Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

90
KAJIAN DAYA DUKUNG LAHAN LAUT DI PERAIRAN TELUK BONE Laporan Akhir Kegiatan PUSAT RISET WILAYAH LAUT DAN SUMBERDAYA NON-HAYATI BADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN 20 DESEMBER 2004

description

Wagey, T., A. Suparman, W. S. Pranowo, A. R. Tisiana D. K., A. Hutahaean, B. Hendrajana, G. Kusumah, E. Mustikasari, H. Prihatno, H. Triwibowo, R. N. Afiati, R. A. Adi, S. Novita.: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone, Laporan Akhir Kegiatan, Pusat Riset Wilayah Riset Wilayah dan Sumberdaya Non-Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, Jakarta, 20 Desember 2004, 90 halaman.

Transcript of Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Page 1: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

KAJIAN DAYA DUKUNG LAHAN LAUT DI PERAIRAN TELUK BONE

Laporan Akhir Kegiatan

PUSAT RISET WILAYAH LAUT DAN SUMBERDAYA NON-HAYATI BADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN

20 DESEMBER 2004

Page 2: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - i

RINGKASAN

Konsep daya dukung (carrying capacity) perairan sebenarnya berakar pada disiplin ilmu

demografi, biologi dan ekologi terapan. Daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen biotik yang terkandung didalamnya. Dengan kata lain, kondisi suatu sumberdaya tertentu yang terdapat pada suatu ekosistem alami seperti laut, akan bervariasi dari tahun ke tahun dikarenakan adanya pengaruh faktor biotik dan abiotik serta pengaruh antar spesies yang terdapat di dalam ekosistem tersebut. Apabila suatu suatu ekosistem telah mengalami gejala over-population, maka akan sulit untuk ekosistem tersebut pulih kembali.

Selaras dengan salah satu tujuan strategis Departemen Kelautan dan Perikanan yakni pemanfaataan sumberdaya perikanan dan kelautan yang sesuai dengan daya dukung perairan, maka perlu untuk melakukan kajian yang dapat memberikan gambaran secara ilmiah daya dukung perairan guna menunjang kegiatan pembangunan perikanan dan kelautan. Hal ini penting dilakukan mengingat informasi seperti ini mutlak diperlukan untuk kelangsungan pembangunan perikanan dan kelautan di suatu wilayah. Hasil kajian daya dukung akan berguna dalam penentuan opsi kebijakan (policy option) yang diperlukan bagi pembuat kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan.

Kegiatan KAJIAN DAYA DUKUNG LAHAN LAUT DI PERAIRAN TELUK BONE pada tahun 2004 ini, menghasilkan penggambaran fenomena yang terjadi pada periode Monsun Tenggara (Bulan Agustus 2004). Elevasi permukaan laut pada kondisi Pasang Purnama adalah berkisar 0,0492 - 2,4140 meter. Sedangkan kecepatan arus permukaan pada kondisi yang sama berkisar 0,5x10-3 - 12,25x10-3 m/dt, dengan arah dominan menyusur pantai timur yang kemudian menuju ke arah Utara dan Barat. Peristiwa downwelling terjadi di beberapa lokasi di pantai barat dan upwelling di beberapa lokasi di pantai timur. Dimana kisaran kecepatan arus vertikal yang menuju ke atas adalah 0,5x10-3 - 3,5x10-3 m/dt, sedangkan kisaran kecepatan arus vertikal yang menuju ke bawah adalah 0,5x10-3 - 4,6x10-3 m/dt. Kondisi temperatur air di permukaan berkisar 27,083 - 29,029 ºC, sedangkan kisaran temperatur hingga di kedalaman rata-rata 150 meter adalah 17,677 - 18,328 ºC. Dimana kisaran salinitas di permukaan antara 33 - 32,32 PSU, dan kisaran salinitas di kedalaman rata-rata 150 meter mencapai 34,388 - 34,860 PSU. Sedangkan kisaran densitas dari seluruh stasiun pengamatan adalah 20 - 25 kg/m3.

Meningkatnya nilai kandungan Nitrat dan Fosfat dikarenakan adanya peristiwa naiknya zat unsur hara dari dasar laut menuju ke permukaan (upwelling). Kadar Nitrat berkisar antara 0,12 - 0,796 ppm. Kandungan Nitrat yang rendah karena arus dalam yang kuat pada kedalaman tersebut menyebabkan kandungan Nitrat terbawa oleh massa air yang berasal dari bagian selatan (mulut) teluk yang bergerak ke arah utara sehingga zat hara yang berada pada bagian tersebut tidak sempat mengalami pengendapan yang menyebabkan kandungan unsur hara relatif lebih rendah. Kandungan Fosfat berkisar 0,5 - 1,152 ppm. Rendahnya kandungan Fosfat menunjukkan bahwa penyerapan oleh fitoplankton berjalan dengan baik. Tingginya nilai Khlorofil antara 1,426 - 1,722 mg/m3 dikarenakan adanya penyinaran matahari yang cukup sehingga mendapatkan intensitas cahaya yang dibutuhkan Fitoplankton untuk dapat melakukan proses fotosintesa. Perairan Kep. Sembilan tergolong perairan yang subur sehingga masih berada di dalam kisaran rata-rata untuk pertumbuhan fitoplankton.

Secara umum kondisi terumbu karang di daerah penelitian Kabupaten Kolaka lebih baik dibandingkan kondisi terumbu karang di Kab. Sinjai. Tutupan karang hidup di Kab. Kolaka adalah sekitar 61 %, sedangkan di Kab. Sinjai hanya sekitar 26,15 %. Dan tutupan karang mati di Kab. Kolaka hanya sekitar 16 %, berbeda sekali dengan di Kab. Sinjai yang mempunyai 43,63 %.

Kondisi fisik, kimiawi dan biologi perairan Teluk Bone yang lebih luas dibandingkan Teluk Lasongko, tentunya akan bisa memberikan kekayaan alam laut yang lebih melimpah, dimana daya dukung kelautan dan perikanan tersebut bisa lebih dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Page 3: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - ii

DAFTAR ISI

Halaman Halaman Judul Ringkasan i Daftar Isi ii Daftar Gambar iv Daftar Tabel vi Kata Pengantar vii BAB I PENDAHULUAN 1-1 A. Latar Belakang 1-1 B. Maksud dan Tujuan 1-2 C. Hasil yang Diharapkan 1-3 D. Ruang Lingkup 1-3 E. Anggaran dan Kegiatan 1-5 BAB II PENGELOLAAN PROYEK 2-1 A. Organisasi dan Personil 2-1 B. Keuangan 2-1 BAB III PELAKSANAAN KEGIATAN 3-1 A. Dasar Pelaksanaan Kegiatan 3-1 B. Hasil Pelaksanaan Kegiatan 3-1 B.1. Teluk Bone 3-1 B.1.1 Metodologi 3-2 B.1.2 Hasil Simulasi Model 3 Dimensi Arus Barotropik 3-5 B.1.2.1 Sebaran Elevasi Muka Laut & Pola Arus

Permukaan 3-6

B.1.2.2 Profil Arus Di Teluk Bone 3-9 B.1.2.2.1 Profil Arus Pada Lintang Grid J=19

(Tg Siwa - Wawo) 3-9

B.1.2.2.2 Profil Arus Pada Lintang Grid J=33 (Muranti - Susua)

3-13

B.1.2.2.3 Profil Arus Pada Lintang J=39 (Suli -Tg Tabako) 3-15 B.1.2.2.4 Profil Arus Pada Lintang J=75 (Palopo-Lelewau) 3-18 B.1.3 Massa Air Teluk Bone 3-20 B.1.3.1 Temperatur 3-21 B.1.3.2 Salinitas 3-23 B.1.3.3 Densitas 3-26 B.1.4 Sebaran Nutrien Dan Klorofil Di Perairan

Kepulauan Sembilan 3-29

B.1.4.1 Nitrat 3-29 B.1.4.2 Fosfat 3-31 B.1.4.3 Khlorofil 3-34 B.1.5 Inventarisasi Terumbu Karang 3-35 B.1.5.1 Inventarisasi Terumbu Karang Di Kabupaten

Kolaka 3-35

B.1.5.1.1 Kondisi Karang 3-35 B.1.5.1.2 Invertebrata 3-39 B.1.5.2 Inventarisasi Terumbu Karang Kabupaten Sinjai 3-40 B.1.5.2.1 Kondisi Karang 3-40

Page 4: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - iii

B.1.5.2.2 Invertebrata 3-43 B.2. Teluk Lasongko 3-53 B.2.1 Metodologi 3-54 B.2.2 Kondisi Oseanografi Fisik & Kimiawi 3-55 B.2.3 Kondisi Mangrove 3-58 B.2.4 Kondisi Lamun 3-59 B.2.5 Kondisi Terumbu Karang 3-61 B.2.6 Kondisi Perikanan Tangkap 3-63 B.2.7 Kondisi Budidaya Laut 3-65 B.3. Hasil Diskusi 3-69 BAB IV PERMASALAHAN 4-1 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5-1 A. Kesimpulan 5-1 B. Saran 5-3 DAFTAR PUSTAKA DP-1

Page 5: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

3.1 Posisi Stasiun CTD pada Teluk Bone bagian selatan 3-3

3.2 Elevasi Pasang Surut di Teluk Bone 3-5

3.3 Profil Temperatur terhadap Kedalaman 3-22

3.4 Profil Salinitas terhadap Kedalaman 3-25

3.5 Profil Densitas terhadap Kedalaman 3-28

3.6 Grafik kadar nitrat di perairan Kep. Sembilan, Teluk Bone 3-30

3.7 Grafik kadar fosfat di perairan Pulau Sembilan, Teluk Bone 3-32

3.8 Grafik pengukuran klorofil di perairan Kep. Sembilan, Teluk Bone 3-34

3.9 Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 3 meter di Kolaka Stasiun1

3-36

3.10 Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 3 meter di Kolaka

Stasiun 2 3-37

3.11 Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 10 meter di Kolaka

Stasiun 2 3-38

3.12 Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 3 meter di Kep.

Sembilan Stasiun 1 3-40

3.13 Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 6 meter di Kep.

Sembilan Stasiun 3 3-41

3.14 Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 3 meter di Kep.

Sembilan Stasiun 3 3-42

3.15 Area model dan kondisi batimetri Teluk Bone 3-45

3.16 Pola arus permukaan & sebaran muka air laut di Teluk Bone pada

Kondisi Pasang Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut

3-46

3.17 Pola kecepatan & arah arus permukaan di Teluk Bone pada

Kondisi Pasang Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut

3-47

3.18 Profil arus potongan melintang Tg. Siwa – Wawo pada Kondisi

Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut

3-48

Page 6: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - v

3.19 Profil arus potongan melintang Tg. Siwa – Wawo pantai Timur (zoom area) pada Kondisi Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut

3-49

3.20 Profil arus potongan melintang Muranti – Susua pada Kondisi

Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut

3-50

3.21 Profil arus potongan melintang Suli – Tabako pada Kondisi

Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut

3-51

3.22 Profil arus potongan melintang Palopo – Lelewau saat air (a)

menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut 3-52

3.23 Peta Batimetri Teluk Lasongko (Sumber: Dishidros TNI-AL) 3-56

3.24 Batimetri Teluk Lasongko hasil Asimilasi data akuisisi Multibeam

Echosounder dan Digitasi Peta (Satuan Kedalaman: meter) 3-57

3.25 Mangrove di Teluk Lasongko 3-58

3.26 Contoh padang Lamun di Teluk Lasongko 3-59

3.27 Jenis Lamun Teluk Lasongko berturut-turut dari kiri atas ke kanan

(Enhalus acoroides, Thalassia hemprinchii, Cymodocea rotundata), dan kiri bawah ke kanan (Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Halodule universis)

3-60

3-61 3.28 Kondisi Terumbu Karang Teluk Lasongko

3.29 Jenis Pavona cactus (alga) dan Sinularia polydactyla

(karang lunak) 3-63

3.30 Rumput laut jenis Euchema Cottonii 3-66

3.31 Metode tali rentang untuk budidaya rumput laut 3-66

3.32 Karamba Jaring Apung 3-67

3.33 Karamba jaring tancap untuk pembesaran kerapu 3-68

3.34 Lobster jenis Mutiara yang cukup ekonomis 3-68

3.35 Cangkang hasil molting yang ke 8 kali

(kiri) dan tempat pembesaran Lobster (kanan) 3-68

4.1 Kapal Phinisi Cinta Laut sebagai Wahana dalam kegiatan riset ini 4-1

Page 7: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - vi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

3.1 Desain Model Hidrodinamika 3-4

3.2 Jumlah penduduk usia 10 tahun keatas berdasarkan mata pencaharian

3-54

3.3 Hasil terukur parameter fisik dan kimiawi perairan Teluk Lasongko 3-58

3.4 Kerapatan rata-rata tiap jenis lamun pada setiap stasiun penelitian 3-60

3.5 Hasil Analisa Ukuran Butir Pasir Substrat Di Setiap Stasiun

Penelitian 3-61

3.6 Jenis ikan yang tertangkap dengan alat jaring apung di Teluk

Lasongko 3-64

3.7 Jenis budidaya laut di Teluk Lasongko 3-65

Page 8: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - vii

KATA PENGANTAR

Kegiatan KAJIAN DAYA DUKUNG LAHAN LAUT DI PERAIRAN TELUK

BONE pada tahun 2004 ini, merupakan rangkaian dari kegiatan kajian dengan

tema yang sama yang sudah dimulai sejak tahun 2003 yang berlokasi di Selat

Sunda, Teluk Tomini, Teluk Saleh, dan Teluk Ekas. Kajian kali ini menghasilkan

penggambaran fenomena yang terjadi di perairan Teluk Bone pada periode

Monsun Tenggara (Bulan Agustus 2004). Selain itu juga dalam kegiatan ini

dilakukan survei di Teluk Lasongko yang bisa digunakan sebagai perairan

pembanding, dimana luasnya yang memang lebih kecil tetapi memiliki daya

dukung untuk budidaya laut yang cukup bagus.

Tidak ada satu angka mutlak yang dapat menunjukkan daya dukung

ekosistem dalam menampung semua kegiatan manusia, karena berbagai

variabel yang menentukan besarnya daya dukung ekosistem tersebut sangat

bervariasi dan selalu tergantung pada tingkat pemanfaatan yang dilakukan oleh

manusia sendiri.

Hasil yang diharapkan secara umum dalam kegiatan ini adalah

terwujudnya suatu kebijakan kelautan nasional untuk pengelolaan perairan yang

dikelola oleh pemerintah pusat dan daerah. Hasil ini juga diharapkan dapat

dimanfaatkan sebagai panduan (guidance) dalam pengelolaan kelautan nasional

dalam bentuk perencanaan wilayah pengelolaan laut (regional marine plan) yang

terpadu.

Jakarta, 20 Desember 2004

Dr. Tonny Wagey, M.Sc

Page 9: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 1-1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsep daya dukung (carrying capacity) perairan sebenarnya berakar

pada disiplin ilmu demografi, biologi dan ekologi terapan. Seidl dan Tisdel

(1999) melacak asal usul dari konsep ini dan menyatakan bahwa

sebenarnya konsep dasar dari daya dukung terkait dengan teori Malthus

yang menggambarkan pertumbuhan populasi manusia hanya dibatasi

oleh ketersediaan makanan. Selanjutnya konsep Malthus ini berkembang

dan menjadi dasar bidang-bidang ilmu seperti biologi populasi, demografi

dan ekologi terapan.

Berbagai definisi terhadap konsep daya dukung telah para ahli. Odum

(1959) mengatakan bahwa daya dukung dapat diartikan sebagai kondisi

maksimum suatu ekosistem untuk menampung komponen biotik yang

terkandung didalamnya. Diatas level daya dukung ini, tidak akan terjadi

peningkatan populasi yang berarti. Dalam ilmu ekologi terapan, hal ini

terkait dengan parameter K dari kurva pertumbuhan logistik (Logistic

Growth Curve).

Namun Dhont (1988) menyatakan bahwa kaitan tersebut “salah

kaprah” karena tidak memperhitungkan faktor lingkungan dan berbagai

faktor lainnya yang berperan di alam.

Dikatakan oleh Dhont (1988), konsep daya dukung yang realistik tidak

dapat dijelaskan hanya dengan kurva pertumbuhan logistic yang

mengabaikan sifat-sifat alami seperti:

a. adanya pergerakan spasial (migrasi) species dari waktu ke waktu, dan

b. sifat stokastik alam.

Dengan kata lain, kondisi suatu sumberdaya tertentu yang terdapat

pada suatu ekosistem alami seperti laut, akan bervariasi dari tahun ke

tahun yang dikarenakan adanya pengaruh faktor-faktor biotik dan abiotik

serta pengaruh antar species yang terdapat di dalam ekosistem tersebut.

Page 10: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 1-2

Apabila suatu suatu ekosistem telah mengalami gejala over-population,

maka akan sulit untuk ekosistem tersebut pulih kembali.

Selanjutnya, Cohen (1995) menyimpulkan bahwa tidak ada satu

angka mutlak yang dapat menunjukkan daya dukung ekosistem dalam

menampung semua kegiatan manusia, karena berbagai variable yang

menentukan besarnya daya dukung ekosistem tersebut sangat bervariasi

dan selalu tergantung pada tingkat pemanfaatan yang dilakukan oleh

manusia sendiri.

Selaras dengan salah satu tujuan strategis Departemen Kelautan dan

Perikanan yakni pemanfaataan sumberdaya perikanan dan kelautan yang

sesuai dengan daya dukung perairan, maka perlu untuk melakukan kajian

yang dapat memberikan gambaran secara ilmiah daya dukung perairan

guna menunjang kegiatan pembangunan perikanan dan kelautan. Hal ini

penting dilakukan mengingat informasi seperti ini mutlak diperlukan untuk

kelangsungan pembangunan perikanan dan kelautan di suatu wilayah.

Hasil kajian daya dukung akan berguna dalam penentuan opsi kebijakan

(policy option) yang diperlukan bagi pembuat kebijakan pengelolaan

sumberdaya perikanan dan kelautan, yakni departemen teknis seperti

DKP.

B. Maksud Dan Tujuan Tujuan secara umum dari kegiatan ini adalah untuk dapat mengetahui

hubungan antara daya dukung sumberdaya perikanan dengan variasi

kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap sumberdaya tersebut,

dengan sasaran:

• Tersedianya data daya dukung laut di kawasan perairan Teluk

Bone;

• Tersedianya peta zonasi pemanfaatan lahan laut di perairan

tersebut;

• Tersedianya panduan survei dan analisa spasial daya dukung

lahan

Page 11: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 1-3

C. Hasil Yang Diharapkan Hasil yang diharapkan secara umum dalam kegiatan ini adalah

terwujudnya suatu kebijakan kelautan nasional untuk pengelolaan

perairan yang dikelola oleh pemerintah pusat (12 mil s/d ZEE). Hasil ini

juga diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai panduan (guidance) dalam

pengelolaan kelautan nasional dalam bentuk perencanaan wilayah

pengelolaan laut (regional marine plan) yang terpadu.

Dengan demikian dampak dari kegiatan ini diharapkan mampu

menjadi “payung” dalam penyelesaian permasalahan lintas sektor,

perlindungan terhadap isu lingkungan dan pembangunan lestari sekaligus

menjadi instrument bagi Indonesia terhadap kewajiban-kewajiban

Internasional. Sedangkan hasil akhir yang diharapkan dari penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Report deskriptif kondisi wilayah penelitian.

