Menara Bidakara I Lantai 5, Jl. Gatot Subroto Kav. 71-73 ...
K. MUSTAROMK. SUBROTO - syamina.orgsyamina.org/uploads/Laporan Edisi 4 Februari 2019.pdf · bahkan...
Transcript of K. MUSTAROMK. SUBROTO - syamina.orgsyamina.org/uploads/Laporan Edisi 4 Februari 2019.pdf · bahkan...
K. Subroto
Laporan Edisi 4 / Februari 2019
ABOUT US
Laporan ini merupakan sebuah publikasi dari Lembaga Kajian Syamina (LKS). LKS merupakan sebuah lembaga kajian independen yang bekerja dalam rangka membantu masyarakat untuk mencegah segala bentuk kezaliman. Publikasi ini didesain untuk dibaca oleh pengambil kebijakan dan dapat diakses oleh semua elemen masyarakat. Laporan yang terbit sejak tahun 2013 ini merupakan salah satu dari sekian banyak media yang mengajak segenap elemen umat untuk bekerja mencegah kezaliman. Media ini berusaha untuk menjadi corong kebenaran yang ditujukan kepada segenap lapisan dan tokoh masyarakat agar sadar realitas dan peduli terhadap hajat akan keadilan. Isinya mengemukakan gagasan ilmiah dan menitikberatkan pada metode analisis dengan uraian yang lugas dan tujuan yang legal. Pandangan yang tertuang dalam laporan ini merupakan pendapat yang diekspresikan oleh masing-masing penulis.
Untuk komentar atau pertanyaan tentang publikasi kami,
kirimkan e-mail ke:
Seluruh laporan kami bisa didownload di website:
www.syamina.org
SYAMINA
Narasi Perlawanan Muslim Banten 1888
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
3
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI — 3
EXECUTIVE SUMMARY — 4
Perlawanan Tiada Henti di Jawa pada Abad Ke-19 — 9
Dampak Perlawanan Muslim Banten —10
Aneksasi Penjajah Belanda atas Kesultanan Banten — 12
Tradisi Perlawanan di Banten — 15
Karakteristik Masyarakat Banten yang Mendalam Keislamannya — 18
Mayoritas Muslim Banten Petani — 19
Pengaruh Ulama di Banten — 20
Perlawanan Ulama atau Petani? — 21
Para Tokoh dan Pemimpin Perlawanan — 22
Latar belakang dan Kondisi Banten sebelum terjadi Perlawanan tahun 1888 — 30
Pajak yang Mencekik Rakyat — 33
Pemaksaan Peradaban Barat lewat Penjajahan — 34
Kebangkitan Agama Islam — 36
Pengaruh Ibadah Haji — 38
Gerakan Tarekat — 39
Larangan Adzan dengan Suara Keras — 41
Narasi (doktrin) Perlawanan — 43
Darul Islam (Pemerintahan Islam) — 43
Penutup — 48
Daftar Pustaka — 49
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
4
Abad ke-19 merupakan suatu periode pergolakan sosial karena arus peradaban
Barat yang semangkin kuat dengan semakin menguatnya kekuasaan penjajah
di Jawa dan sekitarnya. Dokumen-dokumen Kementerian Urusan Jajahan
Pemerintah Penjajah Hindia Belanda, memuat laporan tentang banyak perlawanan
dan percobaan-percobaan perlawanan rakyat yang bermunculan di berbagai daerah
di Pulau Jawa. Masyarakat mengalami proses modernisasi perekonomian, sosial dan
politik yang semakin dalam dipaksakan oleh penjajah Barat. Seluruh proses peralihan
dari tatanan lama ke modernitas menimbulkan konflik-konflik sosial, kerusuhan dan
perlawanan tiada henti dan silih berganti, seperti yang terjadi tahun 1888 di Banten.
Perlawanan-perlawanan yang begitu banyak tejadi di Pulau Jawa selama kurun
waktu 1840 sampai 1875 telah dicatat oleh de Waal, mantan sekretaris pemerintah
Hindia Belanda. Menurut catatan tersebut, hanya pada tahun-tahun 1844, 1847,
1860, 1863, 1871 dan 1874 sajalah tidak terjadi perlawanan. Belum lagi perlawanan
EXECUTIVE SUMMARY
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
5
yang tidak dicantumkan dalam catatan tersebut, seperti tahun 1864 di Klaten; 1865 di
Cirebon, Tegal, Yogyakarta, dan Kedu; serta tahun 1872 di Pekalongan.
Pada masa kejayaannya Banten merupakan kota terbesar di Asia Tenggara yang
makmur. Guillot, menyimpulkan bahwa pada tahun 1678, berdasarkan jumlah
penduduk dan kemakmurannya, Banten merupakan kota terbesar di Nusantara, dan
bahkan termasuk salah satu kota terbesar di dunia pada masa itu. Maka tak heran
masyarakat muslim Banten begitu merindukan kembalinya kejayaan Banten di
bawah pemerintahan Islam yang telah sukses membawa kemakmuran, ketertiban,
keamanan dan keadilan masyarakat Banten.
Di kalangan orang-orang Belanda, orang Banten Utara terkenal fanatik dalam hal
agama, bersikap agresif dan mempunyai semangat jihad (perlawanan) yang tinggi.
Mereka tidak seperti petani di Jawa Tengah bagian selatan, melainkan merupakan
kelompok-kelompok perantau yang cerdas. Dalam unsur-unsur kebudayaan mereka,
hampir tak terdapat ciri-ciri peradaban Hindu-Jawa. Justru dalam kenyataannya,
pengaruh Islam sangat mendalam dalam masyarakat Banten.
Sepanjang abad XIX Banten merupakan gelanggang perlawanan, sehingga
disebut sebagai tempat persemaian perlawanan. Dalam sejarah Banten Utara
menunjukkan bahwa di sana tak ada satu pun distrik yang tidak terkena dampak
konflik-konflik sosial. Ada tradisi yang sering disebut para sejarawan Belanda sebagai
"tradisi pemberontakan". Setelah kesultanan di Banten dihapuskan oleh penajah,
tidak ada tahun yang lewat tanpa perlawanan.
Antara 1810 sampai 1840 saja, telah terjadi sebelas kali perlawan bersenjata
melawan penjajah, di antaranya perlawanan Nyai Gumpara pada 1818 untuk
mengembalikan kesultanan Banten dan penyerangan ke Anyer dengan kekuatan 500
orang pada 1822.
Perlawanan muslim Cilegon tahun 1888 atau “Geger Cilegon” sering disebut para
sejarawan sebagai perlawanan petani (karena mayoritas rakyat Banten adalah petani)
hanyalah salah satu contoh pelawanan dari sederet perlawanan lain yang dilakukan
oleh muslim Banten yang tanpa henti, terus menerus dilakukan dari masa ke masa.
Perang sabil ini umumnya dipimpin oleh para ulama dan haji. Mereka menyebut
perlawanan mereka terhadap penjajah sebagai “perang sabil” atau “jihad” melawan
penjajah kafir Belanda.
Dengan menanamkan narasi-narasi dalam ajaran agama Islam untuk melawan
kezaliman penjajah, para ulama berhasil membangkitkan semangat rakyat muslim
Banten utuk melawan pemerintah penjajah kafir Belanda. Narasi-narasi yang mereka
gunakan antara lain; (1) narasi jihad, bahwa setiap muslim wajib melawan dan
mengusir penjajah kafir dan zalim yang menganeksasi wilayah muslim, (2) narasi
darul Islam (pemerintahan Islam), bahwa tujuan utama berjihad setelah berhasil
mengusir penjajah adalah menegakkan kembali sistem (pemerintahan) Islam
yang sesuai dengan ajaran Islam, (3) narasi akhir zaman dan Imam Mahdi, bahwa
semua tanda-tanda alam yang terjadi di Banten saat itu (seperti kekeringan, gunung
meletus, tsunami, wabah penyakit ternak) menunjukkan tanda-tanda akhir zaman
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
6
dan kedatangan imam mahdi yang akan memimpin kebangkitan dan kejayaan
agama Islam di bumi pada akhir zaman.
Musibah dan bencana membuat masyarakat Muslim di Banten sadar akan
kesalahan dan dosa-dosanya. Musibah dinilai sebagai peringatan dari Allah atas
dosa dan kesalahan mereka. Dengan bencana yang begitu dasyat, mengerikan dan
terjadi secara berturut-turut telah membuat banyak orang takut akan azab Allah,
ingin bertaubat dan berusaha lebih mendekatkan diri kepada Allah. Dakwah dan
seruan para ulama disambut masyarakat dengan antusias setelah bencana terjadi.
Kesadaran ini pada gilirannya menggerakkan apa yang banyak disebut oleh para
sejarawan sebagai gerakan “kebangkitan agama Islam”.
Para ulama Banten terus-menerus menyuarakan bahwa, membiarkan Banten
diperintah oleh penjajah kafir adalah dosa besar, tidak berusaha menegakkan
pemerintahan Islam dan memberlakukan hukum Islam adalah dosa besar. Masyarakat
muslim banten menyadari kesalahannya dan ingin bertobat dan mendekatkan
diri pada Allah dengan berjihad melawan penjajah kafir Belanda, karena perang
sabil adalah puncak dari segala ketundukan dan ibadah pada Allah. Dan setelah itu
membentuk pemerintahan Islam dan memberlakukan hukum Islam atas masyarakat
muslim Banten, sebagaimana yang selalu disampaikan para haji dalam dakwahnya.
Banyak korban yang berjatuhan, karena besarnya pukulan dan goncangan yang
ditimbulkan terhadap penjajah oleh para pejuang muslim Banten tahun 1888. Paling
tidak 17 pejabat pemerintah penjajah Hindia Belanda tewas, dimana 7 diantaranya
adalah orang Belanda, dan sisanya pribumi, salah satunya Wedana Cilegon, Raden
Tjakradiningrat serta seorang Jaksa. Dari pihak pejuang dinyatakan 11 orang gugur,
diantaranya Kiyai Haji Wasid, Haji Ismail, Haji Usman, dan kesemuanya merupakan
tokoh perlawanan tersebut, selain itu 19 orang gugur dalam perperangan tersebut.
Perang terjadi selama tiga minggu, setelah peperangan reda 94 orang pejuang yang
tertangkap dibuang oleh para penjajah ke daerah Sumatera, Sulawesi, Maluku, Nusa
Tenggara Timur, dan Jawa Timur.
Dalam usaha penjajah untuk pengejaran dan pembersihan terhadap orang yang
terkait perlawanan telah terjadi semacam terorisme oleh pemerintah penjajah, setiap
informasi yang diberikan oleh setiap agen sudah cukup menjadi alasan penangkapan.
Residen Banten membuang sekian banyak orang yang dicurigai sebagai pejuang,
yang tidak dapat dijatuhi hukuman oleh pengadilan karena tidak ada bukti.
Meskipun perjuangan kaum perlawanan dapat diredam oleh penjajah, namun
semangat perlawanan mereka tak pernah padam. Sampai tahun 1889 pemerintah
penjajah belum berhasil sepenuhnya membersihkan Banten dari pengaruh
perlawanan yang terjadi pada tahun 1888. Pemerintah penjajah masih disibukkan
dengan berbagai berita mengenai adanya rencana perlawanan baru. Mereka
berencana akan membunuh semua pejabat penjajah baik pribumi maupun Eropa.
Panjangnya daftar usaha perlawanan muslim Banten menunjukkan tingginya
semangat mereka berjihad melawan penjajah kafir Belanda untuk mengembalikan
pemerintahan Islam (seperti kesultanan Banten) yang dihapuskan oleh penjajah.
Mereka tidak melemah, putus asa atau menjadi takut walaupun usaha mereka gagal
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
7
dan banyak pemimpin mereka dieksekusi atau dibuang oleh penjajah. Mereka yakin
dengan janji-janji Allah seperti yang disampaikan oleh para ulama dan haji yang
memimpin perlawanan jihad, bahwa kemenangan kemuliaan agama Islam akhirnya
akan berada di tangan mereka.
Dengan berbagai peristiwa perlawanan dan kekerasan yang tak pernah henti
di Banten selama Abad ke-19, setelah penghapusan kesultanan Banten, Sartono
menyimpulkan bahwa, kekuasaan penjajah Belanda memicu kerusuhan dan
perlawanan di Banten pada Abad ke-19. Dampak penjajahan Barat mempercepat
disintegrasi masyarakat pribumi dan meningkatkan kerusuhan umum. Akibat
penjajahan pula, keamanan, ketertiban, keadilan dan kemakmuran yang pernah
dicapai kesultanan Banten musnah tak tersisa lagi.
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
8
Awal abad kesembilan belas, pemerintah penjajah Belanda mulai berkuasa
di Hindia Belanda (Indonesia) menggantikan VOC (Vereenigde Oostindische
Compagnie) yang bubar pada tanggal 31 desember 1799 dan seluruh aset
miliknya dikuasai oleh Negara Belanda.
Selanjutnya, sebuah komisi Negara yang diketuai Sebastian Cornelis Nederburg
bergelar komisaris jenderal dibebani tugas bidang administrasi, hukum, dan
pertahanan. Barulah kemudian pada tahun 1808, si tangan besi, Herman Willem
Deandels mengawali kekuasaannya sebagai gubernur jenderal di Hindia Belanda.
Di antara kebijakannya adalah memangkas kekuasaan penguasa-penguasa lokal. Ia
hanya tiga tahun berkuasa (1808-1811), kemudian digantikan oleh Thomas Stamford
Raffles (1811-1816) yang mewakili penguasa Inggris di tanah jajahan Belanda.
Kebijakan-kebijakan gebernur jenderal berikutnya bukan memperingan beban
rakyat pribumi, justru semakin mempersulit keadaan, misalnya dengan penerapan
cultuurstelsel (sistem tanam paksa). Sistem ini hanya menguntungkan pemerintah
penjajah dan sedikit menguntungkan penguasa lokal, namun sangat memperberat
kehidupan rakyat pribumi yang terjajah. Berikutnya, pada era liberal hingga era politik
etis, rakyat tetap menderita dan tidak banyak mengalami perubahan. Kondisi-kondisi
tersebut menjadi lahan subur perjuangan perlawanan terhadap penjajah, sehingga
semakin meningkatkan konflik bersenjata untuk mengusir penjajah Belanda.1
1 Parlindungan Siregar, Perjuangan Rakyat Banten Melawan Belanda: Studi Tentang K.H. Wasyid, Buletin Al-Turas, Mimbar Sejarah,Sastra,Budaya, dan Agama - Fakultan Adab dan Humainora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Vol. XXIII No.1, Januari 2017. h.56
Narasi Perlawanan Muslim Banten 1888
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
9
Kota Pelabuhan Banten tahun 1724 M2
Perlawanan Tiada Henti di Jawa pada Abad Ke-19Dokumen-dokumen Kementerian Urusan Jajahan Pemerintah Penjajah Hindia
Belanda, memuat laporan tentang banyak perlawanan dan percobaan-percobaan
perlawanan rakyat. Gerakan-gerakan milenari3 (akhir zaman) yang menyertai
kegelisahan dan gejolak sosial bermunculan di berbagai daerah di Pulau Jawa,
sementara gerakan kebangkitan agama Islam menampakkan diri dalam bentuk
sekolah-sekolah agama (pesantren) dan perkumpulan keagamaan (tarekat) yang
tumbuh bagaikan jamur di musim hujan.
Abad ke-19 merupakan suatu periode pergolakan sosial yang menyertai
perubahan sosial sebagai akibat arus peradaban Barat yang semangkin kuat.
Masyarakat menyaksikan dan mengalami suatu modernisasi perekonomian, sosial
dan politik yang semakin dalam dipaksakan oleh penjajah Barat. Seluruh proses
peralihan dari tradisionalitas ke modernitas ditandai dengan goncangan-goncangan
sosial, kerusuhan dan konflik tiada henti dan silih berganti, seperti perlawanan tahun
1888 di Banten.
2 https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Banten-city-Java-1724.jpg3 Milenarianisme (kadang-kadang dieja milenarisme) adalah suatu keyakinan oleh suatu kelompok atau
gerakan keagamaan, sosial, atau politik tentang suatu transformasi besar dalam masyarakat dan setelah itu segala sesuatu akan berubah ke arah yang positif (atau kadang-kadang negatif atau tidak jelas). Milenialisme adalah suatu bentuk Milenarianisme spesifik berdasarkan suatu siklus seribu tahunan.
Kelompok-kelompok milenarian biasanya mengklaim bahwa masyarakat masa kini dan para penguasanya korup, tidak adil, atau menyimpang. Karena itu mereka percaya bahwa mereka akan segera dihancurkan oleh suatu kekuatan yang dahsyat. Sifat yang berbahaya dari status quo ini selalu dianggap tidak dapat diubah tanpa adanya perubahan dramatis yang telah diharapkan. Lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Milenarianisme
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
10
Perlawanan-perlawanan yang terjadi di hampir semua keresidenan di Jawa dan
di daerah-daerah Kerajaan memperlihatkan karakteristik yang sama. Perlawanan-
perlawanan itu bersifat tradisional, lokal atau regional, dan berumur pendek.
Perlawanan-perlawanan itu semuanya tidak menunjukkan ciri-ciri modern seperti
terorganisir, ideologi-ideologi modern, dan agitasi yang meliputi seluruh negeri.
Bagian terbesar dari perlawanan-perlawanan rakyat itu bersifat lokal dan tak
mempunyai hubungan satu sama lain. Semua perlawanan itu disusul oleh tragedi-
tragedi penumpasan yang sama.
Perlawanan-perlawanan yang begitu besar jumlahnya, yang tejadi di Pulau Jawa
selama kurun waktu 1840 sampai 1875 telah dicatat oleh de Waal, mantan sekretaris
pemerintah Hindia Belanda. Menurut dia, hanya pada tahun-tahun 1844, 1847,
1860, 1863, 1871 dan 1874 sajalah tidak terjadi perlawanan. Daftar itu tidak lengkap,
sejumlah perlawanan tidak dicantumkan, seperti tahun 1864 di Klaten; 1865 di
Cirebon, Tegal, Yogyakarta, dan Kedu; tahun 1872 di Pekalongan.
Gerakan-gerakan dengan sifat yang khusus dikelompokkan secara terpisah.
Ini merupakan satu pertanda, bahwa pemerintah penjajah sudah menyadari arti
gerakan semacam ini. De Waal selama beberapa waktu bekerja sebagai Sekretaris
Pemerintah Pusat di Hindia Belanda, sehingga ia dapat menggunakan dokumen-
dokumen resmi.4
Perlawanan terhadap Belanda di abad XIX muncul juga di berbagai daerah seperti
Perang Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro, Perang Padri di bawah
pimpinan Imam Bonjol yang bergejolak di Sumatera Barat, Perang Batak dan Perang
Aceh di ujung utara Pulau Sumatera.5
Dampak Perlawanan Muslim Banten Dalam usaha melawan penjajahan yang telah lama dipersiapkan tersebut,
para pejuang Banten berhasil menduduki ibu kota Cilegon kemudian menjalar ke
segala penjuru daerah itu. Namun mereka tidak bisa bertahan lama, para pejuang
yang sebagian besar adalah petani tidak terbiasa bertempur tidak siap menghadapi
pertempuran jangka panjang. Selain itu karena tidak ada rencana pertahanan yang
matang sehingga mudah dipatahkan.6
Banyak korban yang berjatuhan, karena besarnya kekacauan yang ditimbulkan
terhadap penjajah oleh para pejuang muslim Banten tahun 1888. Paling tidak
17 pejabat pemerintah penjajah Hindia Belanda tewas, dimana 7 diantaranya
adalah orang Belanda, dan sisanya pribumi, salah satunya Wedana Cilegon, Raden
Tjakradiningrat serta seorang Jaksa. Dari pihak pejuang dinyatakan 11 orang gugur,
diantaranya Kiyai Haji Wasid, Haji Ismail, Haji Usman, dan kesemuanya merupakan
tokoh perlawanan tersebut, selain itu 19 orang gugur dalam perperangan tersebut.
