KAJIAN DAMPAK KESEPAKATAN PERDAGANGAN · PDF filekajian dampak kesepakatan perdagangan bebas...

216
KAJIAN DAMPAK KESEPAKATAN PERDAGANGAN BEBAS TERHADAP DAYA SAING PRODUK MANUFAKTUR INDONESIA JAKARTA 2011

Transcript of KAJIAN DAMPAK KESEPAKATAN PERDAGANGAN · PDF filekajian dampak kesepakatan perdagangan bebas...

KAJIAN DAMPAK KESEPAKATAN

PERDAGANGAN BEBAS

TERHADAP DAYA SAING PRODUK

MANUFAKTUR INDONESIA

JAKARTA – 2011

DITERBITKAN OLEH: PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANGAN

Kementerian Perdagangan

Jl. M.I Ridwan Rais No. 5, Jakarta Pusat Telp/Fax. (021) 3860371 www. Kemendag.go.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan perekonomian dunia dan pola hubungan antar negara yang

secara umum memperlihatkan jarak antar satu negara dengan negara lain yang

menurun, membuat semakin terbukanya perdagangan antar negara dan

meningkatnya akses pasar produk ke negara lain. Keterbukaan ekonomi dan

perdagangan memberikan konsekuensi dua hal secara sekaligus, yaitu tantangan

dan peluang. Semakin terbukanya perdagangan antar satu negara dengan negara

lainnya dapat memberikan peluang meningkatnya akses pasar produk dalam

negeri di pasar internasional sekaligus juga tantangan terhadap daya saing industri

dalam negeri terhadap produk luar negeri.

Perdagangan bebas antar negara ditunjukkan dengan tarif bea masuk relatif

rendah. Indonesia memiliki rata-rata tarif bea masuk Most Favored Nation (MFN)

relatif rendah pada tahun 2010, yaitu mencapai 7,69 persen. Rendahnya tarif bea

masuk atas barang impor tersebut mendorong peningkatan impor Indonesia,

sehingga terjadi juga perubahan pasar asal impor. Peningkatan importasi

mengakibatkan adanya persaingan antara barang impor dan barang produksi

dalam negeri, sehingga dituntut adanya daya saing produk dalam negeri untuk

dapat bersaing di pasar negara tujuan dan pasar domestik.

Secara teoritis, perdagangan bebas dapat memberikan keuntungan secara

ekonomi karena meningkatnya akses pasar dan surplus ekonomi secara

keseluruhan. Sekalipun demikian, pandangan yang menyetujui perdagangan bebas

ini dihadapkan oleh pandangan kaum proteksionis, di mana seharusnya industri

dalam negeri dilindungi dari persaingan keras perdagangan dunia. Di sini

muncullah infant industry argument, yaitu suatu argumen bahwa industri

domestik seharusnya dilindungi negara hingga kelak mampu bersaing di pasar

internasional.

Perdagangan bebas tentunya juga memberikan sejumlah manfaat, seperti

terbukanya akses pasar barang dan jasa, terpenuhinya bahan baku, bahan

2

penolong, dan barang modal, peningkatan investasi yang akan mempengaruhi

struktur industri, mendorong adanya peningkatan kapasitas (capacity building)

untuk peningkatan daya saing industri domestik, dan peningkatan daya beli

masyarakat. Namun, perdagangan bebas tidak akan dapat memberikan manfaat

yang besar jika daya saing industri dalam negeri jauh lebih rendah dibandingkan

dengan industri luar negeri.

Hingga saat ini, Indonesia telah menjalin kesepakatan perdagangan bebas

dengan beberapa negara mitra dagang, yaitu ASEAN (ASEAN Trade in Goods

Agreement (ATIGA)), ASEAN–China Free Trade Area (AC-FTA), ASEAN-

Korea FTA (AK-FTA), Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-

EPA), ASEAN-India FTA (AI-FTA), dan ASEAN-Australia-New Zealand FTA

(AANZ-FTA). Selain itu, Indonesia juga sedang melakukan kerjasama

komprehensif dengan beberapa negara, antara lain ASEAN-Japan Comprehensive

Economic Partnership (AJ-CEP) dan Indonesia-EFTA Comprehensive Economic

Partnership Agreement (Indonesia-EFTA CEPA). Kesepakatan tersebut secara

langsung maupun tidak langsung akan berdampak terhadap perekonomian

Indonesia.

Implementasi kesepakatan perdagangan bebas membawa konsekuensi

terhadap daya saing produk, baik daya saing di pasar internasional maupun daya

saing di pasar domestik. Produk manufaktur merupakan produk andalan Indonesia

dengan rata-rata pangsa ekspor terhadap ekspor non migas Indonesia sebesar 77,6

persen pada tahun 2008-2010 dengan tren cenderung meningkat sebesar 5,3

persen selama tiga tahun terkahir. Selain itu juga, muncul berbagai permasalahan

yang terkait dengan pemanfaatan preferensi dengan negara-negara yang telah

menjalin kerja sama dengan Indonesia. Untuk itu perlu dilakukan kajian dampak

kesepakatan perdagangan bebas terhadap daya saing produk manufaktur

Indonesia.

3

Gambar 1.1 Kesepakatan Perdagangan Bebas Indonesia dengan Negara-negara

Mitra

Sumber: www.mapsofworld.com

Dari beberapa kesepakatan perdagangan bebas yang disepakati Indonesia,

kesepakatan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA)

merupakan kesepakatan bilateral yang disepakati pada tahun 2008 dan dipilih

sebagai fokus dalam studi ini. Pemilihan Jepang tentunya tidak terlepas dari

signifikansinya negara ini dalam perdagangan internasional Indonesia.

Hubungan kerjasama Indonesia–Jepang telah berjalan selama lebih dari 50

tahun. Bagi Indonesia, Jepang merupakan negara mitra dagang utama, baik dalam

hal ekspor maupun impor. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik-BPS (Februari

2011), Jepang menempati peringkat pertama dengan pangsa pasar 12,72 persen

sebagai negara tujuan ekspor non migas Indonesia pada tahun 2010. Sementara

itu, pada tahun yang sama posisi Jepang sebagai negara asal produk impor non

migas menempati peringkat kedua setelah Republik Rakyat Tiongkok (RRT)

dengan pangsa pasar 15,62 persen (Gambar 1.2).

AANZ-FTA

4

NEGARA LAINNYA

20.76%

RRT18.19%

JEPANG15.62%

SINGAPURA

9.29%

AMERIKA SERIKAT

8.59%

THAILAND6.86%

KOREA SELATAN5.17%

MALAYSIA

4.18%

AUSTRALIA3.78%

JERMAN2.76%

TAIWAN2.73%

PERANCIS

1.22%INGGRIS

0.87%

Pangsa Impor Non Migas Menurut Negara Asal Tahun 2010

NEGARA LAINNYA35.60%

JEPANG

12.72%RRT10.85%

AMERIKA SERIKAT

10.27%

SINGAPURA7.36%

MALAYSIA5.98%

KOREA SELATAN5.29%

THAILAND

3.13%

TAIWAN2.51%

JERMAN2.30%

AUSTRALIA1.82%

INGGRIS1.31%

PERANCIS0.87%

Pangsa Ekspor Non Migas Menurut Negara Tujuan Tahun 2010

Gambar 1.2 Posisi Jepang Sebagai Negara Mitra Dagang Utama Indonesia

Sumber: BPS (Februari 2011), diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag.

Produk non migas utama yang diekspor Indonesia ke Jepang, antara lain Biji

Logam, Kerak dan Abu, Bahan Bakar Mineral/Minyak Mineral, Nikel dan Barang

daripadanya, Mesin Perlengkapan Elektris, Karet dan Barang daripadanya,

Tembaga dan Barang daripadanya, Kayu dan Barang Dari Kayu, Reaktor Nuklir,

Ketel, Mesin dan Perak, Ikan dan Krustasea, Moluska, Kertas dan Kertas Karton.

Adapun produk non migas utama yang diimpor Indonesia dari Jepang, meliputi

Reaktor Nuklir, Ketel, Mesin dan Perak, Mesin dan Perlengkapan Elektris serta

Bagiannya, Kendaraan yang Bergerak di stas Rel Kereta Api atau Trem dan

Bagiannya, Bagian-Bagian Otomotif, Besi dan Baja, Barang dari Besi atau Baja,

Plastik dan Barang daripadanya, Karet dan Barang daripadanya, Tembaga dan

Barang daripadanya, dan Bahan Kimia Organik, sebagaimana tersaji dalam Tabel

1.1 dan Tabel 1.2. Beberapa produk non migas utama tersebut merupakan produk-

produk industri manufaktur Indonesia yang diekspor ke Jepang dan diimpor dari

Jepang.

5

Tabel 1.1 Komposisi Ekspor Non migas 10 Produk Utama Indonesia ke Jepang

Berdasarkan HS 2 Dijit TREND (%) PERUB. (%) PANGSA (%)

2006 2007 2008 2009 2010 06-10 10/09 2010

Total Ekspor 12,198.6 13,092.8 13,795.3 11,979.0 16,496.5 5.3 37.7 100.0

26 Bijih logam, terak dan abu 2,022.8 1,541.2 1,730.3 2,152.5 2,984.2 11.8 38.6 18.1

27 Bahan bakar mineral, minyak mineral dan produk sulingannya; zat mengandung bitumen; malam mineral1,360.2 1,331.4 2,085.2 2,193.2 2,802.0 21.5 27.8 17.0

75 Nikel dan barang daripadanya 1,225.0 2,128.8 1,380.2 581.3 1,430.8 -9.4 146.1 8.7

85 Mesin dan perlengkapan elektris serta bagiannya; perekam dan pereproduksi suara, perekam dan pereproduksi gambar dan suara televisi, serta bagian dan aksesori dari barang tersebut1,009.8 1,105.0 1,212.7 907.9 1,233.3 2.1 35.8 7.5

40 Karet dan barang daripadanya 892.5 1,031.9 1,327.4 727.4 1,232.6 3.0 69.5 7.5

74 Tembaga dan barang daripadanya 244.4 593.9 201.2 563.8 839.4 27.3 48.9 5.1

44 Kayu dan barang dari kayu; arang kayu 1,009.4 816.2 697.7 572.2 735.3 -9.4 28.5 4.5

84 Reaktor nuklir, ketel, mesin dan peralatan mekanis; bagian daripadanya520.9 606.6 759.8 568.0 588.1 1.8 3.5 3.6

03 Ikan dan krustasea, moluska serta invertebrata air lainnya578.7 519.3 528.6 518.9 570.6 -0.3 10.0 3.5

48 Kertas dan kertas karton; barang dari pulp kertas,dari kertas atau dari kertas karton318.2 280.7 347.0 402.8 447.2 11.0 11.0 2.7

Sub total 9,181.8 9,954.9 10,270.2 9,188.1 12,863.6 6.1 40.0 78.0

Lainnya 3,016.7 3,137.9 3,525.1 2,790.9 3,632.9 2.6 30.2 22.0

NILAI (JUTA US $)HS2 URAIAN

Sumber: BPS (2011), diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag.

Tabel 1.2 Komposisi Impor Non migas 10 Produk Utama Indonesia dari Jepang

Berdasarkan HS 2 Dijit TREND (%) PERUB. (%) PANGSA (%)

2006 2007 2008 2009 2010 06-10 10/09 2010

Total Impor 5,488.0 6,472.7 14,864.7 9,810.5 16,910.7 30.6 72.4 100.0

84 Reaktor nuklir, ketel, mesin dan peralatan mekanis; bagian daripadanya 1,803.4 2,233.5 4,265.2 2,777.9 5,135.9 26.0 84.9 30.4

85 Mesin dan perlengkapan elektris serta bagiannya; perekam dan pereproduksi suara, perekam dan pereproduksi gambar dan suara televisi, serta bagian dan aksesori dari barang tersebut367.1 458.8 1,963.9 1,265.1 1,952.7 54.6 54.4 11.5

87 Kendaraan selain yang bergerak di atas rel kereta api atau trem, dan bagian serta aksesorinya875.9 582.3 1,974.4 829.1 1,714.0 18.5 106.7 10.1

98 Ketentuan Khusus 0.0 406.6 821.7 740.1 1,627.3 - 119.9 9.6

72 Besi dan baja 535.6 705.2 1,526.3 941.7 1,574.5 27.7 67.2 9.3

73 Barang dari besi atau baja 261.5 261.7 694.2 569.5 894.9 38.2 57.1 5.3

39 Plastik dan barang daripadanya 244.6 285.4 496.8 418.2 633.4 25.7 51.5 3.7

40 Karet dan barang daripadanya 179.5 228.0 422.7 369.4 483.2 27.9 30.8 2.9

74 Tembaga dan barang daripadanya 23.3 29.8 255.1 190.7 446.0 117.3 133.8 2.6

29 Bahan kimia organik 280.7 293.0 376.9 317.9 417.8 9.2 31.5 2.5

Sub total 4,571.5 5,484.3 12,797.1 8,419.7 14,879.8 32.2 76.7 88.0

Lainnya 916.5 988.3 2,067.6 1,390.8 2,030.9 21.3 46.0 12.0

HS2 URAIANNILAI (JUTA US $)

Sumber: BPS (Februari 2011), diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag.

Selain sebagai negara mitra dagang utama Indonesia, Jepang juga merupakan

salah satu investor utama di Indonesia. Realisasi investasi Penanaman Modal

Asing (PMA) Jepang di Indonesia pada tahun 2010 mencapai US$ 712,6 juta

yang meliputi 323 proyek. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa Jepang

mempunyai peranan yang cukup dominan dalam perekonomian Indonesia,

khususnya terhadap pengembangan investasi di Indonesia.

Dalam rangka meningkatkan hubungan kerjasama ekonomi yang lebih

komprehensif antara Indonesia dengan Jepang, Presiden RI Susilo Bambang

Yudhoyono dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe pada tanggal 20 Agustus

2007 menyepakati adanya kemitraan ekonomi antara Indonesia dengan Jepang

melalui penandatanganan Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-

6

EPA). Kesepakatan ini merupakan perjanjian perdagangan bebas bilateral pertama

yang dilakukan oleh Indonesia, yang disahkan melalui Peraturan Presiden No. 36

Tahun 2008 tentang Pengesahan Agreement Between The Republic of Indonesia

and Japan for an Economic Partnership (Persetujuan antara Republik Indonesia

dan Jepang mengenai Suatu Kemitraan Ekonomi) dan mulai berlaku efektif pada

tanggal 1 Juli 2008.

Terdapat beberapa alasan yang mendasari Indonesia untuk menjalin

kerjasama melalui EPA dengan Jepang, di antaranya adalah:

1. Jepang merupakan mitra dagang dan investor utama buat Indonesia dan

Indonesia merupakan penerima bantuan asing (official development assistance

- ODA) terbesar dari Jepang sejak tahun 1970 hingga 1999.

2. Jepang merupakan negara tujuan utama ekspor Indonesia hingga tahun 2007

dengan penyerapan sekitar 20 persen dari seluruh produk ekspor Indonesia

yang diekspor ke Jepang dan Jepang merupakan negara asal impor terbesar

Indonesia hingga tahun 2007 dengan penyerapan sebesar 13 persen dari total

impor Indonesia.

3. EPA dikonsepkan sebagai economic partnership agreements yang merupakan

perjanjian area bebas plus plus yang meliputi perdagangan produk, jasa,

investasi, tenaga kerja dan juga pengadaan kerjasama dibidang keuangan,

information and communications technology (ICT) serta promosi

dagang/investasi dan menempatkan Indonesia sejajar dengan negara lain di

ASEAN yang telah memiliki perjanjian dengan Jepang seperti Malaysia,

Filipina, Singapura dan Thailand, sedangkan Brunei dan Vietnam menyusul.

IJ-EPA mencakup tiga pilar utama, yaitu liberalisasi berupa penghapusan/

pengurangan hambatan perdagangan (penyederhanaan pengurusan, bea masuk,

pemberian kepastian hukum), fasilitasi perdagangan berupa pengurangan biaya

perdagangan dan peningkatan kinerja bea cukai penanganan di pelabuhan dan

jasa-jasa yang terkait dengan perdagangan, dan kerjasama di berbagai bidang di

luar perdagangan di mana Jepang berkomitmen untuk melakukan kegiatan

capacity building bagi Indonesia.

7

Selain itu, IJ-EPA merupakan sebuah free trade agreement new-age yang

terdiri dari tiga belas isu komprehensif dan bersifat World Trade Organization

(WTO) plus (melebihi kesepakatan-kesepakatan yang sudah diatur WTO)

ditambah capacity building sebagai bagian dari partnership agreement. Tiga belas

unsur dalam IJ-EPA meliputi 1) Trade in Goods, 2) Trade in Services, 3) Rules of

Origin (ROO), 4) Investment, 5) Improvement of Business Confidence, 6)

Movement of Natural Persons, 7) Energy and Mineral Resources, 8) Customs

Procedures, 9) Intellectual Property Rights, 10) Competition Policy, 11)

Technical Cooperation and Capacity Building, 12) General Provisions, dan 13)

Government Procurement.

Adapun tujuan IJ-EPA adalah untuk meningkatkan perdagangan kedua

negara, mendorong peningkatan investasi Jepang di Indonesia yang diharapkan

selanjutnya dapat mengembangkan industri dan teknologi serta memperdalam

keterlibatan Indonesia dalam jaringan produksi regional dan internasional.

Peningkatan investasi dapat membuka sekaligus penyerapan tenaga kerja yang

besar di Indonesia.

Dalam IJ-EPA, untuk perdagangan barang disepakati moda penurunan tarif

bea masuk dilakukan secara bertahap, dimana dalam penurunan tarif tersebut

terdapat beberapa kategori produk, salah satunya adalah produk yang masuk

dalam skema User Specific Duty Free Scheme (USDFS). USDFS adalah

pemberian fasilitasi yang dipercepat untuk produk Jepang yang masuk ke

Indonesia terkait dengan industri driven sector (otomotif, elektronik, alat berat,

dan pembangkit energi) dengan syarat utama digunakan sebagai bahan baku dan

belum diproduksi / tidak ekonomis dibuat di dalam negeri.

Sebagai kompensasi terhadap pemberian fasilitas USDFS oleh Indonesia,

pihak Jepang akan membantu Indonesia untuk meningkatkan daya saing

produknya, sehingga bisa melewati batas toleransi hambatan non tarif di Jepang.

Bantuan Jepang tersebut tertampung dalam elemen cooperation, dan khusus

untuk produk industri difokuskan pada pengembangan industri manufaktur atau

disebut Manufacturing Industri Development Center (MIDEC). MIDEC berfungsi

sebagai motor penggerak untuk pembangunan kapasitas industri (industrial

8

capacity building) guna meningkatkan daya saing produk industri Indonesia yang

meliputi tiga belas sektor, yaitu metal working, welding, mold & dies, energy

conservation, export & investment promotion, SME’s, automotives,

electric/electronics, steel/ steel products, textile, petrochemical & oleochemicals,

nonferrous, dan food & beverages.

Seiring berjalannya waktu, pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA) Form

IJ-EPA relatif lebih rendah dibandingkan dengan kesepakatan perdagangan bebas

lainnya yang telah ditandatangani dan diimpelementasikan Indonesia.

Berdasarkan data Direktorat Fasilitasi Ekspor dan Impor Kementerian

Perdagangan, pada tahun 2010 pemanfaatan SKA Form IJ-EPA hanya sekitar 16

persen terhadap ekspor nonmigas Indonesia ke Jepang dengan nilai US$ 2,9 juta

dan total Form SKA IJ-EPA sebanyak 53.182 lembar. Hal tersebut menimbulkan

pertanyaan mengapa para pelaku usaha di Indonesia tidak memanfaatkan secara

maksimal kesepakatan perdagangan bebas Indonesia dengan Jepang tersebut.

Selain itu , muncul pertanyaan tentang daya saing produk manufaktur Indonesia di

pasar Jepang.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, untuk mengetahui permasalahan dan

dampak kesepakatan perdagangan bebas terhadap daya saing produk manufaktur

Indonesia, maka dilakukan kajian mengenai “Dampak Kesepakatan

Perdagangan Bebas Terhadap Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia.”

1.2 Pertanyaan Penelitian

Kajian ini berusaha menjawab beberapa pertanyaan penelitian sebagai

berikut:

1. Apa permasalahan yang menyebabkan rendahnya pemanfaaatan SKA Form IJ-

EPA?

2. Bagaimana dampak implementasi kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA

terhadap daya saing produk manufaktur Indonesia?

3. Bagaimana strategi peningkatan daya saing produk manufaktur Indonesia?

9

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan kajian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui permasalahan yang menyebabkan rendahnya pemanfaaatan SKA

Form IJ-EPA.

2. Menganalisis dampak kesepakatan perdagangan bebas terhadap daya saing

produk manufaktur Indonesia di pasar Jepang.

3. Memberikan rekomendasi kebijakan untuk peningkatan daya saing produk

manufaktur Indonesia.

1.4 Output dan Manfaat Penelitian

Adapun output dari kajian ini berupa laporan tentang bahan rekomendasi

dalam rangka merumuskan kebijakan dan strategi peningkatan pemanfaatan SKA

Form IJ-EPA dan peningkatan daya saing produk manufaktur Indonesia dalam

kerangka kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA. Kajian ini diharapkan dapat

digunakan oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam memperoleh

gambaran dan informasi tentang posisi pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan

posisi daya saing produk manufaktur Indonesia di pasar Jepang sebagai bahan

referensi. Di samping itu, hasil kajian ini diharapkan akan bermanfaat bagi para

pemangku kepentingan dalam merumuskan kebijakan peningkatan pemanfaatan

SKA Form IJ-EPA dan peningkatan daya saing produk manufaktur Indonesia di

pasar Jepang.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup kegiatan yang akan dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Aspek Produk Manufaktur Indonesia

a. Produk-produk manufaktur yang termasuk dalam skema perdagangan

bebas IJ-EPA berdasarkan klasifikasi produk HS 2007 (Lampiran I),

khususnya terhadap produk Fillet Ikan dan Daging Ikan Lainnya (Ikan),

Udang Kecil dan Udang Biasa (Udang), Mentega, Lemak, dan Minyak

Kakao (Kakao Olahan), Garmen dari Kain dari pos 56.02 atau 56.03

10

(Garmen), Perabotan Kayu Lainnya (Furnitur), dan Sak dan Kantong

(termasuk cone) dari Polimer Etilena (Barang dari Plastik).

b. Pemanfaatan SKA Preferensi Form IJ-EPA dan JI-EPA

2. Aspek Ekonomi

a. Analisis kinerja perdagangan Indonesia-Jepang untuk produk manufaktur

b. Analisis potensi daya saing produk manufaktur Indonesia

1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika dari penulisan laporan kajian ini disusun sebagai berikut:

BAB I Pendahuluan, mencakup latar belakang dilakukannya kegiatan ”Kajian

Dampak Kesepakatan Perdagangan Bebas terhadap Daya Saing Produk

Manufaktur Indonesia”, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, output dan

manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, kerangka pemikiran, dan sistematika

penulisan.

BAB II Tinjauan Pustaka, mengulas teori perdagangan internasional, teori

kebijakan perdaganan, teori integrasi ekonomi, teori daya saing, Indonesia-Japan

Economic Partnership Agreement (IJ-EPA), dan penelitian-penelitian sebelumnya

yang terkait dengan perdagangan bebas dan daya saing.

BAB III Metodologi Penelitian, meliputi kerangka pemikiran, metode analisis

yang digunakan, dan jenis dan sumber data akan dipaparkan dalam bab ini.

BAB IV Gambaran Umum Kinerja Perdagangan Jepang dan Indonesia,

mendeskripsikan perkembangan kinerja perdagangan Jepang dan Indonesia di

pasar dunia serta kinerja perdagangan bilateral Indonesia dan Jepang (termasuk

perubahan pola ekspor dan impor Indonesia-Jepang).

BAB V Gambaran Umum Kinerja Industri Manufaktur Indonesia, memaparkan

kontribusi sektor industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)

Indonesia, perkembangan dan struktur industri manufaktur Indonesia,

perkembangan rasio penyerapan tenaga kerja industri manufaktur Indonesia,

perkembangan investasi industri manufaktur Indonesia, dan kinerja beberapa

industri manufaktur Indonesia yang menjadi fokus kajian.

11

BAB VI Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi,

menjelaskan tentang pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan kendala implementasi

di berbagai daerah (Surabaya, Denpasar, Semarang, Medan, Bandung, Manado),

pemanfaatan SKA Form JI-EPA dan kendala implementasinya, studi kasus

pemanfaatan SKA Form JI-EPA dan JI-EPA di Jepang, dan studi kasus

kesepakatan perdagangan bebas bilateral Malaysia Jepang serta Thailand Jepang.

BAB VII Analisis Dampak Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas

terhadap Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia. Dalam bab ini akan diuraikan

tentang analisis dampak implementasi kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA

terhadap daya saing produk manufaktur Indonesia berdasarkan pangsa pasar dan

kinerja industri manufaktur Indonesia, dan strategi peningkatan daya saing produk

manufaktur Indonesia.

BAB VIII Kesimpulan dan Saran, menyimpulkan keseluruhan hasil kajian dan

memberikan rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing produk manufaktur

Indonesia di pasar Jepang.

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Perdagangan Internasional

Krugman dan Obstfeld (2004) menjelaskan bahwa terdapat dua alasan utama

setiap negara melakukan perdagangan internasional. Alasan pertama, negara-

negara melakukan perdagangan internasional adalah karena mereka berbeda satu

sama lain. Bangsa-bangsa di dunia ini, sebagaimana halnya individu-individu,

selalu berpeluang memperoleh keuntungan dari perbedaan-perbedaan di antara

mereka melalui suatu pengaturan sedemikian rupa sehingga setiap pihak dapat

melakukan sesuatu secara relatif lebih baik. Kedua, negara-negara berdagang satu-

sama lain dengan tujuan untuk mencapai apa yang lazim disebut sebagai skala

ekonomis (economics of scale) dalam produksi. Seandainya setiap negara dapat

membatasi kegiatan produksinya untuk menghasilkan sejumlah barang tertentu

saja, maka mereka berpeluang memusatkan perhatian dan segala macam sumber

dayanya, sehingga mereka dapat menghasilkan barang-barang tersebut dalam

skala yang lebih besar dan lebih efisien dibandingkan dengan jika negara tersebut

mencoba untuk memproduksi berbagai jenis barang secara sekaligus. Dalam dunia

nyata, pola-pola perdagangan internasional mencerminkan adanya interaksi yang

terus-menerus dari kedua motif dasar di atas.

Perdagangan internasional, dijelaskan juga oleh Krugman dan Obstfeld

(2004), dapat meningkatkan output dunia karena memungkinkan setiap negara

memproduksi sesuatu yang mereka kuasai keunggulan komparatifnya. Suatu

negara memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) dalam

memproduksi suatu barang kalau biaya pengorbanannya dalam memproduksi

barang tersebut (dalam satuan barang lain) lebih rendah daripada negara-negara

lainnya. Ada keterkaitan yang terpisahkan antara konsep keunggulan komparatif

dengan perdagangan internasional, yaitu perdagangan antara dua negara akan

menguntungkan kedua belah pihak jika masing-masing negara memproduksi dan

mengekspor produk yang keunggulan komparatifnya ia kuasai.

13

Masngudi (2006) menjelaskan bahwa pengertian perdagangan dalam ilmu

ekonomi adalah suatu proses tukar menukar yang didasarkan atas kehendak

sukarela dari masing-masing pihak. Aspek sukarela ini penting karena memiliki

implikasi fundamental, hal ini dilakukan apabila setiap pihak memperoleh

manfaat dan tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Motif pertukaran adalah

adanya manfaat dari perdagangan (gains from trade) yang ditunjukkan oleh garis

D-E pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Gains from Trade

Menurut Sadono Sukirno, manfaat perdagangan internasional adalah sebagai

berikut:

1. Memperoleh barang yang tidak dapat diproduksi di negeri sendiri. Banyak

faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan hasil produksi di setiap negara.

Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah kondisi geografi, iklim, tingkat

penguasaan teknologi dan lain-lain. Dengan adanya perdagangan internasional,

setiap negara mampu memenuhi kebutuhan yang tidak diproduksi sendiri.

2. Memperoleh keuntungan dari spesialisasi. Sebab utama kegiatan perdagangan

luar negeri adalah untuk memperoleh keuntungan yang diwujudkan oleh

spesialisasi. Walaupun suatu negara dapat memproduksi suatu barang yang

sama jenisnya dengan yang diproduksi oleh negara lain, tapi ada kalanya lebih

baik apabila negara tersebut mengimpor barang tersebut dari luar negeri.

14

3. Memperluas pasar dan menambah keuntungan. Terkadang, para pengusaha

tidak menjalankan mesin-mesinnya (alat produksinya) dengan maksimal karena

mereka khawatir akan terjadi kelebihan produksi, yang mengakibatkan

turunnya harga produk mereka. Dengan adanya perdagangan internasional,

pengusaha dapat menjalankan mesin-mesinnya secara maksimal, dan menjual

kelebihan produk tersebut keluar negeri.

4. Transfer teknologi modern. Perdagangan luar negeri memungkinkan suatu

negara untuk mempelajari teknik produksi yang lebih efesien dan cara-cara

manajemen yang lebih modern

Teori perdagangan internasional telah mengalami perkembangan. Masngudi

(2006) menjelaskan bahwa pada abad ke-16 dan 17 telah berkembang suatu

sistem kebijakan ekonomi yang dilakukan oleh para negarawan di Eropa, yang

oleh Adam Smith disebut dengan sistem merkantilisme (merchantilism). Aliran

Merkantilis mempunyai tujuan utama untuk mendirikan negara nasional yang kuat

dan memupuk kemakmuran nasional. Perdagangan internasional diharapkan harus

selalu terjadi surplus neraca perdagangan, sehingga terjadi pengumpulan logam

mulia yang diidentikkan dengan kemakmuran. Pemerintah membuat peraturan di

bidang perdagangan bagi kepentingan nasionalnya, yakni untuk mendorong

ekspor dan mengurangi serta membatasi impor (khususnya impor barang-barang

mewah). Di samping itu, pemerintah akan mendorong output dan kesempatan

kerja nasional.

Dalam hubungan ini, Adam Smith telah melemparkan kritik-kritiknya, baik

yang menyangkut pengertian kekayaan, masalah surplus neraca perdagangan,

maupun masalah campur tangan pemerintah yang demikian besar di bidang

perdagangan. Teori pra-klasik atau merkantilisme dianggap tidak relevan,

selanjutnya muncullah teori keunggulan absolut (absolute advantage theory) dari

Adam Smith. Adam Smith berpendapat bahwa kemakmuran suatu negara bukan

ditentukan oleh banyaknya logam mulia yang dimilikinya, tetapi ditentukan oleh

sumber daya ekonomi dan produksi hasil tenaga kerja. Keuntungan perdagangan

internasional tergantung pada produktivitas tenaga kerja yang dimiliki oleh

15

masing-masing negara dalam mengelola sumber daya alam yang dimilikinya.

Semakin tinggi produktivitas dan efisiensi, maka negara akan dapat lebih

menekan ongkos-ongkos produksinya. Negara akan mengekspor barang tertentu

karena negara tersebut bisa menghasilkan barang dengan biaya yang secara

mutlak lebih murah daripada negara lain. Menurut Adam Smith, peranan

pemerintah harus dikurangi guna menciptakan perdagangan bebas. Dengan

adanya perdagangan bebas, maka akan menimbulkan persaingan yang semakin

ketat. Hal ini akan mendorong masing-masing negara untuk melakukan

spesialisasi dan pembagian kerja internasional berdasarkan keunggulan

absolutnya. Melalui perdagangan internasional akan diperoleh barang yang lebih

banyak, lebih bervariasi, meningkatkan konsumsi dan demikian pula peningkatan

kemakmuran (Masngudi, 2006).

David Ricardo menilai bahwa teori keunggulan absolut yang dikemukakan

oleh Adam Smith memiliki kelemahan. David Ricardo berusaha

menyempurnakan kelemahan dalam teori keunggulan absolut dengan teori

keunggulan komparatif (comparative advantage theory). Menurut teori

keunggulan komparatif, nilai penukaran suatu barang didasarkan pada biaya

komparatif dan nilai kegunaan/manfaat. Dengan teori keunggulan komparatif,

masing-masing negara akan mengambil sesuatu yang relatif efisien. Perdagangan

antarnegara akan terjadi jika masing-masing negara memperoleh manfaat dengan

spesialisasi yang lebih efisien. Dengan adanya spesialisasi, maka akan terjadilah

pembagian kerja internasional yang makin efisien, realokasi faktor-faktor

produksi, dan mobilitas faktor-faktor produksi di dalam negeri yang pada

akhirnya mendorong terjadinya persaingan di pasar faktor produksi. Walaupun

suatu negara memiliki keunggulan absolut, perdagangan akan tetap

menguntungkan bagi kedua negara.

John Stuart Mill berusaha menyempurnakan teori keunggulan komparatif

dengan menyatakan bahwa suatu negara akan menghasilkan dan kemudian

mengekspor suatu barang yang memiliki keunggulan komparatif terbesar dan

mengimpor barang yang memiliki ketidakunggulan komparatif (suatu barang yang

dapat dihasilkan dengan lebih murah dan mengimpor barang yang kalau

16

dihasilkan sendiri memakan biaya yang lebih besar). Dengan kata lain, dasar tukar

perdagangan internasional yang sebenarnya ditentukan oleh permintaan timbal

balik. Hal ini akan stabil bilamana nilai ekspor suatu negara cukup untuk

membayar nilai impornya. Berdasarkan teori ini, nilai suatu barang ditentukan

oleh banyaknya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut

sedangkan dasar nilai pertukaran ditentukan dengan batas-batas nilai tukar

masing-masing barang di dalam negeri (Masngudi, 2006).

Teori Heckscher-Ohlin (H-O), yang merupakan teori perdagangan

internasional modern, mencoba menjawab kelemahan teori klasik keunggulan

komparatif dalam menjelaskan mengenai penyebab perbedaan produktivitas.

Menurut Heckscher-Ohlin, penyebab perbedaan produktivitas dikarenakan adanya

jumlah atau proporsi faktor produksi yang dimiliki (endowment factors) oleh

masing-masing negara, sehingga selanjutnya menyebabkan terjadinya perbedaan

harga barang yang dihasilkan. Oleh karena itu, teori modern H-O dikenal dengan

The Proportional Factor Theory. Negara-negara yang memiliki faktor produksi

relatif banyak atau murah dalam memproduksinya akan melakukan spesialisasi

produksi untuk kemudian mengekspor barangnya. Sebaliknya, masing-masing

negara akan mengimpor barang tertentu jika negara tersebut memiliki faktor

produksi yang realtif langka atau mahal dalam memproduksinya (Darwanto). Di

samping itu, penyebab perbedaan produktivitas lainnya adalah faktor intensitas

(factor intensity), yaitu teknologi yang digunakan di dalam proses produksi (labor

intensity atau capital intensity). Teori H-O menggunakan dua kurva, yaitu kurva

isocost (kurva yang menggambarkan total biaya produksi yang sama) dan kurva

isoquant (kurva yang menggambarkan total kuantitas produk yang sama).

Kelemahan dari teori H-O yaitu jika jumlah atau proporsi faktor produksi yang

dimiliki masing-masing negara relatif sama maka harga barang yang sejenis akan

sama pula sehingga perdagangan internasional tidak akan terjadi.

Studi empiris Wassily Leontief pada tahun 1953 mengemukakan fakta

struktur perdagangan luar negeri Amerika Serikat pada tahun 1947 bertentangan

dengan teori H-O. Pada tahun tersebut Amerika Serikat cenderung mengekspor

produk padat tenaga kerja dan mengimpor produk padat modal padahal secara

17

umum Amerika Serikat diasumsikan sebagai negara yang relatif memiliki banyak

modal dan tenaga kerja yang lebih sedikit dibandingkan dengan negara lain.

Pertentangan kesimpulan ini kemudian dikenal dengan sebutan Paradoks Leontief.

Berdasarkan penelitian lebih lanjut yang dilakukan ahli ekonomi perdagangan

ternyata paradox liontief tersebut dapat terjadi karena empat sebab utama, yaitu

intensitas faktor produksi yang berkebalikan, tarif dan hambatan non tarif,

perbedaan dalam skill dan human capital, dan perbedaan faktor sumber daya

alam. Adapun kelebihan dalam teori ini adalah jika suatu negara memiliki banyak

tenaga kerja terdidik, maka ekspornya akan lebih banyak. Sebaliknya, jika suatu

negara kurang memiliki tenaga kerja terdidik, maka ekspornya akan lebih sedikit.

Opportunity cost digambarkan sebagai production possibility curve (PPC)

yang menunjukkan kemungkinan kombinasi output yang dihasilkan suatu Negara

dengan sejumlah faktor produksi secara full-employment. Dalam hal ini bentuk

PPC akan tergantung pada asumsi tentang opportunity cost yang digunakan, yaitu

PPC Constant cost dan PPC increasing cost.

Offer Curve/Reciprocal Demand (OC/RD) diperkenalkan pertama kali oleh

dua ekonom Inggris, yaitu Marshall dan Edgeworth yang menggambarkan sebagai

kurva yang menunjukkan kesediaan suatu Negara untuk menawarkan/menukarkan

suatu barang dengan barang lainnya pada berbagai kemungkinan harga. Kelebihan

dari offer curve yaitu masing-masing negara akan memperoleh manfaat dari

perdagangan internasional yaitu mencapai tingkat kepuasan yang lebih tinggi.

Permintaan dan penawaran pada faktor produksi akan menentukan harga faktor

produksi tersebut dan dengan pengaruh teknologi akan menentukan harga suatu

produk. Pada akhirnya semua itu akan bermuara kepada penentuan keunggulan

komparatif dan pola perdagangan suatu negara. Kualitas sumber daya manusia

dan teknologi adalah dua faktor yang senantiasa diperlukan untuk dapat bersaing

di pasar internasional. Teori perdagangan yang baik untuk diterapkan adalah teori

modern yaitu teori offer curve.

18

2.2 Kebijakan Perdagangan Internasional

Komposisi, arah dan bentuk perdagangan internasional atau kegiatan

perdagangan internasional suatu negara tidak terlepas dari segala tindakan

pemerintahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Kebijakan

perdagangan internasional memiliki implikasi yang sangat luas, tidak hanya dalam

volume dan komposisi impor dan ekspor, tetapi juga pola investasi dan arah

pengembangan, tetapi juga kondisi persaingan, kondisi biaya, sikap pebisnis dan

wirausahawan, pola konsumsi, dsb. Oleh karena itu, kebijakan perdagangan

internasional sangat penting dalam keputusan kebijakan ekonomi suatu negara

dan kebijakan ini hanya salah satu bagian kebijakan makroekonomi yang harus

dikombinasikan dan bersifat mendorong pembangunan perekonomian suatu

negara.

Kebijakan perdagangan internasional dapat ditujukan untuk

melindungi/memproteksi industri dalam negeri yang sedang tumbuh (infant

industry) dan persaingan-persaingan barang-barang impor. Adapun tujuan

kebijakan perdagangan internasional yang bersifat proteksi adalah

memaksimalkan produksi dalam negeri, memperluas lapangan kerja, memelihara

tradisi nasional, menghindari resiko yang mungkin timbul jika hanya

menggantungkan diri pada satu komoditi dikhawatirkan akan terganggu jika

bergantung pada negara lain. Proteksi dapat dilakukan dengan penerapan berbagai

instrumen kebijakan perdagangan internasional berupa hambatan perdagangan

tarif maupun non tarif.

Kebijakan perdagangan internasional tidak hanya bersifat untuk

memproteksi, tetapi juga mendukung kebijakan perdagangan bebas yang

memungkinkan bila setiap negara berspesialisasi dalam memproduksi barang di

mana suatu negara memiliki komparatif. Pendukung kebijakan perdagangan bebas

menekankan bahwa kebijakan perdagangan bebas akan mengarah pada efisiensi

dan akan meningkatkan kesejahteraan nasional. Setelah PD II peranan

perdagangan internasional mengarah pada kebijakan perdagangan bebas. Hal ini

ditandai dengan terbentuknya the General Agreement on Tariffs and Trade

(GATT) yang melatarbelakangi lahirnya perundingan pengurangan tarif secara

19

multilateral melalui Most Favoured Nation (MFN) kepada seluruh anggota

GATT. Tidak hanya dalam kerangka pengurangan tarif, pada Putaran Uruguay

(1986-1993), tetapi juga mencakup subsidi, countervailing measures, anti-

dumping, technical barriers to trade, government procurement, dll (Gandolfo,

1998).

Kini peranan GATT digantikan oleh World Trade Organization (WTO) yang

terakhir telah menggelar Putaran Doha. Dewasa ini, WTO merupakan kerjasama

perdagangan bebas dalam tataran multilateral, bersifat non-diskriminasi, dan

resiprokal. Tak hanya melalui pengurangan tarif bea masuk secara multilateral,

upaya liberalisasi perdagangan dijalin melalui kebijakan kerjasama perdagangan

secara regional dan bilateral. WTO tidak hanya mencakup perdagangan barang

semata, melainkan meliputi juga perdagangan jasa yang terkait dengan aspek

kekayaan intelektual. Beberapa dasawarsa terakhir terjadi perluasan baik dalam

pengenaan hambatan perdagangan non tarif dan kebijakan diskriminasi komersial

(preferential trading agreement, PTA).

2.2.1 Instrumen Kebijakan Perdagangan Internasional

Tim Penulis Bank Indonesia (2008) memaparkan beberapa instrumen

kebijakan perdagangan internasional yang umum dipakai di berbagai

negara, antara lain:

1. Tarif impor tidak lain merupakan instrumen pajak yang dikenakan

pemerintah atas barang-barang impor. Penerapan tarif telah diterapkan

oleh berbagai negara selama berabad-abad sejak era merkantilis dan

telah menjadi salah satu metode yang paling umum, sederhana dan

mudah untuk mengumpulkan pendapatan pemerintah. Hingga Perang

Dunia (PD) I tarif dianggap dapat melindungi terhadap perdagangan

internasional dan dikenakan tanpa diskriminasi. Perlindungan atau

proteksionisme dapat dirasakan dari setiap kenaikan tarif yang

dikenakan karena tarif menaikkan biaya produk impor dari luar negeri

sehingga perusahaan domestik yang bersaing dengan produk impor

menjadi terlindungi. Terdapat dua jenis tarif impor, yakni tarif spesifik

20

dan tarif ad valorem. Meski sangat jarang, pemerintah pada dasarnya

dapat mengenakan kedua jenis tarif tersebut untuk barang yang sama

secara bersamaan. Hal ini dikenal dengan pengenaan tarif dua

komponen (two-part tariff).

2. Kuota impor adalah instrumen pembatasan kuantitas barang yang

dapat diimpor dalam kurun waktu tertentu. Pembatasan impor (kuota)

bertujuan untuk membatasi barang-barang impor, mencegah barang-

barang yang penting berada di tangan negara lain, menjamin

tersedianya barang-barang di dalam negeri dalam proporsi yang cukup,

dan untuk mengadakan pengawasan produksi serta pengendalian harga

guna mencapai stabilitas harga di dalam negeri. Gandolfo (1998)

menambahkan bahwa pemerintah biasanya mengeluarkan lisenssi/ izin

impor terkait dengan penerapan kuota impor untuk mengatur secara

langsung perdagangan internasional.

3. Voluntary exports restraints (VER) merupakan instrument pembatasan

yang dikenakan pemerintah negara eksportir terhadap kuantitas barang

yang diekspor dalam jangka waktu tertentu. VER muncul sebagai

reaksi setelah negara importir, umumnya yang mempunyai pasar yang

besar dan strategis, berupaya melindungi diri dari serbuan impor dari

negara ekspor tertentu.

4. Pajak (bea keluar) ekspor adalah instrumen pajak yang dikenakan pada

barang ekspor. Sepeti halnya tarif impor, pajak ekspor dapat berupa

pajak khusus ataupun pajak ad valorem. Pada umumnya pajak ekspor

dikenakan untuk melindungi konsumen atau produsen pengguna di

dalam negeri. Misalnya, Indonesia mengenakan pajak ekspor terhadap

ekspor kakao untuk melindungi produsen dalam negeri.

5. Subsidi merupakan kebijakan pemerintah untuk membantu menutupi

sebagian biaya produksi per unit barang produksi dalam negeri,

sehingga produsen dalam negeri dapat menjual barangnya lebih murah

dan bisa bersaing dengan barang impor. Dewasa ini pengenaan subsidi

21

ekspor dilakukan oleh negara maju untuk produk-produk pertanian,

meskipun hal ini melanggar salah satu aturan WTO.

6. Voluntary import expansion (VIE) merupakan instrumen kebijakan

perdagangan internasional yang lahir dari kesepakatan antara dua

negara mitra dagang untuk meningkatkan kuantitas impor tertentu

yang berasal dari salah satu negara tersebut. Kesepakatan ini banyak

dilatarbelakangi oleh keinginan untuk lebih menyeimbangkan arus

perdagangan bilateral antara kedua negara.

7. Dumping, kebijakan perdagangan internasional bertujuan untuk

mengadakan diskriminasi harga, yakni produsen menjual barang di

luar negeri lebih murah daripada di dalam negeri. Kekuatan monopoli

di dalam negeri yang lebih bersih daripada luar negeri dan terdapatnya

hambatan yang cukup kuat menjadi persyaratan yang harus dipenuhi

dalam kebijakan dumping.

2.2.2 Manfaat Perdagangan Bebas

Banyak studi yang berkesimpulan bahwa perdagangan bebas berimplikasi

positif bagi negara-negara yang terlibat. Di samping meningkatkan

kesejahteraan, Kindleberger dan Lindert berpendapat bahwa perdagangan

bebas juga meningkatkan kuantitas perdagangan dunia dan efisiensi. Urata

dan Kiyota menemukan bahwa FTA di Asia Timur memberi pengaruh

positif pada ekonomi. Ekspor dengan dengan daya saing tinggi akan

meningkat. Studi Saktyanu et al. menunjukkan penurunan subsidi ekspor

di negara maju berdampak pada peningkatan produksi pertanian Indonesia.

Berbeda dengan hasil studi yang secara umum memberikan dampak

positif, Haryadi et.al memperlihatkan bahwa liberalisasi perdagangan

dengan cara menghapus semua hambatan perdagangan berdampak pada

penurunan Produk Dometik Bruto Indonesia dan Australia-Selandia Baru.

Salah satu indikator untuk mengukur dampak kerjasama perdagangan

internasional adalah dengan melihat terjadinya trade diversion dan trade

creation. Efek positif, yaitu trade creation adalah terjadinya perdagangan

22

akibat beralihnya konsumsi dari Produk Domestik Bruto (PDB) yang

bersifat high-cost ke produk impor dari luar negeri yang bersifat low-cost;

dengan kata lain terjadi perdagangan yang mengikat intranegara mitra.

Namun demikian, perbedaan tarif yang diberlakukan untuk partner dan

non mitra, merubah arah kecenderungan perdagangan sehingga

menimbulkan efek negatif yaitu trade diversion, yang merujuk kepada

perpindahan dari produk impor yang bersifat low-cost dari negara non

anggota dengan produk impor yang bersifat high-cost dari negara mitra;

dengan kata lain terjadi perdagangan yang menurun dengan negara non

mitra. Trade diversion akan menurunkan efek kesejahteraan sehubungan

dengan terjadinya perubahan orientasi suplai ke sumber yang relatif lebih

mahal.

Manfaat perdagangan bebas sangat ditentukan oleh salah satu efek yang

lebih dominan. Efek secara keseluruhan dapat bersifat positif, negatif

ataupun netral, tergantung dari besarnya magnitude dari trade creation dan

trade diversion. Perdagangan bebas akan sangat menguntungkan apabila

dampaknya terhadap trade creation lebih besar dibandingkan dampaknya

terhadap trade diversion. Meskipun terjadi trade creation dan trade

diversion, secara keseluruhan memberikan dampak perdagangan yang

positif.

2.3 Teori Integrasi Ekonomi

2.3.1 Definisi Integrasi Ekonomi

Para ekonom telah mengembangkan definisi intregrasi ekonomi dari

berbagai sudut pandang yang berbeda, akan tetapi definisi bakunya belum

ditemukan hingga saat ini. Machlup menyatakan bahwa istilah integrasi

dalam ilmu ekonomi digunakan pertama kali dalam organisasi industri

guna menggambarkan kombinasi perusahaan baik secara vertikal maupun

horizontal. Integrasi horizontal mengacu pada hubungan para pesaing,

sedangkan integrasi vertikal mengacu pada unifikasi para pemasok dan

pembeli.

23

Tinbergen (dikutip dari Jovanović, 2006) mendefinisikan integrasi

ekonomi sebagai penciptaan struktur perekonomian internasional yang

lebih bebas dengan jalan menghapuskan diskriminasi, pembatasan

institusi, dan mengenalkan kebebasan transaksi perekonomian (integrasi

negatif). Integrasi ekonomi juga dapat dipandang sebagai penyesuaian

kebijakan yang ada dan penciptaan kebijakan dan institusi baru yang

memiliki kekuatan koersif (integrasi positif).

Pinder mendefinisikan bahwa integrasi sebagai suatu proses unifikasi dan

integrasi ekonomi sebagai penghapusan diskriminasi di antara negara

anggota, penciptaan dan pengimplementasian kebijakan bersama. Kahnert

memahami integrasi sebagai suatu proses penghapusan diskriminasi yang

terjadi sepanjang batas nasional secara progresif. Mennis dan Sauvant

memandang integrasi sebagai suatu proses di mana batas-batas di antara

negara menjadi kurang diskontinu, mengarah pada bentuk sistem yang

lebih komprehensif, menghubungkan dan menggabungkan perangkat

industri, kebijakan administrasi dan ekonomi negara-negara anggota.

Integrasi ekonomi didefinisikan oleh Pelkmans sebagai penghapusan

batas-batas ekonomi di antara dua atau lebih perekonomian. Batas-batas

ekonomi tersebut meliputi semua pembatasan yang menyebabkan

mobilitas barang, jasa, faktor produksi, dan juga aliran komunikasi, secara

aktual maupun potensial relatif rendah (Jovanović, 2006).

Sementara Balassa (1961), integrasi ekonomi dianggap sebagai suatu

proses yang mencakup langkah-langkah yang dirancang untuk

menghapuskan diskriminasi dari negara-negara yang berbeda dan suatu

urusan negara yang direpresentasikan oleh berbagai bentuk diskriminasi di

antara perekonomian nasional. Sementara Holzman (Jovanović, 2006),

menyatakan bahwa integrasi ekonomi sebagai situasi di mana dua kawasan

menjadi satu atau memiliki satu pasar yang ditandai dengan kesamaan

harga barang dan faktor produksi di antara dua kawasan tersebut.

Pada akhirnya, Jovanović (2006) menyimpulkan bahwa pengertian

integrasi ekonomi internasional tersebut merupakan sebuah gagasan rumit

24

yang harus didefinisikan secara hati-hati. Definisi seringkali samar dan

tidak memberikan alat yang cukup untuk memudahkan proses integrasi di

antara negara-negara. Integrasi ekonomi internasional didefinisikan

sebagai suatu proses sekelompok negara berupaya untuk meningkatkan

tingkat kemakmurannya. Dalam upaya meningkatkan tingkat kemakmuran

tersebut, integrasi merupakan opsi kebijakan yang lebih efisien dibanding

apabila masing-masing negara melakukan upaya secara unilateral.

Integrasi juga mensyaratkan paling tidak adanya beberapa pembagian

tenaga kerja dan kebebasan mobilitas barang dan jasa dalam suatu

kelompok negara. Integrasi pada tingkatan yang lebih tinggi juga

mensyaratkan mobilitas yang bebas atas faktor produksi dalam intra-

kawasan, termasuk hambatan pergerakan faktor produksi antar area yang

terintegrasi.

Integrasi ekonomi adalah integrasi di sektor riil yang bertujuan untuk

mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dalam integrasi ekonomi

terdapat dua kepentingan yang saling berlawanan, yaitu antara mendorong

perdagangan dan membatasi perdagangan pada saat bersamaan. Integrasi

ekonomi dilakukan dengan liberalisasi perdagangan antara negara yang

berpartisipasi dalam integrasi, namun pasa saat yang sama juga

menerapkan berbagai hambatan baik tarif maupun non tarif kepada negara

lain di luar anggota. Dengan demikian, integrasi akan menciptakan dua

aturan yang berbeda secara bersamaan, yaitu aturan-aturan yang

diterapkan kepada negara-negara yang menjadi anggota dan aturan lain

yang diterapakan kepada non-anggota. Dua kepentingan yang berlawanan

ini dijumpai pada berbagai tingkat integrasi ekonomi, yaitu baik pada

integrasi ekonomi tingkat regional, inter-regional, plurilateral ataupun

bilateral, namun tidak dijumpai pada kesepakatan integrasi pada tingkat

multilateral. Tidak ditemukannya dua kepentingan yang saling berlawanan

ini menandai perbedaan fundamental antara integrasi yang bersifat

multilateral dengan integrasi pada tingkat non multilateral (Tim Penulis

Bank Indonesia, 2008).

