JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

176

Transcript of JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

Page 1: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya
Page 2: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

  

    

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI Volume I Nomor 01  April 2013 

 Patung Ken Dedes di Singasari, Malang, Jawa Timur 

  

 Kisah Pendirian Majapahit dalam Tarian‐ dalam pementasan drama tari kolosal  Singgasana Wilwatikta oleh komunitas STUPA di Auditorium Taman Budaya  

Yogyakarta, TEMPO/Suryo Wibowo  

 

i  

Page 3: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

ii  

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI 

Volume I Nomor 01  April 2013 

Jurnal Ilmiah Pengkajian dan Penciptaan Seni  GAYATRI adalah wahana untuk 

mempublikasikan karya ilmiah tentang pengkajian penciptaan, dan gagasan seni.  Terbit pertama kali tahun 2013, satu kali setahun. 

 Susunan Redaksi 

Pelindung Dr. H. Jarianto, M.Si. 

Penasehat Wahyudiyanto, M.Sn. Penanggung jawab 

Trinil Windrowati, M.Sn Pemimpin Redaksi 

I Wayan Sama, S.ST., M.Sn Redaksi Ahli 

R. Djoko Prakosa, M.Sn., Sabar, M.Sn. Dewan Redaksi 

Punjul Pitono, M.Sn., Suyadi, M.Sn.,  Suripno, M.Sn, Drs. Mario, M.Pd., Agus Sukamto, M.Sn Bendahara 

Dra. Yekti Herlina, M.Sn. Desain Grafis 

Dra. Sufiana, M.Sn. Situr Kuswantoro, S.Sn 

Tata Usaha Saeful Anam Distribusi 

Taufiq Sholehuddin, S.Sn. Drs. Andri Setiawan 

Sampul Depan   : Patung Ken Dedes di Singasari, Malang, Jawa Timur. Sampul Belakang   : Pementasan drama tari kolosal Singgasana Wilwatikta,Taman Budaya 

  Yogyakarta, Foto: Suryo Wibowo  Alamat Redaksi/Tata Usaha:  

STKW Surabaya Jl. Klampis Anom II Kompleks Wisma Mukti Surabaya Telp. Fax. (031) 5949945 

 GAYATRI   Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni, diterbitkan oleh UPT STKW        Surabaya 

Page 4: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

iii  

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI Volume I Nomor 01  April 2013 

Sang Qamar                        1 ‐ 9 Oleh: Anis Setiarini  Canting Sedangan (Koreografi)              10 ‐ 20 Oleh: Heny Setyowati  Tari Thengul di Kabupaten Bojonegoro             21 ‐ 31 (Studi Transformasi kreatif gerak Wayang Thengul ke Dalam gerak Tari Thengul) Oleh: Martutik  Tari  “Kaso”                    32 – 45 Oleh: Yuni Artha Taufani  Analisis Teknis Penciptaan Artistik Pada Karya Tari                               46 ‐ 57 Canthing Sedangan Oleh : Juwarinten  Implementasi Bathok/Siwur Pada Karya Tari Canthing Sedangan                             58 ‐ 68 Oleh: Luluk Rindayani  Analisis Penciptaan Tata Artistik ”Beruang Menagih Hutang”                 69 ‐ 80 Karya Anton Chekhov Terjemahan Landung Simatupang                Oleh: Abdul Kholid  Penerapan Teknik Akting Presentasional  Pada Penciptaan                             81 ‐ 89 Keaktoran Tokoh Svietlovidoff Dalam Naskah  Nyanyian Angsa Karya Anton  P. Chekov   Oleh: Didik Harmadi  Penyutradaraan Lakon “Antigone” Karya Sophocles Dengan                              90 ‐ 96 Pendekatan Seni Pertunjukan Oleh : Fuad Dwi Yono 

Page 5: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

iv  

Volume I Nomor 1, April 2013

Garap Gending Ganggamina Gaya Tulungagung                 97 ‐ 110 Oleh: Sukiran  Rasa Warna                         111 ‐ 119 Oleh: Lika Arweti  Fantasi Gerak Manusia Sebagai Ide Penciptaan Karya Seni Patung          120 ‐ 131 Oleh: Nanang Muchsinien  Karya Seni Lukis Rudi Isbandi  Periode 1990‐2012                   132 ‐ 141 Oleh: Ega Sundari  Pembebasan Diri Menggunakan Aspek‐Aspek Visual              142 ‐ 149 Oleh : Alamsyah Sinaga  Makna Motif Tenun di Kabupaten Bima                  150 ‐ 165 Oleh: Sri Rahayu                 

  

Page 6: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

MANGGALA

Jurnal GAYATRI STKW terbitan pertama ini berusaha menyajikan tulisan-tulisan yang mampu memberikan wacana dan pengetahuan tentang eksistensi budaya masyarakat khususnya bidang seni. Pada prinsipnya dalam setiap terbitan selalu mengutamakan tulisan-tulisan hasil pemikiran, penelitian dan karya seni yang dilakukan para mahasiswa, dosen seniman dan budayawan yang memiliki kepedulian terhadap keberadaan dan kehidupan seni atau kesenian.

Mudah-mudahan pada terbitan pertama ini mampu menambah cakrawala pandang kita

dalam melihat, merespon setiap perkembangan khususnya seni dan budaya daerah yang selanjutnya bisa dijadikan referensi dan bahan kajian secara ilmiah.

Akhir kata, jurnal GAYATRI tetap menerima masukan, saran, dan kritik dari para

pembaca agar terbitan berikutnya lebih berkualitas.

Surabaya, April 2013

Ketua Dewan Redaksi

v  

Page 7: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

REDAKSIONAL

Pembaca yang budiman, Perhatian sebagian orang atau kelompok masyarakat terhadap keanekaragaman budaya daerah yang menyuguhkan bentuk-bentuk kearifan lokal (local wisdom) selalu dilakukan dalam berbagai kerja atau tindakan nyata. Tindakan pengkajian/penelitian, penciptaan karya seni, festival/kompetisi seni, pembinaan/pelatihan, maupun tindakan pelestarian seni, sungguh mampu menumbuhkan perasaan dan sikap optimisme kita terhadap kokohnya eksistensi dan citra kebesaran budaya bangsa yang bercirikan kedaerahan (local identity). Dalam terbitan Jurnal GAYATRI edisi kali ini, tim redaksi memilih dan menyajikan beberapa tulisan menarik yang sekiranya mampu menambah cakrawala pandang kita tentang eksistensi budaya daerah/seni tradisional, di tengah-tengah situasi carut-marut berbagai persoalan sosial, ekonomi, maupun situasi politik yang kita hadapai pada saat ini. Pada sajian artikel pertama, Anis Setyarini dengan terperinci menyoroti pertunjukan tari yang berjudul Sang Qamar. Karya seni tersebut dilatarbelakangi oleh sebuah cerita rakyat yaitu Rara Mendut. Menurutnya bahwa manusia merupakan satu penyatuan yang utuh dari tubuh, ruh, hati dan pikir. Heny Setyawati dalam Canthing Sedangan (Koreografi) memaparkan tentang mitos bathok yang dipercaya memberi rejeki bagi pemakainya, sehingga menjadi gagasan dalam penciptaan karya koreografinya tari Canthing Sedangan. Pola tari yang diangkat merupakan pola tradisi. Tarian tersebut menggunakan busana bercorak bathik warna coklat untuk menggambarkan gadis desa yang lugu namun mriyayeni. Martutik dalam tulisannya tentang tari Thengul di Kabupaten Bojonegoro. Sebuah studi transformasi kreatif gerak wayang Thengul ke dalam gerak tari Thengul. Ia berpendapat dalam tulisannya bahwa; Tari Thengul adalah tarian yang merupakan hasil transformasi dari gerak Wayang Thengul ke dalam gerakan tubuh manusia yang selanjutnya disebut sebagai Tari Thengul. Awal mula diciptakan oleh Sunarmi yaitu seniman yang sekaligus sebagai pejabat pemerintahan di Kabupaten Bojonegoro yang mengurusi bidang kesenian. Tari tersebut merupakan transformasi dari penyajian Wayang Thengul utamanya pada bagian golekan atau sindiran (tayuban). Di sisi lain memiliki tema yang sama dengan Wayang Thengul yaitu tentang kegembiraan, dan karakter Tari Tengul sebagaimana hasil mimesis dari Wayang Thengul bagian sindiran (tayub) meskipun gerakannya kaku dan patah-patah tetapi cenderung alus dan lembut. Sebagai hasil dari transformasi maka Tari Thengul lebih leluasa, fleksibel, Dinamis, dan berjiwa karena pelakunya adalah tubuh manusia. Tari Thengul selanjutnya dijadikan sebagai identitas lokal jati diri budaya kabupaten Bojonegoro.

Yuni Artha Taufani menulis tentang Tari Kaso, sebuah tarian yang berlatar belakang aktivitas seseorang yang berangkat kerja di pasar, berangkat dari memulai aktivitas para pekerja, dengan waktu singkat, serta keterburuan agar bisa sampai dengan tepat. Karya artistik tersebut selain untuk keindahan visual adalah untuk menciptakan, menguatkan, dan memberikan keseimbangan keseluruhan garap koreografi. Kehadiran artistik selanjutnya menghadirkan makna dan isi yang spesifik yakni imajinasi tentang perekonomian masyarakat bagi kaum pedagang.

Juwarinten menulis tentang Analisis Teknis Penciptaan Artistik Pada Karya Tari Canthing Sedangan. Penciptaan artistik pada karya tari adalah untuk keindahan visual seperti untuk menciptakan, menguatkan, dan memberikan keseimbangan keseluruhan garap koreografi.

vi  

Page 8: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI Juga untuk menghadirkan makna dan isi yakni imajinasi tentang permainan rakyat yang memiliki kaitan mitos tentang Dewi Sri. Sedangan dengan kekuatan artistik yang visualistik menarik untuk dinikmati. Harapannya, tari Canthing Sedangan bukan sekedar garap koreografi saja tetapi membutuhkan kekuatan visual yang membantu kehadiran nilai estetiknya.

Luluk Rindayani menulis tentang Implementasi Bathok/Siwur Pada Karya Tari Canthing Sedangan. Tari dipandang sebagi sistem simbol dan sebagai kreasi seni. Tari sebagai ekspresi manusia atau subyektivitas seniman merupakan sistem simbol yang signifikan (significant symbols), artinya mengandung arti dan sekaligus mengandung reaksi yang bermacam-macam. Tari sebagai sistem simbol dapat pula dipahami sebagai sistem penandaan (gerakanya, iringan, tempat, pola lantai, waktu, tata pakaian, rias, dan property). Tari “Canthing Sedangan” merupakan tari kreasi. “Canthing Sedangan” adalah tempat yang memberikan rejeki atau kebahagiaan.

Abdul Kholid menganalisis tentang penciptaan tata artistik Beruang Menagih Hutang karya Anton Chekhov terjemahan Landung Simatupang. Langkah-langkah merancang tata artistik sebagai berikut; (a) Membaca dan menganalisa naskah Beruang Menagih Hutang. (b) Menghadiri proses latihan untuk memahami permainan. (c) Berdiskusi dengan sutradara dan para ahli terkait dengan arah garap sutradara. Selain itu; Mengambil sample/ data di lapangan; Membuat desain artistik (sketsa, perspektif ) dengan tangan kemudian diolah dengan program computer seperti program autocad dan memberi pencahayaan dengan menggunakan program 3ds Max 9 dan merendernya sehingga menjadi gambar jpg (untuk tata panggung); Membuat maket/ miniature; Produksi.

Didik Harmadi yang membahas tentang teknik akting presentasional pada penciptaan keaktoran tokoh-tokoh Swietlovidoff dalam naskah nyanyian angsa dalam karya Anton P Checov. Secara umum dalam proses teknik peran pada Nyanyian Angsa karya Anton Chekov terbagi dalam tiga kegiatan yaitu; olah pikir, olah tubuh dan olah sukma. Naskah tersebut dapat diadaptasi dalam berbagai ragam budaya. Kisah Svietlovidoff seorang pemain teater tradisi (ludruk) yang terasing ketika berhadapan dengan fenomena sosial memberi gambaran konflik-konflik manusia dengan konflik-batin yang penuh ragam. Yang menarik adalah Svietlovidof selalu membawa cinta, dan Anton Chekov berbicara betapa manusia dengan segala kegagahannya sesungguhnya adalah makluk yang perlu dikasihani. Dengan demikian Chekov mengajarkan segala sesuatunya berpulang pada hati nuraninya.

Fuad Dwi Yono dalam tulisannya tentang penyutradaraan lakon Antigone karya Sophocles dengan pendekatan seni pertunjukan. Analisisnya adalah; (1) seni pertunjukan kentrung lakon antigone sangat erat hubungannya terutama pada sastra dan latar belakang cerita , politik, ekonomi, ediologi, sosial.dan pemimpin paduan suara (Dalang dalam seni kenrung), Ki Subiyantoro 2005. (2) Lakon antigone karya Sophocles. Banyak terkandung simbol-simbol sebagai sarana komunikasi masyarakat (3) Lakon antigone karya Sophocles, memberi apresiasi seni. Dalam analisanya, naskah antigone banyak ditemukan nasehat sehingga mengajarkan untuk selalu bijaksana dan bermartabat.

Sukiran menyoroti permasalahan tentang garap gendhing Ganggamina Tulungagung. Ia menyimpulkan dalam tulisannya bahwa Garap kendangan yang digunakan dalam gending Ganggamina di Tulungagung memiliki gaya yang khas. Kekhasan ini berhubungan dengan peran kendangannya dalam tayub gaya Tulungagung. Karena Tayub Tulungagung tanpa kendangan gending Ganggamina tidak memiliki arti. Garap kendangan Ganggamina gaya Tulungagungan memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal pengembangan sekaran atau cengkok. Juga terjadi

vii  

Page 9: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

viii  

pada garap balungan. Pengembangan terhadap Ganggamina dapat berkesan memiliki nilai sajian estetis. Garap lain yang dilakukan adalah tentang bentuk gending, yaitu lancaran gaya Surakarta. Sedangkan laras yang digunakan dalam gending Ganggamina adalah laras slendro.

Lika Arweti menyoroti persoalan rasa warna. Ia memaparkan bahwa Proses penciptaan sebuah karya komposisi itu dibagi menjadi 2 sistem, yaitu proses bengkel dan proses mandiri. Proses bengkel adalah ketika semua musisi terlibat ikut andil dalam pembuatan sebuah karya. Proses mandiri adalah proses yang dilakukan oleh seorang komposer, dimana segala pertimbangan pembuatan notasi untuk berbagai instrumen dan vokal dilakukan oleh satu orang, sedang musisi yang lainnya hanyalah sebagai pemain musik. Masing-masing metode punya kekurangan dan kelebihan sendiri-sendiri. Dalam proses ini pengkarya menggunakan metode proses bengkel, dimana pengkarya hanya memberikan stimulant dan ide awal untuk dikembangkan. Penggarapan komposisi RASA WARNA terinspirasi dari hati. Dalam pembentukan komposisi, dilakukan rangkaian gending yang telah tercipta melalui proses eksplorasi dan improvisasi.

Nanang Muchlisien membahas tentang persoalan ranah fantasi gerak manusia sebagai ide penciptaan karya seni patung. Ia berpendapat bahwa kekayaan yang ada pada bentuk gerak manusia, sangat mungkin untuk difantasikan, dikhayalkan, sehingga kaya akan bentuk-bentuk yang kreatif dan sudah selayaknya dijadikan sebuah karya seni patung. Bentuk visual gerak manusia di pergunakan sebagai ide penciptaan karya seni patung, sebagai sarana untuk mengekspresikan jiwa/ perasaan selakigus sebagai alat komunikasi terhadap orang lain guna diapresiasi.

Untuk lebih menambah cakrawala pengetahuan kita, maka pada artikel terakhir edisi Jurnal GAYATRI kali ini disajikan sebuah tulisan menarik dari Ega Sundari yang membahas seputar masalah karya seni lukis Rudi Isbandi Periode 1990-2012.

Alamsyah Sinaga menulis tentang Pembebasan Diri Menggunakan Aspek-Aspek Visual. Perupa (seni lukis) modern adalah seorang seniman yang bisa hidup jika hati tak berdenyut bersama warna, garis, dan aspek-aspek visual. Karya pembebasan diri tersebut terinspirasi dari volume awan, tekstur bebatuan, lipatan plastik, tekstur kulit kayu, dan kayu keropos.

Sri Rahayu menulis tentang Makna Motif Tenun di Kabupaten Bima. Simpulannya, bahwa motif-motif tenun tersebut memiliki makna-makna tertentu. Jenis motif tersebut adalah; suri kakandau; gari (garis); nggusu tolu (segitiga); nggusu upa (segi empat); nggusu waru (segi delapan). Peranan motif tenun pada upacara perkawinan:Sarung (tembe) sebagai mahar; Pemakaian sarung (tembe) dengan motif suri kakandau (tunas bambu) untuk resepsi pernikahan; Motif suri kakandau (tunas bambu) digunakan pengantin serta keluarganya pada acara peta kapanca (prosesi pemakaian kepanca pada calon mempelai perempuan) maupun boho oi deu (mandi kembang/ siraman). Selain itu dapat juga dipakai kedua pengantin pada upacara ijab kabul atau akad nikah.

Pembaca yang budiman, demikianlah gambaran tentang isi artikel-artikel yang dimuat pada Jurnal GAYATRI edisi kali ini. Mudah-mudahan dapat menambah pengetahuan kita. Selamat membaca.

Tim Redaksi

Page 10: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

SANG QAMAR

Anis Setiarini

Abstract

The dance entitled “Sang Qamar” derived from the taste of bated, stressed, trapped painfulness, or in Javanese terminology usually called “ngempet”. The inner battle happened to take the uncomfortable feeling. Unite, battle, lose and win between the soul, body, heart and mind to become his/herself. The painfulness which becomes a life melody that already most enjoyed softly. Coming from the taste, this “Sang Qamar” visualized in a dramatic dance. Representing the atmospheres of Rara Mendut’s heart having spiritual distortion. It was performed by 4 female dancers. The motions were taken from traditional and non-traditional dances. Using some material for stage setting such as a square white cloth. In a center of the cloth is glued by mica added with sticker like mirror in tears form. Barbed wire with random positioning also attached. “Sang Qamar” itself meaned moon. This work was imagery of the inner battle of Rara Mendut. A weakness feeling of hers. Hopefully, this work will stimulate a communication between the choreographer and audience to listen and follow their independent intuition and become a person who closed all of painfulness by accepting all of life facts. Keyword : inner battle, soul, body, heart and mind..

PENDAHULUAN Setiap karya terlahir dari dorongan, latar belakang, dan motivasinya sendiri-sendiri.

Menyadari bahwa proses kesenian berlainan antara seorang seniman dengan seniman lain. Latar belakang seorang seniman termasuk kehidupan pribadinya atau lingkungannya, merupakan perjalanan spiritual yang selalu menjadi landasan lahirnya konsep dan ide kekaryaan. Apapun ide dan tema yang ingin disampaikan seorang seniman tidak bisa lari dari pengaruh latar belakang kehidupan dirinya sendiri1.

Kebebasan berkarya ketika masih saya lajang dan setelah menikah sedikit memberi pengaruh kepada penciptaan “Sang Qamar”. Ketika lajang, sebuah ekspresi jiwa berkarya lebih pada kebebasan emosi pencarian tentang diri sendiri. Rasa bebas saat lajang, tidak terikat oleh sebuah hubungan yang mengikat secara “batiniah” yaitu pernikahan, memiliki kebebasan yang meluap-luap. Berbeda bila sudah hubungan suci pernikahan di ikrarkan, dari sebuah rasa kasih sayang yang berbeda, lalu disatukan, memberi sumbangsih perenungan tentang latar belakang “Sang Qamar”. Ada sesuatu kekuatan pertalian yang wajib dijaga dari segala aspek. Mulai dari sikap, penampilan dan tata karma, padahal sesuatu pertalian yang tidak nampak, tapi mendorong seseorang untuk meyakini dan melakukan2.

Dari pandangan inilah saya menciptakan “Sang Qamar” dari sosok Rara Mendut, kemudian membawanya jauh kepada sebuah pemikiran kepribadian yang tangguh. ada sesuatu kekuatan dari sebuah penyatuan dalam diri Roro Mendut untuk menunggalkan Yang

1 Tema yang ingin disampaikan akan diinterpretasi lalu diterjemahkan melalui pandangan hidup seorang seniman. Disinilah sumber orisinal dan keotentikan sebuah karya seni. 2 Kebebasan saat sendiri dan kebebasan ketika hubungan suci mengikat di pribadi seorang perempuan sangatlah berbeda. Ada sesuatu kekuatan yang menyatukan sesuatu keyakinan.

1  

Sang Qamar Anis Setiarini  

Page 11: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

Tunggal. Untuk itu pemahaman awal dari diri Rara Mendut adalah Dia mahkluk Tuhan3, bersifat feminisme dan seksi fisikal, tetapi juga memiliki daya kekuatan kepribadian dari tingkat spiritual4.

Dari pernyataan di atas itulah munculnya pertanyaan tentang manusia. Apa yang pertama kita pikirkan saat mendengar kata manusia. Darimana dan mau kemana tujuan di bumi ini dan kenapa dia di ciptakan. Sampai sekarang pun untuk memahamkan apa sebenarnya hakikat dari manusia masih tetap di cari kebenarannya. Namun ada beberapa definisi alternatif tentang hakikat manusia.

Hakikat manusia, yaitu manusia dalam eksistensi dan aktivitasnya dicirikan oleh sejumlah tingkat. Pertama, manusia merupakan makhluk jasmani yang tersusun dari bahan material dari dunia organik. Pengutamaan kehidupan jasmani akan menjadi materialisme biologis. Semakin meningkat pada hal yang lebih jauh semakin kita telah jauh memandang manusia sebagai suatu bagian dari alam. Tetapi dari sudut pandangan yang melihat manusia sebagai manusia, manusia lebih daripada alam. Sebab, dia memiliki kehidupan spiritual-intelektual yang secara intrinsic tidak tergantung dari segala sesuatu yang material (Lorens Bagus, 2005: 566)

Dengan memandang hakikat manusia dari sudut yang terbesar jasmani dan rohani inilah saya mencoba membuat karya tari dengan memandang sesuatu lebih pada unsur–unsur yang membentuk manusia itu sendiri. Manusia yang memiliki kesatuan antara jiwa dan raganya, karena jiwa-lah letak kekuatan sebenarnya. Kesatuan ruh, tubuh, pikir dan hati merupakan sumber kekuatan membentuk manusia memiliki identitas dan jati diri. Namun hati adalah sensor utama dari sumber cahaya dan merupakan kekuatan filter bagi eksistensi kemanusiaan.

Karya tari yang berjudul “Sang Qamar” ini adalah karya seni yang dilatar belakangi oleh sebuah cerita rakyat yaitu Rara Mendut. Sejauh cerita yang saya ketahui tentang Roro Mendut dari sebuah novel karya Rama Mangun.

Kisah penuh liku kehidupan yang menantang keberanian seorang wanita. Mengoyak-koyakan dan menyakiti jiwa dan raga. Dari sinilah saya menemukan sosok manusia berjenis kelamin perempuan mampu bersaing dalam pertempuran yang dia ciptakan sendiri untuk menjaga martabat, hak dan kesetiaan serta harga diri seorang perempuan yang sama-sama sebagai manusia dengan Satu Pencipta.

Dari kisahnya ini secara tidak langsung menggugah hati saya untuk merasakan pribadi Rara Mendut yang memiliki sesuatu “kekuatan” yang dia percayai. Saya adalah seorang perempuan. Mencoba menarik pribadinya pada masa sekarang. Saya mencoba menafsirkan dengan yang saya percayai bahwa “kekuatan” yang dimiliki Rara Mendut adalah kekuatan yang ada di dalam hati terdalamnya. Sesuatu kekuatan yang mendorong seseorang memiliki keyakinan tentang dirinya sendiri. Dari segala kehidupan yang perit berduri “kekuatan” ini muncul untuk memberi peringatan tegas tentang kodrat atau fitrah sebagai makhluk bumi yang paling mulia.

Bagi Rara Mendut “Kekuatan” ini sekaligus racun5 untuk hidupnya. Arah kehidupan yang dia tentukan sendiri untuk menciptakan dunianya sendiri. Menang dalam perang adalah 3 Manusia yang dilahirkan memiliki jiwa dan Ruh. 4 Kualitas ruh itulah yang menyebabkan meningkatnya kualitas seorang manusia (Agus Mustofa, Menyelam Ke Samudra Jiwa & Ruh: 22)

2  

Sang Qamar Anis Setiarini  

Page 12: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

biasa, tapi menang dan berjaya sebagai pribadi yang utuh adalah hikmah dan daya tarik Rara mendut. Menyerah artinya mati, melawan berarti memiliki harapan untuk hidup. Kemenangan atau kekalahan bukan pertanyaan pokok, melainkan kekuatan apakah hingga mampu memunculkan kesanggupan didirinya untuk mempertaruhkan segalanya demi suatu keyakinan dimiliki?. GAGASAN PENCIPTAAN Dari cerita dalam pendahuluan saya mencoba menarik pada kehidupan saat ini. Setiap manusia ingin menjadi pribadi yang sesuai dengan apa yang dikehendakinya yakni mengikuti apa yang menjadi keyakinannya. Sesuatu kekuatan ini ada pada diri setiap insan. Hanya saja kapan dan apa bentuk perjuangnya setiap insan berbeda-beda. Dalam karya tari kelompok “Rara Mendut” ini merupakan gambaran perjuangan batin mencapai harapan dari setiap beban untuk tetap terus melangkah dari kehidupan kemarin. Cahaya pun lahir dari kegelapan. Cahaya adalah kegelapan yang mewujud (Roy Budi Efferin 2006:26). Dari kata inilah saya mencoba menafsirkan cerita kehidupan Rara mendut. Bagaimana dia berjuang sampai menemukan satu kekuatan yang kokoh dan menjadi satu cahaya citra dirinya. Menurut saya manusia merupakan satu penyatuan yang utuh dari tubuh, ruh, hati dan pikir. Setelah penyatuan ini terciptalah sebuah wujud yakni setiap individu manusia. Dalam diri manusia atau pribadinya memiliki sesuatu “kekuatan” yang letaknya pada jiwa manusia. Di dalam jiwa manusia inilah terdapat daya-daya penggerak seseorang memilih, memilah dan melakukan apa yang menjadi pilihan dalam hidupnya. Manusia dalam fitrahnya memang telah dianugrahkan oleh Yang Maha Esa sesuatu penyempurnaan jiwa yang dapat menilai sesuatu yang baik dan buruk. Inilah sebuah gagasan mengenai sesuatu kekuatan. Daya penggerak yang menyatu dari ruh, tubuh, hati dan pikiran dari manusia tapi bukan dalam arti fisik. Melainkan dari rohani jiwa manusia untuk merasakan harapan sebagai kesempurnaan dan kekuatan. PEMBAHASAN

Pengetahuan tentang alam ruh memang sangat sedikit. Dari referensi buku manapun definisi pengetahuan tentang ruh masih sedikit. “Sementara itu kata Ruh atau Roh di dalam Al Qur’an diulang-ulang oleh Allah sebanyak sepuluh kali jadi jauh lebih sedikit dibandingkan kata jiwa atau diri (Agus Mustofa, 2005:7). “ Ruh. Definisi tentang ruh tidak merupakan definisi yang mutlak. Sejauh yang saya tahu ruh merupakan nyawa yang menghidupkan seseorang. Al-Ghazali mengartikan kata ruh kedalam dua pengertian. Pertama, secara biologis, ruh adalah sesuatu yang abstrak yang bersemayam dalam rongga hati biologis yang mengalir melalui urat-urat dan pembuluh-pembuluh ke seluruh anggota tubuh. Kedua, pengertian secara medis, yakni bagian dari manusia yang berupa sesuatu zat yang halus (lathifah) yang mempunyai kemampuan untuk mengetahui, memiliki dan berpersepsi (bingung).

5 Membedah kedudukan tradisi wanita Jawa yang selalu tunduk dengan aturan menjadi berani menantang ketidakbenaran.

3  

Sang Qamar Anis Setiarini  

Page 13: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

Karena itu, ruh merupakan suatu sumber daya terbesar di dalam tubuh untuk membuat manusia menjadi hidup. Tidak ada ruh, semua tidak akan hidup. Ruh suci yang ditiupkan oleh Allah SWT memiliki kualitas yang tinggi.

“ Ruh bersifat stabil dalam kebaikan tanpa mengenal perbandingan. Ruh adalah kutub positif dari sifat kemanusian.( Agus Mustofa 2005: 26)” Penciptaan manusia terjadi ketika ruh masuk ketubuh biologis yaitu badan manusia.

Masuknya ruh ke dalam badan manusia inilah sehingga ruh dapat mewujud menjadi manusia-manusia yang hidup di dunia dengan segala keterbatasan6 kualitas ruh.

Dari manusia-manusia yang hidup karena bersemayamnya ruh, dapat membedakan antara manusia yang berkelamin perempuan atau berkelamin laki-laki. Dengan adanya jenis kelamin ruh dalam diri manusia terjadi perbedaan sifat antara yang perempuan dan laki-laki. Dasar kejiwaan dan fitrah antara keduanya sangat jelas berbeda. Ruh yang menempati jiwa laki-laki dan jiwa perempuan sememangnya adalah sama-sama dari Tuhan, namun dari jiwa inilah yang secara terang-terangan membedakan antara dua makhluk Tuhan itu.

Sedangkan jiwa yang satu alam dengan dunia ruh merupakan jembatan komunikasi yang menghubungkan ruh dengan tubuh manusia, karena jiwa adalah letaknya membandingkan dan menimbang antara baik dan buruk.

“Dengan ruh itulah manusia memiliki kehendak. Dengan ruh itu pula manusia bisa berilmu pengetahuan. Dengan ruh itu pula ia menjadi bijaksana, memiliki perasaan cinta dan kasih sayang, serta beragai-bagai sifat ketuhanan, dalam skala manusia. Ya, ruh adalah dzat yang menjadi media penyampaian sifat-sifat ketuhanan di dalam kehidupan manusia. ( Agus mustofa 2005:23 )” Tubuh, seperti layaknya sebuah mesin yang tersusun dari suatu rangkaian-rangkaian

alat-alat yang terbatas. Mesin tidak akan bergerak jika tidak ada daya listrik yang menjadi sumber untuk menghidupkan. Begitu juga tubuh tidak akan bergerak jika tidak ada yang mendiaminya (jiwa). Namun tubuh ini merupakan identitas saat berada di alam dunia. Kehidupan duniawi yang silih berganti dan tak tentu ini yang menjalankannya adalah tubuh.

Pikir manusia adalah daya untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat rasional dan dapat menentukan eksistensi manusia. Secara singkatnya pikir yang rasional menjadi pusat dari segala pusat yang disiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan. Dengan kemampuan daya yang sistematis saya akan menuangkan desain-desain gerak yang tegas dan kaku sebagai perwujudan gerak yang menggambarkan sifar dari daya pikir manusia yang berlandaskan daya tangkap rasional.

Hati yang dimaksud disini adalah hati yang bersifat kerohanian. Jadi pembicaraan hati disini akan luas cakupannya. Sesuatu yang bersifat halus dengan diistilahkan menjadi sanubari. Sanubari ini untuk menunjukan perasaan hati yang mendalam. Menurut al-Ghazali, istilah qalb memiliki dua pengertian. Pengertian yang kedua yang menekankan hati yang bersifat kerohanian yaitu suatu hakekat dasar manusia yang bersifat perasa, mengetahui dan

6 ruh tidak bisa bergerak bebas selayaknya wujud ruh itu sendiri. Masuk dalam tubuh manusia ruh harus membagi tugas dengan elemen pembentuk hidupnya manusia itu sendiri.

4  

Sang Qamar Anis Setiarini  

Page 14: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

mengenal dimana memiliki unsure kualitas ketuhanan (rabbaniyah), bersifat kerohanian (ruhhaniyah), dan mempunyai unsure pengetahuan (‘ aqliyyah ).

Di dalam hati inilah segala perasaan manusia dapat dinikmati. Dikala sedih, gembira, bersemangat bahkan boleh jadi tidak memiliki rasa yakni gila. Karena itu hati mempunyai fungsi sebagai filter untuk menyaring dan mengendalikan manusia pada suatu pilihan antara yang baik dan yang buruk. Hati merupakan sumber kekuatan cahaya batiniah, inspirasi, kreativitas, dan belas kasih ( Syeh Ragip Frager 1999:53), hati juga bisa mengetahui apa yang diingkari oleh pengetahuan rasional ( Kabir Helminski 2002:101). Oleh karena itu segala kekuatan-kekuatan pendorong manusia melakukan tindakan adalah factor dari hati.

Menurut saya manusia merupakan satu penyatuan yang utuh dari tubuh, ruh, hati dan pikir (rational). Namun penyatuan ini bukanlah satu kesatuan. Karena manusia merupakan penyatuan dari elemen-elemen yang berdiri sendiri-sendiri. Pada intinya pada jiwa manusia memiliki alat dari hati untuk memahami realitas dan mempertimbangkan nilai-nilai serta memutuskan suatu tindakan. Letak puncak segala pemikiran dan pertimbangan ini berada pada akal yang letaknya di dalam hati.

Dalam beberapa pengertian yang ditawarkan Al-Ghazali pada tingkatan akal bahwa akal terlatih adalah akal yang telah memiliki pengetahuan-pengetahuan dasar yang dapat diolah menjadi pengetahuan yang lebih kompleks. Pada tingkatan ini seseorang mampu mengetahui sampai kepada pengetahuan-pengetahuan aksiomatis. Yaitu kemampuan bepikir tanpa diusahakan seperti perasaan dan naluri manusia (bingung). Oleh karena itu menurut pemahaman saya bahwa bertemunya kekuatan hati dan pikir manusia itulah akal. Dengan akal, maka kebingungan (oleh hati yang sekedar perasaan) terarahkan oleh pikir (rasional), dan penyimpangan pikir (rasional) dapat dipertimbangkan kembali oleh hati, sehingga sampai kepada keputusan final manusia untuk berkehendak, berbuat, dan laku, ditentukan oleh akal. Kekuatan akan diarahkan oleh potensi hati (perasaan) dan pikirnya. Dalam konteks beragama hanya dikenakan kepada manusia yang berakal atau tidak beragama seseorang kalau tidak berakal. Akal dalam pemahaman ini adalah adalah hati juga, hati dalam konteks yang bukan sekedar perasaan dan emosi (sensorik) tetapi hati sebagai otaknya spirituialnya manusia yang juga disebut sebagai akal. Akal spiritual manusia terdalam adalah hati yang fu,ad.

Dalam karya tari ini memunculkan sesuatu kekuatan yang ada pada hati (fu,ad). Kekuatan inilah yang mendorong kita untuk memilih menjadi pribadi apakah kita nanti. Dan saya menggambarkan sesuatu kekuatan ini dengan melihat diri Rara Mendut dari sebuah kerajaan tubuh manusia. Dia-lah yang memegang kekuasaan penuh. Di-alah yang membuat aturan dalam diri manusia sebagai pemegang kendali. Saya memilih Rara Mendut sebab saya mencoba merasakan hati (Fuad) dari sesosok Rara Mendut yang terlahir sebagai perempuan yang terpilih.

Tubuh laksana kerajaan. Tangan, kaki, dan beragam anggota tubuh laksanan pekerja ahli. Syahwat bagaikan pemungut pajak. Amarah ibarat polisi. Hati adalah rajanya. Akal adalah perdana mentrinya. Syahwat–layaknya pemungut pajak–senantiasa berusaha menarik segala sesuatu untuk kepentingannya sendiri. Sementara amarah bersifat keras dan kasar, dan cenderung menghukum dan ingin menghancurkan. Raja harus mengendalikan bukan hanya syahwat dan amarah, melaikan juga akal. Ia harus menjaga keseimbangan di antara semua kekuatan ini….(Al-Ghazali 2007:15)

5  

Sang Qamar Anis Setiarini  

Page 15: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

Dan pada intinya konsep karya tari ini adalah tentang sesuatu kekuatan yang letaknya

pada hati, dimana dialah yang menjadi pengendali seluruh kehidupannya. Ruh, tubuh, hati dan akalnya berada pada satu kekuasaannya. Dialah kekuatan dalam hati Rara mendut.

LANDASAN PENCIPTAAN Dari hati para wali Allah menjadi hati Rara Mendut dan kemudian hati saya. Dan hati

para wali Allah merupakan wadah hikmah, tempat rahmat, sumber penyaksian, pembendaharaan makrifat, tempat karomah, objek yang Allah lihat dengan rahmat-Nya, ladang kasih-Nya, wadah pengetahuan-Nya, lahan Hikmah-Nya, wadah tauhid-Nya, tempat berbagai cahaya-Nya (Al-Hakim al-Tirmidzi 2011: 127).

“Sang Qamar”. Sifat bulan, rembulan7 / qamar (bahasa Arab) yang menyinari. Ia adalah simbolisasi terhadap sosok Roro Mendut yang dianggap seorang yang “gelap” tetapi dalam waktu yang sama mampu memberi “cahaya” kepada kepribadian keperempuanan yang tertindaskan. Menurut saya, rembulan sebuah obyek yang lembut, indah dan hadir di dalam kegelapan untuk menyinari bumi. Ia sama seperti sosok seorang perempuan yang memiliki ruh keyakinan kepribadian yang berakal dan rembulan selalu identik dengan cahaya kecantikan untuk menyimbolkan seorang perempuan yang mempesona.

Dengan alasan itulah mengapa judul dalam karya ini adalah “Sang Qamar”. “Sang” selalu dikaitkan dengan suatu kalimat “yang paling” yang memiliki daya yang kuat untuk menyebutkan sesuatu hal yang baik dalam mengartikan suatu makna. “Qamar” merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab. Kata Qamar di dalam Al Qur’an merupakan nama dari sebuah surah. Surah Al-Qamar (Arab: القمـــر , "Bulan") adalah surah ke-54 dalam al-Qur'an. Surah ini tergolong surah makkiyah, terdiri atas 55 ayat. Dinamakan Al-Qamar yang berarti Bulan berasal dari kata Al-Qamar yang terdapat pada ayat pertama surat ini. Pada ayat ini diterangkan tentang terbelahnya bulan sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW.

Selain memilih dan memilah judul, saya juga harus memperhitungkan segala aspek pokok dan pendukungnya. Mulai dari penari sebagai medium utama sampai medium bantu terbentuknya karya meliputi; music, tata cahaya, property, setting panggung, kostum dan tata rias.

Unsur musik yang terjalin dalam Sang Qamar adalah musik nuansa yang mengusung unsur etnik jawa dan Clasic Gothic dengan sentuhan akustik sederhana.

Dalam garap musik iringan Sang Qamar menggunakan media campuran antara etnik jawa dan diatonic, namun dalam prosentasenya lebih banyak domisani musik diatonis. Maka dalam penulisan notasinya kami menggunakan notasi diatonis (not angka). Namun ada beberapa not perkusi kami menggunakan notasi kendang.

Untuk mendukung garap tari ini, tata cahaya menggunakan warna merah, biru, putih, dan netral. Warna merah yang masuk dalam golongan warna membara, memberikan penegasan rasa cinta, berani dan kuat . “Merah adalah warna cinta. Banyak orang mengungkapkan “I love you” menggunakan ornamen merah. Merah juga bisa diartikan 7 epenthesisepentesis; penyelitan;; selitan (bunyi) Kesusasteraan Epentesis: Penyisipan bunyi atau beberapa huruf dalam sesebuah kata akibat dari interaksi artikulasi dengan tujuan untuk mengindahkan pengucapan. Contoh: sentiasa menjadi senantiasa, gantung menjadi gumantung, bulan menjadi rangbulan/rembulan.

6  

Sang Qamar Anis Setiarini  

Page 16: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

sebagai kepercayaan diri yang kuat, meledak-ledak, agresif, kekuatan, kepemimpinan, energy dan kemauan yang kuat ( Nina Samidi, 9).

Warna biru yang masuk dalam golongan warna dingin memberikan rasa yang menenangkan. “ biru mengandung makna spiritual tinggi yang memberi ketenangan dan kesejukan air. Biru juga melambangkan kepercayaan dan kesetiaan.( Nina Samidi, 30).”

Warna putih merupakan warna yang suci. “ Hampir semua budaya dan agama menghubungkan warna putih dengan lambing kesucian. (Nina Samidi, 43)”. Warna netral dalam pertunjukan adalah warna kuning terang. Penggunaan warna dalam tata cahaya pertunjukan diharapkan dapat memberi support untuk lebih menegaskan ide penata.

Karya tari berjudul Rara Mendut dari sisi make up wajah akan dibuat sebagian wajahnya dibalut warna-warna. Dimana setiap warna disini mewakili dari empat elemen yang disebutkan dari ide garap karya ini. Merah mewakili gambaran akal, warna putih mewakili gambaran ruh, warna kuning/gold mewakili sosok Rara mendut, warna hijau mewakili gambaran hati.

Karya ini akan ditarikan oleh 4 penari dengan kostum yang sama. Berbentuk kemben dan bawahan rok panjang. Kemben berwarna padu dari warna hijau,merah dan kuning/gold. Rok keselurahan dengan bentuk melebar bawah keseluruhan warna putih ditambah pelipit bawah berwarna hijau.

Gambar 1 (kiri). Tata busana karya “ Sang Qamar ” (Sumber: Penulis).

Gambar 2 (kanan). Rias pada karya “Sang Qamar” (Sumber: Penulis)

Gambar di atas bentuk busana tari yang dipakai oleh ke empat penari. Untuk tata rias dari empat penari memiliki rupa yang berbeda. Setiap penari dibalut dengan warna yang berbeda-beda.

Karya yang bertajuk “Sang Qamar” menggunakan property dari mika yang sudah pecah-pecah dan berstriker warna silver sehingga memiliki kesan seperti cermin yang ditempelkan pada kain berwarna hitam kemudian diletakkan di belakang trap dan di berdirikan menggunakan beberapa rangkaian besi khusus agar dapat dibentuk seperti bingkai. Cermin yang pecah tadi selanjutnya dibentuk ulang seperti cermin bulat oval yang utuh dan bagian tengah yang kosong.

Property lain yang digunakan penari adalah gongseng. Gongseng ini hanya digunakan oleh satu penari yaitu penari tunggal. Jumlah gongseng yang dipakai adalah sepasang (untuk kaki kanan dan kiri ). Penggunaan gongseng disini berfungsi sebagai pengindah gerak dengan bunyi. Bunyi-bunyi gongseng menghasilkan bunyi- bunyi yang mistis bagi saya. Karena dicari seperti apapun makna sebenarnya dari sebuah gongseng itu, setiap personal memiliki pendapat yang berlainan.

Penggunaan gongseng disini bila dikaitkan dengan konsep saya, bunyi-bunyi dari beberapa jumlah gongseng yang dirangkai banyak menumpuk kemudian dikenakan

7  

Sang Qamar Anis Setiarini  

Page 17: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

dipergelangan kaki adalah suatu symbol keterikatan akan sesuatu yang tak ternampak tapi ada dan sifatnya mengikat sehingga langkah perlu berhati-hati. Karena itu, bila bunyi dari gongseng tak beraturan maka menghasilkan bunyi yang tidak sedap di dengar. Peran gongseng disini hanya pada adegan satu sampai tiga selebihnya tidak menggunakannya.

Panggung yang digunakan dalam penyajian karya tari ini adalah Gedung pertunjukan. Gedung pertunjukan ini memiliki kesan yang melebar dan luas karena itu untuk membatasi ruang penari penata menggunakan setting lain. Tata panggung disini saya menggunakan susunan beberapa trap yang terletak di senter panggung bagian belakang batas area penyajian panggung. Pada susunan trap inilah dibagian tengah diletakkan property karya.

Setting lain yang digunakan adalah kawat berduri yang digantung dari atas ke bawah. Dengan digantung kawat berduri ini disetting level yang berbeda-beda dari panjang kawat berduri. Bagian atas cermin kawat berduri digantung dengan level yang berbeda. Disisi kanan dan kiri panggung juga digantung kawat berduri dengan level yang sama. Menjulur dari atas kebawah. Dari sisi ini memiliki kesan mempersempit ruang panggung sehingga mampu membatasi ruang penari.

Dari landasan sederhana itulah, saya yang sedikit memahami tentang Rara Mendut telah menginspirasi saya untuk segera diwujudkan dalam karya tari. Bukan pada bentuk dramatari atau repertoar, tetapi pada bentuk dramatikal yang lentur. Bertemunya idiom tradisi dan ungkapan-ungkapan kekinian yang populis menuntut potensi saya untuk mewujudkannya.

Segala yang dijabarkan diatas ini membuat saya memadang sosok Rara Mendut memiliki ruh, tubuh, hati dan pikiran yang bercahaya. Suatu kekuatan yang memegang kendali dalam diri manusia dimana yang menentukan dan memberi keputusan bersifat menguasai, menimbang dan menindas dalam hati Rara Mendut.

Contoh gambar beberapa adegan yang ada dalam karya Sang Qamar sebagai berikut :

Gambar 3 (kiri). Saat manusia berada pada ruang sendiri-sendiri di dalam dunia nyata dan dunia maya .

Gambar 4 (kanan). Tingkatan beban yang tersusun di sunggih Rara Mendut kian membuatnya kalut dalam beban berat kehidupannya (Sumber: Arif Wibowo, S.Sn)

Gambar 5 (kiri). Kekuatan pikiran, hati dan jiwa Rara Mendut mencoba menyatukan diri dengan

tubuh Rara Mendut. Gambar 6 (kanan). Meski dalam diam pun ruhania Rara Mendut terus bergejolak. (Sumber: Arif Wibowo, S.Sn)

8  

Sang Qamar Anis Setiarini  

Page 18: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

9  

Sang Qamar Anis Setiarini  

Gambar 7. Kekuatan itu selalu mengikuti Rara mendut disetiap langkah.

(Sumber: Arif Wibowo, S.Sn)

KESIMPULAN Pada umumnya, segala proses yang harus dilalui oleh seorang seniman dalam mencipta karya seni sudah pun terlewati dan berhasil dipublikasikan kepada masyarakat. Tugas seorang seniman sudah berakhir sejak karyanya mulai dipentaskan. Yang ada setelah itu hanyalah sebuah dunia baru yang akan diinterpretasikan bebas oleh masyarakat. Usaha seniman semaksimal mana pun tidak akan boleh mengganggu gugat keberagaman interpretasi oleh masyarakat. Boleh saja muncul penafsiran yang berbeda jauh dari apa yang diharapkan oleh seorang seniman. Ini karena seni itu selalu melampaui zamannya. Apa yang paling penting bagi diri penulis adalah kepuasan dalam menciptakan karya.

DAFTAR PUSTAKA Al-Hakim al-Tirmidzi. 2011. Biarkan Hatimu Bicara, Zaman, Jakarta Ashad Kusuma Jaya dan Ki Guno Asmara. 2004. Asmaragama Wanita Jawa, Kreasi Wacana,

Yogyakarta Bagus, Lorens. 2005. Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Efferin, Roy Budi. 2006. Sains & Spiritualita,One Earth Media, Jakarta. Mustofa, Agus. 2005. Menyelam ke samudra jiwa dan Ruh, PADMA Press, Surabaya. Riyadi, Ahmad Ali. 2008. Psikologi Sufi Al-Ghazali, Panji Pustaka, Yogyakarta. Sachari, Agus. 2002. Estetika, ITB, Bandung. Samidi, Nina dkk. Rahasia Kekuatan Warna. Esensi Erlangga Group, Jakarta. Tauhid, Ahmad Jauhar. Kompas Rohani, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta. Y. B. Mangunwijaya. 2009. Rara Mendut, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Yahya, Harun. 2005. Suara Hati dan Al-Qur’an, Risalah Gusti, Surabaya. www.dbp.gov. my diambil guna arti dari rembulan.

BIODATA PENULIS

Anis Setiarini Pendidikan Terakhir Seni Tari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya.

Page 19: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

CANTHING SEDANGAN ( KOREOGRAFI )

Heny Setyawati

Abstract

Dance entitled "Canthing Sedangan", created based on the idea that inspired by coconut shell called Bathok. Bathok in Javanese people, not only has a practical significance as kitchen utensils confidence booster, but also has significance in the spiritual life of the petition to get fortune, healthy, security, safety, fertility, and the harmony of life. Canthing Sedangan cultivated by the rules of dance creation by using the principles of creativity to get dynamics choreography. Principles of creativity in addition to novelty including achievement strategies, as well as aspects of the order. However, improvisation, exploration, establishment, and on going evaluation work are steps to be planned. The dance intended to revive the memory of the audience of the Bathok values which today has shifted as practical and philosophycal functions. Keywords: Bathok, Canthing Sedangan, Values

PENDAHULUAN

Latar Belakang Dalam kehidupan berkesenian setiap seniman mempunyai sifat dan karakter yang berbeda satu diantara seniman yang lainnya, berbeda didalam cara memahami ide besarnya sampai pada bagaimana memandang unsur-unsur terkecil dan dasar-dasar mediumnya. Perbedaan cara memahami unsur-unsur yang melingkupi ide sampai pada teknik terkecil sekalipun ini akan menentukan cara kerjanya. Demikian pula pulang balik dalam pemahaman unsur terkecil sampai ide-ide besarnya berujung pada citra dinamis wujud karya seninya. Namun demikian bahwa seniman di dalam menyerap aspirasi ide otentiknya untuk penggarapan wujud karya seninya diperoleh dari alam lingkungannya.

Wahyudiyanto mengatakan bahwa pengalaman artistik seniman di dalam menciptakan kembali karya-karyanya setidaknya ada dua kategori. Pertama bersifat alamiah yaitu penyerapan seniman atas ide dasar penciptaan seni diperoleh dari alam semesta dan, atau alam sekitar semisal: tumbuhan, hewan, bebatuan, angin, air dan bena alam lainnya. Yang kedua adalah bersifat ilmiah yaitu penyerapan yang diperoleh dari proses interaksi dengan benda seni. (Wahyudiyanto, 2006:66). Berdasarkan dua kategori dengan sifat yang berbeda inilah seniman dapat mengambil manfaat untuk dipergunakan sebagai modal dalam mengolah ide-ide kreatifnya dalam mewujudkan karya-karyanya. Berdasarkan pada pandangan tersebut saya tertarik dengan benda-benda alamiah yang akrab bagi kehidupan saya dan masyarakat utamanya masyarakat yang berdomisili di Jawa. Bathok adalah benda yang saya maksudkan itu. Bathok adalah tempurung kelapa. Sifatnya yang keras, bentuknya yang bulat dan cekung di dalamnya memungkinkan bathok dapat dipergunakan untuk berbagai fungsi. Yang paling umum adalah untuk alat mengambil air. Sering pula dijumpai untuk alat minum, untuk menakar beras, dan alat tempat nasi untuk makan.

10  

Canthing Sedangan ( Koreografi ) Heny Setyawati

Page 20: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

Bagi orang Jawa ada pandangan bahwa bathok mempunyai makna yaitu suatu tempat atau wadah membawa rejeki, yang artinya Bathok dipercaya akan mendatangkan rejeki. Ini sudah menjadi semacam cerita - cerita dan atau mitos yang diceritakan secara turun temurun. Bathok yang dikemas untuk alat mengambil air disebut siwur yang selalu berada di dapur dan dapur merupakan tempat penyimpanan juga pengolahan makanan sebagai sumber kehidupan manusia. Bathok yang berupa siwur yang terbuat dari tempurung kelapa yang diberi pegangan dari kayu, selain dipergunakan untuk alat mengambil air sering pula dibuat media untuk mendatangkan roh atau arwah leluhur yang umum disebut dengan jaelangkung dan atau Nini Thowok. Jaelangkung bagi orang Jawa pada jaman dulu difungsikan dengan maksud positif misalnya untuk sarana pengobatan. Artinya karena pada jaman dulu tidak atau belum ada dokter maka arwah leluhur didatangkan dengan media batho guna member petunjuk tentang pengobatan penyakit, membantu hasil panen yang melimpah, dan semua keinginan manusia akan dibantu oleh arwah yang masuk di dalam bathok yang dibentuk menyerupai manusia yang diberi baju, bagian kepala di gambari mata, hidung dan mulut. Untuk menghadirkan roh leluhur menggunakan sarana jaelangkung pada awalnya menggunakan sajian-sajian yang disebut sebagai cok bakal. Telor yang ditaruh dalam takir, bunga setaman, kapur sirih, pisang sesisir, satu butir kelapa muda dan atau kelapa tua lengkap dengan tempurungnya. Dengan sajian yang lengkap dimungkinkan sekali roh leluhur akan cepat hadir dalam tubuh jaelangkung. Untuk kebutuhan pertanian, masyarakat agraris juga memanfaatkan boneka sejenis jaelangkung yang disebut nini thowok. Boneka Nini Thowok juga dipergunakan untuk menghadirkan roh leluhur juga. Masyarakat agraris mengenal kepercayaan terhadap keagungan Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan. Dewi Sri sebagai Dewi Padi sering disebut Dewi Kehidupan sebagai lambang kesuburan, terbukti di Bali ada Upacara Sri Puja adalah hari khusus untuk memuliakan antara Dewi Sri, Sakti (Istri) Wisnu (I Wayan Sama, 2012:98). Pada masyarakat ini Dewi Sri dipercaya sebagai media yang dapat mendatangkan keberkahan yang mlimpah melalui pertanian, maka Nini thowok yang di dalanya terdapat penjelmaan Dewi Sri diharapkan dapat menebarkan berkah tersebut supaya panen melimpah, tidak ada hama, keselamatan dan keamanan desa. Mitologi seperti itu banyak kita temui di masyarakat pedesaan yang masih percaya bahwa bathok kelapa masih bisa membawa rejeki. Selain bersifat kepercayaan terhadap roh tersebut di atas, secara prktis di Jawa Tengah umpamanya, mereka memakai piring besar dari bathok sebagai alat makan supaya rejekinya tambah banyak dan lain - lain. (Sutrisno, wawancara tanggal 20 Mei 2012). Perkembangan selanjutnya Budaya - Budaya, nilai - nilai itu sudah semakin ditinggalkan oleh masyarakatnya. Di kota tidak lagi menggunakan bathok sebagai perkakas rumah tangga karena bathok beralih fungsi sebagai asesoris dan sebagai bahan baku berbagai bentuk kerajinan. Dengan adanya pergeseran fungsi dan nilai bathok tersebut, menggugah dan menarik imajinasi sebagai inspirasi Penulis untuk mengangkat melalui mengeksplorasi fungsi estetik dan nilai bathok ke dalam bentuk garap tari. Eksplorasi diutamakan pada bentiuk dan nilai keindahan bathok sekaligus mencoba menemukan maknanya melalui eksplorasi filosofi dengan menampilkan boneka Nini Thowok dan atau jaelangkung. Persingungan kepercayaan

11  

Canthing Sedangan ( Koreografi ) Heny Setyawati

Page 21: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

masyarakat atas nilai Bathok menjadi inspirasi penting untuk mengisi ruang dalam karya tari yang saya ciptakan. Karya tari itu saya beri judul Canthing Sedangan. Karya tari Canthing Sedangan diwujudkan dalam format tari kelompok dengan tema. Yaitu Koreografi dengan satu motif penari untuk menghadirkan berbagai karekter yang dibutuhkan. Sedangkan gerak mengeksplorasi gerak yang tumbuh berkembang di wilayah mojokerto dan sekitar dekatnya. Silat adalah gerak dasar yang selanjutnya dikembangkan untuk mendapatkan nilai pesan dan kesan. Tujuan Dan Manfaat

Tujuan Kekaryaan adalah; (1) Mengembangkan kreativitas dan menumbuhkan rasa berkesenian bagi koreografer. (2) Sebagai syarat untuk memenuhi ujian tugas akhir Program Strata I. Sekolah Tinggi Kesenian Wilwalikta Surabaya. (3) Menyampaikan pesan kepada masyarakat tentang nilai bathok kelapa. (4) Menambah Kasanah perbendaharaan tari di masyarakat.

Manfaat Kekaryaan ini adalah Seni tari hakekatnya merupakan kreativitas dari seniman yang telah melalui proses penghayatan seluruh pengalaman estetik. Oleh karena itu manfaat yang diharapkan adalah : (1) Mengenalkan kepada masyarakat tentang manfaat bathok yang sudah beralih fungsi. (2) Meningkatkan kreatifitas seniman tari dalam usaha mengangkat atau menggali nilai-nilai tradisional. (3) Dapat menambah khasanah Karya tari khususnya di daerah Kota Mojokerto, karena kami menggunakan peraga anak-anak SMP dari Kota Mojokerto. Tinjauan Sumber Suatu karya yang mempunyai nilai estetik dan akademik tidak terlepas dari sumber-sumber data. Sumber data ini dapat memperkuat dan memperdalam tema, serta memperkaya ide dalam mendasari konsep garapan. Adapun sumber-sumber data yang memperkuat dalam garapan karya seni ini adalah :

Buku Seri Cerita Rakyat Jawa dengan Judul Dewi Sri (Hanini Haerani Hs. 1997:37) yang menjelaskan bahwa pada saat Dewi Sri muncullah Pohon Kelapa dan dari rambut beliau muncullah Pohon Padi itu sebabnya bathok pada jaman dulu di pergunakan sebagai perkakas rumah tangga seperti mengambil air, mengambil sayur, menakar beras, karena bathok. Ketika di pakai alas makan atau ciduk di yakini bisa membawa rejeki atau kesuburan.

Wawancara dengan Bapak Suyono 75 tahun, desa Kedung Cangkring, Kecamatan Pegerwojo, Tulungagung. (wawancara, 12 April 2012) yang mengatakan bahwa bathok tersebut dari tempurung kelapa yang diberi pegangan dari kayu, sering di buat media untuk mendatangkan roh atau arwah leluhur. Biasanya arwah leluhur akan datang dengan media bathok dengan mendatangkan arwah leluhur guna mengobati penyakit, membantu hasil panen yang melimpah, dan semua keinginan manusia akan dibantu oleh arwah yang masuk di dalam bathok yang dibentuk menyerupai manusia. Masyarakat sering menyebutnya Nini Thowak/ Jaelangkung.

KONSEP GARAP Ide Garap (1) Garap Isi Bathok sangat melekat dalam kehidupan masyarakat desa, namun dalam fungsinya mengalami pergeseran. Awal mula sangat fungsional untuk kebutuhan praktis keseharian

12  

Canthing Sedangan ( Koreografi ) Heny Setyawati

Page 22: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

bahkan sampai pada fungsi yang bermakna filosofis seperti: alat untuk mengambil air, tempat untuk makan, sampai pada boneka sebagai sarana untuk membangun kepercayaannya. Saat ini ketika era sudah mengglobal fungsi praktis tergantikan oleh plastik, sedangkan fungsi ritual cenderung dipergunakan untuk kepentingan yang negatif seperti untuk judi.

Melihat fenomena sedemikian ini saya merasa khawatir atas hilangnya nilai bathok bagi masyarakat desa. Namun demikian tak terbantahkan bahwa derasnya arus global tak dapat dibendung apalagi dicegah. Oleh karena itu untuk membangun kembali ingatan atas nilai bathok bagi masyarakat desa diperlukan upaya untuk melestarikannya. Salah satu jawaban adalah dengan menghadirkan kembali nilai bathok melalui informasi verbal dan non ferbal.

Dari pemikiran ini serta dengan melihat peristiwa pengeseran bentuk dan nilai yang diamati penulis tentang Bathok menggugah imajinasi penulis. Bathok Kelapa dalam mitos atau dongeng masyarakat jawa merupakan wujud dari Kepala Dewi Sri Sebagai dewi kesuburan. Sebagai dewi sudah barang tentu membayangkan tentang kecantikan, kelembutan, kebaikan, cinta kasih, dan kedamaian, serta yang tidak kalah penting adalah kesuburan sebagaimana di idealkan oleh masyarakat jawa. Selain itu keindahan bathok yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk untuk kebutuhan praktispun seperti siwur, dan juga yang bernilai filosofi sebagai media untuk medatangkan roh atau arwah leluhur guna mengobati penyakit, membantu hasil panen yang melimpah, dan semua keinginan manusia akan dibantu oleh arwah leluhur yang masuk di dalam bathok dibentuk menyerupai manusia yang menyebutnya Nini Thowak/Jaelangkung. Inilah karakteristik bathok yang hampir tidak dikenali lagi untuk kita kenalkan kembali pada generasi selanjutnya. Untuk mewujudkan ide tersebut selanjutnya kami wujudkan dalam bentuk garap tari. Dalam garap tari ini penulis menggunakan penari perempuan, karena diibaratkan perempuan sebagai pancaran kecantikan, keindahan, kelembutan, serta kesuburan. Untuk menjadi koreografi yang menarik diperlukan rentangan alur garap yang dinamis. Oleh karena itu dimanfaatkan cermin kehidupan dalam perilaku masyarakat petani sawah yang cukup beragam, seperti: senang, marah, gembira, nyaman, dan aman. Sifat dari rasa tersebut dapat membangun suasana garap tari yang menarik (2) Tema

Berdasarkan gagasan isi maka Tema yang kami angkat adalah sebuah kepercayaan yang biasa dilakukan oleh masyarakat di pedesaan. Kepercayaan terhadap bathok yang dapat dipergunakan sebagai media mendatangkan arwah leluhur, maka bathok bisa dianggap sebagai media yang dapat mendatangkan kemakmuran. Sebagaimana kebiasaan di dunia penciptaan tari yang wujudnya terbangun dari susunan berbagai rasa yang dihadirkan dari unsur-unsur tari itu sendiri dinamai karya tari. Untuk penyesuaiannya dengan pengalaman dan kemampuan penghayatan remaja maka dinamika yang dipilih bukan bentuk susunan bercerita, tetapi bentuk alur dramatik yang menekankan pada pernyataan dan penegasan perasaan melalui kesan-kesan yang di bangun oleh unsur-unsur tarinya. (3) Judul

“Canthing Sedangan”, Canting artinya tempat atau wadah yang terbuat dari bathok. Sedangan dalam kamus Indonesia Jawa artinya : Pangan apa-apa sing perlu kanggo urip. Canthing Sedangan adalah tempat yang memberi rejeki kehidupan dan kebahagiaan.

13  

Canthing Sedangan ( Koreografi ) Heny Setyawati

Page 23: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

Ide Garap Bentuk 1. Medium Pokok

Sebagai penyesuaian gerak ke dalam wujud tema dibutuhkan potensi tubuh untuk menghadirkan gerak. Dengan menggunakan gerak secara leluasa maka gerak dimanfaatkan untuk membentuk ruang seperti garis lurus, patah-patah, lengkung yang dikombinasi dengan tempo yang sesuai dengan permainan ritme iramanya.

Menurut Sudarsono , tari adalah ekspresi jiwa manusia melalui gerak –gearak ritmis yang indah. Sedangkan menurut Kemala Devi Chattopadhayaya, tari adalah gerakan luar yang ritmis dan lama –kelamaan tampak mengarah kepada bentuk –bentuk tertentu ( Iyus Rusliana : 1982)

Medium pokok dalam karya tari adalah gerak. Bahasa gerak yang di tuangkan untuk mewujudkan suasana –suasana yang di ciptakan secara sengaja. Sebagai lanjutan dari konsep karya .Motif yang ada pada karya tari ini adalah non dramatik. Gerak –gerak yang di wujudkan merupakan gerak –gerak tradisi meskipun sudah melalui proses stilisasi dan distorsi untuk kebutuhan rasa garap tari .Tradisi yang dimaksud adalah gerak yang tumbuh dari lokal mojokerto, dimana gerak yang tumbuh dari budaya tari di mojokerto dominan pada gerak – grak silat. Gerak-gerak silat itulah yang di stilisasi atau di perindah seperti dalam gambar gerak improvisasi dalam (gambar18 )

Dalam karya tari Canting Sedangan mengunakan properti berupa: batthok kelapa yang di bentuk topeng tanpa mengunakan cat. Ini dilakkan untuk menciptakan kesan alami. .Selain itu penari juga memainkan boneka jaelangkung : yang terbuat dari bambu, kepalanya dari bathok kelapa dan bagian bawahnya di beri penyanggah berupa kukusan (alat dapur untuk menanak nasi ) yang akan di mainkan oleh penari sebagai media untuk mendatangkan roh. Perpaduan diantara motif gerak yang dipilih untuk mengkontruksi maksud tari untuk menghadirkan kesan yang diinginkan bahwa karya tari Canthing Sedangan adalah bentuk tari remaja dengan menggunakan Bathok. Sebagai simbol pembawa rejeki juga sebagai properti tari Canthing Sedangan. Dalam hal ini sangat dibutuhkan kerjasama antara penari dan penata tari dengan harapan ide-ide yang memberikan gagasan yang membuat tari lebih jelas dan indah dalam gerak dan musik. 2. Medium Bantu Musik Tari

Tari, selain seni gerak tetapi masih membutuhkan medium lain diantaranya adalah bunyi dan atau suara. Bunyi dan atau suara yang ditata berdasarkan nada-nada adalah musik. Musik tari yang kami gunakan berorientasi pada musik. tradisi. Yang saya maksud adalah instrument yang digunakan seperangkat gamelan dengan memanfaatkan gending-gending yang ada selanjutnya dikembangkan untuk menghadirkan: ilustratif, menguatkan, dan menciptakan suasana untuk memunculkan rasa-rasa yang dibutuhkan dalam garap tari.

Yang terpenting dari musik untuk kebutuhan tari adalah memberi keselarasan, keserasian, keseimbangan yang terpadu melalui alunan: keras, lembut, cepat, lambat. Melodi lagu dan musik yang kami gunakan adalah musik Karawitan Jawa, Pelog, Slendro, dan di tambah alat musik lainnya seperti Rebana, Dram, yang di sesuaikan dengan garap tarinya. Musik yang dikehendaki adalah tenang, riang dan gembira, keagungan serta sejenisnya. Meskipun dengan rasa yang cenderung lembut, tenang, dan gembira tetapi tetap dapat menghidupkan suasana tarinya.

