K3
-
Upload
danang-kurniawan -
Category
Documents
-
view
144 -
download
0
Transcript of K3
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 1/20
A. KEHUTANAN
I. Pengertian Hutan
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan
tumbuhan lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di
dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink ), habitat
hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek
biosfer Bumi yang paling penting. Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh
dunia. Kita dapat menemukan hutan baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di
dataran rendah maupun di pegunungan, di pulau kecil maupun di benua besar.
Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau
tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas. Pohon sendiri adalah
tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun. Jadi, tentu berbeda dengan sayur-
sayuran atau padi-padian yang hidup semusim saja. Pohon juga berbeda karena secara
mencolok memiliki sebatang pokok tegak berkayu yang cukup panjang dan bentuk tajuk
(mahkota daun) yang jelas.
Suatu kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi
lingkungan yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika kita berada di
hutan hujan tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembab,
yang berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya pun berlainan. Ini
berarti segala tumbuhan lain dan hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur
tak hidup lain termasuk bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan.
Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu,
tetapi masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat
melalui budidaya tanaman pertanian pada lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem hutan sangat
berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup
berjuta flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya
pemanasan global. Sebagai fungsi penyedia air bagi kehidupan hutan merupakan salah satu
kawasan yang sangat penting, hal ini dikarenakan hutan adalah tempat bertumbuhnya berjuta
tanaman.
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 2/20
II. Pengertian Pertambangan
Pertambangan adalah rangkaian kegiatan dalam rangka upaya pencarian, penambangan
(penggalian), pengolahan, pemanfaatan dan penjualan bahan galian (mineral, batubara, panas
bumi, migas). Paradigma baru kegiatan industri pertambangan ialah mengacu pada konsep
Pertambangan yang berwawasan Lingkungan dan berkelanjutan, yang meliputi :
• Penyelidikan Umum ( prospecting )
• Eksplorasi : eksplorasi pendahuluan, eksplorasi rinci
• Studi kelayakan : teknik , ekonomik , lingkungan (termasuk studi amdal)
• Persiapan produksi (development, construction)
• Penambangan (Pembongkaran, Pemuatan,Pengangkutan, Penimbunan)
• Reklamasi dan Pengelolaan Lingkungan
• Pengolahan (mineral dressing )
• Pemurnian / metalurgi ekstraksi
• Pemasaran
• Corporate Social Responsibility (CSR)
• Pengakhiran Tambang (Mine Closure)
Ilmu Pertambangan : ialah ilmu yang mempelajari secara teori dan praktik hal-hal yang
berkaitan dengan industri pertambangan berdasarkan prinsip praktik pertambangan yang baik
dan benar ( good mining practice).
III. Hubungan Peraturan Kehutanan Dengan Pertambangan
Antara pertambangan dan peraturan kehutanan sering terjadi pertentangan dan pertautan.
kegiatan pertambangan berarti semua kegiatan yang ada kaitannya dengan pengambilan bahan-
bahan galian mineral dan energi baik golongan a, b dan c dari dalam dan permukaan bumi
[PP No 27 Tahun 1980 tentang penggolongan bahan galian], sedangkan hutan lindung
adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi,
mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah [UU No 41 tahu 1999 Tentang
Pokok Kehutanan, selanjutnya UU 41/1999].
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 3/20
a. Pemanfaatan Kawasan Hutan Untuk Kegiatan Pertambangan
Pada dasarnya hutan hanya boleh dipergunakan sesuai dengan fungsi dan
peruntukannya sebagaimana telah ditetapkan dengan perundang-undangan yang berlaku.
Karena itu, penggunaan hutan untuk kepentingan lain di luar kegiatan kehutanan hanya bisa
dilakukan dengan kesempatan yang terbatas dan dibatasi untuk kepentingan-kepentingan umum
terbatas atau kepentingan pembangunan selain di bidang kehutanan. Tulisan di bawah akan
mencoba menguraikan naik turunnya kebijakan pertambangan di kawasan hutan [lindung].
Pada awalnya semua kawasan hutan, selain di taman nasional, taman wisata dan hutan
dengan fungsi khusus, bisa diusahakan sebagai tempat kegiatan pertambangan. Termasuk ke
wilayah yang bisa digunakan ini adalah cagar alam, suaka margasatwa, taman buru, hutan
lindung, hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap. Bisa dilihat di Pasal 3 Keputusan
Bersama menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan No.969.k/05/M.PE/1989
- No. 429/Kpts-II/1989 tentang Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi
dalam Kawasan Hutan, atau juga periksa di dalam UU No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Hayati, yang melarang adanya kegiatan apapun di zona inti dari taman nasional.Kemudian dengan adanya Kepmenhut No. 55/Kpts-II/1994 tentang Pedoman Pinjam
Pakai Kawasan Hutan, hanya pada hutan produksi yang bisa dilakukan kegiatan di luar
kepentingan kehutanan. Pada hutan selain hutan produksi, diperbolehkan dipergunakan untuk
kegiatan lain selain kehutanan asalkan kegiatan itu untuk kepentingan umum terbatas.
Kepentingan umum terbatas adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat yang
pelaksanaan kegiatan pembangunannya dilakukan dan dimiliki oleh instansi pemerintah
serta tidak dipergunakan untuk mencari keuntungan, termasuk di dalamnya adalah
keperluan pembangunan jalan, saluran pembuangan air dll [lihat pasal 1 angka 3 Kepmenhut
No. 55/Kpts-II/1994]. Dengan kata lain hanya pada kawasan hutan produksilah kegiatan
pertambangan bisa dilakukan, selain di hutan produksi, tidak diperbolehkan.
