KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

115
i TESIS KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS TIDUR BURUK PADA ATLET DALAM PEMUSATAN LATIHAN NI NYOMAN MESTRI AGUSTINI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2017

Transcript of KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

Page 1: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

i

TESIS

KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR

RISIKO KUALITAS TIDUR BURUK PADA ATLET

DALAM PEMUSATAN LATIHAN

NI NYOMAN MESTRI AGUSTINI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2017

Page 2: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

i

TESIS

KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR

RISIKO KUALITAS TIDUR BURUK PADA ATLET

DALAM PEMUSATAN LATIHAN

NI NYOMAN MESTRI AGUSTINI

NIM 1314068203

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2017

Page 3: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

ii

TESIS

KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR

RISIKO KUALITAS TIDUR BURUK PADA ATLET

DALAM PEMUSATAN LATIHAN

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

NI NYOMAN MESTRI AGUSTINI

NIM 1314068203

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2017

Page 4: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

iii

Page 5: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

iv

Tesis ini Telah Diuji pada

Tanggal 4 Desember 2017

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana nomor

Ketua : dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S (K)

Sekretaris : Dr. dr. A.A.A Putri Laksmidewi, Sp.S (K)

Anggota :

1. Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra. Sp.S (K)

2. Dr. dr. Thomas Eko P. Sp.S (K), FAAN

3. dr. I.G.N. Purna Putra, Sp.S (K)

Page 6: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

v

Page 7: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan

Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karunia-Nya penulis dapat

menyelesaikan karya akhir ini sebagai prasyarat mendapatkan tanda keahlian di

bidang Neurologi dan Magister Ilmu Biomedik.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

berbagai pihak yang telah berperan besar sehingga penulis dapat menempuh Program

Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi dan Program Magister Program Studi Ilmu

Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana sampai tersusunnya karya akhir

ini.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Prof. Dr.

dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD dan dan Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)

selaku Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes dan

Dr. dr. I Ketut Suyasa, Sp.B, Sp.OT (K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana, dan Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK selaku

Ketua Program Studi Magister Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk

mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas

Udayana/RSUP Sanglah. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada dr. I Wayan

Sudana, Mkes , selaku Direktur Utama RSUP Sanglah Denpasar, atas kesempatan dan

fasilitas yang telah diberikan.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada pembimbing

karya akhir ini, dr. A.A.B.N Nuartha, Sp.S (K) dan Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi,

Sp.S (K), yang juga sebagai penguji yang telah membantu, memberi dorongan

semangat, saran dan koreksi dari tahap praproposal hingga ujian akhir tesis. Penulis

juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para penguji, Dr. dr.

D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S (K), Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S (K), FAAN, dan

dr. IGN Purna Putra, Sp.S (K) atas dorongan semangat, saran dan koreksi dalam

penyempurnaan tesis ini.

Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada dr. I Putu Eka

Widyadharma, M.Sc, Sp.S (K) atas segala bimbingan, saran, waktu, kesabaran,

Page 8: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

vii

nasehat dan motivasi selama pendidikan dan penyusunan karya akhir ini. Kepada dr.

Desak Ketut Indrasari Utami, Sp. S atas segala bimbingan, nasehat dan motivasi

selama pendidikan dan penyusunan karya akhir ini.

Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada dr. A.A.B.N.

Nuartha, Sp.S(K) selaku Kepala Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah

Denpasar, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk

mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi FK

UNUD/RSUP Sanglah. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya juga penulis

sampaikan kepada Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S (K), selaku Ketua Program

Studi Pendidikan Dokter Spesialis I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah serta dr. Ida

Bagus Kusuma Putra, Sp.S selaku Sekretaris Program Studi Pendidikan Dokter

Spesialis I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Dokter

Spesialis I Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Kumara Tini, Sp.S, FINS

sebagai pembimbing akademik, atas segala bimbingan, didikkan, nasehat, motivasi

dan petunjuk yang diberikan selama proses pendidikan. Ucapan terima kasih penulis

ucapkan kepada seluruh supervisor di Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP

Sanglah atas segala bimbingan dan saran selama penulis mengikuti pendidikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman seangkatan yaitu dr. Gede

Suputra, dr. Cok Istri Gangga Dewi, dr. Ni Putu Ayu Putri Mahadewi, dr. Putri Ayuna

Sundari dan dr. Ni Made Dwita Pratiwi untuk kebersamaan, motivasi dan

masukannya. Terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh peserta PPDS I Neurologi

FK UNUD/RSUP Sanglah yang telah memberikan inspirasi, dorongan, segala

bantuan dan kebersamaan selama penulis menjalani pendidikan dan menyelesaikan

karya akhir ini. Terima kasih juga kepada tenaga administrasi Bagian/SMF Neurologi

FK UNUD/RSUP Sanglah atas kerjasama dan dorongan semangat selama penulis

mengikuti pendidikan ini yang banyak membantu pelaksanaan penelitian ini.

Pada kesempatan ini penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih

kepada Bapak Wayan Tirtayasa selaku pihak KONI Denpasar atas ijin dan

bantuannya dalam pelaksanaan penelitian ini. Kepada Bapak Nyoman Suteja, Ibu

Kadek Sri, Bapak I Nengah Sudira, Bapak Ketut Arjana dan Bapak Made Suandhi

Page 9: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

viii

selaku pelatih cabang olahraga Atletik, Balap sepeda dan Bulutangkis Denpasar atas

bantuannya dan kepada atlet Kota Madya Denpasar yang telah berkenan menjadi

subyek penelitian dan kerjasamanya selama pelaksanaan penelitian ini. Kepada Dr.

dr. AA Wiradewi Lestari, Sp. PK selaku kepala bagian Patologi Klinik RSUP

Sanglah, bapak I Ketut Gede Adi Santika dan ibu Ni Wayan Meni selaku staff bagian

Patologi Klinik atas bantuan yang telah diberikan dalam pengambilan sampel

penelitian.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua yang

penulis cintai dan sayangi Prof. Dr. I Wayan Sadia, M.Pd dan Dra Ni Ketut Thantris,

M.Pd dan kepada mertua, Drs. IGBN Artawan dan Ni Made Sumiarsih, Amd. Keb

yang telah memberikan kasih sayang dan mendidik penulis serta memberikan doa,

semangat dan dorongan dalam menyelesaikan pendidikan ini. Terima kasih juga

kepada suami tercinta IGBN Dipta Negara, ST dan anak kami tercinta IGBN Giri

Dharma Pemayun yang telah memberikan kasih sayang, doa dan dukungan semangat

kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan ini. Terima kasih juga kepada

saudari penulis terkasih yang telah memberikan kasih sayang, doa, dukungan dan

semangat kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan ini.

Penulis telah berusaha membuat tesis ini dengan sebaik-baiknya namun tetap

menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan baik dari aspek materi dan

penyajiannya. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi

perbaikan tesis ini.

Akhirnya penulis tidak lupa mohon maaf sebesar-besarnya kepada semua

pihak, bila dalam proses pendidikan maupun dalam pergaulan sehari-hari ada tutur

kata dan sikap yang kurang berkenan di hati. Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih

dan Penyayang selalu melimpahkan berkat dan karunia-Nya kepada semua pihak

yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.

Denpasar, Desember 2017

Penulis

Page 10: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

ix

ABSTRAK

KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS

TIDUR BURUK PADA ATLET DALAM PEMUSATAN LATIHAN

Kondisi pemusatan latihan pada atlet akan mengubah intensitas, durasi dan

beban latihan. Terjadi ketidakseimbangan aksis HPA yang menyebabkan kadar

kortisol meningkat sehingga kualitas tidur buruk. Pada beberapa peneilitan dikatakan

latihan fisik yang intensif pada atlet selama 4 minggu akan meningkatkan kadar

kortisol. Kadar kortisol yang tinggi akan menyebabkan terjadinya cortisol awakening

response sehingga kualitas tidur buruk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

kortisol tinggi sebagai faktor risiko kualitas tidur buruk pada atlet dalam pemusatan

latihan.

Penelitian ini dilakukan di pemusatan latihan atlet Kota Madya Denpasar

mulai Juni hingga Nopember 2017 dengan menggunakan rancangan kasus-kontrol

pada 64 subyek penelitian.

Dari hasil analisis statistik didapatkan bahwa rerata kadar kortisol pada

kelompok kasus (270,859 ± 93,434 nmol/L) lebih tinggi dari pada kelompok kontrol

(195,838 ± 60,999 nmol/L). Analisis bivariat dengan Chi-square dan didapatkan OR

= 7,667 dengan IK 95% = 2,524-23,284) dan nilai p<0,001. Analisis multivariate

didapatkan variabel kadar kortisol memiliki nilai P < 0,001. Terdapat hubungan yang

bermakna antara kadar kortisol tinggi dengan kualitas tidur buruk dan kadar kortisol

sebagai faktor independen yang berpengaruh terhadap kualitas tidur buruk

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan simpulan bahwa kadar kortisol

tinggi meningkatkan risiko kualitas tidur buruk tujuh kali yang bermakna secara

statistik pada atlet dalam pemusatan latihan.

Kata kunci: kortisol,kualitas tidur buruk, atlet

Page 11: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

x

ABSTRACT

HIGH CORTISOL SERUM CONDITIONS AS A RISK FACTOR FOR

POOR SLEEP QUALITY ON THE ATLET IN TRAINING CENTRE

Athletes in training centre at the athlete will have different intensity,

duration and load of the exercise. There will be an imbalance of the HPA axis and

causes the increase of cortisol level, resulting in poor sleep quality. Intensive

physical exercise in athletes for 4 weeks will increase cortisol levels. High levels

of cortisol will cause cortisol awakening response and result in poor sleep quality.

This study aims to determine high cortisol as a risk factor of poor sleep quality in

athletes in training centre.

This research was conducted at the Denpasar’s athlete training centre from

June to November 2017 by using case-control design on 64 subjects.

From the statistical analysis it was found that the mean of cortisol serum in

case group (270,859 ± 93,434 nmol / L) was higher than control group (195,838 ±

60,999 nmol / L). Bivariate analysis with Chi-square and obtained OR = 7,667

with IK 95% = 2,524-23,284) and value of p <0,001. Multivariate analysis

showed that cortisol serum had P value <0.001. There was a significant

association between high cortisol levels and poor sleep quality and cortisol levels

as an independent factor affecting poor sleep quality

Based on the results of this study found the conclusion that high cortisol

levels increase the risk of poor sleep quality seven folds in athletes in the training

centre statistically significant.

Keywords : poor sleep quality, cortisol, athletes

Page 12: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

xi

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM........................................................................................... i

PRASYARAT GELAR………………………………………………………

LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………………..

PENETAPAN PANITIA PENGUJI………………………………………….

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT………………………………..

UCAPAN TERIMA KASIH………………………………………………….

ABSTRAK……………………………………………………………………

ABSTRACT…………………………………………………………………

DAFTAR ISI.....................................................................................................

ii

iii

iv

v

vi

ix

x

xi

DAFTAR GAMBAR........................................................................................ xii

DAFTAR TABEL............................................................................................. xiii

DAFTAR SINGKATAN.................................................................................. xiv

DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... xv

BAB I. PENDAHULUAN............................................................................... 1

1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 4

1.3 Tujuan Penelitian........................................................................................ 5

1.4 Manfaat Penelitian...................................................................................... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 6

2.1 Pelatihan Atlet………................................................................................. 6

2.1.1 Atlet………………………………………………………..

2.1.2 Kebutuhan Energi Atlet……………………………………

2.1.3 Program Pelatihan Atlet……………………………………

6

9

12

2.2 Kortisol………………………………………………................................ 13

2.2.1 Definisi dan fungsi kortisol………….……......................... 13

2.2.2 Peranan kortisol pada atlet………………............................ 17

2.2.3 Peranan kortisol pada tidur……………………................... 18

2.3 Fisiologi Tidur ............................................................................................ 20

2.3.1 Arsitektur tidur…………..………….……......................... 20

2.3.2 Substrat anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur............. 22

2.3.3 Tidur dan HPA aksis………………………………………. 26

2.3.4 Kualitas tidur……………………………………………… 27

BAB III. KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS

PENELITIAN..................................................................................................

32

3.1 Kerangka Berpikir....................................................................................... 32

3.2 Konsep Penelitian........................................................................................ 35

Page 13: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

xii

3.3 Hipotesis...................................................................................................... 36

BAB IV. METODE PENELITIAN............................................................... 37

4.1 Rancangan Penelitian................................................................................. 37

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................................... 38

4.3Ruang Lingkup Penelitian............................................................................ 38

4.4 Penentuan Sumber Data............................................................................. 38

4.4.1 Populasi target...................................................................... 38

4.4.2 Populasi terjangkau.............................................................. 38

4.4.3 Sampling frame.................................................................... 39

4.4.4 Kriteria subyek..................................................................... 39

4.4.4.1 Kriteria inklusi.............................................................. 39

4.4.4.2 Kriteria eksklusi............................................................ 40

4.4.5 Besar sampel......................................................................... 40

4.4.6 Teknik pengambilan sampel................................................. 41

4.5 Variabel Penelitian...................................................................................... 41

4.5.1 Klasifikasi variabel............................................................... 41

4.5.2 Definisi operasional.............................................................. 42

4.6 Bahan Penelitian.......................................................................................... 45

4.7 Instrumen Penelitian.................................................................................... 45

4.8 Prosedur Penelitian..................................................................................... 45

4.9 Analisis Data............................................................................................... 48

BAB V. HASIL PENELITIAN...................................................................... 50

5.1 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian…................................................... 50

5.2 Hubungan Kadar ortisol Tinggi dengan Kualitas Tidur Buruk.................. 54

5.3 Hubungan Faktor-faktor Lain dengan Kualitas Tidur Buruk…..................

5.4 Hubungan Faktor Risiko Independen terhadap Terjadinya Kualitas Tidur

Buruk

55

56

BAB VI. PEMBAHASAN…………............................................................... 62

6.1 Karakteristik Dasar Subyek…..................................................................... 62

6.2 Hubungan Kortisol Tinggi dengan Kualitas Tidur Buruk…....................... 63

6.3 Hubungan Faktor-Faktor Lain dengan Kualitas Tidur Buruk…................ 64

6.4 Kelebihan dan Kelemahan Penelitian……………………………………. 68

BAB VII. SIMPULAN DAN SARAN............................................................

7.1 Simpulan……………................................................................................. 69

7.2 Saran………………………........................................................................ 69

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 70

Lampiran …………………………………………………………………… 75

Page 14: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Rata-rata maximal oxygen uptake dalam liter per menit per

kilogram berat badan pada laki-laki dan perempuan pada

beberapa cabang olahraga..................................................

11

Gambar 2.2 Struktur kimia kortisol........................................................ 13

Gambar 2.3 Aksis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal dan Respon Stres….. 14

Gambar 2.4 Kadar kortisol saat tidur...................................................... 20

Gambar 2.5 Siklus Sirkardian Kortisol dalam 24 jam…………………. 16

Gambar 2.6 Substrat anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur……… 24

Gambar 2.7 Sirkuit bangun-tidur; (A) ARAS yang terdiri dari jalur

dorsal dan ventral, (B) jalur inhibisi terhadap sirkuit

ARAS………………………………………………………

27

Gambar 2.8 Kadar kortisol saat

tidur……………………………………

28

Gambar 2.9 Interaksi komponen sentral dan perifer pada stress dengan

tidur………………………………………………………..

29

Gambar 3.1 Kerangka berpikir penelitian................................................ 35

Gambar 3.2 Konsep penelitian................................................................. 36

Gambar 4.1 Bagan rancangan penelitian................................................. 38

Gambar 4.2 Bagan alur penelitian........................................................... 48

Gambar 5.1 Hasil Prosedur ROC kadar Kortisol terhadap Kualitas

Tidur dengan nilai 75,4%....................................................

53

Page 15: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kriteria tingkah laku dan fisiologi fase bangun dan

tidur............................................................................

23

Tabel 5.1 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian…………………… 50

Tabel 5.2 Karakteristik Dasar Subyek Penelitian berdasarkan kasusk

dan kontrol...........................................................................

52

Tabel 5.3 Analisis Bivariat Kadar Kortisol dengan Kualitas Tidur…. 54

Tabel 5.4 Analisis Bivariat Faktor-faktor Lain dengan Kualitas

Tidur………………………………………………………..

55

Tabel 5.5 Analisis Multivariat Kadar Kortisol dan Cabang Olahraga,

dengan Kualitas Tidur…………………………………...…

57

Page 16: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

xv

DAFTAR SINGKATAN

SINGKATAN

ACTH :AdrenocorticotropicHormone

ADP :Adenosin Triphosphate

ARAS :Ascending Reticular Activating System

AUC : Area Under the Curve

BF :Basal forebrain

CAR : Cortisol awakening responses

CRF : Corticotropin-releasing factor

EEG : Elektroensefalografi

GRs : Glucocorticoid receptors

HAM-A : Hamilton Rating Scale for Anxiety

HPA :Hypothalamus-Pituitary-Adrenal

IK :Indeks kepercayaan

IL 1 : Interleukin 1

IMT : Indeks Massa Tubuh

LC :Locus Coeruleus

NE : Norephinefrin

NREM : Non-Rapid Eye Movement

OR : Odd Ratio

PON : Pekan Olahraga Nasional

PORPROV : Pekan Olahraga Provinsi

PSQI : The Pittsburgh Sleep Quality Index

REM : Rapid Eye Movement

ROC : Receiver Operating Characteristic

SCN :Supra Chiasmatic Nucleus

Vo2 max : konsumsi oksigen maksimal

TNF-a : Tumor necrosis faktor-a

VLPO : Ventrolateral Preoptic Nucleus

WHO : World Health Organization

Page 17: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Izin Penelitian....................................................... 73

Lampiran 2 Keterangan Kelaikan Etik (Ethical Clearance)............. 74

Lampiran 3 Informed consent………………………………………….. 75

Lampiran 4 Lembar pengumpulan data…………………………… 80

Lampiran 5 Hasil analisis SPSS…………………………………… 89

Page 18: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penampilan seorang atlet tergantung pada pemeliharaan keseimbangan

antara latihan dan istirahat yang optimal. Latihan merupakan salah satu bentuk

stresor fisik dan psikis. Pada prinsipnya latihan adalah memberi tekanan fisik

secara teratur, sistematis, berkesinambungan sedemikian rupa sehingga dapat

meningkatkan kemampuan fisik dalam melakukan aktifitas. Program latihan fisik

merupakan fokus utama persiapan atlet yang akan mengikuti pertandingan. Pada

setiap cabang olahraga akan disusun program latihan untuk mendapatkan kondisi

atlet yang paling maksimal yang didasarkan pada konsep periodisasi dan prinsip-

prinsip latihan serta metodologi penerapannya di lapangan.

Persiapan dan pemilihan seorang atlet dilakukan secara berjenjang, mulai

dari tingkat sekolah atau daerah hingga tingkat pusat. Persiapan yang dilakukan

untuk atlet yang akan mengikuti pertandingan adalah dengan membentuk program

latihan yang fokus secara bertahap. Pemfokusan latihan akan mengubah pola

latihan atlet yang sebelumnya. Prinsip berlebih (overload) merupakan salah satu

prinsip yang digunakan dalam pemusatan latihan yang penting untuk mencapai

puncak prestasi (Harsono, 2003). Intensitas, durasi dan beban latihan harus

mencukupi agar tidak menyebabkan kondisi patologis pada atlet (Giovani et al,

2006). Diperlukan latihan dengan prinsip berlebih dan prinsip-prinsip latihan lain

agar tidak menimbulkan efek buruk (Harsono, 2003).

