Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati...

93
__1 Eko Triono Kakek SETELAH ULANG tahun ke-23 yang diyakinkan dengan ucapan panjang umur, Pemuda E. duduk di balkon kamarnya di lantai 2 pada pagi hari yang cuacanya diaduk rata bersama dingin. Ia, secara serius, melihat tiga orang kakek. Kakek pertama sedang mengorek- ngorek bak sampah dengan pengait besi milik bajak laut; yang dirambati parasit-parasit lengket dan amuba yang berkembang biak dengan membelah diri. Dia menyandang dua wadah. Rantang bergait sebagai tempat makanan sisa yang masih layak baginya; nampak potongan pizza yang dirubuti lalat, dan, putih nasi yang telah berlemak, lalu beberapa biskuit sisa orang-orang yang sibuk di tengah malam. Bau busuk seolah tak menjangkau ke hidungnya. Dan karung bekas untuk rongsok—isinya baru seperempat. Kakek kedua tidak jauh usianya. Kulitnya lebih keriput, mengendur menjelma pakaian abadi yang telah lama

Transcript of Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati...

Page 1: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__1Eko Triono

Kakek

SETELAH ULANG tahun ke-23 yang diyakinkan dengan ucapan panjang umur, Pemuda E. duduk di balkon kamarnya di lantai 2 pada pagi hari yang cuacanya diaduk rata bersama dingin. Ia, secara serius, melihat tiga orang kakek. Kakek pertama sedang mengorek-ngorek bak sampah dengan pengait besi milik bajak laut; yang dirambati parasit-parasit lengket dan amuba yang berkembang biak dengan membelah diri. Dia menyandang dua wadah. Rantang bergait sebagai tempat makanan sisa yang masih layak baginya; nampak potongan pizza yang dirubuti lalat, dan, putih nasi yang telah berlemak, lalu beberapa biskuit sisa orang-orang yang sibuk di tengah malam. Bau busuk seolah tak menjangkau ke hidungnya. Dan karung bekas untuk rongsok—isinya baru seperempat. Kakek kedua tidak jauh usianya. Kulitnya lebih keriput, mengendur menjelma pakaian abadi yang telah lama

Page 2: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya2__

dikenakan, tak bisa disetrika, diganti, atau dihaluskan lagi. Dia menuntun sepeda ontel yang sama rapuhnya dari arah barat gang, mengenakan topi rajut hitam—mungkin berbahan rotan—, dan berjalan menunduk tanpa bicara. Padahal, di boncengan sepedanya ada dua keranjang bambu yang berisi celengan aneka jenis yang terbuat dari tembikar; ayam dengan leher panjang dan berjengger emas, babi dengan taring hijau dan bersayap burung merak yang kilaunya kebiruan, harimau dengan tanduk kijang keperakan, dan angsa emas berkaki naga—yang warna-warninya seperti balon udara di sebuah karnaval. Itu dagangan. Dan ia tidak menawarkannya. Kakek ketiga terlihat lebih bahagia. Ia berada di atap rumah tetangganya. Ia sedang melanjutkan pekerjaannya yang kemarin; serabutan memperbaiki atap bocor atau mengambil bangkai-bangkai tikus yang telah diracun. Sesuatu jatuh di atap seng. Gigi palsunya. Dia menolah-noleh. Pemuda E. menarik diri, takut kakek itu malu. Setelah beberapa menit, diperhatikannya lagi. Pagi masih malas untuk sibuk—mungkin kerena akhir pekan. Sementara kakek-kakek itu bekerja, mengorek sampah, menuntun dagangan dengan lamban, memberbaiki atap dengan gemetaran, seorang nenek muncul dari arah timur dan menggendong cucunya sambil menyanyikan lagu potong bebek angsa. Cucunya seperti baru selesai mandi, meruapkan harum bedak dan segar minyak kayu putih. Cucunya mengenakan topi penerbang yang terbuat dari wol dan kaos kaki bermotif lebah. Seketika, saat tiba di depan rumah tempat kakek ketiga bekerja, dia berkata pada cucunya, Mana kakek? Mana Kakek? Berulang-ulang dengan nada yang disesuaikan

Page 3: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__3Eko Triono

dengan cucunya yang baru belajar mengenal kata. Nenek mengarahkan tangan ke arah kakek ketiga yang kini telah tersenyum, membersihkan tangan, dan berniat untuk turun dari atap, menggendong cucunya barang sejenak. Tetapi cucunya tidak menoleh ke arah nenek dan kakeknya, yang kini, mereka menyelangi diri dengan entah membicarakan apa. Cucunya justru menunjuk-nunjuk, setengah melonjak, dan tertawa dengan memperlihatkan gusi merah pucat dan dua gigi susunya yang putih ke arah kakek pertama, yang sedang mengorek-ngorek sampah tak jauh dari situ. Kakek pertama menanggapinya dengan riang, tulus, dan bahagia; ia menaik-turunkan plastik-plastik sampah dengan tongkat besi bajak lautnya, sehingga menyerupai burung-burung yang sedang beterbangan di angkasa. Sementara itu berlangsung, kakek kedua sampai melintas dengan dagangan celengannya yang berbentuk hewan-hewan ajaib. Cucu itu tersenyum ke arahnya. Kakek kedua menanggapi dengan diam saja; hanya melihat sebentar pada cucu itu. Namun, tanpa diduga sama sekali, kakek kedua kemudian menyempatkan diri untuk melepas salah satu pegangan stang sepedanya, menutupkan telapak kanannya ke wajah, dan melepasnya kembali dengan tersenyum, seolah berkata: cilukba—yang sejenak dan membuat cucu itu semakin tergelak menunjuk-nunjuk celengan yang warnanya seperti dunia. Neneknya nampak marah, Itu kakekmu! Itu! Nenek mengarahkan kepala cucunya, dengan paksa, pada kakek ketiga—kakeknya yang sebenarnya—yang mulai mendekat dan bersedia menggendongnya dengan hati senang. Dan dua kakek yang lain, pura-pura tak melakukan apa pun; mereka

Page 4: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya4__

pura-pura masih sangat sibuk bekerja, dan pura-pura sedang berjalan murung mencari rezeki seperti hari-hari biasa yang sunyi.[*]

Page 5: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__5Eko Triono

Ikan Kaleng

I

SAM TIGA hari di Jayapura; dia guru ikatan dinas dari Jawa. Dan Sam tak mengira, saat pembukaan penerimaan siswa baru buat SD Batu Tua 1 yang terletak sejurus aspal hitam dengan taksi (sebenarnya minibus), ada yang menggelikan sekaligus, mungkin, menyadarkannya diam-diam. Ia tersenyum mengingat ini.

Ketika seorang lelaki bertubuh besar, dengan tubuh legam, dan rambutnya bergelung seperti ujung-ujung pakis lembut teratur menenteng dua anak lelakinya, sambil bertanya, “Ko pu ilmu buat ajar torang (kami) pu anak pandai melaut? Torang trada pu waktu. Ini anak lagi semua nakal. Sa pusing.”

Sam memahami penggal dua penggal. Dia, seperti yang diajarkan saat micro teaching, mulai mengulai

Page 6: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya6__

senyum lalu berkata, “Bapak yang baik, kurikulum un-tuk pendidikan dasar itu ketrampilan dasar, matematika, bahasa, olahraga, dan beberapa kerajinan...”

“Ah, omong ko sama dengan dong (dia) di bukit atas! Ayo pulang!”

Kaget. Sam tersentak, belum lagi dia selesai. Dan ini tak pernah diajarkan di pengajaran mikro. Juga di buku diktum bab penerimaan siswa baru. Dia pucat; diraihnya segelas air putih.

Pedaftar pertama memantik rasa sabar dan sesuatu yang asing dalam dirinya. Dia bersabar menunggu detik berikutnya dari lepas pukul sembilan. Dia mengelap lagi wajahnya. Di meja pendaftaran samping, kosong, Tati belum datang. Cuma ada Markus, Waenuri, dan Tirto—teman sekelasnya, yang sedang bertugas masing-masing di ruang lain; mulai dari siap berkas, mencatat kebutuhan anggaran, dan menyiapkan papan tulis. Bismillah, ia mengharap, tepat ketika sebarisan orang-orang legam bertelanjang kaki menjejaki halaman yang setengah becek bertanah merah, dilatari sisa-sisa alat berat dan bekas pengadukan material bangunan itu.

Dan syukurlah, meski dengan penjelasan yang tak kalah berat; setidaknya, tak ada yang seperti orang pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari tahu, hasilnya, ternyata lelaki pertama tadi adalah kepala suku Lat, berada di sekitar pantai sebelah kanan, diperlukan lebih dari seratus rengkuh dayung untuk sampai di kampungnnya yang ada di laut. Kira-kira begitu kata orang-orang yang juga ada berasal dari sana.

“Trada perlu risau, dong itu memang keras kepala,”

Page 7: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__7Eko Triono

kata si penjelas itu sambil berbisik-bisik, takut ada yang melaporkan omongannya.

IIHARI TADI tercatat dua puluh satu siswa mendaftar jadi angkatan baru, sekaligus kelas baru buat sekolah itu. Usia mereka beragam. Hari berjalan, minggu silih, dan bulan menumpang tindih. Tepat memasuki bulan Agustus, keganjilan itu muncul kembali. Meski sebelumnya pernah terjadi, tapi kali ini semakin sering.

Dua anak itu sering muncul di halaman. Mereka nampak memandangi seusuatu yang mungkin aneh baginya. Teman-teman lain menghadapai sebuah tiang dengan bendera dua warna. Berbaris lalu menyanyi-nyanyi. Dari sini, Sam merasa iba. Ia dekati. Dan tahu betul, mereka itu yang tempo hari dibawa oleh kepala suku Lat.

“Kenapa kalian, ingin seperti mereka?”“He-eh...,” yang satu mengangguk. Ia menatap

teman-temannya yang menyanyi-nyanyi bersama itu, dari sana terbalas, dua tiga melambai ke mereka yang ada di dekat jalan depan sekolah itu.

“Apa ko ini Do! Trada boleh!! Bapa Ade bisa marah.”Mereka kemudian berlari menjauh, menurun di

bukit-bukit kecil bercadas, berkelok, samar dan hilang bersama suara angin dan pemandangan hijau hutan juga beberapa rumah penduduk dan sekali dua waktu minibus berlalu dengan muatan penuh.

Sam memutuskan sore nanti ia akan mengunjungi rumah anak-anak itu dan memberikan semacam pen-jelasan.

Dengan dibantu salah seorang wali murid, sampailah

Page 8: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya8__

dia di rumah lelaki itu. Sam kemudian menyampaikan maksud dan sejumlah penjelasan, tertutama perihal anak-anak mereka yang sering datang ke sekolah.

“Ko trada perlu ajari torang. Torang dah pu sekolah sendiri. Lihat mari! Justru murid ko yang mari.”

Sam, setengah tak percaya, mengikuti lelaki itu. Ia turun dari rumah besar, lalu menuju perahu di antara barisan rumah-rumah, aroma laut menebar, hidungnya disesaki asin, dan matanya dipenuhi tatapan aneh dari penduduk sekitar. Dia menuju sebuah rumah yang sama di atas laut, dan nampak sudah dua anak lelaki yang menyambanginya siang tadi. Dan, beberapa muridnya yang ia kira sakit, ternyata ada di sana.

Di tempat ini, terlihat: barisan dayung-dayung yang digantung, tombak bermata tajam, sebuah perahu ditengah ruangan, jala, pisau, titik-titik pada cangkang karang, yang kemudian Sam tahu itu rasi bintang di lan-git. Lelaki Lat menjelaskan lagi, dengan bahasa alihkode semi kacau, bahwa di sinilah sekolah yang ia dirikan. Sekolah yang diberinama Lat: sesuai nama suku.

Sebenarnya lelaki tadi tidaklah telalu bodoh. Ayahn-ya dulu pernah menyekolahkannya ke “sekolah pemer-intah” meski hanya di kelas satu—demikian mereka menyebutnya, namun suatu hal mengganjal. Ketika itu, kakaknya, yang sudah kelas enam di SD Jayapura 2 tak bisa apa-apa ketika harus menemani kakak mereka yang lebih tua pergi melaut menggantikan ayahnya yang sakit keras. Dia, kakaknya yang SD tersebut, hanya bisa omong dan menyanyi-nyanyi, lalu pamer angka-angka tak jelas dalam kertas, tapi ia tak becus membaca rasi bintang, arah angin, membelah ombak, mengarah tom-bak, apalagi mencecap asin air dan jernih gelombang

Page 9: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__9Eko Triono

untuk menerka di mana ikan-ikan berkumpul. Dari situ ia benci sekolah—ia benci menghabiskan waktu dengan menyanyi dan menggambar tidak jelas. Dan, pelak, ketika ada pembukaan sekolah baru, ia selalu mencari sekolah yang mengajarkan anaknya melaut, membelah ombak, mendayung membaca rasi bintang, menombak ikan paus, dan seterusnya. Dan itu tak ada, atau mungkin tak akan pernah ada!

Sam terdiam. Ia paku bagi kelana: semua diktum terkulum gelombang di kaki pancang; berpias-berpias.

Dan sorenya juga, Sam melihat di bawah cahaya senja yang senantiasa keemasan sebelum muram jadi gelap, lelaki itu mengajar dua anaknya dan tiga dari muridnya yang belakangan absen. Dia mengajari cara memegang dayung, menggerakkannya kanan kiri di atas perahu di tengah kelas itu. Dan tak sekalipun lelaki itu memukul atau bahkan membentak bila salah. Dia selalu berkata,

“Ko pasti bisa! Ko dilahir atas laut, makan ikan laut, garam laut, ko anak laut! Laut ibu torang. Kitorang cintai, dayungi, dan ciumi angin asin ini. Laut tempat ko makan, laut tempat ko besar nati, ko paham sa pu nasehat? Ini tujuan ko sekolah di Lat, ko belajar hidup. Bukan cuma omong kosong dan menggambar. Ko di-titipi laut Bapa Kitorang.”

IIIPERISTIWA DUA tahun silam terngiang makin dalam, di meja kelas, ketika kini dia menghadapi pesan pendek berisi keluhan dari sejumlah kawan di Jogja yang belum juga mendapat kerja. Dia menarik nafas. Untung dia

Page 10: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya10__

dapat ikatan dinas; meski jauh seperti ini, terpisah dari keluarga.

Dia sedang memeriksa kehadiran, saat tiba-tiba lelaki kepala suku Lat itu datang mengetuk pintu kelas. Dia izin sebentar pada murid-muridnya yang kini ting-gal setengah—sisanya “sekolah” di Lat: memilih belajar membelah ombak dengan benar, membaca rasi bintang dengan sket cangkang kerang, dan seterusnya.

“Maaf, ada yang bisa saya bantu, Pak?” Sam bertanya, dalam hati ia mengira lelaki itu, yang kini membawa kedua anaknya beserta sejumlah anak lain, ingin menye-kolahkan di tahun ajaran baru yang sebentar lagi tiba.

“Ko orang Jawa, bisa ajar torang buat ini?”Sam mundur sedikit. Ia kaget. Lelaki itu menunjukan

ikan kalengan bermerek sarden.Usut punya usut, setelah bercakap kemudian, se-

kolah Lat tengah mengalami masalah. Murid-muridnya bertambah banyak, orang-orang di Batu Tua lebih me-milih menyekolahkan anaknya di sana, yang dalam wak-tu tak lebih dari setahun dapat membantu menangkap ikan. Yang mengajar juga orang-orang mereka sendiri yang berpengalaman. Nah, dari sana jumlah ikan hasil tangkapan naik deras. Ketika kepala suku Lat itu pergi ke Jayapura untuk memasar ikan, ia melihat ikan kaleng yang ternyata harga sebuahnya setara dengan harga satu kilogram ikan mentah. Dia terkejut. Padahal, menurut kepala suku Lat itu, satu kaleng hanya berisi dua tiga potong. Dari sini dia ingin menemui sekolah yang bisa mengajarkan “murid”-nya membuat ikan kaleng.

Dan, sekali lagi Sam menggeleng. Ia menjelaskan kembali tentang standar pengajaran di sekolah, kuri-kulum, evaluasi, ijasah, dan ketrampilan, menghitung,

Page 11: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__11Eko Triono

bahasa, menghafal nama mentri, pancasila, undang-undang dasar...

“Ah, baik. Ko tau tempat buat ini?” kepala suku Lat menegas. Matanya resah. Anak-anak di belakangnya tengah membaur bersama anak-anak dalam kelas. Sam membaca pabrik produksinya yang ternyata di Banyu-wangi, Jawa Timur.