Lucunya adalah di dalam pasal 8 Kepmenhut tersebut di atas diatur ketentuan bahwa
khusus untuk kegiatan pertambangan dan energi di kawasan hutan diatur dengan ketentuan
tersendiri. Di mana “diatur dengan ketentuan tersendiri” itu berada? Sepertinya Keputusan
bersama Men-PE dan Menhut di atas-lah yang dimaksud dengan ketentuan tersendiri itu.Atau jika meyangkut hutan lindung diatur dalam Permenhut P 12 Tahun 2004.
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 4/20
b. Pertambangan Diperbolehkan Di Hutan Lindung
UU No. 41/1999 adalah titik kompromi dan sekaligus menunjukan bahwa usaha
pertambangan, tentu dengan ruang istilah yang sudah disediakan di atas, masuk ke dalam
kepentingan umum terbatas itu, atau kalau pun tidak, telah dengan sangat radikal merubah
pengertian kepentingan umum terbatas itu. Penjelasan pasal 38 ayat [1] menyebutkan, ketika
berusaha menjelaskan apa yang dimaksud dengan kepentingan pembangunan di luar
kehutanan, sebagai kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakan di mana
termasuk di dalamnya kegiatan pertambangan.Makin banyak kawasan hutan [lindung] yang dipergunakan untuk kegiatan selain
kegiatan kehutanan, yang termasuk didalamnya kegiatan pertambangan, atau banyak
perusahaan yang antri meminta ijin, sehingga aturan tentang hal itu nampaknya meluas dan
sekaligus melemah. Semua kawasan hutan boleh dimanfaatkan kawasannya kecuali hutan cagar
alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Secara tersurat, hutan produksi
memang masih terbuka untuk kegiatan pertambangan [baik pola terbuka atau tertutup],
dengan ketentuan, ketika menyangkut pertambangan pola terbuka, dilakukan denganketentuan khusus dan selektif.
Setelah lahirnya UU 41/1999 ini, kegiatan pertambangan diperluas tidak lagi hanya di
hutan produksi, tetapi bisa juga dilakukan di hutan lindung. Hanya saja pertambangan di
hutan lindung tidak diperbolehkan dilakukan dengan pola terbuka. Membuka kemungkinan,
secara tersirat, diadakannya pertambangan di hutan lindung asalkan dengan pola tertutup.
Pola pertambangan yang dikenal ada dua: terbuka dan tertutup. Pola pertambangan
terbuka dilakukan dengan cara membuka permukaan tanah untuk mengambil bahan galian yang
ada di dalam tanah. Pola pertambangan terbuka mau tidak mau akan merubah lanskap alam
dan menghilangkan lapisan subur pada tanah. Berbeda dengan pola pertambangan tertutup
yang dilakukan dengan membuat terowongan ke dalam bumi untuk mengeduk bahan galian
yang ada atau dengan tidak merusak bentang alam permukaan tanahnya.
Ketentuan tentang pertambangan di hutan lindung makin menguat dengan
dilahirkannya Perpu No1 Tahun 2004 [telah diundangkan dengan UU No 19 Tahun 2004]
yang menambahkan ketentuan baru pada UU 41/1999 pada masalah pertambangan di
kawasan hutan lindung. Perpu ini lahir dengan alasan adanya kekosongan hukum bagi
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 5/20
usaha-usaha pertambangan dengan pola terbuka yang ijinnya telah keluar sebelum UU No
41 Tahun 1999 disahkan. Bagaimana posisi mereka? Perpu tersebut membolehkan
mereka untuk tetap melanjutkan usahanya sampai habis masa ijinnya.
Perpu tersebut juga membuka kenyataan dan bahkan mengafirmasi bahwasebenarnya sebagian besar pertambangan di Indonesia dilakukan dengan sistem/pola terbuka
yang secara operasional lebih murah, namun berharga mahal bagi lingkungan. Pemerintah
Indonesia nampaknya agak kesulitan menerapkan pola pertambangan tertutup, yang
sebenarnya sudah menjadi standar di negara-negara maju [asal kebanyakan perusahaan
pertambangan besar di Indonesia], di tengah ketergantungan kita terhadap modal dan investasi
[finansial atau teknologi atau SDM] dari luar negeri.
Di sisi lain, terlihat bahwa kebijakan kehutanan yang lestari dan berkelanjutan
nampaknya agak sulit dilakukan ketika berhadapan dengan industri pertambangan. Posisi
industri pertambangan memang sangat kuat. Lihatlah bagian Menimbang di UU No. 11/1967,
yang menyebutkan bahwa “guna untuk mempercepat terlaksananya pembangunan ekonomi
nasional dalam menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur materiil dan spirituil
berdasarkan pancasila maka perlulah dikerahkan semua dana dan daya untuk mengolah dan
membina segenap kekuatan ekonomi potensial di bidang pertambangan menjadi kekuatan
ekonomi riil”. Lihat juga pasal 28 UU yang sama yang mengharuskan mereka yang punya hak
atas tanah membolehkan pekerjaan pemegang kuasa pertambangan atas tanah yang
bersangkutan.
