JURNAL UTUH

153

description

Jurnal Madaniyah

Transcript of JURNAL UTUH

Page 1: JURNAL UTUH
Page 2: JURNAL UTUH
Page 3: JURNAL UTUH
Page 4: JURNAL UTUH

1

ISLAM , MUSLIM, DAN PERILAKU POLITIK (KONSEP NATION STATE DI DUNIA ISLAM KONTEMPORER)

Oleh :Ida Zahara Adibah1

Abstrak

Setiap individu yang terdapat di muka bumi ini tidak terlepas dari sebuah negara dimana ia berafiliasi kepadanya, sehingga ia berkewajiban untuk menghormati dan bahkan membelanya dengan segala kemampuannya walaupun harus mengorbankan seluruh jiwa dan raga.

Konsep negara bangsa (nation state) merupakan salah satu konsep politik dari sebuah state ( negara) atau kelompok masyarakat yang secara bersama-sama terikat dengan loyalitas dan solidaritas umum. Pengertian ini menjelaskan nation state merupakan sebuah entitas teritorial dimana negara sama besarnya atau coextensive dengan bangsa.

Nation state di dunia islam kontemporer ditegakkan dengan semangat nasionalisme atau semangat yang disertai dengan kesadaran tinggi untuk membangun sebuah negara bangsa. Perdebatan tentang nation state terdengar asing ketika dibenturkan dengan etik Al-Qur‟an dan latar historis Islam (Rahman menyebutnya Islam Sejarah).

Fakta historis menunjukkan bahwa sepanjang hidup Nabi Muhamad SAW seperti yang disimpulkan Rahman, Rasulullah adalah Nabi Penguasa hampir seluruh semenanjung Arabia, namun Beliau tidak pernah menyebut dirinya sebagai penguasa. Pada masa itu istilah negara Islam (daulat al-Islam) belum dikenal. piagam Madinah merupakan cikal bakal terbentuknya Negara Bangsa (nation state) dan menempatkan Nabi Muhammad SAW tidak sekedar sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai pemimpin negara. Oleh karena itu nasionalisme dalam perspektif khasanah Islam klasik sebenarnya dapat dilihat pada pembentukan Piagam Madinah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW bersama penduduk Madinah.

Keyword : Nation State, Islam Kontemporer, Piagam Madinah I. PENDAHULUAN

Sistem yang dibangun oleh Rasulullah SAW dan kaum mukminin yang hidup bersama beliau di Madinah jika dilihat dari segi praksis dan diukur dengan variabel-variabel politik di era modern tidak disangsikan lagi dapat

1Ida Zahara Adiba, M.S.I adalah Dosen Universitas Darul Ulum Islamic Centre Sudirman

(Undaris) Semarang

Page 5: JURNAL UTUH

2

dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem politik Par Excellenc. Dalam waktu yang sama, juga tidak menghalangi untuk dikatakan bahwa sistem itu adalah sistem religius, jika dilihat dari tujuan-tujuannya, motif-motifnya dan fundamental maknawi tempat sistem itu berpijak. Kejanggalan antara nasionalisme dan Islam dalam sejarah masa lampau hampir tidak pernah terdengar, baik di era diutusnya Rasul SAW maupun setelahnya. Umat Islam dalam sejarahnya yang gemilang selalu berada dalam kehidupan yang nyaman dan tenang, walaupun mereka hidup bersama komunitas yang tidak seagama seperti Yahudi dan Nasrani. Keselarasan tersebut lahir dari adanya kegamblangan sikap dan muamalah (perlakuan) agama Islam terhadap non muslim. Karena mereka tahu bagaimana ajaran Islam akan memperlakukannya dan mereka tahu bahwa setiap muslim kala itu selalu berpegang teguh pada agamanya, dan berusaha untuk mempersembahkan Islam kepada dunia dalam bentuk yang sangat indah, sehingga Islam dapat diterima dan bahkan dijadikan sebagai pedoman hidup. Akan tetapi dewasa ini, perihal tersebut telah menjadi sebuah problem yang cukup rumit dan bahkan telah berubah menjadi bahan perdebatan yang cukup panas. Perdebatan tentang nation state terdengar asing ketika dibenturkan dengan etik Al -Qur‟an dan latar historis Islam (Rahman menyebutnya Islam Sejarah). Fakta historis menunjukkan bahwa sepanjang hidup Nabi Muhamad SAW seperti yang disimpulkan Rahman, Rasulullah adalah Nabi-Penguasa hampir seluruh semenanjung Arabia, namun Beliau tidak pernah menyebut dirinya sebagai penguasa. Pada masa itu istilah negara Islam (daulat al-Islam) belum dikenal.

Agama dan negara pada masa Nabi bukanlah saudara kembar atau satu sama lain saling bekerjasama. Menurut Rahman, negara adalah pantulan dari nilai-nilai moral dan spiritual serta prinsip-prinsip yang disebut Islam. Negara bukan perpanjangan dari agama tetapi sebagai instrumen Islam. Hal senada di ungkapkan oleh Karen Amrstrong :"Ketika mulai berdakwah di Makkah, Muhammad hanya memiliki konsep yang sangat sederhana tentang perannya. Dia tidak pernah bermimpi akan membangun teokrasi dan mungkin sama sekali tidak mengetahui apa teokrasi itu: dia sendiri tak mesti memiliki fungsi politik di dalam pemerintahan kecuali seorang nadzir, pemberi peringatan.2 Bahwa Nabi Muhammad tidak pernah berfikir bahwa Dia akan membangun sebuah teokrasi". Namun ada temuan lain yang ditulis oleh Harun Nasution,selama kurang lebih 13 tahun di Mekah, Nabi Muhammad dan umat Islam belum mempunyai kekuatan dan kesatuan politik yang menguasai suatu wilayah.3 Umat Islam menjadi satu komunitas yang bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M hijrah ke Madinah. Jika di Mekkah mereka sebelumnya merupakan umat lemah yang tertindas, maka di Madinah mereka mempunyai kedudukan yang baik, kuat dan dapat

2KarenArmstrong, , 2006, Sejarah Tuhan, Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh

orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4.000 Tahun, Bandung, Mizan, cet.X.hal 197 3HarunNasution, , 1985, Islam ditinjau dari beberapa Aspek, Jakarta, UI, hal 92

Page 6: JURNAL UTUH

3

berdiri sendiri4. Selama di Makkah Nabi berfungsi sebagai kepala agama dan tidak mempunyai fungsi kepala pemerintahan, sedangkan di Madinah, selain sebagai kepala agama juga sebagai kepala pemerintahan. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi dikota ini. Penulis sepakat dengan pernyataan ini, karena piagam Madinah lahir dari inisiatif Nabi. Sarjana barat yang berfikir demikian adalah R.Strothman. Beliau mengatakan bahwa Islam sendiri disamping sistem agama juga sistem politik. Dan Nabi Muhammad disamping Rasul telah pula menjadi seorang ahli agama.

Fakta sejarah sangat berbeda dengan Islam yang diterjemahkan kaum muslim lebih kurang 14 abad. Kekuasaan Islam diteruskan oleh para khalifah. Setelah runtuhnya kekhalifahan Turki Ustmani pada tahun 1924, kaum muslim masih mengidolakan kejayaan kekhalifahan di muka bumi. Di Indonesia, slogan Hizbut Tahrir adalah tegakkan khilafah.Abu A‟la Al Maududi dalam Tarjuman Al -Qur‟an menyuarakan bahwa Negara Islam adalah yang sangat ideal dan Ali bin Muhamad Habib al-Bisri al-Mawardi masih memikirkan bahwa imamah adalah untuk harasat ad din dan harasat ad-dunya. Referensi dasar keduanya juga kekhalifahan. Bahkan Rasyid Ridho dan muridnya yaitu Hassan al-Bana menyebutkan keharusan mendirikan khilafah. Alasannya karena khawatir terjadi sekularisme seperti yang dialami agama Kristen . Dari paparan di atas, menjadi menarik membincangkan nation state dalam perspektik Al-Qur‟an. Bagaimana sejarah masuknya nasionalisme di dunia Islam ? Bagaimana konsep Negara dalam Al -Qur‟an ? Bagaimana Konsep Negara dalam Piagam Madinah ? Bagaimana reaksi kaum muslim terhadap nation state ?.

II. SEJARAH MASUKNYA NASIONALISME DI DUNIA ISLAM

Nasionalisme berasal dari kata nation yang berarti bangsa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia5, kata bangsa memiliki arti: (1) kesatuan orang yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya serta berpemerintahan sendiri; (2) golongan manusia, binatang, atau tumbuh-tumbuhan yang mempunyai asal-usul yang sama dan sifat khas yang sama atau bersamaan; dan (3) kumpulan manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan yang biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Beberapa makna kata bangsa di atas menunjukkan arti bahwa bangsa adalah kesatuan yang timbul dari kesamaan keturunan, budaya, pemerintahan, dan tempat. Pengertian ini berkaitan dengan arti kata suku yang dalam kamus yang sama diartikan sebagai golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan; golongan bangsa sebagai bagian dari bangsa yang besar6. Beberapa suku atau ras dapat menjadi pembentuk sebuah bangsa dengan syarat ada kehendak untuk bersatu yang diwujudkan dalam embentukan pemerintahan yang ditaati bersama.

4MunawirSjadzali,1993, Islam dan Tata Negara,:Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, Jakarta:UI,

hal 10 5Ali Lukman Dkk. 1994.Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, hal 89 6 Ibid hal 970

Page 7: JURNAL UTUH

4

Kata bangsa mempunyai dua pengertian: pengertian antropologis-sosiologis dan pengertian politis. Menurut pengertian antropologis-sosiologis, bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan persekutuan-hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing anggota masyarakat tersebut merasa satu kesatuan suku, bahasa, agama, sejarah, dan adat istiadat. Pengertian ini memungkinkan adanya beberapa bangsa dalam sebuah negara dan sebaliknya satu bangsa tersebar pada lebih dari satu negara. Kasus pertama terjadi pada negara yang memiliki beragam suku bangsa, seperti Amerika Serikat yang menaungi beragam bangsa yang berbeda. Kasus kedua adalah sebagaimana yang terjadi pada bangsa Korea yang terpecah menjadi dua negara, Korea Utara dan Korea Selatan. Sementara dalam pengertian politis, bangsa adalah masyarakat dalam suatu daerah yang sama dan mereka tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai suatu kekuasaan tertinggi ke luar dan ke dalam. Bangsa (nation) dalam pengertian politis inilah yang kemudian menjadi pokok pembahasan nasionalisme7.

Secara historis, kaum muslimin sesungguhnya tak pernah mengenal paham nasionalisme dalam sejarahnya yang panjang selama 10 abad (1000 tahun), hingga adanya upaya imperialis untuk memecah-belah negara Khilafah pada abad ke-17 M. Mereka melancarkan serangan pemikiran melalui para misionaris dan merekayasa partai-partai politik rahasia untuk menyebarluaskan paham nasionalisme dan patriotisme. Banyak kelompok misionaris -sebagian besarnya dari Inggris, Perancis, dan Amerika-- didirikan sepanjang abad ke-17, 18, dan 19 M untuk menjalankan misi tersebut. Namun hinga saat itu upaya mereka belum berhasil. Barulah pada tahun 1857, penjajah mulai memetik kesuksesan tatkala berdiri Masyarakat Ilmiah Syiria (Syrian Scientific Society) yang menyerukan nasionalisme Arab. Sebuah sekolah misionaris terkemuka --dengan nama Al-Madrasah Al-Wataniyah-- lalu didirikan di Syiria oleh Butros Al-Bustani, seorang Kristen Arab (Maronit). Nama sekolah ini menyimbolkan esensi missi Al-Bustani, yakni paham patriotisme (cinta tanah air, hubb al-wathan). Langkah serupa terjadi di Mesir, ketika Rifa'ah Badawi Rafi' At Tahtawi (w. 1873 M) mempropagandakan patriotisme dan sekularisme. Setelah itu, berdirilah beberapa partai politik yang berbasis paham nasionalisme, misalnya partai Turki Muda (Turkiya Al Fata) di Istanbul. Partai ini didirikan untuk mengarahkan gerak para nasionalis Turki. Kaum misionaris kemudian memiliki kekuatan riil di belakang partai-partai politik ini dan menjadikannya sebagai sarana untuk menghancurkan Khilafah.

Sepanjang masa kemerosotan Khilafah Utsmaniyah, kaum penjajah berhimpun bersama, pertama kali dengan perjanjian Sykes-Picot tahun 1916 ketika Inggris dan Perancis merencanakan untuk membagi-bagi wilayah negara Khilafah. Kemudian pada 1923, dalam Perjanjian Versailles dan Lausanne, rencana itu mulai diimplementasikan. Dari sinilah lahir negara-negara dengan konsep nation-state yaitu Irak, Syria, Palestina, Lebanon, dan Transjordan.

7BadriYatim, 2001. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme, Bandung: Nuansa hal.57-58

Page 8: JURNAL UTUH

5

Semuanya ada di bawah mandat Inggris, kecuali Syria dan Lebanon yang ada di bawah Perancis. Hal ini kemudian diikuti dengan upaya Inggris untuk merekayasa lahirnya Pakistan. Jadi, semua negara-bangsa (nation state) ini tiada lain adalah buatan kekuatan-kekuatan Barat yang ada di bawah mandat mereka.

III. NATION STATE DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Konsep negara-bangsa (selanjutnya menggunakan istilah nation-state) merupakan salah satu konsep politik yang cukup sentral dan penting dalam pendiskusian wacana politik modern. Dalam kajian ilmu politik, ia menarik untuk ditelaah dengan serius. Sebuah nation (bangsa) merupakan sinonim dari sebuah state (negara) atau sebuah kelompok masyarakat yang secara bersama-sama terikat dengan loyalitas dan solidaritas umum. Pengertian ini menjelaskan bahwa nation-state merupakan sebuah entitas teritorial di mana negara sama besarnya atau coextensive dengan bangsa. Nation-state ditegakkan dengan semangat nasionalisme atau semangat yang disertai dengan kesadaran tinggi untuk membangun sebuah negara-bangsa.Nasionalisme menjadi faktor penentu untuk mempertahankan loyalitas dan memperjelas identitas politik.Semula nasionalisme merupakan sebuah doktrin politik yang digagas di Eropa yang mana umat manusia terbagi ke dalam berbagai bangsa dan masing-masing bangsa ditentukan berdasar sejarahnya, bahasanya dan lain sebagainya, untuk membangun negara-bangsa (nation-state) yang berdaulat.

Bagaimana nation-state dalam perspektif Al-Qur‟an, maka kita perlu melihat beberapa ayat yang selama ini populer berkaitan dengan pemerintahan.Dalam Al -Qur‟ansetidaknya ada 3 ayat terkait negara, yaitu :

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa:59).

Pada ayat pertama ini, tidak ditemukan kata-kata tentang daulah atau negara Islam.Ayat pertama hanya berbicara tentang ketaatan kita pada ulil amri yang ditafsirkan oleh banyak orang sebagai ketaatan terhadap pemerintah.Ulil amri bisa juga dimaknai orang yang memegang amanah/urusan kemasyarakatan.Memang yang umum dimaknai pemerintah.Zaman orde baru ayat ini sering dikutip oleh para jurkam partai politik.

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka, sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada

Page 9: JURNAL UTUH

6

Allah.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”(AliImron:159).

Ayat kedua, memberi kebebasan untuk melakukan musyawarah dalam urusan-urusan politik, ekonomi dan hal-hal duniawiyah lainnya.Pada ayat kedua juga tidak kita temukan bahasan tentang negara.Namun tafsir musyawarah memang lebih dekat dengan sistem demokrasi saat ini. Beberapa pemikir muslim menyatakan Islam tidak bertentangan dengan demokrasi, yang didasarkan pada ayat ini. Maka apa yang dilakukan Kemal Attaturk diamini oleh Ali abd Raziq karena Islam tidak menggariskan sebuah bentuk Negara. Nabi Muhamad juga tidak pernah berbicara soal bentuk Negara.

Disisi lain, menurut penulis, penamaan Madinah dengan Madinatun Nabi memang ada kemiripan dengan ide Plato tentang Negara Kota. Namun konteks Madinatun Nabi memang terkait erat dengan bentuk masyarakat yang berkeadaban.Yang kemudian diterjemahkan oleh Nurcholis Majid sebagai masyarakat madani atau civil society atau tamadun Islam.Namun pandangan Ismail Razi al-Faruqi menyatakan Islamic State. "The Islamic state the Prophet Muhammad has founded at the hijrah was not only a state but a world order. The political systems which the world had known until then were know to him. The Empire model was embodied in Byzantium and Persia and the tribal model throughout Arabia. Beyond them, sea farers and travelers must have brought accounts of the other states living in isolation from the rest of the world. The Prophets Muhammad saw bought a new definition of man and citizens that neither the empire nor tribal model presented",.

Menurut Karpansky, Islam lebih dekat ke sistem theokrasi daripada demokrasi meskipun Nabi Muhamad tidak melakukan sistem theokrasi. Karpansky melihat bahwa khalifah adalah perpaduan antara raja dan ahli agama. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka;

“dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.”(As-Syuro:38)

Pada ayat ketiga, jelaslah bahwa urusan duniawiyah diserahkan pada umat manusia. Tentu dengan asas utama musyawarah. Seperti yang dilakukan Nabi Muhamad dalam menengahi pertentangan suku-suku arab ketika meletakkan Ka‟bah.

Kalau dicermati tulisan Dr. Yusuf Qardhawy tentang negara Islam, maka menjadi sangat aneh ketika menuliskan negara Islam bukan negara pengumpul harta namun negara petunjuk8.Memang ada ayat tentang imamah dalam surat Al-Baqarah : 124, namun dalam konteks yang berbeda dengan Negara.

8YusufQardhawy,1997,Fiqih Negara, Jakarta, Robbani Press, hal.43

Page 10: JURNAL UTUH

7

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim". (Al-Baqarah : 124).

Al -Baqarah ayat 124 diatas menegaskan bahwa Nabi Ibrahim adalah bapaknya agama Monoteis seperti tercatat dalam bukunya Karen Armstrong. Jadi kata Imam bukan dalam konteks Ibrahim sebagai pemimpin negara. Maksud ayat ini menjadi jelas ketika kita baca ayat selanjutnya.

Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri, dan sungguh kami Telah memilihnya di dunia dan Sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh.(Al-Baqarah:130).

Dari bahasan diatas, penulis berkesimpulan bahwa konsep negara sangat

multiinterpretasi.Meskipun banyak orientalis dan pemikir Islam seperti Maududi yang berpendapat bahwa Islam adalah agama dan negara namun pernyataan tersebut disarikan dari (meminjam istilah Rahman) “Islam Sejarah”. Al-Qur‟an memberikan tuntutan global tentang negara berupa prinsip- prinsip tentang musyawarah dan tafsirnya diserahkan pada kaum muslim untuk mewujudkanya dalam dunia kontemporer.

Penerimaan konsep nation-state oleh Dunia Islam setidaknya dikarenakan tiga hal; pertama, teori politik Islam klasik dan pertengahan tidak memberikan konsep yang jelas dan detail tentang penyelenggaraan negara secara modern yang lebih mengedepankan pluralisrne politik sehingga memberikan reinterpretasi yang varian bagi para pihak baik yang menerima atau yang menolak konsep nation-state. Konsep nation-state merupakan sebuah pilihan yang tak terhindarkan dan sebagai kenyataan yang harus dihadapi dalam politik modern.Kedua, praktek dunia Islam pascakolonialisme yang kemudian memproklamirkan diri sebagai negara yang berdaulat dengan mengakui pluralisme politik dalam wilayah teritorial tertentu, menjadi sebuah konsensus dan kesadaran bersama dalam penerimaannya terhadap konsep nation-state.Ketiga, banyaknya para 'ulama' dan pemimpin-pemimpin Islam yang mendukung penerapan nation-state secara menyeluruh atau sebagian sebagai sesuatu yang alami dalam institusi politik yang bersifat duniawi9.

IV. KONSEP NEGARA DALAM PIAGAM MADINAH Menurut Montgomery Watt(1988) dan Bernard Lewis (1994) dalam

bukunya piagam Madinah merupakan cikal bakal terbentuknya Negara Bangsa

9P. James Piscatori, 1994, Islam in a World of Nation States, New York: Cambridge,hal.40

Page 11: JURNAL UTUH

8

(nation state) dan menempatkan Nabi Muhammad SAW tidak sekedar sebagai pemimpin agama, tetapi juga sebagai pemimpin negara. Oleh karena itu nasionalisme dalam perspektif khasanah Islam klasik sebenarnya dapat dilihat pada pembentukan Piagam Madinah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW bersama penduduk Madinah. Pada waktu itu, Madinah tidak hanya dihuni oleh umat Islam saja, akan tetapi juga dihuni oleh golongan selain Islam, seperti Yahudi, Nasrani dan bahkan mereka yang masih menyembah berhala (musyrikin), serta mereka yang mempunyai kepercayaan lainya. Dari kemajemukan komunitas yang ada di Madinah waktu itu, disatukan oleh Nabi dengan piagam Madinah. Tidak dengan sentimen agama atau kepercayaan, akan tetapi mereka disatukan dengan sentimen kepemilikan bersama, yakni bagaimana mempertahankan Madinah dari segenap ancaman yang datang dari luar apapun ancamannya.

Terdapat banyak pendapat dan ulasan para pakar terhadap isi piagam Madinah, pertama, A. Guillaume, seorang guru besar bahasa arab dan penulis The Life of Muhammad, menyatakan bahwa piagam yang telah dibuat Muhammad itu adalah suatu dokumen yang menekankan hidup berdampingan antara orang-orang Muhajirin di satu pihak dan orang-orang Yahudi di pihak lain. Kedua, H.R. Gibb dalam komentarnya menyatakan bahwa isi Piagam Madinah pada prinsipnya telah meletakkan dasar-dasar sosial politik bagi masyarakat Madinah yang juga berfungsi sebagai undang-undang, dan merupakan hasil pemikiran serta inisiatif Muhammad sendiri. Ketiga, Montgomery Watt lebih tegas lagi menyatakan bahwa piagam Madinah tidak lain adalah suatu konstitusi yang menggambarkan bahwa warga Madinah saat itu bisa dianggap telah membentuk satu kesatuan politik dan satu persekutuan yang diikat oleh perjanjian yang luhur di antara para warganya. Keempat, lebih terperinci lagi disimpulkan oleh Hasan Ibrahim Hasan, bahwa Piagam Madinah secara resmi menandakan berdirinya suatu negara, yang isinya bisa disimpulkan menjadi 4 pokok: (1) mempersatukan segenap kaum muslimin dari berbagai suku menjadi satu ikatan; (2) menghidupkan semangat gotong royong, hidup berdampingan, saling menjamin diantara warga negara; (3) memetapkan bahwa setiap warga masyarakat mempunyai kewajiban memanggul senjata, mempertahankan keamanan dan melindungi Madinah dari serbuan luar; (4) menjamin persamaan dan kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk-pemeluk agama lain dalam mengurus kepentingan mereka10.

Menurut penulis, dari sekian banyak pendapat itu pada dasarnya mempunyai substansi yang sama, yaitu bahwa keberadaan piagam tersebut telah mempersatukan warga Madinah yang heterogen itu menjadi satu kesatuan masyarakat dalam pemenuhan hak dan penunaian kewajiban, saling menghormati terhadap suku dan agama. Piagam tersebut dianggap merupakan suatu pandangan jauh ke depan dan suatu kebijaksanaan politik yang luar biasa dari

10MuhammadLatif Fauzi, , Konsep Negara dalam Perspektif Piagam madinah dan Piagam

Jakarta ( Jurnal Al-Mawarid) , Edisi XIII, 200, hal.90

Page 12: JURNAL UTUH

9

Nabi Muhammad dalam mengantisipasi masyarakat yang beraneka ragam latar belakangnya, dengan membentuk komunitas baru yang disebut Ummah. Mengacu pada konsep ummah inilah, penulis mengeksplorasi lebih jauh tentang konsep negara dalam Piagam Madinah.

Dalam al-Qur‟an, istilah ummah disebut 64 kali dalam 24 surat. Dalam frekwensi sebanyak itu, ummah mengandung sejumlah arti, umpamanya bangsa (nation), agama (religion) atau kelompok keagamaan (religious community), waktu (time) atau jangka waktu (term), juga pemimpin sinonim dengan imam. Sementara itu, didalam al-Qur‟an sendiri terdapat istilah-istilah lain yang menunjuk pada konsep-konsep yang hampir serupa. Istilah Inggris nation atau bangsa umpamanya (disebut dengan ummah ; klan disebut dengan Asyirah dan Sya‟b , rakyat dirujukkan dengan kata ahl, unas, al-„abd, nas, qawm, dan syu‟ub)11.

Ali Syariati (1990:36) mengartikan kata ummat dengan “jalan yang lurus”, yakni sekelompok manusia yang bermaksud menuju ”jalan” yang tidak lepas dari kata akarnya, amma. Kata ini ia artikan menuju dan berniat yang mengandung tiga arti, yaitu gerakan, tujuan dan ketetapan kesadaran12. Oleh karena itu, amma pada dasarnya bermakna kemajuan maka ia tersusun dari empat arti, yaitu ikhtiar, gerakan, kemajuan dan tujuan. Dalam Piagam Madinah ketetapan (pasal 1) ini merupakan pernyataan yang mempersatukan orang-orang mukmin dan muslim yang berasal dari dua golongan besar, Muhajirin dan Anshar, dari berbagai suku dan golongan sebagai umat yang satu. Dasar yang mengikat adalah akidah Islam, yang membedakan mereka dari umat lain.

Konsep ummat menurut Syariati dan pasal satu ini bersifat ekslusif , hanya bagi umat Islam. Artinya, segolongan manusia yang tidak beraqidah sama, tidak dapat disebut sebagai umat yang satu. Dengan demikian, konsep ummah dalam pengertian khusus berlaku disini.

Dilihat dari konsep ummah khusus ini, jelas bahwa kedudukan Piagam Madinah adalah untuk menyatukan suku-suku dalam umat Islamuntuk menegakkan Hukum Allah. Ini berarti bahwa bentuk negara yang dibentuk masa nabi melalui konstitusi Madinah adalah negara teokrasi, yakni teokrasi Islam13. Ummah yang dikehendaki oleh Piagam Madinah adalah umat Islam saja sebab di pasal lain kaum yahudi dan sekutunya di sebut sebagai anggota umat. Hal ini dibuktikan dalam pasal 25-35. Pasal 25 misalnya menerjemahkan:

Kaum yahudi Bani „Auf bersama dengan warga yang beriman adalah satu umah. Kedua belah pihak, kaum yahudi dan kaum

11DawamRahardjo, 2002, Ensiklopedi Al-Qur’an (Tafsir sosial Berdasarkan konsep- konsep

kunci), Jakarta, Paramadina, hal.483. 12AliSyari‟ati, 1990, Ummah wa al-Ummah, terj. M. Faishol Hasanudin, Jakarta, Penerbit

yapi, hal.36 13Sukarja, Ahmad, 1995, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945: Kajian

tentang Perbandingan tentang dasar hidup Bersama dalam masyarakat yang majemuk, Jakarta, Penerbit universitas Indonesia, hal 91

Page 13: JURNAL UTUH

10

Muslimin, bebas memeluk agama masing-masing. Demikian pula halnya dengan sekutu dan diri mereka sendiri. Bila diantara mereka ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam hal ini, maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya.

Dari ketetapan pada pasal 25 itu dapat dikatakan bahwa organisasi umat

yang dibentuk Nabi bersifat terbuka. Beliau menghimpun semua golongan penduduk Madinah. Perbedaan keyakinan mereka tidak menjadi alasan untuk tidak bersatu dalam kehidupan bermasyarakat bernegara. Dalam hal ini berlaku konsep ummah yang bersifat umum. Dari perkataan ummah inilah tercermin paham kebangsaan dan negara yang dalam konteks teori negara lebih cenderung pada bentuk negara demokrasi. Walaupun secara historis istilah state dan nation timbul berabad-abad kemudian, tapi jiwa dan semangatnya telah tercermin dalam terminologi Ummah, suatu istilah yang sangat tepat digunakan Rasulullah untuk mempersatukan masyarakat Madinah menjadi suatu komunitas dengan menekankan kerjasama seerat mungkin dari masing-masing warganya demi keamanan dan kesejahteraan mereka bersama. Mereka sangat menyadari perlunya hidup bersama didalam koeksistensi yang damai.

V. REAKSI KAUM MUSLIM TERHADAP NATION STATE

Menurut Taha Jabir, ada tiga bentuk reaksi dalam menghadapi meresapnya pemikiran dunia barat kedalam negara-negara Islam,yaitu :1)Kaum Traditional; 2)Kaum Modernis; 3)Kaum Konservatif. Kaum modernis pada awalnya mempertahankan konsep dan ide tentang negara Islam.Muhammad Abduh (1894-1905) dan Muhammad Rashid Rida (1865-1935) misalnya.Menurut mereka Islam tidak bisa dipisahkan dari negara.Murid Rasyid Rida yang paling lantang adalah Hassan al-Bana yang berbicara tentang perlunya Khilafah Islamiah.

Menurut Mulkhan, memang ada pemahaman yang berbeda antara kaum tradisionalis dan modernis serta golongan santri tentang negara Islam14.Perbedaan tersebut terletak pada pemahaman bentuk negara Islam dan strategi dakwah. Dengan kata lain apakah Islam diwujudkan dalam bentuk politik atau budaya ?Kalau politik maka perlu didirikan negara Islam.Kalau stategi budaya maka negara menjadi instrumen perwujudan nilai-nilai Islam.Namun dekade terakhir, perdebatan tentang konsep dan ide tentang negara Islam sudah mulai tabu dibicarakan, menurut Mulkhan. Negara-bangsa (nation-state) merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa dihindari oleh bangsa manapun, termasuk bangsa Indonesia. Selain karena tuntutan global, negara-bangsa merupakan konsep negara modern yang menjanjikan penyelesaian bagi setiap bangsa dalam menghadapi kenyataan pluralisme.

Menguraikan hubungan antara agama dan negara dalam perspektif Islam bukanlah pekerjaan mudah. Jalinan hubungannya ternyata begitu rumit dan

14Abduk MunirMulkhan, 1994, Runtuhnya Mitos Politik santri; stategi Kebudayaan dalam

dakwah Islam, Yogyakarta, Sipress, Cet.1, hal.33

Page 14: JURNAL UTUH

11

kompleks.Pokok soal ini telah cukup lama memancing debat dan sengketa intelektual, baik dalam pemikiran keislaman klasik maupun dalam kajian politik Islam kontemporer15. Sejauh yang dapat ditangkap dari perjalanan diskursus intelektual dan historis pemikiran dan praktik politik Islam, ada banyak pendapat yang berbeda, beberapa bahkan saling bertentangan, mengenai hubungan yang pas antara agama dan negara.

Pengalaman umat Islam di pelbagai belahan dunia, terutama semenjak berakhirnya perang dunia kedua menunjukkan adanya hubungan yang canggung antara Islam dan negara16. Kecangungan ini kemudian berimplikasi pada lahirnya berbagai jenis eksperimentasi untuk menjuktaposisikan antara konsep dan kultur politik masyarakat Muslim; dan secara ipso facto eksperimen-eksperimen itu dalambanyak hal sangat beragam. Tingkat penetrasi Islam ke dalam negara juga berbeda-beda.

Oleh karena itu, tidak bisa lain kecuali harus dilakukan pengkajian dan penelitian ilmiah yang serius tentang bagaimana sesungguhnya Islam mengkonsepsi “negara”; bagaimana hubungan antara Islam dan negara; apakah Islam sebagai agama tidak membutuhkan negara, oleh karena keduanya memang merupakan dua entitas yang berbeda; Selanjutnya, adakah sesungguhnya negara Islam (dawlah islâmiyah) itu. Negara manakah yang dapat disebut sebagai negara yang betul-betul prototype Islam;Arab Saudi, Iran ataukah Pakistan sebagai representasi negara Islam17, Atau mungkin dalam pertanyaan yang berbeda, bisakah negara yang hanya mengimplementasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar ajaran Islam dikatakan sebagai negara Islam.

Dari sejumlah pertanyaan di atas, upaya intelektual untuk penyelidikan doktrinal dan empirik terus dilakukan. Secara sederhana, paling tidak penyelidikan tentang negara mengandung dua maksud. Pertama, penelitian itu mencoba untuk menelusuri dan menentukan sejauhmana Islam menggariskan konsep secara clear-cut tentang negara, politik, dan sistem pemerintahan. Penghampiran yang menekankan dimensi formalisme dan skripuralisme ini bertunjang pada sebuah premis bahwa Islam memiliki konsep tentang negara.Kedua, penelusuran dilakukan untuk mengidentifikasi sebuah idealitas dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara. Tujuan yang kedua ini agaknya lebih beraksentuasi pada ranah praksis-substansial, yakni mencoba menjawab pertanyaan “bagaimana isi negara menurut Islam.” Pendekatan ini didasarkan pada asumsi bahwa Islam tidak memiliki konsep kenegaraan, tetapi hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar berupa etik-moral tentang kenegaraan. Bentuk negara yang ada pada suatu masyarakat Muslim dapat diterima sejauh tidak menyimpang dari prinsip-prinsip pokok ajaran Islam.

15 OpcitSadzali, hal 34 16AzyumardiAzra,1996,Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme,

Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, hal.1 17MusdahMulia,2001,Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta: Paramadina,

hal.3

Page 15: JURNAL UTUH

12

Persoalannya adalah data historis tentang relasi Islam dan negara sering menampilkan fenomena kegamangan, kesenjangan sekaligus pertentangan secara frontal-diametral. Membaca sejumlah referensi kesejarahan, fenomena itu dapat disederhanakan bersumber pada dua sebab, yaitu; Pertama, adanya perbedaan konseptual antara Islam dan negara yang menimbulkan problem untuk mensinergikan secara praksis di lapangan. Dari sudut teks ajaran, Islam adalah agama multi interpretasi yang dengan mudah membuka peluang bagi terjadinya pluralitas tafsir. Konsekuensinya sudah bisa diduga, tidak akan pernah ada pandangan tunggal mengenai bagaimana seharusnya Islam dan negara dikaitkan secara pas; Kedua adanya anomali praktik politik dari etika dan moralitas agama. Pemandangan yang ditayangkan dalam sejarah kemanusiaan ternyata justru tidak berkelindan dengan acuan normatif Islam.

VI. PARADIGMA RELASI ISLAM-NEGARA

Para ahli merumuskan beberapa teori untuk menganalisa relasi antara negara dan agama yang antara lain dirumuskan dalam 3 (tiga) paradigma, yaitu paradigma integralistik, paradigma simbiotik, paradigma sekularistik.

1) Paradigma Integralistik (Unified Paradigm)

Secara umum teori integralistik dapat dinyatakan sebagai kesatuan yang seimbang dan terdiri dari berbagai entitas. Entitas disini memiliki sifat yang berbeda satu sama lain. Perbedaan itu tidak berarti saling menghilangkan justru saling melengkapi, saling menguatkan dan bersatu.Dalam kaitannya dengan relasi negara dan agama, menurut paradigma integralistik, antara negara dan agama menyatu (integrated). Negara selain sebagai lembaga politik juga merupakan lembaga keagamaan.

Menurut paradigma ini, kepala negara adalah pemegang kekuasaan agama dan kekuasaan politik. Pemerintahannya diselenggarakan atas dasar ”kedaulatan ilahi” (divine sovereignty), karena pendukung paradigma ini meyakini bahwa kedaulatan berasal dan berada di ”tangan Tuhan”.

Agama (Islam) dan negara tidak dapat dipisahkan (integrated). Islam adalah din wa dawlah.Apa yang merupakan wilayah agama juga otomatis merupakan wilayah politik atau negara.

Negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Antara keduanya merupakan totalitas utuh dan tidak dapat dipisahkan. Menurut pendekatan integralistik, Islam diturunkan sudah dalam kelengkapan yang utuh dan bulat. Dengan ungkapan lain, Islam telah memiliki konsep-konsep lengkap untuk tiap-tiap bidang kehidupan. Pandangan ini telah mendorong pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang komprehensif. Bahkan, sebagian kalangan melangkah lebih jauh dari itu; mereka menekankan bahwa Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan.

Pada spektrum ini, beberapa kalangan Muslim terutama kalangan fundamentalisnya beranggapan bahwa Islam harus menjadi dasar negara;

Page 16: JURNAL UTUH

13

bahwa syari‟ah Islam harus diterima sebagai konstitusi negara; bahwa kedaulatan politik ada di tangan Tuhan; bahwa gagasan tentang negara bangsa (nation-state) bertentangan dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak mengenal batas-batas politik dan teritorial18. Singkatnya, model yang pertama ini merefleksikan adanya kecenderungan untuk menekankan aspek-aspek legalformal idealisme Islam. Konsekuensi dari paradigma ini adalah sistem politik modern diletakkan dalam posisi vis a vis dengan ajaran-ajaran Islam.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa inti landasan teologis paradigma pertama ini adalah keyakinan akan watak holistik Islam.Premis keagamaan ini dipandang sebagai petunjuk bahwa Islam menyediakan ajaran yang lengkap mengenai semua aspek kehidupan. Bahkan, sudut pandang khusus ini menjadi basis utama pemahaman bahwa Islam tidak mengakui pemisahan antara agama dan negara, antara yang transendental dan yang profan.

Model pandangan holistikal ini dianut oleh dua kelompok Islam, yaitu: [1] Islam tradisional, yakni mereka yang tetap mempertahankan tradisi, praktik dan pemikiran politik Islam klasik, semisal Rasyid Ridla (1865-1935), dan [2] Islam fundamentalis, yakni mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial dengan kembali kepada ajaran Islam dan tradisi Nabi secara total dan menolak sistem yang dibuat manusia, seperti Khurshid Ahmad,Muhammad Asad,Muhammad Husayn Fadhlallah,Sayyid Quthb (1906-1966),Abu al-A‟la Mawdudi (1903-1979),dan Hasan Turabi.

Model pemikiran pertama ini mempunyai beberapa implikasi. Salah satu di antaranya, pandangan ini telah mendorong lahirnya sebuah kecenderungan untuk memahami Islam dalam pengertiannya yang literal yang hanya menekankan dimensi eksteriornya. Kecenderungan literalistik ini telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga menyebabkan terabaikannya dimensi kontekstual dan interior dari prinsip-prinsip Islam. Karena itu, apa yang mungkin tersembunyi di belakang “penampilan-penampilan tekstual”nya hampir terabaikan, jika bukan terlupakan maknanya. Paradigma integralistik ini memunculkan paham negara agama atau Teokrasi. Dalam paham teokrasi, hubungan Negara dan Agama digambarkan sebagai dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan Agama, karena pemerintahan dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan, segala tata kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan negara dilakukan atas titah Tuhan19. Menurut Roeslan Abdoelgani, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2009: 9), menegaskan bahwa negara Teokrasi, menurut ilmu kenegaraan dan filsafat kenegaraan mengandung arti bahwa dalam suatu negara kedaulatan adalam berasal dari Tuhan. Dalam perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua bagian, yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham teokrasi langsung, pemerintahan diyakini

18QamaruddinKhan, 1995,Pemikiran Politik Ibnu Taymiyah, Bandung: Pustaka, hal.172 19 http://cakwawan.wordpress.com/2007/09/25/jalan-tengah-relasi-agama-dan-negara/

Page 17: JURNAL UTUH

14

sebagai otoritas Tuhan secara langsung pula. Adanya Negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan oleh karena itu yang memerintah adalah Tuhan pula. Sementara menurut pemerintahan teokrasi tidak langsung yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan yang memerintah adalah raja atau kepala Negara atau raja yang diyakini memerintah atas kehendak Tuhan.

2) Paradigma Simbiotik (Symbiotic Paradigm)

Secara umum, teori simbiotik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua entitas yang saling menguntungkan bagi peserta hubungan. Dalam konteks relasi negara dan agama, bahwa antara negara dan agama saling memerlukan.Dalam hal ini, agama memerlukan negara karena dengan negara, agama dapat berkembang. Sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbingan etika dan moral-spiritual, Karena sifatnya yang simbiotik, maka hukum agama masih mempunyai peluang untuk mewarnai hukum-hukum negara, bahkan dalam masalah tertentu tidak menutup kemungkinan hukum agama dijadikan sebagai hukum negara20

Marzuki Wahib dan Rumadi membagi Paradigma Simbiotik ini menjadi tiga jenis, yaitu: Agama dan negara mempunyai keterkaitan namun aspek keagamaan yang masuk ke wilayah negara sedikit, sehingga negara demikian lebih dekat ke negara sekular; Aspek agama yang masuk ke wilayah negara lebih banyak lagi, sehingga sekitar 50% konstitusi negara diisi oleh ketentuan agama; Aspek agama yang masuk ke wilayah negara sekitar 75%, sehingga negara demikian sangat mendekati negara agama.

Dalam konteks paradigma simbiotik ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban Agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan Negara, maka Agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bahwa antara Negara dan Agama merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum Agama21. Dalam kaitan ini, agama membutuhkan negara. Sebab, melalui negara, agama dapat berbiak dengan baik. Hukum-hukum agama juga dapat ditegakkan melalui kekuasaan negara. Begitu juga sebaliknya, Negara memerlukan kehadiran agama, karena hanya dengan agama suatu negara dapat berjalan dalam sinaran etik-moral.

20Adi Sulistyono, 2008. ”Kebebasan Beragama dalam Bingkai Hukum”. Makalah

Seminar Hukum Islam dengan Tema Kebebasan Berpendapat VS Keyakinan Beragama ditinjau dari Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukumyang diselenggarakan oleh FOSMI Fakultas Hukum UNS, Surakarta, tanggal 8 Mei 2008, hal.2

21Thohir , Agus, 2009. ”Relasi Agama dan Negara”.Makalah Diskusi Kajian Spiritual yang diselenggarakan oleh HMI Komisariat FPBS IKIP PGRI, Semarang, tanggal 4 November 2009, hal.4

Page 18: JURNAL UTUH

15

Paradigma kedua ini memandang bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku tentang teori negara yang harus dijalankan oleh ummah.Meskipun terdapat berbagai ungkapan dalam al-Qur`an yang seolah-olah merujuk pada kekuasaan politik dan otoritas, ungkapan-ungkapan ini hanya bersifat insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi teori politik. Bagi mereka, jelas bahwa al-Qur`an bukanlah buku tentang ilmu politik. Menurut aliran pemikiran ini, istilah dawlah yang berarti negara tidak dijumpai dalam al-Qur`an. Istilah dawlah memang ada, tapi bukan bermakna negara. Istilah ini dipakai secara figuratif untuk melukiskan peredaran atau pergantian tangan dari kekayaan. Hanya dalam perjalanan waktu, makna harfiyah ini telah berkembang untuk menyatakan kekuasaan politik karena kekuasaan itu selalu berpindah tangan.

Sungguhpun demikian, penting untuk dicatat bahwa pendapat kedua ini mengakui bahwa al-Qur`an mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis yang kemudian menjadi landasan bagi aktivitas sosial dan politik umat manusia. Ajaran-ajaran ini mencakup prinsip-prinsip keadilan (al-‘adâlah), kesamaan (al-musâwah), persaudaraan (al-ukhuwwah) dan kebebasan (al-hurriyah). Untuk itu, bagi kalangan yang berpendapat demikian, sepanjang negara berpegang pada prinsip-prinsip seperti itu, maka mekanisme yang diterapkannya adalah sesuai dengan ajaran Islam (islâmy).

Dengan alur argumentasi semacam ini, menurut pandangan kedua, pembentukan sebuah negara Islam dalam pengertiannya yang formal dan ideologis tidaklah begitu penting. Sebagai kebalikan aliran dan model pemikiran yang pertama, maka yang kedua ini menekankan substansi daripada bentuk negara yang legal-formal. Bagi pendapat ini, yang pokok adalah negara—karena posisinya yang bisa menjadi instrumen dalam merealisasikan ajaran-ajaran agama--dapat menjamin tumbuhnya nilai-nilai dasar seperti itu.Para pendukung pemikiran ini, di antaranya adalah Mohamad Husayn Haykal (1888-1956),Muhammad Abduh (1849-1905),Fazlurrahman (1919-1988),dan Qamaruddin Khan.

3) Paradigma Sekularistik (Secularistic Paradigm)

Paradigma ini menolak kedua paradigma diatas.Sebagai gantinya, paradigma sekularistik mengajukan pemisahan (disparitas) agama atas negara dan pemisahan negara atas Agama22. Negara dan Agama merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang berlaku adalah hukum yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract dan tidak ada kaitannya dengan

22Marzuki Wahid & Rumaidi. 2001. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik Hukum Islam

Di Indonesia. Yogyakarta: LKiS, hal.28

Page 19: JURNAL UTUH

16

hukum Agama23.Paradigma ini memunculkan negara sekuler.Dalam Negara sekuler, tidak ada hubungan antara sistem kenegaraan dengan agama.Dalam paham ini, Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia.Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan.Dua hal ini, menurut paham sekuler tidak dapat disatukan. Dalam konteks Islam, paradigma sekularistik menolak pendasaran negara pada Islam, atau menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari negara. Agama bukanlah dasar negara, tetapi agama lebih bersifat sebagai persoalan individual semata. Dengan perkataan lain, aliran ini berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat yang tidak bertali temali dengan urusan kenegaraan. Para pemikir politik yang masuk dalam kategori paradigma ketiga menurut adalah Ali Abdurraziq (1888-1966), Thaha Husein (1889-1973),Ahmad Luthfi Sayyid (1872-1963),kemudian disusul belakangan oleh Muhammad Sa.id al-Asymawi (Mesir, lahir 1932).

Dalam Negara sekuler, sistem dan norma hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma Agama. Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan Agama atau firman-firman Tuhan, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan dengan norma-norma Agama. Sekalipun ini memisahkan antara Agama dan Negara, akan tetapi pada lazimnya Negara sekuler membebaskan warga negaranya untuk memeluk Agama apa saja yang mereka yakini dan Negara tidak intervensif dalam urusan – urusan Agama (Syari‟at)24.

Kesimpulan

Dari uraian diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan: 1. Dalam Al-Qur‟an tidak ada penegasan untuk mendirikan Negara Islam. Al-

Qur‟an berbicara tentang prinsip-prinsip umum bermasyarakat. 2. Reaksi kaum muslim menghadapi serbuan nation state terbagi menjadi3

kelompok yaitu : a. Tradisionalis b. Modernis c. Konservatif

3. Piagam Madinah adalah sebuah konstitusi yang mendasari penyelenggaraan sebuah negara-kota yang bernama Madinah. Komponen bentuk negara terlihat pasal 2 (didasarkan pada pembagian pasal oleh A.Guillaume dalam bukunya The Life of Muhammad) yang menjelaskan Madinah adalah negara di suatu wilayah unik dan spesifik. Dalam pasal-pasal berikutnya maupun berdasarkan pada dokumen-dokumen tertulis tentang praktek Piagam Madinah, dapat dianalisis bahwa Madinah adalah negara berstruktur federal dengan otoritas terpusat. Praktek bentuk federasi mini ini adalah membagi

23 OpcitThohir, hal.4 24 http://cakwawan.wordpress.com/2007/09/25/jalan-tengah-relasi-agama-dan-negara.

Page 20: JURNAL UTUH

17

Madinah dalam 20 distrik yang masing dipimpin oleh seorang Naqib, Kepala Distrik, dan „Arif, sebagai wakilnya.

Komponen pengaturan sistem pemerintahan, pembagian kekuasaan, dan wewenang badan-badan pemerintahan terlihat dengan pemberian otonomi penuh (kecuali dalam masalah pertahanan dan ketahanan negara) pada masing-masing suku dan golongan (terutama suku-suku Yahudi yang cukup dominan di Madinah ketika itu) untuk menjalankan hukumnya sendiri. Ini mirip dengan kebebasan untuk mengatur perda di negara kita dan bahkan jauh lebih bebas seperti halnya undang-undang federal di negara-negara federasi modern. Hanya masalah-masalah pelik yang tidak bisa diselesaikan oleh pihak-pihak federal bisa langsung diputuskan oleh Muhammad. Ini tergambar dalam suatu peristiwa yang dicatat ketika kaum Yahudi kebingungan untuk memutuskan hukuman pada dua orang yang terbukti berzina. Kemudian mereka pun mendatangi Muhammad untuk meminta keputusan, tetapi Muhammad menyerahkan keputusan tersebut kembali merujuk pada kitab suci Yahudi sendiri, dan akhirnya hukuman rajam diberikan pada dua orang pasangan yang berzina itu dengan dilakukan oleh kaumnya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, Masykuri, 1999, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Demokrasi (1966-1993), Yogyakarta: Tiara Wacana

Al - Alwani, Taha Jabir, 1996, Krisis Pemikiran Moderen, IIIT.PJ. Al -Jawi, M.Shiddiq, KH, Nation State dan Khilafah, Makalah pada 4 Desember

2006. Ali Maschan Moesa, 2007, Nasionalisme Kiai Konstruksi Sosial Berbasis Agama,

Jogjakarta:LKIS Al -Qur‟an dan Terjemahannya,1971, Departemen Agama Republik Indonesia,

Jakarta. Armstrong, Karen, 2006, Sejarah Tuhan, Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan

oleh orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam selama 4.000 Tahun, Bandung, Mizan, cet.X.

Page 21: JURNAL UTUH

18

Azra, Azyumardi, 1996, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina

Dahlan, Juwairiyah, 1999, Piagam Madinah dan konsep Ummah, Jurnal

Paramedia (Jurnal Informasi Komunikasi dan Informasi Keagamaan ) Edisi XV ,Surabaya,IAIN Sunan Ampel.