“Sa mau ke sana! Ko kasih tau....”Sam terbengong. Dan ia akan makin kaget, jika

tahu bahwa lima hari mendatang, akan ada rombon-gan kecil dengan perahu layar ukuran sedang, berbekal peta yang ia berikan sewaktu bertanya, berduyun mengarungi samudra Hindia, menuju Jawa Timur buat belajar cara mengalengkan ikan agar tidak rugi dalam menangkap demikian banyak ikan, agar anak-anak kelak sejahtera, agar listrik penuh, televisi seperti di kota, mobil, motor... Tidak ada yang ragu; mereka anak-anak sekolah Lat; terlatih membelah ombak dengan dayung, membaca angin, gemintang, dan asin air laut dan jejak-jejak ikan di antara buih dan gelombang. Jiah! Khiaak![*]

Page 12: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya12__

Page 13: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__13Eko Triono

Kebahagiaan

PAGI HARI pintu kamarku diketuk dengan keras. Keras sekali. Kubuka dan ada anak kecil. Kutanya, siapa? “Aku anakmu di masa depan nanti.” Kulihat, muka dan sisiran rambutnya memang mirip denganku, tapi caranya memandang dan keangkuhan bicaranya seperti Bruce Lee. Ada apa? “Boleh aku masuk?” “Ya, masuklah. Maaf, berantakan,” aku menggeser gelas kopi kotor yang menimbulkan bau jamur dan ada seekor cicak di dalamnya, “Aku belum sempat nyuci, banyak kerjaan. Banyak penindasan yang harus diungkapkan. Aku bahkan belum kepikiran potong rambut.” Dia mengangguk-anggkuk—aku tahu sebenarnya dia tidak tak paham dan memang tidak perlu paham; lagi pula aku hanya sok berarti bagi sesama hidup—bibirnya manyun, dan matanya begitu lugu dan arif; dia memiliki cara memandang seorang maha guru para petarung di masa yang akan datang. “Itu siapa?” Dia menujuk

Page 14: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya14__

foto. “Itu pacarku.” Dia terlihat memastikan, mungkin menyamakan dengan ibunya. Sedang aku belum menanyakan kepastian ibunya di masa depan. “Ada perlu apa? Minta uang jajan?” Dia menggeleng. “Iuran sekolah?” Menggeleng lagi. “Sepeda?” Menggeleng. “Lalu?” Dia berbalik, mendekat, dan menatapku dengan penuh kasih sayang, “Aku cuma ingin tahu masa muda ayah.” Aku memeluk dan mengusap rambutnya. Pagi ini, tidak seperti biasa, aku merasa bahagia dan tak ingin mati muda. Dan di luar, harusnya Tuhan sudah mulai menurunkan hujan.[*]

Page 15: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__15Eko Triono

Seekor Hiu di Atap Rumah

IA MEMBUKA JENDELA. Seekor hiu, dengan kulit melembek dan mata mendelik, terkapar di atap rumah tetangganya. Mulutnya menggigit antena televisi. Ekornya menggugurkan beberapa genting, menancap ke dalam ruang-ruang rumah. Sinar pagi membuat seekor hiu itu tersorot, berpose, seperti aktor yang mati di tengah panggung. Kabel-kabel, dari kabel listrik hingga kabel jemuran, digelantungi kepiting aneka jenis dan ukuran. Merah kusam, dan dengan satu capit, mereka memperagakan adegan pemanjat akan jatuh dari jembatan gantung pada suatu hari, hingga talinya melengkung, seperti busur yang mau melecut.

Selebihnya, rumput-rumput laut dan sampah plas-tik, juga sebat-sebat kain saling sengkarut.

Jam pengingat berdering (memang waktunya). Ia dengar suara sendiri mengingatkan soal ini dan itu:

Page 16: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya16__

“Selamat pagi diriku. Ingat hari ini: laporan keuangan, memotong kuku, bertemu dia jam lima sore di kafe romantis, membeli detergen, pemutih, kopi, dan....”

“....Dan menyiram bonsai pohon kenangan,” klik. Dimatikannya jam pengingat.

Ia bersenandung menuju kamar mandi. Lagu lama dari The Beatles. Ia suka John Lennon, tapi tidak suka politik, apalagi kaca mata hitam. Ia suka dia sebagai dia yang kesepian dan bergairah pada cinta yang subversif. Ia mendapati perwakilan otentik dalam diri yang sep-erti itu. Kemudian, ia mulai berpikir tentang kafe pada jam lima sore, sembari menuju kamar mandi, mem-bayangkan beberapa dialog mesra, lelucon positif, dan kalimat-kalimat yang akan memperbaiki hubungan di antara mereka, dan tepat ketika itu seekor penyu dewasa merangkak dari arah lemari pendingin menuju bawah meja makan dengan cara kamuflase serdadu menuju tempat perlindungan. Sebagian tempurungnya sompal. Namun, masih bersemangat.

Cahaya memang mendadak begitu melimpah di dapur dan kamar mandi, sehingga ia tak perlu memberi kehidupan pada sebuah lampu bohlam.

“Kapan terakhir aku menemani anak-anakmu ber-main ular tangga? Bulan lalu? Tahun lalu?”

(Suatu kemungkinan reaksi).“Aku tahu, kau tidak suka mengingatnya. Maafkan

aku. Apa kau tidak kesepian?”(Suatu kemungkinan reaksi).“Baiklah. Boleh aku menyampaikan sebuah lelucon

agar kau bisa tertawa dan terlihat bahagia? Tentang presiden yang bunuh diri karena cintanya ditolak oleh

Page 17: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__17Eko Triono

seorang nenek-nenek?”Ia kian membayangkan pertanyaan, sebuah se-

nyuman, dan perhatian yang sungguh-sungguh akan dipertahankan dalam dirinya pada jam lima sore nanti, apapun yang terjadi. Apapun.

IA MEMBUKA KRAN air. Pasir-pasir ikut keluar. Bau laut merendam bak mandi yang airnya menghitam seperti comberan. Ia periksa. Tetes-tetes tinta gurita penyebabnya. Di atas sana. Di atap kamar mandi yang telah bobol ditambali biru langit seacara mengesankan. Beberapa gurita lunglai, mungkin ketakutan sampai ke alam ruh avertebrata, hingga tintanya terus menetes, seakan mau menuliskan suatu pesan dari harapan yang dirahasiakan.

Ia membuka jalur penguras bak, dan menyodok bangkai-bangkai gurita dengan gagang sapu.

Tapi air macet. Ada ubur-ubur kecil dengan tentakel bersijerat, cumi-cumi, ikan-ikan kembung, kuda-kuda laut tanpa kendali, dan planton-planton yang meny-umbat di dasar bak.

“Kau suka seafood?” Ia akan bertanya dan mengajak, “kita bisa memasaknya bersama.”

Ia memang berencana, setelah ini, akan mencari re-sep saus tiram. Dan, dengan gairah jam lima sore nanti, ia menangkapi mahluk-mahluk laut di bak mandi itu, menampungnya pada ember, dan akan menyimpannya biar tetap segar.

Page 18: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya18__

KETIKA IA MEMBUKA lemari pendingin, sejumlah nyamuk ia temukan membeku dalam keadaan terbang tersangga stalaknit es.

Bukan hanya itu, lima ekor tikus jadi batu es abadi dalam pose menggigit buah jeruk, apel, dan mentimun. Ia tersenyum kecil, “Kuharap kalian begini bukan karena kutukan Tuhan dari surga, tapi pilihan kalian sendiri.” Sementara kecoak-kecoak jadi mayat es di atas puding, serta beberapa, bersama serangga lain, membeku di sekitarnya, menempel pada dinding lemari pendin-gin, mengingatkannya pada diorama miniatur pahla-wan dan pertempuran di suatu museum peringatan kemerdekaan,di seluruh negara di belahan dunia ini. Begitulah kira-kira.

Ia sempat mencari. “Kekuatan macam apa yang membuat serangga-serangga ini mampu masuk ke dalam lemari es?” Ia menerka. Mungkin dari arah kipas bawah, atau saluran kabel, atau....

“Tapi kumohon, lebih baik jangan tidur di sini, Teman-teman. Bumi Tuhan itu luas. Ya, setidaknya kalian tidak perlu uang dan kartu tanda penduduk. Kumohon, pergilah dengan bahagia.”

Ia mencongkeli, dan, meletakan mereka yang mem-beku itu pada tempat yang semestinya, dengan sangat hati-hati. Sehingga udara kemudian membantu mem-bangkitkan mereka secara perlahan.

“6.45, bersiap sarapan pagi, memompa sepeda, dan menyemir sepatu,” teriak jam pengingat.

“Iya, Nyonya Tua, mengertilah perasaan anak muda. Atau kucopot bateraimu!”

Dia melanjutkan mandi di bawah atap yang ber-lubang dan ditambal oleh langit berkabut kelabu.

Page 19: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__19Eko Triono

IA MEMBUKA PINTU depan dengan susah payah, karena baling-baling kapal seekuran kipas raksasa, dan, sebuah sekoci yang miring, menghadang di sana. Hanya dapat terbuka setengah. Ia menyelinap. Aroma laut semakin kuat. Lumpur yang diluapkan dari dasarnya hadir melabur cuaca yang semestinya. Ia mengambil sepeda dan memompa. Di sisi kanan, sebuah kapal berhenti tepat satu meter dari rumahnya. Rumah-rumah yang lain tinggal puing. Tumpukan batu bata. Atau, jebol di sana-sini. Atau tegak berdiri dengan ikan hiu di atap, pintu, jendela, atau menampakkan lumba-lumba dengan moncong panjang yang terbaring di atas kotak pos surat penuh lumpur.

Ia mengambil bonsai pohon kenangan dan meleta-kannya di keranjang sepeda. Ia memang benar-benar bersepeda, dengan pakaian kantor rapi, dan berkas lengkap, seperti hari-hari sebelumnya, memasang headphone dengan lagu-lagu lama dari The Beatles, dan mengingat jam lima sore. Ia melintasi jalanan beran-takan. Genangan air berlumpur. Kepiting-kepiting yang mencapit ikan mati atau sesama jenisnya. Dan berhenti sejenak memperhatikan ikan paus raksasa yang telentang.

“Besar sekali,” ia memperhatikan. Lambungnya lembek keabu-abuan dan sobek.

Dan, dari sobekan itu, keluar ikan-ikan kecil yang insangnya masih menunjukan gejala hidup.

Ia ingin mengambil buat tambahan persediaan, seandainya ia tadi membawa wadah.

“Dari mana kau dapat ikan-ikan ini?” dia pasti akan bertanya begitu.

“Siapkan dirimu untuk suatu kejutan....”

Page 20: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya20__

“Tidak ada yang lebih mengejutkan bagiku kecuali kabar bahwa suamiku bangkit dari alam kubur.”

“Aku memasuki perut ikan paus yang lembek dan mengambil ikan-ikan kecil yang terperangkap di dalamnya. Apa itu tidak mengejutkan?”

“Setidaknya kau akan dipanggil pahlawan oleh ikan-ikan kecil itu. Mintalah pujian pada mereka. Jangan padaku.”

“Kau dingin sekali,” ia menyantapnya, bergelepotan, dan sesaat kemudian berkata lirih dengan menatap. “Seperti sejarah.”

“Atau sebaliknya: sebenarnya kaulah yang terlalu bersemangat, seperti revolusi, seperti demokrasi, sep-erti....”

“Ssst. Seperti seharusnya cinta yang selalu ingin segera sampai.”

Ia masih asyik melaju ketika serombongan orang dengan pakaian seperti robot, seperti astronot, meng-hentikannya dengan terlalu sopan untuk disebut seba-gai sebuah penangkapan.

Dan dengan pengeras suara, dari jarak yang cukup untuk menjajar sepuluh mobil, salah seorang bicara dengan nada dibuat-buat baik: “Selamat pagi, Tuan.”

Ia terpaku, tanpa turun dari sepeda.“Maaf, Anda tidak bisa melanjutkan perjalanan. Tu-

buh Anda telah sepenuhnya terkontaminasi radio aktif. Tsunami telah membuat reaktor di kota ini pecah. Dan, kami sungguh tidak mengira, masih ada yang selamat seperti Anda. Namun demikian, Anda kini telah jadi ‘sesuatu’ yang tidak semestinya. Jadi....”

Ia tidak mengerti (mungkin sebenarnya tidak mau) apa yang diucapkan oleh orang-orang dengan paka-

Page 21: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__21Eko Triono

ian pelindung seperti robot itu. Yang ia tahu, mereka menghalangi dengan cara pasukan monster misterius dari planet lain. Menyebalkan sekali: apa mereka tidak tahu kalau ia harus segera menyampaikan laporan keuangan ke kantor penerbitan, dan menemui dia jam lima sore di kafe romantis.

Karenanya, ia membalik arah dengan cekatan. Ia melaju kencang diantara onggokan ikan hiu, luapan lumpur, puing-puing dan kepiting yang berseliweran; yang berjalan miring dengan mencapit bangkai-bangkai sesama jenisnya dalam pose yang seakan telah terbiasa, seakan telah manusia.

Tak lama lagi, ia akan menemui laut dengan kapal-kapal kosong, ombak yang malas, dan bau ruh di dalam buih. Tentu sebelum segalanya berakhir, dan, tak ada lagi jam lima sore.

Dan ia sedang ingin menanyakan padanya, “Apa yang kau suka dari laut? Airnya, pasirnya, atau kenangan diantara keduanya?”

Ketika tiba-tiba ada hujan sederhana dengan lumpur dan disertai udang dan kepiting, meski hanya sejenak, namun cukup untuk membuat jalanan seakan merayap, seakan dipenuhi para demonstran menuntut turunnya seorang diktator. Bajunya kotor. Beberapa udang dan lumpur menempel di rambut dan tengkuknya. Namun, ia terus melaju dengan headphone, lagu-lagu lama dari The Beatles, dan sebuah bonsai pohon kenangan di keranjang depan, yang telah berbunga kepiting serta udang-udang kecil yang meloncat-loncat riang dalam balutan lumpur laut.[*]

Page 22: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya22__

Page 23: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__23Eko Triono

Sekarang Jam Berapa

SEKARANG JAM dua belas, dan tak ada hujan turun, dan, aku sudah menunggu di sini sejak jam sembilan pagi. Tapi ia belum datang. Pelayan tua itu kembali, “Ini biar lebih romantis.” Dia membawakan lilin putih dengan tatak keperakan, menyalakannya, lalu, mengajakku membicarakan banyak hal sambil menanti. Dia bertanya perihal janji yang demikian lama. Kukatakan, setiap janji harus ditepati, kupikir memang demikian, tentu, di samping rasa cinta yang masih menggelora dalam batin yang membuatku harus menunggu. Orang tua itu tertawa, dan, giginya yang perak terlihat bagai potongan medali, atau, memang sengaja diperlihatkannya untuk unjuk diri; bahwa dia pemilik kafe yang hidup bahagia meski tanpa cinta pertama. Rambutnya sudah putih. Pakainnya pun ikut letih. “Kalian dulu memang selalu kemari, aku ingat itu. Tapi, apa kau tidak pernah dengar istilah cinta

Page 24: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya24__

sejenak?” Istilah ini membuat emosi. Aku diam. Dan dia malah terus bicara, “Perempuan mudah berubah perasaannya, mudah kesepian, dan, terlebih perempuan yang egois, mudah mengganti rasa cinta dan membuat ribuan apologi untuk berkhianat. Tak ada cinta sejati di hati perempuan yang demikian....” Aku ijin keluar, ingin membunuh omongannya yang semakin tak jelas itu. Di luar, pasar yang tertib telah bubar. Tinggal sisa dan jalan raya yang selalu padat oleh kepergian. Dan, kupastikan di sekitar, tak ada tanda-tanda. Akupun masuk dan kembali duduk menunggu: berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun di dalam kafe ini. Pelayan tua, yang sudah lama mati itu, diganti oleh keturunan-keturunannya; mengganti jaga, dan, menggantikan bercakap-cakap menemani kesunyianku. Aneka makanan dan mata uang bertukar jenis. Kereta-kereta lewat diganti dengan baru. Kendaaran berganti merk. Jalanan berganti marka. Rumah-rumah berganti bentuk dan warna. Tapi ia tetap tak datang menepati janji. Barangkali ia telah lupa, barangkali dulu kuliahnya, kemudian pacar-pacarnya, kemudian suaminya, kemudian anak-anaknya, kemudian cucu-cucu, dan kesehatannya telah membuat lupa pada janji yang dengan sumpah diucapkannya, tepat di telingaku yang dulu masih peka, yang kini mulai terganggu, dan tak jelas lagi. “Kami kira, anda harus pulang, Kek....” Cucu almarhum pelayan tua berkata padaku dengan muka berteriak tapi terasa lirih. Aku sadar betul, usia melucuti tubuhku seperti korosi pada besi, namun perasaanku masih semuda dulu, kataku. Cucu itu, yang juga seorang perempuan, tersenyum manis, “Anda menghabiskan tahun-tahun

