KABUYUTAN tjipageran
-
Upload
mbah-sajan -
Category
Documents
-
view
195 -
download
5
Transcript of KABUYUTAN tjipageran
“KABUYUTAN SEBAGAI TRADISI DAN TATA
NILAI KI SUNDA”
Gagasan-gagasan Dasar Kekeluagaan
Terdapat banyak sekali model tradisi menjaga hubungan kekerabatan di Nusantara yang
sudah barang tentu tidak bisa disebutkan secara satu persatu. Mungkin akhir-akhir ini yang
bisa dikenal cukup luas adalah adat atau budaya pelagandong di maluku, sehubungan
pernah terjadinya konflik yang cukup tajam dan menyangkut perkara yang sangat sensitif
terkait unsur SARA, naum demikiana dengan budaya kekerabatan yang dimiliki
masyarakat Maluku, konflik tersebut bisa dengan segera diatasi. Sehubungan dengan
banyaknya manfaat yang juga telah dibuktikan efektivitas dari budaya menjaga hubungan
kekerabatan ini walaupun dalam keadaan konflik terberat sekalipun, sehingga kiranya
budaya kekerabatan ini perlu lebih digali lebih jauh.
Diluar masalah penyelesaian konflik, alangkah sayangnya apabila budaya kekerabatan ini
bila tidak kita manfaatkan untuk hal-hal lain yang sudah barang tentu tidak kurang
manfaatnya mulai dari tahapan kelompok kecil yang paling sederhana, misal dalam
pemberdayaan ekonomi keluarga, berlanjut pada penataan pranata ekonomi masyarakat
baru menginjak pada tahapan sosial yang lebih luas dan kemasyarakatan dengan demikian
pembinaan berawal dari batu pijakan dari tingkat yang paling kecil dan sederhana yaitu
sebuah keluarga yang kemudian berlanjut menjadi sebuah keluarga besar, sehingga lebih
jauh membentuk kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bentuk keluarga besar
Republik Indonesia, layaknya sebuah keluarga besar sebagai contoh adalah tertera dalam
dasar Negara kita pada sila ke-3 “Persatuan Indonesia” dan sila ke-4 yaitu “Kemanusiaan
yang adil & beradab yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam Permusyawaratan
Perwakilan”. Dalam kaitan ini, permasalah yang terjadi sudah menjadi keharusan
menggunakan landasan Permusyawaratan dimana hal ini merupakan norma-norma,
kebiasaan yang sudah berlaku dan telah berjalan selama ribuan tahun sebagai tata nilai
yang telah menjadi perilaku kehidupan masyarakat kita.
Dengan hampir punahnya budaya yang telah memberikan ketahanan hidup masyarakat
kita, kiranya diperlukan upaya-upaya pelestarian dan bila memungkinkan upaya lebih
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
lanjut berupa revitalisasi dan membudayakan kembali tata nilai yang telah nyata membawa
bangsa kita ke depan gerbang kemerdekaan dan lebih lanjut memasuki gerbang
kemerdekaan tersebut yang kemudian mengisinya dengan berlandaskan tata nilai dan peri
kehidupan yang sesuai dengan adat kebiasaan, yaitu budaya dan tradisi kekerabatan.
Arti penting budaya kekerabatan ini malah telah mendapatkan perhatian pihak asing,
misalnya melalui dana bantuan yang diberikan Negara Jepang melalui UN trust-fund untuk
budaya Pelagandong. Bila pihak asing telah memberikan perhatian tentang arti pentig
budaya kekerabatan, alangkah lebih baiknya bila juga bisa mendapat perhatian lebih dari
pihak pemerintahan melalui departemen terkait yang bisa disalurkan melalui berbagai
sarana dan fasilitas untuk menunjang program pemerintah untuk kepentingan yang lebih
tinggi yaitu pembangunan, pendidikan dan pemberdayaan masyarakat secara umum dan
tidak hanya pada sebatas penyelesaian konflik yang telah atau potensi konflik yang akan
terjadi.
Sebagai Ilustrasi selain adat Pelagandong atau dalam contoh lain adat Peladarah atau
lainnya, beberapa falsafah hidup dan contoh persatuan yang berkembang pada
masayararakat kita yang lain, misal yang terdapat pada suku Kei. Dalam interaksi
kehidupan sehari-hari pada masyarakat Kei, terdapat tiga nilai perekat, yakni:
falsafah ain ni ani yang dimaknai sebagai bentuk persaudaraan; falsafah foing fo kut fauw
fo banglu. Nilai foing fo kut ini bermakan menghimpun beberapa mayang kelapa lalu
diikat jadi satu, dengan tujuan mendapatkan hasil pembakaran yang menghasilkan cahaya
untuk menerangi kehidupan, sedangkan fauw fo banglu, bermakna kemampuan
menciptakan “peluru” untuk dapat membentengi diri dalam menghadapi serangan[2]; dan
filosofi wuut ain mehe ni ngifun, manut ain mehe ni tilur, yang bermakna bahwa semua
orang Kei berasal dari satu keturunan.[3]
Falsafah hidup yang telah berlaku dalam masyarakat Kei tersebut sudah barang tentu tidak
terlepas dari pola hidup yang berjalan seiring dalam format menjaga ikatan keluarga dan
kekerabatan,dimana inti dari adat-istiadat orang Kei adalah kekeluargaan. Kekeluargaan
pada masyarakat Kei dimaknai dalam arti yang luas yaitu mencakup seluruh dimensi
kehidupan manusia, dan tidak hanya terbatas pada bentuk kekeluargaan secara biologis.
Semangat kekeluargaan dan kekerabatan di Kei yang diikat dengan hukum adat terujud
dalam relasi Yanur-Mangohoi, Koi-Maduan, dan Teabel.
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
Pertama, Yanur-Mangohoi, bentuk kekerabatan ini merupakan suatu kesatuan orang-
orang yang diikat dalam perkawinan adat. Artinya perkawinan dua orang menjadi
tanggungjawab dua keluarga besar (fam). Fam merupakan suatu kelompok kekerabatan
yang bersifat patrilineal. Yanur-Mangohoi diikat dalam suatu perkawinan dan berlaku
terus selama belum ada kematian dari salah satu pihak. Meskipun islilah ini hanya
dikenakan dalam konteks perkawinan, namun implikasi dari sistem ini juga ada dalam
upacara kematian.
Kedua, Koi-Maduan, secara harfiah, Maduan berarti tuan atau pemilik. Maduan adalah
orang yang selalu memberikan bantuan, sedangkan pihak penerima bantuan disebut Koi
yang artinya bawahan atau abdi. Koi-Maduan dapat dipakai dalam beberapa konteks,
misalnya dalam perkawinan dan perjanjian sosial-ekonomi, di dalamnya terdapat relasi
atasan dan bawahan. Pihak atasan bertindak sebagai yang menguasai, mengatur, menuntut
hak, dan bertanggungjawab atas kepentingan bawahannya, sedangkan pihak bawahan
wajib tunduk dan taat, serta mempercayakan diri kepada atasannya dan melayani. Bentuk
kekerabatan ini berlandaskan rasa percaya yang tinggi, namun dalam prakteknya,
terkadang yang terjadi adalah dominasi atasan terhadap bawahan.
Ketiga, Teabel, istilah ini terdiri dari dua kata, yakni Tea yang artinya menggores dan Bel
yang berarti darah yang mengalir. Jadi Teabel adalah bentuk kekerabatan atau perjanjian
yang diikat oleh “aliran darah”. Unsur yang utama dari budaya ini adalah solidaritas antara
saudara yang menunjuk pada dua hal, yakni, sikap untuk membantu orang/kampung lain
yang terlibat dalam perjanjian itu, dan kemampuan untuk terlibat dalam kehidupan orang
lain dalam kesepakatan adat. Sistem kekerabatan ini sebenarnya mau mengangkat derajad
semua orang sebagai saudara yang harus dihargai, dilayani dan diperhatikan.
