketidakpercayaannya lagi terhadap kemampuan akal,sebagaimana yang pernah pula dialami oleh al-Ghazali dikemudian hari. Pada kedua tokoh ini terdapat suatu indikasikesamaan yang sangat mirip. Al-Asy'ari, sebagai contoh pendiri aliran, setelah belajarpada Mu'tazilah, kemudian merasa tidak puas, lantasmenyerangnya. Demikian juga halnya dengan al-Ghazali,sebagai benteng pertahanan yang kokoh terhadap aliranal-Asy'ari, setelah ia belajar filsafat, kemudian merasatidak puas, lalu menyerang pula. Al-Asy'ari memakaiungkapan-ungkapan yang pedas sekali dalam menyerangMu'tazilah, dengan tuduhan sebagai golongan sesat,penyeleweng, dan majusinya umat. Begitu pula al-Ghazalimenyerang para filsuf, dengan tuduhan sebagai golonganbid'ah dan kufur. Al-Asy'ari melakukan sanggahan terhadapMu'tazilah setelah ia mengetahui benar akan aliranMu'tazilah itu. Setelah itu ia menulis sebuah buku yangbernama Maqalat al-Islamiyyin yang berisikan kepercayaan

Page 11: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

aliran-aliran. Dan untuk bantahannya ia menulis lagi sebuahbuku yang bernama al-Ibanah. Demikian juga halnya denganal-Ghazali, setelah mengkaji filsafat secara mendalam,kemudian ia tulis pemikiran-pemikiran filsuf itu dalamsebuah buku yang bernama Maqasid al-Falsafah. Setelah itu,baru ia melakukan bantahan-bantahan terhadap para filsufdengan mengarang sebuah buku yang bernama Tahafutal-Falasifah (kesalahan para filsuf). Sebagaimana diketahui, pemegang janji rasional pada masaal-Asy'ari adalah para tokoh Mu'tazilah, karena itusanggahannya tertuju langsung pada Mu'tazilah. Sementarapara filsuf yang dinilai sebagai pewaris pemikiran rasionalMu'tazilah, maka al-Ghazali sebagai pembela ikhlas terhadapaliran al-Asy'ari harus dengan tegas pula melakukansanggahan terhadap filsuf. Pemikiran al-Asy'ari yang asli baru dapat diketahui setelahia menyatakan pemisahan dirinya dari Mu'tazilah danpengakuannya menganut paham aqidah salafiyah aliran Ahmadbin Hambal. [17] Yaitu keimanan yang tidak didasaripenyelaman persoalan gaib yang mendalam. Di sisi lain, iahanya percaya pada akidah dengan dalil yang ditunjuk olehnash, dan dipahami secara tekstual sebagaimana yang tertulisdalam Kitab suci dan sunnah Rasul. Fungsi akal hanyalahsebagai saksi pembenar dan penjelas dalil-dalil al-Qur'an.[18] Jadi akal terletak di belakang nash-nash agama yangtidak boleh berdiri sendiri. Ia bukanlah hakim yang akanmengadili. Spekulasi apapun terhadap segala sesuatu yangsakral dianggap suatu bid'ah. Setiap dogma harus dipercayaitanpa mengajukan pertanyaan bagaimana dan mengapa. Sekarang permasalahannya ialah, sampai seberapa jauhal-Asy'ari meninggalkan ajaran-ajaran Mu'tazilah dankeikhlasannya terhadap ajaran Salafiyah. Untuk mengetahuiajaran-ajaran al-Asy'ari, kita dapat melihat padakitab-kitab yang ditulisnya, terutama: 1.Maqalat al-Islamiyyin, merupakan karangan yang pertama dalam soal-soal kepercayaan Islam. Buku ini menjadi sumber yang penting, karena ketelitian dan kejujuran pengarangnya. Buku ini terdiri -dari tiga bagian: a.Tinjauan tentang golongan-golongan dalam Islam b.Aqidah aliran Ashhab al-Hadits dan Ahl al-Sunnah, dan c.Beberapa persoalan ilmu Kalam. 2.Al-Ibanah 'an Ushul al-Diyanah, berisikan uraian tentang kepercayaan Ahl al-Sunnah dan pernyataan penghargaannya terhadap persoalan-persoalan yang banyak dan penting. Dalam buku ini ia menyerang dengan pedas aliran Mu'tazilah. 3.Kitab al-Luma' fi al-Radd 'ala ahl al-Zaigh wa al-bida', berisikan sorotan terhadap lawan-lawannya dalam beberapa persoalan ilmu Kalam. Para ahli mempertanyakan tentang perbedaan kandungan yang

Page 12: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

terdapat pada kedua kitabnya al-Ibanah dan al-Luma'. Yangpertama, peranan naql lebih tinggi ketimbang akal. Dalamarti, Salafiahnya lebih dominan dibandingkan Mu'tazilah.Sedangkan buku kedua (al-Luma'), peranan akal lebih tinggidalam memahami nash-nash. Di sini terlihat adanya anjurankembali untuk memahami nash-nash agama dengan metode ilmukalam. [19] Perbedaan ini bisa terjadi, karena al-Asy'ari pada kitabnyaal-Ibanah ditulisnya langsung setelah pernyataannya keluardari Mu'tazilah. Jadi, secara psikologis, bukunya dalamrangka menonjolkan sikap loyalnya terhadap kaum Salafi,sebagai rekan barunya. Dan sikap kebenciannya terhadapMu'tazilah karena penilaiannya sebagai musuh yang sedangdihadapinya, meski dulu teman akrabnya. Sebenarnya, inidapat dipahami. Sebab, seseorang yang selama ini dijadikanteman baik, oleh karena suatu hal berubah menjadi musuh,maka ia akan memperlihatkan sikap bencinya terhadap musuhitu. Dan sebaliknya akan memperlihatkan sikap loyalnyaterhadap teman baru. Karena itu, kitab al-Ibanahmencerminkan tingkat kesunyian secara penuh. Sebaliknya,menampakkan sikap bencinya terhadap Mu'tazilah lebih nyata.Karena itu, kitab al-Ibanah menurut para ahli ditulislangsung setelah al-Asy'ari meninggalkan faham Mu'tazilah.III.12. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PAHAM ASY'ARI (2/3) SEBAGAI DOKTRIN AKIDAH oleh Zainun Kamal Lain halnya dengan kitabnya al-Luma', yang ditulis setelahkitab al-Ibanah. Ia sudah mesti mengambil sikap yang jelas.Maka di sini terlihat kembali kajian keagamaan al-Asy'aridengan dalil-dalil rasional dan membangun ilmu kalamnyasendiri. Dengan demikian, ketika menulis kitab al-Luma',argumentasi rasional al-Asy'ari menonjol kembali dalammemahami nash-nash agama dan terlihat interpretasimetaforisnya (ta'wil). Kecenderungannya pada metode kaumMu'tazilah inilah yang menyebabkan kaum Hambali menolakpaham teologi al-Asy'ari. Hal itu memperlihatkan gambaran yang agak mirip dengan sikapal-Ghazali yang mencoba menyerang para filsuf, tetapikenyataannya ia tetap mempergunakan metode falsafah dalamkajian keislaman, khususnya logika Aristoteles. Inilah yangdikatakan oleh Ibn Taimiyyah bahwa al-Ghazali telah masuk kedalam kandang falsafah, kemudian berusaha keluar, danberputar-putar mencari pintunya, tetapi sudah tidak berdayalagi untuk keluar. Sebagai penentang Mu'tazilah, sudah barang tentu al-Asy'ariberpendapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil Tuhansendiri merupakan pengetahuan ('Ilm). Yang benar, Tuhan itumengetahui (Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuanNya,bukanlah dengan Zat-Nya. Demikian pula bukan dengansifat-sifat seperti, sifat hidup, berkuasa, mendengar danmelihat. [20] Disini terlihat, al-Asy'ari menetapkan sifat kepada Tuhan

Page 13: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

seperti halnya kaum Salafi. Namun cara penafsirannya cukupberbeda. Kaum Salafi hanya menetapkan sifat kepada Allah,sebagaimana teks ayat, tanpa melakukan pembahasan mendalam.Mereka hanya menerima arti dengan jalan kepercayaan, bahwasifat-sifat Allah berbeda dengan sifat makhluk-Nya. Begituhati-hatinya mereka dalam menjaga persamaan Allah denganmakhluk-Nya, sehingga mereka mengatakan, "Siapa yangtergerak tangannya, lalu ketika membaca ayat yang berbunyi"Aku (Allah) ciptakan dengan tangan-Ku," lalu ia langsungmengatakan, wajib dipotong tangannya." [21] Lain halnya dengan al-Asy'ari, baginya arti sifat tidak jauhberbeda dengan pengertian sifat bagi Muitazilah. Bagial-Asy'ari, sifat berada pada Zat, tetapi sifat bukan Zat,dan bukan pula lain dari Zat. Ungkapan al-Asy'ari yangseperti ini, kata Dr. Ibrahim Madkour, tidak terlepas dariparadoks. [22] Bagi Mu'tazilah, sifat sama dengan Zat. Sifat tidakmempunyai pengertian yang sebenarnya. Jika dikatakan, yangmengetahui ('Alim), maka artinya menetapkan pengetahuan('Ilm) bagi Allah, dan yang mengetahui itu adalah Zat-Nyasendiri. Dalam hal ini, menetapkan sifat hanya sekedar untukmemahami bahwa Allah bukanlah jahil. Seperti juga mengatakanyang berkuasa (qadir) adalah menetapkan kekuasaan (qudrah)bagi Allah. Kekuasaan itu adalah Zat-Nya sendiri. Artinya,menafsirkan kelemahan Allah. [23] Masih berbicara tentang tauhid, pemikiran al-Asy'ari yanglain ialah, bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat. Untuk itu,al-Asy'ari membawakan argumen rasio dan nash. Yang tidakdapat dilihat, kata al-Asy'ari, hanyalah yang tak punyawujud. Setiap wujud mesti dapat dilihat, Tuhan berwujud, danoleh karena itu dapat dilihat. [24] Argumen al-Qur'an yang dimajukannya antara lain,"Wajah-wajah yang ketika itu berseri-seri memandang kepadaAllah" (QS. al-Qiyamah: 22-23). Menurut al-Asy'ari kata nazirah dalam ayat itu tak bisaberarti memikirkan seperti pendapat Mu'tazilah, karenaakhirat bukanlah tempat berfikir; juga tak bisa berartimenunggu, karena wajah atau muka tidak dapat menunggu, yangmenunggu adalah manusia. Lagi pula, di sorga tidak adapenungguan, karena menunggu mengandung arti dan membuatkejengkelan dan kebosanan. Oleh karena itu, nazirah mestiberarti melihat dengan mata kepala. [25] Sungguhpun al-Asy'ari berpendapat, bahwa orang-orang mukminnanti dapat melihat Tuhan di Akhirat dengan mata kepala,namun pemahamannya bukanlah bersifat harfiyah. Tetapimenghendaki suatu penafsiran lagi yaitu, bahwa melihat Tuhanitu tidak mesti mempunyai tempat dan terarah pada tujuan,tetapi hanya merupakan suatu penglihatan pengetahuan dankesadaran, dengan mempergunakan mata, yang belum terfikirkanbagi kita sekarang, bagaimana bentuk mata itu nantinya. [26]

Page 14: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Namun demikian, untuk dapat menerima, bahwa Tuhan dapatdilihat nanti di akhirat, maka al-Asy'ari memerlukan pulauntuk menafsirkan atau menta'wilkan ayat yang berikut ini: Artinya: "Penglihatan tak dapat menangkap-Nya tetapi iadapat mengangkat penglihatannya." (al-An'am: 103) Ayattersebut di atas diartikan oleh al-Asy'ari, bahwa yangdimaksud tidak dapat melihat Tuhan adalah di dunia ini, danbukan di akhirat. Dan juga diartikan tidak dapat melihatTuhan di akhirat bagi orang kafir. [27] Apa yang telah kita ungkapkan di atas, adalah merupakansebagian dari pemikiran al-Asy'ari tentang tauhid. Sekarangkita berpindah kepada pemikirannya tentang keadilan. Sengajadirangkaikan keadilan dengan tauhid, karena pembahasantentang tauhid hanyalah merupakan filsafat ketuhanan semata,sedangkan keadilan adalah merupakan filsafat hubungan khaliqdengan makhluknya. Al-Asy'ari, seperti Mu'tazilah, meyakini bahwa Allah adalahMaha Adil. Tetapi seperti kaum Salafi, ia menolak bahwa kitamewajibkan sesuatu kepada Allah. Dan juga menolak fahamal-Shalah wa al-Ashlah Mu'tazilah, artinya, Tuhan wajibmewujudkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk kemaslahatanmanusia. Allah, kata al-Asy'ari, bebas memperbuat apa yangkehendaki-Nya. [28] Al-Asy'ari meninjau keadilan Tuhan dari sudut kekuasaan dankehendak mutlak Tuhan. Keadilan diartikannya "menempatkansesuatu pada tempat yang sebenarnya," yaitu seseorangmempunyai kekuasaan mutlak atas harta yang dimilikinya sertamempergunakannya sesuai dengan pengetahuan pemilik. [29]Tidak dapat dikatakan salah, kata al-Asy'ari, kalau Tuhanmemasukkan seluruh umat manusia ke dalam sorga, termasukorang-orang kafir, dan juga tidak dapat dikatakan Tuhanbersifat dzalim, jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalamneraka. [30] Karena perbuatan salah dan tidak adil menurutpendapatnya adalah perbuatan yang melanggar hukum, dankarena di atas Tuhan tidak ada undang-undang atau hukum,maka perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.[31] Oleh karena itu, Tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak,dapat berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya terhadapmakhluk-Nya. Jika Tuhan menyakiti anak-anak kecil di harikiamat, menjatuhkan hukuman bagi orang mukmim, ataumemasukkan orang kafir ke dalam sorga, maka Tuhan tidaklahberbuat salah dan dzalim. Tuhan masih tetap bersifat adil.[32] Upah yang diberikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat danhukuman tetap merupakan keadilan Tuhan. Paham keadilan al-Asy'ari ini mirip dengan paham sebagianumat yang merestui seorang raja yang absolut diktator. Sangraja yang absolut diktator itu, memiliki hal penuh untukmembunuh atau menghidupkan rakyatnya. Kemudian digambarkan,bahwa sang raja itu diatas dari undang-undang dan hukum,dalam arti, dia tidak perlu patuh dan tunduk kepada

Page 15: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

undang-undang dan hukum. Karena undang-undang dan hukum ituadalah bikinannya sendiri. Dari asumsi itu, kemudian al-Asy'ari menganalogikan bahwaAllah adalah memiliki kemerdekaan mutlak. Dia memperbuatsekehendak-Nya terhadap milik-Nya. Maka tidak seorangpunyang dapat mewajibkan sesuatu kepada Allah mengenaikemaslahatan umat manusia, baik di dunia ini, maupun diakhirat. [33] Kalau Allah menganiaya seluruh umat manusia,baik di dunia atau di akhirat, maka tidak seorangpun yangakan sanggup mempersalahkan dan menuntut-Nya. Persis sepertiseorang raja yang absolut diktator, kalau ia menganiayaseluruh rakyatnya, maka tak seorangpun yang sanggupmenentangnya. Karena manusia, bagi al-Asy'ari, selaludigambarkan sebagai seorang yang lemah, tidak mempunyai dayadan kekuatan apa-apa disaat berhadapan dengan kekuasaanabsolut mutlak. [34] Karena manusia dipandang lemah, makapaham al-Asy'ari dalam hal ini lebih dekat kepada fahamJabariyah (fatalisme) dari faham Qadariyah (Free Will).Manusia dalam kelemahannya banyak tergantung kepada kehendakdan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan perbuatandengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan al-Asyari memakaiistilah al-kasb (acquisition, perolehan). Al-Kasb dapatdiartikan sebagai suatu perbuatan yang timbul dari manusiadengan perantaraan daya yang diciptakan oleh Allah. Tentangfaham kasb ini, al-Asy'ari memberi penjelasan yang sulitditangkap. Di satu pihak ia ingin melukiskan peran manusiadalam perbuatannya. Namun dalam penjelasannya tertangkapbahwa kasb itu pada hakekatnya adalah ciptaan Tuhan. Jadi,dalam teori kasb manusia tidak mempunyai pengaruh efektifdalam perbuatannya. [35] Kasb, kata al-Asy'ari, adalahsesuatu yang timbul dari yang berbuat (al-muhtasib) denganperantaraan daya yang diciptakan. [36] Melihat kepada pengertian, "sesuatu yang timbul dari yangberbuat" mengandung atas perbuatannya. Tetapi keteranganbahwa "kasb itu adalah ciptaan Tuhan" menghilangkan artikeaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasifdalam perbuatan-perbuatannya. Argumen yang dimajukan oleh al-Asy'ari tentang diciptakannyakasb oleh Tuhan adalah ayat: "Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu." (QS.al-Shaffat 37:96) Jadi dalam paham al-Asy'ari, perbuatan-perbuatan manusiaadalah diciptakan Tuhan. [37] Dan tidak ada pembuat (agent)bagi kasb kecuali Allah. [38] Dengan perkataan lain, yangmewujudkan kasb atau perbuatan manusia, menurut al-Asy'ari,sebenarnya adalah Tuhan sendiri. Bahwa perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan Tuhan,dapat dilihat dari pendapat al-Asy'ari tentang kehendak dandaya yang menyebabkan perbuatan menjadi wujud. Al-Asy'arimenegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkindikehendaki. Tidak satupun didalam ini terwujud lepas dari

Page 16: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

kekuasaan dan kehendak Tuhan. Jika Tuhan menghendakisesuatu, ia pasti ada, dan jika Tuhan tidak menghendakinyaniscaya ia tiada. [39] Firman Tuhan: "Kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki" (QS.al-Insan 76:30). Ayat ini diartikan oleh al-Asy'ari bahwa manusia tak bisamenghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusiasupaya menghendaki sesuatu itu. [40] Ini mengandung artibahwa kehendak manusia adalah satu dengan kehendak Tuhan,dan kehendak yang ada dalam diri manusia, sebenarnya tidaklain dari kehendak Tuhan. Dalam teori kasb, untuk terwujudnya suatu perbuatan dalamperbuatan manusia, terdapat dua perbuatan, yaitu perbuatanTuhan dan perbuatah manusia. Perbuatan Tuhan adalah hakikidan perbuatan manusia adalah majazi (sebagai lambang).Al-Baghdadi mencoba menjelaskan kepada kita sebagai berikut.Tuhan dan manusia dalam suatu perbuatan adalah seperti duaorang yang mengangkat batu b esar ; yang seorang mampumengangkatnya sendirian, sedangkan yang seorang lagi tidakmampu. Kalau kedua orang tersebut sama-sama mengangkat batubesar itu, maka terangkatnya batu itu adalah oleh yang kuattadi, namun tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itutidak turut mengangkat. Demikian pulalah perbuatan manusia.Perbuatan pada hakekatnya terjadi dengan perantaraannya dayaTuhan, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan sifatsebagai pembuat. [43]III.12. KEKUATAN DAN KELEMAHAN PAHAM ASY'ARI (3/3) SEBAGAI DOKTRIN AKIDAH oleh Zainun Kamal Buat sementara dapat kita simpulkan bahwa dalam pahamal-Asy'ari, untuk terwujudnya perbuatan perlu ada dua daya,daya Tuhan dan daya manusia. Tetapi daya yang berpengaruhdan efektif pada akhirnya dalam perwujudan perbuatan ialahdaya Tuhan, sedangkan daya manusia tidaklah efektif kalautidak disokong oleh daya Tuhan. Karena manusia dalam teori kasb al-Asy'ari tidak mempunyaipengaruh efektif dalam perbuatannya, maka banyak para ahlimenilai bahwa kasb adalah sebagai jabariyah moderat, bahkanIbn Hazm (w. 456 H) dan Ibn Taimiyyah (w. 728 H) menilai,sebagai jabariyah murni. [44] Harun Nasution jugaberpendapat demikian. Alasannya karena menurut al-Asy'arikemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan dayaTuhan, dan perbuatan itu sendiri adalah perbuatan Tuhan danbukan perbuatan manusia. [46] Ibn Taimiyyah menilai al-Asy'ari telah gagal dengan konsepkasb-nya yang hendak menengahi antara Qaddariyyah denganJabbariyah. Sebab, menurut Ibn Taimiyyah, Kasb-nyaal-Asy'ari itu telah membawa para pengikutnya berfahamJabariyah murni, yang mengingkari sama sekali adanyakemampuan pada manusia untuk berbuat. Memang, seperti yangsudah kita uraikan di atas, al-Asy'ari menegaskan bahwa kasb

Page 17: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

manusia itu tidak mempunyai efek nyata dalam mewujudkanperbuatan manusia itu. Oleh karena itu, Ibn Taimiyyahmenilai konsep kasb yang ditetapkan al-Asy'ari itu tidakmasuk akal. [46] PENGARUH KALAM AL-ASY'ARI Seperti telah disebutkan di atas, bahwa dalam faham teologial-Asy'ari manusia selalu digambarkan sebagai seorang yanglemah, yang tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa disaatberhadapan dengan kekuasaan yang absolut, apalagi berhadapandengan kekuasaan mutlak Allah. Teologi ini timbul merupakan refleksi dari status sosial dankultural masyarakat pada masanya, yaitu keadaan masyarakatIslam pada abad ke-9 M. [47] dimana raja-raja selaluberkuasa dengan diktator dan mempunyai hak penuh untukmenghukum siapa saja yang diinginkannya, sang raja tidakperlu patuh dan tunduk kepada undang-undang dan hukum. Sebabundang-undang dan hukum itu adalah bikinannya sendiri. Karena teologi al-Asy'ari didirikan atas kerangka landasanyang menganggap bahwa akal manusia mempunyai daya yanglemah, maka disinilah letak kekuatan teologi itu, yaitu iadengan mudah dapat diterima oleh umumnya umat Islam yangbersifat sederhana dalam pemikiran. Kunci keberhasilan teologi al-Asy'ari ialah karena sejakawal berdirinya ia telah berpihak kepada awwamnya - umatIslam, yang jumlahnya selalu mayoritas di dunia Sunni.Mereka adalah orang-orang yang tidak setuju denganajaran-ajaran Mu'tazilah. Sejarah menunjukkan, bahwa aliran al-Asy'ari telah berhasilmenarik rakyat banyak di bawah naungannya berkat campurtangan khalifah al-Mutawakkil, ketika yang terakhir inimembatalkan aliran Mu'tazilah sebagai paham resmi pada waktuitu. Kemudian setelah wafatnya al-Asy'ari pada tahun 935M.Ajarannya dikembangkan oleh para pengikutnya, antara lain,al-Baqillani, al-Juwaini dan al-Ghazali. Akhirnya, aliranitu mengalami kemajuan besar sekali, sehingga mayoritas umatIslam menganutnya sampai detik ini. Salah satu faktor penting bagi tersebarnya teologial-Asy'ariyah di dunia Islam adalah sifat akomodatifnyaterhadap Dinasti yang berkuasa, sebagai konsekuensi logisdari paham manusia lemah dan patuh kepada penguasa. Dengandemikian, ia sering mendapat dukungan, bahkan menjadi alirandari Dinasti yang berkuasa. Sungguhpun demikian, pahamal-Asy'ari ini juga telah membawa dampak dan pengaruhnegatif. Ia telah menghilangkan kesadaran pemikiranrasionalisme di dunia Islam. Hilangnya pemikiranrasionalisme tersebut telah menyebabkan kemunduran umatIslam selama berabad-abad. Karena akal manusia, menurut al-Asy'ari, mempunyai daya yanglemah, akibatnya, menjadikan penganutnya kurang mempunyai

Page 18: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

ruang gerak, karena terikat tidak saja pada dogma-dogma,tetapi juga pada ayat-ayat yang mengandung arti dzanni,yaitu ayat-ayat yang sebenarnya boleh mengandung arti laindari arti letterlek, tetapi mereka artikan secara letterlek.Dengan demikian para penganutnya teologi ini sukar dapatmengikuti dan mentolerir perubahan dan perkembangan yangterjadi dalam masyarakat modern. Selain itu, ia dapatmerupakan salah satu dari faktor-faktor yang memperlambatkemajuan dan pembangunan. Bahkan, lebih tegas lagi, SayeedAmeer Ali mengatakan bahwa kemerosotan bangsa-bangsa Islamsekarang ini salah satu sebabnya karena formalismeal-Asy'ari. [49] Paham bahwa semua peristiwa yang terjadi, termasuk perbuatanmanusia, adalah atas kehendak Tuhan menghilangkan maknapertanggungjawaban manusia atas segala perbuatannya, danlebih dari itu, menjadikan manusia-manusia yang tidak maubertanggungjawab atas kesalahan-kesalahannya. Peristiwaterowongan Mina adalah salah satu bukti nyata dari fahamFatalisme. Dengan dalih peristiwa itu terjadi atas kehendakTuhan semata, sehingga tidak ada yang mau bertanggungjawabatasnya. Paham fatalisme yang berkembang dalam masyarakat, sepertirezeki, jodoh dan maut adalah di tangan Tuhan, menjadikanmanusia-manusia yang enggan merubah nasibnya sendiri danmerubah struktur masyarakat. Dan ia selalu mempersalahkantakdir atas kemiskinan, kebodohan dan kematian massal yangterjadi. Untuk menutup tulisan ini, suatu kesimpulan dapat diambilbahwa faham teologi al-Asy'ari mempunyai basis yang kuatpada suatu masyarakat yang bersifat sederhana dalam carahidup dan berpikir, serta jauh dari pengetahuan. Tetapiteologi ini akan menjadi lemah disaat berhadapanperkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan teknologi baru. CATATAN 1.Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah II, Mesir, tahun 1976, h. 46 2.Ali Ibn Ismail Ibn Abi Basyar Ishak Ibn Salim Ibn Ismail Ibn Abdullah Ibn Musa Ibn Bilal Ibn Abi Burdah Ibn Musa al-Asy'ari (Lihat Abu al-Hasan al-Asy'ari, Al-lbanah 'an Ushul al-Dinyanah, Ed, Dr. Fauqiyah Husein Mahmud, Mesir, 1977, h. 9 (Selanjutnya disebut, Fauqiyah, al-lbanah). Lihat juga Abu al-Hasan al-Asy'ari, maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mushallin, ed., M. Mahyudin Abdul Hamid, Mesir, 1969, h. 3 3.Abu Musa al-Asy'ari adalah salah seorang sahabat Rasul-Allah saw. dan salah seorang hakim yang mewakili Ali Ibn Abi Thalib waktu terjadinya arbitrase antara Ali dan Muawiyah, lihat Hamudah Guramah, Abu al-Hasan al-Asy'ari, Mesir, 1973 h. 60

