KAJIAN ANALISIS MODEL E-READINESS DALAM RANGKA ...

14
DOI: 10.17933/mti.v11i1.171 65 Masyarakat Telematika Dan Informasi : Jurnal Penelitian Teknologi Informasi dan Komunikasi Volume: 11 No. 1 (Januari Juni 2020) Hal.: 65 78 KAJIAN ANALISIS MODEL E-READINESS DALAM RANGKA IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT STUDY ANALYSIS OF E-READINESS MODEL IN THE IMPLEMENTATION OF E-GOVERNMENT Rossi Adi Nugroho Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Kominfo Jalan Medan Merdeka Barat No. 09 Jakarta Pusat 10110 Email : [email protected] Naskah diterima tanggal 07 - 03- 2020, direvisi tanggal 11- 08- 2020 , disetujui tanggal 24 08 -2020 Abstract The application of e-government has been carried out in many countries but the results have varied due to different levels of e-readiness. In Indonesia there are many failures in implementing e-government because the government does not know the level of e-readiness and only follows the developing trend. The concept of e-readiness presents due to many unsucessful e-government implementation remains, especially in developing countries. By assessing e-readiness, the government can assess its level of readiness, utilize ICTs, evaluate the progress and then can formulate appropriate policies. This research is carried out using literature review and assessment models that best suits the characteristics of the research object. The result shows that the framework STOPE + Budget which consists of Strategy, Technology, Organization, People, Environment and Budget is the most appropriate model to meet government e-readiness. The STOPE frame is chosen because it is the most approved and acceptable according to user needs. Modification by adding budget readiness as one of main domains is very important because the main problem in implementing e- government in developing countries is budget readiness. Keywords : E-readiness, E-government, Strategy, Technology, Organization, People, Environment, Budget Abstrak Penerapan e-government telah dilakukan di banyak negara namun hasilnya bervariatif karena kondisi tingkat e-readiness yang berbeda-beda. Di Indonesia banyak kegagalan penerapan e-government karena pemerintah tidak mengetahui tingkat e-readiness dan hanya mengikuti tren yang berkembang. Konsep e-readiness ini hadir karena masih banyak kegagalan e-government terutama di negara-negara berkembang. Dengan menilai e-readiness pemerintah dapat menilai tahap kesiapannya, memanfaatkan peluang TIK dan mengevaluasi penerapan e-government serta dapat merumuskan kebijakan yang tepat. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi literatur dan menilai model- model penilaian e-readiness yang paling sesuai dengan karakteristik obyek penelitian. Hasilnya dirumuskan model framework STOPE+Anggaran yang terdiri atas Strategi, Teknologi, Organisasi, People, Environment dan Budget merupakan model yang paling tepat untuk menilai e-readiness pemerintah. Framewok STOPE dipilih karena merupakan pendekatan yang paling komprehensif dan dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan pengguna. Modifikasi dengan menambahkan e-readiness anggaran sebagai domain utama merupakan hal yang sangat penting karena masalah utama penerapan e-government di negara berkembang adalah kesiapan anggaran. Kata Kunci : E-readiness, E-government, Strategi, Teknologi, Organisasi, SDM, Lingkungan, Anggaran

Transcript of KAJIAN ANALISIS MODEL E-READINESS DALAM RANGKA ...

Page 1: KAJIAN ANALISIS MODEL E-READINESS DALAM RANGKA ...

DOI: 10.17933/mti.v11i1.171 65

Masyarakat Telematika Dan Informasi : Jurnal Penelitian Teknologi Informasi dan Komunikasi

Volume: 11 No. 1 (Januari – Juni 2020) Hal.: 65 – 78

KAJIAN ANALISIS MODEL E-READINESS

DALAM RANGKA IMPLEMENTASI E-GOVERNMENT

STUDY ANALYSIS OF E-READINESS MODEL

IN THE IMPLEMENTATION OF E-GOVERNMENT

Rossi Adi Nugroho Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika, Kementerian Kominfo

Jalan Medan Merdeka Barat No. 09 Jakarta Pusat 10110

Email : [email protected]

Naskah diterima tanggal 07 - 03- 2020, direvisi tanggal 11- 08- 2020 , disetujui tanggal 24 – 08 -2020

Abstract

The application of e-government has been carried out in many countries but the results have varied due to different

levels of e-readiness. In Indonesia there are many failures in implementing e-government because the government does

not know the level of e-readiness and only follows the developing trend. The concept of e-readiness presents due to

many unsucessful e-government implementation remains, especially in developing countries. By assessing e-readiness,

the government can assess its level of readiness, utilize ICTs, evaluate the progress and then can formulate appropriate

policies. This research is carried out using literature review and assessment models that best suits the characteristics of

the research object. The result shows that the framework STOPE + Budget which consists of Strategy, Technology,

Organization, People, Environment and Budget is the most appropriate model to meet government e-readiness. The

STOPE frame is chosen because it is the most approved and acceptable according to user needs. Modification by

adding budget readiness as one of main domains is very important because the main problem in implementing e-

government in developing countries is budget readiness.

Keywords : E-readiness, E-government, Strategy, Technology, Organization, People, Environment, Budget

Abstrak

Penerapan e-government telah dilakukan di banyak negara namun hasilnya bervariatif karena kondisi tingkat

e-readiness yang berbeda-beda. Di Indonesia banyak kegagalan penerapan e-government karena pemerintah tidak

mengetahui tingkat e-readiness dan hanya mengikuti tren yang berkembang. Konsep e-readiness ini hadir karena masih

banyak kegagalan e-government terutama di negara-negara berkembang. Dengan menilai e-readiness pemerintah dapat

menilai tahap kesiapannya, memanfaatkan peluang TIK dan mengevaluasi penerapan e-government serta dapat

merumuskan kebijakan yang tepat. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi literatur dan menilai model-

model penilaian e-readiness yang paling sesuai dengan karakteristik obyek penelitian. Hasilnya dirumuskan model

framework STOPE+Anggaran yang terdiri atas Strategi, Teknologi, Organisasi, People, Environment dan Budget

merupakan model yang paling tepat untuk menilai e-readiness pemerintah. Framewok STOPE dipilih karena

merupakan pendekatan yang paling komprehensif dan dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan pengguna.

Modifikasi dengan menambahkan e-readiness anggaran sebagai domain utama merupakan hal yang sangat penting

karena masalah utama penerapan e-government di negara berkembang adalah kesiapan anggaran.

Kata Kunci : E-readiness, E-government, Strategi, Teknologi, Organisasi, SDM, Lingkungan, Anggaran

Page 2: KAJIAN ANALISIS MODEL E-READINESS DALAM RANGKA ...

Masyarakat Telematika Dan Informasi : Jurnal Penelitian Teknologi Informasi dan Komunikasi

Volume: 11 No. 1 (Januari – Juni 2020) Hal.: 65 - 78

66

PENDAHULUAN

Adopsi e-government telah meningkat di

sebagian negara tetapi hasilnya juga bervariasi

antarnegara. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat

kesiapan atau e-readiness yang berbeda-beda

baik di negara maju maupun berkembang

(Elbahnasawi, 2004). United Nation

Development Program mendefinisikan e-

readiness sebagai penilaian kesiapan yang

dimaksudkan untuk memandu upaya

pengembangan dengan memberikan tolak ukur

perbandingan dan kemajuan atau peningkatan

sehingga dapat ditemukan penyebab masalah

teknologi informasi dan komunikasi (TIK),

dilakukan advokasi perubahan TIK yang

diperlukan dan pengembangan rencana TIK

yang sehat (Sergey, 2004). World Economic

Forum dalam Potnis & Pardo (2011),

mengatakan bahwa e-readiness merupakan

kondisi kesiapan suatu negara untuk

mendapatkan manfaat yang ditawarkan oleh

TIK pada umumnya yaitu dalam hal kebijakan,

infrastruktur dan inisiatif di tingkat dasar.

