Jurnal William ManajemenStrokeLansia

11
Abstrak Stroke merupakan gangguan yang sering mengenai lansia, dimana tingkat kejadian stroke semakin meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit ini sering menyebabkan kematian dan disabilitas (cacat) di dunia. Peningkatan kejadian ini menjadi masalah kesehatan yang  besar pada populasi yang semakin menua. Lansia juga dapat mengalami penyakit lainnya yang eningkatkan resiko disabilitas dan kebutuhan pengobatan. Penanganan stroke akut pada lansia merupakan hal yang penting untuk mengurangi kejadian dan meminimalkan efek dari  penyakit di populasi yang beresiko. Akibat jangka panjang sepert i depresi post str oke serin g terjadi pada lansia dan mungkin membutuhkan pengobatan. Artikel ini membahan  pencegahan dan pengobatan dari stroke dan gangguan terkait stroke pada pasien lansia. Pendahuluan Orang yang lebih tua mempunyai resiko lebih tinggi untuk mengalami stroke dan penyakit yang berhubungan dengan stroke. Penanganan dari pasien ini membutuhkan pendekatan multidisiplin yang melibakan dokter dan personil kesehatan lainnya. Farmakologis terkait stroke semakin berkembang sebagai bagian yang memberikan janji terhadap percobaan dalam mengurangi beban terkait penyakit ini. Epidemiologi Stroke Jumlah orang dengan usia 65 tahun ekatas di Australia diperkirakan mencapai 12% pada tahun 1996, dan diperkirakan meningkat menjadi 16% pada tahun 2016. Sekitar 46.000 orang di Australia mengalami stroke setiap tahunnya dan kebanyakan stroke ini terjadi pada orang dengan usia 65 tahun keatas. Tingkat insiden stroke meningkat seiring penambahan usia, dimana resiko stroke menjadi 2x lipat pada saat seseorang berusia 55 tahun ke atas. Hasil dari Perth Community Stroke Study menunjukkan adanya peningkatan resiko stroke pada orang denganusia 75-84 tahun yaitu 1:45, dimana terjadi peningkatan 1:30 pada orang dengan usia 85 tahun keatas. Resiko terjadinya stroke berulang pada orang yang pernah mengalami stroke sebelumnya berkisar dari 3%-5% pada bulan pertama dan 10% dalam waktu 1 tahun. Terdapat tingkat mortalitas yang tinggi setelah stroke yaitu 20% pada 28 hari post stroke, dan 40% dalam waktu 1 tahun setelah terkena stroke.

Transcript of Jurnal William ManajemenStrokeLansia

Page 1: Jurnal William ManajemenStrokeLansia

7/21/2019 Jurnal William ManajemenStrokeLansia

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-william-manajemenstrokelansia 1/11

Abstrak

Stroke merupakan gangguan yang sering mengenai lansia, dimana tingkat kejadian stroke

semakin meningkat seiring bertambahnya usia. Penyakit ini sering menyebabkan kematian

dan disabilitas (cacat) di dunia. Peningkatan kejadian ini menjadi masalah kesehatan yang

 besar pada populasi yang semakin menua. Lansia juga dapat mengalami penyakit lainnya

yang eningkatkan resiko disabilitas dan kebutuhan pengobatan. Penanganan stroke akut pada

lansia merupakan hal yang penting untuk mengurangi kejadian dan meminimalkan efek dari

 penyakit di populasi yang beresiko. Akibat jangka panjang seperti depresi post stroke sering

terjadi pada lansia dan mungkin membutuhkan pengobatan. Artikel ini membahan

 pencegahan dan pengobatan dari stroke dan gangguan terkait stroke pada pasien lansia.

Pendahuluan

Orang yang lebih tua mempunyai resiko lebih tinggi untuk mengalami stroke dan penyakit

yang berhubungan dengan stroke. Penanganan dari pasien ini membutuhkan pendekatan

multidisiplin yang melibakan dokter dan personil kesehatan lainnya. Farmakologis terkait

stroke semakin berkembang sebagai bagian yang memberikan janji terhadap percobaan dalam

mengurangi beban terkait penyakit ini.