Page 19: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

4.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 10 5.Terdapat beberapa variasi pendapat dalam menetapkan tahun lahirnya: 270 H./885 M. Ibn Atsir, dalam al-Lubab I. h. 52 270 H./881 M. Al-Makrizi, dalam al-Khutbath III, h. 303 (dikutip dari Fanqiyah, Ibid., h. 13 Penulis lebih cenderung menetapkan sejarah lahirnya pada ketika memisahkan diri dari Mu'tazilah adalah pada tahun 300 H. Sedangkan usianya waktu itu sudah umum diketahui empat puluh tahun. (lihat M. Ali Abu Rayyan, Tarikh al-Fikri al-Falsafi Fi al-lslam, Iskandariyah, 1980, h. 310 6.Hamuddh, Al-Asy'ari, hal. 60 7.Fauqiyah, Al-Ibanah, hal. 29 8.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982 h. 36 9.Louis Gardet & J. Anawati, Falsafat al-Fikrial-Dini Bain al-Islam wa al-Masihiyah I (terj.) Bairut, 1976, h 93 10.Zuhdi Jar Allah, Al-Mu'tazilah. Bairut, 1974, h. 102 11.Lihat Rayyan, Tarikh, h. 312 Gardet & Anawati, Falsafah, h. 94. Madkour, Fi al-Falsafah, h. 116, Subhi Fi Ilm al-Kalam II, h. 73, Dan Hamudah, al-Asy'ari, h.65 12.A. Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, 1982, h. 159. 13.Bahwa manusia harus bertanggung jawab atas kehendak dan perbuatannya sendiri menurut pendapat Mu'tazilah, dapat dilihat pada, Mahmud Kasim, Dirasat Fi al-Falsafah al-Islamiyyah, Mesir, 1973 h. 164-165 14.Fauqiyah, Al-Ibanah, h. 31 15.Ibid., h. 34 16.Ibid., dan lihat juga Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, h. 41 17.Abu al-Hasan al-Asy'ari, Al-Ibanah'an Ushul al-Dinayah, Mesir,1397 H. H.8 18.Faiqiyah, Al-Ibanah, h. 35 19.Hasan Mahmud al-Asy'ari, dalam, Dirasat Arabiyah wa Islamiyah I, Dar el Ulum, Kairo, 1985, h. 38 20.Abu al-Hasan al-Asy'ari, Kitab al-Luma' Fi al-Rad'ala ahl al-Zaigh wa al-Bida', Kairo, 1965, h. 30 21.Al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal I, Ed. Abd. Aziz M.M. Wakil, Kairo, 1968, h. 104

Page 20: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

22.Madkour, Fi al-Fasafah II, h. 50 23.Subhi, Fi Ilm al-Kalam II, Iskandiyah, h. 51 24.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 17. Lihat juga, Al-Syahrastani, Al-Mihal I, h. 100 25.Al-Asy'ari, Ibid, h. 13 26.Al-Syahrastani, Al-Milal I, h. 100. Lihat juga Madkour, 27.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 16 28.Al-Sahrastani, Al-Milal I, h. 102, 113 29.Ibid., h. 101 30.Ibid 31.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 71 32.Ibid., lihat juga Mahmud Kasim, Dirasat, h. 167 33.Mahmud Kasim, h. 168 34.Ibid. 35.Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, Kairo, tt., h.205 36.Al-Asy'ari, al-Luma', h. 76 37.Ibid., h. 70 38.Ibid., h. 72 39.Al-Asy'ari, Al-Ibanah, h. 51 40.Al-Asy'ari, Al-Luma', h. 57 41.Ibid, h. 41 42.Abd al-Rahman Badawi, Madzahib al-Islamiyin, Bairut, 1971, h. 562 43.Abd al-Qahir al-Baghdadi, Kitab Ushul al Din, Bairut, 1981, h. 133-134 44.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, h. 205 45.Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta, 1983 h. 112 46.Ibn Taimiyyah, Minhaj al-Sunnah II, h. 16-17 47.Mahmud Kasim, Dirasat, h. 34

Page 21: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

48.Sayeed Ameer Alim, The Spirit Of Islam, Delhi, tt., h. 472 473.III.13. FILSAFAT ISLAM (1/3)oleh Harun Nasution Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Aleksander YangAgung membawa bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum sipil.Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya ke luarMacedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani didaerah-daerah yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauranantara orang-orang Yunani yang dibawanya, dengan penduduksetempat. Dengan jalan demikian berkembanglah falsafat danilmu pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan timbullahpusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah (dari namaAleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia sertaJundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di Iran. Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam kedaerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatanIslam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir, Suria sertaIrak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini,dengan menangnya kekuatan Islam dalam peperangan tersebut,jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuaidengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam agamadan bahwa kewajiban orang Islam hanya menyampaikanajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabatuntuk masuk-Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka semulaterutama yang menganut agama Nasrani dan Yahudi. Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yangtidak senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu inginmenjatuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam denganmemajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat yang merekaperoleh dari Yunani. Dari pihak umat Islam timbul satugolongan yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkiskecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula. Untukitu mereka pelajari filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani.Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani merekajumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalamal-Qur'an dan Sunnah Nabi. Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islamteologi rasional yang dipelopori kaum Mu'tazilah. Ciri-ciridari teologi rasional ini ialah: 1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta'wil dalam memahami wahyu. 2. Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil,

Page 22: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah free-will and free-act, yang membawa kepada konsep manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan maupun pemikiran. 3. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka. Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam al-Qur'an disebut Sunnatullah, yang mengatur perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini. Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan keyakinan akankedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikirserta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yangmembawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapijuga sains, pada masa antara abad ke VIII dan ke XIII M. Filsuf besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi, (796-873M)satu-satunya filsuf Arab dalam Islam. Ia dengan tegasmengatakan bahwa antara filsafat dan agama tak adapertentangan. Filsafat ia artikan sebagai pembahasan tentangyang benar (al-bahs'an al-haqq). Agama dalam pada itu jugamenjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar.Selanjutnya filsafat dalam pembahasannya memakai akal danagama, dan dalam penjelasan tentang yang benar juga memakaiargumen-argumen rasional. Menurut pemikiran filsafat kalau ada yang benar maka mesti ada"Yang Benar Pertama" (al-Haqq al-Awwal). Yang Benar Pertamaitu dalam penjelasan Al-Kindi adalah Tuhan. Filsafat dengandemikian membahas soal Tuhan dan agama. Filsafat yang termuliadalam pendapat Al-Kindi adalah filsafat ketuhanan atauteologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam. Karenaitu mempelajari filsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dantidak dilarang, tetapi wajib. Dengan filsafat "al-Haqq al-Awwal"nya, al-Kindi, berusahamemurnikan keesaan Tuhan dari arti banyak. Al-haqiqah ataukebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang adadi dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu sesuainyakonsep dalam akal dengan benda bersangkutan yang berada diluar akal. Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat(kekhususan, particulars). Yang penting bagi filsafat bukanlahbenda-benda atau juz'iat itu sendiri, tetapi yang pentingadalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang adadalam benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals).Tiap-tiap benda mempunyai hakikat sebagai juz'i (haqiqahjaz'iah) yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli,(haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat yangbersifat universal dalam bentuk jenis.

Page 23: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Memurnikan tauhid memang masalah penting dalam teologi danfilsafat Islam. Dalam hal ini al-Farabi (870-950 M) memberikonsep yang lebih murni lagi. Dalam pemikirannya, kalau Tuhan,Pencipta alam semesta, berhubungan langsung dengan ciptaannyayang tak dapat dihitung banyaknya itu, di dalam diri Tuhanterdapat arti banyak. Zat, yang di dalam diriNya terdapat artibanyak, tidaklah sebenarnya esa. Yang Maha Esa, agar menjadiesa, hanya berhubungan dengan yang esa. Pemurnian tauhid inilah yang menimbulkan filsafat emanasi(al-faid, pancaran) dari al-Farabi. Yang Maha Esa berfikirtentang diriNya yang esa, dan pemikiran merupakan daya atauenergi. Karena pemikiran Tuhan tentang diriNya merupakan dayayang dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu. Yangdiciptakan pemikiran Tuhan tentang diriNya itu adalah Akal I.Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa. Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat artibanyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinyasendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II danpemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. AkalII juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinyasendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III danpemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan AlamBintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan danmenghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri danmenghasilkan planet-planet. Dengan demikian diperolehlahgambaran berikut: Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus.Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars.Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.Ak al VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri.Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.Akal X menghasilkan hanya Bumi. Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkanAkal. Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui dizaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiriatas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagimenghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akandiurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yangdiwujudkannya. Akal dalam pendapat filsuf Islam adalahmalaikat. Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam falsafatemanasi al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yangbanyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melaluiAkal II, Akal II melalui Akal III dan demikianlah seterusnyasampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X. Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi

Page 24: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

melalui Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapatarti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapatal-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf Islam yang menganutpaham emanasi. Alam dalam filsafat Islam diciptakan bukan dari tiada ataunihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dantanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakansesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada.Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatuyang dipancarkan pemikiran Tuhan. Karena Tuhan beffikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula,apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim,dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lainkata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yangempat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Darisinilah timbul pengertian alam qadim, yang dikritikal-Ghazali.III.13. FILSAFAT ISLAM (2/3)oleh Harun Nasution Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas filsuf-filsuf Islam adapula soal jiwa manusia yang dalam falsafat Islam disebutal-nafs. Filsafat yang terbaik mengenai ini adalah pemikiranyang diberikan Ibn Sina (980-1037M). Sama dengan al-Farabi iamembagi jiwa kepada tiga bagian: 1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak. 2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya menangkap dengan pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan, rasa dan raba. Dan (b) Indra dalam yang berada di otak dan terdiri dari: i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra. ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari materi. iii.Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini. iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut. v. Indra pengingat yang menyimpan arti-arti itu. 3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal terbagi dua: a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dalam jiwa binatang.

Page 25: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan, roh dan malaikat. Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedangakal teoritis kepada alam metafisik. Dalam diri manusiaterdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpentingdiantaranya adalah jiwa berpikir manusia yang disebut akal ituAkal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak meneruskanarti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam jiwabinatang, ke akal teoritis. Tetapi kalau ia teruskan akalteoritis akan berkembang dengan baik. Akal teoritis mempunyai empat tingkatan: 1. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi untuk menangkap arti-arti murni. 2. Akal bakat, yang telah mulai dapat menangkap arti-arti murni. 3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak menangkap arti-arti murni. 4. Akal perolehan yang telah sempurna kesanggupannya menangkap arti-arti murni. Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan dimilikifilsuf-filsuf. Akal inilah yang dapat menangkap arti-artimurni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi. Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tigayang tersebut di atas berpengaruh pada dirinya. Jika jiwatumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekatmenyerupai binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruhterhadap dirinya maka ia dekat menyerupai malaikat. Dan dalamhal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yangmengontrol badan manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat didalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis untukmembawa manusia kepada kesempurnaan. Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapiperhitungan di depan Tuhan adalah jiwa manusia. Jiwatumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnyatubuh kembali menjadi tanah. Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhansetiap ada janin yang siap untuk menerima jiwa. Jiwa berhajatkepada badan manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat diatas, yang pada mulanya menolong akal untuk menangkaparti-arti. Makin banyak arti yang diteruskan otak kepadanyamakin kuat daya akal untuk menangkap arti-arti murni. Kalauakal sudah sampai kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagipada badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang baginya dalammenangkap arti-arti murni. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh

Page 26: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

karena keduanya hanya mempunyai fungsi-fungsi fisik sepertidijelaskan sebelumnya. Kedua jiwa ini, karena telah memperolehbalasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembal di akhirat.Jiwa manusia, berlainan dengan kedua jiwa di atas fungsinyatidak berkaitan dengan yang bersifat fisik tetapi yangbersifat abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akanditerimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau jiwatumbuh tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalahkekal. Jika ia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisahdengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapikalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum sempurna iaakan mengalami kesengsaraan kelak. Dari paham bahwa jiwa manusialah yang akan menghadapiperhitungan kelak timbul faham tidak adanya pembangkitanjasmani yang juga dikritik al-Ghazali. Demikianlah beberapa aspek penting dari falsafat Islam.Pemurnian konsep tauhid membawa al-Kindi kepada pemikiranTuhan tidak mempunyai hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis(al-jins) serta diferensiasi (al-fasl). Sebagai seorangMu'tazilah al-Kindi juga tidak percaya pada adanya sifat-sifatTuhan; yang ada hanyalah semata-mata zat. Pemurnian itu membawa al-Farabi pula kepada falsafat emanasiyang di dalamnya terkandung pemikiran alam qadim, tak bermuladalam zaman dan baqin, tak mempunyai akhir dalam zaman. KarenaTuhan dalam filsafat emanasi tak boleh berhubungan langsungdengan yang banyak dan hanya berfikir tentang diriNya YangMaha Esa, timbul pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahuijuz'iat, yaitu perincian yang ada dalam alam ini. Tuhanmengetahui hanya yang bersifat universal. Karena akal I, IIdan seterusnyalah yang mengatur planet-planet maka Akal I, IIdan seterusnya itulah yang mengetahui juz'iat atau kekhususanyang terjadi di alam ini. Karena inti manusia adalah jiwaberfikir untuk memperoleh kesempurnaan, pembangkitan jasmanitak ada. Sebagai orang yang banyak berkecimpung dalam bidangsains para filsuf percaya pula kepada tidak berubahnya hukumalam. Inilah sepuluh dari duapuluh kritikan yang dimajukanal-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran para filsuf Islam.Tiga, diantara sepuluh itu, menurut al-Ghazali membawa merekakepada kekufuran, yaitu: 1. Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman 2. Pembangkitan jasmani tak ada 3. Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam. Konsep alam qadim membawa kepada kekufuran dalam pendapatal-Ghazali karena qadim dalam filsafat berarti sesuatu yangwujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman yaitu tidakpernah tidak ada di zaman lampau. Dan ini berarti tidakdiciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan. Maka syahadatdalam teologi Islam adalah: la qadima, illallah, tidak ada

Page 27: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

yang qadim selain Allah. Kalau alam qadim, maka alam adalahpula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada pahamsyirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebuttak dapat diampuni Tuhan. Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Penciptayaitu Tuhan. Ini membawa pula kepada ateisme. Politeisme danateisme jelas bertentangan sekali dengan ajaran dasar Islamtauhid yang sebagaimana dilihat di atas para filsufmengusahakan Islam memberikan arti semurni-murninya. Inilahyang mendorong al-Ghazali untuk mencap kafir filsuf yangpercaya bahwa alam ini qadim. Mengenai masalah kedua pembangkitan jasmani tak ada, sedangkanteks ayat-ayat dalam al-Qur'an menggambarkan adanyapembangkitan jasmani itu. Umpamanya ayat 78/9 dari surat Yasin"Siapa yang menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh ini?.Katakanlah: Yang menghidupkan adalah Yang Menciptakannyapertama kali." Maka pengkafiran di sini berdasar atasberlawanannya falsafat tidak adanya pembangkitan jasmanidengan teks al-Qur'an yang adalah wahyu dari Tuhan. Pengkafiran tentang masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahuiperincian yang ada di alam juga didasarkan atas keadaanfalsafat itu, berlawanan dengan teks ayat dalam al-Qur'an.Sebagai umpama dapat disebut ayat 59 dari surat al-An'am:Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya. Pengkafiran al-Ghazali ini membuat orang di dunia Islam bagiantimur dengan Baghdad sebagai pusat pemikiran menjauhifalsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazalimengeluarkan pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapaihakikat bukanlah filsafat tetapi tasawuf. Dalam pada itusebelum zaman al-Ghazali telah muncul teologi baru yangmenentang teologi rasional Mu'tazilah. Teologi baru itu dibawaoleh al-Asy'ari (873-935) yang pada mulanya adalah salah satutokoh teologi rasional. Oleh sebab-sebab yang belum begitujelas ia meninggalkan paham Mu'tazilahnya dan munculkansebagai lawan dari teologi Mu'tazilah teologi baru yangkemudian dikenal dengan nama teologi al-Asy'ari. Sebagai lawan dari teologi rasional Mu'tazilah teologi Asy'aribercorak tradisional. Corak tradisionalnya dilihat darihal-hal 1. Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah sehingga kaum Asy'ari banyak terikat kepada arti lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak mengambil arti tersurat dari wahyu untuk menyesuaikannya dengan pemikiran ilmiah dan filosofis. 2. Karena akal lemah manusia dalam teologi ini merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak yang belum dewasa yang belum bisa berdiri sendiri tetapi masih banyak bergantung pada orang lain untuk membantunya dalam hidupnya. Teologi ini mengajarkan paham jabariah atau fatalisme yaitu percaya kepada

Page 28: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap statis. 3. Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik tolak dari paham kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam ini diatur Tuhan menurut kehendak mutlakNya dan bukan menurut peraturan yang dibuatnya. Karena itu hukum alam dalam teologi ini, tak terdapat, yang ada ialah kebiasaan alam. Dengan demikian bagi mereka api tidak sesuai dengan hukum alam selamanya membakar tetapi biasanya membakar sesuai dengan kehendak mutlak Tuhan. Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong padaberkembangnya pemikiran ilmiah dan filosofis sebagaimanahalnya dengan teologi rasional Mu'tazilah. Sesudah al-Ghazali,teologi tradisional inilah yang berkembang di dunia Islambagian Timur. Tidak mengherankan kalau sesudah zamanal-Ghazali ilmu dan falsafat tak berkembang lagi di Baghdadsebagaimana sebelumnya di zaman Mu'tazilah dan filsuf-filsufIslam.III.13. FILSAFAT ISLAM (3/3)oleh Harun Nasution Di dunia Islam bagian Barat yaitu di Andalus atau SpanyolIslam, sebaliknya pemikiran filsafat masih berkembang sesudahserangan al-Ghazali tersebut. Ibn Bajjah (1082-1138) dalambukunya Risalah al-Wida', kelihatannya mencela al-Ghazali yangberpendapat bahwa bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifatsufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan. Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan malahanmenghidupkan pendapat Mu'tazilah bahwa akal manusia begitukuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaanseperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepadaTuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia berbuatbaik dan menjauhi perbuatan jahat. Dalam hal-hal ini wahyudatang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil disuatu pulau, jauh dari masyarakat manusia, dapat mencapaikesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran ilmu dariTuhan, seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabidan Ibn Sina. Tapi Ibn Rusyd-lah (1126-1198 M) yang mengarang buku Tahafutal-Tahafut sebagai jawaban terhadap kritik-kritik Al-Ghazaliyang ia uraikan dalam Tahafut al-Falasifah. Mengenai masalah pertama qidam al-alam, alam tidak mempunyaipermulaan dalam zaman, konsep al-Ghazali bahwa alam hadis,alam mempunyai permulaan dalam zaman, menurut Ibn Rusydmengandung arti bahwa ketika Tuhan menciptakan alam, tidak adasesuatu di samping Tuhan. Tuhan, dengan kata lain, di ketikaitu berada dalam kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam daritiada atau nihil. Konsep serupa ini, kata Ibn Rusyd, tidak sesuai dengankandungan al-Qur'an. Didalam al-Qur'an digambarkan bahwa

Page 29: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

sebelum alam diciptakan Tuhan, telah ada sesuatu disampingNya. Ayat 7 dari surat Hud umpamanya mengatakan, Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam haridan takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas air. Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakanlangit dan bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11 dariHa Mim menyebut pula, Kemudian Ia pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap. Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan air sertauap adalah satu. Selanjutnya ayat 30 dari surat al-Anbia'mengatakan pula, Apakah orang-orang yang tak percaya tidak melihat bahwa langitdan bumi (pada mulanya) adalah satu dan kemudian Kamipisahkan. Kami jadikan segala yang hidup dari air. Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanyaberasal dari unsur yang satu dan kemudian menjadi dua bendayang berlainan. Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd menentang pendapatal-Ghazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifathadis dan menegaskan bahwa pendapat itu tidak sesuai dengankandungan al-Qur'an. Yang sesuai dengan kandungan al-Qur'ansebenarnya adalah konsep al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuflain. Di samping itu, kata khalaqa di dalam al-Qur'an, kataIbn Rusyd, menggambarkan penciptaan bukan dari "tiada,"seperti yang dikatakan al-Ghazali, tetapi dari "ada," sepertiyang dikatakan para filsuf. Ayat 12 dari surat al-Mu'minun,menjelaskan, Kami ciptakan manusia dari inti sari tanah.Manusia di dalam al-Qur'an diciptakan bukan dari "tiada"tetapi dari sesuatu yang "ada," yaitu intisari tanah sepertidisebut oleh ayat di atas. Filsafat memang tidak menerimakonsep penciptann dari tiada (creatio ex nihilo). "Tiada,"kata Ibn Rusyd tidak bisa berubah menjadi "ada," yang terjadiialah "ada" berubah menjadi "ada" dalam bentuk lain. Dalam halbumi, "ada" dalam bentuk materi asal yang empat dirubah Tuhanmenjadi "ada" dalam bentuk bumi. Demikian pula langit. Danyang qadim adalah materi asal. Adapun langit dan bumisusunannya adalah baru (hadis). Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibn Rusyd tidak membawakepada politeisme atau ateisme, karena qadim dalam pemikiranfilsafat bukan hanya berarti sesuatu yang tidak diciptakan,tetapi juga berarti sesuatu yang diciptakan dalam keadaanterus menerus, mulai dari zaman tak bermula di masa lampausampai ke zaman tak berakhir di masa mendatang. Jadi Tuhanqadim berarti Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah Penciptadan alam qadim berarti alam diciptakan dalam keadaan terusmenerus dari zaman tak bermula ke zaman tak berakhir. Dengandemikian sungguhpun alam qadim, alam bukan Tuhan, tetapiadalah ciptaan Tuhan,

Page 30: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Bahwa alam yang terus menerus dalam keadaan diciptakan initetap akan ada dan baqin digambarkan juga oleh al-Qur'an. Ayat47/8 dari surat Ibrahim menyebut: Janganlah sangka bahwa Allah akan menyalahi janji bagirasul-rasulNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Pemberibalasan di hari bumi ditukar dengan bumi yang lain dan(demikian pula) langit. Di hari perhitungan atau pembalasan nanti, tegasnya di harikiamat, Tuhan akan menukar bumi ini dengan bumi yang lain dandemikian pula langit sekarang akan ditukar dengan langit yanglain. Konsep ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumidan langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi materiasal api, udara, air dan tanah kembali; dari keempat unsur iniTuhan akan menciptakan bumi dan langit yang lain lagi. Bumidan langit ini akan hancur pula, dan dari materi asalnya akandiciptakan pula bumi dan langit yang lain dan demikianlahseterusnya tanpa kesudahan. Jadi pengertian qadim sebagaisesuatu yang berada dalam kejadian terus menerus adalah sesuaidengan kandungan al-Qur'an. Dengan demikian al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untukmengkafirkan filsuf dalam filsafat mereka tentang qadimnyaalam. Kedua-duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu pihak al-Farabi danpihak al-Ghazali sama-sama memberi tafsiran masing-masingtentang ayat-ayat al-Qur'an mengenai penciptaan alam. Yangbertentangan bukanlah pendapat filsuf dengan al-Qur'an, tetapipendapat filsuf dengan pendapat al-Ghazali. Mengenai masalah kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yangterjadi di alam, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para filosof takpernah mengatakan demikian. Menurut mereka Tuhan mengetahuiperinciannya; yang mereka persoalkan ialah bagaimana Tuhanmengetahui perincian itu. Perincian berbentuk materi danmateri dapat ditangkap pancaindra, sedang Tuhan bersifatimmateri dan tak mempunyai pancaindra. Dalam hal pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menulis dalamTahafut al-Tahafut bahwa filsuf-filsuf Islam tak menyebut halitu. Dalam pada itu ia melihat adanya pertentangan dalamucapan-ucapan al-Ghazali. Di dalam Tahajut al-Falasifah iamenulis bahwa dalam Islam tidak ada orang yang berpendapatadanya pembangkitan rohani saja, tetapi di dalam buku lain iamengatakan, menurut kaum sufi, yang ada nanti ialahpembangkitan rohani dan pembangkitan jasmani tidak ada. Dengan demikian al-Ghazali juga tak mempunyai argumen kuatuntuk mengkafirkan kaum filsuf dalam pemikiran tentang tidaktahunya Tuhan tentang perincian di alam dan tidak adanyapembangkitan jasmani. Ini bukanlah pendapat filsuf, dankelihatannya adalah kesimpulan yang ditarik al-Ghazali darifilsafat mereka. Dalam pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana para filsuf Islam lain,menegaskan bahwa antara agama dan falsafat tidak adapertentangan, karena keduanya membicarakan kebenaran, dan

Page 31: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

kebenaran tak berlawanan dengan kebenaran. Kalau penelitianakal bertentangan dengan teks wahyu dalam al-Qur'an makadipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti ta'wil adalahmeningga]kan arti lafzi untuk pergi ke arti majazi. Dengankata lain, meninggalkan arti tersurat dan mengambil artitersirat. Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepadakaum awam, karena mereka tak dapat memahaminya. Antara filsafat dan agama Ibn Rusyd mengadakan harmoni. Dandalam harmoni ini akal mempunyai kedudukan tinggi.Pengharmonian akal dan wahyu ini sampai ke Eropa dan di sanadikenal dengan averroisme. Salah satu ajaran averroisme ialahkebenaran ganda, yang mengatakan bahwa pendapat filsafatbenar, sungguhpun menurut agama salah. Agama mempunyaikebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah yang menimbulkanpemikiran rasional dan ilmiah di Eropa. Tak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Spanyolmengalami kemunduran besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnyahanya tinggal di sekitar Granada di tangan Banu Nasr. Pada1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand dariCastilia. Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol,hilang pulalah pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia Islambagian barat. Di dunia Islam bagian timur, kecuali di kalangan Syi'ah,teologi tradisional al-Asy'ari dan pendapat al-Ghazali bahwajalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkandari pada jalan filsafat. Hilanglah pemikiran rasional,filosofis dan ilmiah dari dunia Islam sunni sehingga datangabad XIX dan umat Islam dikejutkan oleh kemajuan Eropa dalambidang pemikiran, filsafat dan sains, sebagaimana disebut diatas, berkembang di Barat atas pengaruh metode berpikir IbnRusyd yang disebut averroisme. Semenjak itu pemikiran rasionalmulai ditimbulkan oleh pemikir-pemikir pembaruan sepertial-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, dan lain-lain. DAFTAR KEPUSTAKAAN De Boer, TJ., History of Philosophy in Islam, Tranl. E.R.Jones, London, Luzac & Co., 1970. Al-Farabi, Rasail, Hyderabad, t.t. Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1966. Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dalal, Cairo, al-Maktab al-Fanni,1961. Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta,Bulan Bintang, 1983. Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1964. Ibn Rusyd, Fals al-Maqal, London, J.E. Brill, 1969. Ibn Sina, Al-Najah, Kairo, M.B. al-Halabi, 1938.