Perang tersebut terjadi selama tiga minggu. Setelah peperangan reda 94 orang
pejuang yang tertangkap dibuang oleh para penjajah ke berbagai daerah.
4 De waal (1876, hal. 228-229), dalam; Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Penerbit Komunitas Bambu Depok, Cetakan Pertama, Februari 1984. h.25
5 Parlindungan Siregar, Perjuangan Rakyat Banten op.cit. h.566 Sartono Kartodirjo, op.cit. h.257-258
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
11
Korban luka-luka oleh pejuang: 7 orang. Pejuang yang gugur: 30 orang, 11 di
antaranya dihukum gantung. Pejuang yang luka-luka: 13 orang. Pejuang yang
dibuang: 94 orang. Tempat pembuangan: Tondano, Gorontalo, Padang, Kupang,
Salayar, Kema (Minahasa), Padang Sidempuan, Maros, Ternate, Ambon, Muntok,
Payakumbuh, Banda, Bantaeng, Manado, Fort de Kock (Bukittinggi), Bengkulu,
Pariaman, Saparua, Pacitan, Balangnipa (Sinjai, Sulawesi Selatan).
Menurut laporan resmi, 204 orang ditangkap, 94 dibebaskan (dibuang), 89 orang
dihukum kerja paksa antara 15-20 tahun, dan 11 orang dihukum gantung oleh
pemerintah penjajah Hindia Belanda. Mereka dihukum gantung di depan umum, di
sebuah lapangan kira-kira 2 Km di utara Cilegon. Namun anehnya hampir tidak ada
orang yang datang menyaksikan eksekusi tersebut. Yang menarik, pada hari pertama
pelaksanaan hukuman gantung terhadap para pejuang, para penduduk berpuasa
(mungkin sebagai tanda simpati kepada para tokoh pejuang yang dihukum oleh
penjajah).7
Meskipun perjuangan kaum perlawanan dapat dikalahkan oleh penjajah, namun
sampai tahun 1889 pemerintah penjajah belum berhasil sepenuhnya membersihkan
Banten dari pengaruh perlawanan yang terjadi pada tahun 1888. Pemerintah penjajah
masih disibukkan dengan berbagai berita mengenai adanya rencana perlawanan
baru. Mereka berencana akan membunuh semua pejabat penjajah baik pribumi
maupun Eropa.
Ada dendam yang semakin membara di kalangan rakyat dengan eksekusi dan
pembuangan para haji, pemimpin yang mereka hormati. Bahkan ada sekelompok
muslim di Serang yang merasa bersalah dengan kegagalan perlawanan terhadap
Belanda pada Juli 1888. Mereka saat terjadi pertempuran belum terlibat langsung
dengan peperangan dengan pasukan penjajah. Mereka merasa bersalah dan malu
karena setengah-setengah dalam perjuangan dan meninggalkan para pemimpin
mereka.
Peristiwa 1888 membuat para pejabat pemerintah penjajah terjangkiti fobia
haji. Sikap fobia haji ini membuat mereka terus memburu dan memata-matai para
haji di Banten. Banyak haji yang kemudian ditangkap, dipenjara dan dibuang oleh
penjajah. Contohnya Haji Mohammad Asid dari Bendung, Haji Abu Bakar dari
Kanganteran, Haji Mohamad Sangadeli dari Kaloran, Haji Mohamad Asnawi dari
Bendung, Haji Muhidin Haji Mohamad Kanapiah dari Trumbu, Haji Mohamad Arsad
Tawil dari Tanara, Kiai Mohamad Ali dari Mandaya, Haji Ahmad (penhulu Tanara),
Haji Tubagus Kusen (penghulu pengadilan distrik di Cilegon), dan Haji Mohamad
Arsad (kepala penghulu di Serang).8
Operasi pengejaran dilancarkan sampai ke Jedah dan Mekah, di mana kiai-kiai
Banten yang terkemuka –seperti Haji Abdul Karim dan Haji Marjuki– terus dimata-
matai oleh agen Belanda. Belanda menganggap kedua haji itu sebagai dalang utama
gerakan perlawanan.
7 Sartono Kartodirjo, op.cit. h.2908 Sartono Kartodirjo, op.cit. h.292
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
12
Menurut Sartono, dalam usaha penjajah untuk pengejaran dan pembersihan
terhadap orang yang terkait perlawanan telah terjadi semacam terorisme, setiap
informasi yang diberikan oleh setiap agen sudah cukup menjadi alasan penangkapan.
Ada agen mata-mata yang hanya mencari keuntungan dengan memberi informasi,
sumpah palsu dan juga pemerasan, mereka bekerjasama dan membentuk sebuah
kongsi dalam menjalankan aksi kejahatannya.9
Residen Banten membuang sekian banyak orang yang dicurigai sebagai
pejuang, yang tidak dapat dijatuhi hukuman oleh pengadilan karena tidak ada
bukti. Kebanyakan di antara orang-orang yang dicurigai itu dibuang semata-
mata karena mereka dianggap membahayakan ketentraman dan ketertiban di
keresidenan itu. Setiap orang yang pernah menghadiri pertemuan atau pengajian
yang diselenggarakan oleh salah seorang pemimpin pejuang didakwa sebagai
pemberontak dan dinyatakan bersalah.10
Tidak lama setelah perlawanan Cilegon, emosi yang terpendam di kalangan
pejabat-pejabat Eropa meledak menjadi tindakan pengejaran yang membabi buta;
di seluruh Pulau Jawa mereka sibuk melancarkan pemburuan yang tak kenal ampun
terhadap para ulama dan guru agama. Kyai dan santri ditangkapi, diperiksa dan
kadangkala dibuang. Beberapa Bupati mengeluarkan larangan mengajarkan kitab-
kitab atau mendirikan tarekat di daerah mereka.11
Aneksasi Penjajah Belanda atas Kesultanan Banten Dua dekade terakhir abad ke-19 dan dua dekade pertama abad ke-20 dikenal
sebagai “Zaman Penjajahan” atau “Zamana Imperialisme”. Itulah zaman keemasan
pembangunan Imperium Eropa. Para Penjelajah dan komandan Inggris dan Prancis
melakukan perluasan kekuasaan pemerintah mereka di Afrika. Negara-negara
merdeka di Asia terancam bahaya dan akan dijadikan provinsi Eropa.
Sejak 1870 penjajah Belanda mulai memaksakan klaimnya atas kedaulatan dan
menghukum penguasa lokal yang mengabaikan perintah Batavia. Mereka khawatir
kalau mereka tidak bisa mngendalikan kepulauan tersebut, akan menjadi alasan bagi
penjajah Eropa lainnya untuk mengambil alih daerah jajahan mereka. 12
Pada masa berikutnya Belanda semakin memperluas pengaruh kekuasaannya
hampir ke seluruh kepulauan Nusantara. Pemerintah Batavia semakin dalam
mendekte dan mencampuri pemerintahan raja-raja lokal. Mereka diharuskan
menandatangani pernyataan yang isinya bahwa mereka memberikan (menyerahkan)
kekuasaan mereka pada pemerintah penjajah untuk memberikan petunjuk pada
mereka mengenai cara menjalankan pemerintahan mereka. Lebih dari 250 penguasa
lokal (baik besar maupun kecil) dipaksa menanda tangani pernyataan dan dengan
demikian sepenuhnya takluk pada pemerintah penjajah Belanda.13
9 Sartono Kartodirjo, op.cit. h.288 dan 28910 Sartono Kartodirjo, op.cit. h.33711 Sartono Kartodirjo, op.cit. h.33912 Bernard H.M. Vlekke, Nusantara, Sejarah Indonesia, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) Jakarta 2016
h.295-29613 Bernard H.M. Vlekke, op.cit. h.307
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
13
Sejak didirikan oleh Sunan Gunung Jati, Banten sebagai sebuah kesultanan
sudah sangat menarik bagi para pedagang untuk merapatkan kapalnya di pelabuhan
Banten, baik yang berasal dari Eropa maupun Asia termasuk Nusantara. Kemudian,
pada era sultan-sultan berikutnya; Sultan Maulana Hasanuddin, Sultan Maulana
Yusuf sampai Sultan Ageng Tirtayasa, menurut Claude Guillot, Banten masih
menarik karena 1) sepenuhnya merdeka; 2) merupakan periode yang cemerlang, dan
3) Sultan masih berkuasa penuh.
Sekalipun demikian, negara satelitnya, Jayakarta sudah lebih dulu jatuh ke tangan
J.P. Coen pada 1619 dan mengganti namanya menjadi Batavia. Artinya, upaya VOC
menggerogoti kekuasaan kesultanan Banten sudah dimulai, di antaranya dengan
berupaya mengurangi peran pelabuhan Banten.
Menurut Hosein Djayadiningrat Pelabuhan Banten baru berkembang setelah
berkuasanya Kesultanan Islam tahun 1527 dan bahwa sebelum dinasti Islam,
pelabuhan ini tidak lebih dari sebuah “kampung yang tak penting”, sama dengan
Pelabuhan Kalapa berkembang dengan pesat sejak jatuh ke Tangan Fatahillah
pada tahun 1527.14
Upaya-upaya VOC di Batavia yang sudah dikuasainya menggembosi peran
pelabuhan Banten. Hal ini sangat dirasakan oleh Sultan Abdul Fath (Sultan Ageng
Tirtayasa) yang mulai berkuasa tahun 1651. VOC menghalangi usaha Banten
memajukan perdagangan. Namun, sultan tetap dianggap berhasil dalam bidang
perdagangan dengan adanya ekspor-impor antara Banten dan Persia, Surat,
Koromandel, Benggala, dan Siam. Dia juga membangun irigasi untuk pertanian dan
persawahan. Suasana damai dan tenteram berjalan hinggga tahun 1676 M.15
Sebelum diambil alih oleh Belanda, kesultanan Banten merupakan sebuah negeri
Islam yang dipimpin oleh seorang Sultan dan menerapkan sistem hukum Islam yang
berdasarkan Al Qur’an. Dasawarsa sebelum Kesultanan Banten dianeksasi Belanda,
Banten pernah menjadi negeri yang sangat kuat dan makmur dengan kota pelabuhan
terbesar di Indonesia. Ketika Belanda datang untuk menjajah dan mendirikan kota
Batavia, Banten semakin mundur. Masa pemerintahan sultan-sultan terakhir penuh
dengan perselisihan-perselisihan dan intrik-intrik (yang melibatkan campur tangan
Belanda), sehingga anarki dan bencana-bencana merajalela. Karena dirongrong
oleh perpecahan di dalam negeri, kesultanan dan penguasanya tidak dapat melawan
tekanan-tekanan oleh pihak Belanda.
Akibat politik adu-domba yang dilakukan kompeni Belanda di Banten, maka
terjadi perang antar ayah dan anak, antara Sultan Haji dengan Sultan Ageng
Tirtayasa. Melalui tipu daya licik, akhirnya Sultan Ageng dapat ditangkap dan
dipenjarakan oleh penjajah sampai akhir hayatnya. Di Bawah pimpinan Sultan Haji,
Kesultanan Banten semakin dalam jatuh di bawah perangkap dan pengaruh Belanda
dengan menandatangani perjanjian pada 17 April 1684 yang sangat menguntungkan
penjajah.
14 Claude Guillot, Banten Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII. Cetakan kedua. Jakarta:KPG. 2011. Hlm.58 dalam: Parlindungan Siregar, Perjuangan Rakyat Banten op.cit. h.58
15 Taufik Abdullah dkk. Sejarah Ummat Islam Indonesia. Jakarta:Majelis Ulama ndonesia.1991. Hlm.82-83 dalam: Parlindungan Siregar, Perjuangan Rakyat Banten op.cit. h.58
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
14
Sampai kesultanan Banten dibubarkan Raffles, hutang kesultanan akibat
perjanjian tahun 1684 tidak pernah lunas terbayar. Hutang sultan pada penjajah
sangat besar karena harus membayar biaya perang antara Belanda melawan
kesultanan Banten.
Dari sultan ke sultan berikutnya setelah perjanjian 1684, Banten semakin dalam
tenggelam ke tangan penjajah. Tahun 1809, Deandels menyerang dan membakar
habis keraton Kesultanan Banten di Surosowan, Sultan Syafiudin ditangkap dan
dibuang ke Ambon, sedangkan patihnya dihukum pancung. Penyerbuan Belanda
terhadap keraton Surosowan memakan waktu lama sampai tahun 1832; bangunan-
bangunan kesultanan dihancurkan, lantai ubinnya dipindahkan ke bangunan milik
penjajah di Serang.16
Setelah aneksasi Kesultanan Banten oleh Daendels pada tahun 1808, sultan dan
alat-alat politiknya dipertahankan akan tetapi ditempatkan di bawah pengawasan
ketat pemerintah Belanda. Banten dinyatakan sebagai daerah kekuasaannya dan luas
wilayahnya sangat diperkecil. Sultan Abu'n Natsr Mohamad Ishak Zainu'l Mustakin
dibuang ke Ambon dan digantikan oleh Sultan Abu'l-Mafakhir Mohamad Aliudin.
la diperbolehkan memakai gelar sultan, akan tetapi pada kenyataannya ia hanya
merupakan semacam boneka penjajah, karena wilayah kesultanan Banten sudah
dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan penjajah Belanda.
Pada tahun 1832, sultan yang terakhir dibuang ke Surabaya di mana ia hidup
bersama dengan dua orang pendahulunya. Peranan pribadi mereka dalam percaturan
politik di Banten telah dihapuskan, akan tetapi kesultanan masih terus mempunyai
arti simbolik bagi masyarakat Banten selama abad XIX.17 Maka pada masa setelahnya
akan dijumpai banyak usaha dilakukan untuk mengembalikan kejayaan kesultanan
Banten yang didukung oleh rakyat Banten. Mesyarakat Banten yang dikenal kental
keislamannya merindukan tegaknya sistem Islam dan diperintah oleh penguasa
Muslim. Oleh karenanya mereka menolak dan selalu berontak menentang sistem
yang dipaksakan oleh penjajah Belanda.
Kesultanan Banten, yang didirikan dalam tahun 1520 oleh pendatang-pendatang
dari Kesultanan Demak di Jawa Tengah dan dihapuskan oleh Daendels pada tahun
1808, meliputi daerah pesisir utara sebagai intinya, sedangkan wilayah-wilayahnya
terdiri dari daerah pegunungan Banten, bagian barat Bogor dan Jakarta, dan juga
Lampung di Sumatera bagian selatan. Daerah yang oleh pelawat-pelawat Portugis
dinamakan Sunda Bantam itu, sejak zaman dulu merupakan sebuah pusat
perdagangan lada; ia maju pesat setelah Malaka dirampas oleh orang-orang Portugis
pada tahun 1511, namun kemudian mengalami kemunduran dengan cepat sebagai
pusat perdagangan sejak Belanda mendirikan Batavia dalam tahun 1619.
Banten, yang terletak di bagian paling barat Pulau Jawa, luasnya sekitar 114
mil persegi. Menurut angka statistik resmi, penduduk Banten dalam tahun 1892
berjumlah 568.935 jiwa; daerah yang paling padat penduduknya adalah distrik
Cilegon. Berkaitan dengan kepadatan penduduk, daerah itu dapat dibagi menjadi dua
16 Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari, Catatan Masalalu Banten, Penerbit Saudara Serang, Cetakan ke-3, 1993. h.179-180
17 Sartono Kartodirjo, op.cit. h.77-78
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
15
bagian yang sangat berbeda satu sama lain. Bagian selatan yang merupakan daerah
pegunungan, bagian terbesar terdiri dari hutan dan sangat jarang penduduknya.
Daerah Selatan jarang menjadi ajang peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah
Banten. Sebaliknya, Banten Utara dalam dasawarsa-dasawarsa terakhir abad XIX
tanahnya sebagian besar sudah digarap dan karenanya penduduknya jauh lebih
padat. Banyak kota di daerah ini, di antaranya Banten, Tamiang dan Pontang sudah
sangat tua usianya; kelahirannya dapat ditelusuri kembali sampai ke abad ke-16.18
Pada masa kejayaannya Banten merupakan kota terbesar di Asia Tenggara yang
makmur. Guillot, menyimpulkan bahwa pada tahun 1678, berdasarkan jumlah
penduduk dan kemakmurannya, Banten merupakan kota terbesar di Nusantara,
dan bahkan termasuk salah satu kota terbesar di dunia pada masa itu.19 Maka tak
heran masyarakat muslim Banten begitu merindukan kembalinya kejayaan Banten
di bawah pemerintahan Islam yang telah sukses membawa kemakmuran, ketertiban,
keamanan dan keadilan masyarakat Banten. Dengan kenyataan itu, masyarakat
muslim Banten selalu berusaha tanpa henti melawan pendudukan dan penjajahan
Belanda yang telah melenyapkan institusi pemerintahan Islam, kesultanan Banten.
Tradisi Perlawanan di BantenPerlawanan rakyat Banten pada abad XIX merupakan kelanjutan dari abad-
abad sebelumnya. Sebelumnya Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683 M) gigih
mempertahankan Kesultanan Banten dari kejahatan adu domba yang dilakukan
oleh kompeni (VOC) antara dia dan putra mahkota, Sultan Haji, yang berujung
tergerusnya kekusaan kesultanan oleh kompeni.20
Sepanjang abad XIX Banten merupakan gelanggang perlawanan, sehingga
cukup alasan untuk menamakannya sebagai tempat persemaian perlawanan. Satu
pandangan sepintas atas peta sejarah Banten Utara menunjukkan bahwa di sana
tak ada satu pun distrik yang tidak terkena dampak kerusuhan-kerusuhan sosial.
Sesungguhnya, perlawanan di Banten abad XIX bukan merupakan gejala yang
sporadik, melainkan merupakan ciri yang umum, endemik dan simptomatik dari
masyarakat Banten.
Catatan sejarah memberikan kesan adanya perlawanan-perlawanan rakyat yang
silih berganti, dengan kadar kehebatan dan lingkup yang berbeda-beda. Ada tradisi
yang sering disebut para sejarawan Belanda sebagai "tradisi pemberontakan".21
Selalu terjadi perlawanan yang berulang sejak penghapusan Kesultanan Banten
pada 1808. Sejumlah serangan kecil dan besar terus menghantui penjajah Belanda
di Banten. Taktik gerilya membuat pemerintah penjajah tidak berdaya mengatasi
situasi secara efektif.
