KAJIAN DRAMA ABSURD & REALIS DENGAN MODEL PENGKAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

34
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Saat Apresiasi merupakan tindakan menggauli karya sastra, maka mengkaji ialah tindakan menganalisis yang membutuhkan ilmu atau teori yang melandasinya. Tentang penjelasan mengkaji seperti yang diungkapkan oleh Aminudin (1995:39) kajian sastra adalah kegiatan mempelajari unsur-unsur dan hubungan antarunsur dalam karya sastra dengan bertolak dari pendekatan, teori, dan cara kerja tertentu. Dengan adanya kajian drama inilah, peminat sastra melakukan analisis yaitu membedah karya sastra seperti drama yang dibacanya. Sehingga unsur-unsur yang menyusun drama tersebut dapat diketahui. Juga rangkaian hikmah yang ada di dalamnya. Apakah ada kecenderungan penyingkapan realitas sosial oleh sang pengarang? ataukah ada hal-hal lain yang bisa pengkaji sastra temukan dari kajian tersebut? hal ini bisa dianalisis dengan beberapa pendekatan. karena kajian sastra memiliki berbagai pendekatan. pendekatan-pendekatan itu ialah objektif (struktural dan struktural semiotik), mimesis (sosiologi sastra), ekspresif (hermeuneutik), pragmatik (resepsi sastra & intertekstual), 1

Transcript of KAJIAN DRAMA ABSURD & REALIS DENGAN MODEL PENGKAJIAN SOSIOLOGI SASTRA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Saat Apresiasi merupakan tindakan menggauli karya sastra, maka mengkaji

ialah tindakan menganalisis yang membutuhkan ilmu atau teori yang

melandasinya. Tentang penjelasan mengkaji seperti yang diungkapkan oleh

Aminudin (1995:39) kajian sastra adalah kegiatan mempelajari unsur-unsur dan

hubungan antarunsur dalam karya sastra dengan bertolak dari pendekatan, teori,

dan cara kerja tertentu.

Dengan adanya kajian drama inilah, peminat sastra melakukan analisis yaitu

membedah karya sastra seperti drama yang dibacanya. Sehingga unsur-unsur yang

menyusun drama tersebut dapat diketahui. Juga rangkaian hikmah yang ada di

dalamnya. Apakah ada kecenderungan penyingkapan realitas sosial oleh sang

pengarang? ataukah ada hal-hal lain yang bisa pengkaji sastra temukan dari kajian

tersebut? hal ini bisa dianalisis dengan beberapa pendekatan. karena kajian sastra

memiliki berbagai pendekatan. pendekatan-pendekatan itu ialah objektif

(struktural dan struktural semiotik), mimesis (sosiologi sastra), ekspresif

(hermeuneutik), pragmatik (resepsi sastra & intertekstual), posmodernisme

(dekonstruksi, poskolonial, studi kultural, dan feminisme)

Dalam makalah ini akan dilakukan pengkajian drama, yaitu penulis akan

mengkaji naskah drama yang berjudul “Nyonya-Nyonya” Karya Wisran Hadi

menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Akan tetapi, sebelumnya penulis akan

menjelaskan terlebih dahulu mengenai hakikat drama absurd dan contohnya.

B. Rumusan Masalah

Pertanyaan yang akan dijawab oleh makalah ini adalah “Bagaimana hakikat

drama absurd dan cara menganalisis drama yang berjudul Nyonya-Nyonya?”

sebuah analisis mengenai drama yang akan mengarah pada sebuah usulan untuk

memahami drama lebih mendalam. Dengan begitu, penikmat sastra seperti drama

1

tidak akan kesulitan dalam memahami makna yang terkandung di dalam sebuah

drama khususnya drama absurd dan drama realis.

C. Tujuan Penulisan Makalah

Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan yang akan dicapai dari

penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui hakikat drama serta contohnya.

Mengidentifikasi jenis-jenis drama dan cara menganalisisnya.

D. Manfaat Penulisan Makalah

Makalah ini disusun dengan harapan memberikan kegunaan baik secara

teoretis maupun praktis. Secara teoretis makalah ini diharapkan dapat berguna

sebagai pengetahuan mengenai kajian drama. Secara praktis makalah ini

diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis adalah sebagai tambahan pengetahuan

mengenai hakikat drama dan jenisnya. Bagi pembaca adalah sebagai media

informasi mengenai drama beserta jenis-jenisnya.

E. Kerangka Teori

1. Hakikat Drama

a. Pengertian Drama

Kata drama berasal dari bahasa Yunani Draomai yang berarti berbuat, berlaku,

bertindak. Adapun istilah lain drama berasal dari kata drame, sebuah kata Perancis

yang diambil oleh Diderot dan Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon

mereka tentang kehidupan kelas menengah. Berikut pengertian drama menurut

beberapa sumber.

a. Menurut Moulton, drama adalah hidup yang dilukiskan dengan gerak (life

presented in action).

b. Menurut Balthazar Vallhagen, drama adalah kesenian melukiskan sifat dan

sifat manusia dengan gerak.

c. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), drama adalah komposisi

syair atau prosa yang diharapkan dapat menggambarkan kehidupan dan watak

pelaku melalui tingkah laku atau dialog yang dipentaskan.

2

Jadi, drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog-

dialog para tokohnya.

b. Sejarah Drama

Kebanyakan dari kita mengira bahwa drama berasal dari Yunani Kuno.