Epidemiologi Stroke

Jumlah orang dengan usia 65 tahun ekatas di Australia diperkirakan mencapai 12% pada

tahun 1996, dan diperkirakan meningkat menjadi 16% pada tahun 2016. Sekitar 46.000 orang

di Australia mengalami stroke setiap tahunnya dan kebanyakan stroke ini terjadi pada orang

dengan usia 65 tahun keatas. Tingkat insiden stroke meningkat seiring penambahan usia,

dimana resiko stroke menjadi 2x lipat pada saat seseorang berusia 55 tahun ke atas. Hasil dari

Perth Community Stroke Study menunjukkan adanya peningkatan resiko stroke pada orang

denganusia 75-84 tahun yaitu 1:45, dimana terjadi peningkatan 1:30 pada orang dengan usia

85 tahun keatas. Resiko terjadinya stroke berulang pada orang yang pernah mengalami stroke

sebelumnya berkisar dari 3%-5% pada bulan pertama dan 10% dalam waktu 1 tahun.

Terdapat tingkat mortalitas yang tinggi setelah stroke yaitu 20% pada 28 hari post stroke, dan

40% dalam waktu 1 tahun setelah terkena stroke.

Page 2: Jurnal William ManajemenStrokeLansia

7/21/2019 Jurnal William ManajemenStrokeLansia

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-william-manajemenstrokelansia 2/11

Tren terkait insidensi stroke secara keseluruhan memang sudah dibicarakan sejak awal

1990an, setelah adanya penurunan kasus sejak tahun 1970. Terdapat penurunan trend terkait

mortalitas pada stroke di populasi masyarakat Australia dan juga beberapa tingkat kejadian

stroke yang dapat menyebabkan peningkatan cacat pada pasien yang pernah terkena penyakit

di kemudian hari. Hal ini dapat menyebabkan beban pada pasien, perawat, serta komunitas.

Karenanya, harus dikembangkan metode untuk mengurangi tingkat kejadian stroke dan

meminimalkan disabilitas akibat stroke.

Patogenesis

Stroke Iskemik merupakan tipe stroke yang paling sering terjadi (70%). Iskemia cerebral

terjadi ketika terdapat penurunan aliran darah pada daerah otak karena adanya oklusi pada

arteri cerebral akibat thrombus. Proses dari infark ini terjadi karena kurangnya pasokan darah

dari arteri di Circle of Willis ke bagian yang terkena stroke. Kebanyakan stroke iskemik

disebabkan oleh emboisasi akibat artherosclerotic pada arteri ekstrakranial dan intrakranial ke

 bagian pembuluh darah cerebral distal akibat adanya faktor resiko terhadap penyakit

artheroclerotic. Di kasus lainnya, infark lakuna dapat terjadi akibat penyakit yang merusak

arteri pada otak, yang biasanya disebabkan oleh hipertensi, diabetes, dan merokok. Sekitar

30% dari stroke iskemik terjadi akibat emboli dari bagian proksimal seperti emboli pada

 jantung dan aorta. Pasien dengan atrial fibrilation (AF), penyakit katup jantung atau gagal

 jantung lebih rentan mengalami tipe stroke iskemik. Jumlah dari stroke sikemik yang

disebabkan oleh mekanisme ini juga meningkat seiring penambahan usia, karena adanya

 peningkatan prevalensi AF dan gagal jantung pada kaum lanjut usia/orang tua.

Perdarahan intracereral primer dapat terjadi pada 15% dari keseluruhan kasus stroke,

terutama yang diakibatkan hipertensi. Proses patologis yang mendasari masih belum jelas,

namun kemungkinan terjadinya kelemahan pada dinding pembuluh darah membuat bagian ini

semakin rentan mengalami perdarahan. Perdarahan intracerebral sekunder dapat terjadi akibat

trauma, koagulopati (termasuk akibat penggunaan terapi warfarin), malformasi arteri-vena,

dan tumor.