Diauddin Rais, 2001, Teori Politik Islam, Jakarta; Gema Insani Press. Din Syamsuddin,1992, “Usaha Pencarian Konsep Negara dalam Sejarah

Pemikiran Politik Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur`an, Nomor 2, Vol. IV FazlurRahman, 1965, Internal Religious Development in Islam, Mentor Book,

cet 1 Fazlurrahman, 1982, Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual

Tradition, Chicago: University of Chicago Press Kaelan. 2009. ”Relasi Negara dan Agama Dalam Perspektif Filsafat Pancasila”.

Makalah. Yogyakarta Khan, Qamaruddin, 1995, Pemikiran Politik Ibnu Taymiyah, Bandung: Pustaka. Latif Fauzi, Muhammad, Konsep Negara dalam Perspektif Piagam madinah dan

Piagam Jakarta ( Jurnal Al-Mawarid) , Edisi XIII, 2005 Lukman Ali, Dkk. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

M.Shiddiq, KH, Nation State dan Khilafah, 4 Desember 2004 Marzuki Wahid & Rumadi. 2001. Fiqh Madzhab Negara: Kritik Atas Politik

Hukum Islam Di Indonesia. Yogyakarta: LKiS. Mulia, Musdah, ,2001, Negara Islam: Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta:

Paramadina Mulkhan, Abduk Munir, 1994, Runtuhnya Mitos Politik santri; stategi

Kebudayaan dalam dakwah Islam, Yogyakarta, Sipress, Cet.1 Nasution, Harun, 1985, Islam ditinjau dari beberapa Aspek, Jakarta, UI Piscatori, P. James ,1994, Islam in a World of Nation States, New York:

Cambridge Qardhawy, Yusuf, 1997, Fiqih Negara, Jakarta, Robbani Press

Page 22: JURNAL UTUH

19

Rahardjo, Dawam2002, Ensiklopedi Al-Qur’an (Tafsir sosial Berdasarkan

konsep- konsep kunci), Jakarta, Paramadina Sadzali, Munawir, 1990, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran,

Jakarta: UI Press Sjadzali, Munawir, 1993, Islam dan Tata Negara,:Ajaran, Sejarah, dan

Pemikiran, Jakarta:UI Sukarja, Ahmad, 1995, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945:

Kajian tentang Perbandingan tentang dasar hidup Bersama dalam masyarakat yang majemuk, Jakarta, Penerbit universitas indonesia

Sulistyono,Adi , 2008. ”Kebebasan Beragama dalam Bingkai Hukum”. Makalah

Seminar Hukum Islam dengan Tema Kebebasan Berpendapat VS Keyakinan Beragama ditinjau dari Sudut Pandang Sosial, Agama, dan Hukum yang diselenggarakan oleh FOSMI Fakultas Hukum UNS, Surakarta, tanggal 8 Mei 2008.

Syafii Maarif, Ahmad, 1983, Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic

Political Ideas as Reflekcted in the Constituent Assembly Debates in Indonesia, disertasi doktor, University of Chicago

Syari‟ati, Ali, 1990, Ummah wa al-Ummah, terj. M. Faishol Hasanudin, Jakarta,

Penerbit yapi Thohir , Agus, 2009. ”Relasi Agama dan Negara”. Makalah Diskusi Kajian

Spiritual yang diselenggarakan oleh HMI Komisariat FPBS IKIP PGRI, Semarang, tanggal 4 November 2009.

Yatim, Badri, 2001. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme, Bandung: Nuansa.

Page 23: JURNAL UTUH

20

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DI SD/MI Rahmat Kamal1

Abstrak

Konsep dasar pendidikan karakter sekaligus implementasinya pada tingkat Sekolah Dasar (SD) / Madrasah Ibtidaiyah (MI) dengan berbagai karakteristik perkembangan psikis para peserta didik di lingkungan SD/MI tentu berbeda dengan perkembangan psikis peserta didik pada jenjang berikutnya.

Pendidikan karakter menjadi sangat penting untuk dibahas melihat kondisi moral bangsa yang semakin hari semakin memprihatinkan. Pendidikan mempunyai peran dan tanggung jawab yang besar dalam menyelesaikan segala persoalan bangsa, terlebih persoalan yang terkait dengan karakter bangsa itu sendiri. Oleh karenanya, pendidikan karakter harus mampu menjadi ruh dari misi pendidikan secara keseluruhan dan harus terus ditumbuhkembangkan pada generasi bangsa sedini mungkin.

Usia anak adalah usia yang sangat vital dalam menentukan perkembangan berikutnya, sehingga orang tua termasuk para pendidik sudah semestinya membekali anak-anak mereka dengan karakter yang baik dan budi pekerti yang mulia, sehingga mereka mampu menjadi generasi yang cerdas, unggul, dan mulia di masa yang akan datang.

Dalam artikel ini, lingkup pembahasan terpusat pada tiga hal; pertama, konsep dasar pendidikan karakter secara umum; dua, karakteristik siswa SD/MI; dan yang ketiga, adalah implementasi pendidikan karakter bagi siswa SD/MI.

Perlu adanya inspirasi bagi kita para orang tua sekaligus pendidik untuk memaksimalkan kembali pendidikan karakter dan budi pekerti sedini mungkin, harapannya tiada lain adalah agar putra-putri kita tumbuh menjadi pribadi yang cerdas tidak hanya secara intelektual akan tetapi juga secara moral dan sosial, amin. Kata Kunci : Pendidikan Karakter, Siswa SD/MI

I. PENDAHULUAN

Pendidikan adalah fenomena utama dalam kehidupan manusia untuk membantu perkembangan dan pertumbuhan peserta didik menjadi dewasa. Sesuai dengan visi dan misi pendidikan nasional, tujuan pendidikan haruslah mencerminkan kemampuan sistem pendidikan nasional untuk mengakomodasi berbagai tuntutan sakaligus tantangan zaman dengan berbagai fenomena sosial yang mengikutinya.

Dalam riset yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Pusat Penelitian Universitas Indonesia (UI) terungkap bahwa biaya ekonomi dan

1 Rahmat Kamal adalah dosen di STAIN Pekalongan

Page 24: JURNAL UTUH

21

sosial penyalahgunaan narkoba di Indonesia pada tahun 2004 mencapai 23,6 triliun, dengan rincian 1,5 persen penduduk Indonesia merupakan pemakai narkoba, dan 78% korban tewas akibat narkoba berusia antara 19-21 tahun. Menurut data terbaru BNN terungkap bahwa untuk kasus narkoba di daerah provinsi Jawa Tengah saja jumlah kasusnya semakin bertambah menjadi 1485 kasus di tahun 2011, dibandingkan tahun sebelumnya pada tahun 2010 yang mencapai angka 1105 kasus. Belum lagi kehidupan seksual yang bebas dan tidak mencerminkan budaya timur ikut memperkeruh moral bangsa yang sedang mengalami dekadensi. Sumber BKKBN tahun 2010 menyebutkan bahwa angka kehamilan diluar nikah mencapai 17% pertahun dengan rincian 2,4 juta jiwa pertahun terjadi kehamilan diluar nikah.2

Seperti yang dilansir surat kabar harian umum Kompas tertanggal 21 Desember 2011 memberitakan bahwa kekerasan antar pelajar di Jabodetabek semakin melonjak sepanjang tahun 2011 dibandingkan tahun sebelumnya. Komisi Nasional Perlindungan Anak mencatat pada tahun 2010 angka tawuran sebanyak 128 kasus dengan korban 40 orang meninggal dunia. Setahun kemudian, ditahun 2011 angka tawuran melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 339 kasus dengan jumlah korban 82 meninggal dunia.3 Fenomena sosial yang serba memprihatinkan di atas adalah sebuah renungan dan evaluasi bagi pendidikan kita selama ini, karena secara umum pendidikan harus mampu menghasilkan manusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat yang sehat dan cerdas dengan (1) kepribadian yang kuat dan religius serta mampu menjunjung tinggi budaya luhur bangsa, (2) kesadaran demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegra, (3) kesadaran moral hukum yang tinggi dan (4) kehidupan yang makmur dan sejahtera.4 Oleh karenanya pendidikan adalah proses pembelajaran yang harus paling bertanggung jawab untuk menjadikan seseorang tidak hanya sekedar mengenal dan paham semata akan nilai-nilai kebaikan, melainkan sadar dan mengamalkan nilai-nilai kebaikan tersebut dalam kehidupan sehari-hari sebagai karakter yang positif atau kepribadian yang mulia, karena pada dasarnya hakikat pendidikan bukan hanya sekedar transfer of knowledge akan tetapi juga transfer of values, dalam arti penanaman dan pengamalan nilai-nilai akan sangat berarti dalam kehidupan sehari-hari dibandingkan hanya sekedar hapal dan tahu. Revitalisasi pendidikan karakter sudah selayaknya bahkan seharusnya masuk dalam sebuah desain kurikulum pembelajaran di tingkat satuan pendidikan, sehingga pendidikan bangsa ini tidak kehilangan ruh dari hakikat

2 Sukro Muhab, Makalah “Desain Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Berakhlak

Mulia” dalam Seminar Nasional Pendidikan Karakter 10 Mei 2011 di Hotel Quality Yogyakarta. 3 Kompas, Rabu 21 Deseember 2011, hlm.1. 4 Jalal F & Supriyadi D, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah,

(Yogyakarta: Adi Citra Karya Nusa, 2001), hlm. 67.

Page 25: JURNAL UTUH

22

tujuan yang sebenarnya seperti yang diamanatkan UUD 45 pasal 31 ayat 3 yang berbunyi:

“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”5

Hal serupa juga ditegaskan dalam UU Sisdiknas pasal 3 yang berbunyi:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”6

Fungsi dan tujuan seperti di atas harus menjadi bahan renungan bagi kita selaku para pendidik atau orang yang memberikan perhatian lebih di bidang pendidikan, sehingga baik madrasah maupun sekolah dengan berbagai jenjang dan tingkat pendidikan dari mulai MI/SD sampai dengan jenjang yang lebih tinggi di atasnya, diharapkan mampu menghasilkan sebuah lulusan yang tidak hanya cerdas secara kognitif intelektual akan tetapi juga afektif spiritual.

II. PEMBAHASAN A. PENDIDIKAN KARAKTER

1. Pengrtian Karakter Dari segi kata, karakter dan akhlak secara bahasa mengandung makna

yang sama yakni , kebiasaan, tabi'at, watak, sifat-sifat kejiwaan. Dan secara istilah, karakter dan akhlak mempunyai arti sama juga yaitu suatu kehendak yang sudah biasa dan sering dilakukan secara spontan. Maka maksud dan tujuan pendidikan karakter dan pendidikan akhlak semakna dan sejalan, yakni suatu usaha sadar untuk membantu individu mempunyai kehendak untuk berbuat sesuai dengan nilai dan norma (baik dalam agama maupun di masyarakat) serta membiasakan perbuatan tersebut dalam kehidupannya.

Pendidikan karakter menurut Doni Koesoema merupakan sebuah struktur antropologis yang terarah pada proses pengembangan dalam diri manusia secara terus menerus untuk menyempurnakan dirinya sebagai manusia yang berkeutamaan, yakni dengan mengaktualisasikan nilai-nilai keutamaan seperti keuletan, tanggung jawab, kemurahan hati, dan lain-lain.

5 UUD 45 dan Amandemen Lengkap, (Yogyakarta: Aditya Pustaka), hlm. 25. 6 Depdiknas, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional (Jakarta: CV Eka Jaya, 2003), hlm. 7.

Page 26: JURNAL UTUH

23

Sedangkan pendidikan karakter atau akhlak bagi Ibnu Miskawaih adalah sebuah struktur teologis untuk melakukan keutamaan dengan tanpa berfikir dan pertimbangan, dan untuk itu diperlukan pembiasaan dan latihan dengan cara diberikan pendidikan.7

2. Unsur-unsur Karakter Fathul Mu‟in mengatakan, bahwa karakter memiliki beberapa unsur

baik secara psikologis maupun sosiologis, yaitu: a. Sikap

Sikap seseorang merupakan bagian dari karakternya, bahkan dianggap sebagai cerminan dari karakter orang tersebut. Tentu tidak sepenuhnya benar, tetapi dalam hal tertentu sikap seseorang terhadap sesuatu yang dihadapinya menunjukkan bagaimana karakter dirinya. Bahkan para psikolog banyak mengembangkan perubahan diri menuju sukses melalui perubahan sikap.

Oskamp dalam Fathul Mu‟in mengemukakan bahwa sikap dipengaruhi oleh proses evaluatif yang dilakukan individu, dan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi proses evaluatif tersebut adalah: faktor genetik dan fisiologik, pengalaman personal, pengaruh orangtua, pengaruh kelompok sebaya atau masyarakat, dan media massa. Oskamp menambahkan, bahwa ada dua hal yang secara khusus berpengaruh dalam membentuk sikap seseorang, yaitu: pertama, peristiwa yang memberikan kesan kuat pada diri seseorang (salient incident), yaitu peristiwa traumatik yang mengubah secara drastis kehidupan individu, misalnya kehilangan anggota tubuh karena kecelakaan. Kedua, munculnya objek secara berulang-ulang (repeated exposure), misalnya tingginya frekuensi seseorang bertemu dalam berbagai hal dan pekerjaan dengan lawan jenisnya, kemungkinan akan menimbulkan antara satu dan lainnya, atau dikenal juga dengan istilah dalam bahasa Jawa “witing tresno jalaran soko kulino”.8

b. Emosi

Kata emosi diadopsi dari bahasa Latin emovere (e berarti luar dan movere artinya bergerak). Sedangkan dalam bahasa Prancis adalah emouvoir yang artinya kegembiraan. Emosi adalah gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia, yang disertai dengan efeknya pada kesadaran, perilaku, dan juga merupakan proses fisiologis. Misalnya, saat kita merespon sesuatu yang melibatkan emosi, dan kita juga megetahui makna apa yang kita hadapi (kesadaran). Saat kita marah dan tegang, jantung kita berdebar-debar dan akan berdetak cepat (fisiologis), maka kita pun akan segera melakukan reaksi terhadap apa yang menimpa kita (perilaku).

7 Heni Zuhriyah. Pendidikan Karakter ; Studi Perbandingan Antara Konsep Doni

Koesoema dan Ibnu Miskawaih, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2010) 8 Fathul Mu‟in, Pendidikan Karakter; Konstruksi Teoretik dan Praktik (Yogyakarta: Ar-

Ruzz Media, 2011), hlm. 168-170.

Page 27: JURNAL UTUH

24

Kata emosi umumnya mendapatkan konotasi negatif, mengingat orang yang sering emosional atau “terlalu berperasaan” cenderung kelihatan sebagai orang yang lemah, pemarah, dan keadaan psikologisnya tidak stabil. Akan tetapi sesungguhnya emosi itu jauh dari hal-hal yang jelek seperti itu. emosi tidak segalanya negatif, dan kita lah yang harus senantiasa merawat dan memelihara emosi kita masing-masing9.

c. Kepercayaan

Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari faktor sosiopsikologis. Kepercayaan bahwa sesuatu itu “benar” atau “salah” atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman dan intuisi sangatlah penting untuk membangun watak dan karakter manusia. Jadi, kepercayaan itu memperkukuh eksistensi diri dan memperkukuh hubungan dengan orang lain.

Kepercayaan memberikan perspektif pada manusia dalam memandang kenyataan dan ia memberikan dasar bagi manusia untuk mengambil pilihan dan menentukan keputusan. Jadi, kepercayaan salah satunya dibentuk oleh pengetahuan. Apa yang kita ketahui membuat kita menentukan pilihan karena kita percaya apa yang kita ambil berdasarkan yang kita ketahui.10

d. Kebiasaan dan kemauan

Kebiasaan adalah faktor konatif manusia dari faktor sosiopsikologis. Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis, tidak direncanakan. Ia merupakan hasil pelaziman yang berlangsung pada waktu yang lama atau sebagai reaksi khas yang diulangi berkali-kali. Kebiasaan memberikan pola perilaku yang dapat diramalkan.11

e. Konsepsi diri.

Hal penting lainnya yang berkaitan dengan pembangunan karakter adalah konsepsi diri. Konsepsi diri penting karena biasanya tidak semua orang cuek pada dirinya. Orang yang sukses biasanya adalah orang yang sadar bagaimana dia membentuk wataknya. Dalam hal kecil saja, kesuksesan sering didapat dari orang-orang yang tahu bagaimana bersikap di tempat-tempat yang penting bagi kesuksesannya.

Proses konsepsi diri merupakan proses totalitas baik sadar maupun tidak, tentang bagaimana karakter dan diri kita dibentuk. Konsepsi diri adalah bagaimana “ saya” harus membangun diri, dan bagaimana “saya” harus menempatkan diri dalam kehidupan.12

Kelima aspek inilah yang kemudian menjadi unsur dari sebuah karakter yang ada pada diri kita. Sehingga ketika seseorang mampu membangun dan mengembangkan kelima unsur ini dengan baik maka dia akan memiliki karakter yang baik pula, dan begitupun sebaliknya.

9 Ibid, hlm. 171-173 10 Fathul Mu‟in, Pendidikan Karakter...., hlm. 176-178 11 Ibid, hlm. 178-179 12 Ibid, hlm. 179

Page 28: JURNAL UTUH

25

3. Pendekatan dan Metode dalam Pendidikan Karakter Mendidik karakter berarti mendidik nilai. Dalam pendidikan nilai

terdapat beberapa pendekatan yang bisa dilakukan, antara lain: penanaman nilai (inculcation approach), pendekatan analisis nilai (values analysis approach), pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach).13

Dalam bahasa yang lebih mudah Ryan dan Bohlin menyatakan bahwa agar bisa tumbuh dan berkembangnya sebuah karakter yang baik dari seseorang, maka paling tidak ada tiga tahapan metode yang harus dilalui seseorang kaitannya dengan proses pendidikan karakter, yakni: pertama, mengetahui kebaikan (knowing the good); kedua, mencintai kebaikan (loving the good); dan ketiga, melakukan kebaikan (doing the good). Dalam pendidikan karakter, kebaikan itu seringkali dirangkum dalam sederet sifat-sifat baik. 14

Sementara Doni Koesoema lebih khusus menyampaikan lima metodologi pendidikan karakter yang bisa diterapkan di sebuah lembaga pendidikan (sekolah atau madrasah) yakni: pertama, mengajarkan pengetahuan tentang nilai (kebaikan) yang disarikan dari semua mata pelajaran; dua, memberikan keteladanan terhadap nilai (kebaikan) yang telah disampaikan; tiga, menentukan prioritas nilai (kebaikan) yang harus didahulukan; empat, praksis prioritas yakni wujud dari nilai (kebaikan) yang telah diprioritaskan guru kepada para siswa; dan lima, adanya refleksi sebagai bagian dari evaluasi terhadap berbagai nilai (kebaikan) yang telah disampaikannya kepada siswa. Semua metode tersebut dilaksanakan dalam setiap momen di sekolah, yang kemudian diaktualisasikan ke dalam lingkungan masyarakat supaya lebih bisa terkontrol dan terjaga dengan baik.15

B. Karakteristik Perkembangan Siswa Sekolah Dasar (SD/MI) Menurut Nasution (2004) dalam Haryu (2012), bahwa masa usia sekolah dasar sebagai

masa kanak-kanak akhir berlangsung dari usia enam tahun hingga sebelas atau dua belas tahun. Usia ini ditandai dengan mulainya anak masuk sekolah dasar, dan dimulainya sejarah baru dalam kehidupan yang kelak akan mengubah sikap-sikap dan tingkah lakunya.16

13Zaim El Mubarok, Membumikan Pendidikan Nilai; Mengumpulkan yang

terserak,Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai (Bandung: Alfabeta, 2006), hlm. 61-73.

14http://www.inilahguru.com//34-pendidikan/65-apa-yang-beda-dalam-pendidikan karakter. html, di akses pada tanggal 3 Oktober 2011 pukul 12.30 WIB.

15 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, (Jakarta: PT. Grasindo, Cet.III, 2011), hlm. 212-217

16 Haryu Islamudin, Psikologi Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 39

Page 29: JURNAL UTUH

26

1. Karakteristik Sifat Khas Menurut Suryabrata (1984) masa usia sekolah ini disebut dengan masa intelektual atau

masa keserasian bersekolah, pada masa ini anak lebih mudah untuk dididik daripada masa sebelumnya dan sesudahnya. Freud memberi nama fase ini sebagai fase latent, di mana dorongan-dorongan “seakan-akan” mengendap (latent), tidak semenggelora masa-masa sebelumnya dan sesudahnya. Masa ini dapat dirinci lagi menjadi dua fase, yaitu: pertama, fase kelas rendah sekolah dasar (6;0/7;0 – 9;0/10;0); dan kedua, fase kelas tinggi sekolah dasar (9;0/10;0 – 12;0/13;0).

Adapun beberapa sifat khas yang dimiliki anak pada fase kelas rendah sekolah dasar, antara lain: a. Adanya korelasi yang tinggi antara keadaaan jasmani dan prestasi sekolah sebagai bukti harus

tercukupinya kebutuhan-kebutuhan biologis. b. Sikap tunduk kepada peraturan-peraturan permainan yang tradisional c. Adanya kecendrungan memuji diri sendiri d. Suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain, kalau hal itu menguntungkan;

dalam hubungannya dengan ini juga ada kecendrungan untuk meremehkan anak-anak lain. e. Kalau tidak dapat menyelesaikan suatu soal, maka soal itu dinggapnya tidak penting. f. Pada masa ini anak menghendaki nilai-nilai (angka rapor, skor) yang baik, tanpa mengingat

apakah prestasinya pantas diberi nilai baik tersebut atau tidak. Sedangkan beberapa sifat khas yang dimiliki anak pada fase kelas tinggi sekolah dasar,

antara lain: a. Adanya perhatian kepada kehidupan praktis sehari-hari yang konkret, hal ini membawa

kecendrungan untuk membantu pekerjaan-pekerjaan yang praktis. b. Amat realistik, ingin tahu, ingin belajar. Kenyataan inilah kiranya yang mendasari pendapat

O. Kroh yang memberi penafsiran pada masa ini sebagai masa realisme, yaitu realisme naif (8;0- 10;0) dan realisme kritis (10;0 – 12;0).

c. Menjelang akhir masa ini telah ada minat pada hal-hal dan mata-mata pelajaran khusus, yang oleh para ahli pengikut teori faktor ditafsirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor “s”.

d. Sampai kira-kira umur 11;0 anak membutuhkan bantuan guru atau orang-orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugasnya dan memenuhi keinginannya, setelah kira-kira berumur 11;0 anak menghadapi tugas-tugas dengan bebas dan berusahamenyelesaikannya sendiri.

e. Pada masa ini anak memandang nilai (angka rapor) adalah ukuran yang tepat mengenai prestasi sekolahnya.

f. Anak-anak pada masa ini gemar membentuk kelompok-kelompok sebaya, biasanya untuk dapat berain-main bersama. Dalam permainan tersebut anak-anak kerap sekali tidak terikat pada peraturan-peraturan permainan tradisional, sehingga mereka membuat peraturan sendiri.

Page 30: JURNAL UTUH

27

Masa keserasian bersekolah ini diakhiri dengan suatu masa yang biasanya disebut dengan masa pueral. Masa ini demikian khasnya, sehingga menarik perhatian para ahli, dan karenanya juga banyak dilakukan penyelidikan dan pembahasan mengenai masa ini.17

2. Karakteristik Tahap Perkembangan Agama

Apabila dilihat dari tahap perkembangan agama anak, maka Fowler merincinya menjadi dua masa, yaitu masa anak-anak awal dan masa anak-anak akhir. Adapun karakteristik tahap perkembangan agama anak-anak masa awal menurut teori Fowler antara lain: a. Kebaikan dan kejahatan lebih bersifat intuitif dalam pandangannya b. Antara fantasi dan kenyataan dianggapnya sama dan tidak berbeda.

Sementara karakteristik perkembangan masa anak-anak akhir menurut Fowler, antara

lain: a. Pemikiran sudah lebih logis dan konkrit tidak lagi bersifat intuisi. b. Kisah-kisah agama diinterpretasikan secara harfiyah; dan Tuhan digambarkan sebagai figur

orangtua.18

3. Karakteristik Tahap Perkembangan Kognitif Seiring dengan masuknya anak ke sekolah dasar, maka kemampuan kognitifnya turut

mengalami perkembangan yang pesat. Karena dengan masuk sekolah, berarti dunia dan minat anak bertambah luas, dan dengan meluasnya minat maka bertambah pula pengertian tentang manusia dan objek-objek yang sebelumnya kurang berarti bagi anak. Dalam keadaan normal, pikiran anak usia sekolah berkembang secara berangsur-angsur. Kalau pada masa sebelumnya daya pikir anak masih bersifat imajinatif dan egosentris, maka pada usia sekolah dasar ini daya pikir anak berkembang ke arah berpikir konkrit, rasional dan objektif. Menurut teori Piaget, pemikiran anak-anak usia sekolah ini disebut dengan pemikiran operasional konkrit (concrete operational thought) yaitu aktivitas mental yang difokuskan pada objek-objek dan peristiwa-peristiwa nyata atau konkrit dapat diukur.

Dalam upaya memahami alam sekitarnya, anak-anak tidak lagi mengandalkan informasi yang bersumber dari pancaindra, karena ia mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan yang sesungguhnya, dan antara yang bersifat sementara dengan yang bersifat menetap. Misalnya mereka akan tahu bahwa air dalam gelas besar pendek dipindahkan ke dalam gelas kecil tinggi, jumlahnya akan tetap sama karena tidak setetes pun air yang tumpah. Hal ini adalah karena mereka tidak lagi mengandalkan persepsi penglihatannya, melainkan sudah mampu menggunakan logikanya. Mereka dapat mengukur, menimbang, dan menghitung jumlahnya, sehingga perbedaan yang nyata tidak “membodohkan” mereka.19

17 Sumadi Suryabrata. Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 204-206 18 Desmita. Psikologi Perkembangan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet VII, 2012),

hlm. 209 19 Desmita. Psikologi....., hlm. 156

Page 31: JURNAL UTUH

28

4. Karakteristik Tahap Perkembangan Moral Menurut hasil penelitiannya, Kohlberg mengklasifikasikan perkembangan moral atas tiga

tingkatan (level), yang kemudian dibagi lagi menjadi enam tahap (stage). Adapun ketiga tingkatan perkembangan moral tersebut adalah: a. Prakonvensional. Pada level ini anak mengenal moralitas bedasarkan dampak yang

ditimbulkan oleh suatu perbuatan, yaitu menyenangkan (hadiah) atau menyakitkan (hukuman). Sehingga dari sini anak tidak melanggar aturan karena takut akan ancaman hukuman dari otoritas.

b. Konvensional. Suatu perbuatan dinilai baik oleh anak apabila mematuhi harapan otoritas atau kelompok sebaya.

c. Pasca-konvensional. Pada level ini aturan dan institusi dari masyarakat tidak dipandang sebagai tujuan akhir, tetapi diperlukan sebagai subjek. Sehingga pada kondisi ini anak mematuhi aturan lebih karena menghindari hukuman kata hati.

Tingkatan yang ketiga ini, menurut Piaget disebut dengan autonomous morality atau morality of cooperation yaitu tahap moral yang terjadi pada anak-anak usia kira-kira 9 hingga 12 tahun. Pada tahap ini anak mulai sadar bahwa aturan-aturan dan hukum-hukum merupakan ciptaan manusia dan dalam menerapkan suatu hukuman atas suatu tindakan harus mempertimbangkan maksud pelaku serta akibat-akibatnya.20

C. Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah/Madrasah

Konsep dasar pendidikan karakter di sekolah atau madrsah tentunya harus dilandaskan pada visi, misi, dan tujuan sekolah atau madrasahnya masing-masing yang selanjutnya diimplementasikan ke dalam: 1) kurikulum dan mata pelajaran, 2) budaya madrasah baik di lingkungan guru maupun siswa, dan 3) pengembangan diri melalui program pembiasaan dan pengembangan minat dan bakat siswa. Hal ini sesuai dengan prinsip implementasi pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa yang dirangcang oleh kemendiknas tahun 2010. 1. Kurikulum/Mata Pelajaran

Adapun pengembangan kurikulum yang bisa dilakukan adalah : a. Memaksmimalkan kembali proses integrasi nilai-nilai karakter ke dalam

semua mata pelajaran, baik mata pelajaran yang secara konten mengajarkan nilai-nilai karakter dan kebajikan seperti halnya mata pelajaran PAI, maupun materi yang tidak secara konten mengajarkan nilai-nilai karakter seperti Matematika dan lain sebagainya. Terlebih ketika kurikulum 2013 mengintegrasikan materi IPA-IPS ke dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dan PKN untuk tingkat SD/MI (baca Dokumen Kurikulum 2013), maka hal ini memberikan kesempatan lebih kepada para guru yang bersangkutan untuk memaksimalkan kembali proses integrasi nilai-nilai karakter tersebut ke dalam materi yang diintegrasikan. Oleh karenanya desain RPP berkarakter akan sangat membantu para guru dalam merefleksikan nilai-nilai karakter ke

20 ibid hlm. 151-152

Page 32: JURNAL UTUH

29

dalam sebuah materi pelajaran. Formulasi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) berbasis karakter berfungsi sebagai pengingat para guru dalam mengembangkan tiga kompetensi pembelajaran (kognitif, afektif, dan psikomotorik) secara seimbang sebagai salah satu dasar dalam pembentukan karakter siswa. Sehingga pada akhirnya memberikan kesempatan kepada semua guru dalam setiap mata pelajaran, baik mata pelajaran rumpun PAI maupun mata pelajaran umum lainnya untuk tidak melupakan diri dalam menyampaikan dan menanamkan nilai-nilai karakter (inculcation approach) yang ada di balik materi selama proses pembelajaran.

b. Memaksimalkan kembali program pembiasaan baik yang bersifat ritual maupun non ritual selama proses pembelajaran. Kebaikan yang selalu diulang-ulang dan dibiasakan setiap hari, akan jauh lebih membekas dalam hati serta jiwa para siswa dibanding kegiatan yang sekedar insidental semata. Namun tidak juga hanya sekedar pembiasaan yang pada akhirnya terhenti dalam simbol-simbol rutinitas formal, melainkan pembiasaan yang harus disertai dengan penuh pemaknaan. Ketika guru menajalankan rutinitas kegiatan kelas misalnya tadarus bersama di setiap awal pembelajaran, maka tugas guru disamping memberikan pendampingan juga memberikan pemaknaan terhadap kegiatan tersebut, siswa diberikan pemahaman tentang arti penting dari apa yang mereka lakukan.

c. Memberikan penekanan kembali kepada para pengajar PAI dan PKN untuk tidak terjebak pada materi-materi yang sifatnya kognitif dan hafalan semata, karena pada dasarnya materi pelajaran PAI dan PKN secara subtantif lebih pada penanaman (inculcation approach) dan pengamalan nilai-nilai karakter (action learning approach) sehingga jangan sampai ada siswa yang secara kognitif nilai ulangan PAI dan PKNnya tinggi akan tetapi tidak diimbangi dengan perilaku dan akhlak yang terpuji.Karakteristik sifat khas anak sekolah dasar seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa mereka lebih menganggap nilai rapor sebagai prestasi segala-galanya harus dikikis secara bertahap dengan memberikan penekanan bahwa nilai berbentuk angka bukanlah segalanya ketika tidak diimbangi dengan perilaku dan akhlak yang terpuji.

Salah satu cara yang bisa digunakan untuk memaksimalkan kembali mata pelajaran PAI dalam memberikan penanaman nilai adalah dengan membuat program renungan/intropeksi diri (muhasabah) secara berkala. Program sekolah atau kelas yang bisa dilakukan berkala ini sangatlah besar peranannya dalam proses internalisasi nilai-nilai karakter, karena target utama dari program ini adalah mengasah kepekaan bathin atau afeksi para siswa yang selama ini mungkin hampa karena dipenuhi dengan muatan kognisi tanpa refleksi, dan ketika sisi ruang bathin siswa mulai terasah dengan mampu menyadari akan kekurangan dan kealfaannya, maka lambat laun keterasahan bathin ini akan membentuk sebuah karakter yang positif dikemudian hari

Page 33: JURNAL UTUH

30

d. Memaksimalkan kembali proses pembelajaran yang aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan (PAIKEM) dalam setiap mata pelajaran. Dengan pembelajaran seperti ini, harapannya akan memberikan kesan yang mendalam, sehingga nilai-nilai karakter yang disampaikan dengan mudahnya terinternalisasi menjadi sebuah sikap dan karakter yang kuat pada diri dan jiwa para siswa. Seperti yang telah disampaikan Oskamp (1991) sebelumnya, bahwa salah satu hal yang secara khusus berpengaruh dalam membentuk sikap seseorang, adalah adanya peristiwa yang memberikan kesan kuat pada diri seseorang (salient incident).

e. Memaksimalkan kembali proses komunikasi antara guru dengan orangtua siswa untuk memantau sejauh mana perkembangan siswa sekaligus putra-putri mereka baik di lingkungan sekolah dengan menggunakan buku anecdotal recard yaitu buku seluruh kejadian selama di kelas atau di sekolah, maupun perkembangan siswa selama di rumah dengan menggunakan buku mutaba’ah yaitu buku evaluasi tentang sejumlah kegiatan siswa selama di rumah baik itu proses belajar, maupun ibadah ritual keseharian siswa. Sehingga dari data ini bisa dijadikan salah satu bahan refleksi sekolah/madrasah maupun para orangtua siswa tentang kemajuan perkembangan karakter putra-putrinya selama ini, seperti apa yang telah disampaikan Doni Koesoema di atas tentang metodologi pendidikan karakter yang terakhir.

f. Memaksimalkan kembali reward (hadiah) terhadap sejumlah prestasi siswa tidak hanya dalam bidang akademik akan tetapi juga dalam bidang ibadah dan akhlak keseharian dengan cara mengolah sejumlah data dari buku mutaba’ah (evaluasi) siswa dan juga data dari hasil komunikasi aktif dengan para orang tua tentang laporan ibadah dan akhlak keseharian siswa. Sehingga setiap pertengahan semester atau akhir semester para siswa tidak hanya diberikan bintang prestasi akademik bagi mereka yang mendapatkan nilai rapor tertinggi dalam satu kelas, akan tetapi juga bintang prestasi akhlak mulia bagi mereka yang paling rajin melaksanakan shalat serta tidak pernah tercatat dalam buku anecdotal record pada masing-masing kelas. Hal ini sesuai dengan tahap perkembangan moral siswa yakni pra-konvensional dan konvensional seperti yang telah dijelaskan di atas. Dan untuk meningkatkan menjadi pasca-konvensional, maka dalam perjalanannya para guru harus mampu memberikan penyadaran diri terhadap para siswa bahwa tujuan dari semua prestasi dan kebaikan yang dilakukannya adalah semata-mata untuk kebaikannya sendiri di mata Allah Swt, dan bukan karena sekedar mendapatkan materi dari reward atau hadiah yang telah diterimanya.

2. Budaya Sekolah atau Madrasah Anak akan belajar dari lingkungan terdekatnya, inilah yang kemudian harus

semakin kita sadari untuk menciptakan sebuah budaya dan kultur sekolah atau madrasah yang positif bagi perkembangan karakter siswa. Hal ini sesuai dengan

Page 34: JURNAL UTUH

31

apa yang pernah dikatakan oleh Thomas Lickona bahwa budaya moral sekolah akan berpengaruh pada fungsi moral siswa. “the schools moral culture affects students moral functioning”. Beliau menambahkan:

“We want students to become the kind of people who will do whats right even when they are surrounded by a rotten moral culture. But forming that sort of character is much easier in a moral environment where being honest, decent, and caring is perceived to be the norm”21

Menciptakan budaya di sekolah atau madrasah tentu harus diawali dengan

adanya keteladanan (uswah) dari guru dan orang-orang yang berada di dalam lingkungan sekolah atau madrasah. Artinya keteladanan tidak hanya ditunjukkan oleh para guru akan tetapi juga seluruh karyawan yang ada di sekolah, mengapa hal ini dilakukan? karena siswa akan belajar dari lingkungan terdekatnya, ketika seorang karyawan petugas kebersihan menjalankan tugasnya menjaga kebersihan disetiap sudut dan ruangan sekolah diikuti dengan peran guru yang ikut menjaga kebersihan sekolah, maka siswa akan mulai mengamati, merasakan dan pada akhirnya akan ikut menjaga kebersihan serta merasa memiliki sekolah dimana tempat mereka belajar. Ketika disatu sekolah diadakan program pembiasaan yang bersifat ritual misalnya shalat dhuha, maka kemudian guru dan seluruh karyawan ikut mengawal program tersebut dengan membersamai para siswa dalam menjalankan program shalat dhuha, dan disaat lingkungan telah membersamainya secara positif maka dengan sendirinya sikap dan karakter positif itupun akan terbangun dari dalam diri seorang siswa dengan menjadikan guru dan lingkungan sekitar sebagai figur dan cerminannya.

Namun tidak juga hanya sekedar pembiasaan yang pada akhirnya terhenti dalam simbol-simbol rutinitas formal, melainkan pembiasaan yang harus disertai dengan penuh pemaknaan. Ketika guru menajalankan rutinitas kegiatan sekolah misalnya jum‟at bersih, maka tugas guru disamping memberikan pendampingan juga memberikan pemaknaan terhadap kegiatan tersebut, siswa diberikan pemahaman tentang arti penting dari apa yang mereka lakukan. Ketika disatu sekolah diadakan kegiatan peringatan hari besar agama, maka guru dan pihak sekolah tidak hanya sekedar menjalankan rutinitas semata yang pada akhirnya terkesan formalitas, akan tetapi lebih dari itu guru mampu menyadarkan para siswa dengan makna dibalik agenda acara.

21Kita menginginkan baha para siswa bisa menjadi jenis prbadi yang akan melakukan

sesuatu kebaikan (kebenaran) bahkan ketika mereka dikelilingi oleh budaya moral yang busuk, akan tetapi membentuk semacam karakter jauh lebih mudah dalam lingkungan moral yang jujur, layak, dan peduli dengan sesuatu yang dianggap norma. Thomas Lickona, Educating For Character; How Our Scools Can Teach Respect and Responsibility, (USA: Bantam Book, 1991), hlm. 324-325

Page 35: JURNAL UTUH

32

3. Pengembangan Diri Implementasi dari konsep dasar pendidikan karakter selanjutnya adalah

melalui program pengembangan diri. Yang di maksud dengan program pengembangan diri adalah berbagai macam program tambahan atau pengembangan (di luar proses pembelajaran reguler) yang diselenggarakan oleh pihak sekolah atau madrasah guna menunjang terwujudnya karakter dan budi pekerti siswa. Program pengembangan ini terdiri dari berbagai macam kegiatan rutin madrasah seperti halnya upacara bendera hari senin, peringatan hari besar Islam (PHBI), peringatan hari besar nasional (PHBN), program pembiasaan ibadah dan budaya Islami, serta kegiatan pengembangan minat dan bakat siswa.

Program pengembangan minat dan bakat siswa dalam bentuk kegiatan ekstrakulikuler adalah dimaksudkan untuk mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki siswa yang tentunya berbeda antara siswa satu dengan siswa yang lainnya. Oleh karenanya alangkah lebih bijaksana sekolah dan madrasah mengakomodir semua potensi yang dimiliki siswa. Hal ini sesuai yang disampaikan oleh Howard Gardner, seorang professor ilmu syaraf (neurology) dari Universitas Harvard pada tahun 1984 bahwa ada delapan kecrdasan yang dimiliki manusia, yaitu: kecerdasan lingusitik (bahasa), kecerdasan visual-spasial (gambar), kecerdasan logis-matematis (perhitungan angka dan logika), kecerdasan musikal (musik), kecerdasan kinestetik (gerak fisik), kecerdasan intra-personal (memahami dan memenej diri sendiri), kecerdasan interpersonal (memahami dan memotivasi orang lain), serta kecerdasan naturalis (alam).22

Kegiatan pengembangan minat dan bakat siswa ini menjadi sebuah sarana sekaligus wahana yang lebih luas bagi para guru dan pihak sekolah/madrasah dalam usahanya menanamkan kembali nilai-nilai karakter para siswa melalui berbagai kegiatan ekstrakulikuler yang beraneka ragam sesuai dengan karakter dan jenis kecerdasannya masing-masing.

Program pengembangan diri selanjutnya adalah program latihan berbuat kebajikan (riyadhah / action learning approach) , misalnya guru dan pihak sekolah/madrasah memberikan waktu dan ruang kepada siswa untuk berlatih jujur dengan mendirikan kantin kejujuran, atau dilatih untuk memiliki kepekaan sosial yang tinggi dengan cara pembentukan organisasi siswa di bidang bencana, sehingga dari sini siswa mampu dan bisa belajar berempati terhadap dunia sosial yang ada disekitarnya. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah disampaikan Ryan dan Bohlin di atas bahwa tahapan terakhir agar bisa tumbuh dan berkembangnya sebuah karakter yang baik dari seseorang adalah melakukan kebaikan itu sendiri (doing the good). Dari sini, kita berharap segala kegiatan dan aktivitas positif itu ketika terus dilakukan dan dibiasakan akan berubah menjadi sebuah karakter positif yang kita dambakan bersama.

22Suparlan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Dari Konsepsi Sampai Dengan Implementasi, (Yogyakarta: Hikayat, 2004), hlm. 198.

Page 36: JURNAL UTUH

33

III. PENUTUP Pembinaan karakter bangsa harus dilakukan sedini mungkin mengingat

globalisasi semakin mengancam moral putera-puteri kita dengan merambah dalam berbagai aspek kehidupan. Oleh karenanya revitalisasi pendidikan karakter sudah selayaknya bahkan seharusnya masuk dalam sebuah desain kurikulum dan proses pembelajaran, budaya sekolah/madrasah, dan sejumlah program pengembangan diri siswa.

Semua itu dilakukan agar pendidikan bangsa ini tidak kehilangan ruh dari hakikat tujuan yang sebenarnya seperti yang diamanatkan UUD 45 pasal 31 ayat 3 yakni meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Fungsi dan tujuan pendidikan tersebut harus kemudian menjadi bahan renungan selaku para pendidik khususnya di tingkat SD/MI untuk tidak melupakan misi dari tugasnya menghasilkan sebuah lulusan yang tidak hanya cerdas secara kognitif intelektual akan tetapi juga afektif spiritual.

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: CV Eka Jaya, 2003

Desmita. Psikologi Perkembangan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Cet VII,

2012 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman

Global, Jakarta: PT. Grasindo, Cet.III, 2011 Fathul Mu‟in, Pendidikan Karakter; Konstruksi Teoretik dan Praktik,

Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011 Haryu Islamudin, Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013 Heni Zuhriyah. Pendidikan Karakter ; Studi Perbandingan Antara Konsep Doni

Koesoema dan Ibnu Miskawaih (Tesis), Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2010

Http://www.inilahguru.com//34-pendidikan/65-apa-yang-beda-dalam-pendidikan

karakter. html

Page 37: JURNAL UTUH

34

Jalal F & Supriyadi D, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta: Adi Citra Karya Nusa, 2001

Kompas, Rabu 21 Deseember 2011 Sukro Muhab, Makalah “Desain Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan

Berakhlak Mulia” dalam Seminar Nasional Pendidikan Karakter 10 Mei 2011 di Hotel Quality Yogyakarta.

Sumadi Suryabrata. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Rajawali Pers, 2012 Suparlan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, Dari Konsepsi Sampai Dengan

Implementasi, Yogyakarta: Hikayat, 2004 Thomas Lickona, Educating For Character; How Our Scools Can Teach Respect

and Responsibility, USA: Bantam Book, 1991 UUD 45 dan Amandemen Lengkap, Yogyakarta: Aditya Pustaka Zaim El Mubarok, Membumikan Pendidikan Nilai; Mengumpulkan yang

terserak,Menyambung yang Terputus, dan Menyatukan yang Tercerai, Bandung: Alfabeta, 2006

Page 38: JURNAL UTUH

35

RESTRUKTURISASI PENDIDIKAN MENUJU BANGSA BERKARAKTER

Mustofa Kamal1

Abstrak

Prioritas pembangunan nasional sebagaimana yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005 – 2025 (UU No. 17 Tahun 2007) antara lain adalah dalam mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila”. Salah satu upaya untuk merealisasikannya adalah dengan cara memperkuat jati diri dan karakter bangsa melalui pendidikAKan.

Pendidikan karakter menjadi kunci terpenting kebangkitan Bangsa Indonesia dari keterpurukan untuk menyongsong datangnya peradaban baru. Krisis multidimensi yang menjadi persoalan bangsa. Hal ini terjadi karena bangsa ini tidak percaya diri dalam membangun dan mengkonsep untuk kemajuan bangsa.

Menjadi bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri, akan mengembalikan kedaulatan, menjagi bangsa yang berbudaya dan bermartabat. Pendidikan yang didesign bukan lagi pendidikan yang meniru Negara lain. Konsep pendidikan dibuat berdasarkan karakter masyarakat dengan mengedepankan norma, nilai, dan budaya yang berkembang. Kata Kunci : Pendidkan, Karakter, Budaya.

A. Latar Belakang Salah satu mewujudkan visi dan misi bangsa Indonesia pada masa

mendatang telah termuat dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara yaitu mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisplin dan bertanggung jawab,berketerampilan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia. Prioritas pembangunan nasional sebagaimana yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional Tahun 2005 – 2025 (UU No. 17 Tahun 2007) antara lain adalah dalam mewujudkan masyarakat yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila”. Salah satu upaya untuk merealisasikannya adalah dengan cara memperkuat jati diri dan karakter bangsa melalui pendidikan.

1 Mustofa Kamal, M.Ag. adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) pemalang

Page 39: JURNAL UTUH

36

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.Pendidikan merupakan bagian penting dari kehidupan manusia yang tak pernah bisa ditinggalkan. Pendidikan juga merupakan salah satu sarana terpenting dalam usaha pembangunan sumber daya manusia dan penanaman nilai-nilai kemanusiaan, yang pada gilirannya akan menciptakan suasana dan tatanan kehidupan masyarakat yang beradab dan berperadaban.2

Pendidikan bisa dianggap sebagai proses yang terjadi secara sengaja, direncanakan, didesain, dan diorganisasi berdasarkan aturan yang berlaku terutama perundang-undangan yang dibuat atas dasar kesepakatan masyarakat.Pendidikan sebagai sebuah kegiatan dan proses aktivitas yang disengaja merupakan gejala masyarakat ketika sudah mulai disadari pentingnya upaya untuk membentuk, mengarahkan, dan mengatur manusia sebagaimana dicita-citakan masyarakat.

Indonesia pada era sebelum reformasi dikenal dengan sebutan macan Asia. Bangsa ini banyak memberikan kontribusi dan keberadaanya sangat diperhitungkan bangsa lain, sebagai motor penggerak sekaligus penggagas Gerakan Non Blok (GNB), menjadi salah satu negara pendiri ASEAN, serta berperan aktif menjaga perdamaian dunia. Pada saat yang sama, Indonesia menjadi salah satu negara tujuan pengembangan ilmu pengetahuan. Banyak mahasiswa luar negeri yang menjadi mahasiswa di berbagai kampus yang tersebar di Indonesia. Banyak Guru dan Dosen yang diperbantukan di luar negeri untuk menjadi dosen tamu.

Saat ini, Indonesia adalah negara besar yang gemuk, namun tidak bisa memberikan kontribusi apapun bagi warganya. Tidak ada lagi mahasiswa luar yang tertarik dengan kampus-kampus nasional. WNI yang ada diluar negeri, bukan lagi para guru, dosen ataupun tenaga ahli, namun tenaga rendahan, pekerja bangunan, dan para pembantu rumah tangga yang sering mendapatkan perlakuan kasar majikan.

Berdasarkan data dari Litbang Kompas (dalam http://www.pendidikankarakter.com/pentingnya-pendidikan-karakter-dalam-dunia-pendidikan/) disebutkan beberapa data yang mencengangkan terkait korupsi sebagai berikut 158 kepala daerah tersangkut korupsi sepanjang 2004-2011, 42 anggota DPR terseret korupsi pada kurun waktu 2008-2011, 30 anggota DPR periode 1999-2004 terlibat kasus suap pemilihan DGS BI, Kasus korupsi

2 Syed Muhammad Naquib Al-„Attas, Islam dan Sekularisme. Alih bahasa oleh Khalif

Muammar, Usep Muhammad Ishaq, dkk. (Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pengembangan Insan PIMPIN, 2010), hlm. 23

Page 40: JURNAL UTUH

37

terjadi diberbagai lembaga seperti KPU,KY, KPPU, Ditjen Pajak, BI, dan BKPM.

Apa yang bisa diharapkan dengan bangsa dan negara ini. Media informasi mulai media cetak sampai elektronik tiap harinya tak pernah kehabisan bahan untuk pemberitaan. Kriminal dan kejahatan tak ubahnya air, terus mengalir tanpa henti. Belum usai satu kasus kriminal, datang lagi kasus lain. Karena seringnya, rasa-rasanya kita muak mendengar pemberitaan semacam itu. Hukum menjadi sangat tajam bagi rakyat biasa, sementara untuk para pejabat menjadi semakin tumpul. Hati nurani menjadi tidak berdaya menemukan kebenaran apabila norma-norma yang biasanya dipakai sebagai landasan pertimbangan menjadi tidak pasti.3

Pertanyaan yang muncul dalam pikiran kita adalah bagaimana dengan pendidikan nasional kita, sudah berhasilkah mencetak para sarjana yang berilmu pengetahuan, beriman dan bertakwa, atau justru sebaliknya. Pendidikan nasional telah gagal mengantarkan generasi bangsa sesuai yang diharapkan para pejuang dan leluhur bangsa ini.

