K3

34
1. Sejarah K3 Sejarah kemunculan program keselamatan dan kesehatan kerja, pertama kali yaitu pada tahun 1760 sebelum Masehi. Raja pendiri dynasti Babylonia, menyusun kumpulan undang-undang dan peraturan yang kemudian disebut Kode Hammurabi. Kode ini, telah diterima oleh raja dari dewa matahari, Shamash yang memberikan prosedur mengenai hak-hak milik, hak perorangan, dan hutang-piutang. Ini diberikan antara lain untuk mengatur kerusakan yang disebabkan oleh pengabaian dalam berbagai perdagangan. Sebagai contoh, ini mengatur mengenai hal berikut : “Jika seorang pembangun membangun rumah untuk seseorang dan tidak membangunnya secara tepat, kemudian rumah tersebut runtuh dan menewaskan pemiliknya, maka pembangun harus dihukum mati. Jika pembuat kapal membuat perahu untuk seseorang dan tidak membuatnya dengan kuat, jika selama tahun yang sama perahu tersebut rusak, maka pembuat kapal harus memperbaikinya dengan biayanya sendiri. Kapal yang telah diperbaiki tersebut harus diberikan kepada pemiliknya. ” Peraturan-peraturan ini tampaknya mirip dengan building codes dan OSHA standard mengenai Pekerjaan Galangan Kapal serta persyaratan Worker’s Compensation. Selama awal Abad Pertengahan berbagai bahaya diidentifikasi, termasuk efek-efek paparan las dan mercury, kebakaran dalam ruang terbatas, serta

Transcript of K3

1. Sejarah K3

Sejarah kemunculan program keselamatan dan kesehatan kerja, pertama

kali yaitu pada tahun 1760 sebelum Masehi. Raja pendiri dynasti Babylonia,

menyusun kumpulan undang-undang dan peraturan yang kemudian disebut

Kode Hammurabi. Kode ini, telah diterima oleh raja dari dewa matahari,

Shamash yang memberikan prosedur mengenai hak-hak milik, hak

perorangan, dan hutang-piutang. Ini diberikan antara lain untuk mengatur

kerusakan yang disebabkan oleh pengabaian dalam berbagai perdagangan.

Sebagai contoh, ini mengatur mengenai hal berikut :

“Jika seorang pembangun membangun rumah untuk seseorang dan tidak

membangunnya secara tepat, kemudian rumah tersebut runtuh dan

menewaskan pemiliknya, maka pembangun harus dihukum mati. Jika pembuat

kapal membuat perahu untuk seseorang dan tidak membuatnya dengan kuat,

jika selama tahun yang sama perahu tersebut rusak, maka pembuat kapal

harus memperbaikinya dengan biayanya sendiri. Kapal yang telah diperbaiki

tersebut harus diberikan kepada pemiliknya. ”

Peraturan-peraturan ini tampaknya mirip dengan building codes dan OSHA

standard mengenai Pekerjaan Galangan Kapal serta persyaratan Worker’s

Compensation.

Selama awal Abad Pertengahan berbagai bahaya diidentifikasi, termasuk

efek-efek paparan las dan mercury, kebakaran dalam ruang terbatas, serta

kebutuhan alat pelindung perorangan. Namun demikian, tidak ada standard

atau persyaratan keselamatan yang terorganisasi dan ditetapkan pada saat itu.

Para pekerja biasanya pengrajin independen atau bagian dari las atau pertanian

keluarga bertanggung jawab sendiri untuk keselamatan, kesehatan dan

kesejahteraannya.

Pada awal abad 18 dan pada saat terjadinya Revolusi Industri, Beardini

Ramazini menulis “Discourse on Disease of Workers”. Dikenal sebagai bapak

pengobatan pekerja, dia menggambarkan penyebab dari penyakit akibat kerja

yang terjadi pada kimiawan yang bekerja di laboratorium. Namun demikian,

perhatiannya yang besar pada kimiawan, membuatnya percaya harus ada

perlindungan terhadap profesi mereka jika dia menyarankan intervensi

keselamatan. Dia juga menggambarkan rasa sakit yang terjadi di tangan

tukang ketik, yang mengawali pengetahuan kita mengenai cidera yang

disebabkan gerakan berulang. Sebagai tambahan pada kuesioner standard

sejarah pasien, dia juga menanyakan “Apa pekerjaan anda?”.