Page 3: Jurnal William ManajemenStrokeLansia

7/21/2019 Jurnal William ManajemenStrokeLansia

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-william-manajemenstrokelansia 3/11

Faktor Resiko

Faktor Resiko dari stroke biasanya dibagi menjadi non-modifiable (yang tidak dapat diubah)

dan modifiable (yang dapat diubah)

Faktor Rsiko Non-Modifiable

Penambahan usia, jenis kelami laki-laki serta genetik tertentu serta faktor ras merupakan

faktor resiko yang tidak dapat diubah pada stroke. Terdapat peningkatan kejadian stroke

seiring usia, dimana orang yang lebih tua merupakan populasi resiko tinggi yang

membutuhkan pengobatan pencegahan yang agresif.

Faktor Resiko Modifiable (Dapat diubah)

Sejumlah kondisi yang dapat diubah dan berhubungan dengan faktor resiko sudah

diidentifikasi (Tabel 1). Beberapa dari faktor resiko ini dapat diubah dengan terapi

farmakologis, dan hal ini akan dibahas di bawah, bersamaan dengan aspek terkait terapi

stroke akut.

Terapi Farmakologis pada Stroke

Terapi Antihipertensi

Terapi Antihipertensi merupakan rencana pencegahan primer dan skunder terhadap stroke

iskemik dan hemorrhagic. Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang mengambil bagian

dalam resiko terjadinya stroke, dimana resiko pada populasi berkisar 56.4% pada pria dan

66.1% pada wanita, yang menunjukkan bahwa stroke dapat dicegah jika hipertensi diobati

secara efektif. Hasil dari penelitian terkait penurunan tekanan darah menunjukkan adanya

 pengurangan kejadian stroke hingga 30-40% pada lansia dan orang dewasa. Namun, akrena

kejadian stroke lebih sering terjadi pada lansia, pengobatan hipertensi pada kelompok ini

dapat menyebabkan pengurangan drastis pada kejadian stroke dibandingkan pada populasi

yang lebih muda. 4.9/1000 pasien/tahun vs 1.9/1000 pasien/tahun). Hal ini menunjukkan

 bahwa pasien lansia dengan hipertensi lebih membutuhkan pengobatan dibandingkan apsien

yang lebih muda.

Page 4: Jurnal William ManajemenStrokeLansia

7/21/2019 Jurnal William ManajemenStrokeLansia

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-william-manajemenstrokelansia 4/11

Hasil dari penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa hipertensi sistolik sering terjadi pada

 populasi lansia (20-30% pada orang berusia diatas 80 tahun). Hingga sekarang hal ini

dipertimbangkan sebagai akibat dari proses penuaan, dan masih belum jelas hal apa yang

menyebabkan peningkatan resiko stroke pada lansia. Hasil dari penelitian terkait pengobatan

hipertensi sistolik pada lansia menunjukkan adanya penurunan substansial dari stroke dan

resiko penyakit vaskular. Selain mengurangi resiko stroke, terapi antihipertensi diperkirakan

 juga dapat mengurangi resiko gangguan kognitif jangka panjang dan dementia pada populasi

lansia.

Tingkat keamanan dan tolerabilitas terapi antihipertensi pada lansia sudah diteliti dalam

 beberapa penelitian. Pilihan terapi antihipertensi tergantung pada sejumlah faktor termasuk

tingkat keamanan dan biaya. Tidak ada data cukup yang menunjukkan superioritas dari satu

kelas obat antihipertensi saja diantara obat lainnya, walaupun dieuritk dosis rendah dan

 betablocker terbukti efektif pada kelompok usia ini. Data dari penelitian sebelumnya

menunjukkan bahwa obat jenis baru seperti calcium channel blocker dan ACE inhibitor

mungkin efektif dalam pencegahan stroke bahkan pada pasien hipertensi yang berusia lebih

muda. Jenis obat antihipertensi yang berbeda biasanya dapat mengakibatkan beberapa efek

samping pada lansia yang rentan akibat fungsio fisiologis cardiovaskular yang menurun.