Langkah yang diambil bangsa Indonesia dalam menghadapi persoalan krisis multidimensi ini adalah rekonstruksi moral secara total dengan membangun kembali karakter dan jati diri bangsa.

B. Pembahasan 1. Krisis Karakter Menjadi Realitas Nyata

Dalam kasus Indonesia, krisis karakter, mengakibatkan bangsa Indonesia kehilangan kemampuan untuk mengerahkan potensi masyarakat guna mencapai cita-cita bersama. Krisis karakter ini seperti penyakit akut yang terus menerus melemahkan jiwa bangsa, sehingga bangsa kita kehilangan kekuatan untuk tumbuh dan berkembang menjadi bangsa yang maju dan bermartabat di tengah-tengah bangsa lain di dunia.Krisis karakter di Indonesia tercermin dalam banyak fenomena sosial ekonomi yang secara umum dampaknya menurunkan kualitas kehidupan masyarakat luas.

Korupsi, mentalitas peminta-minta, konflik horizontal dengan kekerasan, suka mencari kambing hitam, kesenangan merusak diri sendiri, adalah beberapa ciri masyarakat yang mengalami krisis karakter. Korupsi, korupsi adalah salah satu bentuk krisis karakter yang dampaknya sangat buruk bagi bangsa Indonesia. Korupsi menjadi penghambat utama kemajuan ekonomi bangsa ini, dan pada gilirannya menjadi sumber dari berkembangnya kemiskinan di Indonesia. Dalam pergaulan internasional, posisi Indonesia sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia telah menyebabkan bangsa ini kehilangan martabat di tengah-tengah bangsa lain. Korupsi terjadi karena orang-orang kehilangan beberapa karakter baik, terutama sekali kejujuran , pengendalian diri (self regulation), dan tanggung jawab sosial.

3 Purwo Hardiwaroyo, Moral dan Masalahnya, (Yogyakarta : Kanisius, 1990), hlm. 9

Page 41: JURNAL UTUH

38

Indonesia dipandang sebagai salah satu negara dengan tingkat korupsi tertinggi di dunia. Namun, di pihak lain masyarakat Indonesia nampaknya adalah masyarakat yang sangat rajin melakukan kegiatan keagamaan. Bahkan tidak jarang orang Indonesia membanggakan diri sebagai masyarakat yang hidupnya sangat religius, dan sepanjang yang saya ketahui, tindakan korupsi, atau mengambil yang bukan haknya atau milik orang lain, seperti juga mencuri, dilarang oleh semua agama. Sungguh sebuah „keganjilan‟ bahwa masyarakat yang merasa riligius namun negaranya penuh korupsi.

Lebih memprihantinkan lagi adalah bahwa menurut salah seorang penjabat KPK, lembaga negara yang paling korup adalah Departemen Agama . Apabila pernyataan tersebut didasarkan pada data yang dapat dipercaya, maka hal ini adalah contoh yang paling nyata dari hipokrisi di Indonesia, di samping sekian banyak contoh yang lain. Hipokrisi atau kemunafikan mengandung arti kepura-puraan atau menyuruh atau menasihati orang lain melakukan hal yang baik namun dia sendiri melakukan hal sebaliknya. Lebih parahnya lagi, hampir semua tahanan memiliki nama yang berbau religious.

Kesenangan mencari kambing hitam. Kebiasaan menimpakan kesalahan kepada orang lain, merupakan salah satu karakter yang menghambat kemajuan. Ini bukan kekuatan, namun kelemahan. Di masa lalu kita masih sering mendengar banyak orang menyatakan bahwa sulitnya Indonesia mencapai kemajuan lama sesudah kemerdekaan adalah akibat ulah penjajah Belanda.

Dalam mencari penyebab rusaknya ekonomi Indonesia sekarang kita punya kambing hitam baru, konpirasi Amerika Serikat, IMF, World Bank, dan akibat dominasi golongan minoritas. Seandainya sinyalemen itu benar, sebenarnya ada cara bertanya yang lain: Apa yang salah dengan bangsa kita yang menyebabkan kita beratus-ratus tahun bisa dijajah oleh Belanda -kerajaan yang sangat kecil dari jumlah penduduk dan luas wilayah; bisa menjadi korban konspirasi Amerika Serikat, IMF dan World Bank, dan kelompok mayoritas belum bisa menguasai sebagaian besar kegiatan ekonomi di Indonesia ? Pertanyaan terakhir ini jarang sekali dikemukakan, karena adanya arogansi bahwa ‟kami selalu benar‟. Akibatnya, bangsa kita kurang bisa belajar dari pengalamannya sendiri, dan kurang mampu berubah ke arah yang lebih baik karena merasa bahwa tak ada yang perlu diperbaiki pada diri kita.

Disengagement atau ketidakpedulian telah menjadi bagian penting dari ekspresi sosial publik sebagai respons atas ketidakpastian yang dialami. Sikap ini juga merupakan pernyataan tentang hilangnya harapan masyarakat akan terjadinya perbaikan dalam hidup mereka. Bentuk-bentuk ekspresi masyarakat tersebut merupakan tanda perlunya perenungan yang seksama tentang orientasi pembangunan nasional selama ini.4

4 Sujarwadi, Reorientasi Pembangunan Nasional: Menuju Indonesia Yang Berdaulat dan

Bermartabat, Orasi Ilmiah Peringatan Dies Natalis ke-58 UGM, Yogyakarta, 19 Desember 2007, hlm. 9

Page 42: JURNAL UTUH

39

2. Pentingnya Pendidikan Karakter

Kata karakter (Inggris: character) berasal dari bahasa Yunani (Greek), yaitu charassein yang berarti “to engrave”. Kata “to engrave” bisa diterjemahkan mengukir, melukis, memahatkan, atau menggoreskan5. Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata “karakter” diartikan dengan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain, dan watak. Karakter juga bisa berarti huruf, angka, ruang, simbul khusus yang dapat dimunculkan pada layar dengan papan ketik. Manusia berkarakter berarti orang yang berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak. Dengan makna seperti ini berarti karakter identik dengan kepribadian atau akhlak. Kepribadian merupakan ciri atau karakteristik atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan sejak lahir.6

Pengertian karakter secara istilah dikemukakan oleh Thomas Lickona. Menurutnya karakter adalah “A reliable inner disposition to respond to situations in a morally good way.” Selanjutnya Lickona menambahkan, “Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior”.7 Menurut Lickona, karakter mulia (good character) meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian pengetahuan (cognitives), sikap (attitides), dan motivasi (motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan akhlak, sehingga karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka berhubungan dengan Tuhannya, dengan dirinya, dengan sesama manusia, maupun dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata karma, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter ini muncul konsep pendidikan karakter (character education).

Untuk melengkapi pengertian tentang karakter ini akan dikemukakan juga pengertian akhlak, moral, dan etika. Kata akhlak berasal dari bahasa Arab “al-akhlaq” yang merupakan bentuk jamak dari kata “al-khuluq” yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat8. Sedangkan secara terminologis, akhlak berarti keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan

5 Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia,

1987), Cet. XV, hlm. 214 6 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman Global,

(Jakarta: Grasindo, 2007), Cet. I. Hlm. 80. 7 Thomas Lickona, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect and

Responsibility, ( New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: 1991), hlm. 51. 8 Hamzah Ya‟qub, Etika Islam: Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu Pengantar),

(Bandung: CV Diponegoro, 1988), Cet. IV, hlm. 11

Page 43: JURNAL UTUH

40

dengan tidak menghajatkan pikiran. Inilah pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Maskawaih. Sedang al-Ghazali mendefinisikan akhlak sebagai suatu sifat yang tetap pada jiwa yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah, dengan tidak membutuhkan kepada pikiran.9

Pendidikan karakter menjadi kunci terpenting kebangkitan Bangsa Indonesia dari keterpurukan untuk menyongsong datangnya peradaban baru. Di Indonesia, akhir-akhir ini menjadi isu yang sangat hangat sejak Pendidikan Karakter dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada saat Peringatan Hari Pendidikan Nasional, pada tanggal 2 mei 2010 lalu.Tekad Pemerintah tersebut bertujuan untuk mengembangkan karakter dan budaya bangsa sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan Nasional yang harus didukung secara serius.Karakter bangsa dapat dibentuk dari program-program pendidikan atau dalam proses pembelajaran yang ada di dalam kelas. Akan tetapi, apabila pendidikan memang bermaksud serius untuk membentuk suatu karakter generasi bangsa, ada banyak hal yang harus dilakukan, dan dibutuhkan penyadaran terhadap para pendidik dan juga terhadap pelaksana kebijakan pendidikan.

Berkaitan dengan proses kebudayaan yang secara umum sedang berjalan, dan juga memliki kemampuan untuk mengarahkan kesadaran,membentuk cara pandang, dan juga membangun karakter generasi muda.Artinya, karakter yang menyangkut cara pandang dan kebiasaan siswa, remaja, dan juga kaum muda secara umum sedikit sekali yang dibentuk dalam ruang kelas atau sekolah, akan tetapi lebih banyak dibentuk oleh proses sosial yang juga tak dapat dilepaskan dari proses ideoogi dan tatanan material-ekonomi yang sedang berjalan.

Mendidik budaya dan karakter bangsa adalah mengembangkan nilai-nilai Pancasila pada diri peserta didik melalui Pendidikan hati, otak, dan fisik.Pendidikan adalah suatu usaha yang sadar dan sistematis dalam mengembangkan potensi peserta didik.Pendidikan adalah suatu usaha masyarakat dan bangsa dalam mempersiapkan generasi muda bagi keberlangsungan kehidupan masyarakat dan bangsa yang lebih baik di masa depan.Keberlangsungan tersebut dapat ditandai oleh pewarisan budaya dan karakter yang telah dimiliki masyarakat dan bangsa.Oleh karena itu, pendidikan merupakan proses pewarisan budaya dan karakter bangsa bagi generasi muda dan juga proses pengembangan budaya karakter bangsa untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan bangsa di masa mendatang.

Dalam proses pendidikan budaya dan karakter bangsa, secara aktif peserta didik mengembangkan potensi dirinya, melakukan proses interalisasi, dan penghayatan nilai-nilai menjadi kepribadian dalam bergaul di masyarakat, mengembangkan kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera, serta mengembangkan kehidupan bangsa yang bermartabat. Pendidikan budaya dan karakter bangsa dimaknai sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai-nilai

9 Rachmat Djatnika, Sistem Etika Islami, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996), hlm. 27

Page 44: JURNAL UTUH

41

budaya dan karakter bangsa pada diri peserta didik sehingga memiliki nilai dan karakter sebagai karakter diri, yang menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya, sebagai anggota masyarakat, dan warga Negara yang religius, nasionalis, produktif dan kreatif.Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan budaya dan karakter sangat strategis bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang.

Perkembangan tersebut harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dengan metode belajar serta pembelajaran yang efektif.Sesuai dengan sifat suatu nilai, pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah oleh karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan pemimpin sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah.

Fungsi Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa adalah perkembangan potensi peserta didik agar menjadi berperilaku baik, dan bagi peseta didik yang telah memiliki sikap dan perilaku yang mencerminkan budaya dan karakter bangsa, untuk memperkuat pendidikan nasional untuk bertanggung jawab dalam perkembangan potensi peserta didik yang bermartabat, dan juga untuk menyaring budaya bangsa sendiri dengan bangsa lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa yang bermartabat.

Atas dasar itulah maka pendidikan karakter menjadi amat penting. Pendidikan karakter menjadi tumpuan harapan bagi terselamatkanya bangsa dan negeri ini dari jurang kehancuran yang lebih dalam. Meski hingga saat ini belum ada rumusan tunggal tentang pendidikan karakter yang efektif, tetapi barangkali tidak ada salahnya jika kita mengikuti nasihat dari Character Education Partnership bahwa untuk dapat mengimplementasikan program pendidikan karakter yang efektif, seyogyanya memenuhi beberapa prinsip berikut ini:10 1. Komunitas sekolah mengembangkan dan meningkatkan nilai-nilai inti etika

dan kinerja sebagai landasan karakter yang baik. 2. Sekolah berusaha mendefinisikan “karakter” secara komprehensif, di

dalamnya mencakup berpikir (thinking), merasa (feeling), dan melakukan (doing).

3. Sekolah menggunakan pendekatan yang komprehensif, intensif, dan proaktif dalam pengembangan karakter.

4. Sekolah menciptakan sebuah komunitas yang memiliki kepedulian tinggi.(caring)

5. Sekolah menyediakan kesempatan yang luas bagi para siswanya untuk melakukan berbagai tindakan moral (moral action).

6. Sekolah menyediakan kurikulum akademik yang bermakna dan menantang, dapat menghargai dan menghormati seluruh peserta didik, mengembangkan

10

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2011/07/31/degradasi-moral-dan-prinsip-pendidikan-karakter

Page 45: JURNAL UTUH

42

karakter mereka, dan berusaha membantu mereka untuk meraih berbagai kesuksesan.

7. Sekolah mendorong siswa untuk memiliki motivasi diri yang kuat 8. Staf sekolah ( kepala sekolah, guru dan TU) adalah sebuah komunitas belajar

etis yang senantiasa berbagi tanggung jawab dan mematuhi nilai-nilai inti yang telah disepakati. Mereka menjadi sosok teladan bagi para siswa.

9. Sekolah mendorong kepemimpinan bersama yang memberikan dukungan penuh terhadap gagasan pendidikan karakter dalam jangka panjang.

10. Sekolah melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter

11. Secara teratur, sekolah melakukan asesmen terhadap budaya dan iklim sekolah, keberfungsian para staf sebagai pendidik karakter di sekolah, dan sejauh mana siswa dapat mewujudkan karakter yang baik dalam kehidupan sehari-hari.

3. Identifikasi dan Solusi Persoalan karakter yang muncul di Negara kita ini bukan sebuah persoalan

yang sederhana dan tentu tidak dapat dianggap sebagai suatu kewajaran. Krisis karakter ini bahkan sekarang sudah menjalar ke berbagai sektor dan semua lini kehidupan, mulai dari birokrat, pengusaha, pegawai, pejabat sampai rakyat kecil, semuanya sangat berpotensi melakukan hal-hal yang tidak terpuji. Apabila ada kesempatan, disitu pasti terjadi praktek KKN.

Melihat hal tersebut sebenarnya ada jalan keluar yang mampu menjadi solusi yang tepat untuk permasalahan ini. Solusi yang paling tepat untuk masalah ini bukan dengan meminta bantuan utang atau tenaga ahli sebanyak-banyaknya dari negara lain. Karena berapa pun bantuan dan utang yang dikucurkan oleh lembaga keuangan dunia serta berapa pun tenaga ahli yang dikirimkan tidak akan mampu menjadi solusi yang baik bahkan sia-sia jika tidak didukung oleh “character and nation building” oleh bangsa Indonesia. Jadi , solusi itu adalah dengan membangun dan menata kembali karakter dan watak bangsa kita sendiri. Namun hal ini dirusak oleh bangsa Indonesia sendiri sejak dulu, sejak jatuhnya masa orde baru yaitu ketika kehidupan politik, budaya dan ideologi bangsa juga mengalami krisis. Hal ini juga makin diperparah dengan terpecah belahnya kesatuan wilayah dan hati bangsa Indonesia. Itu menyebabkan upaya perbaikan nasib rakyat menjadi lebih buruk di bandingkan sebelumnya.

Membangun karakter bangsa adalah satu-satunya solusi yang tepat dalam menghadapi krisis ini. Hal yang menakjubkan ini hanya pernah di terapkan oleh presiden pertama kita yaitu Bung Karno pada saat itu bangsa Indonesia masih memiliki kebanggan sebagai bangsa Indonesia dengan karakternya sendiri, yaitu kesatuan seluruh wilayah dan hati bangsa Indonesia serta kepercayaan diri bangsa Indonesia yang tinggi sehingga mampu menjadi bangsa yang patut dibanggakan. Namun, fondasi karakter itu telah rusak karena tidak di teruskan semangatnya oleh penerus selanjutnya sehingga fondasi karakter bangsa ini rusak. Sehingga

Page 46: JURNAL UTUH

43

yang ada pada saat ini utang semakin membumbung korupsi merajalela, pejabat bias di beli, rasa persatuan berkurang, dan konflik antar bangsa Indonesia sudah makin luntur. Namun, semua hal itu bias ditanggulangi kembali dengan memupuk dan membangun rasa persatuan di berbagai bidang. Rasa persatuan ini memicu bangsa Indonesia untuk terus bekerja sama dalam menghadapi krisis multidimensial ini. Dan persatuan itulah yang menjadi karakter kita.

Konsep pendidikan yang dibuat tidak lagi mengacu pada konsep barat namun mengedepankan karakter dan budaya bangsa Indonesia, yang bermartabat dan berbudi luhur. Jadilah bangsa yang percaya diri, bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri, termasuk mendesain konsep pendidikan nasional.

C. Penutup 1. Kesimpulan

Pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan dari usaha bangsa kita untuk membangun suatu masyarakat Indonesia baru dengan berdasarkan kebudayaan nasional. Berbagai krisis yang terjadi menunjukkan bahwa masih sangat banyak kepincangan dalam perubahan yang terjadi. Pendidikan Indonesia dewasa ini telah terlempar dari kebudayaan, dan telah menjadi alat dari suatu orde ekonomi, atau alat sekelompok penguasa untuk mewujudkan cita-citanya yang tidak selalu sesuai dengan tuntutan masyarakat.

Krisis multidimensi yang menjadi persoalan bangsa. Hal ini terjadi karena bangsa ini tidak percaya diri dalam membangun dan mengkonsep untuk kemajuan bangsa. Menjadi bangsa yang berdiri di atas kaki sendiri, akan mengembalikan kedaulatan, menjagi bangsa yang berbudaya dan bermartabat. Pendidikan yang didesign bukan lagi pendidikan yang meniru Negara lain. Konsep pendidikan dibuat berdasarkan karakter masyarakat dengan mengedepankan norma, nilai, dan budaya yang berkembang.

2. Saran

Peran pendidikan seharusnya dipahami bukan saja dalam konteks mikro, namun juga dalam konteks makro, yaitu kepentingan masayarakat yang dalam hal ini termasuk masyarakat bangsa, negara dan masyarakat dunia. Hubungan pendidikan dengan masyarakat mencakup hubungan pendidikan dengan perubahan sosial, tatanan ekonomi, politik, dan negara. Oleh karena pendidikan terjadi di masyarakat, dengan sumber daya masyarakat, dan untuk masyarakat, maka pendidikan dituntut untuk mampu memperhitungkan dan melakukan antisipasi terhadap perkembangan sosial, ekonomi, politik, dan kenegaraan secara silmultan.

Page 47: JURNAL UTUH

44

DAFTAR PUSTAKA

Al -„Attas, Syed Muhammad Naquib, Islam dan Sekularisme. Alih bahasa oleh Khalif Muammar, Usep Muhammad Ishaq, dkk. Bandung: Institut Pemikiran Islam dan Pengembangan Insan PIMPIN, 2010

Djatnika, Rachmat, Sistem Etika Islami, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1996 Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:

Gramedia, 1987 Fachtul Muin, Pendidikan Karakter Konstruksi Teoritik dan praktik.Yogyakarta :

Arr-ruzz Media, 2011 Hardiwaroyo, Purwo, Moral dan Masalahnya, Yogyakarta : Kanisius, 1990 Koesoema A, Doni, Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak di Zaman

Global, Jakarta: Grasindo, 2007 Lickona, Thomas, Educating for Character: How Our School Can Teach Respect

and Responsibility, New York, Toronto, London, Sydney, Aucland: 1991 Rachman, Maman, Reposisi, Reevaluasi, dan Redefinisi Pendidikan Nilai Bagi

Generasi Muda Bangsa. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Tahun Ke-7, 2000.

Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2009 Sujarwadi, Reorientasi Pembangunan Nasional: Menuju Indonesia Yang

Berdaulat dan Bermartabat, Orasi Ilmiah Peringatan Dies Natalis ke-58 UGM, Yogyakarta, 19 Desember 2007

Toer, Pramoedya Ananta, Anak Semua Bangsa.Jakarta : Lentera Dipantar, 2006. Ya‟qub, Hamzah, Etika Islam: Pembinaan Akhlaqulkarimah (Suatu Pengantar),

Bandung: CV Diponegoro, 1988 Zuriah, Nurul, Pendidikan Moral & Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan,

Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008

http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2011/07/31/degradasi-moral-dan-prinsip-pendidikan-karakter

Depdiknas, Undang-undang No. 20 tahun 2003, Sistem Pendidikan Nasional,

www.depdiknas.go.id

Page 48: JURNAL UTUH

45

PENANAMAN PENDIDIKAN AQIDAH PADA ANAK USIA DINI Khaerudin1

[email protected]

Abstrak

Penanaman Aqidah harus mendapatkan perhatian besar dari para guru. Menanamkan ke dalam jiwa anak tentang ke-Esaan Allah SWT, dan menjauhkan mereka dari perbuatan syirik. Ini dilakukan dengan menunjukkan dalil-dalil logis dan bukti-bukti yang masuk akal bagi anak-anak tentang keberadaan Allah.

Pendidikan anak usia dini yang berbasis aqidah bertujuan untuk membentuk anak yang berkepribadian Islam, yaitu memiliki aqidah Islam sebagai landasan ketika berpikir dan bersikap didalam menjalani kehidupan.

Anak yang memiliki kepribadian Islam adalah anak yang memiliki kelebihan dalam banyak hal, sehingga mereka bisa dikatakan sebagai anak unggul. Anak unggul adalah anak yang terarah cara berpikir dan bersikapnya berdasarkan aqidah Islam dan memiliki kemampuan serta keterampilan yang bisa ia gunakan untuk kehidupannya sendiri maupun kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Tujuan pendidikan aqidah kepada anak adalah untuk, (1) memperkokoh keyakinan anak bahwa Allah-lah satu-satunya Tuhan pencipta alam, sehingga dia terhindar dari perbutan syirik, (2) agar anak mengetahui hakikat keberadaannya sebagai manusia makhluk Allah, dan (3) mencetak tingkah laku anak menjadi tingkah laku yang Islami yang berakhlaq mulia.

Kata Kunci: Pendidikan Aqidah, Anak Usia Dini A. Pendahuluan

Pendidikan kita saat ini, terkadang hanya terfokus pada pengembangan kecerdasan intelektual (IQ) saja dan memisahkan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan. Sehingga menghasilkan manusia-manusia cerdas tapi kosong dari nilai-nilai spiritual. Inilah masalah substansial yang terjadi pada saat sekarang ini, yaitu paradigma yang memandang kecerdasan intelektual (IQ) sebagai satu-

1 Khaerudin, S.Pd.I. M.Pd. adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Pemalang

Page 49: JURNAL UTUH

46

satunya tolak ukur kecerdasan manusia. Sehingga keberhasilan pendidikan diukur hanya dengan pencapaian tingkat IQ dalam bentuk nilai-nilai ujian. Tim Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama. 2

IQ (Intellectual Quotient)/kecerdasan intelektual yang sejak awal hingga saat ini diagungkan oleh orang tua dan praktisi pendidikan, dalam kenyataanya tidak sepenuhnya mendukung kesuksesan seseorang, banyak orang secara intelektual berhasil dibuktikan dengan nilai rapor dan hasil ujian yang bagus akan tetapi setelah dewasa kehidupanya “tidak berhasil” secara sosio emosionalnya. Karena itulah kecerdasan lain yang ada pada manusia perlu dikembangkan. Temuan terakhir riset ilmiah menunjukkan bahwa kecerdasan manusia, di samping intelektual, juga terdiri dari kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.3

Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungannya dengan orang lain. Sedangkan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang bertumpu pada bagian diri kita yang berhubungan dengan kearifan di luar ego, atau jiwa sadar. Inilah kecerdasan yang kita gunakan untuk mengetahui nilai-nilai yang ada. Kecerdasan ini berkenaan dengan penghayatan pada Tuhan dan nilai-nilai ketuhanan.4 dalam Islam disebut dengan aqidah.

Untuk itu dalam proses pendidikan harus ditanamkan aqidah yang benar untuk menggabungkan tiga unsur kecerdasan yakni kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Sehingga mampu menciptakan generasi intelektual yang beradab karena memiliki akhlaqul karimah, dan itu harus dimulai sedini mungkin, karena pada saat anak berumur 0-8 tahun, saat itulah landasan keberhasilan seorang anak dibangun.

Rasulullah SAW bersabda: ⌒هد⌒ ا⌒لى∠ اللهد ن∠ الم∠ لم∠ م⌒ أ⊥طل⊥ب⊥وا الع⌒ yang artinya tuntutlah ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Hadits tersebut menekankan betapa pentingnya seseorang belajar sedini mungkin, bahkan sejak dalam buaian. Inilah peletak dasar pentingnya pendidikan usia dini dalam Islam. Sejak dini anak harus diberikan berbagai ilmu (dalam bentuk berbagai rangsangan/stimulan). Mendidik anak pada usia dini ibarat mengukir di atas batu yang tidak akan mudah hilang, bahkan akan melekat selamanya. Artinya, pendidikan pada anak usia dini akan melekat dalam jiwa anak hingga ia dewasa. Pendidikan pada usia ini adalah peletak dasar bagi pendidikan anak selanjutnya. Keberhasilan pendidikan usia dini sangat berperan besar bagi keberhasilan anak di masa-masa selanjutnya.

Anak usia dini merupakan individu yang berbeda, unik, dan memiliki karakteristik tersendiri sesuai dengan tahapan usianya. Masa usia dini merupakan

2 Tim Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Paradigma Baru Pembelajaran

Keagamaan di Madrasah Ibtidaiyah (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2008), p. 92.

3 Ibid., p. 93. 4. Ibid., pp. 95-114.

Page 50: JURNAL UTUH

47

masa keemasan (golden age) dimana stimulasi seluruh aspek perkembangan berperan penting untuk tugas perkembangan selanjutnya. Perlu disadari bahwa masa-masa awal kehidupan anak merupakan masa terpenting dalam rentang kehidupan seseorang anak. Pada masa ini pertumbuhan otak sedang mengalami perkembangan yang sangat pesat (eksplosif). Perkembangan pada tahun-tahun pertama sangat penting menentukan kualitas anak di masa depan. Perkembangan intelektual anak usia 4 tahun telah mencapai 50%, pada usia 8 tahun mencapai 80% dan pada saat mencapai sekitar 18 tahun perkembangan telah mencapai 100%. Tim Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional.5

Aqidah tidak boleh hanya dipahami sebagai keyakinan pada Rukun Iman saja, yaitu iman pada Allah, malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, nabi, hari akhir, dan qadla-qadar saja, tetapi aqidah juga harus dipahami sebagai bagaimana kita menjalankan semua yang telah diperintahkan oleh Allah dan beribadah kepadanya, serta bagaimana menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam aqidah yang kita yakini. Karena aqidah akan menuntun kita untuk senantiasa taat pada Allah, dan yakin bahwa aturanNya adalah benar.

Aqidah akan menuntun kita untuk senantiasa taat pada Allah, dan yakin bahwa aturanNya adalah benar. Maka dari sinilah konsep pendidikan harusnya ada. Pendidikan bertujuan untuk mewujudkan insan-insan yang tidak hanya qualified di bidang Iptek saja sementara kosong moral, tapi insan-insan yang qualified dalam Imtaq dan Iptek.

Pendidikan anak usia dini yang berbasis aqidah bertujuan untuk membentuk anak yang berkepribadian Islam, yaitu memiliki aqidah Islam sebagai landasan ketika berpikir dan bersikap didalam menjalani kehidupan. Anak yang memiliki kepribadian Islam adalah anak yang memiliki kelebihan dalam banyak hal, sehingga mereka bisa dikatakan sebagai anak unggul. Anak unggul adalah anak yang sholeh/sholehah, cerdas, sehat dan pemimpin. Anak unggul adalah anak yang terarah cara berpikir dan bersikapnya berdasarkan aqidah Islam dan memiliki kemampuan serta keterampilan yang bisa ia gunakan untuk kehidupannya sendiri maupun kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sehingga mereka siap menjadi pemimpin di masa mendatang yang akan memberi sumbangan yang besar bagi kemajuan peradab suatu bangsa di mana mereka hidup. Fatimah Arif Susila. 6

Pendidikan aqidah berfungsi menanamkan keimanan pada diri anak sebagai bekal kehidupannya di masa depan. Keimanan adalah modal utama untuk mengembangkan apa yang disebut Howard Gardner sebagai Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient) yang menjadi salah satu dari ragam kecerdasan majemuk

5 Tim Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional, Konsepsi

Pengembangan Kurikulum Inovatif Penerapan Pembelajaran Berbasis Alam Pendidikan Anak Usia Dini Formal Dan Nonformal (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2005), p. 1.

6 Fatimah Arif Susila, “Kurikulum PAUD Berbasis Islam, ” http://paudanakceria.wordpress.com/ (diakses pada tanggal 1 Desember 2010), p. 3.

Page 51: JURNAL UTUH

48

(multiple intelligence). Kecerdasan spiritual tidak boleh dianggap remeh dalam kehidupan. Ia berfungsi sebagai semacam life-skill (kecakapan hidup) untuk membangun kehidupan berkualitas. Howard Gardner.7 B. Pendidikan Aqidah

Dalam era otonomi daerah dan disentralisasi pendidikan, perwujudan pendidikan berbasis masyarakat (Community Based Education) telah membaur dan menjadi gerak langkah para pendidik dan tenaga kependidikan di seluruh wilayah Indonesia, walaupun dalam perwujudannya masih dalam pencarian bentuk yang sesuai dengan kondisi daerah dan pola dasar pengembangan pendidikan kota masing-masing.

Undang-undang Pendidikan Nasional menyuratkan tentang pendidikan berbasis masyarakat yang didalamnya disebutkan bahwa Pendidikan Berbasis Masyarakat adalah Penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat.

Konsep tersebut sangat mendukung dan merupakan pilar penyangga pengembangan pendidikan anak usia dini baik di Kelompok Bermain maupun di Taman Kanak-kanak, namun belum tentu konsep pendidikan berbasis aqidah dapat dilaksanakan kalau kebutuhan masyarakat menganut nilai-nilai budaya yang berbeda dengan Islam.

Pengembangan pendidikan Kelompok Bermain maupun di Taman Kanak-kanak sangat membutuhkan pemberdayaan peran serta masyarakat baik dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pembinaan, pengawasan dan evaluasi berbagai penyelenggaraan program pendidikan maupun dalam penyediaan sumber daya pendukung pengadaan keberlangsungan program pendidikan, sehingga daya serap lembaga pendidikan Kelompok Bermain dan Taman Kanak-kanak terhadap anak kelompok umur 4-6 tahun secara bertahap dapat ditingkatkan. Di samping itu, penerapan konsep pendidikan anak usia dini tersebut, kalau tidak didasari dengan aqidah akan menjadi gersang dan akan melahirkan anak didik besar kepala, sehat jasmani namun buta hati nurani.

Pendidikan dalam arti luas berarti sebuah proses untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia, yang mencakup pengetahuan, nilai dan sikap serta keterampilannya untuk mencapai kepribadian individu yang lebih baik. Nilai tersebut mencakup nilai-nilai religi, kebudayaan, sains dan teknologi, seni, dan keterampilan, yang ditransformasikan dalam rangka mempertahankan bahkan kalau perlu mengubah kebudayaan yang dimiliki masyarakat. Uyoh Saadullah.8

Di dalam Islam, M. Yusuf Qardhawi memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani

7 Howard Gardner, Frame of Mind: the Theory of Multiple Inte igences (New York: Basic

Books. 1993), p. 5. 88 Uyoh Saadullah, Pengantar Filsafat Pendidikan (Jakarta: Alfabeta, 2003), p. 57.

Page 52: JURNAL UTUH

49

dan jasmaniahnya, akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam bertujuan untuk menyiapkan manusia hidup lebih baik dalam keadaan apapun.9

Sementara itu, Hasan Langgulung merumuskan pendidikan Islam sebagai satu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan, memindahkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam, diselaraskan dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya di akhirat. 10

Manusia menurut Islam adalah makhluk Allah yang paling mulia, yang terdiri dari jiwa dan raga dan masing-masing mempunyai kebutuhan tersendiri. Manusia adalah makhluk rasional sekaligus mempunyai hawa nafsu kebinatangan, ia mempunyai organ-organ kognitif semacam hati (qalb), akal, kemampuan-kemapuan fisik, intelektual,pandangan kerohanian, pengalaman dan kesadaran. Dengan berbagai macam potensi tersebut, manusia dapat menyempurnakan kemanusiaannya sehingga menjadi pribadi yang dekat dengan Tuhan. Tetapi sebaliknya, ia dapat pula menjadi makhluk yang paling hina karena dibawa oleh kecenderungan hawa nafsu dan kebodohannya.11

Oleh karena itu, pendidikan yang pertama kali diajarkan dalam Islam adalah pendidikan tentang ketauhidan atau aqidah. Seperti yang tertera dalam Alquran tentang hal yang pertama kali diajarkan Luqmanul Hakim kepada anaknya untuk tidak menyekutukan Allah. Disinilah urgensi aqidah dalam pendidikan Islam, yaitu sebagai dasar dari semua proses pendidikan.

Kata aqidah dalam kamus Lisaanul ‘Arab, al-Qaamuusul Muhiith dan al-Mu’jamul Wasiith diambil dari kata dasar “al-„aqdu” yang bermakna ikatan, ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan atau apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang secara pasti baik itu benar ataupun salah. Abdullah Abdul Hamid. 12

Secara terminologi aqidah dapat diartikan sebagai perkara yang wajib dibenarkan oleh hati dan jiwa menjadi tenteram karenanya, sehingga menjadi suatu kenyataan yang teguh dan kokoh, yang tidak tercampuri oleh keraguan dan kebimbangan. Dengan kata lain, keimanan yang pasti tidak terkandung suatu keraguan apapun pada orang yang menyakininya, dan harus sesuai dengan kenyataannya; yang tidak menerima keraguan atau prasangka. Jika hal tersebut tidak sampai pada singkat keyakinan yang kokoh, maka tidak dinamakan aqidah. Dinamakan aqidah, karena orang itu mengikat hatinya diatas hal tersebut.

Aqidah Islamiyyah maknanya adalah keimanan yang pasti teguh dengan Rububiyyah Allah Ta‟ala, Uluhiyyah-Nya, para Rasul-Nya, hari Kiamat, takdir baik maupun buruk, semua yang terdapat dalam masalah yang ghaib, pokok-

9 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru

(Jakarta: Logos, 2000), p. 5. 10 Ibid.,p.5. 11 Ibid.,p.7. 12 Abdullah Abdul Hamid, “Definisi Aqidah,” http://abuamincepu. wordpress. Com /2008

/02/19/ pengertian-akidah/, (diakses pada tanggal 10 Desember 2010), p. 1.

Page 53: JURNAL UTUH

50

pokok agama dan apa yang sudah disepakati oleh Salafush Shalih dengan ketundukkan yang bulat kepada Allah Ta‟ala baik dalam perintah-Nya, hukum-Nya maupun ketaatan kepada-Nya serta meneladani Rasulullah SAW. 13

Tetapi aqidah tidak boleh hanya dipahami sebagai keyakinan pada Rukun Iman saja, yaitu iman pada Allah, malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, Rasul-rasulnya, hari akhir, dan qadla-qadar saja, tetapi aqidah juga harus dipahami sebagai bagaimana kita menjalankan semua yang telah diperintahkan oleh Allah dan beribadah kepadanya, serta bagaimana menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam aqidah yang kita yakini. Karena aqidah akan menuntun kita untuk senantiasa taat pada Allah, dan yakin bahwa aturanNya adalah benar. Maka dari sinilah konsep pendidikan harusnya ada. Pendidikan bertujuan untuk mewujudkan insan-insan yang tidak hanya “qualified” di bidang Iptek saja sementara kosong moral, tapi insan-insan yang “qualified” dalam Imtaq dan Iptek.

Dari segi IQ anak didik harus dirangsang terus untuk semakin meningkatkan pengetahuan dan keahliannya, dari segi emosional mereka menjadi orang-orang yang senantiasa mampu mengendalikan diri mereka dan memiliki daya juang yang tinggi, dan dari segi spiritual mereka adalah orang-orang yang senantiasa beraktivitas dengan menjadikan aturan Islam sebagai standarnya.

Anak-anak didik harus diberikan pemahaman bahwa dalam kehidupan ini ada yang menciptakan yaitu Allah, yang juga senantiasa memberi perlindungan, menyayangi, dan mengawasi mereka. Dan mereka juga harus senantiasa tunduk dengan aturanNya. Sehingga dalam menjalani pendidikanpun mereka akan menjadi sosok-sosok yang cerdas dan ber Imtaq yang tangguh dalam menjalani hidup dan mampu memberikan kreatifitas mereka untuk masyarakat. Menjadi sosok yang kreatif, inovatif, percaya diri, dan yang lebih penting lagi senantiasa tawakkal dan istiqamah.

Pendidikan berbasis aqidah adalah sebuah pendekatan religi terhadap pendidikan, yang artinya suatu ajaran religi dari agama tertentu dijadikan sumber inspirasi untuk menyusun teori atau konsep-konsep pendidikan yang dapat dijadikan landasan untuk melaksanakan pendidikan. Ajaran religi yang berisikan kepercayaan dan nilai-nilai kehidupan, dapat dijadikan sumber dalam menentukan tujuan pendidikan, materi pendidikan, metode, bahkan sampai pada jenis-jenis pendidikan. 14

Pendidikan bukan hanya bertujuan menciptakan manusia-manusia cerdas di bidang sains dan teknologi, cerdas di sisi intelektualitasnya, tetapi juga harus mampu menumbuhkembangkan sikap dan semangat keagamaan yang terbuka (inklusif), karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya diharapkan dapat

13 Syaikh Fuhaim Mustafa, Kurikulum Pendidikan Anak Muslim, terjemahan Wafi Marzuqi

Ammar (Surabaya: Pustaka Elba, 2009), p. 19. 14 Ibid.,p.10

Page 54: JURNAL UTUH

51

tumbuh dan berkembang secara bersama-sama agar terjadi keseimbangan hidup dalam diri anak didik.15

Materi yang digunakan dalam menyusun teori/konsep pendidikan religi adalah tesis deduktif. Dikatakan tesis karena bertolak belakang dari dalil-dalil atau aksioma-aksioma agama yang tidak dapat kita tolak kebenarannya. Dan dikatakan deduktif karena teori pendidikan disusun dari prinsip-prinsip yang berlaku umum, diterapkan untuk memikirkan masalah-masalah khusus. Ajaran agama yang berlaku umum, dijadikan dasar untuk memikirkan prinsip-prinsip pendidikan yang khusus.16

Nilai-nilai religi atau agama adalah salah satu nilai yang ditransformasikan dalam proses pendidikan. Tapi apa itu agama? Tidak mudah untuk menentukan definisi agama, karena sikap terhadap agama bersifat batiniah, subjektif dan individualistis, walaupun nilai-nilai yang terkandung dalam agama bersifat universal.

Kalau kita membicarakan agama, maka kita akan dipengaruhi oleh agama yang kita anut sendiri. Saadullah mengutip pendapat Bozman yang mengatakan bahwa agama dalam arti luas merupakan suatu penerimaan terhadap aturan- aturan dari suatu kekuatan yang lebih tinggi dengan jalan melakukan hubungan yang harmonis dengan realitas yang lebih agung dari dirinya sendiri, yang memerintahkan untuk melakukan ibadah, pengabdian, dan pelayanan yang setia.17 Agama bertolak dari adanya suatu kepercayaan terhadap sesuatu yang lebih berkuasa, lebih agung dari manusia, dan dianggap sebagai pencipta manusia dan jagat raya ini. Agama berhubungan dengan masalah aqidah, atau kepercayaan kita terhadap Tuhan, di mana, manusia yang mempercayainya harus menyerahkan diri kepadanya.

Pengetahuan dan kebenaran agama dapat dijadikan sumber untuk menyusun teori-teori dalam aspek kehidupan. Pengetahuan dan kebenaran agama yang berisikan kepercayaan dan nilai-nilai kehidupan, dapat dijadikan sumber dalam menentukan tujuan dan pandangan hidup manusia, serta sampai pada perilaku manusia itu sendiri. Pengalaman agama bukanlah suatu pengalaman yang bersifat teoritis, melainkan penghayatan yang mendalam tentang manusia dan tuhannya, serta pengalaman semua yang telah digariskan oleh agama dalam agama tersebut.

Nilai-nilai agama tidak hanya sekedar menunjukkan hubungan manusia dengan penciptanya, tetapi juga menunjukkan hubungan manusia dengan sesamanya. Nilai dalam agama menunjukkan bahwa tidak akan sempurna penghayatan dan keimanan seseorang dihadapan tuhannya, sebelum manusia berbuat baik dengan sesamanya.

15 YB. Mangunwijaya, Menumbuhkan Sikap Religiusitas Anak, dikutip langsung oleh

Heribertus Joko Warwanto, et al., Pendidikan Religiositas-Gagasan, Isi dan Pelaksanaanya (Yogyakarta: Kanisius, 2009), p. 13.

16 Saadullah, op. cit., p. 10. 17

Ibid.,p.49

Page 55: JURNAL UTUH

52

Ilmu pengetahuan harus didampingi oleh agama, karena agama lah yang memiliki kebenaran dan nilai-nilai hidup yang mutlak. Jika manusia terbenam dalam dunia fisik, maka ia akan hampa dari makna dalam hidup yang pernuh arti ini. Menurut Albert Einsten yang dikutip oleh Saadullah, ‘science without religion is lame, religion without science is blind’, ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh dan agama tanpa ilmu pengetahuan adalah buta.18

1. TK Islam

Dalam Undang-undang RI nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 28 menyebutkan bahwa Taman Kanak-kanak (TK) merupakan bentuk pendidikan anak usia dini jalur formal yang menyelenggarakan pendidikan bagi anak usia empat tahun sampai enam tahun yang diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.19 (Sejalan dengan pengertian TK secara umum, TK Islam juga merupakan sebuah pendidikan anak usia dini yang menyelenggarakan pendidikan umum dengan menambahkan pendidikan keagamaan Islam di dalamnya.

Definisi TK Islam hampir sama dengan definisi Raudhatul Athfal (RA), perbedaan mendasar antara TK Islam dengan RA adalah institusi yang menaungi lembaga pendidikan tersebut. TK Islam berada di bawah naungan Kementrian Pendidikan Nasional, sedangkan RA berada di bawah naungan Kementrian Agama. Pembentukan TK Islam sangat dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat setempat, di mana dalam Pendidikan Berbasis Masyarakat dijelaskan bahwa pendidikan dapat dilaksanakan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat.

Sebagai sebuah lembaga pendidikan pra sekolah bagi anak usia dini,TK mengemban tiga fungsi utama dalam pendidikan yaitu mengembangkan potensi kecerdasan anak, penanaman nilai-nilai dasar, dan pengembangan kemampuan dasar. Dalam Undang Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga mengatur tentang tujuan pendidikan Anak usia dini ini. Disebutkan dalam pasal 1 ayat 14 bahwa pendidikan anak usia dini adalah “suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut”.20

Masa usia dini merupakan periode awal yang paling penting dan mendasar dalam sepanjang rentang pertumbuhan serta perkembangan kehidupan manusia. Pada masa ini ditandai oleh berbagai periode penting yang menjadi pondasi

18 ibid., p.48. 19

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional 2003), p. 9.

20 Ibid., p. 2.

Page 56: JURNAL UTUH

53

dalam kehidupan anak selanjutnya sampai periode akhir perkembangannya. Salah satu periode yang menjadi penciri masa usia dini adalah the Golden Ages atau periode keemasan. Banyak konsep dan fakta yang ditemukan memberikan penjelasan periode keemasan pada masa usia dini. Beberapa label konsep disandingkan pada masa anak usia dini seperti masa eksplorasi, masa identifikasi/imitasi, masa peka, masa bermain dan masa trozt alter 1 atau masa membangkang tahap pertama. Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional. 21

PAUD sebagai pendidikan yang diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar, memiliki kelompok sasaran anak usia 0-6 tahun yang sering disebut sebagai masa emas perkembangan. Disamping itu, pada usia ini anak- anak masih sangat rentan yang apabila penanganannya tidak tepat justeru dapat merugikan anak itu sendiri. Oleh kerena itu penyelenggaraan PAUD harus memperhatikan dan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan anak. Program PAUD tidak dimaksudkan untuk mencuri start apa yang seharusnya diperoleh pada jenjang pendidikan dasar, melainkan untuk memberikan fasilitasi pendidikan yang sesuai bagi anak, agar anak pada saatnya memiliki kesiapan baik secara fisik, mental, maupun sosial/emosionalnya dalam rangka memasuki pendidikan lebih lanjut.

2. Pendidikan Berbasis Aqidah pada TK

Pendidikan Taman kanak-kanak adalah salah satu layanan pendidikan anak usia dini pada jalur formal yang menyelenggarakan program pendidikan umum dan pendidikan keagamanan Islam bagi anak berusia empat sampai enam tahun.

Dalam Pendidikan Berbasis Aqidah, penanaman Aqidah harus mendapatkan perhatian besar dari para guru. Menanamkan ke dalam jiwa anak tentang ke-Esaan Allah SWT, dan menjauhkan mereka dari perbuatan syirik. Ini dilakukan dengan menunjukkan dalil-dalil logis dan bukti-bukti yang masuk akal bagi anak-anak tentang keberadaan Allah. Di samping mengenalkan kekuasaan Allah SWT, anak-anak juga dapat diajarkan Rukun Iman lainnya. Keyakinan kepada malaikat-malaikat Allah serta tugas mereka masing-masing. Keyakinan kepada Rasul-rasul Allah, khususnya Nabi Muhammad SAW, keyakinan terhadap Kitab-kitab Allah dan menanamkan cinta kepada Alquran, keyakinan kepada Hari Kiamat agar selalu berbuat baik, karena akan adanya pembalasan bagi orang yang ingkar kepada Allah, serta keyakinan akan Takdir yang telah ditetapkan oleh Allah terhadap makhluknya.22

Selain penanaman aqidah, para guru juga harus mengajarkan ibadah-ibadah yang harus dilakukan oleh seorang muslim dan menjelaskan kepada anak urgensi ibadah beribadah kepada Allah. Seperti makna mengerjakan shalat yang

21 Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional, Konsepsi

Pengembangan Kurikulum Inovatif Penerapan Pembelajaran Berbasis Alam Pendidikan Anak Usia Dini Formal dan Nonformal (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008), p. 1.

22 Mustafa, op. cit., p.25.

Page 57: JURNAL UTUH

54

dilakukan di awal waktu yang bermanfaat untuk melatih sikap disiplin, makna zakat, makna puasa, serta makna pelaksanaan ibadah haji. Pengenalan terhadap Al -Quran dan menumbuhkan kecintaan kepadanya juga harus mulai diberikan. Disamping anak juga diajarkan cara membaca Alquran seperti dengan metode Iqra dan lainnya, anak-anak juga diajarkan untuk menghapal surat-surat pendek yang terdapat dalam Juz 30 dan doa sehari-hari beserta tujuannya.

Nilai-nilai moral juga tak luput dari tujuan pelaksanaan pendidikan berbasis aqidah, anak harus diajarkan bagaimana bersikap dengan orang tua sendiri, guru, orang yang lebih tua, teman sebaya, dan sesama muslim lainnya, serta makhluk Allah lainnya termasuk binatang dan lingkungan. Sikap santun, bahasa yang baik serta kalimat-kalimat thayyibah harus dapat dicontohkan seorang guru terhadap anak didik. Dengan menceritakan sejarah Nabi Muhammad sebagai contoh teladan yang baik, atau cerita-cerita keteladan lainnya yang dapat menjadi inspirasi bagi anak dalam berbuat.

