K3
-
Upload
mia-yukimura -
Category
Documents
-
view
18 -
download
1
Transcript of K3
1. Sejarah K3
Sejarah kemunculan program keselamatan dan kesehatan kerja, pertama
kali yaitu pada tahun 1760 sebelum Masehi. Raja pendiri dynasti Babylonia,
menyusun kumpulan undang-undang dan peraturan yang kemudian disebut
Kode Hammurabi. Kode ini, telah diterima oleh raja dari dewa matahari,
Shamash yang memberikan prosedur mengenai hak-hak milik, hak
perorangan, dan hutang-piutang. Ini diberikan antara lain untuk mengatur
kerusakan yang disebabkan oleh pengabaian dalam berbagai perdagangan.
Sebagai contoh, ini mengatur mengenai hal berikut :
“Jika seorang pembangun membangun rumah untuk seseorang dan tidak
membangunnya secara tepat, kemudian rumah tersebut runtuh dan
menewaskan pemiliknya, maka pembangun harus dihukum mati. Jika pembuat
kapal membuat perahu untuk seseorang dan tidak membuatnya dengan kuat,
jika selama tahun yang sama perahu tersebut rusak, maka pembuat kapal
harus memperbaikinya dengan biayanya sendiri. Kapal yang telah diperbaiki
tersebut harus diberikan kepada pemiliknya. ”
Peraturan-peraturan ini tampaknya mirip dengan building codes dan OSHA
standard mengenai Pekerjaan Galangan Kapal serta persyaratan Worker’s
Compensation.
Selama awal Abad Pertengahan berbagai bahaya diidentifikasi, termasuk
efek-efek paparan las dan mercury, kebakaran dalam ruang terbatas, serta
kebutuhan alat pelindung perorangan. Namun demikian, tidak ada standard
atau persyaratan keselamatan yang terorganisasi dan ditetapkan pada saat itu.
Para pekerja biasanya pengrajin independen atau bagian dari las atau pertanian
keluarga bertanggung jawab sendiri untuk keselamatan, kesehatan dan
kesejahteraannya.
Pada awal abad 18 dan pada saat terjadinya Revolusi Industri, Beardini
Ramazini menulis “Discourse on Disease of Workers”. Dikenal sebagai bapak
pengobatan pekerja, dia menggambarkan penyebab dari penyakit akibat kerja
yang terjadi pada kimiawan yang bekerja di laboratorium. Namun demikian,
perhatiannya yang besar pada kimiawan, membuatnya percaya harus ada
perlindungan terhadap profesi mereka jika dia menyarankan intervensi
keselamatan. Dia juga menggambarkan rasa sakit yang terjadi di tangan
tukang ketik, yang mengawali pengetahuan kita mengenai cidera yang
disebabkan gerakan berulang. Sebagai tambahan pada kuesioner standard
sejarah pasien, dia juga menanyakan “Apa pekerjaan anda?”.
Pada akhir tahun 1700, delapan belas pabrik memperkenalkan pekerja
bahaya baru dan tidak diketahui. Perusahaan tekstil dijalankan dengan mesin
pintal, gulungan kapas dan tumpukan benang, bersama dengan resiko yang
berhubungan dengan mesin, kebisingan dan debu. Manajemen diperhadapkan
dengan keuntungan dan kerugian. Kematian dan cidera diterima sebagai
bagian dari bidang las. Pada saat itu, mungkin rasa sakit dan kesakitan belum
diperhatikan sebagai norma dan diterima dalam beberapa pekerjaan.
Kemudian manajemen keselamatan dan kesehatan, tidak dipertimbangkan atau
diperlukan. Karena masih buruh sangat banyaknya pekerja yang senang
dengan hanya memperoleh pekerjaan.
Pada awal tahun 1800, revolusi melanda Amerika Serikat, menekankan
pengeluaran biaya, dan tenaga kerja menjadi makin banyak dengan buruh
imigran dan buruh anak-anak. Undang-undang yang umum pada saat itu
menguntungkan para pengusaha dan manajer, dan nyatanya tidak ada
kompensasi untuk penyakit atau cidera serta tidak ada standard yang disetujui
untuk keselamatan tempat kerja. Namun demikian, ketika cidera semakin
meningkat, usaha pertama terhadap kompensasi dimulai di Massachusetts
dengan Employer’s Liability Law pada tahun 1887. Namun demikian pada
banyak kasus, usaha kompensasi ditolak dengan berbagai 8las an legal jika
pengusaha dapat menunjukkan bahwa pekerja lalai atau memberikan
kontribusi terhadap penyebab kecelakaan.