Page 25: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__25Eko Triono

terbaik hanya untuk menunggu sesuatu yang tak berguna sama sekali? Ini lelucon paling biadab dari perasaan, Kek.” Ia tak tahu soal janji. Ia bawakan kopi. Tangan dan kepalaku terasa retak dan rentan. Aku benar-benar sudah renta, dan, barangkali mautpun tengah menungguku dengan cara yang sama. “Pulang, berbahagialah dengan sisa usiamu. Cinta sesungguhnya hanyalah antara kita dan diri kita sendiri.” “Pulang? Di mana rumahku?” “Rumah Kakek juga ada dalam diri Kakek sendiri yang jernih, yang bahagia,” kata perempuan manis itu cerdas sekali. Aku terpukau dan terpukul sekaligus. “Tidak, terimakasih, aku akan tetap menunggunya di sini, rumahku hanya ada dalam cinta dan kesetiaan padanya!” Gadis manis itu terdiam, mungkin sebagai perempuan dia mampu merasakan penderitaanku. Bumi yang semakin tua ataukah aku yang hampir mati? Tak lagi bisa kubedakan. Pikiranku kusut. Tengah malam aku bangun di bangku kafe yang sudah delapan belas kali diganti itu; aku bermimpi ia datang! Untuk pertama kalinya aku bermimpi tentang ia. Ia masih muda sekali, manis, hanya tubuhnya yang makin kusut, perutnya membesar, cahaya matanya yang dulu kuat hilang dilucuti seseorang pada usianya yang ke-21, barangkali di suatu kamar, atau di rumahnya saat sepi. Segera kubangunkan gadis penjaga kafe. “Ia datang, Nak, ia datang!” Dia terkejut. “Ia sudah datang. Aku akan pamit pulang, ini, ini bon terakhirku. Terimakasih untuk semuanya,” kataku lagi, dan, coba bergegas. “Datang? Mana? Tak ada siapapun. Anda baik-baik saja ‘kan, Kek?” Dengan lembut, dengan sentuhan yang seakan pernah kukenali, didamiknya pundakku yang mulai bungkuk, lalu, keningku yang

Page 26: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya26__

berkerut dan diderasi keringat; kemudian, lagi, diusapnya perlahan-lahan. “Ya. Datang. Ia telah datang. Ia berubah. Berubah. Ia beda! Dan kau; kau tidak akan bisa melihatnya.” Gadis itu agaknya tak mengerti apa yang kukatakan, dan, bertanya sebabnya tak bisa. Dengan disertai gemetar sisa dari cemasnya keyakinan yang coba untuk tugur, kukatakan padanya, “Kau tidak bisa melihat kehadirannya. Tidak. Tidak akan pernah. Karena kau perempuan, kau bukan seorang lelaki yang mencintainya dengan sepenuh hati....” Seketika gadis itu memeluk tubuhku erat sekali, membuat jiwa ingin mati hari ini, hari Jumat, hari delapan belas bulan Oktober yang pucat, lembab, dingin dan teramat pasi.[*]

Page 27: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__27Eko Triono

Tahun-tahun Penjara

ISaat kau menyaksikan algojo kekar mengacung rotan, setelah hakim mengetuk jumlah cambukan, dan temanmu—dengan sebebat kain putih, mungkin bertanda suci atau penyucian, di pinggangnya, sebagai cawat—berjalan menuju tiang pasungan dengan gigi gemeletuk, gemetar, pucat, namun terlihat pasrah, kau jadi ingat suatu hari di desa, di Pantai Selatan yang nelangsa.

Ketika itu, ibu telah ambil ancang untuk menghajar tubuhmu dengan ranting. Ibu membawa ranting pohon jarak kering; kulitnya telah mlocoh; urat-urat kayunya melintir seperti bisep seorang petinju. Kau memejam, tahu akan ada perih, darah, lecet, dan kemudian sunyi. Dan entah bagaimana, kau terlihat terbiasa.

“Dasar anak tidak tahu diuntung! Sudah baik kamu kulahirkan ke dunia! Masih saja....”

Page 28: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya28__

Seharian tadi, kau bersilah di bawah talang. Hujan deras, jatuh dengan berat. Monster-monster mulai bermunculan. Raksasa hijau dengan taring dan liur api merobohkan segalanya. Desa-desa dihancurkan. Perahu bergelimpangan. Terbakar. Menjadi asap. Hitam di udara. Tenggelam di muka gelombang. Penduduk menjerit. Kau, seorang kesatria yang bertapa di hutan tersembunyi, di bawah air terjun dengan batu-batu li-cin, tersentak! Gemanya sampai. Kau pun, sebagaimana dalam wayang dan film pendekar kesukaanmu, turun ke jalan maghrib yang rembang. Berhenti dengan jantan di tengah jalan depan rumah, menghadang. Jangan hadapi penduduk yang tak bersalah, hadapi aku, aku adalah musuh bagi siapapun yang memusuhi kebenaran—kau berkata dengan mendunduk, lalu mendongak, melem-parkan caping bambu ke arah pohon pisang (dalam imajimu menancap di sana; suatu tanda kesaktian), dan mulai memasang jurus mematikan.

Tetapi, tidak lama. Kau dicengkram dari belakang. Bajumu digait. Kau diseret pada tanah berlumpur. Hu-jan seolah ikut melemparimu. Dan, kau tahu, sebuah kayu jarak akan mengalahkanmu sebentar lagi; merun-tuhkan semua imaji tentang kesaktian.

“Tuan Alex Kanama bin Kanama Hamid, asal dari Filipina, telah melanggar tertib penjara dengan meny-impan tembakau di dalam lambung pencernaan, oleh karenanya harus dicambuk tiga kali. Apa Tuan Alex Kanama bin Kanama Hamid telah sedia?”

Temanmu, kini, menyerahkan kedua tangannya pada kayu bercengkeram pemasung. Kau lihat: nafasnya begitu tertahan. Detik pun jadi rawan.

Page 29: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__29Eko Triono

IIDia membelakangi ketakutannya sendiri. Kalian membatu. Tak ada lagi doa. Doa barangkali sudah lama cela di tempat ini.

Bahkan mungkin di semua dinding, saat kau atau orang lain, harus membalik tubuh. Berjaga atas petak umpet tengah malam bersama sejumlah hantu rahasia. Pukulan tiba pada sebelah kakimu yang tak tegap, ka-rena lelah berdiri di dinding kelas, sepanjang pelajaran dari wali kelas.

“Kalau tidak mau begini, ya bayar iuran sekolah!” Ibu guru yang sarjana itu memakimu.

Hanya kematian yang membuatmu melupakan peri-stiwa itu. Lengkap dengan rasa sakit dari kepalamu yang dijedugkan ke tembok berkali-kali hingga berdengung. Dan, setelahnya, kau putuskan untuk mencuri uang ibu di bawah kasur demi membayar iuran, demi tidak dimaki oleh ibu guru yang sarjana.

Dua belas jam kemudian, ibumu, yang tak mau kau sekolah, tahu. Kau ditangkap saat sedang mencari kayu bakar di bawah pohon-pohon salam yang ranting keringnya paling rapuh di antara pohon-pohon lain di alam pedesaan.

Kau ditelanjangi. Mendekap pohon nangka bela-kang rumah; licin, dingin, dan ditumbuhi lumut-lumut yang tak hijau lagi. Kedua tangan dan kakimu diikat sebagaimana orang-orangan sawah di musim panen yang diancam oleh manuver-manuver burung pipit dan peking kaji dengan mulut mereka yang tajam: runcing seperti ujung rudal pesawat penghancur. Ayahmu mun-cul dari balik ketegangan membawa tiga sarang semut kerangkang yang telah tumbuh di daun mahoni, jambu,

Page 30: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya30__

dan pohon albasiah. Kau mejam. Ayahmu bukan tampil sebagai biksu yang datang membawa pijar-pijar dari kandil kebijaksanaan. Dan, ini bukan kali pertama! Kau berharap bisa menjadi ninja jiraiya, bersiaga menge-luarkan samurai, meloloskan diri dengan melempar shuriken dan asap, dan membunuh semua orang yang menyakitimu dengan tusukan tepat di dada kiri mereka. Namun, segala darimu senatiasa berupa harap yang tak lekas menjadi iya.

Orang-orang itu terus menaburkan krangkang yang mengamuk. Jutaan sengat datang menginfeksi kulitmu. Kau rasakan kematian yang datang hanya untuk iseng.

“Nanti jangan mau diobati. Obat itu sebenarnya racun yang membuat luka cambukan di tubuhmu membusuk dan bernanah. Mereka tidak ingin kita sembuh. Mereka ingin kita mati. Kalau kita mati mereka bisa menjual organ-organ kita. Kita cuma orang ilegal, mereka tahu itu, tidak ada yang akan mencari kita.”

Temanmu, Alex, mengikuti pesanmu. Yang sebe-narnya, adalah pesan napi lain yang kini telah dibe-baskan.

Sepanjang malam Alex berteriak-teriak. Selama sebulan dia akan tidur dengan tengkurap dan duduk dengan cara berjongkok. Cambukan di pantatnya me-nyobek sejumlah urat dan saraf. Panas dan terbakar. Dan kalian hanya bisa berharap itu bukan saraf vital.

IIIDia telah membuat kecerobohan paling memalukan dengan menjual tembakaunya pada sembarangan napi. Kau padahal sudah curiga.

Page 31: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__31Eko Triono

Menjelang larut, penjaga berkeliling dengan lampu senter di lorong-lorong yang digelapkan sambil me-mencet tanda tidur, dan napi itu muncul dari arah barat tanpa pengawalan, mengatakan perlu tembakau den-gan sangat. Dia menawar 1000 ringgit lebih tinggi dari pembeli biasa dan Alex tanpa perhitungan mendalam mengiyakan. Dia pergi ke toilet portabel di dalam sel, seperti biasanya, setelah minum air dengan banyak, kemudian buang hajat.

Di gumpalan hajat akan tersebul buntalan plastik sebesar kelereng gaco yang bersisi tembakau.

Buntalan itu sengaja ditelan Alex dalam jumlah sampai empat atau lima bulir. Dia mendapatkannya dari sipir yang memang mau berkongsi. Tapi anehnya, tidak seperti sidak kemarin, sipir itu kali ini tidak memberi tanda bahwa sedang ada inspeksi rahasia.

Padahal kemarin malam dia masih memukul-muku-lkan kaleng minuman karbonasi sebanyak sembilan kali dari arah pos jaga di bawah sana; bertanda bahwa kalian harus menghentikan merokok sebab kepala ru-tan mencium aroma asap tembakau yang kalian hisap dan sedang menuju ke sana. Kalian pun akan bergegas menelan sisa puntung. Kalian membuat rokok itu dari sejumput tembakau, melintingnya dengan kertas koran berkas yang disobek dari meja sipir saat keluar apel pagi. Kau mengerti, tidak boleh ada bacaan apapun di dalam sel. Kau pernah bertugas menyobek kertas koran dan menyelipkannya di celana dalam.

Kau ingat, ada titipan dari Mazki, si Bos tahanan dari Thailand, yakni agar kau menyobek gambar perempuan.

“Dengar, Kas, dunia hanya akan seimbang jika ada perempuan,” katanya, “maka ketika di penjara terkutuk

Page 32: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya32__

ini semuanya laki-laki, perlu ada perempuan, dalam bentuk apapun itu....”

IVJalanan basah, tanah-tanah lengket, paman yang dikutuki keluarga, karena ia bertato, membawamu ke pabrik pupuk.

Kalian berjalan 2o kilometer, melewati tiga jem-batan, dan satu rel kereta api. Di pos pabrik pupuk paman membelikan nasi bungkus. Kau dengar suara laut yang mendengkur, kapal-kapal berbagi peluit, truk-truk besar melenguh, dan lagu dangdut dari radio yang digantungkan pada dinding.

Tak kurang dari sebulan kau berada di sana. Tak ada yang mencarimu. Tak ada.

Kau hanyalah manusia asing yang dilahirkan dari pohon pisang di tepi sungai sebelum banjir menerjang dan menggelandang ibumu ke laut buat ditenggelam-kan selama-lamanya. Paman mengajarimu menjadi kuli panggul pupuk, menguji kekuatan tulang punggung, otot tangan, dan menicipi perpaduan urea dengan lecet pada kulit sekitar pundakmu yang baru saja berusia 14 tahun. Seperti semua kuli, kau pun mencoba mengerti; jangan berharap pada siapapun.

Setahun kemudian, kau diberi kesempatan menjadi kernek truk pendamping menggantikan kernek lain yang meninggal dunia karena dibunuh saat malam lebaran.

Truk adalah kendaraan agung yang selalu bergan-deng mesra, yang mengirim pupuk dari satu kota ke kota lain, melintasi pantura, membuatmu mengetahui sisi lain dari kehidupan para sopir.

Page 33: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__33Eko Triono

Tiga kali kau tertimpa roda truk itu saat meng-gantinya di jalan dan nyaris mati, sebelum akhirnya kau belajar bagaimana cara mengendalikan bualatan besar itu, juga menyopir. Kau sangat bangga. Ada tato di beberapa tempat. Ada tindik. Juga kalung. Kau menjadi sopir truk termuda dengan rambut merah dan muka terbakar. Lima tahun setelahnya kau pulang, meminang seorang perempuan, dan menikah.

“Kudengar menu pagi ini nasi dengan telor rempah,” kata Noordin, “pemerintah kita baru saja membayar upeti.”

VKalian berbaris. Seseorang memimpin. Kepala sipir tiba. Kalian menyanyikan lagu kebangsaan dan hormat pada bendera di sudut ruang apel pagi.

Dia bicara bahwa Indonesia baru saja mentranfser biaya hidup tahanan, meskipun hanya sedikit, 1/3 dari yang seharusnya, namun cukup kiranya untuk mem-buat kalian pagi itu makan nasi dengan telor rempah dan teh tarik.

Dan hari-hari berikutnya sama seperti dalam jadwal ransum; Selasa dengan bubur, Rabu dengan kentang, Kamis dengan kuah sup, Jumat dengan nasi, Sabtu den-gan kentang lagi, Minggu dengan ubi, dan Senin dengan roti gandum. Setelah selesai kerja seperti biasanya, merawat tanaman, sayuran, ternak dan ini-itu, kau di-minta mengambil biskuit dalam gudang. Sikapmu yang baik dan jujur, membuat sipir tertarik. Ini kesempatan baik. Kau akan selalu memakai sepatu but panjang, dan dengan jeli menyisipkan gula, susu, atau kopi ke dalamnya. Tentu dengan memperhatikan sipir jaga

Page 34: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya34__

yang cara pandang hidupnya hanyalah kecurigaan dan rasa waswas. Kau berhasil. Kau bawa roti biskuit keras itu dengan tenang. Seraya pergi ke dapur dan menyu-supkan barang-barang curianmu itu.

“Siapa yang menjadi kepala regu dapur, keluar bar-isan!” Kepala sipir bicara keras.

VITak sampai cambuk. Hanya sejumlah pukulan yang membuat memar. Dan, setelah itu, seperti yang anggota sel blok kalian inginkan, kepala dapur diganti.

Dan itu adalah dirimu. Kau berhak mengelola semua makanan untuk konsumsi napi dan artinya kau tidak akan kelaparan lagi sebab bisa cumal-cumil. Kelaparan yang membuatmu harus pergi dua tahun silam men-inggalkan istri. Istri yang tak tahan melihat sofa baru, tivi baru, motor baru, dan apa-apa yang baru milik tetangga. Kau pun mendaftar sebagaimana dua orang lain dari desamu. Ketika ditanya kenapa tidak jadi sopir truk gandengan lagi, kau menjawab perempuan mudah kesepian dan curiga, seperti mata-mata. Dan kau pergi jadi TKI untuk mendapatkan modal usaha. Kau tidak sendirian. Ada Rinto Jumadilakir. Kau tidak tahu dimana si Karso. Berbulan-bulan kerjamu membalak hutan dalam komando Taiko.

Di tempatmu, di daerah yang tak terindentifikasi lagi, tertampung orang-orang dari segenap tempat. Saling berbagi hidup, babi, dan kangkung yang tumbuh di rawa-rawa, sebelum suatu hari yang tak terduga ter-jadi dengan setiba-tiba kematian. Hari yang membuat pembukaan untuk membawamu ke penjara.

“Ada napi baru,” kata Alex padamu sambil terseny-

Page 35: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__35Eko Triono

um, “lihat nanti, Kas, orang tampan baru akan menyesal dengan ketampanannya ketika dia berada di penjara.”