Page 19: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

2

Adanya ketidakseimbangan latihan, kompetisi dan pemulihan yang

berlangsung terus menerus, akan berujung pada kondisi overtraining (latihan yang

berlebihan). Berdasarkan salah satu penelitian (Giovani et al, 2006), 6% pelari

jarak jauh, 21% atlet renang Australia dan lebih dari 50%pemain sepak bola

mengalami overtraining. Ketidakseimbangan serta kondisi overtraining tersebut

akan menjadi stres fisik pada atlet dan salah satunya berujung pada munculnya

gangguan tidur. Berdasarkan studi pendahuluan melalui wawancara dengan atlet

dan pelatih yang menjalani pemusatan latihan, disampaikan adanya keluhan

kesulitan tidur pada atlet setelah mengikuti pemusatan latihan. Kesulitan tidur

dirasakan mengganggu program latihan karena menyebabkan tidak optimalnya

kondisi fisik atlet. Puncak stres yang terjadi pada atlet adalah pada saat

pertandingan. Data awal mengenai kualitas tidur terhadap atlet cabang olahraga

atletik yang menjalani persiapan pertandingan, didapatkan hasil bahwa 46,2%

memiliki kualitas tidur buruk, sedangkan 53,8% memiliki kualitas tidur baik.

Adaptasi yang harus dilakukan oleh atlet terhadap perubahan program latihan

serta target yang harus dicapai menjadi hal yang mendasari kesulitan tidur pada

atlet dalam pemusatan latihan.

Berbagai jenis stres fisik maupun stres mental akan menyebabkan

ketidakseimbangan Hipotalamus-Pituitary-Adrenal cortex axis (aksis HPA)

sehingga terjadi peningkatan sekresi hormon adrenocorticotrophic hormone

(ACTH) (Guyton and Hall, 1996). Stres fisik juga meningkatkan respon imun,

terjadi peningkatan Interleukin 1 (IL-1) yang juga berpotensi menstimulasi aksis

HPA. Beberapa sitokin lain yang juga dapat mengaktivasi aksis HPA antara lain

Page 20: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

3

IL-6, IL-10 dan tumor necrosis faktor-a (TNF-a), namun potensinya masih kurang

efektif dibandingkan IL-1 (Adrian et al, 2008).

Peningkatan hormon ACTH akan berdampak pada stimulasi korteks

adrenal untuk mensintesis dan mensekresi glukokortikoid ke sirkulasi darah

(Adriana et al, 2008). Kortisol merupakan glukokortikoid yang utama, dan 90%

aktivitas substansi ini (Rodrigo et al, 2012). Pada penelitian yang dilakukan oleh

Ghaderi et al (2011), ditemukan bahwa kadar serum kortisol meningkat secara

signifikan pada atlet laki-laki dan perempuan yang mengikuti latihan yang lebih

berat. Penelitian yang dilakukan oleh Hamid et al (2012), menunjukkan terjadinya

peningkatan kadar kortisol yang signifikan pada subyek yang menjalani pelatihan

dengan intensitas berat selama 8 minggu. Penelitian yang dilakukan oleh Alghadir

(2015) pada sampel usia 15-25 tahun yang menjalani latihan aerobik selama 4

minggu dengan intensitas menengah, didapatkan peningkatan hormon kortisol

secara signifikan dengan nilai p < 0,001. Peningkatan kadar kortisol lebih sering

dijumpai pada atlet cabang olahraga yang bertanding secara individual (Giovani et

al, 2006).

Peningkatan kadar kortisol dalam darah pada seseorang, termasuk atlet

akan memberikan dampak buruk seperti penekanan sistem imun, insomnia,

perubahan suasana hati dan depresi (Kandhalu P, 2013). Kortisol juga akan

berpengaruh terhadap sistem saraf pusat yaitu merubah gelombang elektrik di

sistem limbik dan hipokampus sehingga mempengaruhi siklus tidur. Tidur akan

menjadi terputus-putus, berkurangnya gelombang lambat, memendeknya waktu

tidur serta insomnia (Hudson et al, 2010).

Page 21: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

4

Penampilan seorang atlet dalam olahraga tergantung pada pemeliharaan

keseimbangan antara latihan dan istirahat yang optimal. Program latihan yang

meningkat dan stres yang dialami atlet akan menyebabkan ketidakseimbangan

hormonal. Produksi hormon ACTH akan meningkat sehingga meningkatkan kadar

hormon kortisol. Berbagai dampak dari peningkatan kadar kortisol dalam darah

dapat menurunkan kondisi dan penampilan atlet, terutama saat mereka dalam

pelatihan yang intensif sebagai persiapan menghadapi pertandingan. Salah satu

dampak yang dapat terlihat adalah pada kualitas tidur yang buruk (Kandhalu,

2013). Namun demikian, terdapat beberapa penelitian yang mengatakan bahwa

kadar kortisol tinggi tidak mempengaruhi kondisi seseorang yang mengalami

latihan berat, hal tersebut terkait dengan mekanisme adaptasi melalui penurunan

sensitivitas terhadap kadar kortisol tinggi sehingga dapat melindungi otot dan

jaringan lain yang sensitive terhadap sekresi kortisol setelah latihan (Duclos et al,

2003). Pada hiperkortisolisme kronis karena latihan berat dikatakan terjadi proses

adaptasi sebagai respon untuk perlindungan tubuh (Duclos et al, 2007).

Berdasarkan uaraian tersebut, maka diusulkan penelitian tentang kadar

kortisol tinggi sebagai faktor risiko kualitas tidur buruk pada atlet atletik dalam

pemusatan latihan.

1.2 Rumusan Masalah

Apakah kadar kortisol tinggi dapat digunakan sebagai faktor risiko kualitas tidur

buruk pada atlet dalam pemusatan latihan.

Page 22: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

5

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kortisol tinggi sebagai faktor risiko

kualitas tidur buruk pada atlet dalam pemusatan latihan.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat ilmiah

Penelitian ini diharapkan dapat membuktikan bahwa peranan neuroendokrin

dalam hal ini kadar kortisol pada atlet yang mengikuti pemusatan latihan

meningkat dan kadar kortisol tinggi sebagai faktor risiko kualitas tidur buruk pada

atlet sehingga dapat memperkuat pemahaman tentang neuroendokrin dalam

gangguan tidur pada atlet. Penelitian ini merupakan sarana proses pendidikan,

khususnya dalam hal melakukan penelitian dan meningkatkan pengetahuan di

bidang neurologi.

1.4.2 Manfaat praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada praktisi

olahraga dalam pengaturan latihan pada atlet yang mengikuti pemusatan latihan

sehingga dapat menghindari kejadian gangguan tidur, dasar pertimbangan

pemeriksaan kortisol atlet yang telah menjalani pemusatan latihan agar nantinya

didapatkan prestasi atlet yang optimal.

Page 23: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pelatihan Atlet

2.1.1 Atlet

Atlet menurut kamus besar bahasa Indonesia (2005) adalah olahragawan yang

terlatih kekuatan, ketangkasan dan kecepatannya untuk diikutsertakan dalam

pertandingan. Atlet berasal dari bahasa Yunani yaitu athlos yang berarti “kontes”.

Istilah lain atlet adalah atlilete yaitu orang yang terlatih untuk diadu kekuatannya

agar mencapai prestasi. dapat dikatakan atlet adalah orang yang melakukan latihan

agar mendapatkan kekuatan badan, daya tahan, kecepatan, kelincahan,

keseimbangan, kelenturan dan kekuatan dalam mempersiapkan diri untuk

pertandingan.

Perkembangan prestasi para atlet Indonesia dapat dilihat melalui event

olahraga yang pada umumnya diikuti baik di tingkat nasional maupun

internasional yaitu Pekan Olahraga Nasional (PON), Sea Games, Asian Games,

dan Olimpiade. Pencapaian prestasi seorang atlet tentunya didasari dari proses

pembinaan secara berjenjang. Tempat pembibitan dan pembinaan olahraga bagi

para atlet muda yang bertujuan untuk meningkatkan prestasi olahraga di Indonesia

adalah Pusat Pembinaan dan Latihan Olahraga. Pembinaan tersebut selanjutnya

dilakukan secara berjenjang meningkat hingga di tingkat nasional (Kemenpora,

2010).

Page 24: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

7

Tujuan utama atlet berlatih adalah untuk mencapai puncak prestasi.

Pembinaan harus direncanakan dengan baik dan benar, didasarkan pada konsep

periodisasi dan prinsip-prinsip latihan, serta metodelogi penerapannya di lapangan

(Harsono, 2003). Atlet yang mencapai puncak adalah yang menghasilkan prestasi

paling baik karena mampu memaksimalkan efisiensi fisik dan mentalnya serta

kemampuan teknik dan taktiknya. Hal tersebut didasarkan pada kondisi biologis

dan kebugaran atlet yang optimal. Untuk mencapai kondisi tersebut, diperlukan

program latihan. Program latihan merupakan seperangkat kegiatan dalam berlatih

yang diatur sedemikian rupa sehingga dapat dilaksanakan oleh atlet baik

mengenai jumlah beban latihan maupun intensitas latihan (Tangkudung et al,

2010). Beberapa faktor yang diperlukan untuk dapat mencapai puncak prestasi

antara lain:

1. Volume latihan. Kemampuan atlet untuk berlatih dengan volume yang

tinggi merupakan syarat penting, karena korelasi positif antara volume

latihan dengan prestasi (Bompa, 1994).

2. Manipulasi volume dan intensitas latihan. Diperlukan manipulasi volume

dan intensitas dalam setiap latihan yang cermat. Volume latihan yang

tinggi (80%-90%) dengan intensitas medium paling cocok diberikan pada

tahap persiapan/permulaan program latihan. Namun, saat akan

pertandingan, intensitas dinaikkan dan volume diturunkan (Harsono,

2003).

3. Kemampuan atlet untuk dapat pulih kembali dalam waktu yang cepat

setelah latihan atau pertandingan menggambarkan adaptasi yang optimal

Page 25: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

8

terhadap berbagai rangsangan yang diberikan dalam latihan dan

pertandingan. Dengan adanya daya tahan aerobik yang abik, maka atlet

akan pulih dengan cepat.

4. Kondisi neuro-muskular yang optimal akan memungkinakn atlet untuk

mampu melakukan manuver kemampuan dan taktik. Apabila kondisi

tersebut tidak sempurna, akan mengakibatkan menurunnya penampilan

sehingga mengurangi kemungkinan atlet mencapai puncak prestasi.

5. Kompensasi berlebih. Tahap ini merupakan tahap regenerasi biokimia atlet

sudah mencapai tingkat optimal, sehingga kinerja dan potensi fisik serta

mental atlet berada di puncak. Dapat dicapai apabila sebelumnya pelatih

sudah merencanakan program pengurangan beban, volume dan intensitas

latihan dengan tepat. Apabila latihan diberikan terus menerus samapi dekat

pertandingan, maka kondisi fisik dan mental akan menurun. Diperlukan

program pengurangan (unloading) untuk mencapai puncak prestasi.

6. Motivasi, arousal dan relaksasi psikologis merupakan faktor lain yang

dapat membantu dalam mencapai puncak prestasi.

7. Jumlah pemuncakan dalam tahap pertandingan juga merupakan faktor

penentu untuk pemucakan prestasi. Apabila dalam uji coba atlet

memperlihatkan kemajuan yang positif dalam prestasinya, maka hal ini

merupakan petanda baik bahwa pemuncakan prestasinya dapat dicapai saat

pertandingan.

Page 26: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

9

Selain faktor-faktor yang dapat mencapai pemuncakan prestasi seperti tersebut

di atas, terdapat beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi pemuncakan

prestasi atlet, antara lain (Harsono, 2003):

1. Faktor yang berhubungan dengan organisasi pertandingan

Faktor ini mencakup cuaca dan musim, suhu udara, peraltan dan lapangan

pertandingan, urutan pertandingan penonton serta wasit.

2. Faktor yang berhubungan dengan keadaan atlet.

Gaya atau kebiasaan hidup pola makan, kualitas tidur, kebiasaan atlet yang

lainnya dapat mempengaruhi kinerja dan kemampuan pemulihan sehingga

mempegaruhi prestasi. Kecemasan saat bertanding, arousal (gugahan)

yang tidak optimal atau terlalu bergairah juga memberikan dampak

terhadap penampilan atlet.

3. Faktor yang berhubungan dengan latihan dan pelatih

Pencapaian pemuncakan prestasi diperlukan program latihan yang

didesain dengan baik, volume latihan yang tidak terlalu tinggi dan

intensitas yang tidak terlalu cepat ditingkatkan, pertandingan yang tidak

terlalu banyak, istirahat cukup (Pate et al, 1964). Selain itu, diperlukan

pemulihan yang cukup akan mencegah terjadinya cedera dan overtraining

(latihan berlebihan).

2.1.2 Kebutuhan Energi Atlet

Pelatihan atlet dengan memperhatikan prinsip peningkatan beban berlebih

maka latihan harus melibatkan kerja tubuh yang lebih berat dan ditingkatkan

hingga level lebih tinggi (Nining et al, 2011). Pembentukan kondisi fisik

Page 27: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

10

seseorang dapat dilakukan dengan pembentukan daya tahan yang akan

meningkatakn volume oksigen maksimal (Vo2 max) (Juliantine et al, 2007). Vo2

max akan menyesuaikan dengna kebutuhan masing-masing cabang olahraga yang

dilatih. Vo2 max menggambarkan kapasitas maksimum tubuh untuk menyalurkan

dan menggunakan oksigen saat olahraga intensif yang menentukan tingkat

kebugaran seseorang.

Berdasarkan pengetahuan saat ini, ditemukan bahwa pengambilan oksigen

maksimal atlet top tidak lebih superior dibandingkan pelari jarak menengah

(Astrand et al, 1977). Kebutuhan energi atlet masing-masing cabang olahraga

berbeda tergantung beban latihannya. Lari jarak jauh yang ekstrim tidak menjadi

program latihan yang efektif dalam meningkatkan kekuatan aerobic maksimal.

Berikut adalah perbandingan penggunaan oksigen maksimal beberapa cabang

olahraga.

Page 28: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

11

Gambar 2.1 Rata-rata maximal oxygen uptake dalam liter per menit per kilogram

berat badan pada laki-laki dan perempuan pada beberapa cabang olahraga

(Astrand et al, 1977)

Penelitian yang dilakukan oleh Singh et al (2014) mengenai konsumsi oksigen

maksimal (Vo2 max) untuk beberapa cabang olahraga ditemukan berbeda-beda.

Lari cross country menunjukkan Vo2 max yang paling tinggi dibandingkan cabang

olahraga lainnya. Pemain bola basket, hockey dan lari jarak pendek menunjukkan

Vo2 max yang kurang lebih sama dengan variasi yang minimal (62 hingga 65).

Pemain judo dan perenang menunjukkan Vo2 max yang lebih rendah (kurang dari

60).

Page 29: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

12

Untuk mengetahui besar Vo2 max seorang atlet, dapat dilakukan bermacam-

macam tes, seperti di bawah ini dinyatakan dalam milliliter/ kg berat badan/

menit:

a. Tes lari 12 menit dari Cooper

b. Tes lari 2,4 km

c. Tes Balke yaitu tes lari selama 15 menit.

d. Tes multi tahap (Bleep test)

2.1.3 Program Pelatihan Atlet

Program latihan secara umum mencakup masa persiapan, masa pertandingan dan

masa peralihan (Bompa et al, 2015). Masa persiapan terdiri dari persiapan umum

dan khusus. Persiapan umum menekankan latihan yang ditujukan pada

pembentukan atau pembinaan fisik, seperti daya tahan, kelentukan, kecepatan,

kekuatan, kedisiplinan dan lainnya, berlangsung selama 1 hingga 2 bulan dengan

bobot latihan yang diberikan berkisar antara: latihan fisik (60-70%), latihan teknik

(30-35%) dan latihan mental (5%). Persiapan khusus menekankan pada

penguasaan teknik dasar yang kemudian ditingkatkan menjadi satu kesatuan gerak

yang sempurna. Berlangsung 2 hingga 3 bulan dengan bobot latihan teknik (50%),

latihan taktik (20%), latihan fisik (10%) dan test trials (10%).

Masa pertandingan mencakup pra kompetisi dan kompetisi. Masa pra

kompetisi menekankan latihan terutama pada masalah-masalah taktik baik

individu ataupun beregu. Berlangsung selama 2-3 bulan dengan bobot latihan

taktik (60%), latihan mental (15%) dan try out dan test trials (20%). Pada masa

kompetisi, atlet harus berada dalam kondisi siaga dan siap tempur. Saat ini harus

Page 30: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

13

diciptakan suatu suasana atau kondisi yang baik hingga dapat memenangkan

pertandingan.

Masa peralihan merupakan transisi atau berakhirnya pertandingan. Saat ini

atlet harus tetap melakukan aktivitas fisik agar kondisi fisik tidak menurun. Masa

ini merupakan kesempatan yang baik untuk melakukan evaluasi baik dari hasil

pertandingan maupun proses latihan.

2.2 Kortisol

2.2.1 Definisi dan fungsi kortisol

Kortisol atau nama lainnya Hydrocortisone, 11β; 17,

21‐trihydroxypregn‐4‐ene‐3, 20‐dione, merupakan hormon glukokortikoid yang

berperan penting bagi manusia, meningkatkan substrat metabolik, menjaga

integritas pembuluh darah dan melindungi dari respon yang berlebihan terhadap

sistem imunologi dari latihan yang yang merusak otot. Nilai kortisol serum

normal bervariasi, pada pagi hari 170-635 nmol/L (The International Sistem of

Units (SI)) atau 6-23 μg/dL (Traditional Units), sedangkan sore hari 82-413

nmol/L (SI Unit) atau 3-15 μg/dL (Traditional unit).

Gambar 2.2 Struktur kimia kortisol

Page 31: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

14

Kortisol disekresikan oleh korteks adrenal pada kelenjar suprarenal, yang

berkaitan dengan aksis HPA. Kortisol menstimulasi pemecahan asam amino

dalam sel tubuh. Asam amino tersebut dilepaskan, dibawa ke hati, dimana

selanjutnya berperan pada sintesis glukosa melalui glukoneogenesis. Fungsi

kortisol lainnya adalah dalam penggunaan lemak untuk menghasilkan energi,

membantu tubuh dalam beradaptasi terhadap stress, mengatur kadar glukosa saat

puasa, menurunkan penyimpanan glukosa dan oksidasi glukosa otot untuk

menghasilkan energi. Kadar kortisol dalam darah berfluktuasi dari waktu ke

waktu. Kadar kortisol basal dapat terlihat pada awal dari aktivitas harian, yaitu

pada pagi hari (Adriana et al, 2008).

Gambar 2.3 Aksis Hipotalamus-Pituitari-Adrenal dan Respon Stres (Gulliams et

al, 2010)

Page 32: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

15

Produksi kortisol dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya adalah stressor

fisik dan psikologis. Aktivitas fisik akan berpengaruh terhadap keseimbangan

anabolisme dan katabolisme. Terjadi peningkatan kadar hormone katabolisme

dalam hal ini hormone kortisol pada seseorang yang mengalami stress fisik yang

lama. Hal tersebut akan menyebabkan perbandingan hormon anabolisme

(testosterone) dan hormone katabolisme (kortisol) menjadi turun.