2. Makalah yang siap dipublikasikan.

3. laporan akhir penelitian yang siap untuk dijadikan bahan

pertimbangan bagi para pengambil keputusan.

4. Peta batimetri Teluk Bone.

5. Informasi daya dukung lahan laut Teluk Bone.

D. Ruang Lingkup Adapun ruang lingkup kegiatan KAJIAN DAYA DUKUNG LAHAN

LAUT DI PERAIRAN TELUK BONE ini pada tahun 2004 adalah:

• Mengidentifikasi faktor-faktor biotik dan abiotik yang berkaitan dengan

daya dukung sumberdaya kelautan dan perikanan di lokasi studi

• Membuat model ekosistem dari lokasi yang dipelajari.

• Mengukur pengaruh dari parameter biotik dan abiotik utama seperti:

suhu, salinitas, kandungan Chlorophyll-a, nutrien, dan memodelkannya

ke dalam pemodelan hidrodinamika dan ekologi untuk melihat

pengaruh lainnya terhadap kegiatan ekonomis kelautan dan perikanan,

serta memetakan lokasi penelitian tersebut.

Page 12: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 1-4

• Melakukan pemetaan zonasi pemanfaatan lahan laut berdasarkan

pada:

a) Data hidrodinamika laut

b) Biodiversitas (keragaman hayati) perairan

c) Perikanan

d) Sosial ekonomi

Selanjutnya unsur-unsur komponen kegiatan penelitian kajian daya

dukung ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Pengukuran dan inventarisasi parameter pemetaan wilayah dan

hidrodinamika, meliputi:

a. Suhu, salinitas, peta batimetri, arus dan pola sirkulasi air, profil

kandungan unsur hara primer (NO3 dan PO4), pasang surut.

2. Keragaman hayati laut termasuk:

a. Jumlah (biomasa) dan komposisi spesies.

3. Aspek perikanan, meliputi:

a. Perikanan tangkap, termasuk didalamnya informasi: hasil

tangkapan (catch), usaha (effort),data kelimpahan ikan (jumlah

dan jenis) ikan ekonomis penting keperluan pendugaan stok

assessment perikanan (single-species stock assessment).

b. Perikanan Budidaya, Untuk mengetahui potensi kegiatan

perikanan budidaya di suatu wilayah, diperlukan informasi

seperti: tataguna lahan dan sifat-sifat fisik dan kimia air dan

lahan yang dianggap potensial untuk dikembangkan.

4. Aspek Sosial Ekonomi dan Pengolahan hasil perikanan, meliputi:

a. Penghasilan (income), jumlah penduduk, distribusi geografis

masyarakat nelayan tangkap dan budidaya.

Page 13: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 1-5

E. Anggaran Dan Kegiatan Adapun dana untuk kegiatan ini menurut Mata Anggaran Tahun

2004 adalah:

Uraian Tahun 2004 Bahan Rp. 24.500.000,00 Perjalanan Rp. 46.678.000,00 Lain-lain Rp. 194.950.000,00

Jumlah Rp. 266.128.000,00

Lokasi kajian yang dilakukan terletak di Teluk Bone dan Teluk

Lasongko, dengan jangka waktu pelaksanaan selama 6 bulan (180 hari

kalender kerja) terhitung sejak dikeluarkannya Surat Perintah Kerja (SPK)

dengan jadwal sebagai berikut :

Bulan ke-

Kegiatan 1 2 3 4 5 6 • Identifikasi masalah • Survai dan pengumpulan

data sekunder (hasil survey lapangan dan data satelit)

• Pengolahan dan analisis data

• Pemodelan Hidrodinamika • Verifikasi dan evaluasi hasil

model

• Penyusunan Laporan

Page 14: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 1-6

Untuk melaksanakan seluruh kegiatan di atas, dibutuhkan tenaga ahli

sebagai berikut : No. Tenaga Uraian Tugas Kualifikasi 1 Koordinator Tim

(Ahli Oseanografi Laut)

Team Leader bertanggung-jawab dalam mengkoordinasi kerja tim ahli secara keseluruhan dan pemantauan kemajuan teknis pelaksanaan kegiatan serta penyelesaian penyusunan laporan

S-3 Oseanografi dengan pengalaman kerja di bidang keahlian yang relevan ≥ 7 th, atau S-2 data oseanografi dengan pengalaman ≥ 10 tahun.

2 Ahli Analisis Data Mengolah data yang diukur beserta intepretasinya

S-2 Oseanografi/Teknik Kelautan yang berpengalaman dibidang pengolahan dan analisan data-data oseanografi ≥ 6 th.

3 Ahli Penginderaan Jauh

Interpretasi data satelit dan kaitannya dengan pola pergerakan pola penyebaran temperatur, salinitas dan densitas; upwelling; zona konvergensi dan front salinitas

S-2 Oseanografi/Teknik Geodesi/Geofisika yang berpengalaman di bidang penginderaan jauh ≥ 6 th.

4 Ahli Perikanan/Biologi Oseanografi

Mengumpulkan informasi tentang kondisi perikanan dan biodiversity, isu dan perangkat pengelolaannya

S-2 Perikanan yang berpengalaman di bidang perikanan tangkap ≥ 6 th.

5 Ahli Pemetaan/Tata Wilayah Laut

Mengumpulkan data dan permasalahan wilayah laut, dan menyusun pembagian wilayah pengelolaan kelautan

S-2 Geografi/Geodesi yang berpengalaman di bidangnya ≥ 6 tahun

6 Ahli Biologi Laut/ Lingkungan

Mengkaji masalah lingkungan, ekosistem laut dan manajemen pengelolaannya

S-2 Biologi Laut yang berpengalaman di bidang ekosistem kelautan ≥ 6 th.

7 Ahli Oseanografi Mengkaji pola pergerakan, kondisi oseanigrafi serta pemodelan oseanografi

S-2 Oseanografi yang berpengalaman di bidangnya ≥ 6 th.

8 Asisten Ahli Oseanografi

Membantu tugas ahli oseanografi S-1 Oseanografi yang berpengalaman di bidang yang relevan ≥ 3 th

9 Asisten Ahli Tata Wilayah Laut

Membantu tugas ahli model numerik dinamika laut /GIS

S-1 Oseanografi yang berpengalaman di bidang pemodelan numerik dinamika laut ≥ 3 th

10 Asisten Ahli Perikanan Budidaya

Membantu tugas ahli perikanan tangkap

S-1 Perikanan yang berpengalaman di bidang perikanan budidaya ≥ 3 th

11 Asisten Ahli Biologi Laut

Membantu tugas ahli biologi laut S-1 Biologi yang berpengalaman di bidang yang relevan ≥ 3 th

12 Sekretaris/Juru Ketik

Melakukan pekerjaan administrasi

-

13 Pesuruh Membantu tugas sekertaris -

Page 15: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 2-1

BAB II PENGELOLAAN PROYEK

A. Organisasi dan Personil Adapun secara organisasi kegiatan ini dilakukan oleh Pusat Riset Wilayah

Laut dan Sumberdaya Non-hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan,

Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, dengan personil

sebagai berikut:

Ketua Tim : 1. Dr. Tonny Wagey, M.Sc (Ahli Oseanografi Perikanan) Pelaksana : 2. Drs. Andjar Suparman, M.M (Ahli Tata Wilayah) 3. Widodo S. Pranowo, M.Si (Ahli Analisis Data Oseanografi) 4. A. Rita Tisiana DK, M.T. (Ahli Oseanografi) 5. Andreas Hutahaean, M.Sc (Ahli Biologi/Lingkungan Laut) 6. Bagus Hendrajana, M.Sc (Ahli Instrumen Oseanografi) 7. Gunardi Kusumah, ST (Ahli Pemetaan) 8. Eva Mustikasari, S.Si (Ass. Ahli Analisis Data) 9. Hari Prihatno, ST (Ass. Ahli Oseanografi &

Administrasi) 10. Hariyanto Triwibowo, ST (Ass. Ahli Instrumen Oseanografi) 11. Restu Nur Afiati, S.ST.Pi (Ass. Ahli Biologi Laut) 12. Rizki Anggoro Adi, ST (Ass. Ahli Pemetaan) 13. Sari Novita Peneliti Mahasiswa B. Keuangan Adapun perincian keuangan dalam kegiatan ini yang telah diserap adalah

sebesar 73,25 %, dan 26,75% yang belum terserap, dengan rincian sebagai

berikut:

Uraian Anggaran Penggunaan

Bahan Rp. 24.500.000,00 Rp. 24.500.000,00 Perjalanan Rp. 46.678.000,00 Rp. 46.678.000,00 Lain-lain Rp. 194.950.000,00 Rp. 123.772.000,00

Jumlah Rp. 266.128.000,00 Rp. 194.950.000,00

Page 16: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-1

BAB III PELASANAAN KEGIATAN

A. Dasar Pelaksanaan Kegiatan Adapun dasar pelaksanaan kegiatan ini adalah KERANGKA ACUAN

KERJA (KAK) KAJIAN DAYA DUKUNG LAHAN LAUT DI PERAIRAN TELUK

BONE, tahun 2004.

B. Hasil Pelaksanaan Kegiatan Adapun hasil pelaksanaan kegiatan meliputi hasil riset pada 2 lokasi

penelitian sesaui dengan yang tercantum di dalam KAK (Kerangka Acuan Kerja),

yaitu Teluk Bone dan Teluk Lasongko. Dimana Teluk Bone merupakan teluk

dengan area yang luas, sedangkan area yang kecil diwakili oleh Teluk Lasongko.

B.1. Teluk Bone Perairan Teluk Bone Secara administratif terletak di Propinsi Sulawesi

Selatan (di sebelah barat dan utara) dan Propinsi Sulawesi Tenggara (di sebelah

timur). Wilayah administratif dari Propinsi Sulawesi Selatan yang berbatasan

perairan Teluk Bone adalah Kabupaten Bulukumba, Kab. Sinjai, Kab. Bone, Kab.

Wajo, Kab. Luwuk, Kodya Polopo, Kab. Luwuk Utara, Kab. Luwuk Timur.

Sedangkan wilayah administratif di Propinsi Sulawesi Tenggara yang berbatasan

dengan perairan Teluk Bone adalah Kabupaten Bombana dan Kab. Kolaka. Laut

Flores adalah batas sebelah selatan dari perairan Teluk Bone.

Teluk Bone dicirikan sebagai tempat bermuaranya Sungai Cenrana.

Secara geografis Sungai Cenrana menjadi muara dari sejumlah sungai besar

dan kecil di Sulawesi Selatan. Dimana air dari Sungai Cenrana ini kemudian

mengalir ke Teluk Bone.

Riset yang dilakukan pada tahap ini adalah mengumpulkan komponen

sumberdaya hayati dan non-hayati, yang pada tahap selanjutnya akan dilakukan

Page 17: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-2

perhitungan mengenai seberapa besar daya dukung lingkungan yang ada di

perairan Teluk Bone.

B.1.1 Metodologi Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji kondisi oseanografi fisik

perairan Teluk bone adalah:

1. Pengukuran parameter CTD (Conductivity, Temperature, Depth) secara in

situ pada cakupan area perairan Teluk Bone bagian Selatan.

2. Pemodelan numerik arus dan muka laut secara 3 dimensi menggunakan

3DD Suite Software Model (Black, 2002), dimana daerah yang menjadi

domain model adalah perairan Teluk Bone bagian Utara.

Simulasi arus dilakukan selama 10 hari (1 – 10 Agustus 2004). Domain model

yang disimulasikan tidak mencakup seluruh titik-titik lokasi pengukuran

parameter CTD. Dimana luasan area yang menjadi domain model adalah

2º45’00”– 3º50’00” LU dan 120º10’00” – 121º20’00” BT, atau sebagai batas

selatan domain model adalah sekitar pesisir Wulu dan Tanjung Lakoloko (lihat

Gambar 3.15). Desain model hidrodinamika secara detail dapat dilihat pada

Tabel 3.1. Hasil simulasi arus ditampilkan dalam bentuk 3 dimensi, dimana

selain ditampilkan pola arus permukaan dan sebaran elevasi muka laut,

ditampilkan juga beberapa profil arus di beberapa penampang melintang yaitu

pada lintang grid J=19, J=33, J=39, dan J=75 (lihat Gambar 3.15). Sedangkan

pengukuran parameter CTD dilakukan sesaat pada periode waktu yang sama

juga dengan simulasi waktu pemodelan (1 – 10 Agustus 2004) mencakup daerah

sekitar 3º29’00”– 4º30’00” LU dan 120º10’00” – 121º40’00” BT (lihat Gambar 3.1).

Page 18: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-3

Gambar 3.1. Posisi Stasiun CTD pada Teluk Bone bagian selatan

Page 19: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-4

Tabel 3.1. Desain Model Hidrodinamika

No Parameter Harga Satuan 1 X Grid Size 100 meter 2 Y Grid Size 100 meter 3 Number of X (I) 100 cells 4 Number of Y (J) 100 cells 5 Time step 0,45 detik 6 First time step 1 7 Last time step 1700000 detik 8 Roughness length 1 m 9 Effective depth 0,3 m 10 Drying height 0,05 m 11 Initial sea level 99 Set by model 12 Latitude in the centre of the grid -3,5 derajat 13 Orientation of the grid relative to true north 0 derajat 14 Horizontal eddy viscosity (uniform and constant) 3 15 Horizontal eddy viscosity multiplication factor 1 16 Number of horizontal eddy viscosity multiplying steps 1 17 Coastal slip 95 % 18 Non-linear term treatment 0-none; 4-third order 4 19 Wind speed (uniform And constant) 2,08 m/detik 20 Wind direction (uniform And constant) 116 derajat 21 Barometric pressure 0 22 Vertical eddy viscosity type Mixing #1

Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji kondisi oseanografi biologi

perairan Teluk bone adalah:

1. Pengambilan dan analisa laboratorium dari contoh air, untuk diketahui

kandungan nutrien (Nitrat dan Fosfat) dan Khlorofil.

2. Inventarisasi potensi sumberdaya terumbu karang menggunakan metode

(English, et al., 1997): Transek Garis (Line Intercept Transect),

Pengambilan Contoh secara Bebas (Free Sampling), dan RRA (Rapid

Reef Resource Assesment).

Pengambilan contoh air dilakukan bersamaan dengan dilakukannya pengukuran

parameter CTD (lihat Gambar 3.1), sedangkan inventarisasi terumbu karang

dilakukan pada perairan Kabupaten Kolaka (Propinsi Sulawesi Tenggara) dan

Kab. Sinjai (Propinsi Sulawesi Selatan). Penentuan kadar Khlorofil adalah

menggunakan Metode Parsons, et al (1984).

Page 20: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-5

B.1.2 Hasil Simulasi Model 3 Dimensi Arus Barotropik Berdasarkan hasil ramalan menggunakan ORITIDE (Global Tide Model)

yang dibangun oleh Ocean Research Institute, University of Tokyo dimana

melibatkan 8 komponen pasut utama (M2, S2, N2, K2, K1, O1, P1, dan Q1),

terlihat pola elevasi pasang surut (lihat Gambar 3.2) di perairan Teluk Bone

adalah bertipe Campuran cenderung ke Harian Ganda (Mixed Tide Prevailing

Semidiurnal), dimana dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air

surut, tetapi tinggi dan periodenya berbeda, dan jika dinyatakan dalam kisaran

nilai Formzahl adalah sebesar 0,25 < F < 1,50 (Wyrtki,1961).

Tide of Point reference for Bone Bay(August 1 [00:00 WITA] - 10 [20:00 WITA], 2004)

0

0.5

1

1.5

2

2.5

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200Hours

Hei

ght (

met

ers)

Gambar 3.2. Elevasi Pasang Surut di Teluk Bone

Sedangkan hasil simulasi pemodelan 3 dimensi barotropik yang melibatkan

angin dengan kekuatan dan arahnya yang konstan selama 10 hari pertama di

bulan Agustus 2004 adalah sebagai berikut:

Page 21: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-6

B.1.2.1 Sebaran Elevasi Muka Laut & Pola Arus Permukaan Pada saat air menjelang pasang pada kondisi Purnama, ketinggian

elevasi permukaan laut berkisar 1,8200 meter hingga 1,8310 meter diatas muka

laut rata-rata, dengan elevasi tertinggi ada di Teluk Usu, dan terendah ada di

sepanjang pesisir Wawo hingga Wulu (lihat Gambar 3.16.a). Sehingga pola

sirkulasi arus yang terjadi adalah sebagai berikut (lihat Gambar 3.17.a):

Kecepatan arus antara 1,5x10-3 m/dt hingga 12,25x10-3 m/dt dengan kecepatan

terbesar di bagian selatan dari teluk. Kecepatan arus berkurang ketika menuju ke

bagian tengah dari teluk, tetapi kemudian terjadi peningkatan intensitas

kecepatan menjadi 6 x10-3 m/dt hingga 8x10-3 m/dt akibat perubahan slope

batimetri di sekitar Karang Lamunre, Karang Bali, dan Tanjung Tabako.

Intensitas kecepatan kembali berkurang ketika melewati sekitar Karang Naber,

Karang Bron dan Tanjung Batikala. Sedangkan pola arus yang terjadi secara

umum adalah: Arus berasal dari bagian selatan dari teluk (mulut) bergerak ke

Baratlaut, arus dari pesisir Wulu bergerak menyusur pantai timur hingga Tanjung

Tabako kemudian berbelok ke Barat menuju pantai Barat sekitar pesisir Muranti,

yang kemudian bergabung dengan arus susur pantai Barat yang bergerak dari

bagian selatan dari teluk (sekitar Tanjung Lakalolo) menuju ke Utara menyusur

menuju Pesisir Karangkarangan dan Palopo. Sebagian arus yang bergerak dari

Tanjung Tabako menyusuri sepanjang pesisir pantai timur dan pesisir utara

kemudian berbelok menuju Baratdaya ke arah pesisir Palopo. Jika meninjau

lebih detail di sekitar Tanjung Batikala dan Teluk Usu, arus susur pantai timur

ketika sampai di Tanjung Batikala akan terbagi menjadi 2 pola aliran, pola utama

akan berbelok ke Baratlaut menuju pesisir utara (antara pesisir Bubu dan

Saluana), sedangkan pola aliran yang lain akan menyusuri Teluk Usu baru

kemudian bergerak menyusuri pesisir Bubu untuk bergabung lagi dengan arus

susur pantai utara.

Pada saat air pasang pada kondisi Purnama, ketinggian elevasi

permukaan laut berkisar 2,4065 meter hingga 2,4140 meter diatas muka laut

rata-rata, dengan elevasi tertinggi ada di sepanjang pesisir Wawo hingga Wulu,

dan terendah ada di Teluk Usu (lihat Gambar 3.17.b). Sehingga pola sirkulasi

Page 22: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-7

arus yang terjadi adalah sebagai berikut (lihat Gambar 3.18.b): Kecepatan arus

antara 0,5x10-3 m/dt hingga 9,5x10-3 m/dt dengan kecepatan terbesar di bagian

selatan dari teluk. Kisaran tersebut lebih rendah dibandingkan kisaran kecepatan

arus pada saat menjelang pasang. Secara umum kecepatan berkurang dari

9,5x10-3 m/dt menjadi sekitar 7.5 x10-3 m/dt ketika menuju ke bagian tengah dari

teluk ketika mendekati Karang Bali dan sejajar dengan pesisir Lahou, dan

semakin menurun intensitasnya menjadi 6x10-3 m/dt hingga 4,5x10-3 m/dt ketika

mendekati pesisir utara. Intensitas kecepatan rendah (3,5x10-3 m/dt hingga

0,5x10-3 m/dt) terlihat di bagian barat dari teluk mencakup area sekitar Karang

Lamunre, Karang Naber, Karang Bron hingga pesisir Muranti dan pesisir

Mandalinga (termasuk pesisir Karangkarangan dan Palopo), begitu juga kisaran

kecepatan di Teluk Usu. Sedangkan secara umum pola arus yang bergerak

adalah sama dengan yang terjadi pada saat air menjelang pasang.