Abad dua puluh merupakan awal perhatian keselamatan kerja pada arena
politik. Pada tahun 1908, Theodore Roosevelt mengatakan : “Jumlah
kecelakaan yang menyebabkan kematian pekerja .... semakin meningkat.
Dalam beberapa tahun ini angka kecelakaan kerja meningkat dengan cepat dan
menyebabkan kematian yang lebih besar daripada perang besar. Ini diikuti
dengan penetapan persyaratan Workers Compensation secara federal serta di
seluruh negara bagian. Pada saat yang sama, standard-standard keselamatan
mengenai pelindung mesin dan perusahaan baja serta rel kereta api memulai
apa yang kita kenal sekarang sebagai program manajemen keselamatan kerja.
Kebakaran pabrik Triangle Shirtwaist yang terkenal pada tahun 1911, yang
menyebabkan kematian pekerja garmen sebanyak 146 orang, membantu untuk
menggabungkan usaha-usaha ini. National Safety Council dibentuk pada saat
itu.
Sampai tahun 1931, sebagian besar dari usaha-usaha intervensi
keselamatan dan kesehatan diarahkan langsung untuk meningkatkan kondisi
pabrik. Kemudian H.W. Heinrich menerbitkan buku yang berjudul Industrial
Accident Prevention. Dia mengusulkan konsep bahwa tindakan-tindakan
orang lebih besar menyebabkan kecelakaan daripada kondisi tempat kerja. Dia
disebut sebagai Bapak Safety Modern karena dia yang pertama mengusulkan
prinsi-prinsip keselamatan kerja yang terorganisasi.
Prinsip-prinsip ini revolusioner pada saat itu. Prinsip-prinsip ini mencakup
konsep bahwa kecelakaan disebabkan terutama karena unsafe acts dari
pekerja, dan bahwa unsafe act yang sama mungkin terjadi lebih dari 300 kali.
Dia juga mengusulkan beberapa alasan mengapa orang-orang bertindak
unsafe, metodologi dasar untuk mencegah kecelakaan, serta mengusulkan
bahwa manajemen bertanggung jawab untuk melakukan pencegahan
kecelakaan kerja.
Dalam tahun 1970, Occupational Safety and Health Act (OSHA) yang
bersejarah disahkan dan menjadi undang-undang federal yang efektif pada
tahun 1971. Ini diikuti dengan beberapa kejadian, termasuk pembaharuan pada
keselamatan kendaraan dengan buku Ralph Nader yang berjudul Unsafe at
Any Speed. Keselamatan dan kesehatan kerja menjadi elemen penting.
Standard-standard telah dimulai dan manajemen telah mengetahui bahwa
keuntungan operasi secara langsung terpengaruh ketika pekerja mengalami
lost time karena cidera yang disebabkan kerja.
Beberapa orang akan membantah bahwa OSHA Act mengubah perhatian
manajemen dari pencegahan cidera menjadi mematuhi undang-undang.
Namun demikian dengan maksud baik, regulasi pertama keselamatan kerja
diadopsi dari dokumen-dokumen lain yang ditetapkan oleh standard yang
dihasilkan berbagai organisasi. Dalam banyak kasus, standard-standard
tersebut dimaksud untuk digunakan sebagai panduan. Tanggung jawab
penerapan dari panduan keselamatan kerja diganti dengan perilaku
“bagaimana kita sesuai” sampai beberapa tingkatan. Selain itu, karena
undang-undang difokuskan pada kondisi tempat kerja, mungkin akan
menghambat perkembangan perangkat manajemen keselamatan kerja
berdasarkan intervensi perilaku. Pendekatan kondisi tempat kerja ini
bertentangan dengan prinsip yang diusulkan oleh Heinrich yang mengatakan
bahwa sebagian besar kecelakaan disebabkan oleh tindakan manusia.