18 Ibid. h. 3119 Claude Guillot, Banten, Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII. Cetakan pertama. Kepustakaan Populer
Gramedia (KPG) Jakarta 2008. h.10620 Parlindungan Siregar, Perjuangan Rakyat Banten op.cit. h.5621 Sartono Kartodirjo, op.cit. h. 113
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
16
Pada tahun 1815 serangan tiada henti itu memuncak dengan pengepungan
keraton Sultan di Pandeglang. Gerakan perlawanan itu dipimpin oleh Noriman
yang juga dikenal sebagai Sultan Kanoman. Meskipun penjajah berhasil memukul
mundur serangan pasukan perlawanan, pasukan penjajah sulit mengalahkan
mereka sepenuhnya selama mereka mendapat dukungan dan kesetiaan rakyat.22
Seperti dikatakan beberapa tahun kemudian oleh seorang yang hidup di
zaman itu: setelah kesultanan dihapuskan di Banten, tidak ada tahun yang lewat
tanpa perlawanan. Data-data yang tidak lengkap, menyebutkan setidak-tidaknya
empat perlawanan besar terjadi pada tahun-tahun dua puluhan, yakni yang terjadi
dalam tahun-tahun 1820, 1822, 1825 dan 1827.23
Dengan berbagai peristiwa perlawanan dan kekerasan yang tak pernah henti
di Banten selama Abad ke-19, setelah penghapusan kesultanan Banten, Sartono
menyimpulkan bahwa, kekuasaan Belanda di Banten memicu kerusuhan dan
perlawanan di Banten pada Abad ke-19. Dampak penjajahan Barat mempercepat
disintegrasi masyarakat tradisional dan meningkatkan kerusuhan umum.24
Usaha meniadakan hal-hal yang dirasakan tidak adil, yang menyakitkan hati
atau yang dianggap sebagai penindasan melalui perlawanan bersenjata sudah
merupakan tradisi di Banten. Abad XIX merupakan abad kebangkitan revolusionisme
lokal dan terutama antara tahun 1800 sampai tahun 1850 huru-hara yang bersifat
perlawanan terhadap penjajah susul-menyusul secara teratur, dan mencapai puncak
intensitasnya pada tahun 1850. Kerusuhan-kerusuhan itu masih merupakan hal yang
endemik selama dua dasawarsa berikutnya. Kemudian menyusul periode gerakan-
gerakan lebih lanjut yang memuncak pada tahun 1888.25
Peristiwa-peristiwa perlawanan rakyat Banten didukung, dipelopori dan
dipimpin oleh para Ulama, kaum bangsawan, dan Jawara bahkan kaum wanita
Banten. Diantaranya adalah Nyai Gumpara, Tumenggung Muhammad, Demang
dari Menes, Mas Jakaria, Ratu Bagus Ali, Pangeran Radli, Mas Jebeng (putera Mas
Jakaria), Mas Anom, Mas Serdang, Mas Adong, Mas Anjung (Puteri Mas Jakaria), Nyai
Permata (Ibu Nyai Gumpara), Raden Yintan, Pangeran Lamir, Sarinam, Mas Derik,
H. Wakhia, Tubagus Ishak, dan Mas Diad.26
Antara 1810 sampai 1840, terjadi sebelas kali perlawan bersenjata rakyat Banten,
misalnya seperti perlawanan Nyai Gumpara pada 1818 untuk mengembalikan
kesultanan Banten dan penyerangan ke Anyer dengan kekuatan 500 orang pada
1822. Pada akhir tahun 1825 Tumenggung Muhammad Demang dari Menes
dengan dukungan para kiyai dan tokoh agama serta para santrinya memimpin
perlawanan bersenjata menentang pemungutan pajak yang memberatkan. Letnan
de Quay mematahkan perlawanan ini yang membuat Tumenggung Muhammad
mengundurkan diri melintasi puncak gunung Pulosari melalui perbatasan
Pandeglang.
22 Sartono Kartodirjo, op.cit. h. 12123 Sartono Kartodirjo, op.cit. h. 12324 Sartono Kartodirjo, op.cit. h. 14725 Sartono Kartodirjo, Op.Cit. h.35026 Parlindungan Siregar, Perjuangan Rakyat Banten op.cit. h.57
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
17
Dua tahun kemudian muncul lagi perlawanan bersenjata dari Mas Jakaria. Pada
1811, ia pernah menduduki Pandeglang yang kala itu menjadi kota kraton, tetapi
ia tertawan. Namun pada tahun 1927, ia berhasil melarikan diri. Banyak hadiah
disediakan bagi yang dapat menangkapnya, tetapi tetap gagal bahkan pada tahun
ini ia kembali menyerbu Pandeglang dan berhasil menewaskan anggota-anggota
detasemen tentara Belanda. Pasukan Belanda secara membabi buta membakari
rumah penduduk untuk memaksa pengakuan penduduk dimana keberadaan
Mas Jakaria. Barulah beberapa bulan kemudian ia berhasil ditangkap dan dijatuhi
hukuman mati dengan memenggal lehernya dan membakarnya.
Mas Jakaria dianggap sebagai pahlawan dan dikeramatkan oleh masyarakat.
Keturunan Mas Jakaria banyak yang muncul menjadi pemimpin-pemimpin
perlawanan pada masa berikutnya. Setelah perlawanan Mas Jakaria berakhir hampir
setiap tahun muncul kerusuhan atau perlawanan yang dipimpin oleh ulama atau
para haji. Misalnya perlawanan yang dipimpin Ngabehi Adam, Haji Yamin, Ngabehi
Utu, dan Ngabehi Ikram.
Pada tahun 1815 pasukan Mas Bangsa, Pangeran Sane, dan Nuriman yang dikenal
sebagai Pangeran Kanoman mengepung Keraton Sultan di Pandeglang. Pada tahun
1818 dan awal tahun 1819, Haji Tassin, Moba, Mas Haji, dan Mas Raka memimpin
perlawanan di Banten Selatan dan berhasil membunuh beberapa pamongpraja di
Lebak.
Tahun 1820, 1822, 1825 dan 1827 muncul lagi perlawanan yang dipimpin Mas
Raye, Tumenggung Muhammad dari Menes, Mas Aria, dan dibantu oleh para ulama.
Seorang wanita Banten juga tampil memimpin perlawanan pada tahun 1836. Wanita
tersebut ialah Nyai Gumparo atau Nyai Gumparan di Balaraja. Meskipun perlawanan
gagal, tetapi pengikut-pengikut Nyai Gumparan dapat meloloskan diri dan berusaha
meneruskan perjuangan, perlawanan terhadap penjajah.27
Pada tahun-tahun 1831, 1833, 1836, dan 1839 terjadi banyak perlawanan bersenjata.
Pemimpin- pemimpin yang lolos dari perlawanan tahun 1936 adalah Ratu Bagus Ali
tahun 1936 adalah Ratu Bagus Ali dikenal sebagai Kiyai Gede, Pangeran Radli dan
Mas Jebeng, putera Mas Jakaria. Rakyat bersemangat lagi melawan penjajah ketika
ketiga putra Mas Jakaria melarikan diri dari penjara Banyuwangi; Mas Anom, Mas
Serdang, dan Mas Andong. Salah seorang wanita yang memimpin perlawanan Nyai
Mas Anjung, puteri Mas Jakaria, ikut pula Mas Ubid, kemenakan dan menantu Mas
Jakaria. Raden Yintan, Pangeran Lamir, dan seorang wanita Sarinam juga menjadi
pemimpin perlawanan bersenjata.
Pada tanggal 13 Desember 1845, para pejuang Banten merebut rumah tuan tanah
di Cikandi Udik dengan membunuh tuan tanah Kamphuys, istrinya dan lima anaknya.
Peristiwa ini disebut peritiwa Cikandi, semua orang Eropa Cikandi menemui ajalnya.
Sebuah detasemen bejumlah 60 orang berhasil melumpuhkan perlawanan di Cikandi.
Sebenarnya, peristiwa ini dilakukan sebagai isyarat perlawanan di seluruh Banten.
27 Nina H Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara, Pustaka LP3ES Jakarta, 2004. h.101-102
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
18
Mereka bersekutu dengan pemimpin kelompok Banten Selatan yang dipimpin oleh
Nyai Permana, ibu Nyai Gumpara, pemimpin perlawan tahun 1836.
Pada 24 Pebruari 1850, Raden Bagus Jayakarta, patih Serang, mencetuskan
perlawanan dan menewaskan Demang Cilegon beserta stafnya. Raden Bagus
Jayakarta didukung oleh pemuda-pemuda antara lain Tubagus Iskak, Mas Derik, Haji
Wakhia, dan Penghulu Dempol. Di Lampung, banyak orang Banten yang melarikan
diri dari Banten untuk menghindar dari pengejaran penjajah atau untuk mengelak
dari penindasan para pejabat. Salah seorang diantaranya adalah orang kaya H.
Wakhia dari Budang Batu yang dikejar-kejar polisi dan bersembunyi di Lampung
kemudian menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Pada tahun 1847 ia kembali ke desanya. Ia dipanggil residen karena tidak mau
membayar pajak tapi ia tidak mengindahkannya. H. Wakhia turut serta dalam
merencanakan perlawanan dan seruan H. Wakhia yang dibantu oleh Penghulu
Dempol untuk melancarkan Perang Sabil disambut dengan semangat yang menyala-
nyala. H. Wakhia dan penghulu Dempol mengambil posisi di sebelah barat bukit-
bukit Simari Kangen, kelompok yang dipimpin Mas Derik dan Nasid berada di
pegunungan sebelah timur Pulau Merak, sedangkan Tubagus Ishak dan Mas Diad
dan pasukannya beroperasi di distrik Banten.
R.B. Jayakarta, pengambil inisiatif berada di belakang layar. Lebih kurang tiga
bulan lamanya pasukan-pasukan rakyat maju mundur diselingi seranga-serangan
sporadik terhadap kota-kota kecil dan desa seperti Tanjak dan Anyer.
Dalam menghadapi pasukan kolonial pada tanggal 3 Mei 1850 di Tegalpapak
mereka mengalami kekalahan dan beberapa pemimpin mereka ditawan. H. Wakhia
dan Tubagus Ishak berhasil meloloskan diri ke Lampung dan di daerah ini ia kembali
ikut perlawanan terhadap penjajah Belanda yang dilancarkan Raden Intan dan
Pangeran Singabranta. H. Wakhia akhirnya ditangkap dan dihukum mati. Anak dan
isterinya menetap di desa asal H. Wakhia yang kemudian dikenal dengan nama
Arjawinangun. Di tempat ini mereka sangat dihormati.
Antara tahun 1851 sampai 1871 masih sering terjadi perlawan bersenjata, seperti
peristiwa Usup di tahun 1851, peristiwa Pungut di tahun 1852, kerusuhan di Kolelet
di tahun 1866 dan kasus Jayakusuma di tahun 1869.28
Itulah deretan usaha para pejuang muslim Banten yang tiada henti berusaha
mengusir penjajah, mencapai kemerdekaan dan mendirikan pemerintahan Islam.
Mereka ingin mengulangi kesuksesan kesultanan Banten yang berjaya, aman, adil
dan makmur dengan sistem Islam.
Karakteristik Masyarakat Banten yang Mendalam KeislamannyaOrang-orang Jawa terdapat di bagian Banten utara, orang sunda umumnya di
Banten selatan, sedangkan orang-orang Baduy mendiami daerah pegunungan di
selatan. Bagian utara, yang membentang dari Anyer sampai Tanara. Penduduk
28 Parlindungan Siregar, Perjuangan Rakyat Banten op.cit. h.60-61
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
19
daerah itu merupakan keturunan orang-orang Jawa yang datang dari Demak dan
Cirebon dan dalam perjalanan waktu berbaur dengan orang-orang Sunda, Bugis,
Melayu dan Lampung.
Selain ada perbedaan-perbedaan dalam hal bahasa dan adat-istiadat, maka
dalam hal penampilan fisik dan watak orang Banten Utara menunjukkan perbedaan
yang nyata dengan orang Sunda dan orang Jawa dari Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di kalangan orang-orang Belanda, orang Banten Utara terkenal fanatik dalam
hal agama, bersikap agresif dan mempunyai semangat jihad (perlawanan) yang
tinggi. Mereka tidak seperti petani di Jawa Tengah bagian selatan, melainkan
merupakan kelompok-kelompok perantau yang cerdas. Di antara unsur-unsur
yang merupakan ramuan yang membentuk kebudayaan mereka, hampir tak
terdapat ciri-ciri peradaban Hindu-Jawa. Dalam kenyataannya, pengaruh Islam
sangat mendalam.
Perbedaan-perbedaan yang nyata sekali antara Banten Utara dan Banten
Selatan itu tak disangsikan lagi diantaranya disebabkan oleh perbedaan-perbedaan
lingkungan alam, satu faktor ekologis, dan juga oleh perbedaan-perbedaan yang
bersifat sosio-kultural atau historis. Lingkungan alam sangat kontras antara utara
dan selatan. Sebagian besar Banten Selatan terdiri dari pegunungan; di sebelah Barat,
pegunungan itu dilanjutkan dari gugusan gunung-gunung di selatan terus menuju
ke utara sampai ke puncak Gunung Gede.
Di lereng-lereng gunung dan di dataran-dataran rendah Banten Utaralah terdapat
sebagian besar daerah persawahan yang beririgasi. Menurut tradisi setempat, sawah-
sawah itu di masa lampau telah dibuka di dataran bagian utara oleh orang-orang
Jawa yang pindah ke sana dan oleh karenanya tanah-tanah milik sultan terdapat di
sana.
Oleh karena daerah-daerah pegunungan dan pebukitan di selatan kering dan tak
dapat diairi dengan irigasi, maka di sana orang menanam padi di tanah kering, yang
dinamakan tipar atau huma. Tipar juga terdapat di daerah-daerah pebukitan di utara,
akan tetapi tanaman di sana adalah tebu, kacang, kapas dan kelapa. Jelaslah bahwa
faktor- faktor ekonomi lebih menguntungkan bagian utara, yang meliputi daerah-
daerah penghasil beras utama dan letaknya dekat dengan jalur-jalur dan pusat-pusat
perdagangan.29
Mayoritas Muslim Banten PetaniPada tahun 1883, disamping 556.438 penduduk lokal, Banten didiami oleh 360
orang berkebangsaan Eropa, 1.479 penduduk Cina dan 21 orang berketurunan Arab
Sedangkan untuk wilayah Lampung, pada tahun 1883 dihuni oleh 128.939 penduduk
asli, 70 orang Eropa, 255 keturunan Cina, dan 154 keturunan Arab.30
Di Banten, perekonomian utamanya bersifat agraris, penduduk desa mayoritas
adalah petani dan penanam padi, entah sebagai pemilik tanah, entah sebagai
29 Ibid. h.32-3330 Erlita Tantri, Letusan Krakatau 1883: Pengaruhnya Terhadap Gerakan Sosial Banten 1888, Jurnal Masyarakat
& Budaya, Volume 16 No. 1 Tahun 2014 h.197
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
20
penggarap dengan bagi hasil. Namun demikian, ada sebagian penduduk desa
mencari nafkah sebagai pedagang, nelayan atau tukang, atau sebagai pengusaha
industri.
Ada juga petani yang melakukan berbagai usaha dan pekerjaan untuk memperoleh
penghasilan tambahan. Dalam kenyataannya, mereka melakukan pekerjaan-
pekerjaan itu tidak secara penuh melainkan sambilan saja, atau melakukannya
selama tidak ada pekerjaan di sawah atau ladang. Mayoritas yang sangat besar dari
rakyat masih tetap petani, sementara sebagian kecil saja dari seluruh penduduk yang
bekerja mencari nafkah di bidang perdagangan dan kerajinan tangan.31
Pengaruh Ulama di BantenBerdirinya Kesultanan Banten tidak lepas dari peranan para ulama, yang pada
masa itu berjuang untuk membendung penyebaran agama Kristen oleh Portugis
dan menolak kehadiran Portugis yang gigih berusaha menghancurkan Islam dalam
semangat Perang Salib. Pendiri Kesultanan Banten, Syarif Hidayatullah, adalah
seorang ulama yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Pangeran Hasanuddin,
juga seorang da’i yang berhasil.32 Dalam perluasan daerah kekuasaan Banten yang
dilakukan oleh para Sultan Banten, semuanya bermotifkan keagamaan untuk
penyebaran agama Islam (dakwah), walaupun tidak menutup kemungkinan adanya
motif ekonomi, motif kekuasaan, atau motif lainnya, seperti penyerangan Banten ke
Lampung dan Solebar pada masa Maulana Hasanuddin, penyerangan Palembang
pada masa Sultan Muhammad dan juga penyerangan ke Padjadjaran pada masa
Maulana Yusuf.
Dalam birokrasi kerajaan, dikenal adanya Kadhi atau Hakim Agung yaitu seorang
ulama yang mempunyai kedudukan menentukan dalam setiap keputusan penting.
Keadaan demikian berlangsung sampai dikenalkannya sistem sekuler Barat oleh
penjajah Belanda. Pemerintah penjajah berusaha untuk memisahkan antara urusan
kenegaraan dan urusan keagamaan disesuaikan dengan prinsip yang dianutnya
yaitu sekulerisme.
Para ulama mengajarkan pada masyarakat, bahwa penjajahan bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan dan juga bertentangan dengan ajaran Islam.
Menentang penjajah adalah perbuatan mulia dan wajib dilakukan setiap orang Islam.
Maka apabila mati dalam peperangan melawan kesewenang-wenangan (kezaliman),
dia mati syahid yang balasannya adalah surga. Keyakinan semacam ini tertanam
pada setiap muslim yang taat kepada agamanya. Dengan demikian wajarlah apabila
Banten yang dikenal sebagai pusat penyebaran Islam di wilayah Jawa Barat tidak
pernah sepi dari gerakan perjuangan melawan penjajah.
Ulama sangat berpengaruh dalam kehidupan keseharian masyarakat Banten,
bahkan lebih berpengaruh dari pada birokrat pemerintahan. Hal ini disebabkan
karena ulama lebih dekat dengan masyarakat, segala permasalahan yang terjadi
31 Sartono Kartodirjo, Op.Cit. h.3432 Halwany Michrob, Catatan Masa Lalu Banten, hal. 223.
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
21
dalam masyarakat selalu dapat diselesaikan oleh para ulama, hal ini membuat
masyarakat lebih percaya kepada ulama daripada kepada birokrat pemerintahan.
Pengaruh kyai atau ulama melewati batas-batas geografis pedesaan berdasarkan
legitimasi masyarakat untuk memimpin upacara-upacara keagamaan, adat dan
mengajarkan ajaran-ajaran agama. Selain itu, seorang kyai dipandang memiliki
kekuatan-kekuatan spiritual karena kedekatannya dengan Sang Pencipta. Kyai dikenal
tidak hanya sebagai guru di pesantren, juga sebagai guru spiritual dan pemimpin
kharismatik masyarakat. Penampilan kyai yang khas merupakan simbol-simbol
kesalehan. Misalnya, bertutur kata lembut, berperilaku sopan, berpakaian rapih
dan sederhana, serta membawa tasbih untuk berdzikir kepada Allah.33 Karena itu,
perilaku dan ucapan seorang kyai menjadi panduan masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari.
Para pemimpin agama, ulama, para haji dan kiyai mempunyai prestise sosial yang
sangat besar, lebih-lebih di daerah-daerah pedesaan. Di pedesaan ukuran prestise
berdasarkan agama sangat berbeda dengan yang berlaku di Barat dan di kalangan
priyayi. Konsekuensinya di mata rakyat, kiyai atau haji lebih tinggi kedudukannya
dibandingkan dengan pamongpraja pribumi, sehingga menurut pendapat mereka,
para ulama harus lebih dihormati dan harus lebih ditaati. Tidak mengherankan
bahwa kiyai atau haji dapat dengan mudah mengerahkan orang untuk segala
macam tujuan. Pengaruh para guru agama menjadi demikian dominan sehingga
pamongpraja pribumi harus mengandalkan beberapa perantaranya dalam soal-soal
seperti memungut pajak atau mengerahkan tenaga kerja untuk pekerjaan umum.34
Perlawanan Ulama atau Petani?Perlawanan muslim Cilegon tahun 1888 atau “Geger Cilegon” sering disebut
sebagai perlawanan petani. Namun tidak berarti bahwa peserta-pesertanya terdiri
dari petani semata-mata. Sepanjang sejarah perlawanan-perlawanan petani,
pemimpin-pemimpinnya jarang sekali petani biasa. Mereka berasal dari golongan-
golongan penduduk pedesaan yang lebih berada dan lebih terkemuka. Mereka
adalah pemuka-pemuka agama, anggota-anggota kaum ningrat atau orang-orang
yang termasuk golongan penduduk desa yang terhormat.