Menurut Bowles (2011), e-readiness

merupakan gambaran tentang kapasitas

seseorang atau kelompok untuk mengadopsi

dan menggunakan teknologi informasi dan

komunikasi guna mencapai hasil yang

bermanfaat. Sedangkan menurut Peters (2005),

e-readiness adalah kesiapan sebuah negara

untuk mendapatkan manfaat yang ditawarkan

oleh teknologi dan komunikasi dalam hal

kebijakan, infrastruktur, dan inisiatif

pengembangan e-government. E-readiness

adalah sebuah ukuran sejauh mana

masyarakat/komunitas siap berpartisipasi

dalam jaringan global melalui teknologi

informasi dan komunikasi (Hashem,.). CID

Harvard (2019) mengatakan e-readiness

merupakan ukuran sejauh mana suatu

komunitas dipersiapkan untuk berpartisipasi

dalam dunia jaringan. Hal ini diukur dengan

menilai kemajuan relatif masyarakat di

bidang-bidang yang penting untuk untuk

adopsi dan aplikasi TIK. Berdasarkan

beberapa pendapat para ahli di atas maka dapat

disimpulkan bahwa e-readiness merupakan

tingkat kesiapan organisasi, individu, ataupun

negara dalam mengadopsi dan memanfaatkan

teknologi informasi dan komunikasi untuk

memberikan hasil yang optimal.

Konsep e-readiness ini, hadir karena

masih tingginya kegagalan e-government

khususnya di negara berkembang. Menurut

Heek (2003), 85% implementasi e-government

di negara berkembang mengalami kegagalan

(35% kegagalan total dan 50% kegagalan

parsial) dan hanya 15% yang dianggap

berhasil. Adapun kendala dalam penerapan e-

Government di Indonesia meliputi

keterbatasan kompetensi sumber daya

manusia, infrastruktur yang belum memadai

dan akses yang terbatas, rendahnya komitmen

pemerintah dan integrasi serta transparansi

publik, minimnya budaya berbagi informasi

dan tertib dokumentasi, dan resistensi terhadap

perubahan (Nento, et.al. 2017).

Inisiatif e-government menghadapi

tantangan dan hambatan yang serius di negara-

negara berkembang. Secara garis besar

tantangan dan hambatan ini terdiri atas: (1)

kurangnya dukungan sumber daya ekonomi

dan keuangan; (2) kurangnya kesiapan sumber

daya manusia (SDM) yang memiliki

kompetensi di bidang TIK serta kurangnya

pengembangan kapasitas institusi dan

personel, keahlian dalam meramalkan

pengembangan TIK di masa depan; (3)

kurangnya partisipasi masyarakat yaitu

dukungan yang terbatas, kesalahpahaman

warga sehingga menyebabkan partisipasi

masyarakat rendah ; (4) kurangnya rencana

dan strategi: e-government diperkenalkan

setengah-setengah dan tidak sistematik; (5)

kesenjangan digital seperti infrastruktur,

ketidakmerataan SDM, akses komputer dan

kemampuan yang tidak merata dalam

masyarakat yaitu adanya perbedaan tingkat

pemahaman maupun implementasi e-

government pada satu daerah dibandingkan

dengan daerah lain; (6) organisasi yaitu

kurangnya kesepakatan dalam sistem

administrasi publik seperti penolakan secara

langsung oleh pemerintah. (Sharda dan Voß,

2008; Lee, 2009; International

Telecommunication Union, 2009; Moon,2002;

Musa 2010).

Page 3: KAJIAN ANALISIS MODEL E-READINESS DALAM RANGKA ...

Kajian Analisis Model E-Readiness Dalam Rangka Implementasi E-Government

Rossi Adi Nugroho

67

Faktor penghalang potensial lainnya

dalam penerapan e-government adalah

hambatan legislatif dan regulasi. Hambatan

legislatif terkait dengan keberadaan hukum,

peraturan, arahan yang tepat yang

memfasilitasi penerapan e-government

(Vassilakis, et.al., 2005).

Dalam penerapan e-government

penilaian e-readiness pemerintah sangat

penting dilakukan karena pemerintah adalah

komponen penting dari keseluruhan e-

readiness suatu negara dan merupakan aktor

yang menentukan atau menyelidiki kebutuhan

e-readiness suatu negara (Kovavic, 2005).

Penilaian e-readiness dapat dijadikan bukti

dalam mengidentifikasi isu atau permasalahan

untuk merumuskan alternatif kebijakan yang

tepat yang didasarkan pada bukti–bukti yang

memadai (Evidence Based Policy). Marston

dan Watts (2003) dalam Kasanah (2017)

menyatakan bahwa bukti tersebut meliputi

pengetahuan pakar, hasil penelitian, evaluasi

kebijakan – kebijakan sebelumnya, hasil –

hasil konsultasi, permodelan ekonomi dan

statistik selain itu bukti bisa berupa

pengetahuan terkini yang terbaik namun harus

relevan, representatif dan valid. Dengan

menilai e-readiness pemerintah dapat

mencapai keberhasilan kebijakan dalam

penerapan e-government karena bagaimanapun

faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan

penerapan e-government banyak dan beragam

(Mokhawa et.al, 2014).

Untuk menilai e-readiness tersebut ada

banyak model yang dikembangkan. Model e-

readiness memberikan hasil pengukuran yang

dapat dijadikan pertimbangan oleh pengambil

keputusan untuk memilih kebijakan apa yang

tepat dan perbaikan yang harus dilakukan

untuk meningkatkan e-readiness (Musa,

2010). Di Indonesia penilaian sejenis juga

sudah dilakukan melalui Pemeringkatan e-

Government Indonesia (PeGI), namun sejak

tahun 2016 penilaian tersebut sudah tidak

dilakukan lagi dan diganti dengan adanya

indeks Sistem Pemerintahan Berbasis

Elektronik (SPBE) namun indeks SPBE lebih

berfokus untuk menilai tingkat maturity,

sehingga penelitian ini dilakukan untuk

mengusulkan kerangka model pengukuran e-

readiness pemerintah dalam implementasi e-

government dengan menggunakan study

literature review. Adapun pertanyaan

penelitian yang diajukan adalah bagaimana

kerangka model e-readiness pemerintah dalam

rangka implementasi e-government.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Konsep E-Readiness

Kajian dan riset Harvard JFK School of

Government dalam Indrajit (2006),

mengatakan bahwa untuk menerapkan konsep-

konsep digitalisasi pada sektor publik

diperlukan 3 (tiga) elemen sukses yang harus

ada yaitu: pertama adalah Support yang

merupakan elemen paling krusial yang harus

dimiliki pemerintah. Keinginan dari berbagai

kalangan pejabat publik dan politik untuk

benar–benar menerapkan konsep pelayanan

melalui pemanfaatan TIK, bukan hanya

sekedar mengikuti tren global atau menentang

inisiatif yang berkaitan dengan prinsip-prinsip

e-government. Tanpa adanya political will ini

mustahil pembangunan dan pengembangan

layanan digital ini dapat berjalan dengan

mulus. Adapun bentuk dukungannya berupa

disepakatinya kerangka e-government dan

pemberian prioritas pembangunan dan

pengembangan e-governement sebagai salah

satu kunci sukses negara untuk mencapai visi

misinya; dialokasikannya sumber daya (SDM,

keuangan, tenaga, waktu, informasi, dll.) di

setiap tataran pemerintahan untuk membangun

konsep ini dengan semangat lintas sektoral;

Dibangunnya infrastruktur dan suprastruktur

pendukung agar tercipta lingkungan yang

kondusif dalam pengembangan e-government

seperti regulasi, kelembagaan dll;

disosialisasikannya konsep e-government

secara merata, kontinyu, konsisten, kepada

seluruh birokrat secara khusus dan masyarakat

pada umumnya.

