Kajian Awal Identifikasi Potensi Lahan Pertanian

9
LAPORAN KEGIATAN KAJI TINDAK KAJIAN AWAL IDENTIFIKASI POTENSI LAHAN PERTANIAN DI WILAYAH KECAMATAN CILENGKRANG KOTA BANDUNG Oleh: Roni Kastaman Ade Moetangad Kramadibrata Laporan Disusun Sebagai Kajian Awal Kerjasama antara Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kota Bandung Dengan Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM) Universitas Padjadjaran Bandung, Mei 2003

Transcript of Kajian Awal Identifikasi Potensi Lahan Pertanian

Page 1: Kajian Awal Identifikasi Potensi Lahan Pertanian

LAPORAN KEGIATAN KAJI TINDAK

KAJIAN AWAL IDENTIFIKASI POTENSI LAHAN PERTANIAN DI WILAYAH KECAMATAN CILENGKRANG

KOTA BANDUNG

Oleh:

Roni Kastaman

Ade Moetangad Kramadibrata

Laporan Disusun Sebagai Kajian Awal Kerjasama antara

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kota Bandung

Dengan

Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM)

Universitas Padjadjaran

Bandung, Mei 2003

Page 2: Kajian Awal Identifikasi Potensi Lahan Pertanian

1

DESKRIPSI KESESUAIAN LAHAN KEBUN 1. Analisis Visualisasi Lapangan

Secara visual lapangan, pengamatan kebun yang disurvai mencakup pengamatan dan gambaran lingkungan kebun (pengambilan gambar lapangan dengan handycam/kamera digital), arbitrasi (lokasi dan jarak tempuh), kondisi fisik lahan (topografi, landscape, slope / kontur, struktur tanah, tipe tanah), vegetasi (tanaman budidaya, pelindung, sosialisasi tanaman, cara kultivasi), ketinggian dari permukaan laut (altitude), posisi kebun (sudut inklinasi, tata-letak tanaman), iklim, lalulintas kebun, dan sistem pengairan (tata air tanah, ketersediaan air, jarak dan kuantitas). a. Peta Situasi & Arbitrasi Lokasi Objek Pengamatan

Survai/pengamatan lapang dilakukan di tiga lokasi, seperti tertera pada Gambar.1, yaitu: 1) Lokasi A: Kp. Cigagak Kel. Cisurukan Kec. Cibiru Kamantren Jalantir 2) Lokasi B: Koperasi Agrobisnis Mahesa Biru (AGROBIMA), Kp. Cipulus Kel. Palasari

Kec. Cilengkrang/Cibiru 3) Lokasi C: Pasantren Pertanian, Kp. Pasir Jait, Desa Cipanjalu Kec. Cilengkrang

/Cibiru

B C U

dari Cicaheum ke Cileunyi Jl Raya Cilengkrang Ujung Berung Gambar.1. Sketsa Peta Situasi Lokasi A, B, dan C

Lokasi obyek pengamatan relatif jauh dari jalan ekonomi, namun dapat dicapai dengan transportasi biasa melalui jalan kecamatan kelas III). Dimulai dari Cilengkrang, lalu-lintas angkutan umum dengan Angkot atau Ojek sampai pada km 4-5 cukup baik Lama tempuh sekitar 20 menit (5-7 km dari jalan Raya Cilengkrang). Sisa jarak sekitar 1 km untk mencapai lokasi A ada pada jalan yang buruk. Sedang lokasi B berada terpisah sekitar 1 km lagi dari A. Untuk itu dibutuhkan kendaraan lapangan seperti Jeep, Land Rover, atau sejenisnya. Kualitas jalan yang ada kurang memadai untuk angkutan hasil bumi dengan truk berkapasitas muatan lebih dari dua ton, sehingga untuk memicu aktivitas ekonomi kebun, kualitas jalan tersebut perlu ditingkatkan. Lokasi C dicapai melalui Ujung Berung. Mulai dari km 4-5 (sdh masuk ke wilayah Kabupaten Bandung), jalan sangat buruk, hanya bisa dilalui Jeep atau Ojek.