Terdapat keseimbangan aksis HPA, dimana peningkatan kadar kortisol akan

memberikan umpan balik negatif terhadap aksis tersebut, seperti pada bagan di

bawah (Sandra et al, 2011). Aktivitas dari aksis HPA akan berujung pada

peningkatan kadar kortisol dalam sirkulasi (Adriana et al, 2008). Peningkatan

kortisol di sirkulasi akan memberikan efek negatif pada jaringan hipotalamus dan

pituitary melalui reseptor glukokortikoid dan reseptor mineralokortikoid.

Gambar 2.4 Umpan balik negatif aksis HPA (Sandra et al, 2011)

Mekanisme aktivitas HPA aksis ditunjukkan dengan adanya fluktuasi kadar

kortisol dalam tubuh. Sejumlah episode sekretor kortisol terjadi pada 24 jam hari

Page 33: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

16

sehingga memungkinkan untuk menggambarkan empat fase temporal yang tidak

sama. Fase ini diwakili oleh periode aktivitas sekretori minimal, selama sekresi

kortisol diabaikan, dan terjadi 4 jam sebelum dan 2 jam setelah onset tidur,

episode sekresi nokturnal awal pada jam ketiga sampai kelima jam tidur, fase

sekresi utama dari serangkaian tiga sampai lima episode terjadi selama jam

keenam sampai kedelapan jam tidur dan berlanjut sampai jam pertama terjaga dan

aktivitas sekresi keterjagaan yang intermiten pada jam keempat hingga sembilan

ditemukan pada periode jam ke 2 hingga ke 12 fase terjaga (Sharon et al, 2010).

Berikut adalah fluktuasi kortisol dalam 24 jam.

Gambar 2.5 Siklus Sirkardian Kortisol dalam 24 jam (Sharon et al, 2010)

Berbagai kondisi dapat menyebabkan hiperativitas dari aksis HPA, seperti

penyakit kronis, stress fisik yang berlebihan dan stress psikis (Guyton and Hall,

1996). Kontraksi otot akan meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap

glukokortikoid. Stress fisik yang berlebihan akan meningkatkan kontraksi otot

skeletal sehingga menimbulkan serangkaian reaksi inflamasi dan produksi

Page 34: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

17

berbagai sitokin (Duclos et al, 2003). Kondisi di jaringan seperti itu akan

menyebabkan hiperaktivitas aksis HPA. Mekanisme lain yang juga dapat

menyebabkan hiperaktivitas aksis HPA oleh stress fisik adalah melalui pengaruh

sitokin terhadap saraf perifer yang secara langsung dan tidak langsung

mengirimkan sinyal aferen ke otak yaitu hipotalamus (Adriana et al, 2007).

Hiperaktivitas aksis HPA yang terjadi terus menerus akan menyebabkan

kegagalan umpan balik negatif. Kadar kortisol di sirkulasi akan tetap tinggi.

Tingginya kortisol di sirkulasi akan merubah kemampuannya untuk berikatan

dengan reseptor glukokortikoid dan mineralokortikoid. Dampak selanjutnya

adalah aksis HPA akan menjadi tetap hiperaktif dan kadar kortisol di sirkulasi

tetap tinggi (Sandra et al, 2011).

Penelitian lain yang dilakukan oleh Filaire et al (dalam Giovani et al, 2006),

menemukan terjadinya penurunan rasio perbandingan testosterone dan kortisol

pada atlet yang menjalani latihan dengan intensitas tinggi selama 16 minggu.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Gorostiaga et al (dalam Giovani et al,

2006) pada atlet sepak bola yang menjalani latihan berat selama 11 minggu

mengalami penurunan rasio testosterone dan kortisol. Penelitian pada atlet dayung

yang menjalani latihan berat, didapatkan peningkatan kadar kortisol dan

penurunan rasio testosterone: kortisol setelah atlet menjalani latihan berat selama

3 minggu (Maestu et al, 2006).

Penelitian yang dilakukan oleh Hamid et al (2012), menunjukkan terjadinya

peningkatan kadar kortisol yang signifikan pada subyek yang menjalani pelatihan

dengan intensitas berat selama 8 minggu. Hal tersebut dijelaskan terkait dengan

Page 35: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

18

peningkatan aktivitas HPA aksis, selain itu juga berkaitan dengan stimulasi sistem

saraf parasimpatis, peningkatan suhu tubuh, peningkatan pH darah, hipoksia dan

akumulasi laktat (Hamid et al, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Alghadir

(2015) pada sampel usia 15-25 tahun yang menjalani latihan aerobik selama 4

minggu dengan intensitas moderate, didapatkan peningkatan hormon kortisol

secara signifikan dengan nilai p < 0,001. Latihan yang dilakukan selama 24 jam

ditemukan tidak secara signifikan meningkatkan kadar kortisol dalam darah

(Gholamali et al, 2016).

Faktor psikologis merupakan faktor lain yang mempengaruhi kadar kortisol

seseorang. Kecemasan dengan derajat berat dapat meningkatkan kortisol secara

signifikan dibandingkan kecemasan dengan derajat ringan (Ramos et al, 2008).

Penelitian yang dilakukan oleh Kurina et al (2004) juga menemukan bahwa

subyek dengan tingkat kecemasan tinggi dan depresi memiliki kadar kortisol yang

lebih tinggi secara signifikan. Penelitian lain menunjukkan bahwa subyek dengan

tingkat stress rendah tidak memiliki kadar kortisol yang meningkat (Vedhara et al,

2003). Penelitian oleh Assari et al (2015) menunjukkan bahwa kortisol tidak

berhubungan dengan kecemasan dan depresi pada remaja kulit hitam. Individu

dengan depresi derajat ringan dan sedang juga dikatakan tidak menunjukkan

hipersekresi kortisol (Cowen, 2002).

Penghitungan kadar kortisol dapat dilakukan dengan beberapa cara dan

analisa, baik dari pemeriksaan saliva, urin dan darah (Rodrigo et al, 2012).

Analisa kortisol standar medis dengan pemeriksaan serum darah merupakan

prosedur standar pemeriksaan hormon. Pengambilannya yang bersifat sederhana

Page 36: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

19

dan rentang kadar kortisol yang telah diketahui secara umum. Penelitian yang

dilakukan oleh Neary et al (2002) menemukan bahwa pemeriksaan kortisol

melalui serum, saliva dan urine memberikan hasil yang sama. Namun demikian,

bahan pemeriksaan serum darah memiliki kelebihan dapat disimpan untuk

pemeriksaan yang lama.

Pemeriksaan kadar kortisol pada saliva untuk menilai tingkat stress individu.

Metode ini merupakan metode yang cepat dan tidak menyakitkan. Sediaan air liur

yang diambil dapat stabil dalam suhu ruangan selama satu minggu. Pengambilan

saliva memiliki beberapa keuntungan yaitu lebih akurat, harga lebih murah,

memberikan hasil yang lebih cepat, pengambilan yang dapat dilakukan pada

beberapa tempat tanpa memerlukan ruangan khusus. Meskipun demikian,

keterbatasan dari pemeriksaan kortisol dari saliva adalah adanya pengaruh dari

adanya kelainan pada rongga mulut, adanya darah pada saliva, Sjogren syndrome,

penggunaan terapi hormonal (Rodrigo et al, 2012). Pemeriksaan kadar kortisol

dalam urin jarang dilakukan karena tidak bisa dilakukan satu kali waktu dan

memerlukan pengumpulan urin selama 24 jam (Neary et al, 2002).

2.2.2 Peranan kortisol pada atlet

Kortisol merupakan hormon glukokortikoid yang penting bagi kehidupan

dalam menyediakan sumber metabolisme saat aktivitas latihan (Rodrigo et al,

2012). Kortisol disekresikan oleh korteks adrenal pada kelenjar suprarenal, yang

berfungsi saat dan sesudah latihan termasuk dalam proses glukoneogenesis.

Kortisol menstimulasi pemecahan protein menjadi asam amino di dalam sel.

Page 37: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

20

Asam amino tersebut kemudian dibawa ke hati yang ikut serta dalam sintesis

glukosa melalui glukoneogenesis (Duclos, 2003).

Latihan pada atlet merupakan stimulus yang potensial bagi aksis hipotalamus-

pituitari-adrenal. Hormon glukokortikoid yang dihasilkan memberikan efek yang

menguntungkan bagi atlet, terjadi peningkatan availabilitas substrat yang

diperlukan untuk penyediaan energi bagi otot (Duclos, 2003). Saat latihan

diberhentikan secara mendadak, kondisi hormon diharapkan dapat mengatasi

proses metabolisme yang terjadi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Duclos

(1997) pada atlet lari marathon yang menjalani latihan intensif, didapatkan

terjadinya perpanjangan waktu hiperkortisolism endogen selama dan sesudah

latihan. Meskipun demikian, terjadi proses adaptasi yaitu penurunan sensitivitas

terhadap kortisol dalam rangka melindungi otot dan jaringan lainnya yang

sensitive terhadap kortisol.

2.3 Fisiologi Tidur

2.3.1 Arsitektur Tidur

Tidur memiliki beberapa definisi sesuai dengan pemikiran para ahli. Menurut

Guyton and Hall (1996), tidur didefinisikan sebagai suatu keadaan tak sadar yang

masih dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik ataupun

rangsangan lain. Menurut Potter & Perry (2005), tidur merupakan proses

fisiologis yang bersiklus bergantian dengan periode yang lebih lama dari

keterjagaan. Definisi lain menyatakan tidur merupakan suatu keadaan yang

bersifat normal, dimana hilangnya kewaspadaan untuk menerima dan merespon

Page 38: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

21

lingkungan luar yang terjadi berulang dan kembali lagi (reversible) (Silber et al,

2010). Berbagai hal terlibat dalam proses tidur, mencakup tingkah laku

(behavioral), fisiologi, dan neurokognitif serta fungsi imunologis (Curcio dkk,

2006; Lange dan Born, 2011). Pada saat tidur didapatkan pergeseran antara

keseimbangan sintesis protein dengan degradasi protein, yang lebih bergeser ke

arah sintesis. Sintesis protein otak, asam nukleat di seluruh tubuh, dan sintesis

Adenosin Triphosphate (ADP) mencapai tingkat yang lebih tinggi pada saat tidur

(Lumbantobing, 2008).

Mitosis sel aktif, termasuk ginjal, usus, dan kulit terjadi secara aktif saat tidur.

Hormon anabolik (hormon pertumbuhan, kortikosteroid, gonadotropin) lebih

banyak dijumpai saat tidur (Lumbantobing, 2008).

Berdasarkan tiga rekaman fisiologis yang dilakukan sewaktu tidur, yaitu

elektroensefalografi (EEG), elektrookulografi (EOG), dan elektromiografi (EMG),

tidur dibagi menjadi 2 tahapan nyata yang berlangsung sesuai dengan pola siklus,

yaitu :

1. Tidur Non- Rapid Eye Movement (REM), dibagi menjadi 4 stadium, yaitu :

- Tingkat 1 (tidur ringan)

- Tingkat 2 (tidur terkonsolidasi/consolidated sleep)

- Tingkat 3 dan 4 (tidur dalam atau tidur gelombang lambat)

2. Tidur REM

Siklus akan berulang sebanyak 4-6 kali tiap tidur secara normal pada orang

dewasa, dan setiap siklus berlangsung sekitar 90-110 menit (Lumbantobing,

2008; Chokroverty, 2010).

Page 39: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

22

Pada manusia dewasa sepertiga bagian awal tidur didominasi oleh tidur

gelombang lambat/Slow Wave Sleep (SWS) sedangkan sepertiga bagian akhir

tidur didominasi oleh tidur REM. Tidur NREM berlangsung sekitar 75%-80 %

dari setiap waktu tidur pada orang dewasa dan dibagi menjadi 4 stadium, stadium

1-4 sesuai dengan kriteria manual skoring tradisional Rechtschaffen dan Kales (R-

K). Sedangkan berdasarkan rekaman EEG, stadium tidur dibagi menjadi 3, yaitu

N1, N2 dan N3. Waktu tidur REM berkisar antara 20%-25% dari total waktu

tidur keseluruhan. Petanda spesifik tidur REM adalah adanya gerakan mata cepat

ke segala arah dan ketiadaan aktivitas otot yang dapat direkam oleh EMG

(Chokroverty, 2010).

Tabel 2.1 berikut ini menunjukkan kriteria spesifik tingkah laku dan fisiologi

yang terjadi sepanjang fase terjaga, tidur NREM, dan REM.

Tabel 2.1 Kriteria tingah laku dan fisiologi fase bangun dan tidur (Chokroverty,

2010)

Kriteria Fase bangun Tidur NREM Tidur REM

Postur

Mobilitas

Respon terhadap

stimulasi

Tingkat

kewaspadaan

Kelopak mata

Gerakan mata

EEG

EMG (tonus otot)

EOG

Berdiri, duduk

Normal

Normal

Waspada

Terbuka

Waking eye

movement

Gelombang alfa,

desinkronisasi

Normal

Waking eye

movement

Berbaring

Postural shift,

immobile

Menurun

Tidak sadar tapi

reversibel

Tertutup

Slow rolling eye

movement

Sinkronisasi

Sedikit menurun

Slow rolling eye

movement

Berbaring

Immobile,

myoclonic jerks

Menurun, bahkan

tidak berespon

Tidak sadar tapi

reversibel

Tertutup

Rapid eye

movement

Thetha, saw tooth

wave

Desinkronisasi

Menurun bahkan

tidak ada,

Rapid eye

movement

Page 40: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

23

2.3.2 Substrat anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur

Temuan-temuan genetik terbaru mengindikasikan bahwa mekanisme

molekulerlah yang mengontrol irama sirkadian dan mengatur stadium tidur

terkonservasi secara filogenetik. Gangguan tidur dalam jangka lama

mempengaruhi pengaturan temperatur tubuh, metabolisme diet, dan fungsi

imunologi. Pada susunan saraf manusia, instruksi genetik diekspresikan secara

progresif pada level transkripsi genetik yang lebih tinggi, sintesis protein, dan

hubungan dinamis antar populasi neuronal subkortikal yang terlibat dalam

membentuk substrat anatomi tidur seperti yang dijelaskan oleh gambar dibawah

ini (Pace-Schott dan Hobson, 2002).

Gambar 2.6 Substrat anatomi yang terlibat dalam fisiologi tidur (Pace-Schott

dan Hobson, 2002).

Page 41: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

24

Jam sirkadian molekuler secara genetik diekspresikan oleh 20.000 sel-sel

SCN yang berlokasi secara bilateral di hipotalamus, tepat di atas chiasma

optikum. Sel-sel tersebut mengandung mekanisme “master clock” yang mengatur

ritme fisiologis tubuh terhadap siklus siang malam selama 24 jam (Pace-Schott

dan Hobson, 2002).

Setelah demikian lama ditemukannya sirkadian spesifik dan mekanisme

kontrol bangun-tidur, ternyata mekanisme irama biologis juga melibatkan struktur

lain selain selain SCN yang berlokasi dekat dengan nukleus tersebut. Struktur

tersebut antara lain nukleus paraventrikular, Subparaventrikular Zone (SPZ)

(daerah hipotalamus yang menerima sejumlah besar proyeksi dari SCN) dan

nukleus Dorsomedial Hypothalamic (DMH) yang menerima proyeksi dari SPZ

(Pace-Schott dan Hobson, 2002).

Substrat neuanatomi tidur dan fisiologi bangun tidur terdiri dari mekanisme

kompleks yaitu jalur aktivasi dan inhibisi yang bersifat umpan balik antara

berbagai pusat yang terletak rostral batang otak dan korteks seperti yang

dijelaskan pada gambar 2.6 di bawah. Mekanisme bangun tidur dimediasi oleh

Ascending Reticular Activating Sistem (ARAS) dan jalur inhibisinya yang

berproyeksi melalui nukleus-nukleus formasio retikularis batang otak dan rostral

batang otak ke talamus dan Basal Forebrain (BF). Terdapat dua jalur proyeksi

yang terlibat dalam mekanisme tersebut. Jalur pertama melalui rute dorsal, yaitu

neuron-neuron kolinergik Pedunculopontine/Lateral Dorsal (PPT/LTD) yang

mengeksitasi neuron-neuron retikular dan talamokortikal. Jalur kedua adalah

melalui rute ventral yang meliputi hipotalamus dan BF. Proyeksi jalur tersebut

Page 42: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

25

bermula dari nukleus Locus Coeruleus (LC) yang bersifat noradrenergik, nukleus

rafe dorsalis yang bersifat serotonergik, nukleus di daerah Ventral Periaquductal

Greymatter (PAG) yang bersifat dopaminergik, Tuberomamillary Nucleus (TMN)

yang bersifat histaminergik, serta hipotalamus bagian lateral yang menghasilkan

oreksin dan melanin-concentrating hormone. Kelompok neuron-neuron tersebut

lebih aktif saat fase bangun dibandingkan tidur non-REM dan tidak menunjukkan

aktivitas selama tidur REM (gambar 2.6 A)

Ventrolateral Preoptic Nucleus (VLPO) diperkirakan berperanan dalam

sirkuit inhibisi ARAS. Mekanisme inhibisi oleh nukleus preoptik dan aktivasi

oleh ARAS disebut “flip-flop switch design”. Sistem ini secara indirek

distabilisasi oleh neuron-neuron oreksin dan neuron yang mengandung melanin-

concentrating hormone di daerah lateral hipotalamus, yang mencegah mekanisme

aktivasi/inhibisi secara spontan, seperti halnya pada kondisi narkolepsi. Neuron-

neuron VLPO yang aktif saat tidur tersebut menghasilkan neurotransmiter inhibisi

GABA dan galanin (gambar 2.6 B) (Saper dkk., 2005, Fuller dkk., 2006).

Page 43: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

26

Gambar 2.7 Sirkuit bangun-tidur; (A) ARAS yang terdiri dari jalur dorsal dan

ventral, (B) jalur inhibisi terhadap sirkuit ARAS (Fuller dkk., 2006).

Lesi eksitotoksik pada SPZ menyebabkan gangguan irama sirkadian tidur,

aktivitas lokomotor dan temperatur tubuh. Proyeksi SPZ adalah pada VLPO yang

berperan dalam regulasi tidur NREM. Target proyeksi SPZ yang lain adalah DMH

yang mengandung banyak neuron oreksin, yang pada akhirnya berproyeksi

menuju VLPO. Lesi pada area DMH menyebabkan penurunan amplitudo

sirkadian dan temperatur tubuh pada binatang coba. Hal ini menimbulkan asumsi

bahwa terdapat hubungan area tersebut dengan SCN. Terdapat aliran impuls

transinaptik retrograd yang menunjukkan adanya proyeksi indirek dari SCN

melalui DMH. Proyeksi kemudian diteruskan ke nukleus VLPO hipotalamus

kemudian ke nukleus noradrenergik LC. Oreksin meningkat pada aktivitas LC

(Pace-Schott dan Hobson, 2002).