Kedua, Capacity: merujuk pada adanya

unsur kemampuan atau keberdayaan dari

pemerintah setempat dalam mewujudkan

impian e-government terkait menjadi

kenyataan yang terdiri atas minimum 3 (tiga)

Page 4: KAJIAN ANALISIS MODEL E-READINESS DALAM RANGKA ...

Masyarakat Telematika Dan Informasi : Jurnal Penelitian Teknologi Informasi dan Komunikasi

Volume: 11 No. 1 (Januari – Juni 2020) Hal.: 65 - 78

68

elemen yaitu: ketersediaan sumber daya yang

cukup untuk melaksanakan berbagi inisiatif e-

government terutama yang berkaitan dengan

sumber daya finansial; ketersediaan

infrastruktur teknologi informasi yang

memadai karena fasilitas ini merupakan 50%

dari kunci keberhasilan penerapan konsep e-

government; ketersediaan sumber daya

manusia yang memiliki kompetensi dan

keahlian yang dibutuhkan agar penerapan e-

government dapat sesuai dengan asas manfaat

yang diharapkan. Ketiga syarat itu harus

terpenuhi untuk mencapai keberhasilan

implementasi e-government.

Ketiga, Value: elemen kedua dan ketiga

merupakan dua aspek yang dilihat dari sisi

pemerintah selaku pihak pemberi jasa (supply

side). Berbagai inisiatif e-government tidak

akan ada gunanya jika tidak ada pihak yang

merasa diuntungkan dengan adanya konsep

tersebut, dan dalam hal ini yang menentukan

besar tidaknya manfaat dengan adanya e-

government bukanlah pemerintah itu sendiri

melainkan masyarakat yang berkepentingan

(demand side). Pemerintah harus benar-benar

teliti dalam mengembangkan aplikasi atau

menyediakan layanan e-government yang

sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga

dapat memberikan (value) manfaat. Kesalahan

dalam memenuhi layanan e-government yang

sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan

menjadi bumerang bagi pemerintah itu sendiri

yang akan mempersulit dalam usaha

pengembangan e-government.

Perpaduan ketiga elemen tersebut diatas

akan membentuk sebuah pusat syaraf jaringan

e-government yang merupakan kunci sukses

keberhasilan penerapan e-government. Tanpa

memperhatikan ketiga elemen tersebut dalam

penerapan konsep e-government, maka

probabalitas kegagalan implementasi e-

government tinggi.

Heeks (2001) mengatakan kesiapan e-

government menuju keberhasilan e-

governance (tata kelola pemerintahan berbasis

digital) meliputi 6 (enam) pertanyaan yang

harus dijawab. Pertama, apakah infrastruktur

sistem data sudah siap? Dibanyak negara

ditemukan bahwa kualitas data dan keamanan

data sangat buruk sehingga infrastruktur

pendukung untuk meningkatkan kualitas

maupun kuantitas sistem data; Kedua, apakah

infrastruktur legal sudah siap? Disini

diperlukan adanya seperangkat hukum untuk

menangkal kejahatan digital, serta melindungi

privacy, keamanan data dan informasi,

transaksi digital perorangan, perusahaan dan

lembaga pemerintah; Ketiga, apakah

infrastruktur kelembagaan sudah siap? e-

government hanya dapat berkembang jika ada

institusi yang fokus dan bertindak untuk

memfasilitasi e-government, di banyak negara

tidak ada lembaga yang mendorong,

mengoordinasikan dan memimpin adanya

penerapan e-government; Keempat, apakah

infrastruktur SDM sudah siap? Pemerintah

perlu mengembangkan sikap, pengetahuan dan

keterampilan SDM sektor publik dalam

menerapkan e-government. Di banyak negara

kesenjangan terkait dengan kompetensi e-

government masih banyak terjadi kesenjangan

dan kekurangsiapan seperti resistansi terhadap

perubahan, kurangnya orientasi pada

pelanggan, resistansi terhadap berbagi data,

dll.; Kelima, apakah infrastruktur teknologi

sudah siap? Meskipun ada kemajuan besar

dalam teknologi informasi dan komunikasi,

namun banyak negara yang masih tertinggal

dalam penyediaan infrastruktur teknologi

terutama dalam mendukung e-government;

Keenam, apakah kepemimpinan dan pemikiran

strategis sudah siap? Perlunya peran pemimpin

dalam mewujudkan visi yang menempatkan e-

government ke dalam agenda dan

kebijakannya sehingga hambatan operasional

dapat diminimalisir.

Peran E-Readiness

Konsep e-readiness merupakan salah

satu cara yang digunakan sebagai alat bantu

untuk melakukan evaluasi terhadap

implementasi penerapan e-government

maupun sebagai bukti dalam merumuskan

kebijakan yang sesuai dengan tingkat

kemampuan organisasi maupun kebutuhan

masyarakat. Penilaian e-readiness muncul

sebagai salah satu alat untuk mengukur kinerja

utama dalam mengelola sumber daya

Page 5: KAJIAN ANALISIS MODEL E-READINESS DALAM RANGKA ...

Kajian Analisis Model E-Readiness Dalam Rangka Implementasi E-Government

Rossi Adi Nugroho

69

organisasi secara efektif dalam penerapan e-

government (Potnis & Pardo, 2011). Hasil

penilaian e-readiness tidak hanya

menunjukkan kesiapan suatu komunitas tapi

juga mengidentifikasi penyebab masalah,

advokasi akibat perubahan TIK dan

pengembangan rencana TIK dalam jangka

panjang (Al-Oasimi, 2006). Penilaian e-

readiness digunakan untuk mengukur seberapa

siap negara-negara untuk mengambil

keuntungan dari peluang yang diberikan oleh

perkembangan TIK. Selain itu, e-readiness

digunakan sebagai sarana untuk mengetahui

evolusi kesiapan e-government suatu negara

dari waktu ke waktu (UNDESA, 2008).

Dengan mengukur e-readiness,

pemerintah dapat mengidentifikasi isu-isu

yang menjadi kendala penerapan e-government

dan dilakukan strategi alternatif yang tepat.

Hasil penilaian e-readiness dapat membantu

pemerintah mengukur tahap kesiapannya,

mengidentifikasi kesenjangannya dan

kemudian mendesain ulang strategi

pemerintahannya masing-masing (Josep,

2014). Tingkat e-readiness memiliki peran

penting terhadap kebijakan pada

pengembangan e-government di negara Iran

(Keramati, et.al., 2018). Penilaian e-readiness

memberikan informasi untuk pengambilan

keputusan sektor swasta dan publik dalam

investasi yang tepat dan formulasi kebijakan

yang diperlukan untuk proyek e-government

(Potnis & Pardo, 2011). Kurangnya e-

readiness berpengaruh pada kegagalan

implementasi e-government (Heeks, 2003).