Pemantauan hipotensi ortostatik sangat penting untuk mengurangi resiko kejadian fall (jatuh)

 pada lansia yang rentan.

Tujuan utama dari pengobatan adalah penurunan tekanan darah yang efektif dengan

meminimalkan efek samping dan memaksimalkan tingkat kepatuhan konsumsi obat pada

 pasien. Hasil dari penelitian Hypertension Optimal Treatment (HOT) (dengan menggunakan

felodipine dan ditambahkan obat lainnya0 menunjukkan adanya keuntungan maksimal terkait

 peurunan resiko stroke dan penyakit jantung dengan cara menurunkan tekanan darah sistolik

menjadi 140 mmHg dan tekanan darah diastolik sekitar 80 mmHg. Penurunan tekanan darah

lebih lanjut juga aman, walaupun menunjukkan keuntungan yang lebih sedikit. Walaupun

usia pasien yang dimasukkan dalam penelitian berusia 61 tahun, tingkat tekanan darah 140/80

dapat didapatkan pada kebanyakan orang lansia tanpa mengalami efek samping bermakna.

Pertimbangan yang penting adalah kemampuan keseluruhan dari pasien untuk menerima obat

spesifik. Disarankan untuk memulai terapi dengan dosis rendah dan dititrasi jika dibutuhkan,

tergantung dari respon dan efek samping. Terapi kombinasi harus melibatkan sejumlah obat

yang penting untuk mendapatkan tensi yang normal tanpa mengganggu tingkat keamanan.

Page 5: Jurnal William ManajemenStrokeLansia

7/21/2019 Jurnal William ManajemenStrokeLansia

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-william-manajemenstrokelansia 5/11

Antikoagulan dan Atrial Fibrilasi

AF merupakan faktor resiko yang penting terhadap kejadian stroke pada lansia. Hal ini

dicetuskan oleh pembentukan thrombus intra-cardiac yang dapat berpidah ke organ distal

termasuk otak. Terapi antikoagulan dengan menggunakan warfarin dapat mencegah

 pembentukan dan pertumbuhan thrombus.

Prevalensi AF meningkat seiring usia yaitu 0.5% pada pasien berusia 50-59 tahun hingga 9%

 pada pasien dengan usia diatas 70 tahun. Resiko stroke terhadap AF semakin meningkat

seiring usia dan adanya salah satu atau lebih dari faktor resiko klinis tertentu (Tabel 2).

Karenanya, merupakan hal yang logis untuk menyimpulkan bahwa lansia dengan AF akan

mendapatkan hasil yang menguntungkan dari terapi antikoagulan dibandingkan orang yang

lebih muda. Keuntungan dari terapi warfarin tergolong maksimal pada pasien dengan AF

yang dipertimbangkan mempunyai resiko tinggi, berdasarkan prediktor klinik tertentu. Pada

setting primary prevention, antikoagulan dosis rendah dengan menggunakan warfarin

dikaitkan dengan penurunan resiko realtif hingga 70% pada pasien stroke dengan AF. Hasil

yang sama juga ditunjukkan pada secondary prevention terhadap pasien stroke dengan AF

dan transient ischaemic attack atau stroke minor. Pada setting AF dan stroke embolik akut,

sangat disarankan untuk menunggu setidaknya 1 minggu sebelum dimulainya terapi warfarin,

untuk mencegahak pembentukan haemorrhagic dan infark. Tanpa adanya AF, indikasi terapi

walfarin hanyalah untuk pengobatan simptomatis stenosis arteri intracranial.

Antikoagulan dosis rendah tergolong aman pada pasien rawat jalan jika diberikan dengan

dosis pemeliharaan (3-5 mg/hari). Secara umum, pemantauan kondisi pasien dilakukan setiap

hari kemudian perminggu pada awal fase pengobatan, kemudian setiap bulan saat

 pemeliharaan. Sediaan dosis terfiksir untuk awal pengobatan tidak disarankan, berbeda degan

 pasien yang menginginkan tingkat terapeutik tertentu. Selain adanya kontraindikasi terkait

 perdarahan mayor atau perdarahan lainnya, warfarin sebaiknya dihindari pada pasien lansia

yang rentan dan mempunyai resiko untuk jatuh dan pada pasien yang mengalami gangguan

kognitif berat atau malignansi. Durasi terapi biasanya bersifat jangka panjang, kecuali jika

terjadi kontraindikasi tertentu, atau adanya efek permanen terhadap sinus rhytim yang terjadi.

