Kabinet Gelora Pembebasandemajusticia.org/.../2019/09/RUU-KPK-Pelemahan-Penegakkan-Korupsi-1.pdf ·...

13

Transcript of Kabinet Gelora Pembebasandemajusticia.org/.../2019/09/RUU-KPK-Pelemahan-Penegakkan-Korupsi-1.pdf ·...

Page 1: Kabinet Gelora Pembebasandemajusticia.org/.../2019/09/RUU-KPK-Pelemahan-Penegakkan-Korupsi-1.pdf · d. Penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; atau
Page 2: Kabinet Gelora Pembebasandemajusticia.org/.../2019/09/RUU-KPK-Pelemahan-Penegakkan-Korupsi-1.pdf · d. Penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; atau

Kabinet Gelora Pembebasan

RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?

RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengusulkan Rancangan Undang-Undang

tentang Perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi (RUU KPK) di dalam rapat paripurna pada hari Kamis, 5 September 2019.

Setelah mayoritas anggota fraksi yang hadir dalam rapat menyetujui usulan tersebut, Wakil

Ketua DPR, Utut Adianto selaku pemimpin rapat kemudian menyudahi rapat yang

berlangsung selama 20 menit tersebut1. Salah satu anggota DPR Fraksi PDI-P, Hendrawan

Supratikno menyampaikan bahwa para pengusul RUU KPKadalah Masinton Pasaribu dan

Risa Mariska dari Fraksi PDI-P, Saiful Bahri Ruray dari Fraksi Partai Golkar, Ibnu Multazam

dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Achmad Baidowi dari Fraksi PPP, dan Taufiqulhadi

dari Fraksi Partai Nasdem2.

Legalitas dan Permasalahan dalam RUU KPK

Permasalahan pertama yang dapat kita temui dalam RUU KPK ada dalam Pasal 1

angka (3) RUU KPK. Dalam pasa tersebut disebutkan,

“Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi

Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Pemerintah Pusat yang melaksanakan tugas

pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-

Undang ini.”

Pasal tersebut keabsahannya dapat diperdebatkan secara hukum. Hal ini disebabkan karena

rumusan ketentuan tersebut mengartikan bahwa KPK merupakan lembaga eksekutif. Status

ini merupakan salah satu hal yang kontroversial beberapa tahun yang lalu. Tetapi secara

hukum kontruksi pasal tersebut dapat dilihat dari Putusan MK. Putusan MK Nomor 36/PUU-

XV/2017. pada halaman 110 menyebutkan,

1 Bayu Septianto, Sidang 20 Menit, DPR Sah Usulkan Revisi UU KPK, https://amp.tirto.id/sidang-20-menit-dpr-sah-

usulkan-revisi-uu-kpk-ehyQ?__twitter_impression=true, diakses tanggal 9 September 2019.

2 Kurnia Yunita Rahayu dan Agnes Theodora, Ini Nama Sejumlah Anggota DPR Pengusul Revisi UU KPK,

https://bebas.kompas.id/baca/utama/2019/09/06/ini-nama-sejumlah-anggota-dpr-pengusul-revisi-uu-kpk/, diakses

tanggal 9 September 2019.

Page 3: Kabinet Gelora Pembebasandemajusticia.org/.../2019/09/RUU-KPK-Pelemahan-Penegakkan-Korupsi-1.pdf · d. Penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; atau

Kabinet Gelora Pembebasan

RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?

“Meskipun KPK merupakan komisi yang bersifat independen sebagaimana yang diatur

dalam UU KPK, namun telah jelas bahwa dalam menjalankan tugas dan

kewenangannya sebagaimana institusi kepolisian dan kejaksaan melaksanakan tugas

dan kewenangan pemerintahan yang masuk dalam ranah eksekutif.”

Sehingga tidak menimbulkan permasalahan secara hukum jika KPK disebut sebagai

Lembaga Pemerintah Pusat.