Penilaian e-readiness jika diterapkan

pada sebuah proses evaluasi merupakan

langkah awal menuju perubahan ke arah yang

lebih baik dalam rangka meningkatkan

pelayanan publik yang berkualitas dengan

pemanfaatan TIK. Adanya penilaian e-

readiness untuk melihat sejauh mana e-

government telah sesuai dengan tujuan

awalnya serta dijadikan sebagai ukuran

kesiapan sebuah institusi dalam

mengimplementasikan e-government. Mutula

and Brakel (2006) mengatakan peran penting

e-readiness meliputi: 1) penilaian e-readiness

berguna untuk memahami dan

mengidentifikasi peluang yang penting dan

relevan dalam pembangunan yang

memanfaatkan TIK; 2) penilaian e-readiness

memungkinkan pemerintah menetapkan,

mengukur dan mencapai tujuan penerapan e-

government; 3) pengembangan dan penilaian

e-readiness sangat penting untuk

mendapatkan hasil yang dapat digunakan

untuk mempercepat tindakan, meningkatkan

daya saing global, dan menggunakan sumber

daya yang terbatas secara lebih bijak; 4)

penilaian e-readiness dapat membantu

pemangku kepentingan membuat keputusan

yang sulit dalam menggunakan sumber daya

yang langka dan mengubah kekuatan yang ada

menjadi pendapatan baru; 5) penilaian e-

readiness juga dapat mengungkapkan

hambatan mana yang sepadan dengan investasi

waktu dan uang yang harus dikorbankan dan

mana yang bisa diatasi; 6) penilaian e-

readiness yang disusun dengan baik akan

dapat memetakan posisi suatu negara, wilayah

atau daerah dan meningkatkan kekuatan

kompetitif dan mempromosikan bidang-bidang

dimana suatu daerah memiliki keunggulan

dibandingkan yang lain.

E-readiness terdiri atas beberapa

kategori dan indikator penting yang

menggambarkan aspek yang terkait langsung

maupun tidak langsung dengan keberhasilan e-

government. Tingkat kesiapan e-government

adalah penentu utama kepuasan pengguna,

karena layanan yang dihasilkan berbeda

dengan tingkat kematangan e-government

yang berbeda (Lee, et.al., 2008). Dengan

melakukan penilaian e-readiness maka

dihasilkan informasi kerangka kerja kebijakan

untuk TIK yang tepat dalam konteks e-

government (Potnis & Pardo, 2011).

Model-model E-Readiness

Berbagai studi tentang model dan alat

penilaian untuk menilai e-readiness telah

banyak dikembangkan. Banyak model

penilaian e-readiness yang ada bervariasi

dalam hal tujuan, metodologi dan hasil. Hal

tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada

model penilaian yang mencakup semua topik

dan memberikan seperangkat data lengkap

Page 6: KAJIAN ANALISIS MODEL E-READINESS DALAM RANGKA ...

Masyarakat Telematika Dan Informasi : Jurnal Penelitian Teknologi Informasi dan Komunikasi

Volume: 11 No. 1 (Januari – Juni 2020) Hal.: 65 - 78

70

yang diperlukan. Sehingga tidak jarang

peneliti melakukan modifikasi dan

menyesuaikan dengan kebutuhan penelitian.

Umumnya model e-readiness mencakup

lebih dari satu atau lebih topik berikut seperti

Peter (2005), yang mengatakan bahwa

pengukuran e-readiness meliputi: Pertama,

infrastruktur fisik seperti infrastruktur

telekomunikasi termasuk di dalamnya

teledensitas (jumlah telepon per orang), akses

internet, bandwidth, harga, dan keandalan;

Kedua, penggunaan TIK seperti tingkat

penggunaan di seluruh masyarakat seperti

rumah, bisnis, sekolah dan pemerintah; Ketiga,

kapasitas manusia seperti literasi, tingkat

keterampilan TIK dan pelatihan kejuruan;

Keempat, lingkungan kebijakan seperti

lingkungan hukum dan peraturan yang

mempengaruhi sektor TIK dan penggunaan

TIK termasuk kebijakan telekomunikasi,

kebijakan perdagangan, perpajakan

perdagangan elektronik, ketentuan layanan

universal, perlindungan konsumen dan

privacy; Kelima, ekonomi TIK (ukuran sektor

TIK).

UNDESA (2008) mengadopsi kerangka

konseptual kesiapan e-government dengan

menilai kesiapan e-government pada negara

anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Kerangka ini didasarkan pada pandangan

pembangunan secara holistik dengan

menggabungkan kapasitas manusia,

pembangunan infrastruktur TI dan akses

informasi dan pengetahuan. Kerangka kerja

PBB ini menggambarkan proses e-government

yang terdiri atas 5 (lima) fase yaitu : emerging,

enhanced, interative, transactional dan

connected. Fase terendah adalah emerging

dimana kehadiran pemerintah dalam

pemanfaatan TIK masih terbatas pada halaman

web dan sebagian informasinya bersifat statis

dan tautan ke web resmi lainnya mungkin

tidak ada, sedangkan fase tertinggi adalah

connected dimana pada fase ini penerapan e-

government dalam memberikan layanan

kepada warganya saling terkait dengan

dukungan sistem yang terintegrasi .

Mutula and Brakel (2006), dalam

penelitiannya mengusulkan adanya new e-

readiness integrated modern yang

menekankan akses informasi dan juga

mempertimbangkan berbagai segmen terkait

yaitu: organisasi, ICT, sumber daya manusia

dan dukungan lingkungan eksternal ke dalam

penilaian terpadu. Seperti dapat dilihat pada

gambar 1.

Sumber : Mutula & Brakel, 2006

Gambar 1. An Integrated Information Rich

e-Readiness Assesment Tools

Bayo & Lopez (2007) dalam Fathian,

et.al., (2008) mengeksplorasi adopsi TIK

dengan melihat 5 (lima) faktor seperti

lingkungan, karakteristik perusahaan, sumber

daya manusia, strategi bersaing dan organisasi

internal. Indeks kuantitatif dan kualitatif dibuat

dan digunakan untuk mengevaluasi dan

memberi peringkat negara e-readiness pada

skala e-readiness.

Chanyagorn & Kungwannarongku

(2011), mengembangkan sebual model

penilaian untuk organisasi publik dan privat

yang dirancang khusus untuk menyediakan

kerangka kerja dan indikator penting untuk

organisasi berskala kecil di negara

berkembang. Model ini mencakup 15 (lima

belas) indikator penting, model matematika,

faktor pengembangan TIK dan pedoman

interpretasi TIK yang terbagi atas 4 (empat)

indikator utama yaitu perangkat lunak dan

sistem informasi, perangkat keras TIK,

manusia dan sumber daya dan infrastruktur

TIK, seperti dapat dilihat pada gambar 2.

Page 7: KAJIAN ANALISIS MODEL E-READINESS DALAM RANGKA ...

Kajian Analisis Model E-Readiness Dalam Rangka Implementasi E-Government

Rossi Adi Nugroho

71

Sumber : Chanyagorn & Kungwannarongku, 2011

Gambar 2. ICT Readiness for

Asssesment Model for Small and Medium

Organization in Public and Privat Sector

Center for International Development

(CID) Harvard University (2019),

mengembangkan penilaian e-readiness untuk

menilai berbagai faktor yang menentukan

kesiapan jaringan komunitas di negara

berkembang. Model ini berfokus untuk

memberikan gambaran yang kuat tentang

kesiapan masyarakat dalam perencanaan

strategis. Model ini terdiri atas 5 (lima)

indikator untuk penilaian e-readiness meliputi

akses jaringan yang terdiri atas ketersediaan,

biaya dan kualitas jaringan, layanan dan

peralatan TI; akses pembelajaran yang terdiri

atas ketersediaan integrasi sistem pendidikan

ke dalam proses meningkatkan pendidikan dan

program pelatihan teknis di masyarakat; akses

masyarakat yang diukur dengan sejauh mana

individu menggunakan TIK di tempat kerja

dan kehidupan pribadi mereka, bagaimana

peluang bagi mereka yang memiliki

keterampilan TIK; akses ekonomi bagaimana

dunia bisnis dan pemerintah menggunakan

TIK untuk berinteraksi dengan publik atau

yang lain; dan akses kebijakan yang diukur

dengan bagaimana lingkungan kebijakan

mempromosikan atau menghambat

pertumbuhan adopsi dan penggunaan TIK.