Perhatikan pula bahwa dalam peraturan perundang-undangan selanjutnya setelah UU
No 41/1999 keterangan tentang kegiatan pertambangan seperti apa yang tidak dijinkan di
hutan lindung tidak disinggung lagi. UU No 19/2004 hanya menyinggung sedikit tentang hal ini
di bagian penjelasan umumnya. Tetapi Permenhut P 12 Tahun 2004 sebagai aturan pelaksanaan
dari UU No 19/2004 tersebut, hanya menyebutkan ”pertambangan di hutan lindung diijinkan
bagi 13 perusahaan”. Sehingga seolah-olah ke 13 perusahaan itu boleh melakukan kegiatan
pertambangan pola terbuka di hutan lindung, padahal UU 41/1999 jelas-jelas melarang
pertambangan pola terbuka di hutan lindung. Seyogyanya, ketentuan itu dibaca: ketiga belas
perusahaan diperbolehkan melanjutkan kegiatan pertambangannya di hutan lindung tetapi,
sejak tahun 2004, tidak boleh lagi dilakukan dengan pola terbuka, melainkan harus dengan
pola tertutup. Di bawah adalah alasannya.
Mencantumkan keterangan dengan tersurat pola pertambangan macam apa yang boleh
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 6/20
ada di hutan lindung di dalam UU 19/2004 menjadi sebuah keharusan karena banyak pihak
yang membaca UU No 19/2004 sebagai pengganti dari UU 41/1999. Padahal UU No 19/2004
itu seharusnya hanya mengatur soal pemberian ijin bagi ketiga belas perusahaan tambang yang
sebelum tahun 1999 sudah mendapatkan ijin melakukan pertambangan secara terbuka di
hutan lindung. Lain tidak. Sehingga seyogyanya dalam UU 19/2004 itu, keterangan yang ada
dalam pasal 38 UU 41/1999 tidak boleh dikurangi atau ditambahi.
Jelas kemudian bahwa UU No 41/1999 jo to UU No. 19/2004 memang tidak boleh
berlaku surut dalam hal larangan pertambangan di hutan lindung. Perusahaan yang telah
mengantongi ijin menambang di hutan lindung tetap diperbolehkan untuk terus menambang
sampai selesai ijinnya, tetapi polanya tidak lagi bisa secara terbuka, melainkan harus tertutup.
Ini terkait dengan bahwa pemberian ijin itu adalah dalam hal menambang di hutan lindung,
sementara apakah pola terbuka atau tertutup itu soal metode pertambangan.
Pola pertambangan, baik terbuka atau tertutup tidak dimasukkan dalam kategori
syarat yang harus dipenuhi dalam pemberian ijin untuk menambang. Sehingga
perusahaan hanya mendapatkan ijin/kontrak untuk melakukan kegiatan pertambangan di
suatu wilayah yang ditunjuk oleh pemerintah. Dalam metode pertambangannya, pemerintah
hanya menentukan bahwa kegiatan pertambangn itu harus memperhatikan aspek
lingkungan hidup [misalnya dalam KK dan PKP2B, sementara untuk KP mengikutiaturan perlindungan lingkungan hidup]. Dengan demikian, kebijakan perusahaan sendirilah
yang menentukan pola mana yang akan dipakainya tergantung kemampuan teknologi dan
finansialnya.
Aturan tentang kriteria penambangan terbuka dan tertutup belum diatur di Indonesia.
Acuan kalimat “penambangan dengan pola pertambangan terbuka”, akhirnya harus
ditempatkan dalam khazanah ilmu pengetahuan pertambangan. Sayangnya UU 41/1999 juga
tidak mau dan mampu menjadi pionir dalam memberikan penjelasan apa yang dimaksud
dengan pola pertambangan terbuka itu. Sehingga memang jadi kabur.
Konsekuensinya adalah pemerintah, dalam hal ini Dephut, sebenarnya tetap
mempunyai wewenang untuk memberikan ijin pertambangan di hutan lindung tetapi harus
dengan tidak pola terbuka. Pertambangan yang sudah berjalan sebelum UU 41/1999 lahir
yang berpola tertutup tetap bisa melanjutkan kegiatannya. Nampaklah kemudian bahwa
kehadiran Perpu No 1 Tahun 2004 yang hanya mengijinkan 13 perusahaan melakukan
pertambangan di hutan lindung secara terbuka sebenarnya keliru, diskriminatif, tidak
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 7/20
konsekuen dan mengandung aroma politis.
B. ZONA EKONOMI EKSLUSIF (ZEE)I. Pengertian ZEE
Zona Ekonomi Eklusif adalah zona yang luasnya 200 mil dari garis dasar pantai, yang
mana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di
dalamnya, dan berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di
atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel dan pipa. Konsep dari ZEE muncul dari
kebutuhan yang mendesak. Sementara akar sejarahnya berdasarkan pada kebutuhan yang
berkembang semenjak tahun 1945 untuk memperluas batas jurisdiksi negara pantai atas
lautnya, sumbernya mengacu pada persiapan untuk UNCLOS III.
Konsep dari ZEE telah jauh diletakan di depan untuk pertama kalinya oleh Kenya
pada Asian-African Legal Constitutive Committee pada Januari 1971, dan pada Sea Bed
Committee PBB di tahun berikutnya. Proposal Kenya menerima support aktif dari banyak
Negara Asia dan Afrika. Dan sekitar waktu yang sama banyak Negara Amerika Latin mulai
membangun sebuah konsep serupa atas laut patrimonial. Dua hal tersebut telah muncul secara
efektif pada saat UNCLOS dimulai, dan sebuah konsep baru yang disebut ZEE telah dimulai.