Bentuk-bentuk kekerabatan masyarakat Kei seperti yang telah dijelaskan di atas, memiliki
beberapa kesamaan gagasan dasar yakni sikap hidup kolektif, semangat solidaritas, dan
kekeluargaan, mengutamakan suatu persaudaraan yang diikat dalam keluarga. Perjanjian
adat mengkondisikan semua orang untuk saling membantu dan mengaggap orang lain
sebagai keluarga sendiri. Semua orang terikat dalam relasi kekeluargaan tanpa
membedakan agama. Berdasarkan itu, ada dua hal yang perlu diuraikan.
Pertama, kebersamaan yang berpusat pada keluarga. Hubungan antar pribadi selalu
didasarkan atas hubungan “saudara”. Semua orang dilihat sebagai saudara dari satu
keluarga. Hal ini jelas dalam struktur keluarga ala Kei lewat istilah “Teen fo teen,
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
yanyanat fo yananat, yaan fo yaan, warin fo warin, yanur fo yanur, mangohoi fo
mangohoi.” Ini bermakna bahwa keluarga Kei memiliki struktur yang memaksa setiap
anggota keluarga untuk memiliki status sendiri. Inti dari struktur ini adalah menempatan
orang tua sebagai atasan dan anak sebagai bawahan. Satu kecenderungan dasar masyarakat
Kei dalam menelusuri hubungan kekeluargaaa dalam pergaulan, misalnya, lewat
pertanyaan “siapa orang tuamu”, kesimpulan yang selalu diambil adalah “kamu dan saya
adik-kakak”, meskipun sebenarnya tidak ada hubungan darah dalam arti sempit. Cara
seperti ini sama saja dengan menepatkan orang lain dalam struktur keluarganya.
Kedua, sikap kolektif orang Kei. Dalam tindakan kolektif (sosial) orang Kei selalu
memprioritaskan aspek hukum, bahkan memutlakannya. Didalam kehidupan bersama,
hukum adat selalu dijunjung tinggi diatas segalanya. Keataatan terhadap hukum ini
didasarkan pada cita-cita agar kekerabatan semakin terwujud. Itulah suatu kecenderungan
dalam sikap kolektif orang Kei. Namun perlu dipahami bahwa kekerabatan karena ketaatan
kepada hukum bukan berarti sikap legalistis, yang berarti taat kepada hukum demi hukum
itu, tetapi ketaatan orang Kei kepada hukum demi kekerabatan. Peraturan, perjanjian, dan
kesepakatan yang diikat dalam hukum harus ditaati agar kekerabatan bisa bertahan, apabila
aturan atau hukum dilanggar, maka akibatnya kekerabatan atau kekeluargaan menjadi
“ternodai, renggang, bahkan bisa hilang/terputus.
Terkait hal diatas apakah kita juga memiliki budaya menjaga kekerabatan dan pertalian
keluarga? Pancakaki merupakan sistem kekerabatan masyarakat Sunda yang didasarkan
pada hubungan seseorang dalam sebuah komunitas keluarga yang menjadi adat istiadat dan
kebiasaan yang penting dalam hidup urang Sunda, karena selain menggambarkan sifat-sifat
urang Sunda yang ingin selalu bersilaturahim, itu juga merupakan kebutuhan untuk
menentukan sebutan masing-masing pihak dalam menggunakan bahasa Sunda.
Dalam sistem keluarga atau kekerabatan dalam suku Sunda bersifat birateral yaitu garis
keturunan ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang
bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dalam suku Sunda
sangat mempengaruhi dalam adat istiadat, dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki
yaitu sebagai istilah-istilah untuk menunjukan hubungan kekerabatan. Contohnya, pertama,
saudara yang berhubungan untuk generasi tujuh ke bawah atau vertikal. Yaitu anak, incu
(cucu), buyut/ piut, bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg, kaitsiwur atau
gatungsiwur. Dimana Penelusuran garis keturunan (sakeseler) dalam khazanah kesundaan
diistilahkan dengan pancakaki. Secara definisi, dalam Kamus Umum Basa Sunda (1993),
pancakaki diartikan dengan dua pengertian.
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
Pertama, pancakaki menunjukkan hubungan seseorang dalam garis keluarga (perenahna
jelema ka jelema deui anu sakulawarga atawa kaasup baraya keneh). Kita pasti mengenal
istilah kekerabatan, seperti indung, bapa, aki, nini, emang, bibi, euceu, anak, incu, buyut,
alo, suan, kapiadi, kapilanceuk, aki ti gigir, dan nini ti gigir.
Kedua, pancakaki juga bisa diartikan sebagai proses penelusuran hubungan seseorang
dalam jalur kekerabatan (mapay perenahna kabarayaan). Secara empiris, ketika kita
mengunjungi suatu daerah, pihak yang dikunjungi akan membuka percakapan, "Ujang teh
ti mana jeung putra saha (Adik itu dari mana dan anak siapa)?" Ini dilakukan untuk
mengetahui asal-usul keturunan tamu sehingga pribumi akan lebih akrab atau wanoh
dengan semah guna mendobrak kekikukan dalam berinteraksi dan berkomunikasi. Maka,
pancakaki pada pengertian ini adalah proses pengorekan informasi keturunan untuk
menemukan garis kekerabatan yang sempat putus. Biasanya hal ini terjadi ketika seseorang
nganjang ke suatu daerah dan di sana ia menemukan bahwa antara si pemilik rumah dan
dirinya ada ikatan persaudaraan. Maka, ada peribahasa bahwa dunia itu tidak selebar daun
kelor. Antara saya dan Anda, mungkin kalau ber-pancakaki, ternyata dulur. Minimal
sadulur jauh.
Sistem kekerabatan ini merupakan simbol dari tali silaturahmi khas Sunda (pancakaki) ini
sesuai dengan ajaran agama yang mengajarkan umatnya untuk menyebarkan keselamatan.
Silaturahim juga merupakan salah satu penentu masuk surga dan terciptanya keharmonisan
interaksi.
Bagi urang Sunda kiwari, ber-pancakaki tidak hanya dilakukan untuk menelusuri garis
keturunan, tetapi juga menelusuri dari mana asal diri kita. Karena itu, seorang pengusaha
dan pejabat, umpamanya bisa mendapatkan kesadaran bahwa sebetulnya mereka berasal
dari rakyat dan memegang jabatan berarti pula memegang amanat keluarga.
Karena itu, saatnya kita ber-pancakaki. Lirik kiri-kanan, jangan-jangan ada keluarga dekat
atau jauh, karena bisa jadi rakyat miskin yang tak bisa makan di luar sana adalah kerabat
dan saudara kita yang bersumber dari satu mata air yang sama. Sebab, dalam ajaran agama,
semua manusia bersaudara. Semua berasal dari Nabi Adam AS. Jadi, sesungguhnya
seluruh umat manusia sesungguhnya bersaudara!
Pertalian Kekerabatan Sebagai Landasan Pijak
Dalam Tradisi Sunda terdapat tradisi yang sangat penting, yaitu tradisi bernama Pancakaki,
dimana dalam percakapan umum, dua orang yang baru bertemu akan saling bertanya
tentang asal-usul atau dalam bahasa sunda Bibit Buit, istilah lain yang ditemukan yang
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
berkaitan dengan Kabuyutan adalah Kata Buyut itu sendiri yang berarti Ayah dari Kakek
kita. Penelusuran garis keturunan (sekeseler) dalam khazanah kesundaan diistilahkan
dengan pancakaki. Dalam Kamus Umum Basa Sunda (1993), yaitu pancakaki
menunjukkan hubungan seseorang dalam garis keluarga (perenahna jelema ka jelema deui
anu sakulawarga atawa kaasup baraya keneh).
Menurut Ajip Rosidi (1996), pancakaki memiliki pengertian hubungan seseorang dengan
seseorang yang memastikan adanya tali keturunan atau persaudaraan.