Model CID Harvad ini, berfokus untuk

memberikan gambaran yang kuat tentang

kesiapan masyarakat dalam perencanaan

strategis. Kategori-kategori tersebut saling

terkait dan mendorong satu sama lain sehingga

semua elemen tersebut harus diperhatikan.

Model e-Readiness menurut Computer

System Policy Project (CSPP) tahun 1998

yang dikembangkan untuk membantu individu

dan komunitas menentukan seberapa siap

daerah atau institusi untuk berpartisipasi dalam

networked world. Model ini untuk menilai

seberapa besar pemerataan dan integrasi TIK

yang dibagi ke dalam 5 kategori yaitu: 1)

Infrastruktur; 2) Acces; 3) Application and

service; 4) Economy; 5) Enabler. Penilaian

pada masyarakat dilakukan berdasarkan pada 4

(empat) tingkat perkembangan yang masing-

masing terdiri atas 5 (lima) kategori yang

difokuskan pada infrastruktur yang ada dan

kapasitas kegunaan teknologi dalam

masyarakat.

Technology Acceptance Model (TAM)

merupakan model e-readiness yang

diperkenalkan oleh Davis (1989), merupakan

model penerimaan dan penggunaan teknologi

yang paling banyak digunakan dan merupakan

salah satu alat yang paling dewasa. Namun

dalam penggunaannya perlu mengidentifikasi

dan menyesuaikan dengan kelas teknologi dan/

atau proses bisnis tertentu. Model ini

didasarkan pada teori psikologi sosial dan

Theory of Reasoned Acceptance (TRA).

Determinan utama TAM yang ditentukan oleh

Davis sebagai faktor utama adalah Perceived

usefulness (PU), yaitu derajat dimana

seseorang percaya bahwa menggunakan sistem

tertentu akan meningkatkan kinerja atau

pekerjaannya, sedangkan Perceived ease of

use (PEOU) adalah sejauh mana seseorang

percaya bahwa menggunakan sistem tertentu

akan bebas dari upaya yang telah disarankan

termasuk kualitas informasi, kesenangan dan

risiko. Penggunaan TAM pada umumnya

digunakan untuk memprediksi penerimaan

teknologi baru. Seperti Al-Adawi (2005)

dalam Rashed, et.al (2010), yang mengadopsi

TAM untuk memahami bagaimana warga

negara mempersepsikan e-government sebagai

saluran interaksi utama pemerintah dan faktor

-faktor yang mempengaruhi penggunaan

mereka (Rashed, et.al. 2010).

PeGI atau Pemeringkatan e-Government

Indonesia adalah suatu model yang

dikembangkan oleh Kementerian Komunikasi

dan Informatika melalui Direktorat e-

Government. Pemeringkatan ini digunakan

untuk menilai bagaimana peta kondisi

Page 8: KAJIAN ANALISIS MODEL E-READINESS DALAM RANGKA ...

Masyarakat Telematika Dan Informasi : Jurnal Penelitian Teknologi Informasi dan Komunikasi

Volume: 11 No. 1 (Januari – Juni 2020) Hal.: 65 - 78

72

pemanfaatan Teknologi Informasi dan

Komunikasi oleh lembaga pemerintah secara

nasional yang digunakan sebagai solusi untuk

menganalisis e-government. Pemeringkatan ini

bertujuan untuk memberikan acuan

pengembangan dan pemanfaatan TIK di

pemerintahan. Adapun dimensi yang dinilai

adalah kebijakan, kelembagaan, infrastruktur,

aplikasi dan perencanaan.

Adapun Bakry (2004) mengembangkan

sebuah kerangka kerja untuk model penilaian

e-readiness yang dinamakan dengan

framework STOPE yang terdiri dari 5 (lima)

kategori berikut ini yaitu: 1) Strategi yang

meliputi kepemimpinan TIK dan

Pengembangan TIK; 2) Teknologi yang

meliputi infrastruktur dasar TIK, infastruktur

e-service, penyediaan TIK dan dukungan TIK;

3) Organisasi meliputi peraturan terkait

dengan TIK, kerjasama TIK dan manajemen

TIK; 4) Orang-orang atau seperti kesadaran

TIK, pendidikan dan pelatihan TIK, kualifikasi

dan pekerjaan serta manajemen kecakapan

TIK; 5) Lingkungan yang meliputi

pengetahuan, sumber daya dan ekonomi,

organisasi dan infrastruktur umum.

E -Readiness Framework STOPE

Dari berbagai model penilaian e-

readiness di atas framework STOPE dipilih

karena merupakan kerangka kerja yang

komprehensif dan integrasi dari berbagai

faktor yang pernah dipakai dalam mengukur e-

readiness, bagaimanapun keberhasilan

penerapan e-government tidak hanya dilihat

dari kesiapan teknologinya, tetapi juga

melibatkan faktor lain yang sangat kompleks

seperti aspek sosial politik, organisasi,

ekonomi, budaya, kelembagaan lingkungan

(Dukic, et al., 2016). Adopsi dan modifikasi

framework STOPE ini dilakukan dengan

mempertimbangkan kajian literatur dan

penelitian terdahulu.

Strategy: Strategi merupakan komponen

penting dalam penilaian e-readiness, (Bakry,

2004); Strategi merupakan hal yang sangat

penting dalam keberhasilan penerapan e-

government. (Heeks, 2003); Dalam menilai

kesiapan e-government, tahap yang paling

penting adalah tingkat strategis atau

perencanaan (Tucker, 2012).

Technology: Tingkat kecanggihan e-

government tergantung pada penerapan

teknologi (Carter & Weerakkody, 2008; UN,

2018). Teknologi merupakan domain penting

dalam tingkat penilaian e-readiness (Bakry,

2004). Ketepatan kesiapan infrastruktur dan

teknologi memainkan peran yang sangat

penting dalam pengembangan dan penerapan

e-government (Sharifi & Manian, 2010;

Heeks, 2003). Harvard School of Government

mengatakan bahwa ketersediaan infrastruktur

teknologi informasi yang memadai merupakan

50% dari kunci keberhasilan penerapan konsep

e-government.

Organization: Organisasi merupakan

faktor kesiapan yang paling mempengaruhi

dalam keberhasilan penerapan e-government

(Keramati, et.al., 2018). Kesiapan organisasi

di suatu negara merupakan hal yang penting

dan merupakan bagian integral dari kesiapan

elektronik di negara tersebut (Sebastian &

Supria, 2013). Tantangan dan hambatan dalam

penerapan e-government di negara

berkembang adalah organisasi (Sharda dan

Voß, 2008; Lee, 2009; ITU, 2009; Moon,

2002; Musa, 2010). Organisasi merupakan

salah satu faktor untuk mengeksplorasi adopsi

ICT (Fathian, et.al., 2008). Organisasi

merupakan komponen penting dalam e-

readiness (Bakry, 2004).

People: SDM merupakan elemen

penting dalam penerapan e-government

(Harvard JFK School of Government & Heek,

2003; Sharda & Voß, 2008; Lee, 2009; ITU,

2009; Musa, 2010). Tingkat kecanggihan

penerapan e-government tergantung pada

SDM (UN, 2018). SDM merupakan domain

penting dalam penilaian e-readiness (Bakry,

2004; Peter, 2005; Fathian, et.al., 2008; Bakry,

2004; UNDESA 2008).