Pada akhir tahun 1700, delapan belas pabrik memperkenalkan pekerja

bahaya baru dan tidak diketahui. Perusahaan tekstil dijalankan dengan mesin

pintal, gulungan kapas dan tumpukan benang, bersama dengan resiko yang

berhubungan dengan mesin, kebisingan dan debu. Manajemen diperhadapkan

dengan keuntungan dan kerugian. Kematian dan cidera diterima sebagai

bagian dari bidang las. Pada saat itu, mungkin rasa sakit dan kesakitan belum

diperhatikan sebagai norma dan diterima dalam beberapa pekerjaan.

Kemudian manajemen keselamatan dan kesehatan, tidak dipertimbangkan atau

diperlukan. Karena masih buruh sangat banyaknya pekerja yang senang

dengan hanya memperoleh pekerjaan.

Pada awal tahun 1800, revolusi melanda Amerika Serikat, menekankan

pengeluaran biaya, dan tenaga kerja menjadi makin banyak dengan buruh

imigran dan buruh anak-anak. Undang-undang yang umum pada saat itu

menguntungkan para pengusaha dan manajer, dan nyatanya tidak ada

kompensasi untuk penyakit atau cidera serta tidak ada standard yang disetujui

untuk keselamatan tempat kerja. Namun demikian, ketika cidera semakin

meningkat, usaha pertama terhadap kompensasi dimulai di Massachusetts

dengan Employer’s Liability Law pada tahun 1887. Namun demikian pada

banyak kasus, usaha kompensasi ditolak dengan berbagai 8las an legal jika

pengusaha dapat menunjukkan bahwa pekerja lalai atau memberikan

kontribusi terhadap penyebab kecelakaan.

Abad dua puluh merupakan awal perhatian keselamatan kerja pada arena

politik. Pada tahun 1908, Theodore Roosevelt mengatakan : “Jumlah

kecelakaan yang menyebabkan kematian pekerja .... semakin meningkat.

Dalam beberapa tahun ini angka kecelakaan kerja meningkat dengan cepat dan

menyebabkan kematian yang lebih besar daripada perang besar. Ini diikuti

dengan penetapan persyaratan Workers Compensation secara federal serta di

seluruh negara bagian. Pada saat yang sama, standard-standard keselamatan

mengenai pelindung mesin dan perusahaan baja serta rel kereta api memulai

apa yang kita kenal sekarang sebagai program manajemen keselamatan kerja.

Kebakaran pabrik Triangle Shirtwaist yang terkenal pada tahun 1911, yang

menyebabkan kematian pekerja garmen sebanyak 146 orang, membantu untuk

menggabungkan usaha-usaha ini. National Safety Council dibentuk pada saat

itu.

Sampai tahun 1931, sebagian besar dari usaha-usaha intervensi

keselamatan dan kesehatan diarahkan langsung untuk meningkatkan kondisi

pabrik. Kemudian H.W. Heinrich menerbitkan buku yang berjudul Industrial

Accident Prevention. Dia mengusulkan konsep bahwa tindakan-tindakan

orang lebih besar menyebabkan kecelakaan daripada kondisi tempat kerja. Dia

disebut sebagai Bapak Safety Modern karena dia yang pertama mengusulkan

prinsi-prinsip keselamatan kerja yang terorganisasi.

Prinsip-prinsip ini revolusioner pada saat itu. Prinsip-prinsip ini mencakup

konsep bahwa kecelakaan disebabkan terutama karena unsafe acts dari

pekerja, dan bahwa unsafe act yang sama mungkin terjadi lebih dari 300 kali.

Dia juga mengusulkan beberapa alasan mengapa orang-orang bertindak

unsafe, metodologi dasar untuk mencegah kecelakaan, serta mengusulkan

bahwa manajemen bertanggung jawab untuk melakukan pencegahan

kecelakaan kerja.

Dalam tahun 1970, Occupational Safety and Health Act (OSHA) yang

bersejarah disahkan dan menjadi undang-undang federal yang efektif pada

tahun 1971. Ini diikuti dengan beberapa kejadian, termasuk pembaharuan pada

keselamatan kendaraan dengan buku Ralph Nader yang berjudul Unsafe at

Any Speed. Keselamatan dan kesehatan kerja menjadi elemen penting.

Standard-standard telah dimulai dan manajemen telah mengetahui bahwa

keuntungan operasi secara langsung terpengaruh ketika pekerja mengalami

lost time karena cidera yang disebabkan kerja.

Beberapa orang akan membantah bahwa OSHA Act mengubah perhatian

manajemen dari pencegahan cidera menjadi mematuhi undang-undang.