Page 32: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

O. Leary, De Lacy, How Greek Science Passed to The Arabs,London, Routledge & Kegan Paul, 1964. Sharif M.M., ed., A History of Muslim Philosophy, Weisbaden,1963.

Page 33: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

III.14. TASAWUF (hal. 42)oleh Harun Nasution (1/4) Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkindengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hatibahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yangmenjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhanbersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diridengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalahMaha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNyaadalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahasmasalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melaluipenyucian rohnya. ASAL KATA SUFI Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkandengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci.Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata: 1. Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa. 2. Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan. 3. Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi. 4. Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf. 5. Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.

Page 34: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yangbanyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalahorang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri daridunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani.Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyimal-Kufi di Irak (w.150 H). ASAL-USUL TASAWUF Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islammempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani danagama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa alirantasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar. Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang darirahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadatdan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia.Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan dipadang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjaditempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam harilampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir.Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong.Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuksementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong. Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiranmistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalahsuci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke duniamateri dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Rohyang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itutidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk ituia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian padafllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapapantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk kedalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yangsuci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yangterdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemudengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itudibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak. Masih dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan denganfilsafat emanasi Plotinus. Roh memancar dari diri Tuhan danakan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan Pythagoras, diaberpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia jugakotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor,ia akan tetap tinggal di bumi berusaha membersihkan dirimelalui reinkarnasi. Kalau sudah bersih, ia dapatmendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatudengan Dia di bumi ini. Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalamajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaranal-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembalike hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, rohpergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan.Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan didunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.

Page 35: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Dari agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsepNirwana. Nirwana dapat dicapai dengan meninggalkan dunia,memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri. Ajaranmenghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapatdalam Islam. Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakandatang dari ajaran bersatunya Atman dengan Brahman melaluikontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam tasawufterdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusiadengan roh Tuhan. Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunanidan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yangkemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahuluadalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa inimemerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbulpertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidakada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islamsendiri? Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan.Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali denganmanusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an danHadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, "JikahambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat danmengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil." Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapiberseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihatTuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, iaberseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nyakepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkanoleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, makakemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS.al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana sajaTuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergijauh, untuk menjumpainya. Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnyaTuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kamitahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebihdekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada dilehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan beradabukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusiasendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahuidirinya mengetahui Tuhannya." Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup iamasuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan iajumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayatberikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuhmereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkauyang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapiAllah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17). Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan.Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat

Page 36: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lainsebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Akuadalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal.Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pundikenal." Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, danbukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalauayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusiadengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdatal-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan. Demikianlah ayat-ayat al-Qur'an dan Hadits Nabimenggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan jugakepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidakmemerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapatmerasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyakberibadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihatTuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuanrohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf. JALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkatmelihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu denganTuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orangharus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanyasedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf.Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilahberasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaumsufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebutmaqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusahakeras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkanperjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebutdiatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutamapuasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorangcalon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadatdalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyuciandiri calon sufi secara berangsur. Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertamayang harus dilakukan seseorang adalah tobat daridosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawufadalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobatdari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telahberhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil,kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dariperbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha,yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanyayang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walausekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktupanjang.III.14. TASAWUF (hal. 42)oleh Harun Nasution (2/4)

Page 37: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaituzuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materidan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpenciluntuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dandzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah,dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minumhanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikittidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Iamenjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagidigoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yangdicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnyadalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an danberdzikir. Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisamenggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masukkembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa,melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia jugaakan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'. Distasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatansyubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibimenolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyral-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yangberisi syubhat. Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasionini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanyasedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapatmenjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidakmeminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapitidak menolak pemberian Tuhan. Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasionsabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankanperintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhilarangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabardalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakanTuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongandari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnyapertolongan. Ia sabar menderita. Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkandiri sebulat-bulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidakmemikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hariini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasatenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karenaada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Iabersikap seperti telah mati. Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Daristasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkania menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surgadan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak adaperasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketikamalapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnyabergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekatsekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat

Page 38: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu denganTuhan. Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakantempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalantasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi barumenjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelahsampai ke stasion berikutnya dan memperolehpengalaman-pengalaman tasawuf. PENGALAMAN SUFI Di masa awal perjalanannya, calon sufi dalam hubungannyadengan Tuhan dipengaruhi rasa takut atas dosa-dosa yangdilakukannya. Rasa takut itu kemudian berubah menjadi rasawaswas apakah tobatnya diterima Tuhan sehingga ia dapatmeneruskan perjalanannya mendekati Tuhan. Lambat laun iarasakan bahwa Tuhan bukanlah zat yang suka murka, tapi zatyang sayang dan kasih kepada hamba-Nya. Rasa takut hilangdan timbullah sebagai gantinya rasa cinta kepada Tuhan. Padastasion ridla, rasa cinta kepada Tuhan bergelora dalamhatinya. Maka ia pun sampai ke stasion mahabbah, cintaIlahi. Sufi memberikan arti mahabbah sebagai berikut,pertama, memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikapmelawan kepada-Nya. Kedua, Menyerahkan seluruh diri kepadaYang Dikasihi. Ketiga, Mengosongkan hati darisegala-galanya, kecuali dari Diri Yang Dikasihi. Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam Islam, bahkan dalamal-Qur'an terdapat ayat-ayat yang menggambarkan cinta Tuhankepada hamba dan cinta hamba kepada Tuhan. Ayat 54 darisurat al-Maidah, "Allah akan mendatangkan suatu umat yangdicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya." Selanjutnya ayat30 dari surat 'Ali Imran menyebutkan, "Katakanlah, jika kamucinta kepada Tuhan, maka turutlah Aku, dan Allah akanmencintai kamu." Hadits juga menggambarkan cinta itu, seperti yang berikut,"Senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku melaluiibadat sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang Ku-cintai,Aku menjadi pendengaran, penglihatan dan tangannya." Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf dengan pengalamancinta adalah seorang wanita bernama Rabi'ah al-'Adawiah(713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam kepada Tuhanmemalingkannya dari segala yang lain dari Tuhan. Dalamdoanya, ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan pulatidak meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta adalahdekat kepada Tuhan. Ia mengatakan, "Aku mengabdi kepadaTuhan bukan karena takut kepada neraka, bukan pula karenaingin masuk surga, tetapi aku mengabdi karena cintakukepada-Nya." Ia bermunajat, "Tuhanku, jika kupuja Engkaukarena takut kepada neraka, bakarlah mataku karena Engkau,janganlah sembunyikan keindahan-Mu yang kekal itu daripandanganku." Sewaktu malam telah sunyi ia berkata, "Tuhanku, bintang di

Page 39: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

langit telah gemerlapan, mata-mata telah bertiduran,pintu-pintu istana telah dikunci, tiap pecinta telahberduaan dengan yang dicintainya, dan inilah aku berada dihadirat-Mu." Ketika fajar menyingsing ia dengan rasa cemasmengucapkan, "Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segeraakan menampakkan diri. Aku gelisah, apakah Engkau terima akusehingga aku bahagia, ataukah Engkau tolak sehingga akumerasa sedih. Demi keMahakuasaan-Mu inilah yang akankulakukan selama Engkau beri hajat kepadaku. SekiranyaEngkau usir aku dari depan pintuMu, aku tidak akan bergerak,karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi hatiku." Pernah pula ia berkata, "Buah hatiku, hanya Engkaulah yangkukasihi. Beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadiratMu, Engkau harapanku, kebahagiaan dari kesenanganku.Hatiku telah enggan mencintai selain Engkau." Begitu penuhhatinya dengan rasa cinta kepada Tuhan, sehingga ketikaorang bertanya kepadanya, apakah ia benci kepada setan, iamenjawab, "Cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan ruangkosong di dalam hatiku untuk benci setan." Cinta tulus Rabi'ah al-'Adawiah kepada Tuhan, akhirnyadibalas Tuhan, dan ini tertera dari syairnya yang berikut: Kucintai Engkau dengan dua cinta,Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,Cinta karena dirikuMembuat aku lupa yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,Cinta kepada diri-Mu,Membuat aku melihat Engkau karena Engkau bukakan hijab,Tiada puji bagiku untuk ini dan itu,Bagi-Mu-lah puji dan untuk itu semua. Rabi'ah al-'Adawiah, telah sampai ke stasion sesudahmahabbah, yaitu ma'rifah. Ia telah melihat Tuhan dengan hatinuraninya. Ia telah sampai ke stasion yang menjadi idamankaum sufi. Dengan kata lain, Rabi'ah al-'Adawiah telahbenar-benar menjadi sufi. Pengalaman ma'rifah, ditonjolkan oleh Zunnun al-Misri (w.860M). Ma'rifah adalah anugerah Tuhan kepada sufi yang denganikhlas dan sungguh-sungguh mencintai Tuhan. Karena cintaikhlas dan suci itulah Tuhan mengungkapkan tabir daripandangan sufi dan dengan terbukanya tabir itu sufi pundapat menerima cahaya yang dipancarkan Tuhan dan sufi punmelihat keindahan-Nya yang abadi. Ketika Zunnun ditanya,bagaimana ia memperoleh ma'rifah, ia menjawab, "Aku melihatdan mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karenaTuhan aku tidak melihat dan tidak tahu Tuhan." Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia memperoleh ma'rifahkarena kemurahan hati Tuhan. Sekiranya Tuhan tidakmembukakan tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapatmelihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam literatur tasawuf,sufi berusaha keras mendekatkan diri dari bawah dan Tuhanmenurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga dikatakan bahwama'rifah datang ketika cinta sufi dari bawah dibalas Tuhan

Page 40: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

dari atas. Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai alat bukan akalyang berpusat di kepala, tapi qalb atau kalbu (jantung) yangberpusat di dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama, dayauntuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan yang disebut qalb. Kedua,daya untuk mencintai Tuhan yang disebut ruh. Ketiga dayauntuk melihat Tuhan yang disebut sirr. Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya ini keluarsetelah sufi berhasil menyucikan jiwanya sesuci-sucinya.Dalam bahasa sufi, jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalausenantiasa dibersihkan dan digosok akan mempunyai dayatangkap yang besar. Demikian juga jiwa, makin lama iadisucikan dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan makinbesar daya tangkapnya, sehingga akhirnya dapat menangkapdaya cemerlang yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi punbergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat melihatrahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-Ghazali mengartikanma'rifat, "Melihat rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahuiperaturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada." Kata ma'rifat memang mengandung arti pengetahuan. Maka,ma'rifat dalam tasawuf berarti pengetahuan yang diperolehlangsung dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini disebutilm ladunni. Ma'rifah berbeda dengan 'ilm. 'Ilm inidiperoleh melalui akal. Dalam pendapat al-Ghazali,pengetahuan yang diperoleh melalui kalbu, yaitu ma'rifah,lebih benar dari pengetahuan yang diperoleh melalui akal,yaitu 'ilm. Sebelum menempuh jalan tasawuf al-Ghazalidiserang penyakit syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelahmencapai ma'rifah, keyakinannya untuk memperoleh kebenaranternyata melalui tasawuf, bukan filsafat. Lebih jauh mengenai ma'rifah dalam literatur tasawufdijumpai ungkapan berikut, pertama, kalau mata yang terdapatdi dalam hati sanubari manusia terbuka, mata kepalanya akantertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah. Kedua,ma'rifah adalah cermin. Kalau sufi melihat ke cermin ituyang akan dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihatorang 'arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangunhanyalah Allah. Keempat, sekiranya ma'rifah mengambil bentukmateri, cahaya yang disinarkannya gelap. Semua orang yangmemandangnya akan mati karena tak tahan melihatkecemerlangan dan keindahannya. Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya ma'rifah dengan matahatinya akan dipenuhi kalbunya dengan rasa cinta yangmendalam kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi merasatidak puas dengan stasion ma'rifah saja. Ia ingin beradalebih dekat lagi dengan Tuhan. Ia ingin mengalami persatuandengan Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut ittihad. III.14. TASAWUF (hal. 42)oleh Harun Nasution (3/4) Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu Yazid al

Page 41: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Bustami (w. 874 M). Ucapan-ucapan yang ditinggalkannyamenunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad diperlukan usahayang keras dan waktu yang lama. Seseorang pernah bertanyakepada Abu Yazid tentang perjuangannya untuk mencapaiittihad. Ia menjawab, "Tiga tahun," sedang umurnya waktu itutelah lebih dari tujuh puluh tahun. Ia ingin mengatakanbahwa dalam usia tujuh puluh tahunlah ia baru sampai kestasion ittihad. Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus terlebihdahulu mengalami fana' dan baqa'. Yang dimaksud dengan fana'adalah hancur sedangkan baqa' berarti tinggal. Sesuatudidalam diri sufi akan fana atau hancur dan sesuatu yanglain akan baqa atau tinggal. Dalam literatur tasawufdisebutkan, orang yang fana dari kejahatan akan baqa(tinggal) ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari maksiatakan baqa (tinggal) takwa dalam dirinya. Dengan demikian,yang tinggal dalam dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatuhilang dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan timbulsebagai gantinya. Hilang kejahilan akan timbul ilmu. Hilangsifat buruk akan timbul sifat baik. Hilang maksiat akantimbul takwa. Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih dahulumengalami al-fana' 'an al-nafs, dalam arti lafdzi kehancuranjiwa. Yang dimaksud bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada,tapi kehancurannya akan menimbulkan kesadaran sufi terhadapdiri-Nya. Inilah yang disebut kaum sufi al-fana' 'an al-nafswa al-baqa, bi 'l-Lah, dengan arti kesadaran tentang dirisendiri hancur dan timbullah kesadaran diri Tuhan. Di siniterjadilah ittihad, persatuan atau manunggal dengan Tuhan. Mengenai fana', Abu Yazid mengatakan, "Aku mengetahui Tuhanmelalui diriku hingga aku hancur, kemudian akumengetahui-Nya melalui diri-Nya dan akupun hidup. Sedangkanmengenai fana dan baqa', ia mengungkapkan lagi, "Ia membuataku gila pada diriku hingga aku mati. Kemudian Ia membuataku gila kepada diri-Nya, dan akupun hidup." Lalu, diapunberkata lagi, "Gila pada diriku adalah fana' dan gila padadiri-Mu adalah baqa' (kelanjutan hidup)." Dalam menjelaskan pengertian fana', al-Qusyairi menulis,"Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainterjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya danmakhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada, demikian pulamakhluk lain, tetapi ia tak sadar lagi pada diri mereka danpada dirinya. Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluklain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan terjadilahittihad." Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari sufi keluarungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah sufi disebutsyatahat (ucapan teopatis). Syatahat yang diucapkan AbuYazid, antara lain, sebagai berikut, "Manusia tobat daridosanya, tetapi aku tidak. Aku hanya mengucapkan, tiadaTuhan selain Allah."

Page 42: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Abu Yazid tobat dengan lafadz syahadat demikian, karenalafadz itu menggambarkan Tuhan masih jauh dari sufi danberada di belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di hadiratTuhan, berhadapan langsung dengan Tuhan dan mengatakankepadaNya: Tiada Tuhan selain Engkau. Dia juga mengucapkan, "Aku tidak heran melihat cintakupada-Mu, karena aku hanyalah hamba yang hina. Tetapi akuheran melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau adalah RajaMaha Kuasa." Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta mendalam Abu Yazidtelah dibalas Tuhan. Lalu, dia berkata lagi, "Aku tidakmeminta dari Tuhan kecuali Tuhan." Seperti halnya Rabi'ah yang tidak meminta surga dari Tuhandan pula tidak meminta dijauhkan dari neraka dan yangdikehendakinya hanyalah berada dekat dan bersatu denganTuhan. Dalam mimpi ia bertanya, "Apa jalannya untuk sampaikepadaMu?" Tuhan menjawab, "Tinggalkan dirimu dan datanglah." AkhirnyaAbu Yazid dengan meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa'dan ittihad. Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan dengan kata-kataberikut ini, "Pada suatu ketika aku dinaikkan kehadiratTuhan dan Ia berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihatengkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak ingin melihatmereka. Tetapi jika itu kehendak-Mu, aku tak berdayamenentang-Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jikamakhluk-Mu melihat aku, mereka akan berkata, telah kamilihat Engkau. Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalahEngkau, karena ketika itu aku tak ada di sana." Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwaia dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkanperhatian Abu Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Iatetap meminta bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan darikata-katanya, "Hiasilah aku dengan keesaan-Mu." PermintaanAbu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah persatuan,sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, "AbuYazid, semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku." Akupunberkata, aku adalah Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalahEngkau." Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam ittihad, yangsatu memanggil yang lain dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku).Hal ini juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan dalamungkapan selanjutnya, "Dialog pun terputus, kata menjadisatu, bahkan seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkatakepadaku, "Hai Engkau, aku menjawab melalui diri-Nya "HaiAku." Ia berkata kepadaku, "Engkaulah Yang Satu." Akumenjawab, "Akulah Yang Satu." Ia berkata lagi, "Engkauadalah Engkau." Aku menjawab: "Aku adalah Aku." Yang penting diperhatikan dalam ungkapan diatas adalah

Page 43: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

kata-kata Abu Yazid "Aku menjawab melalui diriNya" (Fa qultubihi). Kata-kata bihi -melalui diri-Nya- menggambarkanbersatunya Abu Yazid dengan Tuhan, rohnya telah meleburdalam diri Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang ada hanyalahTuhan. Maka yang mengatakan "Hai Aku Yang Satu" bukan AbuYazid, tetapi Tuhan melalui Abu Yazid. Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yangdiucapkan lidah sufi ketika berada dalam ittihad yaitukata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufiseolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyangsubuh, mengeluarkan kata-kata, "Maha Suci Aku, Maha SuciAku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selainAku, maka sembahlah Aku." Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkanlidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia mengakuidirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar,dan sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agardapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan daridosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesartersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dantak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi,kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengankata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melaluilidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah,tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Didalam jubah ini tidak ada selain Allah." Yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid,tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa iaadalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkanmelalui lidah Abu Yazid. Sufi lain yang mengalami persatuan dengan Tuhan adalahHusain Ibn Mansur al-Hallaj (858-922 M), yang berlainannasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhihukuman bunuh, mayatnya dibakar dan debunya dibuang kesungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan, "Ana 'l-Haqq"(Akulah Yang Maha Benar). Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad,tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untukbersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami persatuannyadengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hululdiartikan, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untukbersemayam didalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya,setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itudihancurkan. Di sini terdapat juga konsep fana, yang dialami Abu Yaziddalam ittihad sebelum tercapai hulul. Menurut al-Hallaj,manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut (kemanusiaan) danlahut (ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifatdasar, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Landasanbahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat diambildari hadits yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam

Page 44: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

sesuai dengan bentuk-Nya. Hadits ini mengandung arti bahwa didalam diri Adam adabentuk Tuhan dan itulah yang disebut lahut manusia.Sebaliknya didalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam danitulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas padasyair al-Hallaj sebagai berikut: Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-NyaMembukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilangKemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyataDalam bentuk manusia yang makan dan minum Dengan membersihkan diri malalui ibadat yang banyakdilakukan, nasut manusia lenyap dan muncullah lahut-nya danketika itulah nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri sufidan terjadilah hulul. Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair berikut ini: Jiwa-Mu disatukan dengan jiwakuSebagaimana anggur disatukan dengan air suciJika Engkau disentuh, aku disentuhnya pulaMaka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau adalah aku. III.14. TASAWUF (hal. 42)oleh Harun Nasution (4/4) Hulul juga digambarkan dalam syair berikut: Aku adalah Dia yang kucintaiDan Dia yang kucintai adalah aku,Kami adalah dua jiwa yang menempati satu tubuh, Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia,Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami. Ketika mengalami hulul yang digambarkan diatas itulah lidahal-Hallaj mengucapkan, "Ana 'l-Haqq" (Akulah Yang MahaBenar). Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu Yazid, ucapan itu tidakmengandung arti pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan.Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia ucapkan melaluilidah al-Hallaj. Sufi yang bernasib malang ini mengatakan, "Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,Yang Maha Benar bukanlah Aku,Aku hanya satu dari yang benar,Maka bedakanlah antara kami." Syatahat atau kata-kata teofani sufi seperti itu membuatkaum syari'at menuduh sufi telah menyeleweng dari ajaranIslam dan menganggap tasawuf bertentangan dengan Islam. Kaumsyari'at yang banyak terikat kepada formalitas ibadat, tidakmenangkap pengalaman sufi yang mementingkan hakekat dantujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri sedekat mungkin kepada

Page 45: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Tuhan. Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya pertentangankeras antara kaum syari'at dan kaum hakekat, gelar yangdiberikan kepada kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelahal-Ghazali datang dengan pengalamannya bahwa jalan sufilahyang dapat membawa orang kepada kebenaran yang menyakinkan.Al-Ghazali menghalalkan tasawuf sampai tingkat ma'rifah,sungguhpun ia tidak mengharamkan tingkat fana', baqa, danittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan al-Hallaj, tapimengkafirkan al-Farabi dan Ibn Sina. Kalau filsafat, setelah kritik al-Ghazali dalam bukunyaTahafut al-Falasifah, tidak berkembang lagi di dunia IslamSunni, tasawuf sebaliknya banyak diamalkan, bahkan olehsyariat sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, setelahpengalaman persatuan manusia dengan Tuhan yang dibawaal-Bustami dalam ittihad dan al-Hallaj dalam hulul, Muhyal-Din Ibn 'Arabi (1165-1240) membawa ajaran kesatuan wujudmakhluk dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud. Lahut dan nasut, yang bagi al-Hallaj merupakan dua hal yangberbeda, ia satukan menjadi dua aspek. Dalam pengalamannya,tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek batin yang merupakanesensi, disebut al-haqq, dan aspek luar yang merupakanaksiden disebut al-khalq. Semua makhluk dalam aspek luarnyaberbeda, tetapi dalam aspek batinnya satu, yaitu al-haqq.Wujud semuanya satu, yaitu wujud al-haqq. Tuhan, sebagaimana disebut dalam Hadits yang telah dikutippada permulaan, pada awalnya adalah "harta" tersembunyi,kemudian Ia ingin dikenal maka diciptakan-Nya makhluk, danmelalui makhluklah Ia dikenal. Maka, alam sebagai makhluk,adalah penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam sebagaicermin yang didalamnya terdapat gambar Tuhan. Dengan katalain, alam adalah bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujudalam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud alam tergantungpada wujud Tuhan. Sebagai bayangan, wujud alam bersatudengan wujud Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud. Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak tetapi padahakekatnya satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yangmelihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan disekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat dirinya. Didalam cermin, dirinya kelihatan banyak, tetapi padahakekatnya dirinya hanya satu. Yang lain dan yang banyakadalah bayangannya. Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran wahdatal-wujud Ibn Arabi dengan panteisme dalam arti bahwa yangdisebut Tuhan adalah alam semesta. Jelas bahwa Ibn Arabitidak mengidentikkan alam dengan Tuhan. Bagi Ibn Arabi,sebagaimana halnya dengan sufi-sufi lainnya, Tuhan adalahtransendental dan bukan imanen. Tuhan berada di luar danbukan di dalam alam. Alam hanya merupakan penampakan diriatau tajalli dari Tuhan.