Kau ikut senyum, meletakkan beberapa biskuit. Kau tahu betul betapa beruntungnya menjadi orang jelek di penjara yang sebenarnya ini, karena bos Mazki pasti akan memintanya berada satu sel, memijit, dan melayaninya, jika tidak mau, sejumlah hantaman akan menghujam perut. Perut tidak kentara bekasnya hingga sipir seringkali tertipu siapa yang habis dipukuli oleh siapa, ini rahasianya. Dan napi baru itu berjalan mele-wati sel kalian yang sejam lagi, saat waktu tidur, akan terutup secara otomatis. Dia seperti tegang memasuki lorong sihir yang tak diketahui perlahan kelak bakal merubahnya menjadi pelacur laki-laki, mengantikan semua lelaki tampan dan berkulit mulus lain yang dipenjara di tempat ini.

VIISeandainya bukan di tengah hutan, tentu telah muncul di berita televisi pada pukul 6 pagi, atau di koran-koran kriminal halaman depan; sebuah gambar dari temanmu, Fajar Sutarno, si Duda paling murung itu, dengan luka remak di kepala akibat pukulan benda tumpul yang kau tahu persis adalah besi ungkit milik Kiman.

Darah mengumalkan rambut hitamnya jadi hijau-hitam. Ada yang mengental, mengantri di lubang tel-inga kirinya, seolah masih ingin kembali pada jantung. Yang sayangnya, setengah jam lalu jantung itu telah menghentikan diri dari denyut-denyut yang tak terukur seismograf.

Di perutnya ada sisa pembedahan dengan teknik berantakan, seperti cara seorang istri yang baru belajar

Page 36: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya36__

memasak ikan lele untuk sarapan, membedahnya dari bawah kepala lalu ke arah ekor yang abu-abu. Kiman memang pernah cerita padamu bahwa duda sombong itulah yang paling mencurigakan atas hilangnya be-berapa benda emas hasil tabungannya juga milik be-berapa kawan lain.

Sebelum polisi datang dan semua akan menjadi menakutkan, kalian, kau dan Rinto, sempat membolak-balik tubuh si Duda.

Dari cecaran usus dan lambung yang amburadul di sekat-sekat diafragma perutnya, kau masih menemu-kan cincin emas yang tak berkilau tapi memberi tahu bahwa logam itu memang sungguh mulia kehadiran-nya. “Seandainya aku memiliki ide ini sebelumnya,” kau angkat kata dan Rinto tidak menjawabnya kecuali dengan rasa takut pada penjara, sehingga dia bergegas pergi ke biliknya, mengemasi barang, sebelum kau sempat menutup mata si Duda yang seolah menolak untuk terpejam selamanya. Kau menyimpannya. Kalian bergegas berlari menembusi ranting dan waktu yang masih dingin. Kawan-kawan lain masih dibius peri penidur. Kalian menuju kota, karena kau tahu persis si Taiko adalah pembenci keledai.

“Taiko tidak mengampuni kesalahan sebanyak dua kali,” kau menyetop bus, “tapi kemana kita akan pergi?”

Arahpun cuma pasrah yang diselipkan ke dalam harapan-harapan tanpa nama, tanpa alamat.

Tak lebih dari 3 x 24 jam kau dan Rinto ditangkap tak jauh dari daerah belanja saat ada inspeksi, sebab dunia ini hanya menerima orang yang punya kartu identitas, bukan lagi menerima siapa yang sepenuhnya bertubuh manusia.

Page 37: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__37Eko Triono

Hewan yang punya identitas resmi jauh lebih sah se-bagai warga negara, dibanding imigran yang seutuhnya tercipta sebagai manusia.

Manusia moderen yang diakui jaman ini sebenarnya tak lebih beda dari hewan-hewan yang memiliki kartu identitas resmi dengan sederet nomor induk dan tinta stempel warna-warni. Kartu identitasmu di tangan Taiko. Dan tak mungkin mengambilnya. Pernah suatu ketika kalian bermasalah dengan hukum dan Taiko yang menge-luarkan kalian hanya dalam waktu seminggu setelah ka-lian dipenjarakan dengan tuduhan mabuk sembarangan. Tidak ada toleransi untuk kedua kali, Taiko berkata dan menjelaskan perihal pemotongan gaji kalian. Pada Jumat malam, kalian berkumpul dan si Duda mengatakan pada Kiman, bahwa dia terlalu miskin sebagai seorang pemuda.

“Dia sombong sekali,” Kiman berbisik padamu sesaat sebelum tidur kembali di bilik barak, “di peran-tuan ini, kita sama-sama manusia yang diasingkan. Jangan pernah melukai hati yang lain!”

VIIIItulah kalimat terkahir yang kau dengar enam jam sebelum suara minta tolong yang samar dan kau berlari lalu melihat Kiman menghancurkan tubuh si Duda di kamar mandi.

Dan kalian tak ingin jadi tersangka atau terlibat urusan hukum yang memang tak pernah mengun-tungkan.

“Di mana teman-teman kita sekarang, Rinto?” kini, kau coba ajak Rinto bercakap-cakap. Seminggu lagi,

Page 38: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya38__

kalian sudah genap setahun dalam penjara.“Mereka mungkin sedang masak babi, Kas. Atau

baru saja melarut semua pancing ikan gabus yang ditebar sepanjang rawa-rawa, membakarnya, ditaburi garam, dan—”

“Kamu rindu suara pohon yang ditebang, To? Suara lenguh gergaji mesin dan bau kayu yang dibelah?” Kau bersandar pada jeruji, jam sudah bersatu dalam dini. “Biasanya jam segini kita masih lembur: membelah gelondongan, menandai balok-balok dengan ukuran merah—”

“Ya. Kadang-kadang,” Rinto membaring telentang, kedua tangannya jadi bantal, “Tapi, aku lebih kangen anak dan istriku, Kas. Sedang apa mereka? Sudah makan atau belum—”

“Sabar, To, seminggu lagi kita dibebaskan—” “Dan kita bingung mau kemana—”“Nah, itu dia,” kau tersadar, “seandainya kita punya

paspor, seandainya, tapi toh punya pun, belum tentu kita dapat kerja.”

IXKau coba tidur tanpa tahu, barangkali, ketika kau terbangun, ada lagi algojo yang tengah siap dengan rotan sebab, si Beju dari Vietnam, atau mungkin si Nadim dari Thailand, telah berbuat kesalahan lagi dengan menyobek spons kasur tidur buat membersihkan hajat. Air di sel sering habis hingga toilet portabel adalah masalah lain.

Dan, seperti yang pernah terjadi, seorang sipir akan membentak-bentak dengan gaya seekor hewan

Page 39: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__39Eko Triono

peliharaan yang diikat lehernya dengan kaidah meng-gonggong, disiplin, dan setia.

Dia meminta mereka merangkak seperti buaya terbodoh sambil mengingit spons bercelobek kotoran hajat untuk dibawa keliling gedung penjara sebanyak lima kali, kemudian ke tempat sampah, dengan mulut dan hanya dengan mulut mereka yang terhormat.

Kau semakin dalam menyusupi gelapnya kepala sendiri. Tanpa tahu, barangkali, seminggu lagi, kalian dibebaskan setelah pesta joged yang meriah melepas kepergian: semacam perpisahan sentimentil. Joged yang berarti sejumlah pukulan pada perut dari para sipir yang membuat kalian bergoyang menggeliat kesakitan dalam iringan musik yang mendayu.

Setelahnya kalian digiring ke kapal dalam penga-wasan penuh untuk dikirim ke Batam, pulau terdekat.

Dan barangkali, kalian, yang dari Indonesia, akan dijemput oleh petugas, atau tidak sama sekali. Akan diantar ke daerah asal masing-masing, dengan tiket bus dalam negeri, atau tidak sama sekali.

Tiga hari setelah Batam, barangkali kau akan meli-hat istrimu menunggu dengan kesetiaan sebatang pohon jarak, yang dahulu kau semai di pekarangan cinta dengan kesungguhan seorang lelaki yang bukan petanam paksa, dan kini tengah tegap menjaga bunga dan buahmu, menunggu untuk jadi abadi bersama kehangatan dari kasih sayangmu.

Atau barangkali, ternyata diam-diam dia telah menikah dengan lelaki lain yang lebih mapan, tanpa menunggu pesetujuanmu.

Mereka mungkin memiliki buah hati bandel yang gemar bertapa di bawah talang hujan dan membay-

Page 40: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya40__

angkan diri sebagai kesatria yang melawan raksasa, seperti dalam wayang dan film.

Kau menapak makin jauh melintasi tangga keg-elapan di kepala sendiri yang berlumut dan dingin; menuju lorong dan pintu penghilang; menuju ruang rahasia dari rumah tidur yang sepenuhnya terbuat dari negasi cahaya, tanpa daun jendela; tanpa kau tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya. Sebab kau, Kas, kau pun telah lama mengerti bahwa esok akan selamanya barangkali.[*]

Page 41: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__41Eko Triono

Anak Manis

Anak Manis tengah asyik makan malam bersama Papa dan Mamanya, saat tiba-tiba ingat, dan, bicara dengan nada terus terang yang khas anak-anak, “Anak Manis tahu, Papa itu korupsi, dan kata Bu Guru, Papa boleh dihukum mati.” Anak Manis mengambil ayam goreng tepung. Dan Papanya menjadi gelas yang berisi sirup merah; yang menggelundung tumpah, menetes-netes di lantai dingin, lalu pecah menggema ke udara, dan belingnya menancap ke segenap perabotan di sekelilingnya.[*]

Page 42: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya42__

Page 43: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__43Eko Triono

Kenapa Harus Saya

TUKANG KEBUN yang salih bersedih sebab ditangkap dengan tuduhan aneh. Selasa pukul 08:00 pagi ia digelandang ke rutan. Padamulanya adalah insomnia-baru. Kompleks Fur Elite diserang insomnia-baru yang menular dengan cepat dan mengerikan. Di balik jeruji besi, ia terus bertanya-tanya, apa kesalahan yang diperbuatnya, sebagai tukang kebun biasa yang tak berpendidikan. Sipir membentak. Seorang introgator yang tadi memeriksa masuk kembali. Masih basah rambutnya, menggunakan kaos, dan, sepatu bersemir, tangannya berbatu akik merah delima, dan pendek kata: tampan sekaligus magis. Si Tukang Kebun bertanya lagi sebab nyaris tak percaya. Jawabannya hampir sama, “Kamu telah berdoa yang tidak semestinya. Penyakit seperti itu tidak mungkin terjadi tanpa campur tangan golongan jin, atau, Tuhan. Dan, karena para dukun menyatakan itu bukan kegiatan jin, maka yang

Page 44: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya44__

terakhir adalah jawabannya. Kenapa kamu? Karena kata penerawang kamu satu-satunya warga di kompleks Fur Elite yang paling rajin beribadah, dan, jarang melakukan kesalahan. Oleh karena itu, pastilah kamu telah berdoa yang tidak pantas, yang membuat Tuhan murka dan menimpakan kutukan. Dan, itu jelas melanggar hukum, sebab, doamu telah menyakiti banyak orang, apalagi di kompleks itu banyak pejabat penting negara. Bahkan tiga di antaranya, jaksa, polisi lalu lintas, dan pejabat dirjen pajak, telah mati dengan mata pecah dan kepala kusut cemrawut. Sampai di sini kamu mengerti kesalahanmu?” Tukang kebun menggeleng lalu tertunduk. Dan, jam berganti saat, masuk lagi seorang introgator lain yang berbeda sikap dan pendapat dengan introgator pertama. “Virus apa yang kau sebarkan?” Terbelalak. “Jangan pura-pura bodoh, kau agen rahasia dari mana?” Melongo. “Sudah, mengaku saja, siapa rekananmu?” Tak mengerti. Introgator absurd itu kesal. Ia menjelaskan begini: sejak seminggu hampir semua penduduk kompleks Fur Elite dilarikan ke rumah sakit. Gejalanya satu, mereka terserang insomnia-baru; “insomnia abadi”. Mereka tak bisa tidur barang sekejap pun. Efeknya, pembuluh mata mereka pecah, ginjal terserang, jantung terancam, dan organ-organ dalam yang tak diistirhatkan dalam tempo lama itu tak ubahnya mesin yang tak henti digunakan. Sampai aus. Sampai rontok satu persatu. Sampai total mampus. “Dan kau tetap tak mau mengaku?” “Kenapa harus saya penyebabnya, Tuan?” “Karena kau satu-satunya yang masih selamat dari kompleks itu!” Sebab merasa bicara dengan orang tolol dan rendahan, introgator itu keluar. Ia berunding dengan rekannya tadi yang

Page 45: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__45Eko Triono

berbeda praduga. Mereka berdebat. Dan bertengkar serius. Sampai akhirnya, kembali masuk. “Jelaskan apa yang sebenarnya telah kamu lakukan?!” Tukang kebun itu diam. Intogator itu pucat. Agaknya dua hari tak tidur. Sebuah gebrakan meja. Tukang kebun kaget, “Baik. Baik. Akan saya katakan. Saya tidak melakukan apapun.” Hanya itu. Introgator semakin marah! “Kau telah jelas-jelas membuat penduduk di kompleks para majikanmu itu tertular insomnia-baru yang mengerikan dan menyebabkan kematian, masih saja tidak mau mengaku?!” Prak. Berdarah bibirnya. Tukang kebun itu tersenyum. “O, merasa hebat, ya, senyam-senyum.” “Maaf, saya hanya sedang senang hujan sudah turun. Sejak digelandang ke mari, saya belum menyiram tanaman, juga, pohon-pohon bayam dalam pot. Istri saya sangat suka sayur bening. Doa saya terkabul, dan saya senang sekali.” Introgator yang satu menegaskan bahwa memang benar dugaannya, semua penyakit itu karena doa-doa si Tukang Kebun yang mudah dikabulkan. “Tuan-tuan, saya tidak tau persisnya, saya hanya kurang nyaman bila mereka serigkali menyetel musik disko sangat keras dan berpesta, mabuk hingga pagi hari, sementara saya punya bayi.” “Dan, kamu berdoa agar mereka insomnia-abadi, begitu?” “Tidak, saya hanya minta pada Tuhan agar mereka diberi pengertian atas segala kedzaliman yang telah mereka lakukan di mana saja.” “Ok. Kalau begitu sudah jelas: anda yang bersalah dan akan segera diadili.” “Kenapa harus saya, saya ‘kan hanya berdoa?” “Karena Tuhanmu tak bisa ditangkap, dihukum, apalagi dipenjara,” jawab dua introgator itu bebarengan, sepertinya memang telah biasa mengucapkannya untuk keperluan tertentu.[*]

Page 46: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya46__

Page 47: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__47Eko Triono

Perang Kue

IPAGI INI KARTA LAPAN melihat dunia berisi tikus-tikus menggairahkan berbalut abu-abu, matanya menyalakan roh yang lain, dan dia berjalan sangat malas menggunakan kedua telapak tangan dan lututnya secara bergantian hingga kuku jemarinya disusupi pasir hitam, dan orang-orang jadi mengerti: kutukan itu melanda lagi di desa ini. Desa Palatar yang sunyi: yang tak dilintasi gugupnya lars sepatu jaman.

Ibunya hilang muka dan menangis-nangiskan diri, “Percayalah, Karta bukan anak yang tidak hormat pada leluhur. Ini hanya semacam kecelakaan kecil,” nada suaranya mencekam.

Orang-orang mengadu gunjing di halaman dengan menginjak-injak bayangan satu sama lain, bayangan yang menatap mereka dengan kosong dan hambar. Kemudian mereka bubar satu persatu membawa per-

Page 48: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya48__

tanyaan personal, seperti penonton sulap yang diakhiri bersambung. Anak-anak itu juga di sana. Mereka mena-tap nasib temannya dari muka jendela di luar dinding yang setengah batu bata dan setengah bilik yang juga menatap mereka dengan penasaran.

Di sela ruji-ruji bambu jendela kamar, mereka melihat ke dalam: Karta sedang asyik memainkan seekor cicak sekarat dengan kedua tangannya, lalu dia berguling-guling, meloncat ke ranjang dengan keseim-bangan yang menakjubkan, kemudian menerkamnya lagi dengan cara seekor hewan pemburu hingga bantal dan selimutnya berantakan. Dia memimpong-mimpong cicak tanpa ekor itu di tanah dengan tangannya yang ko-tor sebelum digigit, dilepaskan, kemudian diulanginya lagi. Mulut dan hidungnya terlihat sesekali mengais-ngais udara kamar yang lembap. Dan matanya adalah lup yang terkunci pada satu materi titik fokus.

Dia dipanggil-panggil oleh teman-temannya itu, “Psst....psstt.... Karta Keriting! Kamu kenapa?”