Ketentuan utama dalam Konvensi Hukum Laut yang berkaitan dengan ZEE terdapat
dalam bagian ke-5 konvensi tersebut. Sekitar tahun 1976 ide dari ZEE diterima dengan
antusias oleh sebagian besar anggota UNCLOS, mereka telah secara universal mengakui
adanya ZEE tanpa perlu menunggu UNCLOS untuk mengakhiri atau memaksakan konvensi.
Penetapan universal wilayah ZEE seluas 200 mil akan memberikan setidaknya 36%
dari seluruh total area laut. Walaupun ini porsi yang relatif kecil, di dalam area 200 mil yang
diberikan menampilkan sekitar 90% dari seluruh simpanan ikan komersial, 87% dari
simpanan minyak dunia, dan 10% simpanan mangan.
Lebih jauhnya, sebuah porsi besar dari penelitian scientific kelautan mengambil
tempat di jarak 200 mil dari pantai, dan hampir seluruh dari rute utama perkapalan di dunia
melalui ZEE negara pantai lain untuk mencapai tujuannya. Melihat begitu banyaknya
aktifitas di zona ZEE, keberadaan rezim legal dari ZEE dalam Konvensi Hukm Laut sangat
penting adanya.
Batas luar.
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 8/20
Batas dalam ZEE adalah batas luar dari laut territorial. Zona batas luas tidak boleh
melebihi kelautan 200 mil dari garis dasar dimana luas pantai territorial telah ditentukan.
Kata-kata dalam ketentuan ini menyarankan bahwa 200 mil adalah batas maksimum dari
ZEE, sehingga jika ada suatu negara pantai yang menginginkan wilayahnya ZEE-nya kurang
dari itu, negara itu dapat mengajukannya. Di banyak daerah tentu saja negara-negara pantai
tidak akan memilih mengurangi wilayahnya ZEE kurang dari 200 mil, karena kehadiran
wilayah ZEE negara tetangga. Kemudian timbul pertanyaan mengapa luas 200 mil menjadi
pilihan maksimum untuk ZEE.
Alasannya adalah berdasarkan sejarah dan politik : 200 mil tidak memiliki geographis
umum, ekologis dan biologis nyata. Pada awal UNCLOS zona yang paling banyak di klaim
oleh negara pantai adalah 200 mil, diklaim negara-negara amerika latin dan Afrika. Lalu
untuk mempermudah persetujuan penentuan batas luar ZEE maka dipilihlah figur yang paling
banyak mewakili klaim yang telah ada. Tetapi tetap mengapa batas 200 mil dipilih sebagai
batas luar jadi pertanyaan.
Menurut Prof. Hollick, figure 200 mil dipilih karena suatu ketidaksengajaan, dimulai
oleh negara Chili. Awalnya negara Chili mengaku termotifasi pada keinginan untuk
melindungi operasi paus lepas pantainya. Industri paus hanya menginginka zona seluas 50
mil, tapi disarankan bahwa sebuah contoh diperlukan. Dan contoh yang paling menjanjikan
muncul dalam perlindungan zona diadopsi dari Deklarasi Panama 1939. Zona ini telah
disalahpahami secara luas bahwa luasnya adalah 200 mil, padahal faktanya luasnya
beranekaragam dan tidak lebih dari 300 mil.
II. Hubungan Zone Ekonomi Ekslusif dengan Pertambangan
Indonesia merupakan negara yang sebagian besar wilayahnya mempunyai garis pantai.
Wilayah pesisir dan lautan merupakan sumberdaya milik bersama (common property
resources), sehingga berlaku rejim open acces management artinya, siapa saja boleh
memanfaatkan wilayah ini untuk berbagai kepentingan. Setiap pengguna ingin memanfaatkan
secara maksimal dan sukar dilakukan pengendalian. Sifat dari kepemilikan bersama ini juga
menyebabkan pengguna (users) menjadi kurang peduli terhadap status sumberdaya, dan
cenderung menggunakan cara-cara yang disktruktif demi keuntungan jangka pendek.
Sehingga sering kali terjadi kehancuran ekosistem sebagai akibat dari tragedi bersama
(tragedy of the mommon). Batas laut Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) harus dikelola secara
sungguh-sungguh dan professional.
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 9/20
Dengan karakteristik wilayah pesisir dan lautan seperti di atas, maka jelas bahwa
pemanfaatan wilayah pesisir dan laut secara optimal berkesinambungan hanya dapat terwujud
jika pengelolaannya dilakukan secara terpadu. Secara spesifik permasalahan wilayah pesisir
dan lautan apabila di tambang adalah sebagai berikut:
(1) Kerusakan fisik ekosistem wilayah pesisir dan laut umumnya terjadi pada ekosistem
mangrove, terumbu karang dan padang lamun. Hilangnya mangrove dan rusaknya sebagian
terumbu karang telah mengakibatkan terjadinya erosi pantai. Erosi ini diperburuk lagi oleh
perencanaan dan pengembangan wilayah yang tidak tepat;
(2) Pencemaran. Tingkat pencemaran di beberapa kawasan pesisir dan laut pada saat ini
telah berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan. Sumber utama pencemaran pesisir
dan laut biasanya berasal dari kegiatan di darat ( land based pollotion sources), yaitu: kegiatan
industri, kegiatan rumah tangga dan kegiatan pertanian. Bahan utama yang terkandung dalam
buangan limbah tdari ketiga sumber tersebut berupa sedimen, unsur hara, pestisida,
organisme patogen, dan sampah.