Pada beberapa kejadian, OSHA bersama dengan partner penelitiannya,
National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) dan komite
penasehatnya National Advisory Committee on Occupational Safety and
Health (NACOSH), menciptakan perhatian baru dan era baru dalam bidang
keselamatan dan kesehatan. Undang-undang yang memberikan sanksi
terhadap ketidaksesuaian dengan persyaratan menyediakan tempat kerja yang
bebas dari bahaya yang diketahui cenderung berorientasi pada spesifikasi dan
diberikan secara terperinci apa yang perlu dilakukan. Banyak kesenangan
yang dibuat sehubungan dengan persyaratan rancangan tempat duduk toilet
serta ketinggian letak alat pemadam kebakaran. Peraturan yang baru telah
berubah berdasarkan orientasi kinerja, yang dapat mendorong pengesahan
alasan dan penerapan tanggung jawab terhadap persyaratan. Suatu contoh
mengenai pendekatan ini ditemukan dalam Standard Manajemen Keselamatan
Proses, yang mempersyaratkan penakaran resiko sekitar keselamatan pabrik
kimia. Hingga saat ini OSHA adalah satu-satunya kiblat perundang-undangan
keselamatan dan kesehatan kerja di seluruh dunia.
2. Undang – Undang No 1 tahun 1970
KESELAMATAN KERJA
Undang-undang Nomor I Tahun 1970
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang :
a. bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas
keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup
dan meningkatkan produksi serta produktivitas Nasional
b. bahwa setiap orang lainnya yang berada di tempat kerja terjamin pula
keselamatannya
c. bahwa setiap sumber produksi perlu dipakai dan dipergunakan secara
aman dan efisien
d. bahwa berhubung dengan itu perlu diadakan segala daya upaya untuk
membina norma-norma perlindungan kerja
e. bahwa pembinaan norma-norma itu perlu diwujudkan dalam Undang-
undang yang memuat ketentuan-ketentuan umum tentang keselamatan
kerja yang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Industrialisasi.
teknik dan teknologi
Mengingat :
1. Pasal-pasal 5.20 dan 27 Undang-undang Dasar 1945;
2. Pasal-pasal 9 dan 10 Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara
Republik Indonesia tahun 1969 Nomor 35, Tambahan Lembaran negara
Nomor 2912).
Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong ;
MEMUTUSKAN:
1. Mencabut:
Veiligheidsreglement tahun 1910 (Stbl. No.406).
2. Menetapkan :
Undang-undang Tentang Keselamatan Kerja
BAB I
Tentang Istilah-istilah
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan :
(1) “Tempat kerja” ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka,
bergerak atau tetap di mana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki
tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan di mana terdapat sumber atau
sumber-sumber bahaya sebagaimana diperinci dalam pasal 2.
(2) Termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan
sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian yang dengan tempat kerja
tersebut.
(3) “Pengurus” ialah orang yang mempunyai tugas pemimpin langsung sesuatu
tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri.
(4) “Pengusaha” ialah :
a. orang atau badan hukum yang menjalankan seseuatu usaha milik sendiri
dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja;
b. orang atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan sesuatu
usaha bukan miliknya dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat
kerja;
c. orang atau badan hukum yang di Indonesia mewakili orang atau badan
hukum termaksud pada (a) dan (b), jikalau yang diwakili berkedudukan di
luar Indonesia.
(5) “Direktur” ialah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk
melaksanakan Undang undang ini.
(6) “Pegawai Pengawas” ialah pegawai teknis berkeahlian khusus dari
Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.
(7) “Ahli Keselamatan Kerja” ialah tenaga tehnis yang berkeahlian khusus dari
luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja
untuk mengawasi ditaatinya Undang - undang ini.
BAB II
Ruang Lingkup
Pasal 2
(1) Yang diatur oleh Undang-undang ini ialah keselamatan kerja dalam segala
tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air
maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik
Indonesia.