Pada saat air menjelang surut pada kondisi Purnama, ketinggian elevasi

permukaan laut berkisar 1,0770 meter hingga 1,0832 meter diatas muka laut

rata-rata, dengan elevasi tertinggi ada di Teluk Usu, dan terendah ada di

Tanjung Lokoloko dan di sepanjang pesisir Wawo hingga Wulu. Sedangkan

sinyal elevasi muka laut yang tinggi (sekitar 1,0825 meter) tampak muncul di

sekitar pesisir Palopo tetapi hanya seluas 20 km2 (lihat Gambar 3.17.c).

Sehingga pola sirkulasi arus yang terjadi adalah sebagai berikut (lihat Gambar 3.18.c): Kecepatan arus antara 0,5x10-3 m/dt hingga 10,5x10-3 m/dt dengan

kecepatan terbesar di bagian selatan dari teluk. Kecepatan arus berkurang ketika

menuju ke bagian tengah dari teluk, tetapi kemudian terjadi peningkatan

intensitas kecepatan menjadi 8 x10-3 m/dt hingga 10x10-3 m/dt akibat perubahan

slope batimetri di sekitar Karang Naber dan Karang Bali hingga sedikit ke arah

utara di tengah teluk yang sejajar dengan Tanjung Batikala. Intensitas kecepatan

kembali berkurang menjadi 4 x10-3 m/dt hingga 0,5x10-3 m/dt ketika mendekati

pesisir utara, pesisir Karangkarangan, pesisir Palopo, pesisir Tanjung Tolala, dan

Teluk Usu. Kisaran tersebut sedikit lebih rendah dibandingkan kisaran kecepatan

arus pada saat menjelang pasang, dan sedikit lebih tinggi dibandingkan kisaran

arus pada saat surut. Sedangkan pola arus yang terjadi secara umum adalah:

Page 23: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-8

Arus bergerak meninggalkan bagian utara dari teluk menuju ke selatan dari teluk,

tetapi ada sedikit arus yang bergerak dari pesisir Wulu lurus menuju ke pesisir

Barat. Secara lebih detail: Arus meninggalkan Teluk Usu sebagian menyusur

pesisir utara baru kemudian bergabung dengan arus yang meninggalkan pesisir

Palopo dan Karangkarangan, dan sebagian lagi langsung bergerak ke

Baratdaya. Arus-arus tersebut kemudian akan bertemu dengan pola arus yang

bergerak ke Barat yang meninggalkan sepanjang pesisir timur yang dimulai dari

Teluk Usu hingga pesisir Susua. Sedangkan arus yang meninggalkan pesisir

Labuandata hingga pesisir Wawo dan sekitarnya kembali bergerak menuju

Baratdaya keluar dari mulut Teluk.

Pada saat air surut pada kondisi Purnama, ketinggian elevasi permukaan

laut berkisar 0,0492 meter hingga 0,0525 meter diatas muka laut rata-rata,

dengan elevasi tertinggi ada di pesisir Palopo, dan terendah ada di dareah

antara Tanjung Batikala dan Tanjung Tolala. Sedangkan sinyal elevasi muka laut

yang tinggi (sekitar 0,0522 meter hingga 0,0525 meter) tampak muncul di

sepanjang pesisir Wulu hingga pesisir Wawo dengan luasan sekitar 920 km2

(lihat Gambar 3.17.d). Sehingga pola sirkulasi arus yang terjadi adalah sebagai

berikut (lihat Gambar 3.18.d): Kecepatan arus antara 0,5x10-3 m/dt hingga

10x10-3 m/dt dengan kecepatan terbesar di bagian selatan dari teluk. Kisaran

kecepatan tersebut sedikit lebih rendah dibandingkan kisaran pada saat

menjelang surut dan sedikit lebih tinggi dibandingkan kisaran pada saat pasang.

Secara umum kecepatan berkurang dari 10x10-3 m/dt menjadi sekitar 8x10-3 m/dt

ketika menuju ke bagian tengah dari teluk ketika mendekati Karang Bali dan

sejajar dengan pesisir Pakowe, dan semakin menurun intensitasnya menjadi

6,5x10-3 m/dt hingga 3,5x10-3 m/dt ketika mendekati pesisir utara, dan pesisir

timur mulai dari pesisir Lahou hingga Tanjung Batikala. Intensitas kecepatan

rendah (3,5x10-3 m/dt hingga 0,5x10-3 m/dt) terlihat di bagian barat dari teluk

mencakup area sekitar Karang Lamunre, Karang Naber, Karang Bron hingga

pesisir Muranti dan pesisir Mandalinga (termasuk pesisir Karangkarangan dan

Palopo), begitu juga kisaran kecepatan di Teluk Usu. Sedangkan pola arus yang

terjadi secara umum adalah: Arus bergerak meninggalkan pesisir timur menuju

Page 24: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-9

ke pesisir barat dari teluk, kemudian arus tersebut bergabung dengan arus susur

pantai barat menuju ke utara yang bergerak dari Tanjung Lokoloko menuju

Tanjung Jene yang kemudian menyusur menuju pesisir Palopo. Arus dari pesisir

timur yang kemudian menyusuri pesisir utara juga bergerak menuju ke arah

pesisir Palopo.

B.1.2.2 Profil Arus Di Teluk Bone Dalam simulasi model arus 3 dimensi barotropik ini upwelling ditinjau dari

parameter arus vertikal yang bergerak dari kedalaman tertentu menuju ke

lapisan yang lebih dangkal/permukaan. Hasil simulasi juga menunjukkan adanya

fenomena arus sinking/downwelling di sekitar perairan Teluk Bone, tetapi dengan

kecepatan yang tidak begitu signifikan. Fenomena upwelling di perairan Teluk

Bone terjadi akibat adanya Ekman Transport yang menarik massa air permukaan

menuju ke Barat dari pantai timur Teluk Bone sehingga massa air dari lapisan di

bawahnya naik ke permukaan untuk mengisi kekosongan tersebut. Ekman

transport yang terjadi diakibatkan oleh angin Tenggara sebagai wind-driven

current, dimana Ekman transport yang dibangkitkan oleh angin memiliki

kecepatan maksimum di permukaan dan kecepatan tersebut akan berkurang

terhadap kedalaman, kemudian karena arus terkuat ke arah kiri dari arah angin

maka dapat dinyatakan bahwa net transport akan ke arah kiri dari arah angin

(Pond dan Pickard, 1995).

B.1.2.2.1 Profil Arus Pada Lintang Grid J=19 (Tg Siwa - Wawo) Pada saat menjelang pasang, kondisi Purnama secara umum kecepatan

arus vertikal pada lintang grid j=19 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt

hingga 10,2x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada

pada kisaran 4 x10-3 m/dt hingga 10,2x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan

berikutnya yaitu hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1,5 x10-3 m/dt

hingga 6 x10-3 m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah

Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai

(lihat Gambar 3.19.a). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60

Page 25: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-10

meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan. Hasil simulasi

memperlihatkan dengan jelas adanya peristiwa downwelling di pantai barat pada

kedalaman antara 60 meter, arus vertikal tersebut menuju ke bawah hingga

mencapai lapisan kolom air terbawah (300 meter) dengan kecepatan arus antara

2,2x10-3 m/dt sampai dengan 3,6x10-3 m/dt. Peristiwa downwelling kuat terlihat

pada jarak sekitar 1 kilometer dari pantai barat dengan kisaran 3,6x10-3 m/dt

sampai dengan 4,3x10-3 m/dt, dimana mulai terjadi dari kedalaman 60 meter

menuju ke kedalaman 200 meter hingga 300 meter. Peristiwa front arus terlihat

pada jarak sekitar 2 kilometer dari pantai barat, dimana terjadi pertemuan antara

kolom arus upwelling dan kolom arus downwelling, dimana arus vertikal menuju

ke atas tersebut mulai terjadi dari kedalaman sekitar 200 meter menuju

kedalaman 60 meter dengan kecepatan berkisar 3 x10-3 m/dt hingga 3,5 x10-3

m/dt. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas juga terjadi pada jarak sekitar 2,7

kilometer dari pantai timur, yang terjadi pada kedalaman sekitar 140 meter

menuju ke kedalaman 75 meter dengan kekuatan yang sangat kecil. Peristiwa

upwelling juga terjadi diatas basin kecil yang berjarak sekitar 1 kilometer dari

pantai timur, dengan kecepatan arus vertikal ke atas sekitar 1x10-3 m/dt hingga

3,5 x10-3 m/dt (lihat Gambar 3.20.a).

Pada saat pasang, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal

pada lintang grid j=19 umumnya berkisar antara 0,5 x10-3 m/dt hingga 8,2x10-3

m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran 2,1

x10-3 m/dt hingga 8,2x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan berikutnya yaitu hingga

kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 0,8x10-3 m/dt hingga 4,8x10-3 m/dt, arah

arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan

semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.19.b).

Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 meter hingga ke lapisan

kolom air yang mendekati dasar perairan. Hasil simulasi memperlihatkan dengan

jelas adanya peristiwa downwelling di pantai barat pada kedalaman antara 60

meter, arus vertikal tersebut menuju ke bawah hingga mencapai lapisan kolom

air terbawah (300 meter) dengan kecepatan arus antara 0,8x10-3 m/dt sampai

dengan 2,5x10-3 m/dt. Peristiwa upwelling kuat pada periode ini terlihat pada

Page 26: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-11

jarak sekitar 1 kilometer dari pantai barat dengan kisaran 1,8x10-3 m/dt sampai

dengan 2,8x10-3 m/dt, dimana mulai terjadi dari kedalaman 280 meter hingga

250 meter menuju ke kedalaman 60 meter. Peristiwa front arus terlihat pada

jarak sekitar 2 kilometer dari pantai barat, dimana terjadi pertemuan antara

kolom arus upwelling dan kolom arus downwelling, dimana arus vertikal menuju

ke bawah tersebut mulai terjadi dari kedalaman sekitar 75 meter menuju

kedalaman 350 meter dengan kecepatan berkisar 1x10-3 m/dt hingga 1,2x10-3

m/dt. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas juga terjadi pada jarak sekitar 2

kilometer dari pantai timur, yang terjadi pada kedalaman sekitar 200 meter

menuju ke kedalaman 60 meter dengan kekuatan yang lebih kecil. Peristiwa

upwelling juga terjadi diatas basin kecil yang berjarak sekitar 5 meter dari pantai

timur, dengan kecepatan arus vertikal ke atas sekitar 1x10-3 m/dt hingga 1,4 x10-

3 m/dt (lihat Gambar 3.20.b).

Pada saat menjelang surut, kondisi Purnama secara umum kecepatan

arus vertikal pada lintang grid j=19 umumnya berkisar antara 0,5 x10-3 m/dt

hingga 9,8x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada

pada kisaran 0,8x10-3 m/dt hingga 9,8x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan

berikutnya yaitu hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1,5 x10-3 m/dt

hingga 6,8 x10-3 m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah

Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai

(lihat Gambar 3.19.c). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60

meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan. Hasil simulasi

memperlihatkan dengan jelas adanya peristiwa downwelling di pantai barat pada

kedalaman antara 60 meter, arus vertikal tersebut menuju ke bawah hingga

mencapai lapisan kolom air terbawah (250 meter) dengan kecepatan arus antara

2,6x10-3 m/dt sampai dengan 3,6x10-3 m/dt. Peristiwa upwelling kuat terlihat pada

jarak sekitar 1 kilometer dari pantai barat dengan kisaran 6x10-3 m/dt sampai

dengan 7,6x10-3 m/dt, dimana mulai terjadi dari kedalaman 275 meter hingga

250 menuju ke kedalaman 60 meter. Peristiwa front arus terlihat pada jarak

sekitar 2 kilometer dari pantai barat, dimana terjadi pertemuan antara kolom arus

upwelling dan kolom arus downwelling, dimana arus vertikal menuju ke bawah

Page 27: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-12

tersebut mulai terjadi dari kedalaman sekitar 75 meter menuju kedalaman 180

meter dengan kecepatan berkisar 4,4 x10-3 m/dt hingga 4,6 x10-3 m/dt. Peristiwa

arus vertikal menuju ke atas juga terjadi pada jarak sekitar 2,7 kilometer dari

pantai timur, yang terjadi pada kedalaman sekitar 325 meter menuju ke

kedalaman 60 meter dengan kekuatan yang lebih kecil. Peristiwa upwelling juga

terjadi diatas basin kecil yang berjarak sekitar 500 meter dari pantai timur,

dengan kecepatan arus vertikal ke atas sekitar 0,6x10-3 m/dt hingga 0,8 x10-3

m/dt (lihat Gambar 3.20.c).

Pada saat surut, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal

pada lintang grid j=19 umumnya berkisar antara 0,5 x10-3 m/dt hingga 8,8x10-3

m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran 2

x10-3 m/dt hingga 8,8x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan berikutnya yaitu hingga

kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1x10-3 m/dt hingga 3x10-3 m/dt, arah

arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan

semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat 3.19.d). Dinamika

arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 meter hingga ke lapisan kolom air

yang mendekati dasar perairan. Hasil simulasi memperlihatkan dengan jelas

adanya peristiwa downwelling di pantai barat pada kedalaman antara 60 meter,

arus vertikal tersebut menuju ke bawah hingga mencapai lapisan kolom air

terbawah (300 meter) dengan kecepatan arus antara 0,8x10-3 m/dt sampai

dengan 3,2x10-3 m/dt. Peristiwa downwelling kuat terlihat pada jarak sekitar 1

kilometer dari pantai barat dimana mulai terjadi dari kedalaman 60 meter menuju

ke kedalaman 200 meter hingga 300 meter. Peristiwa arus vertikal menuju ke

atas juga terjadi pada jarak sekitar 2,7 kilometer dari pantai timur, yang terjadi

pada kedalaman sekitar 200 meter menuju ke kedalaman 60 meter dengan

kekuatan yang sangat kecil. Peristiwa upwelling juga terjadi diatas basin kecil

yang berjarak sekitar 1 kilometer dari pantai timur, dengan kecepatan arus

vertikal ke atas sekitar 0,5x10-3 m/dt hingga 0,8 x10-3 m/dt (lihat Gambar 3.20.d).

Page 28: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-13

B.1.2.2.2 Profil Arus Pada Lintang Grid J=33 (Muranti - Susua) Pada saat menjelang pasang, kondisi Purnama secara umum kecepatan

arus vertikal pada lintang grid j=33 umumnya berkisar antara 1x10-3 m/dt hingga

7,5x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada

kisaran 3x10-3 m/dt hingga 7,5x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan berikutnya

yaitu hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1,8x10-3 m/dt hingga 3,4

x10-3 m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat,

dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat

Gambar 3.21.a). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 meter

hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (1000 meter). Hasil

simulasi memperlihatkan dengan jelas adanya peristiwa downwelling di pantai

barat pada kedalaman antara 60 meter, arus vertikal tersebut menuju ke bawah

hingga mencapai kedalaman 200 meter dengan kecepatan arus antara 1,6x10-3

m/dt sampai dengan 2x10-3 m/dt. Peristiwa downwelling juga terlihat pada jarak

sekitar 1,2 kilometer dari pantai barat dengan kisaran 3,6x10-3 m/dt sampai

dengan 4,3x10-3 m/dt, dimana mulai terjadi dari kedalaman 410 meter menuju ke

kedalaman 600 meter hingga 800 meter. Peristiwa front arus tidak terlihat pada

kolom air ini. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas terjadi pada jarak sekitar 800

meter dari pantai timur, yang terjadi pada kedalaman sekitar 200 meter menuju

ke kedalaman 60 meter dengan kekuatan sekitar 1,8x10-3 m/dt hingga 2,4 x10-3

m/dt. Peristiwa arus vertikal ke atas juga terjadi pada kedalaman 680 meter

menuju ke kedalaman 630 meter dengan kecepatan sekitar 1,2x10-3 m/dt hingga

1,4 x10-3 m/dt.

Pada saat pasang, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal

pada lintang grid j=33 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt hingga 7,8x10-3

m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran

2,8x10-3 m/dt hingga 7,8x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan berikutnya yaitu

hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1,5x10-3 m/dt hingga 3,6 x10-3

m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana

kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.21.b). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 meter hingga

Page 29: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-14

ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (1000 meter). Hasil simulasi

memperlihatkan dengan jelas adanya peristiwa downwelling di pantai barat pada

kedalaman antara 60 meter, arus vertikal tersebut menuju ke bawah hingga

mencapai kedalaman 700 meter dengan kecepatan arus antara 0,5x10-3 m/dt

sampai dengan 1,4x10-3 m/dt. Peristiwa downwelling terlihat berintensitas kuat

pada periode ini pada kedalaman 60 meter hingga 230 meter dilanjutkan dengan

intensitas menengah hingga kedalaman 430 meter, sedangkan intensitas rendah

hingga 700 meter. Peristiwa front arus tidak terlihat pada kolom air ini. Peristiwa

arus vertikal menuju ke atas (upwelling) terjadi di pantai timur pada kedalaman

sekitar 720 meter menuju ke kedalaman 60 meter dengan kekuatan sekitar

1,8x10-3 m/dt hingga 2,4 x10-3 m/dt, dimana intensitas yang kuat terlihat dimulai

dari kedalaman 200 meter menuju ke atas.

Pada saat menjelang surut, kondisi Purnama secara umum kecepatan

arus vertikal pada lintang grid j=33 umumnya berkisar antara 0,8x10-3 m/dt

hingga 8,6x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada

pada kisaran 2x10-3 m/dt hingga 8,6x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan

berikutnya yaitu hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 2,6x10-3 m/dt

hingga 4,6 x10-3 m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah

Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai

(lihat Gambar 3.21.c). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60

meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (1000 meter).

Hasil simulasi memperlihatkan dengan jelas adanya peristiwa downwelling di

pantai barat pada kedalaman antara 60 meter, arus vertikal tersebut menuju ke

bawah hingga mencapai kedalaman 750 meter dengan kecepatan arus antara

2x10-3 m/dt sampai dengan 2,4x10-3 m/dt. Peristiwa downwelling terlihat

berintensitas kuat pada periode ini pada kedalaman 60 meter hingga 290 meter

dilanjutkan dengan intensitas menengah hingga kedalaman 490 meter,

sedangkan intensitas rendah hingga 750 meter. Peristiwa front arus tidak terlihat

pada kolom air ini. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas (upwelling) terjadi di

pantai timur pada kedalaman sekitar 780 meter menuju ke kedalaman 60 meter

Page 30: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-15

dengan kekuatan sekitar 2,6x10-3 m/dt hingga 3,2 x10-3 m/dt, dimana intensitas

dari lapisan terbawah sudah terlihat kuat ketika menuju ke atas.