Page 46: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Ajaran wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnyamembawa pada ajaran al-Insan al-Kamil yang dikembangkanterutama oleh Abd al-Karim al-Jilli (1366-1428). Dalampengalaman al-Jilli, tajalli atau penampakan diri Tuhanmengambil tiga tahap tanazul (turun), ahadiah, Huwiah danAniyah. Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam keabsolutannya baru keluardari al-'ama, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Padatahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masihdalam bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan menampakkandiri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk-Nya.Di antara semua makhluk-Nya, pada diri manusia Iamenampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya. Sungguhpun manusia merupakan tajalli atau penampakan diriTuhan yang paling sempurna diantara semua makhluk-Nya,tajalli-Nya tidak sama pada semua manusia. Tajalli Tuhanyang sempurna terdapat dalam Insan Kamil. Untuk mencapaitingkat Insan Kamil, sufi mesti mengadakan taraqqi(pendakian) melalui tiga tingkatan: bidayah, tawassut dankhitam. Pada tingkat bidayah, sufi disinari oleh nama-nama Tuhan,dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkandiri dalam nama-nama-Nya, seperti Pengasih, Penyayang dansebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassut, sufidisinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudratdll. Dan Tuhan ber-tajalli pada sufi demikian dengansifat-sifat-Nya. Pada tingkat khitam, sufi disinari dzatTuhan yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengandzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil. Iamenjadi manusia sempurna, mempunyai sifat ketuhanan dandalam dirinya terdapat bentuk (shurah) Allah. Dialahbayangan Tuhan yang sempurna. Dan dialah yang menjadiperantara antara manusia dan Tuhan. Insan Kamil terdapatdalam diri para Nabi dan para wali. Di antara semuanya,Insan Kamil yang tersempurna terdapat dalam diri NabiMuhammad. Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin denganTuhan akhirnya tercapai malalui ittihad serta hulul yangmengandung pengalaman persatuan roh manusia dengan roh Tuhandan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti penampakandiri atau tajalli Tuhan yang sempurna dalam diri InsanKamil. Sementara itu tasawuf pada masa awal sejarahnya mengambilbentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang dibentukoleh murid-murid atau pengikut-pengikut sufi besar untukmelestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besaryang terdapat di Indonesia adalah Qadiriah yang muncul padaabad ke-13 Masehi untuk melestarikan ajaran Syekh AbdulQadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul pada abadke-14 bagi pengikut Bahauddin Naqsyabandi (w. 1415 M),Syattariah, pengikut Abdullah Syattar (w. 1415 M), danTijaniah yang muncul pada abad ke-19 di Marokko dan

Page 47: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Aljazair. Tarekat-tarekat besar lain diantaranya adalahBekhtasyiah di Turki, Sanusiah di Libia, Syadziliah diMarokko, Mesir dan Suria, Mawlawiah (Jalaluddin Rumi) diTurki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir. Dalam tarekat, ajaran-ajaran sufi besar tersebut terkadangdiselewengkan, sehingga tarekat menyimpang dari tujuansebenarnya dari sufi untuk menyucikan diri dan berada dekatdengan Tuhan. Tarekat ada yang telah menyalahi ajaran dasarsufi dan syari'at Islam, sehingga timbullah pertentanganantara kaum syari'at dan kaum tarekat. Sementara itu ada pula tarekat yang menekankan pentingnyakehidupan rohani dan mengabaikan kehidupan duniawi, dandisamping itu menekankan ajaran tawakal sufi, sehinggamengabaikan usaha. Dengan kata lain, yang dikembangkantarekat adalah orientasi akhirat dan sikap tawakal. Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan abad ke-20, tarekatmempunyai pengaruh besar dalam masyarakat Islam. Karenapengaruh besar itu, orang-orang yang ingin mendapat dukungandari masyarakat menjadi anggota tarekat. Di Turki Usmani,tentara menjadi anggota tarekat Bekhtasyi dan dalamperlawanan mereka terhadap pembaharuan yang diadakansultan-sultan, mereka mendapat sokongan dari tarekatBekhtasyi dan para ulama Turki. Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu orientasi akhiratdan sikap tawakal berkembang di kalangan umat Islam yangbekas-bekasnya masih ada pada kita sampai sekarang. Untukitu tidak mengherankan kalau pemimpin-pemimpin pembaharuandalam Islam seperti Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh,Rasyid Ridha dan terutama Kamal Ataturk memandang tarekatsebagai salah satu faktor yang membawa kepada kemunduranumat Islam. Dalam pada itu dunia dewasa ini dilanda oleh materialismeyang menimbulkan berbagai masalah sosial yang pelik. Banyakorang mengatakan bahwa dalam menghadapi meterialisme yangmelanda dunia sekarang, perlu dihidupkan kembalispiritualisme. Disini tasawuf dengan ajaran kerohanian danakhlak mulianya dapat memainkan peranan penting. Tetapiuntuk itu yang perlu ditekankan tarekat dalam diri parapengikutnya adalah penyucian diri dan pembentukan akhlakmulia disamping kerohanian dengan tidak mengabaikankehidupan keduniaan. Pada akhir-akhir ini memang kelihatan gejala orang-orang diBarat yang bosan hidup kematerian lalu mencari hidupkerohanian di Timur. Ada yang pergi ke kerohanian dalamagama Buddha, ada ke kerohanian dalam agama Hindu dan taksedikit pula yang mengikuti kerohanian dalam agama Islam,umpamanya aliran Subud di Jakarta. Dalam hubungan itu kira-kira 30 tahun lalu, A.J. Arberrydalam bukunya Sufism menulis bahwa Muslim dan bukan Muslimadalah makhluk Tuhan yang satu. Oleh karena itu bukanlah

Page 48: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

tidak pada tempatnya bagi seorang Kristen untuk mempelajariajaran-ajaran sufi yang telah meninggalkan pengaruh besardalam kehidupan umat Islam dan bersama-sama dengan orangIslam menggali kembali ajaran-ajaran sufi yang akan dapatmemenuhi kebutuhan orang yang mencari nilai-nilai kerohaniandan moral zaman yang penuh kegelapan dan tantangan sepertisekarang. DAFTAR KEPUSTAKAAN Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd., 1963.Badawi, A.R., Syatahat al-Sufiah, Cairo, al-Nahdah al-Misriah, 1949.Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique, Paris, Gallimard, 1964.

Page 49: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

III.15. SYARI'AH, THARIQAH, HAQIQAH DAN MA'RIFAH (hal. 181)oleh KH Ali Yafie Kata syari'ah telah beredar luas di kalangan umat muslim.Bahkan, dalam al-Qur'an sendiri, kata tersebut telah dipakaiantara lain pada Surah al-Jatsiyah: 18. Pemakaian katatersebut mengacu kepada makna ajaran dan norma agama itusendiri. Dalam perkembangan Islam munculnya tiga katathariqah, haqiqah dan ma'rifah, telah mengakibatkanterbatasnya pengertian syari'ah sehingga lebih banyakmengacu pada norma hukum. Sedangkan tiga kata lainnyamenjadi terma yang terkenal dalam tasawuf. Karena itu adabaiknya kita lebih dahulu berbicara tentang tasawuf itusendiri. Mengenai kelompok tasawuf ada dua pendapat. Pertama, merekaadalah kelompok spiritual dalam umat Islam yang berada ditengah-tengah dua kelompok lainnya yang disebut kelompokformal dan kelompok Intelektual. Kelompok intelektual initerdiri dari ulama-ulama mutakallim (ahli teologi),sedangkan kelompok formal terdiri dari ulama-ulama muhadditsdan fuqaha. Kedua, bahwa tasawuf itu hanyalah suatukecenderungan spiritual yang membentuk etika moral danlingkungan sosial khusus. Sehingga seharusnya kita katakanseorang muhaddttsin sekaligus juga ulama sufiyah, begitupula seorang mutakallimin sekaligus juga ulama sufiyah. Ajaran Tasawuf pada dasarnya merupakan bagian dariprinsip-prinsip Islam sejak awal. Ajaran ini tak ubahnyamerupakan upaya mendidik diri dan keluarga untuk hidupbersih dan sederhana, serta patuh melaksanakan ajaran-ajaranagama dalam kehidupannya sehari-hari. Ibnu Khaldunmengungkapkan, pola dasar tasawuf adalah kedisiplinanberibadah, konsentrasi tujuan hidup menuju Allah (untukmendapatkan ridla-Nya), dan upaya membebaskan diri dariketerikatan mutlak pada kehidupan duniawi, sehingga tidakdiperbudak harta atau tahta, atau kesenangan duniawilainnya. Kecenderungan seperti ini secara umum terjadi padakalangan kaum muslim angkatan pertama. Pada angkatanberikutnya (abad 2 H) dan seterusnya, secaraberangsur-angsur terjadi pergeseran nilai sehingga orientasikehidupan duniawi menjadi lebih berat. Ketika itulahangkatan pertama kaum muslim yang mempertahankan pola hidupsederhananya lebih dikenal sebagai kaum sufiyah. Keadaan tersebut berkelanjutan hingga mencapai puncakperkembangannya pada akhir abad 4 H. Dalam masa tiga abaditu dunia Islam mencapai kemakmuran yang melimpah, sehinggadi kalangan atas dan menengah terdapat pola kehidupan mewah,seperti kita dapat simak dalam karya sastra "cerita seribusatu malam" dimasa kejayaan kekhalifahan Abbasiyah. Padamasa itu gerakan tasawuf juga mengalami perkembangan yangtidak terbatas hanya pada praktek hidup bersahaja saja, tapimulai ditandai juga dengan berkembangnya suatu carapenjelasan teoritis yang kelak menjadi suatu disiplin ilmu

Page 50: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

yang disebut ilmu Tasawuf. Pada tingkat perkembangan inilah muncul beberapa terma yangdulunya tidak lazim dipakai dalam ilmu-ilmu keislaman. Upayapenalaran para ulama muhaddits dan fuqaha dalam menjabarkanprinsip-prinsip ajaran Islam mengenai penataan kehidupanpribadi dan masyarakat yang sudah berkembang selama tigaabad -dengan munculnya disiplin ilmu Tasawuf- terjadilahpemisahan antara dua pola penalaran, yaitu produk penalaranulama muhaddits dan fuqaha yang disebut syari'ah, dan produkpenalaran ulama tasawuf yang disebut haqiqah. Selanjutnyapara fuqaha pun disebut ahli syari'ah dan para ulama tasawufdisebut ahli haqiqah. Pada tahap perkembangannya, secara berangsur-angsur polapikir dan pola hubungan antara ahli syari'ah dan ahlihaqiqah makin berbeda. Dan ini menimbulkan banyakpertentangan antara kedua kelompok tersebut. Perbedaantersebut ditandai dengan beberapa hal berikut: 1. Ahli syari'ah menonjolkan -kadang-kadang secara berlebih-lebihan- soal pengalaman agama dalam bentuk yang formalistik (syi'ar-syi'ar lahiriah). Sedang dilain pihak, para ahli haqiqah menonjolkan aspek-aspek batiniah ajaran Islam. 2. Adanya teori-teori ahli haqiqah yang menggusarkan para ahli syari'ah, misalnya teori al-fana fi 'l-Lah (peleburan diri dalam Allah) yang dikemukakan Abu Yazid al-Busthami dan teori Hub al-Lah (cinta Allah) hasil pemikiran Rabi'ah al-'Adawiyah serta teori Maqamat-Ahwal (terminal-terminal dan situasi-situasi) ciptaan Dzunn-un al-Mishri. Semua itu dianggap sebagai ajaran aneh oleh para ahli syari'ah. 3. Sebagian ahli haqigah tidak merasa terikat dengan syi'ar-syi'ar agama yang ritual-formalistis. Mereka berkata, kalau seseorang sudah mencapai derajat wali, dia sudah bebas dari ikatan-ikatan formal. Padahal, para pendahulu mereka sangat disiplin dalam pengalaman syari'ah. 4. Ahli haqiqah mengklaim, siapa yang telah sampai perjalanan rohaniahnya kepada Allah dan sudah terlebur dirinya dalam diri Allah, maka dia akan mampu menaklukkan alam dan melakukan hal-hal yang luar biasa (keramat). Jurang pemisah yang makin hari makin melebar antara ahlisyari'ah dan ahli haqiqah makin menjadi-jadi pada sekitarakhir abad kelima Hijrah, dan Imam Ghazali berupayamemulihkannya. Dalam kaitan inilah beliau tampil dengankarya besarnya Ihya 'Ulum al-Din. Dalam buku ini beliaumempertemukan teori-teori syari'ah dengan teori-teorihaqiqah Ternyata upaya al-Ghazali ini sangat membantu dalammerukunkan kembali antara para ahli syari'ah dengan ahlihaqiqah. Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewatlembaga keagamaan non-formal yang namanya "tarekat" asal

Page 51: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

kata thariqah. Di Jawa Timur misalnya, kita jumpai TarekatQadiriyah yang cukup dikenal, disamping TarekatNaqsyabandiyah, Syadziliyah, Tijaniyah dan Sanusiyah. Dalamsatu dasawarsa terakhir ini, kita melihat adanya langkahlebih maju dalam perkembangan tarekat-tarekat tersebutdengan adanya koordinasi antara berbagai macam tarekat itulewat ikatan yang dikenal dengan nama Jam'iyah Ahlal-Thariqah al-Mu'tabarah. Pada tahun lima puluhan,pemerintah Mesir menempatkan pembinaan dan koordinasitarekat-terekat tersebut di bawah Departemen BimbinganNasional (Wizarah al-Irsyad al-Qaumi). Pertimbangannyaialah, bagaimanapun keberadaan penganut-penganut tarekat itumerupakan bagian dari potensi bangsa/umat, yang berhakmendapatkan perlindungan dalam rangka tertib kemasyarakatansuatu negara. Untuk lebih mengenal adanya tarekat itu, ada baiknya kitamempertanyakan kapankah munculnya tarekat (al-thuruqal-shufiyah) itu dalam sejarah perkembangan gerakan tasawufDr. Kamil Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakantasawuf dan gerakan syi'ah mengungkapkan, tokoh pertama yangmemperkenalkan sistem thariqah (tarekat) itu Syekh AbdulQadir al-Jilani (w. 561 H/1166 M) di Baghdad. Ajarantarekatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, yangmendapat sambutan luas di Aljazair, Ghinia dan Jawa.Sedangkan di Mesir, tarekat yang banyak pengikutnya TarekatRifa'iyyah yang dibangun Sayid Ahmad al-Rifa'i. Dan tempatketiga diduduki tarekat ulama penyair kenamaan Parsi, Jalalal-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M). Beliau membuat tradisibaru dengan menggunakan alat-alat musik sebagai saranadzikir. Kemudian sistem ini berkembang terus dan meluas.Dalam periode berikutnya muncul tarekat al-Syadziliyah yangmendapat sambutan luas di Maroko dan Tunisia khususnya, dandunia Islam bagian Timur pada umumnya. Yang juga perlu dicatat di sini ialah munculnya TarekatSanusiyah yang mempunyai disiplin tinggi mirip disiplinmiliter. Di bawah syeikhnya yang terakhir, Sayyid Ahmadal-Syarif al-Sanusi berhasil menggalang satu kekuatanperlawanan rakyat yang mampu memerangi kolonialis Italia,Perancis dan Inggris secara berturut-turut, dan akhirnyamembebaskan wilayah Libya. Mungkin sifat keras dari iklimyang dibentuk Tarekat Sanusiyah inilah yang mewarnaiMu'ammar al-Qadafi mengambil alih kekuasaan dan berkuasasampai saat ini sebagai Kepala Negara tersebut. Nicholson mengungkapkan hasil penelitiannya, bahwa sistemhidup bersih dan bersahaja (zuhd) adalah dasar semua tarekatyang berbeda-beda itu. Semua pengikutnya dididik dalamdisiplin itu, dan pada umumnya tarekat-tarekat tersebutwalaupun beragam namanya dan metodenya, tapi ada beberapaciri yang menyamakan: 1. Ada upacara khusus ketika seseorang diterima menjadi penganut (murid). Adakalanya sebelum yang bersangkutan diterima menjadi penganut, dia harus terlebih dahulu menjalani masa persiapan yang berat.

Page 52: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

2. Memakai pakaian khusus (sedikitnya ada tanda pengenal) 3. Menjalani riyadlah (latihan dasar) berkhalwat. Menyepi dan berkonsentrasi dengan shalat dan puasa selama beberapa hari (kadang-kadang sampai 40 hari). 4. Menekuni pembacaan dzikir tertentu (awrad) dalam waktu-waktu tertentu setiap hari, ada kalanya dengan alat-alat bantu seperti musik dan gerak badan yang dapat membina konsentrasi ingatan. 5. Mempercayai adanya kekuatan gaib/tenaga dalam pada mereka yang sudah terlatih, sehingga dapat berbuat hal-hal yang berlaku di luar kebiasaan. 6. Penghormatan dan penyerahan total kepada Syeikh atau pembantunya yang tidak bisa dibantah Dari sistem dan metode tersebut Nicholson menyimpulkan,bahwa tarekat-tarekat sufi merupakan bentuk kelembagaan yangterorganisasi untuk membina suatu pendidikan moral dansolidaritas sosial. Sasaran akhir dari pembinaan pribadidalam pola hidup bertasawuf adalah hidup bersih, bersahaja,tekun beribadah kepada Allah, membimbing masyarakat ke arahyang diridlai Allah, dengan jalan pengamalan syari'ah danpenghayatan haqiqah dalam sistem/metode thariqah untukmencapai ma'rifah. Apa yang dimaksud dengan kata ma'rifah dalam terma merekaialah penghayatan puncak pengenalan keesaan Allah dalamwujud semesta dan wujud dirinya sendiri. Pada titikpengenalan ini akan terpadu makna tawakkal dalam tawhid,yang melahirkan sikap pasrah total kepada Allah, danmelepaskan dirinya dari ketergantungan mutlak kepada sesuatuselain Allah. DAFTAR KEPUSTAKAAN Abu 'l-Hasan al-Nadawi, Rijal al-fikri wa 'l-Da'wah fi 'l-lslam.Ahmad Amin, Dhuha al-Islam dan Zhuhur al-IslamImam al Ghazali, Ihya 'Ulum al-DinIrnam Ibn Khaldun, al-Muqaddimah.Kamil Mushthafa al-Syibli, al-Shilah bain al-Tashawwuf wa 'l-Tasyayyu'.

Page 53: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

III.16. MANUSIA DAN PROSES PENYEMPURNAAN DIRIoleh Komaruddin Hidayat Secara tegas Allah menyatakan bahwa manusia merupakan puncakciptaan-Nya dengan tingkat kesempurnaan dan keunikan-Nya yangprima dibanding makhluk lainnya (QS. 95:4). Namun begitu Allahjuga memperingatkan bahwa kualitas kemanusiaannya, masih belumselesai atau setengah jadi, sehingga masih harus berjuanguntuk menyempurnakan dirinya (QS. 91:7-10). Prosespenyempurnaan ini amat dimungkinkan karena pada naturnyamanusia itu fithri, hanif dan berakal. Lebih dari itu bagiseorang mukmin petunjuk primordial ini masih ditambah lagidengan datangnya Rasul Tuhan pembawa kitab suci sebagaipetunjuk hidupnya (QS. 4:174). Di dalam tradisi kaum sufi terdapat postulat yang berbunyi:Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa rabbabu --Siapa yang telahmengenal dirinya maka ia (akan mudah) mengenal Tuhannya. Jadi,pengenalan diri adalah tangga yang harus dilewati seseoranguntuk mendaki ke jenjang yang lebih tinggi dalam rangkamengenal Tuhan. Persoalan serius yang menghadang adalah, sebagaimana diakuikalangan psikolog, filsuf, dan ahli pikir pada umumnya, kinimanusia semakin mendapatkan kesulitan untuk mengenali jatidiri dan hakikat kemanusiaannya Dengan majunya spesialisasi dalam dunia ilmu pengetahuan danberkembangnya differensiasi dalam profesi kehidupan makaprotret atau konsep tentang realitas manusia semakin terpecahmeniadi kepingan-kepingan kecil sehingga keutuhan sosokmanusia semakin sulit dihadirkan secara utuh. Sederet disiplinilmu seperti psikologi, sosiologi, biologi, kedokteran,politik, ekonomi, antropologi, teologi dan lainnya semuanyamenjadikan manusia sebagai obyek kajian materialnya, tetapimasing-masing memiliki metode dan tujuan yang berbeda.Differensiasi metodologis setiap ilmu, meskipun obyekmaterialnya sama-sama manusia, akan melahirkan kesimpulan yangberbeda pula mengenai siapa dan apa hakikat manusia itu.Demikianlah manusia senantiasa mengandung sebuah misteri yangmelekat pada dirinya dan misteri ini telah mengandung sebuahmisteri yang melekat pada dirinya dan misteri ini telahmengundang kegelisahan intelektual pare ahli pikir untukmencoba berlomba menjawabnya. Semakin seorang ahli pikirmendalami satu sudut kajian tentang manusia, semakin jauh pulaia terkurung dalam bilik lorong yang ia masuki, yang berartisemakin terputus dari pemahaman komprehensif tentang manusia.Krisis pengenalan jati diri manusia ini secara eksplisitdikemukakan, misalnya, oleh Ernst Cassirer, katanya: Nietzsche proclaims the will to power, Freud signalizes thesexual instinct, Marx enthrones the economic instinct. Eachtheory becomes a Procrustean bed in which the empirical factsare stretched to fit a preconceived pattern. Owing to thisdevelopment our modern theory of man lost its intellectual

Page 54: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

center. We acquired instead a complete anarchy of thought.(Ernst Cassier, 1978, p.21) Krisis pengenalan diri sesungguhnya tidak hanya dirasakankalangan ahli pikir Barat modern, melainkan juga di kalanganIslam. Terjadinya ideologisasi terhadap ilmu-ilmu agama,secara sadar atau tidak, telah menghantarkan pada persepsiyang terpecah dalam melihat manusia dan hubungannya denganTuhan. Dalam tradisi ilmu fiqih misalnya, secara tak langsungilmu ini cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang MahaHakim, sementara manusia adalah subyek-subyek yang cenderungmembangkang dan harus siap menerima vonis-vonis dari kemurkaanTuhan Sang Maha Hakim atau, sebaliknya, manusia pada akhirnyaakan menuntut imbalan pahala atas ketaatannya melaksanakandekrit-Nya. Demikianlah, bila ilmu fiqih cenderung mengenalkan Tuhansebagai Maha Hakim, maka ilmu kalam lebih menggarisbawahigambaran Tuhan sebagai Maha Akal, sementara ilmu tasawufmemproyeksikan Tuhan sebagai Sang Kekasih. Perbedaan-perbedaan ini muncul dalam benak manusia karena padadasarnya yang bertuhan adalah manusia, di mana manusia itulahir, tumbuh dan berkembang dibentuk dan dipengaruhi olehberbagai faktor yang dijumpai dalam realitas sejarah hidupnya.Jadi, bila langkah pertama untuk mengenal Tuhan adalahmengenal diri sendiri terlebih dahulu secara benar, makalangkah pertama yang harus kita tempuh ialah bagaimanamengenal diri kita secara benar. Meskipun Cassirer secara gamblang menunjukkan krisispengenalan diri, secara sederhana kita bisa membedakan duaparadigma pemahaman terhadap manusia, yaitu paradigmamaterialisme-atheistik dan spiritualisme-theistik. Yangpertama berkeyakinan pada teori bahwa semua realitas materi(downward causation), sebaliknya yang kedua berkeyakinan bahwadunia materi ini hakikatnya berasal dari realitas yangbersifat imateri (upward causation). Bagi mereka yang berpandangan atau terbiasa dengan metodeberpikir empirisme-materialistik akan sulit diajak untukmenghayati makna penyempurnaan kualitas insani sebagaimanayang lazim diyakini di kalangan pare sufi. Kritik terhadapaliran materialisme akhir-akhir ini semakin gencar, dan akanmudah dijumpai pada berbagai bidang studi keilmuan Baratkontemporer dengan dalih, antara lain, faham ini telahmereduksi keagungan manusia yang dinyatakan Tuhan sebagaimoral and religious being. Ralph Ross, misalnya, memberikan contoh yang amat sederhanatetapi gamblang betapa miskinnya penganut materialisme dalammemahami kehidupan yang penuh nuansa ini. Progressive reductionism works as follows. An art object isonly mass and light waves; an act of love only chemiphysical,only electrical charges; therefore, the art object or act oflove is only a flow of electricity. (Ralph ross, 1962, hal.