Yang menjadi permasalahan berkutnya adalah bagaimana dengan statusnya sebagai

lembaga independen yang menegakkan hukum di bidang korupsi. Hal tersebut sebenarnya

terjawab melalui Putusan MK sebelumnya. Dimana dalam Putusan MK No. 012-016-

019/PUU-IV/2006 disebutkan,

“Sementara itu, lembaga yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi

secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, sehingga pembentukan

lembaga seperti KPK dapat dianggap penting secara konstitusional (constitutionally

important) dan termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman

sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945;”

Hal tersebut menegaskan bahwa KPK merupakan salah satu lembaga yang fungsinya

berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Menurut Jimly Ashhidique, hal ini wajar adanya

karena lembaga independen mempunyai status campursari. Dimana fungisnya bisa saja

tidak hanya menjalankan satu cabang kekuasaan, seperti KPK yang bisa menjalankan fungsi

eksekutif dan yudikatif. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat di Putusan MK Nomor 36/PUU-

XV/2017 halaman 110 kemudian dimana disebutkan,

“DPR sebagai wakil rakyat berhak meminta pertanggungjawaban pelaksanaan tugas dan

kewenangan KPK (menunjukkan sifat eksekutif dari KPK) juga bertanggungjawab kepada

publik, kecuali untuk pelaksanaan tugas dan kewenangan yudisial (penyelidikan,

penyidikan dan penuntutan).” Ditambah, dalam halaman 109 Putusan in casu disebutkan

“Posisinya (KPK) yang berada di ranah eksekutif, tidak berarti membuat KPK tidak independen

dan terbebeas dari pengaruh manapun. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-

016-019/PUU-IV/2006 pada halaman 269 dinyatakan, independensi dan bebasnya KPK

dari pengaruh kekuasaan manapun adalah dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya.”

Page 4: Kabinet Gelora Pembebasandemajusticia.org/.../2019/09/RUU-KPK-Pelemahan-Penegakkan-Korupsi-1.pdf · d. Penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; atau

Kabinet Gelora Pembebasan

RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?

Melihat dari putusan-putusan dan doktrin diatas dapat disimpulkan bahwa KPK merupakan

lembaga eksekutif saat tidak melakukan tugas yudisialnya (penyelidikan, penyidikan dan

penuntutan). Sehingga dapat dikatakan KPK semi-legislatif dan semi-eksekutif, dan Pasal 1 angka 3

RUU KPK tidak memiliki permasalahan hukum.

Dalam RUU KPK terdapat beberapa permasalahan, salah satunya adalah Penyidik

KPK yang tidak lagi menjadi Pegawai tetap dan berasal dari luar KPK. Saat ini,

berdasarkan Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi –selanjutnya disebut UU KPK, bahwa penyidik

diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Lebih lanjut, dalam Pasal

39 ayat (2) disebutkan bahwa penyidik yang menjadi pegawai Komisi Pemberantasan

Korupsi diberhentikan sementara dari instansi Kepolisian dan Kejaksaan selama menjadi

pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Melihat konstruksi yang demikian menurut

Zainal Arifin Mochtar bahwa pasal a quo harus melihat historis bahwa kala itu KPK belum

memiliki penyidik sendiri. Sedangkan, Pasal 21 ayat (4) menyatakan bahwa pemimpin KPK

juga sebagai penyidik dan penuntut umum, padahal pemimpin KPK bukanlah jaksa maupun

polisi yang harus diberhentikan dulu baru mempunyai fungsi penyidikan dan penuntutan.

Sehingga dalam kondisis sekarang, dapat disimpulkan bahwa Pasal 21 ayat (4) menjelaskan

Pasal 39 ayat (2) hanyalah ketentuan khusus untuk penyidik.