25

Kajian Dollar, Sach dan Warner, Edwards, dan Wacziarg menunjukkan

bahwa integrasi ekonomi yang menurunkan atau menghilangkan semua

hambatan perdagangan di antara negara-negara anggota, dapat

meningkatkan daya saing dan membuka besarnya pasar pada negara

anggota, dapat meningkatkan persaingan industri domestik yang dapat

memacu efisiensi produktif di antara produsen domestik dan

meningkatkan kualitas dan kuantitas input dan barang dalam

perekonomian, produsen domestik dapat meningkatkan profit dengan

semakin besarnya pasar ekspor dan meningkatkan kesempatan kerja.

2.3.2 Tahapan Integrasi Ekonomi

Beberapa bentuk yang dianggap mewakili tahapan integrasi ekonomi

dikemukakan oleh Balassa (1961), antara lain:

1. Preferential Trading Area (PTA), yang merupakan blok perdagangan

yang memberikan keistimewaan untuk produk tertentu dari negara

tertentu dengan melakukan pengurangan tarif namun tidak

menghilangkannya sama sekali.

2. Free Trade Area (FTA) adalah suatu kawasan di mana tarif dan kuota

antara negara anggota dihapuskan, namun masing-masing negara tetap

mempertahankan tarif mereka terhadap negara-negara bukan anggota.

3. Customs Union (CU) merupakan FTA yang meniadakan hambatan

pergerakan komoditi antarnegara anggota dan menerapkan tarif yang

sama terhadap negara-negara bukan anggota. Efek kesejahteraan statis

dari sebuah persekutuan pabean diukur melalui penciptaan perdagangan

(trade creation) dan pengalihan perdagangan (trade diversion).

Penciptaan perdagangan terjadi ketika produksi domestik digantikan

oleh impor dari produsen dengan biaya yang lebih rendah dan lebih

efisien di dalam persekutuan pabean. Hal ini meningkatkan

kesejahteraan. Pengalihan perdagangan terjadi ketika impor berasal dari

pemasok di luar persekutuan pabean digantikan dengan pemasok dari

dalam persekutuan pabean dengan biaya yang lebih tinggi. Hal ini

26

mengurangi kesejahteraan. Efek kesejahteraan dinamis lebih penting dan

terjadi ketika persaingan dan skala ekonomis yang meningkat dan

tingkat investasi yang lebih tinggi menjadi mungkin dalam integrasi

ekonomi.

4. Common Market (CM) merupakan suatu CU yang juga meniadakan

hambatan pergerakan faktor-faktor produksi (barang, jasa, aliran modal).

Kesamaan harga dari faktor-faktor produksi diharapkan dapat

menghasilkan alokasi sumber yang efisien.

5. Economic Union (EU) merupakan suatu CM dengan tingkat harmonisasi

kebijakan ekonomi nasional yang signifikan (termasuk kebijakan

struktural).

6. Total Economic Integration adalah bentuk penyatuan kebijakan moneter,

fiskal, dan sosial yang diikuti dengan pembentukan lembaga

supranasional dengan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh

negara anggota.

Keenam tahapan integrasi ekonomi Balassa tersebut dapat digambarkan

dalam Gambar 2.2 yang menunjukkan bahwa semakin tinggi integrasi

ekonomi, semakin kompleks persyaratan kebijakan yang diperlukan (Tim

Penulis Bank Indonesia, 2008). Dalam perkembangannya tahapan integrasi

ekonomi tersebut telah mengalami penyesuaian pada berbagai hal, akan

tetapi masih tetap dapat menjadi alat dasar dalam studi mengenai integrasi

ekonomi.

27

Gambar 2.2 Tahapan Integrasi Ekonomi Menurut Balassa

Sumber: Balassa (1961), diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag.

2.3.3 Manfaat dan Kerugian Integrasi Ekonomi

Dengan adanya integrasi ekonomi, maka akan meningkatkan persaingan

aktual dan potensial baik bagi pelaku pasar yang berasal dari suatu negara,

dalam sekelompok negara, maupun pelaku pasar di luar kedua kelompok

tersebut. Persaingan di antara pelaku pasar tersebut diharapkan akan

mendorong harga barang dan jasa yang sama lebih rendah, meningkatkan

variasi kualitas dan pilihan yang lebih luas bagi kawasan yang terintegrasi.

Integrasi ekonomi akan menstimulasi aliran dan perdagangan intraregional

yang lebih tinggi serta munculnya perusahaan yang mampu berkompetisi

secara global. Selain itu, mendorong pertumbuhan ekonomi yang berujung

pada peningkatan kesejahteraan di seluruh kawasan.

Di sisi lain, integrasi ekonomi internasional dapat membatasi kewenangan

suatu negara untuk menggunakan kebijakan fiskal, keuangan, dan moneter

untuk mempengaruhi kinerja ekonomi dalam negeri. Kerugian lain dari

adanya inadalah adanya kemungkinan hilangnya pekerjaan dan potensi

menjadi pasar bagi negara yang tidak mampu bersaing.

28

2.4 Teori Daya Saing

Teori Ricardo dan Ohlin cenderung memandang keunggulan komparatif yang

alami. Karena itu, bisa dipahami apabila industri yang memiliki keunggulan

komparatif versi Richardo dan Ohlin umumnya industri padat sumber daya dan

padat karya yang tidak terampil. Ini berlainan dengan industri yang memiliki

keunggulan komperatif versi Krugman dan Porter, yang umumnya pada modal

dan padat teknologi.

Persaingan global yang hyper competitive memaksa setiap negara /

perusahaan untuk menemukan suatu strategi yang tepat. Strategi ini dikenal

dengan “Sustainable Competitive Advantage” (SCA). SCA adalah suatu strategi

keunggulan daya saing yang berkelanjutan, meskipun menurut Richard D’aveni

(1994) pada situasi hyper competitive tidak ada lagi perusahaan/negara yang dapat

memiliki keunggulan daya saing berkelanjutan. Situasi hyper competitive,

keunggulan daya saing perusahaan/negara tetap didasarkan pada keunggulan

kompetitif dinamis meskipun dengan jangka waktu yang pendek. SCA relatif

lebih tepat dan menguntungkan untuk dilakukan dalam sektor agroindustri karena

resource base-nya dapat diperbaharui (Masngudi, 2006).

Dalam konteks lainnya, Tambunan (1996) mengemukakan bahwa daya saing

suatu komoditas di pasar internasional juga ditentukan oleh teknologinya. Di masa

depan tuntutan teknologi merupakan karakteristik dalam proses pengembangan

ekspor dengan mengambil dasar pemikiran dan asumsi-asumsi yang dibangun

oleh teori klasik, oleh karena teori-teori klasik tidak melihat pentingnya pengaruh

proses teknologi terhadap pola perdagangan dunia. Pada akhirnya dikatakan

bahwa keunggulan kompetitif akan lebih menentukan daya suatu negara atau

suatu komoditas daripada keunggulan komparatifnya. Paltts dan Gregory (1991)

mengungkapkan bahwa faktor pemilihan tergantung pada keunggulan suatu

komoditi yang dihasilkan oleh perusahaan atau industri tergantung pada

permintaan konsumen terhadap produk cukup signifikan mendorong perusahaan

untuk lebih kompetitif.

Berkaitan dengan daya saing suatu komoditas, pola perdagangan sekarang ini

tidak serta-merta melihat pendekatan pasar sebagai dasar untuk melakukan

29

strategi (market based strategy) di dalam melakukan perdagangan internasional,

tetapi juga didasarkan pada pentingnya pendekatan yang disebut dengan resource

based strategy dimana faktor sumber daya menjadi lebih penting. Karena itu,

Huseini (2000) mengungkapkan perlunya mengkaji ulang strategi pemasaran

internasional di Indonesia.

Beberapa definisi daya saing yang dikutip dari IMD (diambil dari The US

National Competitiveness Council):

1. Daya saing mencakup efisiensi (mencapai sasaran dengan biaya serendah

mungkin) dan efektivitas (memiliki sasaran yang tepat). Pilihan tentang inilah

yang sangat menentukan dari sasaran industri. Daya saing meliputi baik tujuan

akhir dan cara mencapai tujuan akhir tersebut (Buckley, P. J. et al, “Measures

of International Competitiveness: A Critical Survey”, Journal of Marketing

Management, 1988).

2. Daya saing industri adalah kemampuan perusahaan atau industri dalam

menghadapi tantangan persaingan dari para pesaing asingnya (US Department

of Energy).

3. Mendukung kemampuan perusahaan, industri, daerah, negara atau

supranational regions untuk menciptakan tingkat pendapatan dan pemanfaatan

faktor yang relatif tinggi, sambil tetap mempertahankan keberadaan dalam

persaingan internasional (OECD, 1996. “Industrial

Competitiveness:Benchmarking Business Environments in the Global

Economy”).

Hal sangat penting tentang daya saing dalam tingkat industri ini adalah

pandangan bahwa keunggulan daya saing nasional semestinya dilihat pada tingkat

ini. Ini antara lain yang diyakini oleh Porter [Michael E. Porter] yang juga

menyampaikan

“….. the basic unit of analysis for understanding of national advantage is the

industry. Nations suceed not in isolated industries, however, but in clusters of

industries connected through vertical and horizontal relationships. A nation’s

economy contains a mix of clusters, whose makeup and sources of competitive

advantage (or disadvantage) reflect the state of the economy’s development.”

30

2.5 Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA)

Pada tanggal 28 November 2006, Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, dan

Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono bertemu di Tokyo

untuk bersama-sama mengumumkan bahwa perjanjian pada prinsipnya telah

dicapai antara Indonesia dan Jepang pada elemen utama Indonesia-Japan

Economic Partnership Agreement (selanjutnya disebut sebagai IJ-EPA). IJ-EPA

menandai sebuah era baru bagi kemitraan Indonesia dan Jepang, dengan menempa

hubungan yang lebih erat ekonomi melalui kerja sama untuk peningkatan

kapasitas, liberalisasi, promosi dan fasilitasi perdagangan dan investasi antara

kedua negara. Perjanjian IJ-EPA juga akan mencakup berbagai kegiatan ekonomi

termasuk sumber daya energi dan mineral, pergerakan orang alam, pengadaan

pemerintah, kekayaan intelektual, kebijakan persaingan, perbaikan lingkungan

bisnis dan promosi kepercayaan bisnis.

Selain itu, IJ-EPA mencakup pula capacity building untuk proyek-proyek

kerjasama yang komprehensif berfokus pada kegiatan yang akan meningkatkan

daya saing industri Indonesia, perikanan, pertanian, dan produk kehutanan

termasuk inisiatif bersama untuk lebih meningkatkan daya saing industri

manufaktur Indonesia melalui Inisiatif Pusat Pengembangan Industri Manufaktur.

Kedua pemimpin negara menyambut baik kesepakatan secara prinsip pada unsur-

unsur utama dari masalah negosiasi. Keduanya menginstruksikan delegasi

masing-masing, membangun perjanjian ini pada prinsipnya, untuk segera

menyelesaikan IJ-EPA.

Ratifikasi IJ-EPA tersebut berlangsung pada bulan Juli 2008, di mana Jepang

bersama Indonesia mencoba menyelaraskan serangkaian langkah

implementasinya. Unsur-unsur utama dalam kemitraan ekonomi (economic

partnership agreement, EPA) yang disepakati Jepang dan Indonesia, terdiri atas:

1. perdagangan dalam barang: ketentuan tarif, non-tarif, ketentuan asal (trade in

goods: tariffs and non-tariff measures, rules of origin trade remedies),

2. perdagangan dalam jasa (trade in services),

3. prosedur bea cukai (customs procedure),

4. penanaman modal (investment),

31

5. fasilitasi bergeraknya sumber daya manusia (movement of natural persons),

6. sumber daya energi dan mineral (energy and mineral resources),

7. hak cipta (intelectual property right),

8. prosedur pembelian oleh pemerintah (government procurement),

9. persaingan (competition),

10. perbaikan dalam lingkungan bisnis dan promosi kepercayaan bisnis

(improvement of business environment and promotion of business confidence),

11. kerjasama (cooperation).

Diuraikannya gagasan Jepang tentang EPA yang didalamnya FTA (Free

Trade Agreement) dengan ASEAN dan juga FTA dengan masing-masing negara

anggota ASEAN. Akan tetapi pihak pembuat kebijakan ekonomi dan pelaku

bisnis yang banyak berinteraksi dengan Jepang tidak terlalu responsif.

Pihak pembuat kebijakan Jepang dan kalangan akademisinya memahami

bahwa FTA merupakan kesepakatan bersama untuk menghapus hambatan

perdagangan antar-mereka. Negara manapun yang masuk dalam kawasan

perdagangan dapat dan memelihara kebijakan perdagangan secara independen

terhadap negara ketiga.

Salah satu syaratnya adalah suatu sistem sertifikasi asli (system of certificates

of origin) diberlakukan untuk menghindari terjadinya peralihan perdagangan

(trade diversion) demi perolehan maslahat tarif yang rendah dari negara anggota.

Dampak ekonomi dari FTA dapat dibagi dalam dampak statis dan dampak

dinamis. Dalam dampak statis tercakup dampak penurunan tarif standar atas

efisiensi alokasi sumber daya, dan dampak dinamis, di mana produktivitas yang

lebih tinggi dan akumulasi modal berdampak pada pertumbuhan ekonomi.

Belakangan ini argumentasi politik ekonomi yang mencakup perilaku kepentingan

kelompok ikut berperan dalam pembentukan FTA.

Tujuan FTA adalah membentuk sekaligus memperlancar perdagangan dan

investasi dengan mencapai persetujuan dengan mitra dagang dan investasi secara

cepat maupun mantap karena serangkaian alasan yang tidak terbatas pada

kedekatan secara geografis. Hal-hal yang hendak digarap adalah kesertaan dalam

32

pasar domestik oleh dana dana luar (foreign funds) para manajer dan teknisi, yang

pada gilirannya menstimulasi perekonomian domestik kedua belah pihak.

Hal yang dimaksud dengan dampak statis adalah penciptaan perdagangan dan

mengurangi pembelokan (diversion). Eliminasi hambatan perdagangan antara

pihak pihak yang mengadakan persetujuan FTA merubah harga barang barang dan

jasa yang diperdagangkan, yang pada gilirannya berpengaruh pada volume

perdagngan dan kesejahteraan ekonomi kedua negara.

Dalam kasus peniadaan (removal) hambatan perdagangan berarti perluasan

perdagangan yang biasanya dilakukan antara para pihak yang bersangkutan,

menggerakkan konsumen dalam negara yang mengimpor barang dan jasa secara

lebih murah, dan di pihak produsen negara pengekspor memperoleh laba sebagai

hasil ekspor yang lebih besar, dan secara teoritis kemakmuran kedua negara

penandatangan FTA makin membaik (improving the economic welfare).

Sebaliknya, hendaknya pihak Indonesia tidak lupa bahwa peniadaan

hambatan sebagai akibat FTA tidak serta merta membawa maslahat bagi negeri

ini. Dampak FTA juga pada pertumbuhan ekonomi kedua belah pihak melalui

tahapan peningkatan produktivitas yang mencakup perluasan pasar, peningkatan

daya saing, alih teknologi disertai inovasi teknologi.

2.6 Penelitian Sebelumnya

Studi mengenai dampak kesepakatan perdagangan bebas secara bilateral

terhadap daya saing industri manufaktur telah dilakukan oleh beberapa peneliti.

Pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO) oleh

berbagai perusahaan di Jepang, khususnya terkait dengan kesepakatan

perdagangan bebas secara bilateral yang dilakukan oleh Jepang dengan beberapa

negara mitranya (Malaysia, Meksiko, dan Chili) telah dilakukan oleh Takahashi

dan Urata pada tahun 2010. Hasil studi Takahashi dan Urata (2010)

memperlihatkan bahwa tingkat pemanfaatan berkisar 12,2 persen (Japan-Malaysia

FTA) hingga 32,9 persen (Japan-Mexico FTA). Di samping itu, studi tersebut

menemukan beberapa kendala utama yang membatasi pemanfaatan SKA dengan

negara mitra FTA, yakni kecilnya perdagangan dengan negara mitra FTA,

33

kesulitan mendapatkan SKA yang dibutuhkan, dan kurangnya pengetahuan

tentang FTA. Dari segi tarif preferensi, perbedaan tarif MFN dan tarif preferensi

sangat kecil. Studi tersebut juga menemukan karakteristik perusahaan yang

menggunakan FTA, yaitu perusahaan besar, memiliki keterikatan bisnis dengan

negara mitra FTA, dan perusahaan beroperasi dalam industri mesin transportasi.

Juswanto dan Mulyanti (2003) memfokuskan studi tentang daya saing

industri manufaktur Indonesia yang berorientasi ekspor dengan pendekatan

Constant Market Share Analysis (CMSA). Penelitian tersebut menunjukkan

bahwa komposisi komoditi merupakan permasalahan utama dalam pertumbuhan

ekspor produk industri Manufaktur Indonesia mengingat dampaknya terhadap

pertumbuhan negatif. Ekspor produk manufaktur Indonesia terkonsenterasi pada

SITC 6 dan 8 yang memiliki pertumbuhan yang relatif rendah terhadap

permintaan dunia, sedangkan produk SITC 7 memiliki pertumbuhan yang relatif

tinggi terhadap pertumbuhan permintaan dunia kendatipun secara relatif rendah di

Indonesia. Sementara pasar ekspor produk manufaktur Indonesia terkonsentrasi di

Jepang, Amerika Serikat, NIE, dan negara-negara ASEAN.

Pendekatan Export Product Dynamics (EPD) untuk mengukur daya saing

beberapa produk ekspor utama Indonesia dalam kerangka kesepakatan

perdagangan bebas regional (ASEAN Free Trade Area (AFTA) dan ASEAN-

China Free Trade Area (AC-FTA)) telah dilakukan oleh Widyasanti (2010), di

mana hasilnya menunjukkan bahwa Indonesia dalam kondisi yang baik dan telah

membuka pangsa pasarnya sendiri untuk beberapa produk. Namun beberapa

strategi kebijakan diperlukan untuk produk-produk ini, terutama untuk produk

sayuran yang telah kehilangan kesempatannya di pasar ASEAN. Di pasar Cina,

Indonesia berhasil merebut pasar hanya untuk produk plastik dan karet, produk

mineral dan alas kaki. Produk-produk yang berada dalam kondisi lagging

opportunity, adalah minyak dan lemak hewani dan nabati, dan produk makanan.

Ekspor produk Indonesia di pasar Cina dikategorikan sebagai leading retreat dan

lagging retreat.

Untuk studi kinerja industri manufaktur di Indonesia berdasarkan keuntungan

(price cost margin, PCM) telah dilakukan Oktaviani, Asmara, dan Sahara (2008)

34

yang mengkaji kinerja industri manufaktur Indonesia baik industri berskala

sedang maupun besar, menemukan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

kinerja industri manufaktur pada industri besar secara positif adalah output dan

efisiensi sedangkan faktor yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

penurunan tingkat keuntungan perusahaan pada industri manufaktur adalah

pengeluaran untuk tenaga kerja. Pada beberapa sektor industri, faktor bahan baku

dan penolong serta bahan bakar dan pelumas menjadi faktor yang mempunyai

pengaruh paling besar terhadap penurunan tingkat keuntungan perusahaan pada

industri. Pada industri sedang, faktor yang mempunyai pengaruh paling besar

dalam meningkatkan PCM pada industri manufaktur adalah output industri,

diikuti oleh faktor efisiensi dan jumlah perusahaan, sedangkan faktor yang

mempunyai pengaruh paling signifikan terhadap penurunan PCM pada industri

manufaktur adalah pengeluaran untuk tenaga kerja. Studi lainnya yang

menggunakan pendekatan yang sama dengan fokus yang berbeda telah dilakukan

oleh Putra (2009) untuk industri Pulp dan Kertas di Indonesia, Suryawati (2009)

untuk industri Tekstil dan Pakaian Jadi di Provinsi DIY, dan Kaesti (2010) untuk

industri Tekstil dan Produk Tekstil di Indonesia tahun 2000-2003.

35

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran yang dikembangkan dalam kajian ini tentunya tidak

terlepas dari tujuan penelitian itu sendiri. Pada tahapan awal, akan dilakukan

analisis data sekunder terkait empat jenis analisis, yaitu:

1. Pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA) Preferensi Form IJ-EPA dan JI-

EPA

2. Daya saing produk manufaktur

3. Industri Manufaktur Indonesia

4. Pola ekspor dan impor Indonesia dari Jepang

Penggunaan analisis data sekunder ini kemudian diharapkan juga dapat

memetakan industri yang menjadi sampel dalam kegiatan survei lapangan dan

Focus Group Discussion (FGD). Dari sampel yang dipilih tersebut, lalu dianalisis

data temuan studi lapangan yang menyangkut potensi dan permasalahan yang

dihadapi oleh industri manufaktur di Indonesia terkait dampak kesepakatan

perdagangan bebas Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJ-EPA)

terhadap kinerja dan daya saingnya. Selain itu, Tim Kajian juga akan melakukan

analisis studi kasus (benchmarking) pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas IJ-

EPA di Jepang dan pelaksanaan perjanjian perdagangan bebas yang dilakukan

Jepang dengan negara lain di ASEAN seperti Thailand dan Malaysia. Secara

ilustratif, kerangka pemikiran yang dikembangkan dalam kajian ini terlihat pada

Gambar 3.1.

36

3.2 Jenis dan Sumber Data

Kajian ini mempergunakan dua jenis data, yakni data primer dan data

sekunder. Pengumpulan data primer ini dilakukan melalui teknik wawancara

secara langsung dan penyebaran kuesioner ke berbagai instansi terkait, asosiasi,

dan para pelaku usaha yang melakukan kegiatan ekspor ke Jepang dan bergerak

dalam industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya,

Cokelat dan Kembang Gula, Garmen, Furnitur, dan Barang dari Plastik dengan

penarikan sampel bertujuan (purposive sampel). Adapun lokasi pengambilan

sampel dilakukan di wilayah Jakarta, Medan, Denpasar, Manado, dan Bandung.

Di samping itu, pengumpulan data primer dilakukan melalui Focus Group

Discussion (FGD) di Surabaya dan Semarang. Yang menjadi dasar pertimbangan

dalam pemilihan lokasi survei lapangan dan FGD adalah karena Provinsi Jawa

Timur, Provinsi Bali, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Sumatera Utara, dan

Provinsi Jawa Barat merupakan penerbit SKA Form IJ-EPA utama selain Provinsi

DKI Jakarta dengan pelaksanaan secara otomasi (online). Manado dipilih menjadi

daerah survei sebagai pembanding IPSKA yang masih sedang dalam proses

otomasi atau manual (offline). Melalui survei lapangan dan FGD ini dapat

Implikasi Kebijakan

Gambar 3.1 Kerangka Pemikiran

37

diketahui tentang potensi dan permasalahan terkait dengan dampak kesepakatan

perdagangan bebas IJ-EPA terhadap kinerja dan daya saing industri manufaktur

Indonesia, terutama data pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan kendala dalam

pengimpelementasiannya serta kinerja industri di berbagai daerah di Indonesia.

Guna mendapatkan gambaran dan benchmarking pelaksanaan kesepakatan

perdagangan bebas IJ-EPA secara komprehensif, maka dilaksanakan pula

kunjungan kerja ke Jepang, Thailand, dan Malaysia (Thailand dan Malaysia

merupakan negara ASEAN lainnya yang melakukan kesepakatan perdagangan

bebas dengan Jepang).

Sementara itu, data sekunder diperoleh dari berbagai publikasi dan penerbitan

yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Fasilitasi Ekspor dan

Impor Kementerian Perdagangan, World Integrated Trade Solution (WITS),

International Monetary Fund (IMF), World Bank, Dinas Perindustrian dan

Perdagangan di beberapa daerah, dan sumber-sumber lainnya yang relevan.

3.3 Metode Analisis

3.3.1 Constant Market Share Analysis (CMSA)

Analisis pangsa pasar konstan (constant market share analysis, CMSA)

merupakan salah satu metode yang digunakan untuk menganalisis daya

saing produk manufaktur Indonesia di pasar Jepang dan pertumbuhan ekspor

Indonesia. Asumsi dasar yang digunakan dalam metode ini sesuai dengan

yang dikembangkan Leamer dan Stern pada tahun 1970, bahwa terdapat tiga

alasan kesuksesan (kegagalan) ekspor suatu negara yang pertumbuhan

ekspornya lebih tinggi (rendah) dari pertumbuhan ekspor dunia, yaitu 1)

ekspor terkonsentrasi pada komoditas-komoditas yang pertumbuhan

permintaannya relatif tinggi (rendah), 2) ekspor lebih ditujukan ke wilayah

yang mengalami pertunbuhan relatif tinggi (stagnan), dan 3) kemampuan

(ketidakmampuan) bersaing dengan negara-negara pengekspor lainnya.

Asumsi dasar lainnya adalah bahwa pangsa pasar ekspor suatu negara di

pasar dunia tidak berubah antar waktu, sehingga perbedaan antara

pertumbuhan ekspor aktual suatu negara dengan pertumbuhan yang

38

mungkin terjadi apabila suatu negara dapat mempertahankan pangsa

pasarnya merupakan efek dari daya saing. Perbedaan pertumbuhan ekspor

aktual tersebut disebabkan oleh persaingan, komposisi komoditi dan efek

distribusi pasar (Suprihatini, Mei 2005: 1-29).

Dalam metode analisis CMSA, pertumbuhan ekspor didekomposisikan

menjadi empat yaitu 1) pertumbuhan standar, 2) pengaruh komposisi

komoditas, 3) pengaruh ditribusi pasar, dan 4) pengaruh persaingan.

Juswanto dan Mulyanto (2003) mengembangkan pendekatan CMSA untuk

menganalisis daya saing ekspor manufaktur Indonesia dengan mengikuti

Formulasi yang dikembangkan oleh Leamer dan Stern (1970). Sejumlah

notasi yang digunakan dalam metode CMSA yang dikembangkan adalah

sebagai berikut:

Vi : Nilai ekspor negara A untuk komoditas i pada periode 1

Vi’ : Nilai ekspor negara A untuk komoditas i pada periode 2

V*j : Nilai ekspor total negara A ke negara j pada periode 1

V’*j : Nilai ekspor total negara A ke negara j pada periode 2

Vij : Nilai ekspor negara A untuk komoditas i ke negara j pada periode 1

r : Persentase peningkatan total ekspor dunia dari periode 1 ke periode 2

ri : Persentase peningkatan ekspor dunia komoditas i dari periode 1 ke

periode 2

rij : Persentase peningkatan ekspor dunia komoditas i ke negara j dari

periode 1 ke periode 2

Nilai ekspor negara A pada periode 1 adalah:

j

i

iji

j

ij VVVV **

(3.1)

dan kita juga dapat mendefinisikan ekspor negara A pada periode 1 sebagai

berikut:

i j

j

i

i

j

ij VVVV *** (3.2)

Pada analisis level pertama, ekspor dapat diasumsikan hanya terjadi pada

satu barang ke suatu pasar. Pada level ini, metode CMSA berpendapat

39

bahwa jika negara A mempertahankan pangsa ekspornya di pasar dunia,

maka ekspor akan meningkat sebesar rV** , sehingga persamaan identitasnya

dapat ditulis sebagai berikut:

****

'

******

'

** rVVVrVVV (3.3)

Persamaan (3.3) di atas memperlihatkan level pertama dari analisis yang

mengandung arti bahwa pertumbuhan ekspor dari periode 1 ke periode 2

( **

'

** VV ) dibagi menjadi bagian yang terkait dengan peningkatan ekspor

dunia secara umum (rV**) dan residu yang tidak dapat dijelaskan, yaitu efek

daya saing (competitiveness effect) sebesar ****

'

** rVVV .

Pada level analisis berikutnya, analisis level kedua, metode ini

memperluas analisis dengan argumen bahwa ekspor secara faktual terdiri

dari sekumpulan komoditas dan pasar yang cukup beragam untuk suatu

kelompok komoditas tertentu. Sejalan dengan persamaan (3.3), untuk

komoditas i kita dapat menuliskan persamaan identitas sebagai berikut:

**

'

***

'

* iiiiiiii VrVVVrVV (3.4)

Persamaan (3.4) dapat diagregasikan dalam bentuk:

**

'

** VV )( **

'

** ii

i

iii

i

i VrVVVr

)()( **

'

** ii

i

iii

i

i VrVVVrrr

)()()( **

'

*** ii

i

iii

i

ii

i

VrVVVrrVr

)()( **

'

**** ii

i

iii

i

i VrVVVrrrV (3.5)

(1) (2) (3)

Persamaan (3.5) menunjukkan bahwa analisis level kedua dimana

pertumbuhan ekspor negara A dapat dipecah menjadi:

1. peningkatan ekspor dunia secara umum

2. komposisi komoditas negara A pada periode 1

40

3. sisa yang tidak dapat dijelaskan, efek daya saing yang mengindikasikan

perbedaan antara ekspor aktual dengan peningkatan secara hipotetis jika

negara A menjaga pangsa pasar ekspornya untuk setiap kelompok

komoditi.

Dari persamaan (3.5), efek komposisi komoditi (commodity-composition

effect) dapat didefinisikan sebagai:

*)( i

i

i Vrr (3.6)

Persamaan (3.6) mengandung arti bahwa jika ekspor dunia komoditas i

meningkat lebih besar dibandingkan dengan ekspor total dunia, maka (ri – r)

bernilai positif. Angka positif ini akan memperoleh bobot yang lebih besar

ketika ditambahkan unsur lainnya yaitu Vi*. Hasilnya, persamaan (5) akan

menjadi positif jika negara A berkonsentrasi pada ekspor komoditas-

komoditas yang pasarnya tumbuh relatif cepat dan akan bernilai negatif jika

negara A berkonsentrasi pada pasar yang komoditasnya tumbuh relatif lebih

rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekspor total dunia.

Analisis terakhir dalam metode ini adalah analisis level ketiga dimana

metode ini akan mengobservasi ekspor yang terdiferensiasi menurut negara

tujuan ekspor dan jenis komoditas. Asumsi yang tepat dari kasus ini adalah

pangsa pasar yang tetap dari ekspor kelompok komoditas tertentu (i) pada

negara tertentu (j). Identik dengan persamaan identitas (3.3) dan (3.4), kita

akan memperoleh:

ijijijijijijijij VrVVVrVV '' (3.7)

dan dapat diagregasikan menjadi:

**

'

** VV )( '

ijij

i

ijij

j

ij

i

ij

j

VrVVVr

)()( '

ijij

i

ijij

j

ij

i

ijii

j

VrVVVrrrrr

)()( '

ijij

i

ijij

ji

ijijijiijiijij

j

VrVVVrVrVrrVrV

41

)())()()( '

ijij

i

ijij

ji

ijiij

i j

iji

i j

ij

j

VrVVVrrVrrrV

)())()()( '

** ijij

i

ijij

ji

ijiij

i j

ii

i

i VrVVVrrVrrrV

)())()( '

*** ijij

i

ijij

j

ijiij

i j

ii

i

VrVVVrrVrrrV

(3.8)

(1) (2) (3) (4)

Persamaan (3.8) menunjukkan bahwa analisis level ketiga dimana

pertumbuhan ekspor negara A dipecah berdasarkan sumbernya, yaitu:

1. peningkatan ekspor dunia secara umum

2. komposisi komoditas negara A pada periode 1

3. distribusi pasar ekspor negara A

4. sisa yang tidak dapat dijelaskan, efek daya saing yang mengindikasikan

perbedaan antara peningkatan ekspor aktual dengan peningkatan

hipotetis jika negara A mempertahankan pangsa pasar ekspornya untuk

setiap kelompok komoditas dan setiap negara.

Dari persamaan (3.8), kita mengetahui bahwa efek distribusi pasar adalah

sebagai berikut:

))( ijiij

i j

Vrr (3.9)

Persamaan (3.9) berarti bahwa jika ekspor dunia untuk komoditas i ke

negara j meningkat lebih dari ekspor dunia total untuk komoditas i tersebut,

maka (rij – ri) akan bernilai positif. Angka positif ini akan memperoleh

bobot yang lebih besar ketika ditambahkan dengan Vij. Hasilnya adalah

persamaan (3.9) akan positif jika negara A mengkonsentrasikan ekspornya

pada pasar yang tumbuh relatif cepat serta bernilai negatif jika negara A

memfokuskannya pada negara atau kawasan yang relatif stagnan.

42

Lain halnya dengan metode CMSA yang digunakan oleh Suprihatini

(Mei 2005) di mana mengelaborasi tingkat pertumbuhan ekspor seperti yang

diFormulasikan oleh Tyers et.all (1985) sebagai berikut:

Pertumbuhan standar : ..

....

)1(

)1()(

t

tt

E

EE = g (3.10)

Pengaruh komposisi komoditas : + ..

.)(

)1(

)1(

t

i

iti

E

Egg

(3.11)

Pengaruh distribusi pasar : + ..

)1()(

)1(

t

i j

E

ijtEgigij

(3.12)

Pengaruh daya saing : + ..

)(

)1(

)1()1()(

t

i jijtijijtijt

E

EgEE

(3.13)

di mana :

g = ..

....

)1(

)1()(

t

tt

W

WW (3.14)

gi = it

itit

W

WW

)1(

)1()(

(3.15)

gij = ijt

ijtijt

W

WW

)1(

)1()(

(3.16)

Keterangan :

E(t).. adalah nilai total ekspor Indonesia untuk seluruh produk i tahun t

E(t-1).. adalah nilai total ekspor Indonesia untuk seluruh produk i tahun t-1

E(t)i. adalah nilai total ekspor Indonesia tahun t untuk suatu jenis produk

ai (jenis produk i tertentu)

E(t).j adalah nilai total seluruh ekspor komoditas i Indonesia tahun t ke

negara tujuan j.

E(t)ij adalah nilai total ekspor Indonesia tahun t untuk jenis produk ai ke

negara j.

43

W(t)i adalah nilai total ekspor standar (dunia atau negara-negara

pengekspor tertentu) tahun t untuk produk ai.

W(t)j adalah nilai total ekspor standar (dunia atau negara-negara

pengekspor tertentu) seluruh komoditas i tahun t ke negara tujuan j

W(t)ij adalah nilai total ekspor standar dunia tahun t untuk produk ai ke

negara j.

W(t).. adalah nilai total ekspor standar (dunia atau negara-negara

pengekspor tertentu) untuk seluruh komoditas i tahun t

3.3.2 Export Product Dynamics (EPD)

Export Product Dynamics (EPD) merupakan salah satu indikator untuk

mengidentifikasi daya saing/ keunggulan kompetitif suatu produk dan

mengukur posisi produk suatu negara dalam suatu tujuan tertentu serta

mengukur kedinamisan performa suatu produk. Terdapat beberapa alasan

dalam mengidentifikasi suatu produk yang dinamis (pertumbuhannya cepat)

dalam ekspor suatu negara. Jika pertumbuhannya di atas rata-rata secara

kontinu selama waktu yang panjang, maka produk ini mungkin menjadi

sumber pendapatan ekspor yang penting bagi negara tersebut. Selanjutnya,

jika produk dinamis tersebut mempunyai karakteristik produksi yang

spesifik, maka hal ini juga menjadi informasi yang penting dalam

kesempatan ekspor, dalam hubungannya dengan produk yang serupa.

Adapun metode yang paling sering digunakan untuk mengidentifikasi

produk-produk dinamis adalah dengan memilih produk-produk berdasarkan

tingkat pertumbuhan pangsa pasar dan permintaan selama periode yang

ditetapkan.

Matriks EPD terbagi menjadi empat kategori, yaitu Rising Star (RS), Lost

Opportunity (LO), Falling Star (FS), dan Retreat (R). Rising Star ditandai

dengan negara tersebut memperoleh pangsa pasar untuk produk-produk

yang berkembang cepat. Lost Opportunity dihubungkan dengan penurunan

pangsa pasar pada produk dinamis. Falling Star juga tidak diinginkan,

terjadi ketika ada peningkatan, tetapi bukan pada produk-produk dinamis.

44

Sementara itu, Retreat tidak diinginkan lagi di pasar. Retreat bisa diinginkan

kembali jika pergerakannya jauh dari produk stagnan dan bergerak

mendekati peningkatan pada produk dinamis (Gambar 3.2).

Gambar 3.2 Matriks Export Product Dynamics (EPD)

Catatan:

sumbu x: pertumbuhan pangsa ekspor suatu negara di pasar dunia

sumbu y: pertumbuhan pangsa produk dalam perdagangan dunia

Sumber: Directorate of Trade, Investment and International Economic Cooperation, Ministry

of States for National Development Planning/ The National Development Planning Agency

(Bappenas) (2009).

3.3.3 Koefisien Indeks Konsentrasi

Berdasarkan Bera (2008), instabilitas penerimaan ekspor dapat diukur

melalui koefisien indeks konsentrasi (Coefficient of Concentration Index,

CCI). Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung

koefisien indeks konsentrasi adalah koefisien konsentrasi Gini-Hirschman.

Salah satu model dari koefisien konsentrasi Gini-Hirschman adalah Indeks

Konsentrasi Pasar (IKP), yang memfokuskan perhatian terhadap ekspor

komoditas tertentu ke beberapa negara tujuan. Suatu komoditas dianggap

rentan jika sangat tergantung atau terkonsentrasi terhadap satu atau beberapa

pasar tertentu karena dengan adanya gangguan yang relatif kecil saja akan

sangat mempengaruhi volume maupun nilai ekspor. Kisaran nilai IKP ini

berada di antara 0-100, di mana semakin besar nilai IKP maka ekspor akan

semakin terkonsentrasi terhadap satu negara. IKP dapat dirumuskan sebagai

berikut:

45

2

1

100

n

j

j

jtX

XG

(3.17)

dimana:

jtG = Indeks konsentrasi pasar

jX = Ekspor ke negara tujuan j

X = Total ekspor

3.3.4 Analisis Kuantitatif

Guna mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dan daya saing

industri manufaktur Indonesia, maka digunakan analisis kuantitatif dengan

pendekatan ekonometrika berupa analisis regresi data panel yang

melibatkan data deret waktu dan kerat lintang.

Adapun model estimasi yang diterapkan dalam kajian ini merupakan

adaptasi model perkiraan kasar dari keuntungan industri Price-Cost Margin

(PCM) yang dikembangkan oleh Muhammad Firdaus dkk (2008). Model

PCM sendiri menganalisis hubungan kinerja industri dengan efisiensi

(XEF), jumlah perusahaan (N), pengeluaran untuk pekerja (W), pengeluaran

untuk bahan bakar pelumas (PBBP), pengeluaran untuk bahan baku

domestik (PBBD), pengeluaran untuk bahan baku luar negeri (impor)

(PBBI), dan output (OUTPUT). Model estimasi PCM tersebut dapat

dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut:

(3.18)

Berdasarkan Agus Widarjono (2005), untuk menentukan model estimasi

yang paling tepat dalam analisis regresi data panel di atas maka diperlukan

tiga tahapan pengujian. Pertama, pengujian F-restricted untuk memilih

antara metode OLS tanpa variabel dummy atau Fixed Effect Model (FEM).

Kedua, pengujian Langrange Multiplier (LM) untuk menentukan

penggunaan metode OLS tanpa variabel dummy atau Random Effect Model

46

(ECM). Terakhir adalah uji Hausman yang digunakan untuk memilih antara

Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (ECM).

Di samping itu, terdapat beberapa ketentuan yang dibuat oleh Judge et.al

(Gujarati, 2003) dalam menentukan pemilihan FEM dan ECM, yaitu:

1. FEM akan menjadi pilihan yang lebih baik jika jumlah observasi (T) >

jumlah unit kerat lintang (N).

2. Ketika N besar dan T kecil, hasil estimasi FEM dan ECM dapat

berbeda secara signifikan. Jika secara individu atau kerat lintang, unit

sampel penelitian tidak memberikan gambaran random dari sampel

yang lebih besar maka FEM akan lebih sesuai. Sebaliknya, jika unit

kerat lintang pada sampel dianggap memberikan gambaran random

maka ECM akan lebih sesuai di mana asumsi statistik menjadi tidak

bersyarat.

3. Jika komponen error individu dan satu atau lebih variabel independen

berhubungan maka estimator ECM menjadi bias di mana FEM tidak

akan bias.

4. Jika N>T dan asumsi data ditelaah secara random, maka estimator

ECM lebih efisien dari FEM.

47

BAB IV

GAMBARAN UMUM KINERJA PERDAGANGAN

JEPANG DAN INDONESIA

4.1. Perkembangan Kinerja Perdagangan Jepang

4.1.1. Kinerja Perdagangan Jepang di Pasar Dunia

Selama satu dekade terakhir ini (tahun 2001-2010) kinerja total

perdagangan Jepang ke dunia menunjukkan tingkat pertumbuhan yang

tinggi, khususnya pada periode tahun 2001 hingga 2008, di mana total

perdagangan Jepang dengan dunia terus tumbuh rata-rata 10.8 persen per

tahun. Total perdagangan Jepang dengan dunia pada periode tersebut,

meningkat dari US$ 751 miliar pada tahun 2001 menjadi US$ 1,54 triliun

pada tahun 2008 dengan rincian ekspor meningkat dari sebesar US$ 403

miliar menjadi US$ 781 miliar, sedangkan impor meningkat dari US$ 349

miliar menjadi sebesar US$ 763 miliar. Dengan demikian, selama kurun

waktu delapan tahun tersebut total perdagangan Jepang ke dunia telah

meningkat dua kali lipat. Dari sisi neraca perdagangan y-o-y (year on

year), Jepang terus mengalami surplus yang nilainya bervariasi dengan

tren positif.

Berdasarkan Gambar 4.1 dapat dilihat bahwa surplus perdagangan

tertinggi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir tercatat pada tahun 2004,

mencapai sebesar US$ 111 miliar. Setelah mengalami pertumbuhan

ekonomi yang positif sejak terjadinya krisis ekonomi Asia pada tahun

1998, selanjutnya pada pertengahan tahun 2008 dunia mulai mengalami

krisis keuangan global yang diawali dengan krisis subprime mortage di

Amerika Serikat yang kemudian memicu krisis keuangan secara global

sehingga mempengaruhi kinerja perdagangan terhadap semua negara tidak

terkecuali Jepang. Dari data yang disajikan pada Gambar 4.1 terlihat

pergerakan kinerja perdagangan Jepang sebelum dan sesudah krisis. Krisis

keuangan global telah menyebabkan penurunan kinerja perdagangan

Jepang di dunia secara keseluruhan. Ekspor Jepang ke dunia turun sebesar

48

US$ 200,6 miliar (25,68 persen) dan impor turun US$ 210,5 miliar (27,61

persen). Kondisi tersebut membaik pada tahun 2010 yang ditunjukkan

dengan peningkatan (rebound) ekspor sebesar US$ 189 miliar (32,57

persen), impor sebesar US$ 141 miliar (25,48 persen).

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Ekspor 403 417 472 566 595 647 714 781 581 770

Impor 349 338 383 455 516 579 622 763 552 693

Total Perdagangan 751 754 855 1.021 1.111 1.226 1.337 1.544 1.133 1.462

Neraca (RHS) 54 79 89 111 79 68 92 19 29 77

-

20

40

60

80

100

120

-

200

400

600

800

1.000

1.200

1.400

1.600

1.800

US$

Mil

iar

US

$ M

ilia

r

Gambar 4.1 Perdagangan Jepang – Dunia Tahun 2001-2010

Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BP2KP)

Pada saat terjadinya krisis keuangan global, Indeks saham Nikkei jatuh

hingga mencapai 9,38 persen atau turun 952,58 poin yaitu dari ¥

10.155,90 menjadi ¥ 9.203,32. Penurunan angka indeks saham ini adalah

yang terendah sejak tahun 2003 dan merupakan penurunan terbesar ketiga

sejak Perang Dunia II. Selanjutnya, nilai tukar Yen terapresiasi terhadap

Dollar AS: US$ 1 mencapai ¥ 98 sebagai yang tertinggi sejak 6 bulan

terakhir (bulan Agustus 2007: 1 US$ setara dengan ¥ 119). Cadangan

devisa Jepang per 30 September 2008 mencapai sebesar US$ 995,85

miliar dan mengalami penurunan sebesar US$ 851 juta dibandingkan

cadangan devisa per 31 Agustus 2008. Pemerintah Jepang pada tahun

2008 juga melakukan revisi pertumbuhan ekonomi menjadi 0,7 persen;

dan untuk tahun 2009 diperkirakan sebesar 0,5 persen. Pada prinsipnya

Jepang akan terus melakukan kebijakan moneter yang mendukung

pertumbuhan ekonomi. Jumlah pinjaman berbagai lembaga keuangan di

49

Jepang kepada Lehman Brothers diperkirakan mencapai sebesar ¥ 320

miliar (US$ 3,2 miliar), 44 persen diantaranya dianggap merupakan

unsecured loans. Kebangkrutan Lehman Brothers mengakibatkan

pemerintah Jepang gagal mengeluarkan surat berharga senilai ¥ 250 miliar,

yang telah disepakati akan dikeluarkan oleh Lehman Brothers.

Berdasarkan Gambar 4.2, ekspor dan pertumbuhan Jepang ke dunia

menunjukkan bahwa sejak tahun 2001 sampai tahun 2008 (sebelum krisis

keuangan) Jepang mencatatkan peningkatan rata-rata pertumbuhan ekspor

sebesar 10,8 persen per tahun. Meskipun krisis keuangan global sudah

terasa sejak pertengahan tahun 2008, tetapi kinerja ekspor tahun 2008

masih mencatat kenaikan sebesar US$ 67,1 miliar. Dampak krisis

keuangan global berdampak sedemikian terhadap kinerja ekspor tahun

2009, penurunan ekspor Jepang ke dunia turun US$ 200 miliar (25,68

persen) dibandingkan tahun sebelumnya. Meskipun demikian pemulihan

kinerja ekspor Jepang terlihat pada tahun 2010, ekspor naik US$ 189

miliar (32,57 persen).

-40

-20

0

20

40

60

80

100

0

100

200

300

400

500

600

700

800

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

%

US$

Mill

iar

Ekspor % growth (rhs)

Gambar 4.2 Ekspor dan Pertumbuhan Ekspor Jepang – Dunia

Tahun 2001-2010

Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BP2KP)

50

Demikian juga halnya dengan impor Jepang dari dunia sebagaimana

ditunjukkan dalam Gambar 4.3 di mana rata-rata pertumbuhan per tahun

sebesar 12,10 persen sejak tahun 2010-2008 (sebelum krisis keuangan

global). Jepang mencatat impor sebesar US$ 762,5 miliar pada tahun

2008, naik 22 persen dari tahun sebelumnya. Krisis keuangan global yang

mulai terasa sejak pertengahan tahun 2008 berimbas pada melemahnya

impor Jepang dari dunia, impor turun US$ 210 miliar (27,6 persen). Sama

halnya dengan ekspor Jepang, setelah pelemahan ekspor di tahun 2009,

terjadi rebound pada tahun 2010, impor naik menjadi US$ 692,6 miliar

(25,48 persen).

22,55

-27,61-35

-25

-15

-5

5

15

25

35

-300

-100

100

300

500

700

900

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

%

US$

Mill

iar

Impor % growth (rhs)

Gambar 4.3 Impor dan Pertumbuhan Impor Jepang – Dunia

Tahun 2001-2010

Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BP2KP)

4.1.2. Pangsa Perdagangan Jepang di Dunia

Amerika Serikat merupakan mitra perdagangan Jepang terbesar pada tahun

2001, dengan pangsa sebesar 24,8 persen (US$ 186,3 miliar) dari total

perdagangan Jepang. Peran yang besar dari Amerika Serikat

mempengaruhi kondisi perdagangan Jepang. Krisis keuangan global di

51

Amerika Serikat pada pertengahan tahun 2008 telah menggeser posisi

Amerika sebagai negara tujuan ekspor terbesar Jepang. Pada tahun 2010,

pangsa perdagangan Jepang dengan RRT naik mencapai 20,7 persen (US$

302 miliar), sedangkan pangsa Amerika Serikat turun menjadi 13 persen

(US$ 189,5 miliar). Pada perkembangannya, tahun 2010 terjadi

peningkatan nilai perdagangan lebih dari 200 persen menjadi US$ 44

miliar.

Pada tahun 2001 Indonesia hanya memiliki pangsa yang relatif kecil di

pasar Jepang, yaitu sebesar 2,8 persen (US$ 21,3 miliar) dari total

perdagangan Jepang ke dunia. Perkembangan perdagangan Jepang dan

Perjanjian IJ-EPA ternyata kurang dimanfaatkan Indonesia. Pangsa

perdagangan Jepang dengan Indonesia hanya mengalami sedikit kenaikan

menjadi 3 persen.

United States of America

24.8%

China11.8%

Republic of Korea5.6%

Chinese Taipei5.1%

Germany3.7%

Hong Kong, China3.3%

Malaysia3.2%

Thailand3.0%

Australia2.9%

Indonesia2.8%

Lain-lain33.8%

China20.7%

United States of America

13.0%

Republic of Korea6.2%

Chinese Taipei5.2% Australia

4.1%Thailand

3.8%

Indonesia3.0%

Hong Kong, China3.0%

Saudi Arabia2.9%

Malaysia2.8%Germany

2.7%

Lain-lain32.7%

Gambar 4.4 Perubahan Pangsa Perdagangan Jepang ke Dunia (2001-2010)

Sumber: Trademap (diolah Puska Daglu, BP2KP)

4.2. Perkembangan Kinerja Perdagangan Indonesia di Pasar Dunia

4.2.1. Kinerja Perdagangan Indonesia di Pasar Dunia

Pada tahun 2001-2010 kinerja total perdagangan Indonesia ke dunia

menunjukkan pertumbuhan yaang positif. Total perdagangan Indonesia ke

dunia tumbuh rata-rata sebesar 15,9 persen per tahun. Gambar 4.5

menunjukkan bahwa pertumbuhan ekspor Indonesia lebih lambat

dibandingkan dengan pertumbuhan impor, di mana ekspor hanya tumbuh

secara rata-rata sebesar 12,96 persen per tahun, sedangkan impor tumbuh

2001 2010

52

sebesar 20,93 persen per tahun. Meskipun sampai saat ini Indonesia masih

mengalami surplus perdagangan, tetapi Indonesia perlu mewaspadai

kemungkinan defisit perdagangan karena perkembangan impor yang jauh

melampaui pertumbuhan ekspor ke dunia.

Dalam perkembangan satu dekade ini, total nilai perdagangan Indonesia

tahun 2010 telah meningkat hampir dari 2,5 kali dari total nilai

perdagangan tahun 2001, yaitu dari US$ 87,3 miliar tahun 2001 menjadi

US$ 293,4 miliar pada tahun 2010. Indonesia telah menikmati surplus

perdagangan yang bervariasi, di mana surplus perdagangan tertinggi

terjadi pada tahun 2006 sebesar US$ 39,6 miliar dan surplus terendah

terjadi pada tahun 2008 US$ 7,8 miliar. Pada tahun 2008 surplus

perdagangan tergerus akibat terjadinya lonjakan impor Indonesia, di mana

impor Indonesia pada saat itu meningkat 73,48 persen yang tidak

diimbangi dengan lonjakan ekspor. Negara-negara dengan pangsa

perdagangan ekspor relatif besar dari Indonesia mengalami imbas dari

krisis ekonomi tahun 2008. Setelah mengalami pertumbuhan yang positif

sejak tahun 2001, krisis keuangan global yang terjadi pada pertengahan

tahun 2008 menyebabkan kinerja perdagangan Indonesia mengalami

perlambatan. Nilai perdagangan Indonesia tahun 2009 turun sebesar 19,9

persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya.

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Ekspor 56.3 57.2 61.1 71.6 85.7 100.8 114.1 137.0 116.5 157.8

Impor 31.0 31.3 32.6 46.5 57.7 61.1 74.5 129.2 96.8 135.7

Total Perdagangan 87.3 88.4 93.6 118.1 143.4 161.9 188.6 266.2 213.3 293.4

Neraca (RHS) 25.4 25.9 28.5 25.1 28.0 39.7 39.6 7.8 19.7 22.1

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

35.0

40.0

45.0

0.0

50.0

100.0

150.0

200.0

250.0

300.0

350.0

US$

Mill

iar

US$

Mill

iar

Gambar 4.5 Perdagangan Indonesia – Dunia Tahun 2001-2010

Sumber : BPS (diolah oleh Puska Daglu, BPPKP, Kemendag ).