Jalan untuk lalu-lintas ke dalam dan ke luar kebun di ketiga lokasi belum terfasilitas, namun relatif masih dalam batas antar yang toleran. Diperkirakan waktu sekitar 5-20 menit jalan kaki untuk mengangkut bibit/benih atau hasil panen (ke

A

B C

Page 3: Kajian Awal Identifikasi Potensi Lahan Pertanian

2

dalam dan ke luar kebun) dari lokasi terdekat (dekat perumahan) sampai ke lokasi terjauh (di perbukitan sejauh 400-700 m jarak aeronautik). b. Visualisasi Umum Lingkungan Ketiga Lokasi

Situasi lingkungan kebun didokumentasikan melalui kamera digital untuk menggambarkan situasi dan kondisi fisik lahan kebun dan aktivitas survai berupa pengukuran reaksi tanah (pH) dan kelembaban (MC) pada kedalaman 10-15 cm (Gambar.2), dan penentuan tekstur/struktur tanah di lapangan. Foto hasil peliputan lapang (Handycam) diberikan secara lisan dalam ekspose bila diperlukan.

Gambar.2. Pengukuran Reaksi Tanah Gambar.3. Topografi Tanah di Sekitar

Dengan pH-Meter Lokasi Pengamatan

1) Kondisi Fisik lahan (topografi, landscape, slope kontur, struktur tanah, tipe tanah) Di lokasi A (Kp Cigagak), kebun berada pada lahan yang bertopografi

berbukit (undulating) dengan slope (kemiringan tanah) makro yang miring (35-45%) sampai terjal (>45%), sehingga pengolahan tanah intensif tidak dianjurkan, karena dapat mengakibatkan erosi berlebih yang mendeteriorasi struktur tanah (Gambar.3). Lahan lebih memungkinkan untuk diolah dengan peralatan mekanis manual (pacul, tugal, cukil, dsb). Terasering untuk lahan pertanaman (sheedbed) dengan slope mikro (2-5%) masih riskan erosi, sebaiknya diperbaiki ke bentuk seperti "goler kampak, dengan saluran drainase sejajar kontur dan bertangga ke arah bawah (downstream slope), agar arus aliran air permukaan (run off) pada saat hujan dapat diperlambat dan lebih banyak waktu untuk meresapkan air ke dalam tanah (infiltrasi dan perkolasi). Untuk itu, sepanjang kontur tanah (garis ketinggian yang sama) perlu diperkuat dengan penanaman tanaman perdu berakar lebat (teh, kihujan, dsbnya).

Gambar. 4. Kondisi Fisik Lahan dan Vegetasi di Kebun Cigagak yang Tergradasi Pada saat survai, kondisi fisik tanah relatif lembab, dan menunjukan

banyaknya tekstur halus (lempung-liat) yang diduga berstruktur segregat prismatik (bila kering keras, bila lembab lunak dan termasuk tanah berat untuk diolah karena

Page 4: Kajian Awal Identifikasi Potensi Lahan Pertanian

3

lengket pada peralatan pengolah tanah), sehingga tanah kebun dipastikan didominasi oleh komposisi fraksi tanah liat (jenis tanah latosol) dengan solum yang cukup dalam (lebih dari 40 cm).

Komposisi tekstur yang sama juga ditemui di lokasi B (Koperasi AGROBIMA), namun dengan kondisi topografi yang landai (slope antara 2-8 persen), sehingga risiko kesalahan dalam pengolahan tanah lebih kecil. 2) Vegetasi (tanaman budidaya, pelindung, sosialisasi tanaman, cara kultivasi)

Perbandingan relatif antara luasnya kanopi area kebun yang tertutup tanaman (coverage) dengan area yang terbuka (bare) di sela-sela tanaman di lokasi A dan C relatif sama, yaitu sekitar 60-65% tertutup dan 35-40% terbuka, dan secara keseluruhan wilayah kebun angka tersebut berkisar antara 65-75% tertutup dan 25-35% terbuka. Namun mengamati kemiringan lahan yang terjal, diperlukan kombinasi dan sosialisasi antar tanaman berakar tunggang yang dalam (pepohonan seperti pohon turi, kecipir, pete selong), tanaman berakar lebat yang dangkal (perdu seperti teh, kihujan, kemuning), dan tanaman yang dibudidayakan dengan sistem tumpangsari (kacang tanah, kangkung darat).