Pada saat surut, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal

pada lintang grid j=33 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt hingga 8,4x10-3

m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran

1,8x10-3 m/dt hingga 8,4x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan berikutnya yaitu

hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1,6x10-3 m/dt hingga 3,8 x10-3

m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana

kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.21.d). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 meter hingga

ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (1000 meter). Hasil simulasi

memperlihatkan dengan jelas adanya peristiwa downwelling di pantai barat pada

kedalaman antara 60 meter, arus vertikal tersebut menuju ke bawah hingga

mencapai kedalaman 430 meter dengan kecepatan arus antara 1,8x10-3 m/dt

sampai dengan 2,4x10-3 m/dt. Peristiwa downwelling juga terlihat berintensitas

sangat kecil pada periode ini di pantai sisi timur pada kedalaman 620 meter

hingga 640 meter. Pertemuan arus vertikal keatas dan kebawah terlihat di

lapisan kolom air pada kedalaman sekitar 700 meter di sisi timur tetapi dengan

intensitas kekuatan yang sangat kecil. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas

(upwelling) terjadi di pantai timur pada kedalaman sekitar 430 meter menuju ke

kedalaman 60 meter dengan kekuatan sekitar 1,4x10-3 m/dt hingga 2,6 x10-3

m/dt.

B.1.2.2.3 Profil Arus Pada Lintang J=39 (Suli -Tg Tabako) Pada saat menjelang pasang, kondisi Purnama secara umum kecepatan

arus vertikal pada lintang grid j=39 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt

hingga 7,5x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada

pada kisaran 0,5x10-3 m/dt hingga 7,5x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan

berikutnya yaitu hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1,8x10-3 m/dt

hingga 3,5 x10-3 m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah

Page 31: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-16

Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai

(lihat Gambar 3.22.a). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60

meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (1198 meter).

Hasil simulasi memperlihatkan peristiwa arus vertikal, sudut arah-nya terhadap

garis permukaan air kurang begitu tajam (tidak tegak lurus). Arus vertikal di

pantai barat menuju ke bawah tetapi serong ke arah tengah kolom air pada

kedalaman antara 60 meter hingga mencapai kedalaman mendekati dasar

perairan dengan kecepatan arus antara 1x10-3 m/dt sampai dengan 1,6x10-3

m/dt. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas terjadi di pantai timur, yang terjadi

dari lapisan kolom air terbawah menuju ke kedalaman 60 meter dengan

kekuatan sekitar 1,5x10-3 m/dt hingga 2,2x10-3 m/dt, dimana intensitas terkuat

pada periode ini terjadi pada kedalaman 200 meter menuju ke atas.

Pada saat pasang, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal

pada lintang grid j=39 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt hingga 7,8x10-3

m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran

0,5x10-3 m/dt hingga 7,8x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan berikutnya yaitu

hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1x10-3 m/dt hingga 3,4x10-3

m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana

kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.22.b). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 meter hingga

ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (1198 meter). Hasil simulasi

memperlihatkan peristiwa arus vertikal, sudut arah-nya terhadap garis

permukaan air kurang begitu tajam (tidak tegak lurus). Arus vertikal di pantai

barat menuju ke bawah tetapi serong ke arah tengah kolom air pada kedalaman

antara 60 meter hingga mencapai kedalaman mendekati dasar perairan dengan

kecepatan arus antara 0,5x10-3 m/dt sampai dengan 2,4x10-3 m/dt. Peristiwa

arus vertikal menuju ke atas terjadi di pantai timur, yang terjadi dari lapisan

kolom air terbawah menuju ke kedalaman 60 meter dengan kekuatan sekitar

1,2x10-3 m/dt hingga 2,2x10-3 m/dt, dimana intensitas terkuat pada periode ini

terjadi pada kedalaman 200 meter menuju ke atas.

Page 32: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-17

Pada saat menjelang surut, kondisi Purnama secara umum kecepatan

arus vertikal pada lintang grid j=39 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt

hingga 8,4x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada

pada kisaran 0,5x10-3 m/dt hingga 8,4x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan

berikutnya yaitu hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1x10-3 m/dt

hingga 4,2x10-3 m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah

Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai

(lihat Gambar 3.22.c). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60

meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (1198 meter).

Hasil simulasi memperlihatkan peristiwa arus vertikal yang lebih signifikan

dibandingkan dengan periode sebelum dan sesudahnya (pada saat menjelang

pasang, saat pasang, saat surut). Arus vertikal di pantai barat menuju ke bawah

terjadi pada kedalaman antara 60 meter hingga mencapai kedalaman 480 meter

dengan kecepatan arus antara 2x10-3 m/dt sampai dengan 2,4x10-3 m/dt.

Peristiwa arus vertikal menuju ke atas dominan terjadi di pantai timur, yang

terjadi dari lapisan kolom air terbawah menuju ke kedalaman 60 meter dengan

kekuatan sekitar 2x10-3 m/dt hingga 2,6x10-3 m/dt, dimana intensitas terkuat pada

periode ini terjadi pada lapisan kolom air terdasar menuju ke atas.

Pada saat surut, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal

pada lintang grid j=39 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt hingga 8,4x10-3

m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran

0,5x10-3 m/dt hingga 8,4x10-3 m/dt, sedangkan pada lapisan berikutnya yaitu

hingga kedalaman 40 meter kecepatan berkisar 1x10-3 m/dt hingga 3,8x10-3

m/dt, arah arus kedua lapisan tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana

kecepatan semakin melemah ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.22.d). Dinamika arus vertikal mulai terlihat pada kedalaman 60 meter hingga

ke lapisan kolom air yang mendekati dasar perairan (1198 meter). Arus vertikal

di pantai barat menuju ke bawah terjadi pada kedalaman antara 60 meter hingga

mencapai lapisan kolom air terbawah dengan kecepatan arus antara 0,5x10-3

m/dt sampai dengan 1,8x10-3 m/dt. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas

dominan terjadi di pantai timur, yang terjadi dari lapisan kolom air terbawah

Page 33: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-18

menuju ke kedalaman 60 meter dengan kisaran kekuatan kurang lebih sama

dengan kekuatan downwelling, dimana intensitas terkuat pada periode ini terjadi

pada kedalaman 200 meter menuju ke atas.

B.1.2.2.4 Profil Arus Pada Lintang J=75 (Palopo-Lelewau)

Pada saat menjelang pasang, kondisi Purnama secara umum kecepatan

arus vertikal pada lintang grid j=75 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt

hingga 7,8x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada

pada kisaran 0,5x10-3 m/dt hingga 7,8x10-3 m/dt, dimana arah arus pada lapisan

tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan semakin melemah

ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.23.a). Dinamika arus vertikal

mulai terlihat pada kedalaman 30 meter hingga ke lapisan kolom air yang

mendekati dasar perairan (70 meter). Arus vertikal di pantai barat pada

kedalaman antara 60 meter menuju ke timur hingga mencapai 3 kilometer dari

pantai dengan kecepatan arus antara 0,5x10-3 m/dt sampai dengan 1,2x10-3

m/dt. Arus tersebut kemudian mengalami perubahan arah menuju vertikal ke

atas hingga jarak 1,6 kilometer sebelum pantai timur, selanjutnya semakin

mendekati pantai timur arah arus ada yang berubah menuju ke bawah dan ke

atas. Pada saat arus menuju vertikal ke atas, kekuatannya berkisar antara

2,8x10-3 m/dt hingga 5,8x10-3 m/dt. Peristiwa arus vertikal menuju ke atas juga

terlihat pada jarak sekitar 1,8 kilometer dari pantai timur di kedalaman 40 meter

hingga 50 meter dengan kekuatan sekitar 3x10-3 m/dt hingga 4,8x10-3 m/dt.

Pada saat pasang, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal

pada lintang grid j=75 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt hingga 5,8x10-3

m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran

0,5x10-3 m/dt hingga 5,8x10-3 m/dt, dimana arah arus pada lapisan tersebut

dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika

mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.23.b). Dinamika arus vertikal mulai

terlihat pada kedalaman 30 meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati

dasar perairan (70 meter). Arus vertikal di pantai barat pada kedalaman antara

30 meter menuju ke timur hingga mencapai 4 kilometer dari pantai dengan

Page 34: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-19

kecepatan arus antara 1,8x10-3 m/dt sampai dengan 3x10-3 m/dt. Arus tersebut

kemudian mengalami perubahan arah menuju vertikal ke bawah hingga jarak 1

kilometer berikutnya, selanjutnya semakin mendekati pantai timur arah arus ada

yang berubah menuju ke atas dan semakin bertambah hingga mencapai sekitar

2x10-3 m/dt. Arus menuju vertikal ke atas juga terlihat pada kedalaman 40 meter,

tetapi kekuatannya sangat kecil sekitar 1,2x10-3 m/dt. Secara umum arus pada

kedalaman 20 meter hingga 40 meter ini terlihat bergerak ke timur dan terjadi

down welling serta up welling pada kedalaman 30 meter hingga 40 meter karena

terdapat daerah sill dan basin.

Pada saat menjelang surut, kondisi Purnama secara umum kecepatan

arus vertikal pada lintang grid j=75 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt

hingga 6,2x10-3 m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada

pada kisaran 0,5x10-3 m/dt hingga 6,2x10-3 m/dt, dimana arah arus pada lapisan

tersebut dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan semakin melemah

ketika mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.23.c). Dinamika arus vertikal

mulai terlihat pada kedalaman 20 meter hingga ke lapisan kolom air yang

mendekati dasar perairan (70 meter) dimana intensitas pada periode ini lebih

kuat dibandingkan periode sebelum dan sesudahnya (saat menjelang pasang,

saat pasang, dan saat surut). Arus pada kedalaman antara 30 meter menuju ke

timur hingga mencapai 4 kilometer dari pantai dengan kecepatan arus antara

3x10-3 m/dt sampai dengan 5,8x10-3 m/dt. Arus tersebut kemudian mengalami

perubahan arah menuju vertikal ke bawah hingga jarak 1,5 kilometer berikutnya,

selanjutnya semakin mendekati pantai timur arah arus ada yang berubah menuju

ke atas dan semakin bekurang hingga mencapai sekitar 2x10-3 m/dt. Arus

menuju vertikal ke atas terlihat pada kedalaman sekitar 45 meter, tetapi

kekuatannya sangat kecil sekitar 1,2x10-3 m/dt hingga 1,4x10-3 m/dt. Secara

umum arus pada kedalaman 20 meter hingga 40 meter ini terlihat bergerak ke

timur dan terjadi down welling serta up welling pada kedalaman 30 meter hingga

40 meter karena terdapat daerah sill dan basin.

Pada saat surut, kondisi Purnama secara umum kecepatan arus vertikal

pada lintang grid j=75 umumnya berkisar antara 0,5x10-3 m/dt hingga 6,2x10-3

Page 35: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-20

m/dt. Kecepatan arus pada kedalaman 0 hingga 20 m berada pada kisaran

0,5x10-3 m/dt hingga 6,2x10-3 m/dt, dimana arah arus pada lapisan tersebut

dominan menuju ke arah Barat, dimana kecepatan semakin melemah ketika

mendekati ke dua sisi pantai (lihat Gambar 3.23.d). Dinamika arus vertikal mulai

terlihat pada kedalaman 20 meter hingga ke lapisan kolom air yang mendekati

dasar perairan (70 meter). Arus pada kedalaman antara 30 meter menuju ke

timur hingga mencapai 4 kilometer dari pantai dengan intensitas kecepatan arus

menguat antara 0,5x10-3 m/dt sampai dengan 2,4x10-3 m/dt. Arus tersebut

kemudian mengalami pengurangan intensitas kekuatan dan perubahan arah

menuju vertikal ke atas hingga jarak 200 meter berikutnya, selanjutnya semakin

mendekati pantai timur arah arus ada yang berubah menuju ke bawah dan

berganti ke atas, kecepatan arus juga berubah kembali menguat intensitasnya

hingga mencapai sekitar 2,5x10-3 m/dt. Arus menuju vertikal ke atas juga terlihat

pada kedalaman sekitar 45 meter, tetapi kekuatannya sangat kecil sekitar

3,2x10-3 m/dt. Secara umum arus pada kedalaman 20 meter hingga 40 meter ini

terlihat bergerak ke timur dan terjadi down welling serta up welling pada

kedalaman 30 meter hingga 40 meter karena terdapat daerah sill dan basin.

B.1.3 Massa Air Teluk Bone Stasiun pengukuran yang bertepatan masuk ke dalam domain model arus

3 dimensi adalah Stasiun 1, yaitu pada koordinat 3°33’ 43.6” LS dan 120°49’ 8.5”

BT, yaitu di sekitar perairan Susua (lihat Gambar 3.16 dan Gambar 3.15).

Berdasarkan hasil simulasi model, terlihat adanya arus vertikal ke atas pada

perairan tersebut pada beberapa kedalaman tertentu menuju ke lapisan kolom

air permukaan, dengan kekuatan bervariasi yaitu berkisar antara 1,2x10-3 m/dt

hingga 3,2x10-3 m/dt yang terlihat dari kedalaman sekitar 720 meter hingga 60

meter (lihat Gambar 3.21). Sedangkan hasil pengukuran CTD pada Stasiun 1

walaupun hanya sampai kedalaman maksimal 154 meter, secara sekilas

memang menunjukkan adanya peristiwa upwelling, dimana dari profil temperatur

terlihat beberapa kali ada signal perubahan temperatur yang sedikit drastis pada

Page 36: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-21

kisaran tertentu (lihat Gambar 3.3). Hal tersebut juga ditunjukkan oleh profil

salinitas dan densitas, dimana di beberapa kedalaman tampak kemunculan

densitas atau salinitas yang lebih tinggi secara tiba-tiba dari kisaran yang

seharusnya terjadi (lihat Gambar 3.4). Dan hasil simulasi model menunjukkan

bahwa arus vertikal ke atas terlihat signifikan terjadi dimulai dari kedalaman

sekitar 200 meter menuju ke atas.

Secara lebih lanjut uraian hasil pengukuran temperatur, salinitas, dan

densitas dapat dibaca pada deskripsi dibawah ini:

B.1.3.1 Temperatur Hasil penelitian nilai temperatur permukaan di perairan Teluk Bone

menunjukkan nilai yang relatif kecil yaitu di bawah 28˚C. Pada Stasiun 1

pengambilan data dilakukan hingga kedalaman 154 m. Temperatur permukaan

(asumsi temperatur permukaan adalah temperatur pada kedalaman 1 meter

hingga 10 meter) adalah sekitar 27,890˚C. Temperatur maksimal pada stasiun 1

adalah 28,117˚C dan temperatur minimal adalah 18,328˚C, sedangkan

temperatur rata-rata adalah 23,604˚C. Secara umum temperatur dari permukaan

sampai kedalaman 40 meter terlihat konstan yaitu antara 27,980˚C hingga

28,117˚C, kemudian pada kedalaman sekitar 51 meter temperatur turun menjadi

sekitar 26˚C. Temperatur mulai menurun menjadi sekitar 20˚C ketika mencapai

kedalaman antara 100 meter hingga 128 meter, kemudian terus menurun

mencapai 18,328˚C pada kedalaman 154 meter. Berdasarkan tampilan grafik

dapat dilihat adanya perubahan temperatur yang cukup besar dengan cepat

terhadap kedalaman, dimana perubahan tersebut merupakan indikasi adanya

fenomena upwelling.

Pada Stasiun 2 pengambilan data temperatur hanya sampai kedalaman

61 meter, dengan temperatur permukaan sekitar 27,250˚C. Pada stasiun ini nilai

temperatur berkisar 26,225˚C hingga 27,990˚C. Temperatur hingga kedalaman

26 meter umumnya tetap di sekitar 27˚C, kemudian terus menurun hingga sekitar

26,3˚C. Nilai temperatur maksimal Stasiun 2 adalah sekitar 27,991˚C, sedangkan

Page 37: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-22

temperatur minimal sekitar 26,224˚C, dengan temperatur rata-rata sekitar

26,720˚C.

Kedalaman (m)

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Gambar 3.3. Profil Temperatur terhadap Kedalaman

Pengukuran pada Stasiun 3 dilakukan sampai dengan kedalaman 54

meter, dengan temperatur permukaan sekitar 27,350˚C. Nilai temperatur

permukaan di Stasiun 3 jika dibandingkan dengan kedua stasiun sebelumnya

merupakan yang paling rendah, karena Stasiun 3 merupakan lokasi yang terjauh

15 17 19 21 23 25 27 299.866

22.1602

33.039

45.4273

58.3887

77.467

94.67

109.043

121.734

137.481

153.686

Temperatur ( C)

Page 38: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-23

dari daratan. Pada stasiun ini nilai temperatur berkisar 27,083˚C hingga

26,256˚C. Nilai temperatur maksimal adalah 27,472˚C, sedangkan temperatur

minimal adalah 26,256˚C, dengan temperatur rata-rata 26,870˚C. Temperatur

mulai turun menjadi sekitar 26˚C pada kedalaman 25 meter.

Pada Stasiun 4 pengukuran dilakukan hanya sampai dengan kedalaman

28 meter, karena arus pada saat pengambilan data sangat kuat sehingga tidak

memungkinkan untuk pengukuran parameter pada lapisan kolom air yang lebih

dalam. Pada stasiun ini temperatur permukaan adalah sekitar 27,600˚C. Secara

umum temperatur berkisar antara 27,792˚C hingga 26,730˚C. Temperatur

permukaan konstan pada kisaran 27,350˚C hingga 27,550˚C sampai dengan

kedalaman 21 meter. Kemudian semakin kedalaman bertambah, temperatur

semakin menurun dengan fluktuasi antara 0,1 hingga 0,5, yaitu temperaturnya

sekitar 26,700˚C pada kedalaman 28 meter. Nilai temperatur maksimal adalah

27,792˚C, sedangkan temperatur minimal adalah 26,721˚C, dengan temperatur

rata-rata 27,330˚C.

Pengukuran pada stasiun 5 dilakukan hingga kedalaman 167 meter.

Temperatur permukaan adalah 27,600˚C dan temperatur semakin menurun

seiring dengan bertambahnya kedalaman secara bertahap. Temperatur

maksimal adalah 29,029˚C, dan temperatur minimal adalah 17,677˚C, dengan

temperatur rata-rata sebesar 23,270˚C. Pada kedalaman sampai dengan 55

meter, temperatur adalah konstan pada kisaran 26˚C hingga 27˚C. Perubahan

temperatur terbesar terjadi pada kedalaman 98 meter, dari kisaran 24,400˚C

temperatur turun secara drastis hingga mencapai kisaran 18,960˚C pada

kedalaman 137 meter. Pada kedalaman lebih dari 137 meter suhu terus

menurun intensitasnya hingga berada pada kisaran 17,805˚C pada 167,98

meter.

B.1.3.2 Salinitas Salinitas di perairan Teluk Bone menunjukkan variasi yang cukup tinggi

yaitu antara 32 PSU (Practical Salinity Unit) hingga 34 PSU pada masing-masing

stasiun penelitian. Secara umum salinitas permukaan rata-rata bernilai 33 PSU

Page 39: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-24

untuk semua stasiun kecuali pada Stasiun 1 yang nilai salinitasnya berkisar

antara 31,102 PSU hingga 32,212 PSU.

Hasil pengukuran pada Stasiun 1 secara umum nilai salinitas

permukaannya hingga kedalaman 15 meter berkisar antara 31,10 PSU hingga

32,32 PSU. Pada kedalaman 20 meter salinitas mulai bertambah secara

perlahan dari 32,59 PSU hingga 32,88 PSU. Pada kedalaman 36 meter sampai

dengan 43 meter salinitas gradien kenaikannya bernilai konstan yaitu sekitar

32,98 PSU hingga 33,08 PSU. Kemudian pada kedalaman lebih dari 60 meter

salinitas kembali mengalami kenaikan secara kontinyu hingga kedalaman 154

meter dengan nilai salinitasnya mencapai 34,388 PSU.