Dalam RUU KPK seperti yang diamanatkan Pasal 1 ayat (7) Pegawai KPK adalah

pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja sebagaimana diatur

dalam peraturan perundang-undangan di bidang aparatur sipil negara. Terkait penyidik,

diatur dalam Pasal 45 RUU KPK bahwa penyidik KPK diangkat dari Kepolisian, Kejaksaan,

dan penyidik pegawai negeri sipil. Lebih lanjut pada Pasal 45A ayat (1) menyebutkan

persyaratan penyidik diantaranya bertugas di bidang fungsi penyidikan paling singkat dua

tahun serta mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyidikan. Dimana ditentukan pada

Pasal 45A ayat (2) pendidikan dilaksanakan oleh Kepolisian, Kejaksaan, dan instansi yang

membawahi penyidik pegawai negeri sipil yang bekerja sama dengan KPK. Terlebih, dengan

dihapuskannya ketentuan bahwa pimpinan KPK adalah penyidik sesuai Pasal 21 ayat (4) UU

KPK membuat seluruh sumber daya penyidik berasal dari luar instansi tersebut. Dengan

Page 5: Kabinet Gelora Pembebasandemajusticia.org/.../2019/09/RUU-KPK-Pelemahan-Penegakkan-Korupsi-1.pdf · d. Penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; atau

Kabinet Gelora Pembebasan

RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?

kontruksi yang demikian, menjadi ancaman serius bagi marwah KPK sebagai lembaga

negara independen. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa independensi dapat terwujud

dalam bentuk independensi institusional atau struktural, fungsional, dan administratif yang

di dalamnya tercakup independensi keuangan dan personalia. Dengan status yang demikian,

dimana penyidik KPK berasal dari luar instansi KPK dan juga berstatus aparatur sipil negara

tentu akan mengganggu independensi KPK secara fungsional maupun administratif. Padahal

sejatinya, apabila mengacu pada hakikat KPK sebagai lembaga negara independen salah satu

perwujudan utamanya adalah dalam hal sumber daya penyidik. Hal ini sesuai dengan yang

dinyatakan oleh Zainal Arifin Mochtar bahwa pengukuhan KPK sebagai lembaga negara

independen memutlakkan kebutuhan agar KPK memiliki penyidik sendiri yang bisa

terwujud dengan diberikannya kesempatan KPK merekrut, mendidik, dan memfungsikan

penyidiknya secara mandiri.

Selain itu berdasarkan Pasal 24 ayat (2) RUU KPK disebutkan bahwa pegawai negeri

sipil (PNS) yang ditarik ke KPK masih memegang statusnya sebagai PNS. Hal tersebut

merupakan pelemahan KPK secara fungsional dan personalia. Hal ini dapat dilihat apabila

pegawai KPK melakukan kritik terhadap pemerintah berpotensi untuk diberhentikan atau

tidak diperpanjang perjanjian kerjanya. Begitupun dengan status ASN ini KPK secara

sumberdaya tak ubahnya terus dibawah pengaruh pemerintah yang mengacaukan

keindependenan lembaga ini. Selain itu pengaruh lain yang mempengaruhi independensi

pegawai KPK ini adalah perihal penggajian dan kenaikan pangkat yang tercakup dalam

manajemen PNS (vide : Pasal 55 UU ASN) akan bersifat sangat subjektif dimana pegawai KPK

ini bisa saja disetir dan diperintahkan tunduk agar bisa mendapatkan kenaikan pangkat dan

penggajian yang setimpal

Permasalahan lain di dalam RUU KPK adalah ketentuan penyelidik KPK hanya

berasal dari kepolisian, hal ini tercantum di dalam Pasal 43 ayat (1) RUU KPK yang berbunyi

“Penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan penyelidik yang diangkat dari Kepolisian

Negara Republik Indonesia”. Ketentuan tersebut bertentangan dengan semangat dari pembentukan

KPK yaitu untuk meningkatkan upaya pemberantasan korupsi. Pada awalnya, pembentukan KPK

merupakan amanah dari Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001. Dalam pertimbangan ketetapan tersebut

disebutkan

Page 6: Kabinet Gelora Pembebasandemajusticia.org/.../2019/09/RUU-KPK-Pelemahan-Penegakkan-Korupsi-1.pdf · d. Penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; atau

Kabinet Gelora Pembebasan

RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?