Page 44: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

27

2.3.3 Tidur dan akis HPA

Tahap inisiasi tidur dimulai ketika aktivitas HPA Axis berkurang, dan

depriviasi tidur berhubungan dengan aktivasi HPA. Terjaga pada malam hari

berhubungan dengan naik turunnya kortisol, pelepasan NE dan CRH yang diikuti

oleh inhibisi sekresi kortisol. Kadar kortisol dalam darah berfluktuasi, kortisol

mulai meningkat dengan cepat pada bangun pagi hari dan terus meningkat hingga

60 menit. Fenomena ini disebut dengan awakening respone (Hudson et al, 2010).

Kadar kortisol mulai menurun pada sore hari dan makin menurun dengan kadar

sangat rendah pada tengah malam, hingga subuh. Pola sirkardian sekresi kortisol

berkembang pada 1 bulan pertama kehidupan manusia. Pola tersebut berkaitan

dengan sirkardian siklus bangun-tidur (Adriana et al, 2008).

Kadar kortisol dalam tubuh dapat dilihat dari darah, urin dan saliva. Kadar

dalam saliva mirip dengan kadar dalam darah. Berikut adalah gambaran kortisol

dalam saliva pada siklus tidur. Pada gambar tersebut menunjukkan siklus tidur

normal, kadar kortisol tertinggi pada pagi hari, lalu makin menurun secara

bertahap pada siang hari dan menetap sepanjang sore dan menurun kembali saat

malam hari (Guilliams et al, 2010).

Page 45: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

28

Gambar 2.8 Kadar kortisol saat tidur

Sistem stress mencakup komponen sistem saraf pusat, yaitu neuron CRH di

hipotalamus paraventrikular nucleus dan nucleus noradrenergic di batang otak dan

saraf perifer (Chrousos et al, 2016). Stres akan mengaktivasi sistem Sympatho-

Adreno-Medullary (SAM) dan aksis HPA. Menyebabkan hiperaktivitas sistem

kardiovaskular, katelkolamin, kortisol ACTH dan CRH (Kuem S et al, 2012).

Disfungsi aktivitas HPA axis berperan dalam berbagai gangguan tidur.

Depresi dan gangguan terkait stress juga berhubungan dengan gangguan tidur,

peningkatan kortisol dan perubahan kadar NE serta disfungsi HPA axis.

Mekanisme pelepasan kortisol berkaitan dengan regulasi tidur (Follenius et al.,

1992). Namun, insomnia kronis tanpa depresi terjadi pada peningkatan kadar

kortisol, terutama pada sore hari dan tahap awal periode tidur malam. Peningkatan

kortisol ini dapat menjadi penyebab utama gangguan tidur (Hudson et al, 2010).

Peningkatan CRH, ACTH dan kortisol selama fase awal pada malam hari

berkaitan dengan kelelahan dan gangguan tidur. Peningkatan sekresi kortisol

menyebabkan penurunan fase non-REM tidur dan bertambahnya waktu terjaga.

Page 46: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

29

Peningkatan kortisol dan sistem saraf otonom akan menyebabkan individu berada

dalam kondisi terjaga. Pada individu normal, keterjagaan (wakefulness) dan tidur

tahap 1 dipengaruhi oleh peningkatan kadar kortisol, sedangkan SWS atau tidur

dalam berkaitan dengan penurunan kadar kortisol. Terjadinya distruption atau

gangguan berupa terjaga yang berulang kali, berkaitan dengan peningkatan

kortisol plasma yang signifikan. Rata-rata kadar plasma kortisol yang tinggi

dalam 24 jam ditemukan lebih tinggi secara signifikan pada individu dengan total

tidur yang lebih pendek. Pada kelompok lanjut usia juga didapatkan adanya

peningkatan kadar kortisol basal yang lebih tinggi dibandingkan kelompok usia

muda yang berkaitan dengan adanya gangguan tidur (Chrousos et al, 2016).

Menurut Vgontzas et al (2002), hiperkortisol selama 24 jam dapat menyebabkan

insomnia kronis.

Gambar 2.9 Interaksi komponen sentral dan perifer pada stress dengan tidur

(Chrousos et al, 2016)

Page 47: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

30

Gambar di atas menjelaskan bentuk interaksi antara komponen sentral dan

perifer pada stress dengan tidur. Garis tebal menunjukkan arah stimulasi,

sedangkan garis putus-putus menunjukkan gangguan atau inhibisi. Peningkatan

glukokortikoid, yaitu kortisol akan memberikan efek inhibisi atau mnengganggu

tidur REM (Chrousos et al, 2016). Kortisol yang mempunyai efek individu

terjaga akan menyebabkan tidur yang terfragmentasi sehingga berdampak pada

terjadinya gangguan tidur.

2.3.4 Kualitas tidur

Kualitas tidur tidak hanya dinilai dari aspek kualitatif tetapi juga aspek

kuantitatif seperti misalnya lamanya waktu tidur, waktu yang diperlukan untuk

tertidur dan frekuensi terbangun dari tidur pada malam hari .

Kualitas tidur merupakan gambaran subyektif tentang kemampuan untuk

mempertahankan waktu tidur serta tidak adanya gangguan yang dialami sepanjang

waktu tidur yang diukur dengan menggunakan kuesioner standard (Van Cauter

dkk, 2007; Agustin, 2012). Kualitas tidur diukur secara subyektif diukur dengan

PSQI dengan pemeriksaan 7 komponen yaitu latensi, durasi, kualitas, efisiensi

kebiasaan tidur, gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan gangguan fungsi

tubuh di siang hari (Buysse, 1989).

Kualitas tidur seseorang dapat dianalisa melalui pemeriksaan neurofisiologi

yaitu EEG yang merupakan rekaman arus listrik dari otak. Perekaman listrik dari

permukaan otak atau permukaan luar kepala dapat menunjukkan adanya aktivitas

listrik yang terus menerus timbul dalam otak. Ini sangat dipengaruhi oleh derajat

eksitasi otak sebagai akibat dari keadaan tidur, keadaan siaga atau karena penyakit

Page 48: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

31

lain yang diderita. Tipe gelombang EEG diklasifikasikan sebagai gelombang alfa,

betha, tetha dan delta (Guyton & Hall, 1997).

Gangguan tidur dapat terjadi pada siapa saja. Penelitian pada masyarakat

dewasa (usia di atas 18 tahun) yang tidak memiliki gangguan tidur, setelah diikuti

selama 1 tahun, ditemukan insiden insomnia sebesar 30,7% (LeBlanc et al, 2009).

Berbagai aspek mempengaruhi terjadinya gangguan tidur seperti aktivitas,

pekerjaan shift, cemas, kondisi kesehatan, nyeri, riwayat keluarga dan riwayat

insomnia sebelumnya (Kuem S et al, 2012; Oka et al, 2016; Purwa et al, 2017).

Atlet merupakan salah satu kelompok masyarakat yang sering mengalami

gangguan tidur. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Juliff LE et al (2014)

yang meneliti atlet nasional dan internasional beberapa cabang olahraga mengenai

gangguan tidur yang dialami selama pelatihan. Didapatkan 64% atlet mengalami

tidur yang lebih buruk dari biasanya sebelum pertandingan selama 12 bulan

terakhir. Gangguan tidur yang dialami mencakup kesulitan memulai tidur (sleep

onset insomnia) sebanyak 82,1%, bangun terlalu cepat (26,8%), terbangun malam

hari (38%), mimpi buruk (5,6%) dan tidak segar saat bangun tidur (36,3%).

Berbagai hal mempengaruhi kualitas tidur seorang atlet. Jenis kelamin

berhubungan dengan tidur yang tidak nyaman karena mimpi buruk, dan

ditemukan lebih banyak pada atlet wanita (Juliff et al, 2014). Penelitian lain

menunjukkan hasil yang berbeda, Gupta et al (2016) menemukan bahwa tidak

terdaapt perbedaan kejadian gangguan tidur pada atlet laki-laki dan perempuan.

Atlet cabang olahraga individual dan beregu memiliki perbedaan persentase

gangguan tidur, namun tidak signifikan (Juliff et al, 2014). Selain itu, gangguan

Page 49: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

32

tidur tersebut tidak berdampak pada penampilan atlet. Penelitian lain

menunjukkan hasil yang berbeda, yaitu frekuensi gangguan tidur pada cabang

olahraga individual lebih besar secara signifikan dibandingkan olahraga beregu

(Gupta et al, 2016).

Indeks massa tubuh yang berlebihan berhubungan dengan gangguan tidur,

terutama berkurangnya latensi tidur (Hargens et al, 2013). Orang dengan obesitas

dikatakan sering kali mengalami insomnia. Faktor psikologis seperti depresi dan

kecemasan secara signifikan sebagai faktor risiko gangguan tidur, terutama

insomnia (LeBlanc et al, 2009). Adanya gangguan tidur sebelumnya, seperti

gangguan tidur primer juga menjadi salah satu faktor risiko gangguan tidur

selanjutnya. Episode insomnia sebelumnya (dalam 1 tahun terakhir)

meningkatkan kejadian gangguan tidur 5 kali lebih tinggi secara signifikan

(LeBlanc et al, 2009).

Page 50: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

33

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Berdasarkan pada rumusan masalah dan tinjauan pustaka, dapat disusun

sebuah kerangka berpikir. Stres fisik dan psikis akan mempengaruhi HPA axis

melalui reaksi inflamasi. Hiperaktivitas pada HPA axis, akan merangsang

hipotalamus. Aktivitas hipotalamus yang meningkat akan memicu pelepasan

corticotropin-releasing faktor (CRF). Respon terhadap stress akan mengakibatkan

CRF dilepaskan ke pembuluh darah hypophysial portal yang menuju ke kelenjar

pituitary anterior. Ikatan CRF pada reseptor di pituitary menginduksi pelepasan

adrenocorticotropic hormone (ACTH) ke sirkulasi sistemik. ACTH akan

menstimulasi sintesis glukokortikoid kortisol di korteks adrenal (Smith et al,

2006). Peningkatan kadar kortisol dalam darah akan memberikan umpan balik

negatif terhadap aksis HPA, selanjutnya pada produksi CRF dan ACTH, yang

kemudian akan menurunkan kadar kortisol (Guilliams et al, 2010).

Stress fisik yang kronis selama lebih dari 4 minggu akan meningkatkan kadar

kortisol. Adanya stress yang berlebihan akan berdampak pada peningkatan kadar

kortisol yang terus menerus. Kondisi tersebut menyebabkan tidak terjadinya

umpan balik negatif sehingga kadar kortisol tetap tinggi. Kadar kortisol tinggi

selama lebih dari 24 jam akan menyebabkan gangguan tidur. Peningkatan kadar

kortisol di sirkulasi akan menurunkan kemampuan erikatan dengan GRs di

jaringan HPA aksis. Kondisi tersebut akan menyebabkan kegagalan umpan balik

Page 51: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

34

negative. Tidak terjadinya umpan balik negative akan menyebabkan kondisi

kortisol di sirkulasi tetap tinggi.

Tingginya kadar kortisol yang terus menerus secara kronis akan

menyebabkan cortisol awakening responses (CAR) sehingga meningkatkan

frekuensi terjaga, peningkatan frekuensi EEG pada fase tidur serta menurunkan

gelombang tidur pendek. Kondisi tersebut akan berdampak pada buruknya

kualitas tidur. Kualitas tidur yang buruk pada seorang atlet karena stress fisik

menyebabkan terganggunya kondisi atlet, meningkatnya rasa ngantuk saat siang

hari hingga menurunkan performa dan prestasi saat bertanding.

Page 52: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

35

Gambar 3.1 Kerangka berpikir penelitian

Hiperaktivitas HPA Axis

Corticotropin-releasing faktor (CRF)

meningkat (Hipotalamus)

Adenocorticotropin hormone (ACTH) meningkat

(Hipofisis Anterior)

Korteks Adrenal

Kortisol meningkat

Umpan

balik

negatif

Kronis

Kualitas tidur buruk

Stres fisik

Akut

Ikatan GRs

menurun

Umpan

balik

negatif

×

Cortisol Awakening Responses (CAR)

Reaksi inflamasi

Page 53: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

36

3.2 Konsep Penelitian Kerangka Konsep

Variabel yang akan diteliti

Variabel perancu (dikendalikan pada tahap rancangan penelitian)

Variabel lain yang akan ditampilkan pada karakteristik data

Gambar 3.2 Konsep penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan kajian pustaka maka disusunlah konsep

penelitian sebagai berikut:

1. Kadar kortisol tinggi merupakan salah satu faktor risiko kualitas tidur

buruk pada atlet dalam pemusatan latihan.

2. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas tidur seperti gangguan tidur

sebelumnya, depresi berat, kecemasan sedang-berat, penggunaan obat-

obatan dan indeks massa tubuh dikendalikan dengan desain penelitian.

Gangguan tidur

sebelumnya

Depresi berat

Kecemasan berat

Penggunaan obat-

obatan

Atlet dalam pemusatan

latihan

Usia

Jenis kelamin

Cabang Olahraga

Kadar kortisol serum

tinggi

Kualitas tidur buruk

Page 54: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

37

3. Faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas tidur pada atlet seperti usia,

jenis kelamin, cabang olahraga akan dikendalikan menggunakan statistik

pada tahap analisis hasil penelitian.

3.3. Hipotesis

Berdasarkan kerangka berpikir dan konsep penelitian di atas, ditetapkan hipotesis

penelitian sebagai berikut: kadar kortisol tinggi sebagai faktor risiko kualitas tidur

buruk pada atlet dalam pemusatan latihan.

Page 55: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

38

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Studi ini meneliti tentang faktor risiko terjadinya kualitas tidur buruk pada subyek

yang mengikuti pemusatan latihan. Penelitian ini merupakan penelitian

observasional analitik menggunakan rancangan penelitian kasus kontrol untuk

mengetahui kadar kortisol tinggi sebagai faktor risiko kualitas tidur buruk pada

atlet dalam pemusatan latihan. Untuk menggambarkan secara jelas rancangan

penelitiannya adalah sebagai berikut:

Gambar 4.1 Bagan rancangan penelitian

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Atlet menjalani

pemusatan latihan

selama 4 minggu

Kualitas tidur

buruk

Kualitas tidur

baik

Kortisol tinggi

Kortisol tidak tinggi

Kortisol tinggi

Kortisol tidak tinggi

Page 56: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

39

Penelitian dilakukan di lokasi pemusatan latihan atlet Kota Madya Denpasar

mulai Juni hingga Nopember 2017. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan

kadar kortisol dilakukan di lokasi pemusatan latihan atlet oleh petugas

laboratorium, sedangkan pemeriksaan kadar kortisol serum dilakukan di Instalasi

laboratorium RSUP Sanglah. Pemeriksaan kualitas tidur dilakukan di lokasi

pemusatan latihan atlet.

4.3 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini berada dalam ruang lingkup Neurologi khususnya Divisi

Gangguan Tidur dan Neuroendokrin.

4.4. Penentuan Sumber Data

4.4.1 Populasi target

Populasi target adalah semua atlet yang mengikuti pemusatan latihan.

4.4.2 Populasi terjangkau

Populasi terjangkau adalah atlet Kota Madya Denpasar yang mengikuti pemusatan

latihan sebagai persiapan PORPROV tahun 2017.

4.4.3 Sampling frame

Page 57: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

40

Sampel diambil dari atlet Kota Madya Denpasar cabang olahraga Atletik,

bulutangkis dan balap sepeda yang menjalani pemusatan latihan sebagai persiapan

PORPROV tahun 2017 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

4.4.4 Kriteria subyek

4.4.4.1 Kriteria inklusi:

Kriteria inklusi kasus meliputi hal-hal berikut:

1. Atlet kota madya Denpasar yang mengikuti pemusatan latihan sebagai

persiapan PORPROV tahun 2017 dengan kualitas tidur buruk.

2. Atlet bersedia ikut dalam penelitian setelah mendapat penjelasan mengenai

maksud, tujuan dan prosedur penelitian selengkapnya dengan

menandatangani surat persetujuan (informed consent).

Kriteria inklusi kontrol meliputi hal-hal berikut:

1. Atlet kota madya Denpasar yang mengikuti pemusatan latihan sebagai

persiapan PORPROV tahun 2017 dengan kualitas tidur baik.

2. Atlet bersedia ikut dalam penelitian setelah mendapat penjelasan mengenai

maksud, tujuan dan prosedur penelitian selengkapnya dengan

menandatangani surat persetujuan (informed consent).

4.4.4.2 Kriteria eksklusi:

1. Atlet yang mengalami gangguan tidur sebelumnya.

Page 58: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

41

2. Atlet dengan depresi berat

3. Atlet dengan kecemasan sedang-berat

4. Mengkonsumsi obat yang mempengaruhi kadar kortisol serum seperti obat

antidepresan, antipsikotik dan anticemas dalam 30 hari terakhir.

4.4.5 Besar sampel

Besar sampel yang dibutuhkan dihitung menurut rumus untuk jenis penelitian

analitik dengan skala pengukuran komparatif dengan variabel kategorikal tidak

berpasangan (Colton, 1974, cit. Dahlan, 2009):

𝑛1 = 𝑛2 = (𝒵α. 2PQ + 𝒵β. P1Q1 + P2Q2)²

(𝑃1 − 𝑃2)²

Keterangan :

n : besar sampel

Zα : deviat baku alfa (α= 5%, Zα = 1,96)

Zβ : deviat baku beta (β=15%, Zβ = 1,036)

P : proporsi total = ( P1+ P2 / 2)

Q : 1 – P

P1 : proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement

peneliti.

Q1 : 1 – P1

P2 : proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya

Q2 : 1 – P2

P1 – P2: beda proporsi minimal yang dianggap bermakna.

Dari penelitian terdahulu (Jullif et al, 2014) diperoleh informasi:

Page 59: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

42

P2 = 0,64 maka dapat diketahui P1= 0,94

𝑛1 = 𝑛2 = (1,96 . 2 . 0,79 . 0,21 + 1,28 . 0,94 . 0,06 + 0,64 . 0,36)²

(0,94 − 0,64)²

• Besar sampel (n) yang dibutuhkan adalah:

• Berdasarkan rumus di atas, didapatkan sampel minimal tiap kelompok

sebanyak 31,5 orang. Sehingga jumlah sampel keseluruhan menjadi 64

orang.

4.4.6 Teknik pengambilan sampel

Subjek penelitian diambil dari populasi sasaran dan populasi terjangkau.

Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode random sampling.