Namun demikian dengan maksud baik, regulasi pertama keselamatan kerja

diadopsi dari dokumen-dokumen lain yang ditetapkan oleh standard yang

dihasilkan berbagai organisasi. Dalam banyak kasus, standard-standard

tersebut dimaksud untuk digunakan sebagai panduan. Tanggung jawab

penerapan dari panduan keselamatan kerja diganti dengan perilaku

“bagaimana kita sesuai” sampai beberapa tingkatan. Selain itu, karena

undang-undang difokuskan pada kondisi tempat kerja, mungkin akan

menghambat perkembangan perangkat manajemen keselamatan kerja

berdasarkan intervensi perilaku. Pendekatan kondisi tempat kerja ini

bertentangan dengan prinsip yang diusulkan oleh Heinrich yang mengatakan

bahwa sebagian besar kecelakaan disebabkan oleh tindakan manusia.

Pada beberapa kejadian, OSHA bersama dengan partner penelitiannya,

National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) dan komite

penasehatnya National Advisory Committee on Occupational Safety and

Health (NACOSH), menciptakan perhatian baru dan era baru dalam bidang

keselamatan dan kesehatan. Undang-undang yang memberikan sanksi

terhadap ketidaksesuaian dengan persyaratan menyediakan tempat kerja yang

bebas dari bahaya yang diketahui cenderung berorientasi pada spesifikasi dan

diberikan secara terperinci apa yang perlu dilakukan. Banyak kesenangan

yang dibuat sehubungan dengan persyaratan rancangan tempat duduk toilet

serta ketinggian letak alat pemadam kebakaran. Peraturan yang baru telah

berubah berdasarkan orientasi kinerja, yang dapat mendorong pengesahan

alasan dan penerapan tanggung jawab terhadap persyaratan. Suatu contoh

mengenai pendekatan ini ditemukan dalam Standard Manajemen Keselamatan

Proses, yang mempersyaratkan penakaran resiko sekitar keselamatan pabrik

kimia. Hingga saat ini OSHA adalah satu-satunya kiblat perundang-undangan

keselamatan dan kesehatan kerja di seluruh dunia.

2. Undang – Undang No 1 tahun 1970

KESELAMATAN KERJA

Undang-undang Nomor I Tahun 1970

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :

a. bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas

keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup

dan meningkatkan produksi serta produktivitas Nasional

b. bahwa setiap orang lainnya yang berada di tempat kerja terjamin pula

keselamatannya

c. bahwa setiap sumber produksi perlu dipakai dan dipergunakan secara

aman dan efisien

d. bahwa berhubung dengan itu perlu diadakan segala daya upaya untuk

membina norma-norma perlindungan kerja

e. bahwa pembinaan norma-norma itu perlu diwujudkan dalam Undang-

undang yang memuat ketentuan-ketentuan umum tentang keselamatan

kerja yang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Industrialisasi.

teknik dan teknologi

Mengingat :

1. Pasal-pasal 5.20 dan 27 Undang-undang Dasar 1945;

2. Pasal-pasal 9 dan 10 Undang-undang Nomor 14 tahun 1969 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara

Republik Indonesia tahun 1969 Nomor 35, Tambahan Lembaran negara

Nomor 2912).

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong ;

MEMUTUSKAN:

1. Mencabut:

Veiligheidsreglement tahun 1910 (Stbl. No.406).

2. Menetapkan :

Undang-undang Tentang Keselamatan Kerja

BAB I

Tentang Istilah-istilah

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan :

(1) “Tempat kerja” ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka,

bergerak atau tetap di mana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki

tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan di mana terdapat sumber atau

sumber-sumber bahaya sebagaimana diperinci dalam pasal 2.

(2) Termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan

sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian yang dengan tempat kerja

tersebut.

(3) “Pengurus” ialah orang yang mempunyai tugas pemimpin langsung sesuatu

tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri.

(4) “Pengusaha” ialah :

a. orang atau badan hukum yang menjalankan seseuatu usaha milik sendiri

dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja;

b. orang atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan sesuatu

usaha bukan miliknya dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat

kerja;

c. orang atau badan hukum yang di Indonesia mewakili orang atau badan

hukum termaksud pada (a) dan (b), jikalau yang diwakili berkedudukan di

luar Indonesia.

(5) “Direktur” ialah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk

melaksanakan Undang undang ini.

(6) “Pegawai Pengawas” ialah pegawai teknis berkeahlian khusus dari

Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.

(7) “Ahli Keselamatan Kerja” ialah tenaga tehnis yang berkeahlian khusus dari

luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja

untuk mengawasi ditaatinya Undang - undang ini.