3. Tujuan Pendidikan Aqidah Dalam pendidikan Islam ada tiga prinsip yang menjadi perhatian serius

bagi umat beragama, yaitu aqidah, ibadah dan akhlak. Dari ketiga prinsip ini, yang menjadi fondasi dasar adalah mengenai aqidah. Atas dasar tersebut, maka pendidikan aqidah sangat diperlukan dan sangat perlu untuk terus dikaji. Syaikh Fuhaim Mustafa dalam bukunya menyebutkan bahwa tujuan pendidikan aqidah kepada anak adalah untuk, (1) memperkokoh keyakinan anak bahwa Allah-lah satu-satunya Tuhan pencipta alam, sehingga dia terhindar dari perbutan syirik, (2) agar anak mengetahui hakikat keberadaannya sebagai manusia makhluk Allah, dan (3) mencetak tingkah laku anak menjadi tingkah laku yang Islami yang berakhlaq mulia.23

Pendidikan formal perlu, Pendidikan Aqidah dan Akhlak jauh lebih penting. Pendidikan aqidah bisa dilakukan dengan berbagai metode. Ibn Thufayl menggunakan metode kisah dalam menyampaikan pesan-pesan pendidikan Islam. Kisah ini berisi tentang perjalanan manusia bernama Hayy Bin Yaqzan dalam menjemput hidayah aqidah dari Allah. Tahap pengembangan potensi aqidah dimulai dengan tahap pengembangan pengetahuan inderawi. Tahap ini dilakukan dengan metode eksperimen dan eksperience terhadap alam semesta. Tahap kedua adalah tahap pengembangan pengetahuan akali. Tahap ini dilakukan dengan penyimpulan rasional baik deduktif maupun induktif sehingga akal sampai pada kesimpulan tentang adanya kekuatan di balik alam semesta, ada wujud di balik wujud benda. Pada tahap ini manusia mampu menyimpulkan adanya ruh sebagai esensi benda dan Tuhan sebagai esensi kehidupan. Tahap ketiga adalah tahap pengembangan pengetahuan batin. Tahap ini dilakukan dengan metode Dahruri. Tahap ini manusia mulai berusaha mendekati-Nya bahkan “bertemu” dengan- Nya. Pada tahap terakhir ini manusia dapat menghasilkan keyakinan yang

23 Mustafa, ibid., p.66.

Page 58: JURNAL UTUH

55

mengakar kuat dalam dirinya. Dari pembahasan tentang proses pengembangan potensi aqidah dalam kisah Hayy Bin Yaqzan, terdapat implikasi-implikasi terhadap faktor-faktor pendidikan. Pertama tujuan, tujuan pendidikan aqidah adalah mengaktualkan potensi aqidah. Kedua pendidik, pendidik bisa include dalam media pendidikan. Ketiga peserta didik, secara filosofis peserta didik memiliki aspek tauhid untuk dikembangkan. Keempat alat-alat, dalam konteks pengembangan potensi aqidah adapat dilakukan dengan metode eksperimen dan eksperience terhadap alam ciptaan Tuhan. Hal ini bisa dilakukan dengan mengajak peserta didik melakukan tadabur alam di luar agar peserta didik melihat secara langsung bukti kongkrit adanya Tuhan. Kelima milieu, milieu bersifat luas. Artinya tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dimanapun peserta didik berada lingkungan tempat ia hidup sangat mempengaruhi perkembangannya.24

C. Kesimpulan Proses pendidikan pada anak usia dini harus ditanamkan aqidah yang benar

untuk menggabungkan tiga unsur kecerdasan yakni kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Sehingga mampu menciptakan generasi intelektual yang beradab karena memiliki akhlaqul karimah, dan itu harus dimulai sedini mungkin, karena pada saat anak berumur 0-8 tahun, saat itulah landasan keberhasilan seorang anak dibangun. Aqidah tidak boleh hanya dipahami sebagai keyakinan pada Rukun Iman saja, yaitu iman pada Allah, malaikat Allah, Kitab-kitab Allah, nabi, hari akhir, dan qadla-qadar saja, tetapi aqidah juga harus dipahami sebagai bagaimana kita menjalankan semua yang telah diperintahkan oleh Allah dan beribadah kepadanya, serta bagaimana menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam aqidah yang kita yakini. Karena aqidah akan menuntun kita untuk senantiasa taat pada Allah, dan yakin bahwa aturanNya adalah benar.

Pendidikan bukan hanya bertujuan menciptakan manusia-manusia cerdas di bidang sains dan teknologi, cerdas di sisi intelektualitasnya, tetapi juga harus mampu menumbuhkembangkan sikap dan semangat keagamaan yang terbuka (inklusif), karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Keduanya diharapkan dapat tumbuh dan berkembang secara bersama-sama agar terjadi keseimbangan hidup dalam diri anak didik.

Pendidikan formal perlu, Pendidikan Aqidah dan Akhlak jauh lebih penting Pendidikan aqidah bisa dilakukan dengan berbagai metode. Ibn Thufayl menggunakan metode kisah, metode eksperimen dan experience, metode dahruri. Pada tahap terakhir ini manusia dapat menghasilkan keyakinan yang mengakar kuat dalam dirinya. Dari pembahasan tentang proses pengembangan potensi aqidah dalam kisah Hayy Bin Yaqzan, terdapat implikasi-implikasi terhadap

24 Ari Fatmawati, “Pendidikan Aqidah untuk anak kita”, http://etd.eprints.ums.ac.id/464/

(diakses pada tanggal 19 Juni 2013)

Page 59: JURNAL UTUH

56

faktor-faktor pendidikan. Pertama tujuan. Kedua pendidik, Ketiga peserta didik. Keempat alat-alat. Kelima milieu, milieu bersifat luas.

Daftar Pustaka

Azra, Azyumardi. 2000. Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Menuju

Millenium Baru. Jakarta: Logos. Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional.

2008. Konsepsi Pengembangan Kurikulum Inovatif Penerapan Pembelajaran Berbasis Alam Pendidikan Anak Usia Dini Formal dan Nonformal. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Gardner, Howard. 1993. Frame of Mind: the Theory of Multiple Inte igences.

New York: Basic Books. Mustafa, Syaikh Fuhaim. 2009. Kurikulum Pendidikan Anak Muslim.

terjemahan Wafi Marzuqi Ammar (Surabaya: Pustaka Elba. Saadullah, Uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Jakarta: Alfabeta. Tim Balai Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan

Nasional. 2005. Konsepsi Pengembangan Kurikulum Inovatif Penerapan Pembelajaran Berbasis Alam Pendidikan Anak Usia Dini Formal Dan Nonformal. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Tim Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan Agama. 2008. Paradigma

Baru Pembelajaran Keagamaan di Madrasah Ibtidaiyah. Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta.

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional 2003. Warwanto, Heribertus Joko, et al. 2009. Pendidikan Religiositas-Gagasan, Isi dan

Pelaksanaanya. Yogyakarta: Kanisius Internet : Abdul Hamid, Abdullah. “Definisi Aqidah,”

http://abuamincepu.wordpress.com/2008/02/19/pengertian-akidah/

Page 60: JURNAL UTUH

57

Fatmawati, Ari. “Pendidikan Aqidah untuk anak kita”, http://etd.eprints.ums.ac.id/464

Susila, Fatimah Arif. “Kurikulum PAUD Berbasis Islam,”

http://paudanakceria.wordpress.com.

Page 61: JURNAL UTUH

58

EVALUASI AFEKTIF DALAM PEMBELAJARAN Oleh: Purnama Rozak1

ABSTRAK

Dalam taksonomi Benjamin S.Bloom ada tiga ranah pendidikan, yaitu ranah berpikir (cognative domain), ranah nilai atau sikap (affective domain), dan ranah keterampilan (psychomotor domain)

Tiga ranah pendidikan ini yang menjadi tujuan dari pendidikan di Indonesia, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bertujuaan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, jadi dapat kita simpulkan ranah kognitifnya adalah berilmu. Ranah afektifnya adalah beriman dan bertaqwa, berahlak mulia, mandiri, demokratis, bertanggung jawab. Ranah psikomotoriknya adalah sehat, cakap, kreatif. Ketiga ranah ini harus dijadikan sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi belajar.

Dalam mengukur hasil belajar kawasan afektif termasuk sukar karena menyangkut kawasan sikap dan apresiasi. Evaluasi afektif berkaitan dengan pembentukan dan perubahan sikap.

Kata Kunci: Evaluasi, Afektif, Pembelajaran A. PENDAHULUAN

Evaluasi pendidikan merupakan satu kesatuaan dengan pengendaliaan mutu pendidikan sekolah, karena untuk mengetahui pelaksanaan dan hasil-hasil pengendaliaan mutu perlu diadakan evaluasi, Evaluasi pendidikan mencakup: evaluasi hasil, proses pelaksanaan, dan faktor- faktor manajerial pendidikan pendukung proses pendidikan2. Dengan tujuaan untuk mengetahui bagaiman pelaksanaannya dan sudah sejauh mana keberrhasilan hasil pengendalian pendidikan tersebut.

1 Purnama Rozak. M.S.I adalah dosen STIT Pemalang 2 Nana Syaodih, Sukmadinata, 2008. Pengendaliaan Mutu Pendidikan Sekolah Menengah,

Refika Aditama,Bandung, hal. 108.

Page 62: JURNAL UTUH

59

Dalam dunia pendidikan kita, evaluasi hasil belajar mencakup tiga ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor. Tiga ranah ini merupakan tujuan pendidikan nasional. Dalam Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bertujuaan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab3, jadi dapat kita simpulkan ranah kognitifnya adalah berilmu. Ranah afektifnya adalah beriman dan bertaqwa, berahlak mulia, mandiri, demokratis, bertanggung jawab. Ranah psikomotoriknya adalah sehat, cakap, kreatif. Ketiga ranah ini harus dijadikan sasaran dalam setiap kegiatan evaluasi belajar.4

Sikap merupakan suatu konsep psikologi yang kompleks. tidak ada satu definisi yang diterima bersama oleh semua pakar psikologi. para pakar psikologi telah mengemukakan berbagai definisi tentang sikap. Satu hal yang dapat diterima bersama bahwa sikap berakar dalam perasaan.perasaan bukanlah satu-satunya komponen dari sikap.

Ranah Afektif menentukan keberhasilan belajar siswa, artinya ranah afektif sangat menentukan keberhasilan siswa untuk mencapai ketuntasan dalam proses pembelajaran5. Untuk mengetahui ketuntasan maka diperlukan evaluasi. Dalam dunia pendidikan evaluasi memegang peranan penting. Maka evaluasi pembelajaran dalam bentuk apapun sangat bermanfaat bagi pendidik maupun peserta didik itu sendiri6, termasuk evaluasi afektif. Evaluasi tidak berdiri sendiri ada materi dan metode dan ketiganya mempunyai hubungan yang saling mempengaruhi.7

Berdasarkan hal tersebut, tanggung jawab guru sebagai pengajar dan pendidik maka kosekuensinya seorang guru selain membantu semua siswa belajar, guru harus mampu membangkitkan siswa belajar. Selain itu juga ikatan emosional diperlukan untuk membangun karakter kebersamaan, rasa sosialis, nasionalis, persatuaan dll, maka sekolah (guru) dalam merancang program pembelajaran harus memperhatikan ranah afektif

Dari uraian diatas memunculkan pertanyaan Apa dan Bagaimana Evaluasi efektif dalam pembelajaran ?

3 Depdiknas, 2003. Undang – Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Jakarta. 4 Anas, Sudijono, 1996. Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo Persada,

hal.49 5 Mimin, Haryati, 2007. Model Dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuaan Pendidikan,

Jakarta,Gaung Persada Press, hal.36. 6 Ainurrafiq, Dawam, 2005. Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, Jakarta Listafariska

Putra, hal.99. 7 Suke, Silverius, 1991. Evaluasi Hasil Belajar Dan Umpan Balik, Jakarta, Grasindo, hal. 2

Page 63: JURNAL UTUH

60

B. Pembahasan 1. Pengertian Evaluasi Afektif

Menurut bahasa (etimologi) istilah evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau penaksiran, dari akar kata Value yang berarti nilai.sedangkan secara istilah (terminologi) sebagaimana dikemukakan oleh Edwin Wandt dan Gerald W.Brown yang dikutip Sudijono evaluation refer to the act or proses to determining the value of something, yang artinya suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai sesuatu8. Proses evaluasi umumnya berpusat pada siswa. Ini berarti evaluasi di maksudkan untuk mengamati hasil belajar siswa dan berupaya menentukan bagaimana menciptakan kesempatan belajar. Evaluasi juga dimaksudkan untuk mengamati peranan guru, strategi pembelajaran khusus, mteri kurikulum, dan prinsip-prinsip belajar untuk ditapkan pada pengajaran. Fokusnya adalah bagaimana dan mengapa siswa bertindak dalam pengajaran serta apa yang mereka lakukan. Tujuan evaluasi untuk memperbaiki pengajaran dan penguasaan tujuan tertentu dalam kelas.

Ada beberapa istilah yang sering diserupakan dengan evaluasi, meskipun pada dasarnya berbeda, yakni measurement atau pengukuran, assessment atau penaksiran dan test. Pengukuran adalah suatu usaha untuk mengetahui keadaan sesuatu seperti adanya yang dapat dikuantitaskan, hal ini dapat diperoleh dengan jalan tes dan cara lain. Pengertian assessment tidak sampai ke taraf evaluasi, melainkan sekadar mengukur dan mengadakan estimasi terhadap hasil pengukuran. Sedangkan pengertian tes lebih ditekankan pada penggunaan alat pengukuran.9

Adapun Afektif berasal dari bahasa inggris affective yang berarti ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai, jadi dapat disimpulkan evaluasi afektif adalah suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai sikap.

Dalam perkembangan yang paling akhir, sebagiaan pakar sependapat bahwa sikap terdiri dari tiga komponen, yakni: Komponen afektif, komponen kognitif, komponen konatif. Komponen afektif adalah perasaan yang dimiliki oleh seseorang terhadap sesuatu objek. Komponen kognitif adalah kepercayaan atau keyakinan yang menjadi pegangan seseorang. Adapun komponen konatif adalah kecenderungan untuk berperilaku atau berbuat dengan cara-cara tertentu terhadap sesuatu objek. Maka dengan demikiaan penilaian sikap dalam proses pembelajaran di sekolah dapat diartikan upaya sistematis dan sistemik untuk mengukur dan menilai perkembangan siswa sebagai hasil dari proses pembelajaran yang telah dijalaninya.10

8 Opcit Sudijono, hal 1 9 M. Chabib, Thoha, 2003. Teknik Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada,

hal.2-3. 10 Opcit,Depag, hal 51

Page 64: JURNAL UTUH

61

Dalam mengukur hasil belajar kawasan afektif termasuk sukar karena menyangkut kawasan sikap dan apresiasi, disamping itu Kawasan afektif juga sulit dicapai pada pendidikan formal, karena pada pendidikan formal perilaku yang nampak dapat diasumsikan timbul sebagai akibat dari kekakuan aturan, disiplin belajar, waktu belajar dan norma-norma lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perilaku seperi itu timbul bukan karena siswa telah sadar dan menghayati betul tentang kebutuhan akan sikap dan perilaku tersebut, tetapi dilakukan karena sekedar untuk memenuhi aturan dan disiplin saja agar tidak mendapat hukuman. evaluasi afektif berkaitan dengan pembentukan dan perubahan sikap.

a. Pembentukan Sikap

Ada tiga model belajar dalam rangka pembentukan sikap,11 tiga model itu adalah: 1) Mengamati dan meniru

Pembelajaran model ini berlangsung melalui pengamatan dan peniruan. proses pembelajaran ini dengan pembelajaran melalui model (learnigthrough modeling), kebanyakan perilaku manusia dipelajari melalui model, yakni dengan mengamati dan meniru perilaku atau perbutan orang lain, terutamanya orang – orang yang berpengaruh .melalui proses pengamatan dan peniruan akan akan terbentuk pula pola sikap dan perilaku yang sesuai dengan orang yang ditiru

Bagi para siswa disekolah, orang - orang yang berpengaruh terutama adalah orang tua dan guru. Bagi masyarakat pada umumnya orang - orang yang berpengaruh dan dapat menjadi model antara lain: bintang film, politikus dan tokoh-tokoh masyarakat.

2) Menerima penguatan Pembelajaran model ini berlangsung melalui pembiasan operan, yakni

dengan menerima atau tidak menerima penguatan atas suatu respon yang ditunjukan. Penguatan juga dapat berupa ganjaran (penguatan positif) dan dapat berupa hukuman (penguatan negatif). Individu dengan cepat akan mengekspresikan pandangan tertentu, jika diberi ganjaran untuk perbuatannya. Dari waktu ke waktu respon yang diberi ganjaran tersebut akan bertambah kuat, dengan demikian sikap anak akan terbentuk.

3) Menerima informasi verbal Informasi tentang berbagai hal dapat diperoleh melalui lisan atau

tulisan. Informasi tentang sesuatu objek yang diperoleh oleh seseorang akan mempengaruhi pembentukan sikapmya terhadap objek yang bersangkutan, misalnya penyakit AIDS, informasi ini telah membentuk sikap tertentu dikalangan warga masyarakat terhadap penyakit AIDS, pembawa virusnya dan orang yang terkena penyakit tersebut.

11 Ibid, hal 56-58.

Page 65: JURNAL UTUH

62

b. Teori perubahan sikap Para pakar psikologi sosial telah mengemukakan berbagai teori tentang

perubahan sikap12, Diantara teori- teori itu adalah: 1) Teori pembelajaran (learning theory)

Teori ini meluihat perubahan sikap sebagai suatu proses pembelajaran. Teori ini tertarik pada hubungan antara stimulus dan respon dalam suatu proses komunikasi. Hovlan janis dan kalley dengan program komunikasi dan perubahan sikapYale (The Yale Communication And Attitude Change Program). Pada program Yale ini ada empat unsur dalam proses pembujukan yang dapat mempengaruhi terhadap perubahan sikap yaitu: (1) penyampai (sebagai sumber informasi baru), (2) komunikasi (informasi yang disampaikan), (3) penerima, (4) situasi.

2) Teori fungsional (functional theory) Teori fungsional mengasumsikan bahwa manusia mempertahankan

sikap yang sesuai dengan kebutuhan dirinya sendiri. perubahan sikap terjadi dalam rangka mendukung suatu maksud atau tujuan yang ingin dicapainya. Berdasarkan teori ini, sikap merupakan alat untuk mencapai tujuan, oleh karena itu untuk merubah sikap seseorang terlebih dahulu harus dipelajari dan diketahui kebutuhan khusus atau tujuan khusus yang ingin dicapainya.

3) Teori pertimbangan sosial (social judgment theory) Teori ini merupakan suatu pendekatan yang lebih bersifat kognitif

tentang perubahan sikap. teori ini memberikan penekanan pada presepsi dan pertimbangan individu tentang objek, orang, atau ide yang di evaluasinya

Perubahan sikap menurut teori ini merupakan sutu penafsiran kembali terhadap objek Proses perubahan sikap tertgantung kepada keteguhan individu dalam berpegang pada suatu pandangan. seandainya individu berpegang pada pandangan yang ekstrim dalam suatu hal maka ruang gerak penerimaaannya adalah sempit, oleh karena itu kemungkinan terjadinya Perubahan sikap bagi individu yang bersangkutan kecil.

4) Teori konsistensi (consistency theory) Teori ini dikembangkan asumsi bahwa manusia akan berusaha untuk

mewujudkan keadaaan yang serasi dalam dirinya. Jika terjadi suatu keadaan yang tidak serasi, miasalnya terjadi pertentangan antara sikap dan perilaku, maka manusia akan berusaha untuk menghilangkan realita tersebut dengan merubah salah satu sikap atau perilaku. Tokohnya Heider dengan teorinya (balance theory)

c. Sikap dan objek sikap yang perlu dinilai

Secara umum, objek sikap yang perlu dinilai dalam proses pembelajaran berbagai mata pelajaran sebagai berikut:

12 Ibid, hal 59

Page 66: JURNAL UTUH

63

1) Sikap terhadap materi pelajaran. Siswa perlu memiliki sikap positif dalam diri siswa akan tumbuh dan

berkembang minat belajar, akan lebih mudah diberi motivasi dan akan lebih mudah menyerap materi pelajaran yang diajarkan. jadi guru perlu menilainya.

2) Sikap terhadap guru pengajar . Siswa perlu memiliki sikap positif terhadap guru. Siswa yang tidak

memilikinya cenderung mengabaikan hal-hal yang diajarkan mka siswa akan sukar menyerap materi pelajaran yang diajarkan oleh guru tersebut.

3) Sikap terhadap proses pembelajaran. Siswa perlu memiliki sikap positif terhadap proses pembelajaran yang

berlangsung. proses pembelajaran disini mencakup suasana pembelajaran, strategi, metodelogi, dan teknik pembelajaran yang digunakan .

4) Sikap terhadap kasus tertentu berhubungan dengan suatu materi pelajaran. Misalnya kasus atau masalah lingkungan hidup berkaitan dengan materi

biologi atau materi geografi. siswa juga perlu memiliki sikap yang tepat terhadap kasus masalh lingkungan tertentu (kegiatan pelestarian atau kasus perusakan lingkungan hidup) positif atau negatif. Misalnya siswa memiliki sikap positif terhadap porogram perlindungan satwa liar. Dalam kasus lain siswa memiliki sikap negatif terhadap kegiatan ekspor kayu glondongan ke luar negeri.

5) Sikap berhubungan dengan nilai-nilai lingkungan tertentu yang ingin ditanamkan dalam diri siswa melalui materi pokok bahasan dalam suatu mata pelajaran. Contoh koperasi dalam pelajaran IPS, nilai luhur yang relevan misalnya kerja sama kekeluargaan hemat dsb.

2. Evaluasi Afektif Dalam taksonomi Benjamin S.Bloom ada tiga ranah pendidikan, yaitu

ranah berpikir (cognative domain), ranah nilai atau sikap (affective domain), dan ranah keterampilan (psychomotor domain)

Bloom menawarkan konsepnya di Boston pada tahun 1948, perkembangan selanjutnya, ia sendiri mengembangkan cognitive domain pada tahun 1956, sedangkan affective domain dikembangkan Bloom bersama David R. Krathwohl dan Bertram B. Masia pada 1964, selanjutnya psycho-motor domain oleh Simpson pada 1972.13

Kawasan afektif merupakan tujuan yang berhubungan dengan perasaan emosi sistem nilai dan sikap hati (attitude) yang menunjukan penerimaan atau penolakan terhadap sesuatu, apresiasi (penghargaan) dan penyesuaian perasaan sosial.14 We attempt evaluating affective outcome when we encourage students to

13 Opcit,Thoha, hal 27. 14 Popham,W.James, 1992. Educational Evaluaton, Los Angeles, University Of California,

hal.151.

Page 67: JURNAL UTUH

64

express their feeling,attitudes,and values about the topics discussed in class.15 Tujuan afektif disebut sebagai minat, sikap hati nurani, sikap menghargai,sistem nilai, dan kecenderungan emosi

Tingkatan ranah afektif menurut taksonomi Krathwohl ada lima yaitu receiving(attending), responding, Valuing, Organization, dan characterization by a value or value comlex.16 Penjelasan kelima jenjang kemampuan yang harus ditempuh tersebut menurut Peter F. Oliva yaitu : 1) Menerima (receiving)

The student express in class an awareness of friction among ethnic groups in this school.

Jenjang ini berhubungan dengan kesediaan atau kemauan siswa untuk ikut dalam fenomena atau stimuli khusus (kegiatan dalm kelas, musik, baca buku dll.) Hasil belajar dalam jenjang ini berjenjang dari mulai kesadaran bahwa sesuatu itu ada sampai kepada minat khusus dari pihak siswa.

Menerima disini adalah diartikan sebagai proses pembentukan sikap dan perilku dengan cara membangkitkan kesadaran tentang adanya stimulus tertentu yang mengandung estetika. sebagai contoh guru memotivasi siswa untu membaca buku, mengerjakan tugas memberi motivasi belajar dst.

2) Menjawab (responding) The student volunteers to serve on human relation committee in the school

Kemampuan ini berkaitan dengan partisipasi aktif siswa. hasil belajar dalm jenjang ini diperolehnya respon,keinginan memberi respon atau kepuasan dalam memberi respon,

3) Menilai (Valuing) The student expresses a desire to achieve a positive school climate,

Jenjang ini berhubungan dengan nilai yang dikenakan siswa terhadap suatu objek, fenomena atau tingkah laku tertentu. Jenjang ini berjenjang dari mulai hanya sekedar penerimaan nilai sampai ke tingkat komitmen yang lebih tinggi,

4) Organisasi (Organization) The student controls his or her temper when driving

Jenjang ini berhubungan dengan menyatukan nilai-nilai yang berbeda, menyelesaikan atau memecahkan konflik diantara nilai-nilai itu dan mulai membentuk suatu sistem nilai yang konsisten secara internal. Jadi memberikan penekanan pada membandingkan, menghubungkan,dan mensistensiskan nilai-nilai.

15 Peter, F Oliva, Developing The Curiculum,Bostontoronto,Little Brown And Company

1982, hal.419 16 Opcit, Sadijono, hal.54

Page 68: JURNAL UTUH

65

Responding merupakan partisipasi aktif peserta didik yaitu sebagai bagiaan dari perilakunya. Pada tingkatan ini peserta didik tidak saja memperhatikan fenomena khusus tetapi ia juga bereaksi.17

Hasil belajar bertaliaan dengan konseptualisasi suatu nilai (mengakui tanggung jawab individu untuk memperbaiki hubungan-hubungan manusia) atau dengan organisasi suatu sistem nilai.

5) Karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai (characterization). The student expresses and axamplifies in his or her behavior a positive outlook on life

Pada jenjang ini individu memiliki sistem nilai yang mengontrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang cukup lama sehingga membentuk karakteristik, ”pola hidup”

Hasil belajar lebih besar diletakan pada diri khas atau karakteristik siawa itu menjadi ciri khas siswa itu.

3. Perangkat Evaluasi Afektif

a. Pengukuran Afektif Menurut Andersen, ada dua metode yang dapat digunakan untuk

mengukur ranah afektif, yaitu :metode observasi dan metode laporan diri18. 1) Metode observasi

Penggunaan metode observasi berdasarkan pada asumsi bahwa karakteristik afektif dapat dilihat dari perilaku atau perbutan yang ditampilkan dan atau reaksi psikologi.

Sikap Perilaku manusia (perbutan manusia) menurut kajian psikologi : a) Aliran Behaviorisme

Inilah aliran ilmu jiwa yang tidak peduli dengan jiwa. Menafikan aspek jiwa. karena aliran ini hanya memandang perbutan yang nampak secara kasat mata atau sikap perilaku yang tercermin pada bentuk lahiriah, yang nampak oleh mata.

Tokohnya Pavlov muncul pada ahir abad 19. Perbuatan manusia bersifat biologis. contoh marah maka hormon yang membuat marah naik, sex maka hormon sex naik.

17 Zaenal, Arifin, 2009. Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, teknik, Prosedur, Remaja

Rosdakarya, Bandung, hal. 22. 18 Lorin. W, Andersen, 1981. Assessing Affective Characteristic In The Schools, Boston:

Allyn and Bacon, hal. 4.

Page 69: JURNAL UTUH

66

Kelemahan aliran ini menurut Danah Zohar19 : 1. Gagal dalam memahami pengalaman subjektif contoh kesadaran diri,

mimpi, 2. Gagal dalam memahami dimensi perilaku manusia yang berasifat

komplek, contohnya: cinta, keberanian, keimanan, harapan, putus asa, haji orang rela mengeluarkan uang banyak, bahkan yang sudah haji ingin lagi.

3. Gagal dalam memahami masalah nilai dan makna. contoh harga diri 4. Memahami motivasi

b) Aliran Psikoanalisis

Psikoanalisis disebut juga depth psychology, karena mencari sebab-sebab perilaku manusia pada dinamika jauh didalam dirinya pada alam tak sadarnya. mengatakan bahwa perbuatan hasil dari konflik dari pengalaman lalu pengalaman terbagi menjadi dua yaitu: sadar (ego) dan tidak sadar (id dan super ego) dalam manusia yang terbanyak adalah yang tidak sadar. Tokohnya sigmund freud : Id adalah sistem kepribadiaan yang orisinil. Ego memiliki kontak dengan dunia eksternal dari kenyataan.

Ego adalah eksekutif dari kepribadiaan yang memerintah, mengendalikan dan mengatur. Superego adalah cabang moral atau hukum dari kepribadiaan.20 contohnya: ketika anda jatuh cinta kepada turkiyem, id berkata peluklah dia, Ego berkata cek, apakah dia juga suka padamu, dan super ego menegur ”Haram anda melakukannya”.

c) Aliran humanistik.

Muncul pada pertengahan abad ke dua puluh, sebagai reaksi terhadap kedua aliran tersebut. Mengapa orang bisa hidup bahagia ditengah penderitaan yang dialaminya, orang yang bahagia dalam situasi dan kondisi apapun.

Perbuatan yang mendatangkan perasaaan susah, bahagia dikarenakan pemenuhan kebutuhan.kebutuhan fisiologis maupun makna. tokohnya moslow. psikoterapinya disebut logoterapi, (logos=makna). logoterapi memandang manusia sebagai totalitas yang terdiri dari tiga dimensi yaitu: fisik, psikologis, dan spiritual. Kapan kita menemukan makna: 1. Ketika kita menemukan diri kita (self discovery) 2. Ketika kita menentukan pilihan 3. Ketika kita merasa istimewa 4. Ada tanggung jawab

19 Danah, Zohar, 2001. SQ, Mizan, Bandung, hal. xvii 20 Gerald, Corey, 1999. Konseling dan Psikoterapi, Refika Aditama, Bandung, hal. 14-15

Page 70: JURNAL UTUH

67

BUKU CATATAN HARIAN TENTANG SISWA (NAMA SISWA)

Mata pelajaran : Nama guru : Tahun pelajaran :

Pemalang, 2014 .................................

5. Makna tercuat dalam situasi transendensi, pengalaman batiniah.

Setiap tingkah laku manusia merupakan manufestasi dari beberapa kebutuhan dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut

Dengan kata lain setiap tingkah laku manusia itu selalu terarah pada satu objek atau suatu tujuaan pemuasan kebutuhan, yang memberikan arah pada setiap gerak aktifitasnya. adapun kebutuhan manusia dapat dibagi menjadi 3 yaitu21: 1) tingkat biologis atau vital contoh makan minum, udara dll 2) tingkat human (manusia, sosio – budaya, sosio kultural, dan

psikologis 3) tingkat metafisis dan religius

d) Aliran Transpersonal

Mengantarkan pada kesadaran spiritualitas agama, non material. tokohnya cortright. menurut khalil khavari kecerdasan spiritual adalah fakultas dari dimensi non material kita ruh manusia. 22

Tidak disangkal bahwa perbuatan manusia mempunyai sifat- sifat bawaan misalnya: kecerdasan dan temperament. Faktor-faktor ini mempunyai pengaruh terhadap pembentukan sikap. Sikap turunan yang terbentuk dengan kuat dalam keluarga misalnya sentimen kefamilian, keagamaan dan sebagainya, Namun secara umum kebanyakan pakar psikologi sosial berpendapat bahwa sikap manusia terbentuk melalui proses pembelajaran dan pengalaman.

Observasi perilaku disekolah dapat dilakukan dengan menggunakan buku catatan khusus tentang kejadian - kejadian berkaitan dengan siswa selama disekolah (critical insidentism record), ini dibuat dan di isi oleh pengamat ( guru ) contoh formatnya:

Contoh halaman sampul :

21 Kartini, Kartono, 2000. Hygiene Mental, Mandar Maju, Bandung, hal.37 22 Opcit, Danah Zohar, :xxvii.

Page 71: JURNAL UTUH

68

Contoh halaman dalam :

No

Hari atau tanggal

Nama siswa

Kejadiaan (positif atau

negatif)

Dalam observasi ini kita juga dapat menanyakan secaara langsung

tentang sikap siswa berkaitan dengan suatu hal. contah bagaimana tanggapan siswa tentang kebijakan yang baru diberlakukan disekolah mengenai peningkatan ketertiban.

2) Metode laporan diri atau laporan pribadi Siswa diminta membuat ulasan yang berisi pandangan atau

tanggapan tentang suatu masalah, keadaan, atau hal yang menjadi objek sikap. misalnya kerusuhan antar etnis. Dari ulasan yang dibuat siswa tersebut dapat dibaca dan dipahami kecenderungan sikap yang dimilikinya.

Metode laporan diri beransumsi bahwa yang mengetahui keadaan afektif seseorang adalah dirinya sendiri. Namun hal ini menuntut kejujuran dalam mengungkapkan karakteristik afektif diri sendiri.

b. Instrumen Evaluasi Afektif

Ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri, nilai dan moral.23 Ada 11 (sebelas) langkah dalam mengembangkan instrumen penilaian afektif, yaitu24:

23 Andersen, Lorin. W, 1981. Assessing Affective Characteristic In The Schools, Boston:

Al lyn and Bacon,.hal.4 24 Depdiknas, 2003. Undang – Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Jakarta,

hal.9-18.

Page 72: JURNAL UTUH

69

1) Menentukan spesifikasi Instrumen Instrumen penilaian afektif meliputi lembar pengamatan sikap,

minat, konsep diri, nilai, dan moral a. Instrumen sikap, bertujuan untuk mengetahui sikap peserta didik

terhadap suatu objek, misalnya terhadap kegiatan sekolah, mata pelajaran, pendidik dan sebagainya. Sikap terhadap mata pelajaran bisa positif bisa negatif. Hasil pengukuran sikap berguna untuk menentukan strategi pembelajaran yang tepat.

b. Instrumen minat, bertujuan untuk memperoleh informasi tentang minat peserta didik terhadap mata pelajaran, yang selanjutnya digunakan untuk meningkatkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran. Minat menurut kamus besar bahasa indonesia, minat atau keinginan adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu. Secara umum minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi25

c. Instrumen konsep diri, bertujuan untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri. Peserta didik melakukan evaluasi secara objektif terhadap potensi yang ada dalam dirinya. Karakteristik potensi peserta didik sangat penting untuk menentukan jenjang karirnya. Informasi kekuatan dan kelemahan peserta didik digunakan untuk menentukan program yang sebaiknya ditempuh.

d. Instrumen nilai, bertujuan untuk mengungkap nilai dan keyakinan peserta didik. Informasi yang diperoleh berupa nilai dan keyakinan yang positif dan yang negatif. Hal-hal yang bersifat positif diperkuat sedangkan yang bersifat negatif dikurangi dan akhirnya dihilangkan.

e. Instrumen moral, bertujuan untuk mengungkap moral. Informasi moral seseorang diperoleh melalui pengamatan terhadap perbuatan yang ditampilkan dan laporan diri melalui pengisian kuesioner. Hasil pengamatan dan hasil kuesioner menjadi informasi tentang moral seseorang.

25 Depdikbud, 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,Jakarta, hal.583

Page 73: JURNAL UTUH

70

2) Penulisan Instrumen

Tabel 1. Kisi-Kisi Instrumen Afektif

No Indikator Jumlah Butir Pertanyaan / Pernyataan

Skala

1

2

3

4

3) Penggunaan skala sikap

Model skala sikap antara lain : a. Skala Diferensiasi Semantik

Selesaikan tugas ini dengan cara memberi tanda cek (V) pada posisi skala yang sesuai dengan pandangan anda sendiri.

SIKAP TERHADAP PENGHIJAUAN LINGKUNGAN SEKOLAH

Menarik ____________________________________ Membosankan Penting ____________________________________ Tidak penting

Mudah Sukar dilaksanakan Menyenangkan Tidak menyenangkan

Page 74: JURNAL UTUH

71

b. Skala Likert Berilah tanda cek (V) untuk setiap pernyataan pada kolom

pilihan sikap

No Pernyataan SS S N TS STS 1 Usaha penghijauan pekarangan sekolah

menyenangkan

2 Usaha penghijauan pekarangan sekolah kurang bermanfaat

3 Kerja bakti untuk penghijauan itu perlu didukung semua pihak

4 Kerja bakti untuk penghijauan itu meresahkan

5 Kerja bakti untuk penghijauan sekolah sebaiknya digalakkan

5 Tanaman bunga- bunga diperkarangan sekolah kurang bermanfaat

Keterangan:

SS = sangat setuju TS = tidak setuju S = setuju STS = sangat tidak setuju N = netral

c. Penskoran dan interpretasi 1. untuk pernyataan positif : SS=5 , S=4, N=3, TS=2, STS=1. pernyataan

positif no 1,3,5 2. untuk pernyataan negatif : SS=1, S=2, N=3, TS=4, STS=5. pernyataan

negatip no 2,4,6

Dengan demikian skor maksimum nya 30 dan minimumnya 6, perbedaan jumlah angka yang dicapai siswa dapat ditafsirkan sebagai perbedaan sikap positif atau negatif terhadap penghijauan sekolah.

d. Skala Thurstone;

Skala ini mirip dengan skala Likert karena merupakan suatu instrumen yang pilihan jawabannya menunjukkan tingkatan. Perbedaan skala Thurstone dengan skala Likert, pada skala Thurstone rentang skala yang disediakan lebih dari lima pilihan dan disarankan sekitar sepuluh pilihan jawaban (misalnya dengan rentang angka 1 s/d 11 atau

Page 75: JURNAL UTUH

72

a s/d k). Jawaban di tengah adalah netral, semakin ke kiri semakin tidak setuju, sebaliknya semakin ke kanan semakin setuju.

Contoh Skala Thurstone:

Minat terhadap akidah ahlak :

Saya senang belajar akidah ahlak 7 6 5 4 3 2 1

Pelajaran akidah ahlak bermanfaat

Saya berusaha hadir setiap ada akidah ahlak

e. Skala Guttman Skala ini sama dengan yang disusun oleh Bogardus, yaitu

berupa tiga atau empat buah pertanyaan yang masing-masing harus dijawab “ya” atau “tidak”. Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan tingkatan yang berurutan sehingga bila responden setuju pernyataan nomor 2, diasumsikan setuju nomor 1, selanjutnya jika responden setuju dengan pernyataan nomor 3, berarti setuju penyataan nomor 1 dan 2. Contoh: 1) Saya mengizinkan anak saya bermain ke tetangga. 2) Saya mengizinkan anak saya pergi ke mana saja ia mau. 3) Saya mengizinkan anak saya pergi kapan saja dan ke mana saja. 4) Anak saya bebas pergi ke mana saja tanpa minta izin terlebih dahulu.

f. Skala Pilihan Ganda Skala ini dikembangkan oleh Inkels, seorang ahli penilaian di

Stanford University. Skala ini bentuknya seperti soal bentuk pilihan ganda, yaitu terdiri dari sejumlah pertanyaan yang diikuti oleh sejumlah alternatif jawaban.

4) Penskoran dan interprestasi Penskoranan nya dapat dilakukan dalam rentang 1 sampai dengan 5.

Arah paling kiri adalah paling besar yakni diskor 5, karena menunjukan sikap paling positif terhadap objek sikap. Arah paling kanan adalah paling kecil karena menunjukan paling negatip terhadap objek sikap.

Page 76: JURNAL UTUH

73

Skor maksimum dalam skala tersebut adalah 4X5=20.dan skor paling terendah adalah 4X1=4, angka 20, dapat di interprestasikan bahwa sikap siswa terhadap objek sikap ini semakin positif. Apabila siswa memilih sikap netral terhadap mata pelajaran ini, siswa akan memberi cek pada interval tengah pada skala, skornya adalah 3. jadi jika siswa memilih sikap netral untukn semua pernyataaan sikap maka nilainya 12. skala tersebut dapat di interprestasikan sebagai berikut :

Skor 12 = sikap siswa adalah netral Skor >12 = sikap siswa adalah positif

Skor <12 = sikap siswa adalah negatif

5) Telaah Instrumen Kegiatan pada telaah instrumen adalah menelaah apakah: (a) butir

pertanyaan / pernyataan sesuai dengan indikator, (b) bahasa yang digunakan komunikatif dan menggunakan tata bahasa yang benar, (c) butir peranyaaan / pernyataan tidak bias, (d) format instrumen menarik untuk dibaca, (e) pedoman menjawab atau mengisi instrumen jelas, dan (f) jumlah butir dan/atau panjang kalimat pertanyaan/pernyataan sudah tepat sehingga tidak menjemukan untuk dibaca/dijawab.

Telaah dilakukan oleh pakar dalam bidang yang diukur dan akan lebih baik bila ada pakar penilaian. Telaah bisa juga dilakukan oleh teman sejawat bila yang diinginkan adalah masukan tentang bahasa dan format instrumen. Bahasa yang digunakan adalah yang sesuai dengan tingkat pendidikan responden. Hasil telaah selanjutnya digunakan untuk memperbaiki instrumen.

6) Merakit Instrumen

Setelah instrumen diperbaiki selanjutnya instrumen dirakit, yaitu menentukan format tata letak instrumen dan urutan pertanyaan/ pernyataan. Format instrumen harus dibuat menarik dan tidak terlalu panjang, sehingga responden tertarik untuk membaca dan mengisinya. Setiap sepuluh pertanyaan sebaiknya dipisahkan dengan cara memberi spasi yang lebih, atau diberi batasan garis empat persegi panjang. Urutkan pertanyaan/pernyataan sesuai dengan tingkat kemudahan dalam menjawab atau mengisinya.

7) Ujicoba Instrumen

Setelah dirakit instrumen diujicobakan kepada responden, sesuai dengan tujuan penilaian apakah kepada peserta didik, kepada guru atau orang tua peserta didik. Untuk itu dipilih sampel yang karakteristiknya mewakili populasi yang ingin dinilai. Bila yang ingin dinilai adalah peserta didik SMA, maka sampelnya juga peserta didik SMA. Sampel yang diperlukan minimal 30 peserta didik, bisa berasal dari satu sekolah atau

Page 77: JURNAL UTUH

74

lebih. Pada saat ujicoba yang perlu dicatat adalah saran-saran dari responden atas kejelasan pedoman pengisian instrumen, kejelasan kalimat yang digunakan dan waktu yang diperlukan untuk mengisi instrumen. Waktu yang digunakan disarankan bukan waktu saat responden sudah lelah.

Selain itu sebaiknya responden juga diberi minuman agar tidak lelah. Perlu diingat bahwa pengisian instrumen penilaian afektif bukan merupakan tes, sehingga walau ada batasan waktu namun tidak terlalu ketat. Agar responden mengisi instrumen dengan akurat sesuai harapan, maka sebaiknya instrumen dirancang sedemikian rupa sehingga waktu yang diperlukan mengisi instrumen tidak terlalu lama. Berdasarkan pengalaman, waktu yang diperlukan agar tidak jenuh adalah 30 menit atau kurang.

8) Analisis Hasil Uji Coba

Analisis hasil ujicoba meliputi variasi jawaban tiap butir pertanyaan/pernyataan. Jika menggunakan skala instrumen 1 sampai 7 dan jawaban responden bervariasi dari 1 sampai 7, maka butir pertanyaan/pernyataan pada instrumen ini dapat dikatakan baik. Namun apabila jawabannya hanya pada satu pilihan jawaban saja, misalnya pada pilihan nomor 3, maka butir instrumen ini tergolong tidak baik. Indikator yang digunakan adalah besarnya daya beda. Bila daya beda butir instrumen lebih dari 0,30 butir instrumen tergolong baik. Indikator lain yang diperhatikan adalah indeks keandalan yang dikenal dengan indeks reliabilitas. Batas indeks reliabilitas minimal 0,70. Bila indeks ini lebih kecil dari 0,70 kesalahan pengukuran akan melebihi batas. Oleh karena itu diusahakan agar indeks keandalan instrumen minimal 0,70.

9) Perbaikan Instrumen

Perbaikan dilakukan terhadap butir-butir pertanyaan/pernyataan yang tidak baik, berdasarkan analisis hasil ujicoba. Bisa saja hasil telaah instrumen baik, namun hasil ujicoba empirik tidak baik. Untuk itu butir pertanyaan/pernyataan instrumen harus diperbaiki. Perbaikan termasuk mengakomodasi saran-saran dari responden ujicoba. Instrumen sebaiknya dilengkapi dengan pertanyaan terbuka.

10) Pelaksanaan Pengukuran

Pelaksanaan pengukuran perlu memperhatikan waktu dan ruangan yang digunakan. Waktu pelaksanaan bukan pada waktu responden sudah lelah. Ruang untuk mengisi instrumen harus memiliki cahaya (penerangan) yang cukup dan sirkulasi udara yang baik. Tempat duduk juga diatur agar responden tidak terganggu satu sama lain. Diusahakan agar responden tidak saling bertanya pada responden yang lain agar

Page 78: JURNAL UTUH

75

jawaban kuesioner tidak sama atau homogen. Pengisian instrumen dimulai dengan penjelasan tentang tujuan pengisian, manfaat bagi responden, dan pedoman pengisian instrumen.

11) Penafsiran Hasil Pengukuran Hasil pengukuran berupa skor atau angka. Untuk menafsirkan

hasil pengukuran diperlukan suatu kriteria. Kriteria yang digunakan tergantung pada skala dan jumlah butir pertanyaan / pernyataan yang digunakan. Misalkan digunakan skala Likert yang berisi 10 butir pertanyaan / pernyataan dengan 4 (empat) pilihan untuk mengukur sikap peserta didik.

Skor untuk butir pertanyaan / pernyataan yang sifatnya positif:

Sangat setuju - Setuju - Tidak setuju - Sangat tidak setuju. (4) (3) (2) (1)

Sebaliknya untuk pertanyaan/pernyataan yang bersifat negatif

Sangat setuju - Setuju - Tidak setuju - Sangat tidak setuju.

(1) (2) (3) (4)

Skor tertinggi untuk instrumen tersebut adalah 10 butir x 4 = 40, dan skor terendah 10 butir x 1 = 10. Skor ini dikualifikasikan misalnya menjadi empat kategori sikap atau minat, yaitu sangat tinggi (sangat baik), tinggi (baik), rendah (kurang), dan sangat rendah (sangat kurang). Berdasarkan kategori ini dapat ditentukan minat atau sikap.

4. Kegunaan dan Manfaat

Proses evaluasi bukan sekedar mengukur sejauh mana tujuan itu tercapai tetapi digunakan untuk membuat keputusan26 .Adapun keputusan yang dapat diambil dari penilaian sikap antara lain: a. Pembinaan siswa.

pembinaan siswa dapat dilakukan secara pribadi maupun secara klasikal b. perbaikan proses pembelajaran c. peningkatan profesionalisme guru

Dengan kata lain manfaatnya adalah untuk mencari dan menemukan faktor-faktor penyebab keberhasilan dan ketidakberhasilan siswa dalam mengikuti

26 Suharsimi, Arikunto, 2003. Dasar- Dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta, Bumi Aksara,

hal.3

Page 79: JURNAL UTUH

76

program pendidikan seahingga dapat dicari dan ditemukan jalann keluar atau cara-cara memperbaikinya 27

C. Kesimpulan Dan Penutup Ranah afektif sangat menentukan keberhasilan siswa untuk mencapai

ketuntasan dalam proses pembelajaran. karena jika siswa tidak memilki minat terhadap mata pelajaran tertentu maka akan kesulitan untuk mencapai ketuntasan dalam proses pembelajaran. Sikap dan objek sikap yang perlu dinilai selain minat terhadap mata pelajaran tertentu, sikap terhadap guru pengajar, Sikap terhadap proses pembelajaran dan sikap, Sikap berhubungan dengan nilai-nilai lingkungan tertentu yang ingin ditanamkan dalam diri siswa melalui materi pokok bahasan dalam suatu mata pelajaran. Jadi penilan afektif juga penentu pada aspek kognitif dan psikomotorik.

Dalam sebuah karya tidak ada kesempurnaan karena itu hanya milik Allah SWT. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan.terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Andersen, Lorin. W, Assessing Affective Characteristic In The Schools, Boston:

Allyn and Bacon, 1981. Arikunto, Suharsimi, Dasar- Dasar Evaluasi Pendidikan,Jakarta , Bumi Aksara

2003 Arifin, Zaenal, Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, teknik, Prosedur, Remaja

Rosdakarya Bandung, 2009 Corey, Gerald, Konseling dan Psikoterapi, Refika Aditama, Bandung, 1999 Dawam Ainurrafiq, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren, Jakarta

Listafariska Putra, 2005 Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,Jakarta, 1994

27 Sudijono, Anas, 2007. Pengantar Efaluasi Pendidikan , Jakarta, Rajawali Press, hal.17

Page 80: JURNAL UTUH

77

Depdiknas, Undang – Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Jakarta, 2003

Depag, Standar Penilaian Di Kelas , jakarta, 2003 Haryati, Mimin, Model Dan Teknik Penilaian Pada Tingkat Satuaan Pendidikan,

Jakarta,Gaung Persada Press, 2007 Kartono, Kartini, Hygiene Mental, Mandar Maju, Bandung 2000 Oliva,Peter.F, Developing The Curiculum,Bostontoronto,Little Brown And

Company 1982 Popham,W.James, Educational Evaluaton, Los Angeles, University Of California,

1992 Silverius, Suke,Evaluasi Hasil Belajar Dan Umpan Balik,Jakarta,Grasindo 1991 Sudijono, Anas, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo Persada,

1996. ____________,Pengantar Efaluasi Pendidikan , Jakarta, Rajawali Press,2007 Syaodih, Sukmadinata,Nana,pengendaliaan mutu pendidikan sekolah menengah,

Refika Aditama,Bandung, 2008 Thoha, M. Chabib, Teknik Evaluasi Pendidikan, Jakarta: RajaGrafindo Persada,

2003 Zohar, Danah,SQ,Mizan, Bandung, 2001

Page 81: JURNAL UTUH

78

SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL BERDASARKAN TAUHID ILMU

Hafiedh Hasan1 e-mail :[email protected]

ABSTRAK

Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar kebudayaan bangsa dan berdasarkan Pancasila dan UUD 45. tujuannya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya...(UUN o.2/1989 tentang UUSPN). Dalam GBHN 1999 dituliskan tiga misi utama sistem pendidikan nasional yang ternyata hasilnya tidak sesuai target. Kebanyakan para pelajar lulusan sekolah yang sekarang ini dipercaya rakyat mengatur Negara berakhlak kurang baik sehingga menyebabkan Negara kita mengalami kemunduran seperti saat ini. Bahkan para pelajar yang belum lulus pun ada yang bersikap negatif seperti tawuran, memakai dan menjual narkoba, melawan guru dan orang tua, merusak fasilitas umum dan sebagainya. Kegagalan lainnya terlihat pada kualitas pelajar Indonesia yang kemampuannya sekarang jauh tertinggal dibanding pelajar dari negara serta standar kelulusan Indonesia yang jauh dari standar internasional

Pendidikan berbasis tauhid merupakan salah satu solusi untuk pendidikan di Indonesia, Pendidikan berbasis tauhid adalah keseluruhan kegiatan pendidikan yang meliputi pembimbingan, pembinaan dan pengembangan potensi diri manusia sesuai dengan bakat, kadar kemampuan dan keahlian masing-masing yang bersumber dan bermuara kepada Tuhan, Allah SWT. Selanjutnya ilmu dan keahlian yang dimilki diaplikasikan dalam kehidupan sebagai realisasi kokret pengabdian dan kepatuhan kepada Allah. Upaya ke arah itu diawali dari menanamkan nilai-nalai akhlaq al karimah (budi pekerti, tatakrama, (menurut istialah lokal kita di indonesia) dalam diri setiap peserta didik kemudian diimplementasikan kelak melalui peran kekhalifahan sebagai pemakmur dan pemelihara kehidupan didunia ini.