4.5 Variabel Penelitian

4.5.1 Klasifikasi variabel

1. Variabel bebas: kadar kortisol serum tinggi

2. Variabel tergantung: kualitas tidur buruk

3. Variabel perancu: usia, jenis kelamin, cabang olahraga

4.5.2 Definisi operasional variabel

1 Kadar kortisol serum merupakan merupakan kadar kortisol yang diperiksa

dari serum darah. Kadar kortisol diperiksa setelah atlet menjalani pemusatan

latihan 4 minggu, diambil pada pagi hari (pkl 08.00-10.00). Kadar kortisol

Page 60: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

43

serum diperiksa menggunakan kortisol kit dengan metode kompetitif ELISA

di Laboratorium Patologi Klinik RSUP Sanglah. Nilai kortisol

dikelompokkan menjadi kadar kortisol tinggi dan tidak tinggi yang

dibedakan dengan hasil statistic prosedur Receiver Operating Characteristic

(ROC) dan menilai Area Under the Curve (AUC). Data disajikan dalam

skala kategorikal nominal.

a. Kadar kortisol tinggi bila ≥ 208,05 nmol/L

b. Kadar kortisol tidak tinggi bila < 208,05 nmol/L

2 Kualitas tidur merupakan gambaran subyektif tentang kemampuan untuk

mempertahankan waktu tidur serta tidak adanya gangguan yang dialami

sepanjang waktu tidur yang diukur dengan menggunakan kuesioner standard

(Van Cauter dkk, 2007; Agustin, 2012). Kualitas tidur diukur secara

subyektif diukur dengan PSQI dengan pemeriksaan 7 komponen yaitu

latensi, durasi, kualitas, efisiensi kebiasaan tidur, gangguan tidur,

penggunaan obat tidur, dan gangguan fungsi tubuh di siang hari (Buysse,

1989) (seperti terlampir). Validitas instrumen PSQI pada penelitian yang

dilakukan oleh Cunha dkk. (2008) adalah 0,89, sedangkan reliabilitas 0,88

(Cueller dkk., 2008). Data disajikan dalam skala kategorikal nominal.

a. Kualitas tidur baik bila skor PSQI ≤ 5

b. Kualitas tidur buruk bila skor PSQI > 5

3 Atlet adalah orang yang melakukan latihan mempersiapkan diri untuk

pertandingan sebagai wakil dari Kota Madya Denpasar yang menjalani

pemusatan latihan sebagai persiapan PORPROV 2017 pada bulan Juni 2017.

Page 61: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

44

4 Pemusatan latihan merupakan latihan tahap persiapan umum yang dilakukan

terhadap atlet Kota Madya Denpasar sebagai persiapan PORPROV 2017

pada bulan Juni 2017.

5 Jenis kelamin ditentukan berdasarkan tanda pengenal. Data dikelompokkan

menjadi laki-laki dan perempuan. Data berskala nominal dikotomi.

6 Usia pada penelitian ini dibatasi menjadi usia 15-25 tahun. Usia ditetapkan

menurut tanggal kelahiran yang tercatat di Kartu Tanda Penduduk atau

berdasarkan keterangan keluarga sesuai yang tercatat dalam Kartu Keluarga.

Data berskala nominal.

7 Kecemasan merupakan pengalaman subjektif mengenai ketegangan mental

yang menggelisahkan sebagai reaksi umum dan ketidakmampuan

menghadapi masalah atau adanya rasa aman. Kecemasan diukur dengan

Hamilton Rating Scale for Anxiety (HARS). Terdiri dari 14 kelompok gejala,

di mana masing-masing kelompok gejala dirinci lagi dengan gejala-gejala

yang lebih spesifik (seperti terlampir). Masing-masing kelompok gejala

diberi penilaian angka (skor) antara 0 – 4, di mana:

0 = tidak ada gejala (keluhan)

1 = gejala ringan

2 = gejala sedang

3 = gejala berat

4 = gejala berat sekali

Kecemasan berat apabila penilaian HARS 25-30.

8 Cabang olahraga adalah cabang jenis gerak badan untuk menguatkan dan

menyehatkan tubuh, yaitu cabang olahraga atletik, balap sepeda dan

bulutangkis.

9 Gangguan tidur sebelumnya merupakan kondisi dimana sleep latency lebih

dari 30 menit, waktu terjaga setelah onset tidur lebih dari 30 menit, efisiensi

Page 62: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

45

tidur kurang dari 85% atau total lama tidur (total sleep time) kurang dari 6-

6,5 jam, dan keluhan tersebut terjadi minimal 3 hari dalam seminggu selama

minimal 1 bulan (Perdossi, 2014).

10 Penderita dengan depresi berat. Depresi merupakan keadaan psikologis yang

ditandai oleh gejala utama berupa afek depresi, kehilangan minat dan

kegembiraan, berkurangnya energi yang menuju keadaan mudah lelah dan

menurunnya aktivitas (Maslim, 2003). Depresi berat ditentukan dengan

menggunakan skala Hamilton Rating Scale for Depression (seperti

terlampir), dikatakan depresi berat bila skor > 24. Data berskala nominal.

11 Mengkonsumsi obat yang mempengaruhi kadar kortisol serum seperti obat

antidepresan, antipsikotik dan anticemas dalam 30 hari terakhir.

4.6. Bahan Penelitian

Bahan sampel penelitian diambil dari data atlet kota madya Denpasar yang

mengikuti pemusatan latihan untuk PORPROV 2017. Bahan penelitian terdiri

dari:

1. Data atlet didapatkan dari hasil pengisian kuisioner.

2. Darah vena yang telah dicampur dengan reagen siap pakai.

3. Kualitas tidur diambil dari pengisian kuesioner PSQI.

4.7 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan terdiri dari alat pengumpulan data berupa kuesioner.

Kuesioner dan lembar pengumpulan data digunakan untuk mencatat data dasar

Page 63: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

46

karakteristik sampel, hasil pemeriksaan laboratorium, dan hasil pemeriksaan

PSQI.

4.8. Prosedur Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap.

Tahap pertama: melakukan pengambilan sumber data sesuai dengan metode

pengambilan data yang digunakan, dilakukan pemeriksaan PSQI sebelum atlet

mengikuti pemusatan latihan untuk menyingkirkan gangguan tidur sebelumnya

dan dilakukan penyaringan sumber data menurut kriteria inklusi dan eksklusi yang

telah disepakati, serta bersedia menandatangani surat persetujuan inform consent

setelah diberikan penjelasan.

Tahap kedua: melakukan pencatatan identitas subjek, pemeriksaan keadaan vital,

anamnesis, pemeriksaan fisik secara umum, pemeriksaan klinis neurologis,

pemeriksaan laboratorium (kortisol serum) yang diambil setelah atlet mengikuti

pemusatan latihan selama 4 minggu, diambil pada pagi hari sebelum beraktivitas

dan penilaian gangguan tidur dengan kuesioner PSQI. Pengambilan sampel darah

pemeriksaan kortisol dilakukan pada 1 hari setelah penilaian gangguan tidur.

Tahap ketiga: melakukan penataan data dalam bentuk tabel dan selanjutnya

dilakukan analisis data dengan program SPSS , serta dibuat kesimpulan dalam

bentuk tabel dan penjelasannya.

Page 64: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

47

Berikut akan digambarkan kerangka kerja dalam penelitian ini.

KRITERIA

INKLUSI

ATLET DALAM PEMUSATAN LATIHAN

selama 4 minggu

KRITERIA

EKSKLUSI

Pemeriksaan Kualitas

tidur (PSQI)

Atlet kota madya Denpasar tim PORPROV 2017

Page 65: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

48

Gambar 4.2 Bagan alur penelitian

4.9 Analisis Data

Data hasil penelitian akan dianalisis secara statistik dengan bantuan program

Windows SPSS versi 20. Analisis data dilakukan dalam tahapan berikut:

1. Tahapan statistik deskriptif digunakan untuk melihat gambaran karakteristik

dasar subyek penelitian.

2. Tahapan statistik analitik dilakukan dua tahap, yaitu uji hipotesis untuk

analisis tahapan statistik analitik bivariat dengan tujuan untuk menilai kadar

kortisol tinggi sebagai faktor risiko kualitas tidur buruk pada atlet dalam

SAMPEL PENELITIAN

Pemeriksaan Kualitas

tidur (PSQI)

Kadar kortisol

serum tidak tinggi

Kadar kortisol

serum tinggi

KUALITAS TIDUR

BAIK

KUALITAS TIDUR

BURUK

Kadar kortisol

serum tidak tinggi

Kadar kortisol

serum tinggi

ANALISIS DATA

Pemeriksaan kortisol

Page 66: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

49

pemusatan latihan dengan membuat tabulasi silang 2x2. Setelah tabulasi

silang dilakukan penghitungan ukuran asosiasi berupa Odd Ratio (OR),

dimana OR>1 sebagai faktor risiko, OR<1 sebagai faktor protektif, dan OR=1

menyatakan tidak ada hubungan.

3. Tahapan terakhir adalah analisis multivariat dengan tujuan untuk menilai

kadar kortisol tinggi sebagai faktor risiko kualitas tidur buruk pada atlet

dalam pemusatan latihan setelah memperhitungkan faktor perancu. Analisis

dengan menggunakan analisis regresi logistik untuk mendapatkan ukuran

asosiasi berupa adjusted OR. Tingkat kemaknaan dinyatakan dengan p < 0,05

dengan interval kepercayaan 95%.

Page 67: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

50

BAB V

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kadar kortisol tinggi

dapat digunakan sebagai faktor risiko kualitas tidur buruk pada atlet dalam

pemusatan latihan. Subjek penelitian adalah atlet Kota Madya Denpasar yang

mengikuti pemusatan latihan sebagai persiapan PORPROV tahun 2017. Populasi

penelitian ini berjumlah 500 orang dari semua cabang olahraga yang

dipertandingkan dalam PORPROV 2017. Adapun yang digunakan dalam

penelitian ini adalah atlet cabang olahraga atletik, bulutankis dan balap sepeda.

Jumlah atlet atletik sebanyak 50 orang, balap sepeda 30 orang dan bulutangkis 20

orang. Berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi diambil 64 sampel secara acak

dengan 32 sampel kasus dan 32 sampel kontrol.

Penelitian menggunakan rancangan studi observasional analitik dengan

metode kasus kontrol. Analisa hasil penelitian ini menggunakan analisis bivariat

dan analisis multivariat.

5.1 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian

Subjek penelitian yang digunakan sebagai sampel adalah atlet Kota Madya

Denpasar yang mengikuti pemusatan latihan sebagai persiapan PORPROV tahun

2017 cabang olahraga atletik, bulutangkis dan balap sepeda yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi untuk dilakukan pemeriksaan sebanyak 64 subyek

penelitian. Berikut karakteristik dasar subyek penelitian.

Page 68: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

51

Tabel 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian

Variabel N %

Cabang Olahraga

Atletik 30 46,9

Balap Sepeda 20 31,2

Bulutangkis 14 21,9

Jenis Kelamin

Lelaki 37 57,8

Perempuan 27 42,2

Umur (Tahun)

Median (min-maks)

16,50 (13-31)

Berdasarkan tabel 5.1 di atas, maka dapat dikethaui bahwa subyek

penelitian merupakan atlet Kotamadya Denpasar cabang olahraga atletik, balap

sepeda dan bulutangkis dengan median umur adalah 16,5 tahun dengan umur

minimal 13 tahun dan maksimal 31 tahun. Persentase jenis kelamin adalah lelaki

57,8% dan perempuan 42,2%.

Data penelitian selanjutnya dibedakan berdasarkan kelompok kasus dan

kontrol. Kelompok kasus adalah sampel dengan kualitas tidur buruk dengan nilai

PSQI > 5 sedangkan kelompok kontrol adalah sampel dengan kualitas tidur baik

dengan nilai PSQI ≤ 5.

Tabel 5.2 Karakteristik Subyek Penelitian berdasarkan Kasus dan Kontrol

Variabel Kasus (N = 32)

(%)

Kontrol N (N = 32)

(%)

Cabang Olahraga

Page 69: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

52

Atletik 18 (56,2) 12 (37,5)

Balap Sepeda 9 (28,1) 11 (34,4)

Bulutangkis 5 (15,6) 97 (28,1)

Jenis Kelamin

Lelaki 17 (53,1) 20 (62,5)

Perempuan 15 (46,9) 12 (37,5)

Umur (Tahun) Median

(min-maks)

17,00 (13-31) 16,00 (14-21)

Total 32 (100) 32 (100)

Berdasarkan tabel 5.2 di atas, maka dapat dilihat karakteristik untuk

masing-masing kelompok kasus dan kontrol. Adapun persentase masing-masing

cabang olahraga untuk kasus adalah atletik 56,2%, balap sepeda 28,1% dan

bulutangkis 15,6%. Persentase masing-masing cabang olahraga untuk kontrol

adalah atletik 37,5%, balap sepeda 34,4% dan bulutangkis 28,1%. Persentase jenis

kelamin pada kelompok kasus, lelaki 53,1% dan perempuan 46,9%. Pada

kelompok kontrol lelaki 62,5% dan perempuan 37,5%. Median umur kelompok

kasus adalah 17 tahun, sedangkan kelompok kontrol adalah 16 tahun.

Pada penelitian ini didapatkan hasil pemeriksaan kortisol pada semua

sampel termasuk dalam kriteria normal, yaitu rentangan 97,8 nmol/L hingga 448,3

nmol/L (nilai normal 166 - 507 nmol/L). Selanjutnya dilakukan metode statistik

prosedur Receiver Operating Characteristic (ROC) dan menilai Area Under the

Curve (AUC) untuk mengetahui kemampuan pemeriksaan kortisol dalam

memprediksi kualitas tidur buruk. Kurva ROC (gambar 5.1) menunjukkan bahwa

kadar kortisol memiliki diagnostic yang baik karena kurva jauh dari garis 50%

dan mendekati 100%. Nilai AUC yang diperoleh dari metode ROC adalah sebesar

Page 70: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

53

75,4% (95% IK; 62,8% - 88,0%, p < 0,001). Secara statistik, nilai AUC sebesar

75,4% menunjukkan kekuatan nilai diagnostic yang cukup. Hasil dari koordinat

ROC menunjukkan bahwa titik potong (cut off) kortisol ≥ 208,05 yang dipakai

pada penelitian ini memiliki nilai sensitivitas 75% dan spesifisitas 71,9%.

Gambar 5.1 Hasil prosedur ROC kadar kortisol terhadap kualitas tidur dengan

nilai AUC 75,4%

Data penelitian mengenai kadar kortisol selanjutnya dikelompokkan

menjadi dua, yaitu kadar kortisol plasma tinggi ≥ 208,05 nmol/L dan kadar

kortisol plasma tidak tinggi < 208,05 nmol/L.

5.2 Hubungan kadar kortisol tinggi dengan kualitas tidur buruk pada atlet

Hubungan antara kadar kortisol tinggi sebagai variabel bebas dengan kualitas

tidur sebagai variabel tergantung pada atlet atlet Kota Madya Denpasar dinilai

dengan menggunakan analisis bivariat. Uji hipotesis yag digunakan adalah Chi-

square. Didapatkan nilai odds ratio (OR) dengan interval kepercayaan (IK) 95%.

Page 71: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

54

Kemaknaan penelitian ini ditetapkan pada nilai probabilitas p<0,05. Hasil analisis

ini disajikan pada tabel 5.3

Tabel 5.3 Analisis Bivariat Kadar Kortisol dengan Kualitas Tidur

Kasus

n (%)

Kontrol

n (%)

OR

(IK 95%) P

Kadar

kortisol

Tinggi 24 (72,7) 9 (27,3) 7,667

(2,524-23,284)

< 0,001

Tidak tinggi 8 (25,8) 23 (74,2)

Dari tabel 5.3 diketahui total atlet dengan kadar kortisol tinggi adalah 33 subyek

dengan 24 subyek (75%) pada kelompok kasus dan 9 subyek (28,1%) pada

kelompok kontrol. Hubungan antara kadar kortisol dan kualitas tidur ini dianalisis

dengan menggunakan Chi-square dan didapatkan OR = 7,667 dengan IK 95% =

2,524-23,284) dan nilai p<0,001 yang berarti secara uji statistik kadar kortisol

tinggi meningkatkan 7,667 kali risiko kualitas tidur buruk yang bermakna secara

statistik.

5.3 Hubungan Faktor-faktor lain dengan kualitas tidur buruk

Faktor-faktor lain seperti usia, jenis kelamin dan cabang olahraga juga berperan

menyebabkan terjadinya kualitas tidur buruk pada atlet. Hubungan faktor-faktor

lain sebagai penyebab kualitas tidur buruk ini dianalisis dengan menggunakan uji

Chi-square. Hasil analisis disajikan pada tabel 5.4

Tabel 5.4 Analisis Bivariat Faktor-faktor Lain dengan Kualitas Tidur

Kasus Kontrol OR

(IK 95%) P

Page 72: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

55

Jenis

Kelamin

Lelaki 17 (53,1%) 20 (62,5%) 0,680

(0,251-1,843)

0,448

Perempuan 15 (46,9%) 12 (37,5%)

Usia < 16,5 tahun 15 (46,9%) 17 (53,1%) 0,779

(0,292-2,078)

0,617

≥ 16,5 tahun 17 (53,1%) 15 (46,9%)

Cabang

Olahraga

Atletik 18 (56,2%) 12 (37,5%) 2,143

(0,788-5,825)

0,133

Non Atletik 14 (43,8%) 20 (62,5%)

Hasil dari penelitian ini didapatkan subyek dengan jenis kelamin lelaki sebanyak

17 (53,1%) pada kelompok kasus dan 20 subyek (62,5%) pada kelompok kontrol.

Jenis kelamin perempuan sebanyak 15 subyek (46,9%) pada kelompok kasus dan

12 subyek (37,5%) pada kelompok kontrol. Hubungan antara jenis kelamin dan

kualitas tidur buruk ini dianalisis dengan mengggunakan uji Chi-square dan

didapatkan OR = 0,680 dengan IK 95% = 0,251-1,843 dan nilai p = 0,448 yang

berarti secara uji statistik tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin

dengan kualitas tidur buruk. Pada variabel usia didapatkan 15 subyek (46,9%)

yang berusia kurang dari 16,5 tahun pada kelompok kasus dan 17 subyek (53,1%)

pada kelompok kontrol. Hubungan antara usia dan kualitas tidur ini dianalisis

dengan mengggunakan uji Chi-square dan didapatkan OR = 0,779 dengan IK

95% = 0,292-2,078 dan nilai p = 0,617 yang berarti secara uji statistik tidak

terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan kualitas tidur buruk.

Pada variabel cabang olahraga dibedakan menjadi atletik dan non atletik

(balap sepeda dan bulutangkis). Didapatkan 18 subyek (56,2%) dari cabang

olahraga atletik dan 14 subyek (43,8%) dari cabang olahraga non atletik (balap

sepeda dan bulutangkis. Hubungan antara cabang olahraga dan kualitas tidur

Page 73: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

56

buruk ini dianalisis dengan menggunakan uji Chi-square dan didapatkan OR =

2,143 dengan IK 95% = 0,788-5,825 dan nilai p = 0,133 yang berarti secara uji

statistik tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan kualitas

tidur buruk.

5.4 Hubungan Faktor Risiko Independen terhadap Terjadinya Kualitas

Tidur Buruk

Hasil analisi bivariat, didapatkan faktor risiko terjadinya kualitas tidur buruk

adalah kadar kortisol tinggi dan cabang olahraga. Selanjutnya dilakukan analisis

multivariat untuk melihat apakah kadar kortisol tinggi dan cabang olahraga

merupakan faktor risiko independen terhadap terjadinya kualitas tidur buruk.

Analisis multivariat ini menggunakan uji regresi logistic. Hasil analisis

ditampilkan pada tabel 5.5 berikut.

Tabel 5.5 Analisis Multivariat Kadar kortisol dan Cabang Olahraga dengan

Kualitas Tidur Buruk

Koefisien OR P

(IK 95%)

Kadar Kortisol 2,103 8,188

(2,589-25,894)

< 0,001

Cabang Olahraga 0,905 2,427

(0,781-7,828)

0,124

Konstanta -1,494

Dari analisis multivariate didapatkan variabel kadar kortisol memiliki nilai P <

0,001, sedangkan variabel cabang olahraga dengan nilai P > 0,005. Dengan

Page 74: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

57

demikian, kadar kortisol tinggi sebagai faktor risiko independen terhadap kualitas

tidur buruk yang signifikan secara statistik.