(3) Lemahnya penegakan hukum. Hukum pengelolaan wilayah pesisir dan laut meliputi
semua peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan secara resmi oleh lembaga-lembaga
pemerintah untuk mengatur hubungan manusia dengan sumberdaya wilayah pesisir danlautan. Dengan adanya undang-undang pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan
seharusnya maslaha perbaikan lingkungan pesisir menjadi fokus utama dalam pengelolaan
suatu kawasan atau wilayah pesisir. Tetapi pada kenyataannya kerusakan wilayah pesisir dan
degradasi habitat selalu terjadi dan terus berlangsung. Hal ini karena lemahnya penegakan
hukum (law enforcement ).
Penambangan di Wilayah ZEE harus mempunyai ijin dri pemerintah, seperti yang
telah di tulis dalam Undang-undang ZEE yaitu BAB IV KEGIATAN-KEGIATAN DI ZONA
EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA Pasal 5 yang berbunyi:(1) Dengan tidak mengurangi
ketentuan Pasal 4 ayat (2), barang siapa melakukan eksplorasi dan/atau eksploitasi sumber
daya alam atau kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan atau eksploitasi ekonomis
seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia,
harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik Indonesia atau berdasarkan persetujuan
internasional dengan Pemerintah Republik Indonesia dan dilaksanakan menurut syarat-syarat
perizinan atau persetujuan internasional tersebut. Berdasrkan pasal 5 apabila ada perussahaan
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 10/20
yang melakukan kegiatan pertambangan tanpa memiliki ijin, maka perusahaaan tersebut
adalah perusahaan ilegal. Sekarang ini banyak perusahaan-perusahaan tambang yang tidak
disertai ijin, tetapi terus beroperasi di wilayah Indonesia dan banyak pula perusahaan yang
sudah memiliki ijin akan tetapi malah menimbulkan dampak negatif. Seperti perusahaan
Tambang Pasir Besi di daerah Bengkulu yang ijin operasinya di cabut karena merugikan
Negara. Negara di rugikan karena bahan baku baja di dekade terakhir menjadi harapan
sumber ekonomi utama beberapa negara yang sudah melesat maju seperti China, India,
Singapura dan Australia.
China sebagai pemegang produksi baja terbesar 10 tahun terakhir bersikap cerdik
dengan Menetapkan Pungutan sebesar 11 % terhadap ekspor bahan baku Biji Besi untuk
menutup semua tambang tambang pasir Besi dan Biji Besi di negaranya. Mensiasati
kebutuhan bahan baku baja China yang mencapai 300 juta ton per tahun, perusaahan
perusahaan pertambangan asal negeri Tirai Bambu Ini, mulai melakukan lobby ke negara
negara berkembang yang lemah teknologi dan rendah pengetahuan di tingkat pemerintahnya,
hasil lobby ini berhasil membuat pemerintah Indonesia Mengeluarkan KepMendag No 38
tahun 2008 dengan menetapkan bahan baku ekspor jenis pasir Besi tidak dikenakan bea
Pungutan ekspor, dampak lain dari penguasaan sistematis ini dapat dilihat dari dominasi
China atas pelaku industri baja di Indonesia, sehingga di empat tahun terakhir ini, perusahan-
perusahaan asal China mendominasi Industri Baja di Indonesia. Tercatat dari 10 perusahaan
tambang baja terbesar di Indonesia, 5 diantaranya adalah Perusahaan asal China, dan 2
Perusahaan Indoensia yang telah dikuasai China. Kebutuhan baja dalam Negeri Indonesia 6
juta Ton per Tahun. Dan ini dapat dipenuhi oleh industri baja domestik (perusahaan-
perusahaan dalam Negeri).
Tahun 2008 tiba tiba peredaran baja dalam negeri meningkat menjadi 8,2 Juta ton per
tahun, sehingga memaksa beberapa perusaahan baja nasional menurunkan produksinya
mencapai 60 %. ada sekita 1,2 juta Ton baja selundupan dari China yang bermerek sama
dengan produksi nasional dipasarkan di Indonesia dan mengancam eksistensi perusahaan
nasional. Kapasitas produksi industri baja China mencapai 450 juta ton per tahun, cukup 10
juta ton saja dialihkan ke Indonesia, pasti industri baja dalam negeri bakal kelimpungan.
Selain tidak hanya merugikan negara, perusahaan tersebut juga mencemari wilayah
disekitarnya sehingga merusak lingkungan.
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 11/20
Kerusakan lingkungan yang terjadi adalah perubahan bentuk bentang alam dengan
perubahan vegetasi sungai air minuman, yang berupa habitat nipah, pandan, waru dan
mangrove. Perubahan komponen dasar sungai dari pasir tanah padat menjadi endapan lumpur
pasir yang hidup. Pemanfaatan wilayah yang seperti ini nantinya hanya akan menimbulkan
dampak yang kurang baik tentunya bagi Negara dan masyarakat. Penambanagan yang
dilakukan tidak serta merta hanya mencapai keuntungan, tetapi kegiatan tersebut juga harus
disertai langkah-langkah untuk mencegah, membatasi, mengendalikan dan menanggulangi
pencemaran lingkungan khususnya laut.