”bahwa permasalahan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melanda bangsa Indonesia sudah

sangat serius, dan merupakan kejahatan yang luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi

kehidupan berbangsa dan bernegara.”

Kemudian, dalam pertimbangan UU No 30 Tahun 2002 disebutkan

“ ….pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat

dilaksanakan secara optimal. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu

ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah

merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan

nasional.”

Dari dua pertimbangan tersebut dapat disimpulkan bahwa KPK dibentuk dalam rangka mengatasi

kegagalan lembaga pemerintah yaitu kepolisian dan kejaksaan selaku pemegang kewenangan untuk

menegakkan hukum terutama di bidang korupsi. KPK hadir untuk memberantas korupsi yang sangat

serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tengah lembaga pemerintah yang kurang

kompeten dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Oleh karena itu, ketentuan dalam Pasal 43

ayat (1) RUU KPK bersifat tendensius dan dapat memunculkan potensi ‘permainan kasus’ dalam

penyelidikan kasus korupsi di KPK.

Salah satu perubahan yang lain adalah terkait dengan wewenang KPK. Salah satu wewenang

yang hilang adalah pada bagian mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat. Sehingga

rumusan Pasal 11 RUU KPK menjadi sebagai berikut,

a. melibatkan aparat penegak hukum, Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada

kaitannya dengan Tindak Pidana Korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum

atau Penyelenggara Negara; dan/atau

b. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Hal ini mengurangi wewenang KPK dalam UU 30 2002 dimana disebutkan dalam Pasal 11 disebutkan

:

a. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada

kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum

atau penyelenggara negara;

b. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau

c. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Salah satu kriteria tersebut sebenarnya tidak terlalu berpengaruh dengan kinerja KPK. Penghapusan

kriteria tersebut malah dapat membuat penegakkan terhadap KPK menjadi lebih jelas. Hal ini

Page 7: Kabinet Gelora Pembebasandemajusticia.org/.../2019/09/RUU-KPK-Pelemahan-Penegakkan-Korupsi-1.pdf · d. Penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; atau

Kabinet Gelora Pembebasan

RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?

disebabkan karena klausula “mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat” sebenarnya tidak

mempunyai ukuran yang jelas. Bahkan dalam penjelasannya tidak ada penjelasan lebih lanjut. Hal ini

menyebabkan kriteria tersebut akan sulit digunakan KPK dalam prakteknya.

Selain itu hal diatas dapat membuat KPK sewenang-wenang dalam pengambilalihan kasus

korupsi yang sedang dilakukan oleh Polisi atau Kejaksaan, walaupun Polisi atau Kejaksaan telah

melakukan tugas dan wewenang mereka dengan benar. Oleh karena itu safety net terhadap kasus

yang “mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat” dapat ditemui pada ketentuan dalam Pasal

10A dimana disebutkan bahwa KPK dapat mengambil alih penyidikan yang dilakukan oleh Polisi dan

Kejaksaan dengan kriteria sebagai berikut :

a. laporan masyarakat mengenai Tindak Pidana Korupsi tidak dilanjuti;

b. proses penanganan Tindak Pidana Korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda

tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. penanganan Tindak Pidana Korupsi ditunjukan untuk melindungi pelaku Tindak

Pidana Korupsi yang sesungguhnya;

d. Penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; atau

e. hambatan penanganan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari pemegang

kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif.

Kriteria tersebut lebih menjamin kepastian hukum bagi kriteria penegakkan korupsi. Sehingga tetap

menjamin penegakkan korupsi tanpa mengorbakan kepastian hukum.