14  

Canthing Sedangan ( Koreografi ) Heny Setyawati

Page 24: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

3. Ide Penyajian Gambaran mengenai aspek-aspek penyajian dan semua faktor pendukung yang akan

disajikan diantaranya meliputi : (a) Pemanggungan

Penciptaan suatu tari itu erat hubungannya dengan animo masyarakat untuk menonton, baik untuk penghayatan maupun untuk hiburan. Gedung pertunjukan juga memerlukan perhatian khusus terkait dengan keamanan, kenyamanan, dan gangguan dari angin dan hujan. Bentuk panggung pertunjukan yang kami gunakan yaitu panggung tertutup yang juga disebut Prosscenium, Pengertian dari panggung Prosscenium adalah bentuk bangunan ornament kelas. Memiliki karakter gagah wibawa, sudut-sudut terbuka, yang memiliki cirri penari dan pemain, hanya dapat dilihat dari satu arah panggung, Panggung Prosscenium, yang saya maksud adalah panggung Prosscenium yang ada di gedung pertunjukan Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur di Surabaya. (b) Tata Lampu

Tata Cahaya merupakan salah satu bagian dari penyajian karya tari di dalam suatu totalitas. Bagaimanapun tata lampu mempunyai pangaruh yang cukup kuat terhadap aspek teatrikalnya dari segi pewarnaannya, ruang dan kesan-kesan yang ditimbulkan. Lampu yang kami gunakan adalah Lampu general yaitu lampu penerangan menyeluruh agar tema tampak jelas dan bisa juga untuk mendukung suasana yang diinginkan. Permainan lampu general pada volume cahaya yang digunakan yakni terang, sedang, dan redup. (c) Tata Rias dan Busana

Pada dasarnya tari adalah gerak tetapi dalam sebuah pertunjukan tari tidak dapat meninggalkan unsur pendukung lainnya. Walaupun sebagai medium utama, gerak itu sendiri sudah harus mampu mengungkapkan suasana, tetapi unsur pembantu lainnya tetap diperlukan untuk lebih memantapkan hasil penggarapan secara keseluruhan. Peranan tata busana dan rias dalam suatu penyajian secara untuh merupakan kesatuan yang mewakili kesan-kesan tertentu. Sehingga sedikit banyak perlu pertimbangan tersendiri terhadap penataan busana dan rias tari. Tata Rias : yang kami pakai adalah Tata Rias Cantik, Natural yang mengambarkan remaja desa yang sederhana memakai busana Kemben dan Rok Panjang menyerupai Jarit bahannya terbuat dari Kain Batik berwarna kuning kecoklatan, dipilih warna coklat karena menyerupai warna Bathok itu sendiri, Rambut di Sanggul Cemol, tengah agak keatas, berhiaskan Bunga Putih yang melambangkan kesucian dari para penari yang masih remaja. Tata Busana : Dalam Tari Canting Sedangan memakai Busana Batik yang sederhana. Berwarna Coklat, yang menggambarkan wanita desa yang memakai jarit panjang dan kemben, tetapi dalam pakaian wanita yang berupa jarit biasanya tanpa jahitan, sedangkan dalam tari Canting Sedangan di jahit karena untuk memudahkan gerak untuk menari. (d) Properti

Disamping itu para penari juga menggunakan properti seperti, Topeng dari Bathok kelapa, Boneka Jaelangkung yang terbuat dari Bathok Kelapa, dan salah satu penari memakai Topeng berkarakter Dewi Sri. Selain tata rias, tata busana, iringan dan tempat pertunjukan/ panggung, properti juga merupakan perlengkapan dalam suatu karya tari. Properti tari adalah alat yang digunakan oleh penari untuk melakukan gerak tari. Pemakaian properti tidak sampai mempersulit gerak penari. Dalam karya tari Canthing Sedangan ini menggunakan beberapa macam properti diantaranya adalah: (a) Topeng pada (gambar 10) merupakan topeng yang

15  

Canthing Sedangan ( Koreografi ) Heny Setyawati

Page 25: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

terbuat dari bathok kelapa. Topeng ini dibuat tanpa menggunakan cat, tujuannya agar keaslian dari bathok kelapa tetap terlihat jelas. Selain itu topeng dari bathok tersebut sebagai gambaran perwujudan dari Nini thowok. Topeng ini menggunakan cara/model topeng gigitan (cakotan) dalam bahasa Jawa. Hal ini untuk mempermudah dalam memakai topeng pada saat penari menggunakan topeng tersebut. (b) topeng yang terbuat dari kayu. Topeng cantik ini merupakan perwujutan Dewi Sri/topeng Dewi Sri. Topeng ini menggunakan cara/model topeng gigitan (cakotan) dalam bahasa Jawa. Hal ini untuk mempermudah dalam memakai topeng pada saat penari menggunakan topeng tersebut. (e) Penari

Seorang Koreografer, selalu membutuhkan penari sebagai peraga tari, untuk menyampaikan idea atau gagasan yang ingin di apresiasikan kepada penghayat. Penari harus memiliki kemampuan oleh tubuh yang baik, bisa menjiwai/menghayati irama atau musik, juga mengekspresikan gerak yang diinginkan. Sebagai penari harus mempunyai keseimbangan, kelenturan, kecepatan, ketrampilan, ketepatan, gerak eksplosif dan penguasaan irama. Karena itu dengan sendirinya penari lebih mudah tergerak semangatnya apalagi keindahan adalah kenikmatan tersendiri, itulah yang diekspresikan, itulah yang didambakan sepenuh penghayatan lahir dan batinnya. Dalam karya tari Canthing Sedangan ini menggunakan 7 (tujuh) orang penari yang masih remaja berumur 14 (empat belas) sampai 16 (enam belas) tahun. Dasar pemilihan penari adalah: (a) Memiliki kemampuan tubuh yang masih baik dalam pengertian ketahanan, kelenturan, kekuatan, dan keseimbangan yang baik dalam melaksanakan gerakan-gerakan yang diinginkan oleh koreografi. (b) Semangat yang bergelora untuk memberikan apresiasi kepada ide sebagai nilai yang akan diekspresikan. (c) Pembinaan bagi generasi untuk mengenalkan sampai pada keinginan untuk menggeluti secara baik pada tari tradisi. Ekspresi penari menjadi media komunikasi estetik dan merupakan daya ungkap melalui tubuh ke dalam aktifitas gerak. Aktifitas gerak yang dilakukan adalah untuk mengantarkan emosi-emosi tari agar gerak tari menjadi berjiwa yang mengandung kehendak untuk menyampaikan pesan kepada penghayat. Gerak tubuh penari yang didasari dengan kelenturan, keseimbangan, kecepatan, ketrampilan, penguasaan irama, dipadu dengan garap level tinggi rendah, perpindahan tempat, akan tampak jelas sebagai koreografi yang kaya dengan ploting yang dinamis. DESKRIPSI SAJIAN Urutan Sajian Sebagai langkah dalam Penciptaan Karya Tari “Chanting Sedangan” ini lazim menggunakan kaidah-kaidah yang diterapkan oleh para koreografer. Adapun kaidah-kaidah yang dimaksud adalah ungkapan dan kreasinya dalam seleksi, eksplorasi, improvisasi, dan evaluasi. Langkah-langkah ini di usahakan dipenuhi secara maksimal dengan mempertimbangkan pula teori kinerja kreativitas yang meliputi persiapan, aktualisasi, atau pengejahwantahan, serta evaluasinya, dengan mengacu pada budaya cipta karya tari. Berkaitan dengan hal tersebut di atas karya tari “Canthing Sedangan” memenuhi standart penciptaan yang dimaksud. 1. Sinopsis Karya tari Canthing Sedangan berpijak pada nilai-nilai “Bathok Kelapa”. Bathok kelapa sebagai alat praktis sekaligus bathok sebagi mitos. Pergeseran fungsi nilai bathok

16  

Canthing Sedangan ( Koreografi ) Heny Setyawati

Page 26: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

menyebabkan bathok semakin ditinggalkan oleh masyarakat pemakaianya. Karya Canthing Sedangan ini dimaksudkan untuk mengenalkan kembali fungsi bathok pada awalnya yaitu sebagai alat perkakas dapus sekaligus nilai bathok sebagai peneguh kepercayaan masyarakatnya. 2. Skenario

Skenario merupakan suatu wujud garapan. Skenario atau wujud garapan dalam hal ini dimaksudkan adalah kenyataan yang tampak secara kongkrit (berarti dapat dipersepsi dengan mata atau telinga) maupun kenyataan yang tidak nampak secara konkrit, yaitu abstrak, yang hanya bisa dibayangkan seperti suatu yang diceritakan atau dibaca dalam buku : Dalam semua jenis kesenian, visual, atau akustis, baik yang kongkrit maupun abstrak, wujud dariapa yang ditampilkan dan dapat dinikmati oleh kita, mengandung dua unsur mendasar yaitu bentuk (form) dan struktur (struktur), (Estetika Sebuah Pengantar, A.A. Made Djelantik, 1999: 19-20). Secara garis besar susunan karya tari “Chanthing Sedangan” menyajikan garap suasana yang agung, tenang, lincah, seram, tegang, riang, gembira. Garap dramatik disusun sebagai berikut : Alur Garap / Skenario Adegan Alur garap Suasana Rasa Motif gerak

Dan pencahayaan Artistik

I

Menggambarkan Dewi Sri sebagai dewi kesuburan untuk memberikan pencerahan terhadap masyarakat.

Suasana tenang

agung

Gerak mengalun. Lampu biru fokus pada penari, lampu merah 50% fokus pada jaelangkung, lampu samping mati.

Satu penari memakai topeng Dewi sri, Penari lainnya belum memakai topeng.

II Pada jaman dulu batok dipergunakan untuk memanggil roh seperti tampak dalam topeng Nini Towok/Jelangkung.

Seram

Tegang

Patah-patah. lampu merah, kuning kedap kedip gemerlap bergantian, lampu samping menyala 50%

Penari menggunakan properti jaelangkung.

III

Menggambarkan kegembiraan anak muda yang sedang memainkan topeng dari batok atau siwur.

Suasana riang,

Gembira Stakato, legato, tegas, gagah. Lampu kuning menyala dari samping dan atas depan.

Ke tujuh penari memakai topeng dari bathok.

IV Masyarakat bersyukur dan berterikasih atas karunia yang diberikan kepada-Nya .

Suasana tenang

halus Mengalun. Lampu kuning tengah fokus pada penari, lampu samping mati.

Ke enam penari melepas topeng, hanya satu penari yang tidak melepas topeng.

Proses Kekaryaan

Mewujudkan sebuah karya seni diperlukan proses dan kematangan konsep demi terwujudnya karya yang maksimal. Penggarapan karya tari memerlukan proses yang bertahap. Tahap-tahap yang dimaksud yaitu tahap penjajagan (Eksplorasi), percobaan (Improvisasi), dan tahap Pembentukan (Forming). Ketiga tahapan tersebut sebagai acuan sehingga proses penggarapan tari Canthing Sedangan ini tertata dengan baik. Berikut adalah tahapan-tahapan atau proses dalam penggarapan tari Canthing Sedangan: (a) Tahap Penjajagan (Eksplorasi) Eksplorasi merupakan tahap awal dari proses penggarapan tari Canthing Sedangan. Melalui tahapan ini dilakukan penjajagan untuk mendapatkan sebuah ide yang nantinya akan diangkat sebagai karya tari baru. Ide untuk menggarap tari yang berjudul Canthing Sedangan

17  

Canthing Sedangan ( Koreografi ) Heny Setyawati

Page 27: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

ini diawali dengan membaca buku, wawancara dengan nara sumber, serta melihat/mengeskplorasi bentuk bathok. Setelah membaca, wawancara, melihat dan mengamati bentuk bathok kelapa, maka penulis mencoba membuat topeng, membuat jaelangkung yang terbuat dari bathok dan menggunakannya sebagai properti untuk karya tari ini. Masyarakat jaman dulu menggunakan bathok untuk alat-alat rumah tangga seperti mengambil air, mengambil sayur dan menyeduh beras, tempat menyimpan jamu dan gelas untuk meminum jamu. Masyarakat jaman dulu memakai bathok/siwur untuk peralatan rumah tangga karena mereka mempercayai bahwa bathok akan memberi rejeki bagi yang memakainya. Penulis juga mengamati bathok/siwur yang bisa digunakan untuk memanggil roh jaelangkung, setelah melihar wujud jaelangkung, penulis mempunyai ide untuk memasukkan unsur jaelangkung ke dalam ragam gerak tari. Mengacu pada ide, membaca buku-buku yang terkait dengan karya yang digarap, melakukan konsultasi dengan beberapa nara sumber guna mematangkan ide serta melihat kemampuan penggarap maka diputuskan untuk menggarap tari berkonsep kreasi yang berangkat dari nilai-nilai tradisi. Hal tersebut disampaikan dan disetujui oleh dosen pembimbing pada tanggal 1 Juli 2012.

(b) Tahap Percobaan (Improvisasi) Tahap Improvisasi adalah dimana penggarap melakukan percobaan. Setelah eksplorasi atau melihat bentuk dari bathok, melakukan wawancara tentang bathok dan membaca buku tentang bathok kelapa, maka kami melakukan percobaan mencari gerak di halaman depan kantor Dinas Pariwisata yang ada di kota Mojokerto pada hari Minggu, tanggal 3 Juni 2012. Penggarap mencoba untuk mencari dan mengeksplor gerak bebas, yaitu gerak yang bebas dilakukan sesuai dengan ide garap tari. Gerak bebas tersebut tetap mengacu pada nilai-nilai tradisi Jawa Timur. Di dalam tahap kedua ini dilakukan sebagai penyesuaian tema dan wujud tari maka gerak yang digunakan lebih pada potensi tubuh untuk menghadirkan kesan gerak dengan menggunakan topeng, jaelangkung yang terbuat dari bathok. Format gerak sangat leluasa yang memanfaatkan bentuk ruang seperti gerak mengalun, garis lurus, patah-patah yang dikombinasikan dengan tempo-tempo yang sesuai dengan permainan ritme. Lokal jenius Jawa Timur yang kaya dengan materi gerak tentu akan menginspirasikan dalam penjelajahan geraknya yang dapat dimanfaatkan kekuatan simbolik dan akar budayanya. Bathok memiliki potensi kinetik (gerak) yang dibangun oleh garis yang melekat pada bentuk bathok. Seperti halnya pada saat menari bathok tidak hanya dibuat mainan saja, akan tetapi bathok ada kalanya bisa digunakan sebagai topeng. Perpaduan diantara motif gerak yang dipilih untuk mengkonstruksi maksud tari untuk menghadirkan kesan yang diinginkan, bahwa karya tari Chanting Sedangan adalah bentuk tari remaja dengan menggunakan bathok sebagai alat untuk mendatangkan jaelangkung, bathok simbul nilai rejeki dan sebagai properti, dengan lincah, gembira, agung dan karakter khas lainnya sesuai dengan perkembangan remaja. Percobaan dalam pembuatan gerak dilakukan penggarap dalam beberapa kali percobaan. Percobaan tersebut dilakukan di kantor Dinas Pariwisata Mojokerto, di kantor Dewan Kesenian Mojokerto, dan di kampus STKW Surabaya. Dari hasil percobaan tersebut maka penggarap mendapatkan gerak-gerak bebas yang diambil dari nilai tradisi Jawa Timur. Namun motif-motif gerak tersebut dikembangkan lagi dan ditambah dengan motif-motif gerak yang

18  

Canthing Sedangan ( Koreografi ) Heny Setyawati

Page 28: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

merupakan ciri khas dari penggarap. Dari hasil percobaan tersebut maka muncullah motif-motif gerak baru dan siap untuk digabungkan sehingga menjadi suatu tarian. (c) Tahap Pembentukan (Forming) Setelah melihat, mencoba secara bebas, maka koreografer mencoba merangkai dengan gerak-gerak yang sudah dicoba dijadikan sebuah bentuk yang sesuai dengan kebutuhan dalam karya tari Canthing Sedangan. Tahapan ini merupakan tahapan yang sangat penting untuk mewujudkan hasil akhir karya tari ini, yakni mewujudkan hasil karya akhir dari proses sebelumnya, untuk mendapatkan bentuk akhir dari koreografi yang layak dipentaskan. Kerja yang difokuskan yaitu menggabungkan dan membentuk, menghias, dan menyempurnakan gerak yang telah didapat pada tahap improvisasi baik itu gerak, pola lantai, level, musik, serta seluruh penunjang tari itu sendiri. Setelah semuanya tergabung sehingga terbentuk sebuah garapan tari maka dilakukan latihan dengan memunculkan exspresi dan penjiwaan demi kesempurnaan garapan tari ini. Dengan memperhatikan masukan dari dosen pembimbing dan masukan dari hasil konsultasi dengan dosen-dosen STKW Surabaya maka tahap ini merupakan pemantapan ide dan konsep garapan melalui penuangan bentuk yang lebih pasti. Dalam tahap ini memungkinkan adanya pemotongan gerak dan aksen-aksen tari untuk kedinamisan garapan, sehingga nafas dalam tari nampak jelas dan terkontrol. Perbaikan-perbaikan terus dilakukan agar mendapatkan hasil yang lebih baik sehingga garapan ini siap untuk dipentaskan. Deskripsi Karya

Karya tari “Canthing Sedangan” ini merupakan tari kreasi baru tetapi pola yang dianut adalah tradisi. Canthing Sedangan berasal dari dua kata, yaitu Canthing Siwur artinya tempat atau wadah sedangkan “sedangan” dalam kamus Indonesia Jawa artinya ”Pangan” apa apa sing perlu kanggo urip (kamus lengkap Bahasa Jawa). Canthing Sedangan adalah tempat yang memberikan rejeki atau kebahagiaan. Dengan demikian karya tari “Canthing sedangan” akan memberikan kejelasan istilah dan maknanya. Kejelasan istilah dimaksudkan sebagai kemudahan untuk membayangkan perilaku tarinya sedangkan makna ditujukan untuk memberikan acuan dalam memahami memenuhi standart penciptaan karya tari.

Garapan tari Canthing Sedangan ini dipentaskan di panggung Prosenium. Tarian ini menggunakan kostum/busana bercorak bathik warna coklat yang dirancang untuk menampilkan gadis desa yang lugu tapi mriyayeni (bahasa Jawa). Tarian Canthing sedangan ini berdurasi kurang lebih 15 menit yang sesekali menggunakan topeng cantik sebagai perwujudan dari dewi Sri dan topeng yang terbuat dari bathok. Siwur yang diberi pegangan kayu, di bawahnya dipasang kukusan (bahasa Jawa) dan dipasang kaos yang bertujuan untuk memanggil Jaelangkung.

Struktur dari suatu karya seni adalah mencakup keseluruhan peranan masing-masing bagian, antara bagian-bagian yang tersusun itu saling berkaitan untuk mencapai sebuah bentuk garapan. Secara garis besar susunan karya tari “Chanthing Sedangan” menyajikan garap suasana yang agung, tenang, lincah, seram, tegang, riang, gembira. Garap dramatik disusun sebagai berikut :

Adegan 1 : Suasana tenang , menggambarkan Dewi Sri sebagai dewi kesuburan untuk memberikan pencerahan terhadap masyarakat. Adegan II : Pada jaman dulu batok dipergunakan untuk memanggil roh seperti tampak dalam topeng Nini Towok/Jelangkung. Adegan III : Suasana riang, menggambarkan kegembiraan anak muda yang sedang

19  

Canthing Sedangan ( Koreografi ) Heny Setyawati

Page 29: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

20  

Canthing Sedangan ( Koreografi ) Heny Setyawati

memainkan topeng dari batok atau siwur. Adegan IV : Masyarakat bersyukur dan berterikasih atas karunia yang diberikan kepada-Nya KESIMPULAN Bathok disamping untuk perkakas dapur juga dipercaya memberi rejeki bagi yang memakainya. Mitos tentang Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan yang memberikan pencerahan terhadap masyarakat untuk memberikan rejeki tak lepas perwujudannya melalui bathok kelapa. Bathok kelapa yang praktis dan filosofis ini memberikan spirit atau inspirasi saya untuk diwujudkan dalam bentuk karya tari. Ini dimaksudkan untuk mengenalkan kembali fungsi dan makna filosofi bathok kepada generasi beriktnya mengingat era global telah menggeser fungsi dan makna bathok itu sendiri. Proses kekaryaan untuk mewujudkan idea atau gagasan tersebut tidak semudah atau semulus yang saya bayangkan. Pendalaman atas nilai bathok, pemilihan pemeranan, kebutuhan artistic, pengorganisasian, pembiayaan, dan factor ain diluar teknis benar-bena terlibat secara dinamis dalam perwujudan karya tarinya. Namun berkat bantuan dari berbagai pihak dapat meringankan pekerjaan yang saya anggap berat. Saran

Harapan penulis dalam pembuatan skrip penyajian ini adalah : Untuk mengejar mimpi diperlukan kerja keras dalam mewujudkannya. Seperti halnya karya tari Canthing Sedangan adalah projek berat yang harus dihadapi dengan seluruh kemampuan jiwa dan raga. Hanya dengan kerja keras, ulet, tabah, dan doa yang dapat memberikan solusi secepatnya. DAFTAR PUSTAKA Haerani, HS. Hani. 1997, Judul Cerita Rakyat Dewi Sri, Surabaya. Rusliana, Iyus.BA, dkk.1982. Pendidikan Seni Tari.Bandung :Angkasa Sama, I wayan 2012. Menebah Gabah Visual Agraris Masyarakat Bali, Fajar Satria, Surabaya. Sutrisno 2012. Manfaat Tempurug Kelapa, Surabaya. Sutindja, Trim. 1996. Kelapa tanaman serbaguna. Bumi aksara, Gresik Wahyudiyanto, 2008, Pengetahuan Seni, Surabaya. Nara Sumber : Sutrisno, 2012. Wawancara Sudagaran Purwoketo, Jawa Tengah. Suyono, 2012. Wawancara, Kedungcangkring Pagerwojo Tulungagung Jawa Timur. BIODATA PENULIS

Heny Setyawati, Pendidikan Terakhir S1 Seni Tari, Sekolah Tinggi Kesenian wilwatikta Surabaya, Lahir di Mojokerto 27 Juli 1973, Alamat di Griya Permata Meri C1/43 Mojokerto, Pekerjaan Guru SMP 2 Kutorejo Jl. Jinggowangi, Kutorejo, Mojokerto.

Page 30: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni

TARI THENGUL DI KABUPATEN BOJONEGORO” (Studi Transformasi kreatif gerak Wayang Thengul ke Dalam gerak Tari Thengul)

Martutik

Abstract

The study aims to find the form of the Thengul dance as a creative transformation from the Thengul Puppet in Bojonegoro residence. It uses the descriptive-analityical method to describe the detail of the dance. The dance used by the government and local community of Bojonegoro as the local art identity. Thengul dance can be performed by men or women. It’s thematic that mimics the Thengul Puppet Thengul implies to the imitation of movements that are stiff and broken, makeup, clothing, as well as musical aspects. However, because it is performed by human so the dance becomes more flexible, dynamic, and spirited. The dance is creative as well as innovative. In the mean that it can increase the number of artistic dance repertoire of Bojonegoro as well as increasing economic life of the dancers. Keywords: Thengul Dance, Transformation, Motion, Creative

PENDAHULUAN Latar Belakang

Di Bojonegoro terdapat kesenian wayang yang disebut wayang thengul. Wayang Thengul kemudian disebut juga wayang golek, menyerupai bentuk realistis manusia. Disamping bahan dari kayu, kain, bambu, tata warna yang dikehendaki menurut karakter pada masing–masing peran juga diatur besar, tinggi, berat serta panjang pendeknya wayang tersebut. Bahan untuk membuat Wayang Thengul yang baik adalah kayu jaranan, kayu waru dan kayu sana.

Pada awalnya pertunjukan Wayang Thengul mengambil sumber cerita dari serat babad menak yaitu tentang kehidupan Amir Abyah, wong Agung Jayengrana, Umar Maya, Umar Madi dan sebagainya. Dalam perkembangannya, sekarang tidak lagi secara khusus menggelarkan cerita menak, melainkan menampilkan sumber cerita dari Babad Tanah Jawa, Serat Panji, Majapahit dan legenda-legenda yang ada di daerah-daerah di Jawa Timur. Musik sebagai iringan memakai seperangkat gamelan pelog dan slendro. Wayang Thengul yang dianggap tertua di Bojonegoro ada di desa Trucuk, kecamatan Trucuk, Kabupaten Bojonegoro. Sampai saat tulisan ini diselesaikan terdapat banyak perkumpulan Wayang Thengul diantaranya di desa Sukowati kecamatan kapas. Di kecamatan Kapas berkembang pula Wayang Thengul yaitu di desa Semen Klepek. Kebiasaan Wayang Thengul dipertunjukkan untuk kegiatan ruwat atau ritual sebagai kepercayaan masyarakat setempat, juga untuk memperingati hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Gerakan Wayang Thengul patah-patah dan kaku. Gerakan ini tidak lazim dalam kehidupan secara umum. Ciri unik ini menjadi khas yang tidak dimiliki oleh pertunjukan wayang boneka pada umumnya. Di Jawa Barat terdapat wayang sejenis yang disebut wayang golek tetapi gerakan yang dimainkan tidak patah-patah, kaku dan atau tidak sepatah-patah dan sekaku gerakan wayang thengul. Keadaan ini menjadi menarik bagi kalangan seniman tari di Bojonegoro sehingga pada perkembangan berikutnya lahir tari yang mengambil inspirasi dari gerakan wayang thengul. Karena gerakan dan inspirasinya dari Wayang Thengul maka tarian

21   Tari Thengul Di Kabupaten Bojonegoro Martutik

Page 31: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni

tersebut dinamakan Tari Thengul. Seluruh anggota badan digerakkan dengan cara kaku dan patah-patah. Tari Thengul oleh pemerintah Daerah Tingkat II Bojonoegoro diikutsertakan pada kompetisi seni (festival tari sebagai identitas budaya lokal tahun 1992) di Madiun. Pada kesempatan kompetisi itu Tari Thengul masuk dalam kategori sepuluh penyaji terbaik (mendapat sertifikat sebagai sepuluh penyaji terbaik). Dari momen kompetisi tersebut Tari Thengul selanjutnya mendapatkan perhatian khusus dari seniman dan pemerintah Kabupaten Bojonegoro. Setelah mendapatkan penghargaan dari pemerintah Provinsi Jawa Timur, Tari Thengul terus berkembang di wilayah Bojonegoro. Berdasarkan kondisi tersebut memungkinkan sekali Tari Thengul terus dikembangkan secara kreatif dengan menggali sedalam-dalamnya pada Wayang Thengul yang meliputi aspek gerak, busana, tata rias yang pada akhirnya menemukan karakter yang khas Tari Thengul yang berorientasi pada Wayang Thengul. Kreativitas sebagai kemampuan untuk menciptakan modus baru dari ekspresi artistik ternyata mampu menghadirkan kembali wujud-wujud yang sudah ada menjadi bentuk dan atau wujud lain yang lebih dinamis dan unik. Kreativitas dalam konteks ini memiliki porsi penting dalam mengungkap kembali nilai-nilai yang ada menjadi lebih terbuka, kompetitif, dan prospektif. Pengertian terbuka dimaksudkan lebih leluasa untuk memberikan bentuk gerak dan tafsir karakternya. Kompetitif memiliki nilai kualitas yang dapat dipersandingkan, diperbandingkan, dan dipertarungkan. Sedangkan prospektif lebih pada nilai marketting, selain lebih diminati khalayak juga memiliki dampak nilai ekonomi bagi pelakunya, sehingga Tari Thengul sebenarnya merupakan karya inovatif. Inilah kemudia Tari Thengul terus berkembang untuk menemukan wujudnya yang otentik berdasarkan cita-cita dan citra, yang terus diwujudkan melalui proses kreatif para senimannya. Proses kreatif tersebut bersinergi dan beradaptasi antara keinginan-keinginan seniman dan para patron negara untuk menemukan jati diri yang diharapkan menjadi identitas kultur, maka seniman tari, seniman karawitan bertemu dalam satu ide yakni identitas lokal yang artistik estetik. Keberadaan Tari Thengul menjadi menarik, setidaknya dapat diketengahkan di sini bahwa Tari Thengul ada karena terdapat kesenian yang namanya hampir sama yaitu Wayang Thengul yang telah lebih dahulu ada di tempat dan atau wilayah yang sama. Dengan demikian Tari Thengul tidak hampa dari ruang sosial dan diduga ada yang melatar belakangi kelahirannya. Kesenian tidak pernah berdiri sendiri lepas dari masyarakatnya. Sebagai salah satu bagian penting dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakatlah yang menyangga. Kenyataan bahwa seni tidak hampa sosial seperti dinyatakan oleh Kayam:

Dalam Konteks kebudayaan maka kesenian adalah sistem budaya merupakan manifestasi dari keadaan masyarakatnya. Bentuk karya seni yang lahir dari sistem budaya adalah cerminan dari kondisi sosial yang nyata. Tersebab itu kesenian tidak perdiri lepas dari masyarakatnya. Sebagai salah satu bagian penting dari kebudayaan, kesenian adalah ungkapan kreativitas dari kebudayaan itu sendiri. Masyarakatlah yang menyangga kebudayaan, dengan demikian kesenian adalah mencipta, memberi peluang untuk bergerak, memelihara, menularkan, mengembangkan, untuk kemudian menciptakan kebudayaan baru lagi (Kayam dalam Wahyudiyanto, 2008;2)

22   Tari Thengul Di Kabupaten Bojonegoro Martutik

Page 32: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni

Asumsi Dasar Atas dasar awal terciptanya Tari Thengul tersebut, alasan yang lebih kongkrit dari Judul sebagaimana disebutkan di atas adalah: 1. Istilah transformasi lebih memberikan makna pemindahan menyeluruh dari sesuatu ke

sesuatu yang lain. Maka dalam pembahasan ini transformasi menyeluruh aspek nilai dalam Wayang Thengul dan perwujudan yang dilahirkan dari gerakan-gerakan dipindahkan seluruhnya kepada tubuh manusia.

2. Aspek kreatif manusia ternyata tidak sekedar menerima apa adanya dari pihak pemberi tetapi menekankan makna lebih sehingga hasil yang dicapai menjadi lebih fleksibel, meluas, dinamis, dan berjiwa.

3. Dengan judul Tari Thengul di Kabupaten Bojonegoro (Studi Transformasi kreatif gerak Wayang Thengul ke Dalam gerak Tari Thengul) telah sekaligus memberikan penjelasan mengenai isi judul itu sendiri. Bahwa tulisan ini adalah keinginan untuk menjelaskan secara persis bagaimana Tari Thengul tercipta, bagaimana gerak-gerak dan karakternya, tata rias busananya, dan kehidupan di wilayah tumbuh dan sebarannya.

Lebih jelas disampaikan di sini bahwa tulisan ini untuk menjelaskan secara mendalam tentang Tari Thengul. Fokus analisisnya pada transformasi kreatif nilai-nilai yang dilahirkan dari gerak-gerak sehingga hubungan gerak Wayang Thengul dengan gerak Tari Thengul menjadi kajian utama. Namun demikian bahwa tata rias dan busana, musik tari juga menjadi bagian dari eksplanasinya. METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah untuk menguraikan secara mendalam tentang subyek penelitian seakaligus mengidentifikasi aspek-aspek yang berkaitan langsung dengan wujud tari juga latar belakang terciptanya Tari Thengul. Aspek-aspek tersebut meliputi; gerak tari, busana tari, iringan (musik) tari yang selanjutnya menghasilkan spesifikasi tari Thengul serta keberlanjutan kehidupan tari Thengul. Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis, yaitu menjelaskan segala sesuatu apa adanya secara nyata dan kritis berdasarkan data yang diperoleh. Secara sistematis kronologis metode tersebut digunakan dalam (1) Pengumpulan data, (2) Penyusunan data, (3) Analisis data, dan (4) Interpretasi data. 1. Pengumpulan Data

Penulis mendatangi orang sebagai sumber untuk mendapatkan informasi awal. Orang sebagai sumber tersebut adalah Bapak Sardjoe Resosapoetro, kasi kebudayaan kantor departemen pendidikan dan kebudayaan kabupaten Bojonegoro. Selanjutnya, mengadakan peninjauan ke daerah tempat dalang wayang Thengul yang cukup tua di desa Trucuk Kecamatan Trucuk. (a) Wawancara. Wawancara dilakukan untuk mendapatakan data tentang keberadaan Wayang Thengul di Bojonegoro, Sejarah atau asal-usul Wayang Thegul, pengertian Wayang Thengul, lakon yang diceritakan, nilai-nilai yang ada di dalamnya, gerakan-gerakan, dan pertumbuhan Wayang thengul, serta mengapa diciptakan Tari Thengul. Kepada Ibu Suparmi yang dalam hal ini sebagai penggarapan tari thengul kami melakukan wawancara untuk mendapatkan data tentang proses asal muasal diciptakan Tari Thengul meliputi: bagaimana orientasi awal tentang ide penciptaan Tari Thengul, proses penggarapan, tantangan, harapan, kesan, dan pesannya kepada para seniman, pemerintah dan masyarakat.

23   Tari Thengul Di Kabupaten Bojonegoro Martutik

Page 33: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni

(b) Dokumentasi. Metode ini penulis laksanakan dengan cara : (1) Mencatat dan merekam informasi–informasi penting yang ada di kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro dan arsip-arsip, serta hasil wawancara yang berkaitan dengan Trari Thengul, dan Wayang Thengul, serta dokumen lain yang menunjang terkumpulnya data. (2) Merekam secara audio visual pertunjukan Wayang Thengul untuk mendapatakan dokumen pasti tentang pertunjukan Wayang Thengul dengan harapan dapat melihat dengan pasti secara berulang-ulang wujud Wayang, gerakan-gerakannya, tata busananya, musik pengiringnya, dan aspek pendukung lainnya. (3) Merekam secara audio visual pertunjukan Tari Thengul untuk mendapatkan dokumen pasti tentang pertunjukan Tari Thengul dengan harapan dapat meihat secara pasti wujud tarian yang meliputi: gerakan-gerakannya, tata busananya, musik pengiringnya, dan aspek pendukung lainnya. Dengan perolehan data melalui rekaman audio visual Wayang Thengul dan Tari Thengul peneliti dapat membandingkan dan melihat proses transformasi gerkan Wayang Thengul ke dalam gerakan Tari Thengul. (c) Observasi. Adalah mendatangi lokasi untuk melihat langsung pertunjukan Wayang Thengul dan Tari Tdengul. Ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara langsung dan nyata Wayang Thengul dan Tari Thengul sehingga dapat merasakan situasi pertunjukan. Proses ini memberi bantuan yang penting untuk memberikan eksplanasi tentang gerakan, musiknya, tata busananya, dan memberikan interpretasinya. 2 Analisis Data

Data yang telah terkumpul kemudian dikelompokkan sesuai dengan unsur-unsur penelitian. Langkah berikutnya adalah diadakan analisis yaitu diuraikan secara rinci dan ktitis. Hasil analisis menunjukkan karakteristik pokok-pokok rumusan masalah yang ditetapkan. Tahap berikutnya adalah memaparkan hasil rumusan pada bab-bab tersendiri. Apabila ternyata hasil analisis dianggap kurang valid maka diadakan pengecekan data ulang dan dilengkapi dengan menggali sedalam-dalamnya data dari lapangan. Dengan langkah demikian diharapkan hasil penelitian benar-benar mendapatkan analisis yang tajam dan valid. PEMBAHASAN 1. Tansformasi Kreatif Gerak Wayang Thengul Ke Dalam Tari Thengul a. Hubungan Tematik

Tari Thengul yang merupakan transformasi dari penyajian Wayang Thengul terutama pada bagian golekan atau sindir (Tayuban) dan gerak wiraganya yang mengambil khas Wayang Thengul mempunyai tema dan gambaran yang sama yaitu keduanya menggambarkan “Kelangenan” dan kegembiraan sebagai hiburan dan bersenag-senang setelah perang atau bedolan prajurit.

Dengan memperhatikan penyajian Tari Thengul dan hasil wawancara dua informan, penata tari Suparmi dan dalang Mariman Dosoredjo, Tari Thengul yang ditarikan penari-penar, pada dasarnya mengambil bagian kecil dari pergelaran Wayang Thengul terutama dalam hubungan tematik yang sifatnya senang–senang. b. Hubungan Gerak

Gerak Tari Thengul dengan gerak tari Wayang Thengul mempunyai dua ciri yang sama. Pertama, keduanya mempunyai aspek olah bentuk tubuh yang kuku, lurus, dan patah-patah. Dan kedua, keduanya dibentuk atau diwarnai oleh kebudayaan tradisional yang khas di Kabupaten Bojonegoro. Persamaan gerak ini, keduanya mengandung unsur-unsur gerak yang

24   Tari Thengul Di Kabupaten Bojonegoro Martutik

Page 34: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni

kaku, lurus dan patah–patah, dan dalam pernyataan geraknya memperlihatkan adanya struktur.

Pada gerak Tari Thengul dan gerak Wayang Tari Thengul, keduanya mempunyai kemanpuan gerak yang dikembangkan, terutama yang berupa kekuatan tubuh dan kecepatan gerak sesuai dengan penggambaran yang dilakukan oleh seorang penata tari dan dalang yang memainkan wayangnya. Tetapi dalam Tari Thengul ini pengembangannya melalui metode-metode latihan tubuh tertentu, terutama bentuk jari-jari tangan, pergelangan tangan, keseluruhan badan, tangan, bahu, leher, pinggul, lutut, kaki dan pergelangan kaki, yang kemudian dikembangkan kepekaan akan rasa gerak dan rasa irama.

Penekanan penggarapan gerak tarinya ditekankan kepada rasa yang di arahkan pada penghayatan keindahan dan kenikmatan pada gerak Tari Thengul yang cenderung kaku, lurus dan patah-patah itu. Berbeda dengan penekanan pada kreativitas gerak yang di mainkan oleh seorang dalang dalam pergelarannya. Gerak-gerak Wayang Thengul ini disajikan dalam beberapa adegan. Gerak ini merupakan gerak pokok pada Wayang Thengul terutama pada gerak waktu menghadap raja pada acara “paseban“ dan wawancara antara raja dan bawahannya. Misal: jalan menuju paseban melakukan sembahan laku, sembahan menghadap raja dengan sikap duduk seolah-olah “silo“ yang dilanjutkan percakapan atau wawancara, setelah “paseban“ selesai acara dibubarkan melakukan sembahan di luar “paseban“.

Pada adegan perang, penekanan gerak pada efektivitas dalang dalam menggerakkan wayang, terutama gerak serangan, tangkisan, elakan, tangkapan, tendangan, dan sebagainya. Kemudian pada adegan senang-senang dengan hiburan golekan dengan istilah sindiran ( tayuban ) yang nantinya diikuti oleh pengibing yang akan ikut menari bersama golekannya atau sindiran. Gerakan yang dimainkan banyak mengambil beksan tayub dan banyak unsur tari Gambyongan. Dengan gerak tari Thengul dan gerak tari Wayang Thengul banyak persamaan antara keduanya, rangkaian-rangkaian gerak yang disusun dalam pola-pola itu membentuk motif-motif. Motif-motif ini baik gerak tari Thengul dengan gerak tari Wayang Thengul sudah dapat memberikan identitas gaya. Gaya ini dapat diartikan adalah sifat pembawaan tari menyangkut cara-cara bergerak tertentu yang merupakan ciri pengenal dari gaya yang bersangkutan. Disamping gaya juga dapat ditandai oleh sikap tubuh yang kaku, lurus dan patah-patah. Penulis dalam masalah hubungan gerak tari ini pendekatanya mengambil gerak-gerak pada gerak Golekan atau Sindiran (tayuban), yang mempunyai sifat penghibur, agar lebih mendekatkan dan menyesuaikan pada fokus penelitian yang penulis harapkan. Meskipun dalam pengungkapan istilah-istilah gerak berbeda atau mungkin kebetulan ada yang sama, peristilahan itu hanyalah mengandung tujuan perlambangan dari gerak-gerak itu sendiri yang bersifat budaya. Hal ini tentunya, secara sadar dinyataka oleh manusia pada suatu masa, dalam lingkungan suatu bangun atau tata masyarakat yang khas. Ragam-ragam yang akan ditampilkan pada tari Thengul adalah diambil dari ragam gerak tari sindiran (tayuban) Wayang Thengul. Rangkaian ragam ini kemudian disesuaikan dengan kelompok ragamnya itu sendiri dengan diberi Variasi gerak baru. Meskipun demikian ragam gerak yang dipilih disini tetap menggambarkan kelangenan dan kegembiraan dari penari-penari itu. Pada dasarnya tari sindiran (Tayuban) ini merupakan sebuah tarian yang bersifat lincah, iramanya mengikuti pola-pola tingkahan irama kadang yang bergejolak atau berliku-liku. Gaya pada tarian sindirian (Tayuban), dinyatakan pada pokoknya oleh tarian pada penari

25   Tari Thengul Di Kabupaten Bojonegoro Martutik

Page 35: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni

putri yang disebut ; sindir, tetapi juga dapat diluaskan cakupannya melipiti gerak tarian putra yang dilakukan bersama dengan tarian sindiran (Tayuban) disebut dengan ngibing atau pengibing. Berikut penulis sajikan contoh hubungan gerak tari thengul dan gerak tari wayang thengul.

Proses pentransformasian bagian gerak Labas jegaguk merupakan proses secara mimesis (tiruan dari bentuk asli/alam). Yaitu pada saat Shindir Wayang Thengul memasuki arena pertunjukan Wayang Thengul menjadi penari Thengul yang diperankan manusia/penari pada saat memasuki arena panggung/ stage.

Gerak Labas Jegaguk

Secara lengkap dapat dicermati pada laporan skripsi atas nama Martutik Jurusan Seni Tari STKW Surabaya 2. Analisis Hubungan Gerak

Dengan memperhatikan dan mempelajari ragam gerak tarinya maka didapatkan pemahaman bahwa ragam-ragam tarinya menggambarkan kelangenan atau kegembiraan baik itu tari thengul maupun tari wayang thengul (Golekan). Kelangenan atau kegembiraan ini mempunyai makna sebagai sesuatu upaya untuk menghibur diri dan orang lain dari keadaan yang melelahkan atau melepas lelah sehabis bekerja atau bodolan perang dalam pegungkapan Tari Thengul ini. Sebagai substansi dasarnya, tari adalah gerak, maka tanpa bergerak tidak ada tari. Sedang pencarian gerak, seleksi dan pengembanganya, akhirnya adalah elemen yang palin penting. Adapun mengenai hubungan geraknya penulis berusaha menganalisis gerak-gerak tarinya sebagai berikut : Labas jegaguk

Merupakan awal gerak Tari Thengul untuk memasuki arena panggung untuk mencari. Jenis gerak ini, kalau dihubungkan dengan gerak pada tari wayang thengul memang disamakan, dengan alasan karena apabila penari masuk arena atau panggung dengan gerakan jalan, diikuti irama gending yang biasa dilakukan dalang, ini langsung berhenti seperti direm kalau pada kendaraan. Hal ini dilakukan karena iringan yang dibuat untuk mengiringi tari itu langsung dihentikan dan diselingi senggakan para penabuh gamelan. Diam Sikap thengul

Sikap ini diungkapkan dalam bentuk badan tegak dan lurus. Tepapi karena ini tari, maka gerak lengkung juga disisipkan pada tari thengul ini. Karena diam sikap thengul ini memberikan hormat kepada mereka yang datang dengan gerak membungkukan badan, dan kalu dihubungkan dengan gerak tari wayang thengul ini sering digunakan sebelum melakukan menari dan cukup dengan menggerakkan kepala. Laku cepet laku kale

26   Tari Thengul Di Kabupaten Bojonegoro Martutik

Page 36: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni

Gerak yang dilakukan untuk membentuk komposisi yang dihendaki dari ragam tari itu serta membentuk pola lantai. Begitu pula dengan ragam tari pada wayang thengul yang biasanya dengan istilah lembehan maro lamba rangkep merupakan gerak yang paling domonan atau sering dilakukan untuk menuju suatu tempat. Sendi seblak

Gerak ini disebut gerak penghubung dari gerak yang satu ke gerak yang berikutnya ini dilakukan dengan berpindah temapt ataupun tetap berada ditempat. Perpindahan ini berbentuk komposisi yang menyangkut pola lantai, pola lantaipada tari thengul membentu komposisi tari yang merupakan sutu kesatuan yang mendukung suasana dan keseluruhan ragam tari dan ide garap yang tercipta. Hal ini pun sama juga dengan ragam tari sendi pada wayang thengul yaitu dapat dilakukan berpindah tempat atau cukup ditempat saja. Gejug menthang kiri sampur

Ragam tari ini sama dengan gereak penthagan kanan kiri pada gereak tari wayang thengul. Tetapi karena pantangan kanan kiri seperti gerakan gambyongan, maka piñata tari gerakan itu dikreasikan dan diolah agar tidak berkesan sama, dengan menmbah gerak gejug diikuti kepala tolehan kanan kiri. Mlayu, sendi seblak

Untuk membentuk perubaha komposisi dan peralihan gerak. Apabila dikaitkan dengan ragam tari pada wayang thengul hampir sama karena pada dasarnya yang ditampilakn kaku dan lurus. Dua tangan kaku, maju melangkah, nyamping, maju nyamping, mundur, mlayu. Merupakan gerak yang isinya mampersiapkan adanya penghargyan bagi pengibing yang akan ikut menari. Ragam tari ini hamper saam dengan gerak yang isinya laku-laku atau laku telu pada tari sindiran / tayuban wayang thengul, kegunaan gerak ini menandakan akan segera diberlangsungkan suatu perhargyan yang sifatnya bersenag-senang dan menghibur. Lampahan

Dilakukan dengan berjalan yang diikuti dengan keseluruhan angota badan, membentuk komposisi dan pola yang diinginkan oleh piñata tari manuju kalengenan.

Loncatan gedheg. Gerak tari thengul ini apabila dihubungkan dengan tari pada wayang thengul tidak ada hubungan, karena loncata gedheg ini dikreasikan sesuai dengan ide garap piñata tari agar pencapaian rasa gembira dapat digambarkan lewat gerak loncatan ghedeg ini, karena dasarnya tari thengul sifatnya senang-senang dan agar terkesan gecul atau lucu. Ambegan

Gerakan mengambil nafas, dengan gerakan mengangkat bahu, sikap badan tegak lurus. Gerak ini mencontoh gerak wayang thengul tepatnya pada saat adegan perang prajurit setelah mengalahkan lawannya. Untuk itu gerakan ambagan diambil untuk menunjukkan aksen pada gerak tari thengul. Lampahan oleng, sendi sablak

Pada tari thengul gerak oleng ini menrupakan gerak yang mengikut sertakan kaki, tangan dan badan. Gerakan ini dilakukan dengan jalan agan pelan dan seakan menunjukkan tidak keseimbangan dan membentuk suatu pola lantai diagonal. Hal ini apabila dihubungkan dengan gerak lembehan nyamping padagerak tari wayang thengul, dikatakan hampir sama, akan tetapi dalam gerak tari thengulnya dimodivikasi sendiri dengan maksud rasa gembira dan kelucuan dari tarinya dapat terlihat.

27   Tari Thengul Di Kabupaten Bojonegoro Martutik

Page 37: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni

Onclang, mlayu Gerakan ini merupakan gerak berpindah dari titik satu ke titik lainnya, dengan sedikit

locatan, dilanjurkan untuk memeriahkan suasana. Sedang apabila dikaitkan dengan gerak golekan/sindiran wayang thengul oncleng ini tidak ada karena gerak yang dihadirkan dalam gerak tari golekan/sindiran banyak gerak luwesnya. Jadi pada dasarnya gerak-gerak tari thengul yang ditampilkan merupakan hasil daya cipta dan krasi penciptanya atau seniman. Egolan nyiris

Gerakan egolan ini dibuat, agar tarinya tdak kelihatan monoton terus sehingga harus di selingi gerak kelugasan dengan egolan nyiris ini diharapkan dapat menarik perhatian bagi yang menonton atau yang hadir dalam pargelaran itu. Dengan demikian walu gerak-gerak tarinya kaku, lurusdan patah-patah, gerak kelugasan ini pun perlu diperlihatkan untuk menarik pengibing yang ikur menari. Tawing gebes

Gerakan penari putri yang menggerakan bagian badan dan gerak tangan dekat telinga dan tangan satunya menthang dengan diikuti gerakan kepala toleh kanan kiri. Kalau gerakan tari wayang Thengulnya bisa dikatakan seperti sikap Thengul itu sendiri. Playonan labasan

Pengibing memasuki arena dan ikut menari, karena tertarik dengan penampilan penari puteri. Dengan sikap jalan cepat seperti berlari-lari kecil dan bergabung dengan penari puteri. Hal inipun sering ada pada adegan waktu penari Golekan / Sindiran memasuki arena, Pengibing putra dari wayang Thengul yang biasanya dilakukan oleh para Demang dengan jalan mengikuti di belakangnya sambil melihat-lihat kecantikan dan keluwesan dalam menari. Dapat disesuaikan dengan gerakan jengungak-jengunguk, gedheng-gedheg berhenti berdiri tegak/malangkerik, ambegan, kepala tolah toleh kanan kiri menunjukkan rasa kekagumannya. Pundhak – Pundhak

Gerakan ini dilakukan bersama penari putri dan putra dengan gerakan pundhak atau bahu. Gerak pundhak ini merupakan gereak trik-trik tertentu dengan memberi kesan kebersamaan diantara keduanya. Nyendhal – nyendhal

Garap gerak ini, dilakukan dengan gerak loncatan menunjukkan rasa gembiranya karena dapat ikut menari bersama panari putrid. Gerakan ini seperti ada yang menarik dari belakang dan selanjutnya dilepaskan, sehingga akan terkesan lucu. Dari situlah penari putra bewrusaha mengoda panari putri. Lampah Rangkep

Badan tegak lurus, jalan kecil-kecil rangkap dan membentuk komposisi antara penari putra dan putrid dengan menari bersama, lampah rangkep ini pada tari wayang thengul juga merupakan gerak yang sering dilakukan. Untuk itu gerak tari thengulnya mengambil dari gerak ini khas gerak thengulnya secara umum dapat disajikan. Penthangan gedheg-angkat- tangan- kanan- ceblone- tanjak

Gerakan tangan dibarengi dengan gerakan kepala, loncatan sedikit, dilanjutkan dengan tanjak atau napak. Dan bentuk kakinya agak melebar. Bentuknya gagahan. Dalam hal penthanganini banyak dijumpai pada gerak wayang thengul. Degleg -kencik -variasi rangkep lamba

28   Tari Thengul Di Kabupaten Bojonegoro Martutik

Page 38: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni

Pada gerak ini raa kegeculan atau lucu dihadirkan degnan tujuan mengundang tara dan rasa gembira bagi yang menihatnya. Gejugan manthuk-manthuk

Gejugan ini gerak yang digunakan kebanyakan dari gerak kakainya, dan manthuk manthuk ini gerakan kepala yang dihadirkan variasi ini dibuat sedemikian rupa sehingga terjalin gerakan yang bermakna bawa mereaka merasa gembira. Lembehan ndaplang bareng

Gerakan berjalan dengan membentuk komposisi selang seling lurus ke depan dan didalamnya terdapat level rendah dan level tinggi yang saling mengisi diantara penari putra dan putrid. Kemudian mereka berputar membentuk gerakan yang mirip gerakan tari pengibing wayang thengul yang dalam istilahnya lembehan dag yaitu tangan ndeplang agak lebar. Lebasan

Gerakan ini, gerakan jalan agak cepat, dan digunakan setelah mendapat kenikmatan, kegembiraan dan keindahan, dari tarian itu dengan diiringi ritme oleh kendhang. Dan keseluruhannya membentuk kesatuan sikap yang dikaitkan kaku. Keluar arena/panggung

Gerak pada waktu keluar ini diantara penarinya saling berhadapan dengan jalan menuju luar panggug. Gerak ini diiringi dengan vocal “gendhulak – gendhulik apa sido apa ora” yang artinya tari ini dapat dilanjutkan atau tidak dan semua penari keluar arena / panggung pertanda pergelaran itu selesai. 2. Hubungan Karakter Gerak Dan Karakter Tokoh Wayang Thengul.

Gerak tari thengul yang cenderung kaku, lurus, dan patah-patah dalam penggarapannya menggambarkan suatu kelangenan. Mengenai gerak-geraknya tari thengul ini meniru tarian golekan (Sindiran/ Tayuban) dan karakter tari thengul ini digarap sebagai tarian lepas yang gecul atau lucu dan mempunyai sifat menghibur.

Sedangkan wayang thengul yang dalam pembuatannya terbuat dari bahan kayu, kain, bambu, juga diolah tata warnanya dan bentuknya menurut karakter yang dikehendaki pada masing – masing peran. Begitu pula diatur besar, tinggi, berat serta panjang pendeknya. Misalnya : (a) Raja/Patih menggunakan baju bludru/kain hitam, memakai keris dan sampur slempang, untuk mengungkapkan kebesarannya. (b) Demang/kawula, mengunakan baju merah memakai blangkon atau ikat kepala, keris, untuk mengungkapkan rasa gagah dan congkak. Karakter tokoh wayang thengul dapat diungkapkan sebagai berikut: (1) Putri halus. Gerakannya lambat dan lembut. Karakter: halus, lembut, tak banyak menuntut, Setia pada suami, Pendiam. Contoh: Sekartaji, Kencana wungu, Kelaswara, Dewi muniggar. (2) Putri Lanyap. Geraknya lincah. Karakter: Lincah, Pemberani, Pandai bergaul, Pandai bicara. Contoh: Dewi Mundhingyakin, Dewi rengganis, Kuroisin, Dewi joharmanik. (3) Putri gecul. Gerakan bebas sesuai dengan bentuk tubuhnya dan lucu. Karakter : Lucu, Kurang disiplin. Contoh : Emban, Sabruk.

Apabila dihubunggkan karakter gerak dan karakter tokoh wayang thengul, keduanya mempunyai karakter gerak yang kaku, lurus dan patah-patah, tetapi dalam penokohannya karakter geraknya disesuaikan dengan tokoh yang memerankannya. Kalapun harus di buat gerak menurut penokohannya baik itu gerak kecil-kecil, lembut, lambat atau lebar, kasar dan brangasan, itu semua tergantung pada karakter dan lakon/cerita yang di bawakan dalam pergelarannya. Karena karakter atau perwatakan pelaku di atas pentas ini yang membedakan

29   Tari Thengul Di Kabupaten Bojonegoro Martutik

Page 39: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni

dengan sifat-sifat kejiwaan pelaku atau tokoh yang berperan dalam suatu lakon. Dalam hal ini perwatakan pelaku adalah untuk membangun sebuah konflik dalam suatu cerita. Tetepi kalau hal tersebut di atas dihubungkan dengan penggarapan Tari Thengul yang tidak mengambil Pethilan dari adegan waktu bersenang-senangnya prajurit setelah menang perang atau bodolan prajurit, yaitu dengan ditampilkannya penari puteri yang biasa disebut Golekan ( Sindiran/ Tayuban ) yang mengundang pengibing untuk ikut menari.

Penulis dapat menyebutkan bahwa karakter geraknya tidak sama dengan gerak tokoh-tokoh wayang Thengul, akan tetapi apabila dipelajari dan diperhatikan karakter gerak tari Tari Thengulnya meniru dan mencontoh gerakan Golekan/Sindiran/ Tayuban dan gerak pengibing yang turut mengiringi tarian Sindirnya. Walaupun dalam pengungkapan istilah gerak berbeda tetapi sikap-sikapnya dapat menunjukan dasar-dasar tari yang bervariasi dengan teknik-teknik tari yang khas untuk suatu gaya tari. Ternyata gerak tari pengibing tidak selengkap gerak dan karakter gerak pada wayang Thengul. KESIMPULAN Berdasarkan uraian tentang Tari Thengul sebagai wujud transformasi gerak Wayang Thengul ke dalam gerak Tari Thengul maka dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Tari Thengul adalah tarian yang merupakan hasil transformasi dari gerak Wayang Thengul ke dalam gerakan tubuh manusia yang selanjutnya disebut sebagai Tari Thengul. (2) Tari Thengul awal mula diciptaka oleh Sunarmi yaitu seniman yang sekaligus sebagai pejabat pemerintahan di Kabupaten Bojonegoro yang mengurusi bidang kesenian; (3) Tari Thengul merupakan transformasi dari penyajian Wayang Thengul utamanya pada bagian golekan atau sindiran (tayuban); (4) Tari Thengul memiliki tema yang sama dengan Wayang Thengul yaitu tentang kegembiraan; (5) Karakter Tari Tengul sebagaimana hasil mimesis dari Wayang Thengul bagian sindiran (tayub) meskipun gerakannya kaku dan patah-patah tetapi cenderung alus dan lembut. (6) Sebagai hasil dari transformasi maka Tari Thengul lebih leluasa, fleksibel, Dinamis, dan berjiwa karena pelakunya adalah tubuh manusia. (7) Tari Thengul selanjutnya dijadikan sebagai identitas lokal jati diri budaya kabupaten Bojonegoro. (8) Selain bersifat kreatif keberadaan Tari Thengul juga sebagai bagian dari sifat inovatif karena berdampak pada aspek kesejahteraan lahir dan batin terutama bagi pelakunya. Saran Sebagai bagian dari proses kreatif masyarakat penyangganya, Tari Thengul seyogyanya terus dihidup-lestarikan terutama oleh seniman-seniman tari muda di Kabupaten Bojonegoro. Adanya keinginan untuk lebih menguatkan identitas budaya lokal Tari Thengul merupakan ejawantah dari kesadaran tradisi masyarakat untuk lebih mengembangkan seni yang sulit berkembang yakni Wayang Thengul menjadi Tari Thengul yang lebih hidup dan bergairah. Kesadaran yang kreatif sekaligus inovatif ini merupakan jawaban keberlanjutan tradisi budaya leluhur yang semestinya terus disadarkan kepada generasi selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA Disbudpar. 2010. Museum Rajekwesi kab. Bojonegoro Bojonegoro: Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Provinsi Jawa Timur. Dwijowinoto, Wahyudhi. 1990 Analisis Karakter. Surabaya : University Press IKIP Surabaya. Hartoko, Dick. 1984 Manusia Dan Seni. Yogyakarta : Penerbit yayasan kanisius. Ismunandar, K. RM. 1988 Wayang, asal – usul, dan jenisnya. Semarang : Dahara Prize.

30   Tari Thengul Di Kabupaten Bojonegoro Martutik

Page 40: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

Jurnal Pengkajian dan Penciptaan Seni

31  

Koentjaraningrat. 1990 Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : PT Rineka Cipta. Kusudiarjo, Bagong. 1981 Tentang Tari. Yogyakarta : CV. Nur Cahaya Marsudi dan Soekamto 197 Kesenian. Widyaarta Mertosedono, Amir.1990 Sejarah Wayang, asal – usul, jenis dan cirinya. Semarang : Dahara prize Moeong Lexy, J 1972 Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Mulyono, Sri. 1987 Wayang dan Filsafat. Nusantara. Jakarta : Gunung Agung. Nazir, Moh. 1987 Metode Penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Bojonegoro 1992 Monografi Kabupate, Bojonegoro. Prawiro, S. Admojo. 1987 Bausastra Jawa. Yayasan ’’ Djojo Bojo ’’. 1993 Analisis Dominan Dalam Penelitian Seni. Makalah disampaikan pada Seminar Lokakarya

metode Penelitian Dosen dan Mahasiswa Program Pendidikan Seni Tari Sedyawati, E. 1980 Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta : Sinar Harapan. Smith, Jacqueline.1985 Komposisi Tari. Terjemahan Ben Soeharto. Yogyakarta : Penerbit Ikalastri. Suparmi 1992 Thengul. Kabupaten Bojonegoro. Wahyuono. 1986 Wayang Golek Bojonegoro. Sekelumit Informasi Wayang Golek di Kabupaten

Bojonegoro: Depatemen Pendidikan Dan Kebudayaan Bojonegoro. Yosodipuro I, Raden Ngabehi.1936 Menak Jaminambar Jilid I dan II. Serat Menak Batavia ( Jakarta )

: Balai Pustaka Betawi Sentram. DAFTAR PUSTAKA MAYA

Achsan.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/4487/BAB+III.doc - Mirip(Diakses 14-08-2012, 21.30 wib)

Http://www.ar.itb.ac.id/wdp/ (Diakses 12-08-2012 20.35 wib) Id.wikipedia.org/wiki/Inovasi - Tembolok - Mirip (Diakses 13-08-2012 11.05 wib) Kafeilmu.co.cc/tema/fungsi-busana-pada-tarian.html - Tembolok (Diakses 12-08-2012 20.08 wib) Nahulinguistik.wordpress.com/.../validitas-dan-reliabilitas/ - Tembolok - Mirip (Diakses 12-08-2012

19.21wib) Shindohjourney.wordpress.com/.../artikel-masyarakat-modern-dan kebudayannya/ (Diakses 13-08-

2012 09.58 wib) Www.anneahira.com/artikel-umum/inovasi.htm - Tembolok - Mirip (Diakses 13-08-2012 11.19 wib) Ww.scribd.com/doc/14790191/IDENTITAS-NASIONAL - Tembolok - Mirip (Diakses 14-08-2012

22.46 wib) Www.squidoo.com/cara-berpikir-kreatif - Tembolok - Mirip (Diakses 12-08-2012 11.31 wib) Www.jevuska.com › Arsip - Tembolok (Diakses 12-08-2012 20.09 wib) BIODATA PENULIS

Martutik, Pendidikan terakhir S1 Seni Tari Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya.

Tari Thengul Di Kabupaten Bojonegoro Martutik

Page 41: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

32 Tari ”Kaso” Yuni Artha Taufani

TARI ”KASO”

Yuni Artha Taufani

Abstract

The presence of the artistics in dance not just as a complement which can be ignored, but it is an important part of the whole as the choreographic arrangement. It is an element of dance arrangement in unity. In Kaso dance, the required artistic including the stage management, lighting, makeup, clothing, baskets, divan, vegetable and fruit such as kale, cabbage, long beans, squash, eggplant, carrots, papaya and banana . These needed so to strengthen, and provide a balance of character of the dance. Keywords : Kaso, artistics, Madura .

PENDAHULUAN Latar Belakang Kekaryaan

Eko Santosa dalam Seni Teater Jilid 1 dan 2 Tata artistik merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari pementasan atau pertunjukan. Pertunjukan menjadi tidak utuh tanpa adanya tata artistik yang mendukungnya. Unsur artistik disini meliputi tata panggung, tata busana, tata cahaya, tata rias, tata musik dan property yang dapat membantu pementasan menjadi sempurna sebagai pertunjukan. Unsur – unsur artistik menjadi lebih berarti apabila penata artistik mampu memberi makna kepada bagian – bagian tersebut sehingga unsur – unsur tersebut tidak hanya sebagai bagian yang menempel atau mendukung, tetapi lebih dari itu merupakan kesatuan yang utuh dari sebuah pementasan.

Tata artistik lebih berkecenderungan memahami bagaimana terjadi kontak visual mata dengan apa yang dilihat penonton. Artinya, bahwa bagi sebuah penata harus benar – benar memahami apa yang diinginkan mata penonton. Boleh dikata, media film adalah media kontak yang paling dekat dengan mata. Sedangkan, di panggung, semua akan terasa berbalik. Panggung hanyalah sebuah frame kecil dari kejauhan. Dengan segala keterbatasannya, panggung harus mampu memberikan rasa estetis kepada penikmatnya.

Pola tingkah laku dan cara hidup masyarakat madura, baik sebagai petani, pedagang, nelayan maupun sebagai penjual jasa akan sangat mempengaruhi corak budaya masyarakat seperti halnya kesenian. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa : Jika dicermati dalam Sejarah Perubahan Sosial masyarakat agraris Madura tidak terlepas dari peran serta kehadiran orang – orang Cina. Sebagaimana dikemukakan oleh Kuntowijoyo bahwa orang – orang Cina telah sangat berpengaruh dalam bidang perdagangan, perikanan, maupun industri transportasi dan industri garam di Madura.

Tari Kaso ini berlatar belakangkan aktivitas seseorang yang berangkat bekerja di pasar, berangkat dari memulai aktivitas para pekerja, dengan waktu yang sangat singkat, serta keterburuan agar bisa sampai dengan tepat.

Tata artistik dalam tari Kaso prosesnya lebih singkat karena penata mengambil ide berdasarkan dari arti kaso yaitu terburu – buru, ide antara artistik panggung dan baju yang dipakai berdasarkan dari masyarakat dalam strata ekonomi pedagang pasar. Fungsi bagian

Page 42: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

33 Tari ”Kaso” Yuni Artha Taufani

artistik kaso ini sebetulnya lebih mengacu pada faktor ekonomi, jadi para penjual atau pedagang mayoritas perempuan.

Tata panggung dan kostum akan mengangkat sudut – sudut yang berbeda dari apa yang dikarakterisasikan oleh penari. Namun setiap unsur itu secara bersamaan harus keukeuh mempromosikan apa yang dijual yang di plot dalam suasana pasar.

Penata cepat merangkum makna, memilih sisi karakter yang ingin ditampilkan dari masing – masing karakter sesuai interpretasi rencana penata, lalu dikomunikasikan secara visual pada penonton lewat artistik panggung dan kostum penari. Sementara untuk pergantian karakter, tempo musik dan tarian sebagai penjabarannya. TINJAUAN SUMBER

Beberapa tinjauan sumber yang digunakan dalam proses pengkaryaan ini adalah : Data Visual

Pada pengamatan yang dilakukan di lapangan, penulis telah mengambil beberapa foto sebagai data sampel dalam pertimbangan, penentuan pembuatan artistik dalam penggarapan tari kaso dengan pendekatan di area pasar.

Gambar 1 (kanan); Suasana para pedagang di pasar Bangkalan Madura ( Foto : Yuni Artha Taufani,

2012) Gambar 2 (kiri): Salah satu contoh pedagang pasar yang menggunakan media keranjang

( Foto : Yuni Artha Taufani, 2012 )

Para pedagang yang pada umumnya adalah perempuan, maka dari itu penata tari menampilkan tari kaso dengan menggunakan penari perempuan, yang mana tari kaso dapat dengan mudah dimengerti oleh penonton. Lencak dan sayur adalah merupakan properti pendukung dalam tampilan tari kaso, juga merupakan pendukung dan memperkuat keadaan atau suasana (tempat).

Keranjang / renjhing (madura) adalah suatu benda yang terbuat dari bahan bambu yang digunakan oleh para pedagang untuk membawa dagangannya, maka dari itu penata tari kaso juga menggunakan keranjang tersebut pada penampilannya, agar tarian itu menjadi hidup dan menjelaskan suatu karakter. Desain Panggung

Tata Panggung adalah pengaturan pemandangan di panggung selama pementasan berlangsung. Tujuannya tidak sekedar supaya permainan bisa dilihat penonton tetapi juga menghidupkan pementasan dan suasana panggung (Santosa, 2008:46). Panggung memiliki bagian yang disebut pentas/playing space/ruang permainan, yaitu daerah panggung yang dilihat oleh penonton yang merupakan tempat bergerak (Maryaeni, 1994). Sedangkan, komposisi pentas adalah penyusunan yang berarti dan artistik atas bahan-bahan perlengkapan

Page 43: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

34 Tari ”Kaso” Yuni Artha Taufani

pada pentas (Harymawan, 1998:115). Komposisi pentas ini dibuat untuk membantu blocking, di mana setiap bagian pentas mempunyai arti tersendiri. Tata Cahaya

Tata cahaya atau lampu adalah pengaturan pencahayaan di daerah sekitar panggung yang fungsinya untuk menghidupkan pementasan yang dibawakan sehingga bisa menjelaskan makna dan arti dari suatu pementasan. (Santosa, 2008) Lampu dapat memberikan pengaruh terhadap konflik yang terjadi diatas panggung dan memberikan pengaruh psikologis. Menurut Mark Carpenter (1998) dalam Santosa (2008) bahwa fungsi dasar tata cahaya ada empat, yaitu sebagai berikut : (a) Penerangan. Inilah fungsi paling mendasar dari tata cahaya. Lampu memberi penerangan pada penari dan setiap objek yang ada di atas panggung. (b) Pemilihan. Tata cahaya dapat dimanfaatkan untuk menentukan objek dan area yang hendak disinari. (c) Atmosfir. Yang paling menarik dari fungsi tata cahaya adalah kemampuannya menghadirkan suasana yang mempengaruhi emosi penonton. Kata ”atmosfir” digunakan untuk menjelaskan suasana serta emosi yang terkandung dalam peristiwa kejadian. Rias dan Busana

Kegunaan rias dalam seni tari menurut Harymawan (1988) adalah mengubah yang alamiah (natural) menjadi budaya (culture), mengatasi efek tata lampu yang kuat, sesuai peranan yang dikehendaki. Fungsi tata rias adalah menyempurnakan penampilan wajah, menggambarkan karakter wajah dan penampilan merupakan cermin psikologis dan latar sosial masyarakat yang hadir secara nyata. Memberi efek gerak pada ekspresi peraga sehingga saat berekspresi muncul efek gerak yang tegas dan dapat ditangkap penonton. Menghasilkan dan menambah aspek dramatik dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan menciptakan efek tertentu sesuai dengan kebutuhan (Santosa, 2008:274).

Tata rias dan Tata busana adalah pengaturan rias dan busana yang dikenakan penari. Gunanya untuk memperkuat karakter dalam suatu penampilan. Kegunaan tata artistik dalam pementasan adalah suatu keharusan, karena tanpa tata artistik suatu penampilan tidak akan mampu menampilkan kemampuannya dengan baik. Gambaran tata artistik secara umum, penata harus menuliskan gambaran (pandangan) tata artistiknya. Meski tidak secara mendetail, tetapi gambaran tata artistik berguna bagi para desainer untuk mewujudkannya dalam desain. Jika penata mampu, maka ia bisa memberikan gambaran tata artistik melalui sketsa. Jika tidak, maka ia cukup menuliskannya. Sederhananya kostum adalah segala hal yang menempel di tubuh penari, dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tata busana tidak lain ditujukan untuk memberi kesan karakter penari. Ketika ada sesuatu yang berbeda antara dua atau lebih, secara visual menjadi menarik. Apalagi jika ditunjang oleh pendalaman karakter penarinya. Pemilihan bahan kostum harus memperhatikan efek yang ditimbulkan oleh penataan cahaya. (Santosa, 2008: 34). Tata busana adalah pengaturan pakaian penari baik model maupun cara mengenakannya. Menurut Harymawan (1988:131) bahwa busana pentas harus menunaikan beberapa fungsi sebagai berikut. (1) Membantu menghidupkan suasana. (2) Individualisasi penari, artinya dapat membedakan karakteristik antar penari. (3) Memberi fasilitas dan membangun gerak penari, artinya menambah efek visual gerak, menambah keindahan setiap posisi penari setiap saat.