53

Krisis keuangan global berdampak terhadap melemahnya kinerja baik

ekspor maupun impor Indonesia dan dunia secara keseluruhan. Krisis

keuangan global menyebabkan nilai ekspor Indonesia pada tahun 2009

turun sebesar US$ 20,5 miliar (14,97 persen) dan impor turun sebesar

US$ 32,4 miliar (25,5 persen). Pemulihan kinerja perdagangan Indonesia

telah terlihat pada akhir tahun 2009 di mana ekspor Indonesia telah

menunjukan peningkatan. Ekspor non-migas triwulan ke IV tahun 2009

meningkat 1,3 persen atau US$ 331 juta lebih tinggi dibandingkan kinerja

triwulan ke IV tahun 2008. Peningkatan tersebut membuat kontraksi

ekspor non migas selama tahun 2009 lebih baik dari perkiraan saat

keadaan ekonomi dunia mengalami krisis. Ekspor non migas Indonesia di

tahun 2009 mencapai US$. 97,5 miliar, atau 9.7 persen lebih rendah dari

ekspor non migas tahun 2008 (Gambar 4.6).

-20

-10

0

10

20

30

40

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

120.0

140.0

160.0

180.0

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

%

US

$ M

illi

ar Ekspor

% growth (rhs)

Gambar 4.6 Ekspor dan Pertumbuhan Ekspor Indonesia–Dunia

Tahun 2001-2010

Sumber : BPS (diolah oleh Puska Daglu, BPPKP, Kemendag ).

Data statistik 2010 menunjukkan bahwa telah terjadi pemulihan kondisi

ekonomi di dunia sebagai dampak dari kebijakan moneter dan stimulus

fiskal yang dilakukan negara maju dan berkembang mendorong pemulihan

54

perekonomian dunia lebih awal dari yang diperkirakan dan program

diversifikasi pasar ekspor Indonesia ke Republik Rakyat Tiongkok (RRT)

dan India yang telah berjalan membantu mempercepat pemulihan ekspor.

Pada kenyataannya pemulihan perekonomian RRT dan India sangat kuat

sehingga meningkatkan permintaan terhadap ekspor Indonesia,

ditunjukkan dengan terjadinya rebound baik ekspor dan impor Indonesia

ke dunia pada tahun 2010, ekspor Indonesia tumbuh 35,42 persen dan

impor tumbuh sebesar 40,11 persen.

Meskipun nilai total ekspor tahun 2009 mengalami penurunan

dibandingkan nilai tahun 2008, tetapi total surplus perdagangan Indonesia

mengalami peningkatan. Nilai total ekspor pada tahun 2009 sebesar US$

116,5 miliar atau turun 15 persen dibandingkan dengan nilai total ekspor

tahun 2008. Sementara nilai total impor pada tahun 2009 sebesar US$ 96,8

miliar atau turun 25 persen dari tahun sebelumnya. Sebagian penurunan

impor tersebut disebabkan karena penurunan permintaan bahan baku dan

bahan penolong untuk produk ekspor. Dengan demikian terjadi surplus

neraca perdagangan yang cukup signifikan yaitu sebesar US$ 19,7 miliar.

Surplus tersebut meningkat 151 persen dibandingkan dengan surplus

neraca perdagangan tahun 2008 (Gambar 4.5 dan 4.7).

-40

-20

0

20

40

60

80

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

120.0

140.0

160.0

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

%

US$

Mill

iar Impor

% growth (rhs)

Gambar 4.7 Impor dan Pertumbuhan Impor Indonesia–Dunia

Tahun 2001-2010

Sumber : BPS (Diolah oleh Pusdatin Perdagangan, Kementerian Perdagangan)

55

4.2.2. Pangsa Perdagangan Indonesia di Dunia

Gambar 4.8 memperlihatkan bahwa Jepang adalah partner perdagangan

terbesar Indonesia pada tahun 2001, di mana pangsa total perdagangan

Indonesia dilakukan dengan Jepang sebesar 20,3 persen (US$ 17,7

miliar). Dalam perkembangannya dalam satu dekade terakhir (2001-2010)

pangsa perdagangan dengan Jepang telah menurun menjadi 14,6 persen

(US$ 42,7 miliar) di tahun 2010. Meskipun demikian, Jepang masih

merupakan mitra perdagangan terbesar Indonesia.

Posisi Amerika Serikat yang pada tahun 2001 berada diurutan kedua telah

bergeser ke posisi keempat, di mana pangsa perdagangan Indonesia

dengan Amerika Serikat turun dari 12,6 persen (US$ 10,9 miliar) di tahun

2001 menjadi 8,1 persen (US$ 23,7 miliar) pada tahun 2010. Posisi

Amerika Serikat telah digeser oleh RRT yang pangsanya naik dari 4,6

persen (US$ 4,0 miliar) pada tahun 2001 menjadi 12,3 persen (US$ 36,1

miliar) pada tahun 2010. Hal ini sejalan dengan pesatnya pertumbuhan

ekonomi RRT yang secara otomatis meningkatkan penawaran dan

permintaan barang di pasar internasional dan efektifitas implementasi

perjanjian kerjasama perdagangan regional ASEAN dengan RRT dalam

AC-FTA.

Selain pertumbuhan perdagangan dengan RRT, Indonesia juga mengalami

pertumbuhan yang tinggi dengan India. Gambar 4.8 menunjukkan bahwa

India yang pada tahun 2001 belum masuk ke dalam 10 negara dengan

pangsa perdagangan terbesar, pangsa India pada tahun 2010 telah

meningkat dari 1,8 persen (US$ 1,54 miliar) menjadi 4,5 persen dengan

total nilai US$ 13,2 miliar dan berada pada urutan ketujuh. Nilai total

perdagangan tersebut telah meningkat hampir 10 kali lipat dalam satu

dekade ini.

56

Japan20.3%

United States of America

12.6%

Singapore9.8%

Republic of Korea6.9%

China4.6%

Australia4.2%

Chinese Taipei3.7%

Malaysia3.2%

Germany3.0%

Thailand2.3%

United Kingdom

2.3%

Lain-lain27.1%

Japan14.6%

China12.3%

Singapore11.6%

United States of America

8.1%

Republic of Korea6.9%

Malaysia6.1%

India4.5%

Thailand4.1%

Australia2.8%

Chinese Taipei2.8%

Germany2.0%

lain-lain24.2%

Gambar 4.8 Perubahan Pangsa Perdagangan Indonesia di Dunia

Tahun 2001 dan 2010

Sumber: Trademap (diolah Puska Daglu, BP2KP)

4.3. Kinerja Perdagangan Bilateral Indonesia-Jepang

Pada periode 2001-2010, kinerja perdagangan Indonesia dan Jepang

menunjukan kecenderungan (tren) peningkatan dalam nilai perdagangannya. Dari

Gambar 4.9 terlihat bahwa total perdagangan pada tahun 2001 yang hanya sebesar

US$ 17,7 miliar telah meningkat menjadi US$ 42,75 miliar dengan rata-rata

pertumbuhan mencapai 12,99 persen per tahun. Persentase pertumbuhan

perdagangan Indonesia-Jepang ini dua persen lebih tinggi daripada rata-rata

pertumbuhan perdagangan Jepang ke dunia.

Pada sisi neraca perdagangan, Indonesia selalu menikmati surplus

perdagangan dengan Jepang yang nilainya bervariasi, meskipun Jepang selalu

mencatatkan surplus perdagangannya ke dunia. Pada periode 2001-2010, surplus

perdagangan Indonesia dengan Jepang tertinggi dicatat pada tahun 2007 mencapai

US$ 17,11 miliar meskipun tren neraca perdagangan cenderung landai. Pada

tahun 2006 terjadi lonjakan surplus perdagangan meningkat sebesar 45 persen

dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, naik dari US$ 11,14 miliar

pada tahun 2005 menjadi US$16,22 miliar pada tahun 2006.

2001 2010

57

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Neraca (RHS) 9.02 8.32 7.64 9.38 9.88 11.14 16.22 17.11 12.61 8.73 8.82

Ekspor 14.42 13.01 12.05 13.60 15.96 18.05 21.73 23.63 27.74 18.57 25.78

Impor 5.40 4.69 4.41 4.23 6.08 6.91 5.52 6.53 15.13 9.84 16.97

Total Perdagangan 19.81 17.70 16.45 17.83 22.04 24.96 27.25 30.16 42.87 28.42 42.75

-

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

12.00

14.00

16.00

18.00

-

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

45.00

50.00

US$

Mili

ar

US$

Mili

ar

Gambar 4.9 Perdagangan Indonesia-Jepang Tahun 2001-2010

Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BP2KP)

Berdasarkan pengelompokkan golongan barang, neraca perdagangan migas

Indonesia-Jepang cenderung menunjukkan peningkatan surplus selama kurun

waktu 2004-2010 sebagaimana yang ditunjukkan dalam Gambar 4.10. Surplus

perdagangan migas tertinggi terjadi pada tahun 2008 dengan nilai sebesar US$

13,7 milliar. Sementara itu, neraca perdagangan non-migas Indonesia-Jepang

tahun 2004-2010 cenderung fluktuatif, mengalami kenaikan dari tahun 2004

hingga mencapai puncaknya pada tahun 2006. Kemudian terjadi penurunan

hingga pada tahun 2008 mengalami defisit perdagangan sebesar US$ 1,1 miliar

dan kembali mengalami surplus perdagangan pada tahun 2009 yang selanjutnya

defisit pada tahun 2010 (Gambar 4.10).

58

9.9

11.1

16.217.1

12.6

8.7 8.8

7.68.5

9.510.5

13.7

6.6

9.2

2.3 2.7

6.7 6.6

-1.1

2.2

-0.4-2.0

0.0

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

14.0

16.0

18.0

20.0

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

US$

Mili

ar

Total

Migas

Non Migas

Gambar 4.10 Neraca Perdagangan Migas dan Non-migas Indonesia-Jepang

Tahun 2004-2010

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)

Ditinjau dari perkembangan perdagangan produk migas Indonesia dengan

Jepang, ekspor Indonesia mendominasi hampir 100 persen dari total perdagangan

migas dengan Jepang. Surplus perdagangan Indonesia untuk migas tertinggi

selama periode 2004-2010 terjadi pada tahun 2008 dengan nilai sebesar US$ 13,7

miliar seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.11.

7.68.5

9.510.5

13.9

6.6

9.3

0.0 0.0 0.0 0.1 0.3 0.0 0.1

7.68.5

9.510.5

13.7

6.6

9.2

0.0

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

14.0

16.0

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

US

$ M

ilia

r

Ekspor Impor Neraca

Gambar 4.11 Perkembangan Perdagangan Migas Indonesia dengan Jepang

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)

59

Meskipun ekspor non-migas Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke

tahun selama tahun 2004-2010, pada tahun 2008 dan 2010 nilainya tidak dapat

mengimbangi impor non-migas Indonesia dari Jepang. Impor non migas Indonesia

dari Jepang pada tahun 2008 meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun

sebelumnya sedangkan ekspornya hanya mampu tumbuh 5 persen. Hal ini

sebagaimana digambarkan dalam Gambar 4.12.

8.49.6

12.213.1

13.8

12.0

16.5

6.16.9

5.56.5

14.9

9.8

16.9

2.3 2.7

6.7 6.6

-1.1

2.2

-0.4-2.0

0.0

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

14.0

16.0

18.0

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

US

$ M

ilia

r

Ekspor Impor Neraca

Gambar 4.12 Perkembangan Perdagangan Non-migas Indonesia dengan Jepang

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)

4.3.1. Perkembangan Ekspor Indonesia ke Jepang

Rata-rata pertumbuhan ekspor Indonesia ke Jepang pada tahun 2001-2010

sebesar 7,85 persen per tahun. Meskipun imbas krisis keuangan global

pada pertengahan tahun 2008 menurunkan ekspor secara dramastis di

tahun 2009 dengan nilai sebesar US$ 9,17 Miliar (33 persen). Pada tahun

2010 ekspor Indonesia mengalami pemulihan meskipun tidak sebesar nilai

ekspor sebelum krisis global terjadi, di mana ekspor Indonesia ke Jepang

naik sebesar 38 persen (US$ 7,21 Miliar) seperti dapat dilihat dalam

Gambar 4.13. Selama periode 2001-2010 pertumbuhan ekspor tertinggi

terjadi pada tahun 2010 sebesar 38 persen yang menunjukkan pemulihan

akibat krisis keuangan global.

60

-40

-30

-20

-10

0

10

20

30

40

-40.0

-30.0

-20.0

-10.0

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Gro

wth

(%)

US$

Mili

ar

Ekspor (LHS) Growth Ekspor (RHS)

Gambar 4.13 Nilai dan Pertumbuhan Ekspor Indonesia ke Jepang

Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BP2KP)

Gambar 4.14 menunjukkan komposisi ekspor produk migas dan non-

migas Indonesia ke Jepang yang memiliki komposisi yang hampir

berimbang sepanjang tahun 2004-2010. Rata-rata ekspor Indonesia ke

Jepang pada periode 2005-2010, terdiri dari 56 persen produk non-migas

(US$ 12,2 miliar) dan 44 persen produk migas (US$ 9,4 miliar). Rata-rata

pertumbuhan ekspor non-migas selama tahun 2005-2010 cukup bervariasi,

dengan nilai sebesar 13,15 persen per tahunnya. Pertumbuhan ekspor non-

migas Indonesia tertinggi terjadi pada tahun 2006, di mana Indonesia

mampu mencatatkan pertumbuhan sebesar 27 persen (US$ 2,6 miliar).

Sementara, rata-rata pertumbuhan ekspor migas Indonesia ke Jepang

periode 2005-2010 sebesar 9,21 persen per tahun. Pertumbuhan ekspor

migas Indonesia tertinggi terjadi pada tahun 2010, di mana ekspor tumbuh

sebesar 40,78 persen (US$ 2,69 miliar) dibandingkan tahun sebelumnya.

Krisis keuangan global pada pertengahan tahun 2008 menyebabkan

penurunan ekspor baik migas dan non migas Indonesia, ekspor migas

turun 52,71 persen sedangkan non-migas turun 13,17 persen. Krisis

keuangan global yang terjadi berdampak lebih mendalam terhadap kinerja

ekspor migas Indonesia dibandingkan dengan ekspor non-migas. Ekspor

61

non-migas Indonesia dinilai lebih mampu menahan dampak dari krisis

tersebut.

16

18,0 21,7 23,627,7

18,6

25,8

-60

-50

-40

-30

-20

-10

0

10

20

30

40

-50.0

-40.0

-30.0

-20.0

-10.0

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Gro

wth

(%)

US$

Mill

iar

Non Migas

Migas

growth Migas-RHS

growth Non Migas-RHS

Gambar 4.14 Ekspor Migas dan Non-Migas Indonesia ke Jepang

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)

4.3.1.1. Perkembangan Ekspor Migas Indonesia ke Jepang

Kenaikan ekspor migas Indonesia ke Jepang lebih disebabkan oleh

kenaikan harga migas di pasar dunia, di mana volume ekspor Indonesia

memiliki tren menurun. Dampak krisis keuangan global pertengahan

tahun 2008 berakibat pada terkoreksinya ekspor migas Indonesia ke

Jepang, di mana ekspor migas pada tahun 2009 turun dari US$ 13,9

miliar di tahun 2008 menjadi US$ 6,6 miliar pada tahun 2009. Dilihat

lebih jauh lagi pada saat awal krisis global, permintaan energi dunia

menurun yang kemudian menyebabkan harga produk migas dunia anjlok

pada awal tahun 2009, tetapi tren harga minyak sepanjang tahun 2009

menunjukkan tren peningkatan sejalan dengan paket stimulus pemulihan

ekonomi dunia yang dikeluarkan pemerintah diseluruh dunia. Sepanjang

tahun 2009 harga minyak tertinggi terjadi pada bulan Oktober 2009,

yaitu US$ 80,50. Harga tersebut masih jauh lebih rendah dibandingkan

dengan harga minyak dunia yang pernah mencapai US$ 146 sebelum

62

krisis global terjadi. Jadi, penurunan ekspor migas ke Jepang lebih

disebabkan oleh harga migas yang turun (Gambar 4.14).

Berdasarkan komposisi produk migas dalam Gambar 4.15, ekspor

produk migas Indonesia didominasi oleh ekspor gas terutama (hampir

100 persen adalah Liquid Natural Gas (LNG)) dengan rata-rata pangsa

ekspor gas Indonesia ke Jepang mencapai 60 persen dari total ekspor

produk migas Indonesia ke Jepang. Indonesia mencatatkan ekspor gas ke

Jepang sebesar US$ 8 miliar pada tahun 2008, terjadi peningkatan yang

drastis. Pertumbuhan ekspor gas ke Jepang pada tahun 2008 mencapai

lebih dari 300 persen, di mana peningkatan harga gas yang diekspor

menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kenaikan nilai

ekspor, selain juga adanya peningkatan volume ekspor gas ke Jepang.

Ekspor hasil minyak yang merupakan produk hilir menempati pangsa

terkecil jika dibandingkan dengan Gas (60,09 persen), Minyak Mentah

(27,4 persen), dan Hasil Minyak hanya sebesar 11,06 persen pada lima

tahun terakhir. Hal ini menunjukan bahwa ekspor Indonesia ke Jepang

masih mengandalkan ekspor barang hasil alam (upstream product) yang

added value didalam negeri masih belum optimal.

Gambar 4.15 Komposisi Ekspor Migas Indonesia ke Jepang

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)

63

4.3.1.2. Perkembangan Ekspor Non-migas Indonesia ke Jepang

Berdasarkan sektor, ekspor produk non-migas Indonesia ke Jepang

didominasi oleh ekspor produk industri. Pada tahun 2005-2010 rata-rata

pangsa ekspor produk industri sebesar 68,38 persen dari total ekspor non

migas, tetapi secara umum pangsa produk industri cenderung menurun

diikuti dengan pertumbuhan ekspor dari sektor tambang (Gambar 4.16).

9.6

12.2 13.1

13.8

12.0

16.5

-

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

14.0

16.0

18.0

2005 2006 2007 2008 2009 2010

US$

Mill

iar Pertanian

Hasil Tambang

Industri

Gambar 4.16 Ekspor Non-migas Indonesia ke Jepang Menurut Sektor

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP, Kemendag).

Menurut HS 10 dijit, produk industri Indonesia yang paling banyak

diekspor ke Jepang pada tahun 2010, antara lain Mate Nikel, TSNR 20,

produk Tembaga yang sudah dimurnikan, Plywood, produk Alumunium,

Printer-copier, Wiring Harness untuk Kendaraan Bermotor, Kertas

tanpa Serat, Ban untuk Kendaraan Bermotor, Pelek dan Penutup untuk

Otomotif. Produk Perabotan Kayu Lainnya (Furnitur) dan Sak dan

Kantong (termasuk cone) dari Polimer Etilena (Barang dari Plastik) yang

merupakan fokus produk dalam kajian ini termasuk ke dalam 20 besar

komoditi utama produk industri yang diekspor ke Jepang. Sebagaimana

yang tertera dalam Tabel 4.1, tren kedua produk tersebut selama tahun

2006-2010 cenderung positif. Pasca implementasi kesepakatan

perdagangan bebas IJ-EPA sejak tanggal 1 Juli 2008, ekspor produk

Perabotan Kayu Lainnya (Furnitur) Indonesia ke Jepang meningkat

setiap tahunnya. Sementara ekspor produk Sak dan Kantong (termasuk

64

cone) dari Polimer Etilena (Barang dari Plastik) meningkat secara tajam

pada tahun 2009 hingga mencapai US$ 81,9 juta, namun mengalami

penurunan sebesar 8,7 persen pada tahun 2010.

Tabel 4.1

Ekspor Komoditi Utama Produk Industri Indonesia ke Jepang

Berdasarkan HS 10 Dijit

Tahun 2006-2010

2006 2007 2008 2009 2010

TOTAL EKSPOR NON MIGAS INDUSTRI 8,202,542,701 9,655,870,228 9,352,503,433 7,034,537,989 10,020,127,349 42.44 0.84

PANGSA EKSPOR NON MIGAS INDUSTRI TERHADAP EKSPOR NON MIGAS 67.24 73.75 67.79 58.72 60.74 3.43 -4.22

1 7501100000 Nickel mattes 1,224,747,226 2,128,512,575 1,380,069,327 580,783,509 1,429,608,366 146.15 -9.42

2 4001222000 Tsnr, oth standard indonesian rubber 523,893,701 658,261,143 972,582,032 443,175,607 954,198,645 115.31 8.37

3 7403190000 Other refined copper, unwrought 231,410,742 414,604,931 181,829,783 513,117,929 807,111,589 57.30 31.15

4 4412310000 Oth plywood,each thick.<6mm with at least one outer ply of tropical wood 561,650,325 433,426,734 397,560,459 298,738,528 406,632,162 36.12 -9.68

5 7601100000 Aluminium, not alloyed 390,621,544 396,346,529 391,512,631 233,957,892 322,280,969 37.75 -8.71

6 8443311010 Printer-copier,ink-jet,color,capable of connecting to a data machine/network 100,773,616 150,249,388 293,522,885 291,900,683 288,914,322 -1.02 31.92

7 8544301000 Wiring harnesses for motor vehicles 154,219,287 209,154,575 273,688,321 198,270,173 278,618,884 40.52 11.96

8 4802559000 Paper,no fibres, for other purpose 40< weight <150 g/m,roll 142,957,715 141,282,609 174,241,597 221,829,343 238,247,987 7.40 15.87

9 4011100000 New pneumatic tyres,of rubber of a kind used on motor cars 167,425,027 171,896,171 208,413,341 224,443,649 191,060,404 -14.87 5.45

10 8708701300 Wheel centre disc & cap for oth vehicle of heading 87.03 71,697,615 112,481,254 126,019,850 109,090,907 147,850,704 35.53 15.22

11 4802570000 Other paper & paperboard, weight>40g/m2 and =< 150g/m2 131,637,513 105,136,008 129,157,126 135,417,093 142,702,645 5.38 4.23

12 8539319090 Other fluorescent, hot cathode 36,816,530 51,566,603 65,608,406 67,585,899 121,204,467 79.33 30.39

13 9403600000 Other wooden furniture 91,097,680 89,435,179 102,547,331 102,258,762 115,604,406 13.05 6.29

14 8001100000 Tin, not alloyed 44,418,187 35,020,739 48,503,304 23,599,196 113,071,398 379.13 15.88

15 3907609000 Poly(ethylene terephthalate) in oth form 117,977,392 95,402,351 110,758,929 85,810,209 112,523,575 31.13 -1.99

16 4412940000 Oth plywood of blockboard,laminboard and battenboard 31,850,494 76,130,529 87,766,420 85,087,132 102,830,275 20.85 27.83

17 8525802019 Other digital camera 71,144,894 92,721,490 87,379,846 96,802,025 96,616,903 -0.19 6.77

18 8703229000 Other vehicles, 1,000-1500 cc, not ckd internal combust recipro piston engine 59,193 403,479 97,832,545 72,692,984 95,801,837 31.79 636.86

19 4703290000 Chemical wood pulp, soda, oth than dis solving grades,bleached,non coniferous71,747,329 65,826,033 101,652,353 53,875,107 91,405,666 69.66 2.88

20 3923219000 Oth sacks & bags, of polymers of ethylene 40,098,299 44,930,032 49,274,469 81,867,609 74,742,017 -8.70 20.27

NO

PERUB.

2010/2009

(%)

TREND

'06-10

(%)

HS10 URAIAN

NILAI (US$)

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP, Kemendag).

Dengan pendekatan HS 6 dijit, produk Perabotan Kayu Lainnya

(Furnitur) dan Garmen dari Kain dari pos 56.02 atau 56.03 (Garmen)

termasuk ke dalam 50 besar komoditi utama produk industri yang

diekspor Indonesia ke Jepang pada tahun 2010. Selain itu, untuk produk

Mentega, Lemak, dan Minyak Kakao (Kakao Olahan) menduduki

peringkat ke-166 dalam ekspor produk industri Indonesia ke Jepang

(Tabel 4.2). Sama halnya dengan pendekatan yang menggunakan HS 10

dijit, ekspor produk industri Indonesia ke Jepand didominasi oleh produk

Mate Nikel, Technically Specified Natural Rubber (TSNR), Tembaga

yang sudah dimurnikan, Plywood, Alumunium bukan paduan, dan Mesin

Cetak Offset.

65

Tabel 4.2

Ekspor Komoditi Utama Produk Industri Indonesia ke Jepang

Berdasarkan HS 6 Dijit Tahun 2006-2010

2006 2007 2008 2009 2010

750110 Nickel mattes 1,224,747,226 2,128,512,575 1,380,069,327 580,783,509 1,429,608,366 146.15 -9.42 1

400122 Natural rubber in other forms :-- Technically specified natural rubber (TSNR)524,571,948 661,541,733 978,178,077 444,512,974 957,632,859 115.43 8.40 2

740319 Refined copper products, unwrought, nes 231,410,742 414,604,931 181,829,783 513,117,929 807,111,589 57.30 31.15 3

441231 Plywood, consisting solely of sheets of wood (other than bamboo), each ply not> 6 mm thkns, with at least one outer ply of tropical wood specified in Subheading Note 1 to this Ch.561,650,325 433,426,734 397,560,459 298,738,528 406,632,162 36.12 -9.68 4

760110 Aluminium unwrought, not alloyed 390,621,544 396,346,529 391,512,631 233,957,892 322,280,969 37.75 -8.71 5

844331 Machines which perform two/more of the functions of printing, copying/facsimile transmission, capable of connecting to an automatic data processing machine/to a network115,263,412 150,649,577 293,886,934 292,591,148 289,003,818 -1.23 28.43 6

854430 Ignition wiring sets and other wiring sets of a kind used in vehicles, aircraft or ships190,983,618 209,777,138 274,195,492 198,340,243 278,750,782 40.54 7.25 7

480255 Paper&paperboard, not containing fibres obtained by a mechanical/chemi-mechanical process/of which not > 10% by weight of the total fibre content consists of such fibres, weighing >40 g/m¦ but not >150 g/m¦, in rolls142,957,715 143,931,727 179,444,076 222,154,763 238,247,987 7.24 15.67 8

401110 New pneumatic tyres, of rubber, of a kind used on motor cars (incl. station wagons & racing cars)167,425,027 171,896,171 208,413,341 224,443,649 191,060,404 -14.87 5.45 9

870870 Wheels including parts and accessories for motor vehicles 112,975,266 130,456,677 140,962,584 114,213,786 159,210,269 39.40 5.69 10

480257 Paper&paperboard, not containing fibres obtained by a mechanical/chemi-mechanical process/of which not > 10% by weight of the total fibre content consists of such fibres, weighing > 40 g/m¦ but not > 150 g/m¦(excl. of 4802.54-4802.56)131,637,513 105,136,008 129,157,126 135,417,093 142,702,645 5.38 4.23 11

853931 Fluorescent lamps, hot cathode 56,623,758 75,858,448 89,516,527 90,120,847 133,768,943 48.43 20.82 12

940360 Wooden furniture (excl. of 94.01 & 9403.30-9403.50) 91,097,680 89,435,179 102,547,331 102,258,762 115,604,406 13.05 6.29 13

800110 Tin not alloyed unwrought 44,418,187 35,020,739 48,503,304 23,599,196 113,071,398 379.13 15.88 14

390760 Poly(ethylene terephthalate), in primary forms 117,977,392 95,402,351 110,758,929 85,810,209 112,523,575 31.13 -1.99 15

441294 Plywood, veneered panels&similar laminated wood, of blockboard, laminboard&battenboard31,850,494 76,130,529 87,766,420 85,087,132 102,830,275 20.85 27.83 16

852580 Television cameras, digital cameras & video camera recorders 81,290,018 95,332,323 91,120,029 96,910,384 96,742,634 -0.17 3.71 17

870322 Automobiles w reciprocatg piston engine displacg > 1000 cc to 1500 cc572,426 729,494 98,013,041 73,022,912 95,897,677 31.33 341.43 18

470329 Chemical wood pulp,soda/sulphate,non-coniferous,semi-bl/bleachd,nes71,747,329 65,826,033 101,652,353 53,875,107 91,405,666 69.66 2.88 19

854449 Electric conductors, for a voltage not exceeding 80 V, nes 125,510,703 103,046,901 104,199,077 50,952,230 74,808,517 46.82 -15.96 20

392321 Sacks and bags (including cones) of polymers of ethylene 46,987,655 45,008,962 49,610,597 81,878,690 74,742,017 -8.72 16.49 21

621010 Garments made up of textile felts and of nonwoven textile fabrics28,439,864 29,273,201 33,400,685 36,025,494 34,660,919 -3.79 6.22 34

180400 Cocoa butter, fat and oil. 3,997,000 2,563,000 2,899,002 8,185,475 7,551,637 -7.74 27.55 166

HS 6

DGTPeringkatURAIAN

NILAI (US$) PERUB.

2010/2009

(%)

TREND

'06-10

(%)

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP, Kemendag).

Berdasarkan catatan BPS, ekspor produk hasil pertanian tertinggi ke

Jepang tertinggi pada tahun 2010 berasal dari produk Udang Kecil dan

Udang Biasa, yaitu sebesar US$ 303 juta. Ekspor tersebut merupakan 68

persen dari total ekspor hasil pertanian Indonesia. Selain itu, ekspor hasil

laut seperti Ikan Tuna, Skip Jack, Sardines, Teripang, Mutiara Alam,

Rumput Laut, juga merupakan porsi yang penting dalam menyusun ekspor

produk pertanian ke Jepang.

Untuk ekspor produk pertambangan menunjukkan tren peningkatan, akibat

dari peningkatan harga komoditas tambang di dunia dan peningkatan

volume ekspor. Ekspor hasil tambang Indonesia ke Jepang antara lain

adalah Bijih Tembaga dan Konsentratnya (49 persen), Batubara untuk

bahan bakar (24 persen), Batubara lainnya (23 persen), Bijih Nikel (1,7

persen) dan Batubara Antrasit (0.14). Ekspor produk tambang ke Jepang

sangat terkonsentrasi pada Mineral Tembaga, Nikel dan Batubara, di mana

66

produk-produk tersebut merupakan bahan baku untuk industri Metalurgi di

Jepang.

4.3.2. Perkembangan Impor Indonesia dari Jepang

Pada periode 2001-2010 rata-rata impor Indonesia naik sebesar 20,1

persen per tahun, meskipun pada tahun 2000-2003 impor Indonesia dari

Jepang menunjukan penurunan nilai impor. Pertumbuhan impor Indonesia

dalam satu dekade tersebut cenderung fluktuatif dapat dilihat pada Gambar

4.17. Pada tahun 2008 Indonesia mencatat lonjakan impor dari Jepang, di

mana impor Indonesia tumbuh sebesar 131 persen (US$ 8,6 Miliar)

dibandingkan dengan tahun 2007. Krisis keuangan global yang terjadi

pada pertengahan 2008 juga berdampak pada penurunan impor Indonesia

dari Jepang. Sama halnya dengan ekspor, impor Indonesia juga turun pada

tahun 2009 sebesar US$ 5,29 miliar (34 persen) dibandingkan dengan

tahun sebelumnya. Impor Indonesia mengalami peningkatan kembali

(rebound) secara dramatis pada tahun 2010 sebagai manifestasi dari

pemulihan ekonomi dunia, terutama Jepang.

-60

-40

-20

0

20

40

60

80

100

120

140

160

(8.00)

(3.00)

2.00

7.00

12.00

17.00

22.00

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Grow

th (%

)

US$

Mili

ar

Impor (LHS) Growth Impor (RHS)

Gambar 4.17 Nilai dan Pertumbuhan Impor Indonesia dari Jepang

Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BP2KP)

Lebih dari 99 persen impor Indonesia dari Jepang merupakan produk non-

migas. Pada tahun 2004-2010 impor non-migas Indonesia dari Jepang

67

tumbuh secara fluktuatif dengan rata-rata pertumbuhan 30 persen per

tahunnya. Lonjakan impor non-migas Indonesia dari Jepang terjadi pada

tahun 2008, di mana impor tumbuh sebesar 129 persen menjadi US$ 14,9

miliar. Krisis keuangan global berdampak pada penurunan pertumbuhan

impor non migas Indonesia dari Jepang. Untuk impor migas dari Jepang,

lonjakan ekspor tumbuh hingga mendekati 400 persen pada tahun 2008

dan anjlok hingga mendekati 100 persen di tahun 2009. Meskipun pada

tahun 2008 terjadi peningkatan pertumbuhan nilai impor migas mendekati

400 persen dari Jepang dengan nilai US$ 203 juta, tetapi kenaikan impor

migas tersebut hanya 1,7 persen dari total impor Indonesia (Gambar 4.18).

6.16.9

5.5

6.5

15,1

9.8

17

-200

-100

0

100

200

300

400

0.0

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

14.0

16.0

18.0

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

(%)

US$

(Mili

ar)

Non Migas

Migas

growth Migas-RHS

growth Non Migas-RHS

Gambar 4.18 Impor Migas dan Non-migas Indonesia dari Jepang

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)

4.3.2.1. Perkembangan Impor Migas Indonesia dari Jepang

Mayoritas impor migas Indonesia dari Jepang sepanjang periode 2006-

2010 adalah hasil minyak dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 9,23

persen. Impor hasil migas Indonesia dari Jepang pada tahun 2008 naik

empat kali lipat menjadi US$ 263,3 juta dari tahun 2007 yang hanya

berkisar US$ 54,0 juta. Kenaikan impor migas tersebut didorong oleh

meroketnya impor hasil minyak yang menjadi US$ 263,2 juta pada

68

tahun 2008. Untuk impor gas Indonesia dari Jepang periode 2006-2010

cenderung meningkat dengan rata-rata sebesar 11,42 persen (Tabel 4.3).

Tabel 4.3 Impor Migas Indonesia dari Jepang Berdasarkan Komposisi

Produk

Tahun 2006-2010

2006 2007 2008 2009 2010

Minyak Mentah - 18,670 2,650 - 171 - -

Hasil Minyak 27,787,978 53,913,646 263,248,084 33,195,305 55,060,469 65.87 9.23

Gas 11,513 81,011 49,980 19,743 40,046 102.84 11.42

Total Ekspor Migas 27,799,491 54,013,327 263,300,714 33,215,048 55,100,686 65.89 9.22

NILAI (US$)

Kelompok

Perub.

2010/2009

(%)

Tren '06-10

(%)

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)

4.3.2.2. Perkembangan Impor Non-migas Indonesia dari Jepang

Gambar 4.19 menunjukkan impor non-migas Indonesia dari Jepang

hampir 100 persen didominasi oleh produk industri dengan rata-rata

pertumbuhan sebesar 30,6 persen selama periode 2006-2010 dan

pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2008 sebesar 128,8 persen.

Peningkatan impor produk industri pada tahun tersebut disumbang oleh

kenaikan impor produk Tali Sepatu Boot, Pipa Bor Belum Jadi (green

pipe) dengan yield strength < 75.000 Psi dan Ujungnya Belum

Dikerjakan, Bagian dari Motor > 1,5 kW tapi tidak lebih dari 75 kW,

Bagian Dari Decoder, dan Display Panel Datar (termasuk Luminescence,

Plasma, dan Teknologi Lainnya (HS 10 dijit).

2006 2007 2008 2009 2010

Pertanian 15.5 8.1 38.4 16.8 24.4

Industri 5,455.3 6,447.4 14,754.2 9,759.8 16,842.5

Hasil Tambang 17.2 17.0 72.1 33.9 43.3

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

16,000

18,000

Juta U

S$

Gambar 4.19 Impor Non-migas Indonesia dari Jepang

Berdasarkan Sektor Tahun 2006-2010

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)

69

Pada tahun 2010 sebagian impor produk industri Indonesia dari Jepang

merupakan produk Kendaraan Bermotor dalam Keadaan Terbongkar

Tidak Lengkap (incompletely knocked down, IKD) dari pos 8704 dengan

5 ton < Massa Total <=24 ton, Damper dirancang untuk penggunaan

bukan di jalan raya dengan massa total > 24 ton: Lain-lain, Sekop

mekanik, eksavator dan shovel loader: Mesin yang berputar 360º diatas

bangunan, Kendaraan Bermotor Selain Sedan dengan Sistem Gardan

Tunggal (4 x 2) IKD, dan Keadaan Terbongkar Tidak Lengkap

(incompletely knocked down, IKD) dengan Massa Total > 24 ton (HS 10

Dijit).

Tabel 4.4

Impor Komoditi Utama Produk Industri Indonesia dari Jepang

Berdasarkan HS 10 Dijit Tahun 2006-2010

2006 2007 2008 2009 2010

1 9801202000 Vhcls of head 8704 with 5 ton < gross weight <= 24 ton, incmpltly knocked down0 180,223,743 336,629,462 273,192,781 617,393,216 125.99 -

2 8704102200 Damper designed for off highway, > 24 t not ckd 0 78,027,613 217,914,634 183,885,051 476,102,140 158.91 -

3 8429520000 Mach with a 360,revolving super struct, mech shovels,excavators and shove loader78,600,945 108,744,529 277,772,646 150,111,927 417,479,197 178.11 44.23

4 9801102000 Oth vhcl of head 8703 with (4x2) system incompletely knocked down, for person0 88,362,868 164,798,239 237,523,722 414,395,378 74.46 -

5 9801203000 Vhcls of head 8704 with gross weight >24 ton,incmpltly knocked down,for good0 67,887,871 196,207,170 115,681,818 386,303,046 233.94 -

6 7403110000 Refined copper for cathodes and sections of cathodes 1,832,920 10,075,235 182,194,134 151,167,706 341,212,227 125.72 272.90

7 8431499000 Oth parts of machinery of heading 84.26, 84.29/84.30 0 146,395,146 213,615,521 72,745,557 242,655,831 233.57 -

8 8406900000 Parts of steam turbines and parts 5,128,575 5,721,798 7,850,869 64,460,799 179,078,478 177.81 159.29

9 7304190000 Oth.tube,pipe&hollow profile,seamless, line pipe of a kind use for oil/gas pipe0 5,798,761 52,483,720 58,678,544 171,548,901 192.35 -

10 8483102400 Transmission shafts for engines of oth vehicles of chapter 87 44,293,517 62,353,277 91,522,539 83,927,163 165,499,137 97.19 34.09

11 8703235391 Oth motor car,2000-2500cc, (4x2) system ,not ckd,int combust recipro pist engine36,211,093 59,324,689 73,219,530 78,576,017 164,539,206 109.40 39.22

12 8443910000 Part & accessori of print machinery used for print by component of head 84.421,099,673 1,071,198 5,368,989 135,951,045 160,917,690 18.36 339.97

13 8529904000 Parts of digital cameras/video camera recorders with app of hd 85.25 to 85.280 49,381 3,269,752 177,280,961 134,402,824 -24.19 -

14 8429110000 Track laying, bulldozers and angledozers 47,327,631 40,133,575 73,230,708 56,584,328 117,587,949 107.81 24.16

15 8404909000 Other parts of auxiliary machinery for use with boilers 198,597 31,049 142,719 24,711,553 117,041,605 373.63 598.49

16 8708999900 Other parts,acces for other vehicles of heading 87.02, 8704, 8705350,210,271 60,721,284 834,859,143 88,611,109 116,528,306 31.51 -16.66

17 7208270000 Flat-rolled iron/nas,HRC,pickled,width> 600mm, of a thickness of less than 3 mm36,428,270 58,829,404 134,559,472 63,407,358 116,442,238 83.64 27.11

18 8542390000 Other electronic integrated circuits 13,536,596 15,359,923 99,665,965 75,383,032 112,926,812 49.80 79.20

19 9801201000 Vhcls of head 8704 with gross weight <=5 ton, incompletely knocked down0 0 2,275,236 47,702,155 100,579,257 110.85 -

20 8409994900 Oth parts suitable for vehicles for oth vehicles 87, comp-ignition 0 23,372,134 46,008,743 47,061,497 100,241,074 113.00 -

NO HS URAIANNILAI (US$) Perub.

2010/2009 (%)

Trend '06-10

(%)

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)

Berdasarkan HS 6 dijit dalam Tabel 4.5, mayoritas impor produk

industri Indonesia dari Jepang pada tahun 2010 berupa produk

Kendaraan Bermotor dalam Keadaan Terbongkar Tidak Lengkap (IKD),

Damper dirancang untuk penggunaan bukan di jalan raya dengan massa

total > 24 ton, Sekop mekanik, eksavator dan shovel loader: Mesin yang

70

berputar 360º diatas bangunan, Tembaga Dimurnikan: Katoda dan

Bagian dari Katoda, Cylinder block, liner, head dan head cover.

Tabel 4.5

Impor Komoditi Utama Produk Industri Indonesia dari Jepang

Berdasarkan HS 6 Dijit Tahun 2006-2010

URAIAN 2006 2007 2008 2009 2010

5,455,282,918 6,447,447,201 14,754,153,355 9,759,801,103 16,842,531,731 72.57 30.591

980120 Motor vehicles for the transport of goods of heading 87.04 - 248,111,614 535,111,868 436,576,754 1,104,275,519 152.94 - 2

870410 Dump trucks designed for off-highway use 98,006,157 79,326,760 223,775,454 186,132,576 487,190,264 161.74 50.08 3

980110 Motor vehicles for the transport of persons of heading 87.30 : - 88,986,280 175,725,839 244,066,254 419,749,193 71.98 - 4

842952 Shovels and excavators with a 360 revolving superstructure 78,600,945 108,744,529 277,772,646 150,111,927 417,479,197 178.11 44.23 5

740311 Copper cathodes and sections of cathodes unwrought 1,832,920 10,075,235 182,194,134 151,167,706 341,212,227 125.72 272.90 6

840991 Parts suit. for use solely/principally with spark-ignition internal combustion piston engines162,799,782 188,660,904 291,629,967 201,435,136 291,227,179 44.58 13.07 7

840999 Parts for diesel and semi-diesel engines 115,401,538 92,623,771 169,435,349 131,833,692 279,478,518 111.99 23.64 8

843149 Parts of cranes,work-trucks,shovels,and other construction machinery81,392,883 182,575,628 254,012,099 82,874,685 268,883,234 224.45 17.35 9

848310 Transmission shafts (including cam shafts and crank shafts) and cranks44,293,517 84,639,909 168,164,843 132,738,119 253,536,997 91.01 48.28 10

870323 Automobiles w reciprocatg piston engine displacg > 1500 cc to 3000 cc36,211,093 79,168,776 90,938,064 125,550,161 241,674,402 92.49 53.07 11

870899 Motor vehicle parts nes 350,210,842 82,018,337 886,355,520 121,086,439 230,000,844 89.95 -4.41 12

853690 Electrical app for switchg/protec elec circuits,not exced 1,000 V,nes20,707,426 20,166,530 129,466,466 90,134,418 184,758,317 104.98 79.94 13

840690 Parts of steam and vapour turbines 5,128,575 5,721,798 7,850,869 64,460,799 179,078,478 177.81 159.29 14

730419 Line pipe of a kind used for oil/gas pipelines, other than of stainless steel. - 5,798,761 52,483,720 58,678,544 171,548,901 192.35 - 15

720917 Flat-rolled products of iron/non-alloy steel, of a width of 600mm/more, in coils, not further worked than cold-rolled (cold-reduced), not clad/plated/coated, of a thickness of 0.5mm/more but not >1mm56,397,180 86,152,449 171,472,441 94,978,559 171,397,362 80.46 26.12 16

848340 Gears and gearing, other than toothed wheels, chain sprockets and other transmission elements presented separately; ball or roller screws; gear boxes and other speed changers, including torque converters77,138,919 85,219,321 148,397,480 90,091,200 167,189,506 85.58 17.38 17

844391 Parts & accessories of printing machinery used for printing by means of plates, cylinders & other printing components of heading 84.421,099,673 1,071,198 5,368,989 135,951,045 160,917,690 18.36 339.97 18

852990 Parts suitable f use solely/princ w the app of headings 85.25 to 85.28 347,465 348,462 60,540,045 196,022,929 153,867,555 -21.51 537.18 19

870850 Drive-axles with differential, whether/not provided with other transmission components, & non-driving axles; parts thereof of the motor vehicles of headings 87.01 to 87.05.24,533,557 25,825,558 98,464,819 53,603,417 148,315,001 176.69 54.17 20

Total Ekspor Non Migas

Perub.

'10/09 (%)

Tren '06-10

(%)

Peringkat

2010

Nilai (US$)HS 6

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)

Dari Tabel 4.4 dan 4.5 dapat disimpulkan bahwa impor produk industri

Indonesia dari Jepang merupakan produk-produk yang memiliki

keterkaitan dengan industri di Jepang, seperti industri kendaraan

bermotor dan alat berat.

4.3.2.3. Impor Indonesia Menurut Kelompok Barang Ekonomi

Menurut kelompok barang ekonomi, impor Indonesia dari Jepang

didominasi oleh bahan baku/penolong. Nilai dan pangsa impor bahan

baku/penolong melonjak tajam lebih dari dua kali lipat pasca

diimplementasikannya kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA pada

tahun 2008. Meskipun mengalami penurunan pada tahun 2009, impor

bahan baku/penolong meningkat hingga mencapai US$ 11,3 miliar.

Gambar 4.21 memperlihatkan bahwa sebagian besar impor bahan

71

baku/penolong Indonesia dari Jepang berupa Bahan Baku (Olahan)

untuk Industri, Suku Cadang dan Perlengkapan Barang Modal, dan Suku

Cadang dan Perlengkapan Alat Angkutan. Dominasi industri otomotif

dan alat berat dari Jepang terlihat dari data impor bahan baku suku

cadang dan perlengkapan alat angkut dan suku cadang barang modal.

Industri otomotif Jepang di Indonesia masih sangat konservatif dalam

mengembangkan industri di Indonesia, di mana hanya sebagian kecil

dari rantai industri otomotif yang dikembangkan di Indonesia dengan

kontribusi penambahan nilai di dalamnya yang masih sangat terbatas.

6,9

5,56,5

15,1

9,8

17,0

0.0

2.0

4.0

6.0

8.0

10.0

12.0

14.0

16.0

18.0

2005 2006 2007 2008 2009 2010

US$ M

iliar

Barang Modal

Bahan Baku/Penolong

Barang Konsumsi

Gambar 4.20 Impor Indonesia dari Jepang Menurut Kelompok Barang

Ekonomi

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)

72

Gambar 4.21 Impor Bahan Baku/Penolong Indonesia dari Jepang

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)

Berdasarkan pengklasifikasian barang konsumsi, impor barang konsumsi

Indonesia dari Jepang didominasi oleh mobil penumpang sebesar 57,69

persen (US$ 351 juta) pada tahun 2010. Hal ini menunjukan bahwa

perdagangan Indonesia dan Jepang untuk barang konsumsi masih belum

terdiversifikasi dalam hal produknya. Jika dibandingkan dengan barang

konsumsi lainnya seperti barang konsumsi tahan lama dan barang

konsumsi setengah tahan lama pertumbuhan impor mobil penumpang

jauh lebih cepat. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4.22.

73

150 133 147

250

408380

609

-

100

200

300

400

500

600

700

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

US$

Juta

Barang Yang Tidak Diklasifikasikan

Makanan dan Minuman (Belum Diolah) Untuk Rumah TanggaMakanan dan Minuman (Olahan) Untuk Rumah TanggaBarang Konsumsi Tahan Lama

Bahan Bakar dan Pelumas (Olahan)

Alat Angkutan bukan untuk Industri

Barang Konsumsi Setengah Tahan Lama

Barang Konsumsi Tidak Tahan Lama

Mobil Penumpang

Gambar 4.22 Impor Barang Konsumsi Indonesia dari Jepang

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)

Barang modal kecuali alat angkutan mendominasi impor barang modal

Indonesia dari Jepang. Nilai impornya pada tahun 2010 mencapai US$

2,93 miliar dengan pangsa sebesar 58 persen dari total impor barang

modal. Impor tersebut mencakup produk-produk Mesin-mesin Elektrik

ataupun Mesin-mesin Non-elektrik (HS 84). Dari tinjauan HS 10 dijit,

impor bahan baku untuk industri Perakitan Alat-alat Berat mendominasi

impor barang modal bukan alat angkut. Hal ini sejalan dengan tingginya

permintaan pasar alat-alat berat di dalam negeri akibat berkembangnya

industri pertambangan di dalam negeri. Selain industri alat berat, impor

produk Mobil Penumpang dalam kelompok barang modal juga

mengalami peningkatan pangsa yang sangat signifikan. Dari US$ 5,05

miliar impor barang modal tahun 2010, 35 persen (US$ 1,77 miliar)

merupakan impor mobil penumpang (Gambar 4.23).

74

1.51 1.741.36

1.80

3.93

2.69

5.05

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

US$

Mill

iar

Alat Angkutan Untuk Industri

Mobil Penumpang

Barang Modal Kecuali Alat Angkutan

Gambar 4.23 Impor Barang Modal Indonesia dari Jepang

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu, BP2KP)

4.3.3. Pola Ekspor dan Impor Indonesia-Jepang Pasca Implementasi

Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA

Dari sisi Jepang, penerapan kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA

menyebabkan perubahan pola ekspor Jepang ke Indonesia (impor

Indonesia dari Jepang). Sebelum implementasi kesepakatan perdagangan

bebas IJ-EPA, ekspor utama Jepang ke Indonesia berupa Bagian dan

Aksesoris Kendaraan Bermotor pos tarif 87.01 hingga 87.05, Bagian yang

Cocok untuk Penggunaan Terpisah atau dengan Mesin pos tarif 84.07 atau

84.08, Sirkuit Terpadu Elektronik dan Microassemblies: Digital, dan

Mobil dan Kendaraan Bermotor Lainnya terutama Dirancang untuk

Pengangkutan Orang (selain yang dimaksud pos 87.02) termasuk Station

Wagon dan Mobil Balap dengan Kapasitas Silinder > 1.500 cc. Pasca

implementasi IJ-EPA beberapa produk Jepang mengalami peningkatan

ekspor ke Indonesia. Adapun produk-produk yang melonjak dalam ekspor

Jepang ke Indonesia, yakni Produk-produk yang Tidak Terspesifikasi,

Kendaraan Bermotor untuk Pengangkutan Barang di luar pos tarf 8704.10

dengan CI Mesin Piston Pembakaran Internal (Diesel/Semi Diesel) Massa

Total > 20 ton, Gear Box dan Bagiannya dari Kendaraan Bermotor dari

75

pos tarif 87.01-87.05, Bagian yang Cocok untuk Digunakan

Tersendiri/Terutama dengan Mesin dari pos tarif 84.26/84.29/84.30 (di

luar pos tarif 8431.41-8431.43), dan Sirkuit Terpadu Elektronik Lainnya

selain Pengeras Suara/Memori/Prosesor dan Kontroler. Hal ini

sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 4.6 mengenai perbandingan ekspor

utama Jepang ke Indonesia sebelum dan pasca implementasi kesepakatan

perdagangan bebas IJ-EPA.