(2) Ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) tersebut berlaku dalam tempat kerja di
mana :
a. dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat perkakas,
peralatan atau instalasi yang berbahaya atau dapat menimbulkan
kecelakaan, kebakaran atau peledakan;
b. dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau
disimpan bahan atau barang yang : dapat meledak, mudah terbakar,
menggigit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi;
c. dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau
pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya termasuk bangunan
perairan, saluran, atau terowongan di bawah tanah dan sebagainya atau di
mana dilakukan pekerjaan persiapan;
d. dilakukan usaha pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan
hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan
dan lapangan kesehatan;
e. dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan emas, perak, logam atau
bijih logam lainnya, batu-batuan, gas, minyak atau mineral lainnya, baik di
permukaan atau di dalam bumi, maupun di dasar perairan;
f. dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di daratan,
melalui terowongan, di permukaan air, dalam air maupun di udara;
g. dikerjakan bongkar-muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga, dok,
stasiun atau gudang;
h. dilakukan penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lain di dalam
air;
i. dilakukan pekerjaan dalam ketinggian di atas permukaan tanah atau
perairan;
j. dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau
rendah;
k. dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan,
terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut atau
terpelanting;
l. dilakukan pekerjaan dalam tangki, sumur atau lobang;
m. terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, gas,
hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran;
n. dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau timah;
o. dilakukan pemancaran, penyiaran atau penerimaan radio, radar, televisi,
atau telepon;
p. dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset
(penelitian) yang menggunakan alat tehnis;
q. dibangkitkan, dirobah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau
disalurkan listrik, gas, minyak atau air;
r. diputar pilem, dipertunjukkan sandiwara atau diselenggarakan rekreasi
lainnya yang memakai peralatan, instalasi listrik atau mekanik.
(3) Dengan peraturan perundangan dapat ditunjuk sebagai tempat kerja ruangan-
ruangan atau lapangan-lapangan lainnya yang dapat membahayakan
keselamatan atau kesehatan yang bekerja dan atau yang berada di ruangan
atau lapangan itu dan dapat dirubah perincian tersebut dalam ayat (2).
BAB III
Syarat-syarat Keselamatan Kerja
Pasal 3
(1) Dengan peraturan perundangan-undangan ditetapkan syarat-syarat
keselamatan kerja untuk:
a. mencegah dan mengurangi kecelakaan;
b. mencegah, mengurangi dan memadam kan kebakaran;
c. mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;
d. memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran
atau kejadiankejadian lain yang berbahaya;
e. memberi pertolongan pada kecelakaan;
f. memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;
g. mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu,
kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar
atau radiasi, suara dan getaran;
h. mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik physik
maupun psychis, peracunan, infeksi dan penularan;
i. memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;
j. menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik;
k. menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;
l. memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;
m. memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara
dan proses kerjanya;
n. mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman
atau barang;
o. mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan;
p. mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar-muat, perlakuan dan
penyimpanan barang;
q. mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;
r. menyeseuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang
bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.
(2) Dengan peraturan perundangan dapat dirobah perincian seperti tersebut dalam
ayat (1) sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik dan teknologi
serta pendapatan-pendapatan baru di kemudian hari.
Pasal 4
(1) Dengan peraturan perundang-undangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan
kerja dalam perecanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan,
pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan,
barang, produk teknis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat
menimbulkan bahaya kecelakaan.
(2) Syarat-syarat tersebut memuat prinsip-prinsip teknis ilmiah menjadi suatu
kumpulan ketentuan yang disusun secara teratur, jelas dan praktis yang
mencakup bidang konstruksi, bahan, pengolahan dan pembuatan,
perlengkapan alat-alat perlindungan, pengujian, dan pengesahan, pengepakan
atau pembungkusan, pemberian tanda-tanda pengenal atas bahan, barang,
produksi teknis dan aparat produksi guna menjamin keselamatan barang-
barang itu sendiri, keselamatan tenaga kerja yang melakukannya dan
keselamatan umum.
(3) Dengan peraturan perundangan dapat dirobah perincian seperti tersebut dalam
ayat (1) dan (2); dengan peraturan perundangan ditetapkan siapa yang
berkewajiban memenuhi dan mentaati syarat-syarat keselamatan tersebut.
BAB IV
Pengawasan
Pasal 5
(1) Direktur melakukan pelaksanaan umum terhadap Undang-undang ini,
sedangkan para pegawai pengawas kerja ditugaskan menjalankan pengawasan
langsung terhadap ditaatinya Undangundang ini dan membantu
pelaksanaannya.
(2) Wewenang dan kewajiban direktur, pegawai pengawas dan ahli keselamatan
kerja dalam melaksanakan Undang-undang ini diatur dengan peraturan
perundangan.