Pernyataan tersebut diperkuat oleh pendapat Santosa (2008) tentang fungsi tata busana yang lebih kompleks, yaitu (1) Menceritakan atau mengekspresikan keindahan penampilan dari penampilan sehari-hari; (2) membedakan satu penari dengan penari yang lain; (3)

Page 44: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

35 Tari ”Kaso” Yuni Artha Taufani

Menggambarkan karakter melalui model, bentuk, warna, motif yang diciptakan; (4) Memberikan efek gerak penari untuk mengekspresikan karakter secara maksimal; dan (5) Memberikan efek suasana pada perkembangan penari dalam sebuah adegan. Tata Musik

Tata musik adalah pengaturan musik yang mengiringi pementasan dan membantu untuk memberi ruh dalam suatu pementan. (Santosa:2008). Musik pengiring diperlukan agar suasana yang digambarkan lebih meyakinkan dan lebih mantap bagi para penonton. Sebagai contoh, adegan ketika aktivitas para pedagang yang akan memulai berjualan di pasar, adegan itu menggambarkan suasana yang hening saat fajar akan mulai terbit, kalau diiringi musik yang sesuai, tentu akan lebih terasa suasana yang akan mendukung pementasan ini.

Penataan musik pengiring tidak bisa diserahkan kepada sembarang orang. Sebab, penata musik harus pintar menafsirkan musik pengiring yang cocok. Karena itu, penata musik harus mempunyai perasaan peka dan memahami musik dalam karakter tari. Musik pengiring dimainkan di balik layar agar tidak terlihat penonton. Kalau terlihat, pementasan kurang baik. Karena ada persaingan antara pemain musik dengan penari. Properti

Properti adalah alat untuk memperjelas penampilan yang dimaksud. Merupakan alat bantu sebagai pendukung penari yang akan dipentaskan, tetapi segala tata letak properti yang akan digunakan dalam pementasan ini akan membantu dan mendukung karakter sebuah cerita dalam penataan panggung ini KONSEP GARAP Ide Garap 1. Garap Isi

Ide garap artistik berangkat dari karya tari kaso yang ide tarinya diilhami oleh budaya kerja masyarakat madura, yang dapat dijelaskan sebagai berikut : Dalam hal etos kerja dapat diartikan sikap, pandangan, pedoman atau tolok ukur yang ditentukan dalam diri sendiri, seseorang, atau sekelompok orang dalam kegiatan. Semangat bekerja orang madura sangat tinggi secara naluriah karena bagi mereka bekerja merupakan bagian dari sebagian hidupnya. Oleh karena itu banyak dijumpai hampir disemua kota di nusantara ini perantau madura ada dimana-mana, mereka bekerja sebagai pedagang, pengusaha, tukang parkir. Bagi mereka motivasi untuk semakin giat dan ulet bekerja ketika orang madura ke luar wilayahnya. Bagi mereka motivasi untuk semakin giat dan ulet bekerja ketika orang madura ke luar wilayahnya, alasan mereka merasa ta’ e’tangale atau ta’ e’katela’ oreng (tidak terlihat oleh sanak keluarga atau tetangga). Untuk menggambarkan keuletan, kerajinan dan semangat tinggi orang madura dalam melakukan pekerjaan dan menyenarai beberapa kata dalam bahasa madura yang memiliki arti dan makna itu. Selanjutnya garap artistik yang dibutuhkan dalam tari kaso dijelaskan sebagai berikut : Garap Artistik (a) Tata Panggung

Panggung yang penata gunakan adalah tata panggung procenium bisa juga disebut sebagai panggung bingkai karena penonton menyaksikan pementasan melalui sebuah bingkai. Bingkai yang dipasangi layar atau gorden inilah yang memisahkan wilayah

Page 45: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

36 Tari ”Kaso” Yuni Artha Taufani

pementasan dengan penonton yang menyaksikan pertunjukan dari satu arah. Dengan pemisahan ini maka pergantian tata panggung dapat dilakukan tanpa sepengetahuan penonton. Pemisahan ini dapat membantu efek artistik yang diinginkan terutama dalam gaya yang dikehendaki seolah–olah benar–benar menggambarkan suasana dalam pasar. Panggung yang dibutuhkan dalam tari kaso harus menggambarkan keadaan pasar. Supaya panggung seperti pasar, panggung diisi peralatan seperti lencak (amben), tempat untuk berjualan para pedagang, keranjang serta isi dari lencak seperti sayur kangkung, kubis, kacang panjang, lamtoro, gambas, terong, wortel, pepaya serta pisang.

Gambar 3. Bentuk panggung proscenium

(b) Tata Cahaya

Untuk keperluan pementasan tari kaso panggung harus diberi penerangan dari arah depan, atas, samping kiri atau samping kanan. Pengaturan cahaya di panggung penata sesuaikan dengan keadaan yang digambarkan. Seperti para pedagang akan memulai aktivitasnya dipagi buta (saat matahari belum terbit) cahaya waktu pagi hari dibuat menjadi redup. Bila dikehendaki, warna cahaya juga dapat diubah sesuai kebutuhan. Alat ini disebut fresnel, Fresnel merupakan lampu spot yang memiliki garis batas sinar cahaya yang lembut. Lampu ini menggunakan reflektor spherical dan lensa fresnel. Karena karakter lensa fresnel yang bergerigi pada sisi luarnya maka bagian tengah lingkaran cahaya yang dihasilkan lebih terang dan meredup ke arah garis tepi cahaya. Pengaturan ukuran sinar cahaya dilakukan dengan menggerakkan bohlam dan reflektor mendekati lensa. Semakin dekat bohlam dan reflektor ke lensa maka lingkaran sinar cahaya yang dihasilkan semakin besar. Sifat lingkaran cahaya yang lembut memungkinkan dua atau lebih, lampu fresnel memadukan warna cahaya pada objek atau area yang disinari

Gambar 4 berbagai macam lampu fresnel (Foto: Yuni 2012)

(c) Tata Rias dan Busana Pemakaian tata rias dalam tari kaso yaitu rias keseharian, yang bisa menggambarkan peran dari seorang pedagang pasar. Gambaran tata artistik melalui sketsa

Page 46: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

37 Tari ”Kaso” Yuni Artha Taufani

terlebih dahulu, lalu penata akan mewujudkan gambar yang nyata seperti yang diinginkan. Tata rias wajah yang sebagian diberi warna merah di bagian dahi dan dipojok kanan kiri sebelah pelipis alis, riasan ini menggambarkan ciri khas dari penduduk madura. Untuk eye shadow (perona mata) diberi warna gelap agar terkesan natural bila berada di atas panggung. Untuk pipi diberi perona warna merah dan warna bibir diberi sentuhan warna merah agar tidak terlihat pucat. Berikut adalah gambar make up penari ”kaso” :

Gambar 5 make up wajah penari ”kaso” ( Foto : Yuni Artha Taufani, 2012)

Keterangan : I. Rambut. Rambut ditata mengarah kebelakang, sedikit disasak agar mengembang, dan

dikepang menjadi satu, lalu diberi sanggul ciri khas madura. II. Jimpidhen. Tanda merah didahi yang konon menurut cerita sesepuh madura berawal dari sakit kepala

yang dijimpit-jimpit menurut cerita sesepuh madura berawal kepala yang dijimpit-jimpit menurut cerita sesepuh madura berawal dari sakit kepala yang dijimpit-jimpit dengan kedua jari (ibu jari dan jari telunjuk) saat orang tersebut mengalami masuk angin. Dan sampai sekarang pun menjadi ciri khas perempuan madura dan dijadikan rias pada tarian.

III. Alis. Rias pada alis dibentuk sesederhana mungkin dan mengikuti lekuk garis alis aslinya. IV. Kelopak Mata. Kelopak mata diberi eye shadow (perona mata) dengan warna hitam sehingga

mengesankan karakter wanita pedesaan. V. Pipi. Diberi warna pemerah pipi agar tidak tampak pucat, dan mengesankan karakter wanita pedesaan. VI. Bibir. Warna bibir diberi pewarna warna merah mencolok untuk menyempurnakan tata rias saat terkena

efek tata lampu pada panggung.

Penata menganalisis cerita yang diangkat untuk mengetahui jenis busana, model, warna, tekstur, dan motif yang dibutuhkan. Warna kebaya merah adalah warna yang dipakai keseharian oleh penduduk madura yang dipadu padan dengan samper atau sewek yang berdasar dan motif bercorak bunga warna merah, serta kamisol (kemben) berwarna kuning bagian dalam dari kebaya yang dikenakan oleh penari. Sedangkan warna backdrop panggung berwarna hitam/gelap. Itu akan membangkitkan kesan kontras didalam tata panggung. Yang lebih penting, kostum pementasan memang sangat khusus dan lebih mengutamakan tentang karakter yang akan ditampilkan. Berikut adalah sketsa kostum yang dipakai dalam pementasan tari kaso : Busana bagian atas

Model : Kebaya lengan ¾, Bahan kain: Kain broklat dengan motif bunga.Warna: Merah kombinasi warna emas. Ukuran: All size

2

3 4

5

Page 47: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

38 Tari ”Kaso” Yuni Artha Taufani

Gambar 6 (kanan) kebaya yang sudah jadi. ( Foto : Yuni Artha Taufani, 2012).

Gambar 7 (kiri) kamisol/kemben dalaman kebaya ( Foto : Yuni Artha Taufani, 2012)

Kamisol (kemben) Model: kemben resleting samping. Bahan kain: kain kaos yang elastis bermotif pentul-

pentul kecil. Warna: kuning emas berborci. Ukuran: All size. Busana bagian bawah

Model: samper/sewek. Bahan kain: kain blacu yang sudah dibatik. Warna: berdasar merah kombinasi bunga dan gambar merak. Ukuran: panjang 1,5 meter, lebar 1 meter.

Gambar 8 (kanan) samper/sewek (Foto: Yuni 2012.

Gambar 9 (kiri) Busana saat dipakai penari ( Foto : Yuni Artha Taufani, 2012) 4. Properti

Properti yang berada disekitar pementasan tari kaso ini memberi kesan tentang tempat serta waktu. Barang – barang atau benda penata kelompokkan menjadi dua, yakni barang – barang yang tak terpakai langsung (dekorasi) dan barang dipakai.

Barang tak terpakai lebih mengesankan tentang tempat dimana berlangsung pementasan tari kaso ini. Seperti halnya dekorasi penggambaran suasana di pasar. Penata gunakan properti lencak yang diatasnya penata beri sayur mayur beserta buah – buahan, keranjang kecil dan besar sebagai wadah atau tempat dari buah dan sayur.

Gambar 10 Cobbu’ (kalo) ( Foto : Yuni Artha Taufani, 2012 ). Bahan: anyaman bambu. Ukuran:

berdiameter 20 cm dan tinggi 10 cm.

Page 48: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

39 Tari ”Kaso” Yuni Artha Taufani

Sedangkan barang atau properti terpakai adalah alat – alat yang digunakan untuk memperkuat suasana pementasan. Seperti : Renjhing dalam bahasa jawa berarti keranjang, kami pakai sebagai properti untuk keranjang membawa belanjaan disaat pergi ke pasar. Bahan anyaman bambu, ukuran berdiameter 40 cm dan tinggi 40 cm.

Gambar 11 (kanan) Renjhing (keranjang) tampak dari atas. Gambar 12 (kiri) Renjhing (keranjang) tampak dari samping ( Foto : Yuni Artha Taufani, 2012 )

Lencak dalam bahasa jawa amben, kami pakai untuk menggambarkan agar suasana seperti dipasar. Fungsinya yaitu untuk meja berjualan di stand – stand atau pasar. Bahan terbuat dari bambu yang dipotong dan dibentuk kecil memanjang dan dirangkai hingga membentuk lencak, ukuran panjang 1,5 meter dan lebar 1 meter.

Gambar 13 (kanan); lencak (amben) yang sudah jadi. Gambar 14 (kiri); lencak (amben)

yang berisi buah dan Sayuran ( Foto : Yuni Artha Taufani, 2012 )

DESKRIPSI SAJIAN Struktur Sajian 1. Sinopsis

Artistik dalam kebutuhan karya tari bukan sekedar pelengkap yang bisa diabaikan kehadirannya, tapi merupakan bagian penting yang sejajar dengan penataan gerak yang koreografis. Kesatuan garap tari adalah meliputi unsur-unsur tari itu sendiri termasuk di dalamnya adalah artistik. Dalam karya tari Kaso, artistik yang dibutuhkan diantaranya adalah Tata panggung, tata cahaya, tata rias dan busana, keranjang, lencak atau amben, sayur dan buah meliputi sayur kangkung, kubis, kacang panjang, lamtoro, gambas, terong, wortel, pepaya serta pisang. Artistik tersebut dibutuhkan untuk menghadirkan secara visual berfungsi menguatkan, dan memberikan keseimbangan karakter tari Kaso. Skenario

Skenario adalah gambaran kerangka pikir tentang gagasan garap karya. Skenario garap artistik dalam hal ini berarti kenyataan yang tampak secara imajiner dalam pikir yang

Page 49: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

40 Tari ”Kaso” Yuni Artha Taufani

akan diwujudkan secara kongkrit, maupun kenyataan yang dapat dicerap melalui indera. Dalam semua jenis kesenian, aspek visual merupakan bagian penting yang tidak bisa diabaikan, karena visual merupakan media yang nyata sebagai sarana transformasi ide estetik ke dalam fungsi hayatan. Artistik dalam tari karya tari ”Kaso” menyajikan aspek visual yang menggambarkan kondisi sistem perekonomian masyarakat pedagang pasar tradisional. Aspek visual yang memuat menyangkut: aktivitas para pedagang, sarana yang digunakan, barang yang dijual, kondisi kultur fisiologi, yang kemudian penata tuangkan menjadi artistik pada karya tari ”kaso”. Artistik tertuang dalam garap dramatik disusun sebagai berikut : Alur Garap / Skenario

Adegan

Alur garap Suasana Rasa Gerak dan Pencahayaan

Artistik

I Untuk memulai aktivitas para pekerja yang akan berangkat ke pasar sebelum matahari terbit.

Tenang Sibuk Cahaya skenary mulai menyala agak redup, dengan lampu kuning belakang panggung menyala sebagai tanda waktu masih pagi

Posisi lencak/ amben diletakkan pada sudut belakang kiri panggung, renjhing/ keranjang dibagi menjadi 2 posisi, sisi kiri panggung dan sisi kanan panggung

II Dengan waktu yang diburu agar tepat sampai tujuan, para pekerja memulai perjalanan ke pasar.

Gaduh Sibuk Gerak cepat. Setting lampu berwarna kuning yang dipadukan dengan lampu warna merah, tujuan agar menjadi suasana ”Kaso” (terburu-buru).

Renjhing/ Keranjang dari 2 sisi kanan dan kiri diambil para penari sebagai perwujudan untuk memulai bekerja.

III Saling berebut lahan tempat dengan bersi tegang antar pedagang satu dengan yang lain

Konflik Marah Gerak dinamik, stakatto. Lampu merah, kuning berkedip-kedip gemerlap bergantian, lampu samping menyala 50%.

Penari dengan mengangkat dan memindahkan lencak/ amben dan merusak barang dagangan yang diatas lencak/ amben

IV Pulang dengan hati yang tenang dengan dagangan yang sudah terjual habis.

Tenang Gembira

Gerak kenes. Memakai lampu berwarna kuning meredup, sambil menari memutar panggung, lampu fade out tetap menyala beberapa detik kemudian lampu fade out mati.

Renjhing/ Keranjang e so’on (ditempatkan diatas kepala) dalam bahasa jawa disunggi. Kemudian para penari memasuki area panggung.

Proses Kekaryaan Dalam proses penciptaan artistik dalam tari ”kaso” langkah-langkah kreatif yang

dilakukan secara bertahap. Kategorisasi tahapan proses kreatif ini dimulai dari tahap (Eksplorasi), (Improvisasi), tahap (Pembentukan) dan Evaluasi. Berikut adalah tahapan-tahapan atau proses dalam penggarapan tari Kaso : 1. Tahap Eksplorasi

Page 50: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

41 Tari ”Kaso” Yuni Artha Taufani

Proses terwujudnya karya artistik dalam tari ”kaso” tari ini diawali melalui pengamatan, yaitu melihat, mengenal, dan memahami subyek yang akan dijadikan orientasi penggarapan. Kemudian mencoba memahami dan mengidentifikasi hal-hal yang esensial dari berbagai sudut termasuk mendalami isi materi tari yang menjadi tujuan dan sasaran garap artistik. Bagian artistik, secara fisik mencakup aktivitas pedagang pasar, busana yang dipakai pedagang dipasar, serta bentuk tempat yang pedagang jadikan sebagai alas dan macam-macam barang yang dijual di pasar. Setelah melihat dan mengamati aktivitas serta isi yang ada di dalam pasar, penata mencoba mengeksplor bentuk isi pasar ke dalam imajinasi yang nantinya akan secara selektif diwujudkan ke panggung pementasan. Berikut adalah gambar dari aktivitas para pedagang serta berbagai macam barang yang mereka jual.

Gambar 15 (kanan). Aktivitas para pedagang di pasar Bangkalan (Foto:Yuni, 2012)

Gambar 16 (kiri). Sayur mayur adalah salah satu properti dalam karya tari Kaso (Foto:Yuni, 2012)

Gambar 17. Lencak/amben serta keranjang yang menjadi inspirasi untuk properti (Foto: Yuni 2012)

Gambar 18. Selain sayur dan ikan, buah-buahan juga sebagai pelengkap dari isi lencak/amben. (Foto: Yuni 2012)

2. Tahap Improvisasi Pada tahap ini penata membuat langkah-langkah terkait dengan konsep penciptaan

artistik untuk kebutuhan tari. Pada proses pementasan tahap awal yang digelar di Pendopo STKW Surabaya penata menggunakan properti Cobbu’ dalam bahasa jawa kalo. Yang kemudian mendapat evaluasi dari para dosen penguji untuk mengganti properti tersebut dengan yang lain. Pada tahap evaluasi kedua yang digelar kembali di Pendopo STKW Surabaya, penata juga mendapat masukan kembali tentang properti lencak/amben, dalam konsep ini menggambarkan aktivitas pedagang pasar maka lencak/amben yang tadinya kosong penata menambahkan berbagai macam sayur dengan tujuan properti tersebut mendukung hidupnya pementasan tari.

Seperti telah disebutkan di atas, bahwa hasil dari semua evaluasi para dosen penguji, penata banyak mendapat kritik dan masukan sehingga penata kembali mengolah properti yang sudah ditampilkan akan tetapi properti tersebut belum mencapai hasil yang maksimal. Dengan demikian, peristiwa-peristiwa yang dialami penata bahwa yang ada dalam kehidupan cipta

Page 51: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

42 Tari ”Kaso” Yuni Artha Taufani

seni bukanlah kehidupan yang jelas, (apa yang dilihat) merupakan bahan mentah yang belum mempunyai arti sama sekali, artinya bahan-bahan tersebut hanya sebagai idiom-idiom yang harus diolah kembali, karena kenyataannya yang diperoleh penata dari rangsang lingkungannya harus melalui proses pengolahan, hasil yang lahir bukanlah suatu pengolahan akan tetapi suatu peristiwa. Berikut adalah hasil dari properti tahap awal sampai dengan melalui tahap evaluasi :

Gambar 19 (kanan). Cobbu’ (kalo) tampak atas. Gambar 20 (kiri). Cobbu’ (kalo) tampak samping. (Gambar

19 dan 20 adalah properti yang belum mengalami tahap evaluasi).

Gambar 21 (kanan). Renjhing/keranjang tampak atas. Gambar 22 (kiri). Renjhing/keranjang tampak samping.

Gambar 21 & 22 adalah properti yang sudah mengalami tahap evaluasi

Gambar 23 (kanan). Lencak/amben yang belum.

Gambar 24 (kiri). Lencak/amben yang sudah mengalami tahap evaluasi mengalami tahap evaluasi 3. Tahap Pembentukan

Setelah melalui tahap Eksplorasi dan Improvisasi penata mencoba menerapkan fungsi properti dalam merangkai gerak yang digunakan. Penata mencoba mencari kemungkinan bagaimana renjhing/keranjang terasa pas dengan gerak yang telah penata amati dilapangan. Menempatkan posisi lencak/amben di atas panggung, serta mengisi sayur kangkung, lamtoro, gambas, terong, kacang panjang, kubis, wortel, buah nanas, jagung serta buah pisang diatas lencak/amben. Cobbu’ (kalo) juga sebagai tempat/wadah dari sayuran yang ditempatkan di atas lencak/amben. Renjhing/keranjang sebagai properti yang dibawa oleh penari. Tahapan ini akan penulis gambarkan dan jelaskan ke dalam gambar panggung yang akan mementaskan karya tari Kaso. Penulis juga akan menunjukkan posisi penempatan properti serta nama dekorasi panggung procenium dalam pementasan karya tari Kaso. Berikut gambar serta keterangan dari panggung procenium :

Page 52: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

43 Tari ”Kaso” Yuni Artha Taufani

Gambar 25. Sketsa panggung procenium

Keterangan : 1. Apron : Tempat Pengrawit. Adalah tempat/ posisi pengrawit saat mengiringi karya tari Kaso. 2. Tormentor : Dinding bingkai depan kanan, kiri panggung. Berfungsi sebagai bingkai penutup dari wing. 3. Wing : Sayap kiri dan kanan panggung. Berfungsi untuk menutup posisi penari saat memasuki panggung agar tidak terlihat dari sisi penonton. 4. Procenium: Bingkai panggung. Sisi atas dari tormentor. 5. Cyclorama: Kain atau gorden penutup layar depan. Berfungsi untuk menutup layar panggung sebelum atau sesudah pementasan. 6. Back Drop: Setting drop yang berada dibelakang panggung. Berfungsi untuk mempersempit area panggung.

Penata menempatkan properti lencak/amben pada sisi kiri belakang panggung, bertujuan agar tidak mengganggu para penari saat awal pementasan. Renjhing/keranjang ditempatkan pada dua sisi, bagian sisi kiri panggung renjhing/keranjang ditempatkan di bagian menjorok ke depan dengan posisi telungkup (perhatikan gambar 26) bertujuan agar jarak antara renjhing/ keranjang dengan lencak/amben tidak terlalu dekat. Sedangkan bagian sisi kanan panggung posisi renjhing/keranjang ditempatkan berjajar dengan posisi renjhing/keranjang terbuka. Adegan pada bagian tengah karya tari Kaso, lencak/amben dipindahkan oleh penari pada sisi bagian kanan depan panggung (perhatikan gambar: 27), penata bermaksud dalam adegan tersebut terjadi konflik perebutan lahan antara pedagang satu dengan yang lain, maka penari menaiki lencak/amben dan merusak properti sayur dan buah-buahan.

Gambar 26 (kanan). Posisi renjhing/keranjang serta lencak/amben (Foto: Yuni 2012). Gambar 27 (kiri). Saat penari memindahkan properti lencak/amben (Foto: Yuni 2012)

Gambar 28 (kanan). Penari saat menaiki properti.

Gambar 29 (kiri) . Saat penari merusak sayur serta buah- lencak/amben buahan secara tidak terarah (Foto: Yuni 2012)

Page 53: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

44 Tari ”Kaso” Yuni Artha Taufani

4. Tahap Evaluasi Setelah melalui tahap eksplorasi dan improvisasi serta pembentukan, penata masih

melalui tahap yang terakhir yakni evaluasi. Dari semua proses pencarian garap artistik pada karya tari ”kaso”, pementasan terakhir yang digelar di gedung taman budaya mencapai hampir maksimal. Karena setelah melalui tahap-tahap evaluasi ini kreator beserta penata artistik sudah membenahi semua dari kritik maupun masukan dosen penguji. Bagaimanapun pementasan karya tari ”kaso” ini sudah dinilai maksimal bagi dosen penguji, dan merupakan hasil finishing dari pembentukan kreator maupun penata artistik. Deskripsi Karya Artistik

Karya artistik dalam tari ”Kaso” ini merupakan kebutuhan mutlak yang harus diwujudkan sebagai rangsang visual. Kehadirannya dimaksudkan untuk memberi gambaran nyata pada struktur karya tari secara menyeluruh. Berikut adalah sajian artistik pada karya tari ”kaso” :

Adegan 1: Untuk memulai aktivitas para pedagang, tata artistik menempatkan properti renjhing/keranjang yang terbagi dua sisi, bagian sisi kanan panggung renjhing/keranjang dalam posisi telungkup yang ditata persegi, dan dibelakang posisi renjhing/keranjang yang menelungkup ditempatkan lencak/amben dengan bermacam buah serta sayuran dengan alas cobbu’/kalo. Pada sisi bagian kiri panggung, renjhing/keranjang ditempatkan sejajar, bermaksud agar tidak mengganggu para penari dalam gerak posisi awal pementasan. Penata menggunakan lampu sorot pada penari yang sudah terbangun, dan tidak menerangi penari pada posisi bagian kanan panggung (posisi penari melakukan gerak tidur diatas posisi keranjang telungkup). Penataan lampu sedikit redup menggambarkan suasana sebelum matahari terbit.

Adegan 2: Renjhing/keranjang pada saat penari memulai berangkat ke pasar diambil dengan posisi keranjang di apit siku tangan pada posisi disamping pinggul, memakai setting lampu berwarna kuning kedip-kedip agar menimbulkan suasana ”kaso” (terburu-buru).

Adegan 3: Suasana konflik dengan setting lampu berwarna merah dan kuning, lencak/amben oleh para penari dipindahkan dari posisi pojok kiri belakang panggung melintas ke posisi pojok depan kanan panggung, penata bermaksud para penari saling berebut lahan dan dengan kemarahan pedagang, satu penari menaiki lencak/amben dengan posisi masih membawa renjhing/keranjang mengobrak abrik seluruh isi properti yang ada diatas lencak/amben.

Adegan 4: Renjhing/keranjang masih tetap dibawa oleh penari, karena renjhing/keranjang pada saat pementasan akan dibawa masuk ke panggung oleh penari, setting lampu memakai warna kuning meredup, karena penari akan memasuki panggung untuk pulang, lalu lampu mulai mati beberapa menit.

KESIMPULAN

Kesenian merupakan suatu bagian dari kebutuhan hidup manusia walaupun kadang tidak disadari sehingga sering dianggap benda-benda budaya yang makin hanyut dibawa derasnya arus perkembangan jaman. Sebagai suatu bentuk jerih payah yang menuntut waktu seseorang demi kebutuhan hidup keluarga, dibutuhkan tenaga dan pikiran untuk memanagemen waktu agar bisa membagi waktu tidak terbuang sia-sia. Dan akan menghasilkan kepuasan untuk apa yang akan dicapainya.

Page 54: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

45 Tari ”Kaso” Yuni Artha Taufani

Karya artistik tersebut selain untuk keindahan visual adalah untuk menciptakan, menguatkan, dan memberikan keseimbangan keseluruhan garap koreografi. Kehadiran artistik selanjutnya menghadirkan makna dan isi yang spesifik yakni imajinasi tentang perekonomian masyarakat bagi kaum pedagang. Saran – saran :

Seiring dengan kemajuan tekhnologi yang begitu cepat akan mendorong sekali bahwa manusia perlu mempertahankan hidup untuk kebutuhan yang kita butuhkan sehari-hari. Sikap hidup enak-enakan dan tidak mau bekerja keras tidak akan menghasilkan suatu apa-apa untuk kebutuhan hidup kita. Dan hasil dari itu semua pasti kita akan menggantungkan pada seseorang untuk bertahan hidup. Upaya tersebut dapat diawali dari sikap mengejar waktu agar bisa mempertanggungjawabkan dari hasil apa yang sudah kita usahakan. Harapan penulis dalam pembuatan skrip penyajian ini adalah : 1. Dalam berkarya tari perlu adanya Komunikasi yang baik antara kreator tari dengan

kreator artistik. 2. Bagi mahasiswa seni tari, kegiatan penciptaan karya tari bukan sekedar garap

koreografi tetapi memerlukan garap artistik.

DAFTAR PUSTAKA Harrymawan, RMA. Dramaturgi, Bandung : Rosdakarya, 1993. Santosa, Eko, Studi Naskah Untuk Tata Artistik (Rupa) pentas. STSI Bandung, 1988. Santosa, Eko dkk. 2008. Seni Teater Jilid 1 untuk SMK. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah

Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Santosa, Eko dkk. 2008. Seni Teater Jilid 2 untuk SMK. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah

Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Smith, Jaqualine, Bahan Dasar Penyusunan Komposisi, 1997. Murgiyanto, Sal. Koreografi Pengetahuan Dasar Komposisi Tari, Jakarta. Departemen P dan K 1983. Murgiyanto, Sal. Koreografi: Pengetahuan Dasar Komposisi Tari, Yogyakarta. Departemen P & K,

1983. Maeryaeni, Buku II : Teater, Malang : IKIP Malang, 1994. Prof. Wiyata, Latief. Pemetaan Kebudayaan Di Provinsi Jawa Timur Sebuah Upaya Pencarian Nilai-

nilai Positip. Biro Mental Spiritual Pemerintah Provinsi Jawa Timur Bekerja sama dengan Kompyawisda Jatim-Jember, 2008.

BIODATA

Yuni Artha Taufani Lahir di Surabaya, 11 Juni 1984 Alamat Jl. Pahlawan 214 Burneh Bangkalan Pekerjaan di Dinas Pendidikan Kab. Bangkalan

Page 55: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

46 Tari Canthing Sedangan Juwarinten

ANALISIS TEKNIS PENCIPTAAN ARTISTIK PADA KARYA TARI CANTHING SEDANGAN

Juwarinten

Abstract

Canthing Sedangan is a term which means a place that can give you fortune or happiness. "Canthing" bathok / siwur means a place, while "Sedangan" means food or things need to keep alive. Canthing Sedangan describes an object made of bathok. Bathok is a coconut shell that has a lot of benefits to people's lives. People uses bathok as home appliances with their belief that using bathok can get more fortune, though nowadays more bathok used as raw material for making crafts. Coming from bathok of coconut shell I explore it become a dance entitles Canthing Sedangan. Keywords: Canting Sedangan, Bathok, Artistic.

PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam kehidupan berkesenian, setiap seniman mempunyai sifat dan karakter yang berbeda satu diantara seniman lainnya. Berbeda di dalam cara memahami ide besarnya sampai pada bagaimana memandang unsur-unsur terkecil dari dasar-dasar mediumnya. Perbedaan cara memahami unsur-unsur yang melingkupi ide sampai pada teknik sekecil sekalipun ini akan menentukan cara kerjanya. Demikian pula pulang balik dalam pemahaman unsur terkecil sampai ide-ide berkaryanya berujung pada citra dinamis wujud karya seninya. Sebuah karya seni diwujudkan berdasarkan kemampuan seorang seniman atau pencipta seni dalam mengolah ide dan kreativitas yang dimiliki, sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat dan seniman itu sendiri. Ide yang bersumber dari keindahan alam dan lingkungan, maupun pengalaman pribadi seniman itu sendiri diolah dengan kemampuan imajinasi dan kreativitasnya, sehingga terwujud sebuah karya seni yang memiliki identitas dan gaya pribadi seniman penciptanya.

Pengalaman seni juga diungkapkan oleh Wahyudiyanto yang mengatakan bahwa pengalaman berarti mengalami. Mengalami diperoleh dari beberapa cara. Mengalami dengan melihat saja, mendengar, membaca dan ataupun menjalaninya dengan sengaja atau tidak disengaja. Pengalaman ini bersifat pasif kecuali menjalaninya dengan sadar dan ada tujuan yang ingin dicapai. Membaca, mendengar, dan melihat adalah proses interaksi manusia dengan lingkungannya. Proses interaksi ini bisa atau tidak bisa menghasilkan sebuah pengalaman yang bermakna sangat ditentukan oleh kesadaran berinteraksi untuk mendapatkan sesuatu yang bermakna dari proses interaksi tersebut. Sehingga sebuah peristiwa dikatakan sebagai pengalaman apabila secara sengaja dan sadar telah mendapatkan sesuatu darinya. pengalaman seni dalam ilmu seni adalah pengalaman yang diperoleh dari proses interaksi dengan benda seni. Pengalaman ini disebut juga pengalaman estetik. Pengalaman seni atau pengalaman estetik adalah proses dimana seorang pengamat dengan segala kemampuan jiwanya menghanyutkan dan menyatukan pengalaman seninya melalui proses interaksi subyektif dengan benda seni. Peristiwa interaksi subyektif yang kemudian disebut sebagai

Page 56: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

47 Tari Canthing Sedangan Juwarinten

komunikasi seni akan menghasilkan pengalaman baru apabila objek sebagai pacu mampu menggerakkan dan menggetarkan pengalaman seni penghayat. Pengalaman baru yang bernilai dari berkomunikasi ini disebut sebagai pengalaman seni, yakni pengalaman subjektif yang bernilai dan bermakna bagi kehidupan manusia. Jadi nilai seni ini bersifat rohaniah dan trasendental, (Wahyudiyanto, 2008: 65-66).

Sering kali orang mengatakan pemandangan itu indah, pantai itu sangat indah, dikelilingi pohon nyiur yang melambai-lambai ditiup angin. Pegunungan dengan laut membentang di sekelilingnya terlihat sangat indah dengan riak-riak air yang diterjang gelombang. Berangkat dari nilai keindahan itu, penulis ingin mengulas tentang filosofi keindahan dan manfaat suatu benda yang dinamakan Bathok.

Bathok berasal dari sebuah pohon kelapa. Pohon kelapa dikenal dengan pohon yang sangat istimewa dan memiliki filosofi yang tinggi, sampai-sampai pemerintah mempergunakannya sebagai simbul pramuka, dari janur, buah, batang serta akarnya dapat dipergunakan. Tempurung Kelapa dapat dipergunakan untuk membuat sendok sayur, gayung air, dan tempayan. Tempurung juga bisa dipakai untuk membuat penyekat ujung kukusan, yaitu alat untuk memasak nasi dengan cara diuapi diatas dandang atau belanga (Trim Sutidja, 1996: 21).

Bathok kelapa juga di anggap sakral bagi masyarakat Jawa. Bathok yang dibuat menjadi siwur atau gayung dari tempurung kelapa ini mempunyai makna tersendiri. Makna dari siwur itu sendiri yaitu tempat membawa rejeki, siwur sebagai tempat menyimpan atau, mengambil makanan, siwur dapat digunakan mengambil air ( air minum, air suci, dan lain-lain) sebagai pembawa rejeki, karena kepercayaan masyarakat segala sesuatu selalu berdasarkan kepercayaan cerita–cerita mitos yang diceritakan secara turun temurun. Karena siwur batok selalu berada di dapur, dan dapur merupakan tempat menyimpan makanan juga mengolah makanan. Dimana makanan sumber kehidupan manusia.

Bathok yang terbuat dari tempurung kelapa yang di beri pegangan dari kayu sering di buat media untuk mendatangakan roh, atau arwah leluhur. Biasanya arwah leluhur akan datang dengan media batok, karena pada zaman dahulu tidak ada dokter, maka dengan cara mendatangkan arwah leluhur guna mengobati penyakit, membantu hasil panen yang melimpah, dan semua keinginan manusia akan dibantu oleh arwah yang masuk di dalam batok yang di bentuk menyerupai manusia, masyarakat sering menyebutnya Nini Towok

Masyarakat agraris mengenal kepercayaan terhadap keagungan Dewi Sri sebagai dewi kesuburan. Pada Jaman itu masyarakat sebagian besar mempergunakan kekayaan alam untuk keperluan rumah tangga, karena pada jaman dulu belum mengenal alat-alat rumah tangga seperti, piring, mangkok, ciduk yang terbuat dari keramik bahkan dari plastik. Bathok disamping untuk alas makan juga dipercayai memberi rejeki bagi yang memakainya.

Pada jaman dulu semua tanaman/tumbuhan yang ada di alam dianggap memiliki nyawa dan kekuatan gaib, kepercayaan masyarakat ini berdasarkan cerita–cerita mitos yang diceritakan secara turun temurun. Masyarakat percaya ketika mereka menggunakan alat dari alam maka mereka terasa tersugesti menjadi puas dan membuat mereka menjadi bahagia. Mitologi seperti itu banyak kita temui di masyarakat, seperti mengunakan bathok kelapa untuk alas makan umpamanya, dipercayai membawa rejeki. Di Jawa tengah mereka memakai piring besar sebagai alat makan supaya rejekinya tambah banyak dan lain-lain (Sutrisno, 70 tahun, Sudagaran, Purwokerto, Jawa Tengah, wawancara tanggal 20 Mei 2012). Dewi Sri

Page 57: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

48 Tari Canthing Sedangan Juwarinten

sebagai Dewi padi sering disebut Dewi kehidupan sebagai lambang kesuburan, terbukti di Bali ada upacara Sri puja adalah hari khusus untuk memuliakan antara Dewi Sri, Sakti (istri) Wisnu dalam 1 (satu) hari masyarakat Bali tidak makan padi (beras) dan tidak boleh memetik (memotong) tanaman (I Wayan Sama, 2012: 98).

Perkembangan selanjutnya budaya-budaya nilai-nilai itu sudah semakin ditinggalkan oleh masyarakatnya. Di kota tidak lagi menggunakan bathok sebagai perkakas rumah tangga, karena bathok beralih fungsi sebagai assesoris dan sebagai bahan baku berbagai bentuk kerajinan. Dari fenomena tersebut dan dengan adanya pergeseran fungsi dan nilai bathok tersebut, menggugah dan menarik imajinasi sebagai inspirasi penulis untuk mengangkat mengeksplorasi fungsi estetik dan nilai bathok ke dalam bentuk garap tari kreasi baru dengan gerak tari tradisi dikembangkan dengan judul Canthing Sedangan.

Karya tari Canthing Sedangan ini merupakan bentuk garap tari kreasi baru dengan gerak tari tradisi, maka garap artistik sangat diperlukan guna memperjelas karakter dan suasana yang akan dihadirkan. Maka tata rias yang digunakan menggunakan tata rias cantik, rambut dikonde disesuaikan dengan tema dan karakter yang dibutuhkan. Sedangkan busana yang dikenakan berpijak pada bentuk-bentuk kain tradisi Jawa seperti, Kain batik yang dibentuk menyerupai longres/Rok panjang dan streples dengan corak kain yang sama, Kebutuhan ini dihadirkan untuk menunjang karakter dan eksplorasi dalam bergerak. Pencahayaan menggunakan cahaya terang, redup, dengan menggunakan warna biru, kuning, merah yang kesemuanya akan menunjang suasana yang akan dihadirkan. Bentuk pertunjukan drama tari seperti ini cocok dipergelarkan di panggung procenium. Properti yang digunakan pada sajian tari Canthing Sedangan ini menggunakan topeng dan juga bathok/siwur diberi pegangan yang dapat dipergunakan untuk memanggil nini towok/jaelangkung. Asumsi Dasar

Atas dasar awal terciptanya artistik dalam karya tari Canthing Sedangan tersebut, Maka artistik mengandung makna : (1) Artistik merupakan kreatifitas dari seniman yang telah melalui proses penghayatan seluruh pengalaman jiwa. (2) Artistik merupakan gagasan karya yang dimaknai melalui wujud struktur suasana oleh seorang sutradara, koreografer, composer, maupun siapa saja yang ada dibalik lahirnya sebuah karya pertunjukan. (3) Dengan judul Analisis Teknis Penciptaan Artistik pada karya Tari Canthing Sedangan ini diketahui bathok mengalami peralihan fungsi dari sebagai perkakas rumah tangga, sekarang sekedar sebagai assesoris dan sebagai bahan baku berbagai bentuk kerajinan, termasuk sebagai topeng untuk properti tari. Lebih jelas disampaikan di sini bahwa tulisan ini untuk menjelaskan secara mendalam tentang artistik dalam karya Tari Canthing Sedangan. Fokus analisisnya pada transformasi kreatif penataan artistik seperti tata panggung, tata cahaya, tata rias, busana, properti yang menjadi kajian utama. Namun demikian bahwa gerak-gerak yang dihadirkan juga menjadi bagian dari eksplanasinya. METODE PENELITIAN

Suatu karya seni artistik yang mempunyai nilai estetis dan akademik, tidak terlepas dari sumber-sumber data, baik tertulis maupun tidak tertulis. Artistik bisa jadi merupakan gagasan karya yang dimaknai melalui wujud struktur suasana oleh seorang sutradara, koreografer, composer, maupun siapa saja yang ada dibalik lahirnya sebuah karya pertunjukan. Struktur suasana inilah yang memicu dan mempengaruhi serta menggerakkan

Page 58: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

49 Tari Canthing Sedangan Juwarinten

emosi penonton ketika berapresiasi melalui pergelaran. Dari sumber-sumber data ini dapat memperkuat dan memperdalam tema serta memperkaya ide yang mendasari konsep garapan. Adapun sumber-sumber data yang memperkuat dalam penggarapan karya seni ini adalah : (1) Membaca buku tentang manfaat kelapa yang berjudul kelapa Tanaman Serba Guna, pengarang Trim Sutidja dengan harapan benar-benar dapat mengetahui manfaat dari bathok yang akan di pergunakan sebagai properti dalam karya tari Canthing Sedangan. (2) Membaca buku tentang Dewi sri yang berjudul Seri Cerita Rakyat Jawa Dewi Sri, pengarang H.S Hanni Haerani dengan harapan dapat mengetahui asal usul dari Bathok/tempurung kelapa tersebut yang menurut mitos berasal dari kuburan Dewi Sri. (3) Membaca buku tentang artistik yang berjudul Dasar-dasar Drama Turgi, pengarang Mark Carpenter dengan tujuan menambah pengetahuan tentang penataan artistik dalam penggarapan sebuah karya tari. (4) Wawancara dengan beberapa nara sumber. Orang sebagai narasumber tersebut adalah bapak Sutrisno yang tinggal di daerah Sudagaran, Purwokerto, Jawa Tengah. Bapak Suyono tinggal di daerah Kedungcangkring, Pagerwojo, Tulungagung. Wawancara tersebut dengan harapan untuk mendapatkan data dan juga dapat mengetahui lebih banyak manfaat dari bathok kelapa, karena selain untuk assesoris, bathok kelapa juga digunakan untuk peralatan rumah tangga, seperti untuk piring (tempat makan), tempat minum jamu dan bahkan untuk memanggil roh jaelangkung.

Dari tinjauan sumber di atas, maka kami menghadirkan karya tari ini dengan konsep manfaat dari bathok/siwur serta kesederhanaan seorang gadis desa yang lugu tapi mriyayeni (bahasa Jawa). (1) Tahap Penjajagan (Eksplorasi). Eksplorasi adalah tahap penjajagan dan atau tahap pencarian: ide, bentuk, nilai, dan kemjungkinan kualiats penyerapan audien. (2) Tahap Percobaan (Improvisasi). Tahap Improvisasi adalah dimana penggarap melakukan percobaan. Yang dimaksud percobaan adalah menggunakan bahan untuk dilakukan pembentukan dengan berbagai model untuk menghasilkan wujud dan karakter yang diinginkan. (3) Tahap Pembentukan (Forming). Tahap Pembentukan adalah tahap penyusunan bahan yang terpilih dari eksplorasi dan improvisasi atau percobaan. Tahap ini dilakukan evaluasi sampai menghasilkan kesimpulan untuk dilakukan finising. PEMBAHASAN 1. Hubungan Tematik

Ketika ide sentuhan artistik untuk menggarap tari yang berjudul Canthing Sedangan ini diawali membaca ide garap isi koreografi Canthing Sedangan, melihat perilaku yang beragam, senang, marah, gembira, nyaman dan aman pada alur garap atau skenario Canthing Sedangan. Kemudian muncul pemikiran/ide untuk memberikan sentuhan artistik tentang bathok atau tempurung kelapa. Penggunaan bathok dalam hal ini menjadi media transformasi nilai dan bentuk simbolis kepada generasi wanita sekarang. Itu sebabnya dalam garap tari ini penulis menggunakan penari perempuan, karena di ibaratkan perempuan sebagai pancaran kecantikan, keindahan, kelembutan serta kesuburan. Disamping itu penulis di dalam mewujudkan ide-ide tersebut juga tetap memperhatikan kaidah atau norma dalam proses berkarya baik secara fisual juga secara konseptual.

Penciptaan Artistik dalam karya tari Canthing Sedangan merupakan kebiasaan di dunia penciptaan tari yang terbangun dari susunan berbagai rasa dan suasana yang dihadirkan dari unsur-unsur tari itu sendiri. Dinamikanya ditentukan oleh bagaimana bentuk tari

Page 59: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

50 Tari Canthing Sedangan Juwarinten

diwujudkan. Adapun untuk dapat menterjemahkan dan tercapainya struktur suasana, dibutuhkan kehadiran sebuah “tata cahaya”. Struktur suasana sebagai sentuhan artistik diupayakan melalui penataan cahaya agar mampu mempengaruhi penafsiran penonton, karena tata cahaya yang baik akan mampu menciptakan suasana yang menyentuh emosi penonton, misalnya sakral dan bahkan suasana mesum sekalipun. Demikian juga melalui penataan cahaya dapat memberikan kesan seorang sedang marah, sedih, gembira, penuh wibawa dan masih banyak kemungkinan lainnya (Askurifai, 2009:166).

Sentuhan artistik melalui susunan inilah yang diharapkan mampu membangkitkan emosi penonton sehingga pertunjukan mempunyai kesan. Kesan yang dimaksud dapat merupakan kesan nilai yang ada dalam sebuah pertunjukan. Dengan susunan suasana sebagai sentuhan artistik sebuah pertunjukan niscaya akan mampu dikomunikasikan terhadap penonton. Karena kesan nilai yang dibangun tidak hanya menggambarkan suatu keadaan, perasaan, namun juga sebuah “peristiwa”. 2. Hubungan Artistik.

Tata artistik merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari tari. Pertunjukan sebuah karya tari menjadi tidak utuh tanpa adanya artistik yang mendukungnya. Unsur artistik disini meliputi tata panggung , tata busana, tata cahaya, tata rias, dan properti yang dapat membantu pementasan menjadi sempurna sebagai pertunjukan. Unsur-unsur artistik menjadi lebih berarti apabila koreografer dan penata artistik mampu memberi makna kepada bagian-bagian tersebut sehingga unsur-unsur tersebut tidak hanya sebagai bagian yang menempel atau mendukung, tetapi lebih dari itu merupakan kesatuan yang utuh dari sebuah pementasan. a. Tata Rias dan Busana

Tata rias secara umum dapat diartikan sebagai seni mengubah penampilan wajah menjadi lebih sempurna. Tata rias dalam sebuah penyajian karya seni menjadi salah satu unsur penunjang yang perlu diperhatikan. Tata rias wajah yang digunakan disesuaikan dengan karakter yang dibawakan dalam sebuah garapan tari. Tata rias wajah sendiri bertujuan untuk mempertegas garis wajah dan mempertegas ekspresi wajah. Wujud tata rias dalam karya tari Canthing Sedangan ini mengambil bentuk tata rias korektif (corective make-up) merupakan suatu bentuk tata rias yang bersifat menyempurnakan wajah penari sehingga terlihat cantik. Tata rias ini merupakan bentuk tata rias untuk pertunjukan sehari-hari, karenanya penggunaan alat-alat rias dan pemilihan warna-warnanya disesuaikan dengan kebutuhan garap tarinya. Seperti halnya yang dikehendaki oleh garap keutuhan rasa tari disimpulkan bahwa warna hitam, putih, merah, kuning, coklat tua dan coklat muda mendominasi kuasan pada rias muka. Adapun penempatan warna tata rias yang digunakan pada wajah adalah sebagai berikut:

Sedangkan untuk rambut model konde disesuaikan dengan tema dan karakter yang dibutuhkan dalam karya tari Chanthing Sedangan. Konde yang digunakan adalah konde yang berukuran sedang, rambut dikonde agak tinggi, diberi sekuntum bunga warna putih dibagian samping konde dan cunduk warna coklat sama dengan warna busana penari, fungsinya hanya untuk mempertegas adanya bunga warna putih pada bagian konde penari. Dipilihnya bunga warna putih disini karena putih menunjukkan kedamaian, permohonan maaf, pencapaian diri, spiritualitas, kedewaan, keperawanan atau kesucian, kesederhanaan, kesempurnaan, kebersihan, cahaya, tak bersalah, keamanan, persatuan. Warna putih sangat bagus untuk menampilkan atau menekankan warna lain serta memberi kesan kesederhanaan dan kesucian.

Page 60: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

51 Tari Canthing Sedangan Juwarinten

Sehingga hal ini serasi untuk menggambarkan keluguan gadis desa yang sederhana tidak norak/glamour dalam penampilannya dan tetap kelihatan anggun.

Kostum atau busana dalam sebuah garapan tari merupakan wahana interistik yang

mampu mengkomunikasikan arti, isi atau makna dari karakter yang diangkat sesuai dengan ide garapan itu sendiri. Kesesuaian kostum/busana dengan karya akan memberikan nilai tersendiri terhadap keutuhan dari sebuah karya. Secara umum busana yang dikenakan dalam karya tari Canthing Sedangan berpijak pada bentuk-bentuk kain tradisi Jawa seperti, Kain Batik warna coklat yang dibentuk menyerupai longdres/Rok panjang. Busana tersebut untuk menguatkan kesan gadis desa lugu yang beranjak remaja. Dalam pembuatannya longdres tersebut bagian belakang tidak dijait, kainnya hanya didobel, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan keluasan dalam bergerak/mempermudah dalam bergerak. Sedangkan bentuk streples dengan corak kain yang sama untuk memperoleh kesan gadis desa yang anggun, langsing tetapi masih kelihatan mriyayeni (bahasa jawa). Pemilihan dengan menggunakan kain bathik warna coklat di sini dimaksudkan karena warna coklat tersebut menandakan/menunjukkan persahabatan, kejadian yang khusus, bumi, pemikiran yang materialis, reliabilitas, kedamaian, produktivitas, praktis, kerja keras. Kebutuhan busana ini dihadirkan untuk menunjang karakter dan eksplorasi dalam bergerak.

Gambar 3. Busana penari secara keseluruhan (Foto: Heni, 2012)

b. Tata Pencahayaan Cahaya adalah unsur tata artistik yang paling penting dalam pertunjukan tari. Tanpa

adanya cahaya maka penonton tidak akan dapat menyaksikan apa-apa. Tata cahaya yang hadir di atas panggung dan menyinari semua objek sesungguhnya menghadirkan kemungkinan bagi koreografer, penari, dan penonton untuk saling melihat dan berkomunikasi. Semua objek yang disinari memberikan gambaran yang jelas kepada penonton tentang segala sesuatu yang akan dikomunikasikan. Dengan cahaya, koreografer dapat menghadirkan ilusi imajinatif. Banyak

Gambar 1. Tata rias wajah dari depan (Foto: Inten, 2012)

Gambar 2. Tata rias sanggul samping (Foto: Luluk, 2012)

Page 61: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

52 Tari Canthing Sedangan Juwarinten

hal yang bisa dikerjakan berkaitan dengan peran tata cahaya tetapi fungsi dasar tata cahaya ada empat, yaitu penerangan, dimensi, pemilihan, dan atmosfir (Mark Carpenter, 1988: 67). Keempat fungsi pokok tata cahaya di atas tidak berdiri sendiri. Artinya, masing-masing fungsi memiliki interaksi (saling mempengaruhi). Fungsi penerangan dilakukan dengan memilih area tertentu untuk memberikan gambaran dimensional objek, suasana, dan emosi peristiwa. Pada karya tari Canthing Sedangan ini tata pencahayaan menggunakan lampu warna biru yang disorotkan redup fokus pada penari saat Dewi Sri muncul, hal ini dimaksudkan untuk menciptakan suasana agung saat Dewi Sri muncul, karena warna biru memunculkan kesan peruntungan yang baik, kebijakan, perlindungan, inspirasi spiritual, kelembutan, kepandaian, panutan, kekuatan dari alam, kepercayaan diri. Warna ini memberi kesan tenang dan menekankan keinginan. Warna merah yang di sorotkan fokus pada jaelangkung ini bertujuan agar jaelangkung tetap terlihat oleh penonton dan tercipta suasana seram dari sorotan warna merah yang terpancar dari jaelangkung tersebut. Sedangkan tata cahaya dengan menggunakan permainan kelap kelip perpaduan antara warna kuning dan merah dihadirkan pada saat permainan jaelangkung ini bertujuan untuk menciptakan suasana seram, marah dan tegang. Karena warna merah melambangkan kesan energi, kekuatan, hasrat, erotisme, keberanian, simbol dari api, pencapaian tujuan, darah, ketenaran, perjuangan, perang, bahaya, kecepatan, panas, kekerasan. Merah cocok untuk tema yang menunjukkan keberanian seseorang. Warna kuning cerah yang dihadirkan pada saat menari bertujuan untuk memunculkan kesan kebahagiaan, kegembiraan, kehangatan, loyalitas, pemahaman, kebijaksanaan. Warna kuning merangsang aktivitas mental dan menarik perhatian, sangat efektif digunakan untuk menekankan pada perasaan bahagia serta kegembiraan saat remaja bermain menggunakan topeng yang terbuat dari bathok. c. Tata Panggung

Tata panggung disebut juga dengan istilah scenery (tata dekorasi). Tata pentas dalam pengertian luas adalah suasana seputar gerak laku di atas pentas dan semua elemen-elemen visual atau yang terlihat oleh mata yang mengitari pemeran dalam pementasan. Tata pentas dalam pengertian teknik terbatas yaitu benda yang membentuk suatu latar belakang fisik dan memberi batas lingkungan gerak laku. Dengan mengacu pada definisi di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa tata pentas adalah semua latar belakang dan benda-benda yang ada dipanggung guna menunjang seorang pemeran memainkan lakon. Gambaran tempat kejadian diwujudkan oleh tata panggung dalam pementasan. Tidak hanya sekedar dekorasi (hiasan) semata, penataan panggung disesuaikan dengan tuntutan cerita, kehendak artistik koreografer, dan panggung tempat pementasan dilaksanakan. Oleh karena itu, sebelum melaksanakan penataan panggung seorang penata panggung perlu mempelajari panggung pertunjukan. Dari pengertian di atas dapat dijelaskan, pentas merupakan bagian dari panggung yaitu suatu tempat yang ditinggikan yang berisi dekorasi dan penonton dapat jelas melihat. Dalam istilah sehari-hari sering disebut dengan panggung pementasan, dan apabila suatu seni pertunjukan dipergelarkan tanpa menggunakan panggung maka disebut arena pementasan. Sehingga pementasan dapat diadakan diarena atau lapangan. Tata panggung dapat memberi gambaran kepada penonton, suasana dan semangat yang dimainkan. Suasana mengarah pada keadaan emosi yang ditampilkan oleh penari secara dominan, sedangkan semangat mengarah pada konsep dasar pementasan yang menyampaikan pesan penari dalam cara tertentu. Agar desain tata panggung dapat memperlihatkan kedua hal ini, penata panggung harus mampu menambahkan elemen pendukung yang mampu memberikan kesan suasana dan semangat lakon yang ditampilkan. Desain tata panggung harus senada dengan desain tata rias, dan tata busana.

Penyajian karya seni ini dipergelarkan di panggung Prosenium. Panggung prosenium merupakan panggung konvensional yang memiliki ruang prosenium atau suatu bingkai gambar melalui mana penonton menyaksikan pertunjukan. Panggung prosenium dibuat untuk

Page 62: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

53 Tari Canthing Sedangan Juwarinten

membatasi daerah pemeranan dengan penonton. Arah dari panggung ini hanya satu jurusan yaitu kearah penonton saja, agar pandangan penonton lebih terpusat kearah pertunjukan. Para pemeran diatas panggung juga agar lebih jelas dan memusatkan perhatian penonton. Dalam kesadaran itulah maka keadaan pentas prosenium harus dapat memenuhi fungsi melayani pertunjukan dengan sebaik-baiknya.Dengan kesadaran bahwa penonton yang datang hanya bermaksud untuk menonton pertunjukan, oleh karena itu harus dihindarikan sejauh mungkin apa yang nampak dalam pentas prosenium yang sifatnya bukan pertunjukan. Maka dipasanglah layar-layar (curtain) dan sebeng-sebeng (Side wing). Maksudnya agar segala persiapan pertunjukan dibelakang pentas yang sifatnya bukan pertunjukan tidak dilihat oleh penonton. Dengan rancangan panggung prosenium dimaksudkan untuk memperoleh kesan keluasan ruang dalam batas yang tegas. Intinya semua yang di atas panggung dapat diciptakan untuk mengelabui pandangan penonton dan mengarahkan mereka pada pemikiran bahwa apa yang terjadi di atas pentas adalah kenyataan. Berikut denah panggung prosenium dan pembagian ruang lantai, yang dipakai untuk pertunjukan karya tari Canthing Sedangan

Keterangan : (a) Trap berdiri yang dipasang/ditempeli banyak bathok, untuk menambah suasana agung saat Dewi Sri muncul. (b)Trap kecil untuk menari saat Dewi Sri muncul. (c) Trap besar untuk menari saat Dewi Sri muncul. (d) Trap kecil untuk menempatkan jaelangkung

d. Properti Selain tata rias, tata busana, iringan dan tempat pertunjukan/ panggung, properti juga

merupakan perlengkapan dalam suatu karya tari. Properti tari adalah alat yang digunakan oleh penari untuk melakukan gerak tari. Pemakaian properti diusahakan jangan sampai mempersulit gerak penari. Dalam karya tari Canthing Sedangan ini menggunakan beberapa macam properti diantaranya adalah: (1) Topeng yang terbuat dari bathok kelapa. Awal mula sebelum pembuatan topeng tersebut tercetus ide bagaimana caranya sebuah bathok/tempurung

Sisi Panggung bagian kiri Sisi Panggung bagian kanan

Orchestra

a

b d c

Auditorium (tempat penonton) Auditorium (tempat penonton)

Page 63: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

54 Tari Canthing Sedangan Juwarinten

kelapa tersebut bisa dijadikan topeng sebagai properti karya tari Canthing sedangan ini. Dengan ide tersebut penulis mencoba mendatangi mahasiswa seni rupa agar dapat membuatkan sketsa topeng bathok sesuai dengan ide yang ada dalam pikiran penulis. Inilah contoh sketsa topeng bathok sebelum dituangkan ke dalam bentuk aslinya.

Gambar 4. Sketsa Topeng Bathok (Foto: Inten,2012). Gambar 7. Jaelangkung (foto:Inten, 2012) Gambar 5. Topeng dari bathok (foto: Inten, 2012)

Topeng bathok ini dibuat tanpa menggunakan cat, tujuannya agar keaslian dari bathok kelapa tetap terlihat jelas. Selain itu topeng dari bathok tersebut sebagai gambaran perwujudan dari Nini thowok. Topeng ini menggunakan cara/model topeng gigitan (cakotan) dalam bahasa Jawa. Hal ini untuk mempermudah dalam memakai topeng pada saat penari menggunakan topeng tersebut. (2) Topeng pada gambar 5. merupakan topeng yang terbuat dari kayu. Topeng cantik/topeng Dewi Sri ini merupakan gambaran Dewi Padi. Dewi Padi atau Dewi Kesuburan yang selalu diagungkan oleh masyarakat Jawa dan Bali. Topeng ini menggunakan cara/model topeng gigitan (cakotan) dalam bahasa Jawa. Hal ini untuk mempermudah dalam memakai topeng pada saat penari menggunakan topeng tersebut. (3) Bathok yang dipergunakan untuk memanggil roh jaelangkung/roh leluhur pada gambar di bawah ini bentuknya sangat unik. Bathok/siwur tersebut diberi pegangan kayu, di pasang baju dan pada bagian bawahnya diberi kukusan (bahasa Jawa) yang berfungsi sebagai kaki agar bisa berdiri.

Gambar 6. Topeng Dewi Sri dari depan (foto: Inten,2012)

Page 64: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

55 Tari Canthing Sedangan Juwarinten

3. Proses kekaryaan Skenario merupakan suatu wujud garapan. Skenario atau wujud garapan artistik dalam hal ini dimaksudkan adalah kenyataan yang tampak secara kongkrit (berarti dapat dipersepsi dengan mata atau telinga) maupun kenyataan yang tidak nampak secara konkrit, yaitu abstrak, yang hanya bisa dibayangkan seperti suatu yang diceritakan atau dibaca dalam buku. Dalam semua jenis kesenian, visual, atau akustis, baik yang kongkrit maupun abstrak, wujud dari apa yang ditampilkan dan dapat dinikmati oleh kita, mengandung dua unsur mendasar yaitu bentuk (form) dan struktur (structure), (Estetika Sebuah Pengantar, A.A. Made Djelantik, 1999: 19-20). Mewujudkan sebuah karya seni diperlukan proses dan kematangan konsep demi terwujudnya karya yang maksimal. Penggarapan karya tari memerlukan proses yang bertahap. Tahap-tahap yang dimaksud yaitu tahap penjajagan (Eksplorasi), percobaan (Improvisasi), dan tahap Pembentukan (Forming). Ketiga tahapan tersebut sebagai acuan sehingga proses penggarapan tari Canthing Sedangan ini tertata dengan baik. Berikut adalah tahapan-tahapan atau proses dalam penggarapan tari Canthing Sedangan: a. Tahap Penjajagan (Eksplorasi)

Eksplorasi merupakan tahap awal dari proses penggarapan tari Canthing Sedangan. Melalui tahapan ini dilakukan penjajagan untuk mendapatkan sebuah ide yang nantinya akan diangkat sebagai karya tari baru. Ide untuk menggarap tari yang berjudul Canthing Sedangan ini diawali dengan membaca buku, wawancara dengan nara sumber, serta melihat/mengeskplorasi bentuk bathok. Setelah membaca, wawancara, melihat dan mengamati bentuk bathok kelapa, maka penulis mencoba mendatangi mahasiswa seni rupa untuk minta bantuan dibuatkan sketsa topeng bathok sesuai dengan ide dari penulis. Setelah sketsa topeng tersebut selesai mahasiswa seni rupa membuatkan topeng bathok tersebut sesuai dengan sketsa yang telah dibuat. Penulis juga mengamati bathok/siwur yang bisa digunakan untuk memanggil roh jaelangkung, setelah melihar wujud jaelangkung, penulis mempunyai ide untuk memasukkan unsur jaelangkung ke dalam ragam gerak tari. Mengacu pada ide, membaca buku-buku yang terkait dengan karya yang digarap, melakukan konsultasi dengan beberapa nara sumber guna mematangkan ide serta melihat kemampuan penggarap maka diputuskan untuk menggarap tari berkonsep kreasi yang berangkat dari nilai-nilai tradisi. Hal tersebut disampaikan dan disetujui oleh dosen pembimbing pada tanggal 1 Juli 2012. b. Tahap Percobaan (Improvisasi)

Tahap Improvisasi adalah dimana penggarap melakukan percobaan. Setelah eksplorasi atau melihat bentuk dari bathok, melakukan wawancara tentang bathok dan membaca buku tentang bathok kelapa, maka kami melakukan percobaan mencari gerak. Penggarap mencoba untuk mencari dan mengeksplor gerak bebas, yaitu gerak yang bebas dilakukan sesuai dengan ide garap tari. Di dalam tahap kedua ini dilakukan sebagai penyesuaian tema dan wujud tari maka gerak yang digunakan lebih pada potensi tubuh untuk menghadirkan kesan gerak dengan menggunakan topeng, jaelangkung yang terbuat dari bathok. Format gerak sangat leluasa yang memanfaatkan bentuk ruang seperti gerak mengalun, garis lurus, patah-patah yang dikombinasikan dengan tempo-tempo yang sesuai dengan permainan ritme. Lokal jenius Jawa Timur yang kaya dengan materi gerak tentu akan menginspirasikan dalam penjelajahan geraknya yang dapat dimanfaatkan kekuatan simbolik dan akar budayanya. Bathok memiliki potensi kinetik (gerak) yang dibangun oleh garis yang melekat pada bentuk bathok. Perpaduan diantara motif gerak yang dipilih untuk mengkonstruksi maksud tari untuk menghadirkan

Page 65: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

56 Tari Canthing Sedangan Juwarinten

kesan yang diinginkan, bahwa karya tari Chanting Sedangan adalah bentuk tari remaja dengan menggunakan bathok sebagai alat untuk mendatangkan jaelangkung, bathok simbul nilai rejeki dan sebagai properti, dengan lincah, gembira, agung dan karakter khas lainnya sesuai dengan perkembangan remaja. Percobaan dalam pembuatan gerak dilakukan penggarap dalam beberapa kali percobaan. Percobaan tersebut dilakukan di kantor Dinas Pariwisata Mojokerto, di kantor Dewan Kesenian Mojokerto, dan di kampus STKW Surabaya. Dari hasil percobaan tersebut maka penggarap mendapatkan gerak-gerak bebas yang diambil dari nilai tradisi Jawa Timur. Namun motif-motif gerak tersebut dikembangkan lagi dan ditambah dengan motif-motif gerak yang merupakan ciri khas dari penggarap. Dari hasil percobaan tersebut maka muncullah motif-motif gerak baru dan siap untuk digabungkan sehingga menjadi suatu tarian. c. Tahap Pembentukan (Forming)

Setelah melihat, mencoba secara bebas, maka setelah koreografi mencoba terangkai dengan gerak-gerak yang sudah dicoba tadi menjadikan sebuah bentuk yang sesuai dengan kebutuhan dalam karya tari Canthing Sedang, artistik melmainkan peannya untuk memperkuat komposisi tari melalui wujud-wujud visual seperti topeng, Jaelangkung. Tahapan ini merupakan tahapan yang sangat penting untuk mewujudkan hasil akhir karya tari ini, yakni mewujudkan hasil karya akhir dari proses sebelumnya, untuk mendapatkan bentuk akhir dari koreografi yang layak dipentaskan. Kerja yang difokuskan yaitu menggabungkan dan membentuk, menghias, dan menyempurnakan gerak yang telah didapat pada tahap improvisasi baik itu gerak, pola lantai, level, musik, serta seluruh penunjang tari itu sendiri. Setelah semuanya tergabung sehingga terbentuk sebuah garapan tari maka dilakukan latihan dengan memunculkan exspresi dan penjiwaan demi kesempurnaan garapan tari ini. (1) Deskripsi karya

Karya tari “Canthing Sedangan” ini merupakan tari kreasi baru. Canthing Sedangan berasal dari dua kata, yaitu Canthing Siwur artinya tempat atau wadah sedangkan “sedangan” dalam kamus Indonesia Jawa artinya ”Pangan” apa apa sing perlu kanggo urip (kamus lengkap Bahasa Jawa). Canthing Sedangan adalah tempat yang memberikan rejeki atau kebahagiaan. Dengan demikian karya tari “Canthing sedangan” akan memberikan kejelasan istilah dan maknanya. Kejelasan istilah dimaksudkan sebagai kemudahan untuk membayangkan perilaku tarinya sedangkan makna ditujukan untuk memberikan acuan dalam memahami isi tarinya. Sebagai langkah penciptaan karya tari “Chanthing Sedangan” ini menggunakan kaidah-kaidah yang lazim digunakan oleh para koreografer adalah improfisasi, eksplorasi, seleksi, konstruksi, dan evaluasi diusahakan dipenuhi secara maksimal. Kebutuhan ini dengan mempertimbangkan pula teori kinerja kreativitas yang meliputi persiapan, aktualisasi atau pengejawantahan, serta evaluasinya. Dengan mengacu pada budaya cipta karya tari ini diharapkan karya tari “Chanthing Sedangan” dapat memenuhi standart penciptaan karya tari.

KESIMPULAN

Penyaji artistik adalah kerja kreatif untuk menghasilkan secara visual kebutuhan kekaryaan tari. Kebutuhan yang dimaksud adalah: Tata Busana, Tata Rias, tata panggung, tata cahaya, bathok, topeng Dewi Sri, topeng bathok, boneka jaelangkung. Artistik sangat penting di dalam sebuah karya tari Tari Canthing Sedangan.

Page 66: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

57 Tari Canthing Sedangan Juwarinten

Karya artisktik tersebut selain untuk keindahan visual adalah untuk menciptakan, menguatkan, dan memberikan keseimbangan keseluruhan garap koreografi. Kehadiran artistik selanjutnya menghadirkan makna dan isi yang spesifik yakni imajinasi tentang permainan rakyat yang memiliki kaitan mitos tentang Dewi Sri.