Pepohonan dan perdu perlu ditanam di sepanjang kontur untuk memperlambat aliran permukaan, serta mencegah terjadinya erosi kinetik (soil dispersion & splash erosion). Sedang budidaya rumput gajah untuk pakan ternak sapi perah, pepohonan atau buah-buahan, dan beberapa krop lainnya di lokasi B menutup lahan sampai 80-90 persen.

Sistem kultur tanaman yang tampak diterapkan di lapangan untuk lokasi A dan B kurang mendukung konservasi tanah. Masih diperlukan pengamatan lapang untuk mengamati efek alellopatie atau symbiosis saling menguntungkan antar tanaman tersebut dengan tanaman tanaman-tanaman lainnya. Kultur tanaman (tomat, cabe kriting, bawang merah, jagung, kentang) yang dilakukan di lokasi B perlu memperhatikan kedua efek tersebut, agar sosialisasi tanaman dapat menjaga produktivitas lahan,

Sebagai tanaman sela yang dperkirakan menguntungkan untuk mensuplai bahan baku pembuatan minyak nilam dan sekaligus menambah penghasilan penduduk, tanaman nilam dapat dibudidayakan di lokasi A dan B, karena dengan zona kedalaman perakaran 20-35 cm dan susunan kanopinya yang rendah (perdu), ia dapat mencegah erosi kinetik dan sekaligus meningkatkan laju infiltrasi. 3) Ketinggian dari permukaan laut (altitude)

Ketinggian ketiga lokasi kebun berkisar antara 500-700 m dari permukaan laut.. Beberapa jenis krop dapat dibudidayakan di lokasi A dan C dengan sosialisasi tanaman yang mempertimbangkan efek alelopatinya, antara lain seperti : tembakau, jagung lada, kacang tanah, alfafa, kecipir, petei selong, jeruk, kapas, bahkan padi gogo. Untuk itu diperlukan pengamatan lebih lanjut dalam beberapa periode tanam. 4) Posisi kebun (sudut inklinasi, tata-letak tanaman)

Sudut inklinasi dengan matahari yang diamati pada budidaya beberapa krop, terutama di Lokasi A dan C, tampaknya tidak/kurang diperhatikan. Seharusnya, setiap sistem kultur teknik yang dilakukan di area punggung bukit yang berlereng terjal harus selalu berorientasi kepada arah dan sudut jatuh sinar matahari serta posisi lereng, dimana tanaman tinggi pada lereng yang menghadap ke arah matahari terbit (ke timur) ditempatkan dibagian terbelakang dari tanaman rendah sedemikian rupa,

Page 5: Kajian Awal Identifikasi Potensi Lahan Pertanian

4

sehingga tidak terjadi persaingan sinar matahari, kecuali bila pepohonan tersebut digunakan sebagai peneduh. Untuk lereng yang menghadap ke arah matahari terbenam (ke barat), perlakuan sebaliknya yang perlu diterapkan. Di lokasi B yang memiliki lansekap mendatar perlakuan sosialisasi tanaman lebih diutamakan untuk merangsang efek simbiosis dan mengurangi efek allelopatie 5) Iklim

Dengan curah hujan antara 1800-2500 mm pertahun, sebenarnya lahan kebun cukup memperoleh air (tadah hujan), bila pada musim kemarau dilakukan budidaya krop yang tahan kekeringan. Masalah laju infiltrasi menjadi yang relatif rendah, sehingga sebagian besar aliran air permukaan tidak mudah berinfiltrasi, perlu dilakukan Jadi perbaikan kondisi tanah (soil conditioner) perlu dilakukan, misal dengan pemberian kompos, bahan organik, hijauan, dan pupuk kandang untuk meningkatkan penyerapan air melalui infiltrasi.

6) Lalu-Lintas kebun

Tampaknya lalu-lintas kebun di lokasi A dan lokasi C sebagai prasarana kelancaran lalu-lintas saprotan belum terealisasi, karena kondisi lahan yang terjal. Namun demi mobilitas angkutan bibit/benih atau hasil, sebaiknya hal ini dipikirkan, dengan pembuatan lintasan zig-zag yang sesuai dengan kontur tanah dan tata-letak tanaman pelindung dalam sistem teraseringnya.

Gambar. 5. Lalu-Lintas Antar dan di Dalam Lahan Kebun yang Miskin Hara 7) Sistem pengairan (tata air tanah, ketersediaan air, jarak dan kuantitas).