BAB II

Ruang Lingkup

Pasal 2

(1) Yang diatur oleh Undang-undang ini ialah keselamatan kerja dalam segala

tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air

maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik

Indonesia.

(2) Ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) tersebut berlaku dalam tempat kerja di

mana :

a. dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat perkakas,

peralatan atau instalasi yang berbahaya atau dapat menimbulkan

kecelakaan, kebakaran atau peledakan;

b. dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau

disimpan bahan atau barang yang : dapat meledak, mudah terbakar,

menggigit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi;

c. dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau

pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya termasuk bangunan

perairan, saluran, atau terowongan di bawah tanah dan sebagainya atau di

mana dilakukan pekerjaan persiapan;

d. dilakukan usaha pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan

hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan

dan lapangan kesehatan;

e. dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan emas, perak, logam atau

bijih logam lainnya, batu-batuan, gas, minyak atau mineral lainnya, baik di

permukaan atau di dalam bumi, maupun di dasar perairan;

f. dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di daratan,

melalui terowongan, di permukaan air, dalam air maupun di udara;

g. dikerjakan bongkar-muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga, dok,

stasiun atau gudang;

h. dilakukan penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lain di dalam

air;

i. dilakukan pekerjaan dalam ketinggian di atas permukaan tanah atau

perairan;

j. dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau

rendah;

k. dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan,

terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut atau

terpelanting;

l. dilakukan pekerjaan dalam tangki, sumur atau lobang;

m. terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, gas,

hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran;

n. dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau timah;

o. dilakukan pemancaran, penyiaran atau penerimaan radio, radar, televisi,

atau telepon;

p. dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset

(penelitian) yang menggunakan alat tehnis;

q. dibangkitkan, dirobah, dikumpulkan, disimpan, dibagi-bagikan atau

disalurkan listrik, gas, minyak atau air;

r. diputar pilem, dipertunjukkan sandiwara atau diselenggarakan rekreasi

lainnya yang memakai peralatan, instalasi listrik atau mekanik.

(3) Dengan peraturan perundangan dapat ditunjuk sebagai tempat kerja ruangan-

ruangan atau lapangan-lapangan lainnya yang dapat membahayakan

keselamatan atau kesehatan yang bekerja dan atau yang berada di ruangan

atau lapangan itu dan dapat dirubah perincian tersebut dalam ayat (2).

BAB III

Syarat-syarat Keselamatan Kerja

Pasal 3

(1) Dengan peraturan perundangan-undangan ditetapkan syarat-syarat

keselamatan kerja untuk:

a. mencegah dan mengurangi kecelakaan;

b. mencegah, mengurangi dan memadam kan kebakaran;

c. mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;

d. memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran

atau kejadiankejadian lain yang berbahaya;

e. memberi pertolongan pada kecelakaan;

f. memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;

g. mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebar luasnya suhu,

kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar

atau radiasi, suara dan getaran;

h. mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik physik

maupun psychis, peracunan, infeksi dan penularan;

i. memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;

j. menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik;

k. menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;

l. memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;

m. memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara

dan proses kerjanya;

n. mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman

atau barang;

o. mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan;

p. mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar-muat, perlakuan dan

penyimpanan barang;

q. mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;

r. menyeseuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang

bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.

(2) Dengan peraturan perundangan dapat dirobah perincian seperti tersebut dalam

ayat (1) sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik dan teknologi

serta pendapatan-pendapatan baru di kemudian hari.

Pasal 4

(1) Dengan peraturan perundang-undangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan

kerja dalam perecanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan,

pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan,

barang, produk teknis dan aparat produksi yang mengandung dan dapat

menimbulkan bahaya kecelakaan.

(2) Syarat-syarat tersebut memuat prinsip-prinsip teknis ilmiah menjadi suatu

kumpulan ketentuan yang disusun secara teratur, jelas dan praktis yang

mencakup bidang konstruksi, bahan, pengolahan dan pembuatan,

perlengkapan alat-alat perlindungan, pengujian, dan pengesahan, pengepakan

atau pembungkusan, pemberian tanda-tanda pengenal atas bahan, barang,

produksi teknis dan aparat produksi guna menjamin keselamatan barang-

barang itu sendiri, keselamatan tenaga kerja yang melakukannya dan

keselamatan umum.

(3) Dengan peraturan perundangan dapat dirobah perincian seperti tersebut dalam

ayat (1) dan (2); dengan peraturan perundangan ditetapkan siapa yang

berkewajiban memenuhi dan mentaati syarat-syarat keselamatan tersebut.