ZEE merupakan batas anatara Negara kita dengan Negara tetangga. Namun sampai
saat ini tidak jalas Lembaga mana yang mengurusi batas wilayah ini. Sehingga sering sekali
kegiatatn-kegiatan di sekitar ZEE tidak terpantau atau tidak terurus. Penambangan yang
berlebihan bisa mengakibatkan tenggelamnya pulau disekitar wilayah ZEE. Penambangan
pasir laut di perairan sekitar kepulauan Riau yakni wilayah yang berbatasan langsung dengan
Singapura, telah berlangsung sejak tahun 1970. Kegiatan tersebut telah mengeruk jutaan ton
pasir setiap hari dan mengakibatkan kerusakan ekosistem pesisir pantai yang cukup parah.
Selain itu mata pencaharian nelayan yang semula menyandarkan hidupnya di laut, terganggu
oleh akibat penambangan pasir laut. Kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh
penambangan pasir laut telah menghilangkan sejumlah mata pencaharian para nelayan.
Penambangan pasir laut juga mengancam keberadaan sejumlah pulau kecil karena
dapat menenggelamkannya, misalnya kasus Pulau Nipah. Tenggelamnya pulau-pulau kecil
tersebut menimbulkan kerugian besar bagi Indonesia, karena dengan perubahan pada kondisi
geografis pantai akan berdampak pada penentuan batas maritim dengan Singapura di
kemudian hari.
Bahan yang ditambang tidak langsung di jual dalam bentuk bahan mentah, tetapi
harus di olah terlebih dahulu menjadi konsentrat yang kemudian dijual. Apabila SDA dijual
dalam bentuk bongkahan, maka sama saja kita menjual tanah air kita.
Semua bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia
merupakan endapan–endapan alam merupakan kekayaan Nasional Indonesia yang harus
dikelola dan dikembangkan, dan oleh karenanya dikuasai dan dipergunakan oleh Negara
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Bahan galian digolongkan pada tiga golonganyaitu : bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian yang tidak termasuk kedua
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 12/20
golongan tersebut. Golongan bahan galian yang strategia adalah: minyak bumi, bitumen cair,
lilin bumi, gas alam, bitumen padat, aspal, antrasit, batubara, batubara muda, uranium,
radium, thorium, dan bahan-bahan galian radioaktif lainnya, nikel, cobalt, dan timah.
Golongan bahan galian vital adalah; besi, mangaan, khrom, wolfram, vanadium, titan,
bauksit, tembaga, timbal, seng, emas, platina, perak, air raksa, intan, arsen, antimon, bismut,
ytrium, rhutenium, cerium, dan logam-logam langka lainnya, berilium, korundum, zirkon,
kristal kwarsa, kriolit, fluorspar, barit, yodium, brom, khlor dan belerang.
Wilayah hukum pertambangan Indonesia meliputi baik yang di darat, di dasar laut
maupun tanah dibawahnya dibawah kedaulatan dan hak-hak berdaulat Indonesia. Sedimen-
sedimen di bawah laut dan kondisi geografi kelautan mengandung potensi yang besar untuk
dapat dikembangkan sebagai energi alternatif non konvensional dan termasuk sumberdaya
kelautan non hayati yang dapat diperbaharui yang memiliki potensi untuk dikembangkan di
kawasan pesisir dan lautan Indonesia. Jenis energi kelautan yang berpeluang dikembangkan
adalah: energi gelombang, energi pasang surut dan arus, energi angin, energi konversi
perbedaan suhu dan perbedaan salinitas.
Dalam kegiatan pettambangan, pembuangan limbah produksi ke laut harus sangat
diperhatikan secara serius, karena penanganan limbah yang buruk akan mengakibatkan pencemaran laut sehingga dapat mengakibatkan rusaknya biota-biota bawah laut. Hal ini
bertentangan dengan Pasal 8 Ayat (2) yang berbunyi: Pembuangan ("dumping") dilaut dapat
menimbulkan pencemaran lingkungan laut; berhubung dengan itu perlu diatur tempat, cara
dan frekuensi pembuangan serta jenis, kadar dan jumlah bahan yang dibuang melalui
perizinan.
Pembuangan meliputi pembuangan limbah dan pembuangan bahan-bahan lainnya
yang menyebabkan pencemaran lingkungan laut; pembuangan limbah yang biasanya
dilakukan oleh kapal selama pelayaran tidak memerlukan izin. Maka dari itu semua kegiatan
penambangan yang berhubungan dengan ZEE tidak bisa sembarangan di lakukan, akan tetapi
terlebih dahulu harus menimbang beberapa aspek-aspek yang perlu di pertimbangkan.
Sehingga nantinya kegiatan Pertambangan tidak menimbulkan dampak yang buruk untuk
Negara dan Masyarakat Indonesia.