Karta menatap sumber suara dan mereka segera berdesakan menyajikan pose muka kehadiran di frame jendela. Namun, Karta malah mengiau waspada, takut, dan curiga. Dia bergegas menggigit cicak, bersicepat merangkak ke bawah ranjang yang gelap, dan mengira musuh telah tiba. Ibunya yang dikagetkan gaduh mun-cul dengan berlari dan menangis dari arah pintu sana, datang menutup jendela, mengaitkan pelatuk, dan tak henti-hentinya memarahi teman-teman Karta seperti induk ayam berkaok-kaok penuh emosi kecemasan pada pagi hari saat langit seakan telah dipenuhi oleh manuver sejuta elang dan burung gagak hitam, “Pergi, pergi! Karta sedang berisi roh para leluruh! Pergi sana!”

Page 49: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__49Eko Triono

II“SEMALAM KARTA di belakangku,” Pri Kimin bersaksi sambil berjongkok, “benar-benar di belakangku.”

Mereka membahas peristiwa semalam sambil merumput di lorong-lorong saf kebun gambas yang dirambat-rambat pada limas lenjaran galah bambu hingga menyerupai tenda kemah kecil yang hijau me-manjang. Tak ada Karta. Tidak seperti biasanya. Aroma segar kematian gulma dari jenis rumput teki, krokot, kerma, dan jago-jagoan yang tersabit menjejal; terasa menyebar lebih kuat dari biasanya bersama lompatan serangga-serangga mini yang kesal, sebab tergusur oleh kepentingan spesies dari golongan lain yang lebih berkuasa. Sesaat kemudian, Genjik Sunarta tampil mengiyakan kesaksian Pri Kimin dari arah tepi kebun gambas, bahkan, katanya lebih lanjut, Karta juga mem-inta kantong plastik darinya. Dan Genjik memberinya plastik bekas gorengan peyek yang berminyak.

“Mungkin karena kita melintasi rumah San Suwirya, dan, Karta tidak permisi,” Gendut Sukiman tiba-tiba melongok dari bawah rambatan gambas, “San Suwirya punya roh harimau yang muncul setiap malam satu sura. Aku pernah dengar beberapa orang melihat cahaya mata tembaga di bawah pohon jambu depan rumah sesepuh itu bergerak-gerak di malam gelap.”

Mereka lalu saling menimpali dan merasa ngeri, ngeri yang takjub, takjub yang ngeri.

“Tapi tingkah Karta tidak menyerupai harimau,” Pri Kimin nampak menghentikan ayunan sabit yang basah, “dia tidak mengaum dengan mengerikan. Kukira, apa yang menimpa Karta adalah karena dia tidak berjalan

Page 50: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya50__

dengan mudur atau menutup mata saat mengambil sesaji semalam, seperti kata orang tua....”

“Dan tidak merangkak juga mengiau untuk permisi,” Genjik terdengar menukasnya dengan nada sahabat yang menyesal, “dia memang keras kepala! Sekarang baru tahu rasa.”

Seperti diketahui, tadi malam, seperti malam-malam pada angka pertama bulan Sura, penduduk Desa Palatar mengadakan hubungan batin dengan leluhur di alam kematian. Dengan sebentuk pelita dari minyak tanah, seperti semua lampu desa ini, dengan lingkar-lingkar pucuk api yang dicicini warna pelangi cahaya di atas tampah itu menimpa aneka kue dari semesta dapur dan bebuahan yang diletakan di sudut depan rumah.

Dan yang paling mencolok selain tampilan pisang adalah: nasi dari sedulur papat lima pancer. Ini saudara batin penduduk tropis.

Seorang dukun yang menunggang kuda dan mampu memanggil hujan akan menjelaskan dengan suara berat:

“Pancer adalah nurani manusia. Dan nasi gunung berapi menjadi ikon yang metaforik; gunung mungil nasi putih untuk saudara batin dari arah terbitnya ke-hidupan, Timur atau Tirtanata, nasi hitam—nasi putih yang dicampur jelaga—untuk menghubungi saudara batin di arah Utara atau Warudijaya, nasi merah yang terbuat dari campuran gula kelapa merah kepada su-dara batin Selatan atau Purbangkara, dan nasi kuning campuran kunyit untuk saudara di arah senja, Sinata-brata atau Barat.” Itulah persaudaraan penduduk Desa Palatar dengan empat arah mata angin, empat unsur kehidupan: air, api, tanah, dan udara. Persaudaraan yang mengagumkan, sunyi, dan abadi.

Page 51: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__51Eko Triono

“Apa sekarang sudah bisa?” Anak-anak akan ber-tanya. Tepat ketika mereka diminta duduk melingkar dan mendiamkan diri dengan terpejam ketika matahari tenggelam dengan sangat hati-hati.

Semua sesaji telah dipasang. Aroma kemenyan berpagut. Pelita tugur menjaga diri. Dan hubungan batin mulai terkoneksi. Roh-roh leluhur turun dalam bentuk cahaya-cahaya yang selembut debu. Debu yang bercahaya. Cahaya yang bukan dari panas api dan fos-for. Cahaya dari cahaya itu sendiri. Roh-roh selembut debu itu menunggang angin yang juga menjelma kuda-kuda debu yang bercahaya, turun dari satu beranda ke beranda yang lain, bersambut salam persaudaraan, dan bisikan selamat datang dari batin masing-masing penduduk.

“Apa sekarang sudah bisa?” Anak-anak bertanya lagi. Dan bila iya telempar sebagai kunci, mereka serempak membuka malam dengan membawa sesebat kain dan katong plastik.

Dan entah mengapa mereka bisa keluar secara ber-samaan dari rumah-rumah yang berbeda, saling ber-temu dengan kelompok masing-masing seperti serdadu geriliya yang membawa kunang-kunang dalam botol sebagai penerang. Anak-anak itu adalah para pengucing: pengambil sesaji dengan sejumlah peraturan yang rumit dan mencengangkan. Salah satu peraturan yang paling sederhana adalah harus belum sunat dan tidak boleh mengambil di tempat sendiri. Karta bersama kelompok Genjik, Gendut, dan Pri Kimin. Dan peta pergerakan serbuan dimulai dari arah utara.

“Kita menghadang pergerakan kelompok Kamso,” kata Genjik bersiasat. Yang lain terlihat setuju-setuju saja.

Page 52: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya52__

IIIPADA SERBUAN pertama mereka menuju rumah terdekat. Pada jarak sekitar dua puluh langkah dari objek sesaji, Karta masih terlihat memasang penutup kepala dari selendang, dan, Gendut mengikatnya kuat-kuat. Genjik dan Pri Kimin juga demikian. Dalam hitungan lima menit mereka berempat sudah merangkak dengan cara seekor kucing, dan serempak menuju objek sesaji dengan mengadu kecepatan, “Ngiau, permisi Mbah, ngiau, permisi Mbah, ngiau, permisi Mbah....”

Demikian seterusnya suara mereka, sambil men-gendus-endus untuk memastikan objek dan kue-kue sesaji yang diambil dengan reraba-reraba sebab mata ditutup gelap.

Anak-anak itu mengambil apa yang bisa diambil, pisang, sayur, atau apa saja, asalkan jangan apem dan tentu nasi sedulur papat, nasi empat saudara batin. Pemilik sesaji tidak boleh melihat, mereka di dalam rumah, berpaling, dan ketika ngiau pertama terdengar mereka harus mempersilahkan. Bagi pengucing yang tidak membawa penutup mata, mereka harus berja-lan mundur dan meraba-raba dengan membelakangi. Sekali saja mereka mengintip, mereka akan berubah menjadi bertingkah layaknya seekor kucing, sebab bagi penduduk Desa Palatar hanya kucinglah yang pantas mencuri, bukan manusia.

Dari satu objek sesaji ke objek yang lain mereka menyerbu hingga ke rumah yang ke sebelas.

“Dari dulu, tidak ada satupun di antara kita yang mendapatkan ingkung burung merpati,” Karta meng-gerutu dan setelah itu menghilang. Ingkung yang di-maksud adalah burung merpati jantan putih dan utuh

Page 53: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__53Eko Triono

yang setelah dibersihkan bulunya kemudian diolah opor dan dimbumbui rempah disajikan bersama sesaji sebagai hubungan dengan leluruh kelahiran. Dan konon rasanya membuat yang makan sebahagia seorang ibu yang melahirkan anak pertama, tentu anak yang dinanti dan dinginkan kelahirannya.

Tapi mereka selalu gagal. Barangkali anak-anak di kelompok lain jauh lebih cerdik.

Padahal Karta sangat menginginkannya. Kebahagiaan baginya datang dalam sesaji tiap satu semester, sura dan puasa, dengan kue-kue sesaji yang jelas diam-diam saling dipertandingkan antar keluarga demi memikat roh-roh leluhur yang menjelma debu cahaya.

Karta cuma tinggal bersama ibu. Ayahnya terkena penyakit yang membuatnya diasingkan bersama kelom-pok orang perahu. Ayahnya hidup di sungai sembari menunggu kesembuhan, berputar, dan berdayung. Hidup orang-orang terasing itu adalah sungai dan sungai adalah kehidupan, dan, makan dari ikan yang dibakar di tepi pantai muara yang berisi kucing dan orang gila buangan.

Ketika ia diberi tahu tentang Karta yang tertimpa kutukan leluhur, ia tidak mengerti.

Genjik dari arah tepi sungai bergerak-gerak dengan kode pada udara. Namun tetap gagal. Dan mereka, Gen-jik, Gendut, dan Pri Kimin, pulang membawa karung rumput pada kepala. Sabit mereka berkilat ditimpa ma-tahari pukul dua yang letaknya miring dan menguapkan atap-atap seng. “Lihat itu!” Pri Kimin kaget menunjuk keramaian dan seekor kuda andong yang tertambat di depan rumah Karta.

Page 54: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya54__

IVITU KUDA milik seorang dukun dari seberang sungai. Dukun itu sudah berdiri di depan pintu di antara orang-orang yang ramai, tangan kanannya memegang sebentuk ekor kerbau, dan tangan kirinya mengusap-usap kepala lalu leher karta yang tengah mencakung seperti seekor kucing kegelian yang mengusap-usapkan kepalanya ke kaki si Dukun.

Sesekali Karta terlihat menggaruk-garuk pantat, dan, menjilat-jilat tubuhnya yang berkaos hitam seakan-akan itu adalah bulu kembang asam. Setelah berdaham dukun itu ambil suara, “Saudara-saudara sekalian, satu-satunya cara agar Karta bisa kembali ada-lah dengan mengadakan perang kue. Perang melawan sifat buruk yang melanggar, yang mencuri. Syaratnya, tiap keluarga harus membuat dua puluh satu apem dan dua puluh satu ketupat juga gunung nasi mungil sedulur papat lima pancer, dan, besok malam, setiap diantara kalian harus melempari Karta dengan kue-kue tersebut. Kalau tidak, desa ini akan tertimpa bencana yang lebih mengerikan!”

Orang-orang terdiam kemudian dan saling melirik kemudian bertengkar dengan bayangannya sendiri.

Namun, tidak menunggu lama. Seketika itu juga desa disibukkan dengan orang-orang yang memanjat pohon kelapa, janur-janur yang dipatahkan dan dibentuk, dan tungku-tungku yang menunjukkan pengabdian.

Sementara Genjik dan kawan-kawan menunggui dari depan pintu kamar Karta, atas permitaan ibunya, dengan membawakan jangkrik, belalang, cicak, dan tentu tikus yang dilemparkan ke kamar dan asyik dimain-mainkan oleh Karta. Ia meloncat, memimpong-mimpong, me-

Page 55: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__55Eko Triono

nerkam, menggigit, dan membawanya ke bawah ranjang yang gelap dan lembap. Di meja yang lain, ada ikan-ikan laut yang dibakar, ada potongan-potongan ayam yang dibacem, dan beberapa sisa tulang dari sejumlah ingkung burung dara yang ditaburi rempah gurih. Barangkali itu obatnya.

“Ini makanlah! Karta menolak semua jenis sayur dan buah-buahan,” kata ibunya.

Teman-teman Karta melihat apel, salak, mangga, belimbing, dan mentimun, sementara dia sendiri bergegas ke dapur, bersama tetangga buat menyiapkan upacara perang kue: sebuah kurungan ayam tempat Karta akan didekam dan dilempari, sejumlah kebutuhan kenduri, dan tak terkira apa lagi yang akan membuatnya semakin letih dalam kecemasan. Namun ada yang lebih tak terduga pada malam harinya saat kesibukan me-muncak. Ketika itu Genjik sedang berburu cicak untuk Karta di tepi pagar rumah Genjik yang hanya diterangi kerlip kunang-kunang dalam botol kesayangannya, Karta tiba-tiba muncul dari lubang kegelapan.

VGENJIK MAU teriak dan berlari ketakutan. Karta

mencengkram pundak dan membungkam mulut Gen-jik, “Stt... jangan bikin gaduh.” Genjik semakin meng-gigil, merapat ke dinding, dan tak percaya Karta telah tampil dengan berdiri dan berbicara.

“Argh, jangan bodoh begitu! Ini permainan, per-mainan yang harus segera selesai,” Karta menjelaskan dengan berbisik, bahwa upacara itu tak boleh terjadi, “aku tak mau seluruh tubuhku memar.” Genjik menampik dengan gemetar yang masih, dan, mengatakan bahwa itu akan menyembuhkannya dari kutukan roh leluhur.

Page 56: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya56__

Karta tertawa, “Dasar bodoh, aku ini berpura-pura! Aku ingin makan ingkung burung dara. Dan kita tidak pernah mendapatkkannya. Orang-orang tua itu selalu mengambilnya lebih dulu dari sesaji sebelum kita da-tang!” “Kamu tidak menutup mata? Kamu tidak ber-jalan mundur? Kamu....” “Genjiiiikk, mana berani aku melakukan itu! Aku keluar sebelum kalian keluar dan melihat apa yang dilakukan orang-orang tua.” “Dukun.... dukun itu? Cicak itu, tikus itu....” “Halah, dia tidak lebih pandai dari semua tipu muslihatku. Dan kau kira aku mau makan cicak? Makan tikus? Akan segera kukem-balikan pada kalian. Semua hewan bau dan menjijikan itu masih ada di bawah ranjangku yang gelap! Sudah, sekarang yang penting bagaimana caranya agar perang kue itu tidak jadi dilakukan. Aku sudah mencuri-curi melompat lewat jendela dan berharap pada kalian. Di mana teman-teman yang lain?”[*]

Page 57: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__57Eko Triono

Bukan Aku yang Membunuhnya

“BUKAN AKU yang membunuhnya. Ia membawa anjing galak setiap pergi kemanapun. Dan, aku takut anjing. Jadi mana mungkin aku mendekat-dekat. Kalau mendekat saja tidak, bagaimana bisa aku membunuhnya pagi itu? Aku tidak memiliki senapan. Tidak mengerti bagaimana memperlakukan peluru untuk mencabut nyawa liyan. Tidak, tidak. Aku tidak bisa teluh. Aku tidak punya kosakata persekutuan dengan dunia paling absurd itu. Aku tidak gemar menghafal mantra. Kalau kalian dapati ada sajak-sajak di buku harianku, itu hanyalah mantra kesedihan yang kukumpulkan setiap kali aku patah hati, atau saat aku mengingat kenangan-kenangan pahit yang telah menjadi bagian perasaan pribadi. Aku tak mengerti, mengapa cinta selalu mengajari manusia berpuisi, seolah ada yang ingin diabadikan dari perasaan sebelum dan sesudahnya. Aku memang di sana. Tapi bukan yang pertama lihat.