Namun demikian, sebuah buku yang berjudul A History of the Theatre

menunjukan pada kita bahwa pemujaan pada Dionisus, yang kelak diubah

kedalam festival drama di Yunani, berasal dari Mesir Kuno. Teks Piramid yang

bertanggal 4000SM adalah naskah Abydos Passion Play yang terkenal. Tentu saja

para pakar masih meragukan apakah teks itu drama atau bukan sebelum Gaston

Maspero menunjukan bahwa dalam teks tersebut ada petunjuk action dan indikasi

berbagai tokohnya. Ada tiga macam teori yang mempersoalkan asal mula drama:

1) Teori Pertama

Menurut Brockett, drama mungkin telah berkembang dari upacara religius

primitif yang dipentaskan untuk minta pertolongan dari Dewa. Upacara ini

mengandung banyak benih drama. Para pendeta sering memerankan mahluk super

alami atau binatang dan kadang – kadang meniru akting berburu, misalnya. kisah-

kisah berkembang sekitar beberapa ratus dan tetap hidup bahkan setelah upacara

itu sendiri sudah tidak diadakan lagi. Kelak mite-mite itu merupakan dasar dari

banyak drama.

2) Teori Kedua

Teori kedua memberi kesan bahwa himne pujian dinyanyikan bersama

didepan makam seorang pahlawan. Pembicara memisahkan diri dari koor dan

memperagakan perbuatan-perbuatan dalam kehidupan almarhum pahlawan itu.

Bagian yang diperagakan makin lama makin rumit dan koor tidak dipakai lagi.

Seorang kritisi memberi kesan bahwa sementara koor makin lama makin kurang

penting, muncul pembicara lain. Dialog mulai terjadi ketika ada dua pembicara

diatas panggung.

3) Teori Ketiga

Teori ketiga memberi kesan bahwa drama tumbuh dari kecintaan manusia

untuk bercerita. Kisah–kisah yang diceritakan disekeliling api perkemahan

3

menciptakan kembali kisah–kisah perburuan atau peperangan, atau perbuatan

gagah seorang pahlawan yang telah gugur.

c. Jenis-jenis Drama

Menurut jenisnya, drama dibagi menjadi empat, di antaranya sebagai berikut.

1) Drama tragedi, yaitu drama yang menayangkan kisah sedih. Tokoh dalam

drama tragedi ini disebut tragic hero artinya pahlawan yang mengalami nasib

tragis.

2) Drama komedi, yaitu drama yang sifatnya menghibur, menayangkan cerita-

cerita lucu, didalamnya terdapat dialog kocak yang besifat menyindir dan

biasanya berakhir dengan kebahagiaan.

3) Melodrama, yaitu cerita yang sentimental. Artinya tokoh dan cerita yang

disuguhkan mendebarkan dan mengharukan.

4)  Dagelan (farce), yaitu drama kocak dan ringan, alurnya tersusun berdasarkan

arus situasi dan tidak berdasarkan perkembangan struktur dramatic serta

perkembangan cerita sang tokoh.

Menurut teknik pementasannya, drama dibagi menjadi tiga. Berikut

pembagiannya.

1) Drama tradisional adalah seni drama yang berakar dan bersumber dari tradisi

masyarakat, bersifat spontan dan improvisatoris.

2) Drama modern adalah drama yang bertolak dari hasil sastra yang disusun

untuk suatu pementasan.

3) Jadi, perbedaan utama antara drama tradisional dengan drama modern terletak

pada tidak ada atau adanya naskah.

2. Drama Absurd

a. Absurdisme dalam Drama

Absurdisme merupakan mazhab sastra yang berkembang selepas Perang

Dunia II. Membahas tentang absurdisme tidak akan terlepas dengan salah satu

mazhab filsafat, yaitu mazhab eksistensialisme, yang berkembang sebelum Perang

Dunia I. Tokoh eksistensialisme dan juga peletak dasar eksistensialisme,

4

Kierkegaard (1812—1815). Menurut Hasan, tokoh lainnya di antaranya

Heidegger, Jaspers, Sartre, dan Camus (Sumiyadi, 2012: 94). Nama-nama tokoh

yang telah disebutkan tersebut merupakan tokoh yang dikenal sebagai seorang

filsuf. Jadi, tidak salah jika mazhab absurdisme dalam sastra berkaitan dengan

mazhab eksistensialisme dalam filsafat.

Camus (1913—1960) merupakan tokoh yang menghubungkan mata rantai

absurdisme dengan eksistensialisme. Camus pernah membuat karya sastra yang

bercorak absurd, di antaranya novel Sampar dan Orang Asing. Akan tetapi,

konsep absurd sendiri dimunculkan Camus dalam sebuah esainya yang terkenal,

Mitos Sisipus. Mitos Sisipus kemudian menjadi dasar pemikiran dalam karya

sastra drama, bahkan dalam pertunjukan teaternya. Tokoh-tokoh terkemuka dalam

teater absurd di antaranya Beckett (1906—1989), Ionesco (1912—1994), dan

Adamov.