BAB IV

Pengawasan

Pasal 5

(1) Direktur melakukan pelaksanaan umum terhadap Undang-undang ini,

sedangkan para pegawai pengawas kerja ditugaskan menjalankan pengawasan

langsung terhadap ditaatinya Undangundang ini dan membantu

pelaksanaannya.

(2) Wewenang dan kewajiban direktur, pegawai pengawas dan ahli keselamatan

kerja dalam melaksanakan Undang-undang ini diatur dengan peraturan

perundangan.

Pasal 6

(1) Barangsiapa tidak dapat menerima keputusan direktur dapat mengajukan

permohonan banding kepada Panitia Banding.

(2) Tata-cara permohonan banding, susunan Panitia Banding, tugas Panitia

Banding dan lainlainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja.

(3) Keputusan Panitia Banding tidak dapat dibanding lagi.

Pasal 7

Untuk pengawasan berdasarkan Undang-undang ini pengusaha harus membayar

retribusi menurut ketentuan-ketentuan yang akan diatur dengan peraturan

perundangan.

Pasal 8

(1) Pengurus diwajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan

kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan

dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan padanya.

(2) Pengurus diwajibkan memeriksa semua tenaga kerja yang berada di bawah

pimpinannya, secara berkala pada Dokter yang ditunjuk oleh Pengusaha dan

dibenarkan oleh Direktur.

(3) Norma-norma mengenai pengujian kesehatan ditetapkan dengan peraturan

perundangan.

BAB V

Pembinaan

Pasal 9

(1) Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja

baru tentang :

a. Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta apa yang dapat timbul dalam

tempat kerjanya;

b. Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam

semua tempat kerjanya;

c. Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan;

d. Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya.

(2) Pengurus hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja yang bersangkutan setelah

ia yakin bahwa tenaga kerja tersebut telah memahami syarat-syarat tersebut di

atas.

(3) Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja

yang berada dibawah pimpinannya, dalam pencegahan kecelakaan dan

pemberantasan kebakaran serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja,

pula dalam pemberian pertolongan pertama dalam kecelakaan.

(4) Pengurusa diwajibkan memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat dan

ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi usaha dan tempat kerja yang

dijalankannya.

BAB VI

Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Pasal 10

(1) Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk Panitia Keselamatan dan

Kesehatan Kerja guna memperkembangkan kerja sama, saling pengertian dan

partisipasi efektif dari pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam

tempat-tempat kerja untuk melaksanakan tugas dan kewajiban bersama di

bidang keselamatan dan kesehatan kerja, dalam rangka melancarkan usaha

berproduksi.

(2) Susunan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja, tugas dan lain-

lainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja.

BAB VII

Kecelakaan

Pasal 11

(1) Pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat

kerja yang dipimpinnya, pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga

Kerja.

(2) Tata-cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan oleh pegawai termaksud

dalam ayat (1) diatur dengan peraturan perundangan.

BAB VIII

Kewajiban dan Hak Kerja

Pasal 12

Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk:

a. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas atau

ahli keselamatan kerja;

b. Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan;

c. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan yang

diwajibkan;

d. Meminta pada Pengurus agas dilaksanakan semua syarat keselamatan dan

kesehatan yang diwajibkan;

e. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan

kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan

olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas

dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggung-jawabkan.

BAB IX

Kewajiban Bila Memasuki Tempat Kerja

Pasal 13

Barang siapa akan memasuki sesuatu tempat kerja, diwajibkan mentaati semua

petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat-alat perlindungan diri yang

diwajibkan.

BAB X

Kewajiban Pengurus

Pasal 14

Pengurus diwajibkan :

a. Secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua

syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, sehelai Undang-undang ini dan

semua peraturan pelaksanaannya yang berlaku bagi tempat kerja yang

bersangkutan, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca dan

menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli kesehatan kerja;

b. Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua gambar keselamatan

kerja yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya, pada tempat-

tempat yang mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk pegawai pengawas

atau ahli keselamatan kerja;

c. Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang

diwajibkan pada tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya dan

menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut,

disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai

pengawas atau ahli keselamatan kerja.

BAB XI

Ketentuan-kententuan Penutup

Pasal 15

(1) Pelaksanaan ketentuan tersebut pada pasal-pasal di atas diatur lebih lanjut

dengan peraturan perundangan.