Page 58: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya58__

Seorang Tua itu mengkurap beku dekat tong sampah. Jaketnya terkesiap. Syalnya terserak. Mulutnya menganga mengeluarkan uap kepagian yang terakhir. Aku tahu. Ada luka cekik di lehernya. Semacam dua titik dari gigitan taring ular raksasa. Dan seperti kalian lihat, ada lingkaran darah di dada kiri. Kukira, itu sisa-sisa kerja keras sebutir peluru menembus, dan memecah pembuluh, tapi aku tak yakin jantungnya ikut tertembak. Aku menjongkok untuk melihat apa ia masih hidup. Tepat ketika itu Seorang Penjaga Toko kudengar berlari dari tenggara. Dia berteriak-teriak dengan gegabah menyebabkan semua orang di kompleks ini seperti semut digebah-gebah dari sarangnya. Dengan capit frasa negatif, mulut mereka ribut, aku pun segera digigiti berjuta tuduhan dalam satu tema. Aku membela diri, tapi percuma. Tak berguna pembelaan saat kita berada di dunia jamak yang sepakat menentang secara bersamaan. Tak ada yang mau dengar. Seorang Penjaga itu telah meyakinkan mereka: aku inilah yang membunuh Seorang Tua, yang selalu membawa anjing kemanapun ia pergi. Karena dia tahu, aku pernah menceritakan perkara ketakutan ini padanya, pada Seorang Penjaga Toko itu. Aku memang takut anjing, tapi itu akan jadi alasan terbodoh bagi seseorang yang terpelajar sepertiku untuk membunuh orang lain yang lebih tua sekian dekade. Kuakui, setiap aku melihat si Kaki Empat berbulu menjijikan, rasanya seperti berhadapan dengan sederet nasib sial yang dikabarkan malaikat. Kakiku akan tergigit, tepat di bagian belakang tulang kering. Celanaku tersobek. Dagingku tercabik. Darah akan keluar dari pilinan ototku yang kenyal dan disudet. Ia cakar mata dan

Page 59: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__59Eko Triono

wajahku. Ia akan mengonggong dengan suara iblis yang terpendam di ruang bawah tanah selama ribuan tahun. Lalu tertawa dengan lidah dan liurnya yang busuk. Dan rasa sakit akan menginfeksi tubuhku, bersama virus rabies yang akan membuatku menggigilkan kematian di usia muda, usia yang seharusnya masih dipenuhi gairah asmara. Aku tidak ingin mati muda. Aku belum nikah. Belum tahu surga lain. Dan, mati digigit anjing, bukanlah mati yang elegan. Malah terdengar lucu dan menyedihkan. Aku ingin mati di usia tua, maksudku tidak terlalu tua. Terlalu tua membuat seseorang nampak telah mati sebelum dikuburkan. Aku tidak tertarik dengan orang terlalu tua yang masih hidup, apalagi yang banyak bicara untuk mengobati ketakutannya sendiri menghadapi dunia, menentang kematian. Dunia yang mengasingkan mereka. Kematian yang sebenarnya tak lagi peduli dengan cerita mereka. Aku cenderung kasihan, kasihan yang menjadi benci. Karena, orang yang terlalu tua, tapi masih hidup, akan memintaku mendengarkan cerita kehebatannya, semasa gagah dulu, dengan seolah-olah semuanya baru terjadi seminggu atau dua bulan yang lalu. Ia akan bercerita selama berjam-jam, bahwa di musim panas, ia sekolega berpetualang di hutan untuk berburu rusa dan seterusnya. Aku diam saja. Meneruskan kerjaku merapikan tanaman. Ia akan, dan selalu akan seperti ini, duduk dengan membawa kursi rebah, meminta pembantunya menyiapkan teh herbal, dan, meja yang dipenuhi kue yang bersahabat dengan giginya yang rapuh. Padamulanya, aku akan menghentak-hentakan gunting tanamanku, agar terdengar keras membising emosi. Aku ingin beri tanda: bosan. Cerita yang diulang

Page 60: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya60__

dan diluang. Tanpa kejutan yang menarik, selain memang terkesan diimbuhi di sana-sini, tapi itu cukup kuat untuk memberi tambahan bukti; aku semakin membencinya. Mungkin ia paham isyarat itu. Aku sedang tidak bisa diganggu. Sekali dua kali ia pun pergi. Tapi tidak setelahnya. Seolah ia tak peduli. Aku mengendarnya atau tidak, sama saja. Selagi di sudut telingaku tak ada tanda-tanda sumpalan, maka ia terus bicara dan menceritakan cerita yang sama, bahwa ia telah menghabiskan banyak kekayaan untuk berburu dari hutan ke hutan. Hutan-hutan yang jauh dan tersembunyi. Dengan hewan-hewan liar, semak belukar, rawa, dan dengan penduduk aslinya yang bodoh, yang terbelakang. Yang meminum bensin lalu muntah-muntah dekat api unggun hingga api itu menyambar ke mulut dan membuat lari ketakutan karena berubah menjadi manusia naga yang menyembur-nyemburkan api biru. Ia tertawa terbahak-bahak setiap kali mengingatnya. Tawa manusia tua yang bangga pernah jadi biadab. Maka dari itu, aku tak ingin mati terlalu tua, tua yang tua sekali. Lebih-lebih, harus memelihara anjing untuk melindungi diri dari serangan orang yang tidak dinginkan. Aku tak mau, meski aku juga tak mau memaksa orang lain untuk setuju dengan pendapatku. Lihat saja Seorang Tua, setiap kali ia bercerita tentang perburuannya itu di dekatku, anjingnya, yang sebesar bayi tiga tahun, akan mengendus-endus kaki, seperti spionase bodoh, hingga tubuhku jadi gemetar dingin, dan, darah takut mengalir. Aku pun terkencing sedikit. Ia akan tertawa lagi. Benar-benar tertawa yang mengejek. Atau mungkin tawa menang. Pipinya yang kempot semakin berdenyut-denyut menyebalkan.

Page 61: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__61Eko Triono

Sekali dua kali, aku terima, selebihnya, aku katakan padanya kalau ingin aku jadi pendengarnya, singkirkan si Kaki Empat keparat itu. Ia menurut. Aku yakin, meski ia hidup tua dengan kaya raya, tapi kesepiannya menajam sebab semua anaknya sibuk dengan bisnis, atau juga perburuan musim panas mereka di hutan-hutan pedalaman lain. Orang seangkatannya telah mati semua. Tinggal dia seorang. Tak ada perkumpulan yang menerimanya lagi. Ia tinggal selilit di geraham kesepian yang nyaris abadi. Tak ada yang mau dengar ceritanya, selain aku. Pernah kuusulkan beli robot. Ia marah. Itu menghina katanya. Baiklah, akupun bersabar jadi pendengarnya, hingga nanti mulutnya beku, aku percaya tak lama lagi. Bukan hanya karena ia bos, dan aku; seorang pekerja taman yang setiap pagi datang dan sore hari kembali pulang. Lebih dari itu, aku sedang menyelesaikan studi khusus tentang perbankan di kota ini, dan, butuh menggali informasi kondisi perekonomian di era lampau, untuk menyusun semacam tesis khusus. Disamping itu, aku memang perlu uang. Tapi sebelum kajian terwujud, ia telah mati lebih dulu. Jujur, aku senang dia mati. Ingat, aku senang bukan berarti akulah yang membunuhnya. Tidak, tidak sama sekali. Bukan aku yang membunuhnya. Aku hanya senang ia mati. Itu saja. Bukan karena ia akan berhenti mengoceh selama aku bekerja di taman rumahnya. Aku malah mulai membayangkan; akan ada yang kurang saat nanti aku merapikan tanaman. Tanaman yang di mataku telah jadi manusia klorofil. Kupangkas pertumbuhannya yang tak perlu dan tak terarah jadi bentuk tertentu. Tapi aku tak mungkin memotong batang utamanya, karena itu akan membuatnya layu

Page 62: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya62__

kering. Seperti manusia, ada ingatan penting yang harus tersisa untuk membuatnya tumbuh demi suatu tujuan. Bukan begitu? Pagi itu aku datang lebih awal. Bukan karena aku berniat membunuhnya, tidak, tidak sama sekali. Aku bukan orang yang keji, meski perasaanku cenderung dingin pada kehidupan. Aku datang pagi, karena hari itu jadwalku memangkas bunga bougenvil. Bunga yang juga kesukaan ibuku di daerah asal sana. Aku tak tega jika harus merapikannya saat matahari telah terbit dan beberapa ranting, dan bunga, merasa hari itu masih miliknya. Aku ingin mengendap, memotong rantingnya yang tak perlu saat embun masih membius dalam mimpi. Hanya itu. Kalau tak percaya, lihat saja catatan buku sajakku itu. Di sana ada perihal bougenvil dan embun pagi. Aku lupa sajak nomor berapa. Nah, itu pagi aku mengayuh sepeda, aku lihat aktivitas awan samar yang kukira akan cerah-cerah saja. Burung-burung gereja meloncat-loncat menegaskan suasana. Aku hanya tiba-tiba saja kaget yang bukan main karena mendengar gonggong anjing. Tambah gemetar jantungku setelah tahu anjing itu terlihat berlari menyambutku dengan suara marahnya seekor iblis yang baru terkutuk. Ia dari arah depan, berlari di bawah sisa cahaya lampu merkuri jalanan. Sepedaku oleng seketika. Aku loncat. Kuambil tongkat sepanjang lengan. Semua orang di kompleks ini tahu, aku selalu pergi membawa tongkat kayu. Mereka sering mengejekku. Aku tak peduli. Ejekan disebabkan si Pengejek hanya sok tahu. Mereka tak mengerti bagaimana gemetarnya melihat anjing, bahkan hanya mendengar suaranya dari kejauhan, atau hanya sisa nafas dan langkahnya yang pernah melintas di jalan

Page 63: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__63Eko Triono

yang kemudian kulalui. Apalagi pagi itu; berhadapan langsung dalam satu jalan, sekalipun masih jauh jaraknya. Yang semacam ini sudah sering kubayangkan segala kemungkinannya. Dan, nyata, tongkat memang berguna. Aku senang. Hipotesisku tidaklah suatu kesiasiaan belaka. Aku arahkan. Tiba-tiba aku ingat, kata orang, kalau ada anjing kita harus jongkok. Agar anjing itu tak nyerang. Aku pun jongkok. Tongkat tetap kuacung kokoh. Seperti ini. Tapi anjing itu tetap terlihat lari dari kejauhan. Bulunya bergejolak seperti ombak yang mau menenggak muka pantai. Gongongnya semakin tajam. Tak ada tanda-tanda ia akan berhenti. Harusnya aku berbalik dan lari kalau saja hari itu bukan hariku menerima gaji. Seorang Tua tahu, aku hanya memotong bougenvil di hari ketika aku akan menerima gaji. Bukan apa-apa, aku hanya mau menghormati ibu yang kusayangi. Lagi pula, aku sedang butuh uang yang sangat. Jadilah aku bertahan. Memasang kuda-kuda dalam jongkok. Tongkatku kian teracung siaga. Seluruh tanganku gigil. Sementara jantungku seperti meronta mau keluar, mau larikan diri melompati pagar-pagar. Di kejauhan, mata anjing itu seperti hanya diarahkan untuk membidikku seorang. Aku sempat berharap ada orang-orang pertokoan yang keluar, lalu menolong. Tapi nihil. Juga pasti akan menimbulkan ejekan nantinya. Maka biar, kulawan sendiri saja. Dan seperti disengaja alam, pagi berembun itu hanya buat aku, anjing, dan burung-burung gereja yang terkesan sedang apatis pada keadaan. Aku tak ingin mati muda. Kalau sampai anjing itu benar menujuku, aku harus melawan. Aku sempat memastikan sebentar ke belakang dan sekeliling. Benar-benar tak ada orang lain. Aku merasa anjing itu mau

Page 64: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya64__

membunuhku di usia muda. Mungkin ia dendam, karena saat aku motong tanaman sambil mendengarkan cerita Seorang Tua, ia selalu diikat pada tiang di beranda, dan hanya berputar-putar yang membosankan di sekitar tiang. Saat aku berbalik menghadap depan, anjing itu telah tepat meloncat. Astaga, aku tak mengira secepat itu datangnya. Ia loncat menerkamku dengan kaki terbentang. Nafasnya busuk. Gila! Untung aku tidak mati. Untung, untung. Saat itu kuayunkan tongkat dengan sembarangan yang bertenaga maksimal dari bawah ke atas. Aku sudah memejam pasrah; di antara perpaduan rasa takut dan sisa percobaan melawan. Aku sempat terkena semprot liur ketika ia menggonggong kesakitan di udara. Lihat ini. Luka ini bukan hasil pertarunganku dengan Seorang Tua. Kalian salah. Aku tak bisa bertarung dalam jarak dekat dan tangan kosong. Ini adalah cakaran kuku anjing itu saat melompat dan pukulanku tepat menghantam kepalanya dari arah rahang bawah, dan ia masih sempat mencakar lengan kiriku. Hingga baju sobek dan lecet berdarah semacam ini. Ia terkapar meringkik setelah berdebug di samping kananku. Matanya nyeri. Kupukul-pukul lagi kepalanya dengan tongkat sampai kakinya mendendang-nendang dan berhenti, melemah, mati. Perutnya mengempis-ngepis tak berdaya. Sebagai seorang yang takut anjing, aku telah mempelajari kelamahan-kelemahannya untuk suatu langkah waspada, barangkali juga semacam ancang dendam. Seperti cara manusia membenci manusia yang lain. Anjing itu pun benar-benar mati. Aku sadar, aku dalam kemenangan dan bahaya yang sekaligus. Seorang Tua pasti marah. Aku akan dipecat. Mungkin juga akan dibunuhnya. Ia mantan pemburu.

Page 65: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__65Eko Triono

Tidak, tidak. Itu tidak berarti kemudian aku membunuhnya lebih dulu sebelum ia membunuhku nantinya. Sudah kubulatkan tekad, aku menyerahkan kematiannya, yang berarti kebahagiaanku, pada sang waktu. Biar usia yang menghabisinya dengan cara terbaik. Aku bukan pengecut. Kubonceng mayat anjing itu dengan gemetar. Mual rasanya. Ada yang mendesal dalam lambung. Tapi aku harus melawan rasa jijik demi hari ini. Hari bougenvil dan gajianku. Ada niat untuk menguburnya secara rahasia. Dan, aku setuju dengan niat itu. Kulaju sepeda menuju tempat yang tepat. Saat itulah, aku mengerem sepeda dengan mendadak. Aku melihat Seorang Tua telah mengkurap dekat tong sampah dengan mulut terbuka. Dadanya menandakan bekas peluru. Dan lehernya, seperti digigit ular besar. Pertama aku kaget. Selanjutnya aku merasa senang yang aneh. Senang tidak lantas berarti aku membunuhnya. Aku senang sang waktu telah bekerja secara profesional dengan selongsong peluru yang menyot dekat rumputan. Dan usia, mencekiknya juga. Aku lega. Benar-benar lega dan bahagia. Itu artinya aku bisa pulang kampung dengan kabar gembira. Aku akan menyampaikan pada ibuku, bahwa lelaki pemimpin rombongan yang dulu pernah berburu di daerah kami itu telah mati dengan bekas lubang peluru di dada kiri. Mati menyusul ayahku yang diracuninya dengan bensin dan api. Mati menyusul orang-orang yang dijadikannya hewan buruan kemudian direbut tanahnya. Tapi bukan aku yang membunuhnya. Aku hanya sedang berjongkok memeriksa denyut ruhnya, saat Seorang Penjaga Toko berteriak dari tenggara, dan semua orang kemudian menghambur menangkapku, dan menuduh: aku yang

Page 66: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya66__

membunuhnya. Dan, sampai di sini aku yakin aku telah menceritakan semuanya dengan jujur pada kalian, dengan apa adanya, tanpa penambahan dan pengurangan, dari awal sampai akhir. Jadi tolong Tuan Hakim yang terhormat, lepaskan sekarang dan beri aku keadilan.”[*]

Page 67: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__67Eko Triono

Menjadi Makhluk Asing

Aku ingin menjadi mahluk asing. Karenanya saat hari yang kutunggu tiba dengan bijaksana dan dipenuhi cahaya kebangkitan sang penyelamat dunia, aku keluar dengan cara seekor jaguar Borges yang baru saja dibebaskan dari penjara Naskah Tuhan, sebelum kemudian mengajak kenalan orang-orang yang biasa kutemui pada hari-hari sebelumnya; pemilik kontrakan yang selalu bangun jam empat pagi dan tidur pada jam dua belas malam, sehingga hidupnya telihat begitu efektif sebagai pemilik toko kelontong; pekerja burjo—suatu kedai 24 jam, seluruh detik-detik hidup mereka nyaris dihabiskan dengan menyobek plastik makanan instan, mengaduk dan mencuci gelas, membuat aneka jenis nasi, serta memecahkan es batu dan menghitung jumlah kembalian dengan teliti—aku kadang berfikir apakah mereka tahu bahwa sekarang telah hari Rabu dan bulan September pekan kedua? Kuulurkan tangan.