Environment: Lingkungan merupakan

komponen penting dalam penilaian e-

readiness (Bakry, 2004). Budaya nasional dan

partisipasi masyarakat memainkan peran yang

sangat penting dalam pengembangan e-

government sehingga teknologi dapat

diterapkan dengan sukses (Sharifi & Manian,

Page 9: KAJIAN ANALISIS MODEL E-READINESS DALAM RANGKA ...

Kajian Analisis Model E-Readiness Dalam Rangka Implementasi E-Government

Rossi Adi Nugroho

73

2010). Tantangan dan hambatan penerapan e-

government adalah kurangnya partisipasi dan

dukungan stakeholder. Aspek mempengaruhi

e-readiness meliputi lingkungan kebijakan

seperti lingkungan hukum dan peraturan yang

mempengaruhi sektor TIK dan penggunaan

TIK (Peter, 2005).

Framework STOPE dapat digunakan ke

dalam berbagai organisasi yang berbeda

seperti Al-Oasimi (2007) yang meneliti tingkat

kesiapan dengan framework STOPE pada 3

(tiga) bidang organisasi yang berbeda yaitu

pemerintahan, perbankan dan swasta dengan

menganalisis 5 domain, 17 sub-domain (isu)

dan 146 sub-sub-domain (faktor), ditemukan

bawa organisasi yang diteliti memiliki tingkat

e-readiness dengan kekuatan dan kelemahan.

Dalam penggunaan framework STOPE

dapat juga menambahkan dan

mengintegrasikan faktor-faktor potensial

lainnya sesuai dengan karakteristik obyek

penelitian (Al-Oasimi, et.al., 2008), dalam.

Framework tersebut juga telah banyak

dikembangkan dan dipakai untuk

mengevaluasi berbagai permasalahan

penerapan teknologi informasi dan komunikasi

seperti perencanaan e-government, e-bussines

dan manajemen keamanan informasi (Bakry,

2004). Bahkan framework STOPE ini

memiliki pengembangan model analisis

matematis yang memungkinkan dilakukan

penilaian e-readiness dan pembandingan

tingkat pengaruhnya terhadap nilai e-readiness

sekaligus pada 3 (tiga) level yang berbeda

meliputi domain, subdomain dan sub-sub

domain (Al-Oasimi, et.al., 2008). Framework

STOPE terdiri atas 5 (lima) domain (gambar

3).

Pertama, domain Strategy

mengintegrasikan faktor-faktor yang berkaitan

dengan visi, tujuan ke depan, komitmen dan

rencana terhadap pengembangan dan

pemanfaatan teknologi informasi dan

komunikasi. Domain strategi ini meliputi IT

Leadership (kepemimpinan berorientasi TIK)

dan Future Plans (rencana pengembangan

masa depan).

Kedua, domain Technology

mengintegrasikan faktor-faktor yang berkaitan

dengan isu dan fasilitas teknologi yang

berkembang saat ini. Adapun domain dari

teknologi ini terdiri atas Infrastruktur dasar TI

(IT Basic Infrastructure), infrastruktur layanan

TIK (ICT Service Infrastructure), ketersediaan

TIK (ICT Provisioning), dan dukungan TIK

(ICT Support).

Ketiga, domain Organization berkaitan

dengan keadaan atau isu terkait regulasi dan

manajemen teknologi informasi. Domain

strategi ini meliputi regulasi TIK (ICT

regulation), integrasi TIK (ICT Cooperation),

dan manajemen TIK (ICT Management).

Keempat, domain People

mengintegrasikan faktor-faktor yang berkaitan

dengan keadaan isu terkait dengan penggunaan

dan keterampilan dari sumber daya manusia

terhadap pemanfaatan teknologi informasi.

Domain people ini meliputi kesadaran akan

potensi TIK (ICT Awarness), pendidikan dan

pelatihan TIK (IT Eduaction and Training),

kualifikasi dan pekerjaan TIK (ICT

Qualification and Jobs) dan kepuasan dan

performa SDM TIK (ICT Performace dan

Satisfaction).

Kelima, domain Environment

mengintegrasikan faktor-faktor yang

mempengaruhi pemanfaatan teknologi

informasi saat ini. Domain environment ini

meliputi pengetahuan (knowledge), sumber

daya dan ekonomi (resource and economy),

dukungan manajemen dan organisasi serta

infrastruktur umum.

Page 10: KAJIAN ANALISIS MODEL E-READINESS DALAM RANGKA ...

Masyarakat Telematika Dan Informasi : Jurnal Penelitian Teknologi Informasi dan Komunikasi

Volume: 11 No. 1 (Januari – Juni 2020) Hal.: 65 - 78

74

Gambar 3. Framework STOPE

Adapun gambaran lengkap indikator penilaian

STOPE dapat dilihat pada tabel 1 di bawah ini:

Tabel 1. Indikator e-Readiness Framework

STOPE

Strategy

Subdomain Indikator

ICT Leadership Adanya visi misi e-government, dukungan pemerintah terhadap penerapn e-government, komitmen dengan adanya government CIO, kualifikasi dan tanggung jawab manajer TIK pemerintahan.

ICT Future Development

Adanya rencana pengembangan dan pemanfaatan TIK (e-government) meliputi infrastruktur dasar, infrastruktur layanan elektronik, infastruktur pendukung, serta dukungan dan penyediaan TIK; rencana organisasi atau kelembagaan e-government yang meliputi regulasi e-government, kerjasama pemanfaatan e-government, regulasi manajemen atau tata kelola e-government

Technology

ICT Basic Infrastructure

Ketersediaan teknologi dan infrastruktur dasar meliputi komputer, telepon, ketersediaan internet dan intranet; kualitas atau kinerja meliputi keterlambatan instalasi, kegagalan, keterlambatan dan kecepatan

ICT e-Service Infrastructure

Ketersediaan portal dan web e-government, ketersediaan aplikasi atau layanan G2G, G2B, G2C, G2E

ICT Provisioning

Ketersediaan perangkat keras dan lunak, keamanan data; telah dilakukan pengecekan, upgrade dan update berkala pada sistem perangkat keras, perangkat lunak, serta perlindungan keamanan jaringan/data.

ICT Support Ketersedian dan penggunaan standar pengelolaan dan pemanfaatan TIK; telah memiliki dan menggunakan standar/perlindungan keamanan jaringan/data; dan ketersediaan unit atau sumber operasi dan maintenance lokal, nasional dan internasional

Organization

ICT Regulation : government

Ketersediaan regulasi e-government dan NSPK; Adaptasi standar teknis TIK nasional atau internasional, regulasi keamanan informasi; regulasi layanan internet seperti nama domain, dan otorisasi internet service provider; regulasi layanan G2B seperti tanda tangan digital, transaksi keuangan elektronik atau e-taxation

ICT Cooperation

Adanya sharing pengetahuan dengan tujuan untuk inovasi seperti kerjasama dengan industri, sektor profesional, sektor pendidikan dan penelitian

ICT Management

Adanya penilaian berkala untuk tujuan evaluasi, fleksibel dan mudah beradaptasi, layanan yang dihasilkan tepat waktu dan berkualitas, menggunakan teknik yang modern dengan pemanfaatan TIK, biaya fasilitas TIK dan akses serta biaya pemeliharaan sehubungan dengan manfaat yang diperoleh.

People

ICT Awareness Adanya literasi TIK, dukungan sistem pendidikan TIK, dukungan media

ICT Education and Training

Kualifikasi pendidikan dan keterampilan serta pengalaman pemangku kepentingan

ICT Qualification and Jobs

Kesesuaian keterampilan TIK pada pekerjaan, ketersediaan dan kebutuhan keterampilan TIK, kualifikasi pendidikan TIK pada jabatan

Environment

Management of ICT Skilled

Kinerja yang berupa produktivitas.