Page 55: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

8). Pandangan yang begitu dangkal tentang manusia secara tegasdikritik oleh al-Qur'an. Menurut doktrin al-Qur'an, manusiaadalah wakil Tuhan di muka bumi untuk melaksanakan'blueprint'-Nya membangun bayang-bayang surga di bumi ini (QS.2:3). Lebih dari itu dalam tradisi sufi terdapat keyakinanyang begitu populer bahwa manusia sengaja diciptakan Tuhankarena dengan penciptaan itu Tuhan akan melihat danmenampakkan kebesaran diri-Nya. Kuntu kanzan makhfiyyan fa ahbabtu an u'rafa fa khalaqtual-khalqa fabi 'arafu-ni --Aku pada mulanya adalah harta yangtersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, Kuciptakanlah makhlukmaka melalui Aku mereka kenal Aku. Terlepas apakah riwayatnya sahih ataukah lemah, pada umumnyaorang sufi menerima hadits tersebut, namun dengan beberapapenafsiran yang berbeda. Meski demikian, mereka cenderungsepakat bahwa manusia adalah microcosmos yang memilikisifat-sifat yang menyerupai Tuhan dan paling potensialmendekati Tuhan (Bandingkan QS. 41:53). Dalam QS. 15:29,misalnya, Allah menyatakan bahwa dalam diri manusia memangterdapat unsur Ilahi yang dalam al-Qur'an beristilah "minruhi." Pendek kata, realitas manusia memiliki jenjang-jenjangdan mata rantai eksistensi. Bila diurut dari bawah unsurnyaialah minerality, vegetality, animality, dan humanity. Dari jenjang pertama sampai ke tiga aktivitas dan daya jangkaumanusia masih berada dalam lingkup dunia materi dan duniamateri selalu menghadirkan polaritas atau fragmentasi yangsaling berlawanan (the primordial pair). Dalam konteks inilahyang dimaksud bahwa realitas yang kita tangkap tentang duniamateri adalah realitas yang terpecah berkeping-keping. Makinberkembang ilmu pengetahuan, makin bertambah kepingan gambaranrealitas dunia, dan makin jauh pula manusia untuk mampumengenal dirinya secara utuh. Seperti dikemukakan Carel Alexisbahwa man has gained the mistery of the material world beforeknowing himself. Dalam kaitan definisi, tradisi tasawuf belum mempunyaidefinisi tunggal, namun para sarjana muslim sepakat bahwa intitasawuf adalah ajaran yang menyatakan bahwa hakekat keluhurannilai seseorang bukanlah terletak pada wujud fisiknyamelainkan pada kesucian dan kemuliaan hatinya, sehingga iabisa sedekat mungkin dengan Tuhan yang Maha Suci. Ajaranspiritualitas seperti ini tidak hanya terdapat pada Islammelainkan pada agama lain, bahkan dalam tradisi pemikiranfilsafat akan mudah pula dijumpai. Dari kenyataan ini makatidak terlalu salah bila ada yang berpendapat bahwasesungguhnya potensi dan kecenderungan kehidupan batin manusiake arah kehidupan mistik bersifat natural dan universal.Pendeknya, pada nurani manusia yang terdapat dalam cahaya suciyang senantiasa ingin menatap Yang Maha Cahaya (Tuhan) karenadalam kontak dan kedekatan antara nurani dan Tuhan itulahmuncul kedamaian dan kebahagiaan yang paling prima. Kalangansufi yakin, dahaga dan kerinduan mendekati Tuhan ini bukanlah

Page 56: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

hasil rekayasa pendidikan (kultur) melainkan merupakan naturmanusia yang paling dalam, yang pertumbuhannya seringterhalangi oleh pertumbuhan dan naluri jiwa nabati dan hewaniyang melekat pada manusia. Dengan kiasan lain, roh Ilahi yangbersifat imateri dan berperan sebagai "sopir" bagi kendaraan"jasad" kita ini seringkali lupa diri sehingga ia kehilanganotonominya sebagai master. Bila hal ini terjadi makaterjadilah kerancuan standar nilai. "Keakuan" orang bukan lagidifokuskan pada kesucian jiwa tetapi pada prestasi akumulasidan konsumsi materi. Artinya, jiwa yang tadinya duduk danmemerintah dari atas singgasana "imateri" dengansifat-sifatnya yang mulia seperti: cinta kasih, penuh damai,senang kesucian, selalu ingin dekat kepada Yang Maha Suci danAbstrak, lalu turunlah tahtanya ke level yang lebih rendah,yaitu dataran: minerality, vegetality, dan animality. Jadi, tujuan utama ajaran tasawuf adalah membantu seseorangbagaimana caranya seseorang bisa memelihara dan meningkatkankesucian jiwanya sehingga dengan begitu ia merasa damai danjuga kembali ke tempat asal muasalnya dengan damai pula (QS.89:27). Secara garis besar tahapan seorang mukmin untuk meningkatkankualitas jiwanya terdiri dari tiga maqam. Pertama, dzikir atauta'alluq pada Tuhan. Yaitu, berusaha mengingat dan mengikatkankesadaran hati dan pikiran kita kepada Allah. Di manapunseorang mukmin berada, dia tidak boleh lepas dari berfikir danberdzikir untuk Tuhannya (QS. 3:191). Dari dzikir inimeningkat sampai maqam kedua -takhalluq. Yaitu, secara sadarmeniru sifat-sifat Tuhan sehingga seorang mukmin memilikisifat-sifat mulia sebagaimana sifat-Nya. Proses ini bisa jugadisebut sebagai proses internalisasi sifat Tuhan ke dalam dirimanusia. Dalam konteks ini kalangan sufi biasanya menyandarkanHadits Nabi yang berbunyi, "Takhallaqu bi akhlaq-i Allah." Maqam ketiga tahaqquq. Yaitu, suatu kemampuan untukmengaktualisasikan kesadaran dan kapasitas dirinya sebagaiseorang mukmin yang dirinya sudah "didominasi" sifat-sifatTuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang serba suci danmulia. Maqam tahaqquq ini sejalan dengan Hadits Qudsi yangdigemari kalangan sufi yang menyatakan bahwa bagi seorangmukmin yang telah mencapai martabat yang sedemikian dekat danintimnya dengan Tuhan maka Tuhan akan melihat kedekatanhamba-Nya. Dalam tradisi tasawuf yang menjadi fokus kajiannya ialah apayang disebut gaib atau hati dalam pengertiannya yangmetafisis. Beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits menegaskan bahwahati seseorang bagaikan raja, sementara badan dan anggotanyabagai istana dan para abdi dalem-nya. Kebaikan dan kejahatankerajaan itu akan tergantung bagaimana perilaku sang raja. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan bahwa meskipun secarafisik hati itu kecil dan mengambil tempat pada jasad manusia,namun luasnya hati Insan Kamil (qalb al-'arif) melebihiluasnya langit dan bumi karena ia sanggup menerima 'arsyTuhan, sementara bumi langit tidak sanggup. Menurut Ibn

Page 57: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

'Arabi, kata qalb senantiasa berasosiasi dengan kata taqallubyang bergerak atau berubah secara konstan. Taqallub-nya hatisang sufi, kata 'Arabi, adalah seiring dengan tajalli-nyaTuhan. Tajalli berarti penampakan diri Tuhan ke dalammakhluk-Nya dalam pengertian metafisik. Dan dari sekianmakhluk Tuhan, hanya hati seorang Insan Kamil-lah yang palingmampu menangkap lalu memancarkan tajalli-Nya dalam perilakukemanusiaan (Fushushul Hikam, XII; Hossein Nasr, 1977, p.138).Dalam konteks inilah, menurut Ibn 'Arabi, yang dimaksudkandengan ungkapan siapa yang mengetahui jiwanya, ia akanmengetahui Tuhannya karena manusia adalah "microcosmos" ataujagad cilik dimana 'arsy Tuhan berada di situ, tetapi Tuhanbukan pengertian huwiyah-Nya atau "ke-Dia-annya" yang MahaAbsolut dan Maha Esa, melainkan Tuhan dalam sifat-Nya yangDhahir, bukannya Yang Bathin. KHALIFAH ALLAH: MANUSIA SUCI NAN PERKASA Bila upaya penyucian jiwa merupakan inti tasawuf, dan itudilakukan dalam upaya mendekati dan menggapai kasih Tuhan,maka tasawuf bisa dikatakan sebagai inti keberagaman dankarenanya setiap muslim semestinya berusaha untuk menjadisufi. Pandangan semacam itu tentu saja kurang populer dan sulitditerima oleh kalangan terdekat. Namun begitu, bukankah cukuptegas isyarat al-Qur'an maupun Hadits yang menyatakan bahwakewajiban setiap muslim adalah mensucikan jiwanya sehinggakesuciannya termanifestasikan dalam perilaku insaniyahnya? Melalui tahapan ta'alluq, takhalluq, dan tahaqquq, makaseorang mukmin akan mencapai derajat khalifah Allah dengankapasitasnya yang perkasa tetapi sekaligus penuh kasih dandamai. Seorang 'abd-u 'l-Lah (budak Allah) yang saleh adalahsekaligus juga wakil-Nya untuk membangun bayang-bayang surgadi muka bumi ini. Bukankah Allah punya blue-print dan proyekuntuk memakmurkan bumi, dan bukankah hamba-hamba-Nya yangsaleh telah dinyatakan sebagai mandataris-Nya? Jadi, secarakarikatural, seorang sufi kontemporer adalah mereka yang tidakasing berdzikir dan berfikir tentang Tuhan sekalipun di hotelmewah dan datang dengan kendaraan yang mewah pula. DAFTAR KEPUSTAKAAN Arabi, Ibn, Fushush al-Hikam (The Bezels of Wisdom), New York,1980. Afifi, AE. The Mystical Philosophy of Muhyi al-Din Ibnul'Arabi, Lahore, 1938 Cassirer, Ernst., An Essay on Man, London, 1978. Izutsu, Toshihiko, The Concept of Perpetual Creation inIslamic Mysticism and Zen Buddhism, Teheran, 1977. Massiggnon, Louis., The Passion of al-Hallaj, Jilid II danIII, Princeton, 1982.

Page 58: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Nasution, Prof. Dr. Harun, Falsafat dan Mistisisme DalamIslam, 1973 Ross, Raiph., Symbols and Civilization, New York, 1962. Schimmel, Annemarie, Dimensi Mistik Dalam Islam, Jakarta,1976. Valiuddin, Dr. Mir., The Qur'anic Sufism, Lahore, 1978.

Page 59: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

III.17. PANDANGAN KESUFIAN TENTANG DIRI MANUSIAoleh M. Bambang Pranowo Elingana yen ana timbalan Yen wis budal ora kena wakilan, Ora kena wakilan Timbalane kang Maha Kuasa Gelem ora gelem bakale lunga (Ingatlah jika telah datang panggilan Kau harus pergi dan tak bisa kau wakilkan, tak bisa kau wakilkan Panggilan dari Yang Maha Kuasa Mau tak mau kau harus pergi jua) Nyanyian puitis di atas adalah penggalan dari sebuah nyanyiankeagamaan yang cukup panjang. Di Jawa, nyanyian itu disebutpujian atau erang-erangan. Pujian tersebut biasanyadidendangkan bersama-sama oleh para jemaah di langgar ataumesjid menjelang shalat Subuh, Maghrib atau Isya, sembarimenanti datangnya anggota masyarakat lain yang turutmendirikan salat berjamaah. Mungkin berkat susunannya yangritmis dan mudah dihapal maka pujian tersebut seringkalimenjadi "nyanyian" populer yang dilakukan bukan hanya dimesjid dan langgar, tapi juga di sawah dan ladang ketikaseseorang menggembalakan ternaknya, atau di rumah-rumah ketikaibu-ibu berusaha menidurkan anaknya. Tidak jelas siapa pengarang pujian yang cukup populertersebut, terutama di desa-desa bagian Jawa Tengah Selatan.Namun, orang mengenal bahwa pujian semacam itu disebarkan olehkalangan pesantren. Perlu dicatat, para kyai pemimpinpesantren kebanyakan juga pemimpin tarekat, sehingga tidakmengherankan kalau pujian yang diciptakan sarat denganpesan-pesan kesufian. Dan, dari pujian tersebut tercerminsebuah permintaan agar manusia menyadari bahwa suka atautidak, ia harus memenuhi panggilan Tuhan Yang Maha Kuasa untukkembali ke haribaannya. Panggilan Tuhan tersebut tidak dapatdidelegasikan kepada siapapun juga. Memang, di antara pesan kesufian yang terpenting adalah ajakanagar manusia menyadari sepenuhnya sifat kefanaan darikehidupan dunia ini. Oleh karena dunia bersifat fana dan yangkekal hanyalah Tuhan, maka dunia ini dipandang benar-benarbermakna hanya apabila ia senantiasa diorientasikan kepadaTuhan. Lalai dari kesadaran berketuhanan berarti manusia telahterjerat oleh perangkat serba kefanaan. Dalam "perangkap"seperti itu manusia cenderung berorientasi hanya kepada usahamewujudkan kesenangan sementara yang segera dapat dinikmatikini dan di sini, di dunia yang fana ini. Ia lupa bahwamanusia disebut manusia tidak lain karena roh sukma yangditiupkan Tuhan masih melekat di jasad atau raganya. Begitusukma meninggalkan raga, ia dianggap sudah tiada. TEORI CERMIN AL-GHAZALI

Page 60: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Bagaimanapun roh atau sukma akan kembali kepada Tuhan. Dalamkenyataannya, mengapa manusia seringkali lalai dan lupa kepadaTuhan dan detik-detik kehadirannya di dunia ini justru lebihbanyak tersita untuk hal-hal yang bersifat jasadi ataulahiriah belaka? Imam Ghazali menjawab masalah ini denganTeori Cermin (al-Mir'ah) dalam karyanya yang sangat terkenalitu --Ihya' 'ulum al-Din. Menurut Imam Ghazali, hati manusiaibarat cermin, sedangkan petunjuk Tuhan bagaikan nur ataucahaya. Dengan demikian jika hati manusia benar-benar bersihniscaya ia akan bisa menangkap cahaya petunjuk Ilahi danmemantulkan cahaya tersebut ke sekitarnya (lihat Ghazali,t.t., vol.I: h. 119-125). Sedangkan jika manusia tidak mampu menangkap sinyal-sinyalspiritual dari Tuhan, itu pada dasarnya disebabkan tigakemungkinan. Pertama, cerminnya terlalu kotor sehingga cahayaIlahi yang seterang apapun tidak dapat ditangkap dengan cerminrohani yang dimilikinya. Yang termasuk dalam kategori iniadalah mereka yang dilumuri dengan perbuatan-perbuatan kotordan aniaya. Kedua, di antara cermin dan sumber cahaya terdapatpenghalang yang tidak memungkinkan cahaya Ilahi menerpa cermintersebut. Yang termasuk dalam kategori ini, orang-orang yangmenjadikan harta, tahta dan kesenangan lahir sebagai orientasihidupnya. Ketiga, cermin tersebut memang membelakangi sumbercahaya hingga memang tak dapat diharapkan dapat tersentuh olehcahaya petunjuk Ilahi. Contoh yang sangat tepat untuk kategoriini orang-orang kafir yang dengan sadar mengingkari keberadaanTuhan. Agar hati manusia selalu dapat menjadi cermin yang bening, iaharus senantiasa berusaha memurnikan diri dengan jalanmenguasai nafsu-nafsu rendah serta mengikuti perjalanan hiduppara nabi melalui berbagai latihan kerohanian (riyadlah).Inilah yang menerangkan mengapa di lingkungan pesantren dan dikalangan para penganut tarekat, riyadlah atau latihankerohanian dalam berbagai bentuk amalan sunnah --salat sunnah,puasa Senin, Kamis, puasa Nabi Daud, dan lebih-lebih usahasenantiasa mempertautkan diri dengan Allah melalui dzikirmerupakan hal yang sangat sentral dalam kehidupan sehari-harimereka. Melaksanakan secara intensif berbagai amalan sunnah tersebuttak lain merupakan usaha mengamalkan sebuah hadits Qudsisebagai berikut: Kepada orang yang memusuhi Wali-Ku, akan Kunyatakan perang.Ibadat yang paling mendekatkan Hamba-Ku, sehingga Aku sayangkepadanya adalah menunaikan semua perintah yang telah Akuberikan. Hamba-Ku adalah mereka yang mendekatkan dirinyakepada-Ku dan melakukan pula hal-hal sunnah yang Aku cintai.Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku-lah yang menjaditelinganya yang dipakai untuk mendengar. Aku-lah matanya untukmelihat, Aku-lah tangannya untuk bekerja, dan Aku-lah kakinyauntuk berjalan. Apabila dia meminta kepada-Ku akan Aku beri,dan apabila ia meminta perlindungan akan Aku beri. (RiwayatBukhari dan Abi Hurairah)

Page 61: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Apabila seseorang telah melaksanakan berbagai ibadah secaraintensif, hal itu dalam pandangan kesufian tidak secaraotomatis merupakan jaminan bahwa orang tersebut akan sampaipada tujuan hakiki dari ibadah yakni terjalinnya hubungankonstan dengan Allah. Ibadah ritual akan jatuh nilainyamenjadi seremonial tanpa isi jika ibadah tersebut dilaksanakantanpa sikap batin yang dipimpin semata-mata oleh harapanmemperoleh ridha Allah. Sebaliknya sikap batin yang tidak diaktualisasikan dalambentuk pelaksanann ibadah sebagaimana yang dituntunkan syariatdan dicontohkan oleh Nabi, dipandang sebagai kesombonganspiritual, yang menjurus kapada zindiq (penyelewengan). Dalamkaitan ini Imam Malik, salah seorang pendiri mazhab fiqih yangterkenal, mengatakan bahwa siapa yang bertasawuf tanpamengamalkan fiqh, ia zindiq dan siapa yang mengamalkan fiqhtanpa bertasawuf, ia fasiq (tak bermoral). Agar ibadah ritual benar-benar dapat bermakna dan tak jatuh kenilai seremonial yang tanpa isi, maka di kalangan kaum sufiibadah ritual selalu dibarengi bahkan didahului olehpenggeledahan dan interogasi diri: apakah ibadah yang kitalakukan sudah benar-benar karena Allah dan bukannya karenayang lain? Dalam kaitannya dengan upaya rohani seperti itulah kisahsufistik yang dicatat dari pesantren --TarekatQadariah-Naqshabandiyah di Jawa Timur-- merupakan ilustrasirelatif menarik. Di sebuah desa hidup seorang yang dikenal oleh kalangan luassebagai orang yang sangat alim. Segala pujian dilimpahkanorang kepada si Alim atas kesalehan dan kealimannya. Mendengarberbagai pujian tersebut si Alim jadi gelisah. Jangan-jangandirinya rajin beribadah itu bukan karena Allah melainkanjustru karena orang memujinya sebagai orang alim. Pada suatupagi ia pun pergi menuju pasar di seberang desa. Sesampainyadi pasar secara demonstratif ia sengaja mencuri ayam yangsedang diperjualbelikan. Karena tertangkap basah maka iapundipukuli banyak orang. Ayam dikembalikannya dan ia pun pulangdalam keadaan babak belur. Orang sepasar akhirnya bergumam:"Oh, ternyata ia hanya pura-pura alim, padahal sebenarnya iatak lebih dari seorang maling!" Mendengar omongan seperti ituia bukannya sedih melainkan bersyukur kepada Allah. Setibanyadi rumah ia langsung sujud syukur "Alkhamdulillah, ya Allah,kini aku beribadah bukan karena manusia, tetapi insya Allahbenar-benar karena Engkau semata." Demikianlah, dari sudut pandang kesufian, hidup ini merupakanpergulatan terus-menerus dengan diri sendiri. Dengan demikian,keberanian untuk melakukan penggeledahan dan interogasi dirimerupakan inti keberagamaan dan sekaligus bagaikan tangga naikyang akan mengantarkan diri seseorang kepada derajat yangterus meningkat dari suatu tingkat (maqam) tertentu ke tingkatrohani berikutnya yang lebih tinggi. Maqam-maqam tersebut dariyang terendah hingga yang tertinggi dikenal di kalangan kaumsufi dengan istilah-istilah sebagai berikut:

Page 62: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

(1) Maqam Tawbat, yakni meninggalkan dan tidak mengulangi lagi perbuatan dosa yang pernah dilakukan dan dosa-dosa sepadannya demi menjunjung tinggi ajaran Allah dan mengingkari murka-Nya. (2) Maqam Wara', yaitu menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu dalam rangka menjunjung tinggi perintah-Nya. (3) Maqam Zuhud, yakni lepasnya pandangan keduniaan dan usaha memperolehnya dari diri orang yang sebetulnya mampu untuk memperolehnya. (4) Maqam Shabar, ialah ketabahan dalam menghadapi dan mendorong hawa nafsu. (5) Maqam Faqir, yaitu tenang serta tabah sewaktu melarat dan mengutamakan orang lain di kala berada. (6) Maqam Syukur, yaitu menyadari bahwa segala kenikmatan itu datangnya dari Allah semata. (7) Maqam Khauf, ialah rasa ngeri dalam menghadapi siksa Allah atau tidak tercapainya kenikmatan dari Allah. (8) Maqam Raja', yakni hati yang diliputi rasa gembira karena mengetahui kemurahan dari Allah yang menjadi tumpuan harapannya. (9) Maqam Tawakkal, yaitu sikap hati yang bergantung hanya kepada Allah dalam menghadapi segala sesuatu baik yang disukai, dibenci, diharapkan, maupun ditakuti. (10)Maqam Ridla, ialah rasa puas di hati sekalipun menerima nasib pahit. Mengenal selintas maqam-maqam tersebut seolah-olah mustahilnilai-nilai kesufian tersebut dapat diwujudkan dalan kehidupanyang sudah serba modern ini. Namun, jika maqam-maqam tersebutdipandang sebagai tidak lain dari upaya pendakian rohanimenuju ridla Allah, maka maqam-maqam tersebut adalah acuanyang memang harus dimiliki mereka yan benar-benar merindukanleburnya diri kembali kepada Yan Maha Hakiki. Menengok pada luka menganga yang menjangkiti dunia modernseperti konsumerisme yang seolah tak mengenal kata puas,hedonisme yang telah menyebabkan merajalelanya AIDS, sertamaterialisme yang cenderung mencekal nilai-nilai spiritual;semua itu mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa polakehidupan yang semata-mata dipimpin oleh otak (head) danketrampilan teknologis (hand) itu perlu diimbangi dandikendalikan dengan kebeningan hati (heart). Dan, melaluisudut pandang kesufian kiranya kehidupan beragama akan marnpumewujudkan pribadi-pribadi yang seimbang seperti itu. Akhirnya, semua itu terpulang kepada manusia sendri apakah iaakan menundukkan sukmanya kepada kehidupan yang berorientasipada kebutuhan jasadi yang bersifat kini dan di sini (sukma

Page 63: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

dhulmani, sukma yang berada dalam kegelapan), ataukah ia akanmengarahkan sukmanya sehingga sang sukmalah yang memimpinkebutuhan jasadi agar senantiasa berada dalam terpaan cahayaIlahi. DAFTAR KEPUSTAKAAN Firdaus A.N., "Jalan ke Surga" (Kumpulan 772 Hadist Qudsi),Yayasan Kesejahteraan Bersama, tanpa tahun. Al-Ghazali, Imam, "Ihya' 'Ulum al-Din", vol.I, (denganterjemahan Jiwa oleh Misbah Zaini Mustofa), Raja Murah,Pekalongan, 1981. Johns, A.H., "Sufism As a Category in Indonesian LiteratureAnd History," dalam Journal of Southeast Asian History, vol. 2(1961), hal. 10-23. Madjid, Nurcholish., "Tasauf dan Pesantren", dalam M. DawamRahardjo (ed.) Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Jakarta,1985. Zarkasyi, Muhamad Nawawi Shidiq, "Soal-Jawab Thoriqiyah",Pesantren Raudlatul Thulab, Berjan, Purwokerto, 1977.