Sedangkan konsep dasar dari Kurikulum Berbasis Tauhid adalah menerapkan sebuah kurikulum pendidikan yang muatan maupun metode pembelajarannya mengarah kepada pembentukan karakter Islami untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. dan yang lebih prinsip dalam KBT akan menghadirkan Allah pada semua materi pelajaran yang dipelajari siswa jadi tidak ada pemisahan antara agama dengan kehidupan. Kehidupan di dunia adalah sarana mencapai kesuksesan di akherat, kehidupan akherat merupakan kontrol kehidupan kita di dunia

Kata kuci: Sistem Pendidikan, Tauhid Ilmu

1Hafiedh Hasan, SpdI, MM adalah Dosen STIT Pemalang

Page 82: JURNAL UTUH

79

A. Pendahuluan Dalam Pembukaan UUD 1945 termaktub kalimat “mencerdaskan

kehidupan bangsa”, mengandung makna bahwa negara dengan segala upayanya melahirkan patron, yakni undang-undang tentang sisten pendidikan nasional agar rakyatnya cerdas intelektual dan spiritual. Negara berkewajiban memberi arah dan tujuan sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945 dengan mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan memiliki ilmu pengetahuan sebagai modal untuk mengembangkan dirinya. Di samping itu sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu dan relevansi untuk menghadapi tantangan zaman.

Untuk mencapai tujuan tersebut dibuat Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) nomor 20 tahun 2003, yang pada intinya adalah pendidikan nasional untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan tujuan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat jasmani dan rohani, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggungjawab.

Undang-Undang pendidikan tersebut memberikan fungsi pendidikan bagi warga masyarakat agar memiliki ketangguhan iman sebagai benteng pertahanan negara yang paling kuat, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pakaian kesalehan, berakhlak mulia sebagai tindakan yang harus selalu dijaga, sehat jasmani dan rohani, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrasi serta bertanggungjawab.

Undang Undang Pendidikan ini memberi arah yang jelas bagi terselenggaranya Sistem Pendidikan Nasional yang mantap. Undang-undang pendidikan nasional memuat aturan dan patron agar dapat menghantarkan negara pada kemajuan, kesejahteraan, dan keadilan. Kader pemimpin negara masa depan adalah putra/putri bangsa yang merupakan hasil produksi dari pada pendidikan nasional kita.

Sistem pendidikan kita telah diuji dengan perkembangan zaman. Hari ini semua orang menyalahkan sistem pendidikan yang belum membawa hasil yang memuaskan, belum dapat meluluskan sarjana yang siap pakai. Kita patut bangga karena tidak sedikit anak-anak indonesia yang meraih beberapa prestasi di dunia internasional. Segudang prestasi mereka raih di bidang akademik seperti biologi, fisika, matematika dan non akademik seperti di bidang musik. Anak-anak indonesia mampu mengalahkan peserta dari negara maju lain. Namun di balik kesuksenan tersebut banyak pelajar dan lulusan yang menunjukan sikap yang tidak terpuji. Banyak pelajar yang terlibat tawuran, melakukan tindakan

Page 83: JURNAL UTUH

80

kriminal pencurian penodongan,penyimpangan seksual, menyalah gunakan obat-obatan terlarang dan sebagainya.

Keadaan ini semakin menambah potret pendidikan kita tidak menarik dan tidak sedap dipandang makin menurunkan kepercayaan masayarakat terhadap wibawa dunia pendidikan kita. Jika keadaan yang demikian tidak segera dicari solusinya, maka akan sulit mencari alternatif yang lain yang paling efektif untuk membina moralitas masyarakat. Berbagai solusi untuk memperbaiki dunia pendidikan dan mencari sebab-sebabnya merupakan hal yang tidak dapat ditunda lagi

Dilihat dari sudut pandang tujuannya, tujuan nabi ada dua. Pertama, menyampaikan segala sesuatu yang menyangkut kehidupan akhirat dan yang kedua adalah menyampaikan segala sesuatu yang menyangkut kesuksesan manusia di dunia atau disebut dengan tauhid sosial. Tauhid sosial merupakan sarana dalam mendekatkan diri pada Allah SWT. Manusia tidak dapat mendekatkan diri pada Allah jika sistem yang berlaku disekitarnya adalah sistem yang tidak adil. Nilai-nilai seperti keadilan, kejujuran, hak, cinta dan kasih sayang merupakan contoh hal-hal yang dapat memuluskan jalan manusia pada kesejah teraan dan keselamatan dunia akhirat.

Begitu pula ilmu pengetahuan. Dengan adanya ilmu, manusia dapat saling berinteraksi dan bekerja sama demi mewujudkan tauhid sosial dalam masyarakat karena puncak taqwa manusia adalah saat dia dapat mencintai orang lain seperti dia mencintai dirinya sendiri.

Sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-rasul kami dengan membawa bukti yang nyata, dan telah kami turunkan bersama mereka kitab-kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat menegakkan keadilan.

B. Pembahasan

Tauhid ilmu berasal dari dua kata yang berbeda yang masing-masing kata tersebut memiliki konsep tersendiri. Tauhid bermakna kesatuan atau menyatukan. Hal ini lebih ditujukan pada ke-Esaan Allah SWT. Sedangkan ilmu didefinisikan oleh al-Jurjani sebagai keyakinan yang tetap, sesuai dengan peristiwa.2 Ilmu merupakan salah satu nikmat dari Allah diantara nikmat-nikmat Allah yang lain. Ilmu yang diberi oleh Allah berdasarkan wahyuNya yaitu al-Kitab (studi yang berkaitan dengan pengembangan rohani manusia yang dikembangkan melalui al-dzikir kepada Allah SWT) dan al-Hikmat (studi yang berkaitan dengan perkembangan potensi manusia melalui al-fikr kepada alam disekitarnya), jadi tidak mungkin menjadi malapetaka tetapi melainkan sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Jadi tauhid ilmu merupakan kesatuan hubungan diantara berbagai ilmu yang dikembangkan manusia agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin bagi kemanusiaan.

2 Http://www.islamlib.com/id/litdex. (Jaringan Islam Liberal).

Page 84: JURNAL UTUH

81

Berdasarkan Al Qur’an, ada dua macam tauhid, yaitu Tawhid al-Allah dan Insa-niyat. Terdapat lima tauhidullah yang saling berkaitan yaitu : Rububiyat,Uluhyah, dan Mulukiyat. Sedangkan insaniyat mengandung beberapa komponen, yang meliputi : musawat (persamaan) ukhuwat (persaudaraan), tasamuh (toleran), musyawarat ( demokrasi), ta’awun (tolong-menolong), ijtihat/jihat dan „amal shaleh, takaful al-ijtima’ ( solidaritas), amar ma’ruf nahyi munkar dan istiqamat (teguh pendirian). Bila seseorang sudah memiliki sikap-sikap diatas, maka ia termasuk orang-orang yang berada pada kualifikasi kepribadian tazktyat (suci diri).

Tujuan beribadah dalam syari'at Islam adalah sehat dan bersih dari kotoran jasmani rohani serta berakhlak mulia. Hal-hal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, yaitu sebagai makhluk berakal yang mengabdi kepada Allah (habl min al-Allah) dan makhluk sosial (habl min an-nas). Tuntutan manusia sebagai makhluk berbudaya dan pengemban amanat khilafah membuat manusia dianjurkan untuk memiliki ilmu pengetahuan demi terwujudnya tauhid sosial dalam masyarakat.

まن∂ やلسヨع وやلبصر وやلفやぽد كل أولゃك كان عنه مسゃو. و تقف ما ليس لك به علم

“Dan janganlah engkau mengikuti apa yang engkau tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, karena sesunggunhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semua itu akan dimintai pertangguang jawabannya.” Qs. Al-Isra (17) : 36

1. Tauhid Ilmu dalam Sistem Pendidikan Nasional Sumber-sumber pengetahuan adalah A1 Qur'an dan alam. Al Qur'an

merupakan kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah SWT kepada rasulNya Muhammad SAW. Kitab ini berfungsi sebagai pedoman hidup, nasihat, penyembuh berbagai penyakit hati, petunjuk dan rahmat umat manusia, juga sebagai inspirator perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan di dunia.5 Segala pengetahuan yang berasal dari alam tidak mungkin bertentangan dengan Al Qur'an dan tidak mungkin bersifat ”salah”.3

Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar kebudayaan bangsa dan berdasarkan Pancasila dan UUD 45. tujuannya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya...(UUN o.2/1989 tentang UUSPN). Dalam GBHN 1999 dituliskan tiga misi utama sistem pendidikan nasional yang ternyata hasilnya tidak sesuai target. Kebanyakan para pelajar lulusan sekolah yang sekarang ini dipercaya rakyat mengatur Negara berakhlak kurang baik sehingga menyebabkan Negara kita mengalami kemunduran seperti saat ini. Bahkan para pelajar yang belum lulus pun ada yang

3 Drs.H. Ayat Dimyati,M.dkk. 2000. Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam pendidikan.

Nuansa: Bandung. Hal.40

Page 85: JURNAL UTUH

82

bersikap negatif seperti tawuran, memakai dan menjual narkoba, melawan guru dan orang tua, merusak fasilitas umum dan sebagainya. Kegagalan lainnya terlihat pada kualitas pelajar Indonesia yang kemampuannya sekarang jauh tertinggal dibanding pelajar Malaysia serta standar kelulusan Indonesia yang jauh dari standar internasional.

Pendidikan berbasis tauhid adalah salah satu ide besar Hidayatullah dalam berbagi solusi pendidikan Islam dalam mempersiapkan generasi Islam masa depan. Sehingga diperlukan sebuah identitas yang jelas dalam eksistensinya. Ada pilar – pilar penumpu pendidikan tauhid, yang mana di dalamnya dikembangkan sistem nilai sebagai berikut sebagai pilar dasarnya:

1) Berpegang Teguh Pada Nilai-nilai Tauhid

Siswa/siswa harus memiliki kesadaran sebagai hamba dari Al Khaliq, makhluk dari Sang Pencipta, dan posisi manusia yang dibekali akal oleh Allah SWT, dilebihkan dari yang lain. Konskuensi dari kesadaran itu, setiap individu yang ada memiliki pemahaman bahwa setiap aktivitasnya diatur oleh yang Maha Mengetahui, yaitu Allah SWT. Dari pemahaman ini diharapkan pula santri-santri yang dihasilkan memiliki landasan keimanan yang kuat yang dihasilkan/terlahir dari proses berpikir secara jernih dan mendalam. Dengan budaya ini, maka tindakan-tindakan harian/perilaku sehari-hari akan mencerminkan dan dilandasi nilai-nilai keimanan/tauhid sebagai penampakan pemahaman wajibnya terikat pada aturan Sang Pencipta.

2) Ketaatan ٱang Tinggi (budaya Sami’na wa atho’na)

Implikasi dari tingkat keimanan yang kuat dan keterikatan dengan syari’at Allah SWT adalah ketaatan yang tinggi. Baik ketaatan pada Allah SWT, seruan Rasul-Nya, Ulil Amri yang menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, maupun ketaatan pada pimpinannya. Ketaatan ini bisa dipahami sebagai wujud kepercayaan dan pengabdian seseorang kepada sesuatu yang di luar dirinya sesuai dengan aturan-aturan Allah SWT. Dalam prakteknya, konsep ketaatan ini akan terwujud dalam kehidupan sehari-hari siswa/siswa seperti ibadah, pakaian, tingkah laku, proses belajar mengajar, ujian, termasuk ketaatan pada pimpinan dan aturan-aturan pesantren.

3) Ukhuwah Islamiyyah dan silaturrahim

Sifat khas dari kaum muslimin adalah tertanamnya semangat dan nilai-nilai ukhuwah Islamiyyah yang tinggi pada mereka. Nilai-nilai ini juga akan ditanamkan pada siswa i sebagai wujud proses penyadaran bahwa mereka adalah bagian dari kaum muslimin yang harus mengetahui apa ituUkhuwah dan UkhuwahIslamiyyah. Semangat Ukhuwah Islamiyyah muncul dalam sikap saling membantu dalam kebenaran dan taqwa dan tidak saling bantu dalam kejahatan dan dosa, serta saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran,

Page 86: JURNAL UTUH

83

4) Kerja Keras (mujahadah dan sa’I) Saswa/siswa diharapkan memiliki semangat untuk bekerja keras dan

semangat pantang menyerah. Semangat ini perlu ditanamkan sejak dini sebagai upaya untuk mendidik para siswa/siswa agar mereka siap untuk mengadapi realitas/kenyataan hidup di masa depan, tantangan-tantangan, hambatan-hambatan, dan segala macam problema hidup yang akan ditemui. Semangat ini dilandasi dari sirah Rasul dimana Rasul sangat senang dan memuji para shahabat yang telapak tangannya keras sebagai wujud kerja keras mereka. Jadi etos kerja harus menjiwai semangat hidup para santri.

5) Belajar terus (budaya Iqro’)

Sebagai seorang muslim kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan adalah mencari ilmu, baik ilmu yang termasuk fardhu ‘ain (tsaqofah Islam), maupun ilmu yang termasu fardhu kifayah (ilmu kehidupan). Yang pertama diperlukan seorang muslim agar menjadi orang yang kuat imannya dan tinggi keshalehannya. Sedang ilmu yang kedua diperlukan untuk meraih kemajuan material bagi diri dan masyarakat dalam rangka pelaksanaan tugas kekhilafahan. Sikap kecintaan dan kegairahan menuntut ilmu harus menjiwai setiap siswa. Untuk itulah siswa harus memiliki konsep-konsep dasar keilmuan yang cukup sebagai pilarrujukan dari masyarakat. Dalam hal keilmuan ini tentu tsaqofah Islam harus menjadi pemahaman yang lebih dari ilmu-ilmu yang lain. Artinya pemahaman tentang tsaqofah Islam dalam segala aspek akan menjadi modal yang sangat potensial dan cemerlang untuk proses interaksi dan perubahan tatanan masyarakat sesuai syari’at Islam.

6) Perjuangan dan Pengorbanan (Jihad dan hijrah)

Yang tidak pernah lepas dari para shahabat Rasul adalah semangat juang dan semangat tempur yang tinggi dalam membela Islam. Semangat juang ini juga akan menjadi semangat para santri/siswa dalam kehidupan sehari-hari. Santri/siswa harus memilki kesadaran bahwa Islam memerlukan perjuangan, kerja keras dan pengorbanan. Semangat untuk berjuang juga ditanamkan dari sisi bahwa mereka akan terjun dengan kehidupan nyata yang sangat keras, jahiliyah, dan brutal, untuk itu para santri/siswa ditanamkan untuk selalu memiliki semangat perjuangan yang tinggi dan pantang menyerah.

7) Keikhlasan

Sebagai seorang muslim, sudah selayaknya seorang santri/siswa memiliki sifat-sifat yang mulia seperti yang pernah dicontohkan oleh Rasul SAW. Salah satu sifat yang selalu dicontohkan oleh Rasul adalah sikap ikhlas. Sikap ikhlas ini merupakan salah satu syarat supaya amal diterima oleh Allah SWT.

Page 87: JURNAL UTUH

84

8) Kejujuran (Shidiq) Sifat dan karakteristik yang juga harus dimiliki oleh santri adalah sifat

jujur. Jujur bukan semata-mata norma yang berlaku di masyarakat, namun sikap jujur yang memang dilandasi oleh perintah syara’. Sifat ini akan menanamkan image dan pandangan pada masyarakat bahwa santri/siswa yang dihasilkan memang orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan pandangan Islam. Dari sikap ini akan muncul kepercayaan dari masyarakat, sikap simpati, dan kerjasama berlandaskan kejujuran sebagai salah satu landasan moril yang ada di masyarakat.

9) Kemandirian dan Ulet

Siswa/santri dibekali dengan semangat dan tekad untuk memiliki kemandirian dalam hidupnya. Artinya dalam menghadapi segala permasalahan hidup sangat ditekankan untuk bersikap dan berbuat semaksimal dan seoptimal mungkin dengan kekuatan dan sumberdaya sendiri. Selama siswa/santri sendiri mampu mengatasi maka diprioritaskan untuk diselesaikan dengan sumberdayanya sendiri. Sikap mandiri merupakan modal dasar bagi santrinya untuk sukses dalam berwirausaha apabila telah selesai masa pendidikan mereka.

10) Keteladanan (Uswatun Hasanah)

Apabila telah berbaur dan menyatu dengan masyarakat, maka yang dibutuhkan adalahistiqomah dan suri teladan. Begitu bagi para siswa/santri, sikap untuk selalu istiqomah berpegang teguh dengan aturan Allah, dan mengaplikasikan dalam perbuatan sehari-hari akan memberikan citra positif di masyarakat. Keteladan ini perlu ditanamkan pada para santri, karena mereka adalah unsur dari masyarakat yang notabene memiliki pemahaman Islam yang cukup, dan telah dididik untuk menjadi uswah bagi masyarakat.

11) Kebersihan, Kerapihan, dan Keindahan Siswa/santri sejak dini harus diberikan kesadaran dan pemahaman tentang kewajiban untuk memelihara kebersihan, menjaga kerapihan, dan mengatur lingkungannya agar selalu indah. Karena dengan demikian maka ia akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. di satu sisi, mendapat berkah sehat disisi lain, dan mendapat simpati masyarakat karena kebersihan dan kerapihannya.

12) Kedisiplinan Salah satu kunci keberhasilan Rasul dan para sahabat dalam

membangun masyarakat Madinah adalah kedisiplinan Rasul mendidik para shahabat. Rasul memberikan suri tauladan dengan contoh akhlak-akhlak mulia berupa menepati janji, jujur dan tepat waktu. Untuk itu santri/siswa

Page 88: JURNAL UTUH

85

sejak awal dididik untuk memiliki sifat disiplin yang tinggi, tepat waktu dan selalu berpegang teguh pada akad yang dibuat. Kedisiplinan akan membawa santri/siswa pada pekerjaan dan hasil yang optimal.Secara manajerial dipahami bahwa kedisiplinan merupakan awal dari suatu keberhasilan.

13) Inovatif dan Kreatif Inovatif adalah suatu suatu daya upaya yang dilakukan untuk

menemukan hal-hal baru yang sebelumnya belum ada. Sedangkan kreatif adalah suatu upaya untuk mengembangkan sesuatu yang sudah ada menjadi sesuatu yang lain yang lebih baik. Sikap inovatif dan kreatif juga ditanamkan pada santri/siswa sejak dini, agar para santri/siswa mampu menciptakan karya baru, serta mampu mengembangkan teknologi yang ada agar memilki nilai yang lebih dari nilai sebelumnya.4

Undang-undang pendidikan kita selalu ketinggalan dengan pesatnya perkembangan teknologi dan ekonomi dan Undang Undang pendidikan juga belum mampu memproduk hasil yang sesuai dengan tuntutan zaman apalagi untuk menciptakan SDM yang handal untuk menyelesaikan selaksa problematika hidup. Jika substansi yang terdapat dalam batang tubuh Undang-undang tersebut ditelaah secara seksama, tampak bahwa secara keseluruhan cukup ideal. Namun ideal ini belum tampak dalam realitas. Seluruh pakar berpendapat bahwa dasar pendidikan Islam adalah tauhid. Kurikulum Pendidikan Islam harus dirancang berdasarkan konsep tauhid dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan. Fungsi pendidikan Islam harus berfungsi sebagai penyiapan kader-kader khalifah. Sifat dan syarat seorang pendidik.

Ada beberapa sifat dan syarat seorang pendidik diantaranya: 1. Setiap pendidik harus memiliki sifat rabbani. Seorang guru hendaknya

menyempurnakan sifat rabaniahnya dengan keikhlasan. Ketka menyampaikan ilmunya kepada anak didik, seorang pendidik harus memiliki kejujuran dengan menerapkan apa yang dia ajarkan dalam kehidupan pribadinya

2. Seorang guru harus senantiasa meingkatkan wawasan, pengetahuan, dan kajiannya.

3. Seorang pendidik hendaknya mengajarkan ilmunya dengan sabar. 4. Seorang pendidik harus cerdik dan terampil dalam menciptakan metode

pengajaran yang variatif serta sesuai dengan situasi dan materi pelajaran. 5. Seorang guru harus mampu bersikap tegas dan meletakkan sesuatu sesuai

proposinya sehingga dia mampu mengontrol dan menguasai siswa. 6. Seorang guru dituntut untuk memahami psikologi anak, psikologi

perkembangan, dan psikologi pendidikan 7. Seorang guru dituntut untuk peka terhadap fenomena kehidupan5

4 Tim editor, Orientasi Nilai Dasar Islam, (Yogyakarta : UII Press, 2004), hlm.22

Page 89: JURNAL UTUH

86

Salah satu ciri masyarakat Indonesia adalah religius. Sedangkan nilai keagamaan yang paling mendasar adalah nilai ketauhidan. Termasuk dalam dunia pendidikan. Tujuan pendidikan hendaknya tidak direduksi hanya pada aspek material semata. Pendidikan seharusnya justru mengintegrasikan kekuatan besar manusia, yaitu akal dan jiwa. Akal membutuhkan informasi, dan jiwa sangat membutuhkan petunjuk (wahyu). Oleh karena itu kita perlu satu konsep pendidikan yang berbasis tauhid. Sebuah konsep pendidikan yang mengantarkan peserta didik mengenal dirinya sekaligus mengenal Allah, tumbuh spirit belajarnya, tampil dengan semangat etos kerja yang membanggakan, dengan niat semata-mata karena Allah demi umat Islam.

Karena itu sistem pendidikan bangsa kita haruslah berlandaskan ketauhidan. Pengembangan kurikulum berasaskan tauhid yang kondusif dan memudahkan para peserta didik biasanya dikembangkan dalam isi materi, sehingga para pengembang kurikulum haruslah orang yang tidak hanya pakar dalam ilmu mereka masing-masing tetapi juga orang yang memiliki kepakaran dalam bidang agama. Kurikulum berasaskan tauhid adalah kurikulum yang dalam penyampaiannya tidak lepas dari “keesaan Tuhan”, “keesaan manusia”, dan “keesaan alam”.5

Efektifitas dan implementasi makna tauhid ilmu dalam kurikulum pendidikan nasional tergantung pada para pelaksana pendidikan di lapangan. Karena itu kurikulum dalam arti luas tidak hanya mengenai isi materi tetapi juga terdapat komponen-komponen lain yang mendukung seperti : 1. Sarana dan prasarana pendidikan misalnya : lingkungan, situasi dan kondisi,

gedung, ruang kelas, audio visual aid, perpustakaan dan lain-lain. 2. komponen pelaksana pendidikan seperti : guru/dosen, petugas administrasi,

petugas kebersihan, dan lain-lain Guru atau dosen berfungsi sebagai ujung tombak pendidikan. Mereka

bukan hanya berfungsi sebagai pentransfer ilmu pengetahuan tetapi juga berfungsi sebagai pendidik yang bertanggung jawab terhadap pembentukan kepribadian pelajar.

Dengan demikian yang di maksud pendidikan berbasis tauhid adalah keseluruhan kegiatan pendidikan yang meliputi pembimbingan, pembinaan dan pengembangan potensi diri manusia sesuai dengan bakat, kadar kemampuan dan keahlian masing-masing yang bersumber dan bermuara kepada Tuhan, Allah SWT. Selanjitnya ilmu dan keahlian yang dimilki diaplikasikan dalam kehidupan sebagai realisasi kokret pengabdian dan kepatuhan kepada Allah. Upaya ke arah itu diawali dari menanamkan nilai-nalai akhlaq al karimah (budi pekerti, tatakrama, menurut istialah lokal kita di indonesia) dalam diri setiap peserta didik kemudian diimplementasikan kelak melalui peran kekhalifahan sebagai

5 Drs.H.Ayat Dimyati,M.dkk. 2000. Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan.

Nuansa Bandung. Hal.78

Page 90: JURNAL UTUH

87

pemakmur dan pemelihara kehidupan didunia ini. Sebab pada dasarnya tujuan akhir pendidikan menurut islam adalah: 1. Terbentuknya insan kamil ( manusia universal,conscience) berwajah Qurani 2. Terciptanya insan kaffa yang memilki dimensi-dimensi religius, budaya, dan

ilmiah 3. Penyadaran terhadap eksistensi manusia sebagai abd ( hamba ), khalifah,

pewaris perjuangan risalah para Nabi atau Rosul Allah SWT.6

Konsep pendidikan berbasis ketuhanan, mengharuskan setiap orang baik dalam kapasitas sebagai sebyek maupun obyek yang memasuki kehidupan yang kaffa ( Q.s. Al-Baqarah/2:208). Seseorang mencapai derajat yang sempurna. Kesempurnaan seorangmanusia memilki hubungan erat dengan unsu-unsur keutamaan ( al fadhil ) atau berfungsinya semua daya yang dimiliki oleh setiap orang sesuai dengan tuntunan kesempurnaan yang dimilki oleh manusia. Sebaliknya daya-daya yang tidak berfungsi sesuai dengan tuntunan kesempurnaan, maka ia akan melahirkan keburukan atau al-razail.

Perwujudan kepribadian yang selalu menampilkan keutamaan atau kebaikan itu merupakan suatu sikap utuh yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan yang diketahui melalui sikap dan perilaku yang semakin humanis, toleran, dan bijak dalam pandangan dan kebijakan serta mendatangkan berbagai nilai guna yang dapat membahagiakan pihak lain dalam kehidupan bersama.7

2. Kurikulum Pendidikan Berdasarkan tauhid Ilmu

Kalau kita mau berbicara mengenai KBT kita mulai dari landasan berfikir kita, firman Allah “ dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” ...(QS Al-Dzariyat (51):56).“ Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (QS Al-Ahzab (33): 21) "Tuhanku mendidikku dengan sebaik-baiknya, maka sungguh baiklah pendidikan-ku." (HR Ibn Sam'ani).

Dari sini kita harus menyadari bahwa tujuan penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dalam arti luas, cara beribadah kita kepada Allah telah dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. Jadi konsep dasar dari Kurikulum Berbasis Tauhid adalah menerapkan sebuah kurikulum pendidikan yang muatan maupun metode pembelajarannya mengarah kepada pembentukan karakter Islami untuk meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT. dan yang lebih prinsip dalam KBT akan menghadirkan Allah pada semua materi pelajaran yang dipelajari siswa jadi tidak ada pemisahan antara agama dengan kehidupan. Kehidupan di dunia adalah sarana mencapai kesuksesan di akherat, kehidupan akherat merupakan kontrol kehidupan kita di dunia.

6 Ismail Faruqi Razy, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1988), hlm. 27 7 Muhammad Ismail Yusanto, Menggagas pendidikan Islam, (Jakarta: Al Azhar Press, 2004), hlm. 57

Page 91: JURNAL UTUH

88

Kurikulum merupakan materi yang harus diajarkan pada para peserta didik dalam suatu program pendidikan. Secara luas, kurikulum dapat diartikan sebagai keseluruhan pengalaman belajar para peserta didik yang dapat mendukung proses perkembangan dirinya kearah perwujudan sesuai dengan tujuan pendidikan. Dengan adanya kedua pengertian tersebut dapat dipahami bahwa pada kenyataannyam, materi saja tidak akan cukup dalam membentuk sebuah kepribadiaan bagi peserta didik, tetapi juga harus dapat dipadukan dengan kegiatan-kegiatan positif yang saling berinteraksi satu sama lain sehingga menimbulkan suatu pengalaman belajar yang berarti. Sehingga berdasarkan pengalaman-pengalaman tersebut terjadilah suatu proses perubahan tingkah laku. Kurikulum Berbasis Tauhid, Kurikulum ini berlandaskan Aqidah Islam, sifat dan kandungan kurikulum bertujuan mencetak karakter Islami pada diri siswa untuk mewujudkan kehidupan Islami berdasar Al Qur'an dan Sunnah. Prinsip dasarnya manusia hadir di dunia tidaklah bebas sekehendaknya, namun lengkap dengan aturan Allah yang melekat pada dirinya. Seluruh perbuatan diukur dari halal dan haram, syar’i atau tidak syar’i, Allah ridho apa tidak.

Dalam prosesnya, pendidikan keilmuan harus terpadu dengan pendidikan ketauhidan. Perkembangan pendidikan yang berasaskan tauhid dapat dilakukan sedini mungkin. Dimulai dari pndidikan dasar 9 tahun dimulailah penanaman ilmu tauhid yang berorientasi syariah praktis. Dengan kemampuan daya absorbsi perkembangan psikologis dan kondisi sosiologisnya serta dengan pendekatan interdisipliner maka penanaman tauhid ilmu pada usia dini akan sangat mudah. Seiring dengan perkembangan sifat psikologisnya, sifat-sifat sosial dan lingkungan juga perlu diarahkan untuk memancing respon nalar almiah peserta didik. Praktik etika dan moral sesuai dengan usia dan pergaulannya perlu diimbangi dengan penanaman sifat-sifat istiqamah, toleransi, dan penghargaaan atas hal-hal orisinil.

Dalam jenjang pendidikan tinggi mulai dilakukan penekanan pada proses disipliner dengan tauhid-tauhid ilmu yang lebih nalariah, kritis, kreatif, namun tetap imaniah. Melalui pendidikan akademik maupun pendidikan profesional dibangun jalur-jalur pendidikan yang memperhatikan mobilitas mahasiswa dalam memilih bidang studi. tauhid tidak sekadar dijadikan „mata pelajaran’ tetapi lebih sebagai sistem filsafat yang mendasari keseluruhan sistem pendidikan. Dalam bahasa Prof. Dr. H Mastuhu, M.Ed (2000) tauhid akan menjadi „payung’ yang akan menaungi keseluruhan proses pendidikan agar tetap berada dalam bingkainya. Pengayaan materi pelajaran dalam proses belajar mengajar harus merupakan cerminan dari tauhid. Karena subyek utama dalam pendidikan adalah manusia, maka dengan tauhid ini pendidikan hendak mengarahkan anak didik menjadi manusi tauhid, dalam arti memiliki komitmen yang tinggi terhadap Tuhannya dan menjaga hubungan baik dengan sesama dan lingkungannya. Dengan kalimat lain, pendidikan dalam perspektif tauhid hendak mengarahkan

Page 92: JURNAL UTUH

89

manusia pada tiga pola hubungan fungsional: hubungan dengan Tuhan (aspek teologis), manusia (antropologis) dan alam (kosmologis).8

Pendidikan islam merupakan aktivitas bimbingan yang disengaja untuk mencapi kepribadian muslim, baik berkenaan dengan jasmani, rohani, maupun akhlak. Salah satu komponen operasional pendidikan dalam sistem belajar adalah kurikulum pendidikan. dalam Konferensi Pendidikan Islam Pertama Sedunia kurikulum pendidikan islam dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu : 1. Pengetahuan abadi. Pengetahuan ini diberikan berdasarkan wahyu Illahi yang

diturunkan dalam Al Qur'an dan Sunnah. 2. Pengetahuan yang diperoleh. Yaitu ilmu-ilmu sosial alam dan terapannya.

Dari dua kelompok tersebut maka disusun kurikulum sebagai berikut: a. Pengetahuan abadi kajian tentang kitab suci Al Qur'an dan Sunnah studi fiqih (hukum Islam) studi syanah kebudayaan lslam studi naskah-naskah langka bahasa-bahasa b. pengetahuan yang diperoleh sastra seni dan keterampilan ilmu-ilmu sosial ilmu-ilmu terapan9

Dengan mempertimbangkan orientasi kurikulum dan prinsip integralisasi,

sistematik, ekologik dan fleksibilitas, kurikulum disusun dan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik, paling tidak memenuhi beberapa hal mendasar sebagai berikut : 1) Materi kurikulum harus merupakan integtasi ilmu (Tauhid Ilmu/Ilmu Islam) 2) Materi yang disusun tidak menyalahi fitrah manusia 3) Adanya relevansi dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu sebagai upaya dalam

rangka ibadah kepada Allah; 4) Disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan usia anak didik 5) Perlunya membawa anak didik kepada objek emperis, sehingga anak didik

mempunyai keterampilan-keterampilan yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyaraka, dan dapat mencari penghidupan yang layak; Materi yang diajarkan tidak hanya bersifat teoritis tetapi juga bersifat praktis

6) Adanya penyusunan kurikulum yang integral, terorganisasi, dan terlepas dari segala kontradiksi antara materi satu dengan materi lainnya

7) Materi yang disusun memiliki relevansi dengan masalah-masalah aktual

8 H.Ayat Dimyati, M.dkk, Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan, (Nuansa: Bandung, 2000), hlm.

9 Syafaruddin. 2009. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta : Hijri Pustaka Utama hal 20

Page 93: JURNAL UTUH

90

8) Adanya metode yang mampu menghantarkan tercapainya materi pelajaran dengan memperhatikan perbedaan masing-masing individu

9) Materi yang disusun mempunyai relevansi dengan tingkat perkembangan anak didik dan aspek-aspek sosial dan mempunyai pengaruh positif serta pragmatis

10) Memperhatikan kepuasan pembawaan fitrah 11) Memperhatikan pendidikan kejuruan untuk mencari penghidupan dan adanya

ilmu alat untuk mempelajari ilmu-ilmu lain 12) Setiap jenis dan jenjang pendidikan harus mengandung muatan yang bersifat

Tauhid Ilmu (Integrasi Ilmu Islami), sehingga ilmu apa saja yang dikembangkan selalu berorientasi pada ajaran Islam (pengembangan Ilmu Islam).10

Demi kelancaran kurikulum sistem pendidikan yang telah ditetapkan,

maka pemerintah telah menyusun Arah Kebijakan Pendidikan Nasional 5 tahun untuk menyusun program pembangunan nasional. Butir-butir kebijaksanaanya adalah sebagai berikut: a. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh

pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat demi terciptanya manusia Indonesia yang berkualitas tinggi.

b. Meningkatkan kemampuan akademik dan professional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga pendidikan sehingga tenaga pendidik mampu berfungsi secara optimal.

c. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan local sesuai kepentingan setempat. Serta diversifikasi jenis pendidikan secara professional.

d. Memberdayakan lembaga pendidikan, baik sekolah maupun non sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap, dan kemampuan, serta meningkatkan partisipasi masyarakat yang di dukung sarana dan prasarana yang memadai.

e. Melakukan pembaharuan dan pemantapan sistem pendidikan nasional berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan dan manajemen.

f. Meningkatkan kualitas lembaga pendidikan untuk memantapkan sistem pendidikan yang efektif dan efisien dalam menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.

g. Mengembangkan kualitas sumber daya manusia sedini mungkin secara terarah, terpadu, dan menyeluruh agar generasi muda dapat berkembang secara optimal disertai dengan hak lingkungan dan perlindungan sesuai dengan Potensinnya.

Tetapi kita juga harus maklum bahwa semua kehidupan berawal dari keluarga. Disamping lembaga pendidikan yang harus diikuti sedini mungkin, keluarga adalah pusat segala pendidikan yang menjadi inti dari segala upaya pendidikan. Maka dari itu, sebuah keluarga harus dibangun dengan landasan

10

S. Nasution, Asas-asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 34

Page 94: JURNAL UTUH

91

agama yang kokoh sehingga terwujud keluarga sakinah. Dan dengan adanya dasar keimanan yang kuat diharapkan kelak akan menghasilkan sumber daya manusia yang tangguh dalam menghadapi kemajuan zaman.11

C. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas maka selanjutnya dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Bermujahadah dalam mentadabburi, mentafakkuri kandungan kitab suci al-

Qur’an dan mengamalkannya secara massal bahkan kolossal. Tidak bisa hanya pribadi, atau kelompok semata. Tetapi harus serempak dan sinergis berkesinambungan.

2. Meninggalkan paham anthroposentris dan segera menuju pada paham tauhidi. Sebagaimana atsar sayyidina Ali bahwa, akal dan wahyu ibarat dua tanduk yang tidak bisa dipisahkan apalagi dipertentangkan.

3. Seluruh umat Islam berkewajiban meningkatkan kepekaan atau sensitivitas terhadap kondisi umat Islam secara menyeluruh, sehingga lahir kepedulian yang tinggi untuk bersama-sama mengambil peran dalam menjawab tantangan zaman.

4. Mulailah satu gerakan walau kecil untuk mencintai dan memakmurkan masjid. Setidaknya dengan cara meramaikan pelaksanaan sholat jama’ah di masjid lima waktu, meningkatkan kuantitas dan kualitas kegiatan keilmuan di masjid, bahkan mungkin kegiatan ekonomi di masjid.

5. Setiap muslim hendaknya meningkatkan kualitas diri dengan mempertajam bekal keilmuan ukhrowi dan duniawi sekaligus. Kita tidak boleh hanya paham satu ilmu dan lupa terhadap ilmu yang lain

DAFTAR PUSTAKA Ayat Dimyati, M. dkk, Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan,

Nuansa : Bandung, 2000. Faruqi, Ismail Razy, Tauhid, Bandung: Pustaka, 1988. Http://www. Islamlib.com/id/index. (Jaringan islam Liberal). di akses pada

tanggal 11 juni 2013.

11 Ibid, hlm 45

Page 95: JURNAL UTUH

92

Nasution. S, Asas-asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 1995. , Pengembangan Kurikulum, Bandung: Bumi Aksara, 1993. Surya, Muhammad, Integrasi Tauhid I1mu dalam Sistem Pendidikan Nasional,

dalam Hendar Riyadi (ed.), Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan, Bandung: Penerbit Nuansa, 2000.

Syafaruddin, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2009. Tim editor, Orientasi Nilai Dasar Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004. Yossi Suparyo, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Media

Abadi, 2005. Yusanto, Muhammad Ismail, Menggagas pendidikan Islami, Jakarta: Al Azhar

Press, 2004.

Page 96: JURNAL UTUH

93

Novel Lauh Mahfuz: Agama dan Harmonisasi Keberagamaan

Arif Hidayat1

Abstrak

Manusia memang beragam, penuh perbedaan, unik, dan punya jalan pikir masing-masing, selalu ada sisi-sisi yang tersembunyi di dalamnya, sudut-sudut gelap yang harus dibaca dengan teliti dan cermat untuk menuju pada makna sebenarnya karena semuanya memiliki kemungkinan untuk diinterpretasi.dan menarik untuk diapresiasi.

Demikianpun Novel Lauh Mahfuz karya Nugroho Suksmanto, yang penuh dengan pesan-pesan bermakna terkait dengan cara memahami agama, mengatasi perbedaan, dan harmonisasi dalam keberagaman. Perlu untuk diketahui dan dipahami bahwa untuk memahaminya tidak hanya dibangun melalui susunan peristiwa, tetapi juga dapat dimunculkan melalui tokoh yang melatarbelakangi sistem sosial dan budaya tertentu. Dalam novel Lauh Mahfuz, tokoh menjadi “artikulasi ganda” atas keperibadian yang memiliki pandangan, juga tindakannya adalah proyeksi dari wacana. Adanya tokoh Syekh Abu Salaf dan Syekh Ibnu Khalaf misalnya, dapat kita identifikasi sebagai dua tokoh yang memiliki dua pandangan besar— yang dalam konteksnya dapat kita hubungkan dengan keberadaan kaum Salaf dan Khalaf. Novel Lauh Mahfuz memberikan kita seberkas cahaya untuk menyadari hakikat perbedaan yang penuh dengan konflik. Kita serasa diajak masuk pada ruang yang punya banyak pintu untuk menyalakan cahaya di dalam hati dan memahami hidup beragama secara humanis dan terbuka pada perbedaan.

Kata Kunci : Agama, Harmonisasi, Keberagaman

Pengantar

Sebuah kabar yang menggembirakan dari langit itu dipahaminya melalui bahasa, maka “bacalah”. Begitulah wahyu pertama yang turun di gua Hira, melalui perantara Malaikat Jibril, yang disampaikan dengan Bahasa Arab. Dan al-Qur’an adalah al-Qur’an, Kitab Suci yang diturunkan Allah untuk “keselamatan umat manusia,” yang mana Nabi Muhammad Saw sebagai utusan-Nya. Sebagaimana bahasa al-Qur’an yang estetis, ia memiliki tujuh tingkatan makna, dari yang sangat mudah dipahami sampai hanya yang diketahui oleh Allah. Saat dipahami lebih mendalam, al-Qur’an kaya makna, yang memiliki

1Arif Hidayat, M.Hum adalah Dosen LB di STAIN Purwokerto dan di Sekolah Tinggi

Teknik Telematika Telkom Purwokerto

Page 97: JURNAL UTUH

94

pengaruh besar dari saat turun sampai waktu-waktu yang akan datang. Hanya saja, pasca Nabi Muhammad Saw wafat, mulai banyak penafsiran sehingga muncul perbedaan dengan klaim-klaim kebenaran subjektif.

Manusia memang beragam, penuh perbedaan, unik, dan punya jalan pikir masing-masing, seperti yang saya temukan saat membaca novel berjudul Lauh Mahfuz karya Nugroho Suksmanto. Novel yang cukup menyita waktu itu, akhirnya selesai saya baca, dan menarik untuk diapresiasi terkait dengan cara memahami agama, mengatasi perbedaan, dan harmonisasi dalam keberagaman.

Sebelumnya, bolehlah saya berasumsi bahwa novel tak hanya terdiri dari sederet susunan cerita saja, jauh lebih dari itu, novel menawarkan pada kita ruang-ruang peristiwa yang kompleks tentang sebuah dunia yang dipandang secara partikular dan unik oleh pengarang. Realitas ditampilkan dalam sudut pandang yang berbeda dengan prinsip permainan bahasa, penuh kotradiksi. Begitulah asumsi yang ditawarkan oleh kalangan postuktural semacam Barthes dan Foucault misalnya, terkait cara menyikapi teks, tak terkecuali juga novel yang menggunakan bahasa sebagai medium. Tentunya, kita harus membuka tanda dusta yang direka oleh pengarang. Melalui kemungkinan yang terbuka, kita dapat memasuki tatanan sosial yang dikonstruk dalam proses dialektika panjang antara yang nyata dan yang fiktif, antara yang real dan simbolik. Resikonya, tak jarang pula harus berhadapan dengan “kode konotasi” yang dibangun dalam cerita sehingga kita serasa bertualang dalam persepsi tokoh, situasi, dan konflik-konflik yang membuat dimensi emosi kita muncul sebagai respons. Kombinasi yang kompleks itu dapat kita cermati melalui sistem tanda yang ada di dalamnya, kemudian kita serasa terbang mengelilingi gugusan wacana, tentunya dengan membaca entitas berkabut yang ada di sekitarnya.

Novel berjudul Lauh Mahfuz memiliki kompleksitas semacam itu: seperti sebuah bangunan dengan konsekuensi sastrawi untuk memusatkan cerita pada sudut pandang tertentu, namun tersedia banyak pintu dan jendela untuk memasukinya. Novel ini bercerita tentang tokoh Panji dalam memahami esensi hidup, yang ditemukan melalui jalan beragama, kemudian mendaki tujuh langit menuju Lauh Mahfuz untuk mengubah nasib agar tidak banyak korban tak berdosa berjatuhan di muka bumi. Tokoh Panji mengalami berbagai macam persoalan, dari proses kehidupan sehari-hari yang sangat sepele, sampai memasuki alam metafafisik yang penuh dengan fenomena kontradiktif . Dia, sejak kecil, telah terhubung dengan dimensi ruh sehingga bisa berkelana pada alam ghaib dan terhubung dengan beberapa orang yang memiliki kekuatan mistis. Maka itulah, tokoh Panji dapat melakukan perjalanan spiritual (dengan berbagai macam rintangan) setahap demi setahap dengan bimbingan Syekh Abu Salaf menuju puncak tertinggi (yang digambarkan sebagai Lauh Mahfuz).

Pertanyaan yang muncul kemudian: apakah hanya cerita seperti itu yang hendak ditawarkan dari sebuah novel? Seperti yang telah saya katakan sebelumnya bahwa novel memiliki ruang yang sangat lebar dan bervariasi, maka yang perlu untuk dicermati secara mendalam pada novel Lauh Mahfuz adalah

Page 98: JURNAL UTUH

95

pada proses dialektika cerita itu sendiri dan usaha menemukan kemungkinan tersembunyinya sebagai entitas yang berada di sekitar teks karena selalu ada “kode”, semacam celah bagi kita untuk memasuki ruang itu. Kita pun dihadapkan pada pandangan yang ideal dan faktual, dengan proyek panjang tentang agama yang menimpa manusia, yang tak kunjung selesai. Kira-kira semacam kematian masal yang pecah di dalam ingatan, atau semacam konsep-konsep yang membuat kita tercengang pada sebuah kemuliaan dengan seakan-akan tiada batas lagi dunia ini, yang dapat membuat kita keluar masuk pada sebuah rahasia.

Namun saya tekankan, bahwa selalu ada sisi-sisi yang tersembunyi di dalam teks: sudut-sudut gelap yang harus dibaca dengan teliti dan cermat untuk menuju pada makna teks karena semuanya memiliki kemungkinan untuk diinterpretasi. “Tak ada yang di luar teks,” kata Derrida. Pada wilayah itu, saya pikir, kita dapat memasuki kedamaian dan kedalaman makna melalui “retorika imaji” dari novel Lauh Mahfuz atas cerita yang cukup keramat. Maka itu, hasrat untuk memburu entitas pun harus kita redam-terkendali, kita telusuri dengan pelan-pelan agar tidak tersesat ataupun terjebak dalam perangkap yang kita buat sendiri.

Novel, Kode, dan Wacana

Kalau sudah begitu, acuan macam mana yang mesti digunakan untuk berburu makna dengan membuka per lembar halaman? Sekiranya, mula-mula, kita bisa bercermin pada novel-novel dengan tema agama yang pernah ada dulu: yang menyinggung tentang agama. Sebutlah misalnya, novel Anak-anak Gebelawi karya Naguib Mahfouz (novelis asal Mesir) yang banyak mendapatkan kritik pedas dari para ekstrimis Islam. Atau, novel Ayat-ayat Setan karya Salman Rushdie yang membuatnya harus bersembunyi karena banyaknya orang yang ingin membunuh (karena dinilai telah melecehkan agama). Namun, pujian terhadap novel yang bertema agama juga ada, semisal novel-novel karya Rabindranath Tagore, yang kemudian membawanya meraih nobel. Sementara itu, di Indonesia, kita bisa melihat pada novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja terbitan Balai Pustaka, 1949, yang menimbulkan pembahasan cukup panas dengan penolakan dari beberapa tokoh agama, tetapi juga ada sambutan baik pada novel-novel karya Kuntowijoyo dengan semangat profetik ataupun pada novel-novel Habiburahman El Shirazi yang cukup popular.

Lantas, bagaimanakah kondisi terakhir novel Indonesia? Faruk memandang bahwa “novel Indonesia mutakhir berada dalam pergumulan antara totalisasi dan detotalisasi.”2 Maksud dari pernyataannya, bahwa novel Indonesia mutakhir berusaha untuk mengungkap nilai-nilai pada wilayah yang terdegradasi atas realitas yang telah terdegradasi. Realitas dimodifikasi dengan sedemikian rupa untuk menyampaikan pesan-pesan humanis atas peristiwa yang mengalami

2Faruk. Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi. Yogyakarta: Gama Media,

2001, hlm. 34-35

Page 99: JURNAL UTUH

96

ketimpangan. Pendapat Faruk tentang totalisasi dan detotalisasi mencapai titik temu dalam jejak transisi yang saling terhubung antara realitas “yang ideal, subjektif, dan dimensi ketuhanan”.3 Tampaknya, begitu pula dengan novel Lauh Mahfuz yang berusaha untuk menyampaikan pandangan tentang agama dalam menyikapi perbedaan cara pandang karena banyaknya perselisihan tentang agama. Ada hubungan yang dialogis antara yang ideal, subjektif, dan dimensi ketuhanan, dengan memuat fenomena paradoks atas agama yang seharusnya mengarahkan pada kesejahteraan, kedamaian, keselarasan dan harmonisasi hidup, tapi justru menjadi akar masalah atas perselisihan hanya demi pencapaian klaim kebenaran. Nah, sampai di sini, sedikitnya, kita telah memahami gambaran ruang yang penuh dengan alegori tersebut, beserta tatanan Imajiner yang dilingkari oleh konsep refleksi dari realitas.

Adapun dalam memahami sistemisasi kode yang dibangun di dalam novel Lauh Mahfuz karya Nugroho Suksmanto harus dipahami secara bertingkat, yakni dari denotasi ke konotasi dan seluruh perangkat kode menjadi wacana dalam pemunculan masalah dan penyelesaian realitas-simbolik. Kita dapat memasukinya dengan “retorika imaji” yang dibungkus oleh bahasa. Roland Barthes pernah menjelaskan tentang retorika imaji: “Imaji dipahami sebagai batas dari makna dan imaji memungkinkan adanya penghargaan atau pengakuan sungguh-sungguh terhadap ontologi pertandaan.”4 Retorika imaji dalam novel Lauh Mahfuz dapat dicermati oleh pembaca dalam susunan cerita bertingkat di alam ghaib. Padepokan as-Salaf, Burung-burung Ababil, Sidratul Muntaha, Isra Mikraj, dan Lauh Mahfuz adalah realitas yang hanya bisa ditangkap oleh pembaca dengan imaji. Ada susunan mitos, baik bersumber dari al-Qur’an, Kitab, maupun dari buku-buku yang menuliskan keberadaanya. Eksistensi itu dapat kita baca dalam realitas Imajiner sebagai dimensi yang dipercaya keberadaanya. Alam-alam imajinal (yang selama ini menjadi teka-teki bagi orang awam) dapat dinarasikan dan dideskripsikan dengan jelas dalam Lauh Mahfuz dan semua itu seakan tampak dalam bentangan mata kita. Novel ini menjadi semacam visioner, sekalipun realitas semacam itu bukan sebagai inti utama yang hendak diwacanakan, namun wilayah ini menjadi bagian dari sistematisasi kode yang cukup penting untuk menuju pada entitas yang saling berimplikasi.