Karya tari Canting Sedangan dengan kekuatan artistik yang visualistik menarik untuk dinikmati. Harapan yang disampirkan dengan garap artistik pada karya tari Canthing Sedangan adalah memberikan pemahaman secara menyeluruh bahwa karya tari bukan sekedar garap koreografi saja tetapi membutuhkan kekuatan visual yang membantu kehadiran nilai estetiknya. Saran

Harapan penulis dalam pembuatan skrip penyajian ini adalah: (1) Bagi mahasiswa seni tari, kegiatan penciptaan karya tari bukan sekedar garap koreografi tetapi memerlukan garap artistik. (2) Dalam berkarya tari perlu adanya Komunikasi yang baik antara creator tari dengan creator artistik

DAFTAR PUSTAKA Baskin, Askurifai, 2009. Videografi, Widya padjadjaran, Bandung Carpenter, Mark, 1998. Dasar-dasar Drama Turgi, Surabaya Djelantik, A.A.Made, 1999. Estetika Sebuah Pengantar, Denpasar Haerani, H.S.Hanni, 1997. Seri Cerita Rakyat Jawa Dewi Sri, Citra Budaya Gresik Harymawan, 1988. Seni Teater SMK, Surabaya Mangunsuwito, S.A, 2010. Kamus Lengkap Bahasa Jawa, Rama Widya Bandung Sama, I Wayan, 2012. Menebah Gabah Visual Agraris Masyarakat Bali, Jakarta Sutidja, Trim, 1996. Kelapa Tanaman Serba Guna, Bumi Aksara Gresik Wahyudiyanto, 2008. Pengetahuan Seni, Surakarta ISI Pres Solo Nara Sumber Sutrisno, 2012. Wawancara, Sudagaran Purwokerto Jawa Tengah Suyono, 2012. Wawancara, Kedungcangkring Pagerwojo Tulungagung Jawa Timur BIODATA PENULIS

Juwarinten Lahir di Tulungagung 14 Juli 1978 Alamat Perum.ABR Blok. A 10 No. 1 Gresik Pekerjaan di Semen Gresik Foundation, Jl. Awikoen 1 Gresik.

Page 67: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

58 Implementasi Nilai Bathok Luluk Rindayani

IMPLEMENTASI NILAI BATHOK/SIWUR PADA KARYA TARI CANTHING SEDANGAN

Luluk Rindayani

Abstract

Bathok comes from a palm tree. Bathok is the term from Javanese to name a coconut shell. In the past, coconut shell was often used to make tools, especially tools such as irus (ladle), siwur (water dipper), beruk (a tool to measure rice), bowl, as well as jar. In short, bathok used to create tools that function as accommodating,bowling bowling, or scooping. Coconut shell was one of materials used by the people for various things in the daily life. Some people using coconut shell as usefull embers for cooking. Moreover , it was also usefull in the field of art.. With the shift of the function and value of the bathok, it wasinspiring and attracting the imagination of the writer as an inspiration to explore the function and aesthetic value of bathok becaming a new creation dance with developed traditional dance motion entitled Canthing Sedangan Dance. Keywords: Bathok, values, Canthing Sedangan.

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Bathok Kelapa atau cocos nucifera adalah sejenis tumbuh-tumbuhan dari golongan atau keluarga arecaeae, termasuk jenis tanaman palma yang memiliki buah dengan ukuran cukup besar. Buahnya terbungkus dengan serabut dan bathok yang cukup kuat untuk melindungi daging buahnya. Nama Lokal : Coconut (Inggris), Cocotier (Perancis); Kelapa, Nyiur (Indonesia), Kambil, Kerambil, Klapa (Jawa). Pohon kelapa dikenal dengan pohon yang sangat istimewa dan memiliki filosofi yang tinggi, sampai-sampai pemerintah mempergunakannya sebagai simbol pramuka (Praja Muda Karana) yang memiliki arti Rakyat Muda yang Suka Berkarya. Nilai Bathok Bathok adalah istilah jawa untuk menamai tempurung kelapa. Pada masa lalu bathok kelapa sering digunakan untuk membuat perkakas, terutama perkakas seperti irus (sendok sayur), siwur (gayung air), beruk (alat untuk menakar beras), mangkuk, maupun celengan. Pendeknya, bathok digunakan untuk membuat alat yang fungsinya lebih pada menampung, mewadai, atau menciduk. Seperti dalam kehidupan sehari-hari banyak masyarakat menggunakan bathok kelapa sebagai tempurung yang dapat menjadi bara api yang sangat membantu masyarakat dalam hal memasak, selain itu banyak lagi kegunaan dari bathok kelapa juga pada bidang seni kerajinan yang bernilai bisnis di antaranya; aksesoris, hiasan, mainan. Dengan sentuhan seni yang halus, kerajinan batok kelapa terlihat sangat artistik. Bathok kulit kelapa; berasal dari pohon kelapa yang mempunyai manfaat dari akar sampai ujung daun. Dengan ini terkandung maksud bahwa kita diajak untuk berfikir dan merenungkan bahwa hidup kita didunia harus bermanfaat, berguna baik dari gerak lahir dan

Page 68: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

59 Implementasi Nilai Bathok Luluk Rindayani

batin, dari pola tindak, pola pikir, samapai ucapan. Seperti filosofi pohon kelapa yang bermanfaat dan berguna bagi siapa saja tanpa memandang golongan, asal-usul dan sebagainya. Bathok juga dianggap sakral bagi masyarakat jawa. Bathok mempunyai makna tersendiri yaitu tempat membawa rejeki, kerena mereka beranggapan dengan menggunakan bathok sebagai alas untuk makan, maka mereka akan merasa puas. Kepercayaan masyarakat itu selalau berdasarkan cerita-cerita mitos yang diceritakan secara turun temurun. Bahkan sampai sekarang masyarakat Tulungagung masih menggunakan bathok sebagai alas untuk makan, sedangkan di Surabaya sendiri bathok masih digunakan untuk minum jamu, bathok juga digunakan sebagai sarana untuk memanggil roh atau arwah para leluhur, guna mengobati orang sakit dan juga untuk membantu hasil panen yang melimpah. Bathok Sebagai Inspirasi Karya Tari Dari manfaat dan kegunaan bathok yang juga dapat diolah menjadi barang-barang kerajinan, maka pencipta tari terinspirasi untuk mengangkat bathok menjadi sebuah karya tari. Dengan adanya pergeseran fungsi dan nilai bathok tersebut menggugah dan menarik imajinasi sebagai inspirasi penulis untuk mengangkat, mengeksplorasi fungsi estetik dan nilai bathok ke dalam bentuk garap tari kreasi baru dengan gerak tari tradisi yang dikembangkan dengan judul Tari Canthing Sedangan. Perpaduan antara motif gerak yang dipilih untuk mengkonstruksi maksud tari untuk menghadirkan kesan yang diinginkan dalam karya tari Canthing Sedangan adalah bentuk tari remaja dengan menggunakan bathok sebagai nilai rejeki dan sebagai properti. 2 Tinjauan Sumber

Pada jaman dulu semua tanaman/tumbuhan yang ada di alam dianggap memiliki nyawa dan berkekuatan gaib, ketika mereka menggunakan alat dari alam mereka terasa tersugesti menjadi puas dan membuat mereka menjadi bahagia. Mitologi seperti itu banyak kita temui di masyarakat, seperti mengunakan bathok kelapa untuk alas makan maka membawa rejeki. Di Jawa tengah umpanya mereka memakai piring besar sebagai alat makan supaya rejekinya tambah banyak dan lain-lain (Sutrisno, wawancara tanggal 20 mei 2012). Dewi Sri sebagai Dewi padi sering disebut Dewi kehidupan sebagai lambang kesuburan, terbukti di Bali ada upacara Sri puja adalah hari khusus untuk memuliakan Dewi Sri dengan tidak makan juga tidak memetik atau mengambil daun-daunan dan pohon-pohonan untuk dimasak, Sakti (istri) Wisnu. (I Wayan Sama, 2012: 98).

Begitu juga di masyarakat agraris yang mengenal kepercayaan terhadap keagungan Dewi Sri sebagai dewi kesuburan. Pada Jaman itu masyarakat sebagian besar mempergunakan kekayaan alam untuk keperluan rumah tangga, karena pada jaman dulu belum mengenal alat-alat rumah tangga seperti, piring, mangkok, ciduk yang terbuat dari kramik bahkan dari plastik. Bathok disamping untuk alas atau tempat untuk makan juga dipercayai memberi rejeki bagi yang memakainya.

Bathok kelapa dalam mitos atau dongeng masyarakat Jawa merupakan wujud dari kepala Dewi Sri. Dewi Sri kita tahu merupakan dewi kesuburan yang menjadi inspirasi kecantikan yang diidealkan oleh masyarakat Jawa.

Sumber dari mitos Dewi Sri meninggal, ketika di kubur, dari bagian kepala Dewi Sri muncullah pohon kelapa dan dari rambut beliau munculah pohon padi. Itu sebabnya bathok pada jaman dulu dipergunakan sebagai perkakas rumah tangga seperti mengambil air,

Page 69: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

60 Implementasi Nilai Bathok Luluk Rindayani

mengambil sayur, menakar beras, karena bathok ketika dipakai alas makan atau ciduk diyakini bisa membawa rejeki atau kesuburan. Hal serupa diungkapkan pula dalam buku seri cerita rakyat Jawa dengan judul Dewi Sri (Hanni Haerani. HS, 1997: 34)

Bathok, yang sebetulnya adalah bagian endocarp dari kelapa, dipakai sebagai bahan bakar, pengganti gayung, wadah minuman, dan bahan baku berbagai bentuk kerajinan tangan. (http://id.wikipedia.org). Bathok adalah suatu alat peninggalan nenek moyang, yang digunakan untuk mengambil air. Bathok jika kita amati secara seksama dengan menggunakan mata hati maka akan mempunyai makna yang sangat dalam dan bathok sendiri merupakan suatu simbol. Bathok merupakan simbol manusia yang pandai, pintar dan berilmu. Tetapi ilmunya tidak untuk dirinya sendiri, serta merupakan simbol yang suka melaksanakan laku prihatin, mencari keseimbangan lahir dan batin, mempunyai prinsip hidup kuat.

Dengan demikian bathok mempunyai arti filosofi bahwa manusia tidak cukup pandai, pintar, atau berilmu pengetahuan tetapi lebih jauh dari itu orang jawa menyebutnya berngelmu atau linuwih, ngerti sak durunge winarah, jadi manusia yang mempunyai tataran atau tahapan hidup sempurna yang tanggap atau peka terhadap situasi dan kondisi lahiriah maupun batiniah juga dapat diartikan bahwa kesempurnaan hidup seseorang sudah sampai tataran Purna Jati.

Fungsi lain bathok/siwur adalah; digunakan pada upacara adat siraman pada saat wanita hamil pertama kali genap tujuh bulan, juga digunakan untuk memandikan dan mensucikan orang yang meninggal dunia. Terkandung makna-makna bahwa hidup didunia yang diberikan Tuhan YME hanya dua hari yaitu kelahiran dan kematian. Selain itu bathok/siwur dalam kehidupan manusia berfungsi untuk menampung, mewadai, atau menciduk. (http://wisatasejarah.wordpress.com/2010/03/01).

Hidup adalah karya, ucapan tersebut memang mampu untuk menunjukkan bahwa karya merupakan kondisi dasar yang harus direalisir dan dikembangkan oleh manusia. Dalam karya terkandung arti seni dan permainan. Selain itu apabila kita lebih lanjut meninjau arti karya, nampaklah bahwa karya manusia terlaksana tidak tanpa tujuan. Dengan kata lain setiap benda alam yang disentuh dan dikerjakan oleh manusia mengandung dalam dirinya suatu nilai (Soerjanto Poespowardojo, 1989: 148).

Tari sebagai hasil kebudayaan yang sarat makna dan nilai, dapat disebut sebagai sistem simbol. Sistem simbol adalah sesuatu yang diciptakan oleh manusia dan secara konversional digunakan bersama, teratur, dan benar-benar dipelajari.

Sehubungan dengan itu tari dipandang sebagi sistem simbol yang merupakan representasi mental dari subyek dan wahana konsepsi manusia tentang suatu pesan untuk diresapakan. Bila tari sebagai kreasi seni, menurut istilah Langer dapat dikategorikan sebagai forma atau bentuk yang hidup (living form). Tari sebagai ekspresi manusia atau subyektivitas seniman merupakan sistem simbol yang signifikan (significant symbols), artinya mengandung arti dan sekaligus mengandung reaksi yang bermacam-macam.

Sungguh pun demikian, tari sebagai sistem simbol dapat pula dipahami sebagai sistem penandaan. Artinya, kehadiran tari tak lepas dari beberapa aspek yang dapat dilihat secara terperinci, antara lain: gerakanya, iringan, tempat, pola lantai, waktu, tata pakaian, rias, dan properti.

Page 70: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

61 Implementasi Nilai Bathok Luluk Rindayani

3. Kerangka Teoritik Bathok Sebagai Produk

Bathok merupakan salah satu bahan yang banyak di pergunakan oleh masyarakat untuk berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari, banyak masyarakat menggunakan bathok kelapa sebagai tempurung yang dapat menjadi bara api yang sangat membantu masyarakat dalam hal memasak, aksesoris, hiasan, mainan, serta alat rumah tangga. Dengan sentuhan artistik bathok kelapa memiliki nilai karya seni yang tinggi di pasaran dan bisa menjadi benda hias dalan rumah kita. Bathok Sebagai Ekspresi Tari 1. Wujud Budaya

Seni adalah suatu produk budaya dari sebuah peradaban manusia, sebuah wajah dari suatu kebudayaan yang diciptakan oleh suatu bangsa atau sekelompok masyarakat. Secara teoritis, seni atau kesenian dapat didefinisikan sebagai manifestasi budaya (priksa atau pikiran dan rasa; karsa atau kemauan; karya atau hasil dari perbuatan) manusia yang memenuhi syarat-syarat estetik (Anshari, 1986: 116). Hal ini disebabkan oleh karena ditopang oleh serangkaian nilai-nilai yang ditinggikan seperti agama atau norma-norma lain.

Mekanisme penciptaan ide-ide baru, teknik-teknik baru dan pola perilaku baru yang menyebabkan perubahan sosial budaya, serta memungkinkan terjadinya evolusi. Sebuah aspek yang penting dalam kemampuan adaptif, adalah tendensi manusia untuk memecahkan masalah penting, untuk mencurahkan perhatiannya pada waktu dan energi untuk drama ritual dan aktivitas-aktivitas lain yang sifat pentingnya tidak nampak jelas, namun sangat berperan dalam penciptaan budaya manusia total yang mencerminkan adanya refleksi, transformasi, dan inovasi. Maka, inovasi tergantung pada kreativitas manusia dan kadar toleransi/penerimaan masyarakat tersebut terhadap hasil kreativitas tersebut. Keseimbangan antara tradisi dan inovasi, dan pentingnya inovasi tergantung pada kondisi historis yang mempengaruhi perkembangan strategi adaptif dalam populasi masyarakat (Charlote Seymour – Smith, 1986:153).

Sebuah kegiatan kreatif yang memberikan ekspresi eksternal yang tertata terhadap citra internal, perasaan dan gagasan yang secara khas mencerminkan individu pelakunya (Sal Murgiyanto, 1999 : tanpa halaman).

Aspirasi untuk membuat segala-galanya “baru” sangatlah tidak realistis. Seseorang tak akan dapat bergerak ke tempat lain kalau tak memiliki dasar pijakan yang jelas. Kemana ia dapat bergerak dan seberapa cepat ia dapat berpindah ke tempat lain, tergantung dari posisinya (dimana ia berada) kini. Sekalipun demikian perkembangan dari sebuah konvensi yang ada. Perubahan batasan-batasan yang semula ini berlaku dapat amat sangat besar (Sal Murgiyanto, 1999 : tanpa halaman).

Mereka mempergunakan “bentuk” dalam pengertian yang lebih luas, di satu sisi erat dengan kejadian sehari-hari, mempunyai arti yang populer, yaitu wujud dari sesuatu, dan di sisi lain mempunyai arti yang sebenarnya tidak populer yang dipergunakan dalam ilmu pengetahuan dan filsafat, di mana cenderung mengarah pada sesuatu yang lebih abstrak. (langer 1988 :15). 2. Wujud estetik

Karya seni adalah sebuah bentuk ekspresi yang diciptakan bagi persepsi kita lewat indera atau pencintraan, dan yang diekspresikannya adalah perasaan insan. Sesuatu yang bisa

Page 71: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

62 Implementasi Nilai Bathok Luluk Rindayani

dirasakan, dari sensasi fisik, derita maupun kesenangan, kegairahan dan ketenangan, sebagai emosi yang kompleks, tekanan pikiran, ataupun sifat-sifat perasaan yang tetap terkait dalam kehidupan manusia. (langer 2006: 17).

Berhubungan dengan seni dan kesenian, musik, cerita, dongeng, hikayat, drama dan tari-tarian, yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. Seperti di Indonesia setiap masyarakatnya memiliki nilai estetika sendiri. Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala pesan, agar pesan yang akan kita sampaikan dapat mencapai tujuan dan efektif.

3. Tari Sebagai Rekreasi Dan Hiburan Teori Bermain

Teori permainan yang dikemukakan oleh Penyair Johann Shiller (1759-1805) dan kemudian diperkuat oleh filsuf Inggris Herbert Spencer (1820-1903). Menurut Schiller, asal mula seni adalah dorongan batin untuk bermain-main yang ada dalam diri seseorang. Seni merupakan semacam permainan menyeimbangkan segenap kemampuan mental manusia berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan ke luar. Bagi Spencer permainan itu berperan untuk mencegah kemampuan-kemampuan mental manusia menganggur dan selanjutnya menciut karena disia-siakan. Seseorang yang semakin meningkat taraf kehidupannya tidak memakai habis energinya untuk keperluan sehari-hari. Kelebihan tenaga ini lalu menciptakan kebutuhan dan kesempatan untuk melakukan rangkaian permainan yang imaginatif dan kegiatan hiburan yang akhirnya menghasilkan karya seni. (The Liang Gie. 2004. Filsafat Seni. Yogyakarta; PBIB.p 28.). Teori Kepuasan Batin

Bahwa keadaan kesadaran yang disebut dengan “kesenangan“ kemarahan, dan lain sebagainya tak lain adalah kesadaran, manifestasi fisiologis atau proyeksi di dalam kesadaran. Namun semua kritik James, terhadap emosi, keadaan kesadaran, dan hal-hal yang sesuai dengan manifestasi fisiologisnya, tidak mengakui proyeksi pada fenomena fisiologis yang merupakan bayangan yang diciptakan oleh fenomena psikologis (1989: 4).

Ketika tugas yang kita hadapi terlalu berat dan kita tidak dapat menunjukkan perilaku pengendali (superior) sesuai dengan kebutuhan tugas tersebut, maka energi psikis yang keluar akan habis dengan cara lain: kita akan berusaha menunjukkan perilaku mengalah (inferior) yang membutuhkan lebih sedikit tekanan fisiologis (1989: 7).

Penggantian otomatis terhadap perilaku superior yang tidak berhenti secara acak dan sesuai dengan hukum resistensi minimal. Namun kemudian gerak dari reaksi aktif akan menjadi perilaku yang agak terbelakang dan bukannya ketiadaan perilaku yang agak terbelakang dan bukannya ketiadaan perilaku (absence of behaviour). Bisa saja ada reaksi organis yang menyebar, suatu gangguan pada reaksi adaptasi (1989: 9).

Jalan pintas yang muncul dari pemahaman terhadap dunia untuk mempersepsikan dunia yang sama sebagai sesuatu yang menakjubkan, jika terdorong oleh obyek itu dan jika disertai dengan elemen yang tidak diinginkan akan menjadi sesuatu yang mengerikan dan jika diikuti dengan elemen yang diinginkan akan menjadi hal yang menakjubkan (kami hanya mengutipkan dua contoh itu : tentu saja masih ada banyak kasus lainnya). Jadi ada dua bentuk emosi, berdasarkan apakah kita yang menentukan sifat magis dari dunia untuk menggantikan kegiatan deterministik yang tidak bisa kita wujudkan atau apakah justru dunia

Page 72: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

63 Implementasi Nilai Bathok Luluk Rindayani

itu sendiri yang serta merta menampakkan dirinya sebagai sesuatu yang menakjubkan (1989: 63).

Kesadaran, yang hanyut dalam dunia magis itu, menyeret tubuh kita bersamanya, sepanjang tubuh kita masih mempercayainya Tubuh kita memang mempercayainya. Perilaku yang memberikan makna kepada emosi tidak lagi menjadi milik kita; perilaku itu sudah menjadi ekspisit wajah, gerakan tubuh orang lain yang muncul datang membentuk suatu rekaan yang bersatu dengan gangguan pada organisme kita (1989:64-65). 4. Makna Tari

“Bentuk” dalam pengertian pada sesuatu yang paling abstrak berarti struktur, artikulasi, sebuah hasil kesatuan yang menyeluruh dari suatu hubungan berbagai faktor yang saling bergelayutan, atau lebih tepatnya suatu cara di mana keseluruhan aspek bisa dirakit. (langer 1988 : 16).

Bentuk adalah “penampilan” dari pengalaman eksternal maupun internal benda tersebut. Untuk mendapatkan bentuk eksternal atau nyata, seni harus mempunyai media, dimana untuk tari medianya adalah gerakan. Untuk menjadi suatu bentuk seni, aktivitas gerak ini harus disesuaikan dengan imaginasi dan disiplin mental. Untuk itu bentuk seni mempunyai dua fase. Fase satu yang tidak tampak, yaitu tarian inti uang merupakan organsiasi sifat-sifat mental kedalam isi; fase yang lain tampak, yaitu tarian nyata, yang merupakan organisasi dan pelaksanaan elemen-elemen gerak. Bila sudah tercapai kesatuan inti dan gerak maka bentuknya sudah menjadi bentuk seni /art form. (Margareth N. H’Doubler 1959: 95).

Akhirnya kita dapat menyimpulkan bahwa bentuk dalam semua pengertiannya berarti organisasi. ((Margareth N. H’Doubler 1959: 95). Pemikiran tentang bentuk menjadi semakin kompleks karena kita tidak hanya memerlukan kesatuan elemen psikologis untuk isinya tetapi juga kesatuan elemen gerak untuk struktur yang tampak. ((Margareth N. H’Doubler 1959:l 112). IDE GARAP

Kebudayaan adalah wujud dari hasil olah cipta, rasa, dan karsa manusia yang merupakan wujud dari usaha manusia untuk mempertahankan eksistensinya di muka bumi. Wujud kebudayaan yang tercipta dari olah cipta, rasa dan karsa manusia antara lain berbagai macam bentuk tari-tarian, nyanyi-nyanyian, aturan-aturan kehidupan sampai berbagai macam bentuk lambang atau simbol yang selalu menyertai kehidupan manusia seperti simbol kehidupan, kekuasaan dan simbol-simbol yang lainnya.

Tari sebagai hasil kebudayaan yang sarat makna dan nilai, dapat disebut sebagai sistem simbol. Sistem simbol adalah sesuatu yang diciptakan oleh manusia dan secara konversional digunakan bersama, teratur, dan benar-benar dipelajari.

Sehubungan dengan itu tari dipandang sebagi sistem simbol yang merupakan representasi mental dari subyek dan wahana konsepsi manusia tentang suatu pesan untuk diresapkan. Bila tari sebagai kreasi seni, dapat dikategorikan sebagai forma atau bentuk yang hidup (living form). Tari sebagai ekspresi manusia atau subyektivitas seniman merupakan sistem simbol yang signifikan (significant symbols), artinya mengandung arti dan sekaligus mengandung reaksi yang bermacam-macam.

Sungguh pun demikian, tari sebagai sistem simbol dapat pula dipahami sebagai sistem penandaan. Artinya, kehadiran tari tak lepas dari beberapa aspek yang dapat dilihat secara

Page 73: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

64 Implementasi Nilai Bathok Luluk Rindayani

terperinci, antara lain: gerakanya, iringan, tempat, pola lantai, waktu, tata pakaian, rias, dan properti.

Sebagai penyesuaian tema dan wujud tari, maka gerak yang digunakan lebih pada potensi tubuh untuk menghadirkan kesan gerak dengan menggunakan bathok, format gerak sangat leluasa yang memanfaatkan bentuk ruang seperti lengkung, garis lurus, patah-patah yang dikombinasikan dengan tempo-tempo yang sesuai dengan permainan ritme.

Seperti halnya pada saat menari bathok/siwur tidak hanya dibuat mainan saja, akan tetapi bathok/siwur ada kalanya bisa digunakan sebagai topeng. Perpaduan diantara motif gerak yang dipilih untuk mengkonstruksi maksud tari untuk menghadirkan kesan yang diinginkan, bahwa karya tari Canthing Sedangan adalah bentuk tari remaja dengan menggunakan bathok/siwur sebagai nilai rejeki dan sebagai properti, dengan lincah, gembira, agung dan karakter khas lainnya sesuai dengan perkembangan remaja.

Begitu halnya dengan bathok yang memiliki nilai dan manfaat bagi kehidupan masyarakat.Yang mana bathok merupakan tempat membawa rejeki yang berfungsi untuk menampung, mewadai, atau menciduk.

Gambar 1. Tempurung kelapa bagian atas (Foto: Luluk. 2012).

Gambar 2. Tempurung kelapa bagian bawah (Foto: Luluk. 2012)

Bagi masyarakat jawa bathok dianggap sakral, kerena mereka beranggapan dengan menggunakan bathok sebagai alas untuk makan, maka mereka akan merasa puas. Kepercayaan masyarakat itu selalau berdasarkan cerita-cerita mitos yang diceritakan secara turun temurun. Bahkan sampai sekarang masyarakat Tulungagung masih menggunakan bathok sebagai alas untuk makan, sedangkan di Surabaya sendiri bathok masih digunakan untuk minum Jamu dan untuk upacara siraman.

Gambar 3 (kanan). Bathok sebagai alat makan.

Gambar 4 (kiri). Bathok sebagai alat minum (Foto: Luluk 2012)

Page 74: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

65 Implementasi Nilai Bathok Luluk Rindayani

Gambar 5. Bathok sebagai alat minum (Foto: Vira 2012).

Gambar 6. Bathok sebagai topeng jaelangkung (Foto: Luluk. 2012)

Bathok kelapa yang di beri pegangan dari kayu untuk tangan dan diberi baju yang mirip boneka sering di buat media untuk mendatangakan roh, atau arwah leluhur/nenek moyang/ mbau rekso deso (jawa). Biasanya arwah leluhur akan datang setelah do’a-do’a atau mantra-mantra dibaca guna mengobati penyakit, membantu hasil panen yang melimpah, meminta hujan dan semua keinginan manusia akan dibantu oleh arwah yang masuk di dalam bathok yang di bentuk menyerupai manusia, dan masyarakat sering menyebutnya Nini Thowok/Jelangkung/Cowongan.

Gambar 7. Upacara pemanggilan roh (foto: internet)

Masyarakat melakukan ritual memiliki sesuatu yang ingin diekspresikan sebagai manifestasi keinginan yang bersifat filosofi yang berkaitan erat dengan cita dan cinta kehidupan yang dihayatinya.

Nini Thowok/Jelangkung/Cowongan, merupakan media simbolis yang penting dalam menggambarkan cita dan cinta kehidupan yang diinginkan, panen yang melimpah, kemapanan ekonomi, perlindungan psikis (rasa aman dari gangguan sambekala), pengobatan, dan petunjuk tentang kesempurnaan hidup.

Tema tarian ini sederhana saja, diusia remaja anak-anak memiliki kecenderungan bersikap ‘agak berlebihan’, mulai suka memberontak, dan ‘menyimpang’. Seperti diungkapkan oleh Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanlye Hall.Pendapat Stanlye Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and stress). Menurut Erikson masa remaja adalah masa terjadinya kritis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erikson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003,Papalia,dkk,2001,Monks,dkk,200, Muss, 1988).

Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja. Gunarsa (1989) merangkum beberapa karakteristik remaja yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada diri remaja,yaitu:

Page 75: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

66 Implementasi Nilai Bathok Luluk Rindayani

1. Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan. 2. Ketidakstabilan emosi. 3. Adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan petunjuk hidup. 4. Adanya sikap menentang dan menantang orang tua. 5. Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab pertentangan-pertentang

dengan orang tua. 6. Kegelisahan karena banyak hal diinginkan tetapi remaja tidak sanggup memenuhi

semuanya. 7. Senang bereksperimentasi. 8. Senang bereksplorasi. 9. Mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan bualan. 10. Kecenderungan membentuk kelompok dan kecenderungan kegiatan berkelompok.

Hal ini apabila tidak mendapat perhatian akan berakibat menuju hal-hal yang sifatnya negatif. Mereka butuh kegiatan yang mampu menampung energi yang berlebihan tersebut, misalnya kegiatan olah raga, dan kesenian.

Sebagai langkah penciptaan karya tari “Canthing Sedangan” ini menggunakan kaidah-kaidah yang lazim digunakan oleh para koreografer adalah improfisasi, eksplorasi, seleksi, konstruksi, dan evaluasi diusahakan dipenuhi secara maksimal. Kebutuhan ini dengan mempertimbangkan pula teori kinerja kreativitas yang meliputi persiapan, aktualisasi atau pengejawantahan, serta evaluasinya. Dengan mengacu pada budaya cipta karya tari ini diharapkan karya tari “Canthing Sedangan” dapat memenuhi standart penciptaan karya tari. Secara garis besar susunan karya tari “Canthing Sedangan” menyajikan garap suasana yang seram, tenang, lincah, tegang, riang, gembira dengan bentuk garap tari dramatik.

Begitu juga dalam mewujudkan sebuah karya tari diperlukan proses dan kematangan konsep demi terwujudnya karya yang maksimal. Penggarapan karya tari memerlukan proses yang bertahap. Tahap-tahap yang dimaksud yaitu tahap penjajagan (Eksplorasi), percobaan (Improvisasi), dan tahap Pembentukan (Forming). Ketiga tahapan tersebut sebagai acuan sehingga proses penggarapan tari Canthing Sedangan ini tertata dengan baik.

Bathok memiliki potensi kinetik (gerak) yang dibangun oleh garis yang melekat pada bentuk bathok. Seperti halnya pada saat menari bathok tidak hanya dibuat mainan saja, akan tetapi bathok ada kalanya bisa digunakan sebagai topeng. Perpaduan diantara motif gerak yang dipilih untuk mengkonstruksi maksud tari untuk menghadirkan kesan yang diinginkan, bahwa karya tari Canthing Sedangan adalah bentuk tari remaja dengan menggunakan bathok sebagai alat untuk mendatangkan jaelangkung, bathok simbul nilai rejeki dan sebagai properti, dengan lincah, gembira, agung dan karakter khas lainnya sesuai dengan perkembangan remaja.

Dari hasil percobaan tersebut maka penggarap mendapatkan gerak-gerak bebas yang diambil dari nilai tradisi Jawa Timur. Namun motif-motif gerak tersebut dikembangkan lagi dan ditambah dengan motif-motif gerak yang merupakan ciri khas dari penggarap.Dari hasil percobaan tersebut maka muncullah motif-motif gerak baru dan siap untuk digabungkan sehingga menjadi suatu tarian.

Page 76: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

67 Implementasi Nilai Bathok Luluk Rindayani

KESIMPULAN Sehubungan dengan tari dipandang sebagi sistem simbol yang merupakan representasi

mental dari subyek dan wahana konsepsi manusia tentang suatu pesan untuk diresapkan. Bila tari sebagai kreasi seni, dapat dikategorikan sebagai forma atau bentuk yang hidup (living form). Tari sebagai ekspresi manusia atau subyektivitas seniman merupakan sistem simbol yang signifikan (significant symbols), artinya mengandung arti dan sekaligus mengandung reaksi yang bermacam-macam. Sungguh pun demikian, tari sebagai sistem simbol dapat pula dipahami sebagai sistem penandaan. Artinya, kehadiran tari tak lepas dari beberapa aspek yang dapat dilihat secara terperinci, antara lain: gerakanya, iringan, tempat, pola lantai, waktu, tata pakaian, rias, dan properti. Karya tari “Canthing Sedangan” ini merupakan tari kreasi baru. Canthing Sedangan berasal dari dua kata, yaitu “canthing/siwur” artinya tempat atau wadahsedangkan “sedangan” artinya ”pangan” apa apa sing perlu kanggo urip (kamus lengkap Bahasa Jawa). “Canthing Sedangan” adalah tempat yang memberikan rejeki atau kebahagiaan. Dalam karya tari “Canthing sedangan” akan memberikan kejelasan tentang istilah dan maknanya. Kejelasan istilah dimaksudkan sebagai kemudahan untuk membayangkan perilaku tarinya sedangkan makna ditujukan untuk memberikan acuan dalam memahami isi tarinya. Saran

Disarankan bagi para penikmat seni khususnya seni tari serta pencipta tari anak untuk lebih detail dalam mengobservasikan sebuah fenomena kehidupan yang akan diangkat sebagai ide/gagasan kekaryaan sehingga elemen-elemen koreografis yang ditampilkan dapat lebih mengena dengan karakter kekaryaan yang digarap. Semoga karya ini dapat menjadi inspirasi bagi koreografer dalam menciptakan karya khususnya tari anak untuk lebih kreatif, imajinatif, dan menarik. DAFTAR PUSTAKA Gie ,The Liang, 1975. Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan), Penerbit Karya: Yogyakarta. Haerani, hanni, HS, 1997.Dewi Sri.Citra Budaya: Gresik. H’Doubler, Margareth N, 1959. Dance A Creative Art Experience, The University Of Winconsin

press: medison. J. W. Santrok, 2003. Adolescence (Perkembangan Remaja).Terjemahan Setiono L.H. Penerbit

Erlangga: Jakarta. Koentjaraningrat, 1979. Pengantar Ilmu Antropologi, Radar Jaya Offset: Jakarta. Mudjahirin, Thohir, 2007. Memahami Kebudayaan: Teori, Metodologi, dan Aplikasi: Semarang. Murgiyanto, Sal, 1999. Koreografi dan Kreativitas (Seminar tari Nusantara “Membangun Kreativitas

Kekaryaan Tari” DEPDIKBUD Program DUE-LIKE, STSI Surakarta. Paul Sartre, Jean, 1989. Pengantar Teori Emosi, Jendela: Yogyakarta. Pringgokusumo, Muhammad Husodo, 1991. Pertunjukan Rakyat Jawa, Solo. Poespowardoyo, Soerjanto, 1989. Strategi Kebudayaan, PT, Gramedia: Jakarta. Prakosa, R. Djoko, 2008. Mbah Gandrung : Religi, Etik, dan Estetik dalam Seni PertunjukanEtnil

Jawa, Gantar Gumelar. Sama, I Wayan, 2012.Menebah Gabah Visual Agraris Masyarakat Bali. Fajar, Surabaya. Smith, Charlote Seymour, 1986. Mac Millan dictionary of Antropology, Mc Millan Press. Sutidja, Trim, 1996. Kelapa Tanaman Serba Guna. Bumi Aksara: Gresik. Wahyudiyanto, 2008. Pengetahuan Seni, Surakarta, ISI Press Solo. Wahyudiyanto, 2009.Wajah Tari Dalam Perspektif, Surakarta, ISI Press Solo.

Page 77: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

68 Implementasi Nilai Bathok Luluk Rindayani

Wahjono, Parwatri, 2005. “Kearifan Lokal Dalam Permainan Nini Thowok” dalam seminar Naskah Kuno Nusantara bertema,”Naskah Kuno Nusantara sebagai Warisan BernilaiLuhur” Perpustakaan nasional, Jakarta Pusat.

DAFTAR PUSTAKA MAYA http://id.shvoong.com/society-and-news/column/1984141-peralatan-dapur- tradisional/#ixzz1sprNEjaW. http://id.wikipedia.org/wiki/Pohon_kelapa. http://wisatasejarah.wordpress.com/2010/03/01/siwur-nek-isi-ora-ngawur/ http://manshurzikri.wordpress.com/2010/05/12/pentingnya-seni-dalam-kehidupan-manusia-sebagai-makhluk-berbudaya/ http://eritristiyanto.wordpress.com/2010/03/29/mengenal-pohon-kelapa/

BIODATA PENULIS

Luluk Rindayani. Lahir di Surabaya tanggal 29 Mei 1997. Alamat Kandangan Gunung Pertiwi IA/2 Kelurahan Kandangan Kecamatan Benowo Surabaya. Bertugas di Sekolah Dasar Negeri Sambikerep II/480, Jl. Jelidro Kecamatan Sambikerep Surabaya.

Page 78: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

69 Tata Artistik ”Beruang Menagih Hutang” Abdul Kholid

ANALISIS PENCIPTAAN TATA ARTISTIK ”BERUANG MENAGIH HUTANG” KARYA ANTON CHEKHOV

TERJEMAHAN LANDUNG SIMATUPANG

Abdul Kholid

Abstract

The analysis is focused on the creation of artistic planning for good artistic performances Billed manuscript bears payable by Anton Chekhov translation Landung Simatupang Supriyadi directors which includes (1) the stage (setting), (2) lights / lamps, (3) fashion, (4) makeup. In order technical artistic creation, the author / creator of artistic performances manuscript bears Billed payable by Anton Chekhov translation Landung Simatupang Supriyadi director uses several steps / methods: (1) understanding the text, (2) understand the game model, (3) a discussion with the director and experts, (3) take the data in the field, (4) create a draft design drawings, (5) make an example so / miniature / mangket, (6) to construct the building, (7) finishing / completion / production. Analysis produced artistic layout is intended to result in: (1) the finished product of artistic planning, (2) model / style of artistic performances realist texts, (3) technical order procedures of artistic creation. Keywords: Analisis Penciptaan Tata Artistik, Beruang Menagih Hutang, Karya Anton Chekhov, Terjemahan Landung Simatupang.

PENDAHULUAN Teater adalah seni yang kompleks/rumit/ribet/,karena memerlukan banyak seniman untuk menciptanya-aktor/aktris, penulis naskah, sutradara, penata setting, pakaian, cahaya, koreografer, pemusik. Kerumitan ini meneyebabkan banyak orang menamainya sebuah seni campuran mixed art karena ia gabungan dari bahasa tulis sastrawan, setting panggung arsitek dan pelukis/tukang cat, ujaran dan gerak aktor, musik komposer, pola tari koreografer. (Akhudiat, Pengantar Estetika Teater). Artistik sebagai media 5 dimensi yaitu, dimensi visual, verbal, ruang, gagasan, dan dimensi imaji. Dengan kelima dimensi yang berupaya menghadirkan kenyataan di atas panggung, dan dengan Artistik panggung berupa setting atau dekorasi, kostum dan make up digunakan untuk menghidupkan suasana dan peristiwa bagi proses dramatik pada sebuah lakon. Namun, pada kenyataannya dalam dalam proses penggarapan, artistik terutama pada panggung realis yang dianggap mudah oleh sebagian orang karena hanya menggunakan alat-alat (properti) yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, padahal dalam prakteknya tidak semudah yang dibayangkan orang. Hazim Amir dalam Pengantar Seni Teater dan Penyutradaraan (1979: 21-22) membagi Designers menajdi tiga yaitu (1) set, (2) lighting, (3) costume. Akan tetapi dalam tulisan ini penulis memasukkan tata rias juga karena beberapa buku juga mencantumkan tata rias kedalam wilayah garap artistik.

Page 79: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

70 Tata Artistik ”Beruang Menagih Hutang” Abdul Kholid

Tata Panggung Tata panggung adalah pengaturan pemandangan di panggung selama pementasan berlangsung. Tujuannya tidak sekedar supaya permainan bisa dilihat penonton tetapi juga menghidupkan pemeranan dan suasana panggung (Santosa, 2008:46). Tata Kostum Tata kostum atau tata busana adalah pengaturan pakaian pemain baik bahan, model, maupun cara mengenakannya. Menurut Harymawan (1988:131) bahwa kostum pentas harus menunaikan beberapa fungsi sebagai berikut: (a) Membantu menghidupkan perwatakan pelaku. (b) Individualisasi peranan, artinya dapat membedakan peranan dan karakteristik antar tokoh. (c) Memberi fasilitas dan membangun gerak pelaku, artinya menambah efek visual gerak, menambah indah dan menyenagkan setiap posisi yang diambil pelaku setiap saat. Tata Rias Kegunaan rias dalam seni teater menurut Harymawan (1988:135) adalah mengubah yang alamiah (natural) menjadi budaya (culture), mengatasi efek tata lampu yang kuat, dan membuat wajah dan kepala sesuai peranan yang dikehendaki. Fungsi tata rias adalah menyempurnakan penampilan wajah, menggambarkan karakter tokoh yaitu melukiskan watak tokoh dengan mengubah wajah pemeran menyangkut aspek umur, ras, bentuk wajah dan tubuh, karakter wajah merupakan cermin psikologis dan latar sosial tokoh yang hadir secara nyata. Memberi efek gerak pada ekspresi pemain sehingga saat berekspresi muncul efek gerak yang tegas dan dapat ditangkap oleh penonton. Menghasilkan garis-garis wajah sesuai dengan tokoh, dan menambah aspek dramatik dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dengan menciptakan efek tertentu sesuai dengan kebutuhan (Santosa, 2008:274). Tata Cahaya Lampu dapat memberikan pengaruh terhadap konflik yang terjadi di atas panggung dan memberikan pengaruh psikologis. Menurut Mark Carpenter (1988) dalam Santosa (2008:331—332) bahwa fungsi dasar tata cahaya ada empat, yaitu sebagai berikut. (a) Penerangan. Inilah fungsi paling mendasar dari tata cahaya. Lampu memberi penerangan pada pemain dan setiap objek yang ada di atas panggung. (b) Dimensi. Dengan tata cahaya kedalaman sebuah objek dapat dicitrakan. Dimensi dapat diciptakan dengan membagi sisi gelap dan terang atas objek yang disinari sehingga membantu perspektif tata panggung. (c) Pemilihan. Tata cahaya dapat dimanfaatkan untuk menentukan objek dan area yang hendak disinari. (d) Atmosfir. Yang paling menarik dari fungsi tata cahaya adalah kemampuannya menghadirkan suasana yang mempengaruhi emosi penonton. Kata “atmosfir” digunakan untuk menjelaskan suasana serta emosi yang terkandung dalam peristiwa lakon. METODOLOGI Jenis Analisis

Penelitian ini menggunakan model prosedural. Model prosedural adalah model yang bersifat deskriptif, yaitu menggariskan langkah-langkah yang harus diikuti untuk menghasilkan produk. Penggunaan model prosedural ini di ranacang dan diagendakan secara matang agar tidak terlalu melebar dan sesuai dengan yang diinginkan. Metode Analisis

51

Page 80: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

71 Tata Artistik ”Beruang Menagih Hutang” Abdul Kholid

Teknik penciptaan ini menggunakan rancangan The set designer’s role dalam Create Your Own Stage Setst yang diuraikan oleh Terry Thomas (1988:27) sebagai proses yang bertujuan untuk merancang dan menciptakan tata artistik terutama tata panggung. Adapun stuktur rancangannya secara ringkas sebagai berikut.

Gambar 1. Stuktur rancangannya tata panggung

HASIL Data Verbal

Surabaya adalah ibukota Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta, dengan jumlah penduduk metropolisnya yang mencapai 3 juta jiwa, Surabaya merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di kawasan Indonesia timur. Menurut Sensus Penduduk Tahun 2010, Kota Surabaya memiliki jumlah penduduk sebanyak 2.765.908 jiwa. Dengan wilayah seluas 333,063 km², maka kepadatan penduduk Kota Surabaya adalah sebesar 8.304 jiwa per km². Suku bangsa dan agama di Surabaya beragam. Suku Jawa adalah suku bangsa mayoritas di Surabaya. Dibanding dengan masyarakat Jawa pada umumnya, Suku Jawa di Surabaya memiliki temperamen yang sedikit lebih keras dan egaliter. Agama Islam adalah agama mayoritas penduduk Surabaya. Surabaya merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam yang paling awal di tanah Jawa dan merupakan basis warga Nahdatul Ulama yang beraliran moderat. Masjid Ampel didirikan pada abad ke-15 oleh Sunan Ampel, salah satu pioner Walisongo.

Naskah

Membaca dan memahami permainan

Diskusi dengan sutradara

Pengambilan data di lapangan

Membuat desain Sketsa

Perspektif

Miniature

Produksi Konstruksi

Finishing

Uji coba

Page 81: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

72 Tata Artistik ”Beruang Menagih Hutang” Abdul Kholid

Data Visual Adapun data visual tersebut adalah berisi tentang foto-foto ruang tamu sederhana di

Surabaya, foto busana dan foto wajah gambaran tokoh. Adapun foto-foto data visual yang didapat adalah sebagai berikut: • Foto Ruang Tamu

Gambar 2. Ruang tamu sederhana di Surabaya

• Foto Busana

Gambar 3. Tata busana

• Foto Wajah

Gambar 4. Karakteristik wajah

PEMBAHASAN

1. Tata Panggung Dari data diatas ada beberapa identifikasi/ ciri dari ruang tamu sederhana rumah di

Surabaya yaitu pintu ke ruang tengah sejajar lurus dengan pintu masuk rumah, pintu ruang tengah tanpa daun pintu dan ditutup gorden/ kelambu pintu, ventilasi jendela samping hampir tidak ada hanya jendela depan saja karena rumah dan tanah berdempetan dengan tetangga, penempatan lukisan/ khot pada dinding ruang tamu dan buffet/ lemari rak untuk menempatkan barang-barang seperti foto, piala, televisi dan lain sebagainya. Sketsa

Page 82: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

73 Tata Artistik ”Beruang Menagih Hutang” Abdul Kholid

Gambar 5. Sketsa ruang tamu sederhana, Skala 1: 50

Desain pada panggung

Gambar 6. Desain ruang tamu sederhana pada panggung, skala 1: 100

Perspektif

Gambar 7. Perspektif dari depan, skala 1: 50

Gambar 8 (kanan). Perspektif 3D dari depan penuh, skala 1: 100.

Gambar 9 (kiri). Perspektif dari atas, skala 1: 50

Gambar 10 (kanan). Perspektif 3D dari atas penuh, kala 1 : 100.

Gambar 11 (kiri). Perspektif dari kiri panggung, skala 1: 50

Page 83: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

74 Tata Artistik ”Beruang Menagih Hutang” Abdul Kholid

Page 84: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

75 Tata Artistik ”Beruang Menagih Hutang” Abdul Kholid

Rangka Pintu pada dinding Pemasangan gorden

. .

. .

. .

. .

. .

. .

2M

2,5M

80Cm

1,7M

2M

2,5M

80Cm

1,7M

Gambar 19. Penampang rangka pintu dinding dan teknik pemasangan gorden

Rangka Pigura

Gambar 20. Penampang rangka pigura Rangka Buffet

2M

2M

50Cm2M

2M

50Cm

:

:

:

:

:

:

Gambar 20. Penampang rangka buffet

2. Tata Cahaya

Tata letak lampu

FLOOD 1000W FRESNEL 1000W

PROFILE/ ELIPS 1000 W

PAR 1000W

Buffet

Lukisan

Pint

uDi

ndin

g

Meja Kursi

1

2

3

Lampu Belakang

1

4

5

6 7

8

9

23

1011

12 13

14

15

16

17 18M

B K1920

21

::::

Page 85: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

76 Tata Artistik ”Beruang Menagih Hutang” Abdul Kholid

Jatuhnya lampu

Gambar 21. Fokus lampu pada akting. Skala 1: 50 dan Foto Panggung Jadi. Skala 1: 25

3. Tata Busana

Busana Janda/ Nyonya Yulina

Sketsa

Depan BelakangDepan Belakang

LenganLengan

Model : Daster lengan ¾. Bahan kain: kain motif batik. Warna : hijau kombinasi. Ukuran: Lingkar badan 100 Cm. Lingkar pinggang 76 Cm. Panjang dada 34 Cm. Lebar punggung 35 Cm. Lebar bahu 13 Cm. Lingkar panggul I 100 Cm. Lingkar panggul II 106 Cm. Panjang rok 65 Cm. Lengan Daster Ukuran: Lingkar badan 100 Cm. Panjang sampai siku 30 Cm. Panjang lengan 40 Cm. Lingkar siku 29 Cm. Lingkar ujung 29 Cm. Kerung lengan 50 Cm.

A B C

14,18 15,17 16

19 20 21

D E F

G H I

5,12

6,7

3,13

9 10 11

Page 86: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

77 Tata Artistik ”Beruang Menagih Hutang” Abdul Kholid

KerahKerah

Depan

Belakang

Depan

Belakang

Depan BelakangDepan Belakang

Depan BelakangDepan Belakang

Busana Tamu/ Penagih Hutang

Sketsa

Depan BelakangDepan Belakang

LenganLengan

Busana bagian atas Model : hem/ kemeja lengan panjang. Bahan kain: kain bermotif lorek-lorek kecil. Warna: putih kombinasi bergaris hitam dan abu-abu. Ukuran: Lingkar badan 88 + 20 Cm. Panjang punggung 40 Cm. Panjang baju 65 Cm. Lebar punggung 43 Cm. Lebar dada 40 Cm. Lebar bahu 16 Cm. Lebar lengan 40 + 10 Cm. Lengan dan kerah kemeja. Ukuran: Lingkar badan 88 + 20 Cm. Panjang sampai pergelangan tangan 59 Cm. Lingkar pergelangan tangan 24 + 6 Cm. Lingkar leher 38 Cm.

Busana bagian bawah Model : celana resmi. Bahan kain: kain halus. Warna : hitam. Ukuran: Panjang celana 95Cm.Lingkar pinggul 88 Cm. Lingkar kaki 52 Cm. Tinggi pesak 66 Cm. Busana Pembantu Sketsa

Busana bagian atas Model : kaos oblong. Bahan kain: kain LC. Warna : putih. Ukuran: XL Busana bagian bawah Model : celana pendek sport. Bahan kain : lotto. Warna : hitam kombinasi merah. Ukuran: Panjang celana 70 Cm. Lingkar pinggul 102 Cm. Lingkar kaki 60 Cm. Tinggi pesak 76 Cm.

Page 87: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

78 Tata Artistik ”Beruang Menagih Hutang” Abdul Kholid

4. Tata Rias Tokoh Janda/ Nyonya Yulina Sketsa

Karakter Dalam beberapa dialog dalam naskah tertulis “...kau tak berhenti-henti membedaki pipimu...”, “...aduh alisnya...”, dan lain sebagainya adalah sedikit penggambaran bahwa tokoh tersebut rupawan, dan dalam kondisi lokal Surabaya wanita janda yang cukup menggoda lelaki adalah janda kisaran usia 30 tahunan (istilah Tante

Mudah). Dari info tersebut digambarkan dalam rias Nyonya Yulina adalah sebagai berikut (1) Alis lancip tertata rapi, (2) Bibir dan pipi merah merona akan tetapi dibuat seperti alami non lipstik, (3) garis mata dan hidung jelas, (4) Garis usia terlihat akan tetapi tipis dan sedikit garis hitam dibawah kelopak kantong mata kesan bersedih dan bela sungkawa. Menggunakan model rias karakter dengan aksen habis menangis (bersedih).

Sebelum Proses Sesudah Tokoh Penagih Hutang Sketsa

Karakter Karakter tokoh penagih hutang dalam naskah asalnya digambarkan cukup jelas dengan beberapa dialognya yang kasar, keras kepala, dan cerita nostalgianya yang pernah dekat dengan banyak wanita dan mantan seorang tentara. Akantetapi dalam pendekatan lokal surabaya ini penggarap tetap menggambarkan tokoh ini

sebagai mantan tentara dan sebagai penagih hutang/ depkolektor yang cocok dengan rentan tahun dan kondisi lokal Surabaya sekarang. Dalam hal ini penggarap memakai karakter tokoh orang Madura dengan usia antara 40 tahunan. Dari sumber tersebut peneliti membuat rias karakter sebagai berikut: (1) Alis agak tebal dan sedikit ke atas, (2) Garis mata jelas dengan sedikit garis lancip searah alis, (3) Garis hidung jelas, garis bibir tipis dengan sedikit kumis tipis, (4) Bayangan pipipih agak hitam, (5) garis usia tipis tetapi garis atas hidung dengan alis agak gelap. Menggunakan model rias karakter dengan watak keras (kasar).

Sebelum Proses Sesudah Gaya Rambut

Page 88: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

79 Tata Artistik ”Beruang Menagih Hutang” Abdul Kholid

Tokoh Pembantu/ Pak Dhe Sketsa

Karakter Dalam naskah asalnya, tokoh ini adalah tokoh seorang pembantu laki-laki tua dirumah juragan. Adapun karakternya adalah seperti halnya tergambar dalam dialog-dialognya yang penuh kepasraan dan nasehat bijak. Adapun tata rias

karakternya adalah sebagai berikut: (1) Garis alis, mata, bibir datar dan agak condong ke bawah, (2) Garis usia jelas akan tetapi raut muka masih terlihat segar, (3) Alis dan rambut sudah agak beruban. Menggunakan model rias aksen.

Sebelum Proses Sesudah Gaya Rambut 5. Properti dan Hand Properti

Pigora Foto Suami 10R Celurit Tas Kerja

Kain Lap/ Pembersih Sapu Penebah Sulak/ Kemucing KESIMPULAN

Perencanaan penciptaan tata artistik merupakan kegiatan merancang, mendesain sistem penciptaan dari sumber menjadi bentuk visual artistik dalam pertrunjukan. Langkah-langkah merancang tata artistik sebagai berikut; (a) Membaca dan menganalisa naskah Beruang Menagih Hutang. (b) Menghadiri proses latihan untuk memahami permainan. (c) Berdiskusi dengan sutradra dan para ahli terkait dengan arah garap sutradara. • Mengambil sample/ data di lapangan. • Membuat desain artistik (sketsa, perspektif ) dengan tangan kemudian diolah dengan

program computer seperti program autocad dan memberi pencahayaan menggunakan program 3ds Max 9 dan merendernya sehingga menjadi gambar jpg (untuk tata panggung).

Page 89: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

80 Tata Artistik ”Beruang Menagih Hutang” Abdul Kholid

• Membuat mangket/ miniatur. • Produksi.

Saran untuk penata artistik, seniman teater/ pelatih. Seniman teater hendaknya memahami dan mempelajari ilmu-ilmu lain diluar ilmu tata peran, penyutradaraan dan wacana perkembangan teater. Terutama ilmu dalam desain dan seni rupa sebagai bahan dalam pemahaman visual dan penciptaan tata artistik pertunjukan. Bagi Dosen Matakuliah. Mengingat perkembangan zaman, penulis/ penyaji menyarankan agar program autocad, 3ds Max 9, dan Photoshop ini digunakan sebagai salah satu media alternatif dalam proses pembuatan rancangan tata artistik (directory copy) khususnya tata panggung. Pencipta berikutnya Mengkaji lebih dalam pada saat menganalisa, merancang, mencipta tata artistik pertunjukan, terutama pada refrensi dan pemanfaatan teknologi. Sehingga dihasilkan analisa yang kuat, rancangan dan penciptaan tata artistik yang memiliki alur kerja yang baik dan visual yang sesuai dengan rancangan pementasan yang direncanakan dan bisa memudahkan dalam menyampaikan pesan dalam naskah. Begitupun dengan perkembangan teknologi, seperti komputer yang bisa dimanfaatkan program-programnya untuk mendesain tata artistik terutama desain tata panggung.

PUSTAKA ACUAN Akhudiat, H. 2009. Pengantar Estetika Teater. Surabaya: Bahan Penunjang Mata Kuliah Estetika

Teater. Amir, Hazim. 1979. Pengantar Seni Teater Dan Penyutradaraan. Malang: IKIP Malang. Padmodarmaya, Pramana. 1983. Tata Dan Teknik Pentas. Jakarta. Direktorat Pembinaan Sekolah

Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Harymawan, RMA. 1993. Dramaturgi. Bandung: Rosdakarya. Maeryaeni. 1994. Buku II: Teater. Malang: IKIP Malang. Reid, Francis. 1976. The Stage Lighting Handbook. London: Pitman Publishing. Rendra. 2009. Seni Drama untuk Remaja. Jakarta: Burungmerak Press. Santosa, Eko dkk. 2008. Seni Teater Jilid 1 untuk SMK. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah

Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Santosa, Eko dkk. 2008. Seni Teater Jilid 2 untuk SMK. Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah

Menengah Departemen Pendidikan Nasional. Thomas, Terry. 1985. Create Your Own Stage Sets. London: A & C Black. Yudiaryani. 2002.Panggung Teater Dunia. Yogyakarta: Pustaka Gondo Suli. BIODATA PENULIS

Abdul Kholid Lahir di Lamongan 14 Mei 1982. Pendidikan terakhir Tata Artistik Pertunjukan Teater Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya.

Page 90: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

81 Penerapan Teknik Akting Presentasional Didik Hamadi

PENERAPAN TEKNIK AKTING PRESENTASIONAL PADA PENCIPTAAN KEAKTORAN TOKOH

SVIETLOVIDOFF DALAM NASKAH NYANYIAN ANGSA KARYA ANTON P. CHEKOV

Didik Harmadi

Abstract

At a simple term, acting means behave to be seen and displayed with a condition among which there are ideas (texts, version comments) , people who plays it, and media leeds to the audience. Actor as the main media in a theatrical performance, to achieve a quality of performance needs to using acting techniques that can accommodate the needs of the expressing and enriching. The creation was done with the aim to test the validity of the theory of presentational acting technique in the creative process of Anton Chekov’s Song of the Swan manuscript , with emphasis presentation on actors. Actor theory in particular of acting, which leads to the presentational acting techniques are used as a method of creative process in the Song of the Swan. The result of the actor creation actualized and projected on the stage as a performance with a thinking process and behave as actor. With awareness of the understanding, appreciation and expression of an actor, which represents the phenomenon of traditional art workers (ludruk). Keywords: Acting, presentational, Ludruk

PENDAHULUAN Teater baru atau modern berasal dari masyarakat kota yaitu suatu mayarakat yang

campur aduk antar ras dan etnis yang ditandai dengan terbentuknya masyarakat birokrasi dan perdagangan juga industri. Teater tersebut benar-benar baru dalam arti ridak menginduk pada tradisi teater rakyat, dan di kembangkan oleh kaum terpelajar yang memberikan minat pada kajian dan intelektualisasi, mereka menemukan dinamikanya sendiri dan estetikanya sendiri. Arie Batubara (2004: 318) mengungkapkan teater modern Indonesia bukan saja melahirkan suatu situasi dalam kegiatan dan proses penciptaan yang demikian gairah dan intensif antara lain ditandai dengan begitu banyaknya pementasan serta lakon yang ditulis, tetapi juga sekaligus mampu memunculkan sederet kecenderungan dramatik dan estetik berteater yang pada periode sebelumnya relativ atau belum dikenal. Di atas semua itu seniman teater telah memberikan aktifitas dan produktifitasnya dalam proses penciptaan.

Kedudukan teater akan semakin jelas, ketika para senimannya memiliki kepekaan yang kuat dan tajam terhadap realitas social maupun budaya. Dalam hal ini teater membutuhkan refleksi-refleksi serius untuk bisa menawarkan sesuatu yang memang dibutuhkan penonton (Tommy F Awuy, 1999: 330 ). Dalam hal ini teater harus memiliki loncatan membuka diri untuk berdialektika dengan berbagai persoalan yang ada di sekitarnya dan mampu mengurai dengan bahasa estetis dalam suatu pertunjukan. Sehingga teater tidak menghadirkan manusia di atas panggung dalam bentuk kodrat sosial, politik, ekonomi, dan kodrat keseharian tetapi telah mengalami transformasi dalam bahasa panggung, yang melengkapi kehidupan bahasa ruang persoalan manusia dengan atribut yang tak ada dalam sejarahnya. Pertunjukan teater meluputkan diri dari pelucutan kemanusiaan itu dengan

Page 91: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

82 Penerapan Teknik Akting Presentasional Didik Hamadi

menghadirkan peran-peran dalam idiom dan simbol-simbol yang prototipik atau disesuaikan dengan interpretasi yang dilegitimasi. (Radhar Panca Dahana, Jambore Teater 94).

Interaksi interpretasi atau relasi keberartian itu sendiri hanya mungkin terjadi apabila sebuah tontonan mampu memberikan impresi-impresi tertentu dari realitas yang dihadapi. Bebagai kemungkinan dalam menghadirkan impresi tersebut dapat dengan dialog atau akting, mise and scene, yang jelas dalam menghadirkan impresi-impresi tersebut kedalam pertujukan tidak terlepas dari tingkat kepekaan dan pengetahuan atas realitas.

Menyangkut persoalan hubungan teater dan realitas ini, di mana teater modern selalu berurusan dengan relasi yang bersifat teknis antara bentuk (form) dan isi (matter). Maka relasi tersebut tidak lain adalah mempersoalkan bagaimana teater mampu mengkontruksi realitas menjadi sebuah tontonan yang menawarkan sebuah wawasan kritis kepada penonton. Kondisi dramatis bagi teater bukan semata-mata pada tontonan itu sendiri tetapi ketika terjadi tarik menarik atau interaksi interpretasi antara dasar filosofis tontonan dengan dengan penonton mengenai realitas dalam lakon yang ditawarkan.

Tetapi yang menjadi permasalahan sekarang adalah dalam menyampaikan reflekksi realitas tersebut adalah manusia pemeran (aktor). Arifin C. Noor (2005; 63) mengungkapkan, ada yang tidak wajar dalam seni peran di Indonesia, hubungn antara pemain dan penonton mengalami gangguan. Di balik kata wajar atau tidak wajar merefleksikan adanya ketidak terwakilinya masyarakat dalam seni peran.

Kedudukan aktor dalam teater adalah sebagai media pokok, sebagai alat menyatakan dirinya. Teater telah didaulat menggunakan media manusia sebagai alat utama. Tubuh dan sukma menjadi modal bagi seorang aktor untuk menghadirkan bahasa ekspresi di atas panggung. Seorang aktor akan berhadapan dengan dirinya sendiri dan lingkungannya.

Di atas pentas seorang pemain harus mampu menghayati dan mengembangkan peran yang dibawakan dan menyampaikan pesan kehidupan dengan baik dan benar. Usaha menyampaikan pesan tersebut merupakan panggilan seorang aktor dalam upaya mengurai persoalan-persoalan kehidupan yang terjadi di lingkungannya. Usaha menyampaikan pesan pada suatu pementasan teater yang menjadi tulang punggung mengkomunikasikan pada penonton adalah seorang aktor. Untuk mendapatkan kedalaman rasa hayati maka memerlukan metode, metode yang sekiranya tepat untuk menjembatani antara karya sastra dan penonton dalam mengkomunikasikan gagasan adalah teknik akting yang representasif.

Teknik akting presentasional adalah bagian dari suatu metode pemahaman, penghayatan dan ekspresi bagi seorang pemeran. Akting presentasional merupakan realita kehidupan yang ditampilkan, penemuan tingkah laku yang jujur, dan cara mereka mengkomunikasikan seperti baru pertama kali terjadi dan sangat otentik. (Eka D Situr, 2003;18) Pendelatan akting presentasional merupakan kegiatan akting yang didasari seorang aktor ketika diatas panggung bukan memberikan ilustrasi perilaku yang sudah dipahami sebelumnya. Akting yang menggunakan kepribadian manusia sebagai metodenya. Di mana terdapat tiga bagian penting yaitu fisikal, intelektual, spiritual yang dalam akting preesentasional dipahami sebagai ekspresi (fisikal), Analisa (intelektual), dan transpormasi. Seperti dikatakan Asrul sani dalam “pengantar” Persiapan Seorang Aktor (1990;6), bahwa sistem Stanislavsky bukanlah resep yang harus dipergunakan setiap aktor begitu saja untuk bermain baik. Tetapi sistem ini lebih dari suatu jalan untuk menumbuhkan kreativitas dalam perkembangan seorang aktor.

Page 92: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

83 Penerapan Teknik Akting Presentasional Didik Hamadi

Penekanan dalam metode Stanislavsky adalah akting sebagai seni dan seni sebagai ungkapan tertinggi manusia, Stanislavsky terus menerus melakukan kajian tentang sifat hakekat manusia. Dan sasaran keseluruhan bermuara pada pengembangan segala kemampuan intelektual, fisik, spiritualitas, emosional agar mampu mengisi peran yang dibawakan hingga proporsi manusia yang utuh, tokoh-tokoh yang mampu menggerakkan publik pada ekspresi maupun emosi yang berkesan.

Dengan bertolak pada system tersebut, tokoh Svietlovidoff dalam naskah Nyanyian Angsa yang banyak berkisah konflik-konflik kejiwaan akan dapat terungkap kedalaman emosinya dan tersingkap fenomenanya dari gambaran hitam putihnya manusia diantara deraan realitas yang dihadapi tokoh svietlovidoff Sistem di atas merupakan suatu jalan dalam menumbuhkan kreatifitas dan kualitas dalam pemeranan. Bagaimana gagasan yang ada dalam kerja teater dapat tesampaikan dengan kedalaman isi dan keindahan akan bentuk. Yang membuat penonton merasa tewakili perasaanya. SYSTEM STANISLAVSKY

Menurut Stanislavsky dalam My Live in Art, suatu produksi pertunjukan seringkali menekankan pada aspek outer namun kondisi tersebut tidak menjadikan hidupnya pertunjukan, segi luaran haruslah disesuaikan dengan emosi dan barulah setelah itu dapat menggerakkan penonton (2006;246). Kemalangan seni modern adalah sementara produksi dan kemungkinan-kemungkinan akting yang menekankan segi luaran telah berkembang secara maksimal dan berada dalam situasi kelelahan dan kemungkinan melupakan Inner Creative yang tumbuh.

Dalam mempersiapkan menciptakan peran yang akan dibawakan aktor pada proses Nyanyian Angsa menggunakan metode akting dalan dengan metode Sanislavsky (The Stanislavsky Method). - Persiapan : 50 % internal dan 50% external

Internal : bekerja dengan tubuhnya sendiri, innertechnique dan outer technique (tubuh dan suara)

- External : Mempelajari naskah, intent dari play, karakter, dan masing-masing adegan. Aktor harus percaya bahwa itu semua benar.

- Dalam proses penciptaannya aktor harus menggunakan sebanyak-banyaknya “motor acting” (pikiran, kemauan, perasaan).

- Kemudian dia harus mencari action fisik dari karakter dan mencari motivasi. Dia harus mencari gait (cara berjalan), gesture (gerak dengan lengan), business (gerak – gerak kecil dengan tangan, kepala, dsb).

- Mencoba mengalami apa yang dialami karakter dengan teknik “magic if” (jika aku jadi dia, apa yang harus kukerjakan).

- Dia harus mempertimbangkan semua “given circumstansces” (sumber eksternal dan internal).

- Merasakan apa yang dirasakan karakter dengan teknik “emotive memory”, yakni mengingat – mengingat kejadian yang pernah ia alami sendiri yang sama atau serupa.

- Dia harus tahu intent dari adegan – adegan yang paling kecil pun. - Menciptakan “creature mood” dengan jalan conditioning, yakni menciptakan kondisi

yang memungkinkan untuk berkreasi, misalnya: untuk mencapai konsentrasi penuh

Page 93: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

84 Penerapan Teknik Akting Presentasional Didik Hamadi

gunakan “magic circle” (konsentrasi pada hal – hal, benda – benda yang ada dalam suatu lingkaran imaginer).

- Tubuh yang responsive adalah tubuh yang relax Aktor yang menggunakan teknik akting presentasional akan berada dalam aksi- aksi

yang jujur dan tetap mempertahankan ekspresinya secara spontan ketika bertindak. Hal ini karena adanya kemampuan identifikasi dirinya yang terbangun kesejajarannya dengan karakter, dengan demikikian aksi-aksi akan muncul secara ekspresif.