Pancakaki sebagai produk kebudayaan Sunda mempunyai peran penting dalam
menciptakan relasi sosial dan komunikasi interpersonal yang harmonis dalam komunitas
dan merupakan adat istiadat dan kebiasaan yang penting dalam hidup urang Sunda, karena
selain merupakan kebutuhan untuk menentukan sebutan masing-masing pihak dalam
menggunakan bahasa Sunda, juga menggambarkan sifat-sifat urang Sunda yang ingin
selalu bersilaturahim. Jadi, dengan ber-pancakaki sebetulnya kita (urang Sunda) tengah
membina silaturahim dengan setiap orang. Dimana hal ini merupakan simbol dari tali
silaturahmi khas Sunda (pancakaki). Dalam kaitan kehidupan beragama, menjaga tali
silaturahmi merupakan bentuk taqarrub yang paling berharga, ketaatan yang paling agung,
memiliki kedudukan yang paling tinggi, keberkahan yang agung, mendatangkan manfaat
yang besar dan menyeluruh di dunia dan akhirat dimana hal ini sesuai dengan perintah
Allah seperti terdapat dalam QS.103:3, yaitu:
Berpegang teguhlah pada tali allah dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah
akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadikan kamu karena nikmat Allah orang-orang yang
bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan
kamu sekalian daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.
Silaturrahim juga merupakan ketaatan kepada Allah dan ibadah besar, serta petunjuk
takutnya hamba kepada Rabb-Nya, seperti terdapat dalam firman Allah yang lain, yaitu:
اب� �ح�س� ال وء� س� �خ�اف�ون� و�ي �ه�م� ب ر� و�ن� �خش� و�ي �وص�ل� ي �ن أ �ه� ب الله� م�ر�� م�آأ �ص�ل�ون� ي �ذ�ين� و�ال
dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya
dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk. (QS.
Ar-Ra'd :21)
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengaitkan antara menyambung silaturahmi dgn
keimanan terhadap Allah & hari Akhir. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ح�م�ه� ر� �ص�ل� �ي ف�ل �آلخ�ر� ا � �و�م �ي و�ال �الله� ب �ؤ�م�ن� ي �ان� ك .م�ن�
“Barangsiapa nan beriman kepada Allah & hari Akhir, hendaklah ia menyambung
silaturahmi”.
Ar-Rahim, adalah salah satu nama Allah. Rahim (kekerabatan), Allah letakkan di ‘Arsy.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Bagaimana tidak, padahal Rasulullah saw bersabda:
: الله� ق�ط�ع�ه� �ي ق�ط�ع�ن و�م�ن� الله� �ه� و�ص�ل �ي �ن و�ص�ل م�ن� �ق�و�ل� ت �ع�ر�ش� �ال ب �ق�ة5 م�ع�ل ح�م� �لر� ا
"Rahim bergantung di Arys seraya berkata: Barangsiapa yang menyambung hubunganku
niscaya Allah menyambungnya, dan barangsiapa yang memutuskan aku niscaya Allah
memutuskan hubungan dengannya." (Muttafaqun 'alaih, al-Bukhari 10/350 dan Muslim no.
2555.)
Dalam Budaya Sunda, Ar-rahman Ar-rahim selanjutnya disulukeun dalam kalimat:
Silih Asih - Silih Asah - Silih Asuh - Silih Wawangi.
Menjaga Tali Silaturahmi sebagai sebuah Kewajiban
Memperhatikan hal tersebut ternyata dapat kita lihat jalan persatuan sunda hanya bisa
ditempuh melalui pendekatan ikatan dan pertalian nasab dalam keluarga (silsilah), dimana
hal ini juga bisa menjadi model pengembangan organisasi Bamus Sunda di kemudian hari,
ilustrasi model perwakilan berdasarkan ikatan keluarga dan pertalian nasab tersebut (baca:
pewakilan klan) dapat kita lihat seperti pada lampiran di belakang.
Pengertian SilaturahmiDalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007 : 1065) silaturahim atau silaturahmi bermakna tali persahabatan atau persaudaraan. Dalam perspektif bahasa Arab, Ahmad Warson dan Muhammad Fairuz (2007 : 810) mengungkap bahwa silaturahmi itu sebagai terjemahan Indonesia dari bahasa Arab الرحم ,Dilihat dari aspek tarkib . صلةlafadz الرحم صلة merupakan tarkib idhofi, yaitu tarkib (susunan) yang terdiri dari mudhof (صلة) dan mudhof ilaih (الرحم). Untuk memahami makna silaturahmi, maka kami terlebih dahulu akan menjelaskan tentang makna صلة dan الرحم , kemudian makna silaturahmi.
1. Makna Shillah
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
Lafadz صلة merupakan mashdar dari وصل , Ahmad Warson (2002 : 1562-1563) mengartikan bahwa صلة adalah perhubungan, hubungan, pemberian dan karunia.
2. Makna RahimAhmad Warson (2002 : 483) mengartikan, رحم adalah rahim, peranakan dan kerabat. Al-Raghib (2008 : 215 ) mengkaitkan kata rahim dengan rahim al-mar`ah (rahim seorang perempuan) yaitu tempat bayi di perut ibu. Yang bayi itu punya sifat disayangi pada saat dalam perut dan menyayangi orang lain setelah keluar dari perut ibunya. Dan kata rahim diartikan “kerabat” karena kerabat itu keluar dari satu rahim yang sama. Al-Raghib (2008 : 216) juga mengutip sabda Nabi, yang isinya menyebutkan, ketika Allah Swt menciptakan rahim, Ia berfirman, “Aku al-Rahman dan engkau al-Rahim, aku ambil namamu dari namaku, siapa yang menghubungkan padamu Aku menghubungkannya dan siapa yang memutuskan denganmu Aku
memutuskannya”. Ini memberi isyarat bahwa rahmah-rahim mengandung makna Al-Riqqatu (belas-kasihan) dan Al-Ihsân (kedermawanan, kemurahan hati).
3. Makna SilaturahmiBerdasarkan dua pengertian pada dua point di atas, maka makna silaturahmi secara harfiah adalah menyambungkan kasih-sayang atau kekerabatan yang menghendaki kebaikan. Sementara itu Imam As-Shon'ani (1992 : 4 : 295) mendefinisikan bahwa silaturahmi adalah kiasan tentang berbuat baik kepada kerabat yang memiliki hubungan nasab dan kerabat bersikap lembut, menyayangi dan memperhatikan kondisi mereka.
Pembagian SilaturahmiAs-Shon'ani (1992 : 4 : 298) mengutip pendapat Imam Al-Qurthubi yang menjelaskan bahwa silaturahmi yang mesti disambungkan itu terbagi kepada dua bagian, yaitu silaturahmi umum dan silaturahmi khusus. Silaturahmi umum yaitu rahim dalam agama, wajib disambungkan dengan cara
saling menasehati, berlaku adil, menunaikan hak-hak yang wajib dan yang sunnah. Sedangkan sulaturahmi khusus yaitu dengan cara memberi nafakah kepada kerabat.
Dengan demikian Tradisi Pancakaki pada Adat Sunda adalah merupakan sebuah
kebudayaan Sunda dalam menjaga Tali Silaturahim untuk terciptanya keharmonisan
interaksi interpersonal dalam hidup bermasyarakat. Jadi dalam makna kekerabatan yang
berkaitana erat dengan budaya Pancakaki dalam tradisi Sunda, maka menjaga Kabuyutan
adalah berarti menjaga tali silaturahmi dan seperti yang diperintahkan dalam (QS.103:3),
yaitu sebuah perintah untuk tidak bercerai berai, sehingga tidaklah mengherankan apabila
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
terdapat istilah “Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah dari
pada raja putra yang meniggalkan Kabuyutan dan tidak bisa mempertahankan kabuyutan-
nya.” Karena itu juga berarti telah memutus tali silaturahmi, seperti yang disampaikan
Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata, 'Aku mendengar Rasulullah bersabda:
7 ح�م ر� ق�اط�ع� �ه�م� ف�ي 7 ق�و�م ع�ل�ى ح�م�ة� الر� �ز�ل� �ن ت � ال
"Rahmat tidak turun kepada kaum yang pada mereka ada yang memutuskan silaturrahim."
(Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Laits as-Samarqandi no. 158 dan dijelaskan oleh
muhaqqiq bahwa Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini dha'if dalam Dha'if al-
Jami' no 1463. Namun pengarang mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Muslim
dan tidak menjelaskan nomor hadits. Wallahu A'lam. Pent.)
Dan orang yang memutuskan tali silaturrahim terancam tidak bisa masuk surga. Dari Abu
Muhammad Jubair bin Muth'im, dari Nabi Muhammad, beliau bersabda:
ق�اط�ع5 �ة� ن �ج� ال �د�خ�ل� ي � ال
"Tidak bisa masuk surga orang yang memutuskan (silaturrahim)." (Muttafaqun 'alaih, al-
Bukhari 10/347 dan Muslim no. 2556.)
Beberapa Penyebab Terputusnya Tali Silaturahmi:
Rasulullah saw bersabda, "Bacalah firman Allah SWT:
رح�ام�ك�م (� �أ �ق�طBع�وAا و�ت �رض� �ىلأ ف � �فس�د�وا �نت أ �م �يت �و�ل نت � إ �م لع�س�يت مليميمفلررمليميمفلررمليميمفلررمليميمفلررمليميمفلررمليميمفلررمليميمفلررمليميمفلررمليميمفلررمليميمفلررمليميمفلررمليميمفلررمليميمفلررمف�ه� ر لر ف م ي م (٢٢لي
�م� ح�ام�ك ر�� أ �ق�طBع�وا و�ت ر�ض�
� �أل ا ف�ي د�وا �ف�س� ت �ن أ �م� �ت �ي �و�ل ت �ن إ �م� �ت ي ع�س� �ه�م� .ف�ه�ل� �ع�ن ل �ذ�ين� ال �ك� �ئ و�ل� أ
ه�م� �ص�ار� �ب أ �ع�م�ى و�أ ص�م�ه�م�� ف�أ الله�
Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan dimuka
bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan . Mereka itulah orang-orang yang
dila'nati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan
mereka. (QS. Muhammad :22-23)
Perbedaan Aqidah, sebagai contoh kejadian ini pernah dialami Nabi Nuh dengan
puteranya Kan’an, begitupun terjadi antara Rasululah Muhammad S.A.W dengan
pamannya Abu Jahal.
Karena terjadinya kehilangan informasi dan jejak asal-usul kita (pareumeun obor),
jarak dan kesibukan serta rentang waktu yang sudah sedemikian panjang dan
keluarga yang sudah demikian sangat besar membuat kita ini seperti orang lain
antara satu dengan lainnya namun demikian kenyataaan bahwa kita memiliki
hubungan pertalian darah adalah sesuatau keadaan yang tidak dapat kita pungkiri.
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
Buyut sebagai Pewaris tata nilai.
Warisan paling berharga dari orang tua kita adalah berupa nilai-nilai kebaikan, dari Ayah-
Ibu dan Kakek-Nenek, yang mana Kakek-Nenek kita mendapatkannya dari Buyut kita.
Suatu keberuntungan bila kita masih bisa bertemu dengan Buyut kita dan sungguh sangat
jarang dari kita yang bisa kenal sampai ketingkat diatasya, yaitu Bao, dst. Inilah hubungan
maksimal yang bisa kita kenal, baik keatas terlebih saudara menyamping. Tiga keturunan
dari atas dan tiga keturunan kebawah, dari Buyut sampai ke Buyut dan kita berada pada
generasi tengah, yaitu generasi ke-4, inilah hakekat menjaga warisan ‘Tujuh Turunan’,
yaitu menjaga nilai-nilai kebaikan dari ayah-ibu, kakek-nenek dan buyut serta meneruskan
nilai-nilai kebaikan tersebut kepada anak, cucu dan buyut kita.
Sebuah kewajaran bila kita menyayangi anak atau bahkan cucu kita, tapi cukup jarang dari
kita yang cukup sayang kepada Buyut. Kekayaan alam telah kita ambil habis untuk
kepentingan membuat tabungan keuangan dan demi kepentingan warisan kepada anak atau
cucu kita, namun kita telah lupa untuk mewariskan kekayaan alam kita kepada buyut kita.
Pada kenyataanya warisan berbentuk materi lebih memberikan kontribusi dalam bentuk
perselisihan dalam lingkungan keluarga kita
Salah satu dimensi paling penting lain dalam nilai-nilai universal kebudayaan Tatar Sunda
adalah apa yang terangkum dalam istilah kabuyutan. Leluhur-leluhur Sunda sangat
mewanti-wantikan anak keturunan dan masyarakatnya agar mereka benar-benar menjaga
dan memelihara kabuyutan. Dalam salah satu naskah kuno Sunda dikatakan bahwa anak
bangsa yang tidak mampu mempertahankan kabuyutan-nya jauh lebih hina dibanding kulit
musang yang tercampak di tempat sampah. Untuk identifikasi kandungan nilai-nilai dalam
nilai pokok kabuyutan ini penting kiranya untuk mengenal penggunaan istilah kabuyutan
dalam sejarah.
Kabuyutan dalam makna lingkungan sosial budaya. Dalam kaitan ini, sebagaimana catatan
sejarah juga mengindikasikannya, kabuyutan berati segenap kandungan nilai-nilai, ilmu
pengetahuan dan teknologi, aspek sosial dan budaya yang telah dan mungkin dapat
dikembangkan dari kandungan kabuyutan secara fisik. Pengertian ini meliputi unsur:
pendidikan dan pembelajaran, kandungan bahan pengembangan sain dan teknologi, bahasa
dan sastera, kesenian; dan kandungan sejarah, filologi dan arkeologi. Pada gilirannya,
kabuyutan akan terkait erat dengan unsur ekonomi, sosial dan politik.
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
Prinsip pembangunan kebudayaan yang mesti dilibatkan tiada lain adalah: prinsip
penguatan dan pemberdayaan nilai-nilai dari PBB, prinsip keterlibatan (partisipasi)
masyarakat dari PBM, dan ketiga langkah RK (pemahaman yang mendalam sehingga
menimbulkan kesadaran, perencanaan sosial, dan kreativitas budaya). Ketiga prinsip
tersebut akan lebih memberikan rumusan yang kongkret mengenai indikator pencapaian
sasaran stratejik (outcome), kebijakan yang diperlukan, dan siapa berbuat apa (baik dinas,
badan, dan lembaga Pemerintah; swasta, lembaga masyarakat, maupun masyarakat luas).
Dimensi kabuyutan sangat memenuhi kriteria untuk dituangkan ke dalam perencanaan
tujuan stratejik, sasaran stratejik, hingga program dan kegiatan guna pencapan misi Bamus
Sunda.
Nilai pokok kabuyutan yang terdapat dalam konvensi regional maupun internasional telah
menunjukkan bahwa semangat kabuyutan merupakan sesuatu yang universal. Dalam hal
ini, program semacam Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional Pembangunan
Berkelanjutan – yang merupakan tindak lanjut konvensi dunia tentang lingkungan (KTT
Bumi 2002) – merupakan salah satu conto acuan program dimaksud.
Salah satu keuntungan dari strategi mengkaitkan program dan kegiatan kabuyutan kepada
program-program yang bersifat internasional semacam Agenda 21 adalah peluang untuk
mendapat sumber alternatif pembiayaan. Informasi berbagai alternatif pendanaan dari luar
Pemerintah, sepanjang tidak bertentangan dengan kebijakan yang telah digariskan.