Page 64: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

III.8. ANTARA SUKMA NURANI DAN SUKMA DHULMANIoleh Jalaluddin Rakhmat Menurut para sufi, manusia adalah mahluk Allah yang palingsempurna di dinia ini. Hal ini, seperti yang dikatakanIbnu'Arabi manusia bukan saja karena merupakan khalifah Allahdi bumi yang dijadikan sesuai dengan citra-Nya, tetapi jugakarena ia merupakan mazhaz (penampakan atau tempat kenyataan)asma dan sifat Allah yang paling lengkap dan menyeluruh. Allah menjadikan Adam (manusia) sesuai dengan citra-Nya.Setelah jasad Adam dijadikan dari alam jisim, kemudian Allahmeniupkan ruh-Nya ke dalam jasad Adam. Allah berfirman: Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya dan Akutiupkan kepadanya ruh-Ku (QS. 15: 29) Jadi jasad manusia, menurut para sufi, hanyalah alat, perkakasatau kendaraan bagi rohani dalam melakukan aktivitasnya.Manusia pada hakekatnya bukanlah jasad lahir yang diciptakandari unsur-unsur materi, akan tetapi rohani yang berada dalamdirinya yang selalu mempergunakan tugasnya. Karena itu, pembahasan tentang jasad tidak banyak dilakukanpara sufi dibandingkan pembahasan mereka tentang ruh (al-ruh),jiwa (al-nafs), akal (al-'aql) dan hati nurani atau jantung(al-qalb). RUH DAN JIWA (AL-RUH DAN AL-NAFS) Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad.Ruh berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakanjasad sebagai alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alamciptaan, yang dijadikan dari unsur materi. Tetapi para ahlisufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat Ilahidan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkankepada Allah dan tetap berada dalam keadaan suci. Karena ruh bersifat kerohanian dan selalu suci, maka setelahditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci. Ruh didalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baikdan mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia danterpuji, maka lain halaya dengan jiwa. Jiwa adalah sumberakhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan al-Ghazali membagijiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani(binatang) dan jiwa insani. Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yangorganis dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwahewani, disamping memiliki daya makan untuk tumbuh danmelahirkan, juga memiliki daya untuk mengetahui hal-hal yangkecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani mempunyaikelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah). Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau

Page 65: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

al-nafs-al-insaniyah). Inilah, menurut para filsuf dan sufi,yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga denganhakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yangkhusus, Dzatnya dan Penciptaannya. Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani(berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa(nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifatyang tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusiamempunyai sifat yang beraneka sesuai dengan keadaannya. Apabila jiwa menyerah dan patuh pada kemauan syahwat danmemperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada jiwa itusendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yangmenyuruh berbuat jahat. Firman Allah, "Sesungguhnya jiwa yangdemikian itu selalu menyuruh berbuat jahat." (QS. 12: 53) Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifattercela, maka ia disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencelamanusia yang melakukan keburukan dan yang teledor dan lalaiberbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya, "Dan Akubersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2). Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifatyang tercela, maka ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafsal-muthmainnah). Dalam hal ini Allah menegaskan, "Hai jiwayang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rasa puas lagidiridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah kedalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30) Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telahmenjadi tumpukan sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telahmelakukan perlawanan pada sifat-sifat tercela, dan jiwa yangtelah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan ketentraman,yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telahdijamin Allah langsung masuk surga. Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu berhubungan denganruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia danterpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci.Sedangkan jiwa mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allahsampaikan, "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allahmengilhamkan jiwa pada keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).Artinya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karenaitu jiwa terletak pada perjuangan baik dan buruk. AKAL Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atauintelek (intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikiryang terdapat dalam otak, sedangkan "hati" adalah daya jiwa(nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada pada otak dikepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung) didada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumberpengetahuan, yaitu pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) danpengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Kalau para filsufmengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih mengunggulkan

Page 66: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

pengetahuan hati (rasa). Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatantertinggi --akal perolehan (akal mustafad)-- ia dapatmengetahui kebahagiaan dan berusaha memperolehnya. Akal yangdemikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam kebahagiaan(sorga). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan ituberpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yangdemikian akan kekal dalam kesengsaraan (neraka). Adapun akal yang tidak sempurna dan tidak mengenalkebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang demikian akanhancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karenakesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak padakesempurnaan pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperolehkebahagiaan yang tertinggi, yaitu ketika akan sampai ketingkat akal perolehan. HATI SUKMA (QALB) Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb.Sebenarnya terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung,bukan hati atau sukma. Tetapi, dalam pembahasan ini kitamemakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa. Hati adalahsegumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak didada sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objekkajian kita di sini, karena hal itu termasuk bidang kedokteranyang cakupannya bisa lebih luas, misalnya hati binatang,bahkan bangkainya. Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yanghalus, hati-nurani --daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yangada pada hati, di rongga dada. Dan daya berfikir itulah yangdisebut dengan rasa (dzauq), yang memperoleh sumberpengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini Allahberfirman, "Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakanmemahaminya." (QS. 7:1-79). Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara,bahwa menurut para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itujiwa yang berfikir (nafs insaniyah), tetapi mereka berbedapendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi parafilsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuanakal (ma'rifat aqliyah), sedangkan para sufi melaluipengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal dan hati sama-samamerupakan daya berpikir. Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadahatau sumber ma'rifat --suatu alat untuk mengetahui hal-halyang Ilahi. Hal ini hanya dimungkinkan jika hati telah bersihdari pencemaran hawa nafsu dengan menempuh fase-fase moraldengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang terceladengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa,wara' serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah)yang memancarkan sinarnya dalam hati, sehingga ia dapatmenjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan mencapaipengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah

Page 67: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

moralitas. Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpujiadalah sebagai kesehatan hati dan hal ini yang lebih berartiketimbang kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luarhanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia ini saja,sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnyakehidupan yang abadi. Hati nurani ini tidak terlepas daripenyakit, yang kalau dibiarkan justru akan membuatnyaberkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani--hati yang kotor. Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan olehhasil perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilahyang dimaksud dengan firman Allah yang artinya, "Sesungguhnyaberuntunglah orang-orang yang mensucikan jiwanya, dan rugilahorang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9). Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalahpantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jikacermin hati nurani tidak bening, hawa nafsunya yang tumbuh.Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan darituntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nuranibersih dan cemerlang serta mendapatkan limpahan cahaya dariAllah Swt. Bagi para sufi, kata al-Ghazali, Allah melimpahkan cahaya padadada seseorang, tidaklah karena mempelajarinya, mengkajinya,ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap asketis terhadapdunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitandengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya,dan menerima Allah segenap hati. Dan barangsiapa memilikiAllah niscaya Allah adalah miliknya. Setiap hikmah muncul darihati nurani, dengan keteguhan beribadat, tanpa belajar, tetapilewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi. Hati atau sukma dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengannafs atau jiwa nabati dan hewani. Itulah sebabnya ia selalumenggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Kesempurnaanmanusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nuranidalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani. DAFTAR KEPUSTAKAAN Abu al-Wafi aI-Taftazani, Maduhal ila al-Tashawwuf al-Islamiy,Kairo, 1983. Ahmad Dandy, Allah dan Manusia Dalam Konsepsi Syeikh Nurudinal-Raniry Jakarta, Rajawali, 1983. Al-Farabi, Kitab Ara Ahl al-Madinah al-Fadhilah, Kairo, 1906. Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Kairo, 1334 H. ------, Ma'arij al-Quds fi Madarij Ma'rifah al-Nafs, Kairo,1327 H.

Page 68: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

------, Asnan al-Qur'an fi Ihya 'Ulum al-Din, Kairo. Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme Islam, Bulan Bintang,Jakarta, 1978. Muhyiddin Ibnu Arabi, Fushush al-Hikam, Kairo, 1949.

Page 69: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

III.19. PERGESERAN PENGERTIAN "SUNNAH" KE "HADITS" (1/3)IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AHoleh Nurcholish Madjid Dalam masyarakat Islam di beberapa negara terdapatkelompok-kelompok yang meragukan otoritas hadits sebagaisumber kedua penetapan hukum Islam. Di negara kita, ada suatugolongan yang menanamkan dirinya kaum "Inkar al-Sunnah".Karena sikap mereka menolak perlunya kaum muslim berpegangpada sunnah, maka golongan ini menjadi sasaran kritik paraulama dan tokoh Islam. Pada banyak kasus mungkin terjadi semacam kekacauan akibatkecenderungan masyarakat untuk menyamakan begitu saja antarasunnah dan hadits. Sudah jelas, di antara keduanya terdapatjalinan yang erat, namun sesungguhnya tidaklah identik. Yangpertama (sunnah) mengandung pengertian yang lebih luasdaripada yang kedua (hadits). Bahkan dapat dikatakan bahwasunnah mengandung makna yang lebih prinsipil daripada hadits.Sebab yang disebutkan sebagai sumber kedua sesudah Kitab Sucial-Qur'an ialah sunnah, bukan hadits, sebagaimana seringdituturkan tentang adanya sabda Nabi saw. "Aku tinggalkan diantara kalian dua perkara, yang kamu tidak akan sesat selamaberpegang kepada keduanya: Kitab Allah dan sunnah RasulNya." Tapi sekarang ini sunnah memang tidak dapat dibedakan darihadits, demikian pula sebaliknya. Jika seseorang menyebut"sunnah" maka dengan sendirinya akan terbayang padanyasejumlah kitab koleksi sabda Nabi. Yang paling terkenal diantaranya ialah dua kitab koleksi oleh al-Bukhari dan Muslim(disebut al-Shahihayn, "Dua Yang Sahih"), dan yang lengkapnyameliputi pula kitab-kitab koleksi oleh Ibn Majah, Abu Dawud,al-Turmudzi dan al-Nasa'i. Tapi sebelum mereka sudah adaseorang kolektor hadits yang amat kenamaan dan berpengaruhbesar yaitu sarjana dan pemikir dari Madinah, Malik Ibn Anas(pendiri madzhab Maliki, wafat 179 H.) yang menghasilkan kitabhadits al-Muwaththa'. Berdasarkan sabda Nabi tentang Kitab dan sunnah di atas, padaprinsipnya sikap ingkar pada sunnah tidak dapat dibenarkan.Tapi ingkar kepada hadits, sekalipun jelas tidak dapatdilakukan secara umum tanpa penelitian tentang hadits tertentumana yang dimaksud, telah terjadi dalam kurun waktu yangpanjang pada golongan-golongan tertentu Islam seperti kaumMu'tazilah. Oleh karena dampak masalah ini dalam usahapenetapan hukum (tasyri') sangat besar dan penting, makakajian kesejarahan tentang evolusi pengertian sunnah --yangdiungkapkan Nabi meski secara tersirat-- diharapkan akan dapatmembantu memperjelas persoalan. Perjalanan sejarahperkembangan dan perubahan itu sendiri cukup panjang danrumit. Tapi jika kita berhasil melepaskan diri dari dogmatismeyang menerima begitu saja pengertian-pengertian mapan tentangapa yang terjadi di masa lampau, maka dari celah-celah sejarahitu kita akan dapat menarik "benang merah" yang memberikankejelasan tentang perkembangan dan perubahan itu.

Page 70: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

PENGERTIAN SUNNAH Sunnah lebih luas daripada hadits, termasuk yang sahih.Berarti, sunnah tidak terbatas hanya pada hadits. Sekalipunpengertian ini cukup jelas, namun masih juga sering mengundangkekaburan. Memang, antara sunnah dan hadits terbentang gariskontinuitas yang tidak terputus, namun mencampuradukkan antarakeduanya tidak dapat dibenarkan., Jika disebutkan oleh Nabi bahwa sunnah merupakan pedoman keduasetelah Kitab Suci bagi kaum muslim dalam memahami agama, makasesungguhnya Nabi hanya menyatakan sesuatu yang amat logis.Yaitu, dalam memahami agama dan melaksanakannya, orang Islamtentu pertama-tama harus melihat apa yang ada dalam KitabSuci, kemudian, kedua, harus mencari contoh bagaimana Nabisendiri memahami dan melaksanakannya. Sebab, Nabi-lah sebagaiutusan Tuhan, yang secara logis paling paham akan apa yangdipesankan Tuhan pada manusia melalui beliau, juga yang palingtahu bagaimana melaksanakannya. Pengertian lain yang menyalahihal itu mustahil dapat diterima. Pemahaman Nabi terhadap pesan atau wahyu Allah itu teladanbeliau dalam melaksanakannya membentuk "tradisi" atau "sunnah"kenabian (al-sunnah al-Nabawiyyah). Sedangkan hadits merupakanbentuk reportase atau penuturan tentang apa yang disebabkanNabi atau yang dijalankan dalam praktek tindakan orang lainyang "didiamkan" beliau (yang dapat dapat diartikan sebagai"pembenaran"). Itulah makna asal kata hadits, yang sekarangini definisinya makin luas batasannya dan komprehensif. Namundemikian, tidak berarti bahwa hadits dengan sendirinyamencakup seluruh sunnah. Jika sunnah merupakan keseluruhan perilaku Nabi, maka kitadapat mengetahui dari sumber-sumber yang selama ini tidakdimasukkan sebagai hadits, seperti kitab-kitab sirah ataubiografi Nabi. Sebab, dalam lingkup sunnah sebagai keseluruhantingkah laku Nabi, harus dimasukkan pula corak dan ragamtindakan beliau, baik sebagai pribadi maupun pemimpin. Dalamkedudukan beliau sebagai pemimpin itulah Kitab-kitab sirahbanyak memberi gambaran. Di antara kitab-kitab sirah, termasuk yang sangat dini ditulisialah Sirah Ibn Ishaq yang kemudian disunting oleh Ibn Hisyam(berturut-turut wafat pada tahun 151 dan 219 Hijri). Meskipunwafat di Baghdad, Ibn Ishaq lahir di Madinah (pada tahun 85H), dan tumbuh sebagai sarjana terkemuka di kota Nabi. Dan iatelah mengumpulkan bahan untuk kitab sirah-nya beberapa lamasebelum usaha-usaha pengumpulkan hadits. Sebelum Ishaq, telah muncul berbagai karya tulis tentangriwayat peperangan Nabi yang lazim disebut kitab-kitabal-Maghazi. Kitab-kitab itu, bersama dengan kitab-kitabbiografi Nabi yang lain amat penting, karena memuat gambarantentang perjalanan hidup Nabi khususnya dalam kapasitas beliausebagai pemimpin. Maka, kitab-kitab itu juga merupakan sumberyang baik untuk memahami sunnah, khususnya, jika yang dimaksud

Page 71: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

selain tindakan-tindakan Nabi atau sabda beliau yang bersifatterpisah dan ad hoc seperti umumnya tema catatan hadits. Dalamsejarah terbukti bahwa pembacaan biografi Nabi, khususnya yangberkaitan dengan riwayat peperangan beliau yang dikena sebagaial-Maghazi tersebut, berhasil membangkitkan semangatperjuangan Islam, karena ilham teladan baik dari beliau.Inilah "eksperimen" Sultan Shalah al-Din al-Ayyubi dalammenghadapi tentara Salib, yang ternyata berhasil gemilang. Dandengan "eksperimen" itu pemimpin Islam dari Mesir yangkemudian terkenal dengan sebutan "Sultan Saladin" itumewariskan pada Umat Islam seluruh dunia tradisi Maulid, yaituupacara memperingati kelahiran Nabi dengan membaca riwayathidup beliau. Sunnah Nabi harus pula dipahami sebagai keseluruhankepribadian Nabi dan akhlak beliau, yang dalam kepribadian danakhlak beliau disebutkan dalam Kitab Suci sebagai teladan yangbaik (uswah hasanah) bagi kita semua "yang benar-benarberharap pada Allah pada Hari Kemudian, serta banyak ingatkepada Allah" (Q.S. al-Ahzab 33:32). Dan beliau jugadilukiskan dalam Kitab Suci sebagai seorang yang berakhlakamat mulia (Q.S. al-Qalam 68:4). Dengan demikian Nabi, dalamhal ini tingkah laku dan kepribadian beliau sebagai seorangyang berakhlak mulia, menjadi pedoman hidup kedua setelahKitab Suci bagi seluruh kaum beriman. Tetapi justru karena itu maka memahami sunnah Nabi tidak dapatlepas dari memahami Kitab Suci sendiri. Sebab sesungguhnyaakhlak Nabi yang mulia itu tidak lain adalah semangat KitabSuci al-Qur'an itu sendiri, sebagaimana dilukiskan A'isyah,isteri beliau. Dari Kitab Suci kita mengetahui lebih banyakperkembangan kepribadian Nabi yang menggambarkan pengalamanNabi, baik yang menyenangkan atau tidak, yang keseluruhannyamenampilkan sosok Nabi yang berkeprlbadian mulia. Daripengamatan atas gambaran itu kita dapat memperoleh ilhamtentang peneladanan pada beliau, dan keseluruhan sasaranpeneladanan itu tidak lain ialah sunnah nabi. Sebagai contoh,dua surat yang termasuk paling banyak dibaca dalam sembahyangdapat kita renungkan maknanya di sini: Demi pagi yang cerah dan demi malam ketika telah kelam.Tidaklah Tuhanmu meninggalkan engkau (Muhammad), dan tidakpula murka. Dan pastilah kemudian hari lebih baik bagimudaripada yang sekarang ada. Dan juga pastilah Tuhanmu akanmenganugerahimu, maka kamu akan lega. Bukankah Dia mendapatimuyatim, kemudian Dia melindungimu?! Dan Dia mendapatimubingung, kemudian Dia membimbingmu?! Dan Dia mendapatimumiskin, kemudian Dia memperkayamu?! Maka kepada anak yatim,janganlah engkau menghardik! Dan kepada peminta-minta,janganlah kamu membentak! Sedangkan berkenaan dengan nikmatkarunia Tuhanmu, engkau harus nyatakan! (QS. al-Dluha 93:1-11) Bukankah Kamu telah lapangkan dadamu?! Dan Kami bebaskanbebanmu, yang memberati punggungmu?! Serta Kami muliakannamamu?! Sebab sesunggahnya bersama kesulitan tentu adakemudahan! Maka jika engkau bebas, kerja keraslah! Dan kepadaTuhanmu, senantiasa berharaplah! (QS. al-Syarh 94:1-8)

Page 72: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Para ahli hampir semuanya sepakat bahwa surat al-Dluha turunkepada Nabi berkenaan dengan peristiwa terputusnya wahyu yangrelatif panjang, sehingga menimbulkan ejekan dan sinisme kaummusyrik Makkah bahwa Tuhan telah meninggalkan Nabi dan murkakepadanya. Dari latar belakang turunnya, surat ini jugamenggambarkan tentang suatu dinamika pengalaman Nabi dalamperjuangan beliau, sehingga seperti dikatakan Sayyid Quthub,Allah menghibur beliau dan memberinya dorongan moril, bahwaAllah samasekali tidak meninggalkan beliau dan tidak pulamurka. III.19. PERGESERAN PENGERTIAN "SUNNAH" KE "HADITS" (2/3)IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AHoleh Nurcholish Madjid IMPLIKASI SUNNAH SEBAGAI KOREKSI HADITSDALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH Allah juga mengingatkan Nabi bahwa masa mendatang lebihpenting daripada masa sekarang. Dalam terjemah kontemporernya,Allah mengingatkan Nabi bahwa perjuangan jangka panjang, yangstrategis lebih penting daripada pengalaman jangka pendek,yang taktis. Oleh karena itu hendaknya Nabi tidak putus asaatau kecil hati oleh pengalaman kekecewaan jangka pendek.Sebab, perjuangan besar selalu memerlukan waktu untuk mencapaihasil dan semakin besar nilai suatu perjuangan maka semakinpanjang pula dimensi waktu yang diperlukannya. Dan dalamjangka panjang itulah, selama perjuangan diteruskan denganpenuh kesabaran dan harapan, Allah menjanjikan untuk memberikemenangan yang bakal membuat beliau puas dan lega. (JanjiTuhan ini kelak ternyata terbukti dan terlaksana, berupakemenangan demi kemenangan yang diraih Nabi setelah hijrah keMadinah, dan beliau pun wafat memenuhi panggilan menghadapAllah dalam keadaan menang dan sukses luar biasa). Serentak dengan itu semua Allah juga mengingatkan akan masalampau Nabi yang penuh kesusahan seperti keadaan beliau yangyatim-piatu, bingung tentang apa yang hendak dilakukan, danmiskin, dan bagaimana Allah telah menunjukkan kasih-Nya padabeliau dengan memberi kemampuan mengatasi kesusahan itu semua.Dan berdasarkan latar belakang itu maka Allah berpesan agarNabi janganlah sampai menghardik anak-yatim, atau membentakpeminta-minta, dan selalu ingat dengan penuh syukur akannikmat karunia Tuhan. Berkenaan dengan surat al-Syarh, para ahli mengatakan bahwawahyu itu turun kepada Nabi masih dalam kaitannya dengan suratal-Dluha, bahkan merupakan kelanjutannya. Dalam surat iniAllah menegaskan bagaimana Dia telah membuat Nabi sebagaiseorang yang lapang dada (munsyarih al-shadr), dan membuatsemua beban terasa ringan bagi beliau. Juga diingatkan bahwaAllah telah membuat terhormat nama Nabi dan dijunjung tinggi,berkat perjuangan beliau dan kebajikan yang ditegakkannya.Lalu Allah menegaskan bahwa setiap kesulitan tentu akanmembawa kemudahan; bahwa amal usaha tentu mengandungkesulitan, namun hasil perjuangan itu di kemudian hari tentu

Page 73: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

akan membawa kebahagiaan. Maka dari itu setiap kesempatanharus digunakan untuk kerja keras, sambil senantiasamengarahkan diri kepada Allah, dengan penuh harapan kepadaNya. Jadi, seperti telah diutarakan, dari kedua surat pendek yangbanyak dibaca dalam shalat itu dapat disimpulkan gambarandinamika kepribadian Nabi berhubung dengan pengalaman hidupperjuangan beliau. Jika kita renungkan lebih mendalam gambaranitu, maka sesungguhnya dinamika pengalaman hidup Nabi tersebutadalah universal, dalam arti dapat terjadi dan dialami olehsiapa saja dari kalangan manusia yang mempunyai tekad ataukomitmen pada cita-cita luhur. Oleh karena itu sikap-sikapyang telah ditunjukkan oleh Nabi sebagaimana tersimpul darikedua surat pendek itu akan melengkapi kaum beriman dengancontoh nyata dalam menghadapi problema kehidupan. Dari situkita paham sebuah sunnah Nabi, dan dari situ pula kitamengerti suatu aspek makna firman Allah bahwa pada diriRasulullah terdapat teladan yang baik bagi kaum beriman.Akhlak serta kepribadian yang menjadi sunnah Nabi, yang dapatdisimpulkan dari kedua surat itu adalah kurang lebih demikian: 1.Sikap senantiasa berpengharapan kepada Allah 2.Sadar akan perjuangan jangka panjang, 3.Yakin akan kemenangan akhir 4.Ingat akan latar belakang diri di masa lalu dan bagaimana semua kesulitan teratasi 5.Rasa kasih sayang kepada sesama manusia yang kurang beruntung 6.Senantiasa bersyukur pada Allah atas segala nikmat karunia-Nya, 7.Bersikap lapang dada 8.Memikul beban tanggungjawab dengan penuh kerelaan 9.Tidak kecil hati karena kesulitan, sebab yakin akan masa datang yang lebih baik 10.Menggunakan setiap waktu luang untuk kerja-kerja produktif 11.Tetap berorientasi kepada Allah, asal dan tuduan semua yang Firman Allah yang memberi gambaran dinamika kepribadian Nabisebagai uswah hasanah dalam al-Qur'an cukup banyak. Pengkajianterhadap firman-firman itu akan memberi gambaran yang utuhtentang siapa Nabi dan bagaimana garis besar sepak terjangbeliau dalam hidup beliau baik sebagai pribadi maupun sebagaiUtusan Ilahi. Kita dapat mendekteksi dinamika kepribadian Nabiitu dari firman-frman yang ditunjukkan khusus kepada Nabi,seperti diindikasikan oleh penggunaan kata pengganti nama"engkau" dalam suatu format dialog antara Tuhan danUtusan-Nya.

Page 74: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Jadi sunnah Nabi, khususnya segi-segi yang dinamik danmendasar, dapat lebih banyak diketahui dari Kitab Sucidaripada dari kumpulan kitab hadits. Meskipun banyak laporandalam kitab-kitab hadits yang juga memberi gambaran tentangtingkah laku atau kepribadian Nabi, namun umumnya bersifat adhoc terkait erat dengan tuntutan khusus ruang dan waktu.Sedangkan yang ada dalam al-Qur'an, sekalipun dituturkan dalamkaitan dengan ruang dan waktu atau pengalaman khusus Nabi,namun ajaran moral di balik cerita selalu bersifat dinamiksehingga dapat dengan mudah diangkat pada tingkat generalitasyang tinggi, dengan demikian bernilai universal. Karena itusunnah Nabi sebenarnya tidak terbatas hanya pada hadits,meskipun hadits (yang sahih) memang termasuk sunnah. PERGESERAN PENGERTIAN SUNNAH KE HADITS Di atas telah dikemukakan adanya kelompok-kelompok kaum muslimyang sangat meragukan otentisitas dan otoritas kumpulanhadits. Mereka sebenarnya tidak mengingkari sunnah, karenaingkar pada sunnah Nabi adalah mustahil bagi seorang muslim.Tetapi mereka ini dapat disebut sebagai golongan "IngkarHadits" (sebutlah "Inkar al-Hadits"). Menurut Dr. Mushthafaal-Siba'i, seorang pembela paham Sunni yang bersemangat danmantan dekan Fakultas Syari'ah Universitas Syiria, sertaseorang tokoh pembina gerakan al-Ikhwan al-Muslimun di Syiria,golongan Ingkar Hadits itu terdapat di mana-mana dalam duniaIslam, dari dahulu sampai sekarang. Sangat menarik jalan pikiran seorang tokoh yang ingkar haditsitu di zaman modern, yang disebutkan oleh al-Siba'i sebagaicontoh, dan yang dinilainya banyak membuka pintu bagi oranglain sesudahnya untuk juga bersikap ingkar pada hadits. Tanpamenyebut namanya secara jelas, al-Siba'i mengutip tokoh ituyang pandangannya pernah dimuat oleh majalah al-Manarpimipinan Sayyid Muhammad Rashyid Ridla. Tokoh itu sendiri,menurut Mushthafa al-Siba'i, adalah seorang muslim yangbergairah, yang telah tampil membela Islam dengan cara yangmengagumkan. Tapi pandangannya yang menolak otoritas haditstelah menimbulkan heboh di kalangan para ulama al-Azhar. Secara ringkas, menurut al-Siba'i, pandangan mereka yangmenolak hadits ialah bahwa Islam hanyalah al-Qur'an saja, danbahwa Kitab Suci merupakan satu-satunya sumber penetapansyari'ah disebabkan kepastian otentisitasnya. Sedangkan sunnah(yang dimaksud tentunya hadits) mengandung keraguan dalamkeabsahannya sebagai sumber argumen (hujjah) karena terjadipenambahan-penambahan padanya, dan karena adanya banyakkontradiksi dalam sebagian cukup besar nash-nash-nya. Merekamendasarkan pandangan itu pada hal-hal berikut: 1.Allah telah menegaskan "Tidak ada satu perkarapun yang Kami abaikan dalam Kitab Suci (Q.S. Al-An'am 6:38). Ini menjelaskan bahwa Kitab Suci telah mencakup seluruh prinsip penetapan syari'ah, sehingga tidak lagi ada peran bagi sunnah (hadits) untuk menatapkan hukum dan membuat syari'ah.

Page 75: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

2.Allah menjamin pemeliharaan al-Qur'an dari kesalahan, sebagaimana difirmankan, "Sesungguhnya Kami benar-benar telah menurunkan pelajaran, dan sesungguhnyalah Kami yang memelihara-Nya" (Q.S. al-Hijr 15:9). Tuhan tidak menjamin pemeliharaan sunnah (hadits), sehingga masuk ke dalamnya penambahan dan pemalsuan. Kalau seandainya hadits termasuk sumber penetapan syari'ah, tentulah Tuhan memeliharanya untuk kepentingan para hamba-Nya dari kemungkinan penyelewengan dan perubahan sebagaimana Dia telah memelihara Kitab Suci-Nya. 3.Sunnah (hadits) belum dibukukan di zaman Nabi saw., bahkan secara otentik diceritakan bahwa beliau melarang membukukannya. Hadits juga belum dibukukan di zaman al-Khulafa al-Rasyidun, dan kebanyakan tokoh besar para sahabat Nabi serta para Tabi'un seperti 'Umar, Abu Bakr, 'Alqamah, 'Ubaydah, al-Qasim Ibn Muhammad, al-Sya'bi, al-Nakha'i, dll., menunjukkan sikap tidak suka pada usaha membukukannya. Pembukuan hadits baru dimulai pada akhir abad pertama, dan selesai pengumpulan dan koreksinya pada pertengahan abad ketiga. Ini adalah jangka waktu yang cukup panjang untuk menimbulkan keraguan tentang keabsahan teks-teks hadits, dan hal itu dengan sendirinya menempatkan sunnah pada tingkat dugaan (martabat al-dhann) belaka, sedangkan dugaan tidak dapat menghasilkan hukum syar'i, karena Allah berfirman, "Sesungguhnya dugaan tidak sedikit pun menghasilkan kebenaran" (Q.S. al-Najm 52:28). 4.Terdapat penuturan dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda "Sesungguhnya hadits akan memancarkan dari diriku. Apapun yang sampai kepadamu sekalian dan bersesuaian dengan al-Qur,an, ia berasal dari diriku; dan apapun yang sampai kepadamu dan menyalahi al-Qur'an, ia tidak berasal dariku." [1] Dalam kutipan al-Siba'i tentang argumen orang yang ingkar padahadits itu disebutkan bahwa pembukaan hadits dimulai padaakhir abad pertama Hijri, dan rampung pada pertengahan abadketiga. Mungkin yang dimaksudkan ialah adanya doronganpembukuan hadits oleh Khalifah 'Umar Ibn 'Abd al-'Aziz (w. 102H.) dari Bani Umayyah. Khalifah ini terkenal dengan sebutankehormatan, Umar II, yang mengisyaratkan pengakuan bahwa iaadalah pelanjut kekhalifahan 'Umar Ibn al-Khaththab yangbijakbestari. Maka banyak kalangan kaum Muslim yang memandang'Umar II sebagai anggota kelima dari al-Khulafa, al-Rasyidun,sesudah 'Ali Ibn Abi Thalib. 'Umar II memerintahkan seorang sarjana terkenal, Syihab al-Dinal-Zuhri (w. 124 H) untuk meneliti dan membuktikan tradisiyang hidup di kalangan penduduk Madinah, Kota Nabi, karenakeyakinan 'Umar II bahwa tradisi itu merupakan kelanjutanlangsung pola kehidupan masyarakat Madinah di zaman Nabi, jikabukannya malah merupakan wujud historis yang kongkret dari"tradisi" atau "sunnah" Nabi sendiri.