Akan tetapi, terkait dengan Pasal 10A RUU KPK yang lebih perlu dikritisi sebenarnya ada

pengurangan kewenangan dalam RUU KPK. Dalam Pasal 9 UU 30 Tahun 2002, pengambilalihan kasus

dari Polisi dan Kejaksaan tidak hanya terbatas dari penyidikan, tetapi juga penuntutan. Sedangkan

dalam RUU KPK, kewenangan tersebut hanya dibatasi pada penyidikan. Untuk membuat safety net

seperti pada Pasal 10A RUU KPK tersebut berjalan dengan efektif seharusnya tidak hanya penyidikan

yang diambil alih. Tetapi juga penuntutannya. Hal ini perlu karena salah satu pengambilalihan kasus

dari Polisi dan Kejaksaan karena ketidakmampuan lembaga-lembaga tersebut. Sehingga seharusnya

penuntutan tidak dikembalikan kepada mereka, tetapi diberikan kepada KPK.

Pasal 10A RUU KPK sebenarnya juga menimbulkan problematika tersendiri. Problematika

dari Pasal 10A RUU KPK tersebut masih sama yaitu pengurangan kewenangan yang membatasi

hanya pada penyidikan. Hal tersebut membuat KPK terbatas dalam melakukan supervisi. KPK hanya

bisa mengambilalih kasus yang “tidak benar” dari Kepolisian, bahkan penyelidikan tidak dapat

diambilalih. Sehingga apabila terjadi suatu penyelewengan yang terjadi pada Kejaksaan maka KPK

Page 8: Kabinet Gelora Pembebasandemajusticia.org/.../2019/09/RUU-KPK-Pelemahan-Penegakkan-Korupsi-1.pdf · d. Penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; atau

Kabinet Gelora Pembebasan

RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?

tidak dapat mengambilalih kasus tersebut. Hal ini dapat membuat skema korupsi di perpindahan

berkas, dimana berkas korupsi di Kepolisian dapat di “P-21 kan” lebih cepat agar segera diterima

Kejaksaan. Posisi ini menyebabkan berkas korupsi menjadi “aman” dari intevensi KPK jika terjadi

penyelewengan.

Disebutkan dalam RUU KPK bahwa Dewan Pengawas merupakan Lembaga Negara Non-

Struktural yang bersifat mandiri. Status tersebut sebenarnya menimbulkan problem karena tidak

jelas bagaimana posisi LNS yang mandiiri ini terutama check and balances dengan lembaga negara

yang lain jika Dewan ini melakukan kesalahan. Dalam tupoksinya Dewan Pengawas tersebut

mempunyai beberapa tugas yaitu,

a. mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi;

b. memberikan izin atau tidak memberikan izin Penyadapan, penggeledahan, dan/atau

penyitaan;

c. melakukan evaluasi kinerja Pimpinan dan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi

secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun;

Dua tugas tersebut sangat bermasalah dalam hukum. Hal ini karena kewenangannya diatas

melanggar independensi KPK dalam ranah yudisial, yang sudah ditegaskan dalam 2 putusan

Mahkamah Konstitusi diatas. Pengawasannya secara yudisial seharusnya dilaksanakan melalui

mekanisme hukum, seperti pra-peradilan. Dimana selama ini norma tersebut menjadi

paradigma penegakkan keadilan dan jaminan hak asasi manusia dalam Hukum Pidana di

Indonesia. Jika kita membicarakan pengawasan KPK terkait dengan tugas dan wewenangnya

yang non-yudisial maka seharusnya bisa dilakukan dengan mekanisme angket dari DPR yang

telah diberikan oleh MK setelah putusan MK. Pengawasan etik yang juga menjadi tugasnya juga

seharusnya tidak diperlukan. Hal ini karena etik merupakan mekanisme internal. Dimana hal

tersebut telah dibentuk tim tersendiri dalam internal KPK yang mengurus hal-hal tersebut.