Sangat penting untuk memastikan bahwa pasien paham dengan efek samping obat dan

kebutuhan untuk pemantauan. Perawat dan keluarga juga harus dilibatkan dalam proses untuk

memelihara tingkat kepatuhan konsumsi dan memaksimalkan keamanan penggunaan obat.

Page 6: Jurnal William ManajemenStrokeLansia

7/21/2019 Jurnal William ManajemenStrokeLansia

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-william-manajemenstrokelansia 6/11

Terapi Antiplatelet

Platelet (Trombosit) terlibat dalam pembentukan dan penumpukan trombus sebagai penyebab

atherosclerosis. Platelet trombus ini bertanggung jawab terhadap sumbatan vaskular oral atau

emboli yang menyebabkan stroke. Terapi antiplatelet ditujukan untuk pencegahan

 pembentukan trombus dan meminimalisir resiko penyakit vaskular termasuk stroke. Obat ini

menghambat adesi dan agregasi platelet dan mempunyai peran penting terhadap pengobatan

stroke akut dan pencegahan stroke.

Terapi antiplatelet jelas menguntungkan terhadap pencegahan sekunder stroke. Hasil dari

 penelitian terkait pencegahan sekunder dengan menggunakan terapi antiplatelet dengan satu

obat atau kobinasi dapat menurunkan resiko terjadinya stroke berulang pada pasien muda

atau lansia. Namun, penggunaannya terhadap pencegahan primer masih belum disarankan

terhadap lansia, hingga faktor resiko-keuntungan obat sudah jelas. Keuntungan dari aspirin

sudah dibuktikan pada pengobatan terhadap iskemia cerebral akut, namun tidak ada data yang

tersedia terkait efisiensi terhadap obat antiplatelet lainnya.

Aspirin

Aspirin menghambat pembentukan thromboxane A2 dengan mengganggu platelet enzyme

cyclo-oxugenase. Thromboxane A3 merupakan stimulus yang penting terhadap proses

 pelepasan dan agregasi platelet. Agregasi platelet dapat dihambat selama 10 hari setelah

 pemberian aspirin. Absorbsi aspirin terjadi secara cepat dan kosentrasi plasma tertinggi

dicapai dalam waktu 1-3 jam Walaupun waktu paruh aspirin dalam plasma tergolong

sebentar, aktifitas antiplatelet aspirin tetap panjang. Waktu perdarahan kembali ke normal

memakan waktu hingga 2 hari setelah pemberhentian konsumsi aspirin.

Aspirin (300 mg) dapat mengurangi kematian pada pasien dengan acute ischaemic stroke jika

digunakan dalam waktu 48 jam setelah onset gejala. Hasil dari analisis 3 penelitian mayor

menunjukkan bahwa aspirin bertanggungjawab terhadap penurunan sekitar 10 kematian atau

stroke berulang per 1000 pasien dalam beberapa minggu awal setelah onset stroke. Namun,

 penggunaan aspirin yang lebih penting adalah terhadap pencegahan sekunder dari stroke.

Dari metaanalisis 145 penelitian randomisasi terkait terapi antiplatelet, aspirin menunjukkan

hubungan terjadinya penurunan resiko relatif dari semua penyakit vaskular (Termasuk stroke)

hingga 22%. Penurunan resiko berdasarkan usia, jenis kelamin, dan adanya resiko vaskular

lainnya. Pada AF, aspirin dapat digunakan sebagai thromboprophylaxis terutama pada pasien