Page 76: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Dari sudut analisa politik, tindakan 'Umar II ini adalah untukmenemukan dan mengukuhkan landasan pembenaran bagi ideologiJama'ah-nya, yang dengan ideologi itu ia ingin merangkulseluruh kaum Muslim tanpa memandang aliran politik ataupemahaman keagamaan mereka, termasuk kaum Syi'ah dan Khawarijyang merupakan kaum oposan terhadap rezim Umayyah. 'Umar IImelihat bahwa sikap yang serba akomodatif pada semua kaummuslim tanpa memandang aliran politik atau paham keagamaankhasnya itu telah diberikan contohnya oleh penduduk Madinah,di bawah ke kepeloporan tokoh-tokohnya seperti 'Abd-Allah ibn'Umar (Ibn al-Khaththab), 'Abd-Allah Ibn 'Abbas dan 'Abd-AllahIbn Mas'ud. Jadi, dalam pandangan 'Umar II, sikap yang serbainklusifistik sesama kaum muslim itu merupakan "tradisi" atau"sunnah" historis penduduk Madinah, dan dengan begitu, jugamerupakan kelanjutan yang sah dari "tradisi" atau "sunnah"Nabi. Maka penelitian dan pembukaan tentang tradisi pendudukMadinah akan dengan sendirinya menghasilkan pembukaan"tradisi" atau "sunnah" Nabi. Selanjutnya, "sunnah" itu akanmemberi landasan legitimasi bagi idenya tentang persatuanseluruh umat Islam dalam "Jama'ah" yang serba mencakup.Berdasarkan latar belakang inilah maka ideologi 'Umar II kelakdisebut sebagai paham "sunnah dan jama'ah" dan parapendukungnya disebut ahl al-sunnah wa al-Jama'ah (golongansunnah dan jama'ah). Mushthafa al-Siba'i amat menghargai kebijakan 'Umar IIberkenaan dengan pembukaan sunnah itu, sekalipun iamenyesalkan sikap Khalifah yang baginya terlalu banyak memberiangin pada kaum Syi'ah dan Khawarij (karena, dalam pandanganal-Siba'i, golongan oposisi itu kemudian mampu memobilisasidiri sehingga, dalam kolaborasinya dengan kaum Abbasi, merekaakhirnya mampu meruntuhkan Dinasti Umayyah dan melaksanakanpembalasan dendam yang sangat kejam). Dan, menurut al-Siba'i,sebelum masa 'Umar II pun sebetulnya sudah ada usaha-usahapribadi untuk mencatat hadits, sebagaimana dilakukan oleh 'AbdAllah Ibn 'Amr Ibn al-'Ash. [2] Tapi, sesungguhnya, pembukuan hadits secara sistematis dankritis dan dalam skala besar serta pada tingkat kesungguhanyang tinggi baru dimulai pada awal abad ketiga dengantampilnya Iman al-Syafi'i (w. 204 H), dan baru benar-benarrampung pada awal abad keempat Hijri, dengan tampilnyaal-Nasa'i (w. 303 H). Imam al-Syafi'i adalah tokoh pemikirpeletak sebenarnya teori ilmiah pengumpulan dan klasifikasihadits. Teori dan metodenya kemudian diterapkan dengan setiaoleh al-Bukhari (w. 256 H), lalu diteruskan berturut-turutoleh Muslim (w. 261 H), Ibn Majah (w.273 H), Abu Dawud (w.275H), al-Turmudzi (.w. 279 H) dan terakhir, al-Nasa'i (w. 303H). Koleksi mereka berenam itulah yang kelak disebut "Kitabyang Enam" (al-Kutub al-Sittah). Akibatnya, pengertian"sunnah" pun kemudian menjadi hampir identik dengan koleksihadits dalam "Kitab yang Enam" itu.III.19. PERGESERAN PENGERTIAN "SUNNAH" KE "HADITS" (3/3)IMPLIKASINYA DALAM PENGEMBANGAN SYARI'AHoleh Nurcholish Madjid

Page 77: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

IMPLIKASI SUNNAH SEBAGAI KOREKSI HADITSDALAM PENGEMBANGAN SYARI'AH Fakta historis tersebut di atas menunjukkan bahwa prosespengumpulan hadits berlangsung selama satu abad atau lebih,dimulai sejak sekitar dua abad setelah Nabi dan rampungsekitar tiga abad setelah Nabi. Sesudah masa itu memang masihterdapat usaha pengumpulan sisa-sisa hadits oleh beberapapribadi, namun sudah tidak lagi banyak berarti. Selaindasar-dasar pertimbangan yang berasal dari al-Qur'an dan pesanNabi sendiri --menurut pengertian yang dipegang oleh merekayang ingkar hadits-- masa kodifikasi dan seleksi hadits yangdemikian lama sesudah masa Nabi dan yang memakan waktudemikian panjang merupakan dasar sikap mereka yang meragukanotoritas hadits. Sebagaimana telah dikutip kembali dari keterangan (kutipan)Mushthafa al-Siba'i, dasar-dasar argumen menolak otoritashadits secara ringkasnya adalah sebagai berikut: 1.Keseluruhan ajaran Islam cukup berdasarkan pada al-Qur'an saja, karena telah menegaskan bahwa Kitab Suci itu telah memuat segala sesuatu. 2.Allah menjamin terpeliharanya al-Qur'an, tapi tidak menjamin hal serupa untuk Hadits. 3.Nabi melarang, sekurangnya menghalangi, penulisan hadits di masa beliau, demikian pula para sahabat dan para Tabi'un terkenal. 4.Nabi menegaskan agar orang menerima hadits hanya yang benar-benar bersesuaian dengan al-Qur'an, dan menolak yang lain. Dr. Musthafa al-Siba'i, seorang pembela paham Sunni yangtegar, dengan tandas menolak argumen-argumen itu. Diamenyatakan: 1.Memang benar Kitab Suci memuat segala sesuatu, tapi hanya dalam garis besar saja. 2.Yang disebut bakal dijamin terpelihara dari usaha pengubahan tidak hanya pada al-Qur'an tapi juga meliputi sunnah, dalam hal ini hadits. Sunnah dan hadits tetap terpelihara, melalui sistem hafalan kaum muslim Arab yang memang terkenal memiliki kemampuan menghafal yang amat kuat (sebagai akibat pengembangan bahasa Arab yang amat tinggi namun tidak banyak bersandar pada penggunaan tulisan). 3.Pencegahan Nabi dan para pembesar sahabat dan Tabi'un dari usaha membukukan hadits terjadi karena kekuatiran akan tercampur dengan teks-teks al-Qur'an yang saat itu kodifikasi resminya belum mapan di kalangan umat, disebabkan sedikitnya mereka yang ahli baca-tulis. Pencegahan itu hanya menyangkut usaha pembukuan resmi.

Page 78: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Sedangkan yang tidak resmi dan sebagai catatan pribadi, beberapa sahabat telah melakukannya. 4.Keabsahan hadits yang menjadi landasan argumen keempat di atas diragukan oleh para ahli. Dan jika benar pun, maknanya adalah sangat wajar, yaitu bahwa kita harus menerima hadits hanya yang sejalan dengan al-Qur'an. Justru para ulama semuanya sepakat bahwa, Hadits yang sahih, meskipun menetapkan ajaran secaratersendiri, tidak ada yang bertentangan dengan al-Qur'an. Pembelaan al-Siba'i atas sunnah sebagai hadits itu mewakilipandangan yang sangat umum di kalangan para ulama. Namun iatidak memberi kejelasan tentang bagaimana efek kenyataansejarah bahwa untuk sampai pada koleksi dan kodifikasi haditsseperti sekarang ini proses-proses yang amat sulit harusdilewati, khususnya proses pemisahan mana dari laporan-laporanhadits itu otentik dan yang palsu. masih tetap diperlukanadanya argumen yang kukuh dan mendasar untuk pandangan bahwaklasifikasi yang ada sekarang adalah terpercaya, atau sudahtidak lagi memerlukan peninjauan kembali. Batu penarung bagipandangan ini ialah kenyataan bahwa zaman sekarang ditandaidengan mudahnya diperoleh bahan bacaan di semua bidang,termasuk bidang-bidang yang dapat dijadikan landasan kajianperbandingan ilmu kritik hadits, baik dari segi metodologinyamaupun dari segi hasil-hasil yang telah dicapai. Karena itupada zaman sekarang akan lebih mudah bagi mereka yang berminatsecara khusus untuk meneliti kembali hadits-hadits dan membuatklasifikasi baru tentang sahih-tidaknya matan-matan danriwayat-riwayat yang ada. Sebenarnya hal ini dapat sekedarmerupakan pengulangan atau penerapan kembali metodologi Imamal-Bukhari, tapi dengan dibantu oleh penggunaankemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh zaman modern, baikdari segi perangkat kerasnya (material dan bahan bacaan yangtersedia) maupun perangkat lunaknya (metodologi kritiknya). Imam al-Bukhari sendiri sekedar meneruskan dan menerapkandengan setia teori dan prinsip-prinsip riset hadits yangdiletakkan oleh Imam al-Syafi'i. Dorongan untuk meletakkanteori dan metodologinya itu ialah keprihatinan al-Syafi'i olehadanya kekacauan dan berkecamuknya usaha pemalsuanlaporan-laporan hadits di zamannya, yang laporan-laporan itusendiri semula dan kebanyakan bergaya anekdotal tentanggenerasi Islam yang telah lewat, mencakup tentang Nabi sendiridan para sahabat. Karena itu hadits juga disebut Khabar,Akhbar, Riwayah, Atsar, dan lain-lain, yang kesemuanyamenunjukkan sisa pengertiannya yang mula-mula, yaitu kabar,berita, penuturan, peninggalan, dan lain-lain. Maka yangdilakukan al-Syafi'i mempunyai nilai yang sungguh besar,dengan pengaruh yang sampai sekarang dirasakan oleh seluruhumat Islam. Tapi yang telah dilakukan oleh imam al-Syafi'i jauh lebihbanyak daripada sekedar meletakkan dasar-dasar metodologipenelitian hadits. Tokoh pendiri madzhab yang penganutnyabanyak di negeri kita ini juga diakui jasanya sebagai yang

Page 79: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

meletakkan dasar-dasar metodologi penetapan syari'ah, yangjustru terasa semakin relevan dengan keadaan zaman sekarangini. Menurut Marshall Hodgson --yang dapat kita anggap sebagaiseorang peninjau netral dan cukup jujur-- al-Syafi'i berjasasebagai seorang sarjana yang dengan penuh kesadaran meletakkanprinsip adanya pertimbangan historis bagi penetapan syari'ah.Hal itu tercermin dalam konsepnya tentang nasikh-mansukh,yaitu konsep yang memandang kemungkinan suatu hukum dihapuskanoleh hukum yang lain dalam Islam, disebabkan adanyapertimbangan baru berkenaan dengan lingkungan (dharf), baiklingkungan ruang (dharf al-makan) maupun lingkungan waktu(dharf al-zaman). [3] Berdasarkan metodologid al-Syafi'i itu maka terkenal sekalirumus hukum Islam yang mengatakan bahwa hukum berubah olehperubahan zaman dan tempat. Terutama perubahan zaman, semuaulama sepakat bahwa hal itu tidak dapat dielakkan akan membawaperubahan hukum. Prinsip ini tercermin dalam dua kalimatrumusannya dalam bahasa Arab, [Tulisan Arab] yang artinya, "Perubahan hukum oleh perubahan zaman. Tidakdapat diingkari perubahan hukum oleh perubahan zaman). [4] Untuk dapat melaksanakan prinsip amat penting itu tidaklahmudah. Salah satu yang mesti diperlukan ialah kemampuanmenangkap "pesan zaman", sehingga suatu hukum dapat diterapkansecara efektif karena relevan dengan pesan zaman itu. Iniberarti juga menuntut kemampuan membuat generalisasi atauabstraksi dari hukum-hukum yang ada menjadi prinsip-prinsipumum yang berlaku untuk setiap zaman dan tempat. Danberlakunya suatu prinsip untuk segala zaman dan tempat adalahberarti kemestian memberi peluang pada prinsip itu untukdilaksanakan secara teknis dan kongkret menurut tuntutan ruangdan waktu. Karena ruang dan waktu berubah, maka tuntutanspesifiknya pun tentu berubah, dan ini membawa perubahanhukum. Maka yang berubah bukanlah prinsipnya, melainkanpelaksanaan teknis dan kongkret hukum itu dalam masyarakattertentu dan masa tertentu. Iman al-Syafi'i khususnya, dan madzhab Syafi'i umumnyameletakkan dasar metodologi generalisasi dan abstraksi(ta'mim, istiqra, tajrid) tersebut dalam lima cara pendekatanpada setiap ketentuan hukum, yaitu: 1) semua perkara harusdiperhatikan maksud dan tujuannya; 2) bahaya harus dihilangkanatau dihindari; 3) adat kebiasaan adalah sumber penetapanhukum; 4) hal mantap tidak boleh dihapus oleh hal yangmeragukan; 5) kesulitan pelaksanaan harus menghasilkankemudahan hukum. Dalam bahasa Arab, kelima prinsip itu diberipatokan rumusan baku sebagai berikut, [5] [Tulisan Arab] Kemudian, sesuai dengan kebiasaan klasik dalam budaya litererIslam, kelima prinsip itu oleh seorang penganut madzhabSyafi'i didendangkan dalam bentuk syair, demikian:

Page 80: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

[Tulisan Arab] Jika diperhatikan benar-benar metodologi Imam al-Syafi'i itumaka sesungguhnya terdapat dorongan yang cukup kuat untukmendekati suatu ketentuan tekstual, baik dalam Kitab Sucimaupun dalam hadits tidak secara harfiah, melainkan denganpenarikan ide prinsipil atau fikrah mabda iyyah atau fikrahushuliyyah yang dikandungnya, dan yang menjadi inti hikmahtasyri' dari ketentuan yang ada. Oleh karena tema-tema haditsumumnya bersifat ad hoc dan lepas dari keseluruhan kepribadianNabi, maka abstraksi dan generalisasi dari hadits menghasilkanproblema dan kesulitan yang tidak kecil. Padahal hanya dariabstraksi dan generalisasi itu kita dapat memahami sunnahNabi, dan bukannya sekedar menyamakan begitu saja makna dansemangat sunnah dengan teks-teks laporan hadits. CATATAN 1.Dr. Mushthafa al-Siba'i, "Al-A'ashir fi wajh al-Sunnah Hadits-an" dalam majalah Al-Muslimin, Damaskus, No. 3 (Syawal 1374 H/Ayyar [Mei 1955]), hal. 24-26. Meskipun Al-Siba'i tidak menyebutkan nama tokoh Ingkar Hadits ini, namun dari bukunya. Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri' al-Islami, nama itu dapat diperkirakan sebagai Dr. Ahmad Amin, seorang penganut modernisme Islam yang terkenal. (Al-Siba'i, Al-Sunnah, Nurcholish Madjid (terj & ed) (Jakarta: Pustaka Firdaus, tt). 2.Ibid, hal. 27. 3.Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, 3 jilid (Chicago: The University of Chicago Press, 1974), jilid 33, hal.437. Menurut Hodgson, sesungguhnya yang dikembangkan oleh Imam al-Syafi'i adalah prinsip-prinsip yang tendensinya sudah terlihat di zaman Nabi sendiri, jadi memiliki tingkat otentisitas yang tinggi, dan Hodgson melihat pada metodologi itu sebagai salah satu sumber ketentuan dan kemampuan Islam menjawab tantangan zaman, khususnya zaman modern sekarang ini. Maka berkenaan dengan ini menarik sekali keputusan para ulama NU seluruh Indonesia di Tambakberas, Jombang, beberapa waktu yang lalu, yang menetapkan bahwa penganutan kepada madzhab Syafi'i seyogyanya tidak terbatas hanya kepada pendapat-pendapat spesifik (qawl) beliau saja, tetapi lebih penting lagi ialah kepada metodologi (manhaj, minhaj) yang dirintis dan dikembangkannya. 4.Mushthafa Ahmad al-Zarqa, "Taghayyur al-Ahkam bi Taghayyur al-Azman," dalam majalah Al-Muslimun, Damaskus, No. 8 (Syawal 1373 H/Juni 1954 M), hal. 34. 5."Tarikh al-Qawa'id al-Kulliyyah fi al-Syari'at al-Islamiyyah," dalam majalah Al-Muslimun Damaskus, No.

Page 81: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

12 (Syawal 1373 H/Mei 1955 M), hal. 17.

Page 82: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

III.20. DARI SUNNAH KE HADITS ATAU SEBALIKNYA (1/3)oleh Jalaluddin Rakhmat Pada waktu Nabi saw sakit keras, beliau bersabda, "Bawakepadaku Kitab agar kalian tidak akan sesat sesudahku." Umarberkata. "Sakit keras menguasai diri. Pada kita ada kitabAllah itu cukup buat kita." Orang-orang pun bertikai danramailah pembicaraan. Nabi saw berkata, "Enyahlah kalian darisini. Tidak pantas bertikai di hadapanku." Peristiwa ini konon terjadi pada hari Kamis, sehingga IbnuAbbas yang meriwayatkan hadits di atas menyebutkannya sebagaitragedi hari Kamis. "Alangkah tragisnya kejadian yangmenghalangi Nabi saw. untuk menuliskan wasiatnya," kata IbnuAbbas. Kita tidak tahu mengapa Ibnu Abbas menyebutkan sebagaitragedi. Apakah ia menyesalkan pertikaian sahabat di hadapanNabi saw. yang sedang udzur, sehingga Nabi saw. murka kepadamereka? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar yang menuduhperintah Nabi saw itu dilakukan tidak sadar (Dalam riwayatlain, Umar mengatakan Nabi saw. mengigau!), sehingga tidakperlu dipatuhi? Ataukah ia menyesalkan ucapan Umar bahwaal-Qur'an saja sudah cukup, tidak perlu lagi ada petunjukRasulullah saw di luar itu? Ibnu Abbas sebagai ulama salaf boleh menyesalkan peristiwaitu, tapi para ulama salaf tidak. Mereka bahkan memujikebijakan Umar, yang mempunyai pandangan jauh ke depan. Kataal-Qurthubi, "Memang yang diperintah harus segera menjalankanperintah. Tapi Umar beserta kelompok sahabat lainnya melihatperintah itu bukan wajib; hanya pengarahan pada cara yangterbaik. Mereka tidak ingin membebani Nabi saw dengan sesuatuyang memberatkannya dalam keadaan (sakit) seperti itu. Apalagiada firman Allah "Tidak ada yang Kami lewatkan dalam Kitab inisedikit pun," dan al-Qur'an itu menjelaskan segala sesuatu.Karena itu Umar berkata, "Cukuplah Kitab Allah bagi kita." Kata al-Khithabi, "Sesungguhnya Umar berpendapat seperti itu,karena sekiranya Nabi saw. menetapkan sesuatu yangmenghilangkan ikhtilaf (di kalangan kaum muslim), tentu takada gunanya lagi ulama dan ijtihad pun tidak perlu lagi." KataIbn al-Jawzi. "Umar kuatir sekiranya Nabi saw. menuliskandalam keadaan sakit, kelak orang-orang munafik akan mencarijalan untuk mengecam apa yang dituliskan itu." Apapun komentar para ulama, perkataan Umar, "Kitab Allah ...,"telah memulai problematika sunnah atau hadits yang berada diluar al-Qur'an. Betulkah al-Qur'an saja sudah cukup? Ataubisakah kita menyimpulkan bahwa hanya al-Qur'an sajalah karyailahi, sedangkan sunnah atau hadits adalah produk pemikiranmanusia; dan karena itu tidak mengikat? Sikap Umar terhadap hadist adalah sikap Abu Bakar juga.Al-Dzahabi, ketika menulis biografi Abu Bakar, mengisahkansatu peristiwa ketika Abu Bakar mengumpulkan orang banyaksetelah Nabi saw wafat. Abu Bakar berkata: "Kamu sekalian

Page 83: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah saw, sehinggakalian bertengkar. Nanti orang-orang sesudah kalian akan lebihkeras lagi bertikai. Janganlah kalian meriwayatkan haditssedikit pun dari Rasulullah saw. Bila ada orang yang memintakalian (meriwayatkan hadits), katakan di antara kita dan Andaada Kitab Allah, halalkan apa yang dihalalkannya dan haramkanapa yang diharamkannya." Baik Abu Bakar maupun Umar, menegaskan sikap mereka dengantindakan. Mereka melarang periwayatan hadits dengan keras.Aisyah bercerita, "Ayahku telah menghimpun 500 hadits dariNabi. Suatu pagi beliau datang kepadaku dan berkata, "Bawahadits-hadits itu kepadaku. Saya pun membawakan untukmu." Ialalu membakarnya dan berkata: Aku takut setelah aku mati,meninggalkan hadits-hadits itu kepadamu." Kemenakan Aisyah, Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar, berkata,"Hadits-hadits makin bertambah banyak pada zaman Umar.Kemudian beliau memerintahkannya untuk dikumpulkan. Setelahhadits-hadits itu terkumpul, Umar meletakkannya di atas baraapi, sembari berkata: Tidak boleh ada matsnat seperti matsnatAhli Kitab." Abu Bakar dan Umar adalah dua khalifah pertama yang termasukal-Khulafa' al-Rasyidun. Tidak heran bila sebagian besarsahabat, juga sebagian besar tokoh tabi'un seperti Sa'id ibnJubair, al-Nakha'i, al-Hasan bin Abu al-Hasan, Sa'id binMusayyab tidak mau menuliskan hadits. Situasi seperti iniberlangsung sampai paruh terakhir abad kedua Hijrah, ketikabeberapa orang mulai merintis pengumpulan dan penulisanhadits. Mereka adalah Ibnu Jurayj di Makkah, Malik di Madinah.Al-Awza'i di Syria, Sa'id bin Abu 'Urwah di Basrah, Mu'ammardi Yaman, dan Sofyan al-Tsawry di Kufah. Selama rentang waktu yang cukup panjang itu, kepada apa Umarmerujuk selain al-Qur'an? Ketika mereka ingin mengetahuicara-cara shalat yang tidak diuraikan al-Qur'an ataumenghadapi masalah-masalah baru yang timbul dalam perkembanganIslam, apa yang mereka jadikan acuan? Fazlur Rahman menjawab,mula-mula umat Islam merujuk kepada sunnah, tapi sesudah itumereka melihat hadits. Sekarang, dalam rangka membuka pintuijtihad, kita harus kembali lagi kepada sunnah. Saya melihatperkembangan sebaliknya: dari hadits ke sunnah. Untuk membukapintu ijtihad, kita harus mulai dari peninjauan ulang kepadakedua konsep itu. DARI SUNNAH KE HADITS Beberapa orang orientalis berpendapat, sunnah adalah praktekkaum muslim pada zaman awal. Sebagian kandungan sunnah berasaldari kebiasaan Jahiliyah (pra-Islam) yang dilestarikan dalamIslam. Sebagian lagi hanyalah interpretasi para ahli hukumIslam terhadap sunnah yang ada, di tambah unsur-unsur yangberasal dari kebudayaan Yahudi, Romawi, dan Persia. Ketikagerakan hadits muncul pada Abad 3 Hijrah, seluruh sunnah yangada, dinisbahkan kepada Nabi saw, dan disebut "Sunnah Nabi."