Knowledge Budaya dan dukungan kualitas sistem pendidikan, penelitian dan pengembangan

Resource and Economy

Di eliminasi

IT Leadership

Future Plans

STRATEGY

IT Basic Infrastructure

IT e-service Infrastucture

TECHNOLOGY

ORGANIZATION

PEOPLE

ENVIRONMEN

TT

IT P

rovis

ionin

g

IT S

upport

IT J

obs

IT E

duca

tion

Man

agem

ent

Eco

nom

ics

IT C

ooper

atio

n

IT M

anag

emen

t

IT Awareness

IT Performance

Knowledge

IT Regulation

General Infrastructure

Sumber : Al-Oasimi, et.al., 2008

Page 11: KAJIAN ANALISIS MODEL E-READINESS DALAM RANGKA ...

Kajian Analisis Model E-Readiness Dalam Rangka Implementasi E-Government

Rossi Adi Nugroho

75

Organization Kepatuhan terhadap aturan, kerjasama lokal, nasional dan internasional, dampak budaya di tempat kerja, penerimaan dan tanggapan terhadap perubahan teknologi

General Infrastructure

Listrik, transportasi

Modifikasi Framework STOPE+Budget

Framework STOPE telah memasukan

indikator sumber daya dan ekonomi sebagai

subdomain dalam menilai e-readiness yang

meliputi sumber daya alam, pendapatan dan

profitabilitas, perdagangan seperti ekspor dan

impor, pendapatan dan standar hidup

masyarakat namun kerangka e-readiness

tersebut lebih tepat untuk menilai e-readiness

di tingkat negara sehingga peneliti

mengusulkan adanya model atau kerangka

baru dengan menambahkan anggaran sebagai

domain utama. Hal ini dilakukan karena

pemerintah dalam mengimplementasikan

kebijakan tidak terlepas dari anggaran, selain

itu anggaran merupakan hambatan utama dan

signifikan dalam penerapan e-government

karena penerapan e-government memerlukan

modal yang sangat besar. Kurangnya

dukungan keuangan dianggap sebagai

hambatan yang signifikan terhadap penerapan

e-government di banyak negara (Moon, 2002).

Mahalnya biaya implementasi dan

pemeliharaan sistem komputer mengakibatkan

banyak negara dilema dalam pendanaan

program e-government (Carvin et.al., 2004).

Feng (2003) mengatakan bahwa hambatan

utama penerapan e-government adalah

kurangnya pembiayaan untuk investasi modal

dan teknologi baru. Schwester (2009)

mengatakan bahwa pemerintah kota dengan

anggaran yang tingi cenderung memiliki

tingkat kematangan e-government yang lebih

tinggi. Dengan menilai tingkat e-readiness

anggaran maka pemerintah dapat memastikan

ketersediaan sumber daya anggaran yang ada

dan mencari sumber-sumber alternatif

pembiayaan.

Adapun Indikator lengkap penambangan

domain tersebut dapat dilihat pada tabel

berikut:

Tabel 2. Penambahan Domain Utama

dan Indikator e-Readiness Anggaran

Budget

Subdomain Indikator

Funding Ketersediaan anggaran untuk pengembangan strategi, penerapan teknologi atau e-government, peningkatan SDM; alokasi proporsi anggaran institusi terhadap penerapan e-government; dukungan instansi lain terhadap pembiayaan pengembangan e-government

Budget: kurangnya dukungan keuangan

dianggap sebagai hambatan yang signifikan

terhadap penerapan e-government di banyak

negara (Moon, 2002). Mahalnya biaya

implementasi dan pemeliharaan sistem

komputer mengakibatkan banyak negara

dilema dalam pendanaan program e-

government (Carvin, et.al, 2004). Hambatan

utama penerapan e-government adalah

kurangnya pembiayaan untuk investasi modal

dan teknologi baru (Feng, 2003). Pemerintah

kota dengan anggaran yang tinggi cenderung

memiliki tingkat kematangan e-government

yang lebih tinggi (Schwester, 2009).

Adapun gambaran model penilaian e-

readiness modifikasi framework STOPE dapat

dilihat pada gambar 4:

Gambar 4 Framework STOPE

PENUTUP

Simpulan

Penerapan e-government menghadapi

tantangan dan hambatan seperti kurangnya

dukungan sumber daya ekonomi dan

Page 12: KAJIAN ANALISIS MODEL E-READINESS DALAM RANGKA ...

Masyarakat Telematika Dan Informasi : Jurnal Penelitian Teknologi Informasi dan Komunikasi

Volume: 11 No. 1 (Januari – Juni 2020) Hal.: 65 - 78

76

keuangan, kurangnya kesiapan sumber daya

manusia manusia (SDM), kurangnya

partisipasi masyarakat dan stakeholder,

kurangnya rencana dan strategi, kurangnya

dukungan infrastruktur dan kesenjangan

digital, dan kurangnya kesepakatan dalam

sistem administrasi publik sehingga dengan

melakukan penilaian e-readiness maka

pemerintah dapat mengukur kinerja dan

mengelola sumber daya yang dimiliki;

Mengidentifikasi penyebab masalah, advokasi

akibat perubahan TIK dan pengembangan

rencana TIK dalam jangka panjang;

Membantu pemerintah mengukur tahap

kesiapannya, mengidentifikasi kesenjangan

dan mendesain ulang strategi serta

Memberikan informasi kerangka kerja untuk

pengambilan keputusan investasi yang tepat

dan formulasi kebijakan yang diperlukan

dalam rangka penerapan e-government.

Keberhasilan penerapan e-government bukan

hanya soal teknologi tetapi juga melibatkan

faktor lain yang sangat kompleks seperti aspek

sosial politik, organisasi, ekonomi, budaya,

kelembagaan dan lingkungan sehingga

framework STOPE lebih tepat digunakan

dibandingkan dengan kerangka kerja yang lain

karena merupakan pendekatan yang paling

komprehensif dan integrasi dari berbagai

penelitian e-readiness yang telah dilakukan

sebelumnya. Framework STOPE ini juga

dilakukan modifikasi dengan penambahan

domain anggaran sebagai domain utama. Hal

ini dilakukan karena dalam penerapan e-

government diperlukan pengganggaran yang

besar di semua tahap.

Saran

Mengingat keterbatasan dalam penulisan

jurnal ini diharapkan bagi peneliti lain untuk

melakukan penelitian lain yang sejenis dengan

mengembangkan atau menambah indikator

lain yang sesuai dengan karakteristik objek

penelitian serta menilai masing-masing

kerangka model kelebihan dan kekurangan

sehingga diperoleh gambaran yang

menyeluruh.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Oasimi, Khalid; Alheraish Abdulmohsen and Bakry,

Sad Haj. (2006). An Integrated STOPE

Framework for e-Readiness Assesment. NCC 18

(National Computer Conference. Saudy

Computer Society.

Al-Oasimi, Khalid; Alheraish, Abdulmohsen and Bakry,

S.H. (2008). STOPE Based Approach for e-

Readiness Assesment Study . International

Journal of Network Management 18: 65–75

Bakry S. H., (2004). ―Development of e-Government: A

STOPE view‖, International Journal of Network

Management, vol.14 No. 5, pp. 339-350.

Carter, L., & Weerakkody, V. (2008). E-government

adoption: A cultural comparison. Information

System Frontiers, 10(4), 473–482.

Chen YN, Chen HM, Huang W and Ching RK. (2006).

E-government strategies in developed and

developing countries: An implementation

framework and case study. Journal of Global

Information Management 14(1): 23–46.

Chanyagorn, P., & Kungwannarongkun, B. (2011). ICT

Readiness Assessment Model for Public and

Private Organizations in Developing Country.