Selain itu tugas Dewan Pengawas yang memberikan izin atau tidak memberikan izin

Penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan dikhawatirkan akan memperlambat pengusutan

kasus di KPK. Padahal jika melihat prakteknya pada perumusan hukum acara pidana lainnya seperti

terorisme, izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan Ketua Pengadilan Negeri. - Lalu

dalam pasal 12B draft RUU KPK disebutkan bahwa penyadapan dapat dilakukan dengan seizin

pengawas dalam kurun waktu 3 bulan dan dapat diperpanjang 1 kali dalam waktu yang sama.

Pertanyaan dalam pasal tersebut adalah apabila di masa depan KPK ingin menelusuri kasus yang

Page 9: Kabinet Gelora Pembebasandemajusticia.org/.../2019/09/RUU-KPK-Pelemahan-Penegakkan-Korupsi-1.pdf · d. Penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; atau

Kabinet Gelora Pembebasan

RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?

sama apakah penyadapan masih bisa digunakan karena upaya penyadapan masa berlakunya sudah

habis dipakai sebelumnya.

Selain itu ada satu Pasal dipermasalahkan adalah kewenangan KPK melakukan sp3

dalam kurun waktu 1 tahun proses penuntutan dan penyelidikan belum selesai. Dalam

Pasal 40 disebutkan sebagai berikut,

“Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang menghentikan penyidikan dan penuntutan

terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak

selesai dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.”

Pasal tersebut sebenarnya tidak terlalu bermasalah. Pada dasarnya pasal 40 frasa yang

digunakan adalah "berwenang" sehingga tidak menjadi masalah karena semua kewenangan

untuk menghentikan maupun melanjutkan ada di diri KPK.

Namun, KPK menilai bahwa pasal ini dapat menimbulkan masalah baru. KPK menilai jika

mereka diberikan wewenang untuk memberikan SP3 kepada tersangka, maka KPK melihat

bahwa secara psikologis, penyidik KPK sendiri akan mempunyai pola fikir bahwa untuk

menetapkan tersangka tidak lagi perlu hati-hati dikarenakan KPK dapat mengeluarkan SP3 jika

memang kurangnya bukti untuk menuntut tersangka tersebut. Hal ini tentu dapat berpengaruh

dalam peranan KPK terutama dalam aspek hukum yakni dalam penuntutan tersangka,

mengingat juga bahwa KPK sendiri hingga saat ini memiliki conviction rate dengan nilai 100%

dan dikhawatirkan dapat menurun jika KPK memiliki kewenangan memberikan SP3 yang

tentunya membuat tersangka tidak dapat dituntut.

Jika kita lihat secara yuridis, Pasal ini tidak menimbulkan masalah. KPK dan penyidiknya

sudah seharusnya memiliki kompetensi dalam praktek hukum terutama terkait penetapan

tersangka dan penuntutan. Bahwa dengan diberikannya wewenang untuk mengeluarkan SP3

kepada tersangka, tidak seharusnya membuat kompetensi KPK dan penyidiknya menurun

secara psikologis maupun yuridis. KPK tetap dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan

sebelumnya karena pasal ini tidak menghambat KPK dalam segi yuridis dan pasal ini juga

menjamin hak asasi manusia terutama bagi tersangka yang memang dinilai sudah terlalu lama

ditetapkan menjadi tersangkan dan juga belum menghadapi penuntutan lebih dari waktu yang

sudah diwajarkan. Akan tetapi jika kita cermati dari aspek sosiologis, pasal ini juga dapat

menjadi tekanan bagi KPK jika KPK menetapkan tersangka lebih dari 1 (satu) tahun lamanya.

Page 10: Kabinet Gelora Pembebasandemajusticia.org/.../2019/09/RUU-KPK-Pelemahan-Penegakkan-Korupsi-1.pdf · d. Penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; atau

Kabinet Gelora Pembebasan

RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?