APLIKASI TEKNIK AKTING PRESENTASIONAL

Naskah Nyanyian Angsa ditulis Anton Chekov seorang sastrawan dari Rusia. Nyanyian Angsa berkisah sorang pemain sandiwara yang mabuk dan tertidur di kamar ganti. Ketika terbangun, sahabat-sahabatnya telah keluar meninggalkan gedung pementasan. Di gedung pertunjukan tersebut bertemu dengan Ivanicth seorang pembisik yang menginap di dalam gedung . Svietlovidoff bercerita pada Ivanitch kehidupannya sejak masih remaja yang diwarnai dengn konflik-konflik yang tak terelakkan. Ia bekas seorang tentara , kemudian menjadi aktor namun tidak pernah mampu menjadi besar seperti teman-temannya, ia hanya menjadi seorang pemain drama daerah yang hanya didaulat menjadi peran banci yang bernama Merry Andrew, Kondisi kejiwaannya semakin goyah manakala orang yang mampu memberi arti dalam hidupnya memutuskan cintanya karena tidak menginginkan kawin dengan seseorang yang berprofesi sebagai aktor. Ia sadar kekalahannya dalam hidup karena berada dalam lingkungan yang tidak tepat untuk menyalurkan kegelisahannya sebagai pekerja panggung, Hingga dalam kesadarannya menuntunnya menjadi dan merubah memilih tempat yang tepat dan berada pada tangan yang tepat untuk melakukan perubahan. 1. Karakter

Svietlovidof adalah seorang pemain sandiwara daerah yang usianya adalah 68. Svietlovidoff yang dilahirkan dari kalangan mapan dan selanjutnya terpuruk dalam konflik-konflik pribadi yang berkepanjangan memberi perubahan posisi sosiologisnya sebagai bagian dari masyarakat. Ia hidup dalam keluarga bangsawan yang mencintai seni. Ia setelah menjadi pemain sandiwara cenderung dipinggirkan dan diabaikan, dalam posisinya di masyarakat berada dalam kelas bawah. Sebagai aktor tua, Svietlovidoff yang sebagian besar waktunya diabdikan di atas panggung pertunjukan dirinya banyak diliputi konflik-konflik berkepanjangan berkenaan dengan pilihan profesi sebagai aktor.

Pandangan hidup Svietlovidoff menyatakan dirinya hanyalah uap lemin dan botol pecah. Hal ini berlaku dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat dan kehidupannya. Pandangan hidupnya adalah mencapai kemerdekaan jiwanya. Svietlovidoff merupakan seorang pemain drama yang lahir dari keluarga bangsawan yang memilih hidup sebagai dramawan yang selanjutnya memilih jadi pelawak murahan. Di satu sisi disanjung tetapi di sisi lain direndahkan karena provesinya yang kurang terhormat. Hal ini membuat dirinya berpandangan hanya seperti uap lemin dan botol pecah.

Latar belakang kejiwaan dari Svietlovidoff tumbuh dari keluarga borjuis yang mempengaruhi kejiwaannya. Dari cakapan disebutkan bahwa teman-temannya telah menjadi artis dan dia hanya penghuni gedung tua (panggung) ia hidup dalam suasana ilusif yang banyak diwarnai dengan impian-impian semu dan tidak realistis, ia kehilangan cara pandang yang logis ketika impian tentang seni tidak tercapai. Hal ini menyebabkan dirinya memilih

Page 94: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

85 Penerapan Teknik Akting Presentasional Didik Hamadi

mabuk-mabukan karena kehilangan harapan dan semangat hidup. Ia terpenjara dari idealisme yang tak terarah dan penuh resiko. 2. Teknik Pemeranan

Yang dimaksudkan dengan teknik pemeranan ialah cara atau metode yang digunakan agar pemeran dapat menyatukan dan mendaya gunakan secara professional segala peralatan ekspresi yang dimiliki oleh pemeran (Kasim Achmad:1990; 61). Dengan modal bakat dan keterampilan yang dimiliki, si pemeran dapat menyampaikan ide/gagasannya yang diwujudkan dalam perwatakan tokoh yang dibawakan. Peralatan yang ada pada diri seorang pemeran dalam menciptakan watak tokoh yang akan digambarkan dapat terwujud:

- Penampilan fisik (gagah, bungkuk, gendut, dan lain-lain) - Penampilan laku fisik (lamban, dinamis, keras, dan lain-lain) - Penampilan vocal (kata-kata, dialog) - Penampilan emosi dan intelegensi (pemarah, cengeng, dan lain-lain)

Hal tersebut di atas dapat dipelajari dan dilatih dan digunakan untuk mempersiapkan diri dalam masuk peran atau tokoh yang dimainkan. Watak atau tokoh peran Sviettlovidoff yang akan dimainkan dapat dikembangkan dan dihidupkan dalam diri pemeran/pemain dengan pertolongan alat ekspresi miliknya sendiri.

Langkah-langkah sebelum proses pembentukan peran adalah melakukan proses latihan teknis sebagai dasar pembentukan peran yang akan dibawakan oleh seorang aktor. Dalam persiapan sebagai manusia teknik dasar pemeran merupakan modal untuk masuk ke dalam sukma peran. Ada beberapa teknik yang secara umum dilakukanantara lain yang pokok adalah: Olah vocal, olah tubuh, olah sukma. Pertama olah Vokal, kemampuan vokal menjadi salah satu tumpuan kemampuan pemeran untukdapat menampilkan laku perannya dengan baik. Suyatna Anirun mengatakan bahwa suara adalah kendaraan imaginasi, sehingga posisinya cukup dominan dalam pemeranan. Mengingan pentinnya posisi suara dalam pemeranan, penulis berusaha melatih penampilan suara seoptimal mungkin.

Kedua adalah olah Tubuh, Tubuh seorang pemeran adalah merupakan media ekspresi yang sangat penting dalam pemeranan. Sebab melalui tubuh seorang pemeran akan berbicara dan menyampaikan gagasan kepada penonton. Tubuh seorang pemeran yang baik memiliki, kelenturan, kekuatan, kemoloran, keseimbangan, dan plastisitas.

Ketiga olah Rohani, bagi seorang pemeran (aktor) olah batin merupakan kunci dari segala teknik yang dipelajari. Olah batin (sukma) merupakan pokok atau pendorong lahirnya suara dalam dalam proses pemeranan, dan merupakan laku dramatis yang sering disebut pendorong laku peran. Seorang pemeran tidak sekedar menggambarkan kehidupan lahiriyah perannya, tetapi ia harus mampu mencocokkan sifat-sifat manusiawinya dengan kehidupan tokohnya dan menuangkan kedalam seluruh sukmanya. Tujuan pokok seninya adalah menciptakan batin sukma manusia dan mengutarakan dalam bentuk artistik (Stanislavsky, 1980;25) Kegiatan dalam proses ini antar lain; kegiatan relaksasi, konsentrasi, fikir, imaginasi, dan olah rasa.

Page 95: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

86 Penerapan Teknik Akting Presentasional Didik Hamadi

PROSES PENUANGAN DARI SASTRA KE DALAM PERAN Membaca

Membaca naskah merupakan bagian penting dalam proses pembentukan peran. Sebab naskah merupakan semacam partitur yang menjadi sumber ide-ide laku bagi seorang pemeran. Fungsi pertama naskah adalah memberikan inspirasi pada seniman penafsir. Fungsi kedua adalah mensuplai kata-kata yang harus diucapkan oleh aktor. Ada beberapa tahap yang dilalui penulis diantaranya; (a) Membaca untuk menyejajarkan penafsiran yang selama ini teridentifikasi. Menbaca pada tahap pertama ini untuk mengetahui dan mengecek penafsiran. (b) Tahap kedua; technical reading , mencari kemungkinan, teknis yang dilakukan dengan cara; Breaking Up; membagi kalimat-kalimat , dalam unit-unit, phrase-phrase, dengan tempo, pouse, warna suara, variasi, pitch, intonasi, yang sesuai dengan intent dari dialog. Casting out; membaca untuk mencari kwalitas “percakapan”. Bridging; yaitu membaca dengan persiapan seolah-olah ada kalimat lain sebelumnya. Painting up; membaca dengan memberikan tekanan-tekanan pada kalimat kunci yang perlu didramatisasi. (c) Pada tahap ke tiga ; yaitu membaca dengan teknik swara, proyektif dll. (d) Tahap ke empat; yaitu membaca yang digunakan mencapai utiniti, membaca pada tahap ini melakukan interaksi denang aktor dan pencapaian utiniti pangucapan. Serta mencapai tingkat percakapan pemeran yang optimal, hingga pola berbicara masing-masing pemeran sudah tertanam sebagai suatu kebiasaan otomatis. Mencari karakter

Pencarian tokoh dari Svietlovidoff dilakukan dengan melakukan berbagai pendalaman dan identifikasi tokoh tersebut. Mengacu pada Analisis karakter dilakukan pendekatan pada karakter yang tepat. Latar belakangnya. Wawasan, pola fikirrnya, gerak-geriknya, prinsip-prinsip hidupnya yang semuanya menjadi pertimbangan dalam memerankan tokoh. Kalau saja semua sudah dipelajari dihayati, maka akan muncul di permukaan tokoh yang akan dibawakan di atas pentas. Sosok tokoh yang hidup, meyakinkan, realis, bukannya sosok imitasi (pura-pura). Selanjutnya melakukan pendekatan dengan mencoba menerka latar belakang pribadi atau lebih tepatnya kepribadian peran tersebut sehingga dapat lebih tepat dan relevan mengungkapkan pesan (massage). Pengungkapan dengan seperti disampaikan di atas tanpa disadari melakukan praksis psikologi dalam mencari sosok peran dan kepribadiannya. Pendekatan fungsi jiwa dianalogikan agar mudah ditangkap meskipun tubuh “jiwa” memiliki komponen yang berbeda-beda yang dapat melakukan fungsinya sendiri-sendiri dalam kesatuannya. Misal raga manusia tediri dari mata untuk melihat, tangan untuk meraba, dll, demikian juga pada aspek jiwa manusia; ada fungsi merasa (emosi dan felling) ada dorongan lain (Wiramiharja; 1983 ; 80). Fungsi-funsi yang penting untuk dijadikan suatu proses pencarian tokoh dalam Nyanyian Angsa antara lain study; 1) persepsi; 2) motivasi; 3) emosi; 4) belajar; 5) berfikir. Fungsi-fungsi tersebut yang menentukan terbentuknya tingkah laku bahkan pola tingkah laku seseorang. Dengan demikian untuk dapat memehami atau menafsirkan tingkah laku suatu pemeran dapat dengan menggunakan teori psikologi. Observasi

Untuk mendapatkan sosok peran yang lebih tepat dalam mengejawantahkan tokoh yang diperankan, penafsiran saja belum cukup. Maka diperlukan pengamatan atau observasi yang merupakan langkah pendekatan pada sosok peran. Observasi merupakan usaha perimbangan dari proses penafsiran untuk mengetahui sedekat dan sedatail mungkin sosok

Page 96: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

87 Penerapan Teknik Akting Presentasional Didik Hamadi

karakter dari peran yang akan dipentaskan.pengamatan ini penting dalam arti mengamati secara fisik, mental emosional dari model yang menjadi sasaran pengamatan. Mewujudkan Laku Tokoh

Setelah melakukan pencarian dan identifikasi kekhasn dari tokoh yang penulis mainkan, penulis selanjutnya menggabungkan segala aspek temuan tersebut ke dalam laku peran secara menyeluruh. Penggabungan secara utuh dengan mempertimbangkan harmoni, estetika, proporsi dan fungsi untuk menciptakan tokoh guna mendapatkan bobot peran yang tepat. Pada proses ini seorang pemeran melakukan dialog dan menyatukan unsur gerak laku, suara, cerita. Menghidupkan laku peran dengan memadukan laku luar dan laku dalam dengan segala aspek aktingnya yang telah diperoleh dalam tahap sebelumya. Proses yang dilakukan dengan terus menerus sampai menemukan keselarasan yang organik antara aspek audio dan visual. Pada tahap ini tejadi banyak kemungkinan-kemungkinan terjadi pengembangan laku toloh Memberi Isi Setelah semua teknis permainan digali dan ditemukan maka pemeran perlu kiranya memberi isi peran yang dibawakan yaitu dengan menggunakan energi emosi, penjiwaan tokoh yang merupakan penghayatan peran dengan segala persoalannya, sehingga memunculkan unsur terpenting yang ada pada lakon yaitu laku dramatik, laku dramatik ditimbulkan oleh adanya konflik. Konflik dalam kehidupan lakon pada hakekatnya adalah penggambaran kehidupan sebenarnya di atas panggung. Memberi isi pada peran yang di pentaskan merupakan proses mentransper kejiwaan tokoh wujudnya ke dalam peran. Selanjutnya membiarkan sukma peran berkembang dalam diri seorang pemeran dengan begitu dapat melatih berlaku dramatis artinya bertingkah laku dan berbicara bukan sebagai dirinya sendiri tetapi sebagai pemeran. Teknik pemanggungan Setelah laku tokoh dengan memberi isi pada permainan untuk mendapatkan sosok yang jelas dari peran yang dimainkan, pemeran mulai berptoyeksi dengan semua sarana pementasan. Antara lain adanya pangung, latar tempat bermain, selanjutnya sarana artistik seperti kostum, rias, musik, dan properti. Pada proses interaksi dengan sarana pentas ini, salah satunya panggung sebagai tempat dan sarana pementasan, yang dilakukan dengan melakukan eksplorasi panggung dengan menjelajahi semua bagian panggung dengan membagi panggung menjadi bagian-bagian selanjutnya dieksplorasi per-unit kecil kegiatan ini dilakukan guna memahami dan menguasai bentuk fisik teater, penguasaan peralatan pentas, (teknik artistik) penguasaan posisi pemeran terhadap setting dengan pemeran yang lain. General Reheal Tahap ini merupakan latihan terakhir sebelum dilakukan pementasan, latihan secara umum, menyeluruh dan terpadu, pada tahap ini merupakan latihan lengkap, juga latihan polesing, yaitu menghaluskan mana-mana yang belum sempurna. (Hazim Amir, 1979.20). Pada tahap awal aktor mengabdi pada kostum, aktor mengabdi pada properti dan set, aktor mengabdi pada lampu. Hal ini dilakukan agar terjadi proses adaptasi selanjutnya menyatu pada aktor, sehingga pada akhirnya seluruh perlengkapan pentas mengabdi pada pementasan. Pada tahap latihan ini aspek-aspek ekternal dan internal menjadi sasaran proses poleshing, terutama menyangkut sistem kerja eksternal dan internal yang yang digunakan telah berjalan optimal dan berjalan efektif. Metode Sanislavsky (The Stanislavsky Method) tedapat

Page 97: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

88 Penerapan Teknik Akting Presentasional Didik Hamadi

persiapan: 50 % internal dan 50% external aspek Internal: bekerja dengan tubuhnya sendiri, innertechnique dan outer technique (tubuh dan suara) aspek External: Mempelajari naskah, intent dari play, karakter, dan masing-masing adegan. Actor harus percaya bahwa itu semua benar. (Hasim Amir; 12). Keyakinan yang kuat seorang pemeran menjadi energi pertunjukan. Pada tahap ini sampailah pada sikap seorang pemeran yaitu mengembalikan pada hakekat seni peran yaitu meyakinkan (make believe) jika berhasil meyakinkan pada penonton dan menjadi harga suatu permainan yaitu yang meyakinkan (justified) dan benar bukan pura-pura, meniru dan tidak meyakinkan. KESIMPULAN

Teknik dasar pemeranan adalah merupakan dasar secara teknis dalam pemeranan, proses mengarah pada aplikasi pada teks untuk mendapatkan peristiwa teatral. Dilakukan oleh seorang pemeran secara intent dan terarah sesuai kebutuhan pemeranan yang merupakan dasar transpormasi dari seorang aktor menuju peran. Teknik Pemeranan merupakan unsur paling penting dalam seni peran. Secara umum dalam proses teknik peran pada Nyanyian Angsa karya Anton Chekov terbagi dalam tiga kegiatan yaitu; olah pikir, olah tubuh dan olah sukma. Kegiatan ini merupakan langkah dasar yang dilakukan pemeran dalam penciptaan peran.

Teknik akting tokoh Svietlovidoff menggunakan presentasional akting. Yaitu suatu cara atau metode yang digunakan oleh seorang pemeran agar dapat menyatukan dan mendaya-gunakan secara profesional segala peralatan ekspresi yang dimiliki oleh pemeran. Dalam menyampaikan ide/gagasannya yang diwujudkan dalam perwatakan tokoh yang dibawakan pemeran, memerlukan peralatan yang ada pada diri seorang pemeran dalam menciptakan watak tokoh yang akan digambarkan dapat terwujud. Diantaranya: penampilan fisik (ragawi), penampilan laku fisik (gerakan), penampilan vocal (ucapan), penampilan emosi dan intelegensi (karakter).

Naskah Nanyian Angsa yang diuji ke dalaman sastranya dengan presentasional akting merupakan naskah yang dapat diadaptasi dalam berbagai ragam budaya. Kisah si-gaek Svietlovidoff seorang pemain teater tradisi (ludruk) yang terasing ketika berhadapan dengan fenomena sosial memberi gambaran konflik-konflik manusia dengan konflik-batin yang penuh ragam. Yang menarik adalah sosok Svietlovidof yang selalu membawa cinta, dan Anton Chekov lewat karyanya berbicara betapa manusia dengan segala kegagahannya sesungguhnya adalah makluk yang perlu dikasihani. Dengan demikian Chekov mengajarkan segala sesuatunya berpulang pada hati nuraninya. DAFTAR PUSTAKA Achmad. A Kasim. 1990. Pendidikan Seni Teater. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. ________________. 1993. Bentuk dan Pertumbuhan Teater Kita. Teater Untuk Dilakon. Kumpulan

Tulisan Tentang Teater. Bandung: Geger Santen Amir, Hazim. 1979. Pengantar Seni Teater dan Penyutradaraan. Makalah Lokakarya Drama.

Durabaya: Dewan Kesenian Surabaya. Anirun ,Suyatna, dkk. 1993. Teater Untuk Dilakoni. Kumpulan Tulisan Tentang Teater. Bandung:

STB. _____________, 1998. Menjadi Aktor, Pengantar Untuk Seni Peran dan Sinema. Bandung .

Rekamedia Multiprakarsa. ______________. dan Arie Batubara. dan Adi Pranajaya. 1999. Teater Indonesia. Konsep, Sejarah,

Problema. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Page 98: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

89 Penerapan Teknik Akting Presentasional Didik Hamadi

Craig, Gordon;1872. Padmana Padmadarmaya, 1980. Pertemuan Teater Indonesia 80. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta

De, A. Alin.dan Tommy F. Awuy. 1999. Pertemuan Teater Indonesia X. Materi Diskusi Panel. Yogyakarta, 1999.

Gandara WK, Eka, Sutardjo Wiramiharja, 1983. Bagi Masa DepanTeater Indonesia. Bandung: Gramedia Bandung.

Harymawan ,RMA. 1984. Dramaturgi. Yogyakarta: ASDRAFI Hamzah, Nawir. 2007. Sutradara Drama. Jakarta: WIN Communications, Malna , Afrizal. 2010. Perjalanan Teater Kedua, Antologi Tubuh Kedua. Yogyakarta: Indonesia

Contemporary Art Network. Noer, C Arifin. 2005. Teater Tanpa Masa Silam. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta. Oemaryati, Boen Sri. 1971. Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. Peacock, L James. 2005. Ritus Modernisasi, Aspek Sosial & Simbolis Teater Rakyat Indonesia.

Jakarta: Desantara. Pisk, Lipz. Aktor dan Tubuhnya. Terjemahan oleh Fritz G Schapt. 1985. Jakarta: Yayasan Citra Sitorus, Eka D. 2003. The Art Of Acting, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sumanto, Bakdi. 2001. Jagat Teater. Yogyakarta: Media Presindo. Sumarno, Marselli. 1996. Dasar-Dasar Apresiasi Film. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Stanislavsky, Constantin. 2008. Membangun Tokoh. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. _____________________. 2006. My live in Art. Malang : Pustaka Kayu Tangan. ______________________. 1980. Persiapan Aktor. ,Jakarta: Pustaka Jaya. Sumarjo, Jakob. 2004. Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: STSI

Press Bandung.. ____________, dan Radhar Panca Dahana. Kumpulan Makalah Teater Cibubur: Jambore Teater 94. Tambajong, Japi. Tanpa tahun. Dasar-Dasar Dramaturgi. Penerbit: Pustaka Prima. Waluyo, Herman J. 2001. Drama Teori dan Pengajarannya. Jakarta: Hanindita Graha Widia. Yudiariani. 2002. Panggung Teater Dunia. Yogyakarta: Pustaka Gondosuli.

BIODATA PENULIS Didik Harmadi, pendidikan terakhir seni teater Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya.

Page 99: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

90

Penyutradaraan Lakon “Antigone” Fuad Dwi Yono

PENYUTRADARAAN LAKON “ANTIGONE” KARYA SOPHOCLES DENGAN PENDEKATAN

SENI PERTUNJUKAN

Fuad Dwi Yono

Abstract

Justice as a phenomenon nowadays has gone far beyond our expectation. This can be seen through a trust crisis among our society because of flaws on the implementation of laws which cause people react individually toward the offenders. For instance, an offender whom should be punished on higher level conduct of crime was being charged on lower verdict toward higher class of society individuals. There are cases which actually happened among our society which trigger vigilant actions, for example home evictions. In addition, these events generate riots and chaotic conditions, especially on races and religions’ discrimination. Let’s take a look at justice as an axiom in Antigone script. Every individual has different concept of justice. Authorities have stated that anyone, either relatives or not, if he/she is found to be guilty, then he/she should be processed on trial. In one of Antigone acts, the king haphazardly disregarded a dead corpse on the street because he was a rebel. A justice in Antigone character who wanted to save his brother should have been ended in the death, which trying to rise up his brother’s dignity: a normal burial. Constantin Stanislavsky direction style ( facial expressions, gestures, and poetic verbal language performed on the stage. Kata kunci: Penyutradaraan,lakon Antigone,presentasional Constain Stanislavky

PENDAHULUAN Naskah drama Yunani selalu melibatkan tiga hal yaitu primitivisme agama Yunani,

filsafat yang mewadahi sikap hidup rakyat yunani dan naskah dengan tema-tema tertentu (Brocket 1964 ) agama orang-orang Yunani kuno adalah politeisme yang mengaku banyak dewa. Dewa ini mewakili kekuatan alam serta sifat baik dan bentuk manusia misalnya dewa APOLLO adalah dewa matahahari. Dewa ZEUS adalah dewa kilat. Dan POSIEDION adalah dewa laut dan sebagainya konsep ketuhanan yang di percaya masyarakat menunjukkan cirri khas dewa-dewa Yunani. Selain mewakil sifat manusia biasa dewa Yunani yang di gambarkan lebih baik atau lebih buruk. Cerita tentang perjalanan hidup OIDIPUS di penuhi oleh kekuaatan ramalan di kuil DELPI dan kuil APOLLO. Naskah drama Yunani tidak terlepas dari pengaruh agama dan filsafat yang di percaya olah masyarakat Yunani. Kita dapat mengamati melalui tema, plot dan penokohan pertama. Kejahatan seseorang dari tempat yang terhormat yang menunjukkan adanya ketidak pastian nasib manusia. Keterbatasan dan ketidak mampuan manusia mengendalikan nasibnya.manusia harus menerima nasib buruk yang pada dasarnya tidak mampu di pahami oleh logika manusia. Manusia tidak berhak menyalahkan penguasa atau dewata karaena takdir adalah perbutan manusia. Manusia harus menerima nasib buruk yang pada dasarnya tidak mampu dipahami oleh logika manusia. Ketiga manusia tidak berhak menyalahkan penguasa atau dewa karena takdir yang telah dijatuhkan. Dengan kata lain menghindari takdir adalah perbuatan sia-sia. Keempat dibutuhkan korban persembahan bagi dewa sebagi sarana kelanggengan dan keselamatan dunia. Kelima manusia

Page 100: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

91

Penyutradaraan Lakon “Antigone” Fuad Dwi Yono

seharusnya mampu membedakan kemampuan fisik untuk melihat dan kemampuan bathin untuk memahami. Kelima tema tersebut merupakan dasar hubungan manusia dengan sang pencipta.

Naskah Antigone adalah jenis naskah lakon TRAGEDI yan berkaitan dengan legenda para pahlawan dan sering di menggunakan nama dewa-dewa .dan tidak terlepas dari pengaruh agama dan filsafat yang di percaya oleh masyarakat Yunani. Tragedi di mainkan untuk menumbuhkan rasa kasihan (pity), rasa takut(fear)dan penyucian (catharsis). Tragedi merupakan bentuk yang paling mempesona dan menakjubkan dari semua drama pemujaan. Tragedi mempesona karena mampu mengingatkan kita pada bentuk teater berabad-abad yang lampau, jauh dari sumbernya. Makna tragedi menurut Kernoddle (1967) menyebut bahwa penyebab atau manifestasi timbulnya tragedi dalam diri manusia akibat dari adanya kesadaran bahwa manusia bukanlah mahluk yang selalu berhasil dan kuat, tetapi ia adalah mahluk yang memiliki kelemahan dan keterbatasan. Untuk menjalani hidup yang ideal serta mencapai cita-cita kebahagian. METODOLOGI

Dalam proses penggarapan naskah antigone karya Sophocles ini, penulis menggunakan pendekatan konsep penyutradaraan Constantin Stanislavsky. Yaitu teknik penyutradaan dengan model yang menuntut pada acting realis yang mampu meyakinkan penonton bahwa apa yang dilakukan aktor adalah acting yang sebenarnya. Aktor juaga diarahkan untuk berkreasi baik gesture dan bisnis akting serta menekankan pada penguasaan vokal yang tepat keseimbangannya, karena dialog dalam naskah Antigone sarat dengan bahasa sastra. HASIL

Pada bagian ini karya yang berjudul Penyutradaraan Lakon Antigone Karya Sophocles Dengan Pendekatan Seni Pertunjukan Kentrung mencakup gagasan dan teknik penyajian sebagai berikut. Tafsir Naskah

Karakteristik dalam naskah Antigone ini merupakan tipe drama tragedi. Tipe drama tragedy merupakan ciri utama dari karya-karya drama Yunani klasik, yang selalu tidak terlepas dari pengaruh agama dan filsafat yang di percaya oleh masyarakat Yunani. Ciri - ciri naskah tragedi merupakan bentuk yang paling mempesona mampu menumbuhkan rasa kasihan (pity), rasa takut (fear), dan penyucian (catharsis). Tema dalam naskah Antigone ini menggambarkan tentang seorang wanita yang memperjuangkan sebuah keadilan tetapi berakhir dengan kematian. Tafsir Bentuk

Dalam karya naskah Antigone ini bentuk pementasan yang ingin disampaikan penyaji kepada penonton adalah gaya pementasan klasik dengan pendekatan spirit jawa timur yaitu mengangkat seni tradisional kentrung. Yang menonjolkan adanya dalang dan instrumen musik tradisional. Teknik penyutradaraan yang digunakan dalam pementasan naskah ini adalah teori Constantin Stanislavsky(1863-1938) dengan metode latihan Meiningen yang di dasari pada teori “

Page 101: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

92

Penyutradaraan Lakon “Antigone” Fuad Dwi Yono

kesatuan kesadaran “ yang berusaha menemukan acting realis yang mampu meyakinkan penonton bahwa apa yang di lakukan aktor adalah acting yang sebenarnya. Ide ungkap

Dalam pementasan ini penyaji mengetengahkan ide-ide penyutradaan tentang ungkapan bentuk dan kwalitas garap adanya kesadaran bahwa manusia bukanlah makhuk yang selau berhasil dan kuat, tetapi ia adalah makhluk yang memiliki kelemahan dan keterbatasan untuk menjalani hidup yang ideal serta mencapai cita-cita kebahagian. (1) Penyutradraan. Dalam hal ini sutradara menafsirkan secara langsung naskah Antigone ke atas panggung dan menterjemahkannya secara lengkap ,halaman demi halaman staging yang di tulis pengarang. Dalam pementasan ini sutradara menggarap naskah ini di pentaskan secara simbolis dan kontemporer dengan harapan mampu mengimplementasikan dengan budaya lokal jawa timur, menemukan bentuk, warna, serta keunikan maupun tantangan baru dalam menampilkan naskah antigone karya Sophocles ini. (2) Teknik berperan . Pada teknik berperan sutradara mengarahkan aktor untuk mampu mampu mengeksplor kemampuan aktingnya terutama pada penjiwaan karakter sesuai dengan proses kreatif Constantin Stanislavsky yang menuntut pada acting realis yang mampu meyakinkan penonton bahwa apa yang dilakukan aktor adalah acting yang sebenarnya. Aktor juaga diarahkan untuk berkreasi baik gesture dan bisnis akting serta menekankan pada penguasaan vokal yang tepat keseimbangannya, karena dialog dalam naskah Antigone sarat dengan bahasa sastra. Aktor diarahkan untuk mampu bersifat wajar dan alamiah seperti biasa kita lihat dalam seni pertunjukan tradisional, dalam membangun suasana panggung cerita. Karakter tokoh raja disesuaikan dengan karakter raja-raja pada zaman kerajaan di Jawa Timur, baik tipe maupun gaya dan penjiwaan. Karakter ini juga berlaku pada tokoh yang lainya seperti pengawal kerajaan, putra raja, kerabat istana, dan sang dukun, serta aktor dan aktris lainnya dalam proses pementasan ini. (3) Perlengkapan pementasan. Tata pakaian atau kostum dan aksesoris yang digunakan para aktor dan aktris dalam pementasan naskah antigone ini menggunakan gaya berpakaian yang digunakan oleh masyarakat tradisional Jawa Timur khususnya yang dipakai oleh keluarga kerajaan dan punggawa-punggawanya. Begitu juga dengan tata rias atau make up aktor dan aktris menyesuaikan dengan tata pakaian yang dikenakan dengan tidak mengenyampingkan kesuaian karakter tiap-tiap tokoh, sehingga memunculkan efek dramatis. Demikian juga hand property pemain yang di gunakan meliputi keris, perisai, tombak, dan gunungan wayang sebagai pembuka cerita. Selain itu juga menggunakan propreti lain serperti level, kain putih, dan plastic. (4) Penataan Artistik (skenografi). Untuk menunjang suasana pementasan naskah Antigone karya Sophocles ini penataan artistik panggung dan tata lampu disesuaikan dengan alur dan plot naskah. Hal ini bertujuan untuk membangun suasana dramatis sesuai adegan-adegan yang di lakonkan. PEMBAHASAN Analisa Naskah Naskah drama Yunani selalu melibatkan tiga hal yaitu primitivisme agama yunani,filsafat yang mewadahi sikap hidup rakyat yunani dan naskah dengan tema-tema tertentu ( brocket 1964 ) agama orang –orang yunani kuno adalah politeisme yang mengaku banyak dewa. Naskah Antigone adalah jenis naskah lakon TRAGEDI yan berkaitan dengan legenda para pahlawan dan sering di menggunakan nama dewa-dewa. Dan tidak terlepas dari

Page 102: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

93

Penyutradaraan Lakon “Antigone” Fuad Dwi Yono

pengaruh agama dan filsafat yang di percaya oleh masyarakat Yunani. Tragedi di mainkan untuk menumbuhkan rasa kasihan (pity), rasa takut (fear) dan penyucian (catharsis). Tragedi merupakan bentuk yang paling mempesona dan menajubkan dari semua drama pemujaan. tragedi mempesona karena mampu mengingatkan kita pada bentuk teater berabad-abad yang lampau, jauh dari sumbernya. Makna tragedi menurut Kernoddle (1967) menyebut bahwa penyebab atau manifestasi timbulnya tragedi dalam diri manusia akibat dari adanya kesadaran bahwa manusia bukanlah mahluk yang selalu berhasil dan kuat, tetapi ia adalah mahluk yang memiliki kelemahan dan keterbatasan.untuk menjalani hidup yang ideal serta mencapai cita-cita kebahagian. (a) Eksposisi. Perintah Raja Creon untuk memutuskan untuk memperlakukan jenasah Eteocles dengan penghormatan dan upacara istana. sedangkan Polyneicies mayatnya di biarkan terkapar begitu saja dimakan srigala.Raja berpendapat Polynecies adalah pemberontak (b) Aksi Pendorong. Kejadian tersebut .membuat kegelisahan dan rasa kasihan Antigone di bantu ismine untuk mengguburkan Polynecies. (c) Transisi. Tertangkapnya antigone sebagai pelaku, ismine juga di tangkap raja marah ternyat pelakunya masih kerabat raja.apalagi Antigone juga tunangan raja.Antigone terancam di hukum mati. (c) Klimaks; Raja memerintahkan untuk memanggil Haemon(putra raja). Hemon membela antigone raja marah Haemon pergi dari istana. Antigone diam-diam bunuh diri mengetahui kekasihnya mati Haemon meratapinya dan akhirnya menyusulnya mati,teresias penasehat istana memberikan nasehat kepada raja tapi tidak di ikuti hiraukan.raja masih bersikukuh dengan keputusanya. (d) Resolusi. Permaisuri sedih mendengar putranya mati dan menyusul bunuh diri. Raja semakin binggung tidak bisa menahan kesedihan karena dua putranya dan istrinya meninggal.akhirnya raja meratapi diri Analisa Lingkungan Kekuatan lakon “antigone” adalah penonjolan watak tokoh dan tehnik membangun ketegangan-ketegangan dramatisnya.tokoh berjuang kuat dalam menghadapai nasibnya. Eksistensi penderitaan,keteguhan,keadilan dan pemahaman sang tokoh. Tokoh utama; A. Raja Creon; (a) fisiologi: mempunyai karakter tubuh tegap, gagah.umur 40 tahun. (b)

phisikologi: hatinya keras, angkuh, sombong. (c) sosilogi: (Raja Thebes) berpegang teguh pada aturan, gengsi, takut pada kewibawan jatuh

B. Antigone; (a) fisiologi: wanita, paras cantik, elegan umur 20 tahun. (b) phiskiolog; hatinya keras, tegas, berani. (c) sosiologi: (kerabat istana) teguh dengan pendirian, peduli akan kemanusiaan, kasih sayang

C. Haemon; (a) fisiologi: laki-laki tampan. Tegap, gagah umur 25 tahun. (b) phiskiologi: tegas, berani, (c) sosiologi: (putra raja) kasih sayang, simpati, berwibawa.

D. Ismine; (a) fisiologi: wanita, cantik, anggun umur 20 tahun. (b) phiskiologi: lemah lembut, penakut (c) sosiologi: (kerabat istana) patuh, pendiam.

E. Euridece; (a) fisiologi: wanita cantik, anggun umur 35 th. (b) phiskiologi: lemah lembut, sensitive. (c) sosiologi: setia, kasih sayang.

F. Teresias; (a.) fisiologi: lelaki tua, badannya ringkih umur 80 tahun. (b) phiskiologi: teguh. tegas, bijaksana. (c) sosiologi: (penasehat istana) taat, berwibawa, sakti mempunyai ilmu tinggi.

G. Kapitan; (a) fisiologi: lelaki, gagah, gemuk, umur 30 tahun. (b) phiskiologi: idialis, penjilat, kecil hatinya. (c) sosiologi: (pengawal istana) penakut patuh

Bloking Pemanggungan Pola Lantai

Page 103: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

94

Penyutradaraan Lakon “Antigone” Fuad Dwi Yono

Gerakan fisik atau proses penataan(pembentukan) sikap tubuh seluruh aktor di atas panggung .dan menterjemahkan naskah lakon ke dalam sikap tubuh actor sehingga penonton dapat melihat dan mengerti.bentuk pementasan memakai komposisi Simetris dan Asimetris. Ilustrasi Musik

Pendukung suasana dengan menghadirkan Orkestra,alat Gamelan, keyboard, dan alat music kontemporer Proses Casting Sebelum memilih pemain ,sutradara memilih karakteristik tubuh, aksen, kualitas vocal yang khas. mampu bekerja sama untuk rekruitmen pemain. beberapa metode salah satunya adalah membuka kesempatan bagi meraka yang ingin terlibat baik dari sanggar teater air maupun dari luar sanggar.prosedur audisi melalui beberapa tahapan; (i) peserta audisi di minta menyiapkan dua dialog pendek yang berbeda dengan naskah yang akan di panggungkan. (ii) aktor membaca dialog yang belum mereka kenal ,sutradara menjelaskan lalu actor di minta membaca seperti yang di intrusikan oleh sutrdara.melalaui cara ini ,sutradara mengamati kemampuan aktor menangkap cepat dan tepat suatu arahan. (iii) sutradara melakukan improvisasi untuk mencoba imajinasi ,penemuan dan ketrampilan fisik aktor. Jadwal Pelaksanaan Proses Karya Pertemuan 1- tgl 25 mei 2012 rapat dengan tim produksi. Pertemuan 2-tgl 8 juli 2012 aktor dan tim produksi.

Hari TGL MATERI

Selasa 10 Diskusi (observasi) –bedah naskah Rabu 11 = Kamis 12 = Jum ‘at +minggu libur Senin 16 Presentasi -audisi- casting Selasa 17 Re reading -casting-peranan Rabu 18 Reading Kamis 19 Reading Jum’at + minggu libur Senin 22 Dramatik reading Selasa 23 Reading – casting –bloking Rabu 24 = Kamis +sabtu libur Minggu 29 Bloocking,desain ,set property,kostum,rias.lighting Senin 30 = Bulan agutus Kamis 1 Bloking ,musik,nyanyi,gerak Jum’at + sabtu libur Senin 13 Tgl 13 s/d16 set/prop jadi Kostum jadi -DETIL TGL 17 s/d 24 libur hari raya Sabtu 24 Latiahan terakhir + musik jadi Minggu 25 = Senin 27 Teknikal rehearesel

Selasa 28 = Rabu 29 = Bulan september Sabtu 1 GR

Page 104: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

95

Penyutradaraan Lakon “Antigone” Fuad Dwi Yono

Tahapan Latihan Babak I

Periode latihan 1 > latihan membaca keseluruhan naskah (re reading) Periode latihan 2 > Mengaanalisa keseluruhan naskah Periode latihan 3 > Bedah naskah

Babak II

Periode latihan 1 > latihan reading naskah Periode latihan 2 > Latihan blocking dan bisnis acting Periode latihan 3 > Latihan karakteristik dan dialog Periode latihan 4 > Run-through babak 1dan ll secara berurutan Babak III

Periode latihan 1 > Latihan secara berurutan naskah dan karakter Periode latihan 2 > Latihan untuk memperhalus movement Periode latihan 3 > Latihan untuk memperhalus irama Periode latihan 4 > Latihan memperhalus tempo dan atau pantomimic Babak lV

Periode latihan 1 > Latihan penghalus setiap babak Periode latihan 2 > Dress rehearsal (artistic) Periode latihan 3 > General rehearsal Periode latihan 4 > Pertunjukan

Latihan Dasar Pemeranan Sutradara tidak pernah tergantung hanya pada satu cara kerja saja.kerja simultan

dengan menggunakan berbagai cara di pakai oleh sutradara untuk member penekanan pada tokoh.naskah lama biasanya tidak memiliki arahan panggung dan seluruh gerakannya harus di hasilkan dan di simpulkan.sutradara mengambil kunci (cues)yang menyebabkan acting actor mememiliki motivasi.fungsi gerakan yang pertama member penekanan yang mampu mnarik perhatian.fungsi yang kedua mempertegas penokohan baik watak maupun penokohanya.yang ketiga memperjelas keadaan,adegan yang memiliki emosi tinggi terkandang membutuhkan gerakan cepatdan tajam.ke empat membangun adegan klimaks,kontras,dan tempo.kelima menjadi indikasi,suatu jenis dramatic naskah antigone gerakan lebih statis dan formal.gabungan antara gesture,ekspresi wajah,dan sikap tubuh menjadi hal yang mutlak ,bahasa tubuh ,sikap tubuh,acting bisnis menjadi makna untuk menambah greget panggung kearah kesempurnaan. KESIMPULAN

Dari analisis data penulisan yang di paparkan sebelumnya, maka pada bagian ini dapat di simpulkan hasil penulisan konsep penyutradaraan dengan pendekatan seni pertunjukan kentrung lakon antigon karya Sophocles sebagai berikut 1) Bahwa seni pertunjukan kentrung pada lakon antigone sangat erat hubungannya terutama

pada sastra dan latar belakang cerita ,politik,ekonomi,.ediologi,sosial.dan pemimpin paduan suara (Dalang dalam seni kenrung), Ki Subiyantoro 2005

2) Bahwa seni perujukan kentrung pada lakon antigone karya Sophocles.banyak terkandung simbol-simbol sebagai sarana komunikasi masyarakat

Page 105: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

96

Penyutradaraan Lakon “Antigone” Fuad Dwi Yono

3) bahwa lakon antigone karya Sophocles.memberi apresiasi seni kepada kita. Siapa inginkan kebahagiaan ?yang utama adalah kebijaksanaan.siapa yang menentang alam,akan dihajar oleh alam.kalau durhaka dirimu akan di bikin hina kalau kamu sombong akan di bikin kosong.

Dalam analisa pada naskah antigone banyak di temukan nasehat pada kita untuk selalu bijaksana dan bermartabat. Saran

Untuk menyempurnakan penulisan ini.disajiakan saran-saran yang di harapkan dapat bermanfaat adapun saran-saran dapat di uraiakan sebagai berikut: 1) Bagi para mahasiswa dan mahasiswi seni untuk membuka wacana tentang perkembangan

seni pertunjukan seni teater.karena unsur naskah antigone juga sangat erat dengan seni pertunjukan kentrung

2) Bagi para pekerja seni.untuk bisa lebih kretaif .berinovasi tentang seni pertunjukan karena banyak naskah -naskah lama bisa dikemas menjadi pertunjukan yang menarik

3) Khusus bagi penulis berikutnya .penulisan ini dapat di gunakan sebagai bahan acuan untuk penuliosan selanjutnya

DAFTAR RUJUKAN Stanislavsky buku“ my life in art” 2006 terjemahan Max arifin.penerbit kayu pustaka kayu tangan. N Riantiarno 2003 buku “menyentuh teater” penerbit yayasan Sampoerna Eko santoso dkk2008 buku “seni teater” jilid 1 penerbit Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah

Kejuruan Rendra w.s 1976 tentang bermain drama Jakarta pustaka jaya Putu wijaya 1981 cacatan teater dalam analisa kebuudayaan KTSP 2006 seni budaya sma penerbit Erlangga Dra. Yudiaryani, M.A 2002 Panggung Teater Dunia Jogjakarta Pustaka Gondho Suli Suripan sadi hutomo .1998.Kentrung warisan tradisi lisan Jawa.Malang.penerbit yayasan mitra alam

sejahtera Yapi Tambayong .2012.123 ayat tentang seni .Bandung,Nuansa cendekia.

BIODATA PENULIS Fuad Dwi Yono Pendidikan terakhir Seni teater di Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya.

Page 106: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

GARAP GENDING GANGGAMINA GAYA TULUNGAGUNG

Sukiran

Abstract

Garap ganggamina dikembangkan melalui pertunjukan tayub sebagai seni pertunjukan yang banyak dijumpai di beberapa daerah. Ganggamina menjadi salah watu versi garap dengan ciri khusus pada garap teknik kendangan. Bentuk gending Ganggamina berpolakan pada struktur gending Ketawang namun juga dapat disajikan dalam struktur pola gending lancaran, kedua bentuk tersebut akan dibedakan pada masing-masing aksen yang ada dalam setiap balungan atau nadanya. Gending ganggamina secara khusus berlaras Slendro dan patet yang digunakan adalah patet nem. Penyajian garap Ganggamina menambah warna tersendiri dalam pertunjukan Tayub dan menjadikan satu spesifikasi gending yang berada di wilayah Tulungagung. Penelitian dalam hal ini merupakan pendeskripsian dari bentuk garap gending Ganggamina, guna memperoleh data dilakukan observasi dan pengalian data baik melalui wawancara, studi pustaka, diskografi dan transkripsi gending dari beberapa sajian gending Ganggamina. Hasil dari penelitian diharapkan sebagai bentuk konstribusi dalam pengembangan pustaka dan pengembangan teori seni karawitan khususnya yang berkembang di wilayah Jawa Timur. Kata Kunci : garap, tayub, ganggamina

PENDAHULUAN

Pemetaan wilayah budaya di Jawa Timur menurut buku Ensiklopedi Seni Musik dan Seni Tari Daerah yang diterbitkan oleh Dinas P dan K Daerah Provinsi Jawa Timur (1986:130) meliputi empat wilayah budaya yaitu; Jawa, Madura, Tengger dan Osing. Ayu Sutarto dalam bukunya Pemetaan Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur yang membagi wilayah budaya menjadi sepuluh wilayah budaya meliputi: Jawa Mataraman, Jawa Ponoragan, Arek, Samin, Tengger, Osing, Pandalungan, Madura Pulau, Madura Bawean dan Madura Kangean (Sutarto, 2008). Selanjutnya dinyatakan bahwa pembagian tersebut bisa berubah bila ditemukan adanya sub-sub budaya lain di Jawa Timur.

Bertolak dari dua pernyataan tentang pemetaan budaya di wilayah Jawa Timur dapat disimpulkan setiap daerah memiliki ciri khusus yang membedakan satu wilayah dengan wilayah yang lainnya. Perbedaan tersebut merupakan kekuatan lokal yang berada di setiap derah sebagaimana di Kabupaten Tulungagung. Berbagai macam kebuadayaan dan adat istiadat yang masih hidup dan berkembang di Tulungagung menjadi kebanggaan masyarakat dan tentunya menambah potensi di bidang pariwisata.

Secara umum kesenian di kabupaten Tulungagung di dominasi oleh gaya Mataraman termasuk seni karawitan. Akan tetapi perpaduan antara local dan budaya yang berkembang dalam bidang seni karawitan muncul gaya tersendiri yang dikenal dengan garap Gending Ganggamina Tulungagungan. Latar belakang adanya garap khusus tersebut berawal dari kesenian tayub yang berada di wilayah Tulungagung. Dalam penyajian tayub tidak terlepas dengan garap gending yang merupakan karakter yang menonjol dalam setiap pementasannya bahkan ciri khusus dalam tayub adalah pada garap gending. Dengan demikian di setiap daerah

97  

Garap Gending Ganggamina Gaya Tulungagung Sukiran

Page 107: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

selalu diberi identitas nama daerah dimana seni tayub itu berkembang seperti tayub Tulungagungan, Tayub Tuban, Tayub Lamongan dan sebagainya.

Garap gending Ganggamina lebih mencirikan pada versi garap atau tehnik kendangan sedangkan gending aslinya mengacu pada gendiang gaya Jawa Tengahan, seperti jenis ketawang, lancaran ladrang atau jenis gending-ganding baru hasil karya para seniman karawitan. Selain garap pada tehnik tabuhan kendang juga didukung oleh garap vocal yang dilantunkan oleh pesinden atau penari tayub. Garap gending Ganggamina inilah yang menjadi salah satu cirri khas dalam penyajian tayub, meskipun pada perkembangannya garap gending Gaganggamina disajikan juga di luar kesenian tayub seperti pada acara klenengan, pertunjukan reog, pertunjukan wayang dan sebagainya. Lebih jauh untuk mengetahui garap gending Ganggamina perlu dilakukan suatu penelitian untukmengkaji sejauh mana garap gending Ganggamina gaya Tulungagungan. Menjawab dari pertanyaan tersebut penulis merumuskan dalam penelitian dimaksud adalah Ingin mengetahui bentuk gending Ganggamina gaya Tulungagungan beserta Garap dalam gending Tulungagungan dan Ingin mengetahui ciri khusus gending Ganggamina Tulungagungan.

Tujuan penelitian juga dimaksudkan untuk mencari bentuk atau pola gending Ganggamina gaya Tulungagungan, mencari pola Garap dalam gending Tulungagungan serta mencari ciri-ciri khusus gending Ganggamina Tulungagungan. Manfaat dalam penelitian ini diharapkan memberikan satu konstribusi secara teori dalam menganalisis garap pada suatu gending. Terlebih lagi dalam khasanah pustaka yang masih sedikit ditemukan berkaitan dengan perkembangan seni karawitan di Jawa Timur. Bentuk tulisan atau deskripsi sebagai media informasi secara tertulis belum banyak ditemukan, sehingga adanya kekuatan local ini informasi hanya diperoleh sifatnya dari mulut ke mulut tanpa tahu jelas sumbernya. Semoga penelitian ini memberikan titiak awal dalam memberikan informasi khususya tentang karawitan garap gending Gangggamina yang berkembang di kabupaten Tulungagung.

Guna memperoleh data dalam penelitian ini maka perlu ditetapkan adanya suatu metode yang sesuai dengan jenis penelitian, dengan tujuan mendapatkan data secara menyeluruh dan mendalam. Jenis pendekatan penelitian yaitu dengan metode penelitian kualitatif yaitu metode pendekatan yang mengarah pada objek alamiah di mana peneliti sebagai kunci, teknik pengumpulan data dilakukan dengan trianggulasi analisis data bersifat induktif dan hasilnya lebih menekankan pada makna (Sugiono, 2009:1). Relevansi pendapat ini terkait dengan tujuan penelitian yang menekankan pada garap dan fungsi sehingga mengarah pada kekuatan gending Ganggamina sebagai jati diri atau identitas karawitan gaya Tulungagung. Selain itu juga memberikan gambaran tentang apa dan bagaimana peneliti sebagai kunci dalam mengumpulkan data.

Batasan pengertian tentang penelitian kualitatif juga disampaikan oleh Sukmadinata (2006:60), bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktifitas sosial, sikap dan persepsi dari kelompok atau seseorang. Sehubungan dengan pernyataan tersebut peneliti akan mengumpulkan data dari informan sebagai individu dan pada kelompok karawitan. Pendekatan ini diharapkan mendapatkan data tentang garap gending dan hubungannya dengan faktor sosial dikelompok karawitan maupun masyarakat umum terhadap keberadaan gending Ganggamina.

98  

Garap Gending Ganggamina Gaya Tulungagung Sukiran

Page 108: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

Pengumpulan data dengan metode di atas sesuai dengan pendapat Moleong (2005:6) yang menyatakan bahwa penelitian kualitatif merupakan penelitian untuk memahami fenomena, persespi dan tindakan secara holistik dengan cara deskrispi.

(1) Tehnik Pengumpulan Data. Sumber data yang dianggap sebagai subyek penelitian dibutuhkan untuk menginformasikan data yang berkaitan dengan gending Ganggamina. Sebagai sumber data yang primer atau utama dikatakan oleh Moleong (2005:132) bahwa informan kunci sebagai pusat pengumpulan data utama adalah orang yang memberikan informasi tentang situasi dan kondisi lokasi serta latar belakang penelitian yang akan diambil. Oleh karenanya dibutuhkan nara sumber yang kompeten dan tidak sembarangan informan yang dilibatkan dalam penelitian sebagai sumber data. Selain nara sumber data juga diperoleh melalui data dari kaset, VCD dan buku-buku atau tulisan yang lain dalm bentuk kumpulan notasi.

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melaui wawancara, observasi dan dokumentasi. Wawancara dilaksanakan dengan wawancara mendalam yang artinya yang digali dari informan diperoleh dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan sedalam-dalamnya dan sampai sekecil-kecilnya. Cara ini untuk mendapatkan data sampai pada tingkat jenuh. Informan diwawancarai untuk mendapatkan data tentang garap gending Ganggamina. Selain itu untuk mencari informasi tentang kehidupan dan kegunaan gending Ganggamina dalam masyarakat karawitan. Peralatan sebagai pendukung dalam wawancara peneliti menggunakan peralatan buku dan tape rekorder. 1. Observasi atau Pengamatan

Observasi atau pengamatan dilakukan pada saat penyajian gending Ganggamina secara langsung baik pada saat latihan atau pada pertunjukan tayub. Bahkan untuk mendapatkan data dan pengalaman secara langsung penulis ikut terlibat langsung pada saat penyajian gending Ganggamina berlangsung. Pelaksanaan observasi akan dibantu dengan mempersiapkan alat tulis dan tape recorder/HP. Buku catatan untuk mengumpulkan dengan poin-poin yang telah terprogram dan tape recorder atau HP untuk merekam suara dari sajian gending. (2) Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis model interaktif. Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2009:91) menerangkan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan dengan interaktif dan berjalan terus menerus sampai jenuh. (3) Model analisis data dengan teknik interaktif dilakukan melalui empat tahapan, yaitu: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (Moleong, 2005:307). sehubungan dengan penelitian ini tahapan pengumpulan data telah disampaikan pada bagian depan yaitu pada teknik pengumpulan data sehingga pada bagian ini tidak akan diulang penjelasannya. (a) Reduksi Data. Reduksi data disebut juga dengan penyederhanaan data yaitu tahapan analisis data yang bertujuan untuk mendapatkan kumpulan data yang penting dan sesuai dengan tujuan penelitian. Cara ini diperlukan karena data yang terkumpul melalui teknik pengumpulan data masih mentah, terlalu banyak, antara yang penting dan tidak penting belum dipisahkan. Reduksi data juga disebut sebagai langkah penyaringan dan pengklasifikasian data.

Pada tahap ini perlu pemikiran yang cerdas dan teliti sehingga akan dapat temuan data yang mudah dipahami. Suatu hal yang terpenting dalam tahapan ini adalah perlu difokuskan pada kedua rumusan masalah yang disusun. Data yang terkumpul dikelompokkan menjadi

99  

Garap Gending Ganggamina Gaya Tulungagung Sukiran

Page 109: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

dua bagian besar sesuai rumusan masalah yaitu tentang garap dan peranan gending Ganggamina dalam membentuk karawitan gaya Tulungagung. Pada tahapan ini akan dicari faktor-faktor penentu gaya Tulungagung. (b) Penyajian Data Penyajian data pada penelitian kualitatif dapat diuraikan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan atau kategori dan sejenisnya (Sugiyono, 2009:95). Namun pada penelitian akan menggunakan uraian singkat berdasarkan kategori yang dituangkan dalam teks yang bersifat naratif. Penyajian data yang didasarkan pada reduksi data kemudian diharapkan untuk mempermudah dalam menganalisis data. Cara ini sangat diperlukan agar tidak menyimpang dari tujuan penelitian sekaligus rumusan masalah. Pertimbangan lain didasarkan atas banyaknya data terkumpul dan fenomena-fenomena yang dihadapi memiliki sifat yang dinamis. Data yang dianggap penting adalah data yang baku dan didukung oleh temuan-temuan yang tidak berubah selama penelitian berlangsung. Data yang dianggap baku kemudian pada akhir penelitian disajikan dalam bentuk laporan penelitian. (c) Penarikan kesimpulan

Kesimpulan dalam penelitian kualitatif adalah temuan baru yang dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek dan sebelumnya belum jelas atau masih remang-remang sehingga setelah diteliti menjadi lebih jelas keberadaannya (Sugiyono, 2009:99). Berdasarkan pendapat tersebut akan dilakukan penarikan kesimpulan difokuskan pada rumusan dan tujuan penelitian dan data yang diperoleh haris dibedakan antara yang benar-benar baru dan sesuai dengan yang tidak ada hubungannya sama sekali.

Pada tahap penarikan kesimpulan mencakup evaluasi data karena merupakan inti dari tahapan yang telah ditempuh sehingga akuratisasi teknik pengumpulan data dapat dicapai. Pencapaian hasil penelitian yang akurat melalui penarikan kesimpulan dilakukan sejak awal pengumpulan data sehingga ditemukan data sewaktu-waktu dan untuk membuktikan bahwa data yang ditemukan didukung oleh data sesuai dengan rumusan masalah yang disusun. Dengan kata lain bahwa data yang ditarik dalam kesimpulan selalu difokuskan pada rumusan masalah dan tujuan penelitian. Dengan langkah ini, akan diperoleh kemudahan-kemudahan dalam menentukan kesimpulan karena terus dilakukan sejak awal dan selalu berpedoman pada pokok-pokok masalah dalam penelitian. GARAP GENDING GANGGAMINA GAYA TULUNGAGUNGAN

Mengacu pada uraian Rahayu Supanggah (2007:4) dalam bukunya yang berjudul Bothekan Karawitan II, bahwa dalam menggarap sebuah gending atau komposisi perlu memperhatikan beberapa unsur yaitu: materi garap, penggarap, sarana garap, perabot garap, penentu garap dan pertimbangan garap. Teori tersebut dijadikan acuan dalam menganalisis tentang garap pada gending Ganggamina gaya Tulungagungan. 1. Materi Garap dalam gending Ganggamina

Materi garap disebut juga bahan ajang atau lahan garap (Supanggah, 2007:6). Cakupan materi garap menurut Rahayu Supanggah cukup banyak unsurnya tetapi pada penelitian ini terbatas pada balungan gending, susunan balungan, gatra dan kegunaan gending Ganggamina. Balungan Gending, merupakan kerangka gending yang berfungsi sebagai dasar untuk menuangkan garap baik ricikan maupun vokal dengan sarana bantu notasi. Adapun notasi atau kerangka gending Ganggamina bedasarkan sumber dari catatan Ki Suparmat adalah sebagai berikut :

100  

Garap Gending Ganggamina Gaya Tulungagung Sukiran

Page 110: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

Gending Ganggamina, laras Slendro Patet Nem

Bk. 6 23 5 5 5 1 6 5 3 6 2 5 3 2 5 25 32 35 6i 56 i . 6 . i . 5 v

|| 1 5 1 5 1 3 1 3 1 3 1 3 1 2 1 2 1 2 1 2 1 6 1 6 1 6 1 6 1 5 1 5 || (Suparmat, wawancara 10 Juni 2012)

Notasi balungan di atas ditranskrip sesuai dengan rekaman pada kaset yang berjudul Tayub Terop Tulungagung “Jula-Juli” dari karawitan Mardi Budaya produksi oleh PT.Bintang Fajar. Pada dasarnya notasi balungan yang merupakan kerangka gending Ganggamina adalah sama sedangkan perbedaannya hanya terletak pada bentuk pengembangan ekspresi masing-masing penyaji.

Berdasarkan sumber lain yaitu seperti yang terdapat pada rekaman kaset dengan judul:

Poncowarno Pos, Gending-Gending Tayub Gaya Tulungagung, Karawitan Krido Pengrawit,

produksi PT.Bintang Fajar, ditemukan notasi gending Ganggamina sebagai berikut:

Bk. 6 6 2 3 5 5 1 6 5 3 6 2 . 3 . 2 . 1 . 6 . 1 . 6 . 1 . 5 . 1 . 5 . 1 . 3 . 1 . 3 . 1 . 2

// . 1 . 2 . 1 . 6 . 1 . 6 . 1 5 v . 1 . 5 . 1 . 3 . 1 . 3 . 1 2//

Hasil dari pengamatan kedua jenis sumber di atas memiliki balungan atau kerangka gending yang sedikit berbeda. Letak perbedaannya dapat dilihat pada bagian setelah buka gending jatuh pada gong, tepatnya pada gatra pertama, kedua dan ketiga. Dari karawitan Mardi Budaya tertulis notasi :

5 3 2 5 25 32 35 6i 56 I . 6

Sedangkan dari karawitan Krido Pengrawit tertulis kerangka gending sebgai berikut:

. 3 . 2 . 1 . 6 . 1 . 6

Apabila dipahami secara cermat, sumber dari krawitan Mardi Budaya menyajikan kerangka balungan mlaku sehingga jelas berbeda dengan balungan pada karawitan Krido Pengrawit. Pada gatra yang pertama jelas berbeda yaitu antara 5 3 2 5 dengan . 3 . 2 . Gatra yang kedua agak ada kemiripan karena nada selehnya sama-sama nada 6, yaitu antara notasi :

101  

Garap Gending Ganggamina Gaya Tulungagung Sukiran

Page 111: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

25 32 35 6i dengan . 1 . 6 dan pada gatra ketiga antara 56 i . 6 dengan . 1 . 6 juga gatra yang merupakan rangkaian nada yang sama selehnya (pada akhir gatra).

SUSUNAN BALUNGAN GENDING DAN PERUBAHANNYA

Susunan balungan gending Ganggamina setelah buka telah ditentukan ada perbedaannya berdasarkan dua sumber, yaitu menurut kendangan Yono Prawito dan Amat. Perbedaan yang dimaksud seperti di atas sangat dipengaruhi oleh daya kreativitas (ketrampilan individu) dari masing-masing pengendang. Selain itu memang ada perubahan atau perbedaan pada gatra yang pertama setelah buka.

Perbedaan balungan pada gending Ganggamina secara utuh juga ditentukan pada sumber kaset antara karawitan Mardi Budaya dengan judul Jula-Juli tayub terop Tulungagung kendangan Yono Prawito dan karawitan Krido Pengrawit dengan judul Poncowarno Pos gending-gending tayub Tulungagung kendangan Amat. Perbedaan balungan gending Ganggamina mulai dari gatra yang pertama sampai dengan gatra terakhir terletak pada jenis susunan balungan. Perbedaan kedua sumber itu dimungkinkan adanya perubahan berdasarkan kepentingan dari penyaji, lebih jelasnya tentang susunan balungan gending dan perubahan pada gending Ganggamina akan dipaparkan seperti di bawah ini.

Berdasarkan hasil transkrip gending pada kaset Jula-Juli oleh Yono Prawito bahwa balungan gending Ganggamina memiliki jenis balungan pancer :

+ ^ + - + ^ + x + ^ + x + ^ + X // 1 2 1 2 1 2 1 2 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 6 1 5 1 5 1 5 1 5 1 5 1 5 1 5 1 5 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 3 1 2 1 2 1 2 1 2 //

Jenis balungan pancer seperti di atas disajikan dalam bentuk lancaran. Hal ini dapat diketahui dari sajian ricikan kethuk, kenong dan kempul. Sajian ricikan itulah yang mendasari gending Ganggamina disajikan dengan menggunakan susunan balungan pancer rangkep yaitu pancer I. Gending Ganggamina dikatakan memiliki susunan balungan pancer rangkep karena balungan yang sebelumnya satu gatra disajikan menjadi dua gatra, sebagai contoh :

. 1 . 2 . 1 . 2 disajikan 1 2 1 2 1 2 1 2Berbeda dengan sumber lain seperti yang disajikan oleh Amat dari karawitan Krido

Pengrawit dalam judul kaset Poncowarno Pos. Pada sumber kaset tersebut didapat sajian gending Ganggamina dalam bentuk Ketawang. Dalam sajiannya memiliki susunan balungan yang berbeda dengan bentuk lancaran seperti yang disajikan Yono Prawito. Gending Ganggamina yang disajikan dalam bentuk Ketawang memiliki susunan balungan seperti di bawah ini :

- + - - + - ^ - + - V - + - // 1 2 1 6 1 6 1 5 1 5 1 3 1 3 1 2 //

102  

Garap Gending Ganggamina Gaya Tulungagung Sukiran

Page 112: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

Susunan balungan di atas masih termasuk jenis susunan balungan pancer I, tetapi tidak disajikan dengan pancer rangkep. Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa penyajian dalam susunan balungan pancer I biasa didasari oleh bentuk gending yang digunakan adalah Ketawang. Apabila disajikan dengan menggunakan pancer rangkep akan didapatkan rasa sajian yang kurang enak sebab pola tabuhan kempyang (-), kethuk (+), kenong (^) dan kempul (V) memiliki pengaruh yang kuat terhadap tabuhan balungan.

Mencermati gending Ganggamina yang disajikan dengan bentuk lancaran kemudian juga disajikan dengan bentuk ketawang terdapat adanya perubahan susunan balungan. Perubahan susunan balungan yang dimaksud seperti tertulis di atas adalah dari bentuk ketawang menggunakan pancer I biasa tetapi apabila disajikan dengan bentuk lancaran menggunakan pancer I rangkep. GATRA

Gatra merupakan salah satu materi garap sebuah gending yang dianggap sebagai satuan melodis atau ritmis terkecil dari gending yang tediri dari empat sabetan balungan (Supanggah, 2007:62). Lebih labjut Rahayu Supanggah juga mengatakan bahwa gatra disebut sebagai lakaran, bakalan, tunas, bentuk awal atau embrio hidup. Dengan demikian apabila dihubungkan dengan sebuah gending maka gatra merupakan bahan dasar garap sebuah gending yang dikembangkan dalam wujud empat sabetan balungan.

Pada perkembangan selanjutnya pengertian gatra yang bercirikan empat sabetan balungan ternyata kurang tepat karena ada jenis gending yang memiliki tiga sabetan balungan dalam satu gatra. Sebagai contoh Ldr. Sang Lenana, Ldr.Sampur Kuning, Ldr.Parisuka dan sebagainya. Gending-gending ini kemudian disebut sebagai jenis gending tiga perempatan.

Pendapat Yudith Becher seorang musikolog dari Amerika seperti yang dikutip oleh Rahayu Supanggah (2007:65) berisikan tentang identifikasi gatra yang dapat dikelompokkan dan dibedakan berdasarkan urutan ketinggian nada-nada balungan yang kemudian disebut dengan kontur .

Apabila dianalisis lebih lanjut bahwa kontur dari gatra pertama dan terakhir berbeda bentuknya. Kedua gatra itu memiliki kontur yang berbeda karena pada gatra yang pertama nada 2 (ro) tinggi atau ro titik atas (2) dan gatra yang terakhir nada 2 adalah sedang yakni tanpa titik atas maupun bawah.

Sindusawarna seperti yang ditulis Rahayu Supanggah (2007:64) memberikan nama-nama bagian dari gatra dengan istilah: ding kecil, dong kecil, ding besar dan dong besar. Ding kecil untuk sabetan balungan pertama, dong kecil untuk sabetan balungan kedua, ding besar untuk sabetan balungan ketiga dan dong besar untuk sabetan balungan keempat. Sebagai contoh pada gatra pertama : 1 2 1 6 secara sederhana dalam satu gatra tersebut nada 1 sebagai nada ding kecil nada 2 (B) sebagai nada dong kecil, nada 1 (C) sebagai nada ding besar dan nada 6 (D) sebagai nada ding besar

“Gatra, sesuai dengan makna harfiahnya memiliki daya “hidup”. Ia adalah tunas atau embrio yang akan tumbuh dan berkembang yang dapat menjadi sesuatu yang lebih besar, yaitu gending. Gatra memiliki sifat mulur-mungkret, memanjang atau memendek, mengembang atau mengempis, membesar atau mengempis (elastis), namun tetap dalam bingkai karakteristik yang relatif sama”. (Supanggah, 2007:75-76).

103  

Garap Gending Ganggamina Gaya Tulungagung Sukiran

Page 113: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

Berdasarkan kutipan di atas ternyata pada gending Ganggamina memiliki gejala-gejala yang sama. Apabila diperhatikan pada balungan yang disajikan dalam bentuk ketawang dan lancaran akan terlihat balungan yang mengalami mulur mungsret atau memanjang memendek. Gejala mulur atau memanjang pada sajian bentuk lancaran dan mungsret atau memendek pada sajian bentuk ketawang. Jenis tabuhan ini sangat terasa pada sabetan balungan yang digunakan. Terjadi mulur mungsret dipengaruhi oleh permainan irama dalam setiap sajian gending. Sebagaimana pada jenis bentuk gending ketawang dan lancaran yang memiliki jenis irama dan karakter yang berbeda. Meskipun dalam satu gending dapat disajikan baik dalam bentuk ketawang atau bentuk lancaran, tentunya harus disertai dengan perubahan pada pemberian aksen-aksen sesuai strktur gendingnya. BENTUK, LARAS DAN PATHET

Seperti dipaparkan di atas bahwa gending Ganggamina dapat disajikan dalam bentuk ketawang maupun lancaran. Perbedaan penyajiannya tentu dipengaruhi oleh pola tabuhan kethuk, kenong dan kempul. Namun demikian, jenis atau sekaran kendangan yang digunakan pada prinsipnya adalah sama. Perbedaan kendangan dalam dua bentuk sajian yang berbeda terletak pada rasa dan karakternya. Pada bentuk, ketawang gending Ganggamina disajikan dalam dalam karakter yang halus sehingga membutuhkan tempo yang sedang atau lambat dan dinamik yang lemah. Dalam sajian bentuk Ketawang Ganggamina, ricikan garap seperti rebab dan gender akan terasa terdengar dominan cengkok dan wiledannya.

Berbeda dengan penyajian gending Ganggamina dalam bentuk lancaran. Rasa musikal atau karakter yang dihasilkan lebih sigrak. Hal ini sangat dipengaruhi oleh dominannya ricikan balungan dengan susunan balungan pencer rangkep. Selain itu garap lancaran yang lebih memunculkan peran ricikan kethuk, kenong dan kempul.

Ganggamina yang disajikan dalam laras Slendro memiliki pathet nem. Untuk mengetahui pathet dari Ganggamina dapat dilihat pada susunan balungan dari awal hingga akhir yang memiliki nada dong besar atau rasa seleb nada 2. FUNGSI GENDING

Fungsi atau kegunaan gending dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam, yaitu: gending pakurmatan, klenengan, wayangan, ketoprakan, tayub langendriyan, beksan, santiswaran dan lagu dolanan (Supanggah, 2007:104). Ditinjau dari bentuk gending secara keseluruhan, Ganggamina dapat dikelompokkan dalam gending dolanan. Gending Ganggamina dapat disajikan pada acara isian gending secara bebas dalam pementasan kesenian yang lain, misalnya pada wayangan, ketoprakan, klenengan. Namun Ganggamina tidak tergolong gending wayangan, ketoprakan maupun klenengan.