International Journal of Information and

Education Technology, 1(2), 99– 106.

https://doi.org/10.7763/IJIET.2011.V1. 17

Dukic, et.al., (2016). Public administration employe

“rediness and acceptance of e-governemnt” :

Finding from a Croatian Survei. International

Jurnal Information Development. Volume: 33

issue: 5, page(s): 525-539

Bakry S.H. 2004. Development of E-government: A

STOPE View. International Journal of Network

Management, vol.14 No.5 pp. 339- 350

Bowles, D.M.. (2011). eReadiness Audit Tool.

Australian Maritime College Department of

Maritime and Logistics Manajmen University of

Tasmania Launceston. PP.1-20

Carvin, J. Hill, and S. Smothers. 2004. E-government

for all: Ensuring equitable access to online

government services. The EDC center for media

& community and the NYS forum.

Elbahnasawi. (2014). E-Government, Internet

Adoption, and Corruption: An Empirical

Investigation. Jurnal World Development

Volume 57, May 2017, Page 114-126.

https://www.sciencedirect.com.ezproxy.ugm.ac.i

d/. Di unduh pada tanggal 25 Agustus 2018.

Fathian, Mohammad, et.al. (2008). E-Readiness

Assesment of Non Profit ICT SMEs in a

Developing Country : The Case of Iran. Jurnal

Techovation : Volume 28, Issue 9, September

2008, Pages 578-590

Feng, L. (2003). Implementing E-government Strategy

is Scotland: Current Situation and Emerging

Page 13: KAJIAN ANALISIS MODEL E-READINESS DALAM RANGKA ...

Kajian Analisis Model E-Readiness Dalam Rangka Implementasi E-Government

Rossi Adi Nugroho

77

Issues. Journal of Electronic Commerce in

Organizations vo.1, no.2,pp. 44-65,

Davis, Fred. (1989). Perceived Usefulness, Perceived

Ease of Use, And User Accepptance

of Information Technology. MIS

Quarterly 13(3) : 319—339.

DOI: 10.2307/249008

Heeks, R. (1999). Reinventing government in the

information age. In Richard Heeks (Ed.),

Reinventing government in the information age,

international practice in IT-enabled public sector

reform (pp. 9-21). London: Routledge.

Heeks, R. (2003). Most eGovernment-for-Development

Projects Fail: How can Risks be Reduced?.

eGovernment Working Paper no. 14.

Heeks, Richard. 2001. i-Government Working Paper

Series : Understanding e-Governance for

Development. UK : Institute for Development

Policy and Management University of

Manchaster.

Indrajit. 2006. Electronic Government. Yogyakarta:

Penerbit Andi

Joseph, S. (2014). Development and validation of a

framework for e-government readiness

measurement. Durban University of Technology,

Durban.

Keramati, Bahmanesh dan Noori. 2018. Assessing the

impact of readiness factors on e-government

outcomes: An empirical investigation.

Information Development2018, Vol. 34(3) 222–

241

Lee, N.G. 2009. Penerapan e-Government, Seri Modul

3, Asian and Pacific Training Centre For

Information And Communication Technology

For Development, www.unapcict.org. Di akses

pada tanggal 29 Oktober 2019.

Lee, et.al. 2008. Research note: Toward a reference

process model for citizen-oriented evaluation of

e-Government services. Transforming

Government: People, Process and Policy, 2(4),

297–310.

Musa, M.R. (2010). E-Readiness assessment Tool for

local Authorities : A Pilot application to Irak.

American University in Cairo, School of Global

Affairs and Public Policy.

Mutula, Stpend M dan Brakel, Pieter Van. 2006. An

evaluation of e-readiness assessment tools with

respect to information, access : towards an

integrated information rich tolls. jurnal

International, journal of Information Mangement

: The Journal for Information Profesioanl, Vol.

26 Nomor 3 Juni 2006. Pp 212-223

Mokhawa, N.B. and Kocaoglu, D.F. 2014.

Determinants of e-Government Readiness : A

Literature Review. Proceedings of PICMET’14 :

Infrastructure and Service Integration.

Moon, M. Jae. 2002. The evolution of e-government

among municipalities: Rhetoric or reality?

Public Administration Review. vol. 62. no. 4,

pp.424-433, 2002.

Nento, Nugroho dan Selo. 2017. Model e-Readiness

untuk Mengukur Tingkat Kesiapan Pemerintah

dalam penerapan Smart Government studi Kasus

Pemerintah Provinsi Gorontalo. Seminar

Nasional Inovasi dan Aplikasi Teknologi di

Industri 2017. ITN Malang, 4 Februari 2017.

ISSN 2085-4218

Pardo, et.al. 2012. E-Government Interoperability :

Interaction of Policy, Management, Technology

Dimensions. Social science computer review 30

(I) 7-23

Potnis, Devendra Dilip & Pardo, Theresa A. (2010).

Mapping the evolution of e-Readiness

assessments. The current issue and full text

archive of this journal is available at

www.emeraldinsight.com/1750-6166.htm

Rashed, et.al., 2010. Measuring e-readiness for e-

government in Developing Country :

Comparative Study. International Arabic

Conference of e-Technology IACe-T'2010

March 30-31, 2010 , Kuwait.

Sergey, S. (2004). Russia e-readiness assessment.

Institute of Information Society, Moscow.

Sharda, R., & Voß, S. (2008). Digital Government: E-

Government Research, Case Studies, and

Implementation. New York: Springer.

Sharifi M and Manian A. 2010. The study of the success

indicators for pre-implementation activities of

Iran’s e-government development projects.

Government Information Quarterly 27(1): 63–69.

Hashem, S.. E-Readiness Assesment : Case of Egypt.

InfoDev

Scwester, Richard. 2009. ―Examining the Barriers to e-

Government Adoption.‖ Electronic Journal of e-

Government Volume 7 Issue 1 2009, pp. 113 -

122, avilable online at www.ejeg.com

Sebastian, M.P. & K.K. Supria. 2013. E-Governance

Readiness : Challenges for India. IM Kozhikode

Society & Management Review 2(1) 31–42 ©

2013 Indian Institute.

Peers, T.. 2005. E-Readiness in Developing Countries :

Current Status and Prospect towrd the

millennium development Goals e-ready for

What? Prepared for info Dev. Infodev, Vol.27.

Tucker, Shin Ping Liu. 2012. Assessing And Modeling

The Readiness Of Electronic Government.

International Journal of Electronic Commerce

Studies Vol.3, No.2, pp. 251-270, 2012doi:

10.7903/ijecs.1094.

Vassilakis, et.al. 2005. Barriers to Electronic Service

Development. e-Service Journal vol.4, No. 1

(Fall 2005), pp. 41-63 (24 pages). Indiana

University Press. DOI: 10.2979/esj.2005.4.1.41

Harvard University, CID. (2019). Readiness for the

Networked World A Guide for Developing

Countries.

Page 14: KAJIAN ANALISIS MODEL E-READINESS DALAM RANGKA ...

Masyarakat Telematika Dan Informasi : Jurnal Penelitian Teknologi Informasi dan Komunikasi

Volume: 11 No. 1 (Januari – Juni 2020) Hal.: 65 - 78

78

https://cyber.harvard.edu/readinessguide/guide.p

df

ITU. (2009). eGovernment ITU e-Government

Implementation Toolkit. Geneva: International

Telecommunication Union.

Kominfo. 2018. Permen Kominfo Nomor 6 Tahun 2018

tentang Organisasi dan Tata Kerja dan Tata

Kerja Kementerian Komunikasi dan Informatika

RI.

UNDESA, UN Department of Economic and Social

Affairs (2016). Government for Sustainable

Development. publicadministration.un.org.

diakses pada tanggal 30 Agustus 2018.