Diperkirakan tata-air tanah akan cukup merata, bila kombinasi dan sosialisasi tanaman pelindung yang berakar dalam dan tanaman perdu berakar lebat diatur sesuai dengan kontur tanah. Masalah terutama dihadapi di lokasi A pada musim kemarau dimana sumber air berada jauh di bawah kontur lahan-lahan kebun, dan jauhnya jarak tempuh, baik horisontal maupun vertikal, untuk mengangkut air dalam kuantitas yang cukup. Masalah serupa juga dihadapi di lokasi C, walau di pasantren ini memiliki bak penampung air yang terletak relatif lebih tinggi dari lahan kebun. Karena itu sistem kultivasi yang sebaiknya dilakukan adalah untuk jenis tanaman yang relatif tahan terhadap kekeringan. Tanaman jagung, tomat, dan cabe kriting relatif tegar dalam kondisi ini, namun dengan hasil panen yang kurang optimal, kecuali bila kekurangan air tersebut dapat diimbangi dengan pemupukan secara terarah.

Berdasarkan pengamatan topografi dan lansekap di sekitar lokasi, diperkirakan terdapat beberapa sumber air yang dapat digunakan untuk mensuplaii kebutuhan air bagi tanaman, terutama pada saat musim kemarau. Pengelolaan air yang dapat dilakukan antara lain : 1. Memperbanyak bak-bak penampungan air di beberapa lokasi tertentu yang dapat

memudahkan proses transportasi air dari satu blok tanaman ke blok tanaman yang lain.

Page 6: Kajian Awal Identifikasi Potensi Lahan Pertanian

5

2. Menyiapkan perangkat pendukung sistem irigasi tetes, yang diperlukan pada saat musim kemarau tiba, sehingga tanaman tidak mengalami kekeringan.

3. Visualisasi Kegiatan Kebun Cigagak (Lokasi A) Mengamati cara kultur teknis yang rawan erosi dan berisiko produktivitas rendah di lingkungan kebun yang terjal, jelas diperlukan suatu penyuluhan dan pelatihan Kombinasi tanaman jagung, kacang Bogor, ubi jalar, dan singkong yang dibudidayakan di sini dapat diteruskan, mengingat kondisi reaksi tanah dari agak masam (pH 6.2-6.5), namun perlu dilakukan perbaikan terhadap sistem terasering dengan sistem kontur krop dengan tanaman berakar tunggang yang dalam. Beberapa indikasi pada jagung, singkong, dan ubi jalar, menunjukan adanya kekurangan beberapa unsur zat hara makro dan mikro yang laten dan perlu ditangani dengan metode pemupukan terarah. Kekurangan air pada saat musim kemarau dapat dicoba atasi dengan konsep koefisien transpirasi. 4. Visualisasi Kegiatan Koperasi Agrobisnis Mahesa Biru (Lokasi B) a. Usaha Sapi Perah dan Sapi Potong Selintas, usaha sapi perah (200 ekor) dan sapi potong (100 ekor) dilakukan oleh para petani anggota masih dengan cara sederhana. Sarana kandang dan perlengkapan pemerahan yang tersebar tampak kurang higienis dan rawan kontaminasi, dimana saluran sanitasi limbah kandang (kotoran dan urin) tidak terkelola dengan baik. Padahal sapi yang digunakan merupakan sapi unggulan (Frisian-Holstein) yang di negara asalnya (Belanda) dapat menghasilkan 5000-6000 liter susu per ekor pertahun dengan kadar lemak 4-5%. Pakan sapi yang digunakan rumput gajah dengan konsentrat 12 kg perhari, menurut pengusahanya, sudah menghasilkan susu sebanyak 5000 liter perhari perekor (pernyataan yang salah, buka perhari, tapi pertahun). Pakan berupa silage buatan sendiri, tampak belum menjadi budaya. Kotoran kandang tampak dikumpulkan dan dimaksudkan untuk dibuat kompos, namun dilakukan tanpa metode tertentu. Produk susu langsung ditampung oleh koperasi untuk dipasarkan dengan kualitas yang kurang terjaga kehigienisannya, sehingga diperkirakan nilai jualnya pun baru dapat memenuhi biaya substansialnya. Gambar 6 memperlihatkan situasi di lokasi peternakan sekitar koperasi Agromas.