Dalam kehidupan kesenian di Tulungagung, Ganggamina lebih akrab masuk dalam golongan gending tayub. Penggolongan ini berdasarkan garap gending Ganggamina yang menggunakan kendangan tayub Tulungagung. Penyajian Ganggamina selalu dibarengi dengan kendangan tari tayub gaya Tulungagung. Selama penelitian ini dilakukan tidak ditemukan penyajian gending Ganggamina tanpa kendangan tari tayub gaya Tulungagung. Untuk mengetahui kendangan tayub Tulungagung dapat didengarkan pada rekaman-rekaman gending tayub Tulungagung yang sebagian seperti pada deskripsi penelitian ini tentang penentu garap gending Ganggamina.

104  

Garap Gending Ganggamina Gaya Tulungagung Sukiran

Page 114: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

PENGGARAP GANGGAMINA

Melalui pemahaman terhadap kegunaan gending Ganggamina di Tulungagung sebagai gending tayub maka dapat dinyatakan bahwa penggarap Ganggamina adalah para pelaku karawitan tayub. Dalam hal ini yang paling dominan adalah pengendang tayub Tulungagung. Sebagai penggarap gending, seorang pengendang dapat berdiri secara individu untuk menampilkan karakter, cengkok atau gayanya. Secara keseluruhan garap, seorang pengendang juga tidak dapat melepaskan daya kreasi dan ekspresi pengrawit yang lain. Keseluruhan pengrawit dalam satu kelompok untuk menyajikan Ganggamina merupakan suatu sistem sehingga tidak dapat berdiri sendiri-sendiri.

Gending Ganggamina yang melekat pada seni tari rakyat jenis tayub sering dihubungkan dengan kebiasaan-kebiasaan turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Menirukan apa yang sudah terjadi sebelumnya merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh para seniman tayub termasuk para pengendang dan pengrawit tayub.

SARANA GARAP

Sarana adalah sesuatu yang harus ada sebagai syarat sebelum suatu pekerjaan dilasanakan. Sarana juga dianggap sebagai media. Dalam karawitan alat atau sarana atau media garap itu adalah gamelan (Supanggah, 2007:189). Untuk itu penyajian gending Ganggamina menggunakan seperangkat gamelan yang berlaras slendro. Adapun jenis ricikan gamelan yang digunakan akan dikelompokkan menjadi beberapa bagian.

Rahayu Supanggah (2007:190-195) mengelompokkan ricikan gamelan menjadi beberapa hal yaitu berdasarkan: bentuk fisik, unsur musikal, hirarkhi, organologis, balungan, garap dan struktural. Berdasarkan pemikiran tersebut gending Ganggamina akan dipaparkan terkait dengan sarana ricikan yang digunakan.

Ricikan gamelan berdasarkan hirarkhi menurut Mlayawidada ada tiga hal yaitu ricikan ngajeng, ricikan tengah dan ricikan wingking (dalam Supanggah, 2007:192). Ricikan ngajeng yang dimaksud adalah rebab, kendang, gender, bonang barung dan sinden. Ricikan tengah meliputi: balungan, kenong, gong, gambang dan siter. Sedangkan kelompok ricikan wingking adalah beberapa ricikan penerus dan suling.

Pendapat Sindoesawarno apabila dihubungkan dengan penyajian gending Ganggamina terdapat perbedaan. Secara hirarkhi ricikan yang digunakan dalam kelompok ricikan ngajeng adalah kendangm balungan, bonang, kenong, kempul dan sinden. Ricikan rebab dan gender tidak begitu difungsikan karena yang diutamakan adalah untuk kepentingan iringan tari tayub. Oleh sebab itu ricikan yang dominan pada penyajian gending Ganggamina adalah ricikan yang tengah dan wingking dalam sajian Ganggamina tidak ada perbedaannya dengan pendapat Sindoesawarno.

Kelompok ricikan balungan dan ricikan struktural tidak jauh berbeda dengan pendapat di atas karena pembedaan itu hanya menunjuk pada nama ricikan (balungan) dan pembentuk jenis gending (ricikan structural). Berbeda dengan kelompok ricikan garap yang digunakan seperti dipaparkan di depan bahwa ricikan garap yang paling dominan adalah kendang. PERABOT GARAP

105  

Garap Gending Ganggamina Gaya Tulungagung Sukiran

Page 115: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

Prabot garap adalah perangkat lunak atau sesuatu yang sifatnya imajiner yang ada dalam benak pengrawit baik berupa gagasan atau vokabuler yang mentradisi secara turun temurun (Supanggah, 2007:199). Perabot garap juga sering disebut sebagai piranti garap . Penggunaan perabot garap yang berupa perbendaharaan garap, para pengrawit mengekspresikan geding dengan sarana ricikan-ricikan pada seperangkat gamelan.

Perbendaharaan atau vokabuler garap dalam sebuah gending dapat berupa: teknik, pola, irama, laya, laras, pathet, konvensi dan dinamik (Supanggah, 2007:200-247). 1. Teknik Tabuhan

Berbicara tentang teknik pengrawit dalam memfungsikan gamelan sebagai media ekspresi sama halnya kita berbicara bagaimana cara pengrawit membunyikan gamelan.

Teknik tabuhan yang paling khas dimiliki oleh gending Ganggamina adalah pada ricikan kendang. Cara membunyikan kendang unyuk kepentingan gending Ganggamina sebagai iringan tayub tentu berbeda untuk fungsi-fungsi yang lain. Untuk menumbuhkan suara tong, dang dan yang lain sebagai iringan tari tentu berbeda untuk klenengan. suara yang diklasifikasikan untuk tari tayub lebih keras daripada untuk klenengan. Dengan demikian teknik yang digunakan untuk membunyikannya tidak sama.

Teknik dalam kepentingan ini tentu saja tidak terlepas dengan jenis prabot lain seperti dinamik, tempo atau yang lain. Teknik selalu berhubungan dengan tujuan dan sarana yang tersedia sehingga teknik tidak bisa berdiri sendiri sebagai suatu cara saja. 2. Pola Tabuhan

Pola merupakan sebuah ciri khas sesuatu sehingga dengan mengenal pola akan didapatkan kesan untuk mengenalnya. Pola tabuhan gending perupakan sebuah bentuk sekaran atau cengkok yang dimiliki sebuah gending.

Untuk mengetahui pola tabuhan gending Ganggamina perlu mendengarkan gending-gending tayub Tulungagung baik secar langsung maupun hasil dari rekaman. Seperti diuraikan di depan bahwa tayub Tulungagung selalu menggunakan kendangan Ganggamina sebagai bentuk ekspresinya.

Berikut contoh pola kendangan Ganggamina sebagai salah satu cirri khusus gending gaya Tulungagung Bk. Kendang

o t 1 Ob 1 t 1 o pl o d b d .p .b .p 1 t .o bd . . o l p o l p o t o t . . p p l o d

o d .p .p . b . . d . d . t p t b t 1 T 1 d b t p t 1 t 1 d b tp .p . B . p 1t 1 o .p l p th b d p b . . . t . . P t p pl o d . . p 1t p t . o o . o p o . p .d .b .p .p . b . .

. . . . b d p b . . p b p b . .

106  

Garap Gending Ganggamina Gaya Tulungagung Sukiran

Page 116: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

. tp l b I t I o p o d b d I p .b I p I t .d bd (Suparmat, catatan 10 Juni 2012)

3. Irama dan Laya Irama dalam karawitan atau musik pada umumnya merupakan sebuah perabot yang

berhubungan dengan harga nama atau ketukan suatu lagu atau gending. Irama dalam kaitannya dengan gending sering dikaitkan dengan : irama lancar, irama tanggung, irama dados, irama wiled dan irama rangkep. Itu semua adalah nama-nama irama yang dikenal dalam pengetahuan karawitan Jawa.

Gending Ganggamina dapat disajikan dengan dua jenis irama yaitu irama lancar, irama tanggung, irama dadi/dados kemudian memasuki kendangan Ganggamina menggunakan irama wiled yang disebut kendangan ciblon. Pada saat menggunakan bentuk lancaran laya gendingnya lebih cepat dari pada dengan bentuk ketawang. 4. Konvensi dan Dinamik

Dalam kehidupan karawitan kadang-kadang konvensi dianggap sebagai “pakem”. Konvensi yang ada dalam gending Ganggamina tetap terletak pada kendangan meskipun pada garap ricikan yang lain ada. Ganggamina masih disajikan dengan kendangan “gawan” Ganggamina menurut gaya Tulungagung. Gending Ganggamina dalam kehidupan karawitan Tulungagung belum pernah disajikan dalam garap kendangan yang lain (Wawancara dengan Matal 6 Juni 2012).

Bila menggunakan garap ketawang gaya Surakarta, penyajiannya hanya pada setelah buka. Garap yang lain, misalnya dengan gaya Jawa Timuran (Cakranegara), itupun juga hanya setelah buka, dan selanjutnya selalu menggunakan kendangan “gawan” Tulungagungan atau Ganggamina. Dinamik yang digunakan dalam penyajian gending Ganggamina sebenarnya juga dipengaruhi oleh konvensi. Gending Ganggamina yang difungsikan untuk iringan tari tayub kendangannya membutuhkan dinamik lebih keras. Kebutuhan terhadap dinamik tabuhan lebih keras oleh kebutuhan akan suasana yang lebih sigrak. Sekaran kendang yang dibunyikan untuk mengungkapkan suasana yang sesuai dengan karakter tariannya.

Dinamik kendangan maupun ricikan yang lain sangat dibutuhkan oleh penari, apabila dinamiknya kurang terasa maka akan didapatkan suasana yang kurang greget. G. PENENTU GARAP

Penentu garap dalam sebuah gending menurut Rahayu Supanggah (2007: 249-275) dapat dibedakan menjadi beberapa hal, yaitu: otoritas, fungsi sosial dan layanan seni. Tiga jenis penentu garap itu didasari oleh siapa dan untuk apa sebuah gending itu dipentaskan. Pernyataan juga dapat dikatakan bahwa garap sebuah gending ditentukan oleh pelaku dan peranan pementasan.

Otoritas seorang seniman dalam menyajikan gending Ganggamina tidak dipengaruhi oleh peran pemerintah tetapi dipengaruhi oleh para pelaku seni karawitan atau tayub pada umum. Para pelaku seni karawitan sudah barang tentu sebagai peran utama karena merekalah yang menentukan kesan dan hasil dari penyajian.

Otoritas utama dalam penyajian gending Ganggamina adalah terletak pada pengendang, pembonang dan pendemung. Pembonang sebagai pelaku seni yang mengajak

107  

Garap Gending Ganggamina Gaya Tulungagung Sukiran

Page 117: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

pada sebuah gending tertentu. Sedangkan pendemung dapat juga memiliki otoritas mengajak pada gending tertentu. Baik pada awal maupun di tengah sajian gending pendemung bisa memberi ater-ater untuk beralih ke gending Ganggamina. 1. Fungsi Sosial

Fungsi sosial merupakan salah satu penentu garap dalam sebuah gending. Fungsi sosial hadir dalam sebuah pementasan gending karena gending yang bersangkutan dianggap memiliki latar belakang, makna dan tujuan tertentu.

Fungsi sosial dari gending Ganggamina selama ini masih terbatas pada kepentingan masyarakat seni khususnya para pelaku seni tayub. Suatu bentuk garapan yang selalu difungsikan dalam masyarakat tayub Tulungagung adalah garap kendangannya. Garap kendangan Ganggamina difungsikan oleh masyarakat tayub Tulungagung dalam berbagai sajian gending yng berbentuk ketawang atau lancaran. 2. Fungsi Layanan Seni

Selain sebagai pengiring tayub, Gending Ganggamina dalam kehidupan karawitan di Tulungagung juga biasa disajikan sebagai salah satu gending dolanan pada saat adegan limbukan maupun gara-gara dalam pakeliran. Gending Ganggamina juga pernah disajikan dalam acara klenengan, kethoprak, ludruk, campursari, jedoran maupun jaranan campursari. 3. Garap Vokal Ganggamina Vokal adalah salah satu ricikan garap sehingga dalam penyajian gending Ganggamina dapat diteliti adakah garap vokalnya. Garap vokal dalam gending Ganggamina ada dua jenis yaitu dengan sindenan (abon-abon dan atau parikan) dan garap dalam sebuah tembang. Sajian tembang ini dapat disajikan secara kor (bersama) atau tunggal. Garap vokal secara khusus dapat didengarkan pada kaset Poncowarno Pos atau seperti tertulis pada pemaparan berikut :

. . . . 6 6 1 2 1 2 6 5 6 1 2 Gangga - mina gendhing ku- nari ripta . 3 2 . 1 1 2 1 . 6 1 2 . . 1 6 Nyata ke na kanggo su- ka su- ka . . . . 2 1 6 1 . 2 1 6 . 5 1 6 Ginubah da di le- la- gon . . 2 2 . . 2 3 . . 3 5 . 5 6 5 Angreng Ga ni jo ged bek- sa . . 3 2 . . 2 2 . 6 5 6 . 1 . 2 Sayuk rukun gi- ne- rong an . 3 2 3 . 6 . 5 . 3 . 6 . 6 5 3 Nut wi ra ma . . 1 1 . . 1 1 . 3 . 2 . 1 . 6

108  

Garap Gending Ganggamina Gaya Tulungagung Sukiran

Page 118: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

Mrih ka Ton ra me swa sa na . 1 . 2 . 6 5 3 . 2 . . . 2 1 (2) U go ga ngga mi na Penyajian gerongan di atas dapat dilakukan dengan bentuk gending ketawang maupun

lancaran. Namun gerongan di atas diambil kaset yang disajikan dalam bentuk gending ketawang. PENUTUP

Berdasarkan paparan sebagai hasil dari pengumpulan dan pengolahan data maka dalam penelitian ini disimpulkan terkait dengan rumusan masalah sebagi fokus dari penelitian. Kesimpulan ini juga didasarkan pada tujuan dari penelitian sehingga antara rumusan masalah, tujuan penelitian dan metode yang dilakukan ditemukan sebuah keterkaitan.

Adapun beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam penelitian ini adalah tentang garap gending Ganggamina. Sebagai fokus yang disimpulkan adalah tentang garap khusus kendangan, laras dan ricikan. Garap kendangan yang digunakan dalam gending Ganggamina di Tulungagung memiliki gaya yang khas. Kekhasan ini berhubungan dengan peran kendangannya dalam tayub gaya Tulungagung. Tayub Tulungagung tanpa kendangan yang digunakan dalam gending Ganggamina tidak akan terjadi.

Garap kendangan Ganggamina gaya Tulungagungan dari masing-masing seniman memiliki perbedaan-perbedaan dalam hal pengembangan sekaran atau cengkok. Hal ini juga sering terjadi pada garap balungan. Pengembangan yang merupakan hasil kreativitas pengrawit mengakibatkan kesan dan nilai estetis dari sajian Ganggamina menjadi indah dan beragam.

Garap lain yang dilakukan adalah tentang bentuk gending, yaitu lancaran gaya Surakarta. Sedangkan laras yang digunakan dalam gending Ganggamina adalah laras slendro.

DAFTAR PUSTAKA Budhisantoso, S.1991. “Kesenian dan Kebudayaan di Indonesia”, makalah dalam diskusi. Terbitan

buku perdana STSI PRESS, Surakarta: STSI PRESS. Hastanto, Sri.n1991.“Ilmu dan Seni” dalam Seminar Peksiminas I 2-5 Oktober 1991, Surakarta: STSI

PRESS. ______________ 1997. “ Pendidikan Karawitan: Situasi dan Angan-Angan”, dalam jurnal Seni STSI

Surakarta edisi Maret 1997. Kunts Jaap. 1973. Music in Java: its History, and its Technique, Martinus Nijhoff, The Hague. Martopangrawit. 1975 “Catatan Pengetahuan Karawitan I”, Akademi Seni Karawitan Indonesia. Moeleong, L.J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya Mulyana, D, 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu

Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya. Subroto, Edi. 1991. “Seni Tradisi, Seni Pertunjukan Masa dan Seni Modern dalam Proses

Modernisasi”, Makalah Simposium Peksiminas 2 s.d 5 Oktober 1991, Surakarta: UNS Press. Sugiyono, 2009. Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung : ALFABETA

109  

Garap Gending Ganggamina Gaya Tulungagung Sukiran

Page 119: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

110  

Garap Gending Ganggamina Gaya Tulungagung Sukiran

Suhastjarjo, RM.AP., et.al. 1984/1985. “Analisa Bentuk Karawitan” Laporan Penelitian Sub/Bag. Akademi Seni Tari Indonesia Yogyakarta.

Sumarsam, 2002. Hayatan Gamelan: Kedalaman Lagu, Teori & Perspektif, STSI Press Surakarta. Supanggah, Rahayu. 2007. Bothekan Karawitan II Garap, Surakarta: ISI Press Sutarto, Ayu dan Setya Yuwana Sudikan.2008, Pemetaan Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur.

Penerbit: Biro Mental Spiritual Provinsi Jawa Timur bekerjasama dengan Kompyawisda Jatim – Jember

Team. 1986, Ensiklopedi Seni Musik dan Seni Tari Daerah. Penerbit: Dinas P dan K Daerah Privinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur.

Wardani, Cut Kamaril. 2006. Pendidikan Seni Berbasis Budaya dalam Meningkatkan Multikecerdasan. Bandung: APSI.

Waridi. 2003.Gending dalam Pandangan Orang Jawa: Makna, Fungsi Sosial dan Hubungan Seni, dalam Kembang Setaman : Persembahan untuk sang mahaguru Hermin Kusmayati (ed). Yogyakarta: Balai Pustaka ISI.

DAFTAR NARA SUMBER 1. Ki Suratman (62 tahun). Pekerjaan : swasta. Profesi : pengrawit klenengan dan

wayangan/pokeliran pelatih dan penggarap gending wayangan. Alamat : desa Boyolangu kecamatan Boyolangu

2. Ki Suparmad (72 tahun. Pekerjaan: swasta. Profesi : pengrawit dan pencipta gending dolanan. Alamat: desa Sawahan kecamatan Kauman.

3. Ki. Suwito (43 tahun). Pekerjaan: swasta. Profesi: pengrawit tayub,pencipta dan penggarap gending tayub. Alamat: desa Gresikan kecamatan Pakel

4. Ki Matal (79 tahun). Pekerjaan: petani. Profesi: mantan pengrawit tayub/pengendang. Alamat: desa Gresikan kecamatan Pakel

BIODATA PENULIS

Sukiran Pendidikan Seni Karawitan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya.

Page 120: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

111 Rasa Warna Lika Arweti

RASA WARNA

Lika Arweti

Abstract RASA WARNA (Taste of Colour) is a musical composition by developing various techniques on the instruments and vocals within cokekan tradition. The various instruments combined with a variety of instruments outside cokekan tradition, ie instruments that characterize character of a particular area mainly from the produced sound. It contains various kinds atmosphere of life which is expressed in a variety atmosphere of musical structured on a work dynamicalyon so as on the unity work in a composition entitled RASA WARNA. RASA WARNA composition represent not only instrum ental and vocal, but also give a moral message through poetry that the author created. One of the values contained in it is moral for human life to always be grateful to the Lord. There is also a song that fosters a spirit in facing life as bitter as any. RASA WARNA composition as a form of creativity that express or communicate something that is factual also revealed his personal feelings. The composition process refers to o the four stages, namely the determination of idea, concept, composition and presentation. The idea is an idea expressed in the works. The concept used as a preparation of the composition. Steps of composition is the process of preparing, selecting and processing materials. The next step is the presentation which is the expression of the result of the arranged composition . Presentation providing an aesthetic value offered to the observer or audience in accordance with the theme of presentation. RASA WARNA give values that can be used as guidance so that we can be more wisdom. Parts of this composition provides an overview of:1.Spirit in facing of temptation. 2. Love to the universe. 3. Gratitude to the Lord. 4. Cultural diversity. 5. A joy Keywords: Taste of Colour, musical, composition, instrumen

PENDAHULUAN Bangsa kita sangat kaya dengan budaya, salah satunya adalah seni musik. Hampir

setiap daerah di Indonesia memiliki seni musik tradisi. Keunikan dari kesenian ini terletak pada bentuk (organologi) instrumennya, cara memainkanya dan ansamblenya. Hampir seluruh seni tradisional Indonesia mempunyai semangat kolektivitas yang tinggi sehingga berpengaruh pada karakter khas orang/masyarakat Indonesia, yaitu ramah dan sopan, memiliki sifat dan sikap kegotong-royongan, tenggang rasa, dan lain sebagainya. Namun seiring dengan perjalanan waktu dan akibat dari pengaruh derasnya arus globalisasi yang menggerus berbagai sendi kehidupan, maka spirit dari seni tradisi tersebut semakin ditinggalkan, karakter masyarakat menjadi berubah dari sifat yang semula menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan menjadi individual/egoistis, materialistis dan konsuintif.

Tidak sedikit seni tradisi yang aus dan mati terlindas era perkembangan jaman akibat kurangnya perhatian dari sisi pelestarian dan pengembangan oleh masyarakat maupun pemerintah. Fakta di lapangan telah menunjukkan bahwa nilai-nilai moral (akhlak) yang digariskan dalam ajaran agama dewasa ini mulai diabaikan. Nilai-nilai kesantunan dan budi pekerti luhur yang diwariskan oleh nenek moyang juga semakin memudar, dan bahkan menjadi asing di lingkungan negara sendiri. Hal ini merupakan dampak yang menunjukkan bahwa masyarakat beserta pemerintah belum siap menerima ketika dihadapkan dengan era

Page 121: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

112 Rasa Warna Lika Arweti

global yang memiliki perkembangan peradaban yang semakin kompleks. Masyarakat beserta pemerintah belum mampu menguasai budayanya sendiri, sehingga tidak dapat memilih serta memilah mana kebudayaan yang sesuai dengan karakter bangsanya ketika harus dihadapkan oleh dua atau lebih kebudayaan secara bersama-sama.

Terlepas dari sikap pemerintah beserta masyarakat tersebut, antusias para musisi tradisi yang diharapkan mampu menjadi panutan serta ujung tombak dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya tersebut juga dirasa kurang. Sangat sedikit upaya yang dilakukan agar warisan budaya leluhur tersebut tetap eksis dan berkembang sampai sekarang, sehingga seni tradisi semakin tidak dikenal oleh generasi muda. Sebagai contoh nyata yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah merebaknya budaya musik populer yang lebih digemari di lingkungan masyarakat, tidak saja generasi muda bahkan oleh anak-anak. Hal yang demikian akan sangat berdampak bagi kelangsungan hidupnya seni musik tradisi yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Seni musik tradisi yang berkembang di masyarakat tidak hanya menggunakan tangga nada diatonis seperti halnya yang digunakan dalam musik barat, namun justru lebih banyak menggunakan tangga nada pentatonis (lima nada) seperti halnya yang terdapat pada seni karawitan. Membicarakan seni karawitan juga harus dipahami beberapa unsur yang saling terkait dan memiliki makna yang berbeda, yaitu istilah karawitan, gamelan dan gending. Istilah karawitan dipahami sebagai wujud musikal, gamelan dipahami sebagai media dalam bentuk fisik sebagai sarana ekspresi seni karawitan. Sedangkan gending adalah hasil musikalitasnya, secara umum digunakan untuk menyebut komposisi musikal gamelan (Santosa,2003:1), atau juga sering disebut dengan lagu. Hal demikian juga disampaikan oleh Waridi bahwa gending itu sebagai ekspresi musikal yang mengandung nilai-nilai estetik, etik, simbolik dan filosofis, (Waridi, 2003:301).

Karawitan menggunakan mediasi (sarana ekspresi) vocal dan gamelan konvensional. Gamelan konvensional adalah gamelan yang wujud empirisnya merupakan warisan budaya masa lalu (bukan hasil rekayasa baru). Sedang keberadaan vokal dalam karawitan tidak harus. Vokal dalam karawitan berbeda dengan vokal dalam tradisi lagu-lagu populer dan lagu-lagu sejenisnya. Lagu-lagu ini cenderung menempatkan vokal sebagai entitas yang berposisi ‘utama’ karena tanpa kehadirannya penyajian musik tidak lengkap dan bahkan tidak dapat dilaksanakan.

Haryono, Ferdinandus dan juga seperti halnya yang dibahas oleh Soetrisno (1976) menegaskan bahwa terbentuknya ansamble gamelan terjadi secara evolutif hingga mencapai puncak kesempurnaannya. Pada masa Paku Buwono X (1893-1939) di Surakarta, kesempurnaan itu semakin nyata dan tampak pada berbagai artefak gamelan yang dibuat pada masanya. Kesempurnaannya untuk berbagai konteks dan keperluan selanjutnya dikembangkan oleh para seniman kontemporer pada masa pasca kemerdekaan.

Karawitan Jawa memiliki beberapa jenis perangkat ansamble, sekelompok instrumen yang terikat menjadi satu kesatuan sistem medium ekspresi, diantaranya adalah perangkat (1) gamelan ageng, (2) gamelan gadhon, (3) gamelan cokekan, (4) gamelan kodhok ngorek, (5) gamelan monggang, (6) gamelan corabalen, dan (7) gamelan sekaten. Supanggah (2002:32-37) menjelaskan wujud dan fungsi perangkat-perangkat gamelan itu kecuali perangkat gamelan gadhon dan gamelan cokekan. Mungkin harus diadakan penelitian khusus untuk

Page 122: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

113 Rasa Warna Lika Arweti

mendapatkan deskripsi dari sisi bentuk, jenis, ataupun fungsi dari keberadaan ansamble gamelan gadhon dan gamelan cokekan.

Gadhon berasal dari Bahasa Jawa Gadhu dengan panambang (akhiran) an sehingga berbunyi gadhuan1. Pengucapan kata gadhuan pada akhirnya bergeser menjadi gadhon yang berarti memilih. Pengertian memilih adalah tidak mengambil semua yang ada, tetapi memilih sebagian yang diperlukan, misalnya pada saat bermain gamelan tidak menggunakan semua instrumen gamelan jangkep, tetapi hanya memilih instrumen yang diperlukan saja. Menurut W.J.S. Purwadarminto, Gadhon adalah gamelane klenengan mung sing perlu-perlu bae (klenengan yang menggunakan instrumen yang diperlukan saja). Jadi Gamelan Gadhon adalah seperangkat gamelan yang menggunakan instrumen halus atau lembut bunyinya (Rebab, Gender Barung, Gender Penerus, Kendang, Slenthem, Gambang, Siter, Suling, Kenong, Kempul dan Gong). Sedangkan fungsinya adalah memberi dukungan suasana ceria, meriah, senang, gembira, dan lain sebagainya yang biasanya ada pada suatu hajatan yang lokasi penyelenggaraannya sempit dan sederhana. Sementara itu orkestra yang paling kecil adalah siteran, yaitu hanya menggunakan instrumen siter, dan kendhang. Ditengarai bahwa gamelan gadhon berasal dari Keraton Surakarta Hadiningrat, yang merupakan karya dari K.R.M. Harjo Joedodiningat, informasi ini kurang valid karena tidak di dukung sumber yang bisa dipertanggungjawabkan. Ada juga yang bilang bahwa ide awal dari ansamble gamelan gadhon adalah berasal dari gamelan siteran yang berkembang menjadi gamelan cokekan dan selanjutnya menjadi ansamble gamelan gadhon.2

Keberadaan gamelan gadhon ini awal pertama dilakukan oleh masyarakat luar tembok Keraton. Pada jaman Keraton, rakyat biasa merasa kesulitan mendengarkan dan memiliki gamelan sendiri. Akhirnya ada yang punya inisiatif untuk mendengarkan, setelah mendengarkan lalu dia berinisiatif untuk membuat instrumen baru yang mampu menampung segala permainan gamelan. Instrumen ini kemudian hari dikenal dengan siter (catatan bahwa sebenarnya siter ini pada mulanya belum tergolong dalam ansamble gamelan, yang disebut gamelan adalah alat-alat yang teknik memainkannya dengan cara ditabuh, termasuk keluarga pencon, keluarga bilah dan perkusi, hal ini bisa dilihat di ansamble Gamelan Sekaten). Kemudian masyarakat mengembangkan berbagai varian ukuran instrumen tersebut, ada yang berukuruan lebih besar (celempung), middle (siter), dan kecil (siter penerus), setelah itu mereka membagi tugas permainan pada tiap-tiap instrumen tersebut yakni yang bermain pada nada pokok, sampai keperkembangan melodinya. Pada perkembanganya mereka mulai memberanikan diri untuk membeli seperangkat gamelan kecil, sehingga terbentuklah sebuah ansamble baru yang disebut dengan cokekan dan pada perkembangannya dibuat ansamble yang lebih besar lagi yang dikenal dengan nama ansamble gadhon.3

Dari paparan tersebut dapat diketahui bahwa keberadaan ansamble gadhon dimungkinkan meniru ansamble gamelan ageng yang berkembang di dalam tembok keraton. Hal yang menarik dari sajian gamelan gadhon ini adalah berawal dari kesederhanaan yang menghasilkan kerumitan dalam hal permainan teknik yang terjalin dari masing-masing instrumen. Jika dalam gamelan ageng diwakili oleh banyak instrumen, maka pada gamelan

1 Wawancara Danis Sugianto di ISI Surakarta, pada tanggal 20 september 2012 2 Wawancara Danis Sugianto di ISI Surakarta, pada tanggal 20 september 2012 3 Wawancara Denis Sugianto di ISI Surakarta, tanggal 20 September 2012

Page 123: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

114 Rasa Warna Lika Arweti

gadhon ini hanya diwakili beberapa instrumen yang mampu menyajikan kualitas musikal yang hampir sama.

Sedangkan Cokekan berasal dari kata Cokek yang memiliki makna pengamen dengan instrumen dan Sinden seadanya4. Dengan demikian instrumen yang digunakan tidak pasti, tergantung kemampuan dan keinginan pengrawit serta instrumen yang dimiliki oleh kelompok tertentu. Kata Cokek berasal dari Tionghoa Coke. Pada waktu dulu Coke terdiri dari Rebab, Tambur, Cengceng, dan slompret yang kesemuanya adalah instrumen Tionghoa. Kelompok Coke dulunya berfungsi mengiringi orang Tionghoa yang meninggal, musisinya bermain sambil berjalan di depan jenazah menuju kepemakaman atau pembakaran mayat. Keseharian kelompok tersebut bermain musik sebagai pengamen dan berdomisili di ketandhan (kreteg gantung) Solo. Kelompok ini pada masa sekarang sering memainkan musiknya di Klenteng untuk mengiringi upacara persembahan. Kata Coke kemudian menjadi Cokek dan penggunaannya tidak terbatas pada instrumen dan kelompok Seniman Tionghoa, tetapi kelompok Karawitan Jawa juga menggunakan istilah tersebut untuk menyebut ansamble kecil. Fungsi gamelan Cokekan sekarang tidak seperti fungsi aslinya, tetapi sama dengan ansamble Gadhon, yakni untuk kemeriahan sebuah pesta ( pernikahan, khitanan, ulang tahun, perpisahan dan lain sebagainya). Sehingga dari sisi bentuk merupakan susunan alat bunyi-bunyian karawitan tradisional Indonesia yang terdiri dari gender barung, siter, ditambah kendang dan gong. Pada dasarnya gamelan cokekan adalah mengandalkan permainan teknik penyusunan nada. Yaitu dengan cara mengembangkan nada-nada pokok menjadi varian-varian nada yang mempertimbangkan rasa seleh dan permainan lipatan nada, semisal nada yang terdiri dari 1 gatra ditabuh menjadi 4 gatra. Contohnya adalah sebagai berikut: 2 1 2 6 nada balungan 2321 2356 3521 6216 melodi siteran Pengembangan melodi semacam ini sangat komplek penggunaanya dalam ansamble gamelan ageng, terutama dalam ricikan ngarep, seperti rebab dan gender.

Ditilik dari bentuk sajiannya, cokekan yang telah pengkarya paparkan tersebut, mampu memberikan inspirasi bagi pengkarya untuk menuangkan gagasan ke dalam bentuk karya komposisi musik dengan judul RASA WARNA. Karya komposisi RASA WARNA mencoba mengaplikasikan sistem-sistem pengembangan nada seperti pada ansamble gamelan cokekan tersebut. Selain menggunakan sistem tersebut, tidak menutup kemungkinan bahwa pengkarya juga menggunakan berbagai sistem-sistem komposisi lain, seperti eliminasi nada, sistem ring dan lain sebagainya. Berbagai pertimbangan musikal tersebut ditentukan jumlahnya dan kadarnya dalam tiap bagian sehingga mampu menampilkan gagasan yang hendak disampaikan dalam komposisi ini. Alur melodi yang sengaja dibangun ini meliputi berbagai rasa yang bisa mewakili berbagai karakter khas daerah tertentu. Sehingga memunculkan nuansa yang berbeda terutama dalam khasanah ansamble cokekan maupun dalam khasanah musik Jawatimuran. Kemungkinan lain yang bisa dilakukan dalam penggarapan karya komposisi ini adalah menggabungkan beberapa instrumen yang berasal dari wilayah budaya yang berbeda, seperti kecapi yang berasal dari Sunda dan biola,

4 Wawancara Danis Sugianto di ISI Surakarta, pada tanggal 20 september 2012

Page 124: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

115 Rasa Warna Lika Arweti

sehingga nantinya diharapkan mampu menghadirkan berbagai nuansa sebagai ekspresi dari bermacam peristiwa. PEMBAHASAN

Rasa dapat diartikan sebagai tanggapan indra terhadap rangsangan saraf, seperti manis, pahit, asam terhadap indra pengecap, atau panas, dingin, nyeri terhadap indra perasa. Apa yang dialami oleh badan, contoh; pedih dan nyeri di perut merupakan gejala sakit lambung; sifat rasa suatu benda: gulanya manis; tanggapan hati terhadap sesuatu indria (indra), contoh; sedih, bimbang, takut, marah, senang. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Alwi, Hasan, et.al, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Jakarta, 2001). Melalui rasa kita akan merasakan apa yang sedang kita alami atau kita lakukan dalam berbagai konteks.

Warna dalam kata benda adalah pantulan intensitas cahaya melalui suatu benda yang diterima mata manusia. Contoh warna, ada merah, hijau, kuning, dan lain sebagainya. Sedangkan warna dalam kata sifat adalah sesuatu yang berbeda dan lebih dari satu. Warna dalam artian lain adalah kesan kita terhadap sesuatu, yang berupa kesan, baik itu indah maupun menarik. Sebagai contoh adalah ‘warna suara’, kata tersebut sangat mewakili sebuah karakter suara, yakni menunjuk sebuah karakter suara yang dimiliki oleh seseorang. Perpaduan warna dalam sebuah kombinasi memberikan kesan yang indah dan menarik. Teringat pada pelangi yang merupakan perpaduan beberapa warna yang memberikan kesan indah bahkan terlukiskan dalam lagu Pelangi-pelangi.

Rasa dan Warna adalah dua kata yang mengandung arti berbeda, Rasa adalah kata sifat yang mempunyai arti tanggapan dari indra, badan, dan hati, sedangkan arti warna dalam kata sifat adalah sesuatu yang berbeda dan lebih dari satu. Berbagi rasa dan warna apabila dipadukan akan menjadi serasi dan harmonis. Harmoni dari perpaduan dua unsur yang berbeda diharapkan menimbulkan nuansa yang baru dalam khasanah kekaryaan musik yang terdapat di Nusantara ini.

Begitu banyaknya keragaman gaya yang akan pengkarya garap dalam karya komposisi ini, maka pengkarya membatasi diri dengan mengamati seni musik tradisi yang dianggap memiliki kekuatan rasa yang mampu mewakili warna kedaerahan tertentu, contohnya adalah vokal dan instrumen. Mengingat warna suara tiap daerah berbeda-beda baik dilihat dari teknik penyuaraan, nada dan melodinya. Sedangkan instrumen sudah barang tentu menunjukkan asal daerah tempat instrumen itu dibuat dan digunakan. Misalnya pada instrumen kecapi yang secara umum dikenal sebagai instrumen musik masyarakat sunda, dari sisi teknik permainan dan ataupun nada yang dihasilkan jelas sekali menunjukkan bahwa instrumen tersebut mewakili rasa musikal masyarakat Jawa Barat (Sunda). Sedangkan instrumen Kluncing merupakan instrumen yang terbuat dari besi, secara umum alat tersebut dikenal sebagai instrumen musik masyarakat Banyuwangi. Dengan demikian, maka karya komposisi RASA WARNA ini adalah sajian konser karawitan yang memanfaatkan pengembangan garap teknik dari instrumen tradisi cokekan. Di dalamnya memuat berbagai nuansa yang timbul dari berbagai peristiwa kehidupan.

Media atau medium adalah alat ungkap yang digunakan dalam sajian komposisi RASA WARNA ini. Berdasarkan sifat dan bentuknya media bisa dikategorikan dalam 2 kategori, yaitu media yang kasat mata yang berupa instrumen, dan media yang tidak kasat

Page 125: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

116 Rasa Warna Lika Arweti

mata yang berupa tempo, ritme, birama dan dinamika. Dalam dunia musik materi pokok adalah bunyi, baik yang dihasilkan dari alat musik dan suara vokal. Materi garap adalah bahan dasar, bahan mentah atau bahan baku yang akan digunakan sebagai acuan atau diolah oleh para seniman. Menurut Sutrisno fungsi pemilihan materi ini memang harus diperhitungkan tidak semata pada nilai gunanya, tetapi juga kemampuannya untuk dapat memberikan cita rasa sentuhan estetis seninya. Materi hadir tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk mendukung (tingkatannya lebih dalam dibandingkan materi tadi, maka kiranya lebih tepat kalau menjiwai/menghidupkan meski bukan satu-satunya unsur) cita rasa seni dalam kehadiran karya seni (Sutrisno, 1993:137).

Dalam sebuah sajian komposisi baru, pemilihan alat berperan sangat penting, pertimbangan pemilihan alat (instrumen) ini tentunya masih mengacu pada konsep atau ide dasar pembuatan karya komposisi ini, yaitu penggabungan berbagai instrumen yang beragam dari berbagai gaya. Sehingga secara kasat mata sajian karya komposisi RASA WARNA ini sudah mewakili ide pengkarya. Adapun alat yang digunakan dalam sajian komposisi ini adalah sebagai berikut: a. Gender

Gender adalah alat musik pukul logam yang menjadi bagian dari perangkat gamelan Jawa dan Bali. Alat ini memiliki 10 sampai 14 bilah logam dan bernada yang digantungkan pada berkas, di atas resonator dari bambu atau seng, dan diketuk dengan pemukul berbetuk bundaran berbilah dari kayu (Bali) atau kayu berlapis kain (Jawa). Nadanya berbeda-beda, tergantung tangga nada yang dipakai. Dalam komposisi RASA WARNA gender yang digunakan berlaras slendro dan pelog pathet nem. Instrumen ini sengaja dibutuhkan dalam penggarapan karya komposisi ini sebagai penguat dari garap Jula-juli. Disisi lain penggarapannya tidak seperti pada sajian gender pada umumnya, namun terdapat garap yang menghadirkan teknik secara spesifik. Misalnya pada bagian Jula-juli, instrumen ini menggunakan teknik tabuhan gemakan pada instrumen Slenthem. b. Gambang

Gambang merupakan alat musik yang terbuat dari bambu dan salah satu dari gamelan jawa jangkep yang biasa digunakan di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Instrumen tersebut bisa menghasilkan bunyi yang mengkarakterkan suasana lincah dan semangat, sehingga suasana hati kita terasa gembira dan lebih gigih. Pada bagian tertentu karya komposisi RASA WARNA ini, instrumen gambang sengaja pengkarya butuhkan sebagai penguat rasa semangat dan kegigihan yang mana dalam kehidupan harus tetap semangat dan tidak pernah putus asa. c. Kecapi

Alat musik kecapi lebih dikenal berasal dari China sejak berabad-abad lalu. Alat berdawai ini menjadi pengiring tembang-tembang merdu. Tak hanya di China, musik kecapi juga banyak di gunakan oleh beberapa pemusik tradisional di tanah air. Seperti halnya kebudayaan Sunda, alat kecapi merupakan alat musik kelasik yang selalu mewarnai beberapa kesenian di tanah Sunda ini. Membuat kecapi bukanlah hal gampang. Meski sekilas tampak kecapi seperti alat musik sederhana, tetapi membuatnya tidaklah gampang. Untuk bahan bakunya saja terbuat dari kayu Kenanga yang terlebih dahulu direndam selama tiga bulan. Sedangkan senarnya, kalau ingin menghasilkan nada yang bagus, harus dari kawat suasa (logam campuran emas dan tembaga), seperti kecapi yang dibuat tempo dulu. Berhubung suasa saat ini harganya mahal, senar Kecapi sekarang lebih menggunakan kawat baja.

Page 126: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

117 Rasa Warna Lika Arweti

Pengkarya menggunakan alat tersebut untuk memperkuat suasana atau rasa Sunda, yang mana suasananya dikenal lebih terasa damai dan sejahtera. Instrumen tersebut pengkarya mencoba melaras nada pelog agar sesuai dengan instrumen yang lain dan lebih mendukung apa yang pengkarya harapkan. d. Siter

Siter adalah alat musik petik memiliki 11 pasang senar, direntang kedua sisinya di antara kotak resonator. Ciri khasnya satu senar disetel nada pelog dan senar lainnya dengan nada slendro. Umumnya siter memiliki panjang sekitar 30 cm dan dimasukkan dalam sebuah kotak ketika dimainkan. Siter dimainkan sebagai salah satu dari alat musik yang dimainkan bersama (panerusan), sebagai instrumen yang memainkan cengkok (pola melodik berdasarkan balungan). Siter dimainkan dengan kecepatan yang sama dengan gambang (temponya cepat). Nama siter berasal dari Bahasa Belanda citer, yang juga berhubungan dengan Bahasa Inggris zither. Senar siter dimainkan dengan ibu jari, sedangkan jari lain digunakan untuk menahan getaran ketika senar lain dipetik, ini biasanya merupakan ciri khas instrumen gamelan. Jari kedua tangan digunakan untuk menahan, dengan jari tangan kanan berada di bawah senar sedangkan jari tangan kiri berada di atas senar. Siter dengan berbagai ukuran adalah instrumen khas Gamelan Siteran, meskipun juga dipakai dalam berbagai jenis gamelan lain.

Instrumen tersebut pengkarya gunakan sebagai penguat garap Bali-balian, yang mana alat tersebut teknik menabuhnya tidak pada umumnya, tetapi sebagai pengganti pukulan Saron. Ada juga penggarapan yang lebih spesifik yaitu pada bagian garap Jula-juli, yang mana siter digarap dengan pukulan notasi irama mlaku dan imbal. e. Suling

Suling adalah alat musik dari keluarga alat musik tiup kayu. Suara suling berciri lembut dan dapat dipadukan dengan alat musik lainnya dengan baik. Suling modern untuk para ahli umumnya terbuat dari perak dan emas atau campuran keduanya. Sedangkan suling untuk pelajar umumnya terbuat dari nikel-perak, atau logam yang dilapisi perak. Suling konser standar ditalakan di C dan mempunyai jangkauan nada 3 oktaf dimulai dari middle C. Akan tetapi, pada beberapa suling untuk para ahli ada kunci tambahan untuk mencapai nada B di bawah middle C. Ini berarti suling merupakan salah satu alat musik orkes yang tinggi, hanya piccolo yang lebih tinggi lagi dari suling. Piccolo adalah suling kecil yang ditalakan satu oktaf lebih tinggi dari suling konser standar. Piccolo juga umumnya digunakan dalam orkes. Suling konser modern memiliki banyak pilihan. Thumb key B-flat (diciptakan dan dirintis oleh Briccialdi) standar. B foot joint, akan tetapi, adalah pilihanekstra untuk model menengah ke atas dan profesional. Suling open-holed,juga biasa disebut French Flute (di mana beberapa kunci memiliki lubang ditengahnya sehingga pemain harus menutupnya dengan jarinya) umum padapemain tingkat konser. Namun beberapa pemain suling (terutama parapelajar, dan bahkan beberapa para ahli) memilih closed-hole plateau key. Para pelajar umumnya menggunakan penutup sementara untuk menutup lubang tersebut sampai mereka berhasil menguasai penempatan jari yang sangat tepat.Beberapa orang mempercayai bahwa kunci open-hole mampu menghasilkansuara yang lebih keras dan lebih jelas pada nada-nada rendah. Suling konserdisebut juga suling Boehm, atau suling saja.

Page 127: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

118 Rasa Warna Lika Arweti

Instrumen ini pengkarya gunakan sebagai penguat pada garap Jula-julian dan Sunda. Sehingga dengan instrumen tersebut diharapkan muncul suasana-suasana yang diinginkan pengkarya. f. Rebana Bass

Rebana Bass (Bahasa Jawa: Trebang Gedhe) adalah gendang berbentuk bundar pipih yang terbuat bingkai berbentuk lingkaran dari kayu yang dibubut, dengan salah satu sisi untuk ditepuk berlapis kulit kambing. Kesenian yang biasanya menggunakan rebana misalnya di kota Gresik dan Banyuwangi yang biasanya digunakan sebagai musik islami yakni khasidah dan hadrah. Sehinga di kota tersebut setiap hasil karyanya mayoritas menggunakan Rebana.

Alat musik Rebana ini, pengkarya gunakan sebagai penguat rasa seleh tiap garap gending dan agar lebih mendukung pada suasana yang tegang, tegas dan semangat. Sehingga Rebana pengkarya harapkan dapat memunculkan karakter-karakter suasana yang diinginkan. g. Biola

Biola merupakan alat musik yang cara membunyikannya adalah digesek. Instrumen biola ini fungsi utamanya adalah memainkan melodi dan pengiring/harmonisasi. Misalnya Biola yang ada di Banyuwangi digunakan untuk mengiringi vokal tunggal atau biasa disebut Ranginan. Pada karya komposisi RASA WARNA ini biola juga pengkarya gunakan sebagai pemanis lagu dan penguat pada garap Ranginan agar lebih muncul suasana Banyuwagian. h. Kluncing

Alat ini terbuat dari besi yang berbentuk segitiga dan pemukulnya juga terbuat dari besi, sehingga menghasilkan bunyi yang nyaring dan biasa digunakan di Banyuwangi. Alat ini memiliki ukuran dan hasil bunyi yang berbeda-beda dari yang kecil sampai besar. Alat ini sengaja pengkarya butuhkan sebagai penguat pada garap banyuwangian.

Adapun draf komposisi yang akan disajikan adalah sebagai berikut: 1. Bagian Awal

Sajian karya komposisi RASA WARNA diawali dengan sebuah drama, dimana ada satu orang (vokal putri) yang sedang menunggu teman-temannya untuk bermain musik di rumahnya, pada saat menunggu, hujan turun dan atap rumah bocor, kemudian orang itu mengambil tempat atau wadah untuk menampung air yang menetes. Beberapa saat kemudian teman-teman yang ditunggu datang dan Si pemilik rumah menyambut dengan lagu, lalu teman-temannya menuju ke instrumennya masing-masing kemudian bermain musik bersama dengan pukulan rampak semua instrument dan vokal, kemudian semua instrument berganti pola vokal berhenti sejenak lantas masuk lagi dengan koor vokal bersamaan semua instrumen, bentuk ini dimainkan dua kali yang kemudian vokal putri solo masuk dengan iraama yang lembut dan lagu beserta sair yang menceritakan tentang keindahan alam yang mewah. Pada akhir bentuk ini irama mencepat dan berhenti mendadak. 2. Bagian Tengah

Bagian dua ini diawali dengan vokal koor rampak yang kemudian dilanjuutkan dengan vokal Banyuwangi atau dalam istilahnya ranginan dengan ilustrasi biola yang memainkan tehnik biola Banyuwangi, kemudian masuk lagu dengan semua instremen hingga semua berhenti di nada 6 (nem), lalu semua instrumen memainkan pola rampak mencepat dan semakin keras kemudian berhenti dilanjutkan gending jula-juli dengan garap gaya

Page 128: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

119 Rasa Warna Lika Arweti

Surabaya dan Madura. Pada garap Madura, siter 1 dan siter 2 membuat pola yang mengganggu permainan diselingi vokal semua dari pemain. 3. Bagian Akhir

Bagian ketiga adalah acapella yang diawali vokal bersama dengan syair hem hingga dua orang pemain membuat jalinan yang mengambil pola imbal Bali lalu semua pemain masuk dengan pola lain yang saling mengisi dan vokal putri dengan syair memperindah dengan cengkok menyerupai hip-hop bersamaan vokal putra masuk dengan gaya ngerep. Setelah bagian di atas berhenti suling masuk sendiri dengan cengkok Sunda, setelah beberapa saat vokal putri masuk dengan lagu dan sair, sebelum habis, vokal putri 2 masuk dengan sindenan laras slendro, sedangkan semua instrumen memainkan nada pelog. Setelah bagian adi atas habis semua instrumen berganti pola dengan memainkan irama mars dan diisi lagu yang bertema kegigihan, sampai pada titik lagu, semua instrument menuju nada 1 (ji) membentuk ilustrasi yang semakin lama menghilang, vokal putri melagukan lagu bernuansa sedih. KESIMPULAN

Pada prinsipnya proses penciptaan sebuah karya komposisi itu dibagi menjadi 2 sistem, yaitu proses bengkel dan proses mandiri. Yang dimaksud proses bengkel adalah ketika semua musisi terlibat ikut andil dalam pembuatan sebuah karya. Sedangkan proses mandiri adalah proses yang dilakukan oleh seorang composer, dimana segala pertimbangan pembuatan notasi untuk berbagai instrumen dan vokal dilakukan oleh satu orang, sedang musisi yang lainnya hanyalah sebagai pemain musik saja. Masing-masing metode punya kekurangan dan kelebihan sendiri-sendiri. Dalam proses ini pengkarya menggunakan metode proses bengkel, dimana pengkarya hanya memberikan stimulant dan ide awal untuk dikembangkan.

Penggarapan komposisi RASA WARNA ini juga merealisasikan ide-ide musikal yang berinspirasi dari rasa yang ditimbulkan dari hati, dimana hal itu sering kita alami. Akibat hati karena rasa tersebut pengkarya jadikan pijakan untuk membangun karya komposisiRASA WARNA. Komposisi ini dipahami sebagai satu teknik menyusun lagu, baik instrumental maupun vokal hingga menjadi suatu karya yang indah dan harmonis (Tim,1988:453).

Teknik yang dilakukan dalam pembentukan komposisi, adalah merangkai pada beberapa gending yang telah tercipta melalui proses eksplorasi dan improvisasi. Pembentukan komposisi mengacu pada pemikiran I Wayan Senen (2002:96) bahwa sebuah komposisi terdiri dari tiga bagian yaitu awal, tengah dan akhir. Bagian awal merupakan introduksi, bagian tengah merupan isi pokok dari komposisi, dan bagian akhir sebagai penutup. Tiga bagian tersebut diadopsi untuk penyusunan karya komposisi RASA WARNA. BIODATA PENULIS

Lika Arweti Pendidikan Seni Karawitan Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya

Page 129: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

120

Fantasi Gerak Manusia Nanang Muchsinien

FANTASI GERAK MANUSIA SEBAGAI IDE PENCIPTAAN KARYA SENI PATUNG

Nanang Muchsinien

Abstract

This article was written as a form of accountability of the creator to the created work with the hope it can be a connector between the sculptor’s perception and the public. The background of the sculptural work based on the living in a big city where people diverse in ethnic, cultural, social, economic and others immerse in all aspects of life that are complicated moving so fastly and tirelessly. The author tried to focus on the activities of human motion. According to the author, human motion takes an important role in creating the work, because the motion of human such as jumping, running, walking, rolling over and others have beautiful motion effect. Flexibility, agility, sofness of the movement and other movements of human activities arising the fantasy with no ending. Thus, the human motion is always moving dynamically , not statically. These human movements were captured and immortalized cultivated in the heart and mind and try to be realized in the form of sculptures. Keywords: sculptural, cultural, activities of human motion

PENDAHULUAN Manusia dalam berfantasi, adalah membayangkan sesuatu sampai jauh dan tidak dibatasi ruang dan waktu, karena fantasi manusia bebas mengembara dan kapan saja bisa dilakukan. Manusia juga sering melakukan rekaan-rekaan dalam menceritakan sesuatu sehingga terkesan seperti apa adanya. Mengkhayalkan sesuatu dapat membangkitkan pikiran dan perasaan agar melakukan sesuatu sesuai dengan pikiran atau perasaan. Hasil tindakan berfantasi sering tidak dapat diterima oleh pikiran manusia, ini terjadi karena fantasi tersebut adalah melewati batas pikiran normal manusia. Eksplorasi ini merupakan suatu yang menarik bagi pematung yang kreatif, dalam menangkap fenomena atau gejala manusia dalam beraktifitas atau gerakan yang diciptakan sendiri, sehingga timbul ide untuk mewujudkan dalam sebuah karya seni patung. Kemampuan dan kreativitas yang dimiliki kreator, serta didukung berbagai macam teknik dan bahan, maka dapat diciptakan karya seni tiga dimensional dengan harapan untuk mencukupi gejolak yang timbul dari dalam batin yang dituangkan melalui simbol-simbol dan elemen-elemen gerak manusia yang dapat mendukung pencapaian gejolak tersebut.

Memandang obyek tertentu jaga dapat digunakan dasar untuk berfantasi, seperti gerak binatang, manusia, dan gerakan-gerakan benda lainnya. Gerak manusia mempunyai daya tarik sendiri karena gerak manusia tersebut selalu bervariasi dan dapat difantasikan secara maksimal. Gerakan-gerakan manusia yang dapat ditangkap adalah gerakan manusia sehari-hari seperti berolah raga, bekerja, gerak manusia yang disengaja maupun yang tidak disengaja, ataupun gerakan-gerakan lain yang dapat digunakan sumber ide kreatif dalam menciptakan sebuah karya seni. Gerak manusia tersebut dapatlah direka-reka, dikhayalkan secara bentuk itu sendiri, sehingga gerakan tersebut sudah tidak seperti keadaan secara nyata. Bentuk hasil dari reka-reka atau khayalan tersebut dapat menghasilkan bentuk visual yang artistik dan mempunyai kekuatan besar secara ekspresi. Sangat beralasan untuk menunjukkan

Page 130: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

121

Fantasi Gerak Manusia Nanang Muchsinien

anggota tubuh manusia tertentu untuk dieksplorasi secara bebas sehingga mendapatkan bentuk baru yang sesuai kehendak penciptanya, lebih detail dalam melakukan fantasi gerak manusia adalah dengan cara menarik, membengkokkan, membesarkan, memutar dan sebagainya sehingga memperoleh bentuk tiga dimensi yang diinginkan.

Terobsesi oleh gerak manusia yang sarat dengan aktifitasnya tersebut, dikembangkan upaya transformasi nilai-nilai estetik ke dalam karya seni patung, untuk mencerminkan aneka ragam permainan manusia dengan menggunakan simbol-simbol yang digunakan sebagai kendaraan manusia, untuk difungsikan sebagai alat percepatan meraih obsesi, angan-angan serta cita-citanya. Untuk mencapai bentuk visual, dari hasrat, keinginan dan cita-cita manusia, diperlukan teknik atau proses perwujudan agar komposisi bentuk yang diciptakan sesuai dengan media yang digunakan.

Gerak manusia merupakan satu kesatuan dalam mencermati dan menyikapi pikiran, cara pandang, keyakinan, tindakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Nilai fantasi merupakan sebuah pandangan hidup yang berkaitan dengan pola pikir, khayalan. Adapun transformasi bentuk, berkaitan dengan ekspresi dalam setiap usaha penciptaan karya seni selalu berhubungan dengan kebutuhan hidup manusia, baik kebutuhan yang berurusan dengan segi-segi lahiriah maupun batiniah. Dalam konteks ini, penciptaan lebih ditekankan pada pemenuhan kebutuhan estetik, terutama menyangkut kepuasan cita rasa estetik yang bersifat personal. Seni Patung

Seni patung merupakan cabang seni tertua usianya, sampai kini mengalami banyak perkembangan. Demikian pula dengan perkembangan konsep mengenai seni patung. Dibawah ini akan diuraikan beberapa definisi seni patung: Cabang seni rupa yang hasil karyanya berwujud tiga dimensi. Biasanya diciptakan dengan cara memahat, modeling (misalnya dengan bahan tanah liat) atau kasting (dengan cetakan). Seiring dengan perkembangan seni patung modern, maka karya-karya seni patung menjadi semakin beragam, baik bentuk maupun bahan dan teknik yang digunakan, sejalan dengan perkembangan teknologi serta penemuan bahan-bahan baru.

Pada dasarnya seni rupa tiga dimensi yang terkandung di dalamnya ukuran, panjang, lebar dan tinggi, mempunyai masa, volume, tekstur. Walaupun ada pula yang bersifat seni pakai, tetapi pada dasarnya seni patung adalah seni murni. Seni patung disebut juga seni tiga dimensional (tiga pandangan) seni patung dapat dipandang dari depan, samping dan belakang.

Seni menciptakan bentuk tiga dimensional atau bentuk relief, pada dasarnya ada dua konsepsi bentuk yang saling berlawanan di dalam seni patung, yang pertama memahat atau mengurangi bahan yang sudah ada, sedangkan yang kedua sebaliknya, yaitu bentuk diciptakan melalui proses penambahan bahan. Bagian seni rupa yang merupakan pernyataan pengalaman artistik lewat bentuk-bentuk tiga dimensional. tempatnya benar-benar berada di dalam ruang, tidak ada masalah perspektif seperti halnya seni lukis. Persoalan konsep sangat penting, seniman mencari cara pandang baru di dalam memandang fenomena/realitas yang dialaminya. Unsur Visual

Unsur-unsur seni atau unsur-unsur mendisain, komponen menjadi dasar pokok yang digunakan oleh seniman pada saat membuat karya seni yang baik. Unsur-unsur itu adalah

Page 131: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

122

Fantasi Gerak Manusia Nanang Muchsinien

memiliki kualitas yang harafiah dalam karya seni rupa manapun tidak terlepas dari prinsip-prinsip disain. (art cyclopedia).

Pengertian Warna. Menurut Cyclopedia warna adalah suatu unsur seni dengan tiga kekayaan: (a) nama warna atau mewarnai, (b) intensitas, kemurnian dan kekuatan warna, (c) keringanan atau kegelapan suatu warna. Dengan demikian yang dimaksud warna dalam seni patung adalah bentuk tiga dimensi sebagai media pengekspresian yang diwujudkan melalui karya seni, mewakili kenyataan optis, melambangkan sesuatu ataupun mewakili identitas bentuk tiga dimensi itu sendiri. Pengertian Bentuk. Bentuk merupakan segala sesuatu yang dapat dilihat mempunyai bentuk yang memberikan identifikasi tertentu dalam persepsi kita. Dalam seni patung bentuk mempunyai kedudukan yang sama dengan unsur-unsur visual lainnya seperti garis, warna, tekstur dan ruang. Kemudian “ujud” adalah “form” yaitu susunan atau pengorganisasian bagian-bagian dari unsur-unsur visual tersebut. Pengertian Tekstur. Tekstur dalam desain elementer diartikan: nilai raba pada permukaan suatu benda, ada dua macam tekstur yaitu tekstur nyata dan tekstur semu, disamping itu, tekstur mempunyai juga kualitas plastis, karena tekstur menimbulkan bayang-bayang pada permukaan benda yang bertekstur tersebut, menyebabkan tekstur mempunyai mempunyai sifat atau karakter tersendiri. Selain mempunyai kualitas plastis dan ekspresi tekstur pun mempunyai nilai-nilai dekoratif

Pengertian ruang. Dalam Desain Elementer disebutkan bahwa ruang adalah (a) bentuk dua atau tiga dimensional, bidang atau keluasan, (b) keluasan positif atau negatif yang dibatasi oleh limit. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa ruang meliputi seluruh tiga dimensi, yakni tinggi, lebar, dan dalam.

Pengertian kontras. Kontras berasal dari bahasa Inggris “contrast” yang berarti perbedaan tajam. Dalam seni patung, kontras menghasilkan vitalitas. Hal ini muncul karena adanya warna-warna komplementer, gelap terang, garis lengkung dan lurus, obyek dekat dan jauh, bentuk vertikal dan horisontal, tektur kasar dan halus, kosong dan padat.

Pengertian ritme. Pengertian ritme adalah sebagai berikut: “ukuran panjang pendek dan tinggi rendah suara dan bunyi”, dalam desain elementer disebutkan bahwa “irama atau ritme” ialah suatu pengulangan yang secara terus menerus dan teratur dari suatu unsur. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk memperoleh gerak yang ritmis ada tiga macam cara: a) melalui pengulangan bentuk dengan pengulangan dan pergantian teratur, b) dengan progresi ukuran-ukuran, c) melalui gerak garis kontinyu. Pengulangan bentuk akan membantu untuk menarik perhatian. Tetapi apabila terlalu sering ada pengulangan akan mengakibatkan kejenuhan.

Pengertian klimaks. Pengertian klimaks menurut desain elementer adalah fokus dari suatu susunan pusat perhatian di sekitar mana elemen-elemen yang lain bertebaran dan tunduk membantunya. Selanjutnya dinyatakan bahwa tempat yang paling menarik perhatian tidak pernah di pusat, semakin ketepi semakin mempunyai daya tarik yang kuat. Pusat perhatian (center of interest) dapat dibuat dengan jalan: a) menempatkan atau menggerombolkan objek-objeknya, b) dengan menggunakan kontes warna, c) menggunakan hiasan sedikit tapi menguasai ruang, d) dengan membuat latar belakang yang sederhana, e) adanya sesuatu yang lain dari pada yang lain.

Page 132: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

123

Fantasi Gerak Manusia Nanang Muchsinien

Pengertian balans. Pengertian balans dalam buku Desain Elementer diartikan seimbang atau tidak berat sebelah. Balans ada dua yaitu balans formal dan balans informal. Balans formal (bisimetris) dengan objek-objeknya pada tiap-tiap sisi dari pusatnya adalah benar-benar identik dan balans sederajat. Balans informal atau asymetrical balance yaitu balans tersembunyi. Balans informal lebih halus dan rumit dari balans formal dan dapat memberikan kemungkinan-kemungkinan variasi yang lebih kaya dalam penyusunannya.

Pengertian proporsi. Kata proporsi berasal dari bahasa Inggris “proportion” diartikan sebagai perimbangan; perbandingan. Prinsip proporsi kadang disebut “law of relationship”. Selanjutnya dijelaskan dalam Desain Elementer bahwa untuk memecahkan masalah tentang proporsi ada tiga jalan yaitu: a) untuk mendapatkan susunan yang menarik, b) membuat perubahan bentuk dalam pengelihatan yang sesuai dikehendaki, c) untuk menentukan besarnya ukuran.

Berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa prinsip-prinsip penyusunan unsur-unsur visual adalah menciptakan karya seni (seni patung), merupakan teknik dasar yang harus dipegang bagi perupa pada umumnya dan pematung pada khususnya untuk mencapai keharmonisan karya. Pengertian Gerak Manusia

Manusia memiliki kemampuan untuk bergerak dan melakukan aktivitas, seperti berjalan, berlari, melompat, menari dan lain-lain. Bagaimana manusia dapat melalakukan gerakan? Kemampuan melakukan gerakan tubuh pada manusia didukung adanya sistem gerak, yang merupakan hasil kerja sama yang serasi antar organ sistem gerak, seperti rangka (tulang), persendian, dan otot.

Gambar 1: Sistem Alat Gerak / Otot pada Manusia

Disisi lain gerakan juga mempunyai dua pengertian, yaitu Gerakan dalam arti

denotatif dan Gerakan dalam arti konotatif. (1) Gerakan dalam arti denotatif. Pengertian gerakan dalam arti denotatif adalah sebuah jenis gerakan yang dapat ditangkap indra manusia dengan kemampuan pikirannya untuk menangkap objek-objek indrawi tersebut. (2) Gerakan dalam arti konotatif. Pengertian gerakan dalam arti konotatif adalah pengertian yang bermakna, yaitu gerakan yang ada dibalik sebuah gerakan itu sendiri. Simbol gerakannya bisa lebih dari satu (bersifat tidak kaku) yang banyak menimbulkan persepsi dan makna yang ganda, misalnya: gerakan yang ada pada dunia birokrasi, politik, persidangan, judi, dan sebagainya. .

Page 133: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

124

Fantasi Gerak Manusia Nanang Muchsinien

Ide Dan Konsep Perwujudan Ide dasar

Adalah berawal dari kebiasaan penulis dalam pekerjaan sehari-hari yang menggeluti bidang tiga dimensi, mengolah bentuk sedemikian rupa, dan pengalaman-pengalaman lain yang sering menjumpai berbagai jenis anatomi tubuh manusia. Beberapa jenis gerak manusia yang mampu memberikan inspirasi adalah momen-momen gerak manusia tertentu yang direkam melaui pengindraan, dan diolah dengan fantasi secara personal, dan sebagainya sehingga menimbulkan ide untuk menuangkan ke dalam karya seni patung.

Berangkat dari gerak manusia dan difantasikan, adalah untuk diciptakan karya seni patung, dengan ciri-ciri gerakan manusia, terbentuk yang spesifik dan unik, namun selalu mempertimbangkan nilai ekspresi gerak itu sendiri dan bentuk tersebut pada kenyataannya sudah berubah bentuk sesuai yang diinginkan, sehingga keadaan bentuk tersebut menimbulkan permasalahan baru, dan mampu merangsang emosi yang memandangnya. Dengan cara pandang penulis secara subyektif, maka fantasi gerak manusia tersebut mempunyai daya tarik tersendiri untuk penciptaan karya seni patung. Ditinjau secara umum, juga merupakan sarana pokok yang memungkinkan kita mengenal dan melihat serta meninjau latar belakang gerak manusia itu sendiri. Konsep Perwujudan

Dalam kesempatan ini, penulis akan berbicara lewat bahasa bentuk ke dalam seni patung, adalah semata-mata ingin mengajak berpikir atau merenungkan bersama-sama dalam menyikapi gerak manusia yang kita anggap menarik untuk diwujudkan ke dalam karya seni tiga dimensi, dari pemahaman gerak manusia itulah penulis tertarik untuk mefantasikannya ke dalam konsep karya seni patung dan pemahaman gerak manusia sebagai ide pencipta karya seni patung tersebut disusun, di komposisikan dan dideformasikan sesuai dengan prinsip fantasi secara personal, sehingga terbentuklah sebuah karya patung. Secara empirik, gerak manusia tersebut diolah dan difantasikan, sehingga penulis dengan bebas mengolah, memutar, melenturkan gerakan manusia sesuai yang diinginkan. Dalam mefantasikan gerak manusia mengutamakan gera-gerak anggota tubuh tertentu yang dianggap tepat untuk dijadikan pusat perhatian, sehingga pada anggota tubuh yang lain hanyalah sebagai pelengkap saja. Wujud karya yang diciptakan akan membesarkan, mengecilkan, memanjangkan, memutar, melenturkan bagian tubuh sesuai angan-angan yang tersusun secara spontan. LATAR BELAKANG PENCIPTAAN

Pada bab ini secara mendasar adalah pemahaman sebuah latar belakang yang menjadikan ide penciptaan seni patung, dari pemahaman penciptaan seni patung penulis mencoba memusatkan perhatian pada gerak manusia. Di luar kesadaran kita gerak manusia mengambil peran penting bagi penulis, karena dengan gerakan yang ditimbulkan menggugah daya kreatif. Gerak-gerak yang ada pada manusia mempunyai efek gerak yang indah, mulai kelenturan, dan kelincahan, serta kelembutan gerakannya, sehingga timbul ide untuk difantasikan. Demikian juga dengan gerakan-gerakan lain yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia tak lepas dari proses fantasi yang tidak ada hentinya.

Gerak manusia yang ada pada khayalan penulis tidak menutup kemungkinan untuk difantasikan, sehingga penggolahan fantasi berdasar pada khayalan yang masih menempel pada pikiran dan batin penulis. Fantasi ini wajar untuk diolah sebagai bagian proses kreatif

Page 134: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

125

Fantasi Gerak Manusia Nanang Muchsinien

dalam bentuk sketsa, dan pada akhirnya langkah eksekusi karya tiga dimensi atau seni patung. Khayalan yang difantasikan dirasa sangat menarik karena di dalam batin terjadi tarik-menarik dalam mengeksplorasi bentuk sehingga rasa emosi dapat langsung dirasakan. Semakin banyak persoalan gerak manusia yang terekam dan tersimpan tersebut, semakin banyak juga persoalan fantasi yang segera diwujudkan kedalam karya visual atau seni patung.