Page 68: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya68__

Kukenalkan bahwa namaku adalah San Seroke. Mereka tertawa. Aku kecut. Mereka menanyakan mau makan apa? Aku bertanya, makanan apa saja yang ada di sini? Tidak hanya itu, aku bahkan menanyakan kembali hal-hal yang harusnya bertahun-tahun lalu kutanyakan, tentang nama-nama mereka, asal-usul, dan darimana mereka menyetok barang dagangan, dan bagaimana bisa mereka hidup hanya dengan pemandangan depan kedai. Pindah dari situ, aku bertemu teman sebelah kamarku, dan aku bertanya padanya, daerah apa ini? Dia kaget dan berlalu. Di tempat fotokopi, aku duduk. Mereka memanggil-manggil namaku yang lama. Aku cuek saja. Itu bukan panggilan untukku. Mereka marah. Kukatakan: namaku San Seroke! Aku sebentuk hidup baru. Aku bertanya pada mereka tentang kesibukan dan nama-nama di daerah yang telah bertahun-tahun kutinggali ini. Mereka tertawa dengan begitu keras; sehingga kertas-kertas terlempar ke udara; otot perut dan gigi mereka bergemeletuk seperti roda tank perang; gelas-gelas kopi retak kemudian pecah di lantai; dan sekaleng lem tertumbuk di kepalaku, merekatkan zat di dalam nama dan peristiwa hidupku yang telah lama mereka kenal—dan betapa membosankan. Lalu, seorang yang kukenal bijak, lewat. Aku bertanya, bagaimana caranya agar aku bisa menjadi sebentuk hidup baru? Ia diam. Ia tidak berkata—sepatah katapun, hanya menunjuk dua tukang parkir, di bawah pohon waru, yang sedang sibuk merapikan bidak-bidak catur ke dalam kotak, sisa jaga semalam suntuk.[*]

Page 69: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__69Eko Triono

Agama Pohon-pohon

Sebelum kau bertanya, “Agama apa yang pantas bagi pohon-pohon?” hujan lebih dahulu berwarna tembaga.

Merkuri yang tinggi, tegak dan melengkung; ber-baris menundukkan kepala di sisi jalan provinsi J., dan kita mengira mereka sedang sibuk, atau mungkin berkabung, pada lalu lintas yang senantiasa bergegas, seperti saat, seperti waktu (yang kerap terlepas dan bersambung). Penerangan dalam bus dimatikan, sejak beberapa jam yang lalu.

Penumpang yang lain sepenuhnya mengantuk; nyaris terlelap, punah dari jaga seolah mereka akan tinggal di bus ini untuk selama-lamanya. Lelehan hujan yang mengalir pada jendela kaca jatuh lebih nyata dari yang semestinya. Dan, entah mengapa, tiba-tiba kita saling bertanya: benarkah di suatu kota, hujan dan gerimis dapat berubah menjadi logam? Dan hari akan bercadar, dan, kita benar akan sampai?1

Page 70: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya70__

Kau senyum tipis: jadi logam mulia, atau, logam hina?

Aku mengangkat bahu.Itu bukan soal.Kita saling meletakan pandangan di dalam perasaan

masing-masing.Dan di luar, cuaca saat ini adalah kabut dalam lan-

skap gelap rawa-rawa pantai. Ada pula nuansa kota-kota yang kita lintasi; lapak-lapak tenda dengan lampu neon 15 watt, tempat isi ulang pulsa, ATM, penjual buah, rumah-rumah dengan beranda, restoran, apotek 24 jam, gambar-gambar kangen di bak truk, pasangan yang saling berbonceng dengan lambat, dan itu, sepotong bu-lan biskuit yang selalu terlambat 4 menit; bergelantung pada kemiringan 300 di arah Timur.

Dan kau mulai bercerita soal bulan. (Cerita yang tidak kusukai karena alasan pribadi).

Bahwasanya, pada suatu malam yang ceria, hari Sabtu, kalian pernah duduk-duduk di halaman rumah kontrakan. Zafin, putra kecil kalian, begitu mengge-maskan. (Aku membayangkan bentuk muka, pakaian, dan gaya sisiran rambutnya). Dan, katamu kemudian, sepotong bulan biskuit, muncul dari semak-semak nyiur, dari arah sungai yang tersembunyi arusnya.

Zafin terpesona melihatnya. Ia kemudian bilang:“Mama, mengapa malam-malam begini ada mata-

hari?”“Itu bukan matahari, sayang,” katamu (disertai se-

nyum ingatan geli), “itu bulan.”“Dan kamu tahu? Zafin memandang penuh

takjub, tak henti-henti, hingga seluruh sinar bulan itu menggenang di air mukanya. Dan tak kusangka me-

Page 71: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__71Eko Triono

mang, ternyata, ia baru pertama kali lihat yang namanya bulan. Ia pun bertanya lagi, ‘Itu bulan siapa, Ma?’ Kami sempat bingung. Kujawab saja, itu bulan kepunyaan Tuhan, sayang. Dan ia malah lanjut bertanya, ‘Tuhan? Siapa dia? Kakek-kakek nelayan ya? Mengapa dia me-naruh bulannya di sana? Rumahnya di seberang sungai ya, Ma? Kita main ke sana yuk! Kita pinjam bulannya, buat dipasang di kamar Zafin.’ Kami terdiam. Antara lucu dan tak mengerti isi pikiran Zafin. Untung ada penjual molen lewat. Zafin suka molen pisang. Dan pertanyaan tadi, ia abaikan dalam seketika.”

Aku minta ijin padamu untuk merasa gembira, tepuk tangan, dan berkata, bahwa barangkali, putramu itu akan menjadi seorang filsuf, atau, penyair.

(Meski sebenarnya aku muak dengan kebahagiaan kalian, dan, benci mengatakan pujian palsu).

Kusebut-sebut perihal mukjizat yang seringkali terabaikan, teralihkan oleh dorongan menjadi ideal yang lain. Kau menanggapi dengan baik. Malahan, kau menyinggung-nyinggung tentang seorang penyair, yang karena patah hati, lalu memilih jadi relawan di daerah konflik. Dia berpindah dari satu tempat ke tem-pat yang lain. Di sana, kata dia, hujan malah berubah jadi peluru. Tajam dan seringkali berdarah. Kelaparan, pengungsi, kemah-kemah penuh penyakit, mi instan, dan seterusnya.

Dia masih muda, tapi sayang, cinta yang gagal mem-buatnya lebih menderita 10 tahun dari usia kebahagiaan yang seharusnya dia miliki. Hari-harinya adalah menulis laporan pembantaian, tinggal di antara orang-orang yang tak lagi paham apa arti merdeka dan tanah air, menghibur seorang ibu yang anaknya ditembus peluru,

Page 72: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya72__

bernyanyi bagi anak-anak yang kehilangan ayahnya, meneplok nyamuk yang begitu banyak di malam gelap musim hujan, dan seterusnya.

Aku buru-buru menambahkan, “Dan dia selalu merindukan cintanya yang hilang, menulis sajak yang dirahasiakan, dan, menyusun surat cinta yang tak per-nah dikirimkan.”

Kau senyum meledek:“Lalu dia mencoba pulang, entah untuk alasan apa.”(Kau ini, memang paling bisa).Dia pulang untuk sesuatu yang masih dirahasiakan,

kataku.Kemudian, dia bertemu dengan cintanya yang mem-

buat menderita itu, yang telah memiliki anak dan rajin bercerita tentang anaknya. Mulai dari ketika dia belajar memanggil ayahnya dengan cadel, sampai soal menye-but bulan sebagai matahari yang datang di malam hari, dan, ingin memindahkannya ke kamar—tentu dengan kemiringan yang sama, 300 dari arah Timur. Mereka berusaha bercakap-cakap seolah tak pernah ada apa-apa; tak pernah mengenali satu sama lain, tak pernah menyentuh satu sama lain.

“Apa pertemuan itu suatu kebetulan?”Salah satu pertanyaan darinya.“Kebetulan? Apa itu kebetulan?” Kata si penyair. “An-

gka dalam lotre murahan yang dijagai lelaki tua di tepi jalan, atau, saat tiba-tiba kita ada dan tiba-tiba tiada?”

“Sayang sekali, sudah tak ada lagi tempat bagimu untuk menyimpan puisi-puisi. Dunia sudah sesak, sudah penuh.”

“Dan sudah menyakitkan bagi perempuan yang baru dicerai; dihapus dari kalimat cinta fiktif.”

Page 73: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__73Eko Triono

Kita diam.Dendam silih dalam jam digital berwarna merah

saga, di dekat kondektur, saling sulih dengan dingin. Aku menyandarkan punggung, lelah. Dan kita memang sudah lama tak menyenangkan

lagi. Cahaya-cahaya saling berpapas dan melewati. Jalanan berlorong. Berlabirin. Kita seperti melaju dalam pori-pori terumbu karang. Lagu-lagu lambat diayunkan membuat penumpang lain makin lelap. Kita hanya mampu menahan tawa, saat lirik dari Queen seperti sengaja dilemparkan oleh kondektur pada kita: “Too much love, will kill you.....” Kita, pada hari yang telah jadi silam, sebenarnya pernah seperti saat ini. Bedanya, ketika itu kau bersandar di bahuku, dan, kadang kau diam-diam mencuri waktu untuk mencium pipiku dan mengatakan:

“Senyummu terlalu manis untuk seorang pemikir yang berlagak serius,” (matamu menggoda).

Dan kita mengisi perjalanan dengan menerka apa-apa yang terjadi di antara rumah pada tepian jalan yang kita lintasi.

“Kamu tahu, anak itu bilang pada ayahnya: Ayah mengapa gula-gula kapas berwarna merah muda?”

Ayahnya bilang, katamu selanjutnya, “Itu karena pedagangnya ingin punya anak perempuan yang cantik, yang punya leher indah.”

“Bukan begitu,” aku merasa tidak setuju, “anak itu justru berkata: Ayah, jangan biarkan akau menjadi de-wasa. Kemudian dilahapnya gula-gula kapas itu sambil berdoa agar ia tak lekas menjadi besar. Lihatlah....”

Kau tertawa, mana ada anak kecil secerdas itu. Anggap saja dia pernah mendengar cerita betapa men-

Page 74: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya74__

yakitkannya menjadi dewasa; terbatas dari kebebasan melakukan apapun, menanyakan apapun.

Kau menatapku, benarkah kita telah menjadi de-wasa? Aku mengangguk. Kita berpelukan. Ada jeda dari musim yang tak mampu kita tahan. Dan kita berganti dari memperhatikan seorang anak dalam gendongan pundak ayahnya, yang sambil menikmati gula-gula kapas merah muda itu, ke seorang nenek keriput yang menjemur padi, dan bukit-bukit.

“Menurutmu, apa yang dikatakan bukit-bukit itu kepada kita?”

Kali itu, giliran aku yang menggodamu, “Beri aku sebuah tanda, kata sang bukit. Beri aku.... sebuah tahi lalat. Sebuah, atau lebih.”

Kau mencubitku, geli. Kita saling melirik.“Kalau pohon-pohon itu?”“Menurutmu?”“Mmm, apa ya, mungkin, mereka bilang, kalian bisa

pergi-pergi, sementara kami, sejak lahir sampai mati berada di sini.”

Kita mengambil waktu untuk memperhatikan mereka. Daun-daunnya bersorak sepi di dekat perlin-tasan. Entah untuk apa mereka ada, jika tak seorang pun mengakui. Setelah itu, seberapa jarak dari hitungan bulan, kita tak pernah bertemu lagi.

Selain pertanyaanmu yang tiba-tiba melompat: “Agama apa yang pantas bagi pohon-pohon?”

“Kenapa memangnya?”“Bukankah berbagai pohon dapat tumbuh di tempat

yang sama dengan damai?”“Ya. Kenapa?”

Page 75: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__75Eko Triono

“Ini soal perasaan. Kau tidak akan mengerti.”Jujur, aku tak tahu harus komentar apa. Kuren-

dahkan sandaran 150 dan mencoba berpikir pada kursi nomor 11, di sebelahmu ini. Hujan pun semakin menembaga.

Dan lampu-lampu lalu lintas memberi tahu lagi, pernikahan kalian memang berbeda agama. Kemudian, berpisah. Zafin dibawa oleh ayahnya.

Bus berhenti sejenak di kota G. “Aku mengira, seandainya pohon-pohon beragama,

hewan-hewan berideologi, dan para jin dan tuyul mem-buat undang-undang dan mengendalikan kekuasan, hukum, dan juga politik, masihkah kita disebut sebagai manusia?”

Seorang penumpang naik. Perempuan, tapi tidak sepertimu. Dia mendekat,

melihat sana-sini kursi yang kosong.“Boleh aku duduk di samping Anda?”“Ini sudah kubeli.”“Tapi itu kosong?”“Tidak bolehkah aku membeli sebuah kursi kosong

di sisiku?”“Untuk apa?”“Ini soal perasaan. Kau tidak akan mengerti.”“Anda pasti bercanda,” dia senyum, seolah tak per-

caya. Kutunjukan tiketnya: atas namamu.“Masih tak percaya?”Dan dia pun berlalu, duduk di sebelah kakek-kakek

tua, jauh dari tempatku berada.

Page 76: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya76__

Catatan:1. Pertanyaan (yang sebenarnya tak perlu) buat baris puisi Goenawan Mohamad, Di Kota Itu, Kata Orang, Gerimis Telah Jadi Logam)

Page 77: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__77Eko Triono

Aku Ini Ibumu

“NGOMONG APA kamu tadi ngomong apa hah aku ini ibu ibumu ibu yang melahirkanmu dengan susah payah tega-teganya kamu ngomong begitu tega kamu pikir aku ini apaan aku bangun pagi saat orang lain masih tidur nyuci baju masak ngepel nyuci pakaian njemur lihat lihat tetangga lain lihat ada yang seperti aku ini uang belanja pas-pasan malah kadang dipotong dihutang aku cari sendiri jualan ini itu ada nggak tetangga lain yang seperti ini cerewet cerewet ya cerewet kuwalat kamu kuwalat dasar anak durhaka pingsan sana pingsan di sumur atau mati sekalian tahu gitu tak perlu aku lahirkan kamu ke dunia mending dipencet saat masih dalam kandungan ngerti nggak kamu berat berat rasanya orang hamil sembilan bulan ngandut sana-sini mau tidur susah mau makan susah mau jalan berat sudah gitu kamu tahu saat hamil adikmu malah ayahmu pergi kencan dengan tetangga sebelah sadar

Page 78: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya78__

sadar jadi anak sadar biar nggak kuwalat sudah sukur kamu tidak kupencet sudah sukur kamu tidak kubuang ke kali sengsara dikit aja ngeluh coba banyangkan ibumu waktu kecil subuh bangun masak nganter kiriman nasi ke sawah beri makan angsa berangkat sekolah mencari kayu bakar dan tak pernah makan enak sekarang cuma gara-gara itu kamu tutup telinga dan mau pingsan di sumur cengep-cengep mau mati banting apa saja silahkan mati mati kamu mati biar hidupku tenang buat apa anak sepertimu menyesal aku membiarkanmu hidup dan lahir kenapa tidak kupencet saja waktu masih dalam kandungan yang namanya kamu memang seperti itu seenaknya pulang piring berantakan lantai kotor baju kotor makanan habis belum lagi masak sana ikut orang lain saja jadi anaknya orang lain kalau mau seperti itu tega kamu tega banting pintu dan ngomong cerwet pada ibumu ibu yang membiarkan kamu lahir tahu gitu sudah kupencet kamu dalam kandungan biar nggak lahir biar nggak....” [*]

Page 79: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__79Eko Triono

Pasangan

D adalah seorang pesulap terkenal yang belum lama ini menikah. Istrinya bernama Z sudah hamil tua. Dengan terus terang, “Kalau memang kalian memaksa, baiklah, akan kukatakan. Yang tidak kusukai, dalam tanda petik, dari Z sebagai istri adalah dia terlalu apa ya, terlalu lurus dan realis cara berpikirnya,” D mengatakan di acara sapa selebriti TV yang mengangkat tema tentang hal-hal yang tidak disukai dari pasangan Anda, dan penggemarnya menyebarkan ke twitter, ke facebook, dan menggungah videonya ke youtube, dan media lainnya. Istrinya tak peduli dengan itu. Dalam keyataannya memang Z, karena D terlalu sibuk dengan pekerjaannya menyulap kotak kosong menjadi berisi burung merpati, tisu menjadi selembar uang, atau menebak angka kartu; maka dia sering menghabiskan hari, bahkan makan malam—yang ketika pacaran selalu bersama-sama—, dengan seekor kucing feral berbulu kembang asam

Page 80: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya80__

pemberian D ketika mereka berkunjung ke Baltimore. “Pulanglah, perutku mau pecah!” Tak lama, mereka telah berada di rumah sakit. D gelisah yang bahagia karena beberapa detik lagi dia akan menjadi ayah. Sebuah jeritan terdengar. Dokter keluar dengan gugup. Tanpa kata-kata. D masuk dengan cekatan. Beberapa perawat menepi di dinding seperti beberapa serangga raksasa yang ketakutan kerena mau disemprot baygon pembunuh. Istrinya duduk dengan tenang di ranjang. D mendekatkan langkah, dan terhenyak saat melihat seekor kucing kembang asam sedang menyusu, dengan sesekali mengiau manja dalam gendongan istrinya yang dengan pelan berkata kepada D, “Kau membuat kenyataan menjadi sihir, dan lihatlah aku adalah pasangan untukmu; aku membuat sihir menjadi kenyataan.”[*]

Page 81: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__81Eko Triono

J a m

SEORANG PELACUR dengan dada telanjang yang bentol-bentol merah membuka jendela di lantai dua; melemparkan sisa anggur yang bercampur liur seorang pelanggannya.