Tabel 4.6

Perbandingan Komposisi Ekspor Utama Jepang ke Indonesia Sebelum dan

Pasca Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA

HS Descriptions HS Descriptions HS Descriptions

870899 Other 870899 Other 870899 Other

840991 Suitable for use solely or principally with

sparkignition internal combustion piston

854221 Digital 854221 Digital

854221 Digital 840991 Suitable for use solely or

principally with sparkignition

840991 Suitable for use solely or

principally with sparkignition 870323 Of a cylinder capacity exceeding 1,500 cc 730429 Other 730429 Other

842952 Machinery with a 360° revolving 870323 Of a cylinder capacity exceeding 870323 Of a cylinder capacity exceeding

870410 Dumpers designed for offhighway use 740311 Cathodes and sections of 740311 Cathodes and sections of 840820 Engines of a kind used for the propulsion 847989 Other 847989 Other854229 Other 852990 Other 852990 Other

847330 Parts and accessories of the machines of 870410 Dumpers designed for 870410 Dumpers designed for 720917 Of a thickness of 0.5 mm or more but not 842952 Machinery with a 360° revolving 842952 Machinery with a 360° revolving

2005 2006 2007

Ekspor Utama Jepang ke Indonesia Sebelum Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA

Ekspor Utama Jepang ke Indonesia Pasca Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA

HS Descriptions HS Descriptions HS Descriptions

999999 Commodities not specified 999999 Commodities not specified 870423 Motor vehicles for the 842952 Self-propelled mechanical 870899 Other parts & accessories for the 870410 Dumpers designed for off-

870899 Other parts & accessories for the 870323 Vehicles (excl. of 87.02 & 842952 Self-propelled mechanical

840991 Parts suit. for use 840991 Parts suit. for use 870840 Gear boxes & parts thereof, of 870423 Motor vehicles for the

transportof goods (excl. of

740311 Cathodes & sections of cathodes,

of refined copper, unwrought

870899 Other parts & accessories for the

motor vehicles of 87.01-87.05, 870323 Vehicles (excl. of 87.02 & 870410 Dumpers designed for off- 870323 Vehicles (excl. of 87.02 & 870840 Gear boxes & parts thereof, of 870840 Gear boxes & parts thereof, of 740311 Cathodes & sections of cathodes, 843149 Parts suit. for use 842952 Self-propelled mechanical 999999 Commodities not specified

840820 Compression-ignition internal 854239 Other Electronic integrated 843149 Parts suit. for use 854239 Other Electronic integrated 870423 Motor vehicles for the 840290 Parts of the boilers of 8402.11-

2008 2009 2010

Keterangan: Perubahan pola ekspor

Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Khusus produk yang tergolong ke dalam kategori industri manufaktur

berdasarkan ISIC Revision 3 dengan HS 6 dijit, pada tahun 2007 ekspor

Jepang ke Indonesia didominasi oleh produk Kendaraan Bermotor untuk

Pengangkutan Barang di luar pos tarf 8704.10 dengan CI Mesin Piston

Pembakaran Internal (Diesel/Semi Diesel) Massa Total > 20 ton, Dumpers

yang dirancang untuk Penggunaan Jalan Tol, Mesin dengan Suprastrukur

76

Bergulir 360°, Gear Box dan Bagiannya dari Kendaraan Bermotor dari pos

tarif 87.01-87.05, dan Bagian dan Aksesoris Kendaraan Bermotor pos tarif

87.01 hingga 87.05. Produk-produk tersebut merupakan kebutuhan

industri kendaraan bermotor (otomotif) dan industri mesin untuk

pertambangan, penggalian dan konstruksi dalam negeri. Setelah IJ-EPA

diterapkan, ekspor produk industri manufaktur Jepang ke Indonesia tidak

menunjukkan perubahan pola. Produk-produk industri manufaktur yang

mendominasi ekspor Jepang ke Indonesia masih tetap sama.

Tabel 4.7

Perbandingan Komposisi Ekspor Produk Industri Manufaktur Jepang ke

Indonesia Sebelum dan Pasca Implementasi Kesepakatan Perdagangan

Bebas IJ-EPA Ekspor Utama Produk Industri Manufaktur Jepang ke Indonesia Sebelum

Implementasi IJ-EPA

HS Descriptions HS Descriptions HS Descriptions

842952 Machinery with a 360° 870899 Other 870423 g.v.w. exceeding 20 tonnes870899 Other 854229 Other 870410 Dumpers designed for

840991 Suitable for use solely or

principally with sparkignition

870323 Of a cylinder capacity

exceeding 1,500 cc but not

842952 Machinery with a 360° revolving

superstructure854229 Other 840991 Suitable for use solely or 870840 Gear boxes

870423 g.v.w. exceeding 20 tonnes 740311 Cathodes and sections of 870899 Other870323 Of a cylinder capacity 870410 Dumpers designed for 870323 Of a cylinder capacity 870840 Gear boxes 870840 Gear boxes 740311 Cathodes and sections of 843149 Other 842952 Machinery with a 360°

revolving superstructure

854229 Other

840820 Engines of a kind used for the 870423 g.v.w. exceeding 20 tonnes 843149 Other

870410 Dumpers designed for

offhighway use

840820 Engines of a kind used for the

propulsion of vehicles of

840290 Parts

200720062005

Ekspor Utama Produk Industri Manufaktur Jepang ke Indonesia Pasca

Implementasi IJ-EPA

HS Descriptions HS Descriptions HS Descriptions842952 Self-propelled mechanical shovels 870899 Other parts & accessories for the 843930 Machinery for finishing

870899 Other parts & accessories for the 870323 Vehicles (excl. of 87.02 & 8703.10) 290121 Ethylene

840991 Parts suit. for use 840991 Parts suit. for use 761410 Stranded wire, cables, plaited 870423 Motor vehicles for the transportof 740311 Cathodes & sections of cathodes, 291411 Acetone870323 Vehicles (excl. of 87.02 & 8703.10)

principally designed for the

870410 Dumpers designed for off-highway

use

290122 Propene (propylene)

870840 Gear boxes & parts thereof, of the

motor vehicles of headings 87.01

870840 Gear boxes & parts thereof, of the

motor vehicles of headings 87.01

842620 Tower cranes

843149 Parts suit. for use

solely/principally with the

842952 Self-propelled mechanical shovels

& excavators with a 360? revolving

843820 Machinery for the manufacture of

confectionery/cocoa/chocolate840820 Compression-ignition internal 854239 Other Electronic integrated 280130 Fluorine; bromine854239 Other Electronic integrated 870423 Motor vehicles for the transportof 890520 Floating/submersible

870410 Dumpers designed for off-highway

use

840820 Compression-ignition internal

combustion piston engines

844316 Flexographic printing machinery

2008 2009 2010

Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

77

Produk-produk yang dihasilkan oleh industri besi dan baja; industri

kendaraan bermotor; industri bagian dan aksesoris kendaraan bermotor

dan mesinnya; industri untuk mesin pertambangan, penggalian, dan

konstruksi; dan industri logam dasar bukan besi adalah mayoritas ekspor

Jepang ke Indonesia setelah diterapkannya IJ-EPA.

Berdasarkan komposisi dalam Tabel 4.8, impor Jepang dari Indonesia

(ekspor Indonesia ke Jepang) baik sebelum maupun sesudah diterapkannya

IJ-EPA tidak menunjukkan perubahan pola. Impor Jepang dari Indonesia

masih tetap didominasi oleh produk Natural Gas, Liquefied (HS 2711.11),

Copper Ores & Concentrates (HS 2603.00), dan Bituminous Coal,

Whether /Not Pulverised (HS 2701.12).

Tabel 4.8

Perbandingan Komposisi Impor Utama Jepang dari Indonesia Sebelum

dan Pasca Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA

Impor Utama Jepang dari Indonesia Pasca Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA

HS Descriptions HS Descriptions HS Descriptions

271111 Natural gas, liquefied 271111 Natural gas, liquefied 271111 Natural gas, liquefied

270900 Petroleum oils & oils obt. from

bituminous mins., crude

270112 Bituminous coal, whether/not

pulverised but not

260300 Copper ores & concentrates

270112 Bituminous coal, whether/not 260300 Copper ores & concentrates 270112 Bituminous coal, whether/not pulverised

271019 Petroleum oils & oils obtained from

bituminous minerals (other than

270900 Petroleum oils & oils obt. from

bituminous mins., crude

270900 Petroleum oils & oils obt. from

bituminous mins., crude260300 Copper ores & concentrates 271019 Petroleum oils & oils obtained

from bituminous minerals

750110 Nickel mattes

750110 Nickel mattes 750110 Nickel mattes 400122 Technically spec. natural rubber (TSNR)

400122 Technically spec. natural rubber

(TSNR)

262099 Ash & residues (excl. from the

manufacture of iron/steel),

262099 Ash & residues (excl. from the

manufacture of iron/steel), n.e.s. in Ch.26270119 Coal other than anthracite & 400122 Technically spec. natural rubber 271019 Petroleum oils & oils obtained from

441231 Plywood, consisting solely of sheets 270119 Coal other than anthracite & 270119 Coal other than anthracite & bituminous,

760110 Aluminium, not alloyed, unwrought 480256 Paper&paperboard, not

containing fibres obtained by a

441231 Plywood, consisting solely of sheets of

wood (other than bamboo), each ply not>

2008 2009 2010

HS Descriptions HS Descriptions HS Descriptions

271111 Natural gas 271111 Natural gas 271111 Natural gas

270900 Petroleum oils and oils obtained 270900 Petroleum oils and oils obtained 270900 Petroleum oils and oils obtained 270112 Bituminous coal 260300 Copper ores and concentrates. 750110 Nickel mattes

271019 Other 270112 Bituminous coal 270112 Bituminous coal

260300 Copper ores and concentrates. 750110 Nickel mattes 260300 Copper ores and concentrates.

750110 Nickel mattes 271019 Other 271019 Other

441213 With at least one outer ply of 441213 With at least one outer ply of 400122 Technically specified natural

262099 Other 400122 Technically specified natural 262099 Other

030613 Shrimps and prawns 271011 Light oils and preparations 441213 With at least one outer ply of

tropical wood specified in 400122 Technically specified natural

rubber (TSNR)

760110 Aluminium, not alloyed 271011 Light oils and preparations

Impor Utama Jepang dari Indonesia Sebelum Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA

2005 2006 2007

Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Komposisi impor produk industri manufaktur Jepang dari Indonesia tidak

menunjukkan suatu pola perubahan, di mana hal ini sama halnya yang

78

terjadi pada impor utama Jepang dari Indonesia secara umum. Produk-

produk industri manufaktur yang diimpor Jepang dari Indonesia berasal

dari industri logam dasar bukan besi; industri pengolahan minyak bumi;

industri lembaran veneer, produsen kayu lapis, laminboard, partikel papan

dan panel lainnya; dan industri pengolahan dan pengawetan ikan dan biota

perairan lainnya.

Tabel 4.9

Perbandingan Komposisi Impor Produk Industri Manufaktur Jepang dari

Indonesia Sebelum dan Pasca Implementasi Kesepakatan Perdagangan

Bebas IJ-EPA Impor Utama Produk Industri Manufaktur Jepang dari Indonesia Sebelum

Implementasi IJ-EPA

HS Descriptions HS Descriptions HS Descriptions271019 Other 750110 Nickel mattes 750110 Nickel mattes

750110 Nickel mattes 271019 Other 271019 Other

441213 With at least one outer ply of 441213 With at least one outer ply of 441213 With at least one outer ply of

030613 Shrimps and prawns 271011 Light oils and preparations 271011 Light oils and preparations

271011 Light oils and preparations 760110 Aluminium, not alloyed 760110 Aluminium, not alloyed

760110 Aluminium, not alloyed 030613 Shrimps and prawns 030613 Shrimps and prawns

480256 Weighing 40 g/m² or more but

not more than 150 g/m², in

480256 Weighing 40 g/m² or more but

not more than 150 g/m², in

854430 Ignition wiring sets and other

wiring sets of a kind used in 271112 Propane 854430 Ignition wiring sets and other

wiring sets of a kind used in

480256 Weighing 40 g/m² or more but

not more than 150 g/m², in 854430 Ignition wiring sets and other

wiring sets of a kind used in

800110 Tin, not alloyed 800110 Tin, not alloyed

271113 Butanes 401110 Of a kind used on motor cars 844359 Other

2005 2006 2007

Impor Utama Produk Industri Manufaktur Jepang dari Indonesia Pasca

Implementasi IJ-EPA

HS Descriptions HS Descriptions HS Descriptions

271019 Petroleum oils & oils obtained from bituminous minerals (other than crude) & preparations not elsewhere specified/incld., containing by weight 70 %/more of petroleum oils/of oils obtained from bituminous minerals, these oils being the basic constituents271019 Petroleum oils & oils obtained from bituminous minerals (other than crude) & preparations not elsewhere specified/incld., containing by weight 70 %/more of petroleum oils/of oils obtained from bituminous minerals, these oils being the basic constituents750110 Nickel mattes

750110 Nickel mattes 750110 Nickel mattes 271019 Petroleum oils & oils obtained

441231 Plywood, consisting solely of sheets of wood (other than bamboo), each ply not> 6 mm thkns, with at least one outer ply of tropical wood specified in Subheading Note 1 to this Ch.480256 Paper&paperboard, not containing fibres obtained by a mechanical/chemi-mechanical process/of which not > 10% by weight of the total fibre content consists of such fibres, weighing > 40 g/m¦ but not > 150 g/m¦, in sheets with one side not > 435 mm&the oth441231 Plywood, consisting solely of

sheets of wood (other than 760110 Aluminium, not alloyed, unwrought441231 Plywood, consisting solely of sheets of wood (other than bamboo), each ply not> 6 mm thkns, with at least one outer ply of tropical wood specified in Subheading Note 1 to this Ch.480256 Paper&paperboard, not

271011 Light petroleum oils & preparations030613 Shrimps & prawns, whether/not in shell, frozen030613 Shrimps & prawns, 030613 Shrimps & prawns, whether/not in shell, frozen760110 Aluminium, not alloyed, unwrought760110 Aluminium, not alloyed,

unwrought480256 Paper&paperboard, not containing fibres obtained by a mechanical/chemi-mechanical process/of which not > 10% by weight of the total fibre content consists of such fibres, weighing > 40 g/m¦ but not > 150 g/m¦, in sheets with one side not > 435 mm&the oth854430 Ignition wiring sets & other wiring sets of a kind used in vehicles/aircraft/ships271011 Light petroleum oils & 854430 Ignition wiring sets & other wiring sets of a kind used in vehicles/aircraft/ships844331 Machines which perform two/more of the functions of printing, copying/facsimile transmission, capable of connecting to an automatic data processing machine/to a network800110 Tin, not alloyed, unwrought

800110 Tin, not alloyed, unwrought 271011 Light petroleum oils & preparations854430 Ignition wiring sets & other

wiring sets of a kind used in 844331 Machines which perform two/more of the functions of printing, copying/facsimile transmission, capable of connecting to an automatic data processing machine/to a network800110 Tin, not alloyed, unwrought 844331 Machines which perform

two/more of the functions of

2008 2009 2010

Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Dari sisi Indonesia, sebagaimana telah dibahas sebelumnya dalam subbab

4.3.1.2 dan diperlihatkan dalam Tabel 4.1 dan 4.2 bahwa ekspor produk

industri manufaktur Indonesia ke Jepang tidak menunjukkan perubahan

pola ekspor baik sebelum maupun sesudah IJ-EPA diterapkan. Sebagian

besar ekspor produk industri manufaktur Indonesia ke Jepang berupa Mate

79

Nikel, Technically Specified Natural Rubber (TSNR), Tembaga yang

sudah dimurnikan, Plywood, Alumunium bukan paduan, dan Mesin Cetak

Offset yang diproduksi oleh industri logam dasar bukan besi; industri

pengolahan minyak bumi; industri lembaran veneer, produsen kayu lapis,

laminboard, partikel papan dan panel lainnya; dan industri pengolahan dan

pengawetan ikan dan biota perairan lainnya. Pangsa terbesar impor produk

industri manufaktur Indonesia dari Jepang merupakan produk-produk

industri kendaraan bermotor dan alat berat. Beberapa produk yang

dihasilkan oleh industri komponen kendaraan bermotor dan industri besi-

baja Jepang mengalami peningkatan yang cukup tajam dalam impor

Indonesia dari Jepang (Tabel 4.5).

80

BAB V

GAMBARAN UMUM KINERJA INDUSTRI MANUFAKTUR INDONESIA

Bab ini akan memfokuskan terhadap pembahasan tentang kinerja industri

manufaktur dan peranannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), struktur

industri manufaktur, penyerapan tenaga kerja dan investasi industri manufaktur

serta kinerja beberapa industri manufaktur yang menjadi fokus kajian.

5.1 Kontribusi Sektor Industri Manufaktur Terhadap Produk Domestik

Bruto (PDB) Indonesia

Beberapa tahun terakhir sektor industri manufaktur telah menjadi penopang

utama perekonomian Indonesia. Dalam dua puluh tahun terakhir, kontribusi sektor

industri manufaktur mengalami peningkatan yang cukup signifikan atas

keseluruhan PDB Indonesia. Pada tahun 1990, sektor industri manufaktur hanya

menyumbang sekitar 20,6 persen, sedangkan pada tahun 2000 kontribusinya

terhadap PDB meningkat menjadi 27,75 persen (Gambar 5.1). Pada

perkembangan selanjutnya, kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB

periode 2000-2010 cenderung fluktuatif, bahkan dalam dua tahun terakhir sejak

tahun 2008 hingga 2010 kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB

Indonesia menurun dari 27,81 persen pada tahun 2008 menjadi 24,82 persen pada

tahun 2010 (Gambar 5.2).

Sektor Manufaktur

20,66%

Sektor Lainnya

79,34%

1990

Sektor Manufaktur

27,75%

Sektor

Lainnya

72,25%

2000

Gambar 5.1 Kontribusi Sektor Industri Manufaktur terhadap PDB Indonesia

Tahun 1990 dan 2000

Sumber: Badan Pusat Statistik/BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

81

27,75

29,0528,72

28,25

28,07

27,41

27,54

27,05

27,81

26,37

24,82

22,00

23,00

24,00

25,00

26,00

27,00

28,00

29,00

30,00

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

%

Gambar 5.2 Perkembangan Kontribusi Sektor Industri Manufaktur terhadap PDB

Indonesia Tahun 2000-2010

Sumber: Badan Pusat Statistik/BPS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Meskipun cenderung fluktuatif dalam kontribusinya terhadap PDB, sektor

industri manufaktur diyakini sebagai sektor yang dapat mendorong sektor lain

dalam sebuah perekonomian menuju kemajuan. Dalam buku yang ditulis oleh

Dumairy (1996) produk-produk sektor industri manufaktur selalu memiliki term

of trade yang tinggi atau lebih menguntungkan serta menciptakan nilai tambah

yang besar dibanding produk-produk sektor lain. Sejalan dengan hal tersebut,

maka peran sektor industri manufaktur semakin penting, sehingga sektor industri

manufaktur mempunyai peranan sebagai sektor pemimpin (leading sector) dalam

sektor industri secara umum.

Kontribusi sektor industri manufaktur yang besar terhadap perekonomian

menyebabkan siklus perekonomian tidak terlepas dari dinamika sektor industri

manufaktur. Siklus guncangan/sentimen positif dan negatif dalam ekonomi sering

dikaitkan dengan jumlah perusahaan yang masuk dan keluar dari suatu industri.

Selain terhadap perekonomian, dinamika perusahaan juga mempengaruhi

penurunan output dan kesempatan kerja sektor industri manufaktur. Beberapa

penelitian memberikan bukti empiris pengaruh siklus bisnis terhadap dinamika

industri manufaktur. McQueen dan Thorley (1993) menyatakan kapasitas

82

produksi industri manufaktur di AS akan menurun dan melambat selama masa

resesi.

5.2 Perkembangan dan Struktur Industri Manufaktur Indonesia

Sektor industri manufaktur dianggap mempengaruhi pertumbuhan ekonomi

Indonesia. Pada akhir tahun 1997 krisis ekonomi yang terjadi masih menyisakan

sedikit permasalahan yang membuat pertumbuhan sektor ini bergerak lambat.

Permasalahan tersebut dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan

eksternal. Faktor internal dipengaruhi oleh iklim usaha yang belum kondusif,

penguasaan teknologi yang masih lemah, dan kualitas sumber daya manusia masih

belum memadai; sedangkan faktor eksternal muncul dari para pesaing di pasar

internasional yang menawarkan produk sejenis.

Pada era globalisasi saat ini, persaingan bisnis semakin ketat yang ditandai

dengan semakin banyaknya perusahaan manufaktur baru yang memproduksi

produk sejenis. Setiap perusahaan selalu berusaha merebut pasar global untuk

memaksimalkan profit dan nilai perusahaan. Pada era globalisasi ini, perusahaan

yang mampu memanfaatkan seluruh sumber dayanya secara efisien dan efektif

akan memenangkan persaingan. Sebaliknya, perusahaan yang tidak mampu

memanfatkan seluruh sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif, tidak

mampu bersaing di pasar global.

Menurut Wie (2006) dalam Arifin (2008:91), salah satu langkah untuk

menyelesaikan permasalahan tadi adalah dengan menjaga kebijakan yang

mendukung persaingan usaha yang sehat guna terciptanya alokasi sumber daya

yang efektif dan efisien.

5.3 Perkembangan Rasio Penyerapan Tenaga Kerja Sektor Industri

Manufaktur Indonesia

Perluasan kesempatan kerja merupakan usaha untuk mengembangkan sektor-

sektor yang mampu menyerap tenaga kerja. Usaha penyerapan tenaga kerja tidak

terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti perkembangan jumlah

penduduk dan angkatan kerja, pertumbuhan ekonomi, tingkat produktivitas tenaga

83

kerja dan kebijaksanaan mengenai penyerapan tenaga kerja itu sendiri. Di

samping itu, perluasan penyerapan tenaga kerja juga tidak mengabaikan usaha-

usaha lain yang mampu memberikan produktivitas yang lebih tinggi melalui

berbagai program. Salah satu cara untuk memperluas penyerapan tenaga kerja

adalah melalui pengembangan industri terutama industri yang bersifat padat

karya. Perkembangan dapat terwujud melalui investasi swasta maupun

pemerintah. Pengembangan industri tersebut akan menyebabkan kapasitas

produksi meningkat sehingga dapat menciptakan kesempatan kerja.

Selain besarnya pangsa industri manufaktur terhadap PDB, penyerapan

tenaga kerja pada industri manufaktur non migas juga menempati urutan atas

sehingga membaik tidaknya kinerja sektor industri manufaktur mempunyai

dampak nyata baik terhadap ekspor, penyerapan tenaga kerja maupun ekonomi

secara keseluruhan.

11.953 11.890

12.369

12.549

12.840

13.824

12,72

12,46

12,38

12,24 12,24

12,78

11,90

12,00

12,10

12,20

12,30

12,40

12,50

12,60

12,70

12,80

12,90

10.500

11.000

11.500

12.000

12.500

13.000

13.500

14.000

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Rib

u O

ran

g

Tenaga Kerja Industri PengolahanRasio Tenaga Kerja Sektor Industri Terhadap Jumlah Angkatan Kerja

Gambar 5.3 Perkembangan Tenaga Kerja Sektor Industri Pengolahan, 2005-

2010

Sumber: Badan Pusat Statistik (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Berdasarkan data BPS, jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor industri

manufaktur pada tahun 2010 sebesar 13,82 juta orang, atau meningkat 7,67 persen

dibandingkan tahun sebelumnya yang berjumlah 12,84 juta orang. Secara umum,

84

jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor industri manufaktur sejak tahun 2006

hingga 2010 mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan sebesar 3,45

persen per tahun.

Sementara itu, rasio jumlah tenaga kerja yang terserap di sektor industri

manufaktur terhadap seluruh jumlah angkatan kerja nasional pada tahun 2010

sebesar 12,78 persen atau meningkat bila dibandingkan tahun sebelumnya sebesar

12,24 persen. Peningkatan ini mengindikasikan adanya perkembangan investasi

pada sektor manufaktur yang cukup signifikan.

5.4 Perkembangan Investasi pada Sektor Industri Manufaktur Indonesia

Indonesia saat ini sangat membutuhkan investasi baik domestik maupun

asing untuk tetap mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Investasi merupakan

langkah awal kegiatan produksi. Dengan posisi tersebut, investasi pada

hakekatnya juga merupakan langkah awal kegiatan pembangunan ekonomi.

Dinamika penanaman modal mempengaruhi tinggi rendahnya pembangunan dan

pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, dalam upaya menumbuhkan

perekonomian, setiap negara senantiasa berusaha menciptakan iklim yang dapat

menggairahkan investasi.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa iklim investasi mencerminkan

sejumlah faktor yang berkaitan dengan lokasi tertentu yang membentuk

kesempatan dan insentif bagi pemilik modal untuk melakukan usaha atau investasi

secara produktif dan berkembang. Lebih konkritnya lagi, iklim usaha atau

investasi yang kondusif adalah iklim yang mendorong seseorang melakukan

investasi dengan biaya dan resiko serendah mungkin di satu sisi, dan bisa

menghasilkan keuntungan jangka panjang setinggi mungkin, di sisi lain (Stern,

2002). Sebagai contoh, beberapa studi menunjukkan bahwa di China dan India,

sebagai hasil dari perbaikan-perbaikan iklim investasi pada dekade 1980-an dan

1990-an yang menurunkan biaya dan risiko investasi sangat drastis, maka

investasi swasta sebagai bagian dari produk domestik bruto (PDB) meningkat

hampir 200 persen.

85

Ada sejumlah faktor yang sangat berpengaruh pada baik-tidaknya iklim

berinvestasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut tidak hanya menyangkut stabilitas

politik dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur dasar

(listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan), berfungsinya sektor

pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu perburuhan), regulasi dan

perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang diciptakan), masalah good

governance termasuk korupsi, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan

pemerintah yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keuntungan

neto atas biaya resiko jangka panjang dari kegiatan investasi, dan hak milik mulai

dari tanah sampai kontrak.

Industri manufaktur bukan lagi menjadi penyumbang investasi Penanaman

Modal Asing (PMA) terbesar di Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari porsi nilai

realisasi investasi Penanaman Modal Asing (PMA) di sektor industri manufaktur

(sektor sekunder) yang secara terus-menerus mengalami penurunan selama tahun

2006-2010 dengan tren sebesar 21,3 persen. Porsi nilai realisasi investasi PMA

pada tahun 2010 anjlok menjadi 20,7 persen dibandingkan dengan porsi pada

tahun 2006 (60,4 persen). Dari sisi jumlah proyek, tren porsi investasi PMA

industri manufaktur terhadap total investasi PMA cenderung menurun sebesar 3,4

persen setiap tahunnya selama periode 2006-2010. Porsi jumlah proyek investasi

PMA industri manufaktur yang terealisasi pada tahun 2010 sebesar 35,6 persen

adalah yang terendah sepanjang tahun 2006-2010 (Tabel 5.1).

Kontributor utama investasi PMA di Indonesia berganti menjadi sektor tersier

sejak tahun 2007 dengan kontribusi sebesar 48,8 persen. Terjadinya pergeseran

struktur PMA dari industri manufaktur ke sektor tersier karena para investor asing

mulai melakukan peneterasi dan ekspansi di sektor tersier sejak tahun 2005,

khususnya di subsektor pengangkutan, gudang dan komunikasi, subsektor

perdagangan dan reparasi, dan subsektor jasa lainnya. Semakin rendahnya tingkat

daya saing industri manufaktur Indonesia menjadi penyebab lain dari peralihan

investasi PMA dari industri manufaktur ke sektor tersier. Industri manufaktur di

Indonesia yang pada umumnya masih bersifat padat karya kalah bersaing dengan

86

industri manufaktur di negara lain yang memiliki upah buruh yang jauh lebih

murah, seperti China, India, dan Vietnam (Soekarni, Hidayat, Suryanto (2010)).

Tabel 5.1 Perkembangan Porsi Realisasi Investasi PMA Menurut Sektor,

Tahun 2006 -2010 (dalam persen)

P I P I P I P I P I

Sektor Primer 4.5 8.9 6.3 5.8 4.8 2.3 4.0 4.3 13.6 18.8

Sektor Sekunder 41.8 60.4 39.7 45.4 43.5 30.4 38.8 35.4 35.6 20.7

Sektor Tersier 53.7 30.7 54.0 48.8 51.7 67.4 57.2 60.3 50.8 60.5

Total 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0 100.0

Sektor 2006 2007 2008 2009 2010

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Ditinjau dari perkembangan nilai realisasi investasi PMA, nilai realisasi

investasi PMA industri manufaktur memiliki tren negatif sebesar 3,5 persen

selama periode 2006-2010. Setelah sempat mengalami kenaikan pada tahun 2007,

nilai realisasi investasi PMA industri manufaktur terus melorot hingga mencapai

US$ 3,4 miliar pada tahun 2010. Kendatipun nilai realisasi investasi PMA di

industri manufaktur menurun sepanjang tahun 2006-2010, jumlah proyek

investasi PMA yang terealisasi justru naik setiap tahunnya sebesar 27,2 persen.

Pada tahun 2009 jumlah proyek investasi PMA yang terealisasi sempat

mengalami penurunan sebesar 4,2 persen dibandingkan dengan tahun 2008,

menjadi sebanyak 474 unit. Sementara itu, tahun 2010 tercatat sebagai tahun

dengan jumlah proyek investasi PMA tertinggi dibandingkan dengan tahun-tahun

lainnya. Jumlah proyek investasi PMA industri manufaktur yang terealisasi pada

tahun 2010 mencapai 1.096 unit. Perkembangan realisasi nilai investasi PMA

dengan jumlah proyek yang tidak sejalan dalam industri manufaktur menunjukkan

bahwa nilai investasi PMA dalam setiap proyek di industri manufaktur semakin

rendah (Tabel 5.2).

87

Tabel 5.2 Perkembangan Realisasi Investasi PMA Menurut Sektor, 2006-2010

(dalam juta US$)

P I P I P I P I P I

Sektor Primer 39 532.4 62 599.3 55 335.6 49 462.6 420 3,042.3

Sektor Sekunder 363 3,619.7 390 4,697.0 495 4,515.2 474 3,831.1 1,096 3,357.1

Sektor Tersier 467 1,839.5 530 5,045.1 588 10,020.5 698 6,521.2 1,565 9,815.3

Total Realisasi Investasi PMA 869 5,991.6 982 10,341.4 1,138 14,871.3 1,221 10,814.9 3,081 16,214.7

2006 2007 2008 2009 2010Sektor

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), lima

industri manufaktur di Indonesia yang menjadi primadona bagi para investor asing

pada tahun 2006 adalah industri logam, mesin, dan elektronik (US$ 955,7 juta, 86

proyek), industri kertas dan percetakan (US$ 747 juta, 16 proyek), industri

kendaraan bermotor dan alat transportasi lain (US$ 438,5 juta, 28 proyek),

industri tekstil (US$ 424 juta, 61 proyek), dan industri makanan (US$ 354,4 juta,

45 proyek). Selanjutnya, lima industri manufaktur utama berdasarkan realisasi

investasi PMA pada tahun 2010 adalah industri makanan (Rp 1,0 miliar, 194

proyek), industri kimia dan farmasi (Rp 798,4 juta, 159 proyek), industri logam,

mesin, dan elektronik (Rp 589,6 juta, 274 proyek), industri kendaraan bermotor

dan alat transportasi lain (Rp 393,8 juta, 98 proyek), dan industri tekstil (Rp 154,8

juta, 112 proyek). Industri kertas dan percetakan tidak lagi menjadi pilihan utama

para investor asing di tahun 2010.

Untuk realisasi investasi PMA berdasarkan lokasi, pada tahun 2006 tersebar

ke Jawa Barat (US$ 1,6 miliar, 200 proyek), DKI Jakarta (US$ 1,5 miliar, 330

proyek), Riau (US$ 585,2 juta, 8 proyek), Banten (US$ 508,2 juta, 84 proyek),

dan Kalimantan Timur (US$ 402,5 juta, 8 proyek). Tidak jauh beda dengan

kondisi pada tahun 2006, realisasi investasi PMA di Indonesia menurut lokasi

pada tahun 2010 masih terkonsentrasi di pulau Jawa. Akan tetapi terdapat

perkembangan pesat kegiatan investasi di luar pulau Jawa yang didukung oleh

perbaikan pelayanan investasi di daerah dan koordinasi antara pusat dan daerah

yang semakin baik. Realisasi investasi PMA terbesar masuk ke DKI Jakarta (US$

6,4 miliar, 886 proyek), Jawa Timur (US$ 1,8 miliar, 110 proyek), Jawa Barat

88

(US$ 1,7 miliar, 597 proyek), Banten (US$ 1,5 miliar, 280 proyek), dan

Kalimantan Timur (US$ 1,1 miliar, 98 proyek). Riau yang pada tahun 2006

menduduki peringkat ke-3 dalam realisasi investasi PMA, pada tahun 2010 telah

digantikan posisinya.

Berdasarkan negara asal, lima negara yang menjadi investor utama dalam

realisasi investasi PMA pada tahun 2006 adalah Jepang 15,1 persen (US$ 902,8

juta, 113 proyek), Inggris 11 persen (US$ 660,5 juta, 49 proyek), Singapura (US$

508,3 juta, 81 proyek), Korea Selatan (US$ 475,7 juta, 140 proyek), dan Malaysia

(US$ 407,6 juta, 36 proyek), sedangkan lima negara yang menjadi investor utama

dalam realisasi investasi PMA pada tahun 2010 adalah Singapura dengan pangsa

sebesar 30,9 persen (US$ 5 miliar, 414 proyek), Inggris sebesar 11,7 persen (US$

1,9 miliar, 133 proyek), Amerika Serikat sebesar 5,7 persen (US$ 930,8 juta, 100

proyek), Jepang sebesar 4,4 persen (US$ 712,6 juta, 323 proyek), dan Belanda

sebesar 3,8 persen (US$ 608,3 juta, 107 proyek). Dari perbandingan negara asal

investasi PMA pada tahun 2006 dan 2010 dapat diketahui terdapat pergeseran

posisi negara asal. Jepang yang semula menduduki peringkat pertama sebagai

negara investor dalam PMA di Indonesia pada tahun 2006, terhempas ke

peringkat empat pada tahun 2010.

Ditinjau dari perkembangan realisasi investasi PMA Indonesia dari Jepang

selama tahun 2006-2010 yang diperlihatkan dalam Gambar 4.25, rata-rata

pertumbuhan investasi menurun sebesar 3,7 persen. Pada tahun 2007, realisasi

investasi PMA yang berasal dari Jepang sebesar US$ 618,2 juta, menurun sebesar

31,5 persen dari tahun 2006. Pasca implementasi IJ-EPA sejak 1 Juli 2008, tren

investasi PMA dari Jepang justru menunjukkan kecenderungan menurun sebesar

27,8 persen. Realisasi investasi PMA Indonesia dari Jepang pada tahun 2008

sebesar US$ 1,4 miliar (130 proyek) merupakan pencapaian terbesar pasca

pemberlakuan IJ-EPA. Selanjutnya, nilai realisasi investasi PMA dari Jepang pada

tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 50,3 persen dibanding dengan tahun

sebelumnya, hingga menjadi US$ 678,9 juta (124 proyek). Sedangkan pada tahun

2010 realisasi investasi PMA dari Jepang naik dari US$ 678,9 juta menjadi US$

712,6 juta dengan diiringi peningkatan dalam jumlah proyek menjadi sebanyak

89

323 unit. Kondisi realisasi investasi PMA dari Jepang yang menurun pasca

implementasi IJ-EPA mengindikasikan bahwa kesepakatan IJ-EPA tidak

berdampak signifikan terhadap peningkatan investasi.

902.8

618.2

1365.4

678.9 712.6

113 113130 124

323

0

50

100

150

200

250

300

350

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

2006 2007 2008 2009 2010

unitjuta US$

Investasi Proyek

Gambar 5.4 Perkembangan Realisasi Investasi PMA dari Jepang Tahun 2006-

2010

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Industri manufaktur adalah sektor pilihan utama bagi para investor Jepang di

Indonesia. Rata-rata kontribusi industri manufaktur terhadap investasi PMA dari

Jepang selama tahun 2006-2010 sebesar US$ 754,3 juta (86,2 persen). Investasi

PMA di industri manufaktur tertinggi selama tahun 2006-2010 terjadi pada tahun

2008 dengan nilai realisasi sebesar US$ 1,4 miliar dan jumlah proyek sebanyak 95

unit. Sementara yang terendah terjadi pada tahun 2010 dengan nilai realisasi

sebesar US$ 509,3 juta dan jumlah proyek sebesar 212 unit (Tabel 5.3).

90

Tabel 5.3 Perkembangan Realisasi Investasi PMA dari Jepang Menurut Sektor

Tahun 2006-2010 (dalam juta US$)

P I P I P I P I P I

Sektor Primer 2 1.2 - 0.0 2 1.7 2 3.8 12 5.7

Industri Manufaktur (Sektor Sekunder) 66 747.5 77 531.7 95 1354.8 79 628.2 212 509.3

Sektor Tersier 45 154.1 36 86.4 34 20.9 43 46.9 99 197.6

Total 113 902.8 113 618.2 131 1377.4 124 678.9 323 712.6

2010Sektor

2006 2007 2008 2009

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Berdasarkan penggolongan dalam industri manufaktur dalam Tabel 4.5.,

realisasi investasi PMA dari Jepang terkonsentrasi pada industri logam dasar,

barang logam, mesin dan elektronika; industri alat angkutan dan transport lainnya;

dan industri barang karet dan barang plastik, baik pada periode sebelum maupun

sesudah diberlakukannya kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA. Keterkaitan

antara perusahaan Indonesia dengan perusahaan Jepang terhadap industri-industri

tersebut menjadi alasan mengapa realisasi investasi PMA pada ketiga industri

tersebut dominan dibandingkan dengan industri lainnya di Indonesia. Setelah

diberlakukannya kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, industri makanan dan

industri tekstil menjadi industri pilihan utama bagi para investor Jepang. Hal ini

dapat diketahui dari kenaikan realisasi investasi PMA di kedua industri tersebut

sejak tahun 2008.

91

Tabel 5.4 Perkembangan Realisasi Investasi PMA dari Jepang dalam Industri

Manufaktur Tahun 2006-2010 (dalam juta US$)

P I P I P I P I P I

IND. ALAT ANGKUTAN & TRANSPORT LAINNYA 17 324,874 16 242,381 32 640,643 25 381,948 49 133,120

IND. ALAT KEDOKTERAN, OPTIK, ALAT UKUR & JAM 1 10,850 1 8,740 1 -

IND. BARANG KARET & BARANG PLASTIK 9 37,639 7 16,216 15 95,429 3 8,376 18 44,692

IND. KAYU/Wood Industry 4 7,365 4 14,450 2 38,645 2 5,025 1 -

IND. KERTAS, BARANG DARI KERTAS & PERCETAKAN 1 52,052 1 1,398 2 52,200 2 -

IND. KIMIA DASAR, BARANG KIMIA & FARMASI/Chemical & Pharmaceutical Ind. 4 26,195 4 11,583 2 5,082 9 38,320 18 5,023

IND. KULIT & BARANG DARI KULIT & SEPATU 1 15,700 1 -

IND. LAINNYA/Other Industry 3 5,700 4 11,130 1 230 8 2,785

IND. LOGAM DASAR, BRG LOGAM, MESIN & ELEKTRONIKA 23 269,419 32 161,345 29 485,531 27 106,068 79 160,121

IND. MAKANAN/Food Industry 3 11,097 4 49,287 3 2,462 4 49,391 12 89,360

IND. TEKSTIL/Textile Industry 3 15,367 5 18,501 5 14,911 7 23,157 22 73,840

IND.MIN.NON LOGAM/Non Metal Min. Ind. 2 3,494 1 353

Total 66 747,501 77 531,711 95 1,354,774 79 628,215 212 509,294

Sektor2006 2007 2008 2009 2010

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Menurut lokasi, realisasi investasi PMA dari Jepang sepanjang tahun 2006-

2010 terkonsentrasi di pulau Jawa. Pada tahun 2010, realisasi investasi PMA

tersebar di provinsi Jawa Barat (US$ 444,5 juta, 164 proyek), DKI Jakarta (US$

135,2 juta, 69 proyek), dan Jawa Timur (US$ 91,6 juta, 15 proyek).

Tabel 5.5 Perkembangan Realisasi Investasi PMA dari Jepang dalam Industri

Manufaktur Tahun 2006-2010

Proyek Investasi (US$ Ribu) Proyek Investasi (US$ Ribu) Proyek Investasi (US$ Ribu) Proyek Investasi (US$ Ribu) Proyek Investasi (US$ Ribu)

1 BALI 12 3,445 11 3,215 10 7,455 7 1,623 31 7,819

2 BANTEN 4 69,762 2 585 4 7,627 8 44,109 21 8,420

3 DI YOGYAKARTA 1 1,000 1 100 3 1,747

4 DKI JAKARTA 30 197,679 17 177,969 23 311,598 25 49,215 69 135,194

5 JAMBI 1 34,071 1 -

8 JAWA BARAT 55 603,979 67 388,863 74 901,790 67 520,704 164 444,499

6 JAWA TENGAH 2 12,201 1 3,100 2 3,136 5 7,573

7 JAWA TIMUR 10 26,511 11 30,296 10 75,583 11 54,990 15 91,551

8 KALIMANTAN SELATAN 2 2,100

9 KALIMANTAN TIMUR 1 22

10 KEPULAUAN RIAU 1 3,932 2 21,750 1 410 1 10

11 LAMPUNG 2 63

12 NUSA TENGGARA BARAT 1 1,000 3 120

13 NUSA TENGGARA TIMUR 2 1,850 2 3,785 1 -

14 SULAWESI SELATAN 2 2,256 1 -

15 SULAWESI TENGGARA 1 400

16 SULAWESI UTARA 1 972

17 SUMATERA SELATAN 1 6,949 1 -

18 SUMATERA UTARA 1 3,350 2 13,480

113 902,775 113 618,160 131 1,377,379 124 678,945 323 712,599

2010

Total

ProvinsiNo2006 2007 2008 2009

Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

92

5.5 Kinerja Beberapa Industri Manufaktur Tertentu di Indonesia

Cakupan industri manufaktur di Indonesia sangat luas, akan tetapi kajian ini

hanya memfokuskan pada beberapa industri tertentu, antara lain:

5.5.1 Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan

Lainnya

Indonesia merupakan salah satu penghasil ikan yang cukup besar karena

memiliki wilayah kelautan yang cukup luas, dengan bentangan luas laut

mencapai kurang lebih 5,8 Juta km2 yang terdiri dari perairan kepulauan/

laut Nusantara 2,3 juta km2, perairan territorial 0,8 juta km dan ZEEI 2,7

km dan mempunyai garis pantai sepanjang 81.000 km yang terpanjang

kedua di dunia setelah Kanada. Terdapat perairan umum di wilayah

daratan seluas 0,54 juta km2. Produksi perikanan Indonesia didominasi

oleh perikanan tangkap dengan potensi lestari sumber daya ikan laut

sekitar 6,40 juta ton/tahun, sedangkan pemanfaatan ikan laut baru

mencapai 4,1 juta ton pada tahun 2006 sedangkan produksi perikanan

budidaya mencapai 2,6 juta ton/tahun pada tahun 2006.

Sumbangan industri pengolahan dan pengawetan ikan dan biota perairan

lainnya terhadap PDB baru mencapai 3,14 persen. Industri pengolahan

dan pengawetan ikan dan biota perairan lainnya, khususnya ikan

merupakan industri yang sangat potensial untuk dikembangkan di masa

yang akan datang. Dalam Kebijakan Pembangunan Industri Nasional,

industri pengolahan dan pengawetan ikan dan biota perairan lainnya telah

ditetapkan pengembangannya melalui pendekatan klaster dalam

membangun daya saing yang berkelanjutan. Pengembangan industri

pengolahan hasil laut dengan pendekatan klaster diperlukan jaringan

yang saling mendukung dan menguntungkan antara industri pengguna

dengan industri pendukung serta industri terkait lainnya melalui

kerjasama dan dukungan dari seluruh pemangku kepentingan baik

pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, maupun lembaga lainya

(termasuk perguruan tinggi dan lembaga penelitian dan pengembangan).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah perusahaan dalam industri

pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia

sepanjang tahun 2006-2009 cenderung mengalami penurunan setiap

93

tahunnya sebesar 4,5 persen. Jumlah perusahaan dalam industri

pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia

pada tahun 2006 sebanyak 863 perusahaan, sedangkan pada tahun 2009

jumlah perusahaan yang terdaftar sebanyak 742 perusahaan (Gambar 5.5).

Jumlah perusahaan tersebut mengalami penurunan sebesar 9,4 persen

dibandingkan dengan tahun 2008. Nilai penurunannya jauh lebih banyak

jika dibandingkan dengan tahun 2006, yakni sebesar 14 persen.

Kekurangan pasokan bahan baku sebagai akibat tingginya ekspor ikan

utuh Indonesia menjadi penyebab utama banyaknya perusahaan dalam

industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya

Indonesia yang menghentikan produksinya.

863 823 819

742

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1,000

2006 2007 2008 2009

Gambar 5.5 Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Pengolahan dan

Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia

Tahun 2006-2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS

(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)

Dari 742 perusahaan yang terdaftar pada tahun 2009 sebanyak 48

perusahaan tergolong ke dalam pengalengan Ikan dan Biota Perairan

Lainnya, 141 perusahaan penggaraman/pengasinan Ikan dan Biota

Perairan Lainnya, 31 perusahaan pengasapan Ikan dan Biota Perairan

Lainnya, 299 perusahaan pembekuan Ikan dan Biota Perairan Lainnya,

109 perusahaan pemindangan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, dan 114

94

perusahaan pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan lainnya

(Gambar 5.6).

46 46 55 48

185 157 168141

3611

2231

398419 379

299

137122 123

109

6168 72

114

0

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1,000

2006 2007 2008 2009

Jum

lah

Peru

saha

an15129-Pengolahan dan pengawetan ikan dan biota perairan lainnya

15125-Pemindangan ikan dan biota perairan lainnya

15124-Pembekuan ikan dan biota

perairan lainnya

15123-Pengasapan ikan dan biota perairan lainnya

15122-Penggaraman/pengasinan ikan dan biota perairan lainnya

15121-Pengalengan ikan dan biota perairan lainnya

Gambar 5.6 Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Pengolahan dan

Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia Berdasarkan

Kelompok Industri Tahun 2006-2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-

2009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)

Berdasarkan Laporan Kementerian Perindustrian (2009), industri

pengalengan ikan yang masih melakukan kegiatan produksi sekitar 41

perusahaan. Di antaranya 31 perusahaan lokal dan sepuluh perusahaan

pemegang merk impor. Selain kekurangan bahan baku ikan, industri-

industri tersebut mengimpor kemasan kaleng (tin plate). Sedangkan data

yang diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali mencatat

bahwa sampai dengan tahun 2009 jumlah perusahaan dalam industri

pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya sebanyak 50

perusahaan. Sebagian besar perusahaan tersebut berlokasi di kota

Denpasar. Sementara itu, Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara

(2010) mencatat bahwa jumlah perusahaan industri pengolahan dan

pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya pada tahun 2009 sebanyak

21 perusahaan, di mana terdapat empat perusahaan pengalengan Ikan dan

Biota Perairan Lainnya, empat perusahaan penggaraman/pengasinan Ikan

dan Biota Perairan Lainnya, satu perusahaan pengasapan Ikan dan Biota

95

Perairan Lainnya, sepuluh perusahaan pembekuan Ikan dan Biota Perairan

Lainnya, dan dua perusahaan pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota

Perairan Lainnya. Jumlah perusahaan tersebut berkurang pada tahun 2010

sebagaimana yang disampaikan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Provinsi Sulawesi Utara. Pada tahun 2010 jumlah perusahaan dalam

industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya yang

berada di Provinsi Sulawesi Utara menjadi sebanyak 12 perusahaan, di

mana empat perusahaan merupakan perusahaan pengalengan Ikan dan

Biota Perairan Lainnya, tiga perusahaan pengasapan Ikan dan Biota

Perairan Lainnya, dan lima perusahaan pembekuan Ikan dan Biota

Perairan Lainnya. Industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota

Perairan Lainnya di Provinsi Sulawesi Utara tersebut terkonsentrasi di

kota Bitung dan Manado. Dalam perkembangannya hanya terdapat

beberapa perusahaan yang masih aktif melakukan produksi hingga

pertengahan tahun 2011. Hal ini terjadi karena adanya penurunan bahan

baku produksi akibat gangguan iklim. Ditinjau dari bentuk status

permodalan, pada tahun 2009 industri pengolahan dan pengawetan Ikan

dan Biota Perairan Lainnya di Provinsi Sulawesi Utara sebanyak lima

perusahaan dengan status Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN),

sembilan perusahaan Penanaman Modal Asing, dan tujuh perusahaan

lainnya.

96

4 44

1

3

10

5

2

0

2

4

6

8

10

12

2009 2010

Jum

lah P

erus

ahaa

n

15121-Pengalengan Ikan dan Biota Perairan Lainnya

15122-Penggaraman/

pengasinan Ikan dan Biota Perairan Lainnya

15123-Pengasapan Ikan dan

Biota Perairan Lainnya

15124-Pembekuan Ikan dan Biota Perairan Lainnya

15129-Pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya

Gambar 5.7 Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Pengolahan dan

Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Provinsi Sulawesi Utara

Tahun 2009-2010

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-

2009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)

Tenaga kerja industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan

Lainnya Indonesia sepanjang tahun 2006-2009 memiliki tren yang

cenderung menurun sebesar 5persen dengan rata-rata jumlah tenaga kerja

per tahun sebesar 105.949 orang. Pada tahun 2009 jumlah tenaga kerja

industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya

mencapai 95.361 orang, terendah sepanjang tahun 2006-2009 sebagaimana

ditunjukkan dalam Gambar 4.29. Jumlah tersebut juga menunjukkan

minimnya penyerapan tenaga kerja industri pengolahan dan pengawetan

Ikan dan Biota Perairan Lainnya karena rata-rata perusahaan hanya

mampu menyerap sebanyak 129 orang per perusahaan pada tahun 2009.

97

115,449

103,227 109,757

95,361

2006 2007 2008 2009

Gambar 5.8 Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Industri Pengolahan dan

Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia Tahun 2006-

2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-

2009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)

Ditinjau dari kelompok industri berdasarkan data Statistik Industri Besar

dan Sedang 2009, penyerapan tenaga kerja industri pengolahan dan

pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia pada tahun 2009

tersebar di industri pembekuan Ikan dan Biota Perairan Lainnya sekitar

55,7 persen, kemudian di pengalengan Ikan dan Biota Perairan Lainnya

(25,1 persen), pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan

Lainnya (6,8 persen), penggaraman/pengasinan Ikan dan Biota Perairan

Lainnya (6,8 persen), pemindangan Ikan dan Biota Perairan (3,8 persen),

dan pengasapan Ikan dan Biota Perairan Lainnya (1,8 persen). Komposisi

penyerapan tenaga kerja tersebut mengalami pergeseran dibandingkan

dengan tahun 2006. Terjadi penurunan dalam pangsa penyerapan tenaga

kerja industri pembekuan Ikan dan Biota Perairan Lainnya,

penggaraman/pengasinan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, pemindangan

Ikan dan Biota Perairan. Sebaliknya, terjadi kenaikan dalam penyerapan

tenaga kerja di kelompok industri lainnya (Gambar 5.9).

98

17.1%

9.3%

1.0%

63.2%

4.0%

5.5%

2006

15121Pengalengan ikan dan biota perairan lainnya

15122Penggaraman/pengasinan ikan dan biota perairan lainnya

15123Pengasapan ikan dan biota perairan lainnya

15124Pembekuan ikan dan biota perairan lainnya

15125Pemindangan ikan dan biota perairan lainnya

15129Pengolahan dan pengawetan ikan dan biota perairan lainnya

25.1%

6.8%

1.8%55.7%

3.8%6.8%

2009

Gambar 5.9 Perbandingan Komposisi Tenaga Kerja Industri Pengolahan

dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya Indonesia

Tahun 2006 dan 2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-

2009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)

Tenaga kerja pada industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota

Perairan Lainnya di Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2009 mencapai

4.843 orang atau sekitar 39,6 persen dari total tenaga kerja industri besar

dan sedang Provinsi Sulawesi Utara. Sebagian besar (3.254 orang atau

67,2 persen dari total tenaga kerja industri pengolahan dan pengawetan

Ikan dan Biota Perairan Lainnya) bekerja pada industri pengalengan Ikan

dan Biota Perairan Lainnya, kemudian diikuti oleh industri pembekuan

Ikan dan Biota Perairan Lainnya sejumlah 598 orang (12,3 persen),

industri penggaraman/pengasinan Ikan dan Biota Perairan Lainnya 571

orang (11,8 persen), pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan

Lainnya 259 orang (5,3 persen), dan pengasapan Ikan dan Biota Perairan

Lainnya 161 orang (3,3 persen) (BPS Provinsi Sulawesi Utara, 2010).

Salah satu perusahaan pengalengan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, Sinar

Pure Food International, mampu menyerap tenaga kerja sejumlah 1.285

orang pada tahun 2010. Berdasarkan hasil survei lapangan, PT Samudera

Sentosa dan PT Deho Canning Co. yang bergerak dalam industri

pengalengan Ikan dan Biota Perairan Lainnya mampu menyerap tenaga

99

kerja masing-masing sejumlah 362 orang dan 459 orang hingga

pertengahan tahun 2011. Untuk industri pengasapan Ikan dan Biota

Perairan Lainnya di Provinsi Sulawesi Utara, PT Manadomina Citra

Taruna mampu menyerap tenaga kerja sejumlah 200 orang, sedangkan PT

Celebes Mina Pratama mampu menyerap 130 orang pada tahun yang

sama.