Di atas telah dijelaskan bahwa mazhab absurdisme dalam sastra berkaitan

dengan mazhab eksistensialisme dalam filsafat. Salah satu konsep

eksistensialisme menyatakan bahwa alam semesta tidak memiliki tujuan dan

absurd. Dalam filsafat eksistensialisme absurd merujuk pada ketiadaan makna

hidup, ketiadaan struktur, dan tidak adanya kosistensi. Dalam drama absurd

penonton dihadapkan dengan kelakuan-kelakuan yang kurang jelas motivasinya,

tokoh-tokoh yangterus-menerus berubah, dan sering kali peristiwa-peristiwa jelas

berada di luar pengalaman rasional.

b. Asal-Usul Absurdisme

Pada bahasan sebelumnya sudah dibahas bahwa konsep absurd dimunculkan

Albert Camus dalam buku easainya yang berjudul Mitos Sisipus dalam bahasa

Prancis. Inti cerita Mitos Sisipus diambil dari mitologi Yunani Kuno. Dalam cerita

itu dikisahkan bahwa Sisipus dihukum para dewa. Hukuman yang harus

dilakukain Sisipus adalah mengangkut batu besar ke atas gunung yang terjal.

Akan tetapi, setelah mengangkut batu yang berakhir di puacak, batu itu

menggelinding kembali, kemudian Sisipus mengangkut batu itu kembali ke

puncak. Hukuman itu terus berulang dilakukan oleh Sisipus. Hukuman Sisipus itu

dimaknai oleh Camus sebagal amsal hidup manusia.

5

Asal-usul absurdisme tidaklah bersumber tunggal dari Mitos Sisipus-nya

Camus atau fllsafat eksistensialisme-nya Sartre. Menurut Esslin (Sumiyadi, 2012:

97), kajian tentang gejala absurd sebagai sastra, teknik panggung, dan

manifestasi dari pemikiran zamanya harus didahului dengan pengujian karya-

karya tersebut. Dengan demikian, kita dapat membuktikan bahwa karya-karya

yang dikaji merupakan bagian dari tradisi atau kebudayaan lama yang pada

tertentu telah tenggelam, akan tetapi masih dapat diusut kembali sampai zaman

purba. Dengan melakukan kajian historis ini, kemungkinan besar kita dapat

menafsirkan dan menetapkan pentingnya fenomena absurd dalam pola pemikiran

masyarakat modern.

Berdasarkan kajian historis yang dilakukan oleh Esslin (Sumiyadi, 2012: 98),

dapatlah diketahui bahwa teater absurd sebenarnya kembali pada tradisi lampau.

Kebaruannya hanya terletak pada kombinasi baru (tidak biasa) dari tradisi-tradisi

yang mendahuluinya itu. Tradisi zaman lampau yang oleh teater absurd

ditampilkan dalam kombinasi yang berbeda, dalam arti baru dan masing-masing

mempunyai kekhasan, dapat dikelompokkan ke dalam (1) teater "murni", yaitu

efek-efek adegan yang bersifat abstrak seperti yang ditampakkan dalam

pertunjukan sirkus, sulap, akrobat, adu banteng dengan manusia--yang pelakunya

biasa disebut dengan matador; (2) unsur badut, kelucuan, dan adegan gila-gilaan;

(3) kata-kata nonsens atau tanpa makna; dan (4) kesusastraan mimpi dan fantasi,

yang sering kali memiliki unsur alegori yang kuat.

Keempat unsur tradisi zaman lampau tersebut dalam pertunjukan acap kali

bertumpang tindih. Misalnya, unsur badut menyandarkan diri pada kata-kata

nonsens dan efek adegan abstrak, sedangkan pertunjukan teater yang bersifat

abstrak dan tanpa plot sering kali diliputi oleh makna alegoris. Unsur murni teater

abstrak dalam teater absurd merupakan satu aspek sikap yang antisastra dan sikap

penolakan terhadap bahasa sebagai alat ekspresi makna. Hal inilah yang sering

kali dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh teater absurd seperti Genet, Ionesco,

Adamov, Tardieu, dan Beckett. Mereka tampaknya dilandasi oleh suatu

kesadaran bahwa teater bukanlah sekedar bahasa. Bahasa sendiri dapat dibaca,

akan tetapi teater sejati hanya dapat mewujud dalam "pertunjukan".Unsur-unsur

6

murni teater abstrak, yang efek teatrikalnya sering muncul dalam teater absurd

adalah arena sebagai pusat permainan sang matador, prosesi atau pawai

partisipan pada pembukaan olimpiade, lakuan pendeta dalam perayaan misa, dan

iring-iringan kendaraan kebesaran raja atau ratu yang melalui jalan- jalan kota.

Tradisi teater abstrak atau pertunjukan keterampilan tanpa kata (sulap,

akrobat dengan berjalan pada seutas tali di udara, dan sirkus binatang yang

terlatih), selalu ada hubungannya dengan peran badut. Tradisi ini pun membuat

panggung terus-menerus memiliki daya Tarik dan kekuatan terhadap

penontonnya. Tradisi ini berasal dari tradisi mimus yang telah berkembang pada

zaman kuno. Mimus adalah salah satu bentuk teater populer, yang pada

zamannya berdampingan dengan teater klasik, yaitu tragedi dan komedi. Teater

mimus sering kali jauh lebih populer dan berpengaruh daripada kedua teater

klasik tersebut. Mimus merupakan pertunjukan yang berisi dansa, nyanyi, dan

sulap, akan tetapi selalu dilandasi tipe-tipe tokoh yang penuh dengan kelucuan,

spontanitas, dan improvisasi.

c. Karekterisasi Sastra dan Teater Absurd

Menurut Sudjiman (Sumiyadi, 2012: 99) Absurd dalam konteks musik

adalah"tidak harmonis". Dalam kamus istilah sastra disebutkan, “tidak masuk

akal, mustahil. Yang disebut karya sastra absurd ialah karya sastra (drama atau

cerkan) yang berlandaskan anggapan bahwa pada dasarnya kondisi manusia itu

absurd, dan pada kondisi ini secara tepat hanya dapat dilukiskan dalam karya

yang juga absurd”.