Hanya dalam arti yang terbatas saja perlawanan yang terjadi dalam abad XIX
di Indonesia dapat dikatakan sebagai perlawanan petani yang murni. Pemimpin-
pemimpinnya merupakan satu golongan elite, yang mengembangkan dan
menyebarkan narasi tentang prediksi-prediksi dan visi sejarah yang sudah turun-
temurun mengenai akan datangnya Ratu Adil atau imam Mahdi. Dalam banyak
hal, pemuka-pemuka agamalah yang telah memberikan bentuk contoh nyata
yang populer atas narasi-narasi akhir zaman itu dan menerjemahkannya ke dalam
perbuatan dengan jalan menarik massa rakyat agar melawan pemerintah penjajah.
Anggota-anggota gerakan itu terdiri dari petani, akan tetapi pimpinan organisasinya
33 Kurniawati Hastuti Dewi, 2003. Kepemimpinan Kyai dan Jawara di Banten: Pengaruhnya terhadap Good Governance, hal. 240.
34 Sartono Kartodirjo, Op.Cit. h.196
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
22
adalah kaum elite pedesaan. Guru agama, ulama atau pemimpin tarekat memainkan
peran utama dalam hampir semua perlawanan besar yang tercatat.35
Tidak lama setelah kesultanan dihapuskan di Banten, keadaan menjadi sangat
kacau, dan tatanan sosial sudah hampir ambruk. Pada saat itulah muncul para
pemimpin untuk memandu mereka yang merasa tidak puas untuk melawan
kekuatan penjajah yang dominan. Penjajahan Belanda yang diikuti dengan usaha
mengobarkan semangat terus-menerus yang dilakukan para pemimpin agama
untuk melakukan jihad melawan pemerintah kafir, menjadikan Banten satu daerah
yang bergolak selama beberapa dasawarsa.
Seiring berjalannya waktu berbagai elemen sosial bercampur baur, bahu
membahu dalam perlawanan bersenjata melawan penindasan penjajah. Mereka
adalah: pamong praja, bangsawan, ulama, santri pengurus desa dan rakyat biasa. Jadi
yang terlibat dalam gerakan perlawanan berasal dari berbagai latar belakang sosial.
Gerakan-gerakan yang muncul pada abad ke-19 di Banten tidak ada yang berasal
dari satu kelas sosial saja.
Hampir semua perlawanan dipimpin oleh orang-orang yang bukan petani biasa.
Mereka mempunyai kemampuan untuk mengungkapkan keinginan terpendam dari
sebagain besar kaum tani dan menyalurkan kekuatan kaum tani yang tidak teratur
menjadi kekuatan yang efektif untuk melawan penjajah. Kaum tani menjadi kekuatan
fisik yang utama karena sebagian besar rakyat Banten adalah petani.36
Para Tokoh dan Pemimpin Perlawanan Dalam perjuangan melawan penjajah pada tahun 1888 ada tokoh yang terlibat
langsung, ada yang tidak langsung. Mereka memberi inspirasi dan semangat untuk
melawan penjajah kafir semacam Haji Abdul Karim. Sebelas tokoh yang dianggap
terlibat langsung dalam perjuangan melawan penjajah dihukum mati di tiang
gantungan oleh pemerintah penjajah Belanda.
Kelompok pertama dikirim ke tiang gantungan pada tanggal 15 Juni, 1889, dan
terdiri dari lima pejuang: Samidin, Taslin, Kamidin, Haji Mohamad Akhiya dan
Haji Mahmud. Penggantungan yang kedua berlangsung di Cilegon sekitar empat
minggu kemudian, yakni pada tanggal 12 Juli 1889. Keenam orang yang berdiri di
panggung penggantungan adalah Dulmanan, Sakimin, Haji Hamim, Dengi, Oyang
dan Kasar. Mereka digantung di muka umum di sebuah lapangan terbuka kira-kira
dua kilometer sebelah utara Cilegon. Akan tetapi hampir tak ada orang yang datang
menyaksikannya.37
Banyak orang yang dianggap terlibat dalam perlawanan yang dianggap berbahaya
yang kemudian dibuang atau diasingkan agar tidak mempengaruhi rakyat untuk
melawan penjajah. Dalam daftar orang-orang yang dibuang dalam lampiran buku
“Pemberontakan petani Banten 1888” yang berasal dari sumber Belanda, terdapat
35 Sartono Kartodirjo, 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888, h.336 Ibid. h.11837 Sartono, op.cit. h.290
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
23
94 orang yang dibuang oleh penjajah ke berbagai daerah seperti Ambon, Kupang,
Manado, Bengkulu, Banda, Padang, Gorontalo dll. Menariknya dari 94 orang yang
dibuang tersebut sebagian besar adalah para haji berusia muda yang berusia antara
24 sampai 40 tahun.38
Berulangnya peristiwa-peristiwa perlawanan terhadap pemerintah penjajah
secara berkala telah mendorong munculnya satu elite revolusioner yang anggota-
anggotanya dari generasi ke generasi memainkan peranan yang menonjol dalam
perlawanan-perlawanan berikutnya. Mereka adalah keluarga-keluarga terkemuka
yang melahirkan tokoh-tokoh revolusioner, seperti keluarga-keluarga Jakaria,
Urip dan Wakhia, yang secara tradisional merupakan titik-titik pusat perlawanan
di Banten. Idealisasi tokoh-tokoh revolusioner sudah merupakan satu tradisi yang
merakyat di Banten.39
Para pejuang Banten yang tertangkap penjajah Belanda, sebagian besar
diasingkan40
Berikut akan diulas beberapa tokoh yang dikenal paling berpengaruh, yang
terlibat langsung maupun tidak langsung dalam usaha perlawanan muslim Banten
terhadap penjajah Belanda pada tahun 1888:
1. Haji Abdul KarimHaji Abdul Karim adalah ulama besar yang paling menonjol di antara pemimpin-
pemimpin gerakan perlawanan Banten 1888. Awal perkembangan gerakan tarekat
di Banten berkaitan dengan Haji Abdul Karim sebagai seorang pemimpin agama
dan sebagai guru tarekat Kadiriah. Sejak masa mudanya ia mendalami ajaran-ajaran
Syekh Khatib Sambas, pemimpin tarekat Kadiriah, dan kemudian menjadi seorang
38 Sartono, op.cit. h.383-38539 Sartono, op.cit. h.35040 Foto: KITLV https://musabab.com/perang-geger-cilegon-1888-pemberontakan-umat-islam-pada-penjajah-
belanda/
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
24
ulama besar yang sangat terkenal. Ia memperlihatkan hasrat yang sangat mendalam
untuk menimba ilmu dan perhatian yang besar terhadap ajaran-ajaran Islam. Karena
sifat-sifatnya yang luar biasa, ia dianggap cocok sebagai guru tarekat Kadiriah.
Tugas pertama yang diberikan kepadanya adalah sebagai guru tarekat di
Singapura, dan tugas itu ia lakukan selama beberapa tahun. Tahun 1872 ia kembali
ke desa asalnya, Lampuyang, dan tinggal di sana selama lebih kurang tiga tahun. Ia
mendirikan sebuah pesantren, karena sudah terkenal, maka dalam waktu singkat ia
sudah mempunyai murid-murid yang sangat setia, mengabdi dan patuh kepadanya.
Di samping massa rakyat yang antusias yang dengan mudah ia dakwahi, ia juga
berhasil meyakinkan banyak pejabat pamongpraja untuk mendukung misinya.
Pada satu ketika kiyai besar itu mempunyai prestise yang luar biasa besarnya dan
mendapat dukungan dari Bupati Serang. Sejumlah tokoh terkemuka, termasuk
penghulu kepala di Serang dan seorang pensiunan patih, Haji R.A. Prawiranegara,
adalah sahabat-sahabatnya dan mereka sangat terkesan oleh ide-idenya.
Karena ia sangat popular dan sangat dihormati oleh rakyat, pejabat-pejabat
pemerintah marasa takut terhadapnya. Bupati Serang juga pergi ke distrik Tanara
dan berkunjung kepada kiyai Haji Abdul Karim. la benar-benar merupakan orang
yang paling dihormati di Banten saat itu.
Khotbah-khotbah Haji Abdul Karim mempunyai pengaruh yang besar terhadap
penduduk. Dalam kunjungan-kunjungannya ke seluruh pelosok di daerah itu, ia
tak henti-hentinya berseru kepada rakyat supaya memperbarui kehidupan agama
mereka dengan jalan lebih taat menunaikan ibadah mereka. Dijelaskannya bahwa
keyakinan dan praktek agama harus menjalani proses pemurnian yang intensif.
Kebangkitan kembali agama sudah berlangsung dengan penuh semangat di
Banten. Jumlah jemaah di mesjid-mesjid meningkat tajam. Haji Abdul Karim
memulai kunjungannya dari satu tempat ke tempat lain untuk berkhotbah. Di dalam
iklim keagamaan seperti itu, maka sangat wajarlah apabila orang seperti Haji Abdul
Karim sangat dihormati. Menurut anggapan masyarakat umum, ia adalah seorang
Wali Allah yang telah dianugerahi barakah.
Di kemudian hari ia lebih dikenal sebagai Kiyai Agung. Di antara murid-muridnya
yang terkemuka adalah: Haji Sangadeli dari Kaloran, Haji Asnawi dari Bendung
Lampuyang, Haji Abubakar dari Pontang, Haji Tubagus Ismail dari Gulacir dan Haji
Marjuki dari Tanara; mereka semua memainkan peranan penting dalam gerakan
perjuangan melawan penjajah. Mereka merupakan pribadi-pribadi yang berkarisma,
dihormati dan sangat dicintai rakyat Banten.41
Pada permulaan tahun 1876 Kiyai Agung berangkat menuju kota Makah. Ia
diangkat untuk menggantikan Syekh Khatib Sambas sebagai pemimpin tarekat
Kadiriah. Sebelum berangkat, ia berkunjung ke daerah-daerah di Banten, ia berseru
kepada rakyat agar memegang teguh ketentuan-ketentuan agama dan menjauhkan
diri dari sikap teledor dalam ibadah. Beberapa kiyai dan haji terkemuka dipilih untuk
memimpin tarekat Kadiriah di Banten.
41 Sartono, op.cit. h.194-196
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
25
Haji Abdul Karim juga berpamitan pada pejabat-pejabat pamongpraja terkemuka,
dan minta dukungan mereka bagi tujuan suci yang sedang diperjuangkan oleh para
kiyai di Banten, yakni regenerasi kehidupan keagamaan rakyat. la juga berseru
kepada mereka agar selalu minta nasihat para kiyai mengenai soal-soal keagamaan.
Kepada murid-muridnya yang paling dekat, ia memberitahukan bahwa ia tidak akan
kembali ke Banten selama daerah itu masih terbelenggu di bawah dominasi asing.
Hanya di atas bumi Islam yang murni ia akan menginjakkan kakinya lagi.42
2. Kyai Haji Tubagus IsmailKyai Haji Tubagus Ismail adalah murid Haji Abdul Karim. Ia adalah keturunan
bangsawan Banten. Kaum Bangsawan telah kehilangan semua pengaruh politiknya
di Banten setelah penghapusan kesultanan Banten oleh Belanda. Namun mereka
masih memilki prestise sosial di kalangan rakyat.
Keluarga sultan menduduki tingkat yang paling atas dalam tatanan sosial
masyarakat Banten, dan semua anggotanya berhak atas kepemilikan tanah, dan
berhak atas kerja bakti dan upeti dari rakyat. Di dalam lingkungan bangsawan itu
sendiri terdapat berbagai tingkatan; keturunan sultan sampai generasi ketiga disebut
warga dan mereka yang berada lebih bawah lagi dalam garis silsilah disebut nayaka.
Pangeran, Ratu dan Tubagus adalah gelar anggota-anggota golongan yang pertama,
sedangkan seorang nayaka biasanya hanya diperkenankan memakai gelar Tubagus
atau Ratu.
Di Banten juga terdapat satu golongan bangsawan yang tidak termasuk keluarga
sultan dan menggunakan gelar-gelar seperti Mas, Entol, Apun, Ujang dan Raden
untuk laki-laki, dan Ayu untuk wanita. Gelar Bagus dan Agus yang tidak menunjukkan
kebangsawanan, juga dipakai oleh orang-orang terhormat yang mempunyai prestise
di kalangan rakyat.
Eselon birokrasi yang paling atas diduduki oleh patih, yakni wazir besar;
di bawahnya adalah tumenggung, salah seorang di antara mereka mengetuai
pengadilan, dan yang lainnya mengawasi perdagangan dan pabean, atau mengepalai
pemerintahan provinsi atau daerah; fungsi syahbandar bertindak sebagai
penghubung antara sultan dan para pedagang asing. Pada tingkatan yang lebih
rendah dalam hirarki birokrasi terdapat demang atau kepala distrik, para mantri,
pelayan-pelayan dalam rumah tangga sultan, dan lurah atau kepala desa.43
Kyai Haji Tubagus Ismail telah beberapa kali naik haji, dan perjalanannya ke
mekah telah menambah semangat permusuhannya terhadap pemerintahan penjajah
yang kafir. Selain berasal dari keturunan bangsawan, ia juga dikenal sebagai cucu
Tubagus Urip, yang telah dianggap sebagai Wali Allah. Dengan nama besarnya, Kyai
Haji Tubagus Ismail menyeru muslim Banten untuk berjuang melawan penjajah.
Sejak permulaan kampanyenya, banyak kiyai terkenal sudah menyetujui
gagasan-gagasannya dan menyatakan bersedia mendukung tugas sucinya : Haji
Wasid dari Beji, Haji Abubakar dari Pontang, Haji Sangadeli dari Kaloran, Haji Iskak
42 Sartono, op.cit. h.19843 Sartono, op.cit. h.50
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
26
dari Saneja, Haji Usman dari Tunggak, Haji Asnawi dari Bendung Lampuyang, dan
Haji Mohamad Asik dari Bendung, semuanya adalah kiyai-kiyai terkemuka yang
menyatakan dukungan kepada gerakan perlawanan yang dipimpin oleh Kiyai Haji
Tubagus Ismail.44
Pada tahun 1883, K.H. Tubagus Ismail pulang dari Mekkah. Sebagai keturunan
Sultan Banten dia dianggap sebagai calon “Wali Allah”. Dengan kehadirannya ini
maka dorongan untuk mendirikan kembali kesultanan Banten pun muncul kembali.
Pada tahun 1884, berlangsung perundingan pertama yang membicarakan rencana
kongkrit untuk mengadakan perlawanan bersenjata. Perundingan itu terjadi di
rumah Haji Wasid, yang dipimpin oleh K.H Tubagus Ismail.45
3. Haji MarjukiHaji Marjuki merupakan salah seorang pengikut terdekat Haji Abdul Karim. Beliau
sudah mempunyai reputasi yang mapan sebagai guru agama, dan kemasyhuran yang
menambah prestise dan pengaruhnya di mata rekan-rekannya sesama haji di Banten.
Tidak mengherankan jika Haji Wasid dan Kiyai Haji Tubagus Ismail menganggapnya
sebagai seorang sekutu yang sangat kuat dan mereka memintanya dengan sangat
agar ikut dalam gerakan perlawanan.
Seperti dikatakan oleh Snouck Hurgronje, Haji Marjuki merupakan orang yang
paling sering pulang ke Banten di antara para ulama di Mekah. Pada tahun 1858 untuk
pertama kalinya ia pergi ke Mekah. Menurut daftar-daftar jemaah haji, ia kembali
ke Mekah pada tahun-tahun 1867, 1871, 1876 dan 1888. Juga diketahui bahwa Haji
Marjuki tinggal di Banten, di desa asalnya Tanara, antara tahun 1874 sampai 1876,
dan dari bulan Maret 1887 sampai bulan Juni 1888.
Pada bulan Februari 1887 Haji Marjuki tiba di Batavia, ia didenda dua puluh
lima gulden karena ia tidak memiliki paspor. la lalu menetap di desa kelahirannya,
Tanara sebagai guru agama. Tidak lama kemudian ia mulai mengadakan kunjungan-
kunjungan ke daerah-daerah di Banten, Tangerang, Batavia dan Bogor, dan di
tempat-tempat itu ia menyampaikan gagasan-gagasan tentang jihad di depan
masyarakat Muslim. Karena ia melakukan itu semua atas perintah Haji Abdul Karim,
dakwahnya dengan cepat diterima oleh masyarakat muslim Banten.
Nampak adanya semangat keagamaan yang meningkat di kalangan umat Islam
Banten. Masjid-masjid penuh dengan orang-orang yang melakukan shalat, jumlah
jamaah pada hari-hari Jumat meningkat tajam, pendek kata, ketaatan dan kesalehan
diperlihatkan secara menyolok, tidak hanya oleh kaum laki-laki, akan tetapi juga
oleh kaum wanita dan anak-anak.
Pejabat-pejabat distrik di Tanara, atas permintaan para kiyai, ikut menyerukan
kepada rakyat agar menunaikan ibadah di masjid dan menghadiri acara-acara
khataman. Seperti telah dikemukakan di atas, antusiasme rakyat menggelora dan
44 Sartono, op.cit. h.20045 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19, Bulan Bintang, Jakarta 1984,
hlm. 56
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
27
semangat keagamaan dibakar dengan narasi-narasi keagamaan. Dengan cara ini,
penduduk secara berangsur-angsur dipersiapkan untuk Perang Suci.
Haji Marjuki melanjutkan dakwah tentang jihad dengan mengunjungi para kiyai
tarekat Kadiriah di Tangerang dan Batavia, termasuk Haji Kasiman dari Tegalkunir
dan Haji Camang dari Pakojan. mereka menerima kunjungan tersebut dengan
simpatik dan menjanjikan dukungan yang kuat; mereka siap mengirimkan murid-
murid mereka sebagai mujahid ke Banten.
Dalam usaha mendakwahkan Perang Suci di luar Banten, Haji Marjuki dibantu
oleh Haji Wasid, yang juga sangat berhasil meyakinkan para kiyai di perbagai daerah
di Jawa Barat. Kedua haji itu sering dianggap sebagai jiwa gerakan perlawanan
tersebut. Namun ketika perang sabil akan dilaksanakan, ia pulang ke mekah.
Rupanya ada perbedaan pendapat antara Haji Marjuki dengan para haji peminpin
perlawanan lainnya dalam pelaksanaan pejuangan melawan penjajah. Ia mengkritik
perlawanan yang dipimpin oleh Haji Wasid karena terlalu dini dan menimbulkan
korban jiwa yang sia-sia. Menurut pendapatnya, setiap perlawanan, untuk dapat
berhasil, harus diorganisasikan sedemikian rupa sehingga ia pecah serentak di
pelbagai daerah Nusantara; selain itu, para pejuang harus mempunyai uang dan
senjata yang cukup.