KPK yang sekarang sudah memiliki wewenang untuk memberikan SP3 dapat mengalami

penekanan dari masyarakat maupun tersangka untuk memberikan SP3 kepada tersangka

tersebut jika memang sudah ditetapkan lebih dari 1 (satu) tahun karena KPK memiliki

wewenang untuk hal tersebut secara yuridis

Terkait dengan kewajiban KPK sebagai penuntut dalam perkara kasus korupsiuntuk

melakukan koordinasi dengan kejaksaan agung sebelum proses penuntutan bisa menjadi

polemik. Hal tersebut diatur dalam Pasal 12A RUU KPK dimana disebutkan,

“Dalam melaksanakan tugas penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf

e, penuntut pada Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan koordinasi dengan

Kejaksaan Agung Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.”

Frasa “Koordinasi” tidak dijelaskan maksud dan atas dasar apa dan apa yang mendikan itu

urgensi untuk dilakukan, sebab jika ini tidak di definisikan terlebih dahulu maka frasa

tersebut tentunya akan menimbukan multitafsir dalam implementasinya. Bayangkan bila

yang dimaksud dalam frasa koordinasi itu juga berarti kejaksaan agung berwenang

memeriksa seluruh data terkait perkara, maka bukan tidak mungkin akan terjadi kebocoran

data yang bisa digunakan untuk kepentingan diluar perkara. Jika kebocoran data ini sampai

pada kewajiban untuk membuka data penyadapan maka tentu ini berltentangan dengan

pasal 12D yang menyebutkan bahwa hasil penyadapan adalah sifatnya rahasia dan hanya

untuk kepentingan peradilan semata. Lebih dari itu, jika yang dituntut dalam hal ini adalah

orang yang memiliki kepentingan dengan jaksa agung sendiri bukan tidak mungkin penuntut

dari KPK akan menerima tekanan dalam proses penuntutan yang bisa berujung pada jual

beli pasal dsb.

Berkaitan dengan pelaksanaannya, pengaturan mengenai diwajibkannya

berkoordinasi dengan kejaksaan agung juga tdak akan menghapus kewenangan KPK dalam

melakukan penuntutan karena berdasarkan asas “lex specialis derogate legi generalis” yang

artinya peraturan yang khusus mengesampingkan aturan yang umum maka dari itu yang

berlaku dalah penuntutan versi UU KPK.

Page 11: Kabinet Gelora Pembebasandemajusticia.org/.../2019/09/RUU-KPK-Pelemahan-Penegakkan-Korupsi-1.pdf · d. Penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; atau

Kabinet Gelora Pembebasan

RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?

Permasalahan terakhir, Spesifik pada pasal 12 ayat (2) RUU KPK yang pada dasarnya

mengatur kewenangan khusus yang dimiliki oleh KPK dalam menjalankan tugasnya. Kewenangan

khusus tersebut hanya dapat dilakukan pada tahap penyidikan sedangkan pada UU 30 tahun 2002

kewenangan tersebut dapat dilakukan pada tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Pada

dasarnya hal tersebut terkesan tidak bermasalah tetapi jika ditelaah lebih lanjut pembatasan

kewenangan khusus tersebut tentunya dapat menghambat kinerja KPK dalam melakukan tugas dan

tanggungjawabnya. Ambil contoh dalam hal melarang orang keluar negeri. Spesifik pada konteks ini

KPK hanya dapat melarang orang keluar negeri pada saat proses penyidikan, hal tersebut dapat

menjadi celah bagi tersangka untuk melarikan dirinya pada saat perkara dalam proses penyelidikan

dan penuntutan, namun dalam kewenangan lain perlu ditelaah lebih lanjut dimana kewenangan

tersebut sangat erat kaitannya dengan status orang sebagai tersangka. Status tersangka seseorang

tidak akan pernah muncul pada proses penyelidikan sehingga tidak menjadi masalah.

Kesimpulan

Maka dari itu, dari kajian diatas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Permasalahan yang marak dibahas adalah bagaimana dengan statusnya sebagai

lembaga independen menegakkan hukum di bidang korupsi dalam RUU Tindak

Pidana Korupsi. Akan tetapi, menurut putusan MK diatas KPK sendiri bukan hanya

merupakan lembaga eksekutif tetapi merupakan lembaga yudikatif.