Pasal 6
(1) Barangsiapa tidak dapat menerima keputusan direktur dapat mengajukan
permohonan banding kepada Panitia Banding.
(2) Tata-cara permohonan banding, susunan Panitia Banding, tugas Panitia
Banding dan lainlainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja.
(3) Keputusan Panitia Banding tidak dapat dibanding lagi.
Pasal 7
Untuk pengawasan berdasarkan Undang-undang ini pengusaha harus membayar
retribusi menurut ketentuan-ketentuan yang akan diatur dengan peraturan
perundangan.
Pasal 8
(1) Pengurus diwajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan
kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan
dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan padanya.
(2) Pengurus diwajibkan memeriksa semua tenaga kerja yang berada di bawah
pimpinannya, secara berkala pada Dokter yang ditunjuk oleh Pengusaha dan
dibenarkan oleh Direktur.
(3) Norma-norma mengenai pengujian kesehatan ditetapkan dengan peraturan
perundangan.
BAB V
Pembinaan
Pasal 9
(1) Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja
baru tentang :
a. Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta apa yang dapat timbul dalam
tempat kerjanya;
b. Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam
semua tempat kerjanya;
c. Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan;
d. Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya.
(2) Pengurus hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja yang bersangkutan setelah
ia yakin bahwa tenaga kerja tersebut telah memahami syarat-syarat tersebut di
atas.
(3) Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja
yang berada dibawah pimpinannya, dalam pencegahan kecelakaan dan
pemberantasan kebakaran serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja,
pula dalam pemberian pertolongan pertama dalam kecelakaan.
(4) Pengurusa diwajibkan memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi usaha dan tempat kerja yang
dijalankannya.
BAB VI
Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pasal 10
(1) Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk Panitia Keselamatan dan
Kesehatan Kerja guna memperkembangkan kerja sama, saling pengertian dan
partisipasi efektif dari pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam
tempat-tempat kerja untuk melaksanakan tugas dan kewajiban bersama di
bidang keselamatan dan kesehatan kerja, dalam rangka melancarkan usaha
berproduksi.
(2) Susunan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja, tugas dan lain-
lainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja.
BAB VII
Kecelakaan
Pasal 11
(1) Pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat
kerja yang dipimpinnya, pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga
Kerja.
(2) Tata-cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan oleh pegawai termaksud
dalam ayat (1) diatur dengan peraturan perundangan.
BAB VIII
Kewajiban dan Hak Kerja
Pasal 12
Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk:
a. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas atau
ahli keselamatan kerja;
b. Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan;
c. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan yang
diwajibkan;
d. Meminta pada Pengurus agas dilaksanakan semua syarat keselamatan dan
kesehatan yang diwajibkan;
e. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan
kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan
olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas
dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggung-jawabkan.
BAB IX
Kewajiban Bila Memasuki Tempat Kerja
Pasal 13
Barang siapa akan memasuki sesuatu tempat kerja, diwajibkan mentaati semua
petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat-alat perlindungan diri yang
diwajibkan.
BAB X
Kewajiban Pengurus
Pasal 14
Pengurus diwajibkan :
a. Secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua
syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, sehelai Undang-undang ini dan
semua peraturan pelaksanaannya yang berlaku bagi tempat kerja yang
bersangkutan, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca dan
menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli kesehatan kerja;
b. Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua gambar keselamatan
kerja yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya, pada tempat-
tempat yang mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk pegawai pengawas
atau ahli keselamatan kerja;
c. Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang
diwajibkan pada tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya dan
menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut,
disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai
pengawas atau ahli keselamatan kerja.
BAB XI
Ketentuan-kententuan Penutup
Pasal 15
(1) Pelaksanaan ketentuan tersebut pada pasal-pasal di atas diatur lebih lanjut
dengan peraturan perundangan.
(2) Peraturan perundangan tersebut pada ayat (1) dapat memberikan ancaman
pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-
lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (Seratus
ribu rupiah).
(3) Tindak pidana tersebut adalah pelanggaran.