Stasiun 2 memiliki nilai salinitas berkisar antara 33,22 PSU hingga 33,65

PSU. Nilai salinitas permukaan stasiun ini relatif berada pada kisaran yang rapat

sampai dengan kedalaman 24 meter, yaitu sekitar 33,22 PSU hingga 33,26 PSU,

kemudian dengan semakin bertambahnya kedalaman terlihat nilai salinitas juga

semakin bertambah. Pada kedalaman lebih dari 30 meter salinitas terus

bertambah dari 33,30˚C menjadi sekitar 33,65˚C pada kedalaman 50 meter,

dimana fluktuasinya adalah cukup besar yaitu mencapai 0,1 bila dibandingkan

dengan fluktuasi salinitas di permukaan yang bernilai sekitar 0,001.

Hasil pengukuran pada Stasiun 3 salinitasnya secara umum berada pada

kisaran 33,28 PSU hingga 33,60 PSU, sedangkan kondisi salinitas permukaan

berkisar antara 33,26 PSU hingga 33,27 PSU. Pada saat kedalaman mencapai

15 meter terlihat adanya kenaikan salinitas yaitu dari sekitar 32,29 PSU hingga

mencapai 33,31 PSU pada kedalaman 16,2 meter. Terlihat semakin kedalaman

bertambah, salinitas juga terus bertambah dengan kenaikan yang rendah yaitu

sekitar 0,01 PSU, sehingga salinitas dapat mencapai sekitar 33,50 PSU pada

kedalaman 27,56 meter. Namun pada saat kedalaman mencapai 53 meter terjadi

penurunan nilai salinitas dari kisaran nilai sebelumnya yaitu dari sekitar 33,68

PSU menjadi sekitar 33,54 PSU hingga 33,21 PSU pada kedalaman 54,29

meter.

Page 40: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-25

Kedalaman (m)

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Gambar 3.4. Profil Salinitas terhadap Kedalaman

Nilai salinitas permukaan pada Stasiun 4 sedikit lebih besar

dibandingkan dengan nilai salinitas permukaan pada stasiun 2 yaitu sekitar 33,35

PSU meskipun keduanya mempunyai nilai yang sama yaitu pada kisaran 33

PSU. Pada kedalaman sampai dengan 27 meter, nilai salinitas umumnya berada

pada kisaran yang rapat yaitu sekitar 33,35 PSU hingga 33,39 PSU, kemudian

pada kedalaman 24 meter nilai salinitas meningkat mencapai kisaran 33,40 PSU,

3 1 3 1 .8 3 2 .6 3 3 .4 3 4 .2 3 51 0 .0 9 6

2 0 .3 9 5 7

3 0 .0 5 6 5

3 8 .0 6 0 7

5 1 .2 3 9 3

6 3 .2 4 4

7 9 .1 4 9

9 3 .5 2 3

1 0 4 .6 2 4

1 1 5 .7 7 1

1 2 8 .8 4 3

1 3 9 .9 5 7

1 5 5 .5 2 1

S a lin ita s (p s u )

Page 41: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-26

dan semakin bertambahnya kedalaman salinitas juga terus bertambah hingga

mencapai kisaran tertinggi yaitu sekitar 33,60 PSU pada kedalaman 27,3 meter,

tetapi pada kedalaman 28,6 meter terlihat salinitas turun dari 33,24 PSU kembali

menjadi sekitar 33,60 PSU.

Salinitas di permukaan pada stasiun 5 mengalami kenaikan yang tidak

teratur hingga kedalaman 14 meter, yaitu dari sekitar 33,29 PSU menjadi 33,70

PSU pada kedalaman 10 meter kemudian turun kembali menjadi sekitar 33,40

PSU pada kedalaman 11 meter. Salinitas kembali meningkat secara perlahan

yaitu dari kedalaman 12 meter hingga kedalaman 97 meter dengan salinitas

menjadi sekitar 33,54 PSU. Pada kedalaman lebih dari 97 meter, salinitas

mencapai 34,00 PSU, namun kenaikan tersebut selanjutnya tidak konstan,

seperti yang terlihat pada grafik hingga kedalaman 134 meter. Kisaran salinitas

terlihat mulai merapat pada kedalaman lebih dari 135 meter yaitu dengan

salinitas antara 34,29 PSU hingga 34,86 PSU.

B.1.3.3 Densitas

Densitas air laut di perairan Teluk Bone mempunyai kisaran antara 20

kg/m³ hingga 25 kg/m³ dari semua stasiun. Hasil pengukuran di Stasiun 1 pada

kedalaman 10 meter hingga 37 meter, densitas umumnya berkisar antara 20,29

kg/m3 sampai dengan 21 kg/m3, sementara pada kedalaman 37 meter hingga 43

meter nilai densitas berkisar antara 21,01 kg/m3 sampai dengan 21,15 kg/m3.

Pada kedalaman 44 meter terjadi kenaikan densitas dengan fluktuasi yang

cukup tinggi yaitu 0,49 dari densitas bernilai 21,15 kg/m3 menjadi 21,64 kg/m3.

Semakin kedalaman bertambah maka densitas juga semakin bertambah, hingga

mencapai nilai sekitar 24,00 kg/m3 pada kedalaman 92 meter, dan berakhir

dengan nilai densitas sekitar 25.31 kg/m3 pada kedalaman 154 meter.

Nilai densitas di permukaan pada stasiun 2 sampai dengan kedalaman 30

meter berkisar antara 21,31 kg/m3 hingga 21,43 kg/m3. Kenaikan densitas pada

Stasiun ini umumnya sebesar 0.01, sementara kenaikan densitas dengan

fluktuasi sebesar 0,11 terjadi mulai di kedalaman 31 meter yaitu dimulai dari nilai

21,54 kg/m3, dan densitas tersebut mengalami kenaikan dengan fluktuasi

Page 42: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-27

terbesar yaitu sebesar 0.14 pada kedalaman 42 meter hingga 46 meter,

sehingga densitas naik dari nilai 21,68 kg/m3 menjadi bernilai 21,72 kg/m3. Nilai

densitas tersebut kemudian terus bertambah menjadi 22,04 kg/m3 dan bisa

mencapai 22,16 kg/m3 pada kedalaman 61 meter.

Densitas pada Stasiun 3 nilainya berkisar antara 21,17 kg/m3 hingga

21,39 kg/m3 dari permukaan sampai dengan kedalaman 17 meter. Perubahan

nilai densitas terlihat mulai terjadi pada kedalaman 18 meter yaitu dari nilai

21,39 kg/m3 naik menjadi 21,45 kg/m3 dan terus meningkat hingga kedalaman

48 meter. Selanjutnya densitas menjadi 22,01 kg/m3 pada kedalaman 48,7

meter, dan mencapai nilai 22,71 kg/m3 pada kedalaman akhir pengukuran yaitu

54 meter.

Page 43: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-28

Kedalaman (m)

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5

Gambar 3.5. Profil Densitas terhadap Kedalaman

Hasil pengukuran pada Stasiun 4 secara keseluruhan, nilai densitas

mengalami kenaikan, namun gradien kenaikan yang terjadi tidak sama pada

setiap kedalaman. Kedalaman 10 meter sampai 15 meter nilai densitas berkisar

antara 21,32 kg/m3 hingga 21,36 kg/m3 dengan nilai fluktuasi sekitar 0,03 hingga

0,04. Sementara itu mulai kedalaman 16 meter, densitass terus naik menjadi

21,49 kg/m3 pada kedalaman 24,32 meter, namun pada kedalaman 24,62 meter

densitas naik mencapai 21,60 kg/m3, kemudian terus menurun hingga

20 21 2 2 2 3 24 25 2 61 0 .09 6

1 7 .20 9

2 5 .94 6

3 3 .40 6

4 0 .74 7

5 1 .23 9

5 9 .19 2

7 1 .45 7

8 5 .64 8

9 5 .20 5

1 04 .6 2

1 14 .2 1

1 22 .3 8

1 34 .1 9

1 42 .0 7

1 55 .5 2

D ensitas (kg /m *3)

Page 44: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-29

kedalaman 26 meter menjadi 21 kg/m3. Densitas pada kedalaman 26,46 meter

kembali naik menjadi 21,78 kg/m3, kemudian terus bertambah secara perlahan

hingga mencapai 21,84 kg/m3 pada kedalaman 28,9 meter .

Densitas di permukaan pada Stasiun 5 mengalami kenaikan yang tidak

teratur sampai dengan kedalaman 13 meter, yaitu dari nilai 21,31 kg/m3 pada

kedalaman 10 meter naik menjadi 21,71 kg/m3 pada kedalaman 11 meter,

kemudian kembali turun menjadi 21,60 kg/m3 pada kedalaman 12 meter.

Densitas kembali meningkat secara perlahan saat dari kedalaman 12,5 meter

menuju kedalaman 14,9 meter, yaitu menjadi bernilai 21,62 kg/m3. Mulai

kedalaman 15 meter perubahan kenaikan densitas terjadi secara perlahan

hingga kedalaman 100 meter, yaitu mencapai nilai 22,92 kg/m3, sedangkan pada

kedalaman antara 100 meter hingga 124 meter densitas mengalami kenaikan

dengan fluktuasi yang cukup tinggi, yaitu hingga mencapai nilai 24,65 kg/m3.

Pada kedalaman 167,9 meter nilai densitas mencapai 25,36 kg/m3.

B.1.4 Sebaran Nutrien Dan Klorofil Di Perairan Kepulauan Sembilan Organisme di laut, khususnya fitoplankton dalam pertumbuhannya dan

perkembangan hidupnya memerlukan unsur hara (nutrien) yaitu Nitrogen dalam

bentuk Nitrat, dan Fosfor dalam bentuk Fosfat. Sebaran dari kedua parameter

tersebut tidak lepas dari proses siklus biologi dan kimia perairan, serta

didistribusikan oleh pola arus yang ada baik secara horisontal maupun vertikal.

B.1.4.1 Nitrat Suatu perairan dapat diketahui tingkat kesuburannya berdasarkan dari

kandungan nitratnya. Kandungan nitrat di katakan kurang subur bila

kandungannya < 0,226 ppm (< 1,001 µg-at N/lt), nilai antara 0,227 – 1,129 ppm

(1,005 – 5,001 µg-at N/lt) digolongkan perairannya subur dan antara 1,130 –

11,290 ppm (5,006 – 50,015 µg-at N/lt) menunjukkan perairan dengan tingkat

kesuburan tinggi (Vollenweider, 1968).

Nilai kandungan nitrat di perairan Kepulauan Sembilan adalah sebagai

berikut:

Page 45: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-30

Kadar Nitrat di 4 Stasiun

0.12

0.662

0.488

0.241

0.462

0

0.16

0.254

0.381

0.314

0

0.321

0.448

0 0

0.187

0

0.361

0.268

0.408

0.796

0.415

0.3950.281

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

0 5 15 20 25 35

Kedalaman (m)

Nitra

t (m

g St. 2St. 3St. 4St. 5

Gambar 3.6. Grafik kadar nitrat di perairan Kep. Sembilan, Teluk Bone

Nilai Nitrat yang diperoleh bervariasi yaitu berkisar antara 0,12 ppm

hingga 0,796 ppm. Kandungan nitrat tertinggi diperoleh pada Stasiun 3 pada

kedalaman 5 meter yaitu sekitar 0,796 ppm sedangkan yang paling rendah

adalah pada Stasiun 2 dengan kedalaman 20 meter dengan nilai kandungan

nitrat 0,12 ppm. Berdasarkan kriteria diatas, maka perairan kepulauan Sembilan

tergolong perairan yang subur. Terlihat bahwa kadar nitrat di Stasiun 3 dengan

kedalaman 5 meter lebih tinggi dari kandungan Nitrat di stasiun lainnya.

Fenomena tersebut diduga terjadi karena adanya kandungan nitrat yang tinggi

yang berasal dari laut dalam dan bukan dari daratan seperti limbah rumah

tangga. Hal ini juga disebabkan oleh arus vertikal yang bergerak ke atas pada

perairan tersebut pada beberapa kedalaman tertentu menuju ke lapisan kolom

air permukaan. Sehingga meningkatnya nilai kandungan nitrat dikarenakan

adanya peristiwa naiknya zat unsur hara dari dasar laut menuju ke permukaan

yang menunjukkan adanya peristiwa upwelling, dimana dari profil temperatur

terlihat beberapa kali ada signal perubahan temperatur yang sedikit drastis pada

kisaran tertentu.

Page 46: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-31

Pada Stasiun 2 dengan kedalaman 20 meter memiliki nilai kandungan

nitrat yang rendah (0,12 ppm), dan stasiun 5 di kedalaman 25 meter kandungan

nitratnya juga rendah (0,187 ppm). Kemungkinan arus dalam yang kuat pada

kedalaman tersebut menyebabkan kandungan nitrat terbawa oleh massa air

yang berasal dari bagian selatan (mulut) teluk yang bergerak ke arah utara

sehingga zat hara yang berada pada bagian tersebut tidak sempat mengalami

pengendapan yang menyebabkan kandungan unsur hara relatif lebih rendah.

Pada stasiun 4 memperlihatkan distribusi yang seragam, konsentrasinya

meningkat dengan bertambahnya kedalaman. Fenomena ini disebabkan karena

tingkat penyerapan produser cukup tinggi dari permukaan sampai lapisan

eufotik. Fitoplankton memanfaatkan unsur hara seperti nitrat karena fitoplankton

dapat menyimpan nutrien di dalam tubuhnya. Meningkatnya nitrat dengan

bertambahnya kedalaman juga dikarenakan adanya penenggelaman partikel-

partikel yang mengandung nitrat dan nitrogen organik yang mengalami

dekomposisi. Pada Stasiun 5 di kedalaman 15 meter dan 20 meter nilai kadar

nitrat-nya 0 (nol) dikarenakan pada kedalaman tersebut tidak dilakukan

pengambilan contoh air.

Pertumbuhan fitoplankton berlangsung secara optimum umumnya pada

perairan yang mempunyai kandungan nitrat sebesar 1,0 – 10,0 ppm (0,203 –

0,790 (Basmi, 1995). Kandungan nitrat lebih dari 0,1 ppm (0,0226 µg-at N/lt)

masih dapat digunakan untuk pertumbuhan fitoplankton sedangkan kurang dari

0,0226 µg-at N/lt merupakan faktor pembatas di perairan tersebut (Mackentum,

1969). Berdasarkan hal tersebut maka kandungan nitrat di perairan Kepulauan

Sembilan masih dapat digunakan untuk pertumbuhan fitoplankton.

B.1.4.2 Fosfat Fosfat merupakan salah satu senyawa nutrien yang sangat penting.

Fosfat di-absorbsi oleh fitoplankton dan seterusnya masuk kedalam rantai

makanan. Senyawa fosfat di perairan berasal dari sumber alami seperti erosi

tanah, buangan (ekskresi) dari hewan, lapukan tumbuhan, dan dari laut sendiri.

Peningkatan kadar fosfat dalam laut akan menyebabkan terjadinya ledakan

Page 47: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-32

Kadar Fosfat di 4 Stasiun

0.6530.73

0

1.152

00 0 0

0.5

0.787

0.8830.941

0.6530.595

0.941

0.883

0.902

0.73

0.941

0.8280.8640.787

0.749 0.768

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

0 5 15 20 25 35

Kedalaman (m)

Fosf

at (m

g St. 2St. 3St. 4St. 5

populasi (blooming) fitoplankton yang akhirnya dapat menyebabkan kematian

ikan secara massal.

Kandungan fosfat 0,000 – 0,020 ppm (0,061 µg-at P/lt) digolongkan

kesuburan rendah, nilai antara 0,021 – 0,050 ppm (0,064 -0,153 µg-at P/lt)

digolongkan tingkat kesuburan sedang, nilai antara 0,051 – 0,100 ppm (0,156 –

0,169 µg-at P/lt) digolongkan dengan tingkat kesuburan sangat baik dan nilai >

0,210 ppm (0,643 µg-at P/lt) digolongkan dengan tingkat kesuburan sangat baik

(Vollenweider, 1968).

Nybakken (1998) menyatakan bahwa, zat-zat anorganik utama yang

diperlukan fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak adalah nitrogen

dalam bentuk nitrat, dan fosfor dalam bentuk fosfat. Kedua unsur tersebut

menjadi faktor pembatas produktivitas fitoplankton.

Nilai kandungan fosfat di perairan Kep. Sembilan adalah sebagai berikut:

Gambar 3.7. Grafik kadar fosfat di perairan Pulau Sembilan, Teluk Bone

Kandungan fosfat yang diperoleh adalah berkisar antara 0,5 ppm hingga

1,152 ppml. Nilai yang terendah terdapat pada Stasiun 2 (0,5 ppm) di kedalaman

Page 48: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-33

25 meter, dan nilai yang tertinggi terdapat pada Stasiun 4 di permukaan (1,152

ppm). Nilai 0 (nol) pada kedalaman 15, 20 dan 35 meter terjadi dikarenakan tidak

adanya pengambilan sampel pada kedalaman-kedalaman tersebut. Berdasarkan

kriteria diatas, dengan melihat dari kandungan fosfatnya dapat dikatakan bahwa

perairan di Kep. Sembilan mempunyai tingkat kesuburan yang sangat baik.

Pada stasiun 2 pada kedalaman 20 meter kandungan nitratnya 0,941 ppm

tetapi pada kedalaman 25 meter kandungan nitratnya langsung menurun

menjadi 0,5 ppm. Kondisi perairan Teluk Bone yang tergolong perairan dalam

dapat menyebabkan meningkatnya kandungan fosfat di perairan. Kedalaman

perairan ini yang menyebabkan massa air tidak tercampur dengan sempurna

dan menimbulkan akumulasi nutrien ke arah dasar perairan. Sedangkan

rendahnya kandungan fosfat menunjukkan bahwa penyerapan oleh fitoplankton

pada kedalaman tersebut berjalan dengan baik. Berdasarkan grafik di atas pada

stasiun 3 kadar fosfat-nya semakin meningkat, hal ini dikarenakan arus vertikal

bergerak ke atas pada perairan tersebut pada beberapa kedalaman tertentu

menuju ke lapisan kolom air permukaan. Sehingga meningkatnya nilai

kandungan fosfat dikarenakan adanya peristiwa naiknya zat unsur hara dari

dasar laut menuju ke permukaan yang menunjukkan adanya peristiwa upwelling.

Konsentrasi fosfat permukaan di perairan Indonesia pada musim Timur

lebih tinggi dibandingkan pada musim Barat, karena pada musim Timur terjadi

penaikan massa air yang menyebabkan zat hara permukaan meningkat

(Soegiarto dan Birowo, 1970). Di perairan selat Makassar sebelah selatan

terlihat nilai yang lebih tinggi yaitu berkisar antara 0,3 – 0,4 µg-at P/lt pada

musim timur, hal ini juga disebabkan oleh penaikan massa air paada musim ini

(Soegiarto dan Birowo dalam Suari, 1999). Pada stasiun 4 lokasi pengambilan

sampel dekat dengan daratan yaitu disekitar Pulau Batanlampe, sehingga terjadi

run-off nutrien yang berasal dari daratan dan juga adanya pemakaian kadar

fosfat oleh fitoplankton karena pada permukaan hingga kedalaman 35 meter

masih memiliki kadar intensitas cahaya yang cukup dan juga diduga dipengaruhi

oleh arus yang bergerak dari arah selatan menuju barat.

Page 49: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-34

Batasan optimum kandungan Fosfat dalam perairan untuk mendukung

pertumbuhan Fitoplankton secara umum adalah sebesar 0,09 – 1,80 ppm (0,029

– 0,587 µg-at P/lt) (Mackentum, 1969). Berdasarkan batasan tersebut maka

kandungan fosfat yang diperoleh adalah masih berada di dalam kisaran rata-rata

untuk pertumbuhan fitoplankton.