Perlu untuk diketahui dan dipahami bahwa kode tidak hanya dibangun melalui susunan peristiwa, tetapi juga dapat dimunculkan melalui tokoh yang melatarbelakangi sistem sosial dan budaya tertentu. Dalam novel Lauh Mahfuz, tokoh menjadi “artikulasi ganda” atas keperibadian yang memiliki pandangan, juga tindakannya adalah proyeksi dari wacana. Adanya tokoh Syekh Abu Salaf

3 Ibid, …hlm 45-47 4Roland Barthers. Mitologi (Mythologies) diterj. oleh Nurhadi dan A. Sihabul Milah.

Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006, hlm. 19-20

Page 100: JURNAL UTUH

97

dan Syekh Ibnu Khalaf misalnya, dapat kita identifikasi sebagai dua tokoh yang memiliki dua pandangan besar— yang dalam konteksnya dapat kita hubungkan dengan keberadaan kaum Salaf dan Khalaf. Pada bagian “LII Pertempuran Pamungkas”, kedua tokoh itu memiliki perbedaan tafsir atas pilihan tindakan yang dilakukan oleh tokoh Panji kerena menyembunyikan pencuri, berbohong, melukai santri, dan dianggap menentang perintah yang ditegaskan Kitab Suci. Dari permasalahan itu, dua tokoh besar harus bersitegang untuk mengokohkan pendapatnya masing-masing secara subjektif, apalagi mereka mendapatkan bisikan setan. Perdebatan benar dan salah dalam hal sudut pandang tafsir sering muncul dalam Islam antara kaum salaf dan khalaf. Dua tokoh tersebut (Syekh Abu Salaf dan Syekh Ibnu Khalaf) adalah representasi, yang memiliki identitas tersendiri.

Tokoh-tokoh yang ada di dalam novel Lauh Mahfuz adalah tokoh yang beridentitas dengan latarbelakang yang beragam—penuh dengan perbedaan. Tokoh Maria Secunda mulanya bernama Menik, yang pergi karena keluarganya dibantai (baca: rumahnya dibakar) karena menjadi aktivis PKI. Dia mengalami hilang ingatan ketika tidur di bis membentur kursi, kemudian datang ke gereja dan mendapat sambutan ramah dari Suster Kepala dari Biara Gereja Katolik Santa Ursula. Dia diberi nama baru, bernama Maria Secunda, memiliki identitas baru, (seakan baru dilahirkan, atas ingatannya yang hilang), yakni dengan beragama Kristen. Selain itu, ada tokoh lain, yakni tokoh Pak Ranuwisid yang merupakan proyeksi dari aliran kebatinan, dan sebagai pengurus Paguyuban Ngesti Tungga. Dari dua contoh itu saja, kita dapat mengidentifikasi peranan tokoh yang sengaja dikonstruks oleh pengarang untuk menampilkan wacana berdasarkan keberbedaan identitas yang mereka miliki.

Bagi Foucault (2002), wacana senantiasa menampilkan praktik sosial dan objek material atas kedirian subjek. Adanya keterlibatan karakterisasi tokoh (sebagai kedirian subjek) dalam struktur dan sistem sosial, juga bagian dari wacana. “Pembentukan wacana adalah pola peristiwa-peristiwa diskursif yang mengacu, atau melahirkan, suatu objek umum pada berbagai arena”.5 Wacana muncul melalui bahasa, dan novel menggunakan bahasa untuk menceritakan, sementara kita membaca keadaan tokoh juga melalui bahasa. Dan perlu untuk dicermati bahwa wacana di dalam novel tidak hanya muncul berdasarkan cerita itu sendiri, namun situasi kejiwaan seorang tokoh juga dapat menjadi kode yang terkait dengan struktur sosial. Sebagai contoh adalah situasi kejiwaan yang dialami oleh tokoh Menik dalam kutipan berikut ini.

Selagi dalam otaknya berkecamuk pikiran-pikiran kesangsian, tiba-tiba Menik dikejutkan oleh dentang lonceng gereja yang sayup-sayup terdengar merdu seakan memanggil-manggil dirinya. Dan ketika mentap tanda salib di atasnya menaranya, terbayang salib itu

5Chris Barker. Cultural Studies: Teori dan Praktik (Cultural Studies: Theory and Practic) diterj. oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008, hlm. 83

Page 101: JURNAL UTUH

98

berada di dada seorang perempuan yang mengulurkan tangan. Tanda keikhlasan yang ditawarkan.

Menik sempat sejenak terkesima, kemudian tersadarkan bahwa dia tak perlu ragu-ragu menyambut tawaran dari penampakan itu.

…. Kemudian dia membiarkan berlama-lama perasaannya

terbuai dalam kenikmatan itu. Kenikmatan yang memberikan ketenangan batin dan kesegaran lahiriah.6

`Narasi tentang situasi kejiwaan yang dialami oleh tokoh Menik membuka sebauh wacana atas situasi yang terpinggirkan. Tokoh Menik mengalami dilema akibat goncangan mental atas keluarganya yang terbakar satu rumah karena terlibat PKI. Situasi kejiwaan dari tokoh Menik juga menjadi metafor perubahan sosial dengan menemukan identitas lain, yakni dengan masuk agama Kristen. Situasi kejiwaan dari tokoh Menik ketika mendapatkan identitas baru mengalami “ketenangan batin dan kesegaran lahiriah” karena masa lalunya terkubur dalam amnesia. Begitulah, sebuah situasi kejiwaan yang tampaknya semu, ternyata terhubung dengan ruang sosial yang begitu pelik.

Satu hal yang perlu untuk dicermati dengan seksama, yakni beberapa wacana yang dimunculkan di dalam novel Lauh Mahfuz ditampilkan dalam dialog-dialog antartokoh. Dialog tersebut berbentuk narasi yang panjang, yang kadang-kadang terasa menggurui karena banyaknya muatan ideologis yang ditawarkan. Terkait dengan permasalahan seperti itu, Paul Riceour pernah menjelaskan bahwa “diskursus yang memang dapat diucapkan, tetapi dia ditulis kerena tidak diucapkan.”7 Ucapan menjadi teks. Artinya, bahwa ketika seorang tokoh di dalam novel Lauh Mahfuz sedang membicarakan sesuatu, memproduksi ujaran kepada tokoh lain, sesungguhnya itu juga bagian dari teks yang berpotensi untuk dimaknai. Pada ranah itu, ada kode yang dapat kita ambil sebagai petunjuk untuk terhubung dengan fragmen lain.

Kita pun dapat memasuki beberapa pengetahuan yang diterima oleh tokoh Panji saat berdialog dan mendapat pengarahan dari tokoh-tokoh lain yang telah berpengetahuan. Tokoh Panji banyak mendapatkan pengarahan dari Syaikh Abu Salaf dan mendapat bisikan dari Pak Ranuwisid. Kata-kata dari mereka adalah wacana. Kualitas komunikasinya dapat dicerap oleh pembaca sebagai pengetahuan.

“Bararti?” “Kehidupan itu ilusi!” “Iya” “Kesimpulannya…?”

6 Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2012, hlm.

42-43 7Paul Riceour. Hermeneutika Ilmu Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 197

Page 102: JURNAL UTUH

99

Selagi Menuk terdian, Syekh Abu Salaf melanjutkan, “ٱang kamu sebut ilusi itu tidak datang sendiri. Pasti ada yang menciptakan atau memiliki. Kalau ilusi manusia hanyalah sebatas dua dimensi, seperti mimpi misalnya, sedangkan ilusi dari Yang Mahakuasa dapat terjadi dalam tiga dimensi, berwujud jagat raya dan seisinya. Ini tentu dilahirkan berlandaskan sebuah konsep yang menghadirkan makna. Ternyata ada logika lain dari Yang Mahakuasa yang tak terbayangkan oleh otak manusia.”8

Dari dialog itu, tidak hanya tokoh Panji dan Menuk yang mendapatkan

pengetahuan, tetapi juga pembaca mendapat informasi, wawasan, dan cara pandang. Ada kebenaran tentang dimensi ketuhanan yang diutarakan oleh tokoh Syekh Abu Salaf. Kita serasa mendapatkan informasi mengenai hakikat ilusi (sebagai peristiwa) yang pada akhirnya tertuju pada Tuhan Mahakuasa. Dalam mengungkapan hal semacam itu, pengarang dengan mudah menyampaikan pengetahuan-pengetahuan melalui tokoh yang telah disiapkan sebagai yang menguasai pengetahuan tersebut. Syekh Abu Salaf adalah seorang kiai dari padepokan as-Salaf, yang dianggap memiliki kesucian jiwa dan memancarkan kejernihan aura. Wajarlah, bila Syekh Abu Salaf mengetahui dimensi kehidupan dunia, jiwa, dan ruh, yang kemudian diceritakan kepada tokoh Panji. Dari tokoh-tokoh yang telah dipersiapkan itulah, ada kebebasan untuk memainkan wacana dengan sebuah ide yang lurus sebagai benang yang mengikat beberapa fragmen. Tampak sekilas bahwa cerita dari novel Lauh Mahfuz terasa begitu liar; seolah-olah bermain dengan banyak sekali wacana, dengan mencakup beberapa aspek, namun semua itu berada dalam konstituitif narasi—garis lurus dari tema mayor yang ada dalam struktur narasi. Agama: Sebuah Pilihan atas Kebebasan

Konstituitif narasi yang dimunculkan di dalam novel Lauh Mahfuz karya Nugroho Suksmanto dibangun pada garis paralel yang erat dengan tema agama dan perbedaan untuk dipahami secara humanis. Ada kritik, sekaligus ada anjuran (pesan), yang lebih tepatnya kita sebut sebagai wacana. Berwacana dan membicarakan agama perlu kehati-hatian karena rawan menjadi perdebatan dan ketersingungan beberapa pihak yang merasa dilecehkan. Dan begitulah konsekuensi yang perlu untuk dipilih, ditindaklanjuti, demi keselarasan atas hidup yang harmonis dalam beragama, bersosial, dan bernegara. Bagaimanapun juga, novel (sebagai salah satu genre karya sastra) berbicara dari sisi kemanusiaan, dari realitas yang termarginal, terdegradasari, dan berjuang atas ketimpangan, entah apapun latar belakangnya. Berangkat dari banyaknya pertikaian berlatarbelakang agama, baik intern maupun antarumat beragama, yang menyebabkan korban berjatuhan, novel Lauh Mahfuz memberikan kita seberkas cahaya untuk menyadari hakikat perbedaan yang penuh dengan konflik.

8 Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz…,hlm 62-63.

Page 103: JURNAL UTUH

100

Kita serasa diajak masuk pada ruang yang punya banyak pintu untuk menyalakan cahaya di dalam hati dan memahami hidup beragama secara humanis dan terbuka pada perbedaan.

Kita dibawa masuk pada sebuah ruang yang penuh dengan pilihan hidup. Dan memang, harus diakui bahwa memeluk agama adalah sebuah pilihan, seperti yang termaktub di dalam surat al-Kafirun.

ぴ ∠ون ف⌒ر⊥ 音∠ل∇ك下 ا∠ヰぁأ∠ي 音∠ق⊥ل∇ ي≒ぴ ∠ب⊥د⊥ون ا ت∠ع∇ ب⊥د⊥ م∠ أ∠ع∇ ∠ び≪ ا ب⌒د⊥ون∠ م∠ 音∠أ∠نت⊥م∇ ع ∠ び و∠ぴ ⊥ب⊥د ب∠دتぁم∇ ぴ≪أ∠ع∇ ا ع∠ zاب⌒د م أ∠ن∠ا ع∠ ∠ ب⊥د⊥ び√ぴ و∠ ا أ∠ع∇ ب⌒د⊥ون∠ م∠ 音∠أ∠نت⊥م∇ ع ∠ び∽ び و∠

ぴ ⌒ين ل⌒ى∠ د⌒ ين⊥ك⊥م∇ و∠ ∝ل∠ك⊥م∇ د⌒ Artinya: “1) Katakanlah: Hai orang-orang kafir. 2) Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3) Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. 4) Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. 5) Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6) Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

Dalam hal ini. Tuhan telah memberikan kebebasan kepada manusia untuk

beragama sesuai dengan pilihannya, sesuai dengan keyakinan dan pandangannya. Ada hak asasi dari Tuhan untuk setiap orang dalam memeluk agama, tanpa mempermasalahkan. Esensi mengenai pilihan, hak azasi, dan kebebasan itulah, yang ingin ditekankan kembali dari novel Lauh Mahfuz. Jalan menuju Tuhan adalah sebanyak jumlah ciptaan-Nya. Masyarakat modern dengan pandangan rasionalisasi yang kaku telah melakukan kekeliruan dalam menginterpretasikan teks agama yang suci dan sakral. Mereka memandang interpretasi sebagai satu-satunya kebenaran jawaban atas zaman, padahal mereka adalah manusia: tempat salah dan lupa. Konsep rasionalitas dipahami dan diterapkan bagi umat secara mutlak, dan yang tidak mengikuti adalah salah. Interpretasi itu pun menjadi belenggu bagi kita semua. Kita perlu sadar, bahwa memeluk agama perlu dilandasi oleh spiritualitas dari hati si pemeluk itu sendiri. Ketika Sachiko Murata melakukan studi naskah klasik di Cina, dia menemukan bahwa esensi religiusitas yang dibangun oleh Tao, Budhism, Konfusian, dan Islam terbentuk dari hati tiap-tiap pemeluknya itu sendiri. Memeluk agama perlu dilandasi keikhlasan dalam bingkai spiritualitas, tanpa paksaan, tanpa ancaman, tanpa tekanan ataupun tanpa kekangan dari pihak manapun.9

Setiap orang memiliki keyakinan masing-masing, dengan spiritualitas yang terkandung di dalam hatinya. Tokoh Menik dan Menuk dalam novel Lauh Mahfuz diceritakan sebagai saudara kembar, namun pilihan atas agama dan keyakinan mereka berbeda. Dan mereka tidak dipaksakan, tanpa ancaman, tanpa

9Sachiko Murata. Kearifan Sufi Cina (Chinese Gleams of Sufi Light; Wang Tai-yu’s

Great Learning of the Pure anda Real and Liu Chih’s Displaying the Concealment of the Real Realm) diterj. oleh Susilo Adi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003

Page 104: JURNAL UTUH

101

tekanan ataupun tanpa kekangan dari pihak manapun dalam memeluk agama. Lebih karena kesadaran diri yang mendorong untuk memahami hidup dengan konsep iman.

Menik sempat terkesima, kemudian tersadarkan bahwa dia tak perlu ragu-ragu menyambur tawaran penampakan itu.

Itukah Bunda Maria? Dia tidak tahu. Yang jelas wajahnya begitu lembut dan memukau. Kesan tulus dengan kasih dan cinta terlihat memancar dari raut mukanya. Tak kuasa Menik menolak uluran tangannya. Maka bergegaslah dia menghampiri gereja itu.

Dalam perjalanan menuju gereja, Menik tak henti-henti merasa takjub akan pengalaman spiritual yang baru saja dia rasakan. Ketakjuban itu membasuk dirinya dengan sebuah kesejukan jiwa, yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Yang membuat dia melangkah lebih ringan, menatappenuh percaya diri, dan membuahkan harapan bahwa hidupnya takkan sia-sia, bahkan berguna nantinya. Bahwa pada suatu saat, ketika nanti diamelangkah ke alam kekal, pasti perempuan yang ada dalam penampakannya tadi, akan menjemputnya. Bukankah itu esensi kehidupan, sebuah perjalanan meraih kebahagiaan. Kebahagiaan yang lahir bukan dari benda, atau dari sebuah ideology, tetapi kebahagiaan yang lahir dalam perasaan seorang hamba dari Yang Mahakuasa.10

Dari kutipan tersebut, dapat dicermati bahwa tokoh Menik mendapat bimbingan spiritual dari roh Bunda Maria. Kegalauan dan kekalutan dalam ketaksadaran atas masa lalu tokoh Menik yang menyertai dirinya, kemudian mendapat petunjuk dan ketenangan jiwa hingga tergerak menuju gereja. Instrument ini karena dorongan dalam batin yang begitu kuat sehingga menggerakan seluruh tubuh secara operasional. Tentang peranan jiwa dan spiritualitas, Imam ar-Razi mengatakan “mengenai pengaruhnya pada tubuh, ia mengharuskan adanya dominasi jiwa atas tubuh dan tampilnya emansipasi di dalamnya.”11

Maka itu, lain halnya dengan tokoh Menuk yang menyatukan keseluruhan jiwa secara komprehensif, yakni ketika mendapatkan pengetahuan dari Syekh Abu Salaf sebagai petunjuk, seperti yang ada dalam kutipan di bawah ini.

Akhirnya Menuk Memohon, “Syekh, boleh aku mengikuti jejak Syekh, memeluk Islam. Rasanya aku ingin lebih memahami rahasia alam serta kehidupan yang digelar Tuhan dan bersikap serta berprilaku sebagaimana yang Dia kehendaki.”

10

Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz…, hlm 42 11Ar-Razi, Imam. Ruh dan Jiwa; Tinjauan Filosofis dalam Prespektif Islam (Imam Razi’s

‘Ilm al-Akhlaq) diterj. oleh H. Mochtar Zoerni dan Joko S Kahhar. Surabaya: Risalah Gusti, 2000, hlm 105

Page 105: JURNAL UTUH

102

Syekh Abu Salaf langsung menjawab, “Ucapkanlah Syahadat!

Itu petanda engkau telah menjadi seorang muslim. Karena itu, merupakan Rukun Islam yang pertama”12

Dalam kutipan tersebut, petunjuk yang datang pada tokoh Menuk adalah pengetahuan yang diresapi, dihayati, dan dipersepsi dengan pikiran. Ranah ini membuka instrument mengenai manifestasi jalan jiwa untuk menelusuri ranah-ranah yang lain. Pada konteks seperti itu, menurut Imam ar-Razi bahwa: “semakin tumbuh berkembang pengetahuan jiwa, semakin sempurna keadaan untuk sadar.” Tidak mengherankan, dalam kondisi semacam itu menjadikan seseorang memiliki penyatuan dan internalisasi nilai-nilai dengan agama dapat mengkristal dengan cepat.

Kendati tokoh Menik dan Menuk adalah saudara kembar, tumbuh dalam lingkaran ideologi komunis, namun petunjuk bagi datangnya iman berada dalam jalan yang berbeda. Jiwa menjadi tempat tinggal spiritualitas manusia, dan dari situlah keyakinan mengenai benar dan salah muncul. Tokoh Menik mendapatkan petunjuk dalam goncangan mental dan berada dalam ketaksadaran sehingga spiritualitas keberagamannya adalah laku. Sedangkan tokoh Menuk mendapatkan petunjuk dengan pengetahuan terus-menerus dengan cara mendengar sehingga transformasinya terwujud dalam tindakan kreatif. Namun, perlu untuk dipahami, bahwa kedua tokoh tersebut telah mendapatkan keyakinan berdasar pada pengetahuan masing-masing. Dari pengetahuan itulah, mereka memiliki kesadaran praktis (sistem nilai) terhadap realitas: dengan segenap struktur sosial-budaya yang melingkari. Keyakinan seseorang terbentuk tanpa paksaan, tanpa tekanan, dan tanpa ancaman, yakni lebih melalui kesadaran tiap-tiap diri untuk beriktikad dan bertindak dalam dorongan jiwa yang bijak dan suci.

Keyakinan dan kekuatan spiritual untuk mendalami agama sebagai pilihan juga dimiliki oleh tokoh Panji tanpa ada paksaan dari siapapun, seperti yang tertera dalam kutipan di bawah ini.

“Apa yang ingin kamu lakukan di sini, Panji?” Menuk membuka pembicaraan.

“Aku tidak tahu. Aku hanya memiliki kerinduan untuk bertemu nabi besar junjunganumat Islam, Muhammad sallallahu alaihi wasalam, kalau diizinkan.”

“Kerinduan itu yang mungki membawamu ke sini. Tetapi bertemu Nabi adalah sesuatu yang tak mungkin dilakukan. Beliau berada di tingkatan langit yang tak dapat dikunjungi oleh manusia, sesuci apa pun. Kecuali beliau sendiri yang mengndangnya, itu mungkin” .13

Dari kutipan itu, kita dapat mencermati bahwa yang dilakukan oleh tokoh Panji adalah pilihan hidup. Segala yang termanifestasi di dalam dirinya adalah

12 Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz…, hlm 66

13 Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz…, hlm 52

Page 106: JURNAL UTUH

103

embun yang sangat halus, yang mengurai kekosongan dalam setiap waktu. Beragama yang baik adalah dengan menjaga kehalusan budi, menjalin kerukunan dengan sesama manusia, dan menjadi pemimpin yang baik bagi alam semesta. Dalam pandangan Muhammad Iqbal “sesungguhnya cara yang dipakai al-Qur’an dengan kata “wahyu” menunjukkan, bahwa al-Qur’an memandangnya sebagai sesuatu milik universal”, yakni ditujukan untuk keselamatan dan kesejahteraan umat. Nabi Muhammad Saw menyarankan pada umatnya bahwa apabila mereka ingin selamat, berpeganglah pada dua tuntunan, yakni al-Qur’an dan Hadis. Adapun yang banyak terjadi setelah Nabi Muhammad Saw wafat, justru al- Qur’an dan Hadis menjadi perdebatan di kalangan pemikir, intelektual, pengkaji, maupun pengkritik dengan klaim kebenaran subjektif atas interpretasi masing-masing. Jika hal ini berlanjut terus-menerus, akan dapat memicu perpecahan di dalam Islam, bahkan kehancuran, hanya disebabkan oleh perbedaan tafsir semata.14

Kebenaran Absolut, Peperangan Setiap orang meyakini kebenaran berdasarkan pengetahuan yang

dimilikinya. Menurut Muhammad, besarnya kekuasaan manusia dalam menguasai alam telah memberikan suatu kepercayaan baru dan menimbulkan perasaan lebih tinggi di atas semua kekuatan yang membentuk lingkungannya.15 Begitulah sebuah pengetahuan yang dimiliki oleh manusia, yang berpotensi membentuk kekuasaan. Yang menjadi masalah adalah manakala ejek-mengejak terjadi atau salah satu pihak menyerang (menantang perang). Dalam novel Lauh Mahfuz, perebuatan untuk menjadi yang paling benar dimunculkan dalam konflik antara dua tokoh dalam satu agama, yang diwakili oleh Syekh Abu Salaf dan Syekh Ibnu Khalaf, seperti yang ada dalam kutipan berikut ini.

Ketika Syekh Abu Salaf berbalik arah menghampiri, Syekh Ibnu Khalaf menegur sambil mengangkat punggung Panji.

“Pandu, apa dosa anak ini?” “Jangan Tanya saya. Tanya anak murtad itu. Berikan hukuman

yang pantas untuknya. Dia telah menodai misi suci yang kita persiapkan untuk menyelamatkan umat kita dari bencana. Dengan berbohong dan menentang perintah yang ditegaskan Kitab Suci, dia telah melawan kehendak Tuhan! Kamu ingat Pandu, dalam Alquran dinyatakan, „…laknat Allah itu ditimpakanatas orang-orang dusta’.”

“Pandu, jangan membawa nama Tuhan untuk memperdaya seseorang. Tuhan bukanlah monster atau berhala yang bayang-

14 Muhammad Iqbal. Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam (The Reconstruction of

Religious Thought in Islam diterj. oleh Ali Audah, Taufik Ismail, dan Goenawan Mohamad. Yogyakarta: Jalasutra, 2002, hlm. 206

15 Ibid., hlm. 34

Page 107: JURNAL UTUH

104

bayangnya dapat kau pakai menakut-nakuti dan dijadikan alasan untuk sewenang-wenang menghakimi.”

“Pandito, ketentuan Tuhan yang tertuang dalam Alquran tidak kupaka untuk menakut-nakuti atau menghakimi, tetapi untuk ditegakkan mengatur kehidupan agar umat menapak jalan yang diridai.”16

Perdebatan dua tokoh besar itu dimulai dengan adanya salah paham dan

perbedaan sudut pandang mengenai kebenaran. Mereka sama-sama berdasar pada al-Qur’an sebagai dasar. Namun, esensi al-Qur’an yang mereka gunakan hanya sebagai pembenaran atas pendapat subjektif mereka saja. Pertaruangan antara ilmu dan agama hampir tidak sebatas pada intelektualitas belaka, tetapi pada cara-cara menafsirkan dunia di sekitar kita.17 Pertarungan itu adalah pertarungan subjektif, dengan mewacanakan ideologi masing-masing untuk kepentingan golongan, dan keterakuian sebagai pemenang atas capaian kebenaran.

Klaim kebenaran terhadap teks agama selolah-olah membuka cakrawala manusia untuk mendapatkan nilai-nilai intrinsik yang lebih banyak, yang semua itu, tentunya, didukung dengan dalil-dalil sebagai pembenaran agar cukup meyakinkan. Tentu saja, dalam ranah ini, siapapun yang mampu menjangkau dataran rasionalitas secara profesional, maka dialah yang mampu meyakinkan pihaknya, dan akan mendapat dukungan lebih banyak untuk diikuti. Doktrin mengenai agama selalu menuju etika. Begitulah yang sering digembar-gemborkan dalam ceramah. Dalam pandangan Jurgen Habermas, ranah itu berada dalam “wilayah nilai yang menjadi induk bagi ide-ide yang berpengaruh secara sosial” dan “terbangun dalam struktur norma tindakan”. Di balik itu, ada dinamika kepentingan. Nah, pada saat itulah itulah, perselisihan tidak terelakan lagi.18

Tokoh Syekh Abu Salaf dan Syekh Ibnu Khalaf dalam novel Lauh Mahfuz karya Nugroho Suksmanto adalah kode dari kaum salaf dan khalaf. Salaf diartikan sebagai ulama yang hidup pada masa tiga abad pertama setelah Nabi hijrah, sedangkan Khalaf adalah ulama yang hidup sesudahnya, ketika orang mulai kehilangan kefasihan berbahasa Arab. Mereka sering berdebat tentang kebenaran di dalam Islam. Mereka sering berdebat ikhwal al-Qur’an dan Hadis, maupun pandangan-pandangan dalam kisah-kisah religius. Tidak jarang pula, dua pandangan itu saling mengejek dengan mengambil al-Qur’an dam Hadis sebagai sumber. Sebenarnya, adanya perbedaan itu wajar, namun, sifat pengetahuan manusia adalah konseptual, dan dengan bersenjatakan koseptual inilah manusia berkenalan dengan aspek kebenaran yang bisa diselidiki.19 Cara meereka dalam

16

Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz…, hlm 447-448 17 Skolimowski, Henryk.2004. Filsafat Lingkungan. Yogyakarta: Bentang, hlm. 60 18Jurgen Habermas. Teori Tindakan Komunikatif I: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat

(Theorie des Kommunikativen Handelns, Band I: Handlungsrationalitat und Gesellschaftliche Ratioonalisierung) diterj. oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007, hlm. 239

19 Muhammad Iqbal. Rekonstruksi…, hlm. 42

Page 108: JURNAL UTUH

105

menyikapi kebenaran itulah, yang seharusnya diluruskan agar tidak bertentangan dengan hak orang lain: dalam memahami kebenaran secara subjektif. Hal ini karena di dalam keyakinan terhadap kebenaran akan memuncul kuasa pada pihak lain. Terlebih lagi, ketika dalam menyampaikan kebenaran itu menyinggung perasaan dari salah satu pihak, maka perselisihan hanya ikhwal penentuan lebaran atau ikhwal tata cara shalat Subuh saja dapat menjadi konflik. Pedebatan itu banyak yang sepele, namun dalam emosi yang labil (dipenuhi amarah), setan senantiasa berbisik:

Seketika setan punya celah untuk menghasut. Dia menggunakan sosok wanita, Ummu Zinnirah, ibu kandung Syaikh Ibnu Khalaf.

Dengan halus ia menyampaikan bisikan, “Pandito, sekarang saatnya kamu membalaskan kepedihan Ibu, yang merasakan betapa sakit hati seorang istri tatkala dimadu. Bunuh dia Pandito, lempar mayatnya ke pangkuan ibunya yang telah merampas kebahagiaan Ibu.”

Syekh Ibnu Khalaf membalas dengan menghunus replika pedang Nabi Al-Rashub di pinggangnya. Muncul suasana seteruan yang menjadi semakin sengit ketika setan lain melontarkan hasutan.

Menggunakan sosok Hajar Marwah, ibu kandung Syekh Abu Salaf, iblis mengembuskan bisikan, “Pandu, kini saatnya kamu membalas cercaan dan hinaan yang selalu Ibu terima sebagai istri kedua. Habisi nyawanya, lempar jenazahnya ke hadapan ibunya!”

Terjadilah pertempuran dua pendekar mahasakti dan digdaya.20

Kita dapat mencermati bahwa era legitimasi dan gengsi selalu muncul pada setiap orang, tak terkecuali orang yang beriman sekalipun. Dinamika kepentingan bergerak dalam arus bawah sadar. Benturan ideologi dari sebuah penafsiran itu pun menjadi konflik, yang dalam ranah lebih jauh dapat memicu perpecahan. Novel Lauh Mahfuz karya Nugroho Suksmanto mewacanakan tentang pentingnya kesadaran atas konflik yang berlatarbelakang agama (terutama yang seagama, dalam hal ini Islam), yakni dengan melalui strategi umpan balik. Tepatnya, dengan himah di bailk kisah itu. Hikmah yang muncul dari pertengkaran Syekh Abu Salaf dan Syekh Ibnu Khalaf adalah kesadaran diri untuk: “mengajarkan bahwa Tuhan itu tunggal, tetapi keagungan-Nya terletak dari keberagaman ciptaan-Nya.”21

Pertikaian mengenai perbedaan sudut pandang dan penafsiran, dalam hal ini, dapat diselesaikan dengan pandangan luhur, dengan tetap tenang dan tidak terbawa emosi sehingga jalan tengah dapat diambil. Tokoh yang mampu menjalankan itu adalah Pak Ranuwisid, yakni kode dari orang yang masih memegang pada tradisi dan budaya, dengan ajaran kebatinan Islam. Dengan

20 Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz…, hlm 450-451

21 Ibid., hlm 452

Page 109: JURNAL UTUH

106

memahami hubungan antara manusia dengan manusia, dia membawa pesan kenabian (profetik), yang dikenakan sebagai jubah. Jubah adalah pakaian, yang dapat kita pahami sebagai sesuatu yang melingkari (menutup) tubuh. Jubah adalah simbol dari aura, sesuatu yang memancar ke luar dan mengelilingi tubuh. Aura muncul dari jiwa. Aura muncul berdasarkan pada amal perbuatan seseorang. Memakai jubah nabi berarti menjalankan perintah nabi. Dari rangkaian itu, kita bisa memaknai bahwa dengan memahami hakikat Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw adalah kedamaian. Mencintai sesama manusia berada dalam puncak kebaikan, sebagaimana arti dari Islam itu sendiri, yakni “selamat”. Agar seseorang tetap berada dalam kebaikan, ia harus senantiasa sadar diri dengan sekitarnya.

Kesadaran berada di dalam hati. Maka itu, hati perlu untuk dijernihkan. Rendra, pernah mengatakan bahwa lumut rasa iri dan benci di dalam jiwa, apabila disinari kesadaran, bisa berubah menjadi padang rumput cinta kasih yang segar dan darmawan.22 Untuk melatih kesadaran tentunya dengan menahan (baca: bersabar) atas fenomena yang muncul dalam realitas. Dalam sebuah sajak, Rendra menegaskan “Kesadaran adalah matahari/Kesabaran adalah bumi.” Bersabar yang dimaksudkan di sini, bukan berarti diam tanpa memberikan perlawanan. Tentu adakalanya melawan. Pada masa Nabi Muhammad Saw, dilakukannya berperang adalah untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Berikut ini, paparan dari Sachiko Murata dan William C. Chittick tentang agama dan pesan kedamaian:23

“Titik balik datang pda tahun 622 M. satu delegasi datang kepada Muhammad dari kota Yastrib, sekitas dua ratus mil utara Mekkah. Mereka mencari juru damai untuk menghentikan perselisihan internalnya, dan mereka mendengar hal-hal baik tentang kebijaksanaan Muhammad.

Konsolidasi Islam yang berlangsung selam periode Madinah berarti fokus ayat-ayat al-Qur’an yang diwahyukan berubah dari ancaman kesengsaraan dan janji keselamatan menjadi instruksi konkrit bagaimana hidup semestinya dijalani dalam upaya mendapat perlindungan dari Allah. Muhammad bertindak sebagai nabi, raja, hakim, dan pembimbing spiritual bagi seluruh masyarakat. Oleh karena beliau merupakan penerima pesan ilahi, beliau menyampaikan perintah mengenai masalah politik dan sosial, menyelesaikan dan memberi hukuman atau ampunan bagi para

22 Rendra. 1999. Memberi Makna pada Hidup yang Fana. Jakarta: Pabelan Jayakarta,

hlm. 104 23 Murata, Sachiko dan William C. Chittick. 2005. The Vision of Islam diterj. oleh

Suharsono. Yogyakarta: Suluh Press, 2005, hlm. xxvii-xxviii

Page 110: JURNAL UTUH

107

pelanggar hukum Allah, dan beliau menasihati dalam upaya personalnya untuk mencapai kedekatan dengan Allah.”

Nabi Muahammad Saw. telah memberikan contoh tentang esensi ajaran Islam yang disebarkan untuk keselamatan dan perdamaian umat manusia.

Pesan-pesan kedamaian dalam novel Lauh Mahfuz karya Nugroho Suksmanto ditampilkan dalam indeksial. Misalnya, kita dapat membaca bahwa setelah tokoh Panji menunaikan tugas dalam mengapai langit demi langit menuju Lauh Mahfuz dengan mengunakan senjata yang diberi Syekh Abu Salaf, maka senjata itu dihancurkan ke langit. Dari kronologi ini, fragmen narasi ingin member penekanan bahwa senjata hanya digunakan seperlunya saja, yakni untuk membela diri, bukan untuk membunuh. Begitulah pesan penting yang hendak disuarakan pada bangsa Indonesia, yang dalam akhir-akhir ini bermunculan konflik antarumat beragama maupun konflik dalam seagama.

Dari pesan itu. perlu kita catat, dalam hal ini, novel tidak hanya sekadar bahasa tulis yang berimajinatif, tetapi novel memuat suara dan sudut pandang yang telah diperhitungkan. Umpan balik moral ini untuk dipahami sebagai wacana yang akan bergerak ke dalam praktik sosial. Kritik sentralnya, terutama tertuju pada benturan di dalam Islam yang dapat memicu perpecahan, yakni antara kaum Salaf dan Khalaf, dengan klaim-klaim kebenaran atas teks-teks suci dan sakral, baik paa al-Qur’an maupun Hadis. Dalam sebuah dialog antara tokoh Panji dengan Gus Dur, muncul wacana menarik sebagai tawaran solusi atas benturan sosial tersebut, yang dapat dicermati dalam petikan berikut ini.

Benturan ini mungkin bisa dihindari bilamana kaum pembaharu yang menamakan diri kaum khalaf, sebelum melakukantafsir, menyuguhkan konsep (dengan kehati-hatian tentunya) namun tetap menjalin silaturahmi dengan ulama-ulam besar salafis. Sebenarnya bisa dirancang bayangan atau gambaran seperti apa menurut persepsi atau penghayatan mereka akan dihadirkan, sehingga perbedaan tafsir isa disikapi sebagai sebuah perbedaan pendekatan semata, tanpa mengurangi kesakralan sebuah teks. Juga tetap memberikan kesempatan kaum salaf berpijak pada keyakinan tafsir mereka, tanpa memaksakan perubahan tafsir yang lebih didasari oleh kepentingan berpikir secara logis yang menghilangkan aspek romantismeinstingtif dan intuitif yang berlandaskan pada nash agama.

“Ini dirasakan penting bagi pemenuhan kebutuhan spiritual mereka. Kaum salaf lebih mengandalkan „kedalaman hati’ dalam mengamalkan ajaran agama dan transendensinya.

“Dengan semangat persaudaraan dan menghilangkan segala bentuk prasangka, kehadiran dua kubu atau aliran yang dilandasi perbedaan pendekatan itu akan melahirkan kesadaran bahwa Tuhan memang ternyata sengaja memberikan opsi atau pilihan menjadi salaf atau khalaf. Dan ini, dari karakter dominasi salah satu bagian

Page 111: JURNAL UTUH

108

otak manusia saja, sangat dimungkinkan. Belum lagi aspek penetingan lain.24

Dengan adanya tawaran untuk perdamaian semacam itu adalah terciptanya kerukunan dan harmonisasi dalam beragama. Kita perlu menunjung tinggi sikap saling menghargai, saling menghormati, tenggang rasa, dan toleransi dalam beragama. Perbedaan yang ada di muka bumi bukan untuk diperdebatkan, melainkan adanya perbedaan adalah untuk melengkapi kekurangan dari yang lainnya. Begitulah keagungan dan kebesaran Tuhan dalam membuat sistem di alam semesta melalui perbedaan. Pada kaitan ini, perlu kiranya saya ambil pendapat dari Yusuf Qardhawi, bahwa cinta kasih adalah ruh kehidupan dan pilar bagi lestarinya umat manusia.25 Dalam jalinan cinta kasih yang tumbuh dari hati itulah, kedamaian dapat tercipta. Relasi manusia dengan manusia adalah saudara, apapun jenis ras, suku, bangsa, maupun agamanya. Setiap manusia adalah bersaudara, yakni sebagai keturunan Adam yang diperintahkan untuk menjadi khalifah bagi alam semesta.

Harmonisasi Keberagaman Wacana mengenai harmonisasi dalam keberagaman, dan kerukunan telah

dipersiapkan dengan baik oleh pengarang. Dia awal cerita (di bagian I Gelisah) dari novel Lauh Mahfuz telah dipaparkan sederet fragmen tentang kekisruhan yang membuat manusia tidak berdosa harus menjadi korban. Dari kasus G 30 S yang menelan korban kira-kira 2.000.000 orang, kasus Gedung Menara Kembar (World Trade Center) di Amerika yang kemudian memicu peperangan dan menelan banyak sekali korban. Fenomena itu menjadi akar wacana mengenai hak setiap manusia untuk hidup layak sebagaimana mestinya. Bahkan, hak untuk hidup layak tidak hanya dimiliki oleh manusia saja, tetapi juga semua makhluk hidup sebagai ciptaan Tuhan. Bahkan, iktikad dari tokoh Panji menggapai Lauh Mahfuz bertujuan untuk merubah suratan takdir agar bencana tidak terjadi. Takdir tetaplah takdir. Bencana tetap terjadi, hanya berpindah tempat, yakni di Lautan Pasifik mendekat ke Kepulauan Jepang dan di Laut Atlantik dekat Teluk Meksiko. Dalam kedustaan semacam itu, sebenarnya yang hendak diwacanakan lebih pada keselamatan umat manusia. Hanya saja, cara yang dipakai oleh pengarang dalam berwacana melalui mutasi-realitas, yakni dengan memindahkan realitas yang fakta menjadi fiktif (rekaan di dalam novel).

Dalam pembacaan seperti ini, kita harus cermat dan tidak boleh memahami yang tersurat. Kita memang harus membaca tanda yang berada di balik peristiwa itu. Di dalam novel ini, sengaja ditekankan bahwa pencapaian spiritualitas tokoh Panji dari tahap ke tahap menuju Lauh Mahfuz, semata-mata

24 Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz…, hlm 259

25 Yusuf Qardhawi. Merasakan Kehadiran Tuhan. Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2005, hlm. 149

Page 112: JURNAL UTUH

109

karena perbuatan baik kepada makhluk hidup di dunia ini. “Moralitas para peghuni langit adalah moralitas yang mengedepankan hak asasi manusia dan kesejahteraan sosial (human right and social welfare morality)”.26 Selain itu, dikatakannya bahwa: “Moralitas para peghuni langit adalah prinsip-prinsip etika universal (universal ethical principles). Kita dapat melihat dari perbuatan baik yang dilakukan tokoh Panji dan terhubung pada alam lain dalam tabel berikut ini.

Tabel Kebaikan

No. Tokoh yang

Ditolong Jenis Perbuatan Hikmah

1. Kucing Penebus kesalahan karena tak sengaja meracuninya

Mempertemukan Tokoh Panji dengan tokoh Menuk

2. Menik Menolong dari sergapan warga yang ingin melenyapkan PKI hingga ke anak cucunya

Kembaran dari tokoh Menik, yaitu tokoh Menuk menjadi pendamping spiritual dalam menuju Lauh Mahfuz

3. Anjing (Nyuk-Nyuk)

Menolong saat terluka parah di jalan karena tertabrak kendaraan, yang kemudian dipelihara

yang membujuk Malaikat Hafazhah agar Panji mendaki langit pertama menuju Lauh Mahfuz

4. Pak Somad (tukang becak)

Menolong saat terlindas truk di Jalan Indraprasta

orang yang mengusulkan kepada Malaikat Hafazhah agar tokoh Panji untuk mendaki langit kedua menuju Lauh Mahfuz

5. Jauhari Memberi makan saat jadi teman masih kecil, menolong keluarganya saat Jauhari meninggal.

orang yang meminta kepada Malaikat Hafazhah agar tokoh Panji mendaki langit ketiga menuju Lauh Mahfuz

6. Pamanya Membebaskan menjalani karma karena sering menembak burung-burung di atas kuburan

orang yang meminta kepada Malaikat Hafazhah agar tokoh Panji mendaki langit keempat menuju Lauh Mahfuz

7. Kakek dan Nenek

Melalui permainan catur, tokoh Panji yang menjalin hubungan kakek nenek yang terpisah.

orang yang mengusulkan kepada Malaikat Hafazhah agar tokoh Panji mendaki langit kelima menuju Lauh Mahfuz

8. Siregar dan Mengasuh (membesarkan) Siregar yang mengusulkan kepada

26

Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz…, hlm 273

Page 113: JURNAL UTUH

110

Anak Yatim anak yatim, dan membahagiakan orang-orang miskin saat lebaran

Malaikat Hafazhah agar tokoh Panji mendaki langit keenam menuju Lauh Mahfuz

9. Ibunya Berbakti, dan memenuhi permintaan terakhirnya sebelum meninggal dunia

Tokoh ibu yang menyampaikan permohonan kepada Malaikat Hafazhah agar tokoh Panji disetujui menggapai Lauh Mahfuz

Perjalanan melewati tujuh langit menuju Lauh Mahfuz adalah alegori

yang cukup sulit untuk ditebak. Setiap langit memiliki gambaran peristiwa sendiri-sendiri, dengan penghubung yang berbeda berdasarkan pada amal perbuatan tokoh Panji. Tingkat pertolongan yang paling rendah adalah menolong bintang (sekalipun binatang itu najis), sendangkan tingkat pertolongan paling tinggi adalah berbakti pada ibu kandung. Nilai-nilai semacam itu mulai memudar pada masyarakat perkotaan yang individual, yang mana orang-orang lebih percaya pada sistem abstrak buah perkembangan dari teknologi. Keadaan menyedihkan lain, tergambar dalam ras, suku, dan agama yang primordialisme akibat penolakan interaksi dengan budaya dari luar. Ini menekankan bahwa interaksi kita dalam ranah sosial harus dibangun dalam kerangka persaudaraan dan dalam balutan cinta kasih, tanpa harus membeda-bedakan. Dengan nada yang polisemik, kiranya perlu adanya sifat terbuka, sopan santun bersosialisasi, dan toleran kepada orang lain secara berdampingan.

Untuk bisa bersosialisasi dengan baik agar tercipta kerukunan perlu ada iman kepada Tuhan. Dengan beriman, mata akan terbuka pada nilai-nilai, bentangan alam semesta, gejala alam yang dipahami sebagai keberadaan Tuhan. Nilai-nilai luhur transendental perlu untuk dipegang untuk mewujudkan konsep muamalah secara kaffah. Transendensi menjadi dasar bagi humanisasi dan liberasi. Dalam kerangka itu, kita dapat mewujudkan amar makruf dan nahi mungkar, agar mewujud perbuatan baik kepada sesama manusia, alam semesta dan Tuhan sehingga dapat mencegah kemungkaran.

Sebenarnya, bila dicermati dengan seksama, wacana yang diusung dalam novel Lauh Mahfuz hampir senafas dengan konsep “sastra profetik” yang pernah dituliskan oleh Kuntowijoyo, dengan humanisme, liberasi, dan transendensi. Tautologies yang dibangun oleh Kuntowijoyo di dalam karya-karyanya lebih mengedapankan eksistensi diri: manusia untuk menemukan jati diri di tengah realitas. Sedangkan transformasi yang diusung Nugroho Suksmanto lebih mengupayakan humanisasi dalam menyikapi pluralisme agar konsep muamalah berjalan dengan baik. Pesan dari novel Lauh Mahfuz agar terjadinya kerukunan dalam keberbedaan, yang dimunculkan pada hak setiap individu untuk bebas memilih.

Page 114: JURNAL UTUH

111

Ketika Romo Warih Permadi, Syekh Ibu Klahaf Al-Ahmad, Pak Ranuwisid, Bu Rekso Bergowo, Panji dan Menuk berada dalam satu meja untuk menikmati hidangan pesta perkawinan, Romo Warih membuka pembicaraan, “Bu Rekso, putrid-putri Ibu sekarang sudah memiliki keyakinan. Menik memilih Katolik, sedang Menuk memeluk Islam. Tinggal Ibu yang belum menentukan, ikut bergabung dengan Romo Warih atau bergabung dengan Syekh Ibnu Khalaf.”

“Apakah itu suatu keharusan?” Bu Rekso mempertanyakan. “Oh, tidak. Agama lain juga ada. Hanya bangsa kita telah

menetapkan Pancasila sebagai falsafah Negara. Mengacu pada sila pertamanya, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, setiap warga Negara diharuskan memeluk agama sebagai manifestasi percaya adanya Tuhan,” jawab Romo Warih Permadi”27

Dalam kutipan tersebut, setiap tokoh mengekspresikan kebenaran dalam cara pandang masing-masing, namun mereka menerima dengan terbuka. Tak ada kemarahan. Kebenaran dari tiap-tiap tokoh sama-sama sah. Semua agama memiliki kebenarannya sendiri-sendiri. Tidak untuk dipaksakan kepada agama lain. Begitulah, yang seharusnya dipahami dalam realitas yang penuh dengan perbedaan. Adapun tingkat keimanan dalam menjalani agama diukur pada cara menghayati spiritualitas masing-masing. Dengan kata lain, beribadah adalah konsekuensi manusia dengan Tuhan yang tak perlu dipamerkan ataupun sebagai yang paling benar, sementara itu dalam kehidupan bermasyarakat, kita harus siap dengan berbagai macam keberbedaan pada masyarakat global.

Wacana mengenai harmonisasi keberagaman, juga dimunculkan dalam bagian “Dialog Mantan Presiden”. Dalam cerita itu, Presiden Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur saling berdialog tentang masa lalu ketika hidup di dunia. Mereka saling meminta maaf atas kesalahan yang telah diperbuat, dengan mengakui kesalahan masing-masing. Mereka memaafkan. Soeharto meminta maaf karena telah karena telah menggulingkan Soekarno dengan rasa kesepian di penjara setelah turun jabatan dan mengalami depresi bera. Sedangkan Soekarno juga meminta maaf karena lengsernya Soeharto juga ada Peran Megawati (putri Soekarno). Mereka berdua berdialog dengan saling menyesal telah menyengsarakan rakyat Indonesia. Kendati cerita tersebut seperti anekdot, tetapi lebih dari itu, makna muncul dalam representasi: yakni suasana perdamaian yang harmonis. Kesan itulah yang ingin ditampilkan.

Dan dialog mereka diakhiri dengan sebuah kesimpulan dari Gus Dur “Jilbab, dengan demikian merupakan pilihan bagi wanita muslim yang pemakaiannya dilandasi keyakinan masing-masing penggunanya. Gitu aja kok repot!” yang menandakan bahwa sesunguhnya dalam perbedaan itu ada pilihan bagi setiap orang. Pilihan itu sendiri didasari oleh keyakinan dari setiap individu.

27 Nugroho Suksmanto. Lauh Mahfuz…, hlm 472

Page 115: JURNAL UTUH

112

Perbedaan bukan untuk diperdebatkan karena merupakan keyakinan dari setiap orang, dan setiap keyakinan dalam diri adalah hak asasi yang paling hakiki, yang dimiliki oleh manusia.

Dalam satu titik pertalian dari novel Lauh Mahfuz, hendak mempertanyakan konsep humanisme, yang kemudian ditawarkan melalui pemahaman agama untuk bisa menghargai hak-hak setiap individu: ada pesan kedamaian yang bermukim dalam kode-kode. Pesan itu dimaksudkan sebagai respons terhadap fenomena pada belakangan ini kita sering melihat berita di layar kaca maupun dalam bentuk tulisan mengenai berbagai fenomena perselisihan antarumat beragama mapupun perselisihan di kalangan intern umat beragama itu sendiri. Api menyala dan darah mengalir dari jiwa yang tak berdosa, yang dipicu dari permasalah kecil. Permasalahanya hanya satu, yakni terkait pada pandangan benar dan salah antarpemimpin. Keseimbangan dari “bhineka tunggal ika” menjadi tergoyahkan melalui konflik yang beradar dari perbedaan cara pandang. Imbasnya dapat perpecahan, dan memudarnya nilai-nilai kemanusiaan. Ranah itulah yang harus dibenahi agar pandangan terhadap agama tidak menjadi paradok dan belenggu bagi kemajuan peradaban.