Pasal 16
Pengusaha yang mempergunakan tempat-tempat kerja yang sudah ada pada waktu
Undang-undang ini mulai berlaku wajib mengusahakan di dalam satu tahun
sesudah Undang-undang ini mulai berlaku, untuk memenuhi ketentuan-ketentuan
menurut atau berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal 17
Selama peraturan perundangan untuk melaksanakan ketentuan dalam Undang-
undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang keselamatan kerja
yang ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Pasal 18
Undang-undang ini disebut “Undang-undang Keselamatan Kerja” dan mulai
berlaku pada hari diundangkannya.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
3. Kasus – kasus yang menyangkut K3 (1)
BANJARMASIN, KOMPAS.com — Menurut salah seorang pekerja Telkom
yang ikut tersengkat aliran listrik, Husin (41), ia bersama empat temannya, Jumat
(21/1/2011), sedang memasang tiang Telkom saat tiba-tiba tiang atas menyentuh
kabel listrik dan secara tak diduga muncul sengatan dahsyat.
Pekerja yang ikut bersamanya itu diketahui bernama Warid (38), Birin (28),
Cahaya (19). Mereka hanya mengalami luka bakar berat dan ringan. Adapun
pekerja yang bernama Carawa (27) tewas beberapa saat di tempat kejadian.
"Carawa sudah naik ke tiang tersebut lebih dulu karena merasa salah satu kabel
ada dan diikuti kami berempat. Tidak diketahui dan diduga tiang Telkom paling
ujung itu mengenai salah satu kabel dan terjadi sengatan itu. Yang pertama kali
terkena adalah Birin, lalu terjatuh, diikuti yang lain," ucap Husin.
Menurut Husin, Birin yang tersengat aliran listrik lebih dulu mengalami luka
bakar serius di bagian wajah, sedangkan yang lain hanya mengalami luka bakar
ringan.
Untuk sementara kasus tersengatnya kelima pekerja Telkom hingga
mengakibatkan salah satunya meninggal dunia itu sedang ditangani kepolisian
setempat. Masih diselidiki apakah ada unsur kesengajaan atau tidak dalam
kejadian tersebut.
Komentar:
Kecelakaan kerja di atas kemungkinan memang dikarenakan oleh kelalaian
karyawan tersebut, dan kurangnya penguasaan lingkungan tersebut. Sehingga
tidak mengetahui adanya kabel listrik tersebut. Dengan adanya kejadian ini<
diharapkan karyawan yang lain harus lebih teliti dan hati-hati dalam
melaksanakan tugas dalam pekerjaan.
Peraturan yang terkait :
1. Pelangaran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 1979, pasal 29
Pasal 29
(1) Alat pembantu yang menyalurkan tenaga listrik ke pesawat yang
menggunakannya harus disusun, diatur dan dipasang dengan baik.
(2) Dilarang menggunakan kawat atau kabel listrik yang tidak disalut di
2. UU No 13 tahun 2003 pasal 86 tentang hak keselamat tenaga kerja
berupa perlindungan kesehatan, moral, kesusilaan
Adapun sangsi dari pelanggaran tersebut seperti yang tertera pada UU no
13 tahun 2003 BAB XVI tentang ketentuan pidana pasal 187 berupa
sangsi pidana kurungan minimal 1 bulan dan maksimal 12 bulan
dan/denda paling sedikit Rp.10.000.000 dan paling banyak
Rp.100.000.000
4. Kasus – kasus yang menyangkut K3 (2)
SAMARINDA, KOMPAS.com - PT Fajar Bumi Sakti dinilai mengabaikan
keselamatan kerja terkait runtuhnya tambang batu bara dalam tanah yang mereka
kelola di Desa Loa Ulung, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai
Kartanegara, Kalimantan Timur, Senin (22/6) pukul 01.30 Wita lalu. Kepala
Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kalimantan Timur (Kaltim) Yakub
mengemukakan itu di Kota Samarinda, Senin (29/6). Ia berpedoman pada hasil
penyelidikan oleh tim beranggotakan empat pelaksana inspeksi tambang dari
pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten kurun 22-26 Juni 2009.
Yakub mengatakan, pengabaian aspek keselamatan kerja salah satunya bisa dilihat
dari pemakaian ukuran alas alat penyangga gua ( hydraulic props) yang kekecilan.