Page 75: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

58

BAB VI

PEMBAHASAN

Subyek penelitian ini adalah atlet Kota Madya Denpasar yang mengikuti

pemusatan latihan sebagai persiapan PORPROV tahun 2017 yang memenuhi

kriteria inklusi dan eksklusi serta bersedia menjadi sampel penelitian. Subyek

dikelompokkan menjadi 2 yaitu kasus yang merupakan atlet dengan kualitas tidur

buruk dan kelompok control yaitu atlet dengan kualitas tidur baik. Masing-masing

kelompok sebanyak 32 orang sehingga total subyek penelitian didapatkan 64

orang.

6.1 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian

Pada variabel cabang olahraga pada penelitian mencakup cabang olahraga

atletik, balap sepeda dan bulutangkis. Pada ketiga cabang olahraga ini, terdapat

perbedaan persentase kejadian kualitas tidur buruk. Atlet yang mengalami kualitas

tidur buruk dari cabang olahraga atletik sebanyak 56,2%, balap sepeda sebanyak

28,1% dan bulutangkis sebanyak 15,6%. Ketiga cabang olahraga ini merupakan

cabang olahraga yang dipertandingkan di PORPROV Bali 2017 dan termasuk

dalam olahraga yang memiliki tingkat beban latihan yang seimbang. Kebutuhan

energi ketiga cabang olahraga ini hampir sama (Astrand et al, 1977).

Pada variabel jenis kelamin didapatkan jenis kelamin lelaki (53,1%) lebih

banyak mengalami kualitas tidur buruk dibandingkan jenis kelamin perempuan

(46,9%). Hal ini tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan oleh

Page 76: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

59

Jonathan et all (2012) yang menemukan bahwa efikasi tidur pada atlet lelaki lebih

buruk dibandingkan perempuan. Pada penelitian ini didapatkan perbandingan

jenis kelamin lelaki dan peremouan yang mengalami kualitas tidur buruk adalah

1,13 : 1, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Gabriele et al (2017)

yang mendapatkan bahwa perbandingan atlet remaja lelaki dan perempuan yang

memiliki kualitas tidur buruk adalah 1,02 : 1.

Pada variabel usia, didapatkan nilai median adalah 16,5 tahun. Dengan

atlet berusia ≥ 16,5 tahun (53,1%) lebih banyak yang mengalami kualitas tidur

buruk dibandingkan usia < 16,5 tahun (46,9%). Bila dilihat perbandingan usia

atlet ≥ 16,5 tahun dibandingkan < 16,5 tahun adalah 1,13 : 1. Hal ini tidak jauh

berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Gabriele et al (2017) yang

mendapatkan bahwa perbandingan atlet yang memiliki kualitas tidur buruk usia

15 hingga 19 tahun dibandingkan dengan usia 10 hingga 14 tahun adalah 1,26 : 1.

6.2 Hubungan Kortisol Tinggi dengan Kualitas Tidur Buruk

Hasil pemeriksaan kadar kortisol didaptkan dalam kriteria normal, yaitu

rentangan 97,8 nmol/L hingga 448,3 nmol/L (nilai normal 166 - 507 nmol/L).

Penentuan kadar kortisol atlet selanjutnya dibedakan menjadi tinggi dan tidak

tinggi dengan menggunakan metode statistic prosedur Receiver Operating

Characteristic (ROC) dan menilai Area Under the Curve (AUC).

Metode analisis ROC kadar kortisol pada kualitas tidur buruk

menunjukkan bahwa kadar kortisol memiliki diagnostic yang cukup dengan nilai

AUC sebesar 75,4% (95% IK; 62,8%-88,0%, p < 0,001). Hasil dari koordinat

Page 77: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

60

ROC menunjukkan bahwa titik potong (cut off) kortisol ≥ 208,05 yang dipakai

pada penelitian ini memiliki nilai sensitivitas 75% dan spesifisitas 71,9%. Kadar

kortisol ≥ 208,05 nmol/L dikelompokkan menjadi kelompok tinggi dan kadar

kortisol < 208,05 nmol/L dikelompokkan menjadi kelompok tidak tinggi.

Pada penelitian ini didapatkan 24 subyek (75%) dengan kadar kortisol

tinggi pada kelompok kasus dan 9 subyek (28,1%) pada kelompok kontrol. Rerata

kadar kortisol pada kelompok kasus (270,859 ± 93,434 nmol/L) lebih tinggi dari

pada kelompok kontrol (195,838 ± 60,999 nmol/L). Setelah dilakukan analisis

bivariat dengan Chi-square dan didapatkan OR = 7,667 dengan IK 95% = 2,524-

23,284) dan nilai p<0,001 yang berarti kadar kortisol tinggi meningkatkan 7,667

kali risiko kualitas tidur buruk yang bermakna secara statistik. Hasil penelitian ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sylvie et al (2016) yang

mendapatkan hubungan kadar kortisol yang lebih tinggi dengan masalah tidur (p <

0,001). Penelitian lain yang dilakukan oleh Jin Ling et al (2017) juga

mendapatkan bahwa kadar kortisol berhubungan positif dengan gangguan tidur

yang dinilai dengan PSQI (r = 0.60, P < 0,001). Kadar kortisol tinggi akan

berpengaruh terhadap sistem saraf pusat yaitu merubah gelombang elektrik di

sistem limbik dan hipokampus sehingga mempengaruhi siklus tidur,

menyebabkan cortisol awakening responses (CAR). Peningkatkan frekuensi

terjaga, peningkatan frekuensi EEG pada fase tidur serta menurunkan gelombang

tidur pendek, tidur akan menjadi terputus-putus, berkurangnya gelombang lambat,

memendeknya waktu tidur serta insomnia (Hudson et al, 2010).

Page 78: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

61

6.3 Hubungan Faktor-Faktor Lain Dengan Kualitas Tidur Buruk

Faktor-faktor lain yang berperan pada kualitas tidur buruk pada atlet antara

lain cabang olahraga, jenis kelamin dan usia.

Pada variabel jenis kelamin didapatkan subyek dengan jenis kelamin lelaki

sebanyak 17 (53,1%) pada kelompok kasus dan 20 subyek (62,5%) pada

kelompok control. Jenis kelamin perempuan sebanyak 15 subyek (46,9%) pada

kelompok kasus dan 12 subyek (37,5%) pada kelompok control. Analisa dengan

uji Chi-square didapatkan OR = 0,680 dengan IK 95% = 0,251-1,843 dan nilai p

= 0,448 yang berarti secara uji statistik tidak terdapat hubungan bermakna antara

jenis kelamin dengan kualitas tidur buruk. Hasil penelitian ini serupa dengan

penelitian yang dilakukan oleh Gabriele (2016) yang mendapatkan bahwa

perbedaan jenis kelaim pada kelompok atlet remaja dengan kualitas tidur buruk

tidak berbeda signifikan dengan nilai p = 0,999. Berbeda dengan hasil penelitian

yang didapatkan oleh Juan t al (2017) yang menemukan kualitas tidur berbeda

bermakna pada jenis kelamin lelaki dan perempuan. Perbedaan hasil penelitian ini

disebabkan karena penelitian yang dilakukan oleh Juan et al (2017) melibatkan

semua kelompok umur, termasuk perempuan yang sudah masuk masa menopause.

Sedangkan pada penelitian ini melibatkan atlet dengan rentangan usia 13 hingga

31 tahun.

Pada variabel usia didapatkan 15 subyek (46,9%) yang berusia kurang dari

16,5 tahun pada kelompok kasus dan 17 subyek (53,1%) pada kelompok control.

Hasil analisa dengan uji Chi-square didapatkan OR = 0,779 dengan IK 95% =

0,292-2,078 dan nilai p = 0,617 yang berarti secara uji statistik tidak terdapat

Page 79: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

62

hubungan bermakna antara jenis kelamin dengan kualitas tidur buruk. Hasil uji

statistic ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh

Gabriele et al (2017) meskipun perbandingan usia yang didapatkan sejalan,

namun hasil analsiis statistic kualitas tidur buruk usia 15 hingga 19 tahun

dibandingkan dengan usia 10 hingga 14 tahun adalah berbeda signifikan (p <

0,001). Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan karena sampel yang digunakan

pada penelitian sebelumnya adalah kelompok usia dengan aktivitas yang berbeda.

Semakin tinggi usia, aktivitas yang dilakukan semakin banyak. Sedangkan pada

penelitian ini, aktivitas utama yang dilakukan adalah sama yaitu sebagai atlet.

Pada variabel cabang olahraga setelah dibedakan menjadi atletik dan non

atletik, didapatkan 18 subyek (56,2%) dari cabang olahraga atletik yang

mengalami kualitas tidur buruk dan 14 subyek (43,8%) dari cabang olahraga non

atletik (balap sepeda dan bulutangkis) yang mengalami kualitas tidur buruk. Hasil

analisa dengan uji Chi-square didapatkan OR = 2,143 dengan IK 95% = 0,788 –

5,825 dan nilai p = 0,133 yang berarti secara uji statistik tidak terdapat hubungan

bermakna antara cabang olahraga dengan kualitas tidur buruk. Hasil uji statistic

ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan oleh Gupta

et al (2016) mendapatkan bahwa frekuensi gangguan tidur masing-masing cabang

olahraga berbeda signifikan. Perbedaan hasil penelitian ini dapat disebabkan

karena pada penelitian ini hanya menggunakan atlet untuk cabang olahraga

individual saja yaitu atletik, balap sepeda dan bulutangkis perorangan. Sedangkan

pada penelitian sebelumnya menggunakan baik cabang olahraga individual

maupun beregu.

Page 80: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

63

6.4 Hubungan Faktor Risiko Independen terhadap Terjadinya Kualitas

Tidur Buruk

Pada penelitian ini dilakukan analisis multivariat regresi logistik untuk

menilai faktor risiko independen terhadap kualitas tidur buruk. Dari analisis

multivariat didapatkan faktor independen yang berpengaruh terhadap kualitas

tidur buruk adalah kadar kortisol. (OR=8,188; IK 95%=2,589-25,894; p<0,001).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Stjin et al

(2017), yang mendapatkan bahwa efisiensi tidur yang buruk berhubungan dengan

kadar kortisol yang tinggi. Kualitas tidur yang tidak efisien merupakan akibat dari

terganggunya aksis HPA. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sarah (2014),

mendapatkan bahwa kualitas tidur yang buruk berhubungan secara signifikan

dengan kadar kortisol yang tinggi. Penelitian yang dilakukan oleh Jin Ling et al

(2017) juga mendapatkan bahwa kadar kortisol berhubungan positif dengan

gangguan tidur yang dinilai dengan PSQI (r = 0.60, P < 0,001). Kadar kortisol

tinggi akan berpengaruh terhadap sistem saraf pusat yaitu merubah gelombang

elektrik di sistem limbik dan hipokampus sehingga mempengaruhi siklus tidur.

Tidur akan menjadi terputus-putus, berkurangnya gelombang lambat,

memendeknya waktu tidur serta insomnia (Hudson et al, 2010). Durasi tidur yang

pendek disebabkan oleh tingginya kadar kortisol yang menyebabkan munculnya

cortisol awakening response (CAR) sehingga tidur menjadi terfagmentasi (Sarah,

2014).

Page 81: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

64

6.5 Kekuatan dan Kelemahan Penelitian

Kelebihan penelitian ini adalah belum banyaknya peneliti yang meneliti

mengenai kadar kortisol sebagai faktor risiko kualitas tidur buruk pada atlet

terutama di Indonesia. Pada penelitian ini, subyek penelitian yang digunakan

homogen dimana kondisi dpsikologis yaitu kecemasan dan depresi berat

dieksklusi pada pemilihan sampel. Selain itu, subyek sudah diberi penjelasan

tentang tatacara pengisian kuesioner sehingga pengisian kuesioner lebih akurat

dan memakai instrumen yang sudah dilakukan uji reabilitas dan validitas di

Indonesia dengan hasil yang baik.

Kelemahan penelitian ini adalah tidak dapat ditentukan durasi peningkatan

kadar kortisol yang dapat menyebabkan kualitas tidur buruk. Selain itu, penelitian

ini juga tidak dapat menentukan peningkatan kadar kortisol minimal yang

menyebabkan kualitas tidur buruk. Pada penelitian ini memakai subyek pada

populasi tertentu dan dilakukan pada tempat tertentu, sehingga hasil penelitian ini

belum bisa menggambarkan kondisi yang sama pada populasi dan tempat yang

berbeda.

Page 82: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

65

BAB VII

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan simpulan bahwa kadar kortisol tinggi

meningkatkan 7,667 kali risiko kualitas tidur buruk yang bermakna secara statistik

pada atlet dalam pemusatan latihan. Kadar kortisol merupakan faktor risiko

kualitas tidur buruk yang independen pada atlet dalam pemusatan latihan.

7.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini menyarankan agar dilakukan evaluasi berkala

kualitas tidur pada atlet dalam pemusatan latihan untuk mendeteksi dini adanya

gangguan tidur serta dilakukan pemeriksaan kortisol pada atlet dalam pemusatan

latihan untuk mengetahui faktor risiko kualitas tidur buruk pada atlet. Penelitian

lebih lanjut diperlukan guna menyempurnakan hasil penelitian ini antara lain

dilakukan penelitian dengan menggunakan jumlah sampel yang lebih besar

dengan melibatkan berbagai cabang olahraga serta dengan menggunakan metode

penelitian pre dan post test.

Page 83: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

66

DAFTAR PUSTAKA

Adriana del Rey, George Chrousos, Hugo Besedovsky. 2008. NeuroImmune

Biology, The Hypothalamus-Pituitary-Adrenal Axis. Amsterdam. Elsevier.

Alghadir A, Gabr S, Farag A. 2015. The effects of four weeks aerobic training on

saliva cortisol and testosterone in young healthy persons. J. Phys. Ther.

Sci.27: 2029–2033, 2015.

Anonim. 2015. Body Mass Index (BMI). Available at:

https://www.cdc.gov/healthyweight/assessing/bmi/. Diakses: 6 Maret 2017.

Anonim. 2014. The Psychology Of Individual And Team Sports (Basic).

Available at: http://sportsnscience.utah.edu/2014/05/11/team-psychology-

basic/. Diakses: 21 Maret 2017.

Anonim. t.t. Drugs and cortisol. Available at:

www.goodhormonehealth.com/articles/Drugs_and_cortisol.pdf. Diakses: 10

Maret 2017.

Assari S, Maryam M, Caldwell C, Zimmerman M. 2015. Anxiety Symptoms

During Adolescence Predicts Salivary Cortisol in Early Adulthood Among

Blacks; Sex differences. Int J Endocrinol Metab. 2015 October; 13(4):

e18041.

Astrand P, Rodahl K. 1977. Textbook of Work Physiology. New York: McGraw-

Hill Book Company.

Bompa T, Carrera R. 2015. Conditioning Young Atlhete. United States: Human

Kinetics.

Buysse DJ, Reynolds CF, Monk TH, Berman SR, Kupfer DJ. 1989. The

Pittsburgh Sleep Quality Index: a new instrument for psychiatric practice and

research. Psychiatry Res. 1989 May;28(2):193-213.

Chokroverty, S. 2010. Overview of Sleep and Sleep Disorder. Indian J Med Res;

131: 126-140.

Chrousos, Vgontzas A and Ilia K. 2016. HPA Axis and Sleep. NCBI Bookshelf.

A service of the National Library of Medicine, National Institutes of Health.

Last update January 18, 2016.

Page 84: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

67

Cowen P J. 2002. Cortisol, serotonin and depression: all stressed out?. British

Journal of Psychiatry (2002), 180, 99-100.

Duclos M, Gouarne C, Bonnemaison D. 2003. Acute and chronic effects of

exercise on tissue sensitivity to glucocorticoids. J. Appl. Physiol.,

2003;94:869-75.

Duclos M, Corcuff JB, Rashedi M, Fougere V, and Manier. 1997. G. Trained

versus untrained: different hypothalamo-pituitary-adrenal axis responses to

exercise recovery. Eur J Appl Physiol 75: 343–350, 1997.

Duclos M, Guinot M, Yves L. 2007. Cortisol and GH: odd and controversial

ideas. Appl. Physiol. Nutr. Metab. 32: 895–903 (2007)

Gabriel C, Muana H, Hítalo A, Valéria M, Wbinayara A, Ana C, Rodrigo C.

2017. Sleep Quality And Its Association With Psychological Symptoms In

Adolescent Athletes. Rev Paul Pediatr. 2017;35(3):316-32.

Ghaderi M, Azarbayjani M, Atashak S, Shamsi M, Saei S, Sharafi H. 2011. The

Effect of maximal progressive exercise on serum cortisol & immunoglobulin a

responses in young elite athletes. Annals of Biological Research, 2011, 2

(6):456-463

Gholamali A, Mohsen G, Abdolhamid H, Rohellah R. 2016. The Effects of

Combined Exercises Intensity (Aerobics-Resistance) on Plasma Cortisol and

Testosterone Levels in Active Males. Int J Basic Sci Med. 2016;1(1):18-24.

Giovani S, Jerri L, Alvaro R. 2006. Overtraining: theories, diagnosis and markers.

Rev Bras Med Esporte _ Vol. 12, Nº 5 – Set/Out, 2006.

Guilliams Thomas G. and Lena Edwards. 2010. Chronic Stress and the HPA Axis:

Clinical Assessment and Therapeutic Considerations. The Standard Point

Institute of Nutraceutical Research. Volume 9, No. 2.

Guyton and Hall. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Hamid M, Azizi M, Hiwa M. 2012. Effect of 8 Weeks Low and High Intensity

Resistance Training on Leukocyte Count, Igg, Cortisol and Lactate

Concentration in Untrained Men. World Applied Sciences Journal 16 (7): 949-

954, 2012 ISSN 1818-4952

Page 85: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

68

Hargens T, Kaleth A, Edwards E, Butner K. 2013. Association between sleep

disorders, obesity, and exercise: a review. Nature and Science of Sleep 2013:5

27–35.

Harsono. 2003. Peaking (Pemuncakan Prestasi) dalam Perkembangan Olahraga

Terkini kajian para pakar. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Hudson Tori and Bush Bradley. 2010. The Role of Cortisol in Sleep. Natural

Medicine Journal 2(6), June 2010.

Jing Lin, Huacai Zhao, Jie Shen, and Fuyong Jiao. 2017. Salivary Cortisol Levels

Predict Therapeutic Response to a Sleep-Promoting Method in Children with

Postural Tachycardia Syndrome. j.jpeds.2017.08.039.

Jonathan L, Mark G, Kathleen P, Jean D, Charles P. Sleep duration and quality in

elite athletes measured using wristwatch actigraphy. 2012. Journal of Sports

Sciences, March 2012; 30(6): 541–545.

Juliantine T, Yudiana Y, Subarjah H. 2007. Teori Latihan. Bandung: Universitas

Pendidikan Indonesia.

Juliff L E, Shona L, Jeremiah J. 2014. Understanding sleep disturbance in athletes

prior to important competitions. J Sci Med Sport (2014),

http://dx.doi.org/10.1016/j.jsams.2014.02.007

Kandhalu Preethi. 2013. Effects of Cortisol on Physical and Psychological

Aspects of The Body And Effective Ways By Which One Can Reduce Stress.