Page 7: Jurnal William ManajemenStrokeLansia

7/21/2019 Jurnal William ManajemenStrokeLansia

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-william-manajemenstrokelansia 7/11

lansia yang tidak boleh diberikan terapi warfarin, dan dapat mengurangi resiko relatif stroke

sekitar 30%,

Aspirin dosis rendah (100-150 mg) digunakan untuk pencegahan stroke akibat peningkatan

resiko efek samping penggunaan obat dosis tinggi dan tidak menunjukkan perbedaan efisiensi

yang bermakna terkait penggunaan aspirin dosis rendah maupun tinggi. Profil efek samping

aspirin sudah diteliti. Efek samping terkait gastrointestinal seperti gastritis dan perdarahan

gastrointestinal sering terjadi pada pasien yang lebih tua terkait dosis dan durasi penggunaan.

Gejala dispepsia dapat dikurangi dengan menggunakan aspirin larut air atau dalam bentuk

capsul. Ada resiko kecil untuk terjadinya stroke hemorraghic pada penggunaan aspris

 berkepanjangan, namun dapat ditutupi dengan keuntungan dalam pencegahan resiko iskemik

 berulang untuk pasien.

Obat Antikoagulan Lainnya

Dipyridamole, ticlopidine, dan clopidogrel menunjukkan keuntungan terhadap pencegahan

sekunder stroke, dan mengurangi resiko relatif sekitar 20-30% diantar apasien dengan resiko

tinggi terjadinya penyakit inskeik berulang. Mekanisme kerja dan profil efek samping dari

tiga obat ini ditampilkan di Tabel 3. Hitung darah lengkap harus dipantau setiap 2 minggu

dalam periode waktu 3 bulan pertama setelah penggunaan ticlopidine untuk memeriksa

adanya supresi sumsum utlang (neutropenia dan trombositopenia). Ticlopidine dan

clopidogrel jarang dikaitkan dengan resiko perdarahan mayor yang dibandingkan dengan

aspirin. Clopidogrel mungkin lebih sering diberikan daripada ticlopidine karena

resikoneutropneia yang lebih rendah. Terapi tunggal aspirin masih dinyatakan lebih baik

terkait efsiensi klinis dan biaya yang lebih mura. Obat lain seperti antagonis glycoprotein

Iib/IIIa (abciximab) saat ini diteliti dalam penelitian stroke iskemik

Terapi Kombinasi

Hasil dari European Stroke Prevention Study 2 (ESPS-2) menunjukkan adanya penurunan

resiko relatif stroke (37%) diantara pasien yang diobati dengan kombinasi aspirin (50

mg/hari) dan dipyridamole (400 mg/hari), dibandingkan pasien dengan terapi tunggal dari

obat diatas (16% dan 18%), terhadap pencegahan sekunder dari stroke

Page 8: Jurnal William ManajemenStrokeLansia

7/21/2019 Jurnal William ManajemenStrokeLansia

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-william-manajemenstrokelansia 8/11

Terapi kombinasi aspirin dengan ticlopidine atau clopidogrel mempunyai rasional teoritis

terkait mode aksi terhadap aktifitas platelet yang berbeda. Namun keuntungan dari terapi

kombinasi ini masih harus dibutkikan denga uji klinis terkait stroke iskemik.

Terapi Trombolitik

Fokus utama terhadap terapi trombolitik adalah mengembalikan, mempertahankan, atau

memperbaiki sirkulasi pada bagian otak yang iskemik dengan cara melakukan lisis dari clot

(bekuan darah) di arteri yang terganggu. Terdapat berbagai macam tipe obat trombolitik yang

tersedia termasuk aleplase (recombinant tissue plasminogen activator, rt-PA), streptokinase,

recombinant pro-urokinase, dan Ancrod (ekstrak racum ular Viper Pit Malaysia). Obat ini

dapat diberikan secara intravena atau intra-arteri. Terapi trombolitik pada stroke masih tetap

menjadi area penelitian dan masih belum disetujui penggunaannya di Australia. Namun

alteplase sudah diizinkan penggunaanya terhadap stroke iskemik akut di Amerika dan