Page 84: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

Fazlur Rahman mengkoreksi pandangan orientalis ini denganmenegaskan: Sekarang kami akan menunjukkan (1) Bahwa sementara kisahperkembangan Sunnah di atas hanya benar sehubungan dengankandungannya, tapi tidak benar sehubungan dengan konsepnyayang menyatakan sunnah Nabi tetap merupakan konsep yangmemiliki validitas dan operatif, sejak awal sejarah Islamhingga masa kini, (2) Bahwa kandungan sunnah yang bersumberdari Nabi tidak banyak jumlahnya dan tidak dimaksudkanbersifat spesifik secara mutlak; (3) Bahwa konsep sunnahsesudah Nabi wafat tidak hanya mencakup sunnah Nabi tapi jugapenafsiran-penafsiran terhadap sunnah Nabi tersebut; (4) Bahwasunnah dalam pengertian terakhir ini, sama luasnya denganijma' yang pada dasarnya merupakan sebuah proses yang semakinmeluas secara terus-menerus; dan yang terakhir sekali (6)Bahwa setelah gerakan pemurnian Hadits yang besar-besaran,hubungan organis di antara sunnah, ijtihad, dan ijma' menjadirusak. TELADAN NABI SAW | PRAKTEK PARA SAHABAT | PENAFSIRAN INDIVIDUAL | OPINIO GENERALIS | OPINIO PUBLICA (SUNNAH) | FORMALISASI SUNNAH (HADITS) Jadi, para sahabat memperhatikan perilaku Nabi saw. sebagaiteladan. Mereka berusaha mempraktekkannya dalam kehidupansehari-hari. Setelah Nabi saw. wafat, berkembanglah penafsiranindividual terhadap teladan Nabi itu. Boleh jadi sebagiansahabat memandang perilaku tertentu sebagai sunnah, tapisahabat yang lain, tidak menganggapnya sunnah. Dalam "freemarket of ideas," pada daerah tertentu seperti Madinah,Kuffah, berkembang sunnah yang umumnya disepakati para ulamadi daerah tersebut. Ada sunnah Madinah, ada sunnah Kuffah.Secara berangsur-angsur, pada daerah kekuasaan kaum muslim,berkembang secara demokratis sunnah yang disepakati (amral-majtama' 'alaih). Karena itu, sunnah tidak lain daripadaopinio publica. Ketika timbul gerakan hadits pada paruh keduaAbad 2 Hijrah. Sunnah yang sudah disepakati kebanyakan orangini, diekspresikan dalam hadits. Hadits adalah verbalisasisunnah. Sayangnya, menurut Fazlur Rahman, formalisasi sunnahke dalam hadits ini, telah memasung proses kreatif sunnah danmenjerat para ulama Islam pada rumus-rumus yang kaku.III.20. DARI SUNNAH KE HADITS ATAU SEBALIKNYA (2/3)oleh Jalaluddin Rakhmat Mungkin banyak ulama akan tercengang membaca pandangan FazlurRahman tentang hadits, seperti saya kutip di bawah ini: Berulang kali telah kami katakan --mungkin sampai membosankan

Page 85: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

sebagian pembaca-- bahwa walaupun landasannya yang utamaadalah teladan Nabi, hadits merupakan hasil karya darigenerasi-generasi muslim. Hadits adalah keseluruhan aphorismeyang diformulasikan dan dikemukakan seolah-olah dari Nabi,oleh kaum muslimin sendiri; walaupun secara historis tidakterlepas dari Nabi. Sifatnya yang aphoristik menunjukkan bahwahadits tersebut tidak bersifat historis. Secara lebih tepathadits adalah komentar yang monumental mengenai Nabi oleh umatmuslim di masa lampau. Walhasil, setelah kaum muslim awal secara berangsur-angsursepakat menerima sunnah, mereka menisbatkan sunnah itu kepadaNabi saw. Kemudian, mereka merumuskan sunnah itu dalam bentukverbal. Inilah yang disebut hadits. Bila sunnah adalah proseskreatif yang terus menerus, hadits adalah pembakuan yang kaku.Ketika gerakan hadits unggul, ijma' (yang merupakan opiniopublica) dan ijtihad (yang merupakan proses interpretasi umatterhadap ajaran Islam) menjadi tersisihkan. DARI HADITS KE SUNNAH Sepakat dengan Fazlur Rahman, saya juga berpendapat bahwaperilaku Nabi saw, selama hidupnya terus-menerus menjadiperhatian para sahabat. Mereka dengan kadar yangbermacam-macam berusaha membentuk tingkah lakunya sesuaidengan Nabi saw. Nabi saw. berulangkali menyuruh sahabatmenirunya. Dalam hal shalat, Nabi saw. berkata, "Shalatlahkalian seperti kalian melihat aku shalat." Dalam hal haji, iaberkata "Ambillah dari aku manasik kalian." Sesekali Nabi saw.menegaskan, perilakunya itu sunnah yang harus diikuti, "Nikahitu sunnahku. Siapa yang berpaling dari sunnahku ia tidaktermasuk golonganku." Namun, berlawanan dengan tesis Fazlur Rahman, saya berpendapatbahwa yang pertama kali beredar di kalangan kaum muslim adalahhadits. Banyak riwayat menunjukkan perhatian para sahabatuntuk menghapal ucapan-ucapan Nabi atau menyampaikan apa yangdilakukan Nabi saw. Ada di antara mereka yang menuliskannya.Misalnya Ali, seperti diriwayatkan Bukhari, mempunyai mushafdi luar al-Qur'an, yang menghimpun keputusan-keputusan hukumyang pernah dibuat Rasulullah saw. Abdullah bin Amr bin Ashjuga dilaporkan rajin mencatat apa yang didengarnya dari Nabi. Dalam peristiwa-peristiwa yang disebutkan dalam pengantar diatas, kita melihat 'Aisyah juga menyimpan catatan-catatanhadits (mungkin ditulis Abu Bakar). Umar sendiri pernahmengumpulkan catatan-catatan hadits yang berserakan danmembakarnya. Kita tidak akan mengupas mengapa dua khalifah pertamamengadakan gerakan "penghilangan" hadits. Yang jelas, pengaruhkedua sahabat besar ini terasa sampai lebih dari satu abad.Keengganan mencatat hadits, menurut Rasm Ja'farian, telahmengakibatkan hal-hal yang merugikan umat Islam. Pertama,hilangnya sejumlah besar hadits. Urwah bin Zubayr pernahberkata, "Dulu aku menulis sejumlah besar hadits, kemudian akuhapuskan semuanya. Sekarang aku berpikir, alangkah baiknya

Page 86: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

kalau aku tidak menghancurkan hadits-hadist itu. Aku bersediamemberikan seluruh anakku dan hartaku untuk memperolehnyakembali." Kedua, terbukanya peluang pada pemalsuan hadits. Abu al-Abbasal-Hanbaly menulis, "Salah satu penyebab timbulnya perbedaanpendapat di antara para ulama adalah hadits-hadits danteks-teks yang kontradiktif. Sebagian orang menuding Umarlahyang bertanggung jawab atas kejadian ini, karena para sahabatmeminta izin untuk menulis hadits tapi Umar mencegahnya.Seandainya para sahabat menuliskan apa-apa yang pernahdidengarnya dari Rasulullah saw, sunnah akan tercatat tidaklebih dari satu rantai saja (dalam penyampaian) antara Nabisaw dan umat sesudahnya." Ketiga, periwayatan dengan makna. Karena orang hanya menerimahadits secara lisan, ketika menyampaian hadits itu merekahanya menyampaikan maknanya. Dalam rangkaian periwayatan,redaksinya dapat berubah-ubah. Karena makna adalah masalahpersepsi, masalah penafsiran, maka redaksi hadits berkembangsesuai dengan penafsiran orang yang meriwayatkannya. Keempat, terjadilah perbedaan pendapat. Bersamaan denganperbedaan pendapat ini, lahirlah akibat yang kelima, yangmengandalkan ra'yu. Karena sejumlah hadits hilang, orang-orangmencari petunjuk dari ra'yu-nya. Dalam pasar ra'yu yang"bebas" (dalam kenyataannya, pasar gagasan umumnya tidakbebas) sebagian ra'yu menjadi dominan. Ra'yu dominan inilah,menurut Fazlur Rahman, kemudian menjadi sunnah. Sebuah ra'yumenjadi dominan boleh jadi karena proses kreatif dan adanyademokrasi; boleh jadi juga karena dipaksakan penguasa. Tidakmungkin kita memberi contoh-contohnya secara terperincidisini. Dalam semua kejadian ini, dominasi ra'yu sangat ditopang olehhilangnya catatan-catatan tertulis. Untuk memperparah keadaan,tidak adanya rujukan tertulis menyebabkan banyak orang secarabebas membuat hadits untuk kepentingan politis, ekonomi, atausosiologis. Abu Rayyah menulis, "Ketika hadits-hadits Nabisaw. tidak dituliskan dan para sahabat tidak berupayamengumpulkannya, pintu periwayatan hadits palsu terbuka baikuntuk orang taat maupun orang sesat, yang meriwayatkan apasaja yang mereka inginkan tanpa takut kepada siapapun." Pendeknya, hilangnya catatan-catatan hadits telah menimbulkandominasi ra'yu, yang kemudian disebut sunnah. Panjangnyarangkaian periwayatan hadits telah memungkinkan orang-orangmenambahkan kesimpulan dan pendapatnya pada hadits-hadits.Tidak mengherankan, bila Fazlur Rahman sampai kepadakesimpulan, hadits adalah produk pemikiran kaum muslim awaluntuk memformulasikan sunnah. Sunnah pada gilirannya kelihatansebagai produk para ahli hukum Islam: yang kemudiandinisbahkan kepada Nabi saw. Jadi, mula-mula muncul hadits.Kemudian, orang berusaha menghambat periwayatan hadits,terutama, dalam bentuk tertulis. Timbullah sunnah, yang lebihmerujuk pada tema perilaku yang hidup di tengah-tengahmasyarakat, daripada pada teks. Ketika hadits-hadits

Page 87: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

dihidupkan kembali, melalui kegiatan para pengumpul hadits,kesulitan menguji hadits menjadi sangat besar. Ulum al-Hadits mungkin membantu kita mengatasi kesulitan inidengan menambah kesulitan baru. Kesulitan bahkan muncul ketikakita mendefinisikan hadits dan sunnah. Bila saya mendaftarkesulitan yang disebut terakhir, saya hanya ingin mengajakpembaca merekonstruksi kembali pandangannya tentang hadits dansunnah. MENCARI DEFINISI HADITS DAN SUNNAH Pada suatu hari Marwan bin Hakam berkhotbah di Masjid Madinah.Waktu itu ia menjadi Gubernur Madinah yang ditunjuk olehMu'awiyah. Ia berkata. "Sesungguhuya Allah ta'ala telahmemperlihatkan kepada Amir-u 'l-Mu'minin yakni Muawiyahpandangan yang baik tentang Yazid, anaknya. Ia ingin menunjukorang sebagai khalifah. Jadi ia ingin melanjutkan sunnahAbubakar dan Umar. Abd-u 'l-Rahman ibn Abu Bakar berkata, "Inisunnah Heraklius dan Kaisar. Demi Allah, Abubakar tidak pernahmenunjuk salah seorang anaknya atau salah seorang keluarganyauntuk menjadi khalifah. Tidak lain Muawiyah hanya inginmemberikan kasih-sayang dan kehormatan kepada anaknya." Marwanmarah dan menyuruh agar Abd-u 'l-Rahman ditangkap. Abd-u'l-Rahman lari ke kamar saudaranya, Aisyah Ummu 'l-Mukminin.Marwan melanjutkan khotbahnya, "Tentang orang inilah turunayat yang berkata pada orang tuanya 'cis' bagimu berdua."Ucapan itu sampai kepada Aisyah. Ia berkata, "Marwan berdusta.Marwan berdusta. Demi Allah, bukanlah ayat itu turun untukdia. Bila aku mau, aku dapat menyebutkan kepada siapa ayat initurun. Tapi Rasulullah saw. telah melaknat ayahmu ketika kamumasih berada di sulbinya. Sesungguhnya kamu adalah tetesandari laknat Allah." Hadits ini diriwayatkan al-Nasa'i, Ibn Mundzir, al-Hakim danal-Hakim menshahihkannya (lihat Mustadrak al-Hakim 4:481;Tafsir al-Qurthubi 16:197; Tafsir Ibn Katsir 4:159; TafsirAl-Fakhr al-Razi 7:491, Tafsir al-dur al-Mansur 6:41 dankitab-kitab tafsir lainnya). Bukhari meriwayatkan hadits inidengan singkat. Ia membuang laknat Rasulullah saw. kepadaMarwan dan menyamarkan ucapan Abd-u 'l Rahman. Inilah riwayatBukhari, Marwan di Hijaz sebagai gubernur yang diangkat Muawiyah. Iaberkhotbah dan menyebut Yazid ibn Muawiyah supaya ia dibaiatsesudah bapakuya. Maka Abdurrahman mengatakan sesuatu. Iaberkata, "Tangkaplah dia." Ia masuk ke rumah Aisyah dan merekatidak berhasil menangkapnya Kemudian Marwan berkata,"Sesungguhnya dia inilah yang tentang dia Allah menurunkanayat-ayat dan orang yang berkata kepada kedua orang tuanya'cis' bagimu berdua, apakah kalian menjanjikan padaku danseterusnya. Aisyah berkata dari balik hijab: Allah tidakmenurunkan ayat apapun tentang kami kecuali Allah menurunkanayat untuk membersihkanku. Hadits ini adalah hadits No. 4826 dalam hitungan Ibnu Hajaral-Asqalani (lihat Fath al-Bari 8:576). Yang menarik kita

Page 88: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

bukanlah apa yang dibuang Bukhari, tetapi "perang hadits"antara dua orang sahabat --Marwan ibn Hakam dan 'Aisyah. Yangpertama menyebutkan, asbab al-nuzul ayat al-Ahqaf ituberkenaan dengan 'Abd-u 'l-Rahman ibn Abu Bakar. Yang keduamenegaskan bahwa yang pertama berdusta, karena ayat itu turunberkenaan dengan orang lain. 'Aisyah malah menegaskan denganhadits yang menyatakan bahwa Marwan adalah orang yang dilaknatAllah dan Rasul-Nya.III.20. DARI SUNNAH KE HADITS ATAU SEBALIKNYA (3/3)oleh Jalaluddin Rakhmat KERANCUAN PENGERTIAN HADITS Riwayat di atas disebut "hadits" padahal yang diceritakanadalah perilaku para sahabat. Para ahli ilmu haditsmendefinisikan hadits sebagai "apa saja yang disandarkan(dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan,taqrir, atau sifat-sifat atau akhlak (Lihat Dr. Nurrudin Atar,Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadits, halaman 26). Riwayat di atastidak menceritakan hal ihwal Nabi saw. ia bercerita tentangperilaku para sahabatnya. Bila kita membuka kitab-kitab hadits, segera kita menemukanbanyak riwayat di dalamnya, tidak berkenaan dengan ucapan,berbuatan atau taqrir Nabi saw. Sekedar memperjelas persoalandi sini, dikutipkan beberapa saja diantaranya. Pada ShahihBukhari, hadits No. 117 menceritakan tangkisan Abu Hurairahkepada orang-orang yang menyatakan Abu Hurairah terlalu banyakmeriwayatkan hadits. Ia menjelaskan bahwa ia tidak disibukkandengan urusan ekonomi, seperti sahabat-sahabat Anshar danMuhajirin. Ia selalu menyertai Nabi saw. Untuk mengenyangkanperutnya, menghadiri majelis yang tidak dihadiri yang lain,dan menghapal hadits yang tidak dihapal orang lain. Perhatikan Bukhari memasukkan sebagai salah satu kitabhaditsnya, padahal riwayat ini tidak menyangkut ucapan,perbuatan atau taqrir Nabi saw. Hadits yang menceritakansahabat disebut hadits mawquf (istilah yang didalamnyaterdapat kontradiksi, karena bukan hadits bila tidak berkenaandengan Nabi saw.). Ibnu Hajar dalam pengantarnya pada Syarhal-Bukhari menyebutkan secara terperinci hadits-hadits mawqufdalam Shahih Bukhari. Mungkin bagi banyak orang, riwayat tentang para sahabat masihdapat dianggap hadits, sehingga definisi hadits sekarang ialah"apa saja yang disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw.berupa ucapan, perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlakdan apa saja yang dinisbahkan kepada para sahabat." Namunjangan terkejut kalau ahli hadits bahkan menyebut riwayat,para ulama di luar para sahabat juga sebagai hadits. Riwayattentang para tabi'in yakni ulama yang berguru kepada parasahabat, disebut hadits maqthu. Dalam Shahih Bukhari,misalnya, ada hadits yang berbunyi "Iman itu perkataan danperbuatan, bertambah dan berkurang." Ini bukan sabda Nabi saw.Menurut Bukhari, ini adalah ucapan para ulama di berbagainegeri (lihat Fath-u 'l-Bari 1:47). Karena itu menurut Dr.Atar, definisi hadits yang paling tepat ialah "apa saja yang

Page 89: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

disandarkan (dinisbahkan) kepada Nabi saw. berupa ucapan,perbuatan, taqrir, atau sifat fisik atau akhlak dan apa sajayang dinisbahkan kepada para sahabat dan tabi'in." Sampai di sini kita bertanya apakah kita sepakat dengandefinisi Dr. Atar. Bila ya, harus mengubah anggapan kitaselama ini. Ternyata hadits itu tidak semuanya berkenaandengan Nabi saw. Kembali kepada Rasulullah saw. Yang palingmenyusahkan kita ternyata tidak semua hadits walaupun shahihmeriwayatkan sunnah Rasulullah saw. Boleh jadi banyak amalyang kita lakukan selama ini ternyata bersumber pada "hadits"yang bukan hadits (menurut definisi yang pertama). Salah satu contohnya adalah hadits yang sering disampaikankaum modernis untuk menolak tradisi slametan ("tahlilan") padakematian. Hadits itu berbunyi, "Kami menganggap berkumpul padaahli mayit dan menyediakan makanan sesudah penguburannyatermasuk meratap." Hadits ini merupakan ucapan 'Abd-u l-Lahal-Bajali, bukan ucapan Bani saw. (lihat Nayl al-Awthar4:148). Demikian pula, kebiasaan melakukan adzan awal padashalat Jum'at di kalangan ulama tradisional, didasarkan kepadahadits yang menceritakan perilaku orang Islam di zaman Utsmanibn 'Affan. Ucapan "al-shalat-u khair-un min al-nawm" dalamadzan Shubuh adalah tambahan yang dilakukan atas perintah Umaribn Khatab. Akhirnya, perhatikanlah hadits ini: Dari Jabir ra: Sesungguhnya Ibnu Zubair melarang muth'ahtetapi Ibn Abbas memerintahkannya. Ia berkata: Padaku adahadits. Kami melakukan muth'ah pada zaman Rasulullah saw. Danpada zaman Abu Bakar ra. Ketika Umar berkuasa, ia berkhotbahkepada orang banyak: Sesungguhnya Rasulullah saw. Adalah Rasulini, dan sesungguhnya al-Qur'an itu adalah al-Qur'an ini. Adadua muth'ah yang ada pada zaman Rasulullah saw. Tetapi akumelarangnya dan akan menghukum pelakunya. Yang pertama muth'ahperempuan. Bila ada seorang laki-laki menikahi perempuansampai waktu tertentu, aku aakan melemparinya dengan batu.Yang kedua muth'ah haji (haji tamattu'). Hadits ini diriwayatkan dalam Sunnah Baihaqi 7:206;dikeluarkan juga oleh Muslim dalam shahihnya. Hadits inimenceritakan khotbah sahabat Umar yang mengharamkan muth'ahyang dilakukan para sahabat sejak zaman Rasulullah saw. Sampaike zaman Abu Bakar ra. Manakah yang harus kita pegang: haditstaqrir Nabi saw. Yang membiarkan sahabatnya melakukan muth'ahatau hadits larangan Umar? Umumnya kita memilih yang kedua. Walhasil, dengan memperluas definisi hadits sehingga jugamemasukkan perilaku para sahabat dan tabi'in, kita mengamalkanjuga sunnah para sahabat, yang tidak jarang bertentangandengan sunnah Rasulullah saw. Kerancuan definisi hadits inimembawa kita kepada ikhtilaf mengenai apa yang disebut sunnah. KERANCUAN PENGERTIAN SUNNAH Para ahli hadits, dan banyak di antara kita, menyamakan haditsdengan sunnah. Ahli ushul fiqh mendefinisikan sunnah sebagai"apa saja yang keluar dari Nabi saw. Selain al-Qur'an berupa

Page 90: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

ucapan, perbuatan, dan taqrir, yang tepat untuk dijadikandalil hukum syar'i" (Muhammad Ajjaj al Khathib, al-Sunnah Qablal-Tadwin, h.16) Jadi menurut ulama ushul fiqh, tidak semua hadits mengandungsunnah. Imam Ahmad pernah diriwayatkan berkata, "Dalam haditsini ada lima sunnah, fi hadza 'l-hadits khams-u sunnah." Tidaksemua ulama setuju dengan pernyataan Ahmad. Mungkin saja buatsebagian di antara mereka, dalam hadits hanya ada tiga sunnah.Masalahnya sekarang: kapan perkataan, perbuatan dan taqrirNabi saw. Itu tepat disebut sunnah? Seandainya seorang sahabat berkata, "Aku mendengar Rasulullahsaw. Batuk tiga kali setelah takbirat-u 'l-ihram," dapatkahkita menetapkan perilaku Nabi saw. Dalam hadits itu sebagaisunnah? Anda berkata tidak, karena perbuatan Nabi saw. Ituhanya kebetulan saja dan tidak mempunyai implikasi hukum.Batuk tidak bernilai syar'i. Tetapi bagaimana pendapat anda bila Wail bin Hajar melaporkanapa yang disaksikannya ketika Nabi saw. duduk tasyahhud, "Akumelihatnya menggerakkan telunjuknya sambil berdoa?" Tidakkahanda menyimpulkan bahwa gerakan telunjuk itu sama dengan batuk--yang hanya secara kebetulan tidak mempunyai implikasi hukum.Bukankah Ibnu Zubair melihat "Nabi saw. memberi isyarat dengantelunjuknya tapi tidak mengerakkannya?" (Nayl al-Awthar2:318). Banyak orang, termasuk para ulama yang menyamakanhadits dengan sunnah, menyebut sunnah pada semua perilaku Nabisaw. yang dllaporkan dalam hadits. Abdullah bin Zaid berceritatentang istisqa Nabi saw. Pada waktu khotbah istisqa Nabi saw.Membalikkan serbannya, sehingga bagian dalam serban itu diluar dan sebalik. Dalam riwayat lain, Nabi saw. memindahkanserbannya, sehingga ujung serban sebelah kanan disimpan padabahu sebelah kiri dan ujung serban sebelah kiri disimpan padabahu sebelah kanan. Jumhur ulama termasuk Imam Syafi'i danMalik menetapkan pembalikan atau pemindahan serban itu sebagaisunnah. Kata Syafi' i, "Nabi saw. Tidak pernah memindahkanserban kecuali kalau berat." Jadi pemindahan dalam khotbahistisqa itu tentu mempunyai implikasi syar'i. Imam Hanafi dansebagian pengikut Maliki menetapkan bukan sunnah. Pemindahanitu hanya kebetulan saja. Para ulama juga ikhtilaf untukmenetapkan apakah pemindahan serban itu berlaku bagi imam atauberlaku bagi jemaah juga, apakah yang sunnah itu pemindahanatau pembalikkan. Anda melihat bagaimana para ulama berbedadalam mengambil sunnah hanya dari satu hadits saja. Karena itu, Fazlur Rahman dalam Membuka Pintu Ijtihadmenegaskan adanya unsur penafsiran manusia dalam sunnah.Sunnah adalah perumusan para ulama mengenai kandungan hadits.Ketika terjadi perbedaan paham, maka yang disebut sunnahadalah pendapat umum; sehingga pada awalnya sunnah sama denganijma'. Karena sunnah adalah hasil penafsiran, nilai sunnahtentu saja tidak bersifat mutlak seperti al-Qur'an. Pernyataan Fazlur Rahman ini bagi kebanyakan orang sangatmengejutkan. Bukanlah selama ini yang kita anggap benar secaramutlak adalah al Qur'an dan sunnah? Patut dicatat bahwa

Page 91: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam

kesimpulan Fazlur Rahman itu didasarkan pada sunnah dalampengertian sunnah Rasulullah saw. Dengan latar belakang uraiantentang hadits sebelumnya, kita menemukan juga adanya sunnahpara sahabat, bahkan sunnah para tabi'in. Definisi sunnahseperti disebutkan di atas, pada kenyataannya tidak lagidipakai. Bila sunnah sudah mencakup juga perilaku sahabat,kemusykilan tentang sunnah makin bertambah. PENUTUP. Ketika kita sedang giat melakukan islamisasi ilmu, budaya,ekonomi, hukum, dan masyarakat, kita tidak bisa tidak harusmerujuk pada hadits dan sunnah (tentu saja sesudah al-Qur'an).Bahkan ketika merujuk pada al-Qur'an pun, kita harus melihathadits. Pembaruan pemikiran Islam atau reaktualisasi ajaranIslam, harus mengacu pada teks-teks yang menjadi landasanajaran Islam. Semua orang sepakat pentingnya hadits dan sunnahdalam merealisasikan ajaran Islam. Yang sering kita lupakanadalah bersikap kritis terhadap keduanya. Sikap kritis iniseringkali dicurigai akan menghilangkan hadits atau sunnah.Kita lupa bahwa kritik terhadap keduanya telah diteladankankepada kita oleh para ulama terdahulu. Bila para pembaru Islam terdahulu memulai kiprahnya darikritik terhadap hadits dan sunnah (Ingat bagaimanaMuhammadiyah dan PERSIS "men-dha'if-kan" hadits-hadits yangdipergunakan orang-orang NU), mengapa kita tidak maumelanjutkannya. Konon Imam Bukhari bermimpi, ia duduk dihadapan Rasulullah saw, dan di tangannya ada kipas untukmengusir lalat agar tidak mengenai tubuh Nabi saw. Ketika iabertanya kepada orang-orang pandai apa arti mimpi itu, merekaberkata, "Anda akan membersihkan hadits Nabi saw. darikebohongan." Inilah yang mendorong Bukhari mengumpulkanhadits-hadits yang sahih saja, dengan membuang ribuan haditsyang dianggap dha'if (lemah). Siapa yang ingin melanjutkantradisi Imam Bukhari dewasa ini?

Page 92: Kajian Filsafat Dan Teologi Islam