2. Salah satunya yang juga menarik dibahas adalah pegawai KPK yang tidak lagi

menjadi Pegawai tetap dan berasal dari luar KPK. Penyidik KPK berasal dari luar

instansi KPK dan apabila mengacu pada hakikat KPK sebagai lembaga negara

independen adalah perwujudan dalam sumber daya penyidik independen.

3. RUU KPK disebutkan bahwa PNS yang direkrut KPK masih memegang statusnya

sebagai PNS. Apabila pegawai KPK melakukan kritik terhadap pemerintah

berpotensi untuk diberhentikan atau tidak diperpanjang perjanjian kerjanya. Status

ASN akan mempengaruhi dan menimbulkan pertanyaan terkait independensi KPK

dan pemerintah.

4. Permasalahan lain adalah penyelidik KPK yang hanya berasal dari kepolisian. Hal ini

kontradiktif dengan amanah pembentukan KPK yang termaktub dalam Tap MPR

Page 12: Kabinet Gelora Pembebasandemajusticia.org/.../2019/09/RUU-KPK-Pelemahan-Penegakkan-Korupsi-1.pdf · d. Penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; atau

Kabinet Gelora Pembebasan

RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?

Nomor VIII/MPR/2001 sebagai upaya mengatasi kegagalan lembaga pemerintah

yaitu kepolisian dan kejaksaan selaku pemegang kewenangan untuk menegakkan

hukum terutama di bidang korupsi.

5. Dewan pengawas dalam menjalankan tugasnya dikhawatirkan akan memperlambat

pengusutan kasus oleh KPK, sebab pengawasan secara yudisial seperti ini

seharusnya dilaksanakan melalui mekanisme hukum, seperti pra-peradilan.

6. Selanjutnya, harus ada penjelasan frasa “koordinasi” dalam Pasal 12A RUU KPK.

Karena jika untuk kepentingan administratif, maka tidak masalah. Namun, jika

mekanisme terkait perizinan sebelum melakukan penuntutan. Maka, hal tersebut

akan menciderai independensi dari KPK sendiri.

7. Kewenangan KPK dalam melakukan SP3 yang tercantum dalam RUU KPK

sebenarnya tidak menimbulkan permasalahan secara hukum karena kewenangan

tersebut bisa digunakan ataupun tidak.

Melihat kajian di atas walaupun ada pro dan kontra dalam RUU KPK, Dema Justicia

mengambil sikap sebagai berikut :

1. Memohon kepada Presiden RI untuk menolak Rancangan Undang-Undang KPK;

2. Mendesak DPR RI untuk menghentikan segala bentuk pelemahan kepada KPK RI;

3. Menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia dan segenap Organisasi

Masyarakat bersatu untuk menolak RUU KPK; dan

4. Menyerukan kepada seluruh masyarakat Indonesia dan segenap Organisasi

Masyarakat bersatu untuk mengawal serta menjaga KPK RI dari segala bentuk

pelemahan dalam penegakkan korupsi.

Page 13: Kabinet Gelora Pembebasandemajusticia.org/.../2019/09/RUU-KPK-Pelemahan-Penegakkan-Korupsi-1.pdf · d. Penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi; atau

Kabinet Gelora Pembebasan

RUU KPK Pelemahan Penegakkan Korupsi?

Daftar Pustaka

Asshiddiqie, Jimly, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Mochtar, Zaenal Arifin, 2016, Lembaga Negara Independen, Rajagrafindo Persada, Jakarta.

Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006

Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017

Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi

Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2014

Dewan Mahasiswa Justicia

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Jalan Sosio Yustisia No. 1 Bulaksumur, Sleman, D. I. Yogyakarta 55281

Telp. 081261445195, 082112599013

Email: [email protected]

Website: www.demajusticia.org

Line: @demajusticia