K. MUSTAROMK. SUBROTO - syamina.orgsyamina.org/uploads/Laporan Edisi 4 Februari 2019.pdf · bahkan...

50
K.MUSTAROM K.SUBROTO

Transcript of K. MUSTAROMK. SUBROTO - syamina.orgsyamina.org/uploads/Laporan Edisi 4 Februari 2019.pdf · bahkan...

K.�MUSTAROMK.�SUBROTO

K. Subroto

Laporan Edisi 4 / Februari 2019

ABOUT US

Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.

Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,

kirimkan e-mail ke:

[email protected]

Seluruh laporan kami bisa didownload di website:

www.syamina.org

SYAMINA

Narasi Perlawanan Muslim Banten 1888

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

3

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI — 3

EXECUTIVE SUMMARY — 4

Perlawanan Tiada Henti di Jawa pada Abad Ke-19 — 9

Dampak Perlawanan Muslim Banten —10

Aneksasi Penjajah Belanda atas Kesultanan Banten — 12

Tradisi Perlawanan di Banten — 15

Karakteristik Masyarakat Banten yang Mendalam Keislamannya — 18

Mayoritas Muslim Banten Petani — 19

Pengaruh Ulama di Banten — 20

Perlawanan Ulama atau Petani? — 21

Para Tokoh dan Pemimpin Perlawanan — 22

Latar belakang dan Kondisi Banten sebelum terjadi Perlawanan tahun 1888 — 30

Pajak yang Mencekik Rakyat — 33

Pemaksaan Peradaban Barat lewat Penjajahan — 34

Kebangkitan Agama Islam — 36

Pengaruh Ibadah Haji — 38

Gerakan Tarekat — 39

Larangan Adzan dengan Suara Keras — 41

Narasi (doktrin) Perlawanan — 43

Darul Islam (Pemerintahan Islam) — 43

Penutup — 48

Daftar Pustaka — 49

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

4

Abad ke-19 merupakan suatu periode pergolakan sosial karena arus peradaban

Barat yang semangkin kuat dengan semakin menguatnya kekuasaan penjajah

di Jawa dan sekitarnya. Dokumen-dokumen Kementerian Urusan Jajahan

Pemerintah Penjajah Hindia Belanda, memuat laporan tentang banyak perlawanan

dan percobaan-percobaan perlawanan rakyat yang bermunculan di berbagai daerah

di Pulau Jawa. Masyarakat mengalami proses modernisasi perekonomian, sosial dan

politik yang semakin dalam dipaksakan oleh penjajah Barat. Seluruh proses peralihan

dari tatanan lama ke modernitas menimbulkan konflik-konflik sosial, kerusuhan dan

perlawanan tiada henti dan silih berganti, seperti yang terjadi tahun 1888 di Banten.

Perlawanan-perlawanan yang begitu banyak tejadi di Pulau Jawa selama kurun

waktu 1840 sampai 1875 telah dicatat oleh de Waal, mantan sekretaris pemerintah

Hindia Belanda. Menurut catatan tersebut, hanya pada tahun-tahun 1844, 1847,

1860, 1863, 1871 dan 1874 sajalah tidak terjadi perlawanan. Belum lagi perlawanan

EXECUTIVE SUMMARY

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

5

yang tidak dicantumkan dalam catatan tersebut, seperti tahun 1864 di Klaten; 1865 di

Cirebon, Tegal, Yogyakarta, dan Kedu; serta tahun 1872 di Pekalongan.

Pada masa kejayaannya Banten merupakan kota terbesar di Asia Tenggara yang

makmur. Guillot, menyimpulkan bahwa pada tahun 1678, berdasarkan jumlah

penduduk dan kemakmurannya, Banten merupakan kota terbesar di Nusantara, dan

bahkan termasuk salah satu kota terbesar di dunia pada masa itu. Maka tak heran

masyarakat muslim Banten begitu merindukan kembalinya kejayaan Banten di

bawah pemerintahan Islam yang telah sukses membawa kemakmuran, ketertiban,

keamanan dan keadilan masyarakat Banten.

Di kalangan orang-orang Belanda, orang Banten Utara terkenal fanatik dalam hal

agama, bersikap agresif dan mempunyai semangat jihad (perlawanan) yang tinggi.

Mereka tidak seperti petani di Jawa Tengah bagian selatan, melainkan merupakan

kelompok-kelompok perantau yang cerdas. Dalam unsur-unsur kebudayaan mereka,

hampir tak terdapat ciri-ciri peradaban Hindu-Jawa. Justru dalam kenyataannya,

pengaruh Islam sangat mendalam dalam masyarakat Banten.

Sepanjang abad XIX Banten merupakan gelanggang perlawanan, sehingga

disebut sebagai tempat persemaian perlawanan. Dalam sejarah Banten Utara

menunjukkan bahwa di sana tak ada satu pun distrik yang tidak terkena dampak

konflik-konflik sosial. Ada tradisi yang sering disebut para sejarawan Belanda sebagai

"tradisi pemberontakan". Setelah kesultanan di Banten dihapuskan oleh penajah,

tidak ada tahun yang lewat tanpa perlawanan.

Antara 1810 sampai 1840 saja, telah terjadi sebelas kali perlawan bersenjata

melawan penjajah, di antaranya perlawanan Nyai Gumpara pada 1818 untuk

mengembalikan kesultanan Banten dan penyerangan ke Anyer dengan kekuatan 500

orang pada 1822.

Perlawanan muslim Cilegon tahun 1888 atau “Geger Cilegon” sering disebut para

sejarawan sebagai perlawanan petani (karena mayoritas rakyat Banten adalah petani)

hanyalah salah satu contoh pelawanan dari sederet perlawanan lain yang dilakukan

oleh muslim Banten yang tanpa henti, terus menerus dilakukan dari masa ke masa.

Perang sabil ini umumnya dipimpin oleh para ulama dan haji. Mereka menyebut

perlawanan mereka terhadap penjajah sebagai “perang sabil” atau “jihad” melawan

penjajah kafir Belanda.

Dengan menanamkan narasi-narasi dalam ajaran agama Islam untuk melawan

kezaliman penjajah, para ulama berhasil membangkitkan semangat rakyat muslim

Banten utuk melawan pemerintah penjajah kafir Belanda. Narasi-narasi yang mereka

gunakan antara lain; (1) narasi jihad, bahwa setiap muslim wajib melawan dan

mengusir penjajah kafir dan zalim yang menganeksasi wilayah muslim, (2) narasi

darul Islam (pemerintahan Islam), bahwa tujuan utama berjihad setelah berhasil

mengusir penjajah adalah menegakkan kembali sistem (pemerintahan) Islam

yang sesuai dengan ajaran Islam, (3) narasi akhir zaman dan Imam Mahdi, bahwa

semua tanda-tanda alam yang terjadi di Banten saat itu (seperti kekeringan, gunung

meletus, tsunami, wabah penyakit ternak) menunjukkan tanda-tanda akhir zaman

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

6

dan kedatangan imam mahdi yang akan memimpin kebangkitan dan kejayaan

agama Islam di bumi pada akhir zaman.

Musibah dan bencana membuat masyarakat Muslim di Banten sadar akan

kesalahan dan dosa-dosanya. Musibah dinilai sebagai peringatan dari Allah atas

dosa dan kesalahan mereka. Dengan bencana yang begitu dasyat, mengerikan dan

terjadi secara berturut-turut telah membuat banyak orang takut akan azab Allah,

ingin bertaubat dan berusaha lebih mendekatkan diri kepada Allah. Dakwah dan

seruan para ulama disambut masyarakat dengan antusias setelah bencana terjadi.

Kesadaran ini pada gilirannya menggerakkan apa yang banyak disebut oleh para

sejarawan sebagai gerakan “kebangkitan agama Islam”.

Para ulama Banten terus-menerus menyuarakan bahwa, membiarkan Banten

diperintah oleh penjajah kafir adalah dosa besar, tidak berusaha menegakkan

pemerintahan Islam dan memberlakukan hukum Islam adalah dosa besar. Masyarakat

muslim banten menyadari kesalahannya dan ingin bertobat dan mendekatkan

diri pada Allah dengan berjihad melawan penjajah kafir Belanda, karena perang

sabil adalah puncak dari segala ketundukan dan ibadah pada Allah. Dan setelah itu

membentuk pemerintahan Islam dan memberlakukan hukum Islam atas masyarakat

muslim Banten, sebagaimana yang selalu disampaikan para haji dalam dakwahnya.

Banyak korban yang berjatuhan, karena besarnya pukulan dan goncangan yang

ditimbulkan terhadap penjajah oleh para pejuang muslim Banten tahun 1888. Paling

tidak 17 pejabat pemerintah penjajah Hindia Belanda tewas, dimana 7 diantaranya

adalah orang Belanda, dan sisanya pribumi, salah satunya Wedana Cilegon, Raden

Tjakradiningrat serta seorang Jaksa. Dari pihak pejuang dinyatakan 11 orang gugur,

diantaranya Kiyai Haji Wasid, Haji Ismail, Haji Usman, dan kesemuanya merupakan

tokoh perlawanan tersebut, selain itu 19 orang gugur dalam perperangan tersebut.

Perang terjadi selama tiga minggu, setelah peperangan reda 94 orang pejuang yang

tertangkap dibuang oleh para penjajah ke daerah Sumatera, Sulawesi, Maluku, Nusa

Tenggara Timur, dan Jawa Timur.

Dalam usaha penjajah untuk pengejaran dan pembersihan terhadap orang yang

terkait perlawanan telah terjadi semacam terorisme oleh pemerintah penjajah, setiap

informasi yang diberikan oleh setiap agen sudah cukup menjadi alasan penangkapan.

Residen Banten membuang sekian banyak orang yang dicurigai sebagai pejuang,

yang tidak dapat dijatuhi hukuman oleh pengadilan karena tidak ada bukti.

Meskipun perjuangan kaum perlawanan dapat diredam oleh penjajah, namun

semangat perlawanan mereka tak pernah padam. Sampai tahun 1889 pemerintah

penjajah belum berhasil sepenuhnya membersihkan Banten dari pengaruh

perlawanan yang terjadi pada tahun 1888. Pemerintah penjajah masih disibukkan

dengan berbagai berita mengenai adanya rencana perlawanan baru. Mereka

berencana akan membunuh semua pejabat penjajah baik pribumi maupun Eropa.

Panjangnya daftar usaha perlawanan muslim Banten menunjukkan tingginya

semangat mereka berjihad melawan penjajah kafir Belanda untuk mengembalikan

pemerintahan Islam (seperti kesultanan Banten) yang dihapuskan oleh penjajah.

Mereka tidak melemah, putus asa atau menjadi takut walaupun usaha mereka gagal

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

7

dan banyak pemimpin mereka dieksekusi atau dibuang oleh penjajah. Mereka yakin

dengan janji-janji Allah seperti yang disampaikan oleh para ulama dan haji yang

memimpin perlawanan jihad, bahwa kemenangan kemuliaan agama Islam akhirnya

akan berada di tangan mereka.

Dengan berbagai peristiwa perlawanan dan kekerasan yang tak pernah henti

di Banten selama Abad ke-19, setelah penghapusan kesultanan Banten, Sartono

menyimpulkan bahwa, kekuasaan penjajah Belanda memicu kerusuhan dan

perlawanan di Banten pada Abad ke-19. Dampak penjajahan Barat mempercepat

disintegrasi masyarakat pribumi dan meningkatkan kerusuhan umum. Akibat

penjajahan pula, keamanan, ketertiban, keadilan dan kemakmuran yang pernah

dicapai kesultanan Banten musnah tak tersisa lagi.

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

8

Awal abad kesembilan belas, pemerintah penjajah Belanda mulai berkuasa

di Hindia Belanda (Indonesia) menggantikan VOC (Vereenigde Oostindische

Compagnie) yang bubar pada tanggal 31 desember 1799 dan seluruh aset

miliknya dikuasai oleh Negara Belanda.

Selanjutnya, sebuah komisi Negara yang diketuai Sebastian Cornelis Nederburg

bergelar komisaris jenderal dibebani tugas bidang administrasi, hukum, dan

pertahanan. Barulah kemudian pada tahun 1808, si tangan besi, Herman Willem

Deandels mengawali kekuasaannya sebagai gubernur jenderal di Hindia Belanda.

Di antara kebijakannya adalah memangkas kekuasaan penguasa-penguasa lokal. Ia

hanya tiga tahun berkuasa (1808-1811), kemudian digantikan oleh Thomas Stamford

Raffles (1811-1816) yang mewakili penguasa Inggris di tanah jajahan Belanda.

Kebijakan-kebijakan gebernur jenderal berikutnya bukan memperingan beban

rakyat pribumi, justru semakin mempersulit keadaan, misalnya dengan penerapan

cultuurstelsel (sistem tanam paksa). Sistem ini hanya menguntungkan pemerintah

penjajah dan sedikit menguntungkan penguasa lokal, namun sangat memperberat

kehidupan rakyat pribumi yang terjajah. Berikutnya, pada era liberal hingga era politik

etis, rakyat tetap menderita dan tidak banyak mengalami perubahan. Kondisi-kondisi

tersebut menjadi lahan subur perjuangan perlawanan terhadap penjajah, sehingga

semakin meningkatkan konflik bersenjata untuk mengusir penjajah Belanda.1

1 Parlindungan Siregar, Perjuangan Rakyat Banten Melawan Belanda: Studi Tentang K.H. Wasyid, Buletin Al-Turas, Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, dan Agama - Fakultan Adab dan Humainora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Vol. XXIII No.1, Januari 2017. h.56

Narasi Perlawanan Muslim Banten 1888

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

9

Kota Pelabuhan Banten tahun 1724 M2

Perlawanan Tiada Henti di Jawa pada Abad Ke-19Dokumen-dokumen Kementerian Urusan Jajahan Pemerintah Penjajah Hindia

Belanda, memuat laporan tentang banyak perlawanan dan percobaan-percobaan

perlawanan rakyat. Gerakan-gerakan milenari3 (akhir zaman) yang menyertai

kegelisahan dan gejolak sosial bermunculan di berbagai daerah di Pulau Jawa,

sementara gerakan kebangkitan agama Islam menampakkan diri dalam bentuk

sekolah-sekolah agama (pesantren) dan perkumpulan keagamaan (tarekat) yang

tumbuh bagaikan jamur di musim hujan.

Abad ke-19 merupakan suatu periode pergolakan sosial yang menyertai

perubahan sosial sebagai akibat arus peradaban Barat yang semangkin kuat.

Masyarakat menyaksikan dan mengalami suatu modernisasi perekonomian, sosial

dan politik yang semakin dalam dipaksakan oleh penjajah Barat. Seluruh proses

peralihan dari tradisionalitas ke modernitas ditandai dengan goncangan-goncangan

sosial, kerusuhan dan konflik tiada henti dan silih berganti, seperti perlawanan tahun

1888 di Banten.

2 https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Banten-city-Java-1724.jpg3 Milenarianisme (kadang-kadang dieja milenarisme) adalah suatu keyakinan oleh suatu kelompok atau

gerakan keagamaan, sosial, atau politik tentang suatu transformasi besar dalam masyarakat dan setelah itu segala sesuatu akan berubah ke arah yang positif (atau kadang-kadang negatif atau tidak jelas). Milenialisme adalah suatu bentuk Milenarianisme spesifik berdasarkan suatu siklus seribu tahunan.

Kelompok-kelompok milenarian biasanya mengklaim bahwa masyarakat masa kini dan para penguasanya korup, tidak adil, atau menyimpang. Karena itu mereka percaya bahwa mereka akan segera dihancurkan oleh suatu kekuatan yang dahsyat. Sifat yang berbahaya dari status quo ini selalu dianggap tidak dapat diubah tanpa adanya perubahan dramatis yang telah diharapkan. Lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Milenarianisme

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

10

Perlawanan-perlawanan yang terjadi di hampir semua keresidenan di Jawa dan

di daerah-daerah Kerajaan memperlihatkan karakteristik yang sama. Perlawanan-

perlawanan itu bersifat tradisional, lokal atau regional, dan berumur pendek.

Perlawanan-perlawanan itu semuanya tidak menunjukkan ciri-ciri modern seperti

terorganisir, ideologi-ideologi modern, dan agitasi yang meliputi seluruh negeri.

Bagian terbesar dari perlawanan-perlawanan rakyat itu bersifat lokal dan tak

mempunyai hubungan satu sama lain. Semua perlawanan itu disusul oleh tragedi-

tragedi penumpasan yang sama.

Perlawanan-perlawanan yang begitu besar jumlahnya, yang tejadi di Pulau Jawa

selama kurun waktu 1840 sampai 1875 telah dicatat oleh de Waal, mantan sekretaris

pemerintah Hindia Belanda. Menurut dia, hanya pada tahun-tahun 1844, 1847,

1860, 1863, 1871 dan 1874 sajalah tidak terjadi perlawanan. Daftar itu tidak lengkap,

sejumlah perlawanan tidak dicantumkan, seperti tahun 1864 di Klaten; 1865 di

Cirebon, Tegal, Yogyakarta, dan Kedu; tahun 1872 di Pekalongan.

Gerakan-gerakan dengan sifat yang khusus dikelompokkan secara terpisah.

Ini merupakan satu pertanda, bahwa pemerintah penjajah sudah menyadari arti

gerakan semacam ini. De Waal selama beberapa waktu bekerja sebagai Sekretaris

Pemerintah Pusat di Hindia Belanda, sehingga ia dapat menggunakan dokumen-

dokumen resmi.4

Perlawanan terhadap Belanda di abad XIX muncul juga di berbagai daerah seperti

Perang Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro, Perang Padri di bawah

pimpinan Imam Bonjol yang bergejolak di Sumatera Barat, Perang Batak dan Perang

Aceh di ujung utara Pulau Sumatera.5

Dampak Perlawanan Muslim Banten Dalam usaha melawan penjajahan yang telah lama dipersiapkan tersebut,

para pejuang Banten berhasil menduduki ibu kota Cilegon kemudian menjalar ke

segala penjuru daerah itu. Namun mereka tidak bisa bertahan lama, para pejuang

yang sebagian besar adalah petani tidak terbiasa bertempur tidak siap menghadapi

pertempuran jangka panjang. Selain itu karena tidak ada rencana pertahanan yang

matang sehingga mudah dipatahkan.6

Banyak korban yang berjatuhan, karena besarnya kekacauan yang ditimbulkan

terhadap penjajah oleh para pejuang muslim Banten tahun 1888. Paling tidak

17 pejabat pemerintah penjajah Hindia Belanda tewas, dimana 7 diantaranya

adalah orang Belanda, dan sisanya pribumi, salah satunya Wedana Cilegon, Raden

Tjakradiningrat serta seorang Jaksa. Dari pihak pejuang dinyatakan 11 orang gugur,

diantaranya Kiyai Haji Wasid, Haji Ismail, Haji Usman, dan kesemuanya merupakan

tokoh perlawanan tersebut, selain itu 19 orang gugur dalam perperangan tersebut.

Perang tersebut terjadi selama tiga minggu. Setelah peperangan reda 94 orang

pejuang yang tertangkap dibuang oleh para penjajah ke berbagai daerah.