B.1.4.3 Khlorofil Khlorofil-a merupakan salah satu parameter yang sangat menentukan

produktivitas primer di laut, berupa pigmen yang terdapat pada organisme di

perairan yang digunakan untuk proses fotosintesis. Nilai kandungan khlorofil di

perairan Kep. Sembilan, Teluk Bone adalah sebagai berikut:

Klorofil di 4 Stasiun

0.149

1.19

0.595

0.346

0.595

0.298

0.149

1.722

0.744

0.595

0.419

0

0.149

0.992

0.289

1.426

0.7

0

0.298 0.298

0 0

0.186

00

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

1.8

2

0 5 15 20 25 35

Depth (m)

Klo

rofil

(mg/

m

st. 2

st. 3

st. 4

st. 5

Gambar 3.8. Grafik pengukuran klorofil di perairan Kep. Sembilan, Teluk Bone

Gambar diatas menunjukkan bahwa nilai kandungan Khlorofil-a bervariasi

pada setiap stasiun. Pada lapisan permukaan nilai Khlorofil tertinggi berada di

Stasiun 3 dengan nilai 1,722 mg/m3, sedangkan pada Stasiun 4 dengan

Page 50: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-35

kedalaman 20 meter dijumpai nilai Khlorofil yang tinggi dengan nilai 1,426

mg/m3. Tingginya nilai Khlorofil tersebut diduga dikarenakan adanya penyinaran

matahari yang cukup sehingga mendapatkan intensitas cahaya yang di butuhkan

oleh Fitoplankton untuk dapat melakukan proses fotosintesa. Apabila dilihat dari

unsur haranya, ditemukan bahwa sejumlah kandungan Nitrat dan fosfat yang

tinggi ditemukan di Stasiun 3 dan kandungan Fosfat yang tinggi juga ditemukan

pada Stasiun 4. Kandungan kedua unsur hara inilah yang utama diperlukan oleh

Fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak.

Pada stasiun 2, 3 dan 4 di kedalaman 5 meter menunjukkan bahwa

kandungan khlorofil mengalami peningkatan . Keadaan ini disebabkan karena

sifat fitoplankton untuk beradaptasi di tempat yang mempunyai intensitas cahaya

yang cukup kuat (permukaan) adalah kecil.

B.1.5 Inventarisasi Terumbu Karang

B.1.5.1 Inventarisasi Terumbu Karang Di Kabupaten Kolaka

B.1.5.1.1 Kondisi Karang

Secara umum kondisi terumbu karang di daerah penelitian Kabupaten

Kolaka dapat dikategorikan baik dari hasil rata-rata dari seluruh stasiun yang ada

persentase tutupan karang hidup adalah sekitar 61 %, dan karang mati sekitar

16 %. Dimana jika dilihat untuk per stasiun pengamatan adalah sebagai berikut:

Page 51: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-36

Lifeform 3M

7%19%

14%3%6%11%

20%

18% 2%

CB CE CM CME DCA OT RB S SP

Gambar 3.9. Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 3 meter di Kolaka Stasiun 1

Lokasi penelitian Stasiun 1 berada di sebelah barat Kabupaten Kolaka,

dengan tipe terumbu adalah Terumbu Penghalang (Barrier Reef), dimana kondisi

perairan pada kedalaman 3 meter memiliki jarak pandang didalam air (Visibility)

sejauh 8 meter, sebelum transek dibentangkan terlebih dahulu dilakukan survei

dengan metode Rapid Reef Resource Assesment (RRA) untuk mengestimasi

tingkat kepadatan pentupan dasar perairan, dan dari hasil RRA kemudian

ditentukan daerah penyelaman.

Kondisi penutupan dasar perairan di kedalaman 10 meter Stasiun 1

didominasi oleh pasir 100 % sehingga tidak dilakukan pengambilan data, namun

pada kedalaman 3 meter kondisi dasar perairan yang diperoleh adalah Patahan-

patahan karang (Rubble) 20 %, Pasir (Sand) 18 %, Karang mati ditumbuhi

Algae (Dead Corals with Algae = DCA) 6 %. Sedangkan untuk karang hidup di

kedalaman 3 meter Stasiun 1 diperoleh bentuk Karang Bercabang selain marga

Acropora (Coral Branching = CB) 7 %, Karang yang menempel pada karang mati

(Coral Encrusting = CE) 19 %, Karang Masif (Coral Massive = CM) 14 %, dan

Karang marga Millepora (CME) 3 % (lihat Gambar 3.9). Pasir dan pecahan

karang lebih banyak ditemukan pada lokasi di luar transek, lokasi ini memang

berdekatan dengan daratan utama sehingga gangguan ekosistem terumbu

karang lebih besar. Hal ini nampak dari pengamatan di sekitar lokasi

pengambilan data, dimana banyak ditemukan karang mati dan pecahan karang.

Page 52: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-37

Lifeform 3m

24%

34%6%

10%

2%5%

8% 1% 5% 2%

3%

ACB ACD CB CE CM CME CMR DCA MA RB S

Gambar 3.10. Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 3 meter di Kolaka Stasiun 2

Lokasi penelitian Stasiun 2 ini, yang berdekatan dengan pulau-pulau yang

berada di sebelah barat Kabupten Kolaka, tipe terumbu karangnya adalah

Terumbu Karang Tepi (Fringing Reef). Kondisi perairan pada Stasiun 2 di

kedalaman 3 meter ini memiliki jarak pandang di dalam air (visibility) sejauh 3

meter hingga 8 meter. Kondisi terumbu karang yang hidup pada kedalaman 3

meter ini didominasi oleh bentuk Karang jenis Acropora yang Bercabang

(Acropora Branching = ACB) 24 %, Acropora Digitate (ACD) 3 %, Karang

Bercabang (Coral Branching = CB) 34 %, Karang hidup yang menempel pada

karang mati (Coral Encrusting = CE) 6 %, Karang Masif (Coral Massive = CM) 10

%, Karang marga Millepora (CME) 2 %. Sedangkan karang mati yang ditemukan

antara lain patahan karang (Rubble) 5 %, Karang mati ditumbuhi Algae (Dead

Corals with algae = DCA) 8 %, dan Pasir (Sand) 2 %. Selain itu juga ditemukan

Makro-Algae (MA) sebanyak 1 % dan Fungia (Coral Mushroom = CMR) sekitar 5

% yang berada pada subsrat pasir (lihat Gambar 3.10).

Terdapat 8 Genera yang ditemukan pada Stasiun 2 kedalaman 3 meter,

yaitu Acropora, Porites, Montipora, Millepora, Fungia, Pectinia, Seriatopora dan

Fungia. Nampak pada pengamatan diluar transek kondisi karang mengalami

kerusakan yang cukup serius, yaitu banyak ditemukannya pecahan karang dan

karang mati yang ditumbuhi alga. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat

eksploitasi komponen ekosistem terumbu karang adalah cukup tinggi.

Page 53: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-38

Lifeform 10m

5%

16%

11%

4%13%3%7%

25%

2% 7%1%

2%2%

2%

ACB ACD ACT CB CE CF CM CMR DCA

MA OT RB S TA

Gambar 3.11. Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 10 meter di Kolaka Stasiun 2

Pada saat pengambilan data yang dilakukan di Stasiun 2 pada kedalaman

10 meter, permukaan laut mengalami pasang naik sehingga jarak pandang

hanya berkisar 3 meter hingga 5 meter. Kondisi penutupan dasar perairan

didominasi oleh Macro Algae 25 % (genera Padina) dan karang hidup. Karang

hidup yang ditemukan antara lain Karang jenis Acropora yang Bercabang

(Acropora Branching = ACB) 5 %, Acropora Digitate (ACD) 2 %, Karang marga

Acropora berbentuk meja (Acropora Tabulate = ACT) 2 %, Karang Bercabang

(Coral Branching = CB) 16 %, Karang hidup yang menempel pada karang mati

(Coral Encrusting = CE) 11 %, Karang Masif (Coral Massive = CM) 13 %.

Sedangkan karang mati yang ditemukan adalah Karang mati ditumbuhi Algae

(Dead Corals with Algae = DCA) 7 %, Patahan-patahan karang (Rubble) 2 %,

dan Pasir (Sand) 7%. Ditemukan juga hewan lain (OT) sebanyak 2 % dan Turf

Algae (TA) 1 % (lihat Gambar 3.11).

Nilai Indeks Keanekaragaman terumbu karang secara umum di

kedalaman 10 meter adalah lebih rendah dibandingkan dengan nilai indeks pada

kedalaman 3 meter, sebagian besar karang yang terdapat di Karang Tebing

(Reef Slope) mengalami tingkat kerusakan yang cukup serius, meskipun karang

mati di daerah ini lebih sedikit dibandingkan dengan yang ada di kedalaman

sebelumnya, namun ada indikasi bahwa kerusakan karang pada daerah ini

akibat penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan (bom). Hal ini terlihat

Page 54: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-39

dengan banyaknya makro-algae yang mendominasi daerah ini yang tumbuh

pada subsrat karang mati. Selain itu beberapa Karang Masif (Coral Massive)

dan jenis Fungia mengalami kematian dimana tubuh karang menjadi berwarna

putih akibat pigmen warna/Khlorofil hilang (bleach) yang disebabkan oleh

pemangsa karang Achantaster plancii. Karang yang menarik pada lokasi ini

adalah ditemukannya jenis karang dari genera Montipora memiliki diameter

berukuran ± 3,5 meter di sekitar daerah transek. Adapun 12 Genera karang lain

yang ditemukan pada stasiun pengamatan adalah Acropora, Porites, Montipora,

Millepora, Fungia, Pectinia, Seriatopora, Galaxea, Goniopora, Hynophora,

Plerogyra, Syhmphilia.

B.1.5.1.2 Invertebrata

Secara umum kondisi invertebrata banyak dijumpai pada daerah

penelitian, beberapa diantaranya yang memiliki nilai ekonomis dan merupakan

objek eksploitasi yang masih ditemukan di daerah ini. Namun demikian jika hal

ini terus berlangsung maka suatu saat invertebrata tersebut akan mengalami

kepunahan.

Beberapa genera yang dijumpai di lokasi ini antara lain Echinotrix, Linkia,

Didemnum, Spriobranchus, macrodactyla, dan Diadem. Rata-rata organisme ini

dapat ditemukan pada kedalaman 3 meter hingga 10 meter dengan subsrat

karang mati, pecahan karang maupun karang hidup.

Jenis Sponge diwakili oleh Haloclina sp, Plakortis nigra, Xextospongia sp,

Carteriospongia dan Cynacyra sp pada kedalaman 3 meter hingga 6 meter

dengan subsrat karang mati dan pasir. Sedangkan dari kelas Bivalvia dijumpai

adanya Kima Batu (Tridacna crocea), dan Kima Sisik (Tridacna squamosa)

dimana beberapa diantaranya memiliki ukuran ± 15 cm. Organisme ini dapat

dijumpai pada kedalaman 5 meter hingga 10 meter, dimana Kima Sisik hidup di

atas subsrat pasir dan Kima Batu hidup menempel pada Karang Masif mati.

Page 55: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-40

B.1.5.2 Inventarisasi Terumbu Karang Kabupaten Sinjai

Kepulauan Sembilan secara administrasi berada pada wilayah Kabupaten

Sinjai Sulawesi Selatan, dimana dinamakan Kep. Sembilan karena memiliki

sembilan pulau. Beberapa diantara pulau tersebut berpenghuni, yaitu Pulau

katindoang dan P. Larea-rea. Pulau Kambuno adalah sebagai pusat Kecamatan

Pulau-Pulau Sembilan. Sedangkan pulau-pulau lain adalah Pulau Burungloe, P.

Kanalo 1, P. Kanalo 2, P. Batanglampe, P. Kodingareng, P. Liang-liang.

B.1.5.2.1 Kondisi Karang

Secara umum kondisi karang di Kabupaten Sinjai (Kepulauan Sembilan)

dapat dikategorikan Sedang dengan persentase dari hasil rata-rata dari stasiun

yang ada tutupan karang hidup adalah sekitar 26,15 % dan karang mati 43,63 %.

Dimana jika dilihat untuk per stasiun pengamatan adalah sebagai berikut:

Lifeform 3m

36.6%

24.4%

3.3%

1.6%

0.2%

23.5%

1.8%

2.8% 1.3%

1.4%

1.4%

0.3%0.0%

1.2%

ACB ACD ACE CB CE CM CME CMR DC DCAMA OT S SP

Gambar 3.12. Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 3 meter di Kep. Sembilan Stasiun 1

Kondisi tutupan dasar perairan pada Stasiun 1 di kedalaman 3 meter

didominasi oleh bentuk Karang ditumbuhi algae (Dead Corals with Algae = DCA)

36,6%, dan Pasir (Sand) 24,4 %. Sedangkan untuk kategori karang hidup terdiri

dari bentuk Karang marga Acropora Bercabang (Acropora Branching = ACB) 2,8

Page 56: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-41

%, Acropora Digitate (ACD) 1,3 %, Acropora Encrusting (ACE) 1,4 %, Karang

Bercabang selain marga Acropora (CB) 1,4 %, Coral Encrusting (CE) 1,8 %,

Karang Masif (Coral Massive = CM) sebesar 23,54 %, Coral Millepora (CME) 1,2

%, Coral Mushroom (CMR) 0,01 %. Dalam hal ini ditemukan juga Sponge (SP)

sebanyak 3,3 %, Makro-Algae (MA) 0,01 % dan hewan lain (OT) sebanyak 1,6 %

(lihat Gambar 3.12).

Kondisi karang di daerah penelitian Stasiun 3 pada kedalaman 3 meter

adalah sangat memprihatinkan dengan persentase karang hidup hanya 33,45 %,

dimana karang hidup didominasi oleh karang jenis Porites, Montipora, Millepora

dan sebagian kecil Acropora. Jumlah karang mati pada kedalaman ini adalah

36,9 %. karang mati yang banyak ditemukan mengindikasikan adanya

penggunaan alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan

senyawa kimia Apotas.

Lifeform 6M

2% 5%

29%

3%5%

32%

12% 10%1%

1%

ACB CB CE CM CME DCA MA OT S SP

Gambar 3.13. Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 6 meter di Kep. Sembilan Stasiun 3

Pada lokasi pengambilan data Stasiun 3 yang dilakukan di kedalaman 6

meter, jarak pandang berkisar 3 meter hingga 4 meter, dengan kondisi karang

didominasi oleh Karang mati ditumbuhi algae (Dead Coral with Algae = DCA) 29

% dan Pasir (Sand) 32 %. Karang hidup yang ditemukan antara lain Karang

Page 57: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-42

marga Acropora Bercabang (Acropora Branching = ACB) 2 %, Karang

Bercabang selain marga Acropora (CB) 5 %, Coral Encrusting (CE) 10 %,

Karang Masif (Coral Massive = CM) sebesar 1 %, Coral Millepora (CME) 1 %.

Ditemukan juga Makro-Algae (MA) sebanyak 3 %, Sponge (SP), dan hewan lain

(OT) sebanyak 3 % (lihat Gambar 3.13).

Kondisi karang yang hidup pada kedalaman 6 meter adalah lebih tinggi

dibandingkan dengan karang yang hidup di kedalaman 3 meter yaitu 19 %,

sedangkan jumlah karang mati sebesar 29 %. Ada 11 genera yang ditemukan di

stasiun pengamatan Kepulauan Sembilan antara lain Acropora, Lobopyhillia,

Calaustrea, Galaxea, Euphilia, Seriatopora, Porites ,Montipora, Millepora,

Galaxea, Stylophora.

Lifeform P.Sembilan

1%

55%

9%2%

10%

3%

1%

1%1%2%3%9%

1%

2%

ACB CB CF CM CME CMR DC DCA MAOT RB S SP TA

Gambar 3.14. Kondisi Tutupan Karang pada Kedalaman 3 meter di Kep. Sembilan Stasiun 3

Hasil pengamatan terhadap terumbu karang di Stasiun 3 pada kedalaman

perairan 3 meter diperoleh Karang mati ditumbuhi algae (Death Coral with Algae

= DCA) 55 %, Karang Mati (Death Coral = DC) 1 %, Patahan-patahan karang

(rubble) 9 %, dan Pasir (Sand) 3 %. Sedangkan karang hidup yang ditemukan

antara lain bentuk Karang Bercabang marga Acropora (Acropora Branching =

ACB) 1 %, Karang Bercabang selain marga Acropora (Coral Branching = CB) 9

%, Coral Foliose (CF) 2 %, Karang Masif (Coral Massive = CM) 10 %, Karang

Page 58: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-43

marga Millepora (CME) 1 %, Coral Mushroom (CMR) 3 %. Ditemukan juga

Makro-Algae (MA) sebanyak 2 %, hewan lain (OT) 1 %, Sponge (SP) 2 %, dan

Turf Algae (TA) sebanyak 1 % (lihat Gambar 3.14). Dimana kondisi perairannya

yang jernih mempunyai jarak pandang sekitar 6 meter hingga 8 meter.

Secara umum kondisi lokasi ini tidak jauh berbeda dengan kondisi karang

di satasiun pengamatan sebelumnya (Stasiun 3 pada kedalaman 6 meter),

dimana kondisi karang hidup pada Stasiun 3 kedalaman 3 meter ini hanya 26 %,

dan karang mati 65 %. Lokasi pengambilan data yang berdekatan dengan Pulau

Burungloe memungkinkan terjadinya eksploitasi terhadap komponen ekosistem

terumbu karang. Tingginya tingkat kerusakan nampak pada sebagian besar

karang yang teramati di daerah terumbu. Beberapa karang yang masih hidup

merupakan karang yang tahan terhadap tekanan misalnya jenis Porites, adapun

karang yang hidup merupakan karang yang masih baru (recruitment) atau

karang yang relatif masih muda.

B.1.5.2.2 Invertebrata Invertebrata banyak ditemukan di sekitar lokasi pengamatan, beberapa

organisme yang memiliki nilai ekonomis masih dapat ditemukan di daerah ini

misalnya Kima Sisik (Tridacna squamosa) dan Kima Batu (Tridacna crocea),

yang memiliki ukuran 3 - 6 cm ditemukan pada kedalaman 3 meter hingga 6

meter. Dimana Kima Sisik hidup di subsrat pasir sedangkan Kima Batu

menempel pada Karang Masif. Organisme lain yang melimpah adalah jenis

Didemnum molle, pada kedalaman 3 meter hingga 6 meter dengan subsrat

karang mati maupun pecahan karang.

Jenis Lilia laut (Oxycomanthus) tampak hidup bersosiasi dengan karang,

sedangkan jenis Asteroidea Linkia laveigata dan Protoreaster serta nardoa

ditemukan pada subsrat pasir. Jenis Diadema dan Echinotrix juga banyak

ditemukan di atas subsrat pasir dan di antara karang yang masih hidup.

Sedangkan dari jenis Polycarpa aurata dan Liscoclinum platell yang biasanya

banyak terdapat di antara karang hidup, juga masih dapat dijumpai di daerah ini.

Page 59: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - 3-44

Beberapa jenis Sponge yang dapat dijumpai adalah Haloclina, Plakortis,

Xextospongia, Callyspongia, yang hidup pada subsrat Karang Masif maupun

pasir. Salah satu sponge yang ditemukan dengan diameter berukuran ± 60 cm

pada kedalaman 5 meter.