Atas dasar pendapat yang dikemukakan oleh Haji Marjuki ini, jelaslah mengapa
telah timbul perselisihan yang tak dapat didamaikan antara dia dan Haji Wasid
ketika diputuskan untuk memulai perjuangan bersenjata pada bulan Juli 1888. Haji
Marjuki dianggap gagal menyelesaikan rencana perlawanannya terhadap penguasa-
penguasa penjajah kafir, karena ia berbeda pendapat dengan mayoritas pemimpin-
pemimpin perlawanan mengenai waktu dimulainya perlawanan itu. 46
Pada tanggal 15 Juni 1888; atau hari kelima bulan Sawal, beberapa pemimpin
terkemuka bertemu di rumah Haji Wasid di Beji, di mana mereka terutama
membicarakan soal tanggal dimulainya perang sabil. Selain tuan rumah, hadir
pula Haji Tubagus Ismail, Haji Abubakar, Haji Iskak, Haji Usmar dan Haji Marjuki.
Mereka mencapai kata sepakat bahwa perlawanan dimulai pada tanggal 12 Juli, atau
3 Zulkaidah. Semua kiyai yang akan ikut serta akan diundang untuk menghadiri
sebuah pertemuan besar yang menurut rencana akan diadakan pada tanggal 22 Juni
1888 atau 12 Sawal. Pada kesempatan itu, para kiyai akan diyakinkan bahwa keadaan
memaksa mereka untuk mengibarkan panji jihad pada 3 Zulkaidah.
Namun Haji Marjuki terpaksa menentang penetapan tanggal ini, yang
dianggapnya terlalu dini, dan ia menerangkan kepada pemimpin-pemimpin lainnya
bahwa ia akan meninggalkan Banten sebelum pecahnya perang, untuk kembali ke
Mekah. Apabila perjuangan berhasil, maka ia mungkin akan mengundang Syekh
Abdul Karim dan Syekh Nawawi untuk datang ke Banten. Beberapa hari kemudian,
ia meninggalkan Banten, disertai oleh istri dan anak-anaknya.47
46 Sartono Kartodirjo, op.cit. h.202-20447 Sartono Kartodirjo, op.cit.h.217
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
28
4. Haji WasidHaji Wasid sering juga disebut Ki Wasid telah mengabdikan dirinya kepada
perjuangan untuk tujuan suci sampai ia menemui ajalnya dalam suatu pertarungan
melawan pasukan penjajah. la baru tampil sebagai pemimpin pejuang beberapa
tahun sebelum perlawanan itu pecah. la cukup lihai menarik simpati dari suasana
kebangkitan agama yang sedang meliputi lingkungannya, ia mengesampingkan
urusan-urusan pribadinya dan mengedepankan kepentingan masyarakatnya. la
sangat berpengaruh, tidak hanya karena sebagai guru agama, tetapi juga karena
kepribadiannya yang kuat.
Ia berasal dari keluarga pejuang. Ayahnya, Abas, turut dalam perjuangan Wakhia
tahun 1850. Kiyai Haji Wasid ketika itu berusia sekitar 45 tahun dan dilahirkan di
Grogol; dan mempunyai tiga orang istri. Haji Wasid dengan penuh semangat ikut
ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan untuk mencari dukungan, terutama yang
ditujukan kepada para kiyai di luar daerah Banten sendiri.
la meluaskan kegiatan-kegiatannya sampai ke Batavia, Bogor, Ciandjur, Bandung
dan Cirebon, di mana kiyai-kiyai tarekat Kadiriah sangat terbuka bagi gagasan tentang
jihad dan dengan antusias menggabungkan diri ke dalam gerakan itu. Mereka akan
mengerahkan sukarelawan dan mengirimkan santri mereka ke Banten; Kiyai dari
Dayeuh Kolot berjanji akan pergi ke Banten. Di Cirebon, Haji Wasid berziarah ke
makam Sunan Gunung Jati.
Setelah bepergian selama kurang lebih dua bulan, ia kembali ke Beji, di mana
ia mengadakan pembicaraan-pembicaraan dengan Haji Marjuki dan Haji Tubagus
Ismail dan memberikan laporan tentang hasil perjalanannya. Mereka memutuskan
untuk memberi tahu para kiyai tentang pertemuan yang direncanakan akan diadakan
dalam salah satu maleman dalam bulan Puasa (Juni 1887), di mana akan dilaporkan
hasil-hasil yang telah dicapai oleh orang-orang yang telah mendakwahkan gagasan
tentang jihad itu, khususnya Haji Wasid dan Haji Marjuki.
Pemimpin-pemimpin perjuangan mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia
pada acara maleman, yang pertama kali di rumah Haji Marjuki, yang kedua di rumah
Haji Akhmad, sedangkan yang ketiga diadakan di Bendung Lampuyang dengan
Haji Asnawi sebagai tuan rumah. Pertemuan-pertemuan dalam bulan Juni 1887 itu
terutama membicarakan soal mengkampanyekan gagasan jihad dan usaha-usaha
yang menyertainya, yakni merekrut pengikut, oleh karena para pemimpin pejuang
tahu benar bahwa perjuangan akan berhasil apabila mengikut sertakan sebagian
besar penduduk yang tersebar di daerah yang luas.
Hasil yang telah dicapai oleh para haji sejak pertemuan terakhir pada pertengahan
tahun 1886, adalah bahwa kampanye tentang rencana perlawanan itu telah dapat
diperluas sampai kepada kiyai-kiyai di luar Banten. Kurun waktu selama kurang
lebih satu tahun sebelum pecahnya perlawanan ditandai oleh kegiatan menggalang
dukungan yang sangat sibuk, peningkatan kegiatan-kegiatan persiapan dan usaha-
usaha memperkokoh barisan. Peranan Haji Wasid semakin menonjol.48
48 Sartono Kartodirjo, op.cit.h.205-206
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
29
Orang dapat dengan mudah membayangkan bahwa keadaan seperti yang telah
dilukiskan di atas mempunyai efek moral terhadap mentalitas dan sikap Haji Wasid.
Haji Wasid lama terlibat dalam persoalan-persoalan dengan pemerintah penjajah,
yang menarik perhatian masyarakat. Persoalan-persoalan itu menyebabkan dia
menjadi semakin populer, dan berangsur-angsur ia menjadi titik pusat gerakan
(center of gravity). Sebagai akibatnya, pusat gerakan bergeser dari timur ke barat,
artinya, dari Tanara dan sekitarnya ke Beji dan sekitarnya.
Pada bulan September 1887 Haji Wasid dipanggil oleh Wedana Kramat Watu
untuk diminta keterangannya mengapa ia tidak merawat kebun istrinya yang ketiga
di Bojonegoro. Begitu murid-muridnya mengetahui tentang adanya panggilan itu,
mereka menyatakan bersedia mengawalnya ke Kramat Watu. Haji Mohamad Anwar,
sahabat karib dan orang kepercayaan Haji Wasid, diutus duluan untuk menghadap
Wedana. Wedana berjanji tidak akan memanggil Haji Wasid untuk diperiksa, asal
kebun yang dimaksud dirawat untuk selanjutnya. Peristiwa ini, telah menaikkan
prestisnya di mata masyarakat muslim. 49
Beberapa bulan setelah peristiwa itu, timbul satu persoalan lain di mana Haji
Wasid terlibat langsung. Menurut keterangan yang diberikan oleh beberapa saksi,
termasuk Riman dan Jamil, Haji Wasid terdapat di antara sejumlah orang - sekitar
25 orang - yang pada hari Senin tanggal 6 bulan Muharam, menebang pohon kepuh
kepunyaan Nyi Armah.
Pohon itu dianggap keramat, dan beberapa orang datang ke sana untuk
memberi sesajen dan memujanya. Tidak mengherankan, masyarakat Muslim yang
taat merasa tersinggung oleh perbuatan syirik itu, dan pada satu hari Haji Wasid dan
murid-muridnya menebang pohon tersebut.
Satu bulan kemudian Nyi Armah menyampaikan pengaduan kepada Jaksa. Haji
Wasid dan pengikutnya menganggap hal itu sebagai usaha dari pihak Jaksa agar ia
dihukum. Ketika dipanggil oleh Jaksa, ia dengan keras menolak untuk memberikan
kesaksian. Jaksa kemudian mengucapkan kata-kata yang menghina: "Haji macam
apa dia?" Apa yang dilakukan penjajah dianggap sebagai campur tangan yang
kasar oleh pejabat-pejabat pemerintah dalam urusan agama telah menimbulkan
kemarahan yang besar. 50
Menurut vonis pengadilan negeri pada tariggal 16 November 1887, Abas (salah
satu murid Haji Wasid) terbukti bersalah telah menebang sebatang pohon kepunyaan
orang lain. la dihukum 14 hari kerja paksa. Pada tanggal 18 Mei 1888, keputusan itu
dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi karena tidak ada bukti.51 Kedua peristiwa di atas
mempunyai arti yang penting; peristiwa-peristiwa itu mencerminkan perebutan
pengaruh antara elite agama dan elite sekular, atau antara para kiyai dan haji di satu
pihak dan kaum priyayi di pihak lain.52
Salah satu pertemuan penting sebelum perlawanan, ialah pertemuan pada 12
Ruwah, atau 22 April 1888, yang diadakan di rumah Haji Wasid di Beji. Pada akhir
49 Sartono Kartodirjo, op.cit.h.20750 Sartono Kartodirjo, op.cit.h.20851 Sartono Kartodirjo, op.cit.h.20752 Sartono Kartodirjo, op.cit.h.209
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
30
jamuan, 300-an orang tamu berkumpul di masjid, dimana para kiai dan murid-murid
mereka bersumpah : pertama, bahwa mereka akan ambil bagian dalam perang sabil;
kedua, bahwa mereka yang melanggar janji akan dianggap sebagaikafir; ketiga,
bahwa mereka tidak akan membocorkan rencana mereka kepada pihak luar.
Pada 15 Juni 1888, atau hari kelima bulan Syawal, beberapa pemimpin terkemuka
bertemu di rumah Haji Wasid di Beji, diamana mereka membicarakan mengenai
tanggal dimulainya penyerangan. Mereka mencapai kata sepakat bahwa perang
sabil akan dimulai pada 12 Juli. Akan tetapi setelah pertemuan 22 Juni 1888, tanggal
mulainya perlawanan diubah menjadi 9 Juli 1888. Hal ini dikarenakan Haji Wasid
dan Haji Iskak menyerukan agar perlawanan perang sabil segera dilaksanakan,
untuk mengantisipasi kemungkinan rencana mereka tercium pejabat-pejabat
pemerintahan penjajah Belanda.53
Latar belakang dan Kondisi Banten sebelum terjadi Perlawanan tahun 1888
Kekeringan dan Wabah Penyakit Seluruh daerah Banten telah sangat menderita akibat bencana-bencana yang
silih-berganti melanda dalam tahun-tahun sebelum perlawanan pecah. Wabah
penyakit ternak di tahun 1879 telah menurunkan jumlah seluruh ternak menjadi
sepertiga, sehingga terasa sekali kekurangan akan kerbau dan banyak sekali sawah
terpaksa diterlantarkan. Tindakan yang diambil untuk mencegah meluasnya penyakit
itu (yakni membunuh secara massal) telah menimbulkan kerugian yang besar serta
rasa cemas di kalangan rakyat. Sampai bulan Juli 1880, sebanyak 46.299 kerbau telah
dibunuh.
Tahun berikutnya (1880) muncul wabah demam yang menyebabkan lebih dari
sepuluh persen penduduk meninggal dunia. Dalam jangka waktu empat bulan,
yakni dari Januari sampai April 1880, jumlah penduduk yang meninggal mencapai
12.162 jiwa. Karena terdapat kekurangan tenaga kerja yang sangat besar, banyak
sawah tak dapat digarap dan panen yang tidak dapat dipetik. Hanya 6107 bau sawah
ditanami saat itu, padahal tahun sebelumnya mencapai 28.825 bau. Akibatnya,
bencana kelaparan tak dapat dielakkan lagi.
Antara tahun 1882 sampai 1884 rakyat Banten ditimpa dua bencana: kelaparan
dan penyakit sampar binatang ternak. Diperkirakan hampir dua tahun hujan tidak
turun, sehingga tanaman tidak tumbuh dan air minum sulit didapat. Musim kering
yang berkepanjangan menyebabkan kelaparan yang merajalela. Dua penyakit yang
melanda manusia (demam) dan hewan (sampar) diprediksi dibebabkan bencana
kekeringan tersebut.54
Letusan Gunung Krakatau 1883
53 Sartono Kartodirjo, op.cit.h.21954 Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari, op.cit. h.195
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
31
Ada sekitar 129 gunung berapi yang masih aktif di Indonesia atau sekitar 13 persen
dari jumlah seluruh gunung berapi di dunia. Gunung api ini berdiri sepanjang 7000
kilometer dari Aceh hingga ke Sulawesi Utara, melewati Bukit Barisan, Kepulauan
Jawa, Nusa Tenggara dan Maluku. Pulau Jawa sendiri memiliki 35 gunung berapi
atau 25 persen dari seluruh gunung berapi di Indonesia.
Namun demikian, gunung berapi telah menjadikan Pulau Jawa sebagai pulau
yang paling subur di kepulauan Indonesia. Misalnya saja, tanah subur di Pulau
Jawa bisa mendukung 1.200 orang per mil, di mana di Kalimantan hanya mampu
mendukung 4,5 orang saja pada luas yang sama.55
Rakyat belum sempat bangun kembali dari semua penderitaan itu, ketika letusan
dahsyat Gunung Krakatau pada tahun 1883 menyebabkan kehancuran hebat di
daerah itu; letusan itu benar-benar merupakan letusan yang paling hebat yang
pernah tercatat dalam sejarah vulkanologi di Indanesia. Ribuan orang tewas, banyak
desa yang makmur hancur dan sawah-sawah yang subur berubah menjadi gersang. 56
Menurut Simon Winchester, letusan gunung Krakatau menyebabkan 165 desa
hancur, 36.417 orang meninggal, dan ribuan orang terluka. Banyaknya korban bukan
dari letusan langsung gunung tersebut, namun karena tsunami besar yang terjadi
sesudah letusan besar tersebut. Efek dari gelombang tsunami besar itu terasa hingga
Prancis. Barometer di Bogota dan Washington rusak akibat letusan tersebut. Mayat-
mayat ditemukan hingga Zanzibar. Suara letusan terdengar hingga di Australia, India
dan di pulau-pulau yang jauhnya ribuan mil.57
Letusan besar Gunung Krakatau terjadi pada 26 dan 27 Agustus 1883. Saat itu,
Krakatau yang mengeluarkan jutaan ton batu, debu, dan magma, materialnya
menutupi wilayah seluas 827.000 km². Aktivitas seismik tetap berlangsung hingga
Februari 1884. Letusan ini adalah salah satu letusan gunung api paling mematikan
dan paling merusak dalam sejarah modern. Gelombang tsunami dari letusan
Krakatau mencapai hingga Afrika atau meliputi sekitar seperempat bumi.
Sedangkan, suara letusan Krakatau mencapai Srilangka dan Karachi di bagian
barat; Perth dan Sydney di bagian timur. Letusan Krakatau juga menyebabkan
perubahan suhu udara dan iklim dunia, misalnya saja perubahan iklim terjadi di
wilayah Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat. Dengan demikian, Tom Simkin dan
Richard S. Fiske pun menyebutkan bahwa letusan Krakatau bisa dikategorikan
sebagai peristiwa letusan bersejarah paling terkenal di dunia.58 Tinggi tsunami yang
ditimbulkan karena letusan yang dasyat tersebut diperkirakan mencapai sekitar 30
meter.59
Hujan abu yang menyembur di pagi hingga siang hari menyebabkan suasana hari
menjadi kelam dan suhu turun hingga mencapai 7 derajat celcius. Selama satu tahun
sinar matahari terhalang oleh debu vulkanik Krakatau. Kurangnya sinar matahari
menyebabkan udara di Banten menjadi lembab. Bangkai hewan dan manusia cepat
55 Erlita Tantri, Letusan Krakatau 1883, op.cit. h.19256 Sartono Kartodirjo, op.cit.h.64-6557 Simon Winchester, Krakatoa: The Day the World Exploded : August 27, 1883, Penerbit Penguin Books 2004.
h.42658 Erlita Tantri, Letusan Krakatau 1883, op.cit. h.195-19659 Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari, op.cit. h.196
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
32
membusuk. Usaha untuk menanam tanaman tidak dapat dilakukan selain tanah
yang masih tebal oleh lumpur dan persediaan air bersih yang minim, juga karena
jarang adanya sinar matahari. Efeknya Banten dan Lampung tidak memiliki sumber
pangan untuk jangka waktu tiga tahun ke depan hingga tanah dapat diolah kembali
dan iklim kembali normal.
Pada akhirnya, bencana kelaparan yang meluas dan menyebarnya penyakit pasca
letusan Krakatau menjadi bentuk bencana baru bagi masyarakat korban bencana
di Banten dan Lampung. Situasi ini menciptakan anggapan di masyarakat Banten
bahwa bencana yang berturut-turut merupakan teguran Allah atas ketidakadilan
atau kerusakan di bumi Banten.60
Penderitaan dan suasana mencekam pasca letusan Krakatau dan terjangan
gelombang tsunami ini dapat dilihat dari ungkapan seorang korban bencana di
daerah Lampung yang terekam dalam Syair Lampung Karam yang diangkat oleh
Suryadi :
Hendak kemanalah pergi?
Tempatnya kita sudahlah tinggi,
Jikaulah air sampai kesini,
Sudah kiamat isinya negeri61
Melusnya gunung Krakatau juga dipandang oleh masyarakat Banten sebagai azab
Allah karena membiarkan pemerintah kafir yang dzalim, yaitu Belanda tinggal dan
berkuasa di negeri mereka. Dengan adanya kepercayaan tersebut banyak diantara
pemuka agama mulai mengadakan perlawanan terhadap Belanda.
Bencana meletusnya Gunung Krakatau dianggap sebagai tanda kiamat dan
akan datangnya Imam Mahdi, sehingga prediksi-prediksi tersebut membakar emosi
masyarakat dan kecemasan yang luar biasa di kalangan masyarakat Banten.62 Di
samping itu, bencana Krakatau juga dianggap sebagai sebuah azab atau hukuman
dari Allah terhadap kesewenang-wenangan penguasa sehingga memunculkan
sebuah pendapat bahwa kesewenang-wenangan harus dilawan.63
Masyarakat mengaitkan bencana dengan tindakan-tindakan Belanda yang
menindas rakyat kecil, kekerasan terhadap masyarakat muslim Aceh, tidak
ditegakkannya hukum Islam serta merupakan hukuman bagi Belanda yang
menduduki dan menguasai sebuah masjid agung di Kutaraja. Di samping itu,
bencana ini juga merupakan teguran terhadap kegiatan atau acara-acara yang tidak
sesuai dengan syariat agama, seperti pergelaran perkawinan dengan hiburan tarian
ronggeng.
Letusan Krakatau, gelombang tinggi tsunami, perubahan iklim secara tiba-tiba,
kegagalan panen, kelaparan dan penyakit secara perlahan meningkatkan kesadaran
spiritual masyakarat terhadap kekuatan Allah Ta’ala. Banyak warga masyarakat yang
berbondong-bondong kembali mendekati atau menjalankan perintah Allah. Dalam
60 Erlita Tantri, Letusan Krakatau 1883, op.cit. h.199-20061 Erlita Tantri, Letusan Krakatau 1883, op.cit. h.20262 Sartono, op.cit. h. 23363 Erlita Tantri, Letusan Krakatau 1883, op.cit. h.206
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
33
kegiatan-kegiatan agama yang semakin kuat ini juga disertai dengan khutbah-
khutbah penentangan terhadap tirani.