Sejarah Penggunaan Istilah “Kabuyutan”
Catatan atau peninggalan sejarah Sunda tertua yang memuat istilah kabuyutan sejauh ini
adalah sebuah prasasti yang dikenal dengan prasasti Cibadak. Prasasti ini merupakan
peninggalan Sri Jaya Bupati, seorang raja Sunda, yang dibuat antara 1006-1016 M, Prabu
Sri Jaya Bhupati memerintah bersamaan saat di Kediri, Jawa Timur, memerintah Raja
Airlangga. Dalam prasasti tersebut, Sri Jaya Bhupati telah menetapkan sebagian dari
Sungai Sanghyang Tapak, sebagai kabuyutan, yaitu tempat yang memiliki pantangan
(larangan) untuk ditaati oleh segenap rakyatnya. Lebih jelasnya, di bawah ini dikutipkan
kabuyutan dari Raja Sri Jaya Bhupati dalam prasasti tersebut1:
"Selamat, dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang hari Hariyang-
Kliwon-Ahad wuku Tambir. Inilah saat raja Sunda Maharaja Sri Jaya Bhupati
Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakala buana-mandal eswara nindita Harogo
1Tulisan tentang Kabuyutan oleh Manar, alias Oman Abdurahman, peneliti pada Bujangga Manik Research Center (BMRC), Ketua Lembaga Jajar Paku Desa (LJPD) untuk Kemitraan dan Penguatan Masyarakat Pedesaan, narasumber/moderator website/ milist http://www.sundanet.com, [email protected] , [email protected], domisili di Bandung, e-mail address: [email protected] , [email protected]
? Saleh Danasasmita dkk, 1984, Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid ke-3, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat, pemerintah Propinsi Daerah Tk. I Jawa Barat, Bandung
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
wardana Wikramotunggadewa membuat tanda di sebelah Timur Sanghyang Tapak, dibuat
oleh Sri Jaya Bhupati Raja Sunda dan jangan ada yang melanggar ketentuan di sungai ini.
Jangan ada yang menangkap ikan di bagian sungai ini mulai dari batas daerah Kabuyutan
Sanghyang Tapak dibagian hulu..."
Istilah kabuyutan juga terdapat dalam Prasasti Kebantenan (PKb) V, yaitu prasasti nomer 5
peninggalan Sribaduga (Prabu Siliwangi), Raja Pajajaran yang pertama dan termashur pada
sekitar abad 14 M. Penggunaan istilah kabuyutan dapat ditelusuri lebih lanjut dalam
sejarah, tidak saja di kalangan masyarakat Sunda, namun ternyata dijumpai pula dalam
sejarah peradaban suku bangsa selain Sunda.
Istilah kabuyutan selanjutnya terdapat dalam naskah kuna Sunda peninggalan abad ke-13,
yaitu Naskah Ciburuy atau Naskah Galunggung yang terkenal sebagai “Amanat
Galunggung” atau “Amanat Prabuguru Darmasiksa”. Naskah Ciburuy ditemukan di daerah
Ciburuy, Garut Selatan, dan disebut pula sebagai Kropak No. 632 dalam arsip Museum
Nasional. Naskah ini ditulis pada daun nipah sebanyak 6 (enam) lembar yang terdiri atas
12 (dua belas) halaman; mengunakan aksara Sunda Kuno (H.R. Hidayat Suryalaga, 2002)2.
“Amanat Galunggung” adalah peninggalan raja Sunda Prabuguru Darmasiksa (1175 - 1297
M), yaitu nasehat-nasehat beliau kepada anak keturunannya dan semua rakyatnya. Amanat
ini berupa cecekelan hirup (pegangan hidup), ulah (larangan), dan kudu (keharusan) yang
harus dipegang teguh oleh semua urang Sunda agar jaya sebagai bangsa. Isi naskah kuno
ini menunjukkan bahwa dalam budaya Sunda telah terdapat pandangan hidup atau visi
ajaran hidup sejak abad 13 – 15 M, diantaranya yang memuat istilah kabuyutan, adalah:
Harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut kabuyutan (tanah yang
disakralkan).
Siapa saja yang dapat menduduki kabuyutan (tanah yang disakralkan) Galunggung,
akan beroleh kesaktian, unggul perang, berjaya, bisa mewariskan kekayaan sampai
turun temurun.
Bila terjadi perang, pertahankanlah kabuyutan yang disucikan itu.
Cegahlah kabuyutan jangan sampai dikuasai orang asing.
Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah dari pada raja
putra yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan-nya.
Jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu mempertahankan tanahnya
(kabuyutan-nya) pada jamannya.
2 Drs. H.R. Hidayat Suryalaga, Amanat Galunggung Prabuguru Darmasiksa, http://www.sundanet.com/artikel.php?id=117
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
Makna Kabuyutan
Pemahaman yang mendalam terhadap sejarah penggunaan istilah kabuyutan akan
melahirkan beberapa tingkatan makna kabuyutan, meliputi makna aslinya maupun
pengembangan pemaknaan dalam rangka revitalisasi (nilai-nilai) kebudayaan. Dalam
kaitan konteks demikian, maka terdapat tingkatan-tingkatan makna kabuyutan sebagai
berikut:
1. kabuyutan sebagai tempat yang suci atau tempat yang disakralkan beserta segala
kandungan isinya, baik yang tampak (tangible) maupun tak tampak (inatngible):
Umumnya dikaitkan dengan makna utamanya sebagai tempat suci, tempat yang disucikan
atau disakralkan, situs atau tempat keramat, situs atau prasasti, di (menurut) masyarakat
Tatar Sunda3, 4, 5
Nama tempat suci di kawasan luar Tatar Sunda, namun orang yang menggunakannya
adalah orang Sunda (lihat misalnya: penggunaan istilah “kabuyutan Majapahit” oleh
Bujangga Manik, seorang sejarawan Sunda yang hidup kl. Pada abad 15-16 M6);
Tempat-tempat suci yang dinamakan kabuyutan tersebut dapat berupa pertapaan7, gunung8,
sungai9, atau kawasan kerajaan10 yang secara geografis dapat dijumpai sampai di luar
wilayah Jawa Barat sekalipun11.
2. Kabuyutan dalam arti tempat tinggal (atau kampung halaman atau tanah air dalam arti
sempit); dan tanah air (regional maupun nasional) beserta segenap kekayaan alam dan
sosial budayanya dan makna lainnya yang merupakan makna revitalisasi.
Nama desa-desa di Jawa di masa lalu dan “Buyut” atau “Dhari” adalah nama pemimpin
desa (kabuyutan) tersebut 12
3. Kabuyutan Sebagai Garis Kekerabatan:
Berarti leluhur atau karuhun atau nenek moyang13
3 “Kabuyutan" di Gunung Gede dan Gunung Pangrango, Ayatrohaedi, harian “Kompas”, Selasa, 13 Agustus 2002, http://www.langsing.net/gunung/artikel/kabuyutan.html
4 Prasasti Astana Gede Kawali, http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Astana_Gede
5 “Situs dan Benda Cagar Budaya Menurut Masyarakat Sunda”, Prof. Dr. Ayatrohaedi, Harian Pikiran Rakyat : http://arkeologi.net/index1.php?id=view_news&ct_news=148
6 Dr. Agus Aris Munandar, 2005, Peran Penting data dari Karya Sastra Jawa Kuna dalam Kajian Arkeologi Hindu-Buddha: Candi Pendharmaan (13-15M), http://www.fib.ui.ac.id/
7 (lihat rujukan nomor 12)
8 Nama salah satu gunung di komp. G. Guntur, http://www.vsi.esdm.go.id/gunungapiIndonesia/guntur/
9 (lihat rujukan nomor 10)
10 Kabuyutan Pajajaran, http://pasundan.homestead.com/files/Sejarah/b34.htm
11 Sungai Kabuyutan, Brebes, http://www.pu.go.id/infopeta/CONTENT/pangan/33pangan.htm
12 Harian Kedaulatan Rakyat, Minggu, 10-7-2005 http://www.kedaulatan-rakyat.com/article.php?sid=20612
13 Lontar Usada Tiwang: http://www.ringingrocks.org/www/lontar_vol2/usada%20ila/pages/page12.htm
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
Dalam kepercayaan masyarakat Bali, bermakna leluhur yang berdiam di Kahiyangan14;
atau nama suatu jenis penyakit15
4. Kabuyutan dalam makna lingkungan sosial budaya dan Mengandung arti Sebagai Aturan.
Dalam kaitan ini, sebagaimana catatan sejarah juga mengindikasikannya, kabuyutan
berati segenap kandungan nilai-nilai, ilmu pengetahuan dan teknologi, aspek sosial dan
budaya yang telah dan mungkin dapat dikembangkan dari kandungan kabuyutan secara
fisik. Pengertian ini meliputi unsur: pendidikan dan pembelajaran, kandungan bahan
pengembangan sain dan teknologi, bahasa dan sastera, kesenian; dan kandungan sejarah,
filologi dan arkeologi.