Dalam tulisan Esslin (Sumiyadi, 2012: 99), dikutip pendapat Ionesco

mengenal absurditas dalam karya-karya Kafka yaitu "absurd adalah, apabila

tanpa tujuan... terenggut dari akal religi, metafisik, dan transendental, manusia

menjadi kehilangan; segala tindakannya tidak masuk akal, absurd, sia-sia”.

Pendapat ini seolah-olah menjadi sebuah pembenaran mana kala kita membaca

dan menyaksikan lakon-lakon dari Ionesco sendiri, Beckett, dan Adamov, yang

dicap sebagai dramawan/teaterawan dan pengarang absurd.

Konsep absurd dalam sastra dan teater dapat dijelaskan dengan

membandingkannya dengan sastra/teater konvensional sebab kelahiran

7

sastra/teater absurd pun di antaranya sebagai reaksi dari sastra/teater

konvensional. Namun, sebelum membandingkan kedua kelompok sastra/teater

ini, perlulah dijelaskan bahwa teater dapat merupakan kelanjutan dari sastra.

Misalnya, Ionesco menulis karya sastra drama berjudul Biduanita Botak. Apabila

karya Ini dipentaskan, maka pementasannya itu merupakan teater absurd. Akan

tetapi, teater absurd tidak selamanya bertolak dari sastra absurd.Bahkan, terdapat

perbedaan yang tegas antara teater absurd dan karya-karya sastra absurd dari

Sartre dan Camus.

Menurut Esslin (Sumiyadi, 2012: 99), Sartre dan Camus menyajikan

pengertian tentang irasionalitas keadaan manusia dalam bentuk serta alasan yang

jelas dan logis, sementara teater absurd (Beckett dan Ionesco) berusaha

mengekspresikan keadaan manusia itu dengan cara yang lepas bebas dan acak.

Sartre dan Camus mengekspresikan sikap baru itu dengan cara yang

konvensional, sedangkan teater absurd melangkah lebih jauh dengan mencoba

untuk mencapai kesatuan antara pikiran-piklran dasar dan bentuk

pemanggungannya. Dengan kata laln, teater absurd tidak lagi membicarakan

absurditas keadaan manusia, akan tetapi langsung menyajikannya dalam sebuah

bentuk, yaitu ungkapan-ungkapan panggung yang kongkret.

Dalam sumber lain Esslin (Sumiyadi, 2012: 100) menyatakan, apabila kita

membaca dan menyaksikan drama atau teater konvensional, maka kita dapat

menemukan bahwa dalam karya tersebut terdapat tujuan yang pasti. Karya

konvensional juga mengajukan masalah-masalah tertentu yang pemecahan atau

jawabannya telah tersedia.

Berbeda dengan sastra drama/teater konvensional, dalam sastra/teater absurd

lakuan-lakuan tokoh tidak diarahkan melalui silogisme yang logis. Sastra dan

teater absurd tidak berjalan dari A ke B (kecuali karya Sartre dan Camus),

melainkan bergerak dari premis yang tak dapat diketahui untuk menuju konklusi

Y. Memang, para penonton tidak mengetahui maksud pengarang atau sutradara.

Akan tetapi, mereka tidak merasakan ketegangan seperti yang ada pada teater

konvensional. Sebaliknya, hal-hal yang paling tidak diharapkan dan tidak

diperkirakan betul-betul terjadi. Dengan demikian, penonton mendapatkan

8

ketegangan lain yang tentunya berbeda dengan suspense karya konvensional.

Dari penjelasan di atas dapat menyimpulkan dengan singkat bahwa sebagai

pengganti ketegangan dari "apa yang akan terjadi selanjutnya", teater absurd

meletakkan ketegangan itu pada "apa makna yang mungkin". Ketegangan ini

terus berlangsung bahkan setelah layar panggung diturunkan. Absurditas dalam

teater absurd yang ditampakkan oleh Beckett,lonesco, dan Adamov tidaklah

sama. Beckettcenderung melankolisyang diwarnai olehkesia-siaandan nihil-

nyaharapan. Adamov cenderung aktif, agresif,membumi, terkadang disertai

sindiran-sindiran sosial dan politis. Sementaraitu, Ionesco cenderung bersuasana

lucu, kasar, ribut, dan fantastis.

Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa teater

absurd adalah suatu bukti. Bukti yang ditunjukkannya adalah bahwa panggung

mempunyai daya magis tersendiri, meskipun di luar kerangka rasionalitas.

Selain Itu, teater absurd mencoba untuk menunjukkan bahwa dunia itu

merupakan tempat yang tidak dapat terpahami. Hasilnya, penonton akan merasa

hidup di sebuah negeri yang bahasanya begitu asing, sehingga menimbulkan

"efek alienasi". Istilah efek alienasi sebenarnya bukan konsep teater absurd,

akan tetapi konsep teater epik yang yang dikembangkan olehBrecht. Menurut

Sumardjo (Sumiyadi, 2012: 102), yang dimaksudalienasiadalah bahwa penonton

tidak boleh mencampuradukkan yang terjadi di atas pentas dengan kenyataan

hidupnya, bahkan mengingatnya pun tidak boleh. Pentas hanyalah tontonan yang

mesti dihadapi secara kritis. Melalui alienasi inilah penonton dapat memperoleh

hiburan yang tidak sekedar hiburan melainkan hiburan yang lebih tinggi berupa

partisipan.