Gambar. 6. Koperasi Agromas dan Ternak Sapi Perah Yang Dikelola

Tampaknya problem utama adalah kurang tersedianya suplai air yang memadai untuk menjaga kebersihan kandang, dan ini sebenarnya juga refleksi kebiasaan petani yangkurang higienis. Karena itu, diprioritaskan adanya peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani dalam mengelola sarana kandang sapi dengan saluran sanitasi yang higienis, sistem pemerahan susu dengan penyimpanan yang aman (baik dari kontaminasi mikroba dan kotoran maupun dari tempat penampungannya), dan membuat pakan, terutama silage yang berkadar nutrisi tinggi, untuk peningkatan kualitas/produktivitas susu sapi perah dan pembesaran sapi potong.

Page 7: Kajian Awal Identifikasi Potensi Lahan Pertanian

6

Juga diperlukan pelatihan mengenai pengelolaan sistem sanitasi terpadu yang berfungsi sebagai pemroses limbah dari kandang-kandang sapi dan dari limbah domestik lainnya. Percontohan sarana reaktor sampah untuk pembuatan kompos pertanian tepat-guna dengan bahan baku dari kandang tampak diperlukan untuk mengkondisikan lokasi usaha ini menjadi lebih higienis dan ramah lingkungan. b. Usaha Tani

Diversifikasi budidaya dengan tomat, cabe kriting, kentang, bawang merah, dan jagung, termasuk pepohonan buah dan rumput gajah merupakan sosialisasi tanaman yang berefek allelopatie dan simbiosis. Untuk peningkatan produktivitas lahan, krop, dan penanganan serta pengolahan hasil diperlukan pelatihan sistem mekanisi dan diversifikasi kultur teknik krop terpadu.

Sekilas pengamatan pada tanaman tomat, tampak beberapa indikasi kekurangan zat hara mikro dan mikro, serta adanya serangan serangga pengisap atau jamur. Hasil pengukuran reaksi tanah yang masam- agak masam (ph 4.5-4.9) menunjukan adanya mobilisasi ion logam seperti Al+++ berlebihan yang bersifat racun bagi tanaman dan bahkan mematikan tanaman, sehingga pada akhirnya menurunkan produktivitas lahan.. Hal ini terindikasikan pada kondisi tanaman tomat, jagung, kacang tanah, dan pisang yang dikuatirkan akan mati/kering, seperti terlihat pada Gambar 7.

Gambar.7. Kondisi Tanaman Kultur Yang Mengalami Defisiensi Hara dan Serangan Hama

Pernyataan Ketua Koperasi AGROMA, pak Mansur, bahwa tomat yang

dibudidayakan tersebut akan menghasilkan panen 3 kg perpohon tampaknya tidak akan tercapai, apalagi bila melihat jumlah putik yang hanya berkisar antara 4-6 bunga. 4. Visualisasi Kegiatan Pasantren Pertanian (Lokasi C) Lokasi Pesantren Pertanian yang dikelola oleh pak Yosis, terletak juga di wilayah berlereng. Lokasi ini berada di wilayah Kabupaten Bandung, dan untuk mencapainya tidak tersedia jalan resmi kecuali jalan kebun yang sulit ditempuh dengan kendaraan biasa. Kondisi ini perlu diperbaiki untuk kemudahan mobilitas bahan saprotan dan hasil panen, agar tingkat ekonomi komunitas pesantren dapat berkembang.

Page 8: Kajian Awal Identifikasi Potensi Lahan Pertanian

7

Pak Yosis memanfaatkan lereng-lereng yang terjal menjadi lahan budidaya tomat, kol, dan beberapa jenis buah-buahan. Di sini kondisi kultur teknik juga perlu dibenahi, karena rawan erosi dan deteriorasi fertilitas tanah, sebagaimana pada Lokasi A. (a) (b)

Gambar.8. Tanaman Tomat Di Lokasi C (Pesantren Pertanian) Jenis tanah di area ini agak mendekati jenis tanah podsolik dengan warna tanah yang lebih gelap, namun kondisi fisik (tekstur) relatif sama dengan di lokasi A dan B yang banyak mengandung kadar liat cukup tinggi. Dalam Unified Soil Classification System dapat digolongkan dalam tipe tanah SC. Reaksi tanah rendah, antara pH 4.8-4.9 (di area bebas pertanaman) dan ph 5.1-5.3 di area pertanaman tomat. Diduga hal itu terjadi karena penggunaan pupuk kompos kotoran sapi yang dikembangkan sendiri ole pak Yosis.