Tentu saja, dalam relasi sosial yang semakin terbuka—menjadi globalisasi—dengan perambahan pada teknologi dan informasi yang begitu cepat, kita akan berhadap-hadapan dengan begitu banyak perbedaan di muka bumi, manusia yang makin individual, dan akan muncul begitu banyak interpretasi pada kebenaran. Pemujaan pada kebenaran tanpa perenungan yang mendalam akan membuat jiwa tertutup, dan terbatas pada komersialisasi eksistensi. Novel Lauh Mahfuz membuka mata kita pada seberkas cahaya pagi untuk menyikapi perbedaan, mewujudkan harapan kedamaian, dan mendapatkan hak-hak asasi tanpa kekangan ataupun tekanan. Penutup

Demikian, kiranya, sebuah teks memuat kode-kode kultural secara konotatif. Novel Lauh Mahfuz dipenuhi dengan kode yang dapat kita telusuri jejaknya sebagai entitas. Nugroho Suksmanto memilih bernarasi dalam bentuk alegoris, dan berwacana melalui mutasi-realitas. Dari penelusuran kode itulah, terungkap wacana yang terhubung dengan beberapa praktik sosial. Pertama, agama sebagai sebuah pilihan untuk dijalani dengan kedalaman spiritualitas yang dicapai melalui tahap-tahap tertentu berdasarkan amal dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, peranan agama bukan untuk diyakini sebagai kebenaran absolut yang lebih benar daripada agama lain, tetapi agama dipahami dan dijalani untuk kedamaian dan keselarasan bagi setiap umat. Ketiga, hakikat adanya perbedaan di muka bumi ini bukan untuk diperdebatkan ataupun diunggul-unggulkan salah satu pihak, namun keberagaman lebih merupakan keagungan dan kebesaran Tuhan atas ciptaanya. Keempat, keberbedaan hendaknya dipahami secara plural agar setiap individu mendapatkan hak-haknya

Page 116: JURNAL UTUH

113

sebagai manusia dan tercipta harmonisasi hidup dengan sikap saling menghargai dan toleransi. Kelima, dalam keberagaman, Tuhan adalah satu-satunya Kebenaran.

Daftra Pustaka

Al -Fayyadl, Muhammad. 2005. Derrida. Yogyakarta: LKiS. Al -Qur’an dan Terjemahannya. 1983/1984. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci

al-Qur’an Departemen Agama RI. Ar-Razi, Imam. 2000. Ruh dan Jiwa; Tinjauan Filosofis dalam Prespektif Islam

(Imam Razi’s ‘Ilm al-Akhlaq) diterj. oleh H. Mochtar Zoerni dan Joko S Kahhar. Surabaya: Risalah Gusti.

Barker, Chris. 2008. Cultural Studies: Teori dan Praktik (Cultural Studies:

Theory and Practic) diterj. oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Barthes, Roland 2006. Mitologi (Mythologies) diterj. oleh Nurhadi dan A. Sihabul

Milah. Yogyakarta: Kreasi Wacana. . 2010. Imaji, Musik, Teks (Image/Music/Text, Essay Selected and

Translated by Stephe Heath diterj. oleh Agustinus Hartono. Yogyakarta: Jalasutra.

Faruk. 2001. Beyond Imagination: Sastra Mutakhir dan Ideologi. Yogyakarta:

Gama Media. Foucault, Micheal. 1971. What Is An Author? Cambridge, Eng.: Cambridge

University Press . 2002. Power/Knowledge: Wacana Kuasa/Pengetahuan

(POWER/KNOWLEDGE Selected Interview and Other Writing 1972-1977) diterj. oleh Yudi Santosa. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Habermas, Jurgen. 2007. Teori Tindakan Komunikatif I: Rasio dan Rasionalisasi

Masyarakat (Theorie des Kommunikativen Handelns, Band I: Handlungsrationalitat und Gesellschaftliche Ratioonalisierung) diterj. oleh Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Page 117: JURNAL UTUH

114

Iqbal, Muhammad. 2002. Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam (The Reconstruction of Religious Thought in Islam diterj. oleh Ali Audah, Taufik Ismail, dan Goenawan Mohamad. Yogyakarta: Jalasutra.

Kuntowijoyo. 2005. “Maklumat Sastra Profetik: Kaidah, Etika, dan Struktur

Sastra”, dalam Majalah Horison, No. 5, Mei 2005, hal. 8. Murata, Sachiko. 2003. Kearifan Sufi Cina (Chinese Gleams of Sufi Light; Wang

Tai-yu’s Great Learning of the Pure anda Real and Liu Chih’s Displaying the Concealment of the Real Realm) diterj. oleh Susilo Adi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Murata, Sachiko dan William C. Chittick. 2005. The Vision of Islam diterj. oleh

Suharsono. Yogyakarta: Suluh Press. Qardhawi, Yusuf. 2005. Merasakan Kehadiran Tuhan. Yogyakarta: Mitra

Pustaka. Rendra. 1999. Memberi Makna pada Hidup yang Fana. Jakarta: Pabelan

Jayakarta. Riceour, Paul. 2006. Hermeneutika Ilmu Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Skolimowski, Henryk.2004. Filsafat Lingkungan. Yogyakarta: Bentang. Suksmanto, Nugroho. 2012. Lauh Mahfuz. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Page 118: JURNAL UTUH

115

“Kesenian Sintren dalam tarikan Tradisi dan Modernitas” Puji Dwi Darmoko1

Abstrak

Di tengah derasnya tekanan modernitas, produk budaya sebagai budaya adiluhung kreasi anak bangsa dipertahankan eksistensi dan keberlangsungannya. Salah satunya adalah kesenian daerah “Sintren” yang berkembang di sepanjang wilayah Pantura Jawa Tengah bagian barat khususnya di Kabupaten Pemalang.

Kesenian Sintren diawali dari cerita rakyat/legenda yang dipercaya oleh masyarakat tentang kisah percintaan Sulasih dan R. Sulandono, seorang putra Bupati Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari.

Kesenian tari Sintren dianggap unik, karena banyak yang mengatakan gerakannya di luar kesadaran akal sehat, diiringi lagu dan beberapa alat musik sederhana. Seiring dengan perkembangan zaman sintren sebagai suatu seni adalah salah satu dari bagian kebudayaan yang terkena imbas arus modernitas. Bentuk-bentuk modernitas, misalnya tempat-tempat hiburan yang bersifat modern antara lain: bioskop, café, karaoke, mall, dan sebagainya menggusur keberadaan kesenian sebagai alternativ hiburan yang mengandung unsur-unsur pendidikan dan pencerahan, khususnya kesenian tradisional.

Kesenian Sintren kehilangan pamornya antara lain karena masyarakat sendiri sudah tidak peduli pada kesenian Sintren. Mereka beranggapan, pementasan kesenian Sintren sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.

Namun demikian keberdayaan seni Sintren tetap eksis karena adanya semangat para pelaku seni Sintren yang berusaha menghidupkan kesenian Sintren lebih dari sebuah "pengabdian" untuk melestarikan budaya warisan nenek moyang, atau ingin mempertahankan nilai-nilai kearifan yang tersimpan di dalamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh anggota Paguyuban Sintren Slamet Rahayu Dusun Sirau Kelurahan Paduraksa.

Kata kunci : sintren, modernitas, keberdayaan

A. Pendahuluan Perubahan kebudayaan pada suatu masyarakat merupakan keniscyaan dan

tidak dapat dielakkan. Masyarakat tidak pernah statis, selalu dinamis berubah dari satu keadaan ke keadaan lainnya yang disebabkan oleh berbagai faktor. Perubahan

1 Puji Dwi Darmoko, M.Hum adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Pemalang

(STIT) Pemalang

Page 119: JURNAL UTUH

116

ini dimaksudkan sebagai wujud tanggapan manusia terhadap tantangan lingkungannya.

Diakui atau tidak suatu masyarakat tidak akan pernah terbebas dari gejala perubahan yang berjalan sangat pesat, sehingga justru membingungkan manusia itu sendiri. Gejala perubahan yang terjadi memiliki intensitas kuat memunculkan kekhawatiran bagaimana ketangguhan daya tangkal nilai-nilai masyarakat yang telah mapan menjadi goyah dan perlahan-lahan mengalami pemudaran.

Namun demikian adanya dinamika masyarakat memberikan kesempatan kebudayaan untuk berkembang, sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat, dan tidak ada masyarakat tanpa kebudayaan sebagai wadah pendukungnya.

Di tengah derasnya tekanan modernitas, produk budaya sebagai budaya adiluhung kreasi anak bangsa dipertahankan eksistensi dan keberlangsungannya, salah satunya adalah kesenian daerah “Sintren” yang berkembang di sepanjang wilayah pantura Jawa Tengah bagian barat khususnya di Kabupaten Pemalang.

Sintrenpun sebagai salah satu kesenian daerah Kabupaten Pemalang tidak bebas dari pengaruh modernitas. Keberadaannya kini semakin langka ditekan derasnya modernisasi.

B. Kesenian Sintren Dari segi asal usul bahasa (etimologi) Sintren merupakan gabungan dua

suku kata “Si” dan “tren”. Si dalam bahasa Jawa berarti “ia” atau “dia” dan “tren” berarti “tri” atau panggilan dari kata “putri”. Sehingga Sintren adalah ” Si putri” yang menjadi pemeran utama dalam kesenian tradisional Sintren.

2 Sintren adalan kesenian tari tradisional masyarakat Jawa Tengah di

wilayah pantai utara, khususnya di Pemalang. Kesenian ini terkenal di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Barat, antara lain di Pemalang, Pekalongan, Brebes, Banyumas, Kuningan, Cirebon, Indramayu, dan Jatibarang. Kesenian Sintren dikenal sebagai tarian dengan aroma mistis/magis yang bersumber dari cerita cinta kasih Sulasih dengan Sulandono.

Herusatoto mengemukakan bahwa Sintren adalah seni pertunjukan rakyat Jawa-Sunda; seni tari yang bersifat mistis, memiliki ritus magis tradisional tertentu yang mencengangkan. 3

1. Legenda Sintren

Kesenian Sintren diawali dari cerita rakyat/legenda yang dipercaya oleh masyarakat dan memiliki dua versi, Pertama, berdasar pada legenda cerita percintaan Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati di Mataram Joko Bahu

2 Sugiarto, A ; et al.. Naskah deskripsi Tari Sintren.(Semarang : Proyek Pembinaan

Kesenian Jawa Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989), hlm. 15. 3 Budiono Herusatoto, Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa, dan Watak, (Yogyakarta:

LKiS Pelangi Aksara, 2008), hlm. 207.

Page 120: JURNAL UTUH

117

atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari. Percintaan Sulasih dan R. Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga R. Sulandono diperintahkan ibundanya untuk bertapa dan diberikan selembar kain (sapu tangan) sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih setelah masa bertapanya selesai. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari pada setiap acara bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R. Sulandono.

Tepat pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa diadakan berbagai pertunjukan rakyat, pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan, dan R. Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyi-sembunyi dengan membawa sapu tangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan spirit Rr. Rantamsari sehingga mengalami "trance" dan saat itu pula R. Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat sulasih "trance/kemasukan roh halus/kesurupan" ini yang disebut "Sintren", dan pada saat R. Sulandono melempar sapu tangannya disebut sebagai "balangan". Dengan ilmu yang dimiliki R. Sulandono maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan keduanya dapat mewujudkan cita-citanya untuk bersatu dalam mahligai rumahtangga.

Kedua, Sintren dilatar belakangi kisah percintaan Ki Joko Bahu (Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke VOC dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta.

Tak lama terbetik kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga Rantamsari begitu sedihnya mendengar orang yang dicintai dan dikasihi sudah mati. Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka Rantamsari berusaha melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalan sepanjang wilayah pantai utara Rantamsari menyamar menjadi seorang penari Sintren dengan nama Dewi Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso yang sebenarnya masih hidup.

Karena kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram, melainkan pulang ke Pekalongan bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaannya untuk menambah kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayatnya.

2. Bentuk Penyajian Sintren Sebelum pertunjukan, biasanya diawali dengan tabuhan gamelan sebagai

tanda akan dimulainya pertunjukan kesenian Sintren dan dimaksudkan untuk mengumpulkan massa atau penonton. Penonton biasanya datang bergelombang

Page 121: JURNAL UTUH

118

dan menempatkan diri dengan mengelilingi arena, disambut dengan koor lagu-lagu dolanan anak-anak Jawa, seperti lir-ilir, Cublek-cublek suweng, Padang Rembulan dan sebagainya.4

Setelah itu dilakukan pembakaran “dupa”, yaitu acara berdoa bersama-sama diiringi membakar kemenyan dengan tujuan memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar selama pertunjukan terhindar dari mara bahaya. Bahkan sebelumnya perlu dilakukan acara ritual selama 40 hari terhadap penari Sintren untuk mencapai kesempurnaan penampilannya.5

Berikutnya adalah tahapan menjadikan Sintren yang akan dilakukan oleh Pawang dengan membawa calon penari Sintren bersama dengan empat orang pemain. Dayang sebagai lambang bidadari (Jawa: Widodari patang puluh) sebagai cantriknya Sintren. Kemudian Sintren didudukkan oleh Pawang dalam keadaan berpakain biasa dan didampingi para dayang/cantrik. Pawang segera menjadikan penari Sintren secara bertahap, melalui tiga tahapan. Tahap Pertama, pawang memegang kedua tangan calon penari Sintren, kemudian diletakkan di atas asap kemenyan sambil mengucapkan mantra, selanjutnya mengikat calon penari Sintren dengan tali melilit ke seluruh tubuh. Tahap Kedua, calon penari Sintren dimasukkan ke dalam sangkar (kurungan) ayam bersama busana Sintren dan perlengkapan merias wajah. Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, Sintren sudah berdandan dalam keadaan terikat tali, lalu Sintren ditutup kurungan kembali. Tahap Ketiga, setelah ada tanda-tanda Sintren sudah jadi (biasanya ditandai kurungan bergetar/bergoyang) kurungan dibuka, Sintren sudah lepas dari ikatan tali dan siap menari. Selain menari adakalanya Sintren melakukan akrobatik diantaranya ada yang berdiri diatas kurungan sambil menari. Selama pertunjukan Sintren berlangsung, pembakaran kemenyan tidak boleh berhenti.

Kesenian Sintren disajikan secara komunikatif antara seniman dan seniwati dengan penonton menyatu dalam satu arena pertunjukan.6 Tetapi ada juga yang menuturkan bahwa asal usul Sintren adalah upacara pemanggilan ruh. Ini jika dilihat dari lagu-lgunya yang masih memiliki sifat magis religius dengan adanya adegan kesurupan (trance) yang dialami seorang pemain intren. Juga dilihat dari sifat permainannya yang masih dipimpin oleh seorang pawang sebagai shaman atau dukun.

Keunikan dalam pertunjukan Sintren adalah penari yang berpakaian biasa dalam keadaan tubuh dan tangan terikat mampu menjelma di dalam kurungan ayam jago yang di dalamnya telah disediakan berbagai alat rias seperti cermin, bedak, gincu, seperangat pakaian tari dan kaca mata hitam menjadi gadis cantik dan mengenakan pakaian indah dengan hiasan wajah yang begitu sempurna dan

4 Ibid

5 Wawancara dengan bapak Basuki, ketua Rt. 08 Dusun Sirau Kelurahan Paduraksa,

penasehat Paguyuban Sintren Slamet Rahayu. 6 Hasil observasi melihat langsung pertunjukan Sintren hari Sabtu, tanggal 19 Mei 2012 di

halaman seorang penduduk di Dusun VI Desa Banjaran Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang).

Page 122: JURNAL UTUH

119

memakai kacamata hitam. Setelah beberapa waktu kurang lebih antara 20 menit sampai 60 menit penari keluar dari kurungan sudah dalam tampilan yang berbeda saat masuknya. Kaca mata hitam yang dimaksudkan untuk menutupi posisi biji mata sewaktu trance/kesurupan.7

3. Balangan atau Temohan

Balangan yaitu pada saat penari Sintren sedang menari maka dari arah penonton ada yang melempar (Jawa : mbalang) sesuatu ke arah penari Sintren. Setiap penari terkena lemparan maka Sintren akan jatuh pingsan (bila mengenai kepala). Pada saat itu, pawang dengan menggunakan mantra-mantra tertentu kedua tangan penari Sintren diasapi dengan kemenyan dan diteruskan dengan mengusap wajah penari Sintren dengan tujuan agar roh bidadari datang lagi sehingga penari Sintren dapat melanjutkan menari lagi.

Sedangkan temohan adalah penari Sintren dengan nyiru/tampah atau nampan mendekati penonton untuk meminta tanda terima kasih berupa uang ala kadarnya.

Lagu-lagu yang dilantunkan dalam pertunjukan seni Sintren umumnya bersifat memanggil bidadari, kekuatan ruh yang dipercayai dapat mendatangkan kekuatan tertentu, seperti tercermin dalam lagu yang penulis masih ingat yaitu

Turun Sintren, yang kurang lebih syairnya sebagai berikut: Turun-turun Sintren, turune widodari nemu kembang neng ayunan, kembange wijaya endah podho temuruno neng sukmo, ono Sintren jejogetan bul-bul kemenyan, widodari kang sukmo, podho temuruno podho sinuyudhan, podho lenggak-lenggok surake keprok rame-rame sing nonton podho mbalang lendang karo Sintrenne, njaluk bayar saweran sa lilane.

Arti dalam bahasa Indonesia kurang lebih sebagai berikut:

Turun-turunnya Sintren, turunnya bidadari Menemukan bunga di depan rumah, bunganya bunga Wijaya indah Semua turun ke jiwa, ada Sintren menari-nari Asap-asap kemenyan membumbung, bidadari yang merasuk ke jiwa, semua turunlah Semua bekerjasama, semua menari bersama, tepuk tangan bersama dengan ramai sekali Semua yang melihat melempar selendang kepada Sintren, Sintrennya meminta dibayar seikhlasnya

Tarian Sintren sangat unik, karena banyak yang mengatakan gerakannya di luar kesadaran akal sehat, diiringi lagu dan beberapa alat musik sederhana

7 Wawancara dengan Ibu Hj. Tunut, anggota paguyuban Sintren Slamet Rahayu, sebagai

cantrik sang Sintren.

Page 123: JURNAL UTUH

120

yaitu ; buyung, lodong bambu, kecrek (terbuat dari sapulidi), dan hihid (kipas). Sekarang hihid diganti dengan karet bahan sandal., namun menggugah selera untuk terus menari. Tua muda melihatnya penuh antusias mengikuti, semua mata tertuju pada gerakan yang melambangkan kesederhanaan.

4. Tahap Pemulihan Sintren Tahap pertama, penari Sintren dimasukkan ke dalam kurungan bersama

pakain biasa (pakaian sehari-hari). Tahap kedua, pawang membawa anglo berisi bakaran kemenyan mengelilingi kurungan sambil membaca mantra sampai dengan busana Sintren dikeluarkan. Tahap ketiga, kurungan dibuka, penari Sintren sudah berpakain biasa dalam keadaan tidak sadar. Selanjutnya pawang memegang kedua tangan penari Sintren dan meletakkan di atas asap kemenyan sambil membaca mantra sampai Sintren sadar kembali, pertunjukan Sintren selesai.

Dahulu pertunjukan Sintren sering dilakukan oleh para juragan padi sesaat setelah panen, sebagai ungkapan rasa syukur atas keberhasilan pertaniannya atau pada musim kemarau untuk meminta hujan, maka dalam pertunjukannya akan dilantunkan lagu yang syairnya memohon agar diturunkan hujan. Namun kini pertunjukan Sintren sangat jarang. Penulis teringat saat kecil pada periode waktu tahun 1975-1990-an masih sering menjumpai di desa dan desa tetangga banyak dijumpai warga yang menanggap pertunjukan Sintren, kini sangat sulit menjumpainya. Pertunjukan Sintren kini dilakukan secara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain oleh pelaku seni Sintren.

Bahkan berdasar pengetahuan penulis, saat ini hanya ada satu desa yang masih mempunyai grup kesenian Sintren yang tetap eksis yaitu di dusun Sirau Kelurahan Paduraksa dan Kabupaten Pemalang yaitu Paguyuban Sintren Lintang Kemukus dan Paguyuban Sintren Slamet Rahayu yang diketuai oleh Radin Anom dengan jumlah pengurus 15 orang, selain itu kesenian sintren dapat juga dijumpai di Desa Banjarmulya Kecamatan Pemalang.

C. Modernisasi

Dalam tulisan ini akan dikaji bagaimana keberdayaan seni daerah „Sintren’ dalam tarikan antara tradisi dan modernitas melalui pendekatan fenomologi dengan menggunakan teori modernisasi dan fungsional. Hal tersebut berdasar asumsi bahwa setiap unsur budaya tidak akan pernah terbebas dari perubahan yang disebaban oleh arus modernisasi.

Di mana salah satu teori yang muncul dalam menjawab perubahan sosial masyaraat menuju modern adalah teori modernisasi. Teori ini mendasarkan pada konsep evolusionisme. Teori modernisasi ini dipelopori oleh Karl Marx, Max Weber dan Emile Durkhiem.8

8 Ravik Karsidi, Sosiologi Pendidikan, (Surakarta: UNS Press, 2011), hlm.139

Page 124: JURNAL UTUH

121

Secara historis makna modernitas mengacu pada transformasi sosial, politik, ekonomi, cultural, dan mental yang terjadi di Barat sejak abad ke-16 dan mencapai puncaknya pada abad 19 dan 20.9 Dari sudut pandang ini perkembangan masyarakat terjadi melalui proses peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.

Dalam teori modernisasi klasik masih berasumsi bahwa negara Dunia ketiga merupakan negara terbelakang dengan masyarakat tradisionalnya. Sementara negara-negara Barat (Eropa dan Amerika Serikat) dilihat sebagai negara modern, sehingga gejala dan kondisi yang terjadi dalam masyarakat diukur menurut pandangan Barat dalam menentukan tingkat modernitas. Tidak salah jika Gramsci mengatakan telah terjadi hegemoni budaya terhadap negara Dunia ketiga. Masyarakat kemudian lebih banyak mengadaptasi nilai-nilai gaya hidup Barat sebagai identitas modern, kecenderungan ini dilihat sebagai westernisasi.

Paling tidak pengertian umum tentang modernisasi adalah proses sejarah pada transformasi perubahan besar-besaran dari pertanian tradisional ke masyarakat industri modern sejak masa revolusi industri abad XVIII. Proses modernisasi berlangsung revolusioner, kompleks, sistematik, global, jangka panjang dan progresiv, sehingga akan menghasilkan kristalisasi dan difusi modernitas klasik.

Teori ini memandang bahwa perubahan bergerak secara linear dari masyarakat primitif menuju masyarakat maju. Sedangkan teori fungsionalisme memandang bahwa masyarakat sebagai sebuah sistem selalu berada dalam keseimbangan dinamis. Perubahan yang terjadi dalam unsur sistem itu akan diikuti oleh unsur sistem lainnya dan membentuk keseimbangan baru. Perubahan sosial dalam pandangan modernisasi klasik, menitikberatkan kemajuan masyarakat modern terbentuk melalui suatu proses yang sama.

Aliran baru teori modernisasi tersebut mengandung pemikiran bahwa nilai tradisional dapat berubah oleh karena dalam dirinya mengalami proses perubahan yang digerakkan oleh perkembangan berbagai faktor kondisi setempat misalnya, faktor pertumbuhan penduduk, teknik, dan apresiasi nilai budaya.

D. Pembahasan 1. Antara tradisi dan modernitas

Sintren sebagai suatu seni adalah salah satu dari bagian kebudayaan yang terkena imbas arus modernitas, yang tidak tersaring secara ketat menyebabkan proses akulturasi budaya berjalan lancar. Bentuk-bentuk modernitas, misalnya tempat-tempat hiburan yang bersifat modern antara lain: bioskop, café, karaoke, mall, dan sebagainya menggusur keberadaan kesenian sebagai alternativ hiburan

9 Piotr Sztomka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada, 2008), hlm. 149

Page 125: JURNAL UTUH

122

yang mengandung unsur-unsur pendidikan dan pencerahan, khususnya kesenian tradisional.

Modernitas dalam bentuk teknologi hiburan, besar pengaruhnya terhadap kesenian tradisional. Kesenian tradisional membutuhkan proses yang lama dalam memahami dan menampilkan, berbeda dengan teknologi hiburan modern yang bersifat instant. Di sinilah akan terjadi cultural lag dalam kebudayaan berkaitan dengan keberadaan kesenian tradisional. Menurut Koentjaraningrat, bahwa cultural lag adalah perbedaan antara taraf kemajuan berbagai bagian dalam kebudayaan suatu masyarakat. Artinya ketinggalan kebudayaan, yaitu selang waktu antara saat benda itu diperkenalkan pertama kali dan saat benda itu diterima secara umum sampai masyarakat dapat menyesuaikan diri terhadap benda tersebut.

Dalam kasus ini, benda yang dimaksud di atas dapat diterapkan sebagai kesenian tradisional. Suatu culture lag terjadi apabila irama perubahan dari dua unsur perubahan (mungkin lebih) memiliki korelasi yang tidak sebanding sehingga unsur yang satu tertinggal oleh unsur lainnya.

Dari fakta tersebut menjadikan kesenian tradisional sebagai bentuk yang ketinggalan zaman. Salah satu bentuk kesenian tradisional yang kentara terkena imbasnya adalah kesenian tradisional Sintren.

Para pekerja seni Sintren sebagai aset sumber daya manusia harus berjuang melawan modernitas, sebagai kaum minoritas yang menyampaikan nilai-nilai egalitarian dalam pementasannya, mereka telah ikut andil dengan caranya dalam pelaksanaan mengisi pembangunan, baik fisik maupun non fisik/sosial demi kelangsungan hidup para seniman Sintren tersebut.

Dalam pertunjukan Sintren para penonton yang datang bukan hanya dari desa setempat saja. Dari luar desapun banyak yang berdatangan untuk sekadar menonton ataupun menginginkan romantisme lama atau ada juga yang menghendaki supaya budaya setempat langgeng sampai anak cucu.

Dalam perspektif lain sebenarnya kehadiran Sintren justru dapat menjadi alternatif bagi pelaku seni sintren maupun masyarakat yang terlibat di dalam pertunjukan kesenian tersebut, untuk pemberdayaan ekonomi mikro, ditengah himpitan modernitas dan globalisasi yang secara masif menghimpit rakyat kecil, pementasan sintren menjadi sesuatu yang mendatangkan manfaat secara ekonomi. Dibalik kesederhanaan, keikhlasan, kepolosan, seorang gadis penari sintren ternyata sedikit banyak mampu mendongkrak susana sepi menjadi keramaian penuh optimis penduduk suatu desa. Di mana sebagian penduduk dapat memberdayakan eonomi skala mikro melalui usaha dagang seperti; krupuk sambal, tahu aci, mainan anak-anak, pecel, serundeng lumping kerbau dan lain-lain, yang dilakukan dengan selalu mengikuti pertunjukan keliling sintren dari satu desa ke desa lain.

Page 126: JURNAL UTUH

123

2. Keberdayaan kesenian tari Sintren Opini masyarakat Pemalang terhadap kesenian Sintren sedikitnya ada tiga

kategori yang mewakili berbagai aliran opini yang berkembang di masyarakat. Pertama, kelompok masyarakat yang secara tegas (tanpa kompromi)

menolak eksistensi kesenian Sintren karena berasumsi bahwa kesenian Sintren tidak sejalan dengan nalar keagamaan (penuh nuansa mistis). Kedua, kelompok yang mengakui eksistensi kesenian Sintren dan berusaha melestarikannya. Kelompok ini terwakili oleh para seniman dan pemerhati seni etnik. Ketiga, kelompok yang masa bodoh dan tidak ambil pusing tentang Sintren dan masa depannya nanti.

Faktor yang membuat kesenian Sintren kehilangan pamornya antara lain karena masyarakat sendiri yang sudah tidak peduli pada kesenian Sintren. Mereka beranggapan, pementasan kesenian Sintren sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman.

Selain itu juga tidak adanya wadah (sanggar) tempat bertemu sesama anggota dan para pemerhati seni tradisional. Lemahnya manajemen grup Sintren, ditengarai juga ikut memengaruhi citra kesenian Sintren. Dahulu, kesenian Sintren hanya dikelola secara musiman dan baru bergerak jika ada undangan pentas ataupun festival namun kini pertunjukan Sintren dilakukan secara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain.

Dalam pandangan masyarakat pelaku seni tradisional. menghidupkan kesenian Sintren seakan tidak lebih dari sebuah "pengabdian" untuk melestarikan budaya warisan nenek moyang, atau hanya sekedar ingin mempertahankan nilai-nilai kearifan yang tersimpan di dalamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh anggota Paguyuban Sintren Slamet Rahayu dusun Sirau Kelurahan Paduraksa.

Jadi, mempertahankan nilai-nilai seni budaya itulah agaknya yang dijadikan pertimbangan. Memutuskan menjadi penari Sintren barangkali merupakan sebuah keberanian dan secara moral patut dihargai sebagai bentuk ketulusan menjaga nilai-nilai kesucian. Dalam prosesi pementasan Sintren ada semacam persyaratan khusus, si penari harus benar-benar masih perawan (suci) lahir batin, dalam arti secara fisik masih gadis (perawan) dan secara psikologis belum terhegemoni oleh pengaruh modernitas (masih lugu). Karena itu umumnya penari sintren berasal dari kalangan gadis cilik usia sekolah setingkat kelas 5 atau 6 Sekolah Dasar. Syarat lainnya hanya berkaitan dengan teknis, tentunya harus bisa menari.

Kini Sintren di Pemalang sebagai sebuah tradisi disebabkan tekanan modernitas hampir menjadi sepenggal kenangan sejarah. Meski masih ada pihak yang berusaha melestarikannya, terbukti di salah satu desa masih terdapat group Sintren yang tampil secara keliling. Sebagaimana paguyuban seni Sintren Slamet Rahayu di dusun Sirau Kelurahan Paduraksa Kecamatan Pemalang.

Page 127: JURNAL UTUH

124

E. Kesimpulan Dari uraian tentang bagaimana pertunjukan Sintren di atas, dapat

disimpulkan bahwa ada beberapa makna yang terdapat di balik pertunjukan Sintren, antara lain: pertama, makna mistis yang memiliki hubungan dengan perolehan secara magis simpatetik. Ini tercermin lewat lagu-lagu yang dilantunkan dengan monoton tapi sederhana dan mampu memberikan kekuatan tertentu, sehingga pemain Sintren dari kondisi terikat kuat dapat lepas dan berpakaian dalam hitungan menit. Kedua, makna teatrikal. Makna teatrikal ini digambarkan dengan tampilnya pawang dengan pemain Sintren dan kurungan secara simultan. Lalu Sintren berganti rupa dalam penampilannya sejak diikat dan dimasukkan ke dalam kurungan dan keluar lagi serta masuk lagi dalam kurungan. Pertunjukan semacam itu merupakan adegan teatrikal yang menarik bagi siapa pun yang melihatnya. Ketiga, makna simbolik. Makna simbolik ini ditunjukan bahwa pertunjukan Sintren dahulu hampir slalu ditampilkan pada saat selesai panen. Ini menunjukan rasa syukur atas keberhasilan panen yang dimiliki oleh para petani yang ingin berbagi kebahagiaan dan kebersamaan dengan warga sekitarnya, oleh karena itu dalam pertunjukan Sintren juga dihidangkan berbagai macam makanan.

Dalam masa kinipun, seni sintren menunjukan pesan egalitarian dan hubungan antara pencipta dengan yang dicipta. Pesan egalitarian, karena untuk pertunjukkannya, segenap warga yang ditempati pertunjukan sintren melakukan gotong royong mengumpulkan uang untuk menjamu dan sekedar memberi transport anggota paguyuban sintren. Hubungan pencipta dan yang dicipta, karena dalam pertunjukan sintren terdapat lagu-lagu yang berisi permohonan kepada Sang Pencipta, kini bahkan dinyanyikan shalawat nabi.

Meski tekanan modernitas begitu kuat, tetapi sebagai seni tradisional keberdayaan seni Sintren tetap eksis karena adanya semangat para pelaku seni Sintren yang berusaha menghidupkan kesenian Sintren lebih dari sebuah "pengabdian" untuk melestarikan budaya warisan nenek moyang, atau adanya keinginan kuat mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal yang tersimpan di dalamnya, sebagaimana yang dilakukan oleh salah satunya adalah anggota Paguyuban Sintren Slamet Rahayu Dusun Sirau Kelurahan Paduraksa.

Pertunjukan Sintren juga bisa menjadi alternatif membangkitkan ekonomi mikro rakyat kecil dalam mencari pengahasilan tambahan ekonomi rumah tangga atas desakan kebutuhan ekonomi dan sebagai upaya mencoba bertahan hidup sambil nguri-uri budaya sendiri.

Page 128: JURNAL UTUH

125

DAFTAR PUSTAKA

Buku Deskripsi Kesenian Daerah terbitan Pemerintah Kabupaten Pemalang Tahun

2010. Herusatoto, Budiono, Banyumas: sejarah, budaya, bahasa, dan watak,

Yogyakarta:LKiS Pelangi Aksara, 2008. Karsidi, Ravik, Sosiologi Pendidikan, Surakarta: UNS Press, 2011. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Jakarta: Aksara Baru, 1985. Sugiarto, A ; et al., Naskah deskripsi Tari Sintren. Semarang : Proyek Pembinaan

Kesenian Jawa Tengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1989.

Sztomka, Piotr, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada, 2008

Internet : http://www.Pekalongankab.go.id. Diunduh tanggal 19 Mei 2012. Sumber Data: Observarsi dengan menonton langsung pertunjukan Seni Sintren oleh Paguyuban

Sintren Slamet Rahayu Sirau di Dusun VI Desa Banjaran Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang, tanggal 17 & 19 Mei 2012.

Wawancara dengan bapak Basuki, selaku RT. 08 Dusun Sirau Kelurahan

Paduraksa, hari Sabtu tanggal 19 Mei 2012. Wawancara dengan Ibu Hj. Tunut, anggota Pengurus Paguyuban Seni Sintren

Slamet Rahayu Paduraksa. hari Sabtu tanggal 19 Mei 2012

Page 129: JURNAL UTUH

126

KARAKTER PENDIDIKAN ISLAM DAN PROBLEMATIKANYA Oleh Wahyudin1

Abstrak

Dewasa ini khususnya di Indonesia system pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah merupakan bentuk adopsi sistematik dari system pendidikan Barat. Adalah pengembangan wawasan intelektual yang kreatif dan dinamis di berbagai bidang dalam sinaran dan terintegrasi dalam Islam, merupakan kata kunci yang harus di percepat prosesnya, baik pada dataran teoritis maupun praktis.

Pendidikan Islam yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu Alquran dan Sunnah. Pendidikan Islam dapat juga dipahami sebagai proses pembudayaan dan pewarisan ajaran agama, budaya dan peradaban umat Islam dari generasi ke generasi sepanjang sejarahnya.

Pendidikan Islam dituntut untuk menerapkan pendekatan dan orientasi baru yang relevan dengann tuntutan zaman berprinsip dan nilai absolutisme yang bersifat mengarahkan tren perubahan sosio-kultural.

Problem yang sering dihadapi oleh dunia pendidikan terutama pendidikan Islam adalah masih berbaurnya unsur Barat,mulai dari lembaga pendidikan hingga system pendidikannya, untuk itu sangat diperlukan sekali campur tangan dari masyarakat Muslim menjadi agen perubahan social dengan mendorong produktivitas intelektual yang kreativ dan dinamis dalam semua bidang usaha yang terintegrasi dengan Islam.

Kata Kunci : Pendidikan Islam, Problematika dan Produktivitas

A. Latar Belakang Berbicara mengenai perubahan tentu sudah dapat terbayangkan terjadinya

dari hal yang positif ke negatif atau sebaliknya dari negative ke positif,namun itu semua tidak mudah tentunya akan mendapatkan hambatan dan sebuah tantangan.

Dalam konteks untuk menemukan konsep pendidikan Islam ideal, maka menjadi tanggung jawab moral bagi setiap pakar muslim untuk membangun teori Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan. Islam sebagai paradigma pendidikan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan paradigma-paradigma lainnya yang mendasari konsep-konsep pendidikan.

1 Wahyudin adalah Dosen Sekolah Tinggi Ilmu tarbiyah (STIT) pemalang

Page 130: JURNAL UTUH

127

Dewasa ini khususnya di Indonesia system pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah merupakan bentuk adopsi sistematik dari system pendidikan Barat’sekuler’2

Diantara belitan berbagai persoalan besar,ia dihadapkan pula pada berbagai persoalan tantangan dan prospek ke depan. Mampukah Pendidikan Islam keluar dari belitan permasalahn tersebut dan ikut ambil bagian secara aktif dalam hiruk-pikuknya lalu-lintas perubahan intelektual dan Socio Cultural Global Village dewasa ini. Adalah pengembangan wawasan intelektual yang kreatif dan dinamis di berbagai bidang dalam sinaran dan terintegrasi dengan Islam,merupakan kata kunci yang harus di percepat prosesnya,baik pada dataran teoritis maupun praktis.Berbicara tentang Pendidikan Islam atau pendidikan yang ada dan berkembang di Negara-negara Muslim pada abad XXI,baik system,tujuan sampai pada dataran operasionalnya masih menjadi bahan kajian di kalangan para ahli pendidikan Islam.

Ada beberapa faktor yang ditengarai menjadi penyebab munculnya silang pemikiran tersebut.ialah: 1. Pendapat yang menyatakan bahwa pendidikan Islam yang sekarang

dikembangkan baik system maupun substansinya adalah cenderung diadopsi dari Barat. Kalaupun muncul gagasan-gagasan baru yang lahir dari pemikir-pemikir Muslim, hal tersebut dianggap hanya bersifat penutup belaka.

Dengan kata lain, melepaskan diri sama sekali dari pengaruh Barat adalah suatu hal tidak mungkin.Harus diakui bahwa sebagia besar Negara Islam masihmerupakan Negara Dunia ketiga (miskin atau masih berkembang),yang saat ini masih tertinggal beberapa langkah dari kemajuan yang dicapai oleh Negara-negara Barat,yang mau tidak mau jalur tersebut harus dilalui oleh Negara Muslim.

2. Karya-karya klasik pada masa kejayaan Islam yang merupakan pemikiran pendidikan Islam yang komprehensif cukup jarang dijumpai.3

B. Permasalahan Dalam makalah ini akan dibahas beberapa permasalahan, yakni:

1. Pengertian pendidikan Islam dan situasi social cultural saat ini 2. Problem-problem yang mewarnai dunia pendidikan Islam 3. Pengertian tantangan dan prospek C. Pengertian Pendidikan Islam

Pendidikan Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang mendapat banyak perhatian dari para ilmuwan. Bagi mereka yang akan terjun ke

2 Ismail SM,,et al,Paradigma Pendidikan Islam,(Semarang:Fakultas Tarbiyah IAIN

Walisongo,2001) hal,3 3 Ibid,hal.275

Page 131: JURNAL UTUH

128

dalam bidang pendidikan Islam harus memiliki kemampuan untuk mengembangkan sesuai dengan tuntutan zaman.

Dari segi bahasa pendidikan dapat diartikan perbuatan (cara,hal,dan sebagainya) mendidik,dan bererti pula pengetahuan tentang mendidik atau pemeliharaan badan,bathin dan sebagainya,

Dalam bahasa Arab,para pakar pendidikan pada umumnya menggunakan kata tarbiyah untuk arti pendidikan. Adapun pengertian pendidikan menurut istilah dapat merujuk kepada beerbagai sumber yang diberikan para ahli pendidikan.Dalam undang-undang tentang System Pendidikan Nasional (UU RI No.2 Th.1989) dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan,pengajaran,dan latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.

Selanjutnya,Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara, mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan bathin,karakter),pikiran (intellect) dan tubuh anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup,yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya.

Dari dua definisi tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan adalah merupakan suatu usaha atau proses yang ditujukan untuk membina kwalitas sumber daya manusia seutuhya agar dia dapat melakukan perannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal.

Dengan demikian,pendidikan pada intinya menolong manusia agar dapat menunjukkan eksistensinya secara fungsional di tengah-tengah kehidupan manusia.

Adapun Islam berasal dari bahasa Arab aslama, yuslimu, islaman yang berarti berserah diri, patuh dan tunduk. Kata aslama tersebut pada mulanya berasal dari salima, yang berarti selamat, sentosa dan damai. Pengertian Islam dari segi kebahasaan ini sudah mengacu kepada misi Islam itu sendiri yaitu mengajak manusia agar hidup aman,damai dan selamat dunia akhirat dengan cara patuh dan tunduk kepada Allah, yang selanjutnya upaya ini disebut ibadah.

Selanjutnya, jika pendidikan dan Islam disatukan menjadi Pendidikan Islam, artinya secara sederhana adalah pendidikan yang berdasrkan ajaran Islam dengan ciri-cirinya, yaitu memiliki ajaran tauhid dan persatuan,memuliakan manusia,memandang hukum alam sebagai ketentuan Tuhan.4

Secara sederhana,istilah pendidikan Islam dapat dipahami dalam beberapa pengertia,yaitu: 1. Pendidikan menurut Islam atau Pendidikan Islami, yakni pendidikan yang

dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya,yaitu Alquran dan Sunnah. Dalam

4 Abuddin Nata,Metodologi Studi Islam,(Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,1998),hal.333-339

Page 132: JURNAL UTUH

129

pengertian yang pertama ini pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut.

Dalam realitasnya,pendidikan yang dibangun dan dikembangkan dari kedua sumber tersebut terdapat beberapa visi,yaitu

a. Pemikiran,teori dan penyelenggaraannya melepaskan diri dan/atau kurang mempertimbangkan situasi konkrit dinamika pergumulan masyarakat muslim yang mengitarinya;

b. Pemikiran,teori dan praktikpenyelenggaraanya hanya mempertimbangkan pengalaman dan khazanah intelektual ulama klasik;

c. Pemikiran teori dan praktik penyelenggaraannya hanya mempertimbangkan situasi sosio-historis dan cultural masyarakat kontemporer,dan melepaskan diri dari pengalam dan khazanah intelektual ulama klasik;

d. Pemikiran,teori dan praktik penyelenggaraannya mempertimbangkan pengalaman dan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati situasi sosio-historis dan cultural masyarakat kontemporer.

2. Pendidikan keislaman atau Pendidikan Agama Islam, yakni upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya,agar menjadi pandangan dan sikap hidup seseorang.Dalam pengertian yang kedua ini pendidikan Islam dapat berwujud:

a. Segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk membantu seorang atau kelompok peserta didik dalam menanamkan dan menumbuhkembangan ajaran Islam dan nilai-nilainya;

b. Segenap fenomena atau peritiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya ialah tertanamnya atau tumbuh kembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada slah satu atau beberapa pihak.

3. Pendidikan dalam Islam,atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam. Dalam arti proses bertumbuhkembangnya Islam dan umatnya, baik Islam sebagai agama, ajaran maupun system budaya dan peradaban, sejak zaman Nabi Muhammad saw sampai sekarang. Jadi, dalam pengertian yang ketiga ini istilah Pendidikan Islam dapat dipahami sebagai proses pembudayaan dan pewarisan ajaran agama,budaya dan peradaban umat Islam dari generasi ke generasi sepanjang sejarahnya.

Walaupun istilah pendidikan Islam tersebut dapat dipahami secara

berbeda, namun pada hakikatnya merupakan satu kesatuan dan mewujud secara operasional dalam satu sistem yang utuh,dengan demikian dapat dipahami bahwa

Page 133: JURNAL UTUH

130

hakikat pendidikan Islam tersebut konsep dasarnya dapat dipahami dan dianalisis serta dikembangkan dari Alquran dan As-sunnah.5

Dan tujuan utama dari pendidikan Islam itu sendiri ialah untuk memebentuk akhlak dan budi pekerti yang sanggup menghasilkan orang-orang yang bermoral, laki-laki maupun wanita, jiwa yang bersih,kemauan yang keras, cita-cita yang benar dan akhlak yang tinggi, tahu arti kewajiban dan pelaksanaannya, menghormati hak-hak manusia, tahu membedakan buruk dengan baik, memilih suatu fadhilah karena cinta pada fadhilah, menghin dari suatu perbuatan yang tercela karena ia tercela,dan mengingat Tuhan dalam setiap pekerjaannya yang dilakukan.6 D. Situasi Socio-Kultural

Situasi dunia secara umum dapat digambarkan bahwa, muncul perjuangan-perjuangan dan konflik dalam masyarakat dunia kita yang mengambil bentuk-bentuk regional pada semua level, baik ekonomi, politik dan budaya. Konflik yang secara luas terjadi antara budaya barat yang dominan dengan trdisi ilmu pengetahuan dan teknologi,dengan kultur non-Barat yang masih bersifat per-industrial, yang masih rendah tingkat penguasaannya terhadap alam. Bagaikan obat pahit yang menyembuhkan,namun banyak yang tidak mau menelannya. Karena itu diperlukan system dan metode yang menarik.

Dalam menghadapi pergeseran nilai-nilai cultural yang transisional dari dunia kehidupan, belum menemukan pemukiman mapan. Pendidikan Islam dituntut untuk menerapkan pendekatan dan orientasi baru yang relevan dengann tuntutan zaman. Justru pendidikan Islam membawakan prinsip dan nilai absolutisme yang bersifat mengarahkan tren perubahan sosio-kultural.7 E. Problem-problem yang mewarnai Pendidikan

Beberapa problem utama yang mewarnai atmosfer dunia pendidikan Islam pada umumnya dapat diklasifikasikan dalam lima hal. Jika di analisis, maka dapat disimpulkan bahwa problem-problem tersebut merupakan rangkaian yang saling terkait dan berjalan secara bersama. Persoalan-persoalan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Dichotomic

Masalah besar yang dihadapi dunia pendidikan Islam adalah dichotomy dalam beberapa aspek yaitu;antara Ilmu Agama dengan Ilmu Umum,antara Wahyu dengan Akal serta antara Wahyu dengan Alam

5 Muhaimin,M.A,et.al,Paradigma Pendidikan Islam (Bandung:PT Remaja Rosda

Karya,2001)hal.29-30 6 M.Athiyah Al-abrasyi,Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam (Jkarta:Bulan

Bintang,1969) hal.103 7 Muzayyin Arifin,Kapita Selekta Pendidikan Islam,(Jakarta:Bumu Aksara,2003),hal.7

Page 134: JURNAL UTUH

131

Pandangan yang dikotomis tersebut pada giliran selanjutnya dikembangkan dalam melihat dan memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani sehingga pendidikan Islam hanya diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja.

Munculnya masalah dikhotomi dengan segala perdebatannya telah berlangsung sejak lama. Boleh dibilang gejala ini sudah mulai tampak pada masa-masa pertengahan.8 Pada periode pertengahan,lembaga pendidikan Islam (terutama Madrasah sebagai pendidikan tinggi) tidak pernah menjadi universitas yang di fungsikan semata-mata untuk mengembangkan tradisi penyelidikan bebas berdasarkan nalar. Ia banyak diabdikan kepada ilmu-ilmu agama dengan penekanan pada fiqh,tafsir dan hadist. Sementara ilmu-ilmu non agama (keduniaan),terutama ilmu-ilmu alam dan eksakta sebagai akar pengembangan sains dan teknologi, sejak awal perkembangan Madrasah dan al-Jamia’h sudah berada dalam posisi marginal.

Islam memang tidak pernah membedakan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum (keduniaan), dan/atau tidak berpandangan dikotomis mengenai ilmu pengetahuan. Namun demikian, dalam realitas sejarahnya justru supremasi lebih diberikan pada ilmu-ilmu agama sebagai jalan tol untuk menuju Tuhan. Untuk itu dikhotomi dalam pendidikan Islam perlu dihapuskan, sebab dengan menerima prinsip ini, maka pendidikan Islam hanya akan melahirkan manusia-manusia Muslim yang terpecah kepribadiannya, di masjid atau di langgar mereka bersikap alim, sementara di pasar, di pabrik dan di masyarakat luas mereka tampil sebagai orang asing yang tidak punya orientasi moral,kepedulian social,kasih saying, kejujuran dan tanggung jawab.

Menurut Ma’arif diterimanya prinsip dikhotomi antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu agama sebenarnya merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Keduanya amat diperlukan dalam rangka penunaian tugas dan peran manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi. Di sisi lain, Islam adalah serangkaian pengetahuan yang dianugerahkan kepada manusia oleh Allah sebagai sumber dari segala sumber pengetahuan.9

Ketika membandingkan pendidikan Islam dengan pendidikan umum,Azra menyebutkan ada tujuh karakteristik yang dimiliki pendidikan Islam : a. Penguasaan ilmu pengetahuan Ajaran Islam mewajibkan umatnya mencari

ilmu pengetahuan b. Pengembangan ilmu pengetahuan,ilmu yang telah dikuasai harus diberikan

dan dikembangkan kepada orang lain.