Berasal dari kata “buyut”, digunakan untuk menyebut larangan yang ditetapkan oleh
leluhur, tabu, atau pantangan dari leluhur sebagaimana dalam adat masyarakat Baduy16;
Kabuyutan sebagai Nilai Pokok Kebudayaan Tatar Sunda
Nilai-nilai pokok atau dimensi paling penting dari suatu kebudayaan adalah nilai-nilai yang
universal yang akan diterima oleh bangsa apa pun di dunia ini; atau nilai-nilai yang
kebenarannya tidak perlu diperdebatkan lagi dan yang diperlukan hanyalah aplikasi atau
pengamalannya. Nilai-nilai pokok adalah landasan, sumber, dan muara dimensi-dimensi
atau nilai-nilai penting lainnya dari suatu kebudayaan. Apabila suatu bangsa berhasil
merevitalisasi nilai-nilai pokok budayanya, maka bangsa tersebut berpeluang untuk meraih
kembali kejayaannya. Arti atau makna Kabuyutan sebagai sebuah tempat adalah
merupakan sebuah konsekuensi logis, karena setiap kegiatan uamt manusia sudah barang
tentu harus terangkum dalam ruang dan waktu. Terdapat dua hal penting dan lebih utama
yang berkaitan dengan Kabuyutan, yaitu:
1. Kabuyutan dalam makna kekerabatan.
2. Kabuyutan sebagai sebuah tata nilai, aturan atau berkaitan dengan larangan-larangan
seperti yang terdapat pada suku Baduy.
Kabuyutan Dalam Makna Tata Nilai, Aturan dan Larangan.
Dalam pemaknaan Kabuyutan yang berkaitan dengan tata nilai atau aturan
bermasyarakat, dalam masyarakat sunda dikenal istilah menjaga keturunan hingga tujuh
turunan. Dalam kenyataannya, ternyata sangatlah tidak mudah untuk menjaga nilai,
norma dan kesejahteraan keluarga sepanjang tujuh generasi secara langsung, namun
demikian hal tersebut sebetulnya sangat mungkin dilakukan apabila berkaitan dengan
14 (lihat rujukan nomor 22)
15 Lontar Usada Tiwang http://www.babadbali.com/pustaka/usadatiwang.htm#top
16 Arca Domas Baduy: http://www.arkeologi.net/index1.php?id=view_news&ct_news=238
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
istilah Kabuyutan, dimana dalam makna ini penjagaan sebetulnya dilakukan tiga
generasi ke atas yaitu kepada Kakek hingga Buyut dan tiga generasi ke bawah yaitu ke
Cucu dan Buyut dan kita yang berada pada generasi diantara keduanya (generasi ke-4).
Sehingga penjagaan sebanyak 7 generasi sangat mudah dan masuk akal untuk
dilakukan, yaitu menjaga Tata Nilai yang diwariskan oleh tiga generasi diatas kita
(Orang Tua, Kakek/ Nenek sampai Buyut) dan meneruskan tradisi, ajaran dan tata nilai
keluarga kepada 3 generasi dibawah kita, yaitu Anak, Incu sampai kepada Buyut.
Kabuyutan dalam Pembangunan Kebudayaan
Dalam konteks Kemasyarkatan, akhir-akhir ini berkembang beberapa model atau
konsep pembangunan yang saling terkait dan hampir sama maksudnya. Tiga diantaranya
adalah: “pembangunan berbasis masyarakat (PBM)”, “pembangunan berbasi budaya
(PBB)”, dan “revitalisasi kebudayaan”. Pada dasarnya ketiga konsep tersebut fokus
kepada hal yang sama, yaitu: peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
Sebagai respon terhadap krisis kebudayaan, dewasa ini mulai diwacanakan juga
“pembangunan berbasis budaya” (PBB). “Berbasis Budaya” dalam PBB menekankan
pentingnya budaya sebagai poros pembangunan. Dengan kata lain, PBB tidak semata-
mata mengejar kemajuan ekonomi (“pertumbuhan” atau growth), melainkan lebih
mengutamakan nilai-nilai yang mendasari sekaligus menjadi inti kekuatan kehidupan
masyarakat. PBB bertujuan untuk membangun ketangguhan budaya bangsa agar bangsa
tersebut terhindar dari krisis kebudayaan yang merupakan sumber dari berbagai krisis,
termasuk krisis ekonomi. Jika PBM lebih menekankan pada proses keterlibatan
masyarakat dalam pembangunan, maka PBB lebih fokus pada kekuatan dan penguatan
nilai-nilai budaya sebagai poros seluruh aktivitas pembangunan, mulai dari tingkat
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan (monitoring) dan evaluasi.
Kabuyutan Tjipageran
Melalui Kabuyutan Tjipageran marilah kita merekatkan kembali tali silaturahmi dan mulai
mengingat-ngingat kembali bahwa sebenarnya kita semua adalah saudara yang sudah
kehilangan tali persaudaraan dan Pareumeun Obor. Bagaimana pula kita bisa melangkah
dalam kegelapan dan tanpa cahaya penerang?
Kabuyutan Tjipageran bukan sebuah organisasi karena silaturahmi dan meyambung tali
persaudaraan tidak pernah memerlukan sebuah organisasi, semua adalah saudara
sakokocoran, seuweu siwi dan sekeseler sarundayan.
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
Mari kita sama-sama mengembalikan adab sunda pada seluruh tatanan masyarakat
utamanya pada diri urang sunda sendiri, diharapkan akan membuat pada tegaknya kembali
pranata sosial masyarakat sunda sehingga bisa membawa dampak positif pada tatanan
hukum bermasyarakat dan bernegara di republik Indonesia. Sangat jauh dari niat
menggurui, mari kita sama-sama mengingat dalil yang sangat sesuai dengan ajaran Ki
Sunda:
MAN AROFA NAFSAHU-FAQOD AROFA ROBBAHU
Siapa yang mengenal akan Dirinya … tentu dia akan Mengenal Tuhannya....
(Saha nu wawuh kana Ingsun/diri-na pasti wawuh ka Gustina.)
(Sudah barang tentu orang yang mengenal Tuhannya tidak akan menjadi orang yang
takabur, asa aing uyah kidul jeung komo jadi jelema nu agul ku payung butut yang
sombong, hanya bersandar pada nostalgia, mengingat-ingat masa lalu tanpa mulai
berbuat nyata bagi kejayaan dan kemaslahatan umat manusia kedepan)
1. LANDASAN FILOSOFI
Benahan Batur sa-Kujur (diri kita), Geura benahan batur Sa-KASUR, Tuluy benahan batur
Sa-DAPUR, geus kitu beresan batur Sa-SUMUR, Beres Sa Sumur karek Sa-LEMBUR,
Mun geus bisa meresan batur Sa-Kasur jeung Sa-Lembur, karek meresan batur Sa-
Gupernur, Geus kitu karek mikiran Sa-NAGARA.