(2) Peraturan perundangan tersebut pada ayat (1) dapat memberikan ancaman

pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-

lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 100.000,- (Seratus

ribu rupiah).

(3) Tindak pidana tersebut adalah pelanggaran.

Pasal 16

Pengusaha yang mempergunakan tempat-tempat kerja yang sudah ada pada waktu

Undang-undang ini mulai berlaku wajib mengusahakan di dalam satu tahun

sesudah Undang-undang ini mulai berlaku, untuk memenuhi ketentuan-ketentuan

menurut atau berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 17

Selama peraturan perundangan untuk melaksanakan ketentuan dalam Undang-

undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang keselamatan kerja

yang ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku, tetap berlaku sepanjang

tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.

Pasal 18

Undang-undang ini disebut “Undang-undang Keselamatan Kerja” dan mulai

berlaku pada hari diundangkannya.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia.

3. Kasus – kasus yang menyangkut K3 (1)

BANJARMASIN, KOMPAS.com — Menurut salah seorang pekerja Telkom

yang ikut tersengkat aliran listrik, Husin (41), ia bersama empat temannya, Jumat

(21/1/2011), sedang memasang tiang Telkom saat tiba-tiba tiang atas menyentuh

kabel listrik dan secara tak diduga muncul sengatan dahsyat.

Pekerja yang ikut bersamanya itu diketahui bernama Warid (38), Birin (28),

Cahaya (19). Mereka hanya mengalami luka bakar berat dan ringan. Adapun

pekerja yang bernama Carawa (27) tewas beberapa saat di tempat kejadian.

"Carawa sudah naik ke tiang tersebut lebih dulu karena merasa salah satu kabel

ada dan diikuti kami berempat. Tidak diketahui dan diduga tiang Telkom paling

ujung itu mengenai salah satu kabel dan terjadi sengatan itu. Yang pertama kali

terkena adalah Birin, lalu terjatuh, diikuti yang lain," ucap Husin.

Menurut Husin, Birin yang tersengat aliran listrik lebih dulu mengalami luka

bakar serius di bagian wajah, sedangkan yang lain hanya mengalami luka bakar

ringan.

Untuk sementara kasus tersengatnya kelima pekerja Telkom hingga

mengakibatkan salah satunya meninggal dunia itu sedang ditangani kepolisian

setempat. Masih diselidiki apakah ada unsur kesengajaan atau tidak dalam

kejadian tersebut.

Komentar:

Kecelakaan kerja di atas kemungkinan memang dikarenakan oleh kelalaian

karyawan tersebut, dan kurangnya penguasaan lingkungan tersebut. Sehingga

tidak mengetahui adanya kabel listrik tersebut. Dengan adanya kejadian ini<

diharapkan karyawan yang lain harus lebih teliti dan hati-hati dalam

melaksanakan tugas dalam pekerjaan.

Peraturan yang terkait :

1. Pelangaran Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11

Tahun 1979, pasal 29

Pasal 29

(1) Alat pembantu yang menyalurkan tenaga listrik ke pesawat yang

menggunakannya harus disusun, diatur dan dipasang dengan baik.

(2) Dilarang menggunakan kawat atau kabel listrik yang tidak disalut di

2. UU No 13 tahun 2003 pasal 86 tentang hak keselamat tenaga kerja

berupa perlindungan kesehatan, moral, kesusilaan

Adapun sangsi dari pelanggaran tersebut seperti yang tertera pada UU no

13 tahun 2003 BAB XVI tentang ketentuan pidana pasal 187 berupa

sangsi pidana kurungan minimal 1 bulan dan maksimal 12 bulan

dan/denda paling sedikit Rp.10.000.000 dan paling banyak

Rp.100.000.000

4. Kasus – kasus yang menyangkut K3 (2)

SAMARINDA, KOMPAS.com - PT Fajar Bumi Sakti dinilai mengabaikan

keselamatan kerja terkait runtuhnya tambang batu bara dalam tanah yang mereka

kelola di Desa Loa Ulung, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai

Kartanegara, Kalimantan Timur, Senin (22/6) pukul 01.30 Wita lalu. Kepala

Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kalimantan Timur (Kaltim) Yakub

mengemukakan itu di Kota Samarinda, Senin (29/6). Ia berpedoman pada hasil

penyelidikan oleh tim beranggotakan empat pelaksana inspeksi tambang dari

pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten kurun 22-26 Juni 2009.

Yakub mengatakan, pengabaian aspek keselamatan kerja salah satunya bisa dilihat

dari pemakaian ukuran alas alat penyangga gua ( hydraulic props) yang kekecilan.