Kaum bangsawan dan terpelajar ikut menebarkan dan menggugah kesadaran
mereka akan sikap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penjajah Belanda dan
pengikutnya. Akhirnya, kelaparan dan kemiskinan akibat kegagalan panen yang
berkembang hingga beberapa tahun ke depan, mencapai titik kulminasi dengan
pergerakan menentang kejahatan (penjajah Belanda).64
Pajak yang Mencekik RakyatMenurut para pengamat, persoalan pajak kepala dapat dipandang sebagai salah
satu penyebab perlawanan. Atau sekurang-kurangnya merupakan satu di antara
faktor-faktor ekonomi yang menimbulkan rasa tidak puas di kalangan rakyat di
daerah itu.65 Terbukti dengan adanya narasi tengtang janji “penghapusan pajak”
setelah pembentukan sebuah pemerintahan Islam yang ditawarkan oleh para
pemimpin gerakan perang sabil melawan penjajah Belanda.66
Dalam keadaan penderitaan karena berbagai bencana dan kekeringan,
pemerintah penjajah manerapkan kewajipan pajak yang memberatkan, yang semakin
menambah penderitaan rakyat. Pada tahun 1884 pajak tanah dinaikkan sehingga
pendapatan pemerintah penjajah meningkat walaupun jumlah penduduknya turun
karena berbagai macam bencana.
Diantara pajak yang dibebankan ke rakyat adalah: pajak tanah pertanian,
pajak perdagangan, pajak perahu, pajak pasar dan pajak jiwa. Pajak-pajak tersebut
seringkali di luar kemampuan rakyat dan penetapannya tidak mengenal keadaan,
ditambah dengan kecurangan-kecurangan para pegawai pemumungutnya sehingga
menambah keresahan dan menumbuh suburkan kebencian rakyat pada pemerintah
penjajah.67
Dalam rangka penghapusan kewajiban kerja bakti, sebuah peraturan dikeluarkan
pada tahun 1882 dan menggantikannya dengan “pajak kepala”. Menurut peraturan
itu, yang wajib membayar pajak itu hanyalah mereka yang diharuskan melakukan
kerja bakti (herendienstplichtigen). Sebagai pelaksanaan peraturan itu, Residen
Spawn dari Banten memerintahkan agar semua laki-laki sehat yang berusia antara
15 sampai 50 tahun dikenakan pajak kepala.
Diberlakukannya peraturan Spawn menyebabkan para kepala rumah tangga
harus memikul beban yang terlalu berat, karena mereka harus membayar pajak
kepala bagi semua anggota laki-laki yang kuat dan berusia antara 15 dan 50 tahun
di dalam keluarganya dan orang-orang menumpang yang merupakan pembantu
rumah tangga.68 Pajak kepala yang harus dibayarkan pada pemerintah penjajah
sebesar satu gulden tiap orang.
64 Erlita Tantri, Letusan Krakatau 1883, op.cit. h.207-20865 Sartono, op.cit. h.6166 Sartono, op.cit. h.2367 Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari, op.cit. h.19768 Sartono, op.cit. h.60-61
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
34
Mengenai sistem tanam paksa (cultuurstelsel) di Banten, efek-efeknya hampir
tak berarti dalam bagian akhir abad XIX, karena gagalnya berbagai jenis tanaman,
kebanyakan tanaman yang berdasarkan sistem itu telah dihapuskan sekitar
pertengahan abad itu.69
Satu peraturan penjajah lainnya yang menimbulkan rasa tidak puas adalah
penetapan pajak perdagangan. Dinaikkannya pajak ini telah menambah penyebab-
penyebab kemarahan yang sudah menumpuk di kalangan penduduk. Di beberapa
desa di distrik itu, seperti di Beji, Nyamuk, dan Bojonegoro, ada pengaduan-
pengaduan bahwa pajak perdagangan yang dikenakan atas perahu telah dinaikkan
sangat tinggi. Pada awal tahun 1887, 35 pemilik perahu mengirimkan protes kepada
Residen Banten, meminta agar pajak perdagangan diturunkan.70
Karena tidak ada jalan lain untuk memparbaiki nasib mereka, pemilik-pemilik
perahu di tempat-tempat itu mengancam akan menghentikan pelayaran perahu-
perahu mereka apabila tuntutan mereka tidak dipenuhi. Sulit untuk mengetahui
sampai sejauh mana hal itu telah membantu memperbesar ketegangan di kalangan
penduduk pedesaan, akan tetapi yang menarik perhatian adalah bahwa sebagian
besar pejuang berasal dari daerah itu.
Di samping kasus-kasus mengenai penetapan pajak, ada satu jenis pajak
perdagangan yang memberatkan pedagang di Cilegon, yakni pajak pasar. Berdasarkan
pasal 14 Ordanansi 17 Januari 1878, Residen Banten memerintahkan agar orang-
orang yang berjualan di pasar dikenakan pajak pasar. Di Cilegon peraturan itu
dilaksanakan dengan ketat sekali, dan keberatan-keberatan dari orang-orang yang
hanya kadang-kadang saja berjualan, tidak dihiraukan. Setiap orang yang berjualan
di pasar harus membayar sekurang-kurangnya satu golden.
Orang yang tidak membayar pajak itu diancam dengan hukuman kurungan atau
denda sebesar 15 golden. Pernah terjadi bahwa mereka yang berada di pasar dan
tidak memiliki surat lunas pajak ditangkapi dan rakyat yang menjadi panik berlarian
meninggalkan pasar. Selama beberapa waktu tempat itu kosong pada hari-hari
pasaran. Menurut laporan, 16 orang telah diajukan ke pengadilan dalam waktu dua
bulan, yakni Juli sampai Agustus 1887. Karena berkas- berkas perkara itu telah dibakar
ketika terjadi perlawanan, tidak dapat diketahui lagi berapa banyaknya orang yang
telah dipanggil oleh polisi dan berapa banyak dari mereka yang tidak memenuhi
panggilan itu. Pajak pasar itu telah memperberat beban pajak di daerah tersebut.71
Pemaksaan Peradaban Barat lewat PenjajahanSalah satu aspek penting yang memicu perlawanan bersenjata adalah derasnya
gempuran peradaban Barat terhadap masyarakat muslim Banten. Para penulis Barat
dan banyak penulis pribumi menyebutnya dengan istilah modernisasi (pembaratan).
Budaya dan nilai-nilai Barat dipaksakan pada masyarakat pribumi melalui penjajahan.
69 Sartono, op.cit. h.4470 Sartono, op.cit. h.6271 Sartono, op.cit. h.63-64
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
35
Kenyataannya banyak nilai dan budaya Barat yang bertentangan dengan budaya dan
nilai (adat) masyarakat Banten yang dikenal sangat kental keislamannya.
Perlawanan tahun 1888 di Banten dapat dipandang sebagai satu ekspresi protes
sosial terhadap, perubahan sosial yang dipaksakan dari luar oleh dominasi Barat.
Konsekuensi-konsekuensi modernisasi yang nampak dalam masyarakat pribumi
antara lain, terganggunya lembaga-lembaga tradisional, ketidakserasian sosial,
dan perasaan tidak aman dan frustrasi di berbagai kalangan masyarakat. Kacaunya
kehidupan muslim Banten di bawah penjajahan, melahirkan semangat kebangkitan
kembali di kalangan petani-petani Muslim, yang secara kolektif berusaha
mempertahankan nilai-nilai dan cita-cita keagamaan serta berbagai aspek pola
hidup Islami. Perhatian mereka kembali dipusatkan kepada kejayaan pemerintahan
Islam kesultanan Demak di masa lampau, dan kepada cita-cita mendirikan kembali
sebuah pemerintahan Islam atau memulihkan kesultanan.
Yang ditekankan dalam gerakan kebangkitan kembali itu adalah penggalangan
solidaritas kelompok melalui revitalisasi acara-acara keagamaan. Perasaan benci
terhadap penguasa asing dan semangat perlawanan dikobarkan melalui pengajaran
agama dan praktek-praktek keagamaan. Di dalam alam sosiokultural Banten abad
XIX, gerakan nativistik (kembali ke asli) ini tak disangsikan lagi telah memainkan
peranan yang menentukan dalam perkembangan perlawanan terhadap modernisasi.
Dilihat dari segi perubahan sosio-kultural, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat
Muslim di Banten, yang dipimpin oleh para ulama, berusaha untuk mempertahankan
diri dari penetrasi kekuatan-kekuatan baru yang menyertai proses modernisasi.
Keadaan mereka sangat berbeda dibanding oleh kaum elite kota yang sekular,
yang berusaha mempertahankan status sosial dengan jalan menyesuaikan diri
dan mengikuti arus kelembagaan modern. Proses modernisasi dan gejala yang
menyertainya, yakni sekularisasi dan akulturasi, dengan sendirinya menimbulkan
perpecahan sosial, ada yang menerima, ada yang bersikap menolak. Pengelompokan-
pengelompokan solidaritas yang mewakili berbagai kekuatan kultural, menimbulkan
gesekan-gesekan yang potensial dan bersama-sama dengan faktor-faktor lainnya
menggerogoti jaringan masyarakat tradisional Banten.
Pada abad XIX pemerintahan penjajah Belanda secara berangsur-angsur
diorganisasikan menurut paham Barat tentang pemerintahan, yang berarti
diberlakukannya lembaga-lembaga Barat dan norma-norma menurut ukuran-ukuran
yang ditentukan oleh orang-orang Belanda bagi diri mereka sendiri dan masyarakat
Banten. Transformasi itu terdiri dari pembentukan birokrasi pemerintahan, satu
hirarki pegawai negeri, cara-cara pengisian jabatan, dan sebagainya. Perubahan-
perubahan itu dengan sendirinya mengakibatkan lemahnya ikatan-ikatan tatanan
lama, Otoritas pribumi lama terancam oleh masuknya birokrasi modern yang
sekular, yang berpusat pada otoritas penjajah.
Efek yang paling menyolok dari birokrasi baru itu adalah bahwa pusat otoritas dan
tanggung jawab bergeser dari para bupati kepada pejabat-pejabat penjajah Belanda.
Para bupati menjadi sekedar semacam boneka yang otoritasnya tergantung kepada
kekuasaan penjajah. Singkatnya, pemerintah penjajah telah mengubah mekanisme
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
36
politik supaya dapat mengontrol kegiatan- kegiatan bupati dan mencegah jangan
sampai saluran-saluran kepemimpinan tradisional dijadikan mekanisme untuk
mengorganisasikan perlawanan terhadap rezim penjajah.
Pejabat-pejabat pribumi dibiarkan untuk tetap berkuasa, hanya apabila
mereka menggunakan kekuasaan mereka sesuai dengan kehendak penjajah. Terus
berlangsungnya kekuasaan mereka merupakan satu sumber ketidaksenangan bagi
penduduk Muslim yang taat. Sesungguhnya, kalangan penduduk Muslim yang luas
merasa tidak senang kepada penguasa-penguasa mereka yang hanya mementingkan
keduniaan (dengan membeo penjajah), atau merasa frustrasi karena cepatnya laju
modernisasi dan proses sekularisasi yang menyertainya.
Dengan berkembangnya sekularisme dalam pemerintahan dan masyarakat,
maka semakin banyak para pemimpin agama yang kehilangan pengaruh mereka
yang sudah dikuatkan oleh tradisi untuk memperoleh atau mempertahankan
status serta sarana-sarana untuk mengontrol tatanan sosial masyarakat. Hal itu
dengan sendirinya melahirkan suatu kecenderungan di kalangan mayoritas ulama
untuk menggunakan kekuasaan mereka untuk menentang penguasa penjajah dan
kolaborator-kotaboratornya. Mereka cenderung untuk mengembangkan orientasi-
orientasi politik untuk memimpin gerakan-gerakan politik yang radikal. Penentangan
mereka terhadap penguasa yang kafir jelas berbeda dengan oposisi mereka terhadap
penguasa tradisional yang Muslim.
Para ulama pada dasarnya (sesuai tuntutan agama Islam) adalah sebagai
penyeimbang penguasa, yang dituntut untuk selalu bersikap kritis. Namun seringkali
kritik itu dianggap sebagai ancaman terhadap otoritas penguasa di masa lalu;
sekarang mereka menentang praktek-praktek kepamongprajaan yang sudah mapan
serta tatanan pemerintah penjajah yang kafir dan sekuler.72
Kebangkitan Agama IslamBagian akhir dari abad XIX merupakan satu periode kebangkitan kembali
agama Islam. Rakyat Banten merupakan penganut-penganut agama Islam yang
sudah mendarah-daging; ambruknya tatanan lama (kesultanan Banten) dan gejala
yang menyertainya, yakni keresahan sosial yang terus-menerus, telah mendorong
peningkatan kegiatan di bidang agama.
Kebencian terhadap dominasi Belanda dan rasa permusuhan yang sangat
mendalam terhadap segala hal yang berbau asing, yang mendasari keresahan
umum, sekarang menemukan jalan keluar baru berupa persekutuan dengan
gerakan-gerakan keagamaan. Sebagai akibatnya, maka gerakan-gerakan itu tidak
saja bertambah kuat, melainkan juga memperoleh satu sarana kelembagaan yang
lebih efektif, yakni tarekat.
Selama beberapa dasawarsa, sebagian besar Pulau Jawa dilanda gerakan
kebangkitan agama, yang memperlihatkan peningkatan yang sangat luar biasa dalam
kegiatan agama, seperti melakukan salat, naik haji, memberikan pendidikan Islam
72 Sartono, op.cit. h.352-354
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
37
kepada anak-anak muda, mendirikan cabang-cabang tarekat, penyelenggaraan
khotbah yang meluas, dan sebagainya.
Di akhir tahun-tahun 1850-an, Holle mencatat bahwa para bupati masih
harus mengeluarkan seruan agar rakyat lebih taat dalam menjalankan ibadah
mereka. Namun, beberapa tahun kemudian, satu kebangkitan kehidupan agama
ditandai dengan peningkatan jumlah pesantren dan orang-orang yang naik haji.
Selain itu, pembangunan sejumlah besar mesjid dan musholla juga sebagai satu
pertanda meningkatnya ketaatan beribadah umat Islam. Waktu itu rakyat sangat
menghormati para haji, dan dengan prestise mereka yang sangat besar, para haji itu
dapat menggunakan pengaruh mereka untuk mendorong rakyat agar lebih mentaati
kewajiban-kewajiban agama mereka.
Banyak orang yang sedang mendalami agama Islam di Indonesia mengikuti
perkembangan perang Rusia-Turki (di Indonesia dikenal sebagai Perang Rus) yang
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap alam pikiran kaum Muslim yang
hidup di "negeri-negeri bawah angin". Rakyat Indonesia ingin sekali mengetahui
perkembangannya, dan setiap kemenangan di pihak Sultan Rum (Turki Utsmani)
dirayakan secara meriah dengan doa-doa dan sedekah. Ada benih Pan-Islamisme
(mendukung khalifah islam), dan sistem komunikasi yang luas di dunia Islam
telah dibangun melalui pelaksanaan ibadah haji, artinya berita-berita tentang
komunitas Islam dapat mencapai tempat-tempat yang paling jauh. Jadi, kebangkitan
kehidupan agama Islam dimulai hampir bersamaan waktunya dengan perlombaan
di antara negara-negara imperialis untuk memperoleh daerah-daerah jajahan dalam
pertengahan kedua abad XIX. Ada korelasi antara ekspansi negara-negara penjajah
dan Pan-Islamisme atau kebangkitan agama Islam.
Suatu penyelidikan mengenai perkembangan umum Pan-Islamisme dan
kebangkitan kehidupan agama menunjukkan bahwa selama periode itu kedua
hal itu secara menyolok ditandai oleh karakteristik-karakteristik yang anti-Barat.
Penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh penjajah Barat sedang memperoleh
kemajuan-kemajuan besar; dalam periode yang gawat itu, para ulama Muslim
menyadari sepenuhnya bahwa dunia Islam sedang terancam bahaya yang semakin
besar akan jatuh ke bawah dominasi Barat.
Menghadapi ancaman dari Barat ini, kaum Muslim di berbagai bagian Dunia
Bulan Sabit memperlihatkan perlawanan yang timbul dari perasaan benci
terhadap penjajah-penjajah yang kafir. Maka tidaklah mengherankan jika fanatisme
dan semangat militan yang menggelora di Timur Tengah dan Afrika Utara selama
pertengahan kedua abad XIX, bergema pula di kalangan kaum Muslim Indonesia.73
Pemerintah penjajah telah menciptakan suatu struktur keagamaan yang
institusional yang terdiri dari satu hirarki pejabat-pejabat agama yang digaji,
dengan fungsi-fungsi dan kekuasaan-kekuasaan yang diakui pemerintah penjajah.
Golongan pejabat-pejabat agama resmi ini biasanya membiarkan dirinya dijadikan
alat kebijakan penjajah Belanda untuk menindas kegiatan-kegiatan perkumpulan-
perkumpulan agama pada khususnya, dan untuk membendung arus kebangkitan
73 Sartono, op.cit. h.156-157
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
38
agama Islam pada umumnya. Mereka dibujuk untuk mendakwahkan atau membela
ide-ide sekular yang dimasukkan oleh pemerintah kolonial.
Dengan adanya sekularisasi, kaum ulama sebagai eksponen-eksponen paling
utama dari warisan agama Islam terpecah menjadi golongan "sekularis" dan golongan
"kebangkitan"; golongan yang pertama diberi status formal di dalam kerangka
birokrasi kolonial, sedangkan golongan yang kedua tidak memperoleh status itu dan
hanya dapat bertahan berkat adanya ketaatan dan dukungan penduduk pedesaan.
Ada beberapa tanda-tanda utama kebangkitan agama Islam di Banten,
berdasarkan arah gejala umum. Pertanda pertama adanya semangat kebangkitan
itu adalah terus bertambahnya jumlah orang yang menunaikan ibadah haji dalam
abad XIX.
Pertanda kedua yang nampak tentang adanya semangat kebangkitan adalah
pertumbuhan pesantren-pesantren yang luar biasa, yang berfungsi sebagai tempat
pendidikan pendukung gerakan kebangkitan yang militan. Bukti ketiga tentang
kebangkitan kembali semangat Islam adalah banyaknya mesjid baru yang penuh
sesak setiap hari Jumat. Jelas ada kebangkitan kembali minat terhadap agama Islam
dan ketaatan beribadah yang menyolok.
Syekh-syekh atau khatib-khatib yang berkeliling dari satu tempat ke tempat
lainnya mendapat sambutan besar di mana-mana dan permintaan akan khotbah-
khotbah yang dicetak dan penerbitan-penerbitan lainnya mengenai agama Islam
terus meningkat. Banyak orang yang mengenakan pakaian Islami atau memakai
sorban.
Selama beberapa tahun, yang disebut sebagai "surat terakhir Nabi" beredar luas;
surat itu berseru kepada umat Islam agar lebih taat menunaikan ibadah mereka
sebagai persiapan menyongsong "Hari Kiamat". Dan terakhir, aspek yang paling vital
dari gerakan keagamaan itu tidak disangsikan lagi adalah bangkitnya kembali ajaran
sufi, seperti yang menjelma dalam tarekat-tarekat.74
Gejolak gerakan sosial sangat erat kaitannya dengan gerakan kebangkitan
kembali agama Islam yang menggelora yang tak disangsikan lagi mendasarinya.