Kanada

Pada penelitian penggunaan alteplase intravena terhadap stroke iskemik akut, pasien yang

diobati dalam waktu 3 jam setelah onset gejala setidaknya lebih mempunyai tingkat

mortalitas dan disablitas yang lebih rendah sebesar 30% dalam waktu 3 dan 12 bulan setelah

stroke, bila dibandingkan dengan placebo. Hasil dari 3 penelitian lainnya terhadap alpeplase

IV gagal menunjukkan keuntungan menyeluruh ketika diberikan dalam waktu 6 jam setelah

onset gejala. Streptokinase intravena tidak lebih baik dibandingkan placebo jika diberikan

dalam waktu 4 jam setelah onset gejala pada stroke iskemik akut dan dikaitkan dengan

 peningkatan mortalitas dan morbiditas pada awal stroke. Pro-urikenase intraarterial

menunjukkan perbaikan outcome (terhadap disabilitas) dalam waktu 90 hari pada pasien

dengan penyumbatan arteri cerebral media dibandingkan dengan placebo, ketika diberikan 6

 jam setelah onset stroke.

Penelitian Multicenter di Ancrod saat ini sedang dilakukan. Resiko terapi trombolitik adalah

terjadinya perdarahan mayor. Sterptokinase IV (12%) dan pro-urokinase intra arterial (102%)

dikaitkan dengan resiko terjadinya perdarahan intracerebral mayor. Sementara resiko

 peradarahan akibat alteplase lebih rendah (6-8%), hal ini dapat dibandingkan dengan resiko

hubungan dengan intervensi medis lainnya seperti carotid endarterectomy (5% resiko

terjadinya stroke perioperatif atau kematian). Prediktor perdarahan intracerebral akibat

trombolisis pada stroke akut adalah peningkatan keparahan stroke dan adanya perubahan

Page 9: Jurnal William ManajemenStrokeLansia

7/21/2019 Jurnal William ManajemenStrokeLansia

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-william-manajemenstrokelansia 9/11

iskemia pada CT Scan. Usia tidak dikaitkan dengan perdarahan, walaupun usia rata-rata

 pasien dalam penelitian diatas berkisar 65 tahun.

 Neuroprotectant, Heparin, Heparinoid, dan terapi lainnya

Terapi Neuroprotectant (calcium channel blocker, NmethylD-aspertate antagonist, dll)

 bertujuan untuk mengurangi kerusakan jaringan pada bagian otak yang mengalami stroke.

Saat ini, tidak ada penelitian terkait terapi neuroprotektan yang sukes menunjukkan

 peningkatan efek setelah stroke.Mode terapi lainnya termasuk penggunaan steroid, cairan

hiperosmolar dan venesection yang juga tidak menunjukkan adanya perbaikan outcome

setelah stroke akut. Namun, pentingnya pengobatan suportif ini tidak boleh diabaikan,

termasuk pengobatan untuk pendukung sirkulasi dan ventilator, penanganan gangguan

metabolik, koreksi agresif terhadap hipoglikemia dan hipotensi, serta menghindari penurunan

tekanan darah kecuali tekanan darah sistol > 220 mmHg dan diastol > 120 mmHg. Bahaya

 penurunan tekanan darah pada situasi akut disebabkan oleh resiko terjadinya penurunan

tekanan perfusi pada otak.

Heparin dan heparinoids juga tidak efektif untuk pengobatan stroke akut. Namun heparin

subkutan setelah periode post-stroke tergolong efektif untuk pencegahaan deep venous

thrombosis dan komplikasi seperti emboli paru.

Lipid-Lowering Therapy

Peningkatan kadar kolesterol total, penurunan lipoprotein densitas tinggi, dan peningkatan

kadar lipoprotein dikaitkan dengan peningkatan resiko stroke iskemik, walaupun hubungan

ini tidak terlalu dikaitkan erat seperti pada penyakit jantung iskemik. Hubungan terbalik

antara kadar kolesterol dan intracerebral, dapat menjadi penyebab kurangya hubungan antara

kolesterol total dan stroke pada meta-analisis dari 45 penelitian kohort. Namun yang

mengejutkan adalah, penggunaan lipid lowering therapy (terapi penurunan kadar lipid) dapat

mencegah terjadinya stroke pada populasi resiko tinggi.