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 13/20
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1983
TENTANG
ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
a. Sumber daya alam hayati adalah semua jenis binatang dan tumbuhan termasuk bagian-
bagiannya yang terdapat di dasar laut dan ruang air Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;
b. Sumber daya alam non hayati adalah unsur alam bukan sumber daya alam hayati yang
terdapat di dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang air Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia;
c. Penelitian ilmiah adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan penelitian mengenai
semua aspek kelautan di permukaan air, ruang air, dasar laut, dan tanah di bawahnya di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;
d. Konservasi sumber daya alam adalah segala upaya yang bertujuan untuk melindungi dan
melestarikan sumber daya alam di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;
e. Perlindungan dan pelestarian lingkungan laut adalah segala upaya yang bertujuan untuk
menjaga dan memelihara keutuhan ekosistem laut di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
Pasal 4
(1) Di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Republik Indonesia mempunyai dan
melaksanakan :
a. Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan konservasi
sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di bawahnya serta
air di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan eksploitasi
ekonomis zona tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin;
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 14/20
Pasal 5
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 4 ayat (2), barang siapa melakukan eksplorasi
dan/atau eksploitasi sumber daya alam atau kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi
dan/atau eksploitasi ekonomis seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan angin di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, harus berdasarkan izin dari Pemerintah Republik
Indonesia atau berdasarkan persetujuan internasional dengan Pemerintah Republik
Indonesia dan dilaksanakan menurut syarat-syarat perizinan atau persetujuan
internasional tersebut.
(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 4 ayat (2), eksplorasi dan eksploitasi suatu
sumber daya alam hayati di daerah tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia oleh
orang atau badan hukum atau Pemerintah Negara Asing dapat diizinkan jika jumlah
tangkapan yang diperbolehkan oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk jenis tersebut
melebihi kemampuan Indonesia untuk memanfaatkannya.
Pasal 7
Barangsiapa melakukan kegiatan penelitian ilmiah di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari dan dilaksanakan berdasarkan syarat-
syarat yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Pasal 8
(1) Barangsiapa melakukan kegiatan-kegiatan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, wajib
melakukan langkah-langkah untuk mencegah, membatasi, mengendalikan dan
menanggulangi pencemaran lingkungan laut.
Pasal 11
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 8, dan dengan memperhatikan batas ganti rugi
maksimum tertentu, barangsiapa di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia menyebabkanterjadinya pencemaran lingkungan laut dan/atau perusakan sumber daya alam memikul
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 15/20
tanggung jawab mutlak dan membayar biaya rehabilitasi lingkungan laut dan/atau sumber
daya alam tersebut dengan segera dan dalam jumlah yang memadai.
(2) Dikecualikan dari tanggung jawab mutlak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jika
yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran lingkungan laut dan/atau
perusakan sumber daya alam tersebut terjadi karena :
a. akibat dari suatu peristiwa alam yang berada di luar kemampuannya;
b. kerusakan yang seluruhnya atau sebagian, disebabkan oleh perbuatan atau kelalaian
pihak ketiga.
(3) Bentuk, jenis dan besarnya kerugian yang timbul sebagai akibat pencemaran lingkungan
laut dan/atau perusakan sumber daya alam ditetapkan berdasarkan hasil penelitian
ekologis.
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 16/20
C. TATA RUANG & OTONOMI DAERAH
I. Pengertian
Tata ruang atau dalam bahasa Inggrisnya Land use adalah wujud struktur ruang dan pola
ruang disusun secara nasional, regional dan lokal. Secara nasional disebut Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional, yang dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi,
dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tersebut perlu dijabarkan ke dalam Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota (RTRWK).
Ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan
makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan
kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat.
Otonomi Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah,
yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di Negara kesatuan
otonomi daerah lebih terbatas dari pada di Negara yang berbentuk federasi. Kewenanganmengantar dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan meliputi segenap
kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat
seperti
1. Hubungan luar negeri
2. Pengadilan
3. Moneter dan keuangan
4. Pertahanan dan keamanan
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 17/20
Otonomi Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah,
yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di Negara kesatuan
otonomi daerah lebih terbatas dari pada di Negara yang berbentuk federasi. Kewenangan
mengantar dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan meliputi segenap
kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat
seperti
1. Hubungan luar negeri
2. Pengadilan
3. Moneter dan keuangan
4. Pertahanan dan keamanan
II. Hubungan Tata Ruang Dan Otonomi Daerah
A. Tata ruang
Seiring dengan perjalanan waktu keberadaan Undang-Undang No 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan Umum dirasakan sudah tidak sesuai dengan
kondisi saat ini. Oleh karena itu pemerintah melakukan pembaharuan dibidang peraturan
pertambangan yang lebih relevan dengan perkembangan zaman. Bentuk dari pembaharuan
mengenai tata ruang maka lahirlah Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang
Pertambangan Mineral Dan Batubara.
Menurut Bambang dalam tataran implementasi untuk menyediakan ruang bagi kegiatan
pertambangan terdapat beberapa kendala sebelum lahirya undang-undang baru antara lain :
Pengelolaan dan pengusahaan sumber daya di permukaan bumi tidak termasuk
pengusahaan di bawah permukaan bumi (pertambangan) atau sebaliknya.
1. Pertambangan terutama kegiatan penambangan (produksi) bahan tambang tidak dapat
diprediksi dengan pasti kegiatan usahanya karena keberadaan bahan tambang tidak
kasat mata, diperlukan kegiatan penyelidikan dan eksplorasi. Demikian pula harga
komoditi tidak dapat diprediksi, berpengaruh pada keekonomian penambangan.
2. UU tata ruang masih mengandalkan parameter ketinggian bagi keberadaan kawasan
hutan lindung dan konservasi, dimana pada ketinggian tersebut juga merupakan lokasi
sumberdaya bahan tambang yang menjadi sumber kekayaan negara. Sehingga dapat
menimbulkan konflik permanfaatan ruang yang akhirnya optimalisasi sumber daya
tidak optimal.