Berkeley Scientific Journal 2013 Volume 18, Issue 1

Kementerian Pemuda dan Olahraga. 2010. Statistik Keloahragaan tahun 2010.

Kuem S, Lin K and Insop S. 2012. Stress and Sleep Disorder. Exp Neurobiol.

2012 Dec;21(4):141-150.

LeBlanc M, Chantal M, Josée S, Hans I, Lucie B, Charles M. (2009). Incidence

and Risk Factors of Insomnia in a Population-Based Sample. SLEEP

2009;32(8):1027-1037.

Lumbantobing. 2008. Gangguan Tidur. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

Page 86: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

69

Maestu J, Jurimae M, Jurimae T. 2004. Hormonal response to maximal rowing

before and after heavy increase in training volume in highly trained male

rowers. SPORTS MED PHYS FITNESS 2004;44:00-00 Vol 44.

Maslim, R. 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa. Rujukan Ringkas PPDGJ III.

Jakarta: Bagian llmu Kedokteran Jiwa FK Unika Jaya.

Michael D, Thomas S. 2015. The Neurobiology of Sleep and Wakefulness.

Psychiatr Clin N Am.

Monica P and Christine L. 2014. Exploring Sex and Gender Differences in Sleep

Health: A Society for Women’s Health Research Report. JOURNAL OF

WOMEN’S HEALTH Volume 23, Number 7, 2014.

Neary J, Malbon L, McKenzie D. 2002. Relationship between serum, saliva and

urinary cortisol and its implication during recovery from training. J Sci Med

Sport. 2002 Jun;5(2):108-14.

Nining W, Juanita N, Soetanto H. 2011. Dasar-dasar Fisiologi Olahraga.

Surabaya: Unesa University Press.

Oka NMS, Utami DKI. 2016. Shift worker sleep disorder. MEDICINA.

2016;50(1):92-101.

Pate R, McClenaghan B, Rotella R. 1964. Scientific Foundation of Coaching.

Philadelphia: Saunders College Publishing. Diterjemahkan oleh: Dwijowinoto

K. 1993. Dasar-dasar Ilmiah kepelatihan. Semarang: IKIP Semarang Press.

Perdossi. 2014. Panduan Tatalaksana Gangguan Tidur Edisi 1.

Purwa DPGS, Kesanda IMP, Adnyana IMO, Widyadharma IPE. 2017. The Effect

of Partial Sleep Deprivation in Decrease of Cognitive Function in Resident

Doctors of Udayana University/Sanglah General Hospital. International

Journal of Science and Research (IJSR). Volume 6 Issue 4, April 2017.

Ramos M, Cardoso M, Vaz F, Torres M, García F, Blanco G, González E. 2008.

Influence of the grade of anxiety and level of cortisol on post-surgical

recovery. Actas Esp Psiquiatr 2008;36(3):133-137.

Rodrigo Gomes, Guilherme Rosa, Rudy José, Estélio Henrique MD. 2012.

Cortisol and Physical Exercise. Available at:

Page 87: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

70

https://www.researchgate.net/publication/228160384. Diakses: 27 Oktober

2016.

Sandra M, Cristiane V, Camila M, Mario J. 2011. Early life stress, HPA axis, and

depression. Psychology & Neuroscience, 2011, 4, 2, 229 – 234.

Sarah Bassett. 2014. “Sleep Quality but Not Sleep Quantity Effects on Cortisol

Responses to Acute Psychosocial Stress” (Tesis). The Faculty of the Graduate

School of Arts and Sciences. Massachusetts. Brandeis University Department

of Psychology.

Sharon C, Miguel D. 2010. Replication of cortisol circadian rhythm: new

advances in hydrocortisone replacement therapy. Ther Adv Endocrinol Metab

(2010) 1(3) 129138.

Silber M, Krahn L, Morgenthaler T. 2010. Sleep Medicine in Clinical Practice

Second Edition. New York: Informa Healthcare.

Tangkudung J, Puspitorini W. 2012. Kepelatihan dan Olahraga “Pembinaan

Prestasi Olahraga”. Jakarta: Penerbit Cerdas Jaya.

Theresa M. Buckley and Alan F. Schatzberg. 2005. REVIEW: On the Interactions

of the Hypothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) Axis and Sleep: Normal HPA

Axis Activity and Circadian Rhythm, Exemplary Sleep Disorders. The Journal

of Clinical Endocrinology & Metabolism 90(5):3106–3114.

Vedhara K, Miles J, Bennett P, Plummer S, Tallon D, Brooks E, Gale L,

Munnoch K, Christa S, Fowler C, Lightman S, Sammon A, Rayter Z, Farndon

J. 2003. An investigation into the relationship between salivary cortisol, stress,

anxiety and depression. Biological Psychology 62 (2003) 89-96.

Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian

Page 88: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

71

Page 89: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

72

Lampiran 2 Ethical Clearance

Page 90: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

73

Lampiran 3. Informed Consent

SEBAGAI PESERTA PENELITIAN

Bapak/Ibu kami minta untuk berpartisipasi dalam penelitian. Kepesertaan dari

penelitian ini bersifat sukarela. Mohon agar dibaca penjelasan di bawah dan

silakan bertanya bila ada pertanyaan/bila ada hal hal yang kurang jelas.

Kadar Kortisol Tinggi Sebagai Faktor Risiko Kualitas Tidur Buruk Pada Atlet

Dalam Pemusatan Latihan

Peneliti Utama dr. Ni Nyoman Mestri Agustini

Prodi/ Fakultas/ Univ/

Departemen/ Instansi

Neurologi / Fakultas Kedokteran Universitas Udayana /

RSUP Sanglah Denpasar

Peneliti Lain Tidak ada

Lokasi Penelitian Pemusatan Latihan PORPROV 2017 Kota Madya

Denpasar

Sponsor/

Sumber pendanaan

Swadana

Penjelasan Penelitian

Kadar Kortisol Tinggi Sebagai Faktor Risiko Kualitas Tidur Buruk Pada Atlet

Dalam Pemusatan Latihan

Program latihan yang meningkat dan stres yang dialami atlet akan

menyebabkan ketidakseimbangan hormonal. Akan terjadi perubahan produksi

hormon salah satunya adalah meningkatkan kadar hormon kortisol. Berbagai

dampak dari peningkatan kadar kortisol dalam darah dapat menurunkan kondisi

dan penampilan atlet, terutama saat mereka dalam pelatihan yang intensif

sebagai persiapan menghadapi pertandingan. Salah satu dampak yang dapat

terlihat adalah pada kualitas tidur yang buruk.

Penelitian ini berlangsung selama dua bulan dan melibatkan 64 atlet Kota

Madya Denpasar yang mengikuti pemusatan latihan persiapan PORPROV 2017.

Yang dapat menjadi peserta penelitian adalah atlet Kota Madya Denpasar

cabang olahraga Atletik, Balap sepeda dan Bulutangkis. Proses pengambilan

darah akan dilakukan oleh dokter/tenaga terlatih di RSUP Sanglah pada lipatan

lengan atas sebanyak 3cc untuk pemeriksaan kortisol. Peneliti juga akan

mewawancarai dan memeriksa mengenai kualitas tidur dan riwayat keluhan

sebelumnya.

PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN

(INFORMED CONSENT)

Page 91: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

74

Manfaat yang didapat oleh peserta penelitian

Manfaat yang didapat oleh peserta penelitian adalah mengetahui kadar

kortisol dalam darahnya sehingga dapat mengetahui faktor risiko kualitas tidur

yang dialami dan mendapat penatalaksanaan secara lebih optimal.

Ketidaknyamanan dan risiko/kerugian yang mungkin akan dialami oleh peserta penelitian

Tindakan pemeriksaan ini tidak memiliki risiko kerugian fisik, hanya akan terasa sedikit nyeri di area pengambilan darah.

Alternatif tindakan/pengobatan

Tidak ada.

Kompensasi, Biaya Pemeriksaan/Tindakan dan ketersediaan perawatan

medis bila terjadi akibat yang tidak diinginkan

Tidak ada kompensasi finansial atas kepesertaan anda dalam penelitian

ini. Peneliti menanggung biaya pemeriksaan yang akan dilakukan pada

penelitian ini. Bila terjadi dampak medis sebagai akibat langsung dari prosedur

penelitian, peneliti akan menanggung biaya pengobatannya sesuai dengan

standar pengobatan yang berlaku.

Kerahasiaan Data Peserta Penelitian

Semua catatan yang berhubungan dengan penelitian akan dijamin kerahasiaannya, nama Bapak/Ibu tidak akan dicatat dimanapun. Semua data yang telah diisi hanya akan diberi kode yang tidak bisa digunakan untuk mengidentifikasi identitas saudara. Apabila hasil penelitian ini dipublikasikan, tidak ada satu identifikasi yang berkaitan dengan Bapak/Ibu akan ditampilkan dalam publikasi tersebut.

Kepesertaan pada penelitian ini adalah sukarela

Kepesertaan Bapak/Ibu pada penelitian ini bersifat sukarela. Bapak/Ibu

dapat menolak untuk menjawab pertanyaan yang diajukan pada penelitian atau

menghentikan kepesertaan dari penelitian kapan saja tanpa ada sanksi.

Keputusan Bapak/Ibu untuk berhenti sebagai peserta penelitian tidak akan

mempengaruhi kegiatan pemusatan latihan atlet dalam persiapan PORPROV

2017.

JIKA SETUJU UNTUK MENJADI PESERTA PENELITIAN

Jika setuju untuk menjadi peserta penelitian ini, Bapak/Ibu diminta untuk

menandatangani formulir ‘Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)

Sebagai *Peserta Penelitian/ *Wali’ setelah Bapak/Ibu benar benar memahami

tentang penelitian ini. Bapak/Ibu akan diberi salinan persetujuan yang sudah

ditanda tangani ini.

Page 92: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

75

Bila selama berlangsungnya penelitian terdapat perkembangan baru yang dapat

mempengaruhi keputusan Bapak/Ibu untuk kelanjutan kepesertaan dalam

penelitian, peneliti akan menyampaikan hal ini kepada Bapak/Ibu.

Bila ada pertanyaan yang perlu disampaikan kepada peneliti, silakan hubungi dr.

Ni Nyoman Mestri Agustini, Nomor Hp. 081933048631, email:

[email protected].

Tanda tangan Bapak/Ibu di bawah ini menunjukkan bahwa Bapak/Ibu telah

membaca, telah memahami dan telah mendapat kesempatan untuk bertanya

kepada peneliti tentang penelitian ini dan menyetujui untuk menjadi peserta

penelitian.

Peserta/ Subyek Penelitian, Wali,

__________________________________

__________________________________ Tanda Tangan dan Nama Tanda Tangan dan Nama

Tanggal (wajib diisi): / / Tanggal (wajib diisi): /

/

Hubungan dengan Peserta/

Subyek Penelitian:

_________________________________________

Peneliti

___________________________________________________

__________________ Tanda Tangan dan Nama

Tanggal

Page 93: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

76

Tanda tangan saksi diperlukan pada formulir Consent ini hanya bila (Diisi

oleh peneliti)

Peserta Penelitian memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan, tetapi tidak

dapat membaca/ tidak dapat bicara atau buta

Wali dari peserta penelitian tidak dapat membaca/ tidak dapat bicara atau buta

Komisi Etik secara spesifik mengharuskan tanda tangan saksi pada penelitian ini

(misalnya untuk penelitian resiko tinggi dan atau prosedur penelitian invasive)

Catatan:

Saksi harus merupakan keluarga peserta penelitian, tidak boleh anggota tim penelitian.

Saksi:

Saya menyatakan bahwa informasi pada formulir penjelasan telah dijelaskan

dengan benar dan dimengerti oleh peserta penelitian atau walinya dan

persetujuan untuk menjadi peserta penelitian diberikan secara sukarela.

___________________________________________________

__________________

Nama dan Tanda tangan saksi

Tanggal

(Jika tidak diperlukan tanda tangan saksi, bagian tanda tangan saksi ini dibiarkan

kosong)

Page 94: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

77

Lampiran 4

LEMBAR PENGUMPULAN DATA

Lengkapi tiap isian pertanyaan dan centang (√) pada kotak hal yang mungkin ditemukan.

Data Karakteristik

1 Nomor urut

2 Nama / jenis kelamin

3 Tanggal lahir / usia

4 Alamat / no. telepon

5 Status perkawinan

6 Suku bangsa

7 Pekerjaan/Asal Sekolah

8 Tinggi/berat badan

9 Tekanan darah

10 Lingkar leher

11 Cabang olahraga

12 Nomor cabang olahraga

Riwayat penyakit dahulu dan pengobatan YA

(Skor) TIDAK Keterangan

13 Gangguan tidur sebelumnya (nilai PSQI

sebelumnya)

14 Depresi berat (Nilai HDRS)

15 Kecemasan berat (Nilai HAM-A)

16 Penggunaan Obat-obatan

Aktivitas Keterangan

17 Frekuensi Latihan ………kali/hari……..hari/minggu

18 Durasi latihan ……..jam/kali latihan

19 Beban latihan Ringan Sedang Berat

Kondisi Tempat Tinggal YA TIDAK Keterangan

20 Tinggal bersama orang tua

21 Tidur mandiri

22 Kenyamanan tempat tidur

Konsumsi makanan/minuman YA TIDAK Keterangan

Page 95: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

78

23 Konsumsi Kopi

24 Alkohol

25 Merokok

Keluhan saat ini yang ada YA TIDAK Keterangan

26 Tidur mendengkur

27 Kram saat tidur

28 Nyeri bagian tubuh saat tidur

29 Gangguan tidur selama 1-3 bulan terakhir

Pemeriksaan Laboratorium

30 Kortisol

Pemeriksaan PSQI setelah pemusatan latihan

31 PSQI

Page 96: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

79

The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI)

Petunjuk :

Petanyaan berikut berhubungan dengan kebiasaan tidur Anda selama satu bulan/

satu minggu terakhir. Jawaban anda harus menunjukkan jawaban yang paling

akurat untuk menggambarkan sebagian besar malam dan hari selama

seminggu/sebulan yang lalu. Kami berharap Anda menjawab semua pertanyaan

dimana untuk pertanyaan nomor 1-4, jawablah dengan angka, sedangkan jawaban

untuk pertanyaan nomor 5-9 cukup dengan memberi tanda (√) pada salah satu

kolom pilihan jawaban yang ada.

1. Selama satu bulan terakhir, sekitar pukul berapa biasanya anda tidur di malam

hari?

(pukul …..)

2. Selama satu bulan terakhir, berapa lama (dalam menit) anda waktu untuk

tertidur di malam hari? (…… menit)

3. Selama satu bulan terakhir, sekitar pukul berapa anda biasanya bangun di pagi

hari ?

(pukul ….. )

4. Selama satu bulan terakhir, berapa jam anda dapat tidur nyenyak di malam

hari? ( Ini mungkin berbeda dengan jumlah waktu yang dihabiskan saat tidur )

(…. jam)

5. Selama sebulan terakhir

, seberapa sering anda

mengalami kesulitan

tidur, yang disebabkan

karena :

Tidak pernah

(0)

1x seminggu

(1)

2x seminggu

(2)

≥ 3x

seminggu (3)

A. Tidak dapat tertdur

dalam waktu 30 menit

B. Terbangun di tengah

malam atau pagi-pagi

sekali

C. Terbangun karena ingin

ke toilet

D. Tidak dapat bernapas

dengan nyaman

E. Batuk atau mendengkur

dengan keras

F. Merasa sangat

kedinginan

G. Merasa sangat

kepanasan

H. Mimpi buruk

Page 97: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

80

I. Merasa nyeri

J. Alasan lain:…

6. Selama satu bulan

terakhir, seberapa sering

anda mengkonsumsi

obat untuk membantu

anda agar dapat tertidur

(resep ataupun dari toko

obat)?

7. Selama satu bulan

terakhir, seberapa sering

anda mengantuk saat

berkendaraan, makan,

atau ketika melakukan

aktivitas sosial?

Tidak menjadi

masalah (1)

Hanya

masalah kecil

(2)

Agak

menjadi

masalah (2)

Masalah

besar (3)

8. Selama satu bulan

terakhir, seberapa berat

anda untuk dapat tetap

bersemangat dalam

mengerjakan sesuatu?

Sangat baik (1) Cukup baik

(2)

Cukup buruk

(3)

Sangat buruk

(4)

9. Selama satu bulan

terakhir, bagaimana

anda menilai kualitas

tidur anda secara

keseluruhan?

Page 98: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

81

SKALA PENILAIAN DEPRESI HAMILTON

1. Keadaan perasaan depresi (sedih, putus asa, tidak berdaya, tak bergaul)

0 = tidak ada

1 = perasaan ini hanya dinyatakan bila ditanya

2 = perasaan ini dinyatakan secara verbal spontan

3 = perasaan yang nyata tanpa komunikasi verbal, misalnya : ekspresi

mukanya, bentuk, suara, dan kecenderungan menangis

4 = pasien menyatakan perasaan yang sesungguhnya ini dalam komunikasi

baik verbal maupun nonverbal secara spontan

2. Perasaan bersalah

0 = tidak ada

1 = menyalahkan diri sendiri, merasa sebagai penyebab penderitaan orang

lain

2 = ide-ide bersalah atau renungan tentang kesalahan-kesalahan pada masa

lalu

3 = sakit ini adalah sebagai hukumannya, delusi bersalah

4 = suara-suara kejaran atau tuduhan dengan/dan halusinasi penglihatan

tentang hal-hal yang mengancam

3. Bunuh diri

0 = tidak ada

1 = merasa hidup tidak ada gunanya

2 = mengharapkan kematian atau pikiran-pikiran lain ke arah itu

3 = ide-ide bunuh diri atau langkah-langkah ke arah itu

4 = percobaan bunuh diri (setiap usaha yangn serius berniali 4)

4. Insomnia (initial)

0 = tidak ada

1 = keluhan kadang-kadang sukar masuk tidur, misalnya lebih dari setengah

jam baru dapat tidur

2 = keluhan tiap malam sukar masuk tidur

5. Insomnia (middle)

0 = tidak ada

1 = pasien mengeluh, gelisah, dan terganggua sepanjang malam

2 = terjaga sepanjang malam, setiap terbangun dari tempat tidur bernilai 2

(kecuali untuk buang air)

6. Insomnia (late)

0 = tidak ada kesulitan, atau keluhan bangun terlalu pagi

1 = bangun di waktu fajar, tetapi tidur lagi

2 = bila telah bangun, tidak bisa tidur lagi

7. Pekerjaan dan minat

0 = tidak ada kesukaran

1 = pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan ketidakmampuan, keletihan, atau

kelemahan-kelemahan yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan

kerja atau hobi

Page 99: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

82

2 = hilangnya minat akan kegiatan-kegiatan, hobi, atau pekerjaan baik

secara langsung maupun tidak, pasien menyatakan kelesuan, keragu-

raguan dan rasa bimbang (merasa bahwa ia harus memaksa diri untuk

bekerja atau dalam kegiatan lainnya)

3 = berkurang waktu untuk aktivitas sehari-hari atau kurang produktivitas.

4 = tidak bekrja karena sakitnya sekarang.