2. MISI
Keragaman pendapat dan bahkan pertentangan pendapat adalah khasanah dan kekayaan
masyarakat. Melalui Kabuyutan Tjipageran mari kita menyusun perbedaan dan keragaman
untuk kita cari penyelarasannya hanya bagi kepentingan perencanaan serta pembangunan
seluruh struktur dan infrastruktur baik dalam bentuk fisik dan non fisik yang matang yang
merepresentasikan keinginan seluruh stake holder masyarakat sunda.
Mendorong usaha-usaha serta meng-encourage masyarakat sunda untuk mengeluarkan
pendapat, harapan, keinginan dan pilihan masa depan masyarakat sunda kedepan.
Kabuyutan Tjipageran diharapkan menjadi wadah aspirasi seluruh masyarakat sunda
khususnya dan misi kemanusiaan pada umumnya.
Kabuyutan Tjipageran menjadi peletak dan pondasi serta wadah pemersatu aspirasi seluruh
komponen masyarakat sunda yang tinggal di bumi Para-Hyang.
Melalui Kabuyutan Tjipageran mimpi-mimpi dan harapan masyarakat urang sunda,
diletakan dan digantungkan sehingga posisi dan peran serta urang sunda menjadi jelas pada
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
tatanan masyarakat Indonesia serta Kemanusiaan pada umumnya, baik untuk jangka
pendek, menengah maupun jangka panjang.
Semoga masyarakat Sunda kelak bisa menjadi agen penggerak dan roda pendorong
pembangunan yang bersumber pada kearifan local suku sunda pada khususnya dan adat
istiadat suku-suku nusantara umumnya. Menjadi pelopor dan pendorong bagi suku-suku
lain di bumi pertiwi dalam penggalian kembali serta penerapan adat istiadat, budaya dan
kemajuan seluruh budaya di nusantara sebagai bentuk ke-BHINEKA TUNGGAL IKA-an
Indonesia.
3. VISI
Mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan yang selaras dan serasi dengan lingkungan
hidup dan daya dukung alam, sehingga memberikan kenyaman bagi urang sunda pada
khususnya yang hidup di bumi Para-Hyang dan masyarakat Indonesia serta manusia pada
umumnya dengan bersumber pada kearifan lokal (masyarakat sunda)
Wa alaikum Salam, Wr. Wb.
Kabuyutan Cipageran
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
PAPATAH KOLOT URANG KANGGO PANGEMUT PIKEUN URANG SADAYA, DINA RARAGAD
NYALUYUKEUN TEKAD – UCAP - LAMPAH
Kalayan hapunten bilih kirang tata kirang titi duduga peryoga cologog sareng sajabina. Maklum ciri sabumi cara sadesa, bilih aya cara nukacandak ti desa nu kabantun ti kampung nukajingjing ti patepitan, bilih teu sapuk sareng mamanahan. Punten nu kasuhun. Jeng dulur mah tong nepikeun tileletik silih ala pati, tilelemet getreng, tilelembut silih ala umur, tibubudak silih ala nyawa.
1. Kalayan hapunten bilih kirang tata kirang titi duduga peryoga cologog sareng sajabina. Maklum ciri sabumi cara sadesa, bilih aya cara nukacandak ti desa nu kabantun ti kampung nukajingjing ti patepitan, bilih teu sapuk sareng mamanahan. Punten nu kasuhun.
2. Jeng dulur mah tong nepikeun tileletik silih ala pati, tilelemet getreng, tilelembut silih ala umur, tibubudak silih ala nyawa.
3. Ulah nuduh kanu jauh, ulah nyawang kanu anggang, nu caket geura raketan nu dekeut geura deueusan. Moal jauh tina wujud moal anggang tina awak, aya naon jeung aya saha? Tina diri sorangan, cirina satangtung diri. Pek geura panggihan silaturahmi teh jeung diri sorangan, ulah waka nyaksian batur, saksian heula diri sorangan kusorangan weh.
4. Sing diajar nulung kanu butuh, nalang kanu susah, ngahudangkeun kanu sare, ngajait kanu titeuleum, nyaangan kanu poekeun., mere kanu daek, nganteurkeu kanu sieun
5. Saban-saban robah mangsa ganti wanci ilang bulan kurunyung taun, sok mineng kabandungan manusa sanajan ngalamun salaput umur kahayang patema-tema kareup hanteu reureuh-reureuh, dageuning anu bakal karasamah anging kadar ti pangeran, manusa kadar rencana, Kabul aya tinu maha agung, laksana aya tinu maha kawasa.
6. Beurat nyuhun beurat nanggung beurat narimakeunnana. (Kecap nuhun)7. Nyumput buni tinu caang, negrak bari teu katembong. (Tawadhu)8. Tong Kabobodo tenjo, kasemaran tingali.9. Najan Buuk hideung jadi bodas, dada antel kana bumi, buluan belut, jangjangan oray.
moal waka wangsul saacan kenging ridho Gusti.10. Indung anu ngandung bapa nu ngayuga, indung ngandung salapan bulan melendung, tapi
indung henteu pundung sabab taqdir tinu maha Agung.
Urang kabeh teh Reket dengdeng, papak sarua. (Sarua) Teu ngakal moal ngakeul, teu ngarah moal ngarih, teu ngoprek moal nyapek. Eta dina hate maneh leungitkeun sifat sirik, pidik, jail,
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
kaniaya, iren, pangasten, dudupak, rurumpat, ngumpat, simuat, ujub, takabur, nyaci, maki, jeung pedit
1. Urang kabeh teh Reket dengdeng, papak sarua. (Sarua)2. Teu ngakal moal ngakeul, teu ngarah moal ngarih, teu ngoprek moal nyapek.3. Eta dina hate maneh leungitkeun sifat sirik, pidik, jail, kaniaya, iren, pangasten, dudupak,
rurumpat, ngumpat, simuat, ujub, takabur, nyaci, maki, jeung pedit4. Pangarti nu jadi ciri, kagagahan anu rongkah, kapangkatan nu dipiwegah, geuning
percuma tanpa dibarengan ku kaimanan jeung kataqwaan kanu kawasa.5. Kade loba jalma nu jadi Bibit rurujit. Indung rurusuh. (provokator)6. Bakal bagja dimana hiji nagara geus Sepi paling, towong rampog, nudigawe simpe hate,
kaum buruh teu ripuh, karyawan sarenang, para tani sugih mukti, nu dagang ge sugema.Rakyatna dititah gotong royong teu popolotot, dititah bebersih teu cecerengir, dititah nyumbang teu nararantang.
7. Bru dijuru, bro dipanto, ngalayah di tengah imah, buncir leuit, loba duit, ngenah nyandang, ngenah nyanding, ngenah nyandung.
8. Para ratu mikayunyun, para menak mikaserab, kolot ngeso, budak era, deungeun-deungeun mikadeudeuh.
9. Tong Kumeok memeh dipacok, biyuni hayam kabiri, bodas ceuli. (mundur sebelum berperang)
10. Indit kudu bari cicing, lumampah ulah ngalengkah.A. Hubungan Dengan Sesama Manusia
1. Kudu silih asih, silih asah jeung silih asuh (harus saling mencintai, memberi nasihat dan mengayomi).
2. Lain palid ku cikiih lain datang ku cileuncang (Vision, Mission, Goal, Directions, dlsb… kudu ada tujuan yg jelas sebelum melangkah).
3. Ka cai jadi saleuwi kadarat jadi salogak (Kompak/ team work).4. Ngeduk cikur kedah mihatur nyokel jahe kedah micarek (Trust – ngak boleh korupsi,
maling, nilep, dlsb… kalo mo ngambil sesuatu harus seijin yg punya). 5. Sacangreud pageuh sagolek pangkek (Commitment, menepati janji & consitent).6. Ulah lunca linci luncat mulang udar tina tali gadang, omat ulah lali tina purwadaksina
(integrity harus mengikuti etika yang ada)7. Nyaur kudu diukur nyabda kudu di unggang (communication skill, berbicara harus tepat,
jelas, bermakna.. tidak asbun).8. Kudu hade gogog hade tagog (Appearance harus dijaga agar punya performance yg okeh
dan harus consitent dengan perilakunya –> John Robert Power melakukan training ini mereka punya Personality Training, dlsb).