Dalam hubungan ini penetrasi Westernisme (pemaksaan nilai-nilai Barat dengan
penjajahan) adalah faktor yang mempercepat prosesnya, merangsang timbulnya
gerakan kebangkitan kembali agama Islam.75
Pengaruh Ibadah HajiPada dekade 1880-1890, terjadi banyak peristiwa yang membangkitkan harapan
baru bagi kebangkitan kembali kekuatan Muslim di seluruh dunia Islam. Maka orang
Jawah (sebutan penduduk Asia tenggara di Mekah), sangat menaruh harapan pada
perjuangan muslim Aceh melawan penjajah kafir. Pertanyaan pertama yang diajukan
orang “Jawah” pada para jamaah haji yang baru datang adalah apakah orang-orang
74 Sartono, op.cit. h.160-16175 Ibid. 162
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
39
kafir sudah dapat diusir? dan kapan perlawanan secara menyeluruh orang-orang
beriman untuk menghentikan pemerintahan kafir di kepulauan Nusantara?76
Meningkatnya kegiatan ibadah ini sangat penting artinya, bukan hanya bagi
penyebaran pembaruan-pembaruan di seluruh dunia Islam, melainkan juga bagi
pertumbuhan ulama baru yang menuntut ilmu di tanah suci. Oleh sebab itu, maka
Mekah dipandang sebagai jantung kehidupan agama di Indonesia. Tahun 1850-
an sampai 1860-an rata-rata 1600 orang berangkat haji per tahun, tahun 1870
meningkat menjadi hampir 2600 orang, tahun-tahun 80-an naik menjadi 4600 orang
per tahunnya.77
Di Mekah dan Madinah pada saat itu, semua orang yang berasal dari Asia Tenggara
tanpa pandang bulu dipanggil dengan sebutan Jawah (orang Jawa).78 Penduduk di
pulau Jawa memang paling besar saat itu sehingga komposisi yang datang ke tanah
suci juga banyak. Maka semua orang dari Asia Tenggara saat itu disebut jawah,
mungkin karena kemiripan mereka secara fisik.
Menurut Apendik F dari laporan Direktur Departemen Dalam Negeri Pemerintah
penjajah Hindia Belanda tanggal 18 September 1888 tentang "Daftar Jumlah Haji
dan Guru Agama di Jawa dan Madura pada akhir 1887", diketahui wilayah Banten
mempunyai jumlah haji dan guru agama yang sangat banyak. Bia dibandingkan
dengan wilayah lain, jumlah haji dan guru agama di Banten menduduki posisi
pertama.
Dalam data tersebut, wilayah Banten pada tahun 1887 berpenduduk 561.003
jiwa. Sedangkan, bila dibandingkan antara jumlah penduduk dengan warganya
yang bergelar haji saat itu mencapai 0,72 persen atau mencapai 4.073 orang.
Jumlah ini mencengangkan bila misalnya dibandingkan dengan wilayah
Yogyakarta yang saat itu jumlah penduduknya yang mencapai 651.123 jiwa. Dari
jumlah tersebut, besaran persentase warganya yang bergelar haji ternyata kecil saja,
yakni hanya 0,07 persen atau hanya 485 orang.
Persentase dan jumlah haji penduduk Banten juga jauh lebih tinggi dari wilayah
Batavia (Jakarta). Data itu menyatakan, dengan jumlah penduduk Batavia yang
mencapai 937.289 jiwa, persentase jumlah warganya yang bergelar haji hanya
mencapai 0,41 persen atau mencapai 3.886 orang.
Dan dari dokumen daftar rapat yang oleh pemerintah Belanda disebut "anggota
komplotan pemberontak", hampir semua atau sebagian besar dari mereka adalah
para kiai dan mereka yang pernah naik haji ke Makkah.79
Gerakan Tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyyah adalah satu-satunya aliran tarekat yang
didirikan oleh orang Indonesia, Ahmad Khatib dari Sambas (Kalimantan Barat).
76 Bernard H.M. Vlekke, op.cit. h.30477 Sartono, op.cit. h.16578 Martin van Bruinessen. “The Origins and Development of Sûfî Orders (Tarekat) in Southeast Asia.” Studia
Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies, Volume I, No. 1 (April - June), 1994. h.979 https://www.republika.co.id/berita/jurnal-haji/haji-barkah/16/08/07/obc0mq385-pelarangan-azan-hamka-
perlawanan-para-haji-di-banten-juli-tahun-1888-part1
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
40
Ahmad Khatib, yang menghabiskan sebagian besar masa dewasanya di Mekah,
memiliki reputasi tinggi di komunitas Jawah sebagai seorang ulama serba bisa.
Dia menguasai berbagai disiplin ilmu. Dia mempunyai banyak pengikut sebagai
pemimpin tarekat, yang segera menggantikan Sammaniyyah sebagai yang paling
populer di Indonesia. Setelah kematiannya pada tahun 1873 atau 1875, khalifahnya
'Abdul Karim dari Banten menggantikannya sebagai syekh tertinggi tarekat tersebut.
Dua khalifah penting lainnya adalah Kiai Tolha di Cirebon dan Kiai Ahmad Hasballah
di Madura.80
Tarekat merupakan alat yang baik sekali untuk mengorganisasikan gerakan
keagamaan dan mewariskan semangat dan nilai kebangkitan agama Islam. Di Pulau
Jawa abad XIX hanya ada tiga tarekat yang berpengaruh -- Kadiriah, Naksibandiah
dan Satariah. Di beberapa tempat terdapat pula kelompok-kelompok dengan nama
Rahmaniah atau Rifa’iah, akan tetapi tidak begitu besar pengaruhnya. Di Pulau Jawa
secara keseluruhan, Naksabandiah merupakan tarekat yang paling kuat, akan tetapi
keadaannya berbeda dari daerah ke daerah: di Banyumas yang dominan adalah
tarekat Satariah, dan di Banten tarekat Kadiriah.
Kedua tarekat itu sudah sangat tua dan mapan di Indonesia pada umumnya dan
di Jawa pada khususnya, demikian juga Naksabandiah. Ketiga aliran Sufi itu muncul
sebagai ujung tombak gerakan kebangkitan Islam di beberapa daerah di Pulau Jawa
abad XIX. Penyebar-penyebar utama ajaran mereka adalah para haji yang kembali ke
tanah air sebagai penganut salah satu tarekat.
Tarekat Kadiriah dan Naksibandiah lebih keras dari tarekat-tarekat lainnya,
oleh karena itu pengaruh mereka pun lebih besar. Cita-cita dan aspirasi tarekat-
tarekat itu berbeda satu sama lain, akan tetapi mereka semuanya bekerja dengan
semangat yang menggelora dan menyebarkan pengaruh mereka ke banyak daerah
di Nusantara. Perkembangan ini dipandang sebagai bagian dari kebangkitan Islam
yang berlangsung di Indonesia dalam pertengahan kedua abad XIX.81
Satu unsur penting dalam organisasi tarekat yang relevan bagi pola kegiatan
gerakan itu adalah persekutuan yang kokoh antara guru-tarekat dan murid. Ikatan
antara guru tarekat dan murid dikukuhkan secara resmi dengan bengat (baiat/janji
setia), di mana murid berjanji akan setia dan patuh kepada gurunya sebagal wali
Allah. Disiplin yang dikenakan kepada anggota-anggota tarekat juga mengajarkan
cinta-kasih terhadap orangtua dan setiakawan terhadap sesama penganut tarekat,
dan melarang diadakannya hubungan dengan pemuka-pemuka agama di luar
tarekat. Kewajiban-kewajiban anggota tercantum di dalam ijazah yang diserahkan
kepada anggota baru setelah masa pendidikannya berakhir, yakni pada upacara
bengat (bai’at).
Tarekat mempunyal pengaruh yang sangat besar atas penganut-penganut
mereka, di bawah kekuasaan pemerintah penjajah mempunyai arti politik yang
sangat penting. Mereka bukan hanya pusat-pusat kebangkitan agama melainkan juga
menjadi pusat-pusat protes politik. Kekuatan-kekuatan perlawanan yang terkandung
80 Martin van Bruinessen. Op.cit. h.12-1381 Sartono, op.cit. h.169-170
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
41
di dalam tarekat-tarekat itu menyebabkan gerakan protes menempuh jalan dengan
senjata. Sebagai akibat perkembangan ini, maka konflik-konflik dengan tatanan
sosio-politik yang telah dibangun oleh penguasa penjajah tak dapat dielakkan lagi.82
Di Banten timbul gerakan besar kebangkitan agama Islam, yang terutama
mempunyai kaitan dengan tarekat Kadiriah. Tarekat ini menjadi ujung tombak
protes religio-politik terhadap penjajah. Sebelum didirikan tarekat Kadiriah pada
awal tahun-tahun 1870-an, para kiyai di Banten bekerja tanpa ikatan apa pun satu
sama lainnya. Tiap kiyai menyelenggarakan pesantrennya sendiri dengan caranya
sendiri.
Dengan kedatangan Haji Abdul Karim di Banten pada awal tahun-tahun tujuh
puluhan, tarekat Kadiriah memperoleh momentum. Di bawah pengaruhnya, tarekat
itu semakin berakar di kalangan para kiyai dan mempersatukan mereka. Pada waktu
yang bersamaan, pengaruh para kiyai atas pengikut-pengikut mereka bertambah
secara luar biasa. Dengan memasuki tarekat Kadiriah, maka kesetiaan para santri
pada kiyai dan persaudaraan di kalangan para santri menjadi lebih kokoh.
Para kiyai pada umumnya sangat dicintai dan dihormati oleh rakyat yang
menganggap mereka sebagai lambang kejujuran dan keluhuran budi. Mereka dengan
mudah dapat mengerahkan penduduk desa. Kesetiaan ini, yang dalam pandangan
petani-petani Muslim sudah sewajarnya mereka berikan kepada pemimpin-
pemimpin agama mereka, lebih diperkokoh lagi oleh keanggotaan mereka dalam
tarekat.
Penyebaran ajaran Kadiriah di Indonesia mencapai puncaknya dalam kegiatan
Khatib Akhmad Sambas dan muridnya yang paling terkemuka, Haji Abdul Karim.
Dakwah tarekat itu semakin diperkuat dengan kedatangan Haji Marjuki, seorang
murid setia Haji Abdul Karim. Efek dakwah ini adalah bangkitnya semangat yang
sangat militan menentang penguasa asing. Keyakinan umat Islam yang tak pernah
padam mengenai Perang Sabil disuarakan tak henti-hentinya.
Pada permulaan kegiatannya, gerakan kebangkitan kembali yang dipimpin oleh
Abdul Karim memperlihatkan sikap yang tegas dalam soal-soal keagamaan dan
puritan. Akan tetapi Haji Abdul Karim kegiatan-kegiatannya terbatas pada ajakan
agar ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Al-Quran ditaati dengan seksama,
dengan tekanan khusus kepada ibadah salat, puasa dan mengeluarkan zakat. Setelah
Haji Abdul Karim meninggalkan Banten, semangat yang sangat anti-asing mulai
merembesi praktek-praktek tarekat itu. Dan pada akhirnya haji-haji dan guru-guru
tarekat yang berjiwa pejuang menggunakan tarekat sebagai sarana untuk mengusir
penjajah dan menegakkan pemerintahan Islam.83
Larangan Adzan dengan Suara KerasBulan Juni 1888 tersiar kabar, khususnya di Beji dan daerah sekitarnya, yang
menyatakan bahwa pejabat-pejabat pemerintah telah mengeluarkan larangan
azan dan menyelenggarakan zikir. Dalam sidang pengadilan yang diadakan sekitar
82 Sartono, op.cit. h.171-17283 Sartono, op.cit. h.174-175
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
42
setengah tahun kemudian, Haji Makid didakwa telah menyiarkan kabar yang
provokatif itu.
Kebun Haji Makid berbatasan dengan kebun asisten residen Cilegon, Gubbels.
Ia mempunyai sebuah langgar di mana tetangga-tetangga dan kawan-kawannya
biasa melakukan salat dan zikir. Dari menara yang dibuat dari bambu yang tingginya
sekitar 10 meter, seorang di antara mereka mengumandangkan azan lima kali sehari.
Waktu itu istri Gubbels konon menderita sakit kepala yang kronis, sehingga suara
azan dan salat mengganggunya. Suaminya minta kepada Haji Makid melalui Patih
Raden Penna, agar mereka tidak menggunakan suara yang keras dalam melakukan
ibadah mereka. la juga menyatakan keberatannya terhadap acara-acara zikir yang
biasanya berlangsung sampai larut malam.
Patih Raden Penna, yang menyampaikan pesan Asisten Residen itu kepada Haji
Makid kabarnya telah mengeluarkan kata-kata menghina "bahwa tidaklah perlu
bersembahyang dengan suara yang keras, bukan hanya karena hal itu mengganggu
tetangga-tetangga mereka, akan tetapi juga karena Tuhan tidak tuli".
Hal-hal lainnya yang menyakitkan hati rakyat, khususnya yang menyangkut
agama adalah sebagai berikut: mereka tidak diperbolehkan merayakan perkawinan
dan khitanan dengan arak-arakan yang mewah, takbiran, musik gamelan dan
pertunjukan tari-tarian. Dengan sendirinya persoalan-persoalan itu sangat
menyakitkan hati rakyat di kala semangat keagamaan sedang menggelora.84
Dalam buku berjudul Perbendaharaan Lama yang diterbitkan Pustaka Panjimas
tahun 1982, Buya Hamka menyatakan bahwa salah satu pemicu geger cilegon 1888
adalah akibat adanya pelarangan pembacaan shalawat, tahrim, dan azan dengan
suara keras:
Menurut catatan dari Pangeran Ahmad Jayadiningrat, bekas regen Serang
dan salah satu pegawai tinggi pemerintah Belanda yang amat terkenal, sebab
pemberontakan ialah karena di belakang rumah resident Goebels di Jombang
Tengah ada sebuah langgar. Langgar itu bermenara. Seketika waktu Maghrib
orang selalu membaca shalawat atau tahrim atau azan dengan suara keras,
sehingga selalu mengganggu beliau yang nyenyak tidur.
Maka oleh karena kesenangan beliau terganggu, beliau perintahkan
kepada Patih, supaya dibuat surat edaran, melarang shalawat, tahrim, dan
azan itu tidak dilakukan keras-keras, karena "Tuhan tidak pekak!" Dan
menurut penyelidikan Tuan Patih, menara langgar di belakang rumah tuan
asisten residen itu telah tua, lebih baik diruntuhkan saja. Lalu diperintahkan
opas-opas untuk meruntuhkan!
Menurut Hamka, H Wasit merasa berang dengan tindakan penjajah terseut.
Apalagi sebelumnya dia sempat terkena hukuman denda karena menebang
'pohon kayu keramat' yang selama ini dipakai sebagai ajang praktik kemusyrikan
oleh sebagian masyarakat. Akibat adanya dua tindakan itu maka para haji, ulama,
84 Sartono, op.cit. h.219-220
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
43
dan tokoh masyarakat di Cilegon merasa bahwa keyakinan agama mereka telah
sangat direndahkan oleh pihak pemerintah penjajah. Maka semangat perlawanan
di kalangan rakyat membesar dengan hebat. Apalagi kemudian aturan mengenai
pelarangan pembacaan shalawat, tahrim, dan azan dari Goebles tersiar di seluruh
kalangan kaum santri di Banten.
Kalau telah begini yang terjadi sekarang, betapa lagi selanjutnya? Apalah
artinya menjadi orang Islam, di tanah air sendiri pula, kalau perbuatan musyrik
mendapat perlindungan dari pemerintah, dan pegawai pemerintah sendiri
telah berani berlancang meruntuhkan menara sebuah langgar? Niscaya akan
datang lagi larangan lain, sehingga hapuslah Islam dari negri kita ini.
Haji Wasit menemui temannya, Tubagus Ismail, dengan tujuan
memperbincangkan bahaya yang menimpa agama Islam ini. Dan sama
dengan Haji Wasit, Haji Ismail pun telah merasakan hal yang sama. Kawan
yang lain, ulama yang lain pun juga merasa sama!
Apa akal? Berontak!85
Narasi (doktrin) PerlawananPara pejuang dan pahlawan Banten memiliki semangat jihad yang kuat yang
didasarkan pada keyakinan keagamaan bahwa kaum penjajah adalah orang kafir
yang menzhalimi kaum Muslimin sehingga rakyat Banten wajib untuk memeranginya.
Demikian yang dapat ditelusuri dari motivasi dan pendorong mereka untuk
berperang; artinya hanya ada satu kata kunci bagi mereka menghadapi penjajah,
yaitu Jihad atau Perang.86
Dalam mendorong pengikutnya untuk bangkit melawan penjajahan Belanda,
para ulama Banten menggunakan beberapa narasi yang terbukti ampuh membakar
semangat rakyat untuk melawan pemerintahan penjajah kafir yang terus-menerus
menzalimi rakyat pribumi. Berikut beberapa dontrin atau narasi tersebut:
Darul Islam (Pemerintahan Islam)Perlawanan-perlawanan itu bersifat revolusioner dalam arti bahwa tujuannya
lebih dari sekedar menghancurkan birokrasi yang korup; perlawanan-perlawanan
itu bertujuan menumbangkan sistem pemerintahan yang dibangun oleh penguasa
asing. Perlawanan-perlawanan itu dapat dipandang sebagai usaha untuk merebut
kendali politik dari golongan pamong praja penjajah asing.
Seperti yang dapat kita baca dalam catatan-catatan sejarah, di samping
ketidaksenangan mengenai berbagai pajak dan kerja paksa, soal pemulihan
kesultanan merupakan satu tema umum. Dokumen-dokumen yang ada tidak
memberikan banyak informasi mengenai apa yang sebenarnya mereka maksudkan
dengan kebangkitan kembali kesultanan itu. Cita-cita tentang kembalinya kesultanan
85 Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, Pustaka Panjimas Jakarta, cetakan ke-2 1982. h.47-4886 Parlindungan Siregar, Perjuangan Rakyat Banten op.cit. h.57
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
44
itu kadang-kadang dikaitkan dengan janji untuk menghapuskap pajak-pajak yang
memberatkan rakyat.
Sejauh gerakan-gerakan itu mengandung harapan akan kembalinya kesultanan,
mereka dapat dilukiskan sebagai gerakan milenari. Sesungguhnya, aspek milenari
dari cita-cita tentang kesultanan itu dapat dipahami sebagai gagasan yang
menyatakan bahwa situasi kolonial bisa berakhir dan bahwa keselarasan lama yang
terdapat dalam tatanan Islam bisa dipulihkan. Di sini satu di antara karakteristik-
karakteristik utama milenarianisme dapat ditunjukkan dengan jelas, yakni penolakan
yang mendalam dan total terhadap situasi sekarang (saat itu). Kesultanan dapat
dipandang sebagai satu unsur esensial dari tatanan lama yang hendak dipulihkan
oleh gerakan-gerakan itu.87
Masyarakat Islam Banten saat itu meyakini bahwa, meletusnya gunung
Krakatau adalah azab Allah karena masyarakat membiarkan pemerintah kafir yang
dzalim, yaitu Belanda tinggal dan bahkan memerintah di negeri mereka. Dengan
adanya kepercayaan tersebut banyak diantara pemuka agama mulai mengadakan
perlawanan terhadap Belanda untuk mewujudkan pemerintahan yang Islami seperti
masa kejayaan kesultanan Banten.