Page 60: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

3-45

Gambar 3.15. Area model dan kondisi batimetri Teluk Bone

J = 19

J = 33

J = 39

J = 75

Wulu

Wawo

Susua

Tg Tabako

Lelewau

Tg Siwa

Muranti

Suli

Palopo

Tg Lokoloko

Karang Lamunre

Karang Bali

Karang Naber Karang Bron Lahou

Pakowe

Tg Batikala

Tg Tolala

Page 61: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

3-46

( a ) ( b )

( c ) ( d )

Gambar 3.16. Pola arus permukaan & sebaran muka air laut di Teluk Bone pada Kondisi Pasang Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut

Page 62: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

3-47

( a ) ( b )

( c ) ( d ) Gambar 3.17. Pola kecepatan & arah arus permukaan di Teluk Bone pada Kondisi Pasang Purnama,

saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut

Page 63: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

3-48

( a ) ( b )

( c ) ( d ) Gambar 3.18. Profil arus potongan melintang Tg. Siwa – Wawo pada Kondisi Purnama,

saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut

T T

T T

Page 64: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

3-49

( a ) ( b )

( c ) ( d ) Gambar 3.19. Profil arus potongan melintang Tg. Siwa – Wawo pantai Timur (zoom area)

pada Kondisi Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut

T T

T T

Page 65: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

3-50

( a ) ( b )

( c ) ( d ) Gambar 3.20. Profil arus potongan melintang Muranti – Susua pada Kondisi Purnama,

saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut

T T

T T

Page 66: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

3-51

( a ) ( b )

( c ) ( d )

Gambar 3.21. Profil arus potongan melintang Suli – Tabako pada Kondisi Purnama, saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c) menjelang surut, (d) surut

T T

T T

Page 67: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

3-52

( a ) ( b )

( c ) ( d ) Gambar 3.22. Profil arus potongan melintang Palopo – Lelewau saat air (a) menjelang pasang, (b) pasang, (c)

menjelang surut, (d) surut

T T

T T

Page 68: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-53

B.2 Teluk Lasongko Teluk Lasongko secara administratif berada pada wilayah Kecamatan

Lakudo yang secara geografis terletak di Kabupaten Buton termasuk dalam

Pulau Muna, Sulawesi Tenggara pada 5º14’LS sampai 5º26’ LS dan 122º25’BT

hingga 122º 34’BT dengan batas wilayah Sebelah utara berbatasan dengan

Kabupaten Muna, sebelah selatan berbatasan dengan Selat Buton, sebelah

timur berbatasan dengan Kecamatan Gu, dan sebelah barat berbatasan dengan

Kecamatan Mawassangka Timur.

Kecamatan Lakudo terpisah dari daratan Sulawesi dengan luas daratan

22.500 ha dengan bentuk topografi datar, bergelombang sampai berbukit.

Daratan dengan topografi datar berada di Lakudo, Waara, dan Madongka,

sementara desa lainnya didominasi oleh areal bergelombang sampai berbukit.

Secara geologis jenis tanah yang dominan adalah kambisol yang

sebagian besar permukaannya tertutup oleh batuan cadas dan batuan kapur.

Suhu rata-rata harian 28ºC dan kelembaban udara 70.75 %. Ditinjau dari

keadaan curah hujannya yaitu 1473.4 mm/tahun maka daerah ini adalah daerah

semi kering. Musim hujan terjadi pada bulan Desember hingga Maret pada saat

angin barat, sedangkan musim kemarau pada bulan April hingga Oktober

dimana bertiup angin timur.

Jumlah penduduk Kecamatan Lakudo pada tahun 2002 adalah 22.686

jiwa yang terdiri dari 4.762 kepala keluarga dengan proporsi penduduk berjenis

kelamin laki-laki dan perempuan hampir seimbang yaitu 11.291 laki-laki dan

11.395 perempuan. Masyarakat setempat umumnya adalah suku Buton (Gu)

ditambah dengan suku Ambon dengan agama yang dianut adalah Islam. Jumlah

penduduk tertinggi berada di kelurahan Boneoge kemudian kelurahan Lakudo

dan selanjutnya Lolibu.

Page 69: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-54

Tabel 3.2. Jumlah penduduk usia 10 tahun keatas berdasarkan mata pencaharian

No Mata Pencaharian Laki-laki Perempuan Jumlah

1 Pertanian 2267 2555 4822 2 Perikanan 2285 651 2936 3 Peternakan 301 558 859 4 Perkebunan 1079 714 1793 5 Kehutanan 4 - 4 6 Pertambangan 48 35 83 7 Industri 134 1874 2008 8 Listrik dan Air Minum 20 - 20 9 Konstruksi Bangunan 326 - 326 10 Perdagangan 578 535 1113

11 Transportasi dan Komunikasi 127 - 127

12 Keuangan 10 2 12 13 Jasa Perseorangan 166 114 280 14 Lain-lain 733 1334 2067 8078 8372 16450

B.2.1 Metodologi Lingkup wilayah yang diamati adalah sepanjang garis pesisir Teluk

Lasongko dengan jarak ke arah Laut flores 4 mil dan ke arah darat meliputi batas

administratif 13 (tiga belas) desa/kelurahan pada Kecamatan Lakudo, Kabupaten

Buton, dan 3 (tiga) desa/kelurahan di Kecamatan Mawasangka Timur,

Kabupaten Muna. Sedangkan lingkup materi yang diamati meliputi:

oseanografi fisik, vegetasi pantai, padang lamun, terumbu karang, sumberdaya

ikan, budidaya perairan.

Pengamatan kondisi oseanografi fisik yang berupa batimetri dilakukan

dengan menggunakan instrumen Multibeam Echosounder. Sedangkan

parameter kimia perairan yang dikumpulkan adalah: temperatur, salinitas, pH,

kecerahan, dan nutrien (Nitrat, Fosfat, dan Silikat).

Pengamatan mangrove yang dilakukan adalah mengadopsi dari English,

et al. (1997) yaitu Metode Transek Kuadrat. Dimana yang dilakukan adalah

melakukan transek dengan kuadran (10x10 m2) pada beberapa lokasi yang

berbeda dengan panjang transek 100 - 150 meter. Hasil transek kemudian

dihitung kerapatan jenis (Di), Kerapatan relatif jenis (RDi), Frekuensi jenis (Fi),

Page 70: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-55

Frekuensi relatif jenis (RFi), Penutupan jenis (Ci), Penutupan relatif jenis (RCi),

serta nilai penting jenis (IV). Selain itu derajat keasaman tanah diukur dengan

menggunakan pH meter, dan sampel tanah juga diambil untuk mengetahui sifat-

sifat tanah.

Pengamatan lamun yang dilakukan adalah juga mengadopsi dari English,

et al. (1997) yaitu Metode Transek Kuadrat. Pengumpulan data kerapatan dan

penutupan lamun dengan menggunakan kuadrat besi yang berukuran 20 x 20

cm, sedangkan khusus untuk spesies Enhalus acoroides menggunakan ukuran

kuadrat besi 50 x 50 cm. Kuadrat besi ini dilempar secara acak masing-masing

10 x di setiap stasiun pengamatan kemudian dihitung jumlah tunasnya untuk

mengetahui kerapatan dan penutupannya. Pengukuran biomassa lamun dan tipe

substrat juga dilakukan dalam hal ini.

Pengamatan kondisi terumbu karang yang dilakukan adalah juga

mengadopsi dari English, et al. (1997) yaitu Metode Line Intercept Transec.

Dimana pada masing-masing stasiun penelitian dilakukan transek sepanjang 50

m sejajar garis pantai dengan kedalaman bervariasi antara 3 m sampai 10

meter. Pendataan yang dilakukan adalah terhadap jenis karang dan sebarannya,

dalam hal ini juga dilakukan dokumentasi bawah air.

B.2.2 Kondisi Oseanografi Fisik & Kimiawi Secara visual topografi perairan Teluk Lasongko cenderung landai

dengan perbedaan kedalaman perairan dari 5 meter hingga 27 meter. Pada area

teluk yang lebih dalam yaitu diawali dari perairan Desa Lakudo, hingga ke Utara

sampai dengan perairan Desa Mone, kedalaman cukup dangkal yaitu berkisar 6

meter hingga 1,5 meter. Pada area mulut Teluk Lasongko juga ditemui

dangkalan dengan kedalam berkisar 5 meter, dangkalan ini berada di depan

desa Madongka. Profil dasar perairan Teluk Lasongko secara jelas dapat dilihat

pada data hasil survei batimetri yang dilakukan dengan Multibeam Echosounder

dan asimilasi data batimetri dari Dinas Hidro-oseanografi TNI-AL.

Hasil pengukuran menunjukkan bahwa tingkat kecerahan perairan

terendah ditemukan pada perairan Desa Lolibu hingga Desa Mone dengan nilai

Page 71: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-56

0,5 - 1 meter dibandingkan dengan kecerahan di perairan Desa Lakudo hingga

Desa Madongka dengan nilai 6 – 8 meter. Temperatur perairan Teluk Lasongko,

sesuai hasil yang didapat dari instrumen pengukur berkisar antara 27,1 ºC

hingga 31ºC dengan salinitas rata–rata 32 ppt, dan Untuk hasil analisis kimia

didapatkan derajat keasaman (pH) 7,8 – 8,5. Sedangkan untuk kandungan

terlarut dari Fosfat, Nitrat dan Silikat selengkapnya dapat dilihat pada tabel

dibawah ini.

Gambar 3.23. Peta Batimetri Teluk Lasongko (Sumber: Dishidros TNI-AL)

Page 72: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-57

Gambar 3.24. Batimetri Teluk Lasongko hasil Asimilasi data akuisisi Multibeam Echosounder dan Digitasi Peta (Satuan Kedalaman: meter)

Page 73: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-58

Tabel 3.3. Hasil terukur parameter fisik dan kimiawi perairan Teluk Lasongko

stasiun

Kedalaman (meter)

Phospat (µg-at/l)

Nitrat (µg-at/l)

Silikat (µg-at/l)

Salinitas (ppt)

pH Suhu (°C)

Kecerahan (meter)

1 0 5 10 20

0,13 0,26 0,18 0,22

0,60 0,55 0,66 0,85

6,28 5,89 5,98 8,33

32 8,5 31 8

2 0 5 10 20

0,26 0,18 0,18 0,57

0,62 1,37 0,77 0,62

5,00 5,88 6,47 5,20

32 8,5 31,5 6

3 0 5 10

0,22 0,44 0,35

0,73 0,79 0,92

4,31 7,45 7,16

32 8,1 31,2 1

4 0 5

0,31 0,26

0,79 0,92

12,06 12,94

32 7,8 31 0,5

B.2.3 Kondisi Mangrove

Daerah mangrove yang terdapat di Teluk Lasongko umumnya mempunyai

tipe substrat yang berbatu dan sedikit lumpur sehingga pertumbuhan vegetasi

mangrove menjadi kurang baik dan keanekaragaman jenis vegetasi didominasi

oleh jenis yang berjumlah sedikit dan yang mampu bertahan pada daerah

tersebut yaitu jenis Rhizophora stylosa.

Gambar 3.25. Mangrove di Teluk Lasongko

Page 74: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-59

Jenis vegetasi mangrove yang diidentifikasi dikelompokkan berdasarkan

zonasi tipe pantai, dimana pada daerah teluk lasongko terdapat tiga tipe pantai

yang mempunyai keanekaragaman vegetasi yang berbeda. Pantai yang

merupakan daerah estuaria yang ditumbuhi jenis mangrove sejati adalah pantai :

Matawine, Mone, Lolibu dan Lasori. Sedangkan untuk daerah dengan tipe pantai

berpasir seperti pantai Lakudo, Madongka, Moko dan Wajogu banyak ditumbuhi

tumbuhan predu dan paku-pakuan. Mangrove pada daerah dengan tipe pantai

bertebing adalah berupa tumbuhan pemanjat, yang terdapat di pantai

Nepamekar, Wanepa-nepa, Boneoge dan sebagian daerah Lakudo.

B.2.4 Kondisi Lamun

Padang lamun di Teluk Lasongko dapat ditemukan diseluruh zona

intertidal yang terdiri dari 6 macam vegetasi yang hidup pada substrat pasir halus

dan pasir berlumpur, yaitu: Enhalus acoroides, Thalassia hemprinchii,

Cymodocea rotundata, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Halodule

universis (lihat Gambar dan Tabel).

Gambar 3.26. Contoh padang Lamun di Teluk Lasongko

Page 75: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-60

Gambar 3.27. Jenis Lamun Teluk Lasongko berturut-turut dari kiri atas ke kanan (Enhalus

acoroides, Thalassia hemprinchii, Cymodocea rotundata), dan kiri bawah ke kanan (Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium, Halodule universis)

Tabel 3.4. Kerapatan rata-rata tiap jenis lamun pada setiap stasiun penelitian Kerapatan ( tunas/m² )

No Jenis Lamun 1 2 3 4 1 Enhalus acoroides 54.3 37.8 30.2 42.3 2 Thalassia hemprinchii 35.8 31.9 23.5 36.7 3 Cymodocea rotundata 23.6 31.4 28.7 28.7 4 Halophila ovalis 4.7 3.9 5.6 3.6 5 Syringodium isoetifolium 2.3 2.7 3.8 1.4 6 Halodule universis 1.3 3.2 2.5 3.2

Keterangan : 1=Sta.Wanepa-Nepa, 2=Sta.Lakudo, 3=Sta.Moko, 4=Sta.Wajogu

Kerapatan jenis lamun pada tiap daerah dipengaruhi oleh kondisi

abiotisnya seperti kecerahan, kedalaman, substrat dan kandungan zat hara

(Zieman, 1987). Pada setiap stasiun penelitian di Teluk Lasongko sedikit

terdapat perbedaan, hal ini diduga disebabkan karena daerah perairannya yang

cenderung homogen dan tipe substrat yang tidak jauh berbeda. Tetapi

berdasarkan analisa ukuran butiran sedimen pada substrat dasar di empat

stasiun pengamatan yaitu Wanepa-nepa, Lakudo, Moko dan Wajogu

menunjukkan bahwa setiap stasiun ternyata mempunyai substrat yang sedikit

berbeda.

Page 76: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-61

Tabel 3.5. Hasil Analisa Ukuran Butir Pasir Substrat Di Setiap Stasiun Penelitian Stasiun Persentase Berat

No. Daerah No Lumpur Pasir Kerikil Jenis 1 26.35 65.86 7.79 Pasir berlumpur 1 Matawine 2 27.23 64.55 8.22 Pasir berlumpur 3 23.45 63.24 13.31 Pasir berlumpur 4 25.61 65.33 9.06 Pasir berlumpur 5 27.43 69.21 3.36 Pasir berlumpur 1 62.43 26.33 11.24 Lumpur berpasir 2 Lakudo 2 65.21 22.34 12.45 Lumpur berpasir 3 61.24 28.12 10.64 Lumpur berpasir 4 64.34 27.33 8.33 Lumpur berpasir 5 66.54 25.28 8.18 Lumpur berpasir 1 7.34 88.45 4.21 Pasir 3 Moko 2 8.34 89.37 2.29 Pasir 3 12.32 85.24 2.44 Pasir 4 11.23 84.22 4.55 Pasir 5 9.44 87.67 2.89 Pasir 1 66.23 21.34 12.43 Lumpur berpasir 4 Wajogu 2 64.33 24.12 11.55 Lumpur berpasir

3 67.45 20.33 12.22 Lumpur berpasir 4 68.34 23.22 8.44 Lumpur berpasir 5 63.56 24.33 12.11 Lumpur berpasir

B.2.5 Kondisi Terumbu Karang Umumnya perairan Teluk Lasongko memiliki terumbu karang dengan tipe

karang pantai (Freenging reef) dan juga karang gosong (Patch reef) yang

terpisah dari pantai hingga 4 km. Tujuh lokasi terumbu karang yang tersebar di

perairan teluk lasongko adalah Pasik (Terumbu karang): Bungi, Madongka, Bone

Marangi, Bunta, Bunging Balano, Katembe dan Bawona.

Gambar 3.28. Kondisi Terumbu Karang Teluk Lasongko

Page 77: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-62

Tujuh lokasi kelompok terumbu karang ini secara umum kondisinya

adalah rusak. Hal ini disebabkan oleh adanya aktivitas nelayan tradisional yang

melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak. Data pada

tahun 2001 menunjukkan daerah penangkapan ikan dengan bahan peledak di

Kecamatan Lakudo ialah pada perairan Waara, Wanepa-Nepa, Lolibu, dan

Boneoge dengan estimasi aktivitas 12 kali ledakan per hari atau 1.800 kali dalam

setahun, sedangkan yang tercatat di desa-desa di kecamatan Mawasangka

Timur jumlah ledakan per hari sekitar 15 kali atau 3.400 kali dalam setahun.

Setiap stasiun pengamatan terumbu karang hampir mempunyai ciri yang

sama dalam rataan terumbu karangnya yang ada, yaitu yang berada pada

kedalaman 3 meter hingga 5 meter dan pada bagian lereng sangat landai

dengan kontur rata. Karang ditemukan rata-rata pada kedalaman 5 meter sampai

8 meter dan selebihnya adalah pasir dan alga. Keberadaan alga cukup tinggi

diduga disebabkan karena pergerakan arus yang pada kolom air adalah lemah.

Penutupan alga yang besar mengindikasikan terjadinya proses pemulihan

(recovery) terhadap kondisi terumbu karang yang rusak, dimana karang lunak

(soft coral) dan alga lebih cepat tumbuh dan dominan dibanding karang keras

(hard coral).

Persentase penutupan karang hidup di Stasiun I di Karang Bungi, perairan

Mawasangka Timur menunjukkan nilai yang rendah yaitu 28,1 % dimana jenis

yang terbanyak adalah Pavona cactus (alga) dan Sinularia polydactyla (karang

lunak).

Stasiun II di Karang Madongka, memiliki karang yang cukup sehat karena

lebih beragam dan keberadaan unsur abiotik seperti pasir tidak terlalu besar.

Persentase penutupan karang hidup didaerah ini adalah 48,7 % dengan jenis

yang terbanyak adalah jenis Acropora nasuta.

Kondisi karang di stasiun III karang Bone Marangi mengarah pada kriteria

yang buruk, tetapi pada saat ini masih bisa dikatakan dalam keadaan sedang,

dengan mayoritas karang yang sudah hancur dengan sedimentasi yang tinggi.

Page 78: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-63

Persentase penutupan karangnya sebesar 37,12 % dengan jenis yang terbanyak

adalah Sinularia polydactyla.

Karang di Stasiun IV,Karang Bunta adalah dalam keadaan baik dengan

persentase 53,32 % tetapi sebenarnya adalah dalam keadaan tertekan karena

para nelayan semakin intens untuk melakukan pengeboman ikan yang

bersembunyi di balik karang. Jenis karang yang terbanyak pada stasiun ini

adalah jenis Pavona cactus yang terhampar seperti jamur dengan daun-daun

yang berwarna coklat.

Lobophytum strictum adalah jenis yang banyak terdapat di karang

Bunging Balano atau Stasiun V, dengan kondisi total karang kurang baik dan

persentase penutupan karang hidup 37,9 %.

Terumbu karang di Karang Katembe atau Stasiun VI adalah karang yang

paling baik untuk persentase karang hidupnya yaitu 58,7 %, dengan jenis karang

terbanyak dari jenis Pavona cactus dan Sinularia polydactyla.

Jenis yang terbanyak pada Stasiun VII di Karang Bawona adalah sama

dengan di Stasiun VI, yaitu dengan kondisi karang yang kurang baik dengan

persentase penutupan 52,06 % dan banyak jenis karang yang mulai mengalami

kerusakan pada setiap percabangannya.