Lebar alas dari kayu cuma 15 sentimeter. Padahal, diameter alat dari besi yang
tegak lurus pada papan alas ialah 12 sentimeter. Karena kekecilan, lanjut Yakub,
tiang penyangga rentan menjadi miring akibat tersenggol atau karena pergerakan
material di atasnya yakni kayu-kayu (link bar dan siring) serta bebatuan mudstone
yang rentan retak dan runtuh. Pelaksana Inspeksi Tambang dari Distamben Kaltim
Djulson S Kapuangan menyatakan ada satu penyangga yang miring sehingga
mengakibatkan tambang runtuh. Tiang itulah yang hendak diperkuat oleh tiga
pekerja yang menjadi korban kejadian itu tetapi terlambat.
Djulson mengatakan, standar operasional prosedur (SOP) tidak menjelaskan
secara rinci langkah yang harus dilakukan pekerja saat hendak membetulkan
posisi penyangga yang miring atau ketika ingin memindahkannya. SOP cuma
menyatakan penyangga harus diperkuat lebih dahulu tetapi tidak jelas maksudnya
sehingga disimpulkan perusahaan tidak mampu mengambil tindakan antisipasi
bencana, katanya.
Faktor lainnya, kata Yakub, perusahaan membuang material galian (overburden )
di atas bukit Anggi yang di bawahnya adalah tambang dalam tanah. Material itu
berasal dari aktivitas pertambangan terbuka (open pit) di dekat bukit Anggi. Jelas
itu menambah beban pada tambang di bawahnya tetapi hal ini perlu diteliti lagi,
katanya.
Hasil penyelidikan menyebutkan bahwa lokasi kejadian berada pada 1.100 meter
dari mulut gua Anggi tepatnya petak 22, 23, dan 24 di Jalur A.10 pada Seam A.
Material yang runtuh berbobot 53 ton yang meninggalkan rongga pada langit-
langit gua.
Peristiwa itu terjadi pada pukul 01.30 Wita yang mengakibatkan Pantes Harjo (50)
tewas di tempat karena tertimbun material. Korban lainnya adalah Toni Harijanto
(35) yang kini masih dirawat di Rumah Sakit Haji Darjad di Samarinda. Pekerja
lainnya yakni Hairuddin (35) selamat dan menjadi saksi kunci peristiwa tersebut.
Yakub mengatakan, hasil penyelidikan siap diserahkan kepada polisi apabila
diperlukan.
Komentar :
Kasus diatas merupakan sebagian kecil yang terjadi dan terkadang sangat
tidak diperhatikan oleh pihak perusahaan terkait, baik dalam hal safety maupun
healt, segala perlengkapan keamanan baik teknis maupun non teknis hendaknya
dipersiapkan secara matang untuk menghindari kemungkinan terjadinya
kecelakaaan dalam bekerja. Hal terebut tentu saja harus ditunjang dengan system
manajemen perusahaan yang baik. Berbagai penyuluhan dan pelatihan terhadap
karyawan utntuk menghadapi permasalahan-permaalahan keselamatan dan
kesehatan kerja hendaknya serajin mungkin di optimalkan oleh management
perusahaan agar dapat meminimalisassi potensi terjadinya kecelakaan dalam
bekerja, Faktor human eror juga terkadang bisa menjadi boomerang untuk
pekerja, sehingga keterampilan dan kewaspadaan sangat diperlukan sekalipun
bagi mereka para pekerja ahli dan professional tanpa mengenyampingkan
keselamatan dalam bekerja. Selain factor human error, factor lain yang sangat
berpengaruh adalah factor non teknis dilapangan, salah satunya cuaca maupun
hal-hal yang berdampak negative bagi kelangsungan pekerjaan. Hal tersebut juga
perlu dipertimbangkan dengan pertimbangan safety first bagi semua pekerja.
Peraturan terkait kasus diatas
Kecelakaan kerja di sektor pertambangan sangat potensial untuk dapat terjadi.