Pada tahun 2009 besaran total pengeluaran bahan baku dan bahan

penolong dalam industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota

Perairan Lainnya mencapai Rp. 12,4 triliun, didominasi oleh bahan baku

dan bahan penolong lokal sebesar Rp. 12 triliun (96,4 persen) sedangkan

sisanya sebesar Rp. 442,6 miliar (3,6 persen) berasal dari luar negeri. Jika

dilihat dari perkembangannya sepanjang tahun 2006-2009, terjadi

kecenderungan penurunan dalam total pengeluaran bahan baku dan bahan

penolong tetapi terdapat peningkatan dalam komposisi pengeluaran bahan

baku dan bahan penolong impor. Menurunnya komposisi bahan baku dan

bahan penolong lokal terjadi karena berkurangnya pasokan bahan baku

lokal akibat dari diekspornya sebagian besar bahan baku ke luar negeri.

Kebijakan pemerintah melonggarkan ekspor ikan beku dan segar dalam

bentuk utuh menjadi 22 jenis pada tahun 2008 diakui oleh Martani, Dirjen

Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Departemen Kelautan dan

Perikanan (2008) menjadi salah satu pemicu berkurangnya pasokan bahan

baku. Harga ekspor bahan baku lebih tinggi daripada dalam negeri.

Terjadinya kekurangan pasokan bahan baku lokal inilah yang mendorong

industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya

menaikkan impor bahan baku dan bahan penolong. Di samping itu,

industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di

Indonesia pun masih memiliki ketergantungan terhadap impor bahan

penolong berupa bahan kemasan, kaleng. minyak kedelai, dsb.

100

2006 2007 2008 2009

Lokal 18,184.5 13,265.4 10,583.6 11,991.6

Impor 454.7 306.4 221.2 442.6

Total 18,639.2 13,571.8 10,804.8 12,434.2

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

16,000

18,000

20,000

US

$ m

ilia

r

97.6 97.7 98.0 96.4

2.4 2.3 2.0 3.6

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

2006 2007 2008 2009

Lokal Impor

Gambar 5.10

Perkembangan Pengeluaran Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri

Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya Indonesia

Tahun 2006-2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-

2009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)

Data Statistik Industri Besar dan Sedang Provinsi Sulawesi Utara 2009

menunjukkan bahwa sekitar 90,5persen bahan baku dan bahan penolong

industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya

berasal dari dalam negeri (lokal), sedangkan sisanya sebesar 9,5 persen

diimpor dari luar negeri. Industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan

Produk Ikan Lainnya di Provinsi Sulawesi Utara masih bergantung

terhadap impor bahan penolong berupa kaleng, minyak kedelai, dan bahan

kemasan.

Pemakaian bahan bakar minyak (BBM) dan bahan bakar tenaga listrik dan

gas pada industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan

Lainnya memiliki tren menurun sebesar 23,5 persen sepanjang tahun

2006-2009. Pemakaian BBM dalam industri pengolahan dan pengawetan

Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia mengalami penurunan yang

signifikan dari sebesar Rp. 1,2 triliun pada tahun 2006 menjadi sebesar Rp.

338,5 miliar pada tahun 2009. Penurunan pemakaian BBM dalam industri

101

pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia

serta kenaikan TDL tersebut membuat industri semakin terbebani dan

mengurangi insentif berproduksi.

1,216.8

431.6 410.2 388.5

212.3

272.2205.4 224.7

0

200

400

600

800

1,000

1,200

1,400

1,600

2006 2007 2008 2009

US$ m

iliar

BBM Listrik

Gambar 5.11 Perkembangan Pemakaian Bahan Bakar Minyak (BBM) dan

Bahan Bakar Tenaga Listrik dan Gas dalam Industri Pengolahan dan

Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya Tahun 2006-2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-

2009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)

BPS Provinsi Sulawesi Utara mencatat bahwa pemakaian bahan bakar

minyak (BBM) untuk industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota

Perairan Lainnya mencapai US$ 53,2 miliar, sedangkan pemakaian bahan

bakar tenaga listrik dan gas (BBL) sebesar US$ 36,6 miliar. Besaran

pemakaian BBM dan BBL tersebut sekitar 13,8persen dari biaya input

dalam industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan

Lainnya Provinsi Sulawesi Utara pada tahun 2009.

Ditinjau dari perkembangannya, nilai output industri pengolahan dan

pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya Indonesia selama kurun

waktu 2006-2009 mengalami tren menurun sebesar 10 persen. Nilai output

industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di

Indonesia pada tahun 2009 mencapai Rp. 20 triliun, menurun

dibandingkan dengan tahun 2006 yang mencapai Rp. 27,2 triliun.

Penurunan nilai output tersebut terjadi karena belum optimalnya

102

pemanfaatan kapasitas produksi industri pengolahan dan pengawetan Ikan

dan Biota Perairan Lainnya yang hanya mampu memanfaatkan 50 persen-

60 persen. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Martani Husaini, Dirjen

Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Departemen Kelautan

dan Perikanan (2007). Kendatipun setiap tahunnya kapasitas, realisasi dan

utilisasi produksi dari industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota

Perairan Lainnya mengalami peningkatan selama kurun waktu 2006-2009

sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 5.11, akan tetapi tidak dapat

diimbangi dengan kenaikan output industri. Kurangnya pasokan bahan

baku menjadi kendala dalam peningkatan output industri.

Gambar 5.12 Perkembangan Output dan Nilai Tambah Industri

Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di Indonesia

Tahun 2006-2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-

2009, BPS (diolah Puska Daglu Kemendag)

103

Tabel 5.6 Perkembangan Kapasitas, Realisasi,dan Utilisasi Produksi

Industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya di

Indonesia Tahun 2006-2009

Ikan/ Udang Beku Ikan dan Udang dalam Kaleng

2006 2007 2008*)

2009**)

2006 2007 2008*)

2009**)

Kapasitas Produksi

(Juta Ton)

1.51 1.54 1.59 1.64 0.41 0.42 0.43 0.44

Realisasi Produksi

(Juta Ton)

0.76 0.79 0.89 0.92 0.22 0.22 0.24 0.24

Utilisasi Produksi

(persen)

50.3 51.4 55.7 56.1 52.5 53 55 55.5

Sumber: Statistik 2009 Agrokim, Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia,

Departemen Perindustrian.

Berdasarkan perkembangan nilai tambah selama kurun waktu 2006-2009,

industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya

memiliki tren meningkat sebesar 5 persen. Nilai tambah tertinggi pada

industri pengolahan Ikan dan Biota Perairan Lainnya terjadi pada tahun

2009 yang mencapai Rp. 6,3 triliun, sedangkan yang terendah terjadi pada

tahun 2007 dengan nilai tambah sebesar Rp. 3,8 triliun. Nilai tambah

industri pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya pada

tahun 2009 meliputi 68,5 persen dari nilai outputnya. Biaya input pada

tahun 2009 mencapai 31,5 persen dari nilai output. Sementara itu,

persentase nilai tambah pada tahun 2007 hanya berkisar 19,9persen dari

nilai output sedangkan biaya inputnya meliputi mencapai 81,1 persen. Hal

ini mengindikasikan bahwa makin rendahnya komposisi biaya input

menghasilkan semakin tingginya nilai tambah. Nilai tambah industri

pengolahan dan pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya Provinsi

Sulawesi Utara mencapai Rp 674,1 miliar atau sekitar 50,8 persen dari

output.

5.5.2 Industri Cokelat dan Kembang Gula

Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar ketiga dunia

setelah Pantai Gading dan Ghana. Ditinjau dari segi produktivitas,

104

Indonesia masih berada di bawah produktivitas rata-rata negara lain

penghasil kakao. Selama ini kakao lebih banyak diekspor dalam bentuk

biji kering kakao dibandingkan hasil olahannya, sehingga nilai tambahnya

terhadap perekonomian sedikit.

Tiga besar negara penghasil kakao meliputi Pantai Gading (1.276.000

ton), Ghana (586.000 ton), Indonesia (456.000 ton). Luas lahan tanaman

kakao Indonesia lebih kurang 992.448 Ha dengan produktivitas rata-rata

900 kg per ha. Berdasarkan data Kementerian Pertanian (2010), daerah

penghasil kakao Indonesia adalah Sulawesi Selatan 184.000 ton (28,26

persen), Sulawesi Tengah 137.000 ton (21,04 persen), Sulawesi Tenggara

111.000 ton (17,05 persen), Sumatera Utara 51.000 ton (7,85 persen),

Kalimantan Timur 25.000 ton (3,84 persen), Lampung 21.000 ton (3,23

persen) dan daerah lainnya 122.000 ton (18,74 persen).

Meskipun sebagian besar hasil perkebunan kakao Indonesia diekspor

dalam bentuk bahan mentah, di dalam negeri juga terdapat industri

pengolahan kakao. Industri pengolahan kakao banyak berada di pulau

Jawa. Sebaran pelaku usaha yang bergerak dalam bidang pengolahan

kakao dapat dilihat pada Gambar 5.12

Gambar 5.13 Sebaran Industri Pengolahan Kakao di Indonesia

Sumber: Kementerian Perindustrian

105

Selama kurun waktu 2006-2009 jumlah perusahaan dalam industri Cokelat

dan Kembang gula Indonesia mengalami penurunan setiap tahunnya.

Jumlah perusahaan dalam industri Cokelat dan Kembang Gula Indonesia

pada tahun 2009 sebanyak 89 perusahaan, dari sebelumnya pada tahun

2006 sebanyak 103 perusahaan. Dari 89 perusahaan yang termasuk ke

dalam subindustri Bubuk Cokelat pada tahun 2009 sebanyak 8 perusahaan

sedangkan perusahaan subindustri Makanan dari Cokelat dan Kembang

Gula sebanyak 81 perusahaan. Penurunan jumlah perusahaan tersebut

terjadi karena banyaknya perusahaan subindustri Bubuk Cokelat dan

subindustri Makanan dari Cokelat dan Kembang Gula yang berhenti

beroperasi.

9 1 6 8

94101 94

81

0

20

40

60

80

100

120

2006 2007 2008 2009

Jum

lah Pe

rusa

haan

15431 Industri Bubuk Coklat

15432 Industri Makanan dari Coklat dan Kembang Gula

Gambar 5.14. Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Cokelat dan

Kembang Gula Indonesia Tahun 2006-2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS

(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Ditinjau dari penyerapan tenaga kerja, industri Cokelat dan Kembang

Gula hanya mampu menyerap 0,4 persen dari total tenaga kerja industri

manufaktur skala besar dan sedang Indonesia (19.070 orang) selama

kurun waktu 2006-2009. Dalam perkembangannya, jumlah tenaga kerja

yang mampu diserap oleh industri Cokelat dan Kembang Gula pada tahun

2009 sebanyak 18.889 orang, mengalami penurunan sebesar 3,5 persen

dibandingkan dengan tahun 2008 atau mengalami kenaikan sebesar 3,1

106

persen dari tahun 2006. Secara rata-rata jumlah tenaga kerja yang dapat

diserap oleh setiap perusahaan dalam industri Cokelat dan Kembang Gula

di Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 212 orang. Berdasarkan

pengelompokkan industri, penyerapan tenaga kerja pada subindustri

Makanan dari Cokelat dan Kembang Gula lebih dominan dibandingkan

dengan penyerapan tenaga kerja pada subindustri Bubuk Cokelat pada

tahun 2009. Subindustri Makanan dari Cokelat dan Kembang Gula

menyerap 16.739 tenaga kerja pada tahun 2009, sedangkan subindustri

Bubuk Cokelat menyerap 2.150 tenaga kerja. Kontribusi penyerapan

tenaga kerja tersebut sejalan dengan banyaknya jumlah perusahaan yang

ada di dalam kelompok subindustri tersebut.

2,050 50 1,414 2,150

16,276 19,445 18,155 16,739

0

5,000

10,000

15,000

20,000

25,000

2006 2007 2008 2009

Jum

lah

Tena

ga K

erja

(Ora

ng)

15431 Industri Bubuk Coklat 15432 Industri Makanan dari Cokelat dan Kembang Gula

Gambar 5.15. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja dalam Industri Cokelat

dan Kembang Gula Indonesia Berdasarkan Pengelompokkan Industri

Tahun 2006-2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS

(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Kendatipun industri Cokelat dan Kembang Gula di Indonesia pernah

terhambat oleh rendahnya pasokan bahan baku biji kakao dari dalam

negeri akibat penetapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10

persen atas penjualan dalam negeri melalui Undang-Undang No. 18

Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 8 Tahun

1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak atas

Penjualan Barang Mewah, penggunaan bahan baku lokal memiliki porsi

yang lebih besar dibandingkan dengan bahan baku impor sebagaimana

107

ditunjukkan dalam Gambar 4.36. Dalam rangka menumbuhkan kembali

industri Cokelat dan Kembang Gula di Indonesia, maka pada tahun 2007

pemerintah mencabut kebijakan pengenaan PPN melalui Peraturan

Pemerintah No. 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan

Pemerintah No. 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan

Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari

Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai. Namun kebijakan ini tidak serta

merta menghidupkan kembali industri yang sudah terlanjur tidak

beroperasi. Pemerintah melakukan upaya peningkatan produksi biji kakao

melalui Program Gerakan Nasional Kakao sejak tahun 2009. Hasil dari

upaya pemerintah tersebut dapat tercermin dari dominannya komposisi

penggunaan bahan baku dan penolong yang berasal dari dalam negeri

pada tahun 2009 (93,1 persen).

89.3 84.5 86.293.1

10.7 15.5 13.86.9

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

2006 2007 2008 2009

Lokal Impor

Gambar 5.16. Perkembangan Komposisi Pengunaan Bahan Baku Lokal dan

Impor dalam Industri Cokelat dan Kembang Gula di Indonesia

Tahun 2006 dan 2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS

(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Dalam perkembangan pengeluaran pemakaian listrik dalam industri

Cokelat dan Kembang Gula di Indonesia mengalami peningkatan pada

tahun 2007 menjadi Rp. 193,1 miliar, yang kemudian menurun hingga

tahun 2009 menjadi Rp. 112,6 miliar sebagaimana dapat dilihat pada

108

Gambar 4.37. Kenaikan TDL menjadi hambatan dalam proses produksi.

Pengeluaran pemakaian BBM dalam industri Cokelat dan Kembang Gula

cenderung fluktuatif sepanjang tahun 2006-2009. Pengeluaran pemakaian

BBM pada tahun 2009 merupakan pengeluaran terendah dibandingkan

dengan tahun lainnya, yakni sebesar Rp. 73,5 miliar.

126.6

193.1

154.1

112.6

165.2

108.7

140.8

73.5

2006 2007 2008 2009

Biaya Listrik BBM

Gambar 5.17. Perkembangan Pengeluaran Pemakaian Bahan Bakar

Minyak dan Listrik dalam Industri Cokelat dan Kembang Gula di

Indonesia Tahun 2006 dan 2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS

(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Gambar 5.18. Perkembangan Output dan Nilai Tambah Industri Cokelat

dan Kembang Gula di Indonesia Tahun 2006 dan 2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS

(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

109

Nilai tambah dalam industri Cokelat dan Kembang Gula mengalami tren

positif. Pada tahun 2009 nilai tambah industri Cokelat dan Kembang Gula

mencapai Rp 1,89 triliun sedangkan pada tahun 2006 mencapai Rp. 1,19

triliun. Hal ini tidak sejalan dengan output industri Cokelat dan Kembang

Gula yang cenderung menurun. Nilai output industri Cokelat dan

Kembang Gula pada tahun 2009 lebih rendah daripada tahun 2006

sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4.38.

Menurut Djoni Tarigan selaku Kepala Biro Perencanaan Kementerian

Perindustrian (2011), terdapat beberapa permasalahan utama dalam

industri pengolahan kakao yaitu kurang berminatnya perusahaan untuk

memanfaatkan instentif research and development (R&D), utilisasi

kapasitas produksi industri olahan kakao masih rendah (40 persen), belum

berkembangnya industri hilir yang mengolah biji kakao khususnya non

pangan, terbatasnya R&D untuk diversifikasi produk olahan kakao, dan

rendahnya konsumsi cokelat di dalam negeri.Dalam persaingan global

mengenai persaingan manufaktur atau produsen kakao, industri

manufaktur Indonesia masih sangat tertinggal, bahkan di belakang

Malaysia, yang notabene produksi biji kakao nasionalnya jauh di bawah

produksi biji kakao Indonesia.

5.5.3 Industri Barang dari Plastik

Berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2005 yang

disusun menurut International Standard Industrial Classification of All

Economic Activities (ISIC) revisi 3 tahun 1990, industri Barang dari Plastik di

Indonesia diklasifikasikan menjadi subindustri sebagai berikut:

a. Industri Pipa dan Selang dari Plastik (25201)

b. Industri Barang Plastik Lembaran (25202)

c. Industri Media Rekam dari Plastik (25203)

d. Industri Perlengkapan dan Peralatan Rumah Tangga (25204)

e. Industri Kemasan dari Plastik (25205)

f. Industri Barang-barang dan Peralatan Teknik/Industri dari Plastik

(25206)

g. Industri Barang-barang Plastik Lainnya (25209)

110

Adapun jumlah perusahaan dalam industri Barang dari Plastik selama

periode 2006-2009 memiliki tren negatif sebesar 4,4 persen. Pada tahun

2006 jumlah perusahaan industri Barang dari Plastik di Indonesia

sebanyak 1.337 perusahaan, namun pada tahun 2009 hanya tinggal

sebanyak 1.167 perusahaan. Penurunan jumlah perusahaan dalam industri

Barang dari Plastik ini hampir terjadi dalam keseluruhan subindustri

(Gambar 4.39). BPS Provinsi Sulawesi Utara (2010) mencatat bahwa

Provinsi Sulawesi Utara memiliki dua perusahaan industri Barang dari

Plastik dengan bentuk status permodalan lainnya pada tahun 2009.

1,337

1,273

1,223

1,167

1,050

1,100

1,150

1,200

1,250

1,300

1,350

2006 2007 2008 2009

Gambar 5.19 Perkembangan Jumlah Perusahaan dalam Industri Barang

dari Plastik Indonesia Tahun 2006-2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS

(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Sejalan dengan penurunan jumlah perusahaan, tenaga kerja yang terserap

dalam industri Barang dari Plastik Indonesia hanya mencapai 177.542

orang pada tahun 2009. Jumlah tenaga kerja industri Barang dari Plastik

di Provinsi Sulawesi Utara, baik tenaga kerja produksi maupun tenaga

kerja lainnya, sebanyak 209 orang. Padahal pada tahun 2006 industri

Barang dari Plastik di Indonesia mampu menyerap 197.220 orang tenaga

kerja. Hal ini sebagaimana tercermin dalam Gambar 4.40.

111

197,220

181,942 179,741 177,542

160,000

170,000

180,000

190,000

200,000

2006 2007 2008 2009

Gambar 5.20. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja dalam Industri Barang

dari Plastik Indonesia Tahun 2006-2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS

(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Gambar 5.21. menunjukkan bahwa penggunaan bahan baku impor dalam

industri Barang dari Plastik mengalami peningkatan dari semula 25,6

persen pada tahun 2006 menjadi 27,4 persen pada tahun 2009. Adanya

kenaikan bahan baku impor tersebut disebabkan oleh keterbatasan bahan

baku dari dalam negeri. Produsen bahan baku plastik dalam negeri

memiliki kecenderungan mengekspor produknya dibandingkan dengan

mencukupi kebutuhan industri Barang dari Plastik di dalam negeri.

Bahan Baku Lokal

74.4%

Bahan Baku Impor25.6%

2006

Bahan Baku Lokal

72.6%

Bahan Baku Impor27.4%

2009

Gambar 5.21. Komposisi Pengunaan Bahan Baku Lokal dan Impor dalam

Industri Barang dari Plastik di Indonesia Tahun 2006 dan 2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS

(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

112

Ditinjau dari perkembangan pemakaian BBM dan listrik sebagai

komponen biaya input produksi, pemakaian BBM dan Listrik dalam

industri Barang dari Plastik mengalami kenaikan setiap tahunnya selama

periode 2006-2009. Pada tahun 2009 pemakaian BBM dan listrik tercatat

hampir sebanyak Rp. 4,1 triliun, meningkat secara drastis dibandingkan

dengan tahun 2006 yang hanya mencapai Rp. 1,5 triliun. Komposisi

pemakaian listrik lebih dominan dibandingkan dengan pemakaian BBM

sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 5.22.

466 611 835 1,076

1,157

1,714

2,540

3,005

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

4,000

4,500

2006 2007 2008 2009

mili

ar R

p.

BBM Bahan Bakar Listrik

Gambar 5.22. Perkembangan Pemakaian Bahan Bakar Minyak, Gas, dan

Listrik Industri Barang dari Plastik Indonesia Tahun 2006-2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS

(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Makin tingginya biaya input produksi dalam industri Barang dari Plastik

di Indonesia sejalan dengan semakin tingginya nilai output. Pada tahun

2006 output industri Barang dari Plastik di Indonesia sebesar Rp. 35,7

triliun, meningkat menjadi sebesar Rp. 50,5 triliun. Kenaikan tersebut

disebabkan oleh adanya peningkatan dalam kapasitas dan utilisasi

produksi industri Barang dari Plastik di Indonesia. Hal ini diperkuat oleh

data dari Ditjen Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian

(2009) yang menunjukkan bahwa kapasitas produksi industri Barang dari

Plastik mengalami peningkatan dari 5,1 juta pada tahun 2006 menjadi 5,3

juta pada tahun 2009. Utilisasi produksi meningkat dari 77,7 persen pada

113

tahun 2006 menjadi 86,3 persen pada tahun 2009. Dari segi nilai tambah,

industri Barang dari Plastik mengalami hal yang sama dengan biaya input

dan output meskipun kenaikannya tidak sebesar keduanya. Nilai tambah

industri Barang dari Plastik mencapai Rp. 15,6 triliun pada tahun 2009,

sedangkan pada tahun 2006 mencapai Rp. 13,8 triliun.

2006 2007 2008 2009

Output 35,763 42,179 45,877 50,520

Nilai Tambah 13,772 15,686 14,747 15,638

0

10,000

20,000

30,000

40,000

50,000

60,000

mili

ar R

p.

Output Nilai Tambah

Gambar 5.23. Perkembangan Output dan Nilai Tambah Industri Barang

dari Plastik Indonesia Tahun 2006- 2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS

(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

5.5.4 Industri Furnitur

Industri Furnitur merupakan salah satu industri berbasis kayu/ rotan yang

memberikan kontribusi yang cukup penting terhadap perekonomian

Indonesia, baik dalam bentuk kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto

(PDB) maupun ekspor. Data Distribusi Persentase Produk Domestik

Bruto atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha yang

dipublikasikan oleh BPS menunjukkan bahwa rata-rata kontribusi industri

Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya terhadap PDB Indonesia berkisar

1,4 persen selama tahun 2006-2009. Di sisi ekspor, industri Furnitur yang

meliputi industri pengolahan Kayu dan pengolahan Rotan Olahan

memiliki rata-rata kontribusi sebesar 6,2 persen terhadap total ekspor

industri pengolahan nonmigas pada periode yang sama.

114

Adapun penggolongan industri Furnitur di Indonesia berdasarkan Klasifikasi

Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2005 yang disusun menurut

International Standard Industrial Classification of All Economic Activities

(ISIC) revisi 3 tahun 1990 adalah sebagai berikut:

a. Industri Furnitur dari Kayu (36101), yaitu industri yang menghasilkan

perabotan rumah tangga dari kayu.

b. Industri Furnitur dari Rotan, dan atau Bambu (36102), yaitu industri

yang menghasilkan perabotan rumah tangga dari rotan dan atau

bambu, antara lain sofa, meja, kursi, lemari, buffet, dan sejenisnya.

c. Industri Furnitur dari Plastik (36103)

d. Industri Furnitur dari Logam (36104)

e. Industri Furnitur yang belum tercakup dalam kelompok 36101 hingga

36104 (36109)

Secara umum jumlah perusahaan dalam industri Furnitur di Indonesia

menurun sejak tahun 2007 sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 4.8.

Penurunan jumlah perusahaan tersebut terjadi karena adanya penurunan

jumlah perusahaan secara signifikan dalam subindustri Furnitur dari

Kayu. Jumlah perusahaan dalam sub industri Furnitur dari Kayu yang

semula sebanyak 1.737 perusahaan pada tahun 2006 menjadi 1.180

perusahaan pada tahun 2009. Meskipun secara keseluruhan mengalami

penurunan, jumlah perusahaan dalam sub industri Furnitur dari Plastik,

Furnitur dari Logam, dan Furnitur yang belum tercakup dalam kelompok

36101 s/d 36104 mengalami kenaikan pada periode yang sama. Namun,

kenaikan tersebut tidak mampu mengimbangi penurunan jumlah

perusahaan dalam sub industri Furnitur dari Kayu. Industri Furnitur yang

tercatat dalam Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang

tahun 2006-2009 tersebar hampir di seluruh provinsi Indonesia dengan

sentra-sentra cukup besar yang terletak di Jepara, Cirebon, Sukoharjo,

Surakarta, Klaten, Pasuruan, Gresik, Sidoarjo, Jakarta, Bogor, Depok,

Tangerang, Bekasi, dan lain-lain.

115

Tabel 5.7 Perkembangan Jumlah Perusahaan dalam Industri Furnitur

Indonesia Tahun 2006-2009

Kelompok Subindustri 2006 2007 2008*) 2009**)

Industri Furnitur dari Kayu 1,737 1,526 1,304 1,180

Industri Furnitur dari Rotan 300 305 287 281

Industri Furnitur dari Plastik 15 17 17 17

Industri Furnitur dari Logam 106 148 117 124

Industri Furnitur yang Belum

Tercakup dalam Kelompok

85 86 89 88

Total 2,243 2,082 1,814 1,690

Keterangan:

*) Angka sementara

**) Angka sangat sementara

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS

(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Di samping memiliki kontribusi yang cukup signifikan terhadap PDB dan

ekspor, industri Furnitur dikenal sebagai salah satu industri padat karya

yang mampu menyerap banyak tenaga kerja. Rata-rata kontribusi

penyerapan tenaga kerja industri Furnitur terhadap total tenaga kerja

industri manufaktur Indonesia selama kurun waktu 2006-2009 adalah

sebesar 4,4 persen. Sejalan dengan menurunnya jumlah perusahaan dalam

industri Furnitur di Indonesia, penyerapan tenaga kerja juga mengalami

penurunan pada periode yang sama. Jumlah tenaga kerja yang diserap

oleh industri Furnitur pada tahun 2006 mencapai 207.125 orang,

sedangkan penyerapan tenaga kerja dalam industri Furnitur pada tahun

2007 sebanyak 204.589 orang, 194.433 orang (2008), dan 191.466 orang

(2009). Dari tahun 2006-2009 tenaga kerja industri Furnitur

terkonsentrasi pada sub industri Furnitur dari Kayu dan sub industri

Furnitur dari Rotan dan atau Bambu. Penyerapan tenaga kerja dalam

kedua sub industri tersebut pada tahun 2006 mencapai 92,6 persen,

sedangkan pada tahun 2009 mencapai 82,5 persen. Jumlah tenaga kerja

yang diserap sub industri Furnitur dari Kayu dan sub industri Furnitur

dari Rotan dan atau Bambu pada tahun 2009 masing-masing sebanyak

127.624 orang dan 30.279 orang. Perkembangan tenaga kerja dalam

116

masing-masing sub industri Furnitur Indonesia selama kurun waktu 2006-

2009 dapat dilihat dalam Gambar 4.44. Penurunan tenaga kerja dalam

industri Furnitur Indonesia berpengaruh terhadap ketersediaan tenaga

terampil. Hal ini ditunjukkan dari hasil temuan lapangan yang mencatat

bahwa 37,5 persen dari total responden industri Furnitur di beberapa

sentra industri Furnitur seperti Sidoarjo, Surabaya, Semarang, Denpasar,

dan Medan mengalami hambatan dalam ketersediaan tenaga terampil.

Makin tingginya biaya tenaga kerja yang dikeluarkan menjadi hambatan

lain dalam proses produksi industri Furnitur Indonesia.

153,103

148,476

126,056

127,624

38,670

36,885

35,246

30,279

1,428

1,800

14,732

15,116

8,702

13,371

12,014

12,913

5,222

4,057

6,385

5,534

2006

2007

2008*)

2009**)

Industri Furnitur dari Kayu

Industri Furnitur dari Rotan dan atau Bambu

Industri Furnitur dari Plastik

Industri Furnitur dari Logam

Industri Furnitur yang Belum Tercakup dalam Kelompok 36101 s/d 36104

Gambar 5.24. Perkembangan Tenaga Kerja dalam Industri Furnitur

Indonesia Tahun 2006-2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS

(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Data Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang tahun 2006-

2009 menunjukkan bahwa pengeluaran bahan baku dan bahan penolong

industri Furnitur Indonesia mengalami peningkatan, hingga puncaknya

pada tahun 2008 sebesar Rp. 11,6 triliun, di mana komposisi pengeluaran

bahan baku dan bahan penolong lokal mendominasi hampir mencapai

Rp. 10,4 triliun (90 persen). Pengeluaran bahan baku dan bahan

penolong industri Furnitur mengalami penurunan pada tahun 2009

menjadi Rp. 9,3 triliun dengan peningkatan komposisi pengeluaran bahan

117

baku dan bahan penolong impor sebesar 11,4 persen menjadi Rp. 1,1

triliun (Gambar 5.25). Besarnya dominasi penggunaan bahan baku lokal

ditunjukkan juga dari hasil temuan lapangan di mana hampir keseluruhan

responden industri Furnitur di Indonesia menggunakan bahan baku yang

berasal dari dalam negeri.

7.1

9.110.4

8.2

0.5

0.8

1.2

1.1

0

2

4

6

8

10

12

14

2006 2007 2008 2009

triliu

n Rp

Impor Lokal

Gambar 5.25. Perkembangan Pengeluaran Bahan Baku dan Bahan

Penolong Industri Furnitur Indonesia Tahun 2006-2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS

(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)

Ketergantungan industri Furnitur Indonesia yang tinggi terhadap bahan

baku yang berasal dari dalam negeri tidak ditunjang dari ketersediaannya.

Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Roadmap Industri Furniture

(2009), industri Furnitur Indonesia menghadapi kesenjangan antara

pasokan dan kebutuhan bahan baku (Kayu dan Rotan) yang semakin

melebar. Kebutuhan kayu untuk industri Furniture pada saat kini

diperkirakan sekitar 1,7 juta m3 per tahun, pada umumnya selain berasal

dari sawn-timber, kayu rakyat sebagai solid-wood juga berasal dari

engineered-wood atau panel kayu (kayu lapis, block-board, papan

partikel, MDF dan sejenisnya) sekitar 3 juta ton. Kesenjangan ini akibat

dari masih maraknya praktek illegal logging pada hutan alam dan illegal

trade. Di samping itu, masih belum optimalnya dukungan pasokan bahan

baku dari Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hutan Rakyat (HR).

Bersamaan dengan sulitnya mendapatkan bahan baku kayu untuk industri

118

juga masih belum banyak industri yang memanfaatkan bahan baku

alternatif non hutan alam sebagaimana kayu kelapa, kayu kelapa sawit

dan kayu karet (tua). Ketidaktersediaan bahan baku lokal dan mahalnya

harga bahan baku lokal dianggap menjadi hambatan bagi 87,5 persen

responden industri Furnitur Indonesia dalam bersaing dengan produk

sejenis dari negara lain seperti Republik Rakyat Tiongkok (Gambar 5.26).

Tidak menghambat

12.5%

Agak menghambat

37.5%Menghambat

25.0%

Sangat Menghambat

25.0%

Ketidaktersediaan Bahan Baku Lokal

Tidak menghambat

12.5%

Menghambat25.0%

Sangat Menghambat

62.5%

Mahalnya Biaya Bahan Baku Lokal

Gambar 5.26. Persepsi terhadap Ketidaktersediaan Bahan Baku Lokal dan

Mahalnya Biaya Bahan Baku Lokal

Sumber: data primer (diolah oleh Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Melambungnya harga minyak mentah dunia dan melemahnya nilai tukar

rupiah serta krisis ekonomi global turut mempengaruhi pengeluaran

pemakaian BBM industri Furnitur Indonesia. Hal ini dapat terlihat dalam

Gambar 4.47, di mana terdapatnya peningkatan dalam pengeluaran BBM

industri Furnitur Indonesia sejak tahun 2006 hingga tahun 2008 dengan

tren sebesar 18,5 persen. Pengeluaran pemakaian BBM industri Furnitur

Indonesia terbesar terjadi pada tahun 2008 mencapai Rp. 248,1 miliar

karena pada tahun tersebut harga minyak mentah dunia sempat

menyentuh harga US$ 147 per barrel (11 Juli 2008) dan hancurnya pasar

modal sesudah kebangkrutan Lehman Brothers (15 September 2008).

Pada tahun 2009 pengeluaran pemakaian BBM industri Furnitur menurun

hingga mencapai Rp 178,3 miliar akibat kembali stabilnya harga minyak

mentah dunia dan menguatnya nilai tukar rupiah. Pengeluaran untuk

pemakaian bahan bakar listrik industri Furnitur Indonesia cenderung

mengalami tren meningkat sebesar 12,7 persen sepanjang tahun 2006-

119

2009. Kebutuhan listrik yang meningkat dalam industri Furnitur

Indonesia dan kenaikan harga tarif dasar listrik (TDL) untuk industri

menjadi penyebab dari besarnya pengeluaran dalam pemakaian BBM

industri Furnitur. Pengeluaran dalam pemakaian bahan bakar listrik

mencapai puncaknya pada tahun 2008 sebesar Rp 425,3 miliar. Pada

tahun 2009 beban bahan bakar listrik yang ditanggung oleh industri

Furnitur sedikit berkurang dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

176.8

238.2 248.1

178.3

227.0

379.0

425.3

325.0

2006 2007 2008 2009

Bahan Bakar Minyak Bahan Bakar Listrik

Gambar 5.27. Perkembangan Pemakaian Bahan Bakar Minyak, Gas, dan

Listrik Industri Furnitur Indonesia Tahun 2006-2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS

(diolah Puska Daglu Kemendag).

Berdasarkan hasil temuan lapangan, makin mahalnya biaya BBM

dianggap oleh 37,5 persen dari responden dalam industri Furnitur sangat

menghambat, 25 persen responden dalam industri Furnitur

menganggapnya menghambat, dan sisanya tidak menghambat pada tahun

2011. Sementara itu, hanya sekitar 25 persen dari responden industri

Furnitur berpersepsi bahwa makin tingginya biaya listrik tidak

menghambat pada tahun 2011. Sebagian besar (75 persen) menganggap

bahwa makin mahalnya biaya listrik agak menghambat hingga sangat

menghambat seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 5.28.

120

Tidak menghambat

25.0%

Agak menghambat

25.0%Menghambat12.5%

Sangat Menghambat

37.5%

Makin Mahalnya Biaya Listrik

Tidak menghambat

37.5%

Agak menghambat

25.0%

Sangat Menghambat

37.5%

Makin Mahalnya Biaya BBM

Gambar 5.28. Persepsi terhadap Makin Mahalnya Biaya Listrik

dan Biaya BBM

Sumber: data primer (diolah oleh Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Beberapa tahun terakhir industri Furnitur Indonesia dinilai mengalami

penurunan kinerja. Hal ini terlihat dari pertumbuhan negatif industri

Barang Kayu dan Hasil Hutan Lainnya pada tahun 2006 sampai dengan

tahun 2009, yaitu pada tahun 2006 (-0,66 persen), tahun 2007 (1,74

persen), dan pada tahun 2008 tumbuh cukup signifikan yaitu 3,45 persen,

namun pada tahun 2009 mengalami penurunan kembali menjadi -1,46

persen (Tabel 4.9). Menurunnya pertumbuhan tersebut disebabkan oleh

naiknya nilai tukar Rupiah dan menurunnya permintaan pasar dunia

karena belum pulihnya perekonomian di beberapa negara tujuan ekspor

seperti Amerika Serikat dan Eropa akibat krisis ekonomi global.

Hambatan non tarif, terutama di Jepang sebagai salah satu negara

pengimpor terbesar produk-produk Furnitur di dunia, menjadi penyebab

lain dari menurunnya pertumbuhan industri Furnitur Indonesia

sebagaimana disampaikan oleh 50 persen responden industri Furnitur

Indonesia. Penerapan standar kualitas, desain, spesifikasi bahan, dan SPS

yang tinggi oleh Jepang menjadi hambatan.

121

Tabel 5.8. Perkembangan PDB Sektor Industri Pengolahan atas Dasar

Harga Konstan 2000 dan Realisasi Pertumbuhan Tahun 2005-2009

Penurunan kinerja industri Furnitur terlihat juga dari menurunnya

realisasi dan utilisasi produksi seperti yang dicatat oleh Direktorat

Jenderal Industri Agro dan Kimia Departemen Perindustrian (2009). Nilai

realisasi dan utilitasi produksi pada sub industri Furnitur Kayu dan Rotan

Olahan pada tahun 2009 lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2006

seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 4.10. Penurunan terbesar dalam

kapasitas, realisasi, dan utilisasi produksi industri Furnitur terjadi pada

tahun 2008 diakibatkan oleh adanya krisis ekonomi global. Realisasi

produksi subindustri Kayu pada tahun 2008 sebesar 1.226.742 ton, hanya

mencapai 42,3 persen dari kapasitas produksi yang ada. Sementara itu,

realisasi produksi sub industri Rotan Olahan pada tahun yang sama

sebesar 304.114 ton, pemanfaatannya hanya mencapai 70,7 persen dari

kapasitas terpasang. Pada tahun 2009 kinerja sub industri Furnitur dari

122

Kayu kembali meningkat dalam realisasi dan utilisasi produksi. Berbeda

halnya dengan peningkatan kinerja dalam sub industri Furnitur dari Kayu,

sub industri Rotan Olahan justru terpuruk dalam kinerja produksinya.

Realisasi produksi sub industri Rotan Olahan pada tahun 2009 hanya

mencapai 269.871 ton (60,4 persen dari kapasitas produksi).

Tabel 5.9. Perkembangan Kapasitas, Realisasi, dan Utilisasi Produksi

Industri Furnitur Indonesia Tahun 2006-2009

Jenis Industri/ Komoditi 2006 2007 2008*) 2009**)

Kapasitas Produksi (ton) 3,401,350 3,411,554 2,899,821 3,411,554

Realisasi Produksi (ton) 2,258,882 2,265,660 1,226,742 1,990,319

Utilisasi (%) 66.4 66.4 42.3 58.3

Kapasitas Produksi (ton) 551,635 551,685 430,236 446,784

Realisasi Produksi (ton) 372,761 373,880 304,114 269,871

Utilisasi (%) 67.6 67.8 70.7 60.4

Furniture Kayu

Rotan Olahan

Keterangan:

*) Angka sementara

**) Angka sangat sementara

Sumber: Statistik 2009 Agrokim, Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia,

Departemen Perindustrian (2009).

Dari sisi nilai, output industri Furnitur Indonesia cenderung mengalami

peningkatan sepanjang tahun 2006-2009. Nilai output industri Furnitur

mencapai Rp. 15,8 triliun pada tahun 2006, sedangkan pada tahun 2009

mencapai Rp. 19,1 triliun. Pada tahun 2008 nilai output industri mencapai

level tertinggi sepanjang tahun 2006-2009, yaitu sebesar Rp. 20,9 triliun,

meskipun utilisasi produksi pada tahun tersebut rendah sebesar 42,3

persen. Nilai tambah industri Furnitur cenderung fluktuatif sepanjang

tahun 2006-2009, meskipun demikian memiliki tren positif sebesar 3,6

persen. Nilai tambah pada tahun 2006 sebesar Rp. 7 triliun, meningkat

menjadi Rp. 8,7 triliun pada tahun 2007. Pada tahun 2008 nilai tambah

industri Furnitur mengalami penurunan hingga menjadi Rp 7,1 triliun.

Penurunan tersebut tidak sejalan dengan peningkatan nilai output industri

Furnitur pada tahun yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa

komposisi biaya input besar. Nilai output industri Furnitur pada tahun

123

2009 kembali meningkat hingga mencapai Rp. 8,4 triliun (Gambar 4.49).

15.8

20.4 20.919.1

7.08.7

7.18.4

0

5

10

15

20

25

2006 2007 2008*) 2009**)

triliu

n Rp

Output Nilai tambah

Gambar 5.29. Perkembangan Output dan Nilai Tambah Industri Furnitur

Indonesia Tahun 2006-2009

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS

(diolah Puska Daglu Kemendag).

Produk Furnitur Indonesia sebenarnya mempunyai ciri dan sifat khas

yang jarang dimiliki oleh negara-negara produsen Furnitur lainnya, di

antaranya memiliki sumber bahan baku yang beraneka jenis kayu

(tropical hard-wood), baik solid maupun engineered-wood, juga berbagai

jenis bahan baku rotan (natural dan hasil budidaya), di samping desain

yang bermuatan kearifan lokal (ciri khas ukir-ukiran). Mengingat di

negara-negara tersebut sudah tidak bisa mengembangkan lagi potensi

bahan bakunya secara signifikan dan biaya produksi yang relatif mahal,

sedangkan Indonesia terus mengembangkan hutan yang berwawasan

lingkungan melalui pembangunan Timber Estate sebagai HTI dan HTR.

Oleh karena itu, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang cukup

besar untuk meningkatkan perannya pada industri furnitur di dunia.

124

BAB VI

PEMANFAATAN SKA FORM IJ-EPA DAN KENDALA IMPLEMENTASI

6.1 Pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA) Form IJ-EPA dan Kendala

Implementasi

Sebagai salah satu prasyarat kelengkapan dokumen dalam memperoleh tarif

preferensi pada barang ekspor maupun impor dalam kesepakatan IJ-EPA,

pemahaman tentang persyaratan dan prosedur penerbitan Surat Keterangan Asal

(SKA) atau biasa dikenal dengan Certificate of Origin (COO) menjadi suatu hal

yang perlu diketahui dan dipahami oleh para eksportir maupun importir.

Berdasarkan informasi dari Direktorat Fasilitasi Ekspor dan Impor Direktorat

Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indonesia memiliki

85 instansi penerbit SKA (IPSKA) yang berwenang untuk menerbitkan SKA di

mana sebanyak 28 IPSKA telah otomasi (online), dan 57 IPSKA masih dalam

proses otomasi (manual/offline).

Dalam proses penerbitan SKA terdapat beberapa persyaratan dokumen yang

harus dilengkapi, yakni aplikasi SKA Form IJ-EPA dan dokumen-dokumen

pendukung berupa fotokopi Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), bill of lading

(B/L) atau air way bill (AWB) atau tanda terima kargo, fotokopi Nomor Pokok

Wajib Pajak (NPWP), invoice, packing list, dan dokumen lain (struktur biaya dari

barang yang diekspor yang mengandung bahan baku dan/atau bahan penolong

yang diimpor, purchase order (untuk beberapa barang ekspor tertentu), dan/atau

Kartu Tanda Pengenal (KTP) atau paspor.

Untuk proses penerbitan SKA secara otomasi, para eksportir wajib

melakukan registrasi eksportir terlebih dahulu melalui situs http://e-

ska.kemendag.go.id/ dengan melengkapi data nama perusahaan, NPWP

perusahaan, No Reg AEKI diisi apabila ekspor di bidang Kopi, Tanda Daftar

Perusahaan (TDP), Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP), nama penandatangan

SKA(eksportir), alamat perusahaan, alamat pabrik atau tempat produksi, lokasi

perusahaan, IPSKA yang dipilih (terdekat), user name, user ID, email perusahaan,

dan password. SOP registrasi eksportir dapat dilihat pada Gambar 6.1.

125

Gambar 6.1 Bagan SOP Registrasi Eksportir

Sumber: http://e-ska.kemendag.go.id/portal/web/guest/pendaftaran-eksportir

Adapun proses penerbitan SKA secara online dapat dilakukan dengan

langkah-langkah seperti yang tergambar dalam Gambar 6.2. Dalam penerbitan

SKA secara online eksportir dapat langsung melakukan permohonan melalui

website http://e-ska.kemendag.go.id/.

126

Gambar 6.2 SOP Penerbitan SKA secara Online

Sumber: http://e-ska.kemendag.go.id/portal/web/guest/penerbitan-ska-online

Sementara prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA secara manual (offline)

dapat dilihat dari Gambar 6.3. Perbedaan mendasar dari prosedur penerbitan SKA

Form IJ-EPA secara online dengan manual adalah pihak eksportir diharuskan

datang ke IPSKA.

127

Gambar 6.3. Bagan SOP Penerbitan SKA secara Manual (Offline)

Sumber: http://e-ska.kemendag.go.id/portal/web/guest/penerbitan-ska-offline-softcopy

Berdasarkan catatan Direktorat Fasilitasi Ekspor dan Impor Direktorat

Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, pangsa nilai SKA

Form IJ-EPA terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang sepanjang tahun

2008-2010 dan Januari-September 2010/2011 cenderung fluktuatif. Pangsa nilai

SKA Form IJ-EPA terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang tahun 2008

sebesar 12,4 persen, terendah dibandingkan dengan pangsa nilai SKA preferensi

free trade area (FTA) lain terhadap ekspor non migasnya (misalnya, SKA Form

AK (AK-FTA) sebesar 63,1 persen, SKA Form D/ATIGA (AFTA) sebesar 40,5

persen, dan SKA Form E (AC-FTA) sebesar 23,2 persen) pada tahun yang sama.

Rendahnya pangsa SKA tersebut disebabkan oleh jangka waktu

128

pengimplementasian kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA yang baru berjalan

selama enam bulan. Pada tahun 2009 pangsa nilai SKA Form IJ-EPA terhadap

ekspor non migas Indonesia ke Jepang naik menjadi 20,7 persen, kemudian turun

menjadi 16 persen pada tahun 2010. Selama periode Januari-September 2011

pangsa nilai SKA Form IJ-EPA terhadap ekspor non migas Indonesia ke Jepang

sebesar 28,6 persen, sedangkan pangsanya selama periode Januari-September

2011 mencapai 15,4 persen. Meskipun pangsa nilai SKA Form IJ-EPA terhadap

ekspor non migas Indonesia ke Jepang periode Januari-September 2011 lebih

tinggi dibandingkan dengan periode lainnya, pangsanya tetap lebih rendah

dibandingkan dengan pangsa nilai SKA tarif preferensi FTA lainnya (Gambar

6.4).

Perkembangan pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dalam kegiatan ekspor

Indonesia ke Jepang sebagaimana digambarkan dalam Gambar 6.4 menunjukkan

pertumbuhan yang relatif tinggi. Pada tahun pertama IJ-EPA diimplementasikan,

yakni tahun 2008, Indonesia telah mengeluarkan 16.226 lembar SKA Form IJ-

EPA. Kemudian terjadi peningkatan penerbitan SKA Form IJ-EPA pada tahun

2009 dan 2010 masing-masing sebesar 185,2 persen dan 5 persen menjadi

sebanyak 46.272 lembar dan 53.182 lembar. Penerbitan SKA Form IJ-EPA

periode Januari-September 2011 mencapai 43.580 lembar, melebihi jumlah

penerbitan SKA Form IJ-EPA periode Januari-September 2010 sebanyak 39.119

lembar. Dengan kata lain, penerbitan SKA Form IJ-EPA periode Januari-

September 2011 naik sebesar 11,4 persen dibandingkan dengan periode Januari-

September 2010.

129

Pangsa Nilai SKA terhadap Ekspor Non Migas

22.1

31.1

41.5

6.9

40.5

39.1

9.2

63.1

31.0

59.2

3.1

37.8

46.1

12.4

20.7

16.0

28.6

4.6

48.1

2007 2008 2009 2010 Jan-Sep2010 Jan-Sep 2011

%

TOTAL AFTA AKFTA ACFTA IJEPA AIFTA

2007 2008 2009 2010 Jan-Sep2010 Jan-Sep 2011Perub. Jan-Sep 2011/2010 (%)

Total 1,907 15,884 13,106 19,867 13,138 28,790 119.1

AFTA 1,360 9,434 6,417 8,710 6,094 9,680 58.8

AKFTA 343 2,942 1,603 2,776 1,712 3,393 98.2

ACFTA 204 1,804 2,607 5,287 3,520 6,875 95.3

IJEPA 0 1,705 2,479 2,642 1,811 3,909 115.8

AIFTA 0 - 0.0 452 - 4,934

-

5,000

10,000

15,000

20,000

25,000

30,000

35,000

US$

juta

Nilai SKA berdasarkan Tipe Preferensi FTA

2007 2008 2009 2010 Jan-Sep2010 Jan-Sep 2011Perub. Jan-Sep 2011/2010 (%)

Total 26,085 139,864 187,884 205,775 164,235 189,248 15.2

AFTA 2,332 11,604 16,606 103,334 84033 83,524 -0.6

AKFTA 4,262 22,937 27,210 28,622 23170 26,144 12.8

ACFTA 19,491 89,095 97,793 24,235 17913 26,580 48.4

IJEPA - 16,228 46,275 48,571 39119 43,580 11.4

AIFTA - - - 1,013 0 9,420 0.0

(50,000)

-

50,000

100,000

150,000

200,000

250,000

Tota

l Jum

lah

SKA

Total Jumlah SKA berdasarkan Tipe Preferensi FTA

Gambar 6.4 Perkembangan Pemanfaatan Preferensi FTA

Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kemendag (diolah

Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Dari sisi nilai, terjadi juga peningkatan nilai ekspor dengan menggunakan

SKA Form IJ-EPA. Nilai ekspor dengan penggunaan SKA Form IJ-EPA

meningkat dari US$ 1,7 miliar pada tahun 2008 menjadi US$ 2,5 milliar pada

tahun 2009 dan US$ 2,9 milliar pada tahun 2010. Sementara itu nilai SKA Form

IJ-EPA periode Januari-September 2011 melonjak tajam sebesar 115,8 persen dari

periode sebelumnya. Nilai ekspor dengan penggunaan SKA Form IJ-EPA periode

Januari-September 2010 yang hanya mencapai US$ 1,8 miliar menjadi sebesar

US$ 3,9 miliar. Hal ini mengindikasikan semakin banyaknya para eksportir

Indonesia yang memanfaatkan SKA Form IJ-EPA dan tarif preferensi IJ-EPA

dalam melakukan ekspornya ke Jepang (Gambar 6.4).

Bertolak dari Gambar 6.4 dapat diperoleh rata-rata nilai ekspor SKA Form IJ-

EPA kurun waktu 2008-2010. Pada tahun pertama kesepakatan perdagangan

bebas IJ-EPA diimplementasikan, rata-rata nilai ekspor ke Jepang per dokumen

SKA sekitar US$ 105,1 ribu. Kemudian pada implementasi tahun berikutnya

turun hampir mencapai 50 persen, menjadi sebesar US$ 53,6 ribu per dokumen

130

SKA Form IJ-EPA. Pada tahun 2010 rata-rata nilai ekspor per dokumen SKA

Form IJ-EPA menjadi US$ 54,1 ribu.

Ditinjau dari jenis produk, pemanfaatan SKA Form IJ-EPA selama tahun

2008-2010 didominasi oleh produk Plastik dan Barang Plastik, Bahan Bakar

Mineral, Ikan dan Udang, Kayu dan Barang dari Kayu, Serat Staple Buatan,

Peralatan Elektrik dan Elektronik, Kimia Organik, Katun, Furnitur, dan Aneka

Produk Kimia. Peralatan Elektrik dan Elektronik tercatat memiliki pertumbuhan

tertinggi dalam nilai ekspor Indonesia ke Jepang berdasarkan pemanfaatan SKA

preferensi pada tahun 2009 dibanding dengan tahun 2008 dengan nilai sebesar

216,1 persen, sedangkan Aneka Produk Kimia memiliki pertumbuhan tertinggi

pada tahun 2010 dengan nilai sebesar 104,1 persen (Gambar 6.5).

294.0

90.9

180.8

204.8

72.2

21.3

105.0

29.3

58.5

31.4

321.9

165.8

333.8

324.7

112.1

67.4

102.7

66.1

180.6

41.4

346.6

335.7

302.1

235.3

141.0

113.4

106.3

91.4

86.9

84.6

Plastik dan Barang dari Plastik

Bahan bakar mineral

Ikan dan Udang

Kayu, Barang dari Kayu

Serat Stapel Buatan

Peralatan Elektrik dan Elektronik

Kimia Organik

Katun

Furnitur

Aneka produk kimia

juta US$

2008 2009 2010

9.5

82.4

84.6

58.6

55.3

216.1

-2.1

125.4

209.0

32.1

7.7

102.5

-9.5

-27.5

25.7

68.2

3.4

38.3

-51.9

104.1

Pertumbuhan (%)

2009/2008

2010/2009

Gambar 6.5 Perkembangan Nilai Ekspor Komoditi

Berdasarkan Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA

Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kemendag

(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Gambar 6.6 memperlihatkan bahwa selain instansi penerbit SKA yang

berlokasi di wilayah Jakarta, penerbitan SKA Form IJ-EPA tertinggi sepanjang

tahun 2008-2010 terjadi pada IPSKA Provinsi Jawa Timur, Provinsi Bali, Provinsi

Jawa Tengah, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Jawa Barat. Tingginya

penerbitan SKA Form IJ-EPA di kelima IPSKA tersebut disebabkan kelimanya

berlokasi di daerah yang menjadi sumber penggerak perekonomian Indonesia.