3. Sosiologi Sastra sebagai Pendekatan Menganalisis Karya Sastra

Sosiologi adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi

dewasa ini (das sain) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya

karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. Menurut Ratna (2003: 2)

ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan

9

dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan

masyarakat.

Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih

mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial Wellek dan Warren (1956:

84, 1990: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut:

a. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang

berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial

status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan

pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga

masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang

adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat

tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga,

atau posisi ekonomi pengarang akan memiliki peran dalam pengungkapan

masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren,1990:112)

b. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang

menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan

apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini

mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial.

(Wellek dan Warren, 1990:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada

penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama)

bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi

Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber

sejarah peradaban.

c. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra,

pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya

meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya

hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.

Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam

Damono, 1989: 3-4) yang meliputi hal-hal berikut.

10

a. Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial

sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca

termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya,

yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan : (a) bagaimana pengarang

mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman

masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya, (b) profesionalisme

dalam kepengaragannya, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.

b. Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat

dianggap carmin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih

kabur, karena itu, banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus

diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah (a)

sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu

ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah

tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis, (b) sifat “lain dari yang lain” seorang

pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial

dalam karyanya, (c) genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok

tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat, (d) sastra yang berusaha

untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja

tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama

sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih

dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang

masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang

diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat.

c. Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan

nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan (1)

sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama

derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi

sebagai pengbaharu dan perombak, (2) sastra sebagai penghibur saja, dan (3)

sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.

11

BAB II

PEMBAHASAN

A. Sinopsis Drama Biduanita BotakDialog antara Bu Dini dan Pak Didi sebagai pasangan suami istri berisi

tentang makanan yang dimasak oleh pembantunya, Minah. Kemudian berlanjut

dengan pembicaraan dokter keluarga tetangga, dokter Jo. Lalu, dilanjutkan dengan

membicarakan Bambang PI, tetangganya yang semua anggota keluarganya

bernama Bambang. Gara-gara membicarakan tentang Bambang PI, keluarganya,

dan pekerjaannya, Bu Dini sempat marah kepada Pak Didi. Namun kemarahannya

surut saat Minah dating setelah berplesir. Tak lama, Pak Tonodan Bu Tino,

pasangan suami istri yang merupakan tamu Pak Didi dan Bu Dini datang. Sambil

menunggu Pak Didi dan Bu Dini berganti pakaian, Pak Tono dan Bu Tino

berbincang-bincang. Perbincangannya aneh dan tidak penting. Intinya, Pak Tono

dan bu Tino seperti baru saling mengenal, dan mengira kesamaan-kesamaan yang

terjadi pada keduanya merupakan suatu keajaiban. Dialog Pak Tono dan bu Tino

berakhir bersamaan dengan kedatangan Pak Didi dan Bu Dini.

Dialog dua pasangan suami istri ini dimulai dengan pengisahan pengalaman

Bu Tino saat di perjalanan. Terdengar ada yang mengetuk pintu, namun setelah

dilihat tidak ada orang yang mengetuknya. Hal ini menjadi perbincangan mereka.

Setelah terdengar beberapa kali ketukan pintu, ternyata yang mengetuknya

Petugas Keamanan. Ini juga menjadi perbincangan yang alot di antara mereka.

Setelah lama berbincang-bincang, ternyata kedatangan Petugas Keamanan

mendatangi kediaman Pak Didi dan Bu Dini hanya ingin menanyakan ada

penggarongan atau tidak. Dari penggarongan, perbincangan beralih topik menjadi

pengisahan dongeng oleh lima orang tersebut secara bergiliran. Minah hadir,

membacakan puisi tentang penggarongan. Ternyata Minah mengenal Petugas

Keamanan. Petugas Keamanan pergi dan dialog pun tetap berjalan. Malah, sangat

berlebihan hingga akhirnya berakhir drama. Semua marah-marah dan berteriak-

teriak pada telinga satu sama lain.

12

B. Absurditas dalam Drama Biduanita BotakSebagaimana telah dijelaskan bahwa absurditas dalam drama bisa terlihat dari

unsur-unsur intrinsiknya seperti alur, tokoh dan latar, dan bisa terlihat juga ketika

drama itu dipentaskan. Pada makalah ini keabsurdan drama tidak dilihat dari

pementasannya, tetapi hanya dari segi teksnya saja.

Drama Biduanita Botak dikatakan sebagai drama absurd karena terlihat dari

alur ceritanya yang mengekspresikan keadaan atau cerita drama dengan cara yang

lepas, bebas, dan acak, itu terlihat dari dialog para tokoh yang tanpa aturan dan

tanpa tujuan jelas, semua hal mulai dari hal-hal kecil hingga menimbulkan konflik

yang besar.

Kebebasan itu menimbulkan rasa bingung dan sulit untuk memahami alur

cerita pada pembaca. Lakuan-lakuan tokoh tidak diarahkan melalui silogisme

yang logis. Ceritanya tidak berjalan dari A ke B melainkan bergerak dari premis

yang tak dapat diketahui untuk menuju konklusi Y. Penulis beranggapan drama

ini tidak bermaksud menyampaikan informasi atau menyajikan berbagai persoalan

atau takdir tokoh-tokohnya yang ada di luar dunia batin sang penulis, dan drama

ini juga tidak berurusan dengan representasi berbagai peristiwa, narasi nasib atau

petualangan para tokoh, tapi lebih pada usaha menghadirkan situasi dasar

individu.