Gunung Krakatau yang meletus pada bulan Agustus 1883 menyebabkan
penderitaan yang bertambah ketika sebelumnya daerah Banten mengalami wabah
penyakit ternak tahun 1879 yang menyebabkan jumlah ternak menurun. Kemudian
wabah demam yang menyebabkan lebih dari sepuluh persen penduduk meninggal
dunia. Selain itu juga meletusnya Gunung Krakatau merupakan letusan paling hebat
yang pernah tercatat dalam sejarah vulkanologi di Indonesia. Lebih dari 36.000
orang tewas, serta banyak desa yang makmur dan sawah-sawah yang subur menjadi
gersang. Dengan kejadian tersebut, maka kesengsaraan melanda sebagian besar
wilayah Banten.
Wabah dan bencana alam yang mengerikan tersebut sesuai dengan tanda-
tanda akan segera tibanya hari kiamat yang disampaikan oleh Haji Abdul Karim.
Bencana dan malapetaka ditafsirkan berdasarkan dalil-dalil agama Islam tersebut
menimbulkan emosi yang luar biasa serta kecemasan yang besar di kalangan rakyat.
Tujuan akhir yang hendak dicapai sebagaimana yang disampaikan Abdul Karim
adalah mendirikan sebuah pemerintahan Islam (Darul Islam). Oleh karena itu, para
pengikut ulama tarekat ini memiliki kesadaran yang kuat bahwa negeri mereka
(Banten), di masa yang akan datang harus menjadi Darul Islam, dan tidak diperintah
oleh penguasai asing yang kafir.
Haji Abdul Karim juga pernah menyampaikan bahwa ia tidak akan kembali ke
Banten selama Banten masih dalam kekuasaan penjajah, ia hanya akan kembali saat
Banten telah menjadi bumi Islam (darul Islam).88
Suatu hal yang inheren dalam semangat keagamaan yang berkobar-kobar
saat itu adalah bertambah besarnya kebencian terhadap orang-orang Eropa yang
kafir. Pemusnahan kekuasaan asing menjadi tujuan pokok gerakan keagamaan itu.
87 Sartono, op.cit. h.11688 Sartono, Op.Cit. h.176
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
45
Sementara itu, khotbah-khotbah, janji-janji dan narasi-narasi keagamaan Haji Abdul
Karim terus membakar semangat rakyat.
Jelaslah bahwa doktrin-doktrin tentang tanda-tanda "Hari Kiamat", kedatangan
Mahdi, dan tentang jihad menimbulkan gelora keagamaan yang massif; semangat
jihad dihidupkan oleh kesadaran yang kuat bahwa negeri mereka harus menjadi
sebuah darul Islam yang saat itu diperintah oleh orang-orang asing, dan yang pada
satu ketika kelak harus direbut kembali. Tujuan akhir yang hendak dicapai oleh Kiyai
Agung adalah mendirikan sebuah pemerintahan Islam.
Sementara kepopuleran Haji Abdul Karim terus meningkat, murid-muridnya
dengan tak sabar menantikan seruannya untuk mulai berperang melawan penjajah
kafir. Rakyat dilanda rasa rindu pada pemerintahan Islam dan ingin mengulangi
kejayaannya. Seperti dinyatakan oleh Snouck Hurgronje:
“.... setiap malam beratus-ratus orang yang ingin diselamatkan, berduyun-
duyun ke tempat tinggalnya (H.Abdul Karim), untuk belajar zikir darinya, untuk
mencium tangannya dan untuk menanyakan apakah saatnya sudah hampir
tiba, dan untuk berapa lama lagi pemerintah Kafir masih akan berkuasa?”89
1. Perang Sabil (Jihad Fi Sabilillah)Dengan meningkatnya gerakan kebangkitan Islam pada paruh akhir abad ke-
19 juga meningkatkan potensi perlawanan rakyat Banten. Permusuhan membara
terhadap penjajah asing Belanda, kerusuhan-kerusuhan kecil yang terus terjadi dan
pergolakan besar pada tahun 1888 dianggap sebagai akibat semangat keislaman
yang membara.
Sikap militan para pejuang kala itu dihubungkan dengan doktrin perang sabil yang
bertujuan untuk mendirikan kembali pemerintahan Islam dalam bentuk kesultanan
Banten dan menghancurkan kekuasaan asing. Doktrin perang sabil sudah menjadi
keyakinan masyarakat muslim yang di saat-saat menderita menjadi kekuatan yang
ampuh untuk menggerakkan rakyat dan mengancam penjajah Belanda. Semangat
perjuangan mereka begitu menyatu dengan keyakinan (agama) mereka sehingga
para pejuang tersebut merasa pasti akan memperoleh kemenangan melawan
pasukan pemerintah penjajah yang bersenjata modern.90
Dalam setiap pengajian atau majelis dzikir yang diadakan di rumah-rumah atau di
masjid-masjid, para ulama selalu menanamkan semangat jihad, menentang penjajah
pada masyarakat. Melalui pesantren-pesantren para ulama berhasil menanamkan
semangat jihad di hati santri-santrinya.91
Narasi tentang perang sabil juga menjadi salah satu tema yang disampaikan oleh
para guru tarekat. Semua ini hanya mempunyai satu tujuan yaitu pemulihan kembali
kesultanan Banten. Dalam perkembangannya para kyai menanamkan kecurigaan
dan kebencian terhadap pemerintah penjajah dalam hati santri-santrinya. Secara
89 Snouck Hurgronje (1931), hal. 277, dalam: Sartono, Op.Cit. h.19790 Sartono, Op.Cit. h.116-11791 Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari, op.cit. h.193
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
46
berangsur menimbulkan semangat di kalangan pengikut-pengikutnya untuk
melancarkan perang sabil terhadap penguasa-penguasa kafir.
Menurut Sartono, di dalam ide tentang Darul Islam terkandung perasaan
benci yang diperlihatkan secara terang-terangan oleh rakyat, tidak hanya
terhadap orang-orang Eropa yang kafir, tetapi juga terhadap semua orang yang
memandang tinggi orang-orang Eropa atau bergaul dekat dengan mereka.
Pejabat-pejabat pamong praja Banten yang menjadi penyambung tangan Belanda,
dipandang sebagai orang-orang hina. Mereka mencemarkan agama mereka sendiri
karena Muslim yang baik harus menjauhkan diri dari membantu dan bekerjasama
dengan orang-orang kafir.
Selain itu, rakyat cenderung memandang pamong praja sebagai orang-orang yang
korup dan menindas. Kaum santri tidak saja merasa kaum priyayi memperlakukan
mereka dengan buruk, tetapi juga mendakwa bahwa mereka pada umumnya tidak
bermoral. Kaum priyayi dicap sebagai kafir indanas, hanya lahiriyahnya saja yang
Muslim. Hal ini mendorong rakyat enggan berurusan dengan pemerintah Belanda,
agen-agennya, dan peraturan-peraturannya, dan menganggap mereka semua
sebagai orang-orang yang hina. Oleh karena itu, penetrasi pemerintahan kolonial ke
desa-desa harus ditentang.
Dalam hal ini, para kiailah yang tak henti-hentinya berusaha menanamkan
kecurigaan yang mendalam terhadap pemerintah penjajah dalam hati santri-
santrinya, dan secara berangsur-angsur membakar semangat pengikut-pengikutnya
untuk melancarkan Perang Sabil terhadap penguasa-penguasa kafir. Ini merupakan
tahap dimana gerakan kebangkitan agama Islam menjelma menjadi gerakan jihad.
Rakyat memiliki keyakinan yang kuat bahwa begitu keadaannya memungkinkan,
negeri mereka akan diubah dengan menggunakan kekuatan dan menjadi negeri
Islam (darul Islam) yang sejati. Sikap ini merupakan ajaran tentang Perang Sabil,
yang menyatakan bahwa umat Islam berkewajiban memerangi orang-orang kafir.
Karena orang-orang kafir sudah dikutuk sebagai musuh Allah, maka usaha
menaklukkan mereka dengan senjata merupakan satu kewajiban suci yang
menuntut pengorbanan.
Tujuan utama Perang Sabil, adalah mendirikan sebuah pemerintahan Islam yang
merdeka di mana orang dapat mempraktekkan agama Islam dengan sempurna.
Ini berarti bahwa bagi penganut-penganut gerakan kebangkitan agama Islam dan
anggota-anggota tarekat, jihad atau perang sabil merupakan tindakan pengorbanan
yang paling luhur untuk mewujudkan pemerintahan yang ideal, dan merupakan
puncak segala ibadah, shalat, puasa dan haji.92
2. Imam MahdiGejolak sosial yang timbul setelah terjadinya bencana-bencana dan kerusahan-
kerusuhan sosial yang silih berganti, telah meningkatkan tuntutan akan suatu
pemecahan yang totalistik. Kondisi mental rakyat dapat dengan mudah menerima
narasi mengenai pembebasan dari pemerintah penjajah yang menindas dan
92 Sartono, op.cit. h.178
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
47
kepercayaan umat Islam tentang Mahdi. Di samping itu, gagasan tentang Perang
Sabil dan pemulihan kesultanan merupakan ekspresi yang menonjol dari orientasi
dasar anggota-anggota tarekat yang terlibat dalam gerakan perlawanan.93
Salah satu ciri khas dari kebangkitan agama di Banten pada khususnya yaitu
munculnya narasi-narasi akhir zaman yang mencakup keyakinan akan kedatangan
Imam Mahdi, yang mana masyarakat muslim Banten sudah lama menantikan
kedatangannya.
Imam Mahdi, yang secara harfiah berarti penunjuk jalan yang benar, adalah
nama tokoh yang akan muncul menjelang hari kiamat dan menghancurkan Dajal di
akhir zaman. Kepercayaan akan tibanya seorang Mahdi terus hidup dalam sejarah
masyarakat Islam dan tersebar luas di seluruh dunia.
Kedatangan Mahdi akan didahului oleh satu periode kekacauan besar, ketiadaan
iman dan peperangan. Pada saatnya nanti, Mahdi akan muncul untuk memenangkan
agama Islam; dia akan memperbarui Islam, menegakkan kembali keagungannya dan
mengalahkan orang-orang kafir.
Disebutkan pula tanda-tanda mengenai tanda-tanda akan tibanya hari kiamat,
seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, hujan darah, wabah penyakit ternak,
dan sebagainya. Bencana dan malapetaka ditafsirkan berdasarkan dalil-dalil agama
tersebut dan menimbulkan emosi yang luar biasa serta kecemasan yang besar di
kalangan rakyat.
Di dalam periode kesulitan sosial itu, ketika rakyat dilanda frustrasi, dan
perlawanan yang ditekan, kepercayaan tentang Mahdi merupakan alat yang cocok
untuk membangkitkan mereka supaya melawan dominasi asing.94
Perlawanan yang BeradabPejabat-pejabat pamongpraja telah menjadi sasaran kaum perlawanan dan
mereka terus menjadi sasaran serangan selama berlangsungnya kerusuhan-
kerusuhan itu. Tindakan-tindakan para pejuang sangat dipengaruhi oleh sikap
permusuhan mereka terhadap setiap orang yang ditugaskan untuk melaksanakan
peraturan-peraturan pemerintah penjajah, memungut pajak dan menegakkan
hukum.
Tidak nampak adanya sikap permusuhan terhadap orang-orang asing bukan
Eropa, seperti orang-orang Cina atau Arab. Hanya beberapa orang Cina saja yang
diganggu, sementara seorang Arab ikut membantu perlawanan.95
Sebagian besar pejabat pemerintah penjajah di Cilegon dapat dibunuh, yang
tidak dibunuh adalah kaum wanita dan para babu yang merupakan penduduk
pribumi. Para pejabat Belanda yang mau masuk Islam atau mengucapkan kalimat
syahadat juga tidak dibunuh.96
93 Sartono, op.cit. h.18294 Sartono, op.cit. h.176-17795 Sartono, op.cit. h.25796 Sartono, op.cit. h.243
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
48
Menurut berbagai catatan, para pemimpin perlawanan tetap berpegang
teguh pada motif (tujuan) perjuangan, mereka tidak memetingkan keuntungan
diri sendiri. Uang dan pistol yang dirampas dari Asisten Wedana Mancak tidak
digunakan untuk kepentingan pribadi, tetapi untuk kepentingan perlawanan
secara umum. Selain itu tidak ada satupun rumah pejabat penjajah yang dibakar
dan dijarah isinya setelah diserbu oleh para pejuang.97
Walaupun gerakan perlawanan yang dipimpin para ulama Cilegon tersebut
berhasil dipadamkan oleh penjajah Belanda, semangat dan tekad untuk melawan
dari orang-orang Cilegon dan Banten pada umumnya tak pernah bisa dipadamkan.
Banyak kiai yang merasa menyesal karena saat terjadi peristiwa tersebut tidak
ikut membantu perjuangan yang dilakukan oleh Haji Wasid dan pendukungnya.
Perasaan dendam dan kemarahan pada penjajah semakin dalam karena tindakan
kejam Belanda terhadap para pejuang.
Terbukti pada tahun 1889 saat malam idul fitri muncul kembali sebuah usaha
perlawanan yang bobotnya hampir sama dengan perlawanan di Cilegon. Mereka
bertekad menuntut balas pada penjajah Belanda atas kejahatan mereka pada Haji
Wasid, Haji Tubagus Ismail, Haji Ishak dan beberapa kiyai yang terbunuh dalam
peristiwa geger Cilegon 1888. Namun sebelum terwujud, rencana tersebut telah
bocor ke pihak penjajah sehingga tentara Belanda segera melakukan penangkapan
terhadap orang-orang yang dicurigai. Perencana gerakan perlawanan itu diketahui
kebanyakan berasal dari daerah Cilegon, Serang dan Tanara.98
PenutupDengan menanamkan narasi-narasi dalam ajaran agama Islam untuk melawan
kezaliman penjajah, para ulama berhasil membangkitkan semangat rakyat muslim
Banten utuk melawan pemerintah penjajah kafir Belanda. Narasi-narasi yang mereka
gunakan antara lain; (1) narasi jihad, bahwa setiap muslim wajib melawan dan
mengusir penjajah kafir dan zalim yang menganeksasi wilayah muslim, (2) narasi
darul Islam (pemerintahan Islam), bahwa tujuan utama berjihad setelah berhasil
mengusir penjajah adalah menegakkan kembali sistem (pemerintahan) Islam yang
sesuai dengan ajaran Islam, (3) narasi akhir zaman dan Imam Mahdi, bahwa semua
tanda-tanda alam yang terjadi di Banten saat itu (seperti kekeringan, gunung meletus,
tsunami, wabah penyakit ternak, dll.) menunjukkan bahwa hari kiamat sudah dekat
dan sebagai tanda kedatangan imam mahdi yang akan memimpin kebangkitan dan
kejayaan agama Islam di bumi pada akhir zaman.
Musibah dan bencana membuat masyarakat Muslim di Banten sadar akan
kesalahan dan dosa-dosanya. Dengan bencana yang begitu dasyat, mengerikan dan
terjadi secara berturut-turut telah membuat banyak orang takut akan azab Allah,
ingin bertaubat dan berusaha lebih mendekatkan diri kepada Allah. Dakwah dan
seruan para ulama disambut masyarakat dengan antusias setelah bencana terjadi.
97 Sartono, op.cit. h.25798 Nina H Lubis,op.cit.h.119
SYAMINA Edisi 4 / Februari 2019
49
Kesadaran ini pada gilirannya menggerakkan apa yang banyak disebut oleh para
sejarawan sebagai gerakan “kebangkitan agama Islam”.
Meskipun perjuangan kaum perlawanan dapat dikalahkan oleh penjajah, namun
semangat perlawanan mereka tak pernah padam. Pemerintah penjajah masih
disibukkan dengan berbagai berita mengenai adanya rencana perlawanan baru.
Mereka berencana akan membunuh semua pejabat penjajah baik pribumi maupun
Eropa.
Panjangnya daftar usaha perlawanan muslim Banten menunjukkan tingginya
semangat mereka berjihad melawan penjajah kafir Belanda untuk mengembalikan
pemerintahan Islam (seperti kesultanan Banten) yang dihapuskan oleh penjajah.
Mereka tidak melemah, putus asa atau menjadi takut walaupun usaha mereka gagal
dan banyak pemimpin mereka dieksekusi atau dibuang oleh penjajah. Mereka yakin
dengan janji-janji Allah seperti yang disampaikan oleh para ulama dan haji yang
memimpin perlawanan jihad, bahwa kemenangan kemuliaan agama Islam akhirnya
akan berada di tangan mereka.
Dengan berbagai peristiwa perlawanan dan kekerasan yang tak pernah henti
di Banten selama Abad ke-19, setelah penghapusan kesultanan Banten, dapat
disimpulkan bahwa, penjajahan Belanda telah memicu konflik, kerusuhan dan
perlawanan di Banten pada Abad ke-19. Dampak penjajahan Barat mempercepat
disintegrasi masyarakat tradisional dan meningkatkan kerusuhan umum. Akibat
penjajahan pula, keamanan, ketertiban, keadilan dan kemakmuran yang pernah
dicapai kesultanan Banten musnah tak tersisa lagi.
Daftar Pustaka:Asep Muslim, Lala M. Kolopaking dkk. The Shift of Power Structure in Rural Banten:
A Case of Local Leadership Typology of Ulama and Jawara in Pandeglang,
International Journal of Humanities and Social Science Vol. 6, No. 7; July 2016.
Bernard H.M. Vlekke, Nusantara, Sejarah Indonesia, KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia) Jakarta Cetakan Keempat Juni 2017.
Claude Guillot, Banten, Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII. Cetakan pertama.
Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta 2008
Erlita Tantri, Letusan Krakatau 1883: Pengaruhnya Terhadap Gerakan Sosial Banten
1888, Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 16 No. 1 Tahun 2014.
Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari, Catatan Masalalu Banten, Penerbit
Saudara Serang, Cetakan ke-3, 1993.
Hamka, Dari Perbendaharaan Lama, Pustaka Panjimas Jakarta, cetakan ke-2 1982.
Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten, Sumbangan Bagi
Pengenalan Sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa, Penerbit Djambatan Jakarta
1983,
SYAMINAEdisi 4 / Februari 2019
50
Kaoru Ueda, Sonny C. Wibisono, dkk., Paths to Power in the Early Stage of Colonialism
An Archaeological Study of the Sultanate of Banten, Java, Indonesia, the
Seventeenth to Early Nineteenth Century, Asian Perspectives, Vol. 55, No. 1
©2016, the University of Hawai Press.
Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad Ke-19, Penerbit
Bulan Bintang, Jakarta 1984.
Kurniawati Hastuti Dewi, Kepemimpinan Kyai dan Jawara di Banten: Pengaruhnya
terhadap Good Governance, 2003.
Martin van Bruinessen. “The Origins and Development of Sûfî Orders (Tarekat)
in Southeast Asia.” Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies,
Volume I, No. 1 (April - June), 1994.
Mohamad Hudaeri, Menentang Sekularisme: Upaya Membentuk Kesalehan Subjek
Muslim Di Banten, JURNAL THEOLOGIA — Volume 27, Nomor 2, Desember
2016, IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten.
Nina H Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Sultan, Ulama, Jawara, Pustaka
LP3ES Jakarta, 2004.
Parlindungan Siregar, Perjuangan Rakyat Banten Melawan Belanda: Studi Tentang
K.H. Wasyid, Buletin Al-Turas, Mimbar Sejarah, Sastra, Budaya, dan Agama -
Fakultan Adab dan Humainora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta Vol. XXIII No.1, Januari 2017.
Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Penerbit Komunitas Bambu
Depok, Cetakan Pertama, Februari 1984.
Simon Winchester, Krakatoa: The Day the World Exploded: August 27, 1883, Penguin
Books Ltd, London 2004
Taufik Abdullah dkk. Sejarah Ummat Islam Indonesia. Majelis Ulama ndonesia,
Jakarta 1991.