Seniman (pematung) mengubah arena kerjanya, dari dalam studio menuju konteks langsung persoalan gerakan manusia yang dengan teliti dipilih gerakan yang dianggap mewakili persoalan manusia tersebut. Seni mungkin bukan lagi sekedar dipamerkan atau dinikmati sebagai objek estetik melainkan lebih berupa manifestasi nyata bahkan khayalan. Suatu visi dalam seni tidak berhenti di ‘mata’ yang selama ini melatih kita untuk membangun kepercayaan terhadap apa-apa yang kita lihat. Visi dalam seni yang dimaksud di sini adalah praktis sosial yang yang berakar dari jiwa dan raga. Dengan demikian dunia fantasi sangat tepat untuk menyongsong gerak manusia yang selalu beragam dan sangat banyak jumlahnya.

Bagi penulis dalam mensikapi gerak manusia yang kita temui mempunyai keunikan tersendiri, mulai dari bentuk, dan sifatnya yang berbeda dengan gerak manusia dan peristiwa gerak manusia lainnya. Sehingga dengan fantasi gerak manusia tersebut dapat menumbuhkan ide kreatif bagi penulis untuk memvisualkan ke dalam karya patung.

Gerak manusia yang secara visual banyak menampilkan berbagai ciri, bentuk, dan gerakan yang berbeda pula. sebagai ide penciptaan seni patung di sini bisa membuat perasaan penulis begitu lepas, begitu mengerti keadaan yang sebenarnya, karena penulis sering menjumpai dan menghayalkan gerak manusia yang ada di lingkungan sekitar kita. Informasi tentang gerak dapat dijumpai dengan melihat lansung, informasi melalui media, teknologi informasi, daya ingat dan sebagainya, sehingga memudahkan untuk dijadikan ide penciptaan. Gerakan manusia inilah yang diusahakan ditangkap dan diabadikan dalam batin dan pikiran. Gerak Manusia Nyata

Keadaan nyata aktifitas gerak manusia nyata adalah aktifitas manusia yang digerakkan oleh otot sebagai alat gerak aktif. Pada umumnya manusia mempunyai kemampuan untuk bergerak, gerakan tersebut disebabkan karena kerja sama antara otot dan tulang. Tulang tidak dapat berfungsi sebagai alat gerak jika tidak digerakan oleh otot. Otot mampu menggerakan tulang karena mempunyai kemampuan berkontraksi. Kerangka manusia merupakan kerangka dalam, yang tersusun dari tulang keras (osteon) dan tulang rawan (kartilago).

Gambar 2; Otot merupakan alat gerak aktif. Sedangkan kerangka mempunyai fungsi untuk menggerakan tubuh serta menentukan

bentuk tubuh. Melindungi alat-alat tubuh yang penting dan lemah, misalnya otak, jantung, dll. Disamping itu kerangka juga berfungsi sebagai tempat melekatnya otot-otot, tempat pembentukan sel darah merah dan sel darah putih, dan sebagai alat gerak pasif. Manusia

Page 135: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

126

Fantasi Gerak Manusia Nanang Muchsinien

dengan adanya kedua kaki untuk menggerakan badan, kedua tungkai depan digunakan untuk memanipulasi obyek dalam Sistem Alat Gerak / Otot pada Manusia. Gerak Manusia Tidak Nyata

Gerakan manusia tidak nyata adalah sebuah gerak yang ada dalam diri manusia tanpa menujukkan gerakan fisik atau bahasa tubuh. Gerak ini identik dengan emosi yang besar dan dapat memengaruhi keputusan serta tingkah laku manusia. Emosi menyenangkan seperti cinta atau sukacita bertentangan dengan emosi tak menyenangkan seperti kebencian, cemburu, iri hati atausakit hati. Dengan dorongan gerak dari dalam tersebut maka manusia dapat bergerak sesuai yang diinginkan, tetapi dapat pula tanpa ada gerakan dan hanya diolah di dalam diri manusia. Gerakan dari dalam diri manusia inilah yang dapat mengakibatkan fantasi atas gerak-gerak manusia yang masih menempel pada pikiran sehingga memberikan inspirasi untuk mengolah gerak manusia.

Pengalaman-pengalaman pribadi tersebut sangatlah beralasan untuk menjadikan gerak manusia sebagi ide penciptaan karya seni patung. Di sini penulis akan berbagi rasa kepada orang lain, akan gerak manusia yang senantiasa menghimpit perasaan, dan kemudian mencoba mengajak berdialog dengan bahasa visual yaitu karya seni rupa tiga dimensi atau seni patung.

Dengan karya seni patung ini akan terjadi percakapan antara pengetahuan penulis sebagai perupa yang menciptakan karya seni patung yang dihadirkan di khalayak secara luas. Dari aktivitas kreasi seni patung yang terinspirasi dari gerak manusia tersebut, semoga akan tercapai apa yang akan penulis sampaikan pada obyek yang sesungguhnya. KONSEP PENCIPTAAN Ide Pencipta Karya

Gerak manusia apabila dikupas dari berbagai segi dan pertimbangan akan fenomena kehidupan maka kita akan mengerti arti kehidupan manusia sesunguhnya. Kehidupan manusia yang sangat unik dan sekaligus nyata ini membuat kita sadar akan arti kehidupan di dunia ini. Dengan memandang arti kehidupan ini membuat kita menyadari akan kebesaran Tuhan Maha Pencipta alam semesta, lebih utama dalam memahami hidup ini dengan penuh kesadaran.

Penciptaan karya seni selalu dipengaruhi oleh keadaan di mana seniman berada,mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Manusia hidup didukung oleh kondisi-kondisi yang ada di lingkungan sekitarnya, misalnya unsur sifat dan perbuatan manusia satu dengan yang lain, merupakan bagian integral dari lingkungan hidupnya.

Dari pemahaman gerak manusia itulah penulis tertarik untuk mefantasikan dan mengangkat ke dalam konsep karya seni patung yang disusun atau di komposisikan sesuai dengan kontrol intuisi secara mendalam, sehingga terbentuklah sebuah karya patung yang mempunyai nilai-nilai pribadi sebagai bentuk penyadaran akan pentingnya momen dalam gerak manusia. Susunan dan komposisi tersebut diantaranya bentuk-bentuk gerak oleh otot-otot yang dapat memberikan efek bentuk yang dirasa menarik. Kekayaan bentuk yang ada pada gerak manusia yang memungkinkan untuk difantasikan, dikombinasikan dengan volume, tekstur, keseimbangan, dan warna dijadikan sebuah karya seni patung. Dari ide dan bersifat fisik mengenai kelenturan, keindahan gerak manusia tersebut, maka dapat disusun struktur seni patung. Pertimbangan faktor ideoplastis: ide/pendapat, pengalaman, emosi,

Page 136: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

127

Fantasi Gerak Manusia Nanang Muchsinien

fantasi dan sebagainya, dimana faktor ini bersifat rohani yang mendasari penciptaan seni patung yang mengambil gerak manusia sebagai sumber ide seni patung. Konsep Karya

Berawal dari hidup di kota Surabaya yang terkenal dengan kesibukan kehidupan metropolis, sebagai manusia haruslah selalu bergerak untuk kehidupan di dunia ini. Dalam keseharian sering menjumpai berbagai bentuk gerak manusia dalam kehidupan yang ada di sekeliling kita. Pada manusia sering kita jumpai adanya gerak yang kadang memungkinkan untuk diamati, keindahan, kelenturan dan sekaligus gerak manusia yang dapat difantasikan.

Gerak manusia yang sering kita jumpai sangat beraneka macam gerak maupun bentuknya, yang menambah kekayaan kehidupan di dunia ini. Gerak manusia sangat unik ditinjau dari tekstur, volume, dan bentuknya, yang rentang dijadikan ide awal untuk mendukung daya kreatifitas.

Dari spisifikasi gerak manusia tersebut, maka sangat tepat untuk dijadikan sebuah karya seni patung yang diolah dan diujudkan dalam karya seni patung, dengan pengkomposisian yang tepat menurut daya estetis secara pribadi/subyektif. Bentuk Perwujudan

Tujuan penulisan ini sebagai uraian gagasan atau ide yang di tuangkan pada media cepat sebagai sarana ekspresi dengan menggunakan gabus atau styrofoam, bahwa ide adalah pengungkapan atau dimensional dengan garis dan warna. Dengan demikian merupakan sarana untuk berkomunikasi dengan penikmat seni dari apa yang dipikirkan dan diimajinasikan, pemahaman dan kesadaran diri yang disusun sedemikian rupa sebagai sarana untuk menyampaikan ide, gagasan yang akan di sampaikan kepada masyarakat. Dalam menciptakan seni patung, penulis cenderung menggunakan bahasa realistis, sesuai dengan kenyataan, sehingga pesan yang ada di dalam karya mudah di pahami dan ditangkap oleh penikmat.

Pada penciptaan seni patung penulis menggunakan bantuan apa saja yang dipandang perlu untuk mencapai karakter benda, volume, dan gerak agar tanpak seperti nyata atau tidak nyata bahkan tidak lazim. Selain itu juga menggunakan pengamatan manual baik bentuk, warna, sifat, bahkan detail bentuk pada masing-masing gerak manusia. Dengan bantuan foto dan pengamatan secara langsung bentuk objek di ubah menjadi bentuk yang baru sesuai kehendak perasaan, yang ditata, disusun, dan dikomposisikan sesuai dengan daya kreatif dan estetik penulis. Penciptaan karya seni patung ini juga atas pertimbangan Faktor Fisikoplastis, bahwa fisikoplastis adalah berupa hal-hal yang menyangkut persoalan teknis, termasuk pengorganisasian elemen-elemen fisik seperti garis, tekstur, ruang, bentuk (shape) beserta prinsip-prinsipnya. Jadi faktor ini bersifat fisik seperti yang tampak pada karya seni itu sendiri. Alat khusus dan bahan yang digunakan untuk menuangkan ide kreatif adalah: bahan dasar gabus atau styrofoam, dan menggunakan alat gergaji, pisau/ cutter. Alasan penulis menggunakan bahan dasar gabus atau styrofoam dalam berekspresi karya seni patung adalah mempercepat proses visual, karena dalam proses tersebut memerlukan waktu yang relatif lebih cepat terealisasi. PROSES PENCIPTAAN Tahap Pemantapan Ide

Pada tahap pemantapan ide adalah tahapan penentuan akan sebuah ide dari hasil kristalisasi sebuah proses pengamatan serta eksplorasi terhadap gerak manusia yang

Page 137: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

128

Fantasi Gerak Manusia Nanang Muchsinien

difantasikan sesuai dengan kehendak pribadi. Obyek Gerak Manusia itulah dijadikan sebuah ide karya seni patung, yang diwujudkan dalam bentuk fantasi yang ditata/dikomposisikan menurut daya estetik sehingga menghasilkan karya yang diinginkan. Proses penciptaan ini akan terbentuk sebuah seni patung sebagai penggambaran pemahaman ide dan konsep, yang mewakili rasa, pemikiran, maupun sindiran, yang visualnya mengacu pada sebuah permukaan suatu objek, yang dikombinasikan dengan berbagai keanekaragaman permukaan dari sebuah benda yang berupa warna, bentuk artistik, spiritnya, dan menggabungkan dengan objek lain dengan imajinasi, dan juga berbentuk simbol-simbol ekspresi dan perasaan.

(1) Dorongan Internal. Perolehan ide didapat dari berbagai cara, salah satunya dengan melakukan eksplorasi meliputi penggalian sumber penciptaan melalui studi pustaka dan pengamatan langsung di lapangan untuk memperoleh ide-ide secara empirik (pengalaman). Data yang diperoleh dari simbol gerak manusia adalah: gerak penari, gerak olah ragawan, gerak anak-anak dan lain-lain yang dapat menggugah intuisi untuk mengabadikan dalam karya. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dan data yang diperoleh melalui kajian sumber, diperoleh gambaran tentang gerak manusia. Kenyataan itu menjadi landasan bagi penciptaan karya seni patung. Realisasi gagasan tentang simbol gerak manusia itu disesuaikan dengan pengalaman-pengalaman pribadi yang pernah dilihat, didengar dan dialami dalam kehidupan sehari-hari, atau dialami oleh orang lain. Realisasi gagasan tersebut diusahakan melalui penerjemahan berbagai pengalaman pribadi, yaitu pengalaman yang diserap melalui kondisi-kondisi sosial kultural yang berkembang di dalam dan di luar lingkungan sekitar yang diwujudkan ke dalam bentuk karya seni patung secara personal.

(2) Dorongan Eksternal. Penciptaan karya seni selalu dipengaruhi oleh keadaan di mana seniman berada, yang mencerminkan suatu hasil selain merefleksikan diri seniman penciptaannya juga merefleksikan lingkungannya (bahkan diri si seniman itupun terkena pengaruh lingkungan pula). Lingkungan itu bisa berwujud alam sekitar maupun masyarakat sekitar. Manusia dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial budaya dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Manusia hidup didukung oleh kondisi-kondisi yang ada di lingkungan sekitarnya, misalnya unsur sifat dan perbuatan manusia satu dengan yang lain, merupakan bagian integral dari lingkungan hidupnya. Dengan beberapa masukan dan informasi yang datang dari luar diri kita patut untuk kita pertimbangkan sebagai ide penciptaan karya seni patung.

(3) Proses Perwujudan. Setelah melakukan pengamatan langsung dan eksplorasi dan improvisasi/ eksperimentasi kemudian dilakukan pengolahan. Hasil pengolahan tersebut diwujudkan dalam bentuk fantasi, sehingga menjadi bentuk karya tiga dimensional yang unik. Pengembangan bentuk gerak manusia tersebut, dijadikan landasan penciptaan yang akan dilakukan. Selanjutnya ide dasar ini digunakan untuk merencanakan bentuk-bentuk sebagai upaya pengembangan daya kreatif, berupa sketsa alternatif.. Bahan, Alat dan Tehnik

(1) Bahan. Karya patung yang diciptakan menggunakan material/ bahan yang akrab dan ada di sekeliling kita. Artinya bahan tidak menjadi kendala sebuah kreativitas, namun digunakan untuk memecahkan masalah bentuk dalam karya seni patung, karena dari material/ bahan mempunyai karakteristik/ kekuatan sendiri-sendiri. Material/bahan yang digunakan adalah gabus atau styrofoam, penggunaan bahan ini sangat luwes dan fleksibel guna memudahkan dalam proses perwujudan sebuah karya seni patung. Alasan memilih bahan/

Page 138: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

129

Fantasi Gerak Manusia Nanang Muchsinien

material dari gabus atau styrofoam yakni mempertimbangkan kemudahan dalam proses berkarya, karena bahan gabus atau styrofoam sangat ringan dan dapat dibolak balik sehingga memudahkan dalam menciptakan dimensi baru dari keberadaan bentuk tersebut. Selain bahan/ material tersebut dimungkinkan penulis menggunakan bahan/ material alternatif lain yang sesuai dengan bentuk dan karakter yang diinginkan.

(2) Alat. Alat utama yang digunakan pisau/ cutter, namun pisau yang sudah dimodifikasi dan disesuaikan dengan kebutuhan pembuatan patung dari bahan dasar gabus atau styrofoam. Adapun alat-alat lainnya adalah: gergaji, sikat besi/ kuningan, amplas, lem gabus atau lem styrofoam, kuas, dan alat-alat lain yang dianggap perlu.

Gambar 3: Bahan dan Alat

(3) Teknik. Teknik yang digunakan dalam proses pembentukan karya seni patung ini

adalah dengan teknik model atau modelling, mengurangi atau coiling. Kedua teknik tersebut sangat dimungkinkan untuk dipergunakan sebagai kebutuhan pencapaian sebuah bentuk yang diinginkan guna mendapatkan efek estetis bentuk yang diinginkan. Tahapan Visualisasi / Perwujudan

Tahapan-tahapan dalam proses visualisasi/ perwujudan adalah sebagai berikut; (1) Persiapan. Persiapan studio/ tempat kerja yang layak perlu dilakukan agar dalam proses penciptaan karya seni di studio dapat berjalan sesuai jadwal yang sudah ditentukan terlebih dahulu. (2) Persiapan bahan dan alat. Persiapan bahan gabus atau styrofoam dilakukan, agar proses kreatif tidak terhambat hanya karena bahan yang belum dipersiapkan. Demikian juga persiapan alat-alat sebagai sarana penting seperti pisau/ cutter, gergaji dan alat-alat lain yang dapat digunakan sebagai sarana kreatif. (3) Pembuatan model. Pembuatan model ini dilakukan agar dalam menciptakan sebuah patung bisa berinteraksi secara langsung antara gagasan/ ide ke dalam wujud tiga dimensional. Kelebihan dari modeling ini dapat diubah dengan jalan ditambah atau dikurangi sesuai dengan bentuk yang diinginkan. Dipilih menggunakan bahan gabus karena bahan tersebut sudah ditemukan karakter bahan sejak lama, sehingga dapat membantu mempercepat proses kreatif. (4) Proses finishing. Finising dilakukan setelah patung sudah melewati masa rancangan/ sketsa, masa global patung, masa capaian bentuk yang dinginkan. Proses ini menggunakan pisau, sikat besi, dan amplas, serta pelapisan dasar plamir, hingga pewarnaan atau pelapisan akhir agar tidak mudah pudar dari bahan dasar/ awal.

Dalam karya (gambar 4) yang berjudul “Mengintip” adalah terinspirasi dari rasa keingintahuan yang luar biasa, tentang keinginan untuk mengetahui sesuatu yang menggelitik dan ketidakberdayaan untuk menahan keinginan itu. Dalam karya ini penulis mencoba untuk menyampaikan pesan bahwa keingintahuan adalah awal dari sebuah masuknya pengetahuan baru yang diwujudkan dalam bentuk patung manusia yang seolah-olah melakukan sebuah gerakan memanjat, kedua tangan menahan beban tubuh serta kepala menoleh kekiri seolah-olah ingin melihat sesuatu yang baru dan tidak diketahui sebelumnya.

Page 139: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

130

Fantasi Gerak Manusia Nanang Muchsinien

Gambar 4 (kanan): Judul “MENGINTIP” 2102. Gambar 5 (kiri): Judul “TOPENG MONYET” 21012

Dalam gambar 5 terinspirasi dari sebuah pertunjukan “ Tandak Bedes” atau yang lebih populer disebut Komedi Topeng Monyet, sebuah pertunjukan untuk anak-anak yang umumnya banyak dijumpai di kampung-kampung kota Surabaya, “Tandak bedes” adalah sebuah pertunjukan tentang keahlian seekor monyet dalam menirukan sebuah aktifitas manusia, seperti naik sepeda, pergi ke pasar sambil membawa payung, berperan sebagai tentara sambil membawa senapan dan sebagainya. Bentuk dalam karya ini diwujudkan dalam bentuk patung yang mencoba untuk menirukan sebuah gerakan yang dilakukan oleh seekor monyet, sebuah gerakan tubuh yang yang tidak terduga, sedikit aneh dan lucu yang diwujudkan berbentuk manusia sedikit membungkuk sambil mengangkat kedua tangannya KESIMPULAN

Terobsesi gerak manusia menggugah batin dan pikiran untuk mefantasikan kedalam bentuk lain, sehingga nilai estetis dan ekspresi tercapai. Fantasi gerak manusia tersebut dikomposisikan ke dalam karya seni patung dengan bentuk-bentuk visual atau tiga dimensi. Kekayaan yang ada pada bentuk gerak manusia, sangat mungkin untuk difantasikan, dikhayalkan, sehingga kaya akan bentuk-bentuk yang kreatif dan sudah selayaknya dijadikan sebuah karya seni patung. Bentuk visual gerak manusia di pergunakan sebagai ide penciptaan karya seni patung, sebagai sarana untuk mengekspresikan jiwa/ perasaan selakigus sebagai alat komunikasi terhadap orang lain guna diapresiasi.

Dari spisifikasi gerak manusia tersebut, maka sangat tepat untuk dijadikan sebuah karya seni patung yang diolah dan diujudkan dalam fantasi guna pengkayaan bentuk visual atau karya seni patung, dengan pengkomposisian yang tepat menurut daya estetis secara pribadi/ subyektif.

Alat khusus yang digunakan adalah: gergaji, pisau /cutter, sikat baja, kertas gosok dan bahan mentah yang digunakan adalah: gabus atau styrofoam, adalah cara yang digunakan oleh penulis untuk berekspresi karya seni patung. Saran

Setelah penciptaan karya seni patung sekaligus dengan laporan ini, maka dapat disadari akan proses yang harus dilalui guna sebuah karya yang baik. Dengan pengalaman ini, semoga para insan perupa dalam penciptaannya mengenal proses penciptaan seni patung, agar secara ilmiah dapat dipertanggung-jawabkan dan digunakan untuk peningkatan metode pembelajaran seni rupa.

Page 140: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

131

Fantasi Gerak Manusia Nanang Muchsinien

Seni patung tidak saja menggunakan bahan yang sudah biasa-biasa saja, namun dengan bahan gabus atau styrofoam dapat digunakan sebagai bahan alternatif, karena karakter bahan sangat mudah untuk dikenali dengan peralatan yang sederhana. Dengan terobosan bahan sesuai perkembangan jaman ini senantiasa melengkapi tentang proses penciptaan karya seni yang efisien.

Dengan adanya karya ini semoga dapat dijadikan acuan perupa berikutnya, agar proses keilmuan terutama pada bahan terus berjalan sesuai perkembangan jamannya. Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran diharapkan agar terjadi penciptaan karya yang lebih berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA Agus Darmawan. (1991). Ensiklopedia Nasional Indonesia. Jakarta. Fajar Sidik dan Aming Prayitno. (1981). Desain Elementer, Yogyakarta: Jurusan Seni Lukis, STSRI

“ASRI”. Fantasi - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas id.wikipedia .org/wiki/Fantasi Humar Sahman, (1993), Mengenali Dunia Seni Rupa, Semarang: IKIP Semarang Press. Manusia - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, id.wikipedia.org/ wiki/Manusia, 26 Juni

2012. Mikke Susanto, 2002, Diksi Rupa (Kumpulan Istilah Seni Rupa), Kanisius, Yogyakarta. Soedarso Sp, (1988), Tinjauan Seni Sebuah Penghantar untuk Apresiasi Seni, Saku Dayar Sana,

Yogyakarta. Soedarso, SP., 1990. Sejarah Perkembangan Seni Rupa Modern. Yogyakarta. Sutan Muhammad Zain (1958) Kamus Indonesia Modern. Jakarta: PT. Grafika. Sistem Alat Gerak / Otot pada Manusia, Filed under: Sistem Gerak — gurungeblog @ 7:23 am, Tags:

manusia, Otot, Sistem Alat Gerak Suwardoyo, Drs,. (1957). Kritik Seni. Yogyakarta: Akademi Seni Rupa Indonesia. S.J., N, Drijarkara, (1969), Filsafat Manusia, Kanisius Yogyakarta. Seni patung - Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, Thomas McEvilley, Sculpture in the Age of Doubt, New York: Allworth Press, 1999. W,J,S Poerwadarmainta, 1982., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. BIODATA PENULIS

Nanang Muchsinien Pendidikan Seni Rupa Murni Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya Aktivitas pameran baik tunggal maupun bersama dimulai sejak tahun 1986 – tahun 2012.

Page 141: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

132

Karya Seni Lukis Rudi Isbandi Periode 1990 - 2012 Ega Sundari

KARYA SENI LUKIS RUDI ISBANDI PERIODE 1990 - 2012

Ega Sundari

Abstract

Rudi Isbandi merupakan perupa yang mengalami saat-saat yang kreatif. Yang segalanya Nampak mengembang dan mendatang imaji-imaji bagi cita lukisannya. Bahkan di dalam bawah sadarnya terus menjalankan tugasnya secara alam. Karena itu, sering mampu melahirkan karya yang tidak terduga dan semakin nyata folosofinya, sehingga pelukis bebas berkarya. Dimana Rudi Isbandi sebagai seniman yang sepanjang hidupnya tidak terpuaskan untuk sekedar melukis sesuatu yang indah saja, melainkan tentang pencarian dan eksperimen, sehingga lukisan dari periode ke periode berikutnya selalu berubah. Rudi Isbandi mempunyai keunikan dan ciri khas dalam karya-karya seni lukis yang menjadikan karya-karya seni lukis Rudi Isbandi berbeda dengan pelukis lainnya. Oleh karena itulah penelitian ini akan memaparkan lebih jauh tentang “Karya Seni Lukis Rudi Isbandi Periode 1990-2012”. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan bahwa perkembangan karya seni lukis Rudi Isbandi mengalami peningkatan yang cukup baik. Dimana karya seni lukisnya ada kesamaan dari pelukis yang berasal dari barat, dan semuanya mendatangkan ide bagi Rudi Isbandi sendiri.Rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi proses perjalanan Rudi Isbandi sebagai perupa, perkembangan karya-karya Rudi Isbandi periode 1990-2012, kontribusi Rudi Isbandi dalam perkembangan seni rupa di Jawa Timur. Kata Kunci : Rudi Isbandi, Seni Lukis, Periode 1990-2012.

PENDAHULUAN

Karya seni yang diciptakan seniman tercipta karena adanya suatu lingkungan yang memberikan suatu inspirasi , sehingga seniman itu tidak lepas dari adanya keunikan dalam menangkap atau membentuk idenya. Adapun beberapa hal yang melatar belakangi proses terciptanya karya seni lukis, diantaranya; pandangan seniman, konsep apa yang mendasari kreativitas, kreativitas berdasarkan hasil karya yang diciptakan, seperti : unsur bahan, alat dan media apa yang dipakai atau digunakan, perkembangan proses kreativitas seni lukis itu sendiri.

Seperti halnya Rudi Isbandi, yang lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Januari 1937, dan belajar melukis di sanggar pelukis rakyat ( Affandi ) tahun 1950 – 1953 . Dalam perjalanan hidupnya sebagai perupa, ia mengalami saat – saat kreatif dalam berkarya. Yang segalanya nampak mengembang dan mendatangkan imajinasi yang sangat berhubungan dengan lingkungan dan suasana batinnya. Karena itu, sering mampu melahirkan karya yang tidak terduga dan semakin nyata filosofinya, sehingga pelukis tersebut bebas berkarya. Sepanjang hidupnya tidak terpuaskan untuk sekedar melukis sesuatu yang indah – indah saja, melainkan tentang pencarian dan eksperimen di setiap periode ke periode selalu berubah. Rudi Isbandi berkarya lewat proses pencarian sendiri di luar metode – metode ilmu lembaga, ilmu pendidikan, yang mengambil aliran abstrak nonfigurative. Sekarang menjadi direktur museumnya sendiri yang diresmikan pada tanggal 20 Desember 2009, yang terdapat di jalan Karangwismo 1 no 10 Surabaya. Aktivitas kekaryaan di bidang seni ditandai dengan mengadakan pameran dan mengikuti even – even perlombaan antara lain: (a) Pemenang

Page 142: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

133

Karya Seni Lukis Rudi Isbandi Periode 1990 - 2012 Ega Sundari

Biennale VI, tahun 1978. (b) Meraih penghargaan pemerintah sebagai penggerak seni rupa kontemporer tahun 1985. (c)Pameran tunggal di Audiotorium PPIA, tahun 1991. (d) Pameran mixed media di Balai Surabaya Post, tahun 2001. (e) Menjadi duta di Pameran Lukisan Internasional di Cairo, Mesir, tahun 2003. Dan berangkat dari ketertarikan penulis ketika membaca beberapa artikel di koran yang mengulas karya – karya dan pendapat seniman lukis Rudi Isbandi yang oleh beberapa seniman dianggap kontroversial dengan judul Seni lukis Indonesia cenderung mati rasa ( Kompas, Kamis 12 November 1998 ) berdasarkan wawancara tanggal 15 Juni 2012. Namun setelah peneliti lebih lanjut, dengan pertimbangan dan pendapat beberapa nara sumber ternyata di perjalanan beliau, banyak mempengaruhi aliran – aliran lukisannya. Tentu saja hal tersebut dipengaruhi liku kehidupan yang beliau jalani. Hal – hal dalam kehidupan tersebut yang membuat beliau menurut saya unik, karena sering mencetuskan pendapat yang berbeda.

Namun justru “ Kekontroversial ” tersebut mampu menambah warna dalam dunia seni rupa di Surabaya khususnya. Bagaimana beliau ingin lepas dan mengembara dialam pikirannya adalah bentuk pencitraan diri meskipun cara pandang beliau banyak yang menentang. Penulis tertarik untuk mengangkatnya dalam tugas akhir yang berjudul “ Karya Lukis Rudi Isbandi 1990 – 2012 ”. Dimana saya melihat disetiap karyanya banyak mengarah pada ungkapan jiwanya, yang tiada batas dalam berkarya. Bukan lagi bentuk nyata tetapi nuansanya itu dapat mengekspresikan suasana, tegangan, irama maupun getaran, dan semuanya itu dapat dilihat dalam karya Rudi Isbandi sendiri. Menurutnya, berkarya itu adalah nafas hidupnya yang selalu mengeluarkan ide – ide dalam perjalanannya sebagai seorang seniman. Tanpa berkarya hidup seakan kosong dan tidak ada semangat. Rudi Isbandi sangat hati – hati dalam berkarya. Dia tidak langsung untuk menuangkannya dalam suatu karya, melainkan dia harus merenungkan / berdoa sebelum berkarya. Semuanya butuh proses dan tidak langsung berkarya. Oleh karena itu banyak karyanya yang sepertinya tidak bisa kita dipahami. Justru itu merupakan gambaran dari karyanya yang dia temukan pada saat merenung, dan dia menyadari akan hal itu. Bahwa letak kesuksesannya dalam berkarya adalah keinginannya sendiri melalui perenungannya yang ditujukan kepada Tuhannya tanpa ada batasan – batasan dari orang lain. Sehingga Rudi Isbandi sangat senang, bangga karena bisa menghasilkan karya yang menurutnya bisa berguna dan dimanfaatkan bagi orang lain. Penegasan Judul.

Penegasan judul merupakan sasaran yang tepat agar tidak terjadi kesalahpahaman yang merugikan antara peneliti dan pembaca. Dalam hal ini peneliti akan membahas tentang judul yang telah digunakan oleh peneliti.

Karya artinya suatu hasil pernyataan batin atau ungkapan jiwa seseorang yang mengandung maksud tertentu.

Rudi Isbandi. Rudi Isbandi adalah seorang perupa dengan latar belakang non akademi/ otodidak yang Sejak tahun 1950-1953 belajar melukis pada sanggar Affandi di Yogyakarta.

Periode tahun 1990 – 2012 mengandung pengertian perjalanan kreatif dalam berkarya seni yang dilakukan oleh Rudi Isbandi dari tahun 1990 sampai dengan 2012. Hal ini dilakukan pembatasan masa atau tahun pengerjaan seni lukis karena akan lebih jelas tentang perolehan data, selama perjalanan Rudi Isbandi dalam olah kreatif di bidang seni lukis. Tahun 1990 – 2012. Dimana karya seni lukis Rudi Isbandi dibatasi mulai periode tahun 1990 sampai tahun 2012.

Page 143: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

134

Karya Seni Lukis Rudi Isbandi Periode 1990 - 2012 Ega Sundari

Batasan masalah. Merupakan pembatas dari masalah – masalah yang diteliti agar tidak terlalu meluas

keluar dari fokus penelitian yang telah dilakukan peneliti. Sesuai dengan judul skripsi ini yaitu “ Karya Seni lukis Rudi Isbandi Periode 1990-2000 ”, maka dalam penelitian ini batasan masalah yang akan diteliti adalah sebagai berikut. (a) Proses perjalanan Rudi Isbandi sebagai perupa? (b) Perkembangan karya-karya Rudi Isbandi pada periode 1990-2012? (c) Kontribusi Rudi Isbandi dalam perkembangan seni rupa modern di Jawa Timur? Rumusan Masalah.

Dari pernyataan latar belakang tersebut, peneliti menemukan beberapa masalah yang harus dibahas yaitu: 1. Bagaimana proses perjalanan Rudi Isbandi sebagai perupa ? 2. Bagaimana perkembangan karya-karya Rudi Isbandi periode 1990 – 2012 ? 3. Bagaimana kontribusi Rudi Isbandi dalam perkembangan seni rupa modern di Jawa Timur? Tujuan Penelitian.

Berdasarkan permasalahan yang dihadapi dalam kemungkinan yang dapat dicapai dalam observasi sebagai konsekwensi dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui proses perjalanan karya Rudi Isbandi pada tahun 1990 – 2012 ? 2. Mengetahui perkembangan karya Rudi Isbandi pada periode 1990 – 2012 ? 3. Mengetahui kontribusi Rudi Isbandi dalam perkembangan seni rupa modern di Jawa Timur Manfaat Penelitian.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk semua pihak yang bersangkutan baik manfaat maupun secara teoritis. Beberapa manfaat secara praktis dari penelitian ini diharapkan dapat membantu beberapa kalangan antara lain : Bagi Peneliti, Dapat menambah pengetahuan dan wawasan tentang seni lukis Jawa Timur. Bagi pembaca: Penelitian ini dapat memberikan informasi secara tertulis maupun sebagai referensi tentng seni lukis yang ada di Jawa Timur. Lembaga : Memberikan tambahan informasi tentang biografi perupa Indonesia dan tambahan kepustakaan di bidang ilmu seni rupa. Masyarakat : Sebagai pedoman atau referensi dalam menambah wawasan seni terutama bagi pembangunan dan peningkatan mutu seni lukis.

PENGERTIAN TENTANG SENI LUKIS

Seni menurut Herbert Read adalah :“ .... seni bukan sebagai hasil, melainkan sebagai proses. Ia menganggap bahwa pencipta memperoleh kepuasan ketika ia sedang mengungkapkan idenya secara spontan sehingga menjadi hasil seni. Bagi pengamat, kepuasan diperoleh ketika ia mengamati aktivitas pencipta dalam memproses hasil secara spontan atau spontanitas proses yang membekas pada hasil ( Bastomi, 1990:20 ). Bentuk seni lukis.

Menurut Gaitskell Ada beberapa istilah dalam bahasa asing yang berbeda-beda mass,shape,dan form. Mass diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan volume atau kebesaran, sedangkan shape adalah daerah sekeliling kebesaran yang berarti ruang. Form adalah pengertian bentuk untuk menyebut makhluk hidup, misalnya bentuk tubuh wanita. Dengan kata lain form ada wujud. ketiga istilah itu tidak dibedakan artinya, maka dari itu, dalam tulisan ini pengertian mass, shape, dan form disalin dalam bahasa indonesia “bentuk”adalah wujud fisik yang dapat dilihat (Bastomi,1990:54).

Page 144: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

135

Karya Seni Lukis Rudi Isbandi Periode 1990 - 2012 Ega Sundari

Penggunaan Warna Dalam Karya Seni Rupa. Bermula dari titik kemudian menjadi garis yang dapat memberi kejelasan bentuk dan

dipertegas dengan adanya ruang. Sampai pada batas ini sebenarnya lukisan sudah terjelma, namun dengan digunakan warna , maka mengakibatkan sesuatu lukisan tampak lebih nyata. Garis. Menurut Feldman menerangkan bahwa garis dibedakan antara garis dalam seni rupa dan garis pada umumnya. Garis dalam seni rupa merupakan alur yang paling lembut yang dihasilkan dengan ujung alat seperti pena,pensil, kapur pastel atau kuas. Didalam ilmu ukur garis adalah urutan titik-titik yang berhubungan.dengan media garis dapat dibuat tulisan,tanda-tanda dipasir, debu atau pada tanah,walaupun tanpa alat (Bastomi,1990:51). Gelap terang. Mata adalah organ yang paling peka terhadap pengaruh cahaya.tanpa cahaya akan terjadi gelap. Tekstur adalah nilai raba pada suatu permukaan baik itu nyata maupun semu. Tekstur pada karya seni lukis ditampilkan kedua-duanya baik. Baik tekstur nyata maupun tekstur semu menurut fajar sidik dan Aming Prayitno (1981:41). Ruang. Menurut Mikke (2002:99) ruang adalah rongga yang berbatas maupun yang tidak terbatas oleh bidang. sehingga pada suatu waktu, dalam berkarya seni, ruang tidak dianggap memiliki batas secara fisik. Gaya dalam seni lukis.

Gaya dalam seni lukis menurut Mikke (2002:44) adalah corak. Dekoratif adalah gaya, karena istilah ini dipakai untuk menamai lukisan yang sifatnya dekoratif. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa gaya merupakan hal yang penting dalam karya seni. Karena tidak adanya gaya dalam suatu karya seni dapat dianggap lemah atau dekaden. Pendapat lain tentang gaya, corak atau langgam ataupun style menurut Soedarso SP (1988:79),adalah sebenarnya berurusan dengan bentuk luar sesuatu karya seni, sedang aliran, faham atau isme lebih menyangkut pandangan atau prinsip yang lebih dalam sifatnya. Maka dekoratif adalah gaya, karena istilah ini dipakai untuk menamai lukisan, misalnya yang bentuknya seperti dekorasi, ngrawit buatannya, dan kurang memperhatikan dimensi yang ketiga.

(a) Realisme adalah suatu aliran yang menangkap realitas ini seperti adanya, tanpa ilusi dan tanpa bumbu apa-apa. (b) Naturalisme adalah suatu faham yang memuja kebesaran alam. Impresionisme, Fauvisme adalah nama - nama yang diciptakan oleh kritik di koran dengan nada mengejek tetapi kemudian ternyata disuka oleh empunya. (c) Abstrak - Ekspresionisme adalah suatu rangkaian istilah yang dipakai untuk menyebut lukisan-lukisan, gaya atau bentuk luarnya adalah abstrak, tetapi goresan-goresan yang ada padanya merupakan jiwa yang intensif.

Beberapa pendapat di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa gaya pribadi dalam lukisan adalah gaya perorangan atau spesifikasi yang dimiliki oleh seorang pelukis. Gaya dalam lukisan adalah penting untuk dapat dikenali melalui penggunaan yang khas dalam warna, ruang, garis dan tekstur. PERKEMBANGAN SENI LUKIS MODERN DI INDONESIA DIMULAI PADA MASA: 1. Seni lukis Raden Saleh

Banyak orang menetapkan bahwa Raden Saleh Syarif Bustaman dianggap sebagai pelopor seni lukis modern di indonesia.Yang dilahirkan pada tahun 1807 di Tebaya, Semarang, dan wafat pada tahun 1880 di kota Bogor. Ia memiliki bakat yang besar dengan

Page 145: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

136

Karya Seni Lukis Rudi Isbandi Periode 1990 - 2012 Ega Sundari

tanda kegemaran menggambar sejak masa kecil. karir Raden Saleh dimulai dengan bantuan pamannya yang menjabat bupati Terbaya, Semarang, yang memungkinkan Raden Saleh pada waktu mudanya mendapat kesempatan menerima tuntunan permulaan menggambar dari A.A. Payen, seorang pelukis keturunan Belgia, yang bekerja pada Pusat Penelitian Pengetahuan dan Kesenian dari Pemerintah Hindia Belanda di Bogor. Pelukis A.A.Payen mengusulkan untuk mendapat bantuan pemerintah bagi penerusan studi Raden Saleh di Nederland. Sesudah Raden Saleh pulang dari Eropa pada tahun 1851, karya pertamanya di indonesia sepulang dari Eropa adalah potret pamannya sebagai Bupati Majalengka, yang bernama R.Adipati Hario Panji Kartadiningrat yang merupakan tanda terima kasih dan penghargaannya. Dari karya-karyanya yang terdapat di indonesia, empat buah yang sekarang terdapat dalam istana kepresidenan, berasal dari Rijks - Museum Amsterdam, negeri Belanda. Beberapa karya lainnya terdapat dalam KratonYogyakarta dan Istana Mangkunegaran Surakarta, sedang karya-karyanya yang kecil menjadi koleksi museum Fatahillah di Jakarta. Ciri-ciri lukisannya cenderung berbau politis simbolis, banyak yang menggunakan komposisi diagonal sehingga berkesan dinamis, dapat menimbulkan suasana tegang dan dramatis. 2. Seni Lukis Hindia Molek

Setelah Raden Saleh meninggal pada tahun 1880, antara lain menyambung kembali di Bandung yang tercatat sebagai salah seorang tokoh mashab Hindia Molek yang bernama Abdullah Suryo Subroto, dan dikenal dengan sebutan Abdullah Sr. Ia mengikuti pelajaran akademi seni rupa dinegri belanda dan tidak belajar pada perguruan tinggi kedokteran, tanpa sepengetahuan ayahnya. Dengan bekal kemahiran khusus dalam melukis pemandangan, Abdullah Sr sepulang di indonesia, banyak dikagumi pada masanya lukisan-lukisannya mampu membawakan rasa keharuan dan perasaan romantis, bahkan menimbulkan kerinduan akan kehidupan yang tenteram.pengaruhnya begitu menyebar, sehingga pada saat inipun corak lukisannya tetap hidup di Bandung. 3. Seni lukis PERSAGI

Perkumpulan seni lukis Indonesia pertama dengan sebutan “PERSAGI” sebagai singkatan dari Persatuan Ahli Gambar Indonesia , didirikan pada tanggal 23 oktober 1938 di Jakarta, dengan ketua Agus Djaya dan sekretaris S.Sudjojono. Perkumpulan yang merintis kesatuan pelukis – pelukis Indonesia untuk bekerja sama guna melahirkan “corak persatan nasional”, hanya berdiri 4 tahun saja, yakni sampai tahun 1942 sebagai tahun berakhirnya pemerintahan Jajahan Hindia Belanda dan tahun dimulainya periode baru dari penduduk Jepang di Indonesia. PERSAGI beranggotakan : Emiria Sunassa, G A. Sukirno, Sudiardjo, Herbert Hutagalung, S. Tutur, Suromo, Surono, Oton Laksmana, Ramli, Sumitro, dll. 4. Seni Lukis Jaman Jepang

Pemerintah kependudukan Jepang mengharapkan balasan simpati, yang dapat menunjang stabilitas politik pemerintahannya, tetapi sikap seniman indonesia tak sedetikpun terpengaruh oleh jepang, dan janjinya untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa indonesia. tetapi seniman Indonesia tetap berlatih dan penuh keyakinan dengan cara menyusun generasi muda. Dan mendirikan “POETERA”, sebagai nama singkatan Badan Pusat Tenaga Rakyat, yang di pimpin oleh S.Sudjojono. kantor Keimin bunka shidoso di dirikan oleh jepang dan mempercayakan Agus djaja untuk memimpin bagian seni rupa.

Page 146: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

137

Karya Seni Lukis Rudi Isbandi Periode 1990 - 2012 Ega Sundari

METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif, karena fokus penelitiannya

adalah karya seni lukis Rudi Isbandi periode 1990 – 2012. Pendekatan ini merupakan suatu proses pengumpulan data secara intensif untuk memperoleh pengetahuan tentang karya seni lukis Rudi Isbandi. Data yang dimanfaatkan dalam penelitian ini meliputi: Waktu penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan April 2012 sampai bulan Agustus 2012. Adapun tempat penelitian di rumah / Museum perupa Rudi Isbandi di jalan KarangWismo 1 /10 Surabaya. Dan di lingkungan perupa Surabaya. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang menggambarkan secara kualitatif terhadap suatu masalah yang dikaji secara empiris. Metode penelitian seperti ini mempermudah peneliti dalam proses pendataan data analisis, karena tidak terbebani dengan angka-angka statistik. Sumber data penelitian

Sumber data penelitian adalah subyek dari mana data dapat diperoleh. Adapun data yang digali dalam penelitian ini terdiri dari sumber utama yang bersumber kata – kata dan tindakan, serta sumber data tambahan yang berupa dokumen – dokumen antara lain: (a) Sumber data utama. Sumber data utama ( primer ) adalah sumber data yang diambil melalui wawancara dan observasi yaitu Rudi Isbandi dan karyanya 1990 – 2012. (b) Sumber data tambahan. Untuk memperkuat informasi, maka penelitian akan memberikan beberapa data penunjang dari pada informan yang mengikuti perkembangan karya seni lukis Rudi Isbandi dari tahun 1990-2012. (c) Teknik pengumpulan data. Pengumpulan data adalah teknik atau cara – cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Teknik pengumpulan data yang benar akan menghasilkan data yang memiliki kredibilitas tinggi. Pengamatan

Pengamatan adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati secara sistematik gejala – gejala yang diselidiki. penyelidikan dan metode ini dibagi menjadi dua bagian yaitu: (1) Pengamatan langsung. Pengamatan langsung yaitu pengumpulan data melalui pengamatan dan pencatatan gejala – gejala pada objek yang dilakukan secara langsung ditempat kejadian. (2) Pengamatan tidak langsung. Pengamatan tidak langsung yaitu pengumpulan data melalui pengamatan dan pencatat gejala pada objek penelitian yang pelaksanaanya tidak secara langsung pada objeknya.

Di dalam mengumpulkan data penelitian, peneliti menggunakan teknik – teknik sebagai berikut: (a) Teknik wawancara. Teknik wawancara dilaksanakan dengan maksud antara lain: mengkonstruksikan mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan kebutuhan lain – lain. Dalam teknik ini ada dua pihak yang terlibat di dalam penyampaian informasi yaitu pewawancara dan nara sumber. pewawancara merupakan seseorang untuk mencari informasi dimana pewawancara melontarkan pertanyaan untuk dijawab oleh orang yang diwawancarai. Nara sumber adalah orang yang terkait dengan rangkaian fakta yang akan diberitakan dan yang dimintai keterangan dari pertanyaan oleh seorang peneliti. Nara sumber dari penelitian ini adalah : Rudi Isbandi, Nuzurlis Koto, Hari Prayitno, Hariadie, Sunarti Rudi (b) Teknik dokumentasi. Dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk mengumpulkan data dari berbagai jenis

Page 147: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

138

Karya Seni Lukis Rudi Isbandi Periode 1990 - 2012 Ega Sundari

informasi dapat juga memperoleh melalui dokumentasi, seperti surat – surat, catatan, artikel, surat kabar, kliping, foto – foto, dan sebagainya. Adapun dokumen yang dikumpulkan dan dianalisis peneliti dalam penelitian ini adalah dokumen dengan kondisi lukisan Rudi Isbandi.

Validitas data. Digunakan teknik trianggulasi yaitu teknik pemeriksaan data dengan memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk pengecekan kembali atau sebagai pembanding data – data tersebut. Trianggulasi yang digunakan adalah pemeriksaan melalui data lain yaitu dengan cara membanding dan mengecek sesuai informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif (Patton dalam Meleong, 2000:178). Analisis Data

Proses mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, ketegori, satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan. Setelah berbagai data terkumpul, maka menganalisanya digunakan teknik analisa deskriptif, artinya peneliti berupaya menggambarkan kembali data – data yang terkumpul mengenai penelitian karya seni lukis Rudi Isbandi. Proses analisis data yang dilakukan peneliti melalui tahap – tahap dari berbagi informan dengan pengamatan langsung yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, transkip, wawancara dan dokumen.

Setiap seniman / pelukis mempunyai pengalaman dan pengetahuan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Karena itu dalam menuangkan suatu ide kedalam kanvas tentu setiap seniman mempunyai cara tersendiri sesuai kemampuan dan pengalamannya. Seorang Rudi Isbandi mengakui, bahwa dia sangat kagum dengan pelukis Affandi yang berasal dari Yogyakarta. Karena disetiap karyanya menghasilkan arti dan sangat tegas goresan – goresannya. Bukan hanya Affandi yang dia kagumi, masih ada seniman dari gerakan ekspresionisme, abstrak seperti Robert Motherwell. Karyanya ditandai berbagai citra, dimana ada tema dan motif, seperti monumental.

Rudi Isbandi juga mengagumi Jackson Pollock karena lukisannya menggunakan sikat yang dimanipulasi dengan kulir tongkat atau pisau, bisa juga dengan campuran pasir, pecahan kaca atau benda asing lainnya. Sehingga karya yang dihasilkan menurut Rudi Isbandi sangat unik dan luar biasa dan tidak ada kesamaan dari seniman lainnya. Willem de kooning yang menurut Rudi Isbandi sangat abstrak dengan laburan cat yang berwarna hitam, abu – abu. Sehingga lukisan tersebut berbicara tentang dunia pribadinya dan hanya pelukis yang bisa mengartikan. Dari keseluruhan seniman tersebut, membuat Rudi Isbandi terinspirasi untuk menjadikan mereka seorang seniman yang tanpa dipengaruhi hal – hal lainnya dan dapat dilihat dari lukisannya sendiri. Kontribusi Rudi Isbandi sebagai seniman di Indonesia adalah mempunyai Museum sendiri. Dimana sejak dulu beliau punya sebuah mimpi. Bisa mempunyai Museum seni rupa seperti yang ada di Yogyakarta ada Museum Affandi.

Di Bandung ada Museum Popo iskandar. Sedangkan di Jawa Timur belum ada Museum seni rupa. Menurutnya, setiap karya – karyanya bisa di simpan di Museum pribadi agar bisa diapresiasikan masyarakat banyak. Museum diresmikan tanggal 20 Desember 2009, dan dibuka untuk umum.

Mengacu pada hal tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa Rudi Isbandi memiliki kebebasan sesuai kedalam bentuk lukisan sebagai curahan pengalaman estetisnya. Seperti yang Rudi Isbandi katakan “ saya membuat sesuatu itu mengalir saja,tidak ada tema,tanpa

Page 148: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

139

Karya Seni Lukis Rudi Isbandi Periode 1990 - 2012 Ega Sundari

paksaan,tidak mengenal waktu, dan dari hati saya melakukannya ”.itulah yang dikatakannya berdasarkan wawancara dengan beliau.

Buat kita yang mungkin bukan seorang seniman pasti merasakan bahwa ungkapannya aneh, tetapi bila kita mau menyelami lebih jauh tentang karya Rudi Isbandi. Maka akan terungkap kebenaran yang tersimpan di dalamnya dengan melihat latar belakang dari pelukis sendiri. Dimana beliau dapat memvisualisasikan kedalam karya dan mengekspresikan sesuai dengan pandangannya sendiri, dengan kebebasan berekspresi dan spiritual yang ada pada karyanya. Adapun gaya yang diungkapkan dalam karyanya adalah abstrak, karena pengungkapan secara visual dalam lukisan tidak memakai perspektif. Pada saat itu pula Rudi Isbandi telah melepaskan kreatifnya kedalam bahasa seni yang memerlukan medium tertentu. Responnya terhadap kondisi diluar memberi stimulasi dan akhirnya membawa daya imajinasi penggambaran yang bersifat pribadi. Dan perlu pengakuan atas kehadiran karyanya yang memberi arti pada kehidupan yang mengarah pada sebuah karya. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai karya seni lukis Rudi Isbandi periode 1990 – 2012 maka dapat disimpulkan bahwa proses perjalanan Rudi Isbandi sebagai perupa / seniman mengalami inovasi – inovasi yang menempuh beberapa gaya sekaligus dalam suatu masa yang singkat. Barangkali inilah pertanda keresahan dalam penjelajahan pengalamannya. Bagi Rudi Isbandi, berkarya tidaklah didasarkan atas titik tolak tahu pasti. Tapi merupakan suatu proses yang berkembang dengan lambatnya sambil meraba – raba, yang dimaksudkannya untuk memberi bentuk pada sesuatu yang terletak dibawah sadarnya. Dan seluruh aktivitas ini, merupakan eksperimen bagi setiap karyanya.

Perkembangan karya – karya Rudi Isbandi mengalami peningkatan yang cukup baik. Dimana pada awalnya didalam karya seni lukis, pelukis menggunakan sapuan – sapuan tebal. Dengan perkembangannya waktu lukisannya tak ada lagi garis – garis tebal, tak ada figur apapun, selain keheningan. Bahan yang digunakan yaitu kanvas, kuas, cat minyak untuk mendukung karya – karyanya, Rudi Isbandi eksistensi dalam mengikuti pameran di dalam dan di luar negeri.

Setelah penulis menelusuri setiap karya – karya Rudi Isbandi di foto atau langsung melihat karyanya ditempat, dan mewawancarai beliau, ada banyak hal yang membuat saya kagum. Karena seniman itu sendiri membuat karya yang mungkin orang tidak mengerti. Bisa saja orang beranggapan lukisan ini masih mentah, hanya goresan – goresan saja, tetapi ada maksudnya. Rudi Isbandi membuat karya tersebut hanya ingin memperlihatkan pada semua seniman dan orang – orang yang belum mengerti tentang lukisan.

Bahwa semua karya / lukisan seseorang harus dihargai,karena semua orang bebas untuk berkarya tanpa ada batasan – batasan yang membuat orang / seniman tersebut tidak berkembang, dalam arti tidak mempunyai kreatifitas sendiri. sehingga Rudi Isbandi dalam berkarya tidak ada keraguan dalam membuat sesuatu. seperti karya disetiap periode yang penulis sudah cantumkan di bawah ini : 1. Rudi Isbandi melihat sinar matahari disiang hari dan mencoba menutup matanya, pada

saat itulah pelukis merasakan kekosongan dan hanyalah bayangan – bayangan sinar. Maka pelukis mulai menciptakan karyanya diatas kanvas dan cat minyak dengan sapuan warna transparan. Dan semuanya itu menggambarkan tentang perjalanan hidupnya, dimana pelukis mencari jati dirinya yang sebenarnya.

Page 149: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

140

Karya Seni Lukis Rudi Isbandi Periode 1990 - 2012 Ega Sundari

2. Dalam periode ini Rudi Isbandi menggunakan kanvas, cat minyak, kuas dan bahan yang semuanya diambil dari kerangka yang berupa mur, ger, komponen radio, televisi. Dimana lukisan tersebut menggambarkan sifat manusia yang berbeda – beda, seperti kalau kita naik pesawat pada saat sudah berada diatas awan, gedung yang tinggi, rumah yang besar, dll akan terlihat kecil dan bentuknya berbeda – beda. Sama dengan sifat manusia yang tidak ada skak ataupun batasan dalam berkarya.

3. Dalam periode ini Rudi Isbandi menggunakan kanvas, cat minyak, kuas dan bahan yang semuanya diambil dari kerangka yang berupa mur, ger, komponen radio, televisi. Dimana lukisan tersebut menggambarkan sifat manusia yang berbeda – beda, seperti kalau kita naik pesawat pada saat sudah berada diatas awan, gedung yang tinggi, rumah yang besar, dll akan terlihat kecil dan bentuknya berbeda – beda. Sama dengan sifat manusia yang tidak ada skak ataupun batasan dalam berkarya.

4. Dalam periode ini Rudi Isbandi menggunakan kanvas, kasa, kayu yang bertuliskan jawa, kepala dari kayu, 2 gergaji besar, dan kain warna merah. Maksud dari lukisan tersebut menceritakan tentang manusia yang setiap hari mengalami ketakutan seperti hari esok itu mati. Bagaimana manusia yang setiap harinya harus makan dan bekerja, apabila manusia tidak melakukannya sama dengan hidup yang berada diambang kematian.

5. Dalam periode ini Rudi Isbandi menggunakan kanvas, kain batik, potongan kain kecil, jerami padi, benang, yang menggambarkan manusia tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Seperti yang terlihat pada lukisan boneka yang bentuk mukanya ditutup dan digantung. Menurutnya, orang yang bersalah berani tampil beda didepan orang banyak dan menutupi kesalahannya, daripada orang yang tidak bersalah tiada dihiraukannya.

6. Dalam periode ini Rudi Isbandi menggunakan bahan kanvas, cat minyak, kawat, rantai, keris, tembak mainan, topi kain yang ada matanya, gantungan baju, engsel, potongan koran yang berisikan kesalahannya. Lukisan tersebut menggambarkan sifat – sifat Soeharto yang bermuka banyak. Penuh dengan berbagai rencana dan tipuan yang bisa menghancurkan banyak masyarakat di Indonesia. Karya itu sangat dikagumi oleh kalangan masyarakat yang melihatnya di Museum, karena memang seperti itulah watak dari Soeharto.

7. Dalam periode ini Rudi Isbandi menggunakan bahan bekas seperti sabun, botol minuman, kanvas, dan kasa. Lukisan tersebut menggambarkan tentang matahari yang bersinar. Sama halnya kehidupan pelukis yang terus berkembang dalam menciptakan karya – karyanya selagi pelukis itu masih diberi kesempatan hidup oleh Tuhan. Lukisan ini berupa kolase tempel bahan yang dipakai semen putih, lem rajawali, guntingan kain, solasi hitam yang berukuran kurang lebih 1 meter tingginya lukisan tersebut. Dimana kolase tersebut menggambarkan tentang sifat manusia yang sombong. Pelukis menggunakan bahan kayu yang bukan lagi segi empat, dimana pelukis tersebut memanfaatkannya untuk menjadikan karya. Dalam arti seluruh kehidupan manusia adalah sebuah penafsiran.

8. Begitu juga dengan karyanya yang menggunakan batu, yang diambil disungai dan kayu (lesung) yang dipakai untuk menumbuk padi. Semuanya menggambarkan tentang kehidupan manusia apabila mau dibentuk dia akan bisa berguna seperti batu yang tadinya berada disungai tidak berguna, setelah diambil orang batu tersebut menjadi berharga dan mempunyai arti. Sama dengan kayu yang berada dihutan, setelah ditebang kayu tersebut

Page 150: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

141

Karya Seni Lukis Rudi Isbandi Periode 1990 - 2012 Ega Sundari

dijadikan benda bagi manusia. Kalau manusia mau menyadari bahwa dia juga bisa berkarya, maka senirupa di Indonesia akan maju dan berkembang tanpa ada rasa takut.

9. maksud dari karya instalasi tersebut adalah bebas dalam arti, berkarya tanpa ada yang membatasi. Semua mengalir sesuai dengan pemikiran perupa itu sendiri.

Dapat dimengerti tentang apa yang Rudi Isbandi hasilkan, bahwa patokan dalam berkarya bukan dengan keegoisan kita, bukan dengan ketenaran / jabatan seseorang, bukan dengan kepandaian kita, melainkan bagaimana seorang seniman itu sendiri punya jiwa yang rendah hati, bisa menghargai karya orang lain, dan punya harapan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Karena semua yang didapat oleh setiap orang dari Tuhan. Oleh karena itu di setiap kerja dan upaya kita kalau kita mau menerima kekurangan orang lain dan tidak membuat kita patah semangat dalam berkarya pasti akan berhasil. Dan beliau mengatakan, tetaplah punya pendirian dalam berkarya. Terimalah nasehat dari orang lain karena semua itu merupakan nasehat yang bisa membangun karya seni tersebut. Bangkitkan motivasi anda dalam berkarya.

DAFTAR PUSTAKA Ali Muhammad. 1984. Hidup Harus Dihadapi Secara Nyata. Berita Buana. 26 Juni 1984. Kompas. 1998. Seni Lukis Indonesia Cenderung Mati Rasa. Kompas. 12 Nopember 1998. Poerwadarminto. 1988. W.J.S. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. Soewaji Bastomi. 1990. Wawasan Seni. Semarang; IKIP Semarang Presss. SP, Soedarso. 1990. Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan Seni. BP ISI. SP, Soedarso. 1998. Tinjauan Seni. Yogyakarta; Suku Dayar Yogyakarta. Susanto Mikke. 2002. Diksi Rupa, Kumpulan Istilah Seni Rupa. Yogyakarta (Diunduh dari / www.presidenri.go.id/ Apresiasi Seni Rupa Indonesia, diakses tanggal 26 Agustus

2012 waktu 14.00 WIB). (Diunduh dari / www.abstract-art.com / foto dan lukisan abstrak Robert Motherwell, diakses tanggal

31 Agustus 2012 waktu 20.50 WIB). (Diunduh dari / www.austinkids-org / foto dan lukisan abstrak Jackson Pollock, diakses tanggal 2

September 2012 waktu 15.15). (Diunduh dari / www.moma.org / foto dan lukisan abstrak Willem De Kooning, diakses tanggal 2

September 2012 waktu 15.15 WIB). (Diunduh dari / www.kambingjunior.blogspot.com / foto dan lukisan abstrak Affandi, diakses tanggal

2 September 2012 waktu 16.00 WIB). BIODATA PENULIS

Ega Sundari Lahir di Surabaya 16 Februari 1982 Alamat di Bulaksari Gang 1 / 47 Pekerjaan guru Taman Kanak-Kanak dan Guru Lukis

Page 151: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

142

Pembebasan Diri Alamsyah Sinaga

PEMBEBASAN DIRI MENGGUNAKAN ASPEK-ASPEK VISUAL

Alamsyah Sinaga

Abstract

Every paintings contained an expression of the creator. In creating a work, creator tried to be free from the influence of the environment, but at the same time he also taked ideas from it in order to get an inspiration in enriching his techniques as well as ideas to create the work in accordance with his character. All that can be seen in painting objects influenced by many things which will not be seen clearly as realistic objects, because what we can see is nothing but a non-figurative composition (form). Actually, all of them arose from the objects in the nature such as wood pattern, wood line scratches or leaves, stones, and from some natural phenomena such as rain, black clouds, lightning, cliffs, or thunderstorms. Beginning from the experiences in observing things that exist in the universe, creator got idea to create an art that generated a beauty. The resulted beauty, of course coming from a long reflection that took times. Such as abstract works that tried to free themselves from the influence of the nature, but finally those visual aspects resulting a work of art having more values. The values of course attracted because of the presence of something that unexpected became something that resulting the artistic values. Such works of painting were usually considered to have meaning behind its creation, the visual aspects that support the artistic strength into a single entity with the power of the universe as a source of inspiration. Keywords: Abstract, visual aspects,

PENDAHULUAN Perwujudan karya seni merupakan refleksi baik bentuk responan persetujuan, penolakan, atau bahkan kombinasi dari dua hal diantara persetujuan dan atau sekaligus penolakan pada hal tertentu; baik dari gejala yang ada pada jamannya yang sekaligus bentuk kreasi atau bahkan rekreasi dari seniman penciptanya. Khusus di seni murni lebih menunjukkan orisinalitas sebagai suatu karya seni yang setiap individu mempunyai ungkapan-ungkapan khas yang menunjukkan gaya pribadi.

Bila dilihat dari perkembangan seni dewasa ini banyak timbul di sini bisa di tanah air (khususnya di Jawa dan Bali) gejala penyeragaman teknis “realis” sudah mewabah beberapa tahun terakhir ini. Entah dimulai dari mana asal-usul ini berada. Secara kasar dan memang belum diteliti secara konperenhensif bahwa hal ini saya kira amat dipengaruhi oleh para kolektor-kolektor muda/pemula yang tak segan-segan membeli karya seni khususnya karya seni lukis dengan harga fantastis, dan kebanyakan karya-karya yang terbeli adalah karya para seniman yang sudah mememiliki nama.

Pada periode selanjutnya mereka tak segan memborong karya seni lukis yang diciptakan oleh seniman-seniman yang sama sekali belum memiliki nama, atau bahkan sama sekali secara teknis belum menguasai benar. Sampai timbul lelucon bahwa mereka mau membeli kanvas kosong/belum terlukisi dari seorang pelukis ternama atau yang baru naik daun (harga tinggi di bursa lelang).

Page 152: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

143

Pembebasan Diri Alamsyah Sinaga

Di sinilah letak pentingnya peranan lembaga pendidikan tinggi seperti STKW (Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta) Surabaya yang tentunya akan tetap mempertahankan bagaimana sebaiknya pencapaian kualitas karya seni dan pencapaian cara berkesenian yang tetap mempertahankan bahwa seni adalah sebentuk ekspresi yang masing-masing membawa watak yang beragam, karena setiap individu seniman memang tumbuh dari orangtua, lingkungan, dan segala hal yang berkaitan yang berbeda dari seniman lainnya. Tidakkah orang kembar identikpun akan tetap memiliki keunikan yang berbeda.

Di dalam penulisan ini akan dibahas hal-hal yang menyangkut pengalaman pribadi yang secara khusus disadari atau tidak telah menggerakkan hati, ide, atau isi lukisan yang diungkapkan serta bagaimana mewujudkannya dan proses atau teknik perwujudan karya seni dari awal hingga akhir, serta sinopsis pada setiap karya.

Untuk memperjelas ini sebelumnya perlu dikemukakan mengenai judul dan penegasan-nya, serta konsep perwujudan. Pembebasan

Pem.be.bas.an [n] (1) proses, cara, perbuatan membebaskan: -- tawanan perang; -- pajak buku-buku pelajaran; (2) perihal membebaskan terdakwa dari hukuman karena tidak terbukti kesalahannya (dinyatakan dengan putusan hakim). Referensi: http://kamusbahasaindonesia.org/pembebasan#ixzz25DJ3a8Ng. Diri

Di.ri [n] (1) orang seorang (terpisah dari yg lain); badan: ia menyesali -- nya; untuk kepentingan -- nya sendiri; (2) tidak dengan yang lain: pekerjaan itu dilakukannya seorang --; (3) dipakai sebagai pelengkap beberapa kata kerja untuk menyatakan bahwa penderitanya atau tujuannya adalah badan sendiri: janganlah bunuh -- , kasihanilah anak- anakmu; kami minta -- , hari sudah menjelang magrib; (4) Sas engkau: pergilah -- lekas-lekas. Referensi: http://kamusbahasaindonesia.org/diri#ixzz25DJX2eUe

Pembebasan adalah proses, cara, perbuatan membebaskan diri sendiri/tanpa campur tangan orang lain dan tidak juga melibatkan orang lain, yaitu semacam melepaskan diri dari kungkungan emosi apapun, dalam hal ini pembebasan bagi saya semacam katarsis. Katarsis atau katharsis, dari bahasa Yunani pertama kali diungkapkan oleh para filsuf Yunani yang merujuk pada upaya “pembersihan” atau “penyucian” diri, pembaharuan rohani dan pelepasan diri dari ketegangan; yaitu pembersihan diri agar ekspresi dapat tercurahkan dengan leluasa bergerak secara spontan, semacam bermain-main yang tidak takut pada perubahan-perubahan di dalam proses penggunaaan aspek-aspek visual seperti garis, tekstur, warna dan lain-lain yang sifatnya spiritual. Konsepsi Lukisan

Karya seni tidak harus membawa misi tertentu, walau pada isi idealnya tidak ditampilkan muatan/misi tertentu selain spontanitas yang tidak takut akan perubahan-perubahan untuk mewujudkan keinginan yang sifatnya spiritual yaitu pencarian manusia akan makna hidup dan merupakan motivasi utama dalam hidupnya. Kearifan spiritual adalah sikap hidup arif dan bijak secara spiritual yang cenderung mengisi lembaran hidup kita menjadi lebih bijak dan bermakna, bisa menyikapi segala sesuatu secara lebih jernih dan benar sesuai hati nuraninya, itulah kecerdasan spiritual (Viktor Frank-Psikolog), bukan berarti hampa tak ada arti/nilai dan makna bagi penikmat. Saya pikir siapapun dan apapun konsep pemikirannya selalu tertuju untuk manusia dan bersifat manusiawi.

Page 153: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

144

Pembebasan Diri Alamsyah Sinaga

LATAR BELAKANG TIMBULNYA IDE

Pada bab ini akan diterangkan tentang kejadian-kejadian yang secara spesifik mempengaruhi proses pembentukan karya seni lukis, baik itu kejadian sadar diusahakan ataupun tidak.

Sebenarnya apa yang terwujud sebagai objek lukisan dipengaruhi oleh banyak hal walaupun secara shape tak akan tampak jelas objek-objek itu secara realistis, karena apa yang terwujud tidak lain adalah sebuah komposisi non figurative (form). Sebenarnya itu timbul dari objek sehari-hari baik berupa objek-objek di alam ataupun objek-objek yang dihasilkan manusia. Pada objek-objek di alam seperti beragam motif kulit kayu, gurat-gurat-garis di kayu atau dedaunan, bentuk bebatuan serta teksturnya, hamparan tanah ataupun lumpur, cadas-cadas tebing ataupun bidang dan gempal pembentuk goa, langit dan gumpalan-gumpalan arak-arakan bentuk awan di kondisi cerah maupun berawan, hujan ataupun badai. Pada prinsipnya adalah pemandangan alam dengan berbagai kondisi fisik dan suasananya yang menginspirasi baik garis, tekstur ataupun warnanya.