C. Sinopsis Drama Nyonya-NyonyaSeorang Tuan pedagang barang antik sedang berdiri di teras depan rumah

seorang Nyonya sambil menggerutu sendiri tentang cuaca, keadaan dirinya, dan

tentang perilaku orang-orang terhadap dirinya. Hal yang dilakukan Tuan

pedagang barang antik itu menyulut emosi Nyonya pemilik rumah. Nyonya

meminta Tuan untuk pergi dari teras rumahnya karena takut keberadaan Tuan

akan menimbulkan pandangan negatif dari masyarakat. Tuan mengelak

kekhawatiran Nyonya dengan mengemukakan banyak alasan. Akhirnya, Tuan

membeli empat buah marmer tempat dia berdiri agar ia bisa bebas berdiri di sana

tanpa didesak-desak untuk pergi oleh Nyonya.

Tuan pedagang barang antik terus mengusik ketenangan Nyonya, dari mulai

berdiri di teras rumah sampai berani masuk ke dalam rumah dan membeli barang-

13

barang milik Nyonya supaya dirinya dapat leluasa berada di dalam rumah

Nyonya. Selain ketenangannya diusik oleh Tuan pedagang barang antik, Nyonya

juga berkonflik dengan tiga keponakan suaminya, saat ini tengah terbaring sakit di

rumah sakit karena penyakit kanker lidah, yang menagih uang hasil penjualan

tanah pusaka yang dijual oleh Datuk, suami Nyonya, namun uang hasil

penjualannya tidak dibagi-bagikan kepada keponakan-keponakannya.

D. Unsur Sosial dalam Drama Nyonya-Nyonya, Kajian Sosiologi SastraUnsur-unsur sosial membangun suatu kesatuan dan berhubungan antara satu

dengan lainnya di dalam kehidupan masyarakat. Apabila terjadi perubahan di

salah satu unsur, maka unsur yang lain akan mengalami perubahan juga. Unsur-

unsur sosial tersebut di antaranya adalah kelas sosial, agama, dan budaya.

Perspektif pengkajiaan sosiologi sastra yang akan diterapkan pada drama Nyonya-

Nyonya adalah perspektif teks sastra, yaitu teks dianalisis sebagai sebuah refleksi

kehidupan masyarakat. Teks akan diklasifikasikan dan dijelaskan makna

sosiologisnya.

1. Kelas SosialPenggambaran unsur sosial dalam drama ini meliputi kelas sosial. Kelas sosial

berarti pengelompokan orang berdasarkan sikap, perilaku sosial yang secara

umum sama. Misalnya masyarakat kelas menengah ke atas berbeda karakteristik

dengan masyarakat menengah ke bawah. Di Minangkabau, kelas sosial dilihat dari

tingkatan kekayaan seseorang. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut:

TUAN

Benar juga firasat saya. Di mana pun juga di atas dunia ini,rumah mewah

selalu tidak ramah pada tamu! Suamiku! Ah, ekor

NYONYA

Tuan jangan bicara macam-macam di sini. Rumahku yang mewah ini

dibuat untuk kepentingan ramah-tamah, tapi untuk kesenanganku dengan

suamiku! Ah, ekornya Tuan. Ekornya, kritik Tuan itu sangat

menggelisahkan pemilik rumah mewah lainnya. Pergilah, Tuan! Pergi. Aku

14

benci dengan orang-orang yang suka mengkritik, apalagi hanya untuk

melindungi hanya untuk melindungi kepentingannya sendiri.

Kelas sosial tidak lain dilihat dari segi ekonomi. Faktor ekonomi adalah salah

satu syarat yang mutlak bagi sebuah bangsa. Maka, setiap daerah dan kebudayaan

pun memiliki ekonomi masyarakat yang berbeda-beda. Contohnya dalam drama

ini adalah budaya Minangkabau yang memiliki sistem ekonomi masyarakat yang

dikenal dengan harta pusaka. Harta pusaka adalah segala kekayaan yang

berwujud (materi), diwariskan nantinya kepada anak kemenakan. Harta

pusaka di Minangkabau disebut juga sebagai alat pemersatu di dalam keluarga,

sampai sekarang harta pusaka masih berfungsi sebagaimana mestinya. Tidak

hanya sebagai alat pemersatu terkadang harta pusaka sebagai milik bersama

sering pula menimbulkan perselisihan dan sengketa dalam keluarga di

Minangkabau.

Bentuk perilaku materialistis tokoh Nyonya dalam naskah Nyonya-

Nyonya karya Wisran Hadi sangat dipengaruhi oleh kelas sosial dari tokoh

tersebut. Tokoh Nyonya termasuk ke dalam kelas sosial menengah ke atas,

maka dari itu tentu saja bahwa tokoh Nyonya sangat syarat dengan materi dan

keuangan. Perilaku materialistis tokoh Nyonya mengacu kepada dua macam,

yaitu: orientasi terhadap uang dan orientasi terhadap harta benda (pusaka).

Orientasi terhadap uang jelas terbukti pada tokoh Nyonya yang tidak mampu

menjaga nama baiknya, bahkan Nyonya tidak sadar telah menjual harga dirinya.

Orientasi terhadap uang dapat dilihat dalam kutipan berikut:

TUAN

Lima ratus ribu. Terserah Nyonya. Nyonya lebih suka memilih penjara

atau dimarahi suami?

NYONYA

Ibuku tentu akan memaki-makiku.