4 De waal (1876, hal. 228-229), dalam; Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Penerbit Komunitas Bambu Depok, Cetakan Pertama, Februari 1984. h.25

5 Parlindungan Siregar, Perjuangan Rakyat Banten op.cit. h.566 Sartono Kartodirjo, op.cit. h.257-258

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

11

Korban luka-luka oleh pejuang: 7 orang. Pejuang yang gugur: 30 orang, 11 di

antaranya dihukum gantung. Pejuang yang luka-luka: 13 orang. Pejuang yang

dibuang: 94 orang. Tempat pembuangan: Tondano, Gorontalo, Padang, Kupang,

Salayar, Kema (Minahasa), Padang Sidempuan, Maros, Ternate, Ambon, Muntok,

Payakumbuh, Banda, Bantaeng, Manado, Fort de Kock (Bukittinggi), Bengkulu,

Pariaman, Saparua, Pacitan, Balangnipa (Sinjai, Sulawesi Selatan).

Menurut laporan resmi, 204 orang ditangkap, 94 dibebaskan (dibuang), 89 orang

dihukum kerja paksa antara 15-20 tahun, dan 11 orang dihukum gantung oleh

pemerintah penjajah Hindia Belanda. Mereka dihukum gantung di depan umum, di

sebuah lapangan kira-kira 2 Km di utara Cilegon. Namun anehnya hampir tidak ada

orang yang datang menyaksikan eksekusi tersebut. Yang menarik, pada hari pertama

pelaksanaan hukuman gantung terhadap para pejuang, para penduduk berpuasa

(mungkin sebagai tanda simpati kepada para tokoh pejuang yang dihukum oleh

penjajah).7

Meskipun perjuangan kaum perlawanan dapat dikalahkan oleh penjajah, namun

sampai tahun 1889 pemerintah penjajah belum berhasil sepenuhnya membersihkan

Banten dari pengaruh perlawanan yang terjadi pada tahun 1888. Pemerintah penjajah

masih disibukkan dengan berbagai berita mengenai adanya rencana perlawanan

baru. Mereka berencana akan membunuh semua pejabat penjajah baik pribumi

maupun Eropa.

Ada dendam yang semakin membara di kalangan rakyat dengan eksekusi dan

pembuangan para haji, pemimpin yang mereka hormati. Bahkan ada sekelompok

muslim di Serang yang merasa bersalah dengan kegagalan perlawanan terhadap

Belanda pada Juli 1888. Mereka saat terjadi pertempuran belum terlibat langsung

dengan peperangan dengan pasukan penjajah. Mereka merasa bersalah dan malu

karena setengah-setengah dalam perjuangan dan meninggalkan para pemimpin

mereka.

Peristiwa 1888 membuat para pejabat pemerintah penjajah terjangkiti fobia

haji. Sikap fobia haji ini membuat mereka terus memburu dan memata-matai para

haji di Banten. Banyak haji yang kemudian ditangkap, dipenjara dan dibuang oleh

penjajah. Contohnya Haji Mohammad Asid dari Bendung, Haji Abu Bakar dari

Kanganteran, Haji Mohamad Sangadeli dari Kaloran, Haji Mohamad Asnawi dari

Bendung, Haji Muhidin Haji Mohamad Kanapiah dari Trumbu, Haji Mohamad Arsad

Tawil dari Tanara, Kiai Mohamad Ali dari Mandaya, Haji Ahmad (penhulu Tanara),

Haji Tubagus Kusen (penghulu pengadilan distrik di Cilegon), dan Haji Mohamad

Arsad (kepala penghulu di Serang).8

Operasi pengejaran dilancarkan sampai ke Jedah dan Mekah, di mana kiai-kiai

Banten yang terkemuka –seperti Haji Abdul Karim dan Haji Marjuki– terus dimata-

matai oleh agen Belanda. Belanda menganggap kedua haji itu sebagai dalang utama

gerakan perlawanan.

7 Sartono Kartodirjo, op.cit. h.2908 Sartono Kartodirjo, op.cit. h.292

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

12

Menurut Sartono, dalam usaha penjajah untuk pengejaran dan pembersihan

terhadap orang yang terkait perlawanan telah terjadi semacam terorisme, setiap

informasi yang diberikan oleh setiap agen sudah cukup menjadi alasan penangkapan.

Ada agen mata-mata yang hanya mencari keuntungan dengan memberi informasi,

sumpah palsu dan juga pemerasan, mereka bekerjasama dan membentuk sebuah

kongsi dalam menjalankan aksi kejahatannya.9

Residen Banten membuang sekian banyak orang yang dicurigai sebagai

pejuang, yang tidak dapat dijatuhi hukuman oleh pengadilan karena tidak ada

bukti. Kebanyakan di antara orang-orang yang dicurigai itu dibuang semata-

mata karena mereka dianggap membahayakan ketentraman dan ketertiban di

keresidenan itu. Setiap orang yang pernah menghadiri pertemuan atau pengajian

yang diselenggarakan oleh salah seorang pemimpin pejuang didakwa sebagai

pemberontak dan dinyatakan bersalah.10

Tidak lama setelah perlawanan Cilegon, emosi yang terpendam di kalangan

pejabat-pejabat Eropa meledak menjadi tindakan pengejaran yang membabi buta;

di seluruh Pulau Jawa mereka sibuk melancarkan pemburuan yang tak kenal ampun

terhadap para ulama dan guru agama. Kyai dan santri ditangkapi, diperiksa dan

kadangkala dibuang. Beberapa Bupati mengeluarkan larangan mengajarkan kitab-

kitab atau mendirikan tarekat di daerah mereka.11

Aneksasi Penjajah Belanda atas Kesultanan Banten Dua dekade terakhir abad ke-19 dan dua dekade pertama abad ke-20 dikenal

sebagai “Zaman Penjajahan” atau “Zamana Imperialisme”. Itulah zaman keemasan

pembangunan Imperium Eropa. Para Penjelajah dan komandan Inggris dan Prancis

melakukan perluasan kekuasaan pemerintah mereka di Afrika. Negara-negara

merdeka di Asia terancam bahaya dan akan dijadikan provinsi Eropa.

Sejak 1870 penjajah Belanda mulai memaksakan klaimnya atas kedaulatan dan

menghukum penguasa lokal yang mengabaikan perintah Batavia. Mereka khawatir

kalau mereka tidak bisa mngendalikan kepulauan tersebut, akan menjadi alasan bagi

penjajah Eropa lainnya untuk mengambil alih daerah jajahan mereka. 12

Pada masa berikutnya Belanda semakin memperluas pengaruh kekuasaannya

hampir ke seluruh kepulauan Nusantara. Pemerintah Batavia semakin dalam

mendekte dan mencampuri pemerintahan raja-raja lokal. Mereka diharuskan

menandatangani pernyataan yang isinya bahwa mereka memberikan (menyerahkan)

kekuasaan mereka pada pemerintah penjajah untuk memberikan petunjuk pada

mereka mengenai cara menjalankan pemerintahan mereka. Lebih dari 250 penguasa

lokal (baik besar maupun kecil) dipaksa menanda tangani pernyataan dan dengan

demikian sepenuhnya takluk pada pemerintah penjajah Belanda.13

9 Sartono Kartodirjo, op.cit. h.288 dan 28910 Sartono Kartodirjo, op.cit. h.33711 Sartono Kartodirjo, op.cit. h.33912 Bernard H.M. Vlekke, Nusantara, Sejarah Indonesia, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Jakarta 2016

h.295-29613 Bernard H.M. Vlekke, op.cit. h.307

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

13

Sejak didirikan oleh Sunan Gunung Jati, Banten sebagai sebuah kesultanan

sudah sangat menarik bagi para pedagang untuk merapatkan kapalnya di pelabuhan

Banten, baik yang berasal dari Eropa maupun Asia termasuk Nusantara. Kemudian,

pada era sultan-sultan berikutnya; Sultan Maulana Hasanuddin, Sultan Maulana

Yusuf sampai Sultan Ageng Tirtayasa, menurut Claude Guillot, Banten masih

menarik karena 1) sepenuhnya merdeka; 2) merupakan periode yang cemerlang, dan

3) Sultan masih berkuasa penuh.

Sekalipun demikian, negara satelitnya, Jayakarta sudah lebih dulu jatuh ke tangan

J.P. Coen pada 1619 dan mengganti namanya menjadi Batavia. Artinya, upaya VOC

menggerogoti kekuasaan kesultanan Banten sudah dimulai, di antaranya dengan

berupaya mengurangi peran pelabuhan Banten.

Menurut Hosein Djayadiningrat Pelabuhan Banten baru berkembang setelah

berkuasanya Kesultanan Islam tahun 1527 dan bahwa sebelum dinasti Islam,

pelabuhan ini tidak lebih dari sebuah “kampung yang tak penting”, sama dengan

Pelabuhan Kalapa berkembang dengan pesat sejak jatuh ke Tangan Fatahillah

pada tahun 1527.14

Upaya-upaya VOC di Batavia yang sudah dikuasainya menggembosi peran

pelabuhan Banten. Hal ini sangat dirasakan oleh Sultan Abdul Fath (Sultan Ageng

Tirtayasa) yang mulai berkuasa tahun 1651. VOC menghalangi usaha Banten

memajukan perdagangan. Namun, sultan tetap dianggap berhasil dalam bidang

perdagangan dengan adanya ekspor-impor antara Banten dan Persia, Surat,

Koromandel, Benggala, dan Siam. Dia juga membangun irigasi untuk pertanian dan

persawahan. Suasana damai dan tenteram berjalan hinggga tahun 1676 M.15

Sebelum diambil alih oleh Belanda, kesultanan Banten merupakan sebuah negeri

Islam yang dipimpin oleh seorang Sultan dan menerapkan sistem hukum Islam yang

berdasarkan Al Qur’an. Dasawarsa sebelum Kesultanan Banten dianeksasi Belanda,

Banten pernah menjadi negeri yang sangat kuat dan makmur dengan kota pelabuhan

terbesar di Indonesia. Ketika Belanda datang untuk menjajah dan mendirikan kota

Batavia, Banten semakin mundur. Masa pemerintahan sultan-sultan terakhir penuh

dengan perselisihan-perselisihan dan intrik-intrik (yang melibatkan campur tangan

Belanda), sehingga anarki dan bencana-bencana merajalela. Karena dirongrong

oleh perpecahan di dalam negeri, kesultanan dan penguasanya tidak dapat melawan

tekanan-tekanan oleh pihak Belanda.

Akibat politik adu-domba yang dilakukan kompeni Belanda di Banten, maka

terjadi perang antar ayah dan anak, antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng

Tirtayasa. Melalui tipu daya licik, akhirnya Sultan Ageng dapat ditangkap dan

dipenjarakan oleh penjajah sampai akhir hayatnya. Di Bawah pimpinan Sultan Haji,

Kesultanan Banten semakin dalam jatuh di bawah perangkap dan pengaruh Belanda

dengan menandatangani perjanjian pada 17 April 1684 yang sangat menguntungkan

penjajah.

14 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII. Cetakan kedua. Jakarta:KPG. 2011. Hlm.58 dalam: Parlindungan Siregar, Perjuangan Rakyat Banten op.cit. h.58

15 Taufik Abdullah dkk. Sejarah Ummat Islam Indonesia. Jakarta:Majelis Ulama ndonesia.1991. Hlm.82-83 dalam: Parlindungan Siregar, Perjuangan Rakyat Banten op.cit. h.58

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

14

Sampai kesultanan Banten dibubarkan Raffles, hutang kesultanan akibat

perjanjian tahun 1684 tidak pernah lunas terbayar. Hutang sultan pada penjajah

sangat besar karena harus membayar biaya perang antara Belanda melawan

kesultanan Banten.

Dari sultan ke sultan berikutnya setelah perjanjian 1684, Banten semakin dalam

tenggelam ke tangan penjajah. Tahun 1809, Deandels menyerang dan membakar

habis keraton Kesultanan Banten di Surosowan, Sultan Syafiudin ditangkap dan

dibuang ke Ambon, sedangkan patihnya dihukum pancung. Penyerbuan Belanda

terhadap keraton Surosowan memakan waktu lama sampai tahun 1832; bangunan-

bangunan kesultanan dihancurkan, lantai ubinnya dipindahkan ke bangunan milik

penjajah di Serang.16

Setelah aneksasi Kesultanan Banten oleh Daendels pada tahun 1808, sultan dan

alat-alat politiknya dipertahankan akan tetapi ditempatkan di bawah pengawasan

ketat pemerintah Belanda. Banten dinyatakan sebagai daerah kekuasaannya dan luas

wilayahnya sangat diperkecil. Sultan Abu'n Natsr Mohamad Ishak Zainu'l Mustakin

dibuang ke Ambon dan digantikan oleh Sultan Abu'l-Mafakhir Mohamad Aliudin.

la diperbolehkan memakai gelar sultan, akan tetapi pada kenyataannya ia hanya

merupakan semacam boneka penjajah, karena wilayah kesultanan Banten sudah

dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan penjajah Belanda.

Pada tahun 1832, sultan yang terakhir dibuang ke Surabaya di mana ia hidup

bersama dengan dua orang pendahulunya. Peranan pribadi mereka dalam percaturan

politik di Banten telah dihapuskan, akan tetapi kesultanan masih terus mempunyai

arti simbolik bagi masyarakat Banten selama abad XIX.17 Maka pada masa setelahnya

akan dijumpai banyak usaha dilakukan untuk mengembalikan kejayaan kesultanan

Banten yang didukung oleh rakyat Banten. Mesyarakat Banten yang dikenal kental

keislamannya merindukan tegaknya sistem Islam dan diperintah oleh penguasa

Muslim. Oleh karenanya mereka menolak dan selalu berontak menentang sistem

yang dipaksakan oleh penjajah Belanda.

Kesultanan Banten, yang didirikan dalam tahun 1520 oleh pendatang-pendatang

dari Kesultanan Demak di Jawa Tengah dan dihapuskan oleh Daendels pada tahun

1808, meliputi daerah pesisir utara sebagai intinya, sedangkan wilayah-wilayahnya

terdiri dari daerah pegunungan Banten, bagian barat Bogor dan Jakarta, dan juga

Lampung di Sumatera bagian selatan. Daerah yang oleh pelawat-pelawat Portugis

dinamakan Sunda Bantam itu, sejak zaman dulu merupakan sebuah pusat

perdagangan lada; ia maju pesat setelah Malaka dirampas oleh orang-orang Portugis

pada tahun 1511, namun kemudian mengalami kemunduran dengan cepat sebagai

pusat perdagangan sejak Belanda mendirikan Batavia dalam tahun 1619.

Banten, yang terletak di bagian paling barat Pulau Jawa, luasnya sekitar 114

mil persegi. Menurut angka statistik resmi, penduduk Banten dalam tahun 1892

berjumlah 568.935 jiwa; daerah yang paling padat penduduknya adalah distrik

Cilegon. Berkaitan dengan kepadatan penduduk, daerah itu dapat dibagi menjadi dua

16 Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari, Catatan Masalalu Banten, Penerbit Saudara Serang, Cetakan ke-3, 1993. h.179-180

17 Sartono Kartodirjo, op.cit. h.77-78

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

15

bagian yang sangat berbeda satu sama lain. Bagian selatan yang merupakan daerah

pegunungan, bagian terbesar terdiri dari hutan dan sangat jarang penduduknya.

Daerah Selatan jarang menjadi ajang peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah

Banten. Sebaliknya, Banten Utara dalam dasawarsa-dasawarsa terakhir abad XIX

tanahnya sebagian besar sudah digarap dan karenanya penduduknya jauh lebih

padat. Banyak kota di daerah ini, di antaranya Banten, Tamiang dan Pontang sudah

sangat tua usianya; kelahirannya dapat ditelusuri kembali sampai ke abad ke-16.18

Pada masa kejayaannya Banten merupakan kota terbesar di Asia Tenggara yang

makmur. Guillot, menyimpulkan bahwa pada tahun 1678, berdasarkan jumlah

penduduk dan kemakmurannya, Banten merupakan kota terbesar di Nusantara,

dan bahkan termasuk salah satu kota terbesar di dunia pada masa itu.19 Maka tak

heran masyarakat muslim Banten begitu merindukan kembalinya kejayaan Banten

di bawah pemerintahan Islam yang telah sukses membawa kemakmuran, ketertiban,

keamanan dan keadilan masyarakat Banten. Dengan kenyataan itu, masyarakat

muslim Banten selalu berusaha tanpa henti melawan pendudukan dan penjajahan

Belanda yang telah melenyapkan institusi pemerintahan Islam, kesultanan Banten.

Tradisi Perlawanan di BantenPerlawanan rakyat Banten pada abad XIX merupakan kelanjutan dari abad-

abad sebelumnya. Sebelumnya Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683 M) gigih

mempertahankan Kesultanan Banten dari kejahatan adu domba yang dilakukan

oleh kompeni (VOC) antara dia dan putra mahkota, Sultan Haji, yang berujung

tergerusnya kekusaan kesultanan oleh kompeni.20

Sepanjang abad XIX Banten merupakan gelanggang perlawanan, sehingga

cukup alasan untuk menamakannya sebagai tempat persemaian perlawanan. Satu

pandangan sepintas atas peta sejarah Banten Utara menunjukkan bahwa di sana

tak ada satu pun distrik yang tidak terkena dampak kerusuhan-kerusuhan sosial.

Sesungguhnya, perlawanan di Banten abad XIX bukan merupakan gejala yang

sporadik, melainkan merupakan ciri yang umum, endemik dan simptomatik dari

masyarakat Banten.

Catatan sejarah memberikan kesan adanya perlawanan-perlawanan rakyat yang

silih berganti, dengan kadar kehebatan dan lingkup yang berbeda-beda. Ada tradisi

yang sering disebut para sejarawan Belanda sebagai "tradisi pemberontakan".21

Selalu terjadi perlawanan yang berulang sejak penghapusan Kesultanan Banten

pada 1808. Sejumlah serangan kecil dan besar terus menghantui penjajah Belanda

di Banten. Taktik gerilya membuat pemerintah penjajah tidak berdaya mengatasi

situasi secara efektif.