8. Kelambanan (lambat dalam berpikir dan berbicara, gagal berkonsentrasi,

aktivitas motorik menurun)

0 = normal dalam berbicara dan berpikir

1 = sedikit lambat dalam wawancara

2 = jelas lamban dalam wawancara

3 = sukar diwawancarai

4 = stupor (diam sama sekali)

9. Kegelisahan/agitasi

0 = tidak ada kesukaran

1 = kegelisahan ringan

2 = memainkan tangan, rambut, dan lain-lain

3 = bergerak terus, tidak bisa duduk tenang

4 = meremas-remas tangan, meggigit-gigit kuku, menarik-narik rambut,

menggigit-gigit bibir

10. Kecemasan (psikis)

0 = tidak ada kesukaran

1 = ketegangan subyektif dan mdah tersinggung

2 = mengkhawatirkan hal-hal kecil

3 = sikap kekhawatiran yang tercermin di wajah atau pembicaraannya

4 = ketakutan yang diutarakan tanpa ditanya

11. Kecemasan (somatik)

Kecemasan fisiologis seperti gangguan gastrointestinal, mulut kering, perut

kembung, diarhea, keran perut, bersendawa, palpitasi, sakit kepala,

hiperventilasi/nafas panjang, sering kencing, bukan karena efek samping obat

0 = tidak ada

1 = ringan

2 = sedang

3 = berat

4 = menyebabkan ketidakmampuan

12. Gejala somatik gastrointestinal

0 = tidak ada

1 = nafsu makan berkurang tapi masih dapat makan tanpa dorongan teman.

2 = sukar makan tanpa dorongan teman, membutuhkan pencahar untuk

buang air besar, atau obat-obatan untuk sakuran pencernaan

13. Gejala somatik umum

0 = tidak ada

1 = anggota gerak, punggung, atau kepala terasa berat, sakit punggung,

kepala dan otot-otot, hilangnya kekuatan dan kemampuan

2 = gejala-gejala diatas lebih jelas

14. Genital (gangguan libido, minaat terhadap seks, gangguan menstruasi)

Page 100: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

83

0 = tidak ada

1 = ringan

2 = berat

15. Hipokondriasis

0 = tidak ada

1 = dihayati sendiri

2 = preokupasi mengenai kesehatan diri sendiri

3 = sering mengeluh, membutuhkan pertolongan dan lain-lain

4 = waham hipokondriasis/somatik (yakin dirinya menderita suatu penyakit)

16. Kehilangan berat badan (pilih antara A atau B)

Bila hanya riwayatnya

0 = tidak ada kehilangan berat badan

1 = kemungkinan berat badan berkurang berhubungan dengan sakit sekarang

2 = jelas (menurut pasien) berkurang berat badannya

3 = tidak terjelaskan lagi penurunan berat badan

17. Dibawah pengawasan dokter bangsal secara mingguan bila jelas berat badan

dan berkurang menurut ukuran :

0 = < 0,5 kg seminggu

1 = > 0,5 kg seminggu

2 = > 1 kg seminggu

3 = tidak ternyatakan lagi kehilangan berat badan

18. Insight (tilikan)

0 = mengetahui sedang depresi atau sakit

1 = mengetahui sakit tapi berhubungan dengan penyebab iklim, makanan,

bekerja berlebihan, virus, perlu istirahat, dan lain-lain

2 = menyangkal sakit

19. Variasi harian (diurnal)

Catat mana yang lebih berat, waktu pagi atau malam, bila tidak ada gangguan beri

tanda di nol

0 = tidak ada perubahan

1 = lebih buruk waktu malam

2 = lebih buruk waktu pagi

20. Kalau ada perubahan tandai derajat perubahan tersebut. Tandai nol bila tidak

ada perubahan

0 = tidak ada

1 = ringan

2 = berat

21. Depersonalisasi dan derealisasi (misalnya: merasa diri atau disekitar tidak

nyata/terasa lain, ide-ide nihilistik)

0 = tidak ada

1 = ringan

2 = sedang

3 = berat

4 = berat sekali (tidak dapat bekerja karena gangguan)

22. Gejala-gejala paranoid

0 = tidak ada

Page 101: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

84

1 = kecurigaan

2 = ideas of reference (menghubung-hubungkan suatu kejadian dengan

dirinya)

3 = waham kejar / waham curiga

23. Gejala-gejala obsesi dan kompulsi

0 = tidak ada

1 = ringan

2 = berat

Total Score ______________________________________

HARS

Page 102: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

85

Berikan tanda (X) pada kolom pilihan anda

NO. PERTANYAAN

0

(Tidak

Ada)

1

(Ringan)

2

(Sedang)

3

(Berat)

4

(Berat

Sekali)

1

Perasaan Ansietas

( Cemas, Firasat

Buruk, Takut Akan

Pikiran Sendiri, Mudah

Tersinggung )

2

Ketegangan

( Merasa Tegang,

Lesu, Tak Bisa

Istirahat Tenang,

Mudah Terkejut,

Mudah Menangis,

Gemetar, Gelisah )

3

Ketakutan

( Pada Gelap, Pada

Orang Asing, Ditinggal

Sendiri, Pada Binatang

Besar, Pada Keramaian

Lalu Lintas, Pada

Kerumunan Orang

Banyak )

4

Gangguan Tidur

( Sukar Memulai

Tidur, Terbangun

Malam Hari, Tidak

Nyenyak, Bangun

dengan Lesu, Banyak

Mimpi-Mimpi, Mimpi

Buruk, Mimpi

Menakutkan )

5

Gangguan

Kecerdasan

( Sukar Konsentrasi,

Daya Ingat Buruk )

6

Perasaan Depresi

( Hilangnya Minat,

Berkurangnya

Kesenangan Pada

Hobi, Sedih, Bangun

Dini Hari, Perasaan

Berubah-Ubah

Sepanjang Hari )

Page 103: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

86

7

Gejala Somatik

(Otot)

( Sakit dan Nyeri di

Otot-Otot, Kaku,

Kedutan Otot, Gigi

Gemerutuk, Suara

Tidak Stabil/Bergetar )

8

Gejala Somatik

(Sensorik)

( Suara mendenging di

telinga, Penglihatan

Kabur, Muka Merah

atau Pucat, Merasa

Lemah, Perasaan

ditusuk-Tusuk )

9

Gejala Jantung dan

Pembuluh darah

(Takhikardia/Jantung

berdetak lebih cepat

dari biasanya,

Berdebar, Nyeri di

Dada, Denyut Nadi

Meningkat, Perasaan

Lesu/Lemas Seperti

Mau Pingsan, Detak

Jantung Menghilang

(Berhenti Sekejap) )

10

Gejala Respiratori/

Pernapasan

( Rasa Tertekan Di

Dada, Perasaan

Tercekik, Sering

Menarik Napas, Napas

Pendek/Sesak )

11

Gejala

Gastrointestinal/

Saluran cerna

( Sulit Menelan, Perut

Melilit, Gangguan

Pencernaan, Nyeri

Sebelum dan Sesudah

Makan, Perasaan

Terbakar di Perut, Rasa

Penuh atau Kembung,

Mual, Muntah, Buang

Air Besar Lembek,

Page 104: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

87

Kehilangan Berat

Badan, Sukar Buang

Air Besar (Konstipasi)

)

12

Gejala

Urogenital/Sal.

kencing&Kelamin

( Sering Buang Air

Kecil, Tidak Dapat

Menahan Air Seni,

Amenorrhoe,

Menorrhagia, Menjadi

Dingin (Frigid),

Ejakulasi dini, Ereksi

Hilang, Impotensi)

13

Gejala Otonom

( Mulut Kering, Muka

Merah, Mudah

Berkeringat, Pusing,

Sakit Kepala, Bulu-

Bulu Berdiri )

14

Tingkah Laku Pada

Wawancara

( Gelisah, Tidak

Tenang, Jari Gemetar,

Kerut Kening, Muka

Tegang, Tonus Otot

Meningkat, Napas

Pendek dan Cepat,

Muka Merah )

Page 105: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

88

Lampiran 5

Karakteristik Subyek Penelitian

Nomor Kode Sampel Cabang Olahraga Usia

Jenis

Kelamin Kelompok

Kadar

Kortisol

1 AAGBM Atletik 20 L 1 286.2

2 MAD Atletik 15 P 2 324.1

3 ASK Atletik 26 P 1 283.7

4 IGNBJR Atletik 17 L 1 283.7

5 IGAH Atletik 16 L 2 185

6 IKODL Atletik 18 L 2 270.2

7 MTF Atletik 28 L 1 362.3

8 INAES Atletik 16 L 2 152.1

9 YNB Atletik 15 P 1 189.2

10 IGANSS Atletik 16 P 1 300.4

11 PYA Atletik 17 L 2 169.9

12 KATK Atletik 17 L 1 121.7

13 IAKDT Atletik 16 P 2 200.8

14 NPEN Atletik 15 P 1 170.8

15 IPWEP Atletik 15 P 1 280.4

16 GKJP Atletik 15 L 2 125.5

17 AAGM Atletik 15 L 1 147.7

18 IGAPSO Atletik 21 P 1 298

19 NKMRL Atletik 15 P 2 164.3

20 IGMFS Atletik 18 L 1 119.5

21 NLK Atletik 16 P 1 119.5

22 SGK Atletik 31 L 1 296.5

23 NPTM Atletik 18 P 1 245.6

24 NMAR Atletik 18 P 1 279.4

25 NKDRM Atletik 16 P 2 166.9

26 IPAB Atletik 18 L 1 223.7

27 IWGGP Bulutangkis 20 L 1 370.8

28 IPAAP Bulutangkis 19 L 2 182

29 NLKDA Bulutangkis 15 P 2 244.6

30 RSRV Bulutangkis 21 P 2 252.4

Page 106: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

89

31 LGAW Bulutangkis 17 P 2 185.5

32 NKMJL Bulutangkis 16 P 1 298

33 IGBASP Bulutangkis 16 L 2 212

34 AASS Bulutangkis 19 L 2 206.2

35 FRRF Bulutangkis 17 L 2 97.8

36 JMSA Bulutangkis 21 L 1 381.8

37 IGAWPA Atletik 15 P 1 316.3

38 IGNAPA Atletik 15 L 2 182.7

39 ELYS Atletik 17 L 2 243.2

40 FZLA Atletik 18 L 2 246.7

41 LGRT Balap Sepeda 15 L 2 311.8

42 EOST Balap Sepeda 30 L 1 359.4

43 KADPT Balap Sepeda 16 L 1 191.1

44 BYKB Balap Sepeda 15 L 2 117

45 PDJSP Balap Sepeda 14 L 2 202.3

46 KDDA Balap Sepeda 17 L 2 111.6

47 RKAD Balap Sepeda 17 L 1 319.5

48 YGBS Balap Sepeda 18 L 1 208.2

49 GDPY Balap Sepeda 16 L 2 148.5

50 IPMAAP Balap Sepeda 14 L 2 140

51 IGBDPR Balap Sepeda 13 L 1 104.7

52 CDWB Balap Sepeda 17 L 2 207.9

53 NKDDN Balap Sepeda 14 P 1 263.1

54 SYBSD Balap Sepeda 14 P 2 138

55 NKSWP Balap Sepeda 16 P 2 149.6

56 NKAA Balap Sepeda 15 P 1 381.2

57 NKDAP Balap Sepeda 17 P 2 170.5

58 NPNV Balap Sepeda 15 P 1 321.3

59 IPAM Balap Sepeda 14 L 1 322.9

60 GAFPW Balap Sepeda 18 L 2 166.1

61 PDPY Bulutangkis 16 P 2 193.4

62 MCT Bulutangkis 21 P 1 444.7

63 NMDS Bulutangkis 21 P 2 326.1

64 AVHN Bulutangkis 17 L 1 448.3

Page 107: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

90

JenisKelamin * Kelompok Crosstabulation

Kelompok Total

kasus kontrol

JenisKelamin

L Count 17 20 37

% within Kelompok 53.1% 62.5% 57.8%

P Count 15 12 27

% within Kelompok 46.9% 37.5% 42.2%

Total Count 32 32 64

% within Kelompok 100.0% 100.0% 100.0%

Usiakategori * Kelompok Crosstabulation

Kelompok Total

kasus kontrol

Usiakategori

1 Count 14 18 32

% within Kelompok 43.8% 56.2% 50.0%

2 Count 18 14 32

% within Kelompok 56.2% 43.8% 50.0%

Total Count 32 32 64

% within Kelompok 100.0% 100.0% 100.0%

CabangOlahraga * Kelompok Crosstabulation

Kelompok Total

kasus kontrol

CabangOlahraga

Atletik Count 18 12 30

% within Kelompok 56.2% 37.5% 46.9%

Balap Sepeda Count 9 11 20

% within Kelompok 28.1% 34.4% 31.2%

Bulutangkis Count 5 9 14

% within Kelompok 15.6% 28.1% 21.9%

Total Count 32 32 64

% within Kelompok 100.0% 100.0% 100.0%

Page 108: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

91

Area Under the Curve

Test Result Variable(s): NilaiKortisol

Area Std. Errora Asymptotic Sig.

b Asymptotic 95% Confidence

Interval

Lower Bound Upper Bound

.754 .064 .000 .628 .880

a. Under the nonparametric assumption

b. Null hypothesis: true area = 0.5

Coordinates of the Curve

Test Result Variable(s): NilaiKortisol

Positive if

Greater Than or

Equal Toa

Sensitivity 1 - Specificity

96.810 1.000 1.000

101.255 1.000 .969

108.150 .969 .969

114.300 .969 .938

118.250 .969 .906

120.600 .906 .906

123.600 .875 .906

Page 109: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

92

131.750 .875 .875

139.000 .875 .844

143.850 .875 .813

148.100 .844 .813

149.050 .844 .781

150.850 .844 .750

158.200 .844 .719

165.200 .844 .688

166.500 .844 .656

168.400 .844 .625

170.200 .844 .594

170.650 .844 .563

176.400 .813 .563

182.350 .813 .531

183.850 .813 .500

185.250 .813 .469

187.350 .813 .438

190.150 .781 .438

192.250 .750 .438

197.100 .750 .406

201.550 .750 .375

204.250 .750 .344

207.050 .750 .313

208.050 .750 .281

210.100 .719 .281

217.850 .719 .250

233.450 .688 .250

243.900 .688 .219

245.100 .688 .188

246.150 .656 .188

249.550 .656 .156

257.750 .656 .125

266.650 .625 .125

274.800 .625 .094

279.900 .594 .094

282.050 .563 .094

284.950 .500 .094

291.350 .469 .094

297.250 .438 .094

299.200 .375 .094

Page 110: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

93

306.100 .344 .094

314.050 .344 .063

317.900 .313 .063

320.400 .281 .063

322.100 .250 .063

323.500 .219 .063

325.100 .219 .031

342.750 .219 .000

360.850 .188 .000

366.550 .156 .000

376.000 .125 .000

381.500 .094 .000

413.250 .063 .000

446.500 .031 .000

449.300 .000 .000

a. The smallest cutoff value is the minimum

observed test value minus 1, and the largest

cutoff value is the maximum observed test value

plus 1. All the other cutoff values are the

averages of two consecutive ordered observed

test values.

KategoriKortisol * Kelompok Crosstabulation

Kelompok Total

kasus kontrol

Page 111: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

94

KategoriKortisol

tinggi >= 208.05 Count 24 9 33

% within KategoriKortisol 72.7% 27.3% 100.0%

tidak tinggi < 208.05 Count 8 23 31

% within KategoriKortisol 25.8% 74.2% 100.0%

Total Count 32 32 64

% within KategoriKortisol 50.0% 50.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 14.076a 1 .000

Continuity Correctionb 12.262 1 .000

Likelihood Ratio 14.647 1 .000

Fisher's Exact Test .000 .000

Linear-by-Linear Association 13.856 1 .000

N of Valid Cases 64

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.50.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for

KategoriKortisol (tinggi >=

208.05 / tidak tinggi <

208.05)

7.667 2.524 23.284

For cohort Kelompok =

kasus 2.818 1.497 5.304

For cohort Kelompok =

kontrol .368 .203 .666

N of Valid Cases 64

cabang olahraga atletik dan non atletik * Kelompok Crosstabulation

Kelompok Total

kasus kontrol

cabang olahraga atletik dan 1.00 Count 18 12 30

Page 112: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

95

non atletik % within cabang olahraga

atletik dan non atletik 60.0% 40.0% 100.0%

2.00

Count 14 20 34

% within cabang olahraga

atletik dan non atletik 41.2% 58.8% 100.0%

Total

Count 32 32 64

% within cabang olahraga

atletik dan non atletik 50.0% 50.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 2.259a 1 .133

Continuity Correctionb 1.569 1 .210

Likelihood Ratio 2.273 1 .132

Fisher's Exact Test .210 .105

Linear-by-Linear Association 2.224 1 .136

N of Valid Cases 64

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15.00.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for cabang

olahraga atletik dan non

atletik (1.00 / 2.00)

2.143 .788 5.825

For cohort Kelompok =

kasus 1.457 .887 2.395

For cohort Kelompok =

kontrol .680 .404 1.145

N of Valid Cases 64

Jenis kelamin * Kelompok Crosstabulation

Kelompok Total

kasus kontrol

Jenis kelamin 1 Count 17 20 37

% within Jenis kelamin 45.9% 54.1% 100.0%

Page 113: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

96

2 Count 15 12 27

% within Jenis kelamin 55.6% 44.4% 100.0%

Total Count 32 32 64

% within Jenis kelamin 50.0% 50.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square .577a 1 .448

Continuity Correctionb .256 1 .613

Likelihood Ratio .578 1 .447

Fisher's Exact Test .613 .307

Linear-by-Linear Association .568 1 .451

N of Valid Cases 64

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.50.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Jenis

kelamin (1 / 2) .680 .251 1.843

For cohort Kelompok =

kasus .827 .509 1.344

For cohort Kelompok =

control 1.216 .726 2.037

N of Valid Cases 64

Usiakategori * Kelompok Crosstabulation

Kelompok Total

kasus kontrol

Usiakategori 1

Count 14 18 32

% within Usiakategori 43.8% 56.2% 100.0%

2 Count 18 14 32

Page 114: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

97

% within Usiakategori 56.2% 43.8% 100.0%

Total Count 32 32 64

% within Usiakategori 50.0% 50.0% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df Asymp. Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (2-

sided)

Exact Sig. (1-

sided)

Pearson Chi-Square 1.000a 1 .317

Continuity Correctionb .563 1 .453

Likelihood Ratio 1.003 1 .317

Fisher's Exact Test .454 .227

Linear-by-Linear Association .984 1 .321

N of Valid Cases 64

a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16.00.

b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate

Value 95% Confidence Interval

Lower Upper

Odds Ratio for Usiakategori

(1 / 2) .605 .225 1.624

For cohort Kelompok =

kasus .778 .473 1.279

For cohort Kelompok =

control 1.286 .782 2.115

N of Valid Cases 64

Variables in the Equation

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) 95% C.I.for EXP(B)

Lower Upper

Step 1a KatKortisol(1) 2.103 .587 12.811 1 .000 8.188 2.589 25.894

Page 115: KADAR KORTISOL TINGGI SEBAGAI FAKTOR RISIKO KUALITAS …

98

KatCabangOR(1

) .905 .588 2.368 1 .124 2.472 .781 7.828

Constant -1.494 .540 7.654 1 .006 .224

Step 2a

KatKortisol(1) 2.037 .567 12.915 1 .000 7.667 2.524 23.284

Constant -.981 .391 6.297 1 .012 .375

a. Variable(s) entered on step 1: KatKortisol, KatCabangOR.