TUAN

Terserah Nyonya, kata saya. Masuk penjara dan nama baik Nyonya hancur

atau…? (MENYERAHKAN UANG DENGAN PAKSA)

15

NYONYA

(MENERIMA UANG ITU DENGAN GUGUP) Ya Tuhan.

(MENCIUM UANG ITU BEBERAPA KALI) Jadi, tuan tidak

mengatakan pada siapa pun juga, bukan?

Orientasi terhadap harta benda (pusaka) telah membuktikan tokoh

Nyonya bahwa dia berperilaku metirialistis. Dilihat dari beberapa harta benda

Nyonya yang dia gadaikan kepada Tuan kerena tergiur akan tawaran-tawaran dari

Tuan. Terbukti dari beberapa harta benda yang terjual seperti satu meter persegi

tanah pekarangan rumah sampai beberapa isi di dalam rumah Nyonya. Dapat

dilhat dalam kutipan berikut:

NYONYA

Tuan, kenaikan dua puluh lima dari tawarn Tuan memperlambat

proses jual beli. Terbukti Tuan bukanlah pedagang yang pintar.

TUAN

(MENGELUARKAN UANG DARI TASNYA) Ini.

Tujuh ratus ribu!

NYONYA

O, o, Tuan. Apa itu? Uang? Tujuh ratus ribu?

TUAN

Tidak kurang serupiah pun! (MENYERAHKAN UANG)

NYONYA

(MENERIMA UANG ITU DENGAN PENUH NAFSU, TAPI PURA-

PURA GUGUP) Jadi, tuan membeli sebuah kursi seharga tujuh ratus

ribu? Tuan. Tuan. (PURA- PURA MENANGIS) Aku tidak akan

menjualnya, Tuan. (MENANGIS)

Dampak perilaku materialistis tokoh Nyonya yaitu dampak terhadap

dirinya dan dampak terhadap keluarga Nyonya. Dampak terhadap diri Nyonya

sendiri merupakan dalam keseharian Nyonya yang dirasakan adalah tidak

merdeka hati dan selalu resah ketika menghadapi Tuan dan ketiga keponakannya.

16

2. BudayaBudaya timur muncul di dalam drama ini dengan berbagai norma ketimuran.

Norma-norma tersebut di antaranya adalah:

a. Ajaran yang baik dan buruk. Dapat dilihat dalam kutipan berikut:

TUAN

Astaga! Merugikan orang lain, suatu pekerjaan yang paling tercela! Saya

belum pernah merugikan orang lain, nyonya. Tidak percaya? Tanya istri

saya.

b. Sanksi tidak tegas, menyesal, malu. Dapat dilihat dalam kutipan berikut:

NYONYA

Apa itu? Uang? Apa tuan kira saya mau menjual marmer terasku?

TUAN

Ingat, nyonya. Kita telah tawar-menawar. Saya telah memenuhi harga

yang telah nyonya tetapkan. Nyonya tidak dapat menolak begitu saja. Ini.

Terima.

NYONYA

Tidak bisa.

TUAN

Jadi, nyonya membatalkan transaksi ini secara sepihak? Nyonya bisa

ditintut di pengadilan. Nyonya tahu undang-undang perdagangan bukan?

NYONYA

Jadi, tuan memperdagangkan undang-undang?

TUAN

Jangan mengalihkan persoalan nyonya. Kalau nyonya tidak mematuhi

undang-undang perdagangan, saya akan pergi ke pengadilan sekarang

juga! Nyonya akan saya tuntut telah berbuat seenaknya terhadap

konsumen. Nama nyonya akan jatuh. Nyonya akan di penjara! Bahkan,

nama suami nyonya sendiri akan dilibatkan. Rumah ini akan disita. Apa

nyonya mau resiko begitu?

17

NYONYA

aku dapat berlindung di bawah lembaga bantuan hukum!

TUAN

Tentu saja. Tapi sementara bantuan datang, nyonya telah di penjarakan.

Potret Nyonya akan terpampang di koran-koran dalam box kriminal!

NYONYA

Tuan jangan menakut-nakuti. Aku cukup berani dengan gertak sambal

laki-laki.

TUAN

Kalau Nyonya tidak percaya, sekarang juga akan saya buktikan! Biar hari

telah larut malam begini, biar malariaku kambuh lagi, tidak jadi soal bagi

saya. Saya akan berlari-lari ke pengadilan! Baru nyonya tahu rasa!

NYONYA

Tuan akan benar-benar mengadukan ke pengadilan?

TUAN

Tidak pandang bulu Nyonya!

NYONYA

Ekornya, tuan. Ekornya!

TUAN

Tidak pandang ekor nyonya!

c. Contoh berlaku jujur, menghargai orang lain. Dapat dilihat dalam kutipan

berikut:

NYONYARumah ini masih punya pemilik, Tuan. Jangan seenaknya tuan di sini.TUAN Oh, tentu. Pemilik rumah ini, nyonya bukan? NYONYAKalau tuan tahu rumah ini punya pemilik, mestinya tuan minta izin lebih dulu, tahu! Mentang-mentang aku menyediakan kursi tamu, lalu tuan anggap kursi itu bisa diduduki dengan gampang tanpa prosedur.TUANKalau begitu izinkan saya duduk, nyonya. (berdiri dan duduk kembali)

18

Unsur budaya yang terdapat dalam drama lakon Nyonya-Nyonya adalah

budaya dengan nilai-nilai ketimuran. Kepatuhan seorang istri dalam menjaga

nama baiknya dan suaminya adalah budaya Indonesia atau ketimuran. Telah

berlangsung sejak zaman kerajaan hingga saat ini mengenai tingkah laku seorang

istri. Terdapat hal yang menarik ketika memaca drama ini. Terdapat hal-hal terkait

dengan persoalan budaya negatif. Setiap babak memperlihatkan keinginan kuat

dari Nyonya untuk menjaga nama baiknya sebagai seorang istri agar jangan

sampai ada laki-laki yang masuk ke dalam rumah. Terkait dengan nilai ketimuran,

seorang istri terlohat dari dialog-dialognya denga Tuan.