Gambar 3.29. Jenis Pavona cactus (alga) dan Sinularia polydactyla (karang lunak)

B.2.6 Kondisi Perikanan Tangkap Potensi perikanan tangkap yang berada di Teluk Lasongko secara garis

besar adalah perikanan demersal, pelagis kecil dan ikan hias karang dengan

jenis- jenis ikan utama adalah Peperek Cina (Leiognathus spelendens), Peperek

Page 79: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-64

Bondolan (Gazza minuta), Tengiri Batang (Scomberomorus lineatus), Layur

(Trichiurus savala), dan Kembung (Restrelliger sp.).

Peralatan yang digunakan oleh para nelayan di perairan Teluk Lasongko

umumnya masih berupa alat yang belum modern. Nelayan Lasongko biasa

menggunakan alat seperti jaring apung (drift gill net), Lift net, jaring kepiting, dan

bagan apung.

Potensi ikan hias laut juga melimpah di perairan Teluk Lasongko

walaupun kondisi terumbu karang sangat tertekan. Ikan hias di perairan ini masih

melimpah disebabkan oleh kurangnya pengetahuan nelayan sekitar tentang nilai

ekonomi dari ikan hias tersebut, sehingga kurang terdapat aktivitas nelayan yang

menangkap ikan hias.

Tabel 3.6. Jenis ikan yang tertangkap dengan alat jaring apung di Teluk Lasongko

No Jenis Ikan Jumlah

Ekor Hasil Tangkapan per 1 kg Rata-rata(kg/trip) 1 Biji Nangka a, Upeneus molluccensis 22 0.5 2 Biji Nangka b, Upeneus tragula 19 0.5 3 Daun Bambu, Chorinemus tol 10 2 4 Ekor Kuning, Caesio erythrogaster 18 1 5 Gorara Lutjanus vitta 18 0.8 6 Jambian, Lutjanus lutjanus 25 0.3 7 Kakatua,Callyodon cyanognathus 10 1 8 Kapas-Kapas,Geres filamentosus 25 5

9 Kembung Lelaki, Rastrelliger brachysoma 10 3

10 Kembung Perempuan, Rastrelliger neglectus 8 4

11 Kerapu Lumpur,Epinephelus tauvina 15 0.7 12 Kerondong,Gymnothorax undulatus 8 1 13 Kucul,Sphyraena obtusata 5 3

14 Kurisi(Kambayan),Nemipterus hexodon 20 1

15 Kwee Ramping, Carangoides ciliarius 15 4

16 Kwee Rombeh,Alectis indicus 15 3 17 Layur,Trichiurus savala 17 5 18 Lingkis,Siganus canalitulatus 15 0.3 19 Parang-Parang,Chirocentrus dorab 10 2 20 Pari Kembang, Amphotistius kuhlii 3 3 21 Peperek Bondolan, Gazza minuta 30 10 22 Peperek Cina,Leiognathus 30 20

Page 80: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-65

spelendens 23 Rejum,Sillago sihama 15 1 24 Scorpion Kodok Biasa, Histrio histrio 17 0.5 25 Selar Kuning, Selaroides leptolepis 15 2 26 Sembilang, Plotosus canius 10 0.5 27 Talang Talang,Chorinemus tala 15 5 28 Tembang, Sardinella fimbriata 20 1

29 Tengiri Batang,Scomberomorus lineatus 10 7

30 Therapon theraps 20 0.3 31 Triger Biru,Odonos niger 18 0.2

Total 88.6

B.2.7 Kondisi Budidaya Laut Luas wilayah perairan laut di Kecamatan Lakudo untuk kegiatan budidaya

adalah 2.960 Ha. Dimana jumlah rumah tangga petani rumput laut di Kecamatan

Lakudo sebanyak 307 keluarga dan di Kecamatan Mawasangka sebanyak 228

keluarga dengan luas masing-masing area untuk satu keluarga adalah 6.85 Ha.

Kemudian untuk budidaya rumput laut saat ini dengan luasan areal potensi

budidaya yang ada diperkirakan produksi rumput laut dapat mencapai

24.098.040 kg/panen atau 96.392.160 kg/tahun.

Tabel 3.7. Jenis budidaya laut di Teluk Lasongko

No Desa Komoditas Luas (Ha) atau Unit Metode Budidaya

1 Wajogu Rumput Laut 5 Ha Tali Rentang Pembesaran Kerapu 4 Unit Karamba Tancap Pembesaran Rajungan 3 Unit Karamba Tancap 2 Lolibu Rumput Laut 15 Ha Tali Rentang Pembesaran Kerapu 12 Unit Karamba Tancap Pembesaran Rajungan 4 Unit Karamba Tancap 3 Matawine Pembesaran Kerapu 2 Unit Tambak Laut

4 Wanepa-Nepa Pembesaran Kerapu 1 Unit Karamba Jaring Apung

5 Boneoge Rumput Laut 40 Ha Tali Rentang Pembesaran Kerapu 1 Unit Tambak Laut 6 Madongka Rumput Laut 450 Ha Tali Rentang

Page 81: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-66

Gambar 3.30. Rumput laut jenis Euchema Cottonii

Gambar 3.31. Metode tali rentang untuk budidaya rumput laut

Rumput laut yang dibudidayakan adalah jenis Eucheuma cottonii, dengan

pembelian bibit atau biasa disebut petani satu tali bibit sepanjang 7 meter

seharga Rp. 30.000,- yang biasanya menghasilkan 3 sampai 4 kg rumput laut

kering dengan harga Rp. 4500,- per kg dan bisa dipanen setelah 45 hari. Selain

Page 82: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-67

budidaya rumput laut, di perairan Teluk Lasongko juga banyak dijumpai karamba

untuk budidaya ikan, lobster dan juga teripang.

Jenis-jenis ikan kerapu yang banyak dibudidayakan terdiri dari kerapu

lumpur (Ephinephelus coioides), kerapu macan (Ephinephelus fuscoguttatus),

kerapu tikus (Cromileptes altivelis), dan kerapu sunu (Plectropomus spp.). Waktu

yang diperlukan untuk pembesaran kerapu hingga mencapai berat ikan 9 ons

adalah cukup lama, yaitu berkisar antara 6 – 8 bulan, dengan harga jual untuk

Kerapu Lumpur Rp. 33.000,- per kg, Kerapu Sunu Rp. 40.000,- per kg, dan untuk

Kerapu Tikus Rp. 200.000,- per kg. Bibit biasanya diperoleh dari Pulau Tiworo,

daerah Muna Barat dengan harga beli bibit per ons sekitar Rp. 10.000,-.

Gambar 3.32. Karamba Jaring Apung

Page 83: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-68

Gambar 3.33. Karamba jaring tancap untuk pembesaran kerapu

Gambar 3.34. Lobster jenis Mutiara yang cukup ekonomis

Gambar 3.35. Cangkang hasil molting yang ke 8 kali

(kiri) dan tempat pembesaran Lobster (kanan)

Page 84: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 3-69

Pada budidaya udang karang / Lobster, biasanya para nelayan

mendapatkan bibit dari penyelam dengan berat rata – rata bibit sekitar 50 gram,

dan kemudian dibesarkan selama 8 – 10 bulan hingga mencapai berat 1,1 – 2,3

kg ( molting ± 8 kali ). Jenis Lobster yang dibudidayakan ada dua yaitu: Mutiara

dan Bamboo. Dua jenis Lobster ini memiliki nilai ekonomis cukup tinggi, dimana

untuk Lobster Mutiara pada harga lokal saja mencapai Rp. 130.000,- hingga Rp.

150.000,- per kilonya, sedangkan untuk Lobster Bamboo agak lebih murah

harganya, yaitu berkisar Rp. 70.000,- per kilonya. Pemasarannya, biasanya di

ambil oleh tengkulak yang datang ke tempat petani yang mempunyai tempat

pembesaran langsung.

B.3 Hasil Diskusi Kondisi fisik perairan Teluk Bone sangat dinamis karena areanya yang

sangat lebih luas dibandingkan dengan Teluk Lasongko. Masing-masing kondisi

fisik perairan ini akan mempengaruhi kehidupan ekosistem yang ada

didalamnya. Teluk Lasongko yang cenderung mempunyai kedalaman perairan

yang dangkal dan terlindung dari dinamika arus dan gelombang yang ekstrim

membuatnya sangat cocok digunakan untuk berbagai kegiatan budidaya di laut.

Kondisi fisik, kimiawi dan biologi perairan Teluk Bone yang lebih luas

dibandingkan Teluk Lasongko, tentunya akan bisa memberikan kekayaan alam

laut yang lebih melimpah, dimana daya dukung kelautan dan perikanan tersebut

bisa lebih dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk meningkatkan

kesejahteraannya.

Page 85: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 4-1

BAB IV PERMASALAHAN

Tidak ada gading yang tak retak, begitu kata orang bijak, dan memang

seperti itulah kenyataan yang terjadi didalam kegiatan riset ini. Permasalahan

timbul baik secara teknis pengambilan dana dari Management Project maupun

secara teknis pelaksanaan dalam kegiatan riset di lapangan.

Permasalahan keterlambatan dana dari Management Project merupakan

hal klasik yang terjadi. Hal ini adalah salah satu yang mempengaruhi ke-

efisienan jalannya kegiatan penelitian.

Permasalahan teknis yang muncul dalam pelaksanaan kegiatan riset

umumnya dalam hal jadual penggunaan wahana riset, peralatan (instrumen) dan

cuaca. Wahana riset yang digunakan pada survei kegiatan ini adalah Kapal

Phinisi Cinta Laut, milik Lembaga Perahu Universitas Hasanuddin, Makassar.

Dimana jadual riset Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Teluk Bone ini

seharusnya dilakukan dari tanggal 1 – 15 Agustus 2004, tetapi karena kondisi

cuaca yang ada kemudian menyebabkan kandasnya kapal tersebut pada 11

Agustus 2004. Sehingga target hasil riset yang diharapkan tidak bisa maksimal.

Gambar 4.1. Kapal Phinisi Cinta Laut sebagai Wahana dalam kegiatan riset ini

Page 86: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 5-1

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil simulasi model, pengukuran in situ parameter CTD,

analisa Nutrien dan Khlorofil, serta inventarisasi terumbu karang di Teluk Bone,

maka didapatkan kesimpulan fenomena yang terjadi pada periode Monsun

Tenggara (Bulan Agustus 2004) adalah sebagai berikut:

1. Elevasi permukaan laut pada kondisi Pasang Purnama adalah berkisar

0,0492 meter hingga 2,4140 meter. Sedangkan kecepatan arus

permukaan pada kondisi yang sama berkisar 0,5x10-3 m/dt hingga

12,25x10-3 m/dt, dengan arah dominan menyusur pantai timur yang

kemudian menuju ke arah Utara dan Barat.

2. Profil arus menjukkan adanya peristiwa downwelling di beberapa lokasi di

pantai barat dan upwelling di beberapa lokasi di pantai timur. Dimana

kisaran kecepatan arus vertikal yang menuju ke atas adalah 0,5x10-3 m/dt

hingga 3,5x10-3 m/dt, sedangkan kisaran kecepatan arus vertikal yang

menuju ke bawah adalah 0,5x10-3 m/dt hingga 4,6x10-3 m/dt. Kondisi arus

vertikal ke atas dari hasil simulasi model dalam hal ini didukung oleh

kondisi parameter CTD di Stasiun 1 yang mengindikasikan memang

adanya upwelling.

3. Kondisi temperatur air di permukaan berkisar antara 27,083 ºC hingga

29,029 ºC, sedangkan kisaran temperatur hingga di kedalaman rata-rata

150 meter adalah antara 17,677 ºC hingga 18,328 ºC. Dimana kisaran

salinitas di permukaan antara 33 PSU hingga 32,32 PSU, dan kisaran

salinitas di kedalaman rata-rata 150 meter mencapai 34,388 PSU hingga

34,860 PSU. Sedangkan kisaran densitas dari seluruh stasiun

pengamatan adalah 20 kg/m3 hingga 25 kg/m3.

4. Kadar nitrat berkisar antara 0,12 ppm-0,796 ppm. Kandungan nitrat yang

tinggi berasal dari laut dalam, disebabkan oleh arus vertikal yang bergerak

ke atas di perairan tersebut pada beberapa kedalaman tertentu menuju ke

Page 87: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 5-2

lapisan kolom air permukaan, peristiwa naiknya zat unsur hara dari dasar

laut menuju ke permukaan yang menunjukkan adanya peristiwa upwelling.

Kandungan nitrat yang rendah karena arus dalam yang kuat pada

kedalaman tersebut menyebabkan kandungan nitrat terbawa oleh massa

air yang berasal dari bagian selatan (mulut) teluk yang bergerak ke arah

utara sehingga zat hara yang berada pada bagian tersebut tidak sempat

mengalami pengendapan yang menyebabkan kandungan unsur hara

relatif lebih rendah.

Kandungan fosfat berkisar antara 0,5 ppm-1,152 ppm. Meningkatnya nilai

kandungan fosfat dikarenakan adanya peristiwa naiknya zat unsur hara

dari dasar laut menuju ke permukaan yang menunjukkan adanya peristiwa

upwelling. Rendahnya kandungan fosfat menunjukkan bahwa penyerapan

oleh fitoplankton berjalan dengan baik.

5. Tingginya nilai Khlorofil antara 1,426 mg/m3 - 1,722 mg/m3 dikarenakan

adanya penyinaran matahari yang cukup sehingga mendapatkan

intensitas cahaya yang di butuhkan Fitoplankton untuk dapat melakukan

proses fotosintesa.

Perairan Kep. Sembilan tergolong perairan yang subur sehingga masih

berada di dalam kisaran rata-rata untuk pertumbuhan fitoplankton.

6. Secara umum kondisi terumbu karang di daerah penelitian Kabupaten

Kolaka lebih baik dibandingkan kondisi terumbu karang di Kab. Sinjai. Hal

ini terlihat dari hasil persentase rata-rata dari seluruh stasiun yang ada,

tutupan karang hidup di Kab. Kolaka adalah sekitar 61 %, sedangkan di

Kab. Sinjai hanya sekitar 26,15 %. Dan tutupan karang mati di Kab.

Kolaka hanya sekitar 16 %, berbeda sekali dengan di Kab. Sinjai yang

mempunyai 43,63 %.

Page 88: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone – 5-3

Kondisi fisik, kimiawi dan biologi perairan Teluk Bone yang lebih luas

dibandingkan Teluk Lasongko, tentunya akan bisa memberikan kekayaan alam

laut yang lebih melimpah, dimana daya dukung kelautan dan perikanan tersebut

bisa lebih dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk meningkatkan

kesejahteraannya.

B. SARAN Adapun saran yang bisa diberikan berdasarkan pelaksanaan kegiatan

riset KAJIAN DAYA DUKUNG LAHAN LAUT DI PERAIRAN TELUK BONE ini

pada tahun 2004, adalah sebagai berikut:

1. Diperlukan koordinasi yang lebih baik antara pihak Management Project

dengan pihak Penanggungjawab Kegiatan serta pihak Penanggungjawab

Program, agar bisa saling membantu untuk kelancaran kegiatan

pencairan dana dan pemenuhan laporan administratif.

2. Diperlukan koordinasi dari Penanggungjawab Kegiatan dengan pelaksana

kegiatan dan juga dengan tim kegiatan riset yang lain untuk bisa

mengefisienkan kegiatan riset dalam hal penggunaan alat (instrumen)

atau wahana riset, serta memperhitungkan kondisi cuaca/monsun yang

ada.

3. Diperlukan suatu kebijakan dari para pimpinan kantor untuk mengadakan

asuransi bagi para peneliti yang kerja di laut, dan juga asuransi bagi

peralatan (instrumen) untuk berjaga-jaga dari sesuatu musibah yang tidak

diinginkan, karena melakukan suatu pekerjaan di laut adalah beresiko

tinggi.

Page 89: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - DP-1

DAFTAR PUSTAKA

1. Basmi, J., 1995. Ekologi Plankton. Fakultas Perikanan IPB. 2. Barnes, R. S. K., and R. N. Hughes., 1999. An Introduction to Marine Ecology

Third Edition. University Press, Cambridge. 3. Black, K.P., 2002. Model 3DD Descriptions and User’s Guide. ASR Ltd. Hamilton

– New Zealand. 4. Christensen, V., and D. Pauly. 1992. ECOPATH II – A software for balancing

steady-stae models and calculating network characteristics. Ecol. Model. (61): 169-185

5. Clarke, A.L. 2002. Assessing the Carrying Capacity of the Florida Keys. Population and Environment. (23): 405 – 418

6. Dhont, A. 1988. Carrying Capacity: A confusing concept. Acta Oecologia (9): 337 – 346

7. English, S., C. Wilkinson, and V. Baker, 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Austyralian Institute of Marine Science. Townsville.

8. Hatayama, T., Awaji, T., Akimoto, K., 1996. Tidal Currents in the Indonesian Seas and Their Effect on Transport and Mixing. Journal of Geophysical Research, 101, No. C5, American Geophysical Union, 12353-12373

9. Kurniawati, N., 2003. Kajian Massa Air dan Dinamika Arus di Selat Sunda. Tesis Magister, Bidang Khusus Oseanografi, Program Studi Oseanografi dan Sains Atmosfer, Program Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung, Bandung.

10. Mackentum, 1969. The Practise of Water Polution Biology. United Store Departement of Tehnical Support.

11. Marshall, S. and M. Elliot. 1998. Environmental influences on the fish assemblages of the Humber estuary, UK. Estuarine, Coastal and Shelf Science. (46): 175-184.

12. Matsumoto, K., 1996. ORI Description dalam A Collection of Global Ocean Tide Models CD ROM. Jet Propulsion Laboratory, Physical Oceanography Distributed Active Archieve Center, NASA, US.

13. Nybakken, J. W., (1998), Marine Biology: An Ecological Approach. The 3rd edition. Harper Collins College Publisher, New York.

14. Parsons, T.R., Takahashi, M., Hargrave, B., 1984. Biological Oceanographic Processes. Third Edition. Pergamon Press, 26.

15. Pauly, D., and V. Christensen. 1995. Primary Production required to sustain global fisheries. Nature (374): 255-257

16. Pawlowicz, R., Beardsley, B., Lentz, S., 2002. Classical Tidal Harmonic Analysis Including Error Estimates in MATLAB using T_TIDE. Computer and Geosciences, 28, p. 929-937.

17. Pond, S., G. L. Pickard., (1995), “Introductory Dynamical Oceanography”, 2nd Edition, Butterworth-Heinemann, Oxford.

18. Pugh, D.T., 1987. Tides, Surges, and Mean Sea-Level: A Handbook for Engineers and Scientists. John Wiley & Sons Ltd, Great Britain.

Page 90: Kajian Daya Dukung Lahan Laut di Perairan Teluk Bone

Kajian Daya Dukung Lahan Laut Di Perairan Teluk Bone - DP-2

19. Rivera, P.C., 1997. Hydrodynamics, Sediment Transport, and Light Extinction Off Cape Bolinao, Philippines. Dissertation, the Wageningen Agricultural University and the International Institut for Infrastructural, Hydraulic and Environmental Engineering, A.A. Balkema Publishers, Rotterdam.

20. Suari, 1999. Hubungan Antara Produktivitas Primer dengan Kandungan Zat Hara (Fosfat, Nitrat dan Silikat) di Perairan Teluk Bone Bulan Februari 1995. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.

21. Wyrtki, K., 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asian Waters. Naga Report Vol. 2. Scripps Institution of Oceanography, La Jolla, California.