Acuan kedua adalah produk-produk manusia yang berupa karya seni/lukisan di sini saya amat terinspirasi oleh pelukis kelahiran Rusia yang menetap di Perancis yaitu Wassily Kandinsky, dia menelurkan teori yaitu 1. Impresi 2. Improvisasi dan 3. Komposisi, dari ketiga teori di atas saya tertarik pada improvisasinya; juga pada produk-produk manusia non seni lainya yang memang tidak hanya pada objek benda itu sendiri secara wantah bila dilihat mata, tetapi lebih pada sifat dari beberpa kondisi dan kombinasi tatanan di kenyataan ataupun lintasan-lintasan komposisi imajinatif dari suasana susunan benda tersebut. Sebagai contoh pada botol atau benda-benda yang terbuat dari kaca bukan sebentuk botolnya tapi transparansi di kaca botol itu. Lipatan-lipatan kertas atau plastik baik yang masih baru ataupun yang sudah lusuh. Tidak beda juga pada beberapa benda yang berserakan sehabis kerja di kamar kita yang mana tatanan rapi dan beberapa serakan benda-benda menjadikan hal itu juga sebagai bahan inspirasi, sekali lagi bukan karena bentuk luarnya tetapi terarah pada pernak-pernik warna yang tergabung dalam satu komposisi yang bagi saya amat menarik.

Berangkat dari pengalaman mengamati lukisan Kandinsky, objek-objek di alam, karya seni batik dan terhadap potongan-potongan beberapa kombinasi dari beberapa warna, tekstur, dan mungkin juga garis yang terdapat pada benda-benda di alam ataupun produk-produk yang dibuat manusia itu menjadikan keberanian untuk mencoba ber“main-main” dengan bebas, spontan, tiada arti kata salah, tidak takut pada perubahan-perubahan. Tentunya perkataan bermain-main bukanlah perbuatan iseng dan selekeh belaka.

Tentunya pembebasan ini tidak semena-mena karena tetap saja memiliki “aturan” tertentu mengikuti gerak hati saat itu, saya bahkan tidak takut merubah total di saat lukisan hampir selesai yang karena memang saat itu hati menginginkan sesuatu untuk merubahnya. Memang banyak kejadian spontan yang begitu saja timbul dan harus secepatnya diekspresikan, dan bagi saya melukis bukanlah urusan salah atau benar menurut kadar secara umum berlaku, sehingga dengan seenaknya mengalir, tersendat, melanjutkan lagi, merubah arah hingga terbentuk suatu komposisi yang diidamkan.

Alam dan produk serta tatanan manusia telah banyak menyumbang inspirasi baik pemandangan alam di hutan dan gunung-gunung, di desa, atau bahkan di perkotaan bagi saya adalah tiada beda. Begitu pula pemandangan dan suasana produk-produk manusia beserta

Page 154: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

145

Pembebasan Diri Alamsyah Sinaga

tatanannnya baik yang tertata rapi atau berserakan di sana-sini yang dihasilkan oleh orang desa ataupun perkotaan tidaklah berbeda. Karena apapun yang nampak oleh mata saya, maka akan tetap terolah menurut kecenderungan, pola pikir dan kebiasaan secara pribadi. Banyak terjadi dialog yang rumit dan kemungkinan tidak satupun ada yang sama teknik pemecahan bila ditilik dari sudut batin, karena di saat proses berkarya selalu/sering dihadapkan pada persoalan teknik pemecahan yang yang berlainan.

Bila ditinjau waktu prosesnya sebentar/kapan atau lama/sampai kapan tidak bisa dipastikan keberhasilannya. Tidak jarang terjadi kegagalan di saat merencanakan, baik motif maupun warnannya. Keberhasilan selalu (sering sekali) menyertai di saat tidak merencanakan sesuatu.

IDE PENCIPTAAN

Pada bab ini termuat dua pokok bahasan; pertama ide lukisan yang berisikan ide/isi yang termuat di setiap karya lukis. Sedang bahasan ke dua ialah konsepsi bentuk perwujudan lukisan yang berisikan cara atau bagaimana suatu ide dapat terwujudkan ke dalam karya seni. Ide Lukisan

Ide/isi lukisan yang terkandung di dalam lukisan tidak lain ingin menampilkan hal-hal yang artistik yang pada isi tiada visi tertentu untuk mudah dimengerti oleh penglihatan mata. Misi saya tidak lain ingin mewujudkan yang sifatnya spiritual, artinya mencoba ber”main-main” secara spontan menggunakan aspek-aspek visual seperti garis, warna, tekstur, sapuan-sapuan kuas lembut atau kasar/keras di atas kanvas.

Bila dilihat dari prosesnya ada semacam melewati kondisi “tak sadar” menyalurkan dorongan/hasrat yang sangat kuat untuk diwujudkan. Bermain di sini bukan berarti berbuat iseng tanpa arah, tetapi bermain-main yang tidak takut pada perubahan, merombak, menguatkan atau bahkan mengaburkan, bisa juga me”rusaki” karya yang sudah hampir siap untuk dirombak menurut hasrat yang baru saja timbul.

Saya juga tidak begitu mempedulikan apa kata orang/penikmat bahwa karya saya baik atau buruk, atau mungkin akan bisa diteliti bahwa apa yang dimaksud tentang pembebasan diri ternyata akan menghasilkan sesuatu yang kiranya masih juga senada antara satu lukisan dengan yang lain. Bagi saya suatu keberhasilan adalah sangat pribadi, karena berhasil tidaknya lukisan bukan karena waktu lama atau sebentarnya proses, tetapi terletak pada saat saya menyatakan “utuh” yang tidak tergoda untuk menambahi atau mengurangi lagi sampai tertandatangani. Persoalan menambahi atau mengurangi itupun juga masih bisa amat terbuka yang penting ada suatu “waktu” dimana disaat proses itu masih memiliki semangat untuk melanjutkan (walau terdapat selisih waktu) menggunakan aspek-aspek visual itu hingga mencapai suatu komposisi yang tumbuh dan berkembang tanpa rencana atau dengan rencana terlebih dahulu. Konsepsi Bentuk Lukisan

Konsepsi bentuk lukisan adalah cara atau bagaimana suatu ide dapat terwujudkan dalam satu komposisi karya seni lukis. Berangkat dari perkataan pembebasan itu sendiri artinya membebaskan diri semacam menumpahkan perasaan dan uneg-uneg lainnya yang diwujudkan ke dalam satu bentuk karya seni lukis. Atas dasar pembebasan atau kata lain bermain-main menggunakan aspek-aspek visual yang menghasilkan motif-motif tak direncanakan, dan kalau toh terlihat seperti direncanakan bukan berarti dengan sadar membentuk hal/motif seperti itu, semua karena bentukan dari dalam diri yang tetap memiliki aturan-aturan tertentu.

Page 155: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

146

Pembebasan Diri Alamsyah Sinaga

Di sinilah pentingnya pembebasan diri dengan menggunakan aspek-aspek visual/ unsur-unsur seni rupa. Saya dengan leluasa dan berhak menambahi, mengkaburkan, atau bahkan menghilangkannya demi kepuasan bermain-main secara spontan dengan atau tanpa rencana sehingga menghasilkan suatu komposisi yang begitu diidamkan. Jadi secara bentuk ungkapan lukisan saya adalah abstrak, artinya tiada apa dan siapa yang harus digambarkan/dilukiskan, kecuali penataan warna-warni, beragam garis dan sapuan kuas baik lembut ataupun kasar. PROSES PERWUJUDAN

Pada proses perwujudan akan terbagi menjadi tiga bagian pokok; yang pertama adalah tahap pemantapan ide, ke dua adalah bahan, alat, dan teknik, selanjutnya ke tiga adalah tahap visualisasi. Tahap Pemantapan Ide

Proses bagi saya amatlah penting karena justru karena waktulah dari apa-apa yang tumbuh di dalamnya, “waktu” itulah yang akan membentuk dengan sendirinya, tidak jarang ada kegagalan/kerancuan sebelum muncul sesuatu bentuk yang enak untuk dilanjutkan. Di sini banyak terjadi dialog yang panjang dan rumit, karena setiap karya memiliki persoalan teknis yang berlainan cara pemecahannya. Untuk acuan perkembangan selanjutnya, maka saya mengacu pada : a. Pemandangan alam dan sekitarnya serta beberapa detil sifat-sifatnya. b. Produk manusia yang berupa karya perupa lain, dan produk hasil teknologi. c. Tanpa pokok soal mencontoh apapun. Bahan, Alat dan Teknik Bahan Di sini terbagi menjadi dua bagian : bahan support atau kanvas dan ke dua adalah bahan pewarna. (a) Bahan support/kanvas. Kanvas biasanya terbuat dari kain katun yang memiliki ketebalan tertentu yang sudah dimatikan serat dan sudah didasari oleh cat dasar guna menghentikan cat yang untuk melukis berkenti sampai di situ, agar tidak meresap hingga sampai ke belakang/dibaliknya. (b) Bahan Pewarna. Untuk bahan pewarna dipergunakan cat akrilik untuk melukis, karena sifat dasar cat ini disamping cepat kering dan bisa ditumpuk atau bahkan mampu mencapai transparan . Alat Bermacam alat yang yang dipergunakan menurut kebutuhan, alat-alat yang digunakan untuk merentang kanvas adalah Gun Staples, dan untuk menariknya digunakan Tang Penjempi kanvas. Teknik Teknik pengecatan dipergunakan kuas berbagai ukuran dan beragam jenis kuas seperti kuas jenis flat/ujungnya rata, round/ujungnya membulat hampir runcing, dan filbert/ujungnya tumpul. Tahap Visualisasi

Pada tahap ini sudah melewati perentangan kanvas di atas span ram, setelah kanvas siap baru memasuki tahap visualisasi. Seperti biasa mencoba memindahkan sket-sket kasar yang berada di kertas atau bahkan menyeket langsung di atas kanvas, tetapi pada periode akhir ternyata lebih banyak menyeket langsung tanpa bentuk garis tapi sapuan-sapuan kuas yang sudah berwarna.

Page 156: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

147

Pembebasan Diri Alamsyah Sinaga

Tahap selanjutnya ialah tahap pembentukan lukisan, ialah tahap yang terjadi dialog yang rumit bermain-main menggunakan aspek-aspek visual serta seakan tidak satupun per kanvas dari satu kanvas ke kanvas lainnya terdapat kesamaan teknik pemecahannya.

Kadang juga memindah sket di atas kertas ke kanvas mengalami perubahan karena memang mencocokkan proporsi pada bidang kanvas yang jelas lebih besar, dan itupun tidak jarang bahkan mengalami perubahan drastis sama sekali menyimpang dari sket awal di kertas. Saya juga tidak tahu menahu secara jelas mengapa perubahan-perubahan itu terjadi begitu, kadang digunakan teknik sapuan lembut pada awalnya, tetapi tiba-tiba bisa berubah, atau sebaliknya tergantung spontanitas di waktu itu. Kadang juga memiliki kebiasaan mentotol-totol bisa juga kebiasaan itu berubah menjadi sapuan lebar-lebar walau juga bisa berbalik lagi pada totol-totol semula.

Di sinilah proses kehidupan pelukisan begitu terasa jelas bahwa “waktu” lama tidaknya, sebentar/kapan atau sampai kapan tidak bisa dipastikan dengan jelas keberhasilannya. Tidak jarang terjadi kegagalan di saat merencanakan, baik itu motif maupun warnanya. Keberhasilan selalu (sering sekali) menyertai di saat tidak merencanakan sesuatu.

Saya tidak takut warna hijau, biru, hitam, atau putih, dan mengapa selalu mempunyai kebiasaan semua terencana saat itu saya menginginkan tak merencanakan lebih dulu?...aspek-aspek visual diletakkan begitu saja di atas kanvas dengan segalanya tanpa beban harus melukis bentuk apa atau melukiskan siapa, saya tak mengenal siapa artinya tak mempedulikan apa kata penikmat nanti dan untuk apa hasil ekspresi nanti entah dicemooh disanjung bagi saya tiada beda yang penting hasil ekspresi itu telah utuh terekspresikan sebagai keniscayaan, walau memang tetap akan dikomunikasikan/dipamerkan sebagai cermin bagi saya selanjutnya untuk sanggup atau tidak menapaki ranah kreativitas dan penciptaan sebagai seniman professional, artinya bisa dipertanggungjawabkan hasilnya untuk masyarakat. PENUTUP

Seniman akan memburu terus ke bentuk seni dan pengalaman yang baru. Suatu ciptaan seni, katakana seni lukis dalam proses perkembangannya senantiasa akan mendapat sambutan atau bahkan cemohan; tetapi walau bagaimanapun ia akan berjalan terus dengan tak peduli dan keras kepala, sedang gigi jaman pun tak akan mampu mengunyahnya. Akan tetap terlahir sosok-sosok dan gaya unik dari yang representatif biasa/sosial Coubert sampai superrealisfotografisnya Ralp Going, dari yang simbolik ketimuran Mattise hingga surrealis Dali, dan dari abstraksi alam pada impresinya Kandinsky hingga ideoplastisnya Mondrian sampai puncaknya suprematime ala Mallevich.

Maka, apakah perupa (seni lukis) modern adalah seorang seniman yang tidak berperasaan yang hanya menampilkan hal lain dari yang lain untuk popularitas belaka? Tentu tidak!, hingga sekarang rupanya seni rupa tidak bisa hidup jika hati tak berdenyut bersama warna, garis, dan aspek-aspek visual.

Affandi dengan liar dan garangnya menorehkan tube cat di atas kanvas, beriramanya gending-gending Fadjar Sidik. Di mana saja terdapat seniman yang hidup antara meditatif dan yang liar, impian dan hawa nafsu, ibadat dan menghias. Rupanya selalu dalam kecondongan antara pikiran dan perasaan.

Kemana tujuan seni, apa keinginan seniman? bagi saya berkesenian tidak lain adalah mengungkap keberadaan arti hidup yang sifatnya spiritual, menurut Danah Zohar dan Ian Marshall, Spiritual memiliki beberapa arti yaitu :

Page 157: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

148

Pembebasan Diri Alamsyah Sinaga

1. Suatu keperluan penting yang dimiliki oleh para hambat Tuhan untuk dapat berhubungan dengan Tuhannya.

2. Kemampuan untuk menghidupkan kebenaran yang paling dalam yaitu mewujudkan hal yang terbaik, utuh dan paling manusiawi dari dalam batin.

3. Merupakan gagasan, energi, nilai, visi, dorongan dan arah panggilan hidup bersama cinta. 4. Bukti ilmiah, ini nyata ketika kami merasakan keamanan (Secure), kedamaian (peace), penuh

cinta (love) dan bahagia (happy), ketika dibedakan dalam suatu kondisi yang dirasakan tidak aman, tidak bahagia dan tidak cinta (Paul Edwards)

5. Pencarian manusia akan makna hidup dan merupakan motivasi utama dalam hidupnya. Kearifan spiritual adalah sikap hidup arif dan bijak secara spiritual yang cenderung mengisi lembaran hidup kita menjadi lebih bermakna dan bijak, bisa menyikapi segala sesuatu secara lebih jernih dan benar sesuai hati nuraninya, itulah kecerdasan spiritual (Viktor Frank-Psikolog)

6. Membimbing manusia dalam merencanakan sesuatu yang menjadi tujuan hidupnya, yaitu hidup yang penuh kedamaian secara spiritual. Mendidik hati menjadi benar.

Selamanya seni akan tetap menjadi perlambang yang “Faust” (sebuah novel karya Goethe yang mana terdapat tiga tokoh utama, yaitu: Mephistopheles sang iblis yang tak percaya, Margareth yang mencinta, sedang Faust perlambang dari kedua tokoh di atas) dengan tangan satu terpaut di bumi, tangan yang lain terpaku pada yang tak terhingga, roh tertuju untuk diri sendiri dan hati terbuka untuk kemanusiaan. Seni ditebarkan keempat penjuru mata angin; kadang menyenangkan, membuat shock, yang indah-indah, atau membingungkan. Bagimanapun juga seni telah memberi isian yang cukup berarti bagi kehidupan manusia, ia membuat yang biasa menjadi yang luar biasa. Sebagai penutup tentunya dari bab ke bab selanjutnya tidak lain menjabarkan seluruh proses penciptaan hingga terlahirnya suatu karya seni; walau pada itu tidak menampilkan muatan tertentu selain keartistikan belaka dengan mencoba bermain-main secara sepontan yang tidak takut akan perubahan, merusaki, kekeliruan dan kebingungan untuk mewujudkan hasrat yang sifatnya spiritual bukan berarti hampa tak ada arti bagi penikmat. Saya pikir siapapun dan apapun konsep pemikirannya selalu tertuju untuk manusia dan bersifat manusiawi. Daftar Foto Acuan

Gambar 1. Foto Acuan 1

Keterangan gambar: 1. Acuan Awan : sebagai acuan tentang gelap-terang, sifat lembut dan melayangnya awan. Bagaimana

gumpalan-gumpalan yang bergerak itu setiap kali bergerak dan berubah. 2. Tekstur Bebatuan yang masif, padat tak bergerak, kecuali timpaan sinar menurut waktu kapan dari

matahari akan menimpa, terdapat kedalaman relung-relung, cekungan, tekstur dan sifat bebatuan itu sendiri.

3. Acuan Plastik : lipatan-lipatan yang tak terencana menimbulkan gelap terang spesifik, garis-garis keras dan tajam.

Page 158: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

149

Pembebasan Diri Alamsyah Sinaga

4. Acuan Tekstur Kulit Kayu : lipatan khas pepohonan yang tidak tajam dan tekstur yang terjadi karena bentukan alam.

5. Acuan Kayu/Pohon Keropos : bentukan serpihan-serpihan, lubang-lubang dan sifat rabuh yang memungkinkan menampakkan kekhasan kayu keropos.

Gambar 2. Foto acuan 2

DAFTAR KARYA

Gambar 3. Hasil karya. Keterangan gambar: (kiri) Judul: Lukisan 5, Ukuran : 110 x 80 Cm, Media: Akrilik

di atas kanvas. (kanan) : Judul : Lukisan 3, Ukuran : 110 x 80 Cm, Media: Akrilik di atas kanvas

Gambar 4. Hasil karya. Keterangan gambar: (kiri) Judul Lukisan 2, Ukuran : 110 x 80 Cm, Media:

Akrilik di atas kanvas. (kanan): Judul Lukisan 1, Ukuran : 110 x 80 Cm, Media: Akrilik di atas kanvas

DAFTAR PUSTAKA Disain Elementer, Fadjar Sidik dan Aming Prayitno, STSRI-ASRI, Yogyakarta, 1975. Faust, Rayani Sriwidodo, Pengadapt., PT. Pustaka Karya Grafika Utama, Jakarta, 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. PN

Balai Pustaka, Jakarta, 1989. Man's Search for Meaning. An Introduction to Logotherapy, Victor Frankl, Boston: Beacon,; dan Random

House / Rider, London 2004. Spiritual Quention : Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk

Memaknai Kehidupan, Danah Zohar dan Ian Marshall, Mizan. BIODATA PENULIS

Alamsyah Sinaga Lahir di Surabaya, 23 Februari 1965 Pendidikan Seni Rupa Murni Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya

Page 159: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

150

Makna Motif Tenun Sri Rahayu

MAKNA MOTIF TENUN DI KABUPATEN BIMA

Sri Rahayu

Abstract

The background of this research was the value of symbolism in the art of weaving craft in Bima which has spawned several motifs and colors that are considered sacred. Meanwhile, the objectives of the study were: 1) to determine the meaning of woven motifs in Bima district, 2) to determine it’s role on the marriage ceremony. It was a qualitative descriptive study. Data collected by using observations, interviews and documentation. Then, the data analyzed by means of inductive method starting from data collection, data reduction, data presentation, and data verification.Based on the research results, it can be concluded as follows: 1) the meaning of woven motifs in Bima were: (a) Suri Kakandau motif (bamboo shoots) having historical meaning of Bima’s ethnic struggle (Mbojo) against the Dutch colonialists using bamboo, (b) Gari (line) implies that people should be honest and firm in carrying out the task, such as the straight of lines, (c) Nggusu tolu motif (triangular) shaped in cone implies that the ultimate power was in the hands of God who symbolized as the peak of the cone, (d) Nggusu upa motif (rectangle) is a symbol of togetherness with neighbors and relatives. Pado Waji motif almost has the same meaning with nggusu tolu, but other than acknowledging of God's power also must recognize the authority of the leader which is depicted with two obtuse angles left and right parts, (e) Nggusu Waru motif (octagon) describes the daily life of the people of Bima on the beach looking for crabs. It also has a meaning that ideally a leader must meet eight requirements : faithful, devoted, has extensive knowledge, intelligent, skilled, smooth-spoken, polite, behave decently, descended from a good mind and spiritual, able to meet the needs of everyday life. 2) The role of woven motif on the marriage ceremony, among others: (a) woven gloves (Tembe) as one dowry that must be handed over at the time of giving dowry from the man . (b) wearing woven gloves (Tembe) with kakandau motif at the wedding reception, (c) Kakandau motif can also be used by the bride and her family at the peta kapanca (procession of wearing kepanca to the bridegroom) and boho oi deu ( bathing with flower ). Moreover, it was also weared by the bride and bridegroom at the marriage ceremony. Keywords:motif, craft, meaning, woven

PENDAHULUAN Salah satu hasil budaya bangsa yang telah ada sejak zaman nenek moyang adalah

kerajinan. Pada awalnya kerajinan timbul karena adanya dorongan manusia untuk mempertahankan hidupnya. Dengan adanya dorongan manusia untuk mempertahankan hidup itu maka kemudian manusia membuat alat-alat kebutuhan sehari-hari, seperti alat pertanian, alat untuk berburu, berperang, pakaian dan alat mengolah makanan, kegiatan kerajinan itu timbul atas desakan kebutuhan praktis dengan menggunakan bahan yang ada dan pengalaman kerja yang diperoleh dari kehidupan sehari-hari, sehingga hasil kerajinan ketika itu masih sangat sederhana.

Salah satu kain hasil karya perajin Indonesia yang tidak kalah cantik dan menawan, yaitu tenun. Selain batik, wayang, dan keris; kain tenun bisa menjadi salah satu ciri khas negeri ini dalam hal warisan budaya yang sudah cukup dikenal hingga ke negeri seberang. Bahkan dikabarkan bahwa dalam waktu dekat ini, kain tenun diharapkan dapat diakui oleh

Page 160: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

151

Makna Motif Tenun Sri Rahayu

UNESCO sebagai intangible cultural heritage (warisan kebudayaan bukan benda) dari Indonesia. Salah satu kerajinan yang masih berkembang sampai sekarang adalah kerajinan tenun. Dewasa ini kerajinan tenun di Indonesia telah mengalami perkembangan yang cukup pesat, hal ini disebabkan oleh kemajuan berfikir serta budaya masyarakat yang didorong oleh semakin rumitnya tuntutan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Kerajinan tenun di Indonesia dibuat di berbagai daerah, masing-masing mempunyai ciri dan keunikan tersendiri, baik dalam ragam hias maupun komposisi pewarnaannya. Namun disamping perbedaan terdapat juga persamaan, diantara tenun-tenun tersebut. Sebagaimana daerah lain di Indonesia, Bima (kabupaten Bima) yang berada di propinsi Nusa Tenggara Barat di daerah ini terdapat industri kecil kerajinan tenun yang bersifat rumahan/ rumah tangga (home industry).

Pada awalnya tenun khas Bima dibuat oleh masyarakat lokal sebagai konsumsi pribadi, karena pada jaman dahulu pemakaian sarung lebih diminati, baik untuk dipakai dalam kegiatan sehari-hari maupun digunakan/ dikenakan dalam acara-acara resmi seperti acara pernikahan, sunatan, wa’a co’i (antar mahar) dan acara-acara yang termasuk dalam upacara daur hidup lainnya. Masyarakat Bima umumnya memakai sarung untuk digunakan sebagai rimpu (penutup kepala) dan sanggentu (cara pemakaian sarung untuk wanita) atau katente (cara pemakaian sarung untuk pria). Rimpu merupakan pakaian tradisional pengganti jilbab karena pada jaman kesultanan masyarakat Bima sudah memeluk agama Islam.

Bentuk dan motif yang digunakan oleh para leluhur merupakan simbol-simbol yang melambangkan aspek–aspek dalam kehidupan sehari-hari manusia, karena pada waktu itu hasil kerajinan tenun mempunyai hubungan langsung dengan jiwa kehidupan manusia. Bahkan ragam hias yang terhampar disetiap lembar kain tenun bukanlah tanpa arti. Dalam setiap motif yang sangat dekat dengan alam sekitar tersimpan sejuta makna yang sangat sarat dengan kandungan filosofi masyarakat pemakainya. Sebagai bukti pada masa itu, pakaian dengan menggunakan kain tenun dapat dijadikan sebagai penentu kedudukan seseorang dalam sosial kemasyarakatan, karena dari pakaian tenun dan corak yang dipakai orang dapat mengetahui kedudukan pemakainya.

Kerajinan tenun kabupaten Bima, ada bebrapa motif salah satunya adalah motif tenun khas kabupaten Bima yang memiliki warna dan motif yang sangat sederhana, demikian besar arti warna dan bentuk motif bagi masyarakat Bima sehingga menuntut pendalaman untuk mendeskripsikan lebih lanjut. Untuk dapat mengetahui lebih mendalam tentang kerajinan tenun di kabupaten Bima, maka peneliti tertarik untuk menelusuri dan mendeskripsikan keunikan dari hasil tenun yang dihasilkan oleh pengrajin tenun di kabupaten Bima melalui pengadaan penelitian dengan mengambil judul “Makna Motif Tenun di Kabupaten Bima”. Adapun alasan penulis mengangkat judul ini dalam penelitian adalah sebagai berikut: (a) Judul skripsi ini belum pernah diketengahkan, ditulis dan diteliti oleh para penulis skripsi. (b) Makna motif tenun kabupaten Bima menarik, beraneka ragam dan bernilai tinggi. (c) Tenun kabupaten Bima umumnya masih merupakan usaha rumah tangga atau home industry. Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: (a) Bagaimana makna motif tenun di kabupaten Bima? (b) Bagaimana peranan motif tenun kabupaten Bima pada upacara perkawinan?

Page 161: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

152

Makna Motif Tenun Sri Rahayu

Berdasarkan uraian pada rumusan masalah di atas, maka adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah: (a) Untuk mengetahui makna motif tenun di kabupaten Bima. (b) Untuk mengetahui peranan motif tenun kabupaten Bima pada upacara perkawinan.

Merupakan hal yang penting untuk mencari jawaban dari permasalahan diatas, yaitu dengan melalui penelitian dan pembatasan pokok permasalahan yang akan diteliti, hal ini dimaksudkan dengan cara memberi batasan-batasan hanya pada makna simbolik motif tenun di kabupaten Bima dan peranan motif tenun kabupaten Bima pada upacara perkawinan.

Manfaat Penelitian ini adalah ; (a) Manfaat Teoritis. Penelitian ini bertujuan mendapatkan informasi secara rinci tentang makna simbolik motif tenun kabupaten Bima yang berkaitan dengan makna dan motif tenun, jenis dan fungsi tenun, peranan motif tenun kabupaten Bima pada upacara perkawinan, serta hal-hal yang mendukung lainnya. (b) Manfaat Praktis; 1. Manfaat bagi Para Penenun. Hasil dari penelitian akan memberikan motivasi kepada ibu-ibu penenun agar lebih kreatif memilih warna, model, motif tenun agar bisa berkembang pesat dan dikenal tidak hanya di kabupaten Bima tetapi di kalangan nasional bahkan internasional. 2. Sekolah. Dari hasil penelitian ini diharapkan akan memberi konstribusi positif bagi dunia pendidikan khususnya seni rupa di formalitas kependidikan, hasil penelitian tersebut akan memberi informasi penting guna mengenal sejarah positif tentang perkembangan tenun khas Bima sebagai salah satu nilai budaya bangsa. 3. Dinas Pariwisata. Agar dapat menjadi salah satu ciri khas Bima yang akan diperkenalkan pada wisatawan baik domestik maupun manca negara. 4. Peneliti. Hasil penelitian ini akan menjadi salah satu upaya untuk mengembangkan dan memperluas wawasan terhadap kekayaan kebudayaan bangsa lebih khususnya tenun khas Bima. 5. Peneliti yang lain. Dengan hasil penelitian ini, akan memberikan masukan dan pertimbangan untuk melakukan penelitian selanjutnya. PENGERTIAN MOTIF

Motif pada umumnya berupa ornamen hias yang dipakai atau diterapkan pada bidang-bidang gambar, dalam hal ini ornamen hias diterapkan pada bidang kain sebagai seni kerajinan tenun. Motif sebagai ornamen hias diterapkan pada bidang yang akan ditenun. Motif sebagai ornamen hias menurut Gustami (1960:7) mengatakan bahwa motif adalah pangkal atau pokok dari suatu pola yang mengalami proses penyusunan dan ditebarkan secara berulang-ulang. Dari proses itu akan diperoleh suatu hasil berupa pola yang dapat diterapkan pada benda lain sehingga terjadi suatu ornamen.

Berdasarkan deskripsi di atas, maka dapat diperjelas kembali menegnai kedudukan motif dalam suatu benda, dalam hal ini dalam suatu kain tenun. Penjelasan itu adalah: motif tenun adalah bagian dari pola, merupakan ornamen yang mewujudkan gambar secara keseluruhan dari suatu desain dan berfungsi sebagai penghias bidang-bidang (Tirtaamijaya, 1977:3). SEJARAH DAN PENGERTIAN TENUN

Menenun telah dilakukan sejak zaman dahulu kala. Ada indikasi bahwa menenun muncul sejak zaman paleolitikum atau zaman batu tua, ketika alat-alat batu buatan manusia untuk membantu hidupnya masih dikerjakan secara kasar. Diperkirakan, di zaman ini,

Page 162: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

153

Makna Motif Tenun Sri Rahayu

manusia purba menenun karena terinspirasi oleh adanya jaring laba-laba, sarang burung, atau “bendungan” yang dibuat oleh berang-berang.

Pengertian tenun adalah proses pembuatan kain dengan anyaman benang pakan antara benang lungsi dengan menggunakan alat tenun yang terbuat dari kayu, buluh dan logam. Sisi lain sebuah proses menenun adalah menyilang pakan dengan benang lungsi, pada masa lalu dibuat dari bahan baku kapas dan dicelup sendiri (http://artikata.com/arti153296-tenun.html).

Budaya daerah Bima, masyarakat pada umumnya menjunjung tinggi adat istiadat dan tradisi serta modernisme di aktivitas formal, misalnya dalam acara hari Ulang Tahun lahirnya kabuapten Bima, dan acara lain yang bernuansa kelokalan. Atas dasar realita tersebut, keberadaan tenun daerah Bima di dalam acara tersebut sangatlah berperan sebagai pakaian formal kedaerahan dalam upacara adat dan tradisi kabupaten Bima.

keberadaan budaya tersebut serta ditumbuhkan kembangkan. Selain pewaris budaya tradisional, untuk diharapkan bukan hanya sebagai pewaris yang pasif, namun turut serta melestarikan nilai tradisi yang sudah ada.

Daerah Bima merupakan salah satu daerah yang kaya akan kekayaan budaya dan ada istiadat. Di mana dulu orang Bima mengenal tenun sejak berdirinya negara Islam di Bima pada 15 Rabiul Awal 1050 H. Merupakan awal pertama kali masyarakat Mbojo mengenal pembuatan tenun biasa mereka menyebut tembe (sarung). Dimana tujuan utama pembuatan tembe tersebut sebagai pakaian yang menutup auratnya serta sebagai motivasi peradaban keagamaan mereka pada zaman dulu. Dimana tembe ini dikenal beberapa jenis yaitu tembe nggoli, tembe songke (sarung songket), tembe kafa na’e, tembe me’e (sarung hitam). Tenun ini merupakan salah satu hasil kerajinan khas daerah Mbojo kabupaten Bima yang dikenal dibeberapa daerah. Mengapa dikatakan tenun tradisonal, karena pada setiap bahan pembuatan tersebut berasal dari alat-alat tradisional itu sendiri. Salah satu contoh alatnya itu seperti tampe, tandi, ku’u, poro, cau, lihu, lira lili dan sebagainya. peralatan untuk menenun. Jenis dan fungsi tenun Mbojo memiliki banyak variasi, baik corak maupun motif tersendiri sangat digemari oleh masyarakat Bima. Tenun Mbojo ini juga memiliki keistimewaan tersendiri bagi masyarakat Mbojo. (http://udinsape.blogspot.com/2011014.archive.html). METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN

Adapun jenis penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan terhadap variabel mandiri, yaitu tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lain. Suatu penelitian yang berusaha menjawab pertanyaan seperti yang tengah diteliti yaitu makna simbolik motif tenun di kabupaten Bima dan peranan motif tenun kabupaten Bima pada upacara perkawinan (Sugiono, 1997:6). Menurut Arikunto (2002:101) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tapi hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu variabel, gejala atau keadaan. Sedangkan menurut Hadari (1998:63) mengartikan deskriptif adalah prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain sebagainya). Pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat pengindraan fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah-daerah tertentu.

Page 163: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

154

Makna Motif Tenun Sri Rahayu

Penelitian deskriptif yang dipilih adalah deskriptif kualitatif. Pendekatan kualitatif merupakan cara pendekatan dalam melakukan penelitian yang berdasarkan pada fakta empiris dan apa yang dialami responden, yang diakhirnya dicari rujukan teorinya dan bersifat vestehen. Dalam penelitian kualitatif juga menggunakan pendekatan sebagaimana dipopulerkan Kaplan dan Mennors sebagai pendekatan emic dan etic. Pendekatan emic diartikan sebagai suatu cara mendekati fenomena dengan menggunakan kerangka konsep aktual responden. Sedangkan pendekatan etic mengacu kepada konseptual penelitinya (Sugiono, 1997:25). Menurut Sutarmanto (dalam Mantra, 2004:26-27) mengatakan bahwa pendekatan kualitatif terdapat pada filsafat post positivisme dengan ciri-ciri sebagai berikut: (a) Mencoba memperoleh gambaran yang lebih jelas. (b) Bersifat holistik. (c) Memahami makna (ferstehen atau pemahaman yang mendalam). (d) Memandang hasil penelitian sebagai spekulatif. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa metode deskriptif kualitatif adalah penyajian data berdasarkan fakta dan disajikan dalam bentuk kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Metode Pengumpulan Data penelitian ini adalah; (a) Observasi (Pengamatan). Observasi atau pengamatan adalah pengamatan yang dilakukan dengan sengaja secara sistematis mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. (b) Interview (Wawancara). Metode interview atau wawancara merupakan metode pengumpulan data yang menghendaki komunikasi langsung antara peneliti dengan subyek atau informan. Dalam interview biasanya tanya jawab sepihak yang dilakukan secara sistematis dan berpijak pada tujuan penelitian (Moleong, 2002:67). (c) Dokumentasi. Metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku-buku, surat kabar, majalah, prestasi, notulen rapat, agenda dan sebagainya (Moleong, 2002:86).

Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data dapat diperoleh (Arikunto, 2002:107). Sumber data dalam penelitian ini adalah: (a) Sumber data primer, diperoleh dari hasil penelitian di lapangan secara langsung dan pihak-pihak yang bersangkutan dengan masalah yang akan dibahas dalam hal ini adalah dari tokoh budayawan, pengrajin dan masyarakat. Untuk memperoleh sumber data primer digunakan teknik wawancara dan observasi. (b) Sumber data sekunder, untuk memperoleh sumber data sekunder peneliti menggunakan teknik dokumentasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan data melalui informasi secara tertulis ataupun gambar-gambar yang berhubungan dengan masalah-masalah penelitian.

Instrumen Penelitian ini meliputi reduksi data, penyajian data. Reduksi Data. Data yang diperoleh di lapangan ditulis dalam bentuk uraian atau laporan terperinci. Data itu direduksi, dirangkum, dipilih hal-hal yang pokok, difokuskan pada hal-hal yang penting, disusun secara sistematis sehingga mudah dikendalikan. Tujuan reduksi data ini adalah untuk memperoleh gambaran yang lebih rinci tentang hasil pengamatan, mempermudah peneliti mencari kembali data yang diperoleh bila diperlukan. Penyajian Data. Data yang diperoleh peneliti, baik yang didapatkan melalui observasi, wawancara, kuesioner (angket) maupun dokumentasi harus dapat disajikan. Penyajian data pada prinsip data adalah komunikatif dan lengkap, dalam arti data yang disajikan dapat menarik pihak lain untuk membacanya dan mudah memahami isinya. Penyajian data dalam skripsi ini disajikan dalam bentuk deskriptif

Page 164: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

155

Makna Motif Tenun Sri Rahayu

kualitatif dan penyajian gambar-gambar berwarna sebagai pendukung data dan juga tabel yang dapat mendukung data.

Untuk mengabsahkan data diperlukan teknik pemeriksaan. Teknik keabsahan data didasarkan pada empat kriteria yaitu kepercayaan, keteralihan, ketergantungan, dan kepastian (Moleong, 2002:103). Untuk menetapkan keabsahan data dalam penelitian di lapangan perlu data sebagai berikut: (a) Keikutsertaan peneliti di lapangan. Peneliti dengan perpanjangan keikutsertaannya akan banyak mempelajari “kebudayaan”, dan dapat menguji ketidakbenaran informasi yang diperkenalkan oleh distori, baik yang berasal dari diri sendiri maupun dari responden, dan membangun kepercayaan subjek (Moleong, 2002:103). (b) Triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut (Moleong, 2002:108). Triangulasi yang digunakan antara lain sebagai berikut: 1) Triangulasi dengan sumber yaitu membandingkan dan mengecek baik kepercayaan suatu

informasi yang diperoleh melalui alat dan waktu yang berbeda dalam metode kualitatif. 2) Memanfaatkan pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali derajat

kepercayaan data dari pemanfaatan pengamat akan membantu mengurangi bias dalam pengumpulan data.

Metode Analisis Data. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis antar kasus (cross-site analysis) dengan menggunakan model analisis interaktif seperti dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1992:20) menjelaskan bahwa ada empat hal utama dalam analisis data dan verifikasi, antara lain: (a) Pengumpulan Data. Pengumpulan data adalah mengumpulkan data yang diperoleh di lapangan baik berupa catatan di lapangan, gambar, dokumen dan lainnya diperiksa kembali, diatur dan kemudian diurutkan. (b) Reduksi Data. Hasil penelitian dari lapangan sebagai bahan mentah dirangkum direduksi kemudian disusun supaya lebih sistematis, yang di fokuskan pada pokok dari hasil-hasil penelitian yang disusun secara sistematis untuk mempermudah penelitian didalam mencari kembali data yang diperoleh apabila diperlukan kembali. Dari data-data tersebut peneliti membuat catatan atau rangkaian yang disusun secara sistematis. (c) Penyajian Data. Sajian data ini membantu peneliti untuk melihat gambaran keseluruhan atau bagian-bagian tertentu. (d) Penarikan Kesimpulan/ Verifikasi. Dari data-data yang diperoleh dari hasil wawancara, observasi, dokumentasi, kemudian peneliti mencari makna dari hasil penelitian atau dari hasil yang terkumpul. Peneliti berusaha untuk mencari pola hubungan serta hal-hal yang sering timbul. Dari hasil penelitian atau data yang diperoleh peneliti membuat kesimpulan-kesimpulan kemudian di verifikasi.

PEMBAHASAN

Tenun Bima adalah kerajinan rumah tangga yang diturunkan dari generasi ke generasi. dimulai dari jaman kerajaan hingga sekarang tetap dipertahankan baik dari segi penggunaan bahan, corak dan pewarnaannya. Kerajinan tenun atau dalam bahasa Mbojo (nama bahasa dan suku Bima-Dompu) dikenal dengan “muna ro medi” sudah lama dikenal oleh masyarakat Bima. Menurut berbagai sumber yang dapat dipercaya, sejak awal abad 15, hasil kerajinan muna ro medi sudah menjadi barang dagangan yang laris di beberapa wilayah Nusantara.

Page 165: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

156

Makna Motif Tenun Sri Rahayu

Dari sekian banyak jenis barang hasil kerajinan muna ro medi yang paling terkenal adalah tembe (sarung), sambolo (destar) dan weri (sejenis ikat pinggang) (seperti yang dituturkan oleh ibu Kalisom). Adapun proses pembuatan tenun khas kabupaten Bima dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 1. Seorang Ibu Penenun Tembe (Sarung)

Kecintaan masyarakat terhadap bahan sandang hasil muna ro medi mulai menurun

pada tahun 1960-an. Para penenun sulit menghasilkan tembe, sambolo dan weri yang bermutu karena kekurangan modal, dalam waktu yang bersamaan bahan sandang dari luar semakin membanjiri pasar di Bima dan Dompu. Dalam situasi seperti itu, generasi muda cenderung mencintai bahan dari luar, ketimbang buatan para ibu sendiri. Inilah gejala awal dari terpuruknya apresiasi masyarakat terhadap kain tenun Bima seperti tembe, sambolo dan weri Mbojo (seperti yang dituturkan oleh ibu Kalisom).

Saat ini produk unggulan tenun khas Bima adalah tembe nggoli. Tembe nggoli terbuat dari benang kapas (katun), dengan warna-warni yang cerah dan mempunyai motif khas Bima. Keistimewaannya tembe nggoli antara lain: hangat, halus dan lembut, tidak mudah kusut dan warna cemerlang lebih lama. Masyarakat Bima juga menggunakan sarung sebagai selimut ketika tidur. ( Alan 2010:73). Makna Motif dan Tenun di Kabupaten Bima

Pada awalnya tenun khas Bima dibuat oleh masyarakat lokal sebagai konsumsi pribadi, karena pada jaman dulu pemakaian sarung lebih diminati. Baik untuk dipakai dalam kegiatan sehari hari maupun digunakan/ dikenakan dalam acara-acara resmi seperti acara pernikahan, sunatan, wa’a co’i (antar mahar), dan acara-acara yang termasuk dalam upacara daur hidup lainnya.

Tenun Kabupaten Bima tidak kalah dengan tenun daerah lain yang terkenal seperti Bali, NTT, Jawa, Sumatra maupun Sulawesi. Karena tenun kabupaten Bima mempunyai ciri-ciri khusus dan unik yang membedakannya dengan tenun khas daerah lain. Jenis tenun khas Bimapun beragam, keragaman jenis tersebut juga mempengaruhi keragaman motif yang tercipta mulai dari motif bunga, daun, garis-garis motif kotak-kotak, tumbuhan, motif bunga samobo yang biasa ada di sawah, bunga satako dan sebagainya.

Yang lebih menarik lagi adalah desain bunga merambat yang terkenal dengan bunga setako yang menjadi kenyataannya bahwa beberapa desain kain Bima tidak ada gambar (Hilir,

Page 166: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

157

Makna Motif Tenun Sri Rahayu

1992:27). Sementara itu, motif tenun yang populer di antaranya suri kakando atau tunas bambu dan nggusu waru. Motif dapat dilihat pada gambar.

Motif suri kakando sarat dengan sejarah perjuangan suku Bima saat melawan penjajah Belanda dengan menggunakan bambu runcing. Motif suri kakando secara khusus digunakan untuk acara pernikahan. Motif suri kakando (tunas bambu) juga memiliki makna yang lebih luas pada perkembangannya.

Adapun penjabaran motif suri kakando (tunas bambu) yang lainnya adalah: (1) Menggambarkan kehidupan masyarakat Bima yang memiliki semangat untuk hidup maju dan berkembang. (2) Regenerasi terhadap nilai-nilai luhur kehidupan maupun budaya Bima kepada generasi muda. (3) Selain itu menggandung makna pengorbanan, dimana orang tua masyarakat Bima memiliki semangat yang tinggi untuk menyekolahkan anak-anaknya walaupun mereka harus menahan haus dan lapar.

Gambar 2. Motif Suri Kakando (Tunas Bambu)

Sedangkan motif nggusu waru menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat

Bima yang mencari kepiting di pantai (Alan, 2010:83-84). Disamping mengenal motif bunga, tenun Bima juga mengenal motif geometri seperti gari (garis), nggusu tolu atau pado tolu (segitiga), nggusu upa (segi empat), pado waji (jajaran genjang), nggusu waru (segi delapan). Motif gari (garis) mengandung makna bahwa manusia harus bersikap jujur dan tegas dalam melaksanakan tugas, seperti lurusnya garis. Modelnya dapat dilihat pada gambar berikut:

Page 167: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

158

Makna Motif Tenun Sri Rahayu

Gambar 3. Sarung Motif Gari (Garis)

Nggusu tolu (segitiga) berbentuk kerucut mengandung makna kekuasaan tertinggi ada

di tangan Allah yang disimbolkan dalam puncak kerucut yang lancip. Nggusu upa atau segi empat merupakan simbol kebersamaan dengan tetangga dan kerabat. Motif pado waji hampir sama maknanya dengan nggusu tolu, tetapi selain mengakui kekuasaan Allah juga harus mengakui kekuasaan pemimpin yang dilukiskan dengan dua sudut tumpul bagian kiri kanannya. Sedangkan nggusu waru, idealnya seorang pemimpin harus memenuhi delapan persyaratan yaitu beriman dan bertaqwa, na mboto ilmu ro bae ade (memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas), loa ra tingi (cerdas dan terampil), taho nggahi ra eli (bertutur kata yang halus dan sopan), taho ruku ro rawi (bertingkah laku yang sopan), londo ro dou (berasal dari keturunan yang baik), hidi ro tahona (sehat jasmani dan rohani), mori ra woko (mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari) (Hilir, 1995:80). Pengertian Rimpu dan Katente

1. Makna Rimpu. Rimpu atau penutup kepala adalah salah satu pakaian adapt yang dikenakan oleh para wanita Bima pada jaman dahulu dan rimpu ini termasuk baju adat dan kebesaran yang khusus dikenakan dalam kegiatan sehari-hari. Masyarakat Bima umumnya memakai sarung untuk digunakan sebagai rimpu (penutup kepala) dan sanggentu (cara pemakaian sarung untuk wanita). Rimpu merupakan pakaian tradisional pengganti jilbab karena pada jaman kesultanan masyarakat Bima sudah memeluk agama islam. Rimpu terbagi menjadi dua, yaitu: (a) Rimpu Mpida (hanya mata yang terlihat). Rimpu ini menandakan bahwa si pemakai rimpu adalah wanita tersebut belum menikah. Pada jaman dahulu, wanita Bima sebelum waktunya menikah mereka dipingit pada salah satu rumah adat yang disebut lengge/ jompa. Wanita Bima apabila keluar dari lengge/ jompa dianggap pamali, karena wanita yang belum menikah dianggap sebagai wanita suci yang bersih dari segala dosa maupun fitnah. Apabila mereka keluar dari rumah diharuskan untuk mengenakan rimpu agar terhindar dari pandangan dan fitnah. (b) Rimpu Cole (seluruh wajah terlihat). Wanita yang memakai rimpu dengan memperlihatkan wajah menandakan bahwa wanita tersebut sudah menikah. Keberadaan wanita yang memakai rimpu cole ini tidak lagi dianggap pamali, karena

Page 168: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

159

Makna Motif Tenun Sri Rahayu

sudah ada suami yang melindungi sehingga terhindar dari fitnah (Hillir, 1995:56). Cara mengenakan rimpu mpida pertama-tama kita kenakan sarung (tembe), kemudia ambil sisi belakang ditarik atas dengan posisi menutup kepala, ambil sisi kanan dan lingkarkan ke bagian lainnya.

Sarung/ tenun Bima juga merupakan salah satu syarat mahar yang harus diserah terima pada saat pemberian mahar oleh sang pria, selain rumah panggung (hillir, 1995:56). Model pemakaian sarung sebagai rimpu (penutup kepala) dan sanggentu (cara pemakaian sarung untuk wanita) dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 4. Wanita Bima Memakai Tenun Sarung Sebagai Rimpu dan Sanggentu

Gambar 5. Pria Bima Memakai Tenun Sarung Sebagai Katente

2. Makna Katente. Katente merupakan pemakaian sarung untuk pria di Bima. Pemakaian katente pada pria ini tidak memiliki makna secara khusus seperti umumnya wanita. Katente biasa digunakan dalam kegiatan apapun dan oleh siapapun baik yang masih

Page 169: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

160

Makna Motif Tenun Sri Rahayu

muda maupun tua. Cara pemakaiannya adalah pertama-tama sarung sebatas pinggang kemudian ambil sisi kanan dan kiri, sehingga saling menindih, kemudian dilipat atau digulung ke dalam. Model pemakaian sarung sebagai katente (cara pemakaian sarung untuk pria) dapat dilihat pada gambar berikut ini. Jenis dan Fungsi Kain Tenun di Kabupaten Bima

Menurut Khusnul (2009:49), secara garis besar jenis dan fungsi kain tenun Bima dapat dibagi dalam empat kelompok yaitu, tembe (sarung), sambolo (destar), weri (sejenis ikat pinggang) dan baju Mbojo (baju Bima). 1. Tembe (Sarung).

Tembe merupakan barang unggulan yang dihasilkan oleh para penenun. Selain untuk diperjualbelikan oleh masyarakat lokal, juga menjadi salah satu jenis barang yang laris dalam perdagangan Nusantara, terutama pada era Kesultanan sampai dengan tahun 1960-an. Berdasarkan jenis dan fungsinya tembe dapat dibagi: (a) Tembe Songke (Sarung Songket). Bahan baku tembe termasuk motif pada umumnya didatangkan dari luar daerah. Pada masa Kesultanan para pedagang Bima, membeli benang untuk tembe songke dari Malaka (Malaysia) dan Dana Bara (Singapura). Pada umumnya dana (warna dasar) tembe songke berwarna merah hati, coklat dan hitam dengan motif garis-garis kecil dipadukan dengan motif bunga samobo, bunga satako, pado waji dan kakando, diperindah dengan hiasan benang emas dan perak. Fungsi utama tembe songke adalah untuk dipakai oleh kaum wanita ketika mengikuti upacara adat dan keagamaan. Idealnya tembe songke tidak boleh dipakai dalam kehidupan sehari-hari (seperti yang dituturkan oleh ibu Nur Farhaty). Modelnya seperti gambar 6. 2. Tembe Kafa Na’e (Sarung dari Benang Besar)

Tembe kafa na’e dalam pengertian, sarung yang ditenun dari benang asli dibuat oleh para penenun sendiri. Bukan benang berasal dari luar seperti tembe songke. Jenis tembe kafa na’e sudah langka, karena itu harganya mahal, terutama tembe me’e. Berdasarkan motifnya, tembe kafa na’e dapat dibagi sebagai berikut: (a) Tembe Bali Mpida. Bermotif garis-garis lurus kecil, yang akan membentuk kotak-kotak segi empat ukuran kecil. Karena itu tembe kafa na’e diberi nama “tembe bali mpida” (bermotif garis kecil). Warna dasar (dana), ada yang hitam, coklat dan putih. Khusus “tembe sambea kai” (sarung untuk sholat), harus berwarna dasar putih (seperti yang dituturkan oleh ibu Nur Farhaty). Modelnya seperti pada gambar 7. (b) Tembe Bali Lomba. Tembe Bali Lomba adalah tembe kafa na’e yang motifnya berupa garis-garis lurus yang besar dan akan membentuk kotak-kotak yang besar pula. “dana” (warna dasar) sama dengan warna dasar tembe bali mpida (seperti yang dituturkan oleh ibu Nur Farhaty). Modelnya dapat dilihat pada gambar 8. (c) Tembe Me’e (Sarung Hitam). Tembe me’e termasuk jenis tembe kafa na’e yang warna dasarnya me’e (hitam) tanpa motif. Sesuai dengan daerah atau desa asal, tembe me’e terdiri dari tiga macam: tembe me’e Ntonggu (dari Desa Ntonggu), tembe me’e Wera, (dari Desa Nunggi, Tawali), tembe me’e Donggo, (dari Donggo Ipa). Warna hitam (me’e) dibuat dari bahan lokal yaitu dari daun tumbuhan perdu yang oleh masyarakat biasa disebut fu’u dau (pohon dau) (seperti yang dituturkan oleh ibu Hj. Mukminah).

Page 170: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

161

Makna Motif Tenun Sri Rahayu

Gambar 6. Tembe Songke ( Sarung Songket )

Gambar 7. Tembe Bali Mpida Motif Garis Lurus Kotak-Kotak Kecil

Gambar 8. Tembe Bali Mpida Motif Garis Lurus Kotak-Kotak Besar

Gambar 9. Tembe Nggoli

(d) Tembe Nggoli. Tembe nggoli mulai dikenal masyarakat sekitar tahun 1970-an. Sebenarnya proses pembuatan serta motif dan warna dasar sama dengan tembe kafa na’e. Yang membedakannya adalah benang yang dipergunakan. Kalau tembe kafa na’e ditenun dari benang asli Mbojo, sedangkan tembe nggoli ditenun dari benang buatan pabrik, berbentuk gulungan oleh masyarakat benang itu disebut kafa nggoli (benang nggoli). Tembe yang bahan bakunya dari kafa nggoli populer dengan nama tembe nggoli (seperti yang dituturkan oleh ibu Hj. Mukminah). Modelnya dapat dilihat pada gambar 9. 3. Sambolo (Destar)

Sambolo sejenis ikat kepala tradisional Mbojo, untuk kaum laki-laki. Pada masa lalu merupakan hasil tenun unggulan setelah tembe. Mulai usia remaja, kaum laki-laki wajib memakai sambolo, bila tidak dianggap melanggar adat. Warna dasar sambolo hampir sama dengan tembe songke, ada merah hati, coklat dan kuning. Dipadukan dengan motif bunga satako, pado waji dan kakando. Karena warna dan motif sambolo hampir sama dengan dengan tembe songke, maka dinamakan sambolo songke. Modelnya dapat dilihat pada gambar berikut:

Page 171: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

162

Makna Motif Tenun Sri Rahayu

Gambar 10. Sambolo (Destar)

Sekitar tahun 1950-an, muncul sambolo jenis baru dibawa oleh para pedagang hewan (kuda) yang pulang dari Jawa Timur (Pasuruan, Probolinggo). Bahannya dari batik, cara memakainya sama dengan memakai blankon Jawa. Sambolo motif Jawa itu oleh masyarakat diberi nama sambolo bate (sambolo batik). Akan tetapi sambolo bate kurang digemari oleh masyarakat lokal (seperti yang dituturkan oleh ibu Hj. Siti Maryam). 3. Weri (Ikat Pinggang) dari Malanta Salolo

Ikat pinggang lokal Mbojo dengan warna kuning, merah hati atau coklat dengan motif pado waji, kakando dan bunga satako. Malanta salolo, yaitu kain putih tanpa motif, ditenun khusus untuk bahan salolo atau kain kafan (seperti yang dituturkan oleh ibu Hj. Mukminah). 4. Baju Mbojo (Baju Bima)

Sekitar tahun 1980-an, para penenun berhasil menambah koleksi hasil karya mereka, dengan menampilkan bahan baju, yang dikenal dengan baju Mbojo. Bahan baju itu tetap tampil dengan warna dasar dan motif Mbojo, dikombinasikan dengan motif-motif baru yang tidak bertentangan dengan nilai dan norma adat. Warna merah tua, biru, coklat dan hijau tetap menjadi warna dasar. Dipadukan dengan motif bunga samobo, bunga satako, pado waji dan kakando sehingga produksi baru itu tetap berwajah Bima.

Bagi masyarakat Mbojo, pakaian merupakan salah satu kebutuhan yang mendasar bagi masyarakat. Fungsi utamanya adalah untuk menutup aurat, memilihara kesehatan, sebagai simbol status sosial dan untuk menambah kewibawaan bagi si pemakai. Tata cara berpakaian, bentuk serta warna dan seni aksesorisnya harus sesuai dengan etika dan estetika masyarakat. Pakaian harus harus diperoleh dengan cara halal, bukan dengan cara yang dilarang oleh agama atau yang haram. Pakaian yang memenuhi persyaratan seperrti itulah yang dinilai “kani ro lombo ma ntika raso” berarti “pakaian yang indah dan bersih” oleh masyarakat (seperti yang dituturkan oleh ibu Rahmawati).

Dilihat dari aspek sosial budaya, maka fungsi tenun di Kabupaten Bima antara lain sebagai penanda status/ strata sosial dalam masyarakat Bima. Hal ini dikarenakan masyarakat Bima masih menjunjung tinggi nilai-nilai budaya diturunkan para leluhur mereka. Budaya memakai kain tenun sebagai rimpu senantiasa dilestarikan masyarakat Bima dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memakai rimpu, seorang wanita akan secara otomatis diketahui status pernikahannya. Begitu juga dengan penyertaan kain tenun dalam penyerahan mahar suatu pernikahan dan sebagainya.

Sedangkan fungsi tenun di Kabupaten Bima secara umum dapat dideskripsikan sebagai: (a) Busana pada acara-acara adat seperti pernikahan, khitanan dan sebagainya. (b) Perlengkapam kebaya pada acara persepsi pernikahan. (c) Alat penghargaan atau cindera mata untuk tamu-tamu yang datang. (d) Busana khusus untuk acara-acara kerajaan Bima atau perayaan-perayaan hari besar Bima. (e) Busana pegawai pada hari Kamis dan Sabtu. (f)

Page 172: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

163

Makna Motif Tenun Sri Rahayu

Lambang atau ciri khas daerah yang membedakan Bima dengan suku lainnya. (g) Busana pada tarian-tarian Bima.

Berdasarkan perolehan data di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa makna simbolik motif tenun di kabupaten Bima sebagai berikut: (a) Motif suri kakandau (tunas bambu) mengandung makna sarat dengan sejarah perjuangan suku Bima (Mbojo) saat melawan penjajah Belanda dengan menggunakan bambu runcing. (b) Motif gari (garis) mengandung makna bahwa manusia harus bersikap jujur dan tegas dalam melaksanakan tugas, seperti lurusnya garis. (c) Motif nggusu tolu (segitiga) berbentuk kerucut mengandung makna bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan Allah yang disimbolkan dalam puncak kerucut yang lancip (d) Motif nggusu upa (segi empat) merupakan simbol kebersamaan dengan tetangga dan kerabat. Motif pado waji hampir sama maknanya dengan nggusu tolu, tetapi selain mengakui kekuasaan Allah juga harus mengakui kekuasaan pemimpin yang dilukiskan dengan dua sudut tumpul bagian kiri kanannya. (e) Motif nggusu waru (segi delapan) menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Bima yang mencari kepiting di pantai. Selain itu juga memiliki makna bahwa idealnya seorang pemimpin harus memenuhi delapan persyaratan yaitu beriman dan bertaqwa, memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas, cerdas dan terampil, bertutur kata yang halus dan sopan, bertingkah laku yang sopan, berasal dari keturunan yang baik, sehat jasmani dan rohani, mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Peranan Motif Tenun Kabupaten Bima pada Upacara Perkawinan

Pandangan hidup masyarakat kabupaten Bima ternyata mempengaruhi setiap gerak kehidupan tradisional Mbojo, terutama dalam seni tenunnya. Dalam tenun kabupaten Bima, pandangan hidup masyarakat disimbolkan dengan fungsi, arti, warna dan motif yang bisa memberikan pengaruh positif bagi para pemakainya, terutama pada upacara adat. Hal inilah yang menunjang penggunaan motif tenun kabupaten Bima dalam upacara adat terutama pada pelaksanaan upacara perkawinan. Sarung (tembe) tenun Bima merupakan salah satu syarat mahar yang harus diserahkan terima pada saat pemberian mahar oleh sang pria selain rumah panggung (Hillir, 1995:56).

Motif suri kakandau (tunas bambu) pada tenun Bima merupakan salah satu motif yang memiliki makna yang tinggi dan suatu pegangan masyarakat Mbojo dalam berbagai hal. Motif ini tidak hanya digunakan oleh kedua pengantin pada waktu acara resepsi saja, tetapi dapat juga digunakan oleh pengantin serta keluarganya pada acara peta kapanca (prosesi pemakaian kepanca pada calon mempelai perempuan) maupun boho oi deu (mandi kembang/ siraman). Selain itu dapat juga dipakai kedua pengantin pada upacara ijab kabul atau akad nikah (seperti yang dituturkan oleh ibu Nur Farhaty).

Model penggunaan motif tenun Bima pada pakaian adat pernikahan bagi masyarakat Bima (Mbojo) seperti di bawah ini.

Gambar 11 Pakaian Pengantin Adat Bima

Page 173: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

164

Makna Motif Tenun Sri Rahayu

Dalam upacara Perkawinan merupakan tradisi dari nenek moyang yang turun temurun

pada anak cucunya, sehingga masyarakat Mbojo mempertahankan tradisi ini dengan pengharapan agar dapat mempersatukan kedua keluarga dan menjunjung tinggi warisan nenek moyang.

Berdasarkan uraian perolehan data di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa peranan motif tenun kabupaten Bima pada upacara perkawinan antara lain: (a) Sarung (tembe) tenun Bima sebagai salah satu mahar yang harus diserah terima pada saat pemberian mahar oleh sang pria. (b) Pemakaian sarung (tembe) tenun Bima biasanya dengan motif suri kakandau (tunas bambu) pada acara resepsi pernikahan. (c) Motif suri kakandau (tunas bambu) pada tenun Bima dapat juga digunakan oleh pengantin serta keluarganya pada acara peta kapanca (prosesi pemakaian kepanca pada calon mempelai perempuan) maupun boho oi deu (mandi kembang/ siraman). Selain itu dapat juga dipakai kedua pengantin pada upacara ijab kabul atau akad nikah. KESIMPULAN Berdasarkan uraian perolehan data di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Makna motif tenun di kabupaten Bima sebagai berikut: (a) Motif suri kakandau (tunas bambu) mengandung makna sarat dengan sejarah perjuangan suku Bima (Mbojo) saat melawan penjajah Belanda dengan menggunakan bambu runcing. (b) Motif gari (garis) mengandung makna bahwa manusia harus bersikap jujur dan tegas dalam melaksanakan tugas, seperti lurusnya garis. (c) Motif nggusu tolu (segitiga) berbentuk kerucut mengandung makna bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan Allah yang disimbolkan dalam puncak kerucut yang lancip. (d) Motif nggusu upa (segi empat) merupakan simbol kebersamaan dengan tetangga dan kerabat. Motif pado waji hampir sama maknanya dengan nggusu tolu, tetapi selain mengakui kekuasaan Allah juga harus mengakui kekuasaan pemimpin yang dilukiskan dengan dua sudut tumpul bagian kiri kanannya. (e) Motif nggusu waru (segi delapan) menggambarkan kehidupan sehari-hari masyarakat Bima yang mencari kepiting di pantai. Selain itu juga memiliki makna bahwa idealnya seorang pemimpin harus memenuhi delapan persyaratan yaitu beriman dan bertaqwa, memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas, cerdas dan terampil, bertutur kata yang halus dan sopan, bertingkah laku yang sopan, berasal dari keturunan yang baik, sehat jasmani dan rohani, mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

2. Peranan motif tenun kabupaten Bima pada upacara perkawinan antara lain:Sarung (tembe) tenun Bima sebagai salah satu mahar yang harus diserah terima pada saat pemberian mahar oleh sang pria. (a) Pemakaian sarung (tembe) tenun Bima biasanya dengan motif suri kakandau (tunas bambu) pada acara resepsi pernikahan. (b) Motif suri kakandau (tunas bambu) pada tenun Bima dapat juga digunakan oleh pengantin serta keluarganya pada acara peta kapanca (prosesi pemakaian kepanca pada calon mempelai perempuan) maupun boho oi deu (mandi kembang/ siraman). Selain itu dapat juga dipakai kedua pengantin pada upacara ijab kabul atau akad nikah.

Page 174: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

165

Makna Motif Tenun Sri Rahayu

Saran Mengacu pada perolehan data penelitian maka ada baiknya dikemukakan saran-saran

sebagai berikut : 1. Bagi Masyarakat; (a) Agar mewariskan kerajinan tenun Bima ke generasi-generasi muda, sehingga tenun Bima tidak punah ditelan zaman. (b) Mencintai dan memakai produk-produk dari tenun Bima baik dalam kegiatan formal dan non formal. 2. Bagi Pengrajin; (a) Perlunya tambahan pengetahuan tentang model dan motif agar hasil karya tenun lebih beragam dan banyak diminati masyarakat luas. (b) Memperluas usaha kerja dengan memberdayakan masyarakat sekitar, sehingga dapat meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat. 3. Bagi Pemerintah; (a) Mensosialisasikan seni kerajinan tenun Bima dikalangan masyarakat Bima pada khususnya, sehingga masyarakat Bima mampu mencintai dan melestarikan seni kerajinan tenun yang dimiliki leluhur. (b) Mempromosikan karya seni tenun kabupaten Bima di luar daerah, sehingga tenun Bima dapat dikenal oleh masyarakat di seluruh dunia. (c) Membimbing dan mendampingi pengrajin tenun Bima dalam meningkatkan usaha kerjanya.

DAFTAR PUSTAKA Alan,Malingi. (2010). Makna Dibalik Aneka Motif Tenun Bima. Artikel. Diakses dari

http://www.gomong.com. Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta. Rineka Cipta. Gustami, Humar. (1960). Seni Rupa dan Unsur-Unsurnya. Jakarta. Gramedia. Hadari, Nawawi. (1998). Metodologi Penelitian Kualitatif Deskriptif. Yogyakarta. Kanisius. Hilir, Ismail, M. (1992). Ragam Motif Tenun Bima-Dompu. Jakarta. Ghalia Indonesia. Hilir, Ismail, M. (1995). Seni Budaya Mbojo (Seni Rupa dan Seni Arsitektur). Jakarta. Ghalia

Indonesia http://artikata.com/arti153296-tenun.html. http://id.wikipedia.org/wiki/sejarah-tenun.html. http://udinsape.blogspot.com/2011014.archive.html. Khusnul, Khatimah. (2009). Tenun Bima. Makalah. Diakses dari http://www.acrylic.com. Mantra, I, Gde. (2004). Mosaik dan Kebudayaan Masyarakat. Denpasar. Penerbit BP. Miles, B. Matthew & A. Michael, Huberman. (1992). Qualitative Data Analysis, A Sourcebook of

New Methods. California. SAGE Publication Inc. Moeliono, S. (1990). Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta. Kanisius. Moleong, Lexy J. (2002). Penelitian Kualitatif. Bandung. Rosdakarya. Salim, Peter. (1989). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Gramedia. BIODATA PENULIS

Sri Rahayu Lahir di Tambe, 1 Januari 1977. Pendidikan SMA Negeri 1 Bolo. Sarjana S1 Seni Rupa Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya. Alamat desa Tambe RT 09 RW 05 Kec. Bolo, Kab. Bima-Nusa Tenggara Barat. Hp. 081236719329/085339626554.

Page 175: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya

JURNAL PENGKAJIAN DAN PENCIPTAAN SENI

166

PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL ILMIAH

1. Naskah berupa artikel ilmiah, hasil penelitian, pengkajian dan penciptaan seni atau desain, atau berupa hasil pemikiran. Naskah yang dikirim belum pernah dipublikasikan di media lain.

2. Panjang naskah 15-20 halaman termasuk lampiran atau ilustrasi (gambar, tabel, foto, grafik), diketik dengan software MS-Word, spasi 1.5, huruf Times New Roman 12 poin, ukuran kertas A4 (210 x 297 mm) dan diberi nomor halaman.

3. Sistematika Naskah :

a. Bagian awal, berisi judul, Nama pengarang, abstrak berbahasa Inggris b. Bagian Utama, terdiri: I Pendahuluan, II Hasil Penelitian, III. Pembahasan dan IV

Penutup c. Bagian Akhir, kepustakaan dan lapiran (gambar, table, foto, grafik)

4. Kepustakaan disusun alfabetik, dengan urutan : nama pengarang, tahun, judul buku, penerbit, kota.

5. Biodata ditulis naratif, memuat nama lengkap dengan gelar akademik, tempat dan tanggal lahir, riwayat pendidikan sejak S1 dan seterusnya, pekerjaan, dan pengalaman penelitian/penciptaan disertai paspoto maksimal 100KB.

6. Naskah dikirim dalam bentuk CD (softcopy) dan print-out ke alamat Redaksi GAYATRI: Jl. Klampis Anom II Komplek Wisma Mukti Sukolilo, Surabaya Atau : Email: [email protected]

Page 176: JURNAL Volume I Nomor April - Jurnal STKW Surabaya