9. Pondok jodo panjang baraya (siapapun walopun jodo kita tetap persaudaraan harus tetap dijaga)
10. Tong Nyaliarakeun taleus ateul (jangan menyebarkan isu hoax, memfitnah, dlsb).11. Bengkung ngariung bongkok ngaronyok (team works & solidarity dalam hal menghadapi
kesulitan/ problems/ masalah harus di solve bersama).12. Bobot pangayun timbang taraju (Logic, semua yang dilakukan harus penuh pertimbangan
fairness, logic, common sense, dlsb)13. Kudu nepi memeh indit (Planning & Simulation… harus tiba sebelum berangkat, make sure
semuanya di prepare dulu).14. Taraje nangeuh dulang pinande (setiap tugas harus dilaksanakan dengan baik dan benar).
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
15. Ulah pagiri- giri calik, pagirang- girang tampian (jangan berebut kekuasaan).16. Ulah ngukur baju sasereg awak (Objektivitas, jangan melihat dari hanya kaca mata
sendiri).17. Ulah nyaliksik ku buuk leutik (jangan memperalat yang lemah/ rakyat jelata)18. Ulah kumeok memeh dipacok (Ksatria, jangan mundur sebelum berupaya keras).19. Kudu bisa kabula kabale (Gawul, kemana aja bisa menyesuaikan diri).20. Mun teu ngoprek moal nyapek, mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal
ngarih (Research & Development, Ngulik, Ngoprek, segalanya harus pakai akal dan harus terus di ulik, di teliti, kalo sudah diteliti dan dijadikan sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan).
21. Cai karacak ninggang batu laun laun jadi dekok (Persistent, keukeuh, semangat pantang mundur).
22. Neangan luang tipapada urang (Belajar mencari pengetahuan dari pengalaman orang lain).
23. Nu lain kudu dilainkeun nu enya kudu dienyakeun (speak the truth nothing but the truth).24. Kudu paheuyeuk- heuyeuk leungeun paantay-antay tangan (saling bekerjasama
membangun kemitraan yang kuat).25. Ulah taluk pedah jauh tong hoream pedah anggang jauh kudu dijugjug anggang kudu
diteang (maju terus pantang mundur).
B. Hubungan Dengan Tuhan (Yang Maha Kuasa)
1. Mulih kajati mulang kaasal (semuanya berasal dari Yang Maha Kuasa yang maha murbeng alam, semua orang akan kembali keasalnya).
2. Dihin pinasti anyar pinanggih (semua kejadian telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa yang selalu menjaga hukum-hukumnya).
3. Melak cabe jadi cabe melak bonteng jadi bonteng, melak hade jadi hade melak goreng jadi goreng (Hukum Yang Maha Kuasa adalah selalu menjaga hukum-2nya, apa yang ditanam itulah yang dituai, kalau kita menanam kebaikan walaupun sekecil elektron tetep akan dibalas kebaikan pula, kalau kita menanam keburukan maka keburukan pula yg didapat…. kira-2 apa yang sudah kita tanam selama ini sampai-2 Indonesia nyungseb seeeeeb )? )
4. Manuk hiber ku jangjangna jalma hirup ku akalna (Gunakan akal dalam melangkah, buat apa Yang Maha Kuasa menciptakan akal kalau tidak digunakan sebagai mestinya).
5. Nimu luang tina burang (semua kejadian pasti ada hikmah/ manfaatnya apabila kita bisa menyikapinya dengan cara yang positive).
6. Omat urang kudu bisa ngaji diri (kita harus bisa mengkaji diri sendiri jangan suka menyalahkan orang lain)
7. Urang kudu jadi ajug ulah jadi lilin (Jangan sampai kita terbakar oleh ucapan kita, misalnya kita memberikan nasihat yagn baik kepada orang lain tapi dalam kenyataan sehari- hari kita terbakar oleh nasihat-2 yang kita berikan kepada yang lain tsb, seperti layaknya lilin yang memberikan penerangan tapi ikut terbakar abis bersama api yang dihasilkan).
C. Hubungan Dengan Alam
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.
1. Gunung teu meunang di lebur, sagara teu meunang di ruksak, buyut teu meunang di rempak (Sustainable Development ~ Gunung tidak boleh dihancurkan, laut tidak boleh dirusak dan sejarah tidak boleh dilupakan… harus serasi dengan alam.).
2. Tatangkalan dileuweung teh kudu di pupusti (Pepohonan di hutan ituh harus di hormati, harus dibedakan istilah dipupusti (dihormati) dengan dipigusti (di Tuhankan) banyak yang salah arti disini).
3. Leuweung ruksak, cai beak, manusa balangsak (hutan harus dijaga, sumber air harus dimaintain kalo tidak maka manusia akan sengsara).
Daftar Pustaka
Tulisan tentang Kabuyutan oleh Manar, alias Oman Abdurahman, peneliti pada Bujangga Manik Research Center (BMRC), Ketua Lembaga Jajar Paku Desa (LJPD) untuk Kemitraan dan Penguatan Masyarakat Pedesaan, narasumber/moderator website/ milist http://www.sundanet.com, [email protected] , [email protected], domisili di Bandung, e-mail address: [email protected] , [email protected]
Saleh Danasasmita dkk, 1984, Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid ke-3, Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat, pemerintah Propinsi Daerah Tk. I Jawa Barat, Bandung
Drs. H.R. Hidayat Suryalaga, Amanat Galunggung Prabuguru Darmasiksa, http://www.sundanet.com/artikel.php?id=117
“Kabuyutan" di Gunung Gede dan Gunung Pangrango, Ayatrohaedi, harian “Kompas”, Selasa, 13 Agustus 2002, http://www.langsing.net/gunung/artikel/kabuyutan.html
Prasasti Astana Gede Kawali, http://id.wikipedia.org/wiki/Prasasti_Astana_Gede “Situs dan Benda Cagar Budaya Menurut Masyarakat Sunda”, Prof. Dr. Ayatrohaedi, Harian Pikiran
Rakyat : http://arkeologi.net/index1.php?id=view_news&ct_news=148 Dr. Agus Aris Munandar, 2005, Peran Penting data dari Karya Sastra Jawa Kuna dalam Kajian Arkeologi
Hindu-Buddha: Candi Pendharmaan (13-15M), http://www.fib.ui.ac.id/ (lihat rujukan nomor 12) Nama salah satu gunung di komp. G. Guntur, http://www.vsi.esdm.go.id/gunungapiIndonesia/guntur/ (lihat rujukan nomor 10) Kabuyutan Pajajaran, http://pasundan.homestead.com/files/Sejarah/b34.htm Sungai Kabuyutan, Brebes, http://www.pu.go.id/infopeta/CONTENT/pangan/33pangan.htm Harian Kedaulatan Rakyat, Minggu, 10-7-2005 http://www.kedaulatan-rakyat.com/article.php?sid=20612 Lontar Usada Tiwang: http://www.ringingrocks.org/www/lontar_vol2/usada%20ila/pages/page12.htm (lihat rujukan nomor 22) Lontar Usada Tiwang http://www.babadbali.com/pustaka/usadatiwang.htm#top Arca Domas Baduy: http://www.arkeologi.net/index1.php?id=view_news&ct_news=238
http://sindangsosonoan.blogspot.com/2012/04/papatah-kolot-baheula-part-ii.html
Nu Jauh Urang deukeutkeun, Geus Deuket urang Raketkeun, Geus Raket Teras Layeutkeun,
Geus Layeut Geuwat Paheutkeun, Geus Paheut ‘IKET’ ku Kalimah Tauhid.