131

Selain itu, kelima IPSKA tersebut merupakan IPSKA yang telah otomasi (online)

dalam menerbitkan SKA, khususnya SKA Form IJ-EPA. Merujuk dari penjelasan

tersebut, maka tim kajian menentukan daerah survei di Surabaya, Semarang,

Denpasar, Medan, dan Bandung. Selanjutnya Manado dipilih menjadi daerah

survei sebagai pembanding IPSKA yang masih sedang dalam proses otomasi atau

manual (offline).

PROP. JATIM23.3%

PROP. DKI JAKARTA

15.6%

PROP. BALI8.6%

JAKTIM7.1%

JAKBAR7.0%PROP. JATENG

6.9%

PROP. SUMUT5.7%

JAKPUS4.9%

OTORITA BATAM3.8%

PROP. JABAR3.5%

Lain-lain13.6%

2008

PROP. JATIM20.2%

PROP. DKI JAKARTA

15.1%

PROP. BALI10.2%

PROP. JATENG7.3%

JAKBAR6.4%

JAKTIM6.2%

PROP. SUMUT6.0%

JAKPUS5.8%

PROP. JABAR4.3%

OTORITA BATAM3.0%

Lain-lain15.4%

2009

PROP. JATIM19.5%

PROP. DKI JAKARTA

15.1%

PROP. BALI8.6%

JAKTIM7.2%

PROP. JATENG7.0%

PROP. SUMUT6.8%

JAKBAR5.8%

JAKPUS5.8%

PROP. JABAR4.8%

KAB. BEKASI2.9%

Lain-lain16.6%

2010

Gambar 6.6 Perkembangan Penerbitan SKA Form IJ-EPA Berdasarkan

Sepuluh IPSKA Utama di Indonesia

Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kemendag

(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Selain mempelajari data sekunder, tim kajian juga melakukan diskusi,

wawancara, dan Focus Group Discussion (FGD) bersama pelaku usaha yang

bergerak pada industri yang menjadi fokus kajian.

Berdasarkan hasil temuan lapangan di daerah sampel, hampir tiga perempat

pelaku yang tim wawancarai yang bergerak dalam industri Pengolahan dan

Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya, industri Cokelat dan Kembang

Gula, industri Barang dari Plastik, industri Furnitur, dan industri Tekstil dan

Produk Tekstil telah melakukan kegiatan ekspor ke Jepang selama lebih dari tiga

tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa para responden tersebut telah melakukan

ekspor ke Jepang jauh sebelum disepakatinya kesepakatan perdagangan bebas

antara Indonesia dengan Jepang melalui IJ-EPA yang mulai diberlakukan sejak

tanggal 1 Juli 2008. Sisanya adalah pelaku usaha yang melakukan kegiatan

ekspor ke Jepang pasca diberlakukannya IJ-EPA. Lebih dari setengah pelaku

132

usaha yang tim wawancarai telah mengetahui hingga sangat memahami tentang

kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, sedangkan sisanya hanya pernah

mendengar dan tidak mengetahui tentang IJ-EPA. Dari segi pemahaman akan tarif

preferensi IJ-EPA sebagaimana tergambar dalam Gambar 6.7, sebanyak 25,6

persen pelaku usaha tidak mengetahui tentang adanya tarif preferensi IJ-EPA dan

pemanfaatannya. Ketidaktahuan tersebut disebabkan oleh ketidakpedulian para

pelaku usaha sebagai eksportir akan manfaat tarif preferensi IJ-EPA. Manfaat

keringanan tarif bea masuk preferensi IJ-EPA dinikmati oleh pihak pembeli atau

importir dari Jepang.

Pemahaman

tentang Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA

Pemahaman

tentang Tarif Preferensi IJ-EPA

Pemahaman

tentang Persyaratan dan

Prosedur Penerbitan SKA

Form IJ-EPA

23.1 25.612.8

17.9 17.9

15.4

46.2 43.6

43.6

7.7 7.7

12.8

2.6 2.65.1

2.6 2.6 10.3

Tidak Menjawab

Sangat Paham

Paham

Tahu

Pernah Mendengar

Tidak Tahu

Gambar 6.7 Pemahaman tentang Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA,

Tarif Preferensi IJ-EPA, dan Persyaratan dan Prosedur Penerbitan

SKA Form IJ-EPA

Sumber: data primer (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Dari pelaku usaha yang tim wawancarai sebanyak 23,1 persen tidak

mengetahui tentang persyaratan dan prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA.

Ketidaktahuan responden tersebut karena mereka menggunakan jasa perusahaan

Ekspedisi Muatan Kapal Laut (EMKL) dalam penerbitan SKA Form IJ-EPA.

Alasan lainnya adalah masih adanya importir dari Jepang yang menginginkan

penggunaan SKA Form A dan tarif bea masuk untuk produk tertentu telah nol

persen sebelum diimplementasikannya IJ-EPA.

Penerbitan SKA Form IJ-EPA membutuhkan waktu satu hari kerja dari

penerimaan berkas aplikasi penerbitan SKA Form IJ-EPA yang lengkap dengan

biaya penggantian aplikasi SKA Form IJ-EPA sebesar Rp. 5.000,-. Namun dalam

prakteknya, biaya penerbitan SKA Form IJ-EPA beragam di berbagai daerah

133

survei. Gambar 6.8 menunjukkan bahwa hanya sebesar 25,6 persen dari total

responden yang mengeluarkan biaya penerbitan SKA Form IJ-EPA sesuai dengan

ketentuan resmi sebesar Rp. 5.000,-. Sementara sekitar 23,1 persen dikenakan

biaya penerbitan SKA Form IJ-EPA sebesar Rp. 5.001 – Rp. 50.000, Rp. 50.001-

Rp. 70.000 (2,6 persen), dan biaya sesuai dengan ketentuan perusahaan EMKL

(5,1 persen). Sekitar 43,6 persen dari total responden enggan menjawab mengenai

pengenaan biaya penerbitan SKA Form IJ-EPA.

Rp. 5.000 (sesuai dengan ketentuan

resmi)25.6%

Rp. 5.001- Rp. 50.00023.1%

Rp. 50.001-Rp.70.000

2.6%

Biaya sesuai dengan ketentuan perusahaan EMKL

5.1%

Tidak menjawab43.6%

Gambar 6.8 Biaya Penerbitan SKA Form IJ-EPA

di Berbagai Daerah Survei di Indonesia

Sumber: Data primer (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Secara keseluruhan, dalam proses penerbitan SKA Form IJ-EPA sekitar 64,1

persen dari pelaku usaha yang tim wawancari menghadapi berbagai kendala.

Beberapa kendala utama yang dianggap menghambat dalam proses penerbitan

SKA Form IJ-EPA sebagaimana terlihat dalam Gambar 5.6, antara lain

keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang terdapat di berbagai IPSKA (28,2

persen), keenganan pencantuman struktur biaya dalam SKA Form IJ-EPA (25,6

persen), dan pemilihan kode HS yang sesuai (23,1 persen), dan kurangnya

sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA (20,5 persen).

Keterbatasan SDM yang memiliki pemahaman tentang persyaratan dan

prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA dan kompeten dalam bidangnya menjadi

suatu permasalahan tersendiri, baik bagi IPSKA yang telah melakukan otomasi

secara online maupun IPSKA yang masih melakukan penerbitan SKA Form IJ-

EPA secara manual (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi

Utara, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Bitung, Dinas Perindustrian dan

134

Perdagangan Kabupaten Gianyar). Sementara pencantuman struktur biaya dalam

SKA Form IJ-EPA menjadi hambatan bagi sebagian pelaku usaha karena dengan

pencantuman struktur biaya akan berpengaruh terhadap pajak yang harus

dibayarkan.

Pemilihan kode HS yang sesuai untuk dicantumkan dalam aplikasi SKA

Form IJ-EPA menjadi suatu permasalahan yang membingungkan bagi para pelaku

usaha yang tim wawancarai. Kadangkala importir Jepang meminta para pelaku

usaha untuk mencantumkan kode HS nasional Jepang dalam aplikasi SKA Form

IJ-EPA guna kepentingan tarif preferensi IJ-EPA. Adanya perbedaan dalam kode

HS nasional Indonesia (10 digit) dengan kode HS nasional Jepang (9 digit) dan

perbedaan dalam uraian barang tidak dapat secara langsung dapat dikonversikan ke

dalam HS nasional Jepang. Di samping itu, keterbatasan pengetahuan para

responden dan petugas IPSKA menjadi penyebab lain dalam penentuan kode HS

yang tepat. Untuk mengatasi permasalahan perbedaan kode HS dan pemilihan kode

HS yang tepat, maka selama ini digunakan kode HS nasional Indonesia dalam

aplikasi SKA Form IJ-EPA.

Minimnya sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA dirasakan oleh 20,5 persen

menjadi suatu kendala dalam proses penerbitan SKA Form IJ-EPA di berbagai

daerah. Hal ini terkait dengan masih terdapatnya pelaku usaha yang tidak

mengetahui mengenai kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, tarif preferensi IJ-

EPA, dan persyaratan serta prosedur penerbitan SKA.

135

15.4

12.8

25.6

23.1

15.4

17.9

28.2

17.9

12.8

20.5

84.6

87.2

74.4

76.9

74.4

82.1

71.8

82.1

87.2

79.5

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Masih terdapatnya penggunaan SKA Form A untuk …

Kurang beragamnya produk ekspor ke Jepang

Keengganan mencantumkan struktur biaya

Pemilihan kode HS yang sesuai

Perubahan spesimen tanda tangan

Pergantian pejabat yang berwenang

SDM di IPSKA yang terbatas

Fasilitas pendukung dalam penerbitan SKA

Biaya penerbitan SKA

Kurang sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA

Ada Kendala Tidak Ada Kendala

Gambar 6.9 Persepsi Responden tentang Ada/Tidaknya Kendala dalam

Pemanfaatan dan Proses Penerbitan SKA Form IJ-EPA

Sumber: Data primer (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Kendala dalam pengimplementasian kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA

yang didapatkan dari hasil survei, wawancara, dan FGD bersama para pelaku

usaha di beberapa daerah dapat diperlihatkan dalam Tabel 6.1.

Tabel 6.1 Matriks Kendala dalam Pengimplementasian Kesepakatan

Perdagangan Bebas IJ-EPA

Kendala dalam

Pengimplementasian IJ-EPA

Medan Denpasar Manado Bandung Surabaya Semarang

Penentuan pemilihan kode HS yang sesuai

1 2 6 3

Perubahan spesimen tanda

tangan

2 4 8 8

Mutasi pejabat berwenang

dalam verifikasi penerbitan SKA Form IJ-EPA

3 7 4

Keterbatasan fasilitas

pendukung dalam penerbitan

SKA Form IJ-EPA

5 3 10 5

Kurangnya sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA

1 5 3 6

Biaya penerbitan SKA Form IJ-

EPA

9 9

Keterbatasan sumber daya

manusia di IPSKA

8 4 2 1

Keengganan mencantumkan struktur biaya

1 2

Kurang beragamnya produk

ekspor ke Jepang

1 5 10

Masih terdapatnya penggunaan

SKA Form A untuk ekspor ke Jepang

3 7 1 4 7

Proses Penerbitan SKA Form

IJ-EPA masih dilakukan secara

manual

6

(Disperindag

Kab. Gianyar)

2

(Disperindag

Provinsi Sulut dan

Kota Bitung)

Sumber: Data primer (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

136

6.1.1 Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi di

Surabaya

Berdasarkan data Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor Kementerian

Perdagangan, penerbitan SKA Form IJ-EPA oleh Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Provinsi Jawa Timur sepanjang tahun 2008-2010 cenderung

meningkat. Pada tahun 2010, jumlah SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan

naik 10,7 persen dibanding dengan tahun 2009. Peningkatan jumlah

penerbitan SKA Form IJ-EPA tersebut tidak dibarengi oleh kenaikan nilai

ekspor ke Jepang yang memanfaatkan SKA Form IJ-EPA. Nilai SKA

Form IJ-EPA Provinsi Jawa Timur pada tahun 2010 hanya mencapai US$

625,6 juta, turun satu persen dari tahun sebelumnya (Gambar 6.10).

3,780

9,357

10,354

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

0

100

200

300

400

500

600

700

2008 2009 2010le

mba

r

juta

US$

Nilai SKA Form IJ-EPA Jumlah

Gambar 6.10 Perkembangan Penerbitan SKA Form IJ-EPA

Provinsi Jawa Timur Tahun 2008-2010

Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri,

Kemendag (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Produk Krustasea (Udang), Tekstil dan Produk Tekstil, Furnitur, Barang

dari Plastik, dan Ikan merupakan komoditi utama ekspor Provinsi Jawa

Timur ke Jepang yang memanfaatkan fasilitas SKA Form IJ-EPA. Dari

Gambar 5.8 dapat dilihat bahwa produk Ikan mengalami pertumbuhan

yang tinggi pada tahun 2010 sebesar 120,2 persen. Dari catatan Dit.

Fasilitasi Ekspor dan Impor Kementerian Perdagangan, produk Kakao dan

Kakao Olahan bukan komoditi utama ekspor Provinsi Jawa Timur ke

Jepang. Meskipun ekspor produk Kakao dan Kakao Olahan Provinsi Jawa

Timur ke Jepang mengalami pertumbuhan sebesar 179,5 persen pada

137

tahun 2010, nilai ekspor produk Kakao dan Kakao Olahan hanya mencapai

US$ 1 juta.

129.8

104.4

79.8

51.2

49.4

40.1

36.0

34.1

31.0

11.1

73.9

131.7

79.3

34.7

11.2

43.2

35.5

25.4

48.5

5.0

60.5

56.6

92.1

19.4

2.6

27.4

8.8

10.1

18.3

4.0

0 20 40 60 80 100 120 140

KAYU OLAHAN

KRUSTASEA

BAHAN KIMIA ORGANIK

TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT)

ANEKA PRODUK KIMIA

FURNITURE

KACA

MAKANAN OLAHAN

BARANG PLASTIK

IKAN

juta US$

2010

2009

2008

75.8

-20.8

0.7

47.3

339.9

-7.3

1.4

34.0

-36.2

120.2

22.1

132.8

-13.9

79.1

327.5

57.7

301.9

152.2

165.3

26.7

-100 -50 0 50 100 150 200 250 300 350 400

Pertumbuhan (%)

2010/2009

2009/2008

Gambar 6.11 Komoditi Utama Ekspor Provinsi Jawa Timur ke Jepang

Berdasarkan Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA Tahun 2008-2010

Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kemendag

(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Dari hasil wawancara dan FGD dengan pelaku usaha di Surabaya, Provinsi

Jawa Timur, sebagian besar pelaku usaha di berbagai jenis industri belum

memahami kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, baik tarif preferensi

IJ-EPA dan persyaratan serta prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA

sehingga dari sebagian besar pelaku usaha tersebut belum memanfaatkan

keberadaan SKA Form IJ-EPA secara maksimal. Diketahui pula bahwa

selama ini sebagian besar pelaku usaha di Surabaya melakukan

pengurusan penerbitan SKA Form IJ-EPA melalui pihak ketiga, yakni

perusahaan EMKL.

Adapun beberapa kendala utama yang dihadapi dalam proses penerbitan

SKA Form IJ-EPA oleh sebagian besar pelaku usaha di Surabaya adalah

keenganan mencantumkan struktur biaya dalam persyaratan penerbitan

SKA Form IJ-EPA, kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang

memiliki kapasitas dan kemampuan dalam menangani proses penerbitan

138

SKA Form IJ-EPA di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa

Timur, dan kurangnya sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA.

6.1.2 Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi di

Denpasar

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali mencatat bahwa

jumlah SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan pada tahun 2010 sebanyak

4.574 lembar, tiga kali lipat dari tahun 2008 atau sekitar 96,8 persen dari

jumlah penerbitan SKA Form IJ-EPA pada tahun 2009. Sementara periode

Januari-April 2011 jumlah SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan oleh Dinas

Perindustrian dan Perdagangan sebanyak 1.605 lembar (Gambar 6.12).

Menurut pemanfaatan SKA Form IJ-EPA, nilai realisasi ekspor Provinsi

Bali ke Jepang pada tahun 2010 mencapai US$ 26,9 juta, turun sebesar

77,2 persen dari tahun 2009. Nilai realisasi ekspor tersebut juga lebih

rendah daripada tahun 2008 sebesar US$ 31,6 juta. Penurunan realisasi

ekspor tersebut disebabkan oleh anomali cuaca yang mengganggu proses

ekspor dan adanya penurunan ekspor beberapa komoditi akibat kesulitan

dalam memperoleh bahan baku, terutama untuk produk Furnitur,

Anyaman, Perhiasan Logam Mulia, dan Tekstil dan Produk Tekstil

(Gambar 6.12).

Dibandingkan dengan SKA preferensi FTA lainnya, penerbitan SKA Form

IJ-EPA di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali pada tahun

2010 menempati peringkat pertama dengan pangsa sebesar 65,5 persen

sebagaimana tergambar dalam Gambar 6.12. Hal ini terjadi karena Jepang

merupakan negara tujuan utama ekspor Provinsi Bali. Kendatipun

demikian pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dinilai belum optimal karena

masih terdapatnya sejumlah pelaku usaha produk Furnitur yang masih

menggunakan SKA Form A. Selain itu, sejumlah pelaku usaha di Provinsi

Bali masih belum mengetahui kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA.

139

1,403

4,7254,574

1,605

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

4,000

4,500

5,000

0

20

40

60

80

100

120

140

2008 2009 2010 Jan-Apr 2011

lem

ba

r

juta

US

$

Nilai Jumlah

Form ATIGA/D

22.8%

Form E6.9%

Form AK4.6%

Form AI0.2%

Form IJ-EPA65.5%

2010

Gambar 6.12 Perkembangan Penerbitan SKA Form IJ-EPA dan Pangsa

Penerbitan SKA Preferensi Provinsi Bali

Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali (diolah Puska Daglu,

BPPKP, Kemendag).

Produk Ikan, Tekstil dan Produk Tekstil, Furnitur, dan Barang dari Plastik

termasuk ke dalam komoditi utama ekspor Provinsi Bali ke Jepang. Dari

Gambar 6.13 ditunjukkan bahwa produk Barang dari Plastik dan produk

Ikan mengalami pertumbuhan sebesar 188,4 persen dan 69,2 persen.

Meskipun Provinsi Bali mengekspor produk Udang (Krustasea) dan Kakao

dan Kakao Olahan ke Jepang, kedua komoditi tersebut bukanlah komoditi

utama karena nilainya kecil.

1,234.8

348.8

673.6

18,483.0

314.5

91.7

20.7

37.7

10,035.5

96.7

4,330.4

11,455.7

1,899.6

3,373.3

92,018.0

2,805.5

335.6

186.3

195.7

793.9

7,329.0

6,144.2

3,372.0

2,468.3

2,345.7

1,163.9

631.5

565.5

435.1

347.9

0 10,000 20,000 30,000 40,000 50,000 60,000 70,000 80,000 90,000 100,000

IKAN

TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT)

BARANG DARI KULIT SAMAK

KAYU OLAHAN

FURNITURE

ANYAMAN

ALAS KAKI

BARANG DARI BATU

PERHIASAN IMITASI

PERHIASAN LOGAM MULIA

ribu US$

2008 2009 2010

250.7

3,184.4

182.0

-81.7

29,158.0

2,960.0

1,521.5

394.3

-98.0

721.0

69.2

-46.4

77.5

-26.8

-97.5

-58.5

88.2

203.6

122.3

-56.2

-5,000 0 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000 30,000 35,000

Pertumbuhan (%)

2009/2008 2010/2009

Gambar 6.13 Komoditi Utama Ekspor Provinsi Bali ke Jepang

Berdasarkan Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA Tahun 2008-2010

Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali (diolah Puska Daglu,

BPPKP, Kemendag).

140

Beberapa kendala yang ditemukan dalam kaitannya dengan pemanfaatan

SKA Form IJ-EPA dan kinerja ekspor di Provinsi Bali, antara lain adanya

keterbatasan referensi yang dimiliki oleh IPSKA dalam kegiatan pemilihan

kode HS yang akan digunakan dalam penentuan klasifikasi barang yang

akan diekspor, terjadinya mutasi yang relatif sering pada pejabat yang

berwenang yang bertugas untuk memverifikasi SKA Form IJ-EPA. Untuk

IPSKA yang belum otomasi, khususnya Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Kab. Gianyar, kendala yang dihadapi adalah masih belum

terkapitulasinya data mengenai penerbitan SKA Form IJ-EPA dengan

baik.

6.1.3 Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi di

Semarang

Penerbitan SKA Form IJ-EPA oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Provinsi Jawa Tengah sepanjang tahun 2008-2010 cenderung meningkat.

Pada tahun 2008 jumlah SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan sebanyak

1.116 lembar dengan nilai sebesar US$ 35,3 juta. Kemudian pada tahun

2009 naik sekitar dua kali lipat menjadi sebanyak 3.376 lembar dengan

nilai sebesar US$ 96 juta. Peningkatan penerbitan SKA Form IJ-EPA

terjadi pula pada tahun 2010 hingga menjadi sebanyak 3.709 lembar

dengan nilai US$ 121,3 juta. Meskipun mengalami peningkatan dalam

penerbitan SKA Form IJ-EPA, Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Provinsi Jawa Tengah masih menemukan penggunaan SKA Form A dalam

ekspor ke Jepang. Yang menjadi dasar pertimbangan pemanfaatan SKA

Form A adalah permintaan importir Jepang. Hal ini mengakibatkan belum

optimalnya pemanfaatan SKA Form IJ-EPA.

141

1,116

3,376

3,709

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

4,000

0

20

40

60

80

100

120

140

2008 2009 2010

lem

bar

juta

US$

Nilai Jumlah

Gambar 6.14 Perkembangan Penerbitan SKA Form IJ-EPA

Provinsi Jawa Tengah Tahun 2008-2010

Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali (diolah Puska Daglu,

BPPKP, Kemendag).

Produk Tekstil dan Produk Tekstil, Barang dari Plastik, Udang

(Krustasea), Furnitur, dan Ikan merupakan komoditi utama ekspor

Provinsi Jawa Tengah ke Jepang. Nilai ekspor produk Tekstil dan Produk

Tekstil pada tahun 2009 sebesar US$ 17,2 juta sedangkan tahun 2010

sebesar US$ 26,2 juta. Untuk produk Barang dari Plastik, nilai ekspor pada

tahun 2009 dan 2010 berturut-turut sebesar US$ 10,2 juta dan US$ 13,3

juta. Meskipun nilai ekspor produk Tekstil dan Produk Tekstil dan Barang

dari Plastik Provinsi Jawa Tengah ke Jepang naik pada tahun 2009-2010,

pangsa ekspor kedua komoditi tersebut menurun pada periode yang sama

(Gambar 6.15). Hal ini terjadi karena ada lonjakan nilai ekspor beberapa

komoditi utama lainnya.

142

KAYU OLAHAN36.8%

TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT)

20.9%

BARANG PLASTIK16.6%

MAKANAN OLAHAN6.0%

KRUSTASEA5.2%

FURNITURE3.5%

MESIN DAN PERALATAN ELEKTRIS

3.2%

REMPAH-REMPAH2.2%

GULA DAN KEMBANG GULA1.4% BARANG DARI

LOGAM TIDAK MULIA

0.8%

IKAN0.8%

LAINNYA2.6%

2008

KAYU OLAHAN40.0%

TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT)

17.9%

BARANG PLASTIK10.6%

KRUSTASEA8.0%

FURNITURE4.8%

MESIN DAN PERALATAN ELEKTRIS

3.4%

REMPAH-REMPAH2.6%

MAKANAN OLAHAN2.5%

GULA DAN KEMBANG GULA2.3% SAYURAN

2.1%

IKAN1.1%

LAINNYA4.5%

2009

KAYU OLAHAN18.0%

TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT)

11.5%

BARANG PLASTIK5.8%

KRUSTASEA2.9%

MAKANAN OLAHAN2.5%

FURNITURE2.2% GULA DAN KEMBANG

GULA2.1%MESIN DAN PERALATAN

ELEKTRIS1.9%

REMPAH-REMPAH1.0%

SAYURAN1.0%

IKAN0.9%

LAINNYA50.0%

2010

Gambar 6.15 Pangsa Ekspor Komoditi Utama Provinsi Jawa Tengah

Menurut Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA

Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali (diolah Puska Daglu,

BPPKP, Kemendag).

Dari hasil wawancara, diskusi, dan FGD dengan para pelaku usaha di

Semarang maupun pihak Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi

Jawa Tengah, tim kajian menemukan bahwa lebih dari 40 persen pelaku

usaha telah melakukan kegiatan ekspor ke Jepang sebelum disepakatinya

kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA sedangkan sisanya melakukan

kegiatan ekspor ke Jepang pasca implementasi IJ-EPA. Sekitar 75 persen

dari pelaku usaha telah mengetahui tentang kesepakatan perdagangan

bebas IJ-EPA, sedangkan sisanya tidak mengetahui. Sama halnya dengan

hasil temuan di Surabaya, ketidaktahuan dari para pelaku usaha tersebut

karena mereka menunjuk perusahaan EMKL dalam melakukan proses

penerbitan SKA Form IJ-EPA. Dua pertiga pelaku usaha telah mengetahui

pemanfaatan tarif preferensi IJ-EPA dan prosedur penerbitan SKA Form

IJ-EPA.

Kendala utama yang ditemui oleh para pelaku usaha di Semarang yang

menjadi responden adalah keterbatasan SDM dalam IPSKA dan

keenganan mencantumkan struktur biaya. Secara umum, sebagian besar

pelaku usaha tidak menemui kendala dalam penerbitan SKA Form IJ-EPA

sebagaimana yang ditunjukkan oleh Gambar 6.16.

143

83.3

91.7

66.7

75.0

83.3

75.0

50.0

75.0

83.3

75.0

16.7

8.3

33.3

25.0

16.7

25.0

50.0

25.0

16.7

25.0

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Masih terdapatnya penggunaan SKA Form A …

Kurang beragamnya produk ekspor ke Jepang

Keengganan mencantumkan struktur biaya

Pemilihan kode HS yang sesuai

Perubahan spesimen tanda tangan

Pergantian pejabat yang berwenang

SDM di IPSKA yang terbatas

Fasilitas pendukung dalam penerbitan SKA

Biaya penerbitan SKA

Kurang sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA

Tidak Kendala Ada Kendala

Gambar 6.16 Persepsi Responden tentang Ada/Tidaknya

Kendala dalam Pemanfaatan dan Proses Penerbitan SKA Form IJ-EPA di

Provinsi Jawa Tengah

Sumber: data primer (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

6.1.4 Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi di

Medan

Sebagai salah satu IPSKA yang telah otomasi (online) dalam proses

penerbitan SKA Form IJ-EPA di Indonesia, Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Provinsi Sumatera Utara telah menerbitkan SKA Form IJ-

EPA sebanyak 3.708 lembar pada tahun 2010, turun 7,3 persen dari tahun

2009. Dibandingkan dengan jumlah SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan di

Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2008 sebanyak 2.364 lembar, tentu

saja pada tahun 2010 mengalami lonjakan yang tinggi. Pada periode

Januari-Februari 2011 jumlah SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan

sebanyak 592 lembar. Nilai SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan oleh

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Utara pada tahun

2010 mencapai US$ 231,5 juta sedangkan pada periode Januari-Februari

2011 sebesar US$ 44,7 juta. Perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan

dalam pencatatan data yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Provinsi Sumatera Utara dengan Dit. Fasilitasi Ekspor dan

Impor Kementerian Perdagangan.

144

Dari SKA preferensi yang diterbitkan oleh Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Provinsi Sumatera Utara, pada tahun 2010 jumlah penerbitan

SKA Form IJ-EPA menduduki posisi ke-3 setelah penerbitan SKA Form

ATIGA dan Form E. Akan tetapi jika dibandingkan dengan total SKA

yang diterbitkan baik preferensi maupun bukan preferensi, penerbitan

SKA Form IJ-EPA ada di peringkat ke-4 setelah jumlah penerbitan SKA

Form A, Form B, dan Form D/ATIGA (Gambar 6.17).

47.0 45.5 41.5

21.2 24.219.5

21.724.2

26.2

10.2 6.110.7

2.1

0%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

2008 2009 2010

Form D/ATIGA (AFTA) Form E (AC-FTA) Form IJ-EPA Form AK (AK-FTA) Form AI (AI-FTA)

Gambar 6.17 Pangsa Pemanfaatan SKA Preferensi

Provinsi Sumatera Utara

Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera Utara (diolah Puska

Daglu, BPPKP, Kemendag).

Hasil rekapitulasi data yang dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Provinsi Utara menunjukkan bahwa produk Barang dari

Plastik, Ikan dan Udang, Furnitur termasuk ke dalam komoditi utama

ekspor Provinsi Sumatera Utara ke Jepang dengan pemanfaatan SKA

Form IJ-EPA pada tahun 2010 dengan pangsa masing-masing sebesar 16,8

persen (US$ 38,8 juta), 14,2 persen (US$ 32,9 juta), dan 1,3 persen (US$

3,1 juta). Pada periode Januari-Februari 2011 pangsa ketiga komoditi

tersebut secara berturut-turut sekitar 11,2 persen (US$ 5 juta), 0,7 persen

(US$ 301,6 ribu), dan 1,4 persen (US$ 616,6 ribu).

Dari catatan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sumatera

Utara masih ditemui penggunaan SKA Form A dalam kegiatan ekspor ke

Jepang pada tahun 2010, meskipun jumlahnya lebih rendah daripada

145

penggunaan SKA Form IJ-EPA. Penggunaan SKA Form A ke Jepang

dikarenakan adanya permintaan importir dari Jepang, khususnya untuk

produk Lemak dan Minyak Hewan/Nabati; Kopi, Teh dan Rempah-

rempah; Bahan Kimia Organik; Ikan dan Udang (khususnya Kerang);

Berbagai Makanan Olahan; Kayu dan Barang dari Kayu; Daging dan Ikan

Olahan; dan Sayuran (Umbi-umbian). Dengan pertimbangan bahwa

dengan menggunakan SKA Form A tarif bea masuk MFN di Jepang lebih

rendah dibandingkan dengan tarif preferensi IJ-EPA.

Berdasarkan hasil temuan lapang di Medan, Provinsi Sumatera Utara

diketahui bahwa sebagian besar pelaku usaha telah mengetahui tentang

kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, tarif preferensi IJ-EPA, dan

prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA. Beberapa pelaku usaha yang tim

kajian temui dan wawancarai menyatakan bahwa pemilihan kode HS yang

sesuai dan spesimen tanda tangan menjadi kendala utama dalam proses

penerbitan SKA Form IJ-EPA.

6.1.5 Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi di

Bandung

Perkembangan pemanfaatan SKA Form IJ-EPA di Provinsi Jawa Barat

dianggap cukup menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 5.15

di mana jumlah dan nilai SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan oleh Dinas

Provinsi Jawa Barat setiap tahunnya meningkat selama periode 2008-

2010. Produk TPT mendominasi penerbitan SKA Form IJ-EPA di Provinsi

Jawa Barat. Kemudian diikuti oleh produk Barang dari Plastik yang

menjadi produk utama (Gambar 6.18).

146

573

2,011

2,527

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

0

20

40

60

80

100

120

2008 2009 2010

lem

bar

juta

US$

Nilai Jumlah

Gambar 6.18 Perkembangan Penerbitan SKA Form IJ-EPA

di Provinsi Jawa Barat

Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian

Perdagangan (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

2008 2009 2010

TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) 27,665.1 61,093.2 98,727.4

BARANG PLASTIK 492.6 2,703.0 3,385.7

ALAS KAKI 585.6 2,346.5 1,980.9

BARANG DARI KULIT SAMAK 317.2 1,459.9 1,407.6

KARET DAN BARANG DARI KARET 122.0 427.2 1,395.8

T E H 536.1 3,647.7 990.8

TEMBAGA DAN PRODUKNYA 152.9 467.3 459.8

ALUMINIUM DAN PRODUKNYA 90.3 578.9 447.9

PULP 67.8 91.6 104.7

0

20,000

40,000

60,000

80,000

100,000

120,000

rib

u U

S$

Gambar 6.19 Komoditi Utama Provinsi Jawa Barat Berdasarkan

Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA

Sumber: Dit. Fasilitasi Ekspor dan Impor, Ditjen Perdagangan Luar Negeri, Kementerian

Perdagangan (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Bertolak dari hasil survei, wawancara, dan diskusi dengan pelaku usaha

produk TPT di Bandung, tim kajian menyimpulkan bahwa pada umumnya

sebagian pelaku usaha yang bergerak di bidang industri TPT telah

147

memahami tentang keberadaan SKA Form IJ-EPA guna mendapatkan

preferensi tarif dalam kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA. Diketahui

pula bahwa sebagian pelaku usaha telah memanfaatkan preferensi tarif

tersebut dan menggunakan SKA Form IJ-EPA dalam melakukan ekspor

dan impornya ke/dari Jepang. Namun demikian, masih terdapatnya juga

pelaku usaha yang tidak memanfaatkan SKA Form IJ-EPA karena selama

ini telah memanfaatkan adanya fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor

(KITE), yaitu apabila suatu perusahaan melakukan impor suatu produk

dengan tujuan untuk diekspor kembali maka akan mendapatkan

pengembalian bea masuk.

6.1.6 Pemanfaatan SKA Form IJ-EPA dan Kendala Implementasi di

Manado

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Utara dan Dinas

Perindustrian dan Perdagangan Kota Bitung merupakan dua IPSKA yang

masih dalam proses otomasi. Dari hasil rekapitulasi data yang dilakukan

oleh kedua IPSKA tersebut, jumlah penerbitan SKA Form IJ-EPA pada

tahun 2010 sebanyak sembilan lembar dengan nilai ekspor US$ 1,7 juta.

Jumlah penerbitan SKA tersebut turun jika dibandingkan dengan tahun

2009 yang mencapai 13 lembar dengan nilai ekspor mencapai ¥ 132,8 juta.

Pangsa penerbitan SKA Form IJ-EPA yang diterbitkan lebih sedikit jika

dibandingkan SKA preferensi FTA lainnya. Hal ini terkait dengan relatif

terbatasnya komoditi di Provinsi Sulawesi Utara yang diekspor ke Jepang.

Adapun komoditi utama Provinsi Sulawesi Utara yang diekspor ke Jepang

hanya terbatas pada komoditi Ikan dan produk Ikan, di mana Manado dan

Kota Bitung merupakan sentra untuk industri tersebut.

Keterbatasan jaringan internet dan kompetensi yang dimiliki oleh SDM di

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Utara dan Dinas

Perindustrian dan Perdagangan Kota Bitung menjadi kendala tersendiri

dalam proses penerbitan SKA, khususnya SKA Form IJ-EPA. Sistem

148

otomasi masih belum berjalan dengan lancar sehingga verifikasi SKA

dilakukan secara manual.

6.2 Pemanfaatan SKA JI-EPA dan Kendala dalam Implementasi

Sejak diimplementasikannya kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA pada

pertengahan tahun 2008, pemanfaatan SKA Form JI-EPA yang digunakan untuk

kegiatan importasi dari Jepang menunjukan peningkatan yang sangat drastis.

Gambar 6.20 memperlihatkan bahwa pada tahun 2008 SKA Form JI-EPA yang

diterbitkan oleh pihak Jepang hanya sebanyak 3.490 lembar, kemudian dalam

perkembangannya pada tahun 2009 dan 2010 penerbitan SKA Form JI-EPA

meningkat masing-masing menjadi 26.599 unit dan 48.564 unit.

3,490

26,599

48,564

14,078

0

10,000

20,000

30,000

40,000

50,000

60,000

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

2008 2009 2010 Jan-Mar 2011

lem

bar

juta

US$

Nilai Impor Jumlah Dokumen

Gambar 6.20 Perkembangan Pemanfaatan SKA Form JI-EPA

Tahun 2008-2010 dan Jan-Mar 2011

Sumber: Dit. Informasi Kepabeanan dan Cukai, Ditjen Bea dan Cukai, Kemendag (diolah

Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Selain dari peningkatan jumlah SKA, nilai importasinya juga dapat dilihat

mengalami lonjakan yang cukup tinggi. Nilai importasi pada awal implementasi

kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA hanya sebesar US$ 382,9 juta, kemudian

nilai tersebut telah meningkat menjadi US$ 1,28 milliar di tahun 2009 dan US$

2,9 miliar tahun 2010. Periode Januari-Maret 2011 nilai importasi dari Jepang

mencapai US$ 907,3 juta.

149

Gambar 6.21 menunjukkan bahwa lebih dari 90 persen impor barang dari

Jepang yang menggunakan SKA Form JI-EPA masuk melalui Pelabuhan Tanjung

Priok (Provinsi DKI Jakarta), sedangkan sisanya tersebar di berbagai pelabuhan

bongkar lainnya. Impor barang dari Jepang melalui Pelabuhan Tanjung Priok

mengalami peningkatan setiap tahunnya sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel

5.18. Pada tahun 2008 arus barang impor melalui Pelabuhan Tanjung Priok

mencapai 82,8 ribu ton, naik lebih dua kali lipat pada tahun 2009. Kemudian pada

tahun 2010 impornya sebanyak 579,5 ribu ton. Periode Januari-Maret 2011

volume impor barang dari Jepang melalui Pelabuhan Tanjung Priok telah

mencapai 84,3 persen dari volume impor pada tahun 2009 (Tabel 6.2).

2008 2009 2010 Jan-Mar 2011

Tanjung Priok 358,040.8 1,160,447.2 2,656,175.1 798,705.8

Tanjung Perak 8,193.3 53,475.5 136,879.0 51,290.4

Merak 16,091.7 48,279.5 98,587.0 32,030.9

Cengkareng / Sukarno Hatta 506.2 6,691.0 14,046.4 5,867.2

Tanjung Emas 0.0 3,615.3 7,090.6 3,995.3

Belawan 112.6 2,665.2 3,536.4 2,243.6

Gresik 0.0 0.0 1,957.1 1,631.9

Surabaya /Juanda (u) 0.0 87.9 1,817.7 34.5

Balikpapan 0.0 1,448.2 1,795.6 847.1

Jambi 0.0 130.0 401.7 0.0

Perawang, Sumatra 0.0 0.0 285.3 14.4

Semarang (ptt) 0.0 0.0 47.7 52.6

Cigading 0.0 2,083.7 0.0 4,919.7

Tanjung Leneng 0.0 0.0 0.0 5,656.1

0

500,000

1,000,000

1,500,000

2,000,000

2,500,000

3,000,000

Nila

i im

po

r (r

ibu

US$

)

Gambar 6.21 Perkembangan Nilai Impor dari Jepang dengan Penggunaan

SKA Form JI-EPA Berdasarkan Pelabuhan Bongkar

Sumber: Dit. Informasi Kepabeanan dan Cukai, Ditjen Bea dan Cukai, Kemendag (diolah

Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

150

Tabel 6.2

Perkembangan Volume Impor dari Jepang dengan Penggunaan

SKA Form JI-EPA Menurut Pelabuhan Bongkar Pelabuhan Bongkar 2008 2009 2010 Jan-Mar 2011

Tanjung Priok 82,843.2 261,126.7 579,518.5 220,005.3

Merak 17,660.6 56,890.2 86,421.7 26,700.4

Tanjung Perak 1,006.1 20,481.8 58,717.5 21,705.4

Tanjung Emas 0.0 2,606.6 2,593.1 1,756.6

Gresik 0.0 0.0 2,104.4 959.9

Belawan 17.2 993.0 1,013.4 531.0

Cengkareng / Sukarno Hatta 17.5 58.0 336.1 27.3

Balikpapan 0.0 203.9 214.0 94.4

Jambi 0.0 100.0 209.2 0.0

Semarang (ptt) 0.0 0.0 20.6 103.0

Surabaya /juanda (u) 0.0 0.9 1.4 1.8

Cigading 0.0 1,922.3 0.0 2,900.6

Perawang, Sumatra 0.0 0.0 0.0 0.0

Tanjung Leneng 0.0 0.0 0.0 573.8 Sumber: Dit. Informasi Kepabeanan dan Cukai, Ditjen Bea dan Cukai, Kemendag

diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

Dominasi impor Indonesia yang menggunakan SKA Form JI-EPA berasal

dari impor produk dalam HS 84 Mesin-Mesin/Pesawat Mekanik, HS 87-

Kendaraan dan Bagiannya, HS 85 Mesin/Peralatan Listrik, HS 72 Besi dan Baja,

HS 40 Karet dan Barang dari Karet, dan HS 39 Plastik dan Barang dari Plastik

(Tabel 6.3). Tingginya impor produk-produk tersebut karena adanya keterikatan

perusahaan Indonesia dengan perusahaan Jepang.

Tabel 6.3

Sepuluh Komoditi Utama Produk Impor Indonesia dari Jepang

Berdasarkan Pemanfaatan SKA Form JI-EPA

HS Deskripsi Barang 2008 2009 2010 Jan-Mar 2011

84 Mesin-mesin/Pesawat Mekanik 133.2 261.3 822.2 265.4

87 Kendaraan dan Bagiannya 24.2 331.8 617.3 161.6

72 Besi dan Baja 152.1 241.2 537.6 149.6

40 Karet dan Barang dari Karet 13.0 89.3 217.6 68.2

39 Plastik dan Barang dari Plastik 5.7 71.3 137.5 42.8

85 Mesin/peralatan listrik 11.8 65.5 128.4 35.4

29 Bahan kimia organik 18.2 70.6 124.5 66.6

55 Serat Stapel Buatan 5.5 28.5 45.8 10.9

78 Timah hitam 3.8 5.9 36.0 15.5

73 Benda-benda dari Besi dan Baja 3.0 14.4 34.8 11.0 Sumber: Dit. Informasi Kepabeanan dan Cukai, Ditjen Bea dan Cukai, Kemendag

(diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag).

151

6.3 Studi Kasus Pemanfaatan SKA Form JI-EPA dan IJ-EPA di Jepang

IJ-EPA bagi Jepang merupakan salah satu dari dua belas perjanjian kemitraan

ekonomi (Economic Partnership Agreement, EPA) yang bersifat bilateral dan

telah diimplementasikan. Kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA berimplikasi

terhadap meningkatnya kinerja perdagangan antara Jepang dengan Indonesia.

Ministry of Economy, Trade, and Industry (METI) Jepang mencatat bahwa ekspor

Jepang ke Indonesia pada tahun 2007 (sebelum diimplementasikannya IJEPA)

mencapai ¥ 766,9 miliar, sedangkan pada tahun 2010 sebesar ¥ 1,4 triliun. Tren

ekspor Jepang ke Indonesia selama tahun 2008-2010 mengalami penurunan

sebesar 2,6 persen. Beberapa komoditi ekspor utama Jepang ke Indonesia yang

mengalami kenaikan secara signifikan pasca diimplementasikannya IJEPA adalah

produk Mesin (HS 84) dari senilai ¥ 262,2 miliar pada tahun 2007 menjadi ¥

449,3 miliar pada tahun 2010, Elektronik (HS 85) senilai 574 juta menjadi ¥ 170,

1 miliar, dan Otomotif (HS 87) dari senilai ¥ 111,6 miliar menjadi ¥ 150,4 miliar.

Produk Otomotif menjadi salah satu komoditi ekspor utama Jepang ke Indonesia

karena perusahaan Otomotif Indonesia memiliki keterkaitan dengan perusahaan

Jepang (Tokyo Customs). Dalam Gambar 8. Ekspor Jepang ke Indonesia pada

tahun 2010 didominasi oleh produk Mesin (33,5 persen), Besi dan Baja (16,1

persen), Barang-barang Industri Kimia (13,3 persen), Mesin Elektrik (12,7

persen), dan Mobil (11,2 persen).

Mesin 33.5%

Besi dan Baja 16.1%Barang-barang

Industri Kimia

13.3%

Mesin Elektrik 12.7%

Mobil 11.2%

Logam 5.6%

Instrumen Presisi 2.4%

Produk-produk Tekstil 1.6%

Lainnya 3.7%

Ekspor Jepang ke Indonesia (2010) 1.3 triliun Yen

Minyak bumi dan Bahan Bakar46.8%

Produk Mineral14.3%

Barang-barang Industri Kimia8.3%

Logam7.1%

Mesin Elektrik5.5%

Produk Pertanian4.0%

Mesin

2.4%

Produk Tekstil2.3%

Produk Perikanan2.3%

Produk Kayu2.1% Mobil

1.3%

Barang-barang

beraneka macam1.0%

Lainnya

2.6%

Impor Jepang dari Indonesia (2010) 2.5 triliun Yen

Gambar 6.22 Kinerja Perdagangan Jepang-Indonesia Tahun 2010

Sumber: METI Japan

152

7,5836,423

7,669

15,625

9,183

14,824

0

2,000

4,000

6,000

8,000

10,000

12,000

14,000

16,000

18,000

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Ekspor Jepang ke Indonesia (ratus juta Yen)

1,381

1,019 1,116

2,860

771

1,504

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Mobil (HS 87)

2,660

2,088

2,622

4,374

2,591

4,493

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

3,000

3,500

4,000

4,500

5,000

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Mesin (HS 84) (ratus juta Yen)

534430

574

2,053

1,180

1,701

0

500

1,000

1,500

2,000

2,500

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Elektronik (HS 85)(ratus juta Yen)

Gambar 6.23 Perkembangan Ekspor Jepang ke Indonesia

Tahun 2005-2010 Sumber: METI Japan.

Sementara itu, beberapa komoditi yang diimpor Jepang dari Indonesia setelah

diimplementasikannya IJ-EPA pada umumnya mengalami penurunan

dibandingkan dengan sebelum IJEPA berlaku. Penurunan impor Jepang dari

Indonesia tersebut terjadi pada produk Furnitur (HS 94), Barang dari Plastik (HS

39), Tekstil (HS 50-63), Ikan dan Krustasea (HS 3), Udang (HS 030613).

Sebaliknya, impor Kakao (HS 18) Jepang dari Indonesia justru mengalami

kenaikan setelah diberlakukannya IJEPA. Impor Jepang dari Indonesia pada tahun

2010 mencapai ¥ 2,5 triliun dengan didominasi produk Minyak Bumi dan Bahan

Bakar (46,8 persen), produk Mineral (14,3 persen), Barang-barang Industri Kimia

(8,3 persen), Logam (7,1 persen), dan Mesin Elektrik (5,5 persen) dalam Gambar

6.24.

153

2005 2006 2007 2008 2009 2010

Furnitur (HS 94) 230 238 248 236 215 220

Plastik (HS 39) 411 442 467 456 317 383

Kakao (HS 18) 13 8 6 6 11 10

Tekstil (HS 50-63) 536 597 606 592 465 560

Ikan dan Krustasea (HS 3) 640 647 640 609 547 558

Udang (HS 030613) 437 460 409 366 307 304

0

100

200

300

400

500

600

700ra

tus

juta

Ye

n

Gambar 6.24. Perkembangan Impor Beberapa Produk Tertentu Jepang dari

Indonesia Tahun 2005-2010

Sumber: METI Japan.

Gempa bumi dan tsunami yang melanda Jepang pada Triwulan I 2011 dinilai

oleh METI Jepang berdampak terhadap perkembangan perdagangan Jepang-

Indonesia. Ekspor Jepang ke Indonesia mengalami penurunan, terutama ekspor

produk Otomotif, Elektronik, dan Makanan. Hal ini disebabkan oleh rusaknya

sentra industri produk-produk tersebut akibat bencana yang melanda.

Kekhawatiran masyarakat terhadap tercemarnya produk-produk yang diproduksi

di daerah bencana karena penyebaran radiasi nuklir menjadi penyebab

menurunnya ekspor Makanan. Dari segi impor, sejalan dengan naiknya kebutuhan

produk Makanan akibat bencana yang melanda Jepang impor produk Makanan

dari Indonesia mengalami peningkatan.

Berdasarkan keterangan perwakilan Tokyo Customs, pada tahun 2011

pemerintah Jepang sedang melakukan penyeragaman format dalam persyaratan

dan prosedur penerbitan COO untuk berbagai FTA/EPA yang dijalin dengan mitra

dagangnya guna meminimalisir perbedaan yang ada. Instansi yang berwenang

menerbitkan SKA di Jepang adalah Japan Chamber of Commerce and Industry

(JCCI) yang memiliki 21 kantor cabang yang tersebar di Sapporo, Sendai,

154

Kurobe, Chiba, Tokyo, Yokohama, Hamamatsu, Shimizu, Fuji, Nagoya,

Gamagori, Toyokawa, Yokkaichi, Fukui, Kyoto, Osaka, Kobe, Hiroshima,

Fukuyama, Takamatsu, Fukuoka. Adapun persyaratan untuk memperoleh baik

COO Form JI-EPA maupun COO preferensi serta non-preferensi lainnya adalah

para eksportir harus melakukan registrasi terlebih dahulu melalui situs JCCI

dengan melampirkan fotokopi pendaftaran yang disertifikasi oleh kantor

pendaftaran pemerintah, notifikasi pendaftaran spesimen tanda tangan, dan

notifikasi informasi dalam bahasa Inggris yang akan dicetak dalam COO.

Kemudian para eksportir melakukan aplikasi penentuan originalitas melalui situs

website JCCI dan mengirimkan data yang dibutuhkan. Pada tahap akhir, para

eksportir mengirimkan aplikasi penerbitan COO Form JI-EPA melalui situs JCCI

dengan melampirkan informasi tambahan berupa invoice atau dokumen termasuk

B/L dan melakukan pemeriksaan langsung di tempat eksportir. Jangka waktu

penerbitan COO Form JI-EPA adalah 1-2 hari kerja, sedangkan biaya penerbitan

COO Form JI-EPA sebesar ¥ 2.000 dan biaya tambahan sebesar ¥ 500 untuk

setiap produk setelah produk yang tercantum dalam COO melebihi 21 produk.

Ditinjau dari segi pemanfaatan, jumlah COO Form JI-EPA yang telah

diterbitkan oleh Jepang mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah COO

Form JI-EPA yang diterbitkan sebanyak 6.579 lembar pada tahun 2008, 16.013

lembar (2009), dan 23.672 lembar (2010). Sementara itu, berdasarkan data Kobe

Chamber of Commerce and Industry (KCCI) sebagai perwakilan regional JCCI di

Kobe menunjukkan bahwa penerbit COO Form JI-EPA terbanyak pada tahun

2010 ditempati oleh Tokyo (65,6 persen), Osaka (15,7 persen), Nagoya (8,4

persen), Yokohama (6,8 persen), dan Kobe (3,5 persen). Sejak

diimplementasikannya IJ-EPA, jumlah COO yang diterbitkan oleh KCCI

mengalami peningkatan setiap tahunnya. Jumlah penerbitan COO Form JI-EPA

pada tahun 2010 naik sebesar 72,9 persen dibandingkan dengan tahun

sebelumnya, yakni dari 602 lembar menjadi 1.041 lembar. Produk-produk utama

yang diekspor dari wilayah Kobe ke Indonesia berupa produk industri Sabuk (23

persen), Bagian-bagian Mesin (21 persen), Paper diapers (19 persen), dan Suku

Cadang Otomotif (16 persen).

155

Keterlambatan notifikasi perubahan spesimen tanda tangan dan stempel,

perbedaan uraian barang, dan klasifikasi kode HS dianggap oleh pihak Tokyo

Customs sebagai faktor-faktor penyebab penolakan SKA Form IJ-EPA.

Sementara penolakan COO Form JI-EPA oleh petugas Kepabeanan Indonesia

lebih disebabkan oleh lebih cepatnya tanggal penerbitan COO dibandingkan

dengan tanggal pengiriman barang. Permasalahan lain yang menghambat dalam

pemanfaatan COO Form JI-EPA adalah belum adanya pertukaran data antara

Indonesia dengan Jepang.

Dari segi tarif preferensi JI-EPA, rata-rata perbedaan tarif preferensi JI-EPA

cenderung rendah. Perbedaan tarif antara sebelum dan sesudah diberlakukannya

IJ-EPA untuk produk Furnitur, Barang dari Plastik, dan Udang masing-masing

sebesar 4,8persen, 6,5persen, dan 1persen. Rendahnya perbedaan tersebut terjadi

karena pada dasarnya tarif MFN Jepang sebelum kesepakatan IJ-EPA sudah

rendah atau bahkan nol persen. Perbedaan tarif preferensi JI-EPA yang cukup

tinggi terjadi untuk produk Kakao (29,8persen), Ikan dan Krustasea (15persen),

dan Tekstil dan Produk Tekstil (14,2persen).