Dalam rangka pencegahannya maka dunia pertambanganpun harus tunduk ke
peraturan yang terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja. Peraturan
prundang undangan yang terkait dengan keselamatan kerja di sektor
pertambangan dari artikel diatas yaitu :
UU no 13 tahun 2003 pasal 86 dan 87 tentang hak kesehatan dan keselamatan
pekerja, pelanggaran terhadap pasal tersebut akan dikenakan sanksi
administrative pada pasal 190 ayat 2 yaitu:
Sanksi administrative yang dimaksud dalam ayat 1 berupa
a. Teguran
b. Peringatan tertulis
c. Pembatasan kegiatan usaha
d. Pembekuan kegiatan usaha
e. Pembatalan persetujuan
f. Pembatalan pendaftaran
g. Penghentian sementara atau seluruh alat produksi
h. Pencabutan izin usaha
Kepmen. No555.K/26/M.PE/1995 , BAB I, pasal 37-41 mengatur kecelakaan
kerja tambang
Pasal 4 tentang kewajiban pengusaha pertambangan
2). Pengusaha dalam waktu 2 minggu setelah salah satu dari setiap kegiatan
dibawah ini harus mengirimkan laporan tertulis kepada kepala pelaksana
inspeksi tambang yaitu:
c. Menghentikan kegiatan atau meninggalkan setiap tambang permukaan atau
setiap terowongan mendatar atau terowongan pada lapisan, sumur atau jalan
keluaruntuk setiap tambang bawah tanah yang dihitung 12 bulan dari tangal
kegiatan terakhir, kecuali telah ditinggalkan sebelumnya.
3. Pengusaha harus menyediakan secara Cuma-Cuma alat pelindung diri yang
diperlukan sesuai dengan jenis, sifat dan bahaya pada pekerjaan yang
dilakukannya dan bagi setiap orang yang memasuki tempat usaha
pertambangan.
6. Pengusaha harus memberikan bantuan sepenuhnya kepada pelaksana
inspeksi tambang dalam melaksanakan tugasnya,
Pasal 12 kewajiban pengawas operasional
Bertanggung jawab atas keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan dari
semua orang yang ditugaskan dan membuat dan menandatangani laporan-
laporan pemeriksaan
Pasal 14 Pemeriksaan tambang
Untuk memastikan kondisi kerja yang aman kepala teknik tambang atau
petugas yang ditunjuk harus melakukan pemeriksaan
Pasal 24 Tugas bagian dan keselamatan dan kesehatan kerja
Memberikan penerangan dan petunjuk-petunjuk mengenai keselamatan dan
kesehatan kerja kepada semua pekerja tambang dengan jalan mengadakan
pertemuan-pertemuan, publikasi dan sebagainya.
Sangsi terhadap pelanggaran Kepmen. No555.K/26/M.PE/1995 berupa :
Teguran
Denda
Pencabutan izin usaha
Hukuman pidana
Adapun bagi para korban, sesuai UU no 14 tahun 1969 BAB IV tentang
pembinaan dan perlindungan kerja pasal 10 yaitu:
Pemerintah membina perlindungan kerja yang mencakup
1. Norma keselamatan kerja
2. Norma kesehatan kerja
3. Norma kerja
4. Pemberian ganti kerugian, perawtan dan rehabilitasi dalam hal kecelakaan
kerja
Komentar : Lima Karyawan Telkom Tersengat Listrik dan Ledakan Tambang Tewaskan 35 Orang di China
Alangkah bijaknya jika semua perusahaan atau instansi lembaga
teknik memiliki standar kelayakan utuk kesehatan dan keselamatan
kerja. Salah satunya PT. Telkom dan perusahaan tambang. Kasus
diatas merupakan sebagian kecil yang terjadi dan terkadang sangat
tidak diperhatikan oleh pihak perusahaan terkait, baik dalam hal safety
maupun healt, segala perlengkapan keamanan baik teknis maupun non
teknis hendaknya dipersiapkan secara matang untuk menghindari
kemungkinan terjadinya kecelakaaan dalam bekerja. Hal terebut tentu
saja harus ditunjang dengan system manajemen perusahaan yang baik.
Berbagai penyuluhan dan pelatihan terhadap karyawan utntuk
menghadapi permasalahan-permaalahan keselamatan dan kesehatan
kerja hendaknya serajin mungkin di optimalkan oleh management
perusahaan agar dapat meminimalisassi potensi terjadinya kecelakaan
dalam bekerja, Faktor human eror juga terkadang bisa menjadi
boomerang untuk pekerja, sehingga keterampilan dan kewaspadaan
sangat diperlukan sekalipun bagi mereka para pekerja ahli dan
professional tanpa mengenyampingkan keselamatan dalam bekerja.
Selain factor human error, factor lain yang sangat berpengaruh adalah
factor non teknis dilapangan, salah satunya cuaca maupun hal-hal