8 Op.cit.hal.278-279

9 Muhaimin,M.A,et.al Paradigma Pendidikan Islam,, (Bandung:PT.Remaja Rosda Karya,2001),hal,41

Page 135: JURNAL UTUH

132

c. Penekanan pada nilai-nilai akhlak dalam penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan tersebut itu hanyalah untuk pengabdian kepada Allah dan kemaslahatan umum.

d. Penyesuaian pada perkembangan anak e. Pengembangan kepribadian,pengembangan aspek ini berkaitan dengan

seluruh nilai dan system Islam sehingga peserta didik diarhkan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.

f. Penekanan pada amal saleh dantanggung jawab.Setiap peserta didik diberikan semangat dan dorongan untuk mengamalkan ilmunya sehingga benar-benar bemanfaat bagi diri,keluarga dam masyarakat secara keseluruhan.10

2. To General Knowledge Kelemahan dunia pendidikan Islam berikutnya adalah sifat

pengetahuannya yang masih terlalu general atau umum dan kurang memperhatikan kepada upaya penyelesaian masalah. Syed H. Alatas menyatakan bahwa kemampuan untuk mengatasi berbagai permasalahan, mendefinisikan, menganalisis dan selanjutnya mencari jalan keluar/atau pemecahan masalah tersebut merupakan karakter dan sesuatu yang mendasar dari kualitas sebuah intelektual. Ia menambahkan ciri yang terpenting yang membedakan dengan non-intelektual adalah tidak adanya kemauan untuk berfikir dan ketidakmampauan untuk melihat konsekuensinya. 3. Lack of Spirit of Inquiry

Persoalan besar lainnya yang menjadi faktor penghambat kemajuan dunia pendidikan Islam adalah rendahnya semangat untuk melakukan penelitian. Pendidikan model Barat di masa kolonial merupakan suatu bentuk imitasi dari Westernisasi. Dalam masyarakat Muslim dimana lembaga-lembaga pendidikan tinggi memiliki akar kuat terhadap cara-cara belajar hafalan, isi ( content) dan sains-sains positif yang diadopsi dari Eropa tetap diajarkan dengan model hafalan.

4. Memorisasi

Kemerosotan secara gradual (perlahan) dari standar-standar akademis yang berlansung selama berabad-abad tentunya terletak pada bahwa,karena jumlah buku yang tertera dalam kurikulum sedikit sekali, maka waktu yang diperlukan untuk belajar juga terlau singkat bagi siswa-siswa untuk dapat menguasai materi yang seringkali sulit untuk dimengerti. Hal ini menimbulkan dorongan untuk

10 Muqowim,Jurnal Pendidikan Islam Ta’dib (Palembang:IAIN Raden Fatah

Press,2001)hal.100

Page 136: JURNAL UTUH

133

belajar dengan system hafalan (memorizing) daripada pemahaman yang sebenarnya.

Kenyataan menunjukkan bahwa abad-abad pertengahan yang akhir yang menghasilkan jumlah besar karya-karya komentar dan bukan karya-karya yang pada dasarnya orisinil. Fenomena ini berkembang secara fundamental dari kebiasaan-kebiasaan berkonsentrasipada buku dan bukan pada pelajaran.

5. Certificate Oriented

Diantara semua atau masyarakat,orang-orang Islam memiliki keunikan dalam mengembangkan sains (ilm) terhadap penyebarluasan tradisi keagamaan (hadith). Bagi muslim yang saleh ilmu hadith telah menjadi ilmu yang par excelence.Hal tersebut menjadi sesuatu yang mendasari tugas bagi mereka yang disebut ilmuwan,dalam merespon salah satu hadist nabi yang cukup kondang اطلبواالعلم ولوبالصين (“Carilah ilmu walaupun di negeri Cina”) menempuh perjalanan jauh dan melelahkan hingga ke luar wilayah kekhalifahan.

Perjalanan tersebut memiliki derajat yang tinggi diantara perbuatan-perbuatan yang saleh,barang siapa yang mati dalam perjalanan mencari ilmu adalah seperti mereka yang mati syahid di medan perang suci.Semangat inilah yang menjadi pola yang diterapkan dan dikembangkan pada masa-masa awal Islam dalam pencarian,pengumpulan dan penyeleksian Hadith menjadi suatu disiplin yang memenuhi kriteria-kriteria ilmiah.11

F. Tantangan dan Prospek 1. Tantangan

Pendidikan diyakini merupakan salah satu agen perubahan social. Pada satu segi pendidikan dipandang sebagai suatu variable modernisasi atau pembangunan. Tanpa pendidikan yang memadai akan sulit bagi masyarakat manapun untuk mencapai kemajuan.

Karena itu banyak ahli pendidikan yang berpandangan bahwa pendidikan merupakan kunci yang membuka pintu kearah modernisasi. Tetapi pada segi lain,pendidikan sering dianggap sebagai obyek modernisasi atau pembangunan. Dalam konteks ini, pendidikan di Negara-negara yang telah menjalankan program modernisasi pada umumnya dipandang masih terbelakang dalam berbagai hal, dan arena itu sulit diharapkan bisa memenuhi dan mendukung program pembangunan.12

Pada era globalisasi proses pendidikan Islam semakin mendapat tantangan yang cukup berat, terutama jika dikaitkan dengan situasi masyarakat majemuk yang menuntut adanya kedewasaan berpikir dan saling menghargai pendapat orang. Tampaknya jika pendidikan Islam ingin

11 Loc.cit,hal.282-286 12 Ismail SM,et.al,Paradigma Pendidikan Islam (Semarang:Fakultas Tarbiyah IAIN

Walisongo,2001) hal.287

Page 137: JURNAL UTUH

134

kontekstual dengan perkembangan zaman, maka paradigma pendidikan yang selama ini dikembangkan harus dirubah.

Menurut Mastuhu,perubahan paradigma yang dimaksud adalah mengubah cara belajar dari model warisan menjadi cara belajar pemecahan masalah,dari hafalan ke dialog, dari strategi menguasai materi sebanyak-banyaknya menjadi menguasai metodologi, dari mekanis ke kreatif, dari memandang dan menerima ilmu dalam dimensi proses dan fungsi pendidikan bukan hanya mengasah dan mengembangkan akal, namun mengolah dan mengembangkan hati (moral) dan ketrampilan .

Pendidikan Islam dengan nuansa moral diharapkan mampu atau paling tidak memenuhi harapan-harapan seperti berikut, a. Pendidikan Islam harus menanamkan nilai-nilai agama kepada anak didik

dan membimbing peran sosialnya untuk membendung nilai-nilai budaya luar yang mengarah kepada dehumanisasi.

b. Pendidikan Islam idealnya mampu memberikan pemahaman terhadap ide pengintegrasian antara budaya agamis dan budaya duniawi.

c. Pendidikan Islam hendaknya mampu menjadikan tauhid sebagai titik tumpu dari suatu wawasan yang mengintegrasikan pengetahuan umum dan agama.

d. Pendidikan Islam harus mampu menjadi pilar dari perkembangan dan perubahan social,

e. Pendidikan Islam hendaknya tidak memandang berbeda antara ilmu agama dan ilmu umum

f. Pendidikan Islam harus mengarahkan peserta didik untuk memiliki etos kerja yang tangguh berdasarkan semangat keimanan. Ketika proses pendidikan Islam sudah diarahkan untuk membentuk

individu muslim yang mempunyai kesalehan individual dan kesalehan social,maka berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam relative mudah dipecahkan dan kompleksitas persoalan modern beserta masyarakat majemuknya dapat dijadikan sebagai sebuah potensi yang harus dikelola dengan baik.Tentu semua ini sepenuhnya kembali pada umat Islam sendiri,mau tidak merubah pola pikir yang selama ini sudah mentradisi turun temurun.13

Karena itulah pendidikan harus diperbaharui,dibangun kembali atu dimodernisasi sehingga dapat memenuhi harapan dan fungsi yang dipikulkan kepadanya.Menurut 5 tokoh Muslim yaitu: Sayyid Ahmad Khan,Sayyid Amir’Ali,Jamaluddin al-Afghani, Namik Kemal dan Muhammad Abduh terhadap krisis yang melanda dunia pendidikan Islam. Bagian-bagian integral dari penalaran mereka adalah: a. Bahwa tumbuh suburnya perkembangan sains dan semangat ilmiah dari

semangat ilmiah dari abad kesembilan hingga kesepuluh di kalangan kaum

13 Muqowim,Jurnal Pendidikan Islam Ta’dib (Palembang:Raden Fatah Press,2001)

Page 138: JURNAL UTUH

135

Muslimin adalah buah dari usaha memenuhi seruan Alquran agar manusia mengkaji alam semesta hasil karya Tuhan,yang diciptakan baginya.

b. Bahwa pada abad-abad pertengahan yang akhir semangat penyelidikan ilmiah telah merosot dan karenanya masyarakat Muslim mengalami kemerosotan

c. Bahwa Barat telah meggalakkan kajian-kajian ilmiah yang sebagian besarnya telah dipinjamnya dari kaum Muslimin dan karenanya mereka mencap[ai kemakmuran,bahkan selanjutnya menjajah negeri-negeri Muslim.

d. Bahwa karenanya kaum Muslim,dalam mempelajari kembali sains dari Barat yang berkembang,berarti menemukan kembali masa lalu mereka dan memenuhi kembali perintah Al-quran yang telah terabaikan.Pandangan ini nampaknya dapat merekomendasikan menjadi semangat utama untuk mengejar ketertinggalan kaum Muslimin.

Hal terpenting dan paling mendesak dari sudut pandang ini adalah

melepaskan kaitan secara mental dengan Barat serta menanamkan suatu sikap yang independent namun penuh pengertian terhadapnya, sebagaimana terhadap peradapan lain, meskipun lebih dikhususkan kepda Barat karena ia merupakan sumber dari banyak perubahan social di seluruh dunia. Selama kaum Muslimin tetap terbelenggu kepada Barat secara mental, bagaimanapun mereka tidak akan mampu untuk bertindak secara independent dan otonom

Pokok permasalahan dari seluruh masalah modernisasi pendidikan, yang diharapkan mampu menjadi agen perubahan social adalah membuatnya mampu mencetak produk-produktivitas intelektual yang kreativ dan dinamis dalam semua bidang usaha intelektual yang terintegrasi dengan Islam.

Sikap anti Barat yang berlebihan dan tidak realistis justru menggiring dunia pendidikan Islam mengalami kemerosotan.Sikap tersebut terimplementasi ke dalam penolakan ilmu-ilmu “sekuler” yang disinyalir merupakan produk Barat,sehingga dari sinilah pangkal tolak munculnya dikotomi.Berpangkal dari dikotomi inilah masalah terus bergulir bagaikan bola salju yang kian lama kian membesar.

Upaya lain yang tak kalah penting untuk mendapatkan penanganan serius adalah pembenahan lembaga-lembaga pendidikan Islam.Problem yang menyelimuti pendidikan Islam adalah kesenjangan diantara jenjang pendidikan.Pendidikan ditingkat dasar dan menengah kurang atau tidak mampu menyediakan calon-calon mahasiswa yang memenuhi standar kualifikasi yang diharapkan,untuk menempuh studi di perguruan tinggi.

Dan kasus lainnya bagi para mahasiswa baik dari negeri Muslim atau berkembang lainnya yang menamatkan pendidikan di luar negeri, seringkali tidak dapat diakomodir sekembali ketanah air. Supra struktur dalam hal ini lapangan pekerjaan maupun untuk pengembangan keilmuan yang telah mereka dapatkan seringkali mengalami kesulitan.Inilah pekerjaan rumah bagi Pendidikan Islam untuk membenahi kelembagaannya,dengan satu penekanan bahwa pembanahan itu tidak bias dilakukan secara sepenggal-sepenggal.

Page 139: JURNAL UTUH

136

2. Prospek Kaum Muslimin merupakan komunitas terbesar kedua yang ada di

bumi ini.Tentu merupakan sebuah potensi yang sangat besar bila hal itu mampu digarap secara baik,dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Lebih dari itu, jika dilihat,sebagian besar Negara Muslim merupakan Negara yang memiliki potensi alam yang sangat kaya. Sehingga dua potensi,yaitu sumber daya manusia dan sumber daya alam,jika mampu dipadukan secara simultan, maka akan menjadi sebuah kekuatan besar di dunia ini.

Semakin terbukanya cakrawala pemikiran di antara sebagian intelektual Muslim,salah satunya ditandai dengan semakin banyaknya pelajar atau sarjana Muslim yang belajar di Barat merupakan angin segar bagi upaya menemukan kejayaan masa lalu yang hilang.

G. Kesimpulan Dalam menghadapi sebuah perubahan pastilah akan terdapat beberapa

masalah atau problematika,untuk itu diperlukan peran aktif dari semua pihak.Begitu juga dengan Pendidikan Islam dalam menapak sebuah perubahan,banyak sekali mengalami kendala dan tantangan.

Pendidikan Islam adalah pendidikan yang mengajarkan tentang nilai-nilai agama,di mana dia mempunyai tujuan tersendiri yaitu megajarkan manusia tentang budi pekerti,makhluk yang saling mengasihi dll.

Problem yang sering dihadapi oleh dunia pendidikan terutama pendidikan Islam adalah masih berbaurnya unsur Barat,mulai dari lembaga pendidikan hingga system pendidikannya,untuk itu sangat diperlukan sekali campur tangan dari masyarakat Muslim untuk membenahinya.

DAFTAR PUSTAKA

Al -Abrasyi,Athiyah,Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam,Jakarta:Bulan Bintang,1969.

Arifin,Muzayyin,Kapita Selekta Pendidikan Islam,Jakarta:Bumi Aksara,2003 Ismail,et.al.Paradigma Pendidikan Islam,Semarang:Fakultas Tarbiyah IAIN

Walisongo,2001 Muhaimin,et.al,Paradigma Pendidikan Islam,Bandung:PT.Remaja Rosda

Karya,2001 Muqowim,Jurnal Pendidikan Islam Ta’dib,Palembang:IAIN Raden Fatah

Press,2001 Nata,Abuddin,Metodologi Studi Islam,Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,1998

Page 140: JURNAL UTUH

137

TOTAL QUALITY MANAGEMENT (TQM) PADA LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Jasuri1

Absrtak

Total Quality Management (TQM) menjadi signifikan diterapkan sebagai solusi alternatif bagi peningkatan dan penjaminan mutu lembaga pendidikan. Total Quality Management, yang juga dinamai Manajemen Mutu Terpadu, merupakan paradigma tentang perbaikan secara terus menerus yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan dan harapan para pelanggannya pada masa kini dan masa yang akan datang.2

Dalam konteks keprihatinan dan upaya membangkitkan kondisi dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya dan pendidikan Islam pada khususnya, terdapat fenomena nasional yang menarik dikaji dengan bersinarnya sebuah lembaga pendidikan Islam di Indonesia.

Kelebihan sistem manajemen mutu ini terletak pada sistem perencanaan yang matang, realistis dan terukur, dan pada tahap pelaksanaan sudah memiliki pola kerja yang mengacu kepada prosedur-prosedur terbaik yang dipilih oleh organisasi, sedangkan evaluasi dana pemantauan terhadap perbaikan berkelanjutan dilakukan pada setiap tahap dan setiap lini proses organisasi untuk menjamin mutu demi kepuasan pelanggan. Tulisan ini mencoba menawarkan konsep TQM untuk diterapkan pada lembaga pendidikan Islam, baik lembaga formal maupun non formal. Kata kunci: Implementsi, Total Quality Management (TQM), Lembaga

Pendidikan Islam.

Pendahuluan TQM atau Total Quality Management (manajemen kualitas menyeluruh)

merupakan strategi yang ditujukan untuk menanamkan kesadaran kualitas pada semua proses dalam organisasi. Suatu pendekatan menejemen di lembaga yang terfokus pada kualitas, berdasarkan partisipasi semua anggotanya dan bertujuan untuk kesuksesan jangka panjang melalui kepuasan pelanggan serta memberi keuntungan untuk semua anggota dalam organisasi serta masyarakat. Di

1 Jasuri adalah Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAIN Walisongo Semarang. 2 Edward Sallis, Total Quality Management in Education, terj. Ahmad Ali Riyadi dan

Fahrurrozi (Jogjakarta: IRCiSoD, 2006), hlm. 73.

Page 141: JURNAL UTUH

138

Indonesia penggunaan TQM di lembaga pendidikan Islam memang masih jarang yang menerapkan konsep tersebut. TQM cukup populer di sektor swasta, diawali penerapannya pada perusahaan-perusahaan terkemuka dan perusahaan milik negara, sebagai bagian dari strategi untuk meningkatkan daya kompetitif yang mengedepankan kualitas.

Dikarenakan TQM dianggap sebuah pendekatan yang cukup tepat, maka lembaga pendidikan Islam mencoba mengadopsi dan mulai beradaptasi dengan konsep ini, sebagai langkah strategis guna meningkatkan pelayanan maksimal pada pelanggannya. Menurut hemat penulis, TQM perlu diterapkan pada setiap satuan pendidikan Islam guna mendorong kualitas pelayanan prima kepada stakeholders. Sebab, dalam dunia persaingan global yang sangat ketat saat ini, orang lebih mengutamakan “mutu”, dengan pekerjaan yang menghasilkan produk dan/atau jasa.

Suatu hasil dibuat karena ada yang membutuhkan, dan kebutuhan tersebut berkembang seiring dengan tuntutan mutu penggunanya. Dunia pendidikan juga tidak dapat terlepas dari sistem manajemen ini. Pada ranah pendidikan terdapat beberapa kelemahan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu bidang manajemen yang mencakup dimensi proses dan substansi. Pada tataran proses, seperti perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi belum dilakukan dengan prosedur kerja yang ketat dan benar. Pada tataran substantif, seperti personalia, keuangan, sarana dan prasarana, instrument pembelajaran, layanan bantu, layanan perpustakaan, dan sebagainya, tidak hanya substansinya belum komprehensif, melainkan kriteria keberhasilan untuk masing-masingnya belum ditetapkan secara taat asas. 3

Agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya titik acuan standar). Maka bagaimanakah agar lembaga pendidikan Islam secara kualitas dapat terjaga dan bagaimanakah cara mengaplikasikan TQM pada lembaga pendidikan Islam. Pengertian Total Quality management (TQM)

Terdapat tiga konsepsi mutu yang paling populer yang telah dikembangkan oleh tiga pakar mutu tingkat internasional, yaitu W. Edwards Deming, Philip B. Crosby, dan Joseph M. Juran.4 Deming mendefinisikan mutu adalah apapun yang menjadi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Crosby mendefinisikan mutu adalah sebagai kesesuaian terhadap persyaratan. Sedangkan Juran mendefinisikan mutu adalah kesesuaian terhadap spesifikasi. Meskipun ketiga pakar tersebut berbeda dalam mempersepsikan mutu, tetapi ketiganya kemudian menjadi dasar pemikiran dalam sistem manajemen mutu yang merupakan isu sentral dalam

3 Sudarwan, Danim. 2003. Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar. hlm. 6 4 Zulian Yamit, Manajemen Kualitas: Produk dan Jasa (Yogyakarta: Ekonisia, 2001), hlm.

142.

Page 142: JURNAL UTUH

139

aktivitas bisnis saat ini. Oleh karena itu, banyak perusahaan secara progresif mencari sistem manajemen tidak terkecuali manajemen pendidikan untuk menyiasati mutu dalam era globalisasi.

Edward Sallis mengatakan, total quality management is a philosophy of continuous improvement, which can provide any educational institution with a set of practical tools for meeting and exceeding present and future customers needs, wants, and expectations.5 TQM adalah sebuah filosofi tentang perbaikan secara terus menerus, yang dapat memberikan seperangkat alat praktis kepada setiap institusi pendidikan dalam memenuhi kebutuhan, keinginan, harapan para pelanggannya, saat ini dan untuk masa yang akan datang.

Definisi lain, TQM is the integration of all functions and processes within an organization in order to achieve continuous improvement of the quality of goods and services. The goal is customer satisfaction.6 TQM adalah integrasi segenap fungsi dan proses dalam suatu organisasi demi meraih perbaikan mutu barang dan jasa secara terus menerus. Tujuannya ialah kepuasan pelanggan.

Lebih lanjut, the essence of Total Quality Management is a common sense dedication to understanding what the customer wants and then using people and science to set up systems to deliver products and services that delight the customer.7 Esensi Total Quality Management adalah dedikasi penuh pertimbangan untuk memahami apa yang diinginkan pelanggan dan kemudian memanfaatkan orang maupun ilmu untuk membentuk sistem penyampaian produk dan pelayanan yang menyenangkan pelanggan.

Penjabaran lain terkait definisi Total Quality Management dapat memperhatikan pernyataan yang dikutip dari Witcher (1990) berikut. Total Quality Management terdiri dari tiga istilah: a. Total: meaning that every person is involved including customer and

suppliers. Istilah pertama ini berarti bahwa setiap orang dilibatkan, termasuk pelanggan dan penyedia (layanan).

b. Quality: implying that customer requirements are met in accordance to specification. Kualitas/mutu mengimplikasikan bahwa kebutuhan pelanggan dipenuhi menurut spesifikasinya.

c. Management: indicating that senior executives are committed. Istilah ketiga ini mengindikasikan bahwa pelaksana senior memiliki suatu komitmen.8

5 Edward Sallis, Op Cit., hlm. 34. 6 Diambil dari http://www.au.edu.pk/qec/minutes/admin-TQM.ppt, diakses pada 29 Maret

2013. 7 Diambil dari http://www3.nd.edu/~kmatta/BAMG30700/Lectures/Lect-4-TQM-Basic-

Tenets.ppt, diakses pada 29 Maret 2013. 8 Sola Aina & Oyeyemi Kayode, Application of Total Quality Management in the Classroom,

British Journal of Arts and Social Sciences, Vol.11 No.I (2012), dari http://www.bjournal.co.uk/paper/BJASS_11_1/BJASS_11_01_02.pdf, diakses pada 30 Maret 2013.

Page 143: JURNAL UTUH

140

Selanjutnya Kanji (1990), sebagaimana diungkapkan kembali oleh Sha’ri M. Yusof dan Elaine Aspinwall, menerangkan bahwa TQM is the way of life of an organisation committed to customer satisfaction through continuous improvement. This way of life varies from organisation to organisation and from one country to another but has certain principles which can be implemented to secure market share, increase profits and reduce costs.9 Total Quallity Management didefinisikan sebagai cara hidup organisasi yang diupayakan untuk kepuasan pelanggan melalui perbaikan terus menerus. Cara tersebut berbeda antara organisasi satu dengan yang lain, antara negara satu dengan negara lain, tetapi memiliki prinsip-prinsip tertentu yang dapat diterapkan untuk menjamin penguasaan pasar, meningkatkan laba, dan mengurangi biaya (produksi).

Dari pemaparan di atas, dapat disarikan kemudian bahwa Total Quality Management merupakan upaya memadukan segenap fungsi dan proses dalam suatu organisasi untuk mencapai perbaikan mutu barang, jasa, ataupun layanan secara terus menerus yang dilakukan demi kepuasan pelanggan berdasarkan prinsip-prinsip tertentu.

Perbaikan terus menerus sebagai upaya pengembangan diri dilandasi oleh kesadaran bahwa manusia memiliki kemampuan untuk mengubah keadaannya menjadi lebih baik. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Ar-Ra’du ayat 11, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”10

Implementasi TQM dalam Pendidikan Islam Penerapan Total Quality Management dalam pendidikan diharapkan dapat

memperkecil jurang kesenjangan mutu di segala lini dan mampu mencapai tujuan meningkatkan mutu pendidikan secara berkelanjutan, terus-menerus, dan terpadu.11

Upaya peningkatan mutu pendidikan yang dimaksud berdasarkan pada setiap komponen pendidikan yang dapat diwujudkan dengan prinsip-prinsip sebagai berikut. a. Fokus pada pelanggan (costumer focus)

Kunci keberhasilan budaya mutu terpadu yakni adanya suatu hubungan efektif, baik secara internal maupun eksternal, antara pelanggan dengan supplier. Semua jaringan dan komunikasi vertikal maupun horizontal perlu dioptimalkan untuk membentuk iklim kondusif terciptanya budaya komunikasi dengan memanfaatkan semua media secara multi arah dan secara

9 Sha’ri M. ٱusof dan Elaine Aspinwall, TQM implementation issues: review and case

study, International Journal of Operations & Production Management, Vol. 20 No. 6, 2000, pp. 634-655, dari http://www.fkm.utm.my/~shari/download/paper5.pdf, diakses pada 29 Maret 2013.

10 Departemen Agama Republik Indonesia, Al -Qur’an dan Terjemahnya Juz 1-30 (Semarang: CV. Toha Putra, 1989), hlm. 370.

11 Marno dan Triyo Supriyanto, Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan Islam (Bandung: PT. Refika Aditama, 2008), hlm. 112.

Page 144: JURNAL UTUH

141

harmonis yang setiap saat diperlukan untuk mengimplementasikan manajemen terpadu dalam bidang pendidikan. Jadi kepuasan pelanggan merupakan faktor penting dalam manajemen terpadu.12

b. Peningkatan proses (process improvement) Peningkatan kualitas pada proses merujuk pada peningkatan terus

menerus (kontinyu) yang dibangun atas dasar pekerjaan yang akan menghasilkan serangkaian tahapan interelasi dan aktivitas yang pada akhirnya akan menghasilkan output (keluaran).

c. Total Quality Management Keterlibatan total (total involvement).13 Pelibatan semua komponen pendidikan dimulai dari aktifnya pemimpin

(kepala sekolah) hingga para guru dan tenaga kependidikan. Mereka harus dilibatkan untuk mencapai keuntungan kompetitif di lingkungan pengguna yang luas.

Prinsip-prinsip di atas senantiasa erat hubungannya dengan fungsi dan tujuan. Pada dasarnya, Total Qualit Management berfungsi efektif dalam berbagai organisasi, yakni sebagai sistem manajemen peningkatan kualitas produk atau outcome sehingga dapat diterima oleh pelanggan dan dapat diarahkan untuk menghindari timbulnya kesalahan fatal. Sementara tujuan Total Quality Management adalah demi memberikan kepuasan terhadap pelanggan terkait kebutuhannya seefisien mungkin.14

Secara lebih detail, implementasi Total Quality Management dalam dunia pendidikan dapat dilakukan dengan memperhatikan hal-hal berikut: a. Penanaman falsafah kualitas

Dalam hal ini manajemen dan karyawan harus mengerti sepenuhnya dan yakin mengapa organisasi akan mencapai total quality, yaitu untuk menjamin kelangsungan hidup organisasi dalam iklim kompetitif.15 Setiap anggota dalam organisasi perlu mempunyai pengertian yang sama terhadap istilah-istilah TQ, seperti kualitas, kerusakan (defect), pelayanan yang baik, pelayanan yang merugikan, customer dan lain-lainya.16 Setiap organisasi harus dapat memberikan apresiasi, mengantisipasi dan apabila perlu menerima sejumlah pengorbanan pada tahap-tahap awal pengimplementasian Total Quality Management.

b. Kepemimpinan pendidikan Kepemimpinan merupakan salah satu penentu keberhasilan organisasi

dalam mewujudkan tujuannya. Kualitas kepemimpinan yang dimiliki oleh suatu organisasi akan sangat mempengaruhi keberhasilan organisasi tersebut

12 Ibid., hlm. 114. 13 Ibid., hlm. 117. 14 Umi Hanik, Implementasi Total Quality Management dalam Peningkatan Kualitas

Pendidikan (Semarang: RaSAIL Media Group, 2011), hlm. 14. 15 Soewarso Hardjosoedarmo, Total Quality Management (Yogyakarta: Andi Offset, 2004),

hlm 39. 16 Ibid., hlm 40.

Page 145: JURNAL UTUH

142

dalam kiprahnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dan memiliki visi kedepan untuk kemajuan lembaga.

Berdasarkan falsafah mutu yang diterima pada langkah pertama, manajemen puncak terutama CEO (Chief Executive Officer) harus mengambil inisiatif dalam menunjukkan kepemimpinan yang teguh dalam gerakan mutu. Manajemen puncak harus memberikan contoh dalam hal pola sikap, pola fikir dan pola tindak yang mencerminkan falsafah mutu yang telah ditanamkan. Dengan kata lain, manajemen puncak harus bersikap, berfikir dan bertindak tentang mutu dalam semua keputusan dan aktivitasnya. Ini berarti bahwa manajemen puncak harus bersedia menerima siapapun dalam organisasi yang akan memberikan kontribusi dalam perbaikan mutu produk dan jasa organisasinya.17

c. Peningkatan secara terus-menerus Tota l Quality Management adalah sebuah pendekatan praktis,

namun strategis dalam menjalankan roda organisasi yang memfokuskan diri pada kebutuhan pelanggan dan kliennya.18 Tujuannya adalah untuk mencari hasil yang lebih baik. Total Quality Management bukan merupakan sekumpulan slogan, namun merupakan suatu pendekatan sistematis dan hati-hati untuk mencapai tingkatan kualitas yang tepat dengan cara yang konsisten dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan pelanggan. Total Quality Management dapat dipahami sebagai filosofi perbaikan tanpa henti hingga tujuan organisasi dapat dicapai dan dengan melibatkan segenap komponen dalam organisasi tersebut.

Sebagai sebuah pendekatan, Total Quality Management mencari sebuah perubahan permanen dalam tujuan sebuah organisasi, dari tujuan kelayakan jangka pendek menuju tujuan perbaikan mutu jangka panjang. Institusi yang melakukan inovasi secara konstan, melakukan perbaikan dan perubahan secara terarah, dan mempraktekkan Total Quality Management, akan mengalami siklus perbaikan secara terus-menerus. Semangat tersebut akan menciptakan sebuah upaya sadar untuk menganalisa apa yang sedang dikerjakan dan merencanakan perbaikannya. Untuk menciptakan kultur perbaikan terus-menerus, seorang manajer harus mempercayai stafnya dan mendelegasikan keputusan pada tingkatan-tingkatan yang tepat.19 Hal tersebut bertujuan untuk memberikan staf sebuah tanggung jawab untuk menyampaikan mutu dalam lingkungan mereka. Staf membutuhkan kebebasan kerja dalam kerangka kerja yang sudah jelas dan tujuan organisasi yang sudah diketahui.

d. Organisasi ke atas, samping-bawah Kunci keberhasilan budaya Total Quality Management adanya suatu

hubungan efektif, baik secara internal maupun secara eksternal, antara pelanggan

17 Ibid. 18 Edward Sallis, Op. Cit., hlm. 76. 19 Edward Sallis, Op.Cit., hlm. 77.

Page 146: JURNAL UTUH

143

dengan suplier. Semua jaringan dan komunikasi baik secara vertikal maupun horizontal perlu dioptimalkan. Hal ini sangat diperlukan untuk membentuk iklim kondusif bagi terciptanya budaya kualitas yang diharapkan. Oleh karena itu, pimpinan perlu menciptakan budaya komunikasi dengan memanfaatkan semua media secara multi arah secara harmonis setiap saat diperlukan untuk menerapkan Total Quality Management dalam bidang pendidikan. Jika hal ini dapat dilakukan dan disambut dengan baik berarti organisasi ini sudah siap memasuki abad komunikasi dan informasi.20

e. Perubahan kultur Total Quality Management memerlukan perubahan kultur. Ini terkenal sulit

untuk diwujudkan dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Total Quality Management membutuhkan perubahan sikap dan metode. Staf dalam institusi harus memahami dan pelaksanakan pesan moral Total Quality Management agar bisa membawa dampak. Bagaimanapun juga, perubahan kultur tidak hanya bicara tentang merubah perilaku staf, tapi juga memerlukan perubahan dalam metode mengarahkan sebuah institusi.21

Perubahan metode tersebut ditandai dengan sebuah pemahaman bahwa orang menghasilkan mutu. Ada dua hal penting yang diperlukan staf untuk menghasilkan mutu.22 Pertama, staf membutuhkan sebuah lingkungan yang cocok untuk bekerja. Mereka membutuhkan alat-alat keterampilan dan mereka harus bekerja dengan sistem dan prosedur yang sederhana dan membantu pekerjaan mereka. Lingkungan yang mengelilingi staf memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kemampuan mereka dalam mengerjakan pekerjaannya secara tepat dan efektif. Di antara ciri-ciri lingkungan yang membantu tersebut adalah sistem dan prosedur dalam suatu organisasi memotivasi dan meningkatkan kerja mereka. Prosedur yang baik dan motivatif memang tidak serta-merta akan menghasilkan mutu, namun prosedur yang tidak baik dan salah-asuh justru akan membuat mutu menjadi sulit dicapai.

Kedua, untuk melakukan pekerjaan dengan baik, staf memerlukan lingkungan yang mendukung dan menghargai kesuksesan dan prestasi yang mereka raih. Mereka memerlukan pemimpiri yang dapat menghargai prestasi mereka dan membimbing mereka untuk meraih sukses yang lebih besar. Motivasi untuk melakukan pekeijaan yang baik adalah basil dari sebuah gaya kepemimpinan dan dari atmosfir.

f. Peningkatan kualitas guru dan karyawan

Dengan telah diciptakannya lingkungan kerja yang kondusif sebagai hasil perubahan budaya, seluruh anggota organisasi, termasuk para manajer, harus siap mengikuti program pendidikan dan pelatihan mengenai Total Quality. Program diklat ini merupakan langkah-langkah persiapan bagi

20 Marno & Triyo Supriyatno, Op. Cit., hlm. 118. 21 Edward Sallis, Op.Cit., hlm. 78. 22 Ibid., hlm. 79.

Page 147: JURNAL UTUH

144

pemberdayaan kepada seluruh guru dan karyawan. Dalam pemberdayaan ini seluruh guru dan karyawan diberi keprcayaan, tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk mengorganisasikan diri kedalam self-managing teams guna memperbaiki proses dalam mencapai mutu prodek dan jasa.23

g. Profesionalisme dan fokus pada pelanggan Ada dimensi lain tentang tenaga kerja profesional dalam pendidikan yang

secara tradisional melihat diri mereka sendiri sebagai pelindung dari mutu dan standar institusi. Penekanan Total Quality Management pada kedaulatan pelanggan dapat menyebabkan konflik dengan konsep-konsep profesional tradisional. Ini merupakan masalah yang rumit, dan menjadi sesuatu yang perlu dipertimbangkan oleh institusi pendidikan yang menggunakan prosedur mutu terpadu.24

Pelatihan guru dalam konsep-konsep mutu merupakan elemen penting dalam upaya merubah kultur. Staf harus paham bagaimana mereka dan muridnya dapat memperoleh manfaat dari fokus terhadap pelanggan. Mutu terpadu bukan sekedar membuat pelanggan senang dan tersenyum. Mutu terpadu adalah mendengarkan dan berdialog tentang kekhawatiran dan aspirasi pelanggan. Aspek terbaik dari peran profesional adalah perhatian serta standar akademi dan kejuruan yang tinggi. Memadukan aspek terbaik dari profesionalisme dengan mutu terpadu merupakan hal yang esensial untuk mencapai sukses.25

h. Pengelolaan kurikulum Kurikulum merupakan salah satu komponen pendidikan yang

memegang peranan penting dalam menentukan ke arah mana sasaran dan tujuan peserta didik akan dibawa serta kemampuan minimal dan keahlian apa yang harus dimiliki oleh peserta didik setelah selesai mengikuti program pendidikan. Atas dasar itu, maka Perubahan yang menuntut adanya penyesuaian-penyesuaian tertentu dalam bidang pendidikan merupakan suatu hal yang harus dilakukan, sebagai upaya memperbaiki dan mengembangkan kualitas pendidikan, menuju terciptanya kehidupan yang cerdas, damai, terbuka, demokratis, dan mampu bersaing, baik tingkat nasional maupun internasional. Dalam konteks pendidikan madrasah, agar lulusannya memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif, maka kurikulum dikembangkan dengan pendekatan berbasis kompetensi. Hal ini dilakukan agar pendidikan secara kelembagaan dapat merespon secara proaktif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta tuntutan desentralisasi.26

23 Soewarso Hardjosoedarmo, Op.Cit., hlm. 41. 24 Edward Sallis, Op.Cit., hlm. 85. 25 Ibid., hlm 86. 26 Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2004), hlm. 43.

Page 148: JURNAL UTUH

145

i. Menjaga hubungan dengan pelanggan Misi utama Total Qualit Management dalam lembaga adalah untuk

memenuhi kebutuhan pelanggan. Lembaga yang unggul akan selalu menjaga kedekatan dengan pelanggan serta memiliki ketertarikan (obsesi) terhadap kualitas. Oleh karena itu, pimpinan lembaga pendidikan perlu mengembangkan paradigma baru bahwa yang semula kecenderungannya acuh dengan pelanggan, di masa mendatang harus memprioritaskan dan memuaskan pelanggan. Hal ini didasarkan pada ciri utama penentu kualitas versi Total Quality Management bahwa pelangganlah yang akhirnya menentukan kualitas.

Agar transformasi Total Quality Management dalam dunia pendidikan bisa tercapai, maka antara lembaga pendidikan dan pihak pengajar harus bekerjasama, dengan kata lain semua yang berkaitan dengan lembaga pendidikan harus bekerjasama dan benar-benar berupaya untuk mengadakan perbaikan mutu pendidikan. Apabila penerapan Total Quality Management tidak dibarengi dengan usaha yang memaksimalkan diri seluruh pihak pengelola pendidikan (kepala sekolah, guru, karyawan, siswa, dan masyarakat), maka upaya transformasi Total Quality Management tidak terwujud dengan baik. Dengan mengacu pada organisasi industri, maka instrumen Total Quality Management dalam pendidikan meliputi produk, customer, model-model mutu, mutu pembelajaran, standar mutu dan kepemimpinan pendidikan.27

Masalahnya, ketika Total Quality Management masuk ke dalam ranah pendidikan, istilah seperti learning dan curriculum, sebagaimana diungkapkan oleh Fred C. Lunenburg, tidak ditemukan dalam 14 prinsip Total Quality Management-nya Deming. Sebagian istilah harus diterjemahkan menurut konteks persekolahan. Misalnya, “pengawas” dan “kepala sekolah” dianggap sebagai “manajemen”. “Guru” sebagai “majikan” atau “manajer”-nya para siswa. Sedangkan “siswa” sendiri adalah sebagai “karyawan”, dan “pengetahuan” yang mereka cari dikatakan sebagai “produk”. Selanjutnya “orangtua” atau “masyarakat” disebut sebagai “pelanggan”.28 Keempat belas prinsip yang dimaksud tersebut meliputi: a) Create constancy of purpose for improvement of product and service

(ciptakan keteguhan tujuan demi kemajuan produk dan layanan). Dengan kata lain, miliki tekad yang kuat dan terus menerus untuk memperbaiki mutu produk dan jasa.

27 Khamim Zarkasih Putro dan M. Mahlan, “Pendekatan Total Quality Management (TQM)

dalam Pendidikan”, dari http://mahalaniraya.wordpress.com/2008/03/01, diakses pada 27 Maret 2013.

28 Fred C. Lunenburg, Total Quality Management Applied to Schools, Schooling, Volume 1, Number 1, 2010, hlm. 1, dari http://www.nationalforum.com/Electronic-Journal-Volumes/Lunenburg,-Fred-C.-Total-Quality-Management-Applied-to-Schools-Schooling-V1-N1-2010.pdf, diakses pada 27 Maret 2013.

Page 149: JURNAL UTUH

146

b) Adopt the new philosophy (adopsi filosofi baru). Artinya, gunakan filosofi yang tidak bisa menerima keterlambatan, kesalahan, cacat materi, dan cacat pekerjaan.

c) Cease dependence on inspection to achieve quality (hentikan ketergantungan terhadap pemeriksaan untuk mencapai mutu). Maksudnya, ganti dengan adanya proses yang baik sejak awal hingga akhir guna mendapatkan hasil bermutu.

d) End the practice of awarding business on the basis of price alone (akhiri praktik bisnis berhadiah). Sederhananya, jangan terkecoh oleh besarnya biaya saja. Yang mahal dan yang mudah belum pasti baik, dan sebaliknya.

e) Improve constantly and forever every activity in the organization, to improve quality and productivity (lakukan perbaikan secara terus-menerus baik kualitas maupun produktivitas).

f) Institute training on the job (adakan pelatihan) bagi semua orang, baik pimpinan maupun staf, agar masing-masing dapat meningkatkan kualitas kerjanya.

g) Institute leadership (bangun kepemimpinan) sehingga dapat membantu memperbaiki kinerja.

h) Drive out fear (hilangkan ketakutan). i) Break down barriers among staff areas (hadapi rintangan), termasuk

hambatan komunikasi antar individu. j) Eliminate slogans, exhortations, and targets that demand zero defects and

new levels of productivity (hilangkan slogan, peringatan, dan target yang menuntut kerusakan nol dan level produktivitas baru).

k) Eliminate numerical quotas for the staff and goals for management (hilangkan kuota numerik staf dan tujuan demi kepentingan manajemen).

l) Remove barriers that rob people of pride in their work and remove the barriers that rob people in leadership of their right to pride in their work (hilangkan rintangan yang mengganggu kebanggaan kerja dan hak-hak individu).

m) Institute a vigorous program of education and retraining for everyone (adakan program penyemangat demi pengembangan diri).

n) Put everyone in the organization to work to accomplish the transformation (ajak setiap orang untuk menyempurnakan perubahan).29

Metode Total Quality Management a. Metode W. Edwards Deming

W. E. Deming dinilai sebagai bapak gerakan Total Quality Management. Metodenya dikenal dengan Deming Cycle (Siklus Deming). Siklus ini model perbaikan berkesinambungan, terdiri atas empat komponen yang saling

29 Ibid., hlm. 2-5.

Page 150: JURNAL UTUH

147

berkaitan, yakni plan-do-check-act (PDCA). Keempat elemen tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut.

Siklus Deming

1. Mengembangkan rencana perbaikan (plan)

Rencana ini disusun berdasarkan prinsip 5W 1H (what, why, who, when, where, dan how) yang dibuat secara jelas dan terperinci, serta menetapkan sasaran maupun target yang musti dicapai.

2. Melaksanakan rencana (do) Rencana yang telah tersusun dilaksanakan secara bertahap, mulai

dari skala kecil, dan pembagian tugas secara merata sesuai kapasitas dan kemampuan dari setiap personil. Selama proses pelaksanaan harus ada pengendalian, sebagai upaya agar seluruh rencana dilaksanakan dengan sebaik mungkin dan sasarannya dapat dicapai.

3. Memeriksa hasil yang dicapai (check) Elemen ini mengacu kepada penetapan apakah pelaksanaan Total

Quality Management berada pada jalur yang ditetapkan, sesuai dengan rencana dan memantau kemajuan perbaikan yang direncanakan. Alat atau perlengkapan yang dapat digunakan dalam memeriksa yaitu diagram, histogram, dan diagram kontrol.

4. Melakukan tindakan penyesuaian bila diperlukan (action) Penyesuaian dilakukan bila dianggap perlu, didasarkan pada hasil

analisis. Penyesuaian berkenaan dengan standardisasi prosedur baru guna menghindari timbulnya kembali masalah yang sama atau menetapkan sasaran baru bagi perbaikan berikutnya.30

b. Metode Joseph M. Juran Juran mengemukakan ada empat konsep dalam metode Total Quality

Management yaitu meliputi: 1. Juran’s three basic steps to progress

Terkait konsep ini, Juran mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara kualitas dengan daya saing. Tiga langkah yang dimaksudkan adalah: (a) mencapai perbaikan terstruktur atas dasar kesinambungan yang dikombinasikan dengan dedikasi dan keadaan mendesak; (b) mengadakan

30 Umi Hanik, Op. Cit., hlm. 22-23.

Page 151: JURNAL UTUH

148

program pelatihan secara luas; dan (c) membentuk komitmen dan kepemimpinan pada tingkat manajemen yang lebih tinggi.

2. Juran’s ten steps to quality improvement Pada konsep kedua ini, dikemukakan sepuluh langkah untuk

memperbaiki kualitas, yakni: (a) membentuk kesadaran terhadap kebutuhan perbaikan dan peluang untuk melakukan perbaikan; (b) menetapkan tujuan perbaikan; (c) mengorganisasikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan; (d) menyediakan pelatihan; (e) melaksanakan proyek-proyek untuk memecahkan masalah; (f) melaporkan perkembangan; (g) memberikan penghargaan; (h) mengomunikasikan hal-hal yang dicapai; (i) menyimpan dan mempertahankan hasil yang dicapai; dan (j) memelihara momentum dengan melakukan perbaikan dalam sistem reguler organisasi atau perusahaan.

3. The pareto principle Juran, dalam konsep ini, menerapkan prinsip yang dikemukakan oleh

Pareto, yakni organisasi harus memusatkan energi pada penyisihan sumber masalah yang sedikit namun vital (vital few sources) yang menyebabkan sebagian besar masalah.

4. The Juran trilogy Menurut konsep keempat ini, terdapat tiga fungsi utama manajerial, yaitu: (a) perencanaan kualitas; (b) pengendalian kualitas; dan (c) perbaikan kualitas.31

Kesimpulan

Pada dasarnya TQM adalah evaluasi untuk menemukan berbagai informasi tentang perencanaan dan pengendalian mutu suatu lembaga. Juga tentang produk yang dihasilkan, sehingga dapat dilakukan peningkatan mutu ataupun terobosan baru dalam usaha perbaikan mutu. Diranah inilah TQM sebagai pendekatan yang digunakan untuk mengembangkan kualitas lembaga pendidikan Islam yang berorientasi pada kualitas proses dan hasil. Sehingga berbagai alat dan instrumennya dapat diterapkan dalam membangun mutu manajemen pendidikan Islam.

Aplikasi TQM dalam penyelenggaraan lembaga pendidikan Islam diseluruh jenjang dituntut untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan pelanggannya, melibatkan secara total semua komponen. Dengan mengadakan pengukuran dan evaluasi diri atas kemajuan lembaga pendidikan yang dikelolanya, peningkatan atau perbaikan mutu pendidikan melalui instrumen-komponen/sub-sub sistem lembaga. Selalu mengadakan perbaikan mutu pendidikan secara berkesinambungan untuk menjawab setiap tuntutan perkembangan situasi jaman sesuai cita-cita, keinginan dan kebutuhan pengguna.

31 Ibid., hlm. 24-26.

Page 152: JURNAL UTUH

149

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama Republik Indonesia. (1989). Al -Qur’an dan Terjemahnya Juz 1-30. Semarang: CV. Toha Putra.

Depdiknas. (2004). Isu-isu Pendidikan: Lima Isu Pendidikan Triwulan Kedua.

Jakarta: Balitbang Diknas. Danim, Sudarwan. (2003). Agenda Pembaruan Sistem Pendidikan. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar Hanik, Umi. (2011). Implementasi Total Quality Management dalam Peningkatan

Kualitas Pendidikan. Semarang: RaSAIL Media Group. Huberman, A. Michael & Milles, Mattew B. (1984). Data Management and

Analysis Methods. Amerika: New York Press. Marno & Supriyanto, Triyo. (2008). Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan

Islam. Bandung: PT. Refika Aditama. Sallis, Edward. (2006). Total Quality Management in Education, terj. Ahmad Ali

Riyadi dan Fahrurrozi. Jogjakarta: IRCiSoD. Sukmadinata. (2004). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung:

PT Remaja Rosdakarya. Tim Penyusun. (2006). UURI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS. Bandung:

Citra Umbara. Yamit, Zulian. (2001). Manajemen Kualitas (Produk dan Jasa). Yogyakarta:

Ekonisia.

Internet Aina, Sola & Kayode, Oyeyemi. Application of Total Quality Management in the

Classroom, British Journal of Arts and Social Sciences, Vol.11 No.I, dari http://www.bjournal.co.uk/paper/BJASS_11_1/BJASS_11_01_02.pdf, diakses pada 30 Maret 2013.

http://www.au.edu.pk/qec/minutes/admin-TQM.ppt, diakses pada 29 Maret 2013. http://www.ban-sm.or.id, diakses pada 27 Maret 2013. http://www3.nd.edu/~kmatta/BAMG30700/Lectures/Lect-4-TQM-Basic-

Tenets.ppt, diakses pada 29 Maret 2013.

Page 153: JURNAL UTUH

150

Lunenburg, Fred C. (2010). Total Quality Management Applied to Schools, Schooling, Volume 1, Number 1, dari http://www.nationalforum.com/Electronic-Journal-Volumes/Lunenburg,-Fred-C.-Total-Quality-Management-Applied-to-Schools-Schooling-V1-N1-2010.pdf, diakses pada 27 Maret 2013.

Nurbayani K., Siti. Program Percepatan Kelas (Akselerasi) bagi Siswa yang

Memiliki Kemampuan Unggul: Sebuah Inovasi dalam pelaksanaan pendidikan di persekolahan, http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/197007111994032_SITI_NURBAYANI_K/Karya/Inovasi_dalam_pelaksanaan_pendidikan.pdf, diakses pada 27 Maret 2013.

Putro, Khamim Zarkasih dan Mahlan, M. (2008). “Pendekatan Total Quality

Management (TQM) dalam Pendidikan”, dari http://mahalaniraya.wordpress.com/2008/03/01, diakses pada 27 Maret 2013.

Sa’ud, Udin S. Manajemen Mutu Terpadu/Total Quality Management dalam

Rangka Sukses UAN di Madrasah [Hand-out seminar], Banten: 2004, diambil dari http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._ADMINISTRASI_PENDIDIKAN/195306121981031-UDIN_SٱAEFUDIN_SA’UD/TQM_Pontren_Serang_2004.pdf, diakses pada 1 September 2013.

Yusof, Sha’ri M. & Aspinwall, Elaine. (2000). TQM implementation issues:

review and case study, International Journal of Operations & Production Management, Vol. 20 No. 6, 2000, pp. 634-655, diambil dari http://www.fkm.utm.my/~shari/download/paper5.pdf, diakses pada 29 Maret 2013.