Hasil dari meta-analisis dari penelitian terkait lipid-lowering therapies pada populasi pasien

 jantung menunjukkan bahwa HMGCoA-reductase inhibitor (statin) dapat berhubungan

dengan sedikit resiko kejadian stroke dibandingkan dengan tipe intervensi lainnya seperti

 pembatasan diet, fibrate, dan resin. Hasil dari tinjauan sistematis dari 11 uji pencegahan

sekunder menggunakan statin terhadap penyakit cardiovaskular menunjukkan penurunan

Page 10: Jurnal William ManajemenStrokeLansia

7/21/2019 Jurnal William ManajemenStrokeLansia

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-william-manajemenstrokelansia 10/11

resiko terjadinya stroke pada kelompok pengabatan dibandingkan pada kelompok placebo

(odds ratio 0.68 [0.55-0.85]). Namun, pasien berusia 70 tahun ketas tidak dimasukkan dalam

kebanyakan penelitian. Hasil penelitian ini masih belum pasti untuk diterapkan pada popluasi

 pasien dengan resiko stroke (transient ischaemic attack atau stroke)

Mekanisme aksi dari statin masih belum sepenuhnya dipahami. Obat ini dapat memiliki

 beberapa mekanisme termasuk stabilisasi dari plak artherosclerotik, memperbaiki fungsi

endetol, mengurangi serum fibrinogen dan aktifitas platelet, serta menurunkan kejadian dari

infark miocard dan secara tidak langsung meminimalisir resiko terjadinya penyakit cardio-

emboli.

Efek samping dari statin termasuk gejala gastrointestinal, peningkatan dari transminase hepar,

dan penyakit myopathic. Fungi hepar harus dipantau dan pengobatan dihentikan jika kadar

enzim hepar mengalami peningkatan yang persisten

Pengobatan untuk Depresi Post-Stroke

Depresi setelah terjadinya stroke merupakan hal yang umum namun jarang dipertibangkan.

Prevalensi dari depresi post stroke (post-stroke depression [PSD]) tergolong tinggi yaitu 30-

40% setiap satu tahun setelah stroke. PSD dapat mempengaruhi fungsi dan fisiologi

keseluruhan dari pasien, dan mungkin harus diobati pada kebanyakan kasus. Pengobatan pada

 pasien lansia dengan PSD berdasarkan pemantauan hasil dari penelitian pada pasien yang

lebih muda. Obat antidepresant baru masih belum diteliti oleh penelitian klinis randomisasi

untik PSD. Pengobatan saat ini bersifat empiris berdasarkan kebutuhan pasien. Obat dengan

efek samping yang lebih sedikit dipertimbangkan dalam pengobatan untuk lansia dan

 biasanya dimulai dengan dosis terendah.

Page 11: Jurnal William ManajemenStrokeLansia

7/21/2019 Jurnal William ManajemenStrokeLansia

http://slidepdf.com/reader/full/jurnal-william-manajemenstrokelansia 11/11

Ringkasan

Sejumlah farmakoterapi tampak menjanjikan untuk pengobatan dan pencegahan stroke. Area

ini masih menjadi lahan penelitian, dimana outcome yang diharapkan adalah penurunan dari

 beban penyakit pasien dan perawatnya. Pasien lansia mempunyai resiko tinggi untuk

mengalami stroke dan disabilitas akibat stroke, namun juga mempunyai resiko tinggi

terhadap efek samping penggunaan obat. Penelitian ke depan harus melibatkan bagian

 populasi lansia untuk memaksimalkan keuntungan pengobatan pada poplulasi. Namun,

metode non-farmakologis juga tergolong penting untuk mengurangi resiko stroke seperti

menghentikan rokok, olahraga, mengurangi obesitas, dan diet, serta dengan penanganan

optimal dibaetes untuk meminimalkan keseluruhan resiko dari penyakit vaskular dan stroke.