Lebar alas dari kayu cuma 15 sentimeter. Padahal, diameter alat dari besi yang

tegak lurus pada papan alas ialah 12 sentimeter. Karena kekecilan, lanjut Yakub,

tiang penyangga rentan menjadi miring akibat tersenggol atau karena pergerakan

material di atasnya yakni kayu-kayu (link bar dan siring) serta bebatuan mudstone

yang rentan retak dan runtuh. Pelaksana Inspeksi Tambang dari Distamben Kaltim

Djulson S Kapuangan menyatakan ada satu penyangga yang miring sehingga

mengakibatkan tambang runtuh. Tiang itulah yang hendak diperkuat oleh tiga

pekerja yang menjadi korban kejadian itu tetapi terlambat.

Djulson mengatakan, standar operasional prosedur (SOP) tidak menjelaskan

secara rinci langkah yang harus dilakukan pekerja saat hendak membetulkan

posisi penyangga yang miring atau ketika ingin memindahkannya. SOP cuma

menyatakan penyangga harus diperkuat lebih dahulu tetapi tidak jelas maksudnya

sehingga disimpulkan perusahaan tidak mampu mengambil tindakan antisipasi

bencana, katanya.

Faktor lainnya, kata Yakub, perusahaan membuang material galian (overburden )

di atas bukit Anggi yang di bawahnya adalah tambang dalam tanah. Material itu

berasal dari aktivitas pertambangan terbuka (open pit) di dekat bukit Anggi. Jelas

itu menambah beban pada tambang di bawahnya tetapi hal ini perlu diteliti lagi,

katanya.

Hasil penyelidikan menyebutkan bahwa lokasi kejadian berada pada 1.100 meter

dari mulut gua Anggi tepatnya petak 22, 23, dan 24 di Jalur A.10 pada Seam A.

Material yang runtuh berbobot 53 ton yang meninggalkan rongga pada langit-

langit gua.

Peristiwa itu terjadi pada pukul 01.30 Wita yang mengakibatkan Pantes Harjo (50)

tewas di tempat karena tertimbun material. Korban lainnya adalah Toni Harijanto

(35) yang kini masih dirawat di Rumah Sakit Haji Darjad di Samarinda. Pekerja

lainnya yakni Hairuddin (35) selamat dan menjadi saksi kunci peristiwa tersebut.

Yakub mengatakan, hasil penyelidikan siap diserahkan kepada polisi apabila

diperlukan.

Komentar :

Kasus diatas merupakan sebagian kecil yang terjadi dan terkadang sangat

tidak diperhatikan oleh pihak perusahaan terkait, baik dalam hal safety maupun

healt, segala perlengkapan keamanan baik teknis maupun non teknis hendaknya

dipersiapkan secara matang untuk menghindari kemungkinan terjadinya

kecelakaaan dalam bekerja. Hal terebut tentu saja harus ditunjang dengan system

manajemen perusahaan yang baik. Berbagai penyuluhan dan pelatihan terhadap

karyawan utntuk menghadapi permasalahan-permaalahan keselamatan dan

kesehatan kerja hendaknya serajin mungkin di optimalkan oleh management

perusahaan agar dapat meminimalisassi potensi terjadinya kecelakaan dalam

bekerja, Faktor human eror juga terkadang bisa menjadi boomerang untuk

pekerja, sehingga keterampilan dan kewaspadaan sangat diperlukan sekalipun

bagi mereka para pekerja ahli dan professional tanpa mengenyampingkan

keselamatan dalam bekerja. Selain factor human error, factor lain yang sangat

berpengaruh adalah factor non teknis dilapangan, salah satunya cuaca maupun

hal-hal yang berdampak negative bagi kelangsungan pekerjaan. Hal tersebut juga

perlu dipertimbangkan dengan pertimbangan safety first bagi semua pekerja.

Peraturan terkait kasus diatas

Kecelakaan kerja di sektor pertambangan sangat potensial untuk dapat terjadi.