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 18/20
3. Penetapan zonasi kawasan peruntukan pertambangan di dalam kawasan budidaya
dapat tumpang tindih dengan peruntukan lain (industri, pertanian, perkebunan, dll.),
karena kepastian penggunaan ruang tergantung dari hasil tahapan kegiatan
eksplorasi/eksploitasi.4. Penetapan zonasi kawasan peruntukan pertambangan yang sesuai dengan letak ‘in
situ’ dan keekonomian tambang belum tentu berada di dalam kawasan budidaya dan
dapat berada di kawasan lindung.
5. Proses alih fungsi kawasan lindung menjadi kawasan budidaya sangat sulit, bahkan
tidak memungkinkan, bilamana proses penilaiannya melalui penelitian terpadu sesuai
amanat UU 41/1999 tentang Kehutanan.
6. Dalam proses penyusunan RTRW Prov/Kab/Kota untuk penetapan Kws Lindung dan
Kws Budidaya pada dasarnya ditentukan oleh status kawasan hutan, karena fungsi
kawasan hutan adalah pengendali fungsi ruang dalam RTRW.
7. Seluruh kegiatan Non Kehutanan dibatasi di dalam Kawasan Budidaya, termasuk
kegiatan pertambangan.
8. Kegiatan Non Kehutanan di Kws Budidaya yang berstatus Hutan Produksi dan di
dalam Kws Lindung yang berstatus Hutan Lindung, hanya Wilayah pertambangan
dalam tata ruang nasional 6 dimungkinkan dengan Izin Pinjam Pakai dari Menhut
melalui Penelitian Tim Terpadu (sesuai amanat UU 41/1999 ttg Kehutanan).
Dalam mengatasi tumpang tindih lahan pemerintah didalam UU Minerba yang baru
ditetapkan WIUP/WIUPK/WPR pertambangan yang sudah masuk dalam sistem tata ruang
nasional dan penetapannya melibatkan semua sektor, hal ini menjadi muatan pengaturan
dalam RPP tentang Wilayah Pertambangan. Untuk prosesnya mempertimbangkan UU Tata
Ruang dan aturan pelaksanaannya. PP Wilayah Pertambangan selain menjadi aturan
pelaksanaan UU Minerba, juga akan merupakan salah satu pelaksanaan dari pada UU Tata
Ruang. Setelah penetapan WIUP/WIUPK/WPR baru bisa dilakukan proses selanjutnya
(lelang atau non-lelang). Dengan demikian diharapkan tumpang tindih IUP/IUPK/IPR dengan
sektor lain akan diminimalisir.
Tata ruang dalam pertambangan harus direncanakan dengan baik dan benar. Jika terjadi
penataan tata ruang yang tidak baik dan mengakibatkan terjadinya tumpang tindih lahan
maka akan mengakibatkan kerugian disemua sektor. Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi
Pertambangan Batubara Indonesia Supriatna Suhala masalah tumpang tindih dan tata ruang
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 19/20
ini setidaknya bakal menghentikan operasional tambang yang kerugiannya mencapai triliunan
rupiah. Diharapkannya dengan telah berlakunya UU minerba baru akan menuntaskan
permasalahan tata ruang yang mengakibatkan terjadinya tumpang tindih lahan.
B. Otonomi Daerah
Dalam undang-undang no 4 tahun 2009 mendukung untuk adanya otonomi daerah.
Tetapi mengakibatkan memicu munculnya lokasi pertambangan baru. Pelaksanaan Otonomi
Daerah akan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada Pemerintah Kabupaten/Kota,
yang lebih terbatas kepada Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Pusat. Disini terjadi
perpindahan kewenangan yang dulunya merupakan kewenangan Pemerintah Pusat bergeser
menjadi kewenangan Pemerintah Daerah dengan segala konsekuensinya. Pemerintah daerah
dinilai tidak selektif dalam mengeluarkan izin pertambangan.
5/11/2018 K3 - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/k35571fd50497959916998ce3d 20/20
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Pardiarto (2009) Wilayah Pertambangan Dalam Tata Ruang Nasional dari
http://advokasitataruang.files.wordpress.com/2011/01/wilayah-pertambangan-dalam-tata-
ruang-nasional.pdf.
http://www.majalahtambang.com/detail_berita.php?category=36&newsnr=2395
http://www.majalahtambang.com/detail_berita.php?category=36&newsnr=1996
http://industri.kontan.co.id/v2/read/1267510540/31220/Karut-marut-Tata-Ruang-Bakal-
Hentikan-Operasional-Tambang-hingga-30
http://www.vhrmedia.com/Otonomi-Daerah-Luaskan-Wilayah-Pertambangan--
berita2625.html
http://eprints.ui.ac.id/7446/
http://green.kompasiana.com/iklim/2011/01/26/pengembangan-sektoral-yang-berkelanjutan-
dalam-industri-penambangan-batubara-di-era-otonomi-daerah/
http://www.google.co.id/url?sa=t&source=web&cd=1&ved=0CBUQFjAA&url=http%3A
%2F%2Fid.shvoong.com%2Flaw-and-politics%2Flaw%2F1961273-zona-ekonomi-
eksklusif-zee%2F&rct=j&q=zee
%20adalah&ei=dIj0TZOHAYPtrQf70_DsBg&usg=AFQjCNEEslqZvrk8wwRTna9GF2KHu
Wgy1w&cad=rja
http://id.wikipedia.org/wiki/Hutan