Fakta, seperti terlihat pada Gambar.8 memang menunjukan indikasi yang luar biasa, dimana tanaman tomat tampak jauh lebih segar (Gambar. 8a) dan memiliki putik lebih banyak antara 8-12 (Gambar.8b) daripada pertanaman tomat yang teramati di lokasi B. Diperkirakan dengan jumlah putik seperti itu, panen 3 kg tomat perpohon dapat tercapai. Namun tedapat indikasi yang mirip di lokasi B, yaitu adanya tanda kekurangan zat hara tertentu dan penyakit tertentu, dimana beberapa daun tampak mengeriting. Fakta visual lain adalah adanya panen mangga sampai 3 kali setahun setelah pohon mangga diberi pupuk kompos kotoran sapi tersebut, dan merebaknya bunga/putik/bakal buah pada pohon alpukat, tanpa terlihat indikasi kerontokan. Tampaknya teknik pengomposan kotoran sapi yang dikembangkan oleh pak Yosis ini merupakan ‘terobosan’ dari pupuk organik yang dapat diaplikasikan untuk wilayah pertanaman lain.

Masalah suplai air, walau ada bak penampung air yang berasal dari dataran lebih tinggi, namun risiko kekurangan air cukup potensial pada musim kemarau panjang. Karena itu sarana penampung air dan cara pengairan perlu dikembangkan di sini. 5. Kesimpulan dan Saran Pengamatan potensi wilayah di lokasi-lokasi yang diuraikan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Cara kultur teknis di lahan kritis dan tererosi, seperti di lokasi A dan C, perlu diperbaiki

2. Ketersediaan air yang baik dan bersih, baik untuk kebutuhan air irigasi maupun untuk konsumsi air domestik, di ketiga lokasi perlu diantisipasi. Terutama untuk lokasi B, ketersediaan air bersih untuk pengelolaan kandang sapi yang higienis merupakan prioritas untuk segera dibenahi

Page 9: Kajian Awal Identifikasi Potensi Lahan Pertanian

8

3. Adanya beberapa indikasi kekurangan zat hara dan penyakit tanaman perlu diantisipasi.

4. Diversifikasi kultur teknis dalam sosialisasi krop perlu diperhatikan 5. Metode dan pembuatan saluran dan sarana sanitasi, serta pembuatan pakan

ternak/silage kompos pertanian yang tepat-guna, terutama di lokasi B, perlu diantisipasi segera

6. Sarana lalu-lintas ekonomi untuk usaha tani di ketiga lokasi yang memadai perlu diwujudkan Secara umum, semacam penyuluhun, pelatihan keterampilan, dan peningkatan

pengetahuan usaha tani terpadu perlu dilaksanakan di wilayah ini, dan perancangan tata usaha tani terpadu yang efektif dan ramah lingkungan perlu dikoordinasikan dengan semua komponen dan instansi terkait.

DAFTAR PUSTAKA Dent, D., and A. Young. 1972. Soil Survey and Land Evaluation, George Allen &

Unwin (Publisher) Ltd., London Finck, A. 1976. Pflanzenerndhrung in Stichworten, Veriag Ferdinand Hirt, Kiel. Gerth, J. 1985. Untersuchungen zur Adsorption von Ni, Zn, und Cd durch Bodenton

fraktionen unterschiedhchen Stoffbestandes und verschiedene Bodenkomponenten, inaugural Dissertation zur Erlangung des Doktorgrades der Agrarwissenschaftlichen Fakultat der Christian-Albrechts Universitat Kiel

Glendinning J.S. (Ed). 1981. Fertilizer Handbook, Australian Fertilizer Ltd., North Sydney, Australia.

Hudson, N. 1981. Soi4 Conservation, Batsford Academic and Educational Ltd., London Reuter, D.J. and J.B. Robinson (Eds). 1986. Plant Analysis, An Interpretation Manual,Inkata Press, Melbourne

Schroeder, D. 1972. Bodenkunde In Stichworten, Verlag Ferdinand Hirt, Kiel. Phillips, R.E., S.H. Phillips (Eds). 1984. No-Tillage Agriculture, Principles and

Practices, Van Nostrand Reinhold Company, N.Y.