Dalam memasyarakatkan kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA,

pemerintah Jepang menyediakan informasi melalui link khusus EPA/FTA dalam

situs METI, menyebarluaskan brosur dan pamflet, mengadakan seminar tentang

EPA setiap tahunnya, mendirikan poin kontak, bekerjasama dengan Japan

External Trade Organization (JETRO) dan JCCI.

6.4 Studi Kasus Kesepakatan Perdagangan Bebas Bilateral Malaysia-Jepang

Malaysia merupakan salah satu negara yang melakukan kesepakatan

perdagangan bebas secara bilateral dengan Jepang melalui Malaysia-Japan

Economic Partnership Agreement (MJ-EPA) yang mulai berlaku efektif sejak 13

Juli 2006. Sama halnya dengan IJ-EPA, MJ-EPA adalah strategi kemitraan yang

bertujuan mempererat hubungan ekonomi melalui kerjasama, liberalisasi, fasilitasi

perdagangan, dan investasi di antara kedua negara.

Adapun unsur-unsur utama dalam kesepakatan perdagangan bebas MJ-EPA

meliputi beberapa sektor, yakni Industrial Goods, Agricultural, Forestry and

156

Fishery Products, Customs Procedures, Trade in Services, Investment,

Cooperation, Intellectual Property, Controlling Anti-competitive Activities,

Technical Regulations, Standards and Conformity Assessment Procedures,

Sanitary and Phytosanitary Measures, Enhancement of Business Environment.

Yang membedakan unsur utama yang terdapat dalam MJEPA dengan IJ-EPA

adalah adanya Technical Regulations, Standards and Conformity Assessment

Procedures, dan Sanitary and Phytosanitary Measures di mana ketiga unsur

tersebut tidak tercakup di dalam kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA.

Dibandingkan dengan IJ-EPA, jangka waktu implementasi konsesi tarif yang

disepakati dalam MJ-EPA lebih panjang (lebih dari sepuluh tahun) dengan

fleksibilitas produk sensitif yang dipilih. Jangka waktu implementasi konsensi

tarif dalam IJ-EPA hanya selama lima tahun (2008-2012).

Skema kesepakatan perdagangan bebas MJ-EPA yang mulai diberlakukan

pada 13 Juli 2006 memunculkan peningkatan kinerja perdagangan Malaysia-

Jepang mengalami secara signifikan. Neraca perdagangan Malaysia-Jepang yang

semula mengalami defisit perdagangan yang cukup tinggi sebelum disepakatinya

MJ-EPA, pada tahun 2008 dan Januari-Agustus 2011 mengalami surplus

perdagangan dengan nilai sebesar RM 6,5 miliar dan 7,3 miliar. Ekspor Malaysia

ke Jepang cenderung mengalami kenaikan pasca implementasi MJ-EPA dengan

tren sebesar 4,8 persen, kecuali pada tahun 2009 dan Januari-Agustus 2011. Pada

tahun 2008 ekspor Malaysia ke Jepang mencapai level tertinggi pasca MJ-EPA

sebesar RM 71,7 miliar. Gempa bumi dan tsunami yang melanda Jepang pada 11

Maret 2011 sangat berpengaruh terhadap ekspor Malaysia ke Jepang. Penyebab

utamanya adalah keterkaitan antara bahan baku impor dan produk Listrik dan

Elektronik yang diekspor Malaysia ke Jepang. Kondisi tersebut tercermin dari

turunnya nilai ekspor Malaysia ke Jepang pada periode Januari-Agustus 2011

sebesar RM 50 miliar di mana nilai tersebut lebih rendah dibandingkan dengan

tahun 2010 sebesar RM 66,5 miliar. Adapun komoditi ekspor utama Malaysia ke

Jepang berupa produk Listrik dan Elektronik, Minyak Kelapa Sawit (CPO), Bahan

Kimia dan Produk Kimia, dan Gas Alam Cair (LNG). Sebaliknya, impor Malaysia

dari Jepang cenderung menurun pasca MJ-EPA (2006-2010) dengan tren sebesar

157

0,9 persen. Pada Januari-Agustus 2011 impor Malaysia dari Jepang sebesar RM

42,8 miliar. Nilai tersebut jauh lebih rendah dibandingkan dengan impor Malaysia

dari Jepang pada tahun 2003, yakni sebesar RM 54 miliar (Gambar 6.25).

42.548.6 49.9 52.2 55.1

71.7

54.2

66.5

50.054.0

63.7 63.0 63.665.6 65.2

54.4

66.7

42.8

-11.5-15.2 -13.1 -11.4 -10.5

6.5

-0.1 -0.2

7.3

-20

-10

0

10

20

30

40

50

60

70

80

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Jan-Ags

2011

mil

iar

RM

Ekspor Impor Neraca

Gambar 6.25 Perkembangan Kinerja Perdagangan Malaysia-Jepang

Tahun 2003-2011 (Januari-Agustus)

Sumber: MITI Malaysia

Ditinjau dari perkembangan pangsa, setelah diimplementasikannya MJ-EPA

pangsa ekspor Jepang mengalami kenaikan dari semula 9,35 persen pada tahun

2005 menjadi 11 persen pada periode Januari-Agustus 2011. Makin tingginya

pangsa ekspor Malaysia ke Jepang menunjukkan semakin banyaknya produk-

produk Malaysia yang dapat terserap di pasar Jepang. Pada periode Januari-

Agustus 2011 Jepang menduduki peringkat ke-3 dalam negara tujuan ekspor

Malaysia. Posisi Jepang tersebut masih tetap sama dengan tahun 2005 (sebelum

diterapkannya MJ-EPA). Sebaliknya, pangsa impor Jepang mengalami penurunan

dari 13,1 persen pada tahun 2005 menjadi 11,4 persen pada periode Januari-

Agustus 2011.

158

9.3510.80

11.00

13.10

14.65

11.40

0

2

4

6

8

10

12

14

16

2005 2006 2007 2008 2009 2010 Jan-Ags 2011

Pe

rse

nta

se

Pangsa Ekspor Pangsa Impor

Gambar 6.26 Perkembangan Pangsa Ekspor dan Impor Malaysia –Jepang

Tahun 2005-2011 (Januari-Agustus)

Sumber: MITI Malaysia

Terkait dengan prosedur dan proses penerbitan Surat Keterangan Asal

(Certificate of Origin, COO) dalam skema MJ-EPA, penerbitan COO Form MJ-

EPA dilakukan oleh Ministry of Trade and Industry (MITI) Malaysia dan tujuh

cabangnya yang tersebar di negara bagian Penang, Perak, Kelantan, Sabah,

Sarawak, Johor, dan Pahang. Dalam penerbitan COO Form MJ-EPA, terdapat

beberapa dokumen yang dipersyaratkan yaitu surat pengesahan cost analysis dari

MITI Malaysia, formulir pendaftaran COO yang telah dilengkapi, kuitansi

penjualan, bill of lading, formulir deklarasi kepabeanan (K2), dan formulir BAK 1

(a) – 1(c). Untuk mendapatkan formulir pendaftaran COO Form MJ-EPA, para

eksportir dapat melakukan pendaftaran di Federation Malaysian Manufacture

(FMM) dengan melampirkan keseluruhan dokumen yang dipersyaratkan secara

online dengan biaya RM 10 dan kemudian akan diterbitkan oleh MITI. Proses

penerbitan COO Form MJ-EPA membutuhkan waktu dua hari kerja dari

penerimaan berkas aplikasi yang lengkap.

159

Gambar 6.27. Bagan Alur Kerja Proses Penerbitan COO Form MJ-EPA

Sumber: MITI Malaysia.

Untuk pengesahan cost analysis diperlukan beberapa dokumen, yakni

formulir pendaftaran cost analysis, Form BAK 1(a)-1(c), rincian informasi

mengenai perusahaan yang memproduksi/eksportir dan informasi produk,

sertifikat pendaftaran perusahaan, invoice, katalog produk/foto/sampel, analisis

biaya dari produk, kuitansi pembelian bahan baku, dan diagram alur proses

produksi. Surat notifikasi akan dikeluarkan dalam waktu tujuh hari kerja. Gambar

6.28 memperlihatkan alur proses pengesahan cost analysis.

Gambar 6.28 Bagan Alur Proses Pengesahan Cost Analysis

Sumber: MITI Malaysia.

160

Dari segi pemanfaatan COO dalam skema MJ-EPA, MITI Malaysia mencatat

bahwa pemanfaatan COO Form MJ-EPA tertinggi dibandingkan dengan

pemanfatan COO preferensi untuk kesepakatan perdagangan bebas bilateral

Malaysia dengan negara lainnya (Malaysia-Pakistan Comprehensive Economic

Partnership Agreement (MPCEPA), Malaysia-New Zealand Free Trade

Agreement (MNZFTA), Malaysia-Chile Free Trade Agreement. Tingginya

pemanfaatan tersebut dikarenakan selalu dilakukannya sosialisasi kepada para

eksportir Malaysia baik yang berada di Kuala Lumpur maupun negara-negara

bagian lainnya dan tersedianya situs khusus untuk mengedukasi para eksportir.

Royal Malaysian Custom Department mencatat bahwa komoditi ekspor utama

Malaysia ke Jepang yang memanfaatkan Form MJ-EPA adalah produk Listrik dan

Elektronik dan Oleo Kimia, sedangkan komoditi impor utama Malaysia dari

Jepang yang memanfaatkan Form JM-EPA adalah produk Elektronik.

6.5 Studi Kasus Kesepakatan Perdagangan Bebas Bilateral Thailand-Jepang

Thailand telah menyepakati empat kesepakatan perdagangan bebas bersifat

bilateral, yang salah satunya di antaranya adalah Japan-Thailand Economic

Partnership Agreement (JT-EPA) yang mulai diberlakukan pada 1 November

2007. Kesepakatan perdagangan bebas tersebut meliputi Trade in Goods, Rules of

Origin of Products, Trade in Services, Investment and the Movement of Natural

Persons, Cooperation.

Bidang kerjasama (cooperation) mencakup sembilan area (Agriculture,

Forestry and Fisheries, Education and Human Resource Development,

Enhancement of the Business Environment, Financial Services, Information and

Communication Technology, Science, Technology, Energy and the Environment,

Small and Medium Enterprises, Tourism, dan Trade and Investment Promotion

dan tujuh proyek kerjasama (Kitchen of the World Project, Japan-Thailand Steel

Industry Cooperation Programme, Automotive Human Resources Development

Institute Project, Energy Conservation Project, Value-creation Economy Project,

Public-private Partnership, dan Cooperative Project in the Textile and Garment

Industry).

161

Trade in Goods. Tarif mencakup 99,51 persen barang yang diimpor dari

Jepang pada tahun 2006, dengan jumlah sebesar 99,49 persen dari nilai total

perdagangan impor barang dari Jepang, telah diturunkan atau dihilangkan, atau

menerima sejumlah kuota khusus dari Jepang. Pada saat yang sama, tarif yang

meliputi 92,95 persen dari ekspor Thailand ke Jepang dikurangi atau dihilangkan

atau diberikan kuota khusus, terdiri dari 98,06 persen dari semua pos tarif untuk

ekspor Thailand ke Jepang pada tahun 2006. Adapun barang-barang Thailand

yang telah sepenuhnya dihilangkan tarifnya meliputi Batu Permata dan Perhiasan,

Tekstil dan Pakaian Jadi, Barang Petrokimia, Produk Plastik, dan Bahan Makanan

(termasuk Udang dan Udang yang diolah, diawetkan dan dibekukan, atau Udang

rebus dan Udang, Kacang-kacangan, Sayuran (Okra, Buah Zaitun, Kentang,

Asparagus), Buah-buahan Segar Dingin dan Beku (Durian, Pepaya, Mangga,

Manggis, Kelapa), Pati Singkong, dan Kentang baik diiris ataupun dalam bentuk

pelet. Sementara itu, barang-barang Thailand yang dikenakan kuota oleh Jepang

terdiri dari Pisang dan Nanas Segar, Daging Babi Olahan, Sirup, dan Tepung

Singkong. Untuk barang-barang Jepang yang telah dieliminasi tarifnya mencakup

Bahan Pangan (termasuk beberapa Ikan segar dingin atau beku, Kepiting, Udang

segar dan Udang diolah, diawetkan, dan dibekukan, atau Udang rebus dan Udang,

Buah-buahan Iklim seperti Apel, Persik, Pir, Plum dan berbagai buah berry),

Permata dan Perhiasan, Tekstil dan Pakaian Jadi, Baja dan Produk Baja,

sedangkan barang-barang Jepang yang diberlakukan kuota oleh Thailand meliputi

Kentang, Bawang besar dan biji, Bawang Putih, Kopra, Lada, Biji Kedelai,

Minyak Kedelai, Kelapa, Kopi, Teh, Beras, Minyak Kelapa Sawit, Minyak

Kelapa, Kopi Instan, Lengkeng, Gula, Susu Bubuk Bebas Lemak, Susu

Dilarutkan, dan Besi dan Produk Besi.

Services. Thailand telah berkomitmen mengizinkan Jepang untuk mendirikan

perusahaan dan menyediakan jasa dalam 14 subkategori wajib dalam perjanjian

WTO, sedangkan Jepang telah berkomitmen untuk mengizinkan pemerintah

Thailand mendirikan perusahaan dan menyediakan jasa, dan/atau untuk bekerja

menyedikan jasa di Jepang di bawah 65 subkategori terikat di bawah perjanjian

WTO dan telah menyesuaikan lebih dari 70 subkategori tambahan.

162

Investment. Thailand telah berkomitmen untuk mengizinkan Jepang dan

warga negara Jepang untuk memegang saham hingga 50 persen dalam perusahaan

produksi Otomotif (di mana sisa kepemilikan sahamnya dimiliki oleh orang

Thailand), dan perusahaan yang didirikan tidak diharuskan untuk meminta

perizinan operasional perusahaan. Pemerintah Jepang telah berkomitmen untuk

meliberalisasi keseluruhan wilayah investasi bagi investor Thailand, dengan

pengecualian industri yang terlibat dalam produksi Farmasi, Ruang Angkasa dan

Aeronautika, Minyak Bumi, Energi, Penyiaran, Pertambangan, Perikanan,

Pertanian, Kehutanan, dan Industri Dasar yang terkait.

Movement of Natural Persons. Thailand dan Jepang telah sepakat untuk

melonggarkan pembatasan dan memfasilitasi masuk dan tinggal sementara bagi

warga negara kedua negara untuk melakukan pekerjaan dalam kondisi tertentu.

Berdasarkan Department of Foreign Trade Ministry of Commerce Thailand,

perkembangan realisasi ekspor Thailand ke Jepang dengan penggunaan Form JT-

EPA selama periode tahun 2008–2010 menunjukkan peningkatan. Hal ini sebagai

akibat dari turunnya tarif bea masuk dalam rangka JT-EPA. Dengan adanya

peningkatan ekspor tersebut, maka pada giliranya akan dapat mendorong

peningkatan kesejahteraan sosial bagi negara mitra FTA. Ekspor Thailand yang

menggunakan Form JT-EPA pada tahun 2008 tercatat senilai US$ 4,5 miliar

(sekitar 22,4 persen dari total ekspor Thailand ke Jepang), sedangkan pada tahun

2010 ekspornya naik menjadi US$ 4,8 miliar (sekitar 23,4 persen dari total ekspor

Thailand ke Jepang). Sepuluh produk utama yang mendominasi ekspor Thailand

ke Jepang meliputi Daging Ayam yang diawetkan, Udang yang diawetkan,

Polyethylene Teraphalate, Udang Beku, Dextrin (produk dari Tapioka), Tepung-

tepungan, Fillet Ikan, Leaf Spring (bagian kendaraan bermotor), Karung Semen,

Polimer etilen, Struktur dan Bagian dari Aluminium. Dari segi impor, sejak

diimplementasikanya kerjasama JT-EPA, impor Thailand dari Jepang yang

menggunakan Form JT-EPA selama tahun 2008-2010 terus mengalami

peningkatan. Pada tahun 2008 impor Thailand yang menggunakan Form JT-EPA

tercatat senilai US$ 2,1 miliar (sekitar 6,2 persen dari total impor Thailand dari

Jepang, sedangkan pada tahun 2010 impornya naik menjadi US$ 3,9 miliar

163

(sekitar 10,2 persen dari total impor Thailand dari Jepang). Sepuluh komoditi

utama yang diimpor Thailand dari Jepang dengan menggunakan Form JT-EPA

terdiri dari Besi/Alloy Gulung Canai Panas, Besi/Alloy Gulung Canai Panas

dengan ketebalan < 0,5 mm, Gear Box, Kendaraan Bermotor Berpenumpang ≥ 10,

Plat Baja Alloy dengan ketebalan < 3 mm, Plat Baja Non Alloy dengan ketebalan

< 3 mm, Plat Baja/Alloy dengan ketebalan < 3 mm, Plat Baja Non Alloy dengan

ketebalan 3 mm-4,75 mm, Kendaraan Bermotor Berpenumpang 30 orang atau

lebih yang didesain untuk keperluan di Bandara Udara, Kawat/Batang Baja,

Peralatan Instrumentasi untuk Kontrol. The Custom Department of Thailand

menyampaikan bahwa tidak pernah terjadi penolakan barang impor dari Jepang

yang masuk ke Thailand, demikian juga barang ekspor Thailand ke Jepang.

Gempa bumi dan tsunami yang melanda Jepang pada tanggal 11 Maret 2011 tidak

berpengaruh terhadap kegiatan ekspor dan impor Thailand.

Department of Foreign Trade Ministry of Commerce Thailand merupakan

instansi yang berwenang untuk mengeluarkan COO Preferensi, khususnya

JTEPA. Proses penerbitan COO Form JT-EPA di Thailand hanya memerlukan

waktu selama 30 menit dengan biaya THB 3.400 per COO dengan catatan

keseluruhan persyaratan telah dilengkapi. Sebelum COO diterbitkan oleh

Department of Foreign Trade Ministry of Commerce Thailand, dilakukan

verifikasi aplikasi COO. Penggunaan Form JT-EPA dalam kegiatan ekspor

Thailand ke Jepang mencapai 9,2 persen atau menempati peringkat ke-6 dari total

penggunaan preferensi sebanyak 15 preferensi. Pada Januari-Agustus 2011

penggunaan Form JT-EPA menduduki peringkat ke-5 dari total preferensi (20)

dengan pangsa 10,3 persen. Dalam rangka mendorong penggunaan COO Form

JT-EPA, The Custom Department of Thailand bekerjasama dengan Ministry of

Commerce of Thailand telah melakukan sosialisasi, seminar dan publikasi melalui

internet guna menyebarluaskan informasi tentang JT-EPA.

164

BAB VII

ANALISIS DAMPAK KESEPAKATAN PERDAGANGAN BEBAS

TERHADAP DAYA SAING PRODUK MANUFAKTUR INDONESIA

Analisis dampak implementasi kesepakatan perdagangan bebas Indonesia

Jepang terhadap daya saing produk manufaktur Indonesia menggunakan data

produk berdasarkan HS 2007 yang terdapat dalam Lampiran I kesepakatan

perdagangan bebas IJ-EPA, namun diagregasikan dalam HS 6 digit sehingga

diperoleh produk sebanyak 4.471 pos tarif. Selanjutnya dipilih produk yang

merupakan hasil industri manufaktur. Kemudian, sebagai fokus kajian dipilih

produk-produk berdasarkan hasil kombinasi nilai ekspor industri manufaktur non

migas, analisis daya saing (Constant Market Share Analysis, CMSA), dan

dinamisasi kinerja ekspor (Export Product Dynamics, EPD) serta

mempertimbangkan pemanfaatan fasilitas Surat Keterangan Asal (SKA). Adapun

produk-produk tersebut adalah sebagai berikut:

1. Fillet Ikan dan Daging Ikan Lainnya (Ikan) - HS 0304.29 dan HS. 0304.99

2. Udang Kecil dan Udang Biasa (Udang) - HS 0306.13

3. Mentega, Lemak, dan Minyak Kakao (Kakao Olahan) - HS 1804.00

4. Garmen dari Kain dari pos 56.02 atau 56.03 (Garmen) - HS 6210.10

5. Perabotan Kayu Lainnya (Furnitur) - HS 9403.60

6. Sak dan Kantong (termasuk cone) dari Polimer Etilena (Barang dari Plastik) -

HS 3923.21

Keenam produk tersebut adalah produk yang memiliki penurunan daya saing

setelah implementasi kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA di pasar Jepang.

Beberapa produk di antaranya seperti produk Furnitur, Udang, Ikan, dan Kakao

Olahan merupakan produk yang berbahan baku dari alam.

165

7.1 Analisis Dampak Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA terhadap

Daya Saing Produk Industri Manufaktur Indonesia Berdasarkan Pangsa

Pasar

Berdasarkan hasil analisis export product dynamics (EPD), untuk Tekstil dan

Produk Tekstil, khususnya garmen, daya saing produk tersebut masuk dalam

kategori falling sebelum IJ-EPA diimplementasikan, yaitu permintaan pasar

Jepang akan produk ini menurun tetapi ekspor Indonesia meningkat. Setelah IJ-

EPA diimplementasikan, kategori daya saingnya adalah retreat, yaitu permintaan

akan produk tersebut di pasar Jepang menurun dan ekspor Indonesia ke Jepang

juga menurun.

Untuk produk Furnitur dengan HS 9403.60, baik sebelum maupun sesudah

implementasi IJ-EPA, posisi daya saingnya adalah retreat yang berarti baik

permintaan akan produk tersebut maupun ekspor Indonesia untuk produk tersebut

ke Jepang menurun.

Sebelum IJEPA diimplementasikan, kategori daya saing untuk produk Plastik

dan Barang dari Plastik berada pada posisi retreat, sedangkan setelah IJ-EPA

diimplementasikan posisinya tetap pada kategori retreat. Hal ini mengindikasikan

bahwa permintaan produk Plastik dan Barang dari Plastik tersebut menurun dan

ekspor kita juga menurun ke pasar Jepang.

Adapun untuk produk Udang dengan HS 0306.13, sebelum dan sesudah

implementasi IJ-EPA, daya saingnya berdasarkan EPD berada pada posisi retreat,

yaitu permintaan turun dan ekspor Indonesia ke Jepang juga menurun.

Produk Ikan yang dikaji dalam kajian ini terdiri dari 2 pos tarif, yaitu HS

0304.29 dan HS 0304.99. Untuk HS 0304.29, daya saingnya sebelum dan sesudah

IJ-EPA adalah falling yaitu permintaan pasar Jepang akan produk tersebut turun

tetapi ekspor Indonesia meningkat ke pasar Jepang. Sedangkan untuk HS 0304.99

posisi daya saingnya adalah berada pada kategori rising sebelum IJ-EPA

diimplementasikan yaitu permintaan pasar Jepang akan produk tersebut

meningkat dan ekspor Indonesia ke Jepang juga meningkat. Tetapi setelah

implementasi IJ-EPA, posisi daya saingnya menjadi falling yaitu ekspor tetap

meningkat walaupun permintaan pasar Jepang untuk produk tersebut turun.

166

Untuk produk Kakao Olahan dengan HS 1804.00, posisi daya saingnya

sebelum IJ-EPA diimplementasikan adalah lost opportunities yaitu permintaan

akan produk tersebut meningkat tetapi ekspor Indonesia ke Jepang justru menurun

sehingga kita tidak memanfaatkan peluang yang ada. Setelah implementasi IJ-

EPA, posisi daya saingnya menjadi retreat yaitu permintaan menjadi turun akan

produk tersebut dipasar Jepang dan ekspor Indonesia juga menurun.

Gambar 7.1 Matriks EPD Sebelum Implementasi Kesepakatan

Perdagangan Bebas IJ-EPA

Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)

Gambar 7.2 Matriks EPD Setelah Implementasi Kesepakatan

Perdagangan Bebas IJ-EPA

Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)

167

Di samping menggunakan EPD sebagai alat analisis untuk mengukur daya

saing produk manufaktur Indonesia, dilakukan juga perhitungan indeks analisis

CMSA. Secara umum hasil analisis CMSA memperlihatkan bahwa produk-

produk unggulan ekspor Indonesia di pasar Jepang dinilai berdasarkan positif dan

negatifnya. Hasil perhitungan tersebut dapat ditunjukkan pada Tabel 7.1.

Tabel 7.1 Nilai Indeks Hasil Analisis CMSA Beberapa HS Terpilih

HS DESCRIPTION NILAI CMSA KATEGORI

0304.29 Fish fillets&other fish meat (excl. 0.000015 Berdaya Saing

0304.99 Fish fillets&other fish meat (excl. 0.000010 Berdaya Saing

1804.00 Cocoa butter, fat & oil 0.000007 Berdaya Saing

0306.13 Shrimps & prawns, whether/not

fini sh

(0.000058) Penurunan Daya

Saing

6210.10 Garments made up of fabrics of

56.0

0.000001 Berdaya Saing

9403.60 Furniture 0.000038 Berdaya Saing

3923.21 Sacks & bags (incl. cones), of

poly

(0.000006) Penurunan Daya

Saing

Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)

Tabel 7.1 di atas belum mampu memperlihatkan besarnya apa saja faktor

yang mempengaruhi perubahan nilai ekspor Indonesia ke pasar Jepang (atau nilai

Impor Jepang dari Indonesia). Dengan kata lain, belum adanya analisis

dekomposisi dari CMSA.

Secara teoritis, perubahan nilai Impor Jepang dari Indonesia memiliki tiga

komponen utama, yaitu:

1. Peningkatan impor Jepang secara keseluruhan atau peningkatan ekspor dunia

ke Jepang secara keseluruhan

2. Kompoisisi komoditas impor Jepang dari seluruh negara.

3. Sisanya yang tidak dapat dijelaskan merupakan efek daya saing yang

mengindikasikan perbedaan antara ekspor dunia aktual dengan peningkatan

secara hipotetis jika ekspor dunia dari masing-masing negara ke pasar Jepang

tersebut menjaga pangsa pasar ekspornya untuk setiap kelompok komoditi.

168

Secara total, impor Jepang dari Indonesia mencapai US$ 28,1 miliar pada

tahun 2010, meningkat dibandingkan dengan tahun 2007 yang mencapai US$ 26,5

miliar. Beberapa produk kita, seperti produk udang (HS 0306.13) mengalami

penurunan pada tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2007. Perubahan nilai

ekspor Indonesia ke pasar Jepang atau dalam hal ini ditunjukkan dengan data

impor Jepang dari Indonesia tersebut dapat dilakukan analisis dekomposisi

CMSAnya yang hasilnya dapat ditunjukkan pada Tabel 7.2.

Tabel 7.2 Perubahan Nilai Impor Jepang dari Indonesia:

Analisis Dekomposisi CMSA (dalam ribu US$)

Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)

Berdasarkan Tabel 7.2 dapat diilustrasikan analisis dekomposisi produk Ikan

(HS 0304.29). Peningkatan nilai impor produk ikan (HS 0304.29) Jepang dari

Indonesia pada tahun 2010 dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar US$ 13,88

juta. Hasil peningkatan ini dapat didekomposisi menjadi sebesar US$ 2,6 juta

disebabkan oleh faktor peningkatan impor Jepang secara umum dari pasar dunia

dan faktor komposisi komoditas produk Ikan itu sendiri sebesar US$ 0,8 juta,

yaitu produk ini memiliki tingkat pertumbuhan impor Jepang yang lebih tinggi

dibandingkan tingkat pertumbuhan impor Jepang secara keseluruhan. Dengan kata

lain, pertumbuhan impor produk ini lebih besar dibandingkan dengan

pertumbuhan rata-rata impor Jepang dari pasar dunia. Di samping itu, disebabkan

Kode HS Description Besarnya Perubahan Impor Jepang dari Indonesia

Peningkatan

Impor

Jepang dari

Dunia

Komposisi

Komoditas

Peningkatan

Daya Saing

Total

Perubahan

0304.29 Fish fillets&other fish

meat (excl.

2,589.27

844.68

10,446.69

13,880.64

0304.99 Fish fillets&other fish

meat (excl.

770.84

600.61

7,467.74

8,839.19

1804.00 Cocoa butter, fat & oil

362.85

(457.84)

4,467.40

4,372.41

0306.13 Shrimps & prawns,

whether/not in sh

39,370.99

284.54

(40,256.21)

(600.68)

6210.10 Garments made up of

fabrics of 56.0

1,144.91

2,822.86

681.52

4,649.29

9403.60 Furniture

10,554.32

1,521.44

27,003.01

39,078.77

3923.21 Sacks & bags (incl.

cones), of poly

12,809.58

(948.74)

(4,187.22)

7,673.63

169

juga oleh faktor daya saing produk Indonesia di pasar Jepang sebesar US$ 10,4

juta.

Selain itu, penurunan impor Jepang dari Indonesia pada tahun 2010

dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar US$ 600,68 ribu untuk produk Udang

Indonesia (HS 03061.3). Hasil penurunan ekspor ini dapat didekomposisi

menjadi sebagai berikut:

1. Seharusnya impor Jepang dari Indonesia meningkat sebesar US$ 39,4 juta jika

produk ini tumbuh sebesar angka peningkatan impor Jepang secara umum dari

pasar dunia.

2. Seharusnya terjadi peningkatan impor Jepang dari Indonesia karena produk ini

sendiri di pasar Jepang mengalami pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan

tingkat rata-rata impor Jepang dari pasar dunia sebesar US$ 0,28 juta.

3. Penurunan ini juga bagian terbesarnya disebabkan oleh menurunnya daya

saing produk Indonesia di pasar Jepang sebesar US$ 40,26 juta.

Gambaran analisis perubahan impor Jepang dari Indonesia tersebut juga

dapat ditunjukkan dengan %tase kontribusi daya saing terhadap perubahan impor

Jepang dari pasar dunia sebagaimana yang diperlihatkan dalam Tabel 7.3.

Tabel 7.3. Persentase Kontribusi Setiap Faktor terhadap Perubahan Nilai Impor

Jepang dari Indonesia: Analisis Dekomposisi CMSA (dalam %)

Kode HS Description Besarnya Perubahan Impor Jepang dari Indonesia (%)

Peningkatan

Impor

Jepang dari

Dunia

Komposisi

Komoditas

Peningkatan

Daya Saing

Total

Perubahan

0304.29 Fish fillets&other fish

meat (excl.

18.65

%

6.09 % 75.26 % 100.0

0 %

0304.99 Fish fillets&other fish

meat (excl.

8.72

%

6.79 % 84.48 % 100.0

0 %

1804.00 Cocoa butter, fat &

oil

8.30

%

-10.47

%

102.17 % 100.0

0 %

0306.13 Shrimps & prawns,

whether/not in sh

6554.

44 %

47.37

%

-6701.81 % -

100.00 %

6210.10 Garments made up of

fabrics of 56.0

24.63

%

60.72

%

14.66 % 100.0

0 %

9403.60 Furniture 27.01

%

3.89 % 69.10 % 100.0

0 %

3923.21 Sacks & bags (incl.

cones), of poly

166.9

3 %

-12.36

%

-54.57 % 100.0

0 %

Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)

170

Tingkat persaingan produk Indonesia di pasar Jepang dan negara lainnya

belum mampu diperlihatkan dari perhitungan dekomposisi CMSA. Dengan dasar

pertimbangan tersebut, maka dilakukan perhitungan nilai indeks konsentrasi pasar

produk Indonesia di pasar Jepang. Berdasarkan perhitungan nilai Indeks

Konsentrasi Pasar Produk Impor di Pasar Jepang dapat diperoleh ilustrasi tentang

tingkat persaingan yang dihadapi Indonesia terhadap produk yang sama dan

berasal dari negara lainnya. Peningkatan dan penurunan pangsa produk Indonesia

di pasar Jepang tersebut dapat memberikan indikasi awal tentang posisi Indonesia.

Hasil perhitungan IKP dan pangsa pasar produk Indonesia tersebut dapat

ditunjukkan pada Tabel 7.4.

Tabel 7.4 Nilai Indeks Konsentrasi Pasar Produk Impor di Pasar Jepang dan

Pangsa Pasar Produk Indonesia di Pasar Jepang Tahun 2007 dan 2010

HS DESCRIPTION

NILAI IKP SHARE INDONESIA

2007 2010 2007 2010

0304.29 Fish fillets&other fish meat (excl. 0.300 0.337 0.03 % 0.06 %

0304.99 Fish fillets&other fish meat (excl. 0.443 0.412 0.01 % 0.03 %

1804.00 Cocoa butter, fat & oil 0.517 0.587 0.07 % 0.41 %

0306.13 Shrimps & prawns, whether/not in sh 0.353 0.359 3.99 % 3.21 %

6210.10 Garments made up of fabrics of 56.0 0.771 0.772 3.01 % 3.31 %

9403.60 Furniture 0.532 0.513 8.37 % 10.51 %

3923.21 Sacks & bags (incl. cones), of poly 0.597 0.596 1.46 % 1.36 %

Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kemendag)

Semakin tinggi nilai IKP, maka semakin besar konsentrasi negara tertentu di

pasar Jepang serta sebaliknya. Produk Ikan Indonesia (HS 0304.29), sebagai

ilustrasi memperlihatkan nilai IKP produk impor di pasar Jepang semakin besar

sehingga semakin terkonsentrasi impor Jepang untuk produk ini pada negara

tertentu. Konsentrasi semakin tinggi ini relatif dimanfaatkan oleh Indonesia

karena adanya peningkatan pangsa pasar produk Indonesia untuk komoditas ini di

pasar Jepang dari 0,03 % menjadi 0,06 %.

171

7.2 Kinerja Industri Manufaktur Indonesia Berdasarkan Analisis Regresi

Profit Cost Margin (PCM)

Tujuan dari subbab ini adalah menganalisis kinerja industri Manufaktur di

Indonesia selama periode 2006-2009 baik secara keseluruhan dan sepuluh industri

Manufaktur dengan nilai impor terbesar pada tahun 2010. Pembahasan akan

memfokuskan pada lima industri Manufaktur yang menjadi fokus studi, yakni

1512-industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya;

1543-industri Cokelat dan Kembang Gula; 2520-industri Barang dari Plastik;

3610-industri Furnitur; dan 1810-industri Pakaian Jadi dan Perlengkapannya,

kecuali Pakaian Jadi Berbulu. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka pendekatan

ekonometrika yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi data

panel dengan software Eviews 5.1. Kinerja industri Manufaktur sendiri

dicerminkan oleh variabel nilai tambah (XEF) sebagai variabel endogen dengan

variabel eksogennya adalah jumlah perusahaan (N), jumlah tenaga kerja (L),

pengeluaran untuk bahan baku dan penolong lokal (PBBL), pengeluaran untuk

bahan baku penolong impor (PBBI), pengeluaran untuk pemakaian bahan bakar

minyak (BBM), pengeluaran untuk pemakaian listrik (BBL), dan nilai output (O).

7.2.1 Analisis Kinerja Industri Manufaktur Indonesia

Berdasarkan hasil pengujian Chow yang digunakan untuk menentukan

metode regresi data panel yang paling tepat di antara metode regresi data

panel dengan Fixed Effect Model (FEM) dan Common Pooled Least

Square (OLS) terhadap keseluruhan industri manufaktur Indonesia (126

industri) selama periode 2006-2009, ternyata didapatkan bahwa nilai F-

hitung (65,8) lebih besar dibandingkan dengan nilai F-tabel (2,44)

sehingga metode yang paling tepat untuk mengukur kinerja industri

Manufaktur Indonesia secara keseluruhan adalah Fixed Effect Model

dengan intersep tidak sama dan slope koefisien tetap.

8.65)8126481/()46555.17(

9/)46555.1729527.47(

)/(

/

knRSS

mRSSRSShitungF

UR

URR

F-tabel (α = 1 %) = 2,44; F-tabel (α = 5 %) = 1,90 (df: N1 = 9; N2 = 347)

172

Sementara itu, hasil pengujian Hausman yang digunakan untuk

menentukan metode yang lebih tepat antara FEM dengan Random Effect

menemukan bahwa FEM dianggap lebih cocok untuk mengestimasi data

panel kinerja industri Manufaktur di mana probabilita pengujiannya

mendekati nol dengan nilai Chi-Squares Statistik sebesar 61,3 (Tabel 5.8).

Oleh karena itu, metode regresi data panel dengan FEM dianggap paling

tepat menurut hasil pengujian Chow dan Hausman.

Tabel 7.5 Hasil Pengujian Hausman terhadap Model Kinerja Industri

Manufaktur Indonesia

Correlated Random Effects - Hausman Test

Pool: POOL1

Test cross-section random effects

Test Summary

Chi-Sq.

Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 61.314257 7 0.0000

Cross-section random effects test comparisons:

Variable Fixed Random Var(Diff.) Prob.

LOG(N?) -0.241144 0.000866 0.007442 0.0050

LOG(L?) 0.231968 0.085837 0.002516 0.0036

LOG(PBBL?) -0.236608 -0.226536 0.000316 0.5711

LOG(PBBI?) -0.105336 -0.044212 0.000106 0.0000

LOG(BBM?) -0.057380 -0.040556 0.000251 0.2881

LOG(BBL?) -0.082219 -0.062308 0.000205 0.1642

LOG(O?) 1.311020 1.297471 0.000778 0.6272

Cross-section random effects test equation:

Dependent Variable: LOG(XEF?)

Method: Panel Least Squares

Date: 11/02/11 Time: 12:04

Sample: 2006 2009

Included observations: 4

Cross-sections included: 126

Total pool (unbalanced) observations: 481

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.505002 0.589082 0.857270 0.3919

LOG(N?) -0.241144 0.091446 -2.637024 0.0087

LOG(L?) 0.231968 0.061349 3.781118 0.0002

173

LOG(PBBL?) -0.236608 0.029428 -8.040238 0.0000

LOG(PBBI?) -0.105336 0.014384 -7.322981 0.0000

LOG(BBM?) -0.057380 0.023967 -2.394088 0.0172

LOG(BBL?) -0.082219 0.023502 -3.498355 0.0005

LOG(O?) 1.311020 0.044175 29.67770 0.0000

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.988886 Mean dependent var 21.14924

Adjusted R-squared 0.984670 S.D. dependent var 1.809385

S.E. of regression 0.224028 Akaike info criterion 0.075255

Sum squared resid 17.46555 Schwarz criterion 1.229913

Log likelihood 114.9012 F-statistic 234.5699

Durbin-Watson stat 2.416417 Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006 - 2009, BPS

(diolah oleh Puska Daglu Kemendag dengan Eviews 5.1)

Guna memenuhi asumsi model regresi linear klasik (OLS), maka terhadap

hasil estimasi data dengan metode FEM dilakukan pengujian

heteroskedastisitas dan otokorelasi. Untuk pengujian masalah otokorelasi

dilakukan dengan uji Durbin-Watson. Dengan membandingkan nilai

Durbin-Watson statistik yang diperoleh dari hasil regresi (2,416417)

dengan nilai Durbin-Watson tabel (dL = 1,82488 ; dU= 1,87548; k = 7;

dan n = 481 ) pada tingkat signifikansi 5 % didapat kesimpulan bahwa

terdapat masalah otokorelasi negatif. Upaya mengatasi masalah

otokorelasi negatif telah dilakukan dengan mengupayakan baik cross-

section weights maupun period-section weights akan tetapi tidak dapat

mengatasi masalah yang ada.

Tabel 7.6. Kriteria Pengujian Durbin-Watson

Keputusan Hipotesis

Nol

Jika

Ada otokorelasi positif Tolak 0<d<dL

Tidak ada keputusan Tidak jelas dL d dU

Ada otokorelasi negatif Tolak 4 – dL d 4

Tidak ada keputusan Tidak jelas 4 – dU d 4 –dL

Tidak ada otokorelasi, positif atau negatif Tidak

ditolak

dU<d<4-dU

Sumber: Gujarati, Damodar N. 2003. Basic Econometrics 4th Ed., New York: McGraw-Hill.

Inc, pp. 470

174

1.

2.

0 1,82488 1,87548 2.12452 2.17512 4

Gambar 7.3 Hasil Pengujian Masalah Otokorelasi dengan Metode Durbin

Watson terhadap Fixed Effect Model

Sumber: Hasil pengolahan data

Berdasarkan hasil estimasi terhadap kinerja industri Manufaktur Indonesia

periode 2006-2009 dengan metode FEM yang tercantum dalam Tabel 5.9

dapat diketahui bahwa variabel intersep tidak berpengaruh secara nyata,

sementara variabel jumlah perusahaan (N), jumlah tenaga kerja (L),

pengeluaran untuk bahan baku lokal (PBBL), pengeluaran untuk bahan

baku impor (PBBI), pengeluaran untuk pemakaian bahan bakar minyak

(BBM), pengeluaran untuk pemakaian listrik (BBL), dan nilai output (O)

berpengaruh nyata.

Perbedaan intersep dalam industri Manufaktur Indonesia sejalan dengan

asumsi fixed FEM yang menyatakan akan adanya perbedaan intersep antar

cross-section unit. Intersep tersebut berarti, tanpa dipengaruhi oleh

variabel-variabel independen dalam model regresi nilai tambah setiap

industri senilai masing-masing intersep tersebut. Intersep tersebut

menunjukkan bahwa industri manufaktur Indonesia ini memiliki

perbedaan dalam pola dan struktur. Nilai tambah untuk industri Pakaian

Jadi dan Perlengkapannya, kecuali Pakaian Jadi Berbulu (1810)

merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan industri manufaktur

lainnya dengan nilai 1,241651 % Industri Barang dari Plastik (2520) dan

industri Furnitur (3610) memiliki nilai tambah yang tergolong tinggi juga

dengan nilai masing-masing sebesar 1,101009 % dan 1,030155 %.

Sementara nilai tambah industri Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan

Biota Perairan Lainnya (1512) dan industri Cokelat dan Kembang Gula

(1543) tergolong rendah dengan nilai kurang dari satu %, yakni 0,461358

H0 tidak ditolak

(tidak ada otokorelasi)

H0 ditolak

otokorelasi (+)

H0 ditolak

otokorelasi (-)

Ragu-

ragu

Ragu-

ragu

175

% dan 0,129368 %.Rendahnya nilai tambah berarti industri manufaktur

tersebut masih menghasilkan nilai tambah yang rendah.

Jumlah perusahaan dalam industri Manufaktur Indonesia (N) berpengaruh

negatif terhadap nilai tambah industri Manufaktur Indonesia (XEF). Ini

mengindikasikan bahwa peningkatan jumlah perusahaan belum tentu

meningkatkan nilai tambah industri Manufaktur Indonesia, malah justru

menurunkan nilai tambah. Hal ini karena adanya kemungkinan industri-

industri yang diteliti belum efisien dalam operasionalnya. Industri cokelat

dan kembang gula, khususnya industri pengolahan kakao dapat dinilai

sebagai salah satu contoh industri yang masih belum efisien karena harus

menghadapi persaingan dengan industri sejenis yang berasal dari luar

negeri.

Jumlah tenaga kerja (L) berpengaruh positif terhadap nilai tambah, di

mana ketika jumlah tenaga kerja mengalami peningkatan maka semakin

meningkat nilai tambah industri Manufaktur. Hal ini mengindikasikan

bahwa industri Manufaktur Indonesia merupakan industri padat karya

yang lebih mengandalkan tenaga kerja dibandingkan dengan modal dan

penguasaan teknologi. Pengaruh yang kuat dari tenaga kerja sektor industri

manufaktur terhadap nilai tambah industri manufaktur di Indonesia

menunjukkan bahwa produktivitas rata-rata (APL) dan produk marjinal

tenaga kerja (marginal product of labor, MPL) dalam sektor industri

Manufaktur di Indonesia cukup tinggi.

Pengeluaran untuk bahan baku lokal (PBBL) dan impor (PBBI)

berpengaruh negatif terhadap nilai tambah industri Manufaktur. Ketika

pengeluaran untuk bahan baku lokal mengalami peningkatan, maka nilai

tambah industri Manufaktur Indonesia menurun. Hal ini sangatlah wajar

makin tinggi pengeluaran untuk bahan baku lokal (PBBL) akan

memperbesar komposisi biaya input dan menurunkan nilai tambah.

Meskipun demikian, ketersediaan bahan baku lokal berperan penting

dalam menjaga stabilitas harga bahan baku dan keuntungan industri.

176

Pengaruh negatif bahan baku impor terhadap nilai tambah industri

Manufaktur di Indonesia berarti makin tingginya penggunaan bahan baku

impor semakin mendorong penurunan nilai tambah industri Manufaktur.

Peningkatan nilai input bahan lokal dan impor akan menurunkan PCM dan

nilai tambah. Implikasinya adalah dengan turunnya harga barang impor

jika barang tersebut diimpor dari Jepang maka akan menguntungkan

industri tersebut karena menerima penurunan tarif bea masuk IJ-EPA.

Pengeluaran untuk pemakaian bahan bakar minyak (BBM) dan listrik

(BBL) berpengaruh negatif terhadap nilai tambah industri Manufaktur

Indonesia. Dengan makin besarnya pengeluaran untuk pemakaian BBM

dan listrik, semakin besar pula komposisi biaya input dan pada akhirnya

semakin rendah nilai tambah.

Nilai output berpengaruh positif terhadap nilai tambah industri Manufaktur

Indonesia. Semakin besar kenaikan output, maka ada kecenderungan nilai

tambah meningkat. Dengan kata lain, peningkatan produksi tanpa

peningkatan biaya tetap masih menguntungkan mengingat penambahan

ternaga kerja masih memiliki dampak positif terhadap industri manufaktur

Indonesia.

Tabel 7.7 Hasil Estimasi Kinerja Industri Manufaktur Indonesia

Periode 2006-2009 Metode Fixed Effect Model

Dependent Variable: LOG(XEF?)

Method: Pooled Least Squares

Date: 11/02/11 Time: 11:20

Sample: 2006 2009

Included observations: 4

Cross-sections included: 126

Total pool (unbalanced) observations: 481

Cross sections without valid observations dropped

Variable

Coeffi

cient Std. Error t-Statistic Prob.

C

0.5050

02 0.589082 0.857270 0.3919

LOG(N?)

-

0.241144 0.091446 -2.637024 0.0087

LOG(L?)

0.2319

68 0.061349 3.781118 0.0002

LOG(PBBL?)

-

0.236608 0.029428 -8.040238 0.0000

177

LOG(PBBI?)

-

0.105336 0.014384 -7.322981 0.0000

LOG(BBM?)

-

0.057380 0.023967 -2.394088 0.0172

LOG(BBL?)

-

0.082219 0.023502 -3.498355 0.0005

LOG(O?)

1.3110

20 0.044175 29.67770 0.0000

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.988886 Mean dependent var 21.14924

Adjusted R-squared 0.984670 S.D. dependent var 1.809385

S.E. of regression 0.224028 Akaike info criterion 0.075255

Sum squared resid 17.46555 Schwarz criterion 1.229913

Log likelihood 114.9012 F-statistic 234.5699

Durbin-Watson stat 2.416417 Prob(F-statistic) 0.000000

Industri Fixed Effect Cross

1810 - Pakaian Jadi dan Perlengkapannya, kecuali Pakaian JadiBerbulu

0.736649

2520 - Barang dari Plastik 0.596007

3610 - Furnitur 0.525153

1512 -Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan Biota Perairan Lainnya -0.043644

1543 -Cokelat dan Kembang Gula -0.375634

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh Puska

Daglu Kemendag dengan Eviews 5.1)

7.2.2 Analisis Kinerja Sepuluh Industri Manufaktur dengan Nilai Impor

Terbesar di Indonesia

Berdasarkan hasil estimasi terhadap kinerja sepuluh industri Manufaktur

Indonesia dengan nilai impor terbesar periode 2006-2009 dengan metode

FEM yang tercantum dalam Tabel 5.10 dapat diketahui bahwa variabel

intersep, jumlah perusahaan (N), pengeluaran untuk pemakaian bahan

bakar minyak (BBM), dan pengeluaran untuk pemakaian listrik (BBL)

tidak berpengaruh secara signifikan. Sementara variabel jumlah tenaga

kerja (L), pengeluaran untuk bahan baku lokal (PBBL), pengeluaran untuk

178

bahan baku impor (PBBI), dan nilai output (O) berpengaruh secara

signifikan.

Kelima industri manufaktur yang menjadi fokus kajian tidak tergolong ke

dalam sepuluh industri manufaktur dengan nilai impor terbesar pada tahun

2010. Perbedaan intersep dalam industri Manufaktur Indonesia sejalan

dengan asumsi fixed FEM yang menyatakan akan adanya perbedaan

intersep antar cross-section unit. Intersep tersebut berarti, tanpa

dipengaruhi oleh variabel-variabel independen dalam model regresi nilai

tambah setiap industri senilai masing-masing intersep tersebut. Intersep

tersebut menunjukkan bahwa ke-10 industri ini memiliki perbedaan dalam

pola dan struktur. Industri Kimia Dasar, kecuali Pupuk (2411), industri

Perlengkapan dan Komponen Kendaraan Bermotor Roda Empat atau

Lebih (3430), industri Logam Dasar Besi dan Baja (2710), dan industri

Logam Dasar Bukan Besi (2720) tergolong ke dalam industri manufaktur

yang berpengaruh positif terhadap nilai tambah. Sementara industri Plastik

dan Karet Buatan (2413), industri Transmisi Mekanik selain Kendaraan

Bermotor (2913), industri Pompa dan Kompresor (2912), industri

Kendaraan Bermotor Roda Empat atau Lebih (3410), industri Mesin-

mesin Khusus Lainnya (2929), dan industri Mesin-mesin untuk

Pertambangan, Penggalian, dan Konstruksi (2924) berpengaruh negative

terhadap nilai tambah.

179

Tabel 7.8 Hasil Estimasi Kinerja 10 Industri Manufaktur Indonesia dengan

Nilai Impor Terbesar Periode 2006-2009 Metode Fixed Effect Model

Dependent Variable: LOG(XEF?)

Method: Pooled Least Squares

Date: 10/07/11 Time: 12:36

Sample: 2006 2009

Included observations: 4

Cross-sections included: 10

Total pool (balanced) observations: 40

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -0.087107 2.826384 -0.030819 0.9757

LOG(N?) -0.381470 0.349716 -1.090799 0.2867

LOG(L?) 0.370020 0.215807 1.714587 0.0999

LOG(PBBL?) -0.275606 0.104581 -2.635341 0.0148

LOG(PBBI?) -0.288138 0.105236 -2.738013 0.0117

LOG(BBM?) -0.026176 0.095268 -0.274760 0.7860

LOG(BBL?) -0.157124 0.094382 -1.664770 0.1095

LOG(O?) 1.550411 0.252194 6.147685 0.0000

Fixed Effects

(Cross)

2411_--C 0.696105

2413_--C -0.031298

2710_--C 0.179862

2720_--C 0.125058

2912_--C -0.118440

2913_--C -0.078723

2924_--C -0.542604

2929_--C -0.434376

3410_--C -0.315682

3430_--C 0.520098

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.992991 Mean dependent var 21.85146

Adjusted R-squared 0.988116 S.D. dependent var 1.935203

S.E. of regression 0.210965 Akaike info criterion 0.022368

Sum squared resid 1.023646 Schwarz criterion 0.740142

Log likelihood 16.55264 F-statistic 203.6673

Durbin-Watson stat 2.158449 Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh

Puska Daglu Kemendag dengan Eviews 5.1)

180

Jumlah perusahaan dalam industri Manufaktur Indonesia (N) berpengaruh

negatif terhadap nilai tambah industri Manufaktur Indonesia (XEF). Tambahan

nilai tambah yang dihasilkan dari setiap penambahan unit tenaga kerja lebih besar

daripada tambahan nilai tambah yang dihasilkan dari setiap penambahan unit

input (faktor produksi) lainnya. Pengeluaran untuk bahan baku lokal (PBBL) dan

impor (PBBI) berpengaruh negatif terhadap nilai tambah industri Manufaktur.

Ketika pengeluaran untuk bahan baku lokal mengalami peningkatan, maka nilai

tambah industri Manufaktur Indonesia menurun. Hal ini sangatlah wajar makin

tinggi pengeluaran untuk bahan baku lokal (PBBL) dan penggunaan bahan baku

impor (PBBI) akan memperbesar komposisi biaya input dan menurunkan nilai

tambah. Pengeluaran untuk pemakaian bahan bakar minyak (BBM) dan listrik

(BBL) berpengaruh negatif juga terhadap nilai tambah industri Manufaktur

Indonesia. Sementara itu, milai output berpengaruh positif terhadap nilai tambah

industri Manufaktur Indonesia.