3. AgamaSelanjutnya aspek sosial tentang faktor agama. Eksistensi agama tetap diakui,

manakala para pemeluknya, apapun agamanya, masing-masing memiliki peran

dan kontribusi yang nyata di tengah-tengah masyarakat, dengan berbagai struktur

sosial yang ada. Sehingga agama, mampu memberikan arti dalam kehidupan dan

makna manusia seutuhnya, atau dalam istilah L. Berger suatu keharusan

fungsional (Functional Imperative) dalam struktur sosialnya.

Faktor agama dalam drama ini mengenai kewajiban seorang istri dalam

menjaga nama baik suami dan menjaga dirinya sendiri. Seorang istri harus

mendapat izin dari suaminya dalam melakukan kegiatan. Bila suami bepergian,

baik jauh maupun dekat, maka istri harus dapat menjaga diri supaya tidak

menimbulkan fitnah , seperti menerima tamu yang bukan muhrimnya. Hal ini

dapat dilihat dalam kutipan berikut:

NYONYA

Kejam atau tidak, yang penting aku harus menjaga nama baikku. Coba

tuan pikir. Suamiku sedang ada di rumah sakit. Bila serang istri sendirian

lalu didatangi lelaki tuan tentutau ekornya bukan?

Mengenai kewajiban suami-istri dalam kompilasi hukum Islam dijelaskan:

Bagian kesatu

Umum

Pasal 77 ayat 4

19

Suami istri wajib memelihara kehormatan

4. PolitikAspek yang terakhir adalah politik. Dalam aspek ini meninjau bagaimana

politik tergambar dari alur cerita drama. Secara tersirat rupakan ada beberapa

dialog yang merupakan bentuk sindiran pada kehidupan politik pada masa itu,

tepatnya pada tahun 2000-an tepat ketika naskah drama ini dibuat. Dalam drama

ada dialog yang menyinggung tentang perebutan kursi yang diujarkan oleh tokoh

Tuan kepada Istri, sebagai berikut.

TUANSiasat, kataku. Siasat. Siasat dagang, saying. Kalau kita tidak punya kursi lagi di rumah. Semua anak-anak kita akan aman. Mereka tidak akan berkelahi memperebutkan kursi. Betapa ributnya rumah kita setiap hari. Kita mau tidur, mereka berebutan kursi. Dan celakanya, kursi itu mereka jadikan mobil-mobilan, kereta api=kereta apian, kapak-kapalan, rumah-rumahan. Erus terang, aku tidak suka anak-anak kita mempergunaka kursi untuk mendapatkan mobil, rumah, kapal dan sebagainya itu!

ISTRIKalau mereka masih anak-anak, tidak apa.TUANKalau kita biarkan, mereka akan rebutan kursi sampai tua!ISTRITeorimu baik sekali. Tapi, apa kau tahu yang terjadi siang tadi?

Dari potongan drama tersebut dapat terlihat sebuah sindiran kepada pemerintah

atau pada politisi yang pekerjaannya hanya memperebutkan kursi pemerintahan

dan menjadikan kedudukan itu sebagai alat untuk mencari harta dan kekuasaan

semata. Kritik ini sangan cocok dengan kondisi pada masa itu, yang mana sedang

terjadinya gejolak perebutan kursi yang ditandai dengan munculnya partai-partai

politik baru yang mengusung calon dewan masing-masing.

Dalam drama juga terdapat aktivitas jual beli kursi yang diartikan sebagai

gambaran adanya politik uang. Jual beli suara untuk mendapatkan kekuasaan

sudah terjadi pada masa itu dan itu yang dimungkinkan menjadi objek kritikan

penulis drama.

20

BAB III

PENUTUP

A. SimpulanDari rangkaian pembahasan yang telah disampaikan dapat diambil simpulan

sebagai berikut.

1. Drama adalah drama adalah karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui

dialog-dialog para tokohnya.

2. Drama absurd adalah drama yang memiliki ketidakteraturan dalam hal alur

cerita, tokoh, dan hal lainnya.

3. Drama Biduanita Botak termasuk jenis drama absurd, karena memiliki

beberapa unsur yang tidak teratur dalam segi penceritaan sehingga sulit untuk

dipahami.

4. Sosiologi sastra sebagai salah satu model pengkajian drama adalah sebuah

model pengkajian yang memandang sastra dari segi sosial, berupa kelas

sosial, budaya, agama, dan politik.

5. Aspek sosial dalam drama Nyonya-nyonya dapat dilihat dari unsur kelas

sosial, budaya, agama, dan politik.

B. SaranPembaca, sebagai peminat karya sastra hendaknya juga dapat

melakukan pengkajian karya sastra supaya dapat lebih memahami unsur-

unsur karya sastra secara lebih mendalam serta mendapatkan rangkaian

hikmah yang ada, dan untuk mengetahui lebih dekat macam-macam teori

pengkajian sastra agar dapat menambah wawasan pembaca

21