Seperti pagi yang kemarin—yang selalu mirip den-gan pagi yang lain—buangannya disengaja untuk men-genai tubuh juga muka gelandangan yang ngringkuk di emperan gedung bordil tua dengan kedingingan. Kali ini tepat menimpa bibir, hidung, dan mata gelandangan, yang seandainya dia tahu, dia akan mati hari ini.

Dia membuka mata dengan kaget, bangun seperti kadal, dan tiba-tiba tersenyum: “Tidak salah aku me-milih tempat ini.”

Tangannya mencuci muka; kemudian dijilat-jilat dengan lidah pucat yang rakus, kelaparan. Gang ini ada-lah sarang paling nyaman bagi gelandangan seperti dia. Kalau malam seperti altar pesta, dengan riuh, musik,

Page 82: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya82__

lampu dan mobil-mobil yang mengerem. Mulai pagi sampai sore tersulap jadi kota hantu—dengan bau mun-tahan yang lembab dan mendistribusikan keheningan.

Dia, yang akan mati hari ini, berjalan seperti bayi. Langkahnya perbaduan antara rasa lapar, malas, dan ngantuk—seakan telah jadi zombi. Tapi, dia musti ke depan. Jalan besar pertokoan ada di sana. Kalau bukan kerjaan, toh mungkin ada makanan. Toko-toko grosiran buka pagi. Pukul delapan mereka sudah sibuk. Dia pikir otak pedagang sebagiannya adalah otak ayam; kalau pun dikurung, mereka tahu kapan waktunya untuk berkokok.

Dia meludah yang cepat . T idak l ancar . Menggelantung di bibir. Jadi lendir. Dia haus.

Suara tangan bertepuk. Dia menoleh seperti kura-kura. “Heh, sini!” Bos toko jam memanggil. “Kau pengen makan ‘kan?” Jelas ini kalimat hinaan, bukan pertan-yaan. Dia diam, melirik tajam seperti seekor ular di sela batuan goa yang bertahan antara waspada, harap, dan harga diri yang licin.

“Jangan curiga seperti itu,” nada bos ini kelihatannya baik, rendah, penuh simpatik.

Dia pun mendekat dengan langkah yang dibuat-buat biasa saja. Bau tubuhnya jelas seburuk pakaiannya. Na-mun, bos itu agaknya tidak terusik, apalagi jijik.

“Bekerjalah di sini. Kami memerlukan pekerja tambahan dan juru hitung,”—bos itu memeragakan kalkulasi—”kau butuh makan ‘kan? Butuh kerja?”—sepertinya bos itu menganggap dia kelewat dungu sehingga nada bicaranya berbubah seolah guru sekolah dasar, atau mungkin karena dia diam seolah patung kotor, diam karena biasa dilecehkan sebelumnya, dikerjai yang

Page 83: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__83Eko Triono

menyakitkan—”jangan khawatir, aku akan mengajarimu, dan menggajimu dengan pantas. Sekarang, ikut aku masuk! Hei, jangan melompong begitu.”

Dia, yang tidak tahu kalau akan mati hari ini, merasa memiliki ruh baru hari ini yang ditiupkan dari mulut sang bos. Dia akan kerja. Akan jadi normal!

Tukang parkir dan penjaga lain, melihatnya dengan iri yang sinis, jahat, dan tak percaya keberuntungan itu benar-benar terjadi pada dia yang hanya gelandangan.

SELANG SATU jam, dia keluar. Sudah rapi. Telah bercukur. Bersisir belah tengah. Wangi. Kemejanya digulung setengah lengan. Putih. Dengan satu saku di dada kiri. Dia pun diperkenalkan. Padamulanya, agak canggung, namun kebahagiaan yang nyata membuatnya terbiasa.

Di balik semua itu, dia siap bekerja, siap mengabdi dengan sepenuh hati; patuh dan taat.

Pekerja yang telah lama, sopir sang bos, tiba-tiba mendekat, berbicara ke telinga—seperti adegan pem-bisik telinga raja, “Apa bos yakin akan menjadikan gelandangan ini pekerja? Si dungu yang hanya akan membuat kerugian dan berantakan?”

“Aku harus berbuat baik kepada sebanyak mungkin orang,” bos yang memang memiliki banyak usaha ini bicara dengan santai. Toko grosir jam terbesar di kota ini hanya salah usahnya, yang bahkan terbilang sangat kecil.

Tukang parkir, yang sedari tadi menyimak pun, ikut tergerak mendekat, bersandar ke etalase kaca, “Tapi dia benar-benar dungu. Kenapa tidak yang lain?”

Yang dimaksud yang lain oleh tukang parkir itu,

Page 84: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya84__

pasti dirinya sendiri, cara ujarnya begitu jelas.Bos tersenyum. Dia memanggil gelandangan yang

kini telah rapi, memintanya untuk mendekat.“Kalian pikir, kalian lebih pandai dari dia, hemh?”—

bos terlihat menantang, ia menunjuk sekeliling—”coba tunjukan padaku bagaimana cara mengkalkulasi semua ini? Kamu?” bos mengarahkan kata tantangannya pada si sopir. Si sopir menggeleng malu dan menatap ujung sepatunya. “Atau kamu?” kali ini bos menunjuk si tukang parkir yang terlihat gusar.

“Kuakui aku tak bisa. Karena bos tidak pernah men-gajariku, meski aku sudah bekerja di sini sangat lama,” dari cara ucapnya, serta mimik mukanya, dia jengkel.

“Kalau begitu,” kata bos, “aku lebih tahu apa yang kulakukan daripada kalian. Kalau masih mau bekerja untukku, kerja yang bener dan jangan ngrasa pinter, ngerti?!”

Kerja pada tiga jam pertama, dia, yang belum tahu akan mati pada hari ini, merasa lelah karena kurang bantuan.

Entah bagaimana caranya bos benar-benar pandai menggaet pelanggan seperti magnet. Ada saja pesanan atau yang datang. Dia butuh bantuan. Dan bos, memin-dahkan seorang pekerja di toko grosir kain yang berada dekat jalan utama, setengah jam kemudian.

“Ingat, dagangan kita laris, tapi jangan sekali-kali kalian mengambil. Terutama ini. Apalagi menjualnya. Kalau sampai ini terjadi, jangan tanya akibatnya.”

Dia mengerti. Dan, padamulanya tidak tertarik. Namun, takdir seperti hukum gravitasi, ia harus mati hari ini.

Page 85: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__85Eko Triono

KETIKA MEREKA makan siang, kepastian itu seperti menyusup dari celah aspal atau mungkin lobang got. Atau dari bibir tukang parkir yang menjelma kotak pos berisi surat cobaan.

Dia mendekat dan setelah basa-basi pada keduanya, dia mulai menyinggung-nyinggung tengan orang ke-percayaan bos. Tentu dirinya masuk singgungan itu, karena telah lama bekerja pada bos, meski sebagai tukang parkir.

“Dan bos itu sebenarnya... pelit,” tukang parkir melancarkan serangan. “Kalau tidak, tentu aku sudah diangkatnya jadi asisten atau bahkan menejer di salah satu tokonya.”

Dia, yang akan mati hari ini, menyanggah dengan sopan; bahwa bos itu baik, buktinya, memberikan pekerjaan. Tidak ada yang lebih baik, selain mereka yang memberi pekerjaan.

“Itu sekarang. Tidak lama lagi kalian akan di... phak”—tukang parkir memeragakan orang nendang—”lalu diganti dengan gelandangan yang lain,” matanya menunjuk orang yang mengorek sampah, lalu beralih pada yang sedang meminta-minta dengan merendah-kan diri serendah-rendahnya demi receh.

Sadar sedang dikelabuhi, dia, yang akan mati hari ini, segera kembali kerja dengan seksama.

Dia mengingatkan pada si perempuan. Tapi, tidak digubris. Ya, sudah. Tukang parkir itu kelihatan senang seperti pancuran yang dapat ember tampung.

“Aku tahu kau mencintainya,” tukar parkir itu bisik-bisik. Perempuan itu kaget, malu.

Lalu, “Kau bisa berkeluarga bersamanya hanya den-gan menjual jam tangan emas itu.”

Page 86: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya86__

Lebih lanjut, tukar parkir menjelaskan; harga emas sedang di level tertinggi.

“Kenapa tidak kau sendiri yang melakukannya, lalu bawa pergi dan selamatkan hidupmu?”

“Dengar, aku sangat dikenali di daerah sini. Ru-mahku juga tak jauh dari sini; ada anak, ada istri. Jelas, itu akan menyulitkanku. Kalian? Bebas. Mau lari ke mana pun, lalu tinggal di mana pun. Aku hanya bu-tuh sedikit... hanya sedikit komisi,”—dia menjentik jari kelingking—”dan aku akan bersaksi bahwa kalian dirampok.”

Tukang parkir itu memintanya untuk menjelaskan pada dia, yang akan mati hari ini, tentu dengan penje-lasan cinta juga.

PEREMPUAN ITU menurut, “Kumohon, ambillah jam tangan emas itu, jual, lalu kita kabur, menikah, kaya raya dan bahagia selamanya. Demi Tuhan, aku sangat mencintai—menginginkanmu.”

“Secepat ini?” dia tidak percaya, karena hanya baru beberapa jam saja. Ini ganjil.

Perempuan itu gemetar, rona mukanya memerah, dan tangannya menahan perut yang mulai kram karena birahi melonjak dahsyat seketika, “Bahkan sebenarnya, bisa lebih cepat dari ini. Sudahlah, cinta bukan hanya soal kecepatan, tapi... ketepatan.”

Perempuan itu mendekatkan muka, setengah mendesah, nyaris bersentuhan. Tangan mereka saling menggapai. Sejenak, ada situasi rumit, sebelum dilepas-kan dari himpit.

Dengan dorongan kuat menjadi kaya raya—disertai

Page 87: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__87Eko Triono

gariah hormonal yang telah lama tertekan—dia meny-erah. Kemudian ketiganya, dengan keputusan dan cara yang mengejutkan, bekerja sama untuk mengambil jam emas di dalam kotak khusus. Dan, dasar cerdas, mereka bersorak menang; berhasil sempurna.

“Sekarang,” atur tukang parkir, “kau pergi panggil bos di butik depan,”—dia menunjuk si perempuan, dan seakan tahu perisi bahwa jam menjelang sore begini bos ada di sana—”lalu kau, lari cari bantuan, bilang tokomu di rampok, sementara aku akan kondisikan seoalah di sini baru saja ada perampokan; akan kupecahkan ini-itu dan seterusnya. Lalu jam emas itu, kau simpan baik-baik, ya.”

Dalam hitungan tiga, semua bergerak. Bunyi gaduh diciptakan. Dia, yang akan mati hari ini, berlari minta tolong bilang ada perampokan.

Beberapa orang, karena sepi di situ kalau siang, muncul dengan malas. Juga terlihat pelacur yang men-gantuk. Mereka berjalan, dengan tidak terlalu terburu-buru, menuju toko jam.

Belum juga sampai, arus beberapa orang datang dari arah toko, “Itu malingnya! Itu!”

Mereka menunjuk dia yang tadi beteriak minta tolong. Gila, ini jebakkan. Tahu akan ini, dia berusaha menjelaskan, namun para tukang parkir yang seper-tinya berkomplot itu langsung menghajarnya. Lehernya dicekik hingga tak dapat bersuara.

Bos muncul dengan mobil dan si perempuan. Dia kaget mengetahui siapa yang sedang dihajar.

“Sudah kubiang ‘kan, dia itu dungu dan hanya men-imbulkan kerugian,” kata si sopir.

Hampir saja perempuan yang di belakang itu mem-

Page 88: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya88__

buka mulut, tapi rekan tukang parkir segera menarik dan membiusnya di balik mobil tanpa ketahuan, lalu menyembunyikannya.

“Coba geledah sakunya!” perintah tukang parkir, seolah mewakili isi hati bos. “Dia telah berani meram-pok jam emas paling berharga di kota ini. Dasar kutu kupret!”

Seperti tersihir, orang-orang mengikuti apa yang ia katakan. Beberapa pelacur yang melihat dari jen-dela lantai dua dapat menyaksikan; lelaki malang itu ditelanjangi—tinggal celana dalam. Pakaiannya dikibas-kibaskan. Dan, tak ada sesuatu pun yang jatuh menggerincing.

Takut ketiwasan, tukang parkir mencoba memas-tikan sendiri. Dia mendekat.

“Di mana jam emas itu?!” ia atap wajah lelaki bodoh yang sial, tak sampai sedetik lamanya.

“Aku tahu”—ia tempelkan telinga di sana—”tuh ‘kan benar apa dugaanku, aku dengar langkah waktu!” sepertinya ada jawaban dari tatapan mata barusan. “Di sini, di dadanya. Dia telah menelannya. Dasar brengsek. Pisau! Man pisau?”

Rekannya memberi. Yang lain, atas dasar isyaratnya, membungkam si tersangka yang tak berdaya.

Tanpa basa-basi, ia membedahnya dengan beranta-kan, seperti ibu rumah tangga anyar yang baru belajar membedah perut lele; dari ujung tulang dada, hingga pusar.

Pada sesi pertema ia mengangkat tingi-tinggi usus-usus yang menimbulkan bau jeroan manusia. Ia kemu-dian meletakkannya begitu saja. Berikutnya, lambung. Ia iris sambungannya, membedel, dan tak nemu apa-apa

Page 89: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__89Eko Triono

juga. Kian panik, ia rogoh semuanya. Tak kena juga jam emas itu. Uh! Wajah di sekeliling

mulai kesal, terutama bos.“Ini dia....” tukang parkir itu nyengir senang sambil

terbaring, menarik tangan dengan hati-hati, merasa menemukan kecurigaannya di bawah rongga dada kiri. “Nah!” Ternyata salah.

“Jantung, bodoh! Itu jantung”—‘kan bos marah-ma-rah jadinya—”mana jam emas itu? Mana? Ya, Tuhan... kau bahkan telah membunuhnya,” dengar itu: bos bicara dengan suara yang membenci diri sendiri, ketakutan bukan main. Orang-orang pun berusaha membantunya menyebut-nyebut nama Tuhan yang Maha Agung.

“Tapi sungguh, tadi suaranya seperti langkah jarum jam, seperti detak waktu, bos,” tukang parkir itu membela diri—dengan nada pura-pura sedih yang mendalam—sembari menatap sebuah jantung yang belepot merah dalam genggaman tangan kanannya yang sunyi.[*]

Catatan: cerpen ini terinspirasi dari puisi Dwi S. Wibowo, Maling Arloji.

Page 90: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya90__

Page 91: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__91Eko Triono

Pulang

KITA HARUS PULANG. Sebentar lagi jam lima. Kemasi barang-barangmu. Kita akan ikut kereta penghabisan. Kita mesti segera pulang. Nanti, akan kutunjukan padamu: mana itu ayah, mana itu ibu, dan mana itu adik. Kau akan rasakan betapa menyenangkannya mereka. Kita akan bermain di halaman; menyalakan kembang api; membuat kincir daun di tepi sungai; bersepeda di pematang; saling jaga dalam petak umpet—dan, tertawa seperti burung-burung pagi yang berlompatan di pohon jambu monyet. Kau tidak akan sedih di sana. Ada sarapan yang menyenangkan. Obrolan yang riuh. Ada kesibukan sederhana yang membuat lupa pada kesedihan. “Tapi kenapa kita harus pulang?” Ya, karena memang semestinya kita punya tempat pergi dan punya tempat kembali. “Tapi kenapa harus pulang?” Karena kita tak tahu lagi ke mana harus kembali. Sudahlah, kau tidak lihat itu jam makin cepat? “Aku tak mau pulang.”

Page 92: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

Kakek dan Cerita-cerita Lainnya92__

Tapi kita harus pulang. “Tapi aku tak mau!” Harus mau! “Kau saja sendiri.” Apa? Apa katamu? Sendiri? Kau dan aku berada dalam satu nama, satu tubuh, satu ruh, dan kau bilang aku harus pulang sendiri?[*]

Page 93: Kakekgaleribukujakarta.com/wp-content/uploads/2020/03/kakek...pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari

__93Eko Triono

Riwayat Penerbitan

Ikan Kaleng disiarkan pertama kali di Kompas, 2011

Seekor Hiu di Atap Rumah disiarkan pertama kali di Jurnal Nasional, 2013

Tahun-tahun Penjara disiarkan pertama kali dalam kumpulan cerpen pilihan Taman Budaya Jawa Tengah, Tahun-tahun Penjara, 2012

Kenapa Harus Saya pertama kali disiarkan di Kedaulatan Rakyat dengan judul Doa Tukang Kebun, 2012

Bukan Aku yang Membunuhnya disiarkan pertama kali di Majalah Sastra Horison, 2011