7.3 Strategi Peningkatan Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia

Merujuk pada hasil analisis EPD, indeks CMSA, IKP, dan analisis regresi

PCM, maka beberapa strategi yang mungkin dapat dilakukan guna meningkatkan

daya saing produk manufaktur Indonesia khususnya di pasar Jepang adalah untuk

produk ikan Indonesia (HS030429 dan HS 030499) di pasar Jepang yang

memperlihatkan kecenderungan peningkatan daya saing yang positif dan

mempunyai kecenderungan peningkatan permintaan Jepang terhadap produk

perikanan Indonesia seiring dengan peningkatan impor Jepang untuk produk ini,

maka strategi yang dapat dikembangkan adalah mempertahankan posisi pasar

Indonesia untuk produk ini di pasar Jepang (terutama HS 030429) bahkan

meningkatkan nilai ekspor kita ke Jepang (HS 030499). Kondisi ini dapat tercapai

dengan peningkatan standar mutu produk ekspor perikanan agar sesuai dengan

standard internasional yang berlaku.

Untuk produk Kakao Indonesia (HS 180400) di pasar Jepang yang

mempunyai kecenderungan terjadinya penurunan permintaan Jepang terhadap

produk kakao dari pasar dunia dimana secara relatif tingkat pertumbuhan impor

181

kakao Jepang dari pasar dunia jauh lebih rendah dibandingkan pertumbuhan total

impornya, strategi yang dapat dilakukan adalah melakukan diversifikasi negara

tujuan ekspor karena adanya kecenderungan kejenuhan permintaan Jepang

terhadap kakao.

Untuk produk Udang (HS 030613), strategi yang harus kita kembangkan

untuk produk ini adalah peningkatan produktivitas pada sektor hulu budidaya dan

penangkapan udang serta memperketat kepatuhan pada standar ekspor udang yang

sangat rigid seperti diatur dalam GAP Standard.

Adapun untuk produk Garmen (HS 621010), Indonesia harus mempertahankan

trend peningkatan daya saing, peningkatan nilai ekspor, peningkatan konsentrasi

pasar produk Indonesia di pasar Jepang sekaligus peningkatan market share untuk

produk ini.

Strategi yang dapat dilakukan untuk produk furnitur (HS 940360) adalah dengan

perbaikan kualitas serta peningkatan intensitas ekspor Indonesia ke pasar Jepang

untuk mempertahankan konsentrasi pasar yang telah baik pada produk ini.

Untuk produk plastik (HS 392321), strategi untuk komoditas ini dilakukan

dua hal secara sekaligus yaitu peningkatan kualitas dan daya saing produk

Indonesia serta melakukan diversifikasi pasar untuk produk ini. Untuk lebih detil

dapat dilihat pada tabel 7.9 berikut ini.

182

Tabel 7.9 Matriks Strategi Peningkatan Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia Produk EPD CMSA IKP Pangsa Pasar

Indonesia di Jepang

Anali

sis PCM

Strategi

Sebelum IJ-

EPA

Setelah

IJ-EPA

2007 2010 2007 2010

Produk Furnitur Retreat Retreat Berdaya saing 0.532 0.513 8.37 % 10.51 % 1.030155 Perbaikan kualitas dan peningkatan

intensitas ekspor Indonesia ke pasar

Jepang untuk mempertahankan

konsentrasi pasar yang telah baik pada

produk ini.

Produk Pakaian

Jadi

Falling Retreat Berdaya saing 0.771 0.772 3.01 % 3.31 % 1.241651 Mempertahankan trend seperti ini akan

memberikan dampak yang positif bagi

perkembangan ekspor produk ini di pasar

Jepang.

Produk Barang

dari Plastik

Retreat Retreat Penurunan daya

saing

0.597 0.596 1.46 % 1.36 %

1.101009

1. Peningkatan kualitas dan daya saing

produk Barang dari Plastik Indonesia

2. Diversifikasi pasar untuk produk

Barang dari Plastik

Produk Ikan

(HS 0304.29)

Falling Falling Berdaya saing 0.337 0.300 0.03 % 0.06 % 0.461358 1. Perlunya mempertahankan ekspor

produk Ikan (HS. 0304.29) Indonesia

di pasar Jepang.

2. Industri Pengolahan dan Pengawetan

Ikan dan Biota Perairan Lainnya yang

memproduksi produk Ikan (HS.

0304.29) perlu meningkatkan standar

mutu produk ekspor sesuai dengan

standar internasional yang berlaku,

khususnya di pasar Jepang.

3. Perlunya mengembangkan industri

Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan

183

Biota Perairan Lainnya yang memiliki

nilai tambah yang lebih tinggi.

Produk Ikan

(HS 0304.99)

Rising Falling Berdaya saing 0.412 0.443 0.01 % 0.03 % 0.461358 1. Meningkatkan ekspor produk Ikan

(HS. 0304.99) Indonesia di pasar

Jepang, dengan diiringi peningkatan

standar mutu produk ekspor sesuai

dengan standar internasional yang

berlaku, khususnya di pasar Jepang.

2. Peningkatan fasilitas/infrastruktur dan

teknologi penangkapan ikan.

3. Perlunya mengembangkan industri

Pengolahan dan Pengawetan Ikan dan

Biota Perairan Lainnya yang memiliki

nilai tambah yang lebih tinggi.

Produk Kakao

Olahan

Lost

opportunities

Retreat Berdaya saing 0.517 0.587 0.07 % 0.41 % 0.129368 1. Perlunya pengembangan Industri

pengolahan kakao di dalam negeri

yang memiliki nilai tambah tinggi.

2. Perlunya diversifikasi pasar tujuan

ekspor produk kakao olahan selain

Jepang.

Produk Udang Retreat Retreat Penurunan daya

saing

0.353 0.359 3.99 % 3.21 %

0.461358 1. Peningkatan produktivitas pada sektor

hulu budidaya dan penangkapan udang

2. Memperketat kepatuhan pada standar

ekspor udang di pasar Jepang.

116

184

BAB VIII

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

8.1 Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan dan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, maka

dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA) Form IJ-EPA dan JI-EPA

a. Pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA) Form IJ-EPA sebagai salah

satu kelengkapan dokumen dalam mengalami peningkatan setiap tahunnya

selama periode 2008-2010. Produk plastik dan barang plastik, ikan dan

udang, dan kayu adalah beberapa produk yang dominan dalam

pemanfaatan SKA Form IJ-EPA. Seiring dengan makin tingginya

pemanfaatan SKA Form IJ-EPA, semakin tinggi pula ekspor Indonesia ke

Jepang. Ditinjau dari sisi impor, pemanfaatan Certificate of Origin (COO)

Form JI-EPA dan nilai impor dari Jepang pasca diberlakukannya

kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA sejak 1 Juli 2008 mengalami

peningkatan yang sangat drastis. Impor Indonesia dari Jepang yang

menggunakan Form JI-EPA didominasi oleh produk mesin-mesin/pesawat

mekanik, kendaraan dan bagiannya, mesin/ peralatan listrik, besi dan baja,

karet dan barang dari karet, dan benda-benda dari besi baja. Gempa bumi

dan tsunami yang melanda Jepang pada 11 Maret 2011 tidak berdampak

signifikan pada ekspor Indonesia ke Jepang

b. Dari hasil temuan lapangan dan Focus Group Discussion (FGD) di

berbagai daerah, pemanfaatan SKA Form IJ-EPA di beberapa daerah telah

menunjukkan kinerja yang optimal. Ketidakoptimalan yang terjadi di

beberapa daerah lainnya dikarenakan masih adanya penggunaan Form A

dalam ekspor ke Jepang. Prosedur dan jangka waktu penerbitan SKA

Form IJ-EPA, baik di Instansi Penerbit SKA (IPSKA) yang telah otomasi

maupun sedang dalam proses otomasi, telah seragam. Namun, tidak

demikian halnya dalam biaya penerbitan SKA Form IJ-EPA yang masih

beragam di beberapa daerah. Selain itu, terdapat beberapa permasalahan

185

utama yang dihadapi oleh para eksportir dalam proses penerbitan SKA

Form IJ-EPA, antara lain keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang

terdapat di berbagai IPSKA, keenganan pencantuman struktur biaya dalam

SKA Form IJ-EPA, pemilihan kode HS yang sesuai, dan kurangnya

sosialisasi mengenai fasilitas IJ-EPA.

c. Berdasarkan hasil studi banding dengan Jepang sebagai negara mitra

kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, kinerja ekspor dan impor Jepang-

Indonesia mengalami perkembangan Meskipun terdapat kecenderungan

penurunan dalam ekspor Jepang ke Indonesia pasca IJ-EPA, ekspor Jepang

ke Indonesia mengalami kenaikan yang signifikan untuk beberapa produk

tertentu seperti produk mesin, elektronik, dan otomotif. Di sisi impor,

beberapa komoditi beberapa komoditi yang diimpor Jepang dari Indonesia

setelah diimplementasikannya IJ-EPA pada umumnya mengalami

penurunan dibandingkan dengan sebelum IJEPA berlaku. Penurunan

impor Jepang dari Indonesia tersebut terjadi pada produk Furnitur, Barang

dari Plastik, Tekstil, Ikan dan Krustasea, Udang. Impor Kakao Jepang dari

Indonesia justru mengalami kenaikan setelah diberlakukannya IJEPA.

Gempa bumi dan tsunami yang melanda Jepang pada 11 Maret 2011

berdampak terhadap ekspor Jepang ke Indonesia yang menurun, terutama

ekspor produk Otomotif, Elektronik, dan Makanan. Sementara dari sisi

impor, sejalan dengan naiknya kebutuhan produk Makanan akibat bencana

yang melanda Jepang impor produk Makanan dari Indonesia mengalami

peningkatan. Dalam halnya pemanfaatan tarif preferensi IJ-EPA, rata-rata

perbedaan tarif preferensi JI-EPA cenderung rendah, khususnya produk

Furnitur, Barang dari Plastik, dan Udang. Sedangkan perbedaan tarif

preferensi JI-EPA yang cukup tinggi terjadi untuk produk Kakao, Ikan dan

Krustasea, dan Tekstil dan Produk Tekstil. Adapun permasalahan yang

dihadapi oleh pihak Jepang dalam memverifikasi SKA Form IJ-EPA yang

berasal dari Indonesia adalah keterlambatan notifikasi perubahan spesimen

tanda tangan dan stempel dan perbedaan uraian barang serta kode

klasifikasi HS.

186

d. Sama halnya dengan Indonesia, Malaysia dan Thailand adalah negara-

negara yang memiliki kesepakatan perdagangan bebas secara bilateral

dengan Jepang. Berdasarkan perbandingan antara Malaysia-Japan

Economic Partnership Agreement (MJEPA) dan Japan-Thailand Economic

Partnership Agreement (JTEPA) dengan kesepakatan perdagangan bebas

IJ-EPA, terdapat beberapa hal yang membedakan kedua kesepakatan

perdagangan tersebut dengan IJ-EPA, yakni cakupan unsur dalam

kesepakatan perdagangan bebas, jangka waktu impelementasi konsensi

tarif, kuota, dan fleksibilitas produk sensitif. Dibandingkan dengan

Malaysia dan Thailand, Indonesia memiliki kesamaan dalam beberapa

ekspor produk ke Jepang, yakni produk Ikan dan Udang. Dari sisi impor,

Thailand dan Malaysia sebagai basis produksi otomotif di pasar ASEAN

seperti halnya Indonesia mengimpor bagian-bagian kendaraan otomotif

dan produk otomotif dari Jepang.

e. Sosialisasi, seminar, penyebaran brosur dan pamflet, dan publikasi melalui

link tertentu dalam situs website instansi-instansi yang terkait dengan

pengimplementasian kesepakatan perdagangan bebas secara bilateral

merupakan metode penyebarluasan informasi yang dilaksanakan, baik oleh

pemerintah Jepang, Malaysia maupun Thailand, guna meningkatkan

efektivitas pemanfaatan SKA dan tarif preferensi.

2. Analisis Dampak Implementasi Kesepakatan Perdagangan Bebas IJ-EPA

terhadap Daya Saing Produk Manufaktur

a. Berdasarkan hasil perhitungan Constant Market Share Analysis (CMSA)

terhadap produk manufaktur Indonesia dapat disimpulkan bahwa produk

ikan, kakao olahan, garmen, dan furnitur adalah produk yang berdaya

saing di pasar Jepang pasca diimplementasikannya kesepakatan

perdagangan bebas IJ-EPA. Besarnya perubahan ekspor produk ikan,

kakao olahan, dan furnitur Indonesia ke Jepang lebih didorong oleh

peningkatan daya saing, sedangkan komposisi komoditas dominan

mendorong perubahan impor Jepang dari Indonesia untuk produk garmen.

Sementara produk udang dan barang dari plastik tergolong ke dalam

187

produk yang tidak berdaya saing pasca diimplementasikannya IJ-EPA.

Turunnya daya saing produk udang lebih disebabkan oleh anjloknya daya

saing, sedangkan besaran perubahan impor Jepang dari Indonesia untuk

produk barang dari plastik diakibatkan oleh adanya peningkatan impor

Jepang dari dunia.

b. Hasil analisis Export Product Dynamics (EPD) yang disandingkan dengan

hasil perhitungan EPD menunjukkan bahwa daya saing produk ikan (HS

030429) sebelum dan sesudah IJ-EPA dapat dikategorikan ke dalam

falling-rising, sedangkan untuk (HS 030499) rising-falling. Untuk produk

kakao olahan (HS 180400), daya saing sebelum adanya kesepakatan IJ-

EPA menunjukkan lost-opportunities, sedangkan pasca IJEPA menjadi

retreat. Untuk produk furnitur (HS 940360), baik sebelum maupun

sesudah IJEPA, posisi daya saingnya adalah retreat. Terhadap produk

yang tidak berdaya saing berdasarkan hasil perhitungan CMSA, produk

garmen memiliki kategori falling-retreat untuk daya saing sebelum dan

setelah IJ-EPA dan kategori retreat-retreat untuk produk barang dari

plastik.

c. Pasca diberlakukannya kesepakatan IJ-EPA, produk ikan (HS 030429),

kakao olahan (HS 180400), udang (HS 030613), dan garmen (HS 621010)

semakin terkonsentrasi di pasar Jepang. Hal ini dapat terlihat dari semakin

tingginya nilai indeks konsentrasi Indeks Konsentrasi Pasar (IKP) dan

pangsa pasar ekspor produk Indonesia di pasar Jepang dari keempat

produk tersebut. Untuk produk barang dari plastik, nilai IKP dan pangsa

pasarnya di pasar Jepang semakin rendah pasca pemberlakuan IJ-EPA. Hal

tersebut mengindikasikan bahwa semakin tersebarnya impor Jepang untuk

kedua produk tersebut. Meskipun pangsa pasar produk ikan (HS 030499)

dan furnitur (HS 940360) mengalami kenaikan setelah adanya kesepakatan

IJ-EPA, namun nilai IKP menunjukkan penurunan dibandingkan dengan

sebelum adanya IJ-EPA.

d. Berdasarkan hasil estimasi kinerja industri manufaktur di Indonesia selama

periode 2006-2009, baik secara keseluruhan maupun terhadap sepuluh

188

industri manufaktur dengan nilai impor terbesar pada tahun 2010,

menunjukkan bahwa variabel jumlah tenaga kerja, pengeluaran untuk

bahan baku lokal, pengeluaran untuk bahan baku impor, dan nilai output

berpengaruh signifikan terhadap nilai tambah industri manufaktur,

sedangkan variabel intersep tidak berpengaruh secara signifikan.

Sementara variabel jumlah perusahaan, pengeluaran untuk pemakaian

bahan bakar minyak, dan pengeluaran untuk pemakaian listrik

berpengaruh secara signifikan terhadao kinerja industri manufaktur

Indonesia (126 industri), sedangkan dalam hasil estimasi kinerja 10

industri manufaktur dengan nilai impor terbesar di Indonesia variabel-

variabel tersebut tidak berpengaruh secara signifikan. Baik berdasarkan

hasil estimasi kinerja industri manufaktur di Indonesia selama periode

2006-2009 secara keseluruhan maupun terhadap sepuluh industri

manufaktur dengan nilai impor terbesar pada tahun 2010, variabel-variabel

yang berpengaruh negatif terhadap kinerja industri manufaktur antara lain

jumlah perusahaan, pengeluaran untuk bahan baku lokal, pengeluaran

untuk bahan baku impor, pengeluaran untuk pemakaian bahan bakar

minyak, pengeluaran untuk pemakaian listrik, Sementara variabel jumlah

tenaga kerja dan nilai output berpengaruh positif terhadap nilai tambah

industri manufaktur.

8.2 Rekomendasi

Terkait dengan pemanfaatan SKA IJ-EPA yang menemui kendala dalam

pengimplementasiannya di beberapa daerah di Indonesia, maka sosialisasi dan

seminar kepada stakeholders dibutuhkan, khususnya dalam pengimplementasian

kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, prosedur penerbitan SKA Form IJ-EPA

dan JI-EPA dan tarif preferensi IJ-EPA. Penyediaan link atau situs khusus untuk

mengedukasi dan menyebarluaskan informasi yang terintegrasi tentang

pengimplementasian kesepakatan perdagangan bebas IJ-EPA, prosedur penerbitan

SKA Form IJ-EPA dan JI-EPA dan tarif preferensi IJ-EPA sebagaimana yang

dilakukan oleh Jepang, Malaysia, dan Thailand. Di samping itu, peningkatan

189

kompetensi sumber daya manusia dan kapasitas fasilitas infrastruktur yang

memadai di berbagai instansi penerbit SKA guna mendukung proses penerbitan

SKA diperlukan.

Sementara itu, untuk daya saing beberapa produk industri manufaktur dapat

direkomendasikan sebagai berikut:

1. Untuk produk ikan (HS030429 dan HS 030499) Indonesia di pasar Jepang

memperlihatkan kecenderungan peningkatan daya saing yang positif . Selain

itu, terdapat pula kecenderungan peningkatan permintaan Jepang terhadap

produk perikanan Indonesia seiring dengan peningkatan impor Jepang untuk

produk ini. Strategi yang dikembangkan terhadap produk ini adalah

mempertahankan posisi pasar Indonesia untuk produk ini di pasar Jepang

(terutama HS 030429) bahkan meningkatkan nilai ekspor kita ke Jepang (HS

030499). Kondisi ini dapat tercapai dengan peningkatan standar mutu produk

ekspor perikanan agar sesuai dengan standard internasional yang berlaku.

2. Untuk produk kakao (HS 180400) Indonesia di pasar Jepang, Indonesia relatif

tidak memiliki masalah terhadap daya saing untuk produk ini. Bahkan, nilai

ekspor kakao Indonesia meningkat ke pasar Jepang seiring adanya

peningkatan konsentrasi pasar produk kakao Indonesia ini di pasar Jepang.

Namun, terdapat kecenderungan penurunan permintaan Jepang terhadap

produk kakao dari pasar dunia dimana secara relatif tingkat pertumbuhan

impor kakao Jepang dari pasar dunia jauh lebih rendah dibandingkan

pertumbuhan total impornya. Fakta ini menunjukkan pentingnya bagi

Indonesia untuk melakukan diversifikasi negara tujuan ekspor karena adanya

kecenderungan kejenuhan permintaan Jepang terhadap kakao.

3. Untuk produk udang (HS 030613) Indonesia di pasar Jepang, Indonesia

merupakan salah satu negara utama pengekspor udang ke pasar Jepang.

Namun dalam periode 2007-2010, telah terjadi penurunan impor Jepang untuk

udang Indonesia seiring penurunan daya saing produk udang kita di pasar

Jepang. Permintaan Jepang untuk produk ini relatif tinggi, lebih tinggi

dibandingkan rata-rata pertumbuhan impor Jepang untuk keseluruhan produk.

190

Pentingnya Indonesia sebagai pengekspor utama produk ini relatif terlihat

pada peningkatan konsentrasi pasar produk kita di pasar Jepang sekalipun

terjadi penurunan market share. Fakta ini menunjukan bahwa tingkat

persaingan produk udang di pasar Jepang semakin meningkat. Strategi yang

harus kita kembangkan untuk produk ini adalah peningkatan produktivitas

pada sektor hulu budidaya dan penangkapan udang serta memperketat

kepatuhan pada standar ekspor udang yang sangat rigid seperti diatur dalam

GAP Standard.

4. Produk garmen (HS 621010) Indonesia di pasar Jepang relatif memiliki

kecenderungan yang positif. Terdapat peningkatan daya saing, nilai ekspor,

peningkatan konsentrasi pasar produk Indonesia di pasar Jepang sekaligus

peningkatan market share untuk produk ini. Mempertahankan trend seperti ini

akan memberikan dampak yang positif bagi perkembangan ekspor produk ini

di pasar Jepang.

5. Produk furniture (HS 940360) memberikan kecenderungan yang positif baik

dari sisi nilai ekspor, peningkatan market share, peningkatan permintaan

Jepang, serta daya saing produk ekspor Indonesia ini di pasar Jepang. Namun,

hasil perhitungan IKP memperlihatkan adanya kecenderungan penurunan

konsentrasi pasar produk furniture Indonesia di pasar Jepang. Hal ini

mengindikasikan bahwa pemain furniture di pasar Jepang mengalami

peningkatan sehingga iklim pasar furniture semakin kompetitif. Strategi

perbaikan kualitas serta peningkatan intensitas ekspor Indonesia ke pasar

Jepang untuk produk ini perlu dilakukan untuk mempertahankan konsentrasi

pasar yang telah baik pada produk ini.

6. Untuk produk plastik (HS 392321) Indonesia di pasar Jepang sekalipun

mengalami peningkatan ekspor pada periode 2007 – 2010, terdapat penurunan

daya saing produk Indonesia di pasar Jepang. Selain itu, permintaan Jepang

terhadap produk ini sendiri memiliki kecenderungan yang menurun

ditunjukkan dengan rendahnya pertumbuhan impor produk ini relatif

dibandingkan dengan pertumbuhan impor rata-rata Jepang untuk keseluruhan

191

produk. Penurunan daya saing produk Indonesia juga direfleksikan pada

penurunan market share dan tingkat konsentrasi pasar produk Indonesia di

pasar Jepang. Strategi untuk komoditas ini dilakukan dua hal secara sekaligus

yaitu peningkatan kualitas dan daya saing produk Indonesia serta melakukan

diversifikasi pasar untuk produk ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Sjamsul. 2008. Bangkitnya Perekonomian Asia Timur Satu Dekade

Setelah Krisis. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kompas Gramedia.

Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Utara. 2010. Statistik Industri Besar dan

Sedang Provinsi Sulawesi Utara 2009. Manado: Badan Pusat Statistik

Provinsi Sulawesi Utara.

Balassa, Bela. 1961. The Theory of Economic Integration. Homewood: Richard

D. Irwin, Inc.

Bera, Soumitra Kumar. 7 Juni 2008. International Trade Modeling Indices &

Measurement Issues. Munich Personal RePEc Archive (MPRA) Paper No.

27890. Muenchen: MPRA. (diakses secara online melalui situs http:

//mpra.ub.uni-muenchen.de/27890/)

Dermoredjo, Saktyanu K., Wahida, dan Hutabarat, Budiman. 2007. Analisis

Dampak Penurunan Subsidi Ekspor Negara Maju terhadap Produksi

Pertanian Indonesia. Prosiding Seminar Nasional “Dinamika Pembangunan

Pertanian dan Pedesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi

Rakyat” 2007. Penyunting: Kedi Suradisastra, Yusmichad Yusdja, Budiman

Hutabarat. Bogor: Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan

Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.

Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Utara, 2009, Komoditas

Potensial Ekspor Sulawesi Utara,Proyek Pengembangan Ekspor (P2E),

Manado: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Utara.

Directorate of Trade, Investment and International Economic Cooperation,

Ministry of States for National Development Planning/ The National

Development Planning Agency (Bappenas). 2009. Trade and Investment in

Indonesia: a Note on Competitiveness and Future Challenge. Jakarta:

Directorate of Trade, Investment and International Economic Cooperation

Bappenas with Kemitraan/ Partnership.

Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian. 2009.

Roadmap Pengembangan Industri Pengolahan Hasil Laut. Jakarta:

Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian.

Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian. 2009.

Roadmap Pengembangan Industri Kakao. Jakarta: Direktorat Jenderal

Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian.

Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Departemen Perindustrian. 2009.

Roadmap Industri Furniture. Jakarta: Direktorat Jenderal Industri Agro dan

Kimia, Departemen Perindustrian.

Dumairy. 1996. Perekonomian Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Firdaus, Muhammad., et.al. 2008. Analisis Struktur, Perilaku, dan Kinerja

Industri Manufaktur Indonesia. Working Paper Series No. 04/A/III/2008.

Bogor: Department of Economics, Faculty of Economics and Management,

Bogor Agricultural University (IPB).

Gandolfo, Giancarlo. 1998. International Trade Theory and Policy. Berlin:

Springer-Verlag.

Gujarati, Damodar N. 2002. Basic Econometrics 4th

Edition. New York: McGraw-

Hill.

Haryadi, Oktaviani, Rina., Tambunan, Mangara., dan Achsani, Noer Azam. 2008.

Dampak Penghapusan Hambatan Perdagangan Sektor Pertanian terhadap

Kinerja Ekonomi Negara Maju dan Berkembang. Makalah disampaikan

dalam Seminar Sekolah Pascasarjana IPB. (diakses secara online melalui

situs: http://haryadikamal.wordpress.com/2010/07/23/dampak-penghapusan-

hambatan-perdagangan-sektor-pertanian-terhadap-kinerja-ekonomi-negara-

maju-dan-berkembang/)

Indag Sulut 2010 dan Departemen Perdagangan Republik Indonesia. 2010. List

Exporter of North Sulawesi. Manado: Dinas Perindustrian dan Perdagangan

Provinsi Sulawesi Utara (Indag Sulut).

Jovanović, Miroslaw N. 2006. The Economics of International Integration.

Northampton: Edward Elgar Publishing, Inc.

Juswanto, Wawan, dan Mulyanti, Puji. 2003. Indonesia’s Manufactured Exports:

A Constant Market Shares Analysis. Jurnal Keuangan dan Moneter Volume 6

Nomor 2.

Kaesti, Atika Dwi. 2010. Analisis Kinerja Industri Tekstil dan Produk Tekstil

(TPT) di Indonesia Tahun 2000-2003 (Pendekatan Structure-Conduct-

Performance). Skripsi. Semarang: Fakultas Ekonomi, Universitas

Diponegoro.

Krugman, Paul R. dan Obstfeld, Maurice. 2004. Ekonomi Internasional, Teori dan

Kebijakan, Edisi Kelima, Jilid 1. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia.

Lindert, Peter H and Kindleberger, Charles P. 1986. International Economics, 8th

Edition. Homewood, IL: RD Irwin.

Masngudi. 2006. Diktat kuliah Ekonomi Internasional Lanjutan. Jakarta:

Universitas Borobudur.

Putra, Elby Julian. 2009. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Pulp

dan Kertas di Indonesia. Skripsi. Bogor: Departemen Ilmu Ekonomi,

Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Soekarni, Hidayat, dan Suryanto. 2010. Peta Penanaman Modal Asing (PMA) dan

Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Indonesia. Jurnal Ekonomi

Pembangunan Vol.18 Tahun 2010, Hal. 1-20. Jakarta: Pusat Penelitian

Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Sukirno, Sadono. Perdagangan Internasional. Wikipedia. Diakses secara online

melalui situs http://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_internasional

Suprihatini, Rohayati. Mei 2005. Daya Saing Ekspor Teh Indonesia di Pasar Teh

Dunia. Jurnal Agro Ekonomi Volume 23 No. 1: 1-29. Bogor: Pusat Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Badan Litbang Pertanian,

Departemen Pertanian.

Suryawati. 2009. Analisis Struktur, Perilaku dan Kinerja Industri Tekstil dan

Pakaian Jadi di Provinsi DIY. Jurnal Akuntansi dan Manajemen, Vol. 20 No.

1, April 2009, hal 35-46. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Pengabdian

Masyarakat STIE YKPN.

Tambunan, Tulus., Hakim, Lukman., dan Santosa, Budi. 1996. Daya Saing

Perekonomian Indonesia Menyongsong Era Pasar Bebas. Jakarta: Panitia

Dies Natalis ke-31 Usakti, Pusat Pengkajian Ekonomi Nasional dan

Perkotaan Usakti.

Tim Penulis Bank Indonesia. 2008. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015:

Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global. Editor: Arifin,

Sjamsul; Djaafara, Rizal A; Budiman, Aida S. Jakarta: PT Elex Media

Komputindo.

Urata, Shujiro and Kiyota, Kozo. August 2005. The Impacts of an East Asia FTA

on Foreign Trade in East Asia. International Trade in East Asia, NBER-East

Asia Seminar on Economics (Conference September 5-7), 2003, Volume 14.

Editors: Ito, Takatoshi., and Rose, Andrew K. Chicago: University of

Chicago Press. (diakses secara online melalui

http://www.nber.org/chapters/c0195)

Urata, Katsuhide and Urata, Shujiro. 2010. On the Use of FTAs by Japanese

Firms: Further Evidence. Business and Politics: Vol. 12 (1), Article 2.

Berkeley: Berkeley Electronic Press. (diakses secara online melalui situs:

http://www.bepress.com/bap/vol12/iss1/art2)

Widarjono, Agus. 2005. Ekonometrika: Teori dan Aplikasi untuk Ekonomi dan

Bisnis. Yogyakarta: Ekonisia, Fakultas Ekonomi, Universitas Islam

Indonesia.

Widyasanti, Amalia Adininggar. 2010. Perdagangan Bebas Regional dan Daya

Saing Ekspor: Kasus Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perdagangan

(BEMP) Volume 13 Nomor 1, Juli 2010. Jakarta: Direktorat Riset Ekonomi

dan Kebijakan Moneter, Bank Indonesia.

Senin, 22 September 2008, Ekspor Ikan Utuh Dilonggarkan, Kompas.

(http://megapolitan.kompas.com/read/2008/09/22/00443495/Ekspor.Ikan.Utu

h.Dilonggarkan diakses pada 14 Oktober 2011)

Rabu, 19 Desember 2007, Nilai Ekspor Produk Perikanan Naik (http://

http://m.inilah.com/read/detail/4958/nilai-ekspor-produk-perikanan-naik/

diakses pada tanggal 13 Oktober 2011).

Lampiran 1. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing (PMA)

Menurut Sektor, Tahun 2006-2010 (Juta US$)

Sumber: Statistik Perekonomian Volume 1 Nomor 5 – Triwulan I – 2011, Kedeputian Ekonomi Makro

dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Lampiran 2. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing (PMA)

Menurut Lokasi, Tahun 2006-2010 (Juta US$)

Sumber: Statistik Perekonomian Volume 1 Nomor 5 – Triwulan I – 2011, Kedeputian Ekonomi Makro

dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Lampiran 3. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing (PMA)

Menurut Negara Asal, Tahun 2006-2010 (Juta US$)

Sumber: Statistik Perekonomian Volume 1 Nomor 5 – Triwulan I – 2011, Kedeputian Ekonomi Makro

dan Keuangan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.

Lampiran 4. Perbandingan Hasil Perhitungan antara Constant Market Share

Analysis (CMSA) dengan Export Product Dynamics (EPD)

X1 Nilai Impor Jepang dari Indonesia - WITS X4 Nilai Impor Jepang dari Dunia - WITS X7 Nilai Ekspor Indonesia ke DuniaX2 Share Impor Komoditas terhadap Total Impor Jepang dari Indonesia X5 Share Impor Komoditas terhadap Total Impor Jepang dari dunia X8 Share Ekspor Komoditas terhadap Total Ekspor Indonesia ke DuniaX3 Share Impor Komoditas terhadap Total Impor Jepang dari Indonesia (194 Komoditas) X6 Share Impor Komoditas terhadap Total Impor Jepang dari dunia (194 Komoditas) X9 Share Ekspor Komoditas terhadap Total Ekspor Indonesia ke Dunia (194 Komoditas)

NILAI CMSA KATEGORI SEBELUM SESUDAH X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 ISIC Rev.3Descriptions

030429 Fish fillets&other fish meat (excl. 0.00001646 Berdaya Saing falling falling 36,773.76 0.14% 0.90% 1,510,973.28 0.24% 3.75% 197,011,890 0.12% 0.87% 7,503,270.39 0.11% 3.31% 1512 Processing and preserving of fish and fish products030499 Fish fillets&other fish meat (excl. 0.00001127 Berdaya Saing rising falling 15,654.58 0.06% 0.38% 846,332.26 0.14% 2.10% 40,860,465 0.03% 0.18% 1,399,775.38 0.02% 0.62% 1512 Processing and preserving of fish and fish products030613 Shrimps & prawns, whether/not in sh (0.00006549) Tidak Berdaya Saing retreat retreat 347,499.64 1.28% 8.53% 1,940,218.06 0.31% 4.82% 790,572,834 0.50% 3.50% 8,065,367.60 0.12% 3.56% 1512 Processing and preserving of fish and fish products180400 Cocoa butter, fat & oil 0.00000834 Berdaya Saing lost retreat 7,580.57 0.03% 0.19% 118,568.68 0.02% 0.29% 236,808,094 0.15% 1.05% 2,268,039.63 0.03% 1.00% 1543 Manufacture of cocoa, chocolate and sugar confectionery

HS DESCRIPTIONImpor Dunia dari DuniaCMSA EPD Impor Jepang dr Indonesia Impor Jepang dr Dunia Ekspor Indonesia ke Dunia

Sumber: WITS (diolah Puska Daglu, BPPKP, Kementerian Perdagangan).

Lampiran 5. Hasil Estimasi Regresi Fixed Effect Model terhadap Model Kinerja

Industri Manufaktur Indonesia

Dependent Variable: LOG(XEF?)

Method: Pooled Least Squares

Date: 11/02/11 Time: 11:20

Sample: 2006 2009

Included observations: 4

Cross-sections included: 126

Total pool (unbalanced) observations: 481

Cross sections without valid observations dropped

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.505002 0.589082 0.857270 0.3919

LOG(N?) -0.241144 0.091446 -2.637024 0.0087

LOG(L?) 0.231968 0.061349 3.781118 0.0002

LOG(PBBL?) -0.236608 0.029428 -8.040238 0.0000

LOG(PBBI?) -0.105336 0.014384 -7.322981 0.0000

LOG(BBM?) -0.057380 0.023967 -2.394088 0.0172

LOG(BBL?) -0.082219 0.023502 -3.498355 0.0005

LOG(O?) 1.311020 0.044175 29.67770 0.0000

Fixed Effects (Cross)

1511_--C -0.121923 1722_--C -0.328038 2221_--C 0.342242 2620_--C -0.039299

1512_--C -0.043644 1723_--C -0.051958 2222_--C -0.101304 2631_--C -0.036231

1513_--C -0.344984 1729_--C 0.286680 2230_--C -0.350802 2632_--C 0.443319

1514_--C -0.042291 1730_--C 0.143589 2310_--C -0.760511 2641_--C 0.674465

1521_--C -0.297565 1740_--C -1.263897 2320_--C 0.372853 2642_--C 0.203391

1531_--C -0.601677 1810_--C 0.736649 2411_--C 0.623800 2650_--C 0.526248

1532_--C -0.459229 1820_--C -1.118884 2412_--C 0.332253 2660_--C -0.416740

1533_--C 0.044903 1911_--C -0.178367 2413_--C 0.017890 2690_--C -0.049255

1541_--C 0.326151 1912_--C 0.391618 2421_--C 0.078443 2710_--C 0.127659

1542_--C 0.194195 1920_--C -0.055894 2422_--C 0.192628 2720_--C 0.190688

1543_--C -0.375634 2010_--C 0.252323 2423_--C 0.295877 2731_--C 0.293389

1544_--C -0.401873 2021_--C 0.097696 2424_--C 0.475251 2732_--C -0.039559

1549_--C 0.612015 2022_--C 0.295404 2429_--C 0.367073 2811_--C 0.453679

1551_--C 0.064570 2023_--C -0.411272 2430_--C 0.101491 2812_--C 0.091252

1552_--C -0.134205 2029_--C 0.292434 2511_--C -0.257447 2891_--C 0.092113

1553_--C -0.077555 2101_--C 0.553131 2512_--C -0.268148 2892_--C 0.187603

1554_--C 0.500237 2102_--C 0.121094 2519_--C 0.056613 2893_--C 0.344003

1600_--C 0.629322 2109_--C 0.070268 2520_--C 0.596007 2899_--C 0.432420

1711_--C 0.549248 2211_--C 0.139714 2526_--C -2.057706 2911_--C 0.272618

1712_--C 0.451070 2212_--C 0.030850 2611_--C -0.208661 2912_--C -0.057007

1721_--C 0.201383 2219_--C 0.204290 2612_--C -0.176054 2913_--C 8.72E-05

2914_--C -0.466905 2930_--C 0.071863 3230_--C -0.232395 3520_--C -1.055082

2915_--C -0.344199 3000_--C -1.116154 3311_--C -0.276663 3530_--C -2.270410

2919_--C 0.044269 3110_--C -0.230828 3312_--C -0.245984 3591_--C 0.636851

2921_--C -0.461217 3120_--C -0.003397 3320_--C -0.555235 3592_--C -0.176149

2922_--C 0.230366 3130_--C -0.045945 3330_--C -0.346556 3610_--C 0.525153

2924_--C -0.315575 3140_--C 0.051608 3410_--C 0.166747 3691_--C -0.209731

2925_--C -0.235991 3150_--C 0.057270 3420_--C 0.166124 3692_--C -0.353589

2926_--C -0.368865 3190_--C 0.159107 3430_--C 0.499609 3693_--C -0.015410

2927_--C -0.682375 3210_--C 0.155899 3511_--C 0.403157 3694_--C 0.230457

2929_--C -0.187901 3220_--C -0.541960 3512_--C -1.196687 3699_--C 0.234889

3710_--C -0.443548

3720_--C -0.336496

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.988886 Mean dependent var 21.14924

Adjusted R-squared 0.984670 S.D. dependent var 1.809385

S.E. of regression 0.224028 Akaike info criterion 0.075255

Sum squared resid 17.46555 Schwarz criterion 1.229913

Log likelihood 114.9012 F-statistic 234.5699

Durbin-Watson stat 2.416417 Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh Puska Daglu

Kemendag dengan Eviews 5.1)

Lampiran 6. Hasil Estimasi Regresi Common Pooled Least Square (OLS) terhadap

Model Kinerja Industri Manufaktur Indonesia

Dependent Variable: LOG(XEF?)

Method: Pooled Least Squares

Date: 11/02/11 Time: 11:21

Sample: 2006 2009

Included observations: 4

Cross-sections included: 126

Total pool (unbalanced) observations: 481

Cross sections without valid observations dropped

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LOG(N?) 0.016088 0.023761 0.677085 0.4987

LOG(L?) 0.042183 0.029153 1.446966 0.1486

LOG(PBBL?) -0.233098 0.022972 -10.14700 0.0000

LOG(PBBI?) -0.021969 0.009017 -2.436232 0.0152

LOG(BBM?) -0.034826 0.016530 -2.106856 0.0357

LOG(BBL?) -0.026829 0.018547 -1.446520 0.1487

LOG(O?) 1.268563 0.032383 39.17377 0.0000

C -0.976418 0.225042 -4.338831 0.0000

R-squared 0.969904 Mean dependent var 21.14924

Adjusted R-squared 0.969458 S.D. dependent var 1.809385

S.E. of regression 0.316212 Akaike info criterion 0.551684

Sum squared resid 47.29527 Schwarz criterion 0.621137

Log likelihood -124.6801 F-statistic 2177.595

Durbin-Watson stat 1.037560 Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh Puska Daglu

Kemendag dengan Eviews 5.1)

Lampiran 7. Hasil Estimasi Regresi Random Effect Model terhadap Model Kinerja

Industri Manufaktur Indonesia

Dependent Variable: LOG(XEF?)

Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects)

Date: 11/02/11 Time: 12:03

Sample: 2006 2009

Included observations: 4

Cross-sections included: 126

Total pool (unbalanced) observations: 481

Swamy and Arora estimator of component variances

Cross sections without valid observations dropped

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

LOG(N?) 0.000866 0.030333 0.028545 0.9772

LOG(L?) 0.085837 0.035325 2.429919 0.0155

LOG(PBBL?) -0.226536 0.023449 -9.660768 0.0000

LOG(PBBI?) -0.044212 0.010039 -4.403816 0.0000

LOG(BBM?) -0.040556 0.017988 -2.254587 0.0246

LOG(BBL?) -0.062308 0.018641 -3.342491 0.0009

LOG(O?) 1.297471 0.034250 37.88264 0.0000

C -0.931379 0.267656 -3.479761 0.0005 Random Effects

(Cross)

1511_--C 0.005597

1512_--C -0.289747

1513_--C -0.174193

1514_--C -0.210568

1521_--C -0.306374

1531_--C -0.575575

1532_--C -0.743277

1533_--C -0.196916

1541_--C 0.006533

1542_--C 0.118679

1543_--C -0.333475

1544_--C -0.376877

1549_--C -0.009457

1551_--C 0.180812

1552_--C 0.159345

1553_--C 0.261720

1554_--C 0.189606

1600_--C 0.183975

1711_--C 0.040421

1712_--C 0.035094

1721_--C -0.028909

1722_--C -0.057474

1723_--C 0.035411

1729_--C 0.048036

1730_--C -0.140562

1740_--C -0.497676

1810_--C 0.101750

1820_--C -0.154309

1911_--C -0.151166

1912_--C 0.089910

1920_--C -0.041305

2010_--C 0.043212

2021_--C 0.054470

2022_--C 0.069553

2023_--C -0.161078

2029_--C 0.071845

2101_--C 0.224288

2102_--C -0.092122

2109_--C 0.094977

2211_--C 0.081243

2212_--C 0.097885

2219_--C 0.097916

2221_--C 0.132514

2222_--C 0.224980

2230_--C 0.083157

2310_--C -0.142978

2320_--C 0.193119

2411_--C 0.104492

2412_--C 0.229176

2413_--C -0.067172

2421_--C 0.079778

2422_--C 0.038175

2423_--C -0.021376

2424_--C 0.267059

2429_--C 0.060888

2430_--C 0.173488

2511_--C -0.157191

2512_--C -0.259887

2519_--C -0.022233

2520_--C 0.018358

2526_--C -0.339489

2611_--C 0.036131

2612_--C -0.060801

2620_--C 0.008831

2631_--C 0.238598

2632_--C 0.029342

2641_--C 0.377368

2642_--C 0.001625

2650_--C 0.250787

2660_--C -0.117205

2690_--C 0.017585

2710_--C -0.139425

2720_--C -0.037921

2731_--C 0.273767

2732_--C 0.130062

2811_--C 0.131583

2812_--C 0.102119

2891_--C 0.015139

2892_--C 0.034065

2893_--C 0.142002

2899_--C 0.040416

2911_--C 0.187022

2912_--C 0.051182

2913_--C 0.130029

2914_--C 0.040137

2915_--C -0.116354

2919_--C 0.055722

2921_--C -0.203239

2922_--C 0.265791

2924_--C -0.089163

2925_--C 0.217618

2926_--C -0.088894

2927_--C 0.080962

2929_--C 0.093232

2930_--C 0.033364

3000_--C -0.303047

3110_--C -0.085383

3120_--C -0.007614

3130_--C -0.086878

3140_--C 0.102849

3150_--C 0.187352

3190_--C 0.274744

3210_--C 0.031080

3220_--C -0.108346

3230_--C -0.147321

3311_--C 0.012465

3312_--C 0.035887

3320_--C -0.113368

3330_--C 0.086184

3410_--C 0.346763

3420_--C 0.201713

3430_--C 0.153666

3511_--C 0.198788

3512_--C -0.125933

3520_--C -0.308448

3530_--C -0.619588

3591_--C 0.281363

3592_--C -0.032027

3610_--C 0.026716

3691_--C -0.255208

3692_--C -0.186349

3693_--C 0.035333

3694_--C 0.199899

3699_--C 0.027490

3710_--C -0.055451

3720_--C -0.244886 Effects Specification

S.D. Rho

Cross-section random 0.208733 0.4647

Idiosyncratic random 0.224028 0.5353 Weighted Statistics

R-squared 0.933764 Mean dependent var 10.08864

Adjusted R-squared 0.932784 S.D. dependent var 0.913038

S.E. of regression 0.236714 Sum squared resid 26.50390

F-statistic 952.5978 Durbin-Watson stat 1.714160

Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics

R-squared 0.968635 Mean dependent var 21.14924

Sum squared resid 49.28816 Durbin-Watson stat 0.921761

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh Puska Daglu

Kemendag dengan Eviews 5.1)

Lampiran 8. Hasil Estimasi Regresi Fixed Effect Model terhadap Kinerja Sepuluh

Industri Manufaktur dengan Nilai Impor Terbesar di Indonesia

Dependent Variable: LOG(XEF?)

Method: Pooled Least Squares

Date: 10/07/11 Time: 12:36

Sample: 2006 2009

Included observations: 4

Cross-sections included: 10

Total pool (balanced) observations: 40

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -0.087107 2.826384 -0.030819 0.9757

LOG(N?) -0.381470 0.349716 -1.090799 0.2867

LOG(L?) 0.370020 0.215807 1.714587 0.0999

LOG(PBBL?) -0.275606 0.104581 -2.635341 0.0148

LOG(PBBI?) -0.288138 0.105236 -2.738013 0.0117

LOG(BBM?) -0.026176 0.095268 -0.274760 0.7860

LOG(BBL?) -0.157124 0.094382 -1.664770 0.1095

LOG(O?) 1.550411 0.252194 6.147685 0.0000

Fixed Effects (Cross)

2411_--C 0.696105

2413_--C -0.031298

2710_--C 0.179862

2720_--C 0.125058

2912_--C -0.118440

2913_--C -0.078723

2924_--C -0.542604

2929_--C -0.434376

3410_--C -0.315682

3430_--C 0.520098 Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.992991 Mean dependent var 21.85146

Adjusted R-squared 0.988116 S.D. dependent var 1.935203

S.E. of regression 0.210965 Akaike info criterion 0.022368

Sum squared resid 1.023646 Schwarz criterion 0.740142

Log likelihood 16.55264 F-statistic 203.6673

Durbin-Watson stat 2.158449 Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh Puska Daglu

Kemendag dengan Eviews 5.1)

Lampiran 9. Hasil Estimasi Regresi Common Pooled Least Square (OLS) terhadap

Kinerja Sepuluh Industri Manufaktur dengan Nilai Impor Terbesar

di Indonesia

Dependent Variable: LOG(XEF?)

Method: Pooled Least Squares

Date: 10/07/11 Time: 12:36

Sample: 2006 2009

Included observations: 4

Cross-sections included: 10

Total pool (balanced) observations: 40

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -2.282794 0.625510 -3.649493 0.0009

LOG(N?) 0.002249 0.095841 0.023462 0.9814

LOG(L?) 0.318829 0.114364 2.787848 0.0089

LOG(PBBL?) -0.331807 0.077840 -4.262661 0.0002

LOG(PBBI?) -0.291250 0.064777 -4.496232 0.0001

LOG(BBM?) -0.105460 0.083110 -1.268928 0.2136

LOG(BBL?) -0.113496 0.052171 -2.175473 0.0371

LOG(O?) 1.686263 0.132973 12.68129 0.0000

R-squared 0.990497 Mean dependent var 21.85146

Adjusted R-squared 0.988418 S.D. dependent var 1.935203

S.E. of regression 0.208269 Akaike info criterion -0.123120

Sum squared resid 1.388025 Schwarz criterion 0.214655

Log likelihood 10.46241 F-statistic 476.4587

Durbin-Watson stat 1.826485 Prob(F-statistic) 0.000000

Sumber: Statistik Industri Manufaktur Skala Besar dan Sedang Tahun 2006-2009, BPS (diolah oleh Puska Daglu

Kemendag dengan Eviews 5.1)

Lampiran 10. Hasil Estimasi Regresi Random Effect Model terhadap Kinerja

Sepuluh Industri Manufaktur dengan Nilai Impor Terbesar di

Indonesia

Dependent Variable: LOG(XEF?)

Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)

Date: 10/07/11 Time: 12:37

Sample: 2006 2009

Included observations: 4

Cross-sections included: 10

Total pool (balanced) observations: 40

Linear estimation after one-step weighting matrix

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -0.631383 1.929966 -0.327147 0.7465

LOG(N?) -0.645081 0.230715 -2.796013 0.0103

LOG(L?) 0.310094 0.146623 2.114910 0.0455

LOG(PBBL?) -0.379343 0.078589 -4.826939 0.0001

LOG(PBBI?) -0.341729 0.078168 -4.371737 0.0002

LOG(BBM?) 0.043356 0.057970 0.747912 0.4621

LOG(BBL?) -0.175522 0.045567 -3.851928 0.0008

LOG(O?) 1.749103 0.156664 11.16470 0.0000

Fixed Effects (Cross)

2411_--C 1.002062

2413_--C -0.062654

2710_--C 0.314934

2720_--C 0.206133

2912_--C -0.052747

2913_--C -0.178918

2924_--C -0.841890

2929_--C -0.436597

3410_--C -0.820749

3430_--C 0.870425 Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics

R-squared 0.997720 Mean dependent var 35.95023

Adjusted R-squared 0.996134 S.D. dependent var 20.01983

S.E. of regression 0.183440 Sum squared resid 0.773957

F-statistic 629.0850 Durbin-Watson stat 2.209380

Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics

R-squared 0.996700 Mean dependent var 21.85146

Sum squared resid 1.120158 Durbin-Watson stat 2.101990

Dependent Variable: LOG(XEF?)

Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects)

Date: 10/07/11 Time: 12:37

Sample: 2006 2009

Included observations: 4

Cross-sections included: 10

Total pool (balanced) observations: 40

Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -2.282794 0.633609 -3.602842 0.0011

LOG(N?) 0.002249 0.097082 0.023162 0.9817

LOG(L?) 0.318829 0.115845 2.752212 0.0097

LOG(PBBL?) -0.331807 0.078848 -4.208172 0.0002

LOG(PBBI?) -0.291250 0.065615 -4.438758 0.0001

LOG(BBM?) -0.105460 0.084186 -1.252707 0.2194

LOG(BBL?) -0.113496 0.052846 -2.147664 0.0394

LOG(O?) 1.686263 0.134694 12.51919 0.0000 Random Effects

(Cross)

2411_--C 0.000000

2413_--C 0.000000

2710_--C 0.000000

2720_--C 0.000000

2912_--C 0.000000

2913_--C 0.000000

2924_--C 0.000000

2929_--C 0.000000

3410_--C 0.000000

3430_--C 0.000000 Effects Specification

S.D. Rho

Cross-section random 0.000000 0.0000

Idiosyncratic random 0.210965 1.0000 Weighted Statistics

R-squared 0.990497 Mean dependent var 21.85146

Adjusted R-squared 0.988418 S.D. dependent var 1.935203

S.E. of regression 0.208269 Sum squared resid 1.388025

F-statistic 476.4587 Durbin-Watson stat 1.826485

Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics

R-squared 0.990497 Mean dependent var 21.85146

Sum squared resid 1.388025 Durbin-Watson stat 1.826485

Dependent Variable: LOG(XEF?)

Method: Pooled EGLS (Cross-section weights)

Date: 10/07/11 Time: 12:37

Sample: 2006 2009

Included observations: 4

Cross-sections included: 10

Total pool (balanced) observations: 40

Linear estimation after one-step weighting matrix

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -0.631383 1.929966 -0.327147 0.7465

LOG(N?) -0.645081 0.230715 -2.796013 0.0103

LOG(L?) 0.310094 0.146623 2.114910 0.0455

LOG(PBBL?) -0.379343 0.078589 -4.826939 0.0001

LOG(PBBI?) -0.341729 0.078168 -4.371737 0.0002

LOG(BBM?) 0.043356 0.057970 0.747912 0.4621

LOG(BBL?) -0.175522 0.045567 -3.851928 0.0008

LOG(O?) 1.749103 0.156664 11.16470 0.0000

Fixed Effects (Cross)

2411_--C 1.002062

2413_--C -0.062654

2710_--C 0.314934

2720_--C 0.206133

2912_--C -0.052747

2913_--C -0.178918

2924_--C -0.841890

2929_--C -0.436597

3410_--C -0.820749

3430_--C 0.870425 Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics

R-squared 0.997720 Mean dependent var 35.95023

Adjusted R-squared 0.996134 S.D. dependent var 20.01983

S.E. of regression 0.183440 Sum squared resid 0.773957

F-statistic 629.0850 Durbin-Watson stat 2.209380

Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics

R-squared 0.996700 Mean dependent var 21.85146

Sum squared resid 1.120158 Durbin-Watson stat 2.101990