Dalam rangka pencegahannya maka dunia pertambanganpun harus tunduk ke

peraturan yang terkait dengan keselamatan dan kesehatan kerja. Peraturan

prundang undangan yang terkait dengan keselamatan kerja di sektor

pertambangan dari artikel diatas yaitu :

UU no 13 tahun 2003 pasal 86 dan 87 tentang hak kesehatan dan keselamatan

pekerja, pelanggaran terhadap pasal tersebut akan dikenakan sanksi

administrative pada pasal 190 ayat 2 yaitu:

Sanksi administrative yang dimaksud dalam ayat 1 berupa

a. Teguran

b. Peringatan tertulis

c. Pembatasan kegiatan usaha

d. Pembekuan kegiatan usaha

e. Pembatalan persetujuan

f. Pembatalan pendaftaran

g. Penghentian sementara atau seluruh alat produksi

h. Pencabutan izin usaha

Kepmen. No555.K/26/M.PE/1995 , BAB I, pasal 37-41 mengatur kecelakaan

kerja tambang

Pasal 4 tentang kewajiban pengusaha pertambangan

2). Pengusaha dalam waktu 2 minggu setelah salah satu dari setiap kegiatan

dibawah ini harus mengirimkan laporan tertulis kepada kepala pelaksana

inspeksi tambang yaitu:

c. Menghentikan kegiatan atau meninggalkan setiap tambang permukaan atau

setiap terowongan mendatar atau terowongan pada lapisan, sumur atau jalan

keluaruntuk setiap tambang bawah tanah yang dihitung 12 bulan dari tangal

kegiatan terakhir, kecuali telah ditinggalkan sebelumnya.

3. Pengusaha harus menyediakan secara Cuma-Cuma alat pelindung diri yang

diperlukan sesuai dengan jenis, sifat dan bahaya pada pekerjaan yang

dilakukannya dan bagi setiap orang yang memasuki tempat usaha

pertambangan.

6. Pengusaha harus memberikan bantuan sepenuhnya kepada pelaksana

inspeksi tambang dalam melaksanakan tugasnya,

Pasal 12 kewajiban pengawas operasional

Bertanggung jawab atas keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan dari

semua orang yang ditugaskan dan membuat dan menandatangani laporan-

laporan pemeriksaan

Pasal 14 Pemeriksaan tambang

Untuk memastikan kondisi kerja yang aman kepala teknik tambang atau

petugas yang ditunjuk harus melakukan pemeriksaan

Pasal 24 Tugas bagian dan keselamatan dan kesehatan kerja

Memberikan penerangan dan petunjuk-petunjuk mengenai keselamatan dan

kesehatan kerja kepada semua pekerja tambang dengan jalan mengadakan

pertemuan-pertemuan, publikasi dan sebagainya.

Sangsi terhadap pelanggaran Kepmen. No555.K/26/M.PE/1995 berupa :

Teguran

Denda

Pencabutan izin usaha

Hukuman pidana

Adapun bagi para korban, sesuai UU no 14 tahun 1969 BAB IV tentang

pembinaan dan perlindungan kerja pasal 10 yaitu:

Pemerintah membina perlindungan kerja yang mencakup

1. Norma keselamatan kerja

2. Norma kesehatan kerja

3. Norma kerja

4. Pemberian ganti kerugian, perawtan dan rehabilitasi dalam hal kecelakaan

kerja

Komentar : Lima Karyawan Telkom Tersengat Listrik dan Ledakan Tambang Tewaskan 35 Orang di China

Alangkah bijaknya jika semua perusahaan atau instansi lembaga

teknik memiliki standar kelayakan utuk kesehatan dan keselamatan

kerja. Salah satunya PT. Telkom dan perusahaan tambang. Kasus

diatas merupakan sebagian kecil yang terjadi dan terkadang sangat

tidak diperhatikan oleh pihak perusahaan terkait, baik dalam hal safety

maupun healt, segala perlengkapan keamanan baik teknis maupun non

teknis hendaknya dipersiapkan secara matang untuk menghindari

kemungkinan terjadinya kecelakaaan dalam bekerja. Hal terebut tentu

saja harus ditunjang dengan system manajemen perusahaan yang baik.

Berbagai penyuluhan dan pelatihan terhadap karyawan utntuk

menghadapi permasalahan-permaalahan keselamatan dan kesehatan

kerja hendaknya serajin mungkin di optimalkan oleh management

perusahaan agar dapat meminimalisassi potensi terjadinya kecelakaan

dalam bekerja, Faktor human eror juga terkadang bisa menjadi

boomerang untuk pekerja, sehingga keterampilan dan kewaspadaan

sangat diperlukan sekalipun bagi mereka para pekerja ahli dan

professional tanpa mengenyampingkan keselamatan dalam bekerja.

Selain factor human error, factor lain yang sangat berpengaruh adalah

factor non teknis dilapangan, salah satunya cuaca maupun hal-hal

yang berdampak negative bagi kelangsungan pekerjaan. Hal tersebut

juga perlu dipertimbangkan dengan pertimbangan safety first bagi

semua pekerja,