18 Ibid. h. 3119 Claude Guillot, Banten, Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII. Cetakan pertama. Kepustakaan Populer

Gramedia (KPG) Jakarta 2008. h.10620 Parlindungan Siregar, Perjuangan Rakyat Banten op.cit. h.5621 Sartono Kartodirjo, op.cit. h. 113

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

16

Pada tahun 1815 serangan tiada henti itu memuncak dengan pengepungan

keraton Sultan di Pandeglang. Gerakan perlawanan itu dipimpin oleh Noriman

yang juga dikenal sebagai Sultan Kanoman. Meskipun penjajah berhasil memukul

mundur serangan pasukan perlawanan, pasukan penjajah sulit mengalahkan

mereka sepenuhnya selama mereka mendapat dukungan dan kesetiaan rakyat.22

Seperti dikatakan beberapa tahun kemudian oleh seorang yang hidup di

zaman itu: setelah kesultanan dihapuskan di Banten, tidak ada tahun yang lewat

tanpa perlawanan. Data-data yang tidak lengkap, menyebutkan setidak-tidaknya

empat perlawanan besar terjadi pada tahun-tahun dua puluhan, yakni yang terjadi

dalam tahun-tahun 1820, 1822, 1825 dan 1827.23

Dengan berbagai peristiwa perlawanan dan kekerasan yang tak pernah henti

di Banten selama Abad ke-19, setelah penghapusan kesultanan Banten, Sartono

menyimpulkan bahwa, kekuasaan Belanda di Banten memicu kerusuhan dan

perlawanan di Banten pada Abad ke-19. Dampak penjajahan Barat mempercepat

disintegrasi masyarakat tradisional dan meningkatkan kerusuhan umum.24

Usaha meniadakan hal-hal yang dirasakan tidak adil, yang menyakitkan hati

atau yang dianggap sebagai penindasan melalui perlawanan bersenjata sudah

merupakan tradisi di Banten. Abad XIX merupakan abad kebangkitan revolusionisme

lokal dan terutama antara tahun 1800 sampai tahun 1850 huru-hara yang bersifat

perlawanan terhadap penjajah susul-menyusul secara teratur, dan mencapai puncak

intensitasnya pada tahun 1850. Kerusuhan-kerusuhan itu masih merupakan hal yang

endemik selama dua dasawarsa berikutnya. Kemudian menyusul periode gerakan-

gerakan lebih lanjut yang memuncak pada tahun 1888.25

Peristiwa-peristiwa perlawanan rakyat Banten didukung, dipelopori dan

dipimpin oleh para Ulama, kaum bangsawan, dan Jawara bahkan kaum wanita

Banten. Diantaranya adalah Nyai Gumpara, Tumenggung Muhammad, Demang

dari Menes, Mas Jakaria, Ratu Bagus Ali, Pangeran Radli, Mas Jebeng (putera Mas

Jakaria), Mas Anom, Mas Serdang, Mas Adong, Mas Anjung (Puteri Mas Jakaria), Nyai

Permata (Ibu Nyai Gumpara), Raden Yintan, Pangeran Lamir, Sarinam, Mas Derik,

H. Wakhia, Tubagus Ishak, dan Mas Diad.26

Antara 1810 sampai 1840, terjadi sebelas kali perlawan bersenjata rakyat Banten,

misalnya seperti perlawanan Nyai Gumpara pada 1818 untuk mengembalikan

kesultanan Banten dan penyerangan ke Anyer dengan kekuatan 500 orang pada

1822. Pada akhir tahun 1825 Tumenggung Muhammad Demang dari Menes

dengan dukungan para kiyai dan tokoh agama serta para santrinya memimpin

perlawanan bersenjata menentang pemungutan pajak yang memberatkan. Letnan

de Quay mematahkan perlawanan ini yang membuat Tumenggung Muhammad

mengundurkan diri melintasi puncak gunung Pulosari melalui perbatasan

Pandeglang.

22 Sartono Kartodirjo, op.cit. h. 12123 Sartono Kartodirjo, op.cit. h. 12324 Sartono Kartodirjo, op.cit. h. 14725 Sartono Kartodirjo, Op.Cit. h.35026 Parlindungan Siregar, Perjuangan Rakyat Banten op.cit. h.57

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

17

Dua tahun kemudian muncul lagi perlawanan bersenjata dari Mas Jakaria. Pada

1811, ia pernah menduduki Pandeglang yang kala itu menjadi kota kraton, tetapi

ia tertawan. Namun pada tahun 1927, ia berhasil melarikan diri. Banyak hadiah

disediakan bagi yang dapat menangkapnya, tetapi tetap gagal bahkan pada tahun

ini ia kembali menyerbu Pandeglang dan berhasil menewaskan anggota-anggota

detasemen tentara Belanda. Pasukan Belanda secara membabi buta membakari

rumah penduduk untuk memaksa pengakuan penduduk dimana keberadaan

Mas Jakaria. Barulah beberapa bulan kemudian ia berhasil ditangkap dan dijatuhi

hukuman mati dengan memenggal lehernya dan membakarnya.

Mas Jakaria dianggap sebagai pahlawan dan dikeramatkan oleh masyarakat.

Keturunan Mas Jakaria banyak yang muncul menjadi pemimpin-pemimpin

perlawanan pada masa berikutnya. Setelah perlawanan Mas Jakaria berakhir hampir

setiap tahun muncul kerusuhan atau perlawanan yang dipimpin oleh ulama atau

para haji. Misalnya perlawanan yang dipimpin Ngabehi Adam, Haji Yamin, Ngabehi

Utu, dan Ngabehi Ikram.

Pada tahun 1815 pasukan Mas Bangsa, Pangeran Sane, dan Nuriman yang dikenal

sebagai Pangeran Kanoman mengepung Keraton Sultan di Pandeglang. Pada tahun

1818 dan awal tahun 1819, Haji Tassin, Moba, Mas Haji, dan Mas Raka memimpin

perlawanan di Banten Selatan dan berhasil membunuh beberapa pamongpraja di

Lebak.

Tahun 1820, 1822, 1825 dan 1827 muncul lagi perlawanan yang dipimpin Mas

Raye, Tumenggung Muhammad dari Menes, Mas Aria, dan dibantu oleh para ulama.

Seorang wanita Banten juga tampil memimpin perlawanan pada tahun 1836. Wanita

tersebut ialah Nyai Gumparo atau Nyai Gumparan di Balaraja. Meskipun perlawanan

gagal, tetapi pengikut-pengikut Nyai Gumparan dapat meloloskan diri dan berusaha

meneruskan perjuangan, perlawanan terhadap penjajah.27

Pada tahun-tahun 1831, 1833, 1836, dan 1839 terjadi banyak perlawanan bersenjata.

Pemimpin- pemimpin yang lolos dari perlawanan tahun 1936 adalah Ratu Bagus Ali

tahun 1936 adalah Ratu Bagus Ali dikenal sebagai Kiyai Gede, Pangeran Radli dan

Mas Jebeng, putera Mas Jakaria. Rakyat bersemangat lagi melawan penjajah ketika

ketiga putra Mas Jakaria melarikan diri dari penjara Banyuwangi; Mas Anom, Mas

Serdang, dan Mas Andong. Salah seorang wanita yang memimpin perlawanan Nyai

Mas Anjung, puteri Mas Jakaria, ikut pula Mas Ubid, kemenakan dan menantu Mas

Jakaria. Raden Yintan, Pangeran Lamir, dan seorang wanita Sarinam juga menjadi

pemimpin perlawanan bersenjata.

Pada tanggal 13 Desember 1845, para pejuang Banten merebut rumah tuan tanah

di Cikandi Udik dengan membunuh tuan tanah Kamphuys, istrinya dan lima anaknya.

Peristiwa ini disebut peritiwa Cikandi, semua orang Eropa Cikandi menemui ajalnya.

Sebuah detasemen bejumlah 60 orang berhasil melumpuhkan perlawanan di Cikandi.

Sebenarnya, peristiwa ini dilakukan sebagai isyarat perlawanan di seluruh Banten.

27 Nina H Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara, Pustaka LP3ES Jakarta, 2004. h.101-102

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

18

Mereka bersekutu dengan pemimpin kelompok Banten Selatan yang dipimpin oleh

Nyai Permana, ibu Nyai Gumpara, pemimpin perlawan tahun 1836.

Pada 24 Pebruari 1850, Raden Bagus Jayakarta, patih Serang, mencetuskan

perlawanan dan menewaskan Demang Cilegon beserta stafnya. Raden Bagus

Jayakarta didukung oleh pemuda-pemuda antara lain Tubagus Iskak, Mas Derik, Haji

Wakhia, dan Penghulu Dempol. Di Lampung, banyak orang Banten yang melarikan

diri dari Banten untuk menghindar dari pengejaran penjajah atau untuk mengelak

dari penindasan para pejabat. Salah seorang diantaranya adalah orang kaya H.

Wakhia dari Budang Batu yang dikejar-kejar polisi dan bersembunyi di Lampung

kemudian menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.

Pada tahun 1847 ia kembali ke desanya. Ia dipanggil residen karena tidak mau

membayar pajak tapi ia tidak mengindahkannya. H. Wakhia turut serta dalam

merencanakan perlawanan dan seruan H. Wakhia yang dibantu oleh Penghulu

Dempol untuk melancarkan Perang Sabil disambut dengan semangat yang menyala-

nyala. H. Wakhia dan penghulu Dempol mengambil posisi di sebelah barat bukit-

bukit Simari Kangen, kelompok yang dipimpin Mas Derik dan Nasid berada di

pegunungan sebelah timur Pulau Merak, sedangkan Tubagus Ishak dan Mas Diad

dan pasukannya beroperasi di distrik Banten.

R.B. Jayakarta, pengambil inisiatif berada di belakang layar. Lebih kurang tiga

bulan lamanya pasukan-pasukan rakyat maju mundur diselingi seranga-serangan

sporadik terhadap kota-kota kecil dan desa seperti Tanjak dan Anyer.

Dalam menghadapi pasukan kolonial pada tanggal 3 Mei 1850 di Tegalpapak

mereka mengalami kekalahan dan beberapa pemimpin mereka ditawan. H. Wakhia

dan Tubagus Ishak berhasil meloloskan diri ke Lampung dan di daerah ini ia kembali

ikut perlawanan terhadap penjajah Belanda yang dilancarkan Raden Intan dan

Pangeran Singabranta. H. Wakhia akhirnya ditangkap dan dihukum mati. Anak dan

isterinya menetap di desa asal H. Wakhia yang kemudian dikenal dengan nama

Arjawinangun. Di tempat ini mereka sangat dihormati.

Antara tahun 1851 sampai 1871 masih sering terjadi perlawan bersenjata, seperti

peristiwa Usup di tahun 1851, peristiwa Pungut di tahun 1852, kerusuhan di Kolelet

di tahun 1866 dan kasus Jayakusuma di tahun 1869.28

Itulah deretan usaha para pejuang muslim Banten yang tiada henti berusaha

mengusir penjajah, mencapai kemerdekaan dan mendirikan pemerintahan Islam.

Mereka ingin mengulangi kesuksesan kesultanan Banten yang berjaya, aman, adil

dan makmur dengan sistem Islam.

Karakteristik Masyarakat Banten yang Mendalam KeislamannyaOrang-orang Jawa terdapat di bagian Banten utara, orang sunda umumnya di

Banten selatan, sedangkan orang-orang Baduy mendiami daerah pegunungan di

selatan. Bagian utara, yang membentang dari Anyer sampai Tanara. Penduduk

28 Parlindungan Siregar, Perjuangan Rakyat Banten op.cit. h.60-61

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

19

daerah itu merupakan keturunan orang-orang Jawa yang datang dari Demak dan

Cirebon dan dalam perjalanan waktu berbaur dengan orang-orang Sunda, Bugis,

Melayu dan Lampung.

Selain ada perbedaan-perbedaan dalam hal bahasa dan adat-istiadat, maka

dalam hal penampilan fisik dan watak orang Banten Utara menunjukkan perbedaan

yang nyata dengan orang Sunda dan orang Jawa dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Di kalangan orang-orang Belanda, orang Banten Utara terkenal fanatik dalam

hal agama, bersikap agresif dan mempunyai semangat jihad (perlawanan) yang

tinggi. Mereka tidak seperti petani di Jawa Tengah bagian selatan, melainkan

merupakan kelompok-kelompok perantau yang cerdas. Di antara unsur-unsur

yang merupakan ramuan yang membentuk kebudayaan mereka, hampir tak

terdapat ciri-ciri peradaban Hindu-Jawa. Dalam kenyataannya, pengaruh Islam

sangat mendalam.

Perbedaan-perbedaan yang nyata sekali antara Banten Utara dan Banten

Selatan itu tak disangsikan lagi diantaranya disebabkan oleh perbedaan-perbedaan

lingkungan alam, satu faktor ekologis, dan juga oleh perbedaan-perbedaan yang

bersifat sosio-kultural atau historis. Lingkungan alam sangat kontras antara utara

dan selatan. Sebagian besar Banten Selatan terdiri dari pegunungan; di sebelah Barat,

pegunungan itu dilanjutkan dari gugusan gunung-gunung di selatan terus menuju

ke utara sampai ke puncak Gunung Gede.

Di lereng-lereng gunung dan di dataran-dataran rendah Banten Utaralah terdapat

sebagian besar daerah persawahan yang beririgasi. Menurut tradisi setempat, sawah-

sawah itu di masa lampau telah dibuka di dataran bagian utara oleh orang-orang

Jawa yang pindah ke sana dan oleh karenanya tanah-tanah milik sultan terdapat di

sana.

Oleh karena daerah-daerah pegunungan dan pebukitan di selatan kering dan tak

dapat diairi dengan irigasi, maka di sana orang menanam padi di tanah kering, yang

dinamakan tipar atau huma. Tipar juga terdapat di daerah-daerah pebukitan di utara,

akan tetapi tanaman di sana adalah tebu, kacang, kapas dan kelapa. Jelaslah bahwa

faktor- faktor ekonomi lebih menguntungkan bagian utara, yang meliputi daerah-

daerah penghasil beras utama dan letaknya dekat dengan jalur-jalur dan pusat-pusat

perdagangan.29

Mayoritas Muslim Banten PetaniPada tahun 1883, disamping 556.438 penduduk lokal, Banten didiami oleh 360

orang berkebangsaan Eropa, 1.479 penduduk Cina dan 21 orang berketurunan Arab

Sedangkan untuk wilayah Lampung, pada tahun 1883 dihuni oleh 128.939 penduduk

asli, 70 orang Eropa, 255 keturunan Cina, dan 154 keturunan Arab.30

Di Banten, perekonomian utamanya bersifat agraris, penduduk desa mayoritas

adalah petani dan penanam padi, entah sebagai pemilik tanah, entah sebagai

29 Ibid. h.32-3330 Erlita Tantri, Letusan Krakatau 1883: Pengaruhnya Terhadap Gerakan Sosial Banten 1888, Jurnal Masyarakat

& Budaya, Volume 16 No. 1 Tahun 2014 h.197

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

20

penggarap dengan bagi hasil. Namun demikian, ada sebagian penduduk desa

mencari nafkah sebagai pedagang, nelayan atau tukang, atau sebagai pengusaha

industri.

Ada juga petani yang melakukan berbagai usaha dan pekerjaan untuk memperoleh

penghasilan tambahan. Dalam kenyataannya, mereka melakukan pekerjaan-

pekerjaan itu tidak secara penuh melainkan sambilan saja, atau melakukannya

selama tidak ada pekerjaan di sawah atau ladang. Mayoritas yang sangat besar dari

rakyat masih tetap petani, sementara sebagian kecil saja dari seluruh penduduk yang

bekerja mencari nafkah di bidang perdagangan dan kerajinan tangan.31

Pengaruh Ulama di BantenBerdirinya Kesultanan Banten tidak lepas dari peranan para ulama, yang pada

masa itu berjuang untuk membendung penyebaran agama Kristen oleh Portugis

dan menolak kehadiran Portugis yang gigih berusaha menghancurkan Islam dalam

semangat Perang Salib. Pendiri Kesultanan Banten, Syarif Hidayatullah, adalah

seorang ulama yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Hasanuddin,

juga seorang da’i yang berhasil.32 Dalam perluasan daerah kekuasaan Banten yang

dilakukan oleh para Sultan Banten, semuanya bermotifkan keagamaan untuk

penyebaran agama Islam (dakwah), walaupun tidak menutup kemungkinan adanya

motif ekonomi, motif kekuasaan, atau motif lainnya, seperti penyerangan Banten ke

Lampung dan Solebar pada masa Maulana Hasanuddin, penyerangan Palembang

pada masa Sultan Muhammad dan juga penyerangan ke Padjadjaran pada masa

Maulana Yusuf.

Dalam birokrasi kerajaan, dikenal adanya Kadhi atau Hakim Agung yaitu seorang

ulama yang mempunyai kedudukan menentukan dalam setiap keputusan penting.

Keadaan demikian berlangsung sampai dikenalkannya sistem sekuler Barat oleh

penjajah Belanda. Pemerintah penjajah berusaha untuk memisahkan antara urusan

kenegaraan dan urusan keagamaan disesuaikan dengan prinsip yang dianutnya

yaitu sekulerisme.

Para ulama mengajarkan pada masyarakat, bahwa penjajahan bertentangan

dengan nilai-nilai kemanusiaan dan juga bertentangan dengan ajaran Islam.

Menentang penjajah adalah perbuatan mulia dan wajib dilakukan setiap orang Islam.

Maka apabila mati dalam peperangan melawan kesewenang-wenangan (kezaliman),

dia mati syahid yang balasannya adalah surga. Keyakinan semacam ini tertanam

pada setiap muslim yang taat kepada agamanya. Dengan demikian wajarlah apabila

Banten yang dikenal sebagai pusat penyebaran Islam di wilayah Jawa Barat tidak

pernah sepi dari gerakan perjuangan melawan penjajah.

Ulama sangat berpengaruh dalam kehidupan keseharian masyarakat Banten,

bahkan lebih berpengaruh dari pada birokrat pemerintahan. Hal ini disebabkan

karena ulama lebih dekat dengan masyarakat, segala permasalahan yang terjadi

31 Sartono Kartodirjo, Op.Cit. h.3432 Halwany Michrob, Catatan Masa Lalu Banten, hal. 223.

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

21

dalam masyarakat selalu dapat diselesaikan oleh para ulama, hal ini membuat

masyarakat lebih percaya kepada ulama daripada kepada birokrat pemerintahan.

Pengaruh kyai atau ulama melewati batas-batas geografis pedesaan berdasarkan

legitimasi masyarakat untuk memimpin upacara-upacara keagamaan, adat dan

mengajarkan ajaran-ajaran agama. Selain itu, seorang kyai dipandang memiliki

kekuatan-kekuatan spiritual karena kedekatannya dengan Sang Pencipta. Kyai dikenal

tidak hanya sebagai guru di pesantren, juga sebagai guru spiritual dan pemimpin

kharismatik masyarakat. Penampilan kyai yang khas merupakan simbol-simbol

kesalehan. Misalnya, bertutur kata lembut, berperilaku sopan, berpakaian rapih

dan sederhana, serta membawa tasbih untuk berdzikir kepada Allah.33 Karena itu,

perilaku dan ucapan seorang kyai menjadi panduan masyarakat dalam kehidupan

sehari-hari.

Para pemimpin agama, ulama, para haji dan kiyai mempunyai prestise sosial yang

sangat besar, lebih-lebih di daerah-daerah pedesaan. Di pedesaan ukuran prestise

berdasarkan agama sangat berbeda dengan yang berlaku di Barat dan di kalangan

priyayi. Konsekuensinya di mata rakyat, kiyai atau haji lebih tinggi kedudukannya

dibandingkan dengan pamongpraja pribumi, sehingga menurut pendapat mereka,

para ulama harus lebih dihormati dan harus lebih ditaati. Tidak mengherankan

bahwa kiyai atau haji dapat dengan mudah mengerahkan orang untuk segala

macam tujuan. Pengaruh para guru agama menjadi demikian dominan sehingga

pamongpraja pribumi harus mengandalkan beberapa perantaranya dalam soal-soal

seperti memungut pajak atau mengerahkan tenaga kerja untuk pekerjaan umum.34

Perlawanan Ulama atau Petani?Perlawanan muslim Cilegon tahun 1888 atau “Geger Cilegon” sering disebut

sebagai perlawanan petani. Namun tidak berarti bahwa peserta-pesertanya terdiri

dari petani semata-mata. Sepanjang sejarah perlawanan-perlawanan petani,

pemimpin-pemimpinnya jarang sekali petani biasa. Mereka berasal dari golongan-

golongan penduduk pedesaan yang lebih berada dan lebih terkemuka. Mereka

adalah pemuka-pemuka agama, anggota-anggota kaum ningrat atau orang-orang

yang termasuk golongan penduduk desa yang terhormat.

Hanya dalam arti yang terbatas saja perlawanan yang terjadi dalam abad XIX

di Indonesia dapat dikatakan sebagai perlawanan petani yang murni. Pemimpin-

pemimpinnya merupakan satu golongan elite, yang mengembangkan dan

menyebarkan narasi tentang prediksi-prediksi dan visi sejarah yang sudah turun-

temurun mengenai akan datangnya Ratu Adil atau imam Mahdi. Dalam banyak

hal, pemuka-pemuka agamalah yang telah memberikan bentuk contoh nyata

yang populer atas narasi-narasi akhir zaman itu dan menerjemahkannya ke dalam

perbuatan dengan jalan menarik massa rakyat agar melawan pemerintah penjajah.

Anggota-anggota gerakan itu terdiri dari petani, akan tetapi pimpinan organisasinya

33 Kurniawati Hastuti Dewi, 2003. Kepemimpinan Kyai dan Jawara di Banten: Pengaruhnya terhadap Good Governance, hal. 240.

34 Sartono Kartodirjo, Op.Cit. h.196

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

22

adalah kaum elite pedesaan. Guru agama, ulama atau pemimpin tarekat memainkan

peran utama dalam hampir semua perlawanan besar yang tercatat.35

Tidak lama setelah kesultanan dihapuskan di Banten, keadaan menjadi sangat

kacau, dan tatanan sosial sudah hampir ambruk. Pada saat itulah muncul para

pemimpin untuk memandu mereka yang merasa tidak puas untuk melawan

kekuatan penjajah yang dominan. Penjajahan Belanda yang diikuti dengan usaha

mengobarkan semangat terus-menerus yang dilakukan para pemimpin agama

untuk melakukan jihad melawan pemerintah kafir, menjadikan Banten satu daerah

yang bergolak selama beberapa dasawarsa.

Seiring berjalannya waktu berbagai elemen sosial bercampur baur, bahu

membahu dalam perlawanan bersenjata melawan penindasan penjajah. Mereka

adalah: pamong praja, bangsawan, ulama, santri pengurus desa dan rakyat biasa. Jadi

yang terlibat dalam gerakan perlawanan berasal dari berbagai latar belakang sosial.

Gerakan-gerakan yang muncul pada abad ke-19 di Banten tidak ada yang berasal

dari satu kelas sosial saja.

Hampir semua perlawanan dipimpin oleh orang-orang yang bukan petani biasa.

Mereka mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan keinginan terpendam dari

sebagain besar kaum tani dan menyalurkan kekuatan kaum tani yang tidak teratur

menjadi kekuatan yang efektif untuk melawan penjajah. Kaum tani menjadi kekuatan

fisik yang utama karena sebagian besar rakyat Banten adalah petani.36

Para Tokoh dan Pemimpin Perlawanan Dalam perjuangan melawan penjajah pada tahun 1888 ada tokoh yang terlibat

langsung, ada yang tidak langsung. Mereka memberi inspirasi dan semangat untuk

melawan penjajah kafir semacam Haji Abdul Karim. Sebelas tokoh yang dianggap

terlibat langsung dalam perjuangan melawan penjajah dihukum mati di tiang

gantungan oleh pemerintah penjajah Belanda.

Kelompok pertama dikirim ke tiang gantungan pada tanggal 15 Juni, 1889, dan

terdiri dari lima pejuang: Samidin, Taslin, Kamidin, Haji Mohamad Akhiya dan

Haji Mahmud. Penggantungan yang kedua berlangsung di Cilegon sekitar empat

minggu kemudian, yakni pada tanggal 12 Juli 1889. Keenam orang yang berdiri di

panggung penggantungan adalah Dulmanan, Sakimin, Haji Hamim, Dengi, Oyang

dan Kasar. Mereka digantung di muka umum di sebuah lapangan terbuka kira-kira

dua kilometer sebelah utara Cilegon. Akan tetapi hampir tak ada orang yang datang

menyaksikannya.37

Banyak orang yang dianggap terlibat dalam perlawanan yang dianggap berbahaya

yang kemudian dibuang atau diasingkan agar tidak mempengaruhi rakyat untuk

melawan penjajah. Dalam daftar orang-orang yang dibuang dalam lampiran buku

“Pemberontakan petani Banten 1888” yang berasal dari sumber Belanda, terdapat

35 Sartono Kartodirjo, 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888, h.336 Ibid. h.11837 Sartono, op.cit. h.290

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

23

94 orang yang dibuang oleh penjajah ke berbagai daerah seperti Ambon, Kupang,

Manado, Bengkulu, Banda, Padang, Gorontalo dll. Menariknya dari 94 orang yang

dibuang tersebut sebagian besar adalah para haji berusia muda yang berusia antara

24 sampai 40 tahun.38

Berulangnya peristiwa-peristiwa perlawanan terhadap pemerintah penjajah

secara berkala telah mendorong munculnya satu elite revolusioner yang anggota-

anggotanya dari generasi ke generasi memainkan peranan yang menonjol dalam

perlawanan-perlawanan berikutnya. Mereka adalah keluarga-keluarga terkemuka

yang melahirkan tokoh-tokoh revolusioner, seperti keluarga-keluarga Jakaria,

Urip dan Wakhia, yang secara tradisional merupakan titik-titik pusat perlawanan

di Banten. Idealisasi tokoh-tokoh revolusioner sudah merupakan satu tradisi yang

merakyat di Banten.39

Para pejuang Banten yang tertangkap penjajah Belanda, sebagian besar

diasingkan40

Berikut akan diulas beberapa tokoh yang dikenal paling berpengaruh, yang

terlibat langsung maupun tidak langsung dalam usaha perlawanan muslim Banten

terhadap penjajah Belanda pada tahun 1888:

1. Haji Abdul KarimHaji Abdul Karim adalah ulama besar yang paling menonjol di antara pemimpin-

pemimpin gerakan perlawanan Banten 1888. Awal perkembangan gerakan tarekat

di Banten berkaitan dengan Haji Abdul Karim sebagai seorang pemimpin agama

dan sebagai guru tarekat Kadiriah. Sejak masa mudanya ia mendalami ajaran-ajaran

Syekh Khatib Sambas, pemimpin tarekat Kadiriah, dan kemudian menjadi seorang

38 Sartono, op.cit. h.383-38539 Sartono, op.cit. h.35040 Foto: KITLV https://musabab.com/perang-geger-cilegon-1888-pemberontakan-umat-islam-pada-penjajah-

belanda/

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

24

ulama besar yang sangat terkenal. Ia memperlihatkan hasrat yang sangat mendalam

untuk menimba ilmu dan perhatian yang besar terhadap ajaran-ajaran Islam. Karena

sifat-sifatnya yang luar biasa, ia dianggap cocok sebagai guru tarekat Kadiriah.

Tugas pertama yang diberikan kepadanya adalah sebagai guru tarekat di

Singapura, dan tugas itu ia lakukan selama beberapa tahun. Tahun 1872 ia kembali

ke desa asalnya, Lampuyang, dan tinggal di sana selama lebih kurang tiga tahun. Ia

mendirikan sebuah pesantren, karena sudah terkenal, maka dalam waktu singkat ia

sudah mempunyai murid-murid yang sangat setia, mengabdi dan patuh kepadanya.

Di samping massa rakyat yang antusias yang dengan mudah ia dakwahi, ia juga

berhasil meyakinkan banyak pejabat pamongpraja untuk mendukung misinya.

Pada satu ketika kiyai besar itu mempunyai prestise yang luar biasa besarnya dan

mendapat dukungan dari Bupati Serang. Sejumlah tokoh terkemuka, termasuk

penghulu kepala di Serang dan seorang pensiunan patih, Haji R.A. Prawiranegara,

adalah sahabat-sahabatnya dan mereka sangat terkesan oleh ide-idenya.

Karena ia sangat popular dan sangat dihormati oleh rakyat, pejabat-pejabat

pemerintah marasa takut terhadapnya. Bupati Serang juga pergi ke distrik Tanara

dan berkunjung kepada kiyai Haji Abdul Karim. la benar-benar merupakan orang

yang paling dihormati di Banten saat itu.

Khotbah-khotbah Haji Abdul Karim mempunyai pengaruh yang besar terhadap

penduduk. Dalam kunjungan-kunjungannya ke seluruh pelosok di daerah itu, ia

tak henti-hentinya berseru kepada rakyat supaya memperbarui kehidupan agama

mereka dengan jalan lebih taat menunaikan ibadah mereka. Dijelaskannya bahwa

keyakinan dan praktek agama harus menjalani proses pemurnian yang intensif.

Kebangkitan kembali agama sudah berlangsung dengan penuh semangat di

Banten. Jumlah jemaah di mesjid-mesjid meningkat tajam. Haji Abdul Karim

memulai kunjungannya dari satu tempat ke tempat lain untuk berkhotbah. Di dalam

iklim keagamaan seperti itu, maka sangat wajarlah apabila orang seperti Haji Abdul

Karim sangat dihormati. Menurut anggapan masyarakat umum, ia adalah seorang

Wali Allah yang telah dianugerahi barakah.

Di kemudian hari ia lebih dikenal sebagai Kiyai Agung. Di antara murid-muridnya

yang terkemuka adalah: Haji Sangadeli dari Kaloran, Haji Asnawi dari Bendung

Lampuyang, Haji Abubakar dari Pontang, Haji Tubagus Ismail dari Gulacir dan Haji

Marjuki dari Tanara; mereka semua memainkan peranan penting dalam gerakan

perjuangan melawan penjajah. Mereka merupakan pribadi-pribadi yang berkarisma,

dihormati dan sangat dicintai rakyat Banten.41

Pada permulaan tahun 1876 Kiyai Agung berangkat menuju kota Makah. Ia

diangkat untuk menggantikan Syekh Khatib Sambas sebagai pemimpin tarekat

Kadiriah. Sebelum berangkat, ia berkunjung ke daerah-daerah di Banten, ia berseru

kepada rakyat agar memegang teguh ketentuan-ketentuan agama dan menjauhkan

diri dari sikap teledor dalam ibadah. Beberapa kiyai dan haji terkemuka dipilih untuk

memimpin tarekat Kadiriah di Banten.

41 Sartono, op.cit. h.194-196

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

25

Haji Abdul Karim juga berpamitan pada pejabat-pejabat pamongpraja terkemuka,

dan minta dukungan mereka bagi tujuan suci yang sedang diperjuangkan oleh para

kiyai di Banten, yakni regenerasi kehidupan keagamaan rakyat. la juga berseru

kepada mereka agar selalu minta nasihat para kiyai mengenai soal-soal keagamaan.

Kepada murid-muridnya yang paling dekat, ia memberitahukan bahwa ia tidak akan

kembali ke Banten selama daerah itu masih terbelenggu di bawah dominasi asing.

Hanya di atas bumi Islam yang murni ia akan menginjakkan kakinya lagi.42

2. Kyai Haji Tubagus IsmailKyai Haji Tubagus Ismail adalah murid Haji Abdul Karim. Ia adalah keturunan

bangsawan Banten. Kaum Bangsawan telah kehilangan semua pengaruh politiknya

di Banten setelah penghapusan kesultanan Banten oleh Belanda. Namun mereka

masih memilki prestise sosial di kalangan rakyat.

Keluarga sultan menduduki tingkat yang paling atas dalam tatanan sosial

masyarakat Banten, dan semua anggotanya berhak atas kepemilikan tanah, dan

berhak atas kerja bakti dan upeti dari rakyat. Di dalam lingkungan bangsawan itu

sendiri terdapat berbagai tingkatan; keturunan sultan sampai generasi ketiga disebut

warga dan mereka yang berada lebih bawah lagi dalam garis silsilah disebut nayaka.

Pangeran, Ratu dan Tubagus adalah gelar anggota-anggota golongan yang pertama,

sedangkan seorang nayaka biasanya hanya diperkenankan memakai gelar Tubagus

atau Ratu.

Di Banten juga terdapat satu golongan bangsawan yang tidak termasuk keluarga

sultan dan menggunakan gelar-gelar seperti Mas, Entol, Apun, Ujang dan Raden

untuk laki-laki, dan Ayu untuk wanita. Gelar Bagus dan Agus yang tidak menunjukkan

kebangsawanan, juga dipakai oleh orang-orang terhormat yang mempunyai prestise

di kalangan rakyat.

Eselon birokrasi yang paling atas diduduki oleh patih, yakni wazir besar;

di bawahnya adalah tumenggung, salah seorang di antara mereka mengetuai

pengadilan, dan yang lainnya mengawasi perdagangan dan pabean, atau mengepalai

pemerintahan provinsi atau daerah; fungsi syahbandar bertindak sebagai

penghubung antara sultan dan para pedagang asing. Pada tingkatan yang lebih

rendah dalam hirarki birokrasi terdapat demang atau kepala distrik, para mantri,

pelayan-pelayan dalam rumah tangga sultan, dan lurah atau kepala desa.43

Kyai Haji Tubagus Ismail telah beberapa kali naik haji, dan perjalanannya ke

mekah telah menambah semangat permusuhannya terhadap pemerintahan penjajah

yang kafir. Selain berasal dari keturunan bangsawan, ia juga dikenal sebagai cucu

Tubagus Urip, yang telah dianggap sebagai Wali Allah. Dengan nama besarnya, Kyai

Haji Tubagus Ismail menyeru muslim Banten untuk berjuang melawan penjajah.

Sejak permulaan kampanyenya, banyak kiyai terkenal sudah menyetujui

gagasan-gagasannya dan menyatakan bersedia mendukung tugas sucinya : Haji

Wasid dari Beji, Haji Abubakar dari Pontang, Haji Sangadeli dari Kaloran, Haji Iskak

42 Sartono, op.cit. h.19843 Sartono, op.cit. h.50

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

26

dari Saneja, Haji Usman dari Tunggak, Haji Asnawi dari Bendung Lampuyang, dan

Haji Mohamad Asik dari Bendung, semuanya adalah kiyai-kiyai terkemuka yang

menyatakan dukungan kepada gerakan perlawanan yang dipimpin oleh Kiyai Haji

Tubagus Ismail.44

Pada tahun 1883, K.H. Tubagus Ismail pulang dari Mekkah. Sebagai keturunan

Sultan Banten dia dianggap sebagai calon “Wali Allah”. Dengan kehadirannya ini

maka dorongan untuk mendirikan kembali kesultanan Banten pun muncul kembali.

Pada tahun 1884, berlangsung perundingan pertama yang membicarakan rencana

kongkrit untuk mengadakan perlawanan bersenjata. Perundingan itu terjadi di

rumah Haji Wasid, yang dipimpin oleh K.H Tubagus Ismail.45

3. Haji MarjukiHaji Marjuki merupakan salah seorang pengikut terdekat Haji Abdul Karim. Beliau

sudah mempunyai reputasi yang mapan sebagai guru agama, dan kemasyhuran yang

menambah prestise dan pengaruhnya di mata rekan-rekannya sesama haji di Banten.

Tidak mengherankan jika Haji Wasid dan Kiyai Haji Tubagus Ismail menganggapnya

sebagai seorang sekutu yang sangat kuat dan mereka memintanya dengan sangat

agar ikut dalam gerakan perlawanan.

Seperti dikatakan oleh Snouck Hurgronje, Haji Marjuki merupakan orang yang

paling sering pulang ke Banten di antara para ulama di Mekah. Pada tahun 1858 untuk

pertama kalinya ia pergi ke Mekah. Menurut daftar-daftar jemaah haji, ia kembali

ke Mekah pada tahun-tahun 1867, 1871, 1876 dan 1888. Juga diketahui bahwa Haji

Marjuki tinggal di Banten, di desa asalnya Tanara, antara tahun 1874 sampai 1876,

dan dari bulan Maret 1887 sampai bulan Juni 1888.

Pada bulan Februari 1887 Haji Marjuki tiba di Batavia, ia didenda dua puluh

lima gulden karena ia tidak memiliki paspor. la lalu menetap di desa kelahirannya,

Tanara sebagai guru agama. Tidak lama kemudian ia mulai mengadakan kunjungan-

kunjungan ke daerah-daerah di Banten, Tangerang, Batavia dan Bogor, dan di

tempat-tempat itu ia menyampaikan gagasan-gagasan tentang jihad di depan

masyarakat Muslim. Karena ia melakukan itu semua atas perintah Haji Abdul Karim,

dakwahnya dengan cepat diterima oleh masyarakat muslim Banten.

Nampak adanya semangat keagamaan yang meningkat di kalangan umat Islam

Banten. Masjid-masjid penuh dengan orang-orang yang melakukan shalat, jumlah

jamaah pada hari-hari Jumat meningkat tajam, pendek kata, ketaatan dan kesalehan

diperlihatkan secara menyolok, tidak hanya oleh kaum laki-laki, akan tetapi juga

oleh kaum wanita dan anak-anak.

Pejabat-pejabat distrik di Tanara, atas permintaan para kiyai, ikut menyerukan

kepada rakyat agar menunaikan ibadah di masjid dan menghadiri acara-acara

khataman. Seperti telah dikemukakan di atas, antusiasme rakyat menggelora dan

44 Sartono, op.cit. h.20045 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19, Bulan Bintang, Jakarta 1984,

hlm. 56

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

27

semangat keagamaan dibakar dengan narasi-narasi keagamaan. Dengan cara ini,

penduduk secara berangsur-angsur dipersiapkan untuk Perang Suci.

Haji Marjuki melanjutkan dakwah tentang jihad dengan mengunjungi para kiyai

tarekat Kadiriah di Tangerang dan Batavia, termasuk Haji Kasiman dari Tegalkunir

dan Haji Camang dari Pakojan. mereka menerima kunjungan tersebut dengan

simpatik dan menjanjikan dukungan yang kuat; mereka siap mengirimkan murid-

murid mereka sebagai mujahid ke Banten.

Dalam usaha mendakwahkan Perang Suci di luar Banten, Haji Marjuki dibantu

oleh Haji Wasid, yang juga sangat berhasil meyakinkan para kiyai di perbagai daerah

di Jawa Barat. Kedua haji itu sering dianggap sebagai jiwa gerakan perlawanan

tersebut. Namun ketika perang sabil akan dilaksanakan, ia pulang ke mekah.

Rupanya ada perbedaan pendapat antara Haji Marjuki dengan para haji peminpin

perlawanan lainnya dalam pelaksanaan pejuangan melawan penjajah. Ia mengkritik

perlawanan yang dipimpin oleh Haji Wasid karena terlalu dini dan menimbulkan

korban jiwa yang sia-sia. Menurut pendapatnya, setiap perlawanan, untuk dapat

berhasil, harus diorganisasikan sedemikian rupa sehingga ia pecah serentak di

pelbagai daerah Nusantara; selain itu, para pejuang harus mempunyai uang dan

senjata yang cukup.

Atas dasar pendapat yang dikemukakan oleh Haji Marjuki ini, jelaslah mengapa

telah timbul perselisihan yang tak dapat didamaikan antara dia dan Haji Wasid

ketika diputuskan untuk memulai perjuangan bersenjata pada bulan Juli 1888. Haji

Marjuki dianggap gagal menyelesaikan rencana perlawanannya terhadap penguasa-

penguasa penjajah kafir, karena ia berbeda pendapat dengan mayoritas pemimpin-

pemimpin perlawanan mengenai waktu dimulainya perlawanan itu. 46

Pada tanggal 15 Juni 1888; atau hari kelima bulan Sawal, beberapa pemimpin

terkemuka bertemu di rumah Haji Wasid di Beji, di mana mereka terutama

membicarakan soal tanggal dimulainya perang sabil. Selain tuan rumah, hadir

pula Haji Tubagus Ismail, Haji Abubakar, Haji Iskak, Haji Usmar dan Haji Marjuki.

Mereka mencapai kata sepakat bahwa perlawanan dimulai pada tanggal 12 Juli, atau

3 Zulkaidah. Semua kiyai yang akan ikut serta akan diundang untuk menghadiri

sebuah pertemuan besar yang menurut rencana akan diadakan pada tanggal 22 Juni

1888 atau 12 Sawal. Pada kesempatan itu, para kiyai akan diyakinkan bahwa keadaan

memaksa mereka untuk mengibarkan panji jihad pada 3 Zulkaidah.

Namun Haji Marjuki terpaksa menentang penetapan tanggal ini, yang

dianggapnya terlalu dini, dan ia menerangkan kepada pemimpin-pemimpin lainnya

bahwa ia akan meninggalkan Banten sebelum pecahnya perang, untuk kembali ke

Mekah. Apabila perjuangan berhasil, maka ia mungkin akan mengundang Syekh

Abdul Karim dan Syekh Nawawi untuk datang ke Banten. Beberapa hari kemudian,

ia meninggalkan Banten, disertai oleh istri dan anak-anaknya.47

46 Sartono Kartodirjo, op.cit. h.202-20447 Sartono Kartodirjo, op.cit.h.217

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

28

4. Haji WasidHaji Wasid sering juga disebut Ki Wasid telah mengabdikan dirinya kepada

perjuangan untuk tujuan suci sampai ia menemui ajalnya dalam suatu pertarungan

melawan pasukan penjajah. la baru tampil sebagai pemimpin pejuang beberapa

tahun sebelum perlawanan itu pecah. la cukup lihai menarik simpati dari suasana

kebangkitan agama yang sedang meliputi lingkungannya, ia mengesampingkan

urusan-urusan pribadinya dan mengedepankan kepentingan masyarakatnya. la

sangat berpengaruh, tidak hanya karena sebagai guru agama, tetapi juga karena

kepribadiannya yang kuat.

Ia berasal dari keluarga pejuang. Ayahnya, Abas, turut dalam perjuangan Wakhia

tahun 1850. Kiyai Haji Wasid ketika itu berusia sekitar 45 tahun dan dilahirkan di

Grogol; dan mempunyai tiga orang istri. Haji Wasid dengan penuh semangat ikut

ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan untuk mencari dukungan, terutama yang

ditujukan kepada para kiyai di luar daerah Banten sendiri.

la meluaskan kegiatan-kegiatannya sampai ke Batavia, Bogor, Ciandjur, Bandung

dan Cirebon, di mana kiyai-kiyai tarekat Kadiriah sangat terbuka bagi gagasan tentang

jihad dan dengan antusias menggabungkan diri ke dalam gerakan itu. Mereka akan

mengerahkan sukarelawan dan mengirimkan santri mereka ke Banten; Kiyai dari

Dayeuh Kolot berjanji akan pergi ke Banten. Di Cirebon, Haji Wasid berziarah ke

makam Sunan Gunung Jati.

Setelah bepergian selama kurang lebih dua bulan, ia kembali ke Beji, di mana

ia mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan Haji Marjuki dan Haji Tubagus

Ismail dan memberikan laporan tentang hasil perjalanannya. Mereka memutuskan

untuk memberi tahu para kiyai tentang pertemuan yang direncanakan akan diadakan

dalam salah satu maleman dalam bulan Puasa (Juni 1887), di mana akan dilaporkan

hasil-hasil yang telah dicapai oleh orang-orang yang telah mendakwahkan gagasan

tentang jihad itu, khususnya Haji Wasid dan Haji Marjuki.

Pemimpin-pemimpin perjuangan mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia

pada acara maleman, yang pertama kali di rumah Haji Marjuki, yang kedua di rumah

Haji Akhmad, sedangkan yang ketiga diadakan di Bendung Lampuyang dengan

Haji Asnawi sebagai tuan rumah. Pertemuan-pertemuan dalam bulan Juni 1887 itu

terutama membicarakan soal mengkampanyekan gagasan jihad dan usaha-usaha

yang menyertainya, yakni merekrut pengikut, oleh karena para pemimpin pejuang

tahu benar bahwa perjuangan akan berhasil apabila mengikut sertakan sebagian

besar penduduk yang tersebar di daerah yang luas.

Hasil yang telah dicapai oleh para haji sejak pertemuan terakhir pada pertengahan

tahun 1886, adalah bahwa kampanye tentang rencana perlawanan itu telah dapat

diperluas sampai kepada kiyai-kiyai di luar Banten. Kurun waktu selama kurang

lebih satu tahun sebelum pecahnya perlawanan ditandai oleh kegiatan menggalang

dukungan yang sangat sibuk, peningkatan kegiatan-kegiatan persiapan dan usaha-

usaha memperkokoh barisan. Peranan Haji Wasid semakin menonjol.48

48 Sartono Kartodirjo, op.cit.h.205-206

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

29

Orang dapat dengan mudah membayangkan bahwa keadaan seperti yang telah

dilukiskan di atas mempunyai efek moral terhadap mentalitas dan sikap Haji Wasid.

Haji Wasid lama terlibat dalam persoalan-persoalan dengan pemerintah penjajah,

yang menarik perhatian masyarakat. Persoalan-persoalan itu menyebabkan dia

menjadi semakin populer, dan berangsur-angsur ia menjadi titik pusat gerakan

(center of gravity). Sebagai akibatnya, pusat gerakan bergeser dari timur ke barat,

artinya, dari Tanara dan sekitarnya ke Beji dan sekitarnya.

Pada bulan September 1887 Haji Wasid dipanggil oleh Wedana Kramat Watu

untuk diminta keterangannya mengapa ia tidak merawat kebun istrinya yang ketiga

di Bojonegoro. Begitu murid-muridnya mengetahui tentang adanya panggilan itu,

mereka menyatakan bersedia mengawalnya ke Kramat Watu. Haji Mohamad Anwar,

sahabat karib dan orang kepercayaan Haji Wasid, diutus duluan untuk menghadap

Wedana. Wedana berjanji tidak akan memanggil Haji Wasid untuk diperiksa, asal

kebun yang dimaksud dirawat untuk selanjutnya. Peristiwa ini, telah menaikkan

prestisnya di mata masyarakat muslim. 49

Beberapa bulan setelah peristiwa itu, timbul satu persoalan lain di mana Haji

Wasid terlibat langsung. Menurut keterangan yang diberikan oleh beberapa saksi,

termasuk Riman dan Jamil, Haji Wasid terdapat di antara sejumlah orang - sekitar

25 orang - yang pada hari Senin tanggal 6 bulan Muharam, menebang pohon kepuh

kepunyaan Nyi Armah.

Pohon itu dianggap keramat, dan beberapa orang datang ke sana untuk

memberi sesajen dan memujanya. Tidak mengherankan, masyarakat Muslim yang

taat merasa tersinggung oleh perbuatan syirik itu, dan pada satu hari Haji Wasid dan

murid-muridnya menebang pohon tersebut.

Satu bulan kemudian Nyi Armah menyampaikan pengaduan kepada Jaksa. Haji

Wasid dan pengikutnya menganggap hal itu sebagai usaha dari pihak Jaksa agar ia

dihukum. Ketika dipanggil oleh Jaksa, ia dengan keras menolak untuk memberikan

kesaksian. Jaksa kemudian mengucapkan kata-kata yang menghina: "Haji macam

apa dia?" Apa yang dilakukan penjajah dianggap sebagai campur tangan yang

kasar oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam urusan agama telah menimbulkan

kemarahan yang besar. 50

Menurut vonis pengadilan negeri pada tariggal 16 November 1887, Abas (salah

satu murid Haji Wasid) terbukti bersalah telah menebang sebatang pohon kepunyaan

orang lain. la dihukum 14 hari kerja paksa. Pada tanggal 18 Mei 1888, keputusan itu

dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi karena tidak ada bukti.51 Kedua peristiwa di atas

mempunyai arti yang penting; peristiwa-peristiwa itu mencerminkan perebutan

pengaruh antara elite agama dan elite sekular, atau antara para kiyai dan haji di satu

pihak dan kaum priyayi di pihak lain.52

Salah satu pertemuan penting sebelum perlawanan, ialah pertemuan pada 12

Ruwah, atau 22 April 1888, yang diadakan di rumah Haji Wasid di Beji. Pada akhir

49 Sartono Kartodirjo, op.cit.h.20750 Sartono Kartodirjo, op.cit.h.20851 Sartono Kartodirjo, op.cit.h.20752 Sartono Kartodirjo, op.cit.h.209

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

30

jamuan, 300-an orang tamu berkumpul di masjid, dimana para kiai dan murid-murid

mereka bersumpah : pertama, bahwa mereka akan ambil bagian dalam perang sabil;

kedua, bahwa mereka yang melanggar janji akan dianggap sebagaikafir; ketiga,

bahwa mereka tidak akan membocorkan rencana mereka kepada pihak luar.

Pada 15 Juni 1888, atau hari kelima bulan Syawal, beberapa pemimpin terkemuka

bertemu di rumah Haji Wasid di Beji, diamana mereka membicarakan mengenai

tanggal dimulainya penyerangan. Mereka mencapai kata sepakat bahwa perang

sabil akan dimulai pada 12 Juli. Akan tetapi setelah pertemuan 22 Juni 1888, tanggal

mulainya perlawanan diubah menjadi 9 Juli 1888. Hal ini dikarenakan Haji Wasid

dan Haji Iskak menyerukan agar perlawanan perang sabil segera dilaksanakan,

untuk mengantisipasi kemungkinan rencana mereka tercium pejabat-pejabat

pemerintahan penjajah Belanda.53

Latar belakang dan Kondisi Banten sebelum terjadi Perlawanan tahun 1888

Kekeringan dan Wabah Penyakit Seluruh daerah Banten telah sangat menderita akibat bencana-bencana yang

silih-berganti melanda dalam tahun-tahun sebelum perlawanan pecah. Wabah

penyakit ternak di tahun 1879 telah menurunkan jumlah seluruh ternak menjadi

sepertiga, sehingga terasa sekali kekurangan akan kerbau dan banyak sekali sawah

terpaksa diterlantarkan. Tindakan yang diambil untuk mencegah meluasnya penyakit

itu (yakni membunuh secara massal) telah menimbulkan kerugian yang besar serta

rasa cemas di kalangan rakyat. Sampai bulan Juli 1880, sebanyak 46.299 kerbau telah

dibunuh.

Tahun berikutnya (1880) muncul wabah demam yang menyebabkan lebih dari

sepuluh persen penduduk meninggal dunia. Dalam jangka waktu empat bulan,

yakni dari Januari sampai April 1880, jumlah penduduk yang meninggal mencapai

12.162 jiwa. Karena terdapat kekurangan tenaga kerja yang sangat besar, banyak

sawah tak dapat digarap dan panen yang tidak dapat dipetik. Hanya 6107 bau sawah

ditanami saat itu, padahal tahun sebelumnya mencapai 28.825 bau. Akibatnya,

bencana kelaparan tak dapat dielakkan lagi.

Antara tahun 1882 sampai 1884 rakyat Banten ditimpa dua bencana: kelaparan

dan penyakit sampar binatang ternak. Diperkirakan hampir dua tahun hujan tidak

turun, sehingga tanaman tidak tumbuh dan air minum sulit didapat. Musim kering

yang berkepanjangan menyebabkan kelaparan yang merajalela. Dua penyakit yang

melanda manusia (demam) dan hewan (sampar) diprediksi dibebabkan bencana

kekeringan tersebut.54

Letusan Gunung Krakatau 1883

53 Sartono Kartodirjo, op.cit.h.21954 Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari, op.cit. h.195

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

31

Ada sekitar 129 gunung berapi yang masih aktif di Indonesia atau sekitar 13 persen

dari jumlah seluruh gunung berapi di dunia. Gunung api ini berdiri sepanjang 7000

kilometer dari Aceh hingga ke Sulawesi Utara, melewati Bukit Barisan, Kepulauan

Jawa, Nusa Tenggara dan Maluku. Pulau Jawa sendiri memiliki 35 gunung berapi

atau 25 persen dari seluruh gunung berapi di Indonesia.

Namun demikian, gunung berapi telah menjadikan Pulau Jawa sebagai pulau

yang paling subur di kepulauan Indonesia. Misalnya saja, tanah subur di Pulau

Jawa bisa mendukung 1.200 orang per mil, di mana di Kalimantan hanya mampu

mendukung 4,5 orang saja pada luas yang sama.55

Rakyat belum sempat bangun kembali dari semua penderitaan itu, ketika letusan

dahsyat Gunung Krakatau pada tahun 1883 menyebabkan kehancuran hebat di

daerah itu; letusan itu benar-benar merupakan letusan yang paling hebat yang

pernah tercatat dalam sejarah vulkanologi di Indanesia. Ribuan orang tewas, banyak

desa yang makmur hancur dan sawah-sawah yang subur berubah menjadi gersang. 56

Menurut Simon Winchester, letusan gunung Krakatau menyebabkan 165 desa

hancur, 36.417 orang meninggal, dan ribuan orang terluka. Banyaknya korban bukan

dari letusan langsung gunung tersebut, namun karena tsunami besar yang terjadi

sesudah letusan besar tersebut. Efek dari gelombang tsunami besar itu terasa hingga

Prancis. Barometer di Bogota dan Washington rusak akibat letusan tersebut. Mayat-

mayat ditemukan hingga Zanzibar. Suara letusan terdengar hingga di Australia, India

dan di pulau-pulau yang jauhnya ribuan mil.57

Letusan besar Gunung Krakatau terjadi pada 26 dan 27 Agustus 1883. Saat itu,

Krakatau yang mengeluarkan jutaan ton batu, debu, dan magma, materialnya

menutupi wilayah seluas 827.000 km². Aktivitas seismik tetap berlangsung hingga

Februari 1884. Letusan ini adalah salah satu letusan gunung api paling mematikan

dan paling merusak dalam sejarah modern. Gelombang tsunami dari letusan

Krakatau mencapai hingga Afrika atau meliputi sekitar seperempat bumi.

Sedangkan, suara letusan Krakatau mencapai Srilangka dan Karachi di bagian

barat; Perth dan Sydney di bagian timur. Letusan Krakatau juga menyebabkan

perubahan suhu udara dan iklim dunia, misalnya saja perubahan iklim terjadi di

wilayah Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Dengan demikian, Tom Simkin dan

Richard S. Fiske pun menyebutkan bahwa letusan Krakatau bisa dikategorikan

sebagai peristiwa letusan bersejarah paling terkenal di dunia.58 Tinggi tsunami yang

ditimbulkan karena letusan yang dasyat tersebut diperkirakan mencapai sekitar 30

meter.59

Hujan abu yang menyembur di pagi hingga siang hari menyebabkan suasana hari

menjadi kelam dan suhu turun hingga mencapai 7 derajat celcius. Selama satu tahun

sinar matahari terhalang oleh debu vulkanik Krakatau. Kurangnya sinar matahari

menyebabkan udara di Banten menjadi lembab. Bangkai hewan dan manusia cepat

55 Erlita Tantri, Letusan Krakatau 1883, op.cit. h.19256 Sartono Kartodirjo, op.cit.h.64-6557 Simon Winchester, Krakatoa: The Day the World Exploded : August 27, 1883, Penerbit Penguin Books 2004.

h.42658 Erlita Tantri, Letusan Krakatau 1883, op.cit. h.195-19659 Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari, op.cit. h.196

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

32

membusuk. Usaha untuk menanam tanaman tidak dapat dilakukan selain tanah

yang masih tebal oleh lumpur dan persediaan air bersih yang minim, juga karena

jarang adanya sinar matahari. Efeknya Banten dan Lampung tidak memiliki sumber

pangan untuk jangka waktu tiga tahun ke depan hingga tanah dapat diolah kembali

dan iklim kembali normal.

Pada akhirnya, bencana kelaparan yang meluas dan menyebarnya penyakit pasca

letusan Krakatau menjadi bentuk bencana baru bagi masyarakat korban bencana

di Banten dan Lampung. Situasi ini menciptakan anggapan di masyarakat Banten

bahwa bencana yang berturut-turut merupakan teguran Allah atas ketidakadilan

atau kerusakan di bumi Banten.60

Penderitaan dan suasana mencekam pasca letusan Krakatau dan terjangan

gelombang tsunami ini dapat dilihat dari ungkapan seorang korban bencana di

daerah Lampung yang terekam dalam Syair Lampung Karam yang diangkat oleh

Suryadi :

Hendak kemanalah pergi?

Tempatnya kita sudahlah tinggi,

Jikaulah air sampai kesini,

Sudah kiamat isinya negeri61

Melusnya gunung Krakatau juga dipandang oleh masyarakat Banten sebagai azab

Allah karena membiarkan pemerintah kafir yang dzalim, yaitu Belanda tinggal dan

berkuasa di negeri mereka. Dengan adanya kepercayaan tersebut banyak diantara

pemuka agama mulai mengadakan perlawanan terhadap Belanda.

Bencana meletusnya Gunung Krakatau dianggap sebagai tanda kiamat dan

akan datangnya Imam Mahdi, sehingga prediksi-prediksi tersebut membakar emosi

masyarakat dan kecemasan yang luar biasa di kalangan masyarakat Banten.62 Di

samping itu, bencana Krakatau juga dianggap sebagai sebuah azab atau hukuman

dari Allah terhadap kesewenang-wenangan penguasa sehingga memunculkan

sebuah pendapat bahwa kesewenang-wenangan harus dilawan.63

Masyarakat mengaitkan bencana dengan tindakan-tindakan Belanda yang

menindas rakyat kecil, kekerasan terhadap masyarakat muslim Aceh, tidak

ditegakkannya hukum Islam serta merupakan hukuman bagi Belanda yang

menduduki dan menguasai sebuah masjid agung di Kutaraja. Di samping itu,

bencana ini juga merupakan teguran terhadap kegiatan atau acara-acara yang tidak

sesuai dengan syariat agama, seperti pergelaran perkawinan dengan hiburan tarian

ronggeng.

Letusan Krakatau, gelombang tinggi tsunami, perubahan iklim secara tiba-tiba,

kegagalan panen, kelaparan dan penyakit secara perlahan meningkatkan kesadaran

spiritual masyakarat terhadap kekuatan Allah Ta’ala. Banyak warga masyarakat yang

berbondong-bondong kembali mendekati atau menjalankan perintah Allah. Dalam

60 Erlita Tantri, Letusan Krakatau 1883, op.cit. h.199-20061 Erlita Tantri, Letusan Krakatau 1883, op.cit. h.20262 Sartono, op.cit. h. 23363 Erlita Tantri, Letusan Krakatau 1883, op.cit. h.206

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

33

kegiatan-kegiatan agama yang semakin kuat ini juga disertai dengan khutbah-

khutbah penentangan terhadap tirani.

Kaum bangsawan dan terpelajar ikut menebarkan dan menggugah kesadaran

mereka akan sikap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penjajah Belanda dan

pengikutnya. Akhirnya, kelaparan dan kemiskinan akibat kegagalan panen yang

berkembang hingga beberapa tahun ke depan, mencapai titik kulminasi dengan

pergerakan menentang kejahatan (penjajah Belanda).64

Pajak yang Mencekik RakyatMenurut para pengamat, persoalan pajak kepala dapat dipandang sebagai salah

satu penyebab perlawanan. Atau sekurang-kurangnya merupakan satu di antara

faktor-faktor ekonomi yang menimbulkan rasa tidak puas di kalangan rakyat di

daerah itu.65 Terbukti dengan adanya narasi tengtang janji “penghapusan pajak”

setelah pembentukan sebuah pemerintahan Islam yang ditawarkan oleh para

pemimpin gerakan perang sabil melawan penjajah Belanda.66

Dalam keadaan penderitaan karena berbagai bencana dan kekeringan,

pemerintah penjajah manerapkan kewajipan pajak yang memberatkan, yang semakin

menambah penderitaan rakyat. Pada tahun 1884 pajak tanah dinaikkan sehingga

pendapatan pemerintah penjajah meningkat walaupun jumlah penduduknya turun

karena berbagai macam bencana.

Diantara pajak yang dibebankan ke rakyat adalah: pajak tanah pertanian,

pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar dan pajak jiwa. Pajak-pajak tersebut

seringkali di luar kemampuan rakyat dan penetapannya tidak mengenal keadaan,

ditambah dengan kecurangan-kecurangan para pegawai pemumungutnya sehingga

menambah keresahan dan menumbuh suburkan kebencian rakyat pada pemerintah

penjajah.67

Dalam rangka penghapusan kewajiban kerja bakti, sebuah peraturan dikeluarkan

pada tahun 1882 dan menggantikannya dengan “pajak kepala”. Menurut peraturan

itu, yang wajib membayar pajak itu hanyalah mereka yang diharuskan melakukan

kerja bakti (herendienstplichtigen). Sebagai pelaksanaan peraturan itu, Residen

Spawn dari Banten memerintahkan agar semua laki-laki sehat yang berusia antara

15 sampai 50 tahun dikenakan pajak kepala.

Diberlakukannya peraturan Spawn menyebabkan para kepala rumah tangga

harus memikul beban yang terlalu berat, karena mereka harus membayar pajak

kepala bagi semua anggota laki-laki yang kuat dan berusia antara 15 dan 50 tahun

di dalam keluarganya dan orang-orang menumpang yang merupakan pembantu

rumah tangga.68 Pajak kepala yang harus dibayarkan pada pemerintah penjajah

sebesar satu gulden tiap orang.

64 Erlita Tantri, Letusan Krakatau 1883, op.cit. h.207-20865 Sartono, op.cit. h.6166 Sartono, op.cit. h.2367 Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari, op.cit. h.19768 Sartono, op.cit. h.60-61

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

34

Mengenai sistem tanam paksa (cultuurstelsel) di Banten, efek-efeknya hampir

tak berarti dalam bagian akhir abad XIX, karena gagalnya berbagai jenis tanaman,

kebanyakan tanaman yang berdasarkan sistem itu telah dihapuskan sekitar

pertengahan abad itu.69

Satu peraturan penjajah lainnya yang menimbulkan rasa tidak puas adalah

penetapan pajak perdagangan. Dinaikkannya pajak ini telah menambah penyebab-

penyebab kemarahan yang sudah menumpuk di kalangan penduduk. Di beberapa

desa di distrik itu, seperti di Beji, Nyamuk, dan Bojonegoro, ada pengaduan-

pengaduan bahwa pajak perdagangan yang dikenakan atas perahu telah dinaikkan

sangat tinggi. Pada awal tahun 1887, 35 pemilik perahu mengirimkan protes kepada

Residen Banten, meminta agar pajak perdagangan diturunkan.70

Karena tidak ada jalan lain untuk memparbaiki nasib mereka, pemilik-pemilik

perahu di tempat-tempat itu mengancam akan menghentikan pelayaran perahu-

perahu mereka apabila tuntutan mereka tidak dipenuhi. Sulit untuk mengetahui

sampai sejauh mana hal itu telah membantu memperbesar ketegangan di kalangan

penduduk pedesaan, akan tetapi yang menarik perhatian adalah bahwa sebagian

besar pejuang berasal dari daerah itu.

Di samping kasus-kasus mengenai penetapan pajak, ada satu jenis pajak

perdagangan yang memberatkan pedagang di Cilegon, yakni pajak pasar. Berdasarkan

pasal 14 Ordanansi 17 Januari 1878, Residen Banten memerintahkan agar orang-

orang yang berjualan di pasar dikenakan pajak pasar. Di Cilegon peraturan itu

dilaksanakan dengan ketat sekali, dan keberatan-keberatan dari orang-orang yang

hanya kadang-kadang saja berjualan, tidak dihiraukan. Setiap orang yang berjualan

di pasar harus membayar sekurang-kurangnya satu golden.

Orang yang tidak membayar pajak itu diancam dengan hukuman kurungan atau

denda sebesar 15 golden. Pernah terjadi bahwa mereka yang berada di pasar dan

tidak memiliki surat lunas pajak ditangkapi dan rakyat yang menjadi panik berlarian

meninggalkan pasar. Selama beberapa waktu tempat itu kosong pada hari-hari

pasaran. Menurut laporan, 16 orang telah diajukan ke pengadilan dalam waktu dua

bulan, yakni Juli sampai Agustus 1887. Karena berkas- berkas perkara itu telah dibakar

ketika terjadi perlawanan, tidak dapat diketahui lagi berapa banyaknya orang yang

telah dipanggil oleh polisi dan berapa banyak dari mereka yang tidak memenuhi

panggilan itu. Pajak pasar itu telah memperberat beban pajak di daerah tersebut.71

Pemaksaan Peradaban Barat lewat PenjajahanSalah satu aspek penting yang memicu perlawanan bersenjata adalah derasnya

gempuran peradaban Barat terhadap masyarakat muslim Banten. Para penulis Barat

dan banyak penulis pribumi menyebutnya dengan istilah modernisasi (pembaratan).

Budaya dan nilai-nilai Barat dipaksakan pada masyarakat pribumi melalui penjajahan.

69 Sartono, op.cit. h.4470 Sartono, op.cit. h.6271 Sartono, op.cit. h.63-64

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

35

Kenyataannya banyak nilai dan budaya Barat yang bertentangan dengan budaya dan

nilai (adat) masyarakat Banten yang dikenal sangat kental keislamannya.

Perlawanan tahun 1888 di Banten dapat dipandang sebagai satu ekspresi protes

sosial terhadap, perubahan sosial yang dipaksakan dari luar oleh dominasi Barat.

Konsekuensi-konsekuensi modernisasi yang nampak dalam masyarakat pribumi

antara lain, terganggunya lembaga-lembaga tradisional, ketidakserasian sosial,

dan perasaan tidak aman dan frustrasi di berbagai kalangan masyarakat. Kacaunya

kehidupan muslim Banten di bawah penjajahan, melahirkan semangat kebangkitan

kembali di kalangan petani-petani Muslim, yang secara kolektif berusaha

mempertahankan nilai-nilai dan cita-cita keagamaan serta berbagai aspek pola

hidup Islami. Perhatian mereka kembali dipusatkan kepada kejayaan pemerintahan

Islam kesultanan Demak di masa lampau, dan kepada cita-cita mendirikan kembali

sebuah pemerintahan Islam atau memulihkan kesultanan.

Yang ditekankan dalam gerakan kebangkitan kembali itu adalah penggalangan

solidaritas kelompok melalui revitalisasi acara-acara keagamaan. Perasaan benci

terhadap penguasa asing dan semangat perlawanan dikobarkan melalui pengajaran

agama dan praktek-praktek keagamaan. Di dalam alam sosiokultural Banten abad

XIX, gerakan nativistik (kembali ke asli) ini tak disangsikan lagi telah memainkan

peranan yang menentukan dalam perkembangan perlawanan terhadap modernisasi.

Dilihat dari segi perubahan sosio-kultural, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat

Muslim di Banten, yang dipimpin oleh para ulama, berusaha untuk mempertahankan

diri dari penetrasi kekuatan-kekuatan baru yang menyertai proses modernisasi.

Keadaan mereka sangat berbeda dibanding oleh kaum elite kota yang sekular,

yang berusaha mempertahankan status sosial dengan jalan menyesuaikan diri

dan mengikuti arus kelembagaan modern. Proses modernisasi dan gejala yang

menyertainya, yakni sekularisasi dan akulturasi, dengan sendirinya menimbulkan

perpecahan sosial, ada yang menerima, ada yang bersikap menolak. Pengelompokan-

pengelompokan solidaritas yang mewakili berbagai kekuatan kultural, menimbulkan

gesekan-gesekan yang potensial dan bersama-sama dengan faktor-faktor lainnya

menggerogoti jaringan masyarakat tradisional Banten.

Pada abad XIX pemerintahan penjajah Belanda secara berangsur-angsur

diorganisasikan menurut paham Barat tentang pemerintahan, yang berarti

diberlakukannya lembaga-lembaga Barat dan norma-norma menurut ukuran-ukuran

yang ditentukan oleh orang-orang Belanda bagi diri mereka sendiri dan masyarakat

Banten. Transformasi itu terdiri dari pembentukan birokrasi pemerintahan, satu

hirarki pegawai negeri, cara-cara pengisian jabatan, dan sebagainya. Perubahan-

perubahan itu dengan sendirinya mengakibatkan lemahnya ikatan-ikatan tatanan

lama, Otoritas pribumi lama terancam oleh masuknya birokrasi modern yang

sekular, yang berpusat pada otoritas penjajah.

Efek yang paling menyolok dari birokrasi baru itu adalah bahwa pusat otoritas dan

tanggung jawab bergeser dari para bupati kepada pejabat-pejabat penjajah Belanda.

Para bupati menjadi sekedar semacam boneka yang otoritasnya tergantung kepada

kekuasaan penjajah. Singkatnya, pemerintah penjajah telah mengubah mekanisme

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

36

politik supaya dapat mengontrol kegiatan- kegiatan bupati dan mencegah jangan

sampai saluran-saluran kepemimpinan tradisional dijadikan mekanisme untuk

mengorganisasikan perlawanan terhadap rezim penjajah.

Pejabat-pejabat pribumi dibiarkan untuk tetap berkuasa, hanya apabila

mereka menggunakan kekuasaan mereka sesuai dengan kehendak penjajah. Terus

berlangsungnya kekuasaan mereka merupakan satu sumber ketidaksenangan bagi

penduduk Muslim yang taat. Sesungguhnya, kalangan penduduk Muslim yang luas

merasa tidak senang kepada penguasa-penguasa mereka yang hanya mementingkan

keduniaan (dengan membeo penjajah), atau merasa frustrasi karena cepatnya laju

modernisasi dan proses sekularisasi yang menyertainya.

Dengan berkembangnya sekularisme dalam pemerintahan dan masyarakat,

maka semakin banyak para pemimpin agama yang kehilangan pengaruh mereka

yang sudah dikuatkan oleh tradisi untuk memperoleh atau mempertahankan

status serta sarana-sarana untuk mengontrol tatanan sosial masyarakat. Hal itu

dengan sendirinya melahirkan suatu kecenderungan di kalangan mayoritas ulama

untuk menggunakan kekuasaan mereka untuk menentang penguasa penjajah dan

kolaborator-kotaboratornya. Mereka cenderung untuk mengembangkan orientasi-

orientasi politik untuk memimpin gerakan-gerakan politik yang radikal. Penentangan

mereka terhadap penguasa yang kafir jelas berbeda dengan oposisi mereka terhadap

penguasa tradisional yang Muslim.

Para ulama pada dasarnya (sesuai tuntutan agama Islam) adalah sebagai

penyeimbang penguasa, yang dituntut untuk selalu bersikap kritis. Namun seringkali

kritik itu dianggap sebagai ancaman terhadap otoritas penguasa di masa lalu;

sekarang mereka menentang praktek-praktek kepamongprajaan yang sudah mapan

serta tatanan pemerintah penjajah yang kafir dan sekuler.72

Kebangkitan Agama IslamBagian akhir dari abad XIX merupakan satu periode kebangkitan kembali

agama Islam. Rakyat Banten merupakan penganut-penganut agama Islam yang

sudah mendarah-daging; ambruknya tatanan lama (kesultanan Banten) dan gejala

yang menyertainya, yakni keresahan sosial yang terus-menerus, telah mendorong

peningkatan kegiatan di bidang agama.

Kebencian terhadap dominasi Belanda dan rasa permusuhan yang sangat

mendalam terhadap segala hal yang berbau asing, yang mendasari keresahan

umum, sekarang menemukan jalan keluar baru berupa persekutuan dengan

gerakan-gerakan keagamaan. Sebagai akibatnya, maka gerakan-gerakan itu tidak

saja bertambah kuat, melainkan juga memperoleh satu sarana kelembagaan yang

lebih efektif, yakni tarekat.

Selama beberapa dasawarsa, sebagian besar Pulau Jawa dilanda gerakan

kebangkitan agama, yang memperlihatkan peningkatan yang sangat luar biasa dalam

kegiatan agama, seperti melakukan salat, naik haji, memberikan pendidikan Islam

72 Sartono, op.cit. h.352-354

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

37

kepada anak-anak muda, mendirikan cabang-cabang tarekat, penyelenggaraan

khotbah yang meluas, dan sebagainya.

Di akhir tahun-tahun 1850-an, Holle mencatat bahwa para bupati masih

harus mengeluarkan seruan agar rakyat lebih taat dalam menjalankan ibadah

mereka. Namun, beberapa tahun kemudian, satu kebangkitan kehidupan agama

ditandai dengan peningkatan jumlah pesantren dan orang-orang yang naik haji.

Selain itu, pembangunan sejumlah besar mesjid dan musholla juga sebagai satu

pertanda meningkatnya ketaatan beribadah umat Islam. Waktu itu rakyat sangat

menghormati para haji, dan dengan prestise mereka yang sangat besar, para haji itu

dapat menggunakan pengaruh mereka untuk mendorong rakyat agar lebih mentaati

kewajiban-kewajiban agama mereka.

Banyak orang yang sedang mendalami agama Islam di Indonesia mengikuti

perkembangan perang Rusia-Turki (di Indonesia dikenal sebagai Perang Rus) yang

mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap alam pikiran kaum Muslim yang

hidup di "negeri-negeri bawah angin". Rakyat Indonesia ingin sekali mengetahui

perkembangannya, dan setiap kemenangan di pihak Sultan Rum (Turki Utsmani)

dirayakan secara meriah dengan doa-doa dan sedekah. Ada benih Pan-Islamisme

(mendukung khalifah islam), dan sistem komunikasi yang luas di dunia Islam

telah dibangun melalui pelaksanaan ibadah haji, artinya berita-berita tentang

komunitas Islam dapat mencapai tempat-tempat yang paling jauh. Jadi, kebangkitan

kehidupan agama Islam dimulai hampir bersamaan waktunya dengan perlombaan

di antara negara-negara imperialis untuk memperoleh daerah-daerah jajahan dalam

pertengahan kedua abad XIX. Ada korelasi antara ekspansi negara-negara penjajah

dan Pan-Islamisme atau kebangkitan agama Islam.

Suatu penyelidikan mengenai perkembangan umum Pan-Islamisme dan

kebangkitan kehidupan agama menunjukkan bahwa selama periode itu kedua

hal itu secara menyolok ditandai oleh karakteristik-karakteristik yang anti-Barat.

Penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh penjajah Barat sedang memperoleh

kemajuan-kemajuan besar; dalam periode yang gawat itu, para ulama Muslim

menyadari sepenuhnya bahwa dunia Islam sedang terancam bahaya yang semakin

besar akan jatuh ke bawah dominasi Barat.

Menghadapi ancaman dari Barat ini, kaum Muslim di berbagai bagian Dunia

Bulan Sabit memperlihatkan perlawanan yang timbul dari perasaan benci

terhadap penjajah-penjajah yang kafir. Maka tidaklah mengherankan jika fanatisme

dan semangat militan yang menggelora di Timur Tengah dan Afrika Utara selama

pertengahan kedua abad XIX, bergema pula di kalangan kaum Muslim Indonesia.73

Pemerintah penjajah telah menciptakan suatu struktur keagamaan yang

institusional yang terdiri dari satu hirarki pejabat-pejabat agama yang digaji,

dengan fungsi-fungsi dan kekuasaan-kekuasaan yang diakui pemerintah penjajah.

Golongan pejabat-pejabat agama resmi ini biasanya membiarkan dirinya dijadikan

alat kebijakan penjajah Belanda untuk menindas kegiatan-kegiatan perkumpulan-

perkumpulan agama pada khususnya, dan untuk membendung arus kebangkitan

73 Sartono, op.cit. h.156-157

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

38

agama Islam pada umumnya. Mereka dibujuk untuk mendakwahkan atau membela

ide-ide sekular yang dimasukkan oleh pemerintah kolonial.

Dengan adanya sekularisasi, kaum ulama sebagai eksponen-eksponen paling

utama dari warisan agama Islam terpecah menjadi golongan "sekularis" dan golongan

"kebangkitan"; golongan yang pertama diberi status formal di dalam kerangka

birokrasi kolonial, sedangkan golongan yang kedua tidak memperoleh status itu dan

hanya dapat bertahan berkat adanya ketaatan dan dukungan penduduk pedesaan.

Ada beberapa tanda-tanda utama kebangkitan agama Islam di Banten,

berdasarkan arah gejala umum. Pertanda pertama adanya semangat kebangkitan

itu adalah terus bertambahnya jumlah orang yang menunaikan ibadah haji dalam

abad XIX.

Pertanda kedua yang nampak tentang adanya semangat kebangkitan adalah

pertumbuhan pesantren-pesantren yang luar biasa, yang berfungsi sebagai tempat

pendidikan pendukung gerakan kebangkitan yang militan. Bukti ketiga tentang

kebangkitan kembali semangat Islam adalah banyaknya mesjid baru yang penuh

sesak setiap hari Jumat. Jelas ada kebangkitan kembali minat terhadap agama Islam

dan ketaatan beribadah yang menyolok.

Syekh-syekh atau khatib-khatib yang berkeliling dari satu tempat ke tempat

lainnya mendapat sambutan besar di mana-mana dan permintaan akan khotbah-

khotbah yang dicetak dan penerbitan-penerbitan lainnya mengenai agama Islam

terus meningkat. Banyak orang yang mengenakan pakaian Islami atau memakai

sorban.

Selama beberapa tahun, yang disebut sebagai "surat terakhir Nabi" beredar luas;

surat itu berseru kepada umat Islam agar lebih taat menunaikan ibadah mereka

sebagai persiapan menyongsong "Hari Kiamat". Dan terakhir, aspek yang paling vital

dari gerakan keagamaan itu tidak disangsikan lagi adalah bangkitnya kembali ajaran

sufi, seperti yang menjelma dalam tarekat-tarekat.74

Gejolak gerakan sosial sangat erat kaitannya dengan gerakan kebangkitan

kembali agama Islam yang menggelora yang tak disangsikan lagi mendasarinya.

Dalam hubungan ini penetrasi Westernisme (pemaksaan nilai-nilai Barat dengan

penjajahan) adalah faktor yang mempercepat prosesnya, merangsang timbulnya

gerakan kebangkitan kembali agama Islam.75

Pengaruh Ibadah HajiPada dekade 1880-1890, terjadi banyak peristiwa yang membangkitkan harapan

baru bagi kebangkitan kembali kekuatan Muslim di seluruh dunia Islam. Maka orang

Jawah (sebutan penduduk Asia tenggara di Mekah), sangat menaruh harapan pada

perjuangan muslim Aceh melawan penjajah kafir. Pertanyaan pertama yang diajukan

orang “Jawah” pada para jamaah haji yang baru datang adalah apakah orang-orang

74 Sartono, op.cit. h.160-16175 Ibid. 162

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

39

kafir sudah dapat diusir? dan kapan perlawanan secara menyeluruh orang-orang

beriman untuk menghentikan pemerintahan kafir di kepulauan Nusantara?76

Meningkatnya kegiatan ibadah ini sangat penting artinya, bukan hanya bagi

penyebaran pembaruan-pembaruan di seluruh dunia Islam, melainkan juga bagi

pertumbuhan ulama baru yang menuntut ilmu di tanah suci. Oleh sebab itu, maka

Mekah dipandang sebagai jantung kehidupan agama di Indonesia. Tahun 1850-

an sampai 1860-an rata-rata 1600 orang berangkat haji per tahun, tahun 1870

meningkat menjadi hampir 2600 orang, tahun-tahun 80-an naik menjadi 4600 orang

per tahunnya.77

Di Mekah dan Madinah pada saat itu, semua orang yang berasal dari Asia Tenggara

tanpa pandang bulu dipanggil dengan sebutan Jawah (orang Jawa).78 Penduduk di

pulau Jawa memang paling besar saat itu sehingga komposisi yang datang ke tanah

suci juga banyak. Maka semua orang dari Asia Tenggara saat itu disebut jawah,

mungkin karena kemiripan mereka secara fisik.

Menurut Apendik F dari laporan Direktur Departemen Dalam Negeri Pemerintah

penjajah Hindia Belanda tanggal 18 September 1888 tentang "Daftar Jumlah Haji

dan Guru Agama di Jawa dan Madura pada akhir 1887", diketahui wilayah Banten

mempunyai jumlah haji dan guru agama yang sangat banyak. Bia dibandingkan

dengan wilayah lain, jumlah haji dan guru agama di Banten menduduki posisi

pertama.

Dalam data tersebut, wilayah Banten pada tahun 1887 berpenduduk 561.003

jiwa. Sedangkan, bila dibandingkan antara jumlah penduduk dengan warganya

yang bergelar haji saat itu mencapai 0,72 persen atau mencapai 4.073 orang.

Jumlah ini mencengangkan bila misalnya dibandingkan dengan wilayah

Yogyakarta yang saat itu jumlah penduduknya yang mencapai 651.123 jiwa. Dari

jumlah tersebut, besaran persentase warganya yang bergelar haji ternyata kecil saja,

yakni hanya 0,07 persen atau hanya 485 orang.

Persentase dan jumlah haji penduduk Banten juga jauh lebih tinggi dari wilayah

Batavia (Jakarta). Data itu menyatakan, dengan jumlah penduduk Batavia yang

mencapai 937.289 jiwa, persentase jumlah warganya yang bergelar haji hanya

mencapai 0,41 persen atau mencapai 3.886 orang.

Dan dari dokumen daftar rapat yang oleh pemerintah Belanda disebut "anggota

komplotan pemberontak", hampir semua atau sebagian besar dari mereka adalah

para kiai dan mereka yang pernah naik haji ke Makkah.79

Gerakan Tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyyah adalah satu-satunya aliran tarekat yang

didirikan oleh orang Indonesia, Ahmad Khatib dari Sambas (Kalimantan Barat).

76 Bernard H.M. Vlekke, op.cit. h.30477 Sartono, op.cit. h.16578 Martin van Bruinessen. “The Origins and Development of Sûfî Orders (Tarekat) in Southeast Asia.” Studia

Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Volume I, No. 1 (April - June), 1994. h.979 https://www.republika.co.id/berita/jurnal-haji/haji-barkah/16/08/07/obc0mq385-pelarangan-azan-hamka-

perlawanan-para-haji-di-banten-juli-tahun-1888-part1

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

40

Ahmad Khatib, yang menghabiskan sebagian besar masa dewasanya di Mekah,

memiliki reputasi tinggi di komunitas Jawah sebagai seorang ulama serba bisa.

Dia menguasai berbagai disiplin ilmu. Dia mempunyai banyak pengikut sebagai

pemimpin tarekat, yang segera menggantikan Sammaniyyah sebagai yang paling

populer di Indonesia. Setelah kematiannya pada tahun 1873 atau 1875, khalifahnya

'Abdul Karim dari Banten menggantikannya sebagai syekh tertinggi tarekat tersebut.

Dua khalifah penting lainnya adalah Kiai Tolha di Cirebon dan Kiai Ahmad Hasballah

di Madura.80

Tarekat merupakan alat yang baik sekali untuk mengorganisasikan gerakan

keagamaan dan mewariskan semangat dan nilai kebangkitan agama Islam. Di Pulau

Jawa abad XIX hanya ada tiga tarekat yang berpengaruh -- Kadiriah, Naksibandiah

dan Satariah. Di beberapa tempat terdapat pula kelompok-kelompok dengan nama

Rahmaniah atau Rifa’iah, akan tetapi tidak begitu besar pengaruhnya. Di Pulau Jawa

secara keseluruhan, Naksabandiah merupakan tarekat yang paling kuat, akan tetapi

keadaannya berbeda dari daerah ke daerah: di Banyumas yang dominan adalah

tarekat Satariah, dan di Banten tarekat Kadiriah.

Kedua tarekat itu sudah sangat tua dan mapan di Indonesia pada umumnya dan

di Jawa pada khususnya, demikian juga Naksabandiah. Ketiga aliran Sufi itu muncul

sebagai ujung tombak gerakan kebangkitan Islam di beberapa daerah di Pulau Jawa

abad XIX. Penyebar-penyebar utama ajaran mereka adalah para haji yang kembali ke

tanah air sebagai penganut salah satu tarekat.

Tarekat Kadiriah dan Naksibandiah lebih keras dari tarekat-tarekat lainnya,

oleh karena itu pengaruh mereka pun lebih besar. Cita-cita dan aspirasi tarekat-

tarekat itu berbeda satu sama lain, akan tetapi mereka semuanya bekerja dengan

semangat yang menggelora dan menyebarkan pengaruh mereka ke banyak daerah

di Nusantara. Perkembangan ini dipandang sebagai bagian dari kebangkitan Islam

yang berlangsung di Indonesia dalam pertengahan kedua abad XIX.81

Satu unsur penting dalam organisasi tarekat yang relevan bagi pola kegiatan

gerakan itu adalah persekutuan yang kokoh antara guru-tarekat dan murid. Ikatan

antara guru tarekat dan murid dikukuhkan secara resmi dengan bengat (baiat/janji

setia), di mana murid berjanji akan setia dan patuh kepada gurunya sebagal wali

Allah. Disiplin yang dikenakan kepada anggota-anggota tarekat juga mengajarkan

cinta-kasih terhadap orangtua dan setiakawan terhadap sesama penganut tarekat,

dan melarang diadakannya hubungan dengan pemuka-pemuka agama di luar

tarekat. Kewajiban-kewajiban anggota tercantum di dalam ijazah yang diserahkan

kepada anggota baru setelah masa pendidikannya berakhir, yakni pada upacara

bengat (bai’at).

Tarekat mempunyal pengaruh yang sangat besar atas penganut-penganut

mereka, di bawah kekuasaan pemerintah penjajah mempunyai arti politik yang

sangat penting. Mereka bukan hanya pusat-pusat kebangkitan agama melainkan juga

menjadi pusat-pusat protes politik. Kekuatan-kekuatan perlawanan yang terkandung

80 Martin van Bruinessen. Op.cit. h.12-1381 Sartono, op.cit. h.169-170

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

41

di dalam tarekat-tarekat itu menyebabkan gerakan protes menempuh jalan dengan

senjata. Sebagai akibat perkembangan ini, maka konflik-konflik dengan tatanan

sosio-politik yang telah dibangun oleh penguasa penjajah tak dapat dielakkan lagi.82

Di Banten timbul gerakan besar kebangkitan agama Islam, yang terutama

mempunyai kaitan dengan tarekat Kadiriah. Tarekat ini menjadi ujung tombak

protes religio-politik terhadap penjajah. Sebelum didirikan tarekat Kadiriah pada

awal tahun-tahun 1870-an, para kiyai di Banten bekerja tanpa ikatan apa pun satu

sama lainnya. Tiap kiyai menyelenggarakan pesantrennya sendiri dengan caranya

sendiri.

Dengan kedatangan Haji Abdul Karim di Banten pada awal tahun-tahun tujuh

puluhan, tarekat Kadiriah memperoleh momentum. Di bawah pengaruhnya, tarekat

itu semakin berakar di kalangan para kiyai dan mempersatukan mereka. Pada waktu

yang bersamaan, pengaruh para kiyai atas pengikut-pengikut mereka bertambah

secara luar biasa. Dengan memasuki tarekat Kadiriah, maka kesetiaan para santri

pada kiyai dan persaudaraan di kalangan para santri menjadi lebih kokoh.

Para kiyai pada umumnya sangat dicintai dan dihormati oleh rakyat yang

menganggap mereka sebagai lambang kejujuran dan keluhuran budi. Mereka dengan

mudah dapat mengerahkan penduduk desa. Kesetiaan ini, yang dalam pandangan

petani-petani Muslim sudah sewajarnya mereka berikan kepada pemimpin-

pemimpin agama mereka, lebih diperkokoh lagi oleh keanggotaan mereka dalam

tarekat.

Penyebaran ajaran Kadiriah di Indonesia mencapai puncaknya dalam kegiatan

Khatib Akhmad Sambas dan muridnya yang paling terkemuka, Haji Abdul Karim.

Dakwah tarekat itu semakin diperkuat dengan kedatangan Haji Marjuki, seorang

murid setia Haji Abdul Karim. Efek dakwah ini adalah bangkitnya semangat yang

sangat militan menentang penguasa asing. Keyakinan umat Islam yang tak pernah

padam mengenai Perang Sabil disuarakan tak henti-hentinya.

Pada permulaan kegiatannya, gerakan kebangkitan kembali yang dipimpin oleh

Abdul Karim memperlihatkan sikap yang tegas dalam soal-soal keagamaan dan

puritan. Akan tetapi Haji Abdul Karim kegiatan-kegiatannya terbatas pada ajakan

agar ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Al-Quran ditaati dengan seksama,

dengan tekanan khusus kepada ibadah salat, puasa dan mengeluarkan zakat. Setelah

Haji Abdul Karim meninggalkan Banten, semangat yang sangat anti-asing mulai

merembesi praktek-praktek tarekat itu. Dan pada akhirnya haji-haji dan guru-guru

tarekat yang berjiwa pejuang menggunakan tarekat sebagai sarana untuk mengusir

penjajah dan menegakkan pemerintahan Islam.83

Larangan Adzan dengan Suara KerasBulan Juni 1888 tersiar kabar, khususnya di Beji dan daerah sekitarnya, yang

menyatakan bahwa pejabat-pejabat pemerintah telah mengeluarkan larangan

azan dan menyelenggarakan zikir. Dalam sidang pengadilan yang diadakan sekitar

82 Sartono, op.cit. h.171-17283 Sartono, op.cit. h.174-175

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

42

setengah tahun kemudian, Haji Makid didakwa telah menyiarkan kabar yang

provokatif itu.

Kebun Haji Makid berbatasan dengan kebun asisten residen Cilegon, Gubbels.

Ia mempunyai sebuah langgar di mana tetangga-tetangga dan kawan-kawannya

biasa melakukan salat dan zikir. Dari menara yang dibuat dari bambu yang tingginya

sekitar 10 meter, seorang di antara mereka mengumandangkan azan lima kali sehari.

Waktu itu istri Gubbels konon menderita sakit kepala yang kronis, sehingga suara

azan dan salat mengganggunya. Suaminya minta kepada Haji Makid melalui Patih

Raden Penna, agar mereka tidak menggunakan suara yang keras dalam melakukan

ibadah mereka. la juga menyatakan keberatannya terhadap acara-acara zikir yang

biasanya berlangsung sampai larut malam.

Patih Raden Penna, yang menyampaikan pesan Asisten Residen itu kepada Haji

Makid kabarnya telah mengeluarkan kata-kata menghina "bahwa tidaklah perlu

bersembahyang dengan suara yang keras, bukan hanya karena hal itu mengganggu

tetangga-tetangga mereka, akan tetapi juga karena Tuhan tidak tuli".

Hal-hal lainnya yang menyakitkan hati rakyat, khususnya yang menyangkut

agama adalah sebagai berikut: mereka tidak diperbolehkan merayakan perkawinan

dan khitanan dengan arak-arakan yang mewah, takbiran, musik gamelan dan

pertunjukan tari-tarian. Dengan sendirinya persoalan-persoalan itu sangat

menyakitkan hati rakyat di kala semangat keagamaan sedang menggelora.84

Dalam buku berjudul Perbendaharaan Lama yang diterbitkan Pustaka Panjimas

tahun 1982, Buya Hamka menyatakan bahwa salah satu pemicu geger cilegon 1888

adalah akibat adanya pelarangan pembacaan shalawat, tahrim, dan azan dengan

suara keras:

Menurut catatan dari Pangeran Ahmad Jayadiningrat, bekas regen Serang

dan salah satu pegawai tinggi pemerintah Belanda yang amat terkenal, sebab

pemberontakan ialah karena di belakang rumah resident Goebels di Jombang

Tengah ada sebuah langgar. Langgar itu bermenara. Seketika waktu Maghrib

orang selalu membaca shalawat atau tahrim atau azan dengan suara keras,

sehingga selalu mengganggu beliau yang nyenyak tidur.

Maka oleh karena kesenangan beliau terganggu, beliau perintahkan

kepada Patih, supaya dibuat surat edaran, melarang shalawat, tahrim, dan

azan itu tidak dilakukan keras-keras, karena "Tuhan tidak pekak!" Dan

menurut penyelidikan Tuan Patih, menara langgar di belakang rumah tuan

asisten residen itu telah tua, lebih baik diruntuhkan saja. Lalu diperintahkan

opas-opas untuk meruntuhkan!

Menurut Hamka, H Wasit merasa berang dengan tindakan penjajah terseut.

Apalagi sebelumnya dia sempat terkena hukuman denda karena menebang

'pohon kayu keramat' yang selama ini dipakai sebagai ajang praktik kemusyrikan

oleh sebagian masyarakat. Akibat adanya dua tindakan itu maka para haji, ulama,

84 Sartono, op.cit. h.219-220

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

43

dan tokoh masyarakat di Cilegon merasa bahwa keyakinan agama mereka telah

sangat direndahkan oleh pihak pemerintah penjajah. Maka semangat perlawanan

di kalangan rakyat membesar dengan hebat. Apalagi kemudian aturan mengenai

pelarangan pembacaan shalawat, tahrim, dan azan dari Goebles tersiar di seluruh

kalangan kaum santri di Banten.

Kalau telah begini yang terjadi sekarang, betapa lagi selanjutnya? Apalah

artinya menjadi orang Islam, di tanah air sendiri pula, kalau perbuatan musyrik

mendapat perlindungan dari pemerintah, dan pegawai pemerintah sendiri

telah berani berlancang meruntuhkan menara sebuah langgar? Niscaya akan

datang lagi larangan lain, sehingga hapuslah Islam dari negri kita ini.

Haji Wasit menemui temannya, Tubagus Ismail, dengan tujuan

memperbincangkan bahaya yang menimpa agama Islam ini. Dan sama

dengan Haji Wasit, Haji Ismail pun telah merasakan hal yang sama. Kawan

yang lain, ulama yang lain pun juga merasa sama!

Apa akal? Berontak!85

Narasi (doktrin) PerlawananPara pejuang dan pahlawan Banten memiliki semangat jihad yang kuat yang

didasarkan pada keyakinan keagamaan bahwa kaum penjajah adalah orang kafir

yang menzhalimi kaum Muslimin sehingga rakyat Banten wajib untuk memeranginya.

Demikian yang dapat ditelusuri dari motivasi dan pendorong mereka untuk

berperang; artinya hanya ada satu kata kunci bagi mereka menghadapi penjajah,

yaitu Jihad atau Perang.86

Dalam mendorong pengikutnya untuk bangkit melawan penjajahan Belanda,

para ulama Banten menggunakan beberapa narasi yang terbukti ampuh membakar

semangat rakyat untuk melawan pemerintahan penjajah kafir yang terus-menerus

menzalimi rakyat pribumi. Berikut beberapa dontrin atau narasi tersebut:

Darul Islam (Pemerintahan Islam)Perlawanan-perlawanan itu bersifat revolusioner dalam arti bahwa tujuannya

lebih dari sekedar menghancurkan birokrasi yang korup; perlawanan-perlawanan

itu bertujuan menumbangkan sistem pemerintahan yang dibangun oleh penguasa

asing. Perlawanan-perlawanan itu dapat dipandang sebagai usaha untuk merebut

kendali politik dari golongan pamong praja penjajah asing.

Seperti yang dapat kita baca dalam catatan-catatan sejarah, di samping

ketidaksenangan mengenai berbagai pajak dan kerja paksa, soal pemulihan

kesultanan merupakan satu tema umum. Dokumen-dokumen yang ada tidak

memberikan banyak informasi mengenai apa yang sebenarnya mereka maksudkan

dengan kebangkitan kembali kesultanan itu. Cita-cita tentang kembalinya kesultanan

85 Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, Pustaka Panjimas Jakarta, cetakan ke-2 1982. h.47-4886 Parlindungan Siregar, Perjuangan Rakyat Banten op.cit. h.57

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

44

itu kadang-kadang dikaitkan dengan janji untuk menghapuskap pajak-pajak yang

memberatkan rakyat.

Sejauh gerakan-gerakan itu mengandung harapan akan kembalinya kesultanan,

mereka dapat dilukiskan sebagai gerakan milenari. Sesungguhnya, aspek milenari

dari cita-cita tentang kesultanan itu dapat dipahami sebagai gagasan yang

menyatakan bahwa situasi kolonial bisa berakhir dan bahwa keselarasan lama yang

terdapat dalam tatanan Islam bisa dipulihkan. Di sini satu di antara karakteristik-

karakteristik utama milenarianisme dapat ditunjukkan dengan jelas, yakni penolakan

yang mendalam dan total terhadap situasi sekarang (saat itu). Kesultanan dapat

dipandang sebagai satu unsur esensial dari tatanan lama yang hendak dipulihkan

oleh gerakan-gerakan itu.87

Masyarakat Islam Banten saat itu meyakini bahwa, meletusnya gunung

Krakatau adalah azab Allah karena masyarakat membiarkan pemerintah kafir yang

dzalim, yaitu Belanda tinggal dan bahkan memerintah di negeri mereka. Dengan

adanya kepercayaan tersebut banyak diantara pemuka agama mulai mengadakan

perlawanan terhadap Belanda untuk mewujudkan pemerintahan yang Islami seperti

masa kejayaan kesultanan Banten.

Gunung Krakatau yang meletus pada bulan Agustus 1883 menyebabkan

penderitaan yang bertambah ketika sebelumnya daerah Banten mengalami wabah

penyakit ternak tahun 1879 yang menyebabkan jumlah ternak menurun. Kemudian

wabah demam yang menyebabkan lebih dari sepuluh persen penduduk meninggal

dunia. Selain itu juga meletusnya Gunung Krakatau merupakan letusan paling hebat

yang pernah tercatat dalam sejarah vulkanologi di Indonesia. Lebih dari 36.000

orang tewas, serta banyak desa yang makmur dan sawah-sawah yang subur menjadi

gersang. Dengan kejadian tersebut, maka kesengsaraan melanda sebagian besar

wilayah Banten.

Wabah dan bencana alam yang mengerikan tersebut sesuai dengan tanda-

tanda akan segera tibanya hari kiamat yang disampaikan oleh Haji Abdul Karim.

Bencana dan malapetaka ditafsirkan berdasarkan dalil-dalil agama Islam tersebut

menimbulkan emosi yang luar biasa serta kecemasan yang besar di kalangan rakyat.

Tujuan akhir yang hendak dicapai sebagaimana yang disampaikan Abdul Karim

adalah mendirikan sebuah pemerintahan Islam (Darul Islam). Oleh karena itu, para

pengikut ulama tarekat ini memiliki kesadaran yang kuat bahwa negeri mereka

(Banten), di masa yang akan datang harus menjadi Darul Islam, dan tidak diperintah

oleh penguasai asing yang kafir.

Haji Abdul Karim juga pernah menyampaikan bahwa ia tidak akan kembali ke

Banten selama Banten masih dalam kekuasaan penjajah, ia hanya akan kembali saat

Banten telah menjadi bumi Islam (darul Islam).88

Suatu hal yang inheren dalam semangat keagamaan yang berkobar-kobar

saat itu adalah bertambah besarnya kebencian terhadap orang-orang Eropa yang

kafir. Pemusnahan kekuasaan asing menjadi tujuan pokok gerakan keagamaan itu.

87 Sartono, op.cit. h.11688 Sartono, Op.Cit. h.176

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

45

Sementara itu, khotbah-khotbah, janji-janji dan narasi-narasi keagamaan Haji Abdul

Karim terus membakar semangat rakyat.

Jelaslah bahwa doktrin-doktrin tentang tanda-tanda "Hari Kiamat", kedatangan

Mahdi, dan tentang jihad menimbulkan gelora keagamaan yang massif; semangat

jihad dihidupkan oleh kesadaran yang kuat bahwa negeri mereka harus menjadi

sebuah darul Islam yang saat itu diperintah oleh orang-orang asing, dan yang pada

satu ketika kelak harus direbut kembali. Tujuan akhir yang hendak dicapai oleh Kiyai

Agung adalah mendirikan sebuah pemerintahan Islam.

Sementara kepopuleran Haji Abdul Karim terus meningkat, murid-muridnya

dengan tak sabar menantikan seruannya untuk mulai berperang melawan penjajah

kafir. Rakyat dilanda rasa rindu pada pemerintahan Islam dan ingin mengulangi

kejayaannya. Seperti dinyatakan oleh Snouck Hurgronje:

“.... setiap malam beratus-ratus orang yang ingin diselamatkan, berduyun-

duyun ke tempat tinggalnya (H.Abdul Karim), untuk belajar zikir darinya, untuk

mencium tangannya dan untuk menanyakan apakah saatnya sudah hampir

tiba, dan untuk berapa lama lagi pemerintah Kafir masih akan berkuasa?”89

1. Perang Sabil (Jihad Fi Sabilillah)Dengan meningkatnya gerakan kebangkitan Islam pada paruh akhir abad ke-

19 juga meningkatkan potensi perlawanan rakyat Banten. Permusuhan membara

terhadap penjajah asing Belanda, kerusuhan-kerusuhan kecil yang terus terjadi dan

pergolakan besar pada tahun 1888 dianggap sebagai akibat semangat keislaman

yang membara.

Sikap militan para pejuang kala itu dihubungkan dengan doktrin perang sabil yang

bertujuan untuk mendirikan kembali pemerintahan Islam dalam bentuk kesultanan

Banten dan menghancurkan kekuasaan asing. Doktrin perang sabil sudah menjadi

keyakinan masyarakat muslim yang di saat-saat menderita menjadi kekuatan yang

ampuh untuk menggerakkan rakyat dan mengancam penjajah Belanda. Semangat

perjuangan mereka begitu menyatu dengan keyakinan (agama) mereka sehingga

para pejuang tersebut merasa pasti akan memperoleh kemenangan melawan

pasukan pemerintah penjajah yang bersenjata modern.90

Dalam setiap pengajian atau majelis dzikir yang diadakan di rumah-rumah atau di

masjid-masjid, para ulama selalu menanamkan semangat jihad, menentang penjajah

pada masyarakat. Melalui pesantren-pesantren para ulama berhasil menanamkan

semangat jihad di hati santri-santrinya.91

Narasi tentang perang sabil juga menjadi salah satu tema yang disampaikan oleh

para guru tarekat. Semua ini hanya mempunyai satu tujuan yaitu pemulihan kembali

kesultanan Banten. Dalam perkembangannya para kyai menanamkan kecurigaan

dan kebencian terhadap pemerintah penjajah dalam hati santri-santrinya. Secara

89 Snouck Hurgronje (1931), hal. 277, dalam: Sartono, Op.Cit. h.19790 Sartono, Op.Cit. h.116-11791 Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari, op.cit. h.193

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

46

berangsur menimbulkan semangat di kalangan pengikut-pengikutnya untuk

melancarkan perang sabil terhadap penguasa-penguasa kafir.

Menurut Sartono, di dalam ide tentang Darul Islam terkandung perasaan

benci yang diperlihatkan secara terang-terangan oleh rakyat, tidak hanya

terhadap orang-orang Eropa yang kafir, tetapi juga terhadap semua orang yang

memandang tinggi orang-orang Eropa atau bergaul dekat dengan mereka.

Pejabat-pejabat pamong praja Banten yang menjadi penyambung tangan Belanda,

dipandang sebagai orang-orang hina. Mereka mencemarkan agama mereka sendiri

karena Muslim yang baik harus menjauhkan diri dari membantu dan bekerjasama

dengan orang-orang kafir.

Selain itu, rakyat cenderung memandang pamong praja sebagai orang-orang yang

korup dan menindas. Kaum santri tidak saja merasa kaum priyayi memperlakukan

mereka dengan buruk, tetapi juga mendakwa bahwa mereka pada umumnya tidak

bermoral. Kaum priyayi dicap sebagai kafir indanas, hanya lahiriyahnya saja yang

Muslim. Hal ini mendorong rakyat enggan berurusan dengan pemerintah Belanda,

agen-agennya, dan peraturan-peraturannya, dan menganggap mereka semua

sebagai orang-orang yang hina. Oleh karena itu, penetrasi pemerintahan kolonial ke

desa-desa harus ditentang.

Dalam hal ini, para kiailah yang tak henti-hentinya berusaha menanamkan

kecurigaan yang mendalam terhadap pemerintah penjajah dalam hati santri-

santrinya, dan secara berangsur-angsur membakar semangat pengikut-pengikutnya

untuk melancarkan Perang Sabil terhadap penguasa-penguasa kafir. Ini merupakan

tahap dimana gerakan kebangkitan agama Islam menjelma menjadi gerakan jihad.

Rakyat memiliki keyakinan yang kuat bahwa begitu keadaannya memungkinkan,

negeri mereka akan diubah dengan menggunakan kekuatan dan menjadi negeri

Islam (darul Islam) yang sejati. Sikap ini merupakan ajaran tentang Perang Sabil,

yang menyatakan bahwa umat Islam berkewajiban memerangi orang-orang kafir.

Karena orang-orang kafir sudah dikutuk sebagai musuh Allah, maka usaha

menaklukkan mereka dengan senjata merupakan satu kewajiban suci yang

menuntut pengorbanan.

Tujuan utama Perang Sabil, adalah mendirikan sebuah pemerintahan Islam yang

merdeka di mana orang dapat mempraktekkan agama Islam dengan sempurna.

Ini berarti bahwa bagi penganut-penganut gerakan kebangkitan agama Islam dan

anggota-anggota tarekat, jihad atau perang sabil merupakan tindakan pengorbanan

yang paling luhur untuk mewujudkan pemerintahan yang ideal, dan merupakan

puncak segala ibadah, shalat, puasa dan haji.92

2. Imam MahdiGejolak sosial yang timbul setelah terjadinya bencana-bencana dan kerusahan-

kerusuhan sosial yang silih berganti, telah meningkatkan tuntutan akan suatu

pemecahan yang totalistik. Kondisi mental rakyat dapat dengan mudah menerima

narasi mengenai pembebasan dari pemerintah penjajah yang menindas dan

92 Sartono, op.cit. h.178

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

47

kepercayaan umat Islam tentang Mahdi. Di samping itu, gagasan tentang Perang

Sabil dan pemulihan kesultanan merupakan ekspresi yang menonjol dari orientasi

dasar anggota-anggota tarekat yang terlibat dalam gerakan perlawanan.93

Salah satu ciri khas dari kebangkitan agama di Banten pada khususnya yaitu

munculnya narasi-narasi akhir zaman yang mencakup keyakinan akan kedatangan

Imam Mahdi, yang mana masyarakat muslim Banten sudah lama menantikan

kedatangannya.

Imam Mahdi, yang secara harfiah berarti penunjuk jalan yang benar, adalah

nama tokoh yang akan muncul menjelang hari kiamat dan menghancurkan Dajal di

akhir zaman. Kepercayaan akan tibanya seorang Mahdi terus hidup dalam sejarah

masyarakat Islam dan tersebar luas di seluruh dunia.

Kedatangan Mahdi akan didahului oleh satu periode kekacauan besar, ketiadaan

iman dan peperangan. Pada saatnya nanti, Mahdi akan muncul untuk memenangkan

agama Islam; dia akan memperbarui Islam, menegakkan kembali keagungannya dan

mengalahkan orang-orang kafir.

Disebutkan pula tanda-tanda mengenai tanda-tanda akan tibanya hari kiamat,

seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, hujan darah, wabah penyakit ternak,

dan sebagainya. Bencana dan malapetaka ditafsirkan berdasarkan dalil-dalil agama

tersebut dan menimbulkan emosi yang luar biasa serta kecemasan yang besar di

kalangan rakyat.

Di dalam periode kesulitan sosial itu, ketika rakyat dilanda frustrasi, dan

perlawanan yang ditekan, kepercayaan tentang Mahdi merupakan alat yang cocok

untuk membangkitkan mereka supaya melawan dominasi asing.94

Perlawanan yang BeradabPejabat-pejabat pamongpraja telah menjadi sasaran kaum perlawanan dan

mereka terus menjadi sasaran serangan selama berlangsungnya kerusuhan-

kerusuhan itu. Tindakan-tindakan para pejuang sangat dipengaruhi oleh sikap

permusuhan mereka terhadap setiap orang yang ditugaskan untuk melaksanakan

peraturan-peraturan pemerintah penjajah, memungut pajak dan menegakkan

hukum.

Tidak nampak adanya sikap permusuhan terhadap orang-orang asing bukan

Eropa, seperti orang-orang Cina atau Arab. Hanya beberapa orang Cina saja yang

diganggu, sementara seorang Arab ikut membantu perlawanan.95

Sebagian besar pejabat pemerintah penjajah di Cilegon dapat dibunuh, yang

tidak dibunuh adalah kaum wanita dan para babu yang merupakan penduduk

pribumi. Para pejabat Belanda yang mau masuk Islam atau mengucapkan kalimat

syahadat juga tidak dibunuh.96

93 Sartono, op.cit. h.18294 Sartono, op.cit. h.176-17795 Sartono, op.cit. h.25796 Sartono, op.cit. h.243

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

48

Menurut berbagai catatan, para pemimpin perlawanan tetap berpegang

teguh pada motif (tujuan) perjuangan, mereka tidak memetingkan keuntungan

diri sendiri. Uang dan pistol yang dirampas dari Asisten Wedana Mancak tidak

digunakan untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk kepentingan perlawanan

secara umum. Selain itu tidak ada satupun rumah pejabat penjajah yang dibakar

dan dijarah isinya setelah diserbu oleh para pejuang.97

Walaupun gerakan perlawanan yang dipimpin para ulama Cilegon tersebut

berhasil dipadamkan oleh penjajah Belanda, semangat dan tekad untuk melawan

dari orang-orang Cilegon dan Banten pada umumnya tak pernah bisa dipadamkan.

Banyak kiai yang merasa menyesal karena saat terjadi peristiwa tersebut tidak

ikut membantu perjuangan yang dilakukan oleh Haji Wasid dan pendukungnya.

Perasaan dendam dan kemarahan pada penjajah semakin dalam karena tindakan

kejam Belanda terhadap para pejuang.

Terbukti pada tahun 1889 saat malam idul fitri muncul kembali sebuah usaha

perlawanan yang bobotnya hampir sama dengan perlawanan di Cilegon. Mereka

bertekad menuntut balas pada penjajah Belanda atas kejahatan mereka pada Haji

Wasid, Haji Tubagus Ismail, Haji Ishak dan beberapa kiyai yang terbunuh dalam

peristiwa geger Cilegon 1888. Namun sebelum terwujud, rencana tersebut telah

bocor ke pihak penjajah sehingga tentara Belanda segera melakukan penangkapan

terhadap orang-orang yang dicurigai. Perencana gerakan perlawanan itu diketahui

kebanyakan berasal dari daerah Cilegon, Serang dan Tanara.98

PenutupDengan menanamkan narasi-narasi dalam ajaran agama Islam untuk melawan

kezaliman penjajah, para ulama berhasil membangkitkan semangat rakyat muslim

Banten utuk melawan pemerintah penjajah kafir Belanda. Narasi-narasi yang mereka

gunakan antara lain; (1) narasi jihad, bahwa setiap muslim wajib melawan dan

mengusir penjajah kafir dan zalim yang menganeksasi wilayah muslim, (2) narasi

darul Islam (pemerintahan Islam), bahwa tujuan utama berjihad setelah berhasil

mengusir penjajah adalah menegakkan kembali sistem (pemerintahan) Islam yang

sesuai dengan ajaran Islam, (3) narasi akhir zaman dan Imam Mahdi, bahwa semua

tanda-tanda alam yang terjadi di Banten saat itu (seperti kekeringan, gunung meletus,

tsunami, wabah penyakit ternak, dll.) menunjukkan bahwa hari kiamat sudah dekat

dan sebagai tanda kedatangan imam mahdi yang akan memimpin kebangkitan dan

kejayaan agama Islam di bumi pada akhir zaman.

Musibah dan bencana membuat masyarakat Muslim di Banten sadar akan

kesalahan dan dosa-dosanya. Dengan bencana yang begitu dasyat, mengerikan dan

terjadi secara berturut-turut telah membuat banyak orang takut akan azab Allah,

ingin bertaubat dan berusaha lebih mendekatkan diri kepada Allah. Dakwah dan

seruan para ulama disambut masyarakat dengan antusias setelah bencana terjadi.

97 Sartono, op.cit. h.25798 Nina H Lubis,op.cit.h.119

SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019

49

Kesadaran ini pada gilirannya menggerakkan apa yang banyak disebut oleh para

sejarawan sebagai gerakan “kebangkitan agama Islam”.

Meskipun perjuangan kaum perlawanan dapat dikalahkan oleh penjajah, namun

semangat perlawanan mereka tak pernah padam. Pemerintah penjajah masih

disibukkan dengan berbagai berita mengenai adanya rencana perlawanan baru.

Mereka berencana akan membunuh semua pejabat penjajah baik pribumi maupun

Eropa.

Panjangnya daftar usaha perlawanan muslim Banten menunjukkan tingginya

semangat mereka berjihad melawan penjajah kafir Belanda untuk mengembalikan

pemerintahan Islam (seperti kesultanan Banten) yang dihapuskan oleh penjajah.

Mereka tidak melemah, putus asa atau menjadi takut walaupun usaha mereka gagal

dan banyak pemimpin mereka dieksekusi atau dibuang oleh penjajah. Mereka yakin

dengan janji-janji Allah seperti yang disampaikan oleh para ulama dan haji yang

memimpin perlawanan jihad, bahwa kemenangan kemuliaan agama Islam akhirnya

akan berada di tangan mereka.

Dengan berbagai peristiwa perlawanan dan kekerasan yang tak pernah henti

di Banten selama Abad ke-19, setelah penghapusan kesultanan Banten, dapat

disimpulkan bahwa, penjajahan Belanda telah memicu konflik, kerusuhan dan

perlawanan di Banten pada Abad ke-19. Dampak penjajahan Barat mempercepat

disintegrasi masyarakat tradisional dan meningkatkan kerusuhan umum. Akibat

penjajahan pula, keamanan, ketertiban, keadilan dan kemakmuran yang pernah

dicapai kesultanan Banten musnah tak tersisa lagi.

Daftar Pustaka:Asep Muslim, Lala M. Kolopaking dkk. The Shift of Power Structure in Rural Banten:

A Case of Local Leadership Typology of Ulama and Jawara in Pandeglang,

International Journal of Humanities and Social Science Vol. 6, No. 7; July 2016.

Bernard H.M. Vlekke, Nusantara, Sejarah Indonesia, KPG (Kepustakaan Populer

Gramedia) Jakarta Cetakan Keempat Juni 2017.

Claude Guillot, Banten, Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII. Cetakan pertama.

Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta 2008

Erlita Tantri, Letusan Krakatau 1883: Pengaruhnya Terhadap Gerakan Sosial Banten

1888, Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 16 No. 1 Tahun 2014.

Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari, Catatan Masalalu Banten, Penerbit

Saudara Serang, Cetakan ke-3, 1993.

Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, Pustaka Panjimas Jakarta, cetakan ke-2 1982.

Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, Sumbangan Bagi

Pengenalan Sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa, Penerbit Djambatan Jakarta

1983,

SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019

50

Kaoru Ueda, Sonny C. Wibisono, dkk., Paths to Power in the Early Stage of Colonialism

An Archaeological Study of the Sultanate of Banten, Java, Indonesia, the

Seventeenth to Early Nineteenth Century, Asian Perspectives, Vol. 55, No. 1

©2016, the University of Hawai Press.

Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19, Penerbit

Bulan Bintang, Jakarta 1984.

Kurniawati Hastuti Dewi, Kepemimpinan Kyai dan Jawara di Banten: Pengaruhnya

terhadap Good Governance, 2003.

Martin van Bruinessen. “The Origins and Development of Sûfî Orders (Tarekat)

in Southeast Asia.” Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies,

Volume I, No. 1 (April - June), 1994.

Mohamad Hudaeri, Menentang Sekularisme: Upaya Membentuk Kesalehan Subjek

Muslim Di Banten, JURNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 2, Desember

2016, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten.

Nina H Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara, Pustaka

LP3ES Jakarta, 2004.

Parlindungan Siregar, Perjuangan Rakyat Banten Melawan Belanda: Studi Tentang

K.H. Wasyid, Buletin Al-Turas, Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, dan Agama -

Fakultan Adab dan Humainora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta Vol. XXIII No.1, Januari 2017.

Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Penerbit Komunitas Bambu

Depok, Cetakan Pertama, Februari 1984.

Simon Winchester, Krakatoa: The Day the World Exploded: August 27, 1883, Penguin

Books Ltd, London 2004

Taufik Abdullah dkk. Sejarah Ummat Islam Indonesia. Majelis Ulama